Tinjauan Pustaka Anestesi i.v. Nss

Preview:

DESCRIPTION

laporan

Citation preview

TINJAUAN PUSTAKA ANESTESI INTRAVENA

A. BARBITURAT

Barbiturat merupakan derivat dari barbituric acid. Barbiturat menekan sistem aktivasi

retikuler yang mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis,

barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf daripada akson. Barbiturat

menekan transmisi neurotransmiter eksitator (seperti asetilkolin) dan meningkatkan transmisi

neurotransmiter inhibitor (seperti GABA) (Morgan, et al., 2006).

1. Farmakokinetik

a. Distribusi

Durasi kerja dari barbiturat dengan kelarutan lemak tinggi (thiopental, thiamilal dan

methoheksital) tergantung dari redistribusi, dan bukan dari metabolisme atau

eliminasinya. Jika kompartemen sentral terkontraksi (shok hipovolemik) atau serum

albumin rendah (kelainan di hepar) atau jika asidosis maka konsentrasi di otak dan hati

akan meningkat (Latief, 2003).

b. Metabolisme

Biotransformasi dari barbiturat melibatkan oksidasi hepatik sampai metabolit larut air

yang inaktif. Karena ekstraksi hati yang lebih besar, methohexital dibersihkan di hati 3-

4 kali lebih cepat daripada thiopental atau thiamilal (Latief, 2003).

c. Ekskresi

Ikatan dengan protein tinggi mengurangi filtrasi glomeruler dari barbiturat, sedangkan

untuk kelarutan lemak yang tinggi cenderung meningkatkan reabsorbsi tubulus ginjal.

Kecuali pada obat yang ikatan kurang dengan protein dan kurang larut lemak seperti

phenobarbital, ekskresi ginjal terbatas pada produk akhir yang larut air dari

biotransformasi hepatik. Methoheksital diekskresi lewat feses (Latief, 2003).

2. Farmakodinamik

a. Kardiovaskuler

Efek yang segera timbul setelah pemberian thiopental adalah penurunan tekanan darah

yang sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma dan peningkatan denyut

jantung. Depresi pusat vasomotor medular menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

perifer yang meningkatkan jumlah darah di perifer dan penurunan venous return ke

atrium kanan. Takikardi mungkin disebabkan karena efek vagolitik sentral. Cardiac

output dipertahankan dengan meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan

kontraktilitas miokardial dari kompensasi refleks baroreseptor (Morgan, et al., 2006).

b. Respirasi

Sedasi dari barbiturat dapat menyebabkan obstruksi saluran napas bagian atas.

Bronkospasme dapat terjadi pada pasien yang diinduksi dengan thiopental mungkin

akibat stimulasi dari saraf kolinergik (yang dapat dicegah dengan pemberian atropin),

pelepasan histamin, atau efek langsung terhadap stimulasi otot polos (Morgan, et al.,

2006).

c. Otak

Barbiturat menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah di otak, menyebabkan

penurunan aliran darah otak dan tekanan intracranial (Morgan, et al., 2006).

d. Ginjal

Barbiturat mengurangi aliran darah ginjal dan filtrasi dari glomerulus sebagai akibat

dari penurunan tekanan darah (Morgan, et al., 2006).

e. Hepar

Aliran darah hepar menurun (Morgan, et al., 2006).

3. Sediaan dan Dosis

Tabel 1. Sediaan dan Dosis Barbiturat

Barbiturat Sediaan dan Dosis

Natrium thiopental Dosis induksi : 2-4 ml (larutan 2,5%)

Anestesia : pentotal 0,5-2 ml (larutan 2,5%)

Natrium thiamilal Dosis induksi : 2-4 ml (larutan 2,5%)

Dosis penunjang : 0,5-2 ml (larutan 2,5%)

Natrium metoheksital Dosis induksi : 5-12 ml (larutan 1%)

Dosis penunjang : 2-4 ml (larutan 1 %)

(FKUI, 2007)

4. Efek Samping

Pemberian barbiturat jangka pendek tidak memiliki efek yang bermakna secara klinis

terhadap sistem hati, ginjal, atau endokrin. Dosis induksi tunggal thiopental tidak

mempengaruhi tonus uterus pada wanita hamil, tetapi menghasilkan depresi aktivitas yang

ringan dan singkat (Evers, et al., 2006). Akan tetapi, disebutkan pula bahwa barbiturate

dapat menyebabkan hangover, kegelisahan, rasa nyeri, serta alergi (FKUI, 2007).

B. BENZODIAZEPIN

Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam sering digunakan untuk induksi dalam

anestesi umum. Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di sistem saraf pusat,

terutama di korteks serebral. Reseptor terikat benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi

bermacam neurotransmitter (Morgan, et al., 2006).

1. Farmakokinetik

a. Absorbsi

Diazepam dan lorazepam diserap baik di saluran gastrointestinal dengan puncak level

plasma didapat dalam 1-2 jam. Intranasal (0,2-0,3 mg/kg), bukal (0,07 mg/kg) dan

sublingual (0,1 mg/kg) midazolam efektif untuk sedasi preoperatif. Sebaliknya,

midazolam dan lorazepam diabsorbsi baik setelah pemberian injeksi intramuskuler

dengan puncak level setelah 30-90 menit (Morgan, et al., 2006).

b. Distribusi

Diazepam cukup larut lemak dan dengan cepat melewati sawar darah otak. Midazolam

bersifat larut air namun pada pH yang rendah, cincin imidazolnya yang mendekati pH

fisiologis menyebabkan peningkatan kelarutan terhadap lemak. Lorazepam mempunyai

kelarutan sedang pada lemak sehingga memperlambat ambilan ke otak dan onset

kerjanya. Redistribusi cukup cepat (paruh waktu distribusi awal 3-10 menit). Semua

benzodiazepin berikatan tinggi dengan protein (90-98%) (Morgan, et al., 2006).

c. Metabolisme

Metabolisme benzodiazepin terjadi di hati. Metabolit dari reaksi fase I secara

farmakologi masih aktif. Ekstraksi hepatik yang lambat dan volume ditribusi yang besar

menyebabkan waktu paruh dizepam menjadi lama (30 jam) (Morgan, et al., 2006).

d. Ekskresi

Metabolit biotransformasi benzodiazepin dieksresi terutama lewat urin. Sirkulasi

enterohepatik menghasilkan puncak sekunder pada konsentrasi plasma di setelah 6-12

jam pemberian anestetik (Morgan, et al., 2006).

2. Farmakodinamik

a. Kardiovaskuler

Efek depresan kardiovaskuler benzodiazepin minimal walaupun pada dosis induksi.

Tekanan darah arterial, cardiac output dan tahanan vaskuler perifer turun secara pelan,

kadang denyut jantung meningkat. Midazolam cenderung lebih menurunkan tekanan

darah dan tahanan vaskuler perifer daripada diazepam (Morgan, et al., 2006).

b. Respirasi

Benzodiazepin menekan respon ventilatori terhadap CO2 (Morgan, et al., 2006).

c. Otak

Benzodiazepin menurunkan Cerebral Metabolic Rate untuk konsumsi O2, Cerebral

Blood Flow dan tekanan intrakranial. Dosis sedatif oral sering menimbulkan amnesia

antegrade yang berguna untuk premedikasi. Efek muscle-relaxant obat ini akibat efek di

medula spinalis dan bukan neuromuscular junction. Anti-cemas, amnesia dan efek

sedasi terlihat pada dosis rendah dan meningkat menjadi stupor dan tidak sadar pada

dosis induksi. Benzodiazepin tidak memiliki efek analgesia (Morgan, et al., 2006).

3. Dosis

Dosis diazepam untuk induksi adalah 0,1-0,5 mg/kgBB. Pada orang sehat, dosis diazepam

0,2 mg/kgBB sebagai medikasi pra-anestetik. Untuk menimbulkan sedasi, penambahan 2,5

mg diazepam tiap 30 detik. Umumnya dibutuhkan 5-30 mg untuk sedasi ini (FKUI, 2007).

4. Efek Samping

Benzodiazepin dosis hipnotik dapat menimbulkan efek samping seperti light headedness,

lassitude, lambat bereaksi, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan

psikologi, gangguan koordinasi berpikir, bingung, diastria, amnesia anterograd, mulut

kering dan rasa pahit (FKUI, 2007).

C. OPIOID

Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik. Biasanya digunakan

sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Efek yang dihasilkan dari pemakaian obat golongan

opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Mekanisme kerja dari opioid adalah

interaksi dengan reseptornya dalam otak (amygdala) dan medula spinalis (Morgan, et al.,

2006).

Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi adalah obat golongan

opioid tidak secara langsung memberikan efek depresi pada fungsi jantung sehingga golongan

opioid sangat berguna untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung (Morgan, et al.,

2006).

1. Farmakokinetik

a. Absorbsi

Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler,

dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral

merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10

menit) (Morgan, et al., 2006).

b. Distribusi

Waktu paruh distribusi semua opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak

yang rendah dari morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset

kerja lambat dan durasi kerja juga lebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil

onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus karena memiliki kelarutan

dalam lemak yang tinggi (Morgan, et al., 2006).

c. Metabolisme

Kebanyakan opioid tergantung biotransformasinya di hepar, kecuali remifentanil.

Produk akhir fentanil, sufentanil dan alfentanil tidak aktif (Morgan, et al., 2006).

d. Ekskresi

Produk akhir biotransformasi morfin dan meperidin dieliminasi oleh ginjal dengan

kurang dari 10% melalui ekskresi bilier. Karena 5-10% morfin diekskresi tanpa

perubahan lewat urin, kegagalan ginjal memperpanjang durasi kerjanya. Metabolit dari

remifentanil dieliminasi melalui urine dan hepar (Morgan, et al., 2006).

2. Farmakodinamik

a. Kardiovaskuler

Secara umum, opioid mempengaruhi kardiovaskuler dengan menurunkan respon

simpatis melalui pusat vasomotor di medula dan meningkatkan respon parasimpatis

melalui jalur vagal. Opioid tidak menekan kontraktilitas jantung kecuali meperidin.

Meperidin dan morfin dapat menyebabkan terjadinya pelepasan histamine dan

menyebabkan terjadinya vasodilatasi (Cole, 2004).

b. Respirasi

Opioid menekan ventilasi terutama laju respirasi. PaCO2 meningkat dan respon terhadap

CO2 berkurang. Efek ini dipengaruhi oleh pusat respirasi di batang otak. Opioid

(terutama fentanil, sufentanil dan alfentanil) dapat menimbulkan rigiditas dinding dada

cukup berat sehingga mencegah ventilasi adekuat (Cole, 2004).

c. Otak

Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen otak dan tekanan intrakranial,

namun jauh lebih minimal dibandingkan barbiturat atau benzodiazepin. Stimulasi

terhadap pemicu kemoreseptor pad tingkat medula menyebabkan terjadinya mual dan

muntah, hal ini berhubungan dengan pemberian opioid yang berulang (Cole, 2004).

d. Gastrointestinal

Opioid memperlambat waktu pengosongan dengan mengurangi peristaltik (Cole, 2004).

e. Endokrin

Opioid dapat memblok pelepasan hormon-hormon (seperti katekolamin, ADH dan

kortisol) secara lebih komplit daripada anestesi volatile (Cole, 2004).

3. Dosis

a. Fentanil : dosis 100-150 mcg/kg

b. Sulfentanil : dosis 0,25-0,5 mcg/kg (FKUI, 2007).

4. Efek Samping

Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah, kekakuan dinding

dada, kejang dan supresi dari motilitas gastrointestinal. Pada pasien dengan hipovolemia,

opioid memberikan manfaat dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan

morfin). Opioid juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal secara

langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek menurunkan tekanan darah

karena terjadi peningkatan stroke volume dari jantung (Morgan, et al., 2006).

DAPUS :

Cole, Daniel J. 2004. Adult Perioperative Ansthesia : The Requisites in Anesthesiology.

Philadelphia : Mosby Elsevier.

Evers, Alex S., C. Michael Crowder, Jeffrey R. Balser. 2006. General Anesthetics. The

Pharmacological Basis of Therapeutics. Toronto : McGraw-Hill Company.

FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI.

Latief, S. A. 2003. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif FKUI.

Morgan, G. Edward, Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. 2006. Clinical Anesthesiology.

McGraw-Hill : Lange Medical Books.

Recommended