View
128
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
fetal distress
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Istilah gawat janin (fetal distress) terlalu luas dan kurang tepat menggambarkan
situasi klinis. Ketidakpastian dalam diagnosis gawat janin yang didasarkan pada interpretasi
pola frekuensi denyut jantung, pola-pola selama persalinan ini bersifat dinamik, yaitu pola-
pola tersebut dapat berubah cepat dari meyakinkan menjadi meragukan, demikian sebaliknya.
Penilaian janin ini adalah penilaian klinis yang sama sekali subyektif dan pastilah memiliki
kelemahan dan harus diakui demikian.1
Gawat janin juga umum digunakan untuk menjelaskan kondisi hipoksia yang bila
tidak dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk yaitu menyebabkan kerusakan atau
kematian janin jika tidak diatasi secepatnya atau janin secepatnya dilahirkan. Hipoksia ialah
keadaan jaringan yang kurang oksigen, sedangkan hipoksemia ialah kadar oksigen darah
yang kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan
menurunnya fungsi respirasi atau akumulasi asam.2,3
Kegawatan yang kronik dapat timbul setelah suatu periode waktu yang panjang
selama periode antenatal bila status fisiologis dari unit ibu-janin-plasenta yang ideal dan
normal terganggu. Hal ini dapat dipantau melalui evaluasi dari pertumbuhan janin intar uteri,
keadaan biofisikal janin, cordosintesis, dan velosimetri Doppler. (springer) Gawat janin akut
disebabkan oleh suatu kejadian yang tiba-tiba yang mempengaruhi oksigenasi janin. Gawat
janin selama persalinan menunjukkan hipoksia (kurang oksigen) pada janin. Tanpa oksigen
yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan
deselerasi (perlambatan) lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis
(pemecahan glukosa) anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.3,4
Faktor Risiko
Pemantauan DJJ dapat dilakukan secara intermiten atau kontinu. Umumnya
pemantauan kontinu dilakukan pada janin yang berisiko tinggi, sedangkan untuk janin normal
pemantauan dilakukan secara terputus.5
1
Beberapa keadaan yang membutuhkan pemantauan DJJ secara kontinu adalah:
Kehamilan Risiko Tinggi ( antepartum risk )
Diagnosis atau aspek IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)
Gambaran kardiotografi abnormal saat kehamilan
Gambaran USG Doppler abnormal
Oligohidramnion atau polihidramnion
Preeklamsi
Perdarahan antepartum
Korioamnionitis
Kehamilan serotinus (≥ 42 minggu)
Ketuban pecah dini
Kehamilan multifetus
Kehamilan sungsang atau malpresentasi
Kehamilan dengan diabetes
Kehamilan dengan hipertensi
Kehamilan dengan bekas seksio sesarea.5
Persalinan Risiko Tinggi ( intrapartum risk )
Induksi/augmentasi dengan oksitosin/prostaglandin
Auskultasi yang abnormal (takikardia, bradikardia atau deselerasi pada pemantauan
intermiten)
Anestesi epidural
Perdarahan intrapartum yang tidak diketahui penyebabnya
Ibu demam
Cairan ketuban mekoneal
Setelah amniotomi
Persalinan preterm
Vaginal birth after cesarean section (VBAC)5
Etiopatogenesis
2
Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun biasanya gawat janin
terjadi karena beberapa mekanisme yang berkesinambungan. Penurunan aliran darah plasenta
akibat kontraksi dapat menyebabkan kompresi terhadap tali pusat. Sehingga pada wanita
yang mengalami persalinan lama hal ini dapat menyebabkan kegawatan pada bayi melalui
mekanisme di atas. Kegawatan akut dapat terjadi akibat abrupsio plasenta, prolaps tali pusat
(terutama dengan presentasi bokong), keadaan hipertonik uterine dan penggunaan oksitosin.
Hipotensi dapat terjadi akibat anestesi epidural atau posisi supine, dimana hal ini dapat
mengurangi aliran darah vena cava kembali ke jantung. Penurunan aliran darah pada
hipotensi dapat menyebabkan kegawatan pada janin.3
Hendaknya kita dapat menganalisa kondisi janin dan ibu,untuk kemudian membuat
pemeriksan khusus dalam membuktikan kebenaran analisa tersebut.3 Kondisi klinik yang
berkaitan dengan hipoksia ialah:
1. Kelainan pasokan plasenta : solutio plasenta, plasenta previa, postterm, prolapsus tali
pusat, lilitan tali pusat, pertumbuhan janin terhambat, isufisiensi plasenta
2. Kelainan arus darah plasenta : hipotensi ibu, hipertensi, kontraksi hipertonik,
3. Saturasi oksigen ibu berkurang: hipoventilasi, hipoksia, penyakit jantung.3,4
Dahulu diperkirakan bahwa janin mempunyai tegangan oksigen yang lebih rendah
karena ia hidup di lingkungan hipoksia dan asidosis yang kronik. Tetapi pemikiran itu tidak
benar karena bila tidak ada tekanan (stress), janin hidup dalam lingkungan yang sesuai dan
dalam kenyataan konsumsi oksigen per gram berat badan sama dengan dewasa. Meskipun
tekanan oksigen parsial (pO2) rendah, penyaluran oksigen pada jaringan tetap memadai.2
Afinitas terhadap oksigen, kadar hemoglobin, dan kapasitas angkut oksigen pada janin
lebih besar dibanding dengan orang dewasa. Demikian juga halnya dengan curah jantung dan
kecepatan arus darah lebih besar daripada orang dewasa. Dengan demikian penyaluran
oksigen melalui plasenta kepada janin dan jaringan perifer dapat terselenggara dengan relatif
baik. Sebagai hasil metabolisme oksigen akan terbentuk asam piruvat, CO2 dan air diekskresi
melalui plasenta. Bila plasenta mengalami penurunan fungsi akibat perfusi dari ruang
intervilli yang berkurang, maka penyaluran oksigen dan ekskresi CO2 akan terganggu dan
berakibat penurunan pH atau timbulnya asidosis. Hipoksia yang berlangsung lama
menyebabkan janin harus mengolah glukosa menjadi energi melalui reaksi anaerob yang
tidak efesien, bahkan menimbulkan asam organic yang menambah asidosis metabolic. Pada
3
umumnya asidosis janin disebabkan oleh gangguan arus darah uterus atau arus darah tali
pusat.2
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang , maka janin akan mengalami retardasi
organ bahkan risiko asidosis dan kematian. Bermula dari upaya redistribusi aliran darah yang
akan ditujukan pada organ penting seperti otak dan jantung dengan mengorbankan visera
(hepar dan ginjal). Hal ini tampak dari volume cairan amnion yang berkurang
(oligohidramnion). Bradikardia yang terjadi merupakan mekanisme dari jantung dalam
bereaksi dari baroreseptor akibat tekanan (misalnya hipertensi pada kompresi tali pusat) atau
reaksi kemoreseptor akibat asidemia.4
Bradikardia janin tidak harus berarti merupakan indikasi kerusakan jaringan akibat
hipoksia, karena janin mempunyai kemampuan redistribusi darah bila terjadi hipoksia,
sehingga jaringan vital (otak dan jantung) akan menerima penyaluran darah yang lebih
banyak dibandingkan jaringan perifer. Bradikardia mungkin merupakan mekanisme
perlindungan agar jantung bekerja lebih efisien sebagai akibat hipoksia.2
Skema patofisiologi gawat janin
Hal – hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan keadaan Gawat Janin:
1. Denyut jantung janin (DJJ)
4
Dellinger dkk. (2000) secara retrospektif menganalisis pola frekuensi denyut jantung
janin intrapartum pada 898 kehamilan dengan menggunakan suatu sistem klasifikasi yang
mereka rancang sendiri. Pola frekuensi denyut jantung janin selarna persalinan sebelum
pelahiran diklasifikasikan sebagai "normal", "stres", atau "gawat". "Gawat" janin didiagnosis
pada 8 (1 persen) rekaman dan 70 persen diklasifikasikan sebagai "normal". Hampir sepertiga
adalah pola intermediet. Yang digolongkan ke dalam "gawat" janin antara lain tidak adanya
variabilitas plus deselerasi larnbat atau deserasi variabel sedang sampai parah atau denyut
basal kurang dari 110 dpm selama 5 menit atau lebih. Hasil akhir seperti seksio sesarea,
asidemia janin, dan rawat inap di ruang perawatan intensif secara bermakna berkaitan dengan
pola frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini menyimpulkan bahwa system klasifikasi
mereka secara akurat dapat memprediksi hasil akhir normal bagi janin serta membedakan
gawat janin yang sesungguhnya.1,3
Singkatnya, setelah lebih dari 30 tahun pengalaman dengan interpretasi pola frekuensi
denyut jantung janin, akhirnya ditemukan bukti bahwa beberapa kombinasi pola frekuensi
denyut jantung janin dapat digunakan untuk mengidentifikasi janin normal dan abnormal
parah. Pola gawat janin yang sejati tampaknya berupa tidak adanya variabilitas denyut-demi-
denyut disertai deselerasi berat atau perubahan frekuensi basal persisten atau keduanya. Salah
satu penjelasan mengapa manfaat pemantauan frekuensi denyut jantung sulit dibuktikan
secara ilmiah adalah gawat janin semacam itu jarang terjadi sehingga sulit dilakukan uji
klinis yang sahih (Hornbuckle dkk., 2000).1,3
Pemantauan dan pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinyu dalam
hubungan dengan kontraksi uterus memberikan sutu penilaian kesehatan janin yang sangat
membantu selama persalinan. Akselerasi periodik pada gerakan janin merupakan keterangan
dari reaktifitas janin yang normal.1,3
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin:
1.Bradikardi.
Denyut jantung janin kurang dari 120 denyut per menit.3,5.
2.Takikardi.
5
Akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (>160) dapat dihubungkan dengan demam
pada ibu yang sekunder terhadap infeksi intrauterine. Prematuritas atropine juga dihubungkan
dengan denyut jantung janin yang meningkat.3,5
3.Variabilitas denyut jantung dasar yang menurun.
Yang berarti depresi system saraf otonom janin oleh medikasi ibu (atropine ,skopolamin,
diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesic narkotik).3
4.Pola deselerasi.
Deselerasi lanjut menunjukkan hipoksia janin yang disebabkan oleh insufisiensi
uteriplasenter. Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus adalah
lebih sering dan muncul untuk menunjukkan kompresi sementara waktu saja dari pembuluh
darah umbilicus. Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut,
penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.3
2. Air ketuban hijau dan kental (mekonium)
Mekonium akan keluar dari usus pada keadaan stres hipoksia, telah terbukti bahwa
pasase mekonium disebabkan karena rangsangan saraf dari saluran pencernaan yang sudah
matur. Pada saat janin aterm, saluran pencernaan menjadi matur, terjadi stimulasi vagal dari
kepala atau kompresi tali pusat yang akan menyebabkan timbulnya peristaltik dan relaksasi
dari spinkter ani yang menyebabkan keluarnya mekonium. Walaupun etiologinya belum
dipahami dengan baik, namun efek dari mekonium telah diketahui.3,4
Pasase mekonium pada janin yang matur difasilitasi oleh myelinisasi serabut saraf,
peningkatan tonus parasimpatis dan bertambahnya konsentrasi motilin (suatu peptida yang
yang merangsang kontraksi usus). Ditemukan adanya hubungan antara kejadian gawat jain
dengan peningkatan kadar motilin. Mekonium secara langsung merubah air ketuban,
menekan efek antibakteri dan selanjutnya meningkatkan risiko infeksi perinatal, juga dapat
mengiritasi kulit janin sehingga meningkatkan kejadian erythema toksikum. Namun
komplikasi yang paling berbahaya dari keluarnya mekonium in utero adalah aspirasi air
ketuban yang mengandung mekonium sebelum, selama dan sesudah persalinan.3
6
Mekonium menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan nafas. Mekonium yang
teraspirasi ke jalan nafas akan menimbulkan fenomena katup bola dimana udara yang
melewati mekonium pada saat inspirasi akan terperangkap di bagian distal pada saat
ekspirasi, menyebabkan peningkatan resistensi ekspirasi paru, kapasitas residu fungsional dan
diameter anteroposterior rongga dada.1,3
Udara yang terjebak di bagian distal saluran pernafasan menyebabkan hiperekspansi
alveoli dan atelektasis dan menimbulkan terjadinya ventilasi yang tidak seimbang dan shunt
intrapulmoner. Kebocoran udara terjadi pada sekitar 50 % bayi dengan aspirasi mekonium,
dan umumnya terjadi pada saat dilakukan tindakan resursitasi. Hipertensi pulmonar
merupakan komplikasi yang sering ditemukan.3
Aspirasi mekonium merupakan penyebab utama dari penyakit yang berat dan
kematian pada bayi baru lahir. Pendidikan obstetri sepanjang abad ini mengajarkan konsep
bahwa keluamya mekonium kemungkinan merupakan peringatan adanya asfiksia janin.
J.Whitridge Williams mengamati pada tahun 1903 bahwa "tanda khas ancaman asfiksia
adalah keluamya mekonium". Ia menyatakan bahwa keluamya mekonium disebabkan oleh
"relaksasi otot sfingter ani yang dipicu oleh kurangnya aerasi darah janin". Namun, para ahli
kebidanan juga telah lama menyadari bahwa deteksi mekonium selama persalinan
menimbulkan masalah dalam memprediksi asfiksia atau gawat janin. Memang, walaupun 12
sampai 22 persen persalinan pada manusia dipersulit oleh mekonium, hanya sedikit yang
mengakibatkan kematian bayi. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini di Parkland Hospital,
mekonium terbukti sebagai bahaya obstetrik "risiko-rendah" karena angka kematian perinatal
yang disebabkan oleh mekonium adalah 1 kematian per 1000 kelahiran hidup (Nathan
dkk.,1994).1,3
Tiga teori diajukan untuk menjelaskan keluamya mekonium dari janin dan mungkin,
sebagian menjelaskan korelasi yang lemah antara deteksi mekonium dan mortalitas bayi.
Penjelasan patologis menyatakan bahwa janin mengeluarkan mekonium sebagai respons
terhadap hipoksia, dengan demikian mekonium merupakan tanda gangguan janin (Walker,
1953). Penjelasan lain, keluamya mekonium in utero mungkin merupakan pematangan
normal saluran cerna di bawah kontrol saraf (Mathews dan Warshaw, 1979). Ketiga,
keluamya mekonium juga terjadi setelah stimulasi vagus akibat terjepitnya tali pusat yang
sering terjadi tetapi berlangsung singkat dan menyebabkan peningkatan peristalsis (Hon et
7
al., 1961). Dengan demikian, pengeluaran mekonium oleh janin juga mungkin mencerminkan
proses fisiologis.1
Ramin dan rekan (1996) mempelajari hampir 8000 persalinan yang air ketubannya
tercemar mekonium di Parkland Hospital. Sindrom aspirasi mekonium secara bermakna
berhubungan dengan asidemia janin saat lahir. Hal-hal lain yang secara bermakna berkaitan
dengan aspirasi antara lain seksio sesarea, pemakaian forseps untuk mempercepat kelahiran,
kelainan frekuensi denyut jantung intrapartum, penurunan skor Apgar, dan perlunya bantuan
ventilasi saat lahir. Analisis jenis asidemia janin berdasarkan gas darah tali pusat
menunjukkan bahwa gangguan janin yang menyertai sindrom aspirasi mekonium merupakan
suatu kejadian yang akut karena sebagian besar janin asidemik lebih memperlihatkan
peningkatan abnormal PCo2 daripada asidemia metabolik murni.1
Yang menarik, hiperkarbia pada janin domba terbukti memicu janin tersengal-sengal
(gasping) dan menyebabkan peningkatan inhalasi cairan amnion (Dawes dkk., 1972).
Jovanovic dan Nguyen (1989) mengamati bahwa mekonium yang terhirup ke dalam paru
menyebabkan sindrom aspirasi hanya pada janin hewan yang mengalami asfiksia. Ramin dan
rekan (1996) berhipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium melibatkan, tetapi
tidak terbatas pada: hiperkarbia janin-yang merangsang respirasi janin sehingga terjadi
aspirasi mekonium ke dalam alveolus, dan kerusakan parenkim paru akibat asidemia yang
memicu kerusakan sel alveolus. Dalam skenario patofisiologi ini, mekonium dalam cairan
amnion lebih merupakan suatu bahaya potensial yang terdapat di lingkungan janin daripada
menjadi penanda sudah terjadinya suatu gangguan. Rangkaian proses patofisiologi yang
dihipotesiskan ini tidak bersifat menyeluruh, karena tidak memperhitungkan sekitar separuh
kasus sindrom aspirasi mekonium dengan janin yang tidak mengalami asidemia saat lahir.
Disimpulkan bahwa tingginya insiden ditemukannya mekonium dalam cairan amnion selama
persalinan sering mencerminkan pengeluaran isi saluran cerna janin yang merupakan proses
fisiologis normal. Namun, mekonium ini dapat menjadi suatu bahaya potensial lingkungan
apabila disertai asidemia janin. Yang penting, asidemia janin tersebut terjadi secara akut
sehingga aspirasi mekonium tidak dapat diperkirakan dan besar kemungkinannya tidak dapat
dicegah.1
3. Pemeriksaan pH darah janin
Contoh darah janin memberikan informasi yang objektif tentang status asam basa
janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi begitu sensitive terhadap
8
perubahanperubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat janin dapat diduga bahkan
bila janin itu dalam keadaan sehat dan hanya memberi reaksi terhadap stress dari kontraksi
uterus selama persalinan. Oleh karena itu, pengukuran pH kapiler janin dikombinasikan
dengan pemantauan denyut jantung janin memberikan informasi kesehatan janin yang dapat
dipercaya dibandingkan jika hanya melakukan pemantauan denyut jantung janin saja.
Pengambilan contoh darah janin diindikasikan bilamana pola denyut jantung janin abnormal
atau kacau. Jika pH kulit kepala yang lebih besar dari 7,25, hal ini menandakan pH normal.
Sedangkan pH kulit kepala yang kurang dari 7,20 menandakan hipoksia janin dengan
asidosis. Jika hal ini terdeteksi maka persiapan kelahiran segera dilakukan. Seksiosesaria
dianjurkan, kecuali jika kelahiran pervaginam sudah dekat.4
Jika terjadi pH patologis, hal ini membuat rangsangan pada kemoreseptor, yang
mengakibatkan :
- Takikardi.
- Irama detak jantung irreguler ; rangsangan saraf simpatikus dan saraf vagus yang
bersamaan.
- Detak jantung menurun dan irama tidak teratur.
- Rangsangan saraf vagus mempengaruhi sfingter ani terbuka sehingga mekonium keluar.
- Metabolisme anaerobik membuat cadangan glukosa menurun dan kontraksi melemah
sehingga terjadi kegagalan total dan janin mati.3
Gejala dan Tanda
A. Gawat Janin Sebelum Persalinan
Gerakan janin menurun, pasien mengalami kegagalan dalam pertambahan berat badan
dan uterus tidak bertambah besar. Uterus yang lebih kecil daripada umur kehamilan yang
diperkirakan memberi kesan retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion.
Riwayat dari satu atau lebih faktor-faktor risiko tinggi, masalah masalah obstetri, persalinan
premature atau lahir mati dapat memberi kesan suatu peningkatan risiko gawat janin. Faktor-
faktor risiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, isoimunisasi Rh dan penyakit ginjal.3
9
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin sepanjang:
(1) denyut dasar dalam batas normal;
(2) variabilitas denyut ke denyut normal,
(3) akselerasi terjadi sesuai gerakan janin, dan
(4) tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya kontraksi uterus.3
Untuk mengetahui keterangan kesehatan janin dapat dilakukan Non-stress test atau pun
contraction stress test.
1. Non-stress test atau Tes nonstres (TNS) merupakan tindakan observasi dari respon denyut
jantung janin terhadap pergerakan janin , memberikan suatu evaluasi yang cepat dari
kesejahteran janin selama periode antepartum. Pasien diletakkan pada posisi semi-Fowler
untuk menghindari hipotensi telentang. Transduser denyut jantung eksterna dan
tokodinamometer dipasang pada abdomen. Tekanan darah diperiksa sesering mungkin.1,
Pergerakan janin direkam. Dapat terjadi dua pola :
a. Pola reaktif yaitu dua atau lebih akselerasi denyut jantung janin dari 15 denyut per menit
yang berlangsung sedikitnya 15 detik selama suatu periode tes 20 menit. Garis dasar denyut
jantung berkisar antara 110 dan 160 denyut per menit dengan variabilitas garis dasar antara 5
dan 15 denyut per menit. Suatu pola reaktif tampaknya merupakan suatu indikator yang dapat
dipercaya dari kesejahteraan janin.1,3
b. Pola nonreaktif yaitu tidak adanya akselerasi denyut jantung janin di atas suatu interval 40
menit. Walaupun garis dasar denyut jantung janin dapat berkisar antara 110 dan 160 denyut,
variabilitas garis dasar berkurang sampai kurang dari 5 denyut per menit. Penjelasan terhadap
pola nonreaktif meliputi asfiksia, medikasi maternal, anomali janin dan keadaaan istirahat
yang memanjang.1,3
2. Contraction Stress Test
Contraction Stress Test atau Tes stres kontraksi atau OCT (oxytocin challenge test)
bertujuan untuk menilai cadangan plasenta untuk penghantaran oksigen ke janin dan
mendeteksi insufisiensi uteroplasenter melalui observasi respon denyut jantung terhadap
10
kontraksi- kontraksi uterus spontan atau yang diinduksi. Pasien diletakkan pada posisi semi-
Fowler untuk menghindari hipotensi telentang, dan monitor eksterna yang tersedia
ditempatkan pada abdomen untuk merekam kontraksi uterus. Pertama-tama tekanan darah ibu
diperiksa dan selanjutnya setiap sepuluh menit selama pengujian.1,3
Rekaman batas dasar denyut jantung janin harus diperoleh, baik dengan tranduser
ultrasonic atau dengan elektroda EKG janin abdominal. Akselerasi denyut jantung janin
berkaitan dengan pergerakan janin dicatat seperti juga variabilitas batas dasar denyut jantung
dan batas dasar aktivitas uterus.1,3
Suatu penolakan yang adekuat dianggap tiga kontraksi uterus, masing-masing
berlangsung 40 60 detik, selama interval sepuluh menit. Apabila garis dasar aktivitas uterus
tidak adekuat untuk menyokong penolakan yang cukup, perangsangan dengan oksitosin
dimulai dengan 0,5 mU/menit dengan pompa infus intravena. Infus di naikkan setiap 15 menit
sampai timbul tiga kontraksi dalam interval sepuluh menit. Perangsangan puting susu
merupakan suatu alternatif terhadap oksitosin intrdvena.1,3
Kontraindikasi terhadap perangsangan oksitosin meliputi seksio sesarea klasik
sebelumnya, plasenta previa, ketuban pecah dini, kehamilan ganda, dan inkompetensi serviks.
Hasil test dapat menunjukkan:
a. Tes Negatif: Tidak ada deselerasi lanjut dari denyut jantung janin yang teramati dengan
tiga kontraksi selama suatu interval sepuluh menit. Suatu tes negatif dianggap merupakan
suatu perkiraan yang dapat dipercaya dari kesejahteraan janin.1,3
b. Tes Positif: Adanya deselerasi lanjut persisten dan konsisten dengan tiga kontraksi uterus
selama interval 10 menit. Karena tes positif dapat mewakili hilangnya cadangan
uteroplasenter, kelahiran biasanya dianjurkan bila keadaan memberi kesan bahwa bayi
akanjauh lebih baik dalam perawatan daripada di dalam uterus. Suatu tes stres yang positif
tidak selalu berarti bahwa unit fetoplasenter tidak dapat mentolerir persalinan; sebanyak 20%-
40% pasien dengan tes stres yang positif dapat tidak kontinu memperlihatkan deselerasi lanjut
bila denyut jantung selama persalinan diamati dengan suatu elektroda yang ditempatkan pada
kulit kepala janin (scalp electrode). Pada peninjuauan kembali tes stres dapat dianggap
sebagai suatu tes positif palsu. Penjelasan yang mungkin meliputi hipotensi terlentang,
aktivitas uterus yang berlebihan dan faktorfaktor teknik. 1,3
11
c. Tes Kecurigaan atau Ekuivokal: Kadang-kadang deselerasi lanjut yang tidak persisten
dengan semua kontraksi uterus dianggap ekuivokal (tidak tegas). Tes ini dapat diulang dalam
24 jam.1,3
d. Hiperstimulasl: Deselerasi denyut jantung janin dikaitkan dengan aktivitas uterus yang
tinggi. Tes ini dapat diulang dalam 24 jam.1,3,5
e. Tes yang tidak memuaskan: data aktivitas uterus dan denyut jantung tidak adekuat untuk
menegakkan tidak adanya deselerasi lanjut. Tes tidak memuaskan paling cenderung
ditemukan bila pasien gemuk atau bayi-bayi yang aktif tidak seperti biasanya. Tes ini diulangi
dalam 24 jam. Pada peta gerakan janin didapatkan gerakan janin yang berkurang merupakan
tanda dini dari gawat janin. Rekaman gerakan janin harian dapat membantu dalam evaluasi
kehamilan risiko tinggi.1,3
Pada pemeriksaan ultrasonografi, dilakukan pengukuran diameter biparietal secara
seri dapat mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan intrauterin. Gerakan
pemapasan janin, aktivitas janin dan volume cairan ketuban memberikan penilaian tambahan
dari kesehatan janin. Oligohidramnion memberi kesan anomaly janin atau retardasi
pertumbuhan. Sonografi dapat juga mengidentifikasi kehamilan ganda dan anomali janin.3
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu pengukuran fungsi janin
dan plasenta, karena pembentukan estriol memerlukan aktivitas dari enzim-enzim dalam hati
dan kelenjar adrenal janin seperti dalam plasenta. Karena kehamilan berlanjut, kadar estriol
meningkat. Kadar estriol yang nom1al merupakan indicator dari unit fungsional fetoplasental
normal dan menentramkan keadaan kesehatan janin.3
HPL (Human Placental Lactogen) dalam darah ibu jika didapatkan Kadar 4 meg/ml
atau kurang setelah kehamilan 30 minggu memberi kesan fungsi plasenta yang abnormal dan
janin dalam bahaya.3
Amniosentesis didapatkan mekonium dalam cairan amnion. Arti dari mekonium
adalah tidak tentu dan kontroversial. Banyak yang percaya bahwa mekonium dalam cairan
amnion menunjukkan stres patologis atau fisiologis terhadap janin, sementara yang lainnya
percaya bahwa pasase mekonium intrauterin hanya menunjukkan stimulasi vagal temporer
tanpa bahaya yang mengancam. Penetapan rasio lesitinsfingomielin (rasio LIS) memberikan
suatu perkiraan maturitas janin.5
12
B. Gawat Janin Selama Persalinan
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa oksigen yang
adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi
lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam
laktat dengan pH janin yang menurun.3
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat janin. Tetapi,
biasanya tidak adagejala-gejala subjektif. Seringkali indikator gawat janin yang pertama
adalah perubahan dalam pola denyut jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya
variabilitas, atau deselerasi lanjut). Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau
kontraksi uterus yang hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat menyebabkan
asfiksia janin.3
Pemantauan Denyut Jantung Janin(DJJ) dapat menggunakan kardiotokograf, yang
merupakan suatu instrumen elektronik yang dirancang untuk mendeteksi kecepatan denyut
jantung janin (KDJ) secara serentak dan mengukur intensitas dan lamanya kontraksi uterus
(KU). Instrumen itu menyediakan suatu peragaan langsung sumber sinyal denyut jantung
janin, indikator audible yang sejalan dengan sinyal dan kertas tulis berlipat yang kontinu yang
merekam data KDJ-KU. Kecepatan kertas dapat bervariasi dari 1 em sampai 3 em per menit;
keeepatan yang lebih lambat biasanya digunakan untuk skrining keeepatan denyut jantung
jamn, sedangkan kecepatan yang lebih cepat membantu dalam pengellalan pola KDJ.
Kecepatan denyut jantung janin dapat direkam seeara tidak langsung melalui dinding
abdomen lewat transduser uItrasonik, suatu mikrofon kontak yang mendeteksi bunyi jantung
janin (fonokardiografi), atau elektroda abdomen yang merekam elektrokardiogram janin.1,3,5
Elektrokardiogram janin diperoleh secara tidak langsung bila sebuah elektroda
ditempatkan pada bagian presentasi janin, biasanya kulit kepala. Kontraksi uterus dapat
diamati dari luar lewat sensor aktifitas persalinan per abdominam (tokodinamometer) atau
dari dalam melalui suatu kateter yang diisi eairan yang ditempatkan seeara transervikal di
dalam uterus. Pengamatan janin secara langsung ataupun internal hanya mungkin setelah
ketuban pecah dan serviks agak dilatasi.1,3,5
Pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinu dalam bubungan dengan
kontraksi uterus memberikan suatu penilaian kesehatan janin yang sangat membantu selama
13
persalinan. Akselerasi periodik pada gerakan janin merupakan keterangan dari reaktivitas
janin yang normal.3,5
Diagnosa
Identifikasi gawat janin yang didasarkan pada pola frekuensi denyut jantung janin
kurang tepat dan menimbulkan silang pendapat.1
Ayres-de-Campos dan rekan (1999) meneliti kesepakatan antarpengamat mengenai
interpretasi pola frekuensi denyut jantung janin dan mendapatkan bahwa kesepakatan atau
sebaliknya pertentangan, timbul pada penentuan apakah pola itu normal, mencurigakan atau
patologis. 1
Baru-baru ini telah dilakukan berbagai upaya riset guna menguji kegunaan system
klasifikasi frekuensi denyut jantung janin yang definisinya sudah ditentukan pasti. Berkus
dkk. (1999) secara retrospektif menganalisis pola frekuensi denyut jantung janin selama 30
menit terakhir persalianan pada 1895 persalinan aterm. Studi ini dirancang untuk menentukan
apakah pola spesifik, atau kombinasi pola, dapat memprediksi hasil akhir pada neonates.
Kombinasi pola frekuensi denyut jantung janin yang menunjukkan tidak adanya akselerasi
plus deselerasi lambat atau variable yang parah, atau bradikardia atau takikardia yang
berkepanjangan, menyertai peningkatan insiden gangguan pada bayi.1
Frekuensi DJJ basal adalah frekuensi rata-rata DJJ, diluar akselerasi dan deselerasi,
atau di antara dua kontraksi. Ditentukan dalam periode tertentu, biasanya sekitar 5 – 10
menit.5
Pada janin preterm, DJJ basal sering meningkat, namun tidak menunjukkan keadaan
patologis. Frekuensi DJJ basal yang normal adalah antara 110 – 160 denyut per menit (dpm).
Penentuan DJJ normal terdahulu yakni antara 120 – 160 dpm didapatkan dari penemuan Von
Winckel pada pertengahan abad ke 19, yang saat ini sudah berubah.5
Kelainan frekuensi DJJ basal dapat berupa melambatnya DJJ (bradikardia) atau
peningkatan frekuensi DJJ basal (takikardia).4
Bradikardia ringan 100 – 109 dpm
Takikardia ringan 161 – 180 dpm
14
Bradikardia abnormal <100 dpm
Takikardia abnormal >180 dpm.5
Bradikardia dapat terjadi pada keadaan:
a) Hipoksia janin yang berat/akut
b) Hipotermi janin
c) Bradiaritmia janin
d) (Pemberian obat-obatan pada ibu (propanolol, obat anestesi lokal)
e) Janin dengan kelainan jantung bawaan.5
Penatalaksanaan
Pada gawat janin selama kehamilan, keputusan harus didasarkan pada evaluasi
kesehatan janin in utero dan maturitas janin. Potensi untuk kehidupan ekstrauterin harus
dipertimbangkan terhadap risiko insufisiensi plasenta intrauterin. Bila seorang pasien
khawatir mengenai gerakan janin yang menurun, pemantauan denyut jantung janin atau
oxytocin challenge test sering memberikan keterangan akan kesehatan janin. Jika normal,
pasien dapat dipulangkan dengan suatu peta/grafik gerakan janin dan diminta untuk mencatat
gerakan janin pada pagi, siang, sore dan malam hari. Jika penurunan gerakan janin menetap
dianjurkan evaluasi obstetrik ulang.Jika janin imatur dan keadaan insufisiensi plasenta kurang
tegas, dinasehatkan untuk mengadakan observasi tambahan. Pada umur janin telah matur, dan
terjadi kejadian insufisiensi plasenta maka perlu secepatnya dilakukan kelahiran. Persalinan
dapat diinduksi jika serviks dan presentasi janin menguntungkan. Selama induksi, denyut
jantung janin harus dipantau secara teliti; penetapan pH kulit kepala diindikasikan. Dilakukan
seksio sesarea jika terjadi gawat janin. Seksio sesarea juga dipilih untuk kelahiran presentasi
bokong, atau jika pasien pernah mengalami operasi uterus sebelumnya.1,2,3
Pada gawat janin selama masa persalinan, lakukan upaya pembebasan setiap kompresi
tali pusat, perbaiki aliran darah uteroplasental, dan segera nilai apakah persalinan dapat
berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan indikasi. Rencana kelahiran (per
vaginam atau per abdominam) didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat
obstetric pasien dan jalannya persalinan. Langkah-langkah khusus berupa, posisi ibu diubah
15
dari posisi terlentang ke posisi lateral sebagai usaha untuk membebaskan kompresi aortokaval
dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan aliran darah uteroplasental. Perubahan
dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat. Oksigen diberikan melalui masker
muka 6 liter per menit sebagai usaha untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
Oksitosin dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan darah ke ruang
intervili. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrosa 5% dalam larutan Ringer
Laktat. Transfusi darah dapat diindikasikan pada syok hemoragik. Pemeriksaan per vaginam
menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan perjalanan persalinan. Elevasi kepala janin
secara lembut dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat.1,3
Penatalaksanaan klinis perubahan pola frekuensi denyut jantung janin yang signifikan
adalah, apabila mungkin, memperbaiki gangguan pada janin. Tindakan yang dianjurkan oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists (1998):
1) Reposisi pasien
2) Penghentian stimulant uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus
3) Pemeriksaan dalam (vaginal touche)
4) Koreksi hipotensi ibu yang akibat analgesia regional
5) Pemberitahuan kepada staf anesthesia dan keperawatan akan perlunya
persalinan darurat
6) Pemantauan frekuensi denyut jantung janin - dengan monitor janin elektronik
atau auskultasi – di ruang operasi sebelum persiapan abdomen
7) Meminta petugan terlatih untuk bersiap melakukan resusitasi dan perawatan
neonates
8) Pemberian oksigen kepada ibu1
Mengubah posisi ibu menjadi lateral, memperbaiki hipotensi ibu akibat analgesia
regional dan menghentikan oksitosin, berfungsi untuk memperbaiki perfusi uteroplasenta.5
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea.
Intrapartum
Assessment. Obstetri Williams. Ed.21. Penerbit EGC. Jakarta: 2006.
2. Wiknjosastro H. Ilmu Bedah Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta: 2010.
3. Hariadi R. Gawat Janin. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya :
Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
4. The Cleveland Clinic Foundation. Fetal Distress. Available at :
URL:http://my.clevelandclinic.org/healthy_living/Pregnancy/hic_Fetal_Distress.aspx
#content. Accessed July,2013
5. Krisnadi S.R. Gambaran Kardiotografi Gawat Janin. Dalam: Obstetri Emergensi.
Sagung Seto:2011.
17
Recommended