View
320
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
trobositosis
Citation preview
KASUS
KEHAMILAN DENGAN IUGR DAN SUSPEK TROMBOSITOSIS ESENSIAL
PEMBIMBING :
Dr. Neza Puspita, Sp.OG
PENYUSUN :
Noor Ain bt Mohd Hariri
030.08.290
KEPANITERAAN KLINIK KEBIDANAN
RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 6 MEI 2013 – 13 JULI 2013
0
LEMBAR PENGESAHAN
KASUS
KEHAMILAN DENGAN IUGR DAN SUSPEK TROMBOSITOSIS ESENSIAL
Telah disetujui oleh :
Dr. Neza Puspita, Sp.OG
Pada bulan Juli 2013
Dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan di
Rumah Sakit Otorita Btam
Periode 6 Mei 2013 – 13 Juli 2013
Batam,Juni 2013
Pembimbing
…………………………
(dr. Neza Puspita,Sp.OG)
1
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama Pasien : Ny. C
Usia : 26 thn
Alamat : Perum Genta Pos Block C1
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
No RM : 33 16 76
Masuk RS : 7-6-2013 Pk. 00:10
Nama Suami : Tn. M
Usia : 28 thn
Pekerjaan : Security Perum
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 8 Juni 2013 WIB
Keluhan Utama
Tidak ada keluhan.Dirujuk oleh dr Nina,Sp OG karena diberitahu jumlah air ketubannya
sedikit dan diduga pertumbuhan janinnya kurang.
Keluhan tambahan
Kedua kaki bengkak sejak 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGR RSOB karena dirujuk oleh dr.Nina,Sp OG karena diberitahu
jumlah air ketubannya sedikit dan besar janin lebih kecil dari umur kehamilan setelah
dilakukan pemeriksaan USG. Pasien tidak ada keluhan nyeri perut,keluar darah maupun
2
cairan dari kemaluan,tidak nyeri kepala,pandangan tidak kabur,tidak mual dan tidak muntah.
Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 2 bulan yang lalu. Kedua kaki pasien bengkak
sejak 2 bulan yang lalu,yang timbul bersamaan dengan hipertensi.
Riwayat Haid : Usia menarche : 14 tahun
: Siklus haid : teratur
: Lama : 7 hari
: Banyaknya : 2x ganti pembalut/hari
: HPHT : 6/9/2012
: Taksiran persalinan : 13/6/2013
Riwayat kehamilan :G1P0A0
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah ada riwayat hipertensi sebelum kehamilan ini.Pasien juga alergi terhadap
ikan,tetapi tidak ada alergi obat.Pasien tidak menderita diabetes,asma,dan penyakit jantung.
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi, Diabetes Melitus, Penyakit jantung, Asma disangkal.Tidak ada riwayat keturunan
kembar di dalam keluarga.
Riwayat operasi : Pasien tidak pernah dioperasi
Riwayat Keluarga Berencana : Tidak pernah KB sebelumnya
Riwayat antenatal : Pemeriksaan kehamilan dilakukan di bidan Rohani dan dilakukan secara
rutin.Pada usia kehamilan 7 bulan pasien melakukan pemeriksaan di klinik dr Nina,Sp OG.
3
III. Pemeriksaan fisik
Dilakukan tanggal 8 Juni 2013 di Ruang Mawar,RSOB
Kesadaran : compos mentis
Keadaan gizi : lebih
Status gizi : BB 69 kg TB 155 cm
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36.8 0C
Pernafasan : 20 x/menit
Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Hidung :tidak ada secret,tiada septum deviasi
Mulut :oral hygiene baik
Telinga : Fungsi pendengaran baik,membrane timpani intak
Leher :tidak ada pembesaran thyroid
Paru : vesikuler +/+, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing
Jantung : BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Ektremitas : akral hangat, edema (+) di kedua ekstremitas bawah.
Status Obstetri
Mamae :simetris kanan kiri, tidak ada benjolan yang abnormal, puting susu
menonjol,
Hyperpigmentasi
Abdomen :
Inspeksi : Tampak buncit,dinding perut supel
Palpasi : Leopold 1 - TFU 3 jari di bawah pusat (22 cm).Kontraksi uterus (-) Gerakan bayi
aktif
Leopold 2 - Punggung di sebelah kiri ibu
Leopold 3 - Presentasi kepala
Leopold 4 - kepala belum masuk PAP
4
Auskultasi : DJJ 139x/menit via Doppler
Genitalia : perineum elastis, tidak haemoroid, masih tebal, belum menonjol.Vagina tidak
ada oedema.
: VT- Portio kaku,bukaan 1 cm,arah posterior
IV. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan USG (8 Juni 2013)
Taksiran berat janin seberat 1380 gram,dengan diameter biparietal,abdomen circumference
dan fetal length sesuai dengan kehamilan usia 30-31 minggu,sedangkan pasien telah hamil 39
minggu.Posisi bayinya normal,dan didapatkan oligohidramnion.
Laboratorium (8 Juni 2013)
Hematologi rutin
Hb 12.3 11 – 16 g/dl
RBC 5.61 3.8-5.8 10^3/ µl
Ht 34.3 35 – 50 %
MCV 61.1 80 – 97 fl
MCH 20.1 26.5 – 33.5 pg
MCHC 32.9 31 – 35 g/dl
Leukosit 27.17 5 – 10 10^3/ µl
Trombosit 1083 150 – 450 10^3/ µl
Eosinofil 2.6 0-4%
Basofil 0.8 0-1%
Netrofil 76.6 46-75%
Limfosit 16.3 17-48
Monosit 3.7 4-10%
Faal hemostasis
PT 14.9 11.5-15.5 detik
APTT 44.1 25.9-39.5 detik
Kimia darah
5
Bilirubin total 0.40 <1.10
Bilirubin direk0.18 <0.30
SGOT 25 <32
SGPT 14 <31
Protein total 5.8 6.6-8.7
Albumin 3.3 3.4-4.8
Globulin 2.5 1.3-2.7
Natrium 134 135-147
Kalium 6.0 3.5-5.0
Klorida 105 94-111
Ureum 23.1 10-50
Kreatinin 0.41 0.5-0.9
HbsAg -
Urinalisis
Warna Kuning
Kejernihan Agak keruh
Berat jenis 1.010 1,003 – 1,030
pH 7 4,5 – 8
Protein +4
Glukosa - -
Keton - -
Bilirubin - -
Urobilinogen - 0.1-1.00 µmol/l
Sedimen
Sel epitel + 3 +
Leukosit 5-8 3-6 /LPB
Eritrosit 0-2 2-6 /LPB
Silinder - - /LPK
Kristal - -
Bakteri - -
Laboratorium (9 Juni 2013)
6
Hematologi rutin
Hb 11.0 11 – 16 g/dl
RBC 5.42 3.8-5.8
Ht 33.2 35 – 50 %
MCV 61.3 80 – 97 fl
MCH 20.3 26.5 – 33.5 pg
MCHC 33.1 31 – 35 g/dl
Leukosit 34.19 5 – 10 10^3/ µl
Trombosit 787 150 – 450 10^3/ µl
Eosinofil 0.1 0-4%
Basofil 0.3 0-1%
Netrofil 88.1 46-75%
Monosit 2.2 4-10%
Hemostasis
BT 2.30 1-6 Menit
CT 8 6-11 Menit
Gambaran morfologi darah tepi
Eritrosit : Anisositosis,makrositik,sel Burr,fragmentosit,hipokromik
Leukosit : Jumlah meningkat,netrofilia absolut
Trombosit : Jumlah meningkat,penyebaran tidak merata,trombosit besar
Kesimpulan : Gambaran anemia penyakit kronik disertai trombositosis serta proses
infeksi bakterial dan viral
IV. Rencana pemeriksaan
Tes IgG ACA dan ANA.
Tes tidak dilakukan karena pasien menolak.
7
V. Resume
Ny C, 26 tahun, datang atas rujukan dari dr Nina,Sp OG atas indikasi oligohidramnion
dan diduga IUGR. Riwayat hipertensi (+) sejak 2 bulan yang lalu, diabetes mellitus (-),
penyakit jantung (-), batuk lama (-), alergi (+), Riwayat KB (-) .
Pada pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, tekanan darah
140/90 dan pada status generalis tidak ada kelainan. Pada status obstetri didapatkan pada
abdomen tampak buncit,dinding perut supel.Pada pemeriksaan Leopold TFU 3 jari di bawah
pusat (22 cm),kontraksi uterus (-) gerakan bayi aktif,punggung di sebelah kiri ibu,presentasi
kepala dan kepala belum masuk PAP.Pada auskultasi didapatkan DJJ 139x/menit via
Doppler.Pada pemeriksaan genitalia didapatkan portio servik lunak dengan bukaan 1 cm,arah
psterior.Perineum elastis, tidak haemoroid, masih tebal, masih tebal, belum menonjol dan
vagina tidak ada oedema.
Pada pemeriksaan penunjang USG didapatkan taksiran berat janin seberat 1380
gram,dengan diameter biparietal,abdomen circumference dan fetal length sesuai dengan
kehamilan usia 30-31 minggu,sedangkan pasien telah hamil 39 minggu.Posisi bayinya
normal,dan didapatkan oligohidramnion.Pada pemeriksaan laboratorium Hb dan hematokrit
pasien menurun,MCH dan MCHC kekal lebih rendah dari normal,leukosit
meningkat,trombosit menurun,netrofil meningkat dan monosit menurun.Pada morfologi
darah tepi didapatkan gambaran anemia penyakit kronik disertai trombositosis serta proses
infeksi bakterial dan viral.
VI. Diagnosis kerja
G1P0A0 hamil 39 minggu dengan IUGR,oligohidramnion dan trombositemia esensial
VII. Diagnosis banding
G1P0A0 hamil 39 minggu dengan IUGR,oligohidramnion dan sindroma antifosfolipid
G1P0A0 hamil 39 minggu dengan IUGR,oligohidramnion dan SLE
G1P0A0 hamil 39 minggu dengan IUGR,oligohidramnion dan polisitemia vera
8
VIII. Penanganan
Setelah dimasukkan di rumah sakit, tanda vital pasien diobservasi dan keadaan janin
diobservasi melalui CTG.Untuk pengobatan preeclampsia diberikan MgSO4 6g drip/8tpm.
Sehari setelah masuk rumah sakit,CTG janin didapatkan non-reaktif.Pasien direncanakan
operasi SC cito.
Dilakukan operasi SC secara SCTPP pada tanggal 8 Juni 2013 pada jam 23.57
sehingga 01.09 oleh dr Neza Puspita,Sp OG dengan diagnosis G1P0A0 hamil 39 minggu
(klinis 30 minggu),IUGR,oligohidramnion,PEB dan janin non reaktif.
Selama 2 hari setelah dioperasi pasien diberikan:
-Inj Ceftriaxon 3x1 g
-Metronidazol drip 3x500mg
-Pronalges supp 3x1
Setelah 2 hari,diberikan terapi oral:
-Asam mefenamat 3x500mg
-Coamoxiclav 3x625mg
-Nifedipin 3x10mg
Prognosis
Ibu Ad vitam : Ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
Ad sanasionam : dubia ad bonam
Janin Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanasionam : dubia ad bonam
9
IX. Analisa kasus
Pada kasus ini,pasien Ny.C didiagnosa G1P0A0,hamil 39 minggu,PEB,janin tunggal hidup
dengan IUGR dan oligohidramnion.Hal ini ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis,pasien memberitahu dia menghidap hipertensi sejak dua bulan yang
lalu.Sebelum kehamilan,pasien tidak pernah menghidap hipertensi.Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kedua kaki pasien oedem yang turut timbul dalam dua bulan sebelum masuk
rumah sakit.Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala,pandangan kabur.Pada pemeriksaan
urinalisa didapatkan jumlah protein sebanyak +4.Semua tanda ini sesua untuk mendiagnosa
pasien sebagai preeclampsia berat,dengan tekanan darah yang > 140/90 mmHg pada
kehamilan >20 minggu,dan proteinuria dipstick > + 1.
Preeklampsia dapat menyebabkan komplikasi seperti pertumbuhan janin terhambat.Ini
disebabkan oleh berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen akibat penurunan perfusi ke
uroplasenta.Pada umur kehamilan 39 minggu,seharusnya berat janin sudah mencapai 3000
gram dan tinggi fundus uteri antara pertengahan umbilikus dan processus xiphoideus.Pada
pasien taksiran berat dan tinggi fundus kurang dari yang seharusnya. Pasien juga didapatkan
adanya oligohidramnion,melalui pemeriksaan USG.Pada keadaan normal,jumlah cairan
amnion adalah 1 liter dan berkurang sedikit pada kehamilan di atas 36 minggu.Oliguria
terjadi pada insufisiensi plasenta dan apabila ibu menghidap preeclampsia.
Pada pemeriksaan morfologi darah tepi,didapatkan gambaran anemia penyakit kronik
disertai trombositosis serta proses infeksi bakterial dan viral. Eritrosit yang anisositosis dan
hipokrom dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi. Schistosit atau fragmentosit pada
eritrosit adalah keadaan adanya fragmen di sirkulasi, bentuk kecil dan tidak beraturan yang
terjadi akibat peningkatan trauma mekanis intravaskuler dam mikroangiopati. Selain itu
ditemukan burr cell atau sea urchin cell dengan tonjolan duri ( 10 – 30 buah ) karena
pecahnya membran sel.Ia merupakan manifestasi penyakit tertentu seperti anemia hemolitik,
hepatitis, dan penyakit ginjal menahun atau gangguan metabolism tubuh. Sel.
Pada pemeriksaan hemtologi,didapatkan neutrofilia, yaitu peningkatan persentase
neutrofil.Ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri dan parasit, gangguan metabolit,
perdarahan dan gangguan myeloproliferatif. MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran
sel darah merah. MCV menunjukkan ukuran sel darah merah tunggal sama ada normositik
(ukuran normal), mikrositik (ukuran kecil < 80 fL), atau makrositik (ukuran kecil >100 fL). 10
Penurunan nilai MCV dapat disebabkan oleh anemia kekurangan besi,anemia pernisiosa dan
talasemia. Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata di dalam sel
darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna (normokromik, hipokromik,
hiperkromik) sel darah merah.Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.
Untuk mendiagnosis pasien ini dengan trombositemia esensial,berdasarkan kriteria
WHO,pasien hanya memenuhi 2 dari empat criteria diagnosis,yaitu jumlah trombosit lebih
dari 450x10^3/Ul dan tidak memenuhi criteria WHO untuk penyakit polisitemia
vera.Walaubagaimanapun,untuk mengetahui sama ada pasien memiliki criteria yang
lain,harus dilakukan biopsy sumsum tulang dan pemeriksaan DNA untuk mengetahui ada
atau tidaknya penanda klonal JAK2V617F.Pasien juga tidak ada manifestasi perdarahan atau
trombosis.Pasien juga tidak ada riwayat abortus sebelumnya,malah ini adalah kehamilan
pertamanya.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah sindroma antifosfolipid.Hal ini didasari
dengan peningkatan trombosis yang lebih 450x10^3/Ul.Walaubagaimanapun,kriteria untuk
mendiagnosis sindroma ini menurut Sapporo tidak terpenuhi.Pemeriksaan untuk mengetahui
apakah ada thrombosis tidak dilakukan,pasien tidak ada riwayat melahirkan preterm atau
abortus.Pemeriksaan laboratorium ACA dan LA juga tidak dilakukan karena pasien menolak.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Trombositemia esensial
Trombositemia esensial merupakan kelainan mieloproliperatif kronis akibat proliferasi
megakariosit yang terus-menerus sehingga terjadilah peningkatan jumlah trombosit.
Trombositemia esensial merupakan penyakit yang jarang ditemukan, hanya 1-2/100.000
penduduk. Trombositemia esensial dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa dan
seringkali tanpa gejala atau kelainan hemostasis.
2.1 Definisi
Trombositemia esensial (essential thrombocythemia) (ET) adalah kelainan mieloproliferatif
kronis (myeloproliferative disorder) (MPD) akibat proliferasi megakariosit yang terus-
menerus sehingga terjadi peningkatan jumlah trombosit.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekitar 6000 kasus trombositosis esensial didiagnosis setiap tahun.
Sebuah penelitian Italia tahun 1993-1996 melaporkan prevalensi ET sebesar 40 per 100.000
penduduk. Insiden trombositemia esensial di Amerika Serikat tahun 1976-1995 dilaporkan
sekitar 2,5 pasien/100.000 penduduk per tahun.
Trombositemia esensial dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Usia rata-rata saat
didiagnosis trombositemia esensial berkisar antara 50 sampai 60 tahun. Tidak ada perbedaan
insidensi antara laki-laki dan perempuan.
2.3 Etiologi
Etiologi pasti trombositemia esensial masih belum diketahui, walaupun faktor lingkungan
seperti terpapar radiasi terlibat dalam pembentukan neoplasma mieloproliferatif lain. Gen
JAK2 diduga berperan pada terjadinya neoplasma mieloproliperatif termasuk trombositemia
esensial.
2.4 Patofisiologi
12
Pada tahun 1981 telah diketahui bahwa trombositemia esensial adalah gangguan
klonal, namun pada tahun 2005 ditemukan adanya mutasi pada gen JAK2 (JAK2 V617F)
yang bersifat didapat. Keadaan diidentifikasi pada sekitar 50 persen pasien dengan
trombositemia esensial atau primary myelofibrois (PMF) dan mayoritas dari mereka
menderita polisitemia vera. JAK2, salah satu grup JAK kinase tirosin sitoplasma, sangat
penting dalam proses tranduksi sinyal reseptor eritropoietin dan trombopoietin, dan juga
berkontribusi dalam proses tranduksisinyal granulocyte colony-stimulating factor,
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan interferon-receptors. Mutasi V617F
JAK2 dapat muncul pada sel punca (stem cell) hematopoietik pada sel-B, sel-T, natural killer
cell, dan sel-sel mieloid. Konsekuensi selular ekspresi JAK2 mutan meliputi peningkatan
proliferasi, hipersensitivitas sitokin, diferensiasi tidak tergantung sitokin dan penghambatan
apoptosis.
Trombopoietin merupakan regulator humoral utama produksi megakariosit dan
trombosit. Trombopoietin disintesis terutama di hati dan ginjal. Trombopoietin
mempengaruhi pertumbuhan megakariosit mulai dari sel induk sampai produksi trombosit.
Sitokin-sitokin lain (interleukin-1, interleukin-6, interleukin-11) juga mempengaruhi produksi
trombosit pada berbagai tingkat, kemungkinan bekerja sinergi dengan trombopoietin.
Trombosit berperan penting dalam regulasi kadar trombopoietin plasma, melalui reseptor c-
mpl menghilangkan trombopoietin dari plasma. Pada keadaan trombositopeni, terjadi
peningkatan kadar trombopoietin plasma karena berkurangnya jumlah trombopoietin yang
diikat oleh trombosit. Peningkatan kadar trombopoietin plasma ini akan merangsang
megakariopoiesis. Sebaliknya pada keadaan tombositosis, deplesi trombopoietin plasma akan
menurunkan megakariopoiesis. Mekanisme regulasi inilah yang mengatur produksi
trombosit.
Pada trombositemia esensial terjadi kelainan sistem regulasi produksi trombosit, kadar
trombopoietin normal atau bahkan meningkat meskipun terjadi peningkatan jumlah trombosit
dan megakariosit. Terjadinya disregulasi kadar trombopoietin plasma pada trombositemia
esensial diduga disebabkan karena kelainan pengikatan dan pemakaian trombopoietin oleh
trombosit dan megakariosit yang mengalami kelainan fungsi. Kelainan pengikatan dan
pemakaian ini dibuktikan dengan menurunnya c-mpl pada trombosit penderita trombositemia
esensial. Selain itu ditemukan juga mutasi yang bersifat didapat pada gen MPL, gen reseptor
trombopoietin, pada 4 persen pasien trombositemia esensial. Mutasi MPL paling umum
13
terjadi pada ekson 10, yang mengkode sambungan antara area sitoplasmik dan transmembran/
area juxtamembran. Mutasi ini mengubah residu pada area transmembran (pada gen MPL
S505N) atau area juxtamembran (pada gen MPL W515) dan menyebabkan aktivasi komplek
reseptor. Namun pada pasien trombositemia esensial jarang ditemukan dengan lebih dari satu
mutasi, misalnya, mutasi terjadi baik pada V617F JAK2 dan MPL W515L.
Pada trombositosis esensial sering terjadi trombosis dan dapat juga ditemukan adanya
perdarahan.
Perdarahan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu:
– Terjadinya kelainan fungsi trombosit.
– Terjadinya trombosis dengan infark yang mengalami ulserasi.
– Penggunaan faktor koagulasi.
– Peningkatan jumlah trombosit yang menyebabkan produksi berlebihan prostasiklin (PGI2)
yang akan menekan pelepasan granul trombosit dan agregasi.
2.5 Manifestasi Klinis
Berbeda dengan kelainan mieloproliferatif yang lain, pada trombositemia esensial jarang
ditemukan gejala konstitusional atau hipermetabolik seperti demam, banyak berkeringat dan
penurunan berat badan.
Kelainan fisik yang dapat ditemukan:
– Manifestasi perdarahan ( 13-37 % penderita): epistaksis, easy bruising, petekie, perdarahan
traktus gastrointestinal berulang, perdarahan varicheal.
– Manifestasi trombosis (18-84 % penderita), banyak ditemukan pada orang tua. Trombosis
vena dapat terjadi pada vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), vena mesenterika, vena
lienalis, vena penis (mengakibatkan priapism), trombosis vena dalam (dapat mengakibatkan
emboli paru). Trombosis arteri dapat menyebabkan transient cerebral ischemia,
eritromelalgia (obstruksi mikrosirkulasi jari-jari kaki/ tangan)
14
– Splenomegali ringan dapat ditemukan pada 40% penderita, splenomegali moderate
ditemukan pada 20-50 % penderita.
– Hepatomegali.
– Limfadenopati (jarang).
– Abortus berulang dan gangguan pertumbuhan fetus, karena adanya infark multipel di
plasenta yang disebabkan trombus trombosit yang mengakibatkan insufisiensi plasenta.
2.6 Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis World Health Organization (WHO) 2008 memfokuskan diagnosis
trombositemia esensial dengan menyingkirkan trombositosis reaktif karena kondisi yang
mendasari dan trombositosis klonal terkait dengan neoplasma mieloproliferatif lain
(khususnya mielofibrosis primer, CML dengan BCR-ABL1 positif dan sindrom
mielodisplastik yang mempresentasikan jumlah trombosit yang tinggi). Identifikasi penanda
molekuler, seperti JAK2V617F dan MPL, dapat bermanfaat dalam diagnosis. Pada pasien
JAK2V617F negatif, pemeriksaan histologis sumsum tulang dapat mendukung diagnosis
trombositemia esensial dan dapat membantu membedakannya dari prefibrotik mielofibrosis
primer.Kriteria trombositemia esensial WHO 2008 :
15
16
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding trombositemia esensial adalah semua yang dapat menyebabkan
trombositosis/ trombositemia.Penyebab trombositosis dapat dilihat pada tabel 2.2.
17
2.9 Pemeriksaan Laboratorium
Pada trombositemia esensial didapatkan peningkatan jumlah trombosit yang bervariasi dari
sedikit di atas normal sampai beberapa juta /mm3. Pada beberapa penderita juga ditemukan
anemi ringan dan leukositosis (15000- 40000/mm3). Kelainan laboratorium lainnya adalah:
Apus darah tepi
– Eritrosit: Normokrom normositer, dapat hipokrom mikrositer (pada pasien dengan riwayat
perdarahan).
– Leukosit: Dapat leukositosis, bergeser ke kiri sampai mielosit, eosinofilia dan basofilia
ringan.
– Trombosit: Anisositosis trombosit, mulai dari trombosit kecil sampai trombosit raksasa
(giant trombocyte), dapat ditemukan trombosit hipogranular, kelompok trombosit, dan
kadang ditemukan fragmen inti megakariosit yang dapat menyerupai gambaran limfoblast.
Sumsum tulang
18
Biopsi sumsum tulang sangat penting dalam membedakan trombositemia esensial dari
kelainan mieloproliperatif lainnya dan dari trombositosis reaktif. Pada pasien trombositemia
esensial, sumsum tulang biasanya normoselular atau sedikit hiperselular. Kelainan paling
mencolok adalah peningkatan dalam jumlah (hiperplasi) dan ukuran megakariosit.
Megakariosit banyak ditemukan dalam bentuk berkelompok (cluster) dan /atau sendiri-
sendiri. Banyak ditemukan megakariosit dengan ukuran besar, sitoplasma yang besar dan
matur serta inti hiperlobulasi. Tidak banyak ditemukan megakariosit bizarre dengan rasio inti
berbanding sitoplasma yang meningkat ataupun megakariosit pleomorphism pada
trombositemia esensial,
Pada kebanyakan kasus, rasio prekursor mieloid dibanding eritroid adalah normal,
tetapi jika terjadi perdarahan dapat mengakibatkan proliferasi eritroid. Jarang terjadi
proliferasi granulositik, dan jika ada maka diagnosis trombositemia esensial harus ditinjau
kembali. Blast tidak bertambah banyak dan tidak ada bukti mielodisplasia. Jaringan serat
retikulin normal sampai sedikit meningkat dengan trabekular tulang normal. Pada sediaan
apus sumsum tulang, megakariosit multilobul dengan sitoplasma yang besar, sering dikaitkan
dengan jumlah platelet yang banyak. Ditemukannya proliferasi megakariosit besar pada
sumsum tulang yang normoselular dapat digunakan untuk membedakan trombositemia
esensial dari trombositosis reaktif.
Pemeriksaan molekuler:
Mutasi JAK2V617F ditemukan pada sekitar 50% pasien trombositemia esensial dan
pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien yang dicurigai dengan trombositemia
esensial. Mutasi pada MPL exon 10 ditemukan pada lebih 4% pasien. Mutasi MPL exon 10 19
dapat dilihat pada gambar 2.2. Pemeriksaan untuk melihat adanya kromosom-Ph atau fusi gen
BCR-ABL1 juga direkomendasikan untuk menyingkirkan CML.
Gambar 2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada trombositemia esensial umumnya konservatif. Penatalaksanaan
meliputi pencegahan terhadap komplikasi perdarahan dan trombosis, pengurangan jumlah
trombosit dan penanganan gejala yang muncul. Pengelolaan trombositemia esensial harus
didasarkan pertimbangan besarnya risiko terjadinya komplikasi trombosis.
Prinsip penatalaksanaan penderita trombositemia adalah melakukan observasi tanpa
intervensi. Intervensi berupa terapi mielosupresif diberikan bila terdapat komplikasi berupa
trombosis dan juga digunakan untuk mencegah komplikasi trombohemoragik. Bila terjadi
trombosis, intervensi diberikan untuk mencapai jumlah trombosit < 600.000/μL dan bila
masih tetap terjadi trombosis maka harus dilakukan penyesuaian dosis untuk mencapai nilai
normal angka trombosit.Agen mielosupresif/ sitoreduktif yang diberikan bertujuan untuk
mencapai target terapi berupa jumlah trombosit <450.000/μL.6 IFN-α direkomendasikan
untuk ibu hamil oleh karena dianggap tidak bersifat teratogenik. Terapi sitoreduktif tidak
bermanfaat bagi semua pasien dan terutama digunakan untuk pasien berisiko tinggi,
sedangkan pendekatan konservatif lebih disukai untuk pasien berisiko rendah. Algoritma
terapi berdasarkan risiko trombosis dapat dilihat pada tabel 2.5. Terapi agen antiplatelet
(misalnya, aspirin) digunakan untuk mengurangi gejala mikrovaskuler.
Tromboferesis merupakan tindakan emergensi yang sering dilakukan (di luar negeri)
untuk menyelamatkan nyawa penderita dari trombositosis berat dimana tindakan ini juga
20
dapat memperbaiki gejala perdarahan dan juga dapat diberikan pada ibu hamil karena tidak
mempengaruhi keadaan klinis ibu hamil maupun janinnya.
2.11 Pemantauan Terapi
Pada pasien yang mendapatkan terapi, sebelum dan setelah terapi harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan sumsum tulang
(jika ada indikasi), dan pemeriksaan fungsi ginjal serta hepar. Pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) dan hepar (ALT dan ALP) dilakukan untuk
menentukan pilihan terapi yang sesuai, menentukan dosis terapi dan menilai adanya
kontraindikasi serta efek samping terapi. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan/
gangguan hepar, risiko reaksi toksik lebih tinggi pada pemberian terapi, misalnya dengan
hidroksiurea atau anaglerid, sehingga dosis terapi harus disesuaikan. Risiko komplikasi yang
biasa terjadi yaitu perdarahan dan trombosis serta keberhasilan terapi dipantau dengan
pemeriksaan darah lengkap.
Pasien yang diterapi dengan hidroksiurea harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap
setiap 2 minggu selama 2 bulan pertama, kemudian setiap bulan, dan setelah respon pasien
stabil, pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan. Pasien yang mendapat interferon alfa 2b,
pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap minggu selama bulan pertama pengobatan,
setiap 2 minggu selama bulan kedua, kemudian setiap bulan, dan setelah respon pasien stabil,
pemeriksaan dilakukan setiap 3 sampai 4 bulan.
Dianjurkan untuk dilakukan pemantauan fungsi jantung (dengan EKG dan ekokardiogram)
sebelum dan selama pengobatan dengan anagrelide. Selain itu, pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan setiap minggu selama bulan pertama terapi, setiap 2 minggu selama bulan
kedua, kemudian setiap bulan, dan setelah respon pasien stabil, pemeriksaan dilakukan setiap
3 sampai 4 bulan. Selanjutnya, karena terdapat risiko transformasi mielofibrotik pada pasien
yang diterapi dengan anagrelide, maka dianjurkan pemantauan berkala (setiap 3 tahun) untuk
tanda-tanda awal perkembangan transformasi mielofibrotik.
2.12 Prognosis
Penyebab utama mobiditas dan mortalitas penderita trombositemia esensial adalah
trombositosis dan perdarahan (kira-kira terjadi pada 40 % penderita). Pada beberapa kasus,
trombositemia esensial mengalami transformasi menjadi penyakit mieloproliferatif yang lain.
21
DIAGNOSIS BANDING
Sindroma Antifosfolipid
Sindroma antibodi antifosfolipid (antibody antiphospholipid syndrome, APS)
didefiinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan adanya 1)
antibody antifosfolipid (antibody antikardiolipin dan/ atau antikoagulan lupus) yang menetap
(persisten) serta 2) kejadian berulang thrombosis vena/ arteri, keguguran, atau trombositosis.
Ada dua macam antibodi antifosfolipid yang telah dikenal yaitu : Lupus
Anticoagulant ( LA ), dan Anticardiolipin Antibody ( ACA ). Sedangkan klasifikasi APS
terdiri dari APS tanpa penyebab lain disebut sebagai APS primer, sedangkan APS karena
penyakit lain seperti SLE dinamakan APS sekunder. Berdasarkan sejarah antibodi
antifosfolipid ditemukan pertama kali pada pasien yang mempunyai test sipilis positif tanpa
tanda-tanda infeksi, kemudian gangguan pembekuan ditemukan pada 2 pasien dengan SLE
pada tahun 1952. Pada tahun 1957, ditemukan hubungan antara abortus berulang dan APS
yang dikenal sekarang dengan Lupus Antikoagulan.
Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai antifosfolipid (antiphospholipid, aPL),
yang secara structural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah (fisiologis), aPL yang
dibentuk oleh tubuh adalah b2 glikoprotein I (b2GPI), berfungsi sebagai pengontrol aktivitas
fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipase A₂, PLA ). b2GPI
merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (Apo-H) sebagai penghambat enzim
PLA2. Selain dari b2GPI, secara alamiah tubuh juga membentuk annexia V atau “placental
anticoagulant protein I” yang disebut juga sebagai “plasental aPL”, yang sangat kuat
menghambat enzim PLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis).
Penghambat PLA2 yang secara patologis terbentuk diketahui sebagai inhibitor Lupus yang
lebih dikenal sebagai Antikoagulan Lupus (Lupus Anticoagulant, LA) yang terdiri dari
subgrup, yaitu: a). LA sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIa, III, PL, dan
Ca++, mengakibatkan pemanjangan massa protrombin (PT), khususnya pada pemeriksaan
dengan “diluted PT’; b). LA non-sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIIa,
IXa, PL, Ca++ mengakibatkan pemanjangan masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT)
dan/atau yang menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca++ mengakibatkan pemanjangan
dRVVT-1 pada dRVVT-2 normal.
22
Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi langsung terhadap kofaktor
plasma protein (apolipoprotein) yang terikat kardiolipin (difosfatidilgliserol) yang dapat
dideteksi secara ELISA atau radioummunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi
antikardiolipin (anticardiolipin antibody, ACA)
Trombosis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut ini:
Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis b-2GPI mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2
Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis Anneksin V mengakibatkan ekspresi berlebihan PL-A2
Antibodi antifosfolipid merupakan antagonis trombomodulin, sehingga secara tidak langsung antibodi antifosfolipid menghambat aktivasi protein C.
Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi protein sebagai kofaktor protein C
Antibodi antifosfolipid secara langsung menginaktivasi protein C mengakibatkan aktivasi FV dan FVIII berlebihan mengakibatkkan hiperkoagulasi.
Antibodi antifosfolipid secara langsung berinterferensi dengan autoantibody kompleks heparin-antitrombin, mengaktifkan reseptor Fc sel imunoefektor mengekspresikan tromboplastin jaringan yang akan mengaktivasi koagulasi.
Epidemiologi
Di antara pasien dengan SLE, prevalensi ACA positif sekitar 12-30%, dan sekitar 15-
34% dengan antibodi LA positif. Banyak pasien yang menunjukkan bukti laboratorium
adanya antibodi antifosfolipid, tidak menunjukkan gejala klinis. APS dapat berkembang
dalam 20 tahun pada 50-70% pasien baik dengan lupus eritematosus sistemik maupun
antibody antifosfolipid. Antibodi APS dapat ditemukan 50 % pada penderita SLE dan
sekitar 1 – 5 % pada populasi orang sehat. Pada penelitian lain frekuensi ACA cenderung
meningkat pada orang tua.
Kriteria diagnostik
Diagnosis APS ditegakkan dengan 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium, sesuai dengan
konsensus pada simposium internasional mengenai antibodi antifosfolipid di Sapporo pada
1998.
Kriteria klinik:23
1. Trombosis vaskuler
Ditemukan satu atau lebih serangan trombosis arterial, vena atau pembuluh kecil di
jaringan atau organ yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan pencitraan/ Doppler
atau histopatologis (tanpa inflamasi dinding pembuluh darah).
2. Morbiditas kehamilan
a. Satu atau lebih kematian janin tanpa sebab pada usia gestasi 10
minggu tanpa kelainan morfologik janin yang ditemukan dengan pemeriksaan USG
atau visualisasi langsung, atau
b. Satu atau lebih persalinan preterm pada usia gestasi 34 minggu yang
disebabkan oleh preeklampsia berat atau eklampsia atau insufisensi plasenta berat,
atau
c. Tiga atau lebih abortus spontan berturut-turut pada usia gestasi 10
minggu, tanpa dijumpai kelainan anatomik dan hormonal maternal serta tidak
ditemukan kelainan kromosom paternal dan maternal.
Kriteria laboratorik :
1. Pemeriksaan Anticardiolipin Antibody (ACA)
Ditemukan ACA isotipe IgG dan/atau IgM di dalam darah dengan kadar sedang atau
tinggi pada 2 kali pemeriksaan dengan interval waktu 6 minggu menggunakan
pemeriksaan standar ELISA untuk b2-glycoprotein I – dependent anticardiopilin
antibodies.
2. Pemeriksaan Lupus Anticoagulant (LA)
Ditemukan LA di dalam plasma pada 2 kali pemeriksaan dengan interval waktu
6 minggu, yang berdasarkan panduan the International Society on Thrombosis and
Hemostasis ditetapkan melalui tahapan pemeriksaan :
a. Uji penyaring koagulasi bergantung fosfolipid yang memanjang, seperti
activated partial tromboplastin time ( APTT), kaolin clotting time, dilute Russel’s
viper venom time, dilute prothrombin time, textarin time.
b. Pemanjangan waktu koagulasi pada uji penyaring tidak dapat diperbaiki
dengan pemberian plasma normal rendah trombosit.
c. Pemanjangan waktu koagulasi pada uji penyaring dapat dikoreksi atau
dipersingkat dengan pemberian fosfolipid berlebihan.
24
d. menyingkirkan penyebab koagulasi lainnya seperti inhibitor faktor VIII
dan heparin.
Kriteria Revisi Sydney
Manifestasi klinik
Penyakit ini memiliki spectrum klinis yang luas, mulai dari asimptomatik secara klinis dan indolen sarmpai yang perjalanan penyakit progresif secara cepat.
Gejala klinik pada APS adalah :
1. Kematian janin, didefinisikan sebagai abortus spontan tiga kali atau lebih dengan
tidak lebih dari satu kelahiran hidup, atau kematian janin trimester II atau III yang
tidak jelas penyebabnya.
2. Trombosis arteri atau vena, strok dan insufisiensi arteri yang tidak jelas penyebabnya
3. Mata.penglihatan kabur atau ganda
4. Gastrointestinal.Nyeri perut,kembung,muntah.
5. Pembuluh darah perifer.Nyeri pembengkakan kaki,nyeri jari tangan.
6. Muskuloskeletal.Nyeri tulang, nyeri sendi.
25
7. Kulit.Purpura/ petekie,ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-jari tangan/kaki kehitaman atau terlihat pucat.
8. Neurologi dan psikiatri.Pingsan,kejang,nyeri kepala,parastesi,paralis,ascending weakness,tremor,gerakan abnormal,hilangnya memori,masalah dalam pendidikan( sulit mengerti, berkosentrasi yang dibaca dan dihitung)
9. Endokrin.Rasa lemah,fatique,artralagi,nyeri abdomen.
10. Urogenital.Hematuri, edema perifer
Penatalaksanaan
Pengobatan di bagi menjadi 4 kelompok :1).Profilaksis, trombosis pembuluh darah kecil;2). Pencegahan trombosis lanjutan pada pembuluh darah sedang dan besar; 3).Pengobatan mikroangiopati trombolik akut dan ;4) Penanganan kehamilan yang berhubungan dengan antibodi anti fosfolipid.
Pengobatan Medikamentosa
Heparin
Heparin tidak melewati sawar plasenta, sehingga digunakan pada kehamilan untuk
pencegahan proses pembentukan tromboemboli vaskuler. Dosis heparin disesuaikan hingga
dicapai keadaan tidak terjadi kekambuhan proses trombosis, yaitu apabila ditemukan nilai
INR ( the International Normalized Ratio ) 2,6 atau antara 2,0 – 3,0
Ada dua jenis heparin yaitu :
a. Unfractionated heparin (UHF)
b. Low molecular weight heparin (LMWH)
Penggunaan UHF diketahui berkaitan dengan risiko terjadinya osteporosis sebesar 5 –
15 %, dibandingkan kasus osteoporosis dengan pemakaian LMWH sebesar 0,2 % dalam
kehamilan
Penggunaan heparin dapat meningkatkan tercapainya persalinan pada kehamilan
aterm yaitu 73 % pada pemakaian UHF dan 88 % pada pemakaian LMWH
Aspirin
Dosis rendah aspirin 60 – 100 mg/hari efektif untuk pengobatan sindrom antibodi
antifosfilipid melalui penurunan rasio tromboksan-prostasiklin dan penurunan resistensi
protein C
26
Kombinasi heparin (UFH) dosis 10.000-26.000 U/hari dan aspirin 81 mg/hari meningkatkan
keberhasilan kehamilan mencapai 70-80% (Lockshin, 1999), bahkan mencapai lebih dari
90% pada pemakaian LMWH dan aspirin
Glukokortikoid
Pemberian kortikosteroid prednison dengan / tanpa heparin dalam jagka panjang
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas maternal, dimana terdapat peningkatan
kejadian preeklampsia, ketuba pecah dini Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dibatasi pada
pemakaian jangka pendek, misalnya untuk perangsangan pematangan alveoli dan vaskuler
paru apabila pemeriksaan kesejahteraan janin mempertimbangkan janin untuk terminasi
persalinan pada usia preterm, atau apabila ditemukan komplikasi lain seperti ketuban pecah,
dengan memberikan glukokortikoid betametason dosis sekali 12 mg/hari/im atau
deksametason 2 x 6 mg/hari/oral selama 4 hari
Pengobatan lainnya
Penggunaan Imunoglobulin intravena (IVIG) digunakan untuk pencegahan
perburukan janin melalui penekanan kadar ACA dan LA. Dosisnya adalah 400mg/kg selama
5 hari setiap bulan menunjukkan keberhasilan kehamilan 62-79% .
Suplemen kalsium (kalsium karbonat dosis 2000mg/hari) serta vitamin D disertai
senam ringan, sebaiknya tetap diberikan selama pengobatan dengan heparin. Demikian pula
pemberian asam folat 5-10mg/hari dianjurkan untuk pencegahan neural tube defect.
Pasien asimptomatik tanpa faktor risiko dan riwayat keluarga dengan trombosis
arteri/vena atau keguguran tidak berikan terapi yang spesifik.Pasien asimptomatik dan
terdapat anggota keluarga yang menderita trombosis arteri/vena atau keguguran dapat
diberikan profilaksis dengan aspirin, namun sebagi klinik tidak menganjurkan pengobatan ini
jika tidak terdapat faktor risiko yang lain. Aspirin tidak menimbulkan proteksi terhadap
trombosis pada perempuan dengan sindrom antifosfolipid dan riwayat
keguguran.Hidroksiklorokuin dapat memproteksis pasien lupus eritematosus sistemik dan
sindrom antifosfolipid sekunder terhadap terjadinya predisposisi trombosis harus disingkiran.
Perempuan hamil dengan antibodi antifosfolipid positif dan riwayat dua atau lebih
kehingalan kehamilan dari atau satu atau lebih kehilangan kehamilan akhir .preeklamsi, 27
pertumbuhan janin terlambat, atau abrupsio , disarankan pemberian aspirin antepartum
ditambah dengan profilaksis heparin dosis kecil atau sedang.Perempuan hamil dengan
antifosfolipid positif tanpa riwayat tromboemboli vena atau kehilangan kehamilan harus di
pertimbangkan mempunyai peningkatan risiko timbulnya trombosis vena kehilangan
kehamilan.Pendekatan yang dapatv dilakukan adalah observasi,pemberian heparin dosis
kecil, profilaksi LMWH, dan/aspirin dosis rendah, 75-167 mg sehari.
Pasien dengan APLA dan riwayat trombosis vena, pada umumnya mendapat
antikoagualan oral jangka panjang oleh karena risiko kambuh yang tinggi.Selama dalam masa
kehamilan, di samping pemberian aspirin dosis mini direkomendasikan dosis terapi LMWH
atau UFH .Saat pascapartum, terapi antikoagualan oral jangka panjang dilanjutkan
Perempuan dengan suatu trombofilia kongenital dan keguguran berulang pada trimester
kedua atau setelahnya, preeklampsi berulang atau hebat, atau abruksio, disarankan pemberian
aspirin dosis mini disamping profilaksis UFH atau MLWH dosis kecil.Saat pascapartum, juga
disarankan pemberian antikoagulan pada perempuan ini.
Kunjungan Antenatal
Pemeriksaan kehamilan dalam trimester pertama dan kedua dilakukan setiap dua
minggu, dan setelah itu setiap minggu mulai kehamilan 32-34 minggu, dimana terjadi
peningkatan risiko terjadinya trombosis pada pengobatan yang tidak adekuat.
Persalinan dan Pengawasan Masa Nifas pada Sindrom Antibodi Antifosfilipid
Segera setelah inpartu, pemberian heparin harus dihentikan, dan proses persalinan
diawasi. Apabila ada indikasi terminasi kehamilan perabdominam, maka pemberian LMWH
harus diganti dua hari sebelumnya dengan UFH dosis 5000-10.000 unit yang dihentikan 6-8
jam sebelum tindakan pembedahan. Apabila hanya digunakan LMWH, tindakan pembedahan
dilakukan 24 jam setelah pemberian dosis terakhir
Pada masa post partum, Heparinisasi dilanjutkan sampai 4-6 jam lagi untuk mencegah
terjadinya sindrom post partum ( flare-up) yang dapat memicu terjadinya trombosis sistemik
dengan penyulit kegagalan organ multiple. Pemberian antikoagulan dihentikan secara
bertahap untuk mencegah risiko tromboemboli dalam tiga bulan pertama post partum.
28
Polisitemia vera
Polisitemia Vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel indukhematopoitik
dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut danvolume darah total, biasanya
disertai lekositosis, trombositosis dan splenomegali.Polisitemia Vera dapat mengenai semua
umur, sering pada pasien berumur 40-60 tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita
2:1, di Amerika Serikatangka kejadiannya ialah 2,3 per 100.000 penduduk dalam setahun,
sedangkan diIndonesia belum ada laporan tentang angka kejadiannya. Penyakit ini dapat
terjadi pada semua ras / bangsa.
Etiologi Polisitemia Vera belum sepenuhnya dimengerti, suatu penelitian sitogenetik
menemukan adanya kelainan molekular yaitu adanya kariotip abnormal di sel induk
hematopoisis. yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, trisomi 9. Dan tahun 2005
ditemukan mutasi JAK2V617F, yang merupakan hal penting pada etiologi polisitemia vera.
Diagnosis
Criteria WHO (World Health Organization)
A1 Raised RCM or haemoglobin (Hb) > 18.5 (males), > 16.5 (females)
A2 No secondary erythrocytosis
A3 Splenomegaly
A4 Abnormal karyotype (other than Ph chromosome or BCR/ABL fusion gene in marrow
cells)
A5 Endogenous erythroid colony (EEC) formation
B1 Platelet count > 400 x 109/l
B2 WBC > 12 x 109/l
B3 Bone marrow biopsy (BMB) showing panmyelosis with erythroid and megakaryocytic
proliferation
B4 Low serum erythropoietin (EPO)
Diagnosis
A1 + A2 and any other category A establishes PV
A1 + A2 + two of category B establishes PV
29
Gejala dan tanda :
Systemic Lupus Erythematous (SLE)
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi. SLE merupakan prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana
autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri.
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana sistem
imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri
sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut
terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk
untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri,
maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin,
seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi
autoantibodi oleh sel B.
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi spesifik yang
menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule 30
stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting pada proses autoimun dan
anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik,
ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem
imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun
oleh ginjal. Sehingga menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem
fagosit mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan
menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya
menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
keluhan pada organ yang bersangkutan.
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini
menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antibodi tersebut termasuk
lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan
IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan
pada orang normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid,
dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,
kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini
dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan autoimun lainnya.
31
Diagnosis : Kriteria the American College of Rheumatology
Kombinasi 4 atau lebih cukup untuk mendiagnosis pasien sebagai SLE (spesifisitas 95% dan sensitivitas 75%)
DAFTAR PUSTAKA32
1. Seligsohn U, Lichtman MA, Kipps TJ, Prchal JT, editor. Williams Hematology [e-
book]. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2010.
2. 10. Kuter DJ. Thrombopoietin: Biology and Clinical Applications. The Oncologist
1996; 12: 98-106 .http://theoncologist.alphamedpress.org/cgi/reprint/1/1/98
3. Greaves M, Cohen H, MacHin SJ, Mackie I. Guidelines on the investigation and
management of the antiphospholipid syndrome. Br J Haematol 2000;109: 704-15.
4. Made Putra Sedana, T. Ivone Wulansari.Penyakit Mieloproliferatif. J Peny Dalam,
Vol. 8 Januari 2007.
5. Means RT. Polycythemia vera. Wintrobes clinicalhematology. 11th ed. Philadelphia:
LippincottWilliams & Wilkins; 2004.p.2258-72.
6. Foon KA, Casciato DA. Chronic leukemia. In:Casciato DA, editor. Manual of clinical
oncology.5thed. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins; 2004.p.480-95.
7. C. N. Harrison, S. Donohoe, P. Carr, M. Dave, I. Mackie, S. J. Machin. Patients with
Essential Thrombocythaemia have an Increased Prevalence of Antiphospholipid
Antibodies which may be associated with Thrombosis. Department of Haematology,
University College London Hospital, UK. Thromb Haemost 2002; 87: 802–7.
8. Tefferi A. Essential Thrombocythemia and Thrombocytosis. Dalam: Greer JP, Foerster
J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber DA, et al, editor. Wintrobe’s Clinical
Hematology [ebook]. Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2009. hlm. 1353-60.
9. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al, editor.
Polycythemia Vera and Other Myeloproliferative Diseases. Dalam: Fauci AS, Kasper
DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al, editor. Horrison’s
Principles of Internal Medicine [ebook]. Edisi ke-17. New York: McGraw-Hill; 2009.
hlm. 2325-41.
Jumlah sel darah merah menurun pada pasien anemia leukemia,
penurunan fungsi ginjal, talasemin, hemolisis dan lupus eritematosus33
Pedoman Interpretasi Data Klinik | 13
sistemik. Dapat juga terjadi karena obat (drug induced anemia). Misalnya:
sitostatika, antiretroviral.
• Sel darah merah meningkat pada polisitemia vera,
Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai
sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah danhipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalamianemia sedang hingga parah. Pada pasien anemia karena kekurangan besi (ukuran sel darah merahlebih kecil), nilai Hct akan terukur lebih rendah karena sel mikrositikterkumpul pada volume yang lebih kecil, walaupun jumlah sel darah merahterlihat normal.MCV 61.1 80 – 97 fl
Indeks MCH adalah nilai yang mengindikasikan berat Hb rata-rata didalam sel darah merah, dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna(normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel darah merah. Penurunan MCH mengindikasikan anemia mikrositik.MCH 20.1 26.5 – 33.5 pg
Perdarahan, trauma, obat (mis: merkuri, epinefrin, kortikosteroid), nekrosis,toksin, leukemia dan keganasan adalah penyebab lain leukositosisLeukosit
27.17 5 – 10 10^3/ µl
Trombosit 1083 150 – 450 10^3/ µl
Netrofil 76.6 46-75%
Monosit 3.7 4-10%
Protein +4
Peningkatan leukosit mengindikasikan adanya infeksi.
Taksiran berat janin seberat 1380 gram,dengan diameter biparietal,abdomen circumference
dan fetal length sesuai dengan kehamilan usia 30-31 minggu,sedangkan pasien telah hamil 39
minggu.Posisi bayinya normal,dan didapatkan oligohidramnion
MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah. Penurunan nilai MCV terlihat pada pasien anemia kekurangan besi,anemia pernisiosa dan talasemia, disebut juga anemia mikrositik.MCV
61.3 80 – 97 fl
MCH 20.3 26.5 – 33.5 pg
Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm3. Lekositosis hingga 50.000/mm3mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai
34
leukosit yang sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan olehleukemia. Penderita kanker post-operasi (setelah menjalani operasi)menunjukkan pula peningkatan leukosit walaupun tidak dapat dikatakaninfeksi.• Biasanya terjadi akibat peningkatan 1 tipe saja (neutrofi l).Leukosit 34.19
5 – 10 10^3/ µl
Trombositosis berhubungan dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera,trauma, sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis reumatoidTrombosit 787
150 – 450 10^3/ µl
Neutrofi lia, yaitu peningkatan persentase neutrofi l, disebabkan olehinfeksi bakteri dan parasit, gangguan metabolit, perdarahan dangangguan myeloproliferatif.Netrofil 88.1 46-75%
Monosit 2.2 4-10%
Gambaran morfologi darah tepi
35
Recommended