View
168
Download
0
Category
Tags:
Preview:
DESCRIPTION
tugas task reading kuliah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anatomoi fisiologi sistem muskuloskeletal meliputi tulang, sendi, otot dan jaringan
konektif yang berhubungan (kartilago, tendon dan ligamen). Sistem rangka Dipelihara oleh
“Sistem Haversian” yaitu sistem yang berupa rongga yang di tengahnya terdapat pembuluh
darah. Terjadi proses pembentukan jaringan tulang baru dan reabsorpsi jaringan tulang yang
telah rusak. Sedangkan sistem artikular (hubungan antara dua tulang atau lebih memiliki
bagaian-bagian yang semuanya belum tentu dapat melakukan pergerakan.
Sistem muskular tubuh manusia terdiri dari 40-50% dari berat badan manusia ,
pergerakannya terjadi karena adanya kontraksi. Terdiri dari otot jantung, otot polos, dan otot
lurik atau rangka. Dalam sistem muskuluskletal terdapat juga kartilage. Kartilage adalah
jaringan konektif yang tebal yang dapat menahan tekanan. Kartilage umum terdapat pada
tulang embrio. Umumnya kartilage ini berubah secara bertahap menjadi tulang dengan.
proses ossifikasi tetapi beberapa kartilage tidak berubah setelah dewasa. Selain itu terdapat
juga ligamen dan tendon yang tersusun dari jaringan konektif fibrosa yang tebal,
mengandung serabut kolagen dalam jumlah yang sangat besar. Tendon menghubungkan otot
ke tulang.Tendon merupakan perpanjangan dari pembungkus otot yang berhubungan
langsung dengan periosteum. Ligamen menghubungkan tulang dan sendi dan memberikan
kestabilan pada saat pergerakan.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui jenis- jenis penyakit dalam sistem muskuluskletal
2. Mengetahui jenis-jenis penyakit akibat dari infeksi sistem muskuluskletal
3. Mengetahui tindakan dalam gangguan sistem muskuluskletal
1
BAB II
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur Tulang Gerak Atas Dan Bawah, Fraktur Tulang Belakang, dan Fraktur Tulang Panggul
2.1 Fraktur Tulang Gerak Atas Dan Bawah
2.1.1 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda
Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
2.1.2 Anatomi Fisiologis
1. Extermitas Atas
1) Gelang Bahu
Gelang bahu adalah persendian yang mengubungkan lengan dengan badan.
Persendian ini mempunyai mangkok sendi yang tidak sempurna oleh karena bagian
belakangnya yang terbuka. Bagian ini dibentuk oleh 2 bagian tulang yaitu:
a. Scapula terdapat dibagian punggung sebelah luar atas dibagian iga I sampai iga
VIII, bentuknya hamper segitiga.
b. Klavikula bentuknya panjang, sedikit bengkok hamper menyerupai huruf S.
Bagian yang berhubungan dengan sternum disebut externitas sternalis, dan
bagian yang berhubungan dengan akromion disebut extermitas akrominalis.
2) Humerus
Humerus mempunyai tulang panjang seperti tongkat. Bagian yang mempunyai
hubungan dengan bahu bentuknya bundar membentuk kepala sendi yang disebut
kaput humeri.
3) Ulna
Ulna yaitu tulang bawah yang lengkungannya sejajar dengan tulang jari kelingking
arah dengan siku mempunyai taju yang disebut prosesus oleknori, gunanya ialah
tempat melekatnya ototdan menjaga agar siku tidak bengkok kebelakang.
2
4) Radius
Radius letaknya bagian laterall sejajar dengan ibu jari. Dibagian yang berhubungan
dengan humerus dataran sendinya berbentuk bundar yang memungkinkan lengan
bawah dapat berputar atau telungkup.
5) Karpal
Karpal terdiri dari delapan tulang tersusun dlam 2 baris:
a. Bagian proksimal meliputi: Os navikular, Os lunatum, Os triquestrum, Os
fisiformis.
b. Bagian distal meliputi: Os multangulum mavus, Os multangulum minus, Os
kapitatum, Os hamatum.
6) Metakarpalia
Metacarpal terdiri dari tulang pipa pendek yang banyaknya 5 buah setiap batang,
mempunyai 2 ujung yang bersendi dengan tulang karpal dan bersendi dengan
falagus atau tulang jari.
7) Falangus
Falagus juga terdiri dari tulang pipa pendek yang banyaknya 14 buah dibentuk
dalam 5 bagian tulang yang berhubungan dengan metacarpal perantara persendian.
2. Extermitas Bawah
1) Koksa
Os koksa turut membentuk galang panggul. Letaknya disetiap sisi dan depan
bersatu dengan simpis [ubis dan membentuk sebegian tulang pelvis. Terdiri dari os
ilium, os iski dan os pubis.
2) Femur
Os femur merupakan tulang terpanjang dan terbesar yang barhubungan dengan
asetabulum membentuk kepala sendi yang disebut kaput femoris.
3) Tibia dan Fibula
Os tibia dan fibularis merupakan tulang pipa yang terbesar setelah tulang paha yang
membentuk persendian lutut dengan os femur. Os tibia berbentuk lebih kecil, pada
bagian pangkalnya melekat pada os fibula, pada bagian ujung membentuk
persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut os maleolus
medialis.
3
4) Tarsalia
Tarsalia dihungkan dengan tungkai bawah oleh sendi pergelangan kaki. Terdiri dari
tulang-tulang kecil yang banyaknya 5 buah yaitu:
a. Talus (tulang loncat)
b. Kalkaneus (tulang tumit)
c. Navikular (tulang bentuk kapal)
d. Kuboideum (tulang bentuk dadu)
e. Kunaiformi
5) Metatarsalia
Metatarsal terdiri dari tulang-tulang pendek yang banyaknya 5 buah yang masing-
masing berhubungan dengan tarsus dan falagus dengan perantara persendian.
6) Falangus
Falangus merupakan tulang-tulang pipa pendek yang masing-masing terdiri atas 3
ruas kecuali ibu jari yang banyaknya 2 ruas.
(H, Syaifuddin. 2006)
2.1.3 Etiologi
Penyebab fraktur menurut Barbara (1996), yaitu:
1. Trauma :
a. Langsung yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi
miring dimana daerah trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan).
b. Tak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh
terpeleset di kamar mandi pada orangtua.
1. Stress ( tekanan yang berulang )
2. Pathologis adalah fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma
berupa yang disebabkan oleh suatu proses yaitu :
- Osteoporosis
- Penyakit metabolic
4
2.1.4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda
Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
(Black, J.M, et al, 1993)
2.1.5 Tanda dan Gejala
Tanda-tanda klasik fraktur:
1. Nyeri
2. Deformitas
3. Krepitasi
4. Bengkak
5. Pemendekan
6. Peningkatan temperatur lokal
7. Pergerakan abnormal
8. Echymosis
9. Kehilangan fungsi
10.Kemungkinan lain.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik :
- Identifikasi fraktur
- Inspeksi (deformitas, pemendekan, echymosis)
- Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
- Observasi spasme otot
2. Pemeriksaan diagnostik :
5
- Foto Ronsen: menentukan lokasi/luas fraktur/ trauma.
- CT-Scan: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
- Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
( pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau trauma multiple). Peningkatan SDP
adalah respon stress normal setelah trauma.
2.1.7 Penatalaksanaan
1. Reduksi untuk memperbaiki kesegarisan tulang (menarik).
2. Immobilisasi untuk mempertahankan posisi reduksi, memfasilitasi union :
- Eksternal → gips, traksi
- Internal → nail dan plate
3. Operasi
4. Rehabilitasi, mengembalikan ke fungsi semula.
2.1.8 Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
6
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya
b. Nonunion : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang
lebih lambat dari keadaan normal.
c. Malunion : tulang yang tidak menyambung kembali
(Black, J.M, et al, 1993)
7
2.1.9 WOC
9
Stress (tekanan yang berulang
Kondisi patologisTrauma tidak langsungTrauma langsung
Perub jaringan sekitarPergeseran fragmen
tulang NyeriDiskontuinas tulang FRAKTUR
kerusakan frakmen tulang tek. Ssm tlg > tinggi dr kapilerspasme ototLaserasi kulit:Pergeseran frag Tlg
Peningkatan tekanan kapiler
Putus vena/arteriKerusakan integritas kulit
Deformitasreaksi stres klien
melepaskan katekolaminPendarahan gg. fungsipelepasan histamin
memobilisai asam lemakKehilangan volume cairanGg mobilitas protein plasma hilang
bergab dg trombositHematoma
emboli
edemaShock
hipivolemikJaringan mengalami
nekrosis menyumbat pemb
drh
penekn pem. drh
10
gg.perfusi jar
penurunan perfusi jar
Peradangan
2.1.10 KONSEP ASKEP
2.1.10.1 Pengkajian
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
(1)Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
(3)Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4)Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5)Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
11
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena
- Deformitas yang nampak jelas
- Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
- Laserasi
- Perubahan warna kulit
- Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi
- Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
- Krepitasi
- Nadi, dingin
- Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
3) Penglompokan data
1) Data subjectif
- Mengeluh sakit
- Bebal / kesemutan
- Mengeluh kehilangan fungsi pada bagian yang fraktor
12
2) Data objectif
- Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian fraktur
- Meringis kesakitan
- Kadang-kadang hipertensi (respon terhadap nyeri)
- Kadang hipotensi
- Takikardi (respon stres, hivopoterta)
- Penurunan atau tidak ada nadi pada bagian distal yang terkena
cedera
- Pucat pada bagian cedera
- Bengkak dan hematum pada sisi yang cedera
- Krepitasi depormitas lokal
- Laserasi kulit / adanya luka
- Pendarahan
2.1.10.2 Diagnosa Keperawatan
Analisa Data
Symptom Etiologi Problem
Ds :
Mengeluh kehilangan
fungsi pada bagian yang
fraktur
Do:
Keterbatasan / kehilangan
fungsi pada bagian
fraktur
Trauma
Fraktur
Fragmen bergeser
Kerusakan kerangka
neuromuskuler
Kerusakan mobilitas
fisik
Ds:
Mengeluh
kebas/kesemutan
Fraktur terbuka,
pemasangana traksi
Kerusakan integitas
kulit
13
Do:
Laserasi kulit / adanya
luka
Deformitas
Ds:
Mengeluh sakit
Do:
Meringis kesakitan
Kadang-kadang
hipertensi
Takikardi
Edema
Spasme otot sekitar
daerah fraktur
Adanya fraktur
Fragmen tulang bergeser,
edema
Nyeri
Rumusan Diagnosa
1) Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan kerangka neuromuskuler
ditandai dengan pasien mengeluh kehilangan fungsi pada bagian
yang fraktur, keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian fraktur.
2) Kerusakan intergitas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan trkasi
ditandai dengan pasien mengeluh kebas, adanya luka/laserasi kulit
dan deformitas.
3) Nyeri b/d gerakan fragmen tulang, edema ditandai dengan pasien
mengeluh sakit, meringis kesakitan, hipertensi, takikardi, edema,
adanya spasme di sekitar daerah fraktur.
(Nanda 2005-2006)
14
2.1.10.3 Intervensi
Dx.1
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien akan meningkat/ mempertahankan mobilitas pada tingkat
kenyamanan yang lebih tinggi.
- Klien mempertahankan posisi /fungsional.
- Klien menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktifitas.
No Intervensi Rasional
1 Kaji derajat imobilitas
yang dihasilkan oleh
cedera/pengobatan
dan perhatikan
persepsi pasien
terhadap imobilisasi.
Mengetahui persepsi diri pasien mengenai
keterbatasan fisik aktual, mendapatkan informasi
dan menentukan informasi dalam meningkatkan
kemajuan kesehatan pasien.
2 Instruksikan dan bantu
pasien dalam rentang
gerak aktif/pasif pada
ekstremitas yang sakit
dan yang tak sakit.
Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk
meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan respon
kalsium karena tidak digunakan.
3 Bantu/dorong
perawatan
diri/kebersihan
(contoh mandi dan
mencukur).
Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi,
meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan
meningkatkan kesehatan diri langsung
4 Awasi TD dengan
melakukan aktivitas
dan perhatikan
keluhan pusing.
Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai
tirah baring lama dan dapat memerlukan intervensi
khusus
15
5 Auskultasi bising
usus.
Tirah baring, pengguanaan analgetik dan perubahan
dalam kebiasaan diet dapat memperlambat
peristaltik dan menghasilkan konstipasi
6 Konsul dengan ahli
terapi fisik/okupasi
dan atau rehabilitasi
spesialis.
Berguna dalan membuat aktivitas
individual/program latihan.
Dx.2
Tujuan : Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
- Penyembuhan luka sesuai waktu.
- Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
No Intervensi Rasional
1 Kaji kulit untuk luka
terbuka, kemerahan,
perdarahan, perubahan
warna.
Memberikan informasi gangguan sirkulasi kulit
dan masalah-masalah yang mungkin disebabkan
oleh penggunaan traksi, terbentuknya edema
2 Massage kulit dan tempat
yang menonjol,
pertahankan tempat tidur
yang kering dan bebas
kerutan.
Menurunkan tekanan pada area yang peka dan
resiko abrasi/kerusakan kulit.
3 Rubah posisi selang seling
sesuai indikasi.
Mengurangi penekanan yang terus-menerus
pada posisi tertentu
4 Gunakan bed matres / air
matres.
Mencegah perlukaan setiap anggota tubuh dan
untuk anggota tubuh yang kurang gerak efektif
untuk mencegah penurunan sirkulasi
16
Dx.3
Tujuan:
Nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
- Menyatakan nyeri berkurang.
- Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas
terapetik sesuai indikasi untuk situasi individual.
- Edema berkurang / hilang.
- Tekanan darah normal.
- Tidak ada peningkatan nadi dan pernapasan
No In tervensi Rasional
1 Kaji keluhan nyeri, perhatikan
lokasi, lamanya, dan intensitas
(skala 0 – 10). Perhatikan
petunjuk verbal dan non-verbal
Membantu dalam mengidentifikasi derajat
ketidaknyamanan dan kebutuhan untuk /
keefektifan analgesic.
2 Pertahankan immobilisasi bagian
yang sakit dengan tirah baring,
gips, pembebat, dan traksi.
Meminimalkan nyeri dan mencegah
kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan
yang cedera.
3 Tinggikan dan sokong ekstremitas
yang terkena.
Menurunkan aliran balik vena, menurunkan
edema, dan rasa nyeri
4 Dorong penggunaan teknik
manajemen stress, contohnya
relaksasi progresif, latihan nafas
dalam, imajinasi visualisasi dan
sentuhan terapeutik.
Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi
area tekanan dan kelelahan. otot.
5 Lakukan kompres dingin/es
selama 24-48 jam pertama dan
Menurunkan udema/ pembentukan
hematoma, menurunkan sensasi nyeri
17
sesuai indikasi.
6 Kolaborasi dengan dokter
pemberian analgetik.
R/ Diberikan untuk mengurangi nyeri dan
spasme otot
(Dongoes, M. 2000)
2.1.10.4 Implementasi : sesuai intervensi
2.1.10.5 Evaluasi : Sesuai Kriteria Hasil
2.2 Fraktur Tulang Belakang
2.2.1 Pengertian
Fraktur tulang belakang adalah fraktur yang mengenai servikalis,
vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
Fraktur lumbal adalah kerusakan pada tulang belakang berakibat
trauma, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh
kecelakaan, jatuh, dan perilaku kesehatan.
Chairudin rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulang
belakang harus dianggap sebagai trauma yang hebat. Trauma tulang
belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang (ligamen dan
diskus), tulang belakang, dan sum-sum tulang belakang.
2.2.2 Etiologi
1. Kecelakakan lalulintas
2. Kecelakaan olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelamdll).
3. Kecelakaan industri
18
4. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari pohon atau
bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak pada daerah vertebrata
6. Kejatuhan benda keras
7. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis
yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
(Harsono, 2000).
2.2.3 Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan
mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse
Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis
tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak
langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi
dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan
mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis
bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan
yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau
pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa
hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai
L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat
sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla
spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang
ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark
disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang
menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
19
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla
spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma
tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan
dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang
terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran
transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang
berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat
“whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh
terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla
spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis. Suatu segmen medulla spinalis dapat
tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan
oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan
kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi
medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf
spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap,
radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi
adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut
disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang
reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka
gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan
terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan
menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma
yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior
spinal.
2.2.4 Tanda Dan Gejala
1. Kerusakan meningitis; lintang (hilangnya fungsi motorik maupun
sensorik kaudal)
20
2. Shock spinal (kelumpuhan plasid, anestesia, refleksi , hilangnya
fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus,
bradikardia dan hipotensi.
3. hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa
kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
(Price &Wilson (1995)
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis, meliputi hal- hal sebagi berikut:
1) Pemeriksaan rontgen.
2) Pemeriksaan CT-Scan terutama untuk melihat fragmentasi dan
pergeseran fraktur dalam kanal spinal
3) Pemeriksaan CT-Scan dengan mielografi
4) Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus
intervetebralis dan ligamentum flavum serta lesi pada sum-sum tulang
belakang.
2. Pemeriksaan laboratorium
2.2.6 Penatalaksanaan
1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat anti inflamasi seperti buprofen atau prednisone.\
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
2. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar
mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat. Pemebedahan yang sering
dilakukan seperti desektomi dengan peleburan yang digunakan untuk
menyatukan prosessus spinosus vertebra. Tujuan peleburan spinal adalah
untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang dan
mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk
memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis. Menghilangkan
21
kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus
diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan
mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar
syaraf.
2.2.7 Komplikasi
1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah
besar akibat trauma.
2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek
menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari
jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung
patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan
sedikit gerakan (non union)
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20
minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung
dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka
atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh
pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
6. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal,
dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.
Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani
segera.
(Mansjoer, Arif, et al. 2000)
22
2.2.8 WOC
23
Kondisi Patologis osteoporosis
Trauma langsung/ tidak langsung
Fraktur
Terputusnya kontinuiitas jaringan tulang
Psikologi Intoleransi aktivitas
Saraf rusak
Lumpuh/Parestesia
Gangguan Imobilitas fisik
Perubahan permeabilitas kapiler
Oedema/bengkak lokal/hematoma
Resti perubahan perfusi jaringa
perifer
Nyeri
Perubahan peran
Takut, cemas
Gangguan bodi image
Kurang informasi
Kurang pengetahuan
Defisit perawatan diri
Bedrest
Penekanan jaringan tertentu
Resti gangguan integritas kulit
2.2.9 Asuahn keperawatan
2.2.9.1 Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
1. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan
selama syok spinal
2. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan
posisi, Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
3. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retnsi urine,
distensi perut, peristaltik hilang
4. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut
cemas, gelisah dan menarik diri
5. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
6. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan
ADL
7. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki,
paralisis flasid, Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot,
hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosi
8. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas
daerah trauma, dan Mengalami deformitas pada daerah trauma
9. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosi
10. Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
2.2.9.2 Diagnosa
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan
otot-otot pernafasan atau kelumpuhan otot diafragma.
2. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuro
muskular, dan refleks spasme otot sekunder.
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular
24
2.2.9.3 Intervensi
DX.1:Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan
kelemahan otot-otot pernafasan atau kelumpuhan otot
diafragma
Tujuan: pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil: ventilasi adekuat dan pernapasan= 16-20x permenit, tanda
sianosis negatif
No Intervensi Rasional
1 Berikan posisi yang nyaman, biasanya
dengan meninggikan kepala tempat
tidur, baik kesisi yang sakit. Dorong
klien untuk duduk sebanyak mungkin
Meningkatkan inspirasi maksimal
dan meningkatkan ekspansi paru
dan ventilasi pada sisi yang tidak
sakit
2 Pertahankan jalan nafas posisi kepala
tanpa gerak
Klien dengan cedera servikal
akan membutuhkan bantuan
untuk mencegah aspirasi/
mempertahankan jalan nafas
3 Kaji distensi perut dan spasme otot Kelainan penuh pada perut karena
kelumpuhan diafragma
4 Tindakan operatif pemasangan fiksasi
internal ditulang belakang
Pada keadaan ini
dilakukan pemasangan fiksasi
internal pada daerah yang
mengalami deformitas
DX.2: Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuro
muskular, dan refleks spasme otot sekunder
Tujuan : nyeri berkurang , hilang atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif klien mengatakan nyeri berkurang
atau dapat diatasi, mengidentifikasi aktifitas yang
meningkatkan atau mengurangi nyeri tidak gelisah skala
nyeri 0-1
25
No Intervensi Rasional
1 Kaji nyeri dengan skala
0-4
Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat
dikaji dengan menggunakan skala nyeri. Klien
melaporkan biasanya nyeri di atas tingkat
cedera
2 Bantu klien dalam
mengidentifikasi faktor
pencetus
Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan,
ketegangan, sushu, distensi kandung kemih dan
berbaring lama
3 Ajarkan metode distraksi
selama nyeri akut
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri ke hal-
hal yang menyenangkan
4 Kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian
anal gesik
Analgesik memblok lintasan nyeri sehingga
nyeri akan berkurang
DX.3: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan
kerusakan neuromuskular
Tujuan : klien mampu melakukan aktivitas fisik sesuai dengan
kemempuannya
Kriteria hasil : klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak
terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot, dan
klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
no Intervensi Rasional
1 Inspeksi kulit bagian distal setiap hari.
Pantau kulit dan memberan mukosa
untuk mengetahui adanya iritasi,
kemerahan, atau lecet-lecet
Deteksi dini adanya gangguan
sirkulasi, hilangnya sensasi,
resiko tinggi kerusakan
integritas kulit, dan
kemungkinan komplikasi
imobilisasi
2 Bantu klien melakukan latihan ROM
dan perawatan diri sesuai toleransi
Mempertahankan fleksibilitas
sendi sesuai kemampuan
3 Pertahankan bentuk spinal dengan cara Mempertahankan posisi tulang
26
sbb:
Matras
Bed board (tempat tidur dengan alas
kayu atau kasur busa keras yang tidak
menimbulkan lekukan saat klien tidur)
belakang agar tetap rata
4 Kolaborasi dengan ahli fisioterafi untuk
melatih fisik
Kemempuan mobilisasi
ekstemitas dapat ditingkatlan
dengan latihan fisik yang
diberikan oleh tim fisioterafi
2.2.9.4 Implementasi
2.2.9.5 Evaluasi
2.3 Fraktur Panggul
2.3.1 Pengertian
Fraktur merupakan diskontinuitas struktural pada tulang. Hip
Adalah bagian dari tulang panggul yang berartikulasi dengan pangkal tulang
femur pada asetabulum. Fraktur Hip : Adalah suatu terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan fraktur tulang femur pada daerah
ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi, leher, dan daerah
trochanter.
Fraktur panggul adalah salah satu bagian dari trauma multipel
yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan dapat
berupa gejala pembengkakan, deformitas, serta perdarahan subkutan sekitar
panggul.
2.3.2 Etiologi
Patah tulang pinggul paling sering terjadi karena jatuh atau pukulan langsung ke sisi pinggul. Beberapa kondisi medis seperti osteoporosis, kanker, luka atau stres dapat melemahkan tulang dan membuat pinggul lebih rentan terhadap patah.
27
Patah tulang panggul lebih sering pada wanita dari pada laki- laki, alasannya :
Wanita memiliki tulang panggul lebih lebar yang cenderung mengalami
coxa vara(deformitas dari hip dimana sudut antara leher dan batang
tulang mengecil).
Wanita mengalami perubahan hormon post menopausal dan berhubungan
dengan meningkatnya insiden osteoporosis.
Harapan hidup wanita lebih panjang dari pria.
2.3.3 Patofisiologi
Patah tulang pinggul (fraktur hip) mengacu pada fraktur femur di
kepala(caput), leher (collum), atau wilayah trochanterica. Caput femur
adalah bagian yang mengisi daerah acetabulum. Collum adalah daerah
sempit di bawah caput. trochanterica adalah area di bawah collum.
Patah tulang panggul dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
intracapsular atau extracapsular. Intracapsularfractures adalah fraktur terjadi
pada daerah yang masih berada dalam lingkup kapsul sendi yang meliputi:
fraktur sub kapital, fraktur transervikal, fraktur basal leher. Extracapsular
fraktur adalah fraktur terjadi di luar kapsul sendi panggul pada daerah
sekitar 5 sentimeter di bawah trochanter minor. Fraktur ini juga disebut
dengan fraktur intertrochanteric.Caput dan collum femoralis terletak dalam
kapsul sendi dan tidak termasuk dalam periosteum; dengan demikian, caput
dan collum tidak memiliki suplai darah yang cukup. Patah di daerah ini
biasanya jenis fragmen dan mungkin lebih menurunkan pasokan darah,
meningkatkan risiko nonunion (tidak menyatu) dan avascular nekrosis.
Sedangkan Wilayah trochanterica tertutup periosteum dan karena itu
memiliki lebih banyak pasokan darah daripada caputataucollum.
Patah tulang pinggul lebih sering terjadi pada orang tua sebagai akibat
penurunan massa tulang dan meningkatnya kecenderungan untuk jatuh.
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau
tanpa trauma berupa yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :
Osteoporosis Imperfekta
Osteoporosis28
Penyakit metabolic
2.3.4 Tanda Dan Gejala
1. Dengan fraktur kolum femoris, tungkai akan mengalami pemendekan, adduksi dan rotasi eksterna.
2. Nyeri ringan pada daeah selangkangan atau disisi medial lutut3. Pada fraktur kolum femoris, ketidak mampuan menggerakan tungkai 4. Hematoma
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksan klinik
1) Keadaan umum (catat secara teratur, tekanan darah, dan respirasi).
Secra cepat, lakukan survey tentang kemungkinan trauma lainnya.
2) Lokasi (inspeksi perinium untuk mengetahui adanya perdarahan,
pembengkakan, dan deformitas). Tentukan derajat ketidakstabilan
cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis,
kenudian lakukan pemeiksaan colok dubur
2. Pemeriksaan Tambahan
1) Foto polos panggul, toraks, serta daerah lain yang dicurigai
mengalami trauma
2) Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna, serta
pemeriksaan foto panggul lainnya
3) Pemeriksaan urologis dan lainnya (kateterisasi, ureterogram,
sistogram retorgrad dan postvoiding, vielogram inter vena, aspirasi
diagnostik dengan lavase peritoneal)
2.3.6 Penatalaksanaan
1. Traksi kulit sementara, ekstensi buck, dapat dipasang untuk mereduksi
spasme otot, untuk mengimobilisasi ekstremitas, dan mengurangi nyeri.
Bantalan pasir atau gulungan trokhanter dapat dipasang untuk
mengontrol rotasi eksterna.
2. Anastesia umum atau spinal, fraktur pinggul direduksi dibawah
visualisasi sinar-X menggunakan fluoroskopi. Fraktur yang stabil
biasanya dapat difiksasi dengan nail, kombinasi nail dan plat, pin
multipel, atau alat skrup kompresi. Pemilihan alat fiksasi ditentukan oleh
29
tempat fraktur dan ahli bedah ortopedk. Reduksi yang memadai sangat
penting untuk penyembuhan fraktur (semakin baik reduksinya, semakin
baik penyembuhannya)
3. Penggantian kaput femoris dengan prostesis biasanya disisakan untuk
fraktur yang tidak dapat di reduksi atau difiksasi dengan nail secara
memuaskan. Beberapa ahli ortopedik lebih menyukai metode ini karena
tidak adanya penyatuan dan nekrosis avaskuler kaput femoris merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada teknik fiksasi interna. Penggantian
pinggul total dapat dilakukan pada pasien tertentu dengan defek pada
asetabulum.
2.3.7 Komplikasi
1. Komplikasi segera
1) Trombosis vena ilio-femoral. Komplikasi ini sering ditemukan dan
sangat berbahaya. Apabila ada keraguan, sebaiknya berikan anti
koagulan secara rutin untuk profilaksis.
2) Robekan kandung kemih. Robekan dapat terjadi apabila ada gangguan
simfisis pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.
3) Robekan uretra. Robekan uretra terjadi karena adanya gangguan
simfisis pubis pada daerah uretra pars membranosa.
4) Trauma rektum dan vagiana
5) Trauma pembuluh darah besar akan menyebabkan perdarahan masif
sampai syok
6) Trauma pada saraf
2. Komplikasi lanjut
1) Pembentukan tulang heterotrofik. Pembentukan tulang heterotrofik
biasanya terjadi setelah trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah
suatu diseksi operasi. Dalam keadaan ini, klien dibeikan indometasin
untuk profilaksis
2) Nekrosis avaskuler, dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu
setelah trauma
3) Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder.
4) Skoliosis kompensator
30
2.3.8 WOC
31
32
2.3.9 Asuahn keperawatan
2.3.9.1 Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
a. Riwayat Perjalanan penyakit
- Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan
- Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma
- Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
- Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
- Kehilangan fungsi
- Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
- Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis
kortikosteroid dalam jangka waktu la
- Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama
pada wanita
- Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
- Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan
- Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan
gerakan diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan
- Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema
2. Pemeriksaan fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkenas
- Deformitas yang nampak jelas
- Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
- Laserasi
- Perubahan warna kulit
- Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi
- Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
- Krepitasi
- Nadi, dingin33
- Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
2.3.9.2 Diagnosa
1. Nyeri yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang
panggul, cedera neoromuskular, dan refleks spasme otot sekunder.
2. Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan
kesadaran dan hambatan mobilitas fisik
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
2.3.9.3 Intervensi
Dx.1
Tujuan : nyeri berkurang hilang atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diatasi, mengidentifikasi aktifitas yang dapat mengurangi atau
meningkatkan nyeri. Klien tidak gelisah. Skala nyeri 0-1 atau teratasi.
No Intervensi Rasional
1 Kaji nyeri dengan skala 0-4 Nyeri merupakan respon subjektif yang
dapat dikaji dengan menggunakan skala
nyeri. Klien melaporkan biasanya nyeri di
atas tingkat cedera
2 Bantu klien dalam
mengidentifikasi faktor pencetus
Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan,
ketegangan, sushu, distensi kandung kemih
dan berbaring lama
3 Kolaborasi dengan tim medis
dalam pemasangan gips
(minispica) pada trauma
kompres anteroposterior tulang
panggul
Stabilisasi fraktur panggul dapat
mengurangi sensasi nyeri. Minispica cast
dipakai agar klien mampu berjalan dan
minispica cast digunakan sekitar4-6 minggu
34
Dx.2
Tujuan : Resiko trauma tidak terjadi
Kriteria hasil : klien mau berpartisipasi dalam pencegahan trauma
No Intervensi Rasional
1 Pertahankan tirah baring dan
imobilisasi sesuai indikasi
Meminimalkan rangsangan nyeri akibat
gesekan antara fragmen tulang dengan
jaringan lunak dan sekitarnya
2 Gunakan bantal air atau
pengganjal yang lunak di bawah
daerah panggul
Menghindari tekanan yang berlebihan di
daerah panggul
3 Kolaborasi pemberian obat
antibiotik
Antibiotik bersifat bakterisida/
bakteriostatik untuk
membunuh/menghambat perkembangan
kuman
Dx.3
Tujuan : klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai kemampuannya
Kriteria hasil : klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak
mengalami kontraktur sendi,kekuatan otot bertambah dan klien
menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
No Intervensi Rasional
1 Kaji mobilitas yang ada dan
observasi adanya
peningkatankerusakan. Kaji secra
teratur fungsi motorik
Mengetahui tingkat klien dalam
melakukan aktivitas
2 Ajarkan klien melakukan latihan
gerakan aktif pada ekstremitas yang
tidak sakit
gerakan aktif membeikan massa, tonus,
dan kekuatan otot, serta memperbaiki
fungsi jantung dan pernafasan.
3 Kolaborasi dengan ahli fisioterafi
untuk latihan fisik klien
Kemampuan mobilisasi ekstremitas
dapat ditingkatkan dengan latihan fisik
dari tim fisioterafi
35
2.3.9.4 Implementasi
2.3.9.5 Evaluasi
BAB III
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Amputasi. Traksi dan Gips
3.1 Amputasi
3.1.1 Pengertian
Amputasi berasal dari kata “amputare“ yang kurang lebih diartikan
“pancung“. Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian
tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas.
Amputasi adalah perlakuan yang mengakibatkan cacat menetap
(syamsuhidajat dan jong, 1999:1282). Sedangkan menurut engram
(1999:453) amputasi merujuk pada pengangkatan semua atau sebagian
ekstremitas.
Definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa adalah tindakan
pengangkatan dari sebagian atau seluruhnya dari bagian tubuh terutama
ekstremitas atau indikasi tertentu sehingga menimbulkan kecacatan
menetap.
3.1.2 Etiologi
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki
2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki
3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat ( sering sebagai
gejala sisa diabetes melitus)
4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh
lainnya
5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif
6. Deformitas kongenital
7. Trauma (cedera remuk, luka bakar, luka bakar dingin, luka bakar listrik)
36
3.1.3 PatofisiologiDilakukan sebagian kecil sampai dengan sebagian besar dari tubuh, dengan
dua metode :
1. Metode terbuka (guillotine amputasi).
Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang mengembang.
Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih,
dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi.
2. Metode tertutup (flap amputasi)
Pada metode ini, kulit tepi ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada
daerah yang diamputasi.
3. Tidak semua amputasi dioperasi dengan terencana, klasifikasi yang lain
adalah karena trauma amputasi.
3.1.4 Tanda Dan Gejala1. Nyeri2. Bengkak3. Memar4. Abrasi kulit
3.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tergantung pada kondisi dasar perlunya amputasi dan
digunakan untuk menentukan tingkat yang tepat untuk amputasi.
1. Foto ronsen : mengidentifikasi abnormalitas tulang
2. CT Skan : mengidentifikasi lesi neoplastik, osteomielitis, pembentukan
hematoma.
3. Angiografi dan pemeriksaan aliran darah : mengevaluasi perubahan
sirkulasi/perfusi jaringan dan membantu memperkirakan potensial
penyembuhan jaringan setelah amputasi.
4. Ultrasound Doppler, flowmetri doppller laser : dilakukan untuk mengkaji
dan mengukur aliran darah.
5. Tekanan O2 transkutaneus : memberi peta area perfusi paling besar dan
paling kecil dalam keterlibatab ekstremitas.
37
6. Termografi : mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik pada dua
sisi dari jaringan kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah
antara dua pembacaan, makin besar kesempatan untuk sembuh.
7. Pletismografi : mengukur TD segmental bawah terhadap ekstremitas
bawah mengevaluasi aliran darah arterial.
8. LED : peninggian mengindikasikan respon inflamasi
9. Kultur luka : mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab.
10.Biopsi : mengkonfirmasi diagnosa massa benigna/maligna.
11.Hitung darah lengkap/diferensial : peninggian dan ”perpindahan ke kiri”
diduga proses infeksi.
3.1.6 Penatalaksanaan
1. Tingkat Amputasi
Amputasi dilakukan pada titik paling distal yang masih dapat
mencapai penyembuhan dengan baik. Tempat amputasi ditentukan
berdasar dua faktor : peredaran darah pada bagian itu dan kegunaan
fungsional
Tujuan pembedahan adalah mempertahankan sebanyak mungkin
panjang ekstremitas konsisten dengan pembasmian proses penyakit.
Mempertahankan lutut dan siku adalah pilihan yang diinginkan. Hampir
pada semua tingkat amputasi dapat dipasangi protesis.
Tingkatan amputasi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau
kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan,
minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang
melibatkan tangan.
2) Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian
dari jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin
kemampuannya.
38
Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi
menjadi dua letak amputasi yaitu :
a) Amputasi dibawah lutut (below knee amputation). Ada 2 metode
pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb
dan inschemic limb.
b) Amputasi diatas lutut. Amputasi ini memegang angka
penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler
perifer.
2. Sisa Tungkai
Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka
amputasi, menghasilkan sisa tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan
dengan kulit yang sehat untuk penggunaan protesis. Lansia mungkin
mengalami kelambatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan
masalah kesehatan lainnya. Penyembuhan dipercepat dengan penanganan
lembut pada sisa tungkai, pengontrolan edema sisa tungkai dengan
balutan kompres lunak atau rigid dan menggunakan teknik aseptik dalam
perawatan luka untuk menghindari infeksi. Berikut macam-macam
balutan atau rigid :
1) Balutan Rigid Tertutup. Balutan Rigid Tertutup sering digunakan
untuk mendapatkan kompresi yang merata, menyangga jaringan
lunak, mengontrol nyeri, dan mencegah kontraktur.
2) Balutan lunak. Balutan lunak dengan atau tanpa kompresi dapat
digunakan bila diperlukan inspeksi berkala puntung sesuai
kebutuhan. Bidal imobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan.
Hematoma (luka) puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk
meminimalkan infeksi.
3) Amputasi Bertahap. Amputasi bertahap bisa dilakukan bila ada
gangren atau infeksi.
3.1.7 Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan
kulit. Karena ada pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi
perdarahan masif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan; 39
dengan peredaran darah buruk atau kontaminasi luka setelah amputasi
traumatika, risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan
iritasi akibat protesis dapat menyebabkan kerusakan kulit.
3.1.8 WOC
3.1.9 Asuahn keperawatan
3.1.9.1 Pengkajian
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Keterbatasan aktual/antisipasi yang dimungkinkan oleh
kondisi/amputasi
2. Integritas Ego
Gejala : Masalah tentang antisipasi perubahan pola hidup, situasi
finansial, reaksi orang lain. Perasaan putus asa, tidak berdaya.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka, marah, ketakutan, menarik diri,
keceriaan semu.
3. Seksualitas
Gejala : Masalah tentang keintiman hubungan
4. Interaksi sosial
Gejala : Masalah sehubungan dengan penyakit/kondisi.
Masalah tentang peran fungsi, reaksi orang lain
5. Penyuluhan/ pembelajaran
Pertimbangan: DRG menunjukkan rata lama dirawat:9,7 hari
Rencana pemulangan: memerlukan bantuan dalam perawatan
luka/bahan, adaptasi terhadap alat bantuambulatori, transportasi,
pemeliharaan rumah,kemungkinan aktivitas perawatan diri, dan
latihan kejujuran.
3.1.1.2 Diagnosa
1. Gangguan harga diri/citra diri, penampilan peran, perubahan
behubungan dengan faktor biofisikal: kehilangan bagian tubuh
2. Nyeri behubungan dengan cedera fisik/jaringan dan trauma
saraf
40
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan jaringan primer.
3.1.9.3 Intervensi
Dx.1
Tujuan : klien dapat menerima perubahan dalam pola tanggung
jawab/ kapasitas fiskal yang biasa untuk melakukan peran
Kriteria hasil:
- Mulai menunjukkan adaptasi dan menunjukkan penerimaan
pada situasi dii (amputasi)
- Mengenali dan menyatu dengan peubahan dalam konsep diri yang
akurat tanpa harga diri negatif.
No Intevensi Rasional
1 Kaji/pertimbangan persiapan pasien
dan pandangan terhadap amputasi.
Pasien yang memandang amputasi
sebagai pemotongan hidup atau
rekonstruksi akan menerima diri
yang baru lebih cepat
2 Dorong ekspresi ketakutan, perasaan
negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
Ekspresi emosi membantu pasien
mulai menerima kenyataan dan
realitas hidup tanpa tungkai.
3 Diskusikan persepsi pasien tentang
diri dan hubungannya dengan
perubahan dan bagaimana pasien
melihat dirinya dalam pola/peran
fungsi yang biasanya
Membantu pemecahan masalah
sehubungan dengan pola hidup
sebelumnya
4 Dorong partisipasi dalam aktivitas
sehari-hari.
Meningkatkan kemandirian dan
meningkatkan harga diri.
5 Berikan kunjungan oleh orang yang
telah diamputasi, khusunya seseorang
yang berhasil dalam rehabilitasi.
Dapat membagi pengalaman
41
Dx.2
Tujuan : menghilangkan nyeri
Kriteria hasil :
- Menyatakan nyeri hilnag atau terkontrol
- Tampak rileks dan mampu tidur/ istirahat dengan tepat
no Intervensi Rasional
1 Catat lokasi dan intensitas nyeri.
Selidiki perubahan karakteristik
nyeri, contoh kebas, kesemutan.
Perubahan dapat
mengidentifikasi terjadinya
komplikasi
2 Tinggikan bagian yang sakit dengan
dengan meninggikan kaki tempat
tidur
Menurunkan kelelahan otot
dan tekanan kulit/karingan.
3 Berikan tindakan kenyamanan
(contoh ubah posisi sering, pijatan
punggung).
sMeningkatkan relaksasi
4 Beri analgesik Klien sering bingung
membedakan nyeri insisi
dengan nyeri panthom.
Dx.3
Tujuan : Mencegah terjadinya infeksi
Kriteria hasil:
- Tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi
No Intervensi Rasional
1 Awasi tanda vital. Palpasi nadi
perifer, perhatikan kekuatan dan
kesamaan.
Indikator umum status sirkulasi dan
keadekuatan perfusi
2 Lakukan pengkajian Edema jaringan pascaoperasi,
42
neurovaskuler periodik, contoh
sensasi, gerakan, nadi, warna kulit
dan suhu.
pembentukan hematoma atau balutan
terlalu ketat dapat mengganggu
sirkulasi puntung, mengakibatkan
nekrosis jaringan
3 Inspeksi alat balutan/drainese,
perhatikan jumlah dan
karakteristik balutan.
Kehilangan darah terus-menerus
mengindikasikan kebutuhan untuk
tambahan penggatian cairan dan
evaluasi untuk gangguan koagulasi
4 Berikan antikoagulan dosis rendah
sesuai indikasi.
Berguna dalam mencegah pembentukan
trombus
3.1.9.4 Implementasi
3.1.9.5 Evaluasi
3.2 Traksi
3.2.1 Pengertian
Traksi adalah Suatu pemasangan gaya tarikan pada bagian tubuh.
Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi,
mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur ; untuk mengurangi deformitas,
dan untuk menambah ruangan diantara kedua permukaan patahan tulang.
Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginka untuk
mendapatkan efek terapeutik. Faktor-faktor yang mengganggu keefekktifan
tarikan traksi harus dihilangkan (Smeltzer & Bare, 2001 ).Traksi merupakan
metode lain yang baik untuk mempertahankan reduksi ektermitas yang
mengalami fraktur (Wilson, 1995 ).
3.2.2 Indikasi Pemasangan Traksi
1. Traksi rusell digunakan pada pasien fraktur pada plato tibia
2. Traksi buck, indikasi yang paling sering untuk jenis traksi ini adalah
untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum lutut tersebut
diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut
43
3. Traksi Dunlop merupakan traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada humerus dalam posisi abduksi, dan traksi vertical
diberikan pada lengan bawah dalm posisi flexsi.
4. Traksi kulit Bryani sering digunakan untuk merawat anak kecil yang
mengalami patah tulang paha
5. Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah
tulang pada korpus pemoralis orang dewasa
6. Traksi 90-90-90 pada fraktur tulang femur pada anak-anak usia 3 thn
sampai dewasa muda (Barbara, 1998).
3.2.3 Tujuan Pemasangan Traksi
1. Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, untuk mereduksi,
mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur, untuk mengurangi
deformitas, untuk menambah ruang diantara dua permukaan antara
patahan tulang.
2. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik, tetapi kadang-kadang traksi harus
dipasang dengan arah yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis
tarikan yang diinginkan (Barbara, 1998).
3.2.4 Jenis- Jenis Traksi
1. Traksi kulit. Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit
dan memberikan imobilisasi . Traksi kulit apendikuler ( hanya pada
ektermitas digunakan pada orang dewasa) termasuk “ traksi ektensi
Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop”.
2. Traksi skelet .Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode
traksi ini digunakan paling sering untuk menangani fraktur femur, tibia,
humerus dan tulang leher. Kadang- kadang skelet traksi bersifat
seimbang yang menyokong ekstermitas yang terkena, memungkinkan
gerakan pasien sampai batas- batas tertentu dan memungkinkan
kemandirian pasien maupun asuh keperawatan sementara traksi yang
efektif tetap dipertahankan yang termasuk skelet traksi adalah sebagai
berikut (Smeltzer & Bare,2001 ).
44
3.2.5 Prinsip Pemasangan Traksi
1. Kontraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif
2. Traksi harus berkesinambungan agar reduksi dan imobilisasi fraktur
efektif.
3. Traksi kulit pelvis dan serviks sering digunakan untuk mengurangi
spasme otot dan biasanya diberikan sebagai traksi intermiten
4. Traksi skelet tidak boleh terputus.
5. Pemberat tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan
intermiten. Setiap faktor yang dapat mengurangi tarikan atau mengubah
garis resultanta tarikan harus dihilangkan.
6. Tubuh pasien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur
ketika traksi dipasang.
7. Tali tidak boleh macet
8. Pemberat harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat
tidur atau lantai
9. Simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau
kaki tempat tidur.
10. Selalu dikontrol dengan sinar roentgen ( Brunner & suddarth,2001 ).
3.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan foto polos sevikal .Tes diagnostic pertama yang sering
dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri leher. Foto polos sevikal
sangat penting untuk mendeteksi adanya fraktur dan subluksasi pada
pasien dengan trauma leher.
2. CT Scan .Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik
komponen tulang sevikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut.
3. MRI ( Magnetic resonance imaging ). Pemeriksaan ini sudah menjadi
metode imajing pilihan untuk daerah sevikal MRI dapat mendeteksi
kelainan ligament maupun discus.MRI menggunakan medan magnet
kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur dengan frekuensi radio
yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang
berguna dalam mendiagnosis tumor, infrak, dan kelainan pada
pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini, penderita tidak terpajan oleh
45
radiasi dan tidak merasa nyeri walaupun pasien dapat mengeluh
klaustrofobia dan suara logam yang mengganggu selama prosedur ini.
4. Elektrokardiografi ( EMG). Pemeriksaan ini membantu mengetahui
apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak. Karena pasien
dengan spasme otot, atritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain
itu juga untuk menentukan level dari iritasi/ kompresi radiks,
membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya
iritasi atau kompresi.
3.2.7 Komplikasi
1. Dekubitus, kulit pasien diperiksa sesering mungkin mengenai tanda
tekanan atau lecet. Perhatian khusus diberikan pada tonjolan tulang.
Perlu diberikan intervensi awal untuk mengurangi tekanan. Perubahan
posisi pasien perlu sering dilakukan dan memakai alat pelindung kulit
sangat membantu. Bila risiko kerusakan kulit sangat tinggi, seperti pada
pasien trauma ganda atau pada pasien lansia yang lemah, perawat harus
berkonsultasi dengan dokter mengenai penggunaan tempat tidur khusus
untuk membantu mencegah kerusakan kullit. Bila telah terbentuk ulkus
akibat tekanan, perawat harus berkonsultasi dengan dokter mengenai
penanganannya.
2. Kongesti paru/pneumonia. Paru pasien diauskultasi untuk mengetahui
status pernapasannya. Pasien diajari untuk menarik napas dalam dan
batuk-batuk untuk membantu pengembangan penuh paru-paru dan
mengeluarkan skresi paru. Bila riwayat pasien dan data dasar
pengkajian menunjukkan bahwa pasien mempunyai resiko tinggi
mengalami komplikasi respirasi, perawat harus berkonsultasi dengan
dokter mengenai penggunaan terapi khusus. Bila telah terjadi masalah
respirasi, perlu diberikan terapi sesuai resep.
3. Konstipasi dan anoreksia. Penurunan motilitas gastrointestinal
menyebabkan anoreksia dan konnstipasi. Diet tnggi serat dan tinggi
46
cairan dapat membantu merangsanng motilitas gaster. Bila telah terjadi
konstipasi, perawat dapat berkonsultasi dengan dokter mengenai
penanganannya, yang mungkin meliputi pelunak tinja, laksatif,
supositoria, dan enema. Untuk memmperbaiki nafsu makan pasien,
harus dicatat makanan apa yang disukai pasien dan dimasukkan dalam
program diet, sesuai kebutuhan
4. Stasis dan infeksi saluran kemih. Pengosongan kandung kemih yang tak
tuntas Karena posisi pasien di tempat tidur dapat mengakibatkan stasis
dan infeksi saluran kemih. Selain itu pasien mungkin merasa bahwa
menggunakan pispot di tempat tidur kurang nyaman dan membatasi
cairan masuk untuk mengurangi frekuensi berkemih. Perawat harus
memantau masukan cairan dan sifat kemih. Perawat harus mengajar
pasien untuk meminum cairan dalam jumlah yang cukup dan berkemih
tiap 2 sampai 3 jam sekali. Bila pasien memperlihatkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih, perawat segera berkonsultasi dengan dokter
mengenai penanganan masalah ini.
5. Trombosi vena profunda. Stasis vena terjadi akibat imobilitas. Perawat
harus mmengajar pasien untuk malakuka latihan tumit dan kaki dalam
batas terapi traksi secara teratur sepanjang hari untuk mencegah
terjadinya trombosis vena provunda (DVT). Pasien didorong untuk
meminum air untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsenntrasi yang
menyertainya, yang akan mengakibatkan stasis. Perawat memantau
pasien terhadap terjadinya tanda DVT dan melaporkan hasil temuannya
segera mungkin ke dokter untuk evaluasi definitive dan terapi.
3.2.8 Rencana Asuhan Keperawatan
3.2.8.1 Pengkajian
Dampak psikologik dan fisiologik masalah musculoskeletal, alat
traksi, dan imobilitas harus diperhitungkan. Traksi membatasi mobilitas dan
kemandirian seseorang. Peralatannya sering terlihat mengerikan, dan
pemasangannya tampak menakutkan. Kebingungan, disorientasi, dan
masalah perilaku dapat terjadi pada pasien yang terkungkung pada tempat
47
terbatas selama waktu yang cukup lama. Maka tingkat ansietas pasien dan
respon psikologis terhadap traksi harus dikaji dan dipantau. Bagian tubuh
yang ditraksi harus dikaji:
a. Status neurovaskuler (misal : warna, suhu, pengisian kapiler, edema,
denyut nadi, perabaan, kemampuan bergerak) dievaluasi dan
dibandingkan dengan ekstremitas yang sehat.
b. Integritas kulit (decubitus, kerusakan jaringan kulit).
c. Fungsi respirasi (frekuensi, regular/irregular)
d. Fungsi gastrointestinal (konstipasi, dullness)
e. Fungsi perkemihan (retensi urine, ISK)
f. Fungsi cardiovaskuler (HR, TD, perfusi ke daerah traksi, akral dingin)
Status nutrisi (anoreksia)
3.2.8.2 Diagnosa
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan traksi/
imobilisasi
2. Resiko konstipasi berhubungan dengan imobilisasi
3.2.8.3 Intervensi
Dx.1
Tujuan : Menghilangkan rasa nyeri dan nyeri terkontrol
Kriteria hasil : Pasien menyatakan nyeri hilang
No Intervensi Rasional
1 Kaji Skala nyeri mempengaruhi pilihan/pengawasan
2 Bantu klien melakukan mobilisasi
pada ekstremitas yang tidak ditraksi
meningkatkan sirkulasi umum,
menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot
3 Pertahankan imobilisasi bagian yang
sakit dengan tirah baring, traksi.
menghilangkan nyeri dan mencegah
kesalahan posisi tulang
48
4 Kolaborasi pemberian analgesic mengurangi / menghilangkan nyeri
Dx. 2
Tujuan : konstipasi tertasi
Kriteria hasil: klien dapat defaksi dengan lancar
No Intervensi Rasional
1 Kaji pola defekasi mengetahui perubahan pola defekasi yang terjadi
2 Jelaskan pentingnya
diet tinggi serat
serat dapat melancarkan defekasi
pergerakan
3 Rubah posisi sesering
mungkin
meningkatkan gerak otot perut dan peristaltic
3.2.8.4 Implementasi
3.2.8.5 Evaluasi
3.3. Gips
3.3.1 Pengertian Gips
Gips sebagai alat penolong bedah tulang dan penyembuhan
tulang, dikenal di banyak tempat di dunia. Gips adalah alat imobilisasi
eksternal yang kaku yang di cetak sesuai kontur tubuh tempat gips ini di
pasang pasang (brunner & sunder, 2000) gips adalah balutan ketat yang
digunakan untuk imobilisasi bagian tubuh dengan mengunakan bahan gips
tipe plester atau fiberglass (Barbara Engram, 1999). Jadi gips adalah alat
imobilisasi eksternal yang terbuat dari bahan mineral yang terdapat di alam
dengan formula khusus dengan tipe plester atau fiberglass. Beberapa bentuk
pemasangan gips yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Gips spalk, merupakan bentuk lembaran sehingga gips menutup separuh
atau dua pertiga lingkaran permukaan anggota gerak.
49
2. Gips semi-sirkuler. Gips lembaran yang dipasang pada kedua sisi
anterior-posterior anggota gerak sehingga merupakan gips yang hampir
melingkar.
3. Gips sirkuler. Gips lembaran yang di pasang lengkap meliputi seluruh
anggota gerak. (Gips yang ditopang dengan besi atau karet dan dapat
dipakai untuk menumpu atau berjalan pada patah tulang anggota gerak
bawah)
3.3.2 Jenis-jenis gips
Kondi si yang ditangani dengan gips menentukan jenis dan
ketebalangips yang dipasang. Jenis-jenis gips sebagai berikut :
1. Gips lengan pendek. Gips ini dipasang memanjang dari bawah siku
sampai lipatantelapak tanga, dan melingkar erat didasar ibu jari.
2. Gips lengan panjang. Gips ini dipasang memanjang. Dari setinggi lipat
ketiak sampai disebelah prosimal lipatan telapak tangan. Siku biasanya di
imobilisasi dalam posisi tegak lurus.
3. Gips tungkai pendek. Gi[s ini dipasang memanjang dibawah lutut sampai
dasar jari kaki, kaki dalam sudut tegak lurus pada posisi netral,
4. Gips tungkai panjang, gips ini memanjang dari perbatasan sepertiga atas
dan tengah paha sampai dasar jari kaki, lutut harus sedikit fleksi.
5. Gips berjalan. Gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat lebih kuat
dan dapat disertai telapak untuk berjalan
6. Gips tubuh. Gips ini melingkar di batang tubuh
7. Gips spika.gipsini melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua
ekstremitas (gips spika tunggal atau ganda)
8. Gips spika bahu. Jaket tubuh yang melingkari batang tubuh, bahu dan
siku
9. Gips spika pinggul. Gips ini melingkari batang tubuh dan satu
ekstremitas bawah (gips spika tunggal atau ganda)
3.3.3 Bahan-bahan pembuat gips
50
1. Plester. Gips pembalut dapat mengikuti kontur tubuh secara halus .
gulungan krinolin diimregasi dengan serbuk kalsium sulfat anhidrus
( Kristal gypsum ). Jika basah terjadi reaksi kristalisasi dan mengeluarkan
panas. Kristalisasi menghasilkan pembalut yang kaku . kekuatan penuh
baru tercapai setelah kering , memerlukan waktu 24-72 jam untuk
mongering. Gips yang kering bewarna mengkilap , berdenting, tidak
berbau,dan kaku, sedangkan gips yang basah berwarna abu-abu dan
kusam, perkusinya pekak, terba lembab, dan berbau lembab
2. Nonplester. Secara umum berarti gips fiberglass, bahan poliuretan yang
di aktifasi air ini mempunyai sifat yang sama dengan gips dan
mempunyai kelebihan karna lebih ringan dan lebih kuat, tahan air dan
tidak mudah pecah.di buat dari bahan rajuutan terbuka, tidak menyerap,
diimpregnasi dengan bahan pengeras yang dapat mencapai kekuatan
kaku penuhnya hanya dalam beberapa menit
3. Non plester berpori-pori, sehingga masalah kulit dapat di hindari . gips
ini tidak menjadi lunak jika terkena air,sehingga memungkinkan hidro
terapi. Jika basah dapat dikeringkan dengan pengering rambut.
3.3.4 Indikasi pemasangan gips
1. Untuk pertolongan pertama pada kecelakaan
2. Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri
misalnya gips korset pada tuberkolosis tulang belakang atau pasca
operasi (operasi pada skollosis tulang belakang)
3. Sebagai pengobtan definitif untuk imobilisasai fraktur terutama pada
anak-anak dan fraktur tertentu pada orang dewasa.
4. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis
5. mobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi tulang untuk menyatu
setelah sustu operasi misalnya pada artrodosis
6. Imobilisasi setelah operasi pada tendo-tendo tertentu , misalnya tendo
achilles
7. Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai atau
prostesis.
51
3.3.5 Teknik dasar pemasangan gips
1. siapkan pasien dan jelaskan pada prosedur yang akan dikerjakan
2. siapkan alat-alat yang akandigunakan untuk pemasangan gips
3. daerah yang akan di pasang gips dicukur, dibersihkan,dan di cuci dengan
sabun, kemudian dikeringkan dengan handuk dan di beri krim kulit
4. sokong ekstremitas atau bagian tubuh yang akan di gips.
5. Posisikan dan pertahankan bagian yang akan di gips dalam posisi yang di
tentukan dokter selama prosedur
6. Pasang spongs rubs(bahan yang menyerap keringat) pada bagian tubuh
yang akan di pasang gips, pasang dengan cara yang halus dan tidak
mengikat. Tambahkan bantalan di daerah tonjolan tulang dan pada jalur
saraf.
7. Masukkan gips dalam baskom berisi air, rendam beberapa saat sampai
gelembung-gelembung udara dari gips habis keluar. Selanjutnya, diperas
untuk mengurangi air dalam gips.
8. Pasang gips secara merata pada bagian tubuh. Pembalutan gips secara
melingkar mulai dari distal ke proksimal tidak terlalu kendor atau ketat.
Pada waktu membalut, lakukan dengan gerakan bersinambungan agar
terjaga ketumpangtidihan lapisan gips. Dianjurkan dalam jarak yang
tetap(kira-kira 50% dari lebar gips) Lakukan dengan gerakan yang
bersinambungan agar terjaga kontak yang konstan dengan bagian tubuh.
9. Setelah pemasangan, haluskan tepinya, potong serta bentuk dengan
pemotong gips.
10.Bersihkan Partikel bahan gips dari kulit yang terpasang gips.
11.Sokong gips selama pergeseran dan pengeringan dengan telapak tangan.
Jangan diletakkan pada permukaan keras atau pada tepi yang tajam dan
hindari tekanan pada gips.
3.3.6 Teknik pelepasan gips
1. Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakuka
2. Yakinkan pasien bahwa gergaji listrik atau pemotong gips tidak akan
mengenai kulit
3. Gips akan di belah dengan menggunakan gergaji listrik
52
4. Gunakan pelindung mata pada pasien dan petugas pemotong gips
5. Potong bantalan gips dengan gunting
6. Sokong bagian tubuh ketika gips di lepas
7. Cuci dan keringkan bagian yang habis di gips dengan lembut oleskan
krim atau minyak
8. Ajarkan pasien secara bertahap melakukan aktifitas tubuhsesuai program
terapi
9. Ajarkan pasien agar meninggikan ekstremitas atau mengunakan elastic
perban jika perlu untuk mengontrol pembengkakan
3.3.7 Komplikasi Pemasangan Gips
1. Perubahan posisi (patah/retak tulang). Pembengkakan adalah suatu ciri
utama dari segala macam bentuk patah/retak tulang. Bahaya ini akan
meningkat apabila pengempisan merupakan kondisi yang dibutuhkan.
Perawat harus mempergunakan gips yang berbantalan kuat dan menjaga
agar anggota badan tetap terangkat dan ekstremitas (anggota gerak)
dilatih bergerak 24 jam sesudahnya.
2. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh gips. Rasa sakit ini sebenarnya tidak
boleh terjadi. Apabila rasa sakit ini timbul, dapat disebabkan oleh salah
satu dari empat sebab yaitu (cara pemasangan, kesalahan intruksi,
pengawasan, dan benda-benda asing)
3. Hilangnya kekuatan. Ketidaksanggupan meluruskan jari-jari tangan dan
kaki merupakan suatu tanda hilangnya kekuatan. Ini dapat disebabkan
oleh tekanan balutan gips pada saraf bagian atas atau pemakian tornikuet
yang terlalu lama sesudah operasi. Selain itu, ini merupakan salah satu
ciri dari terhalangnya atau terganggunya jalan darah pada pembuluh
darah.
4. Gangguan peredaran darah.
Gangguan pembuluh darah balik. Adanya tanda-tanda
pembengkakan dan kebiruan pada anggota gerak menunjukkan
bahwa pembuluh darah balik terganggu karena terlalu kuatnya
balutan gips.birunya warna kulit akibat tersumbatnya pembuluh
darah harus dibedakan debngan memar atau lebam pada jari-jari.
53
Kalau keadaan tetap seperti itu dan klien kesakitan, balutan gips
dibuka, ditenangkan sebentar, dan diikat lagi dengan balutan kapas
yang basah. Pengangkatan/ penggantungan bagian tersebut dan
latihan gerak harus tetap dilanjutkan.
Gangguan pada jalan nadi. Komplikasi ini dapat dihubungkan
dengan luka yang memerlukan imobilisasi. Hal ini memerlukan
perhatian medis segera. Oleh karena itu, penting sekali mengetahui
tanda-tanda gangguan tersebut dengan segera. 3 tanda yang harus
dicari atau ddiperhatikan, yaitu kepucatan, kesakitan, dan hilangnya
denyut nadi pada jari-jari.
5. Komplikasi umum pada gerak badan. Pada waktu imobilsasi, aggota
badan yang tidak dibalut harus dilatih bergerak sehingga memberikan
dampak pada :
a) Tulang sendi dapat bergerak terus dengan leluasa dan kekakuan
karena imobilisasi dapat dicegah.
b) Kerja otot-otot terjaga dengan baik dan tidak menganggur dengan
percuma. Penyembuhan akan menjadi lebih mudah apabila otot-otot
dapat mengontrol sendi secara efisien.
c) Gerak badan juga bermanfaat untuk mencaga lancarnya peredaran
darah dan secara umum juga diharapkan dapat menolong
mengurangi kemungkinan timbulnya trombosis pembuluh darah.
3.3.8 Konsep Asuhan Keperawatan
3.3.8.1 Pengkajian
Pengkajian secara umum perlu di lakukan sebelum
pemasangan gips terhadap gejala dan tanda, status
emosional,pemahaman tujuan pemasangan gips, dan kondisi bagian
tubuh yang akan di pasang gips. Pengkajian fisik bagian tubuh
yang akan di gips meliputi status neurovaskuler, lokasi
pembengkakan, memar , dan adanya abrasi. Data yang perlu di kaji
pasien setelah gips di pasang meliputi:
1. Data subyektif: adanya rasa gatal atau nyeri ,keterbatasan
gerak, dan rasa panas pada daerah yang di pasang gips.
54
2. Data obyektif: apakah ada luka di bagian yang akan digips.
Misalnya luka operasi , luka akibat patah tulang; apakah ada
sianosis;apakah ada pendarahan ;apakah ada iritasi
kulit;apakah atau bau atau cairan yang keluar dari bagian dari
bagian tubuh yang di gips.
3.3.8.2 Diagnosa keperawatan
Berdasarkan data pengkajian , diagnosis keperawatan utama pada
pasien yang menggunakan gips meliputi:
1. Cemas yang berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
prosedur pemasangan gips
2. Gangguan rasa nyeri yang berhubungan dengan terpasangnya
gips
3. Keterbatasan pemenuhan kebutuhandiri yang berhubungan
dengan terpasangnya gips
3.3.8.3 Intervensi
DX.1: Cemas yang berhubungan dengan kurangnya pengetahuan prosedur
pemasangan gips
Tujuan perawtan: cemas berkurang atau hilang
Kriteria hasil:
no Intervensi rasional
1 Beri penjelasan tentang tujuan dan prosedur
pemasangan gips
Untuk mengurangi rasa cemas
2 Berikanprivacy danlingkungan yang nyaman Untuk dapat lebih
memberikan ketenangan
3 Anjurkan keluarga atau temandekat agar
sering mengunjungi pasien
Untuk mengurangi ketegangan
klien
DX.2: Gangguan rasa nyeri yang berhubungan dengan terpasangnya gips
55
Tujuan perawatan: meredakan dan menghilangkan nyeri
Kriteria hasil:
no Intervensi Rasional
1 Kaji tingkat nyeri pasien Nyeridapat menyebabkan shock
2 Observasi perubahan tanda
vital
Untuk mende teksi dini terhadap
masalah dan mengetahui keadaan umum
pasien
3 Pemberian obat analgetik Untuk mengurangi nyeri
DX.3: Keterbatasan pemenuhan kebutuhan diri yang berhubungan dengan
terpasangnya gips
Tujuan perawatan :
Kriteria hasil :
no Intervensi Rasional
1 Sebelum pemasangan gips,
laserasi dan abrasi kulit harus
di rawat dahulu
Memudahkan proses penyembuhan
2 Kulit harus dicuci dan dirawat
sebelum pemasangan gips
Balutan steril digunakan untuk
menutup kulit yang cedera
3 Observasi pemasangan gips Untuk mengetahui adanya tanda
infeksi
3.3.8.4 Implementasi
3.3.8.5 Evaluasi
3.3.9
56
OSTEOMIELIETIS
4.Konsep Teori
4.1 Pengertian
Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulit di sembuhkan dari pada
infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan
terhadap inflamasi , tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum
(Pembentukan tulang baru disekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat
menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau
mengakibatkan kehilangan ekstremitas.
Infeksi disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari
fukos infeksi di tempat lain ( misalnya : tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi
terinfeksi, infeksi saluran nafas ). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen
biasanya terjadi di tempat di mana terdapat trauma atau di mana terdapat
resistensi rendah, kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Infeksi dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak
(misalnya : ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau
kontaminasi langsung tulang ( misalnya : fraktur terbuka, cedera traumatic
seperti luka tembak, pembedahan tulang).
4.2 Etiologi
1. Staphylococcus aureus influenzae (koagulasi positif) 70% – 80 % dan jarang
oleh streptoccus hemolyticus
2. Haemophilus influenzae (5-50%) pada anak-anak di bawah usia 4 tahun
3. Organism lain seperti B.coli, B.aeruginosa capsulata,pneumokokus,salmonela
thyposa, pseudomonas aeruginos, Proteus mirabilis, brucella dan bakteri
anaerob yaitu bacteroides fragilis
4.3 Patofisiologi
Patologi yang terjadi pada hematogen akut bergantung pada usia,daya
tahan tubuh klien,lokasi infeksi dan vurlensi kuman. Infeksi terjadi melalui
aliran darah dari fokus di tempat lain dalam tubuh dalam fase bakterimia dan
dapat menimbulkan septikemia. Embolus infeksi kemudian masuk kedalam
57
juksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya adalah
terjadi hiperemia dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus.
Terbentuknya pus dalam tulang ketika jaringan tulang tidak dapat
berekspansi,menyebabkan tekanan dalam tulang meningkat. Peningkatan
tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul
trombosis pada pembuluh darah tulang dan akhirnya menyebabkan nekrosis
tulang. Disamping proses yang disebutkan di atas, pembentukan tulang baru
yang ekstensif terjadi pada bagian dalam periosteum sepanjang diafisis
(terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lengkungan tulang seperti
peti mayat dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Proses ini terlihat jelas
pada akhir proses minggu kedua. Apabila pus menemmbus tulang, terjadi
pengaliran pus (discharge) keluar melalui lubang yang disebut kloaka atau
melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit. Pada tahap selanjutnya, penyakit
akan berkembang menjadi osteomielities kronis. Pada daerah tulang kanselus,
infeksi dapat terlokalisasi serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk
abses tulang kronis.
4.4 Tanda dan Gejala
Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering
terjadi dengan manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi,
tachycardia dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi
gejala local secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke
korteks tulang, akan mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian
yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien
menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan
gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul.
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya
atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi
membengkak, hangat, nyeri, dan nyeri tekan.
Pada pasein dengan osteomielitis kronik ditandai dengan
puosteomielities yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode
berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat
rendah terjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.
58
4.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah. Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl
disertai peningkatan laju endapan darah.
2. Pemeriksaan titer antibodi – anti staphylococcus Pemeriksaan kultur darah
untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas.
3. Pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila
terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella.
4. Pemeriksaan Biopsi tulang.
5. Pemeriksaan ultra sound. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya
efusi pada sendi.
6. Pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama
tidak ditemukan kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat
berupa refraksi tulang yang bersifat difus.
4.6 Penatalaksanaan
Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi
ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman
salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran
darah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi.
Kultur darah, swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi
organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan
oleh lebih dari satu pathogen.
Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena,
dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap
peningkatan semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol
infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya
trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat
penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus-menerus
tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang
diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak
59
telah terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3
bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama
makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang
yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik
dinagkat dan daerah itu diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis
steril. Terapi antibiotika dilanjutkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap
debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum
secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus
dilakukan pengangkatan tulang untuk menjalankan rongga yang dalam menjadi
cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang
terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan grafting
dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpenghisap untuk mengontrol
hematoma dan membuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal
selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dangan pemberian irigasi
ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dangan grafit tulang kanselus
untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat
diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot
diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh).
Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah, perbaikan asupan
darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi.
Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan
penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, yang kemudian
memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat
penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.
60
4.7 Komplikasi
1. Septikemia. Dengan makin tersedianya obat-obat annti biotik yang
memadai,kematian septikemia pada saat ini jarang ditemukan
2. Infeksi yang bersifat metastasik. Infeksi dapat bermanifestasi ke tulang /
sendi lainnya, otak dan paru-paru, dapat bersifat multivokal dan biasanya
terjadi pada pasien dengan status gizi buruk
3. Artritis superatif, dapat terjadi pada bayi karena lempeng efifisis bayi (yang
bertindak sebagai barier) belum berfungsi dengan baik.
4. Gangguan pertumbuhan. Osteomielities hematogen akut pada bayi dapat
menyebabkan kerusakan lempeng epifisis sehingga terjadi gangguan
pertumbuhan, tulang yang bersangkutan menjadi lebih pendek. Pada anak
yang lebih besar, akan terjadi hiperemia pada daerah metafisis yang
merupakan stimulasi bagi tulang untuk pertumbuhan. Pada keadaan ini,
tulang bertumbuh sangat cepat sehingga menyebabkan terjadinya
pemanjangan tulang.
5. Osteomielities kronis. Apabila diagnosis dan terapi yang tepat tidak
dilakukan, osteomielitie akut akan berlanjut menjadi osteomielities kronis.
61
4.8 WOC
62
septikemia
4. Defisit perawatan diri
Komplikasi infeksi
5.resiko tinggi trauma
Faktor predisposisi: usia,virulensi kuman , riwayat trauma, nutrisi dan lokasi infeksi
Invasi mikroorganisme dari tempat lain yang beredar melalui sirkulasi darah
Fraktur terbuka
Masuk ke juksta efifisis tulang panjang
Kerusakan pembuluh darah dan adanya port de entree
Invasi kuman ke tulang dan sendi
osteomielities
fagositosis
Proses inflamasi hiperemia,pembengkakan, gagguan fungsi,pembentukan pus,dan kerusakan integritas jaringan
Proses inflamasi secara umum
Keterbatasan pergerakan
Peningkatan tekanan jaringan tulang dan medula
Pembentukan pus nekrosis jaringan
Demam,malaise,penurunan nafsu makan,penurunan kemampuan tonus otot
Penurunan kemampuan pergerakan
Iskemia dan nekrosis tulang
Penyebaran infeksi ke organ penting
6. hambatan mobilitas fisisk
5.resiko tinggi trauma
Komplikasi infeksi
septikemia
4. Defisit perawatan diri
Pembentukan abses tulang
63
Pembentukan abses tulang
Demam,malaise,penurunan nafsu makan,penurunan kemampuan tonus
Involucrum (pertumbuhan tulang bar) pengeluaran puss dr luka
Komplikasi infeksi
Kelemahan fisik
Tirah baring lama,pembengkakan lokal
Deformitas,bau dari adanya luka
Kerusakan lempeng efifisis
Kurang terpajan pengetahuan dan informasi
Resiko osteomielities kronis
Prognosis penyakit
3.ketidak seimbangan nutrisi dari kebutuhan tubuh
1.nyeri
7.gangguan citra diri
2.kerusakan integritas kulit
9.gangguan pertumbuhan
10.defisiensi pengetahuan dan informasi
2.ketidak efektifan koping individu
9.ansietas
4.9 Konsep Askep
4.9.1 Pengkajian
1. Keluhan utama: pasien yang datang dengan awitan gejala akut (misal
nyeri lokal, pembengkakan, eritema, demam) atau kambuhan
keluarnya pus dari sinus disertai nyeri, pembengkakan dan demam
sedang.
2. Riwayat penyakit sekarang: Kaji adanya riwayat trauma fraktur
terbuka (kerusakan pembuluh darah,edema,hematoma, dan hubungan
fraktur dengan dunia luar sehingga pada fraktur terbuka umumnya
terjadi infeksi), riwayat operasi tulang dengan pemasangan fiksasi
internal dan fiksasi eksternal, dan pada osteomielitis kronis penting
ditanyakan apakah pernah mengalami osteomilitis yang tidak diberi
perawatan yang adekuat sehingga memungkin terjadinya proses
supurasi di tulang.
3. Riwayat penyakit dahulu. Adanya riwayat infeksi tulang, biasanya
pada daerah vertebra torako-lumbal yang terjadi akibat torakosentesis
atau prosedur urologis. Dapat ditemukan danya riwayat diabetes
melitus, malnutrisi, adiksi obat-obatan, atau pengobatan dengan
imunosupresi.
4. Riwayat psikosossial. Pasien dikaji adanya faktor resiko (mis.
Lansia,diabetes,terafi kortikosteroid jangka panjang) dan cedera,
infeksi atau bedah ortopedi sebelumnya. Pasien selalu menghindar
dari tekanan di daerah tersebut dan melakukan gerakan perlindungan.
Pada osteomielitis akut, pasien akan mengalami kelemahan umum
akibat reaksi sistemik infeksi.
5. Pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya daerah inflamasi,
pembengkakan nyata, hangat yang nyeri tekan. Cairan puluren dapat
terlihat. Pasien akan mengalami peningkatan sushu tubuh. Pada
osteomilitis kronik, peningkatan suhu mungkin minimal, yang terjadi
pada sore dan malam hari.
64
4.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan sendi
2. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan proses
supurasi di tulang,luka fraktur terbuka, sekunder akibat infeksi
inflamasi tulang.
4.9.3 Intervensi
DP.1: Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan sendi
Tujuan / Hasil Pasien :
Mendemonstrasikan bebas dari nyeri dan Peningkatan rasa kenyamanan
Kriteria Evaluasi :
Tidak terjadi nyeri,Napsu makan menjadi normal,ekspresi wajah rileks dan
suhu tubuh normal
no Intervensi rasional
1 Kaji nyeri dengan sekala
0-4
Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat di kaji
dengan menggunakan sekala nyeri . klien melaporkan
nyeri biasanya diatas tingkat cedera
2 Ajarkan metode distraksi
selama nyeri akut
Mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal
yang menyenangkan
3 Kompres air hangat Mengurangi rasa nyeri
4 Pemberian analgesik Analgesik membelok lintasan nyeri sehingga nyeri
akan berkurang
5 Atur posisi imobilisasi
pada daerah nyeri sendi
atau di tulang yang
mengalami infeksi
Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi nyeri pada
daerah nyeri sendi atau nyeri di tulang yang
mengalami infeksi
DP.2: kerusakan integritas jaringan yang b/d proses supurasi di tulang,
luka fraktur terbuka sekunder akibat infeksi inflamasi tulang.
Tujuan perawatan:
65
Dalam 7x24 jam integritas jaringan membaik secara optimal
Kriteria hasil:
Pertumbuhan jaringan meningkat, keadaan luka membaik, pengeluaran pus
pada luka tidak ada lagi, luka tertutup.
no Intervensi rasional
1 Kaji kerusakan jaringan
lunak
Menjadi data dasar untuk memberi informasi
tentang intervensi perawatan luka,alat,dan jenis
larutan apa yang akan digunakan
2 Lakukan perawatan luka:
lakukan perawatan lika
dengan teknik steril
Perawatan luka dengan teknik steril dapat
mengurangi kontaminasi kuman langsung ke
area luka
3 Kaji keadaan luka dengan
teknik membuka balutan
dan mengurangi stimulasi
nyeri, bila perban melekat
kuat, perban diguyur
dengan NaCl,
Menejmen membuka luka dengan mengguyur
larutan NaCl ke perban dapat mengurangi
stimulasi nyeri dan dapat menghindari
terjadinya perdarahan pada luka osteomielitis
kronis akibat perban yang kering oleh pus
4 Lakukan pembilasan luka
dari arah dalam keluar
dengan cairan NaCl
Teknik membuang jaringan dan kuman di area
luka sehingga keluar dari area luka
4.9.4 Implementasi
4.9.5 Evaluasi
66
Asuhan Keperawatan Gangguan System Muskuluskletal Yang Berkaitan Dengan Pre Operatif, Intra Operatif, Post Operatif
5.1 Pre Operatif
Komponen universal dari proses keperawatan juga bertindak sebagai
kerangka konseptual untuk keperawatan peri operatif . istilah ‘ peri operatif ’
menggambarkan proses asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat, baik
sebelum , selama, maupun segera setelah operasi.
Seorang perawat yang melakukan asuhan keperawatan peri operatif
bertanggung jawab untuk mengkaji, merencanakan, dan mengimflementasikan
(atau mendelegasikan) dan mengevaluasi perawatan pasien selama fase pra
operasi (di mulai sejak adanya keputusan bahwa klien akanmenjalani pembedahan
sampai kemeja bedah) inta operasi (di mulai dari klien ada di meja bedah sampai
klien masuk Recovery ROOm [RR]), dan pasca operasi (di mulai dari RR samapai
sadar total)
5.1.1 Pengkajian
Perawat yang melaksanakan asuhan keperawatan pra operasi
mempokuskan masalah pada persiapan klien menuju meja operasi.
Persiapan yang dilakukan bersifat umum maupun khusus.
Pada operasi terencana di bagian bedah ortopedi, pengkajian dan
perencanaan umum di rumah sakit sangat penting. Pengkajian identitas,
jenis kelamin, pekerjaan, agama, dan penanggung jawab klien sangat
diperlukan agar tindakan pembedahan berlangsung lancar dan pengkajian
dilakukan secara tepat dan lengkap walaupun tidak mendetail. Pengkajian
ini meliputi :
1. Identitas/nama. Pengkajian pada tahap ini diperlukan agar tidak ada
duplikasi nama klien karena nama orang di indonesia hampir sama.
2. Usia. Usia klien sangat penting untuk di ketahui karena banyak tumor
tulang yang mempunyai kekhasan dalam usia terjadinya. Selain itu,
pengkajian usia juga diperlukan untuk memperkuat identitas klien.
67
3. Jenis kelamin. Pengkajian umum pada pra operasi mengenai jenis
kelamin di lakukan secara cepat dan diperlukan untuk menegaskan
status identitas klien.
4. Pekerjaan. Pengkajian status pekerjaan untuk kasus operasi efektif
sistem muskuluskletal sebaiknya dilakukan sekomfrehensif mungkin
5.1.2 Diagnosa
Dari pengkajian pra operasi diatas, diagnosis keperawatan yang lazim
adalah sebagai berikut:
1. Nyeri yang berhubungan dengan kerusakan fragmen tulang,
penekanan neurovaskuler, dan kerusakan neurovaskuler.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang meningkat, atau gangguan aliran balik vena.
5.1.3 Intervensi dan Implementasi Keperawatan
Dx.1: Nyeri yang berhubungan dengan kerusakan fragmen tulang,
penekanan neurovaskuler, dan kerusakan neurovaskuler
Tujuan Keperawatan: Penurunan Rasa nyeri
Kriteria hasil:
no Intervensi Rasional
1 Manajemen nyeri seperti relaksasi napas
dalam pada saat nyeri, dengan metode
distraksi
Tindakan tersebut dapat
mengurangi rasa nyeri
2 Berikan agens farmakologis jenis analgesik
golongan metamizol dan tramadol
Menghilangkan rasa nyeri
Dx.2: Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang meningkat, atau gangguan aliran balik vena.
Tujuan Perawatan: meningkatkan perfusi jaringan
Kriteria hasil:
68
no Intervensi Rasional
1 Pantau warna kulit,suhu, pengisian
kapiler, denyut nadi, nyeri edema,
parestesia, dan gerakan
ekstremitas
Adanya kerusakan neurovaskuler
dapat mengganggu perfusi jaringan
perifer
5.1.4 Implementasi
5.1.5 Evaluasi
Klien melaporkan nyeri terkondisi/terkontrol, perfusi jaringan yang
adekuat, melaporkan ansietas atau ketakutan berkurang, dan
mengekspresikan konsep diri yang positif.
5.2 Intra Operatif
5.2.1 Pengkajian
Pengkajian intra operasi dimulai ketika klien ada di meja operasi
sampai klien dikirim keruang pulih sadar. Perawat perlu memeiliki
mpengetahuan tentang anatomi, fisiologi, dan patofisiologi karena perawat
di tuntut berpikir cepat dalam pengkajian, perencanaan, sampai
meleksanakan tindakan yang diperlukan pada saat intra operasi. Peran
perawat dalam intra operasi ada dua, yaitu scrub nurse dan circulating
nurse.
Scrub nurse atau istilah yang lazim di gunakan di indonesia adalah
perawat instrumen, memiliki tanggung jawab terhadap manajemen
instrumen operasi. Tanggung jawab tersebut meliputi:
1. Kelengkapan instrumen steril yang sesuai dengan jenis operasi
2. Manajemen sirkulasi dan suplai instrumen operasi
3. Menghitung kasa, jarum, dan instrumen. Penghitungan dilakukan
sebelum memulai pembedahan dan sebelum ahli bedah menutup luka
operasi.
4. Pengaturan instrumen yang telah di gunakan.
69
Untuk mengoptimalkan fungsinya, setiap perawat instrumen
biasanya di wajibkan untuk mengikuti pelatihan khusus. Peran perawat
instrumen adalah menghindari resiko infeksi dengan menjalankan program
pengendalaian infeksi nasokomial. Karena sangat pentingnya peran
perawat instrumen, diperlukan pengetahuan manajemen kamar operasi,
keterampilan dan jam terbang yang lama tentang teknik pembedahan agar
mampu berkolaborasi dengan ahli bedah untuk menyelesaikan operasi
sehingga dampak dari resiko operasi dapat dikurangi.
Circulating nurse atau lebih sering dinamakan dengan unloop,
memiliki peran yang juga sangat penting. Circulating nurse
bertabggung jawab untuk menjamin terpenuhinya perlengkapan yang
dibutuhkan oleh scrub nurse dan bertanggung jawab atas observasi
dan perawatan klien tanpa menimbulkan kontaminasi terhadap daerah
steril. Tanggung jawab unloop meliputi:
1. Membantu posisi klien di meja operasi
2. Membantu menutup klien dan membantu scrub nurse, ahli bedah
untuk memakai gaun operasi dan sarung tangan.
3. Membuka bungkusan sehingga scrub nurse dapat membuka suplai
steril.
4. Mengatur pengiriman spesimen biopsi kelaboratorium.
5. Mengatur lampu operasi
6. Menyediakan suplai instrumen dan alat tambahan
5.2.2 Diagnosa
Diagnosis keperawatan yang lazim pada intra operasi adalah:
1. Resiko cedera yang berhubungan dengan anestesia, posisi intra
oparasi, dan bahaya lain dari lingkungan intra operasi.
2. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan
darah dan cairan tubuh selama pembedahan.
70
5.2.3 Intervensi Keperawatan
Dx.1: Resiko cedera yang berhubungan dengan anestesia, posisi intra
oparasi, dan bahaya lain dari lingkungan intra operasi.
Tujuan perawatan: pemeliharaan kesehatan klien
Kriteria hasil:
no Intervensi Rasional
1 Perawat harus mengawasi hal berikut pada
saat pengaturan posisi untuk pembedahan:
Lindungi kulit klien dari cedera
Pertahankan posisi klien dengan
membatasi pergerakan sendi
Gunakan alat pengaman yang tepat
seperti safety straps
Klien yang telah dianastesi
rentan terhadap cedera
sebab klien tidak sadar
terhadap lingkungan dan
tidak dapat melindungi diri
sendiri
Dx.2: Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan
darah dan cairan tubuh selama pembedahan.
Tujuan perawat:
no Intervensi Rasional
1 Pemantauan keadaan
umum
Pemantauan klien selama pembedahan dilakukan
oleh perawat anastesi , tetapi pemantauan klien
dengan anastesi lokal dilakukan oleh perawat
kamar bedah
5.2.4 Implementasi Keperawatan
5.2.5 Evaluasi
Evaluasi hasil akhir yang diharapkan pada asuhan keperawatan intra
operasi meliputi:
1. Terpeliharanya keselamatan klien
71
2. Terjaminnya pemantauan
5.3 Post Operatif
Fase post operasi pada proses keperawatan dimulai dari klien meninggalkan
kamar operasi dan masuk keruang pulih sadar.
5.3.1 Pengkajian
Pengkajian di ruang pulih sadar di lakukan perawat setelah
pembedahan ortopedi dan perawat melakukan rencana perawatan pra
operasi. Pengkajian meliputi penyesuaian klien terhadap status pasca
operatif, terbaru. Pengkajian fungsi respirasi, gastrointestinal, dan
perkemihan memberikan data untuk memperbaiki fungsi sistem tersebut.
Anestesi umum, analgesik, dan imobilitas dapat menyebabkan kerusakan
fungsi berbegai sistem tersebut. Perfusi jaringan harus selalu di pantau
ketat karena edema dan perdarahan ke dalam jaringan dapat memperburuk
peredaran darah dan mengakibatkan sindrom kompartemen. Batasan
mobilitas harys dicatat. Perawat mwngkaji pemahaman klien mengenai
keterbatasan gerakan. Pengkajian kembali konsep diri klien
memungkinkan perawat menyesuaikan rencana perawatan praoperasi
dengan lebih mudah.
5.3.2 Diagnosa
1. Gangguan pertukaran gas, s.d efek sisa anesthesia, imobilisasi, nyeri.
2. Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan posisi
intra operative.
5.3.3 Intervensi Keperawatan
Dx.1: Gangguan pertukaran gas, s.d efek sisa anesthesia, imobilisasi,
nyeri.
72
Tujuan: Klien akan mempertahankan ekspansi paru dan fungsi pernapasan
yang adekuat.
no Intervensi Rasional
1 Atur posisi klien Untuk mencegah aspirasi
2 Insersi mayo Mencegah obstruksi, melakukan suction
3 Dorong batuk dan bernapas
dlm 5-10x setiap 2 jam
khususnya 72 jam pertama
Cegah potensial komplikasi : atelektasis,
pneumonia
Dx.2: Nyeri post operatif berhubungan dengan luka bedah , drain dan
posisi intra operative.
Tujuan perawatan : klien akan mengalami pengurangan nyeri akibat luka
bedah dan posisi selama operasi.
no Intervensi Rasional
1 Pemberian analgetik narkotik
dan non narkotik
Mencegah nyeri akut (meperidin,
hydroclorida,morphine
sulphate,codein sulphate,dll)
2 1. Mengkaji tipe, lokasi
ditensitas nyeri sebelum
pemberian obat.
Untuk menentukan pemberian
analgetik
5.3.4 Implementasi keperawatan
5.3.5 Evaluasi
73
BAB VI
Tindakan Kegawat Daruratan Pada Fraktur Ekstremitas
6.1 Ektermitas Atas
6.1.1 Klavikula
1. Komplikasi-komplikasi seperti patah klavikula jarang terjadi.
2. Gendong tangan dapat meredakan rasa nyeri pada fraktur yang tidak
bergeser tempat.orang yang aktif akan merasa palin nyaman dengan
penahan klavikula bentuk angka 8(clavicular figure-eight brace).
6.1.2 Skalvula
1. Fraktur dapat disebabkan oleh trauma lansung atau avulasi origio atau
insersio otot
2. Pasien hendaknya di periksa apakah ada cidera-cidera terkait seperti
fraktur iga atau pneumotoraks.
3. Untuk fraktur sederhana dan kebenyakan avulasi, penggunaaan imobiliser
bahu selama masa nyeri akut sudah cukup
6.1.3 Dislokasi bahu
1. Pada 90% kasus, dislokasinya anterior dan secara klinis tampak jelas.
Aspek lateral bahu menjadi datar bukanya bulat dan dapat teraba defresi
yang dalam antara kaput humateri dan acromion di lateral.
2. Pemeriksaan untuk mencari adanya cidera plexsus brachialis yang di
timbulkan dislokasi ini wajib di lakukan.denyut nadi radialis hendaknya
juga diraba dan pemeriksaan ini juga di catat dalam cacatan medic.
3. Priksa dengan cermat foto sinar-x untuk menentukan fraktur terkait
sebelum dilakukan upaya traksi
4. Reduksi.
5. Setelah dislokasi reduksi,lakukan imobilisasi ekstermitas dengan
imobiliser bahu
6. Selalu buat foto-foto paska reduksi
7. Rujuk pasien untuk mendapatkan follow up ortopedik
6.1.4 Pemeriksaan acromioclavikula
74
1. Pasien menegeluhkan nyeri yang terlokalisasi tepat disebelah medial
artikulasio acromioklavikula.
2. Trauma dapat menimbulkan ligamen-ligamen acromioklavikula saja, pada
pada cidera yang lebih berat, robekan ligament- ligament coracoklavikula.
3. Pemeriksaan memperlihatkan nyeri tekan local dan nyeri pada sendi
acroklavikula. Bila dilakukan traksi lengan bawah kearah bawah dengan
siku pleksi 90 derajat.
4. Kedua traksi tersebut dapat di tangan dengan konservatif yaitu dapat di
rangsang dengan balutan melingkar dan pemasangan bidal.
5. Untuk pemisahan yang komplet reduksi dan fiksasi interna terindikasi
6.1.5 Humerus
1. Fraktur collum chirurgicum. Umumnya fraktur ini terjadi pada pasien
lanjut usia, jenis frakturnya diikuti dengan plexsus brachialis atau dislokasi
kaput.
2. Fraktur korpus humeri yaitu terjadi pada orang lanjut usia sering
digunakan menggunakan gips posterior. Dan penatalaksanaan bedah
terbuka tidak diindikasikan.
3. Fraktur suprakondilaris yaitu fraktur yang memerlukan perhatian segera .
6.1.6 Siku
1. Subluksasi sentra kaput radi juga di kenal sebagai nurse maids elbow.
a. Subuksasi ini merupakan cidera yang sangat sering dan anamnesis
penting yang khas terjadi yaitu traksi longitudinal mendadak pada
ektrermitas atas.
b. Ada nyeri jika dicoba dilakukan fleksi atau ektensi pasif siku.
c. Lengan bawah di pertahankan dalam posisi pronasi
d. Dapatkan foto sinar x sebelum manipulasi diagnosinya meragukan
e. Pemeriksaan dengan dengan tangan pada kaput radi
f. Sebuah kain di gendong dengan bidai posterior dipasang untuk
mempertahankan lengan bawah pada pada posisi supinasi setelah
reduksi.
2. Dislokasi siku
a. Mekanisme cidera biasanya adalah jatuh. Siku jelas berubah bentuk
dengan sambungan tonjolan-tonjolan tulang siku.
75
b. Menta periksa radiologi sebelum mencoba manipulasi
c. Periksa selalu neurovaskuler yang terkait khususnya arteria brachialis
dan kerusakan nervus ulnaris dan medianus.
d. Reduksi dilakukan dengan melakukan traksi longitudinal lengan bawah
dengan traksi lawan pada lengan atas.
e. Fraktur kaput radi
f. Kebanyakan akan membaik dengan immobilisasi pada bidai gips
posterior sampai nyeri akutnya mereda.
g. Kasus-kasus tertentu mungkin memerlukan terapi bedah.
3. Fraktur oleckranon.
a. Jika fraktur tidak bergeser ektermitas dapat dimobilisasi dengan posisi
siku pleksi pada sudut 90 derajat.
b. Pergeseran paling ringan pun tidak dapat diterima dan menjadi indikasi
reduksi terbuka dengan fiksasi interna.
4. Tennis elbow
a. Pasien sering menceritakan riwayat pengguanaan ektermitas berulang-
ulang
b. Nyeri terlokalisasi pada epicondylus lateralis humeri dan disebalah
distalnya.
c. Nyeri dapat menyebar turun ke lengan bawah dan bertambah berat jika
lengan bawah di gerakkan kea rah pronasi, pergelangan tangan
difleksikan, dan tangan mengenggam kuat.
d. Pemeriksaan foto sinar x normal
e. Injeksi local kostikosteroid dan pemasangan gendongan selama
beberapa hari biasanya meredakan rasa nyeri.
f. Analgetik hendaknya diresepkan selama beberapa hari
g. Nyeri sering kambuh setelah tangan digunakan kembali.
6.1.7 Lengan bawah
1. Fraktur corpus radi ulnae
a. Jika pronasi dan supinasi dipertahankan pada lengan bawah, diperlukan
reduksi yang mendekati kondisi anatomic kedua fraktur
b. Pada anak yang berpotensi besar untuk tumbuh dan remodeling
2. Fraktur radius distal
76
a. Fraktur ini merupakan cidera yang sering terjadi khususnya pada pasien
lanjut usia setelah jatuh bertumpu pada tangan yang ektensi.
b. Anstesi untuk reduksi dapat dicapai dengan blok hematoma atau blok
bier.
c. Untuk reduksi lakukan traksi longitudinal dengan traksi lawan pada
siku.
d. Cetakan gips lengan pendek yang bercetak baik biasanya cukup untuk
meredakan rasa sakit pada orang tua.
e. Praktik membuat tangan pada posisi fleksi palmal ektrem dan deviasi
ulnar sudah tidak dilakukan
6.1.8 Pergelanagan Tangan Dan Tangan
1. Fraktur os navikulare
a. Mekanisme cidera biasanya adalah jatuh dengan tangan dalam keadaan
ektensi.
b. Foto rontgen awal pergelangan tangan tangan mungkin tidak
mempengaruuhi fraktur, tapi poto posisi nevicular yang khusus lebih
sensitive
c. Pada fraktur os naviculare yang telah terkomfirmasi atau yang dicurigai
atas dasar temuan klinis.
d. Kalau foto-foto awal normal ulangi foto sinar-x tampa gips pada hari ke
tuujuh hingga ke sepuluh.
2. Fraktur metakarpal
a. Fraktur terjadi pada kolum meta karapal II hingga ke V akibat trauma
lansung
b. Fraktur yang paling umum adalah fraktury metacarpal IV dan V
(fraktur petinju)
c. Infiltrasi local hematoma fraktur dengan lodokain 1%
d. Fleksikan sendi metacarpofalangeal dan interfalangeal proksimal 90
derajat.
e. Immobilisasi tangan dengan sendi metakarpofalangeal dan
interfalangeal proksimal jari yang patah pada posisi fungsional dengan
cetakan gips lengan pendek
77
f. Hasil fungsional yang baik masih dapat diperoleh walau reduksi
anatominya kurang. Angulasi sampai 40 derajat terhadap volar masih
dapat diterima.
6.2 Ekstremitas Bawah
6.2.1 Panggul
1. Fraktur
a. Fraktur ini dapat terjadi pada trauma yang relatif ringan pada orang
lanjut usia
b. Secara klasik. Ekstremitas bawah yang lebih pendek berada pada rotasi
eksternal (lebih besar pada fraktur intertrochanter dari pada fraktur
collum)
c. Gerakan atau rotasi pada panggul menyebabkan nyeri dilipat paha atau
lutut
d. Adanya rasa nyeri jika trochanter mayor ditekan
e. Fraktur seperti ini paling baik ditangani dengan reduksi terbuka dan
fiksasi interna
2. Dislokasi
a. Cedera ini adalah akibat ruda paksa berat. Kecelakaan mobil paling
sering menjadi penyebab. Pada pemeriksaan fisik, panggul dalam
keadaan fleksi dan adduksi; tungkai memendek dan rotasi interna.
Kadang kala disertai cedera nervus ischadicus.
b. Reduksi dini amat penting dan memperkecil komplikasi, seperti
nekrosis aseptikcaput femoris dan cedera tekanan nervus ischiadisus.
Reduksi sering sulit, dan anestesia umum mungkin diperlukan
c. Periksa untuk mencari fraktur-fraktur lain pada corpus femoris dan
velvis
3. Bursitis trochanterica
a. Gangguan ini dapat disalah duga dengan penyakit sendi panggul atau
hernia discus intervetrebralis.
b. Bursa trochanterica subkutan atau lebih sering, fropundus dapat terlibat.
Bursitis ini biasanya aseptic
c. Tekanan langsung pada bursa membuat nyeri berlipat ganda
78
d. Pasien dapat diobati dengan obat-obatan anti radang non steroid
6.2.2 Corpus Femoris
1. Fraktur diafisis
a. Mungkin ditemukan kehilangan darah dalam paha yang cukup
banyak. Tanda-tanda perdarahan dapat mudah terlewatkan jika pasien
tidak dimonitor dengan cepat.
b. Penatalaksanaan awal meliputi imobilisasi segera dengan bidai traksi,
evaluasi luasnya kehilangan volume, dan pemberian cairan IV dan
darah , jika ada indikasi.
c. Reparasi bedah diperlukan
2. Fraktur condylar. Dapat timbul komplikasi cedera arteri poplitea. Bila
dicurigai ada gangguan sirkulasi, konsultasi dengan ahli bedah ortopedi
dan vaskular hendaknya segera didapatkan.
6.2.3 Lutut
1. Fraktur patella
a. Fraktur longitudinal yang tak bergeser dapat di mobilisasi dengan
cetakan gips silinder pada lutut yang diekstensikan atau imobiliser
lutut.
b. Jika fragmen terpisah-pisah karena sering kali frakturnya horizontal.
Diperlukan reduksi bedah.
2. Dislokasi patella
a. Paling sering, dislokasi keaah lateral.
b. Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan kearah medial pada sisi
lateral patella sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan
c. Apabila dialami berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
3. Cedera bukan tulang
a. Cedera yang umum adalah robekan meniscus medialis. Kadang kala
disertai dengan robekan ligamentum cruciatum anterior dan
ligamentum collaterale mediale. Anamnesis khas adalah onset nyeri
yang mendadak setelah rotasi interna femur pada tibia dan kaki yang
terinfeksi.
79
b. Jika perkembangan pembengkakan berlangsung lambat (dalam waktu
beberapa jam), mungkin ditemukan efusi serosa diharapkan hanya
terjadi cedera kartilago.
c. Jika pembengkakan berkembang cepat. Antisipasi ada robekan
ligamentum atau fraktur dengan hemartrosis.
d. Arterosentesis harus dilakukan jika ada efusi besar.
e. Pemeriksaan.
1) Dengan lutut difleksikan 30 derajat, periksa mobilitas abnormal
dengan tekanan medial atau lateral pada bagian bawah betis.
2) Lakukan tes untuk menguji gerakan anteroposterior caput tibiae
yang berlebihan dengan lutut difleksikan sampai 90 derajat.
3) Radiografi. Dapatkan foto sinar-x lutut yang adekuat: foto-foto
ini hendaknya mencakup gambaran “terowongan” atau incisura
intercondylaris atau posisi patella tampak tangensial
4) Penatalaksanaan
a) Reparasi bedah dini biasanya dianjurkan untuk ligamentum
collaterale atau mensicus yang robek
b) Jika pemeriksan tidak dapat dilakukan selayaknya karena
nyeri yang berlebihan atau pembengkakan, pasien harus
membuat janji follow up untuk pemeriksaan tulang dala
beberapa hari
6.2.4 Fraktur corpus tibiae
1. Kebanyakan dapat ditangani dengan secara memuaskan dengan reduksi
tertutup. Fraktur-fraktur ini hendaknya direduksi dibawah anestesia umum
jika posisinya tidak memuaskan.
2. Fraktur corpus bagian proksimal akan mengenai tulang spongiosa dan
biasanya sembuh tampa kesulitan. Fraktur pada sepertiga distal terjadi
pada daerah yang perdarahannya buruk; sering terjadi penyatuan lambat,
dan jarang tidak menyatu. Immobilisasi yang lama mungkin diperlukan
sangat lama sekitar 6 hingga 9 bulan.
80
6.2.5 Pergelangan kaki
1. Keseloe
a. Ligamentum talofibulare anterior paling sering mengalami scedera,
dan adanya nyeri tekan pada titik disebelah anterior malleolus
lateralis.
b. Untuk keseleo tampa komplikasi, bebat dan balutan elastik atau bidai
yang dibentuk sebelumnya digunakan dalam terapi bersama dengan
es, elevasi, dan pemakaian kruk.
2. Fraktur
a. Foto sinar-x harus mencakup posisi tampak anteroposterior, lateral,
dan oblik. “garis sendi” di sekeliling talus harus sama lebar pada
kedua sisi dan atasnya.
b. Penting dilakukan reduksi dini sebelum terjadi pembengkakan cukup
besar. Beberapa kasus memerlukan reduksi terbuka.
6.2.6 Kaki
1. Fraktur calcaneus
a. Periksa fraktur-fraktur kompresi tulang belakang yang mungkin
berkaitan karena mekanisme cederanya yang sering adalah jatuh dari
tempat yang tinggi
b. Hasil paling baik terjadi jika ekstremitas diangkat keatas setelah
pemasangan balutan tekan. Penggerakan dini kaki dan pergelangan kaki
tampa beban selama 4 hingga 8 minggu biasanya memberikan hasil
fungsional yang baik.
2. Fraktur pada basis metatarsal V (fraktur ballet)
a. Musculus peronesus brevis menyisap pada basis metatarsal V.
Mekanisme cedera untuk fraktur ini adalah avulsi basis metatarsal
karena inversi yang tajam dan mendadak.
b. Fraktur ini merupakan cedera umum yang sering disalah duga dengan
keseleo pergelangan kaki. Nyeri tekan dan pembengkakan terjadi
dianterior sekitar basis metatarsal V, bukan disekitar ujung anterior
mallelus lateralis.
81
c. Pasien ini sering cukup nyaman menggunakan sepatu bersol keras
untuk membatasi gerakan. Jika mereka mengalami nyeri yang berat
sewaktu berjalan, mungkin diperlikan cetakan gips jalan pendek
setinggi betis.
3. Fraktur phalanges
a. Sepatu yang kaku dan ketat dapat mengurangi rasa nyeri sewaktu
berjalan
b. Pembalutan bersama dengan jari-jari disebelahnya membantu
meredakan nyeri, tetapi dapat menimbulkan maserasi kulit kecuali bila
dipasang penyekat yang cukup diantara jari-jari tersebut.
6.2.7 Pelvis
1. Fraktur pelvis adalah cedera tulang yang potensial sangat berbahaya
karena mampu membuat perdarahan yang sangat hebat.
a. Sumber perdarahan biasanya adalah pleksus pembuluh darah yang
menempel didinding pelvis, tetapi mungkin juga terjadi cedera pada
pembuluh darah iliaka, iliolumbalis, atau femoralis
b. Jika ada tanda-tanda syok hipopolemik, resusitasi cairan terindikasi,
dan transfusi darah segera mungkin diperlukan
c. Pemasangan pakaian anti syok pneumatik mungkin sangat bermanfaat
pada fraktur felvis
d. Reduksi operatif untuk fraktur yang tak stabil juga akan memperkecil
perdarahan.
2. Fraktur-fraktur yang paling sering disertai dengan perdarahan adalah
fraktur sacrum atau ilium, rami pubici bilateral, terpisahnya symphysis
pubis, dan dislokasi articulatio sacroiliaca.
3. Cedera saluran kencing menyertai sekitar 10% fraktur velvis
1) Biasanya pada hematuria
2) Cedera uretera pada pasien laki-laki biasanya terjadi setinggi apex
prostat.
a. Perdarahan makroskopik dapat terlihat di meatus uretralis
b. Fraktur pubis dapat diraba pemeriksaan rektal, dan prostat mungkin
tergeser ke superior dan dikelilingi oleh hematoma yang kencang
82
c. Pemasangan kateter uretra pada pasien trauma dengan perdarahan di
meatus adalah kontraindiasi. Diagnosis harus dibuktikan dengan
uretografi retrograd dan dipasang kateter sistostomi supra publik.
83
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien gangguan sistem
muskuluskletal merupakan bentuk asuhan kompleks yang
melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi
yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar
diperhatikan sebaik-baiknya.
Tindakan dalam sistem muskuluskletal merupakan bentuk
operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien sehingga
asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat
untuk memcapai tingkat homeostatis maksimal tubuh.
Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegagkkan untuk
membantu klien mencapai tingkat optimal dalam menghadapi
perubahan fisik dan psikologis akibat dari tindakan pada sistem
muskuluskletal.
7.2 Saran
84
DAFTAR PUATAKA
Brunner & Suddarth.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Edisi 8:
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges, Marilynn E.2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi
3.Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC
Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Kepeawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuluskletal. 2008s. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sylvia, priece.1995. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran: EGC
http://witobarmawi.blogspot.com/2009/09/trauma-tulang-belakang.html.
85
Recommended