View
61
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Hukum
Citation preview
KEDUDUKAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA
Tugas Makalah : Hukum dan Teknologi InformasiDosen Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH, M.Hum.
Oleh:
ABDUL CHAIR RAMADHAN
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di bidang
telekomunikasi, informasi dan komputer telah menghasilkan konvergensi dalam
aplikasinya. Konsekuensinya, terjadi pula konvergensi dalam peri kehidupan
manusia, termasuk dalam kegiatan industri dan perdagangan.1 Semakin pesatnya
perkembangan teknologi, informasi dan telekomunikasi, telah mengakibatkan
semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi yang
ada, serta semakin canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu
mengintegrasikan semua informasi.2
Perkembangan teknologi elektronika dari waktu ke waktu semakin berjalan
dengan pesat. Kecanggihannya telah mempengaruhi hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat baik dalam bidang politik, sosial, budaya, maupun ekonomi
dan bisnis. Salah satu media yang paling menonjol dalam transformasi elektronik
tersebut yaitu internet. Internet merupakan sarana komunikasi global yang dapat
mempersatukan individu-individu yang terpisah secara geografis di berbagai
belahan dunia sehingga menyebabkan hubungan masyarakat dunia menjadi tanpa
batas (borderless). Selaras dengan hal ini Lukman Prabowo menyatakan:3
“Internet sering di asosiasikan sebagai media tanpa batas dunia maya atau Cyberspace karena dimensi ruang, waktu, birokrasi, kemapanan dan tembok
1 A. Kusbiyandono, Makalah, Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-Commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2004, hlm.1
2 Arianto Mukti Wibowo, Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic Commerce, 1999, amwibowo@caplin.cs.ui.ac.id, hlm.3. (Diakses tanggal 2 Maret 2013, jam:18.45. WIB).
3 Lukman Prabowo, Makalah, Perspektif Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana yang dilakukan melalui Internet (cyber Crime), 2009, hlm 1.
struktural yang selama ini ada di dunia nyata dengan mudah ditembus oleh teknologi ini. Demokratisasi, keterbukaan, kebebasan berbicara dan berekspresi, kompetisi bebas, perdagangan bebas yang diimbangi oleh kemampuan intelektual dan profesional yang tinggi menjadi ciri khas dunia informasi sekarang ini.”
Perubahan yang terjadi mencakup baik sisi lingkup jasanya, pelakunya,
maupun konsumennya.4 Perubahan tatanan sosial dan sistem sosial dalam
masyarakat akan membawa pengaruh yang sangat berarti bagi perkembangan
hukum. Hal yang tidak dapat disangkal, tantangan hukum yang dihadapi juga
berkembang. Selama ini, terdapat pandangan yang konservatif yang mengatakan
bahwa hukum senantiasa mengikuti di belakang kegiatan manusia pada setiap
dimensinya. Pandangan tersebut kini tidak sepenuhnya benar. Hukum yang baik
tidak hanya mengikuti kegiatan manusia, namun bahkan harus mampu
mengidentifikasi dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum yang
mungkin timbul di masa-masa yang akan datang, termasuk masalah-masalah yang
mungkin timbul sehubungan dengan kegiatan perniagaan elektronik (E-
Commerce).5
Dari berbagai permasalahan hukum yang timbul dalam bidang E-Commerce,
salah satunya adalah masalah kekuatan akta elektronik sebagai alat bukti dalam
perkara perdata. Terkait dengan keberadaan akta elektronik ini, maka peranan
hukum pembuktian (law of evidence) sangat menentukan bagi berlakunya akta
elektronik dalam proses litigasi. Dalam bidang pembuktian sangat bersifat
kompleks terkait dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa
lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Hukum pembuktian dalam
hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa
4 Mike Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan Elektronik, dalam Buku Cyber Law: Suatu Pengantar (Jakarta: ELIPS II, 2002), hlm.1.
5 Imam Sjahputra, Problematika Hukum Internet Indonesia (Jakarta: Prehallindo, 2001), hlm.15.
hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memelihara dan
mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum pembuktian itu
mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg
dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur dapat
tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta
kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada
hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan.6 Pembuktian diperlukan dalam suatu
perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto contentiosa)
maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan
(juridicto voluntair). Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah
untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti
apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila
penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar
gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya
maka gugatannya tersebut akan dikabulkan.7
Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran
yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan,
kesaksian, atau surat-surat, yang diajukan para pihak yang bersengketa
kemungkinan tidak benar, palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa
6 H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 83.
7 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 53.
setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat
diterima kedua belah pihak. Berkaitan dengan masalah pembuktian ini, Sudikno
Mertokusumo8, mengemukakan antara lain: "...Pada hakikatnya membuktikan
dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan....”
Menurut sistem HIR/RBG, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat
bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan
berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 164
HIR/284 RBG dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu :9
1. Alat bukti tertulis.
2. Pembuktian dengan saksi.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. Pengakuan.
5. Sumpah.
Alat-alat bukti yang didapatkan dalam perkara perdata tersebut harus
memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, maksudnya tidak mengada-
ada ataupun menyimpang dari yang sebenarnya, sehingga alat bukti tersebut dapat
dianggap sah secara hukum digunakan pada proses pembuktian sebagai bahan
pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusannya. Sistem pembuktiannya juga
mendasarkan pada kebenaran formil yang berarti hakim terikat pada apa yang
dikemukakan para pihak.
8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty,2002), hlm.107.
9 Ibid, hlm.148.
Berbeda dengan sistem pembuktian pada perkara pidana yang menganut
sistem negatief wettelijke. Sistem pembuktian dalam perkara pidana para ahli
hukum berpendapat bahwa kebenaran yang dicari dalam perkara pidana adalah
kebenaran materiil (materiele waarheid). Kebenaran disini tidak semata-mata
mendasarkan pada alat bukti yang sah dan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
berperkara di sidang pengadilan, tetapi juga harus disertai dengan keyakinan
hakim. Itulah sebabnya mengapa surat tidak dijadikan sebagai alat bukti utama,
melainkan keterangan yang diberikan oleh saksi. Hukum Acara Pidana mengenal 5
(lima) macam alat bukti yang sah, yaitu:10
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Selanjutnya, terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
hukum pembuktian juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan, yakni
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yaitu berdasarkan Pasal 5 mengakui informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan
menanggulangi maraknya perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik,
terutama dalam proses penegakan hukumnya (proses) beracaranya. Pasal 5 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
10 Lihat: Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Elektronik telah memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara perdata
pada perkara-perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE, informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah
dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia. Alat bukti ini diperlukan untuk membuktikan suatu perbuatan hukum.
Kemudian, masalah yang mengemuka dan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah hal
yang berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari Informasi,
Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi, Dokumen, dan
Tanda Tangan Elektronik11. Juga secara umum dikatakan bahwa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda
Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Di
samping itu Pasal 5 ayat 1 s/d ayat 3, secara tegas menyebutkan : Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Namun dalam ayat (4) ada
pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut undang-undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut undang-
11 Lihat : Pasal 5 s.d 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
Berkembangnya penggunaan sarana elektronik dalam berbagai transaksi, di
samping memberikan manfaat yang positif yakni adanya kemudahan bertaransaksi,
juga memberikan manfaat yang sangat besar bagi penyimpanan dokumen sebagai
hasil kegiatan usaha yang dilakukan. Namun, memang diakui bahwa disamping
keuntungan tersebut dalam penggunaan sarana elektronik terdapat pula kekurangan
atau kelemahannya apabila dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan.
Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih
dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan di Indonesia, penggunaan
data elektronik sebagai alat bukti yang sah memang belum biasa digunakan.
Padahal di beberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi
pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara (perdata maupun pidana).
Masalah pengakuan data elektronik memang menjadi isu yang menarik
seiring dengan penggunaan teknologi informasi (internet). Beberapa negara seperti
Australia, Chili, China, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum
yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di
pengadilan. China misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data
elektronik. Salah satu pasal Contract Law of the People's Republic of China
1999.12
Dalam praktek bisnis, keberadaan dokumen elektronik ini menjadi satu
konsekuensi dengan perkembangan teknologi. Amerika Serikat telah mengakui
12 http://www.novexcn.com/contract_law_99.html> menyebutkan, "bukti tulisan" yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak (perjanjian) antara lain: surat dan data teks dalam berbagai bentuk, seperti telegram, teleks, faksimili, dan e-mail. (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 22.15 WIB)
dokumen elektronik yang dihasilkan dalam praktek bisnis. Sejak Januari 2001,
Divisi Tindak Pidana Komputer dan Hak Milik Intelektual Departemen Kehakiman
Amerika telah membuat kebijakan khusus13 yang berkaitan dengan pengakuan
dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.14 Ditegaskan, jika
suatu praktek bisnis yang menggunakan perangkat elektronik (komputer) dalam
kegiatan bisnis, maka tidak ada satu alasan untuk menyetarakan dengan tulisan
asli. Cakupannya begitu luas, seperti persetujuan, rekaman, kompilasi data dalam
berbagai bentuk. Termasuk, undang-undang, opini dan hasil diagnosa yang
dihasilkan pada waktu transaksi itu dibuat atau yang dihasilkan melalui pertukaran
informasi dengan menggunakan komputer. Mengingat juga bahwa alat bukti
elektronik ini tidak dijumpai dalam doktrin awal Hukum Acara Perdata, sehingga
pembahasan lebih memfokuskan pada kedudukan informasi elektronik dan
dokumentasi elektronik menurut hukum acara perdata.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya,
maka dalam penulisan makalah ini pokok permasalahan adalah sebagai berikut:
bagaimanakah keabsahan (kekuatan) transaksi elektronik sebagai alat bukti dalam
proses pembuktian perkara perdata dalam perspektif sistem hukum perdata dan
menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi dan Transaksi
Elektronik
13 http://www.cybercrime.gov/searchmanual.htm Kebijakan Khusus Departemen Kehakiman Amerika. (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 22.30 WIB)
14 Suparlan, dalam www.depkominfo.com. Menuju Kepastian Hukum Di Bidang Informasi Dan Transaksi Elektronik . (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 20.25 WIB).
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini selain dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum dan Teknologi Informasi, juga bertujuan untuk mengetahui
keberadaan (kekuatan) informasi elektronik dan dokumen elektronik - termasuk
transaksi secara elektronik - sebagai alat bukti dalam proses pembuktian perkara
perdata. Dengan melakukan analisis berdasarkan landasan teori yang mendukung,
maka akan didapatkan suatu argumentasi ilmiah menyangkut kekuatan informasi
elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam proses perkara perdata
di pengadilan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni
manfaat secara teoritis dan secara praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi suatu kertas kerja acuan dalam
pengembangan hukum pembuktian perdata dalam kaitannya dengan
keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi dan
Transaksi Elektronik.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dalam penulisan ini diharapkan
setidak-tidaknya dapat menjadi salah satu sumber bacaan atau referensi bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah
metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaanya
yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Sedangkan metode pendekatan yang
dugunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut
dengan data sekunder berupa hukum positif dalam praktik peradilan perdata di
Indonesia. Sedangkan penelitian normatif itu sendiri dilakukan melalui penelitian
terhadap asas-asas hukum dan penelitian penerapan hukum dalam pelaksanaan
praktik peradilan perdata di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut yaitu
penelitan kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber data sekunder yang
terdiri dari: bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
nasional, bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum
primer, seperti: tulisan para ahli, buku-buku yang berkaitan, dan lain sebagainya.
Sedangkan bahan-bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan sekunder, anatara lain artikel, majalah, dan koran.
Sedangkan data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis adalah data
kepustakaan dan dokumen. Data kepustakaan meliputi bahan-bahan kepustakaan
berupa bahan atau sumber primer15. Bahan atau sumber primer ini terdiri dari
buku-buku, kertas kerja koperensi, lokakarya, seminar, dan simposium, laporan-
15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.34.
laporan penelitian, majalah, disertasi atau tesis, dan sebagimya yang erat kaitannya
dengan sistem peradilan perdata, guna mendapatkan landasan teoritis dan
memperoleh informasi dalam bentuk ketentuan formal dan melalui naskah resmi
yang ada. Data dokumen pemerintah terdiri dari bahan-bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier16, diantaranya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi
dan putusan-putusan pengadilan, rancangan undang-undang, laporan resmi
pemerintah, dan sebagainya sepanjang dianggap relevan dengan topik yang diteliti.
Setelah data diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis secara non statistik, oleh
karenanya penelitian ini akan menghasilkan dan memberikan nilai yang bersifat
kuantitatif. Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah
metode analisis normatif kualitatif. Maksud dari normatif disini adalah bertitik
tolak peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan
maksud dari kualitatif disini adalah data yang berasal dari data sekunder.
16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Ul.Press, 1986), hlm. 52.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Kepustakaan
1. Teori Pembuktian Dalam Hukum Perdata
Pemanfataan teknologi informasi di era digital telah memberikan kontribusi
yang sangat besar dalam mendorong perubahan sosial, ekonomi, budaya,
pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Pada hakekatnya sistem informasi
secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dengan
mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur,
sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya
mencakup fungsi input, process, output, storage, dan communications.17 Dengan
berlakunya rezim Informasi dan Transaksi Elektronik yang dituangkan di dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 maka kita telah memasuki babak kehidupan
baru yang berbasis pada pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi
telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara
global. Sistem elektronik juga dipergunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem
informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan
telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses,
menganalisis menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi
elektronik.
Lebih lanjut, hukum acara perdata sebagai salah satu sistem bertujuan untuk
menyelesaikan pertentangan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh
17 Bambang Hari Wibowo, Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas Secara Ilmiah di Wilayah Hukum Polda Metro Jaya, Tesis, Program Pascasarjana Manejemen Sekuriti Universitas Indonesia, tahun 2011, hlm. 28.
karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan ketentuan tentang
pembuktian yang tersusun secara teratur yang satu sama lain saling kait mengkait,
dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti tidaknya suatu peristiwa tertentu
yang dikemukakan oleh para pihak di persidangan.
Menurut HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah,
yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat
bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.
Dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata,
alat bukti terdiri atas:18
a. Bukti tertulis (tulisan/surat)
Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan sengaja
ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan maksud agar
kelak dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta,
jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum membahas
secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti
tertulis dibawah ini:
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan
ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri,
yang dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling
penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang
telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan
bertanggung jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874
18 Sudikno. Mertokusuno, Op.Cit, hlm.143.
B.W. Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.
Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap, tidak berwenang atau
bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak
sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang
demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.19
Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-
mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.20
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang
mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
a) Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b) Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
c) Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat
oleh paling sedikit dua pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah
tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari
tergugat.21 Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka
19 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 566.20 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.158.21 Ibid, hlm.607.
penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata.
Dengan demikian harus memenuhi syarat :
1). Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si
penandatangan;
2). Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang
disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda
tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi
namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya
adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun
kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan
penunjukan barang aslinya.22
Singkatnya, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut
akta di bawah tangan atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Tetapi dari segi hukum
pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah tangan,
diperlukan persyaratan pokok :
1) surat atau tulisan itu ditanda tangani;
2) isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum
(rechtshandeling) atau hubungan hukum (recht bettrekking);
3) sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut
didalamnya.
Daya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas dan setinggi
derajat akta otentik. Akta otentik memiliki daya pembuktian lahiriah, formil
22 Ibid, hlm.166.
dan materiil. Tidak demikian dengan akta di bawah tangan, yang padanya
tidak mempunyai daya kekuatan pembuktian lahiriah, namun hanya terbatas
pada daya pembuktian formil dan materiil dengan bobot yang jauh lebih
rendah dibandingkan akta otentik.
Selanjutnya dalam Pasal 1867 KUHPerdata ditentukan bahwa pembuktian
dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan.
Pegertian “tulisan” dalam pasal tersebut dipastikan dalam bentuk tertulis di
atas kertas.23
b. Bukti saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil dalam persidangan.24 Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang
saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau
dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu
kesaksian. Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895
KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan
dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi
prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa
perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat
dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
23 Pengertian semacam ini tentu sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman teknologi saat ini. Untuk itu perlu diketahui ketentuannya yang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasional.
24 Sudikno Mertokusumo, Ibid.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR
merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila
pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela,
meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang
bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat
menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila
tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct. Saksi yang
tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak
datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR). Syarat-syarat alat
bukti saksi adalah sebagai berikut:25
a) Orang yang Cakap
Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi
menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata
antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak
menurut garis lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak
meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan
tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara
sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat
(2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15
(lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH
Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya
(Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses
25 Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html. (Diakses tanggal 4 Maret 2013, jam: 19.30 WIB).
perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah
hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
b) Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan
Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang
sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di depan
persidangan.
c) Diperiksa Satu Persatu
Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1)
RBG. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus
dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti.
Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam
persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal
144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para
pihak yang berperkara.
d) Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah
di depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan
apa yang sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan
sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR,
Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan
kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk
menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan
keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
e) Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan
seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang
saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti
lain.
f) Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam
Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut
ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan
pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan
mengalami sendiri.
g) Saling Persesuaian
Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH
Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang
bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling
bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang lain.
Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara
keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan,
sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh
tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.
c. Persangkaan
Menurut Subekti, persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari
suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.26 Hal ini sejalan dengan
pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan
adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam
sebagaimana berikut:27
1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-
undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal
pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga
kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah
dibayar.
2). Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan
peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan
alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat
dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya
mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa
telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya
26 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), hlm.181.27 Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata. (Diakses tanggal 4 Maret 2013, jam: 19.30
WIB).
dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun.
d. Pengakuan;
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan
atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam
proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang
pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan
pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata
dan Pasal 174 HIR). Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak
yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara
yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang
dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala
hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa,
pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai
fakta atau peristiwa hukum. Lalu yang berwenang memberi pengakuan
menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan
adalah sebagai berikut:
a) dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat
(Vide Pasal 174 HIR);
b) kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan
ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis
dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-
diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan
bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.28
e. Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi
keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah
tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam
persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya
alat bukti lain. Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada
umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan
sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi
keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”.29
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang
“menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah
yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh
salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk
mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan
mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya,
jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan
dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak
untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak
28 Aza, Loc.Cit.29 Wahju Muljono, Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2002), hlm. 117.
lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah
yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika
rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh
Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan
akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak
menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim
apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia
menolak pengangkatan sumpah itu.30
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu
sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia
dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim
memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu
sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri
oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat
sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-
sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan
antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat
dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya
perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan
oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu
barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu
“permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan,
karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar
30 Subekti, Op. Cit, hlm.183.
bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan
suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan
permulaan pembuktian.31 Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel
tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;
SumpahDecissoir Suppletoir
1. Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan;
2. Alat bukti kuat yang menentukan keputusan;
3. Dapat dikembalikan;4. Dilakukan dalam tiap keadaan.
1. Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak);
2. Merupakan alat bukti tambahan;3. Tidak dapat dikembalikan;4. Hanya dilakukan apabila telah ada
bukti permulaan bukti.
Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran)
yang diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan
sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai
suatu harga barang tertentu yang disengketakan.32
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa
memang rumusan alat bukti yang digunakan dalam sidang pengadilan masih
tergolong dalam alat bukti yang klasik yang mungkin sudah sangat tidak diragukan
kedudukannya dalam sidang pengadilan. Tetapi permasalahannya adalah seiring
dengan perkembangan zaman yang kemudian memberikan konsekuensi logis pada
perkembangan teknologi yang sekarang sering dijadikan sebagai alat bukti.
2. Doktrin Pengelompokan Alat Bukti
31 Ibid, hlm. 184.32 Bambang Sugeng A.S. dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara
Perdata (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.76.
Dalam sistem hukum pembuktian, terdapat beberapa doktrin
pengelompokkan alat bukti, yang membagi alat-alat bukti ke dalam kategori
sebagai berikut:33
1). Oral Evidence
a. Perdata ( keterangan saksi, pengakuan dan sumpah ).
b. Pidana ( keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa ).
2). Documentary Evidence
a. Perdata ( surat dan persangkaan ).
b. Pidana ( surat dan petunjuk ).
3). Material Evidence
a. Perdata ( tidak dikenal )
b. Pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang
yang digunakan untuk membantu tindak pidana, barang yang merupakan
hasil dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak
pidana dan informasi dalam arti khusus ).
4). Electronic Evidence
Konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronik.
Konsep ini terutama berkembang di negara-negara common law.
Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas cakupan
alat bukti yang masuk kategori documentary evidence.
Adapun mengenai saat terjadinya kontrak dalam transaksi elektronik, maka
untuk menetapkannya dapat dikaitkan dengan teori-teori dalam hukum perjanjian,
yakni:
33 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm.100.
1) Teori Kehendak (Wilstheorie) : dikaitkan dengan teori ini, maka terjadinya
kontrak adalah ketika pihak penerima menyatakan penerimaannya dengan
menulis e-mail;
2) Teori Pengiriman (Verzendtheorie): Bila menggunakan teori ini, maka
terjadinya kontrak adalah pada saat penerima mengirim e-mail tersebut;
3) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie): Menurut teori ini terjadinya kontrak
adalah sejak diketahuinya e-mail dari penerima oleh penawar:
4) Teori Kepercayaan (Vertrowentheorie): Menurut teori ini kontrak terjadi
pada saat pernyataan penerimaan tersebut selayaknya telah diterima oleh
penawar.
B. Analisis Keabsahan Transaksi Elektronik Dalam Perspektif Sistem
Hukum Perdata dan Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang lnformasi dan Transaksi Elektronik
Keabsahan (kekuatan) suatu transaksi elektronik sebenarnya tidak perlu
diragukan lagi sepanjang telah terpenuhinya syarat-syarat kontrak. Dalam sistem
hukum Indonesia, sepanjang terdapat kesepakatan diantara para pihak; cakap
mereka yang membuatnya; atas suatu hal tertentu; dan berdasarkan suatu sebab
yang halal, maka transaksi tersebut seharusnya sah34, meskipun melalui proses
elektronik.
Menurut surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman RI
Nomor 37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988, mikrofilm atau mikrofische
dapat dijadikan alat bukti surat dengan catatan bila bisa dijamin keotentikannya
yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku
34 Lihat: Pasal 1320 KUHPerdata.
terhadap perkara-perkara pidana maupun perdata. Menyangkut tandatangan
elektonik dalam akta elektronik pada transaksi elektronik, pertama-tama perlu
dibedakan antara tanda tangan elektronik (e-signature) dengan tanda tangan
digital (digital signature). Tanda tangan elektronik (e-signature) adalah data dalam
bentuk elektronik yang melekat atau secara logika dapat diasosiasikan sebagai
suatu pesan data (data message) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
penandatanganan pesan data tersebut untuk menunjukkan pesetujuannya terhadap
informasi yang terdapat dalam pesan data tersebut. Sedangkan tanda tangan digital
(digital signature) merupakan suatu istilah dari suatu teknologi tertentu dari E-
Signature.35
Dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 :
“ Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik
lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi“. Ketentuan Pasal
11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menganggap sah tanda tangan
elektronik yang berupa informasi elektronik dalam sebuah transaksi elektronik
yang menyatakan :
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada
penanda tangan ;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda
tangan
35 A. Kusbiyandono, Op.Cit, hlm.124-125.
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui ;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan
Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui ;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi ;
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan
telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa fungsi tanda tangan
untuk mengotensifikasi penandatanganan dengan dokumen yang
ditandatanganinya. Sehingga pada saat penandatanganan membubuhkan tanda
tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan
dengan penandatanganan. Dalam transaksi elektronik keabsahan tanda tangan
digital harus diterima keabsahannya sebagai sebuah tanda tangan. Alasan yang
dapat menguatkan sebagai berikut :36
a. tanda tangan elektronik merupakan tanda-tanda yang bisa dibubuhkan oleh
seseorang atau beberapa orang yang diberi kuasa oleh yang berkehendak
untuk diikat secara hukum;
b. sebuah tanda tangan digital dapat dimasukkan dengan menggunakan
menggunakan peralatan mekanik, sebagaimana tanda tangan tradisional;
c. keamanan tanda tangan digital sama dengan keamanan tanda tangan
tradisional;
36 Ibid, hlm.129.
d. sebagaimana tanda tangan biasa, tanda tangan elektronikpun dapat
diletakkan di bagian mana saja pada sebuah dokumen dan tidak harus
berada di bagian bawah dokumen kecuali hal tersebut diisyaratkan dalam
mekanisme legislasi.
Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik, dituangkan
dalam Pasal 5 s/d Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, secara umum dikatakan bahwa bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya
dengan Tanda Tangan Elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi
persyaratan-persyaratan seperti yang telah ditentukan.
Pasal 5 ayat 1 s.d ayat 3, secara tegas menyebutkan: Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum
Acara yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini. Namun dalam ayat (4) ada pengecualian yang menyebutkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk: (a). surat
yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b). surat
beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 11 menyebutkan, Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum
dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a).
data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
(b). data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan
elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; (c). segala perubahan
terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui; (d). segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait
dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui; (e). terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
Penandatangannya; dan (f). terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa
Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik
yang terkait.
Pembuat undang-undang secara eksplisit dalam penjelasan umum dan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi dan Transaksi
Elektronik berikut penjelasannya telah menyatakan bahwa dokumen elektronik
kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Pasal 6
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi
Elektronik, berbunyi:
”Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”
Dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
lnformasi danTransaksi Elektronik, disebutkan:
”Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, Informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada
dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.”
Jika dianalisa ketentuan Pasal 5 ayat 1, ayat 2, Pasal 6, Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi danTransaksi
Elektronik dengan menggunakan metode logika induksi, maka kesimpulannya
yang dimaksud dengan kedudukan adalah fungsi; jadi informasi yang dibuat
melalui media elektronik ”fungsinya” disetarakan dengan informasi yang dibuat
dengan menggunakan media kertas; oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang lnformasi danTransaksi Elektronik sama sekali tidak
menentukan kedudukan hukum, dalam hal ini kedudukan, nilai, derajat, dan
kekuatan pembuktian dalam Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Tidak semua informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat
bukti yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
lnformasi danTransaksi Elektronik suatu informasi elektronik/dokumen elektronik
dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik
yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi Elektronik, yaitu sistem elektronik
yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
1). dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan;
2). dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut;
3). dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4). dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5). memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan,
dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat
membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa
suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan,
keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut.
Bagaimanapun juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
lnformasi dan Transaksi Elektronik harus bisa menjelaskan bagaimana
membuktikan suatu sistem elektronik memenuhi syarat yg diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi danTransaksi Elektronik agar
alat bukti berupa informasi/dokumen elektronik tidak dipertanyakan lagi
keabsahannya. Karena dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
lnformasi danTransaksi Elektronik sendiri pengaturan mengenai sistem elektronik
masih akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, maka sangat
diharapkan pengaturannya nanti dapat menghindari perdebatan yang tidak perlu
mengenai keabsahan alat bukti tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dokumen elektronik
dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal
yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik
tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan
beroperasi sebagaimana mestinya.
Dari Pasal 1 point 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang lnformasi danTransaksi Elektronik dapat
dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai
nilai pembuktian, yaitu :
1). berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima
atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar...dan
seterusnya yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya;
2). dinyatakan sah apabila menggunakan/berasal dari Sistem Elektronik sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang;
3). dianggap sah apabila informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan
sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa
dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung
dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang
digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan
dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang;
kemudian juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap
dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika
diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut
berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat
diingkari oleh pembuatnya (non repudiation).
Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat dikatakan
dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti
permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh
karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas
minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti
yang lain. Sedangkan nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada
pertimbangan hakim, yang dengan demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah
bebas (vrij bewijskracht).
Berdasarkan penalaran hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa dokumen
elektronik dalam hukum acara perdata dapat dikategorikan sebagai alat bukti
persangkaan Undang-undang yang dapat dibantah (rebuttable presumption of law)
atau setidak-tidaknya persangkaan hakim (rechtelijke vermoden).
Penafsiran hukum terhadap beberapa ketentuan yang menyangkut hukum
acara perdata perlu dilakukan dalam kaitannya dengan proses pembuktian secara
elektronik dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, seperti
penafsiran hukum secara sistematis dan ekstensif terhadap Pasal 1866 KUHPerdata
terkait dengan alat-alat bukti yang sah secara hukum yang juga dapat diberlakukan
dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik.
Proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti
elektronik pada dasarnya tidak berbeda dengan pembuktian pada perkara perdata
konvensional, tetapi dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti
elektronik terdapat beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama
dalam pembuktian, antara lain adanya informasi elektronik atau dokumen
elektronik. Ketentuan hukum mengenai pembuktian atas perkara perdata yang
menggunakan alat bukti elektronik telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa informasi dan
atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses
pembuktian perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dan alat bukti
elektronik tersebut dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku
dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat bukti
yang terdapat dalam Pasal 1866 KUHPerdata.
Proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti
elektronik yang pernah terjadi, dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 1866
KUHPerdata juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008, yaitu dengan cara mencari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik
yang ada dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dianggap
sebagai alat bukti surat sebagaimana termuat dalam Pasal 1866 KUHPerdata, yang
didasarkan penafsiran hukum secara ekstensif (diperluas).
Makna yang diperluas adalah makna dari alat bukti surat itu sendiri, dalam
hal ini tidak hanya meliputi surat dalam arti fisik secara nyata tetapi juga surat
dalam arti dunia maya atau sering disebut paperless, sehingga informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik termaksud dapat diajukan sebagai alat bukti pada
proses pembuktian dalam kasus perdata yang menggunakan alat bukti elektronik.
Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik ini dapat pula dianggap
sebagai alat bukti petunjuk, namun demikian harus didukung oleh keterangan ahli
bahwa alat bukti elektronik tersebut memang merupakan informasi elektronik dan
atau dokumen elektronik yang relevan dalam perkara perdata yang menggunakan
alat bukti elektronik yang sedang diperiksa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peraturan secara tertulis mengenai alat bukti elektronik di Indonesia masih
belum tercover dalam sebuah peraturan. Tetapi mengacu pada pembahasan
mengenai alat bukti elektronik dalam sidang pengadilan mempunyai kedudukan
dan pengakuan yang sama dan setingkat dengan alat bukti dokumen yang lain.
Hal ini karena dalam proses transaksi perkara perdata manggunakan pasal 1320
KUHper yang menjelaskan bahwa dalam transaksi digantungkan pada kesepakatan
kedua belah pihak, sebagaimana dalam buku ke-3 tersebut KUHPer bersifat
terbuka. Artinya adalah buku ke-3 KUHPerdata mempunyai sifat fleksibel dimana
peraturan yang ada di dalamnya tidak berlaku selama ada peraturan perjanjian yang
menunjukkan dan telah dibuat oleh kedua belah pihak. Sehingga perjanjian
tersebut kemudian berlaku untuk pihak-pihak yang berjanji, sebagaimana asas
pacta sun servanda. Selain itu juga, maksud terbuka dalam buku ke-3 KUHPerdata
adalah setiap orang berhak untuk membuat dan menciptakan hak-hak baru selain
yang telah ditentukan dalam KUHPerdata. Kalau kedua belah pihak bersepakat
untuk menggunakan transaksi elektronik, maka itulah yang berlaku di pengadilan
dan selama tidak ada penyangkalan terhadap isi dokumen.
Dokumen elektronik merupakan salah satu bentuk perluasan alat bukti dalam
hukum acara terutama dalam hukum perdata berdasarkan pasal 5 Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di samping itu
dokumen elektronik dapat juga menjadi suatu akta otentik jika dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan dan disertai pembubuhan tanda tangan elektronik,
serta sertifikasi elektronik. Dapat dikatakan bahwa peranan hukum pembuktian
(law of evidence) sangat menentukan bagi berlakunya akta elektronik dalam proses
litigasi.
B. Saran
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan sumbangsarannya yakni
sebagai berikut:
Pertama, diperlukan ketegasan oleh Mahkamah Agung dalam rangka
penerimaan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam praktek peradilan perdata.
Untuk kepentingan ini, diperlukan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung agar
berlaku efektif pada peradilan perdata, termasuk pula dalam peradilan pidana.
Kedua, integrasi informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat
bukti yang sah juga memerlukan dukungan bantuan teknis pihak-pihak yang
kompeten - sebagai saksi ahli - di bidangnya khususnya dalam pengujian alat bukti
di pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bambang Sugeng A.S. dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi
Perkara Perdata Jakarta: Kencana, 2011.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2005.
H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004.
Imam Sjahputra, Problematika Hukum Internet Indonesia, Jakarta: Prehallindo,
2001.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Mike Komar Kantaatmadja, Pengaturan Kontrak untuk Perdagangan Elektronik,
dalam Buku Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: ELIPS II, 2002.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Alumni, 1983.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali, 1985.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 2003.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty,2002.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Ul. Press, 1986.
Wahju Muljono, Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2002.
Makalah, Jurnal, Mass Media, dll.
A. Kusbiyandono, Makalah, Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada
Transaksi E-Commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2004.
Bambang Hari Wibowo, Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas Secara Ilmiah di
Wilayah Hukum Polda Metro Jaya, Tesis, Program Pascasarjana
Manejemen Sekuriti Universitas Indonesia, tahun 2011.
Lukman Prabowo, Makalah, Perspektif Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana
yang dilakukan melalui Internet (cyber Crime), 2009.
Internet
Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata. (Diakses tanggal 4 Maret 2013,
jam: 19.30 WIB).
Arianto Mukti Wibowo, Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic
Commerce, 1999, amwibowo@caplin.cs.ui.ac.id, hlm.3. (Diakses tanggal 2
Maret 2013, jam:18.45. WIB).
Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti,
http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-
bukti.html. (Diakses tanggal 4 Maret 2013, jam: 19.30 WIB).
http://www.novexcn.com/contract_law_99.html (Diakses tanggal 3 Maret 2013,
jam: 22.15 WIB).
http://www.cybercrime.gov/searchmanual.htm Kebijakan Khusus Departemen
Kehakiman Amerika. (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam: 22.30 WIB).
Suparlan, dalam www.depkominfo.com. Menuju Kepastian Hukum Di Bidang
Informasi Dan Transaksi Elektronik . (Diakses tanggal 3 Maret 2013, jam:
20.25 WIB).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Herziene Inlandsch Reglement/Hukum Acara Perdata Indonesia yang Di-perbarui
(HIR),
Reglement tot Regeling van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En
Madura (RBG).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Recommended