View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
373
PERBAIKAN KONFIGURASI MESIN PADA PENGGILINGAN PADI KECIL
UNTUK MENINGKATKAN RENDEMEN GILING PADI
Uning Budiharti, Harsono dan Reni Juliana
ABSTRAK
Sebagai mata rantai usaha pengolahan gabah menjadi beras dan perangkat suplai beras dalam sistem
perekonomian masyarakat Indonesia, usaha penggilingan padi dituntut untuk memberikan kontribusi baik dari segi
kuantitas maupun kualitas, dalam penyediaan beras nasional. Oleh karena itu usaha penggilingan padi perlu
dikembangkan dan ditingkatkan kinerjanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional. Kinerja penggilingan padi kecil (PPK) yang merupakan mayoritas dapat ditingkatkan kinerjanya melalui perbaikan konfigurasi mesinnya. Untuk itu
dilakukan penelitian pada penggilingan padi kecil dengan penerapan konfigurasi mesin yang berbeda, yaitu konfigurasi
Husker-Polisher (HP), Husker-Separator-Polisher (HSP) dan Cleaner-Husker-Separator-Polisher (CHSP). Rendemen dan
kualitas beras giling yang dihasilkan oleh konfigurasi C-H-S-P lebih tinggi dibandingkan konfigurasi H-P dengan perbedaan komponen konfigurasi paddy cleaner (pembersih gabah) dan separator (pemisah beras pecah kulit dengan
gabah tidak terkupas). Peningkatan ini dapat dicapai antara lain karena bahan baku gabah yang digiling lebih bersih
dengan digunakannya grain cleaner. Pada konfigurasi yang menggunakan separator, tekanan roll karet pada husker pada
proses pengupasan bisa dikurangi untuk mengurangi resiko beras patah sehingga walaupun jumlah gabah tidak terkupas menjadi lebih tinggi (bisa mencapai 30-40%) tetapi kemudian gabah tersebut dipisahkan oleh separator dan masuk
kembali ke husker untuk proses pengupasan ulang. Dengan penambahan separator pada konfigurasi HP terdapat
peningkatan rendemen sebesar 0,9% dan penambahan alsin pembersih gabah (paddy cleaner) dan separator pada
konfigurasi HP terdapat peningkatan rendemen sebesar 1,9%. Peningkatan ini tentu lebih besar lagi, jika dibandingkan dengan rata-rata rendemen yang dihasilkan pada penggilingan padi kecil lainnya, yaitu hanya 61%.
Apabila konfigurasi sederhana yang umumnya dimiliki oleh PPK yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 % dari
keseluruhan industri penggilingan padi di Indonesia, disempurnakan dari Husker-Polisher menjadi Cleaner-Husker-
Polisher atau Cleaner-Husker-Separator-Polisher, maka dengan peningkatan rendemen beras 0,9% - 1,9% secara kuantitatif dapat diamankan sekitar 450.000 – 950.000 ton beras. Analisis ini didasarkan pada studi ODA tahun 1995
bahwa 65% jumlah PPK tersebut menggiling 70% total kapasitas giling nasional.
Kata kunci : perbaikan konfigurasi mesin, Penggilingan padi, Peningkatan rendemen giling
PENDAHULUAN
Indikator keberhasilan sektor pertanian padi masih dipandang sebagai keberhasilan jumlah produksi,
sehingga prioritas kebijakan pemerintah sampai saat ini masih berpatokan pada angka-angka pencapaian
target-target produksi. Sehingga kesuksesan di sektor pertanian dinilai dengan tingkat produktivitas.
Tentunya perhatian terhadap sektor hulu ini merupakan hal yang penting, akan tetapi sejatinya terdapat
peluang penekanan kehilangan hasil pada proses pasca panen yang dapat dilakukan melalui penerapan
teknologi. BPS menyebutkan kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari ketidaksempurnaan
penanganan pasca panen mencapai 20,51 persen, dimana kehilangan saat pemanenan 9,52 persen, perontokan
4,78 persen, pengeringan 2,13 persen dan penggilingan 2,19 persen. Angka ini jika dikonversikan terhadap
produksi padi nasional yang mencapai 54,34 juta ton setara lebih dari Rp15 triliun. Penekanan kehilangan
hasil ini tentunya akan berdampak langsung pada peningkatan produksi akhir.
Penggilingan padi sebagai mata rantai akhir dari proses produksi beras, mempunyai posisi yang
stratesis untuk ditingkatkan kinerja dan efisiensinya sehingga dapat menyumbang pada peningkatan produksi
beras. Hal ini mengingat rendemen giling dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara kuantitatif dari
70% pada akhir tahun 70 an menjadi 65% pada tahun 1985, 63,2 pada tahun 1999, dan pada tahun 2000
paling tinggi hanya 62%, bahkan kenyataan di lapang di bawah 60%. Sawit, 1999. Apabila setiap penurunan
rendemen 1% kehilangan kuantitatif beras lebih dari 500.000 ton, maka angka ini bernilai kerugian devisa
setara lebih dari 117,5 juta USD per tahun (asumsi produksi nasional 50 juta ton dan harga beras 235
USD/ton) (Kompas, 6 Agustus 2001).
Kenyataan di lapang, terdapat perbedaan rendemen yang dihasilkan pada PPB, PPM dan PPK.
Umumnya rendemen pada PPB dan PPM lebih tinggi dari PPK. Penelitian yang dilakukan BBPMP tahun
2003 menunjukkan adanya korelasi antara konfigurasi mesin dengan rendemen. Konfigurasi mesin pada
PPB dan PPM lebih lengkap dari pada PPK. Hal penting yang merupakan hasil kajian pada kegiatan
penelitian tsb adalah terdapat potensi peningkatan pendapatan pada penggilingan padi, dengan adanya
perbaikan konfigurasi. Manfaat lain dengan penambahan komponen alsin tersebut ialah dicapainya
peningkatan kualitas gabah yang akan digiling menjadi lebih memenuhi standar giling yang pada akhirnya
374
kualitas beras gilingnyapun juga akan meningkat. Hal ini mendorong penelitian dilanjutkan dengan fokus
pada PPK untuk ditingkatkan kinerjanya melului perbaiakn konfigurasi mesinnya.
RENDEMEN GILING BERAS, POTENSI DAN KONDISI AKTUAL DI LAPANG
Menurut Thahir (2002), potensi aktual secara laboratoris pada kondisi ideal dari beberapa varietas
unggul menunjukkan dalam 1 butir gabah mengandung sekitar 21 – 25% sekam dan 6 – 7% lapisan aleuron.
Bahkan untuk varietas lokal jumlah sekam dan aleuronnya sebesar 29 – 33%. Dengan demikian rendemen
beras pecah kulit (BPK) berkisar antara 75 – 79%, sedangkan beras putih (BP) 68 – 73% dari varitas unggul
dan dari varietas lokal sebesar 67 – 71%. Hasil uji Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian
(BBPMP) Serpong pada lebih dari 25 unit mesin rice milling unit (RMU) komersial menunjukkan data
rendemen beras giling berkisar antara 64,12% – 67,92%. Penelitian yang dilakukan Munarso, dkk (1998)
juga menunjukkan adanya kesenjangan antara kondisi di lapang dengan pengujian laboratorium sebagai mana
disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Rendemen Beras Giling Menurut Alat Penggiling (Persen)
Alat Penggiling Varietas
Rata -rata IR - 64 Muncul
1. Hutler 2. Rice Milling Unit (RMU)
3. Penggilingan Padi Kecil (PPK)
4. Penggilingan Padi Besar (PPB)
60,14 60,12
57,56
62,96
64,25 65,50
60,69
62,93
62,19 63,83
59,12
62,93
Rata - rata 60,69 63,33 62,01
Penggilingan Laboratorium 64,87 66,66 65,76
Sumber : Munarso, et.al. (1998)
Variasi pada nilai rendemen ini juga ditemukan pada hasil penelitian yang dilakukan BBP
Mekanisasi Pertanian tahun 2003 terhadap 87 industri penggilingan padi di JawaBarat, Jawa tengah, Jawa
Timur, Sumatra Barat Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan. Responden yang terdiri dari penggilingan padi
kecil (PPK) sebanyak 46 responden (52,9%), penggilingan padi skala menengah (PPM) 17 responden
(19,5%) dan penggilingan padi skala besar sebanyak 24 responden (27,6%) seperti yang disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Pengelompokan Rata-rata Kualitas Beras dan Rendemen Giling Berdasarkan Skala Usaha
Skala
Penggilingan
Padi
Jumlah
Sample
Kualitas Gabah (%) Kualitas Beras (%) Rendemen
KA (%) Bernas Hampa Kepala Patah Menir % CV
PP Kecil 46 13.70 93.10 6.70 74.25 14.99 14.57 55.71 7.96
PP Menengah 17 14.01 92.16 7.75 75.73 12.52 11.73 59.69 10.89
PP Besar 24 13.56 94.14 4.72 82.45 11.97 7.34 61.48 6.65
Sumber : Thahjohutomo, et.al (2003)
Data di atas jika didasarkan pada susunan konfigurasi mesinnya menunjukkan perbedaan rendemen
beras yang dihasilkan pada konfigurasi mesin yang berbeda, disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Pengelompokan Rata-rata Kualitas Beras dan Rendemen Giling Berdasarkan Konfigurasi Penggilingan Padi.
Konfigurasi Jumlah
Sample
Kualitas Beras (%) Rendemen
KA (%) Kepala Patah Menir % CV
Husker–Polisher 38 14.10 69.73 16.11 14.14 56.72 8.02
Cleaner–Husker-Polisher 3 13.20 73.45 14.00 12.35 59.13 14.05
Husker–Separator– Polisher 20 13.68 76.45 13.38 10.04 61.52 5.69
Husker–Polisher–Grader 3 13.60 78.30 11.45 10.08 62.38 12.35
Cleaner–Husker–Separator-Polisher 4 13.85 84.52 10.40 5.03 64..34 3.77
Cleaner–Husker-Separator–Polisher– Grader
8 13.66 85.07 10.11 4.74 64.67 9.16
Dryer–Cleaner– Husker – Separator –
Polisher- Grader 2 13.85 89.95 5.13 4.90 65.50 3.01
Sumber : Thahjohutomo, et.al (2003)
375
Dari data pada tabel 2 dan 3, menunjukkan bahwa susunan komponen mesin penggilingan padi
(konfigurasi) berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas beras giling. Rendemen beras giling yang
dihasilkan oleh penggilingan padi kecil (PPK) yang berkonfigurasi sederhana yaitu Husker-Polisher (H-P)
rata rata sebesar hanya 55.71% dengan kualitas beras kepala 74.25% dan broken 14.99%. Sedangkan
penggilingan padi skala menengah (PPM) dengan konfigurasi Cleaner-Husker-Separator-Polisher (C-H-S-P)
menghasilkan rendemen, kualitas beras kepala, dan broken masing masing sebesar 59.69%, 75.73% dan
12.52%. Adapun penggilingan padi besar (PPB) yang memiliki konfigurasi Dryer – Cleaner – Husker –
Separator – Polisher – Grader (D-C-H-S-P-G) menghasilkan rendemen 61.48% dengan kualitas beras kepala
82.45% dan broken 11.97%. Rendemen beras giling yang dicapai oleh industri penggilingan padi masih
dibawah rendemen teoritis maupun hasil uji laboratorium; terutama rendemen yang dicapai oleh penggilingan
padi berkonfigurasi sederhana.
Fenomena yang cukup menarik yang ditemui pada beberapa tahun terakhir ini yang dapat ditemukan
antara lain di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan NTT adalah berkembangnya usaha
penggilingan padi bergerak atau RMU keliling. Dengan cara ini alsin berpindah tempat dari satu desa ke
desa lain mendatangi konsumen yang memerlukan, hal ini akan memudahkan petani karena petani tidak perlu
membawa hasil panennya ke penggilingan. Penelitian yang dilakukan BBPMP pada tahun 2001 di Jombang,
Kediri, Mojokerto, Nganjuk dan Pasuruan, menunjukkan kisaran rendemen beras pada penggilingan padi
bergerak dan stasioner. Data disajikan pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Perbandingan Kualitas Hasil Giling Penggilingan Padi (RMU) Stasioner Dan Penggilingan Padi (RMU)
Keliling.
No. Parameter RMU Stasioner (%) RMU Keliling (%)
1.
2.
3.
4.
Beras Utuh & Kepala
Beras Patah
Menir
Rendemen giling
73,8
23,2
3
59 – 65
66,4
26,9
6,7
60 - 63
Sumber : Budiharti dan Harsono (2001)
Huller keliling ini mendapatkan sambutan yang cukup baik dari petani, karena memudahkan bagi
mereka dalam mengolah hasil panennya. Petani tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi untuk
membawa hasil panennya, dan biaya bawonnya pun rata-rata lebih rendah dari pada RMU stasioner, sebagai
perbandingan untuk daerah Kediri, jika untuk RMU stasioner bawonnya sebesar 5-6 Kg beras untuk setiap 1
kwintal gabah, akan tetapi untuk RMU mobil dengan berat gabah yang sama , ongkosnya adalah sebesar 4
Kg. Respon masyarakat yang baik terhadap huller keliling ini mendorong pertumbuhan populasinya dengan
cepat, sehingga RMU stasioner yang umumnya berkapasitas lebih besar menjadi terancam keberadaanya,
karena petani lebih menyukai huller keliling ini. Sehingga di beberapa daerah tersebut terjadi penentangan
yang cukup besar terhadap keberadaan huller keliling ini dari para pengusaha RMU stasioner.
Usaha penggilingan padi di Indonesia diawali dengan mesin penggilingan padi berkapasitas besar.
Seperti juga alsin lainnya, introduksi alsin penggilingan padi diadopsi langsung dari negara pengekspor.
Kapasitas mesin penggilingan padi tersebut dikategorikan sebagai mesin penggilingan besar, yaitu 1,5
ton/jam. Namun seiring dengan semakin diterimanya alsin tersebut oleh masyarakat, maka tumbuhlah minat
dalam usaha penggilingan padi kecil dan sedang (berkapasitas 0,7 ton/jam) oleh petani/pengusaha
penggilingan kecil, karena investasi yang dikeluarkan lebih kecil.
Kecenderungan berkembangnya populasi mesin penggilingan kecil jika tanpa usaha meningkatkan
kinerjanya untuk menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, menjadi salah satu sebab dari kecenderungan
penurunan rendemen giling secara nasional pada kurun 30 tahun terakhir. Jika hal ini berlangsung terus,
maka dikhawatirkan dapat mengancam ketersediaan beras secara nasional.
PERBAIKAN KONFIGURASI MESIN PADA PENGGILINGAN PADI KECIL
BBP Mekanisasi Pertanian melakukan penelitian mengenai perbaikan konfigurasi mesin pada
penggilingan padi kecil untuk meningkatkan rendemen giling. Pengamatan meliputi pengamatan harian
terhadap bahan baku, volume giling, rendemen giling dan kualitas beras hasil penggilingan. Disamping itu
juga dilakukan pengujian secara periodik terhadap penggilingan padi tersebut dengan beberapa perlakuan
konfigurasi yaitu Husker - Polisher (H-P), Husker – Separator – Polisher (H-S-P) dan Cleaner – Husker –
376
Separator – Polisher (C-H-S-P). Evaluasi dilakukan berdasarkan data-data hasil pengamatan dan pengujian
yang ada. Lokasi penggilingan padi yang dipergunakan adalah penggilingan padi Cibinong (milik P.
Ibrahim) dan penggilingan padi milik P. Mansyur, keduanya terdapat di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Konsumen pada kedua penggilingan padi tersebut beragam sehingga memungkinkan untuk dilakukan
pengamatan pada berbagai konfigurasi yang ada. Konsumen petani biasanya menghendaki proses
pengupasan kulit (husker) dan pemolesan saja (polisher) tanpa separator sedangkan konsumen pedagang
menghendaki adanya proses pemisahan (separator).
Pada penggilingan padi Cibinong, pemrosesan beras berlangsung secara kontinyu, bahan berupa
gabah diumpankan ke dalam mesin pemecah gabah, kemudian beras pecah kulit dari mesin pengupas gabah
dibawa oleh elevator ke separator yang terletak di bagian atas pemecah gabah, gabah yang belum terkupas
kembali turun ke pengupas gabah dan beras pecah kulit turun ke pemoles, selanjutnya beras dari pemoles
ditampung. Kedua penggilingan padi tersebut mempunyai tata letak mesin yang hampir sama, yaitu
separator diletakkan diatas mesin pengupas gabah dan pemoles. Yang membedakan adalah pada
penggilinggan kedua tidak dilengkapi elevator, sehingga harus dikerjakan oleh operator.
Dari kesebelas titik pengamatan pada lokasi survey yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur; maka kedua penggilingan padi percontohan mempunyai rata-rata rendemen yang lebih tinggi
yaitu 65 % dan 66 %, sedangkan pada penggilingan padi sederhana rata-rata rendemennya adalah 61,39 %.
Dibawah ini disajikan hasil pengamatan selama tahun 2005 pada beberapa penggilingan padi di Jawa barat,
tengah dan Timur.
Tabel 5. Pengamatan Harian Rendemen dan Kualitas Beras pada beberapa konfigurasi penggilingan
Tempat Nama Rata-rata Proses Penggilingan Varietas Kualitas Gabah
Responden Rendemen Butir Utuh&Kepala Patah Menir
( % Gabah Isi) (%) (%) (%)
Karawang Engkus 60 Husker - Husker - Polisher-Polisher Ciherang 97.5 87.4 7.4 2.4
Husker - Husker - Polisher-Polisher IR-64 94.8 79 13 5.67
63.28 Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher IR-64 94.8 87.4 8.15 6.2
Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher Ciherang 97.2 78 8.55 7.2
62 Husker - Husker - Polisher-Polisher Ciherang 96 87.5 8.25 2.75
Husker - Husker - Polisher-Polisher Ciherang 96 84.6 10.28 2.65
63 Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher Ciherang 96 84 11.2 3.8
Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher Ciherang 96.41 87.2 10.4 3.2
Ade Husker - Husker - Separator-Polisher-Polisher IR-64 96.2 87.4 8.15 6.2
Cianjur Mansyur Husker - Husker -Separator* - Polisher-Polisher IR - 64 97.13 85 9.82 11
67.22 C-H-S-P Ciherang 96 81.1 14 3.2
66.27 H-S-P 96 77.6 13.4 7.7
65.33 H-P 96 77.47 18.4 3.7
Ibrahim 65.66 Husker -Separator - Polisher-Blower Pepe 95.7 74 17.1 7.6
64.76 Husker -Separator - Polisher Ciherang 95 70.8 24.4 4
65.66 Husker - Polisher Ciherang 95 77 17.5 5
Totong 61.94 Husker - Polisher Sari Wangi 91 71 22.7 4.5
Husker - Polisher
Ciamis Yanto 67.56 Paddy cleaner - RMU Ciherang 98.6 77.5 6.6 4.7
Jateng Sumiyati 62.36 Husker - Husker - Polisher-Polisher IR - 64 95 68.1 21.2 5.3
Suripah 62 Husker - Husker - Polisher-Polisher IR - 64 95 64.6 25 9.4
Salmi 65.35 Husker - Husker -Separator - Polisher-Polisher-Blower IR - 64 95 74 21 2.6
Mudhofir 64.63 Husker - Husker -Separator - Polisher-Polisher-Blower IR - 64 93 63.3 25.5 12.5
Jatim Makmur 60 Husker - Polisher Ciherang 94.8 71 20 6.4
Terang Jaya I 60 Husker - Polisher Ciherang 91.67 84.33 8 5.67
Terang Jaya II 61.2 Husker - Polisher Ciherang 93.67 75.8 18 5.8
Makmur Husker - Polisher Memberamo
Terang Jaya I 63 Husker - Polisher 98 69.25 24 8
Terang Jaya II Husker - Polisher 98 75.4 15.8 8.6
Husker - Polisher 98 75.4
Rata-rata rendemen pada Penggilingan Padi Percontohan 65.80%
Rata-rata kualitas utuh dan kepala pada Penggilingan Padi Percontohan 78%
Rata-rata rendemen pada Penggilingan Padi Sederhana (konfigurasi HP) 61.40%
Rata-rata kualitas utuh dan kepala pada Penggilingan Padi Sederhana (konfigurasi HP) 76%
Kualitas Beras Sosoh
377
Analisa Statistik terhadap rendemen dan kualitas beras menunjukkan perbedaan yang nyata antara
konfigurasi sederhana (H-P) dengan konfigurasi lengkap (H-S-P dan C-H-S-P), pada tingkat kepercayaan
untuk rendemen 95% dan 80% untuk kualitas beras. Analisa menggunakan Uji T Test.
Pengamatan pada penggilingan milik H. Mansyur dimana dilakukan tiga macam uji dan pengamatan
dengan konfigurasi mesin yang berbeda, yaitu konfigurasi HP, HSP dan CHSP. Rendemen dan kualitas
beras giling yang dihasilkan oleh konfigurasi C-H-S-P lebih tinggi dibandingkan konfigurasi H-P dengan
perbedaan komponen konfigurasi paddy cleaner (pembersih gabah) dan separator (pemisah beras pecah kulit
dengan gabah tidak terkupas). Peningkatan ini dapat dicapai antara lain karena bahan baku gabah yang
digiling lebih bersih dengan digunakannya grain cleaner. Pada konfigurasi yang menggunakan separator,
tekanan roll karet pada husker pada proses pengupasan bisa dikurangi untuk mengurangi resiko beras patah
sehingga walaupun jumlah gabah tidak terkupas menjadi lebih tinggi (bisa mencapai 30-40%) tetapi
kemudian gabah tersebut dipisahkan oleh separator dan masuk kembali ke husker untuk proses pengupasan
ulang. Dengan penambahan separator pada konfigurasi HP terdapat peningkatan rendemen sebesar 0,9%
dan penambahan alsin pembersih gabah (paddy cleaner) dan separator pada konfigurasi HP terdapat
peningkatan rendemen sebesar 1,9%. Peningkatan ini tentu lebih besar lagi, jika dibandingkan dengan rata-
rata rendemen yang dihasilkan pada penggilingan padi kecil lainnya, yaitu hanya 61%.
Konfigurasi pada level penggilingan ini tentunya akan dapat tercapai karena faktor daya saing yang
cukup kuat di pasar dimana kualitas merupakan pendorong utama dari pemakaian pre-cleaner dan separator.
Apabila konfigurasi sederhana yang umumnya dimiliki oleh PPK yang jumlahnya mencapai lebih
dari 65% dari keseluruhan industri penggilingan padi di Indonesia, disempurnakan dari Husker-Polisher
menjadi Cleaner-Husker-Polisher atau Cleaner-Husker-Separator-Polisher, maka dengan peningkatan
rendemen beras 0.9% - 1,9% secara kuantitatif dapat diamankan sekitar 450.000 – 950.000 ton beras.
Analisis ini didasarkan pada studi ODA tahun 1995 bahwa 65% jumlah PPK tersebut menggiling 70% total
kapasitas giling nasional. Faktor ini menjadi ladang pemberdayaan industri penggilingan skala kecil (PPK)
yang konsumennya adalah petani kecil dan penderep. Kecuali memberikan bantuan kepada pemilik PPK,
juga sekaligus memberikan peluang kepada penderep untuk memperoleh hasil giling lebih banyak dengan
mutu yang lebih baik serta meningkatnya nilai tambah.
Pada penggilingan percontohan, dimana dilakukan pengamatan pada tiga konfigurasi berbeda, yaitu
HP; HSP dan CHSP terlihat bahwa penambahan separator maupun separator dan cleaner sekaligus pada
proses pengolahan beras meningkatkan pendapatan.
KESIMPULAN
– Rata rata rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil yang berkonfigurasi
sederhana Husker-Polisher sebesar hanya 61,4% dengan beras kepala dan utuh 76%. Sedangkan rata rata
rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil percontohan (pilot) dengan
konfigurasi Husker-Separator-Polisher adalah sebesar 65,8%, dengan beras kepala dan utuh 78%.
– Hasil uji pada penggilingan padi percontohan dengan tiga konfigurasi mesin berbeda juga menunjukkan
bahwa konfigurasi mesin berpengaruh terhadap rendemen. Rata-rata rendemen yang dihasilkan pada
konfigurasi Pengupas gabah-Pemoles beras (HP) adalah 65,3%, konfigurasi Pengupas gabah-Separator-
Pemoles beras (HSP) adalah 66,3% dan Pembersih gabah-Pengupas gabah-Separator-Pemoles beras
(CHSP) adalah 67,2%. Dengan persentase beras utuh dan kepala untuk masing-masing konfigurasi
tersebut adalah 77,5%; 77,6% dan 81%.
– Susunan komponen mesin penggilingan padi (konfigurasi) berpengaruh nyata terhadap rendemen beras
giling (tingkat kepercayaan 95%) dan berpengaruh pula pada kualitas beras giling (tingkat kepercayaan
80%).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2002. Pengembangan Agribisnis Perberasan Berbasis Penggilingan Padi. Direktorat
Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, Ditjen Bina Pengolahan Dan Pemasaran Hasil
Pertanian. Jakarta.
Arifin B. 2001. Kebijakan Pertanian dan Pangan Era Transisi. Kompas 23 Agustus 2001, hal.28.Jakarta.
378
Balai Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. 2004. Restrukturisasi Penggilingan Padi di
Indonesia. Seminar Peranan Litbang Mekanisasi untuk Mendapatkan Rendemen Giling dan Mutu
Beras yang Tinggi. BBP Mekanisasi Pertanian Serpong, 14 Januari 2004.
Budiharti, Uning. dan Harsono. 2001. RMU keliling, agribisnis baru pengolahan beras. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 23 (5): 7−9.
Handaka. 1981. Technical And Economic Evaluation Of Rice Milling in West Java. Paper Presented in
International Seminar on Consequences of Small Farm Mechanization. Los Banos, Philippines.
PERPADI. 2002. Pola Penanganan Pengolahan Hasil Tanaman Padi. Dewan Pimpinan Pusat Persatuan
Penggilingan Padi Dan Pengusaha Beras Indonesia (DPP PERPADI). Jakarta.
Tjahjohutomo,Rudy., Harsono, A. Asari, Teguh W.W dan Uning Budiharti. 2004. Pengaruh Konfigurasi
Penggilingan Padi Rakyat Terhadap Rendemen Dan Mutu Beras Giling. Laporan hasil penelitian
TA 2003. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Serpong, Banten.
Thahir R, 2002. Tijauan Penelitian Peningkatan Kualitas Beras Melalui Perbaikan Teknologi
Penyosohan.Makalah disajikan sebagai Persyaratan Kenaikan Pangkat /golongan IV/c. Balai Besar
Pengembangan Alsintan, Serpong.
Thahir R, 2005. Peningkatan Kinerja Penggilingan Padi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor.
379
PENGEMBANGAN ALSIN PENGOLAHAN TEPUNG MAIZENA CARA BASAH (Corn Wet
Milling System) SKALA KECIL
Harsono, Uning Budiharti dan Suparlan
ABSTRAK
Pati jagung dapat diperoleh dengan cara mengekstraknya dari biji jagung. Pati pada biji jagung terdapat pada
beberapa tempat terutama pada endosperm sebesar 86,4%, sedangkan pada bagian lain seperti lembaga adalah sebesar
8,2% dan tip cap sebesar 5,3%. Pada bagian endosperm yang horny granula patinya berbentuk anguler atau poligonal
dengan ukuran 2 – 30 μ sedang pada bagian yang floury berbentuk bulat (sferis) dengan ukuran 2 – 30 μ. Pati jagung atau yang biasa disebut tepung maizena merupakan sumber karbohidrat yang digunakan untuk bahan
pembuat roti, kue kering, biskuit, makanan bayi dll, serta digunakan dalam industri farmasi. Namun demikian upaya
pengolahan untuk memproduksi pati jagung belum banyak dilakukan di dalam negri, hal ini terkendala pada tingginya
investasi untuk menyediakan mesin pengolahannya, serta perlu perlakuan khusus dalam pengolahan jagung. Di dalam biji jagung terdapat lembaga yang mengandung minyak, sehingga apabila lembaga tersebut tidak dipisahkan terlebih dahulu,
maka produk olahan jagung (tepung, pati) akan cepat rusak (tengik) karena adanya proses oksidasi maupun karena
pengaruh air. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi di Serpong, melakukan penelitian pengolahan jagung, yang
dimulai tahun 2005 yaitu rancang bangun pemisah biji jagung. Kapasitas mesin 49,2 kg/jam. Tahun 2006 dilanjutkan dengan mesin pengolah pati jagung cara basah, yang terdiri dari penggiling, sentrifuse pemisah pati dan gluten, serta
pengering pati.
Kata kunci : pati jagung, tepung maizena,sumber karbohidrat, industri
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas penting dalam industri pangan, kimia maupun industri manufaktur. Di
Indonesia jagung juga merupakan makanan pokok utama yang memiliki kedudukan penting setelah beras.
Usaha pengembangan jagung nasional harus didukung oleh industri pascapanen sehingga mampu
menciptakan keuntungan yang sebenarnya secara bisnis. Salah satunya adalah dengan membuat produk
olahan berbasis jagung yang mempunyai umur simpan yang lama. Hal ini disebabkan karena komposisi
kimia jagung yang cukup lengkap mulai dari protein, karbohidrat dan lemak (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi Kimia Setiap 100 gram (KA 12% bb)
No. Komponen Prosentase (gram)
1
2
3
4 5
6
Karbohidrat
Protein
Serat
Abu Lemak
Air
74,5
9,0
1,0
1,1 3,4
12,0
Sumber : http://ianrpubs.unl.edu/fieldcrops/g1115.htm
Pengolahan jagung menjadi beberapa produk seperti : pati jagung, minyak jagung, pakan ternak dan
lain-lain, akan memberikan nilai tambah pada komoditas jagung. Pati jagung dapat diperoleh dengan cara
mengekstrak biji jagung. Pati pada biji jagung terdapat pada beberapa tempat terutama pada endosperm
sebesar 86,4%, sedangkan pada bagian lain seperti lembaga adalah sebesar 8,2% dan tip capsebesar 5,3%.
Pada bagian endosperm yang horny granula patinya berbentuk anguler atau poligonal dengan ukuran 2 – 30 μ
sedang pada bagian yang floury berbentuk bulat (sferis) dengan ukuran 2 – 30 μ.
Namun demikian upaya diversifikasi olahan produk jagung belum banyak dilakukan masyarakat
mengingat masih terbatasnya unit mesin pengolahan jagung yang berkembang dimasyarakat, karena
diperlukan perlakuan khusus dalam pengolahan jagung. Di dalam biji jagung terdapat lembaga yang
mengandung minyak, sehingga apabila lembaga tersebut tidak dipisahkan terlebih dahulu, maka produk
olahan jagung (tepung, pati) akan cepat rusak (tengik) karena adanya proses oksidasi maupun karena
pengaruh air.
Untuk mendukung program diversifikasi produk olahan jagung, maka pada TA 2005 telah dibuat
prototipe alsin pemisah lembaga biji jagung sebagai dasar bagi pembuatan produk yang lain. Dan sebagai
kelanjutannya maka pada TA 2006 akan dibuat prototipe alsin pengolahan jagung menjadi tepung mayzena.
380
Dengan diolah menjadi tepung mayzena diharapkan akan memberikan nilai tambah pada jagung dan
meningkatkan pendapatan petani jagung.
KOMPOSISI KIMIA JAGUNG
Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang mempunyai batang berbentuk bulat, beruas-ruas
dan tingginya antara 60 – 300 cm. Setiap biji jagung secara botanis adalah sebuah biji Caryopsis, biji kering
yang mengandung sebuah benih tungggal yang menyatu dengan jaringan – jaringan dalam buahnya.
Gambar 1. Struktur Utama Biji Jagung
Gambar 1 menunjukkan, biji jagung terdiri atas 4 bagian utama yaitu pericarp, lembaga (germ),
endosperm dan tin cap. Pericarp juga disebut sebagai kulit atau bran terletak di bagian luar dari biji jagung.
Endosperm merupakan bagian yang terbesar, yaitu 82% dari berat biji jagung adalah bagian endosperm.
Merupakan sumber energi dan protein untuk pertumbuhan benih jagung. Lembaga (Germ) adalah
merupakan bagian dari biji jagung. Sekitar 25% dari lembaga adalah minyak jagung. Minyak jagung adalah
bagian yang sangat berharga dari jagung asam linoleat.
METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam pengolahan jagung adalah cara penggilingan basah, yaitu suatu
proses dimana biji jagung direndam dengan air sulfur, digiling dan dipisah-pisahkan unsur-unsurnya menjadi
empat produk utama yaitu tepung pati, gluten (protein), fiber dan germ (lembaga/minyak).
Skematis tahapan-tahapan dalam metoda penggilingan basah (gambar 2.
Gambar 2. Struktur Proses Pengolahan Jagung Sistem Basah.
(Sumber : http://www.pionir.com/media/industry select/about-industry select/wet_ milling_brochure.pdf.)
Cleaning
CORN
Steeping
Milling
Separator
Germ
Washing
Dewatering
Dst
Drying
Starch
Washing
Dewatering
Corn Starch
Draying
Slurry
Milling
Separator
Gluten
Cleaning
CORN
Steeping
Milling
Separator
Germ
Washing
Dewatering
Dst
Drying
Starch
Washing
Dewatering
Corn Starch
Draying
Slurry
Milling
Separator
Gluten
381
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan pengembangan mesin pengolahan jagung skala kecil ini diawali dengan penelitian
pendahuluan untuk mengetahui proses yang paling optimum dalam pengolahan jagung menjadi tepung
mayzena. Parameter yang diukur meliputi parameter sifat-sifat fisik dan kimia jagung, sifat bahan teknik,
fabrikasi dan ekonomi. Parameter sifat fisik dan kimia jagung antara lain meliputi: bulk density, temperatur
pengeringan, ukuran partikel slurry, kandungan kimia biji jagung, kekentalan slurry, tekanan uap atau suhu
medium pemanas dan laju aliran udara pengering.
Berdasarkan tahapan-tahapan di atas maka dibuat skema proses pengolahan seperti terlihat pada
gambar 3 dan 4.
Gambar 3 . Proses Pemisahan Lembaga Biji Jagung
Gambar 4 . Proses Pembuatan Pati Jagung
382
TAHAPAN PROSES
Tahap proses pengolahan jagung menjadi tepung mayzena (pati jagung), yang meliputi : cleaning
(pembersihan), steeping (perendaman), germ separation (pemisahan lembaga jagung), penggilingan halus
(fine grinding) dan penyaringan melalui saringan halus (screening); pemisahan starch dan gluten, dan
pemurnian pati (starch refining).
Perendaman
Perendaman yg tepat sangat penting untuk memperoleh rendemen tepung dan kualitas tepung yang
baik. Proses ini berfungsi untuk melunakkan lapisan pektin (kulit) sehingga dapat menyerap air dan
melunakkan bagian endosperm yang bertujuan untuk mempermudah pelepasan lembaga (germ), membuatnya
menjadi lebih lembab dari bagian endosperm, sehingga mudah dipisahkan. Disamping itu juga untuk melepas
dan memperkuat kulit ari sehingga memungkinkan untuk lepas dengan bagian yang besar.
Perendaman dilakukan pada aliran berlawanan arah yang kontinyu. jagung yang bersih direndam
selama 30 sampai 48 jam agar ikatan protein dan patinya lepas. Perendaman jagung dilakukan pada suhu
sekitar 50oC Ikatan gluten didlm jagung mulai melepas patinya. Selama perendaman beberapa parameter
yang harus diperhatikan adalah suhu perendaman, waktu perendaman dan konsentrasi larutan sulfite.
Gambar 5. Unit perendaman biji jagung.
Kapasitas tangki perendaman yang dirancang disesuaikan dengan kapasitas pemisahan alsin
pemisah lembaga biji jagung. Dengan kapasitas alsin pemisah lembaga biji jagung sekitar 50 kg/jam, maka
kapasitas perendaman dirancang sekitar 300 – 400 kg per proses. Sehingga jagung yang diperoleh dari satu
kali proses perendaman dapat dipergunakan untuk produksi selama satu hari, dengan asumsi 8 jam kerja/hari.
Penggilingan
Penggilingan jagung dapat dilakukan dengan menggunakan disc mill. Umumnya digunakan
penggilingan yang memiliki satu permukaan gilingan stasioner dan satu permukaan gilingan yang berputar.
Jarak renggang antara dua permukaan gilingan harus diatur sedemikian rupa sehingga bagian lembaga jangan
sampai ikut hancur. Apabila terjadi banyak lembaga yang tergiling akan menyebabkan kehilangan minyak
yang umumnya diserap oleh gluten dan tidak dapat diperbaiki kembali. Parameter lain yang harus
diperhatikan selama proses penggilingan adalam putaran (RPM) dari piringan penggiling.
Gambar 6.Unit Penggiling dan Screw Pembawa Hasil Gilingan
383
Pemisahan Lembaga Biji Jagung
Tahap berikutnya adalah pemisahan antara lembaga jagung (germ) dan kulit ari jagung dengan
slurry dan komponen-komponen biji jagung. Mengingat perbedaan berat jenis yang cukup besar dari masing-
masing komponen yang akan dipisahkan, maka untuk memisahkannya dapat digunakan hydrocyclone (siklon
yang menggunakan penggerak air). Parameter yang harus diperhatikan dalam perancangan hydrocyclone
salah satunya adalah kecepatan aliran air (tekanan lairan bahan). Besar kecilnya kecepatan air yang masuk ke
dalam hydrocyclone akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pemisahan.
Slurry yang telah bersih dari germ dan kulit jagung harus digiling lagi agar benar-benar lembut.
Penggilingan dilakukan dengan mengatur jarak kerapatan dari disc, dan untuk penggilingan yang kedua
jaraknya lebih dirapatkan.
Gambar 7. Unit hidrosiklon
Gambar 8 : Alsin Pemisah Lembaga Biji Jagung
Spesifikasi Alsin
Unit Perendaman
- Tangki Perendaman
* Diameter (mm) : 750
* Tinggi (mm) : 210
- Keseluruhan
* Diameter : 830
*Tinggi : 307
i) Unit Penggilingan
- Dimensi
* Panjang (mm) : 890
* Lebar (mm) : 960
* tinggi (mm) : 950
* Motor penggerak: Motor listrik 3 phase,
3 HP
* Tipe Penggiling
: Disc mill (piringan) 8 inch.
- Unit Pembawa/Pengepres
* Diameter (mm): 162
* panjang (mm) : 610
* Motor Penggerak
: Motor listrik ¾ HP, 1 phase
ii) Unit Hidrosiklon
* Diameter (mm): 200
* tinggi (mm) : 730
iii) Unit Pemanas Air
* Diameter (mm) : 600
* Tinggi (mm) : 100
- Keseluruhan
* Diameter (mm) : 800
* Tinggi (mm) : 1600
384
Pemisahan primer antara pati dan gluten
Pati kasar (starch crude) terdiri atas pati, gluten (yang mengandung protein) dan bahan terlarut
lainnya. Pemisahan awal dilakukan dengan memanfaatkan perbedaan beratjenis antara pati dan gluten.
Pemisahan antara pati dan protein dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan menggunakan
meja/bak pengendapan, hydrocyclone, dan sentrifugator. Pemisahan protein dari pati dilakukan agar pati
yang dihasilkan benar-benar bebas dari lemak sehingga masa simpannya lebih lama dan tidak bau tengik.
Pemisahan dengan bak pengendapan hasilnya kurang begitu bagus karena kandungan proteinnya masih
cukup tinggi. Cara ini umumnya dipakai oleh industri-industri kecil di pedesaan. Sedangkan pemisahan
dengan hydrocyclone memberikan hasil yang cukup bagus, namun biayanya mahal, karena menggunakan
beberapa tahap pemisahan. Cara ini banyak digunakan di industri-industri besar karena dinilai cukup efisien
dan hasilnya cukup baik dan pengoperasiannya bisa kontinyu. Mengingat partikel protein memiliki kerapatan
yang rendah (1,1 g/m3) dibandingkan dengan partikel pati (1,5 g/cm
3) memungkinkan memisahkannya
dengan cara sentrifugasi. Hasil gilingan jagung yang telah direndam dan dimasukkan ke dalam
container/tabung akan membentuk endapan pati di bagian bawah dan lapisan kuning dari protein (gluten)
pada bagian atas dalam waktu 10 menit. Secara skematis gambar design mesin pemisah pati dan protein
dengan menggunakan system sentrifugasi adalah seperti pada gambar 8. Adapun komponen-komponen
utamanya terdiri dari 1) tabung pemisah yang dilengkapi dengan saringan, 2) motor penggerak, dan 3) system
transmisi (pulley dan belt). Beberapa parameter design yang harus diperhatikan dalam perancangan mesin
sentrifugator adalah putaran poros dari tabung pemisah dan ukuran saringan pati. Untuk pemisahan pati dan
protein diperlukan putaran poros dari tabung pemisah yang cukup tinggi.
Gambar 8. Gambar Sket Unit Sentrifus
Pengeringan pati
Untuk pengeringan produk pati dapat dilakukan dengan cara tradisional atau dengan menggunakan
pengering artifisial. Pengeringan secara alamiah dilakukan dengan menjemur pati di atas para-para dengan
menggunakan panas dari sinar matahari. Sedangkan untuk pengeringan secara artificial dengan menggunakan
mesin pengering tipe flash (flash dryer). Pengering tipe ini cocok untuk pengeringan bahan berbentuk
partikel (pati).
Mesin pengering pati yang dirancang BBPMP adalah mesin pengering tipe flash dryer. Mesin ini
terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu bagian pemanas, bagian pengumpan (feeding), tabung
pengeringan, siklon penampung dan kipas penghembus. Secara skematis dapat dilihat pada gambar 9.
385
Dari hopper penampung, pati diumpankan melaui screw conveyor ke dalam flash dryer and akan
kering dalam udara panas. Pati kering yang dialirkan secara pneumatic ke dalam silo dan siap untuk disaring
dan dikemas. Kadar air setelah pengeringan adalah 12-13%. Secara skematik mekanisme kerja pada flash
dryer disajikan pada gambar berikut ini.
Gambar 9. Gambar Skematis Pengering Tipe Flash Dryer
Parameter utama yang digunakan dalam disain pengering tipe flash dryer antara lain : ukuran
(diameter) butiran, kadar air awal dan akhir bahan, temperatur udara, konduktivitas panas, kapasitas
pengeringan yang diinginkan dan lain-lain. Berdasarkan parameter-parameter tersebut kemudian dihitung
laju aliran panas yang dibutuhkan, diameter dan tinggi pengering.
KESIMPULAN
1) Telah dirancang mesin pengolahan jagung menjadi pati jagung (tepubg mayzena) skala kecil sistem
basah.
2) Komponen-komponen utama mesin pengolahan jagung adalah bagian pemisah lembaga biji jagung,
bagian pemisah pati dan protein (sentrifus) dan bagian pengeringan pati.
3) Bagian pemisah lembaga biji jagung telah selesai dibuat dan diuji dengan kapasitas 50 kg/jam.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2001, CornQuality for Industrial Uses, http://ianrpubs.unl.edu/fieldcrops/g1115.htm
Anonim, Beall Degerminators, http://www.bealldeg.com/
Anonim, Wet Milling Process, http://www. pionir.com/media/industry select/about-industry select/wet_
milling_brochure.pdf.
Djauhari A., Adimesra J., Irlan S., Maize Production in Java Prospects for Improved Farm-Level Production
Technology, CPGRT Center, Bogor.
Haryadi, 2004, Ragam Pangan Pokok dan Pengolahannya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar pada fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta.
Subandi, Inu G., Hermanto, 1998, JAGUNG Teknologi Produksi dan Pascapanen, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Syarif R, dan J Kumendong, 1997, Penanganan Panen dan PascaPanen Jagung Dalam Rangka Meningkatkan
Mutu Jagung Untuk Industri/Ekspor, Seminar Temu Teknis Badan Pengendali Bimas. Departemen
Pertanian, Jakarta.
386
KELAYAKAN PAKET TEKNOLOGI USAHATANI DENGAN POLA TUMPANGSARI UBIKAYU
DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
Nila Prasetiaswati dan Abdul Munip
Staf Peneliti Balitkabi
ABSTRAK
Untuk perbaikan komponen teknologi pemupukan dan pengelolaan tanaman ubi kayu spesifik lokasi lahan
kering masam dilakukan penelitian teknologi tumpangsari baris ganda ubi kayu dan teknologi pemupukan ubi kayu pada musim tanam 2005/2006 di Kabupaten Lampung Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan
secara ekonomi komponen teknologi usahatani serta efektivitas pola tumpangsari ubi kayu. Percobaan menggunakan
Rancangan Percobaan Petak Terpisah dengan 3 ulangan, luas plot 5 m x 10 m. Petak utama menggunakan klon ubi kayu
Malang 6, UJ-5, BIC 137 dan UJ-4. Sebagai anak petak menggunakan sistem baris ganda tumpangsari yaitu : (T1) Monokultur ubi kayu ( 100 cm x 100 cm); (T2). Tumpangsari ubi kayu + jagung (50 ; 200) x 80 cm; (T3). Tumpangsari
ubi kayu + jagung + kacang tanah (60 ; 273) x 60 cm. Dosis pemupukan ubi kayu adalah 100 kg Urea + 100 kg SP36 +
100 kg KCl/ha, jagung 200 kg Urea + 100 kgSP36 + 100 kg KCl/ha sedang pada kacang tanah 50 kg Urea/ha. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hasil ubi kayu pada T1, T2 dan T3 berbeda secara significant. Masing-masing adalah 35, 5 t/ha, 42, 46 t/ha dan 39,49 t/ha, hasil ubi tertinggi pada teknologi T2 (tumpangsari ubi kayu + jagung). Pada pola
tumpangsari T2, semua varietas (Malang 6, UJ 5, BIC 137 dan UJ 3) mempunyai B/C ratio lebih besar dari 1 (B/C ratio >
1), keuntungan yang dapat diperoleh berkisar antara Rp 5.715.400 – Rp 9.298.600. Keuntungan tertinggi pada T2 dengan
ubi kayu Varietas/Klon Malang 6, dengan perolehan penerimaan ubi kayu sebesar Rp 13.046.800 dan jagung Rp 1.336.000 . Sedangkan teknologi T3 memberikan keuntungan sebesar Rp 10.193.600 (B/C ratio 1,5). Pada pola ini petani
dapat memperoleh pendapatan dari jagung sebesar Rp 1.592.000 dan dari kacang tanah sebesar Rp 3.030.000, sedangkan
pada varietas lain ( BIC 137 dan UJ 3) mempunyai B/C ratio <1. Dengan demikian polatanam tumpangsari dengan
teknologi T2 paling layak untuk dikembangkan di daerah Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas/klon UJ3 dan UJ5 sangat layak untuk pola tanam tumpangsari, karena tipe
tanaman yang tegak dan hasil produksi yang cukup tinggi
Kata kunci : kelayakan ekonomi, paket teknologi, tumpangsari, ubi kayu
PENDAHULUAN
Tanaman ubi kayu (Manihot esculenta) mempunyai kedudukan yang strategis dan potensinya besar
sebagai penghasil bahan pangan karbohydrat dan juga merupakan bahan baku industri dan sebagai penghasil
devisa negara melalui ekspor dalam bentuk gaplek maupuin dalam bentuk olahan lainnya.
Dalam penerapan suatu teknologi sangat dipengaruhi oleh : (1) Faktor sosial ekonomi internal (tujuan
berusahatani); (2) Faktor kondisi sosial ekonomi eksternal (pasar, masukan dan luaran, kelembagaan, dan
kebijakan nasional dan regional; (3) Faktor kondisi alam (iklim, biologi dan tanah). Introduksi teknologi
baru relatif sulit dilaksanakan, tidak jarang ditolak petani. Hal ini dapat disebabkan oleh : (1) Teknologi baru
tidak dapat menyatu dengan kondisi petani; (2) adopsi teknologi baru dapat memberi kemungkinan
meningkatnya pendapatan resiko dan juga adanya kegagalan (Byerlee dan Collinson, 1980 ; adjid, 1985).
Oleh karena itu introduksi teknologi baru harus dikaji dalam dimensi tidak secara teknis saja, tetapi juga
ekonomisnya agar dapat diadopsi petani.
Lahan kering Alfisol sangat potensial untuk pengembangan ubi kayu. Tanah jenis ini mempunyai
keunggulan sifat fisik yang bagus. Namun demikian tanah Alfisol umumnya miskin unsur hara , baik yang
makro maupun yang mikro, dan hanya kaya akan unsur hara Ca dan kadang-kadang Mg ( Supardi, 1983). Di
samping itu, lahan kering jenis Alfisol yang sudah lama dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pangan
kandungan humusnya umumnya sudah rendah sampai sangat rendah (Sarief, 1986). Pada kondisi tersebut
tanaman pangan termasuk ubi kayu sulit berproduksi secara optimal tanpa adanya pengelolaan tanah dan
tanaman yang optimal.
Bertanam ubi kayu sistem tumpangsari dengan komoditas legum seperti kacang tanah sangat baik untuk
mempertahankan kadar humus dalam tanah, tingkat kesuburan tanah bahkan dapat meningkatkan kadar
humus dalam tanah (CIAT, 1979) sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Bertanam secara
tumpangsari mempunyai 2 tujuan yaitu mampu menghasilkan bahan organik yang berfungsi sebagai pupuk
organik dan mampu mengahasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan petani sebagai tambahan selain ubi
kayu (Ispandi dkk, 2003). Disampaikan juga oleh Karama (2003) bahwa agar pendapatan petani ubi kayu
dapat meningkat, penanaman ubi kayu diarahkan secara tumpangsari dengan tanaman yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi dan saling sinergik serta tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
387
Dilaporkan bahwa penelitian ubi kayu di tanah Ultisol Lampung yang ditanam secara tumpangsari
dengan kacang tanah dapat menekan erosi tanah sebesar 22 % bila dibanding dengan pertanaman monokultur
ubi kayu dan meningkatkan penggunaan tanah sebesar LER 1,62 % dan pendapatan kotor 30% lebih tinggi
dibanding tanaman monokultur (Wargino dan Heriyani, 1996). Hasil penelitian Ispandi dkk.(2003),
penelitian di lahan kering Alfisol Malang Selatan menunjukkan bahwa ubi kayu yang ditanam dengan pola
tumpangsari ubi kayu + (jagung-kacang tanah) dapat menghasilkan umbi 54% lebih tinggi daripada yang
ditanam dengan pola tanam ubi kayu + jagung, dimana setelah panen jagung, lahan bekas jagung dibiarkan
kosong. Dari penelitian tersebut dapat dihasilkan 1455 kg kacang tanah polong kering selain hasil ubi kayu
dan jagung.
Hutagalung dan Suhaeti (2001) menyampaikan bahwa polatanam tumpangsari ubi kayu dan jagung di
Lampung Timur dan Lampung Tengah dengan pemberian pupuk yang tepat serta penggunaan varietas
unggul dapat menerima keuntungan sebesar Rp 2.354.325,00 (B/C ratio 0,9) dari modal Rp 2.777.425. Juga
penelitian Wargiono (2003) menjelaskan bahwa penggunaan sistem tumpangsari ubi kayu + jagung + padi di
Lampung pada luasan 0,38 ha dapat menyumbangkan kebutuhan pangan, yaitu beras selama 6-8 bulan dan 4-
6 bulan dengan ubi kayu untuk sunbtitusi beras serta pendapatan Rp 729.000/8 bulan untuk petani dengan
lima orang anggota keluarga. Dari hasil penelitian Ispandi (2002); Munip dan Ispandi (2004) menunjukkan
bahwa teknologi budidaya tumpangsari dengan cara baris ganda (double row) ubi kayu dengan jagung atau
kacang-kacangan dapat meningkatkan produktivitas ubi kayu disamping hasil tambahan dari tanaman
tumpangsari.
Beberapa hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa dengan perbaikan teknologi dan pola tanam
dapat meningkatkan pendapatan. Diharapkan teknologi ubi kayu yang diperkenalkan dapat dan cepat
diadopsi petani pada kondisi sosial ekonomi petani setempat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kelayakan secara ekonomi komponen teknologi usahatani pola tumpangsari ubi kayu.
METODOLOGI
Lokasi pemeliharaan adalah di Kecamatan Punggur Lampung Tengah pada musim penghujan
2005/2006 (tanam Oktober 2005). Rancangan percobaan menggunakan Petak Terpisah dengan 3 ulangan.
Luas plot 5 x 10 m2 dengan petak utama klon ubi kayu (Malang 6, UJ5, Big137 dan UJ-4). Tanaman sela
jagung hibrida P12 ditanam bersama ubi kayu dalam areal 2 m diantara baris ganda ubi kayu. Setelah jagung
dipanen kemudian ditanami dengan kacang tanah. Pemupukan ubi kayu diberikan dosis 100 kg urea + 100 kg
SP36 + 100 kg KCl/ha. Sedangkan jagung dipupuk 200 kg urea + 100 kg SP 36 + 100 kg KCl/ha, dan kacang
tanah hanya dipupuk 50 kg urea.
Perlakuan sistem tanam tumpangsari sebagai berikut : (1) monokultur ubi kayu populasi 10.000
tanaman/ha jarak tanam 100cm x 100cm; (2) sistem tumpangsari baris ganda ubi kayu. Populasi 10.000
tanaman/ha jarak tanam (50; 200) x 80 cm, di antara baris ganda ubi kayu berjarak 200 cm ditanami 3 baris
jagung dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm 1 tanaman per lubang; (3) sistem tumpangsari baris ganda ubi
kayu populasi 10.000 tanaman/ha jarak tanam ubi kayu (60 ; 273 cm) x 60 cm. Diantara baris ganda ubi
kayu berjarak 273 cm ditanami 4 baris jagung dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm 1 tanaman per lubang.
Setelah jagung dipanen kemudian ditanami kacang tanah jarak tanam 40 cm x 20 cm 2 biji per lubang.
Bersamaan dengan penelitian lapang, dilakukan pula penelitian usahatani pada petani koperator.
Teknik penelitian dilakukan dengan wawancara dan mengacu pada daftar pertanyaan yang telah disusun.
Pemilihan petani dilakukan dengan teknik purposive sampling (5 petani koperator). Petani koperator sebagai
pengguna teknologi yang diperkenalkan oleh Balitkabi. Pengamatan di tingkat petani, meliputi : gambaran
umum usahatani ubi kayu serta respon petani terhadap teknologi yang diperkenalkan. Data yang terkumpul
dievaluasi dengan cara ditabulasi dan metode analais yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
imbangan keuntungan dan biaya (B/C ratio)
HASIL DAN PEMBAHASAN
a) Keragaan Komponen Teknologi
Penelitian dilaksanakan pada awal musim penghujan 2005/2006 tanam awal bula Oktober 3006.
pada pola sistem monokultur maupun tumpangsari populasi ubi kayu adalah sama yaitu 10.000 tanaman per
hektar. Dengan sistem tanam baris ganda ubi kayu dalam pola tumpangsari dengan tanaman jagung maupun
dengan tanaman kacang tanah memiliki ruamg pertumbuhan yang cukup luas baik pola tumpangsari baris
388
ganda jarak tanam (50 x 80 ) 200 cm (T2) maupun yang jarak (60 x 60 ) 273 cm (T3), sehingga memberikan
hasil ubi kayu segar lebih tinggi dibanding monokultur.
Dengan perlakuan seperti tersebut diatas, ditambah dengan pengelolaan tanah yang baik, Varietas
Malang 6 dan UJ 3 pada T1 dapat menghasilkan umbi masing-masing 37.5 t/ha dan 38,4 t/ha.. Hasil umbi
tersebut sudah sesuai dengan potensi hasil ubi kayu varietas unggul pada umumnya yaitu sekitar 35 t/ha
(Balitkabi, 2005). Propinsi Lampung mencapai 299.000 ha dengan produktivitas 17,6 ton/ha dan produksi ubi
kayu di Lampung pada tahun 2003 mencapai 4,98 juta ton sedangkan pada tahun 2004 hanya 4, 68 juta ton
terjadi penurunan sekitar 6% (BPS, 2004).
Hasil analisa statistik perlakuan T2 (ubi kayu + jagung) dan T3 (ubi kayu + jagung + kacang tanah)
berbeda nyata pada hasil ubi (Tabel 1). Pada perlakuan T2 dan T3 dengan pola tumpangsari, Varietas Malang
6 dan UJ 3 dapat menghasilkan umbi yang cukup tinggi dibandingkan dengan varietas lain. Hasil umbi
Varietas Malang 6 berkisar antara 47,2 – 50,18 t/ha dan Varietas UJ 3 berkisar antara 32,9 – 42,46 t/ha
(Tabel 2).
Tabel 1. Hasil Ubikayu Pada Komponen Teknologi Introduksi Berdasarkan Hasil Analisa Statistik di Kecamatan
Punggur, Lampung Tengah, 2005
Perlakuan Hasil ton/ha
Sistem Tanam Ubikayu Monokultur (T1)
Jarak tanam (100 x 100) cm
35,5 b
Tumpangsari Ubikayu + Jagung (T2)
Jarak tanam 200 x (80 x 50) cm
42,46 a
Tumpangsari Ubikayu + Jagung + Kacang tanah (T3)
Jarak tanam 273 x (60 x 60) cm
39.49 ab
Tabel 2. Hasil Ubikayu, Jagung dan Kacang Tanah Pada Perlakuan Teknologi Introduksi di Kecamatan Punggur,
Lampung Tengah, 2005
Varietas
Sistem Tanam
Monokultur
Ubikayu (t/ha)
Tumpangsari Ubikayu +
Jagung (t/ha)
Tumpangsari Ubikayu+Jagung+Kacang
Tanah (t/ha)
Ubikayu Jagung Ubikayu Jagung Kc.Tanah
Malang 6
UJ 5
BIC 147
UJ 3 Jagung
Kc.tanah
37.5
35.7
30.3
38.4 4.2
1.6
50.18
44.85
34.15
40.65
1.67
1.67
2.46
2.02
47.2
47.9
29.9
32.9
2.16
1.99
2.38
2.37
0.53
1.01
0.99
1.02
b) Penggunaan Input dan Teknologi
Stek dan Benih
Dalam kajian ini menggunakan dua varietas ubi kayu UJ-5 dan Malang-6 dan dua klon unggul harapan
ubi kayu BIC-137. Pola tanam monokultur menggunakan dasar populasi tanaman 10.000 tanaman hektar
atau identik dengan kebutuhan 10.000 stek/ha,juga pada pola tumpangsari pada saat tanam. Harga stek
untuk bibit pada saat tanam Rp 20,00/stek. Varietas kacang tanah Lokal digunakan pada pola tumpangsari
ubi kayu + jagung + kacang tanah dan Varietas jagung P12 digunakan pada pola tumpangsari ubi kayu +
jagung. Harga benih kacang tanah pada saat tanam Rp 9.000/kg dan benih jagung Rp 35.000/kg
Pupuk
Tanaman ubi kayu untuk semua perlakuan dipupuk 200 kg Urea + 100 kg KCl + 100 kg SP36/ha.
Kacang tanah tumpangsari dipupuk 50 kg Urea/ha dan 300 kg/ha kapur, dan tanaman jagung tumpangsari
dipupuk 200 kg Urea + 100 kg SP-36/ha + 100 KCl. Harga pupuk kimia Urea, SP36, KCl dan kapur pada
saat tanam masing-masing adalah Rp.1220/kg; Rp.1700,00/kg , Rp.2800,00/kg dan kapur Rp 380,00/kg
Pestisida
Perlakuan pemberantasan hama penyakit dilakukan apabila terdapat serangan. Pada percobaan yang
dilaksanakan, tanaman jagung diserang oleh Heliothis armigera. Penyemprotan dilakukan sebanyak 2 kali
pada tanaman jagung berumr 21 hst dan 42 hst. Pestisida yang digunakan adalah Regent. Sekali aplikasi
389
diperlukan 4 botol (100 cc)/ha dengan harga Rp 24.000/botol. Biaya yang diperlukan pestisida sebesar Rp
96.000/aplikasi/ha.
c) Kebutuhan Tenaga Kerja
Tenaga kerja pada aktivitas penelitian ini meliputi : pengolahan tanah, pembuatan saluran drainase,
tanam, pemupukan, pembubunan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, panen dan prosessing. Biaya
tenaga kerja usahatani ubi kayu, jagung dan kacang tanah untuk semua kegiatan kecuali pengolahan tanah
dan pengendalian hama sebesar Rp 20.000/orang (kegiatan dimulai jam 07.00- 11.00 dilanjutkan dari jam
12.00 – 14.00) dan upah pengolahan tanah sebesar Rp 240.000/ha dan pengendalian hama dilakukan mulai
jam 07.00 – 11.00 sebesar Rp 15.000/orang.
d) Analisa Kelayakan Komponen Teknologi
Dari hasil penelitian tumpangsari ubi kayu + jagung pada varietas ubi kayu Malang 6 (B/C Ratio
1,8) dan UJ 5 (B/C Ratio 1,6), juga tumpangsari ubi kayu + jagung + kacang tanah pada varietas ubi kayu
Malang 6 (B/C Ratio 1,1), UJ 3 (B/C Ratio 1,4) sangat layak untuk dikembangkan di Kecamatan Punggu,
Lampung Tengah (Tabel 5).
Biaya produksi pada T2 berkisar antara Rp 5.084.200 – Rp 5.131.600/ha, dengan keuntungan yang
diperoleh petani berkisar antara 5.715.400 – Rp 9.298.600/ha, sedangkan biaya produksi terbesar pada
perlakuan T3, yaitu sebesar Rp 6.892.600/ha, namun perlakuan ini dapat memberikan keuntungan tertinggi
yaitu sebesar Rp 10.193.600 (B/C Ratio 1.5).
Dari kedua pola tumpangsari tersebut dapat dilihat bahwa B/C Ratio dengan pola tanam
tumpangsari ubi kayu + jagung lebih menguntungkan daripada pola teknologi T3. Teknologi T2 sangat layak
untuk diterapkan dan dapat direkomendasikan kepada petani setampat. Hal yang sama disampaikan oleh
Rozy dkk, (1990) bahwa secara ekonomi pola tumpangsari berbasis ubi kayu yang terbaik ialah ubi kayu +
jagung.
Tabel 3. Total Biaya Produksi Pada Perlakuan Teknologi Introduksi di Punggur, Lampung Tengah, 2005 (Rp. 1000)
Kegiatan T1 T2 T3
Fisik Nilai (Rp/ha) fisik Nilai (Rp/ha) Fisik Nilai (Rp/ha)
Naker (HOK/Ha)
Persiapan lahan (Pasang) 2 240 2 240 3 400
Pembuatan drainase 2 40 2 40 2 40
Penanaman 10 200 22 440 38 760
Pemupukan 12 120 12 240 18 360
Pembubunan 10 200 6 120 6 120
Penyiangan 24 480 24 480 32 640
Pengendalian hama 0 0 6 90 6 90
Panen 32 640 56 1.120 88 1.760
Saprodi
- Stek ubi kayu (stek) 10.000 200 10.000 200 10.000 200
-Benih Jagung (kg/ha) 16 560 14 490
-Benih Kc.Tanah (kg/ha) 42 378
Pupuk :
-Urea 200 244 300 244 350 305
-SP-36 100 170 200 340 200 340
-KCl 100 280 200 560 200 560
-Kapur 300 114
Insektisida (cc/ha) 192 84
Biaya Produksi 2.934 4.984* 6.763*
*) Biaya belum ditambahkan dengan biaya pemipilan jagung, dimana biaya pemipilan jagung Rp 6000/kw
390
Tabel 4 . Penerimaan Petani Dari Tiga Pola Tanam Ubikayu Pada Perlakuan Teknologi Introduksi di Kecamatan
Punggur, Lampung Tengah, 2005
Varietas/Klon
ubi kayu
Ubikayu MK Tumpangsari Ubikayu + Jagung Tumpangsari Ubikayu + Jagung + Kc.tanah
Penerimaan
U.kayu
(Rp/ha)
Biaya
Total
(Rp/ha)
Penerimaan
U.kayu
(Rp/ha)
Penerimaan
Jagung
(Rp/ha)
Biaya
Total
(Rp/ha)*
Penerimaan
U.kayu
(Rp/ha)
Penerimaan
Jagung
(Rp/ha)
Penerimaan
Kc. Tanah
(Rp/ha)
Biaya
Total
(Rp/ha)*
Malang 6 9.750.000 2.934.000 13.046.800 1.336.000 5.084.200 12.272.000 1.728.000 1.590.000 6.892.600
UJ 5 9.282.000 2.934.000 11.661.000 1.338.400 5.084.380 12.454.000 1.592.000 3.030.000 6.882.400
BIC 137 7.878.000 2.934.000 8.879.000 1.968.000 5.131.600 7.774.000 1.904.000 2.970.000 6.905.800
UJ 3 9.984.000 2.934.000 10.569.000 1.616.000 5.105.200 8.554.000 1.896.000 3.060.000 6.905.200
*) Biaya telah ditambahkan dengan biaya pemipilan Rp 6000/kw
Tabel 5. Keuntungan dan B/C Ratio pada Perlakuan Teknologi Introduksi di Kecamatan Punggur, Lampung Tengah,
2005
Varietas/
Klon Ubikayu
Ubikayu monokultur Ubikayu + Jagung Ubikayu + Jagung +kc.tanah
Keuntungan
(Rp/ha) B/C Ratio
Keuntungan
(Rp/ha) B/C Ratio
Keuntungan
(Rp/ha) B/C Ratio
Malang 6 6.816.000 2,3 9.298.600 1,8 8.697.400 1,3
UJ 5 6.348.000 2,2 7.915.020 1,6 10.193.600 1,5
BIC 137 4.944.000 1,7 5.715.400 1,1 5.742.200 0,8
UJ 3 7.050.000 2,4 7.079.800 1,4 6.604.800 0,9
e) Respon Petani Terhadap Komponen Teknologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum petani koperator terkesan dan menanggapi
secara baik terhadap komponen teknologi T2, dengan alasan: (a) penampakan tanaman sangat bagus; (b)
Tanaman jagung dapat tumbuh dan produksi tinggi; (c) jarak tanam yang teratur dan adanya drainase sangat
memudahkan perawatan tanaman; dan (d) Varietas UJ 3 dan UJ 5 mempunyai tipe yang bagus (tegak dan
kanopi daun tidak melebar); (e) Biaya produksi masih dapat diusahakan oleh petani; (f) penjualan hasil
panen jagung relatif mudah dan harga relatif stabil.
KESIMPULAN
1. B/ C ratio T2 lebih tinggi daripada polatanam tumpangsari T3, sehingga pola tumpangsari ubi kayu
dengan teknologi T2 sangat layak dikembangkan
2. Tingginya hasil produksi dan tipe tanaman yang tegak Varietas/klon UJ3 dan UJ5 sangat layak untuk
pola tanam tumpangsari.
3. Pendapatan dari cara tanam ubi kayu secara monokultur, kurang menguntungkan karena hasil baru dapat
dinikmati pada bulan ke 10
DAFTAR PUSTAKA
Adjid, D.A.1985. Pola Partisipasi masyarakat Pedesaan dalam Pembangunan Pertanian Berencana : Kasus
Usahatani Kelompok Hamparan dalam Intensifikasi Khusus (Insus) Padi : Suatu Survai di Jawa
Barat. Disertasi Universitas Padjadjaran. Bandung
Balitkabi. 2005. Diskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Indonesia. 154 h.
BPS. 2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta
Byerlee Derek and M.Collinson. 1980. Planning Technologies Appropriate to Farmers: Concepts and
Procedures. CYMMYT. Mexico
CIAT (D.Franklin, G.Sandoval and P.Jun.1979). The Ideal Cassava Plant for Maximum Yield.
Crop.Sci.19.271-279.
391
Hutagalung dan Suhaeti 2001. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. ISSN 0216-4427. Vol.23
No.5. Hal 16-17
Ispandi, A. 2002. Pengelolaan Ubikayu di Lahan Kering Alfisol Mendukung Agroindustri dan Optimasi
Produktivitas Lahan. Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Dalam
Jusuf M.., Soejitno J., Sudaryono., Arsyad D.M, Rahmianna A.A., Heriyanto, Marwoto, Tastra I.K.,
Adie M dan Hermanto. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Hal 96-107
Ispandi, A., L J Santosa, E Ginting. 2003. Pemberdayaan Ubikayu Mendukung Ekonomi Keluarga Petani Di
Pedesaan Lahan Kering Iklim Kering. Pemberdayaan Agribisnis Ubikayu Mendukung Ketahanan
Pangan. Dalam Hartojo K.,Heriyanto, Sudaryono, Arsyad D.M., Suharsono, Tastra I K. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 147-160
Ispandi, A. dan A. Munip. 2004. Efektivitas Pupuk ZA, K dan Frekuensi Pemberian Pupuk K dalam
Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Ubikayu di Lahan Kering Alfisol. Kinerja Penelitian
Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
hal.368-383.
Karama, S. 2003. Potensi, Tantangan Dan Kendala Ubikayu Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam
Jusuf M.., Soejitno J., Sudaryono., Arsyad D.M, Rahmianna A.A., Heriyanto, Marwoto, Tastra I.K.,
Adie M dan Hermanto. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Hal 1-13
Rozy F., Y. Widodo and H. Hartoyo. 1990. On Farm Research of Cassava Intercropped With Maize. Root
Crops Improvement In Indonesia. In Yudi Widodo and Sumarno. Malang-Indonesia. Page 17-20
Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. 591 hlm.
Syarief, E.S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buana Jakarta. 157h.
Wargiono, J. 2003. Pemupukan NPK Pada Ubikayu Dalam Sistem Tumpangsari pada Tanah Ultisol.
Pemberdayaan Agribisnis Ubikayu Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam Hartojo K.,Heriyanto,
Sudaryono, Arsyad D.M., Suharsono, Tastra I K. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.Hal 135-146
392
ANALISIS KELAYAKAN DAN KONTRIBUSI PENDAPATAN USAHATANI KOMODITAS
TANAMAN PANGAN DAN PALAWIJA DI LAHAN KERING DATARAN RENDAH
Jemmy Rinaldi, I Ketut Mahaputra dan I Made Rai Yasa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK
Potensi suatu komoditas seringkali dilihat dari potensi lahannya. Lahan kering biasanya sebagai objek masalah
yang dihadapi petani dalam berusahatani. Kajian ini dilakukan di subak sawah Karya Sari Bumi di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali yang bertujuan untuk (1) mengetahui komoditas dominan yang
diusahakan oleh petani, (2) mengetahui kelayakan finansial usahatani yang diusahakan dan (3) mengetahui berapa besar
kontribusi pendapatan yang diusahakan dari beberapa komoditas dominan tersebut. Pengkajian menggunakan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA). Survei/wawancara dilakukan pada bulan April 2006 dengan jumlah petani responden sebagai peserta PRA sebanyak 40 orang. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui pendapatan dan
kelayakan usahatani yaitu R/C ratio dan analisis kontribusi pendapatan usahatani. Berdasarkan hasil analisis, komoditas
dominan yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi Desa Sanggalagit adalah Padi, kacang tanah dan jagung
dengan rara-rata kepemilikan lahan petani sebesar 90 are. Komoditas kacang tanah mampu memberikan tingkat pendapatan tertinggi per tahun yaitu sebesar Rp. 2.380.000 dengan kontribusi pendapatan 63,64%. Sedangkan komoditas
jagung tidak memberikan kontibusi terhadap pendapatan petani yang disebabkan ruginya usaha yang dilakukan petani
yaitu sebesar Rp. 78.000 dengan luas areal pertanaman rata-rata sebesar 10 are. Hal ini disebabkan kurangnya air yang
diperoleh pada saat berusahatani jagung yaitu pada musim kemarau. Tingkat kelayakan tertinggi komoditas dominan yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi Desa Sanggalangit yaitu komoditas kacang tanah dengan nilai R/C
ratio sebesar 2,47. kemudian diikuti dengan komoitas padi dengan nilai R/C ratio sebesar 1,46. Sedangkan untuk
komoditas jagung nilai R/C ratio sebesar 0,61.
Kata kunci : kelayakan, kontribusi pendapatan, lahan kering, PRA
PENDAHULUAN
Potensi lahan kering nasional yang pada tahun 1999 diperkirakan seluas 12,23 juta hektar (Zakaria
dan Swastika, 2005) yang sampai saat ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Propinsi Bali
memiliki lahan kering dengan luas 38,73% (218.119 ha) dari luas Propinsi Bali yaitu 563.286 ha, yang
sebagian besar terletak di bagian timur dan utara pulau Bali (Kabupaten Karangasem dan Kabupaten
Buleleng). Rata-rata curah hujan untuk daerah ini berkisar antara 1.200 - 1.600 mm/tahun dengan musim
penghujan yang pendek 3-4 bulan yang biasanya terjadi pada bulan November samapai bulan Februari
(Suprapto, 2003).
Lahan produktif (lahan sawah) semakin menyusut akibat beralih fungsi, sehingga perlu dicari
alternatif lahan baru untuk pengembangan tanaman pangan antara lain dengan pemanfaatan lahan kering
yang masih begitu luas (Mahaputra dan Adijaya, 2004). Lahan kering di Bali utara umumnya belum terkelola
dengan optimal, sehingga pola tanam pada tanamanan pangan semusim seperti jagung dan kacang tanah
dilakukan pada musim penghujan (Suprapto et al., 1999)
Masalah kemiskinan di pedesaan lebih banyak dijumpai di wilayah yang berbasis lahan kering dan
gejala kemiskinan tersebut disebabkan antara lain oleh daya dukung alam relatif kurang, prasarana ekonomi
yang kurang merata dan kelembagaan belum menjangkau masyarakat setempat serta mutu sumberdaya
manusia yang relatif masih rendah (Puslit Sosek Pertanian, 1993). Pada dasarnya tingkat kemiskinan mutu
masyarakat erat hubungannya dengan kesenjangan kontribusi pendapatan masyarakat Dengan kata lain,
kesenjangan kontribusi pendapatan diantara anggota masyarakat mempunyai korelasi positif dengan besarnya
proporsi rumah tangga miskin di suatu komunitas.
Kasryno dan Suryana (1992) mengatakan ada dua karakter desa miskin, yaitu terbatasnya aset
produktif seperti lahan dan kapital serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Kedua karakteristik
tersebut diduga merupakan kendala dalam mengaplikasikan suatu teknologi yang dapat berpengaruh positif
terhadap peningkatan pendapatan bagi masyarakat petani yang berpenghasilan rendah.
Selama ini program pengembangan teknologi lahan kering relatif tertinggal dan bahkan kurang
diprioritaskan dibanding lahan irigasi, sehingga menjadikan mereka semakin terpuruk dan akhirnya masuk
kedalam perangkap kemiskinan. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan diatas maka perlu adanya
teknologi baru untuk mengembangkan lahan kering dalam peningkatan pendapatan petani. Sebelum
masuknya teknologi baru maka terlebih dahulu perlu mengetahui seberapa besar pendapatan yang diterima
393
petani dalam mengusahakan lahannya sebelum memulai masuknya teknologi baru sebagai data dasar
indikataor peningkatan pendapatan.
METODOLOGI
Kajian kelayakan dan kontribusi pendapatan usahatani tanaman pangan dan palawija dilakukan di
subak sawah Karya Sari Bumi, Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Propinsi Bali.
Pengkajian dilakukan dengan metode survei/wawancara menggunakan metode Participatory Rural Appraisal
(PRA) dengan tujuan sebagai data dasar keadaan finasial petani secara parsial di daerah pengkajian.
Survei/wawancara dilakukan pada bulan April 2006 dengan jumlah petani responden sebagai peserta PRA
sebanyak 40 orang. Adapun data yang diperoleh adalah data input output usahatani yang dilakukan selam
satu tahun yaitu tahun 2005. Analisis pendapatan digunakan rumus (Downey dan Erickson, 1985 dan
Suratiyah, 1997).
I = (y . Py ) - (Xi . Pxi )
Keterangan :
I = Pendapatan (Rp/ha)
Y = Output/hasil (kg)
Pxi = Harga input (Rp)
Py = output (Rp)
Xi = input (i = 1,2,3….n)
Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis anggaran parsial. Indikator analisis yang dipakai
adalah R/C ratio (Return Cost Ratio). Soekartawi (1995) menyebutkan bahwa R/C ratio adalah perbandingan
(nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut :
R
a =
C
R = Py.Y
C = FC + VC
a = (Py.Y) / (FC +VC)
Keterangan :
R = Penerimaan
C = Biaya
Py = Harga output
Y = Output
FC = Biaya tetap (fixed cost)
VC = Biaya tidak tetap (variabel cost)
Jika : a > 1 maka dikatakan layak,
a < 1 maka dikatakan tidak layak dan
a = 1 maka dikatakan impas (tidak untung maupun merugi)
Sedangkan analisis kontribusi pendapatan diperoleh dengan cara membandingkan antara pendapatan
komoditas dengan pendapatan total usahatani dalam satu tahun dikalikan 100% yaitu dengan rumus :
Pn
x 100%
TP
Keterangan :
Pn = Pendapatan komoditas n
TP = Total pendapatan Usahatani
394
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komoditas Dominan
Subak sawah Karya Sari Bumi mengusahakan komoditas tanaman pangan dan hortikultura.
Sebagian besar petani mengusahakan komoditas padi, kacang tanah dan jagung. Rata-rata kepemilikan lahan
di subak sawah Karya Sari Bumi yaitu sebesar 90 are dengan luas pertanaman padi 90 are, kacang tanah 90
are dan komoditas jagung seluas 10 are. Dalam hal ini komoditas jagung tidak diusahakan seluruh
kepemilikan lahan sebab persediaan air pada penanaman jagung kurang yaitu pada musim kering.
Usahatani Komoditas Padi
Salah satu komoditas utama yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi adalah padi dengan
luas areal pertanaman sebesar 90 are. Varietas padi yang diusahakan petani tersebut adalah IR 64 dan
Ciherang dengan biaya benih per kg sebesar Rp. 4.000. Adapun analisa usahatani komoditas padi dengan luas
areal 90 are di subak sawah Karya Sari Bumi disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Analisa Uasahatani Komoditas Padi dengan Luas Areal Rata-Rata 90 Are di Subak Sawah Karya Sari Bumi,
Gerokgak, Buleleng Tahun 2005
No Uraian Volume Harga/Satuan (Rp) Nilai (Rp)
I Biaya Sarana Produksi
1 Benih (IR 64/Ciherang) (kg) 60 4.000 240.000
2 Pupuk
Urea (zak) 4 65.000 260.000
SP36 (zak) 1 85.000 85.000
KCl (zak) 1 100.000 100.000
ZA (zak) 2 65.000 130.000
3 Obat-obatan
Decis (buah) 2 55.000 110.000
Ali (bungkus) 2 6.000 12.000
Total Biaya Saprodi 937.000
II Biaya Tenaga Kerja
1 Olah Tanah (ternak+orang) (HOK) 20 20.000 400.000
2 Penyemaian Benih (HOK) 1 20.000 20.000
3 Pencabutan Benih (kg) 60 4.000 240.000
4 Penanaman (are) 90 4.500 405.000
5 Pemupukan (HOK) 2 20.000 40.000
6 Penyiangan (HOK 1 20.000 20.000
7 Penyemprotan (HOK) 3 20.000 60.000
8 Panen (beras) 10 : 1(kg) 170 2.600 442.000
9 Slep (12%) (kg) 204 2.600 530.400
Total Biaya Tenaga Kerja 2.157.400
III Produksi/Penerimaan
1 Beras (kg) 1.700 2.600 4.420.000
2 Dedak 140 800 112.000
Total Penerimaan Usahatani 4.532.000
IV Total Biaya Usahatani 3.094.400
V Pendapatan Usahatani 1.437.600
VI R/C ratio 1,46
Sumber : Data Primer diolah
Hasil analisis usahatani komoditas padi di subak sawah Karya Sari Bumi dengan luas areal 90 are
memberikan gambaran bahwa komoditas padi yang diusahakan memperoleh pendapatan kotor sebesar
Rp. 4.532.000,- dengan keuntungan bersih sebesar Rp. 1.437.600,-.
Usahatani Komoditas Kacang Tanah
Komoditas tanaman pangan lainnya yang diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi adalah
kacang tanah, yang dominan yang diusahakan setelah komoditas padi. Benih kacang tanah yang diusahakan
petani adalah benih kacang tanah varietas lokal. Rata-rata petani mengusahakan kacang tanah dengan luas
areal yang sama besar dengan luas areal pertanaman padi yaitu 90 are. Analisa usahatani komoditas kacang
tanah di subak sawah Karya Sari Bumi disajikan dalam Tabel 2.
395
Tabel 2. Analisa Usahatani Komoditas Kacang Tanah dengan Luas Areal Pertanaman Rata-rata 90 are di Subak Sawah
Karya Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005
No Uraian Volume Harga/Satuan (Rp) Nilai (Rp)
I Biaya Sarana Produksi
1 Benih (Lokal) (kg) 100 8.000 800.000
2 Pupuk (kg)
Total Biaya Saprodi 800.000
II Biaya Tenaga Kerja
1 Olah Tanah (ternak+orang) (HOK) 10 20.000 200.000
2 Penanaman (ternak) (HOK) 6 20.000 120.000
3 Penanaman (orang) (HOK) 6 20.000 120.000
4 Pembumbunan (borongan) 200.000
5 Pengairan (HOK) 9 20.000 180.000
6 Panen (dijual borongan)
Total Biaya Tenaga Kerja 820.000
III Produksi/Penerimaan (borongan) 4.000.000
IV Total Biaya Usahatani 1.620.000
V Pendapatan Usahatani 2.380.000
VI R/C ratio 2,47
Dari hasil analisa usahatani komoditas kacang tanah dengan luas areal pertanaman 90 are yang
diusahakan di subak sawah Karya Sari Bumi menghasilkan pendapatan kotor usahatani sebesar Rp.
4.000.000,- dan menghasilkan keuntungan bersih sebesar Rp. 2.380.000,-. Komoditas kacang tanah ini masih
lebih baik diusahakan dibandingkan dengan komoditas padi yang disebabkan hasil keuntungan bersih yang
didapat lebih besar dari komoditas padi, walaupun dengan luas areal pertanaman yang sama.
Usahatani Komoditas Jagung
Selain komoditas padi dan kacang tanah, komoditas yang diusahakan petani di subak sawah Karya
Sari Bumi adalah jagung. Rata-rata luas areal pertanaman komoditas jagung yang diusahakan petani adalah
10 are. Untuk komoditas jagung yang diusahakan luas areal pertanamannya jauh lebih kecil dibandingkan
luas areal pertanaman padi dan kacang tanah yaitu 90 are. Hal ini disebabkan waktu penanaman untuk
komoditas jagung yang diusahakan yaitu pada musim kering yang sudah tentu persediaan air yang dimiliki
sangatlah kurang. Untuk mengetahui analisa usahatani jagung di subak sawah Karya Sari Bumi dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 2. Analisa Usahatani Komoditas Jagung dengan Luas Areal Pertanaman Rata-rata 10 Are di Subak Sawah Karya
Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun 2005
No Uraian Volume Harga/Satuan (Rp) Nilai (Rp)
I Biaya Sarana Produksi
1 Benih (Komposit/Lokal) (kg) 2,5 4.000 10.000
2 Pupuk Urea (zak) 0,5 65.000 32.500
3 Pupuk Kandang (karung) 5 1.000 5.000
Total Biaya Saprodi 47.500
II Biaya Tenaga Kerja
1 Olah Tanah (ternak+orang) (HOK) 1 20.000 20.000
2 Penanaman (ternak+orang) (HOK) 0,5 20.000 10.000
3 Pembumbunan (HOK) 1 20.000 20.000
4 Pengairan (HOK) 4 20.000 80.000
5 Panen (HOK) 1,25 20.000 25.000
Total Biaya Tenaga Kerja 155.000
III Produksi/Penerimaan (1000 tongkol) (kg) 83 1.500 124.500
IV Total Biaya Usahatani 202.500
V Pendapatan Usahatani (78.000)
VI R/C ratio 0,61
Dari hasil analisa usahatani jagung dengan luas areal pertanaman rata-rata 10 are dihasilkan
pendapatan kotor yang diperoleh sebesar Rp. 124.500,- dari hasil penjualan sebanyak 1.000 tongkol atau
sebesar 83 kg dengan harga per kg sebesar Rp. 1.500. adapun dari hasil usahatani jagung tersebut ternyata
usahatani tani mengalami kerugian sebesar Rp 78.000,-. Hal ini disebabkan masih rendahnya produksi yang
dihalkan dan tingginya biaya yang dikeluarkan dalam berusahatani jagung.
396
Kelayakan dan Kontribusi Pendapatan Usahatani
Hasil analisis kelayakan usahatani yang diusahakan petani di subak sawah Karya Sari Bumi
diperoleh kelayakan usahatani tertinggi pada komoditas kacang tanah dengan nilai R/C ratio sebesar 2,47
kemudian diikuti oleh komoditas padi dengan nilai 1,46. Dari nilai R/C ratio tersebut dinyatakan bahwa
komoditas kacang tanah dan padi layak untuk diusahakan yang disebabkan nilai R/C ratio kedua komoditas
tersebut lebih dari 1. Sedangkan untuk komoditas jagung yang diusahakan memperoleh nilai R/C ratio
sebesar 0.61, dengan kata lain komoditas jagung tersebut tidak layak untuk diusahakan pada kondisi saat itu.
Tabel 4. Analisa Usahatani Komoditas Tanaman Pangan di Subak Sawah Karya Sari Bumi, Gerokgak, Buleleng Tahun
2005
No. Uraian Komoditas
Padi Kacang Tanah Jagung
1 Penerimaan 4.532.000 4.000.000 124.500
2 Biaya sarana Produksi 937.000 800.000 47.500
3 Biaya Tenaga Kerja 2.157.400 820.000 155.000
5 Pendapatan 1.437.600 2.380.000 (78.000)
6 R/C ratio 1,46 2,47 0,61
Hasil analisis usahatani memberikan gambaran bahwa untuk komoditas kacang tanah menghasilkan
pendapatan sebesar Rp. 2.380.000,-. Sedangkan dari usahatani padi dengan keuntungan bersih yang diperoleh
yaitu sebesar Rp. 1.437.600. Lain halnya dengan komoditas jagung yang diusahakan mengalami kerugian
sebesar Rp. 78.000 (Tabel 4). Untuk komoditas padi dan jagung berarti belum memberikan keuntungan yang
optimal. Berdasarkan kondisi tersebut, tampak bahwa usahatani tanaman pangan kontribusi terhadap
pendapatan rumah tangga relatif kecil, akan tetapi bagi mereka menjadi keharusan untuk mengusahakannya
karena untuk memenuhi ketersediaan pangan dalam rumah tangganya.
Pendapatan usahatani di subak sawah Karya Sari Bumi relatif kecil, terbukti dari perolehan
pandapatan dari usahataninya selama satu tahun yaitu sebesar Rp. 3.739.600,- (Tabel 5). Hal ini masih perlu
diadakan pembinaan di tingkat petani dalam bentuk teknologi-teknologi baru untuk memperoleh pendapatan
yang maksimum dalam mengusahakan usahatani tanaman pangan.
Tabel 5. Kontribusi Pendapatan Usahatani Tanaman Pangan di subak sawah karya sari Bumi, Gerokgak, Buleleng
Tahun 2005
No. Sumber Pendapatan Luas/satuan Pendapatan (Rp) Kontribusi (%) Rangking
1 Padi 90 are 1.437.600 38,44 II
2 Kacang Tanah 90 are 2.380.000 63,64 I
3 Jagung 10 are (8.000) (2,09) III
Total Pendapatan 3.739.600 100,00
Dari jumlah rata-rata kepemilikan lahan yaitu 90 are di subak sawah Karya Sari Bumi didapat
kontribusi pendapatn tertinggi diperoleh pada usahatani kacang tanah. Adapun kontribusi pendapatan kacang
tanah dengan luas areal pertanaman sebesar 90 are yaitu sebesar 63,64%. Kemudian diikuti dengan
komoditas padi dan jagung sebesae 38,44% dan – 2,09% (Tabel 5 dan Gambar 1).
Gambar 1. Kontribusi Pendapatan Usahatani Komoditas Tanaman Pangan di Subak Sawah Karya Sari Bumi, Gerokgak,
Buleleng Tahun 2005.
Kontribusi Pendapatan Usahatani di Subak Sawah
Karya Sari Bumi Tahun 2005
63,64%
- 2,09%
38,44%
Padi Kacang Tanah Jagung
397
KESIMPULAN
Usaha tani kacang tanah dan padi banyak diusahakan dengan nilai R/C ratio lebih besar dari 1 yaitu
sebesar 2,47 dan 1,46. Sedangkan komoditas jagung nilai R/C ratio sebesar 0.61, tidak layak. Sedangkan
kontribusi pendapatan komoditas kacang tanah yaitu sebesar 63,64%, kemudian diikuti dengan komoditas
padi dan jagung sebesar 38,44% dan – 2,09% dari total pendapatan usahatani tanaman pangan dan palawija
yang diusahakan dalam satu tahun yaitu sebesar Rp. 3.739.600,-. Pendapatan usahatani ini relatif kecil,
diharapkan data dasar ini dapat dimanfaatkan sebagai indikator masuknya teknologi baru yang diperkenalkan
dan data dasar untuk menilai peningkatan pendapatan setelah diberikan teknologi baru.
DAFTAR PUSTAKA
Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1985. Manajemen Agribisnis. Dialihbahasakan oleh Rochidayat, Gonda S
dan Alfonsus. Penerbit Erlangga. Jakarta. 516 hal.
Kasryno, F. A. Suryana.1992. “Long Term Planning for Agricultural development Related to Provert
Alleviation in Rural Areas”. dalam Zakaria dan Swastika. Keragaan Usahatani Petani Miskin pada
Lahan Kering dan Sawah Tadah Hujan (Studi Kasus di Kabupaten Temanggung). Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Mahaputra, I K. dan I N. Adijaya. 2004. Analisis Finansial Usahatani jagung dengan Irigasi Embung di
Lahan Kering Kabupaten Buleleng. Prosiding Seminar Nasional ”Optimalisasi Pemanfaatan
Sumberdaya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Puslit Sosek Pertanian. 1993. Rangkuman Hasil Penelitian Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan
Alternatif Upaya Penanggulangannya. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Suprapto, I G.A.K. Sudaratmaja, K. Mahaputra dan M.A. Sinaga. 1999. Pengkajian Diversifikasi Tanaman
pada Lahan Marginal. Laporan Akhir. IP2TP Denpasar, Bali.
Suprapto, Adijaya, Rai Yasa. 2003. Pengkajian Sistem Usahatani Agribisnis Tanaman dan Ternak di Lahan
Marginal. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Zakaria, A.K. dan D.K.S. Swastika. 2005. Keragaan Usahatani Petani Miskin pada Lahan Kering dan Sawah
Tadah Hujan (Studi Kasus di Kabupaten Temanggung). Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan
Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
398
ANALISIS STRATEGI PEMBERDAYAAN PETANI DALAM PRIMATANI LAHAN SAWAH
IRIGASI SIPAREPARE
Moehar Daniel, Nieldalina dan Vivi Aryati
BPTP Sumatera Utara
ABSTRAK
Salah satu masalah yang menonjol dalam adopsi teknologi adalah kualitas sumberdaya petani. Kualitas tersebut
cukup menentukan proses transfer teknologi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengintroduksikan Prima Tani, yang inti kegiatannya pemberdayaan petani. Untuk mengetahui efektivitas strategi pemberdayaan oleh Prima Tani
tersebut dilakukan penelitian di lokasi Prima Tani lahan sawah irigasi Siparepare. Analisis dilakukan dengan
menggunakan model Regresi Linear Berganda, dari 30 sampel petani yang dikumpulkan secara Systematic Random
Sampling. Analisis statistik menunjukan bahwa secara simultan kegiatan pelatihan, magang, pembelajaran lapang, diskusi dan konsultasi serta penyebaran media informasi, memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kualitas sumberdaya
manusia petani. Tetapi secara parsial tidak satupun variabel tersebut yang berpengaruh. Secara visual diakui bahwa
metode pelatihan, magang dan pembelajaran lapang cukup disukai dan dianggap petani dapat meningkatkan kemampuan
mereka. Sementara metode diskusi dan penyebaran media informasi kurang direspon oleh masyarakat karena dianggap terlalu teoritis dan sulit dipahami.
Kata Kkunci : strategi, pemberdayaan petani, primatani
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan pembangunan ekonomi nasional meletakan pembangunan pertanian sebagai langkah awal
yang mendasar bagi pertumbuhan industri. Dimana diharapkan dengan sektor pertanian yang tangguh dapat
menunjang perkembangan industri yang kuat. Dengan demikian keberhasilan sektor industri sangat
tergantung pada keberhasilan pembangunan pertanian. Tetapi ironisnya perkembangan fungsi dan peran
sektor ini tidak berdampak nyata terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung didalamnya. Kemajuan
dan hasil pembangunan lebih banyak diterima dan dinikmati oleh pengusaha atau konglomerat yang
jumlahnya jauh lebih sedikit. Kondisi ini berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi
ketimpangan yang cukup mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan nasional.
Kalau kita bijak, nampak pasti bahwa kepincangan tersebut lebih banyak disebabkan oleh lemahnya
posisi tawar petani dan atau masyarakat golongan bawah. Petani termasuk pengusaha kecil sering dihadapi
dengan kondisi yang tidak menguntungkan bagi usaha mereka, terutama mengenai masalah harga dan sistem
pemasaran. Mereka yang hanya menguasai modal kecil selalu menjadi korban pengusaha yang lebih besar
yang lebih menguasai aset dan sistem pemasaran. Kondisi ini berkembang karena lemahnya lembaga petani.
Walaupun mereka sudah berhimpun dalam suatu lembaga, katakan kelompok tani atau koperasi pertanian,
tetapi lembaga tersebut tidak punya kekuatan untuk bernegosiasi atau mengatasi keadaan yang dihadapi.
Kenyataan ini menyebabkan lambatnya perkembangan sektor pertanian dan sektor industri kecil.
Lemahnya posisi tawar petani merupakan suatu gejala yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat
lemahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kelompok yang dilakukan. Pengembangan lembaga dan
pemberdayaan masyarakat selama ini dilakukan lebih banyak untuk kepentingan pembangunan, bukan untuk
kepentingan masyarakat. Lembaga yang dibentuk bukan berdasarkan “kemauan dan kebutuhan” petani, tetapi
lebih mengarah pada kebutuhan administrasi proyek. Seiring dengan itu, proses pemberdayaan masyarakat
juga tidak dilakukan sesuai dengan tujuan pengembangan kelembagaan. Sehingga masyarakat merasa tidak
punya kepentingan dengan apa yang dilakukan, sekalipun namanya adalah pembangunan.
Akar masalahnya adalah kelembagaan petani. Faktor apa yang menyebabkan kelembagaan petani
tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam memperjuangkan nasib dan kebutuhan anggotanya. Apakah
karena proses pembentukan lembaganya atau karena ketidak mampuan (rendahnya kualitas sumberdaya
manusia) pengurus lembaga tersebut, atau karena sebab lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian
mendasar, untuk lebih dulu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam menerima sesuatu
yang berdampak pada kualitas dan kemampuannya, metode apa yang lebih mudah diterima dan metode mana
yang kurang disukai petani. Kajian dilakukan sejalan dengan pengembangan model agribisnis pedesaan
dengan basis kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam program Prima Tani.
399
BAHAN DAN METODA
Lokasi dan Waktu. Penelitian dilakukan di Desa Siparepare Kecamatan Air Putih, Kabupaten
Asahan, Propinsi Sumatera Utara, bulan Juli tahun 2006. Desa Siparepare, tepatnya dusun VI merupakan
daerah percontohan penerapan Prima Tani lahan sawah irigasi 2005-2009.
Metode Penelitian dan Penarikan Sampel. Objek penelitian adalah program pelaksanaan Prima Tani.
Dimana proses pemberdayaan masyarakat merupakan dasar dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Jumlah
sampel sebanyak 30 KK petani dari 60 KK populasi dusun. Penarikan sampel dilakukan secara acak
sistimatis. Disamping melalui kuesioner, data juga dilengkapi dengan informasi dari para pemuka masyarakat,
aparat dusun dan desa serta petugas terkait.
Analisis Data. Analisis diawali dengan tabulasi data, dilanjutkan dengan analisis Regresi Linear
Berganda. Untuk kelayakan analisis statistik, sebaran data yang lebih banyak bersifat kualitatif dikuantifikasi
sesuai dengan metode yang berlaku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Daerah Penelitian
Dusun VI, merupakan salah satu dari 6 dusun dalam wilayah Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih,
Kabupaten Asahan. Dibanding dengan dusun-dusun lainnya, secara sosial dan ekonomi masyarakat dusun VI
masih tertinggal. Atas dasar itu dusun VI dijadikan sebagai fokus kegiatan Prima Tani. Luas sawah irigasi
yang terbentang dalam wilayah ini lebih kurang 82 ha dan sebagian dikuasai oleh penduduk dusun lainnya.
Kondisi Masyarakat Jumlah populasi 358 jiwa yang terhimpun dalam 62 KK. Tingkat pendidikan
mayoritas kepala keluarga hanya Sekolah Dasar. Rataan penguasaan lahan sekitar 0,4 ha, dengan tingkat
pendapatan Rp 900.000/KK/ bulan. Sumber utama pendapatan diperoleh dari usahatani padi sawah irigasi,
usaha lahan pekarangan dan mocok-mocok (kerja serabutan).
Infrastruktur. Letak wilayah lebih kurang 200 meter dari jalan utama Lintas Sumatera, bisa
dimasuki kendaraan bermotor. Jalan penghubung merupakan benteng irigasi terdiri dari tanah yang
dipadatkan. Akses dari dan keluar cukup lancar. Pasar tradisional setempat berjarak lebih kurang 2 km.
Kegiatan Prima tani
Kegiatan Prima Tani mulai dilakukan bulan Mei tahun 2005. Diawali dengan penelusuran wilayah
melalui PRA dan Base Line Survey, dilanjutkan dengan sosialisasi program. Kegiatan utama yang dilakukan
adalah pemberdayaan masyarakat melalui pembenahan kelembagaan, pengenalan dan pembimbingan
penerapan teknologi spesifik, pengembangan industri pedesaan dan fasilitasi pemasaran produk yang
dihasilkan. Proses pemberdayaan dilakukan melalui kegiatan pelatihan, pembelajaran lapang, diskusi,
magang dan penyebaran informasi melalui media cetak dan media proyeksi. Disamping itu petani dan
pengurus lembaga yang sudah dibenahi juga diajak ikut serta dalam kegiatan seminar, lokakarya, pertemuan-
pertemuan menyangkut pengembangan program Prima Tani, fasilitasi ke instansi dan pengusaha terkait, serta
pertemuan resmi dengan para pejabat atau pengambil keputusan terkait. Dalam penelitian ini, faktor yang
diuji masih terbatas pada 5 kegiatan pertama sesuai urutan.
Pelatihan. Pelatihan diberikan secara bertahap sesuai dengan kronologis pelaksanaan kegiatan di
lapang, dilakukan dalam kelas, saung petani, dirumah atau halaman petani dan di warung setempat. Materi
yang diberikan menyangkut komponen teknologi spesifik lokasi (menyangkut komoditas potensial yang akan
dikembangkan), teknologi pengolahan hasil pertanian, struktur dan organisasi pertanian dan kelembagaan,
strategi pemasaran dan kerjasama serta materi lain yang disesuaikan dengan perhatian dan permintaan petani.
Tenaga pelatih terdiri dari para peneliti dan penyuluh BPTP, dosen Perguruan Tinggi, tenaga ahli dari Balai
Penelitian yang bersangkutan (Balitpa, Balitnak, Balitsa, Balitbu, Balitkabi, Balai Buah Tlekung, BB Pasca
Panen, dan Tim Teknis Prima Tani Pusat), aparat Dinas terkait, pedagang dan pengusaha alat, bahan dan
produk pertanian serta narasumber lainnya.
Magang. Untuk mempercepat proses peningkatan sumberdaya manusia petani, sebagian petani juga
dikirim magang ke beberapa sumber ilmu pengetahuan. Pengiriman yang sudah berjalan antara lain ke
Balitsa Lembang untuk mendalami usahatani dan pembibitan cabai dan ke KP Pasar Miring untuk
penangkaran benih padi. Kegiatan ini akan dilanjutkan ke beberapa daerah lain sesuai dengan kebutuhan dan
ketersediaan anggaran.
400
Pembelajaran Lapang. Proses pembelajaran lapang dilakukan secara rutin sesuai dengan
perkembangan tanaman dan kondisi lapang. Dalam hal ini, penyuluh lapang juga memperoleh pengetahuan
dan pengalaman baru dari para narasumber yang didatangkan.
Diskusi dan Konsultasi. Kegiatan ini sebenarnya hampir sama dengan kegiatan Pembelajaran lapang,
bedanya kegiatan ini dilakukan tidak langsung di lapang, hanya berkumpul di pondok dan membahas tentang
teori tanpa praktek.
Media cetak dan Terproyeksi. Prima Tani juga memberikan media sebagai bahan informasi, baik
secara tercetak seperti brosur-brosur, maupun terproyeksi. Materi yang diberikan menyangkut teknologi,
sistem pembangunan pertanian, produk-produk baru dalam pertanian dan lainnya yang diperkirakan akan
bermanfaat bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia petani.
Analisis Strategi Pemberdayaan
Dari kelima strategi pemberdayaan diatas, analisis statistik menunjukan bahwa secara parsial tidak
satupun yang berpengaruh nyata (t hitung < t tabel), terhadap peningkatan kualitas sumberdaya petani.
Tetapi diantaranya ada tiga kegiatan yang banyak diminati petani yaitu, pelatihan, magang dan pembelajaran
lapang. Sementara kegiatan diskusi dan konsultasi serta media cetak dan media terproyeksi kurang disukai.
Berbagai alasan dikemukan petani, tetapi hanya sebagian kecil yang bisa diambil sebagai bahan kesimpulan.
Hal ini terjadi karena jawaban petani sering kurang beralasan dan nampak bahwa tingkat pengetahuan dan
pemahaman akan sesuatu masih sangat rendah.
Dari pengujian statistik (Tabel 1), nampaknya proses pelatihan yang dilakukan mampu
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Kondisi ini ditunjukan oleh angka koefisien regresi
yang memberikan pengaruh sebesar 53,90 %. Walaupun tidak nyata secara statistik namun secara visual dan
kenyataan lapang, kegiatan ini diakui petani bisa diterima dan bermanfaat bagi mereka. Kegiatan Pelatihan
yang diberikan tidak hanya disukai oleh petani karena “proses” nya tetapi juga karena bisa memberikan
sesuatu yang baru. Dan sesuatu yang baru itu dianggap cukup bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan
keterampilan guna peningkatan pendapatan. Jelas bahwa dalam proses pelatihan, tidak hanya caranya saja
yang harus diperhatikan, tetapi juga materi dan penguasaan oleh personal yang memberikan. Bila materinya
dibutuhkan tetapi cara dan personalnya kurang menarik bisa menyebabkan kegiatan tidak efektif.
Diperkirakan bagian inilah yang menyebabkan belum terjadinya proses penyerapan yang maksimal.
Gambaran ini bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pelaksanaan kegiatan pemberdayaan
masyarakat kedepan.
Dalam kegiatan magang, proses peningkatan kualitas sumberdaya petani terjadi karena
bertambahnya pengetahuan dan keterampilan baru ditempat yang baru. Proses integrasi dengan personal lain
yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan lebih dalam suatu kegiatan penerapan teknologi, secara
mudah dapat diserap petani. Petani bisa membandingkan apa yang dilakukannya selama ini dengan apa yang
diperolehnya dan dilakukannya pada waktu magang. Mereka juga memperoleh pengetahuan untuk
menganalisis dan mendalami suatu proses kegiatan yang dijalankannya. Jadi merupakan suatu yang lumrah
bila kegiatan magang lebih diminati. Disamping itu juga bisa dipahami bahwa perubahan suasana lingkungan
bisa memberikan nuansa baru bagi petani untuk lebih mudah menerima pengetahuan. Kepercayaan pada
personal pembimbing atau mitra tidak kalah pengaruhnya pada proses peningkatan penerimaan petani. Tetapi
dalam hal ini, angka statistik menunjukan pengaruh magang hanya sebesar 38,96 % terhadap peningkatan
kualitas sumberdaya petani. Bila dibandingkan dengan kegiatan pelatihan, secara teoritis seharusnya kegiatan
magang memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih efektif. Karena mereka memperoleh wawasan baru
dari lingkungan baru yang selama ini belum diperolehnya. Disamping itu, proses magang jauh lebih lama dan
lebih terfokus pada suatu pengetahuan dan keterampilan. Tetapi bila ditinjau lebih jauh, kenyataan ini bisa
diterima karena jumlah petani yang ikut magang masih sedikit dibanding dengan yang ikut kegiatan pelatihan.
Dan kegiatan pelatihan juga lebih sering dilakukan serta materi yang diterima juga lebih banyak. Jadi wajar
kalau hasil analisis menunjukan pengaruh pelatihan lebih besar dibanding pengaruh magang.
Proses pembelajaran lapang nampaknya juga lebih efektif dibandingkan dengan kegiatan magang.
Sebenarnya proses pembelajaran lapang sama halnya dengan kegiatan pelatihan. Mereka yang pernah
mengalami lebih banyak, dilakukan lebih sering, serta materi yang diberikan juga bervariasi. Jadi
peningkatan pengetahuan yang terjadi wajar saja lebih tinggi dari magang, walau hanya baru sebesar 43,76 %.
Paling tidak kondisi ini bisa jadi pedoman bagi pelaksana pembangunan lainnya dalam memilih metode dan
pendekatan yang dibutuhkan untuk mempercepat proses peningkatan kualitas sumberdaya petani.
Kegiatan diskusi dan konsultasi, wajar saja kalau kurang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas
sumberdaya petani. Anehnya, angka statistik menunjukan bahwa pengaruh kegiatan ini malah negatif (-1,06),
dengan arti menurunkan kualitas sumberdaya petani. Sebenarnya secara lahiriah bukan penurunan kualitas
401
yang terjadi tetapi kondisi ini terjadi karena sebagian besar petani tidak atau kurang menyukai proses diskusi
dan konsultasi. Proses ini lebih terarah pada mengatasi suatu masalah yang lebih banyak sifatnya berdasarkan
pengalaman pribadi. Dan sering juga pengalaman pribadi seseorang itu tidak dialami oleh petani lainnya.
Disamping itu, proses diskusi juga merupakan suatu kegiatan yang membosankan bagi petani, karena lebih
banyak membahas tentang teori. Teori dan cara penyampaiannya juga sering tidak dimengerti petani,
membuat mereka jenuh dan sulit menerima, sehingga proses tersebut menjadi sesuatu yang membosankan.
Perlu jadi perhatian, dalam melakukan diskusi dengan petani harus diingat kata-kata yang dikeluarkan, istilah
yang dipakai dan proses dari teori yang disampaikan, apakah bisa dipahami dan diterima petani. Biasanya
kelemahan ini sering dilakukan oleh aparat dan peneliti yang jarang melakukan kegiatan bersama petani.
Sama halnya dengan kegiatan penyebaran media baik tercetak maupun terproyeksi. Apalagi kalau
media tersebut bukan dibuat oleh penyuluh. Para peneliti dan aparat pembangunan sering menganggap hal ini
sebagai sesuatu yang sepele. Pada hal penggunaan bahasa, istilah dan proses dari suatu teori atau teknologi
merupakan kunci bagi tujuan media yang diberikan. Dalam penelitian ini, pengaruh negatif media (-5,60)
lebih besar dibandingkan dengan pengaruh diskusi dan konsultasi. Kenyataan menunjukan bahwa media
yang diberikan dalam kegiatan Prima Tani di Siparepare belum tepat dan membutuhkan perbaikan yang
menyeluruh. Seharusnya media yang diberikan lebih selektif bahasa dan materinya, serta diberikan
menyeluruh ke semua lapisan masyarakat. Disadari memang bahwa media yang diberikan lebih banyak
menyangkut hal-hal yang belum dilakukan pada kegiatan Prima Tani, sehingga manfaatnya bagi peningkatan
kualitas masyarakat menjadi tidak efektif.
Suatu hal yang sangat menarik dari hasil analisis statistik adalah besaran koefisien diterminasi.
Walaupun secara keseluruhan kelima faktor yang diuji berpengaruh nyata terhadap peningkatan kualitas
sumberdaya masyarakat, tetapi masih banyak faktor lain yang bisa memberikan pengaruh yang lebih efektif.
Angka koefisien diterminasi (0,64) tersebut menunjukan bahwa masih ada faktor lain yang tidak diuji yang
memberikan pengaruh cukup besar terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani. Kenyataan ini
juga menunjukan bahwa model yang diestimasi belum sempurna dan harus mengikutkan beberapa variabel
lainnya. Variabel lain yang diperkirakan berpengaruh tersebut seperti kegiatan fasilitasi, mediasi, seminar
dan lokakarya, pertemuan-pertemuan dan lainnya seperti yang disebutkan sebelumnya.
Tabel 1. Koefisien Regresi Strategi Pemberdayaan Petani dalam Prima Tani Lahan sawah irigasi Siparepare, tahun
2006.
No. Variabel Koefisien Regresi t hitung
1. Konstanta/intercept 0,281202 0,58966
2. X1 Pelatihan 0,539017 1,973025
3. X2 Magang 0,038961 0,226947
4. X3 Pembelajaran lapang 0,437561 1,997392
5. X4 Diskusi dan Konsultasi (0,010573) (0,051194)
6. X5 Media (0,055977) (0,431322)
Adjustet R Square = 0,559599 F hitung = 8,369818
R Square = 0,63553 F tabel = 2,53
Dari pengamatan visual dan gambaran kondisi lapang saat ini telah nampak terjadi perubahan-
perubahan pada kualitas sumberdaya petani. Petani yang sebelumnya sulit untuk diajak berkumpul, sekarang
sudah mudah, bahkan sudah antusias dengan kegiatan bersama atau berkumpul. Petani yang tadinya tidak
menerapkan teknologi secara baik dan tepat sekarang sudah mulai menerapkan teknologi sesuai dengan
petunjuk dan bimbingan, bahkan saat ini mereka sering bertanya sebelum melakukan sesuatu untuk
memastikan apakan cara yang mereka lakuka sudah benar. Disamping itu petani sekarang sudah mulai
mencatat semua aktivitas yang berkaitan dengan usaha keluarganya, baik yang merupakan kegiatan
penerapan teknologi maupun kegiatan pertemuan kelembagaan, dan kegiatan sosial. Kegiatan pencatatan
usahatani diarahkan untuk mendidik petani menjadi “petani profesional”. Suatu perkembangan nyata yang
sangat menggembirakan adalah sebagian petani sudah bisa membuat proposal untuk pengembangan
usahanya melalui kelembagaan, sebagian lain juga sudah terbiasa melakukan negosiasi dan perjanjian
kerjasama dengan pengusaha baik dalam pengadaan sarana produksi maupun dalam proses pemasaran
produk yang dihasilkan.
402
KESIMPULAN
Proses pemberdayaan yang berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya petani adalah
pelatihan, magang dan pembelajaran lapang. Sementara kegiatan diskusi dan konsultasi serta penyebaran
media cetak dan media terproyeksi kurang diminati. Tetapi secara keseluruhan kelima faktor tersebut saling
mengisi dan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani.
Agar penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan pertanian, kedepan harus dikaji lebih dalam
peran faktor lain yang lebih efektif, sehingga diperoleh suatu paket metode yang benar-benar tepat dan bisa
direkomendasikan secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijoyo S, 2005. Reformasi Bidang Pertanian. Penerbit Pakar. Jakarta
Husein Sawit dkk. 1994. Peningkatan Kualitas Sumberdaya manusia dalam Pembangunan Pertanian.
PERHEPI. Bogor.
Kartasapoetra, 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta
Kurniawaty, 25 Maret 2004. Strategi Pengembangan SDM. www.pikiranrakyat.com
Moehar Daniel, 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
____________dkk, 2005. Brosur Penerapan Prima Tani. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Asahan
dan BPTP Sumatra Utara. Medan
Soetrisno L, 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sutomo Greg, 1997. Kekalahan Manusia Petani. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
403
PERAN TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN
PENDAPATAN PETANI
MH. Togatorop dan Wayan Sudana
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor
ABSTRAK
Suatu pengkajian telah dilakukan untuk mengetahui peran serta komponen ternak sebagai salah satu komponen
usahatani padi untuk peningkatan pendapatan petani yang bersangkutan. Pengkajian ini dilakukan di Desa Parakan dan Karangjaya, Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Desa Tolai dan Tindaki, Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei dengan teknik wawancara yang menggunakan kuesioner terstruktur dengan
30 orang responden untuk masing-masing desa contoh. Responden dipilih secara acak, sedangkan desa dan kelompok
tani dipilih secara sengaja, yaitu yang berada di sekitar program Prima Tani. Data yang dikumpulkan kemudian diedit dan ditabulasi untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan financial. Hasil yang diperoleh, antara lain: Tingkat
pendidikan kepala keluarga dan istri di Desa Tolai dan Tindaki (daerah transmigrasi) lebih tinggi daripada di Desa
Parakan dan Karangjaya (daerah non transmigrasi). Tani tanaman pangan masih dominan diusahakan petani responden di
masing-masing desa contoh yang terpilih. Penguasaan ternak di Desa Parakan dan Karangjaya yang telah diusahakan petani didominasi ayam buras diikuti itik dan entok, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki ternak babi dan diikuti ayam
buras. Lahan sawah irigasi, ternyata 59% petani responden dengan rata-rata penguasaan 0,40 ha sudah status milik di
Desa Parakan dan Karangjaya, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki jauh lebih tinggi, yaitu 91% petani responden
dengan penguasaan rata-rata 1,47 ha. Kontribusi pendapatan dari ternak di Desa Tolai dan Tindaki 9,36% lebih tinggi daripada di Desa Parakan dan Karangjaya hanya 1,16%. Hal ini kemungkinan sebagai akibat penguasaan ternak yang
dominan adalah ayam buras dan babi serta pemeliharaan sangat ekstensif, sedangkan pemilikan ternak besar tidak ada.
Pendapatan dari ternak ini cukup berperan dalam peningkatan pendapatan petani daripada hanya mengandalkan tanaman
pangan (padi dan palawija), yaitu untuk Desa Parakan dan Karangjaya serta Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut hanya 57,20% dan 43,94% dari seluruh pendapatan yang diterima petani responden.
Kata kunci : ternak, komponen, usahatani, pendapatan
PENDAHULUAN
Perkembangan luas panen padi sawah secara nasional selama kurun waktu 1995 hingga 2003
menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan dengan indikator pertumbuhan rata-rata per
tahun hanya 0,96 persen dan diikuti perkembangan produksi 1,2 persen pertahunnya (BPS, 2004). Padahal
kalau dilihat dari aspek konsumsi beras secara nasional di kota maupun di desa adalah cukup tinggi, yakni
sekitar 97-100 persen. Selanjutnya rata-rata konsumsi beras masyarakat per kapita menunjukkan kenaikan
dari 108,89 kg pada tahun 1996 mejadi 120,97 kg pada tahun 1999 (BPS, 2000)
Selanjutnya pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini menunjukkan perlambatan baik di sentra
produksi beras di Jawa maupun di luar Jawa. Irawan dkk (2003), melaporkan melambatnya laju produksi
padi ini, disebabkan melambatnya laju pertumbuhan produktivitas per satuan luas lahan. Surono (2001)
mengatakan bahwa produksi padi pada prinsipnya ditentukan oleh dua variabel, yaitu luas panen dan hasil
per hektar (produktivitas). Di samping itu laju peningkatan mutu inovasi teknologi usahatani padi oleh petani
yang lambat dan terjadi degradasi kesuburan lahan sawah karena menurunnya kandungan bahan organic
dalam tanah serta punahnya mikroorganisme pembentuk unsur N. Dengan demikian keberadaan ternak dalam
usahatani padi ini sangat membantu untuk memperbaiki struktur kesuburan dan dapat menahan penyerapan
air melalui pupuk kandang dari ternak.
Di sisi lain keberadaan ternak sebagai komponen dalam usahatani padi yang dikelola petani
bersangkutan dapat memberikan kontribusi peningkatan penerimaannya dan pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan petani tersebut. Dengan demikian tujuan dari pengkajian yang dimanifestasikan
dalam tulisan ini untuk mengetahui sejauhmana peran ternak sebagai komponen usahatani padi dalam
peningkatan pendapatan petani.
METODE PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan dengan metode survei dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Lokasi
penelitian adalah di wilayah pengembangan program Prima Tani, yakni lahan sawah irigasi di Provinsi Jawa
Barat dan Sulawesi Tengah.
404
Teknik pengambilan sampel responden (petani) 30 orang dilakukan secara acak, sedangkan desa dan
kelompok tani dipilih “purpossive” (secara sengaja), yaitu disekitar Program Prima Tani. Desa terpilih adalah
Desa Parakan dan Desa Karangjaya Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Provinsi Sulawesi
Tengah adalah Desa Tolai dan Desa Tindaki Kabupaten Parigi Moutong. Data yang di kumpulkan adalah
data primer (petani) dan sekunder, antara lain: karakteristik petani, pemilikan asset pertanian, teknologi
pertanian yang dilakukan, produktivitas usahatani, pendapatan petani.
Semua data yang dikumpulkan di edit dan ditabulasi ke dalam tabel analisis yang dipersiapkan.
Selanjutnya data tersebut dianalisis secara deskriptif dan financial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
a. Umur, Pendidikan, dan Potensi Tenaga Kerja Keluarga
Kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang dalam hal ini petani responden merupakan faktor
utama yang perlu diperhatikan dalam proses produksi usaha tani yang dikelolanya. Kondisi umur, pendidikan
dari responden sangat mempengaruhi kualitasnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Anggota Keluarga Petani Responden di Desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Parigi
Moutong Sulawesi Selatan, Tahun 2005
Uraian
Desa contoh
Parakan dan Karangjaya
Kabupaten Karawang
Tolai dan Tindaki Kabupaten
Parigi Moutong
1. Umur (th) a. Kepala keluarga
b. Isteri
45,23
37,65
40,18
35,60
2. Pendidikan (th)
a. Kepala keluarga
b. Isteri
4,10
3,75
8,59
6,79
3. Rataan jumlah anggota
keluarga (jiwa)
5,19 5,94
4. Jumlah anggota keluarga
produktif (15-64 th) / jiwa
2,54 3,13
5. Rasio beban tanggungan 2,96 1,11
Sumber data : Data Primer (Diolah)
Dari data yang disajikan pada Tabel 1, ternyata rata-rata umur kepala keluarga (KK) dan isteri
responden di Desa Parakan dan Karangjaya berturut-turut 45,23 tahun dan 37,65 tahun lebih tinggi daripada
di Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut 40,18 tahun dan 35,60 tahun. Lain halnya dengan rata-rata
pendidikan dilihat dari lamanya mengikuti pendidikan tersebut, yaitu untuk KK dan isteri responden di Desa
Tolai dan Tindaki berturut-turut 8,59 tahun dan 6,97 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
pendidikan bagi KK dan isteri di Desa Parakan dan Karangjaya berturut-turut 4,10 tahun dan 3,75 tahun.
Data ini menggambarkan kualitas responden relatif lebih baik / tinggi di Desa Tolai dan Tindaki daripada
responden di Desa Parakan dan Karangjaya.
Rataan jumlah anggota keluarga responden di Desa Parakan dan Karangjaya (5,19) hampir sama
dengan rata-rata jumlah anggota keluarga di Desa Tolai dan Tindaki (5,94). Sedangkan jumlah anggota
keluarga yang produktif di Desa Parakan dan Karangjaya lebih rendah (2,54) daripada di Desa Tolai dan
Tindaki (3,13) (Tabel 1).
b. Sumber Mata Pencaharian
Di desa contoh pengkajian baik kepala keluarga dan isteri mempunyai mata pencaharian utama dan
sampingan (Tabel 2). Sektor pertanian terutama. Tanaman pangan masih menjadi mata pencaharian utama
KK responden baik di Desa Parakan dan Karangjaya, yakni 93,33 persen maupun responden di Desa Tolai
dan Tindaki 95 Persen (Tabel 2).
405
Tabel 2. Jenis Pekerjaan Utama dan Sampingan Petani Responden di desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan
Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, Tahun 2005
Jenis Pekerjaan
Desa Contoh (%)
Parakan dan Karangjaya Kabupaten
Karawang
Tolai dan Tindaki Kabupaten Parigi
Moutong
Kepala Keluarga Isteri Kepala Keluarga Isteri
Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Sampingan Utama Sampingan
1. Tanaman Pangan 93,33 1,67 55,00 6,67 95,00 3,13 63,33 4,76
2. Hortikultura - 3,33 1,67 - - - - -
3. Peternakan - 1,67 - - - 3,13 - -
4. Perkebunan - - - - - 42,19 - 19,05
5. Buruh pertanian - 31,67 5,00 23,33 - 18,75 - 12,70
6. Perdagangan - 8,33 13,33 3,33 - 3,13 5,00 -
7. Jasa 3,33 10,00 3,33 - - 3,13 3,33 1,59
8. Buruh non tani 1,67 6,67 1,67 3,33 - 1,56 - -
9. Lain-lain 1,67 - 20,00 61,67 5,00 24,98 28,34 61,90
Sumber : Data primer (Diolah)
Hal ini menunjukkan produksi tanaman pangan (beras) bagi petani masih dominan sebagai sumber
kalori dan protein. Hasil ini sejalan dengan laporan Irawan (2004), ternyata secara nasional sekitar 55 persen
konsumsi kalori dan 45 persen konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras. Pekerjaan sampingan
responden ternyata buruh tani menjadi pilihannya baik KK maupun isteri di Desa Parakan dan Karangjaya
berturut-turut 31,67 persen dan 23,33 persen, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki 18,75 persen dan 12,70
persen (Tabel 2). Sektor jasa, baik KK maupun isteri responden di Desa Parakan dan Karangjaya menjadi
pilihan utama, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki hanya isteri yang memilih pekerjaaan utama dan sektor
jasa tersebut bagi KK responden hanya sebagai sampingan saja.
2. Penguasaan lahan
Lahan adalah aset produktif dan sumberdaya utama (land based resource) bagi petani dalam usaha
taninya. Penguasaan lahan responden pada pengkajian ini disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas penguasaan lahan petani responden berdasarkan status di desa contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat
dan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, Tahun 2005
Jenis lahan
Desa Contoh (%)
Parakan dan Karangjaya Kabupaten
Karawang
Tolai dan Tindaki Kabupaten Parigi
Moutong
Milik Sewa Sakap Gadai Milik Sewa Sakap Gadai
Sawah
iriasi
luas (ha) 0,40 - 0,82 0,53 1,47 3,0 1,31 -
Petani (%) 59 - 21 20 91 2 7 -
Ladang/
tegalan
luas (ha) 0,02 - 0,15 0,10 - - - -
Petani (%) 15 - 2 2 - - - -
Kebun luas (ha) 0,01 - - 0,01 0,79 - - -
Petani (%) 10 - - 2 72 - - -
Kolam luas (ha) - - - - 0,04 - - -
Petani (%) - - - - 5 - - -
Sumber : Data primer (Diolah).
Tabel 3 menunjukkan penguasaan lahan sawah irigasi sebagian besar status milik (59 persen)
dengan rata-rata pemilikan 0,40 ha di Desa Parakan dan Karangjaya lebih rendah daripada di Desa Tolai dan
Tindaki status milik 91 persen dengan rata-rata pemilikan 1,47 ha. Petani yang tidak memiliki sawah irigasi
di Desa Parakan dan Karangjaya 41 persen, selanjutnya di Desa Tolai dan Tindaki hanya 9 persen. Petani
yang tidak memiliki ini mendapatkan lahan untuk dikelola melalui sewa, sakap dan gadai (Tabel 3). Mengacu
kepemilikan luas lahan ini, petani tidak akan dapat menggantungkan sebagai sumber pendapatan satu-satunya
dari usaha tani padi, sehingga banyak petani berupaya mencari tambahan pendapatan, antara lain sebagai
buruh tani, beternak, bekerja di sektor jasa, dan sektor perdagangan.
Selanjutnya kalau dari aspek pengelompokan kelas pemilikan luasan sawah irigasi di lokasi
pengkajian disajikan pada Tabel 4.
406
Tabel 4. Persentase Pemilikan Lahan Sawah Petani Responden Berdasarkan Kelas Luasan di Desa Contoh Kabupaten
Jawa Barat dan Parigi Mountong Sulawesi Tengah, Tahun 2005
Kelas Luasan (ha) Desa Contoh (%)
Parakan dan Karangjaya Tolai dan Tindaki
1. < 0,25 20 2
2. 0,25 – 0,49 26 3
3. 0,50 – 0,99 29 27
4. > 1,00 25 68
Sumber : Data primer (Diolah).
Penyebaran petani responden menurut pengelompokan pemilikan luasan lahan di Desa Parakan dan
Karangjaya adalah hampir sama di empat kelas luasan, walaupun petani responden memiliki lahan kelas 0,50
– 0,99 ha tertinggi (29 persen) dibandingkan dengan kelas lainnya. Lain halnya di Desa Tolai dan Tindaki,
ternyata petani responden memiliki luas >1 ha paling dominan (68 persen) diikuti luas pemilikan 0,50 – 0,99
ha (27 persen); 0,25 – 0,49 ha (3 persen); dan pemilikan <0,25 ha hanya 2 persen (Tabel 4). Sedangkan
distribusi luas penguasaan lahan oleh petani responden berdasarkan jenis lahan di Desa Parakan dan
Karangjaya, tertinggi sawah irigasi 95 persen, diikuti ladang/tegalan 3 persen dan kebun 3 persen.
Selanjutnya di Desa Tolai dan Tindaki penguasaan petani responden menurut jenis lahan sawah irigasi,
kebun, dan kolam berturut-turut 68 persen, 31 persen dan 1 persen.
3. Keragaan Teknologi Usahatani Padi
Teknologi usahatani dalam pengkajian ini meliputi aspek pola tanam, varietas, teknik tanam,
kualifikasi benih, dan penggunaan jenis pupuk. Keragaan teknologi usahatani padi merupakan salah satu
indikator tingkat pengetahuan dan intensitas pengelolaan lahan padi yang dilakukan oleh petani.
Selanjutnya petani responden di Desa Parakan dan Karangjaya menerapkan teknik pola tanam padi
– padi – bera 66 persen; padi – padi – palawija 17 persen; padi – padi – sayuran 12 persen, dan 5 persen
menerapkan pola tanam padi – bera – bera. Dengan pola tanam seperti di atas, memberikan kesempatan
perbaikan keadaan fisik kimia tanah (recovery) untuk mencegah kondisi “soil fatique”, sehingga
produktivitas lahan bias tetap terpelihara (Sitorus, 2004). Lain halnya dengan petani responden di Desa Tolai
dan Tindaki, melakukan teknik pola tanam padi – padi – bera sepanjang tahun 100 persen, disebabkan
penyediaan air irigasi yang mendukung. Teknologi usahatani yang telah dilakukan petani responden di desa
contoh pengkajian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Persentase Petani Responden Yang Melakukan Teknologi Usahatani di Desa Contoh Kabupaten Karawang
Jawa Barat dan Kabupaten Parigi Montong, Tahun 2005.
No Teknologi
Desa contoh (%)
Desa Parakan dan Karangjaya
Kabupaten Karawang
Desa Tolai dan Tindaki
Kabupaten Parigi Moutong
1. Varietas : a. Unggul
b. Lokal
98
2
32
68
2. Teknik tanam : a. Tabela
b. Tapin
2
98
13
87
3. Kualifikasi benih :
a. Berlabel
b. Tidak berlabel
100
10
90
4. Penggunaan pupuk :
a. Satu jenis : MH
MK
b. Dua jenis : MH
MK
c. Tiga jenis : MH
MK
d. Empat jenis : MH
MK
8
9
46
48
31
32
15
11
36
49
43
33
18
13
3
5
Sumber : Data primer (Diolah), MH = Musim hujan, MK = Musim kemarau, Tapin = Tanam pindah
407
Petani responden, baik di Desa Parakan dan Karangjaya maupun di Desa Tolai dan Tindaki sudah
melakukan teknologi usahatani padi seperti penggunaan varietas unggul, benih berkualifikasi, pupuk, dan
teknik tanam (Tabel 5). Di Desa Parakan dan Karangjaya 100 persen petani responden menggunakan benih
berkualifikasi, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki hanya 10 persen dan 90 persen menggunakan benih
tidak berlabel, kemungkinan kebiasaan petani dan atau kurangnya penyuluhan ke petani serta sumber benih
yang kurang. Berdasarkan peta status fosfat dan kalium tanah lokasi dengan status fosfat dan kalium sedang
memerlukan pemupukan fosfat dan kalium berturut-turut 75 kg/ha dan 50 kg/ha untuk memperoleh hasil padi
optimum (Sofyan, 2004). Adyana dan Suhaeti (2000) rendahnya adopsi teknologi disebabkan faktor, antara
lain (1) teknologi kurang sesuai dengan kebutuhan petani dan (2) keterbatasan modal petani sehingga
mengakibatkan rendahnya akses petani terhadap input produksi.
4. Pemeliharaan Ternak
Kenyataan menunjukkan, ternak merupakan aset penting bagi petani, antara lain: (1) sebagai
tabungan hidup (pendapatan), (2) sumber tenaga kerja, (3) alat transportasi, dan (4) sumber protein hewani.
Keberadaan ternak bagi petani responden sudah sangat dirasakan baik yang mempunyai lahan sempit sebagai
tambahan pendapatan, maupun sebagai pengelolaan lahan sawah. Sebagai tabungan, ternak merupakan suatu
aset produktif karena setiap saat dapat dijual untuk keperluan keluarga. Pemilikan ternak di desa contoh
pengkajian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Pemilikan Ternak Petani Responden di Desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Kabupaten Parigi
Moutong, Tahun 2005
Jenis ternak
Desa contoh
Kabupaten Karawang Kabupaten Parigi Moutong
Rataan (ekor) Persentase petani Rataan (ekor) Persentase petani
1. Sapi potong - - 2 7
2. Domba 6 13 - -
3. Ayam ras
a. Petelur
b. Pedaging
-
-
-
-
24
800
5
2
4. Ayam buras 9 63 22 58
5. Itik 15 18 32 8
6. Entok 13 18 6 2
7. Babi - - 6 85
Sumber : Data primer (Diolah)
Petani responden di Desa Parakan dan Karangjaya tidak ada yang memiliki ternak ruminansia besar
(sapi, kerbau), hanya memiliki ruminansia kecil domba dengan rata-rata pemilikan 6 ekor dari 13 persen
petani yang memiliki. Sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki petani rata-rata pemilikan 2 ekor sapi potong
dari 7 persen petani yang memiliki (Tabel 6). Selanjutnya di Desa Parakan dan Karangjaya, dan Tolai dan
Tindaki yang dominan dipelihara petani responden adalah ayam buras dengan rata-rata pemilikan berturut-
turut rata-rata pemilikan 9 ekor dan 22 ekor dari 63 persen dan 58 persen petani yang memiliki. Sedangkan
ternak itik dan entok juga dipelihara petani responden di desa contoh pengkajian. Ternak ayam ras (petelur
dan pedaging) hanya di Desa Tolai dan Tindaki dipelihara petani responden (Tabel 6).
Integrasi ternak ke dalam usahatani padi sangat diperlukan, karena dampaknya sangat penting
terhadap pemeliharaan siklus bahan organic tanah melalui rantai pakannya yang pada akhirnya pemeliharaan
produktivitas lahan. Di Desa Tolai dan Tindaki petani responden yang memiliki dan memelihara sapi dan
babi menghasilkan bahan organik yang cukup banyak untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah. Dalam
banyak hal, pupuk kandang (kotoran babi) sangat cocok untuk pemupukan sayur-sayuran dataran rendah,
sehingga mempunyai nilai ekonomi dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani. Setyorini et
al., (2004) melaporkan pupuk kandang sebagai sumber hara akan memberi manfaat bagi tanaman dengan
pemberian sekitar 5 – 10 ton per hektar.
5. Pendapatan Rumahtangga
Mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, ternyata distribusi pendapatan, salah satu indikator yang
perlu diperhatikan. Distribusi pendapatan petani responden di desa contoh pengkajian disajikan pada Tabel 7.
408
Tabel 7. Pendapatan Petani Responden di Desa Contoh Kabupaten Karawang Jawa Barat dan Kabupaten Parigi
Moutong, Tahun 2005
Uraian
Desa Contoh
Desa Parakan dan Karangjaya
Kabupaten Karawang
Desa Tolai dan Tindaki
Kabupaten Parigi Moutong
Rp (x 1000) (%) Rp (x 1000) (%)
1. Pertanian
a. Padi + palawija
b. Hortikultura
c. Perkebunan
d. Peternakan
e. Perikanan
7.248
1.389
45
147
-
57,20
10,96
0,36
1,16
-
6.075
8
4.622
1.295
232
43,94
0,06
33,43
9,36
1,68
2. Buruh pertanian 925 7,30 706 5,10
3. Buruh non pertanian 2.918 23,02 889 6,43
Sumber : data primer (diolah)
Rataan pendapatan dari subsektor pangan (padi + palawija) masih dominan yang diperoleh petani
responden baik di Desa Parakan dan Karangjaya, maupun di Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut 57,20
persen dan 43,97 persen. Selanjutnya diikuti sebagai buruh non pertanian (23,02 persen) dan hortikultura
(10,96 persen) di Desa Parakan dan Karangjaya, sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki diikuti pendapatan
dari perkebunan (33,43 persen) dan 9,36 persen dari peternakan (Tabel 7). Rendahnya pendapatan dari
subsektor peternakan ini sejalan dengan pemilikan ternak di kedua desa contoh pengkajian adalah dominan
ternak ayam buras (Tabel 6), dan pemeliharaan yang sangat intensif. Walaupun demikian masih memberikan
kontribusi terhadap pendapatan petani responden, dan sangat diharapkan daripada hanya mengandalkan
pendapatan hanya dari tanaman pangan, walupun budidaya intensif masih kurang produktif.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis tersebut di atas disimpulkan bahwa.
1. Tani tanaman pangan merupakan mata pencaharian utama petani responden di Desa Parakan dan
Karangjaya, serta Desa Tolai dan Tindaki berturut-turut 93,3 persen dan 95,0 persen.
2. Penguasaan lahan sawah irigasi di Desa Parakan dan Karangjaya 59 persen petani responden sudah
status milik dengan rata-rata pemilikan 0,40 hektar. Sedangkan di Desa Tolai dan Tindaki 91 persen
status milik dengan rata-rata pemilikan 1,47 hektar.
3. Kontribusi pendapatan dari ternak di Desa Tolai dan Tindaki 9,36 persen lebih rendah daripada di Desa
Parakan dan Karangjaya 1,16 persen. Hal ini sejalan atau kemungkinan sebagai akibat pemilikan ternak
di kedua desa contoh dominan ternak non ruminansia (babi dan ayam buras) disamping pemeliharaannya
masih sangat ekstensif.
4. Keberadaan ternak sebagai komponen usahatani sangat diharapkan untuk kontribusi penerimaan
(pendapatan) petani disamping sebagai sumber pupuk kandang (organik) dalam upaya memperbaiki
kesuburan tanah melalui perbaikan tekstur tanah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. dan R.N. Suhaeti. 2000. Survei pendasaran pengembangan teknologi spesifik lokasi.
Lembaga Penelitian IPB – Badan Litbang Pertanian, Bogor
Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia Dalam Susenas 2000, Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia Dalam F. Kasrino, E. Pasandaran dan A.M. Fagi. Penyunting.
Ekonomi padi dan beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta
Irawan, B., B.Winarso, I. Sadikin, dan G.S. Hardono. 2003. Analisis faktor penyebab perlambatan produksi
komoditas tanaman utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan
Litbang Pertanian, Bogor
Irawan, B. 2004. Dinamika produktivitas dan kualitas budidaya padi sawah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor
409
Setyorini, D., L.R. Widowati dan S. Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hata tanah sawah intensifikasi.
Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Bogor. Hal 137 – 168.
Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. PT. Tarsito, Bandung
Sofyan, A., Nurjaya dan A. Kasrino. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan. Tanah
sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian, Bogor. Hal. 83 – 114
Surono, S. 2001. Perkembangan produksi dan kebutuhan impor beras serta kebijakan pemerintah untuk
melindungi petani. Dalam A. Suryana dan Sudi Mardyanto. Penyunting Bunga Ramapi Ekonomi
Beras. LPEM – FE UI, Jakarta. Hal. 41 – 58
410
STRUKTUR KEMISKINAN WILAYAH DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI
DALAM KERANGKA MEMPERTAHANKAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN: Suatu
Upaya ke Arah Pemberdayaan Potensi Melalui Inovasi Teknologi Pertanian
Iwan Setiajie Anugrah 1)
, Yohanes Geli Bulu dan Sri Hastuti S 2)
1)
Staf Peneliti PSE-KP dan BB-Pengkajian Bogor 2)
Staf Peneliti BPTP Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Pembangunan dan kemiskinan, merupakan sisi ”mata uang” yang senantiasa berjalan bersama dalam kontek
sebuah upaya perbaikan atau bagian dari suatu ketertinggalan dan ketidaksanggupan memenuhi kebutuhan hidup. Kemiskinan berdasarkan pendekatan system, mengisyaratkan adanya keterbatasan pada aspek-aspek geografi, ekologi,
teknologi dan demografi yang senantiasa masih diperlukan upaya pemberdayaan potensi, khususnya bagi upaya
pemenuhan kebutuhan pangan. Bertitik tolak dari pendekatan sistem tersebut, maka materi tulisan ini secara deskriptif
akan diarahkan pada situasi dan gambaran, bagaimana rumahtangga petani di beberapa wilayah miskin Provinsi Nusa Tenggara Barat, dalam upaya mempertahankan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Informasi yang mendukung
kearah tersebut, adalah berdasarkan materi hasil kegiatan penelitian PFI3P di beberapa lokasi kemiskinan NTB. Secara
umum, pola pengeluaran pada sebagian besar lokasi wilayah miskin di NTB, adalah untuk pemenuhan kebutuhan pangan,
yaitu mencapai rata-rata diatas 50 persen, dimana persentase untuk pemenuhan kebutuhan pangan beras dan lauk pauk/sayuran menunjukkan porsi yang cukup besar dari pengeluaran pangan lainnya. Upaya konkrit pemerintah dalam
pembangunan pertanian, melalui pemasyarakatan inovasi teknologi di NTB terus dilakukan, salahsatunya adalah dengan
upaya PFI3P yang diarahkan selain bagi perbaikan usaha sektor pertanian juga ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan
petani pelaku di dalamnya. Melalui program kegiatan yang dilakukan dalam PFI3P juga, setidaknya dapat mendorong bagi pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga serta peningkatan daya beli petani untuk pemenuhan kebutuhan hidup
secara keseluruhan.
Kata kunci : kemiskinan wilayah, konsumsi pangan, pemberdayaan potensi, inovasi teknologi
PENDAHULUAN
Kemiskinan adalah sebuah fenomena yang paling tidak ”bersahabat” untuk diperdengarkan bagi
siapapun, karena secara realistis kemiskinan menunjukkan ketidakcukupan bagi komunitas yang
merasakannya. Namun demikian, tidak jarang kemiskinan menjadi sebuah komoditas bagi sebagian
komunitas lain untuk mendapat keuntungan dengan cara mengekploitasi kemiskinan, melalui sebuah upaya
pembenaran situasional dengan berbagai argumen teoritis didalamnya dan semata-mata untuk
mengedepankan kepentingan pribadi maupun golongan.
Secara teoritis, bahasan tentang kemiskinan telah banyak disampaikan oleh para pemerhati dan
ilmuwan yang melakukan pendalaman kajian pada permasalahan kemiskinan, hingga muncul berbagai
konsep dan pandangan serta upaya untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Salahsatu konsep budaya
kemiskinan yang disampaikan seorang antropolog Oscar Lewis dalam Rajab (2004), memaknai kemiskinan
sebagai ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan
keperluan-keperluan dasar materialnya. Konsep tersebut memberikan pengertian bahwa kemiskinan adalah
ketidakcukupan seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang serta papan
untuk kelangsungan hidup dan meningkatkan posisi sosial ekonominya. Sumberdaya material yang dimiliki
dan dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekedar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan
fisiknya dan tidak memungkinkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Lebih lanjut disampaikan bahwa ada tiga pendekatan yang mencoba menjelaskan mengenai sebab-
sebab kemiskinan, yaitu system approach, decision- making model dan structural approach. Berdasarkan
pada pendekatan sistem (system approach), akar kemiskinan lebih diakibatkan dengan adanya keterbatasan
pada aspek-aspek geografi, ekologi, teknologi dan demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor-faktor tersebut, dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan
atau pedalaman, sehingga perlu dilakukan intervensi tertentu untuk meningkatkan kemampuan daya dukung
lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang memiliki kemampuan dan kapasitas lebih besar
dalam mengekplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumberdaya ekonomi, sehingga dapat tercapai surplus
produksi serta dapat meningkatkan nilai tambah hasil produksi, selain juga harus diupayakan untuk
membangun dan memperbaiki prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi publik yang memungkinkan
daerah yang bersangkutan menjadi terbuka, sehingga memudahkan arus pertukaran barang dan jasa, serta
diterapkannya program untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk (Lewis dalam Rajab, 2004).
411
Keterkaitan kemiskinan, seperti dalam uraian diatas dengan tujuan penulisan makalah ini, adalah
untuk membuat suatu alur berfikir dari kondisi aktual yang ada di masing-masing lokasi kajian PFI3P (kasus
di Lombok Timur, NTB) secara geografis, ekologi, teknologi serta aspek sosial ekonomi dengan upaya
pemberdayaan wilayah, baik tujuan pencapaian produksi, pemenuhan kebutuhan pangan maupun melalui
introduksi sarana dan inovasi teknologi pertanian yang pada akhirnya menjadi upaya bagi perbaikan ekonomi
wilayah secara keseluruhan, juga secara bertahap menjadi penghela bagi peningkatan kesejahteraan
rumahtangga petani didalamnya.
METODOLOGI
Penulisan makalah ini dilakukan berdasarkan data dan informasi dari laporan hasil kegiatan
baseline survey yang dilakukan oleh Tim dari Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, di beberapa desa di
Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Desa Korleko, Suangi, Selebung Ketangga,
Sambelia serta Sembalun Lawang) tahun 2003 – 2004. Sedangkan informasi mengenai dampak (teknis,
maupun sosial dan ekonomi) dengan adanya upaya pemberdayaan melalui inovasi yang dilakukan dengan
kegiatan PFI3P di beberapa lokasi wilayah miskin tersebut, disampaikan berdasarkan hasil laporan
pelaksanaan kegiatan Evaluasi Partisipatif Terhadap Perbaikan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi
yang dilakukan oleh Tim dari BPTP NTB tahun 2005.
Penyampaian materi dilakukan secara deskriptif serta melalui analisis tabulasi sederhana untuk
memudahkan pembahasan materi yang disampaikan. Selain menyampaikan data primer hasil kegiatan
baseline survey serta evaluasi, materi dalam tulisan ini juga dilengkapi dengan bahan dan informasi sekunder
yang diperoleh dari berbagai sumber yang relevan dengan topik yang akan menjadi pokok bahasan.
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Sampai saat ini, sektor pertanian masih memegang peranan cukup penting dalam struktur
perekonomian Kabupaten Lombok Timur, serta Propinsi NTB secara umum. Potensi pertanian yang ada di
Kabupaten Lombok Timur, telah memberikan konstribusi yang cukup besar di dalam proses pembangunan
perekonomian secara keseluruhan. Data BPS (2002) menunjukkan bahwa konstribusi sektor pertanian
terhadap PDRB Kabupaten Lombok Timur mencapai 40,68 persen dari seluruh sektor perekonomian, diatas
kontribusi sektor perdagangan serta jasa-jasa. (Tabel 1).
Tabel 1. PDRB Kabupaten Lombok Timur Berdasarkan Sektor Ekonomi (Atas Dasar Harga Berlaku) , 2002
No Sektor Ekonomi (Rp 000) %
1. Pertanian 863.567.610 40,68
2. Pertambangan dan Penggalian 70.485.747 3,32
3. Industri 139.276.245 6,56
4. Listrik, Gas dan air Bersih 3.316.594 0,16
5. Bangunan 164.726.176 7,76
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 360.652.701 16,99
7. Pengangkutan dan Komunikasi 132.680.194 6,25
8. Keuangan, Perseroan dan Jasa Perusahaan 37.503.616 1,77
9. Jasa-jasa 350.717.886 16,52
Jumlah 2.122.926.769 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Lombok Timur, 2002.
Besarnya konstribusi sektor pertanian terhadap PDRB tersebut, tidak terlepas dari peran serta sektor
pertanian yang juga cukup dominan di beberapa kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Lombok Timur
itu sendiri. Secara umum potensi sektor pertanian di beberapa kecamatan contoh, memberikan kontribusi
yang cukup penting bagi pencapaian PDRB Kabupaten Lombok Timur, dengan persentase yang cukup besar
diantara lapangan usaha yang ada, yaitu berkisar antara 29,32 hingga 64,54 persen (Tabel 2).
412
Tabel 2. Peranan dan Konstribusi Sektor Pertanian di Beberapa Kecamatan Contoh Terhadap PDRB di Kabupaten
Lombok Timur (Berdasarkan Harga Berlaku), 2002
No Lapangan Usaha Sakra Keruak Labuhan
Haji Sembalun Sambelia
Kabupaten
Lombok
Timur
1. Pertanian 32,05 53,45 29,32 62,44 64,54 40,68
2. Pertambangan dan Penggalian 2,22 3,86 5,06 2,16 4,24 3,32
3. Industri 9,19 4,03 7,22 0,33 1,04 6,56
4. Listrik dan Gas 0,76 0,18 0,17 0,03 0,16 0,16
5. Bangunan 6,22 8,88 7,41 6,92 11,41 7,76
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 17,04 1,19 16,45 18,78 2,43 16,99
7. Pengangkutan dan Komunikasi 8,34 4,13 7,40 0,37 0,81 6,25
8. Keuangan, Perseroan dan Jasa
Perusahaan 2,19 1,17 2,26 0,95 0,81 1,77
9. Jasa-jasa 21,99 11,12 24,70 8,02 9,28 16,52
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Lombok Timur, 2002.
Pada Tabel 2, terlihat bahwa peran sektor pertanian di Kecamatan Sambelia, Sembalun maupun
Kecamatan Keruak, menunjukkan persentase yang cukup potensial, masing-masing 64,54 persen, 62,44
persen serta 53,45 persen, diatas persentase konstribusi sektor pertanian Kabupaten secara keseluruhan.
Namun demikian, besarnya konstribusi sektor petanian yang dihasilkan oleh sebagian besar masyarakat yang
ada di wilayah tersebut, belum menjadikan sumber ekonomi yang dapat mendorong kearah kesejahteraan
rumahtangga petani secara keseluruhan. Sebaliknya beberapa desa yang termasuk di dalamnya masih berada
pada wilayah kemiskinan, dengan kondisi agroekosistem yang relatif masih belum dapat diusahakan secara
optimal dengan segala keterbatasan yang ada.
KARAKTERISTIK KEMISKINAN
Ketidakpastian yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan, sebenarnya bukan
terletak pada penetapan ukuran kemiskinan itu sendiri dan bukan pada indikator kuantitatif kemiskinan,
melainkan pada faktor-faktor penyebab seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Dalam upaya
menjawab pertanyaan ini, berbagai ilmuwan dan pemerintahan cenderung memberikan penjelasan yang
berbeda satu sama lain, sehingga rekomendasi yang diajukan untuk memecahkan persoalan kemiskinan pun
berbeda. Dengan demikian, tentunya implikasi yang muncul dari implementasi program penanggulangan
kemiskinan pun akan berbeda.
Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (2003), menunjukkan bahwa standar yang
menjadi dasar garis kemiskinan di NTB, adalah jumlah pendapatan sebesar Rp 112 960 per kapita per bulan,
atau standar pendapatan Rp 122 411/kap/bln untuk daerah perkotaan dan Rp 94 588/kap/bln di daerah
pedesaan. Dengan standar yang ditentukan tersebut, maka jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB hingga
tahun 2003, mencapai 1 054 700 jiwa yang sebagian besar berada di pedesaan dan lebih banyak dari kaum
perempuan (Tabel 3).
Karakteristik kemiskinan berdasarkan pendidikan di NTB, sebagian berada pada golongan
masyarakat dengan pendidikan setaraf Pra Sekolah Dasar (65,66 %), kemudian tamatan SD dan SLTP
(30,85 %). Dari jumlah penduduk miskin yang ada di NTB secara keseluruhan, terlihat bahwa berdasarkan
pekerjaan yang dilakukan, sebagian besar (73,94 %) penduduk miskin adalah yang bekerja di sektor
pertanian dan hanya 21,31 persen yang bekerja di non pertanian (Tabel 3). Kondisi seperti ini sangat
memprihatinkan, manakala sektor potensial yang memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian daerah
maupun nasional belum merupakan sumber penghidupan yang layak bagi para pelaku di dalamnya. Relatif
rendahnya pendapatan, nilai tukar hasil pertanian serta keterbatasan aksessibilitas wilayah dengan sarana
prasarana pertanian secara keseluruhan, menjadi latar belakang pendorong terjadinya kemiskinan di beberapa
wilayah NTB serta lokasi kajian PFI3P.
413
Tabel 3. Karakteristik Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Indonesia, 2003
No Karakteristik Kemiskinan Nusa Tenggara Barat Indonesia
1. Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) 112.960 118.554
Perkotaan 122.411 138.803
Pedesaan 94.588 105.889
2. Jumlah Penduduk Miskin (jiwa) 1.054.700 37.339.400
Perkotaan 486.000 12.263.700
Pedesaan 568.800 25.075.700
3. Berdasarkan Jenis Kelamin (jiwa) 1.054.800 37.339.400
Laki-laki 500.000 18.811.700
Perempuan 554.800 18.527.700
4. Berdasarkan Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan (%)
< Sekolah Dasar 65.66
Tamat SD/SLTP 30.85
SLTA+ 3.49
5. Berdasarkan Usia Kerja (15 Tahun keatas) dan Status Bekerja (%)
Tidak Bekerja 4.75
Bekerja di Sektor Informal 82.81
Bekerja di Sektor Formal 12.44
Bekerja di Sektor Pertanian 73.94
Bekerja Bukan di Sektor Petanian 21.31
6. Pengeluaran Untuk Makanan (%) 68.75 60.63
Perkotaan 64.46 54.47
Pedesaan 71.78 68.11
Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku I : Provinsi. Badan Pusat Statistik 2003
Secara nasional juga mengisyaratkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sumber kemiskinan
bagi para pelaku di dalamnya, sekalipun secara nasional juga sektor pertanian merupakan sumber lapangan
pekerjaan dan penghidupan bagi sebagian besar penduduk. Data BPS (Tabel Lampiran 1) menunjukkan
bahwa secara nasional, kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia di seluruh provinsi
yang ada, juga bekerja di sektor pertanian.
Kondisi mikro menunjukkan bahwa hampir di seluruh kabupaten yang ada di NTB, kondisi
persentase kemiskinan dialami oleh sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian, yaitu antara
60,44 hingga 86,15 persen, kecuali di Kota Mataram (Tabel 4).
Tabel 4. Persentase Penduduk Miskin Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kabupaten dan Sektor Pekerjaan di Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 2003
No Kabupaten Tidak Bekerja Bekerja di Sektor
Pertanian
Bekerja bukan/diluar
Sektor Pertanian
1. Lombok Barat 11,36 60,44 28,20
2. Lombok Tengah 2,69 80,69 16,62
3. Lombok Timur 0,65 75,68 23,67
4. Sumbawa 2,77 83,33 13,90
5. Dompu 0,72 83,05 16,23
6. Bima 2,08 86,15 11,77
7. Kota Mataram 31,44 6,67 61,89
Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 2 : Kabupaten. Badan Pusat Statistik 2003
Secara faktual, kemiskinan sangat erat kaitannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan pokok,
terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga. Data BPS (2003) juga memberikan gambaran
bahwa secara nasional, penduduk miskin di seluruh provinsi yang ada, sebagian besar mengalokasikan
pendapatan rumahtangga untuk pengeluaran makanan, baik penduduk yang berada di perkotaan maupun
yang tinggal di pedesaan (Tabel Lampiran 2). Namun demikian, data secara umum tentang persentase
pengeluaran penduduk miskin pedesaan untuk makanan cenderung lebih besar dibandingkan dengan yang
dilakukan oleh penduduk di perkotaan, kecuali untuk provinsi DKI Jakarta.
STRUKTUR PENDAPATAN DAN PENGELUARAN
414
Sesuai dengan karakteristik agroekosistem Nusa Tenggara Barat secara keseluruhan, sebagian besar
kondisi wilayah Kabupaten Lombok Timur merupakan lahan kering dengan tingkat kesuburan dan curah
hujan yang rendah. Luas areal lahan kering mencapai 115 219 hektar atau sekitar 71,76 persen dari total luas
wilayah. Sementara luas wilayah lahan sawah hanya mencapai 28,24 persen atau 45 336 hektar (BPS, 2002).
Berdasarkan kondisi bio fisik dan agroekosistem pada setiap desa contoh, komoditas yang
diusahakan di Desa Sambelia, Suangi dan Korleko lebih banyak dengan palawija jagung selain padi, serta
komoditas perkebunan maupun sayuran dataran rendah. Di Desa Selebung Ketangga padi serta tembakau
sedangkan komoditas yang diusahakan di Desa Sembalun Lawang lebih ke arah sayuran dataran tinggi,
seperti kubis, kentang, bawang putih, petsai, tomat, cabe serta jenis sayuran lainnya, selain bertanam padi.
Namun demikian, sumber pendapatan utama rumahtangga di lima wilayah kajian, sebagian besar berasal dari
kegiatan on farm, kemudian non –farm serta off-farm (Tabel 5).
Tabel 5 Struktur Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun di Desa Contoh PFI3P, Kabupaten Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat, 2004 (%)
Sumber Pendapatan Sambelia Suangi Korleko Selebung
Ketangga
Sembalun
Lawang Rataan
1. On Farm
- Padi
- Palawija
- Hortikultura - Peternakan
- Perkebunan
- Perikanan
73,60
32,97
26,56
0,24 10,15
3,68
-
57,30
14,34
4,68
4,61 15,32
18,35
-
53,24
11,56
16,86
8,03 2,39
14,41
-
61,30
28,93
2,02
0,37 3,62
26,12
0,24
59,30
8,82
3,80
22,48 18,60
5,60
-
60,95
19,32
10,78
7,15 10,02
13,63
0,24
2. Off-Farm
- Buruh Tani
- Menyewakan Alsintan
5,24
5,24
-
5,82
5,45
0,37
4,80
4,80
-
5,20
5,20
-
2,60
2,60
-
4,73
4,66
0,37
3. Non-Farm
- Industri
- Dagang
- Pertukangan
- Transportasi
- PNS/TNI/POLRI/dll - Mengambil di alam
- Pemberian
21,16
-
3,80
1,27
4,25
4,57 1,52
5,75
36,88
-
-
9,76
7,65
1,93 -
17,54
41,95
-
15,25
3,45
7,08
- 10,45
5,72
33,50
-
9,78
5,40
0,46
12,63 -
5,23
38,10
5,53
15,30
2,11
-
- -
15,16
34,32
5,53
11,03
4,40
4,86
6,38 5,99
9,88
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Data Primer Tim PSE -Bogor
Tabel 6. Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Per Tahun di Desa Contoh PFI3P, Kabupaten Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat, 2004 (%)
Jenis Pengeluaran Sambelia Suangi Korleko Selebung
Ketangga
Sembalun
Lawang Rataan
1. Pangan
- Beras - Kopi/teh/gula/dll
- Lauk Pauk/Sayuran
- Rokok/Tembakau
- Lainnya
56,60
20,53 5,63
24,09
5,43
0,92
67,17
30,73 6,86
19,61
6,62
3,35
58,41
21,70 4,67
19,15
11,26
1,63
54,81
19,46 7,28
18,16
6,68
3,23
60,47
16,98 5,94
25,35
8,95
3,25
59,49
21,88 6,08
21,27
7,79
2,48
2. Non-Pangan
- Sabun/dll - Pendidikan
- Pakaian
- Kesehatan
- Rekreasi - Sosial
- Perbaikan Rumah
- Listrik/BBM
43,39
5,12 12,50
4,31
2,47
0,25 2,69
7,00
9,07
32,84
5,81 8,04
5,85
1,92
0,45 4,92
2,14
3,70
41,59
3,34 10,67
5,97
3,81
0,27 3,26
4,42
9,85
45,19
3,20 12,26
5,13
3,46
0,27 4,73
5,49
10,65
39,53
6,19 11,47
6,25
2,37
0,34 5,35
1,94
5,62
40,51
4,73 10,99
5,50
2,81
0,32 4,19
4,20
7,78
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Data Primer Tim PSE-Bogor
Kemiskinan pada dasarnya erat kaitannya dengan bagaimana upaya pemenuhan kebutuhan pangan
bagi keluarga, sebagai kebutuhan dasarnya. Data pada Tabel 6 berikut, memberikan gambaran bahwa
pengeluaran rumahtangga pada lima wilayah miskin, sebagian besar ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan
415
pangan. Kebutuhan pangan utama dimaksud, adalah rata-rata untuk konsumsi beras maupun lauk pauk/
sayuran. Sementara pengeluaran untuk non pangan sebagian besar ditujukan untuk pembiayaan pendidikan
rumahtangga.
Dari gambaran di atas, menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan para petani (sebagai responden)
untuk memenuhi kebutuhan pangan, dilakukan berasal dari hasil pertanian yang diusahakan sendiri maupun
dari hasil pembelian. Adanya keterbatasan usahatani yang dilakukan, terkait dengan kondisi keterbatasan
sumberdaya alam (SDA), kemudian sistem usahatani dengan penerapan inovasi teknologi yang masih
terbatas pada varietas bermutu/baru, teknologi pemupukan berimbang, pengolahan tanah, pengendalian HPT
serta teknologi panen dan pasca panen, dimungkinkan berpengaruh pada capaian produktivitas. Disisi lain
terjadinya fluktuasi harga serta kondisi sistem pemasaran komoditas pertanian komersial yang diusahakan
rumahtangga petani, menjadikan nilai tukar maupun pendapatan yang diterima relatif tidak dapat memenuhi
kebutuhan rumahtangga secara optimal.
PEMBERDAYAAN POTENSI DAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN
Upaya pemerintah untuk menggulangi masalah kemiskinan wilayah secara umum, terus dilakukan.
Berbagai program pengentasan wilayah miskin telah banyak dilakukan di berbagai daerah, baik yang bersifat
jangka pendek maupun yang berkesinambungan, sesuai dengan kondisi kemiskinan di masing-masing lokasi
program yang diberikan. Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Kabupaten Lombok Timur (2004),
mencatat bahwa permasalahan utama yang menyebabkan kemiskinan di Kabupaten Lombok Timur, antara
lain : (1) Jumlah penduduk dan kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah, (2) Kondisi alam yang
kurang mendukung, (3) Terbatasnya lapangan kerja, (4) Penguasaan ketrampilan dasar/pengantar kerja masih
rendah, (5) Terbatasnya sarana dan prasarana ekonomi masyarakat, (6) Terbatasnya tenaga pendamping
(motivator), (7) Kemauan dan kemampuan untuk mandiri masih rendah, karena terbiasa menerima
bantuan/subsidi.
Dengan latar belakang kemiskinan tersebut, KPK juga mengidentifikasi bahwa upaya pemerintah
kearah pemberdayaan telah dilakukan, melalui program/proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah
Daerah (P2MPD), Program Dalam Rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) serta
Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (PFI3P). Kegiatan yang sama secara nasional
juga masuk di Kabupaten Lombok Timur, antara lain Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program Pengembangan
Wilayah Terpadu (PPWT), Program Penyediaan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Program Pembangunan
Jalan Poros Desa (P2JPD) maupun program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan yang terbaru adalah Program
Dana Konpensasi Kenaikan Harga BBM, melalui BTL.
Filosofi dasar Program PFI3P sebagai salahsatu bagian dari upaya pemberdayaan yang dilakukan
secara partisipatif dan berkesinambungan selama 5 tahun, melalui inovasi pembangunan pertanian kearah
peningkatan pendapatan petani, pada dasarnya diharapkan dapat meningkatkan tarap hidup petani (kwalitas
hidup). Dalam Panduan Teknis Bappeda Kabupaten Lombok Timur (2003) juga dijelaskan bahwa sasaran
program PFI3P yang secara paralel dilakukan di lima kabupaten contoh di Indonesia (Temanggung dan Blora
di Jateng, Lombok Timur di NTB, Ende di NTT serta Kabupaten Donggala di Sulteng) pada tahun 2003,
adalah (1) memberdayakan petani miskin agar dapat mengadopsi inovasi produksi pertanian dan metode
pemasaran, termasuk inovasi pasca panen seperti agribisnis yang dapat mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas serta keuntungan di bidang pertanian, (2) memberdayakan petani miskin agar dapat
mengidentifikasi dan melaksankan pembangunan prasarana dan sarana umum di tingkat desa, sehingga dapat
melakukan inovasi dalam produktivitas, pemasaran dan agribisnis di bidang pertanian. Kegiatan dilakukan
selama lima tahun, meliputi 4 komponen pelaksanaan, (1) pemberdayaan petani miskin, (2) pengembangan
sumber informasi di tingkat nasional dan daerah, (3) pengembangan inovasi pertanian serta (4) manajemen
proyek.
Secara umum, ruang lingkup kegiatan PFI3P dalam kaitan dengan pemberdayaan petani lebih
mengarah pada pembangunan fisik sarana dan prasarana kegiatan pertanian di masing-masing wilayah miskin.
Kegiatan yang dilakukan, meliputi, (1) Jalan usahatani untuk mendukung Agribisnis, (2) Irigasi kecil, (3)
Embung rakyat, (4) Pasar desa, (5) Gudang/sarana produksi, (6) Pengadaan pupuk organik, serta (7)
Pelatihan-pelatihan petani. Sementara dalam kegiatan pengembangan sumber informasi (nasional dan daerah),
meliputi (1) Pembangunan pusat informasi pertanian lokal, (2) Penyediaan informasi pasar, (3) Penyediaan
informasi teknologi pertanian yang bisa diakses petani untuk kegiatan usahatani. Implementasi kegiatan
tersebut direalisasikan melalui berbagai program pelaksanaan yang disesuaikan untuk di masing-masing
lokasi.
416
Kegiatan PFI3P 2003 di lima desa Kabupaten Lombok Timur, telah berjalan pada tahap ke III,
dengan segala perubahan yang terjadi di dalamnya. Untuk mengetahui perubahan dan dampak teknis, sosial
dan ekonomi melalui upaya pembangunan sarana pertanian PFI3P di masing-masing desa contoh, secara
umum sebagaimana dilaporkan melalui hasil evaluasi Tim BPTP NTB (2005), seperti pada Tabel 7 berikut:
Tabel 7. Dampak Teknis, Sosial dan Ekonomi dari Introduksi Kegiatan PFI3P di Lima Desa Contoh Nusa Tenggara
Barat, 2005
Komponen
Intoduksi Aspek Teknis Aspek Sosial Aspek Ekonomi
Saluran Irigasi peningkatan Indeks
Pertanaman, pola tanam, variasi tanaman, perluasan
areal tanam, produktivitas,
efisiensi penggunaan air
irigasi dan lebih teratur serta percepatan tanam
Peningkatan kerjasama
kelompoktani dalam pemeliharaan saluran irigasi,
berkurangnya konflik dan
pencurian air
Peningkatan pendapatan dan
keuntungan keluarga dari usahatani
Jalan Usahatani arus inovasi dan waktu tempuh lebih cepat dan lancar,
peningkatan peluang usaha
non pertanian serta alternatif
transportasi
Komunikasi teknologi, mobilisasi, akses informasi
teknologi dan pasar relatif
lancar serta lebih cepat
diterima, terjalinnya bentuk kemitraan
Penurunan biaya transportasi, peningkatan penerimaan
petani, diversifikasi
pendapatan non pertanian,
rantai pasar pendek dan volume yang dipasarkan
meningkat, waktu pemasaran
lebih cepat, peningkatan harga
tanah
Pasar Peningkatan aktivitas pasar
menjadi setiap hari, usahatani lebih mengarah ke komersial,
membuka lapangan kerja bagi
perempuan di pasar
-
-
Inovasi Penyampaian informasi
teknologi usahatani yang bisa
diadopsi petani lebih lancar serta punumbuhan kegiatan
partisipatif lain
-
-
Sumber : Data hasil evaluasi Tim BPTP, NTB 2005
KESIMPULAN
1. Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya merupakan permasalahan individual maupun lokal, tetapi telah
menjadi persoalan secara nasional yang membutuhkan perhatian di dalam pelaksanaan pembangunan
negara secara nasional. Adanya ketidakpastian dan silang pendapat yang berkaitan dengan acuan dalam
menjelaskan konsep kemiskinan yang tidak berdasarkan pada faktor-faktor utama penyebab kemiskinan
dari berbagai kepentingan serta pengambil kebijakan, telah menimbulkan perbedaan rekomendasi serta
menyebabkan perbedaan implikasi dari program penanggulangan kemiskinan.
2. Secara umum, kemiskinan wilayah yang dialami di lokasi PFI3P Kabupaten Lombok Timur, lebih
disebabkan oleh keterbatasan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan maupun sarana prasarana
serta aksessibilitas yang mendukung pembangunan pertanian yang dilakukan oleh sebagian besar
rumahtangga petani. Kondisi kemiskinan juga tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan pokok
rumahtangga terhadap pangan, khususnya beras sebagai konsumsi utama serta jenis pangan lainnya di
lokasi PFI3P maupun di tingkat Nasional.
3. Upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta sumberdaya manusia, sebagai
pelaku pembangunan pertanian di wilayah miskin telah dilakukan melalui kegiatan inovasi teknologi
yang diintroduksikan PFI3P dan secara nyata telah mendorong pada perubahan. Melalui introduksi
inovasi teknologi yang diselaraskan dengan pola partisipatif di dalam pelaksanaannya di lokasi PFI3P,
secara bertahap membawa perubahan bagi pembangunan pertanian wilayah, serta para petani pelaku di
dalamnya. Sehingga jumlah angka kemiskinan di sektor pertanian Kabupaten Lombok Timur maupun
NTB secara perlahan dapat berkurang.
4. Konsistensi dan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pemerataan inovasi teknologi bagi setiap
lokasi yang dapat menggerakan partisipasi masyarakat setempat, merupakan modal yang cukup besar
417
untuk melakukan pembangunan wilayah secara lebih cepat, dengan mengedepankan tujuan upaya
pengentasan kemiskinan di dalamnya. Program bantuan semata-mata hanya merupakan bagian kecil
sebagai alat untuk memfasilitasi motivasi yang ditunjukkan oleh masyarakat secara partisipatif.
5. Perang kata-kata dan silang pendapat yang mempermasalahkan kemiskinan di tingkat ”elite” beberapa
waktu ini, tanpa dilakukan dengan tindakan dan niat yang kongkrit, tidak ada artinya. Sementara
kemiskinan tetap berlangsung, sehingga ”yang miskin akan semakin miskin”.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Lombok Timur. 2003. Panduan Teknis dan Aplikasi Metode PRA Program PFI3P
Kabupaten Lombok Timur.
BPS dan Bappeda Propinsi NTB. 2003. Perkembangan Nilai Tukar Petani Triwulan I tahun 2003
BPS Kabupaten Lombok Timur. 2002. Pendapatan Regional. Lombok Timur Dalam Angka 2002.
Hendayana, R dan K Puspadi. 2004. Mobilisasi Petani Miskin di Wilayah Agroekosistem Marjinal Melalui
Wahana Kelompok Usaha Bersama Menuju Kemandirian. Prosiding Seminar Nasional
Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna di Mataram,
tanggal 31 Agustus – 1 September 2004. PSE Bogor.
Iqbal, M, I.S.Anugrah, DKS Swastika. 2004. Socio-Economic Baseline Survey For Poor Farmers‟ Income
Improvement Through Innovation Project (PFI3P) In East Lombok, West Nusa Tenggara.
Kerjasama Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi dengan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Irawan P.B dan H. Romdiati. 2000. dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa
Implikasinya Untuk Strategi Pembangunan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, di
Jakarta 29 Februari – 2 Maret 2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kasryno, F. Erwidodo, E. Pasandaran, IW. Rusastra, A.M. Fagi dan T Pranadji. 2003. Pemikiran Mengenai
Visi Pembangunan Pertanian Indonesia 2020 dan Implikasinya Bagi Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Prosiding Arah dan Kebijaksanaan Program dan Strategi Operasional Litbang Pertanian:
Visi Penelitian dan Pengembangan Pertanian Menuju 2020. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Lombok Timur 2004. Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Kabupaten Lombok Timur
Puspadi, dkk. 2005. Laporan Evaluasi Partisipatif Dengan Teknik PRA Perbaikan Pendapatan Petani Miskin
Melalui Inovasi di Lombok Timur. BPTP NTB
Rajab, Budi. 2004. Akar Kemiskinan dan Penanggulangannya. Harian Pikiran Rakyat, edisi Sabtu 30
Oktober 2004. Bandung
Saptana dan V. Darwis. 2004. Keefektifan Koordinasi Kelembagaan dan Strategi Penanggulangan
Kemiskinan di Daerah. Monograph Series No. 25 Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya Dalam
Pembangunan Pertanian. PSE, Bogor.
Simatupang P., D.K.S. Swastika, M. Iqbal dan I.S.Nugrah 2005. Pemberdayaan Petani Miskin Melalui
Inovasi Teknologi Pertanian di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan
Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna di Mataram, tanggal 31
Agustus – 1 September 2004. PSE Bogor.
Sumardi, M. dan Hans D Evers.1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. CV.
Rajawali, Jakarta
418
1. Membentuk kelompok tani
2. Meningkatkan peran serta
perempuan dan petani
miskin dalam kelompok
tani
3. Menyediakan fasilitator
4. Menumbuhkan proses
partisipatif dalam
pengambilan keputusan
1. Membentuk VPIC yang
berfungsi sebagai badan di
tingkat desa
2. Membentuk PIVF di
tingkat kecamatan
3. Membentuk DCC sebagai
forum untuk dukungan
teknis investasi desa
4. memformalkan ketiga
kelembagaan diatas dalam
struktur administratif
kabupaten
1. Memanfaatkan kelompok
tani dalam proses
partisipatif untuk investasi
desa mendukung inovasi
2. Membangun kemitraan
antara kelompok tani
dengan swasta untuk
investasi dan adopsi inovasi
3. Mengusulkan biaya
investasi desa
1. Meningkatkan ruang lingkup sistem
informasi harga pasar untuk memenuhi
kebutuhan di 4 propinsi PFI3P pada
tahun ke empat
2. Menyediakan informasi harga pasar
secara umum di tingkat produsen dan
pasar
3. Mengembangan sistem informasi
secara nasional setelah proyek berakhir
4. Memutakhirkan informasi pertanian
secara reguler dan dapat dioperasikan
pada tahun ke 4.
5. Membangun website informasi
pertanian dan agribisnis
6. Memanfaatkan website pertanian untuk
kegiatan bisnis pada tahun kedua
setelah website operasional.
7. Membangun pusat-pusat informasi di
tingkat kabupaten dan dapat
operasional pada tahun ketiga
1. Melaksanakan outreach
program untuk penyebaran
teknologi tepat guna
2. Melaksanakan program
penelitian spesifik untuk
lahan marginal
3. Mengembangkan metode
produksi dan pemasaran
pertanian
4. Menyelenggarakan
kegiatan diseminasi hasil
litkaji
Mobilisasi
Kelompok
Pengembangan
KelembagaanInvestasi Desa
Pengembangan Website Pertanian
Nasional dan Pengembangan Pusat
Informasi Lokal
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANAMENINGKATNYA AKSES
INFORMASI
REORIENTASI
PENELITIAN PERTANIAN
LAHAN MARGINAL
MENINGKATNYA INOVASI DALAM PRODUKSI
DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN
OLEH PETANI MISKIN
GOAL
MANFAAT
INPUT/
KEGIATAN
LUARANPengembangan dan Diseminasi
Inovasi Pertanian
1. Membentuk kelompok tani
2. Meningkatkan peran serta
perempuan dan petani
miskin dalam kelompok
tani
3. Menyediakan fasilitator
4. Menumbuhkan proses
partisipatif dalam
pengambilan keputusan
1. Membentuk VPIC yang
berfungsi sebagai badan di
tingkat desa
2. Membentuk PIVF di
tingkat kecamatan
3. Membentuk DCC sebagai
forum untuk dukungan
teknis investasi desa
4. memformalkan ketiga
kelembagaan diatas dalam
struktur administratif
kabupaten
1. Memanfaatkan kelompok
tani dalam proses
partisipatif untuk investasi
desa mendukung inovasi
2. Membangun kemitraan
antara kelompok tani
dengan swasta untuk
investasi dan adopsi inovasi
3. Mengusulkan biaya
investasi desa
1. Meningkatkan ruang lingkup sistem
informasi harga pasar untuk memenuhi
kebutuhan di 4 propinsi PFI3P pada
tahun ke empat
2. Menyediakan informasi harga pasar
secara umum di tingkat produsen dan
pasar
3. Mengembangan sistem informasi
secara nasional setelah proyek berakhir
4. Memutakhirkan informasi pertanian
secara reguler dan dapat dioperasikan
pada tahun ke 4.
5. Membangun website informasi
pertanian dan agribisnis
6. Memanfaatkan website pertanian untuk
kegiatan bisnis pada tahun kedua
setelah website operasional.
7. Membangun pusat-pusat informasi di
tingkat kabupaten dan dapat
operasional pada tahun ketiga
1. Melaksanakan outreach
program untuk penyebaran
teknologi tepat guna
2. Melaksanakan program
penelitian spesifik untuk
lahan marginal
3. Mengembangkan metode
produksi dan pemasaran
pertanian
4. Menyelenggarakan
kegiatan diseminasi hasil
litkaji
Mobilisasi
Kelompok
Pengembangan
KelembagaanInvestasi Desa
Pengembangan Website Pertanian
Nasional dan Pengembangan Pusat
Informasi Lokal
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANAMENINGKATNYA AKSES
INFORMASI
REORIENTASI
PENELITIAN PERTANIAN
LAHAN MARGINAL
MENINGKATNYA INOVASI DALAM PRODUKSI
DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN
OLEH PETANI MISKIN
GOAL
MANFAAT
INPUT/
KEGIATAN
LUARANPengembangan dan Diseminasi
Inovasi Pertanian
419
KAJIAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS OPERASIONAL JARINGAN IRIGASI MENDUKUNG
PRODUKTIVITAS USAHATANI PADI SAWAH
Yovita Anggita Dewi dan Rachmat Hendayana
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.. Jl Tentara Pelajar No 10 Bogor
ABSTRAK
Salah satu faktor penentu keberhasilan usahatani padi di lahan sawah adalah adanya jaringan irigasi yang
efisien dan efektif. Makalah bertujuan untuk membahas operasional jaringan irigasi terutama menyangkut tingkat efisiensi dan efektivitasnya dalam mendukung produktivitas usahatani padi sawah. Makalah dikembangkan dari sebagian
hasil pengkajian di Daerah Irigasi Pengasih, Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, tahun 2003. Pengumpulan data
dilakukan melalui survey terhadap 75 orang petani anggota perkumpulan pemakai air (P3A) yang terpilih sebagai
responden secara acak sederhana. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dalam hal ini indikator efisiensi dilihat dari Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR)
sedangkan efektivitasnya ditunjukkan oleh indeks luas (IA) lahan yang terairi. Hasil pengkajian menunjukkan: (a) Daerah
irigasi Pengasih mempunyai luas jaringan sekitar 2120 ha, meliputi 30 desa dalam lima kecamatan, yaitu Kecamatan
Pengasih (86 ha), Wates (624 ha), Panjatan (223 ha), Kokap (34 ha) dan Temon (1153 ha); (b) Jumlah kelompok P3A terangkum ke dalam dua Gabungan P3A (GP3A) yakni GP3A Pengasih Timur dan GP3A Pengasih Barat dengan luas
jaringan masing-masing 716 ha dan 1404 ha; (c) Dalam kurun waktu satu tahun (2002 – 2003) pengelolaan irigasi di
wilayah tersebut menunjukkan adanya penurunan efisiensi teknis dengan indikator kenaikan PIA, PIR dan PAR masing-
masing mencapai 0,76 lt/dt/ha ( 82,6%); 1,11 lt/dt/ha (83,4%) dan 1,11 lt/dt/ha (83,4%), sementara itu dari segi efektivitasnya meningkat dari 89 % pada tahun 2002 menjadi 91 % di tahun 2003; (d) Tingkat efisiensi dan efektivitas
operasi jaringan irigasi di lokasi pengkajian masih berpeluang untuk ditingkatkan kembali melalui upaya peningkatan
pengetahuan dan keterampilan petani pengelola irigasi melalui pelatihan, utamanya menyangkut aspek perencanaan,
implementasi dan monitoring. Peran pemerintah daerah untuk mendorong instansi terkait berpartisipasi dalam mengelola irigasi, masih tetap diperlukan.
Kata kunci: jaringan irigasi, efisiensi, efektivitas, P3A, produktivitas, usahatani padi.
PENDAHULUAN
Usaha peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi, pada dasarnya dapat dilakukan
melalui berbagai pendekatan antara lain ekstensifikasi, intensifikasi dan rehabilitasi, namun upaya tersebut
memerlukan waktu yang panjang. Menurut Saptana, dkk., (2001), dalam jangka pendek pilihan yang layak
untuk meningkatkan produktivitas usahatani adalah melalui intensifikasi dengan meningkatkan optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya. Pada usahatani padi sawah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang dapat
dilakukan salah satunya melalui alokasi air irigasi secara efektif dan efisien.
Perlunya alokasi sumberdaya air (irigasi) pada lahan sawah terkait dengan kinerja pengelolaan air
irigasi pada level usahatani yang masih jauh dari optimal, bahkan cenderung masih boros, sementara itu
kehilangan air yang terjadi di saluran irigasi juga sulit di tekan. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab
utama rendahnya realisasi areal tanam dan panen padi pada MK I dan terlebih pada MK II, yang bermuara
pada rendahnya perolehan produksi (Fagi, 2002; Pasandaran dan Hermanto, 1995; Pusposutardjo, 1995). Dari
hasil penelitian Saptana dkk (2001) terungkap bahwa salah satu simpul kritis dalam pengelolaan air irigasi
mencakup 8 aspek, salah satunya adalah sistem jaringan irigasi.
Keberadaan jaringan irigasi dalam hubungannya dengan upaya peningkatan produktivitas tanaman
pangan khususnya padi sawah telah menjadi pembahasan berbagai pakar pertanian. Mereka menelaahnya
dari berbagai segi baik teknis maupun sosial ekonomi dan kelembagaan. Dari aspek teknis, pembahasan
irigasi telah dikemukakan antara lain oleh Ismindarwati (1983), Arief (1996), sedangkan dari aspek sosial
ekonomi dan kelembagaan antara lain dibahas oleh Pasandaran (1995), Sumaryanto (2001), Saptana, dkk
(2001), Purwoto, dkk (1998). Pentingnya jaringan irigasi ini ditunjukkan pula dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah (PP), antara lain PP No 77/2001 yang diperbaharui dengan PP. No.20 /2006 Tentang Irigasi.
Makalah ini akan melengkapi informasi kajian jaringan irigasi yang telah ada, dengan lebih
memfokuskan bahasan pada aspek efisiensi dan efektivitas operasional jaringan irigasi dalam mendukung
produktivitas usahatani padi sawah, kasus di jaringan Irigasi Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, D.I.
Yogyakarta.
420
METODOLOGI PENGKAJIAN
Pendekatan
Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian jaringan irigasi adalah
saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk
penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara operasional
dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer, sekunder dan tersier.
Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung berfungsi sebagai prasarana pelayanan air
irigasi dalam ke dalam petakan sawah adalah jaringan irigasi tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran
kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter serta bangunan pelengkapnya.
Menurut Purwoto (1998) dan Sumaryanto (2001), dalam sepuluh tahun terakhir ini di wilayah-
wilayah yang semula didesain sebagai lahan beririgasi teknis dan semi teknis telah terjadi penurunan
kapasitas lahan irigasi, karena degradasi sumber air irigasi dan menurunnya kinerja jaringan irigasi.
Degradasi sumber air irigasi berupa menurunnya stabilitas debit air sungai, sedangkan menurunnya kinerja
jaringan irigasi disebabkan oleh rusaknya saluran-saluran tersier dan tidak berfungsinya saluran tersebut
akibat elevasi dan dasar saluran lebih tinggi dari permukaan air di saluran sekunder. Disamping itu
ditengarai oleh Arief (1996), bahwa menurunnya kapasitas lahan irigasi bisa juga disebabkan karena rancang
bangun jaringan irigasi yang kurang baik.
Di dalam pengelolaan jaringan irigasi ini, terdapat tiga kegiatan utama yaitu perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan (Ismindarwati, 1983). Selanjutnya Kast dan Rosenweig (1985),
mengemukakan bahwa tolok ukur keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah efisiensi dan efektifitas.
Dalam hal ini efisiensi teknis diukur dari tiga indikator yaitu Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi
Relatif (PIR) dan Pasok Air Relatif (PAR). Sedangkan efektivitas ditunjukkan oleh indeks luas areal (IA).
Data dan Sumber Data
Pembahasan didasarkan atas data primer yang dikumpulkan melalui survey terhadap 75 orang
petani dari beberapa Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) menggunakan kuesioner semi terstruktur.
Lokasi pengkajian adalah di sekitar daerah irigasi Pengasih, yang secara administratif berada dalam wilayah
Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Untuk memperkaya bahasan, digunakan pula data hasil
wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa informan kunci, serta informasi hasil
penelusuran pustaka.
Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
(a) Tingkat efisiensi akan diukur dari nilai Pasok Irigasi per Area (PIA), Pasok Irigasi Relatif (PIR) dan
Pasok Air Relatif (PAR) dengan rumusan sebagai berikut:
Pasok Air Irigasi
(a.1) PIA = Liter/Detik/Ha
Luas Lahan Terairi
Pasok Irigasi Total
(a.2) PIR/RIS = Liter/Detik/Ha
Kebutuhan Air Tanaman
Total Pasok Air
(a.3) PAR/RWS = Liter/Detik/Ha
Kebutuhan Air Tanaman
Kaidah keputusannya adalah : Semakin kecil nilai PIA, PIR dan PAR, maka pengelolaan irigasi
semakin efisien.
(b) Tingkat efektivitas akan diukur dari nilai Indek Luas Areal (IA), dengan rumusan berikut:
Luas Areal Terairi
IA = X 100 %
Luas Rancangan
Dalam hal ini, semakin tinggi nilai IA menunjukkan semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi.
421
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan Daerah Irigasi Pengasih
Secara administratif Daerah Irigasi (DI) Pengasih termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Kulonprogo, berada dalam pengamatan pengairan Wates, Cabang Dinas Pekerjaan Umum II (Tengah). Luas
areal yang diairi (=oncoran, Jawa) DI Pengasih mencapai 2120 ha, meliputi 30 desa di lima kecamatan, yaitu
Kecamatan Pengasih (86 ha), Wates (624 ha), Panjatan (223 ha), Kokap (34 ha) dan Temon (1153 ha).
Pengelolaan air irigasi di level petani dalam DI Pengasih dilakukan oleh Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A), yang terangkum ke dalam dua Gabungan P3A (GP3A) yakni GP3A Pengasih Timur dan
Pengasih Barat dengan luas masing-masing 716 ha dan 1404 ha. Sumber air yang digunakan berasal dari air
Bendung Pengasih yang disadap melalui saluran primer sampai pintu bagi sekunder dan kemudian
didistribusikan melalui dua buah saluran sekunder. Saluran sekunder pertama berada di Kedundang untuk
wilayah Gabungan Pengasih Barat dan kedua, saluran sekunder Cangkring untuk Gabungan Pengasih Timur.
Panjang saluran seluruhnya mencapai 27,01 km dengan jumlah bangunan 377 buah.
Dilihat dari kondisinya, dari total panjang saluran itu hanya sekitar 50% saja yang baik. Sisanya
tergolong sedang dan bahkan kondisinya jelek. Adapun mengenai bangunan, sebagian besar (78%)
kondisinya tergolong baik dan yang sedang serta jelek tidak lebih dari 22%. Secara lebih terinci datanya
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Keadaan Saluran dan Bangunan dalam Jaringan Irigasi Pengasih di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta 2003
Komponen Jaringan Irigasi Kriteria Ukuran
Saluran Panjang 27,1 km
Baik 51,12 %
Sedang 46,05 %
Jelek 2,84 %
Bangunan Jumlah 377 unit
Baik 77,97 %
Sedang 21,47 %
Jelek 0,57 %
Sumber : Data penelusuran jaringan, (2003)
Keberadaan DI Pengasih di Kulonprogo cukup strategis disamping Daerah Irigasi lainnya (DI
Papah), karena dapat memfasilitasi kebutuhan pengairan hampir 50 % wilayah pesawahan di Kulonprogo.
Dengan efektifnya operasional jaringan di DI Pengasih, dapat menghindari terjadinya kekeringan di sekitar
2120 hektar persawahan. Jika rata-rata produktivitas sawah di Pengasih mencapai 54,26 kw/ha, maka kinerja
DI Pengasih dapat menyelamatkan produksi padi sekitar 11,5 ribu ton padi di Kabupaten Kulonprogo.
Efisiensi Pengelolaan Jaringan Irigasi
Sebagimana telah dikemukakan, efisiensi pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh nilai
koefisien PIA, PIR dan PAR. PIA menunjukkan nisbah antara pasok irigasi dengan luas lahan terairi, dalam
hal ini semakin kecil nilai PIA maka efisiensi manajemen akan semakin besar. Sementara itu PIR atau
disebut juga Relative Irrigation Supply (RIS) menunjukkan nisbah antara pasok irigasi total dengan
kebutuhan air tanaman, dan PAR atau Relative Water Supply (RWS) merupakan nisbah total pasok air
(irigasi ditambah curah hujan efektif) terhadap kebutuhan air tanaman.
PIR dan PAR biasa juga dipakai untuk mengukur kemampuan masyarakat mengelola sumberdaya
air dalam kegiatan suatu sistem irigasi. Selisih antara PAR dan PIR merupakan curah hujan yang dapat
digunakan tanaman. Apabila curah hujan tinggi dan nilai PIR juga tinggi maka fenomena ini menunjukkan
bahwa petani belum mampu untuk mengelola sumberdaya secara sepadan. Semakin kecil nilai PIR dan PAR
menunjukkan bahwa efisiensi manajemen irigasi semakin bagus.
Dari hasil analisis data lapangan diketahui nilai efisiensi pengelolaan jaringan irigasi di DI Pengasih
dari tahun 2002 ke tahun 2003 mengalami penurunan. Data pada Tabel 2 menunjukkan, nilai PIA, PIR dan
PAR pada tahun 2003 relatif lebih besar dari tahun sebelumnya, yang berarti terjadi penurunan kadar
efisiensi dalam pengelolaan jaringan irigasi.
422
Tabel 2. Nilai efisiensi Pengelolaan Irigasi di Pengasih Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta, 2004
Indikator dan parameter Kisaran nilai (l/dt/ha)
2002 2003
Pasok Irigasi per Area (PIA) 0,92 1,68
Pasok Irigasi Relatif (PIR) 1,33 2,44
Pasok Air Relatif (PAR). 1,33 2,44
Sumber: Data Primer diolah
Menurunnya nilai efisiensi tersebut antara lain karena pola perilaku petani daerah hulu
yang ”menimbun” air. Perilaku petani tersebut mengakibatkan petani di daerah hilir mengalami kekurangan
air sehingga pembagian air di daerah hulu dan hilir tidak merata, terutama di musim kemarau.
Selain itu kecilnya luas kepemilikan lahan rata-rata sekitar 0,02 ha menyulitkan pengurus untuk
membagi air sesuai kebutuhan air tanaman sehingga kurang efisien. Berkurangnya nilai efisiensi juga
disebabkan adanya kerusakan jaringan sehingga tidak dapat menyalurkan dan membagi air dengan baik.
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah perlunya pendampingan dari petugas pengairan untuk
membantu pengelola dalam memperhitungkan kebutuhan air tanaman berdasarkan debit tersedia sehingga
pemberian air ke petak-petak tersier lebih merata dan adil.
Efektivitas Pengelolaan Jaringan Irigasi
Efektifitas pengelolaan jaringan irigasi ditunjukkan oleh nisbah antara luas areal terairi terhadap
luas rancangan. Dalam hal ini semakin tinggi nisbah tersebut semakin efektif pengelolaan jaringan irigasi.
Dengan pemahaman seperti itu, di lapangan diidentifikasi rasio atau nisbah luas areal terairi terhadap
rancangan luas areal mencapai 91% (0,91). Artinya dari seluruh target areal yang akan diairi hanya ada
sekitar 9% saja yang tidak terairi. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (89%), efektifitas pengelolaan air
ini mengalami peningkatan sekitar 2%.
Terjadinya peningkatan indeks luas areal (IA) di DI Pengasih diduga selain karena adanya
penambahan luas sawah baru, juga dapat diartikan bahwa irigasi yang dikelola secara efektif mampu
mengairi areal sawah sesuai dengan yang diharapkan.
Peran Irigasi Terhadap Produktivitas Usahatani Padi Sawah
Di dalam teknologi usahatani terutama padi sawah, peran irigasi sangat strategis. Namun perannya
tersebut akan tergantung juga pada dukungan teknologi lainnya seperti penggunaan benih unggul bermutu
tinggi, pengolahan tanah yang sempurna, pemupukan yang berimbang dan pengendalian hama-penyakit.
Dengan demikian peran irigasi bukan satu-satunya unsur teknologi yang bisa mendukung peningkatan
produktivitas.
Terjadinya interaksi kegiatan irigasi dengan teknologi lainnya dalam mendukung produktivitas
usahatani, menyebabkan peran irigasi tersebut tidak secara eksplisit dapat diidentifikasi dampaknya terhadap
peningkatan produksi. Hal tersebut, secara empiris di lapangan ditunjukkan oleh keragaan perolehan
produktivitas usahatani padi.
Dalam periode tahun 2002 – 2003, perolehan produksi padi per hektar rata-rata terjadi peningkatan
relatif kecil yakni dari 5,68 ton per hektar pada tahun 2002 menjadi 5,70 ton per hektar pada tahun 2003 atau
meningkat sekitar 0,02 ton per hektar. Disisi lain dari analisis irigasi ditunjukkan bahwa dalam peride
tersebut terjadi penurunan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak
ada keterkaitan antara meningkatnya produktivitas usahatani padi dengan penurunan efisiensi pengelolaan
jaringan irigasi. Peningkatan produktivitas usahatani, sejalan dengan meningkatnya efektivitas pengelolaan
air, namun hal ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut keterkaitannya.
Persepsi Anggota P3A Terhadap Pengelolaan Irigasi
Pemahaman tentang persepsi anggota P3A terhadap pengelolaan irigasi diperlukan untuk mengukur
sejauhmana tingkat kepuasannya terhadap kinerja pengelolaan irigasi yang dilakkan pengurus P3A. Dalam
hal ini yang diungkap adalah kepuasan anggota terhadap beberapa aspek pengelolaan irigasi antara lain
dalam hal kecukupan pemberian air, ketepatan waktu dan keadilan yang dilakukan pengelola.
Hasil identifikasi di lapangan terungkap bahwa persepsi anggota P3A terhadap aspek-aspek
pengelolaan air irigasi ini menunjukkan masih relatif rendah. Kenyataan tersebut ditunjukkan secara faktual
berdasarkan jawaban yang terungkap. Terhadap aspek kecukupan air, misalnya, hanya sekitar 50,13 %
423
anggota P3A yang menyatakan tingkat kecukupan baik. Demikian juga terhadap aspek ketepatan waktu dan
keadilan yang dilakukan pengelola, kurang dari 50 % anggota memberikan respon yang positif. Anggota P3A
yang menyatakan pengaturan air irigasi tepat hanya dinyatakan oleh sekitar 48,8% dan keadilan dalam
pengelolaan air dinyatakan oleh sekitar 43,53 %. Berdasarkan informasi tersebut, untuk sementara dapat
ditarik kesimpulan bahwa kinerja pengelolaan air oleh P3A masih perlu ditingkatkan lagi.
Masih rendahnya kinerja pengelola yang ditinjau dari derajat kepuasan anggota antar alain
disebabkan kurangnya kepekaan, pengetahuan dan keterampilan pengelola P3A dalam memahami/mengikuti
dinamika iklim sehingga cenderung menetapkan jadwal pola tanam yang relatif rutin. Hal itu dilakukan
karena etani mengasumsikan bahwa secara kuantitas, sumberdaya air selalu cukup dan memenuhi
persyaratan. Kenyataannya sering terjadi ketidak cukupan, ketidak tepatan, ketidak adilan dalam pembagian
air. Akibatnya petani gagal panen sehingga produktivitas usahatani menurun.
Salah satu solusi yang disarankan adalah perlunya menyusun pola tanam yang berbasis pada kondisi
dinamika iklim, antara lain meliputi keragaan bulan basah dan bulan kering.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dalam kurun waktu satu tahun (2002 – 2003) pengelolaan irigasi di wilayah pengkajian menunjukkan
penurunan efisiensi teknis dengan indikator kenaikan PIA, PIR dan PAR masing-masing mencapai 0,76
lt/dt/ha ( 82,6%); 1,11 lt/dt/ha (83,4%) dan 1,11 lt/dt/ha (83,4%), sementara itu dari segi efektivitasnya
meningkat dari 89 % pada tahun 2002 menjadi 91 % di tahun 2003.
2. Peningkatan produktivitas usahatani tidak sejalan dengan efisiensi pengelolaan jaringan irigasi, tetapi
sejalan dengan efektifitas operasional jaringan irigasi.
3. Tingkat efisiensi dan efektivitas operasi jaringan irigasi di lokasi pengkajian masih berpeluang untuk
ditingkatkan melalui pelatihan, utamanya menyangkut aspek perencanaan, implementasi dan monitoring.
Peran pemerintah daerah untuk mendorong instansi terkait berpartisipasi dalam mengelola irigasi, masih
tetap diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, S.S. 1996. Ketidak Sesuaian Rancang bangun Jaringan Irigasi di Tingkat Tersier dan Akibatnya
Terhadap Pelaksanaan Program Penganekaragaman Tanaman (Crop Diversification): Studi Kasus di
Daerah Irigasi (DI) Cikuesik, Cirebon.
Fagi, A.M., S. Partohardjono, dan E. Ananto. 2002. Strategi Pembaharuan Kebutuhan Pangan Beras 2010.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sukamandi 4 – 7 Maret 2002. Balai Penelitian Padi.
Sukamandi. Jawa Barat.
Ismindarwati, 1983. Pokok Pekerjaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Irigasi dalam Penuntun Kursus E&P.
DPU. PLAV. Jakarta.
Kast, F.E. dan J.E. Rosenweig, 1985. Organization and Manajement, A System and Contingency Approach.
Fourth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. New York.
Pasandaran, E. dan Hermanto.1995. Pengelolaan Sistem Irigasi Hemat Air dalam Rangka Mempertahankan
Swasembada Beras. dalam Ganjar Kurnia (Ed). 1995. HEMAT AIR IRIGASI: Kebijakan, Teknis,
Pengelolaan, dan Sosial Budaya Pusat Dinamika Pembangunan. UNPAD. Bandung.
Purwoto, Adreng P. et.al. 1998. Perubahan Manajemen Sumberdaya Air dan Investasi Menunjang
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Kerjasama The Ford Foundation dengan Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi. Bogor.
Saptana, Sumaryanto, Hendiarto, R.S. Rivai, Sunarsih, A. Murtiningsih dan V. Siagian. 2001. Rekayasa
Optimalisasi Alokasi Air Irrigáis Dalam Rangka Peningkatan Produkai Pangan dan Pendapatan
Petani. Buletin AgroEkonomi, Vol 1 No 3 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian.
Saptana, Hendiarto, Sunarsih dan Sumaryanto. 2001. Tinjauan Historis dan Persepktif Pengembangan
Kelembagaan Irrigáis di Era Otonomi Daerah. FAE Vol 19, No 2. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
424
Sumaryanto, 1999. Keswadayaan Petani Dalam Mengelola Sumberdaya Air Untuk Irigasi FAE Vol. 17 No
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Sumaryanto dan T. Sudaryanto, 2001. Perubahan Paradigma Pendayagunaan sumberdaya Air dan
Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan. FAE. Volume 19, No 2. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Pusposutardjo, S., 1995. Efisiensi Air Irigasi di Saluran dan Petak (Sawah). ). dalam Ganjar Kurnia (Ed.).
1995. Ganjar Kurnia (Ed). 1995. HEMAT AIR IRIGASI: Kebijakan, Teknis, Pengelolaan, dan
Sosial Budaya Pusat Dinamika Pembangunan. UNPAD. Bandung.
425
KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN TERHADAP UPAYA
PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN KERING MARGINAL
Herman Supriadi dan Handewi P. Saliem
Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
ABSTRAK
Pembangunan pertanian di lahan kering marginal masih sangat terbatas dan upaya untuk itu masih banyak
menghadapi kendala sosial ekonomi dari masyarakat setempat. Infrastruktur yang tidak memadai menyebabkan terbatasnya keterlibatan petani untuk mendapatkan akses pasar, informasi, kredit, kemitraan usaha, transportasi dan usaha
rumah tangga. Rendahnya produktivitas lahan berkolerasi dengan rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pemilikan
permodalan dan kapabilitas petani dalam mengelola lahannya. Kondisi sosial ekonomi yang lemah tersebut membuat
petani cenderung melakukan praktek yang kurang ramah lingkungan seperti sistem tanam tebas bakar, jerami dibuang atau dibakar, pemupukan tidak berimbang, pestisida berlebihan, bertanam di lahan berlereng, dan penebangan kayu
hutan secara liar. Dampak negatif baik secara biofosik maupun sosial ekonomi akibat praktek usahatani yang merusak
tersebut perlu diantisipasi semua pihak. Pemerintah perlu lebih mengefektifkan sosialisasi terpadu mengenai dampak
kerusakan lahan dan mengajak masyarakat mengendalikan laju kerusakan lahan. Pembangunan infrastruktur pedesaan merupakan pemicu perkembangan sosial ekonomi masyarakat di lahan kering marginal.
Kata kunci : implikasi kebijakan, pembangunan pertanian, lahan kering
PENDAHULUAN
Salah satu ekosistem yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah lahan kering yang menurut
Irsal Las dkk (1991) luasnya mencapai 99.3 juta ha beriklim basah (51.7 % total lahan) dan 19.3 juta ha
beriklim kering (10% total lahan). Menurut Sujadi (1984) lahan kering meliputi areal 48.3 juta ha dan 29.7%
luas daratan Indonesia, sedang Partohardjono (1988) hanya mengemukakan sekitar 20 juta ha. Kenyataan
bahwa walaupun luas, tapi pembangunan pertanian di lahan kering marginal masih terbatas karena
pemerintah cenderung mengutamakan pengembangan pertanian di lahan sawah irigasi.
Karakteristik ekosistem lahan kering marginal tidak sekedar kondisi lahan yang rapuh dan tidak
subur, tetapi kondisi masyarakat pun cukup memprihatinkan dimana diwilayah ini terdapat kantong-kantong
kemiskinan (Badan Litbang Pertanian, 2004). Selanjutnya kemiskinan berpengaruh kepada penerimaan
teknologi dan pengelolaan lahan. Dengan alasan kemiskinan petani terpaksa melakukan kegiatan yang
merusak kelestarian lahan, seperti pembakaran jerami padi habis panen, sistem tebas bakar untuk pembukaan
lahan, penggunaan pestisida berlebihan, pemupukan tidak berimbang, budidaya tanaman semusim di lahan
berlereng tajam, menebang kayu hutan untuk bangunan dan bahan bakar secara liar dan sebagainya. Karena
keterbatasan modal petani cendrung memilih cara termurah, praktis dan tercepat dalam usahataninya. Kalau
hal ini dibiarkan terus menerus, produktivitas semakin menurun, kerusakan lahan semakin parah, adopsi
teknologi semakin sulit dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lahan kering marginal semakin
memprihatinkan (Titilola, 1990). Pembangunan pertanian yang bertumpu pada petani kecil merupakan suatu
hal yang mendesak untuk segera diwujudkan melalui program yang terpatu, partisipatif dan berorientasi
agribisnis (Abinowo, 2000 dan FAO, 1994).
Maksud penulisan makalah adalah untuk melihat hubungan antara kondisi sosial ekonomi petani
lahan kering marginal dengan kapabilitasnya yang terbatas untuk mengelola lahan dan dampaknya terhadap
produktivitas, pendapatan dan keberlanjutan usahatani. Data mengenai kondisi sosial ekonomi pentani di
lahan kering marginal dalam hal ini diambil dari hasil survei pendasaran sosial ekonomi didaerah Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (P4MI). Selanjutnya strategi yang diperlukan oleh
pemerintah bersama masyarakat untuk pengembangan lahan kering marginal juga dibahas dalam makalah ini.
METODOLOGI PENELITIAN
Analisis dilakukan dengan menggunakan data survai pendasaran proyek P4MI. Survai pendasaran
untuk mengindentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat petani dilahan kering telah dilakukan di lima
kabupaten yaitu : Temanggung dan Blora (Jawa Tengah), Lombok Timur (Nusat Tenggara Barat), Ende
(Nusa Tenggara Timur) dan Donggala (Sulawesi Tengah) dalam tahun 2004. Tiap kabupaten dipilih lima
desa contoh dan tiap desa di wawancara sebanyak 30 petani menggunakan kuesioner terstruktur. Diskusi
426
kelompok dengan menggunakan pendekatan RRA (Rapid Rural Appraisal) dilakukan di tiap desa untuk
menampung informasi kebijakan dan kondisi umum. Luas bangunan rumah berkisar antara 42-95 m2 dengan
dinding rumah sebagian besar tembok ( + 58%) di Temanggung, Lombok Timur dan Donggala, sedang di
Blora kebanyakan papan kayu dan di Ende terbuat dari bambu. Alas rumah sebagian besar dari semen kecuali
di Blora masih dominan tanah. Di semua lokasi P4MI yang dominasi lahan kering sudah menggunakan
penerangan listrik dari PLN yang mana menunjukkan keberhasilan program listrik masuk desa.
KERAGAAN UMUM WILAYAH LAHAN KERING
Kondisi Biofisik
Lahan kering marginal secara biofisik dikenal rapuh (fragile) dengan tingkat kesuburan rendah dan
resiko kegagalan usahatani cukup tinggi. Di Indonesia ekosistem lahan kering dibagi menjadi lahan kering
iklim basah (curah hujan > 2000 mm/tahun) dan lahan kering iklim kering (curah hujan < 2000 mm/tahun).
Lahan kering iklim basah yang didominasi jenis podsolik merah kuning (Ultisol dan Inceptisol) tersebar di
Sumatera, Kalimantan dan Irian jaya, sedang lahan kering iklim kering yang didominasi oleh Regosol
tersebar di Indonesia bagian timur seperti di Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sulawesi.
Produktivitas lahan kering marginal relatif rendah yang umumnya karena tingkat kesuburan rendah
seperti kandungan hara, bahan organik tanah, pH dan kapasitas tukar kation yang rendah. Ketersediaan air
umumnya terbatas terutama yang beriklim kering dengan bulan hujan hanya + 3 bulan basah ( > 100
mm/bulan). Pada lahan kering sering terjadi banjir pada musim hujan tetapi kekeringan pada musim kemarau.
Profil Kemiskinan
Krisis ekonomi dan kemarau panjang yang terjadi sejak tahun 1997 telah membawa dampak negatif
yang berkepanjangan terutama bagi masyarakat di lahan kering marginal. Tidak mengherankan kalau
kantong-kantong kemiskinan terdapat diwilayah lahan kering marginal yang tersebar luas di Indonesia.
Terdapat peningkatan secara tajam jumlah penduduk miskin di Indonesia dari 22.5 juta jiwa (11.3%) pada
tahun 1996 menjadi 48 juta jiwa (23.4%) tahun 1999 (Irawan dan Romdiati, 2000), setelah masa krisis
jumlah penduduk miskin menurun menjadi 37.3 juta jiwa pada tahun 2003.
Perkembangan angka kemiskinan di lima kabupaten miskin yang didominasi lahan kering marginal
di Indonesia (termasuk lokasi P4MI) menunjukkan kecenderungan yang sama dengan tingkat nasional
(Swastika dkk, 2004). Di Jawa Tengah persentase penduduk miskin menurun sebelum krisis, yaitu dari
15.8% (1993) menjadi 13.9% (tahun 1999), dan pada masa krisis melonjak menjadi 28.5% kemudian pada
tahun 2003 menurun menjadi 21.8%. di Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Kabupaten Lombok Timur
angka kemiskinan sebelum krisis sebanyak 17.6% (tahun 1996) meningkat drastis menjadi 33% (tahun 1999)
dan masih tinggi pada tahun 2003 yaitu sebanyak 26.3%. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) persisnya di
Kabupaten Ende jumlah penduduk miskin sebelum krisis adalah 20.6% (tahun 1996) meningkat menjadi
46.7% (tahun 1999) dan pada tahun 2003 menurun lagi menjadi 28.6%. Angka kemiskinan di Kabupaten
Donggala (Sulawesi Tengah) pada sebelum krisis adalah 8.2% (tahun 1996) meningkat menjadi 28.7%
(tahun 1999) dan menurun lagi menjadi 23.0% pada tahun 2003.
Infrastruktur
Kondisi sarana dan prasarana (infrastruktur) yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran sistem
usahatani di lahan kering marginal antara lain : jalan antar desa, jalan usahatani, saluran irigasi, pasar,
bendungan sarana perkreditan, sistem informasi dan kelembagaan pendukung lainnya.
Secara umum kondisi jalan desa dan jalan usahatani di wilayah lahan kering marginal termasuk
masih memprihatinkan, sebagian besar jalan desa belum diaspal sedang jalan usahatani belum ada. Di
Kabupaten Donggala yang wilayahnya sebagian adalah perbukitan, ada beberapa desa yang terisolir, dan
tidak ada akses jalan dari desa ke kota sehingga harus berjalan kaki + 4 jam ke kota. Belum tersedianya jalan
usahatani sangat menyulitkan bagi petani untuk mengangkut hasil pertanian ke pasar, kalaupun ada jasa
pengangkutan tentunya biayanya sangat mahal. Disinilah tengkulak dan perantara mengambil keuntungan
dalam mengangkut dan menjual hasil pertanian petani.
Masalah banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau perlu mendapat perhatian
utama dilahan kering agar bisa dilakukan pemanenan air pada musim hujan untuk dimanfaatkan waktu
musim kemarau. Bangunan bendungan, check dam, saluran irigasi, embung dan sumur pompa yang masih
langka dilahan kering marginal perlu diprioritaskan dalam pengembangan pertanian. Ketersediaan air
sementara pada musim kemarau tergantung pada infrastruktur tersebut diatas.
427
Kondisi lahan kering marginal yang masih terisolir membuat perkembangan pasar lambat, sarana
perkreditan sangat terbatas, sistem informasi belum jalan dan lemahnya kelembagaan pendukung.
Kesemuanya ini membuat semakin tidak sejahteranya masyarakat petani diwilayah marginal.
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI LAHAN KERING
Karakteristik Rumah Tangga
Secara umum petani contih berusia rata-rata diatas 45 tahun dengan tingkat pendidikan 7-8 tahun
atau setingkat dengan kelas 1 – 2 SMP. Tingkat pendidikan anak rata-rata lebih tinggi, ada yang sudah
mencapai sarjana, tetapi kurang berminat untuk terjun ke usahatani. Pekerjaan utama kepala keluarga adalah
petani ( > 90%) diikuti oleh pekerjaan luar usahatani dan sebagai buruh tani. Hal ini menunjukkan besarnya
ketergantungan mereka disektor pertanian, dan kecilnya kesempatan kerja di luar pertanian.
Kondisi rumah sebagai tempat tinggal dapat dijadikan indikator tingkat kemiskinan penduduk.
Secara umum luas pekarangan petani dilahan kering marginal relatif sempit berkisar 45-391 m2 sehingga
kecil kemungkinan untuk usaha pertanian.
Penguasaan Lahan dan Pola Tanam
Rata-rata luas penguasaan lahan di lima kabupaten miskin dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagian
besar lahan yang diusahakan adalah lahan tegalan atau ladang untuk tanam padi gogo dan palawija, dengan
rata-rata penguasaan per petani berkisar 0.34 ha di Temanggung sampai 0.69 ha di Blora. Kecuali itu masih
terdapat lahan tadah hujan dengan penguasaan berkisar 0.22 ha di Ende sampai 0.69 ha di Blora.
Tabel 1. Rataan Penguasaan Lahan Usaha di Empat Kabupaten Penelitian P4MI.
Jenis Lahan
Jawa Tengah NTB NTT Sulteng
Temanggung Blora Lombok Timur Ende Donggala
(Ha)
Tegalan/ladang 0,34 - 0,45 0,45 0,91
Tadah hujan 0,5 - 0,45 0,11 0,67
Kebun - - 0,89 0,63 1,06
Sawah 0,5 - 0,64 0,22 0,51
Sumber : Laporan survai peredaran sosial ekonomi di lokasi P4MI, tahun 2004.
Pola usahatani di lahan kering marginal umumnya berupa tumpang sari atau campuran antara padi
gogo atau jagung dengan kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan sayuran (kacang panjang, cabai, tomat dan
lainnya). Jenis komoditi disesuaikan dengan iklim dan permintaan pasar, seperti di Temanggung terdapat
sayuran dataran tinggi dan di NTB ada pengusahaan tanaman tembakau rakyat. Tabel 2 menyajikan tingkat
adopsi teknologi petani di wilayah lahan kering untuk usahatani padi dan jagung.
Tabel 2. Tingkat Penerapan Teknologi di Lima Kabupaten Penelitian P4MI
Uraian Jawa Tengah NTB NTT Sulteng
Temanggung Blora Lombok Timur Ende Donggala
1. Padi IR 64 - IR 64 lokal -
Benih 34-49 - 40-80 Pupuk
- Urea 210-273 - 250 tanpa 50-150
- SP 36 77-89 - rendah tanpa 40-130
(65%) - KCl 50 - jarang tanpa 4-60
(5%)
Prod. 44 (MP) - 4,2 5-3
3,5 (MK) -
2. Jagung Lokal
Benih 20-30 - Pupuk
- Urea 150-183 - anjuran Tanpa
- SP 36 40-87 - rendah Tanpa - KCl - - jarang Tanpa
Prod. 1,81 - 3,8 1,5
Sumber : Laporan survai peredaran sosial ekonomi di lokasi P4MI, tahun 2004.
428
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Secara umum sumber pendapatan rumah tangga petani di lima kabupaten contoh adalah usahatani
sendiri (on farm), kemudian dari sektor bukan pertanian (non farm) dan kontribusi terkecil dari luar usahatani
sendiri seperti berburuh tani (off farm) Tabel 3.
Tabel 3. Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga di Lima Kabupaten Penelitian P4MI
Sumber pendapatan dan
pengeluaran
Jawa Tengah NTB NTT Sulteng
Temanggung Blora Lombok Timur Ende Donggala
On farm 72,5 57 60,9 48,9 65,51 Off farm 3,9 3 4,7 1,5 4,06
Non farm 23,6 4,0 34,3 49,6 30,42
Total 100 100 100 100 100
Pengeluaran total (juta RP) 5,18 6,46 6,35
Pengeluaran
Pangan (%) 54 750 59,5 52,1 57,7
Sumber : Laporan survai peredaran sosial ekonomi di lokasi P4MI, tahun 2004.
Berbeda dengan kabupaten lainnya, sumber utama pendapatan di Kabupaten Ende berasal dari non
farm, yaitu mencapai 49,6% dari total pendapatan. Usahatani sendiri memberi kontribusi pendapatan sebesar
48,9% dan usaha off farm hanya 1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani dilahan kering marginal NTT
belum menjadi tumpuan hidup yang utama, dan untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga petani
mencari kegiatan non pertanian sebagai kuli, dagang dan jasa.
Pendapatan utama di empat kabupaten lainnya berkisar (57-72,5)% dari on farm, sedang non farm
berkisar (23-40)% dari off farm hanya (3,0 – 4,7)%. Tingginya kontribusi on farm dalam struktur pendapatan
rumah tangga di lima kabupaten yang didominasi lahan kering marginal menunjukkan bahwa sektor
pertanian berperan penting bagi perekonomian masyarakat. Kurangnya kontribusi on farm terhadap
pandapatan di Kabupaten Ende disebabkan karena agroekosistemnya berbeda dengan empat kabupaten lain,
dimana pola curah hujannya hanya + 3 bulan basah per tahun. Dengan kondisi iklim yang kering seperti itu
komoditas pangan yang bisa ditanami terbatas hanya satu musim tanam, sehingga pendapatan usahatani juga
terbatas dan banyak waktu tersedia untuk usaha non farm. Petani lahan kering iklimmm kering seperti di
Ende dan Donggala kurang intensif dalam usaha tanaman pangan karena keterbatasan air dan modal,
sebaliknya mereka lebih mengharapkan usaha perkebunan (tanaman tahunan). Tanaman perkebunan ternyata
lebih banyak memberikan kontribusi pendapatan dibandingkan tanaman pangan semusim.
Pengeluaran rumah tangga petani di lima kabupaten contoh berkisar Rp. 5,18 juta sampai Rp. 6,46
juta per tahun dimana pengeluaran terbesar (52.1-57,7)% untuk pangan. Pengeluaran pangan terbesar adalah
untuk makanan pokok beras, jagung dan ubi kayu, sedang untuk non beras terutama pengeluaran untuk
pendidikan. Tingginya proporsi pengeluaran untuk pangan pokok (beras dan jagung) merupakan cerminan
dari kondisi masyarakat miskin. Walaupun miskin mereka masih menganggap pendidikan anak adalah
penting.
DAMPAK KEMISKINAN TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN
Kenyataan menunjukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat tani di lahan kering marginal yang
relatif kurang beruntung, sangat berpengaruh terhadap kemampuannya mengelola lahan. Pengelolaan lahan
kering marginal memerlukan input tinggi dan waktu yang lama untuk bisa mereklamasi menjadi lahan yang
subur, sedangkan kapabilitas petani umumnya diwilayah ini sangat terbatas dalam hal modal dan penguasaan
teknologi. Dengan alasan keterbatasan modal dan pengetahuan tersebut banyak petani menerapkan usahatani
yang kurang produktif bahkan tidak ramah lingkungan.
Beberapa contoh dapat dikemukakan disini kegiatan-kegiatan yang sudah membudaya dan tidak
disadari merusak kelestarian lahan yaitu : budaya pembukaan lahan (persiapan tanam) dengan sistem tebas
bakar, budaya membersihkan jerami habis panen dengan membakar, pemberian pupuk seadanya (tidak
berimbang). Penanaman dilahan yang berlereng tajam, penggunaan herbisida untuk membasmi
rumput/semak belukar secara berlebihan, penebangan kayu hutan secara liar untuk bahan bakar atau
bangunan dan banyak kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut tampaknya sedearhana tetapi dampaknya
jelas akan lebih membuat kondisi lahan semakin rusak tidak produktif lagi. Petani melakukan hal itu karena
429
menganggap sudah sesuai dengan kemampuannya yang terbatas, mereka inginkan hasil yang didapat dengan
cepat, murah hemat tenaga.. Disisi lain pihak pemerintah belum ada perhatian yang serius terhadap kegiatan
usahatani yang bertentangan dengan kaedah konservasi tersebut. Setiap menjelang musim tanam petani dari
berbagai penjuru menerapkan sistem tebas bakar yang membuat polusi udara dimana-mana, bahkan hutanpun
sering ikut terbakar. Begitu juga terhadap jerami padi yang setiap panen dibakar, bahkan ada yang dijual
kepada penampung untuk diekspor dan pemerintah belum bisa mencegah secara efektif.
Krisis moneter yang berkepanjangan dan mahalnya bahan bakar minyak, juga membawa dampak
yang luar biasa di masyarakat. Penduduk yang tidak sanggup membeli minyak beralih menggunakan bahan
bakar kayu yang diperoleh dari hutan sekitarnya. Penggundulan hutan sudah terasa akibatnya di Sukabumi
Selatan, dimana mata air di musim kemarau tidak lagi mencukupi kebutuhan untuk rumah tangga, apalagi
untuk usahatani.
Kemampuan petani untuk membeli pupuk yang relatif mahal juga berakibat kepada pemupukan
yang tidak berimbang dan tidak mencukupi, sedangkan tanah tidak istirahat dibudidayakan. Akibatnya lahan
semakin kurus, semakin tidak produktif dan semakin rendah tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani
lahan kering marginal (Diperta, 2004).
PENGEMBANGAN LAHAN KERING MARGINAL
Berdasarkan sifat-sifat fisik lahan kering marginal dan kondisi sosial ekonomi masyarakat petani
yang relatif kurang beruntung, disimpulkan bahwa kedua kondisi (fisik dan sosial ekonomi) dapat saling
mempengaruhi dan membawa dampak positif maupun negatif bagi pengembangan usahatani (Gambar 1).
Disamping itu kebijakan pemerintah (pusat maupun daerah) secara langsung maupun tidak langsung bisa
memperbaiki ataupun memperlemah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Nyata atau tidak nyata kebijakan
pemerintah akan tetap berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya umpan balik
dari masyarakat sering tidak efektif mempengaruhi kebijakan karena pendekatan ”top down” dan masih
kurang berpihaknya pemerintah terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin.
Fakta menunjukkan, masyarakat miskin di lahan kering marginal umumnya mempunyai kapabilitas
yang lemah (terutama modal), terdapat budaya usahatani yang tidak disadari merusak lingkungan (terutama
sistem tebas bakar) dan adopsi teknologi rendah. Ketiga hal tersebut merupakan faktor penentu yang paling
berkaitan dan membawa dampak negatif terhadap pengembangan lahan, yang pada akhirnya akan
menciptakan lahan kritis dan tidak produktif. Kalau sudah begitu usahatani apapun akan gagal dan lahan
perlu direklamasi.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat juga memungkinkan untuk berbuat yang berdampak positf
terhadap reklamasi dan kelestarian lahan yaitu : apabila masyarakat sudah diberdayakan, sudah menyadari
pentingnya konservasi lahan dan air serta dapat mengadopsi inovasi teknologi usahatani yang produkti. Kalau
ketiga hal tersebut bisa dijalankan maka jaminannya adalah usahatani produktif yang berkelanjutan.
Sayangnya untuk mendapatkan dampak positif dari kondisi sosial-ekonomi yang masih terbatas perlu
perjuangan keras baik dari masyarakat sendiri maupun pemerintah.
Upaya pengembangan agribisnis dilahan kering marginal bukannya tidak mungkin, tetapi banyak
faktor yang harus diperhatikan (Gambar 2). Sistem produksi berkelanjutan di lahan kering marginal
hendaknya mengarah kepada peningkatan nilai tambah dengan pengolahan hasil dan pemasaran untuk betul-
betul bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani miskin. Untuk mencapai itu faktor lingkungan
(biofisik dan sosial ekonomi) haruslah menunjang kepada sistem produksi yang berkelanjutan. Faktor
biofisik yang menunjang antara lain kesesuaian iklim dengan komoditas, konservasi tanah dan air serta
infrastruktur pedesaan (jalan usahatani). Kondisi sosial ekonomi yang diperlukan meliputi dukungan
kebijakan pemerintah, fasilitas perkreditan, kelompok tani yang mandiri, keamanan dan pasar (saprodi, hasil
maupun jasa tenaga kerja).
Berbagai sistem yang menunjang sangat diperlukan bagi pengembangan agribisnis dilahan kering
marginal yaitu : sistem penyuluhan yang efektif, kemitaraan usaha, lembaga pendukung agribisnis hulu
maupun hilir, ketersediaan inovasi teknologi dan sistem informasi (harga pasar, teknologi dan kebijakan).
Revitalisasi sistem penyuluhan perlu segera diwujudkan agar upaya pembudayaan petani khususnya
di lahan marginal bisa sukses. Dalam hal ini sistem penyuluhan tidak hanya menyangkut PPL (Penyuluh
Pertanian Lapang) saja tetapi semua instansi terkait.
Kemitraan dalam bentuk jasa keuangan, permodalahan saprodi, tenaga kerja dan alsintan sangat
diperlukan bagi petani di lahan marginal yang umumnya tinggal didaerah terisolir dan akses informasi/usaha
430
BIOFISIK
Kesesuaian iklim
Konsrv tanah & air
SOSIAL EKONOMI
Dukungan kebijakan
Fasilitas permodalan
Kelp. tani mandiri
Keamanan lingk.
Pasar input-output-
tenaga kerja
SISTEM PRODUKSI
BERKELANJUTAN
SISTEM
PENYULUHAN
INOVASI TEKNOLOGI
Layak teknis, ekonomi,
sosial dan budaya
KEMITRAAN
Jasa permodalan
Saprodi
Tenaga kerja -alsin
PENGOLAHAN
HASIL DAN
PEMASARAN
SISTEM INFORMASI
Harga dan pasar
Teknologi
Kebijakan
PENINGKATAN
PENDAPATAN &
KESEJAHTERAAN
LEMBAGA
PENDUKUNG
AGRIBISNIS
HILIR
BIOFISIK
Kesesuaian iklim
Konsrv tanah & air
SOSIAL EKONOMI
Dukungan kebijakan
Fasilitas permodalan
Kelp. tani mandiri
Keamanan lingk.
Pasar input-output-
tenaga kerja
SISTEM PRODUKSI
BERKELANJUTAN
SISTEM
PENYULUHAN
INOVASI TEKNOLOGI
Layak teknis, ekonomi,
sosial dan budaya
KEMITRAAN
Jasa permodalan
Saprodi
Tenaga kerja -alsin
PENGOLAHAN
HASIL DAN
PEMASARAN
SISTEM INFORMASI
Harga dan pasar
Teknologi
Kebijakan
PENINGKATAN
PENDAPATAN &
KESEJAHTERAAN
LEMBAGA
PENDUKUNG
AGRIBISNIS
HILIR
terbatas, lembaga pendukung agribisnis hilir seperti eksportir juga bisa diminta perannya membantu petani
kecil.
Gambar 1. Pengembangan Agribisnis Lahan Kering Marjinal
Gambar 2. :Hubungan antara kondisi sosek petani –tingkat pengelolaan lahan kering marjinal – kebijakan pemerintah
Peran lembaga penelitian dalam menyediakan teknologi tepat guna perlu ditingkatkan. Teknologi
introduksi harus sudah layak secara teknis, sosial dan ekonomis sebalum dikembangkan. Perlu juga melihat
adanya teknologi petani asli (indigenous technology) untuk diintegrasikan dengan teknologi hasil penelitian.
Sistem informasi harus juga dibangunbaik mengenai harga dan pasar, teknologi baru maupun kebijakan-
kebijakan menyangkut pembangunan pertanian agar petani tidak buta dalam berbisnis.
Semua faktor penentu diatas mengandung resiko yang bisa membuat kegagalan pengembangan
khususnya di lahan kering marginal perlu sekali menganalisis faktor resiko sebelum program aksi
pengembangan (Anderson and Dillon, 1992).
Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk pengembangan pertanian dilahan kering marginal
adalah :
Kondisi Lahan
Kering
Kondisi sosial
ekonomi
Lahan kritis tidak
produktif
Reklamasi dan
kelestarian lahan
Usahatani
berkelanjutan
Kebijakan
Pemerintah
Usahatani
gagal
Pemerdayaan
Konservasi
Adposi inovasi teknologi
baik
Dampak negatif
Dampak positif
Memperbaikii/memperlemah
Umpan balik
Kondisi Lahan
Kering
Kondisi sosial
ekonomi
Lahan kritis tidak
produktif
Reklamasi dan
kelestarian lahan
Usahatani
berkelanjutan
Kebijakan
Pemerintah
Usahatani
gagal
Kondisi Lahan
Kering
Kondisi sosial
ekonomi
Lahan kritis tidak
produktif
Reklamasi dan
kelestarian lahan
Usahatani
berkelanjutan
Kebijakan
Pemerintah
Usahatani
gagal
Pemerdayaan
Konservasi
Adposi inovasi teknologi
baik
Dampak negatif
Dampak positif
Memperbaikii/memperlemah
Umpan balik
431
1. Pembangunan sarana prasarana (infra struktur) pedesaan sebagai tahap awal pembangunan karena ini
jelas dampak positifnya terhadap perkembangan kondisi sosial ekonomi wilayah.
2. Peningkatan produktivitas alahan kering marginal dengan teknologi yang ramah lingkungan dan
konsistensi pemerintah untuk mencegah praktek usahatani yang menyalahi kaedah konservasi.
3. Membuka keterisolasian masyarakat dengan membangun sistem informasi harga, pasar dan
teknologi/pengetahuan serta upaya pemberdayaan.
4. Membuka peluang pasar dengan kemitraan, perbaikan kualitas produk dan pengolahan hasil pertanian.
KESIMPULAN
Kondisi masyarakat petani di lahan kering marginal cukup memprihatinkan dilihat dari keterbatasan
aset (rumah tangga, lahan usaha, ternak dan peralatan pertanian yang dimiliki), pengetahuan dan ketrampilan
usaha, akses (informasi dan pasar), dan infrastruktur (jalan usahatani, gudang, pasar dan bangunan pertanian).
Kondisi sosial ekonomi yang masih memprihatinkan menjadi penyebab kurangnya kemampuan petani dalam
upaya melestarikan lahan, bahkan tanpa disengaja malah meningkatkan marginalisasi lahan.Pemerintah
belum sepenuhnya menaruh pertanian terhadap kondisi dan upaya pembangunan pertanian di lahan kering
marginal.
Rendahnya produktivitas lahan kering marginal berkorelasi dengan rendahnya tingkat pendapatan,
pemilikan aset (rumah tangga dan pertanian) dan kemampuan mengelola lahan. Sosialisasi dan antisipasi
terhadap marginalisasi lahan kering belum secara efektif dan terpadu dilakukan. Kondisi sosial ekonomi
masyarakat petani dilahan kering marginal menjadi kendala dalam upaya pengembangan pertanian.
Pembangunan infrastruktur pedesaan merupakan pemicu perkembangan sosial ekonomi masyarakat dilahan
kering marginal.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kondisi masyarakat petani dilahan kering marginal yang memprihatinkan hendaknya dapat
dipahami dan menjadi dasar pemerintah untuk meningkatkan keberpihakannya dengan program aksi
pembangunan pertanian secara taerpadu dan partisipatif. Masyarakat petani lahan kering marginal perlu
ditingkatkan motivasi dan pemberdayaannya agar bertanggung jawab langsung terhadap upaya pelestarian
lahan. Reklamasi lahan kering marginal perlu di intensifkan melalui pengembangan usahatani integrasi
tanaman – ternak agar produktivitas lahan meningkat.
Sosialisasi secara partisipatif terpadu dan rutine oleh instansi terkait mengenai kerusakan lahan dan
dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat perlu dilakukan. Antisipasi terhadap timbulnya pelanggaran-
pelanggaran oleh masyarakat ataupun pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyebabkan
rusaknya kelestarian lahan, perlu dilakukan dengan monitoring secara rutine dan adanya peraturan/larangan
yang mengandung sangsi tegas.
Setiap program pengembangan pertanian hendaknya dirancang bersama masyarakat sejak awal agar
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan rasa memiliki. Salah satu cara
untuk mempercepat perkembangan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di lahan kering marginal adalah
pembangunan infrastruktur pedesaan, termasuk jalan untuk akses ke kota, jalan usahatani, check dam,
embung, jembatan penghubung, pasar, pergudangan, bengkel dan kios pertanian dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abinowo, U. 2000. Model Pertanian Masa Depan. Solusi Alternatif Menghadapi Perdagangan Bebas. Sentra
Pengembangan Agribisnis Terpadu. SPAT-Pasuruan.
Anderson, J.R. and J.L. Diloon. 1992. Risk Analysis in Dryland Farming Systems Food and Agriculture
Organization of the United Nations. Rome.
Badan Litbang Pertanian, 2004. Laporan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P3MI).
Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Dinas Pertanian. 2004. Programer Tahun 2004 Cabang Dinas Pertanian Ngawen. Kabupaten Blora.
432
FAO. 1994. Farming System Development. A Participatory Approach to Helping Small-Scale Farmers. Food
and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Makarim A.K., Hidayat A, Karama A.S. dan Manwan B. 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan di
Indonesia. Puslitbang Tanaman Pangan.
Partohardjono. S., J.S. Adiningsih dan I.G. Ismail. 1998. Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Beriklim
Basah Melalui Teknologi Usahatani. Dalam : Sistem Usahatani di lima Agro-ekosistem. Puslitbang
Tanaman Pangan
Sujadi M. 1994. Masalah Kesuburan Tanah Podsolik Merah Kuning dan Kemungkinan Pemecahannya.
Dalam : Prosiding Pertemuan Teknis. Pendidikan Pola Usahatani Menunjang Tranmigrasi. Badan
Litbang Pertanian.
Swastika.D.K.S., Irawan B.m Supriadi H, Basuno E, Hastuti E.L., R.N. Suhaeti, M. Iqbal, IS. Anugerah, I.
Sadikin dan A.K., Zakaria. 2004. Laporan Survai Pendasaran Sosial Ekonomi, di Daerah P4MI,
Puslibang Sosek.Pertanian..
Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowlede System into Agricultural
Development. A Model and Analytical Framework. In: Studies in Technology and Social Change.
No. 17. IOWA Sate University Research Foundation.
433
SEKENARIO SISTEM ROTASI TANAMAN BERBASIS PADI-TEMBAKAU VIRGINIA YANG
DAPAT MEMPERTAHANKAN PRODUKTIVITAS TANAH DI PULAU LOMBOK
Suwardji, Mulyati, Putu Silawibawa, dan Sutriono
Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jalan Pendidikan No. 37 Mataram, NTB 83125 Telp/Fak. 628143
e-mail: dryland-unram@plasa.com
ABSTRAK
Pemanfaatan lahan secara intensif dan terus menerus untuk tanaman padi-tembakau virginia di Pulau Lombok
telah terbukti dapat menurunkan produktivitas lahan dan mengancam ketahanan pangan di wilayah ini. Hasil analisis 35
contoh tanah yang diambil dari lahan pertanian yang ditanami padi-tembakau secara terus menerus selama 10 tahun
terakhir menunjukkan bahwa 27 contoh tanah mempunyai status bahan organik sangat rendah (< 1%) dan sisanya 8 contoh tanah mempunyai status bahan organik rendah (1-1,5%) (Hendro dan Suwardji, 2002). Untuk mengatasi masalah
menurunnya produktivitas lahan pertanian yang dikelola secara intensif berbasis padi-tembakau virginia, sekenario sistem
rotasi tanaman berbasis krotalaria (Crotalaria juncea) dikembangkan melalui penelitian jangka panjang yang telah
dimulai tahun 2003 pada tanah ordo Inceptisol di Puyung Lombok Tengah. Percobaan lapangan menggunakan rancangan acak lengkap berblok dilakukan dengan perlakuan (a) sistem rotasi tanaman (4 sistem rotasi) yaitu : (a1) padi-tembakau
virginia-bero, (a2) padi-tembakau virginia-jagung, (a3) padi-tembakau virginia-krotalaria, dan (a4) padi-tembakau
virginia-campuran krotalaria dan jagung, dan (b) dosis pemupukan yang meliputi : (b1) tanpa pemberian pupuk, (b2)
dosis pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi dan (b3) dosis pemberian pupuk rekomendasi (300 Kg KNO3 dan 150 Kg TSP). Selanjutnya setiap kombinasi perlakukan diulang 4 kali sehingga diperolah 4 x 3x 4= 48 plot percobaan.
Masing masing plot dibuat petakan permanen dengan galengan pembatas 40 cm dengan sekitar 10 x 10 m disesuaikan
kondisi petak, dan untuk masing-masing blok diberi pembatas petakan pembatas 10 m sehingga untuk percobaan
lapangan diperlukan lahan kurang lebih 1 hektar dengan kondisi awal yang relatif homogen. Hasil penelitian tahun pertama dari hasil penelitian jangka panjang (2003-2006) menunjukkan bahwa sistem rotasi tanaman padi-tembakau-
krotalaria juncea telah mampu meningkatkan produktivitas lahan secara nyata. Pada tahun ke 1 produksi gabah kering
pada sistem rotasi tanaman padi-tembakau-krotalaria secara setatistik lebih tinggi (6067 kg) dibandingkan dengan sistem
rotasi tanaman yang lain seperti sistem rotasi tanaman padi-tembakau-bero (5647 kg). Hasil tembakau virginia juga
meningkat secara nyata pada sistem rotasi berbasis krotalaria (1674 kg/ha) dibandingkan dengan sistem rotasi padi-
tembakau virginia-bero (1514 kg/ha). Peningkatan hasil padi gabah kering dan tembakau yan cukup tinggi pada tahun
pertama menunjukkan bahwa sistem rotasi yang dikembangkan dalam jangka panjang dapat mempertahankan
produktivitas lahan dan merupakan sistem pertanian yang berkelanjutan.
Kata kunci : sistem rotasi, padi, tembakau virginia, mempertahankan produktivitas tanah.
PENDAHULUAN
Tembakau Virginia termasuk salah satu komoditi pertanian strategis untuk Propinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) dan usaha tani tembakau virginia merupakan usaha tani yang sangat intensif dengan masukan
tinggi (high input) pada lahan yang tersebar luas di Pulau Lombok khususnya Kabupaten Lombok Timur dan
Lombok Tengah.
Sebagai gambaran pentingnya usaha tani komoditas, Pulau Lombok merupakan penghasil tembakau
Virginia berkualitas tinggi yang mempunyai peran penting dalam memasok kebutuhan tembakau Virginia
Indonesia sejak tahun 1968. Pada tahun 2002 Pulau Lombok memasok 25.000 ton (59%) dari kebutuhan
tembakau Virginia Indonesia (Dinas Perkebunan NTB, 2001)
Ektensifikasi dan intensifikasi usaha tani tembakau Virginia sangat meningkat pesat antara tahun
1997-2002 dan tahun 2001 luas tanam meningkat hampir dua kali lipat (mencapai 14 000 ha) dari areal lahan
potensial yang diperkirakan mencapai 26.000 Ha di Pulau Lombok. Dari tahun 1990 sampai 2000
produktivitas meningkat tajam dari 1,54 ton/ha meningkat menjadi 2 ton/ha (Disbun NTB, 2001). Namun
pada musim tanam tahun 2001 telah mualai diamati terjadinya gejala penurunan produksi tembakau yang
cukup berarti. Hasil catatan lapangan (farm record) dari PT. Sadhana Arifnusa menunjukkan bahwa di
beberapa tempat tampak adanya serangan jamur akar. Hasil evaluasi dan refleksi program kerja mitra petani
PT. Sadhana Arifnusa yang dilakukan setiap tahun menunjukkan bahwa serangan jamur akar diduga kuat
terkait dengan penurunan produktivitas tanah khususnya terjadinya penurunan pH tanah. Hasil pengukuran
pH tanah dari 25 contoh tanah yang diambil dari lokasi terjadinya serangan jamur akar tersebut menunjukkan
adanya penurunan pH tanah yang cukup berarti dari pH tanah yang rata-rata sebelumnya sekitar 6-6,5
menjadi rata-rata 4,7-5,6 (Hendro dan Suwardji, 2002). Untuk melihat adanya indikasi penurunan
produktivits tanah, telah juga dilakukan pengambilan 35 contoh tanah dari lahan petani tembakau yang
mempunyai kemitraan dengan PT. Sadhana Arifnusa. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa 27
434
dari 35 contoh tanah yang diambil mempunyai status bahan organik yang sangat rendah < 1% dan sisanya
termasuk katagori rendah (1-1,5%) (Hendro dan Suwardji, 2002).
Untuk mengatasi adanya gejala penurunan produktivitas tanah yang disebabkan karena menurunnya
kadar bahan organik tanah pada lahan termbakau petani mitranya, PT. Sadhana Arifnusa telah
memprogramkan pembenihan bibit Crotalaria juncea bekerjasama dengan Sekolah Menengah Kejuruan di
Kecamatan Kediri, Lombok Barat untuk pengadaan biji sebagai bibit. Pada akhir tahun 2002, SMK Kediri
telah mampu menyediakan bibit sebanyak 500 kg biji Crotalaria juncea. Sejak tahun tahun 2003 perusahaan
telah memprogramkan penanaman pupuk hijau setelah akhir tanam tembakau tahun 2003 (bulan September-
Oktober 2003) pada sebagian petani mitra kerjanya sebagai uji coba ditingkat lapangan. Disamping itu upaya
diversifikasi usaha tani yang terus dikembangkan oleh perusahaan untuk menerapkan sistim rotasi tanaman
dengan penanaman jagung setelah tembakau akan mempercepat pengurasan C-organik tanah dan upaya
memasukan pupuk hijau dalam sistim rotasi yang ada perlu mendapat kajian yang mendalam.
Tujuan penelitian jangka panjang adalah untuk mencari alternatif peningkatan produktiviatas tanah
pada sitim pertanian internsif berbasis padi-tembakau virginia di Pulau Lombok melalui sistim rotasi
tanaman menggunakan pupuk hijau (Crotalaria juncea). Untuk mengevaluasi pengaruh rotasi tanaman
terhadap perubahan produktivitas tanah dan hasil tanaman memerlukan waktu untuk beberapa tahun.
Penelitian ini juga diarahkan untuk mengevaluasi pengaruh rotasi tanaman terhadap perubahan kualitas tanah
dan mengkaji metode yang sederhana untuk penilaian keberlanjutan sistem pertanian yang diuji dengan
menggunakan indek pengelolaan karbon (carbon management index). Pada tahun pertama dalam penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh rotasi tanaman dan dosis pemberian pupuk anorganik terhadap hasil
dan kualitas hasil padi dan tembakau virginia serta pola mineralisasi nitrogen di dalam tanah. Disamping itu
juga di lakukan analisis beberapa sifat-sifat tanah terpilih yang penting untuk penilaian kualitas tanah sebagai
data dasar untuk penilaian keberlanjutan (sustainabiliity) sistem rotasi tanaman yang diuji.
Hasil yang dilaporkan dalam tulisan ini adalah sebagian hasil penelitian jangka panjang khususnya
pengaruh sistem rotasi tanaman terhadap peningkatan produktivitas tanah dan hasil tanaman padi dan
tembakau virginia setelah 1 tahun pelaksanaan penelitian lapangan.
METODE PENELITIAN
Penelitian tahun pertama (2003-2004) dilakukan pada lahan milik PT. Sadhana Arifnusa di
Kecamatan Puyung Lombok Tengah mulai dari tanggal 10 Oktober 2003 sampai 20 Oktober 2004. Dalam
penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap berblok dengan faktor-faktor sebagai berikut :
Faktor pertama: Rotasi Tanaman (R)
R1. : Padi-Tembakau-Bero
R2. : Padi-Tembakau-Jagung
R3. : Padi-Tembakau-Pupuk hijau (Crotalaria juncea)*
R4. : Padi-Tembakau-(Jagung + Pupuk Hijau)**
* ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm yang telah dilaporkan menghasilkan biomasa tertinggi (30-40
ton/ha) di daerah ini (Hidayat dkk., 2001). ** ditanam berselang-seling (intercropping) antara jagung
dan pupuk hijau.
Faktor kedua : Dosis Pemberian Pupuk Tanaman Padi dan Tembakau
P0 : Tanpa dipupuk
P1 : ½ dosis rekomendasi (150 Kg KNO3 + 100 Kg TSP)
P2 : Dosis rekomendasi (300 kg KNO3 + 200 Kg TSP)
Dari ketiga faktor tersebut akan diperoleh (4 x 3 x 4 ulangan), sehingga diperoleh 48 plot dan
masing-masing plot dibuat seluas sekitar 100 m2
yang menyesuaikan dengan kondisi lahan. Masing-masing
plot dibatasi oleh galengan permanen yang sekaligus sebagai pembatas (barier) perlakuan. Diantara blok
dibatasi barier petak dengan luasan yang relatif sama dengan plot sehingga secara keseluruhan diperlukan
lahan sekitar 1 hektar.
Varietas padi yang ditanaman adalah C4 dan varietas tembakau yang ditanaman adalah Bra-01.
Pembenihan, penanaman, pemupukan dan perawatan tanaman mengikuti cara-cara yang umum digunakan
oleh petani sesuai dengan petunjuk teknis yang standar dari PT. Sadhana Arifnusa (Eko Hendro, 2001).
435
Untuk memperoleh data dasar karakteristik tanah (baseline data), contoh tanah dari kedalaman 0-20
cm akan diambil secara komposit dari 20 titik pada luasan tanah yang digunakan untuk percobaan. Sifat-sifat
tanah yang akan dianalisis meliputi : tekstur tanah (Metode Pipet), kurva karakteristik lengas tanah (Metode
pF-meter), pH (Metode Elektrode gelas), kadar bahan organik total dengan cara pemkararan (Blair dkk,
1995;1998), kadar C-organik labil dan C-organik tidak labil (Blair dkk, 1998), kapasitas pertukaran kation
(Hidayat, 1978), kadar N,P,K total dan tersedia (Hidayat, 1978), respirasi tanah. (Anderson, 1982).
Parameter hasil dan kualitas hasil tanaman padi yang di amati meliputi : hasil gabah kering/ha, berat
1000 butir, kadar protein total beras. Sedangkan parameter hasil dan kualitas hasil untuk tanaman tembakau
meliputi hasil daun kering oven/ha, kualitas hasil menurut standar yang dinilai oleh professional grader.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Sifat-Karakteristik Tanah
Untuk mengetahui secara mendalam sifat dan karakteristik tanah tanah yang digunakan untuk
penelitian, telah dipelajari karakteristik profil tanah di lokasi penelitian yang masuk dalam sub-grup Typic
Humipropept . Sedangkan analisis berbagai sifat-sifat tanah terpilih yang dianggap penting terkait dengan
tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat-sifat Fisika, Kimia dan Biologi Tanah Pada Kedalaman (0-20 cm) Yang Digunakan Untuk Penelitian
No Jenis Analisis Nilai Terukur Satuan Keterangan/
harkat
1 Kadar lengas tanah/soil moisture
pF0
pF1
pF2
pF2,54
pF4,2
57,33
55,37 38,86
32,63
22,33
% Vol
% Vol % Vol
% Vol
% Vol
air tersedia tanaman 10,30 %
2 Tekstur tanah
pasir/sand
debu/silt
klei/clay
49,01
40,33
10.,66
%
%
%
geluh (loam)
3 Kemasaman tanah/soil pH
pH H2O
pH KCl
5,48
4,75
agak masam
4 Bahan organik/organic matter
C
N
C/N
0,78
0,12
4,58
%
%
kadar bahan
organik redah
5 N-tersedia/available N 0,16 % rendah-sedang
6 P-tersedia/available P 6,35 ppm rendah-sedang
7 K-tersedia/available K 24 ppm tinggi
8 KPK/cation exchange capacity
Ca
Mg
K
Na
27,11 17,75
5,15
1,39
1,27
me/100g me/100g
me/100g
me/100g
me/100g
sedang
9 Kejenuhan basa/base saturation 94,26 % Tinggi
10 Biomasa/soil biomass Rendah
11 Kecepatan respirasi dengan kecepatan
pelepasan CO2/ CO2 evolution 112 mg C/kg rendah
Lokasi penelitian merupakan daerah persawahan yang datar sebagai salah satu sentra utama
produksi padi dan tembakau virginia. Lokasi ini dipilih karena dari data analisis awal kandungan bahan
organik tanah yang tersidik berharkat sangat rendah (< 1%) dan telah digunakan untuk penanaman rotasi
tanaman padi-tembakau dan bero selama lebih dari 7 tahun. Pemanfaatan lahan yang sangat intensif dengan
sistem rotasi tanaman yang kurang tepat diperkirakan menjadi penyebab utama pengurasan bahan organik
tanah. Disamping itu sifat tanah yang bertekstur sedang (loam) dengan drainase baik dan kondisi lengas tanah
yang relatif lembab sepanjang tahun dengan kondisi suhu udara yang relatif panas memberikan kondisi ideal
untuk terjadinya kecepatan oksidasi bahan organik yang relatif cepat.
436
Secara keseluruhan, data analisis sifat dan karakteristik tanah menunjukkan bahwa tanah yang
digunakan sebagai lokasi penelitian mempunyai permasalahan kesuburan kimia dan biologi dengan beberapa
kendala kesuburan fisik. Jika sistem rotasi yang diuji dapat mencapai sasaran yang diharapkan maka dapat
meningkatkan efisiensi usaha tani sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan
produktivitas tanah. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama 3-4 tahun, peningkatan produktivitas tanah
akan mampu mengurangi kebutuhan pupuk anorganik secara bertahap dan pada akhirnya pupuk anorganik
hanya ditambahkan berdasarkan kekurangannya dari hasil pendauran hara in situ. Sistem rotasi tanaman yang
diuji diharapkan merupakan sistem budidaya yang ramah lingkungan yang mendekati sistem alam dan mudah
dipraktekkan oleh petani serta dari segi biaya murah.
2. Hasil dan Kualitas Hasil Tanaman Padi Tahun Pertama
Rotasi tanaman berbasis krotalaria diharapkan dapat mengatasi penurunan produktivitas tanah akibat
pengurasan bahan organik yang telah terjadi selama ini. Disamping itu rotasi berbasis krotalaria diharapkan
mampu memberikan kontribusi penambahan N langsung ke dalam tanah baik oleh penambatan N dan
masukan biomasa yang dikembalikan ke dalam tanah sehingga dapat mengurangi penambahan pupuk
anorganik N secara bertahap. Sedangkan rotasi tanaman dengan memasukkan jagung diharapkan adanya
diversifikasi hasil pertanian yang dapat memberikan nilai tambah dalam usaha tani serta meningkatkan
ketersediaan pakan ternak yang memadai pada sistem pengemukan sapi yang telah dikembangkan selama ini.
Praktek petani yang umum dilakukan untuk sistem rotasi tanaman yang ada di Pulau Lombok adalah
padi-tembakau virginia- bero seperti pada gambar berikut:
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Agust Sept Okt Nov
--------------- Padi ----------------
------------Tembakau virginia--------
--------Penggemukan sapi------------- ----Bero/Kosong---
Sistem rotasi tanaman yang dipraktekkan petani dijadikan sebagai dasar pembanding, dengan sistem
rotasi yang dikembangkan dan diuji yaitu : padi-tembakau-jagung, padi-tembakau-krotalaria, padi-tembakau-
krotalaria/jagung.
Data pengaruh sistem rotasi tanaman dan pemupukan anorganik terhdap hasil gabah kering tanaman
padi (kg/Ha) dapat dilihat pada Tabel 2. Secara umum pada penelitian tahun pertama ini tidak diharapkan
hasil yang spektakuler tentang pengaruh sistem rotasi tanaman terhadap hasil padi dan tembakau. Hal ini
berdasarkan pengalaman bahwa pengaruh rotasi tanaman terhadap hasil biasanya baru dapat diamati setelah
beberapa tahun diterapkan secara terus menerus.
Tabel 2. Pengaruh Sistem Rotasi Tanaman dan Dosis Pemupukan Anorganik Terhadap Hasil Gabah Kering Padi (kg/Ha)
Perlakuan R1 R2 R3 R4
Po 5647a (1) 5686 a(1) 5828 a(2) 5784 a (2)
P1 5580 a (1) 5650 a(1) 5876 a (2) 6067 b(3)
P2 5718 b (1) 5346 b (2) 5655 b(1) 5716 a(1)
Keterangan: R1 = bero, R2= jagung, R3= krotalaria, dan R4= jangung+krotalaria
P1 = tanpa pemberian pupuk, P2= setengah dosis rekomendasi dan
P3 = dosis rekomendasi (300 kg KO3 + 300 kg TSP) a Data yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05
(1) Data yang diikuti oleh angka yang sama lajur yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa rotasi tanaman berpengaruh secara nyata terhadap hasil gabah
kering. Rotasi tanaman berbasis krotalaria dan krotalaria/jagung meningkatkan hasil gabah kering secara
nyata utamanya pada perlakuan tanpa pemupukan dan pemupukan dengan separoh dosis rekomendasi.
Sedangkan untuk perlakuan pemupukan dengan dosis rekomendasi, rotasi tanaman tidak memberikan hasil
yang berbeda nyata. Yang sangat menarik dari hasil penelitian tahun pertama ini, ternyata perlaukan dosis
pemupukan tidak berpengaruh secara nyata pada hasil pada sistim rotasi padi-tembakau virginia – bero yang
selama ini dipraktekkan petani. Alasan yang menyebabkan tidak berbeda nyata antara ketiga perlakuan dosis
pupuk tersebut belum dapat dimengerti secara baik, namum boleh jadi karena kondisi kesuburan tanah yang
tidak memberikan kondisi akar tanaman untuk mampu menyerap unsur hara yang tersedia di dalam tanah.
Selanjutnya perlakuan dosis pemupukan rekomendasi justru menghasilkan hasil gabah kering yang lebih
437
rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan dan dosis pemupukan separoh rekomendasi pada
sistim rotasi tanaman padi-tembakau virginia-jagung, tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria, tanaman
padi-tembakau virginia-krotalaria. Alasan yang menyebabkan terjadinya hal ini belum dimengerti secara
baik, namum mungkin disebabkan kondisi ketidak seimbangan unsur hara (nutient imbalance) yang ada
dalam tanah yang mempengaruhi penyerapan unsur hara sehingga menekan hasil gabah kering.
Yang menarik dari data Tabel 2, sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria dan padi-
tembakau virginia-krotalaria/jagung tanpa pemberian pupuk dan pemberian pupuk separoh dosis
rekomendasi menghasilkan berat gabah kering yang relatif tinggi (R3P0, R3P1, R4P0, dan R4P1 dengan
hasil berturut turut 5822, 5876, 5784 dan 6067 kg/Ha) dibandingkan dengan sistem rotasi tanaman R1 dan
R2 dan kombinasinya dengan dosis pemberian pupuk yang lain. Sedangkan hasil gabah kering tertinggi
diperoleh pada perlakuan sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria/jagung (6067 kg/Ha)
kombinasinya dengan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi. Dari hasil yang diamati tersebut di atas
jelaslah bahwa masukan pupuk hijau krotalaria mungkin mampu memberikan tambahan bahan organik segar
yang dapat menciptakan kondisi baik di dalam tanah yang salah satunya dapat meningkatkan ketersediaan
unsur hara dan juga mungkin menciptakan kondisi yang kondusif untuk terjadinya kesimbangan unsur hara
serta proses pendauran hara ataupun senyawa lain di dalam tanah. Untuk mempelajari lebih jauh apa yang
sebenarnya terjadi di dalam tanah di dalam tanah maka penelitian tahun berikutnya diarahkan untuk
mempelajari pengaruh sistem rotasi tanaman terhadap status unsur hara , efisiensi pemupukan N dan P dan
hasil dan kualitas hasil tanaman padi dan tembakau virginia.
Dari hasil penelitian salah satu mahaiswa S1 yang saat ini sedang berjalan adalah diperolehnya
informasi kontribusi krotalaria terhadap besarnya penambatan N di dalam tanah yang dilakukan di lapangan
pada jenis tanah yang sama. Sedangkan salah satu mahasiswa yang lain sedang meneliti, pengaruh
pembenaman biomasa krotalaria terhadap status N dan P di dalam tanah pada jenis tanah yang sama di rumah
kaca. Jika kedua informasi ini dapat diperoleh diharapkan akan melengkapi data dasar untuk melakukan uji
status dan efisiensi pemupukan anorganik untuk tanaman padi dan tembakau virginia yang akan dilakukan
tahun depan.
Untuk melihat pengaruh sistem rotasi tanaman yang diuji terhdap kualitas hasil gabah yang
dihasilkan telah dilakukan penimbangan terhadap berat 1000 butir gabah untuk masing-masing plot (Tabel
3). Sedangkan pengaruh rotasi tanaman terhadap kadar protein kasar beras sedang dianalisis di laboratorium
dan akan dilaporkan kemudian.
Tabel 3. Pengaruh Sistem Rotasi Tanaman terhadap Berat 1000 butir Gabah Kering (g)
Perlakuan R1 R2 R3 R4
Po 26,7a (1) 25.9 a(1) 26,1a(1) 25,6a (1)
P1l 26,8a (1) 26,2a(1) 26,7a (1) 26,3a(1)
P2 26,5a (1) 25,5a (1) 225,7a(1) 26,1a(1)
Keterangan: R1 = bero, R2= jagung, R3= krotalaria, dan R4= jangung+krotalaria
P1 = tanpa pemberian pupuk, P2= setengah dosis rekomendasi dan
P3 = dosis rekomendasi (300 kg KO3 + 300 kg TSP) a Data yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05 (1) Data yang diikuti oleh angka yang sama lajur yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05
Dari data Tabel 3 menunjukkan bahwa sistem rotasi tanaman tidak menunjukan adanya pengaruh
yang nyata terhdap berat 1000 butir gabah kering. Adanya pengaruh rotasi tanaman yang diuji terhdap berat
gabah kering yang terjadi nampaknya belum menghasilkan perubahan yang nyata pada kualitas gabah kering
yang dihasilkan. Manifestasi adanya pengaruh sistem rotasi tanaman yang diuji terhadap hasil gabah kering
terhadap kualitas hasil gabah kering mungkin memerlukan waktu penerapan sistem rotasi tanaman yang lebih
lama. Yang lebih penting dalam kaitannya dengan kualitas beras diharapkan adanya perubahan kualitas yang
menyangkut kadar protein dan asam-asam amino esensial. Untuk penelitian selanjutnya penilaian kualitas
hendaknya diarahkan pada kandungan protein esensial seperti lysin dan sistein.
3. Hasil dan Kualitas Hasil Tembakau Virginia pada Tahun Pertama
Secara umum pada tahun 2004 terjadi penurunan produksi tembakau yang cukup besar karena
adanya hujan kiriman yang terjadi pada awal bulan Juni 2004. Hujan yang terjadi selama 4-6 hari berturut-
turut pada awal bulan Juni 2004 tersebut untuk wilayah Pulau Lombok, telah menyebabkan penurunan
produksi daun tembakau virginia. Dari hasil catatan produksi tembakau virginia tahun ini terhadap mitra
petani PT. Sadhana Arifnusa, adanya kiriman hujan tersebut telah menurunkan produksi berkisar antara 20-
438
30%. Penurunan hasil produksi daun tembakau virginia ini disebabkan adanya genangan air yang terjadi
untuk beberapa hari dan adanya peningkatan serangan hama ulat.
Untuk petani tembakau disekitar lokasi penelitian juga mengalami penurunan hasil yang sama
dengan petani tembakau virginia Lombok pada umumnya. Sebagai salah satu contoh hasil catatan paroduksi
tembakau virginia petani besar Mamiek Ihsan dengan luas lahannya yang telah dikelola selama lebih dari 10
tahun, pada tahun ini telah terjadi penurunan produksi daun basah dari 50 ton menjadi 38 ton.
Demikian juga terjadi pada lahan penelitian. Menurut teknisi lapangan PT. Sadhana Arifnusi lokasi
penelitian biasnya menghasilkan daun tembakau kering sekitar 2 ton/Ha. Namum karena adanya hujan
kiriman yang terjdi di awal Juni menyebabkan penurunan hasil tembakau yang mencapai 22%.
Pencatatan hasil panen daun tembakau secara bertahap dari masing-masing plot percobaan diperoleh
total hasil tembakau kering yang disajikan pada Tabel 4. Data hasil daun tembakau virginia kering oven pada
tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum hasil yang diperoleh kurang dari 2 ton /Ha. Hasil terendah tercatat
pada perlakuan kombinasi sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-bero dan pemupukan dosis
rekomendasi (R1P2) dengan hasil 1466 kg/Ha dan hasil tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan sistem
rotasi tanaman krotalaria- padi-tembakau virginia dan kombinasinya dengan pemberian pupuk separoh dosis
rekomendasi dengan hasil 1674 kg/Ha.
Tabel 4. Pengaruh Sistem Rotasi Tanaman terhadap Hasil Daun Tembakau Kering (kg/Ha)
Perlakuan R1 R2 R3 R4
Po 1514a (1) 1647 a(1) 1451a(2) 1475 a (2)
P1 1553 a (1) 1616 a(1) 1674 b (2) 1517 a(1)
P2 1466 a (1) 14920 b (1) 1531 b(1) 1426 b(1)
Keterangan: R1 = bero, R2= jagung, R3= krotalaria, dan R4= jangung+krotalaria
P1 = tanpa pemberian pupuk, P2= setengah dosis rekomendasi dan
P3 = dosis rekomendasi (300 kg KO3 + 300 kg TSP) a Data yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05 (1) Data yang diikuti oleh angka yang sama lajur yang sama tidak beda nyata pada P < 0.05
Secara umum sistem rotasi tanaman yang diuji belum menunjukakan pengaruh yang nyata terhadap
hasil berat kering tembakau virginia pada ketiga level perlakuan pemberian pupuk yang diuji. Adanya
beberapa hasil daun tembakau yang tidak konsisten dengan kombinasi perlakuan yang diuji boleh jadi karena
adanya faktor kerusakan akibat hujan yang mungkin mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap hasil
untuk masing-masing plot dan serangan ulat yang diamati terjadi secara cukup berat pada musim tanam
tembakau virginia tahun ini. Namun dari data yang ada pada Tabel 4 dapat terlihat bahwa pengaruh rotasi
tanaman terlihat menunjukkan beda yang nyata untuk perlakuan sistim rotasi padi-tembakau virginia-
krotalaria dengan kombinasinya dengan perlakuan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi
dibandingkan dengan sistem rotasi tanaman yang lain dengan kombinasi perlakuan pemberian pupuk yang
lain. Ada perbedaan yang mendasar hasil tanaman tembakau virginia dengan hasil gabah kering tanaman
padi, terutama untuk kombinasi sistem rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria/jagung yang
menunjukkan hasil yang relarif sama dengan perlakuan padi-tembakau virginia-bero dan sistim rotasi padi-
tembakau virginia-jagung. Tidak konsistennya hasil pengaruh perlakuan sistem rotasi tanaman yang diuji
pada tanaman padi dan tembakau semata-mata mungkin disebabkan karena kerusakan tembakau karena
musim dan serangan hama yang terjadi sangat berat pada tahun 2004.
Yang menarik dari data hasil daun temabakau virginia kering yuang diperoleh mempunyai
kecendurungan yang sama dengan hasil gabah kering padi terutama untuk kombinasi perlakuan semua sistem
rotsi yang diuji dengan pemupukan dosis rekomendasi. Pada kombinasi sistem rotasi yang diuji dengan
perlakuan pupuk dosis rekomendasi menghasilkan daun tembakau kering yang cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian pupuk dan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi.
Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan tanaman tembakau terhadap kerusakan karena pengaruh
iklim yang buruk dan hama lebih peka pada dosis pemberian pupuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tanpa pemberian pupuk dan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi. Hasil daun tembakau kering
tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan sistim rotasi tanaman padi-tembakau virginia-krotalaria dengan
kombinasinya dengan perlakuan separoh dosis pemerian pupuk (R3P1).
439
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitin yang dilakukan pada tahun pertama dapat di simpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
Secara umum tanah yang digunakan untuk lokasi penelitian mempunyai permasalahan kesuburan
kimia dan biologi dengan berbagai kendala kesuburan fisik yang ada diantaranya tektur tanah, pH tanah agak
masam, bahan organik rendah, mempunyai kadar N dan P rendah dan aktivitas biologi tanah yang rendah.
Pengaruh sistem rotasi tanaman yang diuji dalam penelitian jangka panjang sudah mulai tampak
pada hasil gabah kering padi tetapi belum tampak pada kualitas hasil gabah kering. Sistem rotasi tanaman
berbasis krotalaria mampu meningkatkan hasil tanaman padi secara nyata dan hal ini diduga karena
meningkatnya produktivitas tanah akibat meningkatkan masukan bahan organik segar dan pasokan tambahan
N dari krotalaria. Hasil gabah kering padi tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan R3P1 (6067 kg/Ha).
Sistim rotasi tanaman berbasis krotalaria dalam jangka panjang diperkirakan mampu mengurangi kebutuhan
pupuk organik secara nyata. Data tahun pertama menunjukkan pemberian pupuk separoh dosis rekomendasi
telah memadai dan menghasilkan hasil tertinggi dibandingkan dengan dosis menurut rekomendasi.
Hasil tanaman tembakau lebih bervariasi disebabkan karena adanya kerusakan akibat hujan dan
hama. Data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa sistem rotasi berbasis krotalaria menghasilkan hasil
tembakau terbaik (1674 kg/ha) dengan pemberian pupuk hanya separoh dosis rekomendasi yang
dipraktekkan petani dibandingkan dengan perlakukan sistem rotasi tanaman yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adams WE., Moris H.D. dan Dawson, R.N. (1970). Effect of cropping systems and nitrogen levels on corn
yield in the southern Piedmon Region. Agronomy Journal, 62:655-659.
Anderson, J.M. dan Ingram, J.S.I. (1989). Tropical soil biology and fertility: a handbook of Methods.CAB
International.
Boppi, C.P., E. Hendro, dan Suwardji (2001). Analisis kelayakan usaha tani jagung setelah musim tembakau
petani mitra PT. Sadhana Arifnusi di Kabupaten Lombok Timur.
Bremner, J.M. (1965). Nitrogen availability indexes. In Black (Ed.). Methods of soil analysis. Part 2. pp.
1324-1345. ASA, Madison.
Brown, S., Anderson, J.M., Woomer, P.L., Swift, M.J. and Barrios, E. (1994). Soil biological processes in
tropical ecosystems. In: The biological management of tropical soil fertility. Woomer and Swift
(Eds). John Wiley and Sons. pp.15-46.
Campbell, C.A., Bienderbeck, V.O., Zentner, R.P. dan Lafond, G.P. (1991). Effect of crop rotations and
cultural practices on soil organic matter, and microbial biomass and respiration on a think Black
Chernozem. Canadian Journal Soil Sciece, 71: 363-377.
Dinas Perkebunan Propinsi NTB (2001). Pokok permasalahan dalam pengembangan tembakau Virginia
Indonesia (ITV) di Pulau Lombok. Makalah Lokakarya Agribisnis Tembakau 6-7 Nov 2001,
BALITAS-Malang.
FAO (1994). Green manuring forsoil productivity improvement. World Soil Research Report No. 76. FAO
Rome, 123 halaman.
Hamblin, A.P. (1985). Influence of soil structure on water movement, crop root growth, and water uptake.
Advances in Agronomy, 38:95-158.
Hidayat, E. Hendro, Suwardji (2001). Kajian pendahuluan penggunaan Crotalaria Juncea untuk
meningkatkan produktivitas tanah pada lahan tembakau di Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Intern
Report PT. Sadhana Arifnusa.
Hendro, E. (2001). Petunjuk Teknis Budidaya Padi dan Tembakau Virginia Untuk Mitra PT. Sadhana
Arifnusa. 45 Halaman.
Hendro, E. dan Suwardji (2002). Evaluasi produktivitas tanah pada lahan tembakau milik petani mitra PT.
Sadhana Arifnusa. Laporan Penelitian (Tidak Dipublikasikan).
Hidayat, A. (1978). Methods of soil chemical analysis. Japan International Coorperation Agency (JICA) in
the frame work of the Indonesia-Japan Joint Food Crop Research, Bogor.
440
Jensen, E.S. (1994). Mineralisation-imobilisation of nitrogen in soil amended with low C/N ratio plant
residue with different paricle sizes. Soil Biol. Biochem., 26: 519-521.
Lal, R. and Stewart, B.A. (1992). Need for land restoration. Advances in Soil Science. Volume 17 : 1-11.
Spurgeion, W.I. dan Grimson, P.H. (1965). Inlfuence of cropping systems on the soil properties and crop
production. Mississippi State University Experimental Station. Buletin 710 halaman 20.
Stanford, G. dan Smith, S.J. (1972). Nitrogen mineralisation potential of soils. Soil Science Society of
America Proceeding, 36: 465-472.
Suwardji dan Eberbach, P. (1996). Effect of long-term tillage practices on the physical properties of a Red
Kandosol. Australian and New Zealand National Soil Conference, Melbourne 1-4 July 1996. pp.
247-249.
Suwardji dan Eberbach, P. (1998). Seasonal Changes of Physical Properties of an Oxic Paleustalf After 16
Years of Direct Drilling or Conventional Cultivation. Soil and Tillage Rerearch, 49 (1998): 65-77.
Suwardji (2004). Mencari skenario pengembangan pertanian lahan kering yang berkelanjutan di Propinsi
NTB. Makalah utama dalam Seminar Nasional Pengembangan Lahan Marginal Untuk Peningkatan
Kesejahteraan Petani Miskin. Matram 31 Agustus –1 September 2004.
Utomo, M. (1986). Role of legume cover crops in no-tillage and conventional tillage corn production.
Ph.D. Thesis, University of Kentacky, Lexington.
Villachica, H., Silva, J.E., Peres, J.R., and Da Rocha, C.M.C. (1996). Sustainable agricultural systems in the
humid tropics of South America. In.Sustainable Agricultural Systems. (Eds. Edwards dkk.).Soil
and Water Conservation Society, Iowa. pp. 391-437.
441
SISTEM PEMASARAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG USAHA AGRIBISNIS
PERTANIAN LAHAN KERING DI NUSA TENGGARA BARAT
Yohanes G. Bulu, Sasongko WR dan Sri Hastuti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB
ABSTRAK
Pengembangan ternak kambing di NTB dalam upaya peningkatan produksi belum dilakukan secara maksimal.
Populasi ternak kambing di NTB belum mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal karena pertumbuhan populasi ternak kambing yang relatif lambat yang disebabkan oleh penerapan teknologi yang rendah. Penelitian ini bertujuan
menganalisis sistem pemasaran ternak kambing. Menganalisis alur dan efesiensi pemasaran ternak kambing untuk
mendukung usaha agribisnis serta ketahanan pangan rumah tangga di wilayah lahan kering. Penelitian dilaksanakan dari
bulan Juni 2005 – April 2006 di tiga kabupaten di pulau Lombok yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Data primer dikumpulkan melalui wawancara pada responden dan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produksi kambing potong di NTB belum mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal, nasional maupun internasional.
Ditinjau dari aspek ekonomi, usaha ternak kambing memberikan keuntungan dan kontribusi terhadap pendapatan rumah
tangga. Berdasarkan analisis marjin bahwa peternak menerima harga sebesar Rp 416.667/ekor kambing. Harga ini merupakan 75,76% dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten yang menunjukkan bahwa pemasaran kambing di
Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari
lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat
menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing. Marjin pemasaran pedagang pengumpul kabupaten (17,61%) lebih tinggi dibandingkan dengan marjin pemasaran blantik (6,63%) yang disebabkan oleh: (1) blantik umumnya tidak
melakukan pemeliharaan dalam waktu lama sebelum kambing dijual karena keterbatasan tempat sehingga biaya
pemasaran dapat ditekan; dan (2) blantik tidak memiliki modal sendiri untuk membeli ternak kambing melainkan
menggunakan modal dari pedagang pengumpul kabupaten.
Kata kunci: sistem pemasaran, ternak kambing, usaha agribisnis, pertanian lahan kering.
PENDAHULUAN
Potensi wilayah NTB yang sebagian besar merupakan lahan kering mempunyai peluang yang sangat
besar untuk pengembangan ternak kambing yang berorientasi agribisnis. Ternak kambing merupakan salah
satu komoditi peternakan yang efesien, mudah dipelihara dan cepat menghasilkan, sehingga sangat relevan
untuk dikembangkan pada petani kecil di wilayah pertanian lahan kering. Akan tetapi belum di dukung oleh
kebijakan pemerintah daerah untuk menetapkan wilayah-wialayh tertentu yang berpeluang sebagai kawasan
pengembangan komoditas peternakan yang berorientasi agribisnis.
Ternak kambing mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kehidupan sebagian besar
masyarakat petani di pedesaan sehingga diperlukan upaya-upaya peningkatan produktivitas ternak. Ternak
kambing mempunyai peranan pada tiga aspek utama yaitu aspek biologis, ekonomi dan sosial budaya
masyarakat yang memungkinkan pengembangan ternak kambing (Sutama, 2004). Beberapa masalah utama
dalam pengembangan ternak kambing yaitu usaha pemeliharaan masih berupa usaha sampingan, penerapan
teknologi rendah, keterbatasan bibit yang berkualitas, keterbatasan pakan pada musim kemarau dan
keterbatasan tenaga kerja keluarga serta semakin menyempitnya lahan untuk pengembalaan khususnya di
pulau Lombok (Bulu, et al, 2004b). Upaya pengembangan ternak kambing di Nusa Tenggara Barat (NTB)
terutama pada wilayah lahan kering selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan
rumah tangga, juga diharapkan mampu menggerakkan sistem produksi dan pemasaran yang berkelanjutan
dalam sistem dan usaha agribisnis.
Konsumsi daging kambing penduduk NTB terutama pada hari-hari raya mengalami peningkatan.
Jumlah ternak kambing yang di potong antara tahun 2003 – 2005 mengalami peningkatan yaitu mencapai
3.330 ekor (30,93%), belum termasuk ternak yang di potong pada hari raya yang tidak tercatat (BPS, 2005).
442
Gambar 1. Perkembangan jumlah pemotongan dan harga ternak kambing di NTB, 2001 - 2005
Prospek pasar ternak kambing baik pasar lokal, nasional maupun internasional dengan tingkat harga
yang semakin meningkat setiap tahun maka akan mendorong sistem produksi dan pemsaran yang
berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan menganalisis sistem pemasaran ternak kambing untuk mendukung
pengembangan ternak dan usaha agribisnis di wilayah pertanian lahan kering.
MOTODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan survei. Penelitian dilakukan di pulau Lombok yang meliputi
6 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur, 3 kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah dan 2 kecamatan di
Kabupaten Lombok Barat. Penetapan lokasi penelitian ditentukan secara purposif dengan pertimbangan
bahwa wilayah tersebut merupakan sentra produksi ternak kambing atau memiliki populasi ternak kambing
terbanyak.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari – Desember 2005. Pemilihan responden ditentukan
secara purposif. Populasi responden yang menjadi sasaran penelitian meliputi petani/peternak, blantik,
pedagang pengumpul kecamatan, jagal, pedagang antarpulau, pedagang daging, pasar hewan dan rumah
makan atau restoran.
Data primer diperoleh melalui pengamatan, pencatatan, dan wawancara secara mendalam dengan
responden dan informan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Sedangkan data
sekunder dikumpulkan pada instansi-instansi terkait. Data kuantitatif dan kualitatif yang terkumpul ditabulasi
dan dianalisis secara kualitatif dan deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Produksi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (95%) petani yang memelihara ternak kambing
masih merupakan usaha sampingan dengan jumlah kambing yang dipelihara berkisar 5 – 6 ekor per rumah
tangga. Populasi kambing yang dipelihara rumah tangga petani masih relatif sedikit sehingga tidak
memungkinkan untuk menjamin kontinyutas sistem produksi dan pemasaran. Pemeliharaan kambing oleh
petani belum didukung oleh penerapan teknologi yang memadai dan umumnya ternak kambing dominan
digembalakan tanpa dukungan pemberian pakan yang berkualitas (Bulu, et al. 2004a).
Meningkatnya kematian ternak pada musim hujan juga dipengaruhi oleh bentuk dan model kandang
yang dibangun petani yang cenderung tertutup dengan pagar berlapis sehingga raltif lembab dan sulit
dibersihkan. Model kandang tertutup dengan pagar berlapis dapat ditemukan di sejumlah kecamatan di
wilayah Lombok bagian Selatan yang dikategorikan mempunyai tingkat kerawanan sosial tinggi. Dengan
demikian masalah-masalah kerawanan sosial yang terjadi pada suatu wilayah dan komunitas masyarakat
merupakan hambatan sosial dan hambatan psikologi yang dialami peternak dalam penerapan teknologi dan
pengembangan ternak kambing. Kondisi sosial yang kurang aman untuk usaha peternakan menyebabkan
peternak cenderung berspekulasi dan bahkan enggan untuk memilih usaha tersebut.
6.654
4.741
10.03210.765
7.435
0
2
4
6
8
10
12
2001 2002 2003 2004 2005
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
Jmlh pemotongan
Harga kambing
6.654
4.741
10.03210.765
7.435
0
2
4
6
8
10
12
2001 2002 2003 2004 2005
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
Jmlh pemotongan
Harga kambing
443
Aspek Ekonomi
Secara umum peternak menyadari bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha ternak kambing
yang dilakukan selama ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga.
Namun sampai dengan saat ini usaha ternak kambing belum dilakukan sebagai sumber pendapatan utama
rumah tangga yang disebabkan oleh keterbatasan modal dan manajemen usaha yang masih rendah. Bulu, et
al, 2005a, menggambarkan bahwa pendapatan usaha pangan sebesar 78,9% dan pendapatan usaha ternak
kambing sebesar 48,4% digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sedangkan jumlah modal
yang digunakan untuk usaha ternak kambing dari kedua sumber pendapatan tersebut adalah masing-masing
5,4% dan 5,6%. Hal ini menunjukkan bahwa petani lebih memprioritaskan ketahanan pangan rumah tangga
sehingga modal yang dialokasikan untuk usaha ternak kambing relatif terbatas.
Ditinjau dari aspek ekonomi bahwa usaha pembibitan ternak kambing dengan jumlah induk yang
dipelihara sebanyak 7 ekor relatif menguntungkan dengan tambahan keuntungan yang diperoleh selama 14 –
15 bulan sebesar Rp 1.703.863,- atau Rp 113.600,/bulan (Bulu, et al, 2005c).
Kelembagaan Pemasaran Ternak Kambing
Pedagang yang biasa membeli kambing baik di petani maupun di pasar hewan meliputi blantik,
pedagang pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, jagal dan rumah makan. Penjualan kambing
sebagian besar dilakukan di pasar hewan namun ada juga yang dijual di rumah atau tempat penampungan
ternak. Selain penjualan kambing di pasar-pasar hewan di pulau Lombok juga melayani permintaan kambing
dari pulau Sumbawa, Madura dan permintaan bibit oleh proyek-proyek pemerintah. Ukuran kambing yang
dijual bervariasi yang disesuaikan dengan permintaan pasar atau konsumen.
Para pedagang kambing tidak mempunyai modal yang besar guna menunjang kegiatan pemasaran.
Untuk memperlancar sistem pemasaran para pedagang menciptakan hubungan sosial dalam pemasaran
kambing. Pedagang pengumpul kecamatan membeli kambing kepada pengumpul desa (blantik) dan
pengumpul kabupaten kepada pengumpul kecamatan dengan sistem panjar atau bayar dibelakang (di bayar
lunas setelah kambing terjual berkisar 3 – 6 hari). Selain itu jika para pedagang pengumpul yang memebeli
kambing di rumah-rumah petani bertemu di satu kandang petani maka hanya satu orang yang melakukan
tawar-menawar hingga mencapai harga yang disepakati. Tindakan pedagang pengumpul tersebut adalah
untuk menciptakan harga bersama guna menghindari persaingan penentuan harga ternak pada saat proses
tawar menawar. Untuk menjaga hubungan sosial diantara mereka maka ternak kambing yang dibeli oleh satu
orang pedagang dijual bersama-sama dan keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan di bagi rata dengan
jumlah pedagang yang pada saat itu bertemu pada satu kandang petani. Demikian pula pembelian dan
pebayaran yang dilakukan oleh rumah makan juga menggunakan pendekatan hubungan sosial.
Pembayaran dengan sistem panjar sudah berlangsung selama ± 30 tahun dan selama ini sistem
tersebut belum pernah menghambat kegiatan pembelian dan penjualan ternak kambing. Hubungan sosial
dalam pemasaran ternak kambing yang masuk dalam sistem ekonomi menunjukkan bahwa dalam kegiatan
bisnis hasil pertanian tidak selamanya berlaku hubungan ekonomi murni. Keterpaduan antara perilaku
ekonomi dan sosial tentu mempunyai kelemahan-kelemahan bila ditinjau dari berbagai aspek. Bila perilaku
ekonomi lebih dominan dari perilaku sosial maka tidak akan mempengaruhi sistem ekonomi di suatu wilayah.
Hubungan sosial antara pedagang pengumpul dalam pemasaran ternak kambing tidak ada nilai-nilai dan
aturan-aturan baku yang harus disepakati dan ditaati di antara pedagang.
Hubungan sosial lain yang dibangun adalah pembagian jata dalam pengadaan ternak kambing
diantara beberapa pedagang pengumpul. Jika salah satu pedagang menerima pengadaan ternak kambing dari
pihak lain (pemerintah atau pengusaha) dalam jumlah besar, maka dalam pengadaan ternak dibagi kepada
beberapa pedagang pengumpul. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses pengadaan dengan jumlah dan
waktu yang telah disepakati.
BaiklBlantik maupun pedagang pengumpul selalu memelihara hubungan baik dengan para makelar
pasar (tukang pemegang tali ternak) dalam proses tawar menawar di pasar hewan. Hubungan sosial yang
diciptakan antara pedagang pengumpul adalah untuk membangun keharmonisan diantara mereka untuk tetap
berlaku jujur, saling menghargai dan saling percaya.
Sistem Pemasaran Ternak Kambing
Pengembangan usaha ternak kambing yang berorientasi agribisnis perlu mempertimbangkan sistem
produksi dan jaringan pemasaran serta kemampuan daya serap pasar per kawasan. Skala usaha pemeliharaan
ternak kambing bagi peternak merupakan bagian terpenting yang perlu diperhatikan untuk mendukung
keberlanjutan usaha agribisnis ternak kambing di lahan kering.
444
Penjualan ternak kambing dilakukan oleh petani/peternak pada waktu-waktu tertentu yaitu untuk
memenuhi kebutuhan mendesak (untuk modal usahatani, biaya anak sekolah, kebutuhan pangan dan
kebutuhan sehari-hari) dan menunggu harga kambing mahal menjelang hari raya Qurban.
Tempat penjualan ternak kambing oleh petani umumnya dilakukan dirumah dimana blantik atau
pedagang pengumpul mendatangi petani/peternak. Harga umumnya ditentukan oleh pembeli namun melalui
proses tawar menawar. Cara untuk menentukan harga adalah dengan ditaksir berdasarkan ukuran, umur,
penampilan, warna bulu dan jenis ternak kambing. Cara penentuan harga kambing dengan ditimbang hidup
belum ada. Namun baik petani/peternak maupun pedagang lebih menyukai penentuan harga kambing dengan
cara ditaksir. Cara tersebut lebih menguntungkan bagi penjual dibandingkan bila ditimbang hidup. Sistem
pembayaran yang dilakukan oleh pedagang kepada petani umumnya dilakukan secara tunai. Jenis dan ukuran
kambing yang dijual maupun yang diminta pasar bervariasi mulai dari anak lepas sapih, kambing muda, dan
kambing dewasa serta jenis kelamin ternak. Semua ukuran kambing yang dijual petani dapat di beli pedagang
karena mempunyai peluang pasar yang sama.
Pembelian kambing untuk bibit dan penggemukan umumnya dilakukan petani pada sesama peternak,
namun ada juga yang membeli di pasar hewan maupun pada pedagang pengumpul. Jika petani membeli di
pedagang pengumpul maupun di pasar hewan harganya lebih mahal dibandingkan jika membeli pada sesama
peternak.
Tingkat harga ternak kambing berdasarkan kualitas ternak, biasanya kambing peranakan PE
harganya lebih mahal dibanding dengan kambing lokal (kacang). Perkembangan harga kambing yang di beli
petani pada sesama peternak dari semua ukuran kambing seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Jumlah Pembelian dan Penjualan, Harga Beli dan Jual Ternak Kambing oleh Petani di NTB, 2005
(Rp/ekor)
Uraian Volume beli (ekor) Volume Jual (ekor) Harga Beli (Rp) Harga Jual (Rp)
Jantan dewasa 1 1 400.000 450.000
Betina dewasa 2,5 2,5 250.000 300.000
Jantan muda 1 1 150.000 175.000
Betina muda 2 2 125.000 137.500
Anak lepas sapih 2 2 100.000 125.000
Sumber: Data primer diolah
Jumlah pembelian dan penjualan kambing antara beberapa pedagang relatif berbeda, hal ini
disesuaikan dengan kemampuan permodalan yang dimiliki. Menjelang hari raya Qurban (Lebaran Haji)
jumlah pembelian dan penjualan kambing relatif meningkat karena meningkatnya permintaan kambing
potong. Meningkatnya permintaan ternak potong pada musim-musim tertentu (hari raya Qurban) diharapkan
dapat membangkitkan minat peternak untuk memelihara ternak kambing. Rata-rata jumlah pembelian dan
penjualan kambing berdasar ukuran dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Rata-rata Pembelian Kambing oleh pedagang di Pulau Lombok, 2005 (ekor/bulan)
Jenis Pedagang
Jumlah Pembelian pada hari biasa
(ekor/bulan)
Jumlah Pembelian menjelang hari
Qurban (ekor/bulan)
Jantan
besar
Induk
dewasa
Jantan
muda
Betina
muda
Jantan
besar
Induk
dewasa
Jantan
muda Betina
muda
Blantik 3,0 2,3 1,3 2,0 34,7 19,8 23,5 3,0
Pengumpul kecamatan 8,2 10,4 6,0 6,4 253 175,0 225,9 9,2
Pengumpul kabupaten 50,5 65,75 35,75 20,5 422,8 309,0 184,0 12,4
Jagal/Rumah makan 4,0 3,5 10,5 10,0 13,2 10,3 20,7 15,6
Jumlah 65,7 82,6 53,6 38,9 723,7 514,1 454,1 123,0
Sumber: Data primer diolah
Khusus untuk pembelian dan penjualan ternak kambing potong menjelang hari raya Qurban hanya
berlaku selama satu bulan. Setelah hari raya jumlah permintaan kambing potong dan harga mengalami
penurunan kembali sampai mendekati harga normal. Harga kambing di pulau Sumbawa relatif lebih mahal di
bandingkan di pulau Lombok disebabkan oleh populasi kambing potong yang tersedia tidak mampu
memenuhi kebutuhan pasar lokal. Untuk memnuhi kebutuhan kambing potong pada hari raya Qurban di
pulau Sumbawa maka harus di pasok dari NTT berkisar 3000 – 5000 ekor per tahun.
445
Tabel 3. Rata-Rata Penjualan Kambing oleh Pedagang di Pulau Lombok, 2005 (ekor/bulan)
Jenis Pedagang
Jumlah penjualan pada hari biasa
(ekor/bulan)
Jumlah penjualan menjelang hari
Qurban (ekor/bulan)
Jantan
besar
Induk
dewasa
Jantan
muda
Betina
muda
Jantan
besar
Induk
dewasa
Jantan
muda
Betina
muda
Blantik 3,0 2,3 1,3 2,0 32,7 16,8 20,5 2,0
Pengumpul kecamatan 7,6 33,1 35,3 35,3 250,0 173 223,9 8,9
Pengumpul kabupaten 49,0 65,75 35,75 20,5 420,8 307,9 182,7 12,0
Jagal/Rumah makan*) 2,0 2,5 7,5 5,0 13,0 10,0 20,0 17,0
Jumlah 61,6 103,6 79,8 62,8 716.5 507,7 447,1 39,9
Keterangan: *) Jumlah pemotongan
Sumber: Data primer diolah
Perkembangan harga kambing yang dipasarkan semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan
jumlah permintaan melebihi populasi kambing potong yang tersedia terutama peningkatan harga terjadi
menjelang hari raya Qurban. Dengan demikian dapat diduga bahwa ternak kambing mempunyai keunggulan
kompetitif terhadap komoditas tanaman pangan serta mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap
pendapatan rumah tangga petani/peternak di wilayah lahan kering. Untuk meningkatkan tambahan perolehan
pendapatan petani lahan kering maka salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan usaha
ternak kambing secara terpadu dengan usahatani pangan dan palawija.
Tabel 4. Perkembangan Harga Kambing di Pulau Lombok, 2006 (Rp/ekor)
Uraian Harga kambing (Rp/ekor) tahun 2005 Harga kambing (Rp/ekor) tahun 2006
Hari Biasa Hari Raya Hari Biasa Hari Raya
Jantan besar 500.000,00 750.000,00 550.000,00 850.000,00
Induk besar 350.000,00 500.000,00 400.000,00 550.000,00
Jantan muda 250.000,00 350.000,00 325.000,000 400.000,00
Betina muda 200.000,00 275.000,00 250.000,00 325.000,00
Anak lepas sapih 150.000,00 - 150.000,000 -
Sumber: Data primer diolah
Keterangan: Informasi Harga diperoleh di pasar hewan
Marjin dan Alur Pemasaran Ternak Kambing
Blantik umumnya membeli ternak kambing secara langsung di petani dan di pasar hewan maupun
pasar umum. Penjualan kambing sebagian besar dilakukan di pasar-pasar hewan dan tempat penampungan
ternak. Ukuran kambing yang dijual bervariasi yang disesuaikan dengan permintaan pasar.
Tingkat harga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani termasuk
peternak dalam melakukan produksi. Tingkat harga diantaranya dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pemasaran
komoditas bersangkutan. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur efisiensi pemasaran adalah
marjin pemasaran. Analisis marjin pemasaran dalam tulisan ini difokuskan hanya sampai pada harga jual
kambing pada tingkat pedagang pengumpul kabupaten (tidak termasuk pemasaran daging kambing). Satuan
analisis selama sebulan, rata-rata harga dan volume pemasaran per bulan sudah memperhitungkan pemasaran
pada musim permintaan tinggi (hari raya Qurban). Dari Tabel 5 dapat diperoleh informasi bahwa peternak
menerima harga sebesar Rp 416.667/ekor kambing. Harga ini merupakan 75,76 % dari harga jual pedagang
pengumpul kabupaten. Total marjin pemasaran sebesar 24,24 % didistribusikan sebagai biaya pemasaran dan
keuntungan lembaga pemasaran masing-masing sebesar 3,40 % dan 20,84 %. Komponen utama biaya
pemasaran adalah biaya angkutan (1,25 %) dan biaya tidak resmi atau biaya untuk makelar (0,97 %).
Berdasarkan analisis marjin pemasaran, besaran pangsa harga peternak (75,76 %) lebih tinggi
daripada pangsa marjin pemasaran (24,24 %) menunjukkan bahwa pemasaran kambing di Pulau Lombok
adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi
produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat
menumbuhkan minat peternak untuk beternak kambing.
Marjin pemasaran pedagang pengumpul kabupaten sebesar (17,61 % ) lebih tinggi dibandingkan
dengan marjin pemasaran blantik (6,63 %). Penyebab dari perbedaan marjin pemasaran tersebut diantaranya
sebagai berikut. Pertama, pada umumnya blantik tidak melakukan pemeliharaan dalam waktu lama sebelum
kambing dijual karena keterbatasan tempat sehingga biaya pemasaran dapat ditekan. Kedua, profit marjin
yang diterima blantik lebih kecil (5,51 %) dibandingkan profit marjin yang diterima pedagang pengumpul
446
kabupaten (15,33 %) karena blantik tidak memiliki modal sendiri untuk membeli ternak kambing melainkan
menggunakan modal dari pedagang pengumpul kabupaten.
Tabel 5. Marjin Pemasaran Kambing dari Peternak Sampai Pedagang Pengumpul Kabupaten di Pulau Lombok, 2005
No. Uraian Harga/Biaya (Rp) Persentase1) (%)
Harga jual peternak2) 416.667 75,76
Blantik
1. Harga beli2) 416.667 75,76
2. Biaya pemasaran2) : 6.166 1,12 a. Biaya pembelian 1.667 0,30
– Transpor pembelian 1.000 0,18
– Tenaga kerja pembelian 667 0,12
b. Biaya penjualan 4.499 0,82 – Transpor penjualan 909 0,17
– Konsumsi 1.000 0,18
– Retribusi 1.000 0,18
– Makelar 1.590 0,29 3. Keuntungan blantik2) 30.292 5,51
4. Marjin pemasaran2) 36.458 6,63
5. Harga jual blantik2) 453.125 82,39
Pedagang pengumpul kabupaten
1. Harga beli2) 453.125 82,39
2. Biaya pemasaran2) : 12.545 2,28 a. Biaya pembelian 4.614 0,84
– Transpor pembelian 2.210 0,40
– Tenaga kerja pembelian 1.066 0,19
– Pakan 1.338 0,24 b. Biaya penjualan 7.931 1,44
– Transpor penjualan 2.748 0,50
– Konsumsi 523 0,10
– Retribusi 928 0,17 – Makelar 3.732 0,68
3. Keuntungan pengumpul kabupaten2) 84.330 15,33
4. Marjin pemasaran2) 96.875 17,61
5. Harga jual/harga beli PAP dan konsumen2) 550.000 100,00
Rata-rata volume pemasaran/bulan3) 765
Total keuntungan pedagang/bulan4) 87.685.830
Sumber : Data primer diolah
Keterangan : 1) Persentase dari harga jual pedagang pengumpul kabupaten/harga beli pedagang antar pulau dan konsumen
2) Per ekor kambing
3) Satuan volume pemasaran adalah ekor
4) Total keuntungan blantik dan pedagang pengumpul kabupaten selama sebulan
Pemasaran ternak kambing di Pulau Lombok relatif lancar dengan harga bersaing dan
menguntungkan bagi petani/peternak maupun pelaku pasar itu sendiri. Blantik dan pedagang pengumpul
masih sangat diperlukan oleh petani karena mempunyai peranan dalam memperlancar dan mempercepat
proses dan sistem pemasaran ternak kambing.
Penentuan harga kambing lebih dominan hasil kesepakatan antara pembeli dan penjual setelah
melalui proses tawar menawar hingga mencapai kesepakatan harga yang dikehendaki. Sebelum ternak di jual
para petani selalu mencari informasi perkembangan harga dan volume pembelian ternak kambing di pasar-
pasar hewan di pulau Lombok, pedagang pengumpul dan sesama peternak yang telah menjual ternaknya.
Keadaan ini dapat memperkuat posisi peternak dalam proses tawar menawar dengan pedagang pengumpul
yang bersaing untuk membeli ternak kambing. Dengan demikian akan berdampak pada terbentuknya tingkat
harga kambing yang menguntungkan bagi petani/peternak. Rumah makan/restoran lebih dominan membeli
kambing hidup kepada pedagang pengumpul dan memotong sendiri sehingga tidak membeli daging pada
jagal. Jagal lebih dominan menjual daging kepada pedagang daging, pedagang sate dan rumah tangga dengan
harga berkisar Rp 26.000 – Rp 30.000/kg.
447
Gambar 2. Alur pemasaran ternak kambing di pulau Lombok, 2005
KESIMPULAN
1. Populasi kambing yang dipelihara rumah tangga petani masih relatif sedikit sehingga tidak
memungkinkan untuk menjamin kontinyutas sistem produksi dan pemasaran. Produksi dan pemasaran
ternak kambing khususnya di pulau Lombok mempunyai prospek yang cukup baik karena tingginya
permintaan ternak potong dengan harga bersaing.
2. Untuk menjamin kontinyuitas produksi dan pemasaran ternak kambing diperlukan dukungan antara lain:
(1) penerapan teknologi pemeliharaan; (2) pemberdayaan kelembagaan; (3) kebijakan pemerintah daerah
dalam pengembangan ternak kambing pada sentra-sentra produksi di wilayah lahan kering.
3. Secara ekonomi bahwa usaha ternak kambing memberikan keuntungan dan kontribusi terhadap
pendapatan rumah tangga petani lahan kering.
4. Harga yang diterima peternak sebesar Rp 416.667/ekor kambing, merupakan 75,76% dari harga jual
pedagang pengumpul kabupaten yang dinilai memberikan motif yang cukup memadai bagi
pengembangan agribisnis di lapangan
5. Pemasaran kambing di Pulau Lombok adalah efisien dalam pengertian relatif rendah biaya yang
dibutuhkan untuk memasarkan kambing dari lokasi produsen ke lokasi konsumen. Kondisi semacam ini
merupakan insentif bagi peternak yang diharapkan dapat menumbuhkan minat peternak untuk beternak
kambing.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2004. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2004, Mataram.
Badan Pusat Statistik Propinsi NTB., 2005. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2005, Mataram.
Bulu Y.G., Mashur, W.R., Sasongko., dan A. Muzani, 2004b. Peluang Pengembangan Ternak Kambing
Mendukung Agribisnis dan Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan. Prosiding Lokakarya Nasional
Kambing Potong “ Kebutuhan Innováis Teknologi Mendukung Agribisnis yang Berdayasaing”.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Bulu, Y.G., WR Sasongko, Sri Hastuti, Wildan Arif, dan Awaludin, 2005b. Laporan Survei Pemasaran
Ternak Kambing di Pulau Lombok. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. (Tidak
dipublikasikan).
Restoran/
Rumah
makan
Pasar
Umum
Jagal
Pasar
Hewan
Pengumpul
Kecamatan Petani/
Peternak
Blantik Pengumpul
kabupaten
Pedagan
g daging
Pedagang
sate/Gule
Rumah
Tangga
Konsumen
Bibit/Bakala
n
448
Bulu, Y.G., WR Sasongko., Arif Surahman, H.H. Marawali dan Mashur, 2004a. Pemberdayaan Petani
Melalui Inovasi Sistem Usahatani Ternak Kambing di Lahan Kering Kabupaten Lombok Timur.
Prosiding Seminar Nasional “Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Ternak dan Pengembangan
Peternakan Dalam Sistem Usaha Tani Lahan Kering”. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian NTT dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Timar. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi. Bogor.
Bulu, Y.G., WR Sasongko., dan K. Puspadi, 2005c. Model Kelembagaan Pengembangan Ternak Kambing
pada Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timar. Prosiding Seminar Nasional “Pemasyarakatan
Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan Di Lahan
Marginal” Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB dengan Pusat Penelitian
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Pertanian. Bogor.
Bulu, Y.G., WR Sasongko., dan Mashur, 2005d. Rekomendasi Sistem Usahatani Ternak Kambing pada
Lahan Kering di Lombok Timar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Litbang
Pertanian. Mataram.
Sutama, I Ketut, 2004. Teknologi Reproduksi Ternak Kambing. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi
Paket Teknologi Pertanian, BPTP Nusa Tenggara Barat, Tanggal 2 Maret 2004 di Mataram.
449
PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN JARAK PAGAR (JATHROPA CURCAS)
PADA EKOSISTEM LAHAN KERING SKALA PEDESAAN
Elita Rahmarestia, FX Lilik TM, Mardison, Agung Hendriadi
Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian
ABSTRAK
Indonesia, khususnya bagian timur, mempunyai ekosistem lahan kering yang pada saat ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Pada lahan seperti ini, jarak pagar dapat dikembangkan secara tumpang sari. Pengembangan agroindustri jarak pagar pada skala pedesaan diarahkan pada penyediaan minyak jarak mentah (CJCO). Selain untuk meningkatkan
pendapatan petani, diharapkan dapat terciptanya penyediaan energi mandiri, sehingga mengurangi ketergantungan
terhadap pasokan bahan bakar nasional.
Pada makalah ini, akan dibahas konsep pengembangan agroindustri minyak jarak skala pedesaan di mana jarak pagar ditanam oleh petani pada lahan perkebunan secara tumpang sari, sedangkan proses pengolahan menjadi minyak jarak
mentah (CJCO) dilakukan pada skala kelompok tani. Pada skala pengolahan 100 kg biji per jam dengan rendemen 30%,
biaya investasi mesin sebesar Rp 50 juta, maka diharapkan pada umur ekonomi 4 tahun telah mencapai payback periode.
Kata kunci : agroindustri, jarak pagar, minyak jarak mentah
PENDAHULUAN
Upaya mendorong pemanfaatan biofuel sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) yang kian
terbatas cadangannya sedang gencar dilakukan. Seiring dengan menurunnya cadangan minyak bumi dan
harga yang terus meningkat, pencarian sumber-sumber energi alternatif terbarukan gencar dilaksanakan.
Penggunaan minyak nabati sebagai pengganti BBM telah diketahui sejak lama. Salah satu sumber tanaman
potensial yang saat ini sedang gencar dikembangkan sebagai bahan bakar nabati adalah jarak pagar (Jatropha
curcas).
Jarak pagar gencar dikembangkan sebagai tanaman sumber pengganti bahan bakar saat ini
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya tanaman ini dapat tumbuh dengan baik walaupun hasilnya tidak
optimum pada kondisi minim pemupukan dan ditanam lahan marjinal. Selain itu, pada saat ini jarak pagar
belum dimanfaatkan untuk bahan baku pangan atau bahan industri, sehingga tidak dikhawatirkan kompetisi
penggunaannya dengan sector industri atau pangan.
Pada makalah ini akan dibahas konsep pengembangan agroindustri minyak jarak yang berbasis
industri kecil pedesaan. Pengembangan agroindustri minyak jarak diharapkan dapat memberikan kontribusi
pasokan bahan bakar minimal untuk memenuhi kebutuhan pedesaan. Sehingga diharapkan dapat terciptanya
kemandirian produksi bahan bakar, sehingga dapat mengurangi biaya produksi pertanian yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pendapatan petani.
KONSEP AGROINDUSTRI MINYAK JARAK SKALA PEDESAAN
Konsep agroindustri minyak jarak skala pedesaan yang akan dikembangkan mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
- Pasokan biji jarak berasal dari petani perorangan
- Pengolahan minyak jarak mentah (crude jathropa curcas, CJCO) berada pada skala kelompok tani
- Penggunaan CJCO sebagai pengganti minyak bakar di tingkat pedesaan dengan cara penggunaan
langsung atau dicampur dengan BBM
- Apabila memungkinkan CJCO dapat diolah menjadi biodiesel dapat dimanfaatkan untuk motor-motor
penggerak diesel di pedesaan
Pada skala kelompok tani unit pengolahan minyak jarak mentah diharapakan dapat menghasilkan
minyak jarak dengan kapasitas pengolahan biji 0.5 ton/hari. Konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut :
450
PRODUKSI BIJI JARAK PAGAR DI TINGKAT PETANI
Jarak pagar akan tumbuh dan berproduksi optimal jika ditanam di lahan kering dataran rendah yang
beriklim kering, dengan ketinggian 0 -500 dpl, curah hujan 300 -1 000 mm/tahun dan temperature lebih dari
20oC. Jarak pagar dapat tumbuh pada lahan marginal namun mempunyai drainase dan aerasi yang baik.
Namun demikian, produksi optimal akan diperoleh jika pada musim kemarau disiram dengan baik dan
menggunakan dosis pupuk yang tepat (Prihandana dan Hendroko, 2006).
Tanaman jarak pagar mempunyai produkstivitas yang rendah pada awal panen (0.5- 1 ton/ha) dan
meningkat secara bertahap sampai dengan tahun ke-5 (5 -10 ton/ha). Dengan demikian disarankan agar
tanaman jarak pagar dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain seperti jagung, cabai rawit, kacang tanah
dan lain-lain agar memberikan keuntungan selama jarak pagar belum menghasilkan (berproduksi).
Jarak tanam yang direkomendasikan untuk jarak pagar adalah 200 x 200 cm atau 300 x 300 cm. Jika
di antara empat tanaman jarak pagar ditanam tanaman lain seperti tanaman di atas, maka dalam satu hektar
dapat ditanam 2050-2500 tanaman jarak pagar. Dengan demikian produksi buah jarak per pohon rata-rata
dapat diasumsikan 0.3 kg/pohon pada tahun pertama sampai dengan 4 kg/pohon pada tahun ke-5. Apabila
harga jual biji jarak Rp 1000/kg untuk mecapai harga minyak mentah yang dapat bersaing dengan harga
BBM, maka pendapatan perpohon Rp 300 pada tahun ke-1 sampai Rp 4000 pada tahun ke-5, atau dalam satu
hektar (2500 batang pohon), pendapatan yang diperoleh Rp 750.000 – Rp 4.000.000. Pendapatan yang cukup
kecil jika dibandingkan dengan harga jagung atau cabai yang produktivitas dan harga jual per kg-nya lebih
tinggi. Dengan demikian selama harga jual biji masih cukup murah, maka sebaiknya tanaman jarak pagar di
tingkat petani sebaiknya dibudidayakan sebagai tanaman penyelang atau sebagai pagar hidup.
Apabila biji jarak digunakan untuk pengolahan minyak skala kelompok tani dengan kapasitas 0.5
ton biji per hari, jika jumlah hari kerja per tahun 260 hari, maka dibutuhkan sekitar 32500 pohon jarak yang
produktifitasnya rata-rata 4 kg biji/tahun. Jika seorang petani rata-rata mempunyai 2500 batang pohon, maka
sekitar 13 petani dapat bergabung dalam suatu kelompok tani untuk melakukan usaha prosesing lanjutan,
pengolahan biji menjadi CJCO.
451
PENGOLAHAN BIJI JARAK MENJADI MINYAK JARAK PADA SKALA KELOMPOK TANI
Ekstraksi biji jarak menjadi minyak jarak mentah dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya adalah dengan cara kempa, dengan menggunakan screw press atau dengan menggunakan piston
press. Pengepresan dengan menggunakan screw press memungkinkan kapasitas pengolahan yang lebih besar
serta proses pengolahan berjalan secara kontinyu. Berikut proses pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak
seperti pada diagram berikut :
Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan biji jarak menjadi minyak jarak.
Untuk memenuhi kebutuhan prosesing minyak jarak, maka Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian mengembangkan paket unit pengolahan prosesing minyak jarak (CJCO) yang terdiri dari :
1. Unit alsin pengupas buah jarak menjadi biji jarak
2. Unit alsin pengepres biji jarak (modifikasi tipe China)
3. Unit alsin filtrasi
Buah Jarak Matang Kulit Buah Jarak
Minyak Jarak (CJCO)
Biodiesel
Biji Jarak
Minyak kotor
Ampas inti bijiInti Biji (kernel) di press
dengan screw
Proses Pemecah Buah
Jarak
Penyaringan &
deguming
Proses Transesterifikasi
Buah Jarak Matang Kulit Buah Jarak
Minyak Jarak (CJCO)
Biodiesel
Biji Jarak
Minyak kotor
Ampas inti bijiInti Biji (kernel) di press
dengan screw
Proses Pemecah Buah
Jarak
Penyaringan &
deguming
Proses Transesterifikasi
452
Spesifikasi unit alsin tersebut adalah :
Tabel 1. Spesifikasi Unit Alsin Pengolahan Biji Jarak Menjadi Minyak Jarak Kasar (CJCO)
Nama alat / mesin Pengupas kulit buah jarak Pengepres biji jarak Penyaring minyak
kasar
Model Rol ganda (adjustable) dan
blower
Expeller tipe screw Saringan dengan
tekanan pompa
Kapasitas 100 kg/jam 100 kg/jam 100 liter/jam
Penggerak Mesin diesel 8.5 HP (1 unit) Motor listrik 1.1 kw
(listrik skala rumah
tangga) Sistem transmisi V-belt dan puli, gear,
sprocket dan rantai
V-belt dan puli, gear
Energi Bahan bakar solar Bahan bakar solar
Putaran 80-90 rpm 30 rpm
Hasil pemrosesan 60-80% terkupas, tergantung
kekeringan kulit buah
Rendemen percobaan
27%, tergantung varietas
Unit alsin ini digerakkan oleh mesin diesel 8.5 HP sebanyak 1 unit yang dapat bekerja untuk
menggerakkan alsin pengupas kulit buah dan screw press secara bergantian.
Gambar 3. Unit alsin pengupas buah (kiri) dan pengepres biji (kanan).
Mesin pengepres (screw press) yang digunakan merupakan alsin pengepress biji-bijian, terutama
kacang tanah yang telah dikembangkan di China. Untuk dapat berfungsi mengepress biji jarak, pada kegiatan
di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBPMP) sampai dengan saat ini dilakukan modifikasi
pada bagian ulir pengepres dan ring.
453
Gambar 4. Unit alsin filtrasi minyak jarak.
Pengujian pengepresan biji jarak telah dilakukan, salah satunya dengan menggunakan biji jarak
yang berasal dari Dinas Perkebunan Propinsi NTB, di mana hasil uji laboratorium didapatkan hasil seperti
pada Tabel 2. Penampakan minyak jarak hasil pengepresan tergantung pada jenis biji. Pada gambar 5,
minyak jarak pada 2 gelas ukur bagian kiri, biji yang dipress berasal dari NTB sedangkan 1 gelas ukur pada
bagian kanan, biji yang dipress berasal dari Lampung. Selain itu rendemen minyak jarak juga bergantung
pada jenis biji, selain tingkat kematangan. Pengujian terakhir yang telah dilakukan di BBPMP pada saat ini
memperlihatkan bahwa biji jarak yang berasal dari Dinas Perkebunan Propinsi NTB mempunyai rendemen
minyak yang cukup tinggi yaitu mencapai 27%.
Gambar 5. Penampakan minyak jarak tergantung jenis/varietas biji.
Tabel 2. Sifat Fisik Minyak Jarak Hasil Pengepresan Biji Jarak dari Dinas Perkebunan Propinsi NTB
Jenis Analisis Metode Hasil Satuan
1. Viscositas
2. Kadar air
3. Densitas
4. Sulphur 5. Kadar abu
6. Kadar asam
7. Nilai kalor
- CJCO
- Ampas press
R/S Reometri
Gravimetri
Gravimetri
Spektrofotometri Gravimetri
Titrasi
Perhitungan dari analisis proximate
lengkap
Kalorimeter bomb
2765
1,05
0,91
1.586 0,13
6,12
6016
4327
cPoise
%
g/ml
ppm %
-
kkal/kg
kkal/kg
454
KESIMPULAN
- Pengembangan agroindustri jarak pagar skala kecil pedesaan direkomendasikan berada pada tingkat
kelompok tani.
- Satu kelompok tani terdiri dari 13-15 anggota dengan kepemilikan pohon rata-rata 2500 batang atau
seluas 1 Ha.
- Penanaman jarak di tingkat petani sebaiknya dilakukan dengan cara tumpangsari dengan sayuran atau
palawija.
PUSTAKA
Rama Prihandana & R Hendroko. 2006. Petunjuk Budi Daya Jarak Pagar. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Erliza Hambali dkk. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hasnam & Zainal Mahmud. 2006. Panduan umum perbenihan jarak pagar (jatropha curcas L). Pusat
Penelitian Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Zainal Mahmud, A Arivin Rivaie & david allorerung. 2006. Petunjuk teknis budidaya jarak pagar (jatropha
curcas L). Pusat Penelitian Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Budiono Sugiri. 2005. Teknologi pengepresan biji jarak pagar (jatropha curcas L) yang efektif. Makalah
Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar, 22 desember 2005, Pusat Penelitian Surfaktan dan
Bioenergi, LPM-IPB. Bogor.
455
Lampiran 1: Analisis Ekonomi Mesin Kapasitas 500 kg/hari
Rendemen minyak/biji jarak 30 %
Produksi minyak jarak/hari 150 liter
Produksi minyak jarak/tahun 39000 liter
Uraian Investment
cost
Operasional
cost Pendapatan Keuntungan Harga jual
1. Pengupas kulit biji jarak 12.750.000 159.900.000 4.100
2. Pengepres biji jarak 27.000.000
3. Filter press 10.250.000
Jumlah 50.000.000
4. Buah jarak 130.000.000
5. Operator 10.400.000
6. Bahan bakar alsin 7.020.000
7. Lain-lain 1.742.000
Jumlah 149.162.000
10.738.000
Simple payback periode 4,7 tahun
Asumsi : - Harga biji jarak Rp. 1000/kg
- Upah operator Rp/ 20.000/hari (Jumlah operator 2)
- Satu kali proses 100 kg (raw material)
- Satu kali operasi alat dan mesin 5 jam
456
METODE PERBAIKAN DISAIN POMPA IRIGASI UNTUK MENDUKUNG PERBAIKAN MUTU
PRODUK LOKAL
Agung Prabowo
1) dan Affifuddin
2)
1) Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. 2)
CV. Pabrik Mesin Guntur, Jl. Kol. Sugiono 14, Malang
ABSTRAK
Pompa irigasi yang biasa digunakan oleh petani di Indonesia umumnya jenis sentrifugal dengan poros horisontal. Pompa tersebut digunakan untuk mengairi lahan pertanian untuk tanaman pangan maupun hortikultura.
Jumlah pompa irigasi di Indonesia meningkat cukup pesat baik yang disuplai dari dalam negeri maupun import. Dalam
rangka pengawasan mutu pompa irigasi tersebut, maka Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mektan)
mempunyai tugas melakukan pengujian kinerja pompa irigasi yang beredar di Indonesia. Dari hasil uji laboratorium terhadap pompa tersebut, menunjukkan bahwa unjuk kerja pompa irigasi sentrifugal buatan lokal hanya mencapai
efisiensi 45% – 65%. Untuk meningkatkan keragaan kerja tersebut maka Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian melakukan perbaikan disain impeller dan casing dari pompa sentrifugal. Metode perbaikan disain tersebut telah
dilakukan dengan mengacu teori-teori Addisson, Churh dan Stepanoff. Pabrikasi dilakukan bekerjasama dengan CV. Pabrik Mesin Guntur, Malang, sebagai salah satu produsen lokal pompa irigasi di Indonesia. Prototipe pompa yang
dihasilkan adalah AP-S100 (Alsin Pompa Sentrifugal diameter 100 mm), dengan dimensi sebagai berikut: panjang
388,49 mm; lebar 274 mm; tinggi 275,89 mm dan bobot 28 kg. Hasil uji terhadap prototipe pompa tersebut
mengindikasikan keunggulan dibandingkan keragaan pompa lokal yang ada dipasaran saat ini. Efisensi meningkat 10,67% - 16,14%, debit 6,29% – 12,14% dan tinggi total 12,08% - 34,86%. Pompa AP-S100 ini mampu menghemat
energi potensial yang digunakan untuk memompa sejumlah unit volume air sebesar 1,08% - 4,17% kJ/m³
Kata kunci : perbaikan mutu, disain, pompa irigasi
PENDAHULUAN
Banyak macam pompa air yang digunakan untuk keperluan irigasi pertanian. Salah satunya adalah
pompa sentrifugal. Pompa irigasi ini dipakai untuk memompa air dari sungai maupun sumur-sumur dangkal.
Mayoritas pompa irigasi sentrifugal yang digunakan oleh petani adalah berukuran kecil (diameter 50 mm)
dan medium (diameter 100 mm). Sekitar 56,8% petani menggunakan pompa berukuran kecil dan 32.4%
petani menggunakan pompa berukuran sedang [1]. Para petani menggunakan sumber air dari aquifer dangkal
untuk irigasi pompa disamping penggunaan sumber air dari sungai-sungai yang ada untuk mensuplai irigasi
saat musim kering. Pompa-pompa tersebut mengairi sekitar 120.000 hektar di Jawa.
Salah satu fungsi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mektan) adalah
melaksanakan pengujian dalam rangka standarisasi, sertifikasi dan pengawasan penggunaan alat dan mesin
pertanian (alsintan). Adapun kegiatan tersebut meliputi: (a) pengawasan mutu alsintan melalui pelaksanaan
pengujian fungsional dan verifikasi semua alsintan baik produksi dalam negeri maupun luar negeri dengan
mengacu pada prosedur dan cara uji yang telah ditetapkan secara nasional (SNI) dan regional (Regional
Network for Agricultural Machinery); (b) meninjau dan mengajukan standarisasi yang meliputi standard
komponen, prosedur dan sandi uji serta persyaratan minimum kinerja alsintan; (c) menerbitkan laporan uji
dan rekomendasi teknis yang mengacu pada standard dan prosedur sandi uji serta persyaratan minimum
kinerja alsintan.
Pengukuran kinerja pompa irigasi sentrifugal melalui kegiatan pengujian yang merupakan salah satu
tugas pokok BBP Mektan telah dilakukan sejak tahun 1993. Dalam periode tahun 1993 - 2005 prototipe
pompa irigasi sentrifugal buatan lokal maupun import yang telah diuji oleh BBP Mektan sebanyak 85 buah.
Hasil uji pompa-pompa tersebut, baik yang berukuran kecil maupun sedang mencapai efisiensi 45 % - 59 %
pada titik pengoperasian terbaiknya.
Banyak prosedur yang digunakan dalam mendisain sebuah pompa sentrifugal. Setiap pabrik pompa
melakukan pendekatan tersendiri, meskipun masing-masing prosedur itu mempunyai metode perhitungan
yang sedikit berbeda tetapi semua prinsip-prinsipnya adalah sama. Semua perusahaan pompa mempunyai
pembatasan-pembatasan parameter disain yang biasa mereka gunakan untuk memenuhi syarat-syarat
persaingan bisnis dalam hal biaya produksi. Biaya produksi pabrikasi pompa adalah tergantung pada jumlah
dan variasi dari disain komponennya. Semakin banyak dan semakin rumit disain komponennya maka biaya
produksi yang dikeluarkan akan semakin membengkak. Didalam mengejar persaingan dagang, banyak
perusahan pompa lokal mengabaikan persyaratan disain unjuk kerja pompa. Mereka hanya mencontoh blue
print dari pompa import kemudian dipabrikasi dengan modifikasi beberapa komponennya dengan maksud
457
mengurangi biaya produksi tanpa menghiraukan batasan-batasan disain dari pompa tersebut. Beberapa
“modifikasi” yang biasa mereka lakukan antara lain adalah: mengurangi jumlah sudu impeller, memperkecil
diameter luar impeller, memperkecil diameter poros pompa, mengurangi ketebalan dinding casing pompa,
menggunakan bearing yang berharga murah, dsb.
Faktor-faktor utama penentu kinerja dari sebuah pompa sentrifugal adalah disain impeller dan disain
casingnya. Dalam mendisain sebuah impeller, diperlukan konstanta-konstanta disain yang secara langsung
berhubungan dengan target total head dan debit pada titik pengoperasian terbaiknya. Penggunaan konstanta
disain yang tepat untuk impeller dapat meminimalkan losses yang terjadi di impeller. Prosentase losses di
impeller mencapai 2% - 10% dari total debit yang dihasilkan pompa [5]. Total head yang dihasilkan oleh
sebuah impeller tergantung pada permukaan dari sudu dan tidak hanya tergantung pada besaran sudut
keluaran impeller saja.Untuk mengurangi losses yang terjadi di impeller dapat dilakukan dengan cara
memperhalus permukaan impeller dan mengatur sudut sudu-sudu impeller sehingga mengurangi friksi pada
bagian permukaan dan belakang impeller [6].
Untuk mengatasi beberapa permasalahan tersebut diatas, maka Balai Besar Pengembangan
Mekanisasi Pertanian bekerja sama dengan CV. Pabrik Mesin Guntur, Malang telah melakukan metode
perbaikan disain, pabrikasi, dan pengujian pompa irigasi sentrifugal model AP-S100 (Alsin Pompa
Sentrifugal diameter 100 mm) untuk irigasi air tanah.
DASAR TEORI
Pompa sentrifugal adalah salah satu anggota kelompok Variable Displacement Pump. Sifat dari
variable displacement pump adalah volume air per menit yang dihantarkan tidak sama dengan volume air
yang dihisap setiap menitnya. Hal ini disebabkan adanya losses pada komponen-komponen utamanya seperti:
impeler, casing dan mechanical seals. Losses yang terjadi di impeler dan casing dapat diakibatkan oleh disain
geometri impeler dan geometri casingnya. Sedangkan losses pada mechanical seals dapat dikurangi dengan
penggunaan seal yang lebih berkualitas dan pemasangan yang presisi. Prosentase losses di impeler mencapai
2% – 10% dari total debit yang dihantarkan pompa [6]. Penurunan efisiensi yang diakibatkan oleh
disefisiensi disain casing mencapai 4,7% [8]. Penggunaan mechanical seal yang berkualitas baik dapat
mengurangi kebocoran pada bagian-bagian yang berputar, sehingga menjadi hanya 10 cc/menit – 40 cc/menit
[9]. Dengan adanya acuan seperti disebutkan diatas, maka terbuka peluang untuk meningkatkan unjuk
kerjanya dengan cara memodifikasi salah satu atau semua komponen utama pompa sentrifugal tersebut.
Disain impeler ditentukan oleh bentuk geometri dari impeler, antara lain meliputi: kecepatan
spesifik, diameter dalam dan luar impeler, sudut dalam dan luar kipas (vane), lebar celah pemasukan dan
pengeluaran impeler, ketebalan kipas dan jumlah kipas. Kecepatan aliran fluida yang mengalir melalui
sebuah impeler yang berotasi, antara lain: u adalah kecepatan dari sebuah titik pada impeler relatif terhadap
bidang dasar, V adalah kecepatan absolut partikel fluida yang mengalir melalui impeler relatif terhadap
bidang dasar dan v adalah kecepatan fluida relatif terhadap impeler [6]. Hubungan antara kecepatan-
kecepatan tersebut dapat dilihat pada Gb. 1.
Gambar 1. Diagram kecepatan pada sebuah impeler [6].
Sudut antara V dan u disebut . Sudut antara v dan perpanjangan u adalah . Gb. 2 memperlihatkan
diagram vektor dari kecepatan di inlet dan outlet sebuat impeler. Vr adalah komponen radial dari kecepatan
absolut V. Vu adalah komponen tangensial dari V atau sama dengan V cos .
458
Gambar 2. Diagram vektor dari kecepatan fluida yang mengalir di inlet dan outlet sebuah impeler [6].
Beberapa persamaan dasar untuk bentuk geometri sebuah impeler, antara lain [8] :
u1 = ( D1 n) / 60 … (1)
u2 = Ku (2gH)0.5
… (2)
D2 = (60 u2) / ( n) … (3)
Vr1 = Km1 (2gH)0.5
… (4)
Vr2 = Km2 (2gH)0.5
… (5)
Dimana :
D1 : diameter inlet dari impeler (m)
D2 : diameter outlet dari impeler (m)
H : tinggi total (m)
Ku : konstanta kecepatan
Km1 : konstanta debit pada bagian inlet
Km2 : konstanta debit pada bagian outlet
n : kecepatan rotasi poros pompa (rpm)
Vr1 : kecepatan relatif fluida pada bagian inlet (m/det)
Vr2 : kecepatan relatif fluida pada bagian outlet (m/det)
Persamaan dasar untuk menentukan lebar celah pada bagian inlet dan outlet sebuah impeler [3] :
Q‟ / 60
b2 = … (6)
(Dave - Z Su) Vr2
b1D1 = b2D2 … (7)
Su = S2 / sin 2 … (8)
Dimana:
b1 : lebar celah pada bagian inlet impeler (m)
b2 : lebar celah pada bagian outlet impeler (m)
Q‟ : debit efektif pada efisiensi volumetric (m3/det)
Dave : diameter rata-rata pada ujung pengeluaran impeler (m)
Z : jumlah kipas
S2 : ketebalan kipas (mm)
Pompa sentrifugal memiliki dua tipe casing yaitu: volute (spiral) dan diffuser. Casing melakukan
fungsi secara efektif mengkonversi gaya sentrifugal yang dihasilkan oleh impeler menjadi tekanan. Casing
tipe volute didesain menyerupai spiral yang mana luas permukaannya semakin membesar kearah lubang
pengeluaran. Perubahan luas area tersebut mampu menurunkan kecepatan sehingga tekanannya menjadi
meningkat. Umumnya pompa tipe single stage memiliki casing tipe volute. Casing tipe diffuser memiliki
kipas pengarah aliran air pada sekeliling impelernya. Tekanan air selalu meningkat saat melewati difuser
sebab secara progresif meningkat luas area antara kipas-kipasnya dalam arah alirannya.
MATERI DAN METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. Evaluasi
pendahuluan dilakukan terhadap pompa irigasi sentrifugal buatan lokal yang umum digunakan oleh petani.
Evaluasi awal dilakukan untuk mengetahui unjuk kerja pompa dan mengidentifikasi disefisiensi
disain impelernya. Evaluasi ini dilakukan dengan menguji pompa tersebut pada berbagai tinggi hisap statis
dan berbagai variasi kecepatan rotasi.
459
Perbaikan disain ditujukan untuk meningkatkan total head, debit dan efisiensi pompa. Metode yang
digunakan dalam perbaikan disain impeler pompa tersebut adalah mengacu kepada metode yang diberikan
oleh Stepanoff, Addison dan Church. Gambar disain impeler dikerjakan dengan bantuan AutoCAD agar
mudah melakukan modifikasi secara tepat dan akurat serta mampu ditampilkan secara tiga dimensi.
Setelah pabrikasi, pompa kembali dievaluasi ulang dengan kondisi uji seperti evaluasi awal. Unjuk
kerja pompa sebelum dan setelah perbaikan disain dibandingkan dan perbedaan tersebut dianalisa secara
statistik. Pengukuran unjuk kerja pompa irigasi dilakukan di laboratorium pompa BBP Mektan, Serpong.
Intrumen uji yang dipakai dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Instrumen Untuk Pengujian Kinerja Pompa Irigasi.
No Nama Alat Kegunaan Ketelitian
1 Pressure gauge Mengukur tekanan air 0,05 kg/cm2
2 Vacuum gauge Mengukur tekanan hisap 0,05 kg/cm2
3 Digital tachometer Mengukur rpm 1 rpm
4 Electromagnetic Flowmeter Mengukur debit air -
5 Motor listrik 22 kW Memutar poros pompa -
6 Torque meter tipe TP-20KMAB Mengukur torsi poros pompa 0,5 Nm
7 Bak ukur tipe V-Notch Mengukur debit air pompa
Ukuran 2 – 4 inch
0,5 mm
8 Varispeed inverter 30 kVa tipe VS-616G5. Mengubah putaran motor listrik 1 rpm
9 Dynamic Strain amplifier tipe DPM-601B Menguatkan tegangan 1 mV
10 Digital multi meter YEM-2506A Mengukur tegangan listrik slip ring
torque meter
1 mV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji dan evaluasi dari prototipe pompa sentrifugal AP-S100 menunjukkan keunggulan terhadap
pompa lokal yang ada dipasaran. Hasil uji unjuk kerja pompa tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Unjuk Kerja Maksimum Antara Pompa Lokal dan Prototipe Pompa AP-S100.
Putaran
Poros (rpm) Model pompa Debit (m³ /mnt) Tinggi total (m)
Daya poros
(kW) Efisiensi (%)
Energi
potensial
(kJ/m³)
2000 GTO 4-1 1,43 11,7 4,24 64,41 177,9
AP-S100 1,52 16,57 5,74 71,34 226,6
Perbedaan (%) 6,29 41,62 35,38 10,76 27,36
2100 GTO 4-1 1,47 15,98 5,88 65,25 239,3
AP-S100 1,60 17,91 6,25 72,21 234,4
Perbedaan (%) 8,55 12,08 6,29 10,67 -2,08
2250 GTO 4-1 1,51 15,69 7,50 61,95 298,6
AP-S100 1,69 21,16 8,06 71,95 286,2
Perbedaan (%) 12,14 34,86 7,47 16,14 -4,17
2300 GTO 4-1 1,45 17,09 7,66 63,50 316,7
AP-S100 1,62 22,87 8,46 71,55 313,3
Perbedaan (%) 11,65 33,82 10,44 12,68 -1,08
Hasil uji pendahuluan terhadap pompa sentrifugal buatan lokal pada putaran poros 2000 rpm, 2100
rpm, 2250 rpm dan 2300 rpm menunjukkan efisiensi tertinggi sebesar 65,25% pada debit 1,47 m3/mnt, total
head 15,98 m dan daya poros 5,88 kW pada putaran poros 2100 rpm.
Prototipe pompa AP-S100 memiliki keunggulan dibandingkan pompa buatan lokal yang diuji.
Debitnya menunjukkan peningkatan 6,29 % sampai 12,14%. Peningkatan yang terbesar dicapai pada putaran
2250 rpm. Faktor yang mempengaruhi peningkatan debit antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
diameter dalam impeller (D1), diameter luar impeller (D2), kecepatan peripheral pada bagian inlet impeller
(u1) dan kecepatan peripheral pada bagian outlet impeller (u2). Bila D1 semakin besar, maka aliran air yang
masuk ke impeller akan meningkat. Demikian pula bila D2 semakin besar, maka impeller mampu
menampung dan melempar air dalam jumlah yang lebih besar. Peningkatan kecepatan peripheral u2
460
cenderung mengurangi sudut kipas bagian outlet ( 2). Semakin kecil 2, maka semakin cepat terjadinya
peningkatan debit.
Prototipe pompa AP-S100 memberikan tinggi total yang lebih tinggi dibandingkan pompa lokal
yang telah diuji. Peningkatan tinggi total berkisar antara 12,08% sampai 41,62%. Peningkatan maksimum
tinggi total dicapai adalah pada putaran 2000 rpm. Perubahan tinggi total disebabkan oleh perubahan
kecepatan peripheral u2, kecepatan relative pada outlet (Vr2) dan diameter dalam impeller (D1).
Gambar 1. Prototipe pompa sentrifugal AP-S100.
Prototipe pompa AP-S100 dengan impeller bersudu 6 buah memperlihatkan peningkatan yang
signifikan dalam hal daya poros yang digunakan. Hal ini disebabkan terjadi penambahan sebuah sudu
dibandingkan pompa lokal dengan jumlah sudu 5 buah, sehingga bobot impeller prototipe pompa AP-S100
lebih berat. Berat total impeller prototipe pompa AP-S100 adalah 2,84 kg, atau 33% lebih berat dibandingkan
impeller pompa lokal. Peningkatan daya input tersebut berkisar antara 6,29% sampai 35,38%. Peningkatan
daya input pompa AP-S100 juga disebabkan oleh peningkatan jumlah air per satuan waktu yang harus
dilempar oleh impellernya.
(a). Impeller pompa lokal (b). Impeller pompa AP-S100
Gambar 2. Perbedaan disain impeller antara pompa lokal dan AP-S100.
Efisensi maksimum yang mampu dicapai oleh pompa AP-S100 adalah 72,21% pada putaran 2100
rpm, dengan debit 1,60 m³/mnt, tinggi total 17,91 m dan daya poros 6,25 kW. Sedangkan pompa lokal
mencapai efisiensi maksimum 65.25% pada debit 1.47 m³/mnt, tinggi total 15,98 m dan daya poros 5,88 kW.
Peningkatan efisiensi pompa AP-S100 dibandingkan pompa lokal adalah berkisar antara 10,67% - 16,14%.
Perbandingan energi potensial antara pompa lokal dengan pompa AP-S100 menunjukkan perbedaan
yang signifikan. Energi potensial adalah energi yang diperlukan untuk memompa sejumlah unit volume air.
Energi potensial pompa AP-S100 meningkat secara proporsional terhadap peningkatan debit yang
dihasilkannya. Terjadi penurunan energi yang diperlukan oleh pompa AP-S100 dibandingkan pompa lokal.
Penurunan energi potensial tersebut berkisar 1,08% - 4,17%.
461
KESIMPULAN
Dengan mengacu pada metode disain yang benar, maka unjuk kerja dari pompa lokal dapat
ditingkatkan. Hal ini dibuktikan dengan unjuk kerja prototipe pompa AP-S100, sebagai hasil dari perbaikan
disain pompa lokal, mampu meningkatkan efisiensi sebesar 10.67% - 16.14%, debit 62.29% - 12.14 %, tinggi
total 12.08% – 34.86% dan menghemat energi potensial sebesar 1.08% - 4.17%. Untuk lebih mengurangi
energi potensial pompa, perlu dicari alternatif lain bahan material untuk impeller agar lebih ringan, sehingga
daya poros yang diperlukan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Prabowo, Agung Hendriadi, MJ. Tjaturetna B, dan Novi Sulistyosari, 2003. Perbaikan Disain dan
Pengembangan Pompa irigasi Sentrifugal Buatan Lokal Untuk Meningkatkan Unjuk Kerjanya.
Laporan Akhir Kegiatan Penelitian dan Perekayasaan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian (Unpublished). Serpong.
Agung Prabowo, Agung Hendriadi, Novi Sulistyosari, Hari Gunardi dan Affifudin, 2003. Metode Perbaikan
Disain Pompa Sentrifugal Diterapkan Untuk Pompa Buatan Lokal. Temu Ilmiah Pengembangan
Mekanisasi Pertanian. Bogor, 16 Desember 2003.
Anderson, H. H., 1964. Centrifugal Pump. Trade and Technical Press Ltd. Crown House Morden Surrey
England.
BSN ,1998. Prosedur dan Cara Uji Pompa Air Sentrifugal Untuk Irigasi. Standar Nasional Indonesia. Badan
Standardisasi Nasional-BSN. Jakarta
BSN, 1998. Unjuk Kerja Pompa Air Sentrifugal Untuk Irigasi. Standar Nasional Indonesia. Badan
Standardisasi Nasional-BSN. Jakarta
Church, A. H. 1972. Centrifugal Pumps and Blowers. Robert E. Krieger Publishing Company. Huntingtin,
New York, USA.
Ludwig, G., Meschkat, S. and Stoffel, B. 2000. Design Factors Affecting Pump Efficiency. Darmstadt
University of Technology. Magdalenenstrabe 4, D-64289 Darmstadt, Germany.
Stepanoff, A. J. 1957. Centrifugal and Axial Flow Pump. John Wiley and Sons. Inc., New York, USA.
Torishima Pump. 1999. Hand Book. Torishima Pump MFG. Co., Ltd. Japan.
462
Lampiran 1. Skema Fasilitas Uji Pompa di BBP Mektan, Serpong.
463
Lampiran 2. Instalasi Pengujian Pompa di BBP Mektan, Serpong
464
DAMPAK KENAIKAN BBM TERHADAP USAHATANI PADI DI LAHAN SAWAH IRIGASI
KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA
Sugeng Widodo, Sri Budhy Lestari dan Nur Hidayat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Terjadinya kenaikan harga BBM pada 1 Maret 2005 sekitar 20-30% dan diikuti kenaikan kedua harga BBM
pada bulan Oktober 2005 sebesar 100%, berakibat pada kenaikan harga pupuk, obat-obatan, bibit dan sarana pendukung usahatani lainnya, sedangkan dari sisi kebutuhan tenaga kerja akan semakin sulit karena juga akan diikuti dengan
kenaikan upah tenaga kerja. Dari sisi pengeluaran akan mengalami peningkatan, namun dari sisi penerimaan petani dari
usahatani masih diragukan, hal ini berkaitan dengan tidak seimbangnya kenaikan biaya input terhadap harga output
dimana hasil pertanian bersifat rentan terhadap fluktuasi harga, produksi dan penurunan nilai tukar rupiah/daya beli masyarakat. Lokasi penelitian dilakukan pada lahan sawah irigasi teknis di Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman.
Alasan lokasi survai, daerah ini merupakan sentra padi di DIY. Penelitian dilakukan pada awal kenaikan BBM I (Maret
2005) dan kenaikan BBM II (Oktober 2005). Analisis dilakukan secara diskriptif pada dua tahap dampak kenaikan BBM
I dan II (before and after). Jumlah responden adalah 30 terpilih secara simple random sampling. Hasil akhir pengumpulan data berupa gambaran lengkap permasalahan yang disajikan dalam bentuk tabel data dan variabel yang
dianalisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hasil analisis : Dari sisi profil dan karakteristik: umur responden
masih tergolong usia produktif dengan rerata 45,80 s.d. 60,75; sedangkan jumlah tanggungan keluarga (KK) antara 3,50
s.d. 4,10; tingkat pendidikan antara 6,65 s.d. 9,80. Dari sisi biaya usahatani padi : akibat kenaikan BBM tahap I maupun tahap II terjadi kenaikan biaya sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan) sebesar 5,93% s.d. 12,98% dan biaya
lainnya (tenaga kerja luar keluarga dan mesin) (11,61% s.d. 18,04%). Hubungan kenaikan BBM terhadap kelayakan
usahatani padi. Sebelum kenaikan BBM pendapatan Rp 666.325/MT/1000 m², rasio RC 1,21. Setelah kenaikan BBM I
(periode Maret 2005) pendapatan turun 2,11% dan rasio RC menjadi 1.19; pada kenaikan BBM II (Oktober 2005) pendapatan meningkat sebesar 32,80% dengan rasio RC 1,47. Kesimpulannya, bahwa kenaikan BBM tidak signifikan
terhadap penurunan pendapatan, namun justru meningkat dari sisi pendapatan dan kelayakan usahatani padi. Hal ini
terjadi karena peningkatan biaya input lebih rendah daripada kenaikan harga output gabah.
Kata Kunci : Dampak, Padi sawah, Kenaikan BBM, Pendapatan dan Kelayakan Usahatani
PENDAHULUAN
Kenaikan BBM yang telah dilakukan oleh pemerintah pada tanggal 1 Maret 2005 cukup
melemahkan daya beli masyarakat Indonesia, tidak terkecuali masyarakat tani. Namun aspek psikologis
secara umum ternyata berdampak tidak langsung pada harga-harga kebutuhan hidup lainnya, dan ini
berimbas pula terhadap usaha pertanian secara umum dan secara khusus pada masyarakat tani yang bersifat
gurem (petani subsisten).
Belum pulihnya kondisi masyarakat, ternyata diikuti dengan kenaikan BBM tahap ke dua yaitu pada
bulan Oktober 2005, hal ini telah memukul semua sektor termasuk didalamnya sektor pertanian. Pada
dampak kenaikan BBM I (periode Maret 2005) harga gabah kering di DIY naik sekitar 7 (tujuh) persen dari
harga Rp 1.300/kg menjadi Rp 1.400/kg (Anonimus, 2005 dalam Kompas edisi 9 Maret 2005). Keuntungan
tidak langsung bagi petani adalah harga jual lebih baik. Bagaimanapun bahwa petani di DIY selain sebagai
produsen juga sekaligus sebagai konsumen dengan membeli beras dengan harga sesuai pasar. Meski terjadi
kenaikan harga gabah, belum tentu membuat petani beruntung, karena petani sekaligus juga sebagai
konsumen/mengkonsumsi beras, dan ini disertai dengan kenaikan barang-barang lainnya sudah naik terlebih
dahulu, bahkan nilai kenaikan barang kebutuhan pokok melebihi kenaikan harga gabah. Kenaikan harga
gabah bervariasi antara 200-300/kg di DIY dan Jateng (Anonimus, 2005 dalam Kompas, 9, 10 dan 12 Maret
2005). Kenaikan harga gabah selain didorong adanya kenaikan BBM juga diduga bahwa adanya perbaikan
kualitas hasil panen.
Sejalan dengan program pemeritah pada tanggal 2 Maret 2005 telah menerbitkan Impres No 2/2005
tentang perberasan dengan pembelian harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 1.330/kg di
penggilingan; harga gabah kering giling (GKG) Rp 1.740/kg di penggilingan dan harga beras Rp 2.790/kg di
penggilingan (Anonimus dalam Kompas, 14 Maret 2005). Sayangnya kebijakan pemerintah ini secara umum
kurang berjalan sesuai dilapang. Kenyataan bahwa harga gabah dan beras di tingkat petani selalu dibawah
ketentuan harga dasar (floor price) ini gabah dan beras oleh pemerintah.
Berdasarkan Susenas Badan Pusat Statistik tahun 2004 untuk beras rakyat miskin (raskin) 25,93%,
kredit usaha kecil 9,89% (BPS, 2004). Dalam Susenas 2004, jumlah penduduk yang berada pada garis
465
kemiskinan dengan pengeluaran Rp 122.775 per kapita per bulan sebanyak 36,14 juta (16,66%), sedangkan
penduduk yang berada di atas garis kemiskinan namun rentan menjadi miskin ada 22 juta orang. Hasil studi
Oktaviani (2005), tentang kemiskinan, terhadap kompensasi BBM tahun 2001-2003 walaupun telah
dilakukan penyaluran dana kompensasi dengan asumsi dana efektif, tepat sasaran tetap tidak akan
mengurangi masyarakat miskin, daya beli masyarakat tetap menurun karena pendapatan hanya meningkat 0,6
persen, sedangkan kenaikan inflasi 2,80 s.d. 3,02 persen.
Pada saat ini (akhir tahun 2005) tampaknya kecenderungan harga beras berkisar antara Rp 4.000 s.d.
Rp 4.500,-/kg kualitas standar/sedang. Begitu pula harga gabah GKP mengalami kenaikan dari Rp 1.200/kg
GKP menjadi Rp 1.750 – Rp 2.000,-/kg, dan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga dasar gabah
menjadi Rp 1.750 GKP kualitas baik akan memberikan insentif bagi petani padi (Anonimus, 2005 dalam
Kompas edisi 12 Januari 2006). Tampaknya dampak kenaikan BBM ternyata berdampak pada kenaikan
harga gabah yang cukup signifikan, masalahnya adalah sebagian besar pemilikan lahan di Yogyakarta
sempit, sehingga dampak kenaikan harga gabah belum sebanding dengan nilai tukar uang.
Kondisi pertanian tanaman pangan dan hortikultura di beberapa kabupaten di Prop. D.I.Yogyakarta
tahun 2002 dan 2003 menunjukkan bahwa terjadi penyempitan lahan. Pada tahun 2003 dengan luas lahan
318.580 hektar dimana 18,4% atau 58.608 hektar merupakan sawah untuk padi, palawija dan hortikultura
(Dinas Pertanian Prop.DIY, 2003). Kendala yang dihadapi dalam pembangunan pertanian di D.I.Yogyakarta
tahun 2004 adalah penurunan lahan 0,42%/tahun, kualitas dan kontinuitas produk, produktivitas lahan dan
tanaman, usahatani masih berskala kecil, terbatasnya tenaga kerja produktif dan lemahnya kelembagaan
petani (Anonimus, 2003). Dengan pemilikan lahan sawah yang relatif sempit di DIY antara 300 s.d. 1200 m²
secara ekonomis kurang menguntungkan untuk usahatani padi, maka dengan adanya kenaikan harga BBM
diduga akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dan pengurangan biaya input untuk usahatani padi dan
akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas di lahan sawah.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan Moyudan, Kabupaten
Sleman, dengan alasan bahwa lokasi adalah salah satu sentra di DIY. Penelitian dilakukan pada bulan April
s.d. Desember 2005. Metode penelitian secara survai dengan pendekatan 2 (dua) periode selang waktu
kenaikan harga BBM I (April 2005) dan kenaikan BBM II (Oktober 2005). Penentuan responden secara acak
(random sampling) sebanyak 30 orang, dengan stratifikasi adalah: petani pemilik lahan dan penggarap dan
petani penyakap/sewa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil dan Karakteristik
Umur responden antara 45,80 s.d. 60,75 tahun,, menurut Suryabroto (1984) umur produktif seorang
petani berkisar 15 – 60 tahun. Dari sisi tanggungan keluarga yang menjadi tanggungan responden rerata
antara 3,50 s.d. 4,10 jiwa. Tanggungan keluarga yang relatif sedikit, dapat diharapkan dalam kesejahteraan
petani menjadi lebih baik dan beban tanggungan yang dihadapai dalam menghidupi keluarganya menjadi
lebih ringan.
Tabel 1. Karakteristik Responden di Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman.Tahun 2005.
No Karakteristik Nilai
1 Umur (tahun) 45,80- 60,75
2 Tingkat pendidikan (tahun) 9,67
3 Jumlah tanggungan keluarga (jiwa) 3,50
4 Presentase Produktif (%) 37,50
Sumber : Data Primer, 2005
Latar belakang pendidikan seseorang relatif dapat menentukan orang tersebut dalam proses
pengambilan keputusan. Petani sebagai pelaksana juga bertindak sebagai sebagai manajer dalam usahanya,
sehingga mau tidak mau petani selalu dihadapkan pada proses pengambilan keputusan. Pada umumnya,
dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seorang petani dia akan semakin mudah menerima dan
mengadopsi teknologi baru, dan sebaliknya dengan semakin rendah tingkat pendidikan maka petani tersebut
semakin sulit menerima dan mengadopsi teknologi baru yang diperkenalkan dari pihak luar.
466
Trend Penggunaan Sarana Produksi (Benih Padi, Pupuk Urea, SP 36)
(1) Penggunaan Bibit
Varietas padi sawah dominan adalah IR 64 (> 70%), sebagian yang berkembang adalah varietas
Bondoyudo, Fatmawati, Ciherang, dan Sintanur. Kebutuhan benih padi antara 50-80 kg/ha, atau rerata
sebesar 64,50 kg/ha. Penggunaan benih padi ternyata masih boros, hal ini terjadi karena masih belum
tersosialisasinya rekomendasi teknologi ditingkat lapang dan karena penguasaan lahan usaha sawah relatif
sempit antara 500 – 2500 m², maka ada kecenderungan boros dan tidak terasa bagi petani nilainya,
Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan, penggunaan benih padi dengan teknologi ICM
(Integrated Crop Management) hanya 20-25 kg/ha (Mudjisihono et al., 2002, 2004). Hasil survai, bahwa
benih padi tidak berpengaruh terhadap dampak kenaikan BBM. Artinya bahwa, penggunaan benih tetap yaitu
pada awal sebelum BBM naik, kenaikan BBM I dan II adalah 64,50 kg/ha.
(2) Penggunaan Pupuk Urea
Penggunaan urea oleh petani lima tahun terakhir ini dilakukan bervariasi, antara 200-800 kg/ha.
Ketergantungan dengan pupuk urea sangat tinggi, secara umum takaran yang diberikan sudah melebihi batas
ambang atau rekomendasi secara Nasional maupun rekomendasi spesifik wilayah DIY yang dianjurkan. Pada
saat awal atau sebelum ada kenaikan BBM penggunaan urea berkisar antara 220-800 kg/ha dengan rerata
penggunaan ureanya adalah 331,01 kg/ha. Namun setelah terjadi kenaikan BBM I (periode Maret 2005)
maka ada kecenderungan penggunaan input pupuk urea menjadi berkisar antara 200-440 kg/ha dengan rerata
penggunaan urea sebesar 290,94 kg/ha atau terjadi penurunan sebesar 12,11% (Gambar 1 dan 2)
Penggunaaan Urea Di Kecamatan Moyudan Kab
Sleman. 2005
0
200
400
600
800
1000
1 3 5 7 9 11
Takara
Ure
a (
kg
/ha)
Sebelum
BBM Naik
Kenaikan
BBM I
Kenaikan
BBM II
Gambar 1. Takaran Penggunaan Urea
Pada saat terjadi kenaikan BBM II (periode Oktober 2005), dimana kenaikan harga BBM hampir
dua kali lipat, cukup berpengaruh terhadap penggunaan pupuk urea, hasil analisis menunjukkan bahwa
penggunaan urea berkisar antara 200-500 kg/ha atau rerata sebesar 282,22 kg/ha atau mengalami penurunan
sebesar 14.74% sebelum BBM naik.
331,01
290,94 282,22
250,00
300,00
350,00
Ta
ka
ran
Ure
a (
kg
/ha
)
Rata -Rata Penggunaan Urea (kg/ha) Untuk Padi Lahan Sawah di
Kecamatan Moyudan. 2005
Sebelum BBM Naik 331,01
Kenaikan BBM I 290,94
Kenaikan BBM II 282,22
1
Gambar 2. Rerata Penggunaan Urea
467
(3) Penggunaan Pupuk SP 36
Pada saat sebelum terjadi kenaikan BBM penggunaan pupuk SP36 bervariasai antara 0 – 190,91
kg/ha dengan rerata penggunaannya sebesar 114,68 kg/ha. Penggunaan pupuk SP 36 dengan takaran tersebut
secara umum termasuk sesuai rekomendasi baik secara Nasional maupun wilayah DIY. Pada kenaikan BBM
I, rerata penggunaan SP 36 menjadi 106,78 kg/ha atau menurun sebesar 7,90 %, namun masih dalam batas
anjuran rekomendasi.
Takaran Penggunaaan SP 36 (kg/ha) Di
Kecamatan Moyudan Kab Sleman. 2005
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
1 3 5 7 9 11
Takara
SP
36 (
kg/h
a)
Sebelum BBM
Naik
Kenaikan
BBM I
KenaikanBBM II
Gambar 3. Takaran Penggunaan Pupuk SP36
114,68
106,78
91,09
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
Takara
n S
P 3
6 (
kg/h
a)
Rata-Rata Penggunaan SP 36 (Kg/Ha) di Kec.
Moyudan Kab Sleman. Tahun 2005
Sebelum BBM Naik 114,68
Kenaikan BBM I 106,78
Kenaikan BBM II 91,09
1
Gambar 4. Rerata Penggunaan SP 36
Pada kenaikkan BBM II rerata penggunaan SP 36 menjadi 91,09 kg/ha atau menurun sebesar 23,59%.
Penurunan takaran penggunaan pupuk SP 36 disebabkan adanya kenaikan harga SP 36 sekitar 20-30%.
Dalam kaitannya dengan daya dukung lahan dan efisiensi, penurunan penggunaan SP 36 belum tentu
menurunkan produksi dan kualitas gabah. Serangkaian hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh
Mudjisihono, et al. (2002; 2004) di sebagian besar lahan sawah di DIY penggunaan SP 36 di bawah 100
kg/ha; dan sebagian wilayah DIY tidak respon terhadap pemupukan P. Hal ini didukung pula oleh hasil
penelitian oleh tim Puslittanak dan Balitpa selama 5 tahun terakhir, bahwa sebagian besar sawah irigasi di
Pulau Jawa sudah jenuh oleh P; oleh sebab itu diperlukan penurunan penggunaan pupuk P selain efisien dari
sisi biaya input juga mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk kimia.
ANALISIS USAHATANI
Analisis kelayakan finansial pada penelitian ini dihitung pada 3 (tiga) musim tanam yaitu sebelum
BBM naik (MH I), kenaikan BBM I (MK) dan BBM II (MH). Hasil analisis disajikan pada Tabel 2
Hasil analisis usahatani padi sawah sebelum kenaikan BBM menunjukkan bahwa, biaya ekplisit
yang dikeluarkan untuk sarana poduksi (bibit, pupuk dan obat-obatan) dan biaya lainnya yaitu tenaga kerja
luar keluarga dan biaya penyusutan sebesar Rp 419.551/MT/1.628 m² atau setara dengan Rp 2.577.095/ha
(Tabel 2.).
468
Tabel 2. Analisis Usahatani Padi Lahan Sawah Sebelum Kenaikan BBM di Kecamatan Moyudan, Kab Sleman MH
Tahun 2005 per 1628 m² (n=30)
No Uraian Vol/1628 m2 Sat Harga/sat
(Rp) Nilai (Rp)
A Biaya Ekplisit 419.551
I Saprodi 161.191
1. Bibit 10,50 kg (2.750-3.000) 28.216
2. Pupuk (Urea, SP36, KCl, pupuk kandang dll) - 121.225
3. Pestisida 11.750
II Lain-Lain+TK Luar 258.360
1. Olah lahan/traktor borong 60.000 60.000
2. Menanam borong 50.000 50.000
3. Panen borong 48.840 48.840
4. Menyiang 1 dan 2 borong 65.120 65.120
5. Lain-lain 20.000 20.000
6. Penyusutan 16.500 14.400
B Biaya Implisit 478.385
III Tenaga Kerja 315.585
1. Persemaian 1,00 HOK 15.000 15.000
2. Persiapan Lahan/meratakan 3,26 HOK 15.000 48.840
3. Penanaman 1,63 HOK 15.000 24.420
4. Pemeliharaan
- Penyiangan 1+ppk 4,17 HOK 15.000 62.505
- Penyiangan 2 3,53 HOK 15.000 52.980
5. Panen 6,40 HOK 15.000 95.970
6. Pasca Panen 1,06 HOK 15.000 15.870
IV Sewa lahan 1 musim 162.800 162.800
C TOTAL EKPLISIT+IMPLISIT 897.936
D PENERIMAAN 944,24 kg 1.150 1.085.876
E PENDAPATAN (D-A) 666.325
F KEUNTUNGAN (D-C) 187.940
G RASIO RC (D/C) 1,21
Sumber: Data Primer 2005
Biaya implisit yang dikeluarkan merupakan tenaga kerja keluarga sebesar Rp 478.385/1.628 m².
Penerimaan hasil gabah yang merupakan perkalian antara output (gabah) dengan harga berlaku Rp 1.150/kg
GKP adalah Rp 1.085.876, maka pendapatan yang diperoleh petani sebelum terjadi kenaikan BBM adalah Rp
666.325/1.628 m²/MT. Apabila semua faktor biaya diperhitungkan (eksplisit+implisit) maka keuntungan
yang diperoleh adalah Rp 187.940/1.628 m²/MT (Tabel 2). Berdasarkan kelayakan usahatani dengan melihat
nilai Ratio Revenue Cost (R/C) > yaitu 1,21 atau >1,0 artinya bahwa usahatani padi sebelum terjadi kenaikan
BBM adalah layak.
Pada saat terjadi kenaikan BBM I (April 2005), terjadi kenaikan biaya ekplisit saprodi dan tenaga
kerja; biaya ekplisit menjadi Rp 441.747 (Tabel 3).
Biaya implisit sebesar Rp 478.385/MT, dan penerimaan hasil gabah adalah Rp 1.094.016/MT.
Setelah terjadi kenaikan BBM I pendapatan hasil usahatani padi menjadi Rp 652.269, dengan keuntungan
sebesar Rp 173.884/MT. Artinya pada saat terjadi kenaikan BBM I pendapatan dan keuntungan menurun
sebesar 2,11% dan 7,48%. Dari sisi kelayakan usahatani padi dengan melihat nilai indikator Revenue Cost
memberikan hasil sebesar 1,19 menurun dibandingkan sebelum kenaikan BBM
Terjadi kenaikan BBM II (Periode Oktober 2005), usahatani padi ada kecenderungan peningkatan
pendapatan, keuntungan dan peningkatan nilai rasio RC, hasil analisis disajikan dalam Tabel 4.
469
Tabel 3. Analisis Usahatani Padi Lahan Sawah Setelah Kenaikan BBM I Di Kecamatan Moyudan, Kab Sleman MK Tahun
2005 per 1.628 m² (n=30)
No Uraian Vol/1628 m² Sat Harga/sat (Rp) Nilai (Rp)
A Biaya Ekplisit 441.747
I Saprodi 153.387
1 Bibit 10,67 kg (2.750-3.000) 32.583
2 Pupuk (Urea, SP36, KCl, Pupuk kandang) 108.179,17
3 Pestisida 12.625
II Lain-Lain+TK Luar 288.360
1 Olah lahan/traktor borong 90.000 90.000
2 Menanam borong 50.000 50.000
3 Panen borong 48.840 48.840
4 Menyiang 1 dan 2 borong 65.120 65.120
5 Lain-lain 20.000 20000
6 Penyusutan 16.500 14400
B Biaya Implisit 478.385
III Tenaga Kerja 315.585
1 Persemaian 1,00 HOK 15.000 15.000
2 Persiapan Lahan/meratakan 3,26 HOK 15.000 48.840
3 Penanaman 1,63 HOK 15.000 24.420
4 Pemeliharaan
Penyiangan 1+ppk 4,17 HOK 15.000 62.505
Penyiangan 2 3,53 HOK 15.000 52.980
5 Panen 6,40 HOK 15.000 95.970
6 Pasca Panen 1,06 HOK 15.000 15.870
IV Sewa lahan 1 musim 162.800 162.800
C TOTAL EKPLISIT+IMPLISIT 920.132
D PENERIMAAN 911,68 kg 1.200 1.094.016
E PENDAPATAN (D-A) 652.269
F KEUNTUNGAN (D-C) 173.884
G RASIO RC (D/C) 1,19
Sumber: Data Primer 2005
Tabel 4. Analisis Usahatani Padi di Lahan Sawah Setelah Kenaikan BBM II di Kecamatan Moyudan, Kab Sleman MH Tahun
2005. Per 1.628 m² (n=30)
No Uraian Vol/1628 m² Sat Harga/sat (Rp) Nilai Rp
A Biaya Ekplisit 502.989
I Saprodi 168.029
1 Bibit 10,67 kg (2.750-3.500) 37.417
2 Pupuk (Urea, SP 36, KCl, Phonska, Pupuk kandang, dll) - 112.445,8
3 Pestisida 18.166
II Lain-Lain+TK Luar 334.960
1 Olah lahan/traktor borong 120.000 120.000
2 Menanam borong 50.000 50.000
2 Panen borong 48.840 48.840
3 Menyiang 1 dan 2 borong 65.120 65.120
4 Lain-lain 30.000 30000
5 Penyusutan 21.000 21000
B Biaya Implisit 515.585
III Tenaga Kerja 315.585
1 Persemaian 1,00 HOK 15.000 15.000
2 Persiapan Lahan/meratakan 3,26 HOK 15.000 48.840
3 Penanaman 1,63 HOK 15.000 24.420
4 Pemeliharaan
Penyiangan 1+ppk 4,17 HOK 15.000 62.505
Penyiangan 2 3,53 HOK 15.000 52.980
5 Panen 6,40 HOK 15.000 95.970
6 Pasca Panen 1,06 HOK 15.000 15.870
IV Sewa lahan 1 musim 200.000 200.000
C TOTAL EKPLISIT+IMPLISIT 1.018.574
D PENERIMAAN 879,12 kg 1.700 1.494.504
E PENDAPATAN (D-A) 991.515
F KEUNTUNGAN (D-C) 475.930
G RASIO RC (D/C) 1,47
Sumber: Data Primer 2005
470
Biaya ekplisit mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp 502.989, dengan biaya implisit sebesar Rp
515.585/MT. Penerimaan mengalami kenaikan sebesar 27,34% atau menjadi Rp 1.494.504/MT. Walaupun
produksi menurun 5-10% namun karena harga gabah meningkat sebesar 32,35% dari Rp 1.150/kg GKP
menjadi Rp 1.700/kg GKP namun penerimaan kotor meningkat dibandingkan dengan sebelum terjadi
kenaikan BBM. Begitu pula dari sisi pendapatan dan keuntungan juga mengalami kenaikan menjadi Rp
991.515 dan Rp 475.930 atau terjadi kenaikan pendapatan dan keuntungan sebesar masing-masing sebesar
32,80% dan 60,52% dibandingkan sebelum terjadi kenaikan BBM. Dilihat dari sisi rasio RC juga meningkat
menjadi 1,47 artinya layak dengan nilai indikator RC >1,0.
Implikasi dari hasil analisis ini adalah terjadinya kenaikan harga BBM II (periode Oktober 2005),
khususnya usahatani padi sawah di Kecamatan Moyudan adalah tidak signifikan terhadap pendapatan,
keuntungan dan kelayakan usahataninya; hal sebaliknya kenaikan BBM II justru memberikan peningkatan
pendapatan, keuntungan dan kelayakan.
KESIMPULAN
(1) Umur responden masih tergolong usia produktif dengan rerata 45,80 s.d. 60,75, sedangkan jumlah
tanggungan keluarga (KK) antara 3,50 s.d. 4,10, dari sisi tingkat pendidikan antara 6,65 s.d. 9,80.
(2) Dampak kenaikan BBM tahap I maupun tahap II terjadi kenaikan biaya sarana produksi (bibit, pupuk
dan obat-obatan) sebesar 5,93% s.d. 12,98% dan biaya lainnya (tenaga kerja luar keluarga dan mesin)
(11,61% s.d. 18,04%)
(3) Sebelum kenaikan BBM pendapatan Rp 666.325/MT/1000 m², rasio RC 1.21; Setelah kenaikan BBM I
(periode Maret 2005) pendapatan turun 2,11% dan rasio RC menjadi 1.19; pada kenaikan BBM II
(Oktober 2005) pendapatan meningkat sebesar 32,80% dengan rasio RC 1,47.
(4) Kenaikan BBM tidak signifikan terhadap penurunan pendapatan, namun justru meningkat dari sisi
pendapatan dan kelayakan usahatani padi. Hal ini terjadi karena peningkatan biaya input lebih rendah
daripada kenaikan harga output gabah.
PUSTAKA
Anonimus. 2003. Kebijakan Pembangunan Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004.
Dinas Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Anonimus. 2005. BBM Naik, Harga Gabah Kering di DIY dan Jateng Naik Sekitar 7 persen. Dalam harian
Surat Kabar Kompas. Ed. 9 Maret 2005.
Anonimus. 2005. Dampak Kenaikan Harga BBM. Dalam Surat Kabar Kompas. Ed 10, 11 dan 12 Maret.
2005
BPS. 2004. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik D.I.Yogyakarta. 2004. Yogyakarta Dalam Angka 2004-2005. Badan Pusat Statistik
Prop. D.I.Yogyakarta.
Dinas Pertanian Prop. D.I.Yogyakarta. 2003. Kebijakan Pembangunan Pertanian Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2004. Disampaikan dalam Rakorbang Deptan di Surabaya Tahun 2003
Dinas Pertanian Provinsi DIY. 2004. Renstra Tahun 2004-2008 (Draft). Dinas Pertanian Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY). 14 hal.
Mudjisihono, A. Setyono, A. Guswara, T. Santoso, Reki Hendrata dan Sugeng Widodo. 2002. Laporan Hasil
Pengkajian Penelitian dan Pengembangan SUT Padi Berdasar Integrated Crop Resources
Management (ICM) di Lahan Irigasi DIY.
Mudjisihono, R., Agus Setyono, Iwan Juliardi, Reki Hendrata, Teguh Santosa, D. Riyanto, Arlyna B.P,
Sugeng Widodo, Sarjono, T.K. Nugroho, Mahargono K dan M. Mustofa. 2004. Laporan Hasil
Pengkajian Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah Dataran Rendah D.I.Yogyakarta. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. unpublished.82 Hal.
Oktaviani, 2005. Model Keseimbangan Umum (computable general equilibrium/CGE). Tim Indonesia
Bangkit dalam Harian Surat kabar Kompas Ed. 14 Maret 2005.
471
MODEL KELEMBAGAAN PEMASARAN CABE MERAH DI LAHAN PESISIR KABUPATEN
KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Hano Hanafi, Subagiyo dan Sinung Rustijarno
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Berbagai permasalahan dan kendala yang sering dihadapi dalam usahatani cabe merah khususnya di wilayah
lahan pesisir antara lain posisi tawar (bargaining power) petani yang lemah dalam penentuan harga. Konsekuensinya, petani sebagai produsen kurang antusias dalam melakukan usaha budidaya pertanian. Model kelembagaan pasar lelang
yang dirintis petani dimaksudkan untuk mendapatkan alternatif pemasaran komoditas hasil pertanian untuk meningkatkan
daya tawar petani. Tujuan penelitian adalah mendapatkan alternatif model pemasaran cabe merah melalui sistem lelang.
Metode penelitian menggunakan cara survai pada bulan April-Juni 2006, penentuan lokasi dilaksanakan secara purposif di Kelompok Tani Gisik Pranaji, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, analisis dilakukan secara
deskriptif. Data meliputi aspek kinerja kelembagaan pasar lelang, jumlah produksi dan luas areal tanam serta jangkauan
pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota mencapai 75 orang, rata-rata luas areal tanam cabe
merah berkisar 2500 m² – 3000 m²/petani, sistem lelang cabe merah dilakukan dengan sistem tertutup yakni mencari harga tertinggi dari pedagang dan volume transaksi mencapai 2 kuintal – 2 ton per hari, jangkauan pasar antara lain
Purworejo, Kebumen, Semarang, Jakarta dan Batam. Sistem lelang yang dilakukan merupakan terobosan dalam sistem
pemasaran komoditas pertanian yang mengarah pada terwujudnya stasiun terminal agribisnis (STA), kelemahan yang
ditemui adalah sistem pembayaran tidak dilakukan secara tunai (tunda). Perbaikan sistem lelang dapat dilakukan dengan memberikan informasi pasar (intelejen market) meliputi pasar lokal, regional dan nasional dan akses kelembagaan
permodalan.
Kata kunci: kelembagaan pemasaran, cabe merah, lahan pesisir
PENDAHULUAN
Perbaikan struktur ekonomi masyarakat pasca krisis ekonomi sudah saatnya di imlementasikan
dalam kegiatan riil di tingkat petani maupun para pelaku agribisnis secara komprehensif. Hal ini cukup
beralasan mengingat bahwa selama krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, sektor pertanian khususnya
kegiatan agribisnis telah mampu bertahan dengan pertumbuhan yang positif. Namun demikian, kondisi
pertumbuhan yang positif tersebut secara faktual belum diikuti oleh perbaikan ekonomi bagi pelaku
agribisnis di dalamnya maupun pelaku kegiatan pertanian secara keseluruhan (Anugrah, 2004). Pertumbuhan
positif sektor pertanian belum menjadi kondisi nyata di tingkat petani. Tingkat kesejahteraan petani terus
menurun sejalan dengan persoalan-persoalan klasik di dalamnya, sekaligus menjadi bagian dan dilema dari
sebuah kegiatan agribisnis di tingkat produsen pertanian. Tingkat keuntungan kegiatan agribisnis selama ini
lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan pelaku agribisnis lainnya di sektor hilir (Arifin, 2001 dalam
Anugrah, 2004).
Apriantono (2004) menyatakan bahwa kunci suksesnya pembangunan pertanian tidak hanya terletak
pada sisi produksi maupun pemasaran. Lebih dari itu, aspek sumber daya manusia (SDM) memegang
peranan utama sekaligus penentu keberhasilan pembangunan tersebut. Disamping penguatan SDM di
perdesaan, diperlukan pengembangan kelembagaan usahatani yang mendorong petani untuk berkelompok,
mendirikan lembaga keuangan untuk pertanian seperti koperasi atau lembaga lain yang dapat menggerakkan
kegiatan agribisnis pedesaan.
Selanjutnya Anugrah (2004), menyatakan bahwa fenomena lain menunjukkan bahwa jaminan pasar
merupakan prasyarat utama yang menentukan tingkat keunggulan suatu komoditas, termasuk di dalamnya
indikasi tentang daya tampung dan potensi pengembangan pasar, tingkat efisiensi distribusi, kesesuaian
agroekosistem, ketersediaan dan peluang pengembangan teknologi pertanian. Lemahnya posisi rebut tawar
petani serta semakin banyaknya produksi pesaing dari impor komoditas yang sama di pasar dalam negeri,
menuntut upaya peningkatan efisiensi pemasaran dengan mengembangkan infrastruktur pemasaran.
Dalam upaya peningkatan produktivitas dan daya saing pemasaran komoditas hortikultura sayuran
khususnya cabe merah, melalui kelembagaan kelompok tani di Desa Bugel dan Pleret, Kecamatan Panjatan,
Kabupaten Kulon Progo telah berupaya melaksanakan kegiatan pemasaran dengan model sistem pasar lelang.
Kegiatan model sistem pasar lelang ini sudah berlangsung sejak tahun 2004, hal ini mengingat kondisi
perekonomian dalam bargaining harga dan posisi rebut tawar yang dirasakan petani produsen selalu berada di
pihak yang lemah. Selama ini petani produsen cabe merah di daerah pesisir Kabupaten Kulon Progo,
nasibnya selalu kalah dalam penentuan harga oleh pihak pembeli setempat maupun dari luar kota, sehingga
472
harga di tingkat petani terjadi sangat beragam. Pada waktu panen raya, kondisi harga komoditas secara
otomatis akan jatuh dan terpaksa petani menjual hasil panennya dengan harga yang sangat rendah.
Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan alternatif model
pemasaran cabe merah melalui sistem lelang.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian menggunakan survai (Singarimbun dan Effendie, 1989) pada bulan April-Juni
2006, penentuan lokasi dilaksanakan secara purposif di Kelompok Tani Gisik Pranaji, Desa Bugel,
Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, analisis dilakukan secara deskriptif (Nazir, 1995). Data yang
dikumpulkan meliputi aspek kinerja kelembagaan pasar lelang, jumlah produksi dan luas areal tanam serta
jangkauan pemasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terbentuknya kelembagaan model pasar lelang berawal dari berkembangnya pola pikir masyarakat
tani khususnya anggota kelompok tani di wilayah pesisir pantai Selatan Kabupaten Kulon Progo. Secara
struktural petani sudah membentuk kelembagaan berupa organisasi kelompok tani dengan kelengkapan
sarana dan prasarana penunjang seperti gudang penampung hasil pertanian yang dibangun oleh Pemda
Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas Pertanian. Segala fasilitas sarana dan prasarana yang dibangun
bertujuan untuk membangun sekaligus menunjang kelembagaan pasca panen dan pemasaran dalam
memproduksi berbagai komoditas pertanian agar dapat tersalurkan dengan baik sehingga dapat merubah
tingkat penghasilan petani. Jumlah anggota pada tahun 2005 mencapai 75 orang dengan rata-rata luas areal
tanam cabe merah berkisar 2500 m² – 3000 m²/petani. Keuntungan dari pasar lelang antara lain petani
memperoleh harga komoditas yang sesuai dengan perkembangan pasar dan harga tidak dipermainkan oleh
pedagang serta dapat menghidupkan dinamika kelembagaan kelompok tani melalui pemasukan dana hasil
lelang. Dalam kesepakatan ditentukan antara penjual dan pembeli dikenakan biaya sebesar Rp 100/kg yakni
untuk panitia lelang Rp 50 dan pemasukan kas kelompok tani Rp 50.
Kelembagaan pasar lelang cabe merah di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo
merupakan suatu infrastruktur pasar yang pada awalnya berdiri atas inisiatif petani untuk memperbaiki harga
komoditas cabe merah. Kelembagaan ini tidak saja merupakan tempat transaksi jual beli, namun juga
merupakan wadah yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan pelaku agribisnis. Kegiatan pasar lelang
bukan hanya memasarkan komoditas pertanian saja tetapi dilakukan juga kegiatan seperti sarana dan
prasarana pengemasan, sortasi dan grading di tempat lelang. Kegiatan pasar lelang cabe merah di Kulon
Progo sudah berlangsung sejak tahun 2004 dan cukup berkembang, sehingga pedagang sayuran dari luar kota
sengaja datang untuk berbisnis di wilayah ini. Berikut ini disajikan hasil pelelangan cabe merah di kelompok
tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel tahun 2004 (Tabel 1).
Tabel 1. Frekuensi, Volume dan Nilai Penjualan Lelang Komoditas Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun
II Desa Bugel Tahun 2004
Bulan Frekuensi (kali) Volume (kg) Nilai (Rp) Rerata harga
(Rp)
Kontribusi kas
(Rp)
Juni 3 922 9.824,850 10.661,80 92.150
Juli 31 18.510 143.786.695 7.768,05 1.851.000
Agustus 30 13.801 60.677.995 4.396,64 1.380.100
September 30 22.552 46.385.635 2.056,83 2.255.200
Oktober 31 45.222 100.970.755 2.232,78 4.522.200
November 25 32.898 57.870.875 1.759,10 3.289.800
Jumlah 150 133.905 419.516.805 28.875 13.390.450
Rerata 25 22.317 69.919.468 4.813 2.231.742
Sumber: Data primer, diolah
Panen cabe merah berlangsung sampai enam bulan yaitu mulai bulan Juni sampai dengan November
pada periode musim tahun 2004. Volume penjualan mencapai 133.905 kg dengan nilai penjualan
Rp 419.516.805. Harga rata-rata cabe merah selama pelelangan tahun 2004 mencapai Rp 4.813 dengan
jumlah pedagang pengumpul yang mengikuti lelang sebanyak 7 orang. Jika dilihat dari capaian produksi
473
panen cenderung mengalami kenaikan setiap periode panen dan puncaknya dicapai pada bulan Oktober 2004
sebesar 45.222 kg dengan perolehan nilai jual sebesar Rp 100.970.755 dengan harga rata-rata Rp 2.232,78.
Tingkat spekulasi dan strategi petani mulai berkembang baik untuk mengantisipasi perubahan harga, terbukti
mereka sudah mampu mensiasati kebutuhan konsumen pada bulan-bulan tertentu (Juni-Juli) karena pasokan
produk terbatas sehingga harga jual cabe tinggi mencapai Rp 10.661,80/kg, namun dalam periode tertentu
untuk mengantisipasi kebutuhan pada hari-hari besar yakni seperti Hari Raya, Natal dan tahun baru harga
cenderung turun karena pasokan produk yang berlimpah.
Pengembangan kelembagaan kelompok lelang dilakukan dengan cara menyisihkan sebagian hasil
lelang untuk kas kelompok, tiap 1 kg cabe yang dilelang dipotong Rp 100 untuk kas dan jasa pengurus.
Pemasukan untuk kas dan jasa pengurus pada tahun 2004 sebanyak Rp 13.390.450 dengan rata-rata tiap
lelang menghasilkan pemasukan Rp 2.231.742.
Harga terendah cabe merah pada lelang bulan November 2004 dengan harga Rp 1.200/kg,
sedangkan harga tertinggi tercapai pada bulan Juni sebesar Rp 11.760/kg (Tabel 2). Perbedaan ini diduga
disebabkan pasokan produk di pasaran, pada saat kuantitas produk terbatas di pasar maka harga jual tinggi,
sebaliknya pada saat produk berlimpah harga produk rendah.
Tabel 2. Kisaran Harga Tertinggi dan Terendah Lelang Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun II Desa
Bugel Tahun 2004
Bulan Kisaran Harga (Rp)
Minimum Maksimum
Juni 9.500 11.300
Juli 4.200 11.760
Agustus 3.015 6.700
September 1.200 3.710
Oktober 1.715 3.035
November 1.050 3.625
Sumer: Data primer, diolah.
Hasil pelelangan cabe merah di kelompok tani Gisik Pranaji Dusun II Desa Bugel tahun 2005
(Tabel 3)
Tabel 3. Frekuensi, Volume dan Nilai Penjualan Lelang Komoditas Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun
II Desa Bugel Tahun 2005
Bulan Frekuensi (kali) Volume (kg) Nilai (Rp) Rerata harga
(Rp)
Kontribusi kas
(Rp)
Juni 9 3.400,5 18.719.475 5.504,92 340.050
Juli 28 23.886 210.614.657 8.817,49 2.388.600
Agustus 31 19.965 230.859.402 11.563,50 1.996.450
September 30 11.694 74.651.358 6.383,73 1.169.400
Jumlah 98 58.945 534.844.892 32.270 5.894.500
Rerata 24,5 14.736 133.711.223 8.067 1.473.625
Sumer: Data primer, diolah.
Panen cabe merah berlangsung sampai empat bulan yaitu mulai bulan Juni sampai dengan
September pada periode musim tahun 2005 dengan frekuensi lelang selama 98 kali, menurun dari tahun 2004
sebanyak 150 kali. Jumlah pedagang pengumpul yang mengikuti lelang 10 orang, naik dari tahun 2004
sebanyak 7 orang. Volume penjualan mencapai 58.945 kg dengan nilai penjualan Rp 534.844.892, naik dari
tahun 2004 dengan harga rata-rata cabe merah selama pelelangan mencapai Rp 8.067, lebih tinggi dari tahun
2004. Pemasukan untuk kas dan jasa pengurus pada tahun 2005 sebanyak Rp 5.894.500 dengan rata-rata tiap
lelang menghasilkan pemasukan Rp 1.473.625 untuk kas kelompok dan jasa pengurus, lebih rendah karena
volume produk yang terjual lebih sedikit dibanding tahun 2004. Harga terendah cabe merah pada lelang
bulan September dengan harga Rp 2.720/kg, sedangkan harga tertinggi tercapai pada bulan Agustus sebesar
Rp 15.200/kg (Tabel 4).
474
Tabel 4. Kisaran Harga Tertinggi dan Terendah Lelang Cabe Merah di Kelompok Tani Gisik Pranaji Dusun II Desa
Bugel Tahun 2005
Bulan Kisaran Harga (Rp)
Minimum Maksimum
Juni 3.210 5.500
Juli 5.540 11.565
Agustus 3.000 15.200
September 2.720 13.150
Sumer: Data primer, diolah
Proses pelelangan pada dasarnya baru pada tahap pelaksanaan mempertemukan petani dengan para
pedagang di pasar lelang. Petani secara individu atau petani yang diwakili oleh ketua kelompok tani
membawa sampel komoditas cabe merah yang akan ditawarkan dan telah memenuhi kriteria termasuk
grading kelas dan kualitas kepada panitia lelang. Penetapan harga sesuai dengan informasi harga terakhir
yang dipantau oleh panitia pasar lelang sebelumnya dari harga yang berlaku di pasar induk ataupun pasar
lokal. Selanjutnya para pengurus pasar lelang menawarkan kepada calon pembeli, diantaranya para pedagang
lokal maupun pedagang besar dari luar seperti dari pasar induk Yogyakarta, Magelang, Temanggung,
Kebumen maupun Semarang dengan sistem lelang tertutup yakni dengan mengumpulkan tawaran harga
tertinggi dari pedagang dengan cara ditutup.
Menurut Syahyuti (2004) pada dasarnya dunia sosial dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen
sosial pokok, yang secara fundamental ketiganya sangat berbeda. Masing-masing memiliki paradigma,
ideologi, nilai, norma, rule of the game, dan bentuk keorganisasiannya sendiri. Tiga pilar yang dimaksud
adalah pemerintah, komunitas dan pasar. Ketiganya direpresentasikan menjadi kekuatan politik, sosial dan
ekonomi. Masing-masing memiliki peran tersendiri yang harus dijalankan secara ideal dan membentuk
konfigurasi kekuatan ketiganya dalam membangun suatu sistem sosial.
Dengan terbentuknya kelembagaan pasar lelang di tingkat kelompok tani, secara lambat laun terjadi
perubahan sistem nilai sosial petani yang baik dan mampu memperbaiki struktur harga komoditas
hortikultura seperti cabe merah. Dampak positif yang terjadi dari kelembagaan pasar lelang antara lain petani
dapat menentukan harga yang layak, tingkat dinamika kelompok semakin tinggi, dapat menambah modal
kelompok dan dapat meningkatkan akses komunikasi antar pelaku pasar baik pedagang lokal maupun
pedagang dari luar kota.
Model kelembagaan pasar lelang yang dilakukan petani merupakan kearifan lokal petani dalam
upaya mewujudkan sistem bisnis yang lebih adil, fair dan transparan, sejalan dengan pendapat Prakosa
(2002) yang menyatakan bahwa misi pembangunan pertanian diantaranya adalah memberdayakan
masyarakat pertanian menuju wiraswasta agribisnis yang mandiri, maju dan sejahtera. Selanjutnya Prakosa
(2002) menyatakan bahwa, ada dua fokus kebijaksanaan yang dapat ditempuh dalam pengembangan sektor
pertanian yaitu 1) Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada kemampuan produksi,
keragaman sumberdaya bahan pangan serta kelembagaan dan budaya lokal; dan 2) Mengembangkan
agribisnis yang berorientasi global dengan membangun keunggulan kompetitif produk-produk daerah
berdasarkan kompetensi dan keunggulan komparatif sumberdaya alam dan sumberdaya manusia daerah yang
bersangkutan. Kebijaksanaan pengembangan agribisnis ditujukan dalam rangka menempatkan sektor
pertanian dengan wawasan agribisnis sebagai poros penggerak perekonomian lokal, wilayah dan nasional.
Pengembangan agribisnis dengan memposisikan petani sebagai wiraswasta agribisnis merupakan perwujudan
dari pengembangan ekonomi rakyat.
Pengembangan agribisnis pedesaan dalam rangka pengembangan ekonomi masyarakat dapat
dilakukan melalui alternatif model pengembangan kelembagaan lelang komoditas yang mempertemukan
penjual dan pembeli dengan penawaran kuantitas produk yang lebih besar dan kualitas produk yang telah
diketahui. Dinamika harga dan aktivitas kelompok berkembang sesuai dinamika pasar. Berdasarkan hasil
lelang cabe merah tahun 2004 dan 2005, pada tahun 2005 kuantitas penjualan menurun, tetapi nilai
komoditas lebih tinggi terlihat dari rerata harga cabe merah hasil lelang lebih tinggi dari tahun sebelumnya,
artinya daya tawar petani menjadi lebih kuat, harga terendah dan tertinggi lelang komoditas juga yang lebih
baik dibanding tahun 2004. Meskipun demikian, pendapatan untuk kas kelompok dan jasa pengurus menurun
dibanding sebelumnya karena volume produk yang dilelang lebih sedikit, alternatif yang dapat dilakukan
adalah meningkatkan volume komoditas yang dilelang dengan meningkatkan areal penanaman dan
produktivitas tanaman. Sistem lelang yang dilakukan merupakan terobosan dalam sistem pemasaran
komoditas pertanian yang mengarah pada terwujudnya Stasiun Terminal Agribisnis (STA), kelemahan yang
ditemui adalah sistem pembayaran tidak secara tunai (tunda). Perbaikan sistem lelang dapat dilakukan
475
dengan memberikan informasi pasar (intelejen market) meliputi pasar lokal, regional dan nasional dan akses
kelembagaan permodalan.
KESIMPULAN
1. Kelembagaan pasar lelang merupakan suatu infrastruktur pasar, berfungsi sebagai tempat transaksi, jual
beli sekaligus tempat kepentingan pelaku agribisnis.
2. Pasar lelang merupakan struktur kelembagaan yang cukup penting di masa yang akan datang, dalam
upaya mendorong pemasaran komoditas pertanian yang dihasilkan di berbagai wilayah yang semakin
beragam, sekaligus menjadi kelembagaan pertanian yang dapat memberikan jaminan kepastian harga
produk pertanian yang dipasarkan petani sebagai produsen, sehingga harga yang diterima dapat
menguntungkan petani.
3. Pasar lelang dapat menciptakan berbagai kegiatan di tingkat petani termasuk pemberdayaan petani
melalui kelembagaan kelompok tani, dinamika kelompok, perbaikan pasar komoditas pertanian,
menambah income (kas kelompok) sekaligus tambahan penghasilan pengurus atau panitia pasar lelang
dan terjalinnya kelembagaan jaringan pasar yang baik dengan pedagang lokal maupun luar kota.
4. Sistem lelang yang dilakukan merupakan terobosan dalam sistem pemasaran komoditas pertanian yang
mengarah pada terwujudnya stasiun terminal agribisnis (STA). Perbaikan sistem lelang dapat dilakukan
dengan memberikan informasi pasar (intelejen market) meliputi pasar lokal, regional dan nasional dan
akses kelembagaan permodalan.
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah, I.W. 2004. Pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA) dan Pasar Lelang Komoditas Pertanian
dan Permasalahannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
FAE,Volume 22, No. 2, Desember 2004.
Apriantono, A. 2004. Rujukan Profesional Agribisnis. Percaturan Pasar Domestik pada Peralihan Tahun.
Majalah Hortikultura, Vol. 3. No.12.
Kerlinger, N. Fred., 2000. Asas-asas Penelitian Behavioral. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Nazir. 1995. Metode Penelitian. Ghalia. Indonesia
Prakosa, M. 2002. Pendekatan Corporate Farming dalam Pembangunan Agribisnis. Analisis Kebijaksanaan:
Pendekatan Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Monograph Series No.22.
Singarimbun, M. dan S. Effendie. 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.
Syahyuti, 2004. Model kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian Di Lahan Lebak, Aspek
Kelembagaan dan Aplikasinya dalam Pembangunan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
476
ANALISIS NERACA AIR LAHAN KERING PADA IKLIM KERING UNTUK MENDUKUNG
POLA TANAM
Sarjiman dan Mulyadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DI Yogyakarta
ABSTRAK
Karakteristik curah hujan di lahan kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya
sumber air di musim kering dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh manusia. Analisis ini membahas hubungan ketiga faktor tersebut untuk menurunkan resiko gagal panen di lahan kering.
Survei lapang dan pengumpulan data dilakukan pada tahun 2005 di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunngkidul, D I Y.
Analisis neraca air lahan menggunakan metode Thornthwaite dan Mather. Hasil analisis menunjukkan bahwa musim
tanam mulai bulan Nopember sampai April dan defisit air mulai bulan Mei sampai Oktober, sedangkan surplus air terjadi bulan Januari sampai Maret.
Kata kunci: neraca air tanaman, lahan kering, pola tanam.
PENDAHULUAN
Inventarisasi berbagai potensi alam termasuk faktor pembatas yang mungkin ada untuk menentukan
kemampuan wilayah dan berbagai komoditas serta teknologi yang akan diterapkan merupakan tahapan
perencanaan pembangunan pertanian. Iklim merupakan salah satu potensi alam, namun pada kondisi tertentu
dianggap sebagai faktor pembatas. Unsur iklim seperti curah hujan, suhu dan kelembaban sering menjadi
faktor yang dapat menurunkan tingkat kesesuaian lahan di tingkat atas, karena sifatnya permanen dan sulit
dimodifikasi, akibatnya dapat menutup peluang untuk pengembangan bagi komoditas tertentu (Sibuea dan
Pramudia,1992). Penggunaan perhitungan neraca air lahan yang sekali gus menyajikan periode musim hujan
atau kemarau, diharapkan dapat mencegah kesalahan yang mungkin terjadi dalam penetapan pola tanam
(Abujamin, 2000).
Lahan kering ditandai adanya sumber air untuk pertanian berasal dari curah hujan saja, sedangkan
iklim kering dibatasi adanya jumlah curah hujan per tahun kurang dari 2000 mm. Sebaran dan tinggi hujan
di lahan kering sangat menentukan periode pola tanam dalam setahun. Karakteristik curah hujan di lahan
kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya sumber air di musim kering
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh manusia.
Pengelolaan lahan oleh manusia merupakan salah satu model pola tanam. Paper ini membahas hasil analisis
neraca air lahan untuk mendukung pola tanam di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul sebagai
wilayah kering di Yogyakarta.
METODOLOGI PENELITIAN
Survei pengumpulan data iklim dari stasiun pengamatan di kantor pengairan Kecamatan Semin
meliputi temperatur rerata bulanan, curah hujan bulanan lebih dari 10 tahun dan pengambilan contoh tanah
untuk analisis fisika di lboratorium tanah. Analisis fisika tanah berupa kadar air tanah kapasitas lapang dan
titk layu permanen. Analisis neraca air lahan agroklimat untuk keperluan tanaman pertanian dibagi menjadi
tiga tahapan, yaitu neraca air umum, neraca air lahan dan neraca air tanaman (Abujamin 2000).
Analisis neraca air menggunakan sistem tatabuku di Kecamatan Semin berdasarkan kadar air tanah
(KAT) lebih kecil dari kapasitas lapang untuk setiap APWL (accumulation of point water loss) untuk tanah
dengan nilai kapasitas lapang sebesar 300 mm/m. Langkah analisis data berdasarkan model neraca air dengan
prinsip masukan (M) sama dengan pengeluaran (K). Asumsinya bahwa sumber air adalah murni curah hujan,
kedalaman tanah hingga 100 cm homogen, evapotranspirasi (ETP) merupakan nilai maksimum lahan
tanaman pertanian dan keluaran fungsi air hujan untuk ETP, meningkatkan kadar air tanah dan sisanya
sebagai air bawah tanah ataupun aliran permukaan (run off). Prosedur analisis mengikuti persamaan sebagai
berikut :
M = K .......................................................................................................... (1)
CH = ETP+S CH ........................................................................................... (2)
CH = ETP+dKAT+S ...................................................................................... (3)
S = CH-ETP-dKAT ..................................................................................... (4)
477
ETP = (x/12)(Y/30)*ETP dasar ........................................................................ (5)
ETP dasar = 16(10T/I)ª ............................................................................................. (6)
ETA = CH + |dKAT|; (jika CH>ETP) ............................................................... (7)
ETA = ETP; (Jika CH<ETP) ............................................................................ (8)
Di mana M = masukan, K = keluar, CH = curah hujan (mm/bulan), ETP = evapotranspirasi(mm/bulan), S =
Surplus Surplus air dapat berupa genangan atau air perkolasi dKAT = perubahan kadar air tanah.
Penentuan pola tanam berdasarkan periode tanam tersedia sesuai kebutuhan air dan iklim bagi tanaman
(Pramudia dan Santosa, 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Air merupakan bahan alami yang secara mutlak diperlukan tanaman dalam jumlah cukup dan pada
saat yang tepat. Kelebihan ataupun kekurangan air mudah menimbulkan bencana. Tanaman yang mengalami
kekeringan akan berdampak penurunan kualitas ataupun gagal panen. Kelebihan air dapat menimbulkan
pencucian hara, erosi ataupun banjir yang memungkinkan gagal panen. Hasil analisis neraca air pada Tebel 1
menunjukkan bahwa total hujan selama setahun sebesar 1372 mm, dipergunakan untuk keperluan
evapotranspirasi aktual (ETA) sebesar 1783 mm, sehingga terjadi defisit air sebsar 411 mm/tahun. Sebaran
defisit air terjadi mulai bulan Mei sampai Oktober. Pada periode tersebut merupakan periode musim
kemarau. Musim demikian memasuki kegiatan panen musim kedua dan dilanjutkan persiapan tanam untuk
musim hujan berikutnya. Sistem olah tanah di lahan kering Gunungkidul lebih efisien dilakukan pada musim
kemarau, karena tanah tidak melekat pada mata bajak dan pada kondisi lahan kosong/bero.
Adanya defisit air pada periode tersebut petani peternak mengalami degradasi kekurangan pakan.
Untuk mengatasi kekurangan pakan ternak, mereka mendatangkan pakan dari luar daerah atau menanam
tanaman sela yang mempunyai perakaran dalam, seperti turi, lamtoro ataupun tanaman tahan kering seperti
rumput setaria. Rerumputan ini umumnya bertahan sampai bulan Juni sedangkan tanaman turi bertahan
sampai bulan Oktober. Pola tanam di lahan kering ini merupakan inovasi dan modifikasi manusia terhadap
tekanan sumber daya iklim di lahan kering.
Musim tanam di lahan kering pada umumnya diawali setelah hujan sepuluh hari pertama mencapai
lebih dari 50 mm. Petani secara serempak menanam baik monokultur maupun tumpangsari. Persiapan lahan
dilakukan pada musim kemarau, sehingga secara berurutan jadwal kegiatan dalam setahun tidak terdapat
kekosongan. Panen ubi kayu dilakukan pada musim kemarau dengan memanfaatkan sinar matahari untuk
penjemuran gaplek dan pengolahan tanah. Limbah ubi kayu juga dimanfaatkan untuk menambah kebutuhan
pakan ternak.
Curah Hujan
Curah hujan pada peluang 50% terlampaui menurut sebaran normal (Gambar 1) menunjukkan
bahwa tiap bulan hampir ada hujan, meskipun demikian hujan yang jatuh tidak mencukupi untuk
evapotranspirasi aktual (ETA). Berdasarkan sebaran hujan maka daerah Semin termasuk iklim D-3 ( 3 bulan
basah dan 6 bulan kering berurutan). Rekomendasi Oldeman hanya satu kali tanam padi atau palawija dalam
setahun. Berdasarkan analisis neraca air lahan ternyata dapat ditanam dua kali (Gambar 2). Penanaman dua
kali melalui modifikasi penyesuaian ketersediaan kadar air tanah dan curah hujan serta kebutuhan air bagi
tanamaan.
Tinggi hujan di bawah evapotranspirasi merupakan bulan kering (musim kemarau).
Evapotranspirasi aktual mengikuti sebaran hujan, karena kejadian transpirasi berkaitan dengan ketersediaan
air tanah pada daerah perakaran. Jika terjadi penurunan kadar air tanah maka terjadi tahanan untuk proses
evapotranspirasi. Selain itu pada musim kering kerapatan tanaman sudah berkurang atau sudah panen,
dengan demikian transpirasi juga berkurang. Surplus sebesar 264 mm/tahun merupakan jumlah hujan
dikurangi jumlah evapotranspirasi terjadi pada bulan Januari sampai Maret (Gambar 1). Surplus tersebut
sebagian berbentuk aliran permukaan dan masuk ke sungai. Sebaliknya defisit kadar air tanah terjadi pada
bulan Mei sampai Nopember (Gambar 2). Defisit terjadi karena jumlah hujan lebih kecil dari
evapotranspirasi potensiil, meskipun demikian cadangan air dalam tanah memungkinkan untuk kebutuhan
tanaman, selama kadar air tanah pada kapasitas lapang.
Kadar air tanah (KAT) di wilayah yang mempunyai musim kering akan mengalami penurunan. Air
tanah dimanfaatkan untuk evapotranspirasi (ETA) maka apabila air tanah tidak disuplai oleh hujan akan
mengalami defisit dan kondisi demikian disebut musim kemarau. Hasil analisis neraca air lahan periode
defisit dimulai bulan Mei dan berakhir bulan Nopember.
478
0
50
100
150
200
250
300
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
mm
Ch rerata ETP ETA
Gambar 1: Neraca air lahan di Semin, Gunungkidul, Yogyakarta
Gora Sawah Bero dan olah tanah
TS - 1TS - 1 TS - 2 Ubi kayu - olah tanah
Gora Sawah Bero dan olah tanah
TS - 1TS - 1 TS - 2 Ubi kayu - olah tanah
Gora Sawah Bero dan olah tanah
TS - 1TS - 1 TS - 2 Ubi kayu - olah tanah
Gambar 2: Neraca air dan alternatip pola tanam
479
Tabel 1. Hasil Perhitungan Neraca Air Lahan Menggunakan Sistem Tatabuku dengan Kadar Air Tanah Pada Kapasitas Lapang 300 mm/meter, Titik Layu
Permanen 250 mm/meter, pada Peluang Hujan 50% Terlampaui
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Tahunan
T (°C) 26,80 27,50 27,80 27,60 27,60 27,60 25,80 26,00 27,00 27,50 27,70 26,60 27,13
CH (mm) 254,26 244,55 229,05 120,92 70,77 47,91 27,46 4,76 15,18 73,11 138,74 145,27 1371,97
I 12,70 13,21 13,43 13,28 13,28 13,28 11,99 12,13 12,85 13,21 13,36 12,56 155,30
a 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 3,94 47,33
ETP Dasar 139,11 154,08 160,85 156,31 156,31 156,31 119,65 123,37 143,27 154,08 158,57 135,04 1756,95
x/12 1,04 1,03 1,00 0,99 0,99 0,98 0,98 0,98 1,00 1,02 1,03 0,98 12,02
y/30 1,03 0,93 1,03 1,00 1,03 1,00 1,03 1,03 1,00 1,03 1,00 1,03 12,17
ETP (mm) 149,50 148,12 166,21 154,75 159,91 153,19 121,16 124,93 143,27 162,40 163,33 136,75 1783,51
CH-ETP 104,76 96,43 62,84 -33,83 -89,14 -105,28 -93,70 -120,16 -128,09 -89,29 -24,58 8,52 -411,54
APWL -34,00 -123,14 -228,42 -322,12 -442,29 -570,38 -659,67 -684,25 -3064,26
KAT 300,00 300,00 300,00 268,00 198,00 139,00 102,00 68,00 44,00 32,00 30,00 300,00 2081,00
d KAT 0,00 0,00 0,00 -32,00 -70,00 -59,00 -37,00 -34,00 -24,00 -12,00 -2,00 270,00 0,00
ETA 149,50 148,12 166,21 152,92 140,77 106,91 64,46 38,76 39,18 85,11 140,74 136,75 1369,43
DEF 0,00 0,00 0,00 1,83 19,14 46,28 56,70 86,16 104,09 77,29 22,58 0,00 414,08
S 104,76 96,43 62,84 -1,83 -19,14 -46,28 -56,70 -86,16 -104,09 -77,29 -22,58 -261,48 -411,54
Keterangan : I = indek panas bulanan; a = konstanta panas; x = panjang hari; y = jumlah hari dalam sebulan; ETP dasar = evapotrnspirasi potensiia dasar, CH = curah hujan, APWL= accumulation of potential water loss; KAT = kadar air tanah; dKAT = perubahan KAT; ETA = evapotrnspirasi aktual; DEF = defisit, S=surplus
Rumus pendugaan ETA adalah : I = (T/5)1.514; I = i total Januari sampai Desember;
a = 675 x 10-9 x I3 – 771 x 10-7 x I2 + 17922 x 10-5 x I + 49239 x 10-5;
ETP dasar = 16(10T/I)ª dalam mm/bln; ETP = (x/12)(y/30)(ETP dasar); x = panjang hari(jam); y = jumlah hari dalam sebulan.
480
Pola Tanam
Jumlah curah hujan 1372 mm/tahun mempunyai 3 bulan basah dan 6 bulan kering berurutan dan
termasuk zone agroklimat D-3 Oldeman) sehingga direkomendasikan satu kali tanam per tahun. Hasil
analisis neraca air lahan dapat bertanam dua kali per tahun, dengan modifikasi pola tanam Gogo rancah(gora)
dan semai padi di luar lahan dan ditanam umur semai 17 hari. Pola tanam terpilih ada dua model, yaitu
gogorancah(Gora) dilanjutkan sistem sawah dan selanjutnya bero dan persiapan gogo rancah lagi. Model
kedua sistem tumpangsari (TS) maupun monokultur jagung. Rekayasa pola tanam merupakan hasil interaksi
kebutuhan manusia terhadap ketersediaan dan potensiil sumber daya alam. Selama ini pola tanam yang
dikembangkan oleh petani di Semin, Gunungkidul secara tumpangsari. Penaman dimulai pertengahan bulan
Oktober sampai Nopember (tergantung tinggi hujan di atas 50 mm selama 10 hari). Berdasarkan analisis
neraca air lahan (Gambar 2) penanaman pada musim pertama akan panen pada akhir bulan Januari,
selanjutnya musim tanam ke dua dimulai bulan Februari dan panen awal bulan Mei.
Pola tanam monokultur pada komoditas jagung dewasa ini mulai berkembang di lahan kering.
Hasil analisis usahatani di lokasi Semin menunjukkan bahwa sistem monokultur jagung memberikan
keuntungan sebesar Rp 223.000/1000 m². Sistem monokultur lebih diminati petani karena sistem
budidayanya lebih seragam selain itu pemahaman dan pengamatan faktor iklim sudah mulai berkembang
sesuai dengan komoditas yang diminati.
KESIMPULAN
1. Surplus air hujan terjadi bulan Januari sampai Maret, dan defisit kadar air tanah dari kapasitas lapang
terjadi pada bulam April sampai November.
2. Pola tanam sistem monokultur atau gogo rancah dimulai bulan Oktober dan sistem sawah dimulai bulan
Februari, selanjutnya bero dan persiapan tanam untuk musim berikutnya.
3. Pola tanam sistem tumpangsari mulai bulan Oktober atau awal Nopember dengan komoditas ubi kayu,
jagung, kacang tanah atau gogo pada musim tanam ke-I dan musim tanam ke-II mulai bulan Februari
sistem sisipan tanaman pangan di antara ubi kayu dipanen bulan Mei, ubi kayu dipanen bulan Agustus.
DAFTAR PUSTAKA
Abujamin A A. 2000. Penentuan penghitungan neraca air Agroklimat. Makalah disampaikan pada program
pelatihan peningkatan dalam bidang Agroklimatologi Kerja sama antara Badan Litbang Pertanian,
Deptan dan FMIPA-IPB. Bogor. 31 Agustus – 2 Nopember 2000. Tidak diterbitkan. 28 halaman
Sibuea L H dan Pramudia A. 1992. Penggunaan Neraca air tanah di Pulau Timor Bagian Barat dan
penggunaan untuk evaluasi tingkat kesesuaian lahan dengan studi kasus di daerah Besikama.
Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang 20-22 Agustus 1991. Halaman 512 – 521
Pramudia A dan Santosa I. 1992. Analisis periode tanam kedelai di daearah Semi-Arit Tropik. Stui kasus di
daerah Segaranten Kabupaten Sukabumi. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian III. Malang
20-22 Agustus 1991. Halaman 397-412
481
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SALAK PONDOH ORGANIK DI DESA MERDIKOREJO
KECAMATAN TEMPEL KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
Sinung Rustijarno, Wiendarti I.W. dan Setyorini W.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Kecamatan Tempel merupakan salah satu sentra produksi salak pondoh di Kabupaten Sleman yang mampu
memasok kebutuhan buah salak untuk pasar di dalam maupun luar Yogyakarta. Salak pondoh merupakan komoditas
unggulan di Provinsi DIY. Tujuan pengkajian adalah mengetahui potensi dan peluang pengembangan usaha salak
pondoh organik dengan pendekatan agribisnis. Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis Duri Kencana, Trumpon, Merdikorejo, Tempel, Sleman pada bulan April-Juni 2006. Metode yang digunakan adalah survai dan
observasi lapang, analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota 89 orang,
luas areal budidaya salak 34,99 ha (rata-rata 4.373,75 m²/orang) dengan jumlah tanaman 106.050 rumpun (rata-rata 1.192
rumpun/orang). Teknologi budidaya dan manajemen usaha diarahkan menggunakan pedoman budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), standarisasi mutu, sertifikasi dan labelisasi produk serta menjalin kerjasama dengan mitra usaha.
Strategi pengembangan usaha dapat dilakukan dengan pengembangan kelembagaan, optimalisasi potensi sumberdaya
alam dan perbaikan teknologi produksi menuju sertifikasi produk Prima 2.
Kata kunci : pengembangan, agribisnis, salak pondoh, organik
PENDAHULUAN
Salak merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang disukai dan memiliki prospek yang baik
untuk diusahakan sebagai salah satu komoditas andalan dalam pengembangan agribisnis buah-buahan. Pada
beberapa daerah, komoditas ini telah menjadi sumber pendapatan utama bagi petani dan juga telah diarahkan
sebagai komoditas ekspor. Namun pada kenyataannya, produksi dan mutu buah salak Indonesia belum dapat
diandalkan untuk menjadi primadona buah nasional. Kondisi ini disebabkan antara lain oleh sistem
pengelolaan kebun, cara budidaya, panen dan pasca panen yang belum sesuai dengan kaidah-kaidah budidaya
yang baik dan benar. Di lain pihak, pada saat ini konsumen menuntut standar mutu produk prima dengan
keamanan konsumsi yang terjamin. Kondisi ini perlu segera diantisipasi oleh produsen salak dengan cara
menerapkan kaidah-kaidah budidaya yang baik dan benar, untuk menjamin mutu buah dan kemanan pangan
Minat bagi pengembangan produk pertanian organik dengan menggunakan pendekatan konsep
LEISA (Low External Input for Sustainable Agriculture) mulai berkembang di Indonesia selama dekade
terakhir. Konsep tersebut berkembang dengan diterapkan teknologi pertanian organik pada berbagai
komoditas pertanian termasuk tanaman buah-buahan. Berdasarkan data yang diperoleh, kondisi agribisnis
buah-buahan di Indonesia mengalami peningkatan dalam jumlah produksi maupun ketersediaannya. Sasaran
produksi buah-buahan tahun 2004 sebesar 13,94 juta ton dengan prognosa produksi 14,37 juta ton; sasaran
produksi tahun 2005 sebesar 16,10 ton dan tahun sebesar 16,17 juta ton. Kualitas produk juga mengalami
peningkatan dengan dipasarkannya buah-buahan di supermarket atau fruit shop. Meskipun demikian tingkat
konsumsi buah masih rendah yaitu sebesar 30 kg/kap/th. Hal ini disebabkan karena secara umum tanaman
buah belum dikelola secara optimal khususnya komoditas salak (Thamrin, 2005).
Produksi tanaman buah-buahan di Kabupaten Sleman didominasi oleh tanaman salak terutama salak
pondoh. Populasi tanaman salak pondoh menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun
1999 populasi tanaman salak pondoh mencapai 2.378.305 rumpun, meningkat menjadi 2.940.943 rumpun
dari total populasi salak sebanyak 3.508.407 rumpun pada tahun 2002. Kecamatan Tempel merupakan salah
satu sentra produksi salak pondoh di Kabupaten Sleman yang mampu memasok kebutuhan buah salak untuk
pasar di dalam maupun luar Yogyakarta. Salak pondoh merupakan komoditas unggulan di Provinsi DIY
(Anonim, 2003).
Dalam rangka menghasilkan salak sesuai dengan standar mutu, dibutuhkan suatu perencanaan proses
produksi yang menjamin diperolehnya buah sesuai dengan standard mutu yang ditetapkan. Proses produksi
tersebut meliputi suatu serangkaian norma produksi yang baik atau sering disebut dengan GAP (Good
Agricultural Practice) SPO (Standard Procedure Operational) salak.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah Provinsi DIY telah mengambil kebijakan
untuk menempatkan kecamatan sebagai pusat pertumbuhan untuk memberdayakan masyarakat di pedesaan
(Anonim, 2004). Kecamatan Tempel adalah salah satu sentra komoditas salak pondoh di Kabupaten Sleman
482
Provinsi DIY yang potensial untuk dikembangkan. Tulisan ini bertujuan mengetahui potensi dan peluang
pengembangan usaha salak pondoh organik dengan pendekatan agribisnis.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis Duri Kencana, Dusun Salam Trumpon,
Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman pada bulan April-Juni 2006. Metode yang
digunakan adalah survai (Singarimbun dan Effendie, 1989).dan observasi lapang, analisis data dilakukan
secara deskriptif (Nazir, 1988). Data yang dikumpulkan meliputi sub sistem agribisnis (hulu, produksi, hilir
dan kelembagaan penunjang). Aktivitas diagnosis meliputi review data sekunder, wawancara terstruktur
dengan informan kunci dan kelompok tani serta observasi langsung di lapangan untuk mendapatkan
gambaran usaha budidaya yang dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sumberdaya Pertanian.
Lahan pertanian baik berupa sawah maupun tegalan mendominasi luas lahan fungsional yang ada di
wilayah pengkajian. Luas lahan wilayah sebesar 42,475 ha terdiri dari 32,217 ha areal pekarangan dan 10,258
ha lahan sawah. tanah berpasir (tekstur kasar dan porous/baras). Ketinggian wilayah 500-700 m dari
permukaan laut dan termasuk dataran medium. Curah hujan cukup tinggi sehingga ketersediaan air cukup
baik. Jenis komoditas dominan yang diusahakan adalah salak pondoh dengan tiga varietas yaitu Salak
Pondoh Super, Salak Pondoh Hitam dan Salak Pondoh Manggala, diselingi jenis lain yaitu salak pondoh
Gading, Nglumut. Ayu dan Madu. Luas lahan yang digunakan untuk areal budidaya salak 34,99 ha (rata-rata
4.373,75 m²/orang) dengan jumlah tanaman 106.050 rumpun (rata-rata 1.192 rumpun/orang).
Karakteristik Sumberdaya Manusia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota Klinik sebanyak 89 orang. Sebaran umur
relatif beragam, petani yang mempunyai umur kurang dari 15 tahun sebesar 0%, petani yang berumur 15-64
tahun 85% dan petani yang mempunyai umur diatas 64 tahun 15%. Tingkat pendidikan petani yang tamat SD
(30%); SMP (20%); SMA (40%) dan Perguruan Tinggi (10%). Mata pencaharian utama adalah sebagai
petani (85%), pegawai negeri (10 %), swasta (5%). Ditinjau dari aspek usia rata-rata petani 47,55 tahun yang
masuk kisaran produktif dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, dimungkinkan dapat dengan mudah
menerima inovasi teknologi usahatani menuju perubahan baik perubahan secara individu maupun kelompok.
Sistem Agribisnis Salak Pondoh.
Sistem agribisnis dibedakan menjadi kelembagaan agribisnis hulu, usaha/produksi dan hilir.
Kelembagaan agribisnis Klinik Teknologi Pertanian (Klinttan) Duri Kencana Sleman ditunjukkan pada
Tabel 1.
483
Tabel 1. Kelembagaan Agribisnis Usaha Budidaya Salak Pondoh Klinik Teknologi Pertanian (Klinttan) Duri Kencana
Sleman, D.I. Yogyakarta, 2006.
No Kegiatan Uraian
1. Agribisnis hulu a) Bibit
Sumber bibit berasal dari pembibitan oleh anggota sendiri
Jenis bibit adalah : salak pondoh super, jenis lainnya salak manggala dan hitam
b) Pupuk
Pupuk berasal dari pupuk bokashi dan kotoran kambing
Sumber pupuk bokashi bersertifikasi berasal dari perusahaan swasta; pupuk
kambing dari daerah luar (Purworejo)
c) Obat-obatan
Sumber penyedia obat dari anggota (biopestisida/agensia hayati)
2. Agribisnis usaha a) Lahan
Lahan di kawasan budidaya salak status milik sendiri
Luas areal lahan untuk budidaya salak 34,99 ha dengan rata-rata kepemlikian lahan 4.373,75 m2/orang
Pengolahan lahan dilakukan dengan alat berat (Beck hoe) karena kondisi tanah
keras, berbatu dan efisiensi tenaga
b) Skala Usaha
Skala usaha 1.192 rumpun setiap anggota kelompok dengan jumlah populasi
tanaman 106.050 rumpun
c) Pembibitan
Sistem pembibitan salak dilakukan dengan cara cangkok
Media cangkok menggunakan tanah menggunakan wadah dari botol minuman
kemasan atau botol infus
d) Pemupukan
Dosis pupuk yang diberikan 10 kg/tanaman diberikan pada enam bulan
pertama setelah tanam.
Frekuensi pemberian pupuk selanjutnya satu kali setahun, dengan dosis 10 kg/tanaman,
e) Penyakit
Penanggulangan hama penyakit dilaksanakan secara preventif dan kuratif
Langkah preventif dilakukan dengan pemeliharaan sanitasi lingkungan
Pencegahan dan pengendalian hama penyakit ditangani sendiri dengan
menggunakan cara mekanis dan biopestisida
3. Agribisnis hilir a) Panen dan Pasca Panen
Panen dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Panen raya biasanya jatuh pada
bulan Desember-Januari, panen sedang pada bulan Mei-Juni sedangkan panen kecil pada bulan Maret-April.
Pemanenan dilaksanakan oleh pemilik lahan dan atau tenaga kerja luar
keluarga
b) Pemasaran
Pemasaran dilakukan langsung oleh anggota di rumah atau pedagang
pengumpul
Jaringan pemasaran meliputi pasar lokal dan luar wilayah
c) Jaringan kelembagaan
Jaringan kerjasama kelompok antara lain dengan BPTP Yogyakarta, PT Telkom, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pariwisata, Travel Biro
Hubungan kerjasama dilakukan secara koordinatif dalam bentuk kerjasama
Bentuk kemitraan kelompok antara lain : penelitian dan pengkajian, kredit
lunak, sertifikasi produk, diseminasi teknologi dan lain-lain.
Pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM yang telah dilakukan antara lain
Sekolah Lapang Hama Penyakit Tanaman (SLPHT), SPO-GAP, komputer dan
internet
484
Pengembangan kelembagaan yang dilakukan meliputi: (1) kelembagaan pemasaran (produk salak
organik, target pasar); (2) kelembagaan petani/internal (pertemuan kelompok, arisan, pengajian), narasumber
teknologi; (3) kelembagaan penelitian (pengaruh pupuk, pemangkasan pelepah, sistem pengairan pipa (SIP)
dengan dinas, BPTP, direktorat tanaman buah, kelembagaan keuangan (BUMN, swasta, dinas) dan; (4)
Kelembagaan kemitraan dalam pengkajian dengan instansi terkait (BPTP, Dinas, Direktorat) dan permodalan
(Telkom, swasta)
Sistem agribisnis salak pondoh Klinttan Duri Kencana tercantum dalam Gambar 1.
Gambar 1. Sistem agribisnis salak pondoh Klinttan Duri Kencana Trumpon Sleman, D.I. Yogyakarta, 2006
Diseminasi Teknologi.
Diseminasi teknologi dilakukan oleh kelompok Klinttan Duri Kencana dengan melakukan
penyebarluasan teknologi kepada pengunjung yang datang ke lokasi budidaya salak pondoh. Kunjungan tamu
selama periode Januari-April 2006 (Gambar 2) mencapai 618 orang dengan komposisi menurut jenis profesi
adalah petani sebanyak 7 orang (1,13%), swasta sebanyak 72 orang (11,65%), mahasiswa/pelajar sebanyak
417 orang (67,48%) dan dinas/instansi sebanyak 122 orang (19,74%).
Gambar 2. Kunjungan tamu berdasarkan profesi tamu Klinttan Duri Kencana Sleman, D.I. Yogyakarta, Januari-April
2006
Berdasarkan asal tamu yang berkunjung ke Klinttan Duri Kencana, selama periode Januari-April
2006 tercatat sebanyak 615 orang (99,51%) berasal dari dalam negeri dan 3 orang (0,49%) dari luar negeri
Hulu Hilir
Pestisida
alami
ON FARM
Bibit Modal
Pupuk
organik
Alsintan
PERTANIAN ORGANIK
SDA,
SDM
Loka
l
Teknologi : Alsintan, Pupuk, Pestisida alami, bibit, pengairan, permodalan dst
Budidaya
Pemupukan HPT Pengairan
VISI
Pengolaha Distribusi
Promosi Sertifikasi
mutu
Jasa pendukung : Pemasaran, perkreditan, litbang
7
72
417
122
0
100
200
300
400
500
Orang
2006
Kunjungan Tamu Klinttan Duri Kencana
Tahun 2006
Petani
Swasta
Mhsw/ pelajar
Dinas/instansi7
72
417
122
0
100
200
300
400
500
Orang
2006
Kunjungan Tamu Klinttan Duri Kencana
Tahun 2006
Petani
Swasta
Mhsw/ pelajar
Dinas/instansi
485
(Gambar 3). Tujuan kunjungan tamu antara lain (1) mengetahui sistem budidaya salak pondoh organik; (2)
wisata agro; (3) studi banding; (4) penelitian dan pengkajian; (5) bantuan permodalan/perkreditan; (6)
kerjasama pemasaran dan; (7) pelatihan/magang.
Gambar 3. Kunjungan tamu berdasarkan asal tamu Klinttan Duri Kencana Sleman , D.I. Yogyakarta, Januari-April 2006
Pemanfaatan lahan untuk budidaya salak perlu memperhatikan aspek budidaya pertanian
berkelanjutan dengan memperhatikan aspek keruangan dan pelestarian lingkungan antara lain penggunaan
pupuk organik, pengembalian seresah ke tanah, pola distribusi air yang memadai dan aspek konversi lahan
untuk peruntukkan lain.
Penurunan kandungan bahan organik tanah dapat membawa dampak yang sangat luas bagi
keseimbangan lingkungan. Kandungan bahan organik tanah sangat berpengaruh terhadap kapasitas
memegang air di dalam tanah (water holding capasity). Jika kandungan bahan organik rendah maka akan
mengakibatkan daya menahan air di dalam tanah menjadi rendah sehingga potensi cadangan air di wilayah
tersebut akan mengalami penurunan, yang akan berakibat terhadap kelangsungan budidaya tanaman salak
karena salak memerlukan pasokan air yang cukup banyak dan kelembaban yang tinggi (Thamrin et al., 2004).
Rendahnya kandungan bahan organik tanah dapat pula menurunkan stabilitas agregat tanah.
Penurunan stabilitas agregat tanah dapat meningkatkan erosi tanah yang akan membawa implikasi yang luas
dan sangat buruk terhadap kualitas lingkungan. Banjir di daerah hilir dan kekeringan di daerah hulu
disebabkan oleh kandungan bahan organik yang rendah, stabilitas agregat tanah yang rendah dan erosi air
yang tinggi karena air di daerah hulu tidak dapat ditahan oleh tanah. Konversi lahan untuk peruntukkan non
pertanian dapat dilakukan untuk lahan-lahan yang tidak produktif sehingga aspek ekonomi masyarakat dan
kelestarian lingkungan dapat tetap terjaga.
Teknologi budidaya dan manajemen usaha salak pondoh diarahkan menuju produk organik dengan
menggunakan pedoman budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), standarisasi mutu, sertifikasi dan
labelisasi produk serta menjalin kerjasama dengan mitra usaha. Salak Sleman merupakan satu-satunya contoh
penerapan SPO salak yaitu pada Kelompok Tani Salak Pondoh (KLINTTAN) Duri Kencana dan telah
mendapatkan sertifikat klasifikasi mutu salak pondoh Prima 3. Strategi pengembangan usaha agribisnis dapat
dioptimalkan dengan melakukan pengembangan kelembagaan, optimalisasi potensi sumberdaya alam dan
perbaikan teknologi produksi menuju sertifikasi produk Prima 2.
KESIMPULAN
Praktek usahatani salak pondoh di lokasi pengkajian sudah berkembang maju. Potensi sumberdaya
alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan sangat mendukung berkembangnya agribisnis salak pondoh.
Kelembagaan kelompok tani menunjukkan bahwa jumlah petani anggota Klinik sebanyak 89 orang, luas
areal budidaya salak 34,99 ha (rata-rata 4.373,75 m²/orang) dengan jumlah tanaman 106.050 rumpun (rata-
rata 1.192 rumpun/orang). Teknologi budidaya dan manajemen usaha diarahkan menggunakan pedoman
budidaya yang baik (Good Agricultural Practices), standarisasi mutu, sertifikasi dan labelisasi produk serta
menjalin kerjasama dengan mitra usaha. Strategi pengembangan usaha dapat dilakukan dengan
pengembangan kelembagaan, optimalisasi potensi sumberdaya alam dan perbaikan teknologi produksi
menuju sertifikasi produk Prima 2.
3
615
0
100
200
300
400
500
600
700
2006
Kunjungan Tamu Klinttan Duri Kencana
Tahun 2006
Luar Negeri
Dalam negeri
3
615
0
100
200
300
400
500
600
700
2006
Kunjungan Tamu Klinttan Duri Kencana
Tahun 2006
Luar Negeri
Dalam negeri
486
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Penentuan Komoditas Unggulan Nasional di Propinsi dan Spesifik Daerah. Tim Asistensi.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Anonim. 2004. Sambutan Gubernur DIY pada Seminar Nasional Hasil-hasil penelitian dan Pengkajian
Teknologi Pertanian 28 Agustus 2004. Proc. Seminar Nasional Penerapan dan inovasi Teknologi
dalam Agribisnis sebaga\i upaya Pemberdayaan Rumahtangga Tani. Yogyakarta.
Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Singarimbun, M. dan S. Effendie. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.
Thamrin, M., B. Sudaryanto, R. Kaliky. 2004. Laporan Pemanfaatan Pelepah Salak Sebagai Bahan Baku
Kertas Seni. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta kerjasama dengan Dinas Pertanian
dan Kehutanan Kabupaten Sleman. Yogyakarta.
Thamrin, M. 2005. Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Good Agricultural Practises (GAP) Pada
Budidaya Salak Pondoh. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Peningkatan Mutu Salak Melalui
Penerapan Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Good Agricultural Practises (GAP). Denpasar
6-9 Juni 2005.
487
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN PADA HUTAN KEMASYARAKATAN
(HKm) DI DESA BLEBERAN KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNGKIDUL
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Wiendarti Indri W., Setyorini Widyayanti dan Sinung Rustijarno
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah dataran tinggi dengan tipe lahan kering beriklim kering. Komoditas
dominan yang diusahakan di kawasan hutan kemasyarakatan adalah tanaman pangan (jagung, ubi kayu, dan kacang
tanah). Tujuan pengkajian adalah mengetahui potensi dan peluang pengembangan usahatani tanaman pangan sebagai
tanaman sela hutan jati dengan pendekatan agribisnis. Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Tani Manunggal”, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul pada bulan Januari – April 2006. Metode yang
digunakan adalah survai dan observasi lapang, analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jumlah anggota 167 orang, meningkat 76%, luas areal HKm 135 ha dari semula 40 ha (naik 66%). Teknologi
budidaya (on farm) diarahkan menuju pola integrasi tanaman-ternak dengan pemanfaatan pupuk organik dari ternak sapi. Diseminasi teknologi terlihat dari frekuensi kunjungan tamu pada tahun 2005 mencapai 100 orang dan periode Januari-
April 2006 sebanyak 77 orang atau naik 287% dalam periode yang sama. Pengembangan agribisnis off farm diarahkan
menuju agroindustrial pedesaan melalui pengolahan/pasca panen produk pertanian. Strategi pengembangan usaha dapat
dilakukan dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, pengembangan kelembagaan petani, optimalisasi potensi sumberdaya alam, perbaikan pemasaran, kelembagaan permodalan dan perbaikan teknologi produksi.
Kata kunci : pengembangan, agribisnis, hutan kemasyarakatan
PENDAHULUAN
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan wilayah seluas 318.580 ha terdiri dari lahan sawah,
tegal, pekarangan dan hutan serta terbagi menjadi wilayah dataran rendah dan dataran tinggi. Gunungkidul
sebagai salah satu kabupaten di wilayah DIY memiliki wilayah seluas 1.485,32 km² merupakan daerah
dataran tinggi kapur dengan tipe lahan kering beriklim kering.
Bertambahnya jumlah penduduk dan kondisi lahan kritis yang miskin unsur hara tanaman, serta
meningkatnya kebutuhan hidup terhadap kebutuhan pangan telah mendorong masyarakat tani di kawasan
hutan Gunungkidul untuk memanfaatkan hutan kemasyarakatan (HKm) untuk bercocoktanam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut lembaran daerah Gunungkidul (2003), pemanfaatan hutan
kemasyarakatan dengan mengelola hutan negara diperkenankan dengan tujuan untuk memberdayakan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan dan tetap menjaga
kelestarian ekosistem didalamnya (Septiaji dan Fuadi, 2004). Pemanfaatan dan pengelolaan hutan
kemasyarakatan diantaranya dengan menanam tanaman pangan yang ditumpangsarikan dengan tanaman
pokok (tanaman jati, mahoni, sengon).
Luas hutan kemasyarakatan yang telah dimanfaatkan di Kabupaten Gunungkidul hingga tahun 2005
mencapai 4.000 ha dan saat ini telah dikelola oleh 35 kelompok tani dengan jumlah anggota resmi sebanyak
6.000 orang. Komoditas pertanian yang telah diusahakan di kawsan hutan adalah tanaman pangan seperti
padi gogo, jagung, ubi kayu dan kacang tanah yang ditumpangsarikan diantara tanaman jati muda berumur
kurang dari 1 tahun dengan menggunakan teknologi anjuran spesifik lokasi hasil pengkajian BPTP. Tujuan
pengkajian adalah untuk mengetahui potensi dan peluang pengembangan tanaman pangan sebagai tanaman
sela hutan jati dengan pendekatan agribsinis.
METODOLOGI
Pengkajian dilakukan di Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Tani Manunggal” di dusun Menggoran II,
Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, DIY yang termasuk dalam wilayah kawasan
hutan kemasyarakatan. Pengkajian ini menggunakan metode survai (Singarimbun dan Effendie, 1989) dan
observasi lapang, yang dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2006. Jumlah sampel
sebanyak 30 responden anggota klinik yang ditentukan dengan metode acak sederhana (sample random
method). Data yang terkumpul selanjutnya di analisis secara komprehensif dari permasalahan yang dihadapi,
analisis data dilakukan secara deskriptif (Nazir, 1995).
488
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Sumberdaya Pertanian
Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Tani Manunggal” berada di kawasan hutan kemasyarakatan petak
86 RPH Menggoran, BDH Playen dusun Menggoran II, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Gunungkidul
(Anonimous, 2005). Topografi lahan di kawasan hutan kemasyarakatan berkisar antara daerah datar sampai
berlereng dengan kemiringan 0 – 15% sampai dengan kemiringan 30 – 40%. Ketebalan lapisan tanah
umumnya relatif tipis rata-rata sekitar 15 cm, dan di daerah puncak bukit lebih didominasi dengan batu kapur,
sehingga tanaman pangan tidak dapat tumbuh dengan baik (Hanafi et al., 2005).
Pada saat sebelum tahun 1999, wilayah hutan ini masih dalam kondisi baik dan ditumbuhi
pepohonan jati yang siap panen. Pada tahun 1999 – 2000 telah terjadi penebangan hutan besar-besaran di
wilayah hutan negara sehingga banyak yang menjadi gundul yang berdampak pada kehidupan masyarakat
sekitar karena tidak lagi dapat merumput, menggembala, mencari kayu bakar dan keberadaan sumber air
yang menurun jumlah dan volume debitnya. Sejak tahun 2002, KT ”Tani Manunggal” mengajukan ijin
menggunakan lahan HKm untuk bercocok tanam dan telah mengelola lahan sela tersebut dengan tanaman
pokok padi, jagung dan kacang tanah dengan teknologi tradisional atau seadanya. Ijin penggunaan lahan
sementara telah dikeluarkan dari Bupati Gunungkidul pada tahun 2003. Introduksi teknologi tumpangsari
spesifik lokasi dilakukan sejak tahun 2003 dan melalui wadah Klinik Teknologi dan Agribisnis pada tahun
2004, usaha pengembangan tanaman panagan dengan memanfaatkan lahan hutan kemasyarakatan terus
dilakukan.
Kawasan hutan kemasyarakatan Bleberan hingga saat ini telah dikelola dengan cukup baik. Hal ini
terlihat dengan terus bertambahnya luas areal pengelolaan hutan kemasyarakatan dari 40 ha menjadi 200 ha
atau meningkat sebesar 80%, (Tabel 1). Pertambahan luas areal pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut
terjadi karena bertambah pula jumlah anggota kelompok dari keanggotaan semula 40 orang menjadi 167
orang atau meningkat 76%. Bertambahnya jumlah anggota menunjukkan kesadaran warga tani untuk
berkelompok dengan tujuan memecahkan permasalahan usahatani yang mereka hadapi secara bersama-sama.
Melalui kelompok disepakati untuk lebih mengoptimalkan fungsi hutan kemasyarakatan dengan
menanam tanaman pangan (jagung, ubi kayu, dan kacang tanah) diantara tanaman jati muda dengan
menggunakan teknologi yang dianjurkan. Dengan demikian diperoleh dua keuntungan yaitu terjaganya
fungsi hutan kemasyarakatan dan terpenuhinya kebutuhan pangan warga dikitar hutan kemasyarakatan.
Tabel 1. Peningkatan Luas Areal Pengelolaan HKm dan Jumlah Keanggotaan Klinik ”Tani Manunggal” Dusun
Menggoran II, Desa Bleberan, Playen, Gunungkidul, 2005.
Tahun Lokasi Jumlah anggota Luas areal (ha)
1997 Menggoran II 40 -
2002 Menggoran II 97 40
2003 Menggoran II 100 40
2004 Menggoran II 157 135
2005 Menggoran II 167 200
2. Karakteristik Sumberdaya Manusia
Menurut tingkat pendidikan (Gambar 1), anggota Klinik ”Tani Manunggal” penggarap hutan
kemasyarakatan terdiri dari 60% berpendidikan sekolah dasar (SD), 10% berpendidikan menengah (SLTP),
27% berpendidikan SLTA dan 3% berpendidikan Sarjana. Walaupun tingkat pendidikan anggota relatif
rendah, namun pengelolaan hutan kemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh
pengaruh figur/sosok pimpinan yang kharismatis yang dihormati oleh anggota diantaranya karena
berpendidikan paling tinggi (sarjana), kemampuannya dalam memimpin dan kebiasaan saling tolong
menolong dan bergotongroyong yang erat sebagai kearifan lokal, sehingga setiap kebijakan dan keputusan
selalu dikomunikasi bersama, dapat diterima dan disepakati bersama.
Sebaran umur anggota relatif beragam yaitu terdiri dari 20% berusia 23 – 37 tahun, 67% berusia 38 –
51 tahun dan 13 % berusia 52 – 65 tahun. Melihat sebaran umur yang sangat beragam anggota Klinik Tani
Manunggal penggarap hutan kemasyarakatan didominasi oleh anggota berumur cukup produktif (38 – 51
tahun). Sebaran usia tersebut masih cukup produktif dan mampu menerima inovasi teknologi dengan
bertanggungjawab, sehingga masih dimungkinkan untuk melakukan introduksi teknologi dan upaya
pengembangan usahatasni bidang pertanian ke arah industri pedesaan.
489
Gambar 1. Grafik keragaman karakteristik responden yang diamati di Desa Bleberan, Pasyem, Gunung Kidul, 2005
Sumberdaya manusia yang cukup potensial dan belum sama sekali tersentuh dan dimanfaatkan
selama ini adalah potensi para ibu-ibu petani (istri petani). Pemberdayaan perempuan dilakukan melalui
pembentukan kelompok perempuan bidang usaha pemasaran hasil pengolahan pangan non beras. Usia ibu-
ibu yang relatif muda dalam kelompok perempuan ini (20 – 40 tahun) sangat potensial untuk mendapatkan
bimbingan dalam upaya meningkatkan nilai tambah komersial produk pertanian hasil usaha pertanian.
Peranan kelompok perempuan ini sangat penting dalam mengembangkan usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota keluarga.
3. Strategi Pengembangan Agribisnis Tanaman Pangan
Dalam pengembagan agribisnis tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan hutan kemasyarakatan,
organisasi klinik teknologi dan agribisnis menerapkan beberapa strategi pengembangan
a) Meningkatkan kapasitas koperasi yang telah dirintis dengan legalitas (berbadan hukum) dengan
unit usaha : Unit Sarana Produksi, Unit Simpan Pinjam, Unit usaha Peternakan dan Pertanian,
Unit Usaha Industri Kecil
Embrio koperasi yang telah ada, dipercepat untuk menjadi berbadan hukum dengan organisasi yang
ditetapkan sesuai kebutuhan. Melalui koperasi yang telah berbadan hukum ini akhirnya bisa mendapat
bantuan modal untuk simpan pinjam sebesar 50 juta rupiah dari Dinas Perekonomian Pemda
Gunungkidul. Mendapat kepercayaan dari berbagai pihak (swasta) untuk memasarkan hasil dan
kemudahan mendapat sarana produksi.
b) Peningkatan kapasitas SDM dengan pelatihan dan kunjungan/magan
Peningkatan kapasitas SDM selain untuk meningkatakan kemampuan berorganisasi memperkuat unit
koperasi dan mengelola kelompok, juga pelatihan teknis seperti SLPHT dalam pembuatan biopestisida,
pelatihan dan kunjungan ke unit industri pengolahan bahan produk pertanian untuk meningkatkan nilai
tambah komersial bahan pangan bagi perempuan tani dalam pengembangan industri kecil, kunjungan ke
unit pengolahan pupuk organik bagi petani unit usaha pupuk.
c) Penggunaan teknologi anjuran spesifik lokasi dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan dan
pengolahan hasil panen
Penggunaan teknologi pola-tanam tumpangsari tanaman pangan-jati muda
Teknologi pola-tanam tumpangsari untuk mendapatkan pola tanam yang produktif diarahkan
menuju pola integrasi tanaman-ternak dengan memanfaatkan pupuk organik dari kotoran ternak sapi
yang telah diolah terlebih dahulu dan penggunaan benih berkualitas. Teknologi pola-tanam tumpangsari
yang dianjurkan adalah tumpangsari jagung - kacang tanah - ubi kayu - jati muda umur 1 tahun.
Usahatani tanaman pangan pola tumpangsari dilakukan pada awal musim hujan dengan menanam benih
pada saat menjelang hujan turun (tanam ngawu-awu). Penanaman diawali dengan penanaman singkong,
kemudian penanaman benih jagung dengan jarak tanam 75 x 45cm, kemudian benih kacang tanah
dengan jarak tanam 20 x 20 cm ditanam di sela-sela tanaman jagung. Pada tahun 2004 pola tumpangsari
yang dilakukan dengan menggunakan benih jagung P-11 dengan sumbangan hasil tumpangsari yang
diberikan sebesar 1,5 ton/ha. Kacang tanah varietas lokal dengan memanfaatkan lahan 2/3 bagian dengan
hasil rata-rata yang disumbangkan dari pola tumpangsari inisebesar 1,5 ton/ha. Sumbangan dari ubi kayu
sebesar rata-rata 3 ton/ha. Demikian juga pada tahun 2005 pola penanaman tumpangsari jagung - kacang
muda;
20%
cukup
tua; 67%
sangat
tua ; 13%
kategori umur
muda;
20%
cukup
tua; 67%
sangat
tua ; 13%
kategori umur kategori pendidikan
SD
60%SLTP
10%
SLTA
27%
Sarjana
3%
kategori pendidikan
SD
60%SLTP
10%
SLTA
27%
Sarjana
3%
490
tanah dan ubi kayu juga tetap dilakukan dengan menggunakan jagung varietas BISMA dan P-11. Pada
tahun 2005, produksi jagung varietas BISMA mencapai 7 ton bobot basah dari luasan 2 ha.
Penggunaan teknologi pembuatan pupuk organik dan bio-pestisida
Berdasarkan hasil survai, jumlah ternak sapi yang dimiliki oleh kelompok berjumlah 333 ekor
sapi yang masing-masing terdiri dari keturuanan Simental, Peranakan Ongole (PO) dan Limosin dan 5
ekor kambing. Masing-masing anggota rata-rata memiliki 2 ekor sapi potong. Petani anggota
Klinik ”Tani Manunggal” sebagian masih memelihara ternak sapinya untuk mencukupi kebutuhan
usahatani di hutan kemasyarakatan sebagai penyedia pupuk kandang. Teknologi pembuatan pupuk
organik telah sangat dikuasai kelompok namun baru diterapkan oleh sebagian anggotanya yang telah
memahami pentingnya kualitas dan efisiensi penggunaan pupuk. Selain teknologi pengolahan pupuk
organik, anggota klinik telah pula dilatih menerapkan teknologi pembuatan Bio-pestisida untuk
mengurangi penggunaan bahan kimia dan kembali menggunakan pestisda alami dalam pengembangan
usaha agribisnis tanaman pangan.
Penggunaan teknologi pembuatan Complete Feed
Mengingat daerah Gunungkidul merupakan lahan kering, salah satu permasalahan yang harus
diatasi adalah pemenuhan kebutuhan pakan ternak di musim kemarau. Introduksi teknologi pembuatan
Complete Feed yang telah dilakukan sejak tahun 2003 melalui kegiatan pengkajian dengan
memanfaatkan limbah panen tanaman pangan seperti tongkol jagung, kulit kacang tanah, maupun kulit
dan batang singkong telah diterapkan dan dikembangkan oleh anggota klinik untuk memenuhi
kebutuhan pakan ternak sapi pada musim kemarau. Pakan lengkap ini mampu mengatasi permasalahan
petani dan dalam perkembangannya, selain digunakan sendiri, pembuatan Complete Feed ini menjadi
usaha komersial yang diperdagangkan pula oleh Klinik.
Penggunaan teknologi pengolahan/pasca panen hasil pertanian
Pengelolaan hutan kemasyarakatan di dusun Menggoran II, Desa Bleberan dengan pola tanam
tumpangsari tanaman pangan dengan tanaman jati mampu memberikan hasil produksi melimpah.
Produksi hasil pertanian baik kacang tanah, jagung, dan ubi kayu yang melimpah sebagian diolah
sebagai bahan olahan pangan non beras untuk meningkatkan nilai tambah komersial. Melalui wadah
organisasi klinik, teknologi pengolahan pasca panen produk pertanian diberikan kepada ibu-ibu dalam
mengembangkan usaha agribisnis off farm yang mengarah pada agroindustrial pedesaan. Kegiatan ini
mampu menarik 16 orang ibu-ibu yang berinisiatif memberdayakan peran perempuan untuk melakukan
suatu kegiatan yang produktif yang dapat menambah pendapatan keluarga dengan membentuk kelompok
usaha industri rumah tangga.
Produk olahan pangan yang telah dihasilkan dan dipasarkan antara lain : keripik singkong,
keripik ubi, peyek, enting-enting kacang tanah, dan emping jagung. Pada pertengahan tahun 2005
kegiatan ini mampu menarik anggota baru hingga mencapai 20 orang dan awal tahun 2006 kelompok ini
bertambah menjadi 23 orang ibu-ibu (naik 42%). Produk-produk olahan tersebut mempunyai potensi
yang cukup baik untuk dijual ke pasaran. Permintaan produksi olahan pangan terus meningkat dari
waktu ke waktu. Pemasaran dilakukan di pasar lokal, tradisional desa, kecamatan dan dalam wadah temu
usaha lintas klinik di tingkat provinsi.
d) Menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak
Berdasarkan hasil survai, organisasi klinik telah melakukan jalinan kerjasama pemasaran
dengan berbagai pihak. Kerjasama banyak dilakukan melalui media temu usaha dan kunjungan/studi
banding baik yang datang ke lokasi maupun pada saat melakukan studi banding keluar. Diantaranya
dengan PT. Pusri dan Bulog untuk memasarkan produk jagung. Kerjasama dilakukan dengan swasta
dalam penyediaan sarana produksi untuk unit usaha saprodi.
Sebagaimana tim pembina dalam struktur organisasi, organisasi klinik juga telah memanfaatkan
berbagai kelembagaan yang ada untuk mengembangkan organisasi dan kegiatannya. Dari kelembagaan
permodalan, diperoleh bantuan pinjaman modal dari dinas Sosial Gunungkidul untuk pengembangan
sapi potong sebanyak 8 paket masing-masing paket bernilai Rp 3.500.000,-. Diperolehnya pinjaman
modal dari Dinas perekonomian Gunungkidul sebanyak Rp 50.000.000,- untuk pengembangan simpan
pinjam di unit koperasi.
e) Penyebaran informasi teknologi dan produk pertanian
Penyebaran informasi teknologi juga menjadi salah satu peluang keberhasilan klinik Tani
Manunggal. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pengamatan secara deskriptif diketahui bahwa
491
frekuensi kunjungan tamu periode tahun 2005 hingga awal 2006 meningkat tajam. Kunjungan tamu
diantaranya berasal dari 10,2% dinas baik dari luar pulau Jawa, 35% dinas dari pulau Jawa, 0,56%
berasal dari Pusat Penelitian Pertanian (Puslitan), 1,13%dari Direktorat Jenderal Pertanian, 0,56% dari
BPTP luar Yogyakarta, 11,29% swasta, 9,04% mahasiswa dan 1,13% petani. Pada tahun 2005
kunjungan tamu ke Klinik Tani Manunggal mencapai 100 orang dan pada awal tahun 2006 periode
Januari hingga April kunjungan tamu mencapai 77 orang atau mengalami peningkatan sebesar 87%.
Tamu yang berkunjung ke Klinik Tani Manunggal biasanya bertujuan untuk mengetahui
kondisi ataupun keberhasilan teknologi pertanian di lahan kering, studi banding, maupun mengikuti
pelatihan pengelolaan dan modal kelembagaan hutan kemasyarakatan. Selain kunjungan tamu, klinik
telah pula dipercaya sebagai fasilitator pelatihan bagi kelompok tani kehutananan se-Gunungkidul.
Klinik diminta untuk mengajarkan mengenai berbagai teknologi anjuran yang diterapkan dalam
pengelolaan hutan kemasyarakatan penanaman tanaman pangan yang telah diterapkan di kawasan hutan
dengan pola tumpangsari dan pengelolaan hutannya. Sekitar 35 kelompok atau 350 orang petani telah
dilatih mengenai berbagai teknologi anjuran yang telah dikuasai oleh seluruh anggota klinik, antara lain
pembuatan Complete Feed, pola integrasi ternak-tanaman dengan pola tanam tumpangsari tanaman
pangan – tanaman jati dan penanganan atau pengolahan pasca panen hasil pertanian.
KESIMPULAN
1. Pemanfaatan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat dalam
pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup sekaligus untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Klinik Tani Manunggal yang sebagian besar anggotanya adalah petani
penggarap hutan kemasyarakatan sangat antusias dalam mengusahakan pertanian di hutan
kemasyarakatan.
2. Beberapa kemajuan yang diperoleh diantaranya adalah bertambahnya keanggotaan kelompok sebesar
76% dari jumlah awal 40 orang menjadi 167 orang. Luas aeral hutan kemasyarkatan meningkat sebesar
80% (dari 40 ha - 200 ha), dan peningkatan kemampuan perempuan tani dalam pengelolaan pasca panen
produk usahatani, dan penggunaan teknologi anjuran spesifik lokasi. Adopsi teknologi mencakup
pengelolaan tumpangsari tanaman jagung, ubi kayu dan kacang tanah yang hasil panennya
dikembangkan menjadi usaha agribisnis industri pedesaan seperti pembuatan complete feed, pupuk
organik, biopestisida, maupun pengolahan produk menjadi produk bahan pangan non beras. Kemajuan
diikuti pula oleh kemampuan menyebarluaskan informasi pertanian kepada tiap tamu yang berkunjung.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2005. Pengembangan Koperasi dengan Unit Usaha Kecil Dalam Pengelolaam HKm
BPS, 2002. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Badan Pusat Stasistik Yogyakarta.
Hanafi, H. Soeharsono, dan Kurnianita, 2005. Pengembangan Kelembagaan Dan Perubahan Sosial Petani Di
Kawasan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional BPTP Yogyakarta – LIPI – UGM. Implementasi Hasil Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta 10 September
2005.
Nazir, 1995. Metode Penelitian. Ghalia. Indonesia.
Septiaji, D. dan F. Fuadi, 2004. HKm Meretas Jalan. Konsorsium Pengembangan Hutan Kemasyarakatan
(KPHKm) Kabupaten Gunungkidul.
Singarimbun dan S. Effendie, 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
492
KERAGAAN KONVERSI LAHAN SAWAH UNTUK SALAK PONDOH DI KECAMATAN
TEMPEL KABUPATEN SLEMAN
Setyorini Widyayanti, Rahima Kaliky dan M.Thamrin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Salak pondoh telah mendominasi penggunaan lahan pertanian produktif di Kecamatan Tempel Kabupaten
Sleman. Tujuan penelitian untuk mengetahui keragaan populasi salak pondoh dan alih guna lahan sawah dari tanaman pangan ke salak pondoh di Kecamatan Tempel. Penelitian dilakukan di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel pada
bulan Agustus-September 2005, dengan metode survai. Penentuan lokasi dan sampel petani dengan metode acak
sederhana (random sampling), jumlah responden sebanyak 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan, luas panen salak
pondoh di kecamtan Tempel pada tahun 1999 adalah 473.493 rumpun, dan pada tahun 2004 menjadi 1.612.250 rumpun. Kondisi ini mengakibatkan terjadi pergeseran alih guna lahan sawah dari tanaman pangan ke hortikultura (salak pondoh)
sebesar 1.56% dimana pada tahun 1999 luas lahan Kecamatan Tempel seluas 1753 ha dan pada tahun 2004 menjadi 1.721
ha.
Kata kunci : konversi, lahan sawah, salak pondoh
PENDAHULUAN
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki wilayah seluas 3.185,80 km² yang terbagi dalam
empat wilayah kabupaten dan satu wilayah kota. Salah satu kabupaten diantaranya adalah Sleman.
Kabupaten Sleman meliputi wilayah seluas 574,82 km² yang membentang mulai 107° 15‟ 03” sampai dengan
100° 29‟ 30” Bujur Timur, dan 7° 34‟ 51” sampai 7° 47‟ 03” Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Sleman
berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Klaten disebelah timur, Kabupaten
Bantul di sebelah selatan serta Kabupaten Kulonprogo di sebelah barat (BPS, 2002).
Berdasarkan letak topografinya Kabupaten Sleman berada pada ketinggian 100 sampai dengan
2.500 meter di atas permukaan air laut. Wilayah Kabupaten Sleman bagian selatan merupakan daerah dataran
rendah, sementara wilayah Kabupaten Sleman bagian utara merupakan daerah perbukitan dengan batas akhir
lereng Gunung Merapi yang merupakan kawasan yang memiliki kesuburan tanah tinggi dan kaya akan
sumberdaya air (Anonimus, 2005). Karenanya wilayah lereng Gunung Merapi sangat sesuai untuk budidaya
pertanian baik tanaman pangan maupun hortikultura, salah satu komoditas hortikultura yang banyak
dibudidayakan adalah salak pondoh.
Tanaman buah salak pondoh (Sallacca zallaca L. „Pondoh‟) (Purnomo, 2001) merupakan tanaman
buah yang menjadi komoditas unggulan dan andalan bagi wilayah Kabupaten Sleman. Berdasarkan data
yang diperoleh dari BPS DIY, pada periode tahun 2003 – 2004 produksi salak di DIY mengalami
peningkatan signifikan sebesar 55.8%. Terbukti dari jumlah rumpun salak sebesar 3.933.050 rumpun pada
tahun 2003 yang mampu menghasilkan 310,461 ton menjadi 4.651.545 rumpun pada tahun 2004 dengan
hasil produksi sebesar 702,71 ton. Jumlah populasi dan produksi salak di DIY dalam 5 tahun terakhir seperti
terlihat pada grafik berikut:
Gambar 1. Grafik Populasi dan Produksi Salak di Sleman
-
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
1999 2000 2001 2002 2003 2004
Populasi dan produksi salak DIY
Populasi (rumpun) Produksi ( kw)
-
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
1999 2000 2001 2002 2003 2004
Populasi dan produksi salak DIY
Populasi (rumpun) Produksi ( kw)
493
Populasi salak pondoh yang terus meningkat dari tahun ke tahun diduga akan mempengaruhi
penggunaan lahan sawah dan pekarangan di Kabupaten Sleman. Berdasarkan data BPS tahun 2004, distribusi
lahan wilayah Kabupaten Sleman terdiri dari lahan sawah 23.255 hektar, tegal 6.417 hektar, pekarangan
seluas 18.956 hektar dan lahan non pertanian 8.854 hektar. Karena itu penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keragaan populasi salak pondoh dan alih guna lahan sawah dari tanaman pangan ke salak pondoh
di Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode survai dan pengamatan langsung, yang dilakukan pada bulan
Agustus sampai dengan bulan September 2005 di Desa Trumpon, Merdikorejo, Kecamatan Tempel,
Kabupaten Sleman, DIY. Penentuan lokasi secara purposive dengan pertimbangan desa tersebut merupakan
sentra produksi salak pondoh dan merupakan desa binaan Klinik Teknologi Pertanian-BPTP Yogyakarta.
Sedangkan jumlah sampel sebanyak 20 responden ditentukan dengan metode acak sederhana (sample
random). Data yang terkumpul selanjutnya di analisis secara komprehensif dari permasalahan yang dihadapi,
analisis data dilakukan secara deskriptif (Singarimbun dan Sofyan, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu faktor keberhasilan pembangunan nasional ditentukan oleh peningkatan pembangunan di
sektor pertanian. Pembangunan bidang pertanian bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan,
peningkatan kesejahteraan petani, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesempatan berusaha di
wilayah pedesaan. Upaya tersebut akan berhasil apabila mendapatkan dukungan dari pemerintah serta
mendapatkan dukungan teknis, sosio-budaya-ekonomi serta faktor-faktor biofisik daerah. Salah satu faktor
biofisik yang dapat mendukung keberhasilan adalah faktor sumber daya lahan dan air yang dapat menentukan
peningkatan kualitas produksi komoditas pangan daerah (Abdurahman et.al, 1999).
Potensi sumber daya lahan di Kabupaten Sleman yang memiliki luas 57.482 hektar terbagi menjadi
lahan sawah 23.255 hektar, tegal 6.417 hektar, pekarangan seluas 18.956 hektar dan lahan non pertanian
seluas 8.854 hektar. Lahan sawah masih dibedakan menjadi sawah irigasi teknis dan sawah irigasi semi
teknis (Suharto et.al, 2002). Lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten Sleman memiliki luas 9.960 hektar dan
sawah irigasi semiteknis seluas 8.665 hektar (BPS, 2004).
Tanaman salak merupakan salah satu jenis tanaman buah yang disukai sehingga mempunyai
prospek yang cukup baik untuk dikembangkan. Jenis tanaman salak- bermacam-macam, seperti salak
pondoh, salak swaru, salak nglumut, salak gula batu (jenis asal Bali), dan lain-lain (warintek-Menristek 2004).
Di Kabupaten Sleman, selain salak pondoh turut pula dikembangkan jenis tanaman salak lain seperti jenis
salak biasa dan salak Gading. Namun populasinya relatif kecil dibandingkan salak pondoh seperti dilihat
pada Tabel 1 yang memperlihatkan populasi, jumlah produksi, dan rerata produksi berbagai jenis salak di
Kabupaten Sleman.
Tabel 1. Populasi, Produksi, Rerata Produksi Berbagai Jenis Salak di Kabupaten Sleman.
Jenis Salak Uraian Tahun
2000 2001 2002 2003 2004
Salak Pondoh luas panen (rumpun) 2.759.618 2.305.716 2.940.943 3.191.896 3.976.011
produksi (kw) 242.831,38 203.386,00 256.887 266.938 360.727
rerata prod (kg/rumpun) 8,80 7,61 8,73 8,36 9,7
Salak Gading luas panen (rumpun) 9.466 9.458 12.582 17.002 17.002
produksi (kw) 732,67 763,00 1.015,37 1.379 17.002
rerata prod (kg/rumpun) 7,74 7,45 8,07 8,11 9,77
Salak Biasa luas panen (rumpun) 563.441 548.304 554.882 399.499 523.499
produksi (kw) 41.175,00 38.564 40.074,48 32.552 523.499
rerata prod (kg/rumpun) 7,31 5,72 7,22 8,15 9
Jumlah luas panen (rumpun) 3.332.525 2.863.478 3.508.407 3.608.397 4.516.512
produksi (kw) 284.739 242.713 297.977 300.869 408.251
rerata prod (kg/urmpun) 8 7 8 8 10
Sumber : BPS, Sleman Dalam Angka,2003 dan 2004 (diolah)
494
Peningkatan populasi salak pondoh akan selalu mempengaruhi kondisi lahan pertanian di Kabupaten
Sleman. Artinya semakin tinggi populasi salak pondoh, maka semakin tinggi pula luas lahan yang
dipergunakan. Sebagai komoditas unggulan daerah, berbagai upaya akan dilakukan untuk terus mendongkrak
atau mengoptimalkan produksi salak pondoh. Salah satunya dengan pengembangan dan pemanfaatan potensi
lahan yang ada di Kabupaten Sleman. Pemanfaatan potensi lahan untuk tanaman salak pondoh menggunakan
lahan persawahan tidak hanya sekedar wacana. Pada beberapa sentra produksi salak pondoh telah terjadi
fenomena alih guna lahan pertanian dari lahan sawah menjadi tanaman salak pondoh seperti di Kecamatan
Tempel. Pada tahun 2000 luas sawah di Kecamatan Tempel adalah 1.748 ha. Kondisi ini mengalami
perubahan pada tahun 2004 dimana areal luas lahan sawah menjadi 1.721 ha. Di lain pihak populasi salak
pondoh di Kecamatan Tempel pada tahun 2000 sebesar 475.715 rumpun yang meningkat menjadi 1.612.250
rumpun pada tahun 2004. Keadaan ini membuktikan bahwa telah terjadi konversi lahan di Kecamatan
Tempel dari lahan sawah menjadi tanaman salak pondoh dalam kurun waktu 5 tahun sebesar 1,5%.
Peningkatan dan penurunan luas lahan salak pondoh dan lahan sawah seperti terlihat pada grafik 3.
Sumber : BPS, yang diolah
Gambar 2. Peningkatan luas salak pondoh dan penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Sleman
Peningkatan alih penggunaan lahan sawah menjadi tanaman salak pondoh selain dipengaruhi oleh
anggapan petani yang memandang tanaman salak pondoh lebih memberikan keuntungan baik secara financial
juga dianggap menguntungkan dari segi konservasi lingkungan yang berhubungan dengan fungsi lahan
sekitar lereng Gunung Merapi sebagai daerah penyangga (buffer zone) tata air bagi sebagian besar wilayah
DIY (BPTP, 2003). Pergeseran guna lahan terlihat sangat jelas seperti pada kasus di Desa Trumpon,
Merdikorejo, Tempel, Sleman. Berdasarkan hasil penelitian, lahan sawah yang dimiliki oleh responden yang
juga merupakan anggota Klinik Teknologi dan Agribisnis ”Duri Kencana”, seluas 64.810 m². Namun lahan
sawah seluas 62.510 m² atau sekitar 3,67%-nya telah beralih guna menjadi lahan tanaman salak pondoh
seperti terlihat dalam Tabel 2.
L.Panen salak pondoh (rumpun)
475715415744
9510331049590
1612250
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
L.Panen salak pondoh (rumpun)
L.Panen salak pondoh (rumpun)
475715415744
9510331049590
1612250
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
1400000
1600000
1800000
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
L.Panen salak pondoh (rumpun)
L. Lahan padi (ha)
1748
17281727
17231721
1715
1720
1725
1730
1735
1740
1745
1750
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
L. Lahan padi (ha)
L. Lahan padi (ha)
1748
17281727
17231721
1715
1720
1725
1730
1735
1740
1745
1750
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
L. Lahan padi (ha)
495
Tabel 2. Prosentase Alih Guna Lahan Pada Contoh Kasus Desa Trumpon, Merdikorejo Tempel, Sleman.
No Nama Responden Luas Kepemilikan Lahan
Sawah (m²)
Luas Pemilikan Lahan Sawah
Menjadi Tanaman Salak
Pondoh (m²)
1 H. Musrin Bsc. 8.000 6.500
2 Suyatno 700 700
3 Hartono 6.160 6.160
4 Juwandi 1.800 1.800
5 Jumiran 4.000 3.700
6 Eko Suwarno 6.500 6.000
7 Setyo Widodo 1.000 1.000
8 Slamet Priyanto 2.600 2.600
9 Amirudin 500 500
10 Nuryadi 800 800
11 Hadi Suwanto 12.000 12.000
12 Witanto 1.000 1.000
13 Rahmat Subani 5.000 5.000
14 Suradi 2.000 2.000
15 Suhardji 4.300 4.300
16 Suyadi 3.000 3.000
17 Jamidin 350 350
18 Suroso 1.500 1.500
19 Harja suseno 600 600
20 Hadi Siswoyo 3.000 3.000
Jumlah 64.810 62.510
Prosentase (%) 3,67
Sumber : data primer
Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa usaha salak pondoh merupakan komoditas yang paling banyak
dikembangkan.
KESIMPULAN
Areal tanaman salak pondoh di Kabupaten Sleman berkembang sangat cepat, bahkan setiap tahun
luas lahan tanaman salak pondoh terus meningkat sehingga merambah penggunaan lahan sawah. Hasil
pengamatan menunjukkan di Kecamatan Tempel pergeseran guna lahan sawah menjadi tanaman salak
mencapai 1,5% bahkan penelitian khusus di Desa Merdikorejo, Tempel, Sleman menunjukkan bahwa 3,67 %
dari luas lahan sawah yang ada telah beralih guna menjadi tanaman salak pondoh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., Irsal L., A.Hidayat dan E.Pasandaran., 1999. Optimalisasi Sumberdaya Lahan dan Air
untuk Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan. Simposium. Tonggak Kemajuan Teknologi
Produksi Tanaman Pangan. Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Penelitian Tanaman
Pangan. Bogor 22-24 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Anonimus, 2005. Laporan Akhir (Final Report) Pelaksanaan Feasibility Study Pemanfaatan Limbah Salak
(Pelepah Daun Salak Untuk Kertas Seni). Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Sleman dengan BPTP
Yogyakarta. Tahun 2005.(unpublish).
BPS, 2002. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta.
BPTP, 2003. Teknologi Produksi Salak Pondoh Sepanjang Tahun. September 2003. Agdex 299/28. BPTP
Yogyakarta.
BPS, 2004. Kabupaten Sleman Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Sleman.
Purnomo, H., 2001. Budidaya Salak Pondoh. Aneka Ilmu Semarang.
Singarimbun dan Sofyan, ED., 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
496
Suharto et al., (2002. Peluang Pengembangan Lahan Sawah di Daerah Kutai Kalimantan Timur. Prosiding
Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Tanggal 6 – 7 Agustus 2002. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Warintek-Menritek, 2004. Teknologi Tepat Guna tentang Budidaya Pertanian Salak.
497
DIVERSIFIKASI PRODUK OLAHAN UBIKAYU DI DUSUN KARANGPOH SEMIN
GUNUNGKIDUL SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TANI LAHAN KERING
DATARAN RENDAH BERIKLIM KERING
Heni Purwaningsih, Subagiyo, Murwati, dan Supriadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Ubikayu merupakan komoditas utama penghasil karbohidrat setelah padi dan jagung yang cukup potensial di
Kabupaten Gunungkidul sehingga merupakan komoditas unggulan daerah. Telah dilakukan pengkajian pada bulan
oktober sampai desember 2005 pada kelompok wanita tani Ngudi Rejeki di Dusun Karangpoh, Desa Semin, Kecamatan
Semin, Kabupaten Gunungkidul tentang diversifikasi pengolahan ubi kayu. Tujuan penelitian ini adalah mengatasi rendahnya harga ubi kayu saat panen raya serta produk-produk hasil olahan ubi kayu yang memiliki prospek untuk
dikembangkan sebagai upaya penumbuhan home industry di pedesaan. Metode penelitian yang digunakan adalah
pelatihan, pengamatan langsung dan survai terstruktur dengan pendekatan PRA (Participatory Rural appraisal). Analisis
data secara deskritif dan pengambilan sampel secara purposive sampling pada kelompok wanita tani Ngudi Rejeki. Hasil penelitin menunjukkan bahwa varietas ubi kayu lokal yang banyak disukai masyarakat adalah mentega dan ketan,
sedangkan produk-pproduk olahan yang telah diushakan kelompok wanita tani Ngudi Rejeki adalah sawut, tepung ubi
kayu, kue-kue kering (kue pita jahe dan kue kacang), brownis dan emping ubi kayu. Produk yang banyak disukai dan
mudah dalam pemasaran adalah emping ubi kayu. Usahatani ubi kayu di Kabupaten Gunungkidul mempunyai nilai B/C 2,24; berarti bahwa komoditas ini layak dikembangkan di Gunungkidul.
Kata kunci: diversifikasi, produk olahan, ubi kayu
PENDAHULUAN
Ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu,
aman, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Heni, et al., 2006). Salah satu upaya untuk
meningkatkan ketahanan pangan adalah melalui penganekaragaman pangan, yaitu suatu proses
pengembangan produk pangan yang tidak bergantung kepada satu jenis bahan saja, tetapi memanfaatkan
beraneka ragam bahan pangan. Pengembangan tersebut mencakup aspek produksi, pengolahan, distribusi
hingga konsumsi pangan di tingkat rumahtangga. Beranekaragamnya pangan yang tersedia sangat ditentukan
oleh produksi dan perkembangan teknologi pangan yang dapat menghasilkan berbagai produk pangan.
Adanya kesadaran masyarakat tentang konsumsi pangan yang berimbang dan daya beli untuk mengakses
pangan akan mendorong upaya penganekaragaman pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan penduduk
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena itu pertambahan penduduk yang cukup tinggi,
peningkatan pendapatan perkapita, perubahan pola konsumsi masyarakat menuntut penyediaan dan
keragaman pangan yang meningkat pula. Hal ini berarti bahwa diversifikasi pangan sangat diperlukan untuk
mendukung pemantapan swasembada pangan.
Diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip
beragam, bergizi, berimbang. Diversifikasi pangan perlu dukungan ketersediaan teknologi pengolahan yang
relatif mudah dan murah untuk dapat diterapkan di masyarakat. Selain itu ketersediaan teknologi pengolahan
berbagai produk pangan dari bahan lokal, seperi umbi-umbian (ubi kayu) akan memberikan peluang bagi
pertumbuhan dan pengembangan agroindustri khususnya di daerah-daerah sentra produksi. Hal ini
diharapkan berdampak pada peningkatan nilai tambah komoditas tanaman pangan non beras, perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Salah satu alternatif diversifikasi pangan pada bahan pangan lokal adalah ubi kayu. Ubikayu segar
memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah pada saat panen raya, karena itu perlu suatu upaya meningkatkan
nilai tambah (added value) dari ubi kayu dengan mengolah menjadi bernekaragam produk.
Ubikayu (Manihot esculenta crantz) merupakan komoditas utama penghasil karbohidrat setelah Padi
dan Jagung, yang cukup potensial di Kabupaten Gunungkidul. Gunungkidul memiliki ketinggian tempat
± 150 - 500 m di atas permukaan laut, suhu udara 26°-28°C, curah hujan 1.528 mm/tahun dengan bulan
basah tiga bulan, bulan kering enam bulan dan potensi masa tanam enam bulan. Keadaan alam yang
demikian maka Gunungkidul sangat potensial untuk budidaya tanaman ubi kayu. Ubikayu di Gunungkidul
sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan industri maupun komoditas ekspor (Prajitno et al., 2006). Luas
panen ubi kayu di Gunungkidul mencapai 48.848 ha, produktivitasnya 11,9 ton/ha. Tanaman ubi kayu
menghasilkan umbi basah yang mengandung 60% air, 25 – 35% pati, protein, mineral, serat dan sedikit unsur
kalium serta fosfat. Ubi keringnya terdiri dari 11% air, 88,1% bahan kering, 3,6% protein, 1,7% mineral
498
1,6% serat, 0,2% kalium dan 0,1% fosfat (Blumenschein, M.R.P dan Blumenschein, A., 1989). Tanaman ubi
kayu memiliki ciri khusus adanya kandungan asam sianida (HCN) terutama pada ubi dan sebagian pada daun.
Ubikayu yang rasanya manis mengidikasikan adanya kandungan HCN yang rendah, sedangkan ubi kayu
pahit menunjukkan adanya kandungan HCN tinggi (> 50 ppm) (CIAT, 1983). Tinggi rendahnya kandungan
HCN pada ubi kayu tergantung varietasnya dan lingkungan tumbuh ubi kayu (Soemarjo P., 1992). Ubikayu
yang dinikmati secara langsung tanpa melalui sentuhan proses teknologi pasca panen, pada umumnya
mengesankan adanya penilaian sosial yang negatif. Oleh karena itu lebih baik apabila di Gunungkidul
dibangun suatu industri tiwul instan yang mampu merubah produk olahan yang diharapkan mampu
mendongkrak kesan nilai sosial yang rendah apabila mengkonsumsi ubi kayu. Namun demikian apabila
terwujud adanya keanekaragaman industri, maka bahan baku dalam bentuk ubi kayu akan meningkat dan
lebih penting lagi kontinuitas penyediaan ubi kayu semakin dibutuhkan. Untuk ini di Gunungkidul memiliki
lahan cukup luas bahkan lahan keringnya terluas di DIY yang dapat ditanami ubi kayu.
Di Dusun Karangpoh, Desa Semin, Kabupaten Gunungkidul, sebagian besar petani memiliki
tanaman ubi kayu. Varietas ubi kayu yang ditanam adalah ketan, mentega, menilo, jerapah, kapuk, papah
abang, dan kirik. Varietas tersebut memiliki produktivitas yang cukup tinggi, sehingga pada saat panen raya
produksi melimpah dan harga jual rendah. Selama ini produk ubi kayu diolah secara tradisional dalam bentuk
gaplek dengan harga jual relatif rendah dan sebagian digunakan sebagai tambahan pakan ternak. Untuk
mengatasi hal tersebut perlu dilakukan suatu usaha guna meningkatkan nilai ekonominya.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan pada Bulan Oktober 2005 di Dusun Karangpoh, Desa Semin, Kecamatan
Semin, Kabupaten Gunungkidul. Pengambilan data dilakukan dengan survai, pendekatan dengan PRA.
Analisis data secara diskriptif. Pengambilan sampel secara purposive sampling pada kelompok wanita tani
Ngudi Rejeki.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Petani di Desa Karangpoh pada umumnya berusahatani ubi kayu dengan teknik budidaya yang
masih sederhana. Panen dilakukan sesuai dengan varietas yang ditanam yaitu antara 6-8 bulan. Untuk
menyesuaikan dengan tenaga kerja sebaiknya tidak dilakukan bersama, hal ini untuk menghindari penurunan
mutu apabila tidak segera ditangani. Produktivitas dan rendemen masing-masing varietas lokal terlihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen Ubikayu Varietas Lokal
Varietas lokal Berat per biji (kg) Rendemen gaplek (%)
Papah Abang
Kirik
Mentega
Menilo
Ketan
Jerapah
Kapuk
0,44
0,22
0,31
0,26
0,32
0,17
0,29
27,27
36,36
25,00
45,45
25,93
42,86
30,77
Sumber : Data primer 2004
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa yang memiliki berat perbiji paling tinggi
adalah varietas lokal papah abang dan ketan. Sedangkan rendemen tertinggi adalah varietas menilo dan
jerapah, tetapi berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap ke tujuh varietas tersebut yang paling disukai
oleh konsumen adalah varietas mentega dan ketan, kedua varietas ini memiliki rasa yang enak.
Pada umumnya petani di Kabupaten Gunungkidul memanfaatkan kedua varietas lokal tersebut
untuk dikonsumsi dan varietas lainnya digunakan untuk pakan ternak. Pada musim panen raya varietas lokal
mentega dan ketan memiliki harga jual yang rendah sehingga banyak petani yang merasa tidak mendapatkan
keuntungan dari usahataninya. Berdasarkan hal tersebut maka kelompok wanita tani Ngudi Rejeki membuat
diversifikasi produk olahan dari ubi kayu. Produk tersebut antara lain: sawut, tepung ubi kayu, kue-kue
kering (kue pita jahe dan kue kacang), brownis dan emping ubi kayu.
499
Berdasarkan hasil PRA di Dusun Karangpoh, produk olahan yang dapat dikembangkan menjadi
produk yang berpeluang dijadikan home industri adalah emping ubi kayu. Teknologi pembuatan emping ubi
kayu sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh kelompok wanita tani di dusun tersebut, selain itu bahan
yang dibutuhkan untuk pembuatan emping ini sangat mudah didapat di dusun tersebut dan peralatan yang
digunakan dapat diusahakan sendiri.
Teknologi Pengolahan Ubikayu
Teknologi pengolahan ubi kayu yang telah dilakukan di Dusun Semin, Desa Semin, Kecamatan
Semin, Kabupaten Gunungkidul antara lain:
1) Pembuatan Sawut Ubikayu
Pengolahan ubi kayu menjadi sawut dan tepung merupakan salah satu alternatif dalam upaya
memperpanjang masa simpan, selain dibuat gaplek. Selama ini masyarakat Gunungkidul menyimpan hasil
panen ubi kayu dengan membuat gaplek. Daya simpan gaplek hanya tiga bulan. Cara pembuatan cukup
sederhana (Gambar 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sawut memiliki daya simpan 6-12 bulan.
Gambar 1. Diagram alir proses pembuat sawut
2) Tepung Ubikayu
Tepung ubi kayu adalah salah satu produk olahan ubi kayu segar yang merupakan bahan setengah
jadi. Tepung ubi kayu memiliki daya simpan yang cukup lama yaitu 6-8 bulan, sehingga pembuatan tepung
merupakan salah satu alternatif penanganan ubi kayu segar pada saat panen raya. Selain daya simpan yang
cukup lama, dengan pembuatan tepung akan meningkatkan nilai ekonomi ubi kayu, dimana harga tepung ubi
kayu per kg mencapai Rp. 4.000. Proses pembuatan tepung ubi kayu sangat mudah dan sederhana seperti
pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi kayu
Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Disawut dengan penyawut
Dikeringkan
Sawut
Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Disawut dengan penyawut
Dikeringkan
Sawut
Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Disawut
Dikeringkan
Digiling
Diayak (60-80 mesh)
Tepung ubikyu
Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Disawut
Dikeringkan
Digiling
Diayak (60-80 mesh)
Tepung ubikyu
500
3) Kue Kering dan Emping Ubikayu
Tepung ubi kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan kudapan/makanan ringan.
Kudapan yang telah diproduksi oleh kelompok tani Ngudi Rejeki antara lain adalah kue kacang dan pita jahe.
Proses pembuatan kue kacang dan pita jahe seperti pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan kue pita jahe
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan emping ubi kayu
Selain kue kering, kelompok tani Ngudi Rejeki juga telah mengolah ubi kayu segar menjadi emping
ubi kayu. Pembuatan emping ubi kayu ini sangat mudah dengan peralatan yang cukup sederhana sehingga
– 50 g margarin
– 100 g gula halus
– 20 g jahe parut
– 1 btr kuning telur
– 75 g ubikayu
– 75 g terigu
– ¼ sendok teh
– garam halus
Kue pita jahe
Dikocok
semua bahan dimasukkan
Dicampur hingga kalis
Dicetak
Dioven
– 50 g margarin
– 100 g gula halus
– 20 g jahe parut
– 1 btr kuning telur
– 75 g ubikayu
– 75 g terigu
– ¼ sendok teh
– garam halus
Kue pita jahe
Dikocok
semua bahan dimasukkan
Dicampur hingga kalis
Dicetak
Dioven
Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Dipotong-potong
Emping ubikayu
Dikukus
Dihaluskan
Dicetak dan dikeringkan
Ubikayu segar
Dicuci bersih dan dikupas
Dicuci bersih
Dipotong-potong
Emping ubikayu
Dikukus
Dihaluskan
Dicetak dan dikeringkan
501
banyak diminati masyarakat. Selain untuk konsumsi sendiri, emping ini telah dipasarkan di daerah sekitar
dengan keuntungan yang cukup tinggi. Pemasaran emping ini lebih mudah dibandingkan dengan produk-
produk olahan ubi kayu yang lainnya.
Pada umumnya, hampir sebagian besar masyarakat Gunungkidul membudidayakan tanaman ubi
kayu, baik di pekarangan rumah maupun di tegalan. Tanaman ubi kayu ini selain dimanfaatkan umbinya,
daun dan batang juga dimanfaatkan. Daun ubi kayu banyak dimanfaatkan untuk makanan ternak, begitu pula
kulit umbi, sedangkan batang pohon dimanfaatkan untuk kayu bakar. Berdasarkan hasil analisa usaha tani,
ternyata budidaya ubi kayu masih memberikan keuntungan yang cukup untuk petani di Gunungkidul. Analisa
usahatani tanaman ubi kayu seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisa Usahatani Ubikayu di Kabupaten Gunungkidul per 1 ha
Uraian Volume Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)
A. Biaya Produksi
1. Sarana produksi - Bibit ubi kayu
- Pupuk NPK
- Pupuk kandang
2. Tenaga kerja - Membajak
- Menggaru
- Tanam
- Menyiang - Pemupukan
- Panen
- Angkutan
- Mengupas
3.300 stek
200 kg
734 kg
3,33 HKT
1,7 HKT
20 HKP 33,4 HKP
10 HKP
50 HKP
(Borongan) 80 HKW
15
1.750
50
20.000
10.000
5.000 5.000
5.000
5.000
150.000 2.500
49.500
350.000
36.700
66.600
17.000
100.000 167.000
50.000
250.000
150.000 200.000
Jumlah 1.436.800
B. Produksi 18,06 ton 250 4.650.000
C. Keuntungan B - A 3.213.200
B/C 2,24
Sumber : Data primer 2005
KESIMPULAN
Ubikayu layak dibudidayakan di Gunungkidul dengan nilai B/C 2,24.
Hasil olahan ubi kayu dapat memperpanjang masa simpan ubi kayu segar yang sifatnya mudah rusak.
Untuk meningkatkan nilai tambah/ added value ubi kayu perlu diolah menjadi berbagai macam produk
olahan (diversifikasi olahan).
Diversifikasi olahan yang banyak disukai masyarakat Gunungkidul adalah emping ubi kayu karena
mudah dalam pembuatannya serta mudah dalam pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Blumenschein, M.R.P. dan Blumenschein, A. 1989. Pengolahan dan penyiapan masakan dari ubi kayu.
Departemen Pertanian p 1-2.
CIAT, 1987. Global cassava research and development. The cassava economy of Asia : Adapting to Economic
Change. CIAT 30 pp.
Heni P., T.F. Djaafar dan S. Rahayu. 2006. Diversifikasi Teknologi Pengolahan Jagung untuk Menunjang
Agroindustri di Pedesaan. Prosiding Seminar Nasional. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Prajitno al KS dan H. Purwaningsih. 2006. Produktivitas Beberapa Varietas Ubikayu di9 Gunungkidul Daerah
Istimewa Yogyakarta. AGROS. Vol.8 Fakultas Pertanian Universitas Janabadra.
Soemarjo Poespodarsono. 1992. Pemuliaan Ubikayu. Simposium Pemuliaan Tanaman I Komda Jatim.
502
KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI TERNAK DAN SAYURAN DI
LAHAN KERING DATARAN TINGGI
I Ketut Kariada, I G.A.K. Sudaratmaja dan I.B. Aribawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK
Paper ini bertujuan untuk membahas berbagai informasi yang terkait dengan potensi, tantangan serta peluang
yang diperoleh dari hasil survei dengan metodologi PRA dalam rangka melakukan pengkajian technologi spesifik lokasi. PRA ini dilakukan di dusun Pemuteran Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti Tabanan. Wilayah ini diklasifikasin
sebagai salah satu Farming Systems Zone (FSZ) lahan kering dataran tinggi beriklim basah. Baturiti merupakan sentra
sayuran dan ternak. Berdasarkan data-data yang diperoleh dalam PRA, maka ditemukan selain pengelolaan usaha tani
sayuran petani juga memiliki ternak sapi Bali. Beberapa permasalahan dalam budidaya sayuran adalah semakin menurunnya produksi yang diduga diakibatkan oleh pengaruh residu dari pemanfaatan input-input pertanian kimiawi
secara intensif. Sementara pada aspek ternak sapi Bali, penerapan technologi pakan dan kesehatan ternak adalah
konvensional. Disarankan agar menerapkan teknologi sayuran yang ramah lingkungan serta memperbaiki teknologi
pakan ternak dan kesehatannya. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian sistem usaha tani integrasi ternak dan sayuran dalam jangka waktu tertentu dengan melibatkan peran serta para petani. Sementara analisis dari 11 komoditi sayuran
utama yang ada di Pemuteran, diperoleh informasi bahwa usaha tani yang memberikan keuntungan terbaik adalah 3 jenis
dengan urutan ranking dari kentang, bawang pray (bawang daun) dan wortel sementara 8 jenis komoditi sayuran lainnya
diusahakan menurut keperluan. Untuk ternak sapi selain diperoleh produksi ternaknya juga dihasilkan pupuk organik dari limbah kotoran ternak yang diperoses menjadi pupuk kascing.
Kata kunci : PRA, FSZ, integrasi, potensi, masalah, sayuran, ternak.
PENDAHULUAN
Lahan kering dataran tinggi beriklim basah di Kecamatan Baturiti mempunyai berbagai
permasalahan bila ditinjau dari aspek fisik, kimia dan biologi. Masalah utama yang dihadapi adalah tanah
berpasir dengan kesuburan sedang, tofografi bergelombang sampai berbukit-bukit dan tingkat kelembaban
(kabut) yang tinggi sehingga membutuhkan penanganan pengelolaan yang intensif. Berdasarkan data AEZ
skala 1:100.000 (Trisnawati, 2000) bahwa Baturiti termasuk zona kelas lahan IIax, IIbx, dan sedikit IVbx.
Kelas lahan ini memiliki ketinggian >700 m dpl, mempunyai suhu isothermic kelerengan berkisar >15° - 40°.
Jenis tanah typic eutrudepts, lithic eutrudepts, typic udorthents, typic hidrudant, typic hapludants, dan typic
udivitrants yang mempunyai drainase baik. Total pengelolaan lahan untuk sayuran dataran tinggi dan
tanaman pangan yang telah diusahakan di daerah Baturiti berkisar 800 Ha. Jenis-jenis sayuran yang
dikembangkan seperti cabai, kubis, kentang, wortel, jagung, kacang tanah. Komoditas lainnya adalah ternak
yang meliputi sapi 14.780 ekor dengan rata-rata kepemilikan 3 ekor/KK dan ternak kecil lainnya. Dengan
adanya pengembangan ternak sapi potong maka terdapat peluang untuk memproduksi pupuk organik yang
diterapkan terpadu pada sayuran untuk memberdayakan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Oleh karenaitu pendekatan holistik dengan menata sumberdaya saling memberikan manfaat dalam suatu
sistem produksi akan dapat memberikan tingkat efisiensi yang tinggi dan menguntungkan (Petheram, 1989,
Ismail, Kusnadi, dan Supriadi, 1985; Ismail, 1990). Komponen kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai
komponen sistem produksi tersebut (Kariada, et. al., 2002).
Raiyasa, et. al. (2001) mengatakan komoditas sayuran yang diusahakan antara lain buncis, cabai
(paperika), tomat, sawi putih, brokoli, wartel dan lainnya. Rata-rata luas kepemilikan berkisar 50 are dengan
permasalahan yang dijumpai dalam budidaya sayuran antara lain terjadinya penurunan produksi yang cukup
nyata misalnya tomat dari produksi awal 5 kg per tanaman menjadi 3.7 kg per tanaman. Dampak residu dari
input-input kimiawi diduga sebagai faktor dominan yang mengakibatkan penurunan produksi ini. Hasil
PRA menyarankan agar pertanian organik perlu diperkenalkan untuk mengantisipasi dampak yang lebih
serius terhadap kerusakan tanah dan air di lahan petani. Paket teknologi perbaikan kualitas dan produksi
sayuran dengan menggunakan pupuk organik kascing diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani
dengan adanya perbaikan produksi tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menggali berbagai potensi, peluang serta tantangan yang terkait
dengan upaya pengembangan sistim usaha tani integrasi ternak dan sayuran (crops – livestock systems/CLS)
di dusun Pemuteran Desa Candikuning Kecamatan Baturiti Tabanan.
503
BAHAN DAN METODE
Beberapa pendekatan dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan ini antara lain pendekatan berdasarkan
Agroecological Zone (AEZ) dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Pendekatan AEZ menjabarkan aspek-
aspek sumberdaya berdasarkan zona-zona agroekologi yang menyangkut sumberdaya tanah (fisik) maupun
biologinya.
Studi di Dusun Pemuteran, Desa Candikuning Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan ditetapkan 6
metode pendekatan meliputi :
1. Elaborasi Peta/Situasi Wilayah.
2. Penetapan Ranking Masalah.
3. Studi Kalender Musiman.
4. Pembuatan Diagram Ven/Kelembagaan.
5. Studi Kalender Harian.
6. Analisis Sosial Ekonomi/Pendapatan dan Peranan Gender (Pria dan Wanita).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pelaksanaan PRA ini maka dapat dilakukan analisis-analisis terhadap berbagai potensi dan
kendala yang ada yang selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan berbagai prioritas
pengkajian yang bersifat spesifik lokasi.
1. Elaborasi Peta/Situasi Wilayah
Topografi wilayah Dusun Pemuteran yang terdiri atas wilayah lereng bukit Catu, berdasarkan
penilaian dan pengamatan masyarakat dikatakan wilayah di bagian bawah memiliki tingkat kesuburan yang
lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan telah terjadi erosi pada lahan yang berada di lereng sehingga terjadi
pengendapan unsur hara di bagian bawah yang menyebabkan lahan di bagian bawah dikatakan lebih subur.
Rata-rata pemilikan lahan petani di Dusun Pemuteran adalah 0,5 Ha dengan variasi terendah 0,25
Ha dan yang terluas 2,0 Ha. Pemilikan sapi 2 ekor/petani dengan kisaran pemilikan 1-7 ekor. Tingkat
kesuburan lahan dirasakan menurun dibandingkan 10 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan eksploitasi lahan
yang sangat intensif dengan masukan input saprodi kimiawi yang relatif tinggi. Menurut pendapat petani
setempat, bila hendak menerapkan sistem integrasi tanaman ternak secara konsekwen (sapi-sayuran) untuk
lahan 1 Ha diperlukan 7-8 ekor sapi. Sementara ini antara luas lahan dan pemilikan ternak sapi masih
dianggap kurang, sehingga kekurangan tersebut harus di beli dari luar berupa kotoran ayam. Berdasarkan
perhitungan petani untuk tiap 0,5 Ha lahan diperlukan pupuk kandang sebanyak 3,5 ton/tahun. Apabila
keperluan tersebut dinilai dengan uang, akan diperlukan tambahan biaya Rp. 3.500.000/tahun. Apabila petani
memiliki 7 ekor sapi, maka dalam setahun diperlukan tambahan pupuk kandang hanya 1,5 ton, berarti terjadi
penghematan pembelian pupuk kandang 2,0 ton (senilai Rp. 2.000.000).
2. Penetapan Ranking Masalah
Sejalan dengan topik penelitian yang meliputi dua komoditas (sapi dan sayuran), maka dicoba untuk
menggali permasalahan dari kedua komoditas tersebut. Petani mencatat ada 5 kegiatan dalam usahatani sapi
meliputi : air, pakan, harga/pemasaran, bibit dan kesehatan ternak. Sementara pada sayuran juga tercatat
beberapa kegiatan mulai dari pengolahan tanah, tanam sampai dengan panen dan pemasaran. Dari hasil
analisis diperoleh perangkat masalah sebagai berikut :
Tabel 1. Perangkat Masalah Komoditas Sapi dan Sayuran di Dusun Pemuteran Baturiti.
Komoditas Peringkat Masalah Komoditas Peringkat Masalah
1) Sapi 1) Harga
2) Bibit
3) Kesehatan
4) Air di MK
5) Pakan di MK.
B. Sayuran 1) Harga
2) Air di MK
3) Hama/Penyakit.
Sumber : data primer diolah
504
Berdasarkan Tabel 1 di atas ternyata pada kedua komoditas saat ini sama-sama menghadapi
permasalahan berkaitan dengan harga, air untuk sapi dan sayuran serta hama/penyakit pada sayuran dan
ketersediaan ternak pada sapi.
Anonim (2000) tentang data-data monografi wilayah menunjukkan bahwa curah hujan di dusun
Pemuteran Baturiti pada musim kemarau adalah rendah selama 5 bulan mulai dari bulan Juli hingga
Nopember. Dampak yang ditimbulkannya adalah banyak petani menjual ternaknya pada bulan-bulan
tersebut walaupun belum siap dijual dengan alasan kesulitan pakan baik yang bersumber dari rumput-
rumputan (HMT) maupun dari limbah sayuran. Untuk mengantisipasi kesulitan air, selama ini petani
diharapkan menampung air dalam bak penampungan yang digunakan untuk kebutuhan sapi,
mengoptimalkan hijauan maupun sayuran yang berasal dari limpasan curah hujan.
Tabel 2. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di Baturiti Tabanan Selama 5 Tahun (1998 -2002)
Tahun Total curah hujan (mm)
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des Total
1998 378 580 483 318 153 152 161 57 345 222 480 399 3728
1999 316 402 441 563 103 65,9 109 65,5 11,2 495 661 369 3602,4
2000 993 851 982 - 411 83,8 34,2 94,9 10,2 178 630 107 4374,9
2001 613 218 377 344 111 91,9 21 10,1 13,7 88,3 4 101 1993,1
2002 151 738 340 293 54,6 15,1 23,1 25,8 42,1 - 176 508 2366,9
Rataan 490 558 525 380 166 82 70 51 84 197 390 297 3213
Sementara rata-rata jumlah hari hujan per bulan disajikan dalam Tabel 3 berikut. Nampak bahwa
para petani mengalami kesulitan melakukan budidaya sayuran serta memelihara ternak sapi potong pada
bulan-bulan kering tersebut. Hal ini mengindikasikan pentingnya menyimpan air dalam embung.
Tabel 3. Rata-rata Hari Hujan Per Bulan di Baturiti Selama 5 Tahun (1998 - 2002).
Tahun Total hari hujan (hari/bulan)
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nop Des Total
1998 16 20 20 15 11 13 11 8 11 16 18 11 170
1999 19 20 20 20 6 8 9 8 6 14 18 22 170
2000 18 21 23 - 19 12 6 5 2 10 21 12 149
2001 20 26 16 12 13 18 4 7 13 14 7 19 169
2002 24 15 19 18 8 5 9 6 9 0 17 21 151
Rerata 19 20 20 16 11 11 8 7 8 11 16 17 162
490
558525
380
166
82 70 5184
197
390
297
0
100
200
300
400
500
600
mm/bln
Bulan
Rata-rata Curah Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan
490
558525
380
166
82 70 5184
197
390
297
0
100
200
300
400
500
600
mm/bln
Bulan
Rata-rata Curah Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan
1920 20
16
11 11
87
8
11
1617
0
5
10
15
20Jml Hari Hujan /
bulan
Bulan
Rata-rata Hari Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan
1920 20
16
11 11
87
8
11
1617
0
5
10
15
20Jml Hari Hujan /
bulan
Bulan
Rata-rata Hari Hujan per Bulan di Kecamatan Baturiti Tabanan
505
Beberapa pengkajian pengelolaan sumberdaya air menunjukkan bahwa penampungan air limpasan
hujan dapat diberdayakan untuk keperluan ternak dan tanaman hingga perioda 6 bulan tergantung besarnya
penampuangan air yang dibuat. Menurut hasil penelitian Suprapto dkk., (1999) di Desa Patas Buleleng
bahwa dengan menggunakan air embung yang tersedia, maka petani dapat menanam berbagai jenis sumber
karbohidrat seperti jagung, sayuran, padi gogo, kacang tanah dan lain-lainnya yang berkisar 0,25 - 0,30 ha
per petani tergantung dari volume air yang ditampung dalam embung untuk musim kemarau di lahan kering.
Berdasarkan hal tersebut, air embung yang tersedia akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi apabila
dimanfaatkan untuk tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti tanaman-tanaman sayuran
(bawang, kentang, cabai, semangka dan lainnya) serta sebagai sumber air minum untuk ternak.
Embung adalah suatu istilah untuk bangunan bak penampung air di daerah lahan kering dengan
sumber air dari mata air maupun air hujan yang selanjutnya digunakan dalam musim kemarau untuk
kebutuhan minum, peningkatan produktivitas lahan, intensitas tanam komoditas tanaman dan ternak serta
meningkatkan aktivitas kerja petani (Syamsiah, dkk. 1994; Retno, 1996). Selain itu peran embung juga akan
memberikan kondisi positif untuk lingkungan disekitar embung karena adanya resapan atau limpasan air.
Oleh karena itu air yang ditampung dalam embung akan memberikan nilai tambah yang cukup baik.
Embung memiliki peran penting karena berfungsi sebagai depot air yang bisa dimanfaatkan pada saat
tanaman membutuhkan air, selain juga bermanfaat untuk ternak dan kebutuhan sehari-hari. Melihat besarnya
manfaat embung maka pengembangan teknologi embung pada daerah-daerah lahan kering di Baturiti
sangatlah bermanfaat, dengan melihat daya dukung daerah tersebut. Guna menunjang kebutuhan air untuk
pengelolaan sayuran maka disarankan agar membangun embung-embung skala rumah tangga sehingga
mampu menjaga daya dukung lahan.
3. Studi Kalender Musiman
Pembagian musim yang jelas antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) memberi respon
yang berbeda pada perilaku petani dalam mengelola usahataninya. Gambaran umum tentang Kalender
Musiman petani di Dusun Pemuteran seperti Tabel 4.
Tabel 4. Kalender Musiman Petani di Dusun Pemuteran Baturiti Tabanan
No Uraian Bulan
4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
1. Hujan + + + +
2. Olah Tanah
3. Tanam
4. Panen
5. Jual Sapi
6. Sakit
7. Agak Kritis
Memperhatikan Tabel dan juga uraian elaborasi wilayah memang terlihat kegiatan usahatani petani
di Dusun Pemuteran sangat intensif, terlihat dari aktivitas pengolahan tanah, tanam dan panen hampir terjadi
sepanjang tahun. Namun demikian di musim kemarau karena ada kendala air, intensitas tanam relatif
berkurang sehingga terjadi krisis sayuran pada bulan Mei sampai Juli. Sementara penjualan termak untuk
mendapat harga yang layak dilakukan sekitar bulan September sd. Desember berkaitan dengan hari raya
(Lebaran, Natal dan Tahun Baru). Disamping itu pada musim pancaroba (peralihan musim) petani banyak
menderita sakit.
4. Diagram Ven/Kelembagaan
Studi kelembagan petani dan lembaga lain di pedesaan memberi gambaran adanya interaksi lembaga
satu dengan yang lain dimana hal ini secara relatif berpengaruh terhadap kinerja lembaga yang diamati. Di
Dusun Pemuteran dan wlayah Desa Candikuning tercatat 9 jenis kelembagaan. Dengan memposisikan
kelompok petani ternak ”Kanti Sembada” sebagai fokus kajian, maka dicoba untuk menggambarkan posisi
kelembagaan lain dalam bentuk diagram Ven/Kelembagaan seperti Gambar 1 beriku.
Gambar 1. Diagram Ven kelembagaan Kelompok Tani Kanti Sembada Baturiti
Kelompok Tani
Buana Pala Kerti Koperasi Buana
Pala Kerti Klp Tani Kanti
Sembada
Pedagang
Pengumpu
l
506
Melihat Gambar 1, sebenarnya kelompok tani Kanti Sembada adalah bagian dari kelompok tani
Buana Pala Kerta dan sekaligus juga menjadi anggota Koperasi Buana Pala Kerta. Sedangkan kelembagaan
lain adalah penunjang dimana keanggotaannya ada yang berimpit (menjangkau) kelompok ternak Kanti
Sembada atau kelompok tersebut secara fungsional dilayani oleh kelembagaan penunjang tersebut.
5. Kalender Harian
Berikut digambarkan kalender harian petani (pria) di Dusun Pemuteran Baturiti, sebagai cerminan
aktivitas harian seorang petani dalam mengelola usahataninya Tabel 5).
Tabel 5. Secara Garis Besar Aktivitas Harian Petani di Daerah Pengkajian:
No Kegiatan/Aktivitas Jumlah (Jam)
1. Tidur 9 jam (pk. 21.00 – 06.00)
2. Bekerja di kebun 7 jam (pk. 07.00 – 11.00 dan
13.00 – 16.00)
3. Aktivitas lain 8 jam
J u m l a h 24 jam
Pola umum pembiayaan aktivitas harian seseorang adalah 8 jam tidur, 8 jam bekerja dan 8 jam
aktivitas lain. Disini terlihat porsi jam tidur melebihi dari pola normal dan sebaliknya aktivitas bekerja
kurang dari biasanya. Hal ini berkaitan dengan iklim di Dusun Pemuteran yang termasuk dataran tinggi
sehingga menyebabkan tidur enak sehingga mengurangi porsi untuk aktivitas kerja.
6. Analisis Sosial Ekonomi/Pendapatan dan Peran Gender
Dari 11 jenis komoditas sayuran dominan (wortel, pry, kentang, kubis, sawi, cabai, tomat, buncis,
jagung, lobak dan selada) terdapat 3 komoditas dominan yang diatur penanamannya dalam satu pola tanam
setehan. Adapun komoditas tersebut adalah : kentang, wortel dan pry. Dalam pola tanam kentang dan wortel
mampu ditanam 2 kali dan pry 3 kali dalam setahun. Adapun hasil analisis ekonomi ketiga komoditas
tersebut seperti Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisis Ekonomi Komoditas Sayuran Utama di Dusun Pemuteran Baturiti Tabanan
No Uraian Komoditas
Kentang Wortel Pry
1. Saprodi 4.333.300 335.000 400.000
2. Tenaga Kerja 630.000 640.000 770.000
3. Produksi 7.500.0001) 2.000.0002) 3.000.0003)
4. Keuntungan 2.537.000 1.035.000 1.800.000
* Untuk 2 siklus kecuali pry 3 siklus 5.074.000 2.070.000 5.400.000
Produksi : 1) = 3 ton (20 Are), 2) = 2 ton (20 Are), 3) = 1,5 ton (10 Are)
Total keuntungan untuk setahun pola tanam dengan 3 komoditas utama seluas 50 are =
Rp. 12.544.000. Sementara peran Gender untuk komoditas sayuran 60% : 40% (pria dan wanita) untuk
pengolahan tanah, tanam dan panen masing-masing 50% : 50%. Sementara analisis untuk komoditas sapi
disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Analisis Ekonomi Komoditas Sapi Penggemukan di Dusun Pemuteran.
1. Bibit sapi Bali Rp. 2.000.000 (200 kg)
2. Pakan yang dibeli (Dedak + mineral) Rp. 508.000 (8 bulan)
3. Penyusutan Kandang Rp. 66.600 (8 bulan)
4. Obat-obatan Rp. 32.000 (8 bulan)
5. Total Biaya Rp. 2.606.600
6. Harga Jual Rp. 3.500.000
7. Keuntungan Rp. 893.400 (8 bulan).
Nilai jual dan keuntungan adalah dalam kondisi harga jual pada tahun 2003 ini dinilai oleh petani
sangat rendah. Disamping itu dalam perhitungan ini belum disertakan nilai pupuk kandang yang dihasilkan
yang telah diproses menjadi pupuk organik kascing.
507
KESIMPULAN DAN SARAN
Sesuai hasil studi PRA maka maka terdapat berbagai potensi serta tantangan dalam upaya
mengintroduksikan berbagai teknologi rakitan spesifik lokasi. Kondisi wilayah yang berbukit dengan
struktur tanah lempung berpasir membutuhkan penanganan konservasi. Faktor kesulitan yang tertinggi
adalah adanya keterbatasan air terutama pada musin kemarau sehingga dalam pengkajian ini perlu melakukan
penanganan konservasi air melalui pengembangan embung. Sementara pada komoditi ternak dan sayuran,
harga merupakan factor yang sulit diprediksi. Dari aspek kelembagaan maka terdapat interaksi antara
berbagai pihak yang sesungguhnya dapat menguatkan kelembagaan bila ditangani dengan baik. Dari
komoditi sayuran yang dikembangkan, terdapat 3 komoditas utama sayuran yang secara terus menerus
diusahakan yaitu kentang, wortel dan bawang prey yang memberikan pendapatan baik namun permasalahan
budidaya juga masih ada terkait dengan penyakit. Sementara pada aspek ternak terdapat potensi untuk
mengintroduksikan teknologi pakan dan kesehatan ternak. Dalam kegiatan ini disarankan agar
mengintroduksikan teknologi integrasi ternak sapi potong pada usaha tani sayuran secara holistic di lahan
kering dataran tinggi beriklim basah Baturiti Tabanan sehingga mampu memberikan peningkatan efisiensi
usaha tani dan keuntungan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000. Data Monografi Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti Tabanan, Bali.
Ismail, Kusnadi, dan Supriadi, 1985. Integrated Crops Livestock Farming Systems. Proyek Pengembangan
Lahan Batumarta Sumatera Selatan. Badan Litbang Pertanian
Ismail. 1990. Hasil Penelitian Pengembangan Usaha Tani Terpadu di Lahan Transmigrasi Batumarta. Badan
Litbang Pertanian deptan.
Kariada, I.K., I.M. Londra, FX. Loekito, dan I.G. Pastika. 2002. Laporan Akir Pengkajian Sistim Usaha Tani
Integrasi Ternak Sapi Potong dan Sayuran Pada FSZ Lahan Kering Dataran Tinggi Beriklim Basah.
BPTP Bali.
Raiyasa, I.M., AANB Kamandalu, K. Mahaputra dan N. Arya. 2001. PRA dusun Titigalar, Desa Bangli Kec.
Baturiti, Tabanan.
Retno, I.G. 1996. Embung : sumber air lahan kering. Seri usaha tani lahan kering. BPTP Ungaran.
Suprapto., I.N. Adijaya., I.K. Mahaputra dan I.M. Rai Yasa. 1999. Laporan akhir penelitian sistem usahatani
diversifikasi lahan marginal. IP2TP Denpasar. Bali
Syamsiah, I., P. Wardana, Z. Arifin, dan AM. Fagi. Embung : kolam penampungan air serba guna.
Puslitbang Tanaman Pangan Badan Litbang Pertanian Bogor.
Trisnawati, W. 2000. Laporan AEZ Prop. Bali. Proyek PAATP IP2TP Denpasar.
508
PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PETANI TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH
KAKAO (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen DI KABUPATEN TABANAN
Suharyanto, Rubiyo dan Jemmy Rinaldy
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK
Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan salah satu hama utama tanaman kakao, dimana pada tingkat
serangan berat kehilangan hasil dapat mencapai 80 persen. Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan
dapat diterima oleh petani. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan
perkembangan hama PBK dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani. Penelitian dilakukan di Desa Mundeh
Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan yang merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dan juga merupakan daerah terserang PBK. Data primer didapat dengan wawancara langsung terhadap 30 petani responden
dengan menggunakan kuisioner. Variabel yang digunakan untuk mengetahui perilaku petani dalam pengendalian PBK
anntara lain ; kultur teknis, panen sering, sanitasi, penyarungan buah dan penyemprotan insektisida. Analisis data dengan
menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBK berkisar antara 8,13 – 53,14%. Perilaku petani terhadap hama PBK tergolong kategori sedang, dengan
nilai skor 10,64. Panen sering, sanitasi lingkungan, pemangkasan perlu ditingkatkan untuk pengendalian PBK. Namun
demikian upaya yang dilakukan petani seperti sarungisasi, pemangkasan sudah dilakukan walaupun belum optimal.
Kata kunci : pengetahuan, sikap, perilaku, penggerek buah kakao (PBK).
PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas utama yang diandalkan subsektor perkebunan di Bali yang
mengalami perkembangan cukup pesat. Pada tahun 2000 luas areal kakao 6.564 ha dengan produksi
4.424.367 ton, tetapi pada tahun 2004 luas areal mencapai 8.769 ha dengan produksi mencapai 6.123.869 ton.
Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dengan luas areal 3.149 hektar
dengan produksi mencapai 2.273.860 ton dimana hampir keseluruhan merupakan perkebunan rakyat.
Usahatani kakao di Kabupaten Tabanan sampai saat ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 425.214 orang
atau 17.094 KK (Anonim, 2004a). Perbaikan harga beberapa tiga tahun terakhir tidak sepenuhnya bias
dinikmati oleh petani kakao di Indonesia, karena petani menghadapi masalah hama penggerek buah kakao
(PBK), sehingga produktivitas kebun mereka umumnya turun. Hama PBK telah menyerang hampir seluruh
perkebunan kakao di Indonesia termasuk juga Bali. Oleh karena itu perlu upaya pengendalian hama PBK
jika tidak ingin megikuti jejak Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya dapat dikatakan telah
memasuki ambang kepunahan (Herman, 2004).
Tanaman kakao merupakan inang berbagai spesies serangga, salah satu diantaranya adalah hama
penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella terutama pada pola tanam monokultur karena
terjadinya perubahan keseimbangan alami. Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi
kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah
telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun
1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 sepanjang pantai utara Jawa tengah hingga Malang, Kediri dan
Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan di Jawa (Roesmanto, 1991). PBK merupakan hama
kakao yang sangat berbahaya dan sekarang menimbulkan permasalahan internasional terutama upaya
pencegahan meluasnya areal serangan dan teknologi pengelolaannya. Penggerek buah kakao mempunyai
potensi merusak yang cukup besar dan hingga sekarang masih sulit untuk dikendalikan. Kerusakan akibat
serangan PBK dapat menurunkan produksi hingga 80 persen biji kakao kering (Wardoyo, 1980; Atmawilata,
1993). Saat ini, penyebaran hama PBK hampir menyeluruh di provinsi penghasil kakao termasuk Bali
(Anonim, 2004b).
PBK merupakan hama yang paling penting karena sulit dideteksi keberadaannya dan sulit
dikendalikan, karena selama stadium larva berada dalam buah kakao. Mengingat semakin luasnya
penyebaran hama PBK dan besarnya kerugian yang ditimbulkannya, maka perlu segera diupayakan metode
penanggulangan yang efektif dan efisien. Strategi pengelolaan PBK di Indonesia berpedoman pada konsep
PHT. Teknik pengelolaan PBK yang digunakan didasarkan pada keadaan serangan PBK, yaitu daerah bebas
serangan, daerah serangan terbatas dan daerah serangan luas, serta melihat kondisi pertumbuhan dan umur
tanaman kakao (Sulistyowati, 1997).
509
Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu
diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan dapat diterima oleh petani. Tujuan
penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan perkembangan hama PBK
dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan dengan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi kakao di Kabupaten Tabanan dan
juga merupakan lokasi yang terserang hama penggerek buah kakao (PBK). Pengumpulan data primer
dilakukan pada bulan Juli 2006 melalui wawancara langsung terhadap 30 petani responden dengan
menggunakan kuisioner. Penentuan responden dilakukan melalui random sampling. Data yang dikumpulkan
meliputi karakteristik petani, pengetahuan, sikap dan perilaku petani selama ini dalam hal pengelolaan hama
penggerek buah kakao (PBK). Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana, skoring dan
interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Untuk mengetahui tingkat
perilaku petani dalam pengendalian hama PBK diukur dalam skor yang meliputi (1) kultur teknis:
pemangkasan, pemupukan, pohon penaung; (2) panen sering; (3) sanitasi (4) penyarungan buah dan (5)
penyemprotan insektisida. Adapun nilai skor yang digunakan adalah: (1) hampir tidak pernah; (2) kadang-
kadang; dan (3) sering. Skor yang diperoleh dari masing-masing item pertanyaan dijumlahkan sehingga
diperoleh skor total Tingkat Perilaku Petani dalam pengendalian PBK dikategorikan menjadi tiga kelas,
yaitu tingkat perilaku penerapan rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian menggunakan rumus interval
(Dajan, 1996):
K
JI
Dimana :
I = Interval kelas
J = Jarak antara skor maksimum dan skor minimum
K = Banyaknya kelas yang digunakan
Tabel 1. Deskripsi Strategi Pengendalian Hama PBK dan Skala Penilaiannya di Kec. Selemadeng, Kab. Tabanan, 2006
No Strategi pengendalian Pilihan jabawan responden
Tinggi Sedang Rendah
1 Kultur teknis, meliputi pangkasan pemeliharaan,
pangkasan produksi, pemupukan dan pohon penaung.
Sering Kadang-
kadang
Hampir tidak
pernah
2 Panen sering, dilakukan terhadap buah masak, masak
fisiologis, dan buah terserang PBK. Interval panen 5-7
hari. Buah langsung dibelah dan diambil bijinya pada hari yang sama.
Sering Kadang-
kadang
Hampir tidak
pernah
3 Sanitasi, pembenaman kulit buah dan plasenta dengan kedalaman sekitar 20 cm.
Sering Kadang-kadang
Hampir tidak pernah
4 Penyarungan buah dilakukan pada umur 3 bulan yang diperkirakan panjang 8-10 cm, menggunakan kantong
p;lastik,kertas, koran atau kertas semen.
Sering Kadang-kadang
Hampir tidak pernah
5 Penyemprotan insektisida dilakukan terutama jika
serangan PBK dengan criteria berat sudah mencapai
30%, dengan bahan aktif golongan piretroid sintetik,
pada buah kakao berumur 3 bulan atau panjang sekitar 8-10 cm.
Sering Kadang-
kadang
Hampir tidak
pernah
Total skala 11,7-15,0 8,4-11,6 5,0-8,3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi dan Petani Responden
Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg merupakan salah satu sentra produksi tanaman
perkebunan di Kabupaten Tabanan dengan ketinggian antara 600 – 700 mdpl. Sebagian besar (>80%) lokasi
penelitian merupakan daerah berbukit dengan topografi kemiringan yang sangat bervariasi. Komoditas
perkebunan merupakan andalan utama mata pencaharian bagi masyarakatnya, dengan komoditas utama
510
kelapa, kakao, kopi dan cengkeh. Dalam melakukan usahatani perkebunan umumnya petani menerapkannya
dengan pola tumpangsari atau diversivikasi dengan beberapa tanaman perkebunan dalam satu hamparan
dengan berbagai pola tumpangsari. Sesungguhnya para petani sudah berfikir rasional dengan asumsi
memaksimalkan penggunaan sumberdaya lahan, mngurangi kegagalan usaha dna efisiensi produksi.
Secara umum rata-rata umur petani responden adalah 39,77 dengan kisaran 17 – 79 tahun, hal ini
mengindikasikan bahwa umur petani di lokasi penelitian sangat beragam yang berarti masih terdapat generasi
muda yang berminat pada bidang pertanian khususnya perkebunan, walaupun umur petani didominasi usia
diatas 40 tahun. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya
manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berfikirnya, dan daya
nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan
menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih
rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi.
Luas lahan pengusahaan berkisar antara 0,35 – 7,92 dengan rata-rata pengusahaan 2,36 hektar yang
ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Populasi tanaman dominan adalah tanaman kakao (1.064,94), kopi
robusta (351,48), cengkeh (109,94) dan kelapa (94,63) (Tabel 2). Sedangkan komoditas lain yang juga
ditanam adalah pisang, durian, manggis, panili dan lain-lain. Dengan menanam berbagai macam tanaman
dalam satu areal, konsekuensinya adalah produktivitas masing-masing tanaman tidak akan maksimal
tentunya, namun disisi lain dapat mengurangi kegagalan usaha.
Hasil analisis tingkat serangan PBK di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBK
masuk dalam kategori sedang dengan tingkat serangan berkisar antara 8,13 – 53,14 persen. Namun demikian
tingkat serangan ini akan dengan cepat meningkat dan menyebar ke wilayah lain apabila tidak dilakukan
tindakan pengendalian, hal ini didukung oleh kondisi kebun yang kurang terawat dan lembab sehingga
mempercepat penyebaran hama PBK.
Tabel 2. Karakteristik Lokasi dan Petani Responden di Kecamatan Selemadeng, Kab. Tabanan, 2006.
Karakteristik Minimum Maksimum Rata-rata
1. Umur responden (th) 17 79 39,77
2. Pendidikan 0 17 5,84
3. Luas Lahan (ha) 0,35 7,92 2,36
a. Kakao – Populasi (phn)
– Produksi (kg)
– Produktivitas (kg/ha)
100,00
125,00
80,65
3750,00
4688,00
917,43
1064,94
1324,93
546,47
b. Kelapa
– Populasi (btr)
– Produksi (btr) – Produktivitas (btr/ha)
5,00
75,00 55,97
500,00
7500,00 1584,51
94,63
1419,44 594,98
c. Kopi – Populasi (phn)
– Produksi (kg)
– Produktivitas (kg/ha)
10,00
13,00
14,44
1500,00
1875,00
1086,96
351,48
420,20
200,87
d. Cengkeh
– Populasi (phn)
– Produksi (kg) – Produktivitas (kg/ha)
10,00
62,00 30,10
515,00
3193,00 930,00
109,94
681,62 284,49
Pengembangan kakao pada umumnya menghadapi kendala laju peningkatan biaya produksi yang
jauh lebih cepat daripada laju kenaikan harga produk, resiko serangan hama, penyakit dan musim yang
terkadang tidak mendukung produksi. Konsekuensinya adala pekebun harus menyesuaikan penggunaan
faktor input pada tingkat yang optimum untuk memperoleh keuntungan maksimum. Hal ini beresiko
menurunkan kesehatan tanaman dan tingkat produksi. Resiko kegagalan panen akan lebih besar apabila pola
usaha yang diterapkan adalah monokultur, yaitu pola usaha yang hanya mengandalkan hasil kakao dari unit
yang diusahakannya. Diversifikasi usahatani tanaman perkebunan merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan pendapatan petani perkebunan karena dapat mengurangi resiko kegagalan usaha apabila hanya
menanam satu jenis tanaman saja. Dimana fluktuasi harga produksi tanaman perkebunan dapat disiasati
dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman perkebunan dengan mengatur pola tanamnya dan yang
terpenting tidak berkompetisi satu sama lainnya dalam kompetisi hara maupun cahaya. Dalam melakukan
diversifikasi horizontal adalah cukup luas, karena tanaman ini toleran penaungan (Prabowo, 1997;
Suharyanto et al., 2004).
511
Bioekologi Hama PBK dan Gejala Kerusakan
Serangga dewasa hama PBK berupa ngengat (moth), berukuran kecil (panjang 7 mm), dan
termasuk ordo Lepidoptera. Ngengat berwarna cuklat dengan pola zig zag berwarna putih sepanjang sayap
depan. Ukuran antenna lebih panjang dari tubuhnya dan mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin
dan meletakkan telur pada malam hari. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat yang terlindung
dari sinar matahari, yaitu di cabang-cabag horizontal. Ngengat betina meletakkan telur hanya pada
permukaan buah kakao. Buah kakao yang disukai adalah yang mempunyai alur dalam dan panjangnya lebih
dari 9 cm. Lama hidup ngengat betina 5 – 8 hari dan setiap betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100 –
200 butir. Telur berbentuk oval dengan panjang 0,45 – 0,50 mm, lebar 0,25 – 0,30 mm, pipih dan berwarna
orange pada saat diletakkan. Larva stadium telur antara 2 – 7 hari (Sulistyowati, 1997).
Larva yang baru menetas berwarna putih transparan dengan panjang 1 mm. Larva langsung
menggerek ke dalam buah dengan memakan kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta).
Lama stadium larva 14 –18 hari, terdiri atas 4 – 6 instar (Ooi et al., 1987). Pada pertumbuhan penuh
panjangnya mencapai 12 mm berwarna putih kotor sampai hijau muda. Menjelang berkepompong larva
membuat lubang keluar (diameter 1 mm) pada kulit buah. Sebelum menjadi kepompong larva membentuk
kokon. Kepompong dapat melekat pada buah, daun, serasah kakao, cabang, ranting, kotak atau karung tempat
buah, bahkan kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen. Kokon berbentuk oval berwarna
putih kekuningan, pupa berwarna coklat, lama stadium kepompong 5 – 8 hari.
Lebih lanjut Sulistyowati (1997) menyatakan bahwa buah kakao yang terserang PBK umumnya
menunjukkan gejala masak lebih awal, yaitu belang kuning hijau atau kuning jingga. Buah yang terserang
dapat berkembang secara normal sampai masak, tetapi pada saat dibelah akan tampak biji yang saling
melekat dan berwarna kehitaman. Serangan PBK yang terjadi pada saat buah masih muda akan
mengakibatkan kerusakan yang cukup berat karena biji kakao melekat kuat pada kulit buah dan biji saling
melekat satu sama lain. Biji tidak berkembang sehingga ukurannya menjadi kecil dan tidak bernas (keriput),
sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitasnya. Hasil survai oleh Puslit Kopi dan Kakao
menunjukkan bahwa serangan PBK menyebabkan kehilangan produksi hingga 80%.
Pengetahuan Petani Terhadap PBK
Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada
gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal,
akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tingkat
pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK tergolong dalam kategori sedang (46,67%), rendah
(40%) dan tinggi (13,33%). Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK
tentunya akan berdampak terhadap tingkat serangan dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut.
Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang rata-rata berpendidikan sekolah dasar
(63%). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan petani sangat membantu dan
menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang
pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan dalam hal
pengendalian hama PBK adalah sosialisasi memberikan pemahaman kepada petani tentang bioekologi dan
gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama PBK beserta dampak kerugian apabila tanaman kakao sampai
terserang berat. Setelah itu dilanjutkan dengan metode pengendalian hama PBK dengan pendekatan prinsip
PHT.
Tabel 3. Tingkat Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg,
Kabupaten Tabanan, 2006.
No Klasifikasi/skor Rata-Rata Skor Jumlah Petani Persentase (%)
1. Rendah ( 5.0 - 8.3 ) 6.74 12 40.00
2. Sedang ( 8.4 - 11.6 ) 9.63 14 46.67
3. Tinggi ( 11.7 - 15.0 ) 13.96 4 13.33
Jumlah 30 100.00
Dengan demikian pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian
melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan
yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku sebagaimana yang dikatakan
oleh Ancok (1997), bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan mnyebabkan seseorang
bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat tergantung pada
512
apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu. Adanya niat yang sungguh-sungguh untuk
melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan. Dengan
demikian petani yang mempunyai wawasan positif terhadap pengendalian PBK, maka dapat mendorong
untuk melakukan pengendalian PBKpada usahataninya.
Sikap Petani Terhadap Hama PBK
Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman
lapangan mereka. Sikap petani responden dalam melakukan pengendalian hama PBK masing-masing
bersikap positif/setuju (30%), netral/ragu-ragu (50%) dan negatif/tidak setuju (20%). Hal ini
mengindikasikan bahwa petani masih ragu-ragu terhadap metode pengendalian hama PBK yang selama ini
mereka ketahui. Untuk itu diseminasi ataupun penyuluhan pertanian yang disertai dengan praktek lapang
mutlak untuk dilakukan guna untuk lebih meyakonkan petani bahwa metode pengendalian PBK dengan
pendekatan PBK sesungguhnya dapat mengurangi tingkat serangan PBK walaupun tidak sampai
menghilangkan sama sekali, karena seperti diketahui hama PBK sangat mudah sekali sangat mudah sekali
untuk menyebar dari satu lokasi ke lokasi lain.
Tabel 4. Pendapat Responden terhadap Sikapnya dalam Melakukan Pengendalian Hama PBK, di Kecamatan
Selemadeng, Kab. Tabanan 2006.
No Klasifikasi/skor Rata-Rata Skor Jumlah Petani Persentase (%)
1. Negatif ( 5.0 - 8.3 ) 7,34 9 30,00
2. Netral ( 8.4 - 11.6 ) 10,26 15 50,00
3. Positif ( 11.7 - 15.0 ) 12,82 6 20,00
Jumlah 30 100,00
Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan.
Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain
melalui interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu
yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek
psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah
pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga
pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu (Azwar, 2000). Sikap yang
diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya.
Perilaku Petani dalam Pengendalian PBK
Tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan
Selemadeg Kabupaten Tabanan, rata-rata termasuk dalam kategori sedang (63,33%) dengan nilai skor 10.64
(Tabel 5). Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan petani dalam halpengendalian hamam
PBK yang didominasi dalam kategori sedang (46,67%). Sesungguhnya sudah hampir semua petani
responden telah mengetahui beberapa metode dalampengendalian hama PBK yang umumnya didapat dari
Petugas Penyuluh Lapangan melalui kegiatan SLPHT. Salah satu diantaranya adalah sarungisasi buah kakao,
yang berarti memberikan selubung perlindungan terhadap buah kakao. Selubungnya dapat menggunakan
kantong plastik yang ujung bagian atasnya diikatkan pada tangkai buah, sedangkan ujung buah tetap terbuka.
Dengan penyelubungan buah tersebut, hama tidak bias meletakkan telurnya pada kulit buah sehingga buah
akan terhindar dari geretan larva. Namun karena pada tahun ini produksi kakao rendah selain disebabkan oleh
serangan hama dan penyakit, juga tak lain karena perubahan iklim (musim hujan panjang) sehingga petani
menelantarkan dan kurang merawat kebun kakaonya.
Tabel 5. Perilaku Petani dalam Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten
Tabanan, 2006.
No Klasifikasi/skor Rata-Rata Skor Jumlah Petani Persentase (%)
1. Rendah ( 5.0 - 8.3 ) 8.12 8 26.67
2. Sedang ( 8.4 - 11.6 ) 10.64 19 63.33
3. Tinggi ( 11.7 - 15.0 ) 14.04 3 10.00
Jumlah 30 100.00
Selanjutnya Soekartawi (1988) mengatakan, perilaku penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor dari luar lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi
umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko,
513
fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Termasuk faktor lingkungan antara lain:
kosmopolitas, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana dan
proses memperoleh sarana produksi. Sedangkan untuk mencegah meluasnya serangan PBK ke wilayah lain
menurut Sjafaruddin et al (2000), diperlukan upaya penyuluhan yang intensif mengenai berbagai aspek
tentang hama PBK. Selain itu sistem tataniaga dan pemasaran yang melibatkan pedagang pengumpul pada
berbagai tingkatan merupakan vektor penyebaran PBK, sehingga perlu diwaspadai untuk mencegah
meluasnya serangan ke wilayah lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
1) Tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK umumnya termasuk dalam kategori
sedang (46,67%). Hal ini tentunya berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang umumnya
hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Sikap petani rata-rata (50%) bersikap netral dalam pengendalian
hama PBK dengan rata-rata nilai skor 10,64. Sedangkan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK
masuk dalam kategori sedang (63,33%) dan hanya 10% saja yang termasuk dalam kategori tingkat
perilaku tinggi.
2) Terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian hama PBK,
dimana makin tinggi pengetahuan petani maka cenderung akan bersikap positif, dan makin positif sikap
petani maka cenderung akan berperilaku baik dalam praktek pengendalian hama PBK.
3) Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK hal yang
perlu diperhatikan adalah mengintensifkan sosialisasi/penyuluhan tentang metode pengendalian hama
PBK dengan pendekatan PHT disertai dengan praktek lapang atau disertai dengan pengujian langsung di
lapangan, agar petani dapat langsung melihat hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Anonim. 2004a. Data Bali Membangun 2004. Pemerintah Provinsi Bali. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah. Denpasar
Anonim. 2004b. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember..
328 hal.
Atmawilata, O. 1993. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Suatu Ancaman Terhadap Kelestarian
Perkebunan Kakao di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian
Perkebunan Indonesia. Jember. No. 15.
Azwar, Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Dajan, A. 1996. Pengantar Metode Statistik. Jilid II . Penerbit LP3ES. Jakarta.
Herman. 2004. Kakao Indonesia Dikancah Perkakaoan Dunia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor.
6 hal.
Ooi, P,A,C., L.G. Chan, K.C. Khoo., C.H. Teoh., Md.J.Mamat, C.T. Ho and G.S. Lim 1987. Introduction to
the cocoa pod borer. P.1-6. In P,A,C. Ooi, , L.G. Chan, Khoo K.C., Teoh C.H., Md.J.Mamat, Ho
C.T. and Lim G.S. (Eds). Management of Cocoa Pod Borer. The Malaysian Plant Protection Society,
Kuala Lumpur.
Prabowo, A.A. 1997. Diversifikasi Pada Perkebunan Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Jember. 13(3),
hal 165 – 184.
Roesmanto, J. 1991. Kakao : Kajian Sosial Ekonomi. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. hal 165 .
Sjafaruddin, M., G. Kartono., R. Djamaluddin., Rubiyo, E. Sutisna dan D. Sahara. 2000. Status dan Upaya
Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 122 – 129.
514
Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-press). Jakarta.
137 hal.
Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol 2 No.1. Januari 2002. Fakultas Pertanian Universitas
Udayana. Denpasar. hal 31 – 34.
Suharyanto, Suprapto dan Rubiyo. 2004. Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Tanaman
Perkebunan Berbasis Kelapa di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 146 – 154.
Sulistyowati, E. 1997. Prospek Pemanfaatan Tanaman Tahan Dalam Pengelolaan Hama Penggerek Buah
Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia .Jember.
13(3), hal 204 - 212.
Wardoyo. 1990. The Cocoa Pod Borer A Major Hidrance to Cocoa Development. Indonesian Agricultural
Research Development Journal. Jakarta. 2(1) : 1-4.
515
STRUKTUR PASAR BEBERAPA KOMODITAS HORTIKULTURA DI KABUPATEN BULELENG
Suharyanto, Jemmy Rinaldi dan Rubiyo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
ABSTRAK
Kabupaten Buleleng merupakan salah satu sentra produksi komoditas hortikultura di Provinsi Bali, baik untuk
dataran rendah, medium maupun dataran tinggi. Selain untuk memenuhi kebutuhan lokal, hampir sebagian besar produk
hortikultura dipasarkan ke luar Kabupaten Buleleng. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan integrasi pasar
hortikultura di Kabupaten Buleleng melalui analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar produsen dan konsumen. Data yang digunakan merupakan data time series bulanan ditingkat produsen dan konsumen periode 2003-
2005. Data dianalisis secara deskriptif baik kualitatif maupun kuantitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata
margin pemasaran antara produsen dan konsumen tertinggi pada komoditas anggur dan bawang putih masing-masing Rp.
3.479,09 dan Rp. 3.389,86. Integrasi pasar yang terjadi pada komoditas hortikultura adalah tidak sempurna atau bukan pasar persaingan sempurna dan mengarah pada struktur pasar oligopsoni dengan nilai koefisien korelasi (r) <1. Demikian
halnya dengan nilai elastisitas transmisi harga yang kecil (<1) mengindikasikan bahwa transmisi harga yang terbentuk
antara pasar produsen dengan pasar konsumen lemah sehingga struktur pasar yang terbentuk bukan pasar persaingan.
Kata kunci : struktur pasar, hortikultura, transmisi harga.
PENDAHULUAN
Kabupaten Buleleng memiliki luas wilayah 1.365,88 Km
2 (24,25% dari luas Provinsi Bali) yang
memiliko tofografi sangat bervariasi mulai dari dataran rendah, perbukitan dan pegunungan dan sekitar 31,5
persen dari luas wilayahnya merupakan lahan kering. Sektor pertanian di Kabupaten Buleleng merupakan
sektor basis (LQ >1), yang berarti memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sector lainnya
selain itu sector pertanian juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB (29,55%). Komoditas
unggulan subsektor hortikultura antara lain anggur, rambutan, mangga, pisang, durian, sayuran dan tanaman
hias (bunga). Namun demikian yang masih menjadi kendala di sector pertanian secara umum antara lain
kualitas, posisi tawar petani dan akses pasar yang masih rendah selain itu juga penanganan pasca panen
produk yang belum optimal (Anonim, 2006).
Komoditi hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditi
yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi,
serta potensi serapan pasar yang cukup baik. Pengembangan agribisnis memerlukan dukungan lembaga
pelayanan penunjang agribisnis seperti lembaga keuangan, lembaga penyedia sarana pertanian, lembaga
penyedia jasa alsintan, informasi pasar, kelembagaan pemasaran dan sebagainya (Anonim, 2003). Dalam
kaitannya dengan pemasaran, harga produk ditingkat produsen yang berfluktuasi secara tajam tidak
menguntungkan bagi petani karena hal itu menyebabkan ketidakpastian penerimaan yang diperoleh dari
kegiatan usahataninya. Resiko usaha yang dihadapi petani akan semakin tinggi jika harga produk yang
dihadapi semakin berfluktuasi. Fluktuasi harga tersebut pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan
antara volume permintaan dan penawaran dimana tingkat harga meningkat jika volume permintaan melebihi
penawaran, dan sebaliknya. Karena volume permintaan relatif konstan dalam jangka pendek maka fluktuasi
harga jamgka pendek dapat dikatakan merupakan akibat dari ketidakmampuan produsen dalam mengatur
penawarannya yang sesuai dengan kebutuhan permintaan (Hastuti, 2004).
Spektrum komoditas hortikultura yang dapat dikembangkan di setiap kabupaten produsen
hortikultura umumnya relatif luas. Begitu pula halnya dengan kebutuhan konsumsi sayuran dan buah di
setiap kabupaten yang sangat beragam menurut jenis komoditas, kualitas dan segmen pasar. Pada masa
otonomi daerah setiap kabupaten memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan
pembangunannnya, termasuk pemilihan komoditas yang akan dikembangkan di kabupaten yang
bersangkutan. Permasalahannya adalah haruskah setiap kabupaten mengembangkan seluruh jenis komoditas
hortikultura yang dibutuhkan di kabupaten yang bersangkutan (Irawan, 2003). Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui struktur dan integrasi pasar hortikultura di Kabupaten Buleleng melalui analisis elastisitas
transmisi harga dan integrasi pasar
516
METODOLOGI PENELITIAN
Data yang digunakan dalam kajian ini merupakan data time series harga bulanan komoditas
hortikultura ditingkat produsen dan konsumen periode 2003-2005 yang bersumber dari Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Buleleng. Data dianalisis secara deskriptif baik kualitatif maupun kuantitatif melalui
analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar produsen dan konsumen serta margin pemasaran.
Analisis data dilakukan berdasarkan ketersediaan data komoditas baik ditingkat produsen maupun konsumen.
Analisis margin pemasaran dilakukan untuk mengetahui tingkat kompetensi dari pelaku pemasaran yang
terlibat dalam pemasaran. Secara teoritis margin pemasaran merupakan selisih antara harga yang diterima
produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen (Tomek and Robinson, 1990).
Untuk mengetahui hubungan atau besarnya pengaruh perubahan harga ditingkat produsen dengan
ditingkat konsumen digunakan analisis integrasi pasar dengan menggunakan analisis korelasi model Gujarati
(1999) sebagai berikut :
rPbbPf 10
})}{)Pr(Pr{
))(Pr(Pr
22221
ii
iiii
PfnPfiin
PfPfnb
Keterangan :
b1 : Koefisien korelasi
Pr : Harga rata-rata tingkat pengecer
Pf : Harga rata-rata tingkat petani
b0 : Intersept
n : Jumlah sampel
Jika koefisien korelasi (b1) = 1, artinya terjadi integrasi harga secara sempurna antar pasar tingkat
petani dengan pasar tingkat konsumen sehingga pasarnya bersaing sempurna, dan dapat dikatakan bahwa
pemasarannya efisien. Jika koefisien korelasi (b1) 1, tidak terjadi integrasi harga secara sempurna sehingga
pasarnya bukan pasar persaingan sempurna dan pemasarannya tidak efisien. Jika b1 <1, maka pasarnya
mengarah ke monopsoni dan jika b1 >1, pasarnya mengarah ke monopoli.
Elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui penampakan pasar antara pasar tingkat
produsen dan pasar tingkat konsumen, digunakan model regresi sederhana (Azzaino, 1982).
Pf = b0 + b1 Pr ditransformasikan dalam bentuk linier menjadi :
ln Pf = ln b0 + b1 ln Pr
dimana : b0 : intersept
b1 : koefisien elastisitas transmisi harga
Pr : Harga rata-rata tingkat pengecer
Pf : Harga rata-rata tingkat petani
Nilai koefisien regresi b1 menggambarkan besarnya elastisitas transmisi harga antara harga ditingkat
petani dengan harga ditingkat konsumen. Jika = 1, berarti perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen
hanya dibedakan oleh margin pemasaran yang tetap. Jika > 1, persentase kenaikan harga tingkat konsumen
lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat produsen. Jika < 1, persentase kenaikan harga tingkat
konsumen lebih kecil dibanding tingkat produsen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi, Harga dan Margin Pemasaran
Produksi hortikultura umumnya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu seperti halnya untuk
komoditas sayuran banyak dihasilkan dari daerah Buleleng selatan yang memiliki tofografi pegunungan/
dataran tinggi sedangkandaerah Buleleng utara dengan tofografi dataran rendah cenderung sebagai daerah
produsen buah-buahan tropis seperti anggur dan mangga. Kondisi demikian merupakan suatu proses historis
yang secara umum melibatkan aspek agroklimat dan kondisi social ekonomi daerah bersangkutan. Sifat
hortikultura yang berorientasi pasar menyebabkan petani hortikultura, terutama sayuran lebih kreatif
dibandingkan petani tanaman pangan lainnya. Kondisi demikian menyebabkan petani sayuran pada
umumnya lebih mandiri dalam mengadopsi dan mengembangkan teknologi usahatani yang dibutuhkan.
517
Kemandirian tersebut memang sangat berguna jika didukung dengan wawasan pengetahuan yang luas dan
informasi yang akurat.
Tabel 1. Produksi, Harga dan Margin Pemasaran Beberapa Komoditass Hortikultura di Kabupaten Buleleng, 2005.
Komoditas Produksi (ton) Harga Produsen
(Pf) (Rp)
Harga Konsumen
(Pr) (Rp) Margin (Rp)
Kubis 6.070 928.65 1722.34 793.69
Tomat 126 1353.12 2488.32 1135.20
Bawang merah 322 4573.62 7171.04 2597.43
Bawang putih 147 5082.77 8472.63 3389.86
Kentang 3530 1885.12 3441.83 1556.72
Cabai Merah 736 5801.46 7566.93 1765.46
Wortel 1585 1422.58 2643.47 1220.89
Pisang 19.534 2205.17 5145.29 2240.17
Pepaya 1.185 1392.88 3049.24 1656.36
Anggur 10.032 2573.78 6052.87 3479.09
Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Buleleng 2005 .
Pada Tabel 1 diatas terlihat bahwa margin pemasaran komoditi hortikultura sangat bervariasi,
dimana margin tertinggi terdapat pada anggur, bawang putih dan pisang. Besar kecilnya margin pemasaran
suatu komoditas tentunnya sangat dipengaruhi oleh harga output komoditi, waktu, biaya dan saluran
pemasaran yang terjadi. Irawan (2003) meyatakan bahwa kondisi harga produk hortikultura yang
berfluktuatif terjadi akibat kurangnya penawaran dibandingkan permintaan. Fluktuasi tersebut umumnnya
disebabkan oleh disinkronisasi perencanaan produksi antar daerah produsen. Fluktuasi harga tersebut
seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang, karena petani memiliki posisi tawar yang lemah. Oleh
karena itu dapat dipahami jika keuntungan pedagang dalam pemasaran hortikultura relatif tinggi berkisar
antara 14 –50 persen dari harga ditingkat konsumen.
Gambar 1. Perkembangan harga komoditas hortikultura ditingkat produsen di Kabupaten Buleleng, 2005.
Gambar 2. Perkembangan harga komoditas hortikultura ditingkat konsumen di Kabupaten Buleleng, 2005.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
(Jan-Des 2005)
(Rp/K
g)
Kubis
Tomat
B Merah
B Putih
Kentang
C Merah
Wortel
Pisang
Pepaya
Anggur0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
(Jan-Des 2005)
(Rp/K
g)
Kubis
Tomat
B Merah
B Putih
Kentang
C Merah
Wortel
Pisang
Pepaya
Anggur
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
(Jan-Des 2005)
(Rp/K
g)
Kubis
Tomat
B Merah
B Putih
Kentang
C Merah
Wortel
Pisang
Pepaya
Anggur0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
(Jan-Des 2005)
(Rp/K
g)
Kubis
Tomat
B Merah
B Putih
Kentang
C Merah
Wortel
Pisang
Pepaya
Anggur
518
Preferensi konsumen dalam membeli produk hortikultura, terutama sayur dan buah, secara umum
lebih tinggi untuk produk segar karena dinilai memiliki nilai gizi yang lebih baik. Namun produk hortikultura
pada umumnya justru relatif cepat mengalami kebusukan, karena itu setelah dipanen produk hortikultura
memerlukan penanganan secara cepat untuk disalurkan pada konsumen. Jika tidak, maka akan terjadi
penurunan harga akibat akibat penurunan kesegaran atau mutu produk yang dijual. Oleh karena itulah harga
sayuran ditingkat petani sangat fluktuatif dalam jangka waktu yang sangat pendek, harian atau antara pagi
dan sore hari akibat penurunan kualitas produk yang dipasarkan. Untuk mengurangi resiko penerimaan akibat
fluktuasi harga dan kegagalan panen, maka ditingkat petani komoditas sayuran umumnya diusahakan secara
tumpang sari. Pola usahatani demikian menyebabkan OPT sayuran umumnya lebih beragam, sehingga petani
pada umumnya menggunakan pestisida secara inensif yang tentunya akan meningkatkan biaya produksi
usahatani.
Struktur dan Integrasi Pasar
Secara konseptual pasar merupakan kelembagaan yang otonom. Dalam bentuknya yang ideal, maka
mekanisme pasar diyakini akan mampu mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dengan pengawasan politik
dan social yang minimal dari pemerintah dan komunitas. Pasar tak lagi bermakna sebagai tempat atau lokasi
belaka, namun sudah meluas sebagai bagian penentu aspek moral kehidupan kolektif ditingkat desa hingga
nasional. Dalam kehidupan sector pertanian, terlihat fenomena otonomnya para pedagang hasil-hasil
pertanian, dimana mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri, misalnya timbulnya pedagang kaki
tangan dan pedagang komisioner (Syahyuti, 2004).
Salah satu karakteristik komoditi pertanian yang sangat penting dalam mempelajari struktur pasar
adalah sifat homogen dan massal. Sifat homogen mengindikasikan bahwa konsumen tidak bias mengindikasi
sumber-sumber penawaran disubstitusi secara sempurna oleh produsen lainnya. Sifat massal memberikan
indikasi bahwa jumlah komoditi pertanian yang dihasilkan seorang produsen dianggap sangat kecil
dibandingkan jumlah komoditi total yang dipasarkan, sehingga produsen pertanian secara individual tidak
dapat mempengaruhi harga yang berlaku di pasar dan bertindak sebagai penerima harga (price taker).
Terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar :
(1) jumlah dan besar penjual dan pembeli, apakah penjual relatif banyak sehingga tidak terdapat seorang
penjual pun yang dapat mempengaruhi harga; (2) keadaan produk yang diperjualbelikan, apakah produk
tersebut homogen, berbeda corak ataukah produk tersebut unik sehingga tidak ada penjual lain yang dapat
mensubstitusiikan produk yang dijual tersebut; (3) kemudahan keluar dan masuk pasar; (4) pengetahuan
konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi. Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan
keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar
(Sudiyono, 2001).
Hasil analisis korelasi harga ditingkat petani dengan harga ditingkat pengecer diperoleh nilai
koefisien korelasi (r) yang positif dan lebih kecil dari 1. Koefisien korelasi ini juga menunjukkan adanya
hubungan linier antara harga ditingkat petani (Pf) dengan harga ditingkat pengecer (Pr) dengan tingkat
keeratan sebesar koefisien korelasinya. Dengan nilai r <1, berarti kedua pasar berintegrasi tidak sempurna.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara harga ditingkat petani dan konsumen adalah lemah dimana
jika terjadi kenaikan harga satu-satuan ditingkat konsumen akan diikuti dengan kenaikan harga yang kurang
dari satu ditingkat produsen, sehingga dapat dikatakan bahwa integrasi pasarnya adalah tidak sempurna atau
bukan pasar persaingan. Dengan korelasi yang lemah, integrasi pasar yang tidak sempurna maka struktur
pasar yang terbentuk bukan merupakan pasar persaingan sempurna dan mengarah ke pasar oligopsoni. Dapat
dikatakan secara umum bahwa sistem pemasaran yang terbentuk tidak efisien. Sedangkan untuk menentukan
struktur pasarnya secara spesifik dapat dilakukan melalui analisis struktur pasar secara kualitatif.
Tabel 2. Analisis Integrasi Pasar Beberapa Komoditas Hortikultura di Kabupaten Buleleng, 2003 - 2005
Komoditas Koefisien Korelasi (r) Kriteria / Struktur Pasar
Kubis 0.728 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Tomat 0.923 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Bawang merah 0.758 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Bawang putih 0.598 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Kentang 0.466 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Cabai Merah 0.587 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Wortel 0.180 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Pisang 0.571 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Pepaya 0.509 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
Anggur 0.541 Bukan pasar persaingan sempurna (Oligopsoni)
519
Sebagaimana dinyatakan oleh Hutabarat dan Rahmanto (2004) petani-petani hortikultura umumnya
tidak memiliki informasi yang memadai tentang keadaan pasar dan teknologi pascapanen dan pengolahannya
untuk menampung kelebihan pasokan sehingga pada saat berikutnya mereka menyesuaikan penyesuaian
produksi. Hal ini tentunya menjadi peluang bagi pedagang-pedagang apapun bentuknya, untuk menguji
kekuatannya. Dengan kekuatan seperti itu mereka dapat menekan harga yang mereka bayarkan kepada
petani serendah mungkin, karena petani jumlahnya relatif banyak dan mereka tidak bersatu, sehingga
pasarnya tidak bersaing sempurna melainkan bersifat persaingan oligopsoni. Ciri-ciri dari pasar seperti ini
adalah beranekaragamnya mutu produk dan langkanya informasi lengkap, tetapi ciri yang paling utama yang
membedakannya dari bentuk-bentuk pasar yang lain adalah besarnya proporsi komoditas yang dibeli oleh
hanya beberapa pedagang besar. Karena jumlah pedagang besarnya sangat sedikit, maka terciptalah keadaan
saling ketergantungan diantara mereka.
Dari uraian tentang struktur pasar hortikiultura secara umum dapat ditunjukkan bahwa struktur pasar
ditingkat produsen atau petani cenderung oligopsoni dimana terdapat banyak petani yang menjual berbagai
macam komoditas sayuran maupun buah-buahan. Pedagang lebih menguasai informasi mengenai harga,
biaya dan kondisi pasar jika dibandingkan dengan petani. Dari keadaan umum struktur pasar hortikultura
yang tergambar diatas dapat dikatakan bahwa struktur pasarnya berada dalam pasar persaingan tidak
sempurna.
Irawan (2003) menyatakan bahwa pasar produk hortikultura membentuk segmen-segmen pasar
spesifik menurut daerah dan kelompok konsumen akibat jenis komoditas dan preferensi konsumen yang
beragam. Besarnya volume permintaan pada setiap segmen pasar seharusnya menjadi acuan bagi petani
dalam merencanakan jenis komoditas dan banyaknya produksi yang harus dihasilkan menurut kualitasnya.
Dengan kata lain informasi tentang segmen pasar yangmenyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume
permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan
produksinya. Namun informasi ini pada umumnya masih sulit diperoleh petani karena belum ada lembaga
tertentu yang mengumpulkan dan mensosialisasikannya secara efektif kepada petani.
Analisis elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui persentasi perubahan harga
ditingkat produsen akibat perubahan harga ditingkat konsumen. Sudiyono (2001) menyatakan bahwa pada
umumnya nilai elastisitas transmisi ini lebih kecil daripada satu, artinya volume dan harga input konstan
maka perubahan nisbi harga ditingkat pengecer tidak akan melebihi perubahan nisbi harga ditingkat petani.
Selain menunjukkan besarnya perubahan harga ditingkat petani dan pengecer, nilai elastisitas transmisi harga
juga dapat menyatakan tingkat kompetisi suatu pasar, penampakan atau struktur pasar yang terbentuk. Nilai
elastisitas transmisi harga (η) lebih kecil dari satu mengindikasikan bahwa transmisi harga yang terbentuk
antara pasar petani dengan pasar konsumen lemah sehingga struktur pasar yang terbentuk bukan pasar
persaingan.
Dari hasil analisis regresi sederhana diperoleh koefisien regresi/dugaan parameter komoditas kubis
sebesar 0.532, nilai koefisien regresi ini menunjukkan nilai elastisitas transmisi harga. Dan diperoleh nilai
elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu (Et<1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1%
ditingkat pengecer akan mengakibatkan perubahan harga sebesar 0.532% ditingkat petani atau dapat juga
diartikan bahwa perubahan harga ditingkat produsen sebesar 53.2% dipengaruhi oleh perubahan harga
ditingkat konsumen. Demikian pula halnya dengan hasil analisis beberapa komoditas hortikultura lainnya
menunjukkan Et < 1.
Tabel 3. Analisis Elastisitas Transmisi Harga Beberapa Komoditas Hortikultura di Kabupaten Buleleng 2003 - 2005
Komoditas Dugaan
Parameter
Koefisien Determinasi
(R2) F Hit
Stat
D-W
Kubis 0.532 0.53 38.38* 2.20
Tomat 0.550 0.85 195.52* 2.10
Bawang merah 0.587 0.58 46.05* 1.26
Bawang putih 0.463 0.36 18.94* 1.49
Kentang 0.500 0.22 9.45* 2.17
Cabai Merah 0.524 0.35 17.91* 1.34
Wortel 0.258 0.32 11.40* 2.18
Pisang 0.760 0.33 16.43* 1.75
Pepaya 0.678 0.26 11.91* 1.75
Anggur 0.392 0.30 14.10* 1.79
Keterangan : * = Significan pada taraf 5%
520
Akibat posisi tawar petani yang lemah, terkait dengan berbagai kendala yang dihadapi, maka proses
transmisi harga tersebut bersifat asimetri dimana penurunan harga konsumen diteruskan kepada petani secara
cepat dan sempurna, sebaliknya kenaikan harga diteruskan secara lambat dan tidak sempurna.
Konsekuensinya adalah petani seringkali mengalami tekanan harga dan ketidakpastian pendapatan petani
relatif tinggi akibat fluktuasi harga yang tinggi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Irawan (2003) tidak
adanya hubungan langsung secara institusional diantara pelaku agribisnis menyebabkan kaitan fungsional
yang harmonis tidak terbentuk dan setiap pelaku agribisnis hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa
menyadari bahwa mereka saling membutuhkan dan saling tergantung untuk dapat mengembangkan usahanya.
Struktur agribisnis yang demikian menyebabkan terbentuknya margin ganda akibat rantai pemasaran yang
panjang sehingga ongkos produksi yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal, sementara masalah
transmisi harga dan informasi pasar yang tidak sempurna tidak dapat dihindari akibat tidak adanya kesetaraan
posisi tawar, terutama antara petani dan pedagang.
Lebih lanjut Syahyuti (1998) mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan posisi tawar petani dapat
dilakukan melalui reduksi perilaku pedagang yang merugikan petani dengan penetapan standar kualitas,
peningkatan keterjangkauan petani terhadap informasi pasar, dan penigkatan penyediaan infrastruktur. Hal
ini dapat meningkatkatkan posisi tawar petani dalam hal penentuan nilai barang dan penentuan harga.
Sementara untuk mereduksi perilaku pedagang yang merugikan petani dalam cara pembayaran dapat
digunakan pendekatan kemitraan dengan kontrak kerja yang jelas. Namun alternatif lain untuk mengurangi
perilaku pedagang yang merugikan petani adalah dengan melibatkan petani secara langsung dalam
pemasaran, yaitu apabila pelaku pemasaran adalah lembaga petani itu sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Struktur pasar beberapa komoditas hortikultura di Kabupaten Buleleng umumnya bukan pasar
persaingan sempurna atau mengarah pada monopsoni. Dengan beberapa karakteristik yang melekat pada
produk hortikultura seperti perishable, diproduksi secara masal dan homogen, maka yang perlu untuk
diupayakan adalah penanganan panen dan pasca panen.
2. Untuk menghindari fluktuasi harga yang sangat tinggi pada komoditas hortikultura maka informasi
pasar tentang segmen pasar yang menyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan
kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya.
Dengan dukungan teknologi, keterampilan dan sarana pendukung lainnya pedaganglah yang menjadi
penentu mutu produk petani. Faktor-faktor ini merupakan indikator kekuatan oligopsoni pedagang.
Karena mereka yang menjadi penentu harga produk tersebut, sementara petani hanya menjadi penerima
saja.
3. Perlunya membangun jaringan informasi komoditas hortikultura utama dan menyebarluaskannya ke
masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, yang mencakup volume produk yang keluar masuk
wilayah. Pencatatan dan penyebarluasan informasi harga yang saat ini berjalan perlu ditingkatkan,
sehingga minimal meliputi harga pada saat puncak dan lesunya transaksi komoditas setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA
Anonin. 2006. Kebijakan Pembangunan Pertanian Pemerintah Kabupaten Buleleng (Strategi Pengelolaan
Pertanian Lahan Kering). Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantapan dan Sinkronisasi
Primatani, 12-13 Juli 2006. Pemerintah Kabupaten Buleleng. Bappeda.
Anonim. 2005. Laporan Informasi Pasar 2003-2005. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Buleleng.
Anonim. 2003. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Azzaino, Z. 1982. Pengantar Tata Niaga Pertanian. Departemen Pertanian Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi.
Fakultas Pertanian, IPB. Bogor
Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa Sumarno Zain. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hastuti, E.L. 2004. Kelembagaan Pemasaran dan Kemitraan Komoditi Sayuran. Jurnal Social Ekonomi
Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4. No. 2. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
hal 116 – 123.
521
Hutabarat, B dan B. Rahmanto. 2004.Dimensi Oligopsonistik Pasar Domestik Cabai Merah. Jurnal Social
Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4. No. 1. Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Denpasar. hal 45 – 56.
Irawan, B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Vol 21 No. 1, Juli 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 67 – 82.
Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM Press).
Malang. 249 hal.
Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-Hasil Pertanian
di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 16 No. 1, Juli 1998. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 42 – 53.
Syahyuti. 2004. Pemerintah, Pasar dan Komunitas : Faktor Utama Dalam Pengembangan Agribisnis di
Pedesaan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 22 No. 1, Juli 2004. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 54 – 62.
Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural Product Prices (Third Edition). Cornell University
Press. Ithaca and London.
522
ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBUATAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) CARA
FERMENTASI
Ni Pt. Sutami, Dian Adi A. Elisabeth, dan Ni Wayan Trisnawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK
Kelapa memegang peranan sangat penting dan strategis bagi masyarakat Bali, baik secara ekonomis, sosial,
maupun budaya, bahkan religi. ”Kelapa dalam bali” adalah jenis kelapa dalam lokal yang memiliki kandungan minyak tinggi dan digunakan oleh masyarakat Bali sebagai bahan pengolahan minyak kelapa secara tradisional, yang
disebut ”minyak kelentik” atau ”minyak tandusan”. Introduksi teknologi pembuatan minyak kelapa murni dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tambah bagi produk kelapa sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani
kelapa melalui peningkatan nilai jual minyak kelapa yang diproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung analisis finansial dari pengolahan minyak kelapa murni, meliputi analisis kelayakan usaha (R/C ratio), titik impas harga, dan titik
impas produksi. Pembuatan minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO) telah dilakukan di sentra produksi kelapa
di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng pada bulan Mei sampai Juli 2006. Hasil analisis kelayakan
finansial dengan R/C ratio sebesar 1,21 menunjukkan bahwa usaha pembuatan minyak kelapa murni ini layak untuk diusahakan. Pengolahan minyak kelapa murni menghasilkan dua jenis produk, yaitu minyak kelapa murni dan minyak
kelentik. Produktivitasnya berturut-turut 6,38 liter dan 9,12 liter per 100 butir kelapa. Titik impas harga minyak kelapa
murni Rp 13.403,08 per liter dan titik impas produksinya 2,85 liter; sementara titik impas harga minyak kelentik Rp
13.456,10 per liter dan titik impas produksinya 18,31 liter.
Kata kunci : minyak kelapa murni, virgin coconut oil (VCO), analisis finansial
PENDAHULUAN
Kelapa (Cocos nucifera L.) sebagai salah satu kekayaan hayati Indonesia telah berabad-abad
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik sebagai sumber makanan, obat-
obatan, industri dan lain-lain. Hasil-hasil produk kelapa di Indonesia secara umum masih bertumpu pada
minyak kelapa, padahal kelapa merupakan tanaman yang serbaguna. Tanaman kelapa memiliki keragaman
produk yang tinggi, karena dari daun sampai akar memiliki manfaat dan nilai sosial ekonomi.
Bagi masyarakat Bali, kelapa merupakan komoditas strategis karena selain sebagai sumber
pendapatan juga memiliki peranan sosial dan kultural. Akan tetapi saat ini, keadaan perkelapaan di Bali
kurang menguntungkan terutama bila ditinjau dari produktivitas tanaman dan harga jual. Harga jual butiran
kelapa masih rendah berkisar antara Rp 700 – 1000 per butir. Produktivitas tanaman kelapa per hektar di Bali
tidak pernah melampaui 1,2 ton ekuivalen kopra/ha/th. Hal ini jauh di bawah produktivitas tanaman kelapa
yang dipelihara secara intensif yang dapat mencapai jumlah 2,5 – 3 ton ekuivalen kopra/ha/th (APCC, 2004).
Statistik Perkebunan Bali (2004) menyebutkan bahwa tanaman kelapa di Bali memiliki areal seluas 73.785
hektar atau kurang lebih 46,7 persen dari total luas areal perkebunan di Bali dengan jumlah total produksi
sebesar 76.000 ton. Olahan kelapa yang selama ini dikenal dan populer di masyarakat adalah minyak kelapa
cara tradisional atau minyak kelentik. Minyak ini sering digunakan sebagai penyubur dan penghitam rambut,
serta pelancar proses kelahiran. Akan tetapi minyak kelentik tidak tahan simpan. Dengan introduksi teknologi
dihasilkan minyak yang tahan simpan lebih lama, yang disebut dengan nama VCO.
VCO atau virgin coconut oil (dalam bahasa Indonesia disebut sebagai minyak kelapa murni)
merupakan produk modern buah kelapa yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf kesehatan,
mengobati dan bahkan dimanfaatkan dalam bidang kecantikan atau kosmetika. Walaupun sebagai produk
modern, pengembangan minyak VCO tetap berkaitan dengan akar budaya masyarakat yang menggantungkan
hidup pada tanaman kelapa.
Teknologi pengolahan kelapa menjadi VCO sangat mudah dan murah karena menggunakan bahan
dan alat yang dapat dijumpai pada setiap tingkat rumah tangga. Teknologi pengolahan ini juga sederhana
sehingga mudah untuk diaplikasikan, bahkan oleh petani kelapa yang hanya memiliki pengetahuan
pengolahan terbatas. Minyak VCO dibuat dengan menggunakan bahan baku kelapa segar berupa santan atau
parutan kelapa yang diproses dengan perlakuan mekanis dan panas yang minimal. Cara ini dimaksudkan
untuk mempertahankan struktur bahan kimia tanaman yang terjadi secara alami. Ciri-ciri minyak kelapa
murni ini adalah bening (tidak berwarna), memiliki aroma dan rasa khas buah kelapa (Syah, 2005).
Salah satu cara pembuatan minyak kelapa murni yang banyak dilakukan saat ini adalah dengan
fermentasi. Proses fermentasi dimaksud untuk dapat mengekstrak minyak dari dalam santan. Untuk itu perlu
523
terlebih dahulu mengatur kondisi awal sehingga proses fermentasi dapat berlangsung dengan sempurna.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan air kelapa dalam santan kental sebelum
fermentasi berlangsung. Dengan demikian diharapkan ekstraksi minyak dalam santan dapat terjadi secara
optimal. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pendapatan dan kelayakan usaha dalam proses
pengolahan VCO cara fermentasi.
Dengan adanya berbagai produk olahan dari kelapa, implementasinya akan membawa
perkembangan industri komoditas kelapa, peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya disamping mengembalikan citra Indonesia sebagai ”negeri nyiur
melambai”.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng pada bulan Mei
sampai Juli 2006. Bahan yang dipergunakan kelapa tua (maksimal berumur 12 bulan) 100 butir. Penelitian
mengamati fermentasi dengan menggunakan air kelapa untuk memperoleh data jumlah produksi minyak
VCO dan minyak kelentik. Data diperoleh di petani dengan cara melihat langsung proses pembuatannya.
Analisis data dilakukan dengan analisis kelayakan usaha (R/C ratio) dan analisis titik impas harga dan
produksi.
Analisis Kelayakan Usaha
Analisis kelayakan usaha digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian usaha dalam
menerapkan suatu teknologi. Sebagai tolak ukur adalah nisbah penerimaan dan biaya atau R/C ratio. Apabila
R/C ratio > 1, maka usaha layak secara finansial (Rahmanto, Bambang, et. al., 1998). Secara sederhana dapat
ditulis :
R
R/C ratio =
C
R = Py.Y
C = FC + VC
R/C ratio = {(Py.Y) / (FC +VC)}
Keterangan :
R = Penerimaan
C = Biaya
Py = Harga output
Y = Output
FC = Biaya tetap (fixed cost)
VC = Biaya tidak tetap (variabel cost)
Jika R/C ratio > 1 maka dikatakan layak,
Jika R/C ratio < 1 maka dikatakan tidak layak dan
Jika R/C ratio = 1 maka dikatakan impas (tidak untung maupun merugi)
Analisis Titik Impas Harga dan Produksi
Analisis Titik Impas Harga (TIH) dan Titik Impas Produksi (TIP) dipakai untuk membandingkan
kemampuan suatu teknologi dalam mentolerir penurunan produksi atau harga sampai batas dimana penerapan
teknologi tersebut masih memberikan tingkat keuntungan normal. Semakin besar nisbah produksi aktual dan
harga aktual terhadap produksi minimal atau harga minimal pada tingkat keuntungan normal menunjukkan
tehnologi tersebut dari segi produktivitas relatif terhadap usahatani yang dikorbankan (Hermanto, 1989).
524
Secara matematis nilai TIP dan TIH ditulis sebagai berikut :
B
TIP =
Hp
B
TIH =
P
Keterangan :
TIP = Titik Impas Produksi
TIH = Titik Impas Harga
B = Biaya
Hp = Harga output
P = Produksi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biaya-biaya dalam Proses Pengolahan
Biaya proses pembuatan minyak kelapa murni mencakup biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja,
dan biaya penyusutan alat. Untuk biaya tenaga kerja, selain mencakup ongkos parut kelapa, juga melibatkan
upah tenaga kerja untuk setiap aktivitas yang dilakukan selama proses pembuatan minyak kelapa murni,
meliputi memeras santan dan merebus air untuk air hangat (air perasan santan), mengangkat santan kental
atau krim yang diperoleh, mengangkat minyak kelapa murni yang diperoleh, menyaring minyak kelapa murni
(termasuk mengemasnya), serta menggoreng blondo sebagai hasil samping pengolahan minyak kelapa murni
untuk mendapatkan minyak kelentik. Total biaya tenaga kerja yang dikeluarkan adalah 4,25 HOK atau
sebesar Rp 105.000,00 (Tabel 1).
Tabel 1. Analisis Kelayakan Usaha untuk 100 Butir Kelapa
Uraian Jumlah Harga Satuan Nilai
Biaya Proses
1. Biaya sarana produksi
a. Kelapa 100 butir 1.000 100.000
b. Bahan bakar 1 liter 3.000 3.000
Total biaya sarana produksi (a + b) 103.000
2. Biaya tenaga kerja
a. Ongkos parut kelapa 100 butir 200 20.000
b. Peras santan + rebus air 2 HOK 20.000 40.000
Angkat krim 0,25 HOK 20.000 5.000
Angkat VCO 0,5 HOK 20.000 10.000
Saring VCO 1 HOK 20.000 20.000
Goreng blondo 0.5 HOK 20.000 10.000
Total biaya tenaga kerja (a + b) 105.000
3. Biaya penyusutan alat
Alat-alat pembuat VCO
(kekuatan 15 tahun) 3,3 jam 171,23 565,07
4. Total biaya proses 208.565,07
Penerimaan
1. Minyak Kelapa Murni 6,38 liter 30.000 191.400
2. Minyak Kelentik 9,12 liter 6.700 61.104
3. Total penerimaan 252.504
Pendapatan 43.938,93
R/C Ratio 1,21
Sumber : data primer diolah
Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha pembuatan minyak kelapa murni, tingkat pendapatan
yang diterima adalah Rp 43.938,93 per 100 butir kelapa (Tabel 1). Secara efisiensi ekonomis, diperoleh nilai
R/C (return cost) ratio sebesar 1,21 (R/C ratio >1), atau yang berarti bahwa teknologi pengolahann minyak
kelapa murni ini layak untuk diusahakan.
525
Biaya yang dikeluarkan dalam proses pembuatan minyak kelapa murni untuk masing-masing
produk yang dihasilkan selama proses, yaitu minyak kelapa murni sebagai produk utama dan minyak goreng
atau minyak kelentik sebagai produk sampingannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Biaya per Jenis Produk dalam Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni
Jenis Produk Total Biaya
Produksi (Rp) Produksi (liter)
Persentase
Produksi (%)
Biaya/Jenis
Produk (Rp)
Minyak Kelapa Murni 208.565,07 6,38 41,16 85.511.67
Minyak Kelentik 208.565,07 9,12 58,84 122.719.68
Sumber : data primer diolah
Berdasarkan hasil perhitungan biaya per jenis produk didapatkan bahwa biaya untuk pembuatan
minyak kelapa murni adalah Rp 85.511.67, sementara biaya untuk pembuatan minyak kelentik adalah Rp
122.719.68. Biaya produksi minyak kelentik yang lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa murni
disebabkan oleh produksi minyak kelentik yang lebih besar dibandingkan dengan minyak kelapa murni, yaitu
dengan kapasitas masing-masing 41,6 persen untuk minyak kelapa murni dan 58,84 persen untuk minyak
kelentik (Tabel 2).
Titik impas harga adalah nilai yang menunjukkan harga minimal yang harus dicapai pada tingkat
produktivitas aktual agar usahatani tidak mengalami kerugian; sementara titik impas produksi adalah nilai
yang menunjukkan produksi minimal dimana usaha dapat memberikan keuntungan normal. Hasil
perhitungan titik impas harga dan titik impas produksi dari masing-masing produk minyak kelapa murni dan
minyak kelentik disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Titik Impas Harga dan Titik Impas Produksi dalam Pengolahan Minyak Kelapa Murni
Jenis Produk Biaya
Produksi (Rp)
Produksi
(liter)
Harga Pasar
(Rp/liter)
Titik Impas
Harga (Rp)
Titik Impas
Produksi (liter)
Minyak Kelapa Murni 85.511.67 6,38 30.000 13.403,08 2,85
Minyak Kelentik 122.719.68 9,12 6.700 13.456,10 18.31
Sumber : data primer diolah
Hasil perhitungan titik impas harga menunjukkan bahwa titik impas harga untuk produk minyak
kelapa murni yang dibuat selama penelitian adalah sebesar Rp 13.403,08 per liter. Nilai ini jauh dibawah
harga pasaran minyak kelapa murni yang berlaku saat ini, yaitu Rp 30.000,00 per liter. Ini menunjukkan
bahwa pada tingkat produktivitas aktual yang dicapai oleh petani, usaha pengolahan minyak kelapa murni
secara finansial menguntungkan. Lain halnya dengan produk minyak kelentik, yang memiliki titik impas
harga sebesar Rp 13.456,10 per liter. Nilai titik impas harga ini mencapai dua kali lipat harga minyak
kelentik di pasaran, yaitu Rp 6.700, 00 per liter; atau berarti bahwa secara finansial usaha pembuatan minyak
kelentik ini tidak menguntungkan. Namun, secara keseluruhan, proses pembuatan minyak kelapa murni
dengan hasil samping berupa minyak kelentik layak untuk diusahakan.
Sementara, hasil perhitungan titik impas produksi menunjukkan bahwa produktivitas minimal dari
kedua jenis produk agar tidak mengalami kerugian masing-masing sebesar 2,85 liter untuk minyak kelapa
murni dan 18,31 liter untuk minyak kelentik. Bila produktivitas kedua jenis produk tersebut lebih rendah
daripada angka-angka tersebut, maka usaha pembuatan minyak kelapa murni akan mengalami kerugian.
Produksi minyak kelentik sebagai hasil samping dalam proses pembuatan minyak kelapa murni sebenarnya
masih jauh di bawah angka titik impas produksi, yaitu 9,12 liter (Tabel 3). Namun, secara keseluruhan,
proses pembuatan minyak kelapa murni tetap menguntungkan dan layak diusahakan karena keuntungan yang
lebih tinggi dapat diperoleh dari produk minyak kelapa murni sebagai produk utama, yang produksinya
mencapai 6,38 liter per 100 butir kelapa, jauh di atas nilai titik impas produksinya.
KESIMPULAN
Hasil analisis kelayakan finansial dengan R/C ratio sebesar 1,21 menunjukkan bahwa usaha
pembuatan minyak kelapa murni ini layak untuk diusahakan. Pengolahan minyak kelapa murni ini
menghasilkan dua jenis produk, yaitu minyak kelapa murni dan minyak kelentik sebagai produk samping,
dengan produktivitas berturut-turut 6,38 liter dan 9,12 liter per 100 butir kelapa. Titik impas harga minyak
kelapa murni adalah Rp 13.403,08 per liter dan titik impas produksinya 2,85 liter; sementara titik impas
harga minyak kelentik adalah Rp 13.456,10 per liter dan titik impas produksinya 18,31 liter.
526
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2004. Statistik Perkebunan Bali. Bappeda Propinsi Bali.
Alam Syah, A.N. 2005. Virgin Coconut Oil, Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agromedia Pustaka. Jakarta.
APCC. 2004. World Coconut Industries : Past, Present, Future. Makalah disampaikan dalam Coconut World
Meeting, 14 – 15 April 2004. Bali.
Hermanto, F. 1989. Ilmu Usahatani.Penebar Swadaya. Jakarta.
Rahmanto, B dan Made Oka Adnyana, 1988. Potensi SUTPA dalam Meningkatkan Kemampuan Daya Saing
Komoditas Pangan di Jawa Tengah. Prosiding Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing
Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
527
DAMPAK PENERAPAN TEKNOLOGI TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR BIAYA DAN
PENDAPATAN USAHATANI KOPI
Rubiyo dan Suharyanto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mempelajari penerapan teknologi rehabilitasi tanaman kopi robusta menjadi arabika
dan dampaknya terhadap struktur biaya dan pendapatan usahatani kopi. Penelitian dilakukan di Desa Kembangsari, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang merupakan daerah sentra produksi kopi dengan ketinggian >1000 mdpl.
Pengumpulan data dilakukan melalui survey melibatkan 25 orang petani responden yang menjadi koperator sejak
pengkajian tahun 2002, dengan rata-rata populasi 300 tanaman kopi per petani dengan rata-rata luas lahan 0,75 hektar.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dan hasilnya menunjukkan bahwa: (a) penerapan teknologi sambung samping dalam usahatani kopi meningkatkan biaya input hingga 69,93%; (b) produktivitas usahatani
per hektar meningkat sekitar 59,16%; (c) dampak teknologi terhadap pendapatan petani dipengaruhi oleh tingkat harga
output yang berlaku; (d) untuk meningkatkan efektivitas penerapan teknologi usahatani perlu diawali sosialisasi yang
lebih intensif dan melibatkan pihak Pemerintah Daerah setempat.
Kata kunci : kopi, teknologi, struktur biaya, pendapatan usahatani.
PENDAHULUAN
Kopi merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang mempunyai kontribusi cukup nyata
dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai penghasil devisa, sumber pendapatan petani, penghasil bahan
baku industri, penciptaan lapangan kerja dan pengembangan wilayah. Dari luas areal 1.302 juta hektar pada
tahun 2005, sebagian besar (95,96%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat dan sisanya (4,04%)
diusahakan dalam bentuk perkebunan besar. Posisi tersebut menunjukkan bahwa peranan petani dalam
perkembangan perekonomian nasional masih cukup dominan. Pertanaman kopi yang diusahakan sebagian
besar berupa kopi Robusta seluas 1.191.557 ha (91,5%) dan kopi Arabika seluas 110.486 ha (8,95%)
(Anonim, 2006).
Bali merupakan salah satu produsen kopi di Indonesia yang cukup besar dan memiliki peluang
untuk mengembangkan kopi spesial, karena kopi Bali sudah memiliki nama di pasaran. Kecamatan
Kintamani di Kabupaten Bangli merupakan salah satu sentra produksi kopi khususnya kopi robusta dengan
luas areal sekitar 4.155 hektar kopi arabika dan 350 hektar kopi robusta (Anonim, 2004), dengan ketinggian
diatas 1000 mdpl merupakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan kopi arabika. Permasalahannya adalah
petani pada umumnya masih mengusahakan tanaman kopi secara campuran dua jenis tanaman kopi yaitu
kopi robusta dan arabika. Kopi robusta umumnya sudah lebih tua dan perolehan harga lebih rendah
dibandingkan kopi arabika yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Mengingat agroekosistem ini sesuai
untuk kopi arabika maka apabila kopi robusta dapat direhabilitasi menjadi arabika diperlukan teknologi yang
kompatibel, tidak hanya bagi kelestarian lingkungan namun juga kesinambungan pendapatan petani
mengingat kopi merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh
untuk mempercepat langkah konversi adalah dengan cara penyambungan kopi Robusta di lapangan.
Teknologi ini lebih diarahkan untuk diterapkan ditingkat petani yang umumnya kemampuan modalnya sangat
terbatas (Nur dan Sudjatmiko, 1994).
Perbaikan teknologi hasil penelitian dan pengembangan untuk memecahkan masalah aktual di
lapangan selain merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional juga sangat
diperlukan untuk membantu produsen dalam merespon perubahan lingkungan termasuk peningkatan
produktivitas dan pendapatan. Teknologi baru yang efisien memberi peluang bagi petani produsen untuk
memproduksi lebih banyak dengan korbanan lebih sedikit terutama sasaran inovasi baru dengan kebutuhan
lebih spesifik (Hendayana, 2003). Dengan dasar hal tersebut makalah bertujuan untuk mengukur dampak
penerapan teknologi rehabilitasi kopi robusta menjadi arabika dengan teknik sambung terhadap perubahan
struktur biaya dan pendapatan usahatani kopi.
528
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian terhadap dampak penerapan teknologi difokuskan pada pengkajian ex-post dengan
pendekatan yang digunakan before and after. Penelitian dilakukan di Bali khususnya di wilayah
agroekosistem lahan kering dataran tinggi beriklim kering yakni di Kabupaten Bangli, tepatnya di Desa
Kembangsari Kecamatan Kintamani. Penentuan petani responden dilakukan secara purposive didasarkan atas
statusnya sebagai petani koperator pengkajian rehabilitasi kopi robusta menjadi arabika yang dimulai sejak
tahun 2002 yaitu sebanyak 25 petani yang menerapkan teknologi introduksi.
Teknik penyambungan di lapangan dengan menggunakan metode siwingan, yaitu dengan
memangkas separuh bagian tajuk kopi Robusta di atas sambungan. Kopi Arabika varietas S 795 digunakan
sebagai batang atas. Metode ini selain dapat mendorong pertumbuhan sambungan lebih sehat juga masih
dapat diharapkan diperoleh hasil panen kopi Robusta hingga 55%.
Peningkatan produksi suatu komoditas (J) sebagai dampak teknologi dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan matematika sebagai berikut (Hendayana, 2003) :
J = Y x t x A
dimana : J = peningkatan produksi (ton)
Y = peningkatan hasil (t/ha)
t = tingkat adopsi teknologi introduksi (hamparan atau jumlah petani)
A = total area tanam yang menerapkan teknologi introduksi
Biaya yang dikeluarkan petani sebagai konsekuensi mengadopsi teknologi baru dapat didefinisikan
sebagai peningkatan biaya per unit yang diperlukan untuk peningkatan produksi (J). Penghitungannya dapat
menggunakan formula sebagai berikut :
I = C x ( t / Y )
dimana :I = biaya tambahan per unit hasil yang diperlukan untukmendapatkan peningkatan
produksi sebanyak J (Rp/kg)
C = biaya mengadopsi per unit area karena petani beralih ke teknologi baru (Rp/ha)
t = tingkat adopsi teknologi baru dalam hektar atau jumlah petani
Y = rata-rata hasil (kg/ha)
Dampak penerapan teknologi baru terhadap pendapatan rumah tangga tani dapat didekati dengan
menggunakan analisis usahatani dengan membandingkan antara rata-rata pendapatan usahatani sebelum dan
sesudah menerapkan teknologi baru dengan pendekatan partial budgeting analysis. Marginal Benefit Cost
Ratio (MBCR) dapat digunakan untuk mengukur kelayakan teknologi baru/introduksi dibandingkan dengan
teknologi petani (FAO, 2003; Swastika, 2004; Malian, 2004) yang dapat diformulasikan sebagai berikut :
Penerimaan kotor (I) - Penerimaan kotor (P)
MBCR =
Total biaya (I) - Total biaya (P)
dimana : I = Teknologi introduksi
P = Teknologi petani
Secara teoritis, keputusan mengadopsi teknologi baru layak dilakukan jika MBCR >1. Artinya,
tambahan penerimaan yang diperoleh dari penerapan teknologibaru harus lebih besar daripada tambahan
biaya (Malian, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dampak Teknologi terhadap Struktur Tenaga Kerja
Tenaga kerja pada usahatani kopi cukup signifikan berkontribusi terhadap struktur biaya usahatani,
terutama pada saat panen dimana pemanenan dilakukan secara bertahap. Secara normatif peningkatan
pendapatan usahatani secara teoritis dapat terjadi melalui peningkatan produksi, atau pengurangan biaya
input. Sehubungan dengan hal itu untuk mengetahui dampak penerapan teknologi oleh petani pendekatannya
akan dilakukan melalui telaahan terhadap (a) perubahan struktur tenaga kerja, (b) struktur biaya usahatani, (c)
perubahan produksi dan (d) perubahan pendapatan petani.
529
Perubahan struktur biaya tenaga kerja pada introduksi teknologi rehabilitasi kopi robusta menjadi
arabika dengan teknik sambung secara keseluruhan cenderung meningkat (27,18%) dibandingkan sebelum
petani menerapkan teknologi. Perbedaan mendasar antar sebelum penerapan teknologi dan sesudah terlihat
dari biaya pemangkasan dan biaya panen. Hal ini terjadi karena pada usahatani kopi robusta yang biasa
dilakukan petani, pemangkasan tidak begitu diperhatikan sedangkan pada kopi robusta (setelah penerapan
teknologi) pemangkasan merupakan hal yang sangat penting karena selain untuk membentuk kanopi
sekaligus untuk sanitasi lingkungan. Begitu juga dengan panen, pada kopi robusta pemanenan dilakukan
hanya sekali tanpa seleksi buah sedangkan pada kopi robusta pemanenan dapat dilakukan hingga empat kali
secara bertahap dengan memanen kopi gelondong merah. Sedangkan untuk biaya tenaga kerja yang lainnya
umumnya relatif hampir sama seperti pemupukan, penjemuran, dan pengolahan.
Tabel 1 Dampak Teknologi Tehadap Perubahan Struktur Biaya Tenaga Kerja Pada Usahatani Kopi di Kec. Kintamani,
Bangli, 2006 (Rp/ha)
Uraian Setelah Sebelum
Rataan (%) Rataan (%)
– Pemupukan 797.126,75 28,46 660.231,00 29,98
– Pemangkasan 470.250,00 16,79 306.801,00 13,93
– Panen 1.148.073,25 41,00 915.651,00 41,58
– Penjemuran 303.937,50 10,85 235.224,00 10,68
– Pengolahan 81.050,00 2,89 84.051,00 3,82
Total 2.800.437,50 100,00 2.201.958,00 100,00
Untuk melihat perubahan biaya tenaga kerja dan struktur tenaga kerja akibat introduksi teknologi
juga tercermin pada nilai jumlah satuan HOK (hari orang kerja) karena biaya tenaga kerja merupakan hasil
perkalian antara jumlah HOK dengan tingkat upah yang berlaku.Perubahan HOK dalam kegiatan ini secara
terinci ditampilkan dalam Tabel 2. Tampak bahwa teknologi introduksi ternyata meningkatkan jumlah HOK
sebesar 27,18% dibandingkan jika sebelum menerapkan teknologi introduksi. Berdasarkan proporsi HOK
dari kedua jenis teknologi tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar terdapat pada kegiatan panen, pemupukan
dan diikuti dengan pemangkasan.
Tabel 2. Dampak Komponen Teknologi Terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Tenaga Kerja Pada Usahatani Kopi
di Kec. Kintamani, Bangli, 2006 (120 kg/ha)
Uraian Setelah Sebelum
Rataan (%) Rataan (%)
– Pemupukan 31,89 28,46 26,41 29,98
– Pemangkasan 18,81 16,79 12,27 13,93
– Panen 45,92 41,00 36,63 41,58
– Penjemuran 12,16 10,85 9,41 10,68
– Pengolahan 3,24 2,89 3,36 3,82
Total 112,02 100,00 88,08 100,00
Dampak Teknologi Terhadap Produktivitas dan Pendapatan
Adapun pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dampak teknologi terhadap tingkat
produktivitas dan pendapatan dilakukan terhadap jenis kegiatan pengkajian, sehingga akan diperoleh
gambaran yang realistis dari tampak teknologi pengkajian yang bersangkutan. Dalam analisis ini yang dikaji
adalah petani koperator sebelum introduksi teknologi dan setelah menjadi petani koperator (setelah
menerapkan teknologi introduksi). Harapannya adalah selisih antara dua kegiatan itu positif karena hal itu
artinya teknologi berdampak positif. Namun bila kenyataannya negatif, artinya teknologi introduksi
menyebabkan terjadinya penurunan pada aspek yang dikaji. Harapannya yang bernilai negatif ini hanya
terjadi pada komponen input dan tidak pada komponen output. Dalam kegiatan pengkajian ini biaya input
saprodi yang terlihat terjadi perubahan peningkatan hanya pada penggunan pupuk kandang sebesar 54,08%
dibandingkan dengan sebelum penerapan teknologi anjuran. Sedangkan total biaya perubahan penggunaan
saprodi meningkat sebesar 69,93% dibandingkan sebelum menerapkan teknologi introduksi.
Dengan tambahan biaya usahatani sebesar itu, tingkat produktivitas usahataninya mengalami
peningkatan dari 784.48 kg per hektar menjadi 1.248,65 kg/hektar atau meningkat sekitar 464,17 kg/hektar
(59,17%). Meskipun demikian, karena faktor harga output yang diperoleh petani koperator setelah
menerapkan teknologi introduksi (kopi Arabika) lebih tinggi dari harga yang diterima sebelum menerapkan
tenologi introduksi, maka dari sisi nilai pendapatan kotornya masih relatif lebih tinggi. Pendapatan kotor
530
setelah menerapkan teknologi introduksi meningkat dari sekitar Rp 8,24 juta menjadi 19,97 juta dalam satu
hektar atau sekitar 142,54%. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dampak teknologi terhadap
pendapatan petani dipengaruhi oleh tingkat harga output yang berlaku.
Untuk melihat dampak teknologi terhadap produksi dapat dihitung dari perkalian selisih produksi
dikalikan areal dampak. Sedangkan areal dampak yang diperoleh dari perkalian jumlah adopter dengan rata-
rata luas kepemilikan lahan per adopter. Dalam introduksi teknologi ini jumlah adopter ada 25 orang, dengan
rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,75 hektar sehingga total areal dampaknya adalah sekitar 18,75 hektar.
Dengan demikian dampak teknologi introduksi terhadap produksi adalah sebesar 8.703,19 kg.
Selanjutnya dampak teknologi terhadap pendapatan dapat dihitung dari perkalian tambahan
produktivitas dengan tingkat harga per kg yang berlaku yakni sekitar Rp 16.000 yaitu sebesar Rp 7.426.720.
Selanjutnya dengan mengalikan total areal dampak dengan pendapatan yaitu 18,75 ha dikalikan dengan
Rp 7.426.720 maka hasilnya mencerminkan pendapatan wilayah. Hasil perkalian areal dampak dengan
pendapatan menghasilkan nilai Rp 139.251.000. Selain diperoleh gambaran dampak teknologi terhadap
produktivitas, produksi dan pendapatan, dengan analisis ini dapat pula diketahui informasi lainnya seperti
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Dampak Teknologi Terhadap Produktivitas, Pendapatan dan Biaya Adopsi Teknik Rehabilitasi Kopi Robusta
Menjadi Kopi Arabika di Kec. Kintamani, Bangli, 2006
No Uraian Volume
1 Jumlah petani koperator (orang) 25,00
2 Rata-rata luas lahan kopi (ha) 0,75
3 Total areal dampak (ha) 18,75
4 Produktivitas sesudah menjadi petani koperator (kg/ha) 1.248,65
5 Produktivitas sebelum menjadi petani koperator (kg/ha) 784,48
6 Selisih produktivitas (kg) 464,17
7 Persentase peningkatan hasil (%) 59,17
8 Dampak terhadap produksi (kg) 8.703,19
9 Dampak terhadap pendapatan (Rp) 7.426.720,00
10 Dampak terhadap pendapatan wilayah (Rp) 139.251.000,00
11 Perubahan pendapatan kotor (Rp) 11.741.360,00
12 Perubahan biaya (Rp/ha) 1.832.363,42
13 Perubahan biaya per unit (Rp/kg) 3.947,61
14 Marginal Benefit Cost Ratio 6,41
15 Biaya adopsi per ha (Rp) 4.452.455,82
16 Rasio biaya terhadap harga 0,01
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa penerapan inovasi teknologi usahatani kopi melalui
rehabilitasi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung di wilayah kajian menghasilkan
tambahan keuntungan bagi petani sebesar Rp 9.908.997 per hektar per tahun. Nilai MBCR (marginal benefit
cost ratio) dari penerapan inovasi teknologi introduksi tersebut sebesar 6,41 yang berarti setiap tambahan
biaya dalam menerapkan inovasi teknologi introduksi sebesar Rp 1.000 dapat meningkatkan penerimaan
sebesar Rp 6.410. Hal ini berarti penerapan inovasi teknologi introduksi uahatani kopi sangat layak untuk
dikembangkan ke wilayah yang lebih luas.
Informasi lain yang diperoleh adanya besaran nilai biaya adopsi yang harus dikeluarkan petani.
Biaya adopsi mencerminkan besarnya biaya yang dikeluarkan petani untuk menerapkan teknologi. Logikanya
nilai biaya adopsi ini harus lebih rendah dari tingkat perolehan pendapatan, sehingga pendapatan usahatani
dapat menutup biaya tersebut. Besarnya biaya adopsi sangat erat kaitannya dengan tingkat adopsi petani
terhadap teknologi itu sendiri. Selain biaya adopsi, informasi yang juga penting adalah didapatkannya rasio
harga dengan biaya usahatani. Rasio ini mencerminkan besarnya besarnya biaya yang harus dikeluarkan
dalam setiap satuan harga output yang berlaku. Nilai rasio biaya terhadap harga ini berkisar antara 0 sampai
1, semakin kecil rasio biaya terhadap harga semakin baik teknologi yang diintroduksikan, yang tentunya akan
meningkatkan pendapatan petani.
531
KESIMPULAN DAN
1. Penerapan teknologi rehabilitasi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung memberikan
dampak perubahan tidak saja pada aspek produksi dan pendapatan petani, akan tetapi juga memberikan
dampak pada struktur biaya usahatani termasuk struktur tenaga kerja.
2. Penerapan teknologi telah meningkatkan biaya input usahatani hingga 69,93% sementara itu terhadap
produktivitas usahatani peningkatannya relatif rendah yakni sekitar 59,17%. Namun demikian
pendapatan usahatani meningkat dari Rp 5.616.947,60 menjadi Rp 15.525.944,18 atau sekitar 142,54%
karena faktor harga output yang kondusif, dimana harga kopi Arabika jauh lebih mahal dibandingkan
kopi Robusta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Data Bali Membangun 2004. Pemerintah Provinsi Bali. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah. Denpasar.
Anonim. 2006. Arah Kebijakan Pengembangan Kopi di Indonesia. Makalah Disampaikan Pada Simposium
Kopi 2006. Surabaya, 2-3 Agustus 2006. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian.
Jakarta. 8 hal.
FAO. 2003. Farming System Development; A General Guideline. FAO. Rome.
Hendayana, R. 2003. Dampak Penerapan Teknologi Terhadap Perubahan Struktur Biaya dan Pendapatan
Usahatani Padi. Working Paper. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Bogor. 14 hal.
Malian, A.H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian.
Makalah Disajikan dalam Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan
Usahatani Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November – 9 Desember 2004. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Nur, A.M. dan D.A. Sudjatmiko. 1994. Kajian Pendahuluan Konversi Kopi Robusta ke Arabika dengan
Teknik Penyambungan di Lapangan. Pelita Perkebunan. Jurnal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
Vol. 10 No.1. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember. Hal 36 – 42.
Swastika, D.K.S. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 7 Nomor 1. Puslitbang Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 90 – 103.
532
ANALISIS USAHATANI SKALA RUMAH TANGGA TERHADAP PRODUK OLAHAN SARI
BUAH DAN SIROP BUAH JERUK SIAM
W. Trisnawati dan Jemmy Renaldi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK
Jeruk siam (citrus nobilis var. microcarpa) merupakan anggota jeruk keprok yang berasal dari Siam
(Muangthai). Jeruk siam saat ini banyak diminati, sekitar 60% konsumen lebih menyukai jeruk siam dibandingkan jenis jeruk lainnya. Pada saat musim panen raya produksi biasanya melimpah sehingga harga rendah, bila hal ini tidak diatasi
maka banyak buah yang tidak termanfaatkan dengan baik. Untuk mencegah terbuangnya bahan segar dapat diatasi
dengan pengolahan produk, diantaranya produk olahan sari buah dan sirop buah jeruk. Desa Selulung Kecamatan
Kintamani Kabupaten Bangli merupakan salah satu sentra pengembangan jeruk siam di Bali. Proses pengolahan dilakukan di lahan petani pada bulan Maret sampai Desember 2005. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kelayakan usaha pengolahan buah jeruk menjadi produk sari buah dan sirop sehingga dapat memberikan nilai lebih pada
petani bila dibandingkan dijual segar terutama pada musim panen raya. Data dianalisa secara deskritif dengan melihat
analisis usahatani, apakah layak untuk diusahakan. Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk sebesar Rp 56.511,81. Dengan titik impas harga sebesar Rp 594,86/240 ml, sehingga
Harga layak jual minimum sebesar Rp 773,32 dan B/C ratio 1,30. Sedangkan biaya yang dikeluarkan pada proses
pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk sebesar Rp 63.786,81. Titik impas harga sebesar
Rp 5.315,57/600 ml, sedangkan harga layak jual minimum sebesar Rp. 6.910,24/600 ml dan B/C ratio 1.30.
Kata kunci : jeruk siam, produk olahan dan usahatani
PENDAHULUAN
Buah merupakan komoditi pertanian yang mudah rusak, tidak dapat disimpan lama cepat
membusuk dan mudah diserang hama maupun penyakit. Demikian pula halnya dengan buah jeruk akan cepat
rusak bila tidak mendapat penanganan yang baik mulai dari petik sampai tiba dikonsumen (Sudjarwanto,
1993).
Pada saat musim panen raya distribusi pemasaran buah-buahan memerlukan waktu yang relatif lama
dari produsen ke konsumen. Untuk penanganan buah jeruk alternatif yang bisa dilakukan untuk
mengendalikan kerusakan dan mengatasi kelebihan produksi adalah dengan melakukan pengolahan pada
buah. Dengan mengolahnya menjadi berbagai macam produk maka daya simpan menjadi lebih lama dan
jangkauan pemasarannya lebih luas. Hal ini memungkinkan pada saat bukan musimnya kita masih dapat
menikmati cita rasa buah sesuai dengan cita rasa buah segarnya.
Jeruk adalah buah yang paling disukai oleh orang Indonesia, konsumsi buah jeruk perkapita tahun
1999 sebesar 1,20 kg/tahun lebih tinggi dibanding mangga (0,26 kg/tahun), nenas (0,68 kg/tahun) salak (0,73
kg/tahun) dan durian (0,16 kg/tahun). Di negara-negara berkembang konsumsi jeruk mencapai 6,9 kg/kapita
pertahun, pada negara-negara maju mencapai 32,6 kg/kapita/tahun (Anonim, 2004).
Buah jeruk mengandung vitamin C yang cukup tinggi dan dapat dikonsumsi dalam bentuk segar
maupun sebagai olahan (juice). Setiap 100 gram bagian yang dapat dimakan buah jeruk mengandung energi
28,00 kal, protein 0,5 gram, lemak 0,1 gram, karbohidrat, 7,20 gram dan 50-100 gram vitaminC.
Pengolahan sari buah jeruk merupakan salah satu bentuk olahan, yang merupakan larutan inti daging
buah yang diencerkan, sehingga memiliki cita rasa yang sama dengan buah aslinya (Satuhu, 1993).
Proses pengolahan produk sari buah umumnya masih dilakukan secara sederhana. Sari buah yang
dihasilkan masih bersifat keruh dan mengandung endapan, akibat tingginya kadar pektin buah. Berdasarkan
tingkat kekeruhan maka dikenal dua jenis sari buah, yaitu sari buah jernih dan sari buah keruh. Dimana sari
buah jeruk termasuk golongan sari buah keruh karena mengandung kadar pektin yang tinggi (Astawan, 1991).
Disamping itu buah jeruk bisa juga diolah menjadi sirop. Sirop adalah minuman ringan berupa larutan kental.
Penggunaan sirop tidak bisa langsung diminum tetapi harus diencerkan terlebih dahulu, ini disebabkan
karena sirop memiliki kandungan gula yang tinggi yakni sekitar 65% (Satuhu, 1993).
Pemanfaatan buah jeruk siam menjadi produk olahan, terutama pada saat musim panen raya
diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani sehingga tidak ada jeruk yang terbuang karena
harga yang jatuh bila terjadi over produksi.
533
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha pengolahan buah jeruk menjadi
produk sari buah dan sirop sehingga dapat memberikan nilai lebih pada petani bila dibandingkan dijual segar
terutama pada musim panen raya.
METODOLOGI
Tanaman jeruk yang dipakai pada penelitian ini adalah jenis jeruk siam. Sentra tanaman jeruk di
Bali adalah di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pelaksanaan kegiatan dilakukan
mulai bulan Maret sampai Desember 2005, sedangkan puncak panen raya pada bulan Agustus-Oktober.
Pengembangan penanganan jeruk siam difokuskan pada upaya pengolahan produk pada skala rumah
tangga (home industri). Model pengolahan jeruk siam dengan mengumpulkan jeruk petani apkir dijadikan
sebagai bahan baku untuk dijadikan produk olahan sari buah dan sirop.
Metode Analisis
Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis usahatani. Analisis usahatani
digunakan untuk melihat tingkat penerimaan, pengeluaran biaya produksi dan tingkat pendapatan dalam hal
ini proses pengolahan dikerjakan secara berkelompok, sehingga diperoleh nilai kelayakan usahatani.
Data dianalisis secara dekstriktif, analisis pendapatan dan analisis BCR. Analisis pendapatan
digunakan rumus : (Downey dan Erickson 1985; dan Suratiyah 1995)
π = Σ (γ . P γ) - Σ (Xi. Pxi)
dimana :
π = pendapatan
Y = output
Pxi = Harga input
P γ = Harga output
XI = Jumlah input (I = 1,2,……n)
Benefit Cost Ratio (BCR) dengan menggunakan persamaan (Kadariah, et.al., 1978 dan Soetrisno, 1982)
BPV
BCR =
CPV
dimana :
BCR = Ratio penerimaan terhadap biaya
BPV = Total penerimaan dalam rupiah pada tingkat nilai sekarang
CPV = Total biaya dalam rupiah pada nilai sekarang
BCR > 1 dianggap layak
BCR > 1 Inpas
BCR < 1 tidak layak
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sari Buah Jeruk Siam
Biaya produksi usaha pengolahan sari buah jeruk terdiri dari biaya bahan, biaya penyusutan alat dan
biaya tenaga kerja (Tabel 1). Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan
menggunakan 20 kg jeruk yang termasuk dalam grade D dan E yaitu sebesar Rp 56.511,81. Adapun biaya
tersebut terdiri dari biaya bahan sebesar Rp 46.275, biaya penyusutan alat sebesar Rp 236,81 dan biaya
tenaga kerja Rp 10.000. Dari total biaya proses pengolahan sari buah tersebut didapat bahwa variabel yang
sangat mempengaruhi besarnya biaya pada proses pengolahan tersebut adalah biaya sarana produksi yaitu
biaya gula sebesar Rp 18.000 atau 3,6 kg/20 kg jeruk matang.
Titik Impas Harga, Harga Layak Jual Minimum dan B/C ratio Sari Buah Jeruk
Titik impas harga menunjukkan harga minimum yang harus dicapai (pada tingkat produktivitas
aktual), agar usaha tidak mengalami kerugian. Hasil analisis titik impas pada produk setengah jadi cokelat
ditunjukkan pada Tabel 1.
534
Hasil analisis titik impas harga dari produk sari buah jeruk menunjukkan bahwa dalam 1 gelas atau
dengan kapasitas 240 ml memperoleh nilai titik impas harga sari buah jeruk sebesar Rp 594,86. Adapun
harga layak jual minimum untuk produk sari buah jeruk di Desa Selulung, Kintamani, Bangli didapat yaitu
Rp 773,32. Dengan B/C ratio sebesar 1,30 (>1) yang meupakan syarat kelayakan bahwa suatu usaha bisa
dikatakan menguntungkan.
Dengan demikian produk sari buah jeruk yang diusahakan dapat bersaing di tingkat pasar sebab
harga di pasar cukup tinggi yaitu sebesar Rp. 1.000/gelas. Dengan demikian produk olahan sari buah jeruk
yang dilakukan petani sangatlah layak jika diusahakan.
Tabel 1. Analisis Biaya Produksi Usaha Pengolahan Sari Buah Jeruk di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli, Bali Tahun 2005
No Uraian Jumlah Satuan Harga per
Satuan (Rp) Nilai (Rp)
I Biaya Bahan
1 Buah Jeruk 20 kg 500,00 10.000,00
2 Asam sitrat 0,25 bungkus 700,00 175,00
3 Gula pasir 3,6 kg 5.000,00 18.000,00
4 Air 18 liter 100,00 1.800,00
5 Gelas 95 buah 140,00 13.300,00
6 Minyak tanah 1 liter 3.000,00 3.000,00
Total Biaya Bahan 46.275,00
II Biaya Penyusutan
1 Timbangan 1 buah 50.000,00 69,44
2 Pisau 1 buah 2.500,00 3,47
3 pemeras jeruk 1 buah 5.000,00 6,94
4 panci 1 buah 20.000,00 27,78
5 saringan 1 buah 5.000,00 41,67
6 gelas ukur 1 buah 10.000,00 13,89
7 kompor gas 1 buah 30.000,00 41,67
8 sendok 1 buah 3.000,00 4,17
9 waskom 1 buah 20.000,00 27,78
Total Biaya Penyusutan 236,81
III Biaya Tenaga Kerja
1 Proses Pengolahan 0,5 HOK 20.000,00 10.000,00
Total Biaya Tenaga kerja 10.000,00
IV Total Biaya 56.511,81
V Produksi 23 Liter 95 gelas
VI BEP Harga (IV : V) 1 gelas 594,86
VII Harga Layak Jual 1 gelas 773,32
VIII Penerimaan 95 gelas 73.465,40
IX B/C ratio 1.30
Keterangan : - Kekuatan alat pada proses pengolahan sari buah adalah 3 tahun kecuali saringan hanya 6 bulan.
- Kapasitas 1 gelas sari buah jeruk sebesar 240 ml. - Produksi Sari jeruk dari 20 kg jeruk matang adalah 6 liter
2. Sirop Buah Jeruk Siam
Biaya produksi usaha pengolahan sirop buah jeruk terdiri dari biaya bahan, penyusutan alat dan
biaya tenaga kerja (Tabel 2). Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sirop jeruk dengan
menggunakan 20 kg jeruk (grade D dan E) sebesar Rp 63.786,81. Adapun biaya tersebut terdiri dari biaya
bahan sebesar Rp 53.550, biaya penyusutan alat sebesar Rp 236,81 dan biaya tenaga kerja Rp 10.000. Dari
total biaya proses pengolahan sari buah tersebut, dimana biaya variabel yang sangat mempengaruhi besarnya
biaya pada proses pengolahan tersebut adalah biaya sarana produksi yaitu biaya gula sebesar Rp 30.000 atau
6 kg/20 kg jeruk matang.
535
Tabel 2. Analisis Biaya Produksi Usaha Pengolahan Sirop Buah Jeruk di Desa Selulung, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli, Bali Tahun 2005
No Uraian Jumlah Satuan Harga per
Satuan (Rp) Nilai (Rp)
I Biaya Bahan
1 Buah Jeruk
2 Asam sitrat 0,25 bungkus 700,00 175,00
3 Gula pasir 6 kg 5.000,00 30.000,00
4 Botol 12 buah 850,00 10.200,00
5 Minyak tanah 1 liter 3.000,00 3.000,00
Total Biaya Bahan 53.550,00
II Biaya Penyusutan
1 Timbangan 1 buah 50.000,00 69,44
2 Pisau 1 buah 2.500,00 3,47
3 pemeras jeruk 1 buah 5.000,00 6,94
4 panci 1 buah 20.000,00 27,78
5 saringan 1 buah 5.000,00 41,67
6 gelas ukur 1 buah 10.000,00 13,89
7 kompor gas 1 buah 30.000,00 41,67
8 sendok 1 buah 3.000,00 4,17
9 waskom 1 buah 20.000,00 27,78
Total Biaya Penyusutan 236,81
III Biaya Tenaga Kerja
1 Proses Pengolahan 0,5 HOK 20.000,00 10.000,00
Total Biaya Tenaga kerja 10.000,00
IV Total Biaya 63.786,81
V Produksi 7 Liter 12 botol
VI BEP Harga (IV : V) 1 botol 5.315,57
VII Harga Layak Jual 1 Botol 6.910,24
VIII Penerimaan 12 Botol 82.922,88
IX B/C ratio 1,30
Keterangan : - Kekuatan alat pada proses pengolahan sari buah adalah 3 tahun kecuali saringan hanya 6 bulan.
- Kapasitas 1 botol sari buah jeruk sebesar 600 ml. - Produksi Sari jeruk dari 20 kg jeruk matang adalah 6 liter
Titik Impas Harga, Harga Layak Jual Minimum dan B/C Ratio Sirop Buah Jeruk
Titik impas harga menunjukkan harga minimum yang harus dicapai (pada tingkat produktivitas
aktual), agar usaha tidak mengalami kerugian. Hasil analisis titik impas harga dari produk sirop jeruk
menunjukkan bahwa dalam 1 botol atau dengan kapasitas 600 ml memperoleh nilai titik impas harga sirop
jeruk sebesar Rp 5.315,57. Adapun harga layak jual miniman untuk produk sari buah jeruk adalah
Rp 6.910,24, dengan B/C ratio 1,30 (>1). Dengan demikian produk sirop jeruk yang diusahakan masyarakat
tani dapat bersaing ditingkat pasar
KESIMPULAN
Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk
sebesar Rp 56.511,81. Dengan titik impas harga sebesar Rp 594,86/240 ml, Harga layak jual minimum
sebesar Rp 773,32 dan B/C ratio 1.30
Biaya yang dikeluarkan untuk proses pengolahan sari buah jeruk dengan menggunakan 20 kg jeruk yang
termasuk didalam grade D dan E yaitu sebesar Rp 63.786,81. Titik impas harga sebesar Rp 5.315,57/
600 ml, sedangkan harga layak jual minimum sebesar Rp. 6.910,24/600 ml dan B/C ratio 1,30
536
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1987. Bercocok Tanam Jeruk Siam di Kecamatan Tebas Kalimantan Barat. Departemen
Pertanian. Balai Informasi Pertanian Kalimantan Barat
Astawan, M dan Mita Wahyuni. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika
Pressindo
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi, LPEE UI. Jakarta
Sudjarwanto, T. 1993. Penanganan Pasca Panen Buah-Buahan. Kumpulan Kliping Panen dan Peluang Bisnis
Buah. Pusat Informasi Pertanian Trubus.
Satuhu, S. 1993. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya
Suratiyah, Ken. 1997. Analisis Usahatani (Tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
537
ANALISIS KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG DENGAN IRIGASI EMBUNG PADA MUSIM
HUJAN DAN MUSIM KERING DI KECAMATAN GEROKGAK KABUPATEN BULELENG
I Ketut Mahaputra, I Nyoman Adijaya dan Ni Wayan Trisnawati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK
Propinsi Bali yang memiliki lahan kering dengan luas 38,73% (± 218.119 ha) dari luas Propinsi Bali yaitu
563.286 ha, sebagian besar terletak di bagian timur dan utara pulau Bali (Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng). Luas lahan kritis/marginal yang berpotensi rawan air sebesar 154.153 ha. Rata-rata curah hujan untuk daerah
ini berkisar antara 1.200 – 1.400 mm/tahun dengan musim penghujan yang pendek ± 4 bulan yang biasanya terjadi pada
bulan November sampai dengan bulan Februari. Periode hujan yang pendek sangat menghalangi petani dalam
meningkatkan produktivitas usaha taninya, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan yang diperoleh petani. Salah satu alternatif dikembangkan pada lahan marginal adalah pemakaian bak
penampung air (embung) dalam kegiatan usahatani pokok yaitu komoditas jagung. Analisis ini dilakukan pada
pengkajian yang dilaksanakan di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Data yang digunakan adalah data musim
penghujan dan musim kering tahun 2005 yang diperoleh dari 35 petani lahan marginal yang mengusahakan tanaman jagung mengunakan sistem irigasi embung. Analisis usahatani dilakukan pada masing-masing musim serta dilanjutkan
dengan uji beda rata-rata (t-test) untuk produktivitas tenaga kerja dan tingkat keuntungan petani. Hasil analisis
menunjukkan produktivitas tenaga kerja berbeda secara signifikan dengan rata-rata untuk musim penghujan sebesar 41,33
HOK/kg dan musim kering sebesar 45,44 HOK/kg. Rata-rata keuntungan diperoleh dari usahatani jagung per hektar pada musim hujan sebesar Rp 1.290.871 dan musim kering sebesar Rp 1.757.069 dengan t-hitung -5,56 yang berarti
keuntungan pada musim penghujan lebih rendah dan berbeda sangat signifikan dengan musim kering.
Kata kunci : usahatani jagung, musim hujan, musim kering dan irigasi embung
PENDAHULUAN
Salah satu masalah nasional yang dihadapi pada dewasa ini adalah masalah ketersediaan pangan.
Jagung merupakan komoditi yang penting dan strategis disamping beras, jagung disamping sebagai bahan
pangan alternatif juga merupakan sumber kebutuhan pakan ternak.
Pada daerah pengkajian tanaman jagung diusahakan pada saat musim penghujan dan awal musim
kering. Luas lahan potensial untuk tanaman jagung di Bali mencapai 36.142 hektar (Arsana, 2004) terdiri atas
lahan sawah dan dan lahan kering. Usahatani jagung di lahan kering umumnya sebagai bahan kebutuhan
pokok pengganti beras ataupun dicampur dengan beras seperti pada Kabupaten Buleleng, Karang Asem dan
Kabupaten Klungkung (Nusa Penida). Selain sebagai bahan pangan dan pakan ternak, jagung juga
diusahakan untuk hijauan pakan ternak terutama pada saat musim kemarau, karena keterbatasan air tanaman
jagung dipanen sebelum berproduksi untuk persediaan pakan musim kemarau.
Kebutuhan air dalam pertanian sampai saat ini masih mengandalkan ketersediaan air langsung dari
curah hujan. Belum ada cara yang efektif untuk mengendalikan kehilangan air yang terjadi dalam sistim air
tanah-tanaman. Kebutuhan air bagi pertanian tanaman pangan tidak hanya menentukan produktivitas
tanaman, tetapi juga terhadap intensitas dan luas tanaman potensial setiap wilayah.
Pada umumnya berbagai komoditas terutama pangan (padi dan jagung) merupakan tanaman yang
sangat peka terhadap ketersediaan air, sehingga berbagai kegiatan pertanian disuatu daerah sangat ditentukan
oleh keadaan iklim setempat. Iklim berhubungan dengan lingkungan fisik dari atmosfir, baik secara makro
maupun mikro disekitar tanaman, dimana variasinya dicirikan oleh berbagai unsur. Salah satu unsur iklim
yang terpenting adalah curah hujan (Rantung, 1988). Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang
penting artinya bagi pertanian di daerah tropis. Curah hujan disini diartikan jumlah air yang jatuh di
permukaan tanah selama periode waktu tertentu dan diukur pada suatu ketinggian tertentu. Pengukuran
dilakukan dalam satuan millimeter (Masinambow, 1991)
Teknologi irigasi merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya peningkatan produksi pertanian,
khususnya pada petani lahan kering. Oleh karena itu sejalan dengan perkembangan dan kemajuan di bidang
irigasi, maka teknologi embung merupakan pilihan yang dilakukan oleh petani lahan kering di Kecamatan
Gerokgak Kabupaten Buleleng yang mana dalam perkembangannya pengelolaan air embung (water
reservoir) sebagai sarana irigasi terutama pada saat tanaman membutuhkan air baik saat musim hujan dan
musim kemarau, sangat berperan dalam menjaga produktivitas tanaman.
538
Pada saat musim hujan seolah permasalahan lahan kering dapat teratasi dengan berbagai usahatani
yang dilakukan petani. Produksi secara umum pada saat musim hujan merupakan panen raya bagi sebagian
masyarakat, sedangkan musim kering identik dengan musim paceklik/gagal panen. Adanya pemecahan
masalah air di lahan kering dengan teknologi irigasi embung, maka perlu kiranya dilihat manfaat yang dapat
diberikan terutama untuk usahatani jagung di daerah penelitian.
METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu untuk mendapatkan
gambaran yang benar mengenai suatu obyek (Suparmoko, 1998). Lokasi penelitian dilaksanakan di
Kabupaten Buleleng Kecamatan Gerokgak yang ditentukan secara sengaja (purposive sampling).
Pengambilan petani sampel dilakukan secara simple random sampling, Sampel dalam penelitian ditetapkan
sebanyak 70 orang petani pemilik embung. Produktivitas lahan dinyatakan dalam satuan kg/ha dan
keuntungan per hektar mengunakan pendekatan keuntungan dengan rumus :
Π = TR – TC.
Keterangan : Π = keuntungan; TR = jumlah penerimaan (Total Revenue);TC = jumlah biaya
(TIC + TEC); TEC = total biaya eksplisit; TIC = total biaya implisit
PEMBAHASAN
Tanah yang baik untuk jagung adalah tanah yang berstruktur gembur dan subur karena
pertumbuhannya memerlukan keadaan aerasi dan drainase yang baik. Pada lahan kering yang dicirikan
dengan kurangnya unsur hara maka sangat diperlukan adanya pemupukan serta pengelolaan yang baik dalam
meningkatkan produktivitas. Dalam proses pemupukan sangat diperlukan tersedianya air di dalam
melarutkan zat makanan tersebut serta mengangkut unsur-unsur makanan dari akar ke daun.
Kebutuhan air untuk tanaman pada lahan kering secara umum masih ketergantungan terhadap air
hujan. Pada awal musim kering petani di daerah penelitian mengusahakan tanaman jagung dengan harapan
tertumpu pada sisa-sisa curah hujan yang terjadi. Untuk petani yang tidak memiliki embung, ketidakpastian
terhadap hasil produksi akibat ketidakpastian curah hujan menjadi kendala dalam aktivitas usahataninya.
Faktor cuaca yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan terutama untuk
pertanian lahan kering, suhu udara maksimum dan minimum, serta radiasi. Hujan merupakan unsur fisik
lingkungan yang paling bervariasi, terutama di daerah tropis. Didaerah tropika basah, curah hujan lebih
sering melampaui evaporasinya dalam setahun, sehingga ada saat berlebih air yang dapat menimbulkan banjir
dan adakalanya terjadi kekeringan. Pada daerah-daerah yang rendah atau cekungan keadaan basah dapat
terjadi sepanjang tahun karena mendapat air dari hulu (Irianto, dkk., 2000)
Pada daerah tropis fluktuasi udara umumnya tidak terlalu berpengaruh terhadap pola tanam
khususnya tanaman semusim. Untuk budidaya sepanjang tahun sangat tergantung dari ketersediaan air (Budi.
dkk. 2003). Kecamatan Gerokgak pada tahun 2003 mengalami penurunan jumlah curah hujan bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rata-rata curah hujan dan hari hujan tertinggi pada tahun 2003
terdapat pada bulan Januari dan Februari, dengan masing-masing hari hujan adalah 14 dan 22, rata-rata curah
hujan adalah 296,5 dan 384,5 mm (BBPP, 2004). Keadaan iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt dan
Ferguson dari data curah hujan periode 10 tahun terakhir (1999 - 2003) seperti pada Tabel 1, didapatkan
besaran nilai Q = 1,43 yang merupakan perbandingan bulan kering dengan bulan basah.
539
Tabel 1. Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering di Kecamatan Gerokgak Periode Tahun 1994 – 2003.
Tahun Bulan Basah Bulan Lembab Bulan Kering
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
4
5
5
4
5
6
6
2
5
4
1
1
-
1
-
1
1
2
-
-
7
6
7
7
7
5
5
8
7
7
Total 46 7 66
Rerata 4,6 0,7 6,6
Sumber : BBPP Desa Patas Kecamatan Gerokgak
Dengan demikian iklim dilokasi penelitian termasuk tipe iklim E yang berarti daerah tersebut
beriklim agak kering, mempunyai jumlah curah hujan relatif rendah dan jumlah bulan kering yang relatif
cukup banyak. Keadaan seperti tersebut merupakan kendala yang cukup serius dalam melakukan aktivitas
usaha tani. Terlebih lagi jika pada lahan yang tanpa didukung adanya sarana irigasi memadai, sehingga iklim
khususnya keadaan hujan (air dan pengairan), mempunyai pengaruh besar atas: jenis tanaman, tehnik
bercocok tanam, kuantitas dan kualitas produk, susunan pekarangan, pergiliran atau rotasi tanaman (Tohir,
1983). Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah dan pembagian curah hujan itu tidak selalu cocok dengan
jumlah dan pembagian air yang diperlukan oleh tanaman. Ada kalanya jumlah curah hujan pada suatu waktu
melebihi jumlah yang diperlukan, tetapi pada waktu yang lain justru sangat kekurangan air. Ketidak serasian
antara antara jumlah air hujan yang datang dan air yang diperlukan oleh tanaman memaksa kita untuk
melakukan pengaturan penyimpanan air hujan sebaik mungkin.
Adanya irigasi sangat berperan terhadap pemakaian teknologi dalam pertanian seperti varietas
unggul, pemupukan yang sangat responsif terhadap ketersediaan air dan juga petani lebih leluasa untuk
mengembangkan usaha tani yang dilakukan dalam upaya peningkatan produksi. Irigasi embung yang
dimaksudkan disini adalah penampungan air baik itu air hujan ataupun sumber-sumber air kecil dalam
lubang-lubang sumur atau bak-bak penampung air yang dialirkan untuk usahatani. Tehnik pemanenan air
hujan (water harvesting) atau sumber mata air melalui teknologi embung merupakan alternatif yang dapat
dilaksanakan pada lahan kering ataupun daerah perbukitan kritis.
Produktivitas Jagung
Luas tanam rata-rata untuk usaha tani jagung, pada musim hujan keseluruhan lebih tinggi dari
musim kemarau. Produktivitas pada masing-masing musim tanam terlihat lebih tinggi yaitu pada musim
kemarau (4.130,6 kg/ha) dar pada musim hujan (3.753,6 kg/ha). Lebih lengkapnya, luas tanam dan
produktivitas jagung didaerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Luas Tanam dan Produktivitas Usaha Tani Jagung Di Desa Patas Kecamatan Gerokgak Kabupaten
Buleleng, Tahun 2005
Uraian Musim Hujan Musim Kering
Luas (ha) 0,656 0,263
Produksi (kg) 2443,6 1065,14
Produktivitas (kg/ha) 3753,6 4130,6
Produktivitas Tenaga Kerja (kg/hok) 41,33 45,44
t-hit Produktivitas Tenaga Kerja 2,62***
t-tabel α (0,01) 2,390
Sumber : Analisis Data Primer
Keterangan : ***
= Signifikan pada tingkat kesalahan 1%
Musim hujan yang tidak menentu merupakan kendala rendahnya produktivitas jagung pada musim
penghujan. Kelebihan atau kekurangan air pada tanaman tidak dapat terkontrol mengakibatkan pertumbuhan
tanaman menjadi terganggu, terutama pada saat pembungaan dan pembentukan tongkol. Demikian halnya
dengan waktu pengolahan lahan dan pemupukan dilakukan sangat tergantung keadaan curah hujan yang
540
terjadi, pemberian pupuk menjadi tidak tepat saat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya. Disamping
itu kondisi yang lembab menyebabkan terjadinya serangan hama penyakit tanaman yang lebih tinggi.
Pada kondisi kemarau, terlihat produktivitas jagung meningkat dibandingkan musim hujan, pada
musim ini tanaman mendapat sinar matahari penuh untuk proses fotositesa dan petani dapat mengatur air dari
embung sesuai keperluan tanaman, sehingga berbagai proses fisiologi tanaman berjalan sesuai harapan
petani.
Peningkatan produktivitas dengan adanya irigasi akan diikuti dengan peningkatan pendapatan bersih
petani walaupun dengan biaya yang meningkat pula, apalagi jika diusahakan untuk tanaman yang bernilai
ekonomi tinggi. Dampak positif pengembangan irigasi sangat dirasakan terutama bagi petani miskin yang
mengakibatkan adanya pergeseran dari pertanian tadah hujan menjadi pertanian dengan pengairan (Koppen,
2002).
Produktivitas Tenaga Kerja
Setelah adanya embung, kebutuhan air untuk aktivitas usaha tani mulai dapat terpenuhi. Sejalan
dengan itu terjadi perubahan pergiliran tanaman yaitu jagung – jagung/sayur – sayur, serta meningkatnya
intensitas tanam dalam satu tahun. Perubahan pergiliran tanaman berpengaruh terhadap produksi dan
merupakan suatu peluang kesempatan kerja pada daerah penelitian.
Produktivitas tenaga kerja dalam hal ini dinyatakan hasil produksi setelah per satuan hari orang
kerja (hok). Untuk tenaga kerja ternak, tenaga kerja wanita dan anak-anak dikonversi menjadi hari kerja
setara pria. Rata-rata produktivitas tenaga kerja irigasi embung dan tadah hujan pada masing-masing musim
tanam disajikan dalam Tabel 2.
Produktivitas tenaga kerja pada lahan irigasi embung untuk musim kering ternyata lebih tinggi dari
musim hujan dan berbeda sangat nyata pada tingkat kesalahan 1%. Hal ini berarti pada musim kering dapat
memberikan kesempatan kerja lebih tinggi dari musim hujan yang memberikan selisih 4,11 kg per hok.
Perbedaan produktivitas tenaga kerja tersebut disebabkan karena produksi jagung pada musim kering lebih
tinggi dari musim hujan.
Keuntungan Finansial Usaha Tani Jagung
Pendapatan bersih atau keuntungan dalam hal ini merupakan penerimaan yang dikurangi dengan
total biaya yang dikeluarkan petani termasuk tenaga kerja dalam keluarga. Penyusutan pada pemakaian
irigasi embung yang dibagi rata dalam tiga musim. Biaya sewa lahan per hektar berkisar antara Rp 500.000
yang biasanya digunakan untuk tanaman tembakau. Khusus untuk tanaman jagung, sewa menyewa jarang
terjadi pada lahan petani sehingga nilai tersebut dipakai acuan untuk nilai sewa lahan pada penelitian ini.
Tabel 3, menunjukkan penggunaan sarana produksi meliputi benih, pupuk, pestisida pada musim
hujan nilainya lebih tinggi dari musim kemarau, namun demikian tenaga kerja yang digunakan pada
usahatani jagung untuk musim kemarau lebih tinggi dari musim hujan. Penggunaan tenaga kerja yang lebih
banyak terutama untuk tenaga pengairan. Sistim pemberian air dengan mengunakan pipa atau selang yang
dialirkan pada lahan secara berpindah-pindah, sehingga diperlukan tenaga kerja untuk penyiraman agar lahan
secara merata mendapat pengairan. Biaya lain yang cukup besar yaitu biaya penyusutan, bunga modal tetap
dan sewa lahan. Meningkatnya biaya produksi dimbangi dengan peningkatan produksi jagung per satuan luas
yang lebih tinggi pula, sehingga keuntungan yang diperoleh petani pada musim kering menjadi lebih tinggi.
Keuntungan merupakan penerimaan total dikurangi dengan tenaga kerja kerja dalam keluarga yang
diperhitungkan, bunga dari modal tetap dan sewa lahan. Akibat dari pengurangan beberapa variabel biaya
tersebut menyebabkan bertambah besar biaya yang harus diperhitungkan. Dari Tabel 3 terlihat pada musim
hujan untuk usahatani jagung dengan pemakaian irigasi embung menerima keuntungan yang lebih rendah
sebesar Rp 466.197 dari musim kemarau. Hal ini terlihat pula dengan diperolehnya nilai t-hitung sebesar -
5,56 yang dengan jelas sangat berbeda dengan keuntungan usahatani jagung dengan irigasi embung di musim
kering
541
Tabel 3. Analisis Usahatani Jagung per Hektar Musim Kering dan Musim Hujan di Kecamatan Gerokgak Kabupaten
Buleleng, Tahun 2005
No Uraian Musim Hujan Musim Kering
Jumlah (Rp) Jumlah (Rp)
I Saprodi
1 Benih (kg) 23,27 69.801 22,38 67.147
2 Urea (kg) 111,99 134.388 107,11 128.529
3 SP 36 (kg) 31,74 53.965 33,11 56.293
4 KCL (kg) 24,93 47.366 26,67 50.671
5 Pukan (kg) 572,83 85.925 475,31 71.296
6 Pestisida - 23.695 - 19.573
Jumlah 415.141 393.508
II Tenaga Kerja 91,19 1.823.872 91,59 1.831.701
III Biaya lainnya
1 Pajak 6.870 6.870
2 Bunga biaya luar 27.540 27.540
3 Iuran-iuran 4.029 4.029
4 Penyusutan 146.778 146.778
5 Sewa lahan 500.000 500.000
6 Pemeliharaan 25.000 25.000
7 Bunga Modal 264.200 264.200
Jumlah 974.416 974.416
IV Total Biaya 3.213.429 3.199.625
V Produksi (kg) 3.753,58 4.504.301 4.130,58 4.956.694
VII Keuntungan 1.290.871 1.757.069
t - hitung Keuntungan - 5,56***
t –tabel (α = 0,01) 2,390
t - tabel (α = 0,05) 1,671
Sumber : Analisis Data Primer
Keterangan : *** : Signifikan pada tingkat kesalahan 1%
KESIMPULAN
1. Produktivitas jagung dengan rigasi embung untuk musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan,
demikian halnya dengan produktivitas tenaga kerja musim kemarau yang lebih tinggi dan berbeda sangat
nyata pada tingkat kesalahan 1% dibandingkan pada saat musim penghujan.
2. Keuntungan diperoleh petani pada usahatani jagung di musim hujan (Rp 1.290.871) lebih rendah dari
keuntungan diperoleh dari usahatani jagung di musim kering (Rp 1.757.069). Perbedaan tersebut sangat
nyata pada tingkat kesalahan 1%.
DAFTAR PUSTAKA
Arsana, 2004. Uji Multilokasi Jagung dan Kacang Tanah. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bali. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Budi. S, Rubiyo, Evi. L, Daryono. 2003. Identifikasi Daerah Perkiraan Musim (DPM) Pulau Bali dan
Aplikasinya Untuk Perencanaan Pertanian. Laporan Akhir. Kerjasama Balai Meteorologi dan
Geofisika Wilayah III Denpasar dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bali.
Irianto. G, Amien. L, Surmaini. E, (2000) Keragaman Iklim Sebagai Peluang Diversifikasi. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Bogor.
Masinambow, E. 1991. Perencanaan Pola Tanam Lahan Kering Bedasarkan Curah Hujan dan Neraca Air di
Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Tesis S2. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Tidak Dipublikasikan.
Rantung, J.L. 1988. Analisis Pola Sebaran Hujan Bulanan dan Kaitannya dengan Pola Tanam Palawija di
Beberapa Daerah Sulawesi Utara. Tesis S2 IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
542
Suparmoko. 1998. Metode Penelitian Praktis. Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta
Tohir, K. A. 1983. Seuntai Pengetahuan Tentang Usaha tani Indonesia. Edisi Pertama. Penerbit PT Bina
Aksara. Jakarta.
Van Koppen. B, R. Parthasarathy, and C. Safiliou. 2002. Poverty Dimensions of Irrigation Management
Transfer in Large Scale Canal Irrigation in Andra Pradesh and Gujarat, India. Research Report 61.
Colombo. Srilanka. International Water Management Institute.
http://www.cgiar.org/iwmi/pubs/pub061/Report61.pdf
543
KELAYAKAN USAHATANI TANAMAN PANGAN PADA LAHAN LEBAK DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA
DI KALIMANTAN SELATAN
(Kasus di Desa Banyu Tajun Dalam Kabupaten Hulu Sungai Utara)
Rismarini Zuraida1)
Zahirotul Hikmah 1)
dan Yohanes GB2)
1)
Peneliti pada BPTP Kalimantan Selatan 2)
Peneliti pada BPTP Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Kebutuhan akan bahan pangan juga semakin meningkat hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah
penduduk, sedangkan pengelolaan sumberdaya yang tersedia belum optimal. Untuk itu dilakukan penelitian di Desa Baju
Tajun Dalam (lahan lebak) Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan pada bulan Mei 2006. Penelitian
dilakukan dengan observasi lapangan yang difokuskan pada permasalahan, hambatan dan peluang pengembangan usahatani dan kontribusi tanaman pangan terhadap pendapatan di lahan rawa lebak. Metode pengumpulan data yaitu
dengan metode PRA (Participatory Rural Appraisal), dan di lengkapi data dari instansi terkait dan kepustakaan. Lahan
rawa lebak yang cukup luas tersedia di Kalimantan Selatan merupakan salah satu alternatif dalam pengembangan
usahatani guna memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus dalam usaha pengelolaan sumberdaya lahan rawa lebak yang cukup potensial untuk dikembangkan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskreptif dan analisis finansial. Hasil
penelitian menunjukan bahwa teknologi budidaya yang dilaksanakan di tingkat petani sangat sederhana. Usahatani
dominan adalah padi, ubi alabio dan tanaman hortikultura (sawo). Padi ditanam di daerah lebih rendah dan ubi alabio
ditanam di daerah yang lebih tinggi yaitu pada galang-galangan. Padi yang diusahakan petani berkisar antara 0,5 - 2 hektar, dengan produktivitas mencapai 4,1 ton/ha dan pendapatan bersih yang diterima petani mencapai Rp 2.277.000
dengan nilai R/C 1,79. Untuk usahatani ubi alabio di usahakan petani sangat terbatas berkisar 0,015 – 0,25 hektar
dengan pendapatan bersih per hektar mencapai Rp 15.400.000.dengan nilai R/C 2,05. Pendapatan bersih per hektar dari
buah sawo sebesar Rp 1.000.000. Jadi kontribusi usahatani tanaman pangan terhadap pendapatan usahatani yang ada sangat besar (94,64%). Dilihat dari potensi yang ada, usahatani pangan terutama ubi alabio mempunyai prospek yang
cukup besar untuk dikembangkan serta dapat mendukung ketahanan pangan rumah tangga.
Kata kunci : usahatani pangan, lahan lebak, pendapatan, ketahanan pangan
PENDAHULUAN
Semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kalimantan Selatan, kebutuhan akan bahan pangan juga
semakin meningkat, sementara itu penyediaan bahan pangan semakin terbatas karena belum optimalnya
pengelolaan sumberdaya lahan. Lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan cukup luas yaitu mencapai
600.000 ha, dan baru 75.359 ha (Diperta Provinsi Kalimantan Selatan, 1989). Lahan rawa lebak sebagian
besar dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan peternakan. Tujuan
utama dalam pengembangan usahatani tanaman pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan
masyarakat.
Ditijau dari aspek agroekosistem, lahan rawa lebak memiliki potensi yang sangat besar dalam
pengembangan tanaman pangan dan buah-buahan serta mempunyai prospek terhadap penumbuhan ekonomi
local. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan sentuhan inovasi teknologi dan pengembangan kelembagaan
untuk memanfaatkan sumberdaya lahan yang potensial.
Pemerintah daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara telah melakukan berbagai upaya dalam
pengembangan usaha pertanian pada lahan rawa lebak. Saat ini luas lahan rawa lebak yang dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian/perkebunan berkisar 86% dari total lahan yang ada (BPTP Kal Sel, 1997).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian di lakukan di Desa Banyu Tajun Dalam Kabupaten Hulu Sungai Utara provinsi
Kalimantan Selatan dari bulan Mei 2006. Penelitian dilakukan dengan observasi lapangan yang difokoskan
pada permasalahan, hambatan dan peluang pengembangan usahatani di lahan rawa lebak. Metode
pengumpulan data yaitu dengan metode PRA (Participatory Rural Apprisial), disertai wawancara dengan
beberapa kelompok tani (Focus Group Discussion), sedangkan data sekunder merupakan data penunjang
yang dikumpulkan dari instansi terkait dan kepustakaan. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskreptif
dan analisis kelayakan Finansial (analisis biaya dan pendapatan).
544
Metode PRA (Participatory Rural Appraisal) adalah metode penelitian partisipatif dengan
melibatkan masyarakat dalam penelitian untuk menilai potensi dan masalah di pedesaan. Metode partisipatif
ini berorientasi pada proses pembelajaran dan melibatkan sebanyak mungkin berbagai kalangan masyarakat
(Chambers, 1996).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lahan Lebak
Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang spesifik yaitu adanya genangan air (water logged) dengan
ketinggian air dapat mencapai 200 cm pada musim hujan yang terjadi antara bulan Januari – Maret, dan
mengalami kekeringan pada saat musim kemarau yang terjadi antara bulan Juli – Sepetember. Di Desa
Banyu Tajun Dalam penggenangan airnya tidak merata, sangat tergantung pada hidrotopografi lebak itu
sendiri, pola hujan dan ketinggian air sungai setempat. Bagian yang hidrotopografinya lebih tinggi
mempunyai jangka waktu penggenangan yang lebih pendek, sedangkan yang lebih rendah mempunyai
jangka waktu penggenangan yang lebih panjang.
Sesuai dengan kondisi hidrotopografi tersebut, lahan rawa lebak dibedakan atas lebak
dangkal/pematang, lebak tengahan dan lebak dalam. Lebak dangkal mempunyai hidrografi relatif cukup
tinggi dengan genangan air di musim hujan kurang dari 50 cm selama 3 bulan, lebak tengahan mempunyai
topografi lebih rendah dengan genangan air di musim hujan antara 50-100 cm dalam waktu 3-6 bulan. Lebak
dalam mempunyai topografi paling rendah dengan genangan air lebih dari 100 cm dalam waktu lebih dari 5
bulan (Susanto, 1987).
Genangan air di lahan rawa lebak dipengaruhi oleh curahan hujan di hulu sungai yang meluapinya
maupun curahan air hujan di daerah sekitarnya, tetapi tidak dipengaruhi oleh arus pasang surut daerah
sekitarnya (Direktorat Rawa, 1986). Meningkatnya curah hujan akan diikuti dengan meluapnya air di lahan
rawa lebak, dan menurunnya curah hujan akan diikuti pula dengan menyusutnya air di lahan rawa lebak
tersebut (Anwarhan, 1989).
Pembagian lahan rawa lebak di Desa Sungai Janjam didasarkan pada tinggi dan lamanya genangan air,
hal ini merupakan acuan dalam pemanfaatannya, yaitu (1) Watun I = lebak pematang dengan tinggi genangan
air 50 cm, (2) Watun II = lebak tengahan dengan tinggi genangan air 50 -100 cm, (3) Watun III = lebak
dalam dengan tinggi genangan air 100 cm.
Kedatangan air di musim hujan di lahan rawa lebak sukar diprediksi, tetapi secara tradisional
masyarakat setempat mengetahuinya dengan melihat gejala alam, yaitu mendengar suara binatang yang ada
di sekitar lingkungannya atau dengan melihat munculnya bintang di langit pada malam hari. Jika ada bintang
biduk (bintang tujuh, istilah penduduk setempat), maka air diperkirakan akan banyak dan sekaligus untuk
memperkirakan waktu tanam.
Berdasarkan jenis tanahnya, tanah di Desa Sungai Janjam didominasi oleh dua jenis tanah, yaitu
gambut (histosol) dan alluvial endapan sungai dengan lapisan pirit pada bagian bawahnya atau berasosiasi
dengan gambut dengan tingkat kemasaman tanah cukup tinggi (pH 5). Setiap musim hujan terjadi endapan
lumpur kiriman dari daerah hulu dan terjadi perkayaan hara tanah. Oleh sebab itu setiap terjadi musim hujan
akan berpengaruh terhadap kondisi hara tanah di lahan rawa lebak.
Profil Usahatani Padi dan Ubi Alabio di Lahan Petani
Petani di lahan lebak mengusahakan berbagai tanaman, baik secara tumpang sari maupun
monokultur. Pada musim hujan petani bertanam padi. Sedangkan pada musim kemarau petani menanam
sayur-sayuran seperti terong dan labu/waluh.
Luas usahatani yang diusahakan sangat bervariasi dan sangat bergantung kepada ketersedian
sumberdaya yang dimiliki petani. Secara umum luas usahatani yang diusahakan petani berkisar antara 0,75
ha sampai 2 ha per keluarga. Penanaman terong dan labu/waluh dilaksanakan musim kemarau yaitu pada
bulan Mei sampai Juni. Apabila musim hujan tiba pertanaman terong dan labu/waluh sudah berakhir,
dimulai dengan penanaman padi.
545
1. Teknologi Budidaya Padi di Lahan Lebak di Desa Banyu Tajun Dalam, Kab. Hulu Sungai Tengah, 2006
Varietas Lokal dan Unggul (Siam, Ciherang, IR 66)
Penyiapan lahan Tanah diolah manual sampai siap tanam
Bahan amelioran dan pupuk Urea :( 25-50 kg); SP 36 :( 25 – 50 kg); KCL: ( 0 – 25 kg)
Benih 25 - 40 kg/ha
Cara dan jarak tanam 20 x 20 cm
Cara pemupukan Pupuk P dan K diberikan pada umur 15 HST, dan pupuk N diberikan pada
umur 30 HST secara disebar.
Pemeliharaan Penyiangan secara manual (mencabut gulma), dilakukan dua kali, yaitu umur
30 dan 50 HST. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara kimia
(penanggulangan bila ada gejala).
Penen dan pascapanen Pada umur 110 HST secara manual (harit), gabah dijemur/dikeringkan dengan panas sinar matahari selama 4 hari sampai kering.
Teknologi budidaya padi ditingkat petani yang selama ini diterapkan petani di lahan sawah adalah
sangat sederhana sekali, yaitu belum dilaksanakannya penggunaan benih bermutu seperti seleksi benih.
Benih yang digunakan petani berasal dari tanaman padi tahun sebelumnya. Bibit yang digunakan untuk
ditanam berumur antara 20 sampai dengan 30 hari setelah semai dengan jumlah bibit sekitar 3-5 bibit/lubang
dan jarak tanam sekitar 20 x 20 cm (tetapi kurang teratur).
Pemupukan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan anjuran. Hanya diberikan sekedarnya saja
karena keterbatasan modal. Selama ini harga pupuk, dan obat-obatan cukup mahal pada tingkat petani.
Pemeliharaan tanaman dalam hal ini penyiangan dilakukan umumnya hanya 1 kali secara manual.
Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan kalau ada gejala serangan. Karena terbatasnya tenaga
kerja untuk panen, biasanya hanya tenaga kerja dalam keluarga yang bekerja. Maka masih banyak petani
yang menumpuk hasil panen di sawah, setelah selesai panen seluruhnya baru proses perontokan padi
dilaksanakan. Perontokan padi pada umumnya memakai treser dan sebagian kecil masih ada dengan cara di
injak-injak.
2. Teknologi Budidaya Ubi Alabio
Penanaman ubi alabio di lahan lebak di laksanakan pada musim kemarau, makin panjang masa
musim kemarau, makin luas lahan rawa yang di tanami. Persiapan lahan pada bulan Mei dan penanaman
dilakukan antara bulan Juni-Juli tergantung pada ketinggian air (tipologi lebak). Pada lebak
pematang/dangkal tanam dilakukan lebih awal, hal ini dikarenakan penurunan air lebih cepat. Panen
dilakukan pada bulan Nopember-Desember setelah umur tanaman 6-7 bulan dan biasanya dilakukan apabila
air sudah mulai meningkat mencapai lahan tanaman, sehingga pencabutan umbi dapat lebih mudah. Ubi
alabio dapat bertahan dalam tanah sampai 2 tahun.
Ubi alabio dibudidayakan dengan umbinya, yang sebelum ditanam disemaikan pada tempat khusus
dengan alas dan penutup dedaunan. Umbi untuk bibit terdiri dari potong-potongan sekitar 3 x 4 x 5 cm,
kemudian dicampur abu dapur atau sejenisnya, setelah 25-30 hari akan muncul tunas, dan bibit siap ditanam.
Penanaman dilakukan dengan jarak antara 1 x 1meter dengan jumlah bibit 2-3/lubang dengan
kedalaman 5 cm, setelah tanam diberikan lapisan mulsa dari jerami padi. Pada saat tanaman mulai merambat
disediakan turus (tonggak) kayu untuk memanjat bagi tanaman dengan ketinggian antara 1,5 - 2 meter. Pada
umur 3-4 minggu batang mulai menjalar dan diarahkan untuk melilit ke tiang turus. Dalam budidaya ubi
alabio petani yang melakukan pemupukan hanya sebagian kecil saja. Pupuk biasa diberikan pada sekitar
lobang tanaman/turus pada umur 1 bulan.
Ubi alabio yang dibudidayakan dilebak merupakan varietas lokal yang diidentifikasikan berdasarkan
bentuk, warna dan rasa yakni ubi alabio yang dagingnya berwarna putih yang banyak disenangi petani dan
ubi alabio jenis lokal lainnya yang warnanya merah/violet kurang disenangi karena mempunyai lender dan
warna merah dapat melarut apabila diolah dan direbus.
546
Analisis Finansial Usahatani
Suatu komoditas pertanian layak untuk dikembangkan tidak hanya dari segi peningkatan
produktivitas saja, tapi juga aspek kelayakan ekonomi usahatani. Hasil penelitian pengembangan sistem
usahatani di Desa Banyu Tajun Dalam yang sebagian besar adalah komoditas utama tanaman pangan yakni
padi dan ubi. Untuk usahatani padi diusahakan dengan luas berkisar 0,5 – 1,5 hektar, tapi untuk usahatani
ubi alabio hanya berkisar 0,05 - 0,25 hektar per keluarga. Hal ini di karenakan terbatasnya luas surjan- surjan
yang ada (tanah pematang). Hasil analisis finansial untuk usahatani padi dan ubi alabio ditampilkan pada
Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Analisis Finansial Usahatani Padi pada Lahan Lebak di Desa Banyu Tajun Dalam Kab. Hulu Sungai Tengah,
2006 (Rp/ha).
Uraian Jumlah Harga(Rp) Nilai (Rp)
1. Penerimaan (ton) 4,1 1.250.000 5.125.000
2. Biaya : - Benih (kg)
- Pupuk (kg)
Urea
SP 36 KCL
- Obat-obatan (liter)
- Tenaga Kerja :
Pengolahan tanah Tanam
Pemupukan
Pemeliharaan /penyiangan
Panen
40
50
25 25
5
30 25
2
20
20
5.000
1.500
1.600 1.750
10.000
30.000 20.000
20.000
20.000
30.000
200.000
75.000
40.000 43.000
50.000
900.000 500.000
40.000
400.000
600.000
Total Biaya 2.848.000
3. Pendapatan (1-2)
4. R/C ratio
2.277.000
1,79
Sumber : data primer diolah
Produktivitas padi di lahan lebak mencapai 4,1 ton/ha, penerimaan sebesar Rp5.125.000. Total
biaya yang di keluarkan sebesar Rp 2.848.000,- yang terdiri dari benih,pupuk dan obat-obatan serta tenaga
kerja. Pendapatan/keuntungan yang di terima petani yaitu selisih antara penerimaan daan total biaya sebesar
Rp2.277.000. Dengan R/C ratio 1,79 ( R/C ratio > 1) ini berarti layak diusahakan (Soekartawi, 1995),
Artinya dari setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 1,79.
Tabel 2. Analisis Finansial Usahatani Ubi Alabio di Lahan Lebak di Desa Banyu Tajun Dalam, Kab. Hulu Sugai
Tengah, 2006 (Rp/ha)
No Uraian Jumlah Harga (Rp) Nilai (Rp)
1 Penerimaan (Kg) 15.000 2.000 30.000.000
2 Biaya:
Bibit
Tonggak/turus (buah) Tenaga kerja :
Pembibitan
Pengolahan tanah
Tanam
Pemeliharaan/penyiangan
Panen
2.200
8.000
5
90
30
40
45
2.500
500
20.000
30.000
20.000
20.000
20.000
5.500.000
4.000.000
100.000
2.700.000
600.000
800.000
900.000
Total biaya 14.600.000
3
4
Pendapatan (1-2)
R/C ratio
15.400.000
2,05
Sumber : data primer diolah
Ubi alabio biasa di tanam pada daerah-daerah yang lebih tinggi atau daerah seperti
galangan/tabukan dan luasannya yang terbatas berkisar 0,05 - 0,25 hektar per keluarga. Hasil analisis
finansial ubi alabio menunjukan bahwa produktivitas mencapai 15 ton/ha dengan penerimaan kotor sebesar
Rp 30.000.000/ha. Total biaya yang dikeluarkan petani sebesar Rp 14.600.000/ha. Jadi pendapatan yang
diterima mencapai Rp 15.400.000/ha dengan nilai R/C ratio sebesar 2,05. ( R/C ratio > 1) (Tabel 2).
547
Kontribusi Usahatani Terhadap Pendapatan Usahatani
Komoditas dominan yang diusahakan petani yaitu padi, ubi alabio, dan tanaman buah-buahan
seperti sawo yang merupakan sumber pendapatan utama petani. Kontribusi terbesar dari pendapatan
usahatani petani berasal dari usahatani ubi alabio (82,45%) diikuti usahatani padi (12,19%), sehingga
sebagian besar pendapatan usahatani bersumber dari usahatani tanaman pangan (Tabel 3). Usahatani ubi
alabio merupakan salah satu komoditas pangan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, namun komoditas
tersebut belum diusahakan dalam skala besar karena keterebatasn tenaga kerja dan modal. Harga jual dari
ubi alabio yang isi umbinya berwarna putih mencapai Rp 2000/kg, sehingga mempunyai prospek yang cukup
besar untuk penumbuhan kegiatan agribisnis di wilayah lahan lebak. Komoditas ubi alabio mempunyai
peranan yang cukup besar terhadap ketahanan pangan rumah tangga, karena hasil panen dapat di simpan
dalam waktu beberapa bulan untuk persediaan pangan keluarga.
Tabel 3. Kontribusi Usahatani Tanaman Pangan terhadap Pendapatan Usahatani di Desa Banyu Tajun Dalam, Kab.
Hulu Sungai Tengah, 2006 (Rp/ha)
Komoditas Penerimaan (Rp) Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) Kontribusi terhadap
pendapatan (%)
Padi
Ubi alabio
Sawo
30.000.000
5.125.000
1.500.000
2.848.000
14.600.000
500.000
2.277.000
15.400.000
1.000.000
12,19
82,45
5,36
Total Pendapatan 8.677.000 100,00
Sumber : data primer diolah
Prospek Pengembangan Tanaman Pangan
Usahatani di lahan lebak khususnya di Desa Banyu Tajun Dalam mempunyai prospek untuk
dikembangkan karena menguntungkan jika dilihat dari R/C ratio. Produksi dan produktivitas tanaman
pangan terutama padi sawah masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan penerapan dan pemanfaatan
teknologi produksi seperti panggunaan benih unggul pemupukan, pemeliharaan dan penanganan pasca panen.
Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan untuk memperoleh rekomendasi teknologi spesifik sesuai dengan
kondisi agroekosistem. Meskipun potensi lahan lebak cukup besar untuk dikembangkan, namun sementara
ini petani di Desa Banyu Tajun Dalam sering dihadapkan pada masalah social ekonomi yang kurang
mendukung, yaitu masalah keterbatasan modal usaha dan posisi yang lemah dalam pemasaran hasil. Selai itu
kerterbatasan dalam jangkauan pemasaran, sehingga harga jual cenderung menurun yang dapat
mempengaruhi pendapatan petani. Untuk mengatasi permaslahan klasik yang dihadapi petani maka sangat
perlu dilakukan perubahan-perubahan dalam pemberdayaan petani melaui penumbuhan dan pengembangan
yang berorientasi pada system dan usaha agribisnis.
Dengan keterbatasan modal usaha dan pemasaran, maka komitmen pemerintah atau pihak swasta
untuk bermitra dengan petani setempat dalam upaya pengembangan sistem dan usaha agribisnis di lahan
rawa lebak sangat diperlukan sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil melalui penerapan
teknologi, jaminan pemasaran hasil, serta untuk mengingkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Lahan rawa lebak belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani untuk pengembangan usahatani.
Tingkat penerapan teknologi produksi pada usahatani tanaman pangan pada lahan rawa lebak relatif
rendah.
2. Produktivitas padi mencapai 4,1 ton/ha dengan penerimaan kontor sebesar Rp 5.125.000 dengan nilai
R/C ratio 1,79
3. Produktivitas ubi alabio mencapai 15 ton/ha, peneriman kotor sebesar Rp 30.000.000 dengan nilai R/C
ratio 2,05
4. Kontribusi pendapatan usahatani petani sebagaian besar sebesar 94,64% berasal dari usahatani tanaman
pangan (usahatani padi dan ubi alabio).
548
DAFTAR PUSTAKA
Anwarhan, H. 1989. Bercocok Tanam Padi Pasang Surut dan Rawa, 511 – 578. Dalam: M. Ismunadji,
M .Syam, Yuswadi (eds) Padi Buku 2. Puslibangtan. Bogor.
Balai Pengkaajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan 1997. Laporan Tahunan. Banjarbaru.
Chambers, R. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal) Memahami Desa Secara Partisipatif. Kanisius.
Yogyakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pemprov.Kalimantan Selatan. 2000. Laporan Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Pemprov.Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. Jakarta.
Susanto, S. 1987. Pemikiran Kearah Konsepsi Pengembangan Pengairan dalam Rangka Pengembangan
Lebak. Simposium Pemanfaatan Potensi Daerah Lebak, Fakultas Pertanian UNSTRI.
549
ANATOMI KETAHANAN PANGAN PADA RUMAH TANGGA MISKIN DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP KEBIJAKAN INOVASI PERTANIAN
Rachmat Hendayana dan Yovita Anggita Dewi
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
ABSTRAK
Petani miskin dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, dan satu sama lain saling
berinteraksi. Hal ini memberi makna bahwa pemberdayaan petani miskin merupakan subjek yang sangat luas. Makalah
bertujuan mengungkap anatomi ketahanan pangan pada penduduk miskin dan implikasinya terhadap kebijakan inovasi
pertanian. Makalah dikembangkan dari hasil baseline study di NTB tahun 2005. Pengumpulan data/informasi menggunakan metode survai melibatkan 60 orang responden yang terpilih secara acak sederhana. Data yang terkumpul
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dan hasilnya menunjukkan: (1). Ketahanan pangan pada rumah
tangga miskin, erat hubungannya dengan karakteristik rumah tangga itu sendiri, yakni rendahnya pemilikan sumberdaya
lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia (pendidikan formal) di rumah tangga relatif rendah, akses terhadap sumber modal tidak ada, dan akses terhadap sumber informasi terkendala; (2) Sebagian besar rumah tangga (69,9 %)
hanya mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang tidak dapat diprediksi besarannya, sehingga
mempengaruhi ketersediaan pangan, baik dalam jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak memiliki
cadangan pangan (stok) yang cukup; (3) Di sisi lain, ketersediaan pangan di level regional (kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga kebutuhan pangan bagi rumah tangga tidak terpenuhi yang
akhirnya menurunkan derajat ketahanan pangan dan mendorong terjadinya pauperisma; (4) Kebijakan inovasi pertanian
bagi penduduk miskin hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dari karakteristik penduduk serta
dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual.
Kata kunci: Ketahanan pangan, kemiskinan, inovasi teknologi, kelembagaan
PENDAHULUAN
Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan dua fenomena yang saling terkait, bahkan dapat
dipandang memiliki hubungan sebab akibat. Dalam hal ini kondisi ketahanan pangan yang rentan menjadi
sumber kemiskinan, sebaliknya karena miskin maka ia tidak memiliki ketahanan pangan. Oleh karena itu
petani miskin dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, karena satu sama lain saling
berinteraksi. Pakpahan (1999) mengemukakan bahwa kemiskinan merupakan suatu resultante iterasi dan
interaksi antara teknologi, sumberdaya alam dan kapital, sumberdaya manusia dan kelembagaan/
kebijaksanaan. Kemiskinan dapat dipandang sebagai akibat (endogenous variable) atau juga sebab
(exogenous variable) dari sesuatu.
Petani menjadi miskin karena penguasaan sumberdaya alam dan kapital yang rendah, tidak akses
terhadap informasi dan kurang bahkan tidak akses terhadap teknologi. Kondisi tersebut membawa dampak
terhadap kemampuannya menyediakan pangan menjadi terbatas untuk kebutuhan hidupnya, sehingga tidak
memiliki cadangan pangan yang cukup untuk menyambung hidupnya. Akibatnya ketahanan pangan rumah
tangga ini menjadi rentan. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3)
merata; dan (4) terjangkau.
Adapun yang dimaksud pangan menurut UU. No. 7/1996 Tentang Pangan diartikan sebagai segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau minuman. Mengingat ketahanan pangan dalam bahasan ini akan diinteraksikan dengan inovasi
pertanian, maka pengertian pangan dibatasi hanya pada padi/beras sebagai makanan pokok penduduk
sehingga terjadi simplifikasi di dalam membuat interpretasinya.
Oleh karena itu permasalahan yang muncul dalam konteks ketahanan pangan rumah tangga miskin
dan inovasi pertanian ini adalah: (a) bagaimanakan kondisi ketahanan pangan rumah tangga miskin itu?, (b)
sejauhmanakah peran inovasi pertanian mampu mendorong terjadinya penyediaan pangan sehingga mampu
menciptakan ketahanan pangan di rumah tangga miskin? Dan persoalan berikutnya kebijakan inovasi
pertanian seperti apa yang relevan diintroduksikan pada rumah tangga miskin?
Sehubungan dengan persoalan itu, makalah bertujuan: (a) membedah kondisi ketahanan pangan
pada rumah tangga miskin, melalui penelusuran kondisi sumberdaya manusia, akses terhadap pemilikan
sumberdaya lahan dan aksesnya terhadap teknologi, dan (b) membahas peran inovasi pertanian dalam
konteks ketahanan pangan, dan (c) merumuskan kebijakan inovasi pertanian yang diperlukan untuk
550
mengatasi permasalahan ketahanan pangan pada rumah tangga miskin. Melalui hasil bahasan ini diharapkan
akan dapat memberikan masukan berharga bagi pemerintah daerah setempat terkait dengan pengembangan
kebijakan pembangunan masyarakat di pedesaan.
METODE PENGKAJIAN
Pendekatan
Menurut Salim (2004) ketahanan pangan tidak hanya pada tingkat nasional atau regional tetapi juga
pada tingkat rumah tangga dan individu. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga itu menurut Suhardjo
(1996) dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain: (a) Tingkat kerusakan tanaman, ternak, perikanan;
(b) Penurunan produksi pangan; (c) Tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga; (d) Proporsi pengeluaran
pangan terhadap pengeluaran total; (e) Fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah
tangga; (f) Perubahan kehidupan sosial (misalnya migrasi, menjual/menggadaikan harta miliknya,
peminjaman); (g) Keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas) dan (h) Status gizi.
Disamping itu terdapat pakar lain yan mengukur ketahanan pangan dengan menggunakan angka
indeks ketahanan pangan rumah tangga, angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan
wilayah, skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, kondisi keamanan
pangan, keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat dan tingkat cadangan pangan pemerintah
dibanding perkiraan kebutuhan, Bahkan secara sederhana menurut Suryana dkk., (1996), aspek yang dapat
dijadikan indikator ketahanan pangan adalah kemampuan untuk melakukan stok pangan.
Ketahanan pangan erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan
keamanan atau ketahanan nasional (Suryana, 2001; Simatupang dkk., 1999). Bahkan ketahanan pangan dalam
arti keterjangkauan pangan juga berkaitan erat dengan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia
Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup dan bermutu, mustahil akan dihasilkan sumberdaya manusia
yang bermutu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika isu ketahanan pangan ini telah menjadi salah satu
fokus utama dalam kebijakan operasional pembangunan pertanian dalam periode Kabinet Persatuan Nasional
dan Kabinet Gotong Royong (1999-2004), hingga sekarang dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004–2009)
(Salim, 2004).
Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa.
Bahkan di beberapa negara berkembang, krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang
berkuasa (Hardinsyah et al., 1999). Menurut Soekirman (2000) isu ketahanan pangan telah mengemuka sejak
tahun 1970-an, ketika terjadi krisis pangan global. Dalam pemahaman ketahanan pangan ini yan penting
adalah bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat
rumah tangga atau individu (Braun et al., 1992). Dalam hubungan dengan ketersediaan pangan, secara
diagramatik disajikan dalam Gambar 1. Terkait dengan fakta tersebut, bahasan difokuskan pada ketersediaan
pangan di tingkat rumah tangga.
Pemerintah
1. Desa
2. Kabupaten
3. Provinsi
4. Pusat
Masyarakat
Cadangan
Pangan
Prod. Pangan
Dalam Negeri
Pemasukan
Ketersediaan
Pangan
Aman
Merata
Terjangkau
Distribusi
- Sanitasi Pangan
- Bhn Tamb. Pangan
- Rekayasa Genetika
dan Iradiasi
- Kemasan
- Jaminan Mutu
- Pangan Tercemar
Pengendalian
harga
Pemerintah
1. Desa
2. Kabupaten
3. Provinsi
4. Pusat
Masyarakat
Cadangan
Pangan
Prod. Pangan
Dalam Negeri
Pemasukan
Ketersediaan
Pangan
Aman
Merata
Terjangkau
Distribusi
- Sanitasi Pangan
- Bhn Tamb. Pangan
- Rekayasa Genetika
dan Iradiasi
- Kemasan
- Jaminan Mutu
- Pangan Tercemar
Pengendalian
harga
Gambar 1. Bagan Alir Ketersediaan Pangan
Data dan Sumber Data
551
Makalah dikembangkan dari hasil baseline study di NTB tahun 2005 yang difokuskan di dua desa
yakni Desa Kalabeso dan Tarusa Kecamatan Bener Kabupaten Sumbawa. Pengumpulan data/informasi
menggunakan metode survai melibatkan 60 orang yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana.
Data yang dikumpulkan meliputi antara lain karakteristik rumah tangga, kondisi wilayah, askes rumah tangga
terhadap sumberdaya lahan dan aset lainnya serta struktur pengeluaran rumah tangga. Untuk memperkaya
bahasan ditampilkan pula data sekunder yang dikumpulkan dari beberapa instansi terkait yang relevan,
utamanya menyangkut keragaan wilayah, dan kondisi umum penduduk di wilayah pengkajian
Analisis Data
Data yang terkumpul dipilah menurut karakteristiknya. Untuk data kualitatif analisis dilakukan
secara deskriptif kualitatif, sedangkan terhadap data kuantitatif analisis data dilakukan secara deskriptif
kuantitatif dengan memanfaatkan beberapa parameter statistik sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin.
Ketahanan pangan pada rumah tangga miskin, erat hubungannya dengan karakteristik rumah tangga
itu sendiri, yakni rendahnya pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia
(pendidikan formal) di rumah tangga relatif rendah, akses terhadap sumber modal tidak ada, dan akses
terhadap sumber informasi terkendala.
Hasil wawancara dengan responden diketahui hanya sekitar 56,7% saja rumah tangga yang akses
terhadap lahan sawah dengan kisaran antara 0,20 – 0,32 hektar dan rumah tangga yang memiliki ladang ada
sekitar 11,7 persen dengan luas antara 0,25 – 0,80. Disamping luasannya yang relatif sempit, kondisi
tempatnya juga mayoritas (65 %) merupakan lahan miring, serta kurang subur (marjinal).
Aset berharga lain selain tanah yang dimiliki rumah tangga di lokasi pengkajian adalah ternak.
Selain sebagai sumber pendapatan, keberadaan ternak juga menjadi sumber tenaga kerja dalam mengelola
usahatani. Namun demikian seperti halnya terhadap lahan, tidak semua rumah tangga yang memiliki ternak.
Jumlah rumah tangga yan gmemiliki sapi, kerbau dan kuda ada sekitar 28% dengan rataan pemilikan 2,5 ekor
sapi, 2,2 ekor kerbau dan kuda sebanyak 1,4 ekor. Rumah tangga yang memiliki ayam buras tercatat 57%
responden dengan jumlah pemilikan rata-rata sebanyak 16,1 ekor per rumah tangga. Karakteristik rumah
tangga seperti ini besar andilnya terhadap menurunnya derajat ketahanan pangan rumah tangga.
Kondisi rumah tangga dengan penguasaan aset lahan yang terbatas, memaksa seluruh anggota
keluarga untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil identifikasi di lapangan diketahui hampir
setiap rumah tangga yang rata-rata memiliki anggota keluarga antara 4 – 8 jiwa, semuanya menjadi pencari
kerja. Tidak terkecuali bagi anggota keluarga yang masih di bawah usia kerja (< 15 tahun) maupun yang
sudah berusia senja (> 55 tahun).
Dari data Tabel 1 terdapat sekitar 7,75 % anggota keluarga di bawah usia kerja yang bekerja dan
3,87 % penduduk usia lanjut yang masih bekerja. Tetapi disisi lain ada juga anggota rumah tangga yang
tergolong usia produktif (> 15 tahun dan < 55 tahun) tetapi tidak bekerja.
Tabel 1. Struktur Anggota Rumah Tangga Petani Menurut Kelompok Umur Kegiatan, dan Jenis Kelamin,
2005
Kelompok usia Laki-laki Perempuan Jumlah
Jiwa (%) Jiwa (%) Jiwa (%)
1. < 15 tahun:
a. Bekerja b. Tidak bekerja
0,21 1,16
(3,70) (20,42)
0,23 1,27
(4,05) (22,36)
0,44 2,43
(7,75) (42,78)
2. 15 – 55 tahun: a. Bekerja
b. Tidak bekerja
1,08
0,11
(19,01)
(1,94)
0,67
0,38
(11,79)
(6,69)
1,75
0,49
(30,81)
(8,63)
3. > 55 tahun:
a. Bekerja
b. Tidak bekerja
0,10
0,09
(1,74)
(1,58)
0,12
0,26
(2,11)
(4,58)
0,22
0,35
(3,87)
(6,16)
Sumber: Data Primer, 2005.
Indikator kemiskinan yang lainnya di lokasi pengkajian tercermin dari kondisi perumahan
penduduk, yang sebagian besar berlantai tanah dan beratap alang-alang.
552
Jika kita coba analisis ketahanan pangan atas dasar persediaan pangan yang dihasilkan dari lahan
usahataninya yang relatif sempit, diperoleh gambaran sebagai berikut: Tingkat produktivitas padi sawah dan
padi ladang di wilayah NTB tercatat sekitar 47,5 kw dan 24,19 kw per hektar (BPS, 2003). Jika pemilikan
lahan sawah dan ladang kisarannya hanya 0,20 – 0,32 hektar per RT, maka jumlah produksi yang diperoleh
berkisar antara 9,5 kw padi sawah dan 7,7 kw padi ladang, sehingga total 17,2 kw dalam satu musim (4
bulan). Dengan asumsi sebesar 30 % dijual untuk keperluan modal usahatani berikutnya, maka ketersediaan
riel pangan yang ada adalah sebesar 5,6 kw padi/musim/RT atau setara 392 kg beras per musim. Artinya
dalam sebulan hanya tersedia 98 kg beras.
Jumlah persediaan beras itu kemudian diperhitungkan dengan kebutuhan makan sekeluarga yang
beranggotakan 6 orang (ayah, ibu dan 4 orang anak), dengan asumsi setiap orang 15 kg per bulan, maka beras
yang tersedia itu hanya mampu untuk makan keluarga selama satu bulan saja. Pada bulan berikutnya,
diperlukan tambahan (masukan) dari yang lainnya.
Sehubungan dengan kondisi keterbatasan itu, sebagian besar rumah tangga (69,9 %) mengandalkan
pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang tidak dapat diprediksi besarannya, sehingga
mempengaruhi ketersediaan pangan, baik dalam jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak
memiliki cadangan pangan (stok) yang cukup. Di sisi lain, ketersediaan pangan di level regional (kabupaten)
distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga kebutuhan pangan bagi rumah
tangga tidak terpenuhi yang akhirnya menurunkan derajat ketahanan pangan dan mendorong terjadinya
pauperism.
Peran Inovasi Pertanian dalam Ketahanan Pangan
Relatif kecilnya penguasaan lahan oleh rumah tangga miskin di satu sisi dan kekurangan modal di
sisi lain, menyebabkan kondisi rumah tangga sulit untuk keluar dari cekaman kemiskinan. Oleh karena itu di
dalam mengatasi permasalahan individu rumah tangga petani, pendekatan yang relevan adalah secara
kelompok. Dengan demikian yang dimaksud unit usahatani tidak lagi dalam satuan individu tetapi menjadi
suatu kawasan atau hamparan, tanpa menghilangkan claim individu. Artinya peran individu tetap akan
muncul dalam mengimplementasikan inovasi pertanian, meskipun pendekatan pembinaan dilakukan secara
hamparan.
Melalui pendekatan hamparan usahatani, dapat dilakukan introduksi inovasi atau renovasi teknologi.
Sedangkan untuk memperlancar adopsi inovasi teknologi itu dapat dilakukan inisiasi kelembagaan
pendukungnya, mulai kelembagaan input, output, jasa keuangan pedesaan dan kelembagaan lainnya yang
relevan.
Inovasi teknologi yang diperlukan meliputi semua teknologi mulai pra panen hingga pasca panen,
antara lain penggunaan benih tanaman yang unggul, pengolahan tanah, pengendalian hama penyakit, dan
pemanfaatan pupuk anorganik secara lengkap dan berimbang serta memanfaatkan pupuk organik.
Guna mendukung adopsi inovasi teknologi tersebut, di dalam inisiasi kelembagaan yang diutamakan
adalah untuk mendukung penyediaan modal usahatani. Oleh karena itu prioritasnya ditujukan untuk
menginisiasi terbentuknya kelembagaan keuangan mikro yang menyediakan skim kredit lunak tanpa agunan
yang mengakomodasi karakteristik rumah tangga miskin. Dalam hal pelajaran dari daerah Nanggung di
Bogor dan Sumatera Selatan yang menginisiasi lembaga keuangan mikro yang mereplikasi pola Grameen
Bank, dapat juga dicobakan di wilayah miskin ini.
Untuk mengimplementasikan kelembagaan jasa keuangan pedesaan ini tentu diperlukan “seed
capital” yang memadai serta diikuti dengan pendampingan yang intensif dan terus menerus oleh petugas yang
kompeten.
Kebijakan Inovasi Pertanian
Keberhasilan introduksi inovasi pertanian tidak hanya ditentukan oleh karakteristik rumah tangga
petani, akan tetapi juga ditentukan oleh sifat dari inovasi pertanian itu sendiri. Oleh karena itu dalam
merancang bangun inovasi, hendaknya mempertimbangkan sifat inovasi seperti telah dijelaskan Rogers &
Schoemaker, yaitu : (a) inovasi yang diintroduksikan harus mempunyai keunggulan relatif (comparative
advantage) dibandingkan dengan teknologi yang selama ini digunakan petani atau teknologi petani; (b)
inovasi tersebut memiliki kompatibilitas yang tinggi. Artinya inovasi yang diintroduksikan memiliki derajat
kesesuaian dengan kondisi petani setempat; (c) inovasi mudah diterapkan petani, dalam arti inovsi itu tidak
memiliki tingkat kerumitan yang membuat petani sulit untuk mengikutinya; (d) inovasi yang dintroduksikan
harus dapat diuji coba (triabilitas). Dalam hal ini petani mampu mencoba inovasi itu tanpa menimpulkan
resiko kegagalan; (e) inovasi harus memiliki sifat mudah diamati (observasibilitas). Perubahan yang tampak
553
sebagai dampak menerapkan inovasi itu mudah diamati perkembangannya, sehingga lebih meyakinkan
petani.
Dengan memperhatikan sifat-sifat inovasi tersebut diharapkan petani akan mau dan mampu
mengadopsi inovasi yang diintroduksikan, sehingga terjadi perbaikan kinerja usahataninya yang dicirikan
antar alain dengan terjadinya peningkatan produktivitas usahatani. Pada gilirannya jika produktivitas
usahatani meningkat, tentunya akan memberikan sumbangan positip terhadap ketahanan pangan rumah
tangga.
Untuk mempercepat adopsi inovasi teknologi, faktor aksesibilitas wilayah perlu mendapat perhatian.
Dalam hal ini diperlukan adanya program perbaikan dan peningkatan infrastruktur perhubungan antara desa,
sehingga petani akan memiliki akses yang baik terhadap sumber informasi dan sumber teknologi.
Dari sisi sumberdaya manusia, diperlukan juga peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui
penyelenggaraan kursus tani atau magang dan sekolah lapang, sehingga kemampuan dirinya dapat
berkembang dan mampu mendayagunakan potensi yang ada dalam diri dan lingkungannya. Terakhir
kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi
dari karakteristik penduduk serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Ketahanan pangan pada rumah tangga miskin, erat hubungannya dengan karakteristik rumah tangga itu
sendiri, yakni rendahnya pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia
(pendidikan formal) di rumah tangga relatif rendah, akses terhadap sumber modal tidak ada, dan akses
terhadap sumber informasi terkendala
2. Sebagian besar rumah tangga (69,9 %) hanya mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar
tani) yang tidak dapat diprediksi besarannya, sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan, baik dalam
jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak memiliki cadangan pangan (stok) yang
cukup
3. Di sisi lain, ketersediaan pangan di level regional (kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan
harganya tidak terjangkau sehingga kebutuhan pangan bagi rumah tangga tidak terpenuhi yang akhirnya
menurunkan derajat ketahana pangan dan mendorong terjadinya pauperisma
4. Kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi dari karakteristik penduduk serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual
DAFTAR PUSTAKA
Braun, V.J., H. Bouis, S. Kumar, and L.P. Lorch. 1992. Improving Food Security of the Poor: Concept,
Policy, and Programme. International Food Policy Research Institute,. Washington, D.C.
Hardinsyah, Hartoyo, D. Briawan, C.M. Daviriani dan B. Setiawan. 1999. Membangun Sistem Ketahanan
Pangan dan Gizi Yang Tangguh dalam Thaha, R. et al. (eds) Pembangunan Gizi dan Pangan dalam
Perspektif Kemandirian Lokal PERGIZI PANGAN Indonesia dan Center for Regional Resource
Development and Cummunity Empowerment, Bogor
Pakpahan, A., H.P. Saliem, S.H. Suhartini dan N. Syafa‟at. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan
Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Saliem, H.P., 2004. Indikator Penentu, Karakteristik, Dan Kelembagaan Jaringan Deteksi DiniTentang
Kerawanan Pangan. Icaserd Working Paper No. 46. No. Dok.058.46.04.04. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161.Simatupang, P. 1999.
Toward Sustainable Food Security : The Need for A New Paradigm.Paper Presented on
International Seminar on Agricultural Sector During the Turbulence of Economic Crisis : Lessons
and Future Direction. CASER.
Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Laporan Lokakarya
Ketahanan Pangan Rumah tangga. Departemen Pertanian bekerjasama dengan UNICEF.
Yogyakarta
554
Suryana, A ., IW Rusastra dan SH Suhartini. 1996. Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Dalam Rangka
Ketahanan Pangan Rumah tangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan
Rumah tangga, Yogyakarta, 26 – 30 Mei 1996
Suryana, A. 2001.Tantangan dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi.
Departemen Pertanian. Jakarta 29 Maret. 2001
Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security : The Need for A New Paradigm. Paper Presented
on International Seminar on Agricultural Sector During the Turbulence of Economic Crisis :
Lessons and Future Direction. CASER.
Soekirman. 2000 . Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. Makalah disampaikan
pada Seminar Pra WKNPG VI di Bulog. Jakarta 26 – 27 Juni UU. No. 7/1996 Tentang Pangan
555
PERBAIKAN TEKNOLOGI INDIGENOUS UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN DI LAHAN
MARGINAL
Herman Supriadi1)
dan Arif Suharman2)
1) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Bar
ABSTRAK
Teknologi indigenous mempunyai peranan besar dalam pengembangan pertanian di lahan marginal. Pengenalan teknologi baru banyak mengundang kritik dari masyarakat, sedang teknologi asli petani (indigenous technology) sering
ditampilkan secara optimis sebagai alternatif yang jelas. Kekuatan dan kelemahan dari kedua macam teknologi tersebut
perlu diperhatikan secara serius untuk dapat memformulasikan suatu teknologi yang diterima petani. Beberapa contoh
penggunaan teknologi introduksi dan teknologi asli di lahan marginal akan didiskusikan dalam makalah ini. Berdasarkan situasi tersebut maka perlu interaksi yang lebih efektif dan kreatif antara teknologi introduksi dan teknologi asli untuk
mencari petunjuk dan ide yang lebih maju. Tulisan ini juga menekankan pentingnya hubungan kerjasama yang lebih erat
antara ilmuwan teknis dan sosial dengan masyarakat yang mempunyai inisiatif lokal untuk merevitalisasi pertanian dan
sistem penelelolaan sumber daya.
Kata kunci: pertanian, teknologi ”indigenous ”, lahan marginal
PENDAHULUAN
Suksesnya pembangunan pertanian sangat bergantung bagaimana ilmu dan teknologi maju dapat
diadopsi oleh masyarakat petani. Indonesia sebagai negara sedang berkembang telah banyak menyerap
teknologi dari negara-negara maju, sebagian memperlihatkan hasil yang baik tetapi sebagain lainnya kurang
sesuai dengan kondisi yang ada (Titilola, 1990), mengingatkan bahwa transfer teknologi dari negara maju ke
negara sedang berkembang bisa menghambat pengembangan teknologi lokal dan menciptakan
ketergantungan. Dalam hal ini program pengembangan inovasi teknologi harus betul-betul sesuai dengan
kendala spesifik seperti kondisi sosial dan lingkungan. Aplikasi teknologi yang tidak memperhatikan kondisi
sosial dan hanya memperhatikan faktor ekologi malah merusak lingkungan (De Walt, 1994).
Teknologi introduksi hasil penelitian telah banyak disosialisasikan dan diuji kembangkan melalui
program-program pembangunan pertanian di Indonesia seperti pengembangan Tabela (Tanam Benih
Langsung) padi, Crop Animal Systems (CAS), Integrated Swamps Development Project (ISDP),
Pengembangan Lahan Gambut sejuta hektar (PLG), Sistem Usahatani Pasang Surut (SUTPA), Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P3MI) dan lainnya. Semua program mengintroduksikan
teknologi untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani. Teknologi yang diintroduksikan sudah melalui
pengujian secara laboratorium, kebun percobaan atau di lahan petani (on farm research) dan dihitung
kelayakan ekonominya sebelum dikembangkan ke masyarakat luas (FAO, 1994). Akan tetapi fakta
menunjukkan bahwa banyak teknologi introduksi yang belum diadopsi petani secara berkelanjutan (De Walt,
1994).
Sebaliknya di masyarakat petani sendiri sebetulnya sudah ada teknologi asli atau indigenous
teknologi (IT) sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya setempat
(Warren, 1992, dan Adnyana dkk. 2000). Pentingnya teknologi indigenous dikekmukakan oleh Titilola
(1990) bahwa hanya satu hal yang bisa membantu upaya peningkatan pendapatan petani yaitu dengan
pemahaman terhadap sistem pengetahuan lokal dan struktur kelembagaannya yang ada. Teknologi
indigenous sudah berdasarkan pengalaman dan percobaan yang berulang-ulang sesuai kemampuan
masyarakat. Masyarakat dengan mudah menerapkan teknologi asli karena input relatif rendah, resiko kecil
dan cukup ramah lingkungan, sedfangkan teknologi introduksi umumnya menggunakan input tinggi, resiko
besar dan sering tidak ramah lingkungan (De Walt, 1994).
Terdapat semacam kesenjangan antara kedua sumber teknologi tersebut, antara kemampuan petani
yang terbatas dan kebutuhan input tinggi dari teknologi introduksi. Hal inilah yang menghambat proses
adopsi teknologi hasil penelitian. Maksud penulisan makalah dalam hal ini adalah memantapkan suatu
kerangka kerja untuk lebih efektif dan kreatif interaksi antara teknologi indigenous dan teknologi hasil
penelitian, kekuatan dan kelemahan dari kedua sumber teknologi tersebut akan dibahas dengan beberapa
contoh. Diskusi juga akan mengarah kepada pentingnya kerjasma yang erat antara ilmuwan (teknis dan sosial
ekonomi) dengan petani untuk mengembangkan sistem pengelolaan pertanian dan sumberdaya alamnya.
556
KARAKTERISTIK TEKNOLOGI MENURUT SUMBERNYA
Teknologi introduksi maupun indigenous masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dilihat
dai pandangan fenomena umum, penggunaan sumberdaya dan keluarannya (Tabel 1). Fenomena umum
menyatakan bahwa teknologi introduksi bersifat khusus dan parsial, didapatkan berdasarkan hasil percobaan
dan bersifat tetap walaupun ditransfer. Teknologi indigenous bersifat umum dan menyeluruh (holistik)
berdasarkan observasi masyarakat dan bisa berubah-ubah tapi menetap (tidak berpindah).
Sumber daya yang digunakan pada teknologi introduksi tergantung sumber daya luar, input relatif
tinggi, pemanfaatan lahan intensif, adaptasi pada kondisi khusus, hemat tenaga kerja (efisien) dan sering
menghadapi resiko pasar yang merugikan. Sebaliknya pada teknologi indigenous umumnya sumber daya
cukup dari lokal, input yang digunakan relatif rendah pemanfaatan lahan secara ektensif, memiliki adaptasi
yang luas, membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dan resiko lingkungan kelihatan lebih dominan.
Pada teknologi introduksi penggunaan input energi (seperti bahan bakar dan listrik) cukup tinggi
sehingga dalam hal ini produktivitasnya rendah.
Tabel 1. Kekuatan dan Kelemahan Teknologi Menurut Sumbernya
Teknologi Introduksi Teknologi “Indigenous”
Fenomena Umum – Khusus dan parsial – Umum dan holistik
– Berdasarkan hasil percobaan – Berdasarkan observasi
– Bersifat tetap tapi bisa ditransfer – Bisa berubah-ubah tapi menetap
Tergantung sumber daya luar
– Input tinggi – Sumber daya lokal
– Lahan intensif – Input rendah
– Adaptasi khusus – Lahan ektensif
– Hemat tenaga kerja – Adaptasi luas
– Menghadapi resiko pasar – Tenaga kerja lebih banyak
– Resiko lingkungan dominan
Keluaran – Produktivitas rendah terhadap input energi – Produktivitas rendah terhadap tenaga kerja
– Terpisah dengan budaya – Menyatu dengan budaya
– Tujuan akhir keuntungan – Tujuan akhir mencukupi pangan
– Potensi degradasi tinggi – Potensi degradasi rendah
– Sering tidak berkelanjutan – Berkelanjutan dalam batas tertentu
Teknologi introduksi terpisah dengan budaya sedang pada indigenous sudah menyatu dengan
budaya setempat. Tujuan akhir penggunaan teknologi introduksi adalah untuk mendaptkan keuntungan
semaksimal mungkin, tetapi pada indigenous adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga (subsisten).
Potensi untuk terjadinya degradasi cukup tinggi pada teknologi introduksi sesuai dengan perkembangannya,
tetapi pada indigenous potensi degradasi cukup rendah. Teknologi introduksi sering menghasilkan sesuatu
yang tidak berkelanjutan karena prosesnya dari perencanaan sampai pelaksanaan kurang partisipatif (FAO,
1994 dan Abinowo, 2000).
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI HASIL PENELITIAN
Teknologi introduksi yang sudah merupakan hasil penelitian juga tidak lepas dari kelemahan-
kelemahan disamping kelebihannya apabila sudah diuji kembangkan dilahan petani. Kelemahan utama
teknologi introduksi adalah belum atau kurang teruji kelayakan sosialnya. Kebanyakan teknologi hasil
penelitian baru teruji secara teknis dan ekonomis pada skala terbatas (kebun percobaan dan laboratorium).
Kalaupun dilakukan dilahan petani tetapi masih sistem pengelolaan seperti kebun percobaan atau belum
mencerminkan kondisi petani sepenuhnya. Dalam bahasan ini beberapa program pengembangan pertanian
yang menggunakan teknologi introduksi bisa diambil sebagai contoh kasus seperti : 1) Program
Pengembangan Tabela dan 2) Pengembangan terpadu lahan Pasang Surut.
Program Nasional Pengembangan Tabela
Sistem tanam benih langsung (tabela) untuk padi merupakan hasil paduan antara sistem tanam sebar
langsung (teknologi asli nenek moyang) dengan komponen teknologi budidaya padi secara intensif.
557
Pengembangan tabela pertama kali dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
(Puslitbangtan) Bogor bekerjasama dengan kelompok tani di Kecamatan Binong, Subang Jawa Barat tahun
1993. Keberhasilan sistem tabela dalam peningkatan produktivitas selama 3 musim tanam berlanjut dengan
adanya program pengembangan tabela secara nasional tahun 1995 di hampir semua propinsi melalui Balai-
Balai Pengkajian Teknologi Tabela juga dicoba kembangkan dilahan margainal sawah tadah hujan di
Sukabumi Selatan, lahan gambut di Kalimantan Tengah dan pasang surut di Sumatera Selatan. Hasil
evaluasi menunjukkan bahwa sistem tabela bisa dikatakan layak secara teknis dan ekonomis. Sistem ini
sangat menghemat tenaga dan hasilnya pun meningkat dengan polulasi tinggi, sehingga pendapatan petani
meningkat antara lain : Fakta menunjukkan bahwa paling lama 3 musim tanam. Sistem ini bertahan
selanjutnya tidak digunakan lagi oleh petani dihampir semua propinsi. Hanya di propinsi dan ekosistem
tertentu tabela masih berkembang seperti di Pasir Pangarayan Kabupaten Rokan Hulu, beberapa wilayah di
lahan pasang surut Sumatera Selatan dan kelompok kecil di Bali. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem
tabela secara sosial masih banyak tantangannya, seperti halnya di Subang, pemilik lahan menerima baik
sistem tabela tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena yang menentukan sistem tanam padi adalah kelompok-
kelompok borongan buruh tanam. Sistem tabela yang hemat tenaga (8 HOK/Ha untuk tanam) tentu saja
mendapat tantangan dari kelompok-kelompok buruh tanam yang tetap menghendaki sistem tanam pindah
yang padat kerja (40 HOK/Ha). Selain itu sistem tabela yang menghendaki tanam serempak memerlukan
periode pengolahan lahan yang pendek, dan ini merugikan bagi penyewa traktor setempat (Supriadi, H. dan
A.H.Malian, 1995).
Berbeda kondisinya dengan pengembangan tabela di Riau yang langsung diadopsi oleh petani di
Pasir Pangarayan. Ternyata sistem ini sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja dan modal yang terbatas, serta
tidak ada pengaruh sistem borongan tanam seperti di Subang. Integrasi tanaman-ternak sudah berkembang
diwilayah ini sehingga pengolahan tanah bisa dengan bajak sapi.
Pengembangan Terpadu Lahan Pasang Surut
Program pengembangan lahan pasang surut yang dimulai sejak tahun 1985 sampai tahun 2000
dibiayai oleh ISDP (Integrated Swamps Development Project). Lokasi pengembangan terdapat di 4 propinsi
yaitu Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan Kalimantan Barat. Program terpadu ini melibatkan berbagai institusi
seperti Badan Litbang Pertanian, Ditjen Lingkup Deptan, Departemen Transmigrasi, Departemen Pekerjaan
Umum dan Departemen Dalam Negeri. Teknologi usahatani yang diintroduksikan antara lain sistem raenasi,
reklamasi lahan, pola tanam dan mekanisasi pertanian. Teknologi tersebut sudah melalui pengujian (layak
teknis dan ekonomis) dan dalam proses pengembangan petani didampingi terus (Damardjati dkk, 2000).
Kenyataan adopsi teknologi umumnya hanya sampai batas berakhirnya proyek, sehingga setelah proyek
berakhir teknologi tidak sepenuhnya diadopsi bahkan banyak yang kembali pada sistem tradisional.
Terdapat beberapa kendala yang belum dapat dikuasai petani, sementara antar instansi terkait juga
belum baik koordinasinya terutama dalam operasional. Teknologi introduksi membutuhkan biaya tinggi
sementaa pasar tidak menjanjikan dan infrastruktur tidak memadai. Sebagai aconatoh sistem drainse ”one
way flow system” (sistem aliran satu arah) belum dapat dikelola sendiri oleh petani karena berbagai
keterbatasan. Demikian juga teknologi reklamasi lahan yang dilakukan petani hanya pada waktu ada
intervensi proyek, dengan alasan biaya tinggi untuk pengadaan amelioran. Alat dan mesin pertanian juga
sebagian besar tidak berlanjut karena kesulitan biaya perawatan disamping kurang sesuai kebutuhan.
Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi introduksi perlu mempertimbangkan
kemampuan dan kebutuhan petani kalaupun harus menggunakan input biaya tinggi pemerintah harus
memberikan subsidi sampai petani dapat betul-betul mandiri.
BEBERAPA KASUS PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INDIGENOUS
Dalam praktek usahatani untuk komoditi apapun secara spesifik lokasi terdapat penerapan teknologi
indigenous yang sudah memberdaya di masyarakat. Dalam hal ini sebgai bahan diskusi banyak contoh harus
dapat dikemukakan menyangkut sistem pengolahan tanah, tanam, pembibitan,pengendalian OPT (Organisma
Pengganggu Tanaman), panen dan pasca panen.
Pengolahan Tanah Minimum
Contoh pengolahan tanah yang berasal dari teknologi idigenous dan sudah membudaya di
masyarakat adalah budidaya dengan minimum dan tanpa pengolahan tanah. Tehnik ini biasanya dilakukan di
lahan yang tekstur tanahnya gembur berpasir atau berlereng tajam. Petani sudah menyadari bahwa pada
558
kondisi demikian tidak perlu dan tidak banyak gunanya kalau lahan diolah sempurna. Pengolahan tanah yang
berlebihan bahkan akan meningkatkan erosivitas air hujan tinggi..
Pengolahan tanah secara minimum yang dikenal dengan Sistem Walik Jerami (SWJ) banyak
dijumpai di Kabupaten Subang dan Indramayu, Jawa Barat. Jerami dari padi musim hujan, setelah panen
dihamparkan merata di atas petakan sawah pada kondisi macak-macak. Pengolahan tanah dilakukan dengan
cara menggiring beberapa ekor sapi peliharaan terjun ke sawah menginjak-injak jerami supaya terbenam
dalam lumpur sawah. Selanjutnya jerami dibiarkan membusuk menjadi humus selama lebih kurang 1 bulan,
baru setelah itu ditanami bibit padi untuk musim kemarau. Dengan cara ini memperpendek waktu antara
panen padi pertama ke tanam padi kedua dan juga efisiensi tenaga dan biaya.
Teknologi pengolahan tanah secara minimun dan pembenaman jerami atau gulma yang tumbuh juga
diterapkan oleh petani di lahan rawa pasang surut seperti di Jambi, Sumatera Selatan, Riau dan Kalimantan
Tengah. Khususnya pada tipologi lahan potensial. Proses penambahan bahan organik di lahan yang asam
lebih lambat dari lahan dengan kemasaman rendah seperti di lahan potensial.
Sistem tebas bakar untuk persiapan tanam tanpa olah tanah banyak dipraktekkan oleh petani ladang
berpindah di wilayah Jambi. Hal ini memungkinkan karena pemilikan lahan per petani lebih dari satu persil
dan tenaga kerja taerbatas. Penanaman pada persil tertentu dilakukan 1-3 tahun sekali. Rotasi dilakukan pada
persil-persil yang dimiliki. Dengan cara ini petani tidak mengeluarkan biaya untuk persiapan lahan dan
setelah lahan diberakan sekian lama diharapkan subur kembali sehingga petani tidak lagi memberikan pupuk.
Kelemahan dari sistem ini tentu saja kondisi lahan semakin berkurang kesuburannya dan dampak
pembakaran sangat merusak lingkungan.
Persemaian Padi di Lahan Lebak
Karakteristik lahan lebak adalah seringnya lahan tergenang air sehingga tanam padi menunggu air
surut. Sementara itu persemaian dilakukan diluar lahan yang masih tergenang, bisa dipekarangan, dipinggi
jalan dan bahkan pada persemaian terapung diatas air. Cara-cara persemaian tersebut sudah biasa dilakukan
petani secara turun temurun. Khusus persemaian terapung biasanya petani menggunakan batang pisang untuk
alas persemaian dan diikat pada batang pohon agar tidak hanyut. Tehnik persemaian yang dilakukan petani
sudah sangat sesuai dengan kondisi yang ada, hanya untuk meningkatkan produktivitas diperlukan perbaikan
varietas dan sentuhan teknologi budidaya.
Sistem Tanam Dilahan Kering dan Basah
Beberapa sistem tanam telah menjadi budaya masyarakat diwilayah tertentu, cara tanam dengan
tugal dan cara tanam sebar langsung. Cara tanam dengan tugal sampai sekarang masih dilakukan oleh petani
lahan kering, sedang cara tanam sebar langsung bisa dilakukan dilahan kering maupun basah.
Sesuai dengan aslinya tuga dibuat dari sebatang kayu bulat yang diruncingkan dibagian bawah
untuk membuat lubang tempat benih ditanam. Cara ini memang praktis tapi memakan waktu lama. Hasil
penelitian telah merancang alat tanam sistem roda yang sekaligus bisa membuat lubang, memasukkan benih
dan menutup, tetapi sejauh ini petani masih lebih suka menggunakan tugal kayu yang lebih ringan.
Cara tanam sebar langsung dilahan kering sampai sekarang masih banyak dilakukan petani diluar
Jawa dikombinasikan dengan sistem pembukaan lahan tebas bakar. Cara ini sangat efisien tetapi tanpa
disadari merusak kelestarian lahan dan produktivitas relatif rendah. Pada lahan sawah, teknik sebar langsung
juga dilakukan petani pada awalnya kemudian dengan perkembangan teknologi beralih ke sistem tandur jajar
dan menggunakan persemaian. Pada wilayah tertentu saja teknik sebar langsung masih dilakukan petani
seperti di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Tanpa dikombinasikan dengan teknologi baru seperti varietas
unggul, pemupukan berimbang, pengendalian OPT dan pengaturan irigasi produktivitas padi dengan
teknologi indigenous masih rendah.
Pola Tanam Sawit Dupa
Sistem sawit dupa yang mempunyai arti satu kali miwit (tanam bibit) dua kali panen merupakan
teknologi asli dari masyarakat di lahan gambut Kalimantan Tengah. Dalam sistem ini areal tanam dibagi
menjadi dua bagian yaitu 1/3 bagian ditanami varietas padi umur panjang (+ 6 bulan) dan 2/3 bagian
ditengah ditanami varietaas padi umur pendek (+ 3 ½ bulan) dalam waktu yang bersamaan. Setelah padi
genjah dipanen, anakan dari padi umur panjang dipisah-pisah dan ditanamkan pada bekas padi yang dipanen,
sehingga seluruh areal tertanami padi umur panjang.
Pertimbangan menggunakan dua jenis padi dan dua kali panen dimaksudkan untuk mengurangi
resiko kegagalan akibat pasang surutnya air yang tidak menentu dan serangan hama/penyakit. Produktivitas
559
padi dengan sistem ini relatif masih rendah karena menggunakan varietas lokal dan tehnik budidaya yang
kurang memadai. Akan tetapi diakui bahwa sistem sawit dupa berhasi.. meningkatkan indek pertanaman
sehingga dicanangkan oleh pemerintah daerah sebagai program pengembangan. Dalam hal ini peran
teknologi introduksi diperlukan terutama dalam perbaikan varietas, pemupukan berimbang, sistem drainasi
dan pengendalian terpadu OPT agar sistem yang sudah membudaya ini lebih produktif.
Pengendalian OPT untuk Padi Sawah.
Petani selalu menghadapi masalah OPT, dan petani juga selalu berupaya sesuai dengan kemampuan
untuk menanggulangainya. Berdasarkan pengamatan dan coba-coba petani sering mendapatkan cara yang
efisien dan efektif mengendalikan OPT. Sebagai contoh petani di Lampung berhasil mengatasi hama tikus
dengan menggunakan karbit. Butiran karbit dimasukkan kedalam lubang aktif tikus lalu disiram air
secukupnya dan segera lubang ditutup dengan lumpur. Gas karbit karena siraman air akan memenuhi lorong-
lorong lubang dan mematikan tikus-tikus yang terjebak didalamnya. Petani ditempat lain berhasil
mengurangi populasi tikus dengan perangkap bubu yang dipasang pada jalan masuknya tikus. Di Kalimantan
Tengah petani menanam jenis yang disukai tikus sekeliling tanaman utama untuk melindungi tanaman yang
diharapkan bisa dipanen. Hasil penelitian telah banyak memodifikasikan teknik yang sudah dimiliki petani
untuk lebih meningkatkan efektivitas pengendalian.
Petani juga ada yang berhasil memadukan pengetahuan indigenous dengan teknologi introduksi
seperti pada penanggulangan walang sangit menggunakan umpan. Umpan bisa dibuat dari belahan buah
nangka mateng yang ditaruh dibeberapa tempat. Biasanya walang sangit akan mengerumuni buah nangka
tersebut, dengan demikian mempermudah petani dalam pengendaliannya. Bisa dengan jaring ataupun
disemprot insektisida. Kepiting bakar juga sering dipakai sebagai umpan yang menarik serangga hama.
Panen dan Pasca Panen Padi dan Palawija
Petani tradisional biasa memakai ani-ani untuk panen padi yang kebetulan varietas lokal
tanamannya tinggi. Penggunaan ani-ani memerlukan waktu lama tetapi menjamin sebagian besar jerami tidak
terangkut keluar lahan dan kembali ke sawah. Pemakaian ani-ani memudahkan petani menyeleksi gabah
untuk pengadaan benih yang berkualitas. Disamping itu hasil panen dengan ani-ani bisa lebih mudah
diangkut, dijemur atau disimpan dalam lumbung. Hasil panen dengan teknologi sabit gerigi menurut hasil
penelitian jauh lebih cepat, tetapi susah penggunaannya untuk varietas yang tanamannya tinggi, dan setelah
disabit harus segera dirontokkan karena kalau terlalu lama tertimbun bisa terinfeksi jamur.
Cara petani dalam memanen jagung dilakukan dengan terlebih dahulu memangkas semua daun
sehingga tinggal tongkol dan batang yang masih tegak. Ini dilakukan agar tongkol jagung kena sinar matahari
dan cepat kering. Setelah kering tongkol baru dipanen dan dirontokkan.
KARAKTERISTIK PADUAN TEKNOLOGI INTRODUKSI DAN “INDIGENOUS”
Berdasarkan kekuatan dan kemahan dari masing-masing teknologi introduksi dan indigenous (Tabel
1) dapat dirumuskan suatu kerangka kerja yang produktif dengan mengintegrasikan unsur-unsur positif dari
kedua sumber teknologi tersebut (Tabel 2).
Fenomena umum menunjukkan bahwa teknologi yang efektif dan mudah diterima oleh masyarakat
hendaknya bersifat holistik dan umum, merupakan hasil observasi maupun percobaan dan sifatnya dinamis
atau sewaktku-waktu dapat berubah sesuai kondisi yang ada. Sifat holistik dan umum merupakan sifat dari
teknologi indigenous yang mudah diterima oleh masyarakat umum, tidak khusus atau parsial seperti
teknologi hasil penelitian teknologi produktif tidak hanya berdasarkan percobaan tetapi juga observasi yang
bisa dilakukan oleh petani juga. Berdasarkan kemampuan dan kebutuhan teknologi produktif bisa berubah
atau dinamis.
Berdasarkan penggunaan sumberdaya teknologi produktif hendaknya mengutamakan sumberdaya
lokal, input rendah, kebutuhan tenaga kerja tidak terlalu berat, lahan intensif, resiko iklim dan pasar rendah
serta adaptasi luas. Keterbatasn modal ditingkat petani menghendaki teknologi yang murah, sehingga perlu
mengutamakan apa yang tersedia diwilayahnya (sumberdaya lokal) dan menghindari adanya komponen
impor yang mahal. Walaupun harapannnya kepada produksi yang tinggi, tetapi untuk petani kecil harga input
hendaknya rendah dan t erjangkau dan teknologi sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja. Lahan makin perlu
intensif dengan teknologi yang produktif, tidak menjadikan lahan yang terbengkalai atau ekstensif. Hal yang
penting juga adalah lahan teknologi produkti hendaknya mempunyai toleransi terhadap iklim (resiko karena
560
iklim kecil) dan juga pengaruh pasar. Teknologi produktif harus mempunyai adaptasi yang luas sehingga
mudah dikembangkan ke wilayah lain.
Teknologi produktif hendaknya mengarah kepada keluaran yang meningkatkan produktivitas
terhadap tenaga kerja dan input sesuai dengan budaya setempat, menunjang ketahanan pangan dan
meningkatkan kesejahteraan secara tidak langsung serta dapat berkelanjutan.
Tabel 2. Panduan yang Efektif Antara Teknologi Introduksi dan Indigenous.
Fenomena Umum Penggunaan Sumber Daya Keluaran
- Bersifat holistik dan umum
- Gabungan observasi dan
percobaan
- Dapat berubah dan dinamis
- Mengutamakan sumber daya
lokal
- Input rendah (tambahan hanya
untuk hal mendesak) - Lahan intensif
- Membutuhkan tenaga tetapi
tidak berat
- Resiko iklim dan pasar rendah
- Adaptasi luas
- Produktivitas terhadap tenaga
kerja dan energi tinggi
- Sesuai dengan budaya
- Ketahanan pangan dan
kesejahteraan - Keberlanjutan
KESIMPULAN
1. Teknologi introduksi maupun indigenous sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan untuk
pengembangan pertanian.
2. Teknologi introduksi kurang memperhatikan aspek sosial-budaya dan partisipatif.
3. Teknologi indigenous sudah menyatu dengan budaya dan partisipatif tetapi kurang memperhatikan segi
keuntungan.
4. Paduan antara teknologi introduksi dan indigenous akan menghasilkan teknoogi yang mudah diadopsi
petani.
5. Integrasi antara ilmuwan sosial dan teknis akan meningkatkan kreativitas bersama untuk efektivitas
pengembangan inovasi pertanian.
SARAN
1. Kekuatan dan kelemahan yang ada pada kedua jenis teknologi (introduksi dan indigenous) membuka
peluang untuk memadukan dan mendapatkan teknologi yang lebih baik dan siap dikembangkan.
2. Pendekatan partisipatif dan perhatian yang lebih pada aspek sosial dan budaya akan meningkatkan
efektivitas adopsi.
3. Teknologi “indigenous” perlu terus dihidupkan dan dikembangkan bersama masyarakat untuk lebih
produktif dan menguntungkan.
4. Paduan teknologi introduksi dan indigenous bisa dilakukan dengan mempertahankan kekuatan yang ada
dan menghindari kelemahan.
5. Ilmuwan (sosial dan teknis) harus bekerjasama dalam setiap program pengembangan inovasi pertanian
dalam batas tujuan yang sama walaupun pandangan berbeda.
561
DAFTAR PUSTAKA
Abinowo. U. 2000. Model Pertanian Masa Depan. Solusi Alternatif menghadapi Perdagangan Bebas. Sentra
Pengembangan Agribisnis Terpadu. SPAT-Pasuruan.
Adnyana,M.D., dan E. Basuno, 2000. Improvisasi Indigenous Technology Dalam Pengembangan Pertanian
Lahan Rawa Berkelanjutan Dalam : Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.
Damardjati, D.S., I.G. Ismail dan T. Alihamsyah, 2000. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Lahan
Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Dalam : Prosiding
Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbang Tanaman
Pangan Bogor.
De Walt,B.R. 1994. Using indigenous knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management.
In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American Studies
Dixon.J.M., M. Hall, J.B. Hardaker an vs Wyas : 1994. Farm and Community Information use for
Agricultural Programes and Policies. FAO. Rome.
FAO. 1994. Farming Systems Development. A Participatory Approach to Helping Small-scale Farmers. Food
and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Malian, A.H., A. Supriatna dan H. Supriadi. 1994. Kelayakan Ekonomi Budidaya Padu Sebar Langsung di
Pantai Utara Jawa Barat. Dalam : Sistem Usahatani Berbasis Tanaman Pangan. Risalah Seminar
Hasil Penelitian Puslitbang Tanaman Pangan.
Supriadi, H, dan A.H. Malian, 1995. Kelayakan Agronomis Teknologi Budidaya Padi Sebar Langsung di
Lahan Sawah Irigasi. Dalam : Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian
Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.
Supriadi, H. dan S. Purba. 2000. Ketersediaan dan Kendala Adopsi Teknologi Usahatani Lahan Rawa
Pasang Surut. Dalam : Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di
Lahan Rawa Puslitbang Tanaman Pangan.
Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into Agricultural
Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in Technology and Social Change,
No.17. Iowa State University Research Foundation.
Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In : Indigenous
knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD.
562
PERAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN DALAM PEMANTAPAN
KETAHANAN PANGAN NASIONAL
Handewi P.S. Rachman
Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk membahas peran inovasi teknologi pertanian dalam pemantapan ketahanan pangan
nasional. Pembahasan dilakukan melalui kajian pustaka dilengkapi dengan data dan informasi yang bersumber dari berbagai hasil penelitian. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup,
tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh rumahtangga, aman dikonsumsi dengan harga terjangkau.
Ketahanan pangan mencakup komponen (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi pangan, (3) penerimaan
oleh masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5) keamanan pangan. Inovasi teknologi pertanian berperan dalam meningkatkan produktivitas pangan, diversifikasi jenis dan kualitas pangan, penciptaan nilai tambah, kesempatan kerja,
dan menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dengan teknologi tepat guna efisiensi produksi dapat
ditingkatkan sehingga meningkatkan daya saing produk pangan di dalam negeri dan di pasar internasional.
Pengembangan teknologi juga mencakup aspek rekayasa kelembagaan, yang mendorong berkembangnya kelembagaan agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan di pedesaan. Pada gilirannya pemasyarakatan inovasi teknologi
pertanian berperan dalam pemantapan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan ketersediaan jenis, jumlah dan
mutu pangan, peningkatan nilai tambah dan pendapatan serta akses dan konsumsi pangan.
Kata kunci: inovasi teknologi pertanian, ketahanan pangan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program utama nasional sejak
satu dasawarsa yang lalu. Hal ini terkait dengan komitmen negara sebagai salah satu penandatangan
kesepakatan dalam MDGs (Millennium Development Goals) dan sejalan Deklarasi Roma dalam World Food
Summit tahun 1996 yang menegaskan bahwa diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang kelaparan dapat
dikurangi separuhnya pada tahun 2015. Terkait dengan masalah itu, isu penanggulangan kemiskinan yang
telah diluncurkan sejak awal 1990 an juga masih menjadi agenda penting dalam pembangunan nasional.
Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan yang ditetapkan dalam kerangka pembangunan
nasional tersebut berimplikasi bahwa pengkajian ketahanan pangan sebagai tolok ukur keberhasilan
pembangunan menjadi penting (Soetrisno, 1995). Ketersediaan pangan di tingkat nasional yang cukup tidak
menjamin adanya ketahanan pangan di tingkat wilayah dan tingkat rumah tangga/individu. Studi Saliem,et al.
(2001) menunjukkan walaupun ketahanan pangan di tingkat regional (propinsi) tergolong tahan pangan
terjamin namun di propinsi yang bersangkutan masih ditemukan rumahtangga yang tergolong rawan pangan
dengan proporsi yang tinggi.
Kajian pustaka yang dilakukan Rusastra et al (2004) menunjukkan adanya peningkatan pendapatan
rumahtangga dengan dilakukannya diversifikasi usahatani yang mengikuti pola tanam introduksi. Berbeda
dengan temuan tersebut, studi yang dilakukan oleh Rachmat dan Hutabarat (1988) di pedesaan lahan sawah
di Kabupaten Nganjuk dan Ngawi, Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan melakukan diversifikasi
usahatani melalui pengaturan pola tanam dan pergiliran tanaman padi dan palawija (dibanding pola tanam
padi, padi, padi) tidak menjamin petani di daerah tersebut dapat meningkatkan pendapatan maupun dalam
penyerapan tenaga kerja. Hal ini karena pengusahaan tanaman padi menghasilkan pendapatan yang lebih
baik dan usahatani palawija membutuhkan tenaga kerja yang lebih sedikit dibanding padi dan
pengusahaannya lebih bertujuan untuk optimasi penggunaan lahan serta tidak diusahakan secara intensif
(tanpa pemupukan dan pemeliharaan seadanya).
Di sisi lain, upaya pemantapan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan tidak terlepas dengan
upaya peningkatan pendapatan rumahtangga. Hal ini disebabkan karena tingkat pendapatan rumahtangga
sebagai proksi dari daya beli merupakan salah satu faktor kunci bagi rumahtangga untuk akses terhadap
pangan yang dibutuhkan. Selain itu tingkat pendapatan juga merupakan salah indikator kunci bagi penetapan
batas garis kemiskinan.
Bagi rumahtangga pertanian, salah satu faktor yang dapat mendorong peningkatan pendapatan
adalah melalui penerapan dan adopsi teknologi pertanian. Melalui adopsi teknologi pertanian mulai dari
563
kegiatan hulu sampai hilir diharapkan mampu meningkatkan produktivitas usahatani, nilai tambah produk
dan pendapatan petani.
Tulisan ini bertujuan untuk membahas peran inovasi teknologi pertanian dalam pemantapan
ketahanan pangan nasional. Setelah memaparkan latar belakang permasalahan, pembahasan diikuti dengan
metoda penelitian, konsep dan peran strategis ketahanan pangan, peran inovasi teknologi pertanian dalam
peningkatan pendapatan dan ketahanan pangan, dan dibagian akhir disampaikan kesimpulan dan implikasi
kebijakan.
METODA PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan Bab I Pasal 1 menyebutkan bahwa ketahanan
pangan adalah: ”terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau”. Sesuai definisi tersebut maka ketersediaan pangan
dalam jumlah yang cukup di tingkat rumahtangga merupakan syarat keharusan untuk tercapainya ketahanan
pangan, namun itu saja belum cukup. Syarat keharusan tersebut perlu diikuti dengan syarat kecukupan,
dalam hal ini adalah pangan tersebut harus bermutu, aman, merata dan terjangkau (Rachman, H.P.S. et al,
2005). Bermutu dan aman terkait dengan aspek keamanan pangan; merata mengandung implikasi perlu
tersedia di setiap tempat/daerah dan waktu; dan terjangkau terkait dengan akses dan daya beli rumahtangga
terhadap pangan yang dibutuhkan.
Pemenuhan ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumahtangga dapat berasal dari produksi
sendiri, pembelian, dan atau transfer atau pemberian dari pihak lain. Bagi rumahtangga pertanian (khususnya
petani tanaman pangan), ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumahtangga dapat berasal dari salah
satu atau kombinasi dari ketiga sumber tersebut. Dalam hal demikian peningkatan produksi usahatani
tanaman pangan melalui penerapan dan adopsi teknologi pertanian di bidang budidaya diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dan produksi pangan serta pada gilirannya dapat meningkatkan ketersediaan dan
konsumsi pangan rumahtangga. Peningkatan ketersediaan pangan dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung. Peningkatan ketersediaan secara langsung apabila pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan
rumahtangga berasal dari hasil produksi sendiri, sementara secara tidak langsung apabila hasil produksi
dijual, pendapatan rumahtangga meningkat dan daya beli serta akses terhadap pangan meningkat.
Ketersediaan pangan melalui penerapan teknologi pertanian disamping dapat meningkatkan jumlah produksi
juga jenis dan ragam komoditas pangan yang dihasilkan.
Dari aspek peningkatan mutu, aman, merata dan terjangkau, terkait dengan berbagai aspek teknologi
penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran produk pangan. Pangan dengan mutu yang baik dan
aman untuk dikonsumsi dapat dihasilkan dari pengusahaan, pengolahan dan penanganan hasil produksi
pangan secara baik. Dalam hal ini penerapan teknologi pengelolaan sumberdaya lahan dan air serta produksi
ramah lingkungan (pemupukan berimbang), penerapan PHT (pengelolaan hama terpadu), dan penggunaan
teknologi pengolahan hasil yang baik diharapkan dapat diperoleh produk pangan dengan mutu yang baik dan
aman untuk dikonsumsi. Adopsi teknologi pertanian ramah lingkungan diharapkan mampu menjaga
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta usahatani secara berkelanjutan.
Pengertian ”merata dan terjangkau” tidak terkait langsung dengan penerapan teknologi pertanian,
namun lebih berkaitan dengan masalah efisiensi dalam pemasaran dan distribusi produk pangan serta
kebijakan yang terkait dengan harga pangan. Dalam hal demikian perakitan teknologi dan rekayasa
kelembagaan pertanian berperan penting mendukung tercapainya syarat kecukupan tercapainya ketahanan
pangan. Namun demikian, secara tidak langsung perbaikan dalam efisiensi pemasaran dan distribusi pangan
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani serta akses terhadap pangan dan pada gilirannya dapat
meningkatkan ketahanan pangan.
Uraian tentang keterkaitan penerapan inovasi teknologi pertanian dan ketahanan pangan tersebut
secara diagramatis dapat dilihat pada Gambar 1.
Metoda Analisis
Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaitkan kerangka teoritis dan fenomena empiris
yang ada berdasar kajian terhadap berbagai hasil penelitian dan kajian. Analisis tersebut diperkaya dengan
pembahasan bersumber dari pengetahuan, pemahaman dan pengalaman penulis dalam melakukan penelitian
yang terkait dengan ketahanan pangan.
564
Data dan Sumbernya
Jenis data yang digunakan dalam analisis adalah data sekunder dan bersumber dari hasil penelitian
yang telah dilakukan. Penelaahan dilakukan melalui kajian pustaka yang relevan.
Gambar 1. Keterkaitan Inovasi Teknologi Pertanian dan Ketahanan Pangan
KONSEP DAN PERAN STRATEGIS KETAHANAN PANGAN
Konsep ketahanan pangan pada tahun 1970an lebih banyak membahas ketersediaan (pasokan)
pangan pada tingkat nasional dan global (Foster, 1992; Maxwell dan Frankenberger, 1992). Pada tahun
1980an, ketika krisis pangan sudah mereda kasus kelaparan ternyata masih cenderung meningkat (Foster,
1992; Soekirman, 2000). Kelaparan yang masih terjadi tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan di
tingkat nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat rumahtangga atau individu (Braun et
al, 1992). Seiring dengan hal itu fokus analisis ketahanan pangan kemudian bergeser dari perhatian terhadap
ketersediaan pangan secara nasional atau global menjadi perhatian kepada kelompok (individu) penduduk
yang mengalami kelaparan (Foster, 1992). Dari fenomena tersebut diperoleh pengetahuan bahwa terdapat
faktor internal yang menghambat akses perolehan pangan di tingkat rumahtangga atau individu.
Ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan menurut Braun et al (1992) merupakan dua
determinan penting dari ketahanan pangan. Namun demikian, ketersediaan pangan saja tidak dapat menjamin
Produksi jenis, jumlah, kualitas
produk pertanian
Akses terhadap pangan
(fisik, ekonomi)
Pendapatan/daya beli
rumahtanggaKetersediaan panganDistribusi dan
konsumsi pangan
Diversifikasi pangan
produksi dan konsumsi
Keamanan
pangan
Ketahanan Pangan
(global, nasional, regional, lokal, rumahtangga)
Inovasi Teknologi Pertanian
Tek. Budidaya
Tek. Pengel. Sb. Daya Lahan & Air
Tek. Rekayasa Alsintan
Tek. Panen dan Pasca Panen
Tek. Pengolahan Hasil
Tek. & Rekayasa Kelembagaan Pertanian
Produksi jenis, jumlah, kualitas
produk pertanian
Akses terhadap pangan
(fisik, ekonomi)
Pendapatan/daya beli
rumahtanggaKetersediaan panganDistribusi dan
konsumsi pangan
Diversifikasi pangan
produksi dan konsumsi
Keamanan
pangan
Ketahanan Pangan
(global, nasional, regional, lokal, rumahtangga)
Inovasi Teknologi Pertanian
Tek. Budidaya
Tek. Pengel. Sb. Daya Lahan & Air
Tek. Rekayasa Alsintan
Tek. Panen dan Pasca Panen
Tek. Pengolahan Hasil
Tek. & Rekayasa Kelembagaan Pertanian
565
akses terhadap pangan. Akses terhadap pangan mencakup dimensi fisik dan ekonomi. Akses fisik terkait
dengan faktor penguasaan produksi pangan di tingkat rumahtangga. Adapun, faktor daya beli pangan adalah
refleksi dari kemampuan akses ekonomi (Maxwell dan Frankenberger, 1992; Braun et al, 1992).
Dalam konteks cakupan atau satuan analisis, Soehardjo (1996) berpendapat bahwa konsep
ketahanan pangan dapat diterapkan pada berbagai tingkatan: global, nasional hingga tingkat rumahtangga
atau individu. Disebutkan pula bahwa situasi ketahanan pangan antar tingkatan tersebut dapat saling dukung.
Sementara itu Hardinsyah et al (1998) berpendapat bahwa karena tidak setiap rumahtangga atau individu
mempunyai akses terhadap proses produksi pangan dengan terbatasnya pemilikan lahan pertanian, untuk
mencapai ketahanan pangan rumahtangga, dibutuhkan dukungan ketersediaan pangan di tingkat lokal dan
nasional. Sementara itu, Simatupang (1999) lebih melihat hubungan antara ketahanan pangan di tingkat
global, nasional, lokal hingga rumahtangga atau individu sebagai suatu sistem hirarkis (hierarchial system).
Di Indonesia, pengertian ketahanan pangan telah dibakukan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun
1996 tentang pangan. Pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah: ”terpenuhinya pangan
bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman,
merata dan terjangkau”. Dalam tataran operasional, Departemen Pertanian (2005) mendefinisikan ketahanan
pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua
daerah, mudah diperoleh rumahtangga, aman dikonsumsi dengan harga terjangkau. Ketahanan pangan
mencakup komponen (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi pangan, (3) penerimaan oleh
masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5) keamanan pangan.
Pentingnya ketahanan pangan ditunjukkan oleh Timmer (1996) dalam Amang dan Sawit (2001)
yang menyimpulkan dari studinya untuk kasus Indonesia, Jepang, dan Inggris bahwa tidak satupun negara
yang dapat mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah
ketahanan pangan. Untuk Indonesia, perekonomian beras terbukti secara signifikan merupakan pendukung
pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960-an.
Ketersediaan pangan tingkat nasional dan regional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat
rumah tangga atau individu. Hal ini karena di samping ketersediaan pangan, ketahanan pangan
rumahtangga/individu sangat ditentukan pula oleh akses mereka untuk mendapat pangan tersebut. Dalam hal
ini tingkat pendapatan dan daya beli merupakan faktor penentu akses rumah tangga terhadap pangan. Selain
itu, di tingkat pengambil kebijakan, kejadian rawan pangan antara lain terkait dengan masalah kebijakan
stabilitas harga pangan dan manajemen atau pengelolaan cadangan/stok pangan.
Hermanto (2002) menunjukkan bahwa adanya gejolak harga pangan (beras) berdampak negatif
terhadap daya beli konsumen dan menghambat rumahtangga untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan.
Di tingkat produsen (petani), gejolak harga dan turunnya harga gabah pada saat panen raya berdampak
menurunkan pendapatan petani yang dapat diartikan pula menurunkan daya beli petani. Dengan demikian
ketidakstabilan harga beras berdampak pula terhadap daya beli dan akses terhadap pangan pada petani
(khususnya yang berstatus net-consumer). Oleh karena itu kebijakan stabilisasi harga (beras) merupakan
salah satu faktor penentu tercapainya ketahanan pangan.
INOVASI TEKNOLOGI DAN KETAHANAN PANGAN
Peran inovasi teknologi pertanian terkait dengan upaya peningkatan produksi dan produktivitas
tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan hasil perikanan sebagai sumber bahan pangan. Secara teoritis,
penerapan inovasi teknologi budidaya seperti penggunaan bibit unggul, pengelolaan sumberdaya lahan yang
baik, pemupukan yang tepat, dsb. akan dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatan usahatani. Hasil
penelitian Puslibangtanak (2005) menunjukkan bahwa penerapan teknologi pemupukan melalui pengayaan
P-alam 1 ton/ha + 2 ton pupuk kandang pada tanah Oxitols dan Ultisols dapat meningkatkan produksi jagung
antara 30 – 90 persen; peningkatan pendapatan usahatani sebesar 90 – 170 persen dengan tingkat R/C rasio
yang lebih tinggi.
Penerapan teknologi penggunaan pupuk organik dengan tidak menggunakan bahan kimia sintesis
tetapi dengan menggunakan pupuk kandang dan hijauan titonia dengan kombinasi masing-masing 20 kg + 30
kg/bedeng dengan ukuran 1 x 8 meter pada tanaman sayuran akan diperoleh berbagai keuntungan. Diantara
berbagai keuntungan tersebut adalah (1) meningkatkan dan menjaga produktivitas pertanian jangka panjang
serta memelihara sumberdaya alam dan lingkungan; (2) meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan
dari pertanian; (3) menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani; (4) menghasilkan sayuran
yang sehat dan bergizi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat; dan (5) meningkatkan pendapatan petani
(Puslitbangtanak, 2005).
566
Sementara itu, Jafsah (2005) menunjukkan bahwa peluang peningkatan indeks pertanaman (IP) dari
kondisi aktual antara 1.21 – 1.92 ke arah IP yang potensial dapat dilakukan yaitu antara 1.70 – 2.67 dapat
meningkatkan produksi padi nasional sebesar 0.93 juta ton, jagung 0.65 juta ton dan kedelai 0.37 juta
ton/tahun. Fakta tersebut merupakan tantangan bagi sektor pertanian untuk dapat direalisasikan. Apabila
peluang tersebut dapat direalisasikan maka ketersedian bahan pangan akan meningkat, produksi dan
pendapatan petani sebagai pelaku usahatani juga akan meningkat. Dalam hal demikian, Badan Litbang
Pertanian, utamanya BPTP dpat berperan dalam melakukan sosialisasi, advokasi, dan diseminasi teknologi
yang dapat diadopsi petani dalam upaya meningkatkan IP, dan pada gilirannya akan meningkatkan produksi
dan pendapatan rumahtangga petani.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan inovasi teknologi pertanian di bidang
usahatani pertanian mampu meningkatkan produksi, ketersediaan pangan dan pendapatan rumahtangga
petani. Peningkatan pendapatan petani secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan daya
beli dan akses terhadap pangan dan pada gilirannya dapat meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga.
Dalam kerangka sistem ketahanan pangan hierarkhis, tercapainya ketahanan pangan ditingkat rumahtangga
merupakan syarat keharusan yang dapat diartikan pula dapat dicapainya ketahanan pangan di tingkat nasional.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga merupakan syarat keharusan tercapainya ketahanan
pangan di tingkat nasional. Dengan demikian peningkatan ketahanan pangan rumahtangga akan
meningkatkan ketahanan pangan nasional. Peningkatan ketahanan pangan rumahtangga dapat dilakukan
melalui peningkatan ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi pertanian sebagai sumber bahan
pangan dan atau dengan peningkatan pendapatan dan daya beli untuk akses dan konsumsi terhadap pangan
yang dibutuhkan.
Peningkatan produksi, ketersediaan pangan dan pendapatan rumahtangga (khususnya rumahtangga
petani) dapat dilakukan melalui penerapan inovasi teknologi pertanian. Inovasi teknologi pertanian
mencakup teknologi budidaya, pengelolaan sumberdaya lahan dan air, teknologi panen dan pasca panen,
pengolahan, pemasaran dan rekayasa kelembagaan pertanian. Studi empiris membuktikan bahwa melalui
penerapan inovasi teknologi pertanian maka produktivitas, produksi, dan pendapatan usahatani dapat
ditingkatkan dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Peningkatan pendapatan
rumahtangga akan meningkatkan akses dan konsumsi serta ketahanan pangan rumahtangga yang selanjutnya
berperan dalam upaya memantapkan ketahanan pangan nasional.
Implikasi Kebijakan
Advokasi, sosialisasi dan diseminasi dari inovasi teknologi pertanian yang telah dihasilkan oleh
lembaga penelitian termasuk Badan Litbang Pertanian merupakan salah satu strategi yang perlu mendapat
perhatian utama dalam upaya meningkatkan produktivitas, produksi, ketersediaan dan ketahanan pangan
nasional melalui peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Untuk memacu adopsi terhadap inovasi
teknologi pertanian oleh pengguna, maka dalam merakit teknologi tersebut perlu mempertimbangkan aspek
teknis, ekonomis, dan akseptabilitas dari calon pengguna.
Sesuai dengan mandat yang ada, maka BPTP memegang peran utama dan strategis dalam upaya
pemasyarakatan inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Untuk itu,
pemantapan kerjasama, koordinasi dan sinergitas dengan semua lembaga terkait baik di tingkat pusat maupun
daerah menjadi salah satu kunci keberhasilan.
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. dan M. H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran Orde Baru dan Orde
Reformasi. (Edisi Kedua: Direvisi dan Diperluas). Penerbit IPB Press, Bogor
Braun, V.J., H. Bouis, S. Kumar, and L.P. Lorch. 1992. Improving Food Security of the Poor: Concept,
Policy, and Programme. International Food Policy Research Institute,. Washington, D.C.
Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005 - 2009. Departemen Pertanian.
Jakarta.
567
Foster, Phillips. 1992. The World Food Problem: Tackling the Causes of Undernutrition in the Third World.
Lynne Riener Publisher. Boulder.
Hafsah, J. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Dalam Program Kemandirian Pangan dalam Subagyono, K.
et al. 2005 (Penyunting) Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan
Iklim. Bogor, 14 – 15 September 2004. Buku I. Puslitbangtanak. Bogor.
Hardinsyah, D. Briawan, S. Madanijah, C.M. Dwiriani, S.M. Atmodjo dan Y. Heryatno. 1998. Kajian
Kelembagaan Untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. Kerjasama Pusat Kebijakan Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor dengan Unicef dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian
Hermanto. 2002. Perspektif Implementasi Kebijakan Stabilisasi Harga Gabah/Beras Pasca Bulog. Lokakarya
Ketahanan Pangan Pasca Bulog. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Petanian, Jakarta, 22
November
Maxwell, A. And Ir. Frankenbeyer. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurement A
Technical Review. Joint Sponsored by United Nation Childrens Fund and International Fund for
Agricultural Development.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian
Tanah di Indonesia 1905 – 2005. Mengoptimalkan Sumberdaya Lahan Nasional untuk
Pembangunan Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat. Puslibangtanak. Bogor.
Rachman, H.P.S, A. Purwoto, dan G.S. Hardono. 2005. Kebijakan Pengelolaan Cadangan Pangan pada Era
Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Forum Agro Ekonomi Vol.23. No. 2. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachmat, M dan B. Hutabarat. 1988. Tingkat Penerapan Diversifikasi Usahatani dan Pengaruhnya terhadap
Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja. Forum Agro Ekonomi. No. 2 (6): 23-32.
Rusastra, I.W, H.P. Saliem, Supriyati, dan Saptana. 2004. Prospek Pengembangan Pola Tanam dan
Diversifikasi Tanaman Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi, No. 1 (22): 27-53.
Saliem, H.P. M. Ariani, Y. Marisa, T.B. Purwantini dan E.M. Lokollo. 2001. Analisis Ketahanan Pangan
Tingkat Rumahtangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Simatupang, P. 1999. Towards Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm. International
Seminar Agricultural Sector During Turbulence of Economic Crisis : Lessons and Future Direction.
17 – 18 February 1999. Centre for Agro-Socio economic Research, AARD. Bogor
Soekirman. 2000. Beberapa Catatan Mengenai Konsep Ketahanan Pangan. Makalah disajikan pada Round
Table Keahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan. Jakarta, 26 Juni 2000.
Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan
No.21 Vol.V. Bulog. Jakarta
Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Laporan Lokakarya
Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Departemen Pertanian bekerjasama dengan UNICEF.
Jogyakarta, 26-30 Mei
568
ARAHAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN LAHAN KERING
DI SUMBAWA BARAT, NTB
Moh. Nazam1)
, A. Suriadi1)
dan Marwan Hendrisman2)
1)
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2)
Peneliti pada Balai Penelitian Tanah Bogor
ABSTRAK
Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) memiliki sumberdaya lahan kering cukup luas dan belum dimanfaatkan
secara optimal. Hasil interpretasi foto udara dan Citra Landset, wilayah KSB berdasarkan tingkat kelerengan terdiri atas
lima zona agroekologi, yaitu zona I (kelerengan >40%) dengan luas 134.322 ha (76,46%) dari luas wilayah, zona II
dengan kelerengan 15-40% seluas 7.074 ha (4,03%), zona III dengan kelerengan 8-15% dengan luas 3.836 ha (2,18%), zona IV dengan kelerengan <8% dengan luas 26.644 ha (15,17%) dan zona non pertanian seluas 3.795 ha (2,16%). KSB
memiliki lahan kering cukup luas yaitu sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah. Dari luas tersebut seluas 148.242
ha (88,53%) adalah hutan lahan kering. Lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sistem pertanian
seluas 15.430 ha (9,21%) dari luas lahan kering, terdapat pada zona III-DEF seluas 1.953 ha, zona IV-DEF seluas 4.714 ha dan zona IV-DFE seluas 8.763 ha. Pada zona III-DEF diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan seperti jambu
mete, mangga, kopi, srikaya, jeruk sebagai tanaman penguat dan tanaman pangan seperti jagung, padi gogo, cabe, ubi
jalar, bawang merah sebagai pengisi lorong. Pada zona IV-DEF dan IV-DFE diarahkan untuk pengembangan tanaman
tahunan dan atau tanaman pangan secara monokultur atau sebagai tanaman sela diantara tanaman tahunan.
Kata kunci : arahan, sistem pertanian, zona agroekologi
PENDAHULUAN
Pemanfaatan lahan kering merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas pangan
guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat. Lahan produktif irigasi teknis yang
selama ini menjadi tumpuan harapan masyarakat, luasannya semakin berkurang sebagai akibat berlanjutnya
konversi lahan ke penggunaan non pertanian, seperti perluasan pemukiman, pengembangan industri, jalan
dan lain-lain. Disisi lain penyediaan air untuk pertanian mulai berkurang, karena semakin berkurangnya
sumber mata air dan meningkatnya kebutuhan air untuk keperluan penduduk dan industri.
Hasil evaluasi lahan dan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi (ZAE)
skala 1:50.000 wilayah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), memiliki lahan kering yang cukup luas yaitu
sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah. Dari luas tersebut seluas 148.242 ha (88,52%) adalah hutan
lahan kering, sedangkan seluas 3.795 ha (2,27%) adalah lahan kering non pertanian (pekarangan, pemukiman,
jalan,) dan hanya 15.430 ha (9,21%) adalah lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan sistem
pertanian (Nazam et al., 2005).
Lahan kering yang sangat luas di KSB berpotensi untuk diusahakan untuk berbagai komoditas
unggulan dan andalan pertanian yang bernilai ekonomi tinggi. Namun sampai saat ini potensi tersebut belum
dapat dimanfaatkan secara optimal karena berbagai kendala, baik ketersediaan air yang terbatas, kondisi
fisika dan kimia tanah yang kurang menguntungkan, maupun kendala sosial-ekonomi dan kelembagaan yang
sangat kompleks. Agar wilayah lahan kering yang ada dapat diberdayakan bagi pembangunan pertanian yang
berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan lahan kering yang sesuai dengan kemampuan
agroekosistemnya.
Keragaman agroekosistem (biofisik, agrokilimat, sosial budaya) dapat dimanfaatkan sebagai dasar
pewilayahan komoditas pertanian maupun arahan pengembangan sistem pertanian yang tepat dan
berkelanjutan. Konsep dasar ZAE adalah penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam
tersebut ke dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif (Las et al., 1990). Pembagian wilayah ke dalam
zone-zone berdasarkan kemiripan (similarity) karakteristik iklim, terrain, dan tanah, akan memberikan
keragaan tanaman yang tidak berbeda secara nyata (FAO, 1996).
Data dan informasi potensi sumberdaya lahan dalam piranti yang jelas dan akurat sangat diperlukan
untuk menyusun arahan pengembangan komoditas pertanian baik oleh petani, dinas/instansi pemerintah
maupun para investor secara efektif, efisien dan berwawasan lingkungan. Kesesuaian komoditas maupun
sistem pertanian yang dikembangkan yang sesuai dengan kondisi biofisik dan agroklimat akan dapat
meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani
secara berkelanjutan.
569
Peta arahan pewilayahan komoditas pertanian pada skala 1:50.000 dapat dimanfaatkan untuk
menyusun arahan pengembangan sistem pertanian yang lebih operasional pada tingkat perencanaan
Kabupaten. Arahan pewilayahan komoditas pertanian yang disusun selain mempertimbangkan kondisi
biofisik dan agroklimat wilayah, juga mempertimbangkan peluang investasi, aksesibilitas, sosial ekonomi
dan budaya setempat, juga mempertimbangkan penggunaan lahan saat ini (present land use), sehingga arahan
yang dihasilkan adalah yang sesuai secara fisik maupun ekonomi.
Arahan pengembangan sistem pertanian lahan kering yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan bagi para petani, perencana, investor dan pihak yang terkait dalam: (1) perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya lahan yang efektif dan berkelanjutan; (2) pemilihan komoditas yang sesuai; (3)
penetapan kawasan pengembangan komoditas pertanian; dan (4) pemilihan inovasi teknologi yang
dibutuhkan.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah data dan informasi hasil pewilayahan komoditas pertanian
berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 di KSB (Nazam et al., 2005). Pemanfaatan dan pendayagunaan
data dan informasi tersebut dilakukan dengan pendekatan desk study. Evaluasi lahan dilakukan dengan
membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman (Djaenuddin et al.,
2003), perhitungannya menggunakan program Automated Land Evaluation System (ALES) model Rossiter
dan Van Wambeke (1997) yang menghasilkan kelas kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian.
Kelas kesesuaian lahan secara fisik menurut Djaenudin et al, (2003) dibedakan atas 4 kelas, yaitu
kelas S1 (sangat sesuai) artinya tanpa atau sedikit pembatas untuk penggunaannya; S2 (cukup sesuai) artinya
tingkat pembatas sedang untuk penggunaannya; S3 (sesuai marjinal) artinya tingkat pembatas berat untuk
penggunaanya dan N (tidak sesuai) artinya penggunaannya tidak memungkinkan. Hasil evaluasi lahan secara
fisik dengan asumsi penerapan input sedang, dan dilengkapi dengan analisis ekonomi yang
mempertimbangkan aksesibilitas, pasar, komoditas unggulan, dan kelayakan ekonomi, dengan menggunakan
program Modul Pewilayahan Komoditas (MPK) model Bachri et al.(2002) menghasilkan arahan
pewilayahan komoditas dan pengembangan sistem pertanian yang sesuai baik secara fisik maupun ekonomi
dan berkelanjutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Secara geografis KSB terletak antara 116°42‟-117°05‟ BT dan 08°30‟-09°07‟ LS. Berdasarkan hasil
interpretasi foto udara dan citra landsat, KSB mempunyai luas wilayah 175.671 ha, terdiri atas lahan kering
seluas 163.672 ha (93,17%). Dari luas lahan kering tersebut, sebagian besar (88,25%) adalah hutan lahan
kering, seluas 3.795 ha (2,32%) lahan non pertanian (pekarangan, jalan, dll) dan hanya 15.430 ha (9,43%)
merupakan lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan pertanian.
KSB termasuk daerah beriklim tropis yang memiliki pola curah hujan IA dan IIA dan tergolong tipe
hujan C dan D. Tergolong tipe iklim Aw yaitu tipe iklim hujan tropis dengan curah hujan bulan-bulan
terkering <60 mm selama 6-9 bulan, suhu udara rata-rata bulan terdingin >18°C dan terpanas >22°C dengan
curah hujan tahunan <2.500 mm. Suhu tahunan berkisar antara 21,7°C-34°C.
Landform atau fisiografi wilayah KSB dikelompokkan ke dalam enam group yaitu grup Aluvial (A),
Marin (M), Volkan (V), Tektonik/Struktural (T) Karst (K) dan Aneka Bentuk (X) yang menghasilkan 44
satuan unit lahan. Landform paling dominan adalah grup vulkan (77,72%), aluvial (11,03%), karst (4,41%),
marin (2,94%), aneka (2,15%) dan tektonik (1,75%). Tanah-tanah di KSB dapat diklasifikasikan ke dalam
empat ordo, yaitu Entisols, Alfisol, Inceptisol, dan Vertisol. Ke empat ordo tersebut menurunkan 12 grup dan
18 subgrup. Secara geologi termasuk jalur vulkanik busur api Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Bali-
Nusa Tenggara, sampai seputar laut Banda. Berdasarkan formasi tersebut KSB diperkirakan memiliki potensi
galian tambang cukup besar. Formasi geologi terdiri atas satuan breksi-tuf (Tmv), disusul batuan terobosan
(Tmi), endapan permukaan (Qal), batugamping (Tml), batuan sedimen (Ql), dan batugamping koral (Tmcl).
Aksesibilitas cukup lancar baik melalui darat, laut maupun udara. Pada umumnya semua desa dapat
dijangkau dengan kendaraan roda empat, bahkan Desa Mantar di Kecamatan Seteluk yang berada di puncak
bukit Mantar pada ketinggian 640 m dpl, kecuali Desa Aik Kangkung dan Telonang di Kecamatan
Sekongkang yang belum memiliki jembatan penghubung. Jarak ibukota kabupaten (Taliwang) dengan kota
570
kecamatan terjauh Sekongkang adalah (30 km), Jereweh (16 km), Seteluk (25 km); yang terdekat adalah
Brang Rea (5 km). Di KSB terdapat beberapa pelabuhan laut yang menghubungkan P. Lombok dengan P.
Sumbawa, antara lain pelabuhan Pototano di Kecamatan Seteluk. Terdapat dua unit pelabuhan khusus milik
swasta, yaitu milik PT NNT (Newmount Nusa Tenggara) dan PT BPM (Bumi Pasir Mandiri) berlokasi di
Benete, Kecamatan Jereweh. Sedangkan dua unit yang tidak aktif adalah Labuhan Lalar dan Kertasari di
Kecamatan Taliwang. Pelabuhan Pototano beroperasi selama 24 jam dengan 7 unit kapal penumpang. Setiap
hari beroperasi 32 trip dengan kapasitas angkut 10.000 orang/hari. Transportasi udara sejak tahun 2004 telah
dibuka penerbangan untuk umum setiap hari dengan jenis pesawat Twin Other melalui Bandara Tropical
Airstrip yang berlokasi di Sekongkang. Perusahaan tambang yang berlokasi di KSB banyak berperan dalam
pengembangan infrastruktur.
KSB dilayani 2 Stasiun Telepon Otomat (STO) yaitu di Taliwang dan Jereweh. Sedangkan
masyarakat Kecamatan Seteluk dilayani STO yang berlokasi di Alas, Kabupaten Sumbawa. Jumlah
sambungan telepon sebanyak 1.087 SST (satuan sambungan telepon) sedangkan kapasitas terpasang
sebanyak 1.562 SST (BPS 2004). Untuk menjangkau daerah yang terisolasi sebagian menggunakan
Teknologi Rural dan Teknologi Link.
Tipe Penggunaan Lahan
Di KSB terdapat beberapa tipe penggunaan lahan (TPL) khususnya lahan kering yang spesifik.
Pada lahan tegalan pola tanam yang diterapkan adalah padi gogo-kacang hijau atau jagung/kacang tanah-
kacang tanah. Pola pengusahaan lahan perkebunan adalah dengan menerapkan pola kebun campuran antara
tanaman tahunan dengan tanaman musiman. Tanaman tahunan yang umum diusahakan adalah mangga,
pisang, jambu mete, kelapa, sedangkan tanaman semusim yang biasa diusahakan di antara tanaman tahunan
adalah padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Tanaman tahunan seperti tanaman industri
(kelapa, kakao, kopi), tanaman hortikultura (mangga, manggis, rambutan, durian, pisang) yang masing-
masing dinilai sebagai tanaman tunggal walaupun kenyataan di lapangan umumnya diusahakan sebagai
kebun campuran sehingga diprediksi keuntungan TPL komoditas tahunan tersebut akan lebih besar, karena
adanya tanaman campuran yang tidak diperhitungkan.
Di sebagian wilayah lahan kering dijumpai komoditas jagung, kacang hijau dan padi gogo yang
ditanam pada musim hujan dengan menerapkan input sedang. Di sebagian lahan kering dijumpai komoditas
sayuran yang diusahakan dengan menerapkan input rendah sampai sedang. Input dan output untuk TPL
tanaman tahunan (perkebunan), yaitu kelapa, jambu mete dan kopi, dengan menerapkan input rendah sampai
sedang.
Berdasarkan hasil analisis usahatani dengan program ALES yang mendasarkan perhitungan yang
dikemukakan Rossiter and Wambeke (1997) dalam program ALES versi 4.65d menganalisis faktor ekonomi
menggunakan formulasi Gross margin (GM), dan Benefit - Cost Rasio (B/C) menunjukkan bahwa tanaman
semusim yang diusahakan di lahan kering memberikan nilai RCR lebih besar dari 1, yang berarti usahatani
tersebut secara ekonomi menguntungkan, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indikator Kelayakan Usahatani Tanaman Semusim dengan Kondisi Produksi Optimal pada Lahan Kering di
KSB, 2005.
Jenis tanaman (JT) Tipologi lahan
(TL)
Biaya Produksi
(Rp/ha) (BP)
Penerimaan (Rp/ha)
(REV) RCR
Padi gogo DEF 1.332.994 2.132.790 1,60
Jagung DEF/DFE/WR4 1.326.000 3.600.000 2,71
Kacang tanah DEF 1.388.889 3.500.000 2,52
Cabe merah Dha/Wri 5.350.000 21.000.000 3,93
Standar > 1,10
Sumber : Nazam et al., 2005.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan komoditas tanaman semusim yang diusahakan memberikan
keuntungan dan layak diusahakan dengan nilai RCR lebih besar dari 1. Padi gogo, banyak dijumpai pada
wilayah perbukitan hampir di semua wilayah Kecamatan. Jagung dan kacang tanah banyak dijumpai di
Kecamatan Seteluk. Kacang hijau dan kedelai banyak dijumpai di Brangrea dan jereweh. Tanaman semusim
lainnya yang banyak ditanam di KSB seperti ubi kayu, ubi jalar belum memberikan tingkat keuntungan yang
layak, karena akses ke pasar sangat sulit, terutama di Desa Telonang, sehingga hasil ubi kayu yang diperoleh
571
hanya untuk dikonsumsi sendiri. Demikian halnya dengan hasil-hasil tanaman semusim lainnya, seperti ubi
jalar, labu, dan lain-lain.
Sedangkan hasil analisis finansial beberapa komoditas tanaman tahunan dengan indikator NPV, IRR
dan B/C, seperti dtunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Indikator Kelayakan Investasi Usahatani Kelapa, Mangga dan Kopi (Rerata Tahun/Ha) dengan Kondisi
Produksi Optimal pada Lahan Kering di KSB, 2005
Jenis tanaman
Tipologi
lahan
(TL)
Periode
Analisis
(thn)
Investasi
(Rp/ha)
NPV (Rp)
(i=15%) IRR (%)
BCR
(i=15%)
Kelapa Dep 10 49.148.000,00 12.301.712,22 41,03 2,48
Mangga Dhp 5 29.162.500,00 44.513.900,62 49,06 7,47
Kopi Dep 5 12.135.000,00 21.694.245,61 34,08 1,25
Nilai standar > 0 > 1,0
Sumber : Nazam et al., 2005.
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 2), memperlihatkan bahwa komoditas kelapa, mangga dan kopi
yang diusahakan di KSB, secara finansial layak diusahakan dengan nilai NPV positif, nilai IRR lebih besar
dari suku bunga bank yang berlaku dan B/C ratio lebih besar dari satu. Buah kelapa yang dipasarkan dalam
bentuk butir gelondong maupun dalam bentuk kopra sudah biasa dilakukan di KSB dengan tujuan P. Lombok
maupun ke Bali dan Jawa. Para pedagang perantara (broker) membeli buah kelapa dari petani dengan cara
tebasan (borongan) per tahun dengan nilai antara Rp. 500.000 – 1.000.000/tahun.
Mangga umumnya ditanam sebagai tanaman pekarangan dan diusahakan bukan untuk tujuan
komersial. Namun demikian usaha komersial budidaya mangga telah berhasil dilakukan oleh petani di
Kecamatan Sekongkang. Hasil wawancara dengan petani di Kecamatan Sekongkang menunjukkan bahwa
usaha budidaya mangga yang telah digeluti selama 6 tahun cukup menguntungkan. Mangga dijual di tempat
(pembeli datang sendiri) baik untuk keperluan konsumsi sendiri maupun sebagai pedagang perantara. Selama
ini belum ada masalah dalam pemasaran. Lokasi penanaman mangga juga dinilai sangat strategis, yaitu dekat
dengan industri tambang emas Newmont.
Kopi telah diusahakan di Dusun Rongis, Desa Bangket Monteh pada ketinggian sekitar 700 m dpl.
Usaha ini belum diusahakan secara baik, hal ini terlihat dari cara pemeliharaan tanaman yang kurang baik.
Produktivitasnya juga rendah disamping harga yang diterima oleh petani juga belum memadai karena
aksesibilitas jalan raya kurang baik, namun demikian demikian usaha masih layak kembangkan.
Kelas Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian
Karakteristik lahan, seperti landform, relief, litologi, landuse, dan hidrologi, (atribut lahan)
mempunyai kaitan erat dengan kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian, sehingga digunakan sebagai
parameter dalam evaluasi lahan. Evaluasi lahan telah dilakukan terhadap komoditas pertanian lahan kering
baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan yang perhitungannya menggunakan program
Automated Land Evaluation System (ALES) model Rossiter dan Van Wambeke (1997) menghasilkan kelas
kesesuaian lahan untuk setiap komoditas pertanian sangat bervariasi, seperti ditunjukkan padaTabel 3.
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komoditas tanaman pangan pada umumnya sangat sesuai
diusahakan di KSB, demikian pula tanaman hortikultura, kecuali sawo dan manggis pada kelas cukup sesuai.
Setiap satuan lahan yang dinilai, mungkin sesuai untuk lebih dari satu komoditas pertanian, oleh karena itu
untuk memilih jenis komoditas pertanian yang akan dikembangkan di suatu wilayah, perlu dipertimbangkan
kelas kesesuaian lahan, komoditas andalan/unggulan daerah atau terpilih, tenaga kerja, peluang pasar, dan
aksesibilitas, terutama sarana dan prasarana transportasi.
Kelas kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai) artinya penggunaan lahan untuk komoditas yang
bersangkutan tanpa atau sedikit pembatas; S2 (cukup sesuai) artinya tingkat pembatas sedang untuk
penggunaannya; S3 (sesuai marjinal) artinya tingkat pembatas berat untuk penggunaanya dan N (tidak
sesuai) artinya penggunaannya tidak memungkinkan (Djaenudin et al.,2003). Parameter-parameter tanah
yang menjadi faktor pembatas adalah kondisi terrain (lereng, torehan, keadaan batuan di permukaan dan
kemungkinan bahaya banjir); media perakaran (kedalaman efektif, tekstur, drainase, struktur tanah, density
dan kemasakan tanah), dan beberapa sifat kimia tanah yaitu reaksi tanah, adanya bahan sulfidik, dan
kandungan bahan organik.
572
Tabel 3. Kelas Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian untuk Lahan Kering di KSB, 2005
Komoditas
Kelas Kesesuaian Lahan
S1 S2 S3 N
Ha % Ha % Ha % Ha %
1. Padi gogo 11.245 6,40 6.035 3,54 11.554 6,58 140.476 79,96
2. Kacang hijau 8.410 4,79 11.589 6,60 6.596 3,74 142.715 81,25
3. Kacang tanah 219 0,12 19.899 11,33 6.478 3,69 142.714 81,24
4. Jagung 5.259 2,99 16.569 9,43 7.007 3,99 140.475 79,97
5. Kedelai 219 0,12 19.438 11,06 6.938 3,95 142.715 81.25
6. Mangga 16.944 9,65 2.858 1,63 8.140 4,63 141.368 80,47
7. Pisang 773 0,44 27.483 15,64 961 0,55 140.093 79,75
8. Jeruk 679 0,39 20.398 11,61 7.179 4,09 141.054 80,29
9. Sawo 0 0 24.062 13,70 4.195 2,39 141.053 80,29
10. Durian 7.731 4,40 16.330 9,30 3.152 1,79 142.097 80,89
11. Manggis 0 0 24.062 13.70 3.152 1,79 142.096 80,89
12. Kakao 7.731 4,40 12.387 7,06 8.139 4,63 141.053 80,30
13. Kopi Robusta 7.731 4,40 16.330 9,30 3.152 1,79 142.097 80,89
14. Jambu Mete 9.780 5,57 5.590 3,18 143.607 81,75 10.333 5,88
15. Kelapa 7.731 4,40 17.292 9,84 4.195 2,39 140.092 79,75
16. Jarak pagar 9.780 5,57 5.590 3,18 143.607 81,75 10.333 5,88
Sumber : Nazam et al.,2005.
Keterangan : S1 = Sangat Sesuai; S2 = Cukup Sesuai, S3 = Sesuai Marginal dan N = Tidak Sesuai
Tingkatan kendala setiap karakteristik lahan berbeda menurut nilainya. Misalnya pH 3,0 mempunyai
tingkat kendala lebih tinggi daripada pH 5,5. Pada lahan dengan pH tanah 3,0 dapat langsung diputuskan
sebagai lahan yang tidak sesuai (N) sehingga tidak perlu dipertimbangkan karakteristik lahan lainnya.
Sedangkan pada lahan dengan pH tanah 5,5 masih tergantung pada karakteristik lahan lainnya, misalnya
kedalaman tanah. Apabila pada lahan tersebut (pH 5,5) mempunyai kedalaman tanah tergolong dangkal,
kelas kesesuaiannya diputuskan sebagai lahan tidak sesuai (N) dan tidak diperlukan informasi karakteristik
lahan lainnya. Sedangkan lahan dengan pH tanah 5,5 dan tergolong tanah dalam, diputuskan sebagai lahan
sesuai (S).
Arahan Pewilayahan dan Pengembangan Sistem Pertanian Lahan Kering
Untuk menyusun peta arahan pewilayahan komoditas pertanian diperlukan data hasil evaluasi lahan,
data peluang investasi dan data prioritas tanaman. Data hasil evaluasi lahan adalah data berupa tabel
kesesuaian lahan fisik masing-masing tipe penggunaan lahan (LUT) pada setiap satuan peta. Data peluang
investasi adalah parameter ekonomi setiap tanaman yang diusahakan pada tipologi lahan tertentu dengan
indikator R/C, NPV, IRR dan BCR. Data prioritas tanaman adalah jenis tanaman yang
diunggulkan/diprioritaskan untuk dikembangkan yang diperoleh berdasarkan pertimbangan dan kebijakan
pemda setempat. Selain itu diperlukan juga data penggunaan lahan saat ini (present land use) sebagai salah
satu faktor pertimbangan dalam pewilayahan komoditas, sehingga diperoleh pewilayahan komoditas
pertanian yang secara fisik sesuai dan secara ekonomi layak dikembangkan.
Hasil evaluasi lahan dengan asumsi penerapan masukan sedang, dengan menggunakan program
Modul Pewilayahan Komoditas/MPK (Bachri et al., 2002); wilayah KSB terdiri atas 5 zona agroekologi
berdasarkan relief (kelerengan), yaitu zona I (kelerengan > 40%); zona II (kelerengan 15-40%); zona III
(kelerengan 8-15%), zona IV (kelerengan 0-8%) dan zona non pertanian. Dari 5 zona tersebut ditetapkan 13
arahan pewilayahan komoditas pertanian dan 4 arahan pengembangan sistem pertanian, seperti pada Tabel 4.
Berdasarkan zona agroekologi (Tabel 4), terlihat bahwa KSB memiliki lahan kering yang cukup luas
yaitu sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah. Dari luas tersebut seluas 148.242 ha (88,52%) adalah
hutan lahan kering, sedangkan seluas 3.795 ha (2,27%) adalah lahan kering non pertanian (pekarangan,
pemukiman, jalan, rawa, dll) dan hanya 15.430 ha (9,21%) adalah lahan kering yang berpotensi untuk
pengembangan sistem pertanian.
Lahan kering untuk pengembangan sistem pertanian terdapat pada zona III-DEF seluas 1.953 ha,
zona IV-DEF seluas 4.714 ha dan zona IV-DFE seluas 8.763 ha. Sedangkan zona lainnya merupakan zona
untuk kawasan konservasi (hutan lahan kering dan basah) seluas 148.242 ha terdapat pada zona I-DJ, II-DJ,
III-DJ, IV-DJ, dan IV-WJ,, lahan basah (sawah irigasi dan tadah hujan) seluas 9.780 ha terdapat pada zona
IV-WR2 dan IV-WR4, dataran estuarin (pertambakan) seluas 1.559 ha terdapat pada zona IV-WIB dan grup
aneka berupa lereng curam, tebing, kota/pemukiman, danau dan pulau-pulau seluas 3.795 ha.
573
Tabel 4. Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian di KSB, 2005
Kode Komoditas Sistem Pertanian No. Satuan
Lahan
Luas
Ha %
I-DJ Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 30, 37 134.322 76,46
II-DJ Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 24, 25, 34 7.074 4,03
III-DJ Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 29, 39 1.883 1,07
III-DEF Mangga, jambu mete, srikaya,
kopi, jagung, padigogo, cabe, bawang merah, ubi jalar
Pertanian lahan kering tan.
tahunan/ hortikul dan tan. pangan sistem lorong
10, 23 1.953 1,11
IV-DJ Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 21 206 0,12
IV-DEF Mangga, jeruk, jambu mete,
kelapa srikaya, kopi, jagung, padi gogo, cabe, bawang merah, ubi
jalar
Pertanian lahan kering tanaman
tahunan/ hortikultura dan tan. pangan
1, 18, 20,
27
4.714 2,68
IV-DFE Jagung, padi gogo, cabe, bawang
merah, ubi jalar, mangga, jeruk,
jambu mete, kelapa, srikaya, kopi
Pertanian lahan kering tanaman
pangan dan tanaman tahunan/
hortikultura
7-9, 19, 28,
38
8.763 4,99
IV-WR2 Padi sawah, jagung, kedelai, kac.
hijau, cabe, baw merah, ubi jalar
Pertanian lahan basah tan. pangan
(2 kali padi + palawija)
3, 4, 11 5.628 3,20
IV-WR4 Padi sawah, jagung, kedelai, kac
hijau, cabe, bw merah, ubi jalar
Pertanian lahan basah tan. pangan
(1 kali padi + palawija)
2, 5, 6, 22,
26
4.152 2,36
IV-WIB Dataran lakustrin Endapan liat 12, 15, 16 1.559 0,89
IV-WJ Kawasan Konservasi Hutan lahan basah 13, 17 660 0,38
IV-DJ Kawasan Konservasi Hutan lahan kering 14 962 0,55
NP Grup aneka (lereng curam, tebing,
kota/pemukiman, danau dan pulau
Non pertanian 40-44 3.795 2,16
Kabupaten Sumbawa Barat 175.671 100,00
Sumber : Nazam et al. (2005).
Keterangan: I-IV = zone AEZ; W = lahan basah, D = lahan kering ; E = tan. perkebunan; R = padi sawah; H =
hrotikultura sayuran; F = tan. pangan; J = hutan; I = ikan; B = pasangsurut.
Arahan pengembangan sistem pertanian pada lahan kering bertujuan selain untuk konservasi agar
lahan dapat didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
manusia untuk sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan lainnya. Teknologi yang dapat dikembangkan
pada sistem pertanian lahan kering antara lain melalui (a) peningkatan efisiensi penggunaan air hujan melalui
pengelolaan tanah dan tanaman, (b) mengembangkan teknologi pemanenan air (Development of Water
harvesting technology for dryland farming), (c) mengembangkan budidaya olah tanah konservasi untuk lahan
kerinng, (d) mengembangkan sistim pengelolaan unsur hara dan bahan organik yang berkelanjutan pada
pertanian lahan kering, (e) mengembangkan alternatif model pengelolaan pertanian lahan kering yang
berkelanjutan
Zona III-DEF memiliki kelerengan antara 8-15% diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan
seperti jambu mete, mangga, kopi, srikaya, dan jeruk. Tanaman tahunan berfungsi sebagai tanaman penguat
untuk mencegah terjadinya longsor maupun erosi tanah. Sedangkan tanaman pangan seperti jagung, padi
gogo, cabe, ubi jalar, bawang merah ditanam di antara tanaman tahunan sebagai pengisi lorong dengan
pengolahan tanah ringan atau tanpa olah tanah. Zona IV-DEF dan IV-DFE dengan kelerengan 0-8%
diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan dan atau tanaman pangan secara monokultur atau
campuran, dimana tanaman pangan ditanam sebagai tanaman sela di antara tanaman tahunan. Untuk
memanfaatkan curah hujan yang sangat singkat maka dianjurkan pola tanam yang dikembangkan adalah
sistem relay antara jagung kacang hijau atau jagung, kacang tanah, atau dapat pula dikembangkan tumpang
sari antara jagung dan padi gogo.
Lahan kering untuk pengembangan sistem pertanian tersebar hampir di setiap kecamatan yang
terdapat di KSB, yang terluas di Kecamatan Seteluk, Jereweh dan Sekongkang, seperti terlihat pada peta
pewilayahan komoditas pertanian KSB (Gambar 2)
574
Gambar 1. Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian KSB, 2005
KESIMPULAN DAN SARAN
KSB memiliki lahan kering yang cukup luas yaitu sekitar 167.467 ha (95,33%) dari luas wilayah.
Dari luas tersebut seluas 148.242 ha (88,52%) adalah hutan lahan kering, sedangkan seluas 3.795 ha (2,27%)
adalah lahan kering non pertanian (pekarangan, pemukiman, jalan, rawa, dll) dan hanya 15.430 ha (9,21%)
adalah lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan sistem pertanian, yaitu terdapat pada zona III-DEF
seluas 1.953 ha, zona IV-DEF seluas 4.714 ha dan zona IV-DFE seluas 8.763 ha.
Arahan sistem pertanian yang dikembangkan adalah : (a) pada zona III-DEF diarahkan untuk
pengembangan tanaman tahunan sebagai tanaman penguat dan tanaman pangan sebagai pengisi lorong, (b)
pada zona IV-DEF dan IV-DFE diarahkan untuk pengembangan tanaman tahunan dan atau tanaman pangan
secara monokultur.
Arahan pengembangan sistem pertanian lahan kering yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan perencanaan pengelolaan sumberdaya lahan secara efektif dan berkelanjutan, pemilihan
komoditas yang sesuai, penetapan kawasan pengembangan komoditas dan pemilihan inovasi teknologi
pertanian yang sesuai baik oleh para perencana maupun investor.
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas (MPK). Versi 1.2.
Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas
Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
FAO. 1996. Agro-Ecological Zoning Guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome.
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin, dan I. Mawan. 1990. Pewilayahan Agroekologi Utama
Tanaman Indonesia. Puslitbangtan, Edisi Khusus, Pus/03/90.Bogor.
Nazam, M., A. Suriadi, Hendra S., Prisdiminggo, Adi P., Marwan H. 2005. Pewilayahan Komoditas
Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi Skala 1:50.000 KSB. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Badan Litbang Pertanian.2005. Mataram.
Rossister, D, And Van Wambeke. 1997. Automated Land Evaluation System. User‟s Manual Version 4.6.
Cornell University, Ithaca, New York.
575
KELAYAKAN USAHATANI TANAMAN PANGAN UNGGULAN
DAN ARAHAN PENGEMBANGANNYA DI SUMBAWA BARAT NTB
Moh. Nazam, Prisdiminggo dan Awaludin Hippi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Kelayakan usahatani tanaman pangan unggulan dan arahan pengembangannya di Sumbawa Barat dianalisis
dengan memanfaatkan data dan informasi hasil survei sosial ekonomi dan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Komoditas unggulan ditentukan berdasarkan atas
posisi strategis komoditas, peluang pengembangan, kebijakan daerah dan kesesuaian komoditas dengan kondisi biofisik
dan agroklimat dan sosial masyarakat di KSB. Hasil analisis usahatani diketahui bahwa RC ratio padi sawah dua kali
setahun adalah 2,52; padi sawah tadah hujan satu kali setahun dengan nilai RC ratio 2,04; padi gogo 1,60; jagung 2,71; kacang hijau 2,53; kedelai 4,87; dan kacang tanah 2,52. Komoditas tanaman pangan tersebut layak dikembangkan di KSB
dengan RC ratio lebih besar 1. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas pertanian dengan
penerapan input sedang, maka terdapat 2 (dua) arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian tanaman pangan
di KSB, yaitu : (a) pengembangan sistem pertanian lahan kering seluas 15.430 ha pada tipologi lahan dan zona agroekologi III-DEF, IV-DEF, dan IV-DFE; dan (b) pengembangan sistem pertanian lahan basah seluas 9.780 ha pada
tipologi lahan dan zona agroekologi WR2 dan WR4. Arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian yang telah
dihasilkan diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam penyusunan tata ruang pertanian di KSB.
Kata kunci : usahatani, tanaman pangan, arahan pengembangan
PENDAHULUAN
Program ketahanan pangan merupakan salah satu program utama pembangunan pertanian lima
tahun ke depan guna menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Pembangunan ketahanan pangan
diarahkan agar kekuatan ekonomi domestik mampu menyediakan pangan bagi seluruh penduduk dari
produksi dalam negeri. Kebutuhan pangan akan terus meningkat dalam jumlah, kualitas, keragaman dan
keamanan sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan penduduk yang terus berkembang.
Peningkatan produksi pertanian khususnya tanaman pangan dapat dilakukan melalui intensifikasi
dan ekstensifikasi. Peningkatan produksi melalui intensifikasi dapat dilakukan dengan menerapkan inovasi
teknologi pertanian unggulan pada lahan sawah irigasi teknis. Sedangkan peningkatan produksi melalui
ekstensifikasi selain ditempuh melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) juga dapat ditempuh melalui
perluasan areal pertanian baru baik pada lahan sawah maupun lahan kering dan pemanfaatan lahan tidur.
Tantangan dalam pengembangan ketahanan pangan adalah semakin terbatasnya kapasitas produksi
akibat berlanjutnya konversi lahan pertanian terutama lahan sawah irigasi ke penggunaan non pertanian,
menurunnya kesuburan tanah akibat meningkatnya intensitas usahatani dan degradasi lahan, serta semakin
terbatas dan ketidakpastian pasokan air untuk produksi pangan karena bersaing dengan sektor industri dan
pemukiman, serta perilaku iklim yang semakin tidak pasti akibat pemanasan global. Selain itu pola
penggunaan lahan sangat terkait dengan tingkat kepadatan penduduk. Di wilayah-wilayah dengan kepadatan
penduduk tinggi usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura berkembang dengan pesat, sedangkan di
wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah cendrung berkembang usahatani perkebunan tanaman
tahunan karena kebutuhan tenaga kerja relatif lebih sedikit. Kondisi demikian telah mengakibatkan adanya
ketimpangan penggunaan lahan antara tanaman pangan di satu pihak dan tanaman tahunan di pihak lain.
Sumbawa Barat yang merupakan Kabupaten termuda di Nusa Tenggara Barat, memiliki potensi
pengembangan tanaman pangan yang cukup luas, baik pada lahan sawah, tegalan, ladang, dan lahan
perkebunan. Berdasarkan hasil interpretasi foto udara dan citra landsat TM, lahan pertanian di KSB seluas
25.210 ha (14,34%) dari luas wilayah, terdiri atas lahan sawah seluas 9.780 ha (38,79%) dan lahan kering
(tegalan, ladang, kebun) seluas 15.430 ha (61,21%).
Sumberdaya tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi kebutuhan
pangan secara mandiri. Sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam menopang perekonomian
KSB, karena merupakan penyerap tenaga kerja terbesar. Tercatat sekitar 72,74% penduduk usia produktif
bekerja di sektor pertanian yang sebagian besar bekerja pada sub sektor pertanian dan perkebunan (63,92%),
perikanan (5,10%), peternakan (1,89%), dan kehutanan (1,83%).
576
Disisi lain penghapusan subsidi pupuk, secara langsung telah meningkatkan biaya produksi terutama
usahatani tanaman pangan yang sudah terbiasa dengan penggunaan pupuk yang berakibat pada penurunan
pendapatan usahatani. Untuk meningkatkan pendapatan petani, selain ditempuh melalui peningkatan
produktivitas usahatani dengan menerapkan teknologi unggulan yang sesuai, juga dapat ditempuh melalui
peningkatan efisiensi usahatani dengan merasionalisasi penggunaan sarana produksi, seperti penggunaan
benih dan pupuk. Para petanipun harus didorong agar mampu memperhitungkan penggunaan sarana produksi
secara tepat baik dalam jumlah, jenis, mutu dan saat tepat.
Di lain pihak untuk mengantisipasi adanya ketimpangan dalam penggunaan lahan antara tanaman
pangan dan perkebunan, maka dalam penyusunan tata ruang pertanian, perlu dipertimbangkan arahan
pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, sosial
ekonomi dan pilihan prioritas komoditas yang akan dikembangkan.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan adalah data dan informasi hasil survei sosial ekonomi komoditas pertanian
untuk pewilayakan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1:50.000 di KSB (Nazam et al.,
2005). Penentuan responden dan lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan petunjuk teknis
pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Balai Penelitian
Tanah, 2001). Kelayakan usahatani diperhitungkan berdasarkan pendekatan return cost ratio (RC ratio)
(Soekartawi, 1995).
Penentuan komoditas unggulan didasarkan atas pertimbangan bahwa komoditas tersebut memiliki
posisi strategis dan potensi pengembangan yang cukup besar berdasarkan arah kebijakan Pemda setempat.
Arahan pewilayahan dan pengembangan sistem pertanian tanaman pangan ditentukan berdasarkan
hasil evaluasi lahan untuk komoditas tanaman pangan dengan asumsi penerapan masukan sedang dengan
mempertimbangkan hasil analisis usahatani, aksesibilitas, dan pasar, dengan menggunakan program Modul
Pewilayahan Komoditas/ MPK (Bachri et al., 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelayakan dan Keragaan Usahatani Tanaman Pangan di KSB
Hasil analisis kelayakan usahatani padi sawah 2 kali setahun, padi tadah hujan, padi gogo, jagung,
kacang hijau, kedelai dan kacang tanah di KSB disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelayakan Usahatani Tanaman Pangan di KSB, 2005
Jenis Tanaman (JT) Tipologi Lahan (TL) Biaya Produksi
(Rp/ha) (BP)
Penerimaan (Rp/ha)
(REV) RC ratio
Padi sawah 2 x WR2 5.837.600 14.710.752 2,52
Padi tadah hujan WR4 2.148.472 4.384.490 2,04
Padi gogo DFE 1.332.994 2.132.790 1,60
Jagung DEF 1.326.000 3.600.000 2,71
Kacang hijau WR2 586.013 1.485.000 2,53
Kedelai WR2 745.000 3.625.000 4,87
Kacang tanah DEF 1.388.889 3.500.000 2,52
Standar > 1,10
Sumber : Diolah dari Nazam et al., 2005
a. Padi Sawah 2 Kali Setahun
Padi sawah yang ditanam 2 kali setahun diusahakan pada lahan irigasi teknis yaitu pada tipologi
lahan (TL) basah (zona IV-WR2), di wilayah Kecamatan Taliwang dan Brangrea. Sumber air utama berasal
dari Bendungan Kalimantong I yang terletak di Desa Mura Kecamatan Taliwang dan Kalimantong II di Desa
Bangket Monteh, Kecamatan Brangrea. Varietas padi yang umum ditanam adalah varietas Ciherang, IR-64
dan Widas. Benih berlabel dibeli di kios saprodi terdekat dengan harga rata-rata Rp.3.000/kg. Waktu tanam
musim hujan (MH) dimulai pada bulan Nopember dan panen pada bulan Februari atau Maret. Pada umumnya
pengolahan lahan menggunakan traktor dengan biaya rata-rata Rp.666.000/ha sampai siap tanam. Padi
ditanam secara tandur jajar dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Rata-rata penggunaan pupuk adalah Urea 216,7
kg/ha, Za 50 kg/ha dan SP-36 50 kg/ha. Penyiangan dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Upah
577
tenaga kerja harian berkisar antara Rp.17.500-20.000/HOK. Para petani juga biasa menggunakan pupuk
organik maupun obat-obatan cair/padat. Total biaya yang dikeluarkan untuk 2 kali musim tanam mencapai
Rp.5.837.600/ha. Produktivitas rata-rata yang dapat dicapai adalah 5,833 t/ha gabah kering panen (GKP).
Total penerimaan sebesar Rp.14.710.752/ ha dengan RC ratio 2,52. Produktivitas dan efisiensi usahatani
masih dapat ditingkatkan dengan mengurangi penggunaan benih dari 60 kg/ha menjadi 20-25 kg/ha dan
penggunaan varietas unggul baru, seperti Cigeulis yang sudah mulai berkembang di Sumbawa Barat dan padi
tipe baru (PTB) Gilirang dan Fatmawati.
b. Padi Sawah Tadah Hujan
Padi sawah tadah hujan diusahakan 1 kali setahun pada lahan irigasi terbatas atau sawah tadah hujan
yaitu pada TL basah (zona IV-WR4, tersebar di Kecamatan Seteluk, Jereweh, dan Sekongkang. Varietas padi
yang umum ditanam adalah varietas Ciherang, IR-64 dan Widas. Benih berlabel dibeli di kios-kios terdekat
dengan harga rata-rata Rp.3.000/kg. Sebagian petani masih meggunakan benih sendiri hasil panen tahun
sebelumnya. Waktu tanam musim hujan (MH) dimulai pada bulan Nopember dan panen pada bulan Februari
atau Maret. Pengolahan lahan pada umumnya menggunakan traktor atau cangkul dengan rata-rata biaya
Rp.666.000/ha. Padi ditanam dengan sistem tandur dengan jarak tanam tidak teratur. Kebutuhan benih sekitar
60 – 80 kg/ha. Penggunaan pupuk tergantung kemampuan petani dan ketersediaan pupuk yaitu rata-rata Urea
200-250 kg/ha dan SP-36 50-100 kg/ha. Penyiangan dilakukan secara manual dengan tenaga manusia. Upah
tenaga kerja harian rata-rata antara Rp.15.000-20.000/HOK. Total biaya rata-rata Rp.2.148.472/ha.
Produktivitas rata-rata yang dapat dicapai adalah 3,466 t/ha gabah kering panen (GKP). Total penerimaan
sebesar Rp.4.384.490/ha dengan RC ratio 2,04. Produktivitas dan efisiensi usahatani masih berpeluang untuk
ditingkatkan dengan penggunaan benih unggul baru, seperti padi tipe baru (PTB) Gilirang dan Fatmawati
dengan potensi hasil 6-10 t/ha.
c. Padi gogo
Padi gogo ditanam 1 kali setahun pada lahan tegalan atau perbukitan yaitu pada TL kering (IV-DEF,
IV-DFE dan III-DEF), tersebar di Kecamatan Seteluk, Jereweh, Brangrea dan Sekongkang. Varietas padi
yang umum ditanam adalah varietas IR-64 dan lokal. Benih umumnya tanpa label dan banyak disediakan
sendiri dari hasil panen tahun sebelumnya. Waktu tanam MH dimulai pada bulan Nopember-Desember dan
panen pada bulan Maret-April. Persiapan lahan meliputi pembersihan dengan cara dibakar dan tanpa olah
tanah. Benih ditanam dengan cara ditugal atau disebar. Kebutuhan benih dapat mencapai 100–120 kg/ha.
Pada umumnya tidak dilakukan pemupukan, atau pemupukan seadanya, penyiangan dilakukan secara manual
dengan tenaga manusia. Upah tenaga kerja harian rata-rata antara Rp.15.000 -20.000/HOK. Total biaya rata-
rata Rp.1.332.994/ha. Produktivitas rata-rata yang dapat dicapai adalah 1,686 t/ha GKP. Total penerimaan
sebesar Rp. 2.132.790/ha dengan RC ratio 1,60. Produktivitas dan pendapatan usahatani masih berpeluang
untuk ditingkatkan dengan menerapkan teknologi anjuran, seperti penggunaan benih unggul bermutu,
pemeliharaan yang baik dan mengurangi takaran penggunaan benih.
d. Jagung
Jagung merupakan komoditas yang banyak diusahakan di KSB, baik pada lahan kering maupun
lahan sawah. Wilayah yang merupakan sentra jagung di KSB adalah wilayah Kecamatan Seteluk, dan
Sekongkang. Hasil wawancara dengan petani di Dusun Kokar Lian, Desa Pototano, Kecamatan Seteluk,
menunjukkan bahwa varietas jagung yang ditanam umumnya varietas lokal dan sebagian kecil varietas
jagung hibrida. Benih jagung hibrida dibeli di Lombok atau menggunakan benih yang berasal dari hasil
panen sebelumnya. Kebutuhan benih 20 kg/ha dengan harga rata-rata Rp.5.000/kg. Waktu tanam pada awal
musim hujan atau sekitar bulan Nopember-Desember dan panen pada bulan Februari atau Maret. Persiapan
lahan meliputi pembersihan dan pengolahan tanah dengan traktor dengan biaya Rp.600.000/ha. Jagung
ditanam secara ditugal dengan jarak 30 x 40 cm. Pemupukan dengan Urea 300 kg/ha dan KCl 50 kg/ha.
Penyiangan dilakukan dengan cangkul sambil penggemburan tanah. Total biaya produksi mencapai
Rp.1.326.000/ha. Produksi yang dapat dicapai rata-rata 4,8 t/ha jagung pipil. Pemasaran langsung ke
tengkulak dengan harga Rp.1.000/kg diterima di lokasi. Hasil analisis usahatani diperoleh total penerimaan
sebesar Rp. 3.600.000/ha dengan RC ratio 2,71. Upaya peningkatan produksi dan produktivitas jagung selain
ditempuh melalui perbaikan teknologi produksi, juga dapat ditempuh melalui perluasan areal tanam dengan
memanfaatkan potensi sumberdaya lahan yang sesuai berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman. Hasil
penelitian Balitsereal menunjukkan perbaikan teknologi produksi jagung dengan pendekatan pemeliharaan
tanaman terpadu (PTT), produktivitas jagung dapat mencapai 7 – 9 t/ha (Saenong dan Subandi, 2002). Hasil
kajian di Sambelia Lombok Timur produksi jagung varietas Lamuru dapat mencapai 5,45 t/ha jagung pipilan
(Awaludin et al., 2004).
578
e. Kacang hijau
Kacang hijau banyak ditanam pada lahan sawah irigasi setelah padi musim tanam kemarau I (MKI)
untuk memanfaatkan sisa air yang terbatas dari sumber air. Pada umumnya diusahakan oleh petani di wilayah
Kecamatan Taliwang dan Brangrea. Varietas kacang hijau yang umum ditanam adalah varietas Samsik.
Benih umumnya dibeli di pasar terdekat dengan harga Rp.6.000-6.500/kg dengan kebutuhan benih rata-rata
8,4 kg/ha. Waktu tanam pada bulan September setelah padi kedua dan panen pada bulan Nopember.
Persiapan lahan meliputi pembersihan lahan dari rumput dan jerami dengan cara dibakar. Penanaman
dilakukan dengan cara disebar. Pemupukan biasanya menggunakan pupuk cair, seperti gandasil D dan B.
Penyiangan dilakukan secara manual dengan sabit. Total biaya produksi rata-rata Rp.586.013/ha.
Produktivitas rata-rata dapat mencapai 360 kg/ha biji kering. Total penerimaan Rp.1.485.000/ha dengan RC
ratio 2,53. Produktivitas dan pendapatan petani masih berpeluang ditingkatkan dengan penerapan teknologi
anjuran, penggunaan benih unggul bermutu, seperti Murai, Perkutut, Kenari dengan potensi hasil 1,5 – 1,64
t/ha.
f. Kedelai
Kedelai banyak diusahakan di Kecamatan Taliwang, Brangrea dan Jereweh, yaitu pada lahan sawah
irigasi maupun tadah hujan setelah padi. Pada lahan sawah irigasi ditanam pada bulan Juni setelah padi MH.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di Desa Beru, Kecamatan Brangrea menunjukkan bahwa kedelai
ditanam dengan cara ditugal, jarak tanam 20 x 20 cm. Persiapan tanam meliputi pembersihan lahan,
selanjutnya ditugal kemudian ditutup mulsa jerami. Kegiatan pemeliharaan meliputi penyemprotan dengan
pupuk cair sampurna D dan B pada umur 7 HST dan 49 HST. Total biaya yang dikeluarkan rata-rata
Rp.745.000/ha. Produksi yang dapat dicapai 1,25 t/ha dijual dalam bentuk biji kering dengan harga jual di
tingkat petani Rp.2.900/kg. Total penerimaan sebesar Rp.3.625.000/ha dengan RC ratio 4,87. Produktivitas
kedelai masih dapat ditingkatkan mencapai 1,8 – 2,16 t/ha dengan menerapkan paket teknologi anjuran
Menurut Adisarwanto dan Wudianto (1999), untuk meningkatkan produktivitas kedelai selain dengan
menerapkan teknologi yang telah akrab dengan petani, seperti pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian
hama dan penyakit, pengairan dan kegiatan pemeliharaan lainnya, beberapa teknologi baru yang telah
terbukti dapat meningkatkan produksi maupun kualitas hasil adalah penggunaan benih unggul, penggunaan
mulsa jerami, inokulasi rhizobium, pemberian PPC dan ZPT serta perlakuan benih. Varietas kedelai yang
dianjurkan ditanam pada lahan sawah antara lain wilis, lokon, kerinci, merbabu, tidar, merapi (biji hitam),
panderman dan ijen dengan potensi hasil 2,4 t/ha.
g. Kacang tanah
Kacang tanah banyak diusahakan di Dusun Kokar Lian, Desa Pototano, Kecamatan Seteluk. Kacang
tanah ditanam pada lahan kering/tegalan, waktu tanam biasanya pada MH sekitar bulan Nopember-Desember,
tergantung keadaan hujan dan panen pada bulan Maret. Varietas yang umum ditanam adalah varietas Bima
dan kacang lokal. Persiapan lahan meliputi pembersihan dan penngolahan dengan tenaga manusia.
Penanaman dilakukan dengan cara ditugal dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pemeliharaan tanaman meliputi
penyiangan dan pembumbunan. Produktivitas kacang tanah yang dapat dicapai adalah 1,6 t/ha kacang
gelondongan (polong). Kacang tanah dijual dalam bentuk gelondongan dengan harga Rp.3.125/kg di tingkat
petani. Tengkulak biasanya datang membeli langsung di petani. Berdasarkan hasil analisis usahatani
diperoleh total pengeluaran sebesar Rp.1.388.889/ha dan total penerimaan sebesar Rp.3.500.000,-/ha dengan
RC ratio 2,52. Produktivitas dan pendapatan petani masih dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi
anjuran, seperti pengolahan lahan yang baik, pemupukan, pengendalian gulma, penggunaan benih unggul
bermutu, seperti Bima dengan potensi hasil 1,6 – 2,5 t/ha, varietas Turangga (1,4 – 3,6 t/ha), Panter (2,6 t/ha),
dan lain lain.
Tipe Penggunaan Lahan dan Pola Tanam
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan observasi lapangan menunjukkan bahwa di wilayah
KSB terdapat beberapa tipe penggunaan lahan (TPL) yang spesifik. Lahan sawah umumnya terletak di
dataran aluvial, dataran volkan, dan lereng volkan. Lahan sawah irigasi ada yang ditanami padi 2 kali
setahun dan ada juga yang ditanami padi 1 kali setahun. Sawah tadah hujan umumnya ditanami padi sekali
setahun, dan pada MK I ditanami palawija, seperti kacang hijau dan kedelai.
Berdasarkan sebaran hujan dan ketersediaan air dapat ditentukan pola tanam yang sesuai di KSB.
Pada lahan sawah irigasi pola tanam yang sesuai adalah padi-padi-palawija atau padi-padi-tanaman semusim
lainnya. Pada lahan sawah tadah hujan pola tanam yang sesuai adalah padi-palawija-bera. Pada lahan tegalan
pola tanam yang sesuai adalah padi gogo-kacang hijau atau jagung/kacang tanah-kacang tanah (Gambar 1
a,b,c).
579
Komoditas Bulan
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi
Kacang Hijau Kedelai
Tan.semusim lain
Gambar 1 a. Pola tanam lahan sawah irigasi di KSB, 2005
Komoditas Bulan
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi Kacang Hijau
Kedelai
Tan.semusim lain
Bera
Gambar 1 b. Pola tanam lahan sawah tadah hujan di KSB, 2005
Komoditas Bulan
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1) Padi Gogo
- Kc. Hijau
2) Jagung//
Kc. Tanah 3) Jagung/
Kc. Hijau
4) Jagung//
Kedelai Kc. Tanah
Bera
Gambar 1 c. Pola tanam lahan kering di KSB, 2005
Arahan Pewilayahan dan Pengembangan Sistem Pertanian Tanaman Pangan
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dan kelayakan usahatani komoditas pertanian di KSB,
diperoleh komoditas pertanian tanaman pangan unggulan, yaitu padi sawah, padi gogo, kacang hijau, jagung,
kedelai dan kacang tanah.
Dengan asumsi penerapan masukan sedang dan dilengkapi dengan analisis ekonomi yang
mempertimbangkan aksesibilitas, pasar, komoditas unggulan, dan kelayakan ekonomi, dengan menggunakan
program Modul Pewilayahan Komoditas/MPK (Bachri et al., 2002), dapat dihasilkan 5 arahan pewilayahan
komoditas pertanian tanaman pangan sesuai dengan zona agroekologinya dan 2 arahan pengembangan sistem
pertanian tanaman pangan (Tabel 2).
Berdasarkan data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa ke 5 arahan pewilayahan komoditas pertanian
tanaman pangan di KSB teridiri atas zona III-DEF, zona IV-DEF, IV-DFE, IV-WR2 dan IV-WR4 dengan 2
arahan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan, yaitu :
1. Arahan pengembangan sistem pertanian lahan kering, meliputi : (a) pengembangan sistem pertanian
lahan kering tanaman pangan di antara tanaman tahunan perkebunan atau hortikultura yang diusahakan
dengan sistem lorong pada zona III-DEF. Wilayah ini memiliki kelerengan 8-15% sehingga dianjurkan
penerapan sistem teras, pengolahan tanah ringan (minimum tillage) dan menggunakan mulsa sehingga
dapat mengurangi erosi. Jenis tanaman pangan yang sesuai untuk diusahakan adalah padi gogo, jagung
dan kacang hijau. (b) pengembangan sistem pertanian lahan kering
tanaman pangan di antara tanaman perkebunan/hortikultura pada zona IV-DEF yaitu pada satuan lahan 1,
18, 20, dan 27. Wilayah ini memiliki kelerengan <8%, sehingga tidak diperlukan penterasan. Pengolahan
tanah ringan dan penggunaan mulsa untuk mengurangi penguapan. Jenis tanaman pangan yang sesuai
untuk diusahakan adalah padi gogo dan jagung. (c) pengembangan sistem pertanian lahan kering
tanaman pangan dan perkebunan/hortikultura pada zona IV-DFE yaitu pada satuan lahan 7-9, 19, 28, dan
38. Wilayah ini termasuk wilayah datar dengan kelerengan <8%. Jenis tanaman pangan yang sesuai
untuk diusahakan adalah padi gogo dan jagung.
580
Tabel 2. Arahan Pewilayahan dan Pengembangan Sistem Pertanian Tanaman Pangan Unggulan di KSB, 2005
Kode Komoditas Sistem Pertanian No. Satuan
Lahan
Luas
Ha %
III-DEF Mangga, jambu mete, srikaya, kopi,
jagung, padigogo, cabe, bawang
merah, ubi jalar
Pertanian lahan kering tan.
tahunan/ hortikul dan tan.
pangan sistem lorong
10, 23 1.953 1,11
IV-DEF Mangga, jeruk, jambu mete, kelapa
srikaya, kopi, jagung, padi gogo, cabe, bawang merah, ubi jalar
Pertanian lahan kering tanaman
tahunan/ hortikultura dan tan. pangan
1, 18, 20, 27 4.714 2,68
IV-DFE Jagung, padi gogo, cabe, bawang merah, ubi jalar, mangga, jeruk,
jambu mete, kelapa, srikaya, kopi
Pertanian lahan kering tanaman pangan dan tanaman tahunan/
hortikultura
7-9, 19, 28, 38 8.763 4,99
IV-WR2 Padi sawah, jagung, kedelai,
kacang hijau, cabe, bawang merah,
ubi jalar
Pertanian lahan basah tanaman
pangan (2 kali padi + palawija)
3, 4, 11 5.628 3,20
IV-WR4 Padi sawah, jagung, kedelai,
kacang hijau, cabe, bawang merah,
ubi jalar
Pertanian lahan basah tanaman
pangan (1 kali padi + palawija)
2, 5, 6, 22, 26 4.152 2,36
Jumlah 25.210 14,34
Sumber : Diolah dari Nazam et al., 2005
Keterangan : III dan IV = zone AEZ; W = lahan basah, D = lahan kering ; E = tanaman tahunan perkebunan/
hortikultura; R = padi sawah; dan F = tanaman pangan.
2. Pengembangan sistem pertanian lahan basah, meliputi : (a) pengembangan sistem pertanian lahan basah
tanaman pangan pada zona IV-WR2 yaitu pada satuan lahan 3, 4, dan 11. Wilayah ini umumnya adalah
sawah irigasi teknis dengan 2 kali padi dan 1 kali palawija. Jenis palawija yang diusahakan adalah
kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan jagung; (b) pengembangan pertanian lahan basah tanaman
pangan pada zona IV-WR4 yaitu pada satuan lahan 2, 5, 6, 22. Wilayah ini adalah sawah dengan irigasi
terbatas, diusahakan 1 kali padi dan 1 atau 2 kali palawija. Jenis palawija yang diusahakan adalah kacang
tanah, kedelai, kacang hijau dan jagung.
KESIMPULAN DAN SARAN
Komoditas tanaman pangan unggulan, seperti padi, jagung, kacang hijau, kedelai dan kacang tanah
memberikan keuntungan usahatani dan layak dikembangkan di KSB. Produktivitas dan pendapatan usahatani
untuk tanaman pangan masih dapat ditingkatkan melalui penerapan paket teknologi unggulan, seperti
penggunaan benih unggul bermutu, rasionalisasi penggunaan pupuk dan benih serta perbaikan teknologi
pasca panen.
Terdapat 2 (dua) arahan pengembangan sistem pertanian tanaman pangan unggulan di KSB, yaitu :
(a) pengembangan sistem pertanian tanaman pangan lahan kering dengan memadukan antara tanaman pangan
dengan tanaman tahunan perkebunan atau hortikultura pada zona III-DEF, zona IV-DEF dan zona IV-DFE;
dan (b) pengembangan sistem pertanian tanaman pangan lahan basah pada zona IV-WR2 dan zona IV-WR4
dengan pola tanam padi-padi palawija atau padi-palawija bera atau padi palawija/tanaman musiman lain.
Untuk mengantisipasi adanya ketimpangan dalam penggunaan lahan antara tanaman pangan dan
perkebunan, maka dalam menyusun tata ruang pertanian, perlu dipertimbangkan arahan pewilayahan dan
pengembangan sistem pertanian berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, sosial ekonomi dan pilihan
prioritas komoditas yang akan dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto T., dan R. Wudianto., 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah-Kering-Pasang
Surut. Penebar Swadaya.1999. Jakarta.
Awaludin H, Kunto K, A. Suriadi, Y. Alfian H, dan Mashur. 2004. Kajian peningkatan produktivitas lahan
kering berbasis jagung melalui penerapan teknologi spesifik lokasi di Kabupaten Lombok Timur.
Laporan Proyek
Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, Irawan. 2002. Modul Pewilayahan Komoditas (MPK). Versi 1.2.
Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
581
Balai Penelitian Tanah. 2001. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian
Berdasarkan Zona Agro Ekologi (ZAE) skala 1:50.000 (Model 1). Balai Penelitian Tanah,
Puslitbangtanak Bogor.
Djaenudin, D, Marwan H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas
Pertanian. Versi 3. 2000. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Nazam, M., A. Suriadi, Hendra S., Prisdiminggo, Adi P., Marwan H. 2005. Pewilayahan Komoditas
Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi Skala 1:50.000 KSB. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Badan Litbang Pertanian.2005. Mataram.
Rossister, D, And Van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System. User‟s Manual Version 4.6.
Cornell University, Ithaca, New York.
Saenong S., dan Subandi. 2002. Konsep PTT pada Tanaman Jagung. Makalah disampaikan pada
pembinaan Teknis dan Manajemen PTT Palawija di Balitkabi. Malang 21 – 22 Desember 2002.
Soekartawi. 1995. Dasar Penyusunan Evaluasi Proyek. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.
582
PERANAN INDUSTRI PENGOLAHAN KRIPIK SINGKONG DALAM MENGGERAKKAN
PEREKONOMIAN PEDESAAN
Kasus di Desa Padamara, Kabupaten Lombok Timur
Sri Hastuti, Ulyatu Fitrotin, dan Prisdiminggo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK
Desa Padamara merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam kategori miskin di Kabupaten Lombok
Timur. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani (34%) dan buruh tani (60%), yang berimplikasi pada pendapatan
rumahtangga sebagian besar penduduk relatif rendah. Singkong termasuk komoditas tanaman pangan bernilai ekonomi
rendah, sehingga proses pengolahan singkong akan memberi nilai tambah komoditas ini. Dengan memanfaatkan potensi sumberdaya manusia yang ada dan ketersediaan bahan baku di daerah sekitarnya, salah satu usaha untuk meningkatkan
pendapatan keluarga adalah melalui industri pengolahan kripik singkong. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis
kelayakan usaha pengolahan kripik singkong dan peranan industri pengolahan kripik singkong dalam perekonomian
pedesaan. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2006 di Desa Padamara, Kabupaten Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara intensif pada industri pengolahan kripik singkong. Data yang dikumpulkan dianalisis secara
deskriptif kuantitatif. Analisis menunjukkan bahwa usaha pengolahan kripik singkong mempunyai prospek untuk
dikembangkan. Pengolahan kripik singkong layak dilakukan dengan nilai B/C ratio sebesar 0,62. Dilihat dari
pertumbuhan ekonomi daerah, industri pengolahan kripik singkong telah memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan baik dalam penyediaan bahan baku, proses produksi maupun pemasaran. Peningkatan pendapatan
rumahtangga dari pengolahan kripik singkong sebesar Rp 2.064.375 per bulan, disamping itu mampu meningkatkan
pendapatan lembaga pelaku pemasaran seperti tukang ojek dan kios makanan.
Kata kunci : singkong, pengolahan, kelayakan usaha, pendapatan
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk miskin di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai dengan tahun 2003
mencapai 1.054.700 jiwa (BPS, 2003). Dari jumlah penduduk miskin tersebut sebagian besar berada di
pedesaan (54 %) dan lebih banyak penduduk wanita (52%). Di wilayah Propinsi NTB, Kabupaten Lombok
Timur merupakan salah daerah dengan persentase penduduk miskin relatif tinggi. Berdasarkan data dan
informasi kemiskinan BPS tahun 2003, kemiskinan dialami oleh sebagian besar penduduk yang bekerja di
sektor pertanian (68 %). Bahkan persentase penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian di Kabupaten
Lombok Timur mencapai 75 persen, lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata propinsi.
Desa Padamara, Kecamatan Sukamulia merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam kategori
miskin di Kabupaten Lombok Timur. Sebagian besar penduduk Desa Padamara bekerja di sektor pertanian,
baik sebagai petani (34%) maupun buruh tani (60%). Hal ini berimplikasi pada pendapatan rumahtangga
sebagian besar penduduk relatif rendah. Areal tanam singkong di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2004
seluas 1166 ha dengan produksi 13.553 ton (BPS Kabupaten Lombok Timur, 2004). Produksi singkong
Kabupaten Lombok Timur dominan dihasilkan dari Kecamatan Pringgasela dan Labuhan Haji.
Singkong termasuk komoditas tanaman pangan bernilai ekonomi rendah, proses pengolahan
singkong akan memberi nilai tambah komoditas ini. Dengan memanfaatkan potensi sumberdaya manusia
yang ada dan ketersediaan bahan baku singkong di daerah sekitarnya, salah satu usaha untuk meningkatkan
pendapatan keluarga adalah melalui industri pengolahan kripik singkong. Tulisan ini bertujuan untuk
menganalisis kelayakan usaha pengolahan kripik singkong dan peranan industri pengolahan kripik singkong
dalam perekonomian pedesaan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada tahun 2006 di Desa Padamara, Kabupaten Lombok Timur.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara intensif pada industri pengolahan kripik singkong. Data
yang dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis finansial menggunakan kriteria B/C ratio dan Break
Event Point (BEP) (Sudana, et al, 1999 dan Swastika, 2004).
583
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Industri Pengolahan Kripik Singkong
Industri pengolahan singkong yang sudah berkembang di beberapa wilayah di Propinsi NTB
termasuk di Lombok Timur adalah industri kripik singkong. Pada umumnya industri kripik singkong dikelola
sebagai industri rumahtangga. Sampai saat ini belum tersedia data yang pasti tentang perkembangan jumlah
dan produksi industri kripik singkong di NTB.
Salah satu industri kripik singkong berada di Desa Padamara yang mulai beroperasi sejak tahun
2003. Usaha pembuatan kripik singkong berdiri atas inisiatif sendiri dan dikelola oleh kelompok dengan
jumlah anggota sebanyak 8 orang. Dalam proses produksinya, anggota kelompok tersebut juga berperan
sebagai tenaga kerja. Sejak mulai berproduksi, industri kripik singkong di Desa Padamara sudah pernah
memperoleh pembinaan dari instansi terkait. Fasilitas alat pengolah yang digunakan masih sederhana, kecuali
alat perajang singkong yang dioperasikan dengan energi listrik.
Ketersediaan Bahan Baku
Sumber pengadaan bahan baku singkong diperoleh dari pasar terdekat di luar kecamatan. Bahan
baku singkong dibeli dari pedagang pengumpul yang berfungsi sebagai pemasok tetap (langganan).
Dilihat dari kontinuitas bahan baku, ketersediaan singkong fluktuatif sesuai dengan musimnya. Ada
waktu-waktu tertentu dimana produksi singkong berlimpah dan ada saat dimana produksi singkong kurang.
Pada musim hujan yaitu antara bulan November sampai Maret, ketersediaan singkong di pasar cukup banyak.
Dengan mulai turunnya hujan pada bulan November, petani mulai melakukan panen singkong dan
mempersiapkan lahannya untuk komoditas utama di musim hujan. Kondisi ini berlangsung sampai dengan
bulan Maret. Sementara itu pada bulan April dan Mei, produksi singkong mulai berkurang. Pada bulan Juni
sampai Oktober, ketersediaan singkong relatif sedikit.
Dalam ekonomi berlaku hukum dimana pada saat suplai tinggi maka harga yang berlaku akan
rendah, dan sebaliknya. Hukum ekonomi ini berlaku juga untuk komoditi singkong, pada bulan-bulan
produksi singkong berlimpah akan menyebabkan harga singkong turun sampai mencapai Rp 10.000/karung.
Harga Singkong tertinggi yaitu Rp 25.000/karung terjadi pada bulan Juni – Oktober. Dengan demikian harga
singkong dapat digunakan sebagai indikator ketersediaan singkong di pasaran.
Analisa Kelayakan Pengolahan Kripik Singkong
Kapasitas produksi pengolahan kripik singkong rata-rata 10 karung bahan baku per 5 hari, atau
sekitar 500 kg singkong. Dalam satu tahun, produksi singkong dilakukan selama 9 bulan, 3 bulan yaitu bulan
Agustus – Oktober tidak berproduksi. Hal ini disebabkan pada bulan Agustus – Oktober sedang musim panen
tembakau dan semua tenaga kerja termasuk pembuat kripik singkong ikut bekerja sebagai buruh rajang
tembakau. Upah buruh rajang tembakau relatif tinggi yaitu Rp 40.000/HOK, sehingga tenaga kerja lebih
tertarik bekrja sebagai buruh rajang tembakau.
Tabel 1 memperlihatkan analisa biaya dan keuntungan pengolahan kripik singkong selaam satu
bulan di Desa Padamara. Dalam sekali proses produksi dibutuhkan 50 karung bahan baku singkong untuk
menghasilkan 120 bal kripik singkong, dalam satu bulan rata-rata dilakukan 5 kali proses produksi.
Biaya pengolahan kripik singkong terdiri dari penyusutan alat dan biaya variabel. Total biaya yang
dikeluarkan dalam satu bulan Rp 3.335.625 (Tabel 1). Pangsa biaya terbesar pembelian bahan yang mencapai
56 persen. Total pendapatn yang diperoleh Rp 5.400.000. Dengan demikian usaha pengolahan kripik
singkong memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.064.375/bulan. Usaha kripik singkong menguntungkan dan
layak dilakukan dengan nilai B/C sebesar 0,62.
Untuk melihat kemampuan usaha dalam mengembalikan atau menutupi seluruh modal yang
diinvestasikan digunakan ukuran ekonomi Pay Back Period. Dalam analisa ini diperoleh nilai Pay Back
Period 1,62 artinya untuk dapat menutup kembali biaya yang investasi yang dikeluarkan adalah 1,62 periode
produksi. Untuk mengukur kemampuan modal dalam menghasilkan keuntungan bersih digunakan Rate of
Return on Investment (ROI). Nilai ROI yang diperoleh dalam usaha pengolahan kripik singkong 61,89
persen, artinya setiap Rp 100.000 modal yang diinvestasikan menhasilkan keuntungan bersih sebesar
Rp 61.890.
584
Tabel 1. Biaya dan Keuntungan Pengolahan Kripik Singkong per Bulan di Desa Padamara Kabupaten Lombok Timur,
2006
No Uraian Satuan Volume Harga/sat
uan (Rp)
Nilai
(Rp) Persen
I. Penyusutan Alat
Perajang singkong Buah 1 21.667 21.667 0,40
Bak Buah 4 625 2.500 0,05
Tenggok Buah 2 833 1.667 0,03
Wajan Buah 3 1.458 4.375 0,08
Saringan minyak Buah 2 417 833 0,02
Plastik karung Lembar 2 1.250 2.500 0,05
Pisau Buah 3 417 1.250 0,02 Tungku tanah Buah 1 8.333 8.333 0,15
43.125 0,80
II. Biaya Variabel
1. Bahan : Singkong Karung 10 10.000 500.000 9,26
Minyak goreng Liter 300 4.900 1.470.000 27,22
Garam Bungkus 5 1.000 5.000 0,09
Margarin Bungkus 15 6.000 90.000 1,67 Plastik pengemas Pak 20 13.500 270.000 5,00
Plastik bal Pak 5 28.000 140.000 2,59
Logo Lembar 375 100 37.500 0,69
Kayu bakar Ikat 100 5.000 500.000 9,26
3.012.500 55,79
2. Tenaga Kerja :
Mengupas HOK 10 7.000 70.000 1,30
Merajang HOK 5 7.000 35.000 0,65 Menggoreng HOK 5 7.000 35.000 0,65
Pengemasan HOK 20 7.000 140.000 2,59
280.000 5,19
JumlahBiaya Variabel 3.292.500 60,97
III. Total biaya 3.335.625 61,77
IV. Produksi Bal 600 9.000 5.400.000 100,00 Keuntungan 2.064.375 38,23
B/C Ratio 0,62
Payback period 1,62
ROI 61,89
Sumber : Data primer diolah, 2006
Titik impas (BEP) dicapai pada saat keuntungan sama dengan nol atau total biaya sama dengan total
penerimaan atau nilai produksi. Analisis titik impas dapat dilakukan untuk mengetahui titik impas produksi
maupun titik impas harga. Hasil analisis diperoleh titik impas produksi sebesar 370 bal/bulan, sedangkan titik
impas harga sebesar Rp 5.559/bal. Artinya pada tingkat harga kripik singkong Rp 9000/bal, selama produksi
berada di atas 370 bal/bulan maka usaha kripik singkong layak dilakukan. Sebaliknya pada tingkat produksi
600 bal/bulan, selama harga berada di atas Rp 5.559/bal maka usaha pengolahan kripik singkong layak
dilakukan.
Aspek Pemasaran
Pemasaran kripik singkong dari Desa Padamara masih terbatas pada pemasaran dalam desa dan
daerah di luar kecamatan dalam kabupaten yang sama. Lembaga yang terlibat dalam pemasaran kripik
singkong adalah agen penyalur dalam hal ini dilakukan oleh tukang ojek dan kios pengecer. Tukang ojek
sebagai penyalur masing-masing mempunyai wilayah pemasaran dan pengecer langganan. Kegiatan ini
merupakan pekerjaan sampingan tukang ojek dan memberikan pendapatan tambahan.
Rantai pemasaran kripik singkong dari produsen ke konsumen relatif pendek (Gambar 1). Dari
gambar ini ditunjukkan bahwa produsen menjual kripik kepada kios melalui penyalur, dan selanjutnya kios
menjual kripik kepada konsumen.
Gambar 1. Rantai Pemasaran Kripik Singkong dari Produsen di Desa Padamara sampai Konsumen di Kabupaten
Lombok Timur, 2006
Produsen
kripik singkong
Penyalur /
tukang ojek Kios / pengecer Konsumen
585
Marjin pemasaran merupakan salah satu indikator untuk menelaah efisiensi pemasaran. Satuan
transaksi yang digunakan dalam analisa marjin pemasaran seperti disajikan dalam Tabel 2 adalah bal. Harga
yang diterima produsen sebesar Rp 9.000/bal kripik atau 60 persen dari harga konsumen. Total marjin
pemasaran sebesar 40 persen merupakan biaya pemasaran dan keuntungan lembaga pemasaran masing-
masing sebesar 0,67 persen dan 39,33 persen. Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa pemasaran kripik
singkong efisien terlihat pangsa harga produsen (60%) yang lebih tinggi dibandingkan pangsa marjin
pemasaran (40%).
Tabel 2. Marjin Pemasaran Kripik Singkong dari Produsen sampai Konsumen di Kabupaten Lombok Timur, 2006
No. Uraian Harga/Biaya
(Rp)
Persentase1)
(%)
Harga jual produsen2) 9.000 60,00
Penyalur/tukang ojek
1. Harga beli 9.000 60,00
2. Biaya pemasaran 100 0,67
3. Keuntungan penyalur 900 6,00
4. Marjin pemasaran 1.000 6,67
5. Harga jual 10.000 66,67
Kios makanan/pengecer 2)
1. Harga beli 10.000 66,67
2. Biaya pemasaran 0 0,00
3. Keuntungan pengumpul kabupaten 5.000 33,33
4. Marjin pemasaran 5.000 33,33
5. Harga jual/harga beli konsumen 15.000 100,00
Volume pemasaran/bulan3) 600
Total keuntungan pedagang/bulan4) 3.540.000
Sumber : Data primer diolah, 2006
Keterangan :
1. Persentase dari harga jual pengecer/harga beli konsumen
2. Per bal kripik singkong
3. Satuan volume pemasaran adalah bal 4. Total keuntungan penyalur dan pengecer selama sebulan
Fungsi Industri Pengolahan
Rantai agribisnis terdiri dari beberapa komponen berupa sub-sistem yang saling terkait dan
merupakan suatu kesatuan yang satu sama lain saling mempengaruhi. Salah satu sub-sistem tersebut adalah
pengolahan hasil. Sebagai bagian dari sistem agribisnis, pengolahan hasil secara langsung terkait dengan sub-
sistem produksi, sub-sistem pemasaran dan sub-sistem jasa angkutan. Adanya industri pengolahan akan
menggerakkan sub-sistem terkait tersebut dan secara tidak langsung menggerakkan sub-sistem lainnya
seperti sub-sistem saprodi. Sebaliknya keberadaan industri pengolahan tergantung kepada sub-sistem yang
lain.
Industri pengolahan khususnya pengolahan kripik singkong mempunyai peran dalam penyediaan
lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun wilayah. Tenaga kerja yang terserap
dalam pengolahan singkong mulai dari petani, ibu rumahtangga, pedagang makanan dan kios makanan.
Pendapatan yang diperoleh produsen, tukang ojek dan kios makanan per bulan dari industri kripik singkong
masing-masing sebesar Rp 2.064.375; Rp 3.000.000 dan Rp 540.000.
KESIMPULAN
1. Dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan potensi sumber daya manusia yang ada, usaha
pengolahan kripik singkong layak dilakukan
2. Dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi daerah, industri pengolahan kripik singkong telah memberikan
kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan baik dalam penyediaan bahan baku, proses produksi
maupun pemasaran.
3. Peningkatan pendapatan rumahtangga dari pengolahan kripik singkong sebesar Rp 2.064.375 per bulan.
Disamping itu industri pengolahan mampu meningkatkan pendapatan lembaga pelaku pemasaran seperti
tukang ojek dan kios makanan.
586
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Lombok Timur. 2004. Kabupaten Lombok Timur dalam Angka.
BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Dinas Pertanian Kab. Lombok Timur, Selong
Swastika, D.K.S. 2004. Metode Analisis dalam Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. JPPTP Vol. 7 No.1,
Januari 2004. PSE. Bogor.
Sudana, I.W., D.K.S. Swastika, Nyak Ilham dan Rita Nur Suhaeti. 1999. Metodologi Penelitian dan
Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
587
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SINGKONG TERPADU SKALA RUMAH TANGGA DI
PEDESAAN
Ulyatu Fitrotin, Sri Hastuti dan Arief Surahman
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK
Singkong merupakan salah satu komoditi yang murah dan banyak terdapat di pedesaan. Pengolahan singkong
secara terpadu merupakan salah satu upaya memanfaatkan seluruh bagian dari umbi singkong tanpa ada yang terbuang dan mengoptimalkan setiap tahapan proses pengolahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk pertanian.
Pengkajian ini diterapkan pada industri kripik singkong skala rumah tangga di pedesaan. Lokasi pengkajian bertempat di
Desa Padamara Kabupaten Lombok Timur dari bulan Februari hingga Juli 2006. Rancangan pengkajian yang digunakan
adalah with and without yaitu membandingkan antara petani yang menggunakan sentuhan teknologi (kooperator) dengan yang tidak menggunkaan sentuhan teknologi (non kooperator), uji organoleptik dibandingkan dengan uji t dan untuk
mengetahui kelayakan ekonomis teknologi yang dikaji menggunakan analisis B/C ratio. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa umbi singkong yang diolah menjadi kripik singkong dapat memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp.
2.064.375,- per bulan dengan B/C ratio 0,64. Industri rumah tangga ini menghasilkan limbah (hasil samping) berupa kulit singkong, potongan kecil singkong, dan endapan pati singkong. Dengan introduksi teknologi, hasil samping
tersebut diolah lebih lanjut seperti kulit singkong digunakan sebagai campuran pakan ternak, potongan kecil singkong
dibuat menjadi jajanan seperti lentho dan endapan pati menjadi tepung tapioka yang lebih berkualitas. Dari hasil
pengolahan lanjut potongan kecil singkong dan endapan pati singkong dapat memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp. 98.750,- per bulan (4,78%) dan kulit singkong yang dihasilkan memiliki potensi menekan biaya pakan ternak.
Kata kunci: teknologi pengolahan, terpadu, singkong, hasil samping
PENDAHULUAN
Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan bahan pangan potensial masa depan
dalam tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Sejak dulu hingga sekarang singkong berperan
cukup besar dalam mencukupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan sebagai bahan baku berbagai industri
makanan. Singkong merupakan salah satu tanaman yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
berbagai kodisi tanah dan tidak memerlukan perawatan yang khusus. Singkong merupakan salah satu
komoditi yang banyak dijumpai di daerah tertinggal seperti di Desa Padamara Kabupaten Lombok Timur.
Harga per kg singkong relatif rendah berkisar antara Rp. 200,- hingga Rp. 500,- per kg (BPS, 2004). Upaya
pengolahan lanjut singkong diperlukan untuk menunjang program diversifikasi pangan dan berdampak pada
peningkatan nilai tambah komoditas sehingga derajat komoditas serta pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat pedesaan pun ikut terangkat. Pengolahan singkong secara terpadu pada industri kripik singkong
skala rumah tangga merupakan salah satu upaya mengoptimalkan setiap tahapan proses pengolahan singkong
dan pemanfaatan hasil samping yang timbul dari industri tersebut untuk meningkatkan nilai tambah singkong.
Di Desa Padamara umumnya sngkong diolah menjadi singkong rebus, singkong goreng dan kripik
singkong. Pembuatan kripik singkong banyak diminati karena proses pembuatannya mudah dan
membutuhkan alat yang sederhana. Hal ini menyebabkan kripik singkong cocok digunakan sebagai usaha
industri skala rumah tangga di pedesaan. Penanganan singkong setelah pemanenan akan berpengaruh
terhadap kualitas singkong yang dihasilkan. Singkong akan berubah warna menjadi coklat kebiruan bila
tidak segera diolah setelah pengupasan. Warna coklat terjadi karena adanya aktifitas enzim poliphenolase
yang terdapat dalam umbi. Reaksi akan dipercepat bila berkontaminasi dengan O2 dan umbi dalam keadaan
terluka akibat pemotongan (Wargiono, 1979). Pencoklatan ini akan menyebabkan warna kripik yang
dihasilkan tidak menarik.
Berdasarkan survey awal diketahui bahwa pembuatan kripik singkong di lokasi pengkajian belum
optimal dalam pemanfaatan setiap tahapan proses sehingga hasil yang dicapai tidak optimal, kripik singkong
yang dihasilkan warnanya kurang memuaskan, kripik mudah menurun kerenyahannya dan hasil samping
yang berupa kulit singkong hanya ditumpuk dalam bentuk onggokan yang semakin lama semakin menumpuk.
Dengan introduksi teknologi yang disesuaikan dengan kondisi pedesaan yang serba terbatas modal dan
sumberdaya manusianya diharapkan ada peningkatan tambahan pendapatan dari pengolahann singkong
secara terpadu yang memperhatikan pengoptimalan setiap tahapan proses dan pemanfaatan hasil samping
sehingga dapat menambah pendapatan keluarga tani.
588
Tujuan dari kegiatan ini adalah : (1) Meningkatkan informasi tentang pengolahan singkong secara
terpadu untuk mengoptimalkan pendapatan yang diperoleh; dan (2) Mengembangkan teknologi pengolahan
hasil samping dari industri rumah tangga kripik singkong di pedesaan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di desa Padamara Kabupaten Lombok Timur dari Bulan Pebruari hingga
Juli 2006. Rancangan pengkajian yang digunakan adalah with and withaout yang membandingkan antara
petani yang menggunakan sentuhan teknologi (kooperator) dengan yang tidak menggunakan sentuhan
teknologi (non kooperator). Penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah melakukan
pengamatan aktivitas pembuatan kripik singkong dengan wawancara, pengamatan jenis dan pengukuran
jumlah hasil samping dari industri rumah tangga kripik singkong. Tahap kedua adalah kegiatan transfer
teknologi melalui pelatihan dan praktek pengolahan lanjut hasil samping industri rumah tangga kripik
singkong. Uji organoleptik untuk warna, rasa dan tekstur dibandingkan dengan uji t dan untuk mengetahui
kelayakan ekonomis teknologi yang dikaji menggunakan analisis B/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Kripik Singkong
Pembuatan kripik singkong skala rumah tangga pada Kelompok Wanita Tani Kooperator
menghasilkan hasil samping berupa potongan kecil singkong dan endapan pati singkong yang tidak
dihasilkan pada Kelompok Wanita Tani Non Koopertaor. Hal ini disebabkan pada Kelompok Wanita Tani
Non Kooperator menggunakan pisau atau parut gobet saat perajangan singkong sehingga singkong dapat
dipotong hingga ujung. Sedangkan Kelompok Wanita Tani Kooperator menggunakan alat perajang singkong
dengan tenaga listrik. Alat tersebut dapat merajang dengan kemampuan yang lebih besar dan waktu yang
dibutuhkan lebih sedikit. Dari alat tersebut akan dihasilkan potongan kecil singkong, sebab bila singkong
yang tersisa dipaksakan ke dalam alat perajang maka jari tangan yang terpotong. Perbandingan karakteristik
tahapan pengolahan pembuatan kripik singkong antara petani kooperator dan non kooperator disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Karakteristik Tahap Pembuatan Kripik Singkong Antara Petani Kooperator dan Non Kooperator
di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006.
Wanita Tani Kooperator Wanita Tani Non Kooperator
Proses Hasil samping Produk Proses Hasil samping Produk
Pengupasan Kulit singkong Campuran pakan ternak Pengupasan Kulit singkong -
Pengirisan
dengan alat
Potongan kecil
singkong
Jajan lentho Pengirisan
dengan pisau
- -
Perendaman
dalam air
Endapan pati
singkong
Tepung singkong - - -
Penggorengan - - Penggorengan - -
Penirisan - - Penirisan - -
Pendinginan - - Pendinginan - -
Penggaraman - - Penggaraman - -
Pengemasan - - Pengemasan - -
Setelah diangkat dari penggorengan kripik singkong ditiriskan. Penirisan dilakukan untuk
mengurangi kadar minyak kripik singkong. Pengemasan dilakukan bila kripik telah benar-benar kering dari
minyak. Minyak yang berlebih dalam pengemasan akan mempercepat ketengikan dan kripik mudah
menurun kerenyahannya. Tahapan yang paling banyak menyita waktu adalah pengemasan kripik singkong
dalam bungkusan kecil ukuran 14 cm x 14 cm. Selanjutnya ukuran kecil sebanyak 30 bungkus dikemas lagi
dalam plastik yang lebih besar, kemasan tersebut dinamakan ”1 bal”. Pengemasan bertujuan untuk
menghindari kontak kripik singkong dengan oksigen yang dapat mempercepat terjadinya reaksi oksidasi yang
berakibat pada ketengikan, dan menghindari kontak dengan udara yang berakibat pada menurunnya
kerenyahan kripik singkong (Buckle, 1987). Pengemasan dilakukan ibu-ibu setelah memasak dalam waktu
senggang. Hal ini menyebabkan satu kali produksi membutuhkan waktu 6 hari.
589
2. Uji Organoleptik Kripik Singkong
Pengujian kripik singkong dilakukan melalui pengamatan dengan uji organoleptik oleh 30 panelis
terhadap warna, tekstur dan rasa. Secara keseluruhan kripik singkong yang disukai konsumen adalah
berwarna kuning kecoklatan cerah, rasa yang seimbang (tidak terlalu manis atau asin) dan tekstur yang
renyah.
Tabel 2. Hasil uji Organoleptik Kripik Singkong di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006.
Penghasil Kripik
Singkong
Parameter
Warna Tekstur Rasa Keseluruhan
Kooperator 2,11 3,08 2,33 2,50
Non Kooperator 2.75* 3,08 2,42 2,75
Catatan : 1. sangat disukai; 2. disukai; 3. agak disukai; 4. tidak suka; 5. sangat tidak suka
Kripik singkong yang dihasilkan oleh Kelompok Wanita Tani Kooperator dengan Kelompok Wanita
Tani Non Kooperator menunjukkan tidak adanya perbedaan pada parameter tekstur dan rasa. Namun pada
parameter warna, kripik singkong yang dihasilkan oleh Kelompok Wanita Tani Kooperator cenderung lebih
disukai. Hal ini disebabkan karena Kelompok Wanita Tani Non Kooperator biasanya langsung menggoreng
irisan singkong yang dihasilkan atau menumpuk irisan tersebut hingga banyak baru menggorengnya.
Penumpukan irisan tersebut akan mengakibatkan pencoklatan pada singkong yang disebabkan oleh aktivitas
enzim poliphenolase yang bereaksi dengan oksigen. Konversi senyawa fenolat ini akan membentuk melanin
(melanoidin) yang akan mengakibatkan pencoklatan (Susanto dan Saneto, 1994). Reaksi pencoklatan dapat
mengakibatkan perubahan kenampakan, dan citra rasa sehingga diperlukan usaha untuk menghambat
pencoklatan (Friedman, 1996). Pencoklatan dapat dihambat dengan blanching, menghindari kontak dengan
oksigen (Foote,1985) dengan pengemasan atau perendaman dalam air dan penggaraman (Astawan dan Mita,
1991).
3. Hasil Samping Pembuatan Kripik Singkong
Berdasarkan hasil pengamatan, pembuatan kripik singkong skala rumah tangga yang menggunakan
alat perajang singkong dengan tenaga listrik biasanya merajang singkong 5 karung per hari. Berat rata-rata
singkong perkarung adalah 50 kg. Setiap produksi membutuhkan 10 karung singkong.. Setiap tahap dalam
pembuatan kripik singkong menghasilkan hasil samping sebagai berikut.
Tabel 3. Berbagai Jenis Hasil Samping dari Industri Rumah Tangga Kripik Singkong di Desa Padamara, Lombok Timur,
2006
Jenis Hasil Samping Dalam 1 kali produksi (kg) Dalam 1 bulan (5 X)
Kulit singkong 90 450 kg
Potongan singkong 2,6 13
Tepung tapioka 5 25
4. Teknologi Pengolahaan Hasil Samping Industri Singkong.
4.1. Kulit Singkong Sebagai Campuran Pakan Ternak.
Kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak. Untuk menurunkan kadar HCN
pada kulit ubi kayu, sebaiknya kulit tersebut dijemur terlebih dahulu hingga kering atau ditumbuk dijadikan
tepung. Hasil penelitian di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa pemberian kulit ubi kayu pahit
sebanyak 60 % dalam ransum ternak domba berumur 18 bulan selama 100 hari dapat menaikkan berat badan
harian 91 gram / ekor, dan tidak mengakibatkan keracunan. Sudaryanto (1989) menambahkan bahwa limbah
ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan ternak yang mempunyai energi (Total Digestible Nutrients =
TDN) tinggi, dan kandungan nutrisi tersedia dalam jumlah memadai seperti disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4. Kandungan Energi (TDN) dan Nutrisi dalam Limbah Ubi Kayu di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006
Bahan Bahan kering Protein TDN Serat kasar Lemak Ca P
Daun 23,53 21,45 61 25,71 9,72 0,72 0,59
Kulit 17,45 8,11 74,73 15,20 1,29 0,63 0,22
Onggok 85,50 1,51 82,67 0,25 1,03 0,47 0,01
590
Transfer teknologi melalui pelatihan pembuatan tepung dari kulit singkong telah dilaksanakan
namun belum dapat diterapkan ke peternak karena sebagian besar adalah peternak kambing dan bukan
peternak domba.
4.2. Potongan Kecil Singkong Sebagai Camilan
Bila permintaan kripik singkong meningkat terutama saat musim penghujan maka potongan kecil
singkong yang dihasilkan akan lebih banyak. Potongan singkong tersebut tidak dapat disimpan, sehingga
sebaiknya langsung diolah untuk menghindari kerusakan. Selanjutnya potongan tersebut dibuat menjadi
makanan ringan yang biasa dikenal dengan nama ”lentho”.
Proses pembuatan jajan lentho adalah sebagai berikut (Rukmana, 1997): (a). Parut ubi yang telah
dikupas hingga menjadi adonan halus; (b). Rebus kacang merah hingga empuk; (c). Campurkan bumbu yang
terdiri dari bawang putih yang telah dihaluskan, masako, bawang daun dan garam. Setelah itu masukkan
kacang merah, campur dan aduk hingga merata; (d). Bentuk bulatan-bulatan, goreng hingga matang.
Biasanya jajanan ini dijual di Sekolah Dasar dan dititipkan di kios-kios terdekat.
Tabel 5. Analisa Ekonomi Jajan Lentho per Siklus Produksi di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006
Uraian Volume Harga satuan (Rp) Biaya (Rp)
Minyak goreng 1 liter 4.900 4.900
Kacang merah 1 ons 1.000 1.000
Daun bawang 1 ikat 200 200
Minyak tanah ½ liter 1.250 1.250
Kelapa ¼ butir 500 500
Jumlah 7.850
Harga Jual 63 200
Penerimaan 12.600
Keuntungan 4.750
4.3. Perbaikan Kualitas Tepung Tapioka
Perendaman irisan singkong dalam air bertujuan untuk mencegah pencoklatan irisan singkong.
Adanya air akan menghambat kontak enzim poliphenolase dengan oksigen yang akan mempercepat reaksi
pencoklatan (Eksin, 1990). Setelah direndam irisan singkong ditiriskan. Air rendaman bekas irisan singkong
dibiarkan selama 24 jam. Karrena perbedaan gaya berat partikel tepung akan mengendap di bawah. Endapan
ini dikenal dengan tepung singkong. Derajat putih tepung singkong dapat diperbaiki dengan mengganti air
rendaman dengan air baru yang bersih 2 hingga 3 kali (Rukmana, 1997). Bila air tidak diganti maka tepung
yang dihasilkan tidak bersih dan agak kecoklatan. Dalam setiap produksi akan terkumpul 5 kg tepung
tapioka. Tepung tapioka yang beredar di pasar harganya Rp. 6.000,- per kg. Tepung hasil samping dari
industri kripik singkong ini laku Rp. 3.000,- per kg. Sehingga petani mendapat tambahan pendapatan sebesar
Rp. 3.000,- x 25 kg = Rp. 75.000,- (Tabel 6). Adanya pengolahan lanjut hasil samping dari pembuatan kripik
singkong skala rumah tangga Kelompok Wanita Tani Kooperator mendapatkan tambahan pendapatan sebesar
Rp. 98.750,- atau sebesar 4,78 % dari pendapatan semula.
591
Tabel 6. Analisa Kelayakan Pembuatan Kripik Singkong di Desa Padamara, Lombok Timur, 2006.
Uraian Satuan Volume Harga satuan (Rp) Biaya
1. Biaya Tetap
Alat
Perajang singkong Buah 1 21.667 21.667
Bak Buah 4 625 2.500
Tenggok Buah 2 833 1.667
Wajan Buah 3 1.458 4.375
Saringan minyak Buah 2 417 833
Plastik karung Lembar 2 1.250 2.500
Pisau Buah 3 417 1.250
Tungku tanah Buah 1 8.333 8.333
43.125
2. Biaya Variabel
Bahan
Singkong Karung 10 10.000 500.000
Minyak goreng Liter 60 4.900 1.470.000
Garam Bungkus 1 1.000 5.000
Margarine Kg 3 6.000 90.000
Plastic pengemas Pak 4 13.500 270.000
Plastic bal Pak 1 28.000 140.000
Logo Lembar 75 100 37.500
Kayu Ikat 20 5.000 500.000
3.012.500
Tenaga Kerja
Mengupas HOK 2 7.000 70.000
Merajang HOK 1 7.000 35.000
Menggoreng HOK 1 7.000 35.000
Pengemasan HOK 4 7.000 140.000
280.000
Jumlah Biaya Variabel 3.292.500
3. Total Biaya
4. Produksi Bal 600 9.000 5.400.000
Pendapatan 2.064.375
B/C ratio 0.64
Total pendapatan 2.163.125*)
* Produk tambahan yang dihasilkan industri kripik singkong ini adalah potongan singkong dengan nilai Rp. 23.750,- dan
tepung tapioka dengan nilai Rp. 75.000,-, sehingga total pendapatan menjadi Rp. 2.163.125,-
KESIMPULAN
1. Pengolahan singkong secara terpadu dapat meningkatkan pendapatan Kelompok Wanita Tani sebesar
Rp. 98.750 atau 4,78%.
2. Perendaman irisan singkong dalam air garam atau air saja dapat menekan pencoklatan irisan singkong
sehingga dihasilkan kripik singkong dengan warna yang menarik.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. dan M. Wahyuni, 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademica
Pressindo. Jakarta
BPS, 2004. Statistik Harga Produsen dan Nilai Tukar Petani Propinsi Nusa Tenggara Barat. Badan Pusat
statistik Nusa Tenggara Barat.
Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet and M. Wooton, 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan
Adiono J. Penerbit UI Press, Jakarta.
Eskin, N.A.M. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. Academic Press. NewYork.
Foote, C.S. 1985. Chemistry of Reactive O2 Species, Chemical Changes in Food During Processing, Ed
Thomas, AVI Publishing C. New York.
592
Friedman, M. 1996. Food Browning and Its Prevention : an Overview. J. Agric Food Chem., 44 (3) : 631 –
653.
Rahmat Rukmana, 1997. Ubi Kayu Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta.
Sudaryanto, 1989. Kulit Ubi sebagai Bahan Pakan Ternak. dalam Warta Litbang Pertanian. No. 3 vol. XI.
Mei1 1989. Departemen Pertanian.
Susanto dan Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT. Bina Ilmu. Surabaya.
Wargiono, J. 1979. Ubi Kayu dan Cara Bercocok Tanam. Lembaga Pusat Penelitian. Bogor.
593
KINERJA EKONOMI USAHATANI DAN PEMASARAN JAGUNG DI DESA SONGGAJAH
KECAMATAN KEMPO KABUPATEN DOMPU NTB
I Putu Cakra Putra A.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai ±1,8 juta ha atau 83,25% dari luas
wilayah (BPS, 2002). Di Kabupaten Dompu, potensi lahan kering untuk pertanian sangat luas. Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok dan banyak diusahakan petani di lahan kering. Penelitian
ini dilaksanakan pada lahan kering dataran rendah di Desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu. Penentuan
lokasi dan kelompok tani binaan menggunakan metode purposive sampling (secara sengaja). Pengkajian usahatani jagung
dilaksanakan tahun 2006 pada daerah Desa Songgajah Kecamatan Kempo. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kelayakan usahatani jagung di Desa Songgajah dan melihat saluran pemasaran yang paling efisien. Parameter yang
digunakan R/C, MBCR, TIP, TIH dilanjutkan dengan analisis sensitivitas dan analisis efisiensi pemasaran. Hasil
pengkajian menunjukkan: a). penggunaan benih bersertifikat dan pupuk urea menghasilkan keuntungan petani sebesar
Rp 1.795.167 dengan nilai B/C 1,73; b) TIH Rp 330,10/kg atau TIP 1.155,37 kg/ha; c). survival technology usahatani jagung masih mampu bertahan dalam kondisi peningkatan harga input tidak lebih dari 15 persen dan penurunan harga
produk jagung tidak lebih dari 25 persen. Saluran pemasaran jagung dari petani ke padagang lokal dan MAJ tingkat
efiisensinya sama.
Kata kunci : kelayakan usahatani, pemasaran, jagung, Songgajah,
PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai ±1,8 juta ha atau 83,25%
dari luas wilayah (BPS, 2002). Di Dompu, potensi lahan kering untuk pertanian sangat luas.
Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok dan banyak
diusahakan petani di lahan kering pada musim hujan. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung
nasional, memberi peluang agribisnis jagung melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Pada tahun
2000 kebutuhan jagung di NTB sebesar 50.766 ton, dimana untuk benih sebesar 803 ton, dan selebihnya
untuk pakan ternak dan bahan pangan. Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 adalah 31.217 ha dengan
produktivitas rata-rata sebesar 2,057 ton/ha (Dinas Pertanian Propinsi NTB, 2004).
Disadari bahwa pengembangan lahan kering dalam meningkatkan produktivitas jagung menghadapi
banyak kendala antara lain berkaitan dengan sifat tanah poros, sehingga tanah cepat kering walaupun curah
hujan cukup, proses pemupukan tidak dilakukan oleh petani Desa Songgajah, serta tidak digunakan benih
bersertifikat/hibrida.
Komoditas jagung di NTB banyak dipasarkan ke luar daerah terutama Jawa dan Bali yang digunakan
untuk bahan baku pakan ternak, namun masih banyak yang belum dapat terpenuhi akibat kurangnya produksi
ditingkat petani. Namun dari segi pemasaran hasil, petani selalu berada pada posisi tawar yang rendah,
dimana harga ditentukan oleh pedagang pengumpul di desa. Oleh karena itu dalam pengembangannya secara
komersial perlu dikemas dalam suatu sistem dan usaha agribisnis.
Untuk meningkatkan pendapatan petani perlu dilakukan perbaikan teknologi baik dari segi pemupukan
maupun penggunaan benih bersertifikat. Serta menganalisis saluran pemasaran yang paling efisien dalam
tataniaga jagung untuk meningkatkan pendapatan petani. Sehingga dianggap perlu melakukan penelitian ini
untuk menganalisis kelayakan usahatani jagung dan saluran pemasarannya di Desa Songgajah.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan usahatani jagung di Desa
Songgajah dan untuk menganalisis saluran pemasaran yang paling efisien dalam tataniaga jagung di Desa
Songgajah.
594
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan pada lahan kering dataran rendah di Kecamatan Kempo, Kabupaten
Dompu. Lokasi kajian merupakan merupakan wilayah program Prima tani di Kabupaten Dompu. Penentuan
lokasi dan kelompok tani binaan menggunakan metoda purposive sampling (secara sengaja).
Penelitian berlangsung dari bulan Maret sampai April 2006. Data primer dikumpulkan dengan cara
wawancara langsung dengan petani 60 orang di Desa Songgajah dan pedagang pengumpul di Desa
Songgajah 4 orang maupun di tingkat Kecamatan Kempo 3 Kabupaten Dompu. Data sekunder dikumpulkan
dari instansi terkait di daerah Kabupaten Dompu.
Untuk menjawab tujuan penelitian, alat analisis yang digunakan revenue cost ratio (R/C), Analisis
Titik Impas Produksi (TIP) dan Titik Impas Harga (TIH). Analisis sensitivitas dengan menerapkan beberapa
skenario perubahan harga input dan output usahatani. Saluran dan marjin pemasaran pada setiap lembaga
pemarasan juga dianalisis dengan analisis efisiensi pemasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prospek Pengembangan Jagung di Dompu
Jagung merupakan tanaman serbaguna yang dapat dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan ternak
dan bahan baku industri. Kedepan jagung akan mempunyai peranan peranan yang semakin strategis dilihat
dari pertimbangan agribisnis dan penyedia atau peningkatan ketahanan pangan di NTB.
Tabel 1. Luas Panen (Ha) Jagung 5 Tahun Terakhir Propinsi NTB Tahun 1999 S/D 2003
No Kabupaten Tahun
1999 2000 2001 2002 2003
1 Lombok Barat 5.880 5.905 3.560 4.800 5.225
2 Lombok Tengah 2.159 2.597 2.028 1.606 2.045
3 Lombok Timur 9.749 7.336 6.584 7.222 8.686
4 Sumbawa 9.218 7.491 5.026 7.638 8.407
5 Dompu 829 1.481 2.750 1.947 2.264
6 Bima 7.892 7.128 4.107 5.623 4.455
7 Kota Mataram 12 10 14 11 7
8 Kota Bima 0 0 0 0 128
Total 35.738 31.948 24.069 28.847 31.217
Sumber: BPS Propinsi NTB
Pada Tabel 1. Luas panen jagung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini
merupakan peluang bagi peningkatan produksi jagung di NTB. Dengan luas panen jagung yang terus
meningkat menandakan potensi lahan kering yang ada di NTB khususnya dompu sudah mulai dimanfaatkan
sehingga menjadi sumber pendapatan bagi petani.
Tabel 2. Produksi Jagung Per Ton 5 Tahun Terakhir Propinsi NTB Tahun 1999 S/D 2003
No Kabupaten Tahun
1999 2000 2001 2002 2003
1 Lombok Barat 10.562 11.159 6.549 8.572 9.807
2 Lombok Tengah 3.739 4.736 3.681 2.919 3.879
3 Lombok Timur 19.508 15.804 13.272 14.750 18.389
4 Sumbawa 20.167 16.632 10.673 16.307 18.008
5 Dompu 1.485 2.938 5.109 3.615 4.425
6 Bima 15.515 15.573 8.345 11.597 9.434
7 Kota Mataram 24 21 28 25 16
8 Kota Bima 0 0 0 0 270
Total 71.000 66.563 47.657 57.785 64.228
Sumber BPS Propinsi NTB
Pada Tabel 2. Produksi jagung di NTB meningkat hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya
kesadaran masyarakat petani akan kegunaan jagung yang tidak hanya untuk konsumsi tetapi juga untuk
kebutuhan pakan ternak, dan teknologi yang tidak terlalu sulit diterapkan oleh petani, serta harga jagung yang
cukup tinggi.
595
Struktur Biaya dan Penerimaan Usahatani
1. Analisis kelayakan usahatani jagung
Komponen pembiayaan usahatani jagung dalam pola petani sebelum primatani dan sesudah prima
tani, pada dasarnnya sama yakni terdiri dari biaya untuk pembelian input benih, pupuk dan obat-obatan.
Perbedaan yang ada terdapat pada volume dan kualitas input, yang akhirnya membedakan struktur
pembiayaan dan penerimaan usahatani antara pola petani dan pola introduksi.
Tabel 3. Analisis Kelayakan Usahatani Jagung di Desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu tahun 2006
Jenis biaya Jumlah (Kg) Harga satuan (RP) Nilai (Rp)
1. Benih jagung C7 8 30.000 240.000
2. Pupuk urea 50 1.080 54.000
3. Pupuk SP-36
4. Pupuk organic
Total 294.000
5. Biaya tenaga kerja: HOK Upah/HOK (Rp) Biaya Tk (Rp/HOK)
Pengolahan tanah 2 20.000 40.000
Penanaman 8 20.000 160.000
Jenis biaya Jumlah (Kg) Harga satuan (RP) Nilai (Rp)
Pemupukan 6 20.000 120.000
Penyiangan 4 20.000 80.000
Panen dan angkut 10 20.000 200.000
Pemipilan * 10 5.000 50.000
Total 650.000
6. Biaya bahan: Jumlah Penyusutan/ 3 bulan
Sabit (bh) 4 1.833
Terpal untuk jemur (lbr) 1 5.000
Cangkul (bh) 2 1.500
Total 8.333
7. Sewa alsintan perkarung @ Rp 7000 87.500
Total 95.833
Total Biaya suluruhnya 1.039.833
Pendapatan 3.150 kg pipilan Rp 900/kg 2.835.000
Keuntungan 1.795.167
B/C 1,73
Sumber : data primer yang diolah 2006
Ket. = Tenaga Kerja dalam keluarga diperhitungkan dalam analisis usahatani ini.
Pada Tabel 3. dapat dilihat bahwa keuntungan dari usahatani jagung sebesar Rp 1.795.167/ha per
musim tanam dengan B/C sebesar 1,73 artinya setiap tambahan input dalam usahatani itu sebesar Rp 1.000
akan dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.730, ini menandakan usaha tani jagung memberi peluang
yang cukup tinggi sebagai tambahan sumber pendapatan untuk petani.
2. Produksi Impas dan Harga Impas Jagung ditingkat petani
Analisis TIH (Titik Impas Harga) dan TIP (Titik Impas Produksi) dalam usahatani jagung dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara biaya, penerimaan dan volume produksi. Titk impas dari keduanya
merupakan titik perpotongan antara total penerimaan dengan total biaya, dimana saat itu keuntungan sama
dengan nol.
Tabel 4. Analisis Titik Impas Harga (TIH) dan Titik Impas Produksi (TIP)
Uraian Usaha tani Jagung
Total Biaya (Rp) 1.039.833
Produksi (kg/ha) 3.150
Harga aktual (Rp/kg) 900
TIP (Kg/ha) 1.155,37
TIH (Rp/kg) 330,10
Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 4. produksi dan harga impas jagung sebesar 1.155,37 kg/ha
dan Rp 330,10/kg. Nilai impas itu keduanya berada di bawah nilai produksi dan harga aktual, artinya
usahatani jagung memberikan nilai tambah.
596
3. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat survival teknologi atau keberlanjutan penerapan
teknologi introduksi jika terjadi perubahan harga, baik harga input maupun harga output atau keduanya. Di
dalam analisis ini, ditampilkan tiga skenario sebagai berikut (a) Harga semua input tidak meningkat, harga
produk jagung menurun 25 persen; (b) Harga semua input meningkat 15 persen, harga produk jagung
menurun 25 persen dan (c) Harga semua input meningkat 25 persen, harga produk jagung menurun 25 persen.
Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5. pada skenario 1 walaupun terjadi penurunan R/C namun
petani tidak mengalami kerugian karena masih lebih besar dari 1,8. pada skenario 2 R/C hanya kurang 0.03
dari 1.8 dan skenario 3 R/C lebih kecil dari 1,8 artinya pendapatan petani relatif rendah. Meski nilai R/C
lebih dari angka 1 akan tetapi karena resiko usahatani itu mencapai 80 persen maka standar minimum dari
nilai R/C seharusnya 1,8.
Tabel 5. Sensitivitas Pendapatan Petani.
Uraian Awal Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
Total Biaya (Rp) 1.039.833 1.039.833 1.195.807,95 1.299.791.25
Produksi (kg/ha) 3.150 3.150 3.150 3.150
Harga jagung (Rp/kg) 900 675 675 675
Penerimaan 2.835.000 2.126.250 2.126.250 2.126.250
Keuntungan 1.795.167 1.086.417 930.442,05 826.458,75
R/C 2,72 2,04 1,77 1,63
B/C 1,73 1,04 0,77 0,63
Gambaran Pemasaran Jagung di Kecamatan Kempo
Jenis jagung yang diperjualbelikan adalah jagung pipilan dengan varietas C7, lamuru, jaya 1, A4,
turunan bisi 2, rendemen 15% harga rata-rata Rp 900 /kg saat musim panen raya bulan Maret s.d. April,
sedangkan saat bulan Juni harga jagung pipilan di Desa Songgajah meningkat menjadi Rp 1.300/kg s.d. Rp
1.400/kg , Tidak ada petani yang menjual jagung dalam bentuk tongkol.
Motivasi petani dalam menanam jagung adalah teknologi budidaya jagung yang mudah, pemasaran
yang mudah dan harga yang tinggi. Petani di Desa Songgajah dalam penentuan waktu jual jagung cendrung
menjual jagung dengan alasan harga jual bagus, dimana menjual jagung dalam bentuk pipilan agar harganya
bisa lebih tinggi. Lokasi penjualan jagung oleh petani dilakukan di rumah petani, karena setelah panen yang
dilakukan petani jagung disimpan dirumah untuk dilakukan proses pemipilan dengan cara manual yaitu
diparut dan sebagian besar petani menggunakan mesin pipil baik dari lembaga pasca panen maupun mesin
lokal (swasta). Dalam hal penetuan harga jual petani memiliki kemampuan untuk bernegosiasi tentang harga
dengan pengusaha, karena informasi pasar harga jagung di luar daerah seperti daerah Bali telah diketahui
oleh masyarakat.
Analisis Saluran dan Marjin Pemasaran
1. Marjin Pemasaran
Margin pemasaran berbeda-beda tergantung saluran pemasaran jagung yang ada di Songgajah.
Marjin pemasaran jagung tergantung pada tingkat harga jagung yang berlaku dipasaran, dimana pergerakan
harga jagung sangat dinamis, maksudnya harga jagung dapat berubah sewaktu-waktu sesuai permintaan dan
penawaran jagung dipasaran. Untuk melihat efisiensi pemasaran yaitu membagi biaya pemasaran dengan
harga jual jagung (Soekartawi, 1993).
Tabel 5. Rata-Rata Biaya Pemasaran, Harga Beli, Harga Jual Margin, Pada Masing-Masing Saluran Pemasaran di
Songgajah NTB, 2005
Saluran Pemasaran Kegiatan
Pemasaran Harga Beli Biaya Harga Jual Margin
Pedagang lokal di Songgajah Beli pipilan Rp 900 Rp 320 Rp 1250 Rp 30
Pedagang MAJ di Songgajah Beli pipilan Rp 900 Rp 320 Rp 1250 Rp 30
Pedagang + MAJ di kecamatan Beli pipilan Rp 850 Rp 320 Rp 1250 Rp 80
Sumber : hasil olah data primer 2006
Pada Tabel 5. Margin pemasaran masing-masing saluran pemasaran di Songgajah Rp 30/kg untuk
diluar Songgajah wilayah Kecamatan Kempo margin Rp 80/kg. Bahwa pedagang lokal & pedagang propinsi
597
MAJ (Masyarakat Agribisnis Jagung) bersaing dalam pembelian jagung pipil di Desa Songgajah dengan
harga beli di petani sebesar Rp 900/kg. Sedangkan harga diluar Desa Songgajah wilayah Kecamatan Kempo
pedagang lokal dan MAJ membeli jagung pipil sebesar Rp 800 sampai 850/kg. Pedagang jagung membeli
lebih murah di luar Desa Songgajah untuk menghindari kerugian yang besar akibat pembelian jagung di Desa
Songgajah yang harganya lebih tinggi dibandingkan harga pasar jagung pada umumnya. Persaingan ini
terjadi karena pedagang lokal tidak rela Pedagang MAJ (Masyarakat Agribisnis Jagung) di propinsi NTB
masuk ke Desa Songgajah melalui program prima tani BPTP NTB, tanpa melalui pedagang lokal. Dalam
jangka pendek terlihat petani diuntungkan dengan harga yang bersaing, namun untuk tahun berikutnya tidak
ada kemitraan bagi petani, yang ada hanya proses jual beli jagung semata.
Harga jual jagung pipil di lombok sebesar Rp 1.250/kg sedangkan di Bali Rp 1.400/kg sehingga
sebagian besar pedagang lokal langsung menjual jagung ke Bali. Penjualan ke surabaya terjadi apabila harga
jagung di lombok dan Bali bergerak menurun, secara tiba-tiba.
Efisiensi pemasaran merupakan perbandingan biaya yang dikeluarkan petani saat menjual jagung
dengan harga jual jagung pipil oleh petani. Efisiensi pemasaran ke pedagang lokal maupun ke pedagang
MAJ sebesar 0% karena petani tidak mengeluarkan biaya karung sebesar Rp 20/kg, dimana biaya tersebut
ditanggung pedagang, sehingga petani menerima harga jagung pipil bersih yang nilainya sama sebesar Rp
900/kg. Tingkat efisiensi pemasaran jagung dari petani ke pedagang lokal dan ke pedagang MAJ sama
besarnya, artinya kepada siapapun petani menjual jagungnya tidak mempengaruhi pendapatan yang diterima
petani.
2. Saluran Pemasaran jagung
Saluran pemasaran jagung di Kecamatan Kempo dapat dilihat pada gambar 1. sebagai berikut :
Gambar 1. Saluran Pamasaran jagung di Kecamatan Kempo Dompu
Sistem pembayaran jagung adalah pembayaran tunai tanpa panjar, tunai dengan panjar. Untuk
menjaga keberlangsungan kerjasama antar pedagang, dilakukan suatu strategi yaitu strategi panjar yang
besarnya berbeda-beda sesuai kebutuhan akan jagung, dimana pedagang memberikan panjar (uang muka)
kepada petani yang sifatnya mengikat tetapi dengan harga jagung yang yelah disepakati oleh petani dengan
pedagang. Sistem ijon juga terdapat di Desa Songgajah yaitu pedagang memberi pinjaman kepada petani
untuk biaya produksi ataupun kebutuhan sehari-hari, dengan syarat petani harus menjual jagung ke pedagang
tersebut, dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang.
KESIMPULAN
1. Penggunaan benih bersertifikat dan pupuk urea menghasilkan keuntungan petani sebesar Rp 1.795.167
dengan nilai B/C 1,73.
2. TIH Rp 330.10/kg dan TIP 1.155.37 kg/ha.
3. Survival technology usahatani jagung masih mampu bertahan dalam kondisi peningkatan harga input
tidak lebih dari 15 persen dan penurunan harga produk jagung tidak lebih dari 25 persen
4. Saluran pemasaran petani ke pedagang lokal dan pedagang MAJ tingkat efisiensinya sama.
PetaniPengumpul
Lokal
Pedagang MAJ
propinsi
Peternak
BaliPedagang lombok
Pedagang
SurabayaPetani
Pengumpul
Lokal
Pedagang MAJ
propinsi
Peternak
BaliPedagang lombok
Pedagang
Surabaya
598
UCAPAN TERIMAKASIH
1. Ir. Irianto Basuki sebagai penanggung jawab laboratorium Prima Tani
2. Ir. Muzani sebagai penanggung jawab Prima Tani Kabupaten Dompu
3. Alidin sebagai tenaga teknis lapangan
4. Lalu Jaswadi MSc. Penanggung jawab teknis komoditi jagung Prima Tani Dompu
DAFTAR PUSTAKA
BPS NTB, 2002. NTB Dalam Angka. Mataram
BPS NTB, 2003. NTB Dalam Angka. Mataram
Dinas Pertanian Propinsi NTB, 2004, Statisik Komoditi Pertanian. Mataram
Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES.
Nazir, 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soekartawi, 1993. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian. Jakarta : Penerbit PT Raja
Grafindo Persada
599
KEUNTUNGAN USAHATANI KOMODITAS UTAMA DI NTB
Irianto Basuki 1)
, Sri Hastuti2)
, I. M. Wisnu W.2)
, Dwi Praptomo S 1)
. 1)
Penyuluh pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2)
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Petanian NTB
ABSTRAK
Di Nusa Tenggara Barat terdapat beberapa komoditas unggulan yang menjadi primadona pembagunan
pertanian. Beberapa komoditas unggulan tersebut sudah diusahakan secara luas oleh petani dan melibatkan sejumlah
besar petani. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diterima petani dari usahatani
komoditas unggulan, dan untuk mengetahui effisiensi usahatani komoditas unggulan pada taraf teknologi petani. Pengkajian ini menggunakan pendekatan metode survai dan dilakukan pada tahun 2004. Lokasi survai adalah kabupaten
yang menjadi sentra komoditas unggulan. Dari setiap kabupaten ditentukan kecamatan dan desa yang menajdi sentra
komoditas unggulan. Petani responden ditentukan dengan cara purposive sampling. Petani responden adalah petani yang
melakukan usahatani berbasis komoditas unggulan. Petani responden kemudian dipilahkan menjadi tiga strata berdasarkan luas penguasaan lahan yaitu sempit, sedang dan luas dan untuk peternakan dipilahkan menjadi tiga strata
berdasarkan jumlah pemilikan ternak yang sedikit, sedang dan banyak. Jumlah petani responden dari setiap komoditas
utama ditentukan sebanyak 15. Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari dinas instansi terkait dan data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan petani responden. Data primer selanjutnya dianalisa dengan analisa biaya dan pendapatan untuk menentukan keuntungan petani dan analisas Rate
Cost Ratio untuk menentukan effisiensi usaha komoditas unggulan. Hasil kaijan menunjukkan bahwa tingkat keuntungan
usahatani padi sawah MKI Rp. 2.212.793/ha (R/C 1,78), padi sawah MH Rp. 2.966.687/ha (R/C 1,99), padi ladang
Rp. 2.821.997/ha (R/C 3,01) , jagung Rp. 865.621/ha (R/C 3,62), kacang hijau Rp. 341.058/ha (R/C 1,54), bawang merah MKI Rp. 11.278.455/ha (R/C 1,63) bawang merah MKII Rp. 4.800.126/ha (R/C 1,78) , manggis Rp. 8.486.221
(R/C 4,26), mangga Rp. 4.411.060 (R/C 5,06), pisang Rp. -157.338 (R/C 1,06), kopi Rp. 3.027.897/ha (R/C 9,36),
jambu mete Rp. 247.685/ha (R/C 1,25), kakao Rp. 3.872.685.2/ha (R/C 3,61), vanilli Rp 752.201,-/ha (R/C 1,32),
tembakau Rp. -529.199 /ha (R/C 1,04), sapi potong Rp. 817.867 (R/C 2,01), kerbau Rp. 8.424.266,- (R/C 2,04), kambing Rp. 1.852.224 (R/C 2,55) ayam Buras Rp. 725.671,- (R/C 1,53), dan itik Rp. 3.874.010 (R/C 2,92), Pada umumnya
efisiensi usahatani komoditas unggulan yang diusahakan petani di NTB menunjukkan nilai efisiensi (R/C) yang cukup
bagus kecuali pisang dan tembakau.
Kata kunci : keuntungan , usahatani, komoditas unggulan
PENDAHULUAN
Salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yaitu dari pertumbuhan ekonomi
yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selama tahun 2002-2003 laju pertumbuhan
sektor pertanian mencapai 3,02 persen per tahun. Pada umumnya sub sektor penyusun sektor pertanian
mengalami pertumbuhan yang positif yaitu berkisar antara 2,52 - 4,75 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi
pada subsektor kehutanan dan terendah terjadi pada subsektor tanaman bahan makanan.
Gambaran struktur kesempatan kerja di Propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa
kesempatan kerja terbesar yang tersedia di NTB terdapat di sektor pertanian. Dari total angkatan kerja yang
bekerja, sebesar 57,5 persen bekerja di sektor pertanian. Meskipun pangsa sektor pertanian terhadap PDRB
sekitar 24% (dibawah sektor pertambangan), namun sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja relatif
besar.
Dilihat dari peranan sektor pertanian di NTB melalui PDRB dan tenaga kerja yang terlibat,
ternyata peranan sektor ini masih sangat besar yaitu sekitar 40% dari PDRB , dan lebih dari 50% tenaga
kerja yang terlibat di sektor ini Oleh karena itu sangat wajar apabila kebijakan pembangunan di NTB masih
bertumpu pada sektor pertanian. Permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di NTB sekarang ini masih
cukup banyak selain yang telah disebutkan sebelumnya, diantaranya adalah masalah penurunan produksi dan
populasi ternak, rendahnya nilai tukar petani, kesempatan kerja, regenerasi petani, masalah iklim dan dan
kekeringan, teknologi dan aspek-aspek sosial ekonomi lainnya.
Dari seluruh komoditas pertanian yang diusahakan petani di NTB tercatat 74 jenis komoditas
terdiri dari sayuran 16 jenis, buah-buahan 18 jenis, padi palawija 8 jenis, perkebunan 18 jenis dan peternakan
14 jenis. Uraian berbagai jenis tersebut adalah: sayuran terdiri dari bawang merah, bawang putih, kentang,
kubis, kacang merah, cabe besar, kacang panjang, sawi, tomat, terong, bayan, lobak, labu siam, kangkung,
cabe kecil, ketimun; buah-buahan terdiri dari belimbing, jeruk, mangga, sirsat, alpokad, mangga, rambutan,
duku/langsat, durian, pepaya, sawo, jambu biji, jambu air, jambu bol pisang, nenas, salak, nangka; padi
600
palawija terdiri dari padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, kacang
hijau; tanaman perkebunan terdiri dari kelapa, kopi, mete, cengkeh, kakao, pinang, kapuk, asam, vanilli,
kemiri, lontar, aren, tebu, tembakau rakyat, tembakau virginia, wijen, jarak dan empon-empon dan
peternakan terdiri dari kuda, sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, ayam
buras itik/entog/angsa, kelinci, puyuh, merpati kalkun. (BPSNTB 2004).
Ditinjau dari sisi keberadaan komoditas unggulan menurut hasil kajian BPTP NTB 2003, prioritas
komoditas unggulan NTB adalah sebagai berikut: tanaman pangan meliputi padi ladang, kacang hijau, padi
sawah, kacang tanah dan jagung; sayuran meliputi kentang, kacang-kacangan, bawang merah, cabai; buah-
buahan meliputi jeruk keprok, manggis, mangga, rambutan, durian; tanaman perkebunan meliputi jambu
mete, vannili, tembakau virgina, kopi, kakao, wijen; peternakan meliputi sapi, ayam buras, kerbau, kambing
dan itik.
Selanjunya ditinjau dari pelaku usahatani dari komoditas utama tersebut perlu diketahui sejauh
mana komoditas yang disuahakan tersebut mempunyai suatu nilai keuntungan, sehingga para pelaku tersebut
mempunyai peluang mengusahakan lebih lanjut dalam skala yang lebih besar.
METODOLOGI
Lokasi pengkajian adalah di wilayah pembangunan pertanian NTB yang meliputi seluruh
kabupten/kota yang terdapat di pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan
Juni 2004 hingga Desember 2004.
Pengkajian ini menggunakan pendekatan metode survai. Lokasi survai adalah kabupaten diwilayah
Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menjadi sentra komoditas unggulan
Dari setiap kabupaten ditentukan kecamatan dan desa yang menajdi sentra komoditas unggulan.
Petani responden ditentukan dengan cara purposive sampling. Petani responden adalah petani yang
melakukan usahatani berbasis komoditas unggulan dari setiap sub sektor yang ada yaitu tanaman pangan
(padi sawah, padi ladang, jagung dan kacang hijau), tanaman hortikultura (bawang merah, manggis, mangga
dan pisang), tanaman perkebunan (kopi, mete, kakao, vanili dan tembakau), peternakan (sapi potong, kerbau,
kambing, ayam buras dan itik) dan dari perikanan yaitu kerapu dan rumput laut. Petani responden dipilahkan
menjadi tiga strata berdasarkan luas penguasaan lahan yaitu sempit, sedang dan luas dan untuk peternakan
menjadi tiga strata berdasarkan jumlah pemilikan ternak yaitu sedikit, sedang dan banyak. Jumlah petani
sampel dari setiap komoditas utama ditentukan sebanyak 15 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tanaman Pangan dan Hortikultura
Padi sawah
Produktivitas padi sawah yang dicapai petani sekitar 50 kw/ha per musim. Tingkat produksi pada
musim kemarau sama dengan rata-rata produksi padi Kabupaten Lombok Barat tahun 2003, namun lebih
tinggi dibandingkan dengan data produksi BPS tahun 2003 untuk Propinsi NTB yaitu 46 kw/ha.
Produktivitas padi yang ditanama pada MK I 2004 dan MH 2003/2004 masing-masing 48 kw/ha dan 56
kw/ha.
Tabel 1 menunjukkan bahwa struktur biaya dan penerimaan per hektar bervariasi pada setiap musim.
Biaya usahatani yang dikeluarkan pada musim kemarau sekitar 56 persen dari total penerimaan usahatanai
dan biaya usahatani yang dikeluarkan pada musim hujan 50 persen dari total penerimaan usahatani. Biaya
usahatani terbesar yang dikeluarkan adalah untuk biaya tenaga kerja yaitu mencapai 32 persen dari total
penerimaan usahatani pada musim kemarau dan 29 persen dari total penerimaan usahatani pada musim hujan.
Pendapatan bersih atau keuntungan usahatani padi sawah per hektar pada musim kemarau sekitar 2,2
juta rupiah dengan nilai R/C sebesar 1,78 dan keuntungan bersih pada musim hujan sekitar 3 juta rupiah
dengan nilai R/C sebesar 1,99. Berdasarkan nilai R/C yang diperoleh usahatani padi yang ditanam pada
kedua musim tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi sawah cukup menguntungkan untuk diusahakan
karena memiliki nilai R/C lebih dari 1 (satu).
601
Tabel 1. Keuntungan Usahatatani Komoditas Tanaman Pangan dan Hortikultura di NTB, 2004
No Komoditas
Biaya (Rp) Nilai
Produksi
(Rp)
Keuntungan
(Rp) R/C
Saprodi Tenaga
Kerja
Biaya
Lain Total Biaya
1 Padi sawah
MKI 729.422 1.634.711 487.122 2.851.255 5.064.048 2.212.793 1.78
MH 685.884 1.740.374 574.401 3.000.660 5.967.347 2.966.687 1.99
2 Padi ladang 313.511 1.018.632 69.965 1.402.108 4.224.105 2.821.997 3.01
3 Jagung 729.689 664.746 103.870 1.498.305 2.363.927 865.621 1,58
4 Kc. Hijau 157.507 378.530 91.458 627.495 968.553 341.058 1.54
5 Bwg merah
MKI 11.599.783 5.974.080 298.184 17.872.047 29.150.502 11.278.455 1.63
MKII 4.745.842 1.307.368 83.505 6.136.716 10.936.842 4.800.126 1.78
6 Manggis 1.102.816 1.372.924 123.754 2.599.493 11.085.714 8.486.221 4.26
7 Mangga 558.902 445.896 81.654 1.086.452 5.497.512 4.411.060 5.06
8 Pisang 2.007.338 761.558 86.753 2.855.649 2.698.312 -157.338 -1.06
Padi Ladang
Produktivitas padi ladang petani mencapai 29 kw/ha, lebih tinggi dari rata-rata produktivitas padi
ladang Propinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa tahun 2003 (24 kw/ha). Dari analisis yang dilakukan
diketahui bahwa diantara biaya produksi yang terdiri dari biaya saprodi, tenaga kerja dan biaya lain, biaya
tenaga kerja merupakan komponen biaya terbesar yang dikeluarkan petani yaitu mencapi 73 persen dari biaya
produksi. Komponen biaya tenaga kerja terbesar yang dikeluarkan yaitu untuk biaya panen yang nilainya
melebihi biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi untuk benih yang dikeluarkan petani relatif kecil
karena sebagian besar petani menggunakan benih sendiri atau benih tidak berlabel sehingga harganya murah.
Pendapatan kotor atau nilai produksi yang diperoleh pada tingkat produksi tersebut diatas yang diukur
dengan harga berlaku pada saat itu adalah sebesar Rp 4,2 juta. Di lain pihak biaya produksi yang dikeluarkan
petani sebesar Rp 1,4 juta maka dengan demikian keuntungan bersih yang diterima petani sebesar Rp. 2,8
juta/ha. Tingkat keuntungan dari usahatani padi ladang relatif cukup besar yaitu mencapai 66,8 persen dari
pendapatan kotor dan nilai R/C yang dicapai yaitu sebesar 3,01 maka usahatani padi ladang di Kabupaten
Sumbawa khususnya di Kecamatan Labangka menguntungkan untuk diusahakan.
Jagung
Produktivitas jagung yang dicapai pada MH 2003/2004 sekitar 46 kw/ha atau lebih tinggi dari angka
produktivitas jagung (21 kw/ha) yang dilaporkan BPS tahun 2003. Harga jual yang diterima petani pada saat
itu sebesar Rp 516/kg maka dengan tingkat produksi tersebut diatas (46 kw/ha), penerimaan petani kotor atau
nilai produksi yang diterima petani sebesar 2,4 juta rupiah.
Nilai produksi sebesar 2,4 juta rupiah diperoleh melalui pengeluaran berupa biaya produksi sekitar Rp
1,5 juta atau 63 persen dari penerimaan kotor. Dari biaya produksi yang dikeluarkan, komponen biaya sarana
produksi merupakan komponen biaya produksi terbesar yang dikeluarkan atau 33 persen dari nilai produksi
yang diterima petani dan sebagian besar biaya saprodi tersebut dipergunakan untuk membeli pupuk.
Komponen biaya produksi lainnya yang cukup besar dikeluarkan petani adalah untuk biaya tenaga kerja atau
mencapai sekitar 28 persen dari penerimaan kotor, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biaya saprodi
(31%). Nilai produksi dikurangi biaya produksi merupakan keuntungan bersih petani, maka dengan demikian
keuntungan bersih yang diterima petani dari usahatani jagung sekitar Rp. 900 ribu/ha dan dengan nilai R/C
mencapai 1,54 maka usahatani jagung cukup menguntungkan untuk diusahakan petani.
Kacang Hijau
Produktivitas kacang hijau yang dihasilkan petani mencapai sekitar 4 kw/ha jauh lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata produksi di Kabupaten Sumbawa dan Propinsi NTB pada tahun 2003 (7,5
Kw/Ha). Pada tingkat produksi ini penerimaan kotor petani sekitar Rp 968 ribu yang dihasilkan melalui
pengeluaran berupa biaya produksi yang per hektarnya mencapai Rp 627 ribu, maka dengan demikian
keuntungan bersih yang diterima petani sebesar Rp 341 ribu/ha. Meskipun secara kuantitatif keuntungan
bersih yang diterima petani relatif kecil (35 % dari penerimaan kotor), tetapi bila dilihat dari nilai R/C yang
dicapai yaitu 1,54 maka usahatani kacang hijau pada taraf teknologi yang diterapkan petani cukup
menguntungkan untuk diusahakan.
Dari hasil analisis yang dilakukan, diketahui bahwa komponen terbesar dari biaya produksi kacang
hijau adalah untuk biaya tenaga kerja yaitu mencapai 39 persen dari total penerimaan, sedangkan untuk biaya
602
sarana produksi hanya mencapai 25% dari total penerimaan. Komponen biaya tenaga kerja yang cukup besar
yang dikeluarkan petani adalah untuk biaya panen dan penanganan pasca panen, sedangkan biaya saprodi
yang cukup besar dikeluarkan petani adalah untuk pembelian pestisida guna mengendalikan hama dan
penyakit dan biaya pembelian herbisida untuk mengendalikan gulma karena penanaman kacang hijau yang
umum dilakukan petani adalah secara TOT.
Bawang merah
Produktivitas bawang merah petani responden berkisar antara 1.290 kw/ha sampai 1.417 kw/ha.
Produksi pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada musim hujan. Produksi
bawang merah pada musim hujan lebih rendah karena jumlah petani yang menanam lebih sedikit disamping
diusahakan pada areal yang tidak terlalu luas. Tujuan petani menanam bawang merah pada musim hujan
untuk benih dan mendapatkan harga tinggi, tetapi resiko penanaman pada musim hujan cukup tinggi
sehingga hasil produksi yang diterima petani cenderung rendah. Hal ini terbukti dari hasil analisis biaya dan
pendapatan dimana penerimaan usahatani bawang merah yang diusahakan pada MK I jauh lebih tinggi (Rp.
29 juta) dibandingkan dengan penerimaan usahatani bawang merah yang diusahakan pada MH (Rp. 11 juta).
Ditinjau dari struktur pembiayaan, jumlah biaya produksi yang dikeluarkan petani bawah merah yang
menanam pada MK I (Rp. 18 juta/ha) lebih besar dibandingkan petani yang menanam pada MH (6 juta/ha).
Sebagian besar dari biaya produksi tersebut dikeluarkan untuk pembelian bibit dan sarana produksi pestisida.
Keuntungan bersih adalah nilai produksi dikurangi biaya produksi, dengan demikian maka keuntungan bersih
petani yang menanam bawang merah pada MK I sekitar Rp. 11 juta/ha dan ini lebih besar dari keuntungan
bersih yang diterima petani yang menanam bawang merah pada MH yaitu sekitar Rp. 5 juta/ha, tetapi bila
ditinjau dari nilai R/C atau efisiensi usahataninya, petani bawang merah yang menanam pada MK I memiliki
nila R/C lebih rendah (1,63) dibandingkan petani yang menanam bawang merah pada MH (R/C 1,78).
Perbedaan nilai R/C tersebut dipengaruhi oleh faktor harga dimana harga bawang merah yang ditanam pada
MH lebih tinggi karena untuk bibit dibandingkan harga bawang merah yang ditanam pada MK I.
Manggis
Manggis sebagai tanaman tahunan memerlukan tenggang waktu yang cukup lama mulai dari
penanaman bibit sampai dengan tanaman menghasilkan, sehingga sebagian besar biaya yang dikeluarkan
merupakan biaya yang diinvestasikan. Dalam kajian ini perhitungan keuntungan tanaman manggis dilakukan
pada tanaman manggis umur produktif sehingga biaya yang dikeluarkan hanya berupa biaya pemeliharaan.
Biaya pemeliharaan yaitu berupa biaya tenaga kerja, biaya sarana produksi dan biaya lainnya. Biaya
pemeliharaan yang cukup besar dalam usahatani manggis adalah biaya untuk tenaga kerja yang dikeluarkan
dalam bentuk upah untuk melakukan pemupukan, penyiangan dan panen (Rp. 1.372.924) kemudian biaya
sarana produksi (Rp. 1.102.816) yaitu untuk pembelian pupuk dan pestisida serta biaya lainnya yaitu untuk
pembayaran pajak dan lainnya (Rp. 123.754,-). Jadi dengan demikan maka biaya pemeliharaan yang
dikeluarkan petani selama setahun sebesar Rp. 2.599.493,- Biaya produksi yang dikeluarkan tersebut
menghasilkan nilai produksi sebesar Rp. 11.085.714 maka keuntungan bersih yang diterima petani dalam
jangka waktu 1 tahun sebesar Rp. 8.486.221 dengan nilai R/C sebesar 4,26.
Ditinjau dari keuntungan bersih dan nilai R/C yang dicapai dan peluang pasarnya, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri, maka usahatani manggis cukup layak untuk dikembangkan. Pedagang
pengumpul manggis di Desa Batumekar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat telah berhasil
menembus pasar luar negeri.
Mangga
Daerah produsen mangga yang cukup terkenal di Kabupaten Lombok Barat adalah Kecamatan
Bayan. Agroekosistem yang cukup mendukung dengan iklimnya yang kering menghasilkan buah mangga
dengan rasa manis. Mangga yang berasal dari kecamatan ini mampu bersaing di pasar nasional dengan
mangga Probolinggo dari Jawa Timur. Di pasar, konsumen sulit membedakan manggga Bayan dan mangga
yang berasal dari Probolinggo..
Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap mangga yang berada pada umur produktif mampu
menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 4.411.060 per tahun. Keuntungan tersebut diperoleh dari nilai
produksi sebesar Rp. 5.497.512 melalui pengorbanan berupa biaya produksi sebesar Rp. 1.086.452. Dari
data tersebut diperoleh nilai R/C usahatani mangga sebesar 5,06 dan ini berarti bahwa usahatani mangga
memiliki tingkat effisiensi yang cukup tinggi.
Pisang
Dari informasi yang diperoleh, tanaman pisang di lokasi pengkajian baru mulai berbuah antara satu
sampai dua kali sehingga belum berada pada produksi puncak. Pada fase pertumbuhan tanaman tersebut
603
masih memerlukan input yang cukup besar, sementara disatu sisi hasil produksi yang dihasilkan belum
maksimal sehingga dalam analisa ini usahatani pisang belum mampu memberikan keuntungan kepada petani.
Dari Tabel 1 diketahui bahwa biaya produksi yang dikeluarkan selama satu tahun sebesar
Rp. 2.855.649 dimana biaya yang dikeluarkan tersebut sebagian besar berupa biaya untuk pembelian sarana
produksi (Rp. 2.007.338) sedangkan biaya tenaga kerja yang dikeluarkan lebih rendah yaitu sebesar
Rp. 761.558. Dilain pihak nilai produksi yang dapat dicapai oleh petani yang bergerak pada usahatani pisang
hanya sebesar Rp. 2.698.312 selama setahun dengan demikian maka petani pisang mengalami kerugian
sebesar Rp. 157.338.
Interpretasi terhadap besarnya biaya sarana produksi yang dikeluarkan mengindikasikan bahwa
sebagian besar petani sedang melakukan peremajaan tanaman pisang. Pengamatan yang dilakukan saat survai
pada beberapa kebun pisang petani, rata-rata kondisi pisang yang ada dikebun petani masih dalam masa
pertumbuhan. Peremajaan ini dilakukan karena sebagian besar pisang yang dimiliki petani terserang
penyakit darah pisang.
2. Tanaman Perkebunan
Kopi
Total penerimaan usahatani kopi di lokasi penelitian sebesar Rp 3,4 juta per hektar per tahun.
Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan relatif kecil yaitu Rp 360 ribu atau 10,70 persen dari penerimaan
kotor. Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu sekitar Rp 240 ribu atau 7,05 persen dari penerimaan
kotor.
Dalam usahatani kopi ini, petani tidak melakukan pemupukan dan pemberantasan hama penyakit
tanaman. Sehingga biaya produksi hanya dikeluarkan untuk bibit dan tenaga kerja.
Dengan biaya yang relatif kecil dibandingkan penerimaan maka nilai imbangan biaya dan penerimaan
kotor (R/C ratio) yang diperoleh sebesar 9,35. Dengan nilai R/C jauh lebih besar dari satu berarti usahatani
kopi setelah mencapai usia produktif sangat menguntungkan
Table 2. Keuntungan usahatatani komoditas tanaman Perkebunan di NTB, 2004
No Komoditas
Biaya (Rp) Nilai
Produksi
(Rp)
Keuntungan
(Rp) R/C
Saprodi Tenaga
Kerja
Biaya
Lain
Total
Biaya
1 Kopi 39.175 239.113 84.536 362.825 3.390.722 3.027.897 9.35
2 Mete 81.019 879.630 45.525 1.006.173 1.253.858 247.685 1.25
3 Kakao 2.953.18.9 11.433.12.8 457.81.9 14.844.13.6 53.570.98.8 38.726.85.2 3.61
4 Vannili 406.250 1.890.960 44.786 2.341.996 3.094.196 752.201 1.32
5 Tembakau 3.513.527 326.639 326.639 12.505.045 11.975.845 -529.199 -1.04
Mete
Total penerimaan usahatani jambu mete dalam satu tahun sebesar Rp 1,25 juta per hektar. Dari jumlah
tersebut, sebesar 80,25 persen merupakan biaya produksi dan diantaranya 70,15 persen merupakan biaya
tenaga kerja.
Keuntungan yang diperoleh selama setahun dari usahatani jambu mete mencapai sekitar 250 ribu
rupiah per hektar tanaman kelapa. Nilai R/C lebih besar dari satu, menunjukkan bahwa usahatani tersebut
menguntungkan. Dilihat dari besaran keuntungan yang diperoleh, pendapatan dari usahatani jambu mete
tersebut tidak cukup besar apabila digunakan sebagai satu-satunya sumber pendapatan rumahtangga.
Kakao
Rata-rata produksi kakao yang dihasilkan petani selama setahun 7,48 Kw/Ha. Biasanya petani menjual
kakao dalam bentuk biji kering, dengan harga jual yang diterima pada waktu panen Rp 4754/kg. Dengan
tingkat produksi yang dicapai dan tingkat harga yang diterima tersebut diperoleh penerimaan setahun sebesar
5,4 juta rupiah per hektar.
Total biaya produksi usahatani kakao usia produktif mencapai 27,71 persen dari penerimaan yang
diperoleh. Meskipun tanaman kakao sudah berproduksi, tetap memerlukan pemeliharaan seperti pemupukan,
dan pembersihan. Dari total biaya yang dikeluarkan, komponen biaya terbesar untuk tenaga kerja (21,34%).
604
Keuntungan yang diperoleh petani dari satu hektar tanaman kakao sekitar Rp 3,9 juta dalam waktu
satu tahun. Setelah mencapai usia produktif, usahatani kakao sangat menguntungkan. Hal ini terlihat dari
imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang nilainya jauh di atas satu yaitu 3,61.
Vanili
Total penerimaan usahatani vanili di lokasi penelitian sebesar Rp 3,1 juta per hektar per tahun.
Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 2,3 juta atau 75,69 persen dari penerimaan kotor.
Biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja yaitu 1,9 juta atau 61,11 persen dari penerimaan kotor. Dalam
usahatani vanili, petani tidak melakukan pemupukan sehingga biaya produksi hanya dikeluarkan untuk bibit
dan tenaga kerja.
Biaya lain dalam biaya tenaga kerja usahatani vanili relatif besar yaitu mencapai 53,47 persen dari
penerimaan. Biaya lain tersebut diantaranya biaya untuk penyerbukan dan upah pejaga kebun. Seperti
diketahui vanili memerlukan penangan khusus dalam proses reproduksi. Penyerbukan dilakukan dengan
bantuan manusia dan hal ini memerlukan keahlian khusus. Oleh karena itu untuk kegiatan penyerbukan
tersebut memerlukan biaya yang besar. Tanaman vanili termasuk komoditas ekspor yang bernilai ekonomi
tinggi, sehingga jika tidak dijaga maka keamanan kebun rawan pencurian.
Nilai imbangan biaya dan penerimaan kotor (R/C ratio) yang diperoleh sebesar 1,52. Dengan nilai R/C
lebih besar dari satu berarti usahatani vanili menguntungkan. Besarnya keuntungan yang dicapai petani
dalam satu tahun sekitar 600 ribu rupiah per hektar. Nilai ini relatif kecil apabila usaha tersebut merupakan
satu-satunya sumber pendapatan rumahtangga tanpa ada sumber pendapatan lain.
Tembakau
Komponen biaya terbesar merupakan biaya tenaga kerja, biaya tenaga kerja per hektar lahan tembakau
mencapai 72,35 persen dari penerimaan usahatani. Kegiatan dalam usahatani tembakau adalah persemaian,
pengolahan tanah, pembuatan bedengan, pembuatan lubang tanam, penanaman, penyiraman, pemupukan,
penyemprotan, penggemburan, toping (pemangkasan pucuk), nyuli (pemetikan daun suli), panen dan pasca
panen. Biaya tenaga kerja sebagian besar merupakan biaya pasca panen dan penyiraman.
Faktor pemupukan sangat menentukan mutu daun tembakau yang dihasilkan. Pengeluaran saprodi
terbesar untuk pembelian pupuk (23,78% dari penerimaan).
3. Peternakan
Tabel 3: Keuntungan Usahatatani Komoditas Peternakan di NTB, 2004
No Jenis Ternak Total Biaya (input) Nilai Produksi
(Rp)(total Out put) Keuntungan (Rp) R/C
1 Sapi potong 805.867 1.623.733 817.867 2,01
2 Kerbau 8.075.401 16.499.667 8.424.266 2,04
3 Kambing 1.194.314 3.046.538 1.852.224 2,55
4 Ayam Buras 1.367.471 2.093.142 725.671 1,53
5 Itik 2.014.866 5.888.877 3.874.010 2,92
Sapi Potong
Biaya yang dikeluarkan untuk penggemukan sapi antara lain untuk pembelian sapi bakalan,
penyusutan kandang, pakan dan obat-obatan. Sementara itu biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan dalam
analisa karena tenaga kerja yang digunakan semuanya merupakan tenaga kerja keluarga. Total biaya usaha
penggemukan sapi potong dengan skala usaha satu ekor memerlukan biaya Rp 805 ribu. Dengan biaya
tersebut selama enam bulan penerimaan mencapai Rp 1,623 juta sehingga keuntungan yang diperoleh sebesar
Rp 818 ribu atau 50 persen dari total penerimaan. Usaha ternak ini sangat menguntungkan dilihat dari nilai
R/C sebesar 2,01. Dengan tingkat keuntungan ini usaha ternak sapi dapat dikatakan sebagai pekerjaan
sampingan. Apabila usaha penggemukan sapi akan dijadikan sebagai sumber pendapatan utama keluarga
maka skala usaha ternak perlu ditambah.
Kerbau
Dengan waktu pemeliharaan sekitar satu tahun, masing-masing induk kerbau rata-rata melahirkan
satu ekor anak sehingga jumlah anak yang dilahirkan 2,6 ekor. Output lain yang diperoleh dari usaha ternak
kerbau adalah jasa tenaga kerja. Dengan demikian dalam waktu tersebut penerimaan petani dari nilai ternak
dan jasa tenaga kerja mencapai Rp 16,499 juta.
605
Untuk menghasilkan penerimaan sebesar Rp 16,499 juta selama setahun diperlukan biaya sebesar
Rp 8,075 juta. Komponen biya terbesar merupakan biaya pembelian induk kerbau yang mencapai 43,33
persen dari total penerimaan. Dengan struktur penerimaan dan biaya tersebut maka keuntungan petani kerbau
mencapai Rp 8,424 juta dan R/C 2,04. Pada tingkat skala usaha seperti yang dilakukan petani di Kabupaten
Lombok Tengah, usaha ternak kerbau dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan utama keluarga.
Kambing
Dari hasil analisa yang dilakukan menunjukkan bahwa usaha ternak kambing pembibitan yang
dilakukan peternak di Kota Mataram sangat menguntungkan. Dalam waktu satu tahun induk dapat
berproduksi dua kali dengan jumlah anak rata-rata dua ekor. Sehingga pada akhir analisa jumlah anak lepas
sapih sebanyak 6,2 ekor dan jumlah induk menjadi 5 ekor. Total output yang diperoleh petani selama setahun
mencapai Rp 3,046 juta.
Input produksi terdiri dari biaya pembelian pejantan dan induk, kandang dan obat-obatan. Semua
kegiatan pemeliharaan kambing dilakukan oleh anggota keluarga termasuk mencari pakan sehingga biaya
pakan dan tenaga kerja tidak diperhitungkan. Total input usaha ternak kambing sebesar Rp 1,194 juta atau
39,20 persen dari penerimaan.
Dengan struktur biaya dan penerimaan tersebut maka keuntungan usaha ternak kambing selama
setahun sebesar Rp 1,852 juta. Usaha tersebut menguntungkan dilihat dari nilai R/C sebesar 2,55.
Ayam Buras
Input produksi yang diperlukan dalam usaha ternak ayam buras antara lain bibit, kandang, pakan,
obat-obatan, dan tenaga kerja. Usaha ternak ayam buras yang dilakukan peternak di Kabupaten Lombok
Barat sudah relatif intensif dilihat dari jenis dan jumlah input yang digunakan. Ternak sudah dikandangkan,
pakan yang diberikan terdiri dari jagung, konsentrat dan dedak, sementara itu pemeliharaan kesehatan juga
dilakukan dilihat dari besarnya pengeluaran untuk obat-obatan.
Total biaya produksi usaha ternak ayam buras selama setahun mencapai Rp 1,367 juta atau 65,33
persen dari total penerimaan. Biaya terbesar merupakan biaya bibit (28%) dan pakan (27%). Produk utama
yang dihasilkan dalam usaha ternak ayam buras adalah telur konsumsi. Disamping telur konsumsi, usaha
ternak melakukan pembibitan untuk regenerasi induk yang sudah afkir. Hasil analisa menunjukkan
penerimaan usaha ternak ayam selama setahun sekitar Rp 2,093 juta, sehingga keuntungan yang diperoleh
mencapai Rp 726 ribu rupiah dengan nilai R/C sebesar 1,53.
Itik
Hasil analisa usaha menunjukkan bahwa biaya produksi selama setahun yaitu Rp 2,015 juta. Biaya
ini sebagian besar merupakan biaya lain Rp 859 ribu (14,59 % dari penerimaan) dan biaya pakan Rp 626 ribu
(10,64 % dari penerimaan). Penerimaan selama setahun dari itik jantan, induk, telur dan limbah sebesar Rp
5,889 juta sehingga keuntungan usaha sebesar Rp 3,874 juta.
KESIMPULAN
1. Tingkat keuntungan usahatani padi sawah MKI Rp 2.212.793/ha (R/C 1,78), padi sawah MH
Rp 2.966.687/ha (R/C 1.99), padi ladang Rp 2.821.997/ha (R/C 3,01), jagung Rp. 865.621/ha (R/C 3,62),
kacang hijau Rp 341058/ha (R/C 1,54), bawang merah MKI Rp 11.278.455/ha (R/C 1,63), bawang
werah MKII Rp 4.800.126/ha (R/C 1,78), manggis Rp 8.486.221 (R/C 4,26), mangga Rp 4.411.060 (R/C
5,06), pisang Rp -157.338 (R/C 1,06), kopi Rp 3.027.897/ha (R/C 9,36), mete Rp 247.685/ha (R/C 1,25),
kakao Rp 3.872.685,2/ha (R/C 3,61, vanilli Rp 752.201/ha (R/C 1,32), tembakau Rp -529.199/ha (R/C
1,04), sapi potong Rp 817.867 (R/C 2,01), kerbau Rp 8.424.266 (R/C 2,04), kambing Rp 1.852.224
(R/C 2,55), ayam buras Rp 725.671 (R/C 1,53), itik Rp 3.874.010,- (R/C 2,92).
2. Komoditas yang menguntungkan dengan nilai R/C lebih dari 1,5 mempunyai peluang bagi petani untuk
dikembangkan.
PUSTAKA.
BPTP NTB. 2003. Komoditas Unggulan Propinsi Nusa Tenggara Barat. BPTB . NTB. Mataram.
606
PENGARUH POLA TUMPANGSARI TERHADAP EROSI TANAH PADA LAHAN KERING
BERBASIS JAMBU METE DI NTB
Ahmad Suriadi, Sudarto dan M. Nazam
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK
Sebagian besar jambu mete di NTB di tanam di lahan kering yang dicirikan dengan kesuburan yang rendah
dimana kandungan bahan organik tanah rendah, agregat tanah kurang mantap, peka terhadap erosi dan kandungan hara utama (N,P, dan K) relatif rendah, tekstur tanah pasiran sehingga kurang mampu menahan air dan lapisan tanah (solum)
pada umumnya dangkal. Pengkajian pengaruh pola tumpangsari terhadap erosi tanah di lahan kering berbasis jambu mete
telah dilakukan pada lahan mete petani dengan jarak tanam 8 x 8 m melalui on farm research di Amor-Amor Kecamatan
Kayangan Lombok Barat. Pola tumpangsari yang diaplikasikan pada lahan pertanaman jambu mete adalah padi+jagung+ubi kayu dan kacang tanah+jagung+ubi kayu. Drum telah dipasang untuk menampung tanah yang terbawa
erosi pada masing-masing petak sampai awal musim kemarau untuk menampung tanah yang terbawa air dan selanjutnya
dihitung laju erosi pertahun. Pola tumpangsari tersebut juga diaplikasikan pada lahan petani tanpa tanaman jambu mete.
Data hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan analisis of variance. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kedua pola tumpangsari tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tanah yang tererosi pada lahan kering
berbasis jambu mete, meskipun jumlah tanah yang tererosi cenderung lebih banyak pada pola tumpangsari
padi+jagung+ubi kayu dibandingkan dengan pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Sebaliknya jumlah tanah
yang tererosi pada lahan tanpa jambu mete lebih banyak dibandingkan dengan tanah yang tererosi pada lahan jambu mete. Demikian juga jumlah tanah yang tererosi pada pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu lebih tinggi dibandingkan
dengan pola kacang tanah+jagung+ubi kayu pada lahan tanpa tanaman jambu mete. Hasil analisis usahatani menunjukkan
bahwa produksi dan keuntungan bersih petani kooperator lebih tinggi daripada non kooperator dengan B/C ratio berturut-
turut 0,67; 1,3; 0,27 dan 0,55 untuk padi+jagung+ubi kayu (kooperator), kacang tanah+jagung+ubi kayu (koooperator), padi+jagung+ubi kayu (nonkooperator) dan kacang tanah+jagung+ubi kayu (nonkooperator). B/C ratio sistem
tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan sistem yang lain, sedangkan
B/C ratio yang paling rendah adalah tumpangsari jagung+padi nonkooperator. Implikasi dari kegiatan ini adalah bahwa
petani sebaiknya memanfaatkan lahan pertanaman jambu mete dengan pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu untuk menekan jumlah tanah yang tererosi dan meningkatkan keuntungan usahatani.
Kata kunci: erosi, lahan kering, tumpangsari, lahan jambu mete.
PENDAHULUAN
Vegetasi mempunyai peranan yang sangat besar dalam penekanan erosi tanah. Pada hutan rimba,
hampir tidak terjadi erosi tanah dan kalaupun ada kehilangan tanah tidak jauh berbeda dengan kecepatan
pembentukan tanah. Sebaliknya tanah yang tanpa vegetasi hampir selalu terjadi erosi dan kehilangan tanah
jauh lebih besar daripada tanah yang terbentuk.
Salah satu masalah yang perlu diatasi dalam pemanfaatan lahan kering dan lahan marginal seperti
pada tanaman jambu mete adalah penurunan produktivitas tanah (degradasi) akibat penurunan kandungan
bahan organik, solum tanah yang dangkal, banyak singkapan batu dipermukaan tanah dan tingkat erosi telah
lanjut (Notohadiprawiro, 1988). Proses terjadinya degradasi dapat berlangsung dalam waktu yang cukup
lama dan dapat terjadi dalam waktu yang cukup singkat (tahunan) terutama disebabkan oleh adanya musim
kemarau dan musim penghujan. Degradasi yang terjadi dalam waktu yang cukup pendek disebabkan oleh
cara pengelolaan tanah yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Keadaan tersebut secara
langsung dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah (Fauck, 1977).
Thorne dan Thorne (1978) mengemukakan bahwa ada 5 praktek pengelolaan lahan yang dapat
mengurangi laju erosi yaitu (1) vegetasi, (2) sisa tanaman, (3) pengelolaan tanah, (4) efek sisa rotasi tanaman
dan (5) praktik pendukung mekanik. Disamping itu, kombinasi kanopi dan sisa tanaman mampu melindungi
permukaan tanah dari daya perusak butir hujan dan dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yang secara nyata
dapat meningkatkan laju infiltrasi dan mengurangi laju erosi.
Pengolahan tanah dan pergiliran tanaman sangat menentukan dalam kesukesan konservasi tanah di
lahan kering. Pengolahan tanah seperlunya (minimum tillage) dan menerapkan pergiliran tanaman dengan
tanaman pupuk hijau maupun sistem tumpangsari merupakan beberapa contoh teknik konservasi tanah dan
air. Irianto et al. 1986 mengemukakan bahwa pengolahan tanah sepertlunya disertai dengan pemberian mulsa
mampu menahan laju erosi pada tanah ultisols berlereng.
607
Kemampuan menekan erosi dalam sistem usahatani tanaman pangan sangat bervariasi dan
tergantung pola tanam yang diterapkan. Pada pola tanam monokultur, kemampuan menekan erosi masih
cukup rendah. Hal ini ditandai dengan masih tingginya nilai faktor tanaman (faktor C) dari persamaan umum
erosi yaitu Universal Soil loss Equation (USLE). Nilai C berkisar dari 0 sampai 1; semakin tinggi nilai
C,maka semakin kecil peranan tanaman dalam menekan erosi. Abdurahman et al. (1984) melaporkan nilai C
untuk tanaman jagung, padi gogo, kacang tanah, kedelai dan kacang jogo berturut-turut adalah 0,64; 0,56;
0,45; 0,40 dan 0,16.
Pola tanam tumpangsari bila ditinjau dari segi konservasi tanah tampaknya mempunyai efektivitas
yang lebih tinggi daipada monokultur. Sukmana dan Erfandi, (1988) mengemukakan bahwa sistem tanam
lorong (alley cropping) atau tumpangsari merupakan teknik yang dapat menahan laju aliran permukaan dan
mengurasi erosi tanah. Pada tanaman tumpangsari, penutupan tanah oleh vegetasi lebih rapat dan waktunya
lebih lama sehingga erosi diharapkan akan lebih kecil. Walaupun demikian, masih perlu diteliti sejauhmana
kemampuan dan efektivitas pola tanam tumpangsari dapat mengurangi erosi. Tulisan ini mengungkapkan
hasil pnelitian yang sedang dilakukan di Lombok Barat dengan tujuan untuk mengetahui dan menunjukkan
sejauhmana pengaruh sistem tumpangsari terhadap erosi tanah pada lahan pertanaman jambu mete di lahan
kering.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di lahan petani (on farm research) seluas 5 ha di Amor-Amor, Kecamatan
Kayangan, Kabupaten Lombok Barat, di bawah bimbingan peneliti dan penyuluh. Pendekatan penelitian ini
dilakukan dengan mengelompokkan petani sebagai petani peserta (petani kooperator) dan petani non peserta
(nonkooperator). Untuk mengetahui keunggulan teknologi ini, maka hasil penelitan ini dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh petani nonkooperator. Rancangan percobaan yang digunakan adalah racangan acak
kelompok yang diulang sebanyak minimal 3 kali. Perlakuan kombinasi antara lahan mete dan tanpa mete
dengan beberapa pola tumpangsari telah diterapkan pada percobaan ini. Beberapa petani yang mempunyai
lahan dengan kemiringan sekitar 5% dipilih dan dibuat petak percobaan berukuran 10m x 3m. Panjang petak
searah lereng dan lebarnya memotong lereng. Perlakuan yang diterapkan pada lahan petani kooperator yang
pada lahannya telah ada tanaman jambu mete dengan jarak tanam 8 x 8 m adalah tumpangsari kacang
tanah+jagung+ubi kayu dan padi+jagung+ubi kayu. Lahan petani tersebut di bagi 2 bagian yaitu sebagian
lahan pertanaman jambu mete digunakan untuk perlakuan tumpangsari padi+jaung+ubi kayu dan
sebagiannya lagi untuk tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Tanam dilakukan dengan sistem tugal
dengan arah sebisa mungkin barisannya membujur dari timur – barat. Tanaman jagung menggunakan jarak
tanam 150 x 30 cm, ubi kayu 150 x 30 cm, padi 20 x 20 cm dan kacang tanah 20 x 20 cm. Varietas tanaman
yang digunakan meliputi: jagung bersari bebas varietas Lamuru, padi varietas Widas, kacang tanah varietas
lokal dan ubi kayu varietas lokal. Pada lahan petani nonkooperator yang tidak ada tanaman mete juga
diperlakukan dengan perlakuan yang sama dengan petani kooperator. Pada bagian bawah setiap petak
ditempatkan bak penampung (drum) yang digunakan untuk menampung tanah yang tererosi dan air runoff.
Pengamatan dilakukan terhadap beberapa sifat tanah, curah hujan, prosentase aliran permukaan dan
erosi, produksi tanaman dan analisis usahatani. Sifat tanah awal ditentukan dengan mengambil contoh tanah
secara komposit pada dua kedalaman yaitu 0-20 cm dan 20-40 cm. Pemasangan penangkar hujan
(Ombrometer tipe observatorium) di lokasi penelitian bertujuan untuk mengukur curah hujan setiap hari pada
pukul 07.00 wita apabila ada hujan pada hari sebelumnya. Pengukuran aliran permukaan dan tanah tererosi
yang tertampung dalam bak penampung dari masing-masing petak dilakukan setiap pukul 07.00 wita apabila
terjadi hujan pada hari sebelumnya. Air aliran permukaan diukur setelah tanah tererosi mengendap dan
sampel tanah tererosi ditimbang. Contoh tanah basah yang tertampung pada bak yang dipasang pada setiap
petak diambil untuk ditentukan bobot tanah keringnya. Erosi dan aliran permukaan diukur dengan
menggunakan metode pengukuran erosi sistem petak kecil (Lembaga Penelitian Tanah, 1975). Produksi
tanaman ditentukan dengan mengambil sampel pada setiap petak. Analisis usahatani dilakukan dengan
menggunakan analisis B/C ratio (Anonim, 1988). Pengamatan produksi ubi kayu pada setiap perlakuan tidak
diamati karena ubi kayu masih belum bisa dipanen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa sifat fisik dan kimia tanah di lokasi percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel
tersebut menunjukkan bahwa tekstur tanah lokasi percobaan tergolong lempung pada lapisan atas dan
lempung berpasir pada lapisan bawahnya dengan kandungan pasir lebih besar dari 50% sedangkan liatnya
608
(clay) sangat rendah. Ini menunjukkan bahwa tanah tersebut cukup porus disamping aggregat yang cukup
lemah dan agak lepas-lepas. Kemasaman tanah (pH) tergolong netral, kandungan bahan organik tergolong
rendah baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah, kandungan N total sangat rendah dan kapasitas tukar
kation tergolong rendah pada kedua lapisan sedangkan kejenuhan basa tergolong sedang. Kandungan P2O5
dan K2O dengan ekstrak HCl 25% tergolong sangat tinggi pada kedua lapisan. Hal ini mungkin disebabkan
bahwa dilokasi tersebut telah terjadi pemupukan yang cukup berat dan intensif terhadap posphat.
Tabel 1. Beberapa Sifat Tanah di Lokasi Penelitian
Kedalaman Tekstur (%)
Kelas tekstur
BD Kadar air (% vol) pH N total C Org C/N
(cm) pasir debu liat g/cc Klp Tlp AT H2O % %
0 - 20 38 53 9 loam 1.15 30.4 9.1 21.3 6.32 0.12 1.31 11
20 - 40 73 22 5 Sandy Loam 1.11 25.8 8.4 17.4 6.61 0.11 1.04 9
Kedalaman Nilai Tukar Kation JLH KTK
Kejenuhan
basa P2O5 K2O
(cm) (me/100 gram)
Ca Mg K Na me/100 gram (%) HCl 25% (mg/100g)
0 - 20 6.8 2.2 1 0.3 10.3 16.9 62 168 127
20 – 40 7.5 2.5 1.5 0.3 11.8 19.7 60 172 147
Kemampuan tanah memegang air sangat ditentukan proporsi liat (clay) dan kandungan bahan
organik tanah. Kemampuan tanah memegang air pada lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan
bawah. Hal ini karena pada lokasi tersebut, proporsi liat pada lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan
lapisan bawah tanah. Demikian juga kandungan bahan organik tanah pada lapisan atas lebih tinggi
dibandingkan dengan lapisan bawah, walaupun perberdaannya tidak besar.
Distribusi dan curah hujan bulanan di lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 1. Menurut
Oldemen et al (1980), bulan yang curah hujannya lebih dari 200 mm/bulan digolongkan ke dalam bulan
basah. Walaupun data curah hujan yang diperoleh kurang dari 1 tahun (Nopember – Mei), dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa bulan basah ( CH >200 mm/bulan) hanya terjadi selama 3 bulan yaitu pada
bulan Januari, Februari dan Maret. Sebagian besar petani dilokasi penelitian melaksanakan penanaman
tanaman semusim pada akhir bulan Desember. Hal ini dapat dipahami karena pada akhir bulan Desember
jumlah curah hujan sudah cukup untuk melakukan penugalan. Mirza (1995) menyatakan curah hujan 60 mm
per dasarian itu diperlukan untuk menopang kebutuhan evapotranspirasi pada periode pertumbuhan awal
tanaman semusim.
Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan dilokasi penelitian
Pengaruh pola tanam terhadap erosi dan aliran permukaan.
Jumlah tanah yang tererosi dan prosentase aliran permukaan yang terjadi selama penelitian dapat
dilihat pada Gambar 2. Pengaruh pola tumpangsari terhadap erosi tanah tidak menunjukan perbedaan yang
nyata baik pada lahan pertanaman jambu mete maupun lahan tanpa jambu mete. Namun demikian, pola
tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu lebih mampu menekan erosi yang terjadi dibandingkan dengan
pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu pada kedua lahan pertanaman. Hal ini terjadi karena berhubungan
dengan tajuk tanaman. Tajuk tanaman kacang tanah lebih luas dibandingkan dengan tajuk tanaman padi.
Disamping itu, tanaman kacang tanah lebih pendek dibandingkan tanaman padi. Hal ini menyebabkan laju
0
100
200
300
400
500
Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei
Bulan (2005/2006)
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
609
erosi lebih rendah pada tanaman kacang tanah dibandingkan pada padi. Hasil penelitian Abdurahman et al.
(1985) juga menunjukkan bahwa pola tanam tunggal maupun tumpang gilir dapat memperlambat laju erosi.
Demikian juga hasil penelitian Langdale et al. (1992) menunjukkan bahwa akumulasi residu tanaman pangan
selama 5 tahun sebanyak 20 ton/ha dapat menurunkan leju erosi dari 25,4 ton/ha menjadi <0,1 ton/ha, bahkan
erosi tidak menurun lagi walaupun jumlah akumulasi residu tanaman bertambah.
0
10
20
30
40
50
KcJ M PJM KcNM PJNM
Erosi (ton/ha)
Aliran permukaan (%)*
aa
b
b
a abbc c
0
10
20
30
40
50
KcJ M PJM KcNM PJNM
Erosi (ton/ha)
Aliran permukaan (%)*
aa
b
b
a abbc c
Keterangan: * Aliran permukaan (%) yaitu jumlah air yang tertampung selama musim hujan dibagi
total curah hujan dilokasi penelitian.
KcJM, PJM dan NM = Tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu, Padi+jagung+ubi
kayu pada lahan jambu mete dan pada lahan tanpa tanaman mete.
Gambar 2. Jumlah tanah tererosi dan prosentase aliran permukaan pada berbagai pola tumpangsari di Amor-Amor
Pengaruh tanaman mete terhadap erosi tanah dapat dilihat pada Gambar 2. Tanaman mete
berpengaruh nyata terhadap jumlah erosi yang terjadi pada lahan tersebut. Walaupun jumlah erosi yang
terjadi masih lebih besar dari batas ambang toleransi yaitu 13.46 ton/ha (Thompson, 1987), namun jumlah
tanah yang tererosi pada lahan mete untuk setiap perlakuan tumpangsari lebih kecil dibandingkan dengan
jumlah erosi pada lahan tanpa tanaman jambu mete. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tanaman jambu
mete dilahan akan mampu menekan laju erosi yang terjadi.
Pola aliran permukaan tidak jauh berbeda dengan pola erosi (Gambar 2). Total curah hujan selama
pengamatan erosi adalah 1433,1 mm. Prosentase aliaran permukaan yang paling tinggi diperoleh pada pola
tumpangsari padi+jagung+ubi kayu pada lahan tanpa tanaman jambu mete, sedangkan prosentase aliran
pemukaan yang terkecil terjadi pada pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Dengan demikian,
kombinasi antara tanaman jambu dan kacang tanah yang ditanam pada pertanaman jambu mete mampu
menekan aliran permukaan dengan cukup signifikan.
Produksi Tanaman
Produksi tanaman pada berbagai pola tumpangsari yang diaplikasikan pada lahan pertanaman jambu
mete dan tanpa lahan jambu mete dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel tersebut menunjukkan bahwa produksi
jagung dan kacang tanah pada lahan pertanaman jambu mete lebih tinggi dibandingkan dengan produksi
tanaman tersebut pada lahan tanpa jambu mete. Namun produksi padi lebih tinggi pada petani nonkoperator
dibandingkan dengan petani kooperator. Secara umum, hal ini berhubungan dengan teknologi budidaya yang
berbeda pada petani kooperator dan petani non koperator. Petani kooperator menerapkan sistem usahatani
yang dianjurkan (pemupukan) sedangkan petani nonkooperator menerapkan sistem usahatani sesuai dengan
caranya sendiri.
Tabel 2. Rata-rata Produksi Tanaman Pada Berbagai Pola Tumpangsari Pada Lahan Pertanaman Jambu Mete dan Tanpa
Lahan Jambu Mete
Uraian Padi Jagung Kacang tanah
Kg/ha
Lahan mete (kooperator)
Padi+jagung+ubi kayu 759a 2804b
Kc.Tanah+jagung+ubi kayu 2711b 572b
Tanpa mete (nonkooperator)
Padi+jagung+ubi kayu 833b 1583a
Kc.Tanah+jagung+ubi kayu 1500a 450a
CV (%) 12,5 21,2 11,2
610
Analisis usahatani
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lokasi penelitian mengenai paket teknologi sistem
tumpangsari, maka tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu lebih mendapat respon positif dibandingkan
dengan tumpangsari padi+jagung+ubi kayu. Hal ini dapat dipahami karena tumpangsari kacang
tanah+jagung+ ubi kayu memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan paket yang lain.
Hal ini juga didukung oleh hasil analisis usahatani yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Usahatani Kooperator dan Nonkooperator di Amor-Amor Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok
Barat
Uraian
Kooperator Non Kooperator
Padi+ Jagung Kc tanah+
Jagung Padi+ Jagung
Kc tanah+
Jagung
Biaya sarana produksi 1.155.000 1.205.000 935.000 960.000
Biaya tenaga kerja 1.096.111 1.117.778 1.133.333 1.021.667
Total biaya produksi 2.251.111 2.322.778 2.068.333 1.981.667
Produksi (kg/ha)
- Jagung 2.804 2.711 1.583 1.500
- Padi 759 833
- Kc. Tanah - 572 450
Nilai Produksi (Rp/ha) 3.753.056 4.713.889 2.625.000 3.075.000
- Jagung (Rp 1000/kg) 2.804.444 2.711.111 1.583.333 1.500.000
- Padi (Rp. 1250/kg) 948.611 1.041.667
- Kc. Tanah (3500/kg) 2.002.778 1.575.000
Keuntungan bersih 1.501.944 2.391.111 556.667 1.093.333
B/C ratio 0,67 1,03 0,27 0,55
Tabel di atas menunjukkan analisis usahatani tanaman semusim yang ditanam pada lahan
pertanaman jambu mete. Secara umum, sistem tumpangsari kooperator lebih baik dibandingkan dengan
sistem tumpangsari non kooperator. Produksi dan keuntungan bersih petani kooperator lebih tinggi daripada
non kooperator. Keadaan tersebut diperkuat oleh nilai B/C ratio petani kooperator lebih tinggi dibandingkan
dengan petani nonkooperator. Keuntungan bersih yang diperoleh petani kooperator pada pola tumpangsari
kacang tanah+jagung+ubi kayu hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan petani
nonkooperator pada sistem tumpangsari yang sama. Sedangkan keuntungan bersih petani kooperator hampir
3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan petani nonkooperator pada sistem tumpangsari kacang hijau+jagung.
Hal ini ditunjukkan oleh tingginya nilai keuntungan bersih dan B/C ratio tumpangsari yang lakukan oleh
petani kooperator dibandingkan petani nonkooperator. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh sumberdaya
agroklimat yang cukup baik untuk pertumbuhan tanaman padi dibandingkan dengan tanaman kacang tanah.
Kondisi iklim lokasi penelitian untuk tahun ini cukup baik dengan curah hujan yang cukup lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi baik.
Sistem tumpangsari nonkooperator memberikan hasil yang paling rendah dibandingkan dengan
sistem monokulture maupun sistem tumpangsari kooperator. Hal ini disebabkan karena petani tidak
memperhatikan kualitas benih (terutama benih jagung) yang digunakan. Benih jagung yang dipakai adalah
benih hibrida turunan yang dipanen tahun sebelumnya yang sudah jelas produktifitasnya rendah. Demikian
juga dalam hal pemupukan, petani nonkooperator tidak melakukan pemupukan sesuai dengan takaran yang
dianjurkan. Takaran pupuk yang diberikan ke dalam tanah sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan petani
nonkoperator dalam membeli pupuk dan sarana produksi yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1) Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan:
2) Meskipun pola tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu lebih mampu menekan laju erosi yang
terjadi dibandingkan dengan pola tumpangsari padi+jagung+ubi kayu pada kedua lahan pertanaman,
namun pengaruhnya tidak menunjukan perbedaan yang nyata baik pada lahan pertanaman jambu mete
maupun lahan tanpa jambu mete. Tanaman mete berpengaruh nyata terhadap jumlah erosi yang terjadi
pada tanah.
611
3) kombinasi antara tanaman jambu dan tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu yang ditanam pada
pertanaman jambu mete mampu menekan aliran permukaan dengan cukup signifikan.
4) Produksi dan keuntungan bersih petani kooperator lebih tinggi daripada non kooperator. B/C ratio sistem
tumpangsari jagung+kacang tanah lebih tinggi dibandingkan dengan sistem yang lain. Sedangkan B/C
ratio yang paling rendah adalah pada sistem tumpangsari jagung+padi nonkooperator.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka sebaiknya lahan pertanaman mete dapat dimanfaatkan untuk
usahatani tumpangsari kacang tanah+jagung+ubi kayu. Hal ini disamping sistem tersebut mampu menekan
laju erosi yang cukup signifikan, juga mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi sekaligus
meningkatkan kualitas lingkungan dan meningkatkan pendapatan usahatani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, A., S. Abujamin dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk usahatani
konservasi. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. 3:7 – 12
Anonim. 1988. Analisis ushatani pola tanam. Modul Pelatihan pada Proyek P3NT. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Fauck, R. 1977. Influences of Agriculture Practice on Soil Degradation. In Asessing Soil Degadation. FAO.
Soil Bulletin. 34. 12-13p. Roma Thorne, D.W. and M.D. Thorne. 1978. Soil Water and Crop
Production. AVI. Publishing Company, Inc. West Port. Connecticut.
Irianto, G., Suwardjo dan I. Juarsah. 1986. Peranan pengelolaan tanah dan sisa tanaman terhadap erosi dan
hasil jagung pada Ultisol Lampung. Dalam Pertemuan Teknis Penelitian Tanah . PPT. Balitbang.
Deptan. Bogor.
Langdale, G.W., W.C. Mills and A.W. Thomas. 1992. Use of conservation tillage to retard erosive effects of
large storm. J. Soil and Water Cons. 47:257-260
Lembaga Penelitian Tanah. 1975. Petunjuk Pelaksanaan Penelitian Eros Sistem Petak Kecil. Dok. LPT.
12/1975
Mirza, M. 1995. Kemungkinan penggunaan curah hujan untuk penetuan saat tanam padi di sawah tadah
hujan. (hal 24 - 35). Prosiding dalam Seminar Sehari “Pemamfaatan Sumberdaya Iklim Dalam
Pengembangan Pertanian Yang Efisien” Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia
(PERHIMPI) NTB dan Fakultas Pertanian Univeresitas Mataram.
Notohadiprawiro, T.. 1988. Pembaharuan pandangan terhadap kedudukan lahan kering dalam pembangunan
pertanian pangan yang terlanjutkan. Seminar Fakultas Pertanian UNISRI, Surakarta.
Oldeman, R.L., L. Irsal, and Muladi (1980). The agro-climatic maps of Kalimantan, Maluku,
Sukmana, S. dan D. Erfandi. 1988. Penelitian pengelolaan lahan berombak di Kuamang Kuning Jambi.
Dalam Hasil Penelitian Pola Usahatani Terpadu di Daerah Transmigrasi Kuamang Kuning Jambi.
PPK-PBLN-Puslittan. Bogor.
Thompson, L.M. 1987. Soil and Soil Fertility. Mc. Grow-Hill Book Coy Inc. New York
612
OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN KERING DI KEBUN KELAPA DENGAN
USAHATANI PISANG
Kasus di Sambelia Kabupaten Lombok Timur
Prisdiminggo, Sri Hastuti S dan Bq. Tri Ratna Erawati
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Sebagian besar wilayah Sambelia didominasi oleh lahan kering dengan iklim tergolong kedalam tipe D3
dengan bulan basah antara 3 – 4 bulan dan bulan kering antara 8 – 9 bulan. Salah satu tanaman tahunan yang ditanam di
lahan kering Sambelia adalah komoditas kelapa, hal ini mengingat letak Sambelia yang berada di pinggir pantai sehingga
sesuai dengan syarat tumbuh pohon kelapa. Pada umumnya pohon kelapa ditanam dengan pola kebun monokultur dan rata-rata sudah berumur 25 tahun, sedangkan peremajaan belum dilakukan. Sejak gelar teknologi pisang oleh BPTP NTB
yang dilaksanakan pada tahun 2003-2004, komoditas pisang mulai berkembang di Sambelia yang umumnya diusahakan
dalam bentuk kebun monokultur. Namun demikian terdapat beberapa petani yang memanfaatkan lahan kering di bawah
pohon kelapa dengan tanaman pisang. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis biaya dan keuntungan usahatani pisang di bawah pohon kelapa. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2006 di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia,
Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif dengan beberapa petani. Data
yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan kriteria investasi Net B/C dan NPV. Dengan memperhitungkan umur
produktif kelapa sampai umur 40 tahun maka diperoleh NPV dengan discount faktor 14 persen sebesar Rp 226.179.020/ ha/masa umur tanaman atau keuntungan usahatani tumpangsari kelapa pisang sebesar Rp 18.848.252/ha/tahun. Pola
usahatani pisang di bawah pohon kelapa memperoleh net B/C sebesar 7,95. Dari hasil analisis yang dilakukan
menunjukkan bahwa pengembangan pisang di Sambelia melalui optimalisasi pemanfaatan lahan di kebun kelapa layak
dilakukan yang ditunjukkan oleh kriteria investasi NPV > 0, dan Net B/C > 1.
Kata kunci : kelapa, pisang, kelayakan, usahatani
PENDAHULUAN
Sebagian besar wilayah Sambelia didominasi oleh lahan kering dengan iklim tergolong kedalam tipe
D3 dengan bulan basah antara 3 – 4 bulan dan bulan kering antara 8 – 9 bulan (Puspadi, et. al, 2004). Salah
satu tanaman tahunan yang ditanam di lahan kering Sambelia adalah komoditas kelapa, hal ini mengingat
letak Sambelia yang berada di pinggir pantai sehingga sesuai dengan syarat tumbuh pohon kelapa. Pada
umumnya pohon kelapa ditanam dengan pola kebun monokultur dan rata-rata sudah berumur 25 tahun,
sedangkan peremajaan belum dilakukan.
Sejak gelar teknologi pisang oleh BPTP NTB yang dilaksanakan pada tahun 2003-2004, komoditas
pisang mulai berkembang di Sambelia yang umumnya diusahakan dalam bentuk kebun monokultur. Luas
areal pisang di Sambelia saat ini sudah mencapai 250 Ha (Erawati, 2005). Dari hasil analisa yang dilakukan,
pendapatan dari usahatani pisang yang diusahakan dalam kebun monokultur dapat mencapai Rp 28 juta/ha/
tahun atau rata-rata Rp 2,3 juta/bulan.
Produksi pisang Nusa Tenggara Barat khususnya dari Kabupaten Lombok Timur selama ini untuk
memenuhi permintaan pasar lokal (Pulau Lombok) dan permintaan luar daerah (Pulau Bali). Permintaan
pisang baik dari Pulau Lombok maupun Bali cenderung meningkat.
Areal tanaman kelapa di Sambelia pada tahun 2004 seluas 2.141 ha atau sekitar 14 persen dari luas
areal kelapa di Kabupaten Lombok Timur (BPS Lombok Timur, 2004). Lahan di bawah pohon kelapa pada
umumnya dibiarkan kosong dan ditumbuhi rumput dan semak-semak. Melihat keberhasilan usahatani pisang
di Sambelia, beberapa petani kelapa mulai mencoba memanfaatan lahan di bawah kebunnya dengan tanaman
pisang.
Prospek permintaan pisang yang terus meningkat, kurangnya suplai pisang dan potensi lahan kering
di dibawah tegalan kebun kelapa merupakan peluang untuk pengembangan pisang di Kabupaten Lombok
Timur. Namun pertanyaannya, apakah optimalisasi pemanfaatan lahan di kebun kelapa dengan usahatani
pisang ini layak dilakukan dan menguntungkan? Artikel ini bertujuan menganalisis biaya dan keuntungan
usahatani pisang di bawah tegalan pohon kelapa.
613
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2006 di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia,
Lombok Timur. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi mendalam secara partisipatif dengan beberapa
petani. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan kriteria investasi Net Benefit Cost Ratio (Net
B/C) dan Net Present Value (NPV) (Kadariah, et. al, 1978 dan Gittinger, 1986). Net B/C adalah suatu
ukuran kelayakan investasi dengan membagi arus penerimaan (benefit) dan arus biaya (cost) selama umur
produksi yang telah didiscount dengan tingkat bunga yang berlaku, NPV merupakan perbedaan antara
penerimaan (benefit) dengan biaya selama umur investasi yang telah didiscount.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Usahatani
Luas pengusahaan kelapa oleh petani di Sambelia rata-rata sekitar 1 ha. Komoditas kelapa pada
umumnya diusahakan dengan pola kebun monokultur, beberapa ditanam dalam kebun campuran dengan
tanaman tahunan lainnya atau ditanam di pekarangan. Kelapa yang dikelola petani pada kebun monokultur
ditanam dengan jarak tanam 8 x 8 meter. Pada umumnya pola pemeliharaan tanaman kelapa kurang intensif.
Setelah kelapa ditanam dan berproduksi, pemeliharaan yang dilakukan hanya sebatas pada sedikit
pemupukan (pada umumnya tidak dipupuk) dan pemangkasan dahan yang sudah kuning atau kering yang
dilakukan pada saat panen setiap bulan atau dua bulan sekali. Lahan di bawah pohon biasanya kelapa
dibiarkan tidak dibersihkan sehingga ditumbuhi rumput dan semak-semak.
Pohon kelapa yang tumbuh di Sambelia pada saat ini rata-rata sudah berumur 25 tahun. Menurut
informasi yang diperoleh, umur produktif kelapa dapat mencapai 40 tahun. Hal ini berarti umur produktif
kelapa di Sambelia masih tersisa sekitar 15 tahun.
Pemasaran kelapa relatif mudah, pedagang pengumpul secara rutin datang untuk membeli kelapa
yang sudah siap dipanen dari petani. Untuk panen dan pemasaran kelapa, petani tidak mengeluarkan biaya
sama sekali. Pembeli atau pedagang pengumpul membeli kelapa yang masih di pohon dan biaya panen
ditanggung oleh pembeli. Permasalahan yang dirasakan oleh petani dalam pemasaran kelapa adalah
rendahnya harga kelapa.
Penanaman pisang diantara pohon kelapa dilakukan dengan dua cara yaitu dengan penjarangan dan
tanpa penjarangan pohon kelapa, namun demikian cara pertama lebih banyak diterapkan oleh petani.
Sebelum pisang ditanam, dilakukan penjarangan pohon kelapa yaitu setiap dua baris pohon kelapa dikurangi
satu baris sehingga terdapat cukup ruang untuk menanam pisang. Jarak tanam pisang dalam satu baris sekitar
4 meter. Jenis pisang yang banyak diusahakan petani di Sambelia adalah pisang susu, raja, ketip, kepok dan
kapal. Diantara jenis pisang ini pisang susu dan pisang raja yang paling mahal harganya.
Tahap pertama dalam penanaman pisang dimulai dengan pembersihan lahan, diikuti dengan
pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk kandang, penanaman dan pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi
pemupukan, pemangkasan, penyiangan dan pengairan. Pemberian pupuk dilakukan 2 kali dalam setahun,
sedangkan pengairan dilakukan pada musim kemarau sekali sebulan.
Dari literatur yang ada dan pengalaman petani di Sambelia, umur produktif pisang 3 tahun. Setelah
itu tanaman pisang harus diremajakan kembali. Pisang setelah berumur 8-9 bulan mulai berbuah dan dipanen.
Panen pertama sebanyak satu tandan/rumpun. Panen kedua dilakukan 3-4 bulan setelah panen pertama,
sehingga pada tahun pertama produksi pisang baru satu tandan/rumpum. Tahun kedua merupakan puncak
produksi, panen pisang setiap bulan rata-rata satu tandan/rumpun. Sementara itu untuk tahun ketiga produksi
pisang mulai menurun dan rata-rata panen setiap dua bulan sekali sebanyak satu tandan/rumpun.
Seperti halnya pemasaran kelapa, pemasaran pisang di Sambelia relatif mudah. Pedagang
pengumpul setiap hari keliling desa untuk membeli pisang yang sudah siap panen. Biasanya panen dilakukan
oleh pedagang pengumpul sehingga petani tidak mengeluarkan biaya panen. Harga jual pisang di tingkat
petani berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp 25.000 per tandan tergantung dari jenis dan besar kecilnya
pisang. Jenis pisang yang paling murah antara lain pisang kapal dan yang harganya tinggi yaitu pisang susu,
raja dan kepok.
Berdasarkan sisa umur produktif kelapa dan umur produktif pisang, analisa usaha dalam tulisan ini
dilakukan selama 12 tahun (Tabel Lampiran 1 dan 2). Rata-rata produksi dan pendapatan usahatani kelapa
monokultur dan tumpangsari kelapa/pisang per hektar per tahun disajikan pada Tabel 1.
614
Tabel 1. Analisa Usahatani Monokultur Kelapa dan Tumpangsari Kelapa/Pisang per Hektar per tahun di Sambelia, 2006
No. Uraian Satuan Monokultur Kelapa Tumpangsari
Kelapa/Pisang
1. Populasi :
- Kelapa Pohon 126 73
- Pisang Rumpun - 500
2. Produksi :
- Kelapa Butir 3.545 4.363
- Pisang Tandan - 3.167
- Bibit pisang Pohon - 3.000
3. Penerimaan1)
:
- Kelapa Rp 1.006.183 1.029.144
- Pisang Rp - 19.535.689
- Bibit pisang Rp - 994.863
Total penerimaan Rp 1.006.183 21.559.696
4. Biaya1)
Rp 354.140 2.711.444
5. Pendapatan1)
Rp 652.043 18.848.252
6. Net B/C 2,84 7,95
Keterangan : 1)
df 14 %
Analisa Biaya dan Keuntungan
Analisa usahatani monokultur kelapa dan tumpangsari kelapa/pisang selama 12 tahun disesuaikan
dengan sisa umur tanaman kelapa. Meskipun pada umumnya pola pemeliharaan kelapa sangat sederhana,
namun untuk keperluan tulisan ini analisa usahatani kelapa dilakukan untuk kebun kelapa dengan pola
pemeliharaan semi intensif artinya sudah dilakukan pemupukan dan penyiangan meskipun belum sesuai
dengan teknologi rekomendasi. Rata-rata kelapa yang dianalisa sudah berumur 25 tahun, sehingga dalam
analisa tidak ada input bibit. Komponen biaya usahatani kelapa terdiri dari biaya saprodi, alat, biaya lain dan
biaya tenaga kerja. Biaya saprodi merupakan biaya pupuk (pupuk kimia) dan pestisida, biaya alat umumnya
dikeluarkan setiap 5 tahun sekali sesuai dengan umur ekonomis alat, sedangkan biaya lain berupa pajak bumi.
Tenaga kerja hanya digunakan untuk penyiangan dan pemupukan, biaya tenaga kerja panen dikeluarkan oleh
pembeli.
Seperti halnya usahatani kelapa, komponen biaya usahatani tumpangsari kelapa/pisang terdiri dari
biaya saprodi, alat, biaya lain dan tenaga kerja. Bedanya komponen penyusun biaya usahatani tumpangsari
kelapa/pisang lebih banyak karena pemeliharaan kebun kelapa lebih intensif setelah ada tanaman pisang.
Saprodi usahatani kelapa/pisang terdiri dari bibit (setiap 3 tahun sekali), pupuk (pupuk kandang dan pupuk
kimia), dan herbisida. Alat yang digunakan selain cangkul, sabit dan batu asah, adalah mesin pompa air untuk
penyiraman pada musim kemarau. Biaya lainnya terdiri dari pajak bumi dan biaya bahan bakar untuk mesin
air. Biaya tenaga kerja digunakan untuk persiapan lahan, pembuatan lubang, penanaman, pemupukan,
pengairan, penyiangan dan pemangkasan.
Secara teoritis pendapatan bersih usahatani dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) produksi per
hektar, (2) harga jual, dan (3) biaya produksi. Pada usahatani kelapa, komponen biaya relatif kecil, dengan
demikian keuntungan petani sangat ditentukan oleh tingkat produksi dan harga jual. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1. Pada kondisi awal yaitu pola tanam monokultur kelapa, jumlah populasi kelapa rata-rata 126
pohon/ha dengan produksi rata-rata 3545 butir/ha/tahun. Setelah dilakukan penjarangan dan
ditumpangsarikan dengan pisang, populasi kelapa menjadi 73 pohon/ha dan produksi kelapa meningkat
menjadi 4363 butir/ha/tahun. Berarti terjadi peningkatan produktivitas kelapa dari 28 butir/pohon/tahun
menjadi 60 butir/pohon/tahun. Peningkatan produktivitas kelapa ini sebagai dampak dari pemeliharaan kebun
yang lebih intensif melalui pemupukan, penggemburan tanah dan pengairan. Dengan peningkatan
produktivitas kelapa, pada tingkat harga yang relatif sama maka penerimaan petani dari usahatani kelapa
akan meningkat. Penerimaan petani rata-rata dari kebun kelapa sebanyak Rp 1.006.183/ha/tahun, biaya yang
dikeluarkan Rp 354.140/ha/tahun sehingga pendapatan petani kelapa Rp 652.043/ha/tahun.
Setelah dilakukan penanaman pisang, produksi kebun kelapa bertambah menjadi kelapa, pisang dan
bibit pisang. Perubahan pola tanam ini meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan, tetapi juga sekaligus
meningkatkan penerimaan dan pendapatan petani. Jumlah penerimaan usahatani kelapa/pisang rata-rata Rp
21.559.696/ha/tahun, biaya yang dikeluarkan Rp 2.711.444/ha/tahun dan pendapatan (NPV) Rp 18.179.218/
ha/tahun atau Rp 1.570.688/ha/bulan, nilai net B/C 7,95.
615
Perubahan pola tanam dari monokultur kelapa menjadi tumpangsari kelapa/pisang mempunyai
potensi untuk meningkatkan pendapatan wilayah. Dengan areal kelapa di Kecamatan Sambelia seluas 2.141
ha, dan apabila perubahan pola tanam dilakukan pada setengah dari luas areal tersebut, maka potensi
peningkatan pendapatan wilayah mencapai sekitar Rp 20,2 milyar/tahun.
KESIMPULAN
1. Perubahan pola tanam dari monokultur kelapa menjadi tumpangsari pisang meningkatkan produktivitas
kelapa dan meningkatkan pendapatan petani.
2. Optimalisasi pemanfaatan lahan di kebun kelapa layak dilakukan yang ditunjukkan oleh kriteria investasi
NPV > 0, dan Net B/C > 1.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Lombok Timur. 2004. Lombok Timur Dalam Angka.
Erawati, B.T.R. 2005. Success Story : Gelar Teknologi Budidaya Pisang Sebagai Metode Efektif Untuk
Meningkatkan Pendapatan Petani Miskin di Lahan Marginal (Kasus Desa Labu Pandan, Kecamatan
Sambelia, Kabupaten Lombok Timur). Makalah tidak dipublikasikan.
Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Penerjemah : Slamet Suseno
dan Komet Mangiri. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Kadariah, Lien Karlina dan Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. LPEM-FE Universitas Indonesia.
Jakarta.
Puspadi, K., Yohanes, G.B., I.M. Wisnu, Prisdiminggo, Sri Hastuti, Sasongko, W.R., Kukuh Wahyu, Arief
Surahman. 2004. Laporan PRA : Analisis Agro-Ekosistem Lahan Kering Untuk Perbaikan
Pendapatan Petani Miskin. Buku I. BPTP NTB.
616
Lampiran 1. Arus Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Kelapa Monokultur di Sambelia, 2006
Uraian Satuan Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A. Biaya:
1. Bahan-bahan
- Cangkul Rp/ha 60000 0 0 0 0 60000 0 0 0 0 60000 0
- Parang Rp/ha 20000 0 0 0 0 20000 0 0 0 0 20000 0
- Batu asah Rp/ha 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000
- Urea 95455 95455 95455 95455 95455 95455 95455 95455 95455 95455 95455 95455
- KCl 181818 181818 181818 181818 181818 181818 181818 181818 181818 181818 181818 181818
- Herbisida 190909 190909 190909 190909 190909 190909 190909 190909 190909 190909 190909 190909
- Pajak 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000
2. Tenaga kerja Rp/ha 177273 177273 177273 177273 177273 177273 177273 177273 177273 177273 177273 177273
3. Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 80000 0 0 0 0 80000 0 0
Total biaya Rp/ha 797455 717455 717455 717455 797455 797455 717455 717455 717455 797455 797455 717455
B. Penerimaan
1. Kelapa Rp/ha 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273
2. Sisa tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 160000
Total Penerimaan Rp/ha 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2127273 2287273
C. Keuntungan Rp/ha 1329818 1409818 1409818 1409818 1329818 1329818 1409818 1409818 1409818 1329818 1329818 1569818
D. Discount Factor (14%) 0,14 0,87719 0,76947 0,67497 0,59208 0,51937 0,45559 0,39964 0,35056 0,30751 0,26974 0,23662 0,20756
E. Present Value
1. PV(Benefit) Rp/ha 1866029 1636867 1435848 1259516 1104839 969157 850138 745735 654153 573819 503350 474744
2. PV(Cost ) Rp/ha 699522 552058 484261 424791 414173 363310 286722 251510 220623 215108 188692 148914
3. NPV Rp/ha 1166507 1084809 951587 834726 690666 605847 563416 494225 433530 358710 314658 325830
Penghitungan Tambahan Modal Kerja
a) Biaya operasional Rp/ha 620182 540182 540182 540182 540182 620182 540182 540182 540182 540182 620182 540182
b) Tambahan biaya operasional Rp/ha -80000 0 0 0 80000 -80000 0 0 0 80000 -80000 0
c) Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 80000 0 0 0 0 80000 0 0
Keterangan: a) Semua pengeluaran b) Penambahan negatif berarti tidak ada penambahan modal kerja c) Penulisan kembali b) dengan mengganti yang negatif menjadi nol.
Ringkasan : Rp/ha
1. PV(B) 12074195
2. PV(C ) 4249683
3. NPV 7824511
4. BCR 2,84
617
Lampiran 2. Arus Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Tumpangsari Kelapa/Pisang di Sambelia, 2006
Uraian Satuan Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A. Input:
1. Bahan, alat, lainnya
- Urea Rp/ha 160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500 160500
- Pupuk kandang Rp/ha 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636 2238636
- KCl Rp/ha 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636 363636
- Herbisida 190909 0 0 190909 0 0 190909 0 0 190909 0
- Pengairan 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273 147273
- Pajak 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000 62000
- Bibit Rp/ha 640909 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
- Cangkul Rp/ha 60000 0 0 0 0 60000 0 0 0 0 60000 0
- Parang Rp/ha 20000 0 0 0 0 20000 0 0 0 0 20000 0
- Batu asah Rp/ha 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000 10000
- Mesin air Rp/ha 1500000 0 0 0 0 1500000 0 0 0 1500000 0 0
2. Tenaga Kerja Rp/ha 670455 329545 329545 670455 329545 329545 670455 329545 329545 670455 329545 329545
3. Keuntungan "usaha kelapa" Rp/ha 1329818 1409818 1409818 1409818 1329818 1329818 1409818 1409818 1409818 1329818 1329818 1569818
4. Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 531818 0 1580000 0 0 0 1840909 0 0 0
Total Biaya Rp/ha 7394136 4721409 5253227 5253227 6221409 6221409 5253227 4721409 6562318 6482318 4912318 4881409
B. Output:
1. Kelapa Rp/ha 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818 2181818
2. Pisang Rp/ha 6772727 81272727 40636364 6772727 81272727 40636364 6772727 81272727 40636364 6772727 81272727 40636364
3. Bibit pisang 0 3390000 3390000 0 3390000 3390000 0 3390000 3390000 0 3390000 3390000
4. Sisa tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2904545
Total Penerimaan Rp/ha 8954545 86844545 46208182 8954545 86844545 46208182 8954545 86844545 46208182 8954545 86844545 49112727
C. Keuntungan (incremental) Rp/ha 1560409 82123136 40954955 3701318 80623136 39986773 3701318 82123136 39645864 2472227 81932227 44231318
D. Discount Factor (14%) 0 0,87719 0,76947 0,67497 0,59208 0,51937 0,45559 0,39964 0,35056 0,30751 0,26974 0,23662 0,20756
E. Present Value
1. PV(B) Rp/ha 7854864 66824058 31189207 5301810 45104336 21051826 3578571 30444142 14209383 2415433 20548929 10193794
2. PV(C ) Rp/ha 6486085 3632971 3545779 3110332 3231205 2834390 2099386 1655133 2017965 1748565 1162340 1013181
3. NPV Rp/ha 1368780 63191087 27643428 2191477 41873131 18217436 1479185 28789009 12191418 666868 19386589 9180613
Penghitungan Tambahan Modal Kerja
a) Biaya operasional Rp/ha 6064318 3311591 3311591 3843409 3311591 4891591 3843409 3311591 3311591 5152500 3582500 3311591
b)Tambahan biaya operasional Rp/ha
-2752727 0 531818 -531818 1580000 -1048182 -531818 0 1840909
-1570000 -270909 -3285591
c)Tambahan modal kerja Rp/ha 0 0 531818 0 1580000 0 0 0 1840909 0 0 0
Keterangan : a) Semua pengeluaran b) Tambahan negatif berarti tidak ada tambahan modal kerja c) Penulisan kembali b) dengan mengganti yang negatif menjadi nol. Ringkasan : Rp/ha
1. PV(B) 258716351
2. PV(C ) 32537331
3. NPV 226179020
4. BCR 7,95
618
PENINGKATAN INTENSITAS TANAM PADA LAHAN KERING DENGAN POLA TANAM YANG
TEPAT UNTUK MENGURANGI RESIKO KEGAGALAN PANEN DI NUSA TENGGARA BARAT
Muhammad Zairin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Pemanfaatan lahan kering dalam memantapkan pembangunan sektor pertanian secara kuantitatif memiliki
potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan pada permasalan majemuk baik dari gatra teknis maupun sosek. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan lahan kering bergantung pada kondisi hujan. Adanya dominan type iklim
D3 dan D4 dan ekosistem lahan kering masih terdapat peluang untuk memanfaatkan teknologi dengan pemilihan
komoditas yang sesuai dengan agroekosistem setempat, yang dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Pola tanam
tumpangsari (intercropping) ataupun multiple cropping merupakan suatu jawaban yang memungkinkan untuk diterapkan dalam memanfaatkan lahan kering di NTB. Menghadapi type iklim, lahan kering serta teknologi yang cocok
untuk ketiga faktor tersebut diperlukan strategi: (1) memanfaatkan curah hujan dengan komoditas yang cocok yang
dapat ditanam dari sekali tanam menjadi dua kali tanam (meningkatkan intensitas tanam), (2) pemilihan komoditas
yang cocok, dan (3) penggunaan paket teknologi usahatani yang cocok dengan situasi iklim dan tanah yang ada. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dengan pola tumpangsari dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan meningkatkan
produksi 2-3 kali dibanding dengan pola monokultur. Disamping itu dengan pola tumpan gilir dapat meningkatkan
intensitas tanam dari satu kali menjadi dua kali. Hasil yang dicapai di Lombok Timur pada pola (jagung + kacang
hijau/kacang hijau), diperoleh hasil jagung: 2,0 t/ha, kacang hijau pertama: 0,35 t/ha dan kacang hijau kedua sebanyak 0,80 t/ha. Sedangkan di Labangka Kabupaten Sumbawa tumpang gilir ( Jagung /kacang hijau), jagung Bisma
memberikan hasil sebesar 3,73 t/ha dan kacang hijau lokal: 0,95 t/ha, meningkatkan pendapatan petani Rp. 3.798.922/ha,
B/C ratio 2,26. Sedangkan petani tanpa relay keuntungan Rp. 783.922/ha, B/C 1,89. Hasil yang dicapai ini masih dapat
ditingkatkan dengan memperbaiki teknik budidaya, mengganti varietas kacang hijau lokal dengan varietas unggul Kenari atau unggul lainnya yang berumur pendek 46-60 hari dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha, jagung dengan varietas unggul
baru Lamuru yang tahan kering, berumur genjah (95 hari) dengan hasil mencapai hasil 5,0 t/ha pipilan kering (BPTP
NTB, 2004). Dengan demikian keberhasilan intensitas tanam dapat terjamin dan hasil yang dicapai lebih tinggi sehingga
pendapatan petani pada lahan kering meningkat 2-3 kali lipat.
Kata kunci: lahan kering, tumpangsari, intensitas tanam, produktivitas, NTB.
PENDAHULUAN
Seiring dengan semakin meningkatnya pembangunan dan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah
lahan sawah yang beralih fungsi tiap tahunnya di Indonesia mencapai puluhan ribu hektar. Untuk memenuhi
kebutuhan pangan sulit mengandalkan lahan sawah yang tingkat produktivitasnya mengalami stagnasi,
sehingga mengharuskan pemanfaatan lahan kering dan lahan tadah hujan secara optimal. Kebutuhan serealia
(padi, kedelai dan jagung) dalam periode 1988 – 2000 akan mencapai 142% (Balitkabi, 1997). Berdasarkan
arahan tataruang penggunaan lahan untuk tanaman semusim di Indonesia luasnya mencapai 24.526.100 ha,
tanaman tahunan 50.936.639 ha dan peternakan 503.952 ha (Puslitbangtanak, 2001).
Pemberdayaan lahan kering mempunyai alasan yakni: (1) wilayah lahan kering cukup luas; (2) dapat
mencukupi sebagian besar komoditi andalan; (3) mempunyai potensi keanekaragaman komoditi yang lebih
besar; dan (4) teknologi lahan kering cukup tersedia (Utomo, 2002). Potensi lahan kering di luar Jawa cukup
besar mencapai 35,5 juta hektar untuk jagung dan kedelai dengan hambatan ringan sampai sedang. Sedang
untuk areal untuk pengembangan palawija dan padi gogo mencapai sekitar 5,1 juta hektar.
Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan luas wilayah seluruhnya 2.015.315 ha yang terdiri dari Pulau
Lombok seluas 470.010 ha dan Pulau Sumbawa 1.545.305 ha. Luas lahan kering di NTB 1.814.340 ha,
sebagian besar terletak di P. Sumbawa dan beberapa tempat di Pulau Lombok (Bappeda Propinsi NTB,
2003). Berdasarkan faktor iklim/curah hujan serta bulan basah dan kering Oldeman (1980) membagi tipe
iklim NTB menjadi beberapa tipe yaitu type C3, D3, dan D4. Pulau Sumbawa yang didominasi oleh tipe
iklim D3 dan D4, Sumbawa Barat termasuk tipe iklim C3 (4-5 bulan basah dan bulan kering lebih dari 6
bulan). Musim hujan dimulai bulan Oktober dan berakhir pada bulan Maret kadang-kadang hujan turun
agak terlambat yaitu pada bulan Desember.
Kendala dalam pemanfaatan lahan kering antara lain ketersediaan air terbatas, kesuburan tanah
sangat rendah dan priode musim hujan pendek dan tidak menentu. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman dengan hasil rendah. Utomo (2002) menyatakan bahwa (1) lahan kering sangat
tergantung pada iklim; (2) topografi umumnya tidak datar; (3) lapisan olah tanah dangkal; (4) rentan
619
degradasi (erosi); (5) sistem Usaha tani beragam; (6) pertanian ekstensif; (7) etnis beragam; (8) terpencil
karena imfrastruktur buruk; (9) penduduk umumnya relatif miskin; (10) status kepemilikan rumit; dan (11)
intervensi pemerintah dalam hal penyuluhan dan kredit kurang
Menurut Ma‟shum (1997) pemanfaatan lahan kering dalam memantapkan pembangunan sektor
pertanian secara kuantitatif memiliki potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan pada
permasalan majemuk baik dari gatra teknis maupun sosek. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan lahan
kering bergantung pada kondisi hujan. Adanya dominasi type iklim D3 dan D4 dan ekosistem lahan kering
masih terdapat peluang untuk memanfaatkan teknologi dengan pemilihan komoditas yang sesuai dengan
agroekosistem setempat, yang dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Pola tanam tumpangsari
(intercropping) ataupun multiple cropping merupakan suatu jawaban yang memungkinkan untuk diterapkan
dalam memanfaatkan lahan kering di NTB.
Pemilihan Komoditas dan Pola Tanam
Untuk tanaman pangan utama yang menjadi dasar pola usahatani adalah jagung (Maize based -
Cropping System), (Balitkabi, 1993). Varietas jagung yang dianjurkan adalah yang berumur genjah dan
tahan kering adalah Lamuru atau varietas unggul lain. Demikian pula kacang hijau yang mempunyai potensi
hasil tinggi seperti Kenari atau Murai yang merupakan varietas yang berumur genjah dan beradaptasi
dengan baik di NTB. Pemilihan varietas dan jenis tanaman kacang hijau sebagai tanaman yang
ditumpangsarikan atau disisip pada tanaman basis jagung karena memiliki beberapa kelebihan. Menurut
Kasno (1990) kelebihan tersebut adalah dari agronomis dan ekonomis yaitu tahan terhadap kekeringan,
berumur genjah (dapat dipanen pada umur 55 - 60 hst), cocok untuk daerah dengan curah hujan rendah,
hama dan penyakit relatif sedikit, tumbuh baik di tanah yang kurang subur atau pada sembarang, jenis tanah
yang drainasenya kurang baik, cara budidaya mudah, resiko kegagalan panen scara total kecil dan harga
jual relatif tinggi dibanding kacang-kacangan lainnya.
Tanaman pangan yang banyak diusahakan di lahan kering di NTB adalah kacang hijau seluas
47.114 ha, diantaranya 36.862 ha terdapat di Sumbawa dengan produksi 0,76 t/ha, dan jagung luas arealnya
31.217 ha, 8.407 ha diantaranya terdapat di Sumbawa dengan produksi yang dicapai 2,0 t/ha (BPS, 2003).
Penanaman kacang hijau oleh petani Sumbawa dilakukan pada MH pada saat curah hujan mulai
berkurang (Februari - Maret) dan setelah itu membiarkan lahan menjadi bero (Februari - Nopember).
Kondisi alam seperti ini sering kurang menguntungkan bagi petani (64% mata pencaharian penduduk)
dengan tingkat pemilikan tanah rataan hanya 0,29 ha/kk. Diperkirakan hal inilah yang mengakibatkan
rendahnya tingkat pendapatan. Pemanfaatan lahan kering tersebut sampai saat ini belum optimal. Petani
lahan kering sebagian besar hanya menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997).
Pengaturan pola tanam secara tumpang sari atau relay kacang hijau di antara tanaman jagung sebagai
tanaman kedua yang ditanam menjelang berakhir musim hujan sebelum tanaman pertama (jagung) dipanen
dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dan memberikan kepastian
panen pada lahan kering.
Menghadapi type iklim, lahan kering serta teknologi yang cocok untuk ketiga faktor tersebut
diperlukan strategi. Strategi pertama adalah memanfaatkan curah hujan, hari hujan serta periode hujan
selama musim hujan (Nopember - Maret) dengan komoditas yang cocok yang dapat ditanam dari sekali
tanam menjadi dua kali tanam (meningkatkan intensitas tanam ). Strategi kedua adalah pemilihan
komoditas yang cocok. Keberhasilan produksi tanaman di lahan kering sangat dipengaruhi oleh kondisi
iklim curah hujan (intensitas, frekuensi). Jadi selain penanaman yang dilakukan di suatu lokasi perlu ditinjau
dari segi pencapaian produktivitas yang ditentukan oleh kondisi iklim, tanah (Pariera, 1983 dalam
Wangiyana, 1995). Strategi ketiga adalah penggunaan paket teknologi usahatani yang cocok dengan situasi
dengan iklim dan tanah yang ada. Pemilihan varietas yang berumur genjah dan cara tanam tumpang sisip/gilir
memungkinkan untuk tanam dua kali setahun
Pemanfaatan Lahan Kering
Dalam pemberdayaan atau pemanfaatan lahan kering tidak mudah karena mempunyai beberapa
kendala baik aspek teknis, sosial ekonomi, kelembagaan dan aspek lainnya yang turut mempengaruhi
keberhasilan pengembangan suatu wilayah untuk pertanian.
1. Aspek Teknis
Strategi peningkatan produksi tanaman pangan pada lahan kering dengan memperhatikan keadaan
lahan, topografi, jarak dari pusat konsumen dan sarana angkutan, maka strategi penanaman tanaman pangan
tidak perlu seragam untuk semua wilayah (Bahar, 1987)
620
a. Menanam tanaman yang sesuai dengan lingkungan tumbuh dan dikenal oleh masyarakat tani karena: (1)
lebih mudah melakukan perbaikan cara budidayanya karena lingkungan telah banyak membantu kita,
masyarakat sudah mengenal; (2) perlu diperhatikan, pengaruh komoditi yang dipilih terhadap kelestarian
lingkungan, apabila dianggap perlu dapat dilakukan perbaikan atau penyesuaian, sehingga tercipta
konservasi lahan dan air; (3) bentuk panen dan daya simpan, dijadikan dasar penentu komoditi yang
ditanam di lokasi yang jauh dari pusat pemasaran dan atau sarana angkutan yang mahal. Hasil panen
yang tidak tahan lama disimpan ditanam dekat pusat konsumen.
b. Mengatur pola tanam untuk memperkecil resiko kegagalan panen, akibat cekaman lingkungan biotik
dan abiotik pada lokasi tertentu, misalnya dengan pola tumpangsari atau tumpang gilir, memilih tanaman
yang toleran terhadap kurang hujan sehingga akan memperbesar peluang panen dan mengatur
perubahan cara tanam, cara pengolahan tanah, dan waktu tanam (misalnya sistim gogo rancah).
c. Menanam tanaman yang memenuhi persyaratan no.1 dan 2 yang ditujukan untuk pasar: (1) komoditi
yang ditanam harus berskala ekonomi besar, yang ada kepastian pembelinya; (2) seringkali terjadi hasil
panen melimpah harga turun karena tidak ada jaminan pasar; (3) perubahan bentuk dapat meningkatkan
nilai komoditi, bahkan dapat disimpan lebih lama akan berperan mempertahankan tingkat harga yang
wajar.
d. Memasukan komponen ternak ke dalam pola tanaman pangan akan memperbesar pendapatan petani,
pemanfaatan limbah hasil pertanian untuk pakan ternak. Limbah dijadikan kompos untuk kesuburan
tanah, proses pemanfaatan limbah memperluas lapangan kerja dan memberi tambahan pendapatan.
Dalam konsep pertanian yang tangguh dan produksi yang lumintu (sustainable) untuk menjawab
tantangan masa kini maupun yang akan datang, maka pengembangan suatu wilayah pertanian harus
memperhatikan tiga gatra secara terpadu (Darwis dan Satari, 1978 dalam Wahid., et al, 1993), yaitu: (1)
gatra produktivitas: setiap paket teknologi yang dikembangkan harus sesuai dengan potensi dan karakteristik
bio-fisik (agroekosistem); (2) gatra ekonomi: layak dan menguntungkan tanpa mengabaikan azas kemertaan;
dan (3) berwawasan ekonomi lingkungan: setiap input dan teknologi yang diterapkan tidak terganggu
kelestarian dan keseimbangan lingkungan dan sumberdaya.
Ketiga gatra dan konsep di atas sangat relevan dalam pengembangan lahan kering di NTB sebagai
salah satu Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan karateristik lahan yang beragam dan relatif sensitif serta
kondisi sosial ekonomi yang memerlukan penanganan lebih dan spesifik pula.
Dalam kaitan ini konsep pendekatan ekoregion dan lokal spesifik lebih tepat untuk diterapkan (Las.,
et al., 1992), yaitu dengan melakukan 3 pendekatan beruntun terhadap 3 gatra yakni: (1) potensi dan
karateristik bio-fisik (iklim, tanah, dan genetik); (2) sosial ekonomi (internal dan ekternal) dan sistem
usahatani tradisional dan eksisting; (3) konservasi dan kelestarian sumberdaya pertanian.
Pengelolaan tanaman harus diawali dengan pemilihan komoditi yang berprospek pasar dan cocok
untuk kawasan tertentu dan dikelola dengan sistem pertanian berkelanjutan (Utomo, 2002) pada lahan kering
diantaranya pergiliran tanaman, tanaman sela, tumpangsari (multiple cropiping). Selanjutnya dikataakan
bahwa dalam pengelolaan lahan kering yang menjadi pokok adalah: (1) pertanian (dalam arti luas termasuk
tanaman pangan) harus lebih produktif dan efisien; (2) terjadinya proses biologi in situ harus lebih berperan;
dan (3) daur ulang hara internal lebih diprioritaskan.
2. Aspek Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
Pada lahan kering beberapa aspek sosial ekonomi yang ditemukan, penguasan lahan relatif sempit
(0,5 ha) dan belum bersertifikat, disamping itu adanya perladangan berpindah sehingga terjadi lahan kritis
yang menyulitkan pengelolaan lahan kering.
Pendidikan petani relatif rendah sehingga berpengaruh terhadap penyerapan/adopsi teknologi yang
rendah pula. Dari aspek ekonomi modal petani rendah bahkan tidak mempunyai modal usahatani (Baharudin,
2005).
Untuk penyampaian informasi atau inovasi baru diperlukan dukungan lembaga penyuluhan untuk
menyampaikan informasi/teknologi dari lembaga penelitian kepada petani (Baharudin, 2005). Di NTB
keadaan ini sekarang sangat memprihatikan karena penyuluh pertanian kurang berfungsi secara optimal
bahkan di beberapa kabupaten fungsi penyuluhan sudah tidak berjalan sebagai mana biasanya. Disamping
itu kelembagaan yang cukup berperan dalam pengembangan lahan kering adalah: (1) lembaga
agribisnis/pertanian; (2) lembaga industri, perdagangan dan keuangan; (3) lembaga koperasi dan PKM;, (4)
lembaga pendidikan dan sosial-kemasyarakatan; (5) kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah; dan (6)
lembaga hubungan kemasyarakatan (Bappeda Propinsi NTB, 2003).
621
3. Aspek Dukungan Penelitian
Pembangunan pada umumnya tidak terlepas dari iptek sebagai pedoman yang memberikan arahan
untuk merencanakan dan mengimplementasikan pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakan sesuai
dengan perioritas yang telah disusun. (Gunadi, 2002) menyatakan bahwa pembangunan di bidang iptek
memiliki dua dimensi, yakni sebagai sarana untuk mendukung pembangunan nasional dan sebagai sasaran
pembangunan, yang dipadukan dalam pembangunan nasional yang bertumpu pada Sistim Inovasi Nasional
(SIN) yang mencakup pilar-pilar utama seperti sumberdaya manusia, teknologi dan modal. Fokus utama
dalam interaksi tersebut adalah kegiatan-kegiatan seperti adopsi, adaptasi teknologi baru, inovasi, dan difusi
teknologi, perekayasaan, dan invensi baru yang kesemuanya diarahkan untuk menjadikan iptek sebagai tiang
utama dalam menumbuhkan daya saing industri dan masyarakat secara keseluruhan.
Program Pembangunan Nasional (Propenas) secara khususs memfokuskan pembangunan iptek
nasional melalui empat strategi, yaitu: (1) peningkatan iptek dunia usaha; (2) diseminasi informasi teknologi;
(3) peningkatan kapasitas pengembangan kemampuan sumberdaya iptek; dan (4) peningkatan kemandirian
dan keunggulan iptek.
Sumber daya buatan yang sangat diperlukan dalam pengembangan lahan kering di NTB: (1)
prasarana pengairan/irigasi; (2) sarana dan prasarana agribisnis pertanian; (3) teknologi produksi pertanian;
(4) sarana dan prasarana industri, perdagangan dan keuangan; (5) Sarana dan prasarana listrik dan air bersih;
(6) sarana dan prasarana perhubungan, komunikasi dan pariwisata; (7) sarana dan prasarana Aparatur
Pemerintah.
4. Dukungan dan Kebijakan Pola Tanam
Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam lahan kering di propinsi Nusa Tenggara Barat (Samodra,
2002): (1) mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi; (2) meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan; (3) mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kempentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang,
yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang; (4) menerapkan indikator-indikator yang
memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.
Keuntungan menerapkan pola tanam tumpangsari (intercropping) atau multi cropping (Bahar,
1987) adalah: (1) mengurangi resiko kegagalan produksi/panen; (2) peningkatan produksi secara keseluruhan,
penggunaan tenaga kerja lebih efisien dgn tersebar kegiatan sepanjang tahun; (3) efisiensi penggunaan.
tanah,air dan sinar matahari sbg sumber daya alam; (4) pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan
karena adanya tanaman sepanjang tahun; (5) mencegah sistim pertanian berpindah-pindah, (6) pengendalian
gulma (dengan pola tanam tidak memberi kesempatan tumbuhnya gulma; dan (7) memperbaiki gizi
keluarga petani yang diperoleh dari berbagai tanaman.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan kering di NTB, perlu dilakukan penerapan pola
tanam yang tepat, salah satunya adalah dengan pola relay planting (Sub Base Sandubaya Badan Litbang,
1989). Penanaman kacang hijau oleh petani Sumbawa dilakukan pada MH pada saat curah hujan mulai
berkurang (Februari - Maret) dan setelah itu membiarkan lahan menjadi bero (Aprili - Nopember). Kondisi
alam seperti ini sering kurang menguntungkan bagi petani (64% mata pencaharian penduduk) dengan tingkat
pemilikan tanah rataan hanya 0,29 ha/kk. Diperkirakan hal inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat
pendapatan. Pemanfaatan lahan kering tersebut sampai saat ini belum optimal. Petani lahan kering sebagian
besar hanya menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997).
Pengaturan pola tanam secara tumpang gilir kacang hijau di antara tanaman jagung sebagai
tanaman kedua yang ditanam menjelang berakhir musim hujan sebelum tanaman pertama (jagung) dipanen
dapat meningkatkan intensitas tanam dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam. Hasil penelitian yang telah
dicapai di Lombok Timur pada pola (Jagung + kacang hijau/kacang hijau), jarak tanam jagung (200 x40 cm)
dan kacang hijau pertama dan kedua (40 x 20 cm). Jagung dipupuk dengan 250 kg, 100 kg TSP dan KCl 50
kg/ha, kacang hijau pertama dan kedua dipupuk dengan:50-50-50 kg/ha. Diperoleh hasil jagung: 2,0 t/ha,
kacang hijau pertama: 0,35 t/ha dan kacang hijau kedua sebanyak 0,80 t/ha menggunakan varietas Walet
(Zairin, M., dkk, 1994).
Di Labangka Kabupaten Sumbawa pada MH.1997/1998 tumpang gilir (Jagung/kacang hijau).
Jagung Bisma memberikan hasil sebesar 3,73 t/ha dan kacang hijau lokal:0,95 t/ha, meningkatkan
622
pendapatan petani Rp. 3.798.922/ha, B/C 2,26. Sedangkan petani tanpa relay keuntungan Rp. 783.922/ha,
B/C 1,89. Hasil kajian tahun 1998/1999 dengan relay kacang hijau pada jagung, pendapatan petani Rp.
1.359.800 dan total pendapatan setahun mencapai Rp. 2.274.014 dibanding petani tanpa relay Rp. 558.674.
Hasil yang dicapai ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki teknik budidaya, mengganti varietas
kacang hijau lokal dengan varietas unggul Kenari atau unggul lainnya yang berumur pendek 46-60 hari
dengan potensi hasil 1,5-2,0 t/ha, jagung dengan varietas unggul baru Lamuru yang tahan kering, berumur
genjah (100 hari) dengan potensi hasil mencapai hasil 5,0 t/ha pipilan kering (BPTP NTB, 2004). Dengan
demikian keberhasilan intensitas tanam dapat terjamin dan hasil yang dicapai lebih tinggi sehingga
pendapatan petani pada lahan kering meningkat 3-4 kali lipat.
Rendahnya produksi yang dicapai petani karena teknologi budidaya yang belum baik, menggunakan
varietas lokal, serangan hama dan penyakit. Untuk meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan
pangan yang cukup banyak permintaannya diperlukan suatu teknologi baru, diantaranya perbaikan teknologi
budidaya, jarak tanam, varietas unggul baru yang beradaptasi baik dan berpotensi hasil tinggi guna
meningkatkan produksi dan pendapatan petani, melalui penerapan pola tanam yang sesuai dengan agroklimat
setempat (spesifik lokasi).
119,2
409,8373 363
237,5251
114,5
100
200
300
400
Okt Nop Des Jan Feb Mart Apr Mei Juni Juli Agst
Jagung Bero
Kacang hijau
Bero
Bero Kacang hijau
Jagung
Pola tanam 1
Monokultur 2
Pola tanam
Tumpang sisip
119,2
409,8373 363
237,5251
114,5
100
200
300
400
Okt Nop Des Jan Feb Mart Apr Mei Juni Juli Agst
119,2
409,8373 363
237,5251
114,5
100
200
300
400
Okt Nop Des Jan Feb Mart Apr Mei Juni Juli Agst
Jagung Bero
Kacang hijau
Bero
Bero Kacang hijau
Jagung
Pola tanam 1
Monokultur 2
Pola tanam
Tumpang sisip
Gambar 1: Hubungan curah hujan dan pemanfaatan intensitas tanam monokultur dan intensitas tanam tumpang sisip
di Labangka Sumbawa, MH 1997/1998.
Hasil kegiatan merupakan review dari tiga tahap pengkajian yaitu pada tahun 1994 di P. Lombok ,
pada tahun 1997 dan pada tahun 1998, kedua terakhir di lokasi Labangka Kecamatan Plampang Sumbawa.
Hasil kajian di Lombok Timur menunjukkan bahwa tanaman kacang hijau varietas Walet yang ditanam
relay dengan jagung mencapai produksi 0,85 t/ha sedangkan yang ditanam dengan tumpang sari
produksi hanya mencapai 0,35 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tumpang sisip lebih tinggi
dibandingkan tumpangsari (Zairin dkk, 1994).
Hasil kajian tahun 1997 di Labangka dan Empang Sumbawa memberikan hasil bahwa produksi kacang
hijau 0,9 t/ha (varietas Samsik) jagung Bisma 3,75 t/ha keuntungan petani Rp. 3.798.922,- B/C: 2,26.
Sedangkan pada intensitas tanam sekali tanaman jagung diperoleh pendapatan bersih Rp. 783.922, B/C
1,89, dan pada intensitas tanam sekali kacang hijau diperoleh produksi 0,4 t/ha, dengan pendapatan
bersih Rp. 1.158.000, B/C 1,64 (Wahid, dkk. 1998).
Hasil kajian tahun 1998 memberikan hasil seperti Tabel 3 berikut ini.
623
Tabel 3. Analisa Usahatani Jagung Komposit Bisma Monokultur, dan Tumpang Sisip Kacang Hijau di Dalam dan Luar
Hamparan Pengkajian (UHP & LUHP) pada MH 98/99.
No Uraian UHP Tumpang sisip LUHP Monokultur
Jagung Bisma Jagung Bisma Kacang Hijau
1. Produksi t/ha 2,045 5,8 1.553
2. Penerimaan Rp/ha 1.738.250 1.750.800 1.320.050
3. Total biaya Rp/ha 821.036 394.000 761.376
4. Keuntungan Rp/ha 917.214 1.356.800 558.674
5. R/C 2,1 1,3 1,7
Produksi jagung pada sistem tumpang sisip memberikan hasil 2,04 t/ha dengan keuntungan Rp.
917.214/ha, R/C 2,1. Disamping itu produksi kacang hijau yang diperoleh adalah 0,58 t/ha dengan
keuntungan Rp. 1.356.800,- R/C 1,3. Pada sistem tumpang sari ini pendapatan petani setahun dapat mencapai
(Rp. 917.214 + Rp. 1.356.800) = Rp. 2.274.014. Sedangkan dibandingkan petani monokultur jagung
dengan intensitas sekali setahun hanya memperoleh hasil 1,5 t/ha, keuntungan Rp. 558.674, R/C : 1,7.
Dengan demikian pendapatan petani dengan cara tumpang sisip meningkat Rp. 1.715.340 (307%).
(Peningkatan pendapatan ini dipacu dari kacang hijau).
KESIMPULAN
1. Mengurangi resiko kegagalan produksi/panen.
2. Menerapkan pola tanam yang sesuai dengan agroklimat setempat (spesifik lokasi).
3. Meningkatkan produksi secara keseluruhan, dan menguntungkan petani.
4. Penggunaan tenaga kerja, penggunaan tanah, air dan sinar matahari sebagai sumberdaya alam lebih
efisien, dan pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan kerena adanya tanaman sepanjang tahun.
5. Secara lingkungan dapat memperbaiki struktur tanah dan mengingkatnya aktivitas biologi tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 1993. Hasil-hasil Penelitian pada Lahan Kering Beriklim di Propinsi NTB. Proyek
P3NT Sub Base Sandubaya Lombok NTB
Bahar, F (1987). Makalah Pelatihan Teknis Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nusa Tenggara.
Badan Litbang Pertanian
Baharuddin, AB (1997) Sistem Usahatani Terpadu di Lahan Kering NTB. Makalah disampaikan pada Temu
Aplikasi Teknologi Perbaikan Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997
Baharuddin, 2005. Pengelolaan Lahan Kering. Bahan Kuliah semerter I Program Magister Pengelolaan
Sumbedaya Lahan Kering. Fakutas Pertanian
Balittan Malang, 1993. Hasil Penelitian Balittan Malang. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.
Balitkabi, 1997. Hasil Penelitian Balittan Malang. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.
BPS, 2003. NTB Dalam Angka Kerjasama, Bappeda Propinsi NTB dengan BPS Propinsi NTB
Bappeda Propinsi Nusa Tenggara Barat (2003). Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Lahan Kering
Propinsi NTB (2003-2007).
BTP NTB, 2004. Pengkajian Sistem Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Lombok Timur. Laporan
tahunan, BPTP NTB
Gani, J. A., M.Zairin dan I. Basuki, 1999. Tumpang Gilir (Relay Planting) Jagung dengan Kacang Hijau pada
Lahan kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Badan Litbang Pertanian.
Kanwil Pertanian Propinsi NTB (2000). Rekomendasi Teknologi Pertanian . Departemen Pertanian. Badan
Litbang Pertanian, IP2TP Mataram,
Kasno, A., 1990. Adaptasi Galur-galur Harapan Kacang Hijau pada Lahan Sawah. Perbaikan Teknologi
Tanaman Pangan Risalah lahan kering Mataram. 11-13 September 1990. Balittan Malang.
624
Las,I., A. Karim Makarim, A. Hidayat, A. A.Syarifuddin Karam dan I. Manwan, 1990. Peta Akroekologi
Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan Indonesia, Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Ma‟shum, M (1997). Kemangkusan (Efficiency) Pemupukan di Lahan Kering. Makalah disampaikan pada
Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret
1997.
Oldeman, L, B, Irsal Las, and Muladi (1980). The Agroclimat Map of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, Bali,
West and East Nusa Tenggara. Central Research Institute for agriculture Indonesia.
Puslitbangtanak, 2001. Atlas Arahan Tataruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000. Badan Litbang
Pertanian. Departemen pertanian.
Samodra, N. 2000. Kebijakan Pengelolaan Lahan Kering di Propinsi NTB, Bappeda Propinsi NTB,2000
Utomo, 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah utama pada Seminar
Nasional IV pengembangan wilayah lahan kering dan pertemuan ilmiah tahunan himpunan ilmu
tanah Indonesia di mataram, 27-28 Mei 2002.
Wahid P., I. Las dan K. Dwiyanto (1993). Konsep Dasar Pendekatan Pengembangan Lahan Kering
Berwawasan Lingkungan di Kawasan Timur Indonesia. Lokakarya, Status dan pengembangan lahan
kering di Indonesia. Badan Litang Pertanian, Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa
Tenggara . Mataram, 16-18 Nopember 1993.
Wahid, A.S, I. Basuki, Wirajaswadi, L. (1999) Laporan Hasil Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Jagung di
Lahan Kering. (IPPTP Mataram)
Wangiyana, W. (1995). Pewilayahan Komoditas Tanaman Berdasarkan Kondisi Iklim : Suatu Tinjauan
Permasalahan dan Prospek Jangka Panjangnya. Makalah disampaikan pada Seminar. Pemanfaatan
Sumberdaya Iklim dalam Pengembangan Pertanian yang Efisien di Mataram. 30 Nopember 1995.
Zairin, M., K. Kumoro, A. S. Wahid, Sudarto dan M.Y. Maamun. (1994). Evaluasi Pola Tanam Ladang dan
Lahan Petani di Desa Labuhan Lombok dan Pringgabaya Lombok Timur. Proyek P3NT Sub. Base
Sandubaya Lombok NTB.
625
OPTIMALISASI PAKET TEKNOLOGI SISTEM BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN JAMBU
METE DI DESA SONGGAJAH KABUPATEN DOMPU
Sudarto dan A. Suriadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK
Pengkajian telah dilaksanakan di Desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu mulai bulan
Nopember 2005 sampai dengan bulan Mei 2006, melibatkan 10 KK dengan luas areal 5 ha. Pengkajian dilaksanakan langsung pada lahan milik petani (on farm research) dan dikelola oleh petani. Pelaksanaan pengkajian melibatkan secara
aktif petani dari mulai perencanaan sampai kegiatan berakhir dengan bimbingan peneliti dan penyuluh. Pendekatan yang
digunakan adalah Zero One Relationship Approach yaitu mengelompokan petani menjadi dua kelompok yaitu petani
kooperator dan non kooperator. Pengelompokan ini dimasudkan untuk mempermudah dalam mengevaluasi paket teknolgi yang diintroduksikan. Paket teknologi yang diintroduksikan adalah tumpangsari jagung + kacang tanah dan
sebagai pembanding adalah usahatani jagung monokultur dan/atau kacang tanah monokultur. Jarak tanam yang
digunakan adalah jagung 150 x 30 cm dan diantara baris jagung ditanam kacang tanah dengan jarak tanam 40 x 10 cm.
Data yang dikumpulkan meliputi data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah biji/tongkol (untuk tanaman jagung); jumlah polong/tanaman, jumlah biji/polong
(untuk kacang tanah). Data-data yang telah terkumpul ditabuler dan dianalisis secara deskriptif, sedangkan data sosial
ekonomi dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu farm record keeping (FRK) kemudian dihitung dengan dianalisis
B/C ratio. Hasil pengkajian menunjukkan tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol jagung antara petani kooperator dan non kooperator terdapat perbedaan, yaitu 220 cm dan 223 cm, serta tinggi letak tongkol 120 cm dan 121 cm. Jumlah biji
per tongkol 504 biji dan 511 biji. Produksi yang dihasilkan jagung pipil sebesar 3.891 kg/ha dan kacang tanah 308 kg/ha
gelondong kering, sedang petani non kooperator dengan usahatani jagung monokultur menghasilkan 4.575 kg/ha dan
kacang tanah monokultur 975 kg/ha gelondong kering. Keuntungan yang diperoleh petani kooperator sebesar Rp. 1.608.425,- B/C ratio 0,58 lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator yaitu sebesar Rp. 1.256.250,- dan Rp.
1.392.500 B/C ratio 0,47 dan 0,68.
Kata kunci : sistem budidaya, jambu mete, on farm reseach
PENDAHULUAN
Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat memiliki lahan kering seluas 216,758 ha dan lahan kering
tersebut termasuk wilayah pengembangan tanaman jambu mete (BPS, 2004). Luas lahan tanaman jambu
mete di Dompu seluas 12.964 ha (23,38 %) dari luas perkebunan jambu mete di NTB yaitu 55. 440,16 ha
(Disbun, 2004). Umur tanaman saat ini mencapai 9 tahun dengan rata-rata produksi yang dihasilkan 759,55
kg gelondong /ha, masih dibawah hasil penelitian yaitu 1000 kg gelondong/ha (Abdullah, 1999).
Petani jambu mete dalam upaya peningkatan tambahan pendapatan dengan memanfaatkan lahan
diantara jambu metenya dengan menanam tanaman jagung, padi atau kacang tanah. Tata pertanamannya
kebanyakan secara monokultur dan biasanya dikerjakan dengan tidak mengikuti teknologi anjuran sehingga
pendapatan yang diperoleh selain dari jambu mete hanya bersumber dari satu jenis komoditas saja. Masalah
yang dihadapi petani lahan kering sangat komplek, selain faktor modal, penguasaan teknologi juga faktor
lingkungan. Untuk meningkatkan pendapatan, paket teknologi sistem budidaya khususnya pengembangan
tata tanam dengan input rendah merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan
peningkatan hasil. Zubachtirodin et a.l (2005) menyatakan kendala yang umum dijumpai pada lahan
marginal antara lain rendahnya kesuburan tanah dan tanaman sering nmengalami kekeringan. Peningkatan
produktivitas lahan secara efisien sangat diperlukan.
Penanaman lebih dari satu jenis komoditi, teknologinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi resiko kompetitif antar tanaman. Tata tanam yang diintroduksikan adalah tumpangsari
tumpangsari jagung+kacang tanah. Pengaturan jarak tanam, benih/lubang, dan pemeliharaan lainnya
merupakan paket komponen teknologi yang dianjurkan. Sastrosoedirdjo (1984) menganjurkan untuk lahan
kering dengan usahatani menetap perlu dikembangkan pola usahatani terpadu antara tanaman pangan,
perkebunan, ternak dan tanaman penghasil kayu atau hijauan. Jenis tanaman yang diintroduksikan merupakan
jenis tanaman yang tahan naungan, tahan kekeringan dan dapat ditanam diantara barisan tanaman jambu
mete. Pada umumnya tanaman sela ditanam diantara jambu mete baik secara monokultur maupun
tumpangsari dengan jarak 50-150 cm dari pangkal tanaman jambu mete.
626
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan pada agroekosistem lahan kering pada perkebunan jambu mete di Desa
Songgajah, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu pada tahun 2006. Paket teknologi yang diintroduksikan
adalah tumpangsari jagung+kacang tanah dan sebagai pembanding adalah usahatani jagung monokultur
dan/atau kacang tanah monokultur. Pengkajian dilaksanakan langsung pada lahan milik petani (on farm
research) dan dikelola oleh petani. Pelaksanaan pengkajian melibatkan secara aktif petani dari mulai
perencanaan sampai kegiatan berakhir dengan bimbingan peneliti dan penyuluh. Pendekatan yang digunakan
adalah Zero One Relationship Approach yaitu mengelompokan petani menjadi dua kelompok yaitu petani
kooperator dan non kooperator. Pengelompokan ini dimasudkan untuk mempermudah dalam mengevaluasi
paket teknolgi yang diintroduksikan.
Pengkajian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2005 yang diawali dengan pembersihan lahan yang
kemudian dilanjutkan dengan pengolahan tanah. Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna dengan
menggunakan bajak yang ditarik dengan ternak sapi. Penanaman dilakukan apabila curah hujan selama 2
dasarian sudah lebih dari 50 mm (Mirza, 1995). Jarak tanam yang digunakan adalah jagung 150 x 30 cm dan
diantara baris jagung ditanam kacang tanah dengan jarak tanam 40 x 10 cm. Penanaman secara tugal, dengan
jumlah biji jagung : 1-2 biji/lubang, kacang tanah 2-3 biji/lubang dan padi 5 biji/lubang, dilakukan
pemupukan, dosis pupuk yang diberikan 300 urea, 100 SP-36 dan 75 KCl. Pemberian pupuk dilakukan dua
kali yaitu pada umur 7-10 hari (saat tanaman muncul dipermukaan tanah) diberikan pupuk dasar berupa 1/3
dosis pupuk urea dan semua SP-36 dan KCl. Ketiganya dicampur kemudian ditugalkan dekat lubang
tanaman (± 10 cm dari lubang tanaman), kemudian pemupukan kedua yaitu sisa urea (2/3 dosis) diberikan
pada umur 28-35 hari setelah tanam.
Penyiangan dilakukan paling sedikit dua kali selama pertumbuhannyayaitu pada umur 21 hst dan 45
hst atau tergantung pada pertumbuhan gulma. Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan konsep PHT,
apabila tingkat serangan telah mencapai ambang ekonomi tindakan penyemprotan dengan insektisida baru
dilakukan. Panen dilakukan setelah buah telah mencukupi syarat umur panen. Teknologi budidaya pada
petani pembanding (non kooperator) selalu dilakukan monitoring oleh petugas lapang.
Pada tanaman jambu mete selain dilakukan pemangkasan pemeliharaan juga dilakukan pemupukan.
Dosis pupuk yang diberikan 300 gr/pohon urea, 150 gr/pohon SP-36 dan 150 gr/pohon KCl. Waktu
pemberian pupuk pada awal musim hujan dan akhir musim hujan dengan dosis yang sama. Cara
pemberiannya yaitu dengan membuat parit keliling selebar kanopi dengan kedalaman 25 cm.
Data yang dikumpulkan meliputi data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi yang
dikumpulkan meliputi tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, jumlah biji/tongkol (untuk tanaman jagung);
jumlah polong/tanaman, jumlah biji/polong, (untuk kacang tanah). Data-data yang telah terkumpul ditabuler
dan dianalisis secara deskriptif, sedangkan data sosial ekonomi dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu
farm record keeping (FRK) kemudian dihitung dengan dianalisis B/C rasio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Desa Songgajah termasuk dalam wilayah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu yang merupakan
desa program transmigrasi pada tahun 1996 dengan jumlah bangunan rumah sekitar 140 unit. Penduduknya
berasal dari Lombok, Bali dan Jawa, masing – masing kepala keluarga mendapat satu unit rumah dan
pekarangan seluas 0,50 ha dan lahan usahatani satu seluas 1,0 ha. Lahan pekarangan didominasi dengan
tanaman jambu mete dengan jarak tanam 8 x 8 m. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kegiatan
pokoknya adalah bertani dengan mengerjakan lahan pekarangan maupun lahan usahatani satu. Tanaman yang
biasa diusahakan adalah tanaman jagung, padi, kacang tanah dan palawija lainnya.
Topografi bervariasi dari datar sampai berbukit, namun disekitar bangunan rumah didominasi oleh
topografi datar sedangan lahan usahatani sebagian topografinya berbukit. Iklim diwilayah ini tergolong tipe
D3 dengan 3-4 bulan basah dan 8-9 bulan kering. Mulai turun hujan biasanya terjadi pada bulan Nopember
sampai dengan Maret, bulan April dan seterusnya hujan curah hujan sudah sedikit. Melihat keadaan seperti
ini, petani lahan kering sangat bergantung pada hujan sehingga petani biasanya mempercepat waktu
tanamnya. Kondisi curah hujan dan distribusi hujan pada lokasi pengkajian dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
627
Sumber : Data primer (penangkar curah hujan Desa Songgajah, Dompu)
Gambar 1. Data curah hujan (mm/bulan) Desa Songgajah, Dompu tahun 2005/2006
Gambar 1 terlihat bahwa curah hujan tertinggi pada bulan Desember yaitu sekitar 215 mm, dengan
jumlah hari hujan yang terbanyak yaitu sekitar 22 hari, sehingga pada awal bulan tersebut petani sudah
banyak yang melakukan penanaman. Selama pertumbuhannya curah hujan mencukupi sehingga tanaman
dapat tumbuh optimal dan pada masa-masa kritis air yang dibutuhkan oleh tanaman terpenuhi.
Curah hujan pada bulan-bulan berikutnya jumlahnya mulai menurun (bulan Januari dan seterusnya)
akan tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman walaupun jumlah curah hujan pada bulan
Februari lebih kecil dibanding bulan Maret. Pada bulan April hujan yang turun sudah jarang bahkan pada
lokasi pengkajian hanya terjadi satu kali hujan dengan jumlah curah hujan 3 mm.
Sumber : Data primer (penangkar curah hujan Desa Songgajah, Dompu)
Gambar 2. Jumlah hari hujan bulanan Desa Songgajah, Dompu tahun 2005/2006
1) Aspek agronomi
Tanaman semusim
Selama pertumbuhannya tanaman dapat tumbuh dengan optimal, hal ini karena didukung dengan
kondisi iklim dan lingkungan yang baik sehingga performance tanaman secara agronomis juga terlihat baik
(Tabel 1).
0
50
100
150
200
250
Nop Des Jan Feb Mar Apr
Bulan
Cu
rah
hu
jan
(mm
)
0
50
100
150
200
250
Nop Des Jan Feb Mar Apr
Bulan
Cu
rah
hu
jan
(mm
)
0
5
10
15
20
25
Nop Des Jan Feb Mar Apr
Bulan
Jm
l. h
ari
hu
jan
0
5
10
15
20
25
Nop Des Jan Feb Mar Apr
Bulan
Jm
l. h
ari
hu
jan
628
Tabel 1. Keragaan Agronomi Tanaman, Teknologi Inofasi dan Teknologi Petani pada Sistem Budidaya Jambu Mete di
Desa Songgajah Kab. Dompu, 2005 - 2006
No. Parameter
Teknologi introduksi (sistem
tumpangsari)
Teknologi petani (sistem
monokultur)
Jagung Kc. tanah Jagung Kc. tanah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tinggi tanaman (cm)
Tinggi letak tongkol (cm)
Jumlah biji/tongkol
Jumlah polong/tanaman
Jumlah biji/polong
Produksi (kg/ha)
220
120
504
-
-
3.891
-
-
-
22,3
3,0
308
223
121
511
-
-
4.575
-
-
-
24,7
3,0
975
Sumber : Data primer diolah.
Tabel di atas terlihat bahwa tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol jagung antara petani kooperator
dan non kooperator terdapat perbedaan. Petani kooperator tinggi tanaman jagung mencapai 220 cm dan non
kooperator 223 cm, tinggi letak tongkol 120 cm dan 121 cm. Jumlah biji per tongkol juga terdapat perbedaan,
petani kooperator mencapai 504 biji dan petani non kooperator 511 biji. Hal ini disebabkan karena ada
persaingan antar tanaman dengan tata tanam tumpangsari dalam kebutuhan hara tanaman jika dibanding
dengan tata tanam monokultur, sehingga berpengaruh terhadap komponen hasil. Produksi yang dihasilkan
memperlihatkan bahwa petani kooperator mampu menghasilkan jagung pipil sebesar 3.891 kg/ha dan kacang
tanah 308 kg/ha gelondong kering, sedang petani non kooperator dengan usahatani jagung monokultur
menghasilkan jagung pipil 4.575 kg/ha dan kacang tanah monoultur 975 kg/ha gelondong kering.
Tanaman jambu mete
Tanaman jambu mete dengan perlakukan pemeliharaan (pemangkasan dan pemupukan) secara
agronomi menunjukkan pertumbuhan yang baik, hal ini ditandai dengan performance warna daun yang hijau
tua, jumlah tunas yang tumbuh. Dilain pihak, pada petani non kooperator yang tidak melakukan teknologi
pemeliharaan (pemupukan) warna daun jambu mete terlihat agak menguning. Sementra ini data produksi
belum dapat disajikan.
2) Aspek Ekonomis
Analisa ekonomi pada petani kooperator yang menerapkan tata tanam tumpangsari jagung+kacang
tanah dan petani non kooperator dengan tata tanam monokultur jagung atau kacang tanah monokultur
disajikan pada Tabel 2.
Biaya sarana produksi yang dikeluarkan pada tata tanam tumpangsari jagung+kacang tanah sebesar Rp.
1.672.500,- lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator dengan tata tanam jagung monokultur
dan/atau kacang tanah monokultur yaitu sebesar Rp. 1.522.500,- dan Rp. 785.000,-.
Tabel 2. Analisis Usahatani Petani Kooperator dan Non Kooperator Pada Sistem Budidaya Jambu Mete di Desa
Songgajah Kab. Dompu, 2005 - 2006
Uraian Petani kooperator Petani non kooperator
Jagung+Kc. tanah Jagung Kc. tanah
Produksi (kg/ha)
Biaya sarana produksi (Rp/ha)
Biaya tenaga kerja (Rp/ha)
Total biaya (Rp/ha)
Hasil kotor (Rp/ha)
Keuntungan (Rp/ha)
B/C ratio
R/C ratio
3.981+ 308
1.672.500
1.104.000
2.276.500
4.384.925
1.608.425
0,58
1,93
4.575
1.522.500
1.110.000
2.632.500
3.888.750
1.256.250
0,47
1,47
975
785.000
1.235.000
2.020.000
3.412.500
1.392.500
0,68
1,68
Sumber : Data primer diolah.
Harga jagung Rp. 850,-/kg dan kacang tanah Rp. 3.500/kg.
Biaya tenaga kerja petani kooperator lebih kecil jika dibanding dengan petani non kooperator yaitu
masing-masing sebesar Rp. 1.104.000 dan Rp. 1.110.000 untuk jagung monokultur serta Rp. 1.235.000 untuk
kacang tanah monokultur. Besarnya biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani non kooperator
disebabkan pada tata tanam monokultur diduga masih terdapat rongga sinar matahari yang masuk ke dalam
629
media tumbuh dan hal ini akan merangsang pertumbuhan gulma sehingga menambah biaya kegiatan
penyiangan.
Keuntungan yang diperoleh petani kooperator sebesar Rp. 1.608.425, B/C ratio 0,58 lebih besar jika
dibanding dengan petani non kooperator yaitu sebesar Rp. 1.256.250 dan Rp. 1.392.500, B/C ratio 0,47 dan
0,68.
KESIMPULAN
1. Tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol jagung antara petani kooperator dan non kooperator terdapat
perbedaan. Petani kooperator tinggi tanaman jagung mencapai 220 cm dan non kooperator 223 cm,
tinggi letak tongkol 120 cm dan 121 cm. Jumlah biji per tongkol juga terdapat perbedaan, petani
kooperator mencapai 504 biji dan petani non kooperator 511 biji.
2. Biaya sarana produksi yang dikeluarkan pada tata tanam tumpangsari jagung+kacang tanah sebesar Rp.
1.672.500 lebih besar jika dibanding dengan petani non kooperator dengan tata tanam jagung
monokultur dan/atau kacang tanah monokultur yaitu sebesar Rp. 1.522.500 dan Rp. 785.000.
Keuntungan yang diperoleh petani kooperator sebesar Rp. 1.608.425 lebih besar jika dibanding dengan
petani non kooperator yaitu sebesar Rp. 1.256.250 dan Rp. 1.392.500. Dari keuntungan yang diperoleh
tersebut, tata tanam tumpangsari jagung+kacang tanah cukup prospektif untuk dikembangkan lebih
lanjut selama faktor-faktor internal dan eksternal mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. 1999. Analisa Usahatani Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
BPS. 2004. Kabupaten Dompu Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Mataram.
Disbun. 2004. Data Statistik Perkebunan Nusa Tenggara Barat Tahun 2004. Dinas Perkebunan Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Mataram.
Mirza, M. 1995. Kemungkinan Penggunaan Curah Hujan untuk Penentuan Saat Tanam Padi di Sawah Tadah
Hujan. Prosiding Seminar Sehari”Pemanfaatan Sumberdaya Iklim Dalam Pengembangan Pertanian
Yang Efisien” Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI) NTB kerjasama dengan
Fakultas Pertanian UNRAM. p : 24-35.
Sastrisoedirdjo, S. 1984. Peningkatan Peranan Bahan Organik Dalam Usahatani Lahan Kering. Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Fakultas Pertanian
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Zubachtirodin, A. Buntan, Sania S.Subandi dan A. Hipi. 2005. Rasionalisasi Pemupukan N, P dan K Untuk
Tanaman Jagung Pada Lahan Kering Beriklim Kering di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Prosiding Seminar Nasional ”Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Dalam Upaya Mempercepat
Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan di Lahan Marginal”, Mataram, tanggal 30-31 Agustus 2005.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. BADAN Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
630
PROSPEK UBIKAYU SEBAGAI BAHAN DASAR INDUSTRI TEPUNG TAPIOKA DI
KABUPATEN KEBUMEN
Nur Hidayat, Sinung R, Rahima Kaliky dan Sugeng Widodo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Tanaman ubi kayu di Kabupaten Kebumen dibudidayakan pada lahan-lahan kering/marjinal dengan tingkat
penerapan teknologi yang rendah bahkan nyaris tanpa sentuhan teknologi. Hasil produksi ubi kayu di Kabupaten
Kebumen umumnya dijual dalam bentuk segar, sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan nilai tambah ubi
melalui pengembangan agroindustri ubi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi ubi kayu dan prospek pasar tepung tapioka di Kabupaten Kebumen. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei,
lokasi penelitian di Desa Sawangan Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen. Lokasi penelitian ditentukan secara
purposive dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan sentra produk ubi kayu dan tapioka. Penelitian ini
dilaksanakan selama bulan Juni – Agustus 2003. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kebumen. pertanaman ubi kayu relatif luas dan petani lahan kering relatif
telah akrab dengan usaha budidaya ubi kayu, sehingga produksi bahan baku memungkinkan untuk dikembangkan. Usaha
industri tepung tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat/petani di Kabupaten Kebumen dalam skala
rumahtangga dengan kapasitas rata-rata 100 kg ubi kayu/hari. Keberadaan industri makanan yang memerlukan tepung tapioka yang dihasilkan oleh pengrajin setempat (tapioka kualitas sedang) sebagai bahan baku menunjukkan terbukanya
peluang pasar bagi tepung tapioka lokal seperti industri krupuk, soun, dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan
produktivitas/rendemen tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen
tinggi seperti varietas Aldira perlu mendapat prioritas.
Kata kunci : ubi kayu, home industri, tepung tapioka
PENDAHULUAN
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz sin. M. utilissima Poh) dikenal juga dengan nama singkong,
telo puhung, telo jendral, bodin dan sebagainya. Tanaman ubi kayu di Kabupaten Kebumen dibudidayakan
pada lahan kering/marjinal dengan tingkat penerapan teknologi yang rendah, nyaris tanpa sentuhan teknologi,
karena jarang sekali diberi pupuk oleh petani. Kondisi tersebut menyebabkan tingkat produktivitas ubi kayu
rendah dimana pada tahun 2002 produktivitas ubi kayu di Kabupaten Kebumemen 16,20 ton/Ha (BPS
Kab.Kebumen, 2002). Sementara produktivas ubi kayu varietas Valengka secara umum mencapai 20 ton/ha
dan varietas Aldira mencapai 35 ton/ha.
Ubi kayu dimanfaatkan untuk banyak kepentingan, antara lain sebagai bahan baku industri rumah
tangga yaitu tapioka, ceriping, slondok/lanting atau dibuat oyek untuk stok pangan keluarga. Jenis ubi kayu
yang digunakan sebagai bahan baku tepung tapioka oleh pengrajin lokal adalah jenis Lambong. Jenis ubi
kayu ini oleh petani juga digunakan sebagai bahan pembuatan oyek untuk cadangan pangan pada musim
kemarau
Berdasarkan Properda Jawa Tengah 2001-2005, pembangunan sektor pertanian antara lain ditempuh
melalui program pengembangan agribisnis. Sasaran yang ingin dicapai adalah memperbesar nilai tambah
ekonomi yang dihasilkan dari sumberdaya yang dimiliki rakyat daerah dan memperbesar nilai tambah
ekonomi yang dapat dinikmati oleh rakyat daerah melalui pemberdayaan organisasi ekonomi rakyat lokal
(Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2001). Program pengembangan agribisnis (termasuk agroindustri)
merupakan strategi pendekatan memacu kegiatan ekonomi yang berbasis pada bisnis dan industri pangan
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan Properda tersebut, Pemda
Kabupaten Kebumen memiliki rencana untuk mengembangkan industri tepung tapioka.
Luas panen ubi kayu di Kabupaten Kebumen relatif luas dengan trend berfluktuatif. Pada tahun
1993 luas panen ubi kayu mencapai 16.978 ha dengan produksi 283.761 ton, tahun 1997 turun menjadi
10.804 ha dan produksi 284.360 ton, kemudian tahun 2002 meningkat menjadi 10.840 ha namun produksinya
menurun menjadi 172.369 ton (Kebumen Dalam Angka, 1998,2002).
Hasil produksi ubi kayu di Kabupaten Kebumen umumnya dijual dalam bentuk segar, sehingga
masih terbuka peluang untuk meningkatkan nilai tambah ubi kayu yang dapat diterima masyarakat petani
atau masyarakat pedesaan pada umumnya, melalui pengembangan agroindustri ubi kayu. Untuk itu
diperlukan introduksi teknologi guna pengolahan raw material tersebut menjadi barang jadi atau barang
setengah jadi seperti tepung tapioka, sebagai upaya meningkatkan nilai tambah (value added) bagi petani ubi
631
kayu. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya dan prospek pasar tepung tapioka
di Kabupaten Kebumen.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei, dengan lokasi penelitian di Desa
Sawangan Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra produk ubi kayu dan tapioka. Penelitian ini
dilaksanakan selama bulan Juni – Agustus 2003. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi
data primer dan sekunder. Data primer diperoleh diperoleh dengan cara wawancara terstruktur pada petani
petani ubi kayu dan pengrajin tepung tapioka sedang data sekunder dihimpun dari BPS serta instansi terkait.
Data yang terhimpun, ditabulasi kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif meliputi analisis frekuensi
dan tabulasi silang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi dan Produksi Ubi Kayu
Tingkat produktivitas ubi kayu selain dipengaruhi oleh sistem budidaya, juga dipengaruhi oleh
jenis/varietas tanaman tersebut(Rukmana, 1997). Potensi hasil dan sifat penting beberapa varietas ubi kayu
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Hasil dan Sifat-Sifat Penting Beberapa Varietas Ubi Kayu
No. Varietas Produksi
(ton/Ha)
Kandungan
Pati (%) HCN (mg) Rasa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Valengka
Bogor
SPP
Muara
Mentega
Aldira-1
Aldira-2
Malang-1
Malang-2
20
40
20-25
40
20
20-35
20-35
36,5
31,5
-
30,9
27,0
26,9
26,0
45,2
40,8
32-36
32-36
39
100
150
100
32
27,5
123,7
-
-
Enak (manis)
Pahit
Amat pahit
Pahit
Enak (manis)
Enak (manis)
Pahit
Enak (manis)
Enak (manis)
Sumber : Rukmana, 1997.
Keterangan: -) tidak ada data
Berdasarkan wawancara dengan para petani ubi kayu di Kecamatan Karang Gayam dan Alian
diperoleh informasi bahwa jenis ubi kayu yang umumnya dibudidayakan di Kabupaten Kebumen ada tiga
jenis yaitu:
1. Valengka; (rasa manis, biasanya untuk bahan baku getuk, menurut petani, jenis ini kadar patinya
rendah)
2. Lambong (istilah lokal), rasa ubi pahit, biasanya digunakan untuk bahan baku pembuatan oyek sebagai
cadangan pangan musim kemarau dan bahan baku tapioka karena kadar patinya lebih tinggi dibanding
jenis yang lain.
3. Tikal (istilah lokal), rasa ubi manis, kadar pati rendah, ubi rebus kurang lunak.
Ketiga jenis ubi kayu tersebut memiliki kandungan pati (rendemen) berbeda-beda. Hasil pengujian
laboratorium Pasca Panen BPTP Yogyakarta terhadap sampel ketiga jenis ubi kayu tersebut ditunjukkan
dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Laboratorium Kandungan Pati Jenis Ubi Kayu di Kabupaten Kebumen
No. Varietas Kandungan Pati (%) Rasa
1.
2.
3.
Valengka
Lambong
Tikal
14,38
18,62
17,28
Manis
Pahit
Manis
Sumber : BPTP Yogyakarta.
632
Industri Tepung Tapioka
a) Embrio Usaha Produksi Tapioka
Kabupaten Kebumen telah memiliki sentra pembuatan tepung tapioka skala rumah tangga.
Berdasarkan data Dinas Perindustrian Kebumen, terdapat 34 unit usaha tepung tapioka skala rumah tangga.
Namun demikian, berdasarkan informasi di lapangan, lebih dari 100 KK pernah menekuni usaha pembuatan
tepung tapioka, utamanya di Kecamatan Alian dan Sadang.
b) Profil Usaha Tepung Tapioka
Di Kabupaten Kebumen umumnya usaha tepung tapioka dikerjakan oleh ibu-ibu rumah tangga.
Dalam proses pembuatan tepung tapioka, pemarutan ubi kayu tidak dilakukan sendiri, tetapi dilakukan oleh
koordinator yang memiliki unit usaha pemarutan ubi kayu. Setiap kwintal ubi kayu dikenakan biaya Rp
2000,- Walaupun demikian, apabila tersedia waktu luang para pengrajin secara manual memarut sendiri ubi
kayu. Setiap unit usaha (KK) rata-rata mampu mengolah 1 kwintal ubi kayu dan menghasilkan 25-35 kg
tapioka basah atau 15-21 kg kering setiap kali pemrosesan. Produktivitas yang rendah tersebut menunjukkan
bahwa rendemen bahan baku yang digunakan (ubi kayu jenis lambong) termasuk rendah dan kurang tepat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung tapioka. Hasil uji laboratorium menunjukkan hasil yang
sama, bahwa ubi kayu yang dibudidayakan di Kebumen semuanya memiliki kadar pati yang rendah.Varietas
lambong memiliki kadar pati 18,62%, Valengka 14,38%, dan tikal 17,28%. Kondisi tersebut berbeda dengan
industri tapioka yang telah berjalan di Kabupaten Pati. Varietas ubi kayu yang digunakan adalah Aldira, yang
memiliki kadar pati 45,2%.
Konsumen tepung tapioka produk industri rumah tangga ini adalah para pengrajin krupuk dan soun.
Para pengrajin menjual produk tepung tapioka ke pasar setiap 2-3 hari sekali. Karena kapasitas produksinya
rendah (sekitar 15-21 kg/hari), para produsen menjual hasil produksinya langsung kepada konsumen
(terutama para pengrajin kerupuk, soun, dll). Harga jual tapioka basah sekitar Rp1.000 - 1.250/kg, sedangkan
harga tapioka kering mencapai Rp 2.000 – 2.250/kg. Sementara harga eceran tepung tapioka kualitas super
(produksi Lampung) dapat mencapai Rp 3.000,-/kg.
Produk samping usaha tapioka adalah kambangan (tepung kasar), ampas (onggok) dan kulit ketela.
Setiap 1 kwintal bahan baku dapat diperoleh kambangan sekitar 5 kg, onggok sekitar 20 kg dan kulit sekitar
25 kg. Harga kambangan Rp 500/kg dan harga ampas Rp 200/kg. Sedangkan kulit ketela biasanya dipakai
sendiri untuk pakan ternak.
Masalah yang dihadapi oleh pengrajin, pada musim kemarau harga ubi kayu cenderung tinggi.
Walaupun pertanaman ubi kayu relatif luas, namun petani biasanya enggan memanen karena kondisi tanah
kering. Pada musim kemarau petani memanen ubi kayu sebatas untuk keperluan pangan keluarga. Akibatnya
pada musim kemarau harga eceran ubi kayu cukup tinggi mencapai Rp 500/kg. Karena masalah tersebut
sebagian unit usaha tepung tapioka menghentikan aktivitasnya pada musim kemarau, kecuali para pengrajin
kerupuk yang memproduksi tapioka sendiri untuk keperluan bahan baku pembuatan kerupuk.
Menurut pengrajin agar usaha tepung tapioka memberi keuntungan yang layak harga ubi kayu yang
ideal adalah Rp 250/kg. Dalam kenyataannya pada musim kemarau harga ubi kayu mencapai Rp 500/kg.
Potensi Pasar Tepung Tapioka
a) Jenis-jenis industri yang membutuhkan tepung tapioka
Kebutuhan tepung tapioka di Kabupaten Kebumen diperkirakan cukup tinggi karena terdapat
banyak industri makanan skala rumah tangga yang memerlukan bahan baku berupa tepung tapioka baik
sebagai bahan pokok atau bahan campuran, seperti: pengrajin kerupuk, soun, mie basah, jenang lot dan roti
kering/basah. Disamping itu limbah tapioka seperti kulit ubi kayu dan ampas tapioka (onggok) juga
dibutuhkan untuk pakan ternak yang relatif berkembang di Kabupaten Kebumen.
b) Perkiraan Kebutuhan dan Peluang Pasar Tepung Tapioka di Kabupaten Kebumen
Angka kebutuhan riil tepung tapioka pada setiap industri makanan belum dapat disajikan, namun
demikian gambaran bahan baku yang dibutuhkan pada setiap industri makanan dapat dilihat pada Tabel 3.
Kebutuhan tepung tapioka terbesar diperkirakan pada industri kerupuk, roti kering dan soun. Apabila
dibandingkan antara permintaan dan penawaran tepung tapioka dengan hasil produksi tepung tapioka di
Kabupaten Kebumen, kontribusi produksi lokal tepung tapioka masih sangat rendah untuk pemenuhan
kebutuhan industri makanan yang ada.
633
Selain dari pasokan lokal, kebutuhan tepung tapioka di Kebumen dipasok dari Lampung untuk
kualitas super (putih bersih) dan dari Kabupaten Banjarnegara serta dari Kabupaten Gunungkidul untuk
kualitas biasa (sedikit kemerahan). Tapioka kualitas super utamanya diperlukan industri roti kering baik
sebagai komponen utama atau campuran. Jenis roti kering lokal, seperti kue boluemprit membutuhkan tepung
tapioka super sebagai bahan utama. Sedangkan tapioka kualitas biasa digunakan sebagai bahan utama
pembuatan kerupuk dan soun.
Tabel 3. Jenis-jenis Industri Yang Menggunakan Bahan Baku Tepung Tapioka
Jenis Industri Jumlah Unit
Usaha
Jumlah Tenaga
kerja
Bahan Baku/
tahun
Bahan
Campuran
Kapasitas
Produksi/Tahun
Roti kering/ basah 2) 56 210 200 ton 23 ton 300 ton
Kerupuk 1) 111 618 10.000 ton 0 15.000 ton
So‟un 1) 38 121 38 ton 0,15 ton 40 ton
Mie Basah 1) 2 10 12,9 ton 0,3 ton 10,9 ton
Jenang Lot 2) 30 135 2,5 ton 0,5 ton 3 ton
Keterangan: 1).
Tepung tapioka sbg bhn pokok. 2).
Tepung tapioka sbg bhn campuran
Di Kabupaten Kebumen pertanaman ubi kayu relatif luas dan petani lahan kering relatif telah akrab
dengan usaha budidaya ubi kayu, sehingga produksi bahan baku memungkinkan untuk dikembangkan.
Keberadaan unit-unit usaha pengrajin tepung tapioka menunjukkan bahwa di Kabupaten Kebumen telah ada
embrio pengembangan industri tepung tapioka dengan kapasitas olah bahan baku 100 kg/hari. Keberadaan
beraneka industri makanan yang memerlukan tepung tapioka yang dihasilkan oleh pengrajin setempat
(tapioka kualitas sedang) sebagai bahan baku menunjukkan terbukanya peluang pasar bagi tepung tapioka
lokal seperti industri krupuk, soun, dan lain sebagainya.
Pengembangan industri tapioka di Kabupaten kebumen cukup difokuskan pada produk tapioka yang
sesuai dengan pasar lokal, yaitu kualitas sedang melalui pengembangan unsur-unsur penunjang untuk
menciptakan kepastian usaha bagi pengrajin skala rumah tangga.
Dengan menghidupkan dan mengembangkan secara horizontal pengrajin tapioka yang telah ada
dengan tingkat kapasitas olah ± 100 kg/hari dapat memberikan manfaat berupa :
– Sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru
Sebagaimana disebutkan dalam bab pendahuluan, untuk keluar dari krisis ekonomi diperlukan penciptaan
sumber-sumber pertumbuhan baru, antara lain melalui pengembangan agroindustri. Program
pengembangan agroindustri di wilayah pedesaan memiliki landasan yang kuat berupa basis bahan baku
dan tenaga kerja murah, sehingga ketahanannya terhadap krisis akibat perubahan lingkungan global dapat
diandalkan. Krisis ekonomi akibat globalisasi memberi pelajaran betapa rapuhnya bangunan ekonomi
nasional karena mengandalkan pada industri yang menggantungkan pada pasokan bahan baku impor.
– Membuka peluang usaha, menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan
Menghidupkan dan mengembangkan secara horizontal home industri tapioka yang telah ada
membuka peluang usaha bagi masyarakat di pedesaan dan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam
membangun daerahnya. Berkembangnya home industri tapioka akan menciptakan lapangan kerja dan
sumber pendapatan bagi masyarakat.
– Mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan
Pengembangan ekonomi kerakyatan dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu: pertama,
pendekatan kegiatan ekonomi dari pelaku ekonomi skala kecil. Berdasarkan pendekatan ini,
pemberdayaan ekonomi rakyat adalah pemberdayaan pelaku ekonomi skala kecil. Kedua, pendekatan
sistem ekonomi, yaitu demokrasi ekonomi atau sistem pembangunan yang demokratis atau
pembangunan partisipatif. Berdasarkan pendekatan ini pemberdayaan ekonomi mengikutsertakan
seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi (Fachri Yasin, et al, 2001). Usaha
home industri tepung tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat Kebumen dalam skala
rumahtangga, sehingga telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan memiliki kontribusi
terhadap pendapatan sebagian rumah tangga di pedesaan. Untuk meningkatkan produktivitas/rendemen
tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi
seperti varietas Aldira perlu mendapat prioritas.
634
KESIMPULAN
Usaha industri tepung tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat/petani di Kabupaten
Kebumen dalam skala rumahtangga dengan kapasitas rata-rata 100 kg ubi kayu/hari, sehingga telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat dan memiliki kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga di pedesaan.
Industri tepung tapioka di Kabupaten Kebumen mempunyai peluang pasar dan prospek untuk
dikembangkan; hal ini mengingat keberadaan industri makanan yang memerlukan tepung tapioka yang
dihasilkan oleh pengrajin setempat (tapioka kualitas sedang) sebagai bahan baku untuk industri krupuk, soun
dan lain sebagainya.
Untuk meningkatkan produktivitas/rendemen tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan
budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi seperti varietas Aldira perlu mendapat prioritas.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar.A.,1999. Reposisi Peran Sektor Pertanian dalam Abad XXI. Makalah disampaikan pada: Pertemuan
Tim Ahli Bimas dan Tim Teknis Bimas Regional di Jawa Tengah. Semarang, 5-8 Oktober 1999.
Anonim, 1999. Undang-Undang Otonomi Daerah,1999. Restu Agung.
BPS. Kabupaten Kebumen Dalam Angka, 1993-2002.
Bappeda Propinsi Jawa tengah, 2001. Properda Jawa Tengah 2001-2005
Kerlinger.F.N., 2000. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Mubyarto, 1993. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan. Jakarta.
Pemda Kebumen, 2002. Produk dan Peluang Investasi di Kabupaten Kebumen. (Publikasi Pemda Kebumen
dalam bentuk Folder).
Pemerintah Kab. Kebumen, 2002. Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 18 Tahun 2002. Tentang
Rencana Strategis Pembangunan Daerah Kab. Kebumen Tahun 2002-2005.
Purba, 1997. Analisis Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Analysis) Rineka Cipta. Jakarta.
Reijntjes.C, Bertus.H, Waters.B.,1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan
dengan Input Luar Rendah. Kanisius Yogyakarta.
Rukmana.R.,1997. Ubi Kayu Budi Daya dan PascaPanen. Kanisius. Yogyakarta.
Sub Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan,2002. Profil Potensi Agribisnis
Perikanan dan Kelautan Kab. Kebumen Propinsi Jawa Tengah.
Sub Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Ketahanan Pangan. Dinas Peranian Kab. Kebumen. Profil
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kebumen Tahun 2001.
Zainal.M.R.,A.Z.Fachri Yasin, Zulkarnaen, D.Bakce, D.Karya, Noviandri, Zulkarnaini, Sumardi Suriatna,
E.H.Halim, I.M.Adnan, 2001. Petani Usaha Kecil dan Koperasi Berwawasan Ekonomi Kerakyatan.
Universitas Riau Press Pekanbaru.
635
KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN DI LAHAN KERING
(Kasus Ketahanan pangan Desa-Desa Lahan Kering di Kabupaten Lombok Timur)
I M. Wisnu W., Yohanes G. Bulu, dan Ketut Puspadi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Tujuan utama petani berusahatani adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan
rumah tangga petani dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor agroekosistem dan iklim, perubahan orientasi dan manajemen usahatani. Penyediaan pangan melalui lumbung oleh masyarakat NTB khususnya di pulau Lombok
tidak lagi difungsikan akibatnya ketahanan pangan keluarga menjadi lemah. Lembaga lain yang berfungsi mendukung
ketahanan pangan di lahan kering belum ada. Perubahan perilaku masyarakat petani disebabkan oleh semakin
meningkatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat. Hal tersebut mendorong petani melakukan perubahan orientasi dan tujuan pada pengelolaan usahatani yang berorientasi komersial tanpa melalui
perencanaan yang baik terhadap stabilitas dan keberlanjutan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam posisi sulit petani
cenderung mengatasi kekurangan pangan rumah tangga melalui sistem ijon. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 di
beberapa desa lahan kering di dua wilayah agroekosistem yaitu wilayah lahan kering dataran rendah dan lahan kering dataran tinggi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui
pemahaman dinamika petani lahan kering. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan focus group discussion
(FGD). Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan
pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering baik di wilayah lahan kering dataran rendah maupun dataran tinggi relatif lemah. Lembaga ketahanan pangan pedesaan lahan kering yang mendukung ketahanan pangan rumah tangga
petani belum ada menyebabkan sistem ijon pada kantong-kantong kemiskinan wilayah lahan kering. Untuk memperkuat
ketahanan pangan masyarakat tani di wilayah lahan kering maka perlu menumbuhkan kelembagaan ketahanan pangan
untuk mengatasi kekurangan pangan pada musim-musim tertentu serta strategi perencanaan usahatani di lahan kering.
Kata kunci: Kelembagaan, penyediaan pangan, rumah tangga, dan lahan kering.
PENDAHULUAN
Bertani bukan lagi sekedar untuk hidup, tetapi sebagai usaha untuk memperoleh pendapatan yang
baik dengan menggunakan seluruh kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan. Untuk dapat bertahan,
lahan pertanian harus dikelola secara efisien. Rumah tangga yang merupakan lembaga terkecil di pedesaan
memilki kemampuan yang terbatas untuk merencanakan usahatani dan ketahanan pangan rumah tangga.
Lembaga (institusi) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas (Koentjaraningrat,
1990). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga yang mempunyai fungsi mengatur sikap dan
tingkah laku para warganya yang sekaligus merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan interaksi satu
dengan yang lain, dalam kehidupan bersama. Menurut Roucek dan Warren (1962), lembaga adalah pola
aktivitas yang terbentuk untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidup manusia. Asal mulanya adalah
kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh, kemudian memperoleh gagasan kesejahteraan sosial dan
selanjutnya terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi mengenai kelembagaan dapat
dirangkum; institusi atau lembaga adalah mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat,
jaringan kerjasama, dan organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota masyarakat petani.
Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam
pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan
sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari ke empat faktor tersebut saling
menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan mempengaruhi sub sistem lain. Johnson (1985)
dalam Pakpahan (1989), mengemukakan bahwa sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan
kelembagaan merupakan empat faktor penggerak dalam pembangunan pertanian.
Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
yang digolongkan kedalam kategori miskin. Hal ini terbukti dari banyaknya desa-desa di kabupaten ini yang
mendapat bantuan dari proyek Poor Farmer. Sebagian besar desa tersebut tersebar pada agroekosistem lahan
kering. Lahan kering menurut Soil Survey Staffs (1998), adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang
atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Utomo (2002) dalam Suwardji, dkk.,
(2003) mendifinisikan lahan kering sebagai hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air,
baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Dari pengertian
tersebut, jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: sawah tadah hujan,
tegalan, ladang, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang. Jenis
636
penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan basah mencakup sawah irigasi teknis, sawah irigasi
setengah teknis, pemukiman/perkampungan, perikanan, danau, rawa dan waduk/embung.
Ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering relatif menyebabkan
kemiskinan. Sayogyo (1983) dalam Pudjiwati Sayogyo (1995), membuat suatu standar kemiskinan, yaitu
setara 480 kg beras/kapita/tahun untuk penduduk pedesaan dengan sebutan “nyaris miskin”, maka
pendapatan di atas standar itu digolongkan “kecukupan”. Bappenas (1994) mendifinisikan kemiskinan
sebagai suatu kondisi dimana masyarakat tersebut ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang mencerminkan
keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah, lemah kemauan untuk maju, rendah sumber daya manusia,
lemah nilai tukar hasil produksi, rendah produktivitas, modal usaha yang rendah, rendah pendapatan, terbatas
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Sayogyo (1996) memberikan batasan pendapatan perkapita
untuk menggolongkan masyarakat ke dalam kategori miskin.
Kemiskinan adalah suatu konsep yang relatif, sehingga kemiskinan sangat kontekstual. Untuk
memecahkan masalah kemiskinan, pertama-tama haruslah menemukan di mana akar permasalahan itu
terletak, disamping akar permasalahan itu sendiri (Verhagen, 1996). Mendapatkan akar permasalahan
memerlukan kedisiplinan berpikir sistem. Permasalahan-permasalahan sistem aktivitas manusia tidak
berstruktur, sehingga kondisi ini menuntut pendekatan yang lain untuk memahaminya (Checkland, 1998).
Intervensi simtomatik bersifat jangka pendek dan memecahkan akar permasalahan berdampak jangka
panjang (Senge, 1996). Ketahanan pangan rumah tangga yang lemah telah menyebabkan kemiskinan di
Lombok Timur. Lemahnya ketahanan pangan, salah satunya, disebabkan oleh tidak tersedianya suatu
lembaga ketahanan pangan di pedesaan.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan kelembagaan
pedesaan terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani di wilayah pertanian lahan kering.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Lombok Timur dari bulan Januari – Desember 2005.
Lokasi kajian di kabupaten Lombok Timur ditetapkan dengan metode purposive cluster sampling.
Kecamatan dan desa lokasi kajian diklasifikasikan berdasarkan tiga wilayah agroekosistem yaitu;
agroekosistem lahan kering dataran rendah, lahan kering dataran tinggi, dan lahan tadah hujan.
Pengumpulan data mengikuti teknik PRA yakni dengan partisipasi petani untuk memberikan informasi dan
dengan bantuan fasilitator.
Pengumpulan data mengacu pada prinsip-prinsip Participatory Ruaral Appraisal (PRA).
Pengumpulan data menggunakan pendekatan focus group discussion (FGD), yaitu pengembilan data dengan
mengumpulkan sejumlah orang yang dijadikan sebagai informan dan dilakukan wawancara mendalam secara
individu pada responden dan informan.
Untuk mendapatkan pemahaman tentang dinamika petani miskin di lahan kering/marginal, maka
kegiatan ini mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan bentuk kuantitatif menunjang
kualitatif (Brannen, 1997).
Data dan informasi kualitatif dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif melalui proses
kodefikasi, kategorisasi, interpretasi, pemaknaan, dan abstraksi (Poerwandari, 1998). Unit analisis dalam
kegiatan penelitian adalah individu, rumah tangga dan sistem.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani Lahan Kering
Sistem usahatani lahan kering umumnya cukup komplek. Berbagai usaha dilakukan petani mulai
dari on farm, of farm dan non farm. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan petani guna memenuhi kebutuhan
hidup selama satu tahun dan memanfaatkan waktu luang yang tersisa setelah musim tanam selesai. Kegiatan
on farm yaitu usaha budidaya tanaman dilakukan petani pada musim hujan, sedangkan pemeliharaan ternak
dilakukan secara tidak intensif. Kegiatan of farm yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh tani di lahan
kering pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau menjadi buruh tani di lahan sawah. Kegiatan non
farm yang umum dilakukan petani adalah sebagai tukang, buruh bangunan dan menjadi TKI ke luar negeri.
Allokasi waktu yang digunakan petani untuk kegiatan on farm lebih sedikit dibandingkan kegiatan of farm
dan non farm.
Di bidang on farm yaitu dalam hal budidaya tanaman, petani umumnya tidak bertanam secara
monokultur tetapi lebih banyak bertanam secara tumpangsari. Jenis tanaman yang ditumpangsarikan
637
umumnya yang memiliki umur panen berbeda atau tanaman tersebut sengaja ditanam dengan waktu tanam
yang berbeda sehingga waktu panennya berbeda pula. Teknik bertanam ini merupakan strategi petani untuk
mendapatkan sumber pendapatan berkesinambungan selama satu tahun disamping mengurangi resiko
kegagalan panen karena ketidak pastian curah hujan.
Keterbatasan jenis komoditas tanaman pangan yang dapat diusahakan karena faktor pembatas curah
hujan yang tidak menentu menyebabkan petani tidak banyak mengusahakan tanaman yang banyak
memerlukan air. Akhirnya pilihan komoditas yang ditanam bukan pada padi untuk mendukung ketahanan
pangan tetapi pada komoditas-komoditas yang relatif hemat air seperti misalnya dari sektor tanaman pangan
yaitu bawang merah, kentang, kubis, tomat, dan cabe sedangkan dari sektor perkebunan yaitu tembakau,
jambu mete, cengkeh, vanili, kopi dan coklat.
Kegiatan petani pada musim hujan dilahan kering teralokasi dalam satu waktu tertentu sehingga
sering terjadi kekurangan tenaga kerja. Kegiatan harus dilakukan dengan cepat dan waktu yang tepat untuk
mengatisipasi keterbatasan curah hujan akibatnya petani sering melakukan satu dua pekerjaan dalam wkatu
yang bersamaan. Kegiatan penyiangan biasanya langsung diikuti dengan kegiatan pemupukan.
Keterlambatan dalam melakukan pemupukan berakibat pada kemungkinan menghadapi resiko tidak
mendapatkan air dalam jangka waktu yang cukup lama karena hujan yang tidak kunjung turun maka akibat
yang ditimbulkan lebih lanjut adalah pemupukan menjadi tidak efektif dan gulma yang segera tumbuh
menjadi saingan tanaman pokok dalam memanfaatkan pupuk yang diberikan. Lebih lanjut hal ini
menyebabkan posisi tawar tenaga kerja menjadi tinggi pada saat-saat tertentu sehingga biaya produksi di
lahan kering menjadi relatif tinggi.
Sistem kelembagaan pertanian di lahan kering belum berkembang dan memperlihatkan dinamika
kerja yang dikehendaki, petani umumnya belum tergabung dalam kelompoktani yang aktif. Lembaga
finansial, lembaga alsintan, lembaga sarana produksi, lembaga pasca panen dan lembaga pengolahan hasil
umumnya belum terbentuk di lahan kering. Kelembagaan penyuluhan dalam menangani lahan kering tidak
sebaik yang dilakukan dalam menangani lahan sawah irigasi sehingga informasi terknologi yang diperoleh
petani lahan kering relatif sangat terbatas.
Perilaku Ketahanan Pangan
Beberapa desa lahan kering di wilayah Lombok Timur bagian selatan mempunyai pola ketahanan
pangan rumah tangga lebih baik dibandingkan dengan masyarakat desa yang terletak di bagian utara
kabupaten. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan agroekosistem antara kedua wilayah tersebut.
Lombok Timur bagian selatan didominasi oleh agroekosistem sawah tadah hujan sedangkan bagian utara
agroekosistemnya berupa lahan kering dataran tinggi. Perbedaan tersebut membawa konsekwensi pada jenis
komoditas yang diusahakan. Komoditas yang diusahakan pada sawah tadah hujan yang terletak di bagian
selatan kabupaten pada umumnya padi dan tembakau dengan pola tanam padi-tembakau-bera, sedangkan
dibagian utara komoditas dominan yang diusahakan yaitu dari sektor tanaman pangan antara lain bawang
merah, kentang, kubis, tomat, dan cabe sedangkan dari sub sektor tanaman perkebunan terdiri dari: jambu
mete, vanili, coklat, kopi dan cengkeh. Masih diusahakannya padi di sawah tadah hujan dengan dukungan air
embung yang berasal dari hujan di bagian selatan kabupaten merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
ketahanan pangan diwilayah ini lebih baik dibandingkan dengan ketahanan pangan wilayah bagian utara
kabupaten.
Introduksi tanaman tembakau yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjanjikan keuntungan yang
tinggi pula berkembang pesat di wilayah bagian selatan sehingga menghilangkan kesempatan petani
menanam padi pada MK I maupun pada MK II, akibatnya stock pangan petani menjadi berkurang. Hasil padi
yang ditanam pada musim hujan hanya sebagian kecil disimpan petani untuk cadangan pangannya dan
sebagian besar hasil produksi dijual guna mendapatkan modal untuk persiapan penanaman tembakau. Sama
halnya dengan dibagian utara kabupaten, komoditas dominan yang diusahakan pada musim hujan sebagian
besar terdiri dari tanaman sayuran yang juga memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjanjikan keuntungan
tinggi sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi petani untuk mengusahakannya dan akibatnya padi sebagai
makanan pokok dalam rangka ketahanan pangan dikesampingkan petani di kedua bagian kabupaten tersebut.
Kegagalan dalam berusahatani karena kelebihan maupun kekurangan curah hujan sudah menjadi hal
yang lumrah di kedua bagian kabupaten ini. Hujan yang turun lebih awal dari biasanya dibagian selatan
kabupaten terutama pada saat menjelang panen tembakau akan merusak kualitas daun tembakau oven,
akibatnya, harga yang diterima rendah sehingga petani mengalami kerugian dalam jumlah yang cukup besar.
Demikian pula halnya dengan tanaman yang diusahakan dibagian utara kabupaten, yaitu: bawang merah,
tomat, cabe, kentang dan kol sangat riskan pada resiko kegagalan yang disebabkan oleh kelebihan maupun
kekurangan hujan karena ketergantungan pada curah hujan sehingga mengakibatkan kerugian pada petani
dalam jumlah cukup besar.
638
Kerugian yang dialami petani biasanya cukup besar karena biaya yang dipergunakan dalam proses
produksi cukup besar. Kondisi menjadi lebih memprihatinkan karena sebagian biaya produksi tersebut
diperoleh melalui modal pinjaman baik dari pengelola untuk petani yang mengusahakan tembakau dibagian
selatan kebupaten maupun dari pinjaman tetangga untuk petani sayuran dibagian selatan kabupaten. Dalam
kondisi terbelit hutang maka berbagai upaya dilakukan petani untuk menjaga ketahanan pangan rumah
tangganya.
Salah satu upaya pemecahan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga dalam kondisi seperti
tersebut di atas adalah menjual ternak untuk membeli beras. Ternak yang dipandang sebagai usaha
sampingan dan dipelihara secara tidak intensif menjadi sangat penting artinya disamping sebagai ternak kerja
maka dalam kondisi rawan pangan rumah tangga menjadi tabungan hidup. Ternak besar dijual untuk
memenuhi kebutuhan uang yang cukup besar sedangkan ternak kecil dijual untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari termasuk membeli beras. Ternak yang umum dipelihara petani antara lain sapi, kambing dan
ayam.
Upaya lain yang dilakukan petani adalah beralih melakukan kegiatan off farm yaitu bekerja sebagai
buruhtani menjadi sangat penting artinya dalam rangka ketahanan pangan keluarga. Kegiatan berburuhtani
tidak saja dilakukan antar agroekosistem dalam satu desa yaitu petani yang berasal dari daerah lahan kering
menjadi buruhtani di daerah lahan sawah irigasi, tetapi sampai keluar desa, kecamatan dan kabupaten dalam
satu pulau dan luar pulau bahkan keluar propinsi. Pekerjaan yang umum dilakukan yaitu sebagai buruh panen
padi dengan imbalan upah dalam bentuk hasil panen padi. Padi yang diterima dari bekerja sebagai buruhtani
disimpan untuk menjaga ketahanan pangan keluarga.
Kegiatan lain dalam menjaga ketahanan pangan keluarga yaitu melakukan pekerjaan di luar
pertanian (non farm) sebagai buruh bangunan/tukang, tukang ojek, kusir cidomo, kerajinan, bakulan hasil
pertanian membuat batu bata dan TKI. Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian disamping karena
kegagalan panen juga secara umum disebabkan oleh faktor ekonomi rumah tangga sebagai akibat dari
keterbatasan lahan pertanian dan kurangnya lapangan pekerjaan serta peluang untuk mengembangkan usaha
dengan kekuatan modal sendiri yang sangat terbatas. Disamping itu tidak dapat dipungkiri tingkat upah yang
tinggi di luar negeri menjadi daya tarik tersendiri bagi petani dengan harapan nantinya cepat membayar
hutang yang ditinggalkan sebagai akibat kegagalan panen di daerah asal.
TKI yang bekerja di luar negeri tidak semuanya berhasil beberapa orang justru membawa
permasalahan seperti tidak bisa menutup hutang yang dipinjam untuk berangkat ke luar negeri. Sedangkan
bagi yang berhasil sudah mampu mengirim uang untuk biaya hidup kelurga yang ditinggal atau untuk
membangun rumah dan membeli tanah sawah. Kenyataan yang terjadi saat ini yaitu sebagian besar
penghasilan TKI digunakan untuk membangun rumah dan kawin tetapi hanya sebagian kecil yang
mengalokasikan pendapatannya untuk usaha-usaha yang bersifat produktif dibidang pertanian maupun usaha
lainnya.
Harapan lain petani dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangganya adalah melakukan pinjaman
pada tetangga, bahkan pinjaman dalam bentuk ijon-pun tidak segan-segan diterima petani dari para pelepas
uang. Jaminan untuk menadapat pinjaman ijon biasanya tanaman vanili, coklat, kopi dalam kondisi sedang
berbunga atau berbuah muda, akibatnya, sudah tentu maka harga yang diterima petani menjadi sangat rendah.
Anak sapi yang masih berada dalam kandungan diijonkan petani di desa Sajang untuk memperoleh uang
dalam rangka ketahanan pangan rumah tangga
Pengeluaran untuk pangan meliputi beras, lauk pauk, makanan kecil, minyak goreng, gula, kopi, teh
dan lain-lain, sedangkan pengeluaran non pangan meliputi penerangan, sabun, odol, alat rumah tangga,
pakaian, transportasi, pendidikan, rokok/tembakau, perbaikan rumah dan pajak bumi dan bangunan.
Pengeluaran rumah tangga untuk pangan mencapai lebih dari 50%, menunjukkan bahwa tingkat ketahanan
pangan rumah tangga petani di wilayah lahan kering relatif rendah. Hasil kajian Sri Hastuti et al (2005)
tentang pola pendapatan dan pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumah tangga di desa Sambelia yang
merupakan desa lahan kering dataran rendah menjelaskan bahwa pengeluaran petani miskin untuk pangan
mencapai 54,27 % artinya ketahanan pangan rumah tangga relatif rendah.
639
Gambar 1. Pemasukan dan pengeluaran rumah tangga petani miskin desa lahan kering di Lombok Timur
KESIMPULAN
1. Komoditas yang diusahakan petani relatif terbatas karena faktor pembatas iklim dan curah hujan
2. Ketahanan pangan petani di lahan kering dipenuhi melalui kegiatan on farm, of farm dan non farm
3. Kesinambungan pendapatan dalam satu tahun dan antisipasi terhadap resiko kegagalan dilakukan dengan
pola tumpangsari.
4. Kegiatan petani dimusim hujan cukup padat, dilakukan dengan cepat dan pada waktu yang tepat
sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja
5. Sistem kelembagan pertanian dilahan kering belum memperlihatkan kinerja yang baik terutama lembaga
keuangan dengan skim kredit khusus untu usaha pertanian
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antropologi, Rineka Cipta. Jakarta.
Roucek dan Warren, 1962. Sosiology Intriduction. Little Field Adams & Co, Paterson.
Pujiwati Sayogyo, 1995. Sumberdaya Manusia dan Kecukupan Pangan dan Gizi dalam Pudjiwati Sayogyo.
Sosiologi Pembangunan, BKKBN. Jakarta
Brannen J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Nuktah Arfawi, Imam Safei,
Noorhaidi penerjemah. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Terjemahan dari: Mixing Methods:
Qualitative and Quantitative Research.
Checkland Peter. 1998. Systems Thinking, System Practice. John Wiley & Sons Chichester, New York,
Brisbane, Toronto.
Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta.
Verhagen Koenraad. 1996. Pengembangan Keswadayaan. Pengalaman LSM di Tiga Negara. Makmur Keliat,
penerjemah; Tanudi penyunting. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Terjemahan dari: Self Helf
Promotion (A Challenge to the NGO Community).
Senge Peter M. 1996. Disiplin Kelima. Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar Nunuk Adriani
penerjemah, Lyndon Saputra editor. Binarupa Aksara, Jakarta. Terjemahan dari: Fith Discipline.
Pengeluaran untuk
pangan
(51,86 %)
Pengeluaran non
pangan
(48,14 %)
Dalam
Usahatani
Pendapatan
Rumah tangga
Luar
Usahatani Luar Pertanian
Pemasukan rumah tangga
640
Poerwandari EK. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga Pengembangan Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta.
Pakpahan A., 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi.
Prosiding Patanas Evaluasi Kelembagaan Pedesaan di Jawa Tengah Perkembangan Teknologi
Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sri Hastuti Suhartini, Kukuh Wahyu W, dan Ketut Puspadi, 2005. Pola pendapatan dan pengeluaran rumah
tangga kaitannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam Prosiding Seminar Naisonal
Pemasyaraktan Inovasi Teknologi dalam Upaya Mempercepat Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan
di Lahan Marginal. Pusat Analissi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Recommended