View
130
Download
8
Category
Preview:
Citation preview
KELOMPOK : … Sesi No : 4
(Empat)
HARI KE : 3 (Tiga) WAKTU : …….
(95 menit)
Sesi : Alur Pra, Pasca Pelaksanaan Pemilukada, dan Form Pemantauan Dana
Politik
Tujuan Sesi :
1. Peserta paham tahapan dalam pemantauan dana parpol
2. Peserta mampu mengidentifikasi sumber dana politik
3. Peserta memahami dan terampil mengisi form pemantauan pelanggaran Pemilu
LANGKAH-LANGKAH FASILITASI WAKTU METODE BAHAN
1. Fasilitator membuka sesi
2. Fasilitator Mereview Materi
Sebelumnya
3. Fasilitator mengantar dan
menjelaskantujuan materi yang akan
dibawakan sesi 4
4. Fasilitator membagi peserta dalam 2
(dua) Kelompok dan mengarahkan
peserta berdiskusi tentang dua hal :
Tahapan dan bentuk-bentuk
pelanggaran pelaksanaan pemilu
Identifikasi Dana Politik
(Perorangan, Kelompok atau
Perusahaan)
10
Menit
20
Menit
Ceramah
Ceramah
Disko dan pleno
(disiapkan
lembar kerja)
laptop,
Infocus,
5. Fasilitator melanjutkan dengan pleno
hasil diskusi kelompok untuk
penajaman sesi
Presentasi dan Tanya Jawab
6. Fasilitator menjelaskan tentang poin-
poin penting yang berkaitan dengan
Alur Pra dan Pasca Pelaksanaan
Pemilukada(dikaitkan dengan aturan)
7. Fasilitator mengantar proses
pemantauan Pemilukada dalam
bentuk Form pemantauan dan
melakukan tatacara pengisian form
8. Fasilitator memberikan penegasan
dan kesimpulan sesi
9. Fasilitator menutup sesi
40
Menit
10
Menit
10
Menit
5 Menit
Presentasi
Presentasi
dengan power
point (bahan
disiapkan
fasilitator)
Presentasi
Bahan Form
sudah di siapkan
dalam bentuk
power point
Ceramah
HAND OUT
Peningkatan Kapasitas Jaringan Pemantau Dalam Mendorong Kemampuan dan
Kualitas Pemantauan Independen Pada Pemilihan Walikota Makassar 2013 dan
Pemilu Legislatif 2014
SESI Tentang : Pemantauan Dana Pemilu
TOPIK Alur Pra dan Pasca Pelaksanaan Pemilukada, Dasar Hukum, Form- Form
Pemantauan Dana Politik
I. Urgensi Pemantauan Pemilukada (Pra-Tahapan)
Berdasarkan perkembangan hukum dan politik untuk mewujudkan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih efektif dan akuntabel sesuai dengan aspirasi
masyarakat, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu dilakukan secara
lebih terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Salah satu prinsip yang harus dianut dalam proses pemilukada yakni langsung. Hal ini
tidak hanya bermakna keterlibatan masyarakat secara langsung memberikan suaranya
pada saat pemberian suara pada hari pemungutan suara1, tetapi adalah keterlibatan
masyarakat secara langsung dalam setiap tahapan pemilukada semata-mata untuk
menjamin pelaksanaan pemilukada sesuai prinsip-prinsip pemilu (luber dan jurdil).
Secara hirarki perundang-undangan, konstitusi (UUD) memberikan jaminan persamaan
hak bagi masyarakat untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 28D ayat 3 UUD
1945). Keterlibatan ini tidak hanya dalam pengertian ikut mencalonkan diri dalam
pemilukada, tetapi juga ikut memantau pelaksanaan pemilu itu sendiri sebagai bagian
keikutsertaan masyarakat dalam proses pergantian kekuasaan pemerintahan di daerah
Patron-Client
Patronase merupakan hubungan sosial yang menempatkan individu-individu dalam
hubungan timbal balik yang tidak setara. Salah satu pihak menjadi pemilik sumber daya
(majikan), dan pihak lain menjadi anak buah yang tergantung hidupnya pada sumber
daya milik majikan. Hubungan patronase melibatkan pihak-pihak yang memberikan
sumber dayanya (patron) kepada klien yang tergantung hidupnya pada sang patron.
Pada prakteknya, hubungan patronase merupakan strategi yang efektif untuk
memobilisasi massa pemilih.
Sebagai contoh, pada saat pemilukada di Jawa Timur 2008 lalu partai-partai besar tidak
segan menggandeng beberapa kyai yang berpengaruh untuk mendongkrak perolehan
suara. Hubungan antara kyai sebagai pemilik pesantren dapat dikategorikan sebagai
patron dengan santri-santri sebagai kliennya. Permasalahan timbul ketika kyai-kyai
tersebut menginstruksikan santrinya untuk memilih calon tertentu, atau dengan kata lain
1 Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 24 ayat 5 UU 32/2004)
memanfaatkan posisinya sebagai patron untuk memberikan referensi politik kepada
kliennya. Hal yang sama juga terjadi di Banten ketika jawara-jawara yang memiliki
ribuan anak buah dimobilisasi untuk memberikan dukungan kepada salah satu calon
gubernur.
Dewasa ini, praktek –praktek yang menggunakan ketokohan agama, jabatan, dan
lainnya masih kerap terjadi yang melanggengkan patronase proses pemilukada serta
kepemimpinan local terpilih.
State Capture
State Capture adalah korupsi yang terjadi ketika elit yang berkuasa dan atau
pengusaha besar memanipulasi pembentukan kebijakan dan aturan (termasuk undang-
undang dan peraturan ekonomi) untuk keuntungan mereka sendiri.
Pemerintah dalam arti luas yang melibatkan eksekutif, legislatif, judikatif dan sampai
batas tertentu didukung oleh sebagian media massa, lewat kolusi dengan korporasi-
korporasi besar dalam pembelian berbagai keputusan politik dan pembuatan undang-
undang oleh sektor bisnis dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan
keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan kata lain, sebuah korporasi atau gabungan
korporasi asing lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli perundang-
undangan, mendiktekan kontrak karya di bidang pertambangan, dan bidang-bidang
lainnya seperti perbankan, pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan, pengadaan air
dan lain sebagainya. Akibatnya pemerintah itu sendiri hanya menjadi sekedar
kepanjangan tangan kepentingan korporasi-korporasi besar. misalnya, perusahaan
milik negara dijual dengan harga rendah untuk para politisi, atau undang-undang baru
yang dirancang dalam cara mendukung pelaku ekonomi di sektor tertentu. Di
Indonesia, khususnya kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan salah
satu contoh fenomena dari "state capture corruption".Yang mana kebijakan korban
Lumpur lapindo yang alokasi di bebankan melalui anggaran negara dan daerah. Contoh
lain, Kasus pembahasan RUU Tembakau, pelelangan aset daerah misal tanah,
bangunan, infrastruktur negara, ilegal loging mobil dinas pejabat dengan harga
minimalis dibeli oleh kroni elit, yang kemudian pemerintah melakukan pengadaan baru
atau pegadaan secara besar –besaran yang menggunakan uang rakyat.
Rent Seeking
Dalam ekonomi, Rent Seeking terjadi ketika individu, organisasi atau perusahaan
berusaha memperoleh keuntungan dengan menggunakan rente ekonomi melalui
manipulasi atau eksploitasi lingkungan ekonomi maupun politik, yang melebihi
keuntungan transaksi ekonomi dan produksi yang biasa untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Arti sederhana: terminologi rent seeking dalam institusi negara
merujuk pada perilaku pejabat publik dalam memutuskan alokasi dan pegelolaan
anggaran publik (APBN-APBD), atau kebijakan yang ditujukan untuk publik dengan
motivasi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yang berimplikasi merugikan
kepentingan publik, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, misalkan
pengusaha pengempalang pajak, alokasi anggaran publik pada wiliyah eksploitasi
sumber daya alam, subsidi anggaran publik untuk mempelancar produksi eksploitasi
lingkungan, rantai panjang distribusi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Akankah
dana politik haram dan ilegal dibiarkan bergentangan dan digunakan oleh para calon
dan kompetisi pemilikada?.
UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah pada Paragraf Keenam pasal 113-114
memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat turut serta dalam pemantauan
pemilukada sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Ruang ini harus dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk menjamin pelaksanaan pemilukada yang transparan dan
akuntabel.
Desentralisasi demokrasi melalui pemilukada tetap harus dipantau untuk menjamin
terselenggaranya peralihan kekuasaan di daerah secara damai, fair dan kompetitif.
Pemantauan ini penting untuk menjamin sajauhmana proses politik di tingkat lokal
bekerja secara normal. Tidak hanya pada tahapan pemilukada saja, tetapi juga harus
melihat proses tersebut jauh sebelum tahapan pemilukada dimulai.
Dalam beberapa kasus yang terjadi di daerah, misalnya di provinsi Banten.
Berdasarkan hasil pemantauan ICW pada tahun 2011 pemerintah daerah provinsi
Banten mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 340 milyar untuk hibah dan Rp. 51
milyar untuk program bantuan sosial (bansos). Hibah disalurkan kepada 221 organisasi
dan forum yang dibentuk masyarakat maupun instansi negara. sedangkan bansos
disebarkan kepada 160 lembaga.Dalam tiga tahun terakhir, perkembangan alokasi
dana hibah dan bansos Provinsi Banten terus mengalami peningkatan. Kenaikannya
sangat fantastis. Pada tahun 2009, total dana hibah dan bantuan sosial sebesar Rp. 74
milyar. Tapi pada 2011 atau menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) provinsi
meningkat menjadi Rp. 391 milyar2.
Dari penelusuran dana hibah dan bansos tersebut terindikasi merupakan bentuk
“investasi politik” kepala daerah yang menguntungkan kroninya serta menarik
dukungan publik pada pemilukada berikutnya. Hal tersebut terungkap dari penerima
dana tersebut mengalir kepada lembaga yang dipimpin oleh keluarga atau yang
memiliki afiliasi politik kepada gubernur. Selain itu juga terungkap bahwa banyak
penerima dana hibah yang fiktif dan tidak jelas.3 Realitas ini sangat mungkin terjadi di
daerah lain di Indonesia, maka penting bagi masyarakat untuk memantau sejauhmana
dana hibah dan bansos tersebut digunakan untuk kepentingan calon tertentu dalam
pemilukada.
Dalam tahapan penyelenggaraan pemilukada juga kerap terungkap praktek-praktek
pelanggaran terhadap aturan penyelenggaraan pemilukada. Hal ini dilakukan oleh
pribadi atau kelompok tertentu yang tidak terdaftar dalam tim kampanye resmi yang
dilaporkan kepada KPUD. Tim kampanye “tidak resmi” ini melakukan kegiatan yang
menguntungkan pasangan calon tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan
penyelenggaraan pemilukada. Misalnya melakukan black campaign, politik uang,
hingga intimidasi kepada pemilih.
Praktek semacam ini tentu tidak hanya mengganggu penyelenggaraan pemilukada
yang demokratis, tetapi juga akan berimplikasi pada keterpilihan kepala daerah yang
tidak diharapkan publik karena dipastikan tidak akan memberikan perubahan apapun
bagi kehidupan masyarakat di daerah. Kepala daerah yang terpilih melalui cara-cara
yang “diharamkan” tentu hanya akan bekerja untuk kepentingan kroni dan
kelompoknya.
2 Press Release ICW pada 29 September 20113 Ibid
Praktek – praktek diatas, menjadi penting untuk melakukan terobosan orientasi
pemantauan terkait pergerakan dana politik dalam pemilukada. Artinya orientasi
pemantauan tidak hanya dilakukan pada saat tahapan pemilukada, akan tetapi
menjadi sangat penting orientasi pemantauan lebih jauh difokuskan sebelum tahapan
pelaksanaan pemilukada, yakni minimal 1 (satu) tahun sebelum pelaksaksanaan
pemilukada dilakukan. Disinilah titik urgensi pemantauan dana politik sebagai upaya
mendorong proses dan hasil demokratisasi lokal yang berintegritas dan akuntabel.
Mengapa? Ditengarai bahwa gerak kerja mesin dana politik dan lainnya. untuk
mobilisasi pemenangan oleh para calon khususnya incumbent telah terjadi atau
diskenario (money politic, abuse of power, dana politik ilegal)) sebelum diumumkan
tahapan pemilukada oleh penyelenggara pemilukada. Praktek – praktek ini
(mempertahankan kekuasaan dan merebut kekuasaan) oleh para pakar dan pegiat anti
korupsi menyebut dengan istilah Pork Barrel, Patron Client, State Capture, dan Rent
Seeking
II. Dana Politik
a. Uang dan politik4
Politik dan uang merupakan pasangan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Aktivitas
politik memerlukan uang (sumber daya) yang tidak sedikit, terlebih dalam
kampanye pemilu. Terdapat empat faktor dalam kampanye pemilu, yaitu kandidat,
program kerja dan isu, organisasi kampanye (mesin politik) dan sumber daya
(uang). Akan tetapi uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh; tanpa uang
maka ketiga faktor lainnya menjadi sia-sia. Seorang pakar politik mengatakan:
“Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it” (Uang saja tidak cukup, tapi uang sangat berarti bagi keberhasilan kampanye. Uang menjadi penting karena kampanye memiliki pengaruh pada hasil pemilu dan kampanye tidak akan berjalan tanpa ada uang). (Jacobson 1980,33).
Uang adalah sumber utama bagi kekuatan politik dalam memenangkan kekuasaan
4 Modul Pelatihan “Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Partai Politik, TI Indonesia, Jakarta, 2009
atau tetap mempertahankan kekuasaan. Uang dalam politik merupakan hal yang
instrumental dan signifikansinya terletak pada bagaimana ia digunakan untuk
memperoleh pengaruh politik dan digunakan untuk mendapatkan kekuasaan.
Karena uang tidak terdistribusi dengan merata, akibatnya kekuasaan juga tidak
terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Pertanyaan penting yang harus
diajukan adalah “bagaimana dan dari siapa politisi atau partai memperoleh dana
serta bagaimana membelanjakan dana kampanyenya” 5.
Karakteristik uang memberikan kemudahan; uang dapat diubah ke berbagai
macam sumber daya dan sebaliknya, berbagai macam sumber daya dapat diubah
ke dalam uang. Uang juga dapat membeli barang, keahlian dan layanan, demikian
sebaliknya, barang-barang, layanan, dan keahlian dapat dinilai dengan sejumlah
uang. Uang memperkuat pengaruh politik bagi mereka yang memilikinya atau
mereka yang memiliki wewenang untuk mendistribusikannya.6
b. Dana Parpol dan Dana Politik7
Pada prinsipnya, persoalan keuangan selalu dapat dibedakan atas dua sisi, yaitu
penerimaan yang mencakup semua sumber pendapatan dan belanja yang
mencakup semua jenis atau pos pengeluaran. Dalam konteks pendanaan politik,
karakteristik belanja atau pengeluaran sangat ditentukan oleh karakteristik tujuan
pembelanjaan, sedangkan tujuan belanja ditentukan oleh karakteristis sistem
politik.
Di sisi belanja, dana politik biasanya dapat dibagi menjadi dua karakteristik besar,
yaitu; pengeluaran untuk membiayai aktivitas rutin partai politik (political party
finance) dan pengeluaran kampanye (campaign finance). Kedua jenis
pembelanjaan ini biasanya ditentukan oleh sistem pemilu.
Untuk sistem proporsional (party base), di mana pemilih memilih tanda gambar
partai, kecenderungan akitivitas pembiayaan terfokus pada pembiayaan partai. Ini
5 Karl-Heinz Nassmacher, Foundation for Democracy, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden, 2001, p. 9.6 Ibid, p.9.7 Modul Pelatihan “Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Partai Politik, TI Indonesia, Jakarta, 2009
karena partai yang paling berperan atau yang akan dijual kepada pemilih. Partai
sebagai organisasi kemudian bekerja keras memenangkan suara pemilih.
Untuk sistem majoritarian (candidate base), di mana pemilih memilih kandidat,
pembiayaan lebih terfokus pada kampanye untuk masing-masing kandidat yang
dilakukan oleh kandidat sendiri atau pihak ketiga yang ditunjuk melakukan
kampanye untuk kandidat.
Pada prakteknya, khusus untuk penggunaan dana politik oleh partai politik, dana
kampanye dan dana partai biasanya terpisah dan juga dibukukan di dalam
rekening yang terpisah (Djani, Badoh (2006:15)).
Definisi atau pengertian dari dana partai atau dana kampanye sebagai dana politik,
sebenarnya dipengaruhi oleh budaya politik dan sistem politik di masing-masing
negara. Budaya politik di Amerika Utara misalnya yang terlihat lebih berorientasi
pada kandidat cenderung lebih dominan pada aktifitas kampanye kandidat
(candidate-oriented) ketimbang pada organisasi (organization-oriented) atau
orientasi partai (party-oriented).
Di negara-negara Eropa Barat, istilah dana politik seringkali digunakan sebagai
kata lain dari pendanaan partai (party financing), yang digunakan untuk membiayai
aktivitas rutin internal dari partai selama masa pemilu. Di Eropa, kampanye lebih
didominasi oleh partai, sedangkan di Amerika, terutama Amerika Utara, oleh
kandidat (Nassmacher, 2001: 11).
Sistem parlemen memberikan penekanan pada pembiayaan partai politik karena
partai memiliki peran sangat besar dalam menentukan jatuh bangunnya
pemerintahan. Partai-partai yang berkuasa di parlemen dapat berkoalisi untuk
membentuk suatu pemerintahan dan menarik dukungan sehingga menyebabkan
suatu pemerintahan jatuh dan pemilu harus diselenggarakan. Pada sistem
presidensil dimana presiden memiliki suatu jangka waktu berkuasa atau “fix term”
banyak memberikan peran bagi kandidat untuk berusaha menjaga kewibawaan
pemerintahannya sehingga dapat terpilih kembali ataupun meningkatkan dukungan
public terhadap partai pendukung. Oleh karena itu, Sistem parlemen memberi
tekanan pada pembiayaan partai politik (political party finance).
Sistem
Pemilu
Kecenderung
an
Belanja Dana Politik Praktek
Indonesia
Representasi
Proporsional
(proportional)
Partai
(Party based)
Rutin Partai
Kampanye
Partai
Pendanaan
Partai (Party –
Financing)
Pemilu Legislatif
Mayoritas –
Distrik
(Majoritarian)
Kandidat
(Candidate
based)
Kampanye
Kandidat
Pendanaan
Kampanye
(Campaign
Financing)
Pemilu Legislatif
dan Pemilu
Presiden-Wakil
Presiden,
Pemilukada
Keuangan Partai Politik diatur dalam UU no. 2 tahun 2008 jo UU no. 2 tahun 2011
tentang Partai Politik, dimana hal hal yang mengatur tentang Keuangan Partai
Politik tercantum dalam bab XV: pasal 34 sampai dengan pasal 39.
Pasal 34 dan 35 UU no.2 tahun 2008 merupakan pasal yang mengatur tentang
sumber dana keuangan Partai Politik, sementara Pasal 36 dan 37 mengatur
tentang peruntukan dari sumber penerimaan tersebut serta
pertanggungjawabannya dan pasal 38 mengatur tentang hak
masyarakat/pemilih/konstituen untuk mengetahui kinerja dan pertanggungjawaban
keuangan dari partai politik.
Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a. Iuran anggota
b. Sumbangan yang sah menurut hukum dan
c. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Aturan sumber pendanaan partai politik saat ini menimbulkan beberapa tanggapan
yaitu:
Sumbangan kandidat yang besar akan tetap berada di luar koridor laporan
keuangan partai politik dan menjadi permainan elit politik
Parpol melalui elit politik akan memainkan peran penting dalam politik uang
dalam upaya memenangkan suara dan dukungan dalam pemilukada
Dalam hal penerimaan dana yang dilarang, tidak diatur tentang larangan
menerima dana yang berasal dari kejahatan/korupsi.
Tidak ada larangan tentang penerimaan dana dari departemen atau instansi
pemerintah (selain subsidi yang diatur dalam Undang Undang).
Tidak adanya pengaturan tentang larangan penerimaan dana yang berasal dari
kejahatan/korupsi mempunyai dampak bahwa kas parpol dapat menjadi tempat
pencucian uang. Dan jika merujuk kepada pasal 35 ayat 1 UU no.2 tahun 2008,
tentang tidak ada batasan besaran penerimaan sumbangan yang berasal dari
anggota parpol, maka bisa dimungkinkan jika sumber kelangsungan dan kegiatan
partai politik akan didominasi dan berasal dari hasil kontrak politik elit parpol.
III. Dana Kampanye
IV.
Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye harus ditegakkan, yakni dengan
memantau pemasukan dan pengeluaran dana kampanye para peserta pemilu.
Berangkat dari pengalaman pemilu 2004, ada beberapa alasan mengapa
transparansi dan akuntabilitas dana kampanye sangat diragukan, yakni8:
o Banyak ditemukannya daftar penyumbang fiktif.
o Peserta pemilu tidak jujur dalam melaporkan dana kampanyenya.
o Audit laporan dana kampanye menggunakan metoda agread upon procedures,
bukan audit investigatif.
o Pengungkapan aliran dana illegal yang diterima oleh peserta pemilu sangat
terbatas.
o Tidak ada tindak-lanjut atas temuan pelanggaran dana kampanye.
o Publik kesulitan dalam mengakses laporan dana kampanye peserta pemilu.
Oleh karena itu, kegiatan pemantauan terhadap dana kampanye peserta pemilu
tidak lain bertujuan untuk meminimalkan praktek korupsi pada level politik dengan
cara mensyaratkan transparansi dan pertanggung-gugatan peserta pemilu dalam
8 Modul Pengawasan, Isu Khusus Dana Kampanye, Badan Pengawas Pemilu – Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2009
laporan pembelanjaan dana kampanye mereka.
Pada level yang lebih mikro, pemantauan dana kampanye oleh publik dimaksudkan
untuk9:
1. Membuat perangkat pengawasan dana kampanye yang dapat diakses dan
diterapkan oleh siapapun.
2. Membangun suatu jaringan masyarakat untuk melakukan pemantauan dalam
rangka meningkatkan kepatuhan peserta pemilu dalam melaksanakan aturan
dana kampanye.
3. Melakukan verifikasi faktual atas kebenaran laporan daftar penyumbang dana
kampanye peserta pemilu.
4. Melaporkan setiap temuan pelanggaran aturan dana kampanye kepada pihak
terkait.
5. Membangun kerjasama pemantauan dana kampanye dengan media massa.
Merujuk kepada konstitusi UUD45, penyelenggaraan pemilu terbagi kedalam 3
(tiga) bentuk pemilu yaitu:
1. Pemilu presiden dan wakil presiden (pasal 6 A ayat 1),
2. Pemilu DPR, DPD dan DPRD (pasal 19 ayat (1), pasal 22C ayat (1), dan pasal
22E ayat (2), dan
3. Pemilu kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) (pasal 18 ayat 4).
Secara Undang Undang, pengaturan pemilihan umum ke 3 (tiga) posisi diatas
diatur masing masing dalam Undang Undang yang berbeda yang mengatur pula
tentang penerimaan dana kampanye, yaitu sebagai berikut:
Kategori UU no. 42 tahun
2008 tentang
UU 10 tahun 2008
tentang Pemilihan
UU no. 32 tahun
2004 jo UU no. 12 9 Ibid
Pasal Pasal 94 – pasal
103
Pasal 129 – pasal 140 Pasal 75 - pasal 85
Sumber
Dana
a. Pasangan calon
yang
bersangkutan
b. Partai Politik/atau
gabungan partai
politik yang
mengusulkan
calon
c. Pihak lain
a. Partai Politik
b. Calon anggota
DPR,DPRD provinsi,
dan DPRD
kabupaten/kota dari
partai politik yang
bersangkutan;
c. Sumbangan yang
sah menurut hukum
dari pihak lain
a. Pasangan Calon
b. Partai politik/atau
gabungan partai
politik yang
mengusulkan
c. Sumbangan
sumbangan pihak
lain
Besaran
Sumbangan
Perseorangan:
tidak lebih dari
Rp.1.000.000.000
,00 (satu miliar
rupiah)
Kelompok,
Perusahaan,
Badan Usaha non
Pemerintah: tidak
lebih dari
Rp.5.000.000.000
,00 (lima miliar
rupiah)
DPR dan DPRD:
o Perseorangan:
tidak lebih dari
Rp.1.000.000.000,
00 (satu miliar
rupiah)
o Pihak lain
berkelompok:
tidak lebih dari
Rp.5.000.000,00
(lima miliar rupiah)
DPD:
o Perseorangan:
tidak lebih dari
Perseorangan:
tidak lebih dari
Rp.50.000.000,00
(lima puluh juta
rupiah)
Badan Hukum
Swasta: tidak
lebih dari
Rp.350.000.000,0
0 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah)
10UU no. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden11UU 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD12UU no. 32 tahun 2004 jo UU no. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
Rp.250.000.00,00
(dua ratus lima
puluh juta rupiah)
o Pihak lain
berkelompok:
tidak lebih dari
Rp.500.000.000,0
0 (lima ratus juta
rupiah)
Sumbangan
Yang
Dilarang
a. Pihak asing
b. Penyumbang
yang tidak benar
atau tidak jelas
identitasnya
c. Hasil tindak
pidana dan
bertujuan
menyembunyika
n atau
menyamarkan
tindak pidana.
d. Pemerintah,
Pemerintah
Daerah atau
Badan Usaha
Milik Negara,
Badan Usaha
Milik Daerah,
atau
e. Pemerintah
Desa atau
a. Pihak asing
b. Penyumbang yang
tidak jelas
identitasnya
c. Pemerintah,
Pemerintah Daerah
atau Badan Usaha
Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah,
atau
d. Pemerintah Desa
atau sebutan lain
dan Badan Usaha
Milik Desa
a. Negara asing,
lembaga
swasta asing,
lembaga
swada
masyarakat
asing dan
warga negara
asing
b. Penyumbang
atau pemberi
bantuan yang
tidak jelas
identitasnya
c. Pemerintah,
BUMN dan
BUMD
sebutan lain dan
Badan Usaha
Milik Desa
Peraturan Perundangan memang telah secara eksplisit mengatur tentang dana
kampanye pemilukada, namun dalam praktek, pelanggaran tetap kerap terjadi dan
hanya dapat terjerat sanksi pidana umum dan administrative dan atau pembatalan
pasangan calon.
Singkatnya batas waktu pembuktian pelanggaran kampanye, juga ditengarai
sebagai salah satu factor penghambat dalam penelurusan korupsi pemilukada
yang ada.
V. Urgensi Peran Serta Masyarakat Dalam Pemantauan Pemilukada
Pemilukada merupakan proses untuk melibatkan masyarakat dalam proses
pergantian (suksesi) kepala daerah/wakil kepala daerah. Salah satu prinsip yang
harus dianut dalam proses pemilukada yakni langsung. Hal ini tidak hanya
bermakna keterlibatan masyarakat secara langsung memberikan suaranya pada
saat pemberian suara pada hari pemungutan suara13, tetapi adalah keterlibatan
masyarakat secara langsung dalam setiap tahapan pemilukada semata-mata untuk
menjamin pelaksanaan pemilukada sesuai prinsip-prinsip pemilu (luber dan jurdil).
Secara hirarki perundang-undangan, konstitusi (UUD) memberikan jaminan
persamaan hak bagi masyarakat untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 28D
ayat 3 UUD 1945). Keterlibatan ini tidak hanya dalam pengertian ikut mencalonkan
diri dalam pemilukada, tetapi juga ikut memantau pelaksanaan pemilu itu sendiri
sebagai bagian keikutsertaan masyarakat dalam proses pergantian kekuasaan
pemerintahan di daerah.
UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah pada Paragraf Keenam pasal 113-114
memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat turut serta dalam pemantauan
pemilukada sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Ruang ini harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjamin pelaksanaan pemilukada yang
13 Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan (pasal 24 ayat 5 UU 32/2004)
transparan dan akuntabel.
Paragraf Keenam
Pemantauan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 113
1) Pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilakukan
oleh pemantau pemilihan yang meliputi lembaga swadaya masyarakat, dan
badan hukum dalam negeri
2) Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi
persyaratan yang meliputi:
a. bersifat independen; dan
b. mempunyai sumber dana yang jelas.
3) Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
mendaftarkan, dan memperoleh akreditasi dari KPUD.
Pasal 114
1) Pemantau pemilihan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauannya kepada
KPUD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pelantikan kepala daerah dan wakil
kepala daerah terpilih.
2) Pemantau pemilihan wajib mematuhi segala peraturan perundangundangan.
3) Pemantau pemilihan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 113 dicabut haknya sebagai pemantau pemilihan dan/atau dikenai
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
4) Tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan pemilihan serta
pencabutan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan perkembangan hukum dan politik untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan akuntabel sesuai
dengan aspirasi masyarakat, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
perlu dilakukan secara lebih terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Tabel : Contoh Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Pemilukada
Peran Serta Masyarakat Dalam Pemantauan Dana Kampanye
Dana kampanye menjadi salah satu item yang membutuhkan pengawasan serius
baik dari penyelenggara pemilukada maupun masyarakat. Pendanaan kampanye
seringkali menjadi pintu masuk terjadinya politik traksaksional (money politic)
hingga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Oleh karena itu, dana
Proses/Tahapan Pasal Substansi
Syarat calon kepala
daerah
Pasal 58 huruf h UU
32/2004 jo 12/2008
Mengenal daerahnya dan dikenal
oleh masyarakat di daerahnya
Penetapan pasangan
calon oleh parpol atau
gabungan parpol
Pasal 4 UU 32/2004
jo 12/2008
Dalam proses penetapan
pasangan calon, partai politik atau
gabungan partai politik
memperhatikan pendapat dan
tanggapan masyarakat
Penetapan pasangan
calon perseorangan oleh
KPUD
Pasal 4a UU
32/2004 jo 12/2008
Dalam proses penetapan
pasangan calon perseorangan,
KPU provinsi dan/atau KPU
kabupaten/kota memperhatikan
pendapat dan tanggapan
masyarakat
Seleksi administrasi Pasal 60 ayat 1 UU
32/2004 jo 12/2008
Pasangan calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
diteliti persyaratan
administrasinya
dengan melakukan klarifikasi
kepada instansi pemerintah yang
berwenang dan menerima
masukan dari masyarakat
terhadap persyaratan pasangan
calon.
kampanye menjadi bagian dari informasi yang harus dibuka ke publik dan menjadi
bagian dari informasi publik.
Keterbukaan dana kampanye dibagi atas 2 hal;
a. Keterbukaan pemasukan (sumber) dana kampanye, dan
b. Keterbukaan Penggunaan Dana Kampanye.
Keterbukaan (transparansi) merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemilu
yang tercantum dalam pasal 2 huruf (g) UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara
Pemilu. Hal ini penting untuk dilakukan untuk menghindari terjadinya manipulasi
sumber pendanaan yang berasal dari hasil yang tidak sah maupun manipulasi
dalam penggunaan dana kampanye. Praktek pencucian uang (money laundering)
sangat rentan terjadi dalam penyelenggaraan pemilukada jika pendanaan
kampanye tidak akuntabel dan transparan.
Secara hukum, setiap pasangan calon kepala daerah wajib menyampaikan laporan
sumbangan dana kampanye kepada KPUD sehari sebelum masa kampanye dan
sesudah masa kampanye berakhir. KPUD wajib mengumumkan melalui media
massa laporan dana sumbangan dana kampanye satu hari setelah menerima
laporan dari pasangan calon. Untuk penggunaan dana kampanye, laporan wajib
dilaporkan kepada KPUD paling lambat 3 hari setelah pemungutan suara. Laporan
tersebut oleh KPUD wajib dipelihara dan terbuka untuk umum setelah melalui audit
oleh akuntan publik.
Keterbukaan informasi merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan
akuntabiltas dan tranparansi penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
governance). UUD 1945 memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia14.
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) memberikan
jaminan dan akses yang cukup luas untuk memperoleh informasi publik yang
dibutuhkan. Dalam konteks transparansi pendanaan kampanye pemilukada
terdapat 2 hal yang dikategorikan sebagai bagian dari informasi publik yaitu;
1. Laporan pendanaan kampanye oleh pasangan calon kepala daerah dari partai
politik atau gabungan partai politik, termasuk calon perseorangan.
2. Laporan pendanaan kampanye yang disampaikan oleh pasangan calon kepala
daerah yang diusul baik oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun
calon perseorangan kepada KPUD.
Partai politik dan KPUD dikategorikan sebagai badan atau institusi publik yang
wajib menyediakan informasi publik sesuai ketentuan UU KIP. Laporan pendanaan
kampanye bukanlah bagian dari informasi yang dikecualikan, karena berdasarkan
pasal 17 huruf (j) UU KIP menyatakan bahwa salah satu informasi yang
dikecualikan adalah informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-
undang. Laporan pendanaan kampanye berdasarkan pasal 83 ayat (7) dan pasal
84 ayat (6) UU 32/2004 menjelaskan secara rinci dan rigid bahwa laporan
sumbangan (pendapatan) kampanye dan laporan dana kampanye yang dilaporkan
kepada KPUD adalah informasi yang terbuka untuk umum.
Pork Barrel
Ketika perbudakan masih berlaku di Amerika Serikat, tuan-tuan pemilik kadangkala
memberikan se-barrel (gentong) daging babi (pork) sebagai hadiah untuk
diperebutkan kepada budak-budak mereka agar tetap setia. Praktek pork barrel
tidak dikenal lagi seiring dihapuskanya perbudakan di AS, namun menjelma
menjadi bentuk lain, yakni ketika konstituen diberikan imbalan oleh anggota senat
melalui dana-dana proyek di daerah pemilihannya. Pemberian imbalan ini sebagai
14 Pasal 28F UUD 1945
bentuk balas budi atas dukungan politik yang diberikan pemilihnya melalui suara
(vote) dan kontribusi kampanye lainya. Praktek ini meski dikecam publik namun
cukup efektif untuk memberikan peluang seorang anggota senat terpilih kembali di
pemilu berikutnya. Akibatnya anggota senat saling berlomba-lomba untuk
mencairkan dana pusat untuk konstituen di daerah pemilihannya. Jadi, pork barrel
menjadi sarana politik untuk mengamankan posisi seorang anggota senat untuk
terpilih kembali dimasa mendatang.
Budget untuk pork barrel dinilai pemborosan dan tidak tepat sasaran, selain itu
sering terjadi korupsi dalam pencairan dananya. Anggota senat disinyalir menerima
kickback dari proyek-proyek yang berhasil diloloskan. Ada juga yang mendapatkan
komisi dari pemerintah daerah atau calonya. Karena begitu besarnya kuasa
seorang anggota senat untuk menentukan alokasi dana pork barrel, masing-masing
perwakilan daerah akan menawarkan komisi yang tinggi demi suksesnya pencairan
dana untuk kepentingan mereka. Praktek busuk ini kemudian ditiru dan
dipraktekkan di Indonesia dengan istilah dana aspirasi. Beragam alasan yang
digunakan, mulai dari mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan
pembangunan, keprihatinan anggota DPR terhadap rakyat di daerahnya, dan
sederet pembelaan lain. Praktek pork barrel ala DPR ini sebenarnya melanggar
sejumlah Undang-Undang, diantaranya UU No. 17/2003, UU No.1/2004 dan UU
No.33/2004.
UU 17/2003 menyebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan negara ada pada
Presiden dan dikuasakan pada Menteri, diserahkan kepada Gubernur/ Bupati /
Walikota, bukan pada DPR. UU tersebut juga telah mengubah paradigma
budgeting dari sistem lama yang berdasarkan input menjadi sistem baru yang
berdasarkan kinerja periode sebelumnya.
UU 1/2004 menyebutkan pengguna Anggaran bertanggung jawab kepada
Presiden/ Gubernur/ Bupati/ Walikota. Pengguna di sini adalah Kementerian dan
Lembaga eksekutif. DPR sebagai lembaga legislatif tidak diatur dalam UU untuk
menggunakan Anggaran.
UU 33/2004 mengenai asas dana perimbangan yang mencakup desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dana Aspirasi menafikan prinsip
desentralisasi karena alokasi anggaran dibuat oleh DPR yang ada di pusat. Hal ini
melanggar prinsip otonomi daerah di mana Pemda dan DPRD-lah yang menyusun
anggaran untuk daerahnya (APBD).
Selain melanggar hukum, Dana Aspirasi juga disinyalir tidak dapat mencapai motif
awalnya yaitu pemerataan pembangunan dan pertumbuhan daerah. Mengapa?
Karena Dana Aspirasi diberikan berdasarkan jumlah wakil rakyat per Dapil. Dapil di
Jawa lebih banyak daripada Dapil di pulau lainnya sehingga jumlah wakil rakyatnya
paling banyak. Sementara itu daerah yang miskin di Indonesia umumnya adalah
daerah-daerah terpencil dengan jumlah wakil rakyat yang relatif lebih sedikit.
Dengan demikian daerah yang miskin akan mendapatkan Dana Aspirasi dengan
jumlah yang jauh lebih rendah dibanding daerah yang relatif lebih makmur.
Sebagai contoh, DKI Jakarta yang memiliki angka kemiskinan terendah yakni 3,62
persen akan memperoleh dana aspirasi Rp 315 miliar, sementara Maluku yang
angka Kemiskinannya 28,3 persen hanya mendapat dana aspirasi Rp 90 miliar.
Jelas usulan ini bertentangan dengan logika pemerataan yang diungkapkan DPR.
Praktek semacam dana aspirasi atau dengan sebutan lainnya masih
berlangsung di beberapa daerah yang bersumber atau dialokasikan dari APBD
yang mungkin digunakan untuk kepentingan para calon dalam memobilisasi
pemenangan perhelatan pemilukada.
IV. FORM PEMANTAUAN
Tabel Pemetaan Kasus
NoContoh
Kasus
Kajian(Pelaku, Aturan
Yang Dilanggar, dan
Siapa Yang
Diuntungkan)
Klasifikasi
Pelanggaran
Keterangan
(follow up)
ADM PU KE K
1 Fasilitas
Negara
Kasus 1
Kasus 2
2 Dana
Kampanye
Kasus 1
Kasus 2
3 Politik Uang
Kasus 1
Kasus 2
4 Money
Laundring
Kasus 1
Kasus 2
Contoh Uraian Hasil Pemantauan Dana Kampanye dari Perorangan
No Data KPU-D
Hasil
P
emanta
uan
Sumber
Informasi
Hasil
Konfirma
si
Keteranga
n
1.Nama
PenyumbangArif Kelurahan
2.Besaran/Nominal
Sumbangan
50.000.00
0
Sesuai
3.Alamat
Penyumbang
Jl
senayan
bawah
sesuai
4.Pekerjaan
PenyumbangPNS
sesuai
5.Usaha yang
Dimiliki
Warung
nasi
sesuai
6.
Latar Belakang
Penyumbang/Kel
uarganya
Anak
sekda
sesuai
7.
Hubungan
dengan peserta
Pemilu/Pelaksana
/Petugas/Penang
gung Jawab
Kampanye
Tidak ada
ada Ybs
mempunyai
hubungan
dengan….
8 Kesimpulan
Format Rekapitulasi Hasil Pengawasan Sumbangan Perorangan
No KategoriJumlah
Kejadian
Besaran/
Nominal
Sumbangan
Aturan Yang
Dilanggar
1. Penyumbang fiktif
2.
Penyumbang tidak
mempunyai kemampuan
ekonomi untuk
menyumbang
3.
Penyumbang tidak
mengakui telah
menyumbang
4.
Penyumbang mengaku
menyumbang tetapi tidak
dapat menunjukkan bukti
5.
Penyumbang menyumbang
tidak sesuai dengan
nominal yang dilaporkan
6.
Penyumbang yang
beberapa kali memberikan
sumbangan kepada peserta
pemilu yang sama
Uraian Hasil Pengawasan Dana Kampanye dari Badan Hukum
No Hal UraianHasil Keterangan
Pengawasan
1. Nama Penyumbang
2.Besaran/Nominal
Sumbangan
3. Alamat Penyumbang
4. Akta Perusahaan
5.Direktur Utara & Komisaris
Utama
6.Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP)
7.Nomor SIUP/TDP (Tanda
Daftar Perusahaan)
8.
Jenis Usaha, Klasifikasi
Golongan, dan Bidang
Usaha
9. Kemampuan Keuangan
10. Sumber Informasi
11. Hasil Konfirmasi
12. Analisis Hasil Konfirmasi
Rekapitulasi Hasil Pengawasan Sumbangan Badan Hukum
N
oKategori
Jumlah
Kejadian
Besaran/
Nominal
Sumbangan
Aturan
Yang
Dilanggar
1. Penyumbang fiktif
2. Penyumbang tidak
mempunyai kemampuan
ekonomi
untukmenyumbang
3.
Penyumbang tidak
mengakui telah
menyumbang
4.
Penyumbang mengaku
menyumbang tetapi tidak
dapat menunjukkan bukti
5.
Penyumbang menyumbang
tidak sesuai dengan
nominal yang dilaporkan
6. Penyumbang terafiliasi
7.Penyumbang
BUMN/BUMD/BUMDesa
Contoh Form Pemantauan Politik Uang
N
o
Uraian
Kasus
Pelaku Paslon Tempat,
Waktu
Peristiwa
Alat
Bukti
Analisa
Pelangga
ran
Keterangan
1
2
3
4
5
6
Recommended