Upload
sariyanti-palembang
View
121
Download
26
Embed Size (px)
Citation preview
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 87
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 87
I
ajah Alit tidak segera menjawab pertanyaan Mahesa Jenar.
Ditebarkannya pandangan matanya melingkari ruangan itu.
Baru kemudian ia berkata, “Biarlah Kakang Gajah Sora
bercerita. Kakang pasti tidak akan percaya seandainya aku yang
mengatakannya.”
“Kau terlalu sering berdusta,” sahut Mahesa Jenar.
Sekali lagi semuanya tertawa. Tetapi tidak berkepanjangan,
sebab kemudian Gajah Sora berkata, “Apa yang dapat aku
ceritakan? Yang aku ketahui, Baginda memerintahkan lewat Adi
Gajah Alit, bahwa aku diperkenankan kembali ke Banyubiru.”
“Tidak hanya itu,” sela Gajah Alit.
“Agaknya Adi Paningronlah yang paling tahu,” jawab Gajah
Sora.
Semua mata berkisar ke wajah Paningron. Wajah yang tenang
dan pendiam. Namun sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
“Baiklah,” katanya, “Kalau aku yang harus bercerita. Tetapi
aku tidak dapat bercerita seperti Adi Gajah Alit.”
“Ah....” desis Gajah Alit.
“Demikianlah yang sebenarnya,” Paningron meneruskan,
“Kebetulan aku mengetahui beberapa persoalan. Setelah Baginda
menganggap bahwa Kakang Gajah Sora benar-benar tidak
bersalah, maka sebenarnya pada saat itu Kakang Gajah Sora
sudah dapat dibebaskan. Sejak pertemuan kami di Rawa Pening,
Baginda menjadi pasti bahwa Gajah Sora benar-benar tidak
bersalah. Aku dan Adi Gajah Alit telah meyakinkan Baginda.
Namun Baginda menghendaki, agar usaha mencari kedua pusaka
itu menjadi semakin gigih. Terutama Baginda mengharap ayah
Kakang Gajah Sora dan sahabat-sahabatnya berjuang mati-
matian, dengan harapan untuk dapat segera membebaskan
G
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 87
Kakang Gajah Sora. Tetapi keadaan berkembang ke arah yang tak
dikehendaki. Beberapa saat, kami, di Demak kehilangan jejak atas
perkembangan daerah perdikan Banyubiru. Baru beberapa saat
kemudian kami ketahui bahwa Banyubiru berada dalam kesulitan.
Mula-mula kami tidak pasti, apa yang menyebabkan. Tetapi terasa
adanya ketegangan dalam pemerintahan rakyat Banyubiru
seakan-akan kehilangan pegangan. Kehilangan kiblat. Pada saat
yang demikian itulah Baginda menganggap Gajah Sora harus
kembali ketanahnya. Harus kembali kepada ayahnya yang sedang
berjuang mati-matian untuk menegakkan kembali apa yang
dimilikinya. Sora Dipayana telah berjuang hampir sepanjang
umurnya untuk persatuan dan kemerdekaan tanah perdikan ini.
Pada saat-saat yang demikian, kami ketahui pula, bahwa orang-
orang dari golongan hitam telah memancing di air keruh. Dan inilah
bahaya yang sebenarnya, yang akan mengancam Banyubiru,
Pamingit dan bahkan Demak. Karena itu, akhirnya Gajah Sora
akan diserahkan kembali, kembali kepada Ki Ageng Sora Dipayana.
Yang mempercepat tindakan Baginda adalah berita terakhir
yang sampai di Demak, bahwa Banyubiru terancam perang
saudara. Antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perang yang telah
lama dinanti-nantikan oleh golongan hitam. Perang yang akan
menumpas seluruh kehidupan rakyat Banyubiru dan Pamingit.
Perang yang akan memadamkan samasekali nyala api yang pernah
dikobarkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana di atas tanah perdikan
Pangrantunan.”
Paningron diam sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam,
kemudian tangannya meraih mangkuk, dan meneguk seteguk air
jahe yang hangat.
“Agaknya kalangan istana sudah mengetahui semua yang
terjadi di Banyubiru” sela Mahesa Jenar.
“Tidak seluruhnya,” sahut Paningron, “Utusan dan bahkan
pejabat-pejabat rahasia dari Demak berkeliaran di Banyubiru dan
Pamingit.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 87
Mahesa Jenar tersenyum. Seharusnya ia sudah memaklumi
sebelumnya. Seharusnya ia kenal, bagaimana orang-orang seperti
Paningron dan kawan-kawannya bekerja. Kadang-kadang mereka
dijumpainya seperti penjual daun, penjual kayu dan sayur-
sayuran. Kadang-kadang mereka ditemuinya sebagai seorang
saudagar yang kaya raya, yang menjelajah kampung untuk
mencari dagangan.
Sejenak kemudian Paningron meneruskan, “Tetapi hubungan
antara Demak dan Banyubiru tidaklah semudah yang kita
kehendaki. Itulah sebabnya, kadang-kadang kita terlambat
berbuat sesuatu. Itu pulalah sebabnya kali ini kami terlambat juga.
Untunglah bahwa pertempuran antara laskar Arya Salaka dan
laskar Pamingit itu di Banyubiru dapat dihindarkan.”
“Aku yakin akan hal itu,” potong Ki Ageng Gajah Sora, “Selama
Arya masih berada di dekat adi Mahesa Jenar.”
“Aku hampir tak berdaya,” jawab Mahesa Jenar, “Pertempuran
itu sudah berada di ujung hidung Arya Salaka. Untunglah Ki Ageng
Sora Dipayana berusaha sekuat tenaga. Lebih dari itu agaknya
Tuhan telah mengambil keputusan, bahwa Banyubiru dan Pamingit
akan diselamatkan dari bencana kemusnahan.”
“Kakang benar,” sahut Gajah Alit, “.”Kalau pertempuran itu tak
dapat dicegah, di atas bangkai rakyat Banyubiru dan Pamingit akan
menari-nari rianglah tokoh-tokoh golongan hitam dari daerah yang
berserak-serak itu. Dari Gunung Tidar, Nusakambangan, Rawa
Pening, Mentaok dan Lembah Gunung Cerme
Demikianlah kemudian pembicaraan mereka berkisar dari satu
soal ke soal lain. Bahkan kemudian Paningron dan Gajah Alit tidak
dapat menyembunyikan kekaguman mereka atas Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, katanya, “Tak seorang pun yang mampu
membunuh Nagapasa dan Sima Rodra seorang diri. Namun Kakang
Kebo Kanigara dan Kakang Mahesa Jenar telah melakukan hal itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 87
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. “Adakah Adi melihat
peristiwa itu?”
“Kami tidak,” jawab Gajah Alit, “Tetapi orang-orang kami
menyaksikan, setidak-tidaknya mendengar kabar tentang
perisitwa itu. Juga kami telah mendengar, bahwa Arya Salaka telah
mampu bertempur seorang melawan seorang dengan Lawa Ijo.
Sungguh suatu kemajuan di luar dugaan ayahnya. Itulah agaknya
yang mendorong Kakang Gajah Sora untuk menilai sendiri
kemampuan Arya Salaka itu.”
Mahesa Jenar tersenyum.
Gajah Sora pun kemudian bercerita, bagaimana mereka
bertiga bergegas untuk sampai ke Banyubiru, ketika mereka
mendengar bahwa keadaan Banyubiru sudah sedemikian gawat.
Namun mereka terlambat. Meskipun demikian mereka berlega
hati. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran justru antara
laskar Banyubiru bersama-sama dengan laskar Pamingit melawan
laskar golongan hitam di Pamingit. Mereka jumpai Banyubiru telah
kosong. Karena itu merekapun segera pergi ke Pamingit. Namun
pertempuran di Pamingit itupun telah selesai. Seorang petugas
yang ditanam oleh Paningron melaporkan, bahwa Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka justru pergi ke Banyubiru, karena
Pasingsingan mendahului mereka.
“Nah, Adi Mahesa Jenar....” tanya Gajah Sora kemudian,
“Bagaimana dengan Pasingsingan?”
Kemudian Mahesa Jenar lah yang bercerita. Pasingsingan
terbunuh oleh Pasingsingan.
“Cerita tentang Pasingsingan itu panjang, Kakang,” kata
Mahesa Jenar kemudian, “Lain kali akan aku ceritakan
selengkapnya. Kepada Kakang, kepada Ki Ageng Sora Dipayana,
Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten, dan yang lain-lain.”
“Mereka juga belum mengetahui?” tanya Gajah Sora.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 87
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Belum. Belum
seorang pun yang tahu.”
Sejenak merekapun berdiam diri. Dalam saat-saat yang
demikian, Mahesa Jenar mengamat-amati pakaian yang dikenakan
oleh Gajah Alit dan Paningron. Ia menarik nafas panjang.
Pakaiannya seperti yang dipakai Gajah Alit itupun pernah
dipakainya. Pakaian perwira pengawal raja. Beskap hitam, sabuk
kuning keemasan dan ikat kepala biru. Kain panjang, sapit urang,
celana hitam berpelisir kuning. Sebilah keris berwarangka emas
terselip di pinggangnya. Sedang Paningron pun memakai pakaian
kebesarannya. Mirip dengan pakaian Gajah Alit, tetapi ia tidak
berikat pinggang kuning, stagennya agak berwarna emas dengan
permata yang berkilat-kilat. Juga di pinggang Paningron terselip
sebilah keris dengan warangka gayaman.
Tetapi ketika Mahesa Jenar sedang berangan-angan,
berkatalah Gajah Sora, “Adi Mahesa Jenar, banyak yang ingin aku
ketahui, dan banyak yang ingin aku dengarkan, tetapi baiklah lain
kali kami lanjutkan. Aku sudah rindu menyampaikan sujud kepada
Ayah, Sora Dipayana.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku kira
demikian sebaiknya. Wulungan akan bersama-sama dengan kita.”
“Meskipun demikian....” Gajah Sora meneruskan, “Adi
Paningron mempunyai satu kepentingan lain, yang barangkali Adi
Mahesa Jenar mengetahuinya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, ia bertanya, “Apakah
itu?”
“Tidak begitu penting,” sahut Paningron.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk kecil. Ia menunggu
persoalan apa pula yang dibawa oleh Paningron ini. Apakah
tentang dirinya, atau yang lain?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 87
Paningron memandang kepada Gajah Alit. Belum lagi
mendengar sepatah kata pun, ia telah mengangguk-angguk.
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, “Tidak penting,
Kakang.”
Mahesa Jenar menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hati.
Kemudian berkatalah Paningron, “Ada dua masalah yang akan
aku katakan. Sengaja aku simpan sampai aku berhadapan dengan
Kakang Mahesa Jenar. Hal ini Kakang Gajah Sora sendiri pun belum
mengetahuinya.”
“Apakah soalnya?” sela Mahesa Jenar.
“Yang pertama,” sahut Paningron, “Adalah Kakang Mahesa
Jenar dapat mengatakan kepada kami, bagaimanakah bentuknya
orang yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten.”
Mahesa Jenar menjadi ragu. Ia sekarang tahu pasti siapakah
orang yang mengambil pusaka-pusaka itu. Tetapi sebelum
menjawab, terdengar Gajah Sora berkata, “Telah aku katakan.
Orang itu berjubah abu-abu.”
“Adakah orang itu berhubungan dengan cerita Pasingsingan
yang terbunuh oleh Pasingsingan?” tanya Paningron pula.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Akhirnya ia menjawab,
“Tidak. Pasingsingan yang membunuh Pasingsingan bukanlah
orang itu.”
Paningron mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia
memandang kawannya yang gemuk bulat. Katanya, “Soal itu perlu
juga aku sampaikan.”
“Silahkan Kakang” jawab Gajah Alit sambil tersenyum.
“Adakah orang lain di rumah ini?” tanya Paningron. Mahesa
Jenar memandang berkeliling. Rara Wilis dan Endang Widuri tidak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 87
nampak sejak tadi. Wulungan yang mengerti maksud Mahesa
Jenar, berkata, “Mereka sudah tidur sejak tadi.”
“Siapa?” sahut Paningron.
“Anakku,” jawab Kebo Kanigara.
“O, tak apalah.” Paningron meneruskan, “Aku akan berkata
tentang Nagasasra dan Sabuk Inten.” Tetapi ia berhenti. Dengan
sudut matanya ia memandang ke arah Wulungan.
“Berkatalah,” desak Mahesa Jenar, “Orang itu bisa kita
percaya.”
“Sebelum ceritaku sampai pada masalah yang kedua,” kata
Paningron, “Kami mengetahui sesuatu tentang pusaka-pusaka
itu.”
Gajah Sora dan Mahesa Jenar mengerutkan alisnya, sedang
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam.
“Ini juga salah satu sebab yang menentukan, bahwa Baginda
benar-benar yakin, bahwa Kakang Gajah Sora tidak menyimpan
pusaka-pusaka itu.” Paningron meneruskan, “Pada suatu saat,
Kakang Arya Palindih melihat seseorang membawa kedua pusaka
itu.”
Gajah Sora terkejut mendengar kata-kata itu, tetapi Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar.
“Siapakah orang itu?” tanya Gajah Sora.
“Seperti yang kau katakan,” jawab Paningron, “Berjubah abu-
abu. Orang itu datang kepada Arya Palindih, berkata kepadanya,
apakah Kakang Palindih pernah melihat benda-benda yang
dibawanya. Ternyata benda-benda itu adalah Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten.”
“Hem....” Gajah Sora berdesis.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 87
“Tentu saja Kakang Arya Palindih bertanya kepadanya,
darimana pusaka-pusaka itu didapatnya. Dan orang itu berkata
terus terang bahwa keduanya diambil dari Banyubiru,” Paningron
meneruskan. “Tetapi ketika kedua pusaka itu diminta oleh Kakang
Palindih, orang itu berkeberatan. Sehingga akhirnya terpaksa
Kakang Palindih mencoba memaksanya. Tetapi orang itu luar
biasa. Kakang Palindih tak mampu melawannya. Dan kedua
pusaka itu lenyap kembali.”
Gajah Sora menggeram.
Namun Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara berpikir, “Pasti, tak
seorang pun mampu menang-
kapnya.”
“Tetapi...” kata Paningron,
“Bahwa Kakang Gajah Sora
terbukti tidak bersalah, Kakang
Palindih menjadi yakin kare-
nanya. Dan ini adalah salah
satu sebab pula yang meya-
kinkan Baginda.”
Paningron berhenti seje-
nak. Diteguknya wedang jahe
di mangkuknya. Kemudian ia
meneruskan, “Tetapi kemudian
orang itu muncul kembali.”
“Kapan?” bertanya Gajah Sora
“Dan inilah cerita yang kedua,” sahut Paningron, “Ketika
seorang prajurit diusir dari istana, maka beberapa orang mendapat
tugas untuk mengamat-amatinya sampai beberapa saat. Kalau-
kalau orang baru itu berbuat sesuatu.”
“Kenapa diusir?” tanya Mahesa Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 87
“Seorang anak muda yang perkasa,” jawab Paningron. “Tak
seorang pun seangkatannya yang dapat menyamai keper-
wiraannya. Ia diketemukan oleh Baginda di halaman masjid, ketika
Baginda hendak bersembahyang. Anak muda itu sedemikian
tergesa-gesa, sehingga ia dapat meloncat mundur sambil
berjongkok melampaui sendang di halaman masjid itu.”
Berdebarlah dada Kebo Kanigara mendengar cerita itu. Ia tahu
bahwa kecakapan yang demikian itu jarang-jarang dimiliki oleh
seseorang. Namun ia tidak bertanya.
“Karena kecakapannya....” Paningron melanjutkan, “Dalam
waktu yang singkat, ia telah diangkat menjadi pimpinan kelompok
Wira Tamtama dengan anugrah pangkat Lurah. Tetapi sayang,
bahwa ia kemudian berbuat suatu kesalahan.”
“Apakah kesalahannya?” tanya Mahesa Jenar.
“Ia telah membunuh seseorang yang bernama Dadung
Ngawuk” jawab Paningron.
“Membunuh orang?” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Apa
soalnya?”
“Orang baru, yang mencoba memasuki Wira Tamtama. Namun
orang itu terlalu sombong. Maka anak muda itupun marah dan
dibunuhnya Dadung Ngawuk dengan sadak kinang” jawab
Paningron. Mendengar jawaban itu Gajah Alit tertawa. Bahkan ia
hampir tak dapat menahan suara tertawanya itu. Mula-mula yang
melihat Gajah Alit itu tertawa, menjadi heran, namun akhirnya
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora mengetahuinya,
“Membunuh dengan sadak kinang.”
Paningron tersenyum, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tersenyum pula. Namun Arya Salaka menjadi tegang. Ia tak tahu
kenapa mereka tertawa karenanya.
Tetapi tiba-tiba Gajah Alit berhenti tertawa. Alisnya berkerut
dan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Tanpa disengajanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 87
ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip. Paningron dan
Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi tegang.
Tetapi sesaat kemudian, juga Paningron seperti orang yang
tersentak dari mimpinya. Bahkan terlontar dari mulutnya, “Oh!”
Kebo Kanigara menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tak apa-
apa Adi. Aku sudah menduga, bahwa anak itu akan kambuh
kembali.”
Mahesa Jenar masih belum tahu apa yang terjadi, apalagi Arya
Salaka dan Wulungan. Sehingga akhirnya Kebo Kanigara bertanya,
“Bukankah anak muda itu bernama Mas Karebet?”
Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut. Namun tanggapan
mereka berbeda-beda. Arya Salaka terkejut, karena sahabatnya
itu terpaksa membunuh seseorang tanpa dipikirkan akibatnya.
Sehingga ia terpaksa diusir dari istana. Sedang Mahesa Jenar
terkejut karena Mas Karebet telah membunuh Dadung Ngawuk
dengan sadak kinang. Ia mengurai lebih jauh keterangan itu.
Sehingga Baginda mengusirnya dari istana.
Akhirnya Paningron berkata, “Maafkan kakang Kebo Kanigara,
aku tadi lupa bahwa Mas Karebet, yang disebut juga Jaka Tingkir
adalah putra Ki Kebo Kenanga, dan bukankah kakang Kebo
Kanigara itu kakak Kebo Kenanga?”
“Tak apalah. Justru aku berterima kasih kepada adi berdua.
Dengan demikian aku tahu apa yang dilakukan oleh anak itu” kata
Kebo Kanigara. “Siapakah Dadung Ngawuk itu?” ia bertanya.
Paningron memandang Arya sesaat, kemudian ia menjawab
perlahan-lahan, “Simpanan Baginda.”
“Hem....” Kebo Kanigara menggeram. Namun Arya Salaka
menjadi semakin bingung. “Bukankah Dadung Ngawuk itu seorang
yang sombong, yang melamar menjadi seorang Wira Tamtama?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 87
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Ia tidak berkata
sepatah katapun. Dengan sudut matanya, ia melihat Kebo
Kanigara menjadi pucat dan pada dahinya mengalirlah keringat
dingin.
“Tetapi,” Paningron meneruskan, “Bukan seluruhnya
kesalahan Jaka Tingkir. Dadung Ngawuk lah yang memancing-
mancing keonaran. Memang Jaka Tingkir terlalu tampan. Dan
Baginda terlalu kasih dan percaya kepada Lurah Wira Tamtama
yang baru itu. Bahkan lebih daripada Nara Manggala seperti Adi
Gajah Alit itu.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya,
“Kemudian apakah yang ingin adi berdua ketahui dari kami?”
“Kami mendengar berita terakhir, Mas Karebet berada di
Banyubiru” jawab Paningron.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi ragu. Demikian pula
Arya Salaka. Memang Karebet pernah muncul di Banyubiru.
Namun mereka berdiam diri.
“Mungkin kakang berdua tak mengetahuinya” kata Gajah Alit.
Sesaat suasana menjadi sepi. Masing-masing tenggelam
dalam angan-angan sendiri.
Kemudian terdengar Paningron meneruskan, “Keluarga
terdekat Dadung Ngawuk marah kepada Mas Karebet. Mereka
berusaha untuk membunuhnya. Sebab dengan demikian mereka
telah kehilangan harapan. Keluarga mereka yang ingin
menompang mukti. Tetapi Mas Karebet bukan anak-anak yang
dapat dibunuh seperti membunuh cacing. Ketika pada suatu saat,
beberapa orang keluarga Dadung Ngawuk berhasil menemukan
anak muda itu, maka mereka beramai-ramai mengeroyoknya.
Pada saat itulah orang berjubah abu-abu itu muncul. Tak
seorangpun mampu melawannya. Bahkan orang berjubah itu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 87
berkata, Jangan bunuh anak muda ini. Seorang Wali yang Waskita
berkata, bahwa ia akan merajai pula Jawa.”
Kembali mereka berdiam diri. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya. Sedang Arya Salaka sibuk
menebak. Namun ia gembira, kalau benar apa yang diucapkan Wali
yang Waskita itu, maka sahabatnya akan menjadi raja. Sedang
Wulungan samasekali tak mengetahui ujung dan pangkal
pembicaraan itu.
Angin malam bertiup semakin kencang. Kini udara sudah tidak
terlalu panas. Awan di langit perlahan-lahan telah hanyut disapa
angin pegunungan.
Akhirnya, merekapun merasakan kelelahan yang merayapi
tubuh-tubuh mereka. Maka mereka berkeputusan untuk menunda
cerita mereka sampai besok. Kini mereka perlu beristirahat.
Namun meskipun mereka berbaring, tetapi angan-angan
mereka masing-masing masih membumbung tinggi. Kebo
Kanigara membayangkan betapa kemenakannya itu melakukan
pelanggaran di halaman istana. “Ah,” pikirnya, “benar-benar anak
nakal. Penyakitnya itu setiap saat dapat muncul dengan tiba-tiba.
Seharusnya ia menghindari kesalahan ini, meskipun ia tidak
bersalah seluruhnya”
Sedang Arya Salaka sibuk membayangkan masa depannya
disamping masa depan sahabatnya yang gemilang. Namun ia tidak
iri hati. Kalau ia dapat kembali ke tanah pusakanya, maka ia telah
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kini
ayahnya telah kembali kepadanya. Namun terdengar ia berdesah.
Ia belum berhasil menemukan ibunya. Ia masih belum berani
menyinggung-nyinggung keselamatan ibunya kepada ayahnya.
Sebab ia masih belum menemuinya. Meskipun ia melihat
pertanyaan tentang ibunya itu memancar dari rongga mata
ayahnya, namun agaknya ayahnyapun berusaha menahan diri, di
hadapan orang-orang lain ini.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 87
Memang demikianlah pertanyaan tentang isterinya itu
melingkar-lingkar di hati Gajah Sora. Namun ia agak malu untuk
melahirkannya.
Yang melayang-layang di dalam angan-angan Mahesa Jenar
adalah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Kalau orang
berjubah abu-abu itu berkata bahwa Jaka Tingkir kelak akan
merajai pulau Jawa, bagaimanakah dengan kedua pusaka itu?
Apakah oleh Panembahan Ismaya, kedua pusaka itu akan
diserahkan kepada Mas Karebet sebagai sipat kandel, dan apakah
kedua pusaka itu akan luluh dalam dirinya. “Aku akan
menanyakannya ke Karang Tumaritis kelak,” pikirnya. “Sekarang
biarlah aku mengantar Arya sampai ke tempatnya. Tanah perdikan
Banyubiru.”
Meskipun angan-angan mereka bertentangan kian kemari,
namun mereka tetap berbaring diam.
Wulungan tidak ikut berbaring dengan mereka, tetapi ia berdiri
dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah api di pojok desa, dan
ia berbaring di antara anak buahnya. Kepada anak buahnya
diceritakannya apa yang dilihatnya, bahwa Ki Ageng Gajah Sora
telah kembali diantar oleh dua orang prajurit istana.
Sisa malam berjalan dengan tenangnya, dibungai oleh bintang
pagi di tenggara, bertengger di atas punggung bukit. Mereka yang
berbaring di bale-bale besar itupun telah lelap dibuai mimpi.
Tetapi mereka tidak tidur terlalu lama. Pagi-pagi benar,
sebelum cahaya matahari memancar dari balik cakrawala, mereka
telah bangun. Setelah bersembahyang Subuh, segera mereka
bersiap-siap untuk pergi ke Pamingit. Wulunganpun segera
mempersiapkan diri beserta beberapa orang laskarnya, untuk
mengantar Mahesa Jenar dan kawan-kawannya ke Pamingit dan
kini bahkan bertambah dengan Ki Ageng Gajah Sora, Paningron
dan Gajah Alit.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 87
Rara Wilis dan Widuri pun terkejut bercampur gembira ketika
mereka mengetahui bahwa ayah Arya Salaka telah kembali dengan
selamat.
Perjalanan di pagi yang segar itu terasa sangat
menggembirakan bagi Widuri. Kudanya kadang-kadang berpacu
mendahului, kadang-kadang berlari berputar di lapangan rumput
terbuka mengejar kelinci yang berkeliaran. Arya Salaka pun
sebenarnya tidak kalah gembiranya. Sebenarnya ia ingin berpacu
pula, mengejar kuda Endang Widuri, tetapi ia tidak tahu, perasaan
apa yang telah mencegahnya.
Gajah Sora yang melihat gadis itu dengan lincahnya seolah-
olah menari-nari di atas punggung kuda menjadi heran. Alangkah
lincah dan tangkasnya. “Ah, tidaklah aneh,” bisik hatinya,
“Ayahnya, Kakang Kebo Kanigara telah mampu membunuh
Nagapasa.” Dan tiba-tiba saja hatinya menjadi sangat tertarik
pada gadis itu. “Sayang,” hatinya berbisik terus, “Aku tak punya
anak gadis seperti itu.”
Tetapi ia tidak kalah bangga melihat Arya Salaka yang duduk
tenang di atas kuda di sampingnya. Anak itu tampak kokoh, kuat
seperti Mahesa Jenar. Kalau dahulu, di gunung Tidar,
kematangannya dalam menerapkan ilmu Lebur Saketi, satu lapis
lebih tinggi dari Mahesa Jenar, maka kini ia yakin, bahwa anaknya
sudah tak dapat dikalahkannya. Ilmunya sendiri, hampir tak
berubah selama ia berada di Demak. Tetapi ia tidak menyesal. Bagi
tanah perdikannya, Arya Salaka sudah akan mampu dibujur-
lintangkan apabila ada mara bahaya datang. Terhadap Mahesa
Jenar pun, ia tak habis heran, dari mana ia dapat mematangkan
ilmunya sehingga ia mampu membunuh Sima Rodra?
Tak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu.
Sebenarnya mereka masing-masing ingin segera sampai, tapi tak
seorang pun yang berkesan tergesa-gesa. Mereka berusaha
menahan perasaan masing-masing.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 87
Ketika mereka sampai di Jatisari, mereka melihat desa ini
masih sepi. Beberapa rumah tampak rusak. Ketika mereka sampai
di sebuah rumah yang lebih besar daripada rumah-rumah yang
lain, Wulungan berkata kepada Mahesa Jenar, “Baiklah aku melihat
rumah Bahu Jatisari ini.”
“Lihatlah,” jawab Mahesa Jenar, “Rumah itu masih tampak
sepi.”
Ketika Wulungan membelokkan kudanya masuk ke halaman
rumah Bahu Jatisari, rombongan itupun berhenti menunggu.
Beberapa orang laskar anak buah Wulungan ikut masuk ke
halaman rumah itu. Mereka berloncatan turun dari kuda mereka,
dan bersama-sama dengan Wulungan memasuki rumah itu. Tidak
lama kemudian mereka telah keluar kembali. Tampak wajah
mereka membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
“Apa yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar, ketika Wulungan
telah berada di dalam rombongan itu kembali.
“Perampokan yang biadab,” jawab Wulungan, “Rumah itu telah
hampir kosong. Orang-orang golongan hitam telah
merampoknya.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata
apa-apa. Yang berkata kemudian Ki Ageng Gajah Sora, “Kasihan
rakyat Pamingit.”
Sesaat kemudian rombongan itu melanjutkan perjalanan. Di
sepanjang jalan mereka melihat bekas-bekas keganasan
gerombolan hitam yang telah menunggu daerah perdikan
Pamingit. Juga di sepanjang jalan mereka ketemukan bekas-bekas
rakyat Pamingit yang mengungsi. Widuri yang berkuda paling
depan, meloncat turun dari kudanya, ketika dilihatnya sebuah
golek terkapar di tanah.
“Apa yang kau ambil itu?” tanya ayahnya, Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 87
“Golek,” jawab Widuri. “Anak yang mempunyai golek ini mesti
mencarinya. Mungkin pada waktu itu ia didukung oleh ibunya
berlari-lari, menghindarkan diri dari api peperangan. Semalam
suntuk anak itu pasti menangis mencari goleknya ini.”
“Kepada siapa golek itu akan kau kembalikan?” tanya ayahnya.
“Di pengungsian akan aku ketemukan,” jawab Widuri, “Gadis
kecil yang manis.”
Ayahnya tersenyum. Sebagai seorang gadis Widuri pun perasa,
ia bersedih hati kalau ia melihat orang lain meneteskan air mata.
Dan ia akan tertawa kalau ia melihat orang lain bergembira.
Golek kecil itupun diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan lincahnya ia meloncat ke atas punggung kuda. Dan Widuri
pun berpacu kembali.
Setiap orang di dalam rombongan itu menyaksikan dengan
sedih akibat keganasan gerombolan orang-orang dari golongan
hitam, yang datang dari berbagai daerah untuk merusak sendi-
sendi kehidupan di Pamingit. Tetapi Tuhan Maha Adil. Hampir
seluruh tokoh-tokoh mereka itu dapat dihancurkan. Dengan
demikian mereka tak akan mampu lagi untuk kembali mengadakan
keributan, apalagi mimpi mereka tentang Kyai Nagasasra dan
Sabuk Inten.
Sebenarnya jarak dari Pangrantunan ke Pamingit tidaklah
begitu jauh. Dalam kecepatan sedang, jarak itu dapat ditempuh
dalam setengah hari. Tapi rombongan ini tidak berjalan ajeg.
Berkali-kali mereka harus berhenti, kalau mereka melihat sesuatu
yang tidak pada tempatnya. Bahkan sekali dua kali ditemuinya
mayat yang masih belum terurus. Dengan demikian mereka harus
berhenti dan melaksanakan pemakaman sebagaimana
seharusnya. Karena itu maka perjalanan rombongan itu menjadi
lambat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 87
Ketika matahari telah jauh condong di sisi barat dan cahaya
merah berpancaran di wajah langit yang kelabu, berdebar-
debarlah setiap jantung semua orang dari rombongan itu. Di
hadapan mereka, terbujur sebuah desa Banjar Panjang. Itulah
Pamingit. Tanpa sengaja perjalanan rombongan itu menjadi kian
cepat. Dan dari mulut ke mulut, Ki Ageng Gajah Sora terdengar
bergumam, “Pamingit!”
Kebo Kanigara yang mendengar gumam itu menoleh kepada
Ki Ageng Gajah Sora, tetapi sesaat kemudian pandangan matanya
berkisar pada anaknya.
“Widuri.....” Ia memanggil.
Widuri menarik tali kekang kudanya. Dan ketika ia sudah
sampai berada di samping ayahnya, terdengarlah ayahnya
berkata, “Widuri, itulah Pamingit.”
Tetapi kata-kata itu agaknya tak berkesan di hati Widuri.
Berbeda dengan pada saat ia pertama kali melihat pedukuhan di
lereng bukit Telamaya. Terhadap Pamingit itu, ia merasa tidak
berkepentingan samasekali. Ia datang kemari karena ayahnya
datang kemari pula. Berbeda dengan perasaan-perasaan orang
lain, apalagi Mahesa Jenar. Di Pamingit nanti akan ditemuinya
semua orang yang diperlukan untuk menempatkan kembali batas
antara Banyubiru dan Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
Lembu Sora, dan Ki Ageng Gajah Sora. Adalah suatu kebetulan
bagi Arya Salaka, bahwa Demak merasa perlu untuk mengirimkan
orang-orangnya yang akan dapat menjadi saksi pertemuan itu.
Selain Mahesa Jenar, Rara Wilis pun diganggu oleh angan-
angannya sendiri. Ia tidak tahu benar persoalan-persoalan apa
yang akan dapat dipecahkan di Pamingit, tapi firasatnya
mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
Mahesa Jenar hampir selesai. Ia tidak tahu bagaimana dengan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Namun ia berdoa
di dalam hati, mudah-mudahan segera ia dapat menikmati
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 87
cerahnya matahari. Tiba-tiba tanpa disadarinya, Rara Wilis
menghitung-hitung umurnya sendiri. Gadis-gadis desanya yang
sebaya dengan dirinya pada umumnya telah mempunyai dua tiga
orang anak. Mengingat hal itu hatinya menjadi berdebar-debar.
Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba mengusir angan-
angannya yang mengganggunya itu.
Mereka kini telah hampir memasuki pusat pemerintahan.
Tanah Perdikan Pamingit. Ternyata daerah inilah yang paling
banyak mengalami bencana. Mereka menyaksikan rumah-rumah
penduduk dan banjar-banjar desa menjadi reruntuhan dan abu.
Namun meskipun demikian daerah ini telah banyak penghuninya.
Rumah-rumah yang masih tegak telah dipenuhi oleh para
pengungsi.
Sekarang Wulungan yang berkuda paling depan. Terdengar
giginya gemeretak menahan marah. Terasa jantungnya hendak
meledak ketika melihat daerahnya menjadi hancur. Tapi tak satu
pun yang dapat dilakukan. Apalagi ketika di hadapannya
terbentang halaman bekas rumah kepala daerah perdikan
Pamingit, di samping alun-alun. Halaman itu kini telah rata. Tak
sebatang tiangpun yang masih tegak, yang dapat mengangkat
kemewahan rumah ini pada masa lampau.
Rombongan itu berhenti di regol halaman. Mereka diam
membisu. Hanya pandangan mata merekalah yang menyapu
pemandangan yang mengerikan itu.
Ketika tiba-tiba Wulungan melihat dua orang laskar Pamingit
muncul menyongsong rombongan itu, Wulungan bergegas-gegas
menemui mereka.
“Di manakah Ki Ageng?” tanya Wulungan.
“Di banjar desa sebelah,” jawab salah seorang dari kedua
orang itu. “Marilah ikut kami.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 87
Kemudian, kedua orang itupun berjalan bergegas-gegas ke
arah yang ditunjukkan, sedang Wulungan dan seluruh rombongan
mengikutinya. Mereka menyusup lewat jalan sempit dan langsung
memotong arah.
Matahari telah tenggelam di balik bukit. Dari kejauhan tampak
nyala api pelita, memancar dari lubang pintu.
“Itulah banjar desa yang masih separo tegak,” kata orang yang
menjemput rombongan itu. Sekali lagi terdengar Wulungan
menggeram. Ia sendirilah yang memimpin pembangunan banjar
desa itu, dahulu. Demikianlah akhirnya rombongan itu memasuki
halaman banjar desa.
Ketika mereka yang ada di dalam banjar desa itu mengetahui
kedatangan rombongan itu, segera merekapun menyambutnya.
Yang pertama-tama melampaui telundak pintu, adalah seorang tua
yang bertubuh kecil. Ki Ageng Sora Dipayana. Ia terkejut, ketika
di dalam gelap dilihatnya sebuah rombongan yang agak besar.
Kepada Wulungan, yang berada di paling depan, orang tua itu
berkata, “Rombonganmu menjadi besar, Wulungan?“
“Sebuah oleh-oleh yang tak terduga-duga, Ki Ageng,” jawab
Wulungan.
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak perlu bertanya untuk kedua kalinya, sebab segera Ki Ageng
Gajah Sora meloncat turun dari kudanya, dan langsung meloncat
sujud di kaki ayahnya.
“Kau....” desis orang tua itu. Betapa ia terkejut, dan betapa
darahnya serasa mengalir semakin cepat.
“Gajah Sora, Ayah,” jawab Gajah Sora.
“Hem...” orang tua itu menggeram. Diangkatnya wajahnya
menengadah ke langit. Terasa sesuatu di pelupuk matanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 87
“Kau telah diperkenankan pulang kembali?” tanya ayah yang
bahagia itu.
“Ya, Ayah,” jawab Gajah Sora.
Orang Tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keremangan
ujung malam. Dilihatnya dua orang gadis dan dua orang asing
dalam rombongan itu. Menilik pakaiannya, kedua orang asing itu
agaknya dua orang yang datang dari Demak. Karena itu Ki Ageng
Sora Dipayana menyapanya dengan hormat, “Adakah Anakmas
berdua datang bersama-sama dengan anakku, Gajah Sora?”
Paningron dan Gajah Alit yang juga sudah turun dari kudanya
seperti yang lain juga, membalas hormat bersama-sama.
Kemudian terdengar Gajah Alit menjawab, “Benar Ki Ageng. Kami
datang bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerenyitkan alisnya. Timbullah
seleret kebimbangan di dalam hatinya. Apakah anaknya Gajah
Sora masih perlu diawasi? Namun tak sepatah kata pun
pertanyaan yang melontar dari mulutnya. Yang kemudian
dilakukan oleh orang tua itu adalah mempersilakan tamu-tamunya
masuk ke dalam banjar desa yang telah tidak utuh lagi itu.
II
Maka duduklah mereka berdesak-desakan di dalam ruangan
yang sempit. Ki Ageng Sora Dipayana dengan beberapa orang
Pamingit bersama-sama dengan tamu-tamu mereka.
Rara Wilis sejak kedatangannya, sebenarnya ingin melihat,
apakah kakeknya benar-benar berada di Pamingit, namun orang
tua itu belum dilihatnya berada di antara mereka.
Setelah mengucapkan selamat datang, maka berkata Ki Ageng
Sora Dipayana, “Ruangan ini kami pergunakan untuk sementara.
Rumah-rumah yang lain telah musnah dimakan api. Karena itulah
maka kami terpaksa berpencaran. Kami menempati pondok-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 87
pondok yang tersebar. Kami baru memberitahukan kepada
sahabat-sahabat kami, bahwa Anakmas Mahesa Jenar, Anakmas
Kebo Kanigara, bahkan Gajah Sora dan tamu-tamu kami yang lain
telah datang. Kalau mereka bersama-sama kemari akan sesaklah
ruangan sesempit ini. Juga Lembu Sora dan pimpinan-pimpinan
laskar Banyubiru telah kami panggil.”
Dan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu
ternyata terbukti kemudian. Terdengarlah dari beberapa jurusan
suara langkah tergesa-gesa. Beberapa orang datang berturut-turut
dan berdesak-desakkan di muka pintu. Mereka adalah orang-orang
Banyubiru. Di antaranya tampak Bantaran, Panjawi, Jaladri,
Sendang Papat dan yang lain-lain. Mereka hampir tidak percaya
ketika seseorang mengatakan kepada mereka, bahwa bersama-
sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah datang pula Ki
Ageng Gajah Sora.
Agaknya Ki Ageng Gajah Sora tanggap pada keadaan. Ia tidak
bisa mempersilakan mereka masuk karena ruangan yang sempit.
Karena itu segera ia berdiri dan melangkah ke pintu.
Orang-orang Banyubiru itu rasa-rasanya seperti sedang
bermimpi, ketika mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora benar-
benar berdiri di hadapannya. Ketika kemudian mereka tersadar,
berebutlah mereka mengulurkan kedua tangan mereka, untuk
menyambut salam kepala daerah perdikan mereka yang mereka
kasihi. Mereka menyambut tangan Ki Ageng Gajah Sora dengan
penuh gairah, seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi.
Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi terharu melihat kesetiaan
anak buahnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara para pemimpin laskar
Banyubiru itu seperti seribu burung bersama-sama berkicau,
berebut dahulu bertanya tentang seribu satu macam persoalan dan
pengalaman Ki Ageng Gajah Sora. Sambil tersenyum Ki Ageng
Gajah Sora menjawab, “Ceritaku akan panjang sekali. Besok
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 87
sajalah aku ceritakan kepada kalian. Yang pasti bagi kalian
sekarang, bahwa aku telah tiba kembali dengan selamat di
hadapan kalian, tanpa cacat dan tanpa cidera. Aku datang seperti
saat aku pergi.”
Beberapa orang Banyubiru itu belum puas mendengar jawaban
yang hanya terlalu pendek. Mereka masih ingin mendengar uraian
Ki Ageng Gajah Sora tentang dirinya lebih panjang lagi. Tetapi
sekali lagi sambil tersenyum Ki Ageng Gajah Sora berkata, “Kalau
kalian sedang haus sekali, janganlah minum terlalu banyak, kalau
kalian lagi lapar sekali, janganlah makan terlalu banyak.”
“Ah,” terdengar mereka bergumam. Tetapi akhirnya mereka
pun sadar, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan dapat bercerita
dalam keadaan yang sedemikian.
“Duduklah dahulu,” Ki Ageng Gajah Sora meneruskan. “Di
halaman atau di emper banjar ini, nanti malam kita bisa
menghabiskan waktu kita sambil berbicara tentang apa saja.”
Kemudian orang-orang Banyubiru itupun meninggalkan pintu
itu. Mereka bertebaran di halaman, duduk di bawah pepohonan, di
akar-akar kayu dan di batu-batu. Sibuklah mereka dengan cerita
mereka masing-masing tentang Ki Ageng Gajah Sora. Mereka
mencoba menebak-nebak dan mereka-reka, apakah yang
sekiranya telah terjadi dengan kepala daerah Perdikan mereka.
Masih sesaat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di muka pintu. Ia
melihat anak buahnya duduk bertebaran di halaman. Di dalam
ruangan banjar terdengar percakapan yang riuh. Sekali Ki Ageng
Gajah Sora melemparkan pandangannya ke langit, awan yang tipis
mengalir dihembus angin yang lembut. Bintang-bintang menjadi
suram disaput oleh selapis mendung.
“Mudah-mudahan tidak turun hujan,” gumam Gajah Sora.
“Kalau terjadi demikian, alangkah susahnya. Apalagi di pondok-
pondok yang kecil yang ditempati bersama lima enam keluarga
beserta anaknya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 87
Tiba-tiba gumam Ki Ageng Gajah Sora terhenti, ketika
dilihatnya sesosok tubuh perlahan-lahan mendatangi banjar itu.
Sesosok tubuh yang tinggi besar, berdada bidang, hampir seperti
dirinya. Ia melihat bahwa orang yang mendatanginya itu agak
ragu. Sekali-kali langkahnya terhenti, tetapi kemudian
dilanjutkannya.
Gajah Sora mengangkat dahinya. Terbayanglah apa yang
selama ini dialami. Meskipun ia mendapat perlakuan yang baik,
namun sangat terbatas. Ia sudah tahu seluruhnya, peran apakah
yang dilakukan oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora. Dan yang
datang dengan ragu-ragu itu adalah adiknya.
Adiknya, yang dengan sengaja pernah menjerumuskannya ke
dalam suatu keadaan yang sulit. Ia tahu betul bahwa adiknya itu
bernafsu untuk memiliki kekuasaan yang lengkap, seperti apa
yang pernah dimiliki oleh ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana.
Wajah Ki Ageng Gajah Sora menjadi tegang sekali ketika
langkah Ki Ageng Lembu Sora terhenti. Hanya beberapa langkah
di hadapannya. Keduanya tegak seperti dua patung yang hampir
serupa, gagah, tegap dan kokoh. Orang-orang Pamingit dan
Banyubiru yang melihat peristiwa itu menjadi tegang pula. Mereka
tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa yang seharusnya mereka
lakukan.
Suara di dalam banjar desa yang tinggal separo itu masih riuh.
Terdengar suara Gajah Alit seperti air yang mengalir, diselingi oleh
gelak tertawanya yang menonjol daripada suara orang-orang lain.
Nadanya tinggi agak sumbang. Adalah pembawaannya sejak anak-
anak, apabila ia menjadi seorang periang dan senang berkelakar
dalam keadaan apapun. Paningron, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara hanya kadang-kadang saja terdengar tertawanya
menyentak, sedang Arya Salaka dan Rara Wilis tampak hanya
tersenyum-senyujum tertawa terkekeh-kekeh. Apalagi ketika
sekali lagi Gajah Alit menyinggung tentang Gajah Sora selama di
Demak.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 87
Widuri yang duduk bertentangan dengan lubang pintu, tidak
begitu tertarik pada cerita Gajah Alit. Hanya kadang-kadang saja
tertawa nyaring. Tetapi bukan karena ia mendengar cerita Gajah
Alit yang lucu, tetapi justru ia menertawakan bagaimana Senapati
Demak yang bulat pendek itu tertawa.
Tetapi, tiba-tiba Widuri pun menjadi bersungguh-sungguh
ketika ia melihat Ki Ageng Gajah Sora merenggangkan kakinya.
Sebagai seorang gadis yang terlatih dalam tata gerak bela diri, ia
melihat bahwa ada sesuatu di antara renggang kaki Gajah Sora,
juga sepasang kaki yang renggang.
Cepat-cepat Widuri
mengamit tangan ayahnya
sambil berbisik, “Ayah, kenapa
dengan Paman Gajah Sora?”
Kebo Kanigara segera
memaklumi. Ia dapat melihat
lewat samping kaki Gajah
Sora. Di dalam gelap,
dilihatnya seseorang yang
sudah dikenalnya, Ki Ageng
Lembu Sora.
Pertemuan itu menjadi
terganggu. Semua melihat
perubahan wajah Widuri dan
Kebo Kanigara. Dengan cemas
Ki Ageng Sora Dipayana ber-
tanya, “Ada apa Anakmas?”
“Putra Ki Ageng yang muda telah datang,” jawab Kebo
Kanigara.
Segera orang tua itu menangkap sasmita tamunya. Cepat ia
meloncat berdiri dan langsung melangkah ke luar pintu. Hampir
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 87
saja ia melanggar Ki Ageng Gajah Sora yang masih berdiri
membelakangi pintu.
“Lembu Sora....” kata orang tua itu, “Inilah kakakmu yang
sudah lama kau tunggu.”
Kata-kata orang tua itu benar-benar berpengaruh di dada
Lembu Sora. Sebenarnya iapun samasekali tak bermaksud apa-
apa. Ketika ia sedang berbaring di bale-bale dalam pondoknya,
berlepas baju karena udara yang panas, datanglah utusan
ayahnya, memberitahukan kedatangan kakaknya. Mendadak
terasa tubuhnya gemetar, dan dengan serta merta timbullah
keinginannya untuk memeluk kaki saudara tua yang pernah
disengsarakannya itu untuk minta maaf. Lembu Sora segera
meloncat, menyambar bajunya dan sambil berjalan tergesa-gesa,
ia mengenakan baju itu di sepanjang jalan, sambil berteriak, “Cari
Sawung Sariti. Beritahukan kepadanya, bahwa aku menghadap
Kakang Gajah Sora untuk menyerahkan segala kesalahan.”
Tetapi ketika ia sampai di halaman banjar desa itu, dan melihat
bayangan kakaknya berdiri di muka pintu seperti sikap seekor
gajah yang sedang marah, ia menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya
nanti tidak tiba-tiba saja memukul kepalanya selagi ia sedang
memeluk kakinya? Apakah ia masih berhak memanggil orang yang
berada di muka pintu itu dengan sebutan Kakang? Karena keragu-
raguannya itu, dan karena kesadaran diri akan kesalahannya yang
bertimbun-timbun, ia beberapa kali terhenti. Bahkan yang
terakhir, kurang beberapa langkah lagi, ia sudah tidak dapat lagi
memaksa dirinya untuk maju. Bahkan tiba-tiba ia melihat
ketegangan sikap kakaknya, dan tanpa sadar, ia pun menarik
kakinya merenggang.
Tiba-tiba muncullah ayahnya. Dan bersamaan dengan itu,
kembali pulalah pikirannya yang jernih. Ia datang untuk minta
maaf kepada kakaknya itu. Apakah kakaknya akan memaafkannya
atau tidak, bukanlah soalnya. Apakah kakaknya akan memukul
hancur kepalanya dengan Lebur Seketi, juga bukan soalnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 87
Karena itu sekali lagi ia memaksa diri, mengusir ketakutannya
untuk melihat kesalahan dirinya sendiri. Dengan langkah yang
gemetar, Lembu Sora mendekat Gajah Sora. Tetapi ia tidak
berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Yang dilakukan hanyalah
mengulurkan kedua tangannya sambil membungkukkan
punggungnya dalam-dalam. Dari mulutnya keluarlah suaranya
berdesir lambat, “Kakang Gajah Sora….”
Gajah Sora masih berdiri tegang. Di belakangnya, di mulut
pintu telah berdiri beberapa orang berdesak-desakan. Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara, Paningron dan Gajah Alit. Terasa sesuatu
bergolak di dadanya. Sebagai manusia biasa, sulitlah baginya
untuk melenyapkan segala kenangan pahit yang harus ditelannya.
Semuanya itu adalah akibat dari perbuatan adiknya itu.
Ki Ageng Sora Dipayana melihat pergolakan di hati anaknya
yang tua. Ia pun bisa mengerti, betapa pedih hatinya selama ini.
Namun bagaimanapun juga keduanya adalah anaknya. Apalagi
pada saat terakhir, Lembu Sora telah menemukan kembali jalan
kebenaran. Karena itu ia berkata, “Adikmu telah lama
menunggumu. Dalam limpahan kasih keluarga Pangrantunan, ia
telah menemukan titik-titik terang dalam hidupnya.”
Gajah Sora menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangan
kanannya bergerak. Akhirnya dengan hati kosong, disambutnya
tangan adiknya. Tetapi ia terkejut ketika Lembu Sora tidak saja
menggenggam tangannya itu erat-erat, tetapi diciumnya, dan
dibasahinya tangan itu dengan air mata.
Dada Gajah Sora pun bergetar. Darahnya yang serasa
menggelegak sampai ke lehernya oleh perasaan marah, dendam
dan muak yang meluap-luap ketika melihat adiknya itu, kini
perlahan-lahan mengendap kembali ke dalam hatinya.
Ki Ageng Lembu Sora seorang laki-laki yang tak mengenal
takut, seorang laki-laki yang bergegayuhan setinggi awan, yang
berkelana di langit biru, yang karenanya telah melupakan tata
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 87
subasita, bahkan telah melupakan kulit daging sendiri, kini seperti
kanak-kanak yang kehilangan barang mainannya, menitikkan air
mata sambil menggenggam tangan kakaknya.
Ki Ageng Gajah Sora pun runtuhlah hatinya. Dikenangkannya
pada masa kanak-kanak mereka. Pada masa-masa mereka sering
bertengkar dan berkelahi berebut barang mainan. Kalau Gajah
Sora sedang asyik membuat mainan dari kayu atau dari bambu,
kemudian datang Lembu Sora yang kecil merebutnya. Kadang-
kadang Gajah Sora yang belum puas menikmati permainannya pun
menjadi marah dan berusaha merebut permainan itu kembali.
Tetapi Lembu Sora mempertahankan dengan tangisnya. Kalau
demikian, akhirnya runtuhlah pertahanan hati Gajah Sora. Ia tidak
akan meminta permainan itu kembali.
Seperti saat ini. Pada saat-saat yang demikian itulah letak
kelemahan Gajah Sora. Kelemahan yang dimiliki sejak masa
kanak-kanaknya. Sejak ia harus bekerja keras membantu ayah
bundanya, membangun tanah perdikan Pangrantunan.
Seandainya, seandainya saat inipun tiba-tiba Lembu Sora
berkata, “Kakang, aku iri hati melihat kamukten Banyubiru. Aku
ingin untuk ikut menikmatinya. Betapa rinduku kepada suatu masa
yang gemilang dari perjalanan hidupku, dengan memiliki daerah
bekas tanah perdikan Pangrantunan seutuhnya,” seandainya
demikian, maka Gajah Sora pasti akan hancur dengan sendiri.
Pastilah dengan gemetar ia berkata, “Terserahlah Lembu Sora.”
Tetapi, tetapi seandainya Lembu Sora datang kepadanya dengan
tangan bertolak pinggang. Menuding di depan hidungnya sambil
berteriak, “Minggat kau Gajah Sora. Banyubiru adalah milikku.”
Seandainya demikian, maka pasti akan ditengadahkan wajahnya,
dan akan dijawabnya dengan lantang, “Marilah Lembu Sora,
lampaui mayatku dahulu.”
Tetapi, tetapi yang terjadi bukanlah demikian. Lembu Sora
tidak menangis untuk meminta kemukten Banyubiru, dan Lembu
Sora tidak bertolak pinggang untuk menantang kakak kandungnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 87
sendiri. Baru saja, dalam saat yang pendek dialami, betapa
pahitnya daerah Pamingit yang dilanda oleh arus peperangan.
Betapa pedih hati Lembu Sora melihat api yang menelan rumah-
rumah dan banjar-banjar desa, mendengar pekik tangis
perempuan dan anak-anak yang berusaha untuk memperpanjang
hidupnya. Betapa ngeri perasaan anak-anak melihat darah yang
bercucuran dan betapa tertekan jiwanya melihat ayahnya diseret
ke jalan-jalan.
Tetapi peperangan itu sendiri serasa menjadi sahabat yang
paling karib dari manusia. Setiap kali akan datang kembali,
mengunjungi sahabatnya. Kalau tidak, maka sahabatnya itulah
yang bertingkah mengundangnya. Ternyata dalam sejarah hidup
manusia yang ditulis di lontar-lontar, kitab-kitab kidung dan di
lontar-lontar yang lain, selalu akan berulang kembali kata-kata:
perang, perang, perang!
Meskipun setiap mulut akan mengutuknya sebagai hantu yang
paling menakutkan, tetapi seperti juga kekasih yang selalu
dirindukan.
Tidak saja negara-negara besar di Nusantara sendiri yang
timbul dan tenggelam setelah pacah perang-perang besar, seperti
Mataram Lama, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, dan bahkan
cerita-cerita yang dibawa oleh para perantau, para pelaut dan
pedagang asing di pantai Nusantara. Negara-negara Parangakik,
Ngerum, negara-negara Cina dan Jepang yang berebut pengaruh,
selalu diakhiri oleh tangis para janda dan anak-anak karena suami
dan ayah mereka lenyap dengan mengerikan sekali dalam
kebiadaban api peperangan.
Dan peperangan yang paling terkutuk, yang selalu terjadi di
bumi Nusantara sejak masa-masa pemerintahan Senduk di
Mataram Lama, Jayabaya dan Jayasaba, sampai pada masa-masa
pemerintahan Tumapel Kediri dan seterusnya, pecahnya
Majapahit, adalah karena perang saudara. Pemberontakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 87
Peregreg, dan sebagainya, adalah permulaan dari kemunduran
Majapahit.
Karena itulah, didasari pada kesadaran yang demikian, setelah
kepalanya sendiri hampir terbentur hancur, Lembu Sora sempat
melihat dalam dirinya. Ia tidak mau mengalami nasib yang
demikian. Kehancuran mutlak atas Pamingit dan Banyubiru. Yang
membelit dirinya kini adalah penyesalan. Penyesalan yang
menghujam ke dalam jantung kalbunya. Dan ia belum terlambat.
Gajah Sora pun kemudian telah bersiap sebagai seorang kakak
yang baik. Sambil menepuk bahu adiknya, ia berkata perlahan-
lahan. “Masuklah Lembu Sora.”
Lembu Sora tidak bisa menjawab. Mulutnya tersumbat. Tetapi
ia mengangguk dan melangkah ke pintu.
Yang berada di pintu pun telah duduk kembali ke tempatnya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Gajah Alit dan Paningron, kemudian
Arya Salaka, Wilis dan Widuri. Disusul kemudian Gajah Sora dan
Lembu Sora, sedang yang terakhir kali menempati tempatnya
adalah Ki Ageng Sora Dipayana.
Mula-mula terasa betapa hatinya bergelora ketika Ki Ageng
Lembu Sora melihat siapa saja yang hadir di dalam ruangan itu.
Apalagi ketika ia melihat dua orang yang berpakaian lengkap
sebagai prajurit-prajurit Demak. Jelas terbayang di kepalanya,
bagaimana ia dengan orang-orang golongan hitam, mencegat
laskar Demak, lima enam tahun yang lampau. Bagaimana pada
saat itu Mahesa Jenar telah menyergapnya.
Tetapi kemudian hati Lembu Sora menjadi sumeleh. Ia pasrah
pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Ia akan menerima kebenaran
tertinggi. Sebab kemudian ia yakin, bahwa kebenaran tidak dapat
dipaksakan oleh manusia, meskipun manusia seluruh dunia
mengakuinya. Namun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kebenaran
yang berjalan di atas firman-Nya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 87
Tetapi sesuatu telah terjadi di luar halaman banjar desa itu.
Dua pasang mata telah menyaksikan betapa Ki Ageng Lembu Sora
menangis. Dan wajah kedua orang itupun menjadi merah karena
marah.
Seorang berperawakan kokoh dengan jalur-jalur ototnya yang
menjorok di seluruh permukaan kulitnya. Orang itu adalah
Galunggung, sedang yang lain, seorang anak muda sebaya dengan
Arya Salaka, putra Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
“Perempuan,” bisik Sawung Sariti.
“Ayah Angger Arya Salaka terlalu perasa,” sahut Galunggung.
“Apa yang kira-kira dilakukan Ayah? Menyerah kepada nasib?
Atau malahan menyerahkan Pamingit sebagai tebusan dirinya?”
Sawung Sariti meneruskan sambil mencibirkan bibirnya.
“Apa kira-kira yang akan dilakukan oleh dua orang prajurit dari
Demak itu di sini?” tanya Galunggung tiba-tiba.
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. “Entahlah,” jawabnya,
“Mungkin ia akan menangkap Ayah, karena Ayah pernah mencegat
laskar Demak, dahulu.”
Mata Galunggung yang seperti burung hantu itu tiba-tiba
menjadi suram. Ia menarik nafas sambil mengeram, katanya,
“Kalau benar, aku kira lebih baik hancur daripada menyerah.”
“Apakah kau sangka yang dua orang itu mampu
menghancurkan kita?” kata Sawung Sariti dengan nada yang
tinggi.
“Laskarnya,” sahut Galunggung, “Apakah kira-kira hanya dua
orang itu saja?”
“Jangan pikirkan itu,” potong Sawung Sariti, “Barangkali ia
mengawal Paman Gajah Sora yang hanya sekadar boleh menengok
keluarga. Tetapi yang penting bagiku adalah Arya Salaka. Apakah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 87
Paman Gajah Sora kembali memerintah di Banyubiru atau tidak,
kalau Arya Salaka dapat aku lenyapkan, maka akhirnya Pamingit
dan Banyubiru akan jatuh di tanganku dengan sendirinya.”
“Angger benar. Tak ada orang lain yang dapat mewarisi kedua
daerah ini secara sah selain Angger Sawung Sariti,” jawab
Galunggung.
Sawung Sariti tersenyum. Seolah-olah ia telah memastikan
dirinya untuk menerima warisan dari ayahnya atas Pamingit dan
dari pamannya Gajah Sora atas Banyubiru. Meskipun dengan
demikian ia harus duduk di atas bangkai kakak sepupunya.
“Marilah kita pergi,” ajak Sawung Sariti.
“Tidaklah Angger akan menghadap Pamanda Gajah Sora?”
tanya Galunggung.
Sawung Sariti mencibirkan bibirnya, jawabnya, “Buat apa?”
Dan Keduanya pun melangkah pergi. Tak seorang pun yang
mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Sawung Sariti. Dan
keduanya pergi tanpa menarik perhatian seorang pun.
Sebagaimana mereka datang dari dalam gelap, berhenti dan
berdiri menyaksikan apa yang terjadi di halaman banjar desa dari
dalam gelap, mereka pun lenyap ditelan oleh kegelapan.
Di Banjar Desa, pembicaraan-pembicaraan telah mulai
berlangsung lancar sekali. Paningron, meskipun tidak dengan
tegas, namun disindirnya, bahwa ia tidak akan mengambil suatu
tindakan apapun terhadap Banyubiru dan Pamingit, karena
peristiwa pencegatan lima tahun lampau, sebab menurut laporan
yang masuk ke Demak, pencegatan itu dilakukan oleh golongan
hitam.
Sesaat kemudian di halaman itupun dikejutkan oleh suara tawa
yang tinggi nyaring. Kemudian masuklah ke halaman itu seorang
tua yang bertubuh tinggi, kekurus-kurusan. Dengan suara yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 87
berderai, ia bertanya kepada anak-anak yang duduk di halaman,
“Siapakah yang berada di dalam?”
“Penuh, Ki Ageng,” jawab salah seorang.
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Katanya, “Seseorang
memberitahu kepadaku, katanya Anakmas Mahesa Jenar telah
datang, bersama-sama dengan beberapa orang lain, di antaranya
dua orang gadis. Adakah Rara Wilis bersamanya?”
Yang ditanya oleh Ki Ageng Pandan Alas, kebetulan adalah
anak-anak Banyubiru, yang memang mengenal Rara Wilis. Dari
lubang pintu mereka memang melihat gadis itu berada di dalam.
Maka salah seorang menjawab, “Ya, Ki Ageng, salah seorang di
antaranya adalah Rara Wilis.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. “Aku sudah rindu kepadanya,”
katanya. Dan suaranya itu terdengar dari dalam ruangan Banjar
Desa. Maka berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, “Angger Rara Wilis
agaknya eyangmu telah datang.”
“Ya, Eyang,” jawabnya, “Aku sudah mendengar suaranya.”
Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas muncul. Bagitu saja ia
langsung masuk ke dalam Banjar. Tetapi ia tertegun, ketika
dilihatnya banyak orang lain. Di antaranya, bahkan dua orang
prajurit dalam pakaiannya.
“Silahkan Ki Ageng,” Ki Ageng Sora Dipayana mempersilakan.
“Uh!” sahut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku kira hanya orang-
orang kita sendiri, tetapi agaknya….” suaranya terputus, lalu
sambil berjalan berjongkok ia maju ke depan Gajah Sora sambil
berkata, “Bukankah ini Angger Gajah Sora seperti yang kau
katakan, Ki Ageng?” Ia berkata Ki Ageng Sora Dipayana, namun
tangannya teracung kepada Gajah Sora.
Dengan serta merta Gajah Sora menyambut salam itu, sambil
membungkuk hormat ia menjawab, “Terima kasih, Paman.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 87
Baru kemudian Ki Ageng Pandan Alas sempat menyapa
cucunya Rara Wilis. “Kau bertambah kurus Wilis,” katanya.
Rara Wilis menundukkan wajahnya.
“Tetapi jangan terlalu kau biarkan dirimu menjadi semakin
kurus. Itu tidak baik. Apalagi bagi gadis-gadis,” kata eyangnya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Endang Widuri, “Tidak
Eyang, Bibi Wilis hampir setiap pagi dan sore minum jamu singset.
Karena itu Bibi Wilis kian hari kian bertambah cantik.”
“Ah,” potong Wilis sambil mencubit lengan anak itu.
“Aduh!” Widuri mengaduh, namun ia tertawa-tawa saja.
Dengan hadirnya Ki Ageng Pandan Alas, ruangan itu
bertambah ramai dan ribut. Namun juga bertambah panas. Apalagi
sesaat kemudian Titis Anganten telah datang pula meramaikan
pertemuan itu. Pertemuan dari sekelompok sahabat yang lama
terpisah-pisah, namun kemudian berkumpul kembali dalam
suasana yang menyenangkan.
Pembicaraan mereka berkisar kesana kemari tak menentu.
Terasa seakan-akan waktu begitu sempit dan cepat. Karena itu
mereka terpaksa menunda pembicaraan mereka sampai esok.
Belum ada hal yang puas mereka dengar, baik dari Mahesa Jenar
maupun Kebo Kanigara tentang Pasingsingan yang rangkap tiga.
Juga dari Gajah Sora tentang pengalamannya di Demak, serta dari
Ki Ageng Sora Dipayana, Pandan Alas dan Titis Anganten tentang
lenyapnya laskar hitam dari Pamingit. Namun agaknya malam
telah jauh. Dan pertemuan itu pun bubarlah. Masing-masing
dibawa ke pondok yang sudah disediakan, meskipun berpencar-
pencar.
Malam menjadi sepi. Namun Ki Ageng Gajah Sora tidak segera
dapat beristirahat. Di halaman, anak-anak Banyubiru benar-benar
menantinya, sehingga ia masih memerlukan waktu untuk menemui
mereka. Berbicara dengan mereka, menjawab pertanyaan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 87
pertanyaan mereka, yang kadang-kadang aneh-aneh. Tetapi dari
mereka Gajah Sora juga mendengar bahwa anaknya, Arya Salaka,
benar-benar luar biasa. Jaladri pernah melihat Arya Salaka
bertempur melawan Lawa Ijo. Tidak saja dalam pertempuran
besar beberapa hari yang lalu, tetapi di Gedong Sanga pun pernah
dilihatnya. Ia samasekali tidak menyangkal cerita itu. Bukan
sekadar cerita yang berlebih-lebihan, namun cerita itu benar-benar
terjadi. Dirinya sendiri pernah membuktikan betapa anak muda
yang bernama Arya Salaka itu mampu melawannya.
Selagi Ki Ageng Gajah Sora duduk bersama dengan anak-anak
Banyubiru, sebelum ia diantar ke pondoknya, Arya Salaka telah
mendahuluinya bersama gurunya dan Kebo Kanigara. Tetapi ia pun
tidak segera dapat tidur. Ketika gurunya dan Kebo Kanigara telah
berbaring di ruang dalam, Arya Salaka masih duduk di muka pintu
menunggu kedatangan ayahnya, yang juga harus beristirahat di
tempat itu bersama-sama mereka. Sedang di pondok sebelah
adalah tempat untuk beristirahat kedua prajurit dari Demak,
Paningron dan Gajah Alit.
Ketika Arya Salaka sedang merenungi titik-titik yang jauh di
dalam gelap malam, tiba-tiba dilihatnya seseorang lewat di muka
pondoknya. Seorang tua yang berjalan seperti perempuan. Orang
itu berhenti sejenak, lalu melambaikan tangannya kepada Arya
Salaka. Arya Salaka yang sudah mengenalnya segera berdiri
mendekatinya. Sambil membungkuk hormat, ia bertanya, “Adakah
sesuatu, Eyang Titis Anganten?”
“Aku ingin mengatakan kepadamu dalam pertemuan tadi,
namun aku tidak sampai hati merusak suasana yang gembira itu.
Sebenarnya masih ada sesuatu yang ketinggalan dari keluarga
Banyubiru dan Pamingit,” jawab Titis Anganten.
Cepat hati Arya bergeser ke ibunya. Dahulu orang tua itulah
yang memberitahukan kepadanya, bahwa ibunya selamat. Dan
sekarang ia berkata tentang keluarga Banyubiru dan Pamingit yang
tercecer.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 87
“Ya,” sahut Arya, “Agaknya Eyang Sora Dipayana tidak ingat
lagi kepada ibu.”
“Ah. Jangan berkata begitu Arya,” potong Titis Anganten,
“Eyangmu sudah tahu, kalau ibumu aku selamatkan. Agaknya ia
segan untuk dengan tergesa-gesa menyuruhku mengambilnya.
Karena itu dibiarkannya saja sampai aku datang membawanya
kembali.”
Arya menundukkkan wajahnya. Terasa bahwa ia agak terlanjur
menyangka eyangnya melupakan ibunya.
“Sekarang....” Titis Anganten meneruskan, “Aku ingin
mengembalikan ibumu. Justru ayahmu sudah lebih dahulu datang
tanpa disangka-sangka.”
“Terimakasih, Eyang,” jawab Arya, “Di manakah Ibu
sekarang?”
“Masih di pengungsiannya,” sahut Titis Anganten, “Aku kira
keadaan telah benar-benar baik. Kalau kau tak keberatan,
jemputlah. Tak usah orang-orang tua seperti aku.”
“Baik Eyang,” sahut Arya, “Tunjukkan aku tempatnya.”
“Tidak terlalu jauh. Ibu serta bibimu aku sembunyikan di
Sarapadan,” jawab Titis Anganten.
“Sarapadan,” ulang Arya.
“Ya, desa kecil yang tak berarti. Aku memang menyangka desa
itu tak akan menarik perhatian. Dan ternyata memang demikian.
Orang-orang dari golongan hitam itu samasekali tak tertarik untuk
singgah. Dan hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang dapat
aku lakukan waktu itu. Untunglah, segera laskar Pamingit datang
dari Banyubiru bersama-sama dengan eyangmu. Apalagi akhirnya
laskarmu datang pula bersama gurumu dan Kebo Kanigara yang
mengaggumkan itu,” kata Titis Anganten.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 87
“Di mana letak dusun itu?” tanya Arya.
Titis Anganten memberinya sekadar petunjuk, namun
kemudian katanya tanpa berprasangka, “Ah, aku kira lebih baik
pergi bersama-sama dengan Sawung Sariti.”
Arya mengerutkan keningnya. Sesuatu berdesir di dalam
hatinya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang mengganggunya apabila
ia mendengar nama saudara sepupunya. Namun ia tidak dapat
berkata sesuatu kepada Titis Anganten.
“Arya...” Orang tua itu meneruskan, “Aku kira Sawung Sariti
telah mengenal semua sudut daerah Pamingit ini. Aku kira ia pun
mengenal Sarapadan. Apalagi ibunya pun di sana.”
Arya masih berdiam diri, dan agaknya Titis Anganten tidak
memperhatikan anak muda itu. Sebab ia segera berkata pula,
“Berkatalah kepada gurumu. Kalau kau temui Sawung Sariti
ajaklah dia, kalau kau perlukan aku, aku pun bersedia.”
“Baiklah Eyang,” jawab Arya. Namun tidaklah baik baginya
untuk mengajak orang tua itu. Dengan demikian ia akan menjadi
anak manja yang tak dapat melakukan sesuatu tanpa pertolongan
orang lain, namun pergi bersama Sawung Sariti pun ia agak segan-
segan.
“Tetapi anak itu sudah baik,” pikirnya. Sementara itu kakinya
melangkah tlundak pintu langsung ke pembaringan gurunya.
“Paman,” katanya perlahan-lahan ketika ia melihat gurunya
masih belum tidur.
Mahesa Jenar mengangkat kepalanya, “Ada apa Arya?”
Maka dikatakannya apa yang didengar dari Titis Anganten.
“Kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menganguk sambil menjawab, “Ya, Paman.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 87
“Kau tidak menunggu Ayah?” tanya Kebo Kanigara yang
berbaring di bale-bale, di samping Mahesa Jenar.
Tiba-tiba Arya ingin mengejutkan ayahnya. Kalau ayah datang
nanti mudah-mudahan ia telah kembali bersama ibunya. Bukankah
Sarapadan tidak begitu jauh? Meskipun seandainya ayahnya
dahulu datang, kemudia baru ibunya pun, akan dapat
menggembirakan hati ayahnya itu.
Karena itu ia menjawab, “Tidak Paman. Aku ingin mengejutkan
hati Ayah.”
“Dengan siapa kau akan pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Eyang Titis Anganten bersedia mengantarkan aku kalau aku
memerlukannya. Kalau tidak, maka Eyang menyuruhku mengajak
Sawung Sariti,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar bangkit dan duduk di bale-bale itu. Tampak ia
sedang berpikir. Di dalam dadanya berdesir pula perasaan seperti
perasaan di dada Arya Salaka. Namun ia pun berdiam diri.
“Aku segan untuk meminta Eyang Titis Angenten
mengantarku,” kata Arya Salaka.
“Apakah Sarapadan tidak jauh?” tanya Kebo Kanigara.
“Tidak,” sahut Arya, “Menurut eyang Titis Anganten,
Sarapadan hanya berantara empat bulak besar kecil.”
“Pergilah,” kata Mahesa Jenar kemudian, “Tetapi berhati-
hatilah. Jarak itu tidak terlalu jauh. Kau dapat membawa siapapun.
Tidak perlu eyangmu Titis Anganten. Biarlah ia beristirahat. Juga
tidak perlu Sawung Sariti. Setiap orang Pamingit akan dapat
menunjukkan letak desa itu.”
“Baiklah Paman,” sahut Arya. Kemudian ia pun minta diri
kepada gurunya dan kepada Kebo Kanigara. Ia bermaksud untuk
pergi saja seorang diri. Sarapadan tidak terlalu jauh. Jalur jalannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 87
pun telah ditunjukkan oleh Titis Anganten. Sehingga ia akan
dengan mudah menemukannya, atau tidak akan dapat bertanya
kepada siapa saja yang akan ditemuinya di perjalanannya. Peronda
atau penjaga gardu.
III
Maka segera Arya pun berangkat. Malam menjadi semakin
dalam. Namun bintang di langit bertebaran di segala penjuru.
Angin malam yang dingin bertiup menghancurkan suara-suara
anjing liar yang berebut makanan. Sekali-kali di kejauhan
terdengar suara buruang hantu menggetarkan udara.
Tiba-tiba di sudut desa, Arya terhenti. Dilihatnya dua orang
berdiri sebelah-menyebelah di kedua sisi jalan. Namun segera Arya
mengenal mereka berdua, Sawung Sariti dan pengawalnya yang
setia, Galunggung.
“Bukankah kau ini Kakang Arya Salaka?” sapa Sawung Sariti.
“Ya, Adi,” jawab Arya.
“Ke manakah Kakang akan pergi di malam begini?” tanya
Sawung Sariti pula.
Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Kalau ia berkata sebenarnya
maka ada kemungkinan Sawung Sariti akan ikut serta. Padahal,
meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, namun berjalan
bersama-sama dengan adiknya, ia masih terasa segan. Tetapi ia
tidak menemukan jawaban lain, karena itu ia terpaksa menjawab
dengan berterus terang. “Aku akan menjemput Ibu ke Sarapadan.”
“Adakah Bibi Gajah Sora di Sarapadan?” bertanya Sawung
Sariti.
“Ya,” jawab Arya singkat.
“Kalau demikian, ibuku juga di sana?” tanya Sawung Sariti
pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 87
“Ya,” jawab Arya pula.
“Dari mana Kakang tahu?” desak Sawung Sariti.
“Eyang Titis Anganten,” sahut Arya Salaka.
Sawung Sariti mencibirkan alisnya. Ia berpikir sejenak.
Kemudia ia berkata, “Aku pergi bersama-sama dengan Kakang.”
Arya menarik nafas. Ia pasti tidak akan dapat menolak. Karena
itu ia menjawab, “Suatu kebetulan bagiku, Adi. Aku belum pernah
melihat tempat itu. Sekarang kalau kau akan menemani aku, aku
akan berterima kasih.”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya. Dengan sudut matanya
ia memandang wajah kasar orang kepercayaannya. Kemudian
terdengar ia berkata, “Kita ikut.”
“Marilah Angger.” Terdengar suara Galunggung berat.
Maka kemudian pergilah mereka bertiga berjalan beriring-
iringan. Galunggung sambil menyeret pedangnya yang tersangkut
di lambungnya. Sekali-kali Arya mengerling kepada adiknya itu.
Pedangnya berjuntai-juntai hampir menggores tanah. Pedang itu
hampir setiap keadaan tak pernah terlepas dari pinggangnya.
Sebenarnya kalau Arya bercuriga, itupun cukup beralasan. Ia
menyesal bahwa ia tidak membawa tombak pusaka Banyubiru.
Namun hatinya kemudian menjadi besar, ketika terasa didalam
bajunya terselip sebuah pisau belati panjang terbalut dengan klika
kayu. Pisau belati pusaka Pasingsingan yang bernama Kiai Suluh.
“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu” pikirnya. Dan kadang-
kadang ia terpaksa tersenyum sendiri atas kecurigaannya itu.
Sedang Sawung Sariti berjalan saja dengan enaknya, melenggang
dalam dingin malam.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 87
Tetapi tiba-tiba Arya mengangkat alisnya. Dan berkatalah ia
dengan serta merta, “Adi apakah benar jalan ini jalan ke
Sarapadan?”
Sawung Sariti menoleh. Ia berhenti melangkah, kemudian
menjawab pertanyaan Arya dengan heran, “Ya inilah jalan itu.
Kenapa?”
Arya mengamat-amati keadaan sekelilingnya. Dikejauhan di
wajah taburan bintang dilangit ia melihat sepasang pohon siwalan.
Katanya, “bukankah kita harus melewati jalan kecil diantara pohon
siwalan itu?”
“Siapa bilang?” bertanya Sawung Sariti.
“Eyang Titis Anganten” jawab Arya Salaka.
“Eyang Titis Anganten keliru” sahut Sawung Sariti.
Tetapi Arya adalah seorang muda yang hampir seluruh
hidupnya berada dalam perjalanan. Iapun tahu benar, bahwa Titis
Anganten adalah seorang perantau, sehingga ia yakin bahwa tak
mungkin orang tua itu salah.
Karena keyakinannya itu maka Arya menjawab, “Adi, eyang
Titis Anganten adalah seorang perantau, yang kerjanya berjalan
dari satu ujung, kelain ujung dari pula ini. Karena itu apakah eyang
Titis Anganten akan salah jalan dalam jarak empat lima bulak
saja?”
“Aku adalah anak Pamingit” jawab Sawung Sariti, “sejak bayi
aku bermain-main ditempat ini. Adakah aku tidak mengenal
Sarapadan?
Memang, sebenarnyalah demikian.
Seharusnya Arya percaya bahwa Sawung Sariti mengenal
daerah ini dengan baik. Tetapi ada sesuatu dipojok hatinya yang
berbisik, “Pilihlah jalan sendiri.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 87
Karena itu Arya berkata, “Adi, barangkali ada jalan lain ke
Sarapadan. Jalan yang barangkali ditempuh oleh Eyang Titis
Anganten pada saat itu.”
“Agaknya kakang Arya Salaka lebih percaya kepada orang tua
itu daripada kepadaku?” bertanya Sawung Sariti.
Arya menjadi beragu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri.
Agak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan itu. Meskipun
demikian akhirnya ditemukannya juga jawabannya, “Adi, baiklah
aku mencoba membuktikan, apakah Eyang Titis Anganten benar-
benar seorang perantau yang baik. Sedangkan apabila nanti jalan
itu tak aku ketemukan, aku akan kembali ke Pamingit. Mengajak
orang tua itu pergi bersama-sama dan mengatakan kepadanya,
bahwa perantau itu kini telah menjadi pelupa dan tak dapat
mengenal jalan antara Pamingit dan Sarapadan meskipun ia dapat
menemukan jalan kembali ke Banyuwangi yang menurut eyang
Titis Anganten jaraknya beribu-ribu kali lipat.”
Wajah Sawung Sariti menjadi panas. Terasa sindiran halus
pada kata-kata Arya. memang sebenarnya bahwa jalan terdekat
ke Sarapadan adalah jalan kecil diantara sepasang pohon Siwalan
itu. Karena agaknya Arya Salaka telah berkeras hati untuk
menempuh jalan itu, maka akhirnya ia berkata, “Baiklah kakang
Arya, kau lewat jalanmu, aku lewat jalan yang sudah aku kenal
baik-baik. Meskipun barangkali kakang akan sampai ke Sarapadan,
namun jalan yang akan kau tempuh itu agak terlalu jauh.”
“Tidak apalah adi” jawab Arya, “lalu bagaimana dengan adi
Sawung Sariti?”
“Aku akan mengambil jalan ini” sahut Sawung Sariti.
“Baik. Kalau demikian biarlah kita berjanji untuk saling
menunggu di tempat pengungsian ibu kami, supaya kita bisa
pulang bersama-sama” berkata Arya Salaka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 87
“Tidak perlu” jawab Sawung Sariti, “kita sudah berselisih jalan
di sini. Biarlah kita jemput ibu kita masing-masing. Aku jemput
ibuku, kau jemput ibumu.”
Arya menarik nafas panjang. Adiknya memang terlalu kaku.
Namun Arya masih mencoba berkata, “Apakah kata ibu-ibu kita itu
nanti. Mereka mengungsi bersama-sama, biarlah mereka pulang
bersama-sama.”
“Ibuku bukan perempuan cengeng,” jawab Sawung Sariti,
“Kalau ibuku tak mau, biarlah ia pulang sendiri tanpa Sawung
Sariti.”
“Hem!” terdengar Arya mengeluh.
Tetapi ia tidak sempat berbicara lagi. Sawung Sariti telah pergi
meninggalkannya. Galunggung berjalan di belakangnya hampir
meloncat-loncat. Sekali dua kali dilihatnya kedua orang itu
menoleh, tetapi lalu berjalan semakin cepat.
Perlahan-lahan Arya memutar tubuhnya. Ia melangkah
kembali ke jalan kecil di antara pohon Siwalan itu. Ia harus
berjalan terus ke selatan, kemudian di simpang tiga ia harus
membelok ke kiri. Setelah beberapa langka akan ditemuinya parit.
Ia dapat menempuh dua jalan. Terus lewat jalan kecil itu, atau
menyusur tepi parit. Namun kedua jalan itu akan bertemu kembali
di bawah pohon nyamplung yang besar di tepi sebuah sungai kecil.
Setelah itu, ia hanya akan menyusur satu jalan terus sampai
dimasukinya desa Sarapadan.
“Mungkin Adi Sawung Sariti benar,” pikirnya, “Jalan itu pun
akan sampai ke Sarapadan.”
Dengan demikian Arya agak menyesal. Mungkin ia terlalu
berprasangka.
Namun sebenarnya Arya telah berbuat hati-hati. Firasatnya
telah dapat memberinya beberapa pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Kalau ia berjalan bersama-sama dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 87
Sawung Sariti, akibatnya akan berbahaya sekali. Sawung Sariti
telah membawanya lewat jalan yang sepi, menyusur lewat pereng
yang terjal. Di sana segala sesuatu akan dapat terjadi. Satu
sentuhan di kakinya, akan dapat mengantarkannya ke dasar
jurang yang dalam dan berdinding runcing seperti gerigi. Dan hal
yang demikian itu, akan dapat terjadi. Untunglah, Tuhan telah
membawanya lewat jalan lain.
Di jalan itu, Sawung Sariti berjalan sambil mengumpat-umpat.
Sedang Galunggung pun menggeram tak habis-habisnya. Ketika
Sawung Sariti membelok, dan memilih jalan itu, hatinya yang
kelam segera dapat menebak maksud momongannya. Bahkan ia
telah bersiap di belakang Arya, menyentuhnya sedikit dan
kemudian bergegas-gegas berlari-lari ke Pamingit,
memberitahukan kecelakaan yang terjadi, bahwa Arya Salaka
terpeleset ke dalam jurang, atau dibiarkannya, tak seorangpun
mengetahuinya.
Namun rencananya ternyata urung. Arya memilih jalan lain.
Karena itupun mereka harus mempunyai rencana lain. Namun
telah terpateri di dalam kepala anak muda dari Pamingit itu, bahwa
Arya Salaka harus dilenyapkan. Sudah tentu dengan diam-diam.
Dengan demikian kedatangan Gajah Sora tak akan berpengaruh.
Kelak, sudah pasti bahwa Pamingit dan Banyubiru akan
dikuasainya. Apalagi kini golongan hitam yang menghantui mereka
telah lenyap pula.
“Kakang Arya akan membelok di simpang tiga,” bisik Sawung
Sariti.
“Ya,” jawab Galunggung singkat.
“Lalu, mungkin akan dipilihnya jalan di tepi parit,” Sawung
Sariti meneruskan.
“Belum pasti” jawab Galunggung, “anak itu lebih senang
berjalan di jalan, daripada menyusur pematang dan tanggul-
tanggul”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 87
Sawung Sariti berpikir sejenak. Hatinya benar-benar sudah
dikuasai oleh nafsu yang menyala-nyala. Yang berada di dalam
kepalanya hanyalah usaha terakhir untuk menyingkirkan kakak
sepupunya.
Galunggung dapat mengetahui apa yang bergolak di dalam
hati anak muda itu. Karena itu iapun turut berpikir. Ia mengharap
bahwa Sawung Sariti kelak benar-benar dapat menguasai Pamingit
dan Banyubiru. Dengan demikian, ia pun akan mendapat tempat
yang baik. Jauh lebih baik daripada yang sekarang dimiliki.
Mungkin akan didapatnya tanah dua kali lipat dari tanah yang
diterimanya sekarang. Juga kekuasaan yang diperoleh akan
berlipat-lipat pula.
Setelah mereka berdiam diri sejenak, maka berkatalah
Galunggung, “Angger Sawung Sariti. Kita masih mempunyai
kesempatan. Kita dapat menempuh jalan memisah, lewat
pematang dan menyusup di bawah uwot parit sebelah.
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Sawung Sariti, “Kita cegat
Kakang Arya di simpang tiga, sebelum kita harus memilih jalan
mana yang dilewati.”
“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Galunggung, “Kita cegat Angger
Arya di sebelah pohon nyamplung.”
Kembali Sawung Sariti berpikir. Kemudian sambil
mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin baik juga.”
“Kalau demikian,” Sawung Sariti meneruskan, “Kita harus
segera menyusul Kakang Arya Salaka. Kita ambil jalan pematang.”
Sawung Sariti tidak menunggu jawaban Galunggung. Cepat ia
meloncati parit kecil di tepi jalan. Kemudian menyusur pematang,
menyusup di antara batang-batang jagung muda. Namun
meskipun demikian, Sawung Sariti harus berhati-hati, supaya Arya
tak dapat melihatnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 87
Demikianlah, dengan bergegas-gegas kedua orang itu berjalan
memotong arah. Mereka berjalan di atas pematang-pematang,
tanggul-tanggul parit untuk dapat mendahului Arya Salaka. Karena
Sawung Sariti telah terlalu biasa dengan daerah ini, maka ia dapat
memperhitungkan jarak yang dilewatinya itu cukup jauh dari jalan
yang dilalui Arya, sehingga ia tidak usah khawatir dapat
diketahuinya. Ketika mereka harus memotong jalan, barulah
mereka berjalan dengan sangat hati-hati, menyusur batang-
batang jagung sambil membungkuk-bungkuk. Akhirnya mereka
terjun ke anak sungai, dan lewat di bawah uwot dari kayu yang
bersilang di atas anak sungai itu, mereka memotong jalan. Mereka
mengharap, bahwa dengan demikian mereka akan dapat
mendahului Arya Salaka sampai di bawah pohon nyamplung.
Arya Salaka yang tidak tahu, apa yang sedang direncanakan
oleh adik sepupunya, berjalan seenaknya sambil menikmati angin
malam. Langit tidak terlalu bersih, namun di beberapa sudut
bintang masih tampak berkeredipan menghias malam. Dengan
cermatnya ia memperhatikan tanda-tanda yang diberikan oleh Titis
Anganten. Jalan manakah yang seharusnya dilewatinya. Namun
jalan itu tidak terlalu sulit baginya. Sehingga ia pun tidak usah
cemas, bahwa ia akan tersesat.
Kemudian Arya sampai di simpang tiga. Di simpang tiga, ia
membelok ke kiri. Beberapa langkah kemudian ditemuinya parit.
Dan ia harus memilih, apakah akan berjalan di sepanjang jalan
kecil itu, ataukah akan memilih jalan tanggul di sepanjang parit.
Arya kemudian berhenti sejenak. Dilihatnya air yang memercik
di dalam parit itu. Mengalir dengan tenangnya. Maka timbullah
keinginannya untuk berjalan menyusur parit itu sambil
memperhatikan airnya.
Dalam pada itu, Sawung Sariti telah sampai di bawah pohon
Nyamplung. Dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di tepi jalan.
Telah diperhitungkannya, bahwa dengan satu loncatan, ia harus
sudah dapat mencapai Arya Salaka dengan pedangnya. Demikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 87
juga Galunggung, harus sudah siap. Meskipun kemampuan
bertempur Galunggung jauh berada di bawah kemampuan Arya
Salaka, namun dengan menyerangnya secara tiba-tiba bersama-
sama dengan Sawung Sariti maka mereka mengharap, bahwa
mereka tidak usah mengulangi dengan serangan kedua.
Dengan demikian, Sawung Sariti dan Galunggung dengan
tenangnya mengendap di tepi jalan, di bawah pohon Nyamplung
yang rimbun. Gemersik angin malam yang mengusik daun-daun di
atasnya, terdengar seperti keluh kesah yang sedih. Bahkan
kemudian terdengar seperti orang yang berbisik-bisik,
menyampaikan kabar yang mengerikan.
Beberapa saat Sawung Sariti dan Galunggung mengendap di
sisi jalan itu, terasa betapa waktu berjalan lambat sekali.
Menunggu memang merupakan pekerjaan yang menjemukan.
Apalagi mereka berdua dicekam oleh ketegangan yang setiap saat
menjadi semakin memuncak. Mata mereka seperti tersangkut di
tikungan jalan di samping parit yang menyilang jalan kecil. Dari
sanalah Arya Salaka akan muncul. Kalau tidak dari jalan kecil itu,
pasti akan muncul dari tanggul di tepi parit.
Tetapi Arya Salaka agaknya berjalan terlalu lambat.
Seharusnya ia kini telah muncul dan berjalan lurus di hadapan
mereka yang menunggunya dengan gelisah. Mereka samasekali
tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Arya ingin mencuci kakinya
di dalam parit yang bersih itu dan untuk beberapa saat ia bermain-
main dengan percikan airnya.
Tetapi, akhirnya dari balik tikungan itupun muncul sebuah
bayangan. Seorang yang berjalan melenggang dalam keremangan
malam. Bayangan itu berjalan dengan tergesa-gesa, lewat jalan
kecil di muka pohon nyamplung itu.
Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bertambah gelisah.
Segera mereka menarik pedang masing-masing, dengan sangat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 87
berhati-hati. Sesaat yang akan datang, pedang mereka harus
melakukan tugas-tugas mereka yang berat.
Tetapi mata Sawung Sariti yang tajam itu menjadi liar. Ia
melihat perbedaan yang kecil pada bayangan itu. Ia menjadi ragu-
ragu. Apakah orang itu Arya Salaka. Beberapa kali Sawung Sariti
mengedipkan matanya, namun ia menjadi bertambah bimbang.
Semakin dekat bayangan itu, semakin gelisah hati Sawung
Sariti, sebab ia menjadi semakin yakin, bahwa bayangan itu
samasekali bukan Arya Salaka. Meskipun orang yang datang itu
juga bertubuh tegap, namun Sawung Sariti dapat membedakan,
bahwa Arya Salaka berjalan dengan gaya yang berbeda.
Ketika beberapa langkah orang itu menjadi semakin dekat,
makin jelas, bahwa orang itu memakai pakaian yang lain.
Galunggung pun akhirnya mengetahui juga, bahwa yang datang
itu bukanlah yang mereka tunggu.
Dengan nafas yang memburu ia berbisik perlahan, “Bukan itu
orangnya, Angger.”
“Setan!” Sawung Sariti mengumpat, “Ada juga malam-malam
orang berkeliaran di daerah yang masih belum tenang samasekali
ini.”
“Agaknya ia akan mengairi sawah,” bisik Galunggung.
“Tidak. Tidak ada orang yang mempertaruhkan nyawanya
untuk keperluan yang dapat dilakukan siang hari,” sahut
Galunggung.
“Lalu siapakah dia?” tanya Galunggung pula.
“Apa pedulimu terhadap orang itu. Yang penting kita tunggu
Arya Salaka,” jawab Sawung Sariti.
Galunggung pun kemudian berdiam diri. Orang itu sudah
semakin dekat. Sawung Sariti menahan nafasnya. Biarlah orang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 87
itu berlalu. Kemudian orang yang lewat di belakangnya, pastilah
Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti menjadi marah, ketika tiba-tiba orang itu
berhenti. Ia menoleh ke belakang, seakan-akan ada yang
ditunggu-tunggunya. Bahkan kemudian dengan enaknya orang itu
duduk di bawah pohon nyamplung itu, di sisi jalan yang lain, sambil
memeluk lututnya.
Sawung Sariti menggeram perlahan-lahan. “Gila!” pikirnya,
“Apa kerjaannya orang itu?”
Namun disabarkannya hatinya untuk sesaat. Barangkali orang
itu akan segera pergi. Sebab, pada saat orang itu muncul di
tikungan, nampaknya ia akan tergesa-gesa. Namun kenapa tiba-
tiba orang itu duduk saja dengan enaknya di hadapannya?
Sesaat sudah berlalu. Sawung Sariti masih mencoba
menunggu. Tetapi akhirnya ia menjadi gelisah dan semakin marah.
Arya Salaka pasti hampir tiba. Kalau orang itu masih duduk di situ,
maka ia dapat mengganggu pekerjaannya, atau kalau terpaksa
orang itu pun harus ditiadakan, untuk menghilangkan jejak. Maka
akhirnya Sawung Sariti tidak sabar lagi. Ia takut kalau Arya Salaka
segera akan datang. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat dengan
garangnya, sambil mengacungkan pedangnya kedada orang itu.
“Apa pekerjaanmu di sini?” bentaknya.
Orang itu terkejut bukan main. Tiba-tiba ia menjadi gemetar,
jawabnya, “Aku, aku tidak apa-apa.”
“Kalau begitu. Tinggalkan tempat ini segera,” perintah Sawung
Sariti.
“Kenapa?” tanya orang itu.
“Tidak ada-apa,” jawab Sawung Sariti “Tetapi pergi sekarang.”
Orang itu pun berdiri dan akan melangkah pergi ke arah
darimana ia datang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 87
“Jangan ke sana,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau orang
itu akan berpapasan dengan Arya Salaka dan akan
memberitahukan apa yang terjadi dengan dirinya.
“Ke mana?” tanya orang itu.
“Ke sana,” kata Sawung Sariti menunjuk ke arah yang
berlawanan.
“Aku tidak punya keperluan di sana,” jawab orang itu.
“Aku tidak peduli. Pergi ke sana, cepat,” Sawung Sariti menjadi
semakin marah
“Kau datang dari arah sana, kemudian apa perlumu kalau kau
tidak mempunyai keperluan ke arah yang lain.”
“Aku hanya akan datang ke bawah pohon nyamplung ini,”
jawab orang itu, “Aku telah bermimpi, bahwa aku pada saat ini
harus berada di sini.”
“Jangan banyak cakap. Pergi sekarang,” bentak Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung. Karena itu malahan ia berdiri saja
seperti patung.
Galunggung akhirnya tidak sabar samasekali melihat orang itu
masih berdiri di sana dengan mulut ternganga. Ia pun kemudian
melangkah maju sambil berkata, “Binasakan saja orang itu,
sebelum anak itu datang.”
“Jangan, jangan!” teriak orang itu.
“Jangan berteriak,” bentak Sawung Sariti. Ia takut kalau Arya
mendengarnya. Namun dengan demikian waktu mereka menjadi
semakin sempit. Dan sejalan dengan itu, pikiran Sawung Sariti pun
menjadi semakin kisruh. Ia tidak mau gagal kali ini. Karena itu,
akhirnya ia sependapat dengan Galunggung. Orang itu harus
disingkirkan. Meskipun demikian ia masih mencoba sekali lagi
membentaknya, “Pergi, cepat!”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 87
Tetapi orang itu tidak segera pergi. Ia masih berdiri saja
seperti orang yang kehilangan kesadaran. Karena itu maka
Sawung Sariti tidak bisa berbuat lain daripada menyingkirkannya
dengan paksa. Karena itu katanya, “Singkirkan dia, Galunggung.”
Galunggung yang sejak
tadi sudah kehilangan kesa-
baran segera menggeram
sambil meloncat. Pedangnya
tepat mengarah ke hulu hati
orang yang masih berdiri
kebingungan itu. Tetapi terja-
dilah suatu peristiwa yang tak
pernah dibayangkan. Dalam
mimpi pun tidak. Orang itu,
dengan tangkasnya memiring-
kan tubuhnya. Dengan demi-
kian, maka pedang Galung-
gung menyentuhpun tidak.
Sehingga Galunggung terseret
oleh kekuatan sendiri dan
terhuyung-huyung beberapa
langkah ke depan. Pada saat ia
berusaha memperbaiki keseimbangannya, tiba-tiba terasa sebuah
genggaman mencengkam rambutnya. Dan oleh sebuah tarikan
yang kuat, ia terseret kedepan. Ia kemudian tidak mampu
menolong dirinya, ketika tiba-tiba terbanting tertelungkup, masuk
persawahan yang basah.
Sawung Sariti melihat peristiwa itu dengan mata yang
terbelalak, yang dilihatnya adalah Galunggung itu terjerembab.
Karena itulah, hatinya menjadi menyala-nyala. Pedangnya pun
cepat bergerak ke dada orang yang menyakitkan hati itu.
Tetapi sekali lagi Sawung Sariti terkejut, pedangnya pun
samasekali tak menyentuh orang itu. Dengan demikian Sawung
Sariti akhirnya mengetahui, bahwa orang itu bukanlah sekadar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 87
seorang yang berkeliaran di malam hari dalam keadaan yang
belum tenang benar. Dengan gerakan-gerakannya dan caranya
membebaskan diri, baik dari tikaman pedang Galunggung maupun
dari tusukan pedangnya sendiri, tahulah Sawung Sariti, bahwa
orang itu sebenarnya orang yang berilmu.
Dengan demikian, Sawung Sariti menjadi bertambah gelisah
dan marah. Usahanya untuk membinasakan Arya Salaka belum
berhasil, dan kini dijumpainya lawan yang tak dapat diperingan.
Ternyatalah kemudian, ketika Sawung Sariti mengulangi
serangannya, maka dengan tangkasnya orang itu berkisar dan
meloncat, namun terdengar mulutnya berkata, “Ki Sanak, aku
tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Kenapa kalian
berusaha untuk membunuh aku.”
Sawung Sariti sudah benar-benar dibakar oleh nyala
kemarahannya, maka terdengar ia menjawab, “Kau telah
mengganggu pekerjaanku. Karena itu kau harus binasa.”
“Aku tidak mengganggu Ki Sanak. Aku hanya sekadar
memenuhi mimpiku sore tadi, bahwa aku harus datang di bawah
pohon nyamplung ini,” sahut orang itu.
“Omong kosong!” bentak Sawung Sariti, sementara itu
pedangnya berputar semakin cepat dalam ilmu keturunan
Pangrantunan. Suatu ilmu yang sukar dicari bandingnya. Apalagi
Sawung Sariti memiliki kelincahan yang cukup, sehingga
pedangnya seakan-akan berubah seperti asap yang bergulung-
gulung melanda lawannya.
Lawannya itu pun berusaha sekuat tenaga untuk
menyelamatkan dirinya. Seperti bayangan saja, ia meloncat-loncat
dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya samasekali tak memiliki
berat. Ia meloncat dari sana kemari, berputar dan melingkar,
kemudian mirip dengan seorang yang sedang bermain-main
berputar di udara. Ia selalu menghindari saja setiap serangan yang
datang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 87
Dalam pada itu Galunggung pun telah bangun kembali.
Wajahnya dikotori oleh lumpur liat yang basah. Beberapa kali ia
mengibas-kibaskan rambutnya. Ikat kepalanya telah hilang
terlempar jauh.
“Setan!” geramnya. Tetapi ia pun terbelalak ketika ia melihat
orang yang akan dibunuhnya itu bertempur melawan Sawung
Sariti. Ia tidak dapat mengerti, bagaimana mungkin orang itu
dapat menyelamatkan diri sampai beberapa lama. Sedangkan
agaknya Sawung Sariti telah benar-benar berusaha membu-
nuhnya.
Karena itu, maka timbullah maksud Galunggung untuk
membantu momongannya. Dengan hati-hati mendekati pertem-
puran itu. Ia melihat pedang Sawung Sariti bergulung-gulung
seperti asap putih yang melibat lawannya, namun ia melihat
lawannya itu seperti anak kijang yang menari-nari keriangan di
padang rumput yang hijau. Berloncatan kian-kemari, bahkan
sekali-kali orang itu berkata nyaring, “Katakanlah Ki Sanak. Apa
salahku?”
“Persetan!” teriak Sawung Sariti. Ia sudah lupa bahwa Arya
Salaka akan dapat mendengar teriakannya itu. Bahkan pedangnya
menjadi semakin cepat berputar.
Galunggung kemudian tak mau membiarkan pertempuran itu
berlangsung lama lagi. Ia masih ingat bahwa kedatangan mereka
di tempat itu adalah menunggu Arya Salaka. Karena itu, sekuat-
kuatnya, ia ingin membantu Sawung Sariti. Sebab sebenarnya
Galunggung pun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.
Dengan garangnya Galunggung meloncat sambil menggeram.
Pedangnya lurus memotong gerakan bayangan yang sedang
menghindari serangan Sawung Sariti. Namun malanglah nasibnya.
Tiba-tiba terasa sebuah pukulan yang dahsyat mengenai
pelipisnya. Demikian dahsyatnya, sehingga terasa seakan-akan
bintang-bintang yang melekat di langit rontok bersama-sama
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 87
menimpa dirinya. Sekali lagi Galunggung terlempar ke sawah. Kini
ia jatuh terlentang. Namun, tiba-tiba dadanya berdesir ketika
terasa bahwa pedangnya sudah tak berada di tangannya lagi.
Dengan susah payah ia mencoba menguasai dirinya. Perlahan-
lahan Galunggung mengangkat wajahnya. Dan sekali lagi
jantungnya berdentang keras ketika dilihatnya, pedangnya sudah
berada di tangan lawan Sawung Sariti itu. Dengan demikian, kini
ia menyaksikan sebuah pertarungan pedang yang nggegirisi.
Masing-masing bergerak dengan tangkas dan tangguhnya. Namun
akhirnya terasa bahwa lawan Sarung Sariti itu memiliki kekuatan
dan kecepatan melampaui Sawung Sariti sendiri. Dengan
demikian, beberapa saat kemudian, Sawung Sariti sudah harus
mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ternyata ia telah salah
langkah. Sebelum melawan Arya Salaka, sudah harus ditemuinya
lawan yang tangguh dan bahkan memiliki tata gerak yang
melampauinya.
Dalam kesibukan angan-angannya, tiba-tiba bagai seleret
pedang Sawung Sariti melihat bayangan yang muncul dari tanggul
parit yang menyilang jalan kecil itu. Dalam sekejap, segera
Sawung Sariti dapat mengetahuinya, bahwa orang itu adalah Arya
Salaka. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar karena
kegelisahan dan kecemasan bercampur baur dengan kemarahan
yang meluap-luap. Namun Sawung Sariti adalah anak muda yang
licik. Tiba-tiba ia tersenyum di dalam hatinya, ketika terpikir
olehnya, “Baiklah Kakang Arya kujadikan kawan kali ini. Urusan
kita dapat kita selesaikan besok atau lusa.”
Sebenarnyalah yang datang itu adalah Arya Salaka. Mula-mula
ia berjalan saja seenaknya sambil menikmati sejuknya angin
malam. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika dilihatnya di bawah
pohon nyamplung, dua orang yang sedang bertempur mati-
matian. Apalagi keduanya telah memegang pedang ditangan.
Karena itu Arya menjadi tertegun sejenak. Siapakah mereka yang
bertempur itu? Dengan hati-hati ia melangkah mendekati. Tanpa
disengaja tangannya meraba-raba lambungnya. Dan terasa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 87
sebuah benda tersentuh tangannya, Arya menjadi tenang. Sebab
ia tidak tahu, siapakah yang bertempur dengan senjata itu. Kalau
perlu ia harus melibatkan diri, di lambungnya terselip Kyai Suluh.
Pusaka Pasingsingan yang ngedab-edabi.
Dengan demikian Arya melangkah semakin dekat. Dan
alangkah terkejutnya ketika ia mengenal kedua orang yang
bertempur itu. Karena itu tiba-tiba ia berteriak, “Adi Sawung Sariti,
apakah yang terjadi? Kakang Karang Tunggal, berhentilah.”
Sawung Sariti tidak mendengar teriakan Arya Salaka. Ia
bertempur terus, bahkan ia mengharap Arya membantunya. Tetapi
ketika sekali lagi ia mendengar Arya memanggil namanya dan
nama Karang Tunggal, Sawung Sariti menjadi bimbang. Apakah
Arya Salaka telah mengenal lawannya itu.
IV
Karang Tunggal pun segera meloncat mundur beberapa
langkah untuk membebaskan dirinya dari libatan serangan Sawung
Sariti yang mengalir seperti banjir, sambil berkata nyaring,
“Selamat datang Adi Arya Salaka.”
Akhirnya Sawung Sariti pun terpaksa berhenti bertempur.
Dadanya berdegup ketika ternyata Arya benar-benar telah
mengenal lawannya itu.
Maka ia pun bertanya, “Apakah Kakang Arya telah mengenal
orang ini?”
“Ya,” jawab Arya Salaka, “Ia adalah Kakang Karang Tunggal.”
“Hem!” geram Sawung Sariti. Pikirannya menjadi berputar-
putar dilibat oleh berbagai pertanyaan. Kalau orang ini telah
mengenal Arya Salaka, maka adakah hubungannya dengan
kehadirannya di bawah pohon nyamplung ini?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 87
“Kakang Karang Tunggal, apakah yang terjadi sehingga
Kakang bertempur melawan adi Sawung Sariti?”
“Bertanyalah kepada adikmu,” jawab Karang Tunggal.
Arya mengalihkan pandangannya kepada Sawung Sariti.
Matanya menyorotkan pertanyaan yang bergolak di hatinya. Untuk
beberapa saat Sawung Sariti berdiam diri. Ia agak bingung,
bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Sehingga terpaksa
terluncurlah pertanyaan dari mulut Arya, “Kenapa Adi Sawung
Sariti bertempur dengan kakang Karang Tunggal?”
“Aku belum mengenalnya,” desis Sawung Sariti.
“Apalagi Adi belum mengenalnya,” desak Arya Salaka.
“Aku tidak tahu apa sebabnya,” jawab Sawung Sariti, “Tiba-
tiba saja aku telah bertempur dengan orang itu.”
Arya mengerutkan keningnya. Sedang Karang Tunggal tertawa
perlahan-lahan. “Aneh,” desisnya. “Aku juga tidak tahu, kenapa
tiba-tiba saja aku sudah bertempur melawan Adi yang kau sebut
Sawung Sariti itu.”
Wajah Sawung Sariti menjadi merah mendengar sindiran itu.
Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, terdengar Karang Tunggal
meneruskan, “Aku merasa bahwa aku telah diserangnya.”
“Kau mengganggu aku,” bantah Sawung Sariti.
“Menyentuhpun aku tidak,” sangkal Karang Tunggal.
Arya menjadi bingung. Tetapi ia merasa, bahwa keduanya
belum berkata sebenarnya.
“Suatu kesalahpahaman,” desis Arya. “Memang hal itu
mungkin sekali terjadi. Namun sekarang aku perkenalkan kalian
masing-masing.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 87
“Bukan kesalahpahaman,” jawab Karang Tunggal, “Tetapi adi
Sawung Sariti sengaja menyerang aku tanpa sebab.”
“Bukan tanpa sebab,” sahut Sawung Sariti yang mulai merah
kembali, “Kau mengganggu aku.”
“Apamu yang aku ganggu?” tanya Karang Tunggal.
Sawung Sariti terdiam. Sudah tentu ia tidak dapat mengatakan
apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Namun keringat dinginnya
mengalir semakin deras ketika Karang Tunggal berkata, “Aku
hanya datang kemari dan duduk di bawah pohon nyamplung ini.
Apa salahku?”
Sawung sariti masih belum dapat menjawab. Namun terdengar
giginya gemeretak.
Yang terdengar adalah kata-kata Karang Tunggal, “Dan
kenapa aku kau usir dari sini tanpa sebab? Dan aku harus berjalan
ke jurusan yang kau tentukan?”
Sawung Sariti menggeram. Namun ia belum menemukan
jawaban yang tepat. Sedang Karang Tunggal berkata terus,
“Apakah dengan demikian aku mengganggumu? Apakah kau
sedang menunggu seseorang di sini dengan pedang terhunus?”
Dada Sawung Sariti semakin berdebar-debar. Sedang Arya
mengangkat alisnya. Apakah benar yang dikatakan oleh Karang
Tunggal itu? Sawung Sariti menunggu seseorang dengan pedang
terhunus? Kalau demikian siapakah yang ditunggunya? Pertanyaan
itu tiba-tiba datang mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah Sawung Sariti membentak keras-keras,
“Jangan mengigau!”
“Aku berkata sebenarnya,” sahut Karang Tunggal. Tiba-tiba
kembali Arya diganggu oleh angan-angan yang tak menyenangkan
hatinya. Apakah maksud Sawung Sariti sebenarnya? Dan kenapa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 87
tiba-tiba saja anak itu telah mendahuluinya? Karena itu tiba-tiba
terloncat dari mulut Arya, “Apakah yang sebenarnya terjadi?”
“Sudah aku katakan,” sahut Karang Tunggal, “Anak muda itu
menunggu seseorang dengan pedang terhunus.”
“Apa pedulimu?” tukas Sawung Sariti, “Daerah ini adalah
daerah yang belum tenang. Orang-orang dari gerombolan hitam
setiap saat berkeliaran di daerah ini. Apa salahnya aku duduk di
bawah pohon ini dengan pedang terhunus?”
Tiba-tiba Karang Tunggal tertawa. Tertawa seorang pemuda
yang berdarah jantan, namun darah itu masih belum mengendap
di dasar jantungnya. Ia sebenarnya telah mengetahui apa yang
akan dikerjakan oleh Sawung Sariti. Mula-mula ketika ia melihat
Arya Salaka, ia ingin menyusul sahabatnya itu, yang berjalan
bersama-sama dengan adik sepupunya, namun maksudnya
diurungkan, ketika dilihatnya Arya berpisah dengan Sawung Sariti.
Bahkan timbullah kecurigaannya kepada adik sepupu Arya.
Dengan demikian ia mengikutinya dan mendengarkan semua
percakapannya dengan Galunggung. Karena itulah sengaja ia
mendahului Arya dan duduk di bawah pohon nyamplung itu. Ia
tahu benar bahwa dengan demikian Sawung Sariti akan marah
kepadanya.
Tetapi tidak mengapa. Sebab dengan demikian ia sudah
berusaha mencegah kemungkinan itu terjadi. Meskipun ia sendiri
tidak yakin, apakah dengan serangan diam-diam itu Arya akan
dapat dikalahkan, namun hal yang demikian itu benar-benar
berbahaya.
Terbawa oleh sifat-sifatnya yang aneh, yang dipenuhi oleh api
yang menyala-nyala di dalam dadanya, Karang Tunggal yang juga
bernama Mas Karebet dan mempunyai sebutan Jaka Tingkir itu
memandang kehidupan sebagai suatu kancah perjuangan. Namun
kejantanannya menuntut setiap perjuangan harus dilakukan
dengan adil dan jujur.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 87
Karena itulah maka ia menjadi muak melihat cara Sawung
Sariti untuk mencapai maksudnya. Ia pernah mendengar dari Ki
Lemah Telasih, apa yang sebenarnya terjadi di Banyubiru.
Pergolakan antarkeluarga. Pergeseran kamukten dan perjuangan
untuk mempertahankan pusaka. Tafsirannya yang tepat
mengatakan, bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah rentetan
dari peristiwa-peristiwa itu.
Dengan demikian, akhirnya ia berkata di antara suara
tertawanya yang berderai, “Hai anak-anak muda. Kenapa kalian
menyembunyikan tangan kalian di balik punggung. Kenapa kalian
tidak berani mengangkat dada, berkata dengan lantang? Ayo kita
pertaruhkan tanah ini. Banyubiru dan Pamingit. Sadumuk bathuk,
sanyari bumi. Mukti atau mati.”
Darah Sawung Sariti menjadi mendidih di dalam dadanya. Ia
kini hampir tak dapat mengelak lagi. Agaknya Karang Tunggal
telah mengetahui seluruhnya. Karena itu ia menggigit bibirnya,
sedang tangannya memegang pedangnya semakin erat. Di dalam
hati ia berkata, “Apa boleh buat. Kalau aku harus berhadapan
dengan Arya Salaka. Aku laki-laki juga seperti dia.”
Arya Salaka masih berdiri tegak di tempatnya. Ia dapat
menangkap apa yang dikatakan oleh Karang Tunggal. Dan kini ia
tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh Sawung Sariti. Karena
itu dadanya pun berdesir cepat.
Di tempat itu, di bawah pohon nyamplung yang rimbun,
berdirilah tiga orang anak muda yang masih berdarah panas.
Anak-anak muda yang mudah terbakar oleh perasaan sendiri.
Mereka masih mengukur harga diri dengan sifat-sifat
kepahlawanan yang sempit. Dalam kesempitan perasaan, mereka
menilai diri masing-masing dengan keberanian mereka melihat
darah.
Demikianlah maka terjadilah ketegangan yang memuncak.
Masing-masing menyiapkan diri untuk mempertaruhkan diri demi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 87
kehormatan nama mereka dengan gegayuhan mereka. Mereka
tidak sadar, bahwa di dunia ini ada cara lain yang jauh lebih baik
daripada cara yang mereka tempuh. Dalam keadaan yang
demikian, mereka melupakan bahwa ayah-ayah mereka akan
dapat menyelesaikan persoalan dengan cara yang baik, dengan
laki-laki sejati, tanpa setetes darah pun yang tertumpah.
Seandainya, pada saat itu hadir seorang dari ayah-ayah
mereka, atau Mahesa Jenar, atau Kebo Kanigara, maka
keadaannya pasti akan berbeda. Namun yang terjadi adalah, tak
seorang pun dari mereka yang hadir. Tak seorang pun yang dapat
memberi peringatan kepada anak-anak itu. Yang tertua diantara
mereka adalah Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal adalah
seorang anak muda yang sifat-sifatnya yang aneh.
Akhirnya Sawung Sariti tidak tahan lagi membiarkan hatinya
bergolak tanpa ujung pangkal. Karena itu dengan lantangnya ia
berkata kepada Karang Tunggal, “Hai anak perkasa, apa
maksudmu sekarang?”
“Tidak apa-apa,” jawab Karang Tunggal, “Aku hanya ingin
melihat seseorang berlaku jantan. Tidak dengan sembunyi-
sembunyi dan curang.”
“Persetan dengan ocehanmu!” bentak Sawung Sariti, “Kau kira
aku tidak berani berhadapan seperti laki-laki?”
“Nah, itulah kata-kata jantan,” sahut Karang Tunggal, “Apa
katamu Adi Arya Salaka?”
Mulut Arya Salaka tiba-tiba seperti terkunci. Ia samasekali
tidak mengharapkan hal yang demikian itu terjadi. Tetapi ia pun
tidak mau, apabila kelak ia benar-benar menjadi korban tusukan
dari belakang. Dalam saat yang pendek itu pun segera ia dapat
menangkap maksud yang tersirat dari perbuatan adik sepupunya
itu. Menyingkirkan dirinya, untuk kelak memiliki Pamingit dan
Banyubiru sekaligus.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 87
Karena Arya masih berdiam diri, maka berkatalah Sawung
Sariti, “Kakang Arya Salaka, apa boleh buat. Biarlah aku tidak
tedheng aling-aling. Aku ingin kemukten atas tanah Banyubiru
sekaligus selain tanah Pamingit.”
“Hem!” Hanya itulah yang terdengar dari mulut Arya Salaka.
Apabila selama ini, ia sudah berusaha melupakan segenap
peristiwa yang terjadi atas dirinya karena pokal adik sepupunya
itu, maka kini tiba-tiba terungkit kembali. Peristiwa demi peristiwa.
Pada saat dirinya hampir saja dicincang di halaman rumah sendiri,
kemudian setelah ia menyingkir, ia pun selalu dikejar-kejar.
Apabila seorang yang bernama Sarayuda tidak menolongnya,
maka ia pun kini tidak akan dapat melihat bintang-bintang yang
bertaburan di langit. Juga dikenangnya apa yang terjadi di
Gedangan. Kenangannya itulah yang perlahan-lahan membakar
dirinya. Dan kini, adiknya itu berdiri di hadapannya dengan pedang
terhunus.
“Jawab permintaanku,” sambung Sawung Sariti, “Banyubiru,
Pamingit dan nyawamu.”
“Adi Sawung Sariti,” jawab Arya dengan gemetar, “Jangan
memaksa aku membela diri.”
“Aku sebagai saksi!” Tiba-tiba Karebet berteriak, “Siapa pun
yang kalah dan menang, harus menghindarkan diri dari dendam
yang menimpa dari kalian terbunuh, adalah nasib malang yang
menimpa diri. Aku tidak akan membuka mulutku kepada siapa
pun. Tetapi kematian adalah bukan tujuan kalian terbunuh. Karena
itu hindarkanlah. Namun kalian harus berjanji, bahwa kalian akan
menerima keputusan yang kalian buat bersama.”
Suasana di bawah pohon nyamplung itu menjadi bertambah
tegang. Dada ketiga anak muda itu bergetar cepat karena darah
mereka yang bergolak. Pada saat itu Galunggung masih terkapar
di tanah liat yang becek, di antara tanaman-tanaman jagung
muda. Kepalanya masih terasa pening. Dengan susah payah ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 87
berusaha untuk dapat duduk dengan tegak. Dalam keadaan itu,
hatinyapun bertambah tegang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-
apa.
Dalam pada itu terdengar Karang Tunggal berkata, “Pertemuan
yang demikian adalah jauh lebih baik daripada dendam yang
membara di hati kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan bahwa
aku adalah saksi. Dan kalian tidak akan mendendam di hati.
Dengan demikian, setelah pertemuan ini selesai, selesailah urusan
kalian. Laki-laki sejati tidak akan menelan ludahnya kembali.”
Darah Sawung Sariti kini benar-benar telah mendidih. Sedang
Arya Salaka dapat memaklumi maksud Karang Tunggal. Anak
muda itu tidak mau melihat pertentangan dan dendam yang
berlarut-larut. Namun cara penyelesaian ini pun sangat tidak
menyenangkan hatinya. Yang sudah bulat hatinya adalah Sawung
Sariti. Hidup atau matinya telah dipertaruhkan untuk mencapai
maksudnya.
Demikianlah maka ketika darahnya telah bergelora membakar
kepalanya, terdengarlah ia berteriak, “Kakang Arya Salaka.
Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu dan
berusaha membunuhmu. Itu adalah ketetapan hatiku. Dan aku
telah menantimu di sini.”
Arya tidak sempat menjawab ketika ia melihat Sawung Sariti
meloncat maju ke hadapannya. Beberapa langkah saja dimukanya
dengan pedang yang terjulur lurus ke depan. Dengan gerak
naluriah Arya mundur selangkah. Tangannya sudah siap mencabut
pusaka Kyai Suluh. Namun sebelum itu dilakukan terdengarlah
Karang Tunggal berkata, “Biarlah perkelahian ini menjadi adil.
Kalian berdua tidak bersenjata, atau kalian berdua memegang
pedang.” Sawung Sariti dan Arya Salaka tidak segera menjawab.
Mereka masih berdiri di atas kaki masing-masing yang renggang.
Namun sepintas lalu, berkisarlah di otak Karang Tunggal. Ia telah
mendengar ilmu Sasra Birawa yang dimiliki oleh Arya Salaka dan
ilmu Lebur Saketi di dalam diri Sawung Sariti. Agaknya kedua ilmu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 87
itu lebih berbahaya daripada pedang. Dengan demikian mereka
tidak akan mempergunakan ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Apabila
mereka akan mempergunakan, mereka harus melepaskan
senjatanya, sehingga dengan demikian ada kesempatan padanya
untuk mencegah terbenturnya kedua ilmu itu. Sedang pertem-
puran dengan pedang antara dua orang yang selincah Sawung
Sariti dan Arya Salaka, biasanya tidak akan sampai pada bahaya
yang sebenarnya terhadap jiwa mereka. Ia akan dapat
mencegahnya apabila perlu, juga apabila salah seorang darinya
telah terluka dan meneteskan darah.
Karena itu, segera ia berkata, “Adi Arya, pakailah pedang ini.”
Karang Tunggal tidak menunggu jawaban. Segera ia meloncat
dan menyerahkan pedang Galunggung kepada Arya Salaka.
Seperti orang yang terbius oleh keadaan yang dihadapinya, Arya
menerima pedang itu dengan hati yang kosong.
“Nah, di tangan kalian telah tergenggam pedang,” kata Karang
Tunggal, “Terserah kapan kalian akan mulai. Tetapi setetes darah
yang mengalir dari tubuh kalian, akan merupakan keputusan
jantan. Dan kalian harus menerima keputusan itu tanpa syarat.”
Arya Salaka dapat mengerti arti kata-kata Karang Tunggal.
Namun Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarnya. Ketika
ditangan Arya telah tergenggam pedang, maka ia tidak menunggu
lebih lama lagi. Dengan kecepatan kilat ia meloncat dan menusuk
dada kakak sepupunya. Namun Arya Salaka telah membayangkan
bahwa hal yang demikian itu akan terjadi. Karena itu segera ia
menghindar. Pedang Galunggung di tangannya itupun segara
bergerak menyambar seperti elang di udara. Sawung Sariti segara
meloncat ke samping. Matanya telah menjadi merah oleh api
kemarahan dan nafsu. Karena itu kemudian kembali ia
melontarkan dirinya menyerang Arya Salaka seperti datangnya
angin ribut.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 87
Demikianlah maka keduanya tenggelam dalam perkelahian
yang dahsyat. Arya Salaka dan Sawung Sariti adalah anak-anak
muda yang sedang tumbuh. Tenaga jasmaniah mereka sedang
berkembang dengan suburnya. Perkembangan tubuh yang selalu
dipupuk dan dipelihara dalam cara masing-masing. Arya Salaka
telah berkembang dalam
lingkaran ilmu keturunan
Pengging, sedang Sawung
Sariti menjadi perkasa karena
ilmu keturunan Pangrantunan.
Dua ilmu yang dahsyat, yang
pada masa-masa lampau
menjadi pasangan yang
mengerikan untuk menghadapi
kekuatan golongan hitam.
Karang Tunggal menyaksi-
kan pertempuran itu dengan
seksama. Ia melihat betapa
keduanya sambar-menyambar
dengan tangkasnya seperti
sepasang burung rajawali yang
bertempur di udara. Namun
sesaat kemudian keduanya telah berubah menjadi seekor harimau
yang garang dengan kuku-kukunya yang tajam melawan seekor
banteng yang kokoh kuat dengan tanduk-tanduknya yang runcing
mengerikan. Tetapi Karang Tunggal samasekali tidak
mencemaskan mereka. Ia melihat kekuatan dan ketangkasan pada
kedua belah pihak. Karena itu ia bersyukur bahwa keduanya telah
bertempur dengan senjata. Kalau saja mereka bertempur dengan
tangan mereka, maka ia pasti akan melihat bahwa tiba-tiba saja
akan berbenturanlah ilmu Sasra Birawa dan Lebur Saketi. Kalau
ilmu itu tidak seimbang maka salah seorang di antaranya pasti
akan hancur lumat bagian dalam tubuhnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 87
Pedang di tangan Sawung Sariti berputar dengan cepatnya.
Semakin lama menjadi semakin cepat dan membingungkan.
Bahkan kemudian seakan-akan berubah menjadi ribuan mata
pedang yang menusuk dari ribuan arah. Namun Arya Salaka adalah
murid dari perguruan Pengging lewat seorang yang bernama
Mahesa Jenar. Karena itu pedangnya pun mampu membentengi
dirinya seperti sebuah bola baja yang melingkari tubuhnya. Tak
seujung jarum pun dapat ditembus oleh tajam pedang lawannya.
Bahkan Arya Salaka tidak saja mampu mengurung dirinya
dengan bola baja yang kokoh dan kuat, namun sekali-kali
serangannya pun menyambar dengan dahsyatnya. Tidak terlalu
sering, namun setiap sambaran pedangnya cukup mendebarkan
hati lawannya.
Demikianlah mereka tenggelam semakin dalam, dalam
pertempuran yang menyeramkan itu. Masing-masing telah
mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya. Mereka
melingkar-lingkar dan berputar-putar dalam satu daerah yang
dilindungi oleh rimbunnya pohon nyamplung. Sekali-kali mereka
berloncatan sambar-menyambar, mengelilingi pokok pohon
nyamplung yang besar itu. Pedang mereka berkilat-kilat seperti
tatit yang beterbangan di langit. Benturan-benturan kedua senjata
itu sedemikian dahsyatnya sehingga bunga api memercik di udara.
Karang Tunggal akhirnya mengagumi juga ketangkasan
mereka. Kelincahan dan keprigelan Sawung Sariti dan
ketangguhan serta ketangkasan Arya Salaka merupakan tanding
yang dapat menghentikan denyut jatung.
Namun kekuatan jasmaniah Arya Salaka ternyata melampaui
kemampuan Sawung Sariti. Tempaan yang bertahun-tahun
disepanjang perantauan, menuruni lembah dan tebing-tebing,
perburuan di hutan-hutan dan pergulatan melawan ombak lautan,
telah menjadikan tubuh Arya Salaka sekokoh belit karang. Otot-
ototnya seakan-akan telah mengeras, sekeras besi. Kulitnya yang
merah kehitam-hitaman terbakar matahari setiap hari itu seolah-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 87
olah menjadi lapisan tembaga yang melindungi tubuhnya dari
setiap bahaya yang menyentuhnya.
Karena itulah maka akhirnya kesegaran tubuh Arya Salaka
telah ikut serta menentukan pertempuran itu. Benturan-benturan
yang terjadi di antara kedua pedang itu tampak, bahwa keadaan
Arya Salaka masih lebih baik daripada Sawung Sariti.
Demikianlah pada suatu ketika, Sawung Sariti kehilangan
keseimbangan sesaat setelah pedangnya beradu dengan pedang
Arya Salaka. Karena dorongan yang keras, Sawung Sariti terdesak
selangkah surut, serta tubuhnya terputar setengah lingkaran. Pada
saat yang demikian, dengan kecepatan yang luar biasa pedang
Arya Salaka terjulur ke dadanya. Sawung Sariti cepat berusaha
menghindarkan diri. Ia memutar tubuhnya setengah lingkaran pula
dalam arah yang sama, sedang ia mengangkat pedangnya,
berusaha untuk menangkis serangan lawannya. Sebagian Sawung
Sariti berhasil. Pedangnya memukul pedang Arya Salaka ke
samping. Namun kekuatan Sawung Sariti pada saat ia melingkar
tidaklah sepenuh kekuatan Arya Salaka. Sehingga dengan
demikian, pedang Arya masih menyentuh pundak kanannya.
Sebuah goresan telah menyobek kulit Sawung Sariti. Dan dari luka
itu melelehlah cairan yang berwarna merah segar. Darah.
Sawung Sariti terkejut, ketika terasa sebuah goresan
menyengat pundaknya. Ia segera meloncat mundur. Tanpa
disengaja tangan kirinya meraba pundaknya. Dan cairan yang
hangat terasa di telapak tangannya. Terdengarlah ia menggeram
dan giginya gemeretak.
Pada saat itu Karang Tunggal meloncat ke depan dan berdiri di
antara mereka. Dengan lantang ia berkata, “Keputusan telah
jatuh. Darah telah menetes dari luka.”
Sawung Sariti memandang Karang Tunggal dengan mata yang
berapi-api. Darahnya serasa mendidih di dalam dadanya. Katanya
tidak kalah lantangnya, “Apa maksudmu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 87
“Perjanjian kita mengatakan, keputusan diambil secara jantan.
Kalau darah telah menetes, pertempuran berakhir, dan selesailah
persoalan kalian,” sahut Karang Tunggal.
“Apa keputusan itu?” tanya Sawung Sariti.
“Seperti yang kita janjikan. Bukankah kalian sedang bertaruh
di atas tanah Pamingit dan Banyubiru?” jawab Karang Tunggal.
Mata Sawung Sariti menjadi semakin menyala. Kemarahannya
kini telah benar-benar memuncak.
“Tidak ada pertaruhan apa-apa!” Tiba-tiba terdengar suara
Arya Salaka yang sudah berhasil menenangkan diri. “Marilah kita
lupakan persoalan kita.”
Karang Tunggal mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tersenyum. Betapa besar jiwa sahabatnya itu.
“Bagus,” katanya, “Kalian tetap pada kedudukan kalian
masing-masing sebagai putra kepala daerah perdikan yang
terpisah.”
Bagi Sawung Sariti semuanya itu seakan-akan merupakan
ejekan atas kekalahannya. Didorong oleh harga diri dan dilambari
oleh nafsu yang melonjak lonjak, maka Sawung Sariti telah lupa
pada segalanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada darahnya yang
bersumber dari saluran yang sama dengan Arya Salaka. Lupa akan
sifat kepribadian yang sejak lama mencekam tata kehidupan
daerah ini. Ia sudah tidak memperdulikan lagi segala galanya.
Dengan suara nyaring ia berkata “Laki laki tidak mengenal darah
yang menetes dari luka. Ayo kakang Arya Salaka, bersiaplah. Kita
bertempur antara hidup dan mati.”
Dada Arya bergetar mendengar tantangan ini, ia tidak
menghendaki hal demikian terjadi. Namun terasa pula bahwa
dendam yang membara didada adiknya itu tak akan padam.
Karena itu ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Ia
menyesal mengapa tidak mengajak gurunya atau ayahnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 87
menjemput ibunya. Kalau demikian keadaannya mungkin berbeda.
Tetapi didalam hatinya melontarlah kata-kata “kalau Sawung Sariti
tidak melakukannya sekarang, maka akan akan datanglah saatnya
pertentangan yang memuncak. bara api yang tersimpan didalam
dada anak itu bagai bara api yang tersembunyi didalam sekam.
Setiap saat akan berkobar membakar dirinya.”
Dalam pada itu Karang Tunggalpun menjadi kecewa. Sawung
Sariti ternyata tidak berjiwa besar. Karena itu akhirnya ia berkata
“kenapa kau mengingkari janji ?”.
“Aku tidak pernah berjanji. Dan aku sudah berkata, melawan
atau tidak, aku akan bunuh kakang Arya Salaka,” jawab anak
muda yang mata gelap itu.
Suasana dibawah pohon nyamplung kini benar benar dicekam
oleh ketegangan yang memuncak. Gemersik daun daunnya yang
rimbun terdengar seperti lagu maut yang membelai hati ketiga
anak-anak muda yang sedang berdiri mematung dibawahnya.
Arya Salaka masih berdiri dalam kebimbangan hati. Apa yang
harus dilakukan?
Tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata seperti guruh
dimulai hujan. “Jangan tegak seperti patung. Aku ulangi, melawan
atau tidak, aku akan membunuhmu. Bersiaplah. Aku akan mulai.”
“Tunggu dulu,” sahut Arya Salaka.
Tetapi Sawung Sariti sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia
telah meloncat seperti seekor serigala lapar menerkam
mangsanya. Demikian cepat dan tiba-tiba sehingga Arya dan
Karang Tunggal menjadi terkejut karenanya. Arya samasekali
tidak menduga Sawung benar-benar akan mengancam jiwanya
pada saat ia sedang mencoba mencegah perkelahian. Karena itu
ia agak gugup. Ia melihat pedang adik sepupunya yang besar dan
panjang tiba-tiba saja terjulur kedadanya. Dengan segala
kemampuan yang ada padanya ia mencoba memukul pedang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 87
tersebut. Namun terlambat. pedang Sawung berhasil mematuk
dadanya. Kemudian sebuah goresan yang panjang membekas
menyilang. Perasaan pedih menjalar menyusur segenap sarafnya.
Arya berdesis perlahan. Untunglah ia tangkas, sehingga
goresannya tidak dalam. Namun demikian darah yang mengalir
dari luka itu, seakan akan minyak yang akan menyiram api
kemarahan anak muda dari Banyubiru. Arya Salaka bukan anak
dewa ataupun malaikat dari langit. Karena itu, maka iapun
memiliki sifat-sifat anak muda pada umumnya. Darahnya yang
panas, serta jiwanya yang meledak-ledak. Selagi Arya Salaka
masih memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya. Marah, dendam
dan nafsu mempertahankan diri.
Demikian akhirnya Arya telah kehilangan semua kesabaran
serta kelunakan hati. Yang didalam dadanya kini adalah
kemarahan yang menyala nyala seperti api membakar hutan
kering di lereng bukit dalam arus angin yang kencang. Hilanglah
kini pengamatannya atas adik sepupunya. Yang ada di hadapannya
kini adalah lawan yang sedang mempertaruhkan hidup atau mati.
Karena itulah maka sambil menggeram keras Arya meloncat
dengan tangkasnya, kemudian seperti badai ia menyerang Sawung
Sariti. Namun Sawung Sariti telah bertekad bulat untuk bertempur
mati-matian.
Namun, Sawung Sariti pun telah bertekad bulat. Ia telah
memutuskan untuk bertempur mati-matian. Ia tidak akan mau
hidup bersama-sama dengan kakak sepupunya dalam lingkungan
langit yang sama. Kakak sepupunya atau ia yang harus mati.
Maka terulang kembali pertempuran sengit dibawah pohon
nyamplung. Pertempuran antara dua anak muda yang darahnya
sedang mendidih sampai kekepala.
Karang Tunggal kini berdiri seperti tonggak. Ia benar-benar
menjadi kecewa. Ia kini tidak bisa berharap bahwa dendam
diantara keduanya akan terhapus karena ucapan jantan. Karena
itulah ia melangkah perlahan-lahan menepi dan duduk ditepi jalan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 87
bersandar pokok pohon nyamplung. Untuk menghilangkan
kejengkelan hatinya, tiba-tiba Karang Tunggal berteriak keras-
keras, “Aku tidak peduli lagi dengan kalian. Apa yang terjadi
kemudian, aku tidak turut campur. Juga seandainya kalian mati
bersama-sama, aku akan berdendang lagu Kinanti, samasekali
bukan Megatruh!”
Meskipun kata-kata Karang Tunggal itu bergetar memenuhi
udara, namun Sawung Sariti dan Arya Salaka tak mendengarnya.
Perhatian mereka sepenuhnya telah tertumpah pada perjuangan
mereka untuk mempertahankan hidup masing-masing.
Pertempuran kali inipun semakin lama menjadi semakin
memuncak. Masing-masing telah melepaskan segenap ilmu
pedang mereka. Ilmu pedang dari perguruan Pengging melawan
ilmu pedang dari perguruan Pangrantunan. Dua ilmu yang
seimbang dan dimiliki oleh dua orang anak muda dalam tataran
yang seimbang pula.
Namun, sekali lagi nampak, betapa kekuatan jasmaniah Arya
Salaka berada selapis lebih dari Sawung Sariti. Itulah sebabnya
maka Sawung Sariti berusaha mempergunakan kelincahannya
untuk memukul lawannya. Namun agaknya Sawung Sariti tidak
akan berhasil. Sebab Arya Salaka pun mampu bertempur dalam
kelincahan yang mengagumkan. Bahkan kemudian keduanya
seakan-akan berubah menjadi bayangan yang melayang-layang
secepat sikatan menyambar belalang.
Pedang Sawung Sariti bergerak dalam bidang-bidang yang
mendatar, mematuk dan kemudian berputar seperti baling-baling.
Sedangkan pedang Arya Salaka mengambil garis-garis silang
untuk mematahkan serangan Sawung Sariti dan kemudian
bergerak melingkari dirinya, untuk kemudian dengan dahsyatnya,
sedahsyat angin pusaran, pedang itu melibat lawannya. Dalam
benturan-benturan yang terjadi, semakin jelas, betapa kekuatan
tubuh Arya Salaka melampaui kekuatan lawannya. Maka ketika
Arya Salaka tidak lagi dapat mengendalikan diri, pedangnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 87
menyambar dengan cepat dan kerasnya ke arah leher lawannya.
Namun kelincahan Sawung Sariti pun tidak kalah daripada
lawannya. Cepat ia merendahkan diri dan pedangnya menyilang,
melindungi tubuhnya. Terjadilah suatu benturan yang dahsyat.
Seperti bunga api menghambur di udara. Dalam benturan itu, Arya
telah mengerahkan segenap kekuatannya, bahkan ia telah
mempergunakan ayunan pedangnya serta berat badannya untuk
memperkuat serangannya. Dengan demikian, kekuatan yang
menghantam pedang Sawung Sariti jauh melampaui kekuatan
Sawung Sariti. Dengan demikian, ia terlontar mundur, sedang
pedangnya bergetar cepat. Terasa jari-jarinya menjadi panas dan
nyeri. Cepat ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya, namun
secepat itu pula sekali lagi pedang Arya Salaka memukul pedang
Sawung Sariti. Kali ini Sawung Sariti tak dapat lagi menyelamatkan
pedangnya. Dengan kerasnya pedangnya terpukul jatuh ditanah.
Sawung Sariti menggeram keras karena terkejut dan nyeri-nyeri
ditangannya.
Dengan cepatnya ia melontar mundur sejauh-jauhnya. Namun
Arya pun mampu bergerak secepat itu, sehingga ketika Sawung
Sariti berjejak di atas tanah, ujung pedang Arya seakan-akan telah
melekat di dadanya. Sekali lagi ia mencoba menjauhkan diri dari
ujung pedang itu, namun Arya Salaka pun melontar maju dengan
kecepatan yang sama. Akhirnya Sawung Sariti berhenti.
Tangannya bergetar, namun tak sesuatu dapat dilakukan. Sedang
ujung pedang Arya masih saja menekan dadanya.
Melihat keadaan kedua anak muda yang bertempur itu, Karang
Tunggal menjadi tegang. Tanpa sesadarnya, ia meloncat berdiri
dengan wajah tegang menanti apa yang akan terjadi.
V
Pada saat itu, Arya benar-benar telah menguasai lawannya.
Dengan satu gerakan yang sederhana, ujung pedangnya akan
menembus dada adik sepupunya itu. Namun tiba-tiba tatit dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 87
ujung langit memancar di udara. Seleret sinar jatuh di wajah
adiknya yang tegang kaku. Bergetarlah dada anak muda dari
Banyubiru itu. Ia pernah melihat wajah yang sedemikian itu di
Gedangan, beberapa tahun lampau. Kalau ia mau, pada saat itu
Sawung Sariti telah terbunuh dengan ujung tombak pusakanya.
Tetapi pada saat itu ia tidak dapat membunuhnya. Perasaannya
dirisaukan oleh kenangan masa-masa silam. Masa kanak-kanak
dan masa-masa mereka bergaul sebagai saudara. Seperti juga
pada saat yang serupa, kini tangan Arya Salaka yang memegang
pedang itu bergetar, bergetar karena getaran di dalam jiwanya.
Getaran perasaan seorang kakak. Betapa pun kemarahan telah
membakar dadanya, namun Arya masih sadar, bahwa Sawung
Sariti adalah adik sepupunya.
Dalam kerisauan itu tiba-tiba terdengar suara Sawung Sariti
lantang, seperti apa yang dikatakan beberapa tahun yang lampau,
“Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku.”
Arya Salaka memandang wajah adiknya. Tangannya masih
bergetar. Namun mulutnya tiba-tiba seperti terkunci. Bahkan
kemudian kembali terdengar Sawung Sariti berkata, “Kali ini
bunuhlah aku, supaya aku tidak membunuhmu kelak.”
NAFAS Arya Salaka berjalan semakin cepat. Bukan karena
kelelahan, tetapi karena perasaannya yang bergolak demikian
dahsyatnya. Bergolakan perasaan yang telah menggoncangkan
nalarnya. Dengan mata yang suram ia mengamat-amati wajah
adiknya dengan seksama. Wajah yang masih memancarkan
perasaan dendam dan benci. Namun karena itulah maka Arya
Salaka menjadi kasihan melihatnya. Ia menangkap getaran
perasaan adiknya. Betapa ia tidak rela menerima keadaan itu.
Karena itu tiba-tiba terdengarlah suaranya gemetar, “Adi Sawung
Sariti. Berjanjilah demi Tuhan Yang Maha Tahu, bahwa kau akan
melupakan gegayuhan yang sesat itu. Kemudian biarlah kita
menikmati hidup tenang. Lepas dari rasa dendam dan prasangka.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 87
“Kakang,” jawab Sawung Sariti, “Aku sudah berkata, kau atau
aku yang harus lenyap. Kita tak akan dapat hidup bersama di
bawah cahaya matahari yang sama.”
Arya Salaka mengangkat alisnya. Dadanya berdentang keras
mendengar jawaban Sawung Sariti.
Dalam pada itu, Karebet pun menjadi heran melihat peristiwa
itu. Alangkah bersih jiwa Arya Salaka. Sebaliknya, betapa keras
kepala adik sepupunya itu. Dengan demikian, Karang Tunggal pun
terpaksa menahan nafasnya, menanti apa yang kira-kira akan
terjadi. Di dalam lumpur yang becek, Galunggung masih duduk
dengan mulut ternganga. Pertempuran yang terjadi benar-benar
telah merampas segenap kesadarannya. Dan kini ia melihat
Sawung Sariti dalam bahaya.
Arya Salaka masih tegak di tempatnya. Pedangnya masih
melekat di dada adiknya dengan gemetar. Secepat getaran di
dadanya sendiri. Bahkan tiba-tiba tangannya menjadi lemas, dan
karena itu pedangnyapun semakin tunduk ke tanah.
Sawung Sariti melihat keadaan kakaknya. Ia melihat pedang
itu semakin renggang dan tunduk. Mula-mula ia merasa aneh,
kenapa kakaknya itu tidak membunuhnya, seperti beberapa tahun
yang lalu, meskipun ia telah mengancamnya. Kemudian ia
merasakan sesuatu yang tak dapat dimengerti sendiri menjalar di
hatinya. Perasaan segan dan lebih dari itu.
Meskipun demikian Sawung Sariti tidak mau dipengaruhi oleh
perasaannya. Ia tidak mau disebut sebagai seorang pengecut,
yang takut menentang maut. Karena itu ia masih mencoba
berkata, “Jangan menjadi laki-laki cengeng. Aku telah mengangkat
dadaku. Bunuhlah aku.” Namun suara Sawung Sariti sudah tidak
selantang tadi. Bahkan suara itu terasa bergetar dan ragu.
“Hem!” Arya Salaka menggeram. Kini pedangnya sudah benar-
benar terkulai. Dengan mata yang sayu ia berkata, “Adi Sawung
Sariti, masihkah hatimu segelap itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 87
Kembali terasa sesuatu berdesir di dada Sawung Sariti.
Kakaknya itu benar-benar tak mau membunuhnya. Tetapi ia
berkata tidak seperti getaran-getaran di hatinya, “Apa pedulimu
tentang hatiku? Kalau kau sobek dadaku, akan kau lihat warna hati
itu.”
Arya menjadi kecewa. Seperti Karang Tunggal juga menjadi
sangat kecewa. Karena itu Arya berkata putus asa, “Baiklah Adi.
Ambillah pedangmu. Kita tentukan sekali lagi. Siapakah yang akan
mati di antara kita.”
Sekali lagi dada Sawung Sariti bergoncang. Kesempatan itu
masih didapatnya. Aneh. Apakah Arya Salaka tidak melihat
kemungkinan dadanya sendiri, akan tembus oleh pedangnya, atau
barangkali kakaknya itu yakin bahwa ia tak akan dapat
mengalahkannya? Namun bagaimanapun juga, kesempatan itu
benar-benar mengacaukan perasaannya. Dan karena itulah ia
tidak segera bergerak memungut pedangnya. Malahan matanya
dengan penuh pertanyaan memandang Arya dan Karebet berganti-
ganti. Getaran di dalam dadanya semakin lama menjadi semakin
keras. Akhirnya terdengarlah suara lamat-lamat jauh dari dalam
relung hatinya berbisik, “Sawung Sariti, alangkah luasnya hati Arya
Salaka, seluas lautan yang sanggup menampung air dari mana pun
datangnya.” Dan karena itulah maka ia masih berdiri mematung.
Dalam kesepian yang mencekam itu, tiba-tiba terdengarlah
dari balik gerumbul-gerumbul di tepi parit, seseorang berkata,
“Persetan kalian, perempuan-perempuan cengeng.”
Semua yang mendengar suara itu terkejut. Serentak mereka
menoleh ke arahnya. Dan tampaklah sebuah bayangan yang
bergerak-gerak di balik gerumbul-gerumbul di tepi parit. Dan
suara itu berkata lagi, “Aku telah mencoba menyabarkan diri,
menunggu kalian saling membunuh. Tetapi aku tidak telaten.
Kalian berperasaan seperti perempuan cengeng. Kenapa kalian
tidak bertempur dan membunuh secara jantan?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 87
Dada ketiga anak muda yang berdiri di bawah pohon
nyamplung itu menjadi semakin berdebar-debar, dan bayangan itu
masih saja berada di sana sambil meneruskan kata-katanya, “Aku
telah menunggu untuk mengurangi darah yang melumuri
tanganku. Setidak-tidaknya aku hanya tinggal membunuh dua di
antara kalian bertiga atau satu, apabila kalian laki-laki dan
bertempur seperti laki-laki. Tetapi tidaklah demikian. Karena itu
maka kalian telah memberatkan pekerjaanku. Membunuh kalian
bertiga dengan tanganku.”
Tidak seorang pun dari ketiga orang dibawah pohon
nyamplung itu yang bergerak. Semua berdiri mematung dengan
hati yang tegang. Mereka menunggu untuk mengetahui siapakah
yang berbicara itu.
Berdesirlah dada mereka, dan darah mereka seakan-akan
membeku ketika mereka melihat bayangan di belakang gerumbul
itu meloncat dengan tangkasnya, melangkahi pohon-pohon perdu
seperti seekor burung gagak yang berwarna kelam di malam yang
gelap. Mereka menjadi semakin terkejut lagi ketika bayangan itu
telah berdiri di antara mereka, di bawah pohon nyamplung itu.
Ternyata bayangan itu adalah seorang yang bertubuh bongkok dan
berwajah mengerikan, seperti wajah hantu.
“Bugel Kaliki,” desis Sawung Sariti.
Orang bongkok dari lembah Gunung Cerme itu tertawa
berderai.
Katanya, “Kau pasti mengenal aku dengan baik.”
Dada Arya Salaka berdesir mendengar kata-kata itu. Kemudian
hantu bongkok itu berkata pula, “Nah, aku juga ingin melihat
bahwa kau dan anak murid Mahesa Jenar ini laki-laki. Tetapi aku
kecewa. Karena itu biarlah aku yang membunuhmu. Dan yang
seorang ini aku tidak tahu, apakah hubunganmu dengan kedua
anak ini. Namun karena kau hadir juga di sini, maka kau pun akan
aku binasakan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 87
Karang Tunggal pun pernah mendengar tentang Bugel Kaliki.
Ia tahu benar bahwa Bugel Kaliki adalah tokoh sakti dari golongan
hitam seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Sura Sarunggi dan
sebagainya. Namun terdorong oleh jiwa kejantanannya yang
meluap-luap dalam dadanya, seperti sifat-sifatnya yang melonjak-
lonjak dipenuhi oleh daya hidupnya, maka ia pun marah bukan
buatan. Dengan berdiri tegak dan bertolak pinggang, ia berkata
lantang, “Hai Bugel Kaliki, kalau kau belum mengenal aku, akulah
yang bernama Karang Tunggal, yang disebut juga Mas Karebet
dalam panggilan Jaka Tingkir.”
Bugel Kaliki mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat
sikap anak muda yang seakan-akan tak mengenal takut
kepadanya itu. Maka katanya, “Sudahkah kau kenal nama Bugel
Kaliki dengan baik?”
“Aku sudah cukup mengenal,” jawab Karebet, “Bugel Kaliki
adalah tokoh sakti dari lembah Gunung Cerme.”
Bugel Kaliki tertawa. Katanya di antara derai tertawanya,
“Bagus, kau telah mengenal namaku. Tetapi kenapa kau berani
bertolak pinggang di hadapanku?”
Kemarahan Karebet menjadi semakin memuncak. Jawabnya,
“Aku tidak mau kau hinakan dengan kata-katamu. Apakah kau kira
membunuh kami bertiga ini semudah membunuh cacing?”
Sekali lagi Bugel Kaliki tertawa, lebih keras dari semula,
sehingga tubuhnya berguncang-guncang.
“Diam!” bentak Karebet, “Aku muak melihat tampangmu.
Apalagi kalau kau sedang tertawa.”
Bugel Kaliki terkejut, sehingga tertawanya berhenti. Bukan
main. Anak itu berani membentak-bentaknya. Karena itu matanya
mejadi buram dan redup. Dipandangnya Karang Tunggal dengan
seksama. Perlahan-lahan ia berjalan ke arah anak muda itu. Arya
Salaka dan Sawung Sariti tiba-tiba menjadi tegang. Apakah ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 87
harus berdiri membiarkan Karang Tunggal mengalami bencana.
Tiba-tiba terasa pula perasaan dendam di antara mereka. Mereka
merasa bahwa kini nasib mereka serupa. Mereka bersama-sama
akan mengalami bencana, apabila Bugel Kaliki benar-benar
bertindak atas mereka. Apalagi di dalam relung hati Sawung Sariti
telah memancar sepercik api yang menerangi kegelapan hatinya
itu. Maka ketika mereka melihat Bugel Kaliki melangkah perlahan-
lahan mendekati Karang Tunggal, tanpa mereka sengaja, Arya dan
Sawung Sariti pun melangkah maju.
Melihat kedua anak muda yang lain bergerak, Bugel Kaliki
berhenti. Pandangan matanya yang buas berganti-ganti hinggap
diwajah Arya dan Sawung Sariti. Kedua anak muda inipun ternyata
tidak gentar menghadapinya. Sehingga dengan demikian Bugel
Kaliki menjadi semakin marah. Dan terdengarlah ia berteriak,
“Apakah kalian bertiga tidak takut menghadapi aku, Bugel Kaliki
dari Gunung Cerme?”
“Selama kami berpijak pada kebenaran, tak ada yang kami
takuti,” jawab Arya Salaka.
“Gila!” geram Bugel Kaliki, “Kau berdua telah terluka.
Membunuh kalian akan sama mudahnya dengan membunuh
semut.”
“Aku sudah siap untuk mati sejak tadi,” sahut Sawung Sariti,
“Namun jangan mimpi, kami akan menyerahkan leher kami tanpa
perlawanan. Dan kalau aku mati karena tanganmu, maka aku akan
mendapat penghormatan sebagai seorang laki-laki dari Pamingit.
Bukan karena pertentangan antara keluarga sendiri. Aku sekarang
menyesal bahwa aku telah melawan kakang Arya Salaka.”
Arya Salaka dan Karang Tunggal bergetar hatinya mendengar
pengakuan yang tiba-tiba itu. Ketika mereka memandangi wajah
Sawung Sariti, tampaklah betapa ia berkata dari dasar hatinya.
Karena itu didalam dada Arya Salaka terdengar suara berbisik,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 87
“Terimakasih adikku. Mudah-mudahan kau mendapat sinar terang
dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Dalam pada itu Bugel Kaliki menjadi bertambah-tambah marah
juga. Ia mengharap bahwa seharusnya ketiga anak muda itu
menjadi ketakutan, menggigil dan berjongkok minta ampun.
Tetapi ternyata mereka telah menengadahkan dada mereka.
Bahkan anak yang bernama Karang Tunggal itu masih saja berdiri
bertolak pinggang. Karena kemarahannya itu tiba-tiba Bugel Kaliki
berkata nyaring, “Hai tikus-tikus yang tak tahu diri. Kalian telah
berbuat kesalahan pada akhir hayat kalian.Hem. Alangkah
menyenangkan apabila aku melihat kalian meronta-ronta dan
menderita sakit pada saat ajal tiba.”
Kata-kata itu diucapkan oleh seorang iblis yang mengerikan.
Karena itu, maka dada ketiga anak muda itu pun berdesir pula.
Namun mereka bukanlah tikus-tikus seperti yang dikatakan oleh
orang bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, meskipun
desiran didada mereka terasa seperti menggores jantung, namun
mereka tidak menjadi gentar.
Terdengarlah Karang Tunggal menjawab, “Omong kosong. Kau
ingin menakut-nakuti kami, supaya kami menjadi menggigil dan
kehilangan nafsu perlawanan kami.”
Jawaban itu benar-benar membakar hati Bugel Kaliki. Seperti
tatit ia meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal. Gerakan
Bugel Kaliki benar-benar demikian cepatnya dan tidak terduga-
duga sehingga tak seorang pun mampu mencegahnya, bahkan
Karang Tunggal pun tak mampu mengelakkan. Namun gerakan
Bugel Kaliki bukanlah serangan yang sebenarnya. Ia menampar
saja karena marah, meskipun demikian tangan Bugel Kaliki adalah
tangan hantu yang seakan-akan gumpalan timah yang keras.
Karena itulah maka tamparan itu pun seolah-olah seperti ayunan
bandul timah yang berat, menghantam pipi Karang Tunggal.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 87
Meskipun Karang Tunggal mencoba mengelak, namun
kecepatannya bergerak tidak dapat memadai kecepatan Bugel
Kaliki, sehingga karena itu maka tangan Bugel Kaliki itu pun tak
dapat dihindari. Namun demikian, Jaka Tingkir itu tak terpelanting
dan terbanting jatuh. Kepalanya hanya tergeser sedikit dan ia
terdorong mundur beberapa langkah.
Bugel Kaliki melihat kenyataan itu. Ia sudah mengatur
kekuatan geraknya. Menurut dugaannya anak yang sombong itu
akan terpelanting dan jatuh berguling ditanah. Tetapi Karebet
ternyata tidak demikian. Bahkan terasa seolah-olah ada lambaran
yang membatasi tangannya dan tubuh anak itu. Karena itu, maka
Bugel Kaliki menjadi berdebar-debar. Dengan pandangan mata
yang buas ia memandang Karebet seperti hendak ditelannya
hidup-hidup. Dari mulutnya tiba-tiba terlontar kata-katanya,
“Setan, dari mana kau miliki aji Lembu Sekilan itu?”
Karebet kini telah tegak kembali. Ia telah mengetrapkan
ilmunya sejak ia melihat kedatangan hantu yang dapat bergerak
secepat tatit itu. Memang ia sudah menyangka, bahwa Bugel Kaliki
pada suatu saat akan bergerak secepat itu. Karena itu, ia pun
selalu bersiaga. Namun ia tidak menjawab pertanyaan hantu
bongkok itu.
Arya Salaka pun tergetar melihat peristiwa itu. Sejak
pertemuannya yang pertama dengan Karang Tunggal, ia telah
mengagumi ketangguhan dan ketangkasannya. Kini ia
menyaksikan betapa Karebet berhasil mempertahankan
keseimbangannya dari dorongan tangan Bugel Kaliki. Apalagi
Sawung Sariti. Dadanya bergoncang ketika ia mendengar Bugel
Kaliki berkata, bahwa anak muda yang bernama Karang Tunggal
itu memiliki aji Lembu Sekilan. “Kalau demikian,” Pikirnya, “ia tidak
bersungguh-sungguh ketika melawan aku. Alangkah bodohnya aku
ini. Kalau ia terapkan Lembu Sekilan, maka aku pasti sudah binasa
karena pedangnya. Sebab aku tak dapat mengenalinya, dan ia
dapat sekehendak hatinya menusuk dadaku dari arah yang
disukainya”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 87
Dalam pada itu terdengar Bugel Kaliki berkata, “Kalau
demikian, kaulah yang harus dibinasakan lebih dahulu. Sebab
ajimu itu, apabila kelak benar-benar dapat kau matangkan, maka
kau akan menggulung jagad.
Tetapi sekarang, belum.
Ternyata kau masih bergetar
karena dorongan tanganku.
Kalau aku hantam sekuat
tenagaku, meskipun kau
melambari dirimu dengan
Lembu Sekilan, namun iga-
igamu rontok seluruhnya.”
Karang Tunggal masih
tetap berdiam diri, namun ia
benar-benar telah bersiaga.
Kalau datang serangan yang
tiba-tiba dan dengan sepenuh
tenaga, ia pun telah bersiap
mengelak.
“Nah, bersiaplah untuk
mati. Kalian bertiga akan aku binasakan secepat-cepatnya sebagai
pembalasan dendam atas kematian sahabat-sahabatku,” kata
Bugel Kaliki seterusnya.
Karang Tunggal, Arya Salaka dan Sawung Sariti sadar bahwa
Bugel Kaliki pasti berusaha untuk melaksanakan kata-katanya.
Karena itu segera mereka pun bersiap. Tanpa berjanji Arya Salaka
dan Sawung Sariti bergerak mengambil tempat masing-masing.
Mereka berdiri sebelah menyebelah dari hantu Bongkok itu,
sehingga mereka dapat mengambil garis perkelahian yang
berbeda-beda. Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mendengus dan
kemudian tertawa pendek. Setelah itu, ia pun mulai bergerak
menyerang Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal telah benar-
benar siap. Ia kali ini berusaha membebaskan dirinya dari tangan
Bugel Kaliki. Dan ketika Bugel Kaliki mencoba mengulangi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 87
serangannya, datanglah serangan Arya Salaka dan Sawung Sariti
bersama-sama. Bugel Kaliki menggeram marah. Terpaksa ia
menghindari kedua ujung pedang itu. Namun gerakannya
sedemikian tangkasnya, sehingga sesaat kemudian ia pun telah
berhasil meloncat menyerang Arya Salaka. Ia menyilangkan
pedangnya di muka dadanya. Tetapi Bugel Kaliki menggeliat di
udara, dan serangannya telah berubah mengarah lambung. Arya
terkejut melihat perubahan itu. Untunglah Sawung Sariti dengan
pedangnya yang panjang menyerang langsung dengan garis
mendatar, memotong gerakan Bugel Kaliki. Sekali lagi Bugel Kaliki
menggeram. Ternyata anak-anak itu benar-benar bukan anak-
anak kecil. Ketika ia melihat perkelahian antara Arya Salaka dan
Sawung Sariti, memang ia telah mendapat gambaran tentang ilmu
kesaktian anak itu, namun kini ia telah membuktikannya.
Namun Bugel Kaliki adalah seorang iblis yang mengerti. Ketika
pedang Sawung Sariti itu terjulur, Bugel Kaliki melantingkan
kesamping. Dengan demikian Sawung Sariti terseret kekuatannya
yang dikerahkan seluruhnya. Bugel Kaliki terkejut. Ia melihat
Sawung Sariti sedang mencoba mempertahankan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian ia menyerang, melihat serangan
itu, tetapi ia terhalang oleh adiknya. Yang kemudian dilakukan
adalah menjulurkan pedangnya, diatas punggung Sawung Sariti
menanti kedatangan Bugel Kaliki. Tetapi perlawanan itu tak
banyak berarti bagi Bugel Kaliki. Dengan cepatnya ia melontar diri
ke arah anak muda dari Pamingit itu. Tetapi sekali lagi Bugel Kaliki
menggeram, bahkan mengumpat-umpat tak habis-habisnya ketika
tiba-tiba tubuhnya tertumbuk dengan Karang Tunggal yang
sengaja menghalang-halangi geraknya. Dengan demikian Bugel
Kaliki terhenti ditempatnya, namun Karang Tunggal terpelanting
beberapa langkah dan jatuh berguling-guling. Untunglah bahwa ia
berhasil menempatkan dirinya sehingga tidak menimpa Sawung
Sariti dan Arya Salaka.
“Gila!” teriak Bugel Kaliki, “Kau tidak mati karena benturan
ini?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 87
“Sebagaimana kau lihat,” sahut Karang Tunggal yang sudah
berhasil berdiri. Ternyata aji Lembu Sekilan telah
menyelamatkannya, meskipun ia terpaksa terpelanting jatuh.
Namun ia tidak mengalami luka pada tubuhnya.
Kesempatan itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Sawung Sariti dan Arya Salaka. Secepat-cepatnya mereka
mempersiapkan diri mereka untuk menanti serangan-serangan
yang baru. Tetapi pertempuran yang baru sebentar itu telah
memberi mereka gambaran bahwa umur mereka tidak akan terlalu
panjang lagi.
Bugel Kaliki segera bersiap maju. Matanya menjadi bertambah
merah karena kemarahan yang menyala di dadanya semakin
menjadi-jadi pula. Ketika anak muda itu ternyata mampu bertahan
beberapa saat menghadapinya. Karena itu ia menggeram tak
henti-hantinya dan mengumpat tak habis-habisnya.
Ketika Bugel Kaliki telah siap dengan serangannya, tiba-tiba ia
terkejut sehingga ia tegak mematung. Ia melihat anak yang
bernama Karang Tunggal itu meraih sesuatu dari dalam bajunya
dan ketika tangannya itu ditariknya, ia telah menggengam sebilah
keris yang memancarkan cahaya yang buram, seperti bara. Dan
tiba-tiba pula dari mulutnya terdengarlah ia berdesis, “Sangkelat.”
“Ya,” sahut Karang Tunggal, “Inilah Kyai Sangkelat.”
“Setan!” Hantu itu bergumam. Namun hatinya berdebar-debar
cepat sekali. Apalagi ketika ia melihat keris itu tidak bercahaya
berkilat-kilat seperti pernah didengarnya. Dan pernah juga ia
mendengar cerita, bahwa Sangkelat yang demikian itu
menyatakan bahwa jiwa keris itu telah luluh dalam jiwa
pemegangnya. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Karang
Tunggal membenarkan dugaannya bahwa yang dipegang itu
adalah Kyai Sangkelat.
Arya dan Sawung Sariti pun berdebar-debar pula melihat keris
itu. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun terasa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 87
bahwa wesi aji yang bercahaya buram itu mempunyai pembawaan
yang luar biasa. Apalagi ketika mereka mendengar Bugel Kaliki
menyebut nama keris itu, “Sangkelat.” Dan nama keris itu pernah
didengarnya.
Bagi Arya Salaka, keris yang bernama Kyai Sangkelat itu telah
memperingatkan kepadanya bahwa ia pun membawa pusaka yang
dapat diandalkan pula, meskipun belum setingkat Kyai Sangkelat.
Karena itu, dengan gerak diluar sadarnya, pedang di tangannya
berpindah ke tangan kirinya, dan tiba-tiba tangan kanannya telah
memegang sebuah pisau belati panjang yang bercahaya kekuning-
kuningan.
Melihat pisau itu, Bugel Kaliki terkejut untuk kedua kalinya.
Sekali lagi mulutnya berdesis, “Kyai Suluh.”
“Ya,” sahut Arya pendek.
“Hem!” geram Bugel Kaliki, “Dari mana kalian mendapat
benda-benda aneh itu? Sangkelat dan Suluh. Bukankah Kyai Suluh
itu pusaka Pasingsingan?”
“Ya,” sahut Arya.
“Persetan dengan pusaka-pusaka itu!” Tiba-tiba ia berteriak.
Suara menggema berulang-ulang. Namun terasa dalam nada
suaranya bahwa kedua pusaka itu benar-benar mempengaruhi
perasaannya.
Melihat kedua kawan senasibnya memegang pusaka-pusaka
yang dapat mempengaruhi lawannya, Sawung Sariti berbesar hati
pula. Dengan demikian perlawanan mereka pasti akan bertambah
panjang. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat merubah
keseimbangan pertempuran itu. Maka karena itulah ia berkata
dengan suara nyaring, “Kakang, berikan pedang itu kepadaku
apabila tak kau pergunakan lagi.”
Arya memandangi adiknya. Ia telah memegang pusaka yang
cukup menggetarkan. Karena itu, dengan tidak berkeberatan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 87
diserahkannya pedang di tangan kirinya kepada adiknya. Sambil
menerima pedang itu Sawung Sariti bergumam, “Akan aku coba
ilmu pedang rangkap yang pernah diturunkan Eyang Sora
Dipayana kepadaku.”
“Pusaka-pusaka itu tak ada artinya bagi kalian. Bahkan aku
akan berterima kasih kepada kalian, karena setelah kalian mati,
maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku,” kata Bugel Kaliki
pula.
Karang Tunggal yang mempunyai sifat-sifat aneh itu
tertawa.Jawabnya,”Jangan berpura-pura. Suaramu gemetar.”
Bukan main marahnya hantu dari Gunung Cerme itu
mendengar hinaan yang keluar dari mulut anak-anak. Karena itu
ia pun segera meloncat, membuka serangan yang dahsyat.
Namun anak-anak muda pun telah bersiaga. Segera anak-
anak itu bergerak pula memberikan perlawanan yang gigih. Kyai
Sangkelat, Kyai Suluh, dan permainan pedang rangkap Sawung
Sariti, yang mengagumkan. Kedua pedang itu tampaknya seperti
saling membelit dan mematuk-matuk berganti-ganti. Tetapi di
antara mereka bertiga Bugel Kaliki seakan-akan dapat bergerak-
gerak seperti asap yang tak dapat mereka sentuh dengan senjata-
senjata mereka.
Namun meskipun demikian, Bugel Kaliki pun tak dapat berbuat
sekehendak hatinya atas ketiga lawan-lawannya yang masih
sangat muda itu. Meskipun ketiga-tiganya bukan berasal dari satu
perguruan, namun mereka dapat bekerja bersama dalam susunan
yang rapi. Mereka mencoba sekuat-kuat mungkin saling mengisi
dan saling memperkuat serangan diantara mereka. Apalagi dengan
kedua pusaka yang menggetarkan hati di tangan Karebet dan Arya
Salaka, maka Bugel Kaliki benar-benar harus berhati-hati.
Meskipun demikian ia adalah tokoh tua yang sudah kenyang
makan pahit getir perkelahian, pertempuran dan segala macam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 87
kekerasan. Bugel Kaliki dapat membunuh lawannya dan kemudian
duduk di atas bangkai itu sambil makan seenaknya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dalam
keadaan demikian, seakan-akan kedua belah pihak berada dalam
keseimbangan. Karang Tunggal ternyata berada dua tiga lapis
diatas kemampuan Arya Salaka. Aji Lembu Sekilannya, meskipun
tidak dapat melawan kekuatan tenaga Bugel Kaliki sepenuhnya,
namun ia dapat menghindarkan dirinya dari sentuhan-sentuhan
kecil hantu dari Gunung Cerme itu. Dengan demikian, maka
seakan-akan Karebetlah yang memimpin kedua kawannya yang
lain. Ialah yang mengambil sikap dan menentukan permainan yang
mengagumkan, namun telah membuat Bugel Kaliki bertambah
marah.
Tetapi, setelah mereka bertempur beberapa saat, tampaklah
tenaga Sawung Sariti mulai susut. Selain kelelahan yang telah
menjalari seluruh tubuhnya, darah juga mengalir dari lukanya.
Meskipun tidak terlalu deras, namun apabila ia menggerakkan
tangannya sepenuh tenaga, darah itu meleleh semakin banyak.
Demikian juga darah dari dada Arya yang telah tergores oleh
pedang Sawung Sariti. Namun ketahanan jasmaniahnya ternyata
lebih besar daripada adik sepupunya itu. Melihat keadaan itu,
Karebet menjadi berdebar-debar. Dengan demikian ia harus
bekerja sekuat tenaganya. Tenaga yang seakan-akan mempunyai
persediaan yang tak kering-keringnya didalam tubuhnya. Memang
selain sifat-sifatnya yang aneh, tubuh Karebet pun aneh pula.
Meskipun ia memeras segenap kekuatan dan tenaganya sejak
pertempuran itu dimulai, namun semakin lama, seakan-akan ia
menjadi semakin segar dan kuat.
Bugel Kaliki yang bermata tajam, setajam burung hantu,
melihat kelemahan itu. Karebet adalah anak yang sangat
berbahaya dengan Kiai Sangkelat di tangannya. Karena itu maka
yang pertama-tama harus disingkirkan supaya tidak mengganggu
adalah Arya Salaka atau Sawung Sariti.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 87
Dalam pada itu, terasalah tekanan-tekanan yang erat pada
Arya Salaka dan Sawung Sariti. Bugel Kaliki telah mangerahkan
serangan-serangannya kepada kedua anak itu berganti-ganti
sambil menghindarkan diri dari serangan-serangan Kiai Sangkelat
yang menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya.
Ketika mereka sedang sibuk dengan pertempuran itu, dimana
perhatian mereka seluruhnya terampas oleh usaha mereka
mempertahankan diri, terjadilah suatu peristiwa yang tak mereka
duga-duga. Galunggung, yang duduk lemas ditanah yang becek,
ketika melihat kehadiran hantu dari Gunung Cerme itu, menjadi
seakan-akan membeku. Ia tahu benar siapakah Bugel Kaliki.
Dengan demikian ia menjadi putus asa. Semua impiannya kini
telah benar-benar menjadi lenyap seperti awan disapu angin.
Impiannya tentang tanah yang berpuluh-puluh bahu. Kekuasaan
atas Pamingit dan Banyubiru. Kekayaan dan kemewahan. Sebab
dengan kehadiran hantu bongkok itu harapan untuk hidup bagi
Sawung Sariti menjadi semakin tipis. Tetapi ketika ia melihat
pertempuran di antara mereka, di antara Bugel Kaliki melawan
ketiga anak-anak muda itu hatinya menjadi hidup kembali.
Darahnya serasa mulai mengalir. Ia melihat bagaimana ketiga
anak muda itu dengan gigih mempertahankan diri mereka. Bahkan
anak muda yang bernama Karebet itu dapat bergerak menyambar-
nyambar seperti burung alap-alap di langit. Dengan demikian
pikirannya perlahan-lahan dapat berjalan kembali. Mula-mula ia
ingin mencoba membantu melawan Bugel Kaliki namun hal itu
tidak akan berarti. Apalagi senjatanya kini tidak ada di tangannya
lagi.
Tiba-tiba timbullah pikirannya yang bersih. Dengan sagat hati-
hati ia merangkak masuk ke dalam tanaman jagung muda itu
semakin dalam. Kemudian tiba-tiba kekuatannya seperti kembali
menjalari tubuh. Dengan serta merta, ketika ia sudah cukup dalam
di balik pohon-pohon jatung itu Galunggung meloncat dan berlari
sekencang-kencangnya seperti dikejar hantu, kembali ke Pamingit.
Siapa pun yang akan dijumpainya pertama, akan diberitahukan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 87
kepadanya bahwa Arya Salaka dan Sawung Sariti sedang
bertempur melawan Bugel Kaliki.
Pada saat itu keadaan Sawung Sariti telah bertambah payah.
Perlawanannya telah menjadi semakin kendor. Kedua pedangnya
yang semula bergerak seperti gumpalan asap yang bergulung-
gulung melindungi dirinya, kian lama menjadi kian kendor.
Sedangkan serangan Bugel Kaliki menjadi semakin garang pula.
Demikianlah, pada suatu saat Bugel Kaliki berhasil menerobos
lawan-lawannya langsung menyerang Sawung Sariti. Dengan
kecepatan yang masih dapat dilakukan, Sawung Sariti
menyilangkan kedua pedangnya dengan kekuatan raksasanya,
sehingga tiba-tiba kedua pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di
tanah. Sawung Sariti menjadi gugup. Pada saat itu Bugel Kaliki
mengulangi serangannya langsung ke dada Sawung Sariti.
Serangan itu datang sedemikian cepatnya, sehingga Sawung Sariti
telah benar-benar kehilangan kesempatan untuk menghindar.
Karang Tunggal dan Arya menjadi terkejut pula melihat Bugel
Kaliki dapat bergerak secepat itu, menerobos serangan-serangan
mereka. Dengan secepat yang dapat dilakukan, Karang Tunggal
meloncat menyerang sejadi-jadinya. Kyai Sangkelat langsung
terjulur lurus ke lambung Bugel Kaliki. Sedang Arya, yang berada
dalam jarak yang lebih jauh, tak mampu meloncat mencapai
lawannya. Maka ia hanya berusaha menyelamatkan Sawung Sariti
yang sedang kehilangan keseimbangannya.