Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Edible Film
Edible film merupakan pengemas makanan yang dapat dimakan bersama
produk pangan yang dikemasnya, berupa lembaran atau lapis tipis. Edible film
terbuat dari bahan alami sehingga bersifat ramah lingkungan (Hendra dkk., 2015).
Edible film sebagai pengemas primer digunakan sebagai pelapis komponen
makanan yang berfungsi untuk menghambat oksigen, kelembaban migrasi,
karbondioksida, aroma, dan lipid. Selain bersifat biodegradable, edible film juga
dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai
fungsional dari kemasan itu sendiri. Menurut (Rodriguez dkk., 2006; Nurhayati dan
Agusman, 2011) prinsip pembuatan edible fim adalah interaksi rantai polimer
menghasilkan polimer yang lebih stabil. Komponen penyusun edible film antara
lain hidrokoloid, lipid, dan kombinasi dari keduanya. Kelompok hidrokoloid
meliputi protein, alginat, pektin, pati, derivet selulosa, dan polisakarida lain,
sedangkan lipid yang dapat digunakan meliputi lilin, asam lemak, dan gliserol
(Fama dkk., 2005).
Edible film memiliki sifat yang hampir mirip dengan film pengemas,
diantaranya harus memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, dapat
menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk,
mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan pigmen
alami, warna dan gizi. Serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pengawet,
pewarna dan penambah aroma yang dapat memperbaiki bahan pangan. Adapun
karakteristik edible film menurut Japanesse Industrial Standard disajikan pada
Tabel 1.
6
Tabel 1. Standart Edible Film Menurut Japanese Industrial Standard
Parameter Nilai
Ketebalan Maks. 0,25 mm
Kuat Tarik Min. 0,39 M.Pa
Elongasi <10% sangat buruk
10-50% baik
>50% sangat bagus
Laju Transmisi Uap Air Maks. 7 g/m2/24 jam
Keterangan : Japanese Industrial Standard (2019)
Keuntungan dari penggunaan edible film untuk kemasan bahan makanan
adalah dapat dikonsumsi langsung bersama produk yang dikemas,
memperpanjang umur simpan, tidak mencemari lingkungan, dan memperbaiki
sifat organoleptik produk yang dikemas (Nugroho dkk., 2013). Istilah lain edible
fim yang digunakan adalah biopolimer, yaitu kemasan yang berasal dari bahan
hasil pertanian sebagai bahan baku pembuatan film kemasan tanpa campuran
dengan polimer sintetis (plastik). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan edible film adalah suhu, plasticizer, dan konsentrasi polimer (Krochta
dan Johnson, 1997).
Komponen penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga kelompok
besar yaitu hidrokoloid (protein, polisakarida, alginat), lipid (asam lemak, asil
gliserol, wax atau lilin) dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid) (Jacoeb
dkk, 2014).
a) Hidrokoloid
Hidrokoloid yang umum digunakan untuk pembentukan edible film adalah
protein, polisakarida. Sumber protein yang dapat digunakan untuk bahan baku
edible film yaitu protein susu, protein ikan, kedelai, jagung, kasein, gelatin
kolagen, dan wheat gluten. Sedangkan untuk kelompok polisakarida yang biasa
7
digunakan untuk bahan baku edible film yaitu pati, selulosa, pektin, kitosan, gum,
dan alginat (Listyawati, 2012). Golongan hidrokoloid dari kelompok polisakarida
memiliki beberapa keunggulan, diantaranya selektif terhadap CO2, O2, senyawa
aroma, dan lemak, kandungan kalorinya rendah, penampilan tidak berminyak,
serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan.
Semua hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film dapat
sepenuhnya atau sebagian larut dalam air dan digunakan untuk meningkatkan
viskositas fase kontinyu sebagai pembentu gel dan pengental. Hasil penelitian
edible film berbahan dasar gel okra dengan penambahan pati singkong
menghasilkan karakteristik edible film dengan hasil elongasi 9,24 % dan nilai kuat
tarik 0,74 MPa (Muslimah, 2021).
b) Lipid
Lipid merupakan kelompok molekul alami yang meliputi sterol, lilin, lemak,
dan vitamin. Lipid yang umum digunakan dalam pembuatan edible film antara
lain beeswax, emulsifier, dan asam oleat serta laurat (Herlina dan Ginting, 2011;
Listyawati, 2012). Menurut Sahabrina (2018) dalam penelitian yang berjudul
penambahan beeswax sebagai platicizer terhadap karakteristik fisik edible film
kitosan menunjukkan bahwa platicizer beeswax memberikan pengaruh terhadap
karakteristik edible film yang terbentuk berkisar antara 3,34 – 7,44 %.
Peningkatan konsentrasi beesweax menurunkan kuat tarik namun disisi lain dapat
meningkatkan nilai ketebalan dan elongasi.
c) Komposit
Komposit merupakan gabungan dari dua komponen yaitu gabungan antara
lipid dan hidrokoloid. edible film dari komposit diharapkan bisa memperbaiki film
8
dari lipid dan hidrokoloid dan mengurangi kelemahannya. Gabungan dari
hidrokoloid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen
lipida dan hidrokoloid. Hidrokoloid memberikan daya tahannya sedangkan lipida
dapat meningkatkan ketahanan terhadap penggunaan air (Murni dkk., 2013;
Irianto dkk., 2006). Hasil penelitian Darmajana (2015) menyatakan bahwa
karakteristik edible film berbasis karagenan dan beeswax yang baik dihasilkan ada
karagenan 2 % beeswax 0,1 %, tween 80 0,2% dan fruktosa 1 % dengan nilai
WVTR 23,86 g/m2/hari, kuat tarik 24,13 MPa dan elongasi 30,95%.
2.2 Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film
a) Ketebalan Edible Film
Ketebalan edible film merupakan parameter penting karena mempengaruhi
sifat fisik dan mekanik suatu edible film seperti transmisi uap air, kuat tarik, laju
transmisi uap air dan pertambahan panjang. Ketebalan film dipengaruhi oleh
banyaknya ketebalan cetakan dan total padatan dalam larutan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketebalan kemasan adalah konsentrasi padatan terlarut, semakin
tinggi konsentrasi padatan terlarut maka ketebalan akan meningkat (Krochta dkk.,
1994).
b) Elongasi Edible Film
Perpanjangan adalah sebagai rasio antara perubahan pemanjangan dengan
panjang awal dari bahan yang mengalami perubahan bentuk. Meningkatnya kadar
air akan menurunkan kuat tarik film yang tidak menggunakan lilin, tetapi
meningkatnya kuat tarik film dan menurunkan elongasi dipengaruhi oleh lilin.
Nilai pemanjangan menjadi tolak ukur untuk film melakukan pemanjangan.
Besarnya nilai persen pemanjangan besar, maka nilai kuat tarik kecil. Menurut
9
Gela (2016) elongasi yang lebih dari 50% dikatakan baik, namun apabila nilainya
kurang dari 10% maka edible film tidak baik.
c) Transparasi Edible Film
Transparansi merupakan faktor penting dalam edible film karena
transparansi salah satu penentu kualitas edible film. Jika produk yang dilapisi
edible film tidak jernih maka akan mengubah warna asli dari produk yang dilapisi.
Semakin menurun nilai transparansi maka derajat suatu kejernihan film meningkat
(Al Hasan dan Noerziah, 2012).
d) Laju Transmisi Uap Air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR)
Laju transmisi uap air merupakan jumlah molekul uap air yang melewati
suatu permukaan suatu luas jumlah uap air dibagi luas area. Laju transmisi uap air
berfungsi untuk menentukan kualitas edible film dalam menekan laju transmisi
uap air yang akan digunakan sebagai pelindung produk. Laju transmisi uap air
dipengaruhi oleh sifat kimia dan struktur bahan pembentuk, konsentrasi
plasticizer, dan kondisi lingkungan seperti kelembapan lingkungan. Dalam japan
industrial standart (JIS) batas maksimal nilai laju transmisi uap air adalah sebesar
7 gram/m2/24 jam. Edible film berbahan dasar hidrokoloid umumnya bersifat
barier terhadap uap airnya rendah (Liu dan Han, 2005). Nilai hidrofobisitas
mengalami kenaikan, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut rendah (Bergo
dan Sobral 2007).
e) Kuat Tarik (Tensile Streght)
Kuat tarik merupakan konsistenitas kekuatan tarikan film untuk tetap
bertahan sebelum putus atau sobek. Pengukuran kuat tarik dilakukan untuk
mengetahui besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik film guna mencapai
10
tarikan maksimum pada setiap luas area film. Faktor yang mempengaruhi
kekuatan edible film antara lain bahan yang digunakan, metode pembuatan, dan
teknik penyimpanan lanjutan (Diki dkk., 2000).
f) Kelarutan
Kelarutan dalam air salah satu sifat fisik edible film yang menunjukkan
presentase berat kering terlarut setelah dicelupkan didalam air selama 24 jam.
Daya larut film sangat ditentukan oleh sumber bahan dasar pembuatan edible film.
Edible film dengan daya larut tinggi menunjukkan film tersebut mudah
dikonsumsi (
2.3 Okra
Okra termasuk komoditi budidaya tanaman yang tumbuh di daerah tropis,
okra merupakan famili Malvaceae yang dikenal dengan beberapa nama
diantaranya lady’s finger. Okra memiliki manfaat dan kandungan gizi yang cukup
tinggi, namun tanaman ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat karena banyak
yang belum mengetahui kandungan dan kegunaanya. dimana pada setiap 100 g
okra mengandung 33 kalori, 3,2 g serat, 7 g karbohidrat dan 0,08 g kalsium.
Menurut Watson (2016), klasifikasi okra sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Devisi : Magnoliophta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Marvales
Famili : Malvaceae
Genus : Abelmoschus
Spesies : Abelmoschus esculentus
11
Gambar 1. Okra
Lendir okra merupakan salah satu hidrokoloid polisakarida rantai panjang
dengan berat molekul tinggi dan protein penyusun yang mengandung kedua zat
hidrofilik dan hidrofobik (Lim, dkk., 2015). Okra memiliki lendir yang sangat
banyak dan terdapat kandungan serat yang tinggi didalamnya. Karakteristik ini
menyebabkan lendir okra memiliki potensi sebagai agen pengemulsi, pengental
dan agen pengikat. Lim dkk., (2015) menyatakan bahwa lendir okra yang
diekstraksi menjadi bubuk menghasilkan rendemen sebesar 11,84% dimana pada
konsentrasi 1% bubuk lendir okra stabilitas emulsinya mencapai 99,23%. Gel okra
tidak memiliki bau, warna, dan aman digunakan.
Hasil penelitian Nur (2021) edible film berbasis pati kacang merah dan gel
okra menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 4,87 MPa dan nilai elongasi sebesar
18,02 %. Hasil penelitian pengaruh penambahan cmc dan sorbitol terhadap edible
film berbasisi gel okra menghasilkan nilai elongasi sebesar 239,19% dan kuat tarik
senilai 1,86 MPa. Hasil penelitian Warkoyo dkk (2021) tentang edible film gel
okra dengan penambahan CMC dan gliserol menghasilkan elongasi sebesar 186 %
dan nilai kuat tarik 0,17 mm. Pada Tabel 2 terdapat kandungan nutrisi pada okra.
12
Tabel 2. Kandungan Nutrisi pada 100 gram Okra
Nutrisi Jumlah
Air (g) 90,17
Energi (kkal) 31,00
Protein (g) 2,00
Lemak Total (g) 0,10
Abu (g) 0,70
Kabohidrat (g) 7,03
Total Serat (g) 3,20
Total Gula (g) 1,20
Ca (mg) 81,00
Fe (mg) 0.80
Mg (mg) 57,00
Zn (mg) 0,60
Mn (mg) 0,990
K (mg) 303,00
Vitamin A (IU) 375,00
Vitamin C (mg) 21,10
Vitamin E (mg) 0,36
Vitamin K (mg) 53,00
Tiamin (mg) 0,02
Riboflavin (mg) 0,06
Sumber : (Roy dkk., 2014)
Okra mampu tumbuh cepat setelah bunga mekar, mempunyai bentuk seperti
kapsul, dan memiliki warna hijau muda sampai tua. Masa panen okra yang
optimal dilakukan pada umur 4 – 6 hari setelah bunga mekar dan pada saat buah
masih muda. Biji muda okra berwarna hitam, setelah okra matang biji berubah
warna menjadi coklat (Departement of Biotechnology, 2011). Okra dapat tumbuh
pada daerah tropis dan subtropis ini merupakan tanaman pangan sayur-sayuran.
Menurut Warkoyo dkk (2021) tentang edible film gel okra, lendir okra dapat
dimanfaatkan sebagai pembuatan edible film yang bersifat hidrokoloid
polisakarida karena menghasilkan karakteristik yang memenuhi Standar
Japanesse International Standart.
13
2.4 Pati
Pati merupakan suatu biopolimer semi kristalin berupa polisakarida yang
terbentuk dari unit-unit glukosa yang berikatan dengan ikatan glikosida. Secara
spesifik, ikatan glikosida dalam pati adalah (1-4)-glikosida. Berdasarkan dari
sumber tanamannya, pati mengandung 20-25% amilosa dan 75-80% amilopektin
(Karmakar dkk., 2014). Amilosa berperan dalam proses gelatinisasi dan lebih
menentukan karakteristik pasta pati (Suriani, 2008). Amilosa merupakan rantai
linier primer dari unit Dglukosa yang dihubungkan oleh ikatan - (1,4)-.
Sedangkan amilopektin mempengaruhi kesetabilan dan mampu membentuk
kristalisasi granula pati. Polimer dari unit glukosa yang bercabang, yang
dihubungkan dengan ikatan glikosida -D-(1,4)- dengan cabang -D-(1,6)- yang
terbentuk setiap 24-30 unit glukosa. Struktur amilosa disajikan pada Gambar 2
dan struktur amilopektin disajikan pada Gambar 3.
Gambar 2. Struktur Molekul Amilosa
Gambar 3. Struktur Molekul Amilopektin
14
Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian, sayuran, maupun buah-
buahan. Sumber alami pati antara lain adalah jagung, labu, kentang, ubi jalar,
pisang, barley, gandul, beras, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong, dan sorgum.
Pemanfaatan pati asli masih sangat terbatas karena sifat fisik dan kimianya kurang
sesuai untuk digunakan secara luas. Oleh karena itu, pati akan meningkat nilai
ekonominya jika dimodifikasi sifatsifatnya melalui perlakuan fisik, kimia, atau
kombinasi keduanya (Liu dkk., 2005). Pada Tabel 3 terdapat standar mutu pada
pati.
Tabel 3. Standart Mutu Pati Menurut Standar Industri Indonesia
Komponen Kadar (%)
Kadar Air Maks 14
Kadar Abu Maks 14
Kadar Pati Min 75
Derajat Putih Min 85
Sumber : Standar Industri Indonesia
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di
alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifat-
sifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating/film karena dapat membentuk
film yang cukup kuat. Namun, edible film berbasis pati mempunyai kelemahan,
yaitu resistensinya terhadap air rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga
rendah karena sifat hidrofilik pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat
mekanisnya (Garcia dkk., 2011).
2.4.1 Karakteristik Tapioka
Tapioka merupakan bahan baku dalam pembuatan edible film karena salah
satu polisakarida yang memiliki kandungan pati yang tinggi yang dapat
berpengaruh pada sifat fisik edible film. Tapioka disebut juga pati singkong, dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan edible film. pati ini mengandung sekitar 17%
15
amilosa dan 83% amilopektin (Roosdiana, 2017). Kesetabilan edible film
dipengaruhi dengan adanya amilopektin, sedangkan amilosa mempengaruhi
kekompakannya. Kadar amilosa yang tinggi pada pati menghasilkan edible film
yang kuat dan lentur. Hasil penelitian Wulandari (2019) edible film pektin kulit
pisang dengan penambahan tapioka menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 1,28
MPa dan elongasi sebesar 016,30 %. Pati tapioka memiliki sifat higrokopis yaitu
kemampuan menyerap molekul air dengan baik. Penggunaan pati tapioka pada
edible film dapat meningkatkan elastisitas dan tidak mudah rapuh. Pada Tabel 4.
terdapat kandungan nutrisi tepung tapioka.
Tabel 4. Komposisi Kimia pada 100 gram Tapioka
Komponen Jumlah
Kalori (per 100 g) 363
Kadar air (%) 9,00
Protein (%) 1,1
Lemak (%) 0,5
Karbohidrat (%) 88,2
Ca (mg/100 g) 84
P (mg/100 g) 125
Pati (%) 88,1
Vitamin B1 (mg/100 g) 0,4
(Sumber : Soemarno 2007)
Aplikasi pati dalam dalam produk dipengaruhi oleh kemampuannya untuk
membentuk karakteristik produk akhir yang diinginkan. Penambhan tapioka pada
edible film dari ekstrak wortel meningkatkan sifat elastisitas dan tidak rapuh
sebagai bahan pengemas makanan (Evi, 2011). Perbedaan karakteristik fisiko-
kimia seperti bentuk granula, rasio amilosa/amilopektin, karakteristik molekuler
pati dan keberadaan komponen lain fungsioalitas (Copelan, dkk,. 2009).
16
1.4.2 Karakteristik Pati Talas
Tanaman talas mengandung protein, lemak, vitamin, kabohidrat dan mineral yang
tinggi. Sebagian besar kabohidrat talas merupakan komponen pati. Talas
mengandung pati dalam jumlah tinggi. Kadar pati umbi talas berkisar 80 %.
Menurut hasil penelitian Nawangwulan (2018) talas mengandung pati
sebesar 85,68% dengan rasio amilosa dalam pati sebesar 21,21% dan amilopektin
sebesar 78,56 % (Arisma, 2017). Oleh karena itu, pati talas sebenarnya sangat
potensial sebagai pati industri. Pati talas mempunyai swelling power dan peak
viscosity yang tinggi (Alam and Hasnain., 2009), serta dapat membentuk struktur
gel yang halus karena ukuran granul yang kecil (Tattiyakul dkk., 2006).
Hasil penelitian Pangesti dkk., (2014) menggunakan konsentrasi pati talas
sebesar 4% menghasilkan nilai ketebalan edible film 0,18 mm, laju tranmisi uap
air 5,75 g.m2/jam, dan nilai elongasi 8,92%. Pada Tabel 5 terdapat komposisi
kimia umbi talas.
Tabel 5. Komposisi Kimia dalam 100 Gram Umbi Talas
Komposisi Jumlah (%)
Kadar air 10,20
Protein 12,25
Lemak 0,50
Abu 4,15
Serat kasar 0,75
Karbohidrat total 72,15
Pati 67,42
• Amilosa 2,25
• Amilopektin 65,17
Sumber : Syamsir, 2012
Amilosa miliki 490 unit glukosa per molekul dan amilopektin memiliki 22
unit glukosa per molekul. Talas mempunyai granula pati sangat kecil berkisar
antara 3-4. Komposisi pati talas dipengaruhi oleh varietas iklim, kesuburan tanah,
17
dan umur panen (Richana, 2012). Kadar pati merupakan kriteria terpenting pada
tepung baik sebagai bahan pangan atau non pangan. Penamnfaatan talas sebagai
tepung atau pati dapat meningkatkan nilai ekonomis dan daya simpan produk.
1.4.3 Karakteristik Pati Ubi Jalar Putih
Ubi jalar (Ipomoea batatas) adalah salah satu komoditas tanaman pangan
yang dapat tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia. Menurut Fatnasari
(2018) kandungan pati pada ubi jalar adalah 20 %. Sedangkan, amilosa pada ubi
jalar adalah 28,3 % dan 71,7 % amilopektin. Kadar amilosa pada ubi jalar yang
tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan edible film. Pati dengan kadar
amilopektin yang lebih tinggi akan menyerap air lebih banyak sehingga memiliki
daya pembengkakan yang lebih besar dibandingkan pati dengan amilopektin
rendah. Pada Tabel 6 terdapat komposisi kimia ubi jalar putih.
Tabel 6. Komposisi Kimia Ubi Jalar Putih
Hasil penelitian Enny (2014) yang berjudul karakteristik edible film dari
pati ubi jalar dan gliserol menghasilkan perlakuan terbaik pada pati ubi jalar 3%
dan gliserol 15% dengan ketebalan 0,041 mm, elongasi 23,549 MPa, laju
transmisi uap air 0,147 g/m2/24 jam. Komposisi yang terdapat pada ubi jalar
Komposisi Jumlah Kadar air (%) 72,85 Pati (%) 24,28 Protein (%) 1,65 Gula reduksi (%) 0,85 Mineral (%) 0,95 Asam askorbat (mg/100g) 22,70 K (mg/100g) 204,00 S (mg/100g) 28,00 Ca (mg/100g) 22,00 Mg (mg/100g) 10,00 Na (mg/100g) 15,00 Fe (mg/100g) 0,59 Mn (mg/100g) Energi(KJ/100g)
Sumber : Aini,2004
0,35 441,0
18
sangat tergantung pada varietas dan tingkat kematangan serta lama penyimpanna.
Kabohidrat dalam ubi jalar terdiri dari polisakarida, monosakarida dan
oligosakarida. Sekitar 70-90% dari bahan bahan kering ubi jalar putih terdiri dari
gula, selulosa, pati, hemiselulosa dan pektin.
2.5 Gliserol
Edible film yang berbahan dasar hidrokoloid memiliki sifat permabilitas uap
air yang rendah dan mudah rapuh, hal ini di sebabkan oleh sifat hidrofilik pada
bahan polisakarida, sehingga diperlukan penambahan zat aditif yang bersifat
sebagai plasticizer untuk memperbaiki sifat mekanik dari edible film. Platicizer
yang sering digunakan dalam bahan tambahan edible film adalah gliserol. Gliserol
merupakan plasticizer yang ditambahkan dalam edible film yang mudah larut
dalam air. Memiliki sifat fisik yang tidak berbau, memiliki rasa manis, tidak
berwarna, berbentuk cairan kental, meleleh pada suhu 17, 8ºC serta mendidih
pada suhu 290 ºC. Penambahan gliserol efektif dalam edible film karena mampu
mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekul sehingga
melunakkan struktur film, meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan
memperbaiki sifat mekanik fim. Gliserol adalah plasticizer yang mampu
menjadikan permukaan film lebih halus, meningkatkan fleksibilitas film, dan
mampu meningkatkan kemampuan permeabilitas edible film terhadap zat terlarut,
uap air, dan gas ( Murni dkk., 2013).
Menurut Fatnasari dkk (2018) dalam penelitian pengaruh konsentrasi
gliserol terhadap karakteristik edible film menyatakan peningkatan konsentrasi
gliseol berpengaruh terhadap nyata terhadap ketebalan, elongasi dan kuat tarik
konsentrasi terbaik dihasilkan dari formulasi 10% gliserol (v/b) dengan nilai
19
ketebalan 0,06 mm, elongasi 8,75% dan kuat terik 0,75 MPa Gliserol mampu
mengikat air, menurunkan aw bahan, dan meningkatkan viskositas larutan.
Gliserol merupakan senyawa golongan alkohol trivalen. Gliserol memiliki berat
molekul 92,1 g/mol dan massa jenis 1,23 g/cm2 . Struktur gliserol dapat disajikan
pada Gambar 4.
H2C-OH
HC-OH
H2C-OH
Gambar 4. Struktur Gliserol
2.6 Penelitian Terkait
Hasil penelitian pektin kulit buah naga bisa digunakan sebagai kemasan
yang dapat dimakan (edible film/edible coating) yang bersifat sebagai barrier.
Edible coating dari pektin kulit buah naga dan tapioka dengan penambahan
perasan jeruk nipis sebagai pelapis bakso dapat memberikan pengaruh terhadap
kadar air, kadar protein, kekenyalan, dan uji jumlah angka lempeng total
(Maragreta, 2018). Hasil penelitian Anjani dkk., (2018) dengan penambahan
gliserol formulasi 10% (v/b pati) menghasilkan ketebalan 0,06 mm, laju transmisi
uap air 1,79 g/m2,elongasi 8, 75%, dan kekuatan tarik 0,75 M.Pa. Nilai elongasi
tersebut masih terlalu rendah dan belum memenuhi standart. Hasil penelitian
pembuatan edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan penambahan tapioka
dan gliserol dapat mempengaruhi karakteristik dari edible film dari hasil penelitian
diperoleh edible film yang terbaik adalah pada penambahan gliserol 4 ml/100 ml
susu kedelai. Ketebalan, kekuatan tarik, dan pemanjangan saat pemutusan yang
diperoleh adalah 0,228 mm; 0,134 M.Pa; dan 3,27%.