16
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible Film Edible film merupakan pengemas makanan yang dapat dimakan bersama produk pangan yang dikemasnya, berupa lembaran atau lapis tipis. Edible film terbuat dari bahan alami sehingga bersifat ramah lingkungan (Hendra dkk., 2015). Edible film sebagai pengemas primer digunakan sebagai pelapis komponen makanan yang berfungsi untuk menghambat oksigen, kelembaban migrasi, karbondioksida, aroma, dan lipid. Selain bersifat biodegradable, edible film juga dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai fungsional dari kemasan itu sendiri. Menurut (Rodriguez dkk., 2006; Nurhayati dan Agusman, 2011) prinsip pembuatan edible fim adalah interaksi rantai polimer menghasilkan polimer yang lebih stabil. Komponen penyusun edible film antara lain hidrokoloid, lipid, dan kombinasi dari keduanya. Kelompok hidrokoloid meliputi protein, alginat, pektin, pati, derivet selulosa, dan polisakarida lain, sedangkan lipid yang dapat digunakan meliputi lilin, asam lemak, dan gliserol (Fama dkk., 2005). Edible film memiliki sifat yang hampir mirip dengan film pengemas, diantaranya harus memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, dapat menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan pigmen alami, warna dan gizi. Serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pengawet, pewarna dan penambah aroma yang dapat memperbaiki bahan pangan. Adapun karakteristik edible film menurut Japanesse Industrial Standard disajikan pada Tabel 1.

5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Edible Film Edible film

Embed Size (px)

Citation preview

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edible Film

Edible film merupakan pengemas makanan yang dapat dimakan bersama

produk pangan yang dikemasnya, berupa lembaran atau lapis tipis. Edible film

terbuat dari bahan alami sehingga bersifat ramah lingkungan (Hendra dkk., 2015).

Edible film sebagai pengemas primer digunakan sebagai pelapis komponen

makanan yang berfungsi untuk menghambat oksigen, kelembaban migrasi,

karbondioksida, aroma, dan lipid. Selain bersifat biodegradable, edible film juga

dapat dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai

fungsional dari kemasan itu sendiri. Menurut (Rodriguez dkk., 2006; Nurhayati dan

Agusman, 2011) prinsip pembuatan edible fim adalah interaksi rantai polimer

menghasilkan polimer yang lebih stabil. Komponen penyusun edible film antara

lain hidrokoloid, lipid, dan kombinasi dari keduanya. Kelompok hidrokoloid

meliputi protein, alginat, pektin, pati, derivet selulosa, dan polisakarida lain,

sedangkan lipid yang dapat digunakan meliputi lilin, asam lemak, dan gliserol

(Fama dkk., 2005).

Edible film memiliki sifat yang hampir mirip dengan film pengemas,

diantaranya harus memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, dapat

menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk,

mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan pigmen

alami, warna dan gizi. Serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pengawet,

pewarna dan penambah aroma yang dapat memperbaiki bahan pangan. Adapun

karakteristik edible film menurut Japanesse Industrial Standard disajikan pada

Tabel 1.

6

Tabel 1. Standart Edible Film Menurut Japanese Industrial Standard

Parameter Nilai

Ketebalan Maks. 0,25 mm

Kuat Tarik Min. 0,39 M.Pa

Elongasi <10% sangat buruk

10-50% baik

>50% sangat bagus

Laju Transmisi Uap Air Maks. 7 g/m2/24 jam

Keterangan : Japanese Industrial Standard (2019)

Keuntungan dari penggunaan edible film untuk kemasan bahan makanan

adalah dapat dikonsumsi langsung bersama produk yang dikemas,

memperpanjang umur simpan, tidak mencemari lingkungan, dan memperbaiki

sifat organoleptik produk yang dikemas (Nugroho dkk., 2013). Istilah lain edible

fim yang digunakan adalah biopolimer, yaitu kemasan yang berasal dari bahan

hasil pertanian sebagai bahan baku pembuatan film kemasan tanpa campuran

dengan polimer sintetis (plastik). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam

pembuatan edible film adalah suhu, plasticizer, dan konsentrasi polimer (Krochta

dan Johnson, 1997).

Komponen penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga kelompok

besar yaitu hidrokoloid (protein, polisakarida, alginat), lipid (asam lemak, asil

gliserol, wax atau lilin) dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid) (Jacoeb

dkk, 2014).

a) Hidrokoloid

Hidrokoloid yang umum digunakan untuk pembentukan edible film adalah

protein, polisakarida. Sumber protein yang dapat digunakan untuk bahan baku

edible film yaitu protein susu, protein ikan, kedelai, jagung, kasein, gelatin

kolagen, dan wheat gluten. Sedangkan untuk kelompok polisakarida yang biasa

7

digunakan untuk bahan baku edible film yaitu pati, selulosa, pektin, kitosan, gum,

dan alginat (Listyawati, 2012). Golongan hidrokoloid dari kelompok polisakarida

memiliki beberapa keunggulan, diantaranya selektif terhadap CO2, O2, senyawa

aroma, dan lemak, kandungan kalorinya rendah, penampilan tidak berminyak,

serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan.

Semua hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film dapat

sepenuhnya atau sebagian larut dalam air dan digunakan untuk meningkatkan

viskositas fase kontinyu sebagai pembentu gel dan pengental. Hasil penelitian

edible film berbahan dasar gel okra dengan penambahan pati singkong

menghasilkan karakteristik edible film dengan hasil elongasi 9,24 % dan nilai kuat

tarik 0,74 MPa (Muslimah, 2021).

b) Lipid

Lipid merupakan kelompok molekul alami yang meliputi sterol, lilin, lemak,

dan vitamin. Lipid yang umum digunakan dalam pembuatan edible film antara

lain beeswax, emulsifier, dan asam oleat serta laurat (Herlina dan Ginting, 2011;

Listyawati, 2012). Menurut Sahabrina (2018) dalam penelitian yang berjudul

penambahan beeswax sebagai platicizer terhadap karakteristik fisik edible film

kitosan menunjukkan bahwa platicizer beeswax memberikan pengaruh terhadap

karakteristik edible film yang terbentuk berkisar antara 3,34 – 7,44 %.

Peningkatan konsentrasi beesweax menurunkan kuat tarik namun disisi lain dapat

meningkatkan nilai ketebalan dan elongasi.

c) Komposit

Komposit merupakan gabungan dari dua komponen yaitu gabungan antara

lipid dan hidrokoloid. edible film dari komposit diharapkan bisa memperbaiki film

8

dari lipid dan hidrokoloid dan mengurangi kelemahannya. Gabungan dari

hidrokoloid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen

lipida dan hidrokoloid. Hidrokoloid memberikan daya tahannya sedangkan lipida

dapat meningkatkan ketahanan terhadap penggunaan air (Murni dkk., 2013;

Irianto dkk., 2006). Hasil penelitian Darmajana (2015) menyatakan bahwa

karakteristik edible film berbasis karagenan dan beeswax yang baik dihasilkan ada

karagenan 2 % beeswax 0,1 %, tween 80 0,2% dan fruktosa 1 % dengan nilai

WVTR 23,86 g/m2/hari, kuat tarik 24,13 MPa dan elongasi 30,95%.

2.2 Sifat Fisik dan Mekanik Edible Film

a) Ketebalan Edible Film

Ketebalan edible film merupakan parameter penting karena mempengaruhi

sifat fisik dan mekanik suatu edible film seperti transmisi uap air, kuat tarik, laju

transmisi uap air dan pertambahan panjang. Ketebalan film dipengaruhi oleh

banyaknya ketebalan cetakan dan total padatan dalam larutan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi ketebalan kemasan adalah konsentrasi padatan terlarut, semakin

tinggi konsentrasi padatan terlarut maka ketebalan akan meningkat (Krochta dkk.,

1994).

b) Elongasi Edible Film

Perpanjangan adalah sebagai rasio antara perubahan pemanjangan dengan

panjang awal dari bahan yang mengalami perubahan bentuk. Meningkatnya kadar

air akan menurunkan kuat tarik film yang tidak menggunakan lilin, tetapi

meningkatnya kuat tarik film dan menurunkan elongasi dipengaruhi oleh lilin.

Nilai pemanjangan menjadi tolak ukur untuk film melakukan pemanjangan.

Besarnya nilai persen pemanjangan besar, maka nilai kuat tarik kecil. Menurut

9

Gela (2016) elongasi yang lebih dari 50% dikatakan baik, namun apabila nilainya

kurang dari 10% maka edible film tidak baik.

c) Transparasi Edible Film

Transparansi merupakan faktor penting dalam edible film karena

transparansi salah satu penentu kualitas edible film. Jika produk yang dilapisi

edible film tidak jernih maka akan mengubah warna asli dari produk yang dilapisi.

Semakin menurun nilai transparansi maka derajat suatu kejernihan film meningkat

(Al Hasan dan Noerziah, 2012).

d) Laju Transmisi Uap Air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR)

Laju transmisi uap air merupakan jumlah molekul uap air yang melewati

suatu permukaan suatu luas jumlah uap air dibagi luas area. Laju transmisi uap air

berfungsi untuk menentukan kualitas edible film dalam menekan laju transmisi

uap air yang akan digunakan sebagai pelindung produk. Laju transmisi uap air

dipengaruhi oleh sifat kimia dan struktur bahan pembentuk, konsentrasi

plasticizer, dan kondisi lingkungan seperti kelembapan lingkungan. Dalam japan

industrial standart (JIS) batas maksimal nilai laju transmisi uap air adalah sebesar

7 gram/m2/24 jam. Edible film berbahan dasar hidrokoloid umumnya bersifat

barier terhadap uap airnya rendah (Liu dan Han, 2005). Nilai hidrofobisitas

mengalami kenaikan, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut rendah (Bergo

dan Sobral 2007).

e) Kuat Tarik (Tensile Streght)

Kuat tarik merupakan konsistenitas kekuatan tarikan film untuk tetap

bertahan sebelum putus atau sobek. Pengukuran kuat tarik dilakukan untuk

mengetahui besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik film guna mencapai

10

tarikan maksimum pada setiap luas area film. Faktor yang mempengaruhi

kekuatan edible film antara lain bahan yang digunakan, metode pembuatan, dan

teknik penyimpanan lanjutan (Diki dkk., 2000).

f) Kelarutan

Kelarutan dalam air salah satu sifat fisik edible film yang menunjukkan

presentase berat kering terlarut setelah dicelupkan didalam air selama 24 jam.

Daya larut film sangat ditentukan oleh sumber bahan dasar pembuatan edible film.

Edible film dengan daya larut tinggi menunjukkan film tersebut mudah

dikonsumsi (

2.3 Okra

Okra termasuk komoditi budidaya tanaman yang tumbuh di daerah tropis,

okra merupakan famili Malvaceae yang dikenal dengan beberapa nama

diantaranya lady’s finger. Okra memiliki manfaat dan kandungan gizi yang cukup

tinggi, namun tanaman ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat karena banyak

yang belum mengetahui kandungan dan kegunaanya. dimana pada setiap 100 g

okra mengandung 33 kalori, 3,2 g serat, 7 g karbohidrat dan 0,08 g kalsium.

Menurut Watson (2016), klasifikasi okra sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Devisi : Magnoliophta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Marvales

Famili : Malvaceae

Genus : Abelmoschus

Spesies : Abelmoschus esculentus

11

Gambar 1. Okra

Lendir okra merupakan salah satu hidrokoloid polisakarida rantai panjang

dengan berat molekul tinggi dan protein penyusun yang mengandung kedua zat

hidrofilik dan hidrofobik (Lim, dkk., 2015). Okra memiliki lendir yang sangat

banyak dan terdapat kandungan serat yang tinggi didalamnya. Karakteristik ini

menyebabkan lendir okra memiliki potensi sebagai agen pengemulsi, pengental

dan agen pengikat. Lim dkk., (2015) menyatakan bahwa lendir okra yang

diekstraksi menjadi bubuk menghasilkan rendemen sebesar 11,84% dimana pada

konsentrasi 1% bubuk lendir okra stabilitas emulsinya mencapai 99,23%. Gel okra

tidak memiliki bau, warna, dan aman digunakan.

Hasil penelitian Nur (2021) edible film berbasis pati kacang merah dan gel

okra menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 4,87 MPa dan nilai elongasi sebesar

18,02 %. Hasil penelitian pengaruh penambahan cmc dan sorbitol terhadap edible

film berbasisi gel okra menghasilkan nilai elongasi sebesar 239,19% dan kuat tarik

senilai 1,86 MPa. Hasil penelitian Warkoyo dkk (2021) tentang edible film gel

okra dengan penambahan CMC dan gliserol menghasilkan elongasi sebesar 186 %

dan nilai kuat tarik 0,17 mm. Pada Tabel 2 terdapat kandungan nutrisi pada okra.

12

Tabel 2. Kandungan Nutrisi pada 100 gram Okra

Nutrisi Jumlah

Air (g) 90,17

Energi (kkal) 31,00

Protein (g) 2,00

Lemak Total (g) 0,10

Abu (g) 0,70

Kabohidrat (g) 7,03

Total Serat (g) 3,20

Total Gula (g) 1,20

Ca (mg) 81,00

Fe (mg) 0.80

Mg (mg) 57,00

Zn (mg) 0,60

Mn (mg) 0,990

K (mg) 303,00

Vitamin A (IU) 375,00

Vitamin C (mg) 21,10

Vitamin E (mg) 0,36

Vitamin K (mg) 53,00

Tiamin (mg) 0,02

Riboflavin (mg) 0,06

Sumber : (Roy dkk., 2014)

Okra mampu tumbuh cepat setelah bunga mekar, mempunyai bentuk seperti

kapsul, dan memiliki warna hijau muda sampai tua. Masa panen okra yang

optimal dilakukan pada umur 4 – 6 hari setelah bunga mekar dan pada saat buah

masih muda. Biji muda okra berwarna hitam, setelah okra matang biji berubah

warna menjadi coklat (Departement of Biotechnology, 2011). Okra dapat tumbuh

pada daerah tropis dan subtropis ini merupakan tanaman pangan sayur-sayuran.

Menurut Warkoyo dkk (2021) tentang edible film gel okra, lendir okra dapat

dimanfaatkan sebagai pembuatan edible film yang bersifat hidrokoloid

polisakarida karena menghasilkan karakteristik yang memenuhi Standar

Japanesse International Standart.

13

2.4 Pati

Pati merupakan suatu biopolimer semi kristalin berupa polisakarida yang

terbentuk dari unit-unit glukosa yang berikatan dengan ikatan glikosida. Secara

spesifik, ikatan glikosida dalam pati adalah (1-4)-glikosida. Berdasarkan dari

sumber tanamannya, pati mengandung 20-25% amilosa dan 75-80% amilopektin

(Karmakar dkk., 2014). Amilosa berperan dalam proses gelatinisasi dan lebih

menentukan karakteristik pasta pati (Suriani, 2008). Amilosa merupakan rantai

linier primer dari unit Dglukosa yang dihubungkan oleh ikatan - (1,4)-.

Sedangkan amilopektin mempengaruhi kesetabilan dan mampu membentuk

kristalisasi granula pati. Polimer dari unit glukosa yang bercabang, yang

dihubungkan dengan ikatan glikosida -D-(1,4)- dengan cabang -D-(1,6)- yang

terbentuk setiap 24-30 unit glukosa. Struktur amilosa disajikan pada Gambar 2

dan struktur amilopektin disajikan pada Gambar 3.

Gambar 2. Struktur Molekul Amilosa

Gambar 3. Struktur Molekul Amilopektin

14

Pati dapat diperoleh dari biji-bijian, umbi-umbian, sayuran, maupun buah-

buahan. Sumber alami pati antara lain adalah jagung, labu, kentang, ubi jalar,

pisang, barley, gandul, beras, sagu, amaranth, ubi kayu, ganyong, dan sorgum.

Pemanfaatan pati asli masih sangat terbatas karena sifat fisik dan kimianya kurang

sesuai untuk digunakan secara luas. Oleh karena itu, pati akan meningkat nilai

ekonominya jika dimodifikasi sifatsifatnya melalui perlakuan fisik, kimia, atau

kombinasi keduanya (Liu dkk., 2005). Pada Tabel 3 terdapat standar mutu pada

pati.

Tabel 3. Standart Mutu Pati Menurut Standar Industri Indonesia

Komponen Kadar (%)

Kadar Air Maks 14

Kadar Abu Maks 14

Kadar Pati Min 75

Derajat Putih Min 85

Sumber : Standar Industri Indonesia

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersedia melimpah di

alam, bersifat mudah terurai (biodegradable), mudah diperoleh, dan murah. Sifat-

sifat pati juga sesuai untuk bahan edible coating/film karena dapat membentuk

film yang cukup kuat. Namun, edible film berbasis pati mempunyai kelemahan,

yaitu resistensinya terhadap air rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga

rendah karena sifat hidrofilik pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat

mekanisnya (Garcia dkk., 2011).

2.4.1 Karakteristik Tapioka

Tapioka merupakan bahan baku dalam pembuatan edible film karena salah

satu polisakarida yang memiliki kandungan pati yang tinggi yang dapat

berpengaruh pada sifat fisik edible film. Tapioka disebut juga pati singkong, dapat

dimanfaatkan dalam pembuatan edible film. pati ini mengandung sekitar 17%

15

amilosa dan 83% amilopektin (Roosdiana, 2017). Kesetabilan edible film

dipengaruhi dengan adanya amilopektin, sedangkan amilosa mempengaruhi

kekompakannya. Kadar amilosa yang tinggi pada pati menghasilkan edible film

yang kuat dan lentur. Hasil penelitian Wulandari (2019) edible film pektin kulit

pisang dengan penambahan tapioka menghasilkan nilai kuat tarik sebesar 1,28

MPa dan elongasi sebesar 016,30 %. Pati tapioka memiliki sifat higrokopis yaitu

kemampuan menyerap molekul air dengan baik. Penggunaan pati tapioka pada

edible film dapat meningkatkan elastisitas dan tidak mudah rapuh. Pada Tabel 4.

terdapat kandungan nutrisi tepung tapioka.

Tabel 4. Komposisi Kimia pada 100 gram Tapioka

Komponen Jumlah

Kalori (per 100 g) 363

Kadar air (%) 9,00

Protein (%) 1,1

Lemak (%) 0,5

Karbohidrat (%) 88,2

Ca (mg/100 g) 84

P (mg/100 g) 125

Pati (%) 88,1

Vitamin B1 (mg/100 g) 0,4

(Sumber : Soemarno 2007)

Aplikasi pati dalam dalam produk dipengaruhi oleh kemampuannya untuk

membentuk karakteristik produk akhir yang diinginkan. Penambhan tapioka pada

edible film dari ekstrak wortel meningkatkan sifat elastisitas dan tidak rapuh

sebagai bahan pengemas makanan (Evi, 2011). Perbedaan karakteristik fisiko-

kimia seperti bentuk granula, rasio amilosa/amilopektin, karakteristik molekuler

pati dan keberadaan komponen lain fungsioalitas (Copelan, dkk,. 2009).

16

1.4.2 Karakteristik Pati Talas

Tanaman talas mengandung protein, lemak, vitamin, kabohidrat dan mineral yang

tinggi. Sebagian besar kabohidrat talas merupakan komponen pati. Talas

mengandung pati dalam jumlah tinggi. Kadar pati umbi talas berkisar 80 %.

Menurut hasil penelitian Nawangwulan (2018) talas mengandung pati

sebesar 85,68% dengan rasio amilosa dalam pati sebesar 21,21% dan amilopektin

sebesar 78,56 % (Arisma, 2017). Oleh karena itu, pati talas sebenarnya sangat

potensial sebagai pati industri. Pati talas mempunyai swelling power dan peak

viscosity yang tinggi (Alam and Hasnain., 2009), serta dapat membentuk struktur

gel yang halus karena ukuran granul yang kecil (Tattiyakul dkk., 2006).

Hasil penelitian Pangesti dkk., (2014) menggunakan konsentrasi pati talas

sebesar 4% menghasilkan nilai ketebalan edible film 0,18 mm, laju tranmisi uap

air 5,75 g.m2/jam, dan nilai elongasi 8,92%. Pada Tabel 5 terdapat komposisi

kimia umbi talas.

Tabel 5. Komposisi Kimia dalam 100 Gram Umbi Talas

Komposisi Jumlah (%)

Kadar air 10,20

Protein 12,25

Lemak 0,50

Abu 4,15

Serat kasar 0,75

Karbohidrat total 72,15

Pati 67,42

• Amilosa 2,25

• Amilopektin 65,17

Sumber : Syamsir, 2012

Amilosa miliki 490 unit glukosa per molekul dan amilopektin memiliki 22

unit glukosa per molekul. Talas mempunyai granula pati sangat kecil berkisar

antara 3-4. Komposisi pati talas dipengaruhi oleh varietas iklim, kesuburan tanah,

17

dan umur panen (Richana, 2012). Kadar pati merupakan kriteria terpenting pada

tepung baik sebagai bahan pangan atau non pangan. Penamnfaatan talas sebagai

tepung atau pati dapat meningkatkan nilai ekonomis dan daya simpan produk.

1.4.3 Karakteristik Pati Ubi Jalar Putih

Ubi jalar (Ipomoea batatas) adalah salah satu komoditas tanaman pangan

yang dapat tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia. Menurut Fatnasari

(2018) kandungan pati pada ubi jalar adalah 20 %. Sedangkan, amilosa pada ubi

jalar adalah 28,3 % dan 71,7 % amilopektin. Kadar amilosa pada ubi jalar yang

tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan edible film. Pati dengan kadar

amilopektin yang lebih tinggi akan menyerap air lebih banyak sehingga memiliki

daya pembengkakan yang lebih besar dibandingkan pati dengan amilopektin

rendah. Pada Tabel 6 terdapat komposisi kimia ubi jalar putih.

Tabel 6. Komposisi Kimia Ubi Jalar Putih

Hasil penelitian Enny (2014) yang berjudul karakteristik edible film dari

pati ubi jalar dan gliserol menghasilkan perlakuan terbaik pada pati ubi jalar 3%

dan gliserol 15% dengan ketebalan 0,041 mm, elongasi 23,549 MPa, laju

transmisi uap air 0,147 g/m2/24 jam. Komposisi yang terdapat pada ubi jalar

Komposisi Jumlah Kadar air (%) 72,85 Pati (%) 24,28 Protein (%) 1,65 Gula reduksi (%) 0,85 Mineral (%) 0,95 Asam askorbat (mg/100g) 22,70 K (mg/100g) 204,00 S (mg/100g) 28,00 Ca (mg/100g) 22,00 Mg (mg/100g) 10,00 Na (mg/100g) 15,00 Fe (mg/100g) 0,59 Mn (mg/100g) Energi(KJ/100g)

Sumber : Aini,2004

0,35 441,0

18

sangat tergantung pada varietas dan tingkat kematangan serta lama penyimpanna.

Kabohidrat dalam ubi jalar terdiri dari polisakarida, monosakarida dan

oligosakarida. Sekitar 70-90% dari bahan bahan kering ubi jalar putih terdiri dari

gula, selulosa, pati, hemiselulosa dan pektin.

2.5 Gliserol

Edible film yang berbahan dasar hidrokoloid memiliki sifat permabilitas uap

air yang rendah dan mudah rapuh, hal ini di sebabkan oleh sifat hidrofilik pada

bahan polisakarida, sehingga diperlukan penambahan zat aditif yang bersifat

sebagai plasticizer untuk memperbaiki sifat mekanik dari edible film. Platicizer

yang sering digunakan dalam bahan tambahan edible film adalah gliserol. Gliserol

merupakan plasticizer yang ditambahkan dalam edible film yang mudah larut

dalam air. Memiliki sifat fisik yang tidak berbau, memiliki rasa manis, tidak

berwarna, berbentuk cairan kental, meleleh pada suhu 17, 8ºC serta mendidih

pada suhu 290 ºC. Penambahan gliserol efektif dalam edible film karena mampu

mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekul sehingga

melunakkan struktur film, meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan

memperbaiki sifat mekanik fim. Gliserol adalah plasticizer yang mampu

menjadikan permukaan film lebih halus, meningkatkan fleksibilitas film, dan

mampu meningkatkan kemampuan permeabilitas edible film terhadap zat terlarut,

uap air, dan gas ( Murni dkk., 2013).

Menurut Fatnasari dkk (2018) dalam penelitian pengaruh konsentrasi

gliserol terhadap karakteristik edible film menyatakan peningkatan konsentrasi

gliseol berpengaruh terhadap nyata terhadap ketebalan, elongasi dan kuat tarik

konsentrasi terbaik dihasilkan dari formulasi 10% gliserol (v/b) dengan nilai

19

ketebalan 0,06 mm, elongasi 8,75% dan kuat terik 0,75 MPa Gliserol mampu

mengikat air, menurunkan aw bahan, dan meningkatkan viskositas larutan.

Gliserol merupakan senyawa golongan alkohol trivalen. Gliserol memiliki berat

molekul 92,1 g/mol dan massa jenis 1,23 g/cm2 . Struktur gliserol dapat disajikan

pada Gambar 4.

H2C-OH

HC-OH

H2C-OH

Gambar 4. Struktur Gliserol

2.6 Penelitian Terkait

Hasil penelitian pektin kulit buah naga bisa digunakan sebagai kemasan

yang dapat dimakan (edible film/edible coating) yang bersifat sebagai barrier.

Edible coating dari pektin kulit buah naga dan tapioka dengan penambahan

perasan jeruk nipis sebagai pelapis bakso dapat memberikan pengaruh terhadap

kadar air, kadar protein, kekenyalan, dan uji jumlah angka lempeng total

(Maragreta, 2018). Hasil penelitian Anjani dkk., (2018) dengan penambahan

gliserol formulasi 10% (v/b pati) menghasilkan ketebalan 0,06 mm, laju transmisi

uap air 1,79 g/m2,elongasi 8, 75%, dan kekuatan tarik 0,75 M.Pa. Nilai elongasi

tersebut masih terlalu rendah dan belum memenuhi standart. Hasil penelitian

pembuatan edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan penambahan tapioka

dan gliserol dapat mempengaruhi karakteristik dari edible film dari hasil penelitian

diperoleh edible film yang terbaik adalah pada penambahan gliserol 4 ml/100 ml

susu kedelai. Ketebalan, kekuatan tarik, dan pemanjangan saat pemutusan yang

diperoleh adalah 0,228 mm; 0,134 M.Pa; dan 3,27%.

20

Hasil penelitian Arifin (2016) dengan penambahan gliserol 5,5% (v/v) pada

formulasi edible film gel Aloevera memiliki nilai WVTR 906,65 g/m2/24 jam.

Nilai WVTR atau laju transmisi uap air tersebut terlalu tinggi dan belum

memenuhi standart internasional.