25
ALQURAN DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER DOKTRIN DAN ILMU DALAM ISLAM Makalah Diajukan untuk Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu Oleh: Nasrullah Nurdin, S.Hum., Lc. Promotor: Dr. Khalid al-Kaff, MA. Dr. Ujang Toyyib, MA. PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYAHID JAKARTA PROGRAM MAGISTER FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

Alquran dan sunnah sebagai sumber doktrin dan ilmu dalam Islam

Embed Size (px)

Citation preview

ALQURAN DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER DOKTRIN DANILMU DALAM ISLAM

Makalah Diajukan untuk Dipresentasikan Pada Mata Kuliah

Filsafat Ilmu

Oleh:

Nasrullah Nurdin, S.Hum., Lc.

Promotor:

Dr. Khalid al-Kaff, MA.

Dr. Ujang Toyyib, MA.

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYAHID JAKARTA

PROGRAM MAGISTER FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

2013 M/ 1434 H.

BAB I

PENDAHULUAN

Beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam,

Alquran dianggap sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna.

Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang mengatasi

dan melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab

Alquran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui

malaikat-Nya) kepada umat manusia. Ruh keilahian Alquranlah

yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan gempuran.

Sebagai sebuah teks, Alquran tidak pernah kering, apalagi

habis. Teks Alquran bisa ditafsirkan secara kaya, tergantung

konteks sosial-budaya dan “hermeneutik dalam” (struktur nilai

dan kesadaran) pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara

penafsir dengan Alquran merupakan pergulatan yang dinamis,

bahkan sering tak terduga. Ibarat sebuah puisi dan tanda,

Alquran tidak pernah berhenti dan membeku, tetapi selalu

mengajak para penafsirnya untuk mencari dan menjelajah, suatu

“peziarahan” hidup yang tak pernah usai.

Alquran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah

peradaban Arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan

bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya,

bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan

berdiri tegak di atas landasan yang “teks” sebagai pusatnya

tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun

peradaban hanya teks semata. Teks apa pun tidak dapat

membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu

pengetahuan dan kebudayaan.

Dalam peradaban Islam, Alquran memiliki peran budaya yang tak

dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam

menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di

dalamnya. Kalau boleh disimpulkan bahwa peradaban dalam suatu

dimensi saja dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah

peradaban “pascakematian”, peradaban Yunani adalah peradaban

“akal”, sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban

“teks”. Alquran memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab

suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap

jiwa manusia. Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahami

Alquran, telah menghasilkan sangat banyak kitab tafsir yang

berupaya menjelaskan makna pesannya. Namun, sejumlah besar

mufassir Muslim masih memandang kitab itu mengandung bagian-

bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya

diketahui oleh Tuhan.

Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mengkaji dan

menganalisis kembali tentang Alquran sebagai sumber hukum

syariah. Pertanyaannya yang perlu dirumuskan adalah: apa

pentingnya dibahas Alquran sebagai sumber hukum syariah dan

bagaimana kedudukan Alquran sebagai sumber hukum syariah itu?

Penulis ingin menguraikan sumber doktrin ilmu dan hukum Islam,

yang mana sudah kita ketahui yaitu Alquran dan Hadis. Walaupun

Alquran dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran

Islam, namun ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber

tersebut tidak dapat pula dipahami dengan baik, apabila tidak

adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan

maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan

Hadis. Hal ini dipandang penting agar para penstudi dan

masyarakat muslim tidak salah memahami Alquran dan hadis. Oleh

karena kita pun harus mengetahui dan mengenal sumber hukum

Islam ini. 

Dalam ilmu ushul fikih, ada istilah yang biasa kita sebut

“sumber”, “dalil” dan “metode”. Ketiga istilah sering

digunakan secara tumpang tindih yang akhirnya menimbulkan

pengertian yang rancu. Oleh karena itu pula, sebelum

menguraikan tentang Alquran dan hadis, maka yang diuraikan

terlebih dahulu adalah mengenai sumber, dalil dan metode.  

BAB II

PEMBAHASAN

        A.        Pengertian Sumber, Metode dan Dalil

Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (م�ص���در), dengan

jamaknya: (م�ص����ادر). Kata sumber atau mashdar dapat diartikan

sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau

ditimba norma hukum. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa

sumber atau mashdar adalah suatu tempat yang dari segala

sesuatu ini digali atau diambil. Berdasarkan hal ini, maka

yang paling tepat untuk dikatakan sebagai sumber adalah

Alquran dan Hadis. Selain dari keduanya, tidak dapat disebut

sebagai sumber, karena hanya dari Alquran dan Hadis lah

ditemukannya segala norma yang kemudian hanya dari keduanya

lah segala sesuatu diambil.

Adapun metode yang dalam bahasa arabnya ( هج atau م�ن�   ة� ق���� ي�� ( ط�رbermakna “cara” atau “jalan”. Maksudnya adalah cara atau jalan

untuk melakukan sesuatu baik dalam hal menemukan, menetapkan,

mengkaji atau cara menggali. Karena cara atau jalan ini

berkaitan dengan hukum Islam, maka cara atau jalan tersebut

digunakan untuk menemukan hukum Islam. Cara atau jalan untuk

menggali dan menemukan hukum Allah ini, lazimnya disebut

“ushul fikih”, karena ushul fikih sendiri diartikan sebagai

ilmu yang menyajikan berbagai cara atau jalan (kaidah) yang

digunakan untuk menggali dan menemukan hukum Allah tersebut.

B.   Alquran sebagai Sumber Hukum Pertama

1.    Pengertian Alquran

Secara etimologis, Alquran adalah bentuk mashdar dari kata qa-

ra-a ( رأ� � ) se-wazan dengan kata fu’lan (ق��� ن علأ� ;artinya: bacaan ,(ف��berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan

menelaah. Dalam pengertian ini, kata رأن � berarti ق������ رؤ� yaitu , م�ق������isim maf’ul objek dari kata �ر أ�ق� . Hal ini sesuai dengan firman

Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18;

Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di

dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  Apabila kami Telah selesai

membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

2.      Kehujjahan Alquran

Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin

tentang Alquran itu sebagai Argumentasi yang kuat bagi mereka

dan bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib ditaati itu datang

dari sisi Allah. Sebagai bukti bahwa Alquran itu datang dari

sisi Allah ialah ketidaksanggupan orang-orang membuat

tandingannya, biar mereka itu adalah sastrawan sekalipun.

Ketika Rasulullah Saw berada di Makkah, beliau diperintahkan

oleh Allah agar menjelaskan kepada orang banyak perihal

Alquran dan bahwa ia adalah diluar batas kemampuan manusia.

Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk

membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat

yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi

sebagian yang lain".

Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan kepada Nabi

Muhammad bahwa beliaulah yang membuat Alquran itu. Kemudian

Allah memerintahkan menantang mereka dalam firmanNya: Artinya:

“Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya."

Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan

sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil

(untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."

3.      Hukum-Hukum yang terkandung dalam Alquran

Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah

dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Alquran yang

mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf

dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang

diterapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia,

baik dalam hubungan dengan Allah Swt. Maupun dalam hubungannya

dengan manusia dan alam sekitarnya. Secara garis besar hukum-

hukum dalam Alquran dapat dibagi tiga macam.

1.   Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt.

Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari

sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan

Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut

keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam

“ilmu tauhid” atau “ushuluddin”.

2.    Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia

mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat

buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum

dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian

dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.

3.    Hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan

tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam

hubungan dengan sesame manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang

harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum

amaliyah yang pembahasannya dikembangkan “ilmu Akhlak”.

4. ALQURAN MENJAWAB TANTANGAN MODERN SEBAGAI DOKTRIN ISLAM PRIMER

Salah satu yang dari hal-hal yang menakjubkan dalam

Alquran adalah dalam hal kecocokannya dengan science. Alquran

yang diturunkan pada abad ke-7 kepada Muhammad (s.a.w.)

mengandung fakta-fakta ilmiah yang tak terbayangkan di mana,

kadang-kala ilmu pengetahuan yang telah disinyalkan oleh

Alquran itu, baru ditemukan di abad ini. Maka tidak jarang,

para ilmuwan terkesima.

Bahkan seringkali tak dapat berkata-kata ketika kepada mereka

ditunjukkan bagaimana terperinci dan akuratnya beberapa ayat

dalam Quran terhadap ilmu pengetahuan modern.

Dalam dua salinan Alquran yang terdapat dalam sebuah museum di

Turki dan Rusia, ternyata masing-masingnya telah berumur

sekitar 1400 tahun (empat berlas abad). Masing-masing salinan

Alquran itu sama-sama persis dengan yang ada dewasa ini. Maka

tidak dapat di bantak bahwa Alquran adalah sebuah kitab suci

yang amat otentik, teruji, dan tidak ditemui pada satu

dokumen-dokumen kitab suci yang lainnya. Ketika kita membaca

keterangan ini, sesungguhnya ingatlah selalu bahwa Alquran itu

telah diturunkan lebih dari 1400 tahun yang lalu, kepada

seorang yang amat dipercaya, bersih dan bergelar al Amin,

yakni Muhammad SAW.

Pikirkanlah secara runtut dan mendalam, bahwa di dalam Alquran

itu, didapati perkhabaran yang amat jelas mengenai gagasan-

gagasan umum saat itu, dan tentang keadaan yang terjadi

sepanjang masak, dalam konsep dan kontekstual kehidupan

manusia.

Sebaiknya dicatat betapa terperincinya ayat-ayatnya. “Kami akan

memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru

(ufuk) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa

sesungguhnya (Alquran) itu adalah benar. Dan apakah Tiadakah tidak cukup

untukmu, bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” [QS.41,Fushshilat

: 53]

Melalui mitos-mitos sejarah dan takhyul-takhyul yang menyebar

begitu luas di bawah bendera agama sejak lama, sebelum Alquran

diwahyukan kepada Muhammad SAW, maka telah terjadi

sesungguhnya sifat dari Tuhan telah dilumuri dan terdistorsi.

Begitu banyaknya sehingga dalam agama apapun dianggap sebagai

suatu kebodohan yang kekanak-kanakan oleh para raksasa intelek

modern, jika seorang berpendapat bahwa ilmu atau science yang

sebenarnya adalah wahyu Tuhan, atau keterangan dalam kitab

suci. Dalam mengahadapi kondisi semacam itu, Alquran menjawab

tantangan itu. Tidak ada buku lain selain Alquran yang

menyatakan dirinya atau dibuktikan secara nyata sebagai buku

atau dokumen yang bebas error dan kontradisksi seperti Kitab

Alquran ini.

Kitab yang otentik berdasarkan pengetahuan dan pengujian dalam

dunia dewasa ini.

Keadaan ini, telah memberikan tantangan kepada para ahli yang

menganalisa sejarah pengetahuan modern berdasarkan fakta-fakta

ilmiah tentang keotentikan fakta-fakta yang ada di dalamnya.

Science (ilmu pengetahuan manusia yang diteliti dan diungkap kebenarannya

oleh manusia) dan Islam (yang sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari Ilmu

Tuhan yang direpresentasikan di dalam Alquran), layaknya dua saudara

kembar. Hubungan erat antara science (astronomi, fisika, biologi,

matematika, dan segudang ilmu pengetahuan lainnya yang dikenal manusia di

zaman sekarang ini.) dan Islam telah memberikan peran yang besar

dalam kehidupan manusia secara langsung maupun tidak, kedua-

duanya telah menjadikan keyakinan manusia bertambah kuat dalam

memahami kebesaran dan kekuasaan Allah SWT Yang Maha Esa lagi

Maha Kuasa dan Maha Berilmu.

Science adalah salah satu bagian yang paling menakjubkan dari

berbagai segi keajaiban Quran. Kita selalu kekurangan waktu

untuk membedahnya.

Sangat menakjubkan lagi setelah kita mengetahui sejarah

turunnya, bahwa Alquran ini telah diturunkan lebih dari 1400

tahun yang lalu. Ilmu Allah SWT yang diturunkan kepada manusia

ini memang untuk dibedah, dikaji untuk dijadikan petunjuk dan

diambil manfaatnya bagi semesta alam. Sebaliknya, data ilmiah

tertentu yang dikuasai manusia dari hasil perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, juga merupakan sarana untuk

memahami ayat-ayat Allah SWT secara lebih baik dab lebih

sempurna lagi. “Bukanlah kepercayaan dalam Islam yang pertama kali

menuntun langkah-langkahku, melainkan penelitian sederhana untuk kebenaran.

Apa yang membawaku pada keyakinan ini adalah fakta yang tak akan pernah

terpikirkan untuk seorang manusia dari masa Muhammad menjadi seorang penulis

dari pernyataan-pernyataan sebagaimana pengetahuan yang kenal saat ini pada

waktu-waktu tersebut.” kata ungkapan nurani Dr.Maurice Bucaille,

seorang ilmuan medis terkemuka dari French Academy of

Medicine, yang kemudian menulis buku berjudul “Injil, Quran dan

Science.”

Allah SWT, Maha Pencipta dengan Cinta dan Kasih-Nya telah

melimpah untuk umat manusia bimbingan hidayah dan ma’unahNYA,

sehingga dengan bimbingan itu, manusia tidak ditinggalkan di

dalam kegelapan untuk menemukan jalan yang lurus. Manusia

dengan wahyuNYA yang adalah sebagian dari ilmu Allah SWT Yang

Maha Luas itu, telah membawa manuysia menempuh jalan yang

lurus, tanpa harus ragu dan dengan cara mencoba-coba. Tidak.

Tidak sama sekali. Sebagian ilmu Allah SWT yang diberikan

melalui Alquran dan kemudian digabung dengan kemampuan

intelektual manusia, maka sebenarnya Allah SWT telah

memberikan petunjuk-Nya untuk mencapai Kebenaran dan berbagai

pengetahuan.

Dari awal mula umat manusia diciptakan, maka Sang Pencipta,

Allah Khaliq al ‘Alam telah mengirimkan nabi-nabi untuk

menyampaikan Wahyu-Nya dan mengajak manusia ke jalan Kedamaian

dan Kepatuhan yang benar-benar menuju kepada Tuhan semata-

mata. Melalui nabi-nabi yang berbeda dalam generasi ke

generasi, namun tetap untuk tujuan yang sama, menuju Allah

Yang Esa, Allahu Ahad, menjangkau redha NYA semata. Inilah

ISLAM. Namun, malangnya manausia, karena sebagian atau bahkan

seluruh pesan-pesan yang terdahulu dari Tuhan itu, telah

terdistorsi oleh orang-orang dari generasi ke generasi

berikutnya, dikaburkan dan dirusak dengan mitos, takhyul,

kemusyrikan dan ideologi yang tidak rasional. Ketika umat

manusia tenggelam dalam kegelapan, Tuhan mengirimkan nabi

terakhir-Nya, Nabi Muhammad Shallalhu ‘alaihi wa Sallam untuk

menyampaikan wahyu terakhir yang merupakan sumber referensi

yang sempurna sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Alquran adalah kata-kata Allah (kalimat haq) yang diwahyukan

untuk pedoman bagi seluruh manusia. Alquran adalah sumber bagi

Pengajaran-pengajaran dan Hukum-hukum dalam Islam. Alquran

itu, isinya meliputi dasar-dasar keimanan, sejarah manusia,

peribadahan, pengetahuan, kebijaksanaan, hubungan Tuhan dengan

manusia, dan hubungan antara manusia dalam semua aspek

kehidupan. Alquran berisi pengajaran-pengajaran yang

komprehensif dalam hal membangun sistem yang bagus dan

keadilan sosial, ekonomi, politik, pemerintahan. Alquran

lengkap berisikan yurisprudensi, hukum dan hubungan

internasional. Semua hal penting bertalian dengan hidup dan

matinya manusia, tentang alam kini, kemarin dan yang akan

datang, tentang kebahagiaan, arti, hakikat dan makrifatnya,

tentang hidup dan kehidupan, tentang dunia, yang nyata dan

tersembunyi (ghaib), semuanya itulah hal paling lengkap yang

merupakan isi-isi yang penting dari Alquran.

QURAN MENGENAI ALAM SEMESTA

“Sesungguhnya pada langit dan bumi terdapat tanda-tanda…”[QS.45,Al Jaatsiyah :

3]

(1). “Ilmu pengetahuan kosmologi modern, secara observasi

maupun teori, menunjukkan dengan jelas bahwa, pada suatu

ketika dalam waktu, keseluruhan alam semesta adalah tak

sesuatupun melainkan sebuah AWAN BERUPA ASAP” (yaitu Sebuah

komposisi padatan tinggi yang gelap dan gas yang panas).

Dijelaskan oleh Alquran, “Lalu kemudian, Dia mengarah kepada langit,

ketika langit itu berupa asap…”[QS.41,Fusshilat :11]. “Bukankah orang-orang yang

kafir mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi dahulunya keduanya

berpadu, lalu Kami pisahkan mereka. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup

dari air…[QS.21, Al Anbiya':30]” (2). “Air merupakan unsur utama dari

benda hidup. Dari 50 hingga 90 persen dari berat organisme

hidup adalah air.”

“Kami membangun langit itu dengan tangan-tangan kami, dan Kami

meluaskannya.”[QS.51, Adz-Dzariyaat:47]. (3). “Pengetahuan kami

mengenai ekspansi alam semesta.” “Dan Dialah yang menciptakan

malam dan siang, matahari dan bulan,

masing-masing BERENANG pada GARIS EDAR-nya.” [QS.21, Al Anbiya':33]

“Dia telah menciptakan langit dan bumi dengan benar (proporsinya): Dia

menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam: dan

menundukkan matahari dan bulan (kepada hukum-Nya), semuanya beredar

(berjalan) mengikuti waktu yang telah ditentukan…..Ingatlah bahwa DIA yang Maha

Perkasa lagi Maha Pengampun” [QS.39, Az Zumar:5]. “…Dia menutupkan malam

kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi

mereka yang berpikir !”[QS.13, Ar Ra'du:3]. Beberapa referensi iptek yang

dengan jelas diungkapkan Alquran, antara lainnya: “Maka apabila

langit terbelah, maka dia menjadi mawar merah seperti minyak

(berkilauan).”[QS.55, Ar-Rahman:37]. Lihatlah dan renungkan dalam-dalam

sinyal Alquran tentang ilmu pengetahuan yang baru terungkaap

di abad ini. Kita melihatnya hasil penelitian kebenaran ilmu

pengatahuan itu, baru di tahun 1999/2000, oleh Teleskop Ruang

Angkasa NASA ditangkap dari “Cat’s Eye Nebula.”, yang

merupakan sebuah ledakan bintang 3,000 tahun cahaya jauhnya,

yang sebenarnya ilmuan harus menamakan dengan ” MAWAR MERAH

atau Red Rose Nebula”, seperti telah diungkap oleh Alquran

pada Surat 55, Ar Rahman ayat 33, sejak 14 abad lamanya

sebelum teleskop menangkapnya.

ALQURAN BERCERITA MENGENAI GUNUNG-GUNUNG

“Bukankah Kami telah menjadikan bumi terbentang dan gunung-gunung itu

sebagai PASAK-PASAK?[QS.78,An Naba':6-7]” Bahwa Gunung-gunung

memiliki akar-akar yang menjuntai ke bawah, kata ilm u

pengetahuan (sciense). Ilmu-ilmu pengetahuan bumi modern telah

membuktikan bahwa gunung-gunung memiliki akar-akar yang dalam

di bawah permukaan tanah. “Dan Dia telah mengukuhkan gunung-gunung di

bumi supaya tidak GONCANG bersama kamu, sungai-sungai dan jalan-jalan,

supaya kamu dapat menunjuki dirimu sendiri”[QS.16, An-Nahl:15] . Ilmu

pengetahuan modern menyebutkan bahwa “Gunung-gunung memainkan

peranan penting dalam membuat kestabilan pada kerak bumi.”

Seperti halnya teori modern mengenai lapisan tektonik

menyatakan bahwa gunung-gunung bekerja sebagai stabilisator-

stabilisator bagi bumi.

Kaedah ilmu ini baru mulai dipahami dalam kerangka kerja iptek

mengenai lapisan tektonik sejak akhir tahun 1960-an. Padahal

Alquran telah menjelaskan sejelas-jelasnya sejak 14 abad

sebelum ilmu pengetahuan membukti hasil researchnya.

Adakah lagi nikmat Allah SWT yang engkau tolak dan

dustakan ???

C.   Hadis sebagai Sumber Hukum Kedua

1.    Pengertian Hadis

Sunnah atau hadis artinya adalah cara yang dibiasakan

atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah bahwa hadis

adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni

ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti

membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa:

sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan),

Sunnah Taqriryah (ketetapan).

2.    Macam-macam dan pembagian Hadits

Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:

a.       Hadits mutawatir

Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang

banyak dan tidak mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada

hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.

1)      Pembagian hadits mutawatir

-        Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan 

maknanya dari setiap rawi.

-        Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai

lafaz dan makna, akan tetapi didalamnya ada satu bagian yang

sama bagian yang sama tujuannya.

b.      Hadits ahad

Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau

lebih tidak kebatasan hadits mutawatir. Hadits ini tidak

sampai kederajat mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif.

a.       Pembagian hadits ahad

-          Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya,

diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang

seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat yang

memburukkan.

-          Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad

diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya,

terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang

memburukkan.

-          Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau

lebih diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan atau

dalam sanadnya ada orang yang bercacat.

3. Hubungan Hadits dan Alquran

Al-hadis didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti

definisi Al-Sunnah sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan

kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir

(ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum

beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh,

membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi

Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila

mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan

dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah.

Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul

tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT

yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan

ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

             Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau

dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum

syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang

sederajat lebih rendah dari Alquran. Adapun fungsi As-

Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang

terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:

a.   Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah

ditetapkan hukumnya di dalam Alquran.

b.  Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.

c.   Menciptakan hukum baru yang  tiada terdapat didalam Alquran.

KONTEKSTUALISASI HADIS DALAM MODERNITAS Kondisi sosial-politik dan orientasi umat Islam yang terus

berubah sangat mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran

dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis. Berbagai metode

dapat dilalui untuk memahami Sunnah, seperti reinterpretasi,

takwil dan tekstual. Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode

Nabi dan contoh prakteknya) dipelajari secara seimbang, jangan

mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral,

dan kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang

bersifat substansi-komprehensif. Akibatnya Sunnah Nabi pun

menjadi hadis dan didefinisikan sekarang ini. Padahal hadis

hanya media teks dan informasi yang dibawa periwayat dan

ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan

belum tentu menjadi Sunnah Nabi

Kajian dan dan penerapan hadis Nabi pada era modern

menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya

spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas

dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Problem kajian bukan

saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-

Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut juga

bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan

pola kajian hadis secara stagnan dan rigid.

Pada era kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam

masa klasik, kajian hadis merupakan ilmu yang dianggap paling

awal berkembang dan mencapai puncak kematangan. Metode ilmiah 

pertama dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman klasik justru

ditemukan  dalam ilmu hadis. Di dalamnya telah dipadukan

epistemologi bayani dan burhani dengan struktur pemikiran deduksi

dan induksi. Melalui teknik verifikasi data yang populer dalam

logika empiris ilmu sejarah, maka kajian hadis banyak

menghasilkan temuan-temuan baru yang orisinal dan dinamis.

Pada saat seperti inilah muncul dialektika keilmuan dan

suasana kebebasan, bukan saja di wilayah institusi pendidikan

tetapi juga dalam  ranah keseharian umat Islam. Masterpiece yang

telah diciptakan oleh imam al-Bukhari berupa kitab Sahih al-

Bukhari sangat dihargai dan dihormati, tetapi ilmuan lain

seperti Muslim, al-Nasai, al-Hakim dan al-Daruqutni, tidak

segan-segan untuk mengkritik, merevisi dan lalu

mengembangkannya. Dampak dialektika ini luar biasa,

sebagaimana ditegaskan oleh imam al-Zarkasyi, ilmu hadis

menjadi ilmu paling "siap" dan dinamis saat itu. Namun suasan

politik dan orientasi umat Islam yang berubah dalam

perkembangan selanjutnya sangat mempengaruhi perspektif dan

pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis.

Pembekuan dan pembakuan kajian hadis dengan standar ortodoks,

kaku dan irrasional (tidak logis) merupakan faktor utama

kemunduran ilmu tersebut.

Ilmu Hadis dalam Bingkai ilmu-ilmu KeIslaman

Agar kajian hadis Nabi kembali menjadi ilmu primadona dan

mempesona, sebagaimana pada era klasik, maka ilmu hadis harus

mampu melakukan peran yang signifikan dan memberikan

kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk itulah, maka kajian pemahaman dan penerapan hadis Nabi

di dunia moderen harus dikembangkan sesuai tuntutan konteks

kekinian. Sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan adalah

Allah SWT yang Maha Tunggal dan Maha Mengetahui. Dia lalu

menurunkan petunjuk dan pengetahuannya melalui dua macam

sumber perantara; yaitu wahyu tertulis (kitab suci al-Qur’an)

dan wahyu tidak tertulis (alam semesta atau kauniyah). Jika

wahyu formal atau kitab suci lebih bersifat argumen deduktif

apriori, maka wahyu kauniyah lebih berupa argumen data induktif

empiris aposteriori. Dalam lingkup demikian, maka Sunnah Nabi

menjadi metode sekaligus contoh praktis dari Nabi dalam

mengimplementasikan dua sumber petunjuk tsb (Kitab suci dan

kauniyah). Nabi Saw mendialektika-kan wahyu dan alam semesta.

Jadi Sunnah Nabi memiliki dua sisi, yaitu metode - pola

(tariqah, manhaj) dan praktek - implementasi (‘amal, tathbiq).

Sedangkan hadis hanya merupakan media berita atau informasi

yang menyampaikan Sunnah Nabi kepada kita. Oleh karena itu,

maka yang perlu dikaji dan diteliti lebih dahulu memang adalah

proses penyampaian informasi tentang Nabi kepada kita, dan

kajian itu dinamakan ‘Ilmu al-Hadis (‘Ulum al-Hadis). Sedangkan tujuan

pokok kajian hadis tersebut tidak lain untuk menemukan

informasi Sunnah Nabi yang valid dan otentik, untuk kemudian

dapat dipahami dan diamalkan secara tepat (relevan) di setiap

waktu dan tempat (seperti dunia moderen saat ini). Skema

tahapan kajian ‘Ilmu Hadis sampai kepada tahap menemukan

Sunnah Nabi adalah Sejarah hadis - Kritik otentisitas – Fahmul

Hadis (pemahamn) – dan Tathbiq (penerapan).

Metode Pemahaman Klasik dan Tantangan Dunia Moderen Upaya penafsiran terhadap Sunnah Nabi telah terjadi sejak

masa awal Islam. Ketika para sahabat pulang dari peperangan,maka Nabi SAW berpesan agar jangan ada sahabatnya yang salatZuhur (sebagian riwayat menyatakan salat ‘Asar) di perjalanankecuali setelah sampai di kampung bani Quraizah. Sebagiansahabat memang melakukannya, namun sebagian lainnya tetapsalat di tengah perjalanan. Nabi SAW ternyata tetapmembenarkan kedua kelompok sahabatnya.

Ketika dihadapkan kepada tantangan sosiologis dan politisyang semakin kompleks, maka ‘Umar ibn al-Khathab harusmelakukan terobosan baru dalam membuat kebijakan dengan tetapberpedoman kepada Sunnah Nabi. Saat itu wilayah Islam semakinluas, keuangan negara melimpah, populasi meningkat yangdiikuti penyempitan wilayah pertanian, di samping terjadipertemuan dengan beragam kehidupan sosial budaya baru. Dalamsituasi demikian, maka ‘Umar tidak memberikan tanah rampasanperang kepada pasukan muslim, padahal praktek di zaman NabiSAW adalah diberikan. ‘Umat juga tidak menjatuhkan hukumanhadd potong tangan kepada pencuri yang melakukannya karenakrisis paceklik, dan beliau juga pernah tidak memberikan hakzakat kepada mu’allaf. Di sini ‘Umar bukan meninggalkan SunnahNabi apalagi menentangnya, namun beliau menafsirkan SunnahNabi secara kreatif untuk kemudian diterapkan secara tepatsesuai dengan tantangan yang dihadapi pada waktu itu. Walaupun

secara lahiriah seolah ‘Umar telah meninggalkan Sunnah Nabi,namun pada substansinya beliau tetap mengaktualkan ruh danmisi Nabi SAW, yaitu menegakkan keadilan sosial.

Imam al-Qarāfī, ulama besar abad tengah (w. 684 H/1254 M)memperkenalkan 4 tipologi dalam memahami Sunnah Nabi, yaituposisi Nabi sebagai: (1) sebagai seorang Nabi, (2) sebagaiseorang mufti, (3) sebagai seorang hakim, dan (4) sebagaiseorang kepala negara. Setelah Rasul wafat, maka para muftimenggantikan posisinya sebagai mufti, para qadimenggantikannya sebagai hakim, dan para khalifahmenggantikannnya sebagai kepala negara. Dalam model pemahamanini, maka efek hukum yang ditimbulkan dari suatu ĥadīśtergantung kepada situasi yang melatarbelakangi munculnyaĥadīś tersebut, yakni apakah sebagai putusan hukum danpengadilan yang mengikat, atau sebagai fatwa yang tidakmengikat, atau sebagai tindakan politis dari kebijakan suatukepala pemerintahan.

Menurut konsep al-Qarafi ini, jika suatu ĥadīś yangmengandung perintah atau larangan akan dijadikan dalil atauhujjah atas suatu kasus hukum, maka yang harus dilihat lebihdahulu adalah “apakah perintah atau larangan itu bersifatmengikat atau tidak?”. Jika ĥadīś tersebut disampaikan dalamkapasitas sebagai seorang mufti, maka larangan dimaksud tidakmengikat, sebab ĥadīś tersebut hanya merupakan opini ataupandangan. Jika suatu ĥadīś dikeluarkan dalam kapasitas beliausebagai seorang hakim, dan keputusannya merupakan sebuahproduk hukum, maka ĥadīś tersebut bisa mengikat. Modelpemahaman yang dikemukakannya, jika diterapkan dengankonsisten, dapat menimbulkan implikasi besar dan dinamis dalampenerapan hukum Islam.

Gagasan baru al-Qarāfi dalam memahami Sunnah ternyatadidukung oleh ulama lain pada era ini bernama Ibn al-Qayyimal-Jaużiyah (w. 751 H). Tokoh lain abad pertengahan yangmenawarkan pemahaman baru terhadap fungsi dan otoritas SunnahNabi adalah Abū Isĥak al-Syāţibī (w. 790 H/1388 M), dengankonsep Al-Qur’ān berfungsi sebagai ta’şīl sedangkan Sunnah Nabiadalah sebagai tafsīl, sehingga melahirkan Maqāşid al-Syarī’ah.

Memasuki era moderen, umat Islam mulai bersentuhan denganperkembangan baru dalam berbagai aspek kehidupan, sepertirasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan sosial budaya.Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki eraglobaliasasi dan informasi yang membawa berbagai gagasan

seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM. Dalam lingkunganmasyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidupekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Ajaran Sunnah dalamhadīs yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik(teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyakmenghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasanbaru yang dibangun atas dasar epistemologi moderen. Apalagisaat pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatisyang tegak di atas fondasi positivisme yang anti metafisis. Disini nilai-nilai ajaran Sunnah ditantang untuk memberikansolusi yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehinggaIslam tidak dituding sebagai agama yang mengajarkan kekerasan,teror dan diskriminatif.

Kontekstualisasi Hadis NabiBeberapa contoh hadis yang harus dipahami secara

kontekstual, antara lain adalah tentang ketentuan mahram bagiperempuan yang akan melakukan perjalanan tertentu, hukumanmati bagi orang murtad, dan hubungan antar yumat beragama.Hadis dimaksud berbunyi:

حرم ؤ م� عها د� أ ؤم� ل ا أ0/ لأث34 ة� ث�3 مرأ� �/ر/ أل� ساق� ال لأ ت�� م ق�� ل ة/ ؤس� لي� هم ع� ى أل�ل ل / ص� ول أهلل ن رس� مر أ� / ع� ن Oأب� / ن ع�            Artinya: “Janganlah perempuan itu bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram yang mendampinginya”.            Memang hadis di atas memiliki banyak redaksi matanyang berbeda-beda, tetapi intinya melarang perempuan keluarrumah sendirian. Munculnya larangan Nabi tersebut harusdipahami latar belakangnya, yakni ketika situasi perjalanantidak aman seperti perjalanan sendirian di tengah padangpasir. Namun ketika situasi sudah aman dan perjalanan tidakada gangguan, maka ketentuan tersebut tentunya tidak berlakulagi, sehingga hal yang semula dilarang oleh Nabi Saw dapatberubah menjadi kebolehan.

Dalam dunia moderen saat ini, hukum pidana Islam harusdibangun atas dasar hubungan harmonis antar umat manusia, danparadigma kemanusiaan serta kesetaraaan, sehingga tidakdibenarkan ada sikap dan prilaku intimidasi, pemaksaan ataudiskriminasi. Dalam konteks ini maka hadis yang memerintahkanagar orang murtad (pindah agama) dihukum mati, harusditerapkan dalam konteks pengkhianatan. Hadis dimaksud adalah:

لوة ت� اق�� ه ق�� ي� �Wي ل د/ د O ث�ن م م� ل ة/ ؤس� لي� هم ع� ى أل�ل ل ى� ص� /Oب ال أل�ن� اس ق�� Oب ن ع� O أب�ن    ع�Artinya: "Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia".

Konteks hukuman mati demikian terjadi pada zaman Nabi dimana saat itu antara umat Islam dan non muslim berada dalamsituasi peperangan dan permusuhan terus menerus. Seorangmuslim yang kembali kepada musyrik kekafiran dikhawatirkanakan membocorkan rahasia kekuatan dan kelemahan umat Islamkepada kaum musyrik Mekah saat itu.  Hal ini tentu sangatberbahaya, sehingga pelaku murtad dianggap pengkhianat yangharus dihukum mati. Namun ketika perbuatan murtad dilakukanbukan karena pengkhianatan, melainkan murni faktor kedarandalam agama, atau faktor sosial dan ekonomi, seperti yangbanyak terjadi di Indonesia, maka pelakunya tidak bolehdihukum mati. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip al-Qur’anyang menegaskan tidak boleh ada paksaan dalam agama.

Pemahaman serupa juga dapat diterapkan terhadap hadisyang memerintahkan agar melakukan tindakan diskriminatifterhadap kaum Yahudi dan Nasrani. Hadis dimaksud menyatakan:

هود ؤلأ ن� دءؤأ أل� Oب dال لأ ي� م ق�� ل ة/ ؤس� لي� هم ع� ى أل�ل ل / ص� ول أهلل ن رس� رة� أ� ي�� ر ي� ه� /O4ب ن أ� ع�ة/ ق�/ ي� ض�� لي أ� ؤة أ0/ ر ط اض�� ق�� ق� �pي ر/ ى� ط� م ف�/ ده� ح� م أ� ت� ي� ق�/ أ ل� د� ا0/ لأم/ ق�� ال�س /Oارى ث� ص أل�ن�

Artinya: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi danNasrani. Jika kalian bertemu salah seorang mereka di jalan maka desaklah merekake jalan yang paling sempit”.

Sikap Rasul yang keras terhadap orang Yahudi dan Nasraniketika itu dapat dimaklumi, karena saat itu hubungan antaraumat Islam dan Yahudi serta Nasrani sangat panas penuh dengankecurigaan dan permusuhan. Namun ketika Rasul berhadapandengan non muslim (zimmi) atau Ahlul Kitab yang baik maka beliaujuga memperlakukan dengan penuh hormat, toleran danmelindungi. Dengan demikian, ketentuan diskriminatif terhadapnon muslim tidak berlaku selamanya, melainkan hanya untuksituasi khusus dan golongan tertentu. Pada saat umat Islam danumat lainnya di Indonesia harus membangun hubungan baik,toleran dan saling melindungi, maka sikap dan prilaku yangharus dikembangkan antara umat beragama tentunya adalah salingmenghormati dan menghargai dengan perlakuan yang setara dansederajat, tidak ada perlakuan diskriminatif yang merugikan.

Hadis lain yang juga dapat dipahami secara kontekstual,tidak lagi secara tekstual harfiyah, adalah tentang laranganperempuan menjadi kepala negara, yang berbunyi:

م مره� وأ أ� وم ؤل� ج ق� ل/ ق� ة/ لن ي�� لي� هم ع� ى أل�ل ل / ص� ول أهلل ال رس� ال ق�� رة� ق�� ك Oي� ث� /O4ب ن أ� ة� ع� أمرأ�Artinya: Dari Abi Bakrah ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.

Sangat banyak hadis yang harus dipahami secara kontekstertentu, seperti hadis tentang perempuan (gender), ekonomi,maupun terkait dengan sosial dan budaya.

PENUTUP

Peran Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pengembangankajian hadis sangat signifikan, apalagi dengan adanya jurusanTafsir dan Hadis. Banyak tokoh besar hadis yang ternamamuncul. Sebenarnya kajian hadis di lembaga pendidikan tinggidi Indonesia memiliki karakter lokal keindonesiaan yangsekaligus menjadi keunggulan, karena dilakukan denganinterdisipliner, seperti pendekatan ilmu sosial dan budaya.Dengan demikian, maka kajian hadis semakin berkembang danberkualitas, bukan hanya menjadi hapalan secara kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

 Al-Shawkani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Irshad al-Fuhul,

(Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992)

Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa

Muhammad, t.th.)

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,

2001)

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka

Alvabet, 2005)

  Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, Dar al-Fikr,

Bairut, 1975.

Al-Qarađāwi, Yūsuf, al-Sunnah Maşdar li al-Ma’rifah wa al-Hađārah, Kairo: Dār

al-Syurūq, cet. 1, 1997

-------, Kaifa Natā’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Kairo: Dār al-Syurūq, 1992

Malik ibn Anas, al-Muwaththa’ (Kairo: 1951) Juz II.

Muslim bin Hajajaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Dar al-Fikr,

Bairut, 1975

Nasr Hamid Abu Zaid, Teks dan Kritik Otoritas Kebenaran, penerbit

LKiS, Yogyakarta, 2005

Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad,  juz III.

al-Syāţibī, al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Fikr,

1987) juz II.

Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah,

tt) juz I.

Wensinc, A.J, Mu’jām al-Mufahras li Alfāž al-Ĥadīś al-Nabawi al-Syarīf,

Leiden: penerbit E.J. Brill, 1932

_____, Miftāĥ Kunūż al-Sunnah, edisi terjemahan dalam bahasa Arab oleh

Ahmad Muĥammad Syakir, Pakistan: Dār Turjuman al-Sunnah, 1952