17
J Amartya Sen, Demokrasi dan Teori Keputusan Sosial Donny Gahral Adian ABSTRAKSI: Agregasi merupakan salah saru metode pengamhilan kepurusan di lingkungan masyarakar demokraris. Kendati demikian, prosedur tersebut bisa me- nimbulkan masalah rerkati kesejahtetaan sosial. Prosedur menjadi lebih rumir karena voting - istilah umum untuk agtegasi - sebagai mekanisme demokratis bukan hanya mengandung masalah matematis tetapi juga etis. Penyimpulan dad pteferensi individu menjadi preferensi sosial mengabaikan kepentingan kaum minoriras. Menurur Amar- rya Sen, ada kebutuhan ktitis untuk memperluas basis-basis informasi tentangkapasi- ras individual masyarakar guna menggapai kesejahreraan sosia!. John Rawls menjabar- kannya sebagai daftar kebutuhan primer masyatakat. Sen menambahkan bahwa setiap individu harus mampu menetjemahkan kebutuhan primet tersebut menjadi kemam- puan unruk mentransformasikannya menjadi kenyataan. Dengan demikian. keadilan bukan terutama berarti pemerataan sumber daya melainkan kemampuan individu metealisasikan keburuhan dasarnya. KATA KUNCI: demokrasi. pengambilan kepurusan sosial, prosedur agregasi, kemam- puan menggapai kesejahreraan sosial ABSTRACT: One method ofsocial decision making in democratic society is called aggre- gation'procedure. Yet, such a procedure createsfurther problem concerning social welftre. The procedure turns to be more complicated. So it is, because voting - a general term fOr agregation procedure - as a democratic mechanism not only contains a mathemati- cal concern but also ethical. The summation of the individual preferences into a social preflrence may result in a deprivation of the underprivileged minorities. There is a criti- cal need - according Amartya Sen -fOr an expansion of the bases of infOrmation about people's individual capacityfOr gaining social welfare. John Rawls elaborated the needed expansion such as a list ofindividualprimary-needs of the people. To that Sen added, the individuals should be able to convert the primary needs into capacity to transfOrm them into reality. There, justice not so much signifies equality in resources but much more on individual capacityfOr basic needs' conversion. KEy WORDS: democracy, social decision making, aggregation procedure, capacity fOr social welftre RE5PON5 volume 16 no. 02 (2011): 165 -180 © 2011 PPE·UNIKA atma jaya, Jakarta 15SN: 0853·8689

Amartya Sen, Demokrasi dan Teori Keputusan Sosial Donny

Embed Size (px)

Citation preview

J

Amartya Sen, Demokrasi dan Teori Keputusan Sosial

Donny Gahral Adian

ABSTRAKSI: Agregasi merupakan salah saru metode pengamhilan kepurusan dilingkungan masyarakar demokraris. Kendati demikian, prosedur tersebut bisa me­nimbulkan masalah rerkati kesejahtetaan sosial. Prosedur menjadi lebih rumir karenavoting - istilah umum untuk agtegasi - sebagai mekanisme demokratis bukan hanyamengandung masalah matematis tetapi juga etis. Penyimpulan dad pteferensi individumenjadi preferensi sosial mengabaikan kepentingan kaum minoriras. Menurur Amar­rya Sen, ada kebutuhan ktitis untuk memperluas basis-basis informasi tentangkapasi­ras individual masyarakar guna menggapai kesejahreraan sosia!. John Rawls menjabar­kannya sebagai daftar kebutuhan primer masyatakat. Sen menambahkan bahwa setiapindividu harus mampu menetjemahkan kebutuhan primet tersebut menjadi kemam­puan unruk mentransformasikannya menjadi kenyataan. Dengan demikian. keadilanbukan terutama berarti pemerataan sumber daya melainkan kemampuan individumetealisasikan keburuhan dasarnya.

KATA KUNCI: demokrasi. pengambilan kepurusan sosial, prosedur agregasi, kemam­puan menggapai kesejahreraan sosial

ABSTRACT: One method ofsocialdecision making in democratic society is called aggre­gation'procedure. Yet, such a procedure createsfurther problem concerning social welftre.The procedure turns to be more complicated. So it is, because voting - a general term

fOr agregation procedure - as a democratic mechanism not only contains a mathemati­cal concern but also ethical. The summation ofthe individual preferences into a socialpreflrence may result in a deprivation ofthe underprivileged minorities. There is a criti­cal need - according Amartya Sen -fOr an expansion ofthe bases ofinfOrmation aboutpeople's individual capacityfOr gaining social welfare. John Rawls elaborated the neededexpansion such as a list ofindividualprimary-needs ofthepeople. To that Sen added, theindividuals should be able to convert the primary needs into capacity to transfOrm theminto reality. There, justice not so much signifies equality in resources but much more onindividualcapacityfOr basic needs'conversion.

KEy WORDS: democracy, social decision making, aggregation procedure, capacity fOrsocial welftre

RE5PON5 volume 16 no. 02 (2011): 165 -180

© 2011 PPE·UNIKA atma jaya, Jakarta 15SN: 0853·8689

RESPONS - DESEMBER2011

1. PENDAHULUAN

Demokrasi pada bentuknya yang paling formal adalah pengambilan

keputusan sosial tentang beragam isu publik. Salah satll metode pengambilan

keputllsan kolektifyang paling seting dipakai adalah agregasi. Kita juga menge­

nalnya dengan sebutan penjumlahan suara (voting). Demokrasi bekerja dengan

mengagregasi berbagai kepentingan, preferensi, atau keputllsan individu. Oi

sini persoalan mengemuka. Prosedur agregatif ternyata bersoal ketika keputu­

san sosial·yang dimaksud adalah kesejahteraan sosial. Keputllsan tentang ke-.sejahteraan sosial tidak'sesederhana keputllsan mengenai, misalnya, watna cat

pagar atau siapa kepala daerah berikutnya.

Bayangkan situasi berikut. Masyarakat dihadapkan pada pilihan un­

tuk mensubsidi harga minuman anggur impor atau membangun ptasatana

air bersih bagi kaum miskin. Oemokrasi pun bekerja dengan menjumlahkan

keinginan orang per orang tentang kedua pilihan tersebut. Alhasil, 80% dati

total populasi ternyata berselera terhadap anggur impor dan merasa sejahrera

apabila keinginannya terpuaskan. Artinya, 20% yang menginginkan ketersedi­

aan air bersih hams kalah dengan agregasi selera para penikmat anggur merah.

Perranyaannya, apakah kesejahteraan sekadat pemuasan keinginan? Kita tentu

segera mengatakan tidak. Namun, prosedur agregasi atau penjumlahan suara

tidak mengenal informasi lain kecuali keinginan para pemilih. Oi sini, reflek­

si terhadap demokrasi sebagai keputusan atau pilihan sosial menjadi penting

untuk dilakukan. Makalah ini akan membahas kritik Amarrya Sen terhadap

proseduragregasi sebagai metode pembentukan keputllsan sosial tentailg ke­

sejahteraan.

Respons 16 (2011) 02 166

DONNY GAHRAL ADIAN - AMARTYA SEN, DEMOKRASI DANTEOR! KEPUTUSAN SOSIAL

2. TEOREMA KEMUNGKINAN

Demokrasi bertolak dari preferensi individu. Dengan kata lain, tidak

boleh ada keputusan sosial atau kolektif yang menisbikan hak individu untuk

menentukan senditi keinginannya. Pilihan atau preferensi individu bisa jadi

bertentangan satu sarna lain. Oleh itu demokrasi menetapkan agregasi seba­

gai metode pengarnbilan keputusan sosial. Keputusan sosial, bagi demokrasi,

semata merupakan penjumlahan pilihan individu yang mana setiap pilihan

dihargai sarna. Dalarn istilah yang lebih populer metode semacarn ini disebut

penjumlahan suara (voting).

Dalam pemilihan pejabat politik, agregasi menjarnin adanya keseim­

bangan antarapemilih dan yang dipilih. Pemilih menjatuhkan pilihan berdasar­

kan apa yang dirasakannya tepat. Sementara, politisi yang dipilih akan menga­

dopsi kebijakan yang akan menuai suara. Politisi yang menjabat akan berusaha

keras untuk memuaskan kepentingan banyak orang dan mengasingkan sedikit

mungkin kepentingannya. Interaksi antara kepentingan pemilih dan politisi

akan melahirkan agregasi yang seimbang dati kepentingan individu.

Iris Young, filsufpolitik feminis, menjelaskan agregasi sebagai pengam­

bilan keputusan demokratis dengan sangat garnblang. Young mengatakan,

"Agregasi berrolak dati keinginan individu yang bervariasi satu sarna lain. In­

dividu memiliki keinginannya masing-masing tentang bagaimana pemerin­

tah diselenggarakan. Tiap individu tahu bahwa individu lain juga memiliki

keinginan yang bisa saja berrentangan dengan keinginannya. Demokrasi lalu

menjadi proses kompetitif yang mana kelompok politik dan kandidat me­

nawarkan kerangh aksi guna memuaskan keinginan orang banyak. Individu

dengan keinginan yang sarna kemudian mengorganisir diti menjadi kelompok

167 Respons 16 (2011) 02

o

RESPONS - DESEMBER 2011

kepentingan untuk. mempengaruhi pengarnbil kebijakan. Individu, kelompok

kepentingan. pejabat publik bertindak strategis sesuai dengan persepsi ter­

hadap keinginan yang berseberangan. Misalnya, kaum miskin urban berkoalisi

dengan pekerja rumah tangga untuk. menghadapi kebijakan pemerintah daerah

yang berpotensi meminggirkan kedua kelompok tersebut. Berdasarkan asumsi

bahwa proses kompetisi. koalisi, strategi politik berjalan dengan adil, keluaran

daH pemilihan umum dan keputusan legislatif akan mencerminkan keinginan

mayoritas dalarn sam populasi". (Young, 2000: 19)

Mekanisme agtegatif dalarn pengarnbilan keputusan demokratis jelas

berporos pada liberalisme. Dengan agregasi, kepumsan politik diikat oleh prin­

sip-prinsip liberalisme terutarna prinsip supremasi individu. Dengan agregasi.

individu dilindungi dari dua musuh utarna: tirani aristokrasi dan tirani mayori­

tas. Tirani aristokrasi adalah pengarnbilan kepumsan oleh sam atau sekelom­

.pok orang. Tirani mayoriras adalah pengarnbilan keputusan oleh banyak orang

yang meminggirkan kepentingan minoritas. Singkat kata, demokrasi liberal

berbasis agregasi menolak semua bentuk. kedaulatan yang bukan merupakan

agregat keinginan individu.

Dengan agregasi. demokrasi tak lebih dati sebagai sekumpulan prose­

dur formal dan instirusi. Demokrasi pada hakikatnya adalah prosedur formal

yang dengan iru kebijakan publik diputuskan dan dilaksanakan. Formalisme

terseblit bermasalah. Permasalahan di dalarn prosedur agregasi dikemukakan

pertarna kali oleh seorang ekonom bernarna Kenneth Arrow. Kritik tersebut

dikemukakan Arrow melalui sebuah teorema yang disebut lazim sebagai reo­

rema kemungkinan umum (generalpossibility theorem). Teorema kemungkinan

umum menggariskan beberapa prinsip pokok. Pertama. preferensi individual

Respons 16 (2011) 02 168

DONNY GAHRAL ADIAN - AMARTYA SEN, DEMOKRASI DANTEOR! KEPUTUSAN SOSIAL

yang bersifat transitif akan menghasilkan preferensi sosial yang intransitif; ke­

dua, preferensi majoritas adalah tidak mungkin kecuali melalui jalan diktato­

rial; ketiga, prosedur demokratis sebagai metode pencapaian kehendak umum

bermasalah secara matematis.

Teorema ketakmungkinan umum menjabarkan empat prasyarat sebuah

pilihan sosial yang hams dicukupi secara simultan:

. I. Domain tak terbatas (Unrestricted Domain) pilihan atau prefe­

rensi sosial mesti mencakup semua kombinasi preferensi individu

yang ada. Sebuah keputusan sosial harus mengakomodasi semua

keinginan individu atau bagaimana individu membuat peringkat

terhadap keinginan-keinginannya. Keputusan sosial harus menga­

komodasi semua kombinasi pemeringkatan keinginan oleh indi­

vidu. Misalnya, peringkat keinginan A (X>Y>Z) B (Z>X>Y) dan

C (Y>Z>X).

II. Prinsip Pareto (Pareto Principle), jika semua orang menginginkan

x ketimbang y maka x secara sosiallebih diinginkan ketimbang y.

Untuk pasangan x dan y dalam X, [Ai: x Pi y] ~x P y. Apabilasemua

anggota masyarakat menginginkan perbaikan jalan dibanding pe­

ngasapan anti demam berdarah, maka perbaikan jalan adalah kepu-

tusan sosial.

III. Independensi dari alternatif yang tidak relevan (Independence ofIrrelevant Alternative). Pemeringkatan sosial atas dua pilihan ter­

gantung pada pemeringkatan individu terhadap dua pilihan itu

saja. Pilihan ketigatidak' relevan untuk dipertimbangkan dalam

menentukan pilihan sosial dari kedua pilihan yang tersedia. Jika

169 Respons 16 (20ll) 02

RESPONS - DESEMBER 2011

masyarakat hendak memilih antara pembagian susu gratis dan

perpustakaan keliling, maka pilihan sosial dipumskan berdasar­

kan dua pilihan itu saja, terlepas dari apakah sebagian masyarakat

,menginginkan ktedit ringan untuk berusaha.

IV. Nondiktatorial (nondictatorship). Prinsip ini menganulir diktator

yang memaksakan preferensinya menjadi preferensi sosial. Artinya,

jika dia menginginkan A ketimbang B maka otomatis semua orang

harus menginginkan yang sarna. Tidak individu i sedemikian rupa

sehingga uptuk setiap elemen di dalarn domain f, Ax, Y€ X : x Pi y

-txJ;>y

Teorema kemungkinan umum menegaskan bahwa sam kepumsan sosial

tidak bisa memenuhi empat syarat di atas sekaligus. Kita arnbil contoh tiga orang

individu dengan preferensinya masing-masing: A (X, Y, Z), B (Y, Z,X) dan C (Z,

X,Y). Apabila dilakukan voting, maka X akan mengalahkan Y, Y akan menga­

lahkan Z dan Z akan mengalahkan X. Ini berarti terjadi siklus intransitifyaitu

X>Y>Z>X. Ini menunjukkan bahwa kepumsan sosial tidak bisa memuaskan

syarat yang diajukan prinsip Pareto karena kita tidak. tahu apa yang semua orang

inginkan. Sam-satunya jalan untuk memumskan siklus intransitif itu adalah de­

ngan jalan diktatorial. Jalan diktatorial ditempuh dengan memaksakan prefe­

rensi satu individu (A, misalnya) menjadi preferensi sosial. Dengan katalain, me­

tode agregasi atau penjumlahan suara tidak dapat memenuhi prinsip Pareto dan

Nondiktatorial sekaligus. Sebab, unmk sarnpai pada apa yang diinginkan semua

orang maka preferensi sam orang A (X, Y, Z) hams dijadikan keputusan sosial.

Apakah berarti demoktasi adalah sebuah ketakmungkinan? Kenneth

Arrow sendiri menyatakan bahwa teoti keputusan sosial-nya hanyalah ktitik

Respons 16 (2011) 02 170

DONNY GAHRAL ADIAN - AMARTYA SEN. DEMOKRASI DANTEOR! KEPUTUSAN SOSIAL

terbatas terhadap demokrasi. Dia mengatakan meskipun kegagalan untuk me­

menuhi syarat-syarat teorema kemungkinan adalah sebuah kritik yang sahih

terhadap prosedur. universalisme dalam kegagalan itu menyebabkan teorema

tersebut tidak dapat dijadikan basis untuk mengevaluasi berbagai mekanisme

keputusan sosial. Arrow juga mengatakan bahwa dalam prosedur pengambilan

keputusan sosial sungguhan. kita harus menimbang frekuensi terjadinya hasil

yang.intransitif (Mackie. 2003: 85). Apabila frekuensi hasil intransitif sangat

kecil maka dia dapat diabaikan. Kita jarang menemukan sebuah pengambilan

keputusan sosial dimana~>y>z>X.

Persoalannya. kritik Arrow terhadap prosedur agregasi dalam demokrasi

tidak melihat persoalan yang lebih fundamental daripada jebakan intransiti£

Amartya Sen lebih melihat persoalan dalam prosedur agregasi sebagai kegagalan

untuk mencapai keputusan tentang kesejahteraan sosial (social weifdrefunction)

(Sen. 2002: 271). Seperti disebutkan di awal. agregasi keinginan atau preferensi

individu sulit dijadikan dasar pengambilan keputusan tentangkesejahteraan so­

sial. Keputusan kesejahteraan sosial bisa saja berujung pada pembagian kupon

diskon kepada konsumen yang tersihir ikIan dibanding dengan pembagian

beras kepada rakyat miskin. Dengan kata lain. persoalan yang mengendap di

dalam demokrasi sebagai agregasi adalah sumber informasi yang terlalu sempit

yakni keinginan atau preferensi individu. Preferensi hanya mengabarkan ten­

tang apa yang dibutuhkan individu agar terpuaskan keinginannya tetapi tidak

mampu menerangkan sejumlah informasi tentang kemampuan. pendapatan.

dan perbandingan keinginan antara individu. Keinginan seseorang terhadap

Blackberry. misalnya. tidak dapat memberikan informasi apakah dia memiliki

kemampuan untuk membelinya. Keinginan itu juga tidak dapat memberikan

171 Respons 16 (201 I) 02

RESPONS - DESEMBER 2011

informasi mengenai urgensitasnya dibanding keinginan anak jalanan untuk

mendapatkan pendidikan gratis. Dua orang yang tidak makan nasi tidak dapat

serra merra dibilang babwa keduanya memilih untuk tidak makan. Orang per­

tama memilih tidak makan nasi meski dia mampu membeli beras. Sementara,

orang kedua tidak dapat memilih untuk makan nasi sebab tidak memiliki uang

untuk membeli beras. Teori pilihan sosial Arrow bermasalab karena mematok

keinginan, preferensi atau pemeringkatan preferensi individu sebagai informasi

pokok dalam pengambilan keputusan sosial, khususnya kesejabteraan sosial.

•,

3. KEKELIRUAN INFORMASI

Sen mengatakanbabwa sebagian besar prosedur pengambilan keputu­

san politik (pemilihan umum) dan evaluasi ekonomi (pendapatan nasional)

mengakomodasi informasi yang terlalu sempit (Sen, 2009: 94). Pemilihan Pre­

siden, misalnya, tidak menyingkapkan apa pun kecuali babwa seorangkandidat

mendapat lebih banyak suara ketimbangkompetitomya. Prosedur ekonomi da­

lam menetapkan pendapatan nasional juga hanya disandarkan pada informasi

seputar apa yang dibeli dan berapa harganya.

Kesempitan informasi juga dialami oleh teori keputusan sosial Arrow.

Kekeliruan utama teori kepurusan sosial Arrow terletak pada sempimya basis

informasi yang dipakai yakni preferensi individu. Basis informasi ini bersan­

dar secara filosofis pada etika utilitarianisme. Utilitarianisme klasik berfokus

pada utilitas atau kesejabteraan sebagai terpuaskannya preferensi. Singkamya.

apabila saya menginginkan mantel bulu (meski tinggal di daerab tropis), maka

kesejahteraan (utility) saya diukur berdasarkan sejauh mana keinginan saya

tersebut terpuaskan. Keinginan adalah jembatan meilUju sensasi kenikmatan.

Respons 16 (2011) 02 172

DONNY GAHRALADIAN - AMARTYA SEN, DEMOKRASI DANTEOR! KEPUTUSAN SOSIAL

Dan orang. menurut Jeremy Bentham. mengejar kenikmatan dan rn .

dari kesakiran. Kesejahteraan pun direduksi menjadi. apa yang dikatakall'

kepuasan mental. Seorang sejahtera apabila keinginannya dipenuhi dan secam

mental terpuaskan (kenikmatan). bukan apabila dia ma.mpu terbebaskan dart'

berbagai ganjalan sosial akibat ~ifabilitas.

Utilitarianisme berkontribusi dala.m mematok kesejahteraan atau utili­

tas sebagai pemuasan keinginan atau preferensi. Dalam memeriksa konsekue­

nsi kebijakan publik. utilitarianisme berfokus semata-mata pada kuantitas dati

urilitas individual. Misalnya. utilitas yang A peroleh dari ape! adalah K semen­

tara yang diperolehnya dari mangga adalah 2 (X). Akibatnya, utilitarianisme

membuang semua informasi yang tidak berhubungan dengan preferensi atau

keinginan individu. lru juga menghapus informasi tentang kodrat dan sumber

dari keinginan tersebut. Problem sempitnya basis informasi ini disebut seba­

gai problem pengecualian (Pattanaik. 2009: 327). Kalkulasi utilitarian berbasis

preferensi dapat mengecualikan hak dan kebebasan individu. Hak warganegara

unruk mendaparkan tempat tinggal yang layak dapat dikecualikan kerika ma­

yoritas warga mengmginkan pusat perbe!anjaan (yang dibangun lewat peng­

gusuran dan pengusiran).

Ka1kuIasi utilitarian juga menyingkirkan informasi tentang integriras

personal. Perhatikan ilustrasi berikut. Sandi adalah seorang aktivis yang meno­

lak senjata biologis. Dia dihadapkan pada sebuah situasi yang mana dia ditawari

pekerjaan di divisi riset sebuah perusahaan pembuat senjata biologis. ]ika dia

tidak mengarnbil tawaran tersebut. maka orang lain akan meng'!ffibil posisinya

dan bekerja lebih baik dari dirinya. lru artinya, senjata yang dihasilkan dapat

lebih memarikan dan merengut nyawa lebih banyak orang. Kalkulasi utilitarian

173 'R ..<, ...", ...~lLr.,nl1\n..,

RESPONS - DESEMBER 2011

menggariskan bahwa kebahagiaan sebanyak mungkin orang tergantung pada

kepurusan Sandi unruk bekerja di perusahaan tersebut. Dengan demikian. utili­

tarianisme mengabaikan karakter nonutilitas siruasi si Sandi. Keputusan Sandi

tidak dapat disandarkan pada kalkulus utilitarian melainkan integritas personal­

nya selaku aktivis anti senjata biologis. Integritas personal si Sandi membuamya

tidak menetima tawaran pekerjaan meski iru artinya orang lain akan mengambil

pekerjaan tersebur dengan konsekuensi utilitas yang lebih fatal.

Patokan utilitarian tentang preferensi kemudian diterjemahkan secara

lebih teknis oleh eko~omi positi£ Ekonomi positif hanya menilai rasionalitas

sebuah preferensi dati dua segi: komplet dan transitif. Pteferensi disebut kom­

plet apabila di antata dua pilihan yang ada (x.y) orang memilih x dari y. y dari x

atau indiferen terhadap keduanya. Sementara, preferensi disebut transitif apa­

bila otang memilih x dati y dan y dati z maka x > z. Kita tidak dapat menilai

irasionalitas prefetensi dari perpektif kapitalisme yang menciptakan dan bu­

kannya menyediakan keinginan.

Sen senditi mengemukakan empat kritik terhadap preferensi (Sen. 2002:

302). Pertama, prefetensi bersifat ambigu. Preferensi tidak memiliki makna

yang ajek dan cenderung ditafsirkan beragam mulai dati kepuasan, keinginan,

nilai, pilihan dan lain sebagainya. Meski betagam tafsir preferensi memiliki

annitas yakni individualisme, tetap ada perbedaan substantif antara beraneka

tafsit prefetensi tersebut. Saya yang menginginkan lukisan karena nilai jual

kembalinya yang cukup tinggi betbeda dengan saya yang mengapresiasi nilai

estetik sebuah lukisan. Nilai dan keinginan adalah dua tafsir prefetensi yang

tidak dapat dijembatani. Kedua, preferensi sebagai basis informasi tidak me­

madai unruk mengevaluasi keuntungan dan keistimewaan individu. Dua otang

Resoons 16 (2011) 02 174

DONNY GAHRAL ADIAN - AMARTYA SEN, DEMOKRASI DANTEORI KEPUTUSAN SOSIAL

yang menginginkan kerak nasi. misalnya. Dati keduanya kita tidak dapat mem­

bedakan mana orangyang sejatinya dapat membeli nasi biasa dan dia yang tidak

memiliki pilihan. Utilitarianisme. misalnya. mengbaruskan kita memberi nilai

yang sarna tethadap pteferensi orangper otang. Ini membuat kita buta terhadap

informasi mengenai keistimewaan atau keunrungan.

Ketiga, Preferensi tidak terberi melainkan dibentuk secara sosial. Pre­

ferensi seorang dibenruk melalui interaksi sosial, diskursus atau konteks. Dia

yang tinggal di pemukiman kumuh, misalnya, cenderung menyesuaikan prefer- .

ensinya dengan kondisi Yung melingkupinya. Preferensi seorang politisi dapat

berubah dalarn sebuah debat terbuka. Preferensi seorang ibu di pasar berubah

ketika dia berinteraksi dengan penjual dan sesarna pembeli. Keempat, prefe­

rensi sebagai basis pengambilan kepurusan sosial cenderung berfokus pada hasil

dan alpa menimbang prosedur yangftir. Pembuatan Mal di tengah kota mi­

salnya marnpu meningkatkan jumlah total kebahagiaan, narnun mengabaikan

hak pedagang di pasar tradisional yang tersingkir. Prosedur yangftir, menurut

Rawls, menuntut setiap orang untuk membutakan diri dari status sosial-ekono­

mi sekaligus preferensi yang mengikutinya sebelum membuat pilihan tentang

prinsip keadilan (Rawls, 1999: 17).

Di sini kita berhadapan dengan dilema. Preferensi individu adalah basis

informasi yang terlalu sempit untuk pengambilan kepurusan sosial, khususnya

tentang kesejahteraan. Narnun. demokrasi sebagai keputusan sosial menyodor­

kan penjumlahan suara (voting) sebagai prosedur yang sah. Sen berpendapat

bahwa penjumlahan suara tidak dapat diandalkan untuk mengarnbil kepurusan

tentang indeks kesejahteraan sosial. Dia memberi dua alasan pokok (Sen, 2002:

77). Pertama. penjumlahan suara menunrut partisipasi aktifdan jika seseorahg

175 Respons 16 (2011) 02

RESPONS -DESEMBER2011

memutuskan Untuk tidak m:enggunakan hak suaranya. preferensinya tidak

memeroleh representasi. Ini bertolak belakang dengan keputusan tentang ke­

sejahteraan sosial yangjustru menuntut keterlibatan mereka yang tidak marnpu

memakai hak suaranya. Petani atau nelayan yang tidak dapat pergi ke bilik su­

ara adalah dia yang harus diperhitungkan dalarn indeks kesejahteraan sosial.

Kaum miskin kota yang tidak dapat ikut pemilihan umum karena tidak pu­

nya KTP justru sangat penting dihitung dalarn pembuatan indeks yang sarna.

Kedua, pun ketika setiap orang marnpu memakai hak suaranya. kita tidak dapat

memeroleh informasi yang mencukupi untuk rnengevaluasi perkara kesejahter­

aan. Melalui penjumlahan suara, setiap orang dapat membuat peringkat pre­

ferensinya sendiri. Narnun, kita tidak pernah dapat memeroleh informasi ten­

tang perbandingan interpersonal kesejahteraan orang dari penjumlahan suara.

Kita, melalui penjumlahan suara, mengetahui bahwa 80% populasi menuntut

pemotongan pajak impor barang mewah dan 20% sisanya menuntut perbaikan

fasilitas mandi cud kakus. Yang gagal kita ketahui adalah perbandingan inter­

personal kesejahteraan mereka yang menginginkan Blackberry dengan mereka

yang membutuhkan infrastrukrur dasar untuk hidup sehat. Alhasil; kepurusan

sosial berbasis preferensi dapat berujung pada murahnya harga barang mewah

ketimbang pembangunan fasilitas mandi cud kakus di daerah miskin.

Sen secara tegas menolak preferensi sebagai basis informasi bagi kepu­

tusan sosial tentang kesejahteraan. Baginya, sebuah kepurusan sosial tentang

kesejahteraan hams berrumpu pada basis informasi yang lebih luas dari prefe­

rensi individu yakni perbandingan interpersonal kesejahteraan. "Kesejahte­

raan" di sini tidak sarna dengan"kebahagiaan". Bagi Sen, kebahagiaan adalah

kondisi mental yang tidak memadai unruk memotret kesejahteraan. Seorang .

Respons 16 (2011) 02 176

DONNY GAHRAL ADIAN - AMARTYA SEN. DEMOKRASI DAN

TEORI KEPUTUSAN SOSIAL

ibu rumah tangga yang hidup di dalarn dominasi patriatki cenderung menye­

suaikan "kebahagiaannya" dengan kondisi deprivasi yang dialarninya. Sang ibu

sudah merasa bahagia apabila marnpu melayani suarni dan mengerjakan peker­

jaan domestik, meski dia adalah lulusan terbaik sebuah perguruan tinggi ne­

geri terkemuka. Dia merasa puas dengan pencapaian (betapa kecilnya iru) yang

diperolehnya daIarn kondisi tertekan. Sen menegaskan bahwa metrik kepuasan

atau keinginan sering tidak memadai dalarn merefleksikan deprivasi substantif

yang dialarni orang per orang (Sen, 2002: 83).

Sen seruju dengart,Rawls bahwa batang primer seperti pendapatan, ke­

bebasan, basis sosial hatga diri adalah sederet informasi penting guna mem­

bandingkan kesejahteraan antar orang. Orang yang berpendapatan rendah di­

pastikan kutang dari segi kesejahtetaan dibanding mereka yang berpendapatan

tinggi. Narnun, menurut Sen, informasi kepemilikan batang primer seringkali

tidak cukup unruk membuat perbandingan interpersonal atas kesejahteraan.

Dua orang berpendapatan sarna, misaInya, tidak dapat dikatakan sarna tingkat

kesejahteraannya. Apabila orang pertarna memiliki penyakit fatal yang meng­

habiskan biaya cukup tinggi, maka dipastikan dia kurang sejahtera dibanding

dia yang berpendapatan sarna narnun sehat walafiat.

Kepurusan sosial tentang kesejahteraan bagi Sen harus memungut in­

formasi yang lebih bervatiasi dan luas datipada preferensi individu. Kepurusan

sosial tenrang kemiskinan, misalnya. Kemiskinan biasanya diukur berdasat­

kan rendahnya pendapatan. Angka kemiskinan diukur dengan menghitung

.jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini biasa disebut sebagai

pengukutan hitung-kepala (head-count measure). Persoalannya, apakah kita

memeroleh diagnosa yang memadai tentang kemiskinan individual dengan

177 Respons 16 (2011) 02

RESPONS - DESEMBER 2011

membandingkan pendapatan individu dengan garis kemiskinan yang ditetap­

kan secara sosial? Bagaimana apabila seorang memiliki pendapatan di atas garis

kemiskinan narnun, seperti sudab disebut di atas, menderita penyakit yang

memakan biaya cukup tinggi? Bukankab deprivasi bukan semata persoalan

pendapatan melainkan juga absen atau kurangnya kesempatan unmk menjalani

hidup yang, secara minimal, bermakna? Absen atau kurangnya kesempatan

orang untuk menjalani hidup yang bermakna memang sangat dipengaruhi oleh

variabel pendapatan. Narnun, seperti disebutkan di atas, masih banyak variabe1

lain yang berpengaruh terhadap konvetsi pendapatan menjadi kapabilitas un­

tuk menjalani hidup yang bermakna. Sen menyebut empat variabe1 yang mem­

pengaruhi konvernsi pendapatan menjadi kapabilitas (Sen, 2002: 87). Pertama

adalab heterogenitas personal (kerentanan terhadap penyakit); kedua, keraga­

man lingkungan (seorang tinggal di daerah yang kerap dilanda banjir); ketiga,

variasi dalarn iklim sosial (seseorang tinggal di daerab dengan tingkat krimi­

nalitas tinggi) dan keempat, perbedaan terkait pola konsumsi pada masyarakat

tertentu (seorang yang hidup pas-pasan di tengab komunitas berpendapatan

tinggi tidak dapat mengarnbil bagian dalarn kehidupan komunitasnya).

Bagi Sen. kemiskinan adalab deprivasi kapabilitas yang gagal dimengerti

apabila preferensi masih dijadikan basis informasi. Deprivasi kapabilitas bukan

absennya kepuasan me1ainkan kebebasan-kebebasan dasar dalarn menjalani

hidup yang bermakna. Dua orang bisa sarna-sarna merasa puas dengan meng­

konsumsi sisa-sisa makanan restoran. Narnun. orang pertama me1akukannya

sebagai pilihan laku spiritual tertenm sementara orang kedua tidak memiliki

pendapatan yang memadai untuk membe1i sembilan baban pokok.

Respons 16 (20ll) 02 178

DONNY GAHRAL ADIAN - AMARTYA SEN, DEMOKRASI DAN

TEOR! KEPUTUSAN SOSIAL

4. PENUTUP

Prosedur penjumlahan suara sebagai mekanisme demokratis, bagi Sen,

bukan saja berrnasalah secara maremaris (teorema kemungkinan Arrow) na­

munjuga etis. Penjumlahan preferensiindividu menjadi preferensi sosial dapat

berujung pada deprivasi minoritas yang kurang beruntung. Untuk itu, perluas­

an basis informasi bagi keputusan sosial tentang kesejahteraan adalah harga

yang'tidak dapat ditawar lagi. Basis informasi tersebut harus memasukkan per­

bandingan interpersonal tentang kesejahteraan yang mana kesejahteraan hams

dipaharni sebagai kapabifltas bukan kebahagiaan.

Rawls memberi kontribusi cukup penting tentang jenis inforrnasi yang

harus disertakan dalarn keputusan sosial tentang kesejahteraan. Rawls, misal­

nya, mendattar berbagai jenis barang primer yang dibutuhkan individu untuk

menjalani hidup seperti yang dikehendakinya. Narnun, Sen menarnbahkan

bahwa kepemilikan barang primer harus disertai informasi tentang bagaimana

konversi barang primer tersebut menjadi kapabilitas. Konversi tersebut sangat

terkait dengan keragarnan kondisi yang melingkupi orang per orang. Dengan

kata lain, keadilan tidak cukup bertumpu pada kesetaraan sumber daya (equali­

ty ofresource), narnun juga kapabilitas sebagai konversi sumber daya berdasar­

kan keragaman kondisi manusia.

Pikiran Sen tentang perluasan basis informasi bagi teori keputusan so­

sial memberi kontribusi penting baik secara teoretis maupun prakris. Secara

teoretis, teori keputusan sosial mengalarni perluasan basis informasi yang sa­

ngat penting manakala memutuskan indeks kesejahteraan. Secara praktis, Idta

memaharni kelemahan prosedur demokratis. khususnya, penjumlahan suara

dalam mengarnbil keputusan tentang kesejahreraan. Dengan kara lain, Idta

179 Respons 16 (2011) 02

RESPONS - DESEMBER 2011

hams mengakui bahwa prosedur agregasi preferensi dalam demokrasi sesung­

guhnya tidak. pemah menyentuh perkara fundamental yakni kesejahtetaan so­

sial. Pemilihan umum baik legislatifdan eksekutif tidak metefleksikan kondisi

kesejahteraan di tingRat ak.ar tumput. Kita hanya memahami berapa persen

populasi memilih kandidat tettenru dan bukan kondisi sosial ekonomi popu­

lasi tetsebut. Demokrasi sebagai prosedur agregatif mengingatkan Idta betapa

p'olitik hanya mengejar informasi yang sangat terbatas tentang kesejahteraan.

Ini adaIah catatan tersendiri bagi lembaga survei yang selalu mengejar infor­

masi mengenai tingldt keterpilihan kandidat--yang tidak mencerminkan sarna

sekali indeks.keseiahteraan pemilih.

DAFTAR PUSTAKA

Rawls. John. (1999). A Theory o/Justice. Cambridge: Harvard University Ptess

Mackie. Gerry. (2003). Democracy Deftnded. Cambridge: Cambridge University

Press

Muller. Dennis C. (2003). Public Choice III. Cambridge: Cambridge University

Press

Hausman. Daniel M. (1996). EconomicAnalysisandMoralPhilosophy. Cambridge:

Cambridge University Press

Moris. Christopher. (2010). Amartya Sen. Cambridge: Cambridge University

Press

Puppe. Clemens (et.al). The Handbook o/Rational and Social Choice. New York:

Oxford University Press

Sen. Amarcya. 2009. The Idea o/Justice. London: Allen lane

---------------;: 2002. Rationality and Freedom. Cambridge: Harvard University

Press

Respons 16 (2011) 02 180