93
BAB I Dasar dasar perpajakan Pengertian-Pengertian Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. 1

BAB I Dasar dasar perpajakan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

Dasar dasar perpajakan

Pengertian-Pengertian

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

1

Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di

2

luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.

Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.

Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.

Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.

Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.

Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan PKP (Pengusaha Kena Pajak)

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

4

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan obyektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

Sebelum melakukan penyerahan barang dan atau jasa kena pajak bagi yang memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha kecil yang memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib mengajukan pernyataan tertulis.

Pengusaha kecil yang tidak memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak bila saat peredaran bruto melampaui batas tertentu, paling lambat akhir masa pajak berikutnya.

Syarat-syarat untuk memperoleh NPWP dan Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

Wajib pajak Orang Pribadi (OP) non usahawan: fotocopi KTP,atau Kartu Keluarga,atau SIM, atau Paspor.

Untuk WP OP usahawan:

Fotocopi KTP/KK/SIM/Paspor.

Fotocopi surat ijin usaha atau surat keterangan tempat usaha dari instansi berwenang.

Untuk WP Badan:

Fotocopi akte pendirian.

Fotocopi KTP salah seorang pengurus.

Fotocopi surat ijin usaha atau surat keterangan tempat usaha dari instansi yang berwenang.

Untuk bendaharawan sebagai pemungut/pemotong:

Fotocopi surat penunjukan sebagai bendaharawan.

Fotocopi tanda bukti diri KTP/KK/SIM/Paspor.

5

Jika pemohon berstatus perusahaan anak/cabang, maka harus melampirkan bukti pendaftaran perusahaan induk/pusatnya.

Penghapusan NPWP oleh DirJen Pajak dilakukan jika:

Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh WP/ahli waris jika WP sudah tidak memenuhi persyaratan subyektif atau obyektif sesuai ketentuan peraturan undang-undang perpajakan.

WP badan dilikuidasi karena penghentian/penggabungan usaha.

WP BUT menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.

Dianggap perlu oleh DirJen Pajak.

Kode seri NPWP terdiri dari 15 digit dengan rincian:

Contoh: NPWP PT. ABC 01.855.081.4.521.000

2 digit pertama merupakan identitas WP:

01 s/d 03 : WP badan.

04 dan 06 : WP pengusaha.

05 : WP karyawan.

07 s/d 09 : WP orang pribadi.

6 digit kedua merupakan nomer registrasi/urut yang diberikan kantor pusat DJP kepada KPP. (contoh 855.081)

1 digit ketiga diberikan untuk NPWP sebagai alat pengaman agar tidak terjadi pemalsuan dan kesalahan NPWP.

3 digit keempat adalah kode KPP. (contoh 521)

3 terakhir adalah status WP. (tunggal, pusat, atau cabang)

SPT

Surat yang digunakan oleh WP untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. SPT harus dilaporkan dengan benar, lengkap, dan jelas.

Fungsi SPT:

6

Bagi WP PPh

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.

Melaporkan pembayaran/pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak.

Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak.

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang.

Untuk melaporkan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.

Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan.

Bagi Pemungut atau Pemotong Pajak

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan.

Prosedur penyelesaian SPT:

WP mengambil sendiri blanko SPT pada KPP setempat.

WP mengisi SPT dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Pengisian formulir SPT yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang bayar, akan dikenakan sanksi perpajakan.

WP menyerahkan kembali SPT ke KPP yang bersangkutan dalam batas waktu yang ditentukan, minta bukti penerimaan yang bertanggal dari KPP. Jika lewat kantor pos harus tercatat, tanda bukti dan tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan.

Benar dalam penghitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Lengkap berarti memuat semua unsur yang berkaitan dengan obyek pajak dan unsur-unsur lain yang harus

7

dilaporkan dalam SPT. Jelas berarti melaporkan asal usul atau sumber dari obyek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.

SPT dianggap tidak disampaikan bila:

SPT tidak ditandatangani

SPT tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen yang telah ditentukan.

SPT yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak dan WP telah ditegur secara tertulis.

SPT disampaikan setelah DirJen Pajak melaksanakan pemeriksaan atau menerbitkan SKP.

Pengolahan SPT:

Penelitian SPT

Kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT dan lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.

Perekaman SPT

Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan semua unsur SPT ke dalam basis data perpajakan dengan cara antara lain merekam, uploading, dan atau memindai (scanning).

Batas Waktu Penyampaian SPT:

SPT Masa, paling lambat 20 hari setelah berakhirnya masa pajak.

SPT Tahunan PPh WP OP, paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak.

SPT Tahunan PPh WP Badan, paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.

Sanksi administrasi berupa denda:

Rp 500.000 untuk SPT Masa PPN.

Rp 100.000 untuk SPT Masa Lainnya.

Rp1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh WP Badan.

Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh WP OP.

8

Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Tagihan Pajak (STP), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Fungsi SSP:

Sarana membayar pajak.

Sebagai bukti laporan pembayaran pajak.

Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak:

Bank-bank yang ditunjuk oleh DitJen Anggaran.

Kantor Pos dan Giro

Batas Waktu Pembayaran Pajak:

PPh Pasal 21 Tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

PPh Pasal 22 Impor Bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk atau saat penyelesaian dokumen impor.

PPh Pasal 22 DirJen Bea dan Cukai Satu hari setelah pemungutan pajak dilakukan.

PPh Pasal 22 Bendaharawan Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran.

PPh Pasal 23 dan 26 Tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

PPh Pasal 25 Tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

PPN dan PPnBM Saat pembayaran barang atau jasa kena PPN.

PPN dan PPnBM Impor Bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk atau harus dilunasi saat penyelesaian dokumen impor.

PPN dan PPnBM DJBC 1 hari setelah pemungutan pajak dilakukan.

PPN dan PPnBM Bendaharawan Tanggal 7 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Fungsi STP:

9

Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang SPT wajib pajak.

Sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda.

Alat untuk menagih pajak.

STP diterbitkan apabila:

PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar.

Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung.

Wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.

Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu.

Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak mengisi faktur pajak secara lengkap.

PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak.

PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan.

Sanksi Administrasi:

Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam STP ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa, bagian atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya STP.

(5d) Wajib menyetor pajak yang terutang dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari DPP (Dasar Pengenaan Pajak).

(5g) Sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan SKP sampai dengan tanggal penerbitan STP.

SKP:

SKP (Surat Ketetapan Pajak)

SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar)

SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan)

SKPN (Surat Ketetapan Pajak Nihil)

SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar)

10

Fungsi SKPKB:

Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT.

Sarana mengenakan sanksi.

Alat untuk menagih pajak.

SKPKB diterbitkan apabila:

Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.

SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam pasal 3 (UU KUP) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% yang mengakibatkan restitusi.

Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan 29 (UU KUP) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

Kepada wajib pajak diterbitkan NPWP dan atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan.

Sanksi Administrasi:

(9a dan 9e) Jumlah kekurangan pajak yang terutang ditambah bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau masa berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, tahun pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.

(9b) Kenaikan 50% dari PPh kurang atau tidak dibayar.

(9c) Jumlah pajak dalam SKPKB ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang bayar.

Fungsi SKPKBT:

Sebagai koreksi atas ketetapan pajak kurang bayar (sebelumnya).

Sarana untuk mengenakan sanksi.

Alat untuk menagih pajak.

SKPKBT diterbitkan apabila:

Berdasarkan data baru atau data yang semula belum terungkap menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam SKP sebelumnya.

11

Ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat penerbitan SKPKBT. Dengan demikian SKPKBT dapat diterbitkan lebih dari satu kali.

Sanksi Administrasi:

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

Pembukuan

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat

12

kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.

Sanksi tidak memenuhi kewajiban pembukuan:

Tidak mengadakan pembukuan atau pencatatan, pajak yang terutang ditetapkan dengan SKP secara jabatan ditambah kenaikan 100%, khusus untuk PPh pasal 29 ditambah kenaikan sebesar 50%.

Dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah benar; tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan; tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; akan dipidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar.

Keberatan

Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada DirJen Pajak atas suatu: SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB, pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.

Harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim SKP atau tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali bila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas SKP, wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

Bila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, DirJen Pajak wajib memberikan keterangan tertulis hal yang menjadi DPP, penghitungan rugi atau pemotongan atau pemungutan pajak.

Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan, tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan SK keberatan.

13

Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

DirJen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Jika jangka waktu tersebut telah terlampaui dan DirJen Pajak tidak memberi surat keputusan, keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan.

Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. DirJen Pajak dapat menerbitkan keputusan atas keberatan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Banding

Wajib pajak dapat mengajukan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Pengadilan Tinggi Urusan Negara.

Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.

Dalam hal mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang belum dibayar saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Jika keberatan, banding, dan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan dimaksud dikembalikan dengan ditambah bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan.

Pemeriksaan

Sasaran pemeriksaan adalah mencari adanya:

Interprestasi undang-undang yang tidak benar.

Kesalahan hitung.

14

Penggelapan secara khusus dari penghasilan.

Pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya yang dilaksanakan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Tujuan Pemeriksaan adalah menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam hal wajib pajak:

Menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar.

Menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.

Tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tidak tepat waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran.

Melakukan penggabungan, pembubaran atau akan selama-lamanya.

Menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisa resiko mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan wajib pajak tidak terpenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Tujuan Lain:

Pemberian NPWP secara jabatan.

Penghapusan NPWP.

Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan PKP.

Wajib pajak mengajukan keberatan.

Pengumpulan bahan guna penyusunan NPPN.

Pencocokan data dan atau alat keterangan.

Penentuan wajib pajak berlokasi di daerah terpencil.

Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN.

Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.

Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan.

Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda.

Kewajiban Wajib Pajak dalam Pemeriksaan:

15

Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak atau obyek yang terutang pajak.

Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

Memberikan keterangan lain yang diperlukan.

Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan kantor sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Memenuhi permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan.

memberi keterangan secara tertulis maupun lisan.

Menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui.

Menandatangani BAP pemeriksaan, bila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui.

Menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, apabila menolak membantu kelancaran pemeriksaan.

Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk melakukan penyegelan tempat dan atau ruangan tertentu.

Hak Wajib Pajak dalam Pemeriksaan:

Minta untuk memperlihatkan tanda pengenal dan surat pemeriksaan.

Minta untuk menyerahkan surat pemberitahuan pemeriksaan.

Minta penjelasan tertentu maksud dan tujuan pemeriksaan.

Minta rincian dan penjelasan yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPT.

Memberikan sanggahan terhadap koreksi yang dilakukan pemeriksaan pajak, dengan menunjukkan bukti yang kuat dan syah dalam rangka closing conference.

Meminta tanda bukti peminjaman buku, dokumen, dan catatan secara rinci.

Contoh Soal

16

Angsuran PPh Pasal 25 PT.A tahun 2008 sebesar Rp10.000.000 per bulan. Angsuran masa Mei 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2008. Tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan STP. Maka sanksi bunga dalam STP adalah:

1 x 2% x Rp10.000.000 = Rp200.000

SPT PPh wajib pajak OP tahun 2008 disampaikan tanggal 31 Maret 2009. Setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan PPh kurang bayar sebesar Rp1.000.000. Atas kekurangan tersebut diterbitkan STP pada 12 Juni 2009 dengan penghitungan sanksi bunga:

Kekurangan PPh Rp1.000.000

Bunga (3 x 2% x Rp1.000.000) 60.000

Jumlah yang harus dibayar Rp1.060.000

PT.A mendapat SKPKB untuk tahun 2008 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp100.000.000. Dalam pembahasan akhir pemeriksaan, wajib pajak menyetujui membayar dulu Rp20.000.000. Jumlah tersebut telah dilunasi, namun WP mengajukan keberatan. DirJen Pajak mengabulkan sebagian dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp75.000.000. Sanksi administrasi yang dikenakan kepada PT.A:

Pajak yang masih harus dibayar hasil keberatan Rp75.000.000

Sanksi administrasi (50% x (Rp75.000.000-Rp20.000.000)) Rp27.500.000

Pajak yang sudah dilunasi (Rp20.000.000)

Jumlah yang masih harus dibayar Rp82.500.000

PT.A mendapat SKPKB untuk tahun 2008 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp100.000.000. Dalam pembahasan akhir pemeriksaan, wajib pajak menyetujui membayar dulu Rp20.000.000. Jumlah tersebut telah dilunasi, namun WP mengajukan keberatan. DirJen Pajak mengabulkan sebagian dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp75.000.000. Selanjutnya PT.A mengajukan banding dan oleh pengadilan pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar Rp45.000.000. Jumlah yang masih harus dibayar PT.A:

Pajak yang masih harus dibayar Rp45.000.000

Sanksi denda (100% x (Rp45.000.000-Rp20.000.000)) Rp25.000.000

Pajak yang sudah dilunasi (Rp20.000.000)

Jumlah yang masih harus dibayar PT.A Rp50.000.000

17

Soal-Soal Latihan:

Apa yang dimaksud dengan Pajak, PPh, dan PPN?

Kapan batas waktu pembayaran untuk setiap jenis pajak?

Kapan batas waktu pelaporan untuk setiap jenis pajak?

Sebutkan urutan seorang subjek pajak untuk mendapatkan NPWP!

Sebutkan urutan seorang wajib pajak melakukan pembayaran pajak!

Sebutkan urutan seorang wajib pajak melakukan pelaporan pajak!

PPh pasal 25 PT.B masa pajak Agustus 2009 sebesar Rp10.000.000. PPh baru dibayar pada tanggal 20 November 2009 dan dilaporkan pada 22 November 2009. Berapa jumlah tagihan yang akan tertera pada STP?

PT.B mendapat SKPKB untuk tahun 2009 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp200.000.000. Dalam akhir pembahasan pemeriksaan wajib pajak menyetujui membayar Rp40.000.000. Jumlah tersebut dilunasi, namun PT.B mengajukan keberatan. DirJen Pajak mengabulkan sebagian dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp160.000.000. Selanjutnya PT.B mengajukan banding dan oleh pengadilan pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar adalah Rp120.000.000. Hitung:

Jumlah yang masih harus dibayar PT.B jika tidak mengajukan banding.

Jumlah yang masih harus dibayar PT.B jika mengajukan banding.

Angsuran PPh Pasal 25 PT.B tahun 2009 sebesar Rp30.000.000 per bulan. Angsuran masa Agustus 2009 dibayar tanggal 18 November 2009 dan dilaporkan tanggal 19 November 2009. Berapa jumlah yang harus dibayar PT.B yang tertera dalam STP?

BAB II

Ketentuan umum dan tata cara perpajakan

18

Dalam Ketentuan formal Perpajakan sebagaimana di antaranya di atur dalam Pasal 8 ayat (3) UU

KUP telah memberikan peluang hukum dalam bentuk suatu pengampunan pajak. Di sisi lain,

dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU KUP hak melakukan pembetulan SPT dan Pasal 8 ayat (2)

UU KUP mengatur pembetulan SPT berikut pembayaran sanksi hukum berupa bunga 2%

terhadap pajak yang tidak atau kurang dibayar, kini dalam kebijakan hal yang bertentangan

dengan maksud pasal dimaksud ”sunset policy”1 sebagai implementasi hukum dalam rangka

pengampunan dan pemberian fasilitas berupa penghapusan sanksi hukum administrasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa :

1. Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau Pedasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak palaing lama 1(satu) tahun setelah berlakunya Undang-undang ini, dapat diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Serangkaian aturan hukum yang menjadi landasan yuridis berkaitan dengan sunset policy yang

mengatur penyampaian pembetulan SPT, persyaratan WP yang dapat diberikan penghapusan

sanksi administrasi sebagai berikut ini:

1. Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan;

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008 tanggal 29 April 2008 yang mulai

berlaku 1 Januari 2008;1 Konsep dasar dalam pemungutan pajak berdasarkan ”self assessment”yang telah memberikan

kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri besar pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

19

3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 27/PJ/2008 tanggal 19 Juni 2008 yang dirubah

dengan Nomor 30/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008, mulai berlaku surut sejak 1 Januari

2008;

4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008.

Dalam ketentuan tersebut di atas,implementasinya adalah :

1. WP OP yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun

2008 dan menyampaikan SPT Tahunan WPOP untuk Tahun Pajak 2007 dan

sebelumnya, diberikan sanksi administrasi penghapusan bunga atas pajak yang tidak

atau kurang dibayar.

2. Wajib Pajak yang sebelum tanggal 1 Januari 2008 telah memiliki NPWP dan dalam

tahun 2008 menyampaikan pembetulan :

SPT Tahunan PPh (WPOP atau WP Badan) sebelum Tahun Pajak 2007 yang

mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan

penghapusan sanksi administrasi berupa bungan atas keterlambatan pelunan

kekurangan pembayaran pajak, untuk penyampaian SPT PPh yang disampaikan

pertama kali dalam tahun 2008.

3. Wajib Pajak yang sebelum tanggal 1 Januari 2008 telah memiliki NPWP dan sampai

dengan 31 Desember 2008 belum menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun

2007, dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum tahun 2007; yang disampaikan

dalam tahun 2008 diperlakukan sebagai pembetulan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun

2007, seperti no.2.

4. WP yang menyampaikan SPT Tahunan WPOP tersebut no.1 dibeikan penghapusan

sanksi administrasiadalah WP OP yang :

Secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008.

Tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan penuntutan, atau

pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan (TPP).

5. Penyampaikan SPT Tahunan PPh POP tersebut nomor 1 :

20

Dilaksanakan dengan menggunakan formulir SPT Tahunan PPh WPOP Tahun Pajak

yang bersangkutan dan menuliskan ”SPT berdasarkan Pasal 37A UU KUP” dibagian

atas tengah SPT Induk dan lampirannya.

Kekurangan pembayaran pajak

6. WP yang menyampaikan SPT. Tahunan WPOP tersebut no.1 dan diberikan penghapusan sanksi administrasi adalah WPOP yang :

i. Secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008;

ii. Tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan (TPP);

iii. Menyampaikan SPT. Tahunan WPOP Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif paling lambat tanggal 31 Maret 2009; dan melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar sebelum SPT tersebut disampaikan ke KPP.

7. Penyampaian SPT. Tahunan PPh.OP tersebut no.1 :

8. Dilaksanakan dengan menggunakan formulir SPT. Tahunan PPh.WPOP Tahun Pajak yang bersangkutan dan menuliskan "SPT berdasarkan Pasal 37A UU KUP" di bagian atas tengah SPT Induk dan setiap Lampirannya.

9. Kekurangan Pembayaran pajak yang terutang dalam SPT. Tahunan PPh.WPOP tersebut harus dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) sebelum SPT tersebut disampaikan ke KPP dilampiri SSP lembar ke 3.

10. WP yang membetulkan SPT. tersebut no.2 dan diberikan penghapusan sanksi administrasi adalah WPOP atau WP badan yang memenuhi persyaratan :

11. Telah memiliki NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2008;

12. Terhadap SPT. Tahunan PPh yang dibetulkan belum diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP);

13. Terhadap SPT. Tahunan PPh yang dibetulkan belum dilakukan pemeriksaan atau dalam hal sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP);

14. Telah dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, tetapi tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan tentang TPP;

15. Tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas TPP;

16. Menyampaikan pembetulan SPT. Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya paling lambat tanggal 31 Desember 2008; dan

17. Melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar sebelum pembetulan SPT. Tahunan PPh ke KPP dimana WP terdaftar;

21

18. Dalam hal SPT. Tahunan PPh yang dibetulkan menyatakan lebih bayar, dianggap sebagai pencabutan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tercantum dalam SPT. Tahunan PPh yang dibetulkan.

19. Apabila WP membetulkan SPT. Tahunan PPh suatu tahun pajak yang sedang dalam pemeriksaan satu jenis pajak (jenis pajak lainnya tidak dilakukan pemeriksaan), pemeriksaan tersebut dihentikan kecuali berdasarkan pertimbangan Dir. Jend. Pajak pemeriksaan tersebut tetap dilanjutkan, dalam hal :

20. Pajak yang terutang berdasarkan Pembetulan SPT. Tahunan PPh.WPOP atau Badan lebih rendah daripada temuan sementara pemeriksaan yang didukung dengan bukti yang cukup (bukan hasil analisis) dan disetujui oleh atasan Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan atau;

21. Terdapat indikasi tindak pidana dibidang perpajakan (TPP), dilanjutkan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

22. Apabila WP membetulkan SPT. Tahunan PPh yang sedang dalam pemeriksaan seluruh jenis pajak (all taxees) :

23. Pemeriksaan atas seluruh jenis pajak dihentikan kecuali pemeriksaan terhadap SPT. lebih bayar tetap dilanjutkan.

24. Pemeriksaan atas seluruh jenis pajak tetap dilanjutkan berdasarkan pertimbangan Dir. Jend. Pajak tersebut pada no.7; apabila terdapat indikasi TPP dilanjutkan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

25. Apabila WP membetulkan SPT. Tahunan PPh suatu tahun pajak yang belum dilakukan pemeriksaan, namun atas SPT jenis pajak lainnya dalam tahun pajak tersebut sedang dilakukan pemeriksaan ;

26. Pemeriksaan terhadap SPT jenis pajak lainnya dihentikan, kecuali SPT. lebih bayar.

27. Pemeriksaan tersebut tetap dilanjutkan karena terdapat indikasi TPP; dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

28. Penghentian pemeriksaan no.7, 8 dan 9 dibuat Laporan Hasil Pemeriksaan berupa Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy dan diberitahukan secara tertulis kepada WP.

29. Pemeriksaan yang telah dihentikan tersebut, dapat diperiksa kembali atau ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan apabila terdapat data atau keterangan lain yang menunjukkan bahwa Pembetulan SPT. Tahunan PPh yang disampaikan oleh WP dalam rangka Pasal 37A KUP, ternyata tidak benar.

30. Pembetulan SPT. Tahunan PPh tersebut no.2 :

31. Dilaksanakan dengan menggunakan formulir SPT. Tahunan PPh untuk Tahun Pajak yang bersangkutan dan menuliskan "Pembetulan berdasarkan Pasal 37A UU KUP" atau

22

"SPT berdasarkan Pasal 37A UU KUP" di bagian atas tengah SPT Induk dan setiap Lampirannya.

32. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebelum pembetulan SPT. Tahunan PPh tersebut disampaikan ke KPP; harus dilampiri dengan Surat Setoran Pajak Lembar 3 atas pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

33. Data dan/atau informasi yang tercantum dalam SPT Tahunan WPOP tersebut pada no.1 tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya.

34. Data dan/atau informasi yang tercantum dalam Pembetulan SPT. Tahunan PPh. WPOP atau Badan tersebut no.2 tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya.

35. Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga tersebut no.1 dan 2 dilakukan tanpa menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

36. SPT Tahunan PPh WPOP untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya tersebut no.1, yang disampaikan ke KPP setelah tanggal 31 Desember 2007 s.d. 30 Juni 2008 dapat diperlakukan sebagai SPT. Tahunan PPh dalam rangka Pasal 37A KUP.

37. Pembetulan SPT. Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya tersebut pada no.2, yang disampaikan ke KPP setelah tanggal 31 Desember 2007 s.d. 30 Juni 2008, dapat diperlakukan sebagai Pembetulan SPT. Tahunan PPh dalam rangka Pasal 37A KUP.

38. WPOP yang memperoleh NPWP secara sukarela dalam tahun 2008 dan telah menyampaikan SPT. Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya setelah tgl 31 Des. 2007 s.d. tgl 30 Juni 2008, dapat menyampaikan Pembetulan SPT. Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam rangka Pasal 37A KUP satu kali setelah tgl 27 Juni 2008 s.d. 31 Des. 2008.

WP yang telah memiliki NPWP sebelum tgl 1 Januari 2008 dan telah menyampaikan SPT. Tahunan PPh atau Pembetulan SPT. Tahun PPh sebelum Tahun Pajak 2007 setelah tgl 31 Des 2007 s.d. 30 Juni 2008 dapat menyampaikan Pembetulan SPT. Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 dalam rangka Pasal 37A KUP satu kali setelah tanggal 27 Juni 2008 sampai dengan tgl 31 Des. 2008.

BAB III

PAJAK PENGHASILAN

A. Subjek PPh

23

PPh dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya

dalam suatu tahun pajak. Dengan kata lain, subjek pajak tersebut dikenakan pajak apabila

menerima atau memperoleh penghasilan.

1. Orang pribadi

Subjek pajak orang pribadi dibedakan menjadi subjek pajak orang pribadi dalam negeri

dan subjek pajak orang pribadi luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri

adalah:

a. Orang pribadi yang tinggal di Indonesia.

b. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

c. Dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di

Indonesia.

Subjek pajak orang pribadi luar negeri adalah:

a. Yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia.

b. Yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

SPDN SPLN

Penghasilan yang dikenai

pajak penghasilan

Penghasilan dari seluruh dunia. Hanya penghasilan dari

Indonesia.

Pengenaan Pajak Dari penghasilan neto (PKP) Dari penghasilan bruto.

Tarif Pajak Progresif. Tetap.

Kewajiban SPT Wajib menyampaikan SPT. Tidak wajib.

2. Selain Orang Pribadi

a. Warisan belum terbagi, dinyatakan sebagai subyek pajak agar penghasilan yang

mungkin diterima/diperoleh dari warisan itu tetap dikenai pajak. Bila warisan telah

terbagi, maka pertanggungjawaban perpajakannya berada di tangan para ahli waris.

24

b. Badan, dinyatakan sebagai subyek pajak di mana pengertiannya seperti di KUP.

c. Bentuk Usaha Tetap (BUT), merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang

pribadi SPLN maupun badan SPLN untuk menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan di Indonesia. Meski tidak secara jelas termasuk subyek pajak dalam atau

luar negeri, kewajiban pajak BUT sama dengan subyek pajak dalam negeri,

khususnya subyek pajak badan.

3. Pengecualian Subyek Pajak

a. Badan perwakilan negara asing.

b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari

negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada

dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara

Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar

jabatan dan pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan

perlakuan timbal balik.

c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Keuangan, dengan syarat:

1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.

2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari

Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal

dari iuran anggota.

d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan

usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan lain di

Indonesia.

B. Kewajiban Wajib Pajak

1. Pendaftaran.

2. Pembukuan dan Pencatatan.

3. Kewajiban Bulanan:

a. Kewajiban sebagai pemotong PPh Pasal 21.

b. Kewajiban sebagai pemotong PPh Pasal 23.

25

c. Kewajiban menyetor PPh Pasal 25.

d. Kewajiban memotong PPh Pasal 26.

e. Kewajiban memotong PPh Pasal 4 ayat (2).

f. Kewajiban PPN dan PPnBM.

4. Kewajiban Tahunan:

a. SPT tahunan PPh orang pribadi.

b. SPT tahunan PPh Pasal 21.

C. Hak Wajib Pajak

1. Mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.

2. Melakukan pembetulan SPT dalam jangka waktu 2 tahun sesudah berakhirnya masa

pajak atau tahun pajak.

3. Mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

4. Meminta kembali (restitusi) kelebihan pembayaran pajak.

5. Mengajukan permohonan pembetulan surat ketetapan pajak.

6. Mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas suatu surat ketetapan pajak.

7. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan

keberatan.

8. Mengajukan gugatan kepada badan peradilan sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) KUP.

9. Mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam surat ketetapan

pajak.

10. Mengajukan permohonan peninjauan kembali STP.

11. Mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak.

12. Mengajukan permohonan pengurangan atau pembebasan angsuran PPh Pasal 25.

13. Mengajukan permohonan pembebasan pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak

lain.

D. Objek PPh

Penghasilan sebagai objek pajak diatur dalam Pasal 4 UU PPh. Yang menjadi objek pajak

adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau

26

diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang

dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang

bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau

diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang

pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.

2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

3. laba usaha.

4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:

5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian hutang.

7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan

asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

8. royalti.

9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang

ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

12. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

14. premi asuransi.

15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib

pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak.

E. Penghasilan Yang Termasuk Objek PPh Final

1. bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI.

2. hadiah undian.

3. penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di bursa efek.

4. penghasilan usaha jasa konstruksi.

27

5. penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan.

6. bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan/dilaporkan perdagangannya di bursa

efek.

F. Bukan Objek PPh

1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau

lembaga amil zakat yang dibentuk/disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat

yang berhak.

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu

derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha

kecil termasuk koperasi yang ditetapkan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada

hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak

yang bersangkutan.

3. warisan.

4. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau

sebagai pengganti penyertaan modal.

5. penggantian atau imbalan sehubungan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh

dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.

6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi

kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib

pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan

usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.

b. Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan

yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan

harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.

8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh

Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.

28

9. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada

angka 8 di atas, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Keuangan.

10. bagian laba yang diterima para anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak

terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.

11. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun

pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha.

12. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba

dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di

Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam

sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan

b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

G. Biaya-Biaya yang Diperbolehkan Dikurangkan dari Penghasilan (Deductible Expenses)

1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya

pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,

honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan lain yang diberikan dalam bentuk uang,

bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya

administrasi, dan pajak kecuali PPh.

2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas

pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat

lebih dari satu tahun. Metode penyusutan yang boleh digunakan menurut UU PPh adalah

metode garis lurus (untuk semua harta tetap berwujud) dan metode saldo menurun (hanya

untuk kelompok harta berwujud bukan bangunan saja). Penyusutan dapat dimulai pada:

a. Tahun dilakukannya pengeluaran. Untuk harta yang masih dalam pengerjaan,

penyusutannya dimulai pada tahun pengerjaan harta tersebut selesai.

b. Dengan ijin Dirjen Pajak, penyusutan dapat dimulai pada tahun harta berwujud mulai

digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada

tahun harta tersebut mulai menghasilkan.

3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan.

29

4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam

perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan.

5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.

6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.

7. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.

8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:

a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba/rugi komersial.

b. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan

Urusan Piutang dan Lelang Negara (BPULN) atau adanya perjanjian tertulis

mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang

bersangkutan.

c. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.

d. WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Dirjen Pajak.

H. Biaya-Biaya yang Tidak Diperbolehkan Dikurangkan dari Penghasilan (Undeductible

Expenses)

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen yang dibayarkan

oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi.

2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,

sekutu, atau anggota.

3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih

untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi,

dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-

syaratnya ditetapkan dengan SK Menteri Keuangan.

4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan

asuransi bea siswa yang dibayar oleh WP orang pribadi, kecuali dibayar oleh pemberi

kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan.

5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau

diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari WP atau pemerintah kecuali

30

penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan

dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan

pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan SK Menteri Keuangan.

6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada

pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan

pekerjaan yang dilakukan.

7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana pasal 4 ayat 3

UU PPh, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh WP orang

pribadi beragama Islam dan atau WP badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk

agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau

disahkan pemerintah.

8. PPh, dalam hal ini PPh orang pribadi.

9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang

menjadi tanggungannya.

10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer

yang modalnya tidak terbagi atas saham.

11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda

yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

I. Kompensasi Kerugian

Apabila wajib pajak mengalami kerugian usaha (fiskal) pada suatu tahun pajak, kerugian

tersebut dapat diperhitungkan (dikompensasikan) dengan laba tahun pajak berikutnya

berturut-turut selama 5 tahun. WP tertentu dapat melakukan kompensasi kerugian melebihi 5

tahun hingga 10 tahun.

J. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

WP orang pribadi mendapatkan fasilitas pengurangan penghasilan yang disebut penghasilan

tidak kena pajak (PTKP). Berbeda dengan biaya-biaya dan kompensasi kerugian yang hanya

diperuntukkan bagi WP pembukuan, PTKP ini berlaku bagi seluruh wajib pajak. Besarnya

31

PTKP tergantung status WP tersebut, dimana status WP berdasarkan keadaan pada awal

tahun.

Besarnya Uraian

Rp 24.300.000 Untuk setiap diri WP.

Rp 2.025.000 Tambahan untuk WP berstatus kawin.

Rp 2.025.000 Tambahan untuk setiap tanggungan maksimal 3 tanggungan, yaitu:

anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus

serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Rp 24.300.000 Tambahan apabila penghasilan istri digabung dalam penghitungan PPh

penghasilan suami.

K. Tarif PPh Orang Pribadi

No Penghasilan Tarif PPh

1 Sampai dengan Rp50.000.000 5%

2 Di atas Rp 50.000.000 s/d Rp250.000.000 15%

3 Di atas Rp250.000.000 s/d Rp500.000.000 25%

4 Di atas Rp500.000.000 30%

L. Penghitungan PPh Masa dan Tahunan

1. Doni bekerja pada perusahaan tenun dengan dasar upah harian yang dibayarkan secara

bulanan. Dalam bulan Januari 2009, Doni hanya bekerja 20 hari kerja dan mendapatkan

upah per hari Rp20.000. Doni sudah menikah tetapi belum memiliki anak. Perhitungan

PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Upah Januari 2009 = 20 x Rp 20.000 = Rp

400.000

32

Penghasilan neto setahun = 12 x Rp400.000 = Rp

4.800.000

PTKP:

Diri Doni Rp15.840.000

Status kawin Rp 1.320.000

= Rp 17.160.000

(Rp 12.360.000)

Jadi, Doni tidak akan membayar pajak karena penghasilannya setahun lebih kecil dari

nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak.

2. Daniel bekerja pada PT.Putri dengan gaji Rp4.000.000 per bulan dan telah memiliki

NPWP. Daniel mendapat fasilitas tunjangan kesehatan Rp1.000.000 per bulan, tunjangan

transportasi Rp500.000 per bulan, dan tunjangan kesejahteraan Rp500.000 per bulan.

Daniel belum menikah. Perhitungan pajak penghasilan pasal 21 adalah sebagai berikut:

Penghasilan bruto per bulan = Rp4.000.000+Rp1.000.000+Rp500.000+Rp500.000

= Rp6.000.000

Biaya Jabatan = 5% x Penghasilan bruto (maksimal Rp108.000 per bulan)

= 5% x Rp6.000.000

= Rp 108.000 (karena maksimal per bulan Rp108.000)

Penghasilan netto per bulan = Rp6.000.000 – Rp108.000

= Rp5.892.000

Penghasilan netto setahun = 12 x Rp5.892.000 = Rp70.704.000

Dikurangi PTKP setahun:

33

Diri Daniel = Rp15.840.000

Rp54.864.000

PPh Pasal 21 setahun:

Tarif I = Rp50.000.000 x 5% = Rp2.500.000

Tarif II = Rp 4.864.000 x 15% = Rp 729.600

Rp3.229.600

PPh Pasal 21 masa = Rp3.229.600 : 12

= Rp269.133

3. Daniel bekerja pada perusahaan swasta terkemuka di Jakarta. Setiap bulannya dia

mendapatkan Gaji Pokok Rp3.000.000, tunjangan kesehatan Rp1.000.000 per bulan, dan

tunjangan transportasi Rp 500.000 per bulan. Daniel telah menikah dan memiliki 2 putra.

Daniel memiliki istri yang bekerja pada satu perusahaan dengan penghasilan

Rp2.000.000 per bulan dan tunjangan transportasi Rp 300.000 per bulan. NPWP Daniel

dan istrinya menjadi satu. Perhitungan Pajak Penghasilannya adalah:

Penghasilan Daniel /bln = Rp3.000.000 + Rp1.000.000 + Rp500.000 = Rp4.500.000

Biaya jabatan = 5% x Rp4.500.000 = Rp 108.000

Pendapatan netto / bln = Rp4.500.000-Rp108.000 = Rp4.392.000

Penghasilan Istri /bln = Rp2.000.000 + Rp300.000 = Rp2.300.000

Biaya jabatan istri = 5% x Rp2.300.000 = Rp 108.000

Pendapatan netto/bln = Rp2.300.000-Rp108.000 = Rp2.192.000

Total penghasilan Daniel dan Istri = Rp4.392.000+Rp2.192.000 = Rp6.584.000

34

Penghasilan Daniel dan Istri setahun = 12 x Rp6.584.000 =

Rp79.008.000

PTKP:

Diri Daniel Rp15.840.000

Status Kawin Rp 1.320.000

Istri Rp15.840.000

Tanggungan (2 anak) Rp 2.640.000

=

Rp35.640.000

Penghasilan Kena Pajak =

Rp43.368.000

PPh Pasal 21 setahun = Rp43.368.000 x 5% = Rp2.168.400

PPh Pasal 21 masa = Rp2.168.400 : 12 = Rp 180.700

M. Soal Latihan

PT. Pengen Sugih memiliki data pegawai tetap sebagai berikut:

No Nama / NPWP Gaji Pokok Uang Makan

dan Transpot

Kesehatan Pensiun

1 Joko / 01.345.567.9.876.004 Rp3.000.000 Rp800.000 Rp300.000 Rp500.000

2 Wati / 01.234.656.2.453.021 Rp2.500.000 Rp600.000 Rp300.000 Rp300.000

35

3 Dodi / 02.345.987.4.345.007 Rp2.000.000 Rp400.000 Rp300.000 Rp200.000

4 Wawan / 01.234.897.567.009 Rp2.000.000 Rp400.000 Rp300.000 Rp200.000

Keterangan Pegawai Tetap:

1. Joko, Jl. Kemerdekaan No.24 Purwokerto, K/2.

2. Wati, Jl. Kuburan No.35 Sokaraja, K/3 (NPWP sendiri).

3. Dodi, Jl. Ribut No.101 Purwokerto, TK/1.

4. Wawan, Jl. Kematian No.234 Sumbang, TK/-.

Data Bonus:

1. Bonus Prestasi Rp1.000.000 setiap 6 bulan sekali dan paket Liburan senilai Rp1.500.000

beserta uang saku 50% Gaji Pokok.

2. Tunjangan Hari Raya 1x Gaji Pokok.

3. Paket Produk Perusahaan senilai Rp600.000 setahun sekali.

Diminta:

1. Hitunglah Pajak untuk masing-masing karyawan!

2. Buatkan bukti potong 1721-A1 untuk masing-masing karyawan!

BAB IV

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

36

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas adanya suatu nilai tambah dari

suatu barang atau jasa objek PPN. Karakteristik PPN:

Pajak tidak langsung

Pemikul beban pajak berbeda dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas

negara. Pemikul beban pajak adalah pembeli Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak

(BKP/JKP), sedangkan penanggungjawab adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang

bertindak selaku penjual BKP/JKP.

Pajak obyektif, timbulnya kewajiban untuk membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya

objek pajak, sedangkan kondisi subyek pajak tidak berpengaruh.

PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi.

PPN hanya dikenakan atas konsumsi BKP dan JKP yang dilakukan dalam negeri.

PPN hanya memakai satu tarif, yaitu 10%.

A. Mekasnisme PPN

1. Mekanisme PPN Murni

a. PKP wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP/JKP untuk memungut

pajak yang terutang. PPN yang dipungut dinamakan Pajak Keluaran (PK).

b. Pada saat PKP membeli BKP atau menerima JKP dari PKP lain juga membayar pajak

yang terutang dan menerima faktur pajak dari PKP lain tersebut yang dinamakan

Pajak Masukan.

c. Apabila dalam suatu masa pajak, PK lebih besar dari PM, maka selisihnya merupakan

PPN yang harus dibayar ke kas negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

d. Apabila dalam suatu masa pajak, PM lebih besar dari PK, maka selisihnya merupakan

kelebihan pajak yang dapat diminta kembali (restitusi) atau dikompensasi ke masa

pajak berikutnya.

e. Pada akhir masa pajak, setiap PKP wajib melaporkan pemungutan dan pembayaran

pajak yang terutang ke KPP setempat selambat-lambatnya tanggal 20 setelah akhir

masa pajak.

37

2. Mekanisme yang Menyimpang dari Prinsip PPN

a. Penyerahan kepada Pemungut

1) Instansi Pemerintah dan badan-badan tertentu yang ditunjuk sebagai pemungut

PPN.

2) PPN atas penyerahan BKP/JKP yang terutang oleh PKP rekanan instansi

pemerintah dan badan-badan tertentu (pemungut PPN) dipungut dan disetor oleh

pemungut PPN atas nama PKP tersebut.

3) Pemungut PPN menyerahkan SSP lembar ke-1 dan lembar ke-3 kepada PKP

rekanan setelah disetor ke kas negara.

4) PKP yang menyerahkan BKP/JKP kepada pemungut PPN wajib membuat faktur

pajak.

5) PKP rekanan melaporkan penyerahan tersebut dalam SPT Masa PPN dilampiri

SSP lembar ke-3.

b. Penyerahan Kena Pajak yang PPN’nya tidak dipungut

1) Untuk penyerahan beberapa jenis BKP dan JKP tertentu, PPN’nya tidak dipungut

sebagian atau seluruhnya, sehingga tidak ada PPN yang disetor ke kas negara,

misalnya proyek yang dananya berasal dari hibah dan atau pinjaman luar negeri.

2) PM yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang atas penyerahannya tidak

dipungut PPN dapat dikreditkan.

c. Penyerahan yang dibebaskan dari Pengenaan PPN

1) Untuk penyerahan beberapa jenis BKP/JKP.

2) PM yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang atas penyerahannya dibebaskan

dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan, misalnya impor dan atau penyerahan

BKP tertentu yang bersifat strategis.

B. Objek PPN

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean oleh pengusaha.

2. Impor BKP.

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam daerah pabean oleh

pengusaha.

4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

38

5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

6. Ekspor BKP oleh PKP.

7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam rangka kegiatan usaha atau

pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.

8. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,

sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

C. Barang Kena dan Tidak Kena PPN

Barang Kena Pajak adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa

barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud, yang dikenakan PPN

berdasarkan UU PPN.

Barang Tidak Kena PPN:

1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,

yaitu minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum

diproses menjadi briket batu bara, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih

nikel, bijih perak, dll.

2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu beras,

gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam (beryodium atau tidak).

3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan

sejenisnya, baik yang dikonsumsi di tempat atau tidak, tidak termasuk makanan dan

minuman yang diserahkan oleh jasa boga dan katering.

4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

D. Jasa Kena dan Tidak Kena PPN

Jasa Kena PPN adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan

hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia

untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau

permintaan dengan bahan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan PPN berdasarkan UU

PPN.

39

Jasa Tidak Kena PPN:

1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik.

2. Jasa di bidang pelayanan sosial.

3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.

4. Jasa di bidang perbankan, asuransi dan sewa guna usaha dengan hak opsi.

5. Jasa di bidang keagamaan.

6. Jasa di bidang pendidikan.

7. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan, termasuk jasa

di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial seperti pementasan kesenian tradisional

yang diselenggarakan cuma-cuma.

8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, yaitu jasa penyiaran radio atau TV

yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak

dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

9. Jasa di bidang angkutan umum di darat, air, danau, dan sungai yang dilakukan

pemerintah atau pun swasta.

10. Jasa di bidang tenaga kerja, sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak

bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja yang bersangkutan.

11. Jasa di bidang perhotelan.

12. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara

umum seperti pemberian IMB, pemberian ijin usaha perdagangan, pemberian NPWP,

pembuatan KTP.

E. Penyerahan BKP

1. Penyerahan hak karena suatu perjanjian.

2. Pengalihan karena perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing.

3. Penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang.

4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma.

5. Persediaan dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang

masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.

6. Penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antar cabang.

40

7. Penyerahan secara konsinyasi.

8. Penyerahan antar divisi atau antar unit dalam perusahaan terpadu yang terletak dalam

wilayah KPP yang berbeda.

F. Tidak Termasuk Penyerahan BKP

1. Penyerahan kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam KUHD.

2. Penyerahan untuk jaminan utang piutang.

3. Penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan antar cabang, bagi PKP

yang memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Dirjen Pajak.

G. PPN Terhutang

Harga Barang Rp48.000.000

Biaya Pengiriman Rp 2.000.000

Harga Beli (DPP) Rp50.000.000

PPN Masukan (10%xRp50.000.000) Rp 5.000.000

Harga Pokok Rp50.000.000

Margin Laba Rp10.000.000

Biaya Pengiriman Rp 2.000.000

Harga Jual (DPP) Rp62.000.000

PPN Keluaran (10%xRp62.000.000) Rp 6.200.000

PPN yang masih harus disetor Rp 1.200.000 (Rp6.200.000-Rp5.000.000)

41

H. Soal Latihan

Daniel adalah seorang pengusaha retail dengan NPWP/NPPKP: 02.003.456.4.567.000.

Daniel adalah seorang pedagang yang membeli barang dan menjual kembali barang tersebut

tanpa mengubah bentuk dan merek dagang. Adapun data transaksi untuk bulan Februari

2010 adalah sebagai berikut:

Tanggal Transaksi atau Kegiatan

1 Februari 2010 Daniel memiliki kelebihan PPN dari masa Januari 2010 sebesar

Rp10.000.000 yang dapat dikompensasikan pada masa Februari 2010.

3 Februari 2010 Daniel membeli 1.000 dus mie instan dengan harga @Rp30.000, 1.000

pack sarden @Rp50.000, dan 1.000 pcs sabun cuci @Rp12.000 dari

PT.Sentosa dan mendapat faktur pajak resmi.

4 Februari 2010 Daniel membeli sepeda motor roda tiga dengan harga Rp13.200.000

(termasuk PPN) dan mendapat faktur pajak untuk mengurus BBN.

5 Februari 2010 Daniel menjual 500 dus mie instan @Rp45.000, 600 pack sarden

@Rp75.000, dan 700 pcs sabun cuci @Rp15.000 kepada Indomart tunai.

7 Februari 2010 Daniel menjual 200 dus mie instan @Rp55.000 dan 100 pack sarden

@Rp80.000 kepada Pak Abi tunai.

9 Februari 2010 Daniel membeli 500 ton beras @Rp5000.000 dari DOLOG.

10 Februari 2010 Daniel membeli mobil bekas dari CV.Maju seharga Rp120.000.000 baru

dibayar 70% dan sisanya dibayarkan bulan April 2010.

12 Februari 2010 Daniel menjual 300 dus mie instan @Rp50.000, 300 pack sarden

@Rp85.000, dan 300 pcs sabun cuci @Rp20.000.

14 Februari 2010 Daniel menjual 400 ton beras @Rp5.500.000 kepada Koperasi Suka-

Suka.

15 Februari 2010 Daniel membeli 1.500 dus mie instan @Rp30.000 dan 1.000 pack sarden

@Rp45.000 dan mendapat faktur pajak resmi.

42

18 Februari 2010 Daniel membeli 1.000 pack sabun mandi @Rp10.000 tunai namun

faktur pajaknya rusak.

19 Februari 2010 Daniel membeli 500kg telur @Rp8.000 dari PT.Adem Ayem.

20 Februari 2010 Daniel menjual 800 pack sabun mandi @Rp15.000 kepada Alfamart,

baru dibayar 75%.

22 Februari 2010 Daniel menjual 800 dus mie instan @Rp40.000 kepada PT.Rita, baru

menerima pembayaran 60%.

24 Februari 2010 Daniel membeli 4 set computer seharga Rp18.000.000 tanpa faktur

pajak.

25 Februari 2010 Daniel menjual 450kg telur @Rp12.000 kepada konsumen akhir.

27 Februari 2010 Daniel menjual 600 pack sarden @Rp55.000 baru dibayar 75%.

28 Februari 2010 Daniel membayar telpon kantor Rp1.650.000 (termasuk PPN)

28 Februari 2010 Daniel membayar tagihan listrik dan air Rp825.000 (termasuk PPN)

Diminta:

a. Buatlah kertas kerja PPN untuk semua transaksi di atas!

b. Berapa pajak kurang (lebih) bayar??

c. Pertanyaan teori:

Apa yang dimaksud dengan daerah pabean?

Sebutkan mekanisme PPN murni!

Kegiatan / transaksi apa saja yang dikenakan tarif PPN 0%?

BAB V

BEA MATERAI

43

Pajak merupakan peralihan kekayaan atau uang dari rakyat kepada pemerintah yang

dapat dipaksakan melalui Negara tanpa adanya imbalan langsung yang dapat ditunjuk.

Disini letak pentingnya peran pajak sebagai salah satu penerimaan dalam negeri yang

mempunyai peranan sangat besar untuk menjadikannya sebagai modal pembagunan

nasional.

Pengertian pajak menurut Rachmat Soemitro yang dikutip Mardiasmo (2004:1)

adalah sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Definisi tersebut kemudian dikoreksinya, menjadi :

“Peralihan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplusnya” digunakan untuk “public saving” yang merupakan sumber utama membiayai “public investment”.

Sedangkan menurut pendapat Soeparman Soemahamidjaja yang dikutip oleh Early

Suandy (2004:5) mengartikan pajak adalah sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh peguasa norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.

44

Dari definisi tersebut mengandung pengertian sebagai berikut :

Bahwa pajak adalah sejenis pungutan yang berfungsi mengatur dan ditekankan

pentingnya unsur paksaan, karena dengan mencantumkan unsur paksaan seakan-akan

tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya. Sedangkan prestasi

kembali atas iuran yang dilaksanakan wajib pajak tidak diberikan secara langsung dengan

perkataan lain prestasi yang diberikan Negara seperti hak menggunakan sarana-sarana

umum, hak mendapat perlindungan dan lain-lain.

Dari definisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur

sebagai berikut :

1. Iuran dari rakyat kepada Negara

Yang berhak memungut pajak adalah Negara, iuran tersebut berupa uang (bukan

barang)

2. Berdasarkan undang-undang.

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang langsung dapat ditunjukan.

Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan dengan kontraprestasi individu oleh

pemerintah.

4. Digunakan untuk menbiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran

yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

45

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pajak hanya dapat dipungut oleh pemerintah

berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan.

Selain pengertian pajak secara umum penulis juga akan mengutip beberapa

pengertian pajak daerah, antara lain :

1. Pengertian pajak daerah yang dikutip dari buku Selayang Pandang Pendapatan Daerah

yang dikeluarkan oleh Sub Dinas Perencanaan Program Seksi Penyuluhan (2004:21)

adalah :

“Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang dapat dipaksakan dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah”.

2. Menurut undang-undang No. 18 tahun 1997 dan atau undang-undang No. 34 tahun 2000

pasal 1 ayat 6 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dijelaskan bahwa yang dimaksud

dengan pajak daerah adalah :

“Iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembagunan daerah”.

2.1.2 Jenis Pajak

Jenis pajak dibagi kedalam beberapa kelompok, antara lain:

1. Menurut Golongannya

Dibagi menjadi 2 (dua) golongan:

46

a) Pajak Langsung

Yaitu pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak yang

bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.

Contoh: Pajak Penghasilan.

b) Pajak Tidak Langsung

Yaitu pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain sehingga

sering disebut,juga sebagai pajak tidak langsung.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut Sifatnya

Dibagi menjadi 2 (dua) golongan:a) Pajak Subjektif

Yaitu pajak yang memperhatikan kondisi / keadaan wajib pajak. Dalam menentukan

pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan

materialnya.

Contoh: Pajak Penghasilan.

b) Pajak Objektif

Yaitu pajak yang ada pada awalnya memperhatikan objek yang menyebabkan timbuInya

kewajiban membayar kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi atau badan.

Dengan kata lain, pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan

kondisi objeknya.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

47

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

Dibagi menjadi 2 (dua) golongan:

a) Pajak Pusat / Pajak Negara

Yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang

pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

b) Pajak Daerah

Yaitu. pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang

pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak daerah terdiri atas:

1. Pajak Daerah (Propinsi)

Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

2. Pajak Daerah (Kabupaten / Kotamadya)

Contoh: Pajak Hotel dan Restoran (Pengganti Pembangunan Pajak1), Pajak

Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.

48

2.1.3 Fungsi Pajak

Pajak dilihat dari pemungutannya memiliki dua fungsi, yaitu:

1. Fungsi Budgetair (Penerimaan)

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluarannya. Fungsi ini terletak dan lazim dilakukan pada sektor public dan pajak

disini merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan. untuk memasukkan uang

sebanyak-banyaknya kedalam kas negara / daerah sesuai dengan waktunya dalam

rangka membiayai seluruh pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah pusat /

daerah.

2. Fungsi Regulerend (mengatur)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah

dalam bidang, sosial dan ekonomi. Fungsi ini merupakan fungsi yang dipergunakan

oleh pemerintah pusat / daerah untuk mencapai tujuan tertentu yang berada diluar

sektor keuangan negara / daerah, konsep ini paling sering dipergunakan pada sektor

swasta.

Berdasarkan kedua jenis fungsi pajak diatas tersebut dapat dipahami atau dimengerti

bahwa fungsi budgetair pajak dikaitkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) umumnya dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada khususnya

dimaksudkan untuk mengisi kas negara / daerah sebanyak-banyaknya dalam rangka

membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah pusat / daerah.

2.1.4 Sifat Pajak

49

Sifat pajak atau ciri-ciri pajak adalah sebagai berikut :

1. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang / badan ke pemerintah.

2. Pajak dipungut berdasarkan / dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.

3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi langsung

secara individual yang diberikan pemenintah.

4. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengetuaran penierintah, yang bila

pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayal public

investment.

6. Pajak dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari

pemerintah.

7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

2.2 Dasar Hukum, Sistem, dan Tarif Pemungutan Pajak

2.2.1 Dasar Hukum Pemungutan Pajak

Dasar Hukum Pemungutan Pajak Pusat terdiri dari:

1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 "Segala pajak untuk keperluan negara

berdasarkan undang-undang."

2. Undang-Undang No. 6 tahun 19874 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang No. 9 tahun 1994 tentang "Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan."

3. Undang-Undang No. 10 tahun 1994 tentang "Pajak Penghasilan."

50

4. Undang-Undang No. 11 tahun 1994 tentang "Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah."

5. Undang-Undang No. 11 tahun 1994 tentang "Pajak Bumi dan Bangunan."

6. Undang-Undang No. 13 tahun 1985 tentang "Bea Materai".

7. Undang-Undang No. 20 tahun 1997 tentang."Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan."

8. Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 tahun 2001 tentang “Pajak Reklame”

9. Peraturan Pemerintah (PP).

10. Keputusan Menteri Keuangan (KMK).

11. Surat Edaran Dirjen Pajak (SE Dirjen Pajak).

I. PENGERTIAN1. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud

tentang : perbuatan,- keadaan/ kenyataan bagi seseorang dan/ atau pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Benda Meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah R.I.

3. Pemeteraian Kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.

4. Tanda Tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk : parap, teraan/ cap tanda tangan/ cap parap, teraan cap nama/ tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan

II. OBJEK, TARIF, DAN YANG TERUTANG BEA METERAI

1. Objek Bea Meterai yang terutang Bea Meterai Rp.2.000,00 :

a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya ( a.l. Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata.

b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya c. Akta-akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya

51

d. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah)/ atau dalam mata uang selain rupiah dengan jumlah yang sama:1) Yang menyebutkan penerimaan uang;2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan rekening di

bank;3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah dilunasi/

diperhitungkan.e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, yang harga nominalnya lebih dari

Rp.1.000.000,00 f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari

Rp.1.000.000,00 g. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:

1. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika

digunakan untuk tujuan lain/ digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula2. Objek Bea Meterai yang terutang Bea Meterai Rp.1.000,00 :

a. Surat yang memuat jumlah uang, apabila harga nominalnya lebih dari Rp.250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000,00

b. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp.250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000,00

c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000,00

3. Objek Bea Meterai yang tidak terutang Bea Meterai

a. Surat yang yang memuat jumlah uang, apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp.250.000,00

b. Surat berharga seperti wesel,promes, aksep yang harga nominalnya tidak lebih dari Rp.250.000,00.

c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya tidal lebih dari Rp.250.000,00.

4. Tarif Bea Meterai atas cek dan bilyet giro Ditetapkan sebesar Rp.1.000,00 tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal

III. BUKAN OBJEK/ TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI

1. Dokumen yang berupa :a. Surat Penyimpanan Barang;b. Konosemen;c. Surat angkutan penumpang dan barang;d. Keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, b dan c;e. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;

52

f. Surat Pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;g. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud

dalam hurup a sampai hurup f.2. Segala bentuk ijasah3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang

ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.

4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan

dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung

oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian.9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk

apapun.

IV. SAAT DAN PIHAK YANG TERUTANG BEA METERAI

1. Saat terutang :

a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, pada saat dokumen diserahkan

b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, pada saat selesainya dokumen dibuat.

c. Dokumen yang dibuat di luar negeri, pada saat digunakan di Indonesia.

2. Pihak yang terutang :

Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain

V. DENDA ADMINISTRASI DAN KEWAJIBAN PEMENUHAN BEA METERAI

1. Dokumen yang terutang Bea Meterai tetapi Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda sebesar 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

2. Pelunasan Bea Meterai yang terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.

53

Bea meterai dikenakan terhadap dokumen yang berbentuk:

1. Surat perjanjian dan surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan sebagai pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata

2. Akta-akta notaris beserta salinan-salinannya3. Akta-akta pejabat pembuat akta tanah beserta rangkap-rangkapnya4. Surat berharga 5. Efek6. Dokumen yang digunakan untuk pembuktian di pengadilan.[3]

Tidak dikenakan bea

Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi internal perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara. Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:

Dokumen yang berupa:

1. surat penyimpanan barang;2. konosemen;3. surat angkutan penumpang dan barang;4. keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang,

konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;5. bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;6. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;7. surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.

Segala bentuk ijazah Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada

kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.

Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan

dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh

bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.

54

Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.[

1. A

1.1. Kesimpulan

Bea materai digunakan untuk dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penerimaan

uang, ataupun untuk surat-surat berharga yang penggunaannya telah diatur oleh menteri

keuangan, adapun jenisnya berupa materai tempel dengan nominal Rp. 3.000,00 dan Rp.

6.000,00 maupun materai kertas yang biasanya digunakan untuk surat berharga seperti

surat tanda tamat belajar maupun akta tanah

Penggunaan bea materai dalam dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai alat

pengesahan dokumen tersebut.

BAB VI

PAJAK BUMI BANGUNAN

1. Latar Belakang Beberapa landasan pemikiran yang melatar belakangi lahirnya Undang-Undang PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) adalah sebagai berikut :

55

1.1 Adanya peraturan pajak atas tanah yang tumpah tindih.

Beberapa peraturan yang dilaksanakan untuk instansi pusat maupun daerah seperti :

a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga

b. Ordonansi Verponding Indonesia 1923

c. Ordonansi Verponding 1928

d. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932

e. Ordonansi Pajak Jalan 1942

1.2. Amanat dalam Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN)

Mengisyaratkan bahwa diperlukan adanya pembaruan sistem perpajakan guna meningkatkan kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri, karena semakin meningkatnya penerimaan yang bersumber dari dalam negeri akan semakin meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan.

1.3. Manfaat Bumi dan Bangunan

Bumi dan Bangunan tidak dapat disangkal lagi telah memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara berupa pembayaran pajak.

Dengan adanya beberapa pemikiran diatas, maka wajar apabila peraturan atau ordonansi yang tumpang tindih harus dicabut dan diganti dengan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.

Subyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan

56

Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:

mempunyai suatu hak atas bumi, dan / atau; memperoleh manfaat atas bumi, dan / atau; memiliki, menguasai atas bangunan, dan / atau; memperoleh manfaat atas bangunan.

Subyek pajak sebagaimana dimaksud diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undang-undang

Obyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan

Obyek PBB adalah “Bumi dan/ atau bangunan”:

Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan, tambang, dll.

Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/ atau perairan di wilayah Republik Indonesia,

Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung anjungan minyak lepas pantai, dll

Obyek Pajak PBB yang dikecualikan

Obyek yang dikecualikan adalah :

1. Digunakan semata –mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.

2. Digunakan untuk kuburan,

57

3. Digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala.4. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.5. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan Organisasi

Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan.

Cara Menghitung dan Menetapkan PBB

A. Tarif PajakTarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% dan jenis tarif ini disebut sebagai Tarif tunggal yang berlaku terhadap obyek pajak jenis apapun di seluruh wilayah Indonesi.

B. Dasar Pengenaan PBB : Adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau niali perolehan baru atau nilai objek pajak pengganti.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 tahun sekali, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun dengan perkembangan daerahnya.

Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak.

Besarnyapersentase Nilai jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Penentuan NJOP

Di dalam penentuan NJOP PBB oleh dirjen pajak Cq Kp PBB ditentukan 3 metode penilaian atau pendekatan penilaian , antara lain :

58

1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)2. Pendekatan Biaya (Cos Approach)3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Untuk Cara Penilaian menggunakan 2 cara,yakni :

1. Penilaian Massal (Mass Appraisal)2. Penilaian Individual (Individual Appraisal)

C. Dasar Perhitungan PBBDasar Perhitungan yang digunakan untuk menghitung pajak terhutang adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak (Peraturan Pemerintah. Besarnya persentase NJKP yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Berdasar PP No. 74 tahun 1998 ketentuan mengenai NJKP untuk perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan sebesar 20% atay 40% dari Nilai Jual Objek Pajak.

NILAI JUAL KENA PAJAK = 20% atau 40% x Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Ketentuan mengenai NJKP berdasarkan PP 74 tahun 1998 :

NJKP pada umumnya ditetapkan 20% dari Nilai jual obyek pajak, kecuali untuk obyek-obyek di bawah ini ditetapkan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak :

- Perumahan dengan NJOP sama atau lebih besar dari Rp. 1 Milyar, kecuali yang dimiliki atau dikuasai oleh PNS, ABRI, dan para pensiunan termasuk janda dan duda.

- Perkebunan dengan luas sama atau lebih besar dari 25 hektar yang dimiliki, dikuasai, atau dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Swasta

59

- Perhutanan termasuk areal blok tebangan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemegang Hak Penguasaan hutan, pemegang Hak pemungutan Hasil Hutan dan pemegang izin pemanfaatan kayu.

PP No. 46 tahun 2000 memperbarui PP 74 tahun 1998

Besarya NJKP sebagai dasar perhitungan kena pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 ditetapkan untuk :

1. Obyek Pajak Perkebunan sebesar 40% dari Nilai Jual Ojek pajak.2. Objek Pajak kehutanan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek pajak3. Objek Pajak pertambangan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek pajak.4. Objek pajak lainnya :

Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual Objek pajaknya Rp. 1.000.000.000,- (satu Milyar) atau lebih.

Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual Objek pajaknya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-

PP 25 Tahun 2002 Memperbarui PP 46 tahun 2000 . berisi ketentuan sebagai berikut :

1. Obyek Pajak Perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% dari Nilai Jual Ojek pajak.

2. Obyek Pajak lainnya :

Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOP nya Rp. 1.000.000.000,- (satu Milyar) atau lebih.

Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOP nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-

D. Cara Menghitung Pajak.Unsur-unsur yang harus diketahui agar dapat menghitung Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :

60

a. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yakni NJOP Bumi dan NJOP Bangunan.b. Nilai jual Kena Pajak (NJKP) yakni 20% atau 40% dari NJOPc. Tarif Tunggal : 0,5%d. NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) yakni ditetapkan secara regional

paling tinggi sebesar Rp. 12.000.000,-

Sehingga sesuai Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 1985 rumus untuk menghitung Pajak Bumi Bangunan Terhutang :

Pajak Bumi Bangunan Terhutang = Tarif Pajak x Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)

Sebelum dikalikan dengan Tarif NJOP harus dikurangkan dengan NJOPTKP. Ketentuan menyangkut NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Paja adalah sebagai berikut :

NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) ditetapkan secara regional sebesar Rp. 12.000.000,- yang diberikan dengan ketentuan :

- Untuk setiap wajib pajak hanya diberikan satu NJOPTKP terhadap satu objek yang dimiliki atau disewa/atau dipakai.

- Diberikan untuk bumi dan/atau bangunan- Jika wajib pajak memiliki beberapa objek pajak yang diberikan NJOPTKP hanya salaah

satu objek yang memiliki nialai jual objek pajak terttinggi.

Rumus Perhitungan PBB

PBB Terhutang = Tarif x NJKP

= 0,5% x 20% atau 40% x NJOP, sehingga dari rumus asal ini dapat dijabarkan menjadi :

= 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP)

= 0,5% x 20% x NJOP

61

= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)

= 0,5% x 40% x NJOP

Catatan :

NJOP= NJOP Bumi + NJOP Bangunan

NJOPTKP = ditetapkan secara regional paling tinggi Rp. 12.000.000,-

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

Subyek Pajak

Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/ atau bangunan. Subyek Pajak sebagaimana tersebut di atas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Obyek Pajak

Yang menjadi Obyek Pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi:

1. Pemindahan hak karena:a. jual beli;b. tukar-menukar;c. hibah;d. hibah wasiat;e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;g. penunjukan pembeli dalam lelang;h. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;i. hadiah.

62

2. Pemberian hak baru karena:a. kelanjutan dari pelepasan hak;

b. di luar pelepasan hak;

c. hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

Obyek Pajak yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah :

1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik;2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan

guna kepentingan umum;3. Badan atau perwakilan organisasai internasional yang ditetapkan oleh Menteri;4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak

adanya perubahan nama;5. Karena wakaf;6. Karena warisan;7. Digunakan untuk kepentingan ibadah.

Subyek Pajak

Adalah orang pribadi atau badan hukum yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subyek pajak yang dikenakan kewajiban menjadi Wajib Pajak menurut UU.

Dasar Pengenaan Pajak

Dasar pengenaan pajak adalah NPOP (Nilai Perolehan Obyek Pajak)

NPOP untuk berbagai jenis perolehan objek pajak ditentukan sebagai berikut :

a. Jual Beli adalah Harga Transaksib. Tukar Menukar adalah Nilai pasarc. Hibah adalah Nilai Pasard. Hibah wasiat adalah Nilai Pasar.e. Waris adalah Nilai Pasar. f. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya adalah Nilai Pasar.g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah Nilai Pasar.

63

Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, maka dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP PBB

Tarif Pajak

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal sebesar 5 %.

NPOP Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)

Ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 kecuali dalam hak perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajad ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling banyak Rp. 300.000.000,-

Cara Perhitungan Pajak

Besarnya Pajak terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 5% dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPTKP adalah NPOP – NPOPTKP apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinnya transaksi, atau bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pajanya adalah NJOP PBB.

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif

Atau

Bila NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan :

BPHTB = (NJOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif

64

Peraturan Pelaksanaan tentang tata cara Pengenaan BPHTB :

1. PP RI No. 111 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah wasiat, bahwa ;

a. BPHTB yang terhutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terhutang.

b. Saat terhutangnya pajak sejak yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor pertanian Kabupaten/Kota.

2. Peraturan pemerintah No. 112 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena pemberian Hak pengelolaan, bahwa :

a. Penerima Hak pengelolaan oleh departemen, lembaga departemen, lembaga Pemerinta, Non departemen, Pemda Propinsi, Pemda Kab/Kota, lembaga pemerintah lainnya, Perum perumnas ditetapkan sebesar 0%.

b. Penerima Hak pengelolaan selain yang disebutkan diatas ditetapkan sebesar 50%.

3. PP RI No. 113 tahun 2000 tentang penentuan besarnya NPOP TKP BPHTB, bahwa :a. NPOP TKP ditetapkan secara regonal paling banyak Rp. 60.000.000,- kecuali

dalam hal perolehan hak karena waris atau hibab wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibab wasiat, termasuk suami, istri, ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,-

b. Besarnya NPOP TKP ditetapkan oleh mentri keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempehatikan usulan pemerintah Daerah. NPOP TKP tersebut dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.

65

Contoh Latihan Soal Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan :

1. Tuan Bonco seorang mahasiswa DIII perpajakan Unibraw pada tahun 2007 hanya memiliki sebuah objek pajak berupa bumi di kawasan Soekarno-Hatta, Malang dan diketahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi tersebut sebesar Rp. 10.000.000. Berapakah Besar PBB yang terhutang pada tahun 2007 milik Tuan Bonco !

Jawab :

Karena besarnya NJOP kurang dari Rp. 12.000.000,- maka objek pajak tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Tuan Ponco seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah pada tahun 2007, objek pertama terletak di desa Wlingi, Blitar dan Objek kedua terletak di desa Bendo, Blitar. Diketahui bahwa untuk objek pertama NJOP Bumi sebesar Rp. 8.000.000,- dam NJOP Bangunan sebesar Rp. 7.500.000,-. Untuk Objek yang kedua diketahui NJOP bumi sebesar Rp. 9.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 6.000.000,-Hitung PBB terhutang tahun 2007 Tuan Ponco atas kedua objek tersebut !

Jawab:

PBB Terhutang = Tarif (0,5%) x NJKP

NJKP = NJOP – NJOPTKP

Dimana NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan

NJOP Di desa Wlingi

66

NJOP Bumi = Rp. 8.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 7.500.000,-

Total Rp. 15.500.000,- Merupakan NJOP terbesar

NJOP di desa Bendo

NJOP Bumi = Rp. 9.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 6.000.000,-

Total Rp. 15.000.000,-

Desa Wlingi :

NJOP Bumi = Rp. 8.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 7.500.000,-

NJOP sbg dasar pengenaan PBB Rp. 15.500.000,- (NJOP Terbesar)

NJOPTK Rp. 12.000.000 –

NJOP utk

Perhitungan PBB Rp. 3.500.000,-

Desa Bendo :

NJOP Bumi = Rp. 9.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 6.000.000,-

NJOP sbg dasar pengenaan PBB Rp. 15.000.000,-

67

NJOPTK Rp. 0,- (-)

NJOP utk

Perhitungan PBB Rp. 15.000.000,-

PBB Terhutang = Tarif x NJKP

= 0,5% x 20% x Rp. 18.500.000,-

= Rp. 18.500

3. Tuan Poneng adalah seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah yang terletak di Blitar. Objek pertama terletak di jalan semeru dan objek kedua terletak di jalan raya rinjani. Diketahui objek pertama NJOP bumi sebesar Rp. 1.000.000.000,- (1 M) dan NJOP bangunan Rp. 3.500.000,- (3,5 M) sedangkan untuk yang kedua diketahui NJOP bumi sebesar Rp. 1.000.000.000,- (1 M) dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 4.500.000.000,- (4,5 M). Hitunglah PBB terhutang Tuan Poneng atas kedua objek tersebut.Jawab :

NJOP terbesar adalah terletak pada NJOP di Jalan Raya Rinjani dengan :

NJOP Bumi = Rp. 1. 000.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 4.500.000.000,- +

NJOP sbg dasar

Pengenaan PBB = Rp. 5.500.000.000,-

NJOPTKP = Rp. 12.000.000,- (-)

NJOP utk

Perhitungan PBB Rp. 5.488.000.000,-

Jl. Semeru :

NJOP Bumi = Rp. 1.000.000.000,-

NJOP bangunan = Rp. 3.500.000.000,- +

68

NJOP sbg dasar

Pengenaan PBB = Rp. 4.500.000.000,-

NJOPTKP = Rp. 0,- (-)

NJOP utk

Perhitungan PBB = Rp. 4.500.000.000,-

NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan = Rp. 5.488.000.000 + Rp. 4.500.000.000,- =

Rp.9.988.000.000.

PBB Terhutang = Tarif x NJKP = Tarif x (NJOP-NJOPTKP)

= 0,5% x 40% x 9.988.000.000.

= Rp. 19.970.000,-

4. Tuan Boni seorang pegawai negeri yang memiliki 2 buah rumah pada suatu Kawasan Real Estate bernama Pondok Indah. Objek pertama terletak di Pondok Indah Estate dengan NJOP sebesar Rp. 28.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 23.500.000,- Untuk Objek kedua terletak di Puncak Dieng dengan NJOP Bumi sebesar Rp. 31,000,000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 10.000.000,-. Hitunglah PBB terhutang pada tahun 2007 dari Tuan Boni !

Jawab :

Rumah di kawasan Pondok Indah :

NJOP Bumi = Rp. 28.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,-

69

Total NJOP = Rp. 41. 500.000

Rumah di kawasan Puncak Dieng :

NJOP Bumi = Rp, 31.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp, 10.000.000,-

Total NJOP = Rp. 41.000.000,-

NJOP terbesar terletak Pada Rumah Di kawasan Pondok Indah.

NJOP Bumi = Rp. 28.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,-

NJOP sbg dasar

Pengenaan PBB = Rp. 41. 500.000,-

NJOPTKP = Rp 12. 000.000,- (-)

NJOP utk

Perhitungan PBB Rp 29.500.000,-.

Kemudian untuk Pondok Dieng Estate :

NJOP Bumi = Rp. 31.000.000,-

NJOP Bangunan = Rp. 10.000.000,-

NJOP sbg dasar

Pengenaan PBB = Rp. 41.000.000,-

70

NJOPTKP = Rp. 0,- (-)

NJOP utk

Perhitungan PBB Rp. 41.000.000,-

PBB Terhutang = Tarif x NJKP = Tarif x (NJOP-NJOPTKP)

= 0,15% x 20% x Rp. 70.500.000,-

= Rp. 70,500,-

Contoh Latihan Soal Biaya Perolehan atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)

1. Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang atas transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang atas perolehan hak Tersebut !

Jawab :

NPOP = Rp. 100.000.000,-

NPOPTKP = Rp. 60.000.000,-

NPOPKP = Rp. 40.000.000,-

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif

BPHTB Terhutang = (100.000.000 – 60.000.000) x 5%

= Rp. 40.000.000 x 5%

71

= Rp. 2.000.000,-

2. Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya dengan nilai pasar Rp. 500.000.000,- NJOP yang tercantum dalam SPPT Rp. 800.000.000,-. NPOP TKP Rp. 300.000.000,- Berapa Besarnya BPHTBnya ?

Jawab :

NPOP = Rp. 800.000.000,-

NPOP TKP = Rp. 300.000.000,-

NPOP KP = Rp. 500.000.000,-

BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 500.000.000 = Rp. 25.000.000,-

BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 12.500.000,-

3. Budi menerima hibah wasiat dari ayak kandungnya sebidang tanah dan bangunan dengan nilai pasar Rp. 500.000.000,-, SPPT NJOP-nya Rp. 450.000.000 Apabila NPOPTKP ditetapkan Rp. 300.000.000, maka BPHTBnya adalah :

Jawab :

NPOP = Rp. 500.000.000,-

NPOPTKP = RP. 300.000.000,-

NPOPKP = Rp. 200.000.000,-

BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 200.000.000 = Rp. 10.000.000,-

BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 10.000.000 = Rp. 5.000.000,-

4. Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak yatim memperoleh hibah wasiat sebidang

Tanah dan Bangunan dengan nilai pasar Rp. 1.000.000.000,00. SPPT dengan NJOP Rp. 900.000.000. Apabila NPOP TKP Rp. 300.000.000, maka BPHTB adalah :

72

Jawab :

NPOP = Rp. 1.000.000.000,-

NPOPTKP = Rp. 300.000.000,-

NPOPKP = Rp. 700.000.000,-

BPHTB seharusnya terhutang = 5% x Rp. 700.000.000,- = Rp. 35.000.000,-

BPHTB yang terhutang = 50% x Rp. 35.000.000,- = Rp. 17.500.000,-

5. PERUM perumnas memperoleh hak pengelolaan atas tanah seluas 10 ha dengan NPOP RP. 1.000.000,-. BPHTB adalah :

Jawab :

NPOP = Rp. 1.000.000.000,-

NPOPTKP = 60.000.000,-

NPOPKP = Rp. 940.000.000,-

BPHTB Terhutang = 5% x Rp. 940.000.000,- = Rp. 47.000.000,

BAB VII

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

A. PENDAHULUAN

Ketika sebuah undang-undang selesai dibuat, tidak berarti segala yang diatur dalam

undang-undang tersebut selesai. Persoalan akan timbul bukan ketika dalam implementasinya

73

saja, tapi persoalan akan timbul dari sisi yang lain, yaitu ketika ditelaah ternyata ada kaidah-

kaidah hukurn yang disimpangi oleh Undang-undang yang bersangkutan.

Salah satu kaidah hukum yang disimpangi yaitu mengenai terjadinya perolehan hak atas

tanah clan bangunan. Bahwa menurut hukum seseorang akan memperoleh hak atas tanah dan

bangunan setelah terlebih dahulu diawali dengan suatu perbuatan hukum atau peristiwa

hukum, seperti jual bell, hibah. Jika menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

atas perbuatan hukum tersebut, kepada para pihak yang wajib membayar pajak, maka pajak

harus dibayar setelah ada tanda bukti terjadinya perbuatan hukum tersebut berupa akta yang

dibuat di hadapan Notaris/PPAT.

Di bawah ini saya akan mencoba untuk menelaah perundang-undangan perpajakan yang

tidak selaras dengan kaidah-kaidah hukum secara umum dan Hukum Pajak. Hal ini perlu

dilakukan agar undangundang atau pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang yang

bersangkutan cacat secara substansi.

B. KAPANKAH WAJIB PAJAK (WP) DAPAT MEMBAYAR BPHTB ?

Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan. menyebutkan bahwa "Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat

menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan bangunan pada saat Wajib Pajak

menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan."

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayar (1) tersebut telah menentukan bahwa

Notaris/PPAT hanya dapat menandatangani akta peratihan atas tanah dan atau bangunan

setelah terlebih dahulu Wajib Pajak (WP) menyerahkan Surat Setoran Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan atau telah membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

74

(BPHTB). Dengan kata lain sebelum WP menyerahkan tanda bukti sudah membayar BPHTB,

maka Notaris/PPAT tidak dapat menandatangani akta peralihan atas Tanah atau bangunan

atau: WP bayar BPHTB dahulu kemudian Notaris/PPAT menandatangani akta peralihan atas

tanah dan atau bangunan.

Saya dapat menegaskan dan menyimpulkan bahwa isi pasal tersebut bertentangan

dengan isi :

1. Pasal I angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa "Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah

dan bangunan oleh orang pribadi atau badan".

2. Pasal I angka 9 Undang-undang Republik Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan menyebutkan bahwa "Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar

pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan."

3. Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000

tentang Perubahan Atas Tanah Undang-undang Nornor 21 Tahun 1997 tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan menyebutkan bahwa :

* Pasal 9 ayat (1): Saar terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

untuk :

a. jual bell adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat din ditandatanganinya akta;

c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan pelatihan haknya ke Kantor

Pertahanan;

75

e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanginya akta;

f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan

ditandatanganinya akta;

g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;

h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum yang tetap;

i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke

Kantor Pertanahan;

j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dan pelepasan hak adalah sejak

tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

k. pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan

diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

* Pasal 9 ayar (2): Pajak yang dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana

dimaksud di atas.

Berdasarkan Pasal I angka 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan, ditegaskan bahwa seseorang/badan hukum/ WP akan

memperoleh hak atas tanah dan bangunan setelah terlebih dahulu atau didahului

terjadi/adanya Perbuatan atau Peristiwa Hukum.

76

Bahwa perbuatan atau peristiwa hukum adalah suatu peristiwa yang diberi akibat oleh

hukum (Soedirnan Kartohadiprudjo, 1982:40-41).

Salah satu contoh dari Perbuatan/Peristiwa Hukum adalah sebagaimana yang tersebut

dalam Pasal 9 ayat I Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tenting bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan di atas. Sehingga jika dari suatu Perbuatan/ Peristiwa Hukum yang telah

dilakukan oleh para pihak tersebut ternyata berdasarkan peraturan perundang-undangan

(perpajakan) para pihak berkewajiban untuk membayar pajak, maka sejak saat itulah timbul

Pajak Terutang. Hal ini sesuai dengan Pasal I angka 9 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Urnum dan Tata Cara Perpajakan.

Untuk memahami pengertian Pajak Terutang, maka ada 2 (dua) pendapat/ajaran.

Pertama, ajaran materil bahwa timbulnya utang pajak itu setelah adanya sebab-sebab

(tatbestand) yang menyebabkan orang itu dikenakan pajak . Kedua, ajaran formil bahwa utang

pajak itu timbul kalau sudah ada Ketetapan Pajak yang dilakukan oleh fiscus ( S. Munawir,

1992: 30.31)

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwaPajak Terutang timbul setelah terlebih adalah

ada Peristiwa Hukum dan Sebab-sebab/Tatbestand (menurut ajaran materil) sehingga

seseorang/badan hukum harus membayar pajak.

Dalam berbagai pasal yang saya tuliskan di atas, ada kalimat yang dapat dijadikan

dasar/patokan bahwa Pajak Terutang itu muncul setelah terlebih dahulu terjadinya Peristiwa

Hukum dan sebab-sebabnya, dengan kata lain harus terlebih dahulu adanya peralihan hak atau

perolehan hak yang dituangkan dalam bentuk akta Notaris/PPAT.

Kalimat-kalimat yang dapat dijadikan dasar tersebut seperti :

1. Perbuatan atau Peristiwa Hukum, (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan).

77

2. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, (Pasal I angka 9

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.)

3. Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dan sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya akta; (Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan)

4. Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak (Pasal 9 ayat

(2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Atas

Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan).

Kalimat-kalimat. Perbuatan atau peristiwa hukum, pada saat, sejak tanggal dibuat dan

ditandatangani akta, yang berarti utang pajak timbul harus didahului/ diawali dengan perbuatan

perolehan hak, bukan berarti pajak (BPHTB) dibayar dulu kemudian hak diperoleh.

Untuk mempermudah permasalahan tersebut, saya memberikan ilustrasi jika suatu hari kita

makan di restoran atau rumah makan, maka sesudah makan disamping membayar sejumlah

makanan yang sudah kita santap, kita juga berkewajiban atau dikenakan pajak.

Sehingga dalam perolehan alas tanah dan atau bangunan suatu ha) yang misleading (juga

Iucu), jika transaksi atau perolehan hak atau peristiwa hokum dan sebab-sebabnya belum terjadi,

tapi seseorang/badan hukum telah mempunyai hutang pajak/pajak tentang. Dengan kata lain

makan (perolehan haknya atau peristiwa hukumnya) saja belum, tapi terlebih dahulu harus bayar

pajak.

Kalimat "pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat

Setoran Perolehan Hak alas Tanah dan Bangunan pada Pasal 24 ayat (1) tersebut, yang berarti

Wajib Pajak harus terlebih dahulu bukti pembayaran BPHTB, padahal tanda bukti (berupa akta)

perolehan haknya belum ada. Apakah ini yang dikehendaki oleh pasal-pasal lainnya yang telah

saya sebutkan di atas.

78

Dengan pengkajian dan penafsiran secara sistematis, akhirnya dapat disimpulkan Bahwa

Pasal 24 ayat (1) tidak berlaku (nonimplementable), atau dengan kata lain Pasal 24 ayat (1)

tersebut menjadi tidak berlaku sama sekali atau tidak dapat ditindaklanjuti, karena:

a. syarat adanya perbuatan hukum atau peristiwa hukum belum terjadi sehingga belum timbal

pajak yang terutang.

b. Bertentangan dengan pasal-pasal lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dengan sendirinya peraturan-peraturan lainnya

sebagai tindak lanjut dari Pasal 24 ayat (1) juga ridak dapat diterapkan.

Sehingga yang benar menurut hukum yang bagaimana? yaitu para pihak (orang atau badan

hukum) sebelum membayar BPHTB ataupun pajak-pajak lainnya. terlebih dahulu harus datang

menghadap Notaris/PPAT untuk membuat dan menandatangani akta perolehan hak atas tanah

dan atau bangunan. Jika menurut perhitungan berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku perolehan hak tersebut ternyata wajib membayar pajak (BPHTB), maka

dengan berbekal akta peralihan hak tersebut, orang/badan hukum yang bersangkutan datang ke

kantor pajak atau bank yang ditunjuk untuk membayar pajak yang bersangkutan.

C. NOTARIS/PPAT SEBAGAI PROFESI YANG MEMPUNYAI KEDUDUKAN

MANDIRI

Bahwa secara kelembagaan, baik Notaris maupun PPAT mempunyai kedudukan yang

mandiri, tidak tergantung (depend on) kepada institusi yang mengangkatnya ataupun menjadi

subordinasi institusi yang mengangkatnya.

Bahwa Notaris dan PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah c.q. Menteri

Kehakiman dan Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan selaku pembantu

Presiden (Pasal 17 UUD 1945)

Berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai tindaklanjutnya, baik secara

79

eksplisit maupun implisit tidak ada ketentuan bahwa Notaris maupun PPAT menjadi institusi

(departemen/badan) yang tergantung kepada atas yang mengangkatnya atau menjadi bawahan

yang mengangkatnya. Tapi yang ada yaitu dalam bentuk pembinaan dan pengawasan dari

institusi yang mengangkatnya (Untuk pengawasan Notaris berdasarkan Pasal 54 Undang-undang

Nomorr 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sedangkan untuk PPAT berdasarkan Pasal 35

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan PPAT). Oleh karena itu suatu hal yang aneh jika ada institusi lain yang tidak pernah dan

tidak mungkin mengangkatnya, tiba-tiba berkewajiban meminta dan menyuruh serta dapat

menjatuhkan denda jika permintaan dan suruhannya tidak diikuti. Hal ini terbukti dan Pasal 26

ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,

bahwa "Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi

administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap

pelanggaran."

Secara substansi isi pasal tersebut juga tidak jelas, yaitu berkaitan dengan sanksi

administrasi dan denda. Dalam hal ini siapa yang memiliki legitimasi untuk menerapkan sanksi

administrasi dan denda tersebut? Penerapan sanksi administrasi dan denda akan berkaitan

dengan legitimasi yaitu persoalan kewenangan, yaitu wewenang pengawasan Jan wewenang

menerapkan sanksi. Wewenang pengawasan Jan wewenang untuk menerapkan sanksi adalah

mutlak.

Wewenang harus ditetapkan, balk melalui atribusi maupun delegasi. Pada atribusi

pemberian wewenang (bare) terjadi karena ketentuan suatu peraturan perundang-undangan.

Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan wewenang yang telah ada pads suatu badan

(instansi) yang sebelumnya telah memperoleh wewenang atributif.

Pada rumusan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas tidak menyebutkan secara jelas balk secara

atribusi maupun delegasi pejabat mana yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan denda dan

sanksi administrasi, dan sanksi administrasi jenis apa yang akan dijatuhkan kepada

Notaris/PPAT yang melanggar pasal-pasal tersebut ? tidak jelas bukan? Sehingga suatu hal yang

80

tidak logis dari segi hukum, jika tiba-tiba Departemen Keuangan dan instansi bawahannya

berwenang untuk melaksanakan isi Pasal 26 ayat (I) tersebut dengan mengeluarkan peraturan

pelaksanaannya. Padahal secara atribusi ataupun delegasi Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak menyebutkan kewenangan untuk

melaksanakan Pasal 26 ayat (1) ada berada pada Departemen Keuangan dan instansi

bawahannya. Oleh karena itu pengenaan sanksi tanpa dasar kewenangan merupakan tindakan

onbevoegdheid.

Dengan demikian Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2000 tentang Perubahan Atas Tanah dan Bangunan ridak Japat ditinJaklanjuti karena telah salah

secara suhstansi hukum (bahkan terlalu Jipaksakan).

D. PENUTUP

Kesalahan atau penyimpangan yang berasal dari Pasal 24 ayat (1) tersebut hares segera

dihentikan, jangan sampai menjadi kesalahan yang melembaga.

Oleh karena itu untuk segera menghentikan kesalahan/ penyimpangan tersebut dan kembali

ke jalan yang lurus dan benar menurut hukum. Setidaknya Direktorat Jenderal Pajak

mengeluarkan suatu keputusan, bahwa orang/badan hukum ketika akan membayar BPHTB,

wajib telah terlebih dahulu membuat dan membawa akta (akta Notaris/PPAT yang sempurna)

sebagai bukti telah terjadi perolehan hak.

Notaris/PPAT sebagai salah sate profesi hukum sangat berkepentingan untuk membantu

pemerintah dalam hal perpajakan, tapi tidak berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut

karena tidak tepat pengaturan Jan penerapannya sebagaimana yang telah saya uraikan di aras.

Tapi bantuan Notaris/PPAT berdasarkan prinsip saling kesejajaran, dalam arti Departemen

Keuangan bukan alasan Notaris/PPAT dan Notaris/PPAT bukan bawahan Departemen

Keuangan.

81

Dengan demikian yang harus dilakukan yaitu kerjasama. Departemen Keuangan c.q

Direktorat Jenderal Pajak meminta bantuan para Notaris/PPAT untuk bekerjasama dalam hal

pembayaran /penarikan BPHTB dan ditentukan hak dan kewajiban masing-masing dengan jelas

dan tegas, yang tercantum dalam Perjanjian Kerjasama tersebut.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

NOMOR 35 TAHUN 1997 (35/1997)

TENTANG

PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

82

Menimbang:

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dipandang perlu mengatur pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT.

Pasal 1

Yang dimaksud dengan hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Pasal 2

Yang dimaksud dengan badan hukum tertentu adalah badan hukum yang melayani kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan yang kegiatannya semata-mata tidak mencari keuntungan.

83

Pasal 3

Besarnya bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat yang diterima oleh:

a.orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, dikenakan sebesar 0% (nol persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang;

b.orang pribadi selain dimaksud pada huruf a, dikenakan sebesar 50% (lima puluh persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang;

c.badan hukum tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dikenakan sebesar 50% (lima puluh persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang.

Pasal 4

Saat yang menentukan bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

Pasal 5

(1)Nilai Perolehan Objek Pajak hak atas tanah dan atau bangunan yang diperoleh karena hibah wasiat adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya peralihan hak tersebut.

(2)Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah dari pada Nilai Jual Obyek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, yang digunakan adalah Nilai Jual Obyek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

Pasal 6

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran peralihan hak setelah Wajib Pajak menyerahkan salinan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

84

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan mengenai tata cara pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 8

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1998.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 7 Oktober 1997

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 7 Oktober 1997

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd.

85

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 78

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 35 TAHUN 1997

TENTANG

PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

DAN BANGUNAN KARENA HIBAH WASIAT

UMUM

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan disebutkan bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat merupakan objek pajak. Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga dengan pemberi hibah wasiat, atau orang pribadi, penerima hibah pada umumnya juga berupa badan hukum tertentu yang melayani kepentingan umum di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan, yang semata-mata tidak mencari keuntungan.

Oleh karena pemberian dengan melalui hibah wasiat merupakan penghargaan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat, maka untuk lebih memberikan rasa keadilan, besarnya pengenaan bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat perlu diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

86

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 pengertian Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikatakan pula sebagai pajak. Oleh karenanya, dalam Peraturan Pemerintah ini kedua sebutan digunakan. Sebutan Pajak terutama dipakai untuk mempermudah pemahaman tentang cara perhitungan dalam penetapan besarnya Bea yang terutang.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Yang dimaksud dengan suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan adalah penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Huruf a

Berbeda dengan pengertian umum, untuk keperluan perpajakan pengertian hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah tidak termasuk saudara kandung.

Pembuktian hubungan keluarga tersebut didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam fatwa waris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam huruf a ini:

Seorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayahnya sebidang tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 130.000.000,00, maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.130.000.000,00

-Nilai Perolehan Objek PajakRp. 30.000.000,00

87

Tidak Kena Pajak

----------------(-)

- Nilai Perolehan Objek PajakRp.100.000.000,00

Kena Pajak

-Bea atau pajak yang

seharusnya terutang =

5% x Rp. 100.000.000,00= Rp. 5.000.000,00

-Bea atau pajak yang

harus dibayar = 0% x

Rp. 5.000.000,00 = 0 (Nihil).

Huruf b

Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Huruf b ini:

Badu memperoleh hibah wasiat dari Ali, antara Badu dan Ali tidak ada hubungan keluarga sedarah, berupa sebidang tanah yang diatasnya terdapat bangunan rumah dengan NPOP sebesar Rp. 130.000.000,00 maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.130.000.000,00

-Nilai Perolehan Objek PajakRp. 30.000.000,00

Tidak Kena Pajak

-----------------(-)

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.100.000.000,00

Kena Pajak

-Bea atau pajak yang

seharusnya terutang = 5% x

88

Rp. 100.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

-Bea atau pajak yang harus

dibayar = 50% x Rp.

5.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00.

Huru c

Sebagai contoh besarnya bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat sebagaimana dimaksud dlam Huruf c ini:

Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat sebidang tanah dengan NPOP sebesar Rp. 130.000.000,00 maka besarnya bea atau pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.130.000.000,00

-Nilai Perolehan Objek PajakRp. 30.000.000,00

Tidak Kena Pajak

-----------------(-)

-Nilai Perolehan Objek PajakRp.100.000.000,00

Kena Pajak

-Bea atau pajak yang seharusnya terutang = 5% x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

-Bea atau pajak yang harus dibayar = 50% x Rp. 5.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00.

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

89

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3707

Daftar Pustaka

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001. Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak. 2001.

90

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.7/2002. Pemeriksaan Oleh Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan. 2002.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.7/2004. Pemeriksaan Sederhana Lapangan Dalam Rangka Ekstensifikasi. 2001.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-324/PJ./2002. Pencarian/Pengumpulan Data dari Pihak Ketiga dan Sosialisasi Program Ekstensifikasi/Intensifikasi Perpajakan. 2001.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak. Panduan Materi Penyuluhan Perpajakan. Buku IV. Cetakan Ke-II. Jakarta: Pusat Penyuluhan Perpajakan, 1993.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Jonathan Sarwono. Analisis Data Penelitian Dengan Menggunakan SPSS. Yogyakarta: CV. ANDI, 2006.

Jonathan Sarwono. SPSS: Teori dan Latihan Menggunakan SPSS Versi 12.Edisi II. Yogyakarta: PT. Danamartha Sejahtera Utama, 2005.

Keputusan Bersama Gubernur Kepala Daerah dan Direktur Jenderal Pajak. Koordinasi Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21. Jawa Barat. 2001.

91

Keputusan Bersama Walikota Banjar dan Kepala KPP Tasikmalaya. Koordinasi Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21.Tasikmalaya. 2004.

Keputusan Menteri Keuangan 443/KMK.01/2001. Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan. Jakarta. 2001.

Mardiasmo. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: CV. ANDI, 2003.

Menteri Keuangan. Butir-Butir Pengarahan Menteri Keuangan Dalam Rakernas Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan. 2005.

Mudrajad Kuncoro. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.

Moh. Nazir. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.

Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2001. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan. 2001.

Siti Resmi. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat, 2003.

Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana, 2006.

Sugiyono. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta. 2006.

92

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 tahun 2000. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 2000.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2000. Perubahan Ketiga Undang-Undang Pajak Penghasilan. 2000.

Uma Sekaran. Research Method for Business. Jakarta: Salemba Empat. 2006.

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Empat, 2003

www.pajak.go.id

www.google.go.id

Hadjon, Philipus M., Prof. Dr S.H., - et al., 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), cetakan kedua, revisi. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.

Indroharto, S.H., 1993. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku 11 Berapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, cetakan keempat, edisi revisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kartohadiprodjo, Soediman, Prof., S.H., 1982. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia.

S. Munawir, Drs., Akuntan., 1992. Perpajakan. Yogyakarta: Liberty.

93