48
40 BAB II KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT IBN MISKAWAIH A. Biografi Ibn Miskawaih Nama asli Ibnu Miskawaih adalah Ahmad bin Muhammad bin Ya‟kub bin Miskawaih, dijuluki sebagai filosof moral. Sejarah mencatat kelahirannya di Ray dan wafat tahun 421 H. bertepatan dengan tahun 1030 M dan ditetapkan tanggal 9 Shafar tahun 421 H. Kedua orang tuanya berasal dan berkebangsaan Persia. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaih (320-450/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi‟ah. 1 Sehingga dia diduga beraliran Syi'ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. 2 Kemudian dia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M dan menetap disana bersama ahli sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H. Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid, seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat, logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal. Kurang lebih tujuh tahun dia belajar sampai ibn al-'Amid meninggal dunia pada tahun 359 H. Beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa ibn Miskawaih juga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli, 1 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam : Seri Kajdian Filsafat Pendidikan Islam , cet III, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. hlm 5 2 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Meadia Pratama, 1999, hlm. 56

BAB II KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT IBN

Embed Size (px)

Citation preview

40

BAB II

KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT IBN MISKAWAIH

A. Biografi Ibn Miskawaih

Nama asli Ibnu Miskawaih adalah Ahmad bin Muhammad bin

Ya‟kub bin Miskawaih, dijuluki sebagai filosof moral. Sejarah mencatat

kelahirannya di Ray dan wafat tahun 421 H. bertepatan dengan tahun 1030

M dan ditetapkan tanggal 9 Shafar tahun 421 H. Kedua orang tuanya

berasal dan berkebangsaan Persia.

Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaih

(320-450/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab

Syi‟ah.1 Sehingga dia diduga beraliran Syi'ah, karena sebagian besar

usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi.2

Kemudian dia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada

menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M dan menetap disana bersama ahli

sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H.

Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid,

seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat,

logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal.

Kurang lebih tujuh tahun dia belajar sampai ibn al-'Amid meninggal dunia

pada tahun 359 H.

Beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa ibn Miskawaih

juga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli,

1 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam : Seri Kajdian Filsafat Pendidikan

Islam , cet III, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. hlm 5 2 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Meadia Pratama, 1999, hlm. 56

41

belajar filsafat ke ibn al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu

Tahyyib al-Razy. Dia juga pernah bekerja sebagai bendahara, sekretaris,

pustakawan, dan pendidik anak para pemuka Dinasti Buwaihi. Ayahnya

seorang pegawai pemerintahan, dengan demikian dia memiliki kesempatan

untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan para birokrat.3

Ibnu Miskawaih tercipta untuk memasukan kita berpegang teguh

dengan hukum syari‟at Islam. Ibnu Miskawaih selain belajar filsafat dia

mempelajari sejarah terutama karya at-Thabari an-Nasl dari Abu Bakar bin

Kamil al-Qathi, ilmu filsafat didapatnya dari Ibn al-Khammar, selain ahli

filsafat dia dikenal sebagai tabib, ahli sejarah dan ahli kimia. Ibn Hasyain

dalam bukunya al-Anta menggambarkan tentang kehebatan ilmu Ibnu

Miskawaih sebagai berikut “Ibnu Miskawaih seorang fakir diantara orang

kaya dan seorang kaya diantara Nabi-Nabi”.

Pada tahun 348 H, Ibnu Miskawaih hijrah ke Baghdad dan

mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad al-Azdi untuk

menjadi seorang sekretaris pribadinya. Setelah al-Mahalbi meninggal

dunia, Ibnu Miskawaih kembali ke kota Ray (sekarang Teheran) kemdian

mengabdi kepada Ibn al-Amid, sebagai kepala perpustakaan sekaligus

sekretaris pribadinya sampai menteri Ibn al-Amid pada tahun 360 H.

Ibnu Miskawaih tinggal selama tujuh tahun bersama Abu Fadhl bin

al-Amid (360 H/970 M) sebagai pustakawan, setelah wafatnya Abu al-

Fath, dia mengabdi kepada putranya Abu al-Fath Ali ibn Muhammad al-

3 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung:

Angkasa, 2003, hlm. 42.

42

Amad, dengan nama keluarga Dzu al-Kifayatain, dia juga mengabdi

kepada Daud al-Daulah salah seorang bawahiyah, dan kemudian kepada

beberapa pangeran yang lain dari keluarga terkenal itu.4

Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof muslim yang menitik

beratkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya dia pun

seorang sarjanawan, tabib, ilmuwan Persi dan India di samping filsafat

Yunani pun sangat luas. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khozin

Ahmad bin Ya‟kub bin Miskawain, sebutan nama yang lebih masyhur

adalah Miskawaih, Ibnu Miskawaih atau Ibn Maskawaih.

Pelajaran yang dipelajari antara lain ialah: sejarah, yang

dipelajarinya pada Abu Bakar bin Kamil al-Qadhari, filsafat dipelajarinya

dari Abu Thaib ar-Razi, selain itu juga mempelajari bahasa dan sastra

Arab, tetapi keharuman namanya ialah dipembahasan-pembahasan tentang

filsafat moral, terutama sekali dalam bukunya yang tersohor Tahdzib al-

Akhlak.

Ibnu Miskawaih mendalami ilmu mantiq dan filsafat moral seperti

al-Ghazali, perbedaannya dengan al-Ghazali ialah kalau al-Ghazali dalam

filsafat akhlaknya lebih menekankan filsafat amaliyah, Ibnu Miskawaih

lebih menekankan pada filsafat akhlaknya secara analisis pengetahuan.

Berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya, Ibn Miskawaih memberikan

perhatian besar kepada masalah moral sehingga dia dikenal sebagai

seorang pemikir muslim dalam bidang ini. Sebagai bukti atas

4 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,

Terj. Helmi Hidayat. Bandung: Mizan, 1998, hlm 29

43

kebesarannya itu, dia telah menulis banyak buku diantaranya; Tahzib al-

Akhlaq (tentang moralitas), Thaharah al-hubs (penyucian jiwa), al-Fauz

al-Akbar (kiat memperoleh kebahagiaan dalam hidup), al Fauz al-:Shaqir

(lanjutan dari al-Fauz al-Akbar), Kitab al Sa 'adah (Buku tentang

kebahagiaan), Adab al Dunya wa al-Din (moralitas dunia dan agama), dan

lain-lain.5

Ibnu Miskawaih pada dasarnya adalah seorang ahli sejarah, kimia,

dan moralis. Disebutkan bahwa dia tertarik pada kimia bukan demi ilmu

pengetahuan, melainkan demi emas dan harta, dan dia sangat patuh kepada

guru-gurunya. Namun disebutkan juga bahwa pada tahun-tahun menjelang

masa tuanya dia menggeluti ilmu moral. Seperti, membina

kesederhanaanya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan

diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang

tak rasional. Dan nampaknya mayoritas dari karya tulisnya ditulis ketika

dia mendalami ilmu moral tersebut.

Sejumlah ahli sejarah mengatakan bahwa Ibnu Maskawaih sebelum

dia menggeluti ilmu moral dia adalah seorang pribadi yang kurang baik.

Tentang hal ini diakuinya sendiri dalam Tahdzib al-Akhlak dimana dia

mengatakan tentang dirinya :

“Perlu diketahui, bahwa saya, setelah beranjak dewasa

dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang buruk ini, melalui

perjuangan keras dan berat. Mudah-mudahan anda, wahai pencari

5 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 1999, hlm 58

44

kemuliaan dan keutamaan moral dapat berhasil seperti saya, agar

anda tahu, dan tentu saja menjadi penunjuk jalan keberhasilan

anda, sebelum melangkah lebih jauh kelembah kesesatan, agar

menjadi perahu penyelamat, sebelum anda tenggelam dalam

samudera kehancuran. Dengan nama Allah saya katakan, jagalah

jiwamu wahai saudara-saudara dan anak-anakku! Peluklah erat-erat

kebenaran. Milikilah akhlak yang baik. Upayakanlah kearifan yang

cemerlang. Titilah jalan yang lurus. Renungkan seluruh keadaan

jiwamu, dan ingat-ingatlah selalu fakultas-fakultasmu”.6

Hal itu disampaikan juga sebagai wasdiat untuk generasi-generasi

seterusnya, untuk menghindarkan diri dari moral yang buruk. Supaya

ketika beranjak dewasa kita sudah terbiasa dengan moral yang baik,

Sehingga dengan mudah dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.

Dengan melihat perkataan “setelah beranjak dewasa dapat menjauhkan diri

dari hal-hal yang buruk ini, melalui perjuangan keras dan

berat”.Menandakan bahwa memang Ibnu Miskawaih mudanya adalah

seorang yang berkelakuan kurang baik. Sehingga untuk mengusahakan

menjadi baik butuh perjuangan yang keras dan berat.

Maka keterangan itu menandakan bahwa apa yang dia tulis dalam

kitab ini adalah hasil dari pemikirannya dan pembuktiannya. Dimana

ketika seseorang itu benar ingin merubah keadaannya (moralnya) maka dia

6 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid. hlm. 42-43

45

mampu, dengan mengendalikan jiwanya, Mensucikan jiwanya dari

perbuatan-perbuatan yang dapat mengotori hatinya.

B. Karya – karya Ibn Miskawaih

Disamping dikenal sebagai seorang filosof muslim, Ibn Miskawaih

juga dikenal sebagai ahli sejarah, sastra dan kedokteran. Dia terkenal

sebagai pemikir muslim yang produktif, dia telah menghasilkan banyak

karya tulis tetapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada, antara

lain:7

Table 2.1

No Judul Keterangan

1 Risalah fi al-Ladzdazt wa al-„Alam (6

halaman)

Sudah dicetak

2 Risalah fi al-Thabi‟at (1 halaman) Manuskrip

3 Risalah fi Jauhar al-Nafs (2 halaman) Manuskrip

4 Maqalah fi al-Nafs wa al-„Aql (1 halaman) Sudah dicetak

5 Fi itsbat al-Shuwar al-Ruhaniyah al-Lati la

Hayula laha(3 halaman)

Manuskrip

6 Min Kitab al-„Aql wa al-Ma‟qul (16

halaman)

Sudah dicetak

7 Ta‟rif al-Dahr wa al-Zaman (1 halaman) Manuskrip

8 Risalah fi Jawab „ala Sual fi Haqiqat al- Sudah dicetak

7 Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa. 2003.

Hlm.87

46

„Adl

9 Al-Jawab fi al-Masail al-Tsalats Manuskrip

10 Kitab Thaharat al-Nafs Manuskrip

11 Majmu‟at Rasail Tahtawi „ala Hukm

Falasifat al-Syarqi wa al-Yunan

Manuskrip

12 Al-Washaya al-Dzahabiyah li Phitagoras Manuskrip

13 Washiyyat li Thalib al-Hikmah Sudah dicetak

14 Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A‟raq Sudah dicetak

15 Al-Fauz al-Ashgar Sudah dicetak

16 Tartib al-Sa‟adah Sudah dicetak

17 Tajarib al-Umam Sudah dicetak

18 Jawidzan Khirad Sudah dicetak

19 Laghz Qabis Suda Sudah dicetak

20 Risalah Yauddu biha „ala Risalat Badi‟ al-

Zaman al-Hamadzani

Sudah dicetak

21 Washiyyat Miskawaih Sudah dicetak

22 Mukhtar al-„Syi‟r Sudah Hilang

23 Uns al-farid Sudah Hilang

24 Al-Adawiyat al-Mufarridah Sudah Hilang

25 Kitab fi Tarkib al-Bajat min al-aTh‟imah Sudah Hilang

26 Al-Fauz al-Akbar Sudah Hilang

27 Al-jami‟ Sudah Hilang

47

28 Al-Shirah Sudah Hilang

29 Maqalat fi al-Hikmat wa al-Riyadah Sudah Hilang

30 „Ala al-Daulat al-Dailami Sudah Hilang

31 Siyasat al-Mulk Sudah Hilang

32 Al-Syawamil Sudah Hilang

33 Adab al-Dunya wa al-Din Sudah Hilang

34 Al-„Udain fi „Ilmi al-Awail Sudah Hilang

35 Ta‟aliq Hawasyi Mantiq Sudah Hilang

36 Faqr Ahl al-Kutub Sudah Hilang

37 Faqr Ahl al-Kutub Sudah Hilang

38 Haqaiq al-Nufus Sudah Hilang

39 Fauz al-Sa‟adah Sudah Hilang

40 Ahwal al-Salaf wa Shifat Ba‟dl al-Anbiya

al-Sabiqin

Sudah Hilang

Table 2.1 Karya – karya Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Dia

juga seorang penyair. Tauhidi mencela Ibn Misawaih karena kekikiran dan

kemunafikanya, tetapi yakut menyebutkan bahwa pada tahun-tahun

berikutnya dia berupaya mengikuti lima belas pokok petunjuk moral.

Kesederhanaanya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukan

diri yang serakah, dan kebijakan dalam mengatur nafsu dan dorongan yang

tak rasional merupakan pokok-pokok petunjuk. Dia sendiri berbicara

48

tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdzib al-Akhlak yang

menunjukan bahwa dia melaksanakan dengan baik apa yang telah

ditulisnya tentang moral.

Hal terpenting dalam filosofis Ibn Miskawaih ditunjukan dalam hal

moral. Tiga karangan Ibn Miskawaih yang membahan tentang moral yaitu:

Tartib as-Saadah, tahdzib al-akhlaq, dan Jawidan Khirad. 8

C. Hakikat Manusia Menurut Ibn Miskawaih

a. Konsep Manusia

Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal

sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan

sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab

adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang

hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri

manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya bernafsu (al-Nafs al-

Bahimiyyah), daya berani (al-Nafs al-Sabu‟iyyah), dan daya berfikir

(al-Nafs al-Natiqah).9 Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur

materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak

akan mengalami kehancuran.

Berkaitan dengan masalah moral Ibnu Miskawaih mengatakan

bahwa kebaikan bagi makhluk hidup adalah usahanya untuk

mencapai sesuatu yang menjadi tujuan. Setiap yang ada itu dapat

berubah menjadi baik, apabila dia memiliki kesanggupan yang

8 Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan….ibid, hlm, 87

9 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid, hlm 44

49

memadai untuk mencapai tujuan yang akan dicapai, namun setiap

orang terdapat perbedaan yang prinsip sesuai dengan minat dan

bakatnya, sehingga seseorang dapat menjadi baik dan selalu

memperoleh keuntungan, jika amal perbuatannya dilandasi dengan

harkat dan martabat kemanusiaannya.

Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan filsafat sampai kepada

definisinya, tetapi hanya membedakan filsafat dalam dua bagian

yaitu teoritis dan praktis. Teoritis adalah keutamaan manusia dalam

memenuhi bakatnya agar dapat mengenali segala sesuatu, disebut al-

quwwah al-alimah, sehingga dengan ilmu yang telah dicapainya

dapat menghasilkan pemikiran, kepercayaan untuk mendapatkan

kebenaran dan yang praktis adalah keutamaan manusia dalam

memenuhi bakatnya agar dapat melaksanakan perilaku-perilaku

moral, disebut al-quwwah al-alimah.

Keutamaan moral ini diawali dari kesanggupan memelihara

bakat-bakatnya dan perilaku-perilaku yang berhubungan dengan hal

tersebut, sehingga semua perilaku sama dengan bakat intelektualnya

yang mampu memilah-milah yang baik dengan yang buruk, yang

benar dengan yang tidak benar sesuai dengan proporsi yang

sebenarnya. Keutamaan moral pada akhirnya mampu memelihara

hubungan di antara manusia yang satu dengan yang lain sampai

terwujud kehidupan bersama yang bahagia; apabila manusia dapat

50

menguasai filsafat yang teoritis dan praktis, maka dia akan

mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Berkaitan dengan filsafat manusia, Ibnu Miskawaih

mengatakan bahwa kodrat manusia itu ada yang baik dan ada yang

buruk. Kodrat manusia itu baik sesuai dengan anggapan kaum Stoa

yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam kondisi baik,

namun selanjutnya menjadi buruk disebabkan manusia berpotensi

kearah keburukan: sedang kodrat manusia itu buruk, hal ini sesuai

pendapat Gelenus yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu buruk

dapat berubah menjadi baik jika dibina melalui pendidikan.

Selanjutnya Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa jiwa manusia

mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari jiwa hewan, hal ini

disebabkan adanya daya pikir yang merupakan pusat pertimbangan

perilaku yang senantiasa bertujuan kearah kebaikan. Jiwa manusia

memiliki tiga tingkatan, adalah :

1) An Nafs al-bahimiyah adalah jiwa hewan yang buruk;

terdiri dari sifat-sifat tidak bertanggung jawab, sombong,

pembohong, dan sifat-sifat buruk lain.

2) An Nafs as-sabu‟iyah adalah jiwa hewan buas yang dimiliki

oleh manusia, kadang-kadang manusia itu dikendalikan

oleh jiwa hewan yang buruk, namun juga dikendalikan oleh

jiwa intelektual yang baik.

51

3) An Nafs an-nathiqah adalah jiwa intelektual yang baik;

terdiri dari sifat-sifat keadilan, harga diri, pemberani,

pengasih dan suka kepada kebenaran. Manusia dapat

menjadi manusia sesungguhnya, apabila mempunyai jiwa

intelektual, maka manusia akan mempunyai kedudukan

yang lebih tinggi bahkan setaraf dengan malaikat, dan

dengan jiwa intelektualnya manusia berbeda dengan hewan.

Manusia termulia adalah paling tinggi jiwa intelektualnya,

maka hidup dan kehidupannya senantiasa menuruti jiwa

intelektualnya, sedang manusia yang dikendalikan oleh jiwa

hewan yang buruk dan buas, maka kedudukannya akan

menurun dari sifat-sifat kemanusiaannya. Oleh karena itu

manusia harus dapat memilih, menentukan pribadinya

dalam tingkatan mana yang sesuai dengan dirinya.

Manusia dapat merubah perilakunya dengan melaui berbagai

macam pendidikan, baik dengan petuah-petuah, adat kebiasaan,

akhlaq yang seluruhnya dapat menjadikan manusia memanfaatkan

akal pikirannya untuk menentukan yang seharusnya dilaksanakan

dan ditinggalkan, maka pendidikan lingkungan mempunyai arti yang

demikian penting, terutama dalam kaitannya dengan pembinaan

moral.

Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kebaikan (al-khair)

dibedakan dengan kebahagiaan (as-sa’adah). Kebaikan merupakan

52

sesuatu yang akan dituju oleh setiap orang dan berlaku bagi semua

umat manusia dalam dalam peranannya selaku manusia, sedang

kebahagiaan merupakan kebaikan yang berhubungan dengan

individu, maka kebaikan memilki ciri-ciri yang tetap, sedang

kebahagiaan bermacam-macam tergantung pada seseorang yang

berupaya mendapatkannya, sehingga memiliki ciri-ciri yang tidak

tetap.

Tujuan paling tinggi yang akan dicapai oleh seluruh umat

manusia adalah kebaikan mutlak yang berupa kebahagiaan yang

paling tinggi. Manusia dalam berusaha memperoleh kebahagiaan

senantiasa membutuhkan syariat-syariat yang berasal dari Allah agar

dapat meraih kebijaksanaan sampai pada akhir hidupnya. Ibnu

Miskawaih memberi penegasan bahwa hakikat manusia adalah

makhluk sosial, maka sebaiknya tidak cukup hanya dengan

mengutamakan akhlaq bagi dirinya sendiri, namun juga harus

berperan serta memelihara akhlaq bagi masyarakat.

Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa manusia yang

berintelektual tinggi adalah manusia yang mempunyai kedudukan

yang lebih tinggi, beliau berpendapat bahwa manusia mempunyai

kodrat kebaikan dan keburukan dan manusia akan menjadi lebih baik

dan berkembang melalui berbagai pendidikan.

53

b. Konsep Etika (falsafah moral)

Pemikiran filsafat ibnu Miskawaih banyak di pengaruhi

pemikiran filsafat Plato, Aristoteles dan Galienes. Ibnu Miskawaih

kemudian berusaha menggabungkan pemikiran ketiga tokoh tersebut

dengan ajaran-ajaran islam. Ibn Miskawaih mengatakan, akhlak atau

moral adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung

daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap

mental ini terbagi ke dalam dua kategori ada yang berasal dari watak

dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan.10

Jadi menegakkan moral yang benar menjadi sangat penting,

sebab dengan landasan moral yang kuat akan melahirkan perbuatan-

perbuatan baik tanpa kesulitan. Banyak dijumpai di kalangan

manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji

karena watak. Karena itu pendidikan, kebiasaan atau latihan-latihan

dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji. Ibn

Mishkawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang

mengatakan moral yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.

Ibn Mishkawaih menegaskan moral atau watak sangat mungkin

mengalami perubahan caranya melalui pendidikan kebiasaan-

kebiasaan yang baik dan latihan-latihan.11

10

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid 40 11

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid

54

D. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih

Mengenai pendidikan, Ibn Miskawaih membangun konsep

pendidikan yang bertumpu pada etika Islam. Terlihat jelas disini bahwa

dasar pemikiran Ibn Miskawaih memperkaya kajian etika Islam, maka

konsep pendidikan yang dibangunpun terkait dengan pendidikan dan

pembentukan etika Islam.

1. Pendidikan Moral

Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa hakikat akhlak itu terbagi dua,

yakni ada yang tabi‟ i sebagai bakat dasar (bawaan), dan ada yang

merupakan hasil pembiasaan dan latihan. Tetapi kemudian dia

menyetujui pendapat bahwa tiada satupun khuluq manusia yang tabi‟ i

tetapi juga tak dapat disebut bukan tabi‟ i. Sebab, kita dicetak untuk

menerima suatu khuluq dan berubah-udah dengan pendidikan dan

pergaulan cepat ataupun lambat. Akhirnya, sesudah mengemukakan

pandangan Stoika, Galen, Aristoteles dan lainnya, Ibn Miskawaih

menyatakan bahwa setiap khuluq bisa berubah, sedangkan tiada

sesuatu yang dapat berubah merupakan bawaan.

Kebenaran pendapat ini dibuktikan oleh fakta empirik di mana

pendidikan dan lingkungan berpengaruh pada moral anak, dan oleh

adanya syariat sebagai siasat Allah atas hamba-Nya. Sedangkan

pendapat lain menyatakan bahwa akhlak merupakan bawaan yang tak

dapat diubah mengarah kepada kesia-siaan daya pilih dan akal,

55

pendidikan dan semua upaya perbaikan sosial. Namun manusia

bertingkat-tingkat dalam menerima pengaruh didikan itu.

Pendidikan moral pertama-tama harus dilakukan dengan proses

pembiasaan menjalankan tuntunan syariat di bawah bimbingan orang

tua, baru kemudian dikenalkan kepada teori-teori moral untuk

memperkuat dan mencapai tingkat keutamaan yang lebih tinggi. Ini

dilakukan dengan metode alami, yakni bertahap sejak pembinaan

potensi kebendaan dan kebinatangan (syahwat kemudian ghadlab)

secara total sesuai keempat prinsip fadlilah, terus potensi akal sebagai

potensi khas manusia sampai ke puncaknya sebagai insan kamil.

Potensi yang pertama kali muncul dari potensi keakalan pada

manusia mumayiz dan kemudian akil-baligh adalah haya‟ (malu) atas

terbitnya perbuatan buruk dan dengan mendasari sistematika

pendidikan anak sejak penanaman cinta kebaikan dan keterhormatan

(karamah) serta kebencian akan keburukan, dengan pujian dan celaan,

pembiasaan dan hafalan cerita dan syair-syair baik, sampai kepada

pendidikan dan pembiasaan untuk mempertahankan jiwa anak tetap

lurus.

Membiasakan tidak berbohong dan tidak bersumpah, sedikit bicara

dan moral percakapan, mentaati orangtua dan guru dan mengendalikan

diri. Bila ini tercapai, diteruskan dengan pembiasaan riyadlah. Bila

anak tumbuh menyalahi didikan ini, maka tidak dapat diharapkan akan

selamat, dan usaha-usaha perbaikan dan pelurusannya tidak berguna

56

lagi, sebab dia sudah menjadi binatang buas yang tak dapat dididik,

kecuali dengan cara perlahan dan kembali ke jalan yang benar dengan

taubat, bergaul dengan orang baik-baik dan ahli hikmah serta

berfilsafat. Walaupun hal terakhir ini lebih sulit, seperti dialami Ibn

Miskawaih sendiri, namun dia lebih baik ketimbang terus bergelimang

dalam kebatilan.12

Ada 4 hal pokok dalam upaya pemeliharaan kesehatan jiwa (moral

yang baik). Pertama, bergaul dengan orang yang sejenis, yakni yang

sama-sama pecinta keutamaan ilmu yang hakiki dan ma‟rifat yang

sahih, menjauhi pencinta kenikmatan yang buruk. Kedua, bila sudah

mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan membanggakan diri („ujub)

dengan ilmunya, melainkan harus belajar terus sebab ilmu tidak

terbatas dan di atas setiap yang berilmu ada Yang Maha Berilmu, dan

jangan malas mengamalkan ilmu yang ada serta mengajarkannya

kepada orang lain. Ketiga, hendaklah senantiasa sadar bahwa

kesehatan jiwa itu merupakan nikmat Allah yang sangat berharga yang

tak layak di tukarkan dengan yang lain. Keempat, terus-terusan

mencari aib diri sendiri dengan instrospeksi yang serius, seperti

melalui teman pengoreksi atau musuh, malah musuh lebih efektif

dalam membongkar aib ini.13

12

Ahmad Amin, Etika: Ilmu Moral, Jakarta: Bulan Bintang, hlm 62 13

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid, hlm 74-76.

57

2. Tujuan Pendidikan Moral

Ibnu Miskawaih menjelaskan secara lebih sempurna tentang

tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut:

“Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Miskawaih

adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara

spontan bagi terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik,

sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan

yang sempurna (al-Sa‟ adat).”14

Tujuan pendidikan yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah

terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara sepontan

untuk mewujudkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga

dapat mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan.15

Jadi

hakikat tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Ibn Miskawaih

bersifat menyeluruh yakni mencari kebahagiaan hidup manusia dalam

arti yang seluas-luasnya.

Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, al-

Sa’adat dalam pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para nabi dan

filosof. Ibn Miskawaih juga meyadari bahwa, orang yang mencapai

tingkatan ini sangat sedikit. Oleh sebab itu, akhirnya dia perlu

menjelaskan adanya perbedaan antara kebaikan (al-khair) dan al-

Sa’adat.

14

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid hlm. 74-76. 15

Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.: Seri Kajdian Filsafat Pendidikan

Islam .. ibid hlm 42

58

Disamping juga membuat berbagai tingkatan al-Sa’adat.

Kebaikan bisa bersifat umum, sedangkan al-Sa’adat merupakan

kebaikan relatif, bergantung orang perorang (al-khair bi al-idafat ila

shahibiha). Menurutnya, kebaikan mengandung arti segala sesuatu

yang bernilai (al-syai’ al-nafi). Oleh karenanya, kebaikan merupakan

tujuan setiap orang.16

Tujuan pendidikan moral Ibnu Miskawaih terletak pada kebaikan

paripurna yang mencakup kedua kebaikan tersebut. Kebaikan

paripurna ini disebut juga dengan al-Sa’adat. Al-Saadat terbagi

menjadi dua macam, yaitu jasmani dan ruhani. Kedua jenis al-Sa’adat

tersebut harus seimbang dalam diri manusia agar derajatnya tidak lebih

rendah dari hewan. Sebenarnya, manusia mempunyai potensi untuk

memperoleh kedua jenis al-Sa’adat tersebut. Apabila dia mampu

mendayagunakan potensi yang dimilikinya maka dia akan mencapai

derajat al-Sa‟id al-Tam (orang yang memperoleh kebahagian yang

sempurna).17

Sebaliknya, apabila potensi tersebut disia-siakan maka derajatnya

setara dengan hewan, bahkan lebih rendah. Miskawaih, sebagaimana

Aristoteles, mengakui bahwa untuk meraih tujuan ini sangat sulit.

Aristoteles menyatakan bahwa faktor keberuntungan yang dibahasakan

dengan anugerah Allah oleh, Miskawaih merupakan salah satu

penunjang untuk memperoleh al-Sa’adat. Di samping itu, diperlukan

16

Uus Ahmad Husaini, Pendidikan Moral Menurut Ibnu Miskawaih, (Firt Developed: Mei 3,

2012). http://uusahmadhusaini.blogspot.com/2011/11/pendidikan-moral-menurutibnu. html. 17

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam … ibid, hlm, 11-12

59

adanya kesungguhan berusaha dan berlaku baik, seperti bersifat

dermawan dan mempunyai banyak teman (santun).

Rumusan tujuan pendidikan moral sebagaimana dijelaskan di

atas, hakikatnya, merupakan cara yang ditempuh oleh Ibnu Miskawaih

dalam memberikan motivasi kepada diri sendiri dan orang lain untuk

mencontoh moral Nabi Muhammad.

3. Metode Pembelajaran Pendidikan Moral

Metode pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang

dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan,

yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari

sebelumnya. Dengan demikian, metode ini terkait dengan perubahan

dan perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan moral, maka metode

pendidikan disini berkaitan dengan metode pendidikan moral.18

Dalam kaitan ini Ibn Miskawaih berpendirian bahwa moral

seseorang dapat menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian

halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya

cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah

metodologi. Metode perbaikan moral diartikan sebagai metode

mencapai moral yang baik, dan metode memperbaiki moral yang

buruk. Walaupun demikian, pembahasannya disatukan karena antara

18

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid, hlm. 75

60

satu dengan lainnya saling melengkapi dan tidak dipisahkan secara

ketat.19

Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan

cara, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan,

dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang

dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih:

a. Metode alami

Menurut Ibnu Miskawaih, dalam pendidikan karakter atau moral,

dan dalam mengarahkannya kepada kesempurnaan, pendidik harus

menggunakan cara alami, yaitu berupa menemukan bagian-bagian jiwa

dalam diri peserta didik yang muncul lebih dulu, kemudian mulai

memperbaharuinya, baru selanjutnya pada bagian-bagian jiwa yang

muncul kemudian.20

Terlihat ketika setelah seorang anak lahir, dia mampu mereguk air

susu dari sumbernya (ASI), tanpa diajari hanya diarahkan. Kemudian

seiring dengan perkembangannya dia memiliki kemampuan untuk

memintanya melalui suara. Seiring berkembangnya juga fakultas lain

terbentuk, seperti fakultas amarah yang dengan fakultas ini dia

mencoba menolak apa yang menyakitkan dan menerima apa yang

menyenangkan dirinya.21

19

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 22 20

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,

… ibid hlm. 30 21

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,

… ibid hlm. 47

61

Dididik secara bertahap, cara ini berangkat daripengamatan potensi

manusia dan mengikuti proses perkembangan manusia secara alami.

Dimana temukan potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya

pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan.

b. Metode bimbingan

Metode ini penting untuk mengarahkan peserta didik kepada tujuan

pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik.

Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur‟ an, yang menunjukkan

betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi

antar subjek - didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh

yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.

Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa sasaran pendidikan ahklak

adalah tiga bagian dari jiwa, yaitu bagian jiwa yang berkaitan dengan

berfikir; bagian jiwa yang membuat manusia bisa marah, berani, ingin

berkuasa, dan menginginkan berbagai kehormatan dan jabatan; dan

bagian jiwa yang membuat manusia memiliki nafsu syahwat dan nafsu

makan, minum dan berbagai kenikmatan indrawi.Terkait hal tersebut

agama mempunyai penting dalam pendidikan moral.

Agama menjadi pembatas atau pengingat ketika tiga fakultas

tersebut berjalan tidak dengan semestinya. Maka, bimbingan atau

arahan dari orang tua untuk menunjukkan batasan-batasan itu sangat

diperlukan.

62

c. Metode pembiasaan

Adanya kemauan yang kuat untuk berlatih secara terus-menerus

dan menahan diri (al-„Adat wa al-Jihad) untuk memperoleh keutamaan

dan sopan santun yang hakiki sesuai dengan keutamaan jiwa.22

Menurutnya untuk mengubah moral menjadi baik maka dalam

pendidikannya dia menawarkan metode yang efektif yang terfokus

pada dua pendekatan yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan, serta

peneladana dan peniruan.

Pembiasaan bisa dilakukan sejak usia dini yaitu dengan sikap dan

berprilaku yang baik, sopan dan menghormati orang lain. Sedangkan

pelatihan dapat diaplikasikan dengan menjalankan ibadah bersama

keluarga seperti salat, puasa dan latihan-latihan yang lainnya.

Peneladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang yang dianggap

sebagai panutan; baik orang tuanya, guru-gurunya, ataupun siapapun

yang layak dijadikan figur. Model pendidikan moral dan karakter

seperti itulah sampai sekarang perlu diperhatikan dan tidak bisa

diabaikan begitu saja.

d. Intropeksi diri atau mawas diri (muhasabat al-Nafs)

Metode ini mengandung pengertian kesadaran seseorang untuk

mencari pribadi secara sunguh-sungguh.23

e. Metode hukuman

22

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,

… ibid hlm 70 23

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,

… ibid hlm 68-69.

63

Ibnu Miskawaih mengatakan dalam proses pembinaan moral

adakalanya boleh dicoba jalan dengan menghardik, hukuman, dan

pukulan ringan.Tetapi metode ini adalah jalan terakhir sebagai obat

(ultimum remedium) jika jalan-jalan lainnya tidak mempan. Ibnu

Miskawaih percaya metode ini mampu membuat peserta didik tidak

berani melakukan keburukan dan dengan sendirinya mereka akan

menjadi manusia yang baik.24

Hukuman tersebut semata-mata hanya

untuk menakuti atau memberi pelajaran supaya ketika seorang anak

melakukan kesalahan, dia tidak akan melakukan kesalahan lagi untuk

yang kedua kalinya.

Pendidikan diorientasikan kepada pembentukan pribadi manusia

yang memiliki etika dan moral. Ibn Miskawaih berpandangan bahwa

pendidikan merupakan media bagi potensi yang dimiliki manusia

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada jiwa al-bâhimiyyah, al-

sabû'iyyah dan al-nâthiqah.

4. Materi Pendidikan Moral

Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Miskawaih

menjelaskan beberapa hal yang perlu untuk dipelajari, diajarkan dan

dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum

Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan

mendapatkan materi yang mampu memberikan jalan bagi tercapainya

tujuan. Materi tersebut dijadikan sebagai bentuk pengabdian kepada

24

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …

ibid hlm 30

64

Allah. Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dijadikan sebagai materi

pendidikan moralnya.

Materi pendidikan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: Pertama,

pendidikan yang wajib bagi kebutuhan tubuh. Kedua, pendidikan yang

wajib bagi kebutuhan jiwa. Ketiga, pendidikan yang wajib terkait

dengan hubungan manusia dengan sesamanya. Ketiga pokok materi ini

dapat diperoleh dari berbagai jenis ilmu.25

Materi pendidikan moral yang wajib bagi keperluan jiwa

dicontohkan dengan pembahasan tentang akidah yang benar,

mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya dan pemberian

motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait

dengan keperluan manusia terhadap sesamanya dicontohkan dengan

materi dalam ilmu mu‟amalat, pertanian, perkawinan, saling

menasehati, peperangan dan materi yang lain. Berbagai materi tersebut

selalu terkait dengan pengabdian kepada Allah.

Oleh karena itu, materi yang terdapat di dalam berbagai jenis

ilmu jika esensinya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Allah

dapat dijadikan sebagai materi pendidikan moral. Sebagai contoh ilmu

Nahwu (tata bahasa Arab), ilmu Mantiq (logika) dan ilmu yang lain.

Dalam rangka pendidikan moral, Ibnu Miskawaih sangat

mementingkan materi yang terdapat dalam ilmu Nahwu, karena materi

yang terdapat di dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus

25

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 65

65

dan benar dalam berbicara. Materi yang terdapat di dalam ilmu Mantiq

akan membantu manusia untuk lurus dalam berfikir.26

Adapun materi yang terdapat di dalam ilmu pasti, seperti ilmu

hitung dan geometri (al-Handasat) akan membantu manusia untuk

terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan.219 Sejarah dan Sastra

akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Begitu juga dengan

materi yang terdapat di dalam ilmu Syariat. Dengan mendalami ilmu

Syariat manusia akan teguh pendirian, terbiasa menunaikan perbuatan

yang diridlai oleh Allah dan jiwa siap menerima hikmat hingga

mencapai al-Sa‟ adat.

Seperti yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih bahwa tujuan

pendidikan akhlak adalah mengarahkan manusia menjadi manusia

yang sempurna (insane kamil). Oleh karena itu, ia menjelaskan urutan

ilmu yang harus dipelajari agar seseorang menjadi filsuf, seperti ilmu

matematika (al-Riyadiyat), ilmu logika (al-Mantiq) sebagai alat filsafat

dan ilmu alam (al-Thabi‟ iyat). Menurutnya, seseorang dapat

dikatakan mendapat predikat filsuf apabila sebelumnya telah mencapai

predikat muhandis, munajjim, tabib, manthiq, nahwu atau predikat

yang lain yang dapat mengantarkannya menjadi seorang filsuf.

Adapun materi yang terdapat di dalam ilmu pasti, seperti ilmu

hitung dan geometri (al-Handasat) akan membantu manusia untuk

26

Suwito Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan, … ibid hlm 64

66

terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan.27

Materi yang terdapat di

dalam berbagai ilmu yang secara sekilas hanya berhubungan dengan

urusan dunia, seperti nahwu, mantiq, matematika dan ilmu eksak yang

lain, dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki moral manusia yang

diarahkan kepada pengabdian kepada Allah.28

Cara semacam inilah

yang diinginkan oleh pakar Islam akhir-akhir ini untuk

mengislamisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Materi pendidikan akhlak sebagaimana disebutkan oleh Ibnu

Miskawaih diatas memberikan peluang yang sangat luas untuk

mempelajari dan mengajarkan berbagai jenis ilmu. Akan tetapi, uraian

yang telah dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih ini sangat sulit untuk

dipraktekkan. Hal ini karena tidak semua orang, khususnya para guru

dan penyusun suatu disiplin ilmu mampu mengaitkan, materi ilmu

dengan kepentingan akhlak manusia.

Apabila seseorang mempelajari atau mengajarkan suatu materi

dari ilmu statistik maka belum ada jaminan ia mengetahui relevansi

ilmu ini dengan akhlak seseorang. Ibnu Miskawaih juga tidak

memberikan contoh secara konkrit materi tertentu dari suatu ilmu yang

mempunyai relasi dengan pendidikan akhlak manusia. Ia hanya

memberikan gambaran umum, seperti apabila seseorang mempelajari

atau mengajarkan nahwu (tata bahasa Arab) maka hubungannya

dengan pendidikan manusia adalah agar pembicaraan seseorang

27

Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan, … ibid hlm 76 28

A. Mustofa, filsafat islam, untuk fakultas tarbiyah, syariah, dakwah, adab, ushuludin komponen

MKDK. Bandung: Pustaka Setia, hlm 182.

67

menjadi lurus sesuai dengan tata bahasa yang benar. Keberhasilan

mengaitkan materi suatu ilmu dengan pendidikan akhlak manusia,

sebagaimana telah dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, sangat

ditentukan oleh pendekatan dan metode yang digunakan oleh para

pendidik di dalam mengajarkan suatu disiplin ilmu.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa disiplin ilmu yang

dipelajari dan diajarkan di sekolah dan lembaga pendidikan yang lain

saat ini perlu ditinjau kembali terutama dari sisi pendekatan dan

metode yang digunakan agar dapat diarahkan kepada terciptanya moral

mulia bagi seluruh komponen pendidikan, baik pendidik maupun anak

didik. Hal ini karena mayoritas materi yang dipelajari dan diajarkan di

sekolah dan lembaga pendidikan yang lain selama ini hanya

berorientasi dan bersifat material atau rasa lahir manusia.29

Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian

“pertengahan/jalan tengah (al-wasith)” tersebut antara lain dengan

keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah

antara dua ekstrem. Akan tetapi, ia tampak cenderung berpendapat

bahwa kutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah

antara ektrem kelebihan dan ektrem kekurangan masing-masing jiwa

manusia.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia terbagi

menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa al-Bahimiyat, jiwa al-Ghadlabiyat dan

29

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 16-17.

68

jiwa al-Nathiqat. Berikut ini konsep jalan tengah (al-wasith) yang

dikembangkan oleh Ibnu Miskawaih terhadap ketiga jiwa di atas: Ibnu

Miskawaih mengatakan bahwa posisi tengah dari jiwa al-Bahimiyat

adalah menjaga kesucian diri (al-‟ Iffat). Sedangkan posisi tengah dari

jiwa al-Ghadlabiyat adalah keberanian (al-Syaja‟ at). Sementara

posisi tengah dari jiwa al-Nathiqat adalah kebijaksanaan (al-Hikmat).

Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut

adalah keadilan/keseimbangan (al-‟ Adalat).

Menurut Aristoteles, posisi tengah di bidang akhlak bukan

merupakan proporsi ilmu hitung, seperti angka 10 itu banyak, angka 2

itu sedikit sedangkan angka 6 itu di tengah-tengahnya. Oleh karena itu,

ia berpendapat bahwa posisi tengah ini sangat relatif. Walaupun Ibnu

Miskawaih mengakui adanya sifat relative bagi posisi tengah, namun

agaknya ia tidak ingin menjadikan ukuran tengah tersebut berasal dari

orang per orang, tetapi berupa kaidah umum yang layak berlaku bagi

setiap orang.

Apabila sifat pertengahan itu disebut dengan sifat yang

baik/utama, tentu timbul pertanyaan bagaimana menentukan sikap

pertengahan yang benar tersebut? Aristoteles berpendapat bahwa alat

untuk mengukur sikap pertengahan itu hanya dengan akal. Adapun

Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa tolak ukur untuk memperoleh

sikap pertengahan adalah akal dan syariat. Dengan demikian, terdapat

69

perbedaan yang mencolok antara Ibnu Miskawaih dan Aristoteles

dalam hal penentuan sikap pertengahan ini.

Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut

Miskawaih:

a) Kebijaksanaan

Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah

keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud

(ada), baik yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat

kemanusiaan. Pengetahuan ini membuahkan pengetahuan

rasional yang mampu memberi keputusan antara kewajiban dan

larangan. Miskawaih juga memberi pengertian bahwa

kebijaksanaan adalah pertengahan antara kelancangan dan

kedunguan.

Yang dimaksud dengan kelancangan adalah penggunaan

daya pikir yang tidak tepat (ma la yanbaghi wa kama la

yanbaghi). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masing-

masing keutamaan memiliki cabang yang sangat banyak sesuai

perkembangan istilah. Miskawaih menjelaskan bahwa terdapat

enam keutamaan yang termasuk dalam al-Hikmat

(kebijaksanaan) ini, yaitu: Yang termasuk dalam kategori

pembagian hikmah (filsafat) adalah: (1) ketajaman intelegensi

(intellegenci), (2) kuat ingatan (retention), (3) rasionalitas

(rationality), (4) tangkas dan jernih pemikiran (quickness and

70

soundness of understanding), (5) Jernih ingatan/pemahaman

(clarity of mind), (6) mudah dalam belajar (capacity for learning

easily)

Pengklasifikasian pokok dan cabang pada kebijaksanaan di

atas ditinjau dari sisi hasil dan proses pencapaian. Kebijaksanaan

itu sebenarnya merupakan hasil, sedangkan cabang dari

kebijaksaan merupakan proses bagi terwujudnya hasil. Hal ini

tampak pada perbedaan penyebutan macam-macam atas

kebijaksanaan itu. Sangat wajar apabila terdapat jenis dan jumlah

proses untuk memperoleh hasil bagi seseorang pada suatu waktu.

Akan tetapi, apabila diambil intinya kebijaksanaan (al-Hikmat)

diartikan dengan suatu keadaan jiwa yang memungkinkan

seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah

dalam semua keadaan secara sukarela, tanpa ada tekanan atau

paksaan dari pihak lain.

Untuk memperoleh hasil tesebut, seseorang harus memiliki

sifat: menyukai ilmu pengetahuan, mudah dalam belajar,

ketajaman intelegensi dan mudah serta benar dalam

mereproduksi kembali sesuatu yang telah diingat, baik dalam

wujud perkataan ataupun dalam perbuatan. Adapun jenis lainnya,

sebenarnya dapat digolongkan sebagai faktor penunjang bagi

kelancaran proses.

71

Secara sederhana, yang dimaksud dengan kebijaksanaan ini

adalah kemampuan dan kemauan sesorang menggunakan

pemikirannya secara benar untuk memperoleh pengetahuan,

berupa apapun, sehingga mendapatkan pengetahuan yang

rasional. Pengetahuan rasional tersebut kemudian diaplikasikan

dalam wujud perbuatan yang berupa keputusan untuk wajib

melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.

b) Keberanian

Keberanian merupakan keutamaan jiwa al-Ghadlabiyat

atau al-Sabu‟ iyat. Keutamaan ini muncul pada diri manusia

apabila nafsunya dibimbing oleh jiwa al-Nathiqat. Dengan

maksud, ia tidak takut (mempunyai kepercayaan yang tinggi)

terhadap hal-hal yang besar yang apabila dilaksanakan akan

membawa kebaikan dan apabila dipertahankan adalah merupakan

tindakan yang terpuji.

Sumber dan penyebab sifat keberanian, pengecut dan nekad

ini berasal dari al-Nafs al-Ghadlabiyat. Oleh karena itu,

Miskawaih berpendapat bahwa ketiganya sangat terkait dengan

sifat marah meskipun marah ini digolongkan sebagai penyakit

ruhani yang paling serius, akan tetapi Miskawaih agaknya

berpendapat bahwa sifat marah itu tidak tercela.

Pendapat seperti ini dapat dimaklumi, karena marah

tersebut dapat dijadikan alat untuk menolak sesuatu yang

72

merusak apabila dilakukan dengan seimbang. Dari uraian di atas,

diperoleh pemahaman bahwa gejala terbesar keberanian adalah

tetapnya pikiran ketika menghadapi berbagai cobaan dan bahaya

yang datang. Kondisi seperti ini hanya dapat diperoleh karena

adanya faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam

menghadapi segala hal.

Sebagaimana kebijaksanaan, keberanian juga mempunyai

cabang. Miskawaih menyebutkan terdapat sembilan macam

cabang di dalam keberanian, yaitu: Cabang dari sifat berani

adalah: jiwa besar (kibar al-Nafs), pantang mundur (al-Najdat),

ketenangan (‟ idham al-Himmat), keuletan (al-Tsabat),

kesabaran (al-Shabr), murah hati (al-Hilm), menahan diri

(‟ adam al-Thaisy), keperkasaan (al-Syahamat), mempunyai

daya tahanyang besar/gemar bekerja keras (ihtimal al-Kadd).

Ibnu Miskawaih mengkategorikan “al-Shabr” ke dalam dua

tempat, yaitu: sebagai cabang dari keberanian dan sebagai cabang

dari menjaga kesucian diri/menahan diri. ”Al-Shabr” sebagai

cabang keberanian diartikan dengan sabar dalam menghadapi

persoalan yang berat dan rumit. Sedangkan “al-Shabr” sebagai

cabang dari menjaga kesucian diri/ menahan diri diartikan

dengan sabar dalam menahan nafsu yang bergelora sebagai

akibat buruk dari kelezatan. Adapun Ibnu Miskawaih memberi

73

pengertian “al-Waqar” sebagai ketenangan dan keteguhan jiwa

saat menghadapi sesuatu.

Dari sekian banyak cabang keberanian yang telah

dijelaskan di atas, terdapat satu cabang keberanian yang perlu

mendapat perhatian khusus, karena terdapat perbedaan antara

Miskawaih dan al-Ghazali. Cabang tersebut adalah “ihtimal al-

Kadd”. Ibnu Miskawaih mengartikannya dengan daya jiwa yang

menggunakan organ tubuh melalui latihan dan kebiasan yang

baik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Miskawaih

memasukkan unsur ketahanan atau kekuatan tubuh sebagai salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya keberanian.

Kondisi fisik akan mempengaruhi kualitas keberanian seseorang.

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan teori hubungan jiwa-jasad,

sebagaimana yang telah dijelaskan, kondisi ruhani yang

dimaksud di sini tergolong keutamaan al-Nafs al-Ghadlabiyat.

c) Menjaga Kesucian Diri

Pokok keutamaan akhlak ketiga adalah menjaga kesucian

diri (al-‟ Iffat). Al-‟ Iffat merupakan keutamaan jiwa al-

Syahwaniyat/al-Bahimiyat. Keutamaan ini akan muncul pada diri

manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Dengan

penjelasan, ia mampu menyesuaikan pilihan yang benar sehingga

bebas, tidak dikuasai dan diperbudak oleh nafsunya.

74

Menurut Ibnu Miskawaih, makan minum ini merupakan

faktor utama bagi kelangsungan hidup, sehingga dapat

dimaklumi apabila ia memberikan perhatian yang lebih dalam

masalah ini. Menurutnya, pertimbangan dasar yang harus

diperhatikan bagi makan minum adalah untuk kesehatan tubuh,

menghindari rasa haus dan lapar serta mencegah penyakit, bukan

karena kelezatan/kenikmatan semata.

Oleh karena itu, dibutuhkan latihan secara kontinou dalam

menentukan kuantitas, kualitas dan jenis makanan dan minuman

agar tidak membawa efek buruk dan tercela, seperti cepat marah,

nekad, malas dan sifat tercela yang lain. Latihan secara rutin

yang harus dimulai sejak dini, baik menyangkut makan minum,

berpakaian dan aktifitas fisik yang lain bertujuan untuk mencapai

posisi tengah/sedang, bukan berkelebihan atau kekurangan

(seimbang). Pada fase awal ini, fungsi syariat harus lebih

diutamakan oleh orang tua dalam menentukan sikap pertengahan

anak-anaknya, karena semakin lama pikiran mereka (anak-anak)

akan dapat mengetahui alasannya.

Pelajaran yang patut ditarik dari uraian di atas ialah ternyata

Ibnu Miskawaih menempatkan syari‟ at sebagai unsur yang

paling dominan bagi terciptanya ”jalan tengah” dari al-Nafs al-

Bahimiyat. Penerapan syariat untuk tingkatan anak lebih bersifat

doktriner. Oleh karena itu, unsur taklid terhadap syariat pada usia

75

anak masih ditekankan. Dibandingkan dengan pokok keutamaan

akhlak sebelumnya (keberanian/al-Syaja‟ at), al-‟ Iffat justru

mempunyai cabang yang lebih banyak dan bahkan ada yang

memiliki sub cabang.

Secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi

kemanusiaan mendapatkan materi pendidikan yang bertumpu pada

tercapainya tujuan pendidikan. Nantinya materi yang di maksud Ibn

Miskawaih dapat diabadikan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.

Secara garis besar, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok

materi pendidikan, yakni: pendidikan yang wajib bagi kebutuhan

individu, pendidikan yang wajib bagi jiwa dan pendidikan yang wajib

bagi hubungan dengan sesama. Materi pendidikan yang wajib bagi

manusia dalam hal ini meliputi sholat, puasa dan haji. Selanjutnya

materi pendidikan bagi jiwa dicontohkan dalam pembahasan moral

yang benar, mengesaakan Allah dengan segala kebenaranya. Adapun

materi pendidikan yang terkait dengan sesamanya dicontohkan dengan

materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati dan

lain sebagainya.

Pendapat Ibn Miskawaih diatas kiranya bermaksud agar setiap

pendidik harus mengarahkan agar terciptanya moral yang baik bagi diri

sendiri dan peserta didiknya. Dalam hal ini Ibn Miskawaih

memandang pendidik mempunyai kesempatan baik untuk memberi

nilai lebih bagi setiap pembentukan pribadi mulia.

76

5. Pendidik Dan Peserta Didik

Dalam aspek anak didik, Ibnu Miskawaih mempuyai

pandangan sebagai berikut: Menurut Miskawaih, orang tua merupakan

pendidik yang pertama dan utama bagi anaknya. Materi utama yang

perlu dijadikan acuan oleh orang tua di dalam mendidik anaknya

adalah syariat. Miskawaih menyatakan bahwa penerimaan secara

taklid bagi anak-anak dalam mematuhi syariat tidak menjadi persolaan.

Dengan pertimbangan, anak-anak semakin lama akan mengetahui

penjelasan atau alasannya, sehingga akhirnya mereka tetap memelihara

syariat untuk mencapai keutamaan.30

Begitu besarnya peran orang tua terhadap pembentukan moral

mulia anak, Ibnu Miskawaih mengkategorikan hubungan orang tua

terhadap anaknya termasuk hubungan cinta kasih (al-Mahabbah). Hal

ini bukan berarti Miskawaih lebih memperhatikan hubungan orang tua

terhadap anaknya dan mengabaikan hubungan anak terhadap gurunya,

justru sebaliknya. Ibnu Miskawaih menganjurkan agar anak atau murid

lebih mencintai pendidik atau gurunya. Kecintaan anak didik kepada

gurunya disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada

Allah.

Kebaikan yang yang diberikan guru adalah kebaikan ilahi,

karena dia mengantarkan anak didik kepada kearifan, mengajarkan

kepada mereka kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kehidupan

30

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 17-18.

77

yang abadi dengan mendapat kenikmatan yang abadi juga. Meskipun

demikian, pendidik atau guru tidak seluruhnya mampu mencapai

derajat ini. Hanya guru yang berpredikat al- Mu‟allim al-Mitsali

(pendidik sejati), al-Hakim (begawan) atau mu‟allim al Hikmat yang

berhak menyandang derajat rabb basyari.31

Pendidik sejati yang dimaksudkan Miskawaih adalah manusia

ideal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sangat

jelas karena dia mensejajarkan posisi meraka dengan posisi Nabi,

terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik kepada gurunya

menempati peringkat kedua setelah cinta kasih kepada Allah.

Ibnu Miskawaih mengharapkan cinta selain keempat cinta

tersebut, yaitu cinta yang berdasarkan kepada semua jenis kebaikan,

akan tetapi kualitasnya lebih tinggi, sehingga menjadi cinta yang murni

dan sempurna. Cinta yang demikian disebut dengan cinta ilahi. Cinta

ini tidak memiliki cacat sedikit pun, karena dia muncul dari manusia

yang suci dan terlepas dari pengaruh materialistik. Pendapat semacam

ini sesuai dengan tujuan pendidikan moral sebagaimana yang telah

diuraikan sebelumnya.32

Adapun posisi teman atau saudara yang paling tinggi, menurut

Miskawaih, melebihi posisi berbagai jenis hubungan cinta kasih

tersebut, namun masih di bawah posisi cinta murni. Dengan demikian,

31

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm.60. 32

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 65

78

kecintaan murid kepada guru biasa menempati posisi yang lebih tinggi

daripada kecintaan anak kepada orang tuanya, namun masih di bawah

posisi kecintaan murid kepada guru yang ideal. Dalam masalah cinta,

sikap Miskawaih sama seperti dalam masalah yang lain, yakni

berusaha mencari yang terbaik. Adapun yang terbaik adalah yang

tengah. Oleh karena itu, posisi guru biasa terletak di antara guru ideal

dan orang tua.

Guru biasa bukanlah sekedar guru formal karena jabatan. Akan

tetapi, guru biasa menurut Miskawaih adalah guru yang memenuhi

empat syarat berikut: (1) dapat dipercaya, (2) pandai, (3) dicintai, (4)

mempunyai citra yang baik di tengah masyarakat. Di samping itu, dia

harus menjadi cermin, bahkan harus lebih mulia dari anak didiknya.33

6. Perkembangan Moral

Ibn Miskawaih menjelaskan secara rinci tahap perkembangan

pada manusia dari lahir hingga dewasa. Berikut tahapan-tahapan

perkembangan moral yang penulis ambil dari pemikiran Ibn

Miskawaih.34

a. Tahap balita

Menurut Miskawaih yang tampak pertama kali pada

manusia adalah menyukai makanan, yang menjadikan dia

bertahan hidup. Hal itu terlihat melalui nalurinya sejak dini

33

Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, hlm.127. 34

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 74

79

untuk mencari air susu pada ibunya.35

Tanpa diajari oleh

siapapun seorang bayi yang baru lahir akan mencari air susu

ibunya. Hal ini merupakan tindakan salah satu bentuk inisiasi

dini, merupakan usaha pertama yang dilakukan untuk

mengenalkan si bayi dengan ibunya atau bisa dibilang kontak

pertama antara ibu dengan bayi setelah lahir.

Bersamaan dengan tersebut diatas, lalu untuk meminta

sesuatu dengan suara, yang merupakan tanda untuk

memperlihatkan kesenangan dan kesedihan. Untuk

mendapatkan kesenangan dia menggunakan organ-organ yang

terbentuk pada dirinya melalui gerakan tubuh.

Melalui pancaindera, terjadi tahapan imajinasi, dia mulai

menginginkan sesuatu yang terbentuk dalam imajinansinya.

Kemudian muncul rasa marah dengan menalak apabila ada

yang akan menyakitinya dan menyingkirkan apa yang akan

menghalanginya untuk memperoleh sesuatu. Setelah tahap

perkembangan diatas terjadi dalam dirinya, kecenderungan

untuk melihat tingkah laku yang khas dari manusia adalah

sampai pada titik sempurnanya manusia yang berakal.

b. Tahap anak-anak

Miskawaih menjelaskan pada tahap ini ditandai dengan

adanya perasaan malu pada anak-anak, yaitu satu kondisi

35

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 75

80

dimana dia merasa takut kalau melakukan perbuatan buruk.

Oleh sebab itu, menurut Miskawaih tanda pertama pada anak

kecil dan sekaligus tanda bahwa dia memliki akal pikiran

adalah mempunyai rasa malu. Rasa malu ini menunjukan

bahwa dia telah mengetahui apa saja hal yang buruk, lalu dia

akan berusaha menghindari hal tersebut.36

Rasa malu muncul merupakan pengekangan diri yang

terjadi lantaran khawatir kalau ada keburukan yang tampak

pada dirinya. Dia akan memilih yang baik dan menjauhi yang

buruk berdasarkan dari pemikiranya.

Berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan

prinsip moral merupakan komponen afektif moralitas (moral

affect).37

Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk

melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang

penting. Hadist menyatakan:

“Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata bahwa Rasulullah Saw,

bersabda “Malu itu pertanda dari iman”. (H.R Buhari dan

Muslim)

Malu dikatakan sebagai bagian dari iman karena rasa malu

dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.

36

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 75 37

Aliyah B. Purwakania. Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

hlm 262

81

Pada tahap ini sangatlah baik apabila anak-anak sudah

cukup untuk menerima pendidikan dari orang tuanya. Sudah

mulai di awasi tidak boleh dibiarkan dan diabaikan dengan

siapa dan dimana dia beteman. Karena anak kecil masih belum

mempunyai pendapat dan tekad, dia akan menerima dan meniru

apa yang orang sekitar katakan dan lakukan. Maka berikan

contoh teladan dan pendidikan agama agar dia terbiasa

melaksanakan kewajiban agama.

Pemberian pudian dan hukuman (reward and punishment)

mulai bisa diberikan pada anak-anak.38

Berikanlah pudian

ketika anak-anak berperilaku baik atau telah melakukan sesuatu

yang baik. Sebaliknya, berikan hukuman kepada anak-anak

apabila dia berperilaku buruk atau melakukan hal-hal yang

dilarang oleh agama.

c. Tahap remaja awal

Menurut Miskawaih, pada tahap ini anak-anak sudah

menuju dewasa dan sudah mengetahui perilaku baik yang boleh

dikerjakan dan perilaku buruk yang tidak boleh dikerjakan,

mulai berpikir cara menghormati orang yang orang yang lebih

dewasa dan menghormati lingkungan sekitar.

Seperti yang diungkapkan Miskawaih dalam bukunya

dijelaskan ajarlah dia supaya tidak meludah dan membuang

38

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 76

82

ingus ketika berhadapan dengan orang lain. Janganlah

bertopang dagu dan menyandarkan kepala pada kedua tangan.

Sebab, hal itu menunjukan bahwa dia pemalas dan tidak

menghormati orang yang ada di depanya. Dan janganlah suka

bersumpah, baik sungguh-sungguh maupun bohong-bohongan,

sebab bersumpah itu dilarang.39

Biasakan untuk belajar melayani diri sendiri, gurunya, atau

orang lain yang lebih dewasa dari dia. Kalau bersama-sama

orang yang lebih dewasa hendaknya dia mendengarkan kata-

katanya dan tetap diam saja dihadapanya. Dia tidak boleh

mnegucapkan kata-kata sumpah serapah, ucapan tidak senonoh

dan tidak boleh berucap kata-kata kotor.

Pikiran yang ditunjukan seseorang ketika memutuskan

berbagai tindakan yang benar dan yang salah merupakan

komponen kognitif moralitas (moral reasoning).40

Islam

mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan kedalam jiwa

manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan jalan ketakwaan.

Manusia memiliki akal dan memilih jalan mana yang akan dia

tempuh. Dalam al-quran dinyatakan:

39

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 79 40

Aliyah B. Purwakania. Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. … ibid hlm 262

83

Terjemahan: “Dan jiwa serta penyempurnaannya

(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu

(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya

beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan

Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Al-

Syams : 7-10)

d. Remaja ahir

Miskawaih menjelaskan pada tahap remaja ahir ini

perkembangan moralnya semakin paham. Remaja pada sudah

memahami betul mana yang baik dan mana yang buruk

sehingga ketika dia melakukan kesalahan maka dia akan

mengakuinya dan siap menerima hukumanya. Dia sudah

mengerti bagaimana memperlakukan orang yang lebih dewasa

dari usianya dan anak-anak yang lebih muda usianya.

Ketika dia melakukan kesalahan disekolah dan diberi

hukuman oleh guru maka dia tidak boleh mengadu atau

mengeluh dan tidak boleh meminta perlindungan kepada orang

lain untuk menutupi kesalahanya. Sedangkan kepada anak-anak

yang usia lebih muda dia akan mendidik dan memberikan

84

contoh yang baik terhadap yang lebih muda dan teman

sebayanya.

Tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral

seseorang dalam situasi dimana mereka harus melanggarnya

merupakan komponen perilaku moralitas.41

Islam

menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang benar

seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Al-quran

menyatakan :

Terjemahan: Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua

jalan. Tetapi dia tdiada menempuh jalan yang mendaki lagi

sukar. (QS. Al-Balad : 10-11).

Melakukan sesuatu pada jalan yang benar merupakan

pilihan bagi umat islam meskipun sulit.

7. Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Moral

Ibn Miskawaih berpendapat bahwa faktor yang sangat

mempengaruhi terhadap pedidikan moral seseorang adalah:

a. Faktor kelurga

Ibn Miskawaih mengatakan bahwa kewajiban mendidik

anak pertama kali adalah orang tuanya, karena anak yang baru

lahir masih bersih (suci). Kewajiban orang tualah untuk

41

Aliyah B. Purwakania. Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. … ibid hlm 262

85

mendidik mereka agar menaati syariat ini, agar berbuat baik

melalui nasihat, atau dipukul kalau perlu, atau diberi janji yang

menyenangkan atau diancam hukuman yang menakutkan.42

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan dilalui

oleh seorang anak ketika lahir ke dunia, maka segala yang dia

temukan, dia dengarkan akan membekas dalam dirinya dan

akan terbentuk sesuai dengan apa yang ditemukan dalam

pendidikan keluarga tersebut. Bahkan ketika dalam kandungan

seorang anak pada dasarnya telah mampu untuk merespon

segala stimulus dari luar.

b. Faktor lingkungan

Lingkungan dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya

moral seorang anak. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha

mencapai pendidikan moral tidak dapat dilakukan sendiri,

tetapi harus dialakukan secara bersama-sama atas dasar saling

tolong menolong dan saling melengkapi, kondisi demikian

akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai.

Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya

akan terwujud karena kesempurnaan yang lainya. Jika tidak

demikian, maka pendidikan moral tidak dapat terwujud.

Sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa

salama di alam ini, manusia memerlukan kondisi yang baik

42

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat

Akhlak,… ibid hlm 60.

86

diluar dirinya. Dia juga menyatakan sebaik-baik orang adalah

orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan orang-orang

yang masih ada kaitan denganya, mulai dari saudara, anak,

kerabat, keturunan rekan tetangga hingga teman.

Disamping itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah

satu tabiat manusia adalah tabiat memelihara diri, karena itu

manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama

dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya

adalah dengan saling bertemu, manfaat dari pertemuan

diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan

kestabilan cinta sesamanya.

Selanjutnya bagaimana dengan lingkungan pendidikan yang

merupakan pokok bahasan pada bagian ini. selama ini dikenal adanya

tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan

masyarakat. Tapi Ibn Miskawaih tidak membicarakan lingkungan

pendidikan secara umum, yaitu dengan membicarakan lingkungan

masyarakat pada umumnya, mulai dari segi lingkungan sekolah yang

mana menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah

dengan rakyatnya, sampai seterusnya. Keseluruhan lingkungan ini satu

dan lainya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptnya

lingkungan pendidikan.43

Tentunya dalam pencapadianya menjadi

43

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 22.

87

manusia yang memiliki nilai-nilai luhur dalam menjalankan segala

aktifitas kehidupanya sehari-hari.