Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
40
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT IBN MISKAWAIH
A. Biografi Ibn Miskawaih
Nama asli Ibnu Miskawaih adalah Ahmad bin Muhammad bin
Ya‟kub bin Miskawaih, dijuluki sebagai filosof moral. Sejarah mencatat
kelahirannya di Ray dan wafat tahun 421 H. bertepatan dengan tahun 1030
M dan ditetapkan tanggal 9 Shafar tahun 421 H. Kedua orang tuanya
berasal dan berkebangsaan Persia.
Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaih
(320-450/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab
Syi‟ah.1 Sehingga dia diduga beraliran Syi'ah, karena sebagian besar
usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi.2
Kemudian dia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada
menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M dan menetap disana bersama ahli
sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H.
Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid,
seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat,
logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal.
Kurang lebih tujuh tahun dia belajar sampai ibn al-'Amid meninggal dunia
pada tahun 359 H.
Beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa ibn Miskawaih
juga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli,
1 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam : Seri Kajdian Filsafat Pendidikan
Islam , cet III, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. hlm 5 2 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Meadia Pratama, 1999, hlm. 56
41
belajar filsafat ke ibn al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu
Tahyyib al-Razy. Dia juga pernah bekerja sebagai bendahara, sekretaris,
pustakawan, dan pendidik anak para pemuka Dinasti Buwaihi. Ayahnya
seorang pegawai pemerintahan, dengan demikian dia memiliki kesempatan
untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan para birokrat.3
Ibnu Miskawaih tercipta untuk memasukan kita berpegang teguh
dengan hukum syari‟at Islam. Ibnu Miskawaih selain belajar filsafat dia
mempelajari sejarah terutama karya at-Thabari an-Nasl dari Abu Bakar bin
Kamil al-Qathi, ilmu filsafat didapatnya dari Ibn al-Khammar, selain ahli
filsafat dia dikenal sebagai tabib, ahli sejarah dan ahli kimia. Ibn Hasyain
dalam bukunya al-Anta menggambarkan tentang kehebatan ilmu Ibnu
Miskawaih sebagai berikut “Ibnu Miskawaih seorang fakir diantara orang
kaya dan seorang kaya diantara Nabi-Nabi”.
Pada tahun 348 H, Ibnu Miskawaih hijrah ke Baghdad dan
mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad al-Azdi untuk
menjadi seorang sekretaris pribadinya. Setelah al-Mahalbi meninggal
dunia, Ibnu Miskawaih kembali ke kota Ray (sekarang Teheran) kemdian
mengabdi kepada Ibn al-Amid, sebagai kepala perpustakaan sekaligus
sekretaris pribadinya sampai menteri Ibn al-Amid pada tahun 360 H.
Ibnu Miskawaih tinggal selama tujuh tahun bersama Abu Fadhl bin
al-Amid (360 H/970 M) sebagai pustakawan, setelah wafatnya Abu al-
Fath, dia mengabdi kepada putranya Abu al-Fath Ali ibn Muhammad al-
3 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung:
Angkasa, 2003, hlm. 42.
42
Amad, dengan nama keluarga Dzu al-Kifayatain, dia juga mengabdi
kepada Daud al-Daulah salah seorang bawahiyah, dan kemudian kepada
beberapa pangeran yang lain dari keluarga terkenal itu.4
Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof muslim yang menitik
beratkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun sebenarnya dia pun
seorang sarjanawan, tabib, ilmuwan Persi dan India di samping filsafat
Yunani pun sangat luas. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khozin
Ahmad bin Ya‟kub bin Miskawain, sebutan nama yang lebih masyhur
adalah Miskawaih, Ibnu Miskawaih atau Ibn Maskawaih.
Pelajaran yang dipelajari antara lain ialah: sejarah, yang
dipelajarinya pada Abu Bakar bin Kamil al-Qadhari, filsafat dipelajarinya
dari Abu Thaib ar-Razi, selain itu juga mempelajari bahasa dan sastra
Arab, tetapi keharuman namanya ialah dipembahasan-pembahasan tentang
filsafat moral, terutama sekali dalam bukunya yang tersohor Tahdzib al-
Akhlak.
Ibnu Miskawaih mendalami ilmu mantiq dan filsafat moral seperti
al-Ghazali, perbedaannya dengan al-Ghazali ialah kalau al-Ghazali dalam
filsafat akhlaknya lebih menekankan filsafat amaliyah, Ibnu Miskawaih
lebih menekankan pada filsafat akhlaknya secara analisis pengetahuan.
Berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya, Ibn Miskawaih memberikan
perhatian besar kepada masalah moral sehingga dia dikenal sebagai
seorang pemikir muslim dalam bidang ini. Sebagai bukti atas
4 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,
Terj. Helmi Hidayat. Bandung: Mizan, 1998, hlm 29
43
kebesarannya itu, dia telah menulis banyak buku diantaranya; Tahzib al-
Akhlaq (tentang moralitas), Thaharah al-hubs (penyucian jiwa), al-Fauz
al-Akbar (kiat memperoleh kebahagiaan dalam hidup), al Fauz al-:Shaqir
(lanjutan dari al-Fauz al-Akbar), Kitab al Sa 'adah (Buku tentang
kebahagiaan), Adab al Dunya wa al-Din (moralitas dunia dan agama), dan
lain-lain.5
Ibnu Miskawaih pada dasarnya adalah seorang ahli sejarah, kimia,
dan moralis. Disebutkan bahwa dia tertarik pada kimia bukan demi ilmu
pengetahuan, melainkan demi emas dan harta, dan dia sangat patuh kepada
guru-gurunya. Namun disebutkan juga bahwa pada tahun-tahun menjelang
masa tuanya dia menggeluti ilmu moral. Seperti, membina
kesederhanaanya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan
diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang
tak rasional. Dan nampaknya mayoritas dari karya tulisnya ditulis ketika
dia mendalami ilmu moral tersebut.
Sejumlah ahli sejarah mengatakan bahwa Ibnu Maskawaih sebelum
dia menggeluti ilmu moral dia adalah seorang pribadi yang kurang baik.
Tentang hal ini diakuinya sendiri dalam Tahdzib al-Akhlak dimana dia
mengatakan tentang dirinya :
“Perlu diketahui, bahwa saya, setelah beranjak dewasa
dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang buruk ini, melalui
perjuangan keras dan berat. Mudah-mudahan anda, wahai pencari
5 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 1999, hlm 58
44
kemuliaan dan keutamaan moral dapat berhasil seperti saya, agar
anda tahu, dan tentu saja menjadi penunjuk jalan keberhasilan
anda, sebelum melangkah lebih jauh kelembah kesesatan, agar
menjadi perahu penyelamat, sebelum anda tenggelam dalam
samudera kehancuran. Dengan nama Allah saya katakan, jagalah
jiwamu wahai saudara-saudara dan anak-anakku! Peluklah erat-erat
kebenaran. Milikilah akhlak yang baik. Upayakanlah kearifan yang
cemerlang. Titilah jalan yang lurus. Renungkan seluruh keadaan
jiwamu, dan ingat-ingatlah selalu fakultas-fakultasmu”.6
Hal itu disampaikan juga sebagai wasdiat untuk generasi-generasi
seterusnya, untuk menghindarkan diri dari moral yang buruk. Supaya
ketika beranjak dewasa kita sudah terbiasa dengan moral yang baik,
Sehingga dengan mudah dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Dengan melihat perkataan “setelah beranjak dewasa dapat menjauhkan diri
dari hal-hal yang buruk ini, melalui perjuangan keras dan
berat”.Menandakan bahwa memang Ibnu Miskawaih mudanya adalah
seorang yang berkelakuan kurang baik. Sehingga untuk mengusahakan
menjadi baik butuh perjuangan yang keras dan berat.
Maka keterangan itu menandakan bahwa apa yang dia tulis dalam
kitab ini adalah hasil dari pemikirannya dan pembuktiannya. Dimana
ketika seseorang itu benar ingin merubah keadaannya (moralnya) maka dia
6 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid. hlm. 42-43
45
mampu, dengan mengendalikan jiwanya, Mensucikan jiwanya dari
perbuatan-perbuatan yang dapat mengotori hatinya.
B. Karya – karya Ibn Miskawaih
Disamping dikenal sebagai seorang filosof muslim, Ibn Miskawaih
juga dikenal sebagai ahli sejarah, sastra dan kedokteran. Dia terkenal
sebagai pemikir muslim yang produktif, dia telah menghasilkan banyak
karya tulis tetapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada, antara
lain:7
Table 2.1
No Judul Keterangan
1 Risalah fi al-Ladzdazt wa al-„Alam (6
halaman)
Sudah dicetak
2 Risalah fi al-Thabi‟at (1 halaman) Manuskrip
3 Risalah fi Jauhar al-Nafs (2 halaman) Manuskrip
4 Maqalah fi al-Nafs wa al-„Aql (1 halaman) Sudah dicetak
5 Fi itsbat al-Shuwar al-Ruhaniyah al-Lati la
Hayula laha(3 halaman)
Manuskrip
6 Min Kitab al-„Aql wa al-Ma‟qul (16
halaman)
Sudah dicetak
7 Ta‟rif al-Dahr wa al-Zaman (1 halaman) Manuskrip
8 Risalah fi Jawab „ala Sual fi Haqiqat al- Sudah dicetak
7 Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa. 2003.
Hlm.87
46
„Adl
9 Al-Jawab fi al-Masail al-Tsalats Manuskrip
10 Kitab Thaharat al-Nafs Manuskrip
11 Majmu‟at Rasail Tahtawi „ala Hukm
Falasifat al-Syarqi wa al-Yunan
Manuskrip
12 Al-Washaya al-Dzahabiyah li Phitagoras Manuskrip
13 Washiyyat li Thalib al-Hikmah Sudah dicetak
14 Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A‟raq Sudah dicetak
15 Al-Fauz al-Ashgar Sudah dicetak
16 Tartib al-Sa‟adah Sudah dicetak
17 Tajarib al-Umam Sudah dicetak
18 Jawidzan Khirad Sudah dicetak
19 Laghz Qabis Suda Sudah dicetak
20 Risalah Yauddu biha „ala Risalat Badi‟ al-
Zaman al-Hamadzani
Sudah dicetak
21 Washiyyat Miskawaih Sudah dicetak
22 Mukhtar al-„Syi‟r Sudah Hilang
23 Uns al-farid Sudah Hilang
24 Al-Adawiyat al-Mufarridah Sudah Hilang
25 Kitab fi Tarkib al-Bajat min al-aTh‟imah Sudah Hilang
26 Al-Fauz al-Akbar Sudah Hilang
27 Al-jami‟ Sudah Hilang
47
28 Al-Shirah Sudah Hilang
29 Maqalat fi al-Hikmat wa al-Riyadah Sudah Hilang
30 „Ala al-Daulat al-Dailami Sudah Hilang
31 Siyasat al-Mulk Sudah Hilang
32 Al-Syawamil Sudah Hilang
33 Adab al-Dunya wa al-Din Sudah Hilang
34 Al-„Udain fi „Ilmi al-Awail Sudah Hilang
35 Ta‟aliq Hawasyi Mantiq Sudah Hilang
36 Faqr Ahl al-Kutub Sudah Hilang
37 Faqr Ahl al-Kutub Sudah Hilang
38 Haqaiq al-Nufus Sudah Hilang
39 Fauz al-Sa‟adah Sudah Hilang
40 Ahwal al-Salaf wa Shifat Ba‟dl al-Anbiya
al-Sabiqin
Sudah Hilang
Table 2.1 Karya – karya Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Dia
juga seorang penyair. Tauhidi mencela Ibn Misawaih karena kekikiran dan
kemunafikanya, tetapi yakut menyebutkan bahwa pada tahun-tahun
berikutnya dia berupaya mengikuti lima belas pokok petunjuk moral.
Kesederhanaanya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukan
diri yang serakah, dan kebijakan dalam mengatur nafsu dan dorongan yang
tak rasional merupakan pokok-pokok petunjuk. Dia sendiri berbicara
48
tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdzib al-Akhlak yang
menunjukan bahwa dia melaksanakan dengan baik apa yang telah
ditulisnya tentang moral.
Hal terpenting dalam filosofis Ibn Miskawaih ditunjukan dalam hal
moral. Tiga karangan Ibn Miskawaih yang membahan tentang moral yaitu:
Tartib as-Saadah, tahdzib al-akhlaq, dan Jawidan Khirad. 8
C. Hakikat Manusia Menurut Ibn Miskawaih
a. Konsep Manusia
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal
sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan
sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab
adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang
hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri
manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya bernafsu (al-Nafs al-
Bahimiyyah), daya berani (al-Nafs al-Sabu‟iyyah), dan daya berfikir
(al-Nafs al-Natiqah).9 Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur
materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak
akan mengalami kehancuran.
Berkaitan dengan masalah moral Ibnu Miskawaih mengatakan
bahwa kebaikan bagi makhluk hidup adalah usahanya untuk
mencapai sesuatu yang menjadi tujuan. Setiap yang ada itu dapat
berubah menjadi baik, apabila dia memiliki kesanggupan yang
8 Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan….ibid, hlm, 87
9 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid, hlm 44
49
memadai untuk mencapai tujuan yang akan dicapai, namun setiap
orang terdapat perbedaan yang prinsip sesuai dengan minat dan
bakatnya, sehingga seseorang dapat menjadi baik dan selalu
memperoleh keuntungan, jika amal perbuatannya dilandasi dengan
harkat dan martabat kemanusiaannya.
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan filsafat sampai kepada
definisinya, tetapi hanya membedakan filsafat dalam dua bagian
yaitu teoritis dan praktis. Teoritis adalah keutamaan manusia dalam
memenuhi bakatnya agar dapat mengenali segala sesuatu, disebut al-
quwwah al-alimah, sehingga dengan ilmu yang telah dicapainya
dapat menghasilkan pemikiran, kepercayaan untuk mendapatkan
kebenaran dan yang praktis adalah keutamaan manusia dalam
memenuhi bakatnya agar dapat melaksanakan perilaku-perilaku
moral, disebut al-quwwah al-alimah.
Keutamaan moral ini diawali dari kesanggupan memelihara
bakat-bakatnya dan perilaku-perilaku yang berhubungan dengan hal
tersebut, sehingga semua perilaku sama dengan bakat intelektualnya
yang mampu memilah-milah yang baik dengan yang buruk, yang
benar dengan yang tidak benar sesuai dengan proporsi yang
sebenarnya. Keutamaan moral pada akhirnya mampu memelihara
hubungan di antara manusia yang satu dengan yang lain sampai
terwujud kehidupan bersama yang bahagia; apabila manusia dapat
50
menguasai filsafat yang teoritis dan praktis, maka dia akan
mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
Berkaitan dengan filsafat manusia, Ibnu Miskawaih
mengatakan bahwa kodrat manusia itu ada yang baik dan ada yang
buruk. Kodrat manusia itu baik sesuai dengan anggapan kaum Stoa
yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam kondisi baik,
namun selanjutnya menjadi buruk disebabkan manusia berpotensi
kearah keburukan: sedang kodrat manusia itu buruk, hal ini sesuai
pendapat Gelenus yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu buruk
dapat berubah menjadi baik jika dibina melalui pendidikan.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa jiwa manusia
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari jiwa hewan, hal ini
disebabkan adanya daya pikir yang merupakan pusat pertimbangan
perilaku yang senantiasa bertujuan kearah kebaikan. Jiwa manusia
memiliki tiga tingkatan, adalah :
1) An Nafs al-bahimiyah adalah jiwa hewan yang buruk;
terdiri dari sifat-sifat tidak bertanggung jawab, sombong,
pembohong, dan sifat-sifat buruk lain.
2) An Nafs as-sabu‟iyah adalah jiwa hewan buas yang dimiliki
oleh manusia, kadang-kadang manusia itu dikendalikan
oleh jiwa hewan yang buruk, namun juga dikendalikan oleh
jiwa intelektual yang baik.
51
3) An Nafs an-nathiqah adalah jiwa intelektual yang baik;
terdiri dari sifat-sifat keadilan, harga diri, pemberani,
pengasih dan suka kepada kebenaran. Manusia dapat
menjadi manusia sesungguhnya, apabila mempunyai jiwa
intelektual, maka manusia akan mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi bahkan setaraf dengan malaikat, dan
dengan jiwa intelektualnya manusia berbeda dengan hewan.
Manusia termulia adalah paling tinggi jiwa intelektualnya,
maka hidup dan kehidupannya senantiasa menuruti jiwa
intelektualnya, sedang manusia yang dikendalikan oleh jiwa
hewan yang buruk dan buas, maka kedudukannya akan
menurun dari sifat-sifat kemanusiaannya. Oleh karena itu
manusia harus dapat memilih, menentukan pribadinya
dalam tingkatan mana yang sesuai dengan dirinya.
Manusia dapat merubah perilakunya dengan melaui berbagai
macam pendidikan, baik dengan petuah-petuah, adat kebiasaan,
akhlaq yang seluruhnya dapat menjadikan manusia memanfaatkan
akal pikirannya untuk menentukan yang seharusnya dilaksanakan
dan ditinggalkan, maka pendidikan lingkungan mempunyai arti yang
demikian penting, terutama dalam kaitannya dengan pembinaan
moral.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kebaikan (al-khair)
dibedakan dengan kebahagiaan (as-sa’adah). Kebaikan merupakan
52
sesuatu yang akan dituju oleh setiap orang dan berlaku bagi semua
umat manusia dalam dalam peranannya selaku manusia, sedang
kebahagiaan merupakan kebaikan yang berhubungan dengan
individu, maka kebaikan memilki ciri-ciri yang tetap, sedang
kebahagiaan bermacam-macam tergantung pada seseorang yang
berupaya mendapatkannya, sehingga memiliki ciri-ciri yang tidak
tetap.
Tujuan paling tinggi yang akan dicapai oleh seluruh umat
manusia adalah kebaikan mutlak yang berupa kebahagiaan yang
paling tinggi. Manusia dalam berusaha memperoleh kebahagiaan
senantiasa membutuhkan syariat-syariat yang berasal dari Allah agar
dapat meraih kebijaksanaan sampai pada akhir hidupnya. Ibnu
Miskawaih memberi penegasan bahwa hakikat manusia adalah
makhluk sosial, maka sebaiknya tidak cukup hanya dengan
mengutamakan akhlaq bagi dirinya sendiri, namun juga harus
berperan serta memelihara akhlaq bagi masyarakat.
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa manusia yang
berintelektual tinggi adalah manusia yang mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi, beliau berpendapat bahwa manusia mempunyai
kodrat kebaikan dan keburukan dan manusia akan menjadi lebih baik
dan berkembang melalui berbagai pendidikan.
53
b. Konsep Etika (falsafah moral)
Pemikiran filsafat ibnu Miskawaih banyak di pengaruhi
pemikiran filsafat Plato, Aristoteles dan Galienes. Ibnu Miskawaih
kemudian berusaha menggabungkan pemikiran ketiga tokoh tersebut
dengan ajaran-ajaran islam. Ibn Miskawaih mengatakan, akhlak atau
moral adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung
daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap
mental ini terbagi ke dalam dua kategori ada yang berasal dari watak
dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan.10
Jadi menegakkan moral yang benar menjadi sangat penting,
sebab dengan landasan moral yang kuat akan melahirkan perbuatan-
perbuatan baik tanpa kesulitan. Banyak dijumpai di kalangan
manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji
karena watak. Karena itu pendidikan, kebiasaan atau latihan-latihan
dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji. Ibn
Mishkawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang
mengatakan moral yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.
Ibn Mishkawaih menegaskan moral atau watak sangat mungkin
mengalami perubahan caranya melalui pendidikan kebiasaan-
kebiasaan yang baik dan latihan-latihan.11
10
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid 40 11
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid
54
D. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Mengenai pendidikan, Ibn Miskawaih membangun konsep
pendidikan yang bertumpu pada etika Islam. Terlihat jelas disini bahwa
dasar pemikiran Ibn Miskawaih memperkaya kajian etika Islam, maka
konsep pendidikan yang dibangunpun terkait dengan pendidikan dan
pembentukan etika Islam.
1. Pendidikan Moral
Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa hakikat akhlak itu terbagi dua,
yakni ada yang tabi‟ i sebagai bakat dasar (bawaan), dan ada yang
merupakan hasil pembiasaan dan latihan. Tetapi kemudian dia
menyetujui pendapat bahwa tiada satupun khuluq manusia yang tabi‟ i
tetapi juga tak dapat disebut bukan tabi‟ i. Sebab, kita dicetak untuk
menerima suatu khuluq dan berubah-udah dengan pendidikan dan
pergaulan cepat ataupun lambat. Akhirnya, sesudah mengemukakan
pandangan Stoika, Galen, Aristoteles dan lainnya, Ibn Miskawaih
menyatakan bahwa setiap khuluq bisa berubah, sedangkan tiada
sesuatu yang dapat berubah merupakan bawaan.
Kebenaran pendapat ini dibuktikan oleh fakta empirik di mana
pendidikan dan lingkungan berpengaruh pada moral anak, dan oleh
adanya syariat sebagai siasat Allah atas hamba-Nya. Sedangkan
pendapat lain menyatakan bahwa akhlak merupakan bawaan yang tak
dapat diubah mengarah kepada kesia-siaan daya pilih dan akal,
55
pendidikan dan semua upaya perbaikan sosial. Namun manusia
bertingkat-tingkat dalam menerima pengaruh didikan itu.
Pendidikan moral pertama-tama harus dilakukan dengan proses
pembiasaan menjalankan tuntunan syariat di bawah bimbingan orang
tua, baru kemudian dikenalkan kepada teori-teori moral untuk
memperkuat dan mencapai tingkat keutamaan yang lebih tinggi. Ini
dilakukan dengan metode alami, yakni bertahap sejak pembinaan
potensi kebendaan dan kebinatangan (syahwat kemudian ghadlab)
secara total sesuai keempat prinsip fadlilah, terus potensi akal sebagai
potensi khas manusia sampai ke puncaknya sebagai insan kamil.
Potensi yang pertama kali muncul dari potensi keakalan pada
manusia mumayiz dan kemudian akil-baligh adalah haya‟ (malu) atas
terbitnya perbuatan buruk dan dengan mendasari sistematika
pendidikan anak sejak penanaman cinta kebaikan dan keterhormatan
(karamah) serta kebencian akan keburukan, dengan pujian dan celaan,
pembiasaan dan hafalan cerita dan syair-syair baik, sampai kepada
pendidikan dan pembiasaan untuk mempertahankan jiwa anak tetap
lurus.
Membiasakan tidak berbohong dan tidak bersumpah, sedikit bicara
dan moral percakapan, mentaati orangtua dan guru dan mengendalikan
diri. Bila ini tercapai, diteruskan dengan pembiasaan riyadlah. Bila
anak tumbuh menyalahi didikan ini, maka tidak dapat diharapkan akan
selamat, dan usaha-usaha perbaikan dan pelurusannya tidak berguna
56
lagi, sebab dia sudah menjadi binatang buas yang tak dapat dididik,
kecuali dengan cara perlahan dan kembali ke jalan yang benar dengan
taubat, bergaul dengan orang baik-baik dan ahli hikmah serta
berfilsafat. Walaupun hal terakhir ini lebih sulit, seperti dialami Ibn
Miskawaih sendiri, namun dia lebih baik ketimbang terus bergelimang
dalam kebatilan.12
Ada 4 hal pokok dalam upaya pemeliharaan kesehatan jiwa (moral
yang baik). Pertama, bergaul dengan orang yang sejenis, yakni yang
sama-sama pecinta keutamaan ilmu yang hakiki dan ma‟rifat yang
sahih, menjauhi pencinta kenikmatan yang buruk. Kedua, bila sudah
mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan membanggakan diri („ujub)
dengan ilmunya, melainkan harus belajar terus sebab ilmu tidak
terbatas dan di atas setiap yang berilmu ada Yang Maha Berilmu, dan
jangan malas mengamalkan ilmu yang ada serta mengajarkannya
kepada orang lain. Ketiga, hendaklah senantiasa sadar bahwa
kesehatan jiwa itu merupakan nikmat Allah yang sangat berharga yang
tak layak di tukarkan dengan yang lain. Keempat, terus-terusan
mencari aib diri sendiri dengan instrospeksi yang serius, seperti
melalui teman pengoreksi atau musuh, malah musuh lebih efektif
dalam membongkar aib ini.13
12
Ahmad Amin, Etika: Ilmu Moral, Jakarta: Bulan Bintang, hlm 62 13
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid, hlm 74-76.
57
2. Tujuan Pendidikan Moral
Ibnu Miskawaih menjelaskan secara lebih sempurna tentang
tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut:
“Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Miskawaih
adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara
spontan bagi terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik,
sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan
yang sempurna (al-Sa‟ adat).”14
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara sepontan
untuk mewujudkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga
dapat mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan.15
Jadi
hakikat tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Ibn Miskawaih
bersifat menyeluruh yakni mencari kebahagiaan hidup manusia dalam
arti yang seluas-luasnya.
Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, al-
Sa’adat dalam pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para nabi dan
filosof. Ibn Miskawaih juga meyadari bahwa, orang yang mencapai
tingkatan ini sangat sedikit. Oleh sebab itu, akhirnya dia perlu
menjelaskan adanya perbedaan antara kebaikan (al-khair) dan al-
Sa’adat.
14
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid hlm. 74-76. 15
Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.: Seri Kajdian Filsafat Pendidikan
Islam .. ibid hlm 42
58
Disamping juga membuat berbagai tingkatan al-Sa’adat.
Kebaikan bisa bersifat umum, sedangkan al-Sa’adat merupakan
kebaikan relatif, bergantung orang perorang (al-khair bi al-idafat ila
shahibiha). Menurutnya, kebaikan mengandung arti segala sesuatu
yang bernilai (al-syai’ al-nafi). Oleh karenanya, kebaikan merupakan
tujuan setiap orang.16
Tujuan pendidikan moral Ibnu Miskawaih terletak pada kebaikan
paripurna yang mencakup kedua kebaikan tersebut. Kebaikan
paripurna ini disebut juga dengan al-Sa’adat. Al-Saadat terbagi
menjadi dua macam, yaitu jasmani dan ruhani. Kedua jenis al-Sa’adat
tersebut harus seimbang dalam diri manusia agar derajatnya tidak lebih
rendah dari hewan. Sebenarnya, manusia mempunyai potensi untuk
memperoleh kedua jenis al-Sa’adat tersebut. Apabila dia mampu
mendayagunakan potensi yang dimilikinya maka dia akan mencapai
derajat al-Sa‟id al-Tam (orang yang memperoleh kebahagian yang
sempurna).17
Sebaliknya, apabila potensi tersebut disia-siakan maka derajatnya
setara dengan hewan, bahkan lebih rendah. Miskawaih, sebagaimana
Aristoteles, mengakui bahwa untuk meraih tujuan ini sangat sulit.
Aristoteles menyatakan bahwa faktor keberuntungan yang dibahasakan
dengan anugerah Allah oleh, Miskawaih merupakan salah satu
penunjang untuk memperoleh al-Sa’adat. Di samping itu, diperlukan
16
Uus Ahmad Husaini, Pendidikan Moral Menurut Ibnu Miskawaih, (Firt Developed: Mei 3,
2012). http://uusahmadhusaini.blogspot.com/2011/11/pendidikan-moral-menurutibnu. html. 17
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam … ibid, hlm, 11-12
59
adanya kesungguhan berusaha dan berlaku baik, seperti bersifat
dermawan dan mempunyai banyak teman (santun).
Rumusan tujuan pendidikan moral sebagaimana dijelaskan di
atas, hakikatnya, merupakan cara yang ditempuh oleh Ibnu Miskawaih
dalam memberikan motivasi kepada diri sendiri dan orang lain untuk
mencontoh moral Nabi Muhammad.
3. Metode Pembelajaran Pendidikan Moral
Metode pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan,
yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari
sebelumnya. Dengan demikian, metode ini terkait dengan perubahan
dan perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan moral, maka metode
pendidikan disini berkaitan dengan metode pendidikan moral.18
Dalam kaitan ini Ibn Miskawaih berpendirian bahwa moral
seseorang dapat menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian
halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya
cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah
metodologi. Metode perbaikan moral diartikan sebagai metode
mencapai moral yang baik, dan metode memperbaiki moral yang
buruk. Walaupun demikian, pembahasannya disatukan karena antara
18
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid, hlm. 75
60
satu dengan lainnya saling melengkapi dan tidak dipisahkan secara
ketat.19
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan
cara, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan,
dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang
dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih:
a. Metode alami
Menurut Ibnu Miskawaih, dalam pendidikan karakter atau moral,
dan dalam mengarahkannya kepada kesempurnaan, pendidik harus
menggunakan cara alami, yaitu berupa menemukan bagian-bagian jiwa
dalam diri peserta didik yang muncul lebih dulu, kemudian mulai
memperbaharuinya, baru selanjutnya pada bagian-bagian jiwa yang
muncul kemudian.20
Terlihat ketika setelah seorang anak lahir, dia mampu mereguk air
susu dari sumbernya (ASI), tanpa diajari hanya diarahkan. Kemudian
seiring dengan perkembangannya dia memiliki kemampuan untuk
memintanya melalui suara. Seiring berkembangnya juga fakultas lain
terbentuk, seperti fakultas amarah yang dengan fakultas ini dia
mencoba menolak apa yang menyakitkan dan menerima apa yang
menyenangkan dirinya.21
19
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 22 20
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,
… ibid hlm. 30 21
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,
… ibid hlm. 47
61
Dididik secara bertahap, cara ini berangkat daripengamatan potensi
manusia dan mengikuti proses perkembangan manusia secara alami.
Dimana temukan potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya
pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan.
b. Metode bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan peserta didik kepada tujuan
pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik.
Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur‟ an, yang menunjukkan
betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi
antar subjek - didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh
yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa sasaran pendidikan ahklak
adalah tiga bagian dari jiwa, yaitu bagian jiwa yang berkaitan dengan
berfikir; bagian jiwa yang membuat manusia bisa marah, berani, ingin
berkuasa, dan menginginkan berbagai kehormatan dan jabatan; dan
bagian jiwa yang membuat manusia memiliki nafsu syahwat dan nafsu
makan, minum dan berbagai kenikmatan indrawi.Terkait hal tersebut
agama mempunyai penting dalam pendidikan moral.
Agama menjadi pembatas atau pengingat ketika tiga fakultas
tersebut berjalan tidak dengan semestinya. Maka, bimbingan atau
arahan dari orang tua untuk menunjukkan batasan-batasan itu sangat
diperlukan.
62
c. Metode pembiasaan
Adanya kemauan yang kuat untuk berlatih secara terus-menerus
dan menahan diri (al-„Adat wa al-Jihad) untuk memperoleh keutamaan
dan sopan santun yang hakiki sesuai dengan keutamaan jiwa.22
Menurutnya untuk mengubah moral menjadi baik maka dalam
pendidikannya dia menawarkan metode yang efektif yang terfokus
pada dua pendekatan yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan, serta
peneladana dan peniruan.
Pembiasaan bisa dilakukan sejak usia dini yaitu dengan sikap dan
berprilaku yang baik, sopan dan menghormati orang lain. Sedangkan
pelatihan dapat diaplikasikan dengan menjalankan ibadah bersama
keluarga seperti salat, puasa dan latihan-latihan yang lainnya.
Peneladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang yang dianggap
sebagai panutan; baik orang tuanya, guru-gurunya, ataupun siapapun
yang layak dijadikan figur. Model pendidikan moral dan karakter
seperti itulah sampai sekarang perlu diperhatikan dan tidak bisa
diabaikan begitu saja.
d. Intropeksi diri atau mawas diri (muhasabat al-Nafs)
Metode ini mengandung pengertian kesadaran seseorang untuk
mencari pribadi secara sunguh-sungguh.23
e. Metode hukuman
22
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,
… ibid hlm 70 23
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak,
… ibid hlm 68-69.
63
Ibnu Miskawaih mengatakan dalam proses pembinaan moral
adakalanya boleh dicoba jalan dengan menghardik, hukuman, dan
pukulan ringan.Tetapi metode ini adalah jalan terakhir sebagai obat
(ultimum remedium) jika jalan-jalan lainnya tidak mempan. Ibnu
Miskawaih percaya metode ini mampu membuat peserta didik tidak
berani melakukan keburukan dan dengan sendirinya mereka akan
menjadi manusia yang baik.24
Hukuman tersebut semata-mata hanya
untuk menakuti atau memberi pelajaran supaya ketika seorang anak
melakukan kesalahan, dia tidak akan melakukan kesalahan lagi untuk
yang kedua kalinya.
Pendidikan diorientasikan kepada pembentukan pribadi manusia
yang memiliki etika dan moral. Ibn Miskawaih berpandangan bahwa
pendidikan merupakan media bagi potensi yang dimiliki manusia
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada jiwa al-bâhimiyyah, al-
sabû'iyyah dan al-nâthiqah.
4. Materi Pendidikan Moral
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Miskawaih
menjelaskan beberapa hal yang perlu untuk dipelajari, diajarkan dan
dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum
Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi yang mampu memberikan jalan bagi tercapainya
tujuan. Materi tersebut dijadikan sebagai bentuk pengabdian kepada
24
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat Akhlak, …
ibid hlm 30
64
Allah. Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dijadikan sebagai materi
pendidikan moralnya.
Materi pendidikan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: Pertama,
pendidikan yang wajib bagi kebutuhan tubuh. Kedua, pendidikan yang
wajib bagi kebutuhan jiwa. Ketiga, pendidikan yang wajib terkait
dengan hubungan manusia dengan sesamanya. Ketiga pokok materi ini
dapat diperoleh dari berbagai jenis ilmu.25
Materi pendidikan moral yang wajib bagi keperluan jiwa
dicontohkan dengan pembahasan tentang akidah yang benar,
mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya dan pemberian
motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait
dengan keperluan manusia terhadap sesamanya dicontohkan dengan
materi dalam ilmu mu‟amalat, pertanian, perkawinan, saling
menasehati, peperangan dan materi yang lain. Berbagai materi tersebut
selalu terkait dengan pengabdian kepada Allah.
Oleh karena itu, materi yang terdapat di dalam berbagai jenis
ilmu jika esensinya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Allah
dapat dijadikan sebagai materi pendidikan moral. Sebagai contoh ilmu
Nahwu (tata bahasa Arab), ilmu Mantiq (logika) dan ilmu yang lain.
Dalam rangka pendidikan moral, Ibnu Miskawaih sangat
mementingkan materi yang terdapat dalam ilmu Nahwu, karena materi
yang terdapat di dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus
25
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 65
65
dan benar dalam berbicara. Materi yang terdapat di dalam ilmu Mantiq
akan membantu manusia untuk lurus dalam berfikir.26
Adapun materi yang terdapat di dalam ilmu pasti, seperti ilmu
hitung dan geometri (al-Handasat) akan membantu manusia untuk
terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan.219 Sejarah dan Sastra
akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Begitu juga dengan
materi yang terdapat di dalam ilmu Syariat. Dengan mendalami ilmu
Syariat manusia akan teguh pendirian, terbiasa menunaikan perbuatan
yang diridlai oleh Allah dan jiwa siap menerima hikmat hingga
mencapai al-Sa‟ adat.
Seperti yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih bahwa tujuan
pendidikan akhlak adalah mengarahkan manusia menjadi manusia
yang sempurna (insane kamil). Oleh karena itu, ia menjelaskan urutan
ilmu yang harus dipelajari agar seseorang menjadi filsuf, seperti ilmu
matematika (al-Riyadiyat), ilmu logika (al-Mantiq) sebagai alat filsafat
dan ilmu alam (al-Thabi‟ iyat). Menurutnya, seseorang dapat
dikatakan mendapat predikat filsuf apabila sebelumnya telah mencapai
predikat muhandis, munajjim, tabib, manthiq, nahwu atau predikat
yang lain yang dapat mengantarkannya menjadi seorang filsuf.
Adapun materi yang terdapat di dalam ilmu pasti, seperti ilmu
hitung dan geometri (al-Handasat) akan membantu manusia untuk
26
Suwito Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan, … ibid hlm 64
66
terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan.27
Materi yang terdapat di
dalam berbagai ilmu yang secara sekilas hanya berhubungan dengan
urusan dunia, seperti nahwu, mantiq, matematika dan ilmu eksak yang
lain, dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki moral manusia yang
diarahkan kepada pengabdian kepada Allah.28
Cara semacam inilah
yang diinginkan oleh pakar Islam akhir-akhir ini untuk
mengislamisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Materi pendidikan akhlak sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Miskawaih diatas memberikan peluang yang sangat luas untuk
mempelajari dan mengajarkan berbagai jenis ilmu. Akan tetapi, uraian
yang telah dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih ini sangat sulit untuk
dipraktekkan. Hal ini karena tidak semua orang, khususnya para guru
dan penyusun suatu disiplin ilmu mampu mengaitkan, materi ilmu
dengan kepentingan akhlak manusia.
Apabila seseorang mempelajari atau mengajarkan suatu materi
dari ilmu statistik maka belum ada jaminan ia mengetahui relevansi
ilmu ini dengan akhlak seseorang. Ibnu Miskawaih juga tidak
memberikan contoh secara konkrit materi tertentu dari suatu ilmu yang
mempunyai relasi dengan pendidikan akhlak manusia. Ia hanya
memberikan gambaran umum, seperti apabila seseorang mempelajari
atau mengajarkan nahwu (tata bahasa Arab) maka hubungannya
dengan pendidikan manusia adalah agar pembicaraan seseorang
27
Suwito dan Fauzan. Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan, … ibid hlm 76 28
A. Mustofa, filsafat islam, untuk fakultas tarbiyah, syariah, dakwah, adab, ushuludin komponen
MKDK. Bandung: Pustaka Setia, hlm 182.
67
menjadi lurus sesuai dengan tata bahasa yang benar. Keberhasilan
mengaitkan materi suatu ilmu dengan pendidikan akhlak manusia,
sebagaimana telah dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, sangat
ditentukan oleh pendekatan dan metode yang digunakan oleh para
pendidik di dalam mengajarkan suatu disiplin ilmu.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa disiplin ilmu yang
dipelajari dan diajarkan di sekolah dan lembaga pendidikan yang lain
saat ini perlu ditinjau kembali terutama dari sisi pendekatan dan
metode yang digunakan agar dapat diarahkan kepada terciptanya moral
mulia bagi seluruh komponen pendidikan, baik pendidik maupun anak
didik. Hal ini karena mayoritas materi yang dipelajari dan diajarkan di
sekolah dan lembaga pendidikan yang lain selama ini hanya
berorientasi dan bersifat material atau rasa lahir manusia.29
Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian
“pertengahan/jalan tengah (al-wasith)” tersebut antara lain dengan
keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah
antara dua ekstrem. Akan tetapi, ia tampak cenderung berpendapat
bahwa kutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah
antara ektrem kelebihan dan ektrem kekurangan masing-masing jiwa
manusia.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa al-Bahimiyat, jiwa al-Ghadlabiyat dan
29
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 16-17.
68
jiwa al-Nathiqat. Berikut ini konsep jalan tengah (al-wasith) yang
dikembangkan oleh Ibnu Miskawaih terhadap ketiga jiwa di atas: Ibnu
Miskawaih mengatakan bahwa posisi tengah dari jiwa al-Bahimiyat
adalah menjaga kesucian diri (al-‟ Iffat). Sedangkan posisi tengah dari
jiwa al-Ghadlabiyat adalah keberanian (al-Syaja‟ at). Sementara
posisi tengah dari jiwa al-Nathiqat adalah kebijaksanaan (al-Hikmat).
Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut
adalah keadilan/keseimbangan (al-‟ Adalat).
Menurut Aristoteles, posisi tengah di bidang akhlak bukan
merupakan proporsi ilmu hitung, seperti angka 10 itu banyak, angka 2
itu sedikit sedangkan angka 6 itu di tengah-tengahnya. Oleh karena itu,
ia berpendapat bahwa posisi tengah ini sangat relatif. Walaupun Ibnu
Miskawaih mengakui adanya sifat relative bagi posisi tengah, namun
agaknya ia tidak ingin menjadikan ukuran tengah tersebut berasal dari
orang per orang, tetapi berupa kaidah umum yang layak berlaku bagi
setiap orang.
Apabila sifat pertengahan itu disebut dengan sifat yang
baik/utama, tentu timbul pertanyaan bagaimana menentukan sikap
pertengahan yang benar tersebut? Aristoteles berpendapat bahwa alat
untuk mengukur sikap pertengahan itu hanya dengan akal. Adapun
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa tolak ukur untuk memperoleh
sikap pertengahan adalah akal dan syariat. Dengan demikian, terdapat
69
perbedaan yang mencolok antara Ibnu Miskawaih dan Aristoteles
dalam hal penentuan sikap pertengahan ini.
Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut
Miskawaih:
a) Kebijaksanaan
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah
keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud
(ada), baik yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat
kemanusiaan. Pengetahuan ini membuahkan pengetahuan
rasional yang mampu memberi keputusan antara kewajiban dan
larangan. Miskawaih juga memberi pengertian bahwa
kebijaksanaan adalah pertengahan antara kelancangan dan
kedunguan.
Yang dimaksud dengan kelancangan adalah penggunaan
daya pikir yang tidak tepat (ma la yanbaghi wa kama la
yanbaghi). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, masing-
masing keutamaan memiliki cabang yang sangat banyak sesuai
perkembangan istilah. Miskawaih menjelaskan bahwa terdapat
enam keutamaan yang termasuk dalam al-Hikmat
(kebijaksanaan) ini, yaitu: Yang termasuk dalam kategori
pembagian hikmah (filsafat) adalah: (1) ketajaman intelegensi
(intellegenci), (2) kuat ingatan (retention), (3) rasionalitas
(rationality), (4) tangkas dan jernih pemikiran (quickness and
70
soundness of understanding), (5) Jernih ingatan/pemahaman
(clarity of mind), (6) mudah dalam belajar (capacity for learning
easily)
Pengklasifikasian pokok dan cabang pada kebijaksanaan di
atas ditinjau dari sisi hasil dan proses pencapaian. Kebijaksanaan
itu sebenarnya merupakan hasil, sedangkan cabang dari
kebijaksaan merupakan proses bagi terwujudnya hasil. Hal ini
tampak pada perbedaan penyebutan macam-macam atas
kebijaksanaan itu. Sangat wajar apabila terdapat jenis dan jumlah
proses untuk memperoleh hasil bagi seseorang pada suatu waktu.
Akan tetapi, apabila diambil intinya kebijaksanaan (al-Hikmat)
diartikan dengan suatu keadaan jiwa yang memungkinkan
seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah
dalam semua keadaan secara sukarela, tanpa ada tekanan atau
paksaan dari pihak lain.
Untuk memperoleh hasil tesebut, seseorang harus memiliki
sifat: menyukai ilmu pengetahuan, mudah dalam belajar,
ketajaman intelegensi dan mudah serta benar dalam
mereproduksi kembali sesuatu yang telah diingat, baik dalam
wujud perkataan ataupun dalam perbuatan. Adapun jenis lainnya,
sebenarnya dapat digolongkan sebagai faktor penunjang bagi
kelancaran proses.
71
Secara sederhana, yang dimaksud dengan kebijaksanaan ini
adalah kemampuan dan kemauan sesorang menggunakan
pemikirannya secara benar untuk memperoleh pengetahuan,
berupa apapun, sehingga mendapatkan pengetahuan yang
rasional. Pengetahuan rasional tersebut kemudian diaplikasikan
dalam wujud perbuatan yang berupa keputusan untuk wajib
melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.
b) Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan jiwa al-Ghadlabiyat
atau al-Sabu‟ iyat. Keutamaan ini muncul pada diri manusia
apabila nafsunya dibimbing oleh jiwa al-Nathiqat. Dengan
maksud, ia tidak takut (mempunyai kepercayaan yang tinggi)
terhadap hal-hal yang besar yang apabila dilaksanakan akan
membawa kebaikan dan apabila dipertahankan adalah merupakan
tindakan yang terpuji.
Sumber dan penyebab sifat keberanian, pengecut dan nekad
ini berasal dari al-Nafs al-Ghadlabiyat. Oleh karena itu,
Miskawaih berpendapat bahwa ketiganya sangat terkait dengan
sifat marah meskipun marah ini digolongkan sebagai penyakit
ruhani yang paling serius, akan tetapi Miskawaih agaknya
berpendapat bahwa sifat marah itu tidak tercela.
Pendapat seperti ini dapat dimaklumi, karena marah
tersebut dapat dijadikan alat untuk menolak sesuatu yang
72
merusak apabila dilakukan dengan seimbang. Dari uraian di atas,
diperoleh pemahaman bahwa gejala terbesar keberanian adalah
tetapnya pikiran ketika menghadapi berbagai cobaan dan bahaya
yang datang. Kondisi seperti ini hanya dapat diperoleh karena
adanya faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam
menghadapi segala hal.
Sebagaimana kebijaksanaan, keberanian juga mempunyai
cabang. Miskawaih menyebutkan terdapat sembilan macam
cabang di dalam keberanian, yaitu: Cabang dari sifat berani
adalah: jiwa besar (kibar al-Nafs), pantang mundur (al-Najdat),
ketenangan (‟ idham al-Himmat), keuletan (al-Tsabat),
kesabaran (al-Shabr), murah hati (al-Hilm), menahan diri
(‟ adam al-Thaisy), keperkasaan (al-Syahamat), mempunyai
daya tahanyang besar/gemar bekerja keras (ihtimal al-Kadd).
Ibnu Miskawaih mengkategorikan “al-Shabr” ke dalam dua
tempat, yaitu: sebagai cabang dari keberanian dan sebagai cabang
dari menjaga kesucian diri/menahan diri. ”Al-Shabr” sebagai
cabang keberanian diartikan dengan sabar dalam menghadapi
persoalan yang berat dan rumit. Sedangkan “al-Shabr” sebagai
cabang dari menjaga kesucian diri/ menahan diri diartikan
dengan sabar dalam menahan nafsu yang bergelora sebagai
akibat buruk dari kelezatan. Adapun Ibnu Miskawaih memberi
73
pengertian “al-Waqar” sebagai ketenangan dan keteguhan jiwa
saat menghadapi sesuatu.
Dari sekian banyak cabang keberanian yang telah
dijelaskan di atas, terdapat satu cabang keberanian yang perlu
mendapat perhatian khusus, karena terdapat perbedaan antara
Miskawaih dan al-Ghazali. Cabang tersebut adalah “ihtimal al-
Kadd”. Ibnu Miskawaih mengartikannya dengan daya jiwa yang
menggunakan organ tubuh melalui latihan dan kebiasan yang
baik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Miskawaih
memasukkan unsur ketahanan atau kekuatan tubuh sebagai salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya keberanian.
Kondisi fisik akan mempengaruhi kualitas keberanian seseorang.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan teori hubungan jiwa-jasad,
sebagaimana yang telah dijelaskan, kondisi ruhani yang
dimaksud di sini tergolong keutamaan al-Nafs al-Ghadlabiyat.
c) Menjaga Kesucian Diri
Pokok keutamaan akhlak ketiga adalah menjaga kesucian
diri (al-‟ Iffat). Al-‟ Iffat merupakan keutamaan jiwa al-
Syahwaniyat/al-Bahimiyat. Keutamaan ini akan muncul pada diri
manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Dengan
penjelasan, ia mampu menyesuaikan pilihan yang benar sehingga
bebas, tidak dikuasai dan diperbudak oleh nafsunya.
74
Menurut Ibnu Miskawaih, makan minum ini merupakan
faktor utama bagi kelangsungan hidup, sehingga dapat
dimaklumi apabila ia memberikan perhatian yang lebih dalam
masalah ini. Menurutnya, pertimbangan dasar yang harus
diperhatikan bagi makan minum adalah untuk kesehatan tubuh,
menghindari rasa haus dan lapar serta mencegah penyakit, bukan
karena kelezatan/kenikmatan semata.
Oleh karena itu, dibutuhkan latihan secara kontinou dalam
menentukan kuantitas, kualitas dan jenis makanan dan minuman
agar tidak membawa efek buruk dan tercela, seperti cepat marah,
nekad, malas dan sifat tercela yang lain. Latihan secara rutin
yang harus dimulai sejak dini, baik menyangkut makan minum,
berpakaian dan aktifitas fisik yang lain bertujuan untuk mencapai
posisi tengah/sedang, bukan berkelebihan atau kekurangan
(seimbang). Pada fase awal ini, fungsi syariat harus lebih
diutamakan oleh orang tua dalam menentukan sikap pertengahan
anak-anaknya, karena semakin lama pikiran mereka (anak-anak)
akan dapat mengetahui alasannya.
Pelajaran yang patut ditarik dari uraian di atas ialah ternyata
Ibnu Miskawaih menempatkan syari‟ at sebagai unsur yang
paling dominan bagi terciptanya ”jalan tengah” dari al-Nafs al-
Bahimiyat. Penerapan syariat untuk tingkatan anak lebih bersifat
doktriner. Oleh karena itu, unsur taklid terhadap syariat pada usia
75
anak masih ditekankan. Dibandingkan dengan pokok keutamaan
akhlak sebelumnya (keberanian/al-Syaja‟ at), al-‟ Iffat justru
mempunyai cabang yang lebih banyak dan bahkan ada yang
memiliki sub cabang.
Secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi
kemanusiaan mendapatkan materi pendidikan yang bertumpu pada
tercapainya tujuan pendidikan. Nantinya materi yang di maksud Ibn
Miskawaih dapat diabadikan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.
Secara garis besar, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok
materi pendidikan, yakni: pendidikan yang wajib bagi kebutuhan
individu, pendidikan yang wajib bagi jiwa dan pendidikan yang wajib
bagi hubungan dengan sesama. Materi pendidikan yang wajib bagi
manusia dalam hal ini meliputi sholat, puasa dan haji. Selanjutnya
materi pendidikan bagi jiwa dicontohkan dalam pembahasan moral
yang benar, mengesaakan Allah dengan segala kebenaranya. Adapun
materi pendidikan yang terkait dengan sesamanya dicontohkan dengan
materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati dan
lain sebagainya.
Pendapat Ibn Miskawaih diatas kiranya bermaksud agar setiap
pendidik harus mengarahkan agar terciptanya moral yang baik bagi diri
sendiri dan peserta didiknya. Dalam hal ini Ibn Miskawaih
memandang pendidik mempunyai kesempatan baik untuk memberi
nilai lebih bagi setiap pembentukan pribadi mulia.
76
5. Pendidik Dan Peserta Didik
Dalam aspek anak didik, Ibnu Miskawaih mempuyai
pandangan sebagai berikut: Menurut Miskawaih, orang tua merupakan
pendidik yang pertama dan utama bagi anaknya. Materi utama yang
perlu dijadikan acuan oleh orang tua di dalam mendidik anaknya
adalah syariat. Miskawaih menyatakan bahwa penerimaan secara
taklid bagi anak-anak dalam mematuhi syariat tidak menjadi persolaan.
Dengan pertimbangan, anak-anak semakin lama akan mengetahui
penjelasan atau alasannya, sehingga akhirnya mereka tetap memelihara
syariat untuk mencapai keutamaan.30
Begitu besarnya peran orang tua terhadap pembentukan moral
mulia anak, Ibnu Miskawaih mengkategorikan hubungan orang tua
terhadap anaknya termasuk hubungan cinta kasih (al-Mahabbah). Hal
ini bukan berarti Miskawaih lebih memperhatikan hubungan orang tua
terhadap anaknya dan mengabaikan hubungan anak terhadap gurunya,
justru sebaliknya. Ibnu Miskawaih menganjurkan agar anak atau murid
lebih mencintai pendidik atau gurunya. Kecintaan anak didik kepada
gurunya disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada
Allah.
Kebaikan yang yang diberikan guru adalah kebaikan ilahi,
karena dia mengantarkan anak didik kepada kearifan, mengajarkan
kepada mereka kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kehidupan
30
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 17-18.
77
yang abadi dengan mendapat kenikmatan yang abadi juga. Meskipun
demikian, pendidik atau guru tidak seluruhnya mampu mencapai
derajat ini. Hanya guru yang berpredikat al- Mu‟allim al-Mitsali
(pendidik sejati), al-Hakim (begawan) atau mu‟allim al Hikmat yang
berhak menyandang derajat rabb basyari.31
Pendidik sejati yang dimaksudkan Miskawaih adalah manusia
ideal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sangat
jelas karena dia mensejajarkan posisi meraka dengan posisi Nabi,
terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik kepada gurunya
menempati peringkat kedua setelah cinta kasih kepada Allah.
Ibnu Miskawaih mengharapkan cinta selain keempat cinta
tersebut, yaitu cinta yang berdasarkan kepada semua jenis kebaikan,
akan tetapi kualitasnya lebih tinggi, sehingga menjadi cinta yang murni
dan sempurna. Cinta yang demikian disebut dengan cinta ilahi. Cinta
ini tidak memiliki cacat sedikit pun, karena dia muncul dari manusia
yang suci dan terlepas dari pengaruh materialistik. Pendapat semacam
ini sesuai dengan tujuan pendidikan moral sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya.32
Adapun posisi teman atau saudara yang paling tinggi, menurut
Miskawaih, melebihi posisi berbagai jenis hubungan cinta kasih
tersebut, namun masih di bawah posisi cinta murni. Dengan demikian,
31
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm.60. 32
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 65
78
kecintaan murid kepada guru biasa menempati posisi yang lebih tinggi
daripada kecintaan anak kepada orang tuanya, namun masih di bawah
posisi kecintaan murid kepada guru yang ideal. Dalam masalah cinta,
sikap Miskawaih sama seperti dalam masalah yang lain, yakni
berusaha mencari yang terbaik. Adapun yang terbaik adalah yang
tengah. Oleh karena itu, posisi guru biasa terletak di antara guru ideal
dan orang tua.
Guru biasa bukanlah sekedar guru formal karena jabatan. Akan
tetapi, guru biasa menurut Miskawaih adalah guru yang memenuhi
empat syarat berikut: (1) dapat dipercaya, (2) pandai, (3) dicintai, (4)
mempunyai citra yang baik di tengah masyarakat. Di samping itu, dia
harus menjadi cermin, bahkan harus lebih mulia dari anak didiknya.33
6. Perkembangan Moral
Ibn Miskawaih menjelaskan secara rinci tahap perkembangan
pada manusia dari lahir hingga dewasa. Berikut tahapan-tahapan
perkembangan moral yang penulis ambil dari pemikiran Ibn
Miskawaih.34
a. Tahap balita
Menurut Miskawaih yang tampak pertama kali pada
manusia adalah menyukai makanan, yang menjadikan dia
bertahan hidup. Hal itu terlihat melalui nalurinya sejak dini
33
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta: Belukar, hlm.127. 34
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 74
79
untuk mencari air susu pada ibunya.35
Tanpa diajari oleh
siapapun seorang bayi yang baru lahir akan mencari air susu
ibunya. Hal ini merupakan tindakan salah satu bentuk inisiasi
dini, merupakan usaha pertama yang dilakukan untuk
mengenalkan si bayi dengan ibunya atau bisa dibilang kontak
pertama antara ibu dengan bayi setelah lahir.
Bersamaan dengan tersebut diatas, lalu untuk meminta
sesuatu dengan suara, yang merupakan tanda untuk
memperlihatkan kesenangan dan kesedihan. Untuk
mendapatkan kesenangan dia menggunakan organ-organ yang
terbentuk pada dirinya melalui gerakan tubuh.
Melalui pancaindera, terjadi tahapan imajinasi, dia mulai
menginginkan sesuatu yang terbentuk dalam imajinansinya.
Kemudian muncul rasa marah dengan menalak apabila ada
yang akan menyakitinya dan menyingkirkan apa yang akan
menghalanginya untuk memperoleh sesuatu. Setelah tahap
perkembangan diatas terjadi dalam dirinya, kecenderungan
untuk melihat tingkah laku yang khas dari manusia adalah
sampai pada titik sempurnanya manusia yang berakal.
b. Tahap anak-anak
Miskawaih menjelaskan pada tahap ini ditandai dengan
adanya perasaan malu pada anak-anak, yaitu satu kondisi
35
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 75
80
dimana dia merasa takut kalau melakukan perbuatan buruk.
Oleh sebab itu, menurut Miskawaih tanda pertama pada anak
kecil dan sekaligus tanda bahwa dia memliki akal pikiran
adalah mempunyai rasa malu. Rasa malu ini menunjukan
bahwa dia telah mengetahui apa saja hal yang buruk, lalu dia
akan berusaha menghindari hal tersebut.36
Rasa malu muncul merupakan pengekangan diri yang
terjadi lantaran khawatir kalau ada keburukan yang tampak
pada dirinya. Dia akan memilih yang baik dan menjauhi yang
buruk berdasarkan dari pemikiranya.
Berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan
prinsip moral merupakan komponen afektif moralitas (moral
affect).37
Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk
melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang
penting. Hadist menyatakan:
“Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata bahwa Rasulullah Saw,
bersabda “Malu itu pertanda dari iman”. (H.R Buhari dan
Muslim)
Malu dikatakan sebagai bagian dari iman karena rasa malu
dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.
36
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 75 37
Aliyah B. Purwakania. Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
hlm 262
81
Pada tahap ini sangatlah baik apabila anak-anak sudah
cukup untuk menerima pendidikan dari orang tuanya. Sudah
mulai di awasi tidak boleh dibiarkan dan diabaikan dengan
siapa dan dimana dia beteman. Karena anak kecil masih belum
mempunyai pendapat dan tekad, dia akan menerima dan meniru
apa yang orang sekitar katakan dan lakukan. Maka berikan
contoh teladan dan pendidikan agama agar dia terbiasa
melaksanakan kewajiban agama.
Pemberian pudian dan hukuman (reward and punishment)
mulai bisa diberikan pada anak-anak.38
Berikanlah pudian
ketika anak-anak berperilaku baik atau telah melakukan sesuatu
yang baik. Sebaliknya, berikan hukuman kepada anak-anak
apabila dia berperilaku buruk atau melakukan hal-hal yang
dilarang oleh agama.
c. Tahap remaja awal
Menurut Miskawaih, pada tahap ini anak-anak sudah
menuju dewasa dan sudah mengetahui perilaku baik yang boleh
dikerjakan dan perilaku buruk yang tidak boleh dikerjakan,
mulai berpikir cara menghormati orang yang orang yang lebih
dewasa dan menghormati lingkungan sekitar.
Seperti yang diungkapkan Miskawaih dalam bukunya
dijelaskan ajarlah dia supaya tidak meludah dan membuang
38
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 76
82
ingus ketika berhadapan dengan orang lain. Janganlah
bertopang dagu dan menyandarkan kepala pada kedua tangan.
Sebab, hal itu menunjukan bahwa dia pemalas dan tidak
menghormati orang yang ada di depanya. Dan janganlah suka
bersumpah, baik sungguh-sungguh maupun bohong-bohongan,
sebab bersumpah itu dilarang.39
Biasakan untuk belajar melayani diri sendiri, gurunya, atau
orang lain yang lebih dewasa dari dia. Kalau bersama-sama
orang yang lebih dewasa hendaknya dia mendengarkan kata-
katanya dan tetap diam saja dihadapanya. Dia tidak boleh
mnegucapkan kata-kata sumpah serapah, ucapan tidak senonoh
dan tidak boleh berucap kata-kata kotor.
Pikiran yang ditunjukan seseorang ketika memutuskan
berbagai tindakan yang benar dan yang salah merupakan
komponen kognitif moralitas (moral reasoning).40
Islam
mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan kedalam jiwa
manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan jalan ketakwaan.
Manusia memiliki akal dan memilih jalan mana yang akan dia
tempuh. Dalam al-quran dinyatakan:
39
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 79 40
Aliyah B. Purwakania. Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. … ibid hlm 262
83
Terjemahan: “Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Al-
Syams : 7-10)
d. Remaja ahir
Miskawaih menjelaskan pada tahap remaja ahir ini
perkembangan moralnya semakin paham. Remaja pada sudah
memahami betul mana yang baik dan mana yang buruk
sehingga ketika dia melakukan kesalahan maka dia akan
mengakuinya dan siap menerima hukumanya. Dia sudah
mengerti bagaimana memperlakukan orang yang lebih dewasa
dari usianya dan anak-anak yang lebih muda usianya.
Ketika dia melakukan kesalahan disekolah dan diberi
hukuman oleh guru maka dia tidak boleh mengadu atau
mengeluh dan tidak boleh meminta perlindungan kepada orang
lain untuk menutupi kesalahanya. Sedangkan kepada anak-anak
yang usia lebih muda dia akan mendidik dan memberikan
84
contoh yang baik terhadap yang lebih muda dan teman
sebayanya.
Tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral
seseorang dalam situasi dimana mereka harus melanggarnya
merupakan komponen perilaku moralitas.41
Islam
menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang benar
seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Al-quran
menyatakan :
Terjemahan: Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua
jalan. Tetapi dia tdiada menempuh jalan yang mendaki lagi
sukar. (QS. Al-Balad : 10-11).
Melakukan sesuatu pada jalan yang benar merupakan
pilihan bagi umat islam meskipun sulit.
7. Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Moral
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa faktor yang sangat
mempengaruhi terhadap pedidikan moral seseorang adalah:
a. Faktor kelurga
Ibn Miskawaih mengatakan bahwa kewajiban mendidik
anak pertama kali adalah orang tuanya, karena anak yang baru
lahir masih bersih (suci). Kewajiban orang tualah untuk
41
Aliyah B. Purwakania. Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. … ibid hlm 262
85
mendidik mereka agar menaati syariat ini, agar berbuat baik
melalui nasihat, atau dipukul kalau perlu, atau diberi janji yang
menyenangkan atau diancam hukuman yang menakutkan.42
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang akan dilalui
oleh seorang anak ketika lahir ke dunia, maka segala yang dia
temukan, dia dengarkan akan membekas dalam dirinya dan
akan terbentuk sesuai dengan apa yang ditemukan dalam
pendidikan keluarga tersebut. Bahkan ketika dalam kandungan
seorang anak pada dasarnya telah mampu untuk merespon
segala stimulus dari luar.
b. Faktor lingkungan
Lingkungan dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya
moral seorang anak. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha
mencapai pendidikan moral tidak dapat dilakukan sendiri,
tetapi harus dialakukan secara bersama-sama atas dasar saling
tolong menolong dan saling melengkapi, kondisi demikian
akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai.
Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya
akan terwujud karena kesempurnaan yang lainya. Jika tidak
demikian, maka pendidikan moral tidak dapat terwujud.
Sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa
salama di alam ini, manusia memerlukan kondisi yang baik
42
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak Buku Daras Pertama tentang Filsafat
Akhlak,… ibid hlm 60.
86
diluar dirinya. Dia juga menyatakan sebaik-baik orang adalah
orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan orang-orang
yang masih ada kaitan denganya, mulai dari saudara, anak,
kerabat, keturunan rekan tetangga hingga teman.
Disamping itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah
satu tabiat manusia adalah tabiat memelihara diri, karena itu
manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama
dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya
adalah dengan saling bertemu, manfaat dari pertemuan
diantaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan
kestabilan cinta sesamanya.
Selanjutnya bagaimana dengan lingkungan pendidikan yang
merupakan pokok bahasan pada bagian ini. selama ini dikenal adanya
tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Tapi Ibn Miskawaih tidak membicarakan lingkungan
pendidikan secara umum, yaitu dengan membicarakan lingkungan
masyarakat pada umumnya, mulai dari segi lingkungan sekolah yang
mana menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah
dengan rakyatnya, sampai seterusnya. Keseluruhan lingkungan ini satu
dan lainya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptnya
lingkungan pendidikan.43
Tentunya dalam pencapadianya menjadi
43
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,… ibid, hlm 22.