229
I. PENDAHULUAN A. Pengertian Ekologi Hutan Istilah Ekologi diperkenalkan oleh Ernest Haeckel (1869), yang mana ekologi ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu : Oikos = Tempat tinggal (rumah) Logos = ilmu, telaah. Oleh karena itu, Ekologi adalah ilrnu yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Hubungan tersebut demikian komplek dan eratnya se- hingga Odum (1959) menyatakan bahwa ekologi adalah Envi- romental Ecology. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Didalam suatu hutan, hubungan antara tumbuh-tumbuhan, margasatwa, dan alam lingkungannya demikian eratnya, sehingga hutan dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem. Ekologi Hutan adalah cabang ekologi yang khusus mempelajari masyarakat atau ekosistim hutan. B. Bidang Kajian Ekologi Kutan Didalam Ekologi ada dua bidang kajian, yaitu 1. Autekologi : Ekologi yang mempelajari suatu jenis organisma yang berinteraksi dengan 1ingkungannya atau ekologi sesuatu

Bahan Kuliah Ekologi Hutan (buku)

Embed Size (px)

Citation preview

I. PENDAHULUAN

A. Pengertian Ekologi Hutan

Istilah Ekologi diperkenalkan oleh Ernest Haeckel

(1869), yang mana ekologi ini berasal dari bahasa Yunani,

yaitu :

Oikos = Tempat tinggal (rumah)

Logos = ilmu, telaah.

Oleh karena itu, Ekologi adalah ilrnu yang mempelajari

hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan sesamanya

dan dengan lingkungannya.

Hubungan tersebut demikian komplek dan eratnya se-

hingga Odum (1959) menyatakan bahwa ekologi adalah Envi-

romental Ecology.

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai

pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda

dengan keadaan di luar hutan. Didalam suatu hutan,

hubungan antara tumbuh-tumbuhan, margasatwa, dan alam

lingkungannya demikian eratnya, sehingga hutan dipandang

sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem.

Ekologi Hutan adalah cabang ekologi yang khusus

mempelajari masyarakat atau ekosistim hutan. B. Bidang Kajian Ekologi Kutan

Didalam Ekologi ada dua bidang kajian, yaitu

1. Autekologi : Ekologi yang mempelajari suatu jenis

organisma yang berinteraksi dengan

1ingkungannya atau ekologi sesuatu

jenis atau bagian ekologi yang

mempelajari pengaruh sesuatu

faktor lingkungan terhadap satu

atau lebih jenis-jenis organisme.

2. Sinekologi : Bagian ekologi yang mempelajari

berbagai kelompok organisme

sebagai satu kesatuan yang saling

berinteraksi antar sesamanya

dan dengan lingkungannya dalam

suatu daerah.

Dalam ekologi hutan, autekologi mempelajari

pengaruh suatu faktor lingkungan terhadap hidup dan

tumbuhnya satu atau lebih jenis-jenis pohon. Jadi,

penyelidikannya mirip fisiologi tumbuh-tumbuhan,

sehingga aspek-aspek tertentu dari autekologi, seperti

penelitian tentang pertumbuhan pohon serir.g disebut

fisioekologi (phisiological ecology). Contoh penelitian

autekologi adalah :

1) Pengaruh intensitas cahaya terhadap

pertumbuhan jenis Shorea leprosula

2) Pengaruh dosis pupuk N terhadap

pertumbuhan jenis sengon.

Sedangkan Sinekologi mempelajari hutan sebagai suatu

ekosistem. Contoh kajian sinekologi adalah pengaruh

keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi, struktur dan

produktivitas hutan.

Dalam ekologi hutan baik penge tahuan autekologi

maupun sinekologi bersama-sama diperlukan, karena kita

memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat berbagai jenis

pohon yang membentuk hutan dan pengetahuan tentang hutan

sebagai suatu ekosistem.

C. Sangkut Paut Ekologi Hutan dengan Bidang Ilmu Lain

Berhubung di dalam ekologi hutan yang dipelajari

adalah tumbuh-tumbuhan hutan dan keadaan tempat tumbuhnya,

maka semua bidang ilmu yang mempelajari kedua komponen

ekosistem hutan tersebut sangat diperlukan, yakni:

(1). Taksonomi tumbuh-tumbuhan (terutama Dendrologi).

Bidang ilmu ini sangat diperlukan untuk pengenalan

jenis-jenis tumbuhan di hutan. Untuk pengenalan jenis ini

diperlukan buku-buku pengenalan jenis yang praktis, selain

buku-buku flora yang sudah ada yang bersifat komprehensif.

Cara pengenalan jenis pohon dalam buku-buku itu

dititikberatkan pada sifat-sifat generatif (reproduktif),

yaitu berdasarkan sifat-sifat bunga dan buah. Padahal

menurut pengalaman di lapangan seringkali dijumpai pohon-

pohon yang sedang tidak berbunga atau berbuah, atau sukar

sekali untuk mendapatkan contoh-contoh bunga dan buah.

Karena itu, untuk keperluan di lapangan dibutuhkan

cara pengenalan jenis pohon yang terutama didasarkan pada

sifat-sifat vegetatif, yaitu sifat-sifat batang pohon

(kulit, getah dan kayu) , daun dan kuncup, kemudian baru

sifat-sifat generative. Cara pengenalan ini tidak terikat

pada sistem taksonomi tumbuh-tumbuhan. Di Filipina cara

pengenalan demikian telah dirintis oleh Tamolang (1959),

di Malaysia oleh Kochummen (1963), di Indonesia oleh

Endert (1928, 1956) dan Verteegh (1971) dan di Pantai

Gading, Afrika, oleh den Outer (1972) .

Kepulauan Indonesia, sebagai bagian dari daerah flora

Malesia, terkenal sebagai daerah flora hutan yang kaya.

tetapi pengetahuan kita tentang jenis tumbuh-tumbuhan di

daerah ini masih amat kurang. Banyaknya jenis tumbuh-

tumbuhan di daerah inipun belum diketahui dengan pasti

(Van Steenis, 1948). Menurut taksiran Van Steenis (op.cit)

di daerah Malesia terdapat kira-kira 3000 jenis pohon.

Menurut Lembaga Penelitian Hutan di Indonesia terdapat

lebih kurang 4000 jenis pohon. Dari sekian banyak jenis

itu baru sebagian kecil tercakup dalam buku-buku flora

yang tersedia. Akibatnya, pengenalan masih tergantung pada

jasa para pengenal pohon setempat. Dengan bantuan koleksi

contoh tumbuh-tumbuhan yang kemudian dideterminasi,

dapatlah disusun daftar nama pohon-pohon untuk daerah

tertentu, yang dapat mempermudah inventarisasi hutan.

(2). Geologi dan Geomorfologi

Ilmu-ilmu ini diperlukan dalam ekologi hutan, karena

keadaan geologi dan geomorfologi mempengaruhi pembentukan

dan sifat-sifat tanah serta penyebaran dan hidup tumbuh-

tumbuhan.

Pada keadaan iklim yang sama, jenis-jenis batuan yang

berbeda akan menghasilkan jenis-jenis tanah yang

berlainan. Pada jenis dan keadaan tanah yang khusus,

seperti tanah pasir kuarsa dan tanah serpentin, akan

terbentuk tipe hutan yang khusus pula.

Keadaan topografi juga mempengaruhi komposisi dan

kesuburan tegakan hutan, melalui perbedaan pada kesuburan

dan keadaan air tanah.

Disamping itu, perbedaan letak tinggi mempengaruhi

penyebaran tumbuh-tumbuhan, melalui perbedaan iklim yang

ditimbulkannya.

(3). Ilmu Tanah

Ilmu tanah yang murni seringkali disebut pedologi

tetapi sebagai faktor tempat tumbuh disebut edafologi.

Perbedaan jenis tanah, sifat-sifat serta keadaan tanah

seringkali mempengaruhi penyebaran tumbuh-tumbuhan,

menyebabkan terbentuknya tipe-tipe vegetasi berlainan,

serta mempengaruhi kesuburan dan produktivitas hutan.

(4). Klimatologi

Iklim adalah faktor terpenting yang mempengaruhi

penyebaran tumbuh-tumbuhan. Faktor-faktor iklim seperti

suhu (temperatur), curah hujan, kelembaban, dan defisit

tekanan uap air besar pengaruhnya pada pertumbuhan pohon.

Iklim mikro dari sesuatu ternpat yang dipengaruhi keadaan

topografi dapat mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan

pohon.

(5). Geografi tumbuh-tumbuhan

Pada permulaan perkembangannya ekologi tumbuh-

tumbuhan merupakan cabang dari geografi tumbuh-tumbuan

(phytogeografi) yang membahas pengaruh faktor-faktor

lingkungan terhadap penyebaran tumbuh-tumbuhan. Dari

cabang inilah berkembang sosiologi tumbuh-tumbuhan

(phytososiologi) dan ekologi tumbuh-tumbuhan.

Pada taraf kemajuan sekarang ekologi hutan masih

memerlukan informasi dari geografi tumbuh-tumbuhan untuk

mengerti pola penyebaran berbagai jenis pohon dalam

hubungannya dengan keadaan fisik bumi, terutama iklim dan

geomorfologi atau fisiografi, dan akan sangat membantu

dalam mempelajari susunan serta penyebaran £ormasi-formasi

hutan.

(6). Fisiologi Tumbuh-tumbuhan dan Biokimia

Telah dikemukakan bahwa autekolcgi mempunyai kegiatan

yang mendekati fisiologi tumbuh-tumbuhan. Jadi pada

umumnya informasi dari fisiologi tumbuh-tumbuhan akan

sangat berguna untuk mempelajari proses-proses hidup

tumbuh-tumbuhan, yang mana memerlukan pengetahuan tentang

proses-proses kimia yang berhubungan dengan aktivitas

biologis yang terjadi. Informasi tersebut bisa diperoleh

dari ilmu biokimia. Misalnya, untuk dapat mempelajari

pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadap produksi getah

karet atau getah pinus perlu pula pengetahuan tentang

proses pembentukan getah dan proses-proses biokimia

lainnya yang mempengaruhi atau berkaitan dengannya.

(7). Genetika Tumbuh-tumbuhan

Suatu jenis tumbuh-tumbuhan yang penyebarannya luas

seringkali memperlihatkan perbedaan menurut letak geografi

dan keadaan lingkungan-nya. Perbedaan ini bukan hanya

dalam bentuk pertumbuhannya tetapi seringkali pula dalam

hal adaptasi dan persyaratan terhadap keadaan tempat

tumbuhnya, yang berakar pada sifat-sifat genetis, sebagai

akibat dari mutasi dan polyploidy.

Adakalanya apabila daerah penyebaran dari dua jenis

pohon berimpitan pada suatu tempat, maka pada tempat itu

terjadi hybridisasi antara kedua jenis itu, sehingga

timbul jenis pohon baru yang sifat-sifatnya berada

diantara sifat-sifat kedua jenis induknya. Demikianlah,

pada keadaan-keadaan tertentu, untuk mengerti sifat-sifat

ekologis sesuatu jenis atau beberapa jenis pohon

diperlukan pula pengatahuan tentang genetika.

(8). Matematika dan Statistika

Kedua ilmu ini sangatlah penting untuk

memformulasikan dugaan kuantitatif terhadap berbagai

proses ekologis yang terjadi pada ekosistem hutan. Oleh

karena itu, melalui penggunaan kedua bidang ilmu ini

faktor lingkungan yang berperan dan seberapa jauh

peranannya terhadap penelitian kelestarian suatu hutan

dapat diperkirakan.

D. Status Ekologi Hutan dalam Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Ekologi Hutan merupakan ilmu dasar yang bersifat

integratif (mengintegrasikan ilmu-ilmu dasar lain) yang

merupakan ilmu dasar penting bagi silvikultur. dalam

terminologi kehutanan, ekologi hutan hampir sama dengan

silvika. Perbedaan ekologi hutan dengan silvika hanyalah

pada lawasan kajiannya, yakni ekologi hutan mempelajari

hutan sebagai ekosistem (jadi lawasannya lebih luas),

sedangkan silvika lebih terarah pada silvikultur dan lebih

mendekati autekologi. Dengan pengetahuan ekologi hutan dan

fisiologi pohon yang tepat bisa ditentukan tindakan

silvikultur yang tepat, sehingga produksi hutan dapat

ditingkatkan baik kualita rnaupun kuantitanya.

E. Aspek-aspek Ekologi Hutan yang renting

Dalam ilmu kehutanan, aspek-aspuk ekologi hutan yang

penting dipelajari adalah :

(1). mempelajari komposisi dan struktur hutan alam

(2). mempelajari hubungan tempat tumbuh denyan:

a. komposisi dan struktur hutan

b. penyebaran jenis-jenis pohon

c. permudaan pohon atau permudaan hutan

d. riap (pertumbuhan) pohon/hutan

e. fenologi pohon (musim berbunga, berbuah, pergantian

daun).

(3). mempelajari syarat-syarat keadaan tempat tumbuh

penanaman atau permudaan alam

(4). mempelajari siklus hara mineral, siklus air, dan

metabolisme.

(5). mempelajari hubungan antara kesuburan tanah, iklim

dan faktor-faktor lain dengan produktivitas hutan

(6). mempelajari suksesi vegetasi hutan secara alam dan

setelah terjadi kerusakan.

II. EKOSISTEM

A. Pengertian

Ekosistem adalah suatu sistem di alam yang

mengandung komponen hayati (organisme} dan komponen non-

hayati (abiotik), dimana antara kedua komponen tersebut

terjadi hubungan timbal balik untuk mempertukarkan zat-zat

yang perlu untuk mempertahankan kehidupan.

Dalam beberapa kepustakaan, istilah biocoenosis,

geocoenosis, dan biogeocoenosis (geobiocoenosis) secara

berurutan digunakan untuk komponen biotik, abiotik dan

ekosistem.

Ekosistem merupakan satuan fungsional dasar ekologi,

karena ekosistem mencakup organisme dan lingkungan abiotik

yang saling berinteraksi.

Pencetus istilah ekosistem adalah A.G. Tarisley pada

tahun 1935, seorang ekolog Inggeris.

B. Komponen Ekosistem

1. Dari Segi "trophic level", ekosistem terdiri atas:

1) Komponen autotrofik, yaitu organisme yang mampu

mensitesis makanannya sendiri yang berupa bahan

organik dari bahan-bahan anorganik sederhana

dengan bantuan sinar matahari dan zat hijau daun.

2) Komponen heterotrofik, yaitu organisme yang sumber

makanannya diperoleh dari bahan-bahan organik yang

dibentuk oleh komponen aututrofik, penyusun

kembali dan menguraikan bahan-bahan organik

kompleks yang telah mati kedalam senyawa

anorganik sederhana.

Dari segi penyusunnya (struktur), komponen

ekosistem terdiri atas :

1) Komponen abiotik yaitu komponen fisik dan kirnia

seperti tanah, air, udara, sinar matahari, dll.'

yang merupakan medium untuk berlangsungnya

kehidupan.

2) Produsen yaitu organisme autotrofik, umumnya

tumbuhan berklorofil, yang mampu mensintesis

makanannya sendiri dari bahan anorganik

3) Konsumen yaitu organisme heterotrofik

4) Pengurai, yaitu organisme heterotrofik yang menguraikan

bahan organik yang berasal dari organisme mati,

menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan

melepas bahan-bahan yang sederhana yang dapat

dipakai oleh produsen.

Untuk tujuan deskripsif, komponen-komponen

ekosistem seyogyanya diperinci sebagai berikut :

1) Bahan-bahan anorganik (C, N, Co2, H20, dll)

2) Senyawa organik (protein, lemak, karbohidrat, dll) 3) Iklim fsuhu, dan faktor fisik lainnya)

4) Produser

5) Konsumer makro ("phagotroph" yaitu organisme

heterotrofik, umumnya hewan) yang memakan

organisme lain atau bahan organik.

6) Konsumer mikro (saprotroph, osmotroph), yaitu

organisme heterotrofik, umumnya jamur dan bakteri,

yang menghancurkan bahan organik mati, menyerap

sebagian hasil perombakannya, dan membebaskan

bahan-bahan anorganik sederhana yang berguna bagi

produser.

Point (1) s/d (3) adalah Komponen abiotik.

Point (4) s/d (6) adalah komponen biotik.

Organisme heterotrofik dapat juga dibedakan kedalam :

1) Biophage, yaitu organisme yang mengkonsumsi organisme

lainnya.

2) Saprophage, yaitu organisme pengurai bahan-bahan

organik yang telah mati. Dari segi fungsional,

suatu ekoisistem sebaiknya dianalisis menurut :

(1). Aliran energi

(2). Rantai pangan

(3). Pola keanekaragaman dalam ruang dan wakcu

(4}. Siklus nutrien

(5). Pengembangan dan evolusi

(6). Kontrol (sibernetik)

Dalam hal konsumer, selain pembagian di atas,

konsumer dapat juga dibedakan kedalam:

1) Konsumer I (konsumer primer) adalah hewan-hewan

herbivora yang makanannya bergantung pada produser

(tumbuhan hLjau), contoh : insekta, rodentia,

kelinci, dll. (ekosistem daratan), moluska,

krustacea, dll (ekosistem akuatik)

2) Konsumer II (konsumer sekunder)adalah karnivora

dan omnivora yang memakan herbivora, contoh:

burung gagak, rubah, kucing, ular, dll.

3) Konsumer III (konsumer tertier) adalah karnivora

dan omnivora, misal singa, hari-mau, dll., disebut

juga Top-Konsumer

4) Parasit, Scavenger dan saprobe

C. Faktor Penyebab Perbedaan Ekosistem

Ekosistem yang satu berbeda dengan ekosistem yang

lain, karena:

1) Perbedaan kondisi iklim (hutan hujan, hutan musim,

hutan savana)

2) Perbedaan letak dari permukaan laut, topografi dan

formasi geologik (zonasi pada pegunungan, lereng

pegunungan yang curam, lembah sungai)

3) Perbedaan kondisi tanah dan air tanah (pasir,

lempung, basah, kering)

D. Macam dan Ukuran Ekosistem

Berdasarkan proses terjadinya ada dua macam

ekosistem, yaitu:

1) Ekosistem alam: laut, sungai, hutan alam, danau

alam, dll.

2) Ekosistem buatan: sawah, kebun, hutan tanaman,

tambak, all.

Ukuran ekosistem bervariasi dari sebetsar kultur

dalam botol di laboratorium, seluas danau, sungai,

lautan sampai biosfir ini.

Secara umum, ada dua tipe ekosistem, yaitu:

1) Ekosistem terestris

− Ekosistem hutan

− Ekosistem padang rumuput

− Ekosistem gurun

− Ekosistem anthropogen (sawah, kebun, dll.}

2) Ekosistem akuatik

(a). Ekosistem air tawar

- Kolam

- Danau

- Sungai

- dll.

(b). Ekosistem lautan

E. Tahap-tahap Dasar Operasi pada Ekosistem

1) Penerimaan energi radiasi

2) Pembuatan bahsn-bahan organik dari bahan

anorganik oleh produser

3) Pemanfaatan produser oleh konsumer dan lebih jauh

lagi pada bahan-bahan terkonsumsi

4) Perombakan bahan-bahan organik dari organisme

yang mati oleh dekomposer kedalam bentuk

anorganik sederhana untuk penggunaan ulang oleh

produser.

F. Ekologi Niche

Niche adalah peranan suatu mahkluk hidup dalam

suatu habitat. Sedangkan habitat adalah tempat hidup

organisme. Dengan demikian ekologi niche adalah peran

total dari suatu species dalam komunitas. Ekologi

niche mencakup species organisme, faktor lingkungan,

areal tempat hidup, spesialisasi dari populasi species

dalam suatu komunicas.

G. Energi dalam Ekosistem

- Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja.

- Bentuk energi yang berperan penting pada mahkluk

hidup adalah energi mekanik, kimia, radiasi dan

panas.

- Perilaku energi di alam mengikuti Hukum

Thermodinamika, yaitu:

Hukum Thermodinamika I:

Energi dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk

lainnya, tetapi energy tak pernah dapat diciptakan

atau dimusnahkan.

Hukum Thermodinamika II:

Setiap terjadi perobahan bentuk energi pasti terjadi

degradasi energi dari bentuk energi yang terpusat

menjadi bentuk energi yang terpencar atau karena

berbagai energi selalu memencar menjadi panas, tidak

ada transformasi secara spontan dari suatu bentuk

energi menjadi energi potensial berlangsung dengan

efisien 100%. Misal, 57% energi surya diserap atmosfir,

dan 35 % disebarkan untuk memanaskan air dan daratan.

Dari sekitar ±3% energi surya yang mengenai permukaan

tumbuhan, 10 - 15% dipantulkan, 5% ditransmit, 80 - 85%

diserap dan ±2% (0.5 -3,5%) dari total energi cahaya

digunakan fotosintesis serta sisanya dirubah menjadi

bentuk panas.

H. Rantai Pangan

Rantai pangan ada1ah pengalihan energi dari

sumberdaya dalam tumbuhan melalui sederetan organisme

yang makan dan yang dimakan. Semakin pendek rantai

pangan semakin besar energi yang dapat disimpan dalam

bentuk tubuh organisme di ujung rantai pangan.

Rantai pangan terdiri atas tiga tipe:

1) Rantai pemangsa, dimulai dari hewan kecil sebagi

mata rantai pertama ke hewan yang lebih besar dan

berakhir pada hewan terbesar dimana landasan

permulaan adalah tumbuhan sebagai produsen.

2) Rantai parasit, berawal dari organisme besar ke

organisme kecil.

3) Rantai saprofit, berawal dari organisme mati ke

mikroorganisme, dikenal juga sebagai rantai pangan

detritus. Dalam suatu ekosistem, rantai-rantai

pangan berkaitan satu sama lain membentuk suatu

jaring-jaring pangan (food web).

- Dalam suatu ekosistem dikenal adanya tingkat

tropik dari suatu kelompok organisme.

- Berbagai organisme yang memperoleh sumber

makanan melalui langkah yang sama dianggap

termasuk pada tingkat tropik yang sama.

- Berdasarkan tingkat tropik :

Tumbuhan hijau : tingkat tropik I

Herbivora : tingkat tropik II

Karnivora : tingkat tropik III

Karnivora sekunder : tingkat tropik IV

I. Struktur Tropik dan Piramida Ekologi

- Ukuran individu menentukan besarnya metabolisms

suatu organisme. Semakin kecil ukuran organisme,

semakin besar rnetabolisrne per gram biomassa. Oleh

karena itu, semakin kecil organisme semakin kecil

biomassa yang dapat ditunjang pada suatu tingkat

tropik dalam ekosistemnya.

- Fenomena interaksi antara rantai-rantai makanan dan

hubungan metabolisme dengan ukuran organisme

menyebabkan berbagai komunitas mempunyai struktur

tropik tertentu.

- Struktur tropik dapat diukur dan dipertelakan,

baik dengan biomassa per satuan luas maupun dengan

banyaknya energi yang ditambat per satuan luas per

satuan waktu pada tingkat tropik yang berurutan.

- Piramida ekologi dapat menggambarkan struktur dan

fungsi tropic: Ada tiga tipe paramida ekologi yaitu :

a) Piramida jumlah individu, yang menggambarkan

jumlah individu dalam produser dan konsumer

suatu ekosistem

b) Piramida biomassa, yang menggambarkan biomassa

dalam setiap tingkat tropik.

c) Piramida energi, yang menggambarkan besarnya

energi pada setiap tingkat tropik. Semakin tinggi

tingkat tropik, semakin efisien dalam

penggunaan energi.

J. Produktivitas

- Produktivitas primer adalah kecepatan

penyimpanan energi potensial oleh organisme

produsen melalui proses fotosintesis dalam bentuk

bahan-bahan organik yang dapat digunakan sebagai

bahan pangan. Unit satuannya:

1) Ash Free Dry Weight Kal./ha/th.

2) Dry Weight Ton/ha/th.

Produktivitas primer dibagi dua macam:

(1). Produktivitas primer kotor:

Kecepatan total fotosintesis, mencakup pula

bahan organic yang dipakai untuk respliasi

selama pengukuran. Istilah ini sama dengan

asimilasi total.

(2). Produktivitas primer bersih:

Kecepatan penyimpanan bahan-bahan organik dalam

jaringan tumbuhan sebagai kelebihan bahan yang

dipakai untuk respirasi oleh tumbuh-tumbuhan

selama pengukuran. Istilah ini sama dengan

asimilasi bersih.

- Produktivitas sekunder adalah kecepatan

penyimpanan energi potensial pada tingkat tropik

konsumen dan pengurai.

Produktivitas Primer kotor pada Ekosistem Akuatik

Ho. Ekosistem

Prod . Primer Kotor

Kcal/m2/th

1. Laut terbuka

1.000

2. Pesisir 2.000

3. Upwelling Zone

4. Estuari dan reefs

6.000

20.000

Produktlvitas Primer Kotor pada Ekosistem Terestris

No. Ekosistem

Kcal/m2/th

1. Gurun dan tundra 200

2. Padang rumput

3. Hut an lahan kering

4. Hutan konifer

2.500

2.500

3.000

5. Hutan temperate basah

6. Pertanian

8.000

12.000 7. Hutan tropik dan subtropik 20 .000

K. Siklus Biogeokimia

- Di alam telah diketahui ada ±100 unsur kimia,

tetapi hanya 30 - 40 unsur yang sangat diperlukan

oleh mahkluk hidup.

- Unsur-unsur kimia, termasuk unsur utama dari

protoplasma, cenderung untuk bersirkulasi dalam

biosfir dengan pola tertentu dari 1ingkungannya ke

organisme dan kembali lagi ke lingkungan, siklus

ini disebut siklus biogeokimia. Sedangkan,

pergerakan unsur-unsur dan senyawa-senyawa

anorganik yang penting untuk menunjang kehidupan

disebut siklus hara. Kedua siklus tersebut

masing-masing terdiri atas dua kompartemen atau

dua pool, yaitu :

1) Reservoir poo_l : besar, lambat bergerak,

umumnya bukan komponen ekologi.

2) Exchange atau Cycling pool : kecil, tapi lebih

aktif bertukar dengan cepat antara organisme

dengan lingkungannya.

Dilihat dari sudut biosfir secara keseluruhan,

siklus biogeokimia terdiri atas :

a) Tipe gas, dimana reservoir adalah di atmosfir

atau hidrosfir {lautan), misal siklus Karbon

(CO2) dan siklus Nitrogen (N)

b) Tipe sedimen, dimana reservoir adalah di kerak

bumi, misal siklus Posfor

III.HUTAN SEBAGAI KOMUNITAS TUMBUHAN

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang

dikuasai pohon-pohon yang menempati suatu tempat

dan mempunyai sadaan lingkungan yang berbeda

dengan di luar hutan. Sedangkan satuan masyarakat

hutan adalah tegakan. Karakteristik Komunitas

Tumbuhan

1. Perkembangan Komunitas adalah sejarah

pembentukan dan evolusi komunitas atau tahap-

tahap suksesi.

2. Organisasi Komunitas adalah struktur, komposisi

jenis dan organisasi tropic suatu komunitas.

Struktur Komunitas terdiri atas:

- Struktur vertikal (stratifikasi)

- Struktur horizontal (distribusi spatial jenis)

- Kelimpahan atau "abundance" (kerapatan,

biomasa).

3. Fungsi Komunitas adalah pola metabolisme,

produktivitas serasah dan laju pembusukannya,

siklus hara, aliran energi.

B. Jenis Data Vegetasi

1.Data Kualitatif

a.Komposisi Flora

Komposisi flora adalah daftar jenis tumbuhan

dalam komunitas, yang berguna untuk mengetahui :

- keaneragaman jenis

- tahap suksesi

- kondisi lingkungan/habitat

- struktur tiap unit vegetasi

- pengelompokkan secara kuantitatiif: species

DATA KUALIFIKATIF • Komposisi flora • Stratifikasi dan aspection • Fenology • Vitalitas • Sosiabilitas • Life-form & fisiognomy • Organisasi tropic, rantai

makanan

DATA KUANTITATIF • Pola disttribusi • Frekuensi • Kerapatan • Penutupan tajuk; dominansi

DATA ANALITIK

ORGANISASI KOMUNITAS • Struktur • Komposisi • Organisasi tropik

DATA SINTETIK • Kehadiran dan konstansi • Kesetiaan • Dominansi • Indeks dominansi • Indeks asosiasi

dominan, frequent (daya adaptasi luas), jenis

yang jarang (indikator habitat).

b. Stratifikasi dan "aspection"

Stratifikasi adalah lapisan vertikal komunitas

tumbuhan.

Stratifikasi terdiri :

- pucuk

- akar Manfaat Stratifikasi :

- optimalisasi ruang tumbuh

- peningkatan pemanfaatan energi solar

- optimalisasi pemanfaaCan unsur hara tanah. Aspect

ion adalah perubahan per:ampakan vegetasi dalam

kaitannya dengan musim.

c. Fenologi

Fenologi adalah kalender fase-fase pertumbuhan

yang dilalui oleh suatu tumbuhan selama sejarah

hidupnya, atau studi tentang fase-frase pertumbuhan

penting dalam sejarah hidup suatu tumbuhan, seperti:

saat biji berkecambah, gugur daun, berbunga, berbuah

dan tersebarnya biji.

Tanda proses fenologi

Masa kecambah :/

Masa berbunga :/

Masa berbuah : / /

Masa penyebaran biji : / /

Vitalitas dan Vigor

Vitalitas adalah kondisi dan kapasitas tumbuhan

untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Sedangkan vigor

adalah keadaan kesehatan tumbuhan.

Klasifikasi vitalitas :

Klas 1 : Tumbuhan yang berkembang baik dan

dapat menyelesaikan siklus hidupnya.

Klas 2 : Tumbuhan yang tumbuh sehat yang

tersebar secara vegetatif.

Klas 3 : Tumbuhan yang lemah yang tersebar secara

vegetatif dan tak pernah menyelesaikan siklus

hidupnya.

Klas 4 : Tumbuhan yang jarang tumbuh dari biji, tetapi

jumlahnya tak bertambah.

Sosiabilitas

Sosiabiiitas adalah hubungan antara masing-

masing jenis dan menunjukkan cara tumbuhan tersebar.

Sosiabilitas bergantung pada :

- life-form

- vigor

- kondisi habitat

- kemampuan bersaing.

Klas Sosiabilitas (Brown-Blanquet, 1932):

Klas 1 : Hidup menyendiri.

Klas 2 : Agak mengelompok.

Klas 3 : Mengelompok dalam kelompok-kelompok yang

tersebar.

Klas 4 : Mengelompok dalam kelompok yang besar dan

kelompok terputus-putus.

Klas 5 : Membentuk hamparan yang luas dan rapat.

Life-form (bentuk hidup) tumbuhan

- bisa menggunakan klas-klas life-form dari Raunkaier

(1934), Brawn-Blanquet (1951), Backer (1968) :

pohon, semak, liana, epifit, pakuan , herba, lumut,

dll.

- Persentase Life-form adalah Σ species dalam suatu life-form —————————————————————————————— X 100% Σ species dalam semua life-form

- Species dari life-form yang berbeda dapat hidup

berasosiasi, karena mereka memanfaatkan sumberdaya

alam pada waktu/ruang yang berbeda.

Organisasi tropik dan rantai pangan

Rantai pangan ada1ah pengalihan energi dari sumbernya

berupa tumbuhan melalui sederetan organisma yang

memakan dan yang dimakan.

Ada dua tipe rantai makanan :

a) "Grazing food chain" :

Rantai pangan yang dimulai dari tumbuhan, terus

ke herbivora dan karnivora.

b) "Detritus food chain" :

Rantai pangan yang dimulai dari organisme mati ke

mikroorgnisme, detrivor dan predatornya.

Jaring-jaring pangan ("food web") adalah

keterkaitan antara berbagai rantai makanan dalam suatu

komunitas. Species diversity meningkat maka "food

chain" makin panjang. Studi food chain dalam komunitas

sangat berguna untuk mengetahui sistem transfer energi

dalam komunitas.

2. Data Kuantitatif

a. Distribusi Spasial Individu tumbuhan Tiga tipe Pola

Distribusi

1) Random (acak)

Pola ini mencerminkan homogenitas habitat dan/atau

pola behavior yang tidak selektif.

2) Mengelompok ('clumped')

Mencerminkan habitat yang heterogen, mode

reproduktif, behavior berkelompok, dll.

3) Beraturan (reguler, uniform)

Mencerminkan adanya interaksi negatif antara

individu seperti persaingan untuk ruang dan unsur

hara atau cahaya. Faktor yang mempengaruhi pola

sebaran spatial individu:

a) Faktor vektorial dari aksi berbagai tekanan

lingkungan luar (angin, aliran air, intensitas

cahaya).

b) Faktor reproduksi sebagai akibat dari mode

reproduktif organisme (cloning dan regenerasi

progeni).

c) Faktor sosial akibat pembawaan behavior (misal,

behavior teritorial)

4) Faktor koaktif akibat dari interaksi intraspecific

(misal kompetisi).

5) Faktor stokastik akibat dari variasi acak dari

berbagai faktor tersebut di atas, yaitu :

a) faktor intrinsik species (mis., reproduktif,

sosial, koaktif)

b) Faktor extrinsic (vector).

Beberapa indeks penentuan poia Distribusi Spasial

individu

(1). Variance Mean Ratio

V/M = 1 (random)

V/M > 1 (clumped)

V/M < 1 (regular)

Untuk menguj i apakah V/M < 1 atau >

1,digunakan uji X2 dengan derajat bebas (q - 2) ,

dimana q = Σ frekuensi klas, pada tingkat peluang

1%, 5%. Contoh :

Ada 100 petak

Σ Ind. Sp-X dalam masing-

masing kuadrat

0 1 2 3

Frekuensi kehadiran dalam

100 petak

46 34 14 6

0(46)+1(34)+2(14)+3(6) Mean (M)= 100

= 0.8

ΣX2 – (ΣX)2/n Variance = n-1 [12(34)+22(14)+32(6)+02(46)] – (80)2/100 = 100 - 1 = 0.808 V/M = 0.808/0.800 = 1.01 Pengujian V/M = 1? 1). Menghitung banyaknya petak yang mengandung 0,1,2,3

individu Є(0) = (n)p(0) = (100)p(0) = (100)e-0.8 = 44.9 Є(1) = (n)p(1) = (100)(0.8/1)(p(0)) = 100 x 0.8/1 x 0.4493 = 0.3594 Є(1) = m e-m x n = 0.8 x e-0.8 x 100 = 0.8 x 0.4493 x 100 = 0.3594 Є(2) = 0.82/2! x e-m x 100 = 0.64/2 x 0.4493 x 100 0.1438 x 100 = 14.4

Є(3) = 0.83/3! x e-m x 100 = 0.512/6 x e-0.8 x 100 = 0.512/6 x 0.4493 x 100 = 3.8

1 Σ individu/petak 0 1 2 3 2 Σ petak terobservasi 46 34 14 6 3 Σ petak harapan 44.9 35.9 14.4 3.8 4 Perbedaan Σ petaj antara

terobservasi dan harapan 1.1 1.9 0.4 2.2

X2 hitung = (Obs – є)2/є (1.1)2 + (1.9)2 + (2.2)2 = 44.9 35.9 3.8 = 1.4123 X2 tabel(q-2), dimana q = Σ klas frekuensi = 4 X2 (α=0.5,2) = 1.386 = 1.4

Sehingga

X2 hitung = X2 tabel random

2). Indeks Morisita (IS)

 

( )

( )1

2

1

11−

=∑ −

TTIS

XiXi

Dimana : Xi = jumlah individu species X dalam petak

ke-I (i=1,2,3,………,q)

q = jumlah seluruh petak

T = jumlah total individu dalam semua

petak

Kriteria : IS = 1 (random)

IS > 1 (clumped)

IS < 1 (regular)

Pengujian IS = 1? IS (T-1)+ q – T Fo = Q – 1 Bila Fo ≥ Fαq-1 Clumped

(α = 0.05 atau 0.01)

3). Green’s Index

1

1

−⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

=n

MeansVariance

GI

GI bervariasi dari: 0 sampai maximum.

0 = random, 1 = clumping.

b. Kerapatan

Adalah jumlah suatu spesies dalam suatu unit

area. Kerapatan menunjukkan kelimpahan suatu spesies

dalam suatu komunitas.

Satuan : ind/m2 (tumbuhan bawah)

Ind/ha (pohon)

Kerapatan relative: persentase kerapatan suatu spesies

terhapdap jumlah kerapatan semua spesies.

c.Frekuensi

Frekuensi adalah derajat penyebaran suatu jenis

di dalam komunitas yang diekspresikan sebagai

perbandingan antara banyaknya petak yang diisi oleh

suatu jenis terhadap jumlah petak contoh seluruhnya.

Frekuensi Relatif : persentase frekuensi suatu

species terhadap jumlah frekuensi semua species.

Frekuensi Klas (Raun kaier, 1934} :

Klas A: species dengan frekuensi 1 - 20%

Klas B: species dengan frekuensi 21 - 40%

Klas C: species dengan frekuensi 41 - 60%

Klas D: species dengan frekuensi 61 - 80%

Klas E: species dengan frekuensi 81 - 100%

"Law of Frequency"

>

A>B>C=D<E

<

(Persentase Frekuensi berdistribusi normal) Jika :

(1) E > D : Komunitas Homogen

(2) E < D : Komunitas terganggu

(3) A, E tinggi : Komunitas buatan

(4) B,C,D tinggi: komunitas heterogen

4.Cover (Penuntupan Tajuk)

Cover adalah proyeksi vertikal tajuk terhadap

permukaan tanah. Tajuk adalah semua bagian tanaman yang

terdapat di atas permukaan tanah. Di dalam hutan, cover

harus ditentukan untuk setiap strata vegetasi, sehingga

cover bisa > 100 %.

Di dalam komunitas rumput, cover digambarkan

dalam "graph paper" dengan bantuan kuadrat (misal, 25 X

25 cm)atau menggunakan plantigraph.

Klas Penutupan Tajuk

Klas A : Species dengan cover 5%

Klas B : Species dengan cover 6 - 25%

Klas C : Species dengan cover 26 - 50%

Klas D : Species dengan cover 51 - 75%

Klas E : Species dengan cover 76 - 100%

Foliage cover meningkat ————-> Intercepting solar

energi meningkat . Naungan meningkat

Pengukuran foliage cover bisa diganti dengan

"basal area" (luas bidang dasar, Ibds).

3. Data Sintetik

Presence

Presence adalah suatu kehadiran species dalam

komunitas.

Klas Kehadiran

- Jarang : 1 - 20 % petak contoh terisi species.

- Kadang terdapat : 21 - 40 petak

contoh terisi species.

- Sering terdapat: 41 – 60% terisi spesies

- Banyak terdapat : 61 - 80 terisi species.

- Selalu ada : 81 - 100 % petak contoh

terisi species.

Constance (Kontansi)

Constance adalah derajat/tingkat kehadiran suatu

species dalam komunitas. Klas Konstansi

Klas 1 : 1 - 20 % Frekuensi

Klas 2 : 21 - 40 % Frekuensi

Klas 3 : 41 - 60 % Frekuensi

Klas 4 : 61 - 80 % Frekuensi

Klas 5 : 81 - 100 % Frekuensi

c. Dominansi Jenis

Jenis dominan adalah jenis yang bei k..i :\sa dan mencirikan

suatu komunitas. Konsep dominansi jenis sebagai petunjuk :

- species tersebut menang dalam persaingan

- species tersebut mempunyai toleransi tinggi

- species tersebut berhasil beradaptasi

- terhadap habitat . Parameter Penentu Dominansi Jenis

- Foliage Cover (penutupan tajuk)

- Kerapatan

- Luas Bidang Dasar

- Biomasa

- Volume

- Indeks Nilai Penting (INP)

INP = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif + Dominansi

Relatif INP maksimal 300%.

Dominansi adalah luas penutupan tajuk atau luas bidang dasar

suatu species dalam satuan unit area tertentu. Satuannya:

M/ha.

Dominansi Relatif adalah persentase dominansi suatu species

terhadap jumlah dominansi seluruh jenis.

d. Fidelity {Kesetiaan)

Fidelity adalah tingkat kesetiaan suatu species

dalam suatu komunitas. Klas Kesetiaan Jenis:

Klas 1: Ekslusif terhadap suatu jenis komunitas.

Klas 2: Selektif (sering berada pada satu macam

komunitas,tetapi tidak pada komunitas lain).

Klas 3 : Preferensial {berada pada beberapa habitat, tetapi

tumbuh banyak pada beberapa habitat saja).

Klas 4 : Indifferent/masa bodoh (berada secara teratur pada

semua habitat).

Kals 5 : Strange/aneh (jarang dan secara kebetulan berada

dalam komunitas).

e. Indeks of Dominance (ID)

Indeks of dominance adalah indeks untuk memeriksa tingkat

dominansi suatu species dalam komunitas.

Nilai ID tinggi dominansi jenis dipusatkan pada satu

atau beberapa jenis. Nilai ID rendah dominansi jenis

dipusatkan pada banyak jenis.

Simpson (1949)

ID = C = E (ni/N)2

C = indeks of dominance

ni = INP atau kerapatan atau biomasa suatu species.

N = Total INP atau total kerapatan ,atau biomasa dari

semua species.

Hilai C ini bersifat relatif. Nilai C bisa digunakan

apakah suatu komunitas itu asosiasi atau konsosiasi.

f. Interspecific Assosiation

Interspecific assosiation ada1ah suatu

asosiasi/kekariban antara dua species dalam komuninas.

Interspecific Assosiation terjadi bila :

- kedua species tumbuhan pada lingkungan yang

serupa.

- distribusi geografi kedua species ;>erupa dan

keduanya hidup di daerah yang sama.

- kedua jenis berbeda life-form.

- bila salah satu species hidupnya bergan-tung pada

yang lain.

- bila salah satu species menyediakan per lindungan

terhadap yang lain.

Metode mendeteksi interspesif ic asosiasi. ion

(1). Data Kualitatif

(a). 2x2 contingency table, bila datanya kualitatif

(hadir atau tidak).

Spesies A

Hadir +

Tidak 0

+ a b m=a+b

0 c d n=c+d

E a+b=r b+d=r N=a+b+c+d

(ad-bc)2 X N

X2 hit = m X n X r X s

nilai X2 ini bandingkan dengan

X2tab (α = 0.05, db = 1)

Bila X2hit ≥ X2tab ada asosiasi

S P E S I E S B

a = Σ petak dimana 2 spesies ada

b = Σ petak, sp. A ada, sp. B tak ada

c = Σ petak, sp. A tak ada, sp. B ada

d = Σ petak, sp. A dan B tak ada

N = Σ total petak contoh

(b). JACCARD INDEX (JI)

cbaaJI++

=

(2). Data Kuantitatif

Koefisien Korelasi Σ[(X1-X1)(X2-X2)] R hit = √[Σ(X1-X1)2 x (Σ(X2-X2)2]

R hit. ≥ R tab. Untuk p = 0.05 atau p = 0.01

g. Index of Diversity

• keanekaragaman jenis adalah suatu parameter

penting dalam membandingkan dua komunitas,

terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan

biotic atau mengetahui tahap suksesi dan

stabilitas komunitas

• pada komunitas klimak, spesies diversity meningkat

food chain meningkat komunitas stabil

Respirasi komunitas • Ecological turnover =

Biomassa komunitas R/B rendah komunitas diversity meningkat

• Metode/cara penentuan spesies diversity

1) Shanon-Weiner Diversity Index

H = -Σ[(ni/N) log (ni/N)]

ni = Nilai kuantitatif suatu spesies

N = jumlah nilai kuantitatif semua spesies

dalam komunitas

Variasi nilai H

0 = satu spesies tak terhingga nilai yang tinggi

(banyak spesies)

2) Simpson’s Diversity Index

∑=

−=s

iNniD

1

2)/(1

S = Σ jenis

Variasi nilai D:

0 = satu spesies tak terhingga

1 – 1/s = diversity spesies max.

h. Koefisien Kesamaan Komunitas (Index of Similarity)

• Index ini sangat berguna untuk membandingkan

kesamaan jenis dua komunitas

• Caranya:

1). Jaccard’s presence-community coefficient

ISJ = [C/(A+B+C)] x 100%

A = Σ jenis di komunitas 1

B = Σ jenis di komunitas 2

C = Σ jenis di dua komunitas

2). Motyka’s Index of Similarity

IS = [2 Mw/(Ma + Mb)] x 100%

Mw = Σ nilai kuantitatif ≤ dari spesies yang

ada di dua komunitas

Ma = Σ nilai kuantitatif semua spesies di

komunitas 1

Mb = Σ nilai kuantitatif semua spesies di

komunitas 2

Nilai IS : 0 – 100

C. Fungsi Komunitas

1. Biomassa

Biomassa adalah jumlah bahan organic yang

diproduksi oleh organism per satuan unit area

pada suatu saat. Satuannya g/m2 atau Kg/ha.

• Biomassa menunjukkan net production

• Biomassa production rate adalah laju akumulasi

biomassa dalam kurun waktu tertentu (Kg/ha/yr)

• Biomassa dinyatakan dalam “dry weight” (berat

kering) oven pada suhu 105o selama 12 jam atau

800C selama 48 jam. Satuan lain adalah berat

kering bebas abu (“ash free dry weight”)

• Biomassa profil menunjukkan jumlah bahan

organic kering pada tingkat yang berbeda dari

komunitas

• Akumulasi biomassa di tropic lebih rendah

daripada di temperate karena laju respirasi di

tropic lebih tinggi

2. Aliran Energi

• Dari sudut energy, komunitas adalah unit

thermodinamika

• Dalam setiap transfer energy dari tanaman ke

tingkat tropic yang berbdea, efisiensi konversi

energy hingga 10%, 90% hilang sebagai panas

• Persediaan energy dalam komunitas meningkat

dengan meningkatnya perkembangan vegetasi

(suksesi). Akumulasi energy dalam biomassa

maksimal pada komunitas klimaks, karena adanya

stratifikasi dan spesies diversitas yang tinggi

• Estimasi energy dalam bahan organic tumbuhan

bisa diduga dengan alat Bomb calori meter.

• Efisiensi energy

Energy yang ditangkap tumbuhan (Kcal/m2/t)

= x 100% Energy solar yang datang sampai di komunitas (Kcal/m2/t)

adalah suatu rasio antara output (kalori yang

Matahari

Tumbuhan

ditangkap

Energi makanan

biomas Proses metabolisme pertumbuhan

Dimakan konsumer

refleksi

absorpsipanas

dimanfaatkan tumbuhan) terhadap input (energy

solar sampai di komunitas) dalam suatu unit

area dalam periode waktu tertentu.

• Efisiensi energy adalah rasio antara aliran

energy di setiap titik/tahap yang berbeda

sepanjang rantai makanan, satuannya %.

3. Gross Ecological Effisiency (GEE)

Kalori mangsa yang dikonsumsi pemangsa = x 100% Kalori makanan yang dikonsumsi mangsa

• Siklus hara, Produktivitas dan Dekomposisi

Serasah

• Siklus Biogeokimia, termasuk unsure-unsur utama

dari protoplasma, dari lingkungan ke organism

dan kembali lagi ke lingkungan dalam biosfir

• Siklus hara adalah pergerakan unsur-unsur dan

senyawa-senyawa yang penting bagi kehidupan

Tipe Gas - Siklus N - Siklus CO2

Tipe batuan - Siklus fosfor

Siklus Biogeokimia

Tipe-tipe interaksi antara dua spesies dalam komunitas

No. Tipe Interaksi Spesies

Sifat Umum Interaksi 1 2

1 Netralisme 0 0 Tak satupun individu populasi yang satu mempengaruhi yang lainnya

2 Kompetisi - - Penghambatan terhadap semua jenis

3 Amensalisme - 0 Individu (1) menghambat individu (2), sedang individu (2) tak terpengaruh

4 Parasitisme + - Individu spesies yang satu dirugikan oleh individu spesies yang lain

5 Predasi + - Individu spesies yang satu dimangsa oleh individu spesies yang lain

6 Komensalisme + 0 Individu spesies yang satu mendapat keuntungan tapi individu spesies dua tak terpengaruh

7 Protokooperasi + + Interaksi yang menguntungkan kedua spesies dan tak merupakan kewajiban berinteraksi

8 Mutualisme + + Interaksi yang menguntungkan kedua spesies, interaksinya mutlak harus terjadi

1) Netralisme : sebenarnya hanya asosiasi saja, bukan

interaksi

2) Persaingan

(1) Persaingan antar jenis berbeda

(interspesifik)

(2) Persaingan antar jenis yang sama

(intraspesifik)

(3) Persaingan relung ekologis (tempat)

(4) Persaingan sumberdaya (makanan)

Akibat persaingan:

- Pertumbuhan tewrganggu

- Produksi berkurang, jumlah biji sedikit

- Menstimulasi serangan hama-penyakit dan

kekurangan unsure hara

- Terjadi stratifikasi dimana jenis tertentu

lebih berkuasa

- Komposisi jenis berubah (Σ jenis, Σ individu,

life-form).

Competitif Ability

Ditentukan secara sederhana dengan rumus:

GA/B = MA/MB atau

GB/A = MB/MA

G = kemampuan pertumbuhan

M = bobot kering tanaman

A,B = spesies A dan B

3) Amensalisme, merupakan persaingan dalam bentuk yang

lemah, adalah hubungan antara individu yang mana

individu yang satu dirugikan (tetapi sesaat) tetapi

individu lain tidak dirugikan (netral). Amensalisme

merupakan persaingan dalam bentuk yang lemah. Contoh

: allelopathy yaitu pengaruh merugikan baik langsung

maupun tak langsung dari suatu tumbuhan terhadap

tumbuhan lain melalui produksi senyawa kimia. Dalam

hal ini, bahan kimia dapat dikategorikan sebagai :

(a). Autotoxic (bahan penghambat) terhadap :

- anakan sendiri

- individu lain sejenis

(b). Antitoxic (bahan penghambat) terhadap individu

lain jenis berbeda.

Cara tanaman melepaskan bahan kimia (bahan

allelopati)adalah melalui :

- pencucian daun/batang oleh air hujan

- bahan tanaman yang jatuh sebagai aerasah yang

menjadi humus dalarn tanah.

- gas yang menguap dari permukaan tanaman

- eksudat akar

Media pengeluaran zat alelopatik

jenis tanaman

1.

Daun

Camelina

2. Akar Eucalyptus globulus

3. Setelah mati Apel, sereh

4.

Gas

Reliant bus, Aster

Bahan kimia allelopathic diantaranya adalah

- phenolic, terpeties, alkaloids, nitrit difenol,

- asam benzoat, fenin, sulfida. Pengaruh allelopathy

terhadap pertumbuhan tumbuhan :

- perpanjangan/perbanyakan sel terhambat

- penyerapan hara mineral berkurang

- laju fotosintesa dan respirasi terganggu

- perlambatan perkecambahan biji

- laju pertumbuhan terhambat

- gangguan sistem perakaran

- klorosis

- layu, mati

Parasitisme (+,-)

Suatu organisme untuk hidupnya mengambil makanan

dari organisme lainnya. Interaksi parasitisme

memungkinkan adanya tumbuhan inang (host) dan tumbuhan

parasit.

Host seringkali mengeluarkan antibodi Parasit

yang heterofog lebih bertahan daripada monoloq.

Parasit meliputi parasit akar -» Rafflesia, semipara-sit

{yang tumbuh di cabang-cabang di pohon -> benalu (famili

horuntuceae).

Rafflesia -» bunga liar (famili Rafflesiaceae)

Genus lain : - Rhizanthes

- Mitrastemon Di Sumatera 4 jenis :

- Rafflesia atjehensis

- Rafflesia hasseltii

- Rafflesia arnoldi

- Rafflesia patma. Rafflesia

-» paling khas diantara parasit lain

- besar ukuran bunga

- tidak punya batang, daun dan akar

- hanya punya benang-benang yang tumbuh

di bagian dalam batang dan akar pohon.

Inang (Tetrastigma, famili vitaceae)

- waktu bunga lama, tergantung ukuran R.

arnoldi

- kuncup terbuka mekar (19-21 bulan)0 10 cm

H. 5 bulan 0 15 cm -» 2 bulan 0 25 cm -*

20-30 hari.

(5). Commensalisme ( + , 0)

Interaksi antara individu yang memberikan keuntungan

kepada salah satu individu jenis populasi sementara

yang lain tak memperoleh keuntungan apa-apa (netral).

Merupakan hubungan (+) yang mendasari protokoperasi.

Contoh Epifit: paling banyak terdapat di hutan

hujan tropika (10% pohon hutan hujan tropika ditumbuhi

epifit).

- Anggrek, paku-pakuan, dll.

- Menempel pada batang atau daun (epifit)

Setelah dapat sinar matahari akan menutupi

tajuk.

- liana (tumbuhan merambat suka cahaya =

heliophyta)

- pengaruh negatif liana

1. Menutupi daerah tajuk sehingga

mengurangi proses fotosintesis.

2. Menurunkan kualitas kayu

3. Mengganggu tumbuhan pohon yang dipanjati

4. Berpengaruh negatif terhadap anakan yang suka

cahaya (heliophyta)

- pengaruh positif, diantaranya adalah berpengaruh

baik pada pertumbuhan anakan yang suka naungan

(schyophyta, misalnya jenis-jenis anggota

Dipterocarpaceae)

- sistem silvikultur (tropical shelter-wood system)

penangkaran liana (pembebasan)/tebang penerang

(6). Protocoperasi (+,-)

Kedua jenis individu yang berinteraksi mendapat

keuntungan tetapi bukan merupakan keharusan untuk

saling berhubungan. contoh : Asosiasi lumut dengan

keong air tawar

- Lumut menggunakan zat hara dari keong

- Keong ditumbuhi lumut sebagai perlindungan

Protocoperasi merupakan awal evolusi sebelum

mutualisme.

(7). Mutualisme (+,+)

Memberikan keuntungan kepada masing-masing jenis

yang berinteraksi dan merupakan suatu keharusan untuk

hidupnya, jika dipisahkan akan rugi. Contoh :

- Mikoriza : asosiasi antara jamur dengan akar

tumbuhan. Jamur merubah unsur-unsur sehingga

tersedia dan dapat dihisap oleh akar tumbuhan,

jamur mendapatkan makanan dari hasil fotosintesa

inang.

- Jenis mikoriza adalah:

a) Ektotropik: di luar akar mis: Basidiomycetes

b) Endotropik: di dalam akar mis: Phycomycetes

c) Peritropik: sebagai mantel, contoh: Mikoriza

ekstra material

Ektotropik : Micorhyza di bagian luar sel akar micelia fungi, misal pada Pinus strobus, Dipterocarpaceae, Eucalyptus. Endotropik: Micorhyza di bagian dalam sel akar micelia fungi, yakni hampir semua tanaman kecuali tanaman air. Peritropik: Micorhyza membentuk selubung mantel rongga yang mengelilingi akar, misal pada anakan spruce (Picea pungens).

- Karena tanah Imtan Indonesia relatif miskin hara,

maka banyak pohon-pohon hutan alam yang mengandung

mikoriza.

- Di hutan Cibodas 32% pohon-pohon yang ada mengandung

mikoriza.

- Mikoriza mengeluarkan enzim phosphatase

- Manfaat mikoriza

a) penyerapan unsur hara meningkat terutama Phospor

b) mencegah infeksi perakaran mempertinggi daya

tahan kekeringan akar lebih lama hidup

(memproduksi hormon penumbuh).

- Nodul Akar : gejala pembengkakan akar berupa bintil

akar sebagai akibat sirnbiosis mutualisme antara

bakteri (rhizobium/aktinomisetes) dengan suatu akar

tumbuhan tertentu.

Bakteri rhizobium adalah pengikat N tumbuhan

mendapatkan Nitrogen, rhizobium mendapatkan karbohidrat

berdasarkan jenis tanaman dengan mikroba pembentuk

nodul, maka ada tiga bentuk simbiosa:

1. Legume, (rhizobium)

(Albizia, Akasia, Leucoem -» Leguminosae) tidak

semua legum berasosiasi dengan rhizobium

2. Non Legume, (rhizobium)

(Trema, pnrasponia}

3. Non Legume, (Aktinomisetes) (Frankia)

(Casuarina, Podocarpus)

- Keuntungan adanya nodul akar:

1. Tanaman inang bisa hidup pada tanah miskin N

2. Dapat meningkatkan kesuburan tanah

3. Memungkinkan tanaman tumbuh setelah tanaman

legume

Hewan Hutan, berperan besar dalam pembiakan tanaman,

misal beberapa jenis pohon dalam pembuahan dan

penyerbukan biji/benih tergantung pada hewan tertentu :

serangga, burung, kelelawar, babi hutan, musang, dll.

Tetapi hewan juga bisa merusak tanaman (hama) dan

penular penyakit pada tanaman.

Leguminosae Mimosaceae Caesalpiniaceae Papilionaceae

Jarang

IV. DINAMIKA MASYARAKAT TUMBUH-TUMBUHAN (SUKSESI)

A. Pengertian Suksesi (Sere)

Spurr (1964), mengatakan bahwa suksesi merupakan

proses yang terjadi secara terus-menerus yang ditandai

oleh perubahan vegetasi, tanah dan iklim dimana proses

ini terjadi. Sedangkan Costing (1956), menyatakan bahwa

perubahan-perubahan bertahap atau proses suksesi ini

berlangsung karena habitat tempat tumbuh masyarakat

tumbuhan mengalami modifikasi oleh beberapa daya

kekuatan alam dan aktivitas organisme berupa perubahan-

perubahan terhadap tanah, air, kimia dan lain-lain.

Perubahan masyarakat tumbuhan dimulai dari

tingkat pionir sederhana sampai pada tingkat klimaks,

dalam hal ini tumbuhan pioner merubah habitatnya

sendiri sehingga cocok untuk species baru, keadaaan ini

berlangsung terus hingga tingkat klimak tercapai

(Clements, 1923; halle, 1.97G; Clark, 1954, Ewuse,

1980).

Tentang adanya perubahan habitat, dinyatakan

bahwa komunitas pertama akan merubah keadaan tanah dan

iklim mikro. Dengan demikian memungkinkan masuknya

species kedua yang menjadi dominan dan mengubah keadaan

lingkungan dengan cara mengalahkan species yang pertama

dan hal ini memungkinkan masuknya species yang ketiga,

demikian seterusnya sampai tingkat klimaks tercapai

(Whittaker, 1970; Odurn, 1970; Whitmore,1975)

Secara singkat suksesi adalah suatu proses

perubahan komunitas tumbuh-tumbuhan secara teratur

mulai dari tingkat pionir sampai pada tingkat klimaks

di suatu tempat tertentu

Komunitas klimaks adalah komunitas yang berada

dalam keadaan keseimbangan dinamis dengan

lingkungannya. Sedangkan tingkat sere adalah setiap

tingkat/tahap dari sere, dan komunitas sere adalah

setiap komunitas tumbuhan yang mewakili setiap tingkat

sere.

Species klimak adalah suatu species yang berhasil

beradaptasi terhadap suatu habitat sehingga species

tersebut menjadi dominan di habitat yang bersangkutan.

S. Faktor Penyebab Suksesi

1. Faktor Iklim

- fluktuasi kondisi iklim yang tidak konsisten

- kekeringan

- radiasi yang kuat

- dan lain-lain yang merusak vegetasi sehingga

terjadi suksesi.

2. Faktor Topografi/Edafis

Faktor ini berkaitan dengan perobahan dalam

tanah. Ada 2 faktor penting yang berkaitan dengan tanah

yang membawa perobahan habitat, yaitu:

a. Erosi tanah, yaitu suatu proses hilangnya lapisan

permukaan tanah oleh angin, aliran air dan hujan.

b. Deposisi tanah, yaitu proses pengendapan/

penimbunan tanah oleh angin, longsor, glacier atau

turunya salju di suatu tempat.

3. Faktor biotik penyebab rusaknya vegetasi yang

mengakibatkan suksesi adalah :

- penggembalaan

- penebangan

- deforestasi

- hama dan penyakit

- perladangan

- dan lain-lain

C. Tipe-tipe Suksesi

1. Hidrosere

Hidrosere adalah suksesi tumbuhan yang terjadi di

habitat air atau basah".

2. Halosere

Halosere adalah suksesi tumbuhan yang terjadi di

tanah/air masin.

3. Xerosere

Xerosere adalah suksesi tumbuhan yang terjadi di

habitat kering. Tumbuhan pionirnya berupa lumut

kerak,bakteria,dan ganggang.

4. Psammosere

Psammosere adalah suksesi tumbuhan yang terjadi

di habitat berpasir.

5. Lithosere

Lithosere adalah suksesi tumbuhan yang terjadi di

permukaan batuan.

6. Serule

Serule adalah miniatur suksesi mikroorganisme

bakteri, jamur, dll) pada pohon yang mati, kulit

pohon, dll.

D. Tahab-tahab Suksesi

Shukla dan Chandel (1932) mengemukakan

sembilan macam tahapan dalam proses suksesi,

yaitu:

1. Nudation : terbukanya vegetasi penutup tanah

(terbentuknya tanah kosong).

2. Migrasi : cara-cara dimana tumbuhan sampai

pada daerah tersebut di atas.

Biji-biji tumbuhan sampai pada

daerah tersebut di atas mungkin

terbawa angin, aliran air,

mungkin pula melalui tubuh hewan

tertentu.

3. Ecesis : proses perkecambahan,

pertumbuhan, berkembang biak dan

menetapnya tumbuhan baru

tersebut. Sebagai hasil ecesis

individu-individu species tumbuh

mapan di suatu tempat

(established).

4. Agregation : sebagai hasil dari ecesis,

individu-individu dari suatu

jenis berkembang dan menghasilkan

biji, maka biji-biji tersebut

akan tersebar pada areal yang te

rbuka di sekelilingnya sehingga

tuinbuh berkelompok

(beragregasi).Ecesis dan agregasi

merupakan invasi species

tersebut.

5. Evolution of community relationship : merupakan

suatu proses apabila daerah yang

kosong ditempati species-species

yang berkoloni. Species tersebut

akan berhubungan satu sama lain-

nya. Bentuk hubungan ini kemung-

kinan akan mengikuti salah satu

dari tipe eksploitasi, mutualisme

dan co-existance.

6. Invation : dalam proses koloni, biji

tumbuhan telah beradaptasi dalam

waktu yang relatif panjang pada

tempat tersebut. Biji tumbuh dan

menetap (penguasaan lahan oleh

tumbuh-tumbuhan yang bersifat

agresif dan adaptif).

7. Reaction : terjadinya perubahan habitat

yang disebabkan oleh tumbuhan

tersebut dengan merubah

lingkungannya terutama dengan

cara:

a. Merubah sifat dan reaksi tanah

b. Merubah iklim mikro

Reaksi merupakan proses yang

terus menerus dan menyebabkan

kondisi yang cocok bagi species

yang telah ada dan lebih cocok

pada individu yang baru. Dengan

demikian reaksi memegang peranan

penting dalam pergantian species.

8.Stabilization: kompetisi dan reaksi berlangsung

terus menerus ditandai dengan

perubahan lingkungan yang

mengakibatkan struktur vegetasi

berubah. Dalam jangka waktu lama

akan terbentuk individu yang

dominan dan perubahan yang

terjadipun relatif kecil

disamping iklim mempunyai peranan

penting dalam membatasi proses

ini menjadi stabil. Dengan

perkataan lain, stabilisasi

merupakan suatu proses dimana

individu-individu tumbuhan mantap

tumbuh di suatu habitat tanpa

banyak dipengaruhi oleh

perobahan-perobahan dalam habitat

tersebat.

9. Klimaks :setelah stabilisasi, pada tahap

ini species yang dominan

mempunyai keseimbangan dengan

1ingkungannya, keadaan habitat

dan struktur vegetasi relatif

koristan karena pertumbuhan jenis

dominan telah mencapai batas.

E. Macam Suksesi

Berdasarkan proses terjadinya terdapat dua macam

suksesi;

1. Sukesesi primer (prisere)

Suksesi primer adalah perkembangan vegetasi mulai

dari habitat tak bervegetasi

hingga mencapai masyarakat yang

stabil dan klimaks.

2. Suksesi sekunder (subsere)

Suksesi sekunder terjadi apabila klimaks atau

suksesi yang normal terganggu

atau dirusak, misalnya oleh

kebakaran, perladangan,

penebangan, penggembalaan, dan

kerusakan-kerusakan lainnya.

F. Faham-fahara tentang Klimaks

1. Faham Monoklimaks (Costing, 1956)

Beranggapan bahwa pada suatu daerah iklim hanya

ada satu macam klimaks yaitu suatu formasi yang

paling metaphysic. Jadi klimaks boleh dikatakan

suatu pencerminan keadaan iklim. Disamping itu

iklim sebagai faktor yang paling stabil dan

berpengaruh, terdapat pula faktor-faktor lain

atau profaktor-profaktor, seperti faktor tanah,

biotis dan fisiografi. Profaktor-profaktor ini

menyebab-kan terbentuknya proklimaks-proklimaks

sebagai berikut :

a. Subklimaks terjadi apabila perkembangan

vegetasi terhenti di bawah tingkat terakhir,

dibawah klimaks, sebagai akibat faktor-faktor

bukan iklim, misalnya karena keadaan geografi

seperti keadaan di Pulau Krakatau.

b. Proklimaks Posklimaks, apabila pembentukan

klimaks menyimpang dari tipe yang sewajarnya,

misalnya sebagai akibat dari keadaan

fisiografi. Keadaan yang lebih lembab dan

lebih baik menghasilkan posklimaks, sedangkan

keadaan yang lebih kering dan kurang baik

menghasilkan proklimaks.

c. Disklimaks, terjadi sebagai akibat beberapa

gangguan sekunder yang menyebabkan tak dapat

berkembang lagi ke arah klimaks karena keadaan

tempat tumbuh amat berubah menjadi buruk,

misalnya terhenti pada tingkat semak belukar

2. Faham Polyklimaks(Braun-Blanquet, 1932)

Beranggapan bahwa tidak hanya iklim yang dapat

menumbuhkan klimaks. Bagi penganut faham kedua ini

ada beberapa macam kilmaks: klimaks iklim, klimaks

edafis, klimaks fisiografis, klimaks kebakaran dan

sebagainya.

3. Teori Informasi

Merupakan faham terbaru yang dikembangkan oleh

margalef (1968) dan Odum (1969). Pada tahap

klimaks komunitas tersebut mempunyai informasi

maksimum dan entrophy maksimum. Enthrophy adalah

jumlah energy yang tidak terpakai dalam suatu

sistem ekologi

Menurut faham monoklimaks misalnya dapat dibuat bagan

suksesi primer sebagai berukut:

KLIMAKS

Kalau kita bandingkan keadaan umum jalannya suksesi

primer (prisere) dengan suksesi sekunder (subsere),

dapat dibuat bagan sebagai berikut:

HUTAN HUJAN TANAH RENDAH

Hutan payau Bruguiera-Xylocarpus

Hutan Neonauclea-Ficus

Hutan payau Rhizopora-Bruguiera

Hutan Ficus - Macaranga

Hutan payau Avicennia

Vegetasi rumput Neyraudia-Saccaharum

Vegetasi cryptogamae

HYDROSERE PADA LUMPUR PAYAU

XEROSERE PADA TUF BATU KEMBANG

Gangguan

Vegetasi

terganggu

Vegetasi klimaks hutan

Permukaan “tanah telanjang”

Vegetasi cryptogamae

Vegetasi rumput-herba semak kecil

Vegetasi semak belukar

Vegetasi perdu pohonPRISERE

SUBSERE

V. KLASIFIKASI VEGETASI HUTAN

A. Beberapa Pengertian yang Harus Dipahami dalam

Klasifikasi

1. Vegetasi adalah Masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam

arti luas.

2. Formasi hutan adalah satuan vegetasi hutan yang

terbesar.

Perbedaan formasi hutan di trcpika disebabkan

oleh:

- Perbedaan iklim.

- Fisiognom.i (struktur) hutan

- Perbedaan habitat

- Suksesinya.

3. Asosiasi adalah satuan-satuan di dalam formasi

hutan yang diberi nama menurut pohon jenis

dominan. Oleh karena itu, Asosiasi adalah satuan

dasar dalam klasifikasi. Asosies adalah istilah

lain untuk asosiasi, dimana satuan ini berada

dalam hutan yang mengalami suksesi sekunder.

4. Asosiasi konkrit adalah bagian dari asosiasi hutan

yang betul-betul diselidiki dan diketahui

komposisi jenis pohonnya.

Asosiasi hutan yang berlainan komposisinya tetapi

memiliki fisiognomi yang sama, digolongkan menjadi

formasi hutan.

5. Subspecies, varietas, ekotype merupakan variasi-

variasi dalam species dalam taksonomi tumbuhan.

6. Varian adalah variasi-variasi di dalam asosiasi

hutan.

7. Asosiasi segregat adalah varian-varian di dalam

hutan campuran yang disebabkan oleh adanya jenis-

jenis pohon yang lebih berkuasa (dominan) daripada

yang lain.

8. Konsosiasi adalah varian yang dikuasai oleh satu

jenis pohon saja. Sedangkan konsosies adalah

varian di dalam suatu hutan yang mengalami sub-

sere/suksesi sekunder.

9. Fasiasi adalah varian yang disebabkan oleh

perbedaan topografi.

10. Losiasi adalah varian yang disebabkan oleh

perbedaan edafis.

11. Ekoton adalah daerah peralihan yang sering

dijumpai apabila ada dua atau lebih type atau

asosiasi vegetasi yang letaknya berbatasan.

3. SISTEM-SISTEM KLASIFIKASI VEGETASI HUTAN TROPIKA

Ada dua cara pendekatan di dalam klasifikasi

vegetasi:

1. Menetapkan dahulu satuan yang besar, kemudian

mengadakan pemisahan berdasarkan sifat-sifat yang

berbeda. Contoh : klasifikasi Schimper(1898) dan

Burtt Davy (1938).

2. Dimulai dengan memisahkan satuan yang kecil,

kemudian menggolongkan ke dalam satuan yang lebih

besar. Contoh : klasifikasi oleh Beard (1944),

dan Richard et. al. (1933) .

Adanya bermacam-macam sistem klasifikasi

disebabkan :

karena perbedaan kriteria yang digunakan, antara lain:

"Sistem Klasifikasi Fisiognomis, Ekologis, Fisiognomis-

Ekologis, Floristis, Fisiognomis-Floristis, Geografis-

Ekologis.

Menurut Aichinger, pada klasifikasi vegetasi,

kriteria pertama yang digunakan adalah fisiognomi,

selanjutnya floristik, geografi tumbuhan, ekologi,

syngenesisi, dan pengaruh manusia.

Menurut Fosberg (1958), klasifikasi vegetasi yang

rasional harus didasarkan kepada kriteria :

(1) Fisiognomi (rupa vegetasi, bentuk umum vegetasi) .

(2) Struktur vegetasi (susunan komponen di dalam

ruang, stratifikasi, jarak, dimcnsi).

(3) Fungsi (sifat-sifat phenothypik yang menyatakan

adaptasi terhadap keadaan lingkungan).

(4) Komposisi susunan floristik

(5) Dinamika suksesi atau perubahan dengan perbedaan

lingkungan.

(6) Riwayat vegetasi.

C. Berbagai Macam Sistem Klasifikasi Vegetasi Hutan

C.I. Klasifikasi Ekosistem Menurut Van Steenis

Van Steenis (1957) dalam Soerianegara dan

Indrawan (1934), telah mengemukakan dan membahas tipe-

tipe vegetasi yang dijumpai di Kepulauan Indonesia

dan wilayah sekitarnya.

Cara penetapan dan pembagian formasi-formasi

hutan di dalam sistem ini, yang disebut sistem

alami, didasarkan atas perbedaan iklim basah dan

bermusim, perbedaan edafis, dan perbedaan altitudinal.

Forrnasi-formasi hutan yang ditentukan dalam

sistem ini adalah :

I. IKLIM BASAH

Kadang-kadang selalu tergenang

Air asin (laut), dipengaruhi pasang surut :

........................ 1. Mangrove

Air tawar (hujan, sungai) , diam :

Eutrofik ............... 2. Hutan rawa

oligotropik ............ 3. Hutan gambut

Air tawar (tepi sungai), deras:

........................ 4.Vegetasi Rheofit

Tanah Kering

Pantai

........................ 5. Vegetasi pantai

Pedalarnan hingga batas pohon (timber line)

Tanah podsol kuarsa, dataran rendah :

.................. 6 . Vegetasi tanah

kuarsa

Tanah kapur, dataran rendah :

.................. 7 . Vegetasi tanah

kapur

Jenis- jenis tanah lain

Elevasi 2 - 1000 m .... 8. Hutan Hujan Tropika

Elevasi 1000-2400 m ... 9. Hutan Hujan Pegunungan

Elevasi 2400-4150 m .. 10. Hutan Hujan Sub-

alpin

II. IKLIM BERMUSIM

Elevasi di bawah 1000 m

................. 11 . Hutan Musim

(monsoon) Dataran

Rendah

Elevasi di atas 1000 m

................. 12 . Hutan Musim

Pegunungan .

C.2. Klasifikasi Vegetasi Dunia Menurut Unesco

Unesco (1973), telah melakukan klasifikasi dan

pembuatan peta vegetasi secara menyeluruh. Kategori

klasifikasi adalah unit-unit vegetasi, termasuk formasi zonal

dan azonal serta formasi-formasi yang telah berubah lainnya.

Dasar umum klasifikasi vegetasi dunia ini memakai sistem

floristik, klasifikasi selanjutnya didasarkan terutama pada

sifat-sifat fisiognomi struktural dan sifat-sifat ekologi yang

digabungkan dengan vegetasi natural dan semi natural sebagai

tambahan.

Menurut klasifikasi ini, vegetasi dunia dibedakan

menjadi enam tingkatan, dari tingkatan tertinggi sampai kelas

terendah, yaitu : Kelas Formasi (Formation Class), Sub-kelas

Formasi (Formation Subclass), Kelompok Formasi (Group

Formation), Formasi (Formation), dan Subdivisi (Subdivisions).

Kelas Formasi sebagai tingkatan tertinggi, membagi

vegetasi menjadi lima bagian. Pembagian ini berdasarkan kepada

struktur tegakan, dalam hal ini penutupan kanopi tegakan

(tajuk-tajuk pohon), tingkatan vegetasi (pohon atau semak

belukar); dan habitus veqetasi (berkayu atau herba).

Kelas formasi pertama adalah Closed forest (hutan

tertutup) adalah hutan-hutan yang mempunyai kanopi

tertutup, dimana tajuk-tajuk pohon saling mengisi. Tinggi

pohon paling rendah 5 m, kecuali untuk pohon, yang belum

dewasa atau masa reproduksi kurang dari 5 m.

Kelas Formasi Woodland (tegakan terbuka) terdiri dari

pohon-pohon dengan ketinggian paling rendah 5 m, penutupan

tajuk paling rendah 40%. Penutupan tajuk dikatakan 40% jika

jarak antara dua tajuk pohon sama dengan jari-jari sebuah

tajuk pohon.

Kelas Formasi Scrub (semak belukar) kebanyakan dari

jenis-jenis phanerophytes berkayu, tinggi antara 0.5 m sampai

5 m. Dibedakan atas semak individu-individunya tidak saling

bertautan, misalnya rumput-rumputan, sedangkan belukar saling

bertautan.

Kelas Formasi dwart-scrub dan Related Communities

(semak-semak kecil dan komunitas kerabat lainnya), sering

disebut formasi rumput-rumputan, tinggi jarang yang melebihi

50 cm. Berdasarkan kepadatannya dibedakan atas Dwart Shrub

thicket (cabang-cabangnya saling bertautan), Dwart Shrubland

(individu-individu saling terpisah atau dalam rumpun-rumpun),

dan Formasi Cryptogamic dengan semak-semak kecil.

Kelas Formasi terakhir adalah Herbaceous vegetation

(vegetasi herba). Ada dua tipe besar dari vegetasi ini, yaitu

graminoid dan forbs. Termasuk graininoid adalah semua rumput

herba dan tanaman rumput-rumputan seperti Carex sejenis alang-

alang), Juncus (sejenis tebu) dan sebagainya. Forbs adalah

tanaman herba daun lebar seperti Helianthus (bunga matahari),

Trifolium dan sebagainya.

Dasar pembagian kelas formasi menjadi subkelas formasi

adalah keadaan daun (evergreen, decidous, dan xeromorphic),

ukuran vegetasi, dan tempat hidup (habitat). Pengertian

evergreen adalah kanopi hutan tidak pernah tanpa daun hijau

(selalu hijau), walaupun ada pohon-pohon secara individu

mungkin menggugurkan daun. Kebalikan dari evergreen, pohon-

pohon decidous menggugurkan daun secara simultan apabila

berhubungan dengan musim yang tidak menguntungkan. sedangkan

xeromorphic adalah vegetasi yang khas daerah kering, seperti

phanerophyties, hemicytophties, geophyties. dengan daun atau

batang kadang-kadang sukulen.

Selanjutnya, Subkelas Formasi dibagi menjadi kelompok-

kelompok formasi (Group Formation) berdasarkan antara lain :

tempat atau garis 1intang (tropik, sub-tropik, temperate,

subpolar, dan lain-lain), keadaan daun (evergreen, decidous,

semi decidous), bentuk daun (daun jarum atau lebar), dan

kombinasi sifat-sifat di atas. Sedangkan formasi-formasi hutan

dibentuk berdasarkan antara lain : ketinggian tempat (lowland

dan montane), jenis tanah (alluvia), keadaan habitat (swamp,

bog, desert), bentuk tajuk, bentuk daun, dan sebagainya.

Di bawah ini diberikan bagan klasifikasi vegetasi

menurut Unesco (1973) secara global.

I. CLOSED FOREST

A. EVERGREEN

1. Tropical Ombrophilous Forest (Tropical Rain

Forest)

2. Tropical and Subtropical Evergreen Seasonal

Forest

3. Tropical and Subtropical Semi Decidous Purest

4. Subtropical Ombrophilous Forest

5. Mangrove Forest

6. Temperate and Subpolar Evergreen Ombropuilous

Forest

7. Temperate Evergreen Seasonal Broad heaved

Forest

8. Winter-Rain Evergreen Sclerophykous Forest

9. Tropical and Subtropical Evergreen Needle-Leaved

Forest

10.Temperate and Subpolar Evergreen Needle-Leaved

Forest

B. DECIDUOUS

1. Tropical and Subtropical Drought-Deciduous

Forest

2. Cold-Deciduous Forest with Evergreen Trees (or

Shrubs) Admixed

3. Cold-Deciduous Forest without Evergreen Trees

C. XEROMORPHIC

1. Sclerophyllous-Dominated Extremely Xero-morphic

Forest

2. Thorn-Forest

3 . Mainly Succulent Forest

II. WOODLAND

A. EVERGREEN

1. Evergreen Broad-Leaved Woodland

2. Evergreen Needle-Leaved Woodland

3. Cold-Deciduous Woodland without Evergreen

Trees

B. XEROMORPHIC

1. Sclerophyllous-Dominated Extremely Xeromorphic

Woodland

2. Thorn-Woodland

3. Mainly Succulent Woodland

III. SCRUB

A. EVERGREEN

1. Evergreen Broad-Leaved Shrubland

2. Evergreen Needle-Leaved and Microphylous

Shrubland

B. DECIDUOUS

1. Drought-Deciduous Scrub with Evergreen Woody

Plants Admixed

2. Drought-Deciduous Scrub eithout Evergreen

Woody Plant Admixed

3. Cold-Deciduous Scrub

C. XEROMORPHIC

1. Mainly Evergreen Subdesert Shrubland

2. Deciduous Subdesert Shrubland

IV. DWARF-SCRUB AND RELATED COMMUNITIES

A. EVERGREEN

1. Evergreen Dwarf-Shurb Thicket

2. Evergreen Dwarf-Shrubland

3. Mixed Evergreen Dwarf-Shrub and Herbaceous

Formation.

B. DECIDUOUS

1. Facultatively Drought-Deciduous Dwarf-Thicket

2. Obligatory, Drought-Deciduous Dwarf-Thicket

3. Cold-Deciduous Dwarf-Thicket

C. XEROMORPHIC

1. Mainly Evergreen Subdesert Dwart-scrub

2. Deciduous Subdesert Dwarf-Scrub

D. TUNDRA

1. Mainly Bryophyte Tundra

2. Mainly Lichen Tundra

E. MOSSY BOG FORMATIONS WITH DWARF-SHRUB

1. Raised Bog

2. Non-Raised Bog

V. HERBACEOUS VEGETATION

A. TAIL GRAMINOID VEGETATION

B. MEDIUM TALL GRASSLAND

C. SHORT GRASSLAND

D. FORB VEGETATION

E. HYDROMORPHIC FRESH-WATER GRASSLAND

C.3. Klasifikasi Ekosistem Menurut Kartawinata

Kartawinata telah membuat bagan unit-unit

ekosistem atau tipe-tipe ekosistem darat dan rawa yang

ada di Indonesia. Tipe ekosistem dianggap unit-unit

yang paling kecil dan dibentuk berdasarkan fisiognomi

(kenampakan) struktur dan takson (unit taksonomi) yang

khas atau dominan dari vegetasi yang dikombinasikan

dengan faktor-faktor iklim dan ketinggian dari

permukaan laut serta tanah. Faktor-faktor tidak

dimasukkan karena datanya kurang, lagipula perincian

ekositem dengan ciri-ciri vegetasi dan lingkungan dapat

dianggap cukup. Berdasarkan komposisi jenis masing-

masing tipe ekosistem dapat saja terdiri dari unit-unit

yang lebih kecil. Ekosistem hutan kerangas, misalnya,

mungkin tersusun dari unit komunitas Combretocarpus-

Dactylocladus dan Tristania-Cratoxylum.

Menurut Klasifikasi Kartawinata (1976) ini, ada

tiga tingkatan klasifikasi, yaitu : Bioma, Subbioma,

dan Tipe Ekosistem. Bioma dapat pula disebut sebuah

ekosistem yang merupakan unit komunitas terbesar yang

mudah dikenal dan terdiri atas forrnasi vegetasi dan

hewan serta mahluk hidup lainnya, baik yang sudah

mencapai fase klimaks maupun yang masin dalam fase

perkembangan. Di Indonesia dapat dikenal beberapa

bioma, yaitu : (a) Hutan Hujan, (b) Hutan Musim, (c)

Savana, (d) Padang Rumput. Unit-unit ekosistem ini

masih terlalu besar untuk digunakan dengan maksud-

maksud khusus, sehingga memerlukan pembagian yang lebih

kecil lagi.

Pembagian Bioma menjadi Subbioma didasarkan kepada

keadaan iklim, misalnya, untuk Hutan Hujan dibedakan

antara Hutan Hujan Tanah Kering dan Hutan Hujan Tanah

Rawa (permanen atau musiman). Sedangkan pembagian

Tipe-tipe Ekosistem sebagai unit yang paling kecil

dibentuk berdasarkan struktur fisiognomi, faktor-faktor

iklim, ketinggian dari permukaan laut, dan jenis tanah.

Klasifikasi Ekosistem menurut Kartawinata tertera dalam

Tabel 1, berikut.

Tabel 1. Satuan - satuan Ekosistem di Indonesia Bioma Subbioma Tipe Ekosistem

Nama Iklim Nama Nama Ketinggian dpl (m)

Suhu rata-rata (0)

Q Tanah Takson/khas/umum/dominan

1. Hutan Hujan Selalu basah sampai kering tengah-tahun Q < 60.0

1. Hutan hujan tanah kering

1. hutan non-Dipterocarpaceae

< 1000 26-21 <33.3 Podsolik merah kuning,Latosol

Anacardiaceae, Annonaceae, Burseraceae, Ebenaceae,Euphorbiaceae, Gutiferae, Lauraceae, Leguminosae, Moraceae, Muristicaceae, palmae, Sapindaceae, Sterculiaceae, dsb

2. Hutan Dipterocarpaceae campuran

< 1000 26-21 <33.3 Podsolik merah kuning,latosol

Dipeterocarpaceae (Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Shorea, Vatica)

3. Hutan Agathis campuran

< 2500 26-13 <60.0 Podsolik merah kuning,latosol,podsol

Agathis sp

4. Hutan Pantai

< 5 ± 6 <60.0 Regosol Barringtonia asiatica, Calophylum inophylum, Casuarina equisetifolia, Hernandia peltata, Terminalia catappa, Guettarda speciosa, Pandanus tectorius, dsb

5. Belukar < 1000 26-21 <60.0 Podsolik merah kuning,latosol,podsol

Macaranga, Mallotus, Vitex, Trema, Melastoma, enduspermum, dsb

6. Hutan Fagaceae

1000-2000 21-26 <14.3 Andosol, regosol pada abu gunung

Castanopsis, Lithocarpus, Quercus, Engel hardia, Podocarpus, Altingia,Magnoliaceae, Phyllociadus,Dacrydium

7. Hutan Casuarina

1000-2000 21-11 <60.0 Andosol,Regosol, Litosol

Casuarina junghuhniana

Tabel 1. Lanjutan Bioma Subbioma Tipe Ekosistem

Nama Iklim Nama Nama Ketinggian dpl (m)

Suhu rata-rata (0)

Q Tanah Takson/khas/umum/dominan

2. Hutan Hujan tanah rawa (permanen atau musiman)

8. Hutan pinus

700-1000 23-18 <60.0 Andosol, Regosol, Litosol

Pinus merkusii

9.Hutan Nothofagus

1000-3000 21-11 <14.3 Regosol, Litosol Nothofagus spp.

10. Hutan Ericaceae

1500-2400 18-23 <14.3 Andosol, regosol

Rhodendron, Vaccinium, Styphella coprosma, Anaphalia, dsb

11.Hutan Araucaria

1500-3000 18-11 <14.3 Regosol, Litosol Araucaria cuninghamii

12. Hutan konifer

2400-4000 13-6 - Litosol, regosol Podocarpus papuanus, Libocedrus, Dacrydium, Phyllocladus

13. semak 4000 < 6 - Litosol Rhodendron, Vaccinium, Styphella coprosma, Anaphalia, dsb

14. Hutan rawa

< 100 ± 26 <33.3 Organosol,aluvial Barringtonia asiatica,Camnosperma,Cocceras,Alstonia,Gluta rengas,Lophopetalum, Mangifera gedebe,Pentaspadon metleui,Metroxylon, Pandanus

15.Hutan rawa gambut

< 100 ± 26 <60.0 Organosol Calophylum,Combretocarpus rotundatus,Cratoxylon glaucum,Durio carinatus,tetramerista glabra,Tristania,Pholidocarpus,Melanorrhoea,Pandanus,Parastemon,Agathis,Shorea belangeran,dsb

16.Hutan rawa gambut

< 1000 26-23 <60.0 Podsol Dactyloccladus,Tristania obovata,Shorea belangeran,Dacridium clatum,Cratoxylum glucum,Combretocarpu rotundus,Calophylum,dsb

17.Hutan Melaleuca

< 100 ± 26 < 60.3 Organosol,Aluvial Melaleuca leucadendron

Tabel 1. Lanjutan Bioma Subioma Tipe Ekosistem

Nama Iklim Nama Nama Ketinggian dpl (m)

Suhu rata-rata (0)

Q Tanah Takson/Khas/Umum/Dominan

18. Hutan Payau (Mangrove)

< 5 ± 26 <60.0 Aluvial Rhizophora, Bruguiera, Avicennia,Sonneratia,dsb

II. Hutan Musim Sangat kering tengah tahun: Q>60.0 (tipe D-F); curah hujan per tahun;700-2900 mm

3. Hutan Musim

19. Hutan musim gugur

< 800 >22 >60.0 Mediteran merah kuning,Renzina Regosol,Litosol

Protium javanicum,Tectona grandis,Swietenia macrophylla,Pterocarpus Garuga floribunda, Eucalyptus, Acacia cophioea, dsb

20. Hutan Musim selalu hijau (Dryever-green)

< 1200 >20 >60.0 Mediteran merah kuning,Renzina Regosol,Litosol

Schleicera oleaosa, Schoutenia ovate,Tamarindus indica,Albizia chinensis, dsb

III. Savana Selalu basah sampaisangat kering tengah tahun; Q=0-300 (tipe A-F);curah hujan per tahun 700-7100 mm

4. Sabana 21.Sabana pohon-pohon dan palma

< 900 >22 >60.0 Mediteran merah kuning,Renzina Regosol,Litosol

Borassus,Corypha,Acacia, Eucalyptus,Casuarina, Heterophagon

22.Sabana Casuarina

1500-2400 18-13 <60.0 Andosol,Regosol, Litosol

Casuarina, Pennistum,dsb

IV. Padang rumput Selalu basah samapai sangat kering tengah tahun;Q=0-300 (tipe A-F);curah hujan per tahun 700-7100 mm

5. Padang rumput Iklim basah

23. Padang rumput tanah rendah

< 1000 26-21 <60.0 Podsolik merah kuning,Latosol, Litosol

Imperata cylindrical, Saccharum spontaneum, Themeda vilosa, dsb

24. Rawa rumput dan terna tanah rendah

< 100 ± 26 <60.0 Organosol, Aluvial Panicumstangineum,Phragintes karka,Scirpus,Cyperus,Cladium,Fimbristylis,Eguisetum,Monochoria ischaemum, Eichornia crassipes, dsb

25.Padang rumput pegunungan

1500-2400 18-23 <60.0 Andosol,Regosol, Litosol

Festuca,Agrostis,Themeda, Cymbopogon,Ischeum, Imperata cylindrica, dsb

Tabel 1. Lanjutan Bioma Subioma Tipe Ekosistem

Nama Iklim Nama Nama Ketinggian dpl (m)

Suhu rata-rata (0)

Q Tanah Takson/Khas/Umum/Dominan

26.Padang rumput berawa gunung

1500-2400 18-23 <60.0 Regosol, Litosol Pragmites karka,Panicum,Machelina schipus, Cares, dsb

27. Padang rumput alpin

4000-4500 (batas salju)

< 6 - Litosol Deschamsia, Pesluca, Manostachya,Aulacolepis,Oreobolus,Scirpus,Potentilia,Ranyneolus,Epilobium,Spagnum, dsb

28.Komunitas dan lumut kerak

>4500 6 - Litosol Lumut-lumut kerak,Agrastis,dsb

6. Padang rumput iklim kering

29.Padang rumput iklim kering

< 900 < 22 < 60.0 Mediteran merah kuning,Regosol, Litosol,Rensina

Themedia,Heteropogon,dsb

C.4.Klasifikasi Tipe-tipe Hutan di Indonesia oleh

Departemen Kehutanan

Departemen Kehutanan dalam Vademecum (1976) telah

mengklasifikasikan hutan di Indonesia berdasarkan

keadaan iklim, edafis, dan komposisi tegakan. Faktor

iklim menurut pembagian F.H. Schimidt dan J.H. Ferguson

yang didasarkan pada nilai Q, yaitu persentase perban-

dingan antara jumlah bulan kering dan jumlah bulan

basah, sehingga diperoleh tipe-tipe iklim A, B, C, D

dan seterusnya berturut-turut dari nilai Q yang

terkecil sampai terbesar. Faktor iklim yang

mempengaruhi pernbentukan vegetasi adalah temperatur,

kelembaban, intensitas cahaya dan kecepatan angin.

Tipe hutan yang pembentukannya sangat dipengaruhi

oleh faktor iklim disebut Formasi Klimatis (Klimatic

Formation). Termasuk kedalamnya, yaitu : Hutan Hujan

(Tropical Rain Forest), Hutan Musim (Monsoon Forest),

dan Hutan Gambut (Peat Forest).

Hutan Nipa [Nipa Formation) dianggap sebagai

suatu konsosiasi dari Hutan Payau atau Hutan Rawa

tergantung kepada faktor edafis yang ada.

Hutan Palma tanah rawa (Palm swamp forest.)

dimana banyak terdapat jenis-jenis Phoenix atau

Oncosperma dianggap sebagai suatu konsosiasi.

Berikut diberikan bagan klasifikasi tipe-tipe

hutan di Indonesia menurut Departemen Kehutanan :

I. FORMASI KLIMATIS

1. Hutan Hujan (Tropical Rain Forest)

Ciri-ciri : iklim A atau B; jenis tanah latosol,

aluvial, dan regosol; drainase baik,jauh dari

pantai; dan tegakan selalu hijau.

a. Hutan Hujan Bawah (0-1000 m dpl)

Jenis pohon yanq dominan : famini

Dipterocarpaceae (Kalimantan dan Sumatera);

Agathis, Ficus, Castanopsis (Jawa dan Husa

Tenggara);Palaquium spp., Pometia pinnata,

Diospyros spp. (Indonesia Timur)

b. Hutan Hujan Tengah (1000-3300 m dpl)

Quercus, Castanopsis, Nothofagus, dan jenis-

jenis dari famili Magnoliaceae; Pinus merkusii

(Aceh); Albizia montana, Casuarina (Jawa);

Trema, Podocarpus imbricatus (Indonesia Timur)

c. Hutan Hujan Atas (3300-4100 m dpl)

Merupakan kelompok-kelompok yang terpisah-

pisah oleh padang rumput atau belukar. Jenis-

jenis pohon: Dacrydium, Podocarpus,

Phyllocladus (Irian Jaya),Eugenia, dan

Calophyl1um.

2. Hutan Musim (Monsoon Forest)

Ciri-ciri : iklim C atau D; gugur daun musim

kemarau; terdapat 2 lapisan tajuk yang berbeda;

dan banyak herba dan tumbuhan bawah.

a. Hutan Musim Bawah (0-1000 m dpl)

Jenis-jenis pohon : Tectona grandis, Acacia

leucophloea, Albizia chinensis (Jawa); Euca-

lyptus, Santalum album (Nusa Tenggara).

b. Hutan Musim Tengah-Atas (1000-4100 m dpl)

Casuarina junghuhniana (Jawa Tengah dan

Timur); Eucalyptus (Indonesia Timur), Pinus

merkusii (Sumatera).

3. Hutan Gambut (Peat Forest)

Ciri-ciri: iklim A atau B; tanah organosol;

terletak anatar hutan hujan dan hutan rawa;

selalu hijau dan banyak lapisan tajuk.

Jenis-jenis : Alstonia spp., Palaquium spp.,

Dactylocladus; Eugenia spp., Gonystylus spp.

(khusus di Kalimantan dan beberapa daerah di

Sumatera).

II. FORMASI EDAFIS

1. Hutan Rawa (Swamp Forest)

Ciri-ciri: tidak terpengaruh iklim; selalu

tergenang air tawar; terletak di belakang hutan

payau; jenis tanah aluvial, selalu hijau; dan

banyak lapisan tajuk.

Jenis-jenis pohon: Xylopia spp., Palaquium

leiocarpu/n, Campnoserma macrophylla, Garcinia

spp., Canarium spp., Koompassia spp., dan

Calophyllum spp..

2. Hutan Payau (Mangrove Forest)

Ciri-ciri : daerah pantai dan selalu tergenang

air laut; terpengaruh pasang surut; tidak

terpengaruh iklim; tanah pasir, lumpur, dan

lumpur berpasir; hanya satu stratum tajuk. Jenis-

jenis Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora

spp., Bruguiera spp., Xylocarpus spp., Lumnitzera

3. Hutan Pantai (Littoral Forest)

Ciri-ciri : di daerah kering pantai; tidak ter-

pengaruh iklim; tanah pasir dan berbatu; terletak

pada garis pasang tertinggi; dan banyak epifit.

Jenis-jenis : Baringtonia speciosa, Terminalia

catappa, Calophyllum inophyllum, Hibiscus tilia-

ceua, Casuarina equisetifolia, Pisonia grandis.

Disamping ini banyak terdapat Pandanus tectorius.

Banyak terdapat epifit terutama paku-pakuan dan

anggrek. Jenis-jenis pioner pada pantai berpasir

diantaranya adalah Ipomea pescaprae dan

Coccoloba.

C.5. Klasifikasi Ekosistem Makro di Sumatera Menurut

Djamhuri

Djamhuri et al. (1988) mengklasifikasikan

ekosistem makro di Sumatera bersumber pada empat jenis

data hasdl penelitian oleh pihak lain, yaitu :

1. Peta Vegetasi di Sumatera berskala 1 : 1.000.000

oleh Laumunier, Purnadjaja, dan Setiabudi (198S).

2. Peta Tanah Eksploitasi Pulau Sumatera skala 1:

2.500.000 oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1979)

3. Peta Geologi Pulau Sumatera skala 1 : 1.000.000 oleh

Direktorat Geologi Bandung (1965).

4. Peta Agroklimat Pulau Sumatera skala 1 : 1.000.000

oleh Oldeman (1973).

Dengan demikian Djamhuri et al (1988)

mengklasifikasikan ekosistem makro ini berdasarkan

beberapa parameter, yaitu : keadaan habitat, arah

fisiografi, ketinggian tanah, geologi (batu-batuan),

iklim dan keadaan vegetasi. Hasil klasifikasi ekosistem

makro ini disajikan dalam tiga buah peta tipe ekosistem

makro di Sumatera berskala 1 : 1.000.000, yaitu Peta Tipe

Ekosistem Makro Sumatera Bagian Utara, Peta Tipe

Ekosistem Makro Sumatera Tengah, dan Peta Tipe Ekosistem

Makro Sumatera Bagian Selatan.

Tabel Hasil Klasifikasi Ekosistem Makro di Indonesia

IKLIM KEADAAN TANAH KETINGGIAN TIPE EKOSISTEM MAKRO

I. BASAH (A,B)

II.BERMUSIM

III.KERING (E,F)

Keterangan: 1) termasuk hutan Nipa (Nypa fruticans) dan Nibung (Oncosperma filamentosa) 2) termasuk hutan sagu (Metroxylon sago) 3) termasuk hutan kerangas (Heath Forest), vegetasi tanah kapur (Limestone) dan hutan Riparian (Riparian forest) 4) termasuk hutan tegakan murni Pinus merkusii di Aceh 5) termasuk hutan sub-alpin dan Alpin

Pantai

HUTAN HUJAN BAWAH5)HUTAN HUJAN TENGAH4)HUTAN HUJAN BAWAH3)

> 3000 m1000–3000 m

< 1000 m

HUTAN PANTAI

AKUATIK

HUTAN GAMBUT

HUTAN RAWA2)

HUTAN MANGROVE1)

Oligotropik Eutropik

Tanah Kering

Tanah kadang-kadang/selalu tergenang

Air tawar (sungai, danau)

Air tawar (hujan, sungai), diam

Air asin, dipengaruhi pasang-surut

PedalamanPantai

HUTAN MUSIM TENGAH ATAS HUTAN MUSIM BAWAH HUTAN PANTAI

> 1000 m

< 1000 m

AKUATIK

HUTAN RAWA2)

HUTAN MANGROVE1)

Eutropik

Air tawar (sungai, Danau

Air tawar (hujan, sungai), diam

Air asin dipengaruhi pasang-surut

Tanah kadang-kadang/selalu tergenang

Tanah Kering

Pedalaman Pantai

SABANA

HUTAN PANTAI

HUTAN RAWA AKUATIK

HUTAN MANGROVE

Pedalaman

Air tawar (sungai, danau)

Air tawar (hujan, sungai), diam

Air asin, dipengaruhi pasang-surut

Tanah kadang-kadang/selalu tergenang

Tanah Kering Pantai

AKUATIK

VI. TEKNIK ANALISIS VEGETASI RUANG LINGKUP

Dalam analisis vegetasi ada beberapa hal yang

harus diperhatikan oleh seorang surveyor agar survey

vegetasi yang dilakukan dapat memberikan data/informasi

yang teliti dan dapat: dipertanggung jawabkan. Hal-hal

tersebut adalah ukuran, jumlah dan bentuk petak contoh

yang akan dipilih, cara meletakkan petak contoh, obyek

yang akan diamati, parameter vegetasi yang akan diukur,

dan akhirnya teknik analisis vegetasi yang akan

digunakan.

PETAK CONTOH VEGETASI

Untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur

komunitas tumbuhan umumnya dilakukan dengan sampling.

Dalam hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan,

yaitu ukuran bentuk dan jumlah petak contoh, cara

meletakkan petak, dan teknik analisa vegetasi yang

harus digunakan.

A. Ukuran, Jumlah dan Bentuk Petak

Ukuran petak bergantung pada ukuran tumbuhan

(semai, pancang, tiang, pohon), kerapatan tumbuhan dan

keragaman jenis serta keheterogenan life-formnya. Dalam

penentuan ukuran petak prinsipnya adalah bahwa petak

harus cukup besar agar individu species yang ada dalam

contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup

kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung

dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian.

Salah satu cara/metoda untuk menentukan

ukuran/jumlah petak contoh adalah menggunakan kurva

species area. Cara membuat kurva ini adalah sebagai

berikut:

(1) Buat sebuah petak contoh (pc) berukuran 1 X 1 m

atau sebuah lingkaran beradius 0.56 m.

(2) Catat jumlah jenis dalam pc tersebut.

(3) Buat pc kedua yang besarnya dua kali lipat pc

pertama. Catat jumlah jenis pada pc kedua.

(4) Buat pc ketiga dan seterusnya yang ukurannya

masing-masing dua kali lipat pc sebelumnya.

Catat jumlah jenis masing-masing pc tersebut.

(5) Pembuatan pc dihentikan kalau penambahan jumlah

jenis sekitar 10%.

(6) Buat sumbu-X (luas petak contoh) dan sumbu-Y

(jumlah jenis).

(7) Buat suatu garis (misal garis m) yang melewati

titik 0 (0,0) dan titik A dengan koordinat (10%

luas petak contoh, 10% jumlah jenis).

(8) Buat suatu garis (misal garis n) yang sejajar m

yang menyinggung kurva species-area. Titik

persinggungan tersebut diproyeksikan pada

surnbu-X, sehingga didapat luas minimum petak

contoh.

Untuk menentukan jumlah petak contoh minimal,

prose durnya sama dengan di atas, tetapi sebagai sumbu-

X (absis) adalah jumlah petak contoh.

Bentuk petak contoh sangat penting dalam

memudahkan letak petak dan efisiensi sampling. Ada tiga

bentuk petak contoh yaitu lingkaran, bujur sangkar, dan

empat persegi panjang. Diantara bentuk-bentuk petak

tersebut, bentuk lingkaran mempunyai ketelitian yang

cukup tinggi dalam proses pernbuatannya. Petak bentuk

lingkaran akan praktis kalau digunakan untuk komunitas

rumput, herba dan semak-belukar. Sedangkan petak

berbentuk persegi panjang akan lebih efisien daripada

petak berbentuk bujur sangkar dalam jumlah dan luasan

yang sama, bila sumbu panjang petak sejajar perubahan

gradient lingkungan.

B. Cara Meletakkan Petak Contoh

Pada dasarnya ada dua cara peletakan petak

contoh, yaitu cara acak (random sampling) dan cara

sistematik (systematic sampling). Dari segi floristis-

ekologis, random sampling hanya mungkin digunakan

apabila lapangan dan vegetasinya homogen, misalnya

hutan tanaman dan padang rumput. Sedangkan untuk

keperluan survey vegetasi yang lebih teliti sistematik

sampling dianjurkan, karena mudah dalam pelaksanaannya

dan data yang dihasilkan akan dapat lebih bersifat

representative. Bahkan dalam keadaan tertentu yang

terkait dengan keterbatasan biaya, tenaga dan waktu,

purposive sampling pun dapat digunakan dalam analisis

vegetasi.

C. Kriteria Stadium Pertumbuhan

Secara ekologis cukup penting untuk membeda-

bedakan tumbuhan ke dalam stadium pertumbuhan semai,

pancang, tiang dan pohon, bahkan tumbuhan bawah. Untuk

keperluan ini kriteria yang dapat digunakan adalah

sebagai berikut :

a) Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai

anakan setinggi kurang dari 1,5 m.

b) Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai

anakan berdiameter kurang dari 10 cm.

c) Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai

kurang dari 20 cm.

d) Pohon : Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan

lebih.

e) Tumbuhan bawah : Tumbuhan selain permudaan pohon,

misal rumput, herba, dan sernak belukar.

Khusus untuk mangrove stadium tiang biasanya

ditiadakan, sehingga stadium pohon meliputi pohon

berdiameter 10 cm ke atas. Selain itu, diameter pohon

diukur pada ketinggian 20 cm di atas akar tunjang

(Rhizophora. spp.) dan keting¬gian 20 cm di atas banir

untuk jenis non-Rhizophora spp. Bagi pohon-pohon tidak

berakar tunjang dan berbanir, pengukuran diameter pohon

dilakukan pada ketinggian 1,3 m di atas permukaan tanah

(DBH, diameter at breast-height).

D. Parameter Vegetasi yang Diukur di Lapangan

Dalam analisis vegetasi ada beberapa parameter

vegetasi yang diukur secara langsung di lapangan, yaitu

:

a) Nama species (lokal dan ilmiah).

b) Jumlah individu untuk menghitung kerapatan.

c) Penutupan tajuk (covering) untuk mengetahui

prosentase penutupan vegetasi terhadap lahan.

d) Diameter batarig untuk mengetahui luas bidang dasar

yang diantaranya sangat berguna untuk memprediksi

volume pohon dan tegakan.

e) Tinggi pohon baik tinggi pohon bebas cabang maupun

tinggi pohon total. Tinggi pohon ini cukup penting

untuk mengetahui stratifikasi dan menduga volume

pohon serta volume tegakan.

f) Pemetaaan lokasi individu pohon untuk mendeteksi

spatial distribution pattern pada berbagai luasan

areal yang berbeda.

Dalam prakteknya, hampir semua kegiatan survey

vegetasi mengadakan pengukuran terhadap jumlah individu

per jenis, diameter batang, dan tinggi pohon serta

tentu saja identifikasi jenis. Walaupun demikian

parameter vegetasi yang akan diobservasi tergantung

pada informasi yang diinginkan oleh surveyor/peneliti.

E. Ukuran Sub-plot untuk Berbagai Stadium Pertumbuhan

Untuk keperluan risalah tumbuhan bawah, permudaan

dan pohon di dalam petak contoh seyogyanya dilakukan di

dalam subplot-subplot contoh agar memudahkan dalam

risalahnya dan tidak terjadi duplikasi penghitungannya.

Teknik pembuatan sub-plot-sub-plot tersebut biasanya

dilakukan secara nested sampling, yaitu sub-plot yang

berukuran lebih besar mengandung sub-plot yang berukuran

lebih kecil. Dalam hal ini ukuran sub-plot untuk berbagai

stadium pertumbuhan adalah :

a. Semai dan tumbuhan bawah : 2 X 2 m atau 1 X 1 m atau 2 X 5 m.

b. Pancang : 5 X 5 m

c. Tiang : 10 X 10 m

d. Pohon : 20 x 20 m atau 20 X 50 m.

F. Metoda Analisis Vegetasi F.I. Metoda dengan petak F.I.I. Metode kuadrat

(1) . Petak tunggal

Di dalam metoda ini dibuat satu petak sampling

dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan

hutan, Ukuran petak ini dapat ditentukan dengan kurva

species-area. Untuk lebih jelasnya suatu contoh petak

tunggal dapat dilihat gambar 1.

Adapun parameter vegetasi yang dihitung adalah :

a. Kerapatan suatu species (K)

Σ ind. suatu species

Luas petak contoh

b. Kerapatan relatif suatu species (KR)

Kerapatan suatu species X 100%

Kerapatan seluruh species

40 cm

20 m

2 m

5 m

10 m

40 m

Gambar 1. Suatu Petak tunggal dalam analisis vegetasi

c. Frekuensi suatu species (F)

Σ Sub-petak ditemukan suatu sp.

Σ Seluruh sub-petak contoh

d. Dominansi suatu species (D)

d.l. Pohon, Tiang, Pancang

Luas bidang dasar suatu species

Luas petak contoh

d.2. Semai, Tumbuhan bawah

Luas penutupan tajuk

Luas petak contoh

Kadang-kadang untuk semai dominansi tidak

dihitung.

e. Dominansi relatif suatu species (DR)

Dominansi suatu species X 100

Dominansi seluruh species

f. Frekuensi relatif suatu species (FR)

Frekuensi suatu species X 100

Frekuensi seluruh species g. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR + FR + DR

Kadang-kadang untuk semai

INP = KR + FR

(2) . Petak ganda

Di dalam metoda ini pengambilan contoh vegetasi

dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh

letaknya tersebar merata. Peletakan petak contoh

sebaiknya secara sistematis. Untuk menentukan banyaknya

petak contoh dapat digunakan kurva species-area.

Sebagai ilustrasi pada gambar 2 disajikan cara

peletakan petak contoh pada metoda petak ganda.

Cara menghitung besarnya nilai

kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metoda

petak tunggal.

Sistematik Random

Gambar 2. Desain Petak Ganda di Lapangan

F.I.2. Metoda jalur

Metoda ini paling efektif untuk mempelajari

perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi

tanah, topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh

ini harus dibuat memotong garis-garis

topografi, misal tegak lurus garis pantai,

memotong sungai, dan menaik atau menurun

lereng gunung.

Untuk lebih jelasnya, contoh petak sampling

berbentuk jalur ini dapat dilihat Gambar 3.

Arah rintis

Gambar 3. Desain jalur contoh di lapangan

Perhitungan besarnya nilai kuantitatif parameter

vegetasi sama dengan metoda petak tunggal.

F.I.3. Metoda garis berpetak

Metoda ini dapat dianggap sebagai modifikasi

C

B

D

A

metoda petak ganda atau metoda jalur, yakni dengan cara

melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur

sehingga sepanjang rintis terdapat petak-petak pada

jarak tertentu yang sama. Gambar 4 memperlihatkan

pelaksanaan metoda garis berpetak di lapangan.

Perhitungan bersama nilai kuntitatif parameter

vegetatif sama dengan metoda petak tunggal.

F.I.4. Metoda Kombinasi antara metoda jalur dan metoda

garis berpetak

Di dalam metoda ini risalah pohon dilakukan

dengan metoda jalur dan permudaan dengan metoda garis

berpetak. Untuk lebih jelasnya desain metoda ini dapat

dilihat Gambar 5.

Jarak tertentu sama

Arah rintis

B

C

D

A

Gambar 4. Desain metoda garis berpetak

Perhitungan besarnya nilai kuantitatif parameter

vegetasi sama dengan metode petak tunggal.

F.2. Metoda tanpa petak

Di dalam metoda ini terlebih dahulu dibuat garis-

garis rintis dengan arah azimuth tertentu. Dengan jarak

tertentu (secara sistematis atau acak) di sepanjang

gatis tersebut dibuat titik pengukuran di mana

dilakukan pendaftaran dan pengukuran pohon.

F.2.1. Metoda Bitterlich

Di dalam metoda ini pengukuran dilakukan dengan

Tongkat Bitterlich (tongkat sepanjang 66 cm yang

ujungnya dipasangi alat seng berbentuk bujur sangkar

berukuran 2 X 2 cm). Dengan mengangkat tongkat setinggi

mata, plot seng diarahkan ke pohon-pohon yang ada di

sekelilingnya.

20 m

10 m

5 m 2 m

Gambar 5. Desain Kombinasi Metoda Jalur dan Metoda garis Berpetak

Arah rintis

B

C

D

A

Pohon yang tampak berdiameter lebih besar dan

sama dengan plot seng didaftar namanya dan diukur.

Sedangkan pohon yang tampak berdiameter lebih kecil

dari sisi plot seng tidak masuk hitungan.

Untuk setiap jenis ditentukan luas bidang

dasarnya dengan rumus:

N B = X 2,3 m2/ha

n

dimana : N = banyaknya pohon dari jenis yang

bersangkutan.

n = banyaknya titik-titik pengamatan

dimana jenis itu ditemukan.

2.3 = faktor bidang dasar untuk alat.

F.2.2. Metoda titik guadran (point quarter method)

Di dalam metoda ini di setiap titik pengukuran

dibuat garis absis dan ordinat khayalan, sehingga di

setiap titik pengukuran terdapat 4 buah quadran.

Pilih satu pohon di setiap kuadran yang letaknya

paling dekat dengan titik pengukuran dan ukur jarak

dari masing-masing pohon tersebut ke titik

pengukuran. Pengukuran dimensi pohon hanya dilakukan

terhadap keempat pohon yang terpilih.

Gambar 6 memperlihatkan pelaksanaan metoda ini

di lapangan.

Gambar 6. Desain Point quarter method di lapangan

Perhitungan besarnya nilai kuantitatif

parameter vegetasi adalah sebagai berikut :

a. Jarak rata-rata individu pohon ke titik pengukuran

dl + d2 + .......... + dn d =

n

dimana: d = jarak ind. pohon ke titik pengukuran di

setiap kuadran

n = banyaknya pohon

b. Kerapatan total semua jenis

Unit area

(d)2

(d)2 adalah rata-rata unit area/ind., yaitu rata-

rata luasan permukaan tanah yang diokupasi oleh satu

ind. tumbuhan.

c. Kerapatan relatif suatu jenis

Jumlah individu suatu jenis —————————————————————————- X 100% Jumlah individu semua jenis

d. Kerapatan suatu jenis

Kerapatan relatif suatu jenis ——————————————————————————— X

100

e. Dominansi suatu jenis

Kerapatan suatu jenis X dominansi rata-rata per

jenis

Kerapatan total semua jenis

f. Dominansi relatif suatu jenis

Dominansi suatu jenis X 100%

Dominansi seluruh jenis

g. Frekuensi Jumlah titik ditemukannya suatu jenis Suatu jenis =

Jumlah semua titik pengukuran

h. Frekuensi relative

Frekuensi suatu jenis X 100%

Frekuensi semua jenis

i . INP = KR + FR + DR

F.2.3. Metoda berpasangan acak (random pair method)

Di dalam metoda ini di setiap titik pengukuran

pilih-lah salah satu pohon yang terdekat dengan titik

pengamatan tersebut. Kemudian hubungkan pohon tersebut

dengan sebuah garis ke titik pengukuran. Buat sebuah

garis yang tegak lurus garis pertma dan pilihlah sebuah

pohon yang terdekat dengan pohon pertama tapi letaknya

di dalam sektor lain yang dibatasi oleh garis yang

ditarik tadi. Setelah jarak antara pohon pertama dan

kedua dicatat. Untuk lebih jelasnya pelaksanaan metoda

ini di lapangan dapat dilihat Gambar 7.

900 900

Gambar 7. Ilustrasi metoda berpasangan acak dalam analisis vegetasi

Besarnya nilai parameter vegetasi dihitung dengan

rumus-rumus sebagai berikut:

a. Kerapatan seluruh jenis

Unit area (Luas)

0.8 X jarak pohon rata-rata

b. Rumus lainnya sama dengan cara kuadran.

F.2.4. Metoda titik intersept (point intercept method)

Metoda ini cocok untuk komunitas tumbuhan bawah

seperti rumput, herba dan semak.

Dalam pelaksanaannya di lapangan dapat digunakan alat

pembantu seperti terlihat pada Gambar 8.

Dengan mengangkat dan menyentuhkan pin

yang terbuat dari kawat yang maka kita catat jenis

apa yang tersentuh sehingga dominansi dari jenis

tersebut dapat dihitung dengan rumus :

a. Dominansi suatu jenis

Σ sentuhan suatu jenis

Σ seluruh sentuhan

b. Dominansi relatif suatu jenis

Dominansi suatu jenis X100%

Dominansi seluruh jenis

c. Rumus-rumus lainnya sama dengan metoda dengan petak.

Hal yang sama dapat dilakukan dengan alat b dengan

cara memindahkan alat tersebut pada plot contoh tiap

10 cm, sehingga didapatkan dominansi dari jenis-

jenis yang tersentuh.

F.2.5. Metoda garis intersep (line intercept method)

Cara ini digunakan untuk komunitas padang rumput,

semak/belukar.

Prosedure pelaksanaan di lapangan:

- salah satu sisi areal dibuat garis dasar

- garis dasar tersebut menjadi tempat titik tolak

garis intersep.

- letakan garis-garis intersep secara random atau

sitema-tik pada areal yang akan diteliti.

Garis intersep sebaiknya berupa :

- pita ukur dengan panjang 50 - 100 kaki (1 kaki =

30.48 cm) .

- tambang, tali

Alat tersebut dibagi ke dalam interval-interval

jarak tertentu.

Hanya tumbuh-tumbuhan yang tersentuh, di atas atau di

bawah garis intersep yang diinventarisir. Jenis data yang

diinventarisir adalah :

(1) panjang garis yang tersentuh oleh setiap individu

tumbuhan.

(2) panjang segmen garis yang berupa tanah kosong.

(3) jumlah interval yang diisi oleh setiap species.

(4) lebar maksimum turnbuhan yang disentuh garis intersep.

Sebaiknya, kalau komunitas tumbuhan terdiri atas

beberapa strata, penarikan contoh dilaksanakan secara

terpisah-pisah untuk setiap strata.

Besaran/parameter vegetasi yang dihitung adalah :

(1) jumlah individu setiap jenis (N).

(2) Total panjang intersep setiap jenis (I).

(3) Jumlah interval transek/garis ditemukannya suatu jenis (G).

(4) Total dari kebalikan dari lebar tumbuhan maksimum (X 1/m).

(5) Kerapatan suatu jenis

unit area (E 1/m) = (——————————————————————————)

total panjang garis intersep

(6) Kerapatan Relatif suatu jenis kerapatan suatu jenis

X 100% kerapatan seluruh jenis

(7). Dominansi suatu jenis

Total panjang garis intersep suatu jenis X100%

Total panjang garis intersep

(8). Dominansi Relatif suatu jenis

Total panjang garis intersep suatu jenis X100%

Total panjang garis intersep semua jenis

(9). Frekuensi suatu jenis

Σ interval ditemukannya suatu jenis

Σ semua interval transek

(10).Frekuensi Relatif suatu jenis

Frekuensi yang dipertimbangkan untuk suatu jenis

X 100% Total frekuensi yang dipertimbangkan untuk semua jenis Frekuensi yang dipertimbangkan =

Σ 1/m F =

N

(ll). INP = KR + FR + DR.

VII. HUBUNGAN MASYARAKAT TUMBUHAN DENGAN LINGKUNGAN

A. Pengertian Lingkungan

Lingkungan adalah suatu sistem yang kompleks di

mana berbagai factor berpengaruh timbale balik satu

sama lain dan dengan komunitas organism hidup.

Satu/beberapa factor lingkungan dikatakan penting bila

berada pada taraf minimal, maksimal dan optimal menurut

batas toleransi dari tumbuh-tumbuhan sehingga factor-

faktor tersebut sangat mempengaruhi tumbih dan hidupnya

tumbuh-tumbuhan. Satu atau beberapa organism/tumbuhan.

Factor penghambat adalah setiap keadaan jumlah

sesuatu zat atau derajat sesuatu factor fisik yang

berada dekat atau melampaui batas-batas toleransi.

Kisaran toleransi organism terhadap lingkungan ada dua

macam, yaitu:

1). Steno (sempit)

2). Eury (lebar)

Setiap organism kemungkinan hidupnya dibatasi oleh:

1. jumlah dan variabilitas zat-zat tertentu yang ada,

kebutuhan minimum, dan factor-faktor fisik yang

kritis

2. batas-batas toleransi dari masing-masing organism

terhadap factor-faktor itu dan factor-faktor lainnya

B. Tujuan Pengamatan Faktor Lingkungan

Tujuan pengamatan/analisa factor lingkungan di

dalam kajian ekologis adalah:

1. merumuskan factor-faktor mana yang operasionil

penting

2. menentukan bagaimana pengaruh factor-faktor itu

terhadap individu, populasi dan komunitas tumbuhan

C. Faktor-Faktor Lingkungan

b. Komponen-komponen Lingkungan

Faktor Lingkungan Abiotik Aspek-Aspek yg Penting C.1. Faktor Lingkungan

Abiotik

1. Faktor Iklim - Cahaya

Intensitas, kualitas, lama dan periodisitas

- Suhu Derajat, lama dan periodisitas

- Curah hujan Banyaknya dan intensitas, frekuensi, distribusi dan musim

- Kelembaban udara Kelembaban nisbi, tekanan uap, dan deficit tekanan uap

- Angin Kecepatan, kekuatan dan arah, frekuensi, macamnya

- Gas udara Oksigen, CO2, gas-gas lain 2. Faktor Geografis

- Letak geografis Derajat lintang, derajat bujur, pulau atau benua, jarak dari pantai

- Topografi Lereng, derajat dpl, bentuk lapangan

- Geologi Sejarah geologi, batuan dan bahan induk

- Vulkanisme Pengaruh panas, mekanisme dan kimia

3. Faktor Edafis - Jenis tanah

- Sifat-sifat fisik Profil, struktur, tekstur, aerasi, porositas, dan bulk density, kadar air, drainase, permeabilitas, infiltrasi, suhu

- Sifat-sifat kimia pH, mineral tanah, kandungan hara mineral, kandungan senyawa organic, sifat-sifat base-exchange

- Sifat-sifat biotis Flora tanah, jamur, bakteri, fauna tanah, cacing, rayap, pengaruh kimia dan fisik, macam bahan organic, humus, serasah

- Erosi C.2. Faktor Lingkungan Biotik

1. Manusia Penebangan, pembakaran, pencemaran air/udara, aktivitas tanam-menana dan pengolahan tanah

2. Hewan Penyerbukan, penyebaran buah

dan biji, pengaruh kotoran, memakan dan merusak bagian-bagian tumbuh-tumbuhan, transmisi penyakit

3. Tumbuh-tumbuhan Persaingan, parasitisme, simbiosis, pengaruh toksis

D. Iklim

1. Pengertian iklim dapat dikategorikan ke dalam:

a. Iklim mikro : iklim yang nilai-nilainya berlaku

untuk tempat/ruang yang terbatas (habitat mikro)

b. Iklim makro : iklim yang nilai-nilainya berlaku

untuk daerah yang luas. Nilai-nilai iklim makro

dipergunakan untuk menetapkan tipe iklim, zona

iklim, zona vegetasi

2. Klasifikasi iklim yang paling banyak dipergunakan

di Indonesia adalah klasifikasi tipe hujan oleh

Schmidt dan Fergusson (1951). Dimana:

Jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) Q =

Jumlah rata-rata bulan kering (> 100 mm)

Berdasarkan nilai Q, setiap tipe iklim mempunyai

tipe-tipe hujan sebagai berikut:

Tipe Iklim Nilai Q Keadaan Ikllim A 0 – 0.143 Tanpa musim kering, hutan hujan

tropika selalu hijau B 0.143 – 0.333 Tanpa musim kering, hutan hujan

tropika selalu hijau C 0.333 – 0.600 Musim kering nyata, peralihan

hutan hujan tropika ke hutan musim

D 0.600 – 1.000 Musim kering agak keras, hutan musim yang pohon-pohonnya gugur daun

E 1.000 – 1.670 Musim kering keras, hutan savanna

F 1.670 – 3.000 Musim kering keras, hutan savanna

G 3.000 – 7.000 Daerah kering, padang pasir H > 7.000 Daerah kering, padang pasir

Umumnya di hutan hujan, jumlah curah hujan

berkisar antara 1600-4000 mm/tahun. Di daerah

dengan curah hujan < 1000 mm/tahun ditemukan

komunitas savanna, sedangkan daerah gurun curah

hujannya ≤ 300 mm/tahun.

3. Cahaya

a. Fotosintesis

- Cahaya matahari merupakan sumber utama energy

yang diperlukan bagi kehidupan. Bagi tumbuhan,

energy cahaya melalui butir-butir daun diserap

dan dirubah menjadi energy kimia dalam bentuk

mineral molekul gula yang sederhana.

Cahaya CO2 + 2 H20 CH20 + H20 + 02 + Energi

Klorofil

Selain itu, bagai tanaman cahaya merangsang

proses diferensiasi jaringan dan sel-sel

tanaman. Untuk pertumbuhan yang normal,

minimal harus ada keseimbangan antara

fotosintesis dan respirasi. Intensitas cahaya,

dimana masukan energy tumbuhan melalui

fotosintesis dapat mengimbangi penggunaan

energy tersebut oleh respirasi disebut titik

kompensasi

- Radiasi matahari yang diterima permukaan bumi

berpanjang gelombang 300-10000 mu. Sedangkan

sekitar 40% dari radiasi total merupakan

cahaya kasat mata dengan panjang gelombang

400-750 mu. Dari energy cahaya kasat mata

tersebut hanya 1-4% yang digunakan untuk

fotosintesis. Dari spectrum cahaya kasat mata

yang terutama diabsorbsi daun untuk

fotosintesis adalah sinar biru (panjang

gelombang 450 mu) dan sinar merah (670 mu)

- Hanya sebagian kecil saja energy yang tersedia

digunakan untuk fotosintesis, selebihnya

dipantulkan, dan lalu 60-90% diabsorbsi lalu

manjadi energy panas yang sebagian besar

digunakan untuk transpirasi. Menurut Galston

(1961), dari energy matahari yang diterima

permukaan bumi, sebesar 100 000 cal/cm2/th

tersedia untuk fotosintesis daun.

b. Transpirasi

- Besarnya transpirasi bergantung pada:

a. keadaan tempat tumbuh terutama iklim.

Penguapan daun semakin banyak bila kadar

air tanah semakin tinggi

b. kesuburan komunitas tumbuhan.

Tegakan yang lebih subur di areal beriklim

basah mempunyai transpirasi yang lebih

tinggi daripada tegakan yang kurang subur.

c. Kedudukan tumbuh-tumbuhan dalam komunitas.

Di dalam huutan, strata pohon penguapannya

lebih tinggi dari strata semak

- Transpirasi berbagai jenis tumbuhan menurut

Coster (1937):

a. Tumbuhan yang penguapannya kuat (> 2000

mm/th). Albizia falcataria, Acacia

villaosa, Leucaena galuca, Eupatorium

palescens, Bambu, Samanea samans, Lantana

camara, dll. Tipe vegetasi yang

penguapannya kuat: belukar.

b. Tumbuhan yang penguapannya sedang (1000-

2000 mm/th). Tectona grandis, Hevea

brasiliensis, Imperata cylindrical,

Artocarpus integra, Coffea robusta,

Eucalyptus alba, dll.

c. Tumbuhan yang penguapannya lemah (<1000

mm/th). Thea sinensis, Cocoa nucifera,

Casuarina equisetifolia, Ficus elastic,

Garcinia mangostana, Pinus merkusii,

Agathis alba, Lagerstroemia speciosa, dll.

Tipe vegetasi yang penguapannya lemah:

hutan pegunungan.

- Selain cahaya kasat mata, ada cahaya infra

merah yang tidak dapat dilihat. Secara

ekologis, cahaya ini penting karena memberikan

efek pemanasan dan berpengaruh pada proses

perkecambahan dan pertumbuhan batang. Selain

itu ada juga sinar ultra violet yang sebagian

besar diserap oleh lapisan ozon di luar

atmosfir. Sinar ini dapat mematikan

protoplasma.

- Factor cahaya yang penting diketahui adalah:

1). Intensitas cahaya atau jumlah radiasi per

satuan luas per satuan waktu, 2). Kualitas

atau komposisi panjang gelombang, dan 3)

lamanya penyinaran dalam sehari.

- Berdasarkan adaptasi tumbuhan terhadap

perbedaan intensitas cahaya, tumbuh-tumbuhan

dikategorikan ke dalam:

a. Tumbuhan toleran (shade-adapted plant)

yaitu tumbuhan yang tahan hidup di bawah

naungan (scyophyt), missal: Altingia

excelsa, Schima noronhae, Swietenia

mahagoni, Dypterocarpus spp., Dryobalanops

aromatic, Shorea accuminatisima, Vatica

rassak, Eusyderoxylon zwageri.

b. Tumbuhan intoleran (sun-adapted atau light

demanding plant) yaitu tumbuhan yang untuk

hidupnya memerlukan banyak cahaya matahari

(Heliophyt), missal: Acacia mangium,

Paraserianthes falcataria, Eucalyptus alba,

Gmelina arborea, Pinus merkusii, Tectona

grandis, Pterospermum javanicum

- Warna cahaya mempengaruhi kecepatan

fotosintesis. Dalam hal ini warna biru dan

merah lebih berpengaruh. Lamanya penyinaran

atau periodisitas cahaya sangat berpengaruh

terhadap fase generative (pembungaan).

Berdasarkan reaksi tanaman terhadap panjang

hari, tumbuhan dibagi menjadi tiga vegetasi,

yaitu:

a. Tumbuhan hari pendek, yaitu tumbuhan yang

berbunga bila panjang hari < 12 jam, missal

ubi jalar, arbei, aster, semai, dll.

b. Tumbuhan berhaari panjang, yaitu tumbuhan

yang berbunga bila panjang hari > 12 jam,

misal: kentang, lobak, dll

c. Tanaman netral, yaitu tanaman yang tidak

dipengaruhi oleh panjang hari, misal:

tomat, nenas, kapas, ubi kayu.

Bayangan hutan merupakan bayangan merah karena

cahaya yang telah melalui daun-daun hijau tersaring dan

chaya yang diteruskan banyak mengandung sinar-sinar

hijau, merah dan infra merah. Bila hutan terlau rapat,

ada kemungkinan bayangan hutan terlalu banyak

mengandung sinar infra merah yang tidak baik bagi

pertumbuhan jenis-jenis pohon tertentu. Karenanya

permudaan banyak terdapat di tempat-tempat terbuka

dalam hutan sehingga di hutan yang rapat perlu ada

tindakan seeding cutting.

D. ADAPTASI TUMBUHAN

Warming (1895) mengklasifikasikan tumbuhan kedalam

bebera-pa grup ekologi berdasarkan persaratan tumbuh

terhadap air dan macam subtrat/tanah dimana tumbuhan

hidup.

A. Grup Ekologi Tumbuhan berdasarkan Jenis Tanah

sebagai Media Tumbuh :

1. Tumbuhan tanah asam (Oxylophytes)

2. Tumbuhan tanah basa (Halophytes)

3. Tumbuhan tanah pasir (Psammophytes)

4. Tumbuhan pada permukaan batu-batuan (Lithophytes).

Epifit tidak termasuk, karena tidak mempunyai

hubungan yang permanen dengan tanah.

B. Grup Ekologi Tumbuhan berdasarkan kebutuhannya

terhadap air :

1. Hydrophytes : tumbuhan yang hidup didalam atau

dekat air.

2. Xerophytes : tumbuhan yang hidup di habitat kering

(kurang suplai air).

3. Mesophytes : tumbuhan yang hidup di habitat yang

tidak kering juga tidak basah (lembab).

HYDROPHYTES

A. Asal Kata

Bahasa Yunani : Hudor = air

Phyton = tumbuhan

B. Pengertian

Hydrophytes : tumbuhan yang hidup ditempat basah

atau dalam air baik sebagian maupun

seluruh tubuhnya terendam

Contoh : Hydrilla, Utricularia, Eichornia, dll

C. Klasifikasi Hydrophytes

Berdasarkan hubungan dengan air dan udara,

hydrophytes dibagi kedalam:

1. Submerged hydrophytes

Tumbuhan yang tumbuh di bawah permukaan air

(tanpa adanya kontak dengan atmosfir).

Contoh : Hydrilla, Vallisneria, Nitella, dll.

2. Floating Hydrophytes

Tumbuhan yang terapung di permukaan atau sedikit

di bawah permukaan air. Tumbuhan ini ada kontak

baik dengan air maupun udara, serta tumbuhan

tersebut mungkin berakar atau tidak dalam tanah.

Floating hydrophytes dibagi kedalam dua grup,

yaitu :

a. Free floating hydrophytes

Tumbuhan yang terapung bebas di permukaan air

tanpa berakar di lumpur.

Contoh: Wolffia arhiza

Wolffia microscopic Azolla

Eichornia crassipes

b. Floating but rooted hydrophytes

Tumbuhan yang berakar dalam lumpur di dasar

perairan, tapi daun dan bunganya terapung di

atau di atas permukaan air.

Contoh : Victoria regia (water lily)

Nymphaea

Ceratopteris thaiictroides

3. Amphibious hydrophytes

Tumbuhan yang beradaptasi terhadap lingkungan

perairan dan daratan. Tumbuhan ini bisa tumbuh di

saluran air atau di subtrat lumpur. "Amphibious

plants" yang hidup di tempat pasang-

surut/payau digolongkan halophytes. Akar dan

bebernpa bagian batang terendam oleh air atau

terkubur oleh lumpur, tapi sebagian pucuk daun,

cabang, dan bunga di atas permukaan air atau

bahkan tersebar di daratan.

Bagian aerial dari tumbuhan tersebut

memperlihat-kan penampilan mesophytik atau

xerophytic, tapi bagian yang terendam

berkarakter seperti hydrophytic.

Contoh : Oryza sativa (padi)

Enhydra flutuars

Marsilea Sagittaria

Phragmites Scirpus

Alisma

Jussiaea

Neptunia

Commelina

Polygonum

Typha

Ranunculus aquatilis, dll.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuhan di lingkungan

perairan

a. Suhu air

Tumbuhan air jarang dipengaruhi oleh suhu yang

ekstrim, karena air merupakan konduktor panas

yang buruk.

b. Konsentrasi osmotik dan toksisitas air

Keadaan ini bergantung pada jumlah dan komposisi

bahan kimia yang terlarut dalam air. Fisiologis

tumbuhan air sangat dipengaruhi oleh perubahan

konsentrasi osmotik air.

C. Adaptasi Hydrophytic

Beberapa penampilan adaptif dari tumbuhan air dalam:

a. Akar

- Tumbuhan air mempunyai akar yang berkembang kurang

baik.

- Bagian akar yang berhubungan langsung dengan air

berfungsi sebagai perraukaan penyerap air dan

mineral.

- Akar pada tumbuhan air yang terapunq miskin akan

rambut akar.

- Beberapa hydrophytes berakar seperti Hydrilla

memperoleh makanan dari air melalui

permukaan tubuhnya, tetapi sebagian tergantung

pada akarnya dalara tanah dalam hal unsur

mineral.

- Akar kadang-kadang tidak ditemukan dalam

tumbuhan air seperti: Azolla, Salvinia,

Ceratophyylurn, Utricularia.

- Dalam Jussiaea repens berkembang dua macam akar

bila tumbuh dipermukaan air, yaitu akar normal

dan akar "negatively geotrophic" yang mempunyai

struktur sponge.

- Akar terapung membantu tumbuhan air dalam

kestabilan posisi terapung.

b. Batang

- Batang bersifat lunak, warna hijau/kuning.

c. Daun

- Umumnya berbulu, panjang, bulat, warna hijau

pucat/gelap, permukaan atas berhubungan bebas

dengan atmosfir, tapi bagian dibawahnya

bersentuhan dengan air.

2. Heterophylly

- Heterophyly adalah suatu penomena dimana beberapa

tumbuhan air mengembangkan dua tipe daun yang

berbeda, yaitu daun yang terendam air dan daun di

atau di atas permukaan air. Contoh : Sagittaria,

Azolla, Salvinnia.

- Daun yang terendam umumnya berbentuk pita linier

atau sedikit terpotong, dan daun yang terapung

atau di atas permukaan air berbentuk bulat atau

seperti telinga.

- Heterophylly berkaitan dengan karakteristik

fisiologi tumbuhan air sbb:

a. Pengurangan jumlah transpirasi

b. Daun lebar di/diatas permukaan air menaungi

daun yang terendam beradaptasi terhadap

intensitas cahaya yang rendah.

c. Tumbuhan air kurang menunjukkan respon terhadap

kekeringan, karena kekurangan air dapat

dikompensasi oleh daun yang terendam dalam

air.

d. Variasi dalam life-form dan habitat,

e. Daun yang lebar dipermukaan air bertranspirasi

secara aktif dan mengatur tekanan hidrostatik di

dalam tubuh tanaman.

3. Daun tumbuhan air yang terapung bebas adalah

bersifat halus dan sering dilindungi oleh "wax".

Lapisan "wax" ini berfungsi sebagai pelindung daun

dari luka kemis-fisis dan menghalangi penyumbatan

stomata oleh air.

4. Dalam beberapa tumbuhan air, petiol (daun penumpu)

menj adi bengkak dan berkembang dengan susunan

sponga relatif sedikit yang berperan sebagai

"bouyancy" dari tanaman tersebut.

5. Daun yang terendam umumnya kecil dan sempit

panjang. Hal ini berguna untuk melawan/beradaptasi

dengan aliran air. Dengan demikian, tumbuhan

tersebut dipengaruhi sedikit tekanan mekanik air.

6. Dalam "amphibious plants", daun yang berada

dipermukaan air memperlihatkan penampilan

mesophytic. Daun-daun tersebut lebih keras

daripada daun dari grup hydrophytes lainnya.

- penyerbukan dan dipersal buah dan biji

dilakukan oleh media air termasuk organisme

yang hidup di air). Buah dan biji ringan,

sehingga mudah terapung di air.

- Tumbuhan air umumnya bereproduksi secara

vegetatif. Pada Alga, reproduksi dilakukan o]eh

Zoospore dan motile/non-motile spora.

D. Modifikasi Anatomi

Dalam tumbuhan hydrofit, modifikasi anatomi berperan

sebagai :

1. Pengurangan struktur pelindung

a. Cuticle

- tidak ditemukan dibagian tanaman terendam

air.

- beberapa lapisan tipis di permukaan tubuh

tumbuhan di permukaan air.

b. Epidermis

- berfungsi sebagai alat penyerap air, hara

mineral, dan gas secara langsung dari

lingkungan air.

c. Sel epidermal mengandung kloroplas, sehingga

sel tersebut berfungsi sebagai alat

fotosintesis, terutama daun dan batang sangat

tipis, misal Hydrilla.

d. Hypodermis

- kurang berkembang

- beberapa sel yang berdinding sangat tipis.

2. Peningkatan Aerasi

a. Stomata

- tidak dijumpai pada tanaman yang terendam

air.

- pada tumbuhan terapung stomata berkembang

dengan jumlah yang terbatas pada permukaan

sebelah atas.

- pada tumbuhan amphibia stomata tersebar di

seluruh bagian tumbuhan yang kontak dengan

atmosfir dalam jumlah yang lebih besar

daripada tumbuhan terapung.

b. Lubang udara ("air chamber")

- Aerenchyma dalam daun yang terendam dan

batang berkembang dengan baik.

- “Air Chamber” diisi oleh gas dan air

- CO2 dalam “Air Chamber” digunakan dalam

fotosintesis dan O2 yang dihasilkan oleh

fotosintesis dan O2 dalam “Air Chamber”

digunakan dalam proses respirasi

- “Air chamber” mengembangkan “septa-cross”

perforasi yang halus: disphragma, yang berguna

bagi peningkatan aerasi dan mengontrol ekses

air.

- Aeranchyma berperan untuk buoyancy dan

penunjang mekanik tumbuhan air

3. Pengurangan jaringan penunjang mekanik

a. Jaringan mekanik sangat minim/tidak ada pada

tumbuhan yang terendam air, karena gaya bouyant

air memungkinkan tumbuhan terlindung dari luka

fisik. Jaringan ini berkembang dalam korteks

tumbuhan amfibi terutama di bagian yang

berhubungan dengan atmosfir

b. Dalam teratai dan beberapa tanaman lainnya,

asterosclereid (sel berlignin berbentuk bintang)

berkembang untuk menunjang tubuh tanaman.

4. Pengurangan Jaringan Pembuluh

- Karena absorbs air dan hara mineral dilakukan

oleh seluruh permukaan tubuh tumbuhan yang

terendam air, makan jaringan pembuluh tidak

begitu diperlukan

- Dalam tumbuhan air berjaringan pembuluh, xylem

tidak berkembang dengan baik. Beberapa tumbuhan

air inemperlihatkan lacuna dipusat tempat xylem

terbentuk. Lacuna berperan sebagai "air

chamber" .

- Jaringan phloem umumnya tidak berkembang dengan

baik, tetapi dalam beberapa kasus phloem

berkembang dengan baik, tapi endodermis kadang-

kadang tak dapat dibedakan secara jelas.

- Kumpulan pembuluh umurnnya berkelompok ke arah

pusat. Sedangkan pertumbuhan sekunder tidak

terjadi dalam tumbuhan air (batang dan akar).

XEROPHYTES

A. Pengertian

Tumbuhan yang tumbuh di habitat kering atau xeric.

Habitat xeric adalah habitat dimana ketersediaan,

air sangat terbatas.

B. Tipe-tipe Habitat Xeric

1. Habitat yang secara fisik kering, dimana

kkapasitas menahan air dari tanah adalah rendah

dan beriklim kering, misal gurun, permukaan

batuan, lahan kritis, dll.

2. Habitat yang secara fisiologi kering (daerah

yang banyak kelebihan air, tapi air tersebut

sukar diserap oleh tumbuhan). Habitat tersebut

mungkin terlalu masin, terlalu dingin atau

terlalu asam.

3. Habitat yang secara fisik dan fisiologis kerng,

misal lereng gunung.

- Xerophytes adalah tumbuhan karakteristik gurun

dan semigurun, tapi tumbuhan tersebut dapat

tumbuh dikondisi mesophytic dimana air yang

tersedia jumlahnya sedikit.

- Xerophytes dapat beradaptasi dengan kondisi

yang ekstrem kering, kelembaban rendah dan

suhu tinggi.

- Xerophytes yang tumbuh pada kondisi yang

kurang sesuai, maka tumbuhan tersebut

mengembangkan suatu sifat karakteristik

fisiologi dan struktur khusus yang berfungsi

untuk :

a. Mengabsorpsi air sebanyak mungkin dari

lingkungannya.

b. Menahan air dalam organ untuk periode waktu

yang lama.

c. Mengurangi transpirasi serninimal mungkin.

d. Mengontrol penggunaan konsumsi air.

C. Klasifikasi Xerophytic Berdasarkan Ketahanannya

terhadap Kekeringan.

1. Tumbuhan terhindar dari kekeringan

- Bersiklus hidup pendek

- Selama periode kering yang ekstrirn, tumbuhan

berada dalam fase buah dan biji dengan kulit

biji dan pericarp yang keras.

- Dalam kondisi yang memungkinkan, biji

berkecambah yang bersiklus hidup pendek

(beberapa minggu).

- Biji masak sebelum mendekati musim kering,

sehingga tanaman selamat dari kondisi kering

yang ekstrim. Tumbuhan demikian disebut

EPHEMERAL.

- Tumbuhan tersebut umum tumbuh di semiarid,

dimana curah hujan periodenya pendek.

- Contoh : Astragalus, Artemesia, Boaginaceae,

rumput.

2. Tumbuhan yang menderita kekeringan

- Tumbuhan berukuran kecil yang berkapasitas

untuk mentolerir atau menderita kekeringan.

3. Tumbuhan yang tahan kekeringan

- Tumbuhan ini membentuk organ adaptif untuk

bertahan terhadap kondisi kekeringan yang

ekstrim.

Xerophytes tumbuh di habitat yang berbeda :

- Tanah berbatu (Lithophytes)

- Gurun

- Pasir dan kerikil (Psamrnophytes)

- Tanah marginal (Eremophytes)

Beberapa tumbuhan habitat kering mempunyai organ

penyimpanan air. Dalam hal ini, xerophytes

dibagi dua kelompok :

a. Succulent xerophytes :

Adalah tumbuhan yang mempunyai organ-organ

yang bengkak dan berdaging akibat secara

aktif mengakumulasi air dalam organ tersebut.

Air yang disimpan dalam organ tersebut

dikonsumsi tumbuhan pada saat musim kering

yang ekstrim.

b. Non-succulent atau xerophytes sejati.

D. Adaptasi Xerophytes

1. Karakter xeromorphic

- Karakter xerofitik yang dapat diwariskan

(bersi-fat genetik) disebut xeromorhic.

Contoh : halophytic mangrove dan beberapa pchon

selalu-hijau selalu memperlihatkan

xeromorphic characters.

2. Karakter xeroplastic

- Karakter xeroplastik : karakter yang disebabkan

oleh kekeringan dan selalu berasosiasi dengan

kondisi kering. Karakter ini tidak menurun, dan

akan hilang kalau faktor lingkungan

memungkinkannya

- Penampilan xerophytic yang penting adalah

sebagai berikut :

a. Adaptasi morfologi

(1). Akar

Xerophyte mempunyai sistem perakaran

yang berkembang dengan baik. Banyak

tumbuhan dari golongan ini mempunyai

perakaran yang dalam untuk mencapai

lapisan tanah yang banyak air.

(2). Batang

a) Batang dari beberapa xerophytic

menjadi keras dan berkayu baik

batang yang aerial maupun sub-terranean

b) Batang banyak diselimuti oleh

lapisan lilin yang tebal (misal

Equisetum). Selain itu, ada juga batang

yang diselimuti bulu-bulu yang rapat

(misal Calotropis)

c) Dalam beberapa xerophytic, batang

mungkin termodifikasi menjadi

duri, misal Duranta, Ulex, dll.

d) Dalam batang yang berdaging, batang

utama sering menjadi umbi dan

berdaging dan nampaknya daun pada

tanaman tersebut muncul secara

langsung dari bagian atas akar.

e) Batang dalam beberapa xerophytic

termodifikasi menjadi daun yang

datar, hijau dan berdaging,

yang terkenal dengan istilah

phylloclades. Contohnya: kaktus

dan kokoloba (Maehlenbeckia).

(3). Daun

a) Dalam beberapa xerophytes, daun

sering "caducous" (gugur cepat),

tetapi mayoritas daun umumnya

tereduksi menjadi seperti sisik

rnisal daun Casuarina, Ruacus,

Asparagus, dll.

b) Beberapa xerophytes mempunyai daun

seperti jarum, misal Pinus.

c) Dalam daun berdaging yang berfungsi

sebagai penyimpan kelebihan air dan

getah, umumnya mempunyai batang

yang tereduksi. Contoh: Sedum acre,

Aloe spinossissima, dll.

d) Umumnya xerophytes mempunyai daun

yang tereduksi (ukurannya mengecil)

dan terlapisi oleh silika lilin dan

mengandung cuticle yang tebal.

Kadang-kadang daunnya tereduksi

menjadi duri seperti pada Opuntia

(kaktus)

e) Umumnya daun xerophytic mempunyai

daun yang kecil dengan semacam

jarum/duri dan berurat yang rapat.

f) Trichophylly

Beberapa xerophytic yang tumbuh di

daerah yang berangin kencang,

permukaan bawah daun untuk melin-

dungi stomata. Xerophytic yang daun

dan batangnya tertutupi oleh bulu

disebut "trichophy1lous plants",

misal Nerium.

g) Daun tergulung (Rolling of leaves).

Dalam hal ini stomata hanya

tersebar dipermukaan atas; dan

karena daun tergulung ke arah atas

dengan sendirinya stomata tertutup

dari atraosfir. Cara ini merupakan

modifikasi yang efektif untuk

mengurangi hilangnya air bagi

tanaman. Contoh: rumput di gurun

pasir.

(4). Bunga, buah dan biji

Bunga selalu berkembang pada

kondisi lingkungan yang

memungkinkan. Buah dan biji

terlindungi oleh kulit yang cukup

keras.

b. Adaptasi Anatomi

Bagi xerophytes, adaptasi anatomi ditujukan

untuk mengefisienkan penggunaan air.

1) Adanya deposisi lilin, lignifikasi, dan

kutinisasi pada perraukaan epidermis dan

bahkan di hipodermis.

2) Epidermis

Sel pada xerophytes adalah kecil dan

kompak. Umumnya epidermis terdiri atas

dua atau tiga lapisan memanjang secara

radial. Sel epidermis ini diselimuti

lilin, tanin, resin, selulose, dll,

membentuk suatu saringan melawan

intensitas cahaya yang tinggi.

3) Rambut

Rambut-rambut ini berperan untuk

rnelindungi stomata dan mencegah

kehilangan air yang berlebihan. Rambut

tersebut bisa sederhana atau kompleks,

uni atau multiseluler.

4) Stomata

Dalam xerophytes, reduksi transpirasi

adalah sangat penting. Hal ini dapat

terjadi bila jumlah stomata/unit area

berkurang atau stomata termodifikasi

strukturnya. Umumnya stomata pada

xerophytes bertipe cekung tenggelam.

Stomata ini bisa berada di atas permukaan

daun (rolled leave) dan di bawah

permukaan daun (dorsiventral leave).

5) Hypodermis.

Dalam xerophytes, langsung di bawah

epidermis terdapat satu atau beberapa

lapisan kompak grup sel berdinding tebal

yang membentuk hydrodermis. Hypodermis

dapat berasal dari epidermis atau korteks

(batang) atau mesophyll (daun). Kadang-

kadang hipodermis diisi oleh tanin dan

mucilage (lendir).

6) Ground tissue

a. Dalam batang, sebagian besar bagian

tubuh dibentuk oleh sklerenkim. Dalam

kasus dimana daun tereduksi (ukurannya

kecil) atau daun gugur cepat,

fotosintesis dilakukan oleh kortek

klorenkimatis terluar yang dihubungkan

oleh stomata dengan atmosfir.

Pertukaran gas secara teratur

dilakukan oleh batang.

b. Dalam batang dan daun berdaging,

ground tissue terisi oleh jaringan

parenkimatis berdinding yang menyimpan

kelebihan air, lendir, lateks, dll.

Hal ini membuat batang bengkak dan

berdaging.

c. Dalam daun, mesofil adalah sangat

kompak dan ruang antar sel semakin

sempit. Ada beberapa xerophyte yang

mesofilnya dikelilingi oleh lembaran

hipodermal yang tebal dari sklerenkim

dari semua sisi kecuali dari bawah.

Lembaran ini membentuk diafragma untuk

melawan intensitas cahaya. Jenis

xerophyte yang skhlerenkimanya

berkembang ektensif disebut tumbuhan

sklerofilous. Dalam daun berdaging,

parenkim berkembang ekstensif sebagai

penyimpan air.

d. Ruang antar sel semakin sempit. Sel-

sel dalam tubuh xerophytes adalah

sangat kecil, berdinding tebal, dan

kompak. Sel tersebut mungkin sperikal,

melingkar, atau bentuk kuboid.

e. Conducting tissue, yaitu xylem dan

phloem berkembang baik dalam tubuh

xerophytes.

c. Adaptasi Fisiologi

Semula para ahli berasumsi bahwa adaptasi

struktural dalam tubuh xerophytes sangat

berguna dalam pengurangan transpirasi.

Tetapi saat ini hasil-hasil penelitian

menunjukkan bahwa kecuali sukulen, xerophyt

sejati menunjukkan laju transpirasi yang

tinggi. Dalam kondisi yang serupa, laju

transpirasi per unit area dalam xerofit

lebih besar dari mesofit. Begitu pula

jumlah stomata/unit area daun dalam xerofit

lebih besar dari mesofit.

(1) Sukulen mengandung polisakarida,

pentosan dan sejumlah masam yang

berperan sebagai penahan panas.

Modifikasi struktural dari sukulen

xerofit diatur oleh proses fisiologi.

Sukulen terbentuk dengan baik, karena

konversi polisakarida menjadi pentosan

menyebabkan akumulasi jumlah air

berlebihan dalam sel.

(2) Pada tanaman sukulen, stomata terbuka

dimalam hari dan tertutup disiang hari.

Pada malam hari, tumbuhan berespirasi

dan menghasilkan masam. Akumulasi masam

dalam sel pelindung akan meningkatkan

konsentrasi osmotik yang menyebabkan

aliran air dalam sel pelindung

tersebut. Saat sel pelindung

membengkak, stomata terbuka. Di siang

hari, masam-masam terurai menghasilkan

C02 yang digunakan dalam fotosintesis

dan sebagai akibat dari

tekanan/konsentrasi osmotik sel, serupa

(getah) menurun yang menyebabkan

stomata tertutup.

(3) Dalam xerofit, komposisi kimia dari

cairan sel secara aktif dikonversi

kedalam dinding sel. Misalnya,

perobahan polisakarida terhadap bentuk

anhidruous seperti selulosa.

(4) Beberapa enzim seperti eatalases,

peroxidases adalah lebih aktif dalam

xerofit daripada mesofit. Dalam

xerophytes, enzim amilase

menghidrolisis pati secara aktif.

(5) Kapasitas xerophyte untuk bertahan

hidup dalam kondisi kering dalam waktu

yang lama, tidak hanya disebabkan oleh

penampilan khusus struktural, tetapi

juga oleh resistensi protoplasma

terhadap panas dan kekeringan.

(6) Pengaturan transpirasi

Adanya cuticle, permukaan yang

licin, sel yang kompak dan

stomata yang cekung dilindungi

oleh rarnbut stomata untuk

mengatur transpirasi.

(7) Cairan sel bertekanan osmotik tinggi

Fenomena ini akan meningkatkan

pembengkakan sel yang menekan dinding

sel. Cairan sel yang bertekanan osmotik

tinggi juga akan mempengaruhi absorbsi

air.

MESOPHYTES

Mesofit adalah tumbuhan daratan yang tumbuh

dalam kondisi tidak terlalu basah dan tidak terlalu

kering. Tumbuhan ini tidak dapat tumbuh dalam tanah

jenuh air dan tanah kering. Contoh: vegetasi hutan

hujan, meadow, dll. Mesofit yang sederhana terdiri

atas rumput dan herba, sedangkan mesofit yang lebih

kaya terdiri atas herba dan semak, dan mesofit terkaya

terdiri atas pohon-pohonan. Mesofit dapat dibagi ke

dalam dua kelompok tumbuhan, yaitu:

1. Kornunitas rumput dan herba

2. Komunitas tumbuhan berkayu

Komunitas Rumput dan Herba

Komunitas ini meliputi rumput dan herba semusim atau

tahunan. Umumnya komunitas rumput/herba berada pada

daerah dengan curah hujan tahunan antara 10" sampai

30".

Tipe-tipe komunitas rumput dan herba adalah :

1. Komunitas rumput dan herba arctic dan alpine.

Komunitas tumbuhan ini berada di daerah kutub

(arctic) dan puncak pegunungan (alpine). Tumbuhan

berupa semak yang lembut dan berukuran kecil.

Kadang-kadang tumbuhan tersebut bercampur dengan

lumut, tetapi lumut kerak umumnya tidak ada.

Komunitas tumbuhan ini terdiri atas dua kategori,

yaitu :

a. Komunitas rumput

b. Komunitas herba (herba dikotiledon sepertii

Saxi-fraga, Delphirium, dll)

2. Meadow

Meadow ini dianggap sebagai penghubung antara

mesofit dan hidrofit sebab mereka tumbuh di tanah

jika kadar air 60 - 80 %. Tumbuhnya berupa herba

tahunan dengan batang yang panjang dan umumnya

berizoma (berakar rimpang). Daun berpenampilan

mesofitik yaitu tipis, lebar, datar dan globrous.

3. Komunitas tumbuhan berkayu (semak-belukar dan

hutan)

Komunitas tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai

berikut :

a. Semak-belukar mesofitik.

Komnuitas mesofitik ini timbul kalau kondisi

lingkungan tidak sesuai untuk pertumbuhan

hutan, tetapi sangat sesuai untuk pertumbuhan

vegetasi herba. Dalam banyak tempat, semak

xerofitik dan mesofitik sering bercampur

seperti Salix, Arabis, Lathyrus, Vicea, dll.

b. Hutan bergugur daun ("deciduous forest")

- Hutan ini tumbuh pada daerah dengan tipe

hujan cukup tinggi (30" sampai 60" per

tahun), dimana temperatur moderat.

- Hutan ini terdiri atas pohon-pohon yang

menggugurkan daun. Di daerah tropika, daun

gugur pada musim panas/kering.

- Tanah hutan banyak mengandung mikroflora dan

pada akar pohon banyak dijumpai mikoriza.

- Umumnya pohon diselimuti oleh lumut dan

penyer-bukannya dilakukan oleh angin.

- Tropohyte (tumbuhan yang berobah) dapat

dikelom-pokkan dalam grup mesofitik ini.

Tropofit dijumpai di daerah tropik yang

mempunyai musim kering dan basah yang jelas,

dimana selama musim hujan tropofit akan

berperan sebagai xerofit. Sedangkan daun

mulai gugur pada permulaan musim dingin atau

panas. Jenis adaptasi yang diperil-hatkan

oleh tropofit adalah :

(1) Perlindungan tunas musim dingin yang

lebih baik.

(2) Lapisan kulit pohon yang tebal.

(3) Formasi batang dalam tanah yang

melindungi tunas tahunan dari kekeringan

dan kedinginan. Contoh : Conifer.

c. Hutan yang selalu hijau daun ("evergreen

forest")

- Hutan ini ditemukan di daerah tropika,

subtropi-ka, dan daerah temperate dari

hemisfir sebelah Selatan.

- Pohon pada hutan ini selalu hijau daun,

yaitu pohon tersebut berdaun lebih dari satu

tahun sampai daun baru muncul.

- Hutan "evergreen" dibagi kedalam tiga tips :

(1). Hutan Antartika

Hutan ini tumbuh di Wew Zealand dan

negara-negara dimana suhu tahunan

berkisar antara 5°C - 70°C dan curah

hujan cukup banyak sepanjang tahun.

Tumbuh-tumbuhan penting dalam hutan ini

adalah Konifer, Myrtaceae,

Hymenophyllaceae, lumut.

(2). Hutan Sub-tropika

Hutan ini tumbuh di daerah yang

mempunyai curah hujan tinggi, tapi

perbedaan suhu antara musim dingin dan

musim panas tidak terlalu besar. Hujan

urnurnriya turun pada musim panas.

Tumbuhan pada hutan ini adalah Caks,

Magnolias, Tamarindus dan lumut. Hutan

ini dijumpai dibagian timur USA, Brazil

Selatan, Afrika Selatan, Australia

Timur, bagian Selatan Cina, dan Jepang.

(3) Hutan hujan tropika

- Hutan ini tumbuh di daerah tropika

(sekitar garis ekuator), dengan curah

hujan tahunan sekitar 1800 mm dan

suhu di atas 24°C.

- Keadaan iklim dari hutan ini

dicirikan oleh:

a) Kelembaban tinggi (jenuh udara,

95% kelembaban)

b) Suhu yang tinggi

c) Hampir hujan setiap hari

d) Tidak ada musim kering yang

berarti

e) Tanah sangat kaya akan humus,

warna gelap, dan porous.

- Hutan dihuni oleh banyak jenis

tumbuhan dan terdiri atas beberapa

strata.

- Akar pohon banyak mengandung rnikoriza

dan saprofit/parasit (Rafflesia,

Balanophora, Monotropa, dll) .

- Epifit dan liana di hutan ini umum

dijumpai .

- Tumbuhan yang umum dijumpai di hutan

ini adalah dari anggota Leguminosae,

Lauraceae, Myrtaceae, Moraceae , dll .

- Hutan ini terdapat di bagian tengah dan

selatan Amerika, Afrika Tengah, Pulau

Pasifik, Indonesia, Malaysia, Brazil,

dan lain-lain daerah tropika.

- Hutan ini sangat penting bagi

pembangunan, karena bernilai ekonomis

tinggi.

EPIPHYTE

A. Arti Kata

Epiphyte berasal dari kata Epi (di atas),

dan phyton (tumbuhan]. Secara harfiah, epifit

adalah tumbuhan yang hidup di atas tumbuhan lain.

Secara umum, epifit adalah tumbuhan yang tumbuh

pada permukaan tumbuhan tempat bertumpu dan secara

permanen tidak berakar di tanah.

Epifit menyerap air dari atmosfir, dan

menyerap unsur hara mineral dari kulit yang busuk

dari pohon tempat bertumpu. Karena epifit ini

merupakan tumbuhan yang bersifat autotropik,

epifit mensintesis makananannya (karbohidrat)

sendiri dari air dan C02 dari atmosfir dengan

bantuan sinar matahari.

Epifit berbeda dari parasit, karena epifit

tidak memperoleh unsur hara dan air dari tumbuhan

tempat bertumpu. Begitu pula epifit berbeda dari

liat:a, karena epifit tidak berakar di tanah.

Epifit disebut juga Aerophyte atau tumbuhan

yang hidup di udara.

B. Distribusi

Epifit hidup diberbagai macam habitat yaitu :

- Permukaan tumbuhan air yang terendam.

- Permukaan batang pohon.

- Percabangan pohon.

- Permukaan daun, batu-batuan, dsb.

Beberapa epifit memilih tempat bertumpu yang

spesifik, misal Tortula pagorum (epifit

lumut)adalah lumut epifit yang spesifik tumbuh

pada batang-batang pohon di perbatasan perkotaan.

Jenis lumut ini tumbuh di atmosfir perkotaan,

karena epifit ini memerlukan suhu tinggi dan udara

berkabut untuk pertumbuhannya yang normal.

Daerah yang dingin dan lembab biasanya kaya

akan lumut (epifit). Tetapi epifit jarang terdapat

di daerah yang kering-dingin.

C. Struktural Adaptasi Epifit

Karena epifit kebutuhan airnya bergantung pada

hujan, embun dan kadar air di udara, epifit mempunyai

suatu struktural adaptasi untuk menyimpan air dan

mengurangi kekurangan (kehilangan) air berlebihan.

Adaptasi struktural yang penting bagi epifit

adalah sebagai berikut:

1. Penampilan Perakaran

a. Sistem perakaran

(1). Normal Absorbing Root.

Akar yang mengabsorbsi air, mineral dan

nutrien organik dari celah-celah yang

lembab dari kulit tumbuhan tempat

bertumpu yang membusuk.

(2). Clinging Root

Akar yang berperan untuk menjaga agar

epifit tetap melekat di permukaan

tempatnya bertumpu serta menyerap

nutrien dari humus dan debu yang

terakumu1asi di permukaan kulit tumbuhan

inang.

(3). Aerial Root

Akar yang berwarna hijau dan berspon

yang posisinya menggantung di atmosfir

dan berperan untuk menyerap air dari

udara. Akar ini dapat melakukan

fotosintesis karena mengandung

kloroplast.

b. Batang

Batang epifit yang berpembuluh bisa atau

tidak bisa berkembang dengan baik. Beberapa

epifit berbatang sukulen dan berkembang

menjadi pseudobulbous atau tuberous.

c. Daun

Umumnya epifit mempunyai daun yang jumlahnya

terbatas. Beberapa anggrek hanya mempunyai

satu daun. Kadang-kadang daun berdaging dan

berkulit. Dalam jenis Dischidia nummularia,

Platyceriutn dan Asplenium nidus daunnya

berobah ke dalam pitcher,

d. Buah, biji dan penyebarannya

Umumnya buah dan biji epifit disebarkan cieh

angin, serangga dan burung.

2. Penampilan Anatomi

a. Terbentuknya cuticle yang tebal dan stomata

yang cekung terbenam berperan untuk

mengurangi kehilangan air dari tumbuhan.

b. Epifit yang berbatang sukulen, jaringan

parenkim berkembang baik.

c. Aerial root" dari beberapa epifit dari

famili Artaceae dan Orchidaceae membentuk

suatu jaringan masif berdinding tipis

berwarna putih kehijauan yang disebut

velamen. Velamen ini merupakan suatu

jaringan higroskopis yang menyerap air

secara cepat dari atmosfir yang jenuh uap

air. Di dalam velamen terdapat exodertnis.

Sel exodermis terdiri atas :

(1). Sel berdinding tebal yang berlignin.

(2). Sel berdinding tebal yang permeable

terhadap air.

d. Struktur lain yang serupa dengan mesofit.

D. Tipe-tipe Epifit

Terdapat empat tipe epifit, yaitu :

1. Protoepifit

Epifit yang memperoleh makanan dari permukaan

tempatnya bertumpu dan atmosfir. Epifit ini

tidak membentuk struktur adaptasi khusus,

kecuali "aerial root" dengan vilamen. Contoh:

Peperomia, Dischidia, dll.

2. Hemiepifit

Epifit yang semula tumbuh dipermukaan tumbuhan

tempatnya bertumpu, tetapi kemudian epifit ini

berhubungan dengan tanah melalui akarnya.

Contoh: Scindapus officinalis. Beberapa

tumbuhan yang batangnya pemanjat tumbuh dalam

tanah, tapi secara berangsur batang bagian

bawah mati dan ujungnya hidup secara bebas

seperti hemiepifit; tumbuhan demikian disebut

Pseudoepifit.

3. Nest Epiphyte

Epifit yang mempunyai kemampuan untuk

mengumpulkan humus dan air dalam jumlah yang

cukup besar untuk keperluannya sendiri. Contoh :

anggrek.

4. Tank Epiphyte

Epifit yang rnembentuk akar pancer yang fibrous

yang berkembang baik, dimana akar tersebut tidak

berperan di dalam penyerapan air. Daun berperan

sebagai penyerap air dan pembuat makanan.

Contoh: Nidularium, Tillandsia.

VIII. FORMASI-FORMASI HUTAN DI INDONESIA

A. Zone Vegetasi di Indonesia

Letak geografis Indonesia adalah diantara dua

benua (Asia dan Australia) dan di sekitar katulistiwa.

Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya zone-zone

vegetasi dan tipe-tipe hutan di Indonesia.

Zone vegetasi hutan di Indonesia adalah:

a. Zone Barat, dibawah pengaruh vegetasi Asia,

meliputi: Sumatera, Kalimantan, dimana jenis

dominan adalah Dipterocarpaceae

b. Zone Timur, dibawah pengaruh Vegetasi Australia

meliputi: Maluku, Nusa Tenggara, Irian Jaya, dimana

jenis dominan adalah Artiucariaceae dan Myrtaceae

c. Zone Peralihan, dibawah pengaruh Asia dan

Australia, meliputi: Jawa dan Sulawesi, dimana

jenis dominan adalah Araucariaceae, Myrtaceaedan,

Verbenaceae

B. Formasi Hutan utama di Indonesia

a. Hutan Payau (Mangrove)

Ciri-ciri

1. Tidak terpengaruh iklim

2. Terpengaruh pasang surut

3. Tanah tergenang air laut, lumpur, pasir atau

tanah liat

4. Tanah rendah pantai

5. Tidak ada stratum tajuk

6. Tinggi pohon mencapai 30 meter

7. Jenis pohon: dari laut ke darat: Avicennia,

Sonneratia, Rhizophora, Xylocarpus,

Lumnitzera, Bruguiera.

8. Tumbuhan bawah : Acanthus ebracteatus,

Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum.

9. Terdapat di pantai terlindung, teluk/tanjung,

dan muara sungai.

b. Hutan Rawa (Swamp Forest)

Ciri-ciri:

1. Tidak terpengaruh iklim

2. Tanah tergenang air tawar

3. Lokasi: di belakang hutan payau

4. Tanah rendah

5. Tajuk terdiri atas beberapa strata

6. Tinggi pohon dapat mencapai 50-60m.

7. Jenis pohon, antara lain : Baringtonia

spicata, Campnospernta sp, Dillenia sp, Dyera

sp, Gluta renghas, Shorea belangeran,

Pandanus spp

8. Terutama terdapat di Sumatera dan Kalimantan

c. Hutan Pantai (Beach Forest)

Ciri-ciri :

1. Tidak terpengaruh iklim

2. Tanah kering (tanah pasir, lempung, berbatu

karang)

3. Di pantai (tanah rendah pantai)

4. Pohon penuh epifit : Paku-pakuan & anggrek

5. Jenis pohon, antara lain: Baringtonia

asiatica, Calophyllum inophyllum, Hibiscus

tiliaceus, Casuarina equisetifolia., Cocos

nucifera, Terminalia catappa, Manilkara kauki

6. Terutama di pantai Selatan Jawa, pantai Barat

Daya Sumatera, pantai Sulawesi

d. Hutan Gambut (Peat Swamp Forest)

Ciri-ciri :

1. Iklim selalu basah

2. Tanah tergenang air gambut, lapisan gambut

±1-20 m

3. Tanah rendah rata

4. Jenis pohon al: Alstonia, Ammora, Anisoptera,

Campnosperma, Cratoxylon, Eugenia,

Dryobalanops spp, Durio carinatus, Litsea,

Koompassia malaccensis, Shorea spp., Payena,

Palaquim, Tristania, dll.

5. Terdapat di Kalbar, Kalteng, Jambi dan Sumsel

e. Hutan Kerangas (Heath Forest)

Ciri-ciri :

1. Iklim selalu basah

2. Tanah pasir podsol

3. Tanah rendah rata

4. Jenis pohon: Shorea spp, Gonystylus, Agathis

borneensis, Casuarina sumatrana, Dacridium,

Calophyllum.

5. Terdapat di Kalimantan Tengah

f. Hutan Hujan Tropika (Tropical Rain Forest)

Ciri-ciri :

1. Iklim selalu basah

2. Tanah kering dan macam-macam jenisnya

3. Tersebar di pedalaman pada tanah rendah

rata/berbukit (< 1.000 m dpi) dan pada tanah

tinggi (s/d 4.000 m dpl)

4. Berdasarkan ketinggian, ada 3 zone;

- Hutan Hujan Bawah : 2 - 1.000 m dpl

- Hutan Hujan Tengah : 1.000-3.000 m dpl

- Hutan Hujan Atas :11.000-3.000 m dpl

5. Jenis pohon pada Hutan Hujan Bawah :

suku Dipterocarpaceae meliputi genera:

Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica,

Dryobalanops.

Genus lainnya: Agathis, Altingia, Dialium,

Duabanga, Dyera, Koompassia, Octomeles

Jenis pohon pada Hutan Hujan Tengah: suku

Lauraceae, Fagaceae (Quercus, castanea,

Nothofagus), Magnoliaceae, Hammamelidaceae,

Ericaceae

Jenis pohon pada Hutan Hujan Atas: suku

Conifer (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus),

Ericaceae, Loptospermum, Clearia, Quercus.

Hutan Hujan Tropika terutama terdapat di

Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi,

Ma]uku dan Irian Jaya.

g. Hutan Musim (Monsoon Forest)

Ciri-ciri :

1. Iklim musim

2. Pada tanah rendah rata atau berbukit dan pada

tanah tinggi

3. Tanah kering dan macam-macam jenis tanah

4. Berdasarkan ketinggian, ada 2 zone :

- Hutan Musim Bawah : 2 - 1.000 m dpl

- Hutan Musim Tengah-Atas: 1.000-3.000 m dpl

Hutan Musim Bawah, ciri-cirinya :

- Satu stratum, campuran, rapat, unmmnya jenis

luruh daun.

- Jenis pohon : Acacia leucophloea,

Caesalpinia digyna, Dalbergia latifolia,

Tetratneles, Tamarindus indica, Tectona

grandis

Hutan Musim Tengah - Atas :

- Jenis pohonnya: Casuarina junghuhniana,

Eucalyptus spp, Pinus merkusii, Pinus

insularis

Hutan musim terdapat secara mozaik diantara

hutan hujan di: Karawang, Cirebon (Jabar),

Jateng, Jatim, Nusa Tenggara.

IX. GANGGUAN HUTAN

A. Jenis Gangguan Hutan

1. Gangguan Alam

- longsor

- hama/penyakit

- gempa bumi

- kebakaran yang terjadi secara alami

- gelombang pasang

2. Gangguan yang disebabkan oleh aktivitas manusia

(gangguan buatan).

- kebakaran tidak terkontrol

- penebangan

- perladangan

- pemukiman

- industri

- pencemaran

- dll

B. Intensitas Gangguan Hutan

Bergantung pada:

- waktu gangguan terjadi

- jenis gangguan

- luasan akbat gangguan

- pemulihan (lama waktu) dampak gangguan

- jenis komponen lingkungan yang terganggu

C. Jenis dan Akibat Gangguan pada Formasi Hutan

1. Hutan Mangrove

Jenis gangguan

- abrasi

- sedimentasi tidak terkontrol

- pemukiman

- industri/pertambangan

- pencemaran

- tambak

- pertanian

- rekreasi

- kolam penggaraman

Akibat Gangguan

- Invasi Acrosticum aureuin, Acanthus sp. dan

Derris sp.

- penggunaan komunitas tumbuhan mangrove yang

sesuai dengan kondisi habitat

- interusi air masim ke daratan

- abrasi pantai meningkat

- potensi perikanan menurun

- kehidupan satwa liar terganggu

2. Hutan Rawa

Jenis gangguan

- kebakaran

- pertanian (terutama kebun kelapa)

- pemukiman

- penebangan

- industri

Akibat Gangguan Hutan

- Invasi rumput rawa (Paspalum sp, Fibrystilis

sp, dll), Melastoma sp (harendong)

- hutan rawa sekunder

(hutan melaleuca, hutan macaranga, hutan

Ploiarium alternifolium, hutan Campnosperma

coriaceum) dengan jenis-jenis pionir lainnya

seperti Alstonia sp., ratoxylum

cochinchinense, Scleria spp., Stenochlaena

palustris, dll.

3. Hutan Pantai

Jenis Gangguan

- abrasi pantai

- gelombang pasang (tsunami)

- penebangan

- pemukiman

- industri

- rekreasi

Akibat Gangguan

- umumnya berupa perkebunan kelapa

- invasi rumput-rumputan (Ischaemum muticum,

Fhuarea involuta, Zoysia matrella) dan terna

(Nephrolopis biserrata)

- interusi air masim ke daratari/pedalaman

- abrasi pantai meningkat

4. Hutan Kerangas

Jenis Gangguan

- penebangan

- kebakaran Akibat Gangguan

- areal hutan menjadi savana

- invasi herba insectivora di tempat terbuka

seperti Drosera, Nepenthes, dan Urticularia.

Selain itu terdapat juga Myrmecodia (epifit).

- tanah tandus berpasir Hutan Musim

Jenis Gangguan

- penebangan

- kebakaran

- penggembalaan

- pertanian

Akibat Gangguan

- hutan Casuarina junghuhniana (akibat kebakaran

- hutan jati (tahan terhadap kebakaran)

- hutan campuran Dodonaea viscosa, Enggelhardtia

spicata, Homalanthus gigantheus, Vernonia

arborea, Weinmannia blumei.

X. PEMILIHAN JENIS POHON

A. Beberapa Istilah

1. Hutan Tanaman adalah tegakan pohon/hutan yang

dibina dengan penebaran biji/benih atau dengan

penanaman bibit/anakan

2. Afforestation adalah penanaman jenis-jenis pohon

hutan pada lahan yang belum pernah ditumbuhi

pohon-pohon hutan

3. Reforestation (Bhs. Perancis : Reboisation) adalah

pembinaan dengan penanaman pada lahan yang semula

berhutan dengan menggunakan jenis-jenis yang

berbeda dengan jenis semula

4. Artificial Regeneration pembinaan hutan dengan

penanaman pada lahan yang semula berhutan dengan

menggunakan jenis-jenis yang sama dengan jenis

semula

5. Tree planting (termasuk regreening/penghijauan)

penanaman tegakan pohon/hutan di luar kawasan

hutan

6. Beberapa istilah lain untuk hutan tanaman, yaitu

a. Man-made forest

b. Forest plantation

c. Timber Estate

d. Hutan Tanaman Industri (HTI)

B. Keadaan Hutan di Indonesia

Luas kawasan hutan di Indonesia meliputi lebih

dari 74 % dari luas daratan. Jika luas daratan

Indonesia 193,6 juta ha maka luas kawasan hutannya 143

juta ha. Luas hutan tersebut menurut fungsinya dibagi

menjadi hutan hutan lindung, hutan konservasi alam dan

hutan wisata, hutan produksi (produksi terbatas dan

produksi tetap) dan hutan produksi yang dapat

dikonversi seperti terlihat pada label 1.

FAO (1985) memperkirakan bahwa luas hutan di

Indonesia adalah 157 juta ha atau 1/2 dari total luas

hutan negara-negara se Asia Tenggara termasuk. Hutan

produksi, menurut Departemen Kehutanan seluas 64 Juta

ha, sedangkan FAO menilai lebih luas yaitu 73 juta ha

tahun 1980 dan 67,7 juta ha pada tahun 1985.

Tabel 1. Luas hutan Indonesia dalam juta Ha (Departemen

Kehutanan, 1985)

1 Total luas daratan 193.6 2 Total luas hutan 143.0 3 Status huutan menurut fungsi:

a. hutan lindung b. konservasi alam dan hutan wisata c. Hutan produksi:

c.1. Produksi terbatas c.2. Produksi tetap

d. Hutan produksi yg dapat dikonvsersi

30.3 19.0 64.0 30.0 34.0 30.0

4 Luas hutan untuk konsesi HPH atau dalam proses konsesi a. konsesi b. Forestry agreements

65.4

52.2 13.2

5 Luas hutan menurut tipenya a. Total area hutan hujan tropis b. Total area hutan payau/rawa c. Total area hutan sekunder d. Total area hutan lainnya

143.0 82.2 12.0 14.6 34.2

Karena berbagai kegiatan manusia, hutan di

Indonesia telah banyak mengalami kerusakan

(deforestasi) sejak tahun 1960, terutama hutan hujan

tropika di Kalimantan yang telah banyak mengalami

penyusutan. FAO (1985) telah melaporkan bahwa laju

deforestasi di Indonesia diperkirakan 550.000 ha/tahun

sampai tahun 1980, kemudian meningkat menjadi 700.000

ha/tahun sampai tahun 1985 jauh di atas rata-rata laju

deforestaai di Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa dari

tahun 1950 1985 telah terjadi deforestasi seluas 39

Juta ha atau 1.1 juta ha/tahun.

Data lain menyebutkan bahwa dari luas hutan alam

di Indonesia yang sebesar 143 juta ha, saat ini (1990)

yang masih utuh adalah 119,7 juta ha, sisanya seluas

23,3 juta ha menjadi areal semak belukar dan areal

bekas perladangan. Deforestasi karena perladangan

berpindah diperkirakan sebesar 400.000 ha/tahunn. Land

clearing karena program transmigrasi 200.000 - 300.000

ha/tahun, sedangkan karena pengaruh penebangan seluss

40.000 - 80.000 ha/tahun. Kerusakan akibat pengumpulan

kayu bakar yang ternyata tidak begitu serius bila

dibandingkan dengan total deforestasi, kecuali di pulau

Jawa.

Data dari Statistik Kehutanan (1987) menyebutkan

bahwa luas lahan kritis pada tahun 1986/1987 di

Indonesia di dalam kawasan hutan 4.316,540 ha dan

diluar kawasan hutan 6.080.060 ha. Sedangkan realisasi

reboisasi (reforestation) pada tahun 1985/1986 hanya

seluas 59.910 ha dan penghijauan (afforestation) hanya

seluas 200.462 ha. Tampak bahwa laju kerusakan hutan

jauh lebih tinggi daripada laju pemulihannya.

Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap

kelestarian hutan alam Pemerintah, dalam hal ini

Departemen Kehutanan pada tahun 1984 telah mencanangkan

pembangunan Hutan Tanaman Industri (Timber Estate)

seluas 6,2 Juta ha yang ditargetkan selesai dalam masa

15-20 tahun. Dari luas tersebut telah ada hutan tanaman.

terutama di Jawa seluas 1,8 juta sehingga luas HTI yang

hams dibangun seluas 4,4 juta ha dan diharapkan pada

waktunya akan mampu menghasilkan kayu sebanyak 90 iuta m3

setiap tahunnya, baik untuk kebutuhan kayu pertukangan,

kayu energi dan keperluan pulp dan kertas.

Salah satu masalah utama dalam pelaksanaan kegiatan

penanaman, balk untuk HTI ataupun kegiatan reboisasi dan

penghijauan adalah pemilihan jenis pohon yang akan

ditanam.

C. Dasar Pemikiran Dalam Pemilihan Jenis

Pemilihan Jenis merupakan salah satu kegiatan utama

dalam penanaman. Kegiatan ini sesungguhnya termasuk dalam

praktek silvikultur, namun mengingat banyak aspek

lingkungan yang terlibat, balk lingkungan lahan yang akan

ditanami dan persyaratan lingkungan setiap jenis yang

akan ditanam maka aspek ekologi sangat menentukan

keberhasilannya.

Prinsip umum yang menjadi pertimbangan dalam

pemilihan jenis pohon yang akan ditanam harus inemenuhi

tiga prinsip kelayakan, yaitu kelayakan ekologis-ekonomis

dan sosial. Prinsip umum tersebut dapab dijabarkan

menjadi lebih rinci yang menjadi pertimbangan dalam

pemilihan jenis pohon adalah:

1. Sasaran penanaman, yang menyangkut kondisi maupun

fungsi/status areal yang akan ditanam, misalnya hutan

produksi, hutan lindung, hutan konservasi atau areal

di luar kawasan hutan dengan kondisi bekas tebangan,

padang alang-alang, tanah kosong atau lahan kritis

lainnya.

2. Tujuan penanaman, yang menyangkut tujuan akhir dari

penanaman misalnya untuk tujuan konservasi tanah dan

air, untuk produksi kayu atau untuk meningkatkan

pendapatan dan memenuhi kebutuhan masyarakat seki-

tarnya. Untuk tujuan produksi kayu terutama untuk

memenuhi kebutuhan bahan-baku induotri. yaitu : kayu

pertukangan, kayu energi dan kebutuhan pulp dan ker-

tas.

3. Kesesuaian ekologis, yaitu kecocokan antara persya-

ratan ekologis jenis terpilih dengan fakt.or-i iktor

ekologis lahan yang akan ditanami.

Apabila penanaman akan dilakukan di hutan

produksi dengan maksud untuk memproduksi kayu (misalnya

untuk pembangunan HTI) maka kriteria jenis pohon yang

alcan ditanam adalah :

1. Kayu yang bernilai tinggi dengan prospek pemasaran

yang baik

2. Kesesuaian tempat tumbuh

3. Jenis-jenis yang khas Indonesia dengan keunggulan-

keunggulan tertentu

4. Riap yang tinggi, misalnya dengan riap :

- Kayu pertukangan : 15 m3/ha/tahun

- Kayu serat : 25 m3/ha/tahuri

- Kayu energi : 35 m3/ha/tahun

5. Daur yang (relatif) rendah, misalnya :

- Kayu pertukangan : 10-30 tahun

- Kayu serat : S - 20 tahun

- Kayu energi : ± 5 tahun

6. Kualitas kayu dan bentuk batang yang sesuai dengan

persyaratan bahan untuk jenis industri yang

bersangkutan

Dalam reboisasi di hutan lindung tujuan penanaman

dititikberatkan pada aspek pengawetan tanah dan air

(hiroorologi). Untuk itu pemllihan jenis pohon

diutamakan yang mempunyai persyaratan :

1. Pohon-pohon yang perakaran utamanya tumbuh cepat

kedalam tanah dan mempunyai susunan akar permukaan

yang berkembang dengan kuat dan intensif,

2. Pohon-pohon yang cepat tumbuh sehingga secepat mung-

kin menutup tanah dan mengurangi bahaya banjir dan

erosi. Akan lebih balk apabila merupakan jenis cam-

puran antara tanaman cepat tumbuh (fast growing spe-

cies) dan jenis lambat tumbuh (slow growing species)

atau campuran antara jenis toleran dan setengtil.

toleran terhadap naungan.

3. Hutan lindung yang terdapat di daerah yang curah

hujannya tinggi dipilih jenis-jenis yang

penguapannya tinggi sebaliknya di daerah yang curah

hujannya rendah dipilih jenis pohon yang

penguapannya kecil.

Untuk lahan terbuka aeperti padang alang-alang

dan tanah-tanah kritis persyaratan jenis yang akan

ditanam adalah sebagai berikut :

1. Mampu tumbuh di tempat terbuka di bawah sinar

matahari penuh, Jadi termasuk jenis-jenis pohon

intoleran dan pionir.

2. Mampu bersaing dengan alang-alang dan gulma lainnya.

Jadi dipilih yang cepat tumbuh tingginya dan

agresif.

3. Mudah bertunas kembali, bila terbakar atau dipangkas

4. Sesuai dengan keadaan tanah yang kurus dan mi skin

hara, serta tahan kekeringan.

5. Biji atau bagian vegetatif untuk pembiakannya mudah

diperoleh dan mudah disimpan.

6. Untuk daerah yang aering terbakar harus dilengkapi

dengan jalur isolasi (misalnya jaur hijau/sekat

bakar) dengan jenis-jenis yang tahan api atau

jenis yang mudah tumbuh setelah terbakar.

7. Khusus untuk penghijauan, ditambah lagi dengan

syarat harus disenangi oleh rakyat/masyarakat,

sehingga merangsang mereka untuk menanam dan

memeliharanya, karena bermanfaat.

Pada areal semak belukar (hutan sekunder muda)

dipilih jenis-jenis yang waktu muda memerlukan naungan

(setengah toleran). Apabila di daerah ini banyak

permudaan jenis pohon komersial dapat dilakukan

tindakan penanaman perkayaan (enrichment planting) dan

pembebasan permudaan dari tumbuhan pengganggu (gulma).

Pada areal bekas tebangan sesuai dengan pedoman

TPTI (1993) dilaksanakan penanaman perkayaan

(enrichment planting) atau rehabilitasi pada areal-

areal yang permudaan alamnya kurang yang bertujuan

untuk memper-baiki komposisi Jenis dan penyebaran

permudaan Jenis niagawi. Jenis pohon yang dipilih

adalah jenis-jenis pohon komersial yang dominan dan

bersifat toleran sedangkan untuk penanaman di areal

terbuka dipilih jenis komersial yang suka cahaya atau

jenis pioner. Areal penanaman adalah areal yang kosong

akan permudaan yang luasnya mengelompok tidak kurang

dari 1 ha.

D. Persyaratan Ekologis

Faktor yang tidak kalah pentingnya didalam

menunjang keberhasilan pembangunan hutan tanaman,

seperti yang telah disinggung di atas, adalah

persyaratan ekologis. Persyaratan ekologis pada

dasarnya adalah mengkombinasinakan antara persyaratan

ekologis jenis terpilih dengan faktor-faktor ekologis

lahan yang akan ditanami. Jawaban yang paling tepat

untuk hal itu bfialah jenis asli, karena jenis-jenis

asli setempat adalah jenis terbaik yang sudah

beradaptasi dalam waktu cukup lama dan sudah teruji

kemampuaannya menghsdapi gangguan dan hambatan tumbuh

dari alam.

Apabila terpaksa didatangkan jenis dari luar atau

jenis asing (jenis-jenis exot) baik dari luar daerah

atau luar pulau jenis-jenis tersebut harus mempunyai

persyaratan tempat tumbuh yang sama dengan tempat

tumbuh lahan yang akan ditaiiami atau mampu

menyesuaikan diri iklim dan lingkungan hidup yang baru.

Oleh kareria itu, Jenis-jenis terpilih pertama-

tama harus sesuai dengan keadaan ekologi tempat tumbuh

yang baru atau jenis yang berasal dfiri tempat yang

keadaan iklim dan tanahnya serupa atau mendekati sama

dengan di tempat yang baru. Jika mendatangkan jenis

asing sebaiknya yang berasal dari daerah tropik,

seperti dari Afrika, Amerika, dan Asia tropik.

Komponen utama yang harua diperhatikan dan

menjadi tolok ukur faktor lingkungan (keadaan ekologis)

dalam pemelihan jenis adalah : (1) iklim (curah hujan,

suhu), (2) tanah (sifat fisik, kimia, keasaman), (3)

ketinggian dari permukaan laut, dan (4) lingkungan

biotik (jasad renik seperti mikoriza, kebakaran,

gangguan binatang dan sebagainya).

1. Iklim

Setiap jenis pohon mempunyai persyaratan tumbuh

sesuai dengan kondisi iklimnya. Unsur iklim yang

menentukan pertumbuhan pohon adalah curah hujan.

Berdasarkan jumlah curah hujan serta jumlah bulan-bulan

basah dan bulan-bulan kering ini pula Schmidt dan

ferguson telah membuat klasisifikasi tipe iklim dari

tipe iklim basah (tipe iklim A) sampai daerah

kering/padang pasir (H).

2. Tanah

Setiap jenis pohon memerlukan tingkat kesuburan

tanah yang berbeda-beda mulai dari tanah subur sampai

tahan terhadap tanah yang kurus. Kadang-kadang ada

jenis yang memerlukan unsur hara tertentu agar dapat

tumbuh dengan balk. Seperti Jati (Tectona grandis)

dapat tumbuh baik pada tanah berkapur yang bersifat

alkalis, sementara Ramin (Gonystylus bancanus) justru

tumbuh dominan pada tanah gambut yang kesuburannya

sangat rendah dan mempunyai pH yang sangat rendah pula.

Sementara jenis-jenis pohon Bakau (Rhizophora spp.)

tumbuh baik pada tanah yang salinitasnya (kadar garam)

tinggi. sedangkan Gelam (Melaleuca leucadendron) dapat

tumbuh pada tanah gambut rusak yang kerkadar pirit

tinggi dan sangat beracun bagi tumbuhan lain.

3. Tinggi Tempat

Setiap jenis pohon juga mempunyai persyaratan

tumbuh berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan

laut, mulai dari pinggir pantai sampai pegunungan dan

mempunyai selang tolerasi terhadap ketinggian yang

berbeda-beda pula. Ketinggain tempat ini berkaitan

dengan suhu dan tekanan udara yang berbeda-beda dari

satu ketinggian ke ketinggian yang lain. Pemilihan

jenis pohon sebaiknya memenuhi kisaran ketinggian

tempat ini.

4. Kebutuhan Cahaya

Setiap jenis pohon ada yang memerlukan cahaya

penuh selama pertumbuhan, ada yang tahan terhadap

naungan selama pertumbuhan dan ada yang sewaktu muda

perlu naungan tetapi setelah dewasa perlu cahaya penuh,

atu sering disebut pohon intoleran, pohon toleran dan

pohon setengah toleran (semi toleran).

5. Kesarangan Tanah

Kesarangan tanah ini terutama adalah kondisi

tanah dalam hubungannya dengan tergenang tidaknya oleh

air atau berhubungan dengan baik buruknya drainase

tanah. Pada tanah-tanah yang jenuh dengan air seperti

tanah rawa, tanah gambut dan tanah payau jelas

berdrainase jelek. Setiap jenis mempunyai toleransi

sendiri-sendiri terhadap kondisi tanah tersebut.

Selain hal-hal diatas hal lain yang perlu

mendapatkan perhatian dalam pemelihan jenis pohon

adalah :

1. Biaya pembangunan tanaman dan manajemennya,

2. Kewaspadaan teerhadap serangan hama, penyakit dan

kebakaran.

3. Dampak terhadap positif dan negatif yang akan

ditimbulkan baik dampak sosial-ekonomi maupun dampak

terhadap faktor-faktor lingkungan

4. Cukup tersedia biji bermutu baik (unggul) dari

sumber yang kualitasnya terjamin

5. Penguasaan terhadap silvikultur jenis terpilih

6. Mampu berintegarasi dengan penggunaan lahan lain,

terutama dalam rangka peningkatan taraf hidup

masyarakat setempat misalnya dengan sistem tumpang

sari

7. Mudah diremajakan/regenerasi

Tabel Hubungan antara jenis-jenis pohon dengan keadaan ekologis (Soerianegara dan Indrawan, 1998)

No. Jenis Tipe Hujan

Kebutuhan Cahaya

Ketinggian (mdpl)

Keadaan Tanah Kedalaman Kesuburan

1 Acacia auriculiformis C,D Intoleran 0-800 Toleran terhadap tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kurus

2. Acacia decurens A,B,C Intoleran 1000-2000 Tidak diketahui Tidak diketahui 3. Acacia catechu B,C,D Intoleran 0-800 Toleran terhadap

tanah dangkal Toleran terhadap tanah kurus

4. Agathis boornensis A,B Semitoleran 0-400 Toleran terhadap tanah dangkal

Membutuhkan tanah subur

5 Agathis labillardieri A,B Semitoleran 0-800 Membutuhkan tanah dalam

Membutuhkan tanah subur

6. Agathis lorantifolia A,B Semitoleran 400-1200 Membutuhkan tanah dalam

Membutuhkan tanah subur

7. Albizia falcataria A,B,C Intoleran 0-1200 Toleran terhadap tanah dangkal

Membutuhkan tanah subur

8. Albizia lebbeck C,D Intoleran 0-800 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

9. Altingia excelsa A Toleran 600-1600 Membutuhkan tanah dalam

Membutuhkan tanah subur

10 Anthocephalus cadamba A,B,C,D Intoleran 0-1200 Toleran terhadap tanah dangkal

Tidak diketahui

11 Cassia siamea C,D Intoleran 0-800 Toleran terhadap tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kurus

12 Castamea javanica A Toleran 300-1600 Membutuhkan tanah dalam

Membutuhkan tanah subur

13 Casuarina equisetifolia A,B,C,D Intoleran 0-400 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

14 Casuarinas junghuhniana A,B,C,D Intoleran 400-1200 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

15 Dalbergia latifollia B,C,D Intoleran 0-800 Toleran terhadap tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kkurus

16 Dalbergia sisso B,C,D Intoleran 0-800 Membuthhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

17 Dryobalanops aromatica A Semitoleran 0-400 Tidak diketahui Tidak diketahui 18 Eucalyptus alba C,D Intoleran 0-800 Membutuhkan

tanah dalam Toleran terhadap tanah kurus

19 Eucalyptus alba Subspec. platyphylla

D Intoleran - Toleran terhadap tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kurus

20 Eucalyptus deglupta A,B Intoleran 0-800 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

21 Eucalyptus grandis C,D Intoleran 800-1200 Membtuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

22 Eucalyptus salina C,D Intoleran 800-1200 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

23 Eucalyptus umbellata C,D Intoleran 800-1200 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

24 Gmelina arborea B,C,D Intoleran 0-800 Membutuhkan tanah dalam

Membutuhkan tanah subur

25 Lagerstomia speciosa A,B,C Semitoleran 0-400 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

26 Maesopsis eminii B,C,D Intoleran 400-1200 Tidak diketahui Tidak diketahui 27 Melalueca leucadendron A,B,C,D Intoleran 0-400 Toleran terhadap

tanah dangkal Toleran terhadap tanah kurus

28 Pinus caribaea B,C,D Intoleran 0-800 Toleran terhadap tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kurus

29 Pinus insularis B,C Intoleran 800-1200 Toleran terhadap tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kurus

30 Pinus khasya B,C,D Intoleran 800-1200 Toleran pada tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kurus

31 Pinus merkusii B,C,D Intoleran 200-1700 Toleran terhadap tanah dangkal

Toleran terhadap tanah kurus

32 Podocarpus imbricatus A,B,C Semitoleran 1200 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

33 Pterospermum javanicum A,B,C Intoleran 0-400 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

34 Santalum album C,D Intoleran 0-800 Toleran pada tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

35 Schimaa noronhae A,B Toleran 800-1200 Membutuhkan tanah dalam

Membutuhkan tanah subur

36 Swietenia macrophylla B,C,D Toleran 0-800 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

37 Swietenia mahagoni C,D Toleran 0-800 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

38 Shorea javanica A,B,C Semitoleran 0-400 Tidak diketahui Toleran terhadap tanah kurus

39 Shorea leprosula A,B,C Semitoleran 0-400 Tidak diketahui Toleran terhadap tanah kurus

40 Tectona grandis C,D intoleran 0-800 Membutuhkan tanah dalam

Toleran terhadap tanah kurus

Tabel 1. Daftar jenis pohon, riap, rotasi dan asalnya

(Manan, 19..)

No. Jenis Riap (m3/ha/th)

Rotasi (th) Asal

1 Pinus merkusii 19.9 22.4

15 25

Sumut

2 Agathis lorantifolia 27.4 24.9

25 50

Jawa

3 Araucaria cunninghamii 25.8 34 Australia tropic

4 Araucaria klinki 16.9-17.2 9.5 Irian jaya 5 Tectona grandis 7.9 (III)*)

10.9(IV) 60 60

Jawa

6 Swietenia macrophylla 12.7 (I) 16.6 (II) 21.5 (III)

50 50 50

Jawa

7 Dalbergia latifolia 16 23.7

15 40

Jateng

8 Dalbergia sisso 10 8 Jateng 9 Paraserianthes falcataria 37.4

44-50 5 8

Filipina

10 Anthocephalus cadamba 20 24 26.2

5 10 20

11 Acacia auriculiformis 17 17 12 Altingia excelsa 9.5 100 13 Eucalyptus deglupta 24.5 9 14 Shorea javanica 6-8 30 15 Pinus caribaea 23.7-24.0 7 Maluku 16 Maesopsis eminii 13-34 10 17 Gmelina arborea 10-30

35 11 7

Malaysia barat

Tabel Kriteria prioritas dan penentuan jenis untuk hutan tanaman industry di Dataran rendah (Al rasjid, 1984)

Jenis Pohon Riap

(m3/ha) Daur (th) Nama Daerah Nama Latin

I. Siap Dikembangkan A. Kayu Pertukangan Tengkawang

Sengon Tusam Leda Mahoni Sonokeling

Shorea stenoptera P. falcataria Pinus merkusii Eucalyptus deglupta Swietenia macrophylla Dalbergia latifolia

26 45 16 20 14 20.3

30 15 30 25 30 25

B Kayu Pulp Tusam

Jabon Leda Sengon Turi

Pinus merkusii Anthocephalus cadamba Eucalyptus deglupta P. falcataria Sesbania grandiflora

18 12 17 38 -

10-15 10 10 10 -

C. Kayu Energi Akor

Sengon Sonokeling

Acacia auriculiformis P. falcataria Dalbergia latifolia

23 45 18.9

10 15 15

II Siap dikembangkan dengan penelitian A. Kayu Pertukangan M. merah

M. Putih M. kuning Tengkawang Pilau Kayu mas Keruing Sungkai

Shorea leprosula, S. oavlis, S. regosa, S. sandakanensis S. lamellate, S. bracteolate, S. virescens,S. collaris S.accumatissia,S.qibbosa, S.facuetiana, Shorea hoplifolia Shorea gysberstiana, S. compressa, S. pinnata, S. hoplifolia Agathis lorantifolia Duabanga moluccana Dipterocarpus spp Peronema canescens

20 20 20 25 20 20 - -

30 30 30 30 30 30 - -

B. Kayu Pulp -

Lamtoro -

Acacia mangium Leucaena leucocephala Eucalyptus urophylla

43.9 25 20

10 5 10

C Kayu Energi Lamtoro

- - Angsana Kaliandra Gamal Sungkai Mimba Johar Cemara laut

Leucaena leucocephala Eucalyptus urophylla Acacia mangium Pterocarpus sp. Calliandra calothyrsus Glirisida maculata Peronema canescens Azadirachta indica Cassia slamea Casuarina equisetifolia

25 20

13.8-43.9 -

35-65 - - - - -

5 10 4-10 - 20 - - - - -

Tabel Kalori dari beberapa jenis kayu bakar, dalam berat jenis dan kelas kayu bakar (KKB)

No Nama Daerah Nama Latin Berat Jenis KKB Kalori

1 Kasia Acacia auriculiformis 0.69 III 4907 2 Akasia Acacia decurrens 0.70 III 4462 3 Kelampis Acacia tomentosa - - 4433 4 Rasamala Altingia excelsa 0.81 II 4862 5 Sengon P. falcataria 0.34 V 4664 6 Jabon Antocephalus cadamba 0.42 V 4731 7 Terap Artocarpus sp - - 4449 8 Jambu mete Anacardium occidentale - - 4369 9 Kaliandra Calliandra calothyrsus 0.67 III 4617 10 Kapuk Ceiba petandra - - 4294 11 Cemara Casuarina equisetifolia - - 5041 12 Johar Cassia siamea - - 4483 13 Kelapa Cocos nucifera - - 4690 14 Sonokeling Dalbergia latifolia - - 4722 15 Siso Dalbergia sisso - - 4481 16 Hue Eucalyptus sp. 0.94 I 4721 17 Gamal Gliricidia maculata 0.94 I 4548 18 Bamboo tali Gigantochloa apus - - 4407 19 Kemlandingan Leucaena glauca 0.82 II 4464 20 Lamtoro Leucaena leuococeppala - - 4533 21 Mangga Mangifera spp. - - 4494 22 Gelam Melaleuca leucadendron - - 4676 23 Rambutan Nephelium lappaceum - - 4580 24 Angsana Pterocarpus indicus - - 4329 25 Jambu biji Psidium guajava - - 4408 26 Kesambi Schleira oleosa 1.01 I 4459 27 Mahoni Swietenia macrophylla 0.16 III 4936 28 Puspa Schima noronhae 0.72 III 4773 29 Turi Sesbania grandiflora - - 4568 30 Asam Tamarindus indica 0.84 II 4829 31 Jati Tectona grandis 0.67 III 5155 32 Laban Vitex pubescens 0.88 II 5218

Daftar nama jenis pohon untuk ditanam bagi berbagai tujuan (manan dalam Departemen Kehutanan, 1992) A. Untuk Rehabilitasi lahan kritis 1. Hutan Lindung a. Schima noronhae, b. Altingia excelsa, c. Schima bancana, d. Peronema canescens, e. Acacia decurrens, f. Cassia siamea, g. Pterocarpus indicus, h. Duabanga maluccana, i. Schima wallchii, j. Melaleuca leucadendron, k. Eucalyptus deglupta, l. Quercus sp. , m. Shorea atenoptera, n. Aleurites inaluccana, o. Arenga pinnata, p. Anacardium occidentale, q. Parkia speciosa, r. Bambussa sp., s. Gnetum gnemon, t. Artocarpus Integra, u. Gosampinus heptaph, v. Durio zibethinus.

2. Hutan Konservasi a. Ficus benjamina , b. Tamarindus indloa, c. Antidesma bunius, d. Adenanthera pavonin e. Mangifera sp., f. Canarium sp., g. Eugenia sp. , h. Lagers trosnia sp., i. Durio sp. , j. Artocarpus integra 3. Hutan Produksia. Tectona grandis, b. Eucalyptus deglupta, c. E. urophylla, d. Acacia mangium, e. A. decurrens, f. Swietenia macrophylla, g. Pterocarpus indicus, h. Dalbergia latifolia, i. Pinus merkusii j. Paraserianthes falcataria

B. Untuk Areal Bekas Tebangan HPH

a. Dryobalanopa aromatica, b. Shorea acuminatisima , c. S. leprosula, d. S. parvifolia, e. S. pinanga, f. Gonystilus bancanus, g. Dipterocarpus lowii, h. Shorea zeylanica, i. Diospyros celebica, j. Agathis borneensis, k. A. hamii.

C. Untuk Hutan Tanaman Industri 1. Kayu Pertukangan a. Tectona grandis, b. Swietenia macrophylla, c. Parashorea sp., d. Pinus merkusli, e. Acacia mangiiun, f. Eucalyptus deglupta, g. Shorea sp., h. Dipterocarpus sp. , i. Dryobalanops aromatica, j. Gonystilus bancanus, k. Pometia pinnata, l. Peronema canescens, m. Santalum album, n. Diospyros celebica.

2. Pulp dan Rayona. Pinus merkusii b. Agathis lorantifolia, c. Eucalyptus urophylla, d. Acacia mangium e. Eucalyptus deglupta, f. Paraserianthes falcataria, g. Anthocephalus chinensis, h. Araucaria ciminghamii

3. Kayu Energi/Kayu Bakara. Duabanga moluccana, b. Leucaena leucocephala, c. Acacia mangium, d. Eucalyptus urophylla, e. Gmelina arborea, f. Acacia auriculiformis, g. Sesbania grandifolia, h. Calliandra calothyrsus, i. Casuarina equisetifolia, j. C. junghuniana, k. Glirisidia sepium, l. Rhizophora sp.

4. kayu Mewah/Indah dan Rot a. Calamus sp., b. Santalum album, c. Diospyros celebica, d. Maniikara kauki, e. Gonystilus bancanus, f. Dalbergia latilolia, g. Pericopsis moniana, h. Eusideroxylon zwageri, i. Dracontomelon mangifera, j. Pometia pinnata

Daftar Jenis asing yang mudah beradaptasi dan asalnya a. Pinus caribeae (Honduras) b. Finns oocarpa (Mexico, Guatemala) c. Pinus kesiya/insularis (Filipina, Myanmar) d. Dalbergia latifolia (India) e. Swletenia macrophylla (Amerika Tengah) f. Gliricidia spp. (Amerika Tropik) g. Calliandra spp (Guatemala) h. Gmelina arborea (India, Burma, Thailand) i. Paulownia spp. (Taiwan, Jepang) j. Leucaena leucocephalus (Amerika Tengah) k. Maesopsis eminii (Afrika Tropik) l. Khaya spp. (Afrika Tropik) m. Eucalyptus spp. (Australia) n. Acacia duurrens (Australia) o. Ochroma lagopus (Amerika tropik) Daftar jenis asli Indonesia yang mudah dibudidayakan a. Pinus merkusii (Aceh, Tapanuli) b. Tectona erandis (Jatim, NT, Muna) c. Agathis iorantifolia (Maluku) d. Agathia boorneenis (Sampit) e. Paraseriantes falcataria (Maluku) f. Aleurithes moluccana (Jawa, Wetar, Timor) g. Anthocephalus cadamba (Kepulauan Indonesia) h. Altingia excelsa (Bukit Barisan, Priangan) i. Schima noronhae (Jabar) j. Peronema can&scens (Sumsel, Kalsel) k. Dyospyros celebica (Sulawesi) l. Manilkara kauki (Ball) m. Eucalyptus deglugta (Sulawesi) n. Casuarina equsetifolia (daerah pantai Indonesia) o. Casuarina mqntana (Jatim, Nusa Tenggara, Sulawesi) p. Macadamia hildebrandii (Sulawesi) q. Podocarpuf imbricatus (Jawa) r. Fragraea fragrans (Sumatera) s. Eucalyptus alba (Timor) t. Shorea leprosula (Sumatera, Kalimantan) u. Shorea javanica (Sumsel, Tapanuli, Subah) v. Santalum album (Timor)

XI. BIOLOGI REPRODUKSI TUMBUHAN DI HUTAN TROPIS

PENDAHULUAN

Penyerbukan pohon-pohon hutan, liana dan tanaman merambat,

epifita, semak belukar dan herba pada hutan tropis melibatkan semua

antar hubungan yang biasa antara tanaman dengan hewan antopilus yang

tampak pada daerah-daerah temperate (beriklim sedang), dengan

penyerbukan tumbuhan oleh kelelawar. Juga, sebaliknya dari banyak

formasi hutan temperate, penyerbukan angin jarang {tidak biasa}

sebagai mekanisme seleksi (Whitehead, 1969) dan penyerbukan diri

sendiri tampaknya kurang umum daripada penyerbukan silang (Bawa,

1974, 1979). Demikian juga, penyebaran benih/biji oleh angin lebih

jarang daripada penyebaran biji oleh burung dan mamalia yang setelah

memakan daging buahnya lalu membuang bijinya lewat muntahan atau

kotoran, pada jarak tertentu dari tanaman induk (Van der Pijl, 1969;

Janzen, 1975).

Aspek lain dari biologi reproduksi hutan ini (termasuk

pembentukan semaian) terdapat sejumlah peningkatan yang sama dalam

interaksi biotik yang tampak pada penyerbukan dan penyebaran benih.

Oleh karena itu pertimbangan reproduksi dari sebuah ekosistem

haruslah menjadi tujuan akhir kita (Baker, 1979}. Namun, hal ini baru

dicobakan pada sejumlah kecil penelitian hutan tropis Amerika, Asia

dan Afrika. Oleh karena itu, bab ini akan berisi sebuah pertimbangan

mengenai penyerbukan dan penyebaran benih, di bawah/dalam berbagai

pokok bahasan yang beragam, dimana individu spesies atau kelompok

spesies lebih menjadi bahari pertimbangan daripada ekosistem;

sintesis dan uraian tentang sifat-sifat yang muncul ketika kita

berpindah dari tingkat individu menuju suatu penanganan ekosistem

yang holistik (menyeluruh) untuk sebagian besar belum mungkin

diperoieh. Laporan ini tidak akan merujuk pada semua kepustakaan

tentang individu spesies yang ada, bagaimanapun, karena topik ini

terpencar pada berbagai jurnal/majalah yang sebagiannya sulit

didapat. Meskipun demikian, di bawah masing-masing rubrik akan

diupayakan bahasan yang menyeluruh, ilustrasi dengan contoh juga

diberikan, sering dari hutan Amerika Tengah yang sangat penulis

kenal.

REPRODUKSI BENIH DAN PERKEMBANGBIAKAN VEGETATIF

Pohon-pohon dan palma

Kadang-kadang proporsi benih yang dapat terus hidup yang

dihasilkan oleh sebuah pohon hutan tropis ternyata amat rendah

[misalnya: 0,1% untuk Endospermum (Dalbergia malaccensis) (Fabaceae,

Faboideae) dan Vemnonia arborea (Asteraceae) (Ng dalam Whitniore,

1978). Namun demikian, semaian dari pohon-pohon sering terlihat di

lantai-lantai hutan basah pada sebagian besar waktu dalam setahun,

dan pada hutan-hutan kering sekurang-kurangnya selama musim hujan.

Distribusi semaian tersebut dan anak pohon yang tumbuh darinya telah

menjadi subyek/bahan diskusi yang sunggun-sungguh dan beberapa

penemuan (kepustakaan diringkas oleh Hubbel, 1979). Hal yang kurang

jelas adalah kapasitas beberapa pohon untuk bertunas dari

tangkai/batang bawah tanah atau sistem akar (Richards, 1952,

Schnell, 1970;Janzen, 1975; Hartshorn, 1978). Kedua mekanisme

reproduksi mungkin penting dalam menjembatani perbedaan pertunasan

pohon dari tangkai/bawah tanah atau sistem akar.

Kadang-kadang pohon yang runtuh masih berhubungan sebagian

dengan sistem akamya, masih tertanam pada tanah dan "pohon-pohon"

baru (rarnets) akan bertumbuh dari tunas yang tertidur/terhenti

sepanjang batang pohon yang melintang. Sebuah contoh dibenkan oleh

Pentaclethra macroloba (Fabaceae, Mimosoideae) yang tumbuh pada

tanah basah di Finca La Selva, Costa Rica (H.G.Baker,

pers.obs.:Hartshorn, 1972,1978).

Strangler figs terkenal, sejenis gulma seperti beberapa pohon

lainnya yang mulai pembentukkannya sebagai epifit, berkembang biak

dengan biji yang dibawa oleh burung, kelelawar, atau mamalia "non-

volant" ke cabang-cabang pohon korbannya.

Tanaman palma, dimana biasanya tidak mempunyai alat reproduksi

vegetatif maka tiap generasi harus berkembang biak dengan benih,

Usia pertama kali berbunga untuk pohon-pohon hutan tropis belum

banyak diketahui. Satu penelitian (Ng, 1966) terhadap Dipterocarpa

yang dicangkok memperlihatkan bahwa banyak pohon tersebut mulai

berbunga dan berbiji sebelum berumur 30 tahun.

Semak Belukar, Pohon Pakis dan Bambu

Bagi kebanyakan semak belukar di hutan tropis, produksi

biji/benih jelas penting daiam perkembangbiakan. Meski banyak

cabang/tangkai akan berkembang, Rhizoma dan pembentukan tunas baru

dari akar samping lebih jarang dibandingkan pada hutan temperate.

Pohon pakis, dapat berkembang biak dengan cara vegetatif (Shnell,

1970).

Mengenai bambu, keadaannya benar-benar berbeda. Rumput yang

terlalu besar tersebut adatah "monocarpic" (semelparous), dengan

suatu periode waktu pertumbuhan vegetatif sebelum berbunga, yang

dapat berlangsung sampai 120 tahun pada Phyllostachys bambusoides

(McClure, 1966b; Janzen, 1976a,b). Selama waktu tersebut, rhizoma

yang luas dan pertumbuhan tunas udara dapat menghasilkan suatu semak

belukar yang sulit diternbus. Biasanya tanaman ini mati setelah

berbunga dan berbuah dan akan digantikan oleh semaian. Janzen

(1976b) menganggap lambatnya pembentukan bunga ini kurang lebih

sinkron (selaras/serernpak) pada sebuah spesies, diikuti oleh

produksi "caryopsis" yang sangat banyak, sehingga sebuah penyesuaian

yang memungkinkan untuk pembentukan dan penyebaran buah-buahan

berbiji tunggal sebelum pemangsa biji dapat menemukan mereka,

berpesta dengannya dan mengembangkan populasi besar.

Di hutan-hutan Afrika Barat, spesies dikotiledon dapat

membentuk semak belukar yang besar melalui

perkembangbiakan vegetatif dari "air-layering" (lapisan

udara) seperti pada Anthonota (Macrolobium) macrophylla

{Fabaceae, Faboidea) dan Scaphopetalum amoenum

(Sterculiaceae) {Longman dan Jenik, 1974). Contoh-contoh

juga dapat diberikan untuk tiap-tiap benua.

Tanaman merambat dan Liana

Seperti pohon ara pencekik, tanaman merambat dan liana

dapat berkembang biak melalui biji yang berkecambah pada

sebuah cabang atau batang sebuah pohon yang akhirya akan

jadi penyokongnya. Dari asal udara ini, tunas atau akar

bisa turun ke tanah. Tanaman rambat dan liana lain dapat

berkecambah di darat dan mernbuat jalan tumbuh ke atas

(Richards, 1952; Schnell, 1970; Longman dan Jenik, 1974;

Whitmore, 1975). Oleh karena tingkat keberhasilan yang

rendah dalam pembenlukan pohon merambat dan liana ini,

maka diperlukan pembentukan biji yang berlebih-lebihan.

Meskipun demikian, pohon rambat dan liana yang telah jadi

dapat ditumbuhkan kembali melalui pembentukan tunas dari

tunas yang dorman. (Janzen, 1975). Ini salah satu alasan

keberhasilan penggunaan tanaman merambat di pinggiran

hutart neotropis -Fabaceae- dalam pembentukan padang

rumput buatan di wilayah tropika Amerika dan Australia

(Baker, 1978b).

Epifit dan Parasif Tanqkai

Epifit, karena habitatnya alami, membatasi reproduksi

biji atau spora. Hal ini tidak hanya berlaku pada epifit

herbaceous yang terkenal (anggrek, bromeliads,

pteridophytes, dan lainnya) dan hemiparasit {mistletoes,

dll} tetapi juga bagi pohon-pohonn semak belukar epifit

[(misainya spesies dari Clusia (Hepericaceae) dan Blakea

(Melastomataceae)]. Reproduksi melalui epifit secara

karakteristik disempurnakan oleh produksi biji yang amat

kecil dalam jumlah yang amat besar {misainya Piperaceae,

Orchidaceae, Bromeliaceae, dil) yang dapat disebarkan oleh

angin atau, lebih sering lagi oleh burung dan mamalia yang

menelan biji dan kemudian memuntahkan atau membuang

kotorannya tepat pada cabang pohon yang menjadi inangnya.

Herba_dan Parasitakar

Peluang bagi pembentukan bunga dan penyebaran biji

oleh tanaman herba dari lantai hutan yang matang secara

khas terjadi bilamana sebuah pohon tumbang meningkatkan

iluminasi di tingkat dasar/tanah. Penerangan oleh manusia

juga memberikan fungsi persiapan yang sama. Sebaliknya, di

pedalaman hutan, perkembangbiakan dan penyebaran vegefatif

melalui pertumbuhan rhizomata merupakan hal yang umum.

[(misalnya Heiiconia (Musaceae), Caiathea (Marantaceae).

Zingiber (Zingiberaceae, dll)]

Pada intensitas pencahayaan lantai hutan yang rendah,

saprofit dan parasit mernpunyai sebuah keuntungan.

Terutama untuk paleotropis, anggota-anggota

Balanophoraceae merupakan parasit obligat pada akar-akar

tanaman kayu. Perhatian/penekanan pada reproduksi

vegetatif di sini, oleh karena pada kasus parasit akar

Thonianningia sanguinea dari Afrika, yang termasuk

dioecious, kejadian bersama benangsari dan putik hampir

tidak dikenal (Bullock, 1948), sehingga perkembangbiakan

itu harus secara eksklusif dengan cara vegetatif.

REPRODUKSI BIJI/BENIH SISTEM PERKAWINAN

Riset mengenai sistem perkawinan pada tanaman hutan

tropis dipusatkan terutama pada pohon-pohon dan belukar

hutan {East, 1940, Baker, 1959, 1976; Ashton, 1969, 1977;

Styles, 1972; Bawa, 1974; Tomlinson, 1974; Bawa dan Opler,

1975; Styles dan Khosla, 1976; Soepadmo dan Eow, 1977) dan

sebagian tanaman perkebunan (Ferwerder dan Wit, 1969;

Purseglove, 1968; Baker, 1976; Simmonds, 1976). Hanya

sedikit data tentang tanaman herba hutan, kecuali

Heliconia (J.Kress, pers.comm, 1979) dan Marantaceae

(Kennedy, 1978). Liana dan epifit hampir tidak pemah

ditetiti.

Isu/masalah utama dalam pembahasan sistem perkawinan

tanaman tropis adalah peran masing-masing dari inbreeding

(perkawinan sejenis) dan outbreeding (perkawinan antar

jenis) pada hutan dan dampaknya pembentukan populasi yang

berbeda dan khusus. (Baker, 1959; Fedorov, 1966; Ashton,

1969,1977; Bawa, 1974,1976). Sebagai akibatnya, tujuan

dari kebanyakan penelitian adalah untuk menentukan apakah

kebanyakan tanaman hutan tropis melakukan

fertilisasi/penyerbukan sendiri atau

fertilisasi/penyerbukan silang. Perlu dicatat, hal ini

berbeda dari penentuan apakah tanaman tersebut "self-

incompatible". Sebuah spesies yang self-incompatible dapat

saja menyediakan kebanyakan bijinya melalui penyerbukan

silang. Di pihak lain, harus ditekankan bahwa perkawinan

silang bisa sama dengan perkawinan yang secara genetik

sejenis jika dilakukan antar tanaman yang memiliki asal

yang sama. Jadi jelas sejumlah faktor yang berkaitan

dengan perilaku penyerbukan dan seleksinya mungkin penting

dalam evolusi sistem perkawinan pada pohon-pohon hutan

tropis (Bawa dan Opler, 1975; Frankie et al., 1976;

Janzen, 1977a,b; Bawa, 1980; Bawa dan Beach, 1981; Beach,

1981).

Geitonogamy dan Autogamy

Tingkat penyerbukan sendiri atau silang pada tanaman

Zoophilus lergantung pada sebagian besarnya dari aktivitas

pencarian makanan para penyerbuk (polinator) dimana

perilaku tersebut dipengamhi oleh variasi menurut ruang

dan waktu dari bunga (nektar/tepung). Namun demikian, pada

saat yang sama, sebuah pohon besar di hutan dapat

mengandung ratusan bunga yang terbuka siap menunggu

kedatangan penyerbuk potensial. Hampir sernua tamu

(penyerbuk) yang datang pada sebuah pohon tertentu akan

menemui banyak bunga sebelum meninggalkan pohon tersebut.

Geitonogamy, perpindahan tepung sari dari satu bunga

kepada bunga lainnya pada tanaman yang sama (sebagai

akibat penyerbukan sel telur bunga yang belakangan)

merupakan akibat pergerakan penyerbuk. Autogamy,

perpindahan tepung sari dari "anther" ke "stigma" pada

bunga yang sama, diikuti oleh fertilisasi dapat terjadi

dengan atau tanpa bantuan penyerbuk pada pohon tersebut.

Secara genetik, akibat dari geitonomi atau autogami sama,

kecuali untuk kasus yang jarang dimana bagian mahkota yang

berbeda dari sebuah pohon dapat berbeda secara genetik

melalui mutasi somatik (Bawa, 1979).

Monoecism, produksi terpisah benangsari dan putik

bunga pada pohon yang sama (seperti pada banyak Meliaceae,

Euphorbiaceae dan Arecaceae), memajukan/meningkatkan

"outcrossing" (persilangan luar) namun masih membuka

kemungkinan dari geitonomi. Tetapi, geitonomi dan autogami

hanya bisa muncui juka fungsi dari tepung sendiri pada

stigma (putik) dicegah oleh suatu mekanisrne self

incompatibilitas. Meskipun banyak pohon-pohon hutan tropis

mempunyai selfincompatibility (ketidakcocokan dalam diri

sendiri), ini bisa tidak mencukupi, oleh karena itu

penyerbukan diri dan silang mungkin terjadi pada pohon

yang sama, dan pada waktu yang sama (Bawa, 1974; Gan dkk.,

1977).

Bagi beberapa spesies pohon, terdapat laporan-laporan

yang bertentangan tentang terjadinya sistem perkawinan

yang menyatakan bahwa hal ini dapat bervariasi antara

individu atau populasi [cf. Opler dkk., (1076a, untuk

Cordiaalliodora (Boraginaceae); dan Valmajor dkk, (1965);

Baker (1970), dan Soepadmo dan Eow (1977), dan Durio

zibethinus (Bombacaceae)]

Luas fertilisasi sendiri dan silang mungkin juga

tergantung dari pengaruh iklim dan ketersediaan penyerbuk,

dan juga pada ketersediaan pohon-pohon tertentu daiam

wilayah terbang penyerbuk. Sebagai akibatnya, bagi

kebanyakan pohon-pohon hutan suiit diukur besarnya/luasnya

"outcrassing" (persilangan luar).

Outcrossinq 1: Mekanisme fisik dan waktu penyebab

outcrossing

Pada bunga besar dari beberapa pohon Bombacaceae

(misalnya Ceiba acuminata), putik terletak begitu jauh

dari benang sari pada sekuntum bunga yang mekar sehingga

tepung sari tidak dapat disimpan/diletakkan padanya tanpa

pertolongan binatang yang dimaksud. Pada kasus C.

acuminata, binatang yang dimaksud adalah kelelawar dan

burung kolibri (Baker dkk., 1971). Pemisahan secara fisik

benangsari dari putik (secara teknik/sebuah contoh

herkogamy) meningkatkan kemungkinan penyerbukan silang

(atau geitonogarni) dan dapat sesuai bagi banyak pohon-

pohon tropis lain. Sebuh contoh bagus herkogami pada

tumbuhan rambat dapat diperoleh dari Gliriosa superba

(Liliaceae).

Pelepasan oleh benangsari dan penerimaan oleh putik

dapat dibagi menurut waktu (dichogamy): pelepasan tepung

sari mendahului kesediaan putik (protandry) atau

sebaliknya (protogyny). Protandri khususnya terkenal pada

Fabaceae. Jadi, pada Hymenaea courbaril

(Caesalpinioideae), di hutan neotropis, ketika "anthesis"

pada awal malam benang sari "dehisce" sementara "style"

masih terguiung) dengan putik terlindung baik pada pusat

"coil" (gelung). Kemudian pada waktu malam, style uncoiled

dan tersajilah sebuah putik yang siap (G.W, Frankie, pers.

Obs.).

Pada rumpun Gardeniaceae dan Rubiaceae, dengan

mekanisme "protandrous" yang berbeda, style

memanjang/terulur saat "anthesis", mendorong seperti

sebuah pengisap (piston) antara benang sari yang diketahui

membelah dan serbuk sari disajikan untuk serangga

pendatang pada putik yang tidak reseptif (siap menerima).

Belakangan, ketika serbuk sari telah terlepas, putik

menjadi reseptif (siap) terhadap serbuk sari yang dibawa

dari tempat lain (Baker, 1958).

Dimana protandri melibatkan secara relatif bunga-bunga

besar di situ biasanya tidak ada sinkronisasi antara

bunga-bunga pada pohon yang sama sehingga meskipun

autogamy bisa dicegah, geitogamy tetap dimungkinkan.

Dimana protandri terlihat pada spesies yang banyak bunga-

bunga kecil berkumpul ke dalam inflorescences yang padat,

dan secara fungsional merangsang bunga besar di situ bisa

terdapat sinkroni dengan inflorescence. Jadi, pada spesies

Parkia (Fabaceae, Mimosoideae) paleotropik dan neotropik

terdapat sinkroni. Pada P. clappertoniana, inflorescence

cembung seukuran bola tenis terjadi pada benangsari bunga-

bunga di suatu malam dan pada putik di malam berikutnya

(Baker dan Harris, 1957). Meski begitu, tidak terdapat

sinkroni antara infloresensi dan sekali iagi meski

autogamy bisa dicegah, geitogamy dapat terjadi bilamana

keleiawar penyerbuk melakukannya.

Infloresensi Parkia memperlihatkan pembagian kerja

yang menarik antara bunga-bunga, sebagian berfungsi hanya

sebagai produser nectar (penghasil madu) sementara

sebagian Iagi sebagai penghasil buah (Baker dan Harris,

1957; Baker, 1978a).

Protogini, yang kurang sering dibandingkan protandri

boleh jadi merupakan sebuah mekanisme yang iebih efektif

untuk rnemajukan outcrossing, oleh karena itu serbuk

'asing" yang mencapai putik sebelum benangsari bunga itu

sendiri "dehisce" akan lebih disukai/menang dalam

perlombaan pada batang benang sari menuju ovula,

mengalahkan semua serbuk yang belakangan dilepaskan bahkan

jika pada waktu itu putik masih hams disiapkan. Dua

penelitian yang baik sebagai contoh protogini diberikan

oleh Persea americana (Lauraceae) dan Annona cherimolia

(Annonaceae) dan , tentunya, spesies Ficus (Moraceae) yang

sangat khusus (McGregor, 1976).

Outcrossing 2: Sistem incompatibiljtas

Self-inkompatibilitas (inkompatibilitas sendiri)

homomorfik ditemukan pada banyak pohon-pohon tropis yang

memperlihatkan mekanisme penghindaran/penceganan autogarni

dan geitonogami ini, tetapi terdapat juga pohon-pohon

belukar, herba dan liana yang heteromorfik pada hutan-

hutan tropis (East, 1940; Baker, 1958; Bawa, 1974; Arroyo,

1976; Opler dkk., 1976a; Haber dan Frankie, 1982).

Pada sebuah hutan yang rontokdan kering di Costa Rica,

Bawa (1974) menemukan 27 dari 34 spesies pohon berbunga

hermaphrodit merupakan "self-incompatible" sebagai sebuah

hasil percobaan bagging, selfing dan crossing. Arroyo

(1976) dan Zapata dan Arroyo (1978) menemukan suatu

proporsi yang serupa pada sebuah hutan tanah rendah di

Venezuela. Penelitlan-penelitian yang dilakukan pada hutan

hujan tropis tanah rencah di Malaya (Ashton, 1977} dan

hutan basah di Costa Rica (Bawa, unpub.) juga menunjukkan

adanya oto-inkompatibilitas pada sebuah proporsi yang

tinggi dari pohon-pohon contoh lebih jauh spesies

individual yang diperlihatkan oteh East (1940), Purseglove

(1968), Hedegart (1976), Mori dan Kallunki (1976),

Simmonds (1976) dan Gan dkk. (1977),

Sedikit sekali penentuan nubungan kompatibilitas pada

semak belukar hutan, kecuali untuk heterostylous (tumbuhan

berakar serabut) dan Fubiaceae lainnya di Afrika Barat

{Bakaer, 1958) dan di Costa Rica (Bawa dan Beadh, 1981)

dimana inkompabilitas sendiri banyak terjadi, dan untuk

spesies Cordia (Boraginaceae) yang heterostylous (self-

incompatible) dan hoostylous (self-compatible) di hutan

neotropis (Opler dkk., 1976a). Pada sebuah hutan tropis

rendah tanah basah di Costa Rica, L. McDade (pers.comm.,

1979) menemukan oto-inkompatibilitas pada sekurang-

kurangnya 4 buah spesies Aphelandra (Acanthaceae), tetapi

J.Kress (pers.comm.) telah membuktikan bahwa Heliconia

(Musaceae) mempunyai spesies-spesies baik yang self-

compatible maupun self-incomptible. Pada hulan yang sama,

K. Grove (pers.comm., 1977) menemukan beberapa herba yang

self-compatible.

Di antara liana dan tanaman merambat, Pass/flora

mucronata ditemukan self-incompatible dan self-compatible

ini banyak terjadi pada Bignoniaceae yang merambat

(Gentry, 1974a).

Pada banyak spesies, barier inkompatibilitas tidak

lengkap atau mudah menjadi rusak (contohnya, lihat Baker,

1958; Lee, 1967; Purseglove, 1968, 1975; Bawa, 1974;

Hedegart, 1976). Pada Cord/a alliodora (opier dkk., 1976a)

dan Luehea seemannii (Haber dan Frankie, 1982), terdapat

bukti eksperimental bahwa sebagian pohon self compatibel

dan sebagian lagi self-inkompatibel.

Pada hutan-hutan tropis, tampak bahwa musim berbunga

dan usia bunga secara individu berpengaruh besar pada

integritas sistem self-inkompatibilitas. Sebagai contoh,

pada Byrsonima crassifolia (Malpighiaceae) satu dari 5

pohon yang digunakan dalam percobaan awalnya ditemukan

sebagai self-incompatibel tetapi ketika masa berbunga

hampir selesai, bunga-bunga yang mengalami penyerbukan

sendiri menghasilkan buah {Bawa, unpubt.) Pada Piscidia

carthagenensis {Fabaceae, Faboideae), bunga-bunga berusia

satu hari hasil penyerbukan sendiri secara buatan, tidak

menghasilkan buah, tetapi bunga yang berusia dua hari

membentuk buah. Pohon-pohon dari spesies ini biasanya

mengalami penyerbukan siiang (Frankie dan Haber, unpubl.).

Pada Luehea seemanii (Tiliaceae), bunga-bunga yang

mengalami penyerbukan sendiri menghasilkan buah lebih

banyak pada 12-16 jam setelah "anthesis" dibandingkan pada

2-4 jam dari "anthesis" (Haber dan Frankie, 1982).

Meskipun demikian, frekuensi kerusakan sistem

inkompatibilitas dan faktor lingkungan penyebab kerusakan

tersebut rnemerlukan penelitian lebih lanjut (Baker, 1955,

1965a, 1974; Stebbins, 1957; Jain, 1976). "Selfing" yang

melestarikan genotipe; "crossing" menyebabkan

rekombinasinya, sehingga sistem perkawinan sebuah pohon

hutan tropis akan tercermin pada struktur populasi dan

variasinya. Penelitan tentang variasi ini, yanng dibuat

melalui elektroforesis protein yang terkandung dalam sel,

baru saja mulai dilakukan pada pohon-pohon tropis (Can

dkk., 1977).

Sistem self-inkompatibilitas yang heteromorfik untuk

sebagian besarnya terbatas pada tanaman herba dan pohon-

pohon kecil (misalnya: Rubiaceae, Erythroxylaceae,

Oxalidaceae, Boraginaceae) dan bisa tidak ditemukan pada

pohon-pohon tinggi. "Distyly" lebih umum daripada

"tristyly" pada tumbuhan hutan, "tristyly" terbukti hanya

pada bentuk turunan dari Averrhoa carambota dan A. bilimbi

(Oxalidaceae) (Baker, unpubl.). Pada peneiitian-

penelitian, dua ekosistem hutan tanah rendah di Costa

Rica, Bawa (unpubl.) menemukan 2 s/d 3% spesies pohon dari

setiap ekosistem adalah "distylous".

Pada beberapa tanaman kayu tropis "heterostyty"

tampaknya berkembang menjadi "dioecism" (Baker, 1958,

1959; Carlquist, 1966; Bawa dan Opler, 1975; Opler dkk.,

1976a; Bawa, 1980). Jadi, pada Mussaenda spp. (Rubiaceae),

menghambat (mencekik) pembuluh corolla dengan rambut

artinya adalah bahwa pada tanaman ber-"style" panjang,

serbuk sari jarang diambil dari benangsari yang bawah dan

pada tanaman ber-"style” pendek serbuk jarang ditaruh pada

putik. Jadi, tanaman ber"style" panjang berfungsi sebagai

individu "pistillate" (benangsari) dan menghasilkan biji,

sementara (anaman ber"style” pendek berfungsi sebagai

putik (Baker, 1958, 1959). Gambaran yang sama terlihat

pada Cord/a (Opler dkk., 1976a). Sebagai akibat,

pengamatan pembentukan buah dan penelitian morfologi bunga

adalah penting untuk memastikan apakah mereka berfungsi

sebagai hermaprodii (dan heterostyle) atau berfungsi

uniseksual.

Pada spesies dengan self-inkompatibilitas yang

homomorfik, sistem biasanya tampak sebagai tipe yang

dikontrol secara gametophyt, dan sebaliknya pada sistem

in-heteromorfik yang dikontrol secara sporafit. Jadi pada

Theobroma (Sterculiaceae), sistemnya mempunyai ciri yang

tidak biasa yaitu bahwa pembuluh tepung sari dari semua

penyerbukan tumbuh sama cepat dengan kantung embrio dan

perbedaan antara penyerbukan compatibel dan inkompatibel

hanya menjadi nyata ketika garnet jantan yang

terakhir/belakangan gagal melakukan pembuahan sel telur

(Cope, 1962a). Cope (1962b) memperlihatkan bahwa dari

sebuah populasi yang terisolasi (dan Theobroma cacao

memiliki distribusi "spotty" di hutan Amazon) menghasilkan

pohon-pohon self-compatibel, yang berbuah banyak, akhirnya

harus menggantikannya dengan self inkompatibilitas. Namun

demikian, akan terjadi diskriminasi selektif yang kuat

melawan tipe-tipe self compatibel (Purseglove, 1968) dan

di dekat pusat asa! spesies yang diperkirakan berada pada

lereng ttmur Andes, semua klon yang sejauh ini telah

ditefiti terbukti merupakan self incompatible. Di lain

pihak, semakin jauh pengumpulan dibuat dari pusat asal,

semakin besar proporsi pohon-pohon self compatibel.

Purseglove (1969) mempertimbangkan bahwa self

incompatibility akan menolong menyebarkan spesies ke dalam

daerah baru.

Keberadaan self incompatibility pada tumbuhan tidak

menghilangkan secara keseluruhan kemungkinan proses

inbreeding secara genetis, dimana ini tidak tergantung

pada pembuahan sendiri, ukuran populasi kecil yang efektif

disebabkan oleh terbatasnya sejumlah individu dimana polen

mungkin diterima, pernbentukan bunga yang tidak sinkron

dan penyebaran benih terbatas dapat memperbesar tingkat

inbreeding. Aliran gen dalam waktu dan ruang sulit untuk

dimonitor pada populasi ponon tropis, dan studi-studi yang

sesuai masih dalam taraf penyelesaian. Akan tetapi, studi

terbaru mengenai pohon-pohon di hutan hujan Malaya

menunjukkan bahwa varian genetik dan seedling menurun

dengan cepat satu langkah pada suatu pohon induk Shorea

leprosula (Dipterocarpaceae), dan Xerospermum intermedium

(Sapindaceae) (Gan, et al, 1977). Ini sesuai dengan

pendapat Ashton (1969) bahwa pohon-pohon di tropika basah

kebanyakan menukar gen-gen dengan tetangga-tetangga dekat

mereka dalam suatu rumpun, meskipun kadang-kadang dapat

juga terjadi antar anggota-anggota dari rumpun-rumpun yang

berbeda. Untuk pembuktian, setidaknya di hutan kering di

Costa Rica, pohon-pohon dapat berumpun, lihat Hubbel

(1979), ditunjukkan bahwa rumpLin-rumpun dari pohon hutart

dipterocarpaceae Malaysia (yang terbentuk karena

terbatasnya penyebaran benih} menghasilkan lebih banyak

buah dibandingkan pohon-pohon yang terisolasi sebagai

individu-individu.

Outcrossing 3: Monoesisme dan dioecisme

Banyak tumbuhan tropis mendorong outcrossing dengan

monoesisme (contohnya beberapa Meliaceae; Styles, 1972;

Styles dan Khosla, 1976) atau merubah monoesisme harus

dengan dioesisme (contoh, Cariaceae; Baker, 1976). Pada

bunga-bunga uniseksual dari beberapa taksa monoecious

telah berkembang baik, tetapi organ-organ seks lawannya

lidak berfungsi, membuatnya sulit untuk menduga sifat alam

seksualitas dari pemeriksaan kasual morfologi bunga.

Dengan demikian, berdasarkan studi berikut, banyak spesies

dari hutan-hutan tropis yang bersifat hermaprodit pada

bunga-bunga tua, telah ditemukan dapat menghasilkan bunga-

bunga yang berfungsi secara uniseksual (Styles, 1972; Bawa

dan Opler, 1975; Styles dan Khosia, 1976; Bawa, tidak

dipublikasikan). Kesamaan antara bunga-bunga staminate

dengan pistiltat (bertentangan dengan yang ditemukan pada

proses penyerbukan oleh angin pada pohon-pohon hutan

temperate) kemungkinan dibutuhkan kedua macam bunga untuk

rnenyesuaikan diri dalam mencari bentuk yang sama oleh

hewan polinator-polinator (serangga, burung, kelelawar)

dari pohon-pohon tropis ini.

Uniseksualitas dari bunga-bunga tersebut akan lebih

jelas pada spesies berkayu dibandingkan pada taksa

herbaceous (termasuk epifit). Sebuah survei flora di Pulau

Barro, Colorado, Croat (1978) melaporkan proporsi dari

spesies diocious dalam flora (semua bentuk hidup bersarna)

adalah 9%, (115 dari 1265 spesies). Penulis yang sama

(Croat, 1979) telah membuat analisis lebih jauh dan

menunjukkan bahwa diantara pohon yang berukuran sedang

hingga besar, 21% adalah diocious (berumah dua) dan 15%

adaiah monoecious (berumah satu). Angkanya rnengecil

menjadi masing-masing 7% dan 12%, untuk pohon-pohon kecil

(dan semak), 8% dari tumbuhan scandent adalah dioecious

dan 12% adalah monoecious.

Dalam studi mengenai hutan kering di propinsi

Guanacaste, Costa Rica, Bawa dan Opler (1975) menemukan

22% dari spesies pohon adalah diocious. Mereka mengulangi

dan dana diperoleh 40% untuk hutan hujan di Nigeria dan

26% (termasuk beberapa spesies hermaprodit dikogamus)

untuk hutan hujan campuran dipterocarpa dataran rendah di

Serawak Tengah (masing-masing adalah data dari Jones, 1955

dan Ashton, 1969). Jelasnya, diosisme lebih lazim diantara

pohon-pohon daerah-daerah temperate, dan kemungkinan lebih

lazim pada pohon-pohon besar dibandingkan pada bentuk

hidup lainnya. Alasan-alasan ini telah dikemukakan oleh

Bawa dan Opler (1975), Bawa (1981) dan Beach (1981).

Pohon-pohon dioecious tropis menunjukkan variabilitas

yang tidak teratur daiam ekspresi seks, dimana manifestasi

dari satu seks (biasanya staminate) menghasilkan beberapa

bunga yang hermaprodit atau lebih jarang dari seks

lawannya. Selanjutnya dalam Carica papaya, ada

kecenderungan mempakan pohon-pohon staminate, pada akhir

periode pernbentukan bunga, untuk menghasilkan bunga-bunga

hermaprodit dimana buah-buah yang membawa benih terbentuk.

Benih-benih dari buah-buah ini meningkatkan progeni

staminate mapun pistillate, yang artinya datam

mempertahankan keberadaan kedua seks dalam areal lokal

telah diteliti oleh Baker (1976).

Pada beberapa spesies dari pohon-pohon hutan hujan

tropis, individu-individu hermaprodit, sama halnya dengan

pistillate (bunga berkelarnin betina) dan staminate (bunga

berkelamin jantan), dapat terjadi pada dasar reguler

(contohnya, Coccoloba padiform'ts (Polygonaceae), atau

individu-individu pohon dapat beragam dalam keadaan

seksual dari waktu ke waktu. Beberapa dari taksa pohon

didaftar oleh Yampolsky dan Yampolsky (1922) sebagai

polyamodioecious. Di areal Pulau Barro, Colorado (Panama),

Croat (1978) menemukan ada 54 spesies (4% dari flora)

dalam suatu kondisi. Belum jelas arti adaptif dari variasi

semacam itu dalam ekspresi seks.

Pohon-pohon tropis dioecious menunjukkan beberapa

hubungan seks dimorphisme dalam ciri reproduktif seperti

jumlah bunga per inflorescecncec, ukuran bunga, warna dan

bentuk dari petal (kebanyakan khususnya pada Ccarica,

dimana bunga staminatenya adalah gamopetalus sedangkan

bunga pistillatenya adalah polypetalous), dalam sejumiah

nektar yang dihasilkan, dan dalam tingkat herbivory pada

bagian-bagian floral (Bawa dan Opler, 1975; 1978; Baker,

1976). Bawa dan Opler (1975) telah mencatat perbedaan-

perbedaan dalam jumlah nektar yang dikeluarkan oleh bunga-

bunga staminate dan pistillate, tetapi Carica spp,

menunjukkan opposite lengkap, disini bunga-bunga

pistillate tidak menghasitkan nektar sedangkan suplainya

baik pada bunga-bunga staminate (Baker, 1976). Dalam kasus

Carica, dikatakan bahwa ini membuat pengunjung bunga

berbahaya, seperti hummingbird (Trochilidae) dan lebah

Trigonia, jauh dari bunga-bunga pistillate dimana ovari

mudah rusak mengisi bunga. Penyerbukan yang bemasil

dilakukan oleh ngengat yang mengunjungi bunga pistillate

karena kesalahan dalam pencahayaan yang kurang.

Baker (1978a) telah mertunjukkan bahwa mungkin ada

perbedaan-perbedaan nyata antara pohon-pohon pistillate

dan staminate dari spesies yang sama pada rasio sukrosa

terhadap heksosa dalam nektar bunga mereka (contohnya pada

Triplaris americana, Polygonacceae). Arti dan tingkat

perbedaan-perbedaan semacam itu akan terbukti dengan studi

lebih lanjut.

Kebanyakan pohon dioeccious tropis yang telah diteliti

menunjukkan rasio seks yang bias, umumnya berlaku seks

staminate (Opler dan Bawa, 1978). Pada beberapa kasus,

hanya tumbuhan bunga berkefamin betina yang diketahui

(Tomlinson, 1974) dan disini apomiksis harus dicurigai.

Apomiksis

Reproduksi apomiksis, biasanya melibatkan agamospermi

(pembentukan embrio tanpa fusi/peleburan seksual) yang

telah diketahui untuk individu tropis spesies berkayu dan

herbaceous sejak abad ke-19. Reproduksi apomiksis pertama

kali ditemukan oleh Smith (1841), yang mengamati

penyusunan biji pada tumbuhan berbunga betina (bunga

berkelamin betina) yang diisolasi, yaitu spesies yang

sekarang dikenai sebagi Alchornea ilicifolia

(Euphorbiaceae). Daftar spesies dengan satu mekanisme

apomistik atau lebih telah dipublikasikan oleh Nygren

(1954, 1967) dan sekurangnya terdapat 30 genera tropis

(terutama rumput-rumputan) tercantum dalam daftar ini.

Mekanisme yang lazim/umum adalah embriony liar

(adventitious), yang berlawanan dengan apomiksis di

bagian-bagian dunia dimana musim pertumbuhan singkat, yang

bergantung pada diplospori atau apospori pada setiap kasus

yang diikuti oleh diplotid partenogenesis (Baker, tidak

dipubl.). llustrasi mengenai mekanisme embriony liar

(adventitious) pada pohon hutan tropis ditunjukan oleh

Pachira oleaginea (sekarang dikenai sebagai Bombacopsis

glabra (Bombacaceae) oleh Baker (1960)}.

Penjelasan-penjelasan eko-evolusioner untuk perbedaan

yang berhubungan dengan iklim ini akan dipertirnbangkan di

bagian lain, tetapi yang perlu mendapat perhatian adalah

beberapa macam apomiksis dapat "menghentikan"

heterozygositas (juga heterosis) yang telah dihasilkan

dari persilangan di luar pada reproduksi seksual

(amphimistik) tumbuhan induk(moyang). Akibatnya,

demonstrasi oleh Ashton (1977) dan Kaur dkk. (1978)

tentang tingkat kemungkinan apomiksis tinggi pepohonan di

hutan klimaks Malaysia, dimana reproduksi amphimistik

mungkin sulit karena pemisahan fisik dari individu-

individu conspesifik, menyatakan bahwa frekuensi

terjadinya sistem perkembangbiakan ini harus diselidiki

secara teliti di hutan tropis lain.

S. Appanah (dalam Kavanagh, 1979) menemukan bahwa

pepohonan Dipterocarpaceae di Malaysia diserbuki oleh

trips (Thysanoptera). Jumlah serangga ini tidak banyak,

dan akan meningkat pesat pada saat sekumpulan spesies

dipterokarpa berbunga. Namun demikian, spesies pohon

pertama dalam unjtan pembentukan bunga, contohnya Shorea

macmptera, dihadapkan pada kelangkaan trip sehingga

kenyataan tersebut menunjukkan pohon-pohon dari spesies

ini adalah apomistik.

Ekologi penyerbukarn Anthecology)

Awal pembentukan dan perkembangan bunga (antesis)

Permulaan pembentukan bunga melibatkan dua fase

berbeda: "induksi" pada tumbuhan dengan kesiapan untuk

menghasilkan kuncup-kuncup bunga (seringkali dikendalikan

oleh fotoperiode, sepanjang suhunya cocok), dan

"diferensiasi" ujung vegetatif sebelum menjadi kuncup

bunga (Hilman, 1962; Salisbury, 1963}. Antesis

(perkembangan bunga} mungkin langsung terjadi atau

tertunda (dormansi kuncup}.

Pendorong fotoperiode, jika ada, pada tumbuhan tropis

dapat berasal dari perubahan yang sangat kecil pada

proporsi cahaya terhadap gelap pada lamanya hari

(McClelland, 1924; Sunning, 1948; Njoku, 1958; dll)

Tetapi, apapun faktor pemicunya, mungkin "induksi",

"diferensiasi" atau "antesis" kebanyakan tumbuhan tropis

berbunga secara diskontinu, dengan kecenderungan berbunga

pada musim tertentu (Holturn, 1952; Daubenmire, 1972;

Frankie dkk., 1974 Opler dkk. 1976b, 1980; Stiles, 1978;

dan referensi lain dalam Frankie dkk., 1974}. Tumbuhan

minoritas pada habitat-habitat lebih lembab berbunga

secara kontinu, setidaknya pada dasar popuiasi, dan inilah

yang paling sering dijumpai pada komunitas-komunitas seral

pionir pada zona-zona hutan yang lebih basah.

Pecahnya masa dormansi kuncup bunga yang mengarah pada

antesis pada tumbuhan tropis telah menjadi bahan

perdebatan. Kelihatannya, lebih dari satu jenis stimulus

yang terlibat dalam pemecahan masa dormasi kunbup bunga.

Api (Hopkins, 1963), perubahan fotoperiode (juga Hopkins,

1963), penurunan suhu (Kerling, 1941; Holttum, 1952; Went,

1957}, dan pergerakan tekanan air (Aivim, 1960,1964;

Holdsworth, 1961; Daubenmire, 1972; Opler dkk., 1976a,

1980; Opler, 1981), semuanya dilaporkan memecahkan masa

dormansi. Kelihatannya ada juga ritme endogenous yang

terlibat, sehingga beberapa tumbuhan hutan tropis berbunga

lebih dari satu kali setahun (Holttum, 1852; Frankie dkk.,

1974; Opler dkk., 1976a, 198C; Opler, 1981), sedangkan

yang lainnya turnbuh untuk beberapa tahun atau dalam waktu

yang lama tanpa pembentukan bunga (termasuk bambu telah

disinggung sebelumnya). Bambu, dan beberapa pohon, adalah

monokarpik (Foster, 1977). Di Ghana, pohon-pohon dari

ekotipe savanna Ceiba pentandra (Bombacaceae) berbunga

setahun sekali; pohon-pohon besar dari ekotipe hutan tetap

vegetatif untuk beberapa tahun antara tahapan pembentukan

bunga (Baker, 1965b). Gentry (1974b) telah mensurvei tipe-

tipe pembentukan bunga pada Bignoniaceae neotropis.

Sinkroni berikut yang dipicu oleh stimulus lingkungan

yang kuat seperti badai hujan tropis pada akhir musim

kering sangat penting dalam mempertahankan aliran gen

intraspesifik dalam spesies pohon tertentu yang agak umum.

Juga memungkinkan pembentukan bunga oleh spesies yang

berbeda dengan perpindahan temporal/sementara yang

sebaliknya akan menyaingi penyerbuk tertentu yang sama

(Frankie, 1975; Opler dkk. 1976a; Frankie dan Haber, in

pre.). Stiles (1978) memperlihatkan bahwa dalam areal

hutan basah (La Selva, costa Fiba), urutan pembentukan

bunga oleh spesies hummingbird penyerbuk akan berubah dari

tahun ke tahun akibat perbedaan iklim namun kontinuitas

suplai sumberdaya dipertahankan.

Antesis biasanya terjadi pada waktu tertentu siang

atau malam untuk setiap spesies tumbuhan berbunga dan

mungkin memakan waktu 24 jam penuh. Sesuai dengan

kehangatan malam di daerah tropis, proporsi tumbuhan hutan

yang berbunga pada malam hari lebih tinggi dibandingkan

pada daerah temperate, sehingga kelelawar dan ngengat

mempunyai peran penting sebagai penyerbuk. Kehangatan juga

dtrefleksikan dengan membuka/mekarnya beberapa bunga

diurnal khusus seperti Thevetia ovata (Apocynaceae) pada

kegelapan sebelum senja. Tumbuhan malam seperti Inga vera

(Fabaceae, Minosoideae) membuka/memekarkan bunganya pada

tengah sore hari dan tetap mekar sepanjang malam, tumbuhan

tersebut memiliki sejumlah pengunjung mulai dari lebah

hingga kelelawar (Salas, 1974). Bunga-bunga dari beberapa

tumbuhan dioecious menunjukan ciri khusus, karena bunga

jantan (staminate) mekar beberapa jam sebetum bunga betina

(bunga berkelamin betina)(Bawa dan Opler, 1975).

Panjang waktu (lamanya) yang diperlukan bunga untuk

tetap dapat menghasilkan serbuk/tepung sari (polen) atau

lebih penting lagi untuk menerimanya, sangat bervariasi

antar spesies. Anggrek epifit terkenal karena bunganya

tetap segar dalam waktu yang lama; kebalikannya yang

sangat ekstrim ialah spesies Passiflora yang bunganya

hanya dapat bertahan beberapa jam dan penyerbukannya hanya

beberapa menit setelah bunga mekar (Janzen, 1968). Namun

demikian, secara umum benar bahwa bunga tunggal pada pohon

tropis biasanya bertahan kira-kira 1 hari. Pengecualian

untuk aturan ini diperlihatkan oleh beberapa spesies

protandous dan protoginus yang bunganya memiliki androecia

dan gynaecia yang berfungsi pada hari (malam) yang

berbeda. Beberapa spesies memiliki bunga yang terus

menyokong (kontribusi) daya tarik irtflorescense (warna)

walaupun telah "dipakai'Vdiserbuki. Misalnya Lantana

camara (Verbenaceae) dimana bunga-bunga yang sedang

diserbuki berwarna kuning, dan bunga yang telah diserbuki

dan masih bertahan beberapa hari berwarna oranye

kemerahan. Contoh yang lebih jauh (further) adalah

Byrsonima crassifolia (Malpighiaceae) dengan perubahan

warna yang tidak terlalu mencolok antara bunga yang belum

dan sudah diserbuki.

Individu tumbuhan spesies monoecious biasanya

memperlihatkan pemisahan temporal dalam antesis bunga

jantan dan betina. Demikianlah Schmid (1970) menemukan

ciri tersebut pada palma Asterogyne martiana di hutan

basah Costa Rica. Pada Capania guatemalensis

(Sapindaceae), Bawa (1977) menunjukkan bahwa setiap

individu tumbuhan mempunyai dua periode anthesis yang

terpisah, namun dalam waktu singkat, dimana bunga jantan

mekar dan di antara periode tersebut bunga betina mekar

dalam waktu yang lebih tama.

Fenologi Dan Keteraturan Masa Berbunga

Sampai saat ini perilaku periodik tumbuhan di

lingkungan tropik kurang mendapat perhatian (Holttum,

1952; Rees, 1964; McClure, 1966a; Gibbs dan Leston, 1970;

Nevling, 1971; Burger, 1974; Frankie dkk., 1974; Opler

dkk., 1980). Tanggapan mengenai kejadian-kejadian fenologi

yang terkait dengan biologi reproduktif seringkali hanya

sebagai Catalan singkat dalam sebuah tulisan panjang untuk

topik lainnya (contohnya Beard, 1946; Ducke dan Black,

1953). Informasi lain mengenai kejadian-kejadian fenologi

khusus dapat diternukan pada perlakukan-perlakuan

floristik (contohya Alien, 1956; Little dan Wadsworth,

1964; dan yang sangat terkenal pada Croat, 1978). Sumber

informasi fenologi lainnya terdapat pada tulisan yang

mengetengahkan kepentingan ekonomi suatu spesies (yaitu

Broekmans, 1957; Rees, 1964; Lamb, 1966; Purglove, 1968,

1975). Pada beberapa studi, data mengenai periodisitas

dari sejumlah kecil spesies telah dikumpulkan sebagai

usaha untuk merefleksikan kecenderungan fenologi umum pada

tipe-tipe vegetasi tertentu (sebagai contoh J.R.Baker dan

I. Baker, 1936; Hopkins, 1963; Daubenmlre, 1972; berbagai

referensi pada Richards, 1952).

Baru-baru ini beberapa usaha dilakukan untuk dapat

membedakan pola-pola komuniktas secara umum dalam

pembentukan daun, bunga dan buah untuk banyak spesies yang

secara khusus membentuk tipe-tipe hutan tertentu. Beberapa

studi telah dilakukan di Afrika oleh Boaler (1966), pada

lahari hutan deciduous miombo di Tanzania, dan oteh Burger

(1974) pada 4 tipe hutan di Ethiopia. Di Asia, Ng (1977)

mempelajari fenologi pada hutan dipterocarpaceae di

Malaya, dengan studi-studi lain di Malaya oleh Medway

(1972) dan di Sri Langka oleh Koelmeyer (1959). Di daerah

neotropik, studi fenologi diiakukan di hutan lembab semi-

evergreen Panama oleh Croat (1969,1978} dan oleh Foster

(1974). Di Costa Rica, studi fenologi pepohonan telah

diiakukan oleh Janzen (1967) di hutan kering, di hutan

lembab oleh Fournier dan Salas (1966), dan di hutan basah

dan kering oleh Frankie dkk. (1974) dan Opler dkk. (1980)

melakukan studi fenologi semak dan treelet. Nevling (1971)

mempelajari fenologi hutan elfin di Puerto Rico, sedangkan

Jackson (1978) mengamati hutan hujan pegunungan yang lebih

rendah (secara teknik hanya pada subtropis) di Brazil.

Dengan beberapa pengecualian dari penelitian di Sri Langka

oleh Koelmeyer (1959) dan di Malaya oleh Medway (1972),

seperti studi-studi di Costa Rica yang diiakukan Baker,

pola-pola ini diternukan hanya dalam jangka pendek

(biasanya sekitar 2 tahun).

Analisis-analisis fenologi pohon hutan Costa Rica

(Frankie dkk., 1974), fenologi semak dan treelet (Opler

dkk.. 1980) dapat diringkaskan. Pada hutan basah (Finca La

Selva), terdapat dua puncak rnasa berbunga yang tampak

pada spesies kanopi dan tiga puncak di tingkat bawah. Masa

berbunga terjadi di dua musim basah dan pada musim-musim

yang tidak terlalu kering, dengan sedikit kesesuaian

(synchrony) di antara dua lapisan. Semak dari hutan basah

menunjukkan masa berbunga yang lebih sering dan bunganya

secara umum dapat digolongkan sebagai "aseasonal" {tidak

bermusim). Pada hutan kering (Guanacaste), dua puncak masa

berbunga terlihat pada pepohonan; satu periode yang luas

selama musim kering yang panjang dan puncak kedua pada

awal musim hujan. Semak hutan kering, sebaliknya

menunjukkan hanya sekali puncak masa berbunga utama yaitu

pada awal musim hujan, sebelum dinaungi oleh munculnya

daun-daun muda pohon desiduous. Selama musim kering yang

panjang semak cenderung berada pada kondisi dorman,

kemungkinan karena kekeringan lebih berat bagi semak

dibandingkan bagi pohon yang berakar lebih dalam. Hutan

ripari di Guanacaste cenderung menunjukkan perilaku

fenologi semak, dan pepohonan intermediate (menengah)

sesuai dengan ketersediaan suplai air yang cukup.

Di hutan basah, setiap bulannya dalam.setahun

ditemukan sejumlah besar pohon yang berbuah masak,

meskipun puncak masa berbuah pada musim kering kedua

(Agustus-Oktober). Pada hutan kering, puncak produksi buah

masak terjadi pada akhir musim kering yang panjang (dengan

hasil benih akan tersedia pada lantai hutan pada awal

musim hujan). Semak di hutan kering memperlihatkan dengan

jelas pola pembentukan buah bimodal, puncaknya pada

pertengahan musim kering dan musim basah. Hutan ripari di

Guanacaste, yang kelembabannya berada di antara hutan

kering dan basah, umumnya juga menunjukkan pola fenologi

intermediate "menengah".

Di Panama, pola fenologi di Pulau Barro Colorado juga

intermediate, saat ini secara klimatik antara hutan basah

dan kering Costa Rica, dan pengamatan fenologi oleh Croat

(1978) pada bentuk hidup semua Eumbuhan menunjukkan bahwa

herba lantai hutan mencapai puncak masa berbunga pada awal

musim hujan, dan epifit sebagian besar berbunga pada

pertengahan hingga akhir musim kering. Tumbuhan perambat

memiliki pola pembentukan bunga yang lebih menyebar. Liana

rnencapai puncak masa berbunga pada awal musim kering:

puncak masa berbunga untuk pohon yang lebih besar berada

pada musim kering. Puncak masa berbunga pada semak dicapai

pada awal musim hujan. Musim berbuah dari berbagai bentuk

kehidupan ini berjalan mengikuti musim berbunga (herba,

pada pertengahan hingga akhir musim hujan; epifit terutama

pada akhir musim kering; liana juga akhir musim kering;

pohon-pohon menunjukkan dua puncak, pada awal musim basah

dan pertengahannya; semak pada musim basah).

Di hutan Cagar Alam Pasoh Malaysia, pohon-pohon

Dipterocarpaceae menunjukkan suatu urutan masa berbunga

yang tumpang tindih dengan durasi dua sampai tiga minggu

untuk setiap spesies, meskipun pematangan dan jatuhnya

buah terjadi bersamaan (H.T. Chan dalam Kavanagh, 1979).

Rangkaian/urutan masa berbunga berhubungan dengan

pemanfaatan penyerbuk yang sama (trip) oleh berbagai pohon

dipterokarpa.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk meneliti aspek-

aspek fenologi dari interaksi-interaksi yang terjadi

antara tumbuhan dan binatang pada tingkat komunitas, pada

paleotropis oleh Putz (1979) dan yang lain, dan pada

neotropis oleh beberapa peneliti seperti Snow (1965),

Janzen (1967), Smythe (1970), Gentry (1974b, 1976),

Heithaus (1974, 1979), Stiles (1975, 1978), dan Frankie

(1975, 1976). Studi-studi terinci mengenai ekologi

hummingbird dalam hubungannya dengan fenlogi tumbuhan

telah dibuat oleh Snow dan Snow (1972). Feinsinger (1976,

1978), Stiles (1978) dan Feinsinger dan Colwell (1978).

Rangkaian tulisan Frankie dan Haber (in prep.)

mengkarakteristikkan interaksi-interaksi antara pengunjung

anthofilus dengan pohon-pohon di hutan kering Costa Rica

(juga semak, liana dan tumbuhan perambat terpilih).

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa kelimpahan musiman

lebah-lebah besar dan ngengat rajawali (hawkmoth)

berkaitan erat dengan pola temporal dan spasial

ketersediaan sumber pembentukan bunga.

Penemuan-penemuan Stiles (1978) didasarkan pada studi

pembentukan bunga oleh 59 spesies dari tumbuhan yang

didatangi hummingbird selama kira-kira 4 tahun di hutan

basah Finca La Selva, Costa Rica. Puncak ketersediaan

bunga terjadi pada musim kering dan awal musim basah,

sedikitnya bunga terjadi pada bulan-bulan terbasah pada

setiap tahun. Meskipim demikian, spesies tumbuhan pangan

yang berbeda secara bersamaan akan memenuhi kebutuhan

burung-burung sepanjang tahun. Yang menarik, variasi curah

hujan dari tahun ke tahun menyebabkan beberapa perubahan

dalam urutan masa berbunga suatu spesies, namun

kontinuitas tetap dipertahankan.

Di masa yang akan datang, kita mengharapkan studi-

studi fenologi dapat berkembang datam jangka waktu yang

lebih panjang, karena dapat memberikan pengetahuan yang

lebih mendalam tentang penyebab bervariasinya pola-pola

dari tahun ke tahun, dan pengaturannya yang mendasar. Hal

ini juga memungkinkan pengertian yang lebih baik mengenai

pola pembentukan bunga dan buah pada tumbuhan yang tidak

berbunga setiap tahun. Pemicu yang membawa kepada antesis

akan dapat teriihat lebih jelas. Studi-studi perbandingan

mengenai pola fenologi pada habitat yang terganggu dan

tidak terganggu penting agar kita dapat mengatur hutan

tropis dengan lebih tepat, demikian pula untuk memahami

interaksi-insteraksi antara berbagai organisme yang

mendiarninya. Interaksi-interaksi kompetitif antara

tumbuhan dalam hubungannya dengan penggunaan polen dan

vektor benihnya (dan penghindaran interaksi kompetitif

dengan pembuatan jarak sementara) akan dipelajari lebih

intensif pada batasan yang diusulkan oleh penelitian

Stiles (1975, 1978). Feinsinger (1978), Feinsinger dan

Colwell (1978) untuk penyerbuk, dan oleh Foster (1974),

Howe dan Primack (1975), Howe (1977) dan Howe dan

Eslabrook (1977) untuk penyebar buah.

Vektor-vektor polen/serbuk sari

(1) Penyerbukan oleh angin. Sebagian besar studi mengenai

penyerbukan di hutan tropis tertuju pada tumbuhan

zoophilous dan binatang yang berhubungan dengannya,

karena sebagian besar tumbuhan hutan tropis diserbuki

binatang. Penyerbukan oleh angin agak jarang terjadi

di hutan yang lebih basah dimana penyebaran individual

conspesifik secara luas, ditambah lagi dengan

penampakan fisik pohon-pohon yang tidak berhubungan

satu sama lain, menjadikan anemofili sebagai suatu

sistem yang tidak efisien (Whitehead, 1969; Janzen,

1975). Pada tingkat/level permukaan tanah, kurangnya

pergerakan udara mungkin merupakan faktor yang

menghalangi penyerbukan oleh angin, lagipula rumput-

rumputan yang ditemukan pada tingkat ini, yang tumbuh

berkala, sebagian besar diserbuki oleh serangga

(Sodestrom dan Calderaon, 1971; Karr, 1976).

Anemofili telah dijelaskan pada beberapa pohon di

hutan deciduous yang dibatasi oleh savana dimana

faktor-faktor yang tidak menguntungkan berada pada

tingkat minimum (Daubenmire, 1972; Bawa dan Opler,

1975). Beberapa spesies pohon Moraceae di hutan semi-

desiduous tropis di Afrika dan Asia juga termasuk

anemofili (D. Leston, kom.prib., 1978; Corner, 1952),

demikian pula beberapa Rhizophoraceae di hutan-hutan

mangrove (Tomlinson dkk., 1978). Penyerbukan angin di

hutan hijau abadi (basah) dataran rendah neotropis

baru-baru ini telah dilaporkan oleh Bawa dan Crisp

(1980) untuk Trophis involucrata (Moracaceae) dan ada

indikasi beberapa spesies lainnya berada pada tingkat

bawah dari hutan basah Amerika Tengah (Bawa, tidak

dipubl.). Beberapa palma termasuk Trinax spp.,

tampaknya diserbuki oleh angin (Uhl dan Moore, 1977),

tetapi apa yang umumnya dipercayai, yaitu bahwa

Arecaceae secara keseluruhan anemophilus, ternyata

tidak benar (Schmid, 1970; Uhl dan Moore, 1977).

Tekanan-tekanan selektif yang berkaitan dengan

evolusi anemofili pada beberapa spesies di daerah

lembab di hutan evergreen tidak jelas. Kompetisi untuk

penyerbuk-penyerbuk dan pembatas energetik pada

produksi bunga dan alat-alat pemikat penyerbuk, dapat

diseleksi untuk penyerbukan oleh angin. Pada lapisan

tingkat bawah tidak seluruhnya kurang angin dan dalam

kenyataannya angin yang tertalu keras mengganggu

efisiensi penyerbukan. Hal ini juga memungkinkan

anemofili berkembang pada famili seperti Moraceae dan

Arecaceae di bawah kondisi lingkungan yang berbeda,

namun berlangsung setelah migrasi ke dalam hutan.

(2) Penyerbukan oleh serangga, Kisaran serangga antofilus

di hutan tropis adalah kumbang, lebah (minimal 2

kategori fungsional yang dapat dibedakan), tawon,

ngengat (dengan sphingids dan "ngengat pengatur'"

(settling moth), kupu-kupu dan berbagai jenis talat.

Namun, hampir seluruh informasi yang berhubungan

dengan penyerbukan oleh kelompok serangga ini

diperoleh dari pengamatan-pengamatan yang dilakukan

agak tergesa-gesa. Survei-survei terhadap sistem

penyerbukan pada tingkat ekosistem kebanyakan

dilakukan sangat khusus di neotropik, meskipun akhir-

akhir ini survei di Malaysia telah dapat

mengimbanginya. Studi-studi intensif tentang taksa

tertentu tidak terlalu banyak dan penelitian jarang

dilakukan.

Sindrom-sindrom karakter yang mengadaptasi bunga-

bunga terhadap berbagai serangga penyerbuk di hutan

tropik dapat dibandingkan dengan yang berada di daerah

sedang (temperate) (cf. Van der Pijt, 1960-61; Baker

dan Hurd, 1968; Faegri dan van der Poijt, 1971,1978).

Namun, beberapa korelasi tropis yang murni lebih

terkenal. Selanjutnya Bawa dan Opler (1975) menyatakan

bahwa bunga-bunga putih kecil dengan suplai nektar

terbatas merupakan ciri umum spesies pohon dioceous

yang sebagian besar diserbuki oleh lebah berlidah

pendek. Pada Cordia (Boraginaceae), Opler dkk. (1976a)

menemukan spesies bunga paling kecil C. inermis yang

memiliki pengunjung bunga sebanyak 300 jenis.

Janzen (1975) mengatakan bahwa proporsi jenis dan

biomasa lebah tropik yang besar adalah makhluk sosial,

termasuk beberapa genera seperti Apis, Trigona dan

Melipona. Namun demikian, mereka yang kurang berperan

secara proporsional sebagai penyerbuk, sering menjadi

pemakan bangkai (scavenger) polen dan nektar yang

ditinggalkan setelah proses penyerbukan bunga

dilakukan, atau mengambilnya dari bunga-bunga dimana

penyerbukan yang efisien membutuhkan pengumpul nektar.

Lebah-lebah sosial ini juga mahir membersihkan polen

di badannya ke dalam pellet, sehingga yang tersisa

dibawa dari bunga ke bunga dalam posisi

penyerbuk/polinator (Janzen, 1975).

Lebah-lebah soliter (yang hidup menyendiri) yang

besar sangat penting sebagai penyerbuk pohon berkayu

di daerah tropis. Studi-studi lebah Cyclocopid di Asia

Tenggara dilaporkan in extenso oleh Van der Pijl

(1954). Lebah jantan euglosine pengumpul wewangian

telah diselidiki oleh C.H. Dodson, R.I. Dressier dkk.

(ringkasan pada Dodson, 1975). Vogel (1968) juga

menjetaskan tentang hal tersebut. Traplining (yaitu

perkunjungan pada sekumpulan tumbuhan) oleh lebah

euglosine betina, pertama kali digambarkan oleh Janzen

(1971), yang juga menyatakan bahwa lebah-lebah

tersebut tampaknya sanggup untuk terbang sejauh 23 km

setiap hari, sehingga penyebaran dari tumbuhan bunga

yang dikunjungi seharusnya bukan merupakan rintangan

yang tak mungkin diatasi pada pembuahan silang.

Sindrom karakter trapliner dan tumbuhan yang

didatanginya digambarkan oleh Janzen (1971,1974b).

Penelitian Frankie dan Colville (1979)

menunjukkan bahwa lebah-lebah yang besar dari jenis

yang berbeda mencari makan pada ketinggian di atas

tanah yang berbeda di hutan kering Costa Rica. Dengan

pengertian ini, pembagian sumber nektar dan polen

dapat dicapai. Peran interaksi teritorial dan

interaksi agresif antar lebah di hutan tropik

digambarkan oleh Dodson dan Frymire (1961), Frankie

dan Baker (1974) dan Frankie (1976). Pengaruh reaksi

insting lebah dalam mendukung penyerbukan silang ini

dengan memindahkan individu akan dijelaskan pada

bagian Selanjutnya. Yang juga berhubungan dengan

pendukung penyerbukan silang adalah pernyataan Gentry

(1978) bahwa spesies serangga penyerbuk bunga banyak

(masal) dapat mencurahkan energi untuk menghasilkan

surplus penyerbuk, dan selanjutnya akan menarik

burung-burung pemakan serangga yang rnembantu

penyerbukan siiang dengan menakuti serangga tersebut

sehingga terbang/pindah ke tumbuhan lain.

"Pembentukan bunga masal" dimana individu

tumbuhan memproduksi sejumlah besar bunga dalam jangka

waktu yang singkat, paling sesuai untuk pohon-pohon

bertajuk dan liana fmisalnya Tabebuia dan Pterocarpus

di Amerika Tengah) yang menunjukkan kumpulan warna

pada binatang yang dapat terbang di atas tajuk pohon.

Dalam hal ini burung-burung dan Iebah masuk termasuk

di dalamnya. Sebaliknya, pohon dan semak di bawah

kanopi, tumbuhan perambat, beberapa liana dan epifit

dapat lebih baik dilayani oleh sindrom "traplining".

Studi komprehensif mengenai penyerbukan serangga

dari beberapa anggota famili tertentu belum sebanyak

penelilian yang dilakukan di daerah temperate.

Tercatat penyelidikan dari Bignoniaceae oleh Gentry

(1974a), dan pada Lecythidaceae oleh Prance (1976) dan

lainnya. Pada kedua penelitian ini, Sebah paling

berpengamh untuk sebagian besar aktivitas

penyerbuk/polinator.

Hymenoptera lain, terutama jenis tawon tropika

temyata lebih banyak berperan dalam penyerbukan

dibandingkan dengan yang disadah sebelumnya (lihat

Faegri dan Van der Piji, 1978 hal. 107-109). Harus

diingat bahwa mutualisme yang ekstrim antara jenis

Ficus dan penyerbuk-penyerbuknya melibatkan tawon dari

Agaonidae (ringkasan pada Ramirez, 1970; Galil dan

Eisikowitch, 1971). Semut yang melimpah di dalarn dan

pada pohon-pohon hutan dapat juga menjadi penyerbuk

siiang yang jarang/langka.

Lepidoptera banyak terdapat di hutan tropik,

meskipun tidak seluruhnya sebagai pencari nektar.

Kupu-kupu besar dan berwama-warni, dari genus Morpho

memakan buah busuk (Young, 1972). Di Asia Tenggara,

Banziger (1971) menggambarkan ngengat penghisap darah.

Perilaku kupu-kupu betina dari genus Heliconius yang

agak aneh, diperlihatkan oleh Gilbert (1972, 1975).

Kupu-kupu ini mengambil nektar dari bunga-bunga

kemudian mengumpulkan butiran polen dari bunga jantan

tumbuhan perambat Anguria dan Gurania (Cucurbitaceae)

lalu memuntahkan nektar ke atasnya, sehingga asam

amino tersebar keluar dalam nektar yang kemudian

dihisap oleh kupu-kupu. Dari hasil penelitian terkini,

De Vries (1979) memiliki bukti-bukti tidak langsung

bahwa kupu-kupu pada genera Paridesa dan Battus dapat

melakukan hal yang sarna seperti di Costa Rica. Kupu-

kupu jenis lain di hutan tropis memiliki kebiasaan

yang lebih konvensional dalarn mengumpulkan nektar,

dan hal ini serupa dengan "ngengat pengendap

settling". Nektar-nektar dari bunga hasil kunjungan

Lepidoptera-lepidoptera ini kaya asam amino, (lihat

bawah) (Baker, 1978a).

Ngengat sphigid (rajawali) biasa terdapat di

hutan-hutan tropis setelah matahari terbenam. Beberapa

bukti menunjukkan pada ketinggian yang lebih rendah,

puncak aktivitas mencari makan mungkin dicapai dalam

beberapa jam di waktu pagi (W.A. Haber, G.W. Frankie

dan P.A Opler, pengamatan pribadi) tapi di hutan yang

berawan (cloud forest) di Costa Rica aktivitasnya

terbesar pada senja dan fajar. Kemungkinan sphingid

mengikuti lajur "traplining", tetapi pernyataan ini

memerlukan bukti (lihat Linhart dan Medenhall, 1977).

Sindrom ciri bunga hawkmoth (ngengat rajawali)

dapat dibandingkan dengan yang dijeiaskan secara luas

di bagian lain untuk tumbuhan-tumbuhan temperate

(misalnya Van der Fiji. 1960-1961; Baker dan Hurd,

1968; Faegri dan Van der Fiji, 1966, 1971, 1978),

sebagai tambahan beberapa bunga berwarna kusam dan

berbau tidak sedap dapat pula menank perhatian ngengat

(lihat bawah). Bunga-bunga hawkmoth tropis, termasuk

beberapa yang memiliki tangkai mahkota (corola) paling

panjang, yang sesuai dengan panjang belalai ngengat.

Tercatat bahwa Xanthopan morgani f. praedicta di hutan

Madagaskar, yang menyerbuki anggrek Angraecum

sesquipedale, memiliki panjang belaiai 25 - 30 cm.

Kumbang dari berbagai jenis merupakan penyerbuk

yang secara proporsionai lebih penting di daerah

tropis dibandingkan di daerah temperate (cf. Ban der

Fiji, 1960-1961), 1969; Gottsberger, 1974; dll.) Di

daerah tropis mungkin sangat spesifik dengan kumbang

yang tertarik dengan bau khas tumbuhan (misalnya

Amorphophallus titanium dan kumbang sphigid besar dari

genus Diamesus yang mendatangi inflorescenses dan

seeing terperangkap; Faegri van der Fiji, 1978 hal

101).

Namun demikian, Thien (1980) yang telah

menyelidiki penyerbukan biologi pohon-pohon

angiosperrnae "primitif, terutama di hutan-hutan Asia

Tenggara dan Pulau-pulau lain di Lautan Pasifik,

menyimpulkan bahwa beberapa Diptera dikategorikan

sebagai penyerbuk pionir. Kemungkinan, lalat-lalat

tebih penting sebagai penyerbuk di hutan tropis

daripada yang selama ini disadari; lalat bukanlah

organisme yang secara estetika menarik perhatian dan

ialat tidak selalu mengunjungi bunga secara khusus,

sehingga diabaikan oleh kebanyakan pengamat. Sebagai

contoh adalah pengenalan yang lambat terhadap peran

lalat-lalat Syrphid dalam penyerbukan palma hutan

basah Asterogyne martiana di Costa Rica (Schmid,

1970).

(3) Penyerbukan oleh Burung. Sebuah literatur berguna

tentang ikhtisar penyerbukan oleh burung disajikan

oleh Faegri dan Van der Fiji (1978, hal. 123 kedua).

Pohon-pohon dan semak-semak di hutan neotropis mungkin

saja diserbuki oleh hummingbird (Trochilidae) atau

oleh berbagai burung passerine (perching)

(Passeriformes), termasuk vireos (Vireonidae),

warblers (Sylviidae), tanager (Thraupidae), finches

(Coerebidae) (Toledo, 1977). Honeycreepers yang

disebutkan terakhir adalah yang paling mungkin

bersaing dengan hummingbirds dalam memperoleh

nektardari bunga-bunga hutan (Colwetl dkk., 1974). Di

Afrika dan Asia, sun bird akrobatidk dan tidak

melayang (Nektahniidae) sangat penting sebagai

penyerbuk (Wolf, 1975; Faegri dan Van der Fiji, 1978;

dli), di Asia mereka dapat dijumpai bersama shite-eyes

(Zosteropidae). Di wilayah Indo-Malaya, pemakan madu

(Neliphagidae) di Hawai Drepanididae memakan

nektaryang berasal dari pohon hutan (Metrosideros,

Sophora, dll). Yang agak berbeda yaitu pada cara

mereka mengambil nektar (dan juga dalam pemanfaatan

serbuk sari sebagai sumber makanan yang kaya akan

protein) adalah brush-longued lorikeets

(Trichoglossidae) Australia.

Pada hutan basah di Costa Rica, studi yang

dilakukan oleh Slud (1960), Linhart (1973) dan Stiles

(1975) menunjukkan bahwa dalam Trochilidae, burung-

burung jantan dari banyak spesies mempertahankan

daerah teritorial tempat makanannya dalam pembukaan

hutan, dan lain-lain, sedangkan "pertapa"yang tidak

memiiiki teritorial berlaku lebih seperti seorang

penangkap (trapliner) di hutan.

Toledo (1977) menjelaskan untuk hutan hujan Vera

Cruz di Meksiko, bahwa hummingbirds cenderung

mendatangi pohon-pohon pada strata yang lebih rendah,

semak-semak dan herba (Heliconia adalah herba

tertinggi yang dapat dipertimbangkan}. Sebaliknya

pohon-pohon yang lebih tinggi dan liana yang menempati

tempat yang lebih tinggi cenderung lebih banyak

didatangi oleh burung Perching. Burung tersebut

menunjukkan ketertarikan yang sangat besar pada nektar

sebagai bahan makanan selama masa berbuah rendah dan

ketersediaan serangga minim. Penuiis yang sama

(Toledo, 1975) melaporkan bahwa variabilitas suplai

nektar sepanjang tahun bagi hummingbirds berhubungan

dengan perilakunya dalam mencari makan dan

berkembangbiak.

Pada areal cloud-forest di Costa Pica, Feinsinger

{1976, 1978) mempelajari pola hummingbirds mencari

makanan {kebanyakan dalam komunitas terganggu) dan

dihubungkan dengan pola penyediaan nektar oleh

tumbuhan. Feinsinger dan Colwell (1978) menghubungkan

perbedaan-perbedaan perilaku dalam mencari makanan di

dalam dan atar spesies pada ketinggian yang berbeda

seiring dengan perubahan suhu, kerapatan udara dan

faktor-faktor lainnya.

Van der Pijl {1937} dan Faegri dan Van der Pijl

(1978) menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam

organisasi bunga antara bunga paleotropik burung

perching dan inflorescens di satu sisi, sedangkan pada

sisi lain bunga neotrropik hummingbirds. Terdapat

ketetapan tempat berdiri pada yang pertama, berlawanan

dengan daerah terbuka di sekitar bunga sehingga dapat

ditempati oleh hummingbirds yang sedang terbang.

Perbedaan ini juga dapat dilihat dengan membandingkan

antara spesies yang diserbuki oleh hummingbirds dan

passerine yaitu Etythrina di neotropis {Cruden dan

Toledo, 1977).

Beberapa spesies pohon Ornithopilous mernpunyai

bunga berbentuk rnangkok yang sangat besar (seperti

Spathodea sampanulata, Bignoniaceae, dari hutan

deciduous di Afrika Barat, dengan diameter iebih

kurang 10 cm dan sama-sama dalam). Jenis-jenis inni

memiiiki begitu banyak nektar (dan air hujan) sehingga

dapat digunakan sebagai tempal minum oleh burung-

burung yang lebih besar.

Hadiah yang dapat disediakan untuk burung-burung

yang datang oleh bunga hutan tropis akan dibahas pada

bagian berikutnya. Bunga-bunga tersebut dapat

diproduksi sepanjang tahun, karena memberi makan

burung-burung residen (cf. Stiles, 1978, untuk

hummingbirds), atau untuk setengah tahun, ketika

mereka dimanfaalkan oleh burung-burung migran, yang

mungkin bergerak atas dasar musiman secara lintang

atau ketinggian (Janzen, 1975).

(4). Kelelawar dan Mamalia Lainnya sebagai polinator.

Pernyataan pertama yang muncul mengenai kelelawar

sebagai poiinator di areal hutan tropis telah dibuat

oleh W. Burck, di Taman Botani (Kebun Raya) Buitenzorg

(sekarang Bogor) pada tahun 1892. Mulai dari itu

hingga tahun 1954, relatif sedikit perhatian ditujukan

kepada polinator crepuscular dan nocturnal ini

(kecuali oleh Van der Pijl, 1936, di Asia Tenggara).

Selanjutnya dengan adanya photografi flash elektronik,

dan dewasa ini telah ada alat-alat penguat gambar

penampakan malam bagitu pula alat radio tracking telah

memungkinkan studi yang lebih sering dan mendetait dan

telah memberikan kepada kita apresiasi yang nyata dari

luasnya sistem penyerbukan yang hampir terbatas pada

daerah tropis. Jaeger (1954), Baker dan Harris (1957,

1959), Harris dan Baker {1958, 1959}, Carvalho (1960),

Vogel (1958, 1968-1969), Baker (1970, 1973), Ayensu

(1974), Heithaus ef a/. (1974, 1975}, Sazima dan

Sazima (1977, 1978}, Lack (1978), dan Gould (1977,

1978) adalah diantara mereka yang telah memberikan

contoh-contoh dan bahasan mengenai penyerbukan

kelelawar di hutan tropis. Sebuah resensi umum dan

diskusi disajikan oleh Start dan Marshall (1976), yang

juga meliputi banyak data utarna dari Malaysia.

Bunga yang didatangi kelelawar pada paleotropik

terbatas pada sub order Megachiroptera (sementara

anggota dari sub order Microchiroptera adalah

insectivonous) {Baker dan Harris, 1957; Vigel, 1968-

1969; Baker, 1973}. Namun demikian, Megachiroptera

tidak menyebar ke neotropic dan Microchiroptera (yang

menyebar} menemukan ternpat kosong di hutan tropis

Amerika dan menyebar kedalamnya (Baker, 1973). Sussman

dan Raven (1978) berpendapat bahwa bunga yang

didatangi oleh mamalia non-volant yang didahului oleh

penyerbukan kelelawar, dan cukup besar digantikan oleh

penyerbukan kelelawar ketika mamalia yang terbang

lebih efektif menjadi tersedia. Jika hal seperti ini

adalah kasusnya, sisa keterlibatan mamalia yang lebih

tua ini masih terlihat di Madagaskar, dimana lemur

(kukang) boleh jadi merupakan pollen-vektor, dan di

Australia, dimana marsupial benar-benar terlibat

(Morcombo, 1968, d!l). Faegri dan Van der Pijl (1978,

hal. 122) memberikan contoh lebih lanjut mengenai

penyerbukan oleh mamalia non-volant

Tumbuhan yang diserbuki kelelawar di hutan tropis

biasanya pohon-pohon, liana atau kadang-kadang epifit

dengan bunga-bunga inflorescenses atau individu-

individu bunga yang menggantung pada kekuatan

peduncles atau pedicels sehingga terdapat ruang

terbang bagi kelelawar bebas dari ranting atau cabang.

Contohnya Parkia dappertoniana (Fabaceae, Mimosoideae)

(Baker dan Harris, 1957, Baker, 1978a) dan Mucuna

andreana {fabaceae, Faboideae) (Baker, 1970).

Kemungkinan lain, bunga-bunga tersebut mungkin berada

dalam satu tandan dekat ujung cabang, sehingga

kelelawar dapat hinggap pada inflorescences dan

rnerayap disana, meminum nektar dan memakan pollen,

seperti pada Ceiba petandra (Bombacaceae) (Haris dan

Baker, 1959; Baker, 1963). Susunan ini terlihat dalam

bentuk ganjil pada inflorescences-rachises yang kaku

pada Oroxylum indicum (Bignoniaceae) di Malaysia

(Gould, 1978). Beberapa bunga kelelawar menghasilkan

cauliflorously (seperti Crescentia spp.,

Bignoniaceae}. Banyak pohon-pohon dari bunga yang

diserbuki oleh kelelawar berada dalam kondisi tanpa

daun (yang memungkinkan kelelawar terbang lebih bebas)

dan hal ini mungkin merupakan alasan rnengapa

penyerbukan kelelawar kelihatan lebih sering terjadi

pada hutan kering daripada hutan basah.

Terdapat dua sindrom bunga kelelawar yang cukup

berbeda (Faegri dan Van der Pijl, 1978). Bersama

dengan anthesis nocturnal, warna abu-abu kernerah-

merahan atau keputih-putihan, dan bau yang tajam, agak

tidak enak, yang mungkin terdapat pada bunga-bunga

bermahkota besar, atau pada bunga-bunga tunggal yang

kokoh {contohnya Kigeha, Bignoniaceae) atau bunga tipe

semak (contohnya Adansonia digitata, Bombacaceae) atau

inflorescences (contohnya Parkia clappertonia). Volume

yang sangat besar dari nektar agak mencair pada maiam

hari dan polien juga mencair dalam jumlah yang cukup

besar, merupakan hal yang sangat penting karena

keduanya membentuk suplai terbesar asam amino

pembangun protein untuk kelelawar tersebut (banyak).

Dalam mengumpulkan hadiah-hadiah ini, kelelawar

dapat terbang dalam jarak yang jauh. Start dan

Marshall (1976) menemukan bukti bahwa megachiroptera

Eonyderis speiea mungkin mencari makan pada mangrove

Sonneratia alba (Sonneratiaceae) pada lebih dari 38 km

dari tempat bertenggernya. Migroglossus minimus

mencari makan hanya pada mangrove ini dan terbatas

untuk bertengger sampai 3 km dari sumber makanan.

Gould (1977) memperkirakan bahwa, di Malaysia juga,

Pteropus vampirus, dari suborder kelelawar yang sama,

dapat terbang dalam jarak yang jauh anlara tempat

bertenggernya dengan pohon-pohon Durio zibethinus,

dimana mereka akan makan. Pencarian makan oleh

Microchiroptera neotropic mungkin juga pada jarak 16km

(Janzen, 1975).

Di neotropic, kelelawar microchiroptera kecil

mencari makan satu demi satu, seperti misalnya

Glossophaga soridna dari Markea sp. (Solanaccea)

(dilaporkan di dalam kesalahan sebagai species dari

genus tetangganya Trianaceae dalam Baker (1973), atau

sekawanan, seperti pada Artheus jamaicensis pada

Bauhinia paulitia (Fabaceae, Faboideae; Heithaus, et

al., 1974). Sazima dan sazima (1977) mencatat bahwa di

Brazil bagian Tenggara, Phyllostomus discolor mungkin

saja mencari makanan secara soliter atau mengelompok,

tergantung pada jumlah nektar yang tersedia.

Terdapat bukti-bukti secara tidak langsung bahwa

pencarian makan oleh beberapa kelelawar neotropic

mengikuti pola traplining (Baker, 1973; Heithaus et

al., 1975,, Sazima dan sazima, 1978). Di palcotropic

pemberian makanan "kesempatan" dari kelelawar

megachiroptera pada pohon-pohon "pembentukan bunga

besar" boleh saja merupakan suatu keadaan yang sangat

biasa (seperti pada Ceiba pentandra, Parkia

clappertoniana) (Baker, 1973) tetapi Gould (1978)

telah menunjukkan traplining oleh megachiroptera, sama

halnya di Malaysia (lihat juga, Start dan marshall,

1976), Gould (1978) juga mengklaim bukti mengenai

pertahanan teritorial dari Eonycteris.

Howell (1978) menunjukkan bahwa pohon-pohon yang

menghasilkan bunga kelelawar di Guanacaste (Costa

Rica) menghasilkan aliran nektar pada waktu yang

berbeda-beda sepanjang malam, sehingga kelelawar yang

datang dapat merupakan spesialis untuk waktu tertentu

dan oleh karena itu kemungkinan polinator-polinator

siiang yang lebih efisien, belum umum dalam

mernperoleh makanan dari berbagai sumber. Dia juga

menemukan bukti bahwa kelelawar dapat mengangkut

pollen dari jenis-jenis yang berbeda ini dari tanaman

pada bagian-bagian tubuh yang berbeda sampai menarnbah

efisiensi kelelawar sebagai pollen-vektor. Gould

(1978) menunjukkan bahwa Oroxylum indicum dan Musa

acuminata dapat juga "bekerja sama" dalam memberi

makan kelelawar megachiroptera Eonycteris spelaca di

Malaya.

Kebutuhan untuk bunga atau buah-buah ringan

dimaksudkan agar kelelawar tetap bertahan hidup

sepanjang tahun, di paleotropic diisi oleh prosesi

pembentukan bunga dan buah oleh species yang tidak

bertalian dan hal ini dimungkinkan oleh iklim (Alien,

1939; Van der Fiji, 1969; Baker, 1973; Start dan

Marshall, 1976; Gould, 1978). Di Afrika Barat, Eidolon

helvum mencapai tahap akhir dengan migrasi kelompok

dari daerah berbunga yang satu ke daerah berbunga yang

lain (Alien, 1939). Prilaku sepanjang tahun dari

microchiroptera yang mendatangi bunga dan buah

neotropis telah dipertimbangkan oleh Heithaus et al.

(1975). Dalam hal in, Corollia perspiciilata mungkin

dapat mempertahankan dirinya pada buah-buahan selama

rnusim basah sedangkan Glossophaga soricina dapat

mempertahankan kecenderungan nektarivorous.

Daya Tarik Baqi Polinator

(1) Warna. Macam-macam warna dan pola warna dijumpai

di hutan tropis meskipun suasana dari warna tersebut

mungkin hanya tampak pada waktu-waktu tertentu dalarn

setahun, seperti ketika tajuk Cochlospermum atau

tabebuta berbunga di hutan kering Amerika Tengah, atau

ketika Warszewiczia (Rubiaceae) berbunga di hutan yang

lebih basah. Warna merah adalah warna yang paling umum

diantara species yang diserbuki oleh burung

(hummingbirds dan passerine). Bunga untuk kupu-kupu

berkisar dari putih hingga kuning dan pink (dan bahkan

merah) tetapi bukan biru. Bunga untuk ngengat biasanya

berwarna pucat, atau putih. Bunga untuk lebah

barangkali mempunyai hampir semua warnd, kecuali

rnerah murni {seperti yang terlihat oleh mata manusia)

yang biasanya disertai oleh pancaran ultraviolet(tidak

dapat dilihat oleh kita). Bunga-bunga untuk tawon

sering berwarna merah keunguan.

Meskipun hampir dari semua wama tersebut

berasosiasi dengan jenis polinator dengan cara yang

sama seperti pada daerah temperate, sedikitnya

hubungan yang baru telah terungkap (sama halnya dengan

pada bunga-bunga yang diserbuki kelelawar). Kemudian,

di hutan basah dan kering Costa Rika, beberapa species

yang beradaptasi dengan ngengat memiliki bunga

berwarna pink, merah atau warna lavender daripada

warna putih atau cream yang biasanya rnerupakan bagian

dari sindrom penyerbukan ngengat {Haber, Frankie,

Opier dan Bawa, tidak dipubl.). Contoh-contoh dari

hutan kering meliputi Calliandra spp. dan

Pithecellobium saman {baik Fabaceae maupun

Mimosoideae), Hum crepitans (Euphorbiaceae), Schoepfia

schreberi (Olacaceae) dan Sloanea temifoiia

(Elaeocarpaceae). Di hutan basah, Guarea spp.

(Meiiaceae), Pithecellobium gigantiiolia dan P.

catenatum adalah anggotanya. Di Afrika Barat, Harris

dan Baker (1958) telah menyaksikan dan memotret

sphingid ngengat yang mendatangi bunga-bunga berwarna

ungu tua dari Kigetia africana (Bignoniaceae).

Sebaliknya, beberapa species pohon yang diserbuki

tawon memperlihatkan bunga-bunga berwarna cream

daripada keungu-unguan yang biasa tarnpak, corolla

berstekstur daging, misalnya Casearia sylvestris dan

Xytosma sp. (Flacourtiaceae}, dan Karwinskia calderoni

dan Ziziphus guatemalensis (Rhamnaceae} (Haber,

Frankie, Opier dan Bawa, tidak dipubl. Banyak species

lainnya dengan bunga berwarna putih atau cream

diserbuki oleh kombinasi lebah-lebah kecil dan tawon

(seperti beberapa species Cord/a. Opier et al.,

1976a).

Beberapa penelitian lanjutan mengenai warna bunga

dan polanya yang memperhitungkan pantulan atau

absorpsi ultraviolet yaitu berubahnya pola warna

seiring dengan penuaan bunga, dan hubungan variabel-

variabel ini terhadap pola mencari makanan pada

pengunjung bunga masih tidak umum. Kevan (1978}

membahas proses pewarnaan bunga dengan mengacu pada

anthecology. Barrows (1977) mempelajari perubahan

warna (dari lavender gelap sampai putih) yang terjadi

pada bunga Pachyptera hymenaea {Bignoniaceae) ketika

polen dan nektar tidak lagi tersedia, tetapi bunga-

bunga tersebut masih didatangi oleh lebah selagi

nodanya masih bersisa, sehingga arti biologi dari

perubahan tersebut masih belum jelas. Untuk beberapa

masalah, eksperirnen rnungkin dapat memberikan

jawabnya. Sebuah indikator dari apa yang mungkin

dibutuhkan didemonstrasikan lewat eksperimen Jones dan

Buchrnann {1974) pada Caesalpinia eriostachys dan

Parkinsonia aculeata {Fabaceae, Caesalpiniodeae) pada

tumbuhgn di alam. Mereka menunjukkan bahwa hanya ada

satu petal dalam satu bunga yang mengabsorpsi ultra

violet dan dengan manipulasi posisi petal (dengan

pembedahan dan penempelan kembali), mereka menunjukkan

bahwa pendaratan yang biasa dilakukan oleh lebah

polinator dapat salah arah.

Jones dan Rich (1972) telah memberikan perhatian

kepada kenampakan yang luar biasa dari adaptasi

Columnea florida (Gesneriaceae) pada penyerbukan

hummingbird di Costa Rica, dimana burung-burung

tersebut tertarik oleh bintik-bintik merah pada

belakang daun dimana bunga tersembunyi. Disini

terdapat kesamaan pada pewarnaan merah terang dari

daun dan bagian penguat lainnya yang terdapat di

sekitar bunga pada banyak euphorbia tropis.

Penelitian masa depan tentang pewarnaan bunga

dalam konteks penarik penyerbukan mungkin dibuat pada

basis family, seperti yang dimulai oleh Gentry (1974a)

untuk Bignoniaceae dan oleh Prance dan kelompoknya

(Prance, 1976, dll) untuk Lecythidaceae.

(2) Bau Bunga. Di hutan tropis terdapat asosiasi yang

biasa dari bau-bauan yang enak dengan bunga-bunga yang

diserbuki lebah dan kupu-kupu, dan ketidakadaan bau

yang biasa pada species yang diserbuki burung. Bau

aminoid berkaitan dengan bunga-bunga yang diserbuki

kumbang, dan bunga-bunga yang diserbuki hewan terbang

lainnya (termasuk bunga yang besar sekali dari

Rafflesia) memiliki kecenderungan yang familiar

tertiadap bau yang tidak enak bagi hidung manusia.

Seperti Van der Fiji (1936) pertama menunjukkan, bau

dari bunga yang diserbuki kelelawar (sebagaimana buah

yang didistribusikan kelelawar) biasanya agak tidak

enak, dan bahkan telah dibandingkan dengan bau

kelelawar itu sendiri. Species yang diserbuki oleh

ngengat biasanya mempunyai bau yang enak (begitu pula

relatif temperate mereka) tetapi hal ini tidak dapat

dipercayai karena bau yang tidak enak dari bunga Durio

zibethinus (Bombacaceae) menarik perhatian ngengat

sebagaimana pada kelelawar (Baker, 1970}. Bunga-bunga

yang diserbuki kelelawar, Kigelia africana, di Afrika

Barat, mempunyai bau busuk (dan berwama ungu kemerah-

merahan) tetapi mereka juga menarik perhatian ngengat

sebagaimana kelelawar (Harris dan Baker, 1958).

Kerja dari C.H. Dodson, R.L. Dressier dkk.

(diringkas dalam Dodson, 1975) dan Vogel (1968)

mengenai pengumpulan substansi bau-bauan dari petal

berbagai anggrek tropis oleh lebah auglosine jantan

telah menunjukkan kombinasi karakteristik "minyak-

minyak essensiaf yang secara berbeda menarik perhatian

lebah, sehingga terdapat mating assortive dari

pollinia dan stigma anggrek-anggrek ini.

Overland (1960) telah mempelajari ritme

endogenous yang ada pada pembukaan dan produksi bau

pada bunga dari blooming nocturnal Cesfrum noctumum

(Solanaceae). Ritme endogenous semacam itu, dan

kesempurnaan mereka ke dalam siklus 24 jam oieh

faktor-faktor lingkungan dapat dilihat juga dengan

keuntungan pada species diurnal. Salas (1974),

melaporkan bahwa nektar Inga vera var, spuria

(Fabaceae, Mimosoideae) tidak berbau saat pertama kati

dihasilkan (diakhir senja) dan menarik perhatian

beragam pengunjung bunga. Namun demikian, bunga-bunga

tersebut rnenjadi berbau tidak enak setelah beberapa

jam dan kemudian bunga-bunga tersebut didatangi

kelelawar.

Hadiah Bagi Pengunjung Bunga

(1) Nektar. (a) Bahan Kimia dari nektar. Aspek-aspek

bahan kimia penyerbukan biologi tumbuhan berkayu di

daerah tropis telah disebutkan oleh Baker (1978a),

dengan menekankan pada bahan kimia nektar. Nektar

diketahui lebih dari sekedar air gula: nektar

mengandung beberapa atau semua bahan-bahan kimia :

gula, protein asam amino, lipid, asam organik

antioksidan, beragam substansi nutrisi organik lainnya

dalam jumlah yang sangat kecil, sebagaimana bahan

kimia lainnya yang mungkin mengandung efek pencegah

pada beberapa pemakan nektar yang potensial {lihat

bagian mencegah dibawah} (Baker dan Baker, 1975;

Baker, 1978a).

Energi produksi atau nilai pembangun jaringan

nektar bergantung pada volume nektar dan konsentrasi

bahan kimia di dalamnya dalam pertanyaan (lihat di

bawah). Ada beberapa bukti dari sarnpel yang di arnbil

dari hutan kering Costa Rica, dimana konsentrasi gula

pada nektar meningkat dari dasar hingga puncak pohon

(dengan perkiraan gradien terbalik untuk asam amino)

(Baker, 1978a).

Rasio sukrosa terhadap heksosa dalam nektar

menunjukkan hubungan dengan perilaku polinator,

menjadi tinggi untuk bunga hummingbirds dan bunga

ngengat, tetapi rendah untuk bunga passerine yang

diserbuki burung dan yang diserbuki kelelawar (Baker,

1978a; Baker dan Baker, 1981). Bunga untuk kupu-kupu,

dominasi sukrosa kurang jelas terlihat, dan untuk

bunga lebah cukup beragam. Kadangkala ada phylogenetic

yang kuat; nektar dari Asteraceae biasanya didominasi

heksosa, nektar Ranunculaceae kaya sukrosa, tanpa

melihat tipe polinator (Baker dan baker, 1981).

Konsentrasi asam amino dalam nektar cenderung

lebih besar jika nektar adaiah satu-satunya (atau yang

terbesar) sumber material pembangunan protein untuk

para pengunjung bunga biasa dibandingkan jika

pengunjung mempunyai alternatif yang melimpah (Baker,

1978a). Di Costa Rica, ngengat, kupu-kupu dan tawon

(termasuk pula beberapa kelornpok tawon) bergantung

pada nektar untuk pemeliharaan diri mereka, dan nektar

dari bunga yang mereka kunjungi mempunyai konsentrasi

asam amino yang relatif tinggi. Bunga yang dikunjungi

kelelawar di neotropis membuat penggunaan getah buah

dan pollen sebagai sumber dari bahan-bahan penyusun

protein dan mengkonsumsi beberapa serangga; nektar-

nektar yang mereka konsumsi kurang dalam asam amino.

Burung kolibri betina khususnya pada waktu reproduksi

gemar memakan serangga. Bunga-bunga kemungkinan tidak

dapat menyediakan mereka dengan suplai alternatif yang

nyata dari bahan-bahan penyusun protein dan merekapun

tidak.

Nektar dari tumbunan tropik berkayu dapat terdiri

dari 2-24 asam amino yang dapat dideteksi, sesuai

dengan spesies masing-masing (Baker, 1978a). Terdapat

beberapa asam amino "non protein" yang lebih sering

ada diantara nektar bunga dari pohon-pohon tropik dan

liana (55%) daripada tanaman di temperate (36%). Jika

asam-asam amino ini mempunyai pengaruh toksik yang

dipercaya ada saat mereka terdapat pada benih-benih

(Rehr, dkk., 1973a,b), mereka mungkin berperan sebagai

penangkal terhadap pengunjung bunnga-bunga yang tidak

diharapkan.

Pada tahun 1969, Vogel menitikberatkan bahwa

sejumlah tanaman di Amerika Selatan, yang meliputi

anggota dari famili Malpighiaceae hutan tropik,

menghasilkan minyak yang dikumpulkan oleh lebah

anthophorine tertentu. Ketenjar yang mengeluarkan

minyak ini diserbuki "elaiophors" dan ia menyatakan

bahwa produksi minyak in sebagai alternate untuk

produksi nektar. Lebah-lebah termasuk dan genus

Centris, mengangkut minyak ke sarang mereka dimana

Vogel (1968,1971,1974) percaya bahwa minyak ini

dicampur dengan polen dan digunakan pada pemberian

makan larva.

Namun demikian, pada tahun 1973, Baker dan Baker

(1973, 1975) melaporkan bahwa nektar yang terdiri dari

lipid-cairan yang terdiri dari lipid dalam suspensi

dan juga terdiri dari gula biasa dan asam amino,

seperti bahan-bahan larut air lainnya dan dikatakan

bahwa minyak Vogel "alternatif bagi nektar adalah

benar-benar nektar yang secara luar biasa kaya akan

lipid. Di hutan Costa Rica dataran rendah, nektar yang

terdiri dari lipid ditemukan paling sering pada pohon-

pohon. Di antara pohon-pohon dan liana, lipid nektar

ditemukan terutama sering ditemukan pada

Caesalpinioideae dan Bignoniaceae (Baker, 1978a).

Bahan-bahan lain pada nektar bunga, yang secara

potensial penting bagi nutrisi pengunjung bunga di

dalam hutan, termasuk antioksidan (sebagian besar asam

askorbik, vitamin C), dan ini terutama sering ada pada

nektar yang mengandung lipid di mana mereka rnampu

mencegah berkembangnya ransiditas (rasa anyir) (Baker

dan Baker, 1975}. Sebagian besar bahan kimia yang

disebut, dapat juga mempengaruhi "rasa" dari nektar.

(b) Volume Nektar dan Konsentrasi Gula. Konsentrasi

gula nektar dari bunga-bunga yang beradaptasi pada

klas-klas pengunjung bunga yang berbeda mempunyai

selang yang luas (Fahn, 1949; Meeuse, 1961; Percival,

1965,1974; Baker, 1975, 1977,1978a; Cruden, 1979),

ketika volume nektar pada bunga-bunga dengan selang

adaptasi polinasi yang berbeda melewati beberapa

tingkat jarak (Cruden, dkk., 1981; Opler, 1981). Dua

variabel ini terkait erat karena sejumlah gula yang

diproduksi di dalam nektar sebagai hasil konsentrasi

beberapa volume (yang terakhir biasanya diukur dengan

refractometer dalam "sucrose equivalent"; Baker,

1975,1977,1978a; Cruden, dkk., 1981; Bolten, dkk.,

1979).

Konsentrasi gula dari nektar hutan tropik berada

pada selang 5-80% (sucrose equivalent - sebagai berat

per berat total). Pada serangkaian determinasi pada

hutan kering /pada musirn kering (Baker, 1978a),

menemukan bahwa nektar bunga burung kolibri, ngenngat

sphingid dan kelelawar mempunyai konsentrasi yang

rendah (masing-masing x ~ 21%, 24% dan 17%) daripada

nektar bunga kupu-kupu (x = 29%) dimana, pada akhirnya

kurang pekat dibandingkan bunga-bunga settling moth

dan lebah (masing-masing x = 41 % dan 46 %).

Konsentrasi gula yang rendah pada nektar bunga kolibri

menunjukkan nilai yang tidak semestinya dengan laju

metabolik yang tinggi dari burung-burung kecil ini,

tetapi setidaknya tiga penjelasan yang mungkin telah

dikemukakan. Baker (1975) merumuskan bahwa viskositas

yang rendah penting untuk memungkinkan pengambilan

nektar dengan cepat oleh burung kolibri, sphingid dan

kelelawar yang hanya menghabiskan periode yang singkat

pada bunga (dan, di dalam kasus burung kolibri dan

ngengnat sphinngid nectar seharusnya mengalir pada

saluran yang sempit saat dipindahkan dari bunga).

Sebagai alternatif, disarankan oleh W.A. Calder

(komunikasi pribadi, 1980) bahwa suatu nektar cair

diambil oleh burung dalam volume yang cukup besar

untuk memuaskan kebutuhan energi mereka, dapat

bermanfaat karena ia mengurangi tekanan air saat

burung berada di bawahnya. Penjelasan ini tidak dapat

diaplikasikan pada hutan tropika basah. Dinyatakan

oleh Bolten dan Feinsinger (1978} penetesan dari

nektar cair akan memperkecil kemungkinan lebah dari

'perampokan' bunga yang dibutuhkan burung kolibri

untuk keberhasilan polinasi. Bagaimanapun juga,

konsentrasi gula dalam nektar (dart Trinidad) yang

mereka asumsikan terlalu rendah untuk lebah. Sekalipun

demikian, adalah benar bahwa lebah, tawon, kupu-kupu

dan ngengat lebih suka dan dapat berhadapan dengan

nektar yang pekat, dan bahkan mernuntahkan cairan

untuk mencairkan nektar yang sangat pekat sebelum

mencernanya.

Volume nektar dari bunga hutan tropik biasanya

meningkat seiring dengan biomassa bunga (Opler, 1981),

walaupun terdapat pengecualian-pengecualian terkenat,

contohnya Cochlosperum vitifolium (Cochlorspermaceae)

dan Bixa orellana (Bixaceae) pada hutan kering neo-

tropik mempunyai bunga-bunga dengan diameter sebesar 7

cm, tetapi tidak mernproduksi nektar. Beberapa lebah

kecil, kupu-kupu atau ngengat bunga, seperti pada

beberapa Cordia spp., mernproduksi lebih sedikit

mikroliter nektar pada suatu saat, beberapa perbedaan

yang besar lainnya, yaitu bunga-bunga besar pada pohon

balsa neo-tropik (Ochroma pyramidalis, Bombacaceae)

dapat memproduksi 15 ml datam satu malam dalam kondisi

terbuka. Di Asia bunga staminate dari Musa paradisiaca

(Musaceae) memproduksi beberapa mililiter selama satu

malam (Fahn, 1949), saat inflorescences tunggal dari

Parkia clappertariiana Afrika Barat dapat memproduksi

sebanyak 15 ml (dimana semua mengalir ke tempat

biasanya) dalam satu malam (Baker dan Harris, 1957).

Ochroma, Musa dan Parkia semuanya dipolinasi oleh

kelelawar Malaya: Oroxytum indicum 1,8 ml; Durio

zibethinus 0,36 ml; Musa acuminata 0,63 ml.

Volume nektar yang disediakan oleh bunga

berhubunngan erat denngan ukuran pengunjung bunga

(Opler, 1981) dan ini diperoleh bukan dengan secara

kebetulan, terdapat korelasi yang terbalik antara

konsentrasi gula nektar dan volume nektar yang

tersedia, bagaimanapun juga, gula yang dihasilkan

bahkan pada permukaan dilusi biasanya lebih besar pada

bunga yang menyediakan nektar umurnnya untuk burung-

burung yang relatif besar, kelelawar dan ngengat.

Di Artik, Hocking (1953,1968) menghitung produksi

gula nektar per hektar dari tundra Artik dan menduga

berapa yang dapat mendukung penerbangan serangga dan

diperoleh hasil yang agak menakjubkan, sebagai contoh

bahwa satu catkin dari Salix arctophila (Salicaceae)

dapat tersebar untuk 950 "km nyamuk" setiap hari. Hal

ini akan sangat membantu untuk data kuantitatif hutan

tropik.

(2) Polen. Polen yang dihasilkan oleh kunjungan bunga

digunakan sebagai nutrisi oieh kumbang, lalat, lebah

(untuk mereka sendiri dan untuk anak-anaknya) dan oleh

kelelawar, tetapi kelihatannya sangat jarang, bagi

sebagian besar burung pengunjung bunga (lorikeet dari

Australia adalah pengecualian dalam pencernaan polen

yang disengaja: Churchill dan Cristensen, 1970).

Gilbert (1972, 1975} rnenunjukkan bahwa kupu-kupu

betina dari genus Heliconius menggunakan pollen

melalui pengumpulan sampel bunga-bunga staminate dari

tumbuhan perambat diocious pada genera Anguria dan

Gurania {Cucurbitaceae}. Kemudian dilakukan pemuntahan

nektar di atasnya sehingga asam amino meresap ke dalam

nektar dan kemudian diminum oleh kupu-kupu.

Bagaimanapun juga fenomena ini masih terbatas pada

hutan neo-tropik dimana Helioconius berada (lihat juga

Dunlap-Pianka, dkk, 1971; De Vries, 1979).

Banyak bunga dari tumbuhan hutan digunakan oleh

lebah sebagai sumber nektar dan polen sedangkan polen

hanya sebagai hadiah untuk pengunjung. Di hutan

noetropik, dicontohkan seperti Cochlospermum

vitifolium (Cochbrspermaceae) yang terdapat diantara

pohon-pohon, 8/xa orellana (Bixaceae), Sotanum spp.

(Solanaceae) dan banyak Melastomataceae diantara

semak. Cassia spp. yang tidak bernektar (Fabaceae,

Caesalpiniodeae) diternukan pada bentuk kehidupan dari

herba hingga pohon yang kesemuanya menghasilkan polen

yang berlimpah.

Bunga yang tidak bernektar dari anggota

Annonaceae sangat atraktif untuk kurnbang. Sebaliknya

"keuntungan" dari bunga tidak bernektar seperti

Cassia, Swartzia dan Melastomataceae sangat erat dalam

beradaptasi dengan lebah penngumpul polen yang

dilayani oleh "anther-anther makan", berbeda dengan

"anther-anther polinasi" yang menyimpan polen pada

badan lebah ketika sedang makan. Pada Solatium, polen

lolos dari anther melalui pori-pori ujung dan beberapa

polen "menderu" disebabkan karena lebah menggetarkan

badannya saat kontak dengan adroecium dan mengguncang-

guncang polen yang berbentuk seperti debu tersebut.

Masih sangat sedikit pengetahuan tentang

komposisi bahan kimia polen tanaman tropis, tetapi

dinyatakan oleh Howell {1974) bahwa polen yang diambil

sebagai makanan oleh kelelawar mungkin sangat kaya

akan protein, dan mungkin berhubungan dengan

konsentrasi asam amino yang rendah pada nektar bunga

keleiawar {Baker, 1977,1978a). Beberapa studi yang

menguntungkan telah dilakukan pada kisaran urnum kimia

polen dari tumbuhan hutan tropis dan sebagai tahap

awal telah dibuat baru-baru ini (H.G. Baker dan J.

Baker, tidak dipublikasikan)

(3) Hadiah padatan lainnya. Padatan "tubuh makanan",

menyediakan makanan untuk pengunjung bunga dengan

bagian-bagian mulut pengunyah (mungkin untuk

memindahkan perhatian pengunjung dari androecium dan

gynoecium), telah digarnbarkan untuk sejumlah spesies

tropik. Di Asia Tenggara, Freycinetia arborea

(Pandanaceae) memberi makan burung-burung dengan

dedaunan berdagingnya. Di Hawaii, burung-burung ini

dan tikus yang makan pada inflorescence (sekumpulan

bunga pada (anaman), dapat menjadi polinator juga

sebagai agen perusak (Faegri dan Van der Pijl, 1978).

Pada inflorescence "trapping" dan beberapa Araceae

tropik bahkari pada Amorphophatlus variabilis non

trapping, kumbang polinalor dan serangga lainnya

mengkonsumsi bahan padat yang dihasilkan didasar

tampuk bunga (spathe). Banyak kasus telah diketahui

dari peningkatan anak kumbang pada jaringnan berdaging

dari bunga-bunga yang hidupnya panjang, atau lebih

sering disebut inflorescence (Faegri dan Van der Pijl,

1978}, tetapi terdapat suatu keseimbangan yang tidak

stabil disini yaitu antara keuntungan polinasi dengan

kerusakan jaringan-jaringan.

Ini juga terdapat pada kategori hadiah padatan

yaitu yang pertumbuhannya tidak normal didalam synonim

Ficus, tanpa interaksi siklus hidup biasanya juga ada

dan ini akan rumit apabila antara tanaman dan tawon

agaonid, tidak disempurnakan.

(4) Tipuan dari pengunjung bunga. Pada sebagian besar

tumbuhan, pemberitahuan keberadaan hadiah yang tampak

kepada pengunjung bunga melalui warna, bau, dan bentuk

dari bunga didukung oleh penyediaan hadiah itu

(biasanya nekltar atau pollen). Namun demikian tipuan

telah diketahui dengan baik pada biologi polinasi,

khususnya dalam hubungannya dengan serangga pada

kekuatan diskriminator yang kurang berkembang.

Tipuan parsial benar-benar ada diantara pohon-

pohon tropik pada kasus-kasus tersebut dirnana bunga

staminate dari spesies monoecious atau dioecious

menyediakan hadiah (nektar, polen atau keduanya)

sedang bunga pistilat tidak tersedia. Bunga pistilat

dengan "tidak sengaja" dikunjungni oleh polinator yang

mengantisipasi hadiah yang sama dan mereka peroleh

dari bunga staminate (Baker, 1976). Contoh dari

polinasi "sengaja" disediakan oleh spesies Car/ca

(Caricaceae), diaman bunga staminate menawarkan polen

dan nektar untuk berbagai pengunjung (burung kolibri,

lebah, lalat, kupu-kupu dan ngengat}, tapi bunga

pistilat tidak menyediakan hadiah dan dikunjungi

secara singkat oleh ngengat pada saat hampir setengah

gelap di awal malam. Kasus polinasi "sengaja" lainnya

kemungkinan akan ditemukan dilain tempatdi hutan

tropik.

Kasus-kasus yang jelas ada tipuan total, dimana

tidak disediakan hadiah sama sekali, terlihat bahwa

yang paling baik sangat jarang diantara pohon-pohon

besar, dan hal ini telah dinyatakan (Baker, 1978a)

bahwa untuk pohon besar energi yang digunakan untuk

pembentukan bunga begitu besar sedangkan simapanannya

kecil sehingga tidak bisa mencukupi hadiah untuk

polinator. Ini mungkin akan seimbang jika polinator

tidak tertipu. Secara nyata, kami membutuhkan lebih

banyak informasi tentang biaya energi pada penyediaan

hadiah.

Penangkal-penangkal terhadap Pengunjung Bunga yang

tidak Dikehendaki

(1) Penangkal fisik. Ketika bunga beradaptasi pada

polinator-polinator tertentu, diharapkan akan terdapat

seleksi penampakan yang kemudian menurunkan kemampuan

ketersediaan nektar dan polen pada polinator, atau

terhadap yang tidak efisien sebagai vektor polen. Pada

kasus yang sama, ini dicapai oleh perubahan dalam

morfologi bunga. Selanjutnya bunga pengunjung kupu-

kupu dan ngengat settling hingga burung kolibri

mungkin terhalangi oleh bidang datar yang kurang untuk

tempat berdiri pada tubular bunga dalam keadaan

horisontal. Sebaliknya tabung corolla yang panjang dan

sempit mungkin cocok untuk Lepidoptera tapi tidak bagi

burung kolibri yang paruhnya membutuhkan tabung yang

lebih luas. Semua bunga yang bertabung panjang

melindungi nektarnya dari jilatan lebah berlidah

pendek, lalat, kumbang dan lain-lainnya, dan pengaruh

yang sama dihasilkan dengan mensekresi nektar ke dalam

taji (spur). Serangga-serangga merayap sering menjauh

dari tabung-tabung ini melalui pengaturan rambut-

rambut (yaitu Musaenda spp., Rubiaceae, pada

paleotropik; Baker, 1958).

Pengunjung yang tidak resmi, yang disebut pencuri

nektar, menyerbu dasardari corolla atau spur atau

mengunyah melalui pucuk yang belum terbuka untuk

memperoleh hadiah-hadiah yang kaya nektar atau polen.

Lebah, kumbang dan burung kolibri {juga burung-burung

lainnya) termasuk dalam kategori ini; mereka tidak

berperan dalam polinasi. Kehilangnan hadiah pengunjung

resmi kadang-kadang terjadi melalui kalik penjepit

atau bract tebal {sebagai contoh beberapa

Cucurbitaceae untuk kaliks, dan Acanthaceae untuk

bract).

(2) Penangkal kimia. Bahan kimia nektar hanya pada

awalnya bekerja, tapi mungkin diasumsikan bahwa

alkaloid, fenolik, glikosida dan asam amino non

protein akan tidak menyenangkan atau bersifat toksik

terhadap beberapa pengunjung bunga. Semuanya telah

ditemukan dalam nektar bunga dari tumbuhan hutan

tropis (Baker dan Baker, 1975; Baker, 1977, 1978a).

Suatu perbandingan dari proporsi nektar bunga yang

terdiri dari asam amino non protein, alkaloid dan

bahan fenolik, masing-masing diantara sampel dari

spesies hutan tropik di Costa Rica dan sampel dari

California dan dari tundra Alpine di Gunung Rocky

Colorado menunjukkan bahwa nektar tropik mempunyai

proporsi yang lebih besar dari masing-masing (Baker,

1977,1978a).

Baru-baru ini terdapat banyak pertentangan

mengenai bagaimana spesies hutan tropik menjaga nektar

bunga mereka dari pengambilan semut non polinasi

(Janzen, 1877c; Baker dan Baker, 1978; Feinsinger dan

Swarm, 1978; Shubart dan Anderson, 1978). Kelihatan

bahwa sebagian besar dari beberapa spesies bunga

tertutup dapat "menyembunyikan" nektar dari semut pada

saat frekuensinya lebih sedikit karena mungkin

terdapat pada bahan kimia penolak semut di dalam

nektar atau di dalam jaringan yang berdekatan

(sehingga nektar lebih mudah terkontaminasi oleh

bahan-bahan ini, W. Haber, komunikasi pribadi, 1979;

lihat juga Guerrant dan Fiedler, 1981). Van der Pijl

(1955) yang memberitahukan dan menunjukkan adanya

penolakan semut oleh petal, yang disebut secara khusus

sebagai bahan-bahan berbau. Bagaimanapun juga, pada

beberapa kasus, semut memasuki bunga dan memindahkan

nektar.

Pencegahan dari perusakan jaringan bunga oleh

herbivores metalui keberadaan cluster dari kristal

kalsium oksalat atau pemupukan tanin pada bagian bunga

yang tepat dinyatakan oleh kerja morfologi dan anatomi

dari Uhl dan Moore (1977) untuk beberapa spesies

palma.

(3) Penangkal Biotik. Konsep dari "penjaga semut" yang

makan pada nektar bunga ekstra dan melindungi bunga

dari kehilangan nektar bunga mereka terhadap

pengunjung bunga tidak resmi (yang paling nyata mereka

yang membuat lubang metalui corolla untuk memindahkan

nektar)-terlihat seperti yang dikemukakan oleh Van de

Fiji (1955). Dukungan terhadap kemampuannya dalam

menjaga fekunditas (kesuburan) tumbuhan disediakan

melalui percobaan oleh Keeler (1977) pada Ipomoea

carnea (Convolvulaceae). Oleh Bentley (1977) pada Bixa

oretlana (Bixaceae) dan oleh Schemske (1978) pada

Cosfus woodsonii (Zingiberaceae). Bentley (1977b)

telah meninjau subjek yang lebih luas dari

perlindungan tumbuhan dari berbagai macam herbivora

oleh semut.

Interaksi intra dan interspesifik diantara lebah-

lebah yang mendatangi pohon-pohon pada hutan tropis

rnemperoleh perhatian akhir-akhir ini (Frankie dkk.,

1976; Frankie, 1976). Interaksi ini beragam dari yang

agresif satu lawan satu sampai yang sederhana dijumpai

diantara individu hingga aktivitas massa yang

melibatkan kelompok-kelompok individu (Frankie dan

Baker, 1974),

Penghadapan satu lawan satu, yang sering mengarah

pada satu ke individu yang dipindahkan dari bunga dan

kadang-kadang didorong keluar dari tumbuhan, umumnya

telah diamati diantara lebah-lebah soliter dari

Anthophorinae (khususnya Centris spp.) dan Bombinae

(beberapa anggota dari Euglossinae) dari daerah tropis

Amerika Tengah (Frankie, dipubl.). Spesies tertentu

dari lebah tanpa sengat (secara kelompok) pada hutan

yang sama juga diketahui menunjukkan perilaku intra

dan inter agresif (Johnson dan Hubell, 1974). Pada

kasus ini, penyerangan berhubungan dengan makanan.

Johnson dan Hubell menyatakan bahwa perbedaan

interspesifik pada agresi diantara keberadaan lebah-

lebah tanpa sengat menentukan perbedaan perilaku

pengambilan makanan, sekurang-kurangnya dalam jangka

pendek.

Beberapa serangga anthopilous diketahui mempunyai

beberapa daerah pertahanan yang berdekatan dengan

sumber bunga di hutan tropik, sementara yang disusun

oleh semacam burung Kolibri jantan telh dipelajari

oleh Stiles dan Wolf (1970), Linhart (1973) dan Stiles

(1973). Hal ini dapat mengurangi aliran polen antara

wilayah (memotongnya di kecualikan untuk aktivitas

polinator silang jantan dan pengganggu lainnya ke

dalam wilayah yang ditinggalkan untuk beberapa saat

sebelum diusir dan keberuntungan di wilayah lainnya).

Interaksi-interaksi ini telah diamati pada kumbang

(Frankie, 1987; Rauscher dan Fowler, 1979) dan pada

semut (G.W. Frankie, pengamatan pribadi). Banyak

pengamatan wilayah yang telah dilakukan pada lebah-

lebah soliter (sebagian besar Anthaphoridae) di

Amerika Tengah (Frankie dan Baker, 1974; Frankie,

1976, dan tidak dipubl.; Frankie dkk., 1976) dan di

Amerika Selatan (Dodson dan Frymire, 1961; Dodson,

1962,1975).

Pada suatu studi di wilayah hutan kering Costa

Rica, Frankie (in. prep.) mengamati bahwa sebagian

besar spesies pohon beradaptasi dengan polinasi lebah-

lebah besar (sekitar 35 spesies) mernpLinyai satu atau

lebih wilayah lebah {sebagian besar dart spesies

Centris). Hal ini terlihat berbeda dari wilayah burung

Kolibri pada saat mereka berhubungan terutama dengan

perilaku pasangannya, tetapi mereka tidak hanya menuju

kembali pada polinasi dalam wilayah tersebut, tetapi

kadang pula terhadap polen yang dibawa oleh

perpindahan lebah ke pohon lainnya.

Pengambilan makanan dari kelompok oleh beberapa

lebah individu dari Anthophorinae telah diamati pada

hutan kering Costa Rica (Frankie dan

Baker,1974;Frankie1976). Pengambilan makanan semacam

itu mungkin menyebabkan kekacauan yang besar diantara

lebah penyimpan makanan yang bukan kelompok lain ke

suatu titik dimana mereka meninggalkan kluster-kluster

bunga yang diberikan dan memindahkannya ke pohon lain.

Gentry (1978) menaruh perhatian terhadap bentuk

lain dari interaksi agresif diantara pengunjung bunga

pada suatu species dengan proses pembentukan bunga

yang terjadi secara besar-besaran pada daerah tropis.

Dia mengamati bahwa dengan serangga anthophilous,

burung-burung pemakan serangga juga tertarik pada

sumber-sumber flora yang besar ini. Interaksi yang

terjadi antara predator dengan mangsanya dihasilkan

pada penyebaran terakhir, yang mungkin membawa polen

ke pohon yang lain.

Lebah-lebah tropis tertentu (kebanyakan

Anthophoridae) telah diamati mendatangi beberapa bunga

pada suatu tumbuhan tetapi mengabaikan atau hanya

menyentuh sebentar yang lainnya. Terutama jika ada

tidaknya nektar tidak lagi terlihat mengundang lebah,

dimungkinkan bahwa bau yang ditinggalkan oleh

pengunjung-pengunjung sebelumnya adalah yang menjadi

penyebab. Zona temperate baru bekerja dengan lebah

tukang kayu (carpenter bee) (Xylocopa spp.) pada

Passiflora (dari genus yang cukup baik mewakili hutan

tropik) telah mempelihatkan bahwa lebah betina

rnenandai bunga dengan sekresi dari kelenjar Dufour

(frankie dan Vinson,1977;Vinson et al.,1978). Bunga-

bung yang ditandai dapat dikenali hingga 14 menit.

Penghindaran yang sama dari bunga yang terlihat

ditandai dengan bau-bauan yang telah diamati Xylocopa

gualanensis betina pada Passiflora pulchella di hutan

kering dataran rendah Costa Rica, dan dengan Epicharis

sp. jantan Passiflora adenopoda pada ketinggian sedang

(1500 m) di cloud forest (Frankie, tidak dipubl.).

Di paleotropik, Burkill (1907 ) di India, dan Van

der Pijl (1954, dan kom. Prib.,1975) di Indonesia,

telah mengamati bahwa lebah jantan xylocopid

menghindari bunga-bunga yang baru saja mereka kunjungi

atau oleh individu-individu conspesifik lainnya.

Penghindaran terhadap bunga yang baru didatangi

tidak hanya berakibat pada proses mencari makanan yang

lebih efisien oleh serangga tetapi juga dapat

memberikan sumbangan pada peningkatan polinasi silang.

Hasil ini mungkin dapat dicapai dalam jangka waktu

yang agak lebih lama, dengan mengubah warna bunga

(atau dari "pembimbing nektar" pada bunga) yang

merupakan petunjuk bahwa pengunjung bunga selanjutnya

oleh binatang-binatang anthophilous tidak akan

memperoleh apa-apa (dan bahkan kemungkinan merusak

tumbuhan). Perubahan warna bunga mungkin teriihat,

sebagai contoh, pada bunga Gloriosa superba

(Liliaceae) atau pada beberapa species Hibiscus

(Malvaceae).

PEMBENTUKAN BENIH DAN PENGUGURAN BUAH SENDIRI

Pembentukan bunga, bahkan produksi bunga

hermaprodit, tidak selalu diikuti dengan pematangan

buah dan benih di hutan tropis. Karena itu, pada

Hymenaera caurbarit (Febaceae, Caesalpinioideae},

walaupun pembentukan bunga sering terjadi setiap

tahun, pembentukan buah pada pohon tertentu berlimpah

hanya pada satu tahun dalam jangka waktu lima tahun

(Janzen,1978a). Pada tahun-lahun berselang, tumbuhan

berfungsi terutama sebagai donor atas garnet jantan,

Pohon-pohon "Sub-adult" (sub dewasa) juga berlaku

sebagai penghasil polen, dan produksi benih juga

berkurang pada hutan relatif terhadap pohon-pohon yang

sedang tumbuh di tempat terbuka (Janzen,1978a).

Gejala yang umum adalah penguguran buah yang

berkembang beberapa saat sebetum kematangannya. Hal

ini nyata sekali dimana jumlah yang sangat besar dari

bunga-bunga kecil mulai diproduksi, seperti pada sub

famili Mimosoideae dari Febaceae. Contohnya, Parkia

clappertoniana di Afrika Barat, mempunyai sebanyak

2.000 bunga fertil yang potensial dalam inflorencence

tunggal, tetapi jarang untuk 4 atau 5 buah untuk

terbentuk dari setiap inflorencence (Baker dan

Harris,1957).

Pada kasus Cassia grandis (Fabaceae,

Caesalpinioideae), di Amerika Tengah, kurang dari 1%

bunga memproduksi buah (meskipun pada tahun "benih"),

dan sedikit atau tidak sama sekali dalam tahun-tahun

yang berselang. Benih yang akan dipanen membutuhkan

waktu setahun atau lebih untuk rnatang (Janzen,

1978a).

Lamanya proses buah dan benih-benih menjadi

rnatang di pohon hutan tropis bervariasi dari beberapa

hari hingga setahun, seperti pada Pithecellobium saman

dan Enterolobium cyclocarpum (Fabaceae, Mimosoideae)

(Janzen, 1978a).

Srnythe (1970) telah melakukan suatu studi

tentang buah dan benih yang jatuh selama periode 17

bulan di hutan Borro Colorado (Panama). Buah-buah

dengan benih kecil matang pada sekuen sepanjang tahun,

sehingga burung-burung yang makan disitu tetap

terpenuhi dan persaingan untuk mendapatinya minimum.

Pada saat buah-buah menghasilakan benih dalam jumlah

besar, kemungkinan kerusakan benih oleh binatang

Frugivorous (dan oleh predator benih) meningkat dan

untuk mereka, pembentukan buah yang sinkron didalarn

dan antar species rnemiliki keuntungan "memenuhi

pasarnya", terutama dimana binatang-binatang penimbun

menyebar (scatter hoarding animal), seperti agoutis

(Dasyprocta punctata). Persembunyian benih yang

tertupakan mungkin dapat berkecambah.

Penampakan yang mencolok dari buah-buahan yang

diproduksi oleh pohon-pohonan hutan tropis, biasanya

pematangnya cepat hingga beberapa titik tertentu,

diikuti oleh beberapa periode perkembangan yang

tertunda. Kasus yang menarik diniana kecepatan

diferensial dari pematangan terjadi pada dua spesies

dari genus pohon yang sama dijumpai pada Spondias

(Anacardiaceae) (Croat, 1974J. S. radlkoferi, buahnya

berwarna hijau dan tidak manis, berbeda dengan

beberapa spesies yang ancestral (leluhurnya) yaitu S.

mombin, dimana buahnya berwarna orange dan manis.

Ketika species tersebut dijumpai di Borro Colorado, S.

mombin mematangkan buahnya diawal musim hujan,

sedangkan S. radikoferi membutuhkan waktu lebih lama

untuk mencapai kematangan dan matang pada waktunya (di

akhir musim hujan) saat terjadi kekurangan makanan

pada mamalia yang mencari makan, walaupun memiliki

warna yang tidak menarik dan rasa yang tidak manis,

tetap saja secara aktif dimakan oleh beberapa monyet

dan agoutis.

Rangkaian pematangan buah dalam skala besar

ditunjukkan oleh Snow (1965) dengan 18 spesies Miconia

(Melastomataceae) dari lembah Trinidad.

Interprestasinya adalah bahwa telah terjadi seleksi

alam yang menurunkan kompetisi bagi agen-agen

menyebar, dalam haf ini burung yang memakan buah dan

mengangkut benih secara endozootical. Bagaimanapun,

hal ini juga merupakan hasil yang tidak langsung dari

periode pembentukan bunga pada waktu yang sama.

PENYEBARAN BENIH

Metode Penyebaran Benih

Penyebaran benih merupakan bagian yang penting

dalam proses reproduksi dan menjadi subjek studi

selama manusia masih menaruh perhatian pada pertanian,

holtikultura dan kegiatan-kegiatan kehutanan. Untuk

banyak pohon tropis, banyak ada seleksi karakter yang

mengurangi penyebaran, contohnya, seleksi

(dimungkinkan oleh orang-orang Afrika Barat) pohon-

pohon Ceiba pentandra dengan buah polongnya yang tidak

pecah saat matang, yang merupakan alasan kapok dapat

dipanen dengan mudah (Baker, 1965b).

Saat para naturalis mulai tertarik pada tumbuhan

liar, hingga mereka mengukur penyebaran benih dengan

kemungkinan akan rnengurnpulkan benih jauh dari

tumbuhan induk. Pendapat lain menyatakan bahwa

meskipun penyebaran jarak jauh penting dalam

meningkatkan range spesies, sebagian besar tujuan

penyebaran adalah cukup untuk membawa faenih ke titik

perkecambahan cukup jauh dari tumbuhan induk agar

terhindar dari persaingan dengannya (dan untuk lepas

dari predator benih atau seedling yang mungkin

terpusat pada tumbuhan induknya) adalah tepat, dimana

akan cenderung untuk menjatuhkan benih pada

rnikrohabitat yang sama, atau rnirip dengan tempat

induknya. Tinjauan atas pra-penyebaran benih diberikan

oleh Janzen (1978a).

Akibatnya, kita mengharapkan dapat melihat hasil

seleksi dari mekanisme yang membawa sebagian besar

benih pada jarak yang cukup dari tumbuhan induknya,

dengan kadangkala benih dibawa dalam jarak yang lebih

jauh. Penyebaran tidak selalu seragain pada semua arah

dan areat yang terisi oleh hujan benih seringkali

deisebut sebagai "bayangan benih", balasan yang patut

disayangkan karena kebanyakan "bayangan", contohnya

bayangan cahaya atau bayangan hujan, masing-masing

merujuk pada ketidak-adaan cahaya dan hujan.

Sebagai hasil dari kekuatan untuk bertahan hidup

pada seedling yang sangat dekat dengan tumbuhan

induknya, pohon-pohon conspesifik dihutan tropis

mungkin diharapkan mendekati suatu penyebaran seragam,

dan bukti yang mendukung hal ini diberikan oleh Janzen

(1970) dan oleh Conneil (1971). Dari studi terbaru

penyebaran pohon hutan kering, banyak spesies memiliki

lebih kurang distribusi berumpun {Hubbell, 1970, lihat

juga Ashton, 1969).

Metode aktual penyebaran bibit di hutan tropis

melibatkan angin, air atau penyebaran oleh burung atau

mamalia pemakan buah atau pemakan biji. Buah atau biji

mungkin dibawa oleh vektor binatang langsung dari

pohon, atau buah mungkin jatuh ke permukaan dan

terbelah/terbuka disana, yang memungkinkan benih-benih

tersebut disebarkan secara sekunder oleh hewan yang

berkeliaran. Teristimewa sekali adalah penyebaran yang

dilaporkan terjadi pada spesies hutan Amazon oleh ikan

yang menelan benih dari pohon riparian dan tumbuhan

perambat yang jatuh ke dalam air (Gottsberger, 1978).

Beberapa spesies dari genus Ficus (Moraceae) di Afrika

dapat mengalami predasi hebat oleh hama ligaeid

(Hemiptera, Lygaeidae) disini distribusi terbatas pada

jalan air dimana buah-buahan mungkin jatuh di air yang

mengalir dan didistribusikan ketempatnya berkecambah

jauh dari predator (Slater, 1972). Spesies riparian

lainnya dari famili lain, memperlihatkan distribusi

riverine dalampenyebaran benihnya yang berat tapi

mengambang di air (seperti liana Entada scandens.

Fabaceae, Mimosoideae)(Ridle, 1930).

Banyak literatur mengenai penyebaran benih

termasuk penyebaran pohon-pohon huian tropis,

diringkas pada buku II N. Ridley, Penyebaran Tumbuhan

di Seluruh Dunia, dipubiikasikan pada tahun 1930.

Penekanan tropis dalam buku ini berasal dari

pengalaman penulisnya sebagai Direktur Royal Botanic

Gardens, Singapura. Pada tahun 1972, L.van der Pijl

membuat tinjauan mengenai subjek tersebut, kembali

dengan penekanan tropis didasarkan pada pengalamannya

di Indonesia. Peneliti penyebaran benih tropis lain

adalah E.J.H. Corner, juga berhubungan untuk beberapa

tahun dengan taman botanik di Singapura, yang

pertimbangan-pertimbangan teoritisnya dikristalkan

dalam "Teori Durian" dari evolusi tumbuhan berbunga

(Corner, 1949,dll.).

Akan tetapi baru-baru ini kerja eksperimen

kuantitatif dan pekerjaan yang memperjelas subjek

tersebut sebagian besar dilakukan di neotropis.

Penyebaran biji di hulan tropis oleh burung telah

banyak dipelajari oleh ahli ilmu burung, terutama

mereka yang tertarik dalam burung-burung frugivorous

(contohnya Me Diarmid dkk.,1977; Howe, 1977; Howe dan

Estabrook, 1977; Howe dan Van de Kerckhove, 1979;

Cant, 1979). Studi-studi juga telah dilakukan

rnengenai penyebaran benih oleh kelelawar di

paleotropik (Van der Pijl, 1957) dan neotropis

(Vasquez-Yanes dkk., 1975; Heithaus dkk., 1975; Janzen

dkk., 1976; Fleming dkk., 1977; Janzen, 1978b).

Penyebaran benih oleh manusia non volant kurang

mendapat perhatian (lihat Van der Pijl, 1972).

Dalam semua studi, hanya terdapat sedikit jumlah

dari pengarnatan yang pertama tetapi tidak sama dengan

penyerbukan bunga, yang mungkin sering dipelajari di

semua tahap dalam beberapa jam, buah-buahan hutan

hujan dapat tetap melekat dengan tumbuhan induk untuk

beberapa bulan dan kemudian menghilang tiba-tiba. H.F.

Chan (dalam Kavanagh, 1979) melaporkan bahwa

Dipterocarpaceae Malaysia memperlihatkan pembentukan

bunga yang mengejulkan tetapi bersamaan dengan

jatuhnya buah. Ng dan Loh (1974) mengukur panjang

waktu antara pembentukan bunga dan buah dari 93

spesies pohon di hutan Malaysia. Panjangnya berkisar

dari tiga minggu (Pterocymbium javanicum,

Sterculaceae) sampai sebetas bulan (Disspyros

mainganyi, Ebenaceae). Jadi, akan sulit mengamati

agen-agen penyebar terhadap pekerjaan, sebagai

akibatnya, pengganti untuk pengamatan yang pertama

telah dicari

Tabel 12.1 Klasifikasi sistem penyebaran diaspor dalam

skema oleh Dansereau dan Lems (1957)

Auxochore Cyclochore Pterrochore1

Pogonochore Desmochore1 Sarcochore1 Sporochore2

Sclerochore2

Barochore Ballochore

penanaman diaspor oleh induk tanpa disartikulasi diaspor sangat besar, berisi udara (termasuk tumbleweed diaspor dengan anggota badan seperti sayap atau saccate diaspor dengan anggota badan seperti rambut panjang atau plumose diaspor perekat (duri, burr, oleh kelenjar) diaspor dengan lapisan getah atau lapisan luar berdaging diaspor secara morfologi tidak khusus, sangat ringan diaspor secara morfologi tidak khusus, berat sedang diaspor secara morfologi tidak khusus, sangat berat diaspor dikeluarkan atau dibuangi dari induk

Keterangan : 1) diaspor biasanya buah-buahan; 2) diaspor biasanya benih

Pada 1957, Dansereau dan Lems, meninjau literatur

penyebaran benih dan rnemperkenalkan sistem

klasifikasi mereka berdasarkan morfologi diaspor (unit

penyebaran benih, buah, bagian tumbuhan atau bahkan

keseluruhan tumbuhan) (label 12.1). Meskipun, sebagai

contoh dimilikinya buah berdaging oleh tanaman

(Sarcochore) tidak membuktikan bahwa buah ini

disebarkan oleh burung atau mamalia pemakan buah,

kehadiran banyak tumbuhan yang buahnya berdaging dari

berbagai spesies pada komunitas membuktikan pentingnya

penyebaran endozootik pada komunitas itu, khususnya

jika mengalami kekurangan buah-buahan atau benth

bersayap (pterochore) atau benih-benih ditanam atau

disediakan dengan rambut-rambut panjang

(progonochore). Benih-benih atau buah-buahan yang

mempunyai kait atau alat-alat melekat lai pada bulu

atau penampakan (desmochore) akan juga membuktikan

pentingnya penyebaran binatang (dalam kasus epizootik)

pada komunitas dimana mereka ada.

Metode yang sesuai dalam menampilkan proposi

spesies dengan setiap jenis sistem penyebaran diaspora

analog sebagai "spektrum biologis" sebagaimana

Raunkiaer (1934) menampilkan analis-analisnya mengenai

bentuk-bentuk kehidupan. Spektra penyebaran semacam

ini dibuat untuk tegakan hutan atau untuk lapisan-

lapisan (sinusia) dalam hutan.

Penyebaran diaspore di hutan primer

Dalam literatur lain, pernyataan-pernyataan

kualitatid menyatakan (Richards, 1952, hal. 93-94)

bahwa penyebaran diaspore oleh angin dibatasi pada

beberapa pohon-pohon emergen dan pohon-pohon konopi

atas. Schnell (1970, vol. I, hal. 83-84) menunjukkan

bahwa penyebaran angin dan penyebaran binatang

keduanya terlihat pada pohon-pohon besar di hutan

tropis, sedangkan pohon-pohon yang lebih sedikit

memiliki buah-buah besar/berat (barochore) atau

berdaging (sarcochore), dan jarang yang bersifat

anemochorus, penyebaran angin tidak terjadi pada

lantai hutan. Namun, pengecualian-pengecualian

sementara terjadi pada setiap tingkat, pohon-pohon

besar dari genus Mimusops (Sapotaceae) dan beberapa

anggota lebih besar dari Lecythidaceae memiliki

barochore.

Di Costa Rica, di hutan basah La Selva, 71% dari

pohon-pohon kanopi memiliki sarcochore, sedangkan 18%

memiliki barochore, dan hanya pterochore (10%)

diantara kategori-kategori diaspore lain menunjukkan

lebih dari 1% {Baker, Frankie dan Opier, tidak

dipublikasikan). Pada tingkat semak, persentase

sarcochore naik hingga 93% dan ballochore menjadi

terbentuk modestly (4%). Pada tingkat herba, hanya 73%

dari spesies memiliki sarcochore, penekanannya pada

penyebaran epizootik {daripada endozootik), dengan 18%

desmochore dan 9% ballochore (Baker, Frankie dan

Opier, tidak dipublikasikan}.

Hartshorn (1978), menegaskan angka-angka ini

untuk La Selva, melaporkan bahwa sekitar 49% dari

spesies pohon memiiiki diaspor penyebaran angin,

sedangkan 13% disebarkan oleh keleiawar, 3% oleh

burung dan kelelawar, dan 9% oleh angin. Sisanya 26%

tidak dikategorikan, tetapi agaknya, memiliki buah-

buah berat yang jatuh ke permukaan dan terbelah,

sehingga benihnya secara sekunder disebarkan oieh

binatang.

Dalam hutan tropical kering kanopi lebih mudah

patah oleh angin atau juga pada saat pengguguran daun.

Konsekuensinya, tidak adanya kemantapan dari proporsi

penyebara diaspore oleh angin lebih tinggi. Baker,

Frankie dan Opier (tidak dipubl.) menemukan bahwa di

Guanacaste, Costa Rica disposisi dari pohon dan Palm

adalah sebagai berikut; sarcochores hanya 49 %,

barochore 8 %, pterochore 25 %, pogonochore 5 %,

sclerochore 9%, dan ballochore 9 %. Pada tingkatan

tersebut, persentase sarcochore meningkat menjadi 61 %

dan diaspor yang diperoleh dari penyebaran angin akan

berkurang. Pada herba persenrase sarcochore menurun

lagi menjadi 40 % dan rerata sclerochore 20 % dengan

pterochore, pogonochore dan sporochore (masing-masing

10 %) menunjukkan pentingnya penyebaran oleh angin

lebih efektif membuka areal hutan. Desmochore (juga 10

%} lebih balk dibandingkan dengan strata lainnya yang

lebih tinggi.

Penyebaran diaspore dan hutan sekunder

Richards (1952, hal. 382) menyatakan bahwa "Dalam

suatu hal pengamatan ditemukan bahwa mayoritas

karateristik pohon hutan sekunder muda memiliki benih

atau buah-buah yang sangat beradaptasi dengan

pengangkutan oleh angin atau binatang". Dalam hal ini,

ia memberikan perhatian pada ketidakhadiran dari apa

yang sekarang kita sebut barochore. Contohnya, di

neotropis, Vismia guianensis (Hypericaceae),

disebarkan oleh burung dan kelelawar, sedang burung-

burung menyebarkan benih Dydymopanax morototoni

(Araliaceae), Guazuma ulmifolia (Sterculaceae),

Miconia spp. (Melastomaceae) dan Byrsonima spp.

(Malpighiaceae). Di hutan sekunder Afrika Barat,

Musanga cecropioides (Moraceae) disebarkan oleh burung

dan kelelawar (seperti counterpart neotropisnya

Cecropia), sedangkan Pyenanthus angolensis

(Myristicaceae) dan Macaranga barteri (Euphorbiaceae)

disebarkan oleh burung. Di Asia, Melastoma

malabathricum (Melastomaceae) dan spesies Macaranga,

Mallotus (Euphorbiaceae), Trema (Ulmaceae) dan

Rhodamnia dan Rhodomylitus (Myrlaceae) disebar oleh

burung. Di antara spesies hutan sekunder yang

disebarkan oleh angin adalah Ochroma (Bombacaceae) di

neotropis, Ceiba baik di neotropis niaupun Afrika dan

Alstonia (Apocynaceae) dan Anthocephalus (Rubiaceae)

di Asia.

Di Nigeria, Keay (1957) menemukan spesies pohon

dan liana yang disebar oleh angin umumnya hanya pada

sinusia lebih atas dari hutan sekunder tua, kebanyakan

spesies ini menjadi spesies yang intoleran terhadap

naungan peninggalan (relict) dari tahap serai awal.

Di dua areal hutan Costa Rica, tumbuhan yang

pertama mengalami reproduksi dalam pernbebasan buatan

(meskipun tidak mesti yang paling pertama memiliki

sclerochore dengan beratbenih yang relatif ringan

(Opler dkk., 1977,1980). Hal ini secara cepat berhasil

dalam turnbuhan dengan tipe penyebaran yang berbeda

khususnya sarcochore dan dalam periode tiga tahun,

proporsi sclerochore jatuh hingga mencapai tingkat

awal hutan dewasa, berdekatan meskipun spesies yang

ditampilkan berbeda.

Symington (1933) menjadi pernerhati pertama pada

cadangan (reservoir) benih-benih tumbuhan hutan

sekunder yang hidup pada tanah hutan yang tidak

terganggu di Malaya. Selanjulnya, Budowski (1965,

1970), Guevara dan Gomez Pompa (1972) dan Cheke dkk,

(1979) telah membuat penemuan yang sama masing-masing

di Amerika Tengah, Meksiko dan hutan Thailand.

Budowski (1965, 1970) mencatat bahwa benih-benih dari

pionir cenderung membutuhkan rangsangan cahaya untuk

perkecambahan, sama halnya dengan pencahayaan saat

seedling tumbuh menjadi tumbuhan dewasa. Pada

akhirnya, baik yang berada di puncak pohon pada tahap

serai akhir atau datang untuk menguasai posisi sebagai

pohon-pohon kanopi atau emergen pada hutan dewasa. Di

Afrika, pohon-pohon Musanga cecropioides mulai mati

ketika berumur antara 15 dan 20 tahun dan tidak rnampu

beregenerasi dalam naungannya sendiri (Ross, dalam

Richard, 1952).

Dalam cerah terang, bertolak belakang dengan

pembebasan di hutan basah La Selva, Costa Rica,

Hartshorn (1978) menemukan bahwa mayoritas spesies

yang berkernbang dalam celah dan memiliki benih-benih

yang disebarkan oleh burung atau kelelawar. Herwitz

(1979) telah menemukan, di Taman Nasional Corcovado,

Costa Rica, regenerasi pada celah terang disebabkan

oleh jatuhnya pohon tunggal yang kebanyakan berasal

dari seedling atau sapling yang sudah menjadi

pertumbuhan bawah dan mempertahankan jatuhnya pohon.

Bahan kimia dari cadangan benih

Benih-benih mengandung cadangan makanan (dalam

endossperma atau dalam kotiledon) yang akan mensuplai

energi yang dibutuhkan dan material-material pembangun

untuk embrio saat perkecambahan terjadi dan benih

berubah menjadi seedling. Dalam situasi dan kondisi

intensitas yang kurang terang, sebagaimana yang

seringkali terjadi di hutan tropis, seedling rnungkin

tidak dapat menghasilkan jumlah fotosintat yang cukup

sampai dengan sejumlah yang besar daun teiah

dikeluarkan. Sehingga akan ada pembagian yang sama

dari bahan-bahan makanan daiam benih yang pada

akhirnya berarti akan ada seleksi benih-benih yang

lebih besar dan lebih berat.

Studi-studi di daerah temperate (Salisbury, 1942,

di Inggris, Baker, 1972, di California) telah

menunjukkan bahwa berat individu-individu benih lebih

besar untuk spesies-spesies yang berkecambah; (a),

pada naungan berat, (b). dalam keadaan kompetisi antar

tanaman yang hebat, dan (c). dalam keadaan dimana

kekeringan mungkin berlaku segera setelah

perkecambahan. Namun demikian, pasti ada kompromi

antara persediaan cadangan makanan yang melimpah pada

benih dan jumlah benih yang kurang diharuskan karena

batasanpada ketersediaan substansi-substansi makanan

tergabung didaiarnnya. Tambahan "penjualan (trade-

oil)" dibutuhkan antara ukuran benih dan kemampuan

tersebarnya.

Janzen (1977d) telah menyatakan bahwa variasi

dalam berat antara benih-benih pada tumbuhan yang sama

(dimana rasio dari kecil hingga besar mungkin 100 %,

seperti pada kasus Mucuna andreana, tumbuhan perambat

dari Fabaceae, Faboideae) mungkin menguntungkan dimana

menyebar benih "bayangan" dalam suatu kisaran jarak.

Janzen (1970, dkk) telah lebih dulu menyatakan bahwa

jumlah dan berat benih yang dihasilkan oleh tumbuhan

hutan tropis dapat juga dikendalikan oleh kegiatan-

kegiatan predator benih. Dua alternatif "strategi"

yang telah disusun rnungkin mengatasi predasi. Benih-

benih kecil mungkin dihasilksn pada jumlah yang besar

dimana populasi predator benih tidak cukup untuk

menghancurkan mereka semua. "Strategi" ini akan

efektif jika benih tidak dihasilkan pada interval-

interval reguler (banyak pohon-pohon hutan), atau

dihasilkan hanya pada interval-interval panjang

(contohnya bambu). Kemungkinan lain, tumbuhan dapat

mengeluarkan lebih banyak energi dalam pertahanan

kimia dari benih (oleh asam amino non protein, seperti

pada Mucuna andreana, oleh alkaloid,, cynogenic

glycoside, tanin, dll.}. Pada "strategi" terakhir

mungkin terdapat batasan pada jumlah substansi-

substansi defensif yang dapat dihasilkan dan, untuk

alasan ini, jumlah benih yang dihasilkan mungkin lebih

kecit dibandingkan dengan strategi kejenuhan predator.

Namun demikian, karena adanya sedikit benih, dan

dilindungi secara kimia, maka jumlahnya akan lebih

besar dan mengandung lebih banyak cadangan makanan,

sehingga akan berbentuk seddling awal yang baik dalarn

kehidupan. Meskipun selalu ada kemungkinan bahwa satu

atau lebih predator benih mungkin menyusun alat

detoxity protektan kimia dan kernudian akan dapat

meningkatkan kerusakan benih.

Sifat aktual dari penyadiaan energi dan cadangan

pembangunan jaringan dalam benih tumbuhan hutan tropis

telah rnenjadi subjek dari beberapa analisis. Untuk

hutan basah dan kering di Costa Rica, ada hubungan

antara berat benih dengan cadangan simpanan utama;

untuk benih-benih besar, mungkin pada zat tepungnya,

untuk benih-benih kecil biasanya minyak (yang terakhir

menyediakan surnber energi yang febih padat) (Baker

dkk., in prep.}. Benih-benih kecil dari Piper spp.

(Piperaceae) mengalami penyimpanan zat tepung. Protein

selalu tersedia dan akan sangat jelas terlihat pada

benih-benih dari tumbuhan Fabaceous (Leguminus).

Proporsi spesies dengan benih yang menyimpan

minyak pada sampel-sampel dari tumbuhan hutan Costa

Roca adalah 76 % pads pohon dan palma. 85 % pada semak

dan 91 % pada herba. Kira-kira 35 % dari semua spesies

ini menyimpan zat tepung (dalam banyak kasus sebagai

tambahan dari minyak). Hampir semua benih mengandung

cukup protein untuk memberi hasil positif dalam

pengujian kasartiengan reagen Millon.

Ada juga hubungan antara minyak sebagai cadangan

benih dan phanerocotyly (sebaliknya dikenal sebagai

perkecambahan epigcal), kemungkinan dihasilkan dari

kenyataan bahwa benih yang berkecamfaah pada

phsncrocotylar biasanya kecil dibandingkan dengan

benih dengan germinasi (hypogeal).

PENGADAAN SEEDLING

Pada biologi reproduklif, disadari bahwa

pengadaan seddling perlu jika genotip baru akan

dikenalkan ke dalam suatu struktur hutan (untuk

kenyataan bahwa persistensi atau penyebaran melalui

propagasi vegetatif tidak akan dilakukan).

Ng (1978) telah membahas "strategi-stratsgi

pengadaan" pada pohon-pohon hutan hujan Malaysia.

Benih-benih besar dengan perkecambahan yang cepat,

seringkali epigeal cocok untuk pengadaan seedling

besar dengan taproot yang tebal pada situasi bernaung,

ini paling sering ditemukan. Karakteristik dari

sebagian besar pohon, bertolak belakang dengan susunan

ksrakter dari sebagian kecil "nomad" yang cenderung

ditemukan pada pembebasan dan pada margin hutan. Ini

secara ekslusif epigeal. Terbentuknya diameter akar

yang membuat mereka membentuk seedling pada permukaan

yang lebih keras dibandingkan pemanfaatan oleh spesies

hutan yang memiliki benih yang besar.

Untuk hutan basah La Selva, Costa Rica, Hartshorn

(1978) menduga bahwa rata-rata waktu untuk pergantian

pohon kira-kira 118 tahun. Untuk menyediakan

pergantian ini harus ada celah gelap pada interval-

interval yang cukup karena Hartshorn menemukan bahwa

75 dari 104 spesies pohon kanopi yang diteliti

tergantung pada celah terang untuk keberhasilan

regenerasinya. Hartshorn (dalam Whitmore, 1978)

rnelaporkan bahwa proporsi spesies yang tergantung

pada celah untuk regenerasi menurun seperti

perpindahan dari emergen dan kanopi lebih atas melalui

pohon-pohon tingkat bawah.

Di daerah hutan kering Guanacaste, dinegara yang

sama, Hatheway dan Baker (1970) mengamati bahwa pohon-

pohon besar Pithecellobium saman dan Enterolobium

cydocarpum (Fabaceae, Mimosoideae) terlihat tidak

menjadi seedling sampai sapling dalam naungan hutan,

tetapi ini berlaku dalam situasi pencahayaan penuh

(yang juga dilindungi dari penggembalaan).

Whitmore (1975, 1978) melaporkan bahws di hutan-

hutan Asia Tenggara, celah kecil di hutan dewasa diisi

oleh sapling yang ada atau pohon-pohon "tertekan",

sedang dalam celah besar ada flora suksesi dari benih

yang dibaws ke dalam atau sudah ada dalam tanah.

Dormansi yang ada dari benih-benih pohon terlihat

jarang di pohon-pohon hutan basah di Afrika Barat.

Benih-benih yang ada tidak berkecambah daiam tanah di

lantai hutan yang hanya membutuhkan stimulus cahaya

untuk berkecambah (Longman, 1978). Ini adalah

pengalaman dari Frankie, Baker dan Opler (tidak

dipublikasikan} di hutan basah di Costa Rica. Dua

paper oleh Ng (1973, 1975} membcrilan data mcngenai

laju germinasi benih-benih segar dari hampi 200

spesies dsri pohon-pohon yang lumbuh di hutan-hutan

Malaysia. Germinasi "cepat" (dalam 12 minggu dari

sceciiing), "intermediet" dan "tertunda" secara kasar

dalam proporsi 10:3:1 yang selama ini dipercaya bahwa

perkecambahan merupakan hal yang biasa ditemukan di

hutan-hutan Malaysia, tetapi memberikan dugaan yang

tersebar luas bahwa germinasi tertunda jarang atau

tidak mungkin (No, 1&73, hoi. 54).

Percoban-percobaan dengan benih-benih dari pohon-

pohon yang tumbuh di hutan kering Costa Rica

menunjukkan bahwa spesies dari pohon yeng mematangkan

benih-benih mereka di musim basah telah menyusun

mekanisme dormansi yang mencegah germinasi pada

sekurangnya beberapa benih di musim basah yang sama

(Frankie dkk., 1974). Dalam kasus Casearia aculata,

Eugema salamensis var. hiracifolia dan Spondias

mombin, waktu yang dibuluhkEn untuk 50 % dari benih

berkecambah adalah kira-kira 150 hari. Dormansi

semacam itu cenderung untuk menjamin bahwa seedling

akan muncul pada waktu-waktu itu yang akan

memungkinkan perkembangan akar cukup sebelum permulaan

dari musim kering pendek (Juli hingga Agustus) dan

musim kering yang menggantikannya (akhir November

hingga Mei).

RINGKASAN

Perlakuan dari biologi reproduktif tumbuhan di

hutan tropis ini bukan pendalaman dari informasi yang

dipublikasikan, meskipun diharapkan bahwa suatu cara

ke dalarn belukar literatur teiah tersedia. Akan jelas

bahwa lebih banyak kerja tetap akan selesai sebelum

hubungan-hubungan individu dari tumbuhan dengan

penyebar dari polen atau benihnya dapat digabungkan

pada apa yang benar-benar disebut studi ekosistem.

Namun demikian, kita dapat melihat bahwa, meskipun

prinsip-perinsip biologi dasar yang diterapkan pada

hutan temperate dan tropis serupa, ada perbedaan-

perbedaan nyata dalam detail dan penekanan bahwa hasil

dari pernbedaan musiman yang kurang dari iklim di

hutan-hutan tropis, dan dari kerapatan tumbuhan dan

binatang yang lebih besar (dan kelimpahan lebih besar

dari beberapa yang terakhir dihasilkan dalam

penyempitan niche dan peningkatan interaksi-inleraksi

biotik). Perbaikan-perbaikan dalam pengertian kita

dari biologi reproduktif tumbuhan hutan tropis akan

terjadi melalui aplikasi teknik-teknik kuantitatif

modern dari penyelidikan dan manipulasi mcncukupi dari

konstituen ekosistem (sebagai contoh percobaan dalam

tambahan pada pengamatan). Pengetahuan yang didapat

mungkin penting dalam mengembangkan rencana-rencana

manajerial untuk jumlah hutan tropis yang relatif

kecil yang sepertinya mungkin untuk mempertahankan

pengaruh yang terus meningkat dari ekspansi populasi

manusia.