Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BUDAYA DAN EMOSISERTA IMPLIKASINYA PADA KONSELING LINTAS BUDAYA
DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Konseling Lintas Budaya
yang dibina oleh Dr.Triyono, M.Pd dan Dr.Muslihati,M.Pd
Oleh :
Tri Cahyono 130111809280
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
September 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah individu matakuliah
Konseling Lintas Budaya yang dibina oleh Dr.Triyono,
M.Pd dan Dr.Muslihati, M.Pd. Dan penulis menyadari
bahwa tersusunnya tugas ini tidak terlepas dari
bimbingan dan arahan berbagai pihak.
Kami menyadari bahwa laporan makalah individu ini
masih jauh dari kata sempurna, untuk itulah penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk penyempurnaan laporan tugas makalah ini.
Malang, September
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Emosi adalah pusat dan inti bagian yang penting
dari dunia dipandang dari subjektifitas kita. Meskipun
emosi dianggap sebagai inti dari pengalaman manusia,
tapi manusia kurang memahami emosi ataupun sulit
menjelaskan tentang emosi. Kontroversi didunia mengenai
emosi manusia terjadi karena ada persamaan dan
perbedaan dalam mendefinisikan emosi (Heine,2008).
Teori James-Lange (Heine,2008) menyatakan bahwa
pengalaman akan emosi merupakan hasil dari persepsi
seseorang terhadap arousal fisiologis (pada sistem saraf
otonomik) serta terhadap perilaku tampaknya (overt
behaviour-nya) sendiri
Pentingnya Emosi dalam Kehidupan Kita
Sangat sulit untuk dibayangkan jika kehidupan kita
tidak ada emosi, dan tidak ada perasaan. Kita sangat
menghargai perasaan kita perasaan yang kita punya.
Seperti perasaan senang saat menonton pertandingan,
rasa senang akan kasih sayang dari kekasih, kegembiraan
saat berkumpul bersama kawan-kawan, menontonfilm, atau
jalan-jalan ke sebuah klub malam. Bahkan perasaan
negatif atau sedih juga penting bagi kita seperti sedih
ketika kita harus berjauhan dengan kekasih, kematian
anggota keluarga, rasa marah ketika kita disakiti, rasa
takut, dan rasa bersalah atau malu saat aib kita
diketahui publik. Emosi memberi warna pada pengalaman
hidup kita. Emosi memberi makna pada peristiwa. Tanpa
emosi, peristiwa yang kita alami hanya sekedar fakta
dari kehidupan saja.
Emosi inilah yang membedakan kita dengan komputer
dan mesin lainnya. Teknologi yang ada saat ini telah
mampu menciptakan mesin yang bisa melampaui daya pikir
manusia. Bahkan komputer telah mampu menangani
pekerjaan secara lebih efektif dibandingkan manusia.
Namun sebagus apapun teknologi yang ada, teknologi
tidak memiliki perasaan seperti yang dimiliki manusia.
Perasaan dan emosi kemungkinan merupakan aspek
terpenting dalam kehidupan kita. Semua orang dari
beragam budaya memilikinya dan semua orang harus
belajar untuk menguasainya, agar pada tahap emosi
tertentu dapat memberikan manfaat bag setiap orang.
Memang kehidupan kita saat ini sedang difokuskan pada
pengembangan teknologi demi “kecerdasan buatan” dan
pemikiran kritis serta kemampuan penalaran. Namun tanpa
emosi semua itu tidak akan terjadi. Emosi melandasi
keberagaman yang ada diantara manusia. Bagaimana kita
membungkus emosi, bagaimana kita menyebutnya, seberapa
penting emosi, bagaimana kita mengekspresikan dan
mengartikannya serta bagaimana kita merasakannya, semua
ini merupakan pertanyaan yang dijawab secara berbeda-
beda oleh semua orang dan budaya-budaya yang ada.
Perbedaan diantara individu dan budaya ini memberikan
kontribusi yang penting terhadap keberagaman yang ada
saat ini dan yang terpenting memberikan perasaan pada
orang-orang dari berbagai bangsa dan daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BUDAYA DAN EKSPRESI EMOSI
Penelitian lintas budaya pada ekspresi emosi wajah
(facial expressions of emotion) memiliki nilai historis yang
sangat penting pada area penelitian psikologi.
Penelitan lintas budaya pada ekspresi emosi (emotional
expressions), khususnya ekspresi wajah (facial expressions),
dilandasi oleh penelitian kontemporer tentang emosi,
baik lintas budaya maupun aliran utama.
Penelitian lintas budaya pada ekspresi emosi wajah
telah membuktikan secara meyakinkan bahwa terdapat
suatu rangkaian ekspresi wajah yang bersifat universal
dan berlaku di semua budaya manusia serta memberikan
dasar-dasar persamaan pada semua aspek emosi ekspresi,
persepsi pengalaman, anteseden (peristiwa yang
menimbulkan emosi), penilaian, dan konsep. Atas dasar
ini, budaya memberikan pengaruhnya dalam membentuk
dunia emosional kita, sehingga menghasilkan perbedaan.
Penelitian lain memberi kesan bahwa ekspresi emosi
wajah seseorang adalah bawaan lahir dan faktor biologis
mereka. Oleh karena itu, adalah penting untuk memiliki
pemahaman yang kuat tentang pemahaman biologis emosi
yang mungkin ada untuk semua manusia terlepas dari
faktor budaya.
1. Universalitas Ekspresi Wajah Emosi (The Universality of
Facial Expressions of Emotion)
Banyak filsuf telah berpendapat dan membahas
mengenai basis yang universal mengenai ekspresi wajah
saat emosi selama berabad-abad namun banyak dorongan
untuk penelitian lintas budaya kontemporer mengenai
ekspresi emosi wajah saat berawal dari konsep Charles
Darwin. Banyak orang yang akrab dengan teori evolusi
Darwin yang diuraikan dalam karyanya “On the Origin of
Species” (1859) dimana Darwin menyatakan bahwa manusia
telah berevolusi dari hewan primitif seperti kera atau
simpanse dan bahwa perilaku kita ada hari ini karena
mereka dipilih melalui proses adaptasi evolusioner.
Dalam volume berikutnya “The Expression of Emotion in Man and
Animals” (1872) Darwin mengemukakan bahwa ekspresi wajah
saat emosi layaknya perilaku lain merupakan merupakan
bawaan bilologis dan evolusi yang adaptif. Tetang
Manusia, Darwin berpendapat ekspresi emosi di setiap
wajah manusia persis dan sama di seluruh dunia terlepas
dari ras atau budaya. Selain itu, mengenai ekspresi
wajah juga dapat dilihat di seluruh spesies, seperti
gorila. Menurut Darwin mengenai ekspresi wajah saat
emosi memiliki nilai, baik komunikatif dan adaptif.
Selama awal hingga pertengahan 1900-an beberapa
studi telah dilakukan untuk menguji ide-ide Darwin
mengenai universalitas ekspresi emosi. Seperti
antropolog terkemuka Margaret Mead dan Ray Birdwhistell
berpendapat bahwa ekspresi wajah saat emosi tidak bisa
bersifat universal, melainkan mereka berpendapat bahwa
ekspresi wajah saat emosi harus dipelajari seperti
bahasa (Ekman Friesen & Ellsworth 1972).
Pada tahun 1960-an psikolog Paul Ekman dan Wallace
Friesen (Ekman 1972) dan secara terpisah Carroll Izard
(1971) melakukan serangkaian metodologis yang pertama
dengan sistem polling. Penelitian itu diperkuat oleh
karya Sylvan Tomkins (1962,1963) dimana dalam
penelitian itu dilakukan serangkaian penelitian tentang
studi yang disebut studi tentang keuniversalan
(universality studies). Dalam studi ini terdiri dari empat
jenis. Studi pertama, Ekman Friesen dan Tomkins memilih
foto-foto ekspresi wajah saat emosi yang dirasa mampu
menggambarkan emosi universal yang bisa dikenali (Ekman
1972). Para peneliti menunjukkan foto-foto kepada para
pengamat di lima negara yang berbeda (Amerika Serikat
Argentina Brazil, Chili dan Jepang) dan meminta
pengamat untuk memberi label pada setiap ekspresi. Jika
ekspresi itu terkesan universal, peneliti menjelaskan
bahwa pengamat di semua budaya akan setuju pada emosi
apa yang sedang digambarkan, jika ekspresi merupakan
spesifik dari hasil budaya, maka para pengamat dari
budaya yang berbeda seharusnya tidak setuju. Data
menunjukkan tingkatan yang sangat tinggi terhadap
kesepakatan di semua pengamat dalam interpretasi enam
emosi yang diantaranya marah, jijik, takut kebahagiaan
kesedihan dan kejutan. Izard (1971) melakukan
penelitian serupa dalam budaya lain dan memperoleh
hasil yang sama.
Gambar 2.1 Tujuh Ekspresi Emosi Universal (The seven
universal expressions of facial emotion)
Namun ada satu masalah dengan studi ini, bahwa
keuniversalan ekspresi itu karena adanya akulturasi
budaya semua budaya. Semua responden (baik orang yanh
difoto maupun juri) termasuk orang yang telah mendapat
pendidikan, tidak buta huruf, terindustrialisasi dan
relatif modern. Hal ini diasumsikan bahwa pengamat bisa
belajar bagaimana menafsirkan ekspresi wajah yang dalam
foto-foto karena pada kenyataannya budaya ini saling
bertukar oleh media massa dan televisi dan sebagainya.
Untuk mengatasi masalah ini Ekman Sorenson dan
Friesen (1969) melakukan penelitian serupa dalam dua
suku yang buta huruf huruf New Guinea. Ekman dan
Friesen meminta anggota suku yang berbeda untuk
menunjukkan wajah mereka dengan ekspresi yang berbeda.
Foto-foto ekspresi ini dibawa kembali ke Amerika
Serikat dan ditampilkan ke pengamat Amerika dan tidak
ada satupun yang pernah melihat anggota suku dari New
Guinea. Ketika ditanya untuk memberikan label/tanda
terhadap emosi yang ditampilkan oleh wajah para anggota
suku, data sekali lagi mirip dengan yang ditemukan
dalam penelitian sebelumnya. Hukum ekspresi yang
ditimbulkan oleh suku-suku yang buta huruf kembali
sesuai, sehingga dapat menjadi sumber ketiga bukti
adanya universalitas dari ekspresi emosi.
Semua penelitian yang dilakukan sejauh ini telah
melibatkan penilaian dari ekspresi wajah emosi, dan
didasarkan pada asumsi peneliti bahwa orang dari budaya
yang berbeda akan setuju pada apa emosi sedang
digambarkan di wajah jika ekspresi itu universal.
Namun, sebuah pertanyaan tersisa mengenai apakah orang
benar-benar, secara spontan menampilkan mereka ekspresi
wajah mereka ketika mereka mengalami emosi. Untuk
menjawab pertanyaan ini, Ekman (1972) dan Friesen
(1972) melakukan penelitian di Amerika Serikat dan
Jepang, meminta subyek Amerika dan Jepang untuk melihat
stimulus yang sangat tinggi terhadap stres sebagai
reaksi wajah mereka direkam tanpa mereka sadari.
Kemudian analisis rekaman video menunjukkan bahwa
Amerika dan Jepang memang menunjukkan dengan tepat
jenis yang sama tentang tipe ekspresi wajah pada titik-
titik yang sama dalam waktu, dan ekspresi ini
berhubungan dengan ekspresi serupa yang dianggap
universal dalam penelitian dengan pengamat seperti
sebelumnya. Data dari ekspresi wajah emosi yang
spontan, merupakan menjadi baris keempat bukti dalam
set asli studi universalitas.
Semua penelitian yang dilakukan sejauh ini telah
melibatkan penilaian dari ekspresi emosi wajah dan
didasarkan pada asumsi peneliti bahwa orang dari budaya
yang berbeda akan setuju pada apa emosi yang sedang
digambarkan di wajah jika ekspresi itu universal.
Namun, sebuah pertanyaan tersisa mengenai apakah orang
dalam penelitian itu benar-benar secara spontan
menampilkan ekspresi wajah mereka ketika mereka
mengalami emosi. Untuk menjawab pertanyaan ini, Ekman
(1972) dan Friesen (1972) melakukan penelitian di
Amerika Serikat dan Jepang, meminta subyek Amerika dan
Jepang untuk melihat reaksi wajah stres sebagai respon
dari stimulus yang diberikan kepada mereka dan hal ini
direkam tanpa mereka sadari. Kemudian analisis rekaman
video menunjukkan bahwa Amerika dan Jepang menunjukkan
tipe ekspresi wajah yang sama, dalam waktu yang hampir
bersamaan dan ekspresi ini berhubungan dengan ekspresi
serupa yang dianggap universal dalam penelitian
sebelumnya. Data dari ekspresi wajah emosi yang
spontan, merupakan menjadi baris keempat bukti dalam
studi universalitas.
Penelitian yang melibatkan bayi buta sejak lahir
menunjukkan bahwa belajar visual tidak dapat
menjelaskan mengenai fakta bahwa manusia baik di dalam
atau lintas budaya berbagi set yang sama pada ekspresi
wajah. Selain itu, banyak dari temuan asli Ekman dan
Friesen yang telah direplikasi dalam berbagai studi di
berbagai negara dan budaya oleh peneliti lainnya,
memastikan kebenaran hasil penelitian mereka. Secara
keseluruhan, dari penelitian ini sudah cukup bukti yang
menunjukkan dan cukup meyakinkan bahwa ekspresi wajah
emosi bersifat universal dan faktor biologis bawaan.
Jika kesimpulan ini benar, maka dapat disimpulkan
bahwa semua manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk
mengekspresikan emosi yang sama, terlebih lagi jika
setiap orang itu mempunyai aspek lain selain aspek
emosi. Matsumoto juga berpendapat bahwa semua manusia
mempunyai kapasitas untuk mempunyai pengalaman emosi
yang sama didalam cara yang sama. Dan banyak dari
kejadian itu menimbulkan tipe emosi yang sama walaupun
berbeda budaya. Kesimpulannya adalah bahwa kita semua
terlahir dengan kapasitas untuk mengalami,
mengungkapkan dan merasakan dasar emosi yang sama.
Suatu kebenaran jika kita mengalami tingkatan
emosi yang lebih luas/besar dari emosi yang bersifat
universal, seperti kasih saying, kebencian,
kecemburuan, kebanggaan dan yang lainnya. Adanya emosi
dasar itu karena terjadi karena adanya campuran dan
kaitan antara pengalaman, kepribadian, sosial dan
budaya, yang menciptakan emosi pada diri kita. Seperti
warna dalam roda, adanya emosi dasar dalam diri kita
mampu membentuk, mencetak, dan mewarnai kehidupan emosi
kita dan juga sebagai pijakan untuk membentuk emosi
lain.
2. Perbedaan Budaya Dalam Ekspresi Wajah
Cara/Aturan Penampilan
(Cultural Differences in Facial Expressions-Display Rules)
Meskipun ekspresi wajah kita bersifat universal,
namun sebagian dari kita mempunyai cara
menginterpretasikan emosi dengan cara yang berbeda
tergantung budaya masing-masing. Namun secara
keseluruhan cara penginterpretasiannya tidak terlalu
berbeda.
Seperti pengalaman sehari-hari dan pendidikan
dipercaya mempengaruhi dan membedakan satu budaya
dengan budaya lain. Ekman&Fresen (1965)
mempertimbangkan pernyataan ini dan kemudian
memunculkan konsep “cultural display rules” (cara/aturan
penampilan budaya) untuk menguji teori diatas benar
atau salah. Perbedaan budaya menurut mereka, dalam
aturan/caranya, dapat diekspresikan secara universal.
Aturan/cara itu berpusat pada kecocokan penampilan dari
masing-masing emosi dalam suatu keadaan sosial. Cara-
cara/aturan-aturan ini dipelajari dan selanjutnya
mendikte/menuntun bagaimana ekspresi emosi yang
bersifat universal harus dimodifikasi sesuai dengan
keadaan situasi sosial. Dan sejauh ini
cara-cara/aturan-aturan ini telah secara otomatis dapat
dipraktekkan dengan baik.
Ekman &Fresen (1972) mendesain sebuah penelitian
untuk membuktikan keberadaan “Cultural Display Rules” (Cara-
cara/aturan penampilan budaya) dan caranya dalam
membuat perbedaan dalam mengekspresikan emosi. Dalam
penelitian tersebut dijelaskan bahwa orang Amerika dan
Jepang diminta untuk menonton film dengan tingkat
stress yang tinggi, sementara reaksi wajah mereka
direkam. Eksperimen ini dibentuk dengan dua keadaan
yang berbeda. Pertama, subjek dibiarkan menunjukkan
stimulus dengan sendirinya (tanpa ada stimulus). Dan
ketika mereka belum menunjukkan “Cultural Display Rules”,
mereka menunjukkan ekspresi yang sama. Kedua, peneliti
datang kedalam ruangan dan meminta subjek untuk melihat
film lagi dengan didampingi peneliti. Analisis
menunjukkan bahwa orang Amerika secara berkelanjutan
menunjukkan perasaan negatif seperti muak, takut,
sedih, dan marah. Sebaliknya orang Jepang selalu
menunjukkan ekspresi senyum. Penemuan ini menunjukkan
bagaimana universalnya suatu “cultural display rules” tampak.
Ekspresi emosi, yang merupakan bawaan lahir ini
berinteraksi dengan budaya yang nantinya dapat
menggambarkan cara-cara/aturan-aturan untuk
menghasilkan ekspresi emosi.
Dengan demikian, ekspresi wajah emosi berada di
bawah pengaruh ganda yang universal, yakni faktor
biologis bawaan dan budaya tertentu. Ketika emosi
dipicu, pesan dikirim ke otak dan diolah di bagian
“facial affect program” yang berfungsi menyimpan informasi
konfigurasi wajah yang prototypic untuk setiap emosi
universal (Ekman, 1972). Konfigurasi yang prototipe ini
adalah merupakan aspek universal tentang ekspresi
emosi, dan biologis bawaan. Pada saat yang sama, pesan
dikirim ke bagian area otak yang berfungsi menyimpan
data yang mempelajari cara penampilan budaya. Ekspresi
yang dihasilkan merupakan pengaruh gabungan dari kedua
faktor. Ketika culture rule display tidak mengubah ekspresi
seseorang, maka ekspresi emosi wajah ditampilkan adalah
ekspresi universal. Hal itu tergantung pada keadaan
sosial. Namun demikian, cara tampilan dapat berperan
untuk menetralisir, memperkuat, memperlemah, sesuai,
atau bahkan menutupi ekspresi universal. Mekanisme ini
menjelaskan bagaimana dan mengapa orang bisa berbeda
dalam ekspresi emosi mereka meskipun fakta bahwa kita
semua berbagi dasar ekspresi yang sama.
Gambar 2.2 Teori Neurocultural Ekspresi Emosional
EmotionalStimulus
Facial Affect Program :
Konfigurasi wajah marah, jijik, jijik, takut, kebahagiaan,
kesedihan, dan kejutan
Cultural Display Rules :
Tidak mengubah, membesar-besarkan,
memperlemah, menetralisir, masker,
campuran, dll
Saraf Wajah
3. Penelitian Lintas Budaya Baru pada Emosi
Ekspresi dan cara/aturan Tampilannya
(Expression and Display Rules)
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah studi
lintas budaya telah memperluas pengetahuan tentang
pengaruh budaya pada ekspresi dan cara/aturan
penampilannya (display rule). Sebagai contoh, Stephan&de
Vargas (1996) membandingkan ekspresi Amerika dan
Kostarika dengan meminta peserta di kedua negara untuk
menilai 38 emosi dalam hal bagaimana mereka akan merasa
nyaman dalam mengekspresikan emosi mereka terhadap
keluarga mereka dan untuk orang asing. Mereka juga
merampungkan skala konsep diri mengenai kemandirian
atau saling ketergantungan dan memberi nilai emosi,
apakah emosi positif atau negatif dan mandiri atau
saling tergantung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
orang Amerika yang lebih nyaman daripada Kosta Rika
dalam mengekspresikan emosi baik mandirin atau saling
tergantung. Kosta Rika secara signifikan lebih nyaman
dalam mengekspresikan emosi negatif.
Penelitian juga telah mendokumentasikan keberadaan
perbedaan budaya dan ekspresi emosi antar group etnik
di Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian
(Matsumoto,1993), dengan peserta kulit putih, hitam,
asia dan amerika latin dalam kepantasan menampakkan
emosinya.Penemuan menunjukkan bukti bahwa orang kulit
putih menilai rasa jijik lebih tepat daripada orang-
orang asia dan rasa muak lebih tepat daripada orang
kulit hitam dan asia.
Penelitian lain juga mendemonstrasikan perbedaan
budaya dalam pandangan umum tentang ekspresi emosional.
Walaupun penelitian ini meninjau poin-poin yang
sangat jauh untuk berbagai cara perbedaan budaya dalam
ekspresi mereka. Sebenarnya ini tidak terlalu jelas
bagaimana ekspresinya dikontrol ketika tampilan
ditetapkan.
Krupp (1998) mensurvey orang-orang Amerika
Serikat, Jepang, Rusia, Korea Selatan dan meminta mere
untuk memilih apa yang akan mereka lakukan jika
mengalami satu dari 14 emosi dalam empat situasi
perbedaan sosial Ketujuh respon tersebut adalah,
1. Mengekspresikan perasaan itu atnpa pengubahan
2. Mengurangi ekspresi
3. Menjelaskan atau membesar-besarkan ekspresi
tersebut
4. Menyembunyikan perasaan dengan sesuatu yang lain
5. Memenuhi ekspresi dengan senyum
6. Menetralkan ekspresi
7. Lain-lain
Hasilnya mengindikasikan bahwa, walaupun perbedaan
budaya itu benar-benar ada, orangorang dari semua
budaya memilih semua alternative dan mengindikasikan
bahwa alternatif-alternatif ini reprensentasi dari
kumpulan respon yang terdapat pada manusia selama
mereka mengubah ekspresi emosional mereka dalam konteks
sosial.
Secara umum keakraban dan keintiman dalam hubungan
dalam kelompok sendiri dan dalam semua budaya
memberikan rasa aman dan nyaman untuk mengekspresikan
emosi secara bebas, selama disertai dengan toleransi
spectrum yang luas dari perilaku emosional. Sebagian
dari sosialisasi ini melibatkan pembelajaran siapa
orang-orang yang di dalam goup dan di luar group serta
kecocokan perilaku yang berhubungan dengannya.
B. BUDAYA DAN PERSEPSI EMOSI
(Culture and Emotion Perception)
Banyak pendapat yang membuktikan bahwa
keuniversalan ekspresi emosi juga menunjukkan bahwa
ekspresi emosi wajah dapat dikenali secara universal.
Contohnya, Ekman dan Colleagues (1987) bertanya pada
observer dalam sepuluh budaya yang berbeda untuk
melihat gambar yang melukiskan masig-masing 6 emosi
universal. Para penilai tidak hanya memberi label pada
setiap gambar emosi dan juga memilih satu kata emosi
dari list yang ditentukan tapi juga menilai seberapa
intensif mereka merasakan emosi untuk diekspresikan.
Penemuan dari beberapa penelitian di atas telah
menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang dari semua
budaya dapat mengenali keuniversalan ekspresi emosi
wajah.
1. Bukti Kesamaan Ekspresi Emosi antar Budaya dalam
Persepsi Emosi (Evidence for More Cross-Cultural Similarities in
Emotional Perception)
a) Keuniversalan ekspresi yang menunjukkan ekspresi
buruk atau jelek.
Sejak pertama kali keuniversalan ini dipelajari,
beberapa studi melaporkan mengenai tujuh ekspresi emosi
wajah, ekspresi yang tampak buruk. Bukti yang tersirat
diambil dari sepuluh budaya termasuk di Sumatra Barat
(Ekman & Friesen 1986, Ekman & Heider 1988). Temuan ini
selanjutnya direplika oleh Mat Sumoto (1992) dalam
empat budaya. Tiga diantaranya dari sepuluh budaya yang
dikemukakan oleh Ekman & Friesen. Tujuh ekspresi wajah
universal mempertimbangkan perhatian dan kritik.
Sebagai contoh, Russel menjelaskan bahwa konteks dalam
ekspresi yang nampak dipengaruhi oleh hasil dari
keuniversalan dari ekspresi emosi.
Dalam studinya label ekspresi buruk atau jelek
lebih sering dikeluarkan setelah dimunculkannya gambar
foto yang ditampilkan. Okman, O’Fulliam & Matsumoto
mengatakan bahwa data ini perlu dianalisis ulang dan
ditujukan pada saran dan temuan yang tidak memberi efek
kepada penelitian lain.
b) Tingkatan intensitas yang relatif
Banyak budaya menyepakati bahwa ekspresi wajah
adalah intensitas yang relatif, ini berarti ketika dua
ekspresi dibandingkan semua budaya menggeneralisasikan
bahwa eksperi itu lebih kuat. Ketika Ekman dkk
mempresentasikan hubungan ekspresi dari emosi yang
sama, ditemukan 92% dari keseluruhan, dan sepuluh
budaya dalam studi mereka setuju bahwa hal ini lebih
intensif. Matsumoto dan Ekman (1989) menemukan sebuah
penemuan ini dari membandingkan antara dua ekspresi
kuat yang berbeda, yakni kaukasian (ras Eropa) dan
Jepang.
Dari pengamatan tiap emosi secara terpisah,yaitu
yang pertama budaya lintas gender dan yang kedua gender
lintas budaya, ditemukan bahwa Amerika dan Jepang
setuju bahwa budaya mempunyai basis emosi yang sama.
Penemuan ini menekankan bahwa budaya menilai emosi
dalam basis yang sama dengan mengesampingkan perbedaan
dalam phisognomi wajah, morphologi, ras, dan jenis
kelamin serta ekspresi dan persepsi dari wajah.
2. Bukti Perbedaan Lintas Budaya pada Persepsi Emosi
(Evidence for Cross-Cultural Differences in Emotional Perception)
Meskipun penelitian secara universal menunjukkan
bahwa pengenalan emosi subjek berada pada kisaran rata-
rata atas, tidak ada penelitian yang melaporkan adanya
persetujuan lintas budaya yang sempurna.
Matsumoto (1992) membandingkan pandangan dari
masyarakat Amerika dan Jepang. Matsumoto menemukan
tingkat pengenalan antara 64-99%, dimana hal ini
konsisten dengan penelitian sebelumnya. Masyarakat
Amerika lebih unggul dalam mengenali ekspresi marah,
jijik, takut dan sedih daripada masyarakat jepang.
Beberapa penelitian baru juga menunjukkan bahwa
meskipun individu dari kebudayaan berbeda menyetujui
kerealibilitasan dari sebagian besar pesan emosi dalam
ekspresi wajah, namun perbedaan lintas budaya juga bisa
mengartikan persepsi emosi lain dalam ekspresi yang
sama. Masyarakat Amerika menunjukkan rasa jijik dan
hina pada ekspresi yang sama, dimana masyarakat Jepang
lebih menampilkan ekspresi sedih dalam ekspresi marah.
C. KEBUDAYAAN DAN PENGALAMAN EMOSI
(Culture and the Experience of Emotion)
Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda
merasakan sebuah emosi, terdapat pertanyaan mengenai
apa mereka mengalaminya dengan cara yang sama atau
berbeda, apa mereka mengalami jenis emosi yang sama
atau berbeda, apa emosi yang mereka alami lebih sering
atau lebih kuat dibandingkan yang lain apa mereka
memiliki tipe emosi yang sama terhadap reaksi nonverbal
atau terhadap gejala psikis dan fisik serta
sensasi/perasaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk ditelaah,
baik secara teoritis maupun praktis. Pertanyaan ini
muncul dari pemikiran-pemikiran dikehidupan sehari-
hari. Secara teoritis, karya yang telah disajikan
sebagai dasar bagi keuniversalan ekspresi emosi dan
persepsi menunjukkan bahwa semua manusia juga dapat
berbagi pengalaman dasar yang sama tentang emosi,
terutama bagi emosi wajah yang mengisyaratkan pancaran
budaya tertentu (pancultural). Sebuah hipotetis mungkin
saja benar bahwa pengalaman emosional kita tidak selalu
terkait dengan tanda-tanda pankultural pada wajah.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program
penelitian besar telah meneliti sejauh mana pengalaman
emosional bersifat universal dan bersifat spesifik. Dua
jalur utama penelitian yang dipimpin oleh Klaus Scherer
dan Harald Wallbott di Eropa, yang lainnya diwakili
oleh sejumlah peneliti independen yang telah membahas
pertanyaan-pertanyaan ini. Bersama-sama mereka
menunjukkan bahwa banyak aspek dari pengalaman
emosional kita memang yang universal, sedangkan aspek-
aspek lain dari kehidupan emosional kita adalah budaya-
budaya tertentu.
1. Universalitas Pengalaman Emosional (Universality of
Emotional Experiences)
Scherer dkk telah melakukan sejumlah penelitian
menggunakan kuesioner yang dirancang untuk menilai
kualitas dan sifat dari pengalaman emosional diberbagai
budaya. Sebuah studi awal
(Scherer,Summerfield,&Wallbott,1983) melibatkan sekitar
600 peserta dilima negara Eropa. Dalam studi kedua
(1986) mereka mengumpulkan data tambahan dari tiga
negara Eropa sehingga total menjadi delapan negara.
Sebuah studi ketiga (1988 ) dibandingkan antara sampel
dari peserta Eropa dengan sampel dari Amerika Serikat
dan Jepang untuk menguji apakah pola hasil yang
diperoleh di Eropa akan sama ketika membandingkan
dengan budaya non-Eropa.
Metodologi yang digunakan adalah sama pada semua
kebudayaan dari peserta dan peserta menyelesaikan
kuesioner terbuka berdasar empat emosi dasar yang
diantaranya: sukacita/kebahagiaan, kesedihan/duka,
ketakutan/kecemasan,dan kemarahan/marah. Mereka
menggambarkan situasi emosi yang sedang mereka rasakan
dan kemudian memberikan informasi mengenai emosi apa
yang mereka rasakan. Reaksi tersebut terdiri dari
reaksi nonverbal, sensasi fisiologis,dan ucapan-ucapan
verbal. Hasil dari dua studi menunjukkan tingkat
kesamaan dalam pengalaman emosional dari responden
Eropa. Meskipun tanggapan mereka bervariasi sesuai
dengan budaya, namun ditemukan adanya pengaruh budaya
relatif kecil terutama jika dibandingkan dengan
perbedaan antara emosi diri sendiri. Artinya, perbedaan
antara empat emosi yang diuji jauh lebih besar daripada
perbedaan antar budaya. Para peneliti menyimpulkan
bahwa setidaknya emosi yang diuji dapat menampakkan
dasar pengalaman universal di manusia
Apalagi bila data dari Eropa dibandingkan dengan
Amerika dan data Jepang. Scherer dkk menemukan bahwa
meskipun pengaruh budaya itu sedikit lebih besar, itu
masih sangat kecil dibandingkan perbedaan yang
ditemukan
antara emosi. Dari ketiga penelitian, para peneliti
menyimpulkan bahwa budaya dapat sekaligus tidak
mempengaruhi pengalaman emosi, tetapi pengaruh ini jauh
lebih kecil dari perbedaan mendasar antara emosi diri
sendiri.
Temuan ini sekali lagi menunjukkan bahwa
pengalaman emosi adalah
bersifat universal yang terlepas dari budaya serta
banyak orang berbagi dan mempunyai pengalaman dasar
emosi yang sama.
2. Perbedaan Budaya dalam Pengalaman Emosional
(Cultural Differences in Emotional Experiences)
Meskipun perbedaan budaya yang ditemukan dalam
studi hanya jauh lebih sedikit daripada perbedaan emosi
akan tetapi hal itu tetap ada. Misalnya Scherer dkk,
menemukan bahwa orang Jepang dilaporkan telah mengalami
emosi, sukacita, sedih, takut, dan marah-lebih sering
daripada orang Amerika atau Eropa. Orang Amerika
dilaporkan mengalami sukacita dan kemarahan lebih
sering daripada orang Eropa. Amerika dilaporkan
merasakan emosi mereka untuk jangka waktu lebih lama
dan dengan intensitas yang lebih sering daripada orang
Eropa atau Jepang. Responden Jepang secara keseluruhan
dilaporkan dalam menyampaikan emosi lebih sedikit dalam
gerakan tangan dan gerakan seluruh tubuh serta reaksi
vokal dan wajah dibandingkan emosi daripada Amerika
atau Eropa. Amerika dilaporkan mempunyai tingkat
tertinggi dalam mengekspresikans reaksi baik wajah dan
vokal.
Sejumlah penelitian lain yang dipimpin oleh
Kitayama dan Markus (1991, 1994,1995), Wierzbicka
(1994) dan Shweder (1994) telah mengambil pendekatan
yang berbeda dalam menggambarkan pengaruh budaya pada
pengalaman emosional. Mereka menggunakan pendekatan
"fungsionalis", para peneliti melihat emosi sebagai
seperangkat "skrip sosial bersama" terdiri dari
komponen fisiologis, perilaku, dan subyektif. Mereka
berpendapat bahwa skrip ini berkembang sebagai individu
inkultural yang masuk dalam budaya mereka dan skrip ini
terkait erat dengan budaya dimana mereka dilahirkan dan
dengan siapa mereka berinteraksi. Oleh karena itu emosi
mencerminkan lingkungan budaya dimana individu tumbuh
dan hidup serta sebagai bagian yang utuh (integral) dari
budaya sebagai moralitas dan etika. Markus&Kitayama
(1991) mengutip bukti dari berbagai sumber untuk
mendukung pandangan ini, termasuk studi yang
menunjukkan perbedaan antara keterlibatan budaya dalam
pengalaman sosial dengan tidak menghiraukan emosi dan
pola-pola dalam budaya, seperti perasaan baik dan
kebahagiaan.
Banyak penulis yang menggunakan pendekatan
fungsionalis ini, menentang aspek emosi yang dikatakan
bersifat universal dan mungkin bawaan biologis. Pada
dasarnya argumen mereka adalah bahwa ekspresi emosi
terbentuk karena adanya hubungan saling keterkaitan
antara budaya dan emosi, karena emosi tidak mungkin
secara biologis "tetap/pasti" menjadi pengaruh untuk
semua orang. Mereka berpendapat bahwa universalitas
emosi adalah keliru dan bahwa temuan yang mendukung itu
hanyalah berasal dari prasangka eksperimen dan teoritis
dari peneliti.
Para peneliti yang setuju dengan pendekatan
fungsionalis ini dikatakan telah mempelajari emosi
dengan cara yang berbeda. Posisi universalitas terbatas
pada sekelompok kecil emosi yang disesuaikan dengan
ekspresi wajah yang khas. Studi yang dilakukan oleh
fungsionalis telah memasukkan berbagai pengalaman
emosional yang melampaui batas set emosi universal.
Selain itu, para peneliti telah mempelajari aspek yang
berbeda dari emosi. Universalitas emosi didasarkan pada
adanya tanda/sinyal pankultural ekspresi emosi di
wajah. Sebagian besar penelitian tentang pembentukan
budaya dari emosi didasarkan pada pengalaman subjektif
dari emosi dan penggunaan kata (leksikon) saat emosi yang
digunakan untuk menggambarkan dan mewakili pengalaman-
pengalaman. Akhirnya keberadaan universal dan substrat
dari biologis bawaan emosi tidak menutup kemungkinan
bahwa budaya juga dapat membangun banyak pengalaman
mereka.
Seperti disebutkan sebelumnya, dasar universal
emosi dapat menyediakan tempat standar dimana
konstruksi tersebut dapat terbentuk. Tampaknya karena
itu,
bahwa pembangunan budaya pengalaman emosional (cultural
experience emotion) dapat terjadi diatas dan diluar dasar
yang disediakan oleh emosi dasar dengan ekspresi
universal. Penelitian dimasa depan mengenai hal ini
dapat mungkin dapat menjelaskan kita, tidak seperti
layaknya penelitian yang ada karena mempertentangkan
pendapat.
D. BUDAYA DAN ANTESEDEN EMOSI
(Culture and the Antecedents of Emotion
Anteseden emosi adalah peristiwa atau situasi yang
memicu atau menimbulkan emosi. Misalnya kehilangan
sesorang yang dicintai merupakan satu anteseden dari
kesedihan. Mendapatkan nilai "A" di kelas dimana hal
ini dapat terlaksana dengan baik maka akan dapat
menimbulkan kebahagiaan atau sukacita.
Dalam literatur ilmiah, emosi anteseden juga dikenal
sebagai “elisitor emosi”.
Selama bertahun-tahun, para ahli telah
memperdebatkan apakah anteseden emosi adalah sama atau
berbeda di seluruh budaya. Di satu sisi, sejumlah
ilmuwan
berpendapat bahwa anteseden emosi harus sama dengan
lintas budaya, setidaknya
untuk emosi yang universal, karena emosi ini mirip
panculturally dan semua manusia berbagi basis pengalaman
dan ekspresi mereka. Hasil dari studi lintas budaya
sebelumnya pada ekspresi emosi, persepsi cenderung
mendukung pandangan seperti itu. Di sisi lain, banyak
penulis berpendapat bahwa budaya harus berbeda dalam
anteseden emosi mereka. Seperti misalnya peristiwa yang
sama dalam budaya yang berbeda bisa dan memang memicu
emosi yang berbeda dalam budaya tersebut. Suatu contoh,
kesedihan tidak selalu ditimbulkan dalam semua
pemakaman, mendapatkan nilai A di kelas mungkin tidak
selalu mendatangkan sukacita dan ada banyak contoh lain
dari perbedaan lintas-budaya
yang menjadi penguat bagi sudaut pandang ini.
1. Kesamaan budaya dalam Anteseden Emosi (Cultural
Similarities in Emotion Antecedents)
Sebagian besar penelitian mendukung universalitas
emosi. Boucher dan Brandt (1981) misalnya, meminta
peserta di Amerika Serikat dan Malaysia untuk
menggambarkan situasi dimana seseorang dapat
menyebabkan orang lain merasa marah, jijik, takut,
bahagia, sedih atau terjut. Pemilihan emosi dalam
penelitian ini penelitian didasarkan oleh penelitian
universalitas sebelumnya. Sebanyak 96 anteseden
digolongkan keberbagai jenis emosi. Kelompok yang
terpisah dari peserta Amerika dinilai antesedennya dan
diidentifikasi emosinya. Hasil menunjukkan bahwa
klasifikasi anteseden peserta Amerika tepat dan sama
baiknya, jadi budaya asal tidak mempengaruhi
klasifikasi. Selanjutnya, Brandt dan
Boucher (1985) mereplikasi temuan ini dan menggunakan
kepeserta Amerika, Korea, dan Samoa. Secara
keseluruhan, hasil menunjukkan bahwa anteseden berbagi
dasar lintas-budaya yang umum, yang mendukung pandangan
mengenai kesamaan pancultural pada ateseden emosinya
2. Perbedaan Budaya di Anteseden Emosi (Cultural Differences in
Emotion Antecedent)
Penelitian telah memberikan sumbangsih yang besar
untuk perbedaan budaya dalam anteseden emosi. Scherer
dkk, menemukan akan banyaknya perbedaan budaya (serta
kesamaannya) dalam frekuensi relatif dari berbagai
anteseden, hal dilaporkan oleh responden mereka.
Peristiwa-peristiwa budaya, seperti kelahiran anggota
keluarga baru, "kesenangan dasar," dan situasi yang
berhubungan dengan prestasi yang lebih penting menjadi
anteseden kebahagiaan untuk orang Eropa dan Amerika
daripada Jepang. Kematian anggota keluarga atau teman
dekatberpisah dari orang yang dicintai dan berita dunia
lebih sering memicu
kesedihan untuk orang Eropa dan Amerika daripada
Jepang. Sedangkan situasi baru, lalu lintas, dan
hubungan relasip adalah anteseden ketakutan untuk orang
Jepang. Akhirnya, situasi yang melibatkan orang asing
(relasi), menjadi anteseden marah untuk orang Jepang
daripada untuk Amerika atau Eropa. Temuan ini
menjelaskan bahwa jenis situasi yang sama tidak akan
selalu memicu emosi yang sama pada orang di seluruh
budaya.
3. Koeksistensi Persamaan dan Perbedaan Anteseden Emosi
(Coexistence of Similarities and Differences in Emotion Antecedents)
Penelitian lintas budaya telah menemukan kesamaan
dan perbedaan
dalam anteseden emosi lintas budaya, namun masih ada
perdebatan dalam temuan ini. Matsumoto (1996) telah
menyarankan bahwa satu cara yang bisa digunakan untuk
menafsirkan lintas budaya pada emosi, cara itu adalah
membuat suatu perbedaan antara hal/maksud yang
tersembunyi (latent) dan perwujudan dalam
peristiwa/kejadian (manifest content) dalam situasi yang
menghasilkan emosi. Temuan-temuan pada faktor emosi
adalah untuk membuat perbedaan antara laten dan
manifest/isi konten yang terwujud dalam peristiwa pada
situasi yang menghasilkan emosi. Manifest konten adalah
situasi-situasi yang menyebabkan emosi, seperti
menghabiskan waktu dengan teman-teman, menghadiri.
Laten adalah makna psikologis yang terkait dengan isi
manifest yang mendasari situasi atau peristiwa. Sebagai
contoh, isi laten yang mendasari untuk keluar saat
dengan teman-teman adalah pencapaian tujuan psikologis
seperti mencari kehangatan dan keintiman dengan orang
lain. Isi laten yang mendasari hadir dalam pemakaman
mungkin karena hilangnya seseorang yang dicintai.
Sebuah tinjauan penelitian lintas budaya
menunjukkan keuniversalitasan laten konten anteseden
emosi. Artinya, tema-tema psikologis tertentu
menghasilkan emosi yang sama bagi kebanyakan orang
dalam kebanyakan budaya. Laten konten yang mendasari
kesedihan ini pasti kehilangan sesuatu yang dicintai.
Laten konten yang mendasari kebahagiaan pasti
pencapaian suatu tujuan yang penting bagi orang
tersebut. Inti laten-konten merupakan konstruksi yang
mendasari setiap emosi universal yang ditemukan secara
konsisten di seluruh budaya. Konstruksi inti ini
dirangkum dalam tabel 2.1, yang secara emosi dasarnya
dimungkinkan bisa saling bertukar satu sama lain untuk
semua budaya.
Tabel 2.1 Laten Konten dari Emosi (Latent Content of Emotion)
Emosi Emosi dasar Universal-TemaPsikologis
Kebahagiaan Terpenuhi suatu tujuanKemarahan Tidak terpenuhi suatu tujuannyaKesedihan Tercegahnya sesuau yang diinginkanMuak Tersakiti, terpukul karena sesuatu
halKetakutan Merasakan bahaya, sesuatu yang
tidah diduga yang tidak pernah diharapkan terjadi
Terkejut/kejtan Mengatahui sesuatu yang baru dan menyenangkan
Penghinaan/menghina
merasa superior/diatas orang lain
Malu dan rasa bersalah
Pemeras bertanggung jawab dan bersalah karena perilaku kita mengecewakan orang lain
Pada saat yang sama budaya berbeda namun dalam
situasi, peristiwa atau kejadian yang tepat sangat
berkaitan erat dengan laten konten. Artinya hal iti
tidak selalu terjadi korespondensi satu-satu antara
laten dan manifest konten lintas budaya. Seperti
kematian yang dapat menghasilkan kesedihan dalam satu
budaya, mungkin saja dapat menghasilkan emosi lain di
budaya lain. Dalam satu budaya tertentu, manifest
konten kematian dapat dikaitkan dengan kehilangan obyek
yang dicintai yang menyebabkan kesedihan. Dalam budaya
lain, manifst konten kematian dapat dikaitkan dengan
kandungan laten yang berbeda, seperti pencapaian yang
lebih tinggi dari tujuan rohani, menghasilkan emosi
tertentu yang berbeda. Dengan demikian, peristiwa yang
sama dapat dikaitkan dengan tema psikologis yang
berbeda yang mendasari, yang menimbulkan emosi yang
berbeda.
E. KEBUDAYAAN DAN EMOSI
Kesamaan Budaya dalam Penilaian Emosi (Cultural Similarities in
Emotion Appraisal)
Penilaian emosi dapat mudah didefinisikan sebagai
proses dimana orang
mengevaluasi kejadian, situasi, atau kejadian yang
mengarah keemosi mereka. Dalam satu dekade terakhir,
sejumlah studi menemukan bahwa banyak proses penilaian
tampaknya konsisten/sama di seluruh budaya, yang
menunjukkan tentang kemungkinan keuniversalitasan
proses dalam memunculkan emosi.
Mauro, Sato, dan Tucker (1992), misalnya, meminta
peserta di Amerika
Serikat, Hong Kong, Jepang, dan Republik Rakyat China
untuk menyelesaikan
kuesioner yang luas yang mengharuskan mereka untuk
menggambarkan situasi yang menimbulkan satu dari 16
emosi yang berbeda. Para peneliti sedikit menemukan
perbedaan budaya pada dimensi primitif tenatng
penilaian kognitif, diantaranya: kenyamanan, perhatian,
kepastian, menyamakan dan tujuan/kebutuhan yang
kondusif. Selain itu, diemukan sedikit perbedaan budaya
pada dua dimensi: legitimasi dan norma/kompatibilitas
diri. Hal ini ditafsirkan sebagai bukti universalitas
dalam emosi proses penilaian.
Mungkin penelitian lintas budaya terbesar pada
proses penilaian emosi adalah Scherer (dijelaskan di
sub-bab pertama), melibatkan 2.921 peserta di 37
negara, responden diminta untuk menggambarkan suatu
peristiwa atau situasi dimana mereka mengalami salah
satu dari tujuh emosi. Scherer (1997a,1997b) menemukan
bahwa proses penilaian emosi lebih banyak yang sama
daripada yang berbeda di seluruh budaya. Sekali lagi,
temuan ini menunjukkan tingkat yang tinggi kesamaan
lintas-budaya dalam proses penilaian emosi dan jelas
terkait dengan tema universal psikologis yang mendasari
anteseden emosi yang dibahas di atas. Mereka mendukung
gagasan bahwa emosi adalah fenomena universal dengan
kesamaan psiko-biologi disemua manusia terlepas dari
budaya, posisi yang konsisten dengan temuan sebelumnya
mengenai universalitas banyak emosi ini.
F. KEBUDAYAAN DAN KONSEPNYA DAN BAHASA EMOSI
(Culture and the Concept and Language of Emotion)
Bagaimana budaya mempengaruhi konsep emosi itu
sendiri dan bahasa yang digunakan untuk mewakili
seluruh dunia. Sejauh ini, kita telah membahas emosi
seolah-olah itu berarti hal yang sama bagi semua orang.
Para peneliti yang mempelajari emosi juga jatuh ke
dalam konsep yang sama. Studi telah mendokumentasikan
universalitas dari ekspresi emosi, pengakuan,
pengalaman, latar belakang dan penilaian akan
perdebatan untuk kesamaan dalam konsep, pengertian, dan
bahasa di sedikit set kecil emosi. Tapi bagaimana
dengan syarat dan fenomena lain yang juga disebut
"emosi"? Sebagai contoh akan dijelaskan fenomena emosi
di Amerika Serikat, penulis menggunakan contoh Amerika
karena penulis memahami betul fenomena disana.
1. Emosi dalam Kehidupan Sehari-hari Amerika
Di Amerika Serikat, hal yang didahulukan adalah
pada perasaan. Semua mengakui bahwa setiap dari kita
adalah unik dan bahwa kita memiliki perasaan pribadi
kita sendiri tentang hal-hal, kejadian, situasi, dan
orang-orang di sekitar kita. Orang Amerika sadar bahwa
bahwa seseorang harus mencoba untuk menyadari
perasaannya sendiri agar bisa "berhubungan" dan
memahami orang lain. Untuk mampu menyatu dengan
perasaan kita dan untuk mampu memahami dunia di sekitar
kita secara emosional adalah dengan bersikap dan
perpandangan dewasa dalam masyarakat kita.
Pada orang-orang di Amerika, mereka menempatkan
kepentingan dan nilai berdasar pada perasaan dan emosi
diselama masa hidup. Meraka menghargai perasaan sebagai
orang dewasa dan mereka secara aktif mencoba untuk
mengenali
perasaan anak-anak dan orang-orang muda lain di
sekitarnya. Orangtua sering memberikan cukup beban
pertimbangan terhadap perasaan anak-anak mereka dalam
membuat keputusan yang mempengaruhi mereka. "Kalau
Johnny tidak mau melakukannya, kita seharusnya tidak
memaksa dia melakukannya”. Memang, emosi anak yang
diberikan hampir status yang sama sebagai emosi orang
dewasa dan generasi tua..
Nilai-nilai masyarakat Amerika, perasaan dan emosi
pada masyarakat secara langsung berkaitan dengan nilai-
nilai yang mendorong budaya Amerika. Di Amerika
Serikat. Individualisme yang tinggi telah menjadi
landasan dari budaya dominan dan bagian dari
individualisme yang tinggi berarti kita mengakui dan
menghargai aspek unik dari setiap orang. Keragaman
perasaan dan emosi merupakan bagian dari hal ini,
bahkan mungkin menjadi bagian paling penting dalam
mengidentifikasi individu karena emosi sendiri sangat
personal dan individual. Anak-anak dihargai sebagai
yang terpisah dan perasaan mereka dihargai.
2. Persamaan Budaya dan Perbedaan Konsep Emosi
Banyak penelitian telah dilakukan dibidang
antropologi dan psikologi
untuk mengatasi masalah penting ini. Pendekatan yang
etnografi melakukan mendalam dan studi budaya tunggal
pada mereka sendiri yang berasal dari antropologi,
terutama berguna dalam membantu untuk mengungkap
bagaimana budaya yang berbeda mendefinisikan dan
memahami konsep yang kita sebut emosi. Beberapa tahun
yang lalu Russell (1991) menyelesaikan banyak literatur
tentang lintas budaya dan antropologi tentang konsep
emosi dan menunjukkan banyak cara dimana budaya
berbeda, kadang-kadang jauh dalam mendefinisikan dan
memahami emosi.
Tentang konsep dan definisi emosi. Pertama-tama
Russell (1991) sebagai poin utama, mengemukakan bahwa
tidak semua budaya memiliki kata yang sesuai dengan
emosi kata kita. Levy (1973,1983 ) melaporkan bahwa
Tahiti tidak memiliki kata untuk emosi atau menurut
Lutz (1980) seperti yang dilaporkan dalam Russell
(1991; Lutz,1983) bahwa beberapa kebudayaan bahkan
tidak memiliki kata yang sesuai dengan emosi. Atau
mungkin apa yang kita kenal sebagai emosi diberi label
berbeda dengan cara yang diterjemahkan dan mengacu pada
sesuatu selain internal serta perasaan subyektif. Dalam
kasus ini juga termasuk konsep emosi yang cukup berbeda
kebanyakan orang.
Seorang psikolog Polandia bernama Anna Wierzabicka
pada tahun 1986 menyatakan bahwa semua emosi datar kita
memiliki label denga bahasa Inggris yang sesuai. Tetapi
masalahnya, dia mengatakan bahwa bahasa lain tidak
memiliki label dari emosi-emosi dasar itu. Bangsa
polandia tidak suka menggunakan kata jijik karena tidak
ada karena tersebut dalam bahasa polandia. Untuk
mengekplorasi seberapa bedanya kebudayaan mengenai
pengalaman emosi dapat dilihat dari bahasa Inggris
memiliki lebih dari 2000 kata tentang emosi yang
berbeda, sedangkan penduduk Chewong dari Malaysia hanya
memiliki 8 kata yang menggambarkan pengalaman emosi.
(Heine,2008)
Singkatnya, tidak semua budaya di dunia memiliki
sebuah kata atau konsep apa yang kita label emosi dalam
bahasa Inggris dan bahkan diantara mereka yang
melakukan, mungkin tidak berarti hal yang sama dengan
kata emosi dalam bahasa Inggris. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa klasifikasi peristiwa ekspresi,
persepsi, perasaan, situasi yang kita sebut emosi tidak
selalu mewakili klasifikasi yang sama dari fenomena
dalam budaya lain.
Kategorisasi atau pelabelan emosi orang-orang
dalam budaya yang berbeda juga mengkategorikan atau
melabeli emosi yang berbeda pula. Beberapa kata dalam
bahasa Inggris, seperti marah, gembira, sedih, suka,
dan penuh kasih, memiliki padanan dalam bahasa dan
budaya yang berbeda. Tapi banyak kata bahasa Inggris
tidak memiliki setara dalam budaya lain, dan kata-kata
emosi dalam bahasa lain mungkin tidak memiliki setara
bahasa Inggris yang tepat.
G. IMPLIKASINYA PADA KONSELING LINTAS BUDAYA DI
INDONESIA
Pada sisi praktis, dengan kita berbagi dasar
pengalaman yang sama mengenai emosi, akan membantu kita
dalam memiliki empati terhadap pengalaman orang lain,
empati adalah penting untuk pengembangan kepekaan
antarbudaya dan sukses dalam pengalaman interpersonal
dan antarbudaya (Heine,2008).
Proses konseling sangat rawan oleh terjadinya
bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan
konseling tidak berjalan efektif. Pemahaman akan
perbedaan cara/tampilan emosi (cultural display rules)
terhadap setiap individu yang menjadi konseli sangat
penting bagi konselor. Kepekaan-kepekaan terhadap
tampilan emosi sangat membantu konselor dalam
menterjemahkan maksud-maksud yang tidak sempat tersirat
oleh konseli.
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan
klien yang berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda. Setiap budaya memiliki perbedaan makna dan
konsep yang berbeda mengenai emosi. Secara universal
terdapat tujuh ekspresi emosi yang mempunyai dasar
emosi yang sama. Dan di Indonesia sementara terdapat 20
tema emosi yang dapat dikenali ke-khasannya, yang
diantaranya: gembira, terharu, bangga, lega, berani,
yakin, puas, suka, sayang, cinta, sedih, marah, kecewa,
takut, ragu, risau, benci, bosan, kesal (Masnur,2007).
Namuan hal ini belum tentu dapat diterapkan kedalam
keseluruhan budaya di Indonesia
Konsep emosi dalam bahasa yang berbeda pastinya
mempunyai makna yang berbeda pula. Asumsi ini
mengisyaratkan bahwa konsep emosi di Indonesia dibentuk
oleh keunikan budaya di Indonesia. Dengan memahami
keunikan-keunikan tersebut konselor mampu menerapkkan
skill konseling lintas budaya secara tepat. Konselor
lintas budaya memiliki keterampilan dalam berbagai
macam respon verbal maupun nonverbal, mereka dapat
mengirim dan menerima respon verbal maupun non verbal
secara akurat dan tepat. Dia juga dapat mengatisipasi
akibat negatif keterbatasan dan ketidaktepatan
cara/gaya bantuannya (Memed,2010).
Ada banyak kesamaan dalam konsep dan bahasa emosi
pada seluruh dunia, baik yang masih dalam budaya yang
sama maupun lintas budaya. Sebagian besara penelitian
mempercayai bahwa keuniversalan emosi dan budaya
relatif ada di semua budaya. Tidak semua budaya di
dunia memiliki sebuah kata atau konsep sesuai label
emosi dalam bahasa Inggris dan bahkan diantaranya yang
melakukan mungkin tidak berarti hal yang sama dengan
kata emosi dalam bahasa Inggris. Klasifikasi peristiwa
ekspresi, persepsi, perasaan, situasi yang kita sebut
emosi tidak selalu mewakili klasifikasi yang sama dari
fenomena dalam budaya lain.
Di Indenesia setidaknya samapai saat ini memiliki
20 macam tema emosi yang didasarkan pada penggunaan
bahasa dan istilah Indonesia. Tema-tema ini belum tentu
mewakili seluruh kebudayaan di Indonesia. Dalam konteks
konseling lintas budaya perbedaan emosi dapat digunakan
untuk menambah waasan dan pengetahuan untuk menambah
kepekaan-kepekaan konselor dalam menterjemahkan
ekspresi emosi konseli.
DAFTAR RUJUKAN
Heini, J, Steven.2008. Cultural Psychology. WW.Norton & Company Inc: New York
Matsumoto, D. 2000. Culture and Psychology. 2nd Edition.Belmont,CA: Wadsworth
Memed, Hariadi.2010. Hakikat Konseling Lintas Budaya. http://hariadimemed.blogspot.com/2010/04/hakikat-konseling-lintas-budaya.html. Diakses: 16 Sepetmber 2013
Muslich, Masnur.2007.Makna Emosi Dan Norma Budaya Dalam Bahasa Indonesia. http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/makna-emosi-dan-norma-budaya-dalam.html. Diakses: 16 September 2013