Upload
independent
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Review Jurnal MK. Penilaian Gizi
CHILD MALNUTRITION IN INDONESIA:
CAN EDUCATION, SANITATION AND
HEALTH CARE AUGMENT THE ROLE OF INCOME?
Oleh:
Amalia Rahma I151150241
Dosen Mata Kuliah:
Prof. Dr. Drh Clara M. Kusharto, MSc.
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
PENDAHULUAN
Masalah gizi pada anak telah lama menjadi keprihatinan di seluruh dunia.
Tingkat kerawanan malnutrisi pada anak menciptakan sebuah dorongan moral
untuk membuat subjek penelitian malnutrisi pada anak. (UNICEF, 2013 ; 2014).
Saat ini, undernutrition kronis mempengaruhi 165 juta anak dibawah 5 tahun di
seluruh dunia, anak-anak terperangkat di lingkaran setan kemiskinan dan
undernutrition. Lebih dari 90% anak-anak yang mengalami stunting di dunia
tinggal di Afrika dan Asia. Diperkirakan 80% anak-anak yang mengalami stunting
di dunia tinggal di hanya 14 negara. Di antara 14 negara adalah Indonesia, dengan
8juta anak di bawah lima tahun tumbuh dewasa mengalami stunting dan tingkat
kematian ibu dari 359 per 100.000 yang hidup pada saat melahirkan,
menempatkan Indonesia jauh lebih miskin dibandingkan negara di Asia yang
miskin seperti India, Pakistan dan Kamboja serta negara-negara di afrika
(UNICEF 2013)
Indonesia mengalami kemerosotan terus menerus dalam tingkat
pendapatan, hanya ada sedikit perbaikan Malnutrisi pada anak. Hal ini
menunjukan bahwa ketika ekonomi tumbuh dan kemiskinan berkurang,
meningkatkan status gizi anak karena akses yang lebih besar untuk memperoleh
makanan, meningkatkan kehamilan dan pengasuhan anak, pelayanan kesehatan
masyarakat menjadi lebih baik (Haddad et al.,2003; Subramanyam et al., 2012).
Lebih dari satu dekade terakhir, proporsi masyarakat miskin di indonesia turun
dari 19% menjadi 11% tetapi tingkat Malnutrisi tidak memperlihatkan penurunan
yang signifikan. Sangat penting untuk menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi
saja tidak cukup untuk meningkatkan status gizi anak-anak.
Alokasi pendapatan negara yang adil dan investasi kesehatan masyarakat
dan progam pendidikan sangat penting untuk mempromosikan ketahanan pangan,
diet makanan bergizi dan memperbaiki kesehatan anak (Stevens et al.,2012).
Selain itu, Progam intervensi gizi kebanyakan terus melihat dari sisi gejala dan
bukan penyebab kelaparan (Foster , 1992). Para pembuat Kebijakan harus terlibat
dalam program penanggulangan Malnutrisi pada anak, untuk mengerti hubungan
antara undernutrition dan karakteristik sosial-ekonomi. Mengidentifikasi faktor
risiko yang mempengaruhi status gizi anak akan menjadi langkah praktis dan
terarah dalam menanggulangi penyebab malnutrisi dan stunting pada anak di
suatu negara (Anand and Harris, 1992; Gopalan, 1992).
Hasil penelitian, mengkonfirmasi keberadaan sosial ekonomi gradien
berdampak pada malnutrisi anak di indonesia. Berdasarkan WHO 2006
pertumbuhan skala sebagai referensi , stunting atau malnutrisi di Indonesia masih
tetap sangat tinggi dari survey terbaru berdasarkan anthropometri anak. Dengan
menggunakan data dari IFLS survei dan Suvei Kesehatan Nasional di Indonesia
dan kontrol faktor sosial ekonomi , perhatian orang tua , karakteristik rumah
tangga, akses kesehatan akses, pendapatan rumah tangga), menemukan bahwa
pendidikan ibu, kondisi air dan sanitasi, kemiskinan rumah tangga dan luas tempat
tinggal sangat mempengaruhi malnutrisi pada anak-anak di Indonesia.
Tujuan studi ini untuk melepaskan berbagai risiko faktor sosial ekonomi
yang mempengaruhi status gizi anak di indonesia. Memeriksa dinamika dan
mengendalikan gizi anak akan berkontribusi efektif dengan berbagai respons
kebijakan untuk mengurangi angka stunting pada anak usia dini di indonesia.
Makalah ini ini disusun sebagai berikut: bagian 2 merupakan uraian kemiskinan,
kesehatan dan status gizi indonesia. Bagian 3 menjelaskan latar belakang berbagai
faktor resiko dari kesehatan anak, dari tingkat teoritis dan perspektif empiris. Di
bagian 4 terdapat kerangka teori status gizi anak dan kemudian dilanjutkan
strategi estimasi empiris dalam bagian 5. Bagian 6 dan 7 menggambarkan data
dan perkiraan secara berturut-turut. Diakhiri dengan pasal 8 berisi kesimpulan dan
poin untuk isu-isu kebijakan dan penelitian yang muncul dari penelitian ini.
Kemiskinan, Kesehatan, dan Status Gizi Anak: Studi Literatur dan Data
Beberapa Daerah di Indonesia
Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk
terbesar keempat di dunia, telah menggunakan pertumbuhan ekonomi untuk laju
percepatan penanggulangan kemiskinan. Ekonomi yang lebih baik dari dua kali
lipat dalam satu dasawarsa terakhir dan GDP perkapita meningkat dari US$909
tahun 2002 menjadi US$3,557 di tahun 2012. Perekonomian di Indonesia bangkit
dari kehancuran dari krisis keuangan asia (AFC), diuntungkan oleh ledakan harga
komoditas, dandapat mengatasi krisi global dengan baik. Namun, meski
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tingkat penanggulangan kemiskinan di
Indonesia mulai melambat, dengan diikuti meningkatnya Malnutrisi pada anak
dimana prevalensi stunting,wasting, underweight tidak menunjukan penurunan
yang signifikan cenderung meningkat dengan prevalensi stunting yang sangat
tinggi menjadi masalah utama di Indonesia.
Survey Dasar Kesehatan 2013 (RISKESDAS) di Indonesia , menemukan
prevalensi underweight, wasting dan stunting pada anak-anak dibawah usia 5
tahun menjadi 19,6%, 12,1%, dan 37.2% secara berturut-turut. Indonesia
menghadapi Wasting dan stunting dengan tingkat keparahan tinggi dan prevalensi
underweight dianggap cukup sedang.
Masalah gizi di Indonesia menjadi fenomena kompleks dan multidimensi,
yang terkait dengan banyak faktor seperti kemiskinan, akses layanan
kesehatan,sanitasi,neonatal care, penanganan kelahiran, kematian bayi, imunisasi,
sumber daya manusia, dan defisiensi energi pada ibu hamil memiliki hubungan
yang sangat kuat antara GDP dan karakteristik sosial-ekonomi terhadap terjadinya
Stunting. Data daerah menunjukkan bahwa rencana pertumbuhan ekonomi
Nasional sudah didominasi oleh provinsi di Pulau Jawa, 60% dari GDP
Indonesia, diikuti oleh Pulau Sumatera yang menyumbang sekitar 20%, dengan
20% dihasilkan oleh indonesia daerah timur.
Data geografis menunjukkan kedalaman dan cakupan dari persoalan gizi
memerlukan tindakan segera, dengan terhambatnya pertumbuhan bervariasi di
seluruh Indonesia sekitar 26 menjadi lebih dari 50 di beberapa provinsi. Bahkan di
kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta, provinsi yang memiliki prevalensi
paling rendah , stunting 27% pada anak anak di bawah usia lima tahun. 14 daerah
memiliki prevalensi paling tinggi (40% atau lebih), 12 provinsi sementara
memiliki prevalensi tinggi (30-39%). Lebih dari separo anak anak 52% di provinsi
Nusa Tenggara Timur mengalami stunting paling tinggi di Indonesia.
Pada kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta yang memiliki
pendapatan daerah yang tinggi memiliki kasus stunting yang relatif rendah,
berbeda dengan daerah Indonesia bagian timur seperti Papua, Maluku, dan Nusa
Tenggara Timur memilki kasus stunting paling tinggi di Indonesia. Selain itu
status kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan masyarakat bervariasi antara
masing masing kabupaten dan provinsi di Indonesia berpengaruh terhadap tingkat
kematian bayi.
Meskipun banyak studi empiris terfokus pada pendapatan, kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi di Indonesia, sangat sedikit penelitian yang mempelajari
faktor resiko yang terkait dengan Malnutrisi. Mani (2014) mencoba menentukan
keadaan sosial-ekonomi dan kesehatan pada anak menggunakan Tinggi badan
menurut umur berdasarkan z-score di Indonesia. Studi menunjukkan bahwa
pendapatan rumah tangga yang besar dan memiliki peranan penting dalam
perbaikan stunting pada anak. Park (2010), dengan menggunakan data pada
under-15s, memeriksa bagaimana kesehatan anak-anak dapat berkembang. Studi
menemukan bahwa status kesehatan sangat berkaitan dengan tingkat pendapatan
rumah tangga untuk anak-anak lebih muda dari 7 tahun , tapi tidak sama pada usia
anak yang lebih tua. Hasil dari studi tersebut memiliki dampak positif terhadap
status kesehatan anak-anak dari keluarga ekonomi lemah, tapi sedikit berdampak
pada status kesehatan anak-anak dari keluarga berpendapatan tinggi. Akses pada
penyedia layanan kesehatan juga ditemukan untuk memainkan peranan penting
dalam upaya peningkatan kesehatan.
Hodge et al .(2014), meneliti keberadaan dan ketimpangan kesehatan di
Indonesia dengan mengukur tren dan ketidaksetaraan dalam angka kematian dan
bayi di bawah 5 tahun, pendidikan dan penyebaran geografis. Selain itu juga
dijelaskan terjadinya penurunan tingkat nasional kematian bayi dan anak dibawah
5 tahun yang sesuai dengan pengurangan mutlak kesenjangan ekonomi ,
pendidikan ibu dan lokasi pedesaan / perkotaan. Romling dan Qaim (2012)
menemukan Overweight meningkat menjadi masalah di Indonesia, masalah yang
berdampingan dengan underweight memberikan kontribusi ganda. Menurut studi,
17% rumah tangga di Indonesia dikategorikan menderita gizi ganda, dengan
underweight pada anak dan overweight pada orang dewasa. Demikian pula,
Shrimpton (2012) menyelidiki gizi kurang di indonesia dan memiliki hubungan
kuat antara masalah gizi dan penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi,
dyslipidemia, dan penyakit jantung.
Kesehatan Anak, Gizi dan Faktor Resiko
Akar masalah dan dampak dari masalah gizi ini komplek , multidimensi
dan saling berhubungan. Masalah ini dapat berasal dari faktor yang luas yaitu
seperti ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang lambat hingga
pada manifestasi yang lebih spesifik seperti masalah pernafasan dan penyakit
infeksi (diare). Asupan gizi yang tidak memadai dalam waktu yang lama dapat
melemahkan respon kekebalan tubuh, yang mungkin, pada gilirannya, dapat
menyebabkan infeksi. Dengan demikian, kekurangan gizi dapat menyebabkan
gangguan usus seperti diare, dan penyakit lain seperti pneumonia, influenza, dan
bronkitis. Dampak masalah gizi yang kronis (jangka panjang) penting untuk
segera diatasi sejak dini mengingat lebih dari 40 persen kematian anak di negara-
negara berkembang disebabkan karena masalah ini.
Mengetahui penyebab dari masalah gizi menjadi penting untuk
menentukan intervensi yang tepat agar dapat menurunkan angka kurang gizi yang
masih tiggi. Kerangka berfikir penyebab masalah gizi oleh The United Nations
Children’s Fund’s menggabungkan antara penyebab biologis dan sosial ekonomi
dan menetapkan tiga tingkat kausalitas sesuai dengan harus ditangani dengan
segera, hal-hal yang mendasari dan faktor dasar yang mempengaruhi status gizi
anak. Penyebab langsung yang dapat memepengaruhi status gizi anak pada tingkat
individu asupan makanan (energi, protein, lemak, dan mikro) dan status
kesehatan. Sedangkan ditingkat rumah tangga antara lain ketersediaan pangan,
perawatan yang memadai bagi ibu dan anak-anak, dan lingkungan yang sehat
yang mencakup akses ke pelayanan kesehatan. Pada akhirnya faktor-faktor
penentu yang mendasari gizi anak dipengaruhi pula oleh potensi sumber daya
yang tersedia untuk negara atau masyarakat, yang dibatasi oleh lingkungan alam,
akses teknologi, dan kualitas sumber daya manusia. Faktor-faktor politik,
ekonomi, budaya, dan sosial mempengaruhi pemanfaatan sumber daya potensial
dan bagaimana mereka diubah ke dalam sumber daya untuk lingkungan dan jasa.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai respon asupan kalori terhadap
pendapatan masih menjadi perdebatan. Peneliti menyimpulkan bahwa jika
kebijakan pendapatan dimediasi akan memiliki dampak terbatas pada tujuan
peningkatan gizi anak, sedangkan peneliti yang lain menyebutkan bahwa
peningkatan pendapatan dapat meningkatkan status gizi meski dalam jangka
panjang. Banyak studi meneliti dampak dari berbagai faktor risiko sosial ekonomi
lainnya seperti pendidikan ibu, sanitasi, dan pelayanan kesehatan masyarakat
tentang kesehatan dan gizi anak. Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatkan
pendidikan ibu dan menutup kesenjangan gender dalam pendidikan telah
mendapat perhatian besar dalam dialog kesehatan anak dan kebijakan gizi.
Pendidikan ayah juga merupakan faktor penting dari kesehatan anak. Berbeda
dengan efek pendidikan ibu pada kesehatan anak secara langsung melalui faktor
kesuburan, bahaya lingkungan, praktik pemberian makan, cedera, dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan, pendidikan ayah diyakini mempengaruhi
kesehatan anak secara tidak langsung, melalui efeknya pada pendapatan rumah
tangga.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kurangnya akses terhadap air
bersih dan sanitasi yang buruk dan kebersihan memainkan peran utama dalam
menentukan status kesehatan anak. Kurangnya akses terhadap air bersih dan
sanitasi yang memadai menempatkan anak pada risiko tinggi tidak hidup lebih
dari ulang tahunnya yang kelima (UNICEF, 2010). WHO memperkirakan 50
persen dari kekurangan gizi dikaitkan dengan diare berulang atau infeksi cacing
usus dari air yang tidak aman atau sanitasi yang buruk dan kebersihan (WHO,
2008). Diare sering disebabkan oleh kurangnya air minum yang bersih dan cuci
tangan yang tidak bersih. Lebih lanjut Kurangnya jumlah toilet memperburuk
masalah seperti kotoran di tanah dapat mengkontaminasi air minum dan air pada
umumnya. Dalam hal ini, anak-anak yang paling rentan, karena kekebalan alami
masih rendah, dan persentase yang tinggi dari kematian bayi serta morbiditas
terkait dengan air yang terkontaminasi dan kurangnya sanitasi higienis. Berbagai
penelitian di berbagai negara telah menunjukkan bahwa kualitas air minum secara
positif terkait dengan pengurangan diare dan kematian (Cutler dan Miller 2005;
Clasen et al 2007;. Arnold dan Colford 2007;. Kremer et al 2009). Program
mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi kejadian diare sebesar 42 sampai
47 %.
Ditingkat rumah tangga, kekayaan dan aset terkait dengan kesejahteraan
anak. Kekayaan dan aset rumah tangga yang lebih besar secara langsung
meningkatkan kemampuan orang tua untuk membeli makanan yang relatif lebih
bergizi, air bersih, pakaian, perumahan cukup berventilasi, bahan bakar untuk
memasak yang tepat, penyimpanan yang aman dari makanan, barang-barang
kebersihan pribadi, dan pelayanan kesehatan. (Boyle et al. 2006, Hong et al.
2006). Program pemberian bantuan langsung tunai baik tanpa syarat maupun
kondisional semakin populer dan tampaknya menjadi kendaraan yang
menjanjikan untuk meningkatkan hasil gizi dan kesehatan. Program bantuan
langsung tunai bersyarat pada umumnya memberikan pembayaran tunai kepada
rumah tangga miskin yang memenuhi persyaratan perilaku tertentu, umumnya
terkait dengan kesehatan anak-anak. Transfer tunai bersyarat mencakup unsur-
unsur program yang membahas gizi anak dalam bentuk prasyarat yang
membutuhkan manfaat untuk menggunakan layanan atau berpartisipasi dalam
kegiatan yang berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan dan status gizi.
Sebagai contoh, beberapa program transfer tunai mencoba untuk mengubah
perilaku kesehatan dan gizi penerima melalui lokakarya pendidikan gizi kelompok
dan pemantauan tumbuh kembang anak dan promosi (terkadang disertai konseling
standar atau individual) dan beberapa upaya untuk meningkatkan status
mikronutrien penerima manfaat melalui mikronutrien atau suplemen gizi. Analisis
global yang dilakukan oleh bank dunia (Fiszbein dan Schady, 2009) pada lebih
dari 20 program bantuan tunai menemukan bukti yang beragam tentang dampak
pemberian bantuan tunai terhadap pada kejadian penyakit (morbiditas), anemia
anak dan kematian bayi. Seperti Askeskin dan BLT, kedua program untuk
meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan dengan meningkatkan pemanfaatan
rawat jalan pada orang miskin. akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan di
tingkat masyarakat juga faktor penting dalam menentukan status kesehatan anak.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa ketersediaan dan akses ke klinik
kesehatan masyarakat, tenaga persalinan terlatih, perawatan prenatal, dan
imunisasi memiliki dampak yang signifikan terhadap status kesehatan anak usia
dini (Strauss, 1990). Terdapat bukti bahwa peningkatan penyediaan layanan
kesehatan dasar (layanan lahir, ketersediaan obat, imunisasi) sangat meningkatkan
kesehatan anak (Thomas et al 1996 dan Lavy et al 1996). Barber dan Gertler
(2001) menyimpulkan bahwa pada anak-anak Indonesia yang hidup dalam
masyarakat dengan perawatan berkualitas tinggi yang sehat dibandingkan dengan
anak-anak yang tinggal di daerah dengan kualitas yang buruk. Jarak ke fasilitas
perawatan kesehatan, perawatan prenatal dan proporsi persalinan yang ditolong
oleh tenaga kesehatan terlatih juga memainkan peran dalam kesehatan perempuan
dan anak-anak mereka, dengan kelebihan kematian bayi dan ibu pada populasi
miskin dan negara-negara yang mewakili perbedaan dalam akses terhadap layanan
kesehatan ini (Haddad dan Hoddinot, 1994; Sahn, 1990; Strauss, 1990). Bayi dan
anak-anak dari ibu yang menerima perawatan antenatal, baik oleh dokter atau
bidan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk bertahan hidup (Brockerhoff dan
Derose, 1996; Howlader dan Bhuiyan, 1999). Peabody et al (1998) menunjukkan
bahwa perempuan Jamaika dengan akses ke perawatan prenatal yang sangat baik
memiliki berat lahir lebih tinggi daripada wanita dengan akses ke perawatan
berkualitas buruk. Imunisasi juga dijadikan salah satu upaya pencegahan gizi
buruk. Vaksinasi pada masa kanak-kanak dapat melindungi anak-anak dari
penyakit menular dan dengan demikian menyebabkan peningkatan kesehatan dan
pertumbuhan di negara-negara berkembang (Anekwe dan Kumar, 2012; Masset
dan Putih, 2003)
Strategi Estimasi
Secara umum rumus/fungsi empiris dalam menentukan penerunan kesehatan pada
anak adalah:
Hi = α + β Xi + Xp γ + Xh δ + Xu θ + Xc φ + Xr φ + εi
Dimana Hi adalah vektor dari ukuran antropometrik anak yang diukur. Xi
menggambarkan karakteristik anak seperti usia, jenis kelamin, urutan kelahiran
dan interval. Usia anak dan jenis kelamin dikendalikan untuk mengakomodasi
pola usia tertentu terhadap status gizi (Shrimpton et al. 2001). Beberapa studi lain
seperti Ssewanyana, (2003) menemukan z-skor rendah untuk anak laki-laki
daripada anak perempuan menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih mungkin
untuk menderita kekurangan gizi kronis dan akut serta menjadi kurus
dibandingkan anak perempuan. Demikian pula, penelitian juga menemukan urutan
kelahiran dan interval untuk memiliki efek pada status gizi anak (Conde-Agudelo,
dkk. 2007)
Xp adalah vektor kovariat yang mengontrol untuk karakteristik orang tua
(yaitu pendidikan dan tinggi ibu dan ayah). Menurut Glewwe (1999), mekanisme
melalui pendidikan ibu mempengaruhi anak-anak: (a) pengetahuan kesehatan
langsung dan secara resmi diajarkan untuk calon ibu, (b) keterampilan membaca
dan menghitung di sekolah membantu calon ibu dalam mendiagnosis dan
mangatasi masalah anak, dan (c) paparan masyarakat modern melalui sekolah
formal membuat wanita lebih mudah menerima perawatan medis modern. Semba
et al. (2008) menemukan pendidikan orang tua memiliki efek positif yang
signifikan terhadap anak stunting di Indonesia dan Bangladesh. Cebu Tim Studi
(1992) menunjukkan bahwa pendidikan ibu berkorelasi dengan pengetahuan
tentang pembuangan limbah dan asupan susu kalori non-payudara lebih tinggi
untuk bayi mereka yang mengurangi kejadian diare di kalangan anak-anak.
Xh adalah vektor untuk komposisi dan karakteristik rumah tangga (jumlah
anak di bawah usia 5 tahun, air bersih dan sanitasi, dll). Keluarga besar biasanya
mendorong untuk berebut makanan dalam rumah tangga dan berbagai studi telah
menemukan bahwa rumah tangga dengan sejumlah besar anak-anak yang akan
dikaitkan dengan peningkatan stunting (Hien dan Kam, 2008). Demikian pula
kedua akses ke air bersih dan fasilitas sanitasi diperbaiki dapat mengurangi tingkat
kekurangan gizi anak di negara berkembang. Akses ke air bersih dan sanitasi yang
telah terbukti mengurangi timbulnya berbagai penyakit, termasuk diare anak usia
dini yang kemudian membantu melindungi status kesehatan anak-anak (Hoddinott
1997).
Xu merupakan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (melahirkan di
fasilitas kesehatan, akses ke perawatan prenatal, jarak ke fasilitas kesehatan, dll).
Ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan yang tepat selama kehamilan,
kelahiran, periode postnatal memungkinkan pencegahan, mendiagnosa dan
melakukan penanganan/pengobatan anak yang kekurangan gizi (Aneweke dan
Kumar, 2012; Strauss dan Thomas, 1995).
Xc melihat konsumsi rumah tangga / Status kepemilikan aset (per-kapita
dan indeks aset) dan X_r mewakili karakteristik spasial (perkotaan / pedesaan).
Beberapa penelitian terbaru telah menemukan pendapatan dan kekayaan
berpengaruh kuat pada gizi anak di negara berkembang (Van de Poel et al 2008;.
Sahn dan Stifel, 2003). Sebuah regresi logistik digunakan untuk mengestimasi
stunting pada anak, dengan probabilitas anak stunting sebagai variabel dependen
dan dengan set yang sama faktor yang menjelaskan risiko yang digunakan di atas
regresi z-skor TB/U. Variabel respon didefinisikan sebagai:
Di mana X adalah vektor dari faktor yang menjelaskan risiko stunting,
diperkenalkan di urutan: karakteristik anak (seperti usia, jenis kelamin, dll),
karakteristik orang tua (pendidikan ibu dan ayah dan tinggi), komposisi rumah
tangga dan karakteristik (nomor anak-anak di bawah usia 5 tahun, sanitasi, dll),
akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (lahir kelembagaan, akses ke
perawatan prenatal, jarak ke fasilitas kesehatan, dll), pendapatan rumah tangga /
Status aset (pengeluaran per kapita dan aset indeks) dan karakteristik spasial
(perkotaan / pedesaan).
Berdasarkan distribusi logistik, regresi untuk model probabilitas dapat dinyatakan
sebagai:
E⟨Stunted│X⟩ = 0 [1-f (X ', β)] + 1 [f (X', β)] = f (X ', β)
Menurut Aturupane dkk. (2011) dan Borooah (2005), metodologi regresi kuantil
(Koenkerdan Bassett, 1978) digunakan untuk menguji pengaruh berbagai faktor
risiko gizi anak menunjuk pada berbagai distribusi. Fitur yang paling menarik
dari regresi kuantil adalah bahwa hal itu tidak memaksakan parameter konstan
atas seluruh distribusi. Ini mengasumsikan pengaruh berbagai faktor risiko pada
status gizi anak berbeda di seluruh spektrum gizi. Berikut Koenker dan Bassett
(1978) kita dapat menulis regresi linier kuantil sebagai berikut:
hi = x 'i βτ + ττi
Dimana hi adalah z-score TB/U anak, dan x 'i merupakan rangkaian yang
menjelaskan faktor risiko dari anak ke-i. Dengan memberlakukan asumsi bahwa
kuantil τ-th dari istilah kesalahan bersyarat pada regressors adalah nol, Qτ (εi│xi)
and
= 0, kuantil bersyarat τth hi sehubungan dengan xi dapat dinyatakan sebagai:
Qτ (hi│xi) x 'i βτ,
Untuk setiap ∈ ε (0,1), parameter βτ dapat diperkirakan dengan:
Catatan, bahwa ketika τ = 0,5, kita memiliki kasus khusus yang dikenal sebagai
regresi median atau setidaknya mutlak deviasi estimator. Lima regresi kuantil
diperkirakan pada 10, 25, 50, 75 dan 90 quantiles. Kesalahan standar dihitung
dengan bootstrap dengan 100 ulangan.
Data
Data untuk analisis empiris ini diambil dari Riset Kesehatan Dasar
Nasional (Riskesdas) – (Kementrian Kesehatan Indonesia, 2008), Survey Aspek
Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI/IFLS) 2000 dan 2007. Pada
paper ini, z-skor TB/U untuk anak berusia 0-59 bulan dianggap sebagai indikator
utama status gizi anak karena merupakan kerusakan gizi jangka panjang (Trapp
dan Menken, 2005). Z-skor untuk tinggi badan terhadap umur dihitung dengan
menggunakan standar WHO 2006 tumbuh kembang anak sebagai refrensi.
Standar WHO 2006 untuk tumbuh kembang anak didapatkan dari data perwakilan
secara global untuk menghasilkan standar internasional bagi pendistribusian
tumbuh kembang anak di bawah 5 tahun yang diharapkan (WHO, 2006).
Perbedaan lebih spesifik untuk z-skor stunting, diungkapkan melalui standar
deviasi tinggi badan terhadap umur anak dengan nilai tengah tinggi badan anak
pada umur dan jenis kelamin yang sama sebagai populasi, dan dinyatakan sebagai
berikut :
Dimana xi merupakan tinggi badan anak, xmedian merupakan nilai tengah
tinggi badan untuk populasi dari umur dan jenis kelamin yang sama, dan σx
merupakan standar deviasi dari rata-rata populasi. Z-skor untuk populasi memiliki
standar distribusi normal dalam batas. Hasil yang berada di sekitar titik potong z-
skor diambil sebagai pertimbangan, misalnya mengekslusikan pengamatan-
pengamatan dari analisis yang berasal dari pengukuran yang salah atau entri data
Stunting z-score = (xi – xmedian) / σx
yang salah, karena deviasi dari rata-rata/outlier dapat mempengaruhi hasil
estimasi. Mengikuti rekomendasi yang diberikan oleh WHO (WHO, 2006), nilai-
nilai ekstrim pada data dieksklusikan, seperti z-skor tinggi badan terhadap umur
lebih besar dari 6 dan kurang dari -6 standar deviasi.
Hasil Estimasi
Dari hasil estimasi regresi z-score TB/U pada anak dan kemungkinan rasio
stunting dari data survey IFLS 2000 dan 2007 serta Riskesdas diperoleh hasil
bahwa z-skor TB/U berhubungan negatif dengan usia anak. Stunting atau masalah
gizi kronis meningkat dengan usia anak. Hal ini konsisten dengan banyak studi
internasional lainnya mengenai masalah gizi, beberapa penelitian menemukan
bahwa anak-anak laki-laki di Indonesia relatif lebih banyak mengalami
kekurangan gizi kronis dibandingkan anak perempuan (Svedberg, 1990; Zere dan
McIntyre, 2003; Christiaensen dan Alderman, 2004). Hasil estimasi menunjukkan
anak laki-laki yang memiliki hubungan negatif dengan z-skor TB/U dan
berhubungan positif dengan prevalensi stunting baik di IFLS dan survei
Riskesdas.
Perkiraan regresi menunjukkan bahwa baik berat dan selang lahir
memiliki efek positif yang signifikan pada z-skor TB/U dan stunting. Selang
antar kelahiran yang pendek dapat memiliki efek buruk pada gizi anak dengan
menyebabkan hambatan pertumbuhan dalam kandungan atau merusak kualitas
perawatan anak. Hasil estimasi menunjukkan bahwa anak yang memiliki urutan
kelahiran lebih tinggi lebih rendah TB/U dari anak-anak yang urutan lahirnya
lebih rendah. Hal ini konsisten dengan bukti dari negara-negara lain bahwa yang
anak-anak ‘pertama lahir' sering memiliki keunggulan gizi dibandingkan dengan
anak yang lahir kemudian (Lewis dan Britton 1998).
Untuk pendidikan orang tua, hasil menunjukkan bahwa baik pendidikan
ibu dan ayah memiliki efek negatif yang signifikan pada stunting. Hubungan
positif antara pendidikan orang tua dan gizi anak dapat dikaitkan dengan berbagai
faktor seperti pengetahuan superior dan praktek mengenai perawatan anak,
praktemenyusui k, kesehatan lingkungan, kebersihan rumah tangga dan melalui
mengubah fungsi preferensi rumah tangga (Aturupane et al, 2011). Gagasan
bahwa pendidikan seorang ibu lebih penting dari seorang ayah merupakan temuan
umum dalam masalah kekurangan gizi pada anak, dan mungkin menggambarkan
berbagai faktor yang mendasari seperti perempuan yang lebih berpendidikan
mendapatkan pengetahuan yang berhubungan dengan kesehatan yang lebih baik,
lebih menerima dalam pengunaan obat modern, dan dapat mendiagnosa serta
mengatsii masalah kesehatan anakdengan lebih baik daripada ibu yang kurang
berpendidikan (Glewwe, 1999; Christiaensen dan Alderman, 2004). Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa tinggi badan ibu dan ayah memiliki efek
yang signifikan kuat pada z-skor TB/U dan stunting, sehingga memberikan bukti
tentang efek gizi antar-generasi. Rata-rata anak dengan TB/U rendah, lebih besar
pada rumah tangga dengan proporsi yang lebih banyak bayi dan anak-anak.
Sehingga menekan kelahiran dapat berkontribusi positif untuk meningkatkan
status gizi.
Peningkatan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (ditunjukkan
dengan melahirkan di pelayanan kesehatan, jarak ke fasilitas kesehatan, bidan
terampil dan akses ke perawatan prenatal) semua berhubungan dengan angka z-
score TB/U yang lebih tinggi dan berbanding terbalik dengan stunting pada anak
usia dini. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima
suplemen zat besi, z-skor TB/U yang lebih tinggi dan prevalensi stunting rendah.
Seperti yang diharapkan, prevalensi stunting anak menurun tajam dengan
meningkatnya konsumsi dan kekayaan rumah tangga. Koefisien yang
diperkirakan untuk rumah tangga lebih kaya dan memiliki aset lebih banyak
signifikan secara statistik dan berhubungan negatif dengan stunting, sementara
berada di kuintil yang relatif miskin secara positif terkait dengan stunting atau
masalah gizi kronis di kedua survei. Temuan ini mendukung hasil penelitian lain
(seperti Sahn dan Stifel, 2003; dan Haddad et al, 2003.), Yang menunjukkan
bahwa indeks aset adalah prediktor yang valid untuk mengetahui gizi anak. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di pedesaan menderita
kekurangan gizi yang relatif lebih dari anak-anak yang tinggal di perkotaan.
Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi yang layak memiiki efek negatif yang
signifikan pada z-skor TB/U. Hasil estimasi untuk air yang tidak aman dan
sanitasi yang buruk sebenarnya tidak signifikan di desil atas. Implikasi kebijakan
adalah bahwa intervensi ini air dan sanitasi yang penting dalam meningkatkan
status gizi anak terutama yang di bagian bawah distribusi. Konsisten dengan
penelitian internasional lainnya (Thomas dan Strauss, 1993;. Thomas et al, 1996),
menunjukkan bahwa kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi yang layak secara
signifikan terkait dengan rendahnya z skor TB/U dan stunting yang lebih tinggi
di Indonesia.
Kesimpulan dan Kebijakan
Masalah stunting atau masalah gizi kronis di Indonesia tetap sangat tinggi
di semua survei terbaru yang mengukur antropometri anak. data dari survei IFLS
(gelombang 2000 dan 2007) dan Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa kondisi
pendidikan ibu, air dan sanitasi, kemiskinan rumah tangga dan daerah tempat
tinggal sangat mempengaruhi gizi kronis pada anak-anak Indonesia. Temuan ini
berdampak pada kebijakan dan merupakan langkah selanjutnya untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik dari faktor-faktor penentu kekurangan
gizi anak secara kompleks. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak yang lebih
tua, anak laki-laki, anak-anak dari urutan kelahiran yang lebih tinggi dan selang
kelahiran lebih pendek lebih mungkin untuk menderita kekurangan gizi daripada
rekan-rekan mereka. Pendidikan orang tua ditemukan memiliki pengaruh positif
yang kuat pada gizi anak. Demikian pula, tinggi badan orangtua juga positif
terkait dengan status gizi anak-anak, menandakan pentingnya genetika dan fenotip
dalam mempengaruhi tinggi badan anak. Anak yang stunting secara signifikan
lebih tinggi pada rumah tangga yang kesulitan mengakses air bersih dan sanitasi
yang tidak layak. Anak-anak yang menerima suplementasi zat besi serta telah
meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, angka TB/U lebih tinggi artinya
prevalensi stunting rendah. Temuan menarik lainnya adalah tingginya prevalensi
anak-anak stunting juga berasal dari rumah tangga yang kaya. Fakta-fakta ini
menunjukkan bahwa upaya bersama harus diambil untuk mengurangi kekurangan
gizi pada anak, dan pertumbuhan pendapatan saja tidak akan secara otomatis
memecahkan masalah gizi. Upaya-upaya besar yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dalam upaya mengurangi kemiskinan berhasil, namun status gizi anak
tidak membaik dalam beberapa tahun terakhir. Mengingat efek jangka panjang
dari kekurangan gizi anak akan berdampak pada buruknya kesehatan pada saat
dewasa dan modal sumber daya manusia yang rendah di Indonesia sehingga
mengharuskan gizi buruk ditangani sebagai prioritas. Meskipun telah ada berbagai
kebijakan keamanan pangan dan gizi dan program perlindungan sosial yang ada di
tingkat pusat di Indonesia, mereka tidak sepenuhnya memberikan kebijakan
komprehensif yang menargetkan anak kekurangan gizi. Misalnya penekanan
kebijakan ketahanan pangan nasional adalah ketersediaan makanan dan
bersinggungan dengan sektor pertanian, dengan hubungan yang lemah dalam
pemanfaatan makanan dan kesehatan anak, sedangkan kebijakan nutrisi
berkonsentrasi pada masalah kesehatan sementara mengabaikan peran makanan.
Sehingga sinergi yang lemah antara kebijakan tingkat nasional sering
menyebabkan kurangnya koordinasi di tingkat operasional. Pada program tingkat
dasar, ketahanan pangan rumah tangga, gizi anak dan bantuan sosial menghadapi
tantangan serius akibat buruknya perencanaan dan koordinasi, kurangnya
monitoring dan sistem evaluasi, pendanaan yang tidak memadai, eksklusi dan
inklusi kesalahan dalam penerima menargetkan, cakupan yang terbatas,
kekurangan modal manusia, dan sosialisasi yang terbatas. Sebagai implikasi
kebijakan maka dalam pelaksanaan kebijakan disarankan langsung pada masalah
kekurangan gizi anak. Secara khusus ada dua strategi penting Pertama untuk
memaksimalkan dampak, intervensi gizi spesifik yang menargetkan pada daerah
termiskin dan memiliki beban tinggi di Indonesia dapat mencakup, promosi
menyusui, suplementasi vitamin dan mineral, peningkatan imunisasi anak dan
cakupan asuransi kesehatan. Kedua, mengadopsi perencanaan pembangunan gizi
yang sensitif di semua sektor di negeri ini akan membantu memastikan bahwa
agenda pembangunan sepenuhnya memanfaatkan potensi masyarakat untuk
berkontribusi penurunan tingkat kekurangan gizi anak di Indonesia.
Singkatnya, dari temuan-temuan menunjukkan pentingnya satu set khusus
dari kebijakan, yaitu:
1. Tindakan tingkat Nasional diperlukan untuk memperkuat kerangka kebijakan
dan kelembagaan legislatif
2. Meningkatkan alokasi anggaran untuk program gizi anak tak diragukan lagi
akan bermanfaat dalam mengurangi kejadian stunting di seluruh wilayah di
Indonesia. Ada juga kebutuhan untuk mengembangkan dan melaksanakan
rencana gizi kabupaten dan anggaran untuk intervensi gizi yang efektif,
dengan peran yang jelas dan tanggung jawab di setiap tingkat, terutama untuk
ahli gizi di puskesmas.
3. Membantu revitalisasi Posyandu melalui konseling gizi dan upaya awal
pengembangan anak usia dini. Posyandu adalah sarana yang memungkinan
untuk konseling gizi ke tingkat masyarakat. konseling gizi dan upaya awal
pengembangan anak usia dini
4. Memperkuat program fortifikasi pangan nasional dengan memperbarui
standar fortifikasi untuk gandum, fortifikasi pada minyak dan meningkatkan
penyelenggaraan fortifikasi yodium pada garam.
5. Menerapkan langkah-langkah untuk merekrut, mengembangkan dan
mempertahankan ahli gizi yang berkualitas, termasuk insentif untuk mereka
yang bekerja di daerah terlayani.
6. Membuat program bantuan sosial untuk sekarang dan nanti yang sensitif
terhadap gizi anak, sehingga memungkinkan perencana kebijakan untuk
memprioritaskan anak-anak rentan terhadap stunting.
7. Penguatan program intervensi gizi yang efektif melalui konseling gizi untuk
ibu hamil dan ibu menyusui, bayi yang baik dan praktik pemberian makan
pada anak, mikronutrien untuk ibu hamil dan untuk anak-anak termasuk zat
besi dan asam folat, garam beryodium yang memadai untuk semua rumah
tangga, pemberian suplemen vitamin A untuk anak usia 6-59 bulan, praktek
kebersihan yang baik selama kehamilan, masa bayi dan anak usia dini,
mengatasi kecacingan pada ibu hamil dan anak usia 1-5 tahun, dan perawatan
untuk anak dengan severe wasting menggunakan makanan terapi yang siap
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulai, A. and Aubert, D. (2004). Nonparametric and parametric analysis of calorie consumption in Tanzania. Food Policy, Vol. 29: 113-129.
Alderman, Harold, Jere R. Behrman, Victor Lavy, and Rekha Menon. (2001). “Child Health and School Enrollment: A Longitudinal Analysis” The Journal of Human Resources 36(1): 185-205.
Anand, S. and C. J. Harris. (1992). “Issues in the Measurement of Undernutrition.” In Nutrition and poverty. New York: Oxford University Press Inc.
Aneweke T., and Kumar S., (2012) The effect of a vaccination program on child anthropometry: evidence from India’s Universal Immunization Program. Journal of Public Health 34(4): 489–497.
Angeles Imelda T., Werner J. Schultink, Paul Matulessi, Rainer Gross, and Soemilath Sastroamidjojo. (1993). “Decreased Rate of Stunting among Anemic Indonesian Preschool Children through Iron Supplementation.” American Journal of Clinical Nutrition 58(3): 339- 42.
Arnold, B., and J. Colford., (2007). Treating Water with Chlorine at Point-of-Use to Improve Water Quality and Reduce Diarrhea in Developing Countries: A Systematic Review and Meta-Analysis. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene 76(2): 354–64.
Aturupane, H., A.B.Deolalikar and D.Gunewardena, (2011). “Determinants of Child Weight and Height in Sri Lanka: A Quantile Regression Approach”, Health Inequality and Development, edited by M. McGillivray, I. Dutta and D. Lawson, United Nations University.
Barber, S., and P. Gertler (2002) “Child health and the quality of medical care.” Mimeo.
Becker, G. S. (1981): A Treatise on the Family. Harvard University Press, Cambridge, MA.
Behrman, J. R., and A. B. Deolalikar (1988): Health and Nutrition vol. 1 of Handbook of Development Economics, chap. 14, pp. 631–711. Elsevier Science.
Behrman, J., and B. Wolfe. 1987. “How Does Mother’s Schooling Affect Family Health, Nutrition, Medical Care Usage, and Household Sanitation?” Journal of Econometrics 36(1–2):185–204.
Behrman, Jere R and Anil B. Deolalikar (1987). “Will Developing Country Nutrition Improve with Income? A Case Study for Rural South India”, Journal of Political Economy 95(3):108-138
Bhargava, Alok. (1992). “Malnutrition and the Role of Individual Variation with Evidence from the India and the Philippines. Journal of the Royal Statistical Society, Series A (Statistic in Society) 155 (2): 221- 231.
Borooah, V. A. (2005). ‘The height-for-age of Indian children’, Economics and Human Biology, 3, 45-65.18
Bouis, H. E. (1994). The effect of income on demand for food in poor countries: Are our food consumption databases giving us reliable estimates? Journal of Development Economics Vol.44: 199-226.
Boyle, M., Y. Racine, K. Georgiades, D. Snelling, S. Hong, W. Omariba, P. Hurley, and P. Rao-Melacini. (2006). “The Influence of Economic Development Level, Household Wealth and Maternal Education on Child Health in the Developing World.” Social Science & Medicine 63:2242–54.
BROCKERHOFF, M. and L.F. DEROSE (1996): “Child survival in East Africa: The impact of preventive health care,” World Development, 24, 1841-1857.
Cebu Study Team. (1992). “A Child Health Production Function Estimated from Longitudinal Data.” Journal of Development Economics 38(2): 323-51.
Christiaensen, L., and Alderman, H., (2004). Child malnutrition in Ethiopia: can maternal knowledge augment the role of income?. Economic Development and Cultural Change 52(2), 287-312.
Clasen, T., W. Schmidt, T. Rabie, I. Roberts, and S. Cairncross. (2007). Interventions to Improve Water Quality for Preventing Diarrhoea: Systematic Review and Meta-Analysis. British Medical Journal 334: 782–91.
Conde-Agudelo A, Rosas-Bermudez A, Kafury-Goeta AC (2007) Effects of birth spacing on maternal health: a systematic review. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 196: 297–308.
Curtis, V. & Cairncross, S. (2003). Effect of washing hands with soap on diarrhoea risk in the community: a systematic review. The Lancet Infectious Diseases. 3(5), 275-281.
Cutler, David M., and Grant Miller (2005). “The Role of Public Health Improvements in Health Advances: The Twentieth-Century United States,” Demography 42, no. 1 (February 2005): 1-22. Development, 18, 1635-1653.
Dewey K. and Cohen R. (2007) “Does birth spacing affect maternal or child nutritional status? A systematic literature review”. Maternal & Child Nutrition vol.3, No.3, 151–173.
Filmer, L., and L. Pritchett (1998): “Estimating wealth effects without expenditure data – or tears : with an application to educational enrollments in states of India”, World Bank Policy Research Working Paper no. 1994.
Fiszbein, Ariel, and Norbert Schady. (2009). Conditional Cash Transfers: Reducing Present and Future Poverty. Washington, DC: World Bank.
Foster, Phillips. (1992). The world food problem: tackling the causes of undernutrition in the third world. Boulder: Lynne Rienner Publishers, Inc.
Gibson, J. and S. Rozelle (2002). How elastic is Calorie Demand? Parametric, Nonparametric, and Semi-parametric Results for Urban Papua New Guinea. Journal of Development Studies 38(6): 23-46.19
Glewwe, P., (1999). Why does mother’s schooling raise child health in developing countries? Evidence from Morocco. Journal of human resources 34(1), 124-159.
Gopalan, G. 1992. “Undernutrition: Measurement and Implications.” In Nutrition and poverty. New York: Oxford University Press Inc.
Guilkey, D., and R. T. Riphahn. 1998. “The Determinants of Child Mortality in the Philippines: Estimation of a Structural Model.” Journal of Development Economics 56(2):281–305.
Haddad, L., Alderman, H., Appleton, S., Song, L., Yohannes, Y., (2003). Reducing child malnutrition: How far does income growth take us?. The World Bank Economic Review 17(1), 107.
Haddad, L., and J. Hoddinot (1994): “Woman’s income and boy-girl anthropomorphic states in Cote d’Ivoire,” World Development, 22, 543-553.
Hien, N and, Kam S (2008) Nutritional status and the characteristics related to malnutrition in children under five years of age in Nghean, Vietnam. Journal of Preventive Medicine & Public Health 41(4): 232–240.
Hoddinott (1997). “Water, Health, and Income: A Review.” Food Consumption and Nutrition Division Discussion Paper No. 25. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C.
Hodge A, Firth S, Marthias T, Jimenez-Soto E (2014) Location Matters: Trends in Inequalities in Child Mortality in Indonesia. Evidence from Repeated Cross-Sectional Surveys. PLoS ONE 9(7): e103597. doi:10.1371/journal.pone.0103597.
Hong, R., and V. Mishra. 2006. “Effect of Wealth Inequality on Chronic Undernutrition in Cambodian Children.” Journal of Health Population and Nutrition 24(1):89–99.
Hong, R., J. Banta, and J. Betancourt. 2006. “Relationship between Household Wealth Inequality and Chronic Childhood Under-nutrition in Bangladesh.” International Journal for Equity in Health 5:15.
Howlader, A. A. and M. U. Bhuiyan (1999) “Mothers’ health-seeking behaviour and infant and child mortality in Bangladesh,” Asia-Pacific Population Journal, 14, 59-75.
Indonesia, Ministry of Health. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Keys A, Brozek J, Henschel A, Mickelsen O & Taylor HL (1950) The Biology of Human Starvation. Oxford, MN: University of Minnesota Press.
Klasen, S. (2008), “Poverty, undernutrition, and child mortality: Some interregional puzzles and their implications for research and policy,” Journal of Economic Inequality, 6, 89–115.20
Koenker, R. and Bassett, G. (1978), “Regression quantiles”, Econometrica, Vol. 46, pp. 33-50.
Kremer, M., J. Leino, E. Miguel, and A. Zwane. (2009). Spring Cleaning: Rural Water Impacts, Valuation, and Institutions. NBER Working Paper, no. 5280. Cambridge, MA, USA: National Bureau of Economic Research.
Lavy, Victor, John Strauss. Duncan Thomas and Philippe de Vreyer. (1996). “Quality of Health Care, Survival and Health Outcomes in Ghana” Journal of Health Economics, 15: 333-357.
Lewis, S.A. and J.R. Britton, 1998. “Consistent effects of high socioeconomic status and low birth order, and the modifying effect of maternal smoking on the risk of allergic disease during childhood”, Respiratory Medicine, 1998 Oct, 92(10):1237-44.
Lin, A., et al. (2013). Household environmental conditions are associated with enteropathy and impaired growth in rural Bangladesh. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 89(1), 130-137.
Mani, S. (2014), Socioeconomic Determinants of Child Health: Empirical Evidence from Indonesia. Asian Economic Journal, 28: 81–104. doi: 10.1111/asej.12026.
Masset, E. and H. White (2003): “Infant and Child Mortality in Andhra Pradesh: Analysing changes over time and between states,” Young Lives Working Paper No. 8.
Mosley, W. H., and L. C. Chen. 1984. “An Analytical Framework for the Study of Child Survival in Developing Countries.” Population and Development Review 10 (Supplement):25–45.
Myers, R. (1988). “Effects of Early Childhood Intervention on Primary School Progress and Performance in Developing Countries: An Update, 1985. The High Scope Educational Research Foundation, 1988.
Park, C. (2010), “Childrens Health Gradient in Developing Countries: Evidence From Indonesia”. Journal of Economic Development, Volume 35, Number 4, December 2010.
Peabody, J., Gertler, P. and A. Leibowitz (1998) “The policy implications of better structure and process on birth outcomes in Jamaica” Health Policy 43(1), 1-13.
Pitt, M. M., and M. R. Rosenzweig (1985): “Health and Nutrient Consumption Across and Within Farm Households,” Review of Economics and Statistics, 67(2), 212–223.
Ramalingaswami, V., Jonsson, U., and Rode, J. (1996), “The Asian enigma,” in The Progress of Nations, 1996: The Nations of the World Ranked Accordingto Their Achievements in Child Health, Nutrition, Education, Family Planning, and Progress for Women., ed. Adamson, P., New York.
Roemling, C., and M. Qaim. (2012). Obesity Trends and Determinants in Indonesia. Appetite 58 (3): 1005–13.
Sahn, D. E. (1990): “The impact of export crop production on nutritional status in Cote d’Ivoire,” World 21
Sahn, D.E. and D.C. Stifel (2003) Exploring Alternative Measures of Welfare in the Absence of Expenditure Data, Review of Income and Wealth, 14(4): 463–89.
Sandiford, P., J. Cassel, M. Montenegro, and G. Sanchez. 1995. “The Impact of Women’s Literacy on Child Health and its Interaction with Access to Health Services.” Population Studies 49(1):5–17.
Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, et al. (2008) Effect of parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a cross-sectional study. Lancet 371: 322–328.
Shrimpton R. (2012). The Double Burden of Malnutrition in Indonesia. The World Bank. Jakarta, Indonesia.
Smith L.C. and Haddad L., (1999). Explaining Child malnutrition in developing countries: A cross-country analysis, FNCD Discussion paper No.6, IFPRI, Washington D.C.
Sparrow, R.; Suryahadi, A.; Widyanti, W, (2010). Social Health Insurance for the Poor: Targeting and Impact of Indonesia’s Askeskin Program; The SMERU Research Institute: Jakarta.
Spears, D. (2013). How much international variation in child height can sanitation explain? Policy Research Working Paper 6351. World Bank, USA.
Ssewanyana, S.N. (2003) Food Security and Child Nutrition Status among Urban Poor Households in Uganda: Implications for Poverty Alleviation. African Economic Research Consortium, Research Paper 130
Stevens GA, Finucane MM, Paciorek CJ, Flaxman SR, White RA, Donner AJ, Ezzati M (2012), on behalf of Nutrition Impact Model Study Group (Child Growth). Trends in mild, moderate, and severe stunting and underweight, and progress towards MDG 1 in 141 developing countries: a systematic analysis of population representative data. Lancet. 2012; 380:824 — 34.
Strauss, J. (1990), “Households, communities and preschool child nutrition outcomes: Evidence from rural Côte d’Ivoire”, Economic Development and Cultural Change, 38(2):231-261.
Strauss, J. and D. Thomas (1995) ‘Human resources: Empirical Modeling of Household and Family Decisions’, in J. Behrman and T.N. Srinivasan (eds), Handbook of Development Economics, vol. 3. Amsterdam; North-Holland.22
Strauss, J., and D. Thomas (1998): “Health, Nutrition and Economic Development,” Journal of Economic Literature, 36(2), 766–817.
Strauss, J., Beegle, K., Sikoki, B., Dwiyanto, A., Herawati,Y. andWitoelar, F. (2004). The ThirdWave of the Indonesian Family Life Survey (IFLS3): Overview and Field Report, WR-144/1-NIA/NICHD, the RAND Corporation.
Subramanian, S. and Deaton, A. (1996): The Demand for Food and Calories. Journal of Political Economy, 104 (1).
Subramanyam MA, Kawachi I, Berkman LF, Subramanian SV (2011). Is economic growth associated with reduction in child undernutrition in India? PLoS Med 2011;8:e1000424. doi: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pmed.1000424 PMID:21408084.
Suharyo, W., and and Grede, N., (2014). “The next Indonesian government should focus on reducing stunting”, The Opinion, Jakarta Post. October 2014.
Svedberg, P. (1990). Undernutrition in Sub-Saharan Africa: Is there a gender bias?. The Journal of Development Studies 26(3), 469-486.
Thomas, D., and Strauss, J., 1993. Prices, infrastructure, household characteristics and child height. Journal of Development Economics 39, 301–331.
Thomas, D., Lavy, V., Strauss, J. (1996). Public policy and anthropometric outcomes in Cote d’Ivoire. Journal of Public Economics 61, 155–192.
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith. (2003). Economic development. 8th ed. Singapore: Pearson Education.
Trapp, Erin, M., and J. Menken (2005): “Assessing Child Nutrition: Problems with Anthropometric Measures as a Proxy for Child Health in Malnourished Populations,” Working Paper, Research Program on Population Processes, Institute of Behavioral Sciences, University of Colorado, Boulder.
UNICEF - United Nations Children’s Fund. (2010). Progress for Children: Achieving the MDGs with Equity. New York: United Nations. New York.
UNICEF-United Nations Children’s Fund (1990). “Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in Developing Countries.” United Nations. New York.
UNICEF-United Nations Children’s Fund (2013). Improving Child Nutrition - The achievable imperative for global progress. United Nations. New York
UNICEF-United Nations Children’s Fund (2014). Committing to Child Survival: A Promise Renewed – Progress Report 2014. United Nations. New York.
Van de Poel E, Hosseinpoor AR, Speybroeck N, Van Ourti T, Vega J (2008) Socioeconomic inequality in malnutrition in developing countries. Bulletin of the World Health Organization 86(4): 282–291.
Wagstaff, A., Van Doorslaer, E., Watanabe, N., 2003. On decomposing the causes of health sector inequalities with an application to malnutrition inequalities in Vietnam. Journal of Econometrics 112(1), 207-223.23
WHO - World Health Organization (2008). Safer Water, Better Health: Costs, Benefits, and Sustainability of Interventions to Protect and Promote Health. Geneva.
World Bank (2008). Investing in Indonesia’s Health: Challenges and Opportunities for Future Public Spending. Health Public Expenditure Review. The World Bank. Jakarta, Indonesia.
Zere, E., and McIntyre, D. (2003). Inequities in under-five child malnutrition in
South Africa. International Journal for Equity in Health 2(7).