Upload
stan
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Judul Essay:
“Cost Recovery Ditinjau dari Aspek Hukum Pajak Pertambahan Nilai dan Keadilan”
Paper ini disusun sebagai pengganti ujian tengah semester untuk mata kuliah Seminar Perpajakan.
iii
Forewords
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah terutama nikmat
kesempatan dan kesehatan sehingga Tim Penulis dapat menyelesaikan paper berjudul “Cost Recovery
Ditinjau dari Aspek Hukum Pajak Pertambahan Nilai dan Keadilan” ini. Shalawat dan salam tak lupa
kami sampaikan kepada junjungan kita, Baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan pedoman
hidup dan teladan kepada kita semua.
Paper ini disusun sebagai bentuk penugasan untuk mata kuliah Seminar Perpajakan di program
studi Diploma IV Akuntansi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada semester IX. Dalam penyusunan
paper ini Penulis mendapatkan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai
pihak, terutama kepada Bapak I Nyoman Widia dan Bapak Amin Subiyakto selaku Dosen Seminar
Perpajakan atas bimbingan dan dukungannya. Demikian pula dengan rekan-rekan di kelas 9-A Reguler
dan pihak-pihak lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satupersatu, terima kasih atas setiap bantuan
dan kerjasamanya.
Akhirnya, Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan baik terkait susunan maupun
substansi paper ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dari para pembaca sekalian demi kesempurnaan dan kelayakan paper ini dalam menambah khasanah
pengetahuan kita bersama.
Tangerang Selatan, Juni 2014
Penulis
1
Pengantar
Indonesia sejatinya adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, tidak terkecuali minyak
bumi, gas bumi, dan panas bumi. Permasalahannya ialah Indonesia belum memiliki teknologi yang
mumpuni untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Dalam hal ini,
pemerintah memerlukan peran pihak asing dalam melakukan ekplorasi dan eksploitasi migas untuk
membantu menyokong perekonomian nasional. Untuk meraih minat investor asing tersebut,
pemerintah mengeluarkan berbagai macam kebijakan yang dipandang menguntungkan mereka.
Termasuk di antara kebijakan-kebijakan tersebut ialah kebijakan cost recovery.
Cost recovery sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Mekanisme cost recovery telah lama
dikenal di sektor pertanian sebagai mekanisme “paron”, yaitu kerjasama antara pemilik lahan dengan
pengolah lahan dengan perjanjian bagi hasil pada masa panen setelah dikurangi biaya-biaya (paron)
yang terjadi selama masa pengolahan lahan. Sejalan dengan itu, di sektor migas cost recovery
didefinisikan sebagai biaya yang dibayarkan pemerintah kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(selanjutnya disebut Kontraktor KKS) untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor
KKS dalam kegiatan hulu migas selama melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan pengembangan blok
migas yang dikerjakan. Istilah cost recovery ini digunakan dalam segala jenis kontrak migas yang
diterapkan hanya terdapat perbedaan nama saja dalam setiap sistem.
Cost recovery ini merupakan biaya yang menjadi pengurang dari penghasilan dari kegiatan hulu
migas yang diperoleh yang nantinya akan dibagi antara pemerintah dengan kontraktor KKS
berdasarkan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Di Indonesia sendiri, besarnya cost
recovery yang dibayarkan oleh pemerintah kepada kontraktor KKS semakin lama semakin meningkat.
Pada tahun 2013 misalnya, besaran cost recovery yang dibebankan adalah sebesar US$ 15,6 Milyar
atau sekitar Rp 147 trilyun!
Dalam perkembangannya, cost recovery ini terus menjadi hot issue bagi para pemegang
kepentingan yaitu bagi pemerintah dalam bentuk penerimaan migas dan PPh migas maupun bagi
kontraktor KKS. Kontraktor KKS berusaha untuk mengklaim biaya-biaya yang telah dikeluarkan
sebanyak mungkin dalam kegiatan usaha hulu migas agar dapat di cover dalam cost recovery. Di sisi
lain, pemerintah berusaha untuk menekan cost recovery agar baik penerimaan migas maupun
penerimaan PPh Migas dapat meningkat. Upaya menekan cost recovery ini dilakukan karena disinyalir
ada beberapa kontraktor KKS yang menyalahgunakan cost recovery dengan membebankan biaya-biaya
yang semestinya tidak dibebankan. Namun di sisi lain, beberapa ahli berpendapat bahwa justru
seharusnya besarnya cost recovery ini sebaiknya ditingkatkan.
2
Para ahli berpendapat bahwa cost recovery merupakan sebuah investasi sehingga semakin besar
cost recovery yang ditanggung oleh pemerintah maka semakin besar investasi yang ditanamkan oleh
pemerintah ke dalam kegiatan usaha hulu migas. Selain itu, terkait biaya-biaya yang dapat
dikembalikan oleh pemerintah sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan di Bidang
Usaha Hulu Migas. Namun, masih ada perdebatan-perdebatan yang terjadi antara pemerintah dengan
kontraktor mengenai biaya-biaya apa saja yang dapat ditanggung dalam cost recovery, salah satunya
adalah biaya Corporate Social Responsibility (CSR).
Cost Recovery Ditinjau dari Aspek Hukum Pajak Pertambahan Nilai
Sebagaimana diatur dalam pasal 4A ayat (2) Undang-Undang PPN 1984, barang hasil
pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya merupakan Barang Tidak Kena
Pajak. Termasuk dalam barang hasil pertambangan atau pengeboran tersebut adalah minyak mentah
(crude oil) dan gas bumi. Karena minyak mentah dan gas bumi bukan merupakan Barang Kena Pajak,
maka kontraktor KKS bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagaimana dijelaskan dalam
undang-undang PPN 1984. Sebagai konsekuensi logis Kontraktor KKS bukan PKP, Kontraktor KKS tidak
boleh melakukan kewajiban dari PKP berupa menerbitkan Faktur Pajak, serta tidak wajib melaporkan
SPT Masa PPN sebagaimana diatur dalam undang-undang PPN 1984.
Sampai pada tahun 2010 keluar Peraturan Menteri Keuangan nomor 73/PMK.03/2010 yang
menunjuk Kontraktor KKS pengusahaan minyak dan gas bumi sebagai pemungut PPN. Konsekuensi
dari penunjukannya ini, Kontraktor KKS dari yang semula tidak wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN, menjadi wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang dipungut dari
rekanan sejalan dengan Pasal 16A Undang-Undang PPN 1984. Dalam PMK tersebut diatur secara rinci
mengenai kewajiban Kontraktor KKS sebagai pemungut PPN terutama dalam hubungannya dengan
rekanan. Akibatnya, setiap transaksi antara Kontraktor KKS dengan rekanan, misalnya dalam
pembelian alat-alat eksplorasi/eksploitasi migas, Kontraktor KKS wajib memungut PPN sebesar 10%
dari dasar pengenaan pajak atas transaksi tersebut dan melaporkannya melalui SPT PPN 1107 PUT.
Kemudian muncul pertanyaan besar di benak kita, siapa yang
menanggung PPN atas pembelian alat-alat eksplorasi atau eksploitasi
tersebut? Apakah Kontraktor KKS? Atau Pemerintah?
3
Jawaban atas pertanyaan tersebut cukup rumit. Jadi mekanisme yang berlaku di tahun-tahun
anggaran terdahulu (2011 ke bawah), Pajak Pertambahan Nilai atas Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI)
barang untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi migas serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi adalah
dilakukan dengan mekanisme PPN Ditanggung Pemerintah (DTP). Ini diatur melalui Peraturan Menteri
Keuangan yang diterbitkan setiap tahun anggaran, misalnya untuk tahun anggaran 2011 diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011.
Dalam PMK tersebut, diatur bahwa PPN ditanggung pemerintah diberikan terhadap barang yang
nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta eksplorasi
panas bumi dengan ketentuan:
a. Barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri;
b. Barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang
dibutuhkan; dan
c. Barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi
kebutuhan industri.
Apa itu PPN Ditanggung Pemerintah?
Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah dalam kegiatan usaha hulu migas berarti Pajak
Pertambahan Nilai terutang atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu
eksplorasi minyak dan gas bumi serta panas bumi oleh pengusaha di bidangnya adalah ditanggung oleh
Pemerintah. Konsep PPN Ditanggung Pemerintah sebenarnya merupakan salah satu fasilitas di bidang
PPN yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak. Sebelum 1 Januari 1995, sebenarnya terdapat
enam fasilitas di bidang PPN, yaitu:
1. Penangguhan pembayaran PPN dan PPnBM;
2. Penundaan pembayaran PPN dan PPnBM;
3. PPN dan PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP);
4. PPN dan PPnBM Dibayar oleh Pemerintah;
5. PPN dan PPnBM tidak dipungut; dan
6. PPN dan PPnBM dibebaskan.
Dari keenam fasilitas tersebut terus mengerucut dalam setiap amandemen undang-undang PPN
1984, yang pada akhirnya menyisakan dua fasilitas saja dalam amandemen terbaru (per 1 Januari
2001), yaitu pajak terutang tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan pajak.
4
Lalu, bagaimana bisa Fasilitas PPN DTP masih diterapkan dalam eksplorasi
hulu migas?
Pertanyaan tentu muncul di logika kita masing-masing, bagaimana bisa fasilitas yang telah lama
dihapuskan di undang-undang justru masih diterapkan di peraturan tingkatan hierarki di bawahnya
(Peraturan Menteri Keuangan). Sebagaimana secara singkat telah saya jelaskan sebelumnya, fasilitas
PPN Ditanggung Pemerintah telah tidak berlaku sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai. Artinya, per 1 Januari 2000, fasilitas ini telah dicabut dan seharusnya tidak ada lagi
dalam bidang Pajak Pertambahan Nilai yang kita terapkan. Namun kenyataannya, masih ada
pengecualian (eksepsi) dalam bentuk penerapan fasilitas PPN DTP untuk kegiatan usaha eksplorasi
hulu migas dan panas bumi. Ini tentu menunjukkan inkonsistensi hukum dari segi perundang-
undangan. Menurut kaidah hukum, peraturan level di bawah seharusnya konsisten dengan peraturan
level di atasnya. Contoh eksepsi di kegiatan eksplorasi migas merupakan penerapan yang inkonsisten
dan tidak tepat selama ini. Dengan berpayung pada asas hukum lex specialis derogate lex generalis,
PMK yang terbit secara tahunan ini dibenarkan untuk dapat dilaksanakan.
Menurut saya pribadi, penerapan yang ada selama ini itu tidaklah benar dan tidak bisa
dibenarkan dengan cara apapun. Peraturan hukum harus dibuat secara konsisten satu sama lain,
bukannya saling menolak ataupun bertentangan. Dalam amandemen kedua Undang-Undang PPN
1984 secara tegas dinyatakan dalam Pasal 16B ayat (2) dan (3) sebagai berikut:
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
Artinya, Undang-Undang PPN 1984 pascaamandemen kedua seharusnya tidak lagi mengenal
fasilitas PPN selain fasilitas PPN tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan PPN.
Lantas bagaimana kelanjutannya?
Dalam pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang APBN-Perubahan 2011
tertanggal 10 Agustus 2011 disebutkan bahwa pemerintah tidak lagi menanggung PPN DTP atas PDRI
eksplorasi hulu migas. Otomatis, undang-undang itu menganulir Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2011 yang mengalokasikan PPN DTP atas PDRI eksplorasi hulu
5
mugas senilai 2,5 triliun rupiah. Undang-undang APBN-P 2011 ini seolah-olah menjadi jawaban atas
apa yang saya sampaikan di atas bahwasanya sejak amandemen kedua Undang-Undang PPN 1984
tidak lagi dikenal mekanisme PPN DTP, yang ada hanya PPN tidak dipungut atau dibebaskan PPN-nya.
Keluarnya Undang-Undang APBN-P 2011 tersebut tentu mendapatkan reaksi yang luar biasa
terutama dari Kontraktor KKS. Bagaimana tidak, PPN eksplorasi yang semula ditanggung pemerintah
menjadi tidak ditanggung lagi. Salah satu pihak yang menyuarakan keluhannya adalah Eddy Tampi,
Chairman PT Sele Raya, perusahaan migas lokal. Beliau berpendapat, “PPN 10% adalah beban yang
sangat berat untuk investor, karena bisnis ini adalah bisnis yang sangat uncertain, penuh
ketidakpastian.”
Senada dengan itu, eks-kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini menyatakan, "Kegiatan eksplorasi
harusnya jangan dibebani pajak dulu. Sementara kita tahu, pajak itu untuk sebuah kegiatan yang sudah
menghasilkan bahkan sudah untung. Selama eksplorasi, keuntungan belum tentu diperoleh, tidak
pantas dikenai pajak.”
Kekhawatiran kontraktor migas ini kemudian terjawab melalui terbitnya
PMK nomor 27/PMK.011/2012.
Apa sih isinya?
Peraturan Menteri Keuangan nomor 27/PMK.011/2012 merupakan perubahan kedua atas
Keputusan Menteri Keuangan nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan PPN dan PPnBM atas impor
Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk. Dengan dikeluarkannya Peraturan
Menteri Keuangan ini terdapat penambahan poin pada Pasal 2 ayat (3) mengenai Barang Kena Pajak
yang dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk, yaitu pada poin (m):
m. Barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi
Kemudian terdapat penambahan ayat (4) pada pasal tersebut yang berbunyi:
(4) Fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat diberikan terhadap Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf m sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut.
a. barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negeri; b. barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun belum memenuhi spesifikasi
yang dibutuhkan; atau
6
c. barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.
Implikasi legal dari dikeluarkannya PMK-27/PMK.011/2012 ini adalah:
1) Impor atas barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu migas dan panas
bumi dibebaskan dari pungutan Bea Masuk; dan
2) Pemberian fasilitas tidak dipungut atas PPN dan PPnBM atas impor barang-barang tersebut
di poin 1.
Ini tentu merupakan kabar gembira bagi seluruh kontraktor KKS, karena akhirnya mendapatkan
kepastian hukum dari pemerintah seputar tanggungan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang
untuk kegiatan eksplorasi hulu migas.
Insentif ini bahkan diperluas lagi oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Menterian
Keuangan nomor 70/PMK.011/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan
nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan PPN dan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak yang
dibebaskan dari pungutan Bea Masuk. Pada peraturan tersebut, Pasal 2 ayat (2) diperluas dengan cara
menambahkan poin (n), yang isinya adalah sebagai berikut.
n. Barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksploitasi hulu minyak dan gas bumi
Melalui PMK teranyar ini, fasilitas PPN dan PPnBM tidak dipungut serta pembebasan Bea Masuk
Impor diperluas tidak hanya atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan eksplorasi, tetapi
juga atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan eksploitasi. Bahkan, ayat (4) pasal tersebut
tidak diubah redaksinya, meskipun telah dilakukan penambahan poin (n) di ayat (3) pasal tersebut.
Artinya apa? Artinya atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan eksploitasi tidak dibatasi
sama sekali, berbeda dengan kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi. Dengan demikian, seluruh
impor barang untuk eksploitasi hulu migas akan dikenakan fasilitas PPN dan PPnBM tidak dipungut
menurut isi Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pertanyaan terakhir, apa implikasi lebih lanjut dari munculnya peraturan
tersebut?
Dampak yang bisa dirasakan langsung dari hadirnya peraturan ini adalah kepastian hukum bagi
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas. Mereka tidak perlu lagi menunggu peraturan menteri keuangan
yang diterbitkan secara tahunan untuk memberikan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah terhadap
PPN yang harus mereka pungut dari kegiatan impor dengan rekanan.
7
Dampak selanjutnya, dan saya percaya ini adalah yang paling penting, ialah tidak ada lagi
ketidakkonsistenan dalam konstelasi peraturan Pajak Pertambahan Nilai seperti apa yang selama ini
telah kita praktikkan di periode anggaran 2000 sampai dengan 2011. Fasilitas PPN Ditanggung
Pemerintah resmi dihapuskan, dan digantikan dengan fasilitas PPN tidak dipungut yang konform
dengan Pasal 16B ayat (2) Undang-Undang PPN 1984.
Kepastian hukum dan kekonsistenan aturan sebagaimana saya jelaskan di atas merupakan dua
aspek penting yang akan sangat mempengaruhi moral Kontraktor KKS, mengingat mereka sangat
membutuhkan kedua hal ini. Ketidakpastian dalam proses eksplorasi hulu migas menjadi alasan utama
mengapa munculnya peraturan ini diyakini akan meningkatkan produktivitas para kontraktor migas
tersebut dalam menunjang perekonomian negara dari sektor migas.
Hanya saja, ternyata dari sisi keadilan, penerbitan Peraturan Menteri Keuangan terakhir (PMK-
70/PMK.011/2013) diyakini “terlalu” menguntungkan pihak kontraktor KKS migas. Penambahan
fasilitas tidak hanya terbatas pada kegiatan eksplorasi saja, tetapi juga untuk kegiatan eksploitasi.
Padahal sebagaimana yang diketahui umum, risiko yang terbesar pada industri migas ada pada
kegiatan eksplorasi, bukan kegiatan eksploitasi. Saya dapat memahami spirit dan maksud pemberian
fasilitas PPN dan PPnBM tidak dipungut untuk kegiatan eksplorasi hulu migas, sebab memang terdapat
begitu banyak risiko/ketidakpastian pada kegiatan eksplorasi. Risiko tersebut begitu luas dan hadir
dalam bentuk sumur yang digali tidak mempunyai cadangan minyak mentah, mempunyai cadangan
minyak tetapi tidak sesuai yang diharapkan, peralatan pengeboran rusak selama padahal masa
pengeboran belum selesai, bencana alam terjadi selama masa eksplorasi, dan sebagainya. Begitu luas.
Namun demikian, bagaimana dengan kegiatan eksploitasi? Menurut saya pribadi, risiko yang
ditanggung kontraktor KKS terkait kegiatan eksploitasi hulu migas tidak begitu besar. Kegiatan
eksploitasi migas adalah kegiatan pengolahan minyak dan gas bumi yang berasal dari kegiatan
eksplorasi. Untuk itu, saya tidak sependapat dengan isi Peraturan Menteri Keuangan nomor
70/PMK.011/2013 yang secara formal memberikan fasilitas PPN dan PPnBM tidak dipungut serta
pembebasan Bea Masuk pada impor barang untuk kegiatan eksploitasi hulu minyak dan gas bumi.
Menrut saya ini sangat tidak adil dan cenderung menguntungkan pihak kontraktor KKS migas (yang
telah banyak diuntungkan oleh mekanisme cost recovery) dan sangat merugikan masyarakat Indonesia
secara umum.
Demikian pendapat pribadi yang dapat saya sampaikan melalui essay singkat saya ini. Semoga
ada manfaatnya bagi pengembangan khasanah pengetahuan kita bersama ke depannya.
Sekian.
***
8
Daftar Referensi
Sukardji, Untung. 2011. “Pokok-Pokok PPN Indonesia: Edisi Revisi 2011”. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang Dibebaskan Dari
Pungutan Bea Masuk.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.011/2012 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang Dibebaskan Dari
Pungutan Bea Masuk.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.011/2013 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak yang Dibebaskan Dari
Pungutan Bea Masuk.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan
Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung
Pemerintah atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi serta
Kegiatan Usaha Eksplorasi Panas Bumi untuk Tahun Anggaran 2011.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun Anggaran 2011.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2011.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Pertama Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Paper kelompok tentang Cost Recovery dari Kelas 9A Reguler DIV Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara, dengan segala referensi terkait.
http://m.bisnis.com/industri/read/20121219/44/110654/ppn-10-percent-dikeluhkan-perusahaan-
pertambangan Diakses pada tanggal 18 Juni 2014.
http://www.jurnas.com/news/91031/PPn_Eksploitasi_Migas_Dibebaskan_Kontraktor_akan_Nyaman
_2013/1/Ekonomi/Ekonomi Diakses pada tanggal 18 Juni 2014.