Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HEMORRHAGIC POST PARTUM
Oleh :
dr. Primadella Fegita
Pembimbing :
dr. Pom Harry Satria, Sp. OG (K)
BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD SUNGAI DAREH
2016
HEMORRHAGIC POST PARTUM : SYOK HEMORRHAGIC ec LATE HEMORRHAGIC POST PARTUM
Primadella Fegita, Pom Harry Satria
Bagian / SMF Obstetri dan GinekologiFakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUD Sungai Dareh Dharmasraya / RSUP Dr. M. Djamil Padang
AbstrakLatar Belakang : Kematian ibu terjadi sebagai akibat dari komplikasi selama dan setelah kehamilan dan persalinan. Sebanyak 80 % kematian ibu di dunia disebabkan perdarahan berat (terutama perdarahan setelah persalinan), infeksi, tekanan darah tinggi selama kehamilan. Menurut data Kementrian Kesehatan tahun 2010, perdarahan menempati presentasi tertinggi penyebab kematian ibu di Indonesia yaitu sebesar 28 %.Kasus : Seorang wanita, 31 tahun, datang dengan penurunan kesadaran dan perdarahan banyak dari kemaluan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, nadi teraba cepat dan halus. Pasien sebelumnya melahirkan di rumah ditolong bidan 10 hari yang lalu, kakak anak lahir 30 menit setelah anak lahir dan kesan diakui bidan lengkap. Perdarahan selama 10 hari masa nifas berwarna merah segar, berbongkah-bongkah, membasahi 4-5 pembalut sehari, agak berbau. Pasien dilakukan resusitasi dengan pemasangan IUVD 2 jalur dengan cairan RL dan FIMAHES diguyur setelah itu diberikan cairan berisi uterotonika, obat anti perdarahan, dan dilakukan transfusi darah. Setelah pasien mengalami perbaikan keadaan umum dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu USG , ditemukan hasil adanya sisa plasenta. Diagnosa akhir pada pasien ini Syok Hemoragik Teratasi ec Late HPP ec Sisa plasenta + Anemia Sedang (Hb 7,0 gr/dl).Diskusi : Pada kasus ini membuktikan bahwa HPP masih menjadi hal yang menakutkan sebagai penyebab kematian ibu. Kasus ini juga memperlihatkan pentingnya ANC dan perawatan masa nifas pada ibu. Dari kasus di atas didapatkan kesimpulan bahwa peran pembina wilayah untuk ANC dan perawatan masa nifas ibu belum maksimal, sehingga keadaan ibu sebelum persalinan juga tidak jelas baik itu status gizi maupun Hb ibu. Dalam hal ini dirasa perlu adanya alur rujukan untuk kasus emergensi, yaitu pengelompokkan kasus pada persalinan dengan komplikasi segera dilakukan pelaporan kasus ke DINKES untuk rujukan ke RS. Setelah perawatan di RS selesai, perawatan lanjutan atau postnatal care dilakukan sesuai jadwal. Pasien diantar kembali setelah selesai perawatannya, dan hasil rujukan dilaporkan kembali ke hotline Dinkes Kabupaten/kota.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indikator yang digunakan untuk menilai derajat kesehatan masyarakat yang
terpenting adalah Angka Kematian Ibu (AKI). AKI menggambarkan jumlah wanita
yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau
penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan,
melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan
lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.1
Menurut data dari WHO, setiap hari di dunia terjadi 800 ibu meninggal akibat
penyebab terkait kehamilan dan melahirkan. Sebanyak sembilan puluh sembilan persen
(99%) kematian tersebut terjadi di negara berkembang.2 Menurut Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 yang dirilis pada September 2013
menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu melonjak dari 228 menjadi 359 per 100 ribu
kelahiran3 yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan AKI terburuk dari negara-
negara miskin di Asia.4 Angka ini juga masih jauh dari target dalam Millenium
Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan angka kematian ibu hingga 102 dari
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 yang pada akhirnya tidak tercapai. Target-
target dalam MDGs ini kemudian dilanjutkan dalam bentuk program pembangunan
global selanjutnya yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam
program baru ini, angka kematian ibu ditargetkan menurun hingga mencapai 306 per
100.000 kelahiran hidup di tahun 2019 dan 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2030 mendatang. Sementara di Provinsi Sumatera Barat AKI dalam 6 tahun terakhir
cenderung menurun, dari 240 per 100 ribu kelahiran hidup tahun 2005 hingga 206 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010.5
Kematian ibu terjadi sebagai akibat dari komplikasi selama dan setelah
kehamilan dan persalinan. Sebanyak 80% kematian ibu di dunia disebabkan perdarahan
berat (paling sering perdarahan setelah persalinan), infeksi, tekanan darah tinggi selama
kehamilan (pre-eklampsia dan eklampsia) serta aborsi yang tidak aman.2 Perdarahan
postpartum adalah penyebab utama kematian ibu di negara berkembang dan penyebab
primer dari hampir seperempat dari seluruh kematian ibu secara global.2 Menurut data
Kementerian Kesehatan tahun 2010, perdarahan menempati persentase tertinggi
penyebab utama kematian ibu di Indonesia yaitu sebesar 28% dan diikuti oleh
eklampsia 24% dan infeksi 11%.6
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana tatalaksana yang tepat pada perdarahan postpartum dan
komplikasinya?
b. Bagaimana perawatan selama masa nifas yang baik untuk menghindari
terjadinya komplikasi pasca persalinan?
c. Bagaimana peran pelayanan antenatal terpadu dalam mengantisipasi kejadian
perdarahan postpartum?
d. Bagaimana hubungan faktor risiko dari segi sosial ekonomi terhadap perdarahan
yang dialami pada kasus ini?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Mengetahui tatalaksana yang tepat pada perdarahan postpartum dan
komplikasinya
b. Mengetahui cara perawatan pada masa nifas yang baik terutama untuk mencegah
terjadinya komplikasi pasca persalinan
c. Mengetahui peran pelayanan antenatal terpadu dalam mengantisipasi kejadian
perdarahan postpartum
d. Mengetahui hubungan faktor risiko dari segi sosial ekonomi terhadap
perdarahan yang terjadi pada kasus ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perdarahan Postpartum
2.1.1 Definisi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi setelah partus
(persalinan)1, sebanyak 500 ml pada persalinan per vaginam atau lebih dari 1000 ml
pada seksio sesarea.2
Persalinan terbagi dalam tiga tahap/kala. Kala 1 dimulai dari awal kontraksi
uterus hingga pembukaan serviks penuh (10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin
lewat. Kemudian pada kala 2 terjadi kelahiran bayi lengkap dengan usaha dorongan
secara aktif dari ibu, dilanjutkan dengan kala 3 yang berakhir dengan pengeluaran
plasenta.3Perdarahan postpartum biasanya terjadi setelah kala 3 persalinan.4
2.1.2 Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Klasifikasi perdarahan postpartum berdasarkan waktu terjadinya5:
1. Perdarahan Postpartum Primer (Early Hemorrhagic Postpartum)
Perdarahan postpartum primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah persalinan per vaginam.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder (Late Hemorrhagic Postpartum)
Perdarahan postpartum sekunder adalah perdarahan yang terjadi lewat dari 24
jam pertama hingga 12 minggu setelah persalinan.
2.1.2.1 Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan postpartum primer disebabkan oleh 4T, yaitu atonia uteri (Tonus),
retensio plasenta dan bekuan darah (Tissue), lesi/robekan jalan lahir (Trauma), dan
gangguan pembekuan darah (Thrombin).5
a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan keadaan dimana otot uterus (miometrium) gagal
berkontraksi pada tahap ke-3 persalinan, yaitu setelah bayi dilahirkan, sehingga
perdarahan dari tempat perlekatan arteri dan vena spiral plasenta terus terbuka. Kondisi
bahwa 1/5 dari curah jantung ibu hamil yaitu sekitar 1000ml/menit memasuki sirkulasi
uteroplasenta saat persalinan membuat perdarahan postpartum karena atonia uteri ini
dapat menghilangkan banyak darah ibu dalam waktu singkat. Hal ini yang membuat
atonia uteri menjadi penyebab paling sering kematian ibu oleh perdarahan postpartum
yaitu sekitar 75-90%.6
Penyebab pasti disfungsi kontraksi pada uterus ini masih belum diketahui secara
pasti. Tetapi pada banyak wanita hamil, atonia uteri paling tidak dapat diantisipasi
dengan baik pada kehamilan lanjut. Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan
dengan atonia uteri. Paritas tinggi sudah lama diketahui sebagai salah satunya, dimana
insiden perdarahan postpartum meningkat dari 0,3 pada paritas rendah menjadi 1,9 pada
paritas tinggi, dan 2,4 pada paritas 7 kali atau lebih.4
Uterus yang terdistensi berlebihan juga cenderung hipotonia setelah persalinan
oleh karena itu ibu hamil dengan janin besar, janin multipel, atau polihidramnion
memiliki risiko tinggi. Abnormalitas proses persalinan (distosia) juga cenderung atonia.
Sama seperti induksi persalinan dengan prostaglandin atau oksitoksin juga sering
disertai atonia.4
b. Retensio Plasenta
Pada kala tiga persalinan, miometrium berkontraksi mengikuti penyusutan
rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya
ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena tempat perlekatan menjadi semakin kecil,
sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat, menebal, dan
kemudian terlepas dari dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian
bawah uterus atau ke dalam vagina.22
Tanda-tanda lepasnya plasenta yaitu22 :
1) Perubahan bentuk dan tinggi fundus
Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai berkontraksi, uterus
berbentuk bulat penuh dan tinggi fundus biasanya di bawah pusat. Setelah uterus
berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti
buah pear atau alpukat dan fungud berada di atas pusat.
2) Tali pusat memanjang
Tali pusat akan menjulur keluar melalui vulva (tanda Ahfeld).
3) Semburan darah mendadak dan singkat
Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta
keluar dibantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah (retroplacental pooling)
dalam ruang di antara dinding uterus dan permukaan dalam plasenta melebih
kapasitas tampunya maka darah tersembut keluar dari tepi plasenta yang terlepas.
Dikatakan retensio plasenta jika plasenta belum lahir dalam setengah jam (30
menit) setelah anak lahir. Beberapa penyebab hal ini terjadi, yaitu7:
1) Fungsional
a) Kontraksi uterus kurang kuat
b) Tempat insersinya di segmen bawah tuba, bentuk plasenta membranasea
atau anularis dan ukuran plasenta yang kecil.
Retensio plasenta dikarenakan penyebab di atas disebut plasenta adhesiva.
2) Patologi-Anatomi4
a) Plasenta Akreta yaitu implantasi yang melekatterlalu erat secara
abnormal ke dinding uterus akibat ketiadaan total atau parsial desidua
basalis dan perkembangan yang tidak sempurna dari lapisan Nitabuch
atau fibrinoid sehingga vili plasenta melekat ke miometrium.
b) Plasenta Inkreta yaitu vili plasenta menembus ke dalam miometrium.
c) Plasenta Perkreta yaitu vili plasenta menembus seluruh miometrium
hingga ke serosa atau perimetrium.
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan.8Tetapi jika sebagian plasenta sudah lepas dan belum lahir,
akan timbul perdarahan yang banyak diperparah oleh keadaan plasenta yang masih
melekat pada dinding uterus tersebut juga mengganggu kontraksi uterus.6
c. Robekan Jalan Lahir
Proses persalinan selalu terkait dengan trauma jalan lahir termasuk uterus,
serviks, vagina, dan perineum. Cedera yang didapat saat persalinan dapat berkisar dari
robekan mukosa minor hingga laserasi yang menyebabkan perdarahan yang mengancam
jiwa.4Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani terputus),
robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra
serta bahkan yang paling berat yaitu ruptur uteri.8
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik semakin
memudahkan terjadinya robekan jalan lahir.8Penyebab traumatik pada persalinan
menyebabkan sekitar 20% dari kasus perdarahan postpartum.6
Robekan perineum dibagi atas 4 tingkat, yaitu22 :
1) Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum
2) Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan oto perinei
transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani
3) Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani
4) Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum
d. Gangguan Pembekuan Darah
Kelainan pembekuan darah kongenital dan didapat berperan signifikan pada
kejadian perdarahan postpartum primer tetapi jarang terjadi hanya sekitar 3%.Penyakit
von Willebrand merupakan contoh penyakit koagulopati yang penting yang dapat
meningkatkan risiko perdarahan postpartum.6Gangguan pembekuan darah baru
dicurigai sebagai kausal apabila penyebab yang lain telah disingkirkan dan disertai
adanya riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya.8
2.1.2.2 Perdarahan Postpartum Sekunder
Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi uterus, dan retensi sisa
plasenta.6
a. Infeksi Uterus
Endometritis merupakan penyebab paling sering dari perdarahan postpartum
sekunder. Insidennya berkisar antara 0,9-3,9% pada persalinan pervaginam dan
meningkat 12-51% pada persalinan melalui seksio caesarea. Selain rute jalan lahir,
faktor risiko lain yang berperan yaitu durasi persalinan, vaginosis bakterialis,
pengeluaran plasenta secara manual, trauma jaringan lunak, status sosioekonomi yang
rendah, dan anemia dalam kehamilan. Kondisi anemia mengurangi sistem imunitas
tubuh terhadap penyakit infeksi. Anemia terutama yang disebabkan oleh defisiensi zat
besi dapat mempengaruhi imunitas humoral, selular dan aktivitas sitokin-sitokin yang
mempunyai peranan penting dalam mekanisme imunogenik.9
b. Retensi Sisa Plasenta
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat
menimbulkan perdarhan postpartum dini atau perdarahan postpartum lambat (biasanya
terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa
plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan
kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan
subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal
dari rongga rahim.22 Biasanya bagian plasenta yang tertinggal mengalami nekrosis tanpa
deposit fibrin dan pada akhirnya membentuk polip plasenta. Apabila serpihan polip
plasenta tersebut terlepas dari miometrium, perdarahan dapat terjadi.4
2.1.3 Faktor Risiko Perdarahan Postpartum
2.1.3.1 Umur
Umur yang dimaksud adalah umur ibu saat melahirkan yangmerupakan faktor
risiko independen perdarahan postpartum.11Pada umur di kurang dari 20 tahun, rahim
dan panggul belum tumbuh hingga ukuran dewasa, fungsi reproduksi pun belum
sempurna sehingga memungkinkan terjadi persalinan lama dan laserasi perineum.
Sedangkan umur 35 tahun atau lebih diperkirakan sudah terjadi kemunduran progresif
dari kondisi otot uterus yang mempengaruhi kekuatan kontraksi pada saat dan setelah
persalinan.
Hal ini menyebabkan perpanjangan pada semua tahapan persalinan akibat
kekuatan kontraksi yang tidak adekuat. Hal ini dapat berujung pada persalinan lama
yang kemudian menyebabkan timbulnya kelelahan pada otot uterus yang menjadikan
kontraksi makin lemah atau bahkan hilang sama sekali sehingga terjadi atonia uteri yang
menimbulkan perdarahan.12,13
Beberapa penelitian menyatakan, dibandingkan dengan ibu yang lebih muda
dengan usia 20-34 tahun, mereka yang berumur 35 tahun atau lebih memiliki risiko
terkait kehamilan dan persalinan bagi ibu dan bayi, dan risiko tersebut meningkat
seiring meningkatnya umur. Risiko terbesar terdapat pada ibu berumur 40 tahun atau
lebih, terutama ibu yang melahirkan pertama kali, risiko menjadi lebih signifikan.14
2.1.3.2 Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan seorang wanita yang melahirkan janin berumur
sama atau lebih dari 24 minggu, tanpa memperhatikan apakah janin lahir hidup atau
mati.15 Beberapa tingkatan paritas, sebagai berikut :
a. Nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah melahirkan.
b. Primipara adalah seorang wanita yang sudah pernah melahirkan janin
sebanyak 1 kali.
c. Multipara adalah seorang wanita yang sudah melahirkan sebanyak lebih dari
1 kalo.
d. Grandemultipara adalah seorang wanita yang sudah melahirkan sebanyak
sama atau lebih dari 5 kali.
e. Grandemultipara hebat adalah seorang wanita yang sudah melahirkan
sebanyak sama atau lebih dari 7 kali.
Paritas merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya
perdarahan postpartum. WHO mendefinikan paritas tinggi sebagai jumlah persalinan
yang melahirkan janin dengan usia gestasi sama atau lebih dari 20 minggu sebanyak 5
kali atau lebih. Sedangkan Paritas rendah merupakan persalinan setelah mengandung
sedikitnya selama 20 minggu kurang dari 5 kali.16
Pada primipara, kejadian perdarahan postpartum yang meningkat dapat
disebabkan ketidaksiapan wanita dalam menghadapi persalinan sehingga wanita hamil
tidak mampu menangani komplikasi yang terjadi selama persalinan dan nifas terlebih
jika umur ibu belum mencukupi umur optimal ibu melahirkan yaitu kurang dari 20
tahun. Komplikasi yang terjadi pada masa persalinan dan nifas adalah perdarahan dan
infeksi.17
Sedangkan semakin sering wanita melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus
cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan. Hal ini disebabkan karena
pada wanita dengan paritas tinggi cenderung mengalami atonia uteri saat persalinan.
Atonia uteri ini terjadi karena kondisi miometrium dan tonus ototnya sudah tidak baik
lagi sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluh darah pada tempat
implantasi plasenta setelah kala III yang akibatnya terjadi perdarahan postpartum.13
Multiparitas juga dapat mengakibatkan retensio plasenta yaitu plasenta yang
sukar dilepaskan bahkan dengan pertolongan aktif kala III. Hal ini disebabkan oleh
adhesi yang kuat antara uterus dan plasenta sehingga meningkatkan risiko tertinggalnya
sebagian plasenta di dalam uterus. Hal ini yang akan mengakibatkan perdarahan
postpartum primer atau sekunder.8
Berdasarkan penelitian oleh Sutanto dkk (1973), dari 267 kasus perdarahan
postpartum sebanyak 11,8% diantaranya adalah wanita primipara, dan 18,5% wanita
multipara. Wanita yang melahirkan sebanyak 5-7 kali, sebanyak 20,9 % diantaranya
mengalami perdarahan postpartum. Hal ini menunjukkan bahwasanya makin tinggi
paritas, makin tinggi pula risiko terjadinya perdarahan postpartum pada wanita hamil.18
2.1.3.3 Jarak Kelahiran
Menurut WHO, jarak kelahiran (Birth-to-Pregnancy) adalah lamanya waktu
antara kelahiran hidup sebelumnya hingga awal kehamilan berikutnya yang ditandai
dengan hari pertama menstruasi terakhir.19-21 Jarak kelahiran dikatakan dekat jika < 6
bulan dan dikatakan jauh jika > 5 tahun.21
Jarak kelahiran yang < 6 bulan berhubungan secara signifikan dengan
peningkatan risiko keluaran kehamilan yang buruk. Sedangkan jarak kelahiran yang
jauh secara independen berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya pre-
eklampsia dan distosia persalinan.21 Menurut Moir dan Meyerscough (1972), disebutkan
jarak kelahiran sebagai faktor predisposisi perdarahan postpartum karena persalinan
yang berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan ibu hanya
mempunyai sedikit waktu untuk mengembalikan kondisi rahimnya ke kondisi
sebelumnya12dan kontraksi uterus menjadi kurang baik.10Jarak kelahiran yang dekat juga
berhubungan dengan anemia dalam kehamilan yang merupakan penyebab kematian ibu
terbanyak di Nigeria yang juga merupakan salah satu faktor terjadinya perdarahan
postpartum.21
Menurut Ahmad Rofiq (2008) proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu
dengan 1-3 anak dengan jarak antar kelahirannya kurang dari 2 tahun.12Interval
kelahiran <6 bulan berhubungan erat dengan meningkatnya risiko kematian ibu
sebanyak 2,5 kali lebih besar (95% CI, 1,2-5,4), 1,7 kali lebih berisiko perdarahan
trimester ke-3 (1,4-2,2) dan juga ketuban pecah dini (1,5-1,9).19
Oleh karena itu, WHO merekomendasikan interval minimum antara kelahiran
hidup sebelumnya dengan usaha untuk hamil lagi sedikitnya 24 bulan. Dasar dari
rekomendasi ini adalah keyakinan bahwa menunggu 24 bulan sebelum mencoba hamil
lagi akan dapat membantu menghindarkan jarak kelahiran dengan risiko kesehatan
maternal, perinatal, neonatal dan bayi yang buruk. Sebagai tambahan, rekomendasi ini
juga sejalan dengan rekomendasi oleh WHO/UNICEF terkait menyusui bayi minimal 2
tahun.22
2.1.3.4 Riwayat Persalinan Sebelumnya
Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil kehamilan dan
persalinan berikutnya. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian
janin, eklampsia dan preeklampsia, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin
besar, infeksi dan pernah mengalamai perdarahan antepartum dan postpartum.10
Menurut Sulistiowati (2001) terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat
persalinan buruk sebelumnya dengan perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR
2,4 kali pada ibu yang memiliki riwayat persalinan buruk dibanding dengan ibu yang
tidak memiliki riwayat.10
2.1.4 Pencegahan
Sebagian besar kasus kesakitan dan kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh
perdarahan postpartum dimana sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri dan retensio
plasenta yang sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala tiga.21
Keuntungan-keuntungan manajemen aktif kala tiga, yaitu21 :
1) Persalinan kala tiga yang lebih singkat
2) Mengurangi jumlah kehilangan darah
3) Mengurangi kejadian retensio plasenta
Manajemen aktif kala tiga, yaitu22 :
1) Menyuntikkan Oksitosin
Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal
Suntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha kanan
1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa
ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.
2) Melakukan penegangan tali pusat terkendali
Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau
menggulung tali pusat
Meletakkan tangan kiri di atas simfisis menahan bagian bawah uterus,
sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain
kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva.
Saat uterus berkontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan
sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorsokranial.
3) Mengeluarkan plasenta
Jika dengan peneganggan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah
panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran
sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bawah kemudian
ke atas sesuai dengan kurva jalan lahir sehingga plasenta tampak pada vulva.
Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan
kembali klem hingga berjarak 5-10 cm dari vulva
Bila plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15
menit, maka,
Suntikkan ulang oksitosin 10 IU IM
Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh
Tunggu 30 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual
4) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan tindakan melahirkan plasenta
dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput
secara perlahan dan sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban.
5) Masase uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan
menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri
hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).
6) Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan postpartum
Kelengkapan plasenta dan ketuban
Kontraksi uterus
Perlukaan jalan lahir
2.1.5 Gejala Klinis
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari
volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik yang nyata. Gejala klinik baru
tampak apabila kehilangan darah telah mencapai 20%.12
Perdarahan tidak hanya terjadi pada mereka yang memiliki faktor risiko tapi
pada setiap persalinan kemungkinan terjadi perdarahan selalu ada. Jika perdarahan terus
berlanjut akan menimbulkan tanda-tanda syok dengan gambaran klinisnya berupa
perdarahan terus-menerus dan keadaan pasien secara berangsur-angsur menjadi jelek.
Denyut nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien berubah pucat
dan ekstrimita dingin, serta nafas menjadi sesak dan terengah-engah.12
Tabel 2.1 Tanda dan gejala berdasarkan jumlah kehilangan darah pada perdarahan
postpartum5
Kehilangan Darah Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)Tanda dan Gejala
Ml %
500-1000 10-15 NormalPalpitasi, pusing,
takikardia
1000-1500 15-25 90-100 Lemah, berkeringat,
takikardia
1500-2000 25-35 70-80Gelisah, pucat,
oliguria
2000-3000 35-45 50-70Kolaps, sesak nafas,
anuria
2.1.6 Diagnosis
Berdasarkan definisi dari perdarahan postpartum yaitu perdarahan yang terjadi
segera setelah partus (persalinan)1,sebanyak 500 ml pada persalinan per vaginam atau
lebih dari 1000 ml pada seksio sesarea.23 Cara yang paling tepat untuk menentukan
apakah seseorang mengalami perdarahan postpartum adalah dengan menghitung
kehilangan darah yang terjadi. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara mengukur atau
memperkirakan jumlah darah yang hilang saat persalinan.11
Sangat sulit memperkirakan kehilangan darah secara tepat karena darah
seringkali bercampur dengan cairan ketuban atau urin dan mungkin terserap handuk,
kain atau sarung. Tak mungkin menilai kehilangan darah secara akurat melalui
penghitungan jumlah sarung karena ukuran sarung bermacam-macam dan mungkin
telah diganti jika terkena sedikit darah atau basah oleh darah. Cara tak langsung untuk
mengukur jumlah kehilangan darah adalah melalui penampakan gejala dan tekanan
darah.22
Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum23
:
a. Nilai tekanan darah dan gejala kehilangan darah lainnya
b. Palpasi uterus : nilai kontraksi uterus dan tinggi fundusuteri
c. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
d. Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari :
Sisa plasenta dan selaput ketuban
Robekan rahim
e. Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina, danvarises yang pecah.
f. Pemeriksaan laboratorium : Cek Hb, Ht, bleeding time
Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut
ini:
Tabel 2.2 Diagnosis perdarahan postpartum22
No. Gejala dan tanda yang selalu adaGejala dan tanda yg
terkadang ada
Kemungkinan
Diagnosis
1.
- Uterus tidak berkontraksi dan
lembek
-Perdarahan segera setelah anak
lahir
- Syok
- Bekuan darah pada
serviks atau posisi
telentang akan
menghambat aliran
darah ke luat
-Atonia uteri
2.
- Perdarahan segera
- Uterus kontraksi dan keras
- Plasenta lengkap
- Pucat
- Lemah
- Menggigil
- Robekan jalan
lahir
3. - Plasenta belum lahir setelah 30 - tali pusat putus - Retensio plasenta
menit
- Perdarahan segera
- Uterus kontaksi baik
akibattraksi
berlebihan
- Inversio uteri
akibattarikan
- Perdarahan
lanjutan
4.
- Perdarahan segera
- Plasenta atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah)
tidak lengkap
- Uterus
berkontraksi tetapi
tinggi fundus tidak
berkurang
- Sisa plasenta atau
ketuban
5.
- Uterus tidak teraba
- Lumen vagina terisi massa
- Tampak tali pusat (jika plasenta
belum lahir)
- Perdarahan segera
- Nyeri sedikit atau berat
- Syok neurogenik
- Pucat dan limbung- Inversio uteri
6. - Sub-involusi uterus
- Nyeri tekan perut bawah
- Perdarahan
- Anemia
- Demam
- Endometritis
- Sisa plasenta
(terinfeksi atau
tidak)
- Lokhia mukopurulen dan berbau
7.
- Perdarahan segera (perdarahan
intraabdominal dan atau vagina)
- Nyeri perut berat
- Syok
- Denyut nadi cepat
- Nyeri tekan perut
-
- Robekan dinding
uterus (ruptura
uteri)
2.1.7 Tatalaksana
1. Atonia Uteri
Bagan pengelolaan atonia uteri.21
Masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir (maksimal 15 detik)Uterus kontraksi?Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketubanKompresi Bimanual Interna maks 5 menitUterus kontraksi?Ajarkan Keluarga melakukan Kompresi Bimanual EksternaKeluarkan tangan (KBI) secara hati-hatiSuntikkan Methyl Ergometrin 0,2 mg IMPasang infus RL + 20 IU Oksitosin guyurLakukan lagi KBIUterus kontraksi? Rujuk, siapkan laparotomiLanjutkan pemberian infus + 20 IU Oksitosin minimal 500cc/jam hingga mencapai tempat rujukanSelama perjalanan, lakukan kompresi aorta abdominalis atau kompresi bimanual eksternaLigasi Arteri uterina dan/atau hipogastrikaPerdarahanHisterektomiPertahankan KBI selama 1-2 menit
Keluarkan tangan secara hati-hati
Lakukan pengawasan kala IV
Berhenti
Ya
Ya
Ya
Pengawasan Kala IV
Pertahankan uterus
Evaluasi rutin
2. Retensio Plasenta
Melalui pemeriksaan tinggi fundus dan peregangan tali pusat, dapat diketahui
apakah plasenta sudah lepas atau belum dan bila lebih dari 30 menit maka kita dapat
melakukan plasenta manual.22
3. Robekan Jalan Lahir
a. Robekan perineum Tingkat I22
Penjahitan dengan catgutyang dijahitkan secara jelujur atau dengan cara
jahitan angka delapan
b. Robekan perineum Tingkat II22
Ratakan pinggir laserasi terlebih dahulu
Dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur, dimulai dari
puncak robekan
c. Robekan perineum Tingkat III22
Jahit mulai dari dinding depan rektum, kemudia fascia perirektal atau
fasia perirektal dan fascia septum rektovaginal
Dijahit dengan catgut kromik
Ujung otot sfingter ani dijepit dengan klem secara lurus, kemudian
dijahit 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu lagi
Selanjutnya robekan dijahit selapis demi selapis
d. Robekan perineum Tingkat IV22
Rujuk ke rumah sakit kabupaten/kota
4. Sisa Plasenta
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila
penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah lahir. Apabila kelahiran
plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka
untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan,
kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada umumnya perdarahan dari
rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat
sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.22
Pengelolaan sisa plasenta pada umumnya dilakukan dengan kuretase. Kuretase
harus dilakukan di rumah sakit oleh dokter dengan hati-hati karena dinding rahim relatif
tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus. Setelah selesai tindakan pengeluaran
sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per
oral. Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.22
2.2 Antenatal Care
2.2.1 Pengertian
Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk
mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil, hingga mampu menghadapi
persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi
secara wajar.17 Menurut Prawiroharjo (2005), pemeriksaan kehamilan merupakan
pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam
kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan mereka post partum sehat dan
normal, tidak hanya fisik tetapi juga mental.
Kunjungan Antenatal Care adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter
sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan
antenatal. Pada setiap kunjungan antenatalcare (ANC), petugas mengumpulkan dan
menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine, serta ada tidaknya masalah atau
komplikasi.8
Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kontak ibu hamil dengan pemberi
perawatan atau asuhan dalam hal mengkaji kesehatan dan kesejahteraan bayi serta
kesempatan untuk memperoleh informasi dan memberi informasi bagi ibu dan petugas
kesehatan.24
Kunjungan pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu bentuk perilaku.
Menurut Lawrence Green, faktor-faktor yang memengaruhi perilaku ada 3 yaitu : faktor
predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor
pendorong (reinforcing factor). Yang termasuk faktor predisposisi (predisposing factor)
diantaranya : pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, keyakinan , nilai dan motivasi.
Sedangkan yang termasuk faktor pendukung (enabling factor) adalah ketersediaan
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan dan yang terakhir yang termasuk faktor
pendorong (reinforcing factor) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan, informasi
kesehatan baik literature, media, atau kader. Dimana motivasi merupakan gejala
kejiwaan yang direfleksikan dalam bentuk prilaku karena motivasi merupakan dorongan
untuk bertindak untuk mencapai tujuan tertentu, dalam keadaan ini tujuan ibu hamil
adalah agar kehamilannya berjalan normal dan sehat.
Antenatal Care (ANC) sebagai salah satu upaya pencegahan awal dari faktor
risiko kehamilan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Antenatal care untuk
mendeteksi dini terjadinya risiko tinggi terhadap kehamilan dan persalinan juga dapat
menurunkan angka kematian ibu dan memantau keadaan janin. Idealnya bila tiap wanita
hamil mau memeriksakan kehamilannya, bertujuan untuk mendeteksi kelainan-kelainan
yang mungkin ada atau akan timbul pada kehamilan tersebut cepat diketahui, dan segera
dapat diatasi sebelum berpengaruh tidak baik terhadap kehamilan tersebut dengan
melakukan pemeriksaan antenatal care.17Apabila ibu hamil tidak melakukan
pemeriksaan kehamilan, maka tidak akan diketahui apakah kehamilannya berjalan
dengan baik atau mengalami keadaan risiko tinggi dan komplikasi obstetri yang dapat
membahayakan kehidupan ibu dan janinnya. Dan dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.17
2.2.2 Kebijakan Program Pelayanan Antenatal Care
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) pada dasarnya mengacu kepada
intervensi strategis “Empat Pilar Safe Motherhood” yaitu meliputi : Keluarga
Berencana, Antenatal Care, Persalinan Bersih dan Aman, dan Pelayanan Obstetri
Essensial. Pendekatan pelayanan obstetrik dan neonatal kepada setiap ibu hamil ini
sesuai dengan pendekatan Making Pregnancy Safer (MPS), yang mempunyai 3 (tiga)
pesan kunci yaitu :
a. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
b. Setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.
c. Setiap perempuan dalam usia subur mempunyai akses pencegahan dan
penatalaksanaan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi
keguguran.
Kebijakan program pelayanan antenatal menetapkan frekuensi kunjungan
antenatal sebaiknya minimal 4 (empat) kali selama kehamilan, dengan ketentuan
sebagai berikut24 :
a. Minimal satu kali pada trimester pertama (K1) hingga usia kehamilan 14
minggu. Tujuannya :
1) Penapisan dan pengobatan anemia
2) Perencanaan persalinan
3) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya.
b. Minimal satu kali pada trimester kedua (K2), 14 – 28 minggu. Tujuannya :
1) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya
2) Penapisan pre eklamsia, gemelli, infeksi alat reproduksi dan saluran
perkemihan
3) Mengulang perencanaan persalinan
c. Minimal dua kali pada trimester ketiga (K3 dan K4) 28 - 36 minggu dan
setelah 36 minggu sampai lahir. Tujuannya :
1) Sama seperti kegiatan kunjungan II dan III
2) Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi
3) Memantapkan rencana persalinan
4) Mengenali tanda-tanda persalinan Pemeriksaan pertama sebaiknya
dilakukan segera setelah diketahui terlambat haid dan pemeriksaan
khusus dilakukan jika terdapat keluhan-keluhan tertentu.
2.2.3 Tujuan Antenatal Care
Menurut Prawirohardjo (2005), tujuan dari ANC meliputi :
a. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh
kembang bayi.
b. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial ibu dan
bayi.
c. Mengenali secara dini adanya ketidak normalan atau komplikasi yang mungkin
terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan
pembedahan.
d. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, ibu
maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
e. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI
Eksklusif.
f. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar
dapat tumbuh kembang secara normal.
Menurut Kemenkes RI, tujuan pelayanan antenatal terpadu adalah untuk
memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal yang berkualitas
sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan
melahirkan bayi yang sehat.25
Untuk mencapai tujuan dari ANC tersebut dilakukan pemeriksaan dan
pengawasan wanita selama kehamilannya secara berkala dan teratur agar bila timbul
kelainan kehamilan atau gangguan kesehatan sedini mungkin diketahui sehingga
dapat dilakukan perawatan yang cepat dan tepat.25
Mengacu pada penjelasan di atas, bagi ibu hamil dan suami/keluarga dapat
mengubah pola berpikir yang hanya datang ke dokter jika ada permasalahan dengan
kehamilannya. Karena dengan pemeriksaan kehamilan yang teratur, diharapkan
proses persalinan dapat berjalan dengan lancar dan selamat. Dan yang tak kalah
penting adalah kondisi bayi yang dilahirkan juga sehat, begitu pula dengan ibunya.
2.2.4 Konsep Pelayanan Antenatal
Pelayanan kesehatan pada ibu hamil tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan
persalinan, pelayanan nifas dan pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Kualitas pelayanan
antenatal yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya, ibu
bersalin dan bayi baru lahir serta ibu nifas.25
Gambar 2.2.1 Kerangka konsep antenatal komprehensif dan terpadu
Dalam melakukan pemeriksaan antenatal, tenaga kesehatan harus Memberikan
pelayanan yang berkualitas sesuai standar terdiri dari24:
1. Timbang berat badan
Penimbangan berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk
mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin. Penambahan berat badan yang
kurang dari 9 kilogram selama kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap
bulannya menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan janin.
2. Ukur lingkar lengan atas (LiLA)
Pengukuran LiLA hanya dilakukan pada kontak pertama untuk skrining ibu
hamil berisiko kurang energi kronis (KEK). Kurang energi kronis disini maksudnya
ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama (beberapa
bulan/tahun) dimana LiLAkurang dari 23,5 cm. Ibu hamil dengan KEK akan dapat
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).
3. Ukur tekanan darah
Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk
mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah e” 140/90 mmHg) pada kehamilan dan
preeklampsia (hipertensi disertai edema wajah dan atau tungkai bawah; dan atau
proteinuria).
4. Ukur tinggi fundus uteri
Pengukuran tinggi fundus pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk
mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan umur kehamilan. Jika tinggi
fundus tidak sesuai dengan umur kehamilan, kemungkinan ada gangguan
pertumbuhan janin. Standar pengukuran menggunakan pita pengukur setelah
kehamilan 24 minggu.
5. Hitung denyut jantung janin (DJJ)
Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan selanjutnya setiap kali
kunjungan antenatal. DJJ lambat kurang dari 120/menit atau DJJ cepat lebih dari
160/menit menunjukkan adanya gawat janin.
6. Tentukan presentasi janin
Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester II dan selanjutnya
setiap kali kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui
letak janin. Jika, pada trimester III bagian bawah janin bukan kepala, atau kepala
janin belum masuk ke panggul berarti ada kelainan letak, panggul sempit atau ada
masalah lain.
7. Beri imunisasi Tetanus Toksoid (TT)
Untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum, ibu hamil harus mendapat
imunisasi TT. Pada saat kontak pertama, ibu hamil diskrining status imunisasi TT-
nya. Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil, disesuai dengan status imunisasi ibu
saat ini.
8. Beri tablet tambah darah (tablet besi)
Untuk mencegah anemia gizi besi, setiap ibu hamil harus mendapat tablet zat
besi minimal 90 tablet selama kehamilan diberikan sejak kontak pertama.
9. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) Pemeriksaan laboratorium dilakukan
pada saat antenatal meliputi:
a. Pemeriksaan golongan darah
Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil tidak hanya untuk mengetahui
jenis golongan darah ibu melainkan juga untuk mempersiapkan calon pendonor
darah yang sewaktu-waktu diperlukan apabila terjadi situasi kegawatdaruratan.
b. Pemeriksaan kadar hemoglobin darah (Hb)
Pemeriksaan kadar hemoglobin darah ibu hamil dilakukan minimal sekali
pada trimester pertama dan sekali pada trimester ketiga. Pemeriksaan ini
ditujukan untuk mengetahui ibu hamil tersebut menderita anemia atau tidak
selama kehamilannya karena kondisi anemia dapat mempengaruhi proses
tumbuh kembang janin dalam kandungan.
c. Pemeriksaan protein dalam urin
Pemeriksaan protein dalam urin pada ibu hamil dilakukan pada trimester
kedua dan ketiga atas indikasi. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui
adanya proteinuria pada ibu hamil. Proteinuria merupakan salah satu indikator
terjadinya preeklampsia pada ibu hamil.
d. Pemeriksaan kadar gula darah.
Ibu hamil yang dicurigai menderita Diabetes Melitus harus dilakukan
pemeriksaan gula darah selama kehamilannya minimal sekali pada trimester
pertama, sekali pada trimester kedua, dan sekali pada trimester ketiga (terutama
pada akhir trimester ketiga).
e. Pemeriksaan darah Malaria
Semua ibu hamil di daerah endemis Malaria dilakukan pemeriksaan darah
Malaria dalam rangka skrining pada kontak pertama. Ibu hamil di daerah non
endemis Malaria dilakukan pemeriksaan darah Malaria apabila ada indikasi.
f. Pemeriksaan tes Sifilis
Pemeriksaan tes Sifilis dilakukan di daerah dengan risiko tinggi dan ibu
hamil yang diduga Sifilis. Pemeriksaaan Sifilis sebaiknya dilakukan sedini
mungkin pada kehamilan.
g. Pemeriksaan HIV
Pemeriksaan HIV terutama untuk daerah dengan risiko tinggi kasus HIV dan
ibu hamil yang dicurigai menderita HIV. Ibu hamil setelah menjalani konseling
kemudian diberi kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk
menjalani tes HIV.
h. Pemeriksaan BTA
Pemeriksaan BTA dilakukan pada ibu hamil yang dicurigai menderita
Tuberkulosis sebagai pencegahan agar infeksi Tuberkulosis tidak mempengaruhi
kesehatan janin. Selain pemeriksaaan tersebut diatas, apabila diperlukan dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya di fasilitas rujukan.
10. Tatalaksana/penanganan Kasus
Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal di atas dan hasil pemeriksaan
laboratorium, setiap kelainan yang ditemukan pada ibu hamil harus ditangani sesuai
dengan standar dan kewenangan tenaga kesehatan. Kasus-kasus yang tidak dapat
ditangani dirujuk sesuai dengan sistem rujukan.
11. KIEEfektif
KIE efektif dilakukan pada setiap kunjungan antenatal yang meliputi:
a. Kesehatan ibu
Setiap ibu hamil dianjurkan untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin
ke tenaga kesehatan dan menganjurkan ibu hamil agar beristirahat yang cukup
selama kehamilannya (sekitar 9- 10 jam per hari) dan tidak bekerja berat.
b. Perilaku hidup bersih dan sehat
Setiap ibu hamil dianjurkan untuk menjaga kebersihan badan selama
kehamilan misalnya mencuci tangan sebelum makan, mandi 2 kali sehari dengan
menggunakan sabun, menggosok gigi setelah sarapan dan sebelum tidur serta
melakukan olah raga ringan.
c. Peran suami/keluarga dalam kehamilan dan perencanaan persalinan
Setiap ibu hamil perlu mendapatkan dukungan dari keluarga terutama suami
dalam kehamilannya. Suami, keluarga atau masyarakat perlu menyiapkan biaya
persalinan, kebutuhan bayi, transportasi rujukan dan calon donor darah. Hal ini
penting apabila terjadi komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas agar segera
dibawa ke fasilitas kesehatan.
d. Tanda bahaya pada kehamilan, persalinan dan nifas serta kesiapan
menghadapi komplikasi
Setiap ibu hamil diperkenalkan mengenai tanda-tanda bahaya baik selama
kehamilan, persalinan, dan nifas misalnya perdarahan pada hamil muda maupun
hamil tua, keluar cairan berbau pada jalan lahir saat nifas, dsb. Mengenal tanda-
tanda bahaya ini penting agar ibu hamil segera mencari pertolongan ke tenaga
kesehtan kesehatan.
e. Asupan gizi seimbang
Selama hamil, ibu dianjurkan untuk mendapatkan asupan makanan yang
cukup dengan pola gizi yang seimbang karena hal ini penting untuk proses
tumbuh kembang janin dan derajat kesehatan ibu. Misalnya ibu hamil
disarankan minum tablet tambah darah secara rutin untuk mencegah anemia
pada kehamilannya.
f. Gejala penyakit menular dan tidak menular
Setiap ibu hamil harus tahu mengenai gejala-gejala penyakit menular
(misalnya penyakit IMS,Tuberkulosis) dan penyakit tidak menular (misalnya
hipertensi) karena dapat mempengaruhi pada kesehatan ibu dan janinnya.
g. Penawaran untuk melakukan konseling dan testing HIV di daerah tertentu
(risiko tinggi)
Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan
kesehatan ibu dan anak. Ibu hamil diberikan penjelasan tentang risiko penularan
HIV dari ibu ke janinnya, dan kesempatan untuk menetapkan sendiri
keputusannya untuk menjalani tes HIV atau tidak. Apabila ibu hamil tersebut
HIV positif maka dicegah agar tidak terjadi penularan HIV dari ibu ke janin,
namun sebaliknya apabila ibu hamil tersebut HIV negatif maka diberikan
bimbingan untuk tetap HIV negatif selama kehamilannya, menyusui dan
seterusnya.
h. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan pemberian ASI ekslusif
Setiap ibu hamil dianjurkan untuk memberikan ASI kepada bayinya segera
setelah bayi lahir karena ASI mengandung zat kekebalan tubuh yang penting
untuk kesehatan bayi. Pemberian ASI dilanjutkan sampai bayi berusia 6 bulan.
i. KB paska persalinan
Ibu hamil diberikan pengarahan tentang pentingnya ikut KB setelah
persalinan untuk menjarangkan kehamilan dan agar ibu punya waktu merawat
kesehatan diri sendiri, anak, dan keluarga.
j. Imunisasi
Setiap ibu hamil harus mendapatkan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) untuk
mencegah bayi mengalami tetanus neonatorum.
k. Peningkatan kesehatan intelegensia pada kehamilan (Brain booster)
Untuk dapat meningkatkan intelegensia bayi yang akan dilahirkan, ibu hamil
dianjurkan untuk memberikan stimulasi auditori dan pemenuhan nutrisi
pengungkit otak (brain booster) secara bersamaan pada periode kehamilan.
2.3 Perawatan Nifas
Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin
(menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya alat reproduksi
wanita pada kondisi tidak hamil. Periode ini disebut juga puerperium (masa
nifas) Periode pemulihan pascapartum berlangsung sekitar enam minggu. 25
Perawatan masa nifas dimulai sebenarnya sejak kala uri dengan
menghindarkan adanya kemungkinan-kemungkinan perdarahan post partum dan
infeksi. Bila ada perlukaan jalan lahir atau luka bekas episiotomi, lakukan
penjahitan dan perawatan luka. Penolong persalinan harus tetap waspada
sekurang-kurangnya 1 jam sesudah melahirkan, untuk mengatasi kemungkinan
terjadinya perdarahan post partum.26
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan masa nifas :
1. Rahim.
Penciutan rahim dapat diketahui dengan meraba bagian bulat agak keras di
bawah pusat. Pada hari ke-10 sampai 14, rahim tidak teraba lagi. Penciutan rahim
dibantu oleh oksitosin, yaitu hormon yang mengontraksikan otot-otot rahim yang
keluar saat menyusui. Penciutan rahim ini terjadi karena lancarnya pengeluaran
cairan vagina (lochea). Penciutan kandungan yang tidak normal terjadi akibat
infeksi lapisan rahim yang rentan infeksi akibat lepasnya plasenta dan kurang
mobilisasi. Tanda-tandanya antara lain sedikit demam, agak sakit pada perut bagian
bawah, dan kadang vagina berbau kurang sedap karena keluarnya lochea tidak
lancar.
3. Mobilisasi
Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan, lebih-lebih bila persalinan
berlangsung lama, karena si ibu harus cukup beristirahat, dimana ia harus tidur
terlentang selama 8 jama post partum untuk memcegah perdarahan post partum.
Kemudian ia boleh miring ke kiri dan ke kanan untuk mencegah terjadinya
trombosis dan tromboemboli. Pada hari kedua telah dapat duduk, dan hari ketiga
telah dapat jalan-jalan. Mobilisasi ini tidak mutlak, bervariasi tergantung pada
adanya komplikasi persalinan, nifas, dan sembuhnya luka. Mobilisasi juga
berhubungan dengan proses involusi, metabolisme menjadi lancar, dan pemulihan
terhadap regangan-regangan otot selama kehamilan terutama otot punggung, dasar
panggul, dan otot perut
3. Diet / Makanan
Makanan yang diberikan harus bermutu tinggi dan cukup kalori, yang
mengandung cukup protein, banyak cairan, serta banyak buah-buahan dan
sayuran karena si ibu ini mengalami hemokosentrasi. Selain itu diet ibu juga
sangat berpengaruh terhadap produksi ASI.
4. Payudara.
Ibu sebaiknya menyusui bayinya sedini mungkin, dan sesering mungkin
(tergantung kebutuhan bayi) sehingga tidak terjadi pembengkakan payudara.
Gunakan pula bra yang tidak menekan atau sempit. Apabila pembengkakan
terjadi, pijat ringan bagian payudara yang menggumpal dengan menggunakan air
hangat dan baby oil. Pembengkakan yang berkelanjutan dapat menimbulkan
demam pada ibu. Bila hal ini terjadi, lakukan pengeluaran ASI baik dengan cara
menyusui maupun dipompa keluar.
5. Buang Air Kecil
Buang air kecil harus secepatnya dilakukan sendiri. Kadang-kadang
wanita sulit kencing karena pada persalinan m.sphnicter vesica et urethare
mengalami tekanan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi musc. sphincter
ani. Juga oleh karena adanya oedem kandungan kemih yang terjadi selama
persalinan. Bila kandung kemih penuh dengan wanita sulit kencing sebaiknya
lakukan kateterisasi, sebab hal ini dapat mengundang terjadinya infeksi. Bila
infeksi telah terjadi (urethritis, cystitis, pyelitis), maka pemberian antibiotika
sudah pada tempatnya.
6. Buang Air Besar
Buang air besar harus sudah ada dalam 3-4 hari post partum. Bila ada
obstipasi dan timbul berak yang keras, dapat kita lakukan pemberian obat
pencahar (laxantia) peroral atau parenterala, atau dilakukan klisma bila masih
belum berakhir. Karena jika tidak, feses dapat tertimbun di rektum, dan
menimbulkan demam.
7. Demam Sesudah bersalin, suhu badan ibu naik ± 0,5 C dari keadaan normal,
tapi tidak melebihi 38 C. Dan sesudah 12 jam pertama suhu badan akan kembali
normal. Bila suhu lebih dari 38 C/ mungkin telah ada infeksi.
8. Mules-mules
Hal ini timbul akibat kontraksi uterus dan biasanya lebih terasa sedang
menyusui. Hal ini dialami selama 2-3 hari sesudah bersalin. Perasaan sakit ini
juga timbul bila masih ada sisa selaput ketuban, plasenta atau gumpalan dari di
cavum uteri. Bila si ibu sangat mengeluh, dapat diberikan analgetik atau sedativa
supaya ia dapat beristirahat tidur.
9. Laktasi
si ibu disuruh mencoba menyusui bayinya untuk merangsang timbulnya laktasi,
kecuali ada kontraindikasi untuk menyusui bayinya, misalnya: menderita thypus
abdominalis, tuberkulosis aktif, thyrotoxicosis,DM berat, psikosi atau puting
susu tertarik ke dalam, leprae atau kelainan pada bayinya sendiri misalnya pada
bayi sumbing (labiognato palatoschizis) sehingga ia tidak dapat menyusu oleh
karena tidak dapat menghisap, minuman harus diberikan melalui sonde.
10. Hubungan seksual.
Tidak ada aturan khusus tentang hubungan seksual (koitus), tapi sebaiknya
koitus dilakukan setelah 2 minggu karena ditakutkan apabila terlalu dini bisa
menyebabkan laserasi dan penyembuhan luka episiotomy yang tidak sempurna.4
Pemeriksaan pasca salinan
Pada wanita yang bersalin secara normal, sebaiknya dianjurkan untuk
kembali 6 minggu sesudah melahirkan.2
Pemeriksaan pasca persalinan meliputi :
a. Pemeriksaan keadaan umum: tensi, nadi, suhu badan, selera makan,
keluhan, dll
b. Keadaan payudara dan puting susu.
c. Dinding perut, perineum, kandung kemih, rektrum.
d. Sekret yang keluar (lochia, flour albus).
e. Keadaan alat-alat kandungan (cervix, uterus, adnexa).
2.4 Demam Pasca Persalinan
2.4.1 Definisi
Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan disebut infeksi nifas.
Menurut Joint Committee on Maternal Welfare definisi ialah kenaikan suhu ≥ 380C
yang terjadi antara hari ke 2-10 postpartum dan diukur per oral sedikitnya 4 kali sehari ,
kecuali pada 24 jam pertama pasca persalinan. Kenaikan suhu pada masa nifas dianggap
sebagai infeksi nifas apabila tidak ditemukan sebab-sebab ekstragenital.4
2.4.2 Penyebab Infeksi Nifas :
Bermacam -macam jalan kuman masuk ke dalam alat kandungan seperti eksogen
(kuman masuk dari luar), autogen (kuman masuk dari tempat lain dalam tubuh) dan
endogen (dari jalan lahir sendiri). Penyebab yang terbanyak dan lebih dari 50% adalah
streptococcus anaerob yang sebenarnya tidak pathogen sebagai penghuni normal jalan
lahir.
Kuman – kuman yang sering menyebabkan infeksi antara lain :
1. Streptococcus haemoliticus aerobic
Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat yang ditularkan dari
penderita lain, alat-alat yang tidak suci hama, tangan penolong, dan sebagainya.
2. Staphylococcus aureus
Masuk secara eksogen, infeksi sedang, banyak ditemukan sebagai penyebab
infeksi rumah sakit.
3. Escheria coli
Sering berasal dari kandung kemih dan rektum, menyebabkan infeksi terbatas.
4. Clostridium Welchii
Kuman anaerobik yang sangat berbahaya, sering ditemukan pada abortus
kriminalis dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit25.
2.4.3 Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya infeksi nifas sangat bervariasi dan pada umumnya dibagi
menjadi faktor yang berkaitan dengan status sosioekonomi, faktor yang berkaitan
dengan proses persalinan , dan faktor yang berkaitan dengan tidakan yang dilakukan
pada saat persalinan25
1. Fakor Status Ekonomi
Faktor status ekonomi telah dilaporkan mempengaruhi timbulnya infeksi nifas.
Penderita denga status ekonomi rendah mempunya resiko timbulnya infeksi nifas jika
dibandingkan dengan penderita dengan kelas sosioekonomi menengah, terutama bila
timbul faktor resiko yang lain misalnya ketuban pecah prematur dan seksio sesarea.
Status sosioekonomi yang rendah ini dihubungkan dengan timbulnya anemia, status
nutrisi/gizi yang rendah, perawatan antenatal yang tidak adekuat dan obesitas.
2. Faktor Proses Persalinan
Proses persalinan sangat mempengaruhi resiko timbulnya infeksi nifas, di antaranya
ialah partus lama, lamanya ketuban pecah, korioamnionitis, pemakaian monitoring janin
intrauterine, jumlah pemeriksaan dalam yang dilakukan selama proses persalinan,
manual plasenta dan perdarahan yang terjadi.
3. Faktor Tindakan Persalinan
Tindakan persalinan merupakan salah satu faktor resiko penting untuk terjadinya infeksi
nifas. Seksio sesarea merupakan faktor utama timbulnya infeksi nifas. Penderita yang
mengalami seksio sesarea mempunyai resiko 5-30 kali lebih besar untuk mengalami
infeksi nifas, dengan resiko endometritis 12-51% lebih besar. Selain itu, beberapa
tindakan pada persalinan misalnya ekstrasi forceps, tindakan episiotomy, laserasi jalan
lahir, dan pelepasan plasenta secara manual juga meningkatkan resiko timbulnya infeksi
nifas.
2.4.4 Penyebab predisposisi infeksi nifas:
a. Persalinan lama, khususnya dengan pecah ketuban
b. Pecah ketuban yang lama sebelum persalinan
c. Teknik aseptik tidak sempurna
d. Bermacam-macam pemeriksaan vagina selama persalinan, khususnya pecah
ketuban
e. Tidak memperhatikan teknik mencuci tangan
f. Manipulasi intra uteri (misal: eksplorasi uteri, pengeluaran plasenta manual)
g. Trauma jaringan yang luas atau luka terbuka, seperti laserasi yang tidak
diperbaiki
h. Hematoma
i. Hemoragi, khususnya jika kehilangan darah lebih dari 1000 ml
j. Pelahiran operatif terutama pelahiran melalui seksio sesaria
k. Retensi sisa plasenta atau membran janin
l. Perawatan perineum tidak memadai
m. Infeksi vagina/serviks atau penyakit menular seksual yang tidak ditangani
2.4.5 Tanda dan gejala infeksi nifas:
Tanda dan gejala infeksi umumnya termasuk peningkatan suhu tubuh, malaise umum,
nyeri, dan lokhia berbau tidak sedap. Peningkatan kecepatan nadi dapat terjadi, terutama
pada infeksi berat. Interpretasi kultur laboratorium dan sensitivitas, pemeriksaan lebih
lanjut, dan penanganan memerlukan diskusi dan kolaborasi dengan dokter.25
2.4.6 Cara Terjadinya Infeksi
Infeksi terjadi karena hal-hal berikut :
Tangan pemeriksa atau penolong yang tertutup sarung tangan pada pemeriksaan
dalam atsu operasi membawa bakteri yang sudah ada dalam vagina ke dalam
uterus. Kemungkinan lain ialah bahwa sarung tangan atau alat-alat yang
dimasukkan ke dalam jalan lahir tidak sepenuhnya bebas dari kuman.
Dropet infection. Sarung tangan atau alat-alat terkena kontaminasi bakteri yang
berasal dari hidung dan mulut petugas yang bekerja dari hidung dan tenggorokan
dokter atau pembantu persalinan. Oleh karena itu, hidung dan mulut petugas
bekerja dikamar bersalin harus memakai masker.
Dalam Rumah Sakit banyak kuman-kuman patogen yang dapat dibawa oleh
aliran udara kemana-mana, antara lain ke handuk, dan alat-alat steril, serta yang
digunakan untuk merawat ibu nifas
Infeksi intrapartum sudah memperlihatkan gejala-gejala pada waktu
berlangsungnya persalinan. Infeksi intrapartum biasanya terjadi pada partus
lama, apabila ketuban sudah lama pecah dan beberapa kali dilakukan
pemeriksan dalam. Gejala-gejalanya ialah kenaikan suhu, biasanya disertai
leukositosis dan takikardi, dan denyut jantung janin dapat meningkat. Air
ketuban biasanya menjadi keruh dan berbau. Pada infeksi intrapartum kuman-
kuman memasuki dinding uterus pada waktu persalinan, dan dengan melewati
amnion dapat pula menimbulkan infeksi pada janin. Prognosis infeksi
intrapartum tergantung dari jenis kuman, lamanya infeksi berlangsung dan
banyak atau tidanya laserasi jalan lahir.25
2.4.7 Pencegahan Infeksi Nifas
A. Masa Kehamilan
1. Mengurangi atau mencegah faktor-faktor atau predisposisi seperti anemia,
malnutrisi dan kelemahan serta mengobati penyakit-penyakit yang diderita ibu
2. Pemeriksaan dalam jangan dilakukan kalau tidak ada indikasi yang perlu.
3. Koitus pada hamil tua hendaknya dihindari atau dikurangi dan dilakukan dengan
hati-hati karena dapat menyebabkan pecahnya ketuban.Kalau ini terjadi infeksi
akan mudah masuk ke dalam jalan lahir.
B. Selama Persalinan
saha-usaha pencegahan terdiri atas membatasi sebanyak mungkin masuknya
kuman-kuman dalam jalan lahir :
1. Hindari partus terlalu lama dan ketuban pecah lama / menjaga supaya persalinan
tidak berlarut-larut.
2. Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin. Perlukaan-perlukaan
jalan lahir karena tindakan baik pervaginam maupun perabdominan dibersihkan,
dijahit sebaik-baiknya dan menjaga sterilitas.
3. Menjaga terjadinya perdarahan banyak, bila terjadi darah yang hilang harus
segera diganti dengan transfusi darah.
4. Semua petugas dalam kamar bersalin harus menutup hidung dan mulut dengan
masker, yang menderita infeksi pernafasan tidak diperbolehkan masuk ke kamar
bersalin.
5. Alat-alat dan kain-kain yang dipakai dalam persalinan harus suci hama.
6. Hindari pemeriksaan dalam berulang-ulang, lakukan bila ada indikasi dengan
sterilisasi yang baik, apabila bila ketuban telah pecah.
C. Selama Nifas
1. Luka-luka dirawat dengan baik jangan sampai kena infeksi, begitu pula alat-alat
dan pakaian serta kain yang berhubungan dengan alat kandungan harus steril.
2. Penderita dengan infeksi nifas sebaiknya diisolasi dalam ruangan khusus, tidak
bercampur dengan ibu sehat.
3. Pengunjung-pengunjung dari luar hendaknya pada hari-hari pertama dibatasi
sedapat mungkin25
2.5. OBSTETRI SOSIAL
2.5.1 Definisi Obstetri Sosial
Obsetri sosial adalah hubungan jumlah dan kuantitas morbiditas dan mortalitas
maternal dan perinatal dengan lingkungan hidupnya. Makin tinggi jumlah atau angka
kematian maternal dan perinatal suatu negara dalam upaya pelayanan kesehatan makin
tercermin bahwa negara tersebut masih belum mampu menyelenggarakan kesehatan
bagi masyarakatnya. Salah satu faktor yang ikut serta dalam menentukan tingkat dan
jumlah kematian maternal dan kematian perinatal adalah faktor lingkungan yang belum
mencerminkan keadaan sehat sesuai dengan batasan atau syarat ilmu kesehatan
masyarakat.27
Oleh karena itu, obsetri sosial adalah upaya promotif dan preventif dalam bidang
obstetri. Kemampuan dalam penyelenggaraan pelayanan promotif dan preventif dalam
obstetri akan dapat menekan sebanyak mungkin penyebab kematian.
2.5.2 Permasalahan Kesehatan Nasioanal
Ukuran internasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat
adalah:
1. Tinggi rendahnya angka kematian perinatal dalam 100.000 persalinan hidup
mencerminkan kemampuan satu negara untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan terhadap masyarakatnya.
2. Menerimaan gerakan keluarga berencanan oleh pasangan usia subur
mencerminkan kesejahteraan yang telah dicapai oleh masyarakat satu negara.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, wawasan dan
wilayah sangat luas dan berupa negara kepulauan sehingga Indonesia menghadapi
persoalan penatalaksanaan kesehatan yang sangan besar. Permasalahan kesehatan
nasional, diantaranya:
1. Masalah geografis
2. Masalah kependudukan
3. Masalah kesejahteraan
4. Masalah kesehatan reproduksi
5. Masalah kultur masyarakat
Masalah geografis
Indonesia merupakan negara yang terbentang di khatulistiwa dengan jumlah
sekitar 13.000 pulau dan terdapat lima pulau besar diantaranya: Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Tidak semua pulau dengan penghuni yang
disertai distribusi yang sama jumlahnya.27
Pulau yang terpadat adalah Jawa, Bali, dan Lombok. Pulau lainnya mempunyai
distribusi penduduk yang berbeda-beda:
1. Sumatra: 25 orang/km2
2. Jawa: 500-600 orang/km2
3. Bali: 300-325 orang/km2
4. Kalimantan: 125 orang/km2
5. Sulawesi: 200 orang/km2
6. Irian Jaya: 11 orang/km2
Masalah kependudukan
Jumlah penduduk Indonesia adalah keempat terbesar di dunia dengan data dasar
kependudukan sebagai berikut.
1. Perkiraan jumlah penduduk sekitar 215.000.000 orang
2. Laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,7-1,9%
3. Distribusi penduduk tidak merata dengan terpadat, yaitu Jawa, Bali, Lombok.
4. Perkiraan persalinan 5.500.000/ tahun.
5. Angka kematian maternal 390/100.000 orang/ tahun atau sekitar 195.000-200.000
persalinan hidup
6. Angka kematian perinatal 400-425/100.000 orang atau sekitar 220.000-230.000
persalinan hidup.
7. Pengangguran bertambah setiap tahunnya sekitar 1-1,5 juta.
8. Jumlah lansia diperkirakan 15.000.000 orang dan akan mencapat sekitar
60.000.000 orang pada tahun 2025.
Terdapat kemungkinan korelasi antara daerah penduduk yang padat dan tingkat
pendidikan dan pendapatan yang rendah. Di daerah, kemiskinan semakin terasa
sehingga kesiapan masyarakat untuk berobat masih kurang dan sebagian masyarakat
berorientasi pada pengobatan tradisional.
Dengan jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi.
Pemerintah dan lembaga lainnya menghadapi kesulitan untuk menyediakan fasilitas
yang cukup sehingga dapat terjadi kecemburuan sosial antardaerah. Kecemburuan sosial
merupakan titik awal dari gangguan poleksosbudhankam keluarga, lokal, dan nasional
yang sulit dikendalikan.27
Masalah kesejahteraan
Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dari beberapa hal berikut.
1. Penerimaan KB pada PUS : sekitar 65-70% sehingga pertumbuhan penduduk
mendekati stabil.
2. Pertumbuhan penduduk: 1,7-1,9% sehingga perkiraan kelipatan duanya
memerlukan waktu sekitar 50 tahun.
3. Pertumbuhan ekonomi: sekitar 3-4%
4. Pengangguran: diperkirakan bertambah sekitar 1-2 juta setiap tahun.
5. Pendapatan per kapita
6. Usia harapan hidup: Lansia di atas 65 tahun berjumlah sekitar 15-17 juta dan akan
bertambah menjadi sekitar 60 juta pada tahun 2020.
Masalah Kesehatan reproduksi
Kesehatan reproduksi merupakan masalah yang kompleks terutama pada
perempuan. Faktor umum yang perlu mendapat perhatian adalah.
1. Terjadi perubahan perilaku seksual
2. Nutrisi masih jauh dari memadai
3. Lingkungan kurang sehat
4. Penyakit berpengaruh pada kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi dalam bidang Obstetri mencakup:
1. Fertilitas yang tak terkendali
2. Pemeriksaan antenatal care yang kurang atau sama sekali tidak dilakukan
sehingga risiko tinggi luput dari pengamatan.
3. Komplikasi kehamilan, persalinan, post partum dan kala nifas serta laktasi yang
memerlukan perhatian serius.
4. Penyakit yang menyertai kehamilan.
5. Komplikasi in partu yang dapat menimbulkan berbagai bentuk manifestasi klinik.
Risiko yang terdapat pada setiap individu seharusnya dikendalikan secepatnya
sehingga angka kematian maternal dan kematian perinatal dapat diturunkan dengan
meningkatkan pelayanan yang bermutu dan menyeluruh di rumah sakit dan di tengah
masyarakat.
Masalah kultur masyarakat
Kultur masyarakat cenderung membuat individu tidak dapat mengambil
keputusan sendiri, melainkan memerlukan rembuk keluarga, desa, dan pemuka
masyarakat. Fakta berlaku ketika mengambil keputusan keputusan tentang bagaimana,
kemana, kapan, dan kepada siapa pertolongan harus didapatkan. Dalam situasi gawat
darurat bidang obstetri, sering keputusan agak terlambat ditetapkan sehingga ketika
mencapai tempat rujukan, keadaan sudah terminal.
Keadaan kultur masyarakat seperti itu sebenarnya menguntungkan untuk
meningkatkan pengertian, KIE dan KIEM tentang berbagai masalah kesehatan, karena
cukup kiranya pengertian diberikan dan ditanamkan kepada pemuka masyarakat dan
selanjutnya proses KIE akan berjalan dengan sendirinya.
Pemuka masyarakat atau yang dituakan merupakan pimpinan informal dan harus
diperhitungkan apabila ingin didapatkan simpati masyarakat dalam upaya meningkatkan
pengertian dan pendidikan kesehatan.
2.5.3 Pelaksanaan Obsetri Sosial di Indonesia
Komponen kesehatan reproduksi adalah.
1. Mampu - Berfungsi baik sebagai alat hubungan seksual dan sebagai alat
reproduksi.
2. Berhasil - melahirkan bayi well born baby dan well health mother.
3. Aman - Proses reproduksi berjalan baik dan hubungan seks, hamil, bersalin,
nifas, dan laktasi berlangsung dengan aman. Selanjutnya, reproduksi berikutnya
juga berlangsung aman tanpa penyulit.
Untuk dapat mencapai sasaran fungsi reproduksi yang mampu, berhasil, dan
aman, diperlukan tingkat kesejahteraan ibu yang optimal. Dengan status perempuan
yang sangat buruk, tidak mungkin dihasilkan generasi tangguh seperti yang diharapkan.
Konsep “primary health care” (pelayanan kesehatan primer) yang dicanangkan
pada pertemuan Alma Ata 1978 di Uni Sovyet oleh WHO dan Unicef telah dimasukkan
dalam Sistem Kesehatan Nasional, dalam upaya peningkatan “kesehatan ibu” berupa:
1. Pelayanan kesehatan primer
a. Gerakan keluarga berencana
b. Pelayanan obsetri esensial
c. Pelayanan obsetri dasar dengan asuhan antenatal serta persalinan yang
bersih dan aman.
2. Peningkatan upaya rujukan.
Rujukan (referral) merupakan faktor yang cukup besar berpengaruh pada
upaya menurunkan angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Perinatal
(AKP). Untuk menurunkan jumlah kematian ibu dan perinatal di Indonesia,
masing-masing pusat pelayanan kesehatan harus berjalan secara sinkron. Agar
pelaksanaan pelayanan sinkron dan hamonis, diperlukan upaya yang nyata,
pedoman, dan terapi yang berlaku untuk semua rumah sakit yang memberikan
pelayanan bersalin.
3. Peran rumah sakit sangat penting dalam upaya untuk menurnkan jumlah
kematian.
Tingkat kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh pengertian dan
kesanggupannya untuk menerima pelaksanaan dan pelayanan keluarga berencana.
Dengan memasukkan layanan keluarga berencana sebagai salah satu kebutuhan hidup
keluaraga, kesejahteraan keluarga akan meningkat dan dapat dipertahankan. Dengan
demikian, kualitas keluarga akan semakin baik.
Munculnya landasan obstetri sosial bersumber dari ketidakmampuan konsep
kuratif dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi untuk dapat menekan jumlah
angka kematian maternah dan perinatal.
Penyebab kematian maternal dan perinatal yang merupakan trias dengan jumlah
yang bervariasi sesuai dengan tingkat ekonomi, sosial, dan pendidikan masyarakat.
Kematian maternal diseluruh dunia diperkirakan sebanyak 585.000 orang,
sedangkan kematian perinatal sebanyak 10.000.000 orang setiap tahunnya. Sebagian
besar kematian tersebut mempunyai aspek penting.
1. Kejadian sekitar 98% terjadi dinegara berkembang, karena:
a. Keadaan sosial ekonomi yang rendah.
b. Pendidikan yang kurang sehingga layanannya masih bersifat tradisional,
oleh dukun.
c. Status perempuan di negara sedang berkembang masih tergolong rendah
sesuai kriteria WHO.
2. Angka kematian maternal dan perinatal masih dapat dicegah atau diturunkan jika
sarana pertolongan pertama dapat disediakan dan terjangkau oleh masyarakat
diperlukan upaya untuk:
a. Mendekatkan pusat pelayanan di tengah masyarakat.
b. Menerapkan agar saana kesehtan terjangkausecara sosial ekonomi.
3. Jika setiap negara mampu menyediakan sarana kesehatan khusunya pertolongan
persalinan yang bersih dan aman, jumlah kematian maternal dan perinatal akan
dapat diturunkan.
4. Risiko morbiditas dan mortalitas secara individu perlu diturunkan sehingga ibu
hamil berada pada kesehatan mental, sosial, ekonomi, dan kesehatan fisik yang
optimal. Salah satu metode KB yang efektif mengurangi risiko individu, yaiu:
tidak terlalu banyak anak, tidak terlalu muda hamil, tidak terlalu tua hamil lagi,
dan tidak terlalu pendek jarak hamil dan persalinan.
2.5.4 Safe Motherhood (Well Born Baby and Well Health Mother)
Gambaran WHO tentang safe motherhood mempunyai lima pilar sesuai Sistem
Kesehatan Nasioanl, yaitu:
1. Pelayanan keluarga berencana
2. Pelayanan antenatal untuk membuat persalinan lebih aman.
3. Pelayanan persalinan bersih dan aman.
4. Pelayanan obstetri esensial:
a. Pelayanan obstetri esensial darurat.
b. Pelayanan obstetri dan neonatus esensial darurat.
c. Pelayanan obstetri esensial komprehensif
d. Pelayanan obstetri dan neonatus komprehensif
5. Optimalisasi sistem rujukan obstetri dan neonatus. Optimalisasi ini penting di
Indonesia karena merupakan negara yang sangat luas dan sebaran penduduk yang
tidak merata.
Pelayanan Keluarga Berencana
Pentingnya gerakan KB untuk keluarga dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Peningkatan kesehatan psikologi keluarga:
a. Meningkatkan keadaan sosial ekonomi keluarga.
b. Meningkatkan keamanan dan budaya keluarga.
c. Meningkatkan kualitas SDM keluarga.
d. Mencapai NKKBS yang menjadi mata rantai dari bahagia dan sejahtera
kehidupan bangsa secara menyeluruh.
e. Menjadikan keluarga sebagai sumber ketenangan poleksosbudhankan
karena kesejahteraan sudah mulai terjamin.
2. Peningkatan kesehatan fisik karena mengikuti konsep KB:
a. Umur optimal untuk mempunyai anak berkisar antara 20 sampai 30 tahun,
dengan maksimal 35 tahun.
b. Denga memperhitungkan rintangan umur, sisa usia selanjutnya dapat
dipergunakan untuk mempersiapkan diri berkarya sehingga kesejahteraan
keluarga meningkat.
c. Jumlah dan susunan keluarga yang berorientasi NKKBS:
Mengurangi morbiditas dan mortalitas
Menghilangkan konsep empat terlalu sehingga komplikasi kehamilan,
persalinan, dan masa laktasi dapat diturunkan.
Dampak hamil ketika kesehatan optimal terhadap tumbuh kembang
intrauteri lebih baik sebagai dasar utama untuk membangun SDM
sejak awal.
3. Ditinjau dai sudut pemerintah
a. Pertumbuhan penduduk yang terkendali dapat diperhitungkan oleh
pemerintah untuk menyediakan fasilitas.
b. Dari poleksosbudhankam yang stabil dan sejahtera, pemerintah akhirnya
dapat mengendalikan poleksosbudhankamnas.
Pelaksanaan Antenatal Care (ANC)
Pelaksanaan ANC merupakan prinsip utama pelayanan obstetri sehingga dapat
ditetapkan beberapa masalah terkait.
1. Apakah kehamilan disertai penyakit ibu?
2. Apakah penyakitnya masih dapat diobati, sehingga kelangsungan tumbuh
kembang janin atau kesehatan jiwa ibunya tidak mengalami masalah?
3. Apakah perlu dilakukan pengguguran berdasarkan indikasi vital?
4. Apakah diduga terjadi komplikasi kehamilan yang membahayakan kesehatan
maternal dan perinatalnya?
5. Lebih lanjut kehamilannya dapat digolongkan sebagai:
a. Kehamilan dengan resiko rendah, yang dapat diselesaikan setempat dengan
persalinan spontan.
b. Kehamilan meragukan, yang memerlukan konsultasi.
c. Kehamilan dengan resiko tinggi, yang berbahaya jika persalinan dilakukan
setempat karena akan memerlukan fasilitas yang lebih tinggi.
Pertolongan Persalinan yang Bersih dan Aman
Jika ANC telah telah sesuai dengan tatalaksanan ilmu obstetri modern,
pertolongan bersalinnya harus diikuti dengan konsep bersih dan aman. Tujuan
pertolongan persalinan bersih dan aman adalah pencapaian:
1. Well born baby dan well health mother
2. Rekomendasi pertolongan persalinan hanya: spontan belakang kepala, kavum
outlet/ forsep ekstraksi, seksio sesarea.
3. Pertolongan persalinan letak sungsang merupakkan masalah kontroversi karena
ada tiga kemungkinan jenis persalinan: persalinan bokong, bahu, dan kepala.
Menghadapi pengetahuan masyarakat yang semakin tinggi dan makin terbukanya
tuntutan hukum terhadap dokter, bentuk persalinan yang bersifat heroik sudah
ditinggalkan karena masyarakat menginginkan hasil well born baby dan well health
mother.
Pelayanan Obstetri Esensial Darurat (POED)
Pertolongan obstetri esensal darurat diharapkan dapat dilakukan:
1. Di Puskesmas yang memiliki tempat rawat inap.
2. Teknik operasionalnya hanya:
a. Outlet vakum/forsep ekstraksi.
b. Melakukan episiotomi luas
c. Plasenta manual
d. Memasang infus sebagai tindakan antara menuju ke tempat dengan fasilitas
yang baik.
e. Memberikan uterotonika untuk menghentikan perdarahan sementara.
3. Peranan Puskesmas makin diingkatkan sehingga dapat memberikan pertolongan
obstetri neonatus darurat. Kemampuan pertolongan Puskesmas ditingkatkan
menjadi:
a. Pelayanan Obstetri Esensial Darurat (POED)
b. Pelayanan Obstetri dan Neonatus Esensial Darurat (PONED)
Tujuan POED dan PONED adalah mempercepat pemberian pertolongan dan jika
perlu melakukan rujukan ke tempat dengan fasilitas yang lebih baik.
Pelayanan Obstetri Esensial Komprehensif (POEK)
Tempat pelayanannya adalah rumah sakit kabupaten, karena:
1. Fasilitas cukup
2. Terdapat dokter spesialis obstetri dan spesialis anak
3. Mampu melakukan tindakan berkualitas
4. Fasilitas medis lebih tinggi
5. Tindakan yang dapat dilakukan adalah: POED< PONED, POEK, PONEK.
Sistem Rujukan
Sistem rujukan penting, karena.
1. Rujukan sering terlambat sehingga pasien diterima sudah dalam keadaan buruk
sehingga sulit diberikan pertolongan optimal.
2. Daerah Indonesia yang begitu luas sangat memerlukan rujukan yang lebih terarah
sehingga pasien dapat diterima ketika dalam kondisi yang baik.
3. Perujukan di Indonesia merupakan penyebab kematian yang cukup besar.
4. Bentuk saranan rujukan untuk Indonesia dengan kondisi negara kepulaua besar
dan kecil tidak samadi seluruh Indonesia sehingga diperlukan pertimbangan
kedaerahan.
a. Kalimantan, memerlukan perahu bermesin.
b. Sulawesi memerlukan mobil dan perahu bermesin.
c. Sumbawa – Flores memerlukan mobil dan kuda.
d. Bengkulu, memerlukan perahu bermesin.27
BAB III
ILUSTRASI KASUS
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien :
Nama : Ny.U
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Timpeh
Agama : Islam
Status menikah : Menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Tanggal masuk RS : 14 Februari 2016
Jam masuk RS : 13.20 WIB
ANAMNESIS :
Keluhan Utama :
Keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit,
darah berwarna merah kehitaman, membasahi 3 kain panjang + 3 pembalut, nyeri
perut ada
Sebelumnya pasien melahirkan di rumah, ditolong bidan, 10 hari yang lalu, BB anak
3900 gr, anak langsung menangis. Plasenta lahir 20 menit kemudian kesan diakui
oleh bidan lengkap.
Selama masa nifas, keluar darah berbongkah berwarna merah segar seperti darah
haid, dan tidak berbau
Riwayat demam tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK DI IGD
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis kooperatif
Tekanan darah : 80/40 mmHg
Nadi : 98x/menit
Nafas : 26x/menit
Suhu : 38oc
STATUS INTERNUS
Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Thoraks : jantung dan paru tidak ditemukan kelainan
Abdomen : status obstetrikus
Genitalia : status obstetrikus
Ekstermitas : pucat (+), akral dingin, R.Fisiologis +/+, R. Patologis -/-
STATUS OBSTETRIKUS
Abdomen :
Inspeksi : Tampak perut sedikit membuncit
Palpasi : Fundus uteri teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi uterus kurang baik,
nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), defans muskular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi: bising usus (+) normal
Genitalia :
Inspeksi : - vulva dan uretra tenang
-Tampak darah berwarna merah kehitaman bergumpal dari vagina
Inspekulo :
Vagina : tumor (-), laserasi (-), fluksus (+) darah warna merah kehitaman
menumpuk di fornix posterior
Portio : multípara, sebesar jempol kaki, tumor (-), laserasi (-), fluksus (+)
mengalir aktif dari kanalis servikalis,OUE terbuka 3-4 cm
A/ Syok hemoragik ec Late HPP ec susp sisa plasenta
P/ - kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV
- IVFD RL guyur 2 kolf
- Cek labor rutin
- Antibiotik
- Anti Perdarahan
Menit ke- Jumlah cairan yang masuk
Tekanan darah
Nadi Akral Jumlah urine
10 200 cc 90/50 90x/’ dingin 30 cc20 200 cc 90/60 88x/’ dingin 35 cc30 200 cc 100/60 88x/’ hangat 45 cc40 200 cc 100/70 86x/’ Hangat 60 cc
Follow up Pukul 14.00 di IGD
S/ lemah (+), pucat (+), keluar darah dari kemaluan (+) jumlah banyak, pusing (+)
O/ Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis kooperatif
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 86x/menit
Nafas : 22x/menit
Suhu : 38oc
Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Abdomen :
Inspeksi : Tampak perut sedikit membuncit
Palpasi : Fundus uteri teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi uterus kurang baik,
nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), defans muskular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi: bising usus (+) normal
Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (+) aktif
Ekstermitas : pucat (+), akral hangat, R.Fisiologis +/+, R. Patologis -/-
Pemeriksaan laboratorium :
Hb: 7,0 g/dl
Leukosit: 28.300/mm3
Golongan Darah: O
A/ Syok Hemoragik teratasi ec Late HPP ec susp sisa plasenta + Anemia sedang
P/ - kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV
- Persiapan transfusi 4 unit
- IVFD RL guyur 1 kolf
- Antibiotik
- Anti Perdarahan
Pasien kemudian acc di rawat di bangsal kebidangan RSUD Sungai dareh pada
tanggal 14 Februari 2015 pukul 14.10 wib dengan diagosa Syok Hemoragik
teratasi ec Late HPP ec susp sisa plasenta + Anemia sedang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit,
darah berwarna merah kehitaman, membasahi 3 kain panjang + 3 pembalut, nyeri
perut ada
Sebelumnya pasien melahirkan di rumah, ditolong bidan, 10 hari yang lalu, BB anak
3900 gr, anak langsung menangis. Plasenta lahir 20 menit kemudian kesan diakui
oleh bidan lengkap.
Selama masa nifas, keluar darah berbongkah berwarna merah segar seperti darah
haid, dan tidak berbau
Riwayat demam tidak ada
Pasien sebelumnya dibawa ke rumah bidan karena perdarahan yang tidak berhenti,
dilakukan pemeriksaan tekanan darah dengan hasil 70/50 mmHg, dilakukan
pemasangan infus I jalur dan pemberian cairan RL.
Kehamilan dan persalinan :
Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu
HPHT 23/4/2015, TP 30/1/2016
Gerak anak dirasakan sejak 5 bulan yang lalu
Nyeri pinggang menjalar keari-ari semakin lama semakin sering dan kuat dirasakan
sejak 8 jam sebelum persalinan
Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan dirasakan 8 jam sebelum persalinan
Keluar air-air yang banyak dari kemaluan sebelum persalinan tidak ada
Keluar darah yang banyak dari kemaluan sebelum persalinan tidak ada
Riwayat hamil muda : mual (+), muntah (+), perdarahan (-)
ANC : kontrol teratur ke puskesmas/posyandu tiap bulan mulai usia kehamilan 2
bulan, 1x ke klinik dokter spesialis kebidanan
Riw. Penimbangan berat badan teratur saat kunjungan kehamilan
Riw.ukur tekanan darah teratur setiap kunjungan
Pasien mengaku konsumsi tablet Fe selama kehamilan,
Riwayat hamil tua : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Riwayat menstruasi : menarche pada usia 12 tahun, siklus teratur 1x/bulan, lama
haid 4-6 hari, banyaknya 1-2 kali ganti duk per hari, nyeri haid (-)
Pasien hanya mau melahirkan dirumah sendiri, karena kebiasaan masyarakat
setempat utnuk memanggil bidan untuk kerumah
Pukul 11.00, bidan datang kerumah, dilakukan pemeriksaan dalam, disebutkan
sudah pembukaan 4-5 cm. Kemudian pukul 14.00 lahir seorang anak laki-laki
dengan BB 3900 gr, langsung menangis kuat. Setelah itu dilakukan penyuntikan di
daerah bokong, dan kemudian dilakukan pengeluaran kakak anak. Pada pukul 14.20
kakak anak sudah lahir. Kemudian dilakukan perabaan pada uterus, teraba kontraksi
buruk, sehingga dilakukan masase uterus selama kurang lebih ½ jam, kemudian
dirasakan kontraksi baik. Pada kakak anak yang lahir diperiksa kelengkapannya oleh
bidan penolong persalinan dan diakui lengkap. Pada pasien tidak dilakukan
episiotomi. Namun pada pasien dilakukan hecting atas indikasi laserasi grade 2 jalan
lahir.
Namun pada pukul 18.30 akibat pasien masih merasa keletihan setelah proses
persalinan, kemudian dilakukan pemasangan infus, dengan tetesan cepat 1 kolf, dan
dilanjutkan 1 kolf lagi hingga pagi hari nya.
Setelah persalinan, pasien mendapat obat antibiotik amoxicillin sebanyak 10 tablet
dan obat penghilang sakit
Masa Nifas :
Hari ke-1-2 masa nifas, keluar darah dari kemaluan, berwarna merah segar,
jumlah ± 1-2 x ganti pembalut.
Hari ke 3-7 masa nifas, keluar darah dari kemaluan, berwarna merah kehitaman,
jumlah ± 1-2 x ganti pembalut
Hari ke 7-9 masa nifas, keluar darah dari kemaluan, berwarna merah kehitaman,
jumlah ± 1-2 x ganti pembalut
Hari ke-10 masa nifas, keluar darah yang banyak, berwarna merah kehitaman,
jumlahnya membasahi 3 kain panjang + 3 pembalut, disertai nyeri perut
Pasien merasa perut masih tampak membesar
Riwayat demam selama masa nifas disangkal
Riwayat nyeri perut selama masa nifas disangkal
ASI ada, jumlah banyak, anak aktif menyusu
Pasien sudah mulai berjalan sejak 1 hari setelah persalinan
Pasien mandi 2x sehari, mengganti pembalut 1-2x/hari, dan membersihkan
daerah kemaluan menggunakan air dan sabun, terutama setelah buang air kecil
dan buang air besar. Pasien sudah dapat buang air kecil sendiri kekamar mandi
dan buang air besar (4 hari setelah persalinan)
Pasien mengeluhkan istirahat kurang, karena harus terjaga malam untuk
mengurus anak dan menyusui anak, dan pasien harus menyelesaikan tugas kader
nya sehingga menyebabkan pasien merasa stress dan keletihan
Makan 3x sehari, nasi 1 porsi nasi dengan 1 potong protein hewani atau nabati,
kadang-kadang dengan sayur dan konsumsi buah.
Riwayat Penyakit dahulu :
Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, ginjal, diabetes mellitus, hipertensi dan
penyakit kronis lainnya
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular, keturunan, atau
kejiwaan.
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan :
Riwayat perkawinan : 1x (tahun 2009)
Riwayat kehamilan/abortus/persalinan : 2/0/2
o I. Tahun 2010, perempuan, 2900 gr, spontan, ditolong dokter, hidup
o II. Tahun 2016, laki-laki, 3900 gr, spontan, ditolong bidan, hidup (sekarang)
Riwayat kontrasepsi : suntik KB/bulan, mulai tahun 2010-2015
Riwayat imunisasi : TT hanya 2 kali, 1 kali catin dan 1 kali saat kehamilan pertama
Riwayat kebiasaan : merokok, minum alkohol dan narkoba tidak ada
Riwayat Psikososial :
Pendidikan terakhir Ibu : SMA
Pendidikan terakhir Suami : SMA
Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga dan Kader Posyandu
Pekerjaan Suami : Wiraswasta (distributor kayu)
Jumlah anggota keluarga : 4 orang
Penghasilan rata –rata total ibu dan suami per bulan ± Rp 5.000.000- , cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari .
Pasien merasa tidak ada masalah yang menghambat dalam melakukan kunjungan
perawatan kehamilan dan kesehatan.
Pasien merasa aman tinggal di tempat tinggal sekarang.
Pasien dan anggota keluarga lain tidak ada yang tidur dalam kelaparan
Gambaran tingkatan stress pasien adalah level 4 dalam skala 1-5
Kehamilan sekarang direncanakan, karena anak pasien paling kecil sudah 6 tahun,
pasien menerima kehamilan yang sekarang.
Riwayat pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan Hb selama kehamilan 1x, hasilnya Hb 11 g/dl
Pemeriksaan Ht sebelumnya 1x, pasien lupa hasilnya
Pemeriksaan urinalisa dan kultur urine sebelumnya tidak pernah
Pemeriksaan golongan darah, menurut pasien golongan darahnya O
Pemeriksaan penapisan antibodi, status rubella, penapisan sifilis, paps smear, uji
HbSAg, dan uji HIV sebelumnya tidak pernah
Riwayat Kehamilan Resiko Tinggi
pasien tidak pernah menderita penyakit lain dalam hamil yang sekarang
pasien tidak sedang mengkonsumsi obat saat ini
tidak pernah menderita kelainan plasenta sebelumnya
tidak pernah menderita kejadian perdarahan sebelum atau sesudah persalinan
sebelumnya
tidak pernah menderita kelainan gizi kurang atau buruk sebelumnya
Riwayat nutrisi :
pasien mengalami peningkatan berat badan 10 kg (dari 50 kg menjadi 60 kg selama
hamil)
porsi makan pagi (jam 8.00) biasanya nasi dengan 1 potong protein hewani
porsi makan siang (jam 13.00) biasanya nasi dengan 1 potong protein hewani atau
nabati, kadang-kadang dengan sayur
porsi makan malam (jam 19.00) biasanya nasi dengan 1 potong protein hewani atau
nabati, kadang-kadang dengan sayur
pasien ada meminum susu 1x/hari
penambahan porsi makan pasien selama hamil biasanya berupa ½ piring nasi dan 1
potong protein, rutin
pasien menggunakan garam beryodium untuk masakan di rumah
penambahan suplemen mineral dan vitamin ada yang didapat dari Puskesmas,
diminum rutin, sejak awal kehamilan sampai menjelang persalinan
suplemen besi selama kehamilan ada, 1 tablet sehari selama 3 bulan kehamilan
pertama, rutin
ibu mengaku mendapatkan cukup makanan selama hamil
Riwayat lingkungan tempat tinggal :
lingkungan tempat tinggal diakui pasien cukup bersih
pembuangan sampah di tong sampah depan rumah
sumber air bersih PAM
selokan disekitar rumah lancar, tidak tersumbat
Riwayat aktivitas :
pasien tidak ada olahraga pada saat kehamilan
riwayat bepergian jauh selama kehamilan tidak ada
Riwayat kebersihan diri :
pasien mandi 2x sehari di kamar mandi, di luar kamar
gosok gigi selama hamil 2x sehari
kontrol gigi selama hamil ke dokter gigi tidak pernah
Ibu merasa cocok dan nyaman dengan pakaian sehari-hari
pemakaian sepatu hak tinggi selama hamil tidak ada
BAB frekuensi 1-2x sehari dikamar mandi
BAK frekuensi 5-6x sehari di kamar mandi
Riwayat keluhan medis selama kehamilan :
Riwayat kaki bengkak, tensi tinggi dan mata kabur selama kehamilan tidak ada
Riwayat mual muntah selama kehamilan ada pada awal kehamilan
Riwayat konstipasi, nyeri saat BAK, nyeri punggung, varises, hemoroid, air liur
berlebihan, nyeri kepala, nyeri ulu hati dan keputihan selama kehamilan tidak ada
Riwayat kelelahan selama kehamilan tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK DI BANGSAL KEBIDANAN
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis kooperatif
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Nafas : 22x/menit
Suhu : 39,3oC
STATUS INTERNUS
Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
THT : tidak ditemukan kelainan
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tiroid tidak membesar
Thoraks : jantung dan paru tidak ditemukan kelainan
Abdomen : status obstetrikus
Genitalia : status obstetrikus
Ekstermitas : pucat (+), akral hangat, R.Fisiologis +/+, R. Patologis -/-
STATUS OBSTETRIKUS
Muka : kloasma gravidarum (-)
Mammae : membesar, A/P hiperpigmentasi
Abdomen :
Inspeksi : Tampak perut sedikit membuncit
Palpasi : Fundus uteri teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi uterus kurang baik,
nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), defans muskular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi: bising usus (+) normal
Genitalia : Inspeksi : V/U tenang, PPV (+) aktif
A/ Syok Hemoragik teratasi ec Late HPP ec susp sisa plasenta + Anemia sedang
P/ Sikap : kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV
Persiapan transfusi 4 unit
Terapi : - IVFD RL 500 ml + drip metergin II amp + oksitosin I amp 20 tts/’
- IVFD NaCl 20 tts/’ persiapan transfusi
- PCT inf 1x1 gr
- Metronidazole inf 3x500 mg
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv
- Inj. Asam tranexamat 3x1 gr
- Inj. Vit K 3x1 (iv)
- Inj. Vit C 3x1 (iv)
- masase fundus uteri
Anjuran : USG setelah perbaikan keadaan umum pasien
Follow Up
Pukul 21.00 WIB (14 Februari 2016)
S/ Demam (-) mual (-) muntah (-) perdarahan (+) lemah (+) pucat (+) pusing (-)
O/ Keadaan umum : sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 85 x / menit
Frekuensi nafas : 24 x / menit
Suhu : 370 C
Abdomen : FUT teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi uterus kurang
baik, nyeri tekan (+), Nyeri lepas (-), Defans muskular
(-)
Genitalia : V/U tenang, PPV (+) aktif
A/ Syok Hemoragik Teratasi ec Late HPP ec susp sisa plasenta + Anemia dalam
perbaikan NH 10
Sikap : kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV, Transfusi 1 unit PRC
Terapi : - IVFD RL 500 ml + drip metergin II amp + oksitosin I amp 20 tts/’
- IVFD NaCl 20 tts/’ persiapan transfusi
- Metronidazole inf 3x500 mg
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv
- Inj. Asam tranexamat 3x1 gr
- Inj. Vit K 3x1 (iv)
- Inj. Vit C 3x1 (iv)
- masase fundus uteri
15 Februari 2016
S/ Demam (-) mual (-) muntah (-) Perdarahan (+) lemah (+) pucat (+) pusing (-)
O/ Keadaan umum : sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x / menit
Frekuensi nafas : 20 x / menit
Suhu : 36,80 C
Abdomen : FUT teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi uterus sedang,
nyeri tekan (+), Nyeri lepas (-), Defans muskular (-)
Genitalia : V/U tenang, PPV (+)
A/ Late HPP ec susp sisa plasenta + Anemia dalam perbaikan NH 11
P/ Sikap : kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV, Transfusi 2 unit PRC ( pukul 13.00
dan 21.00)
Terapi : - IVFD RL 500 ml + drip metergin II amp + oksitosin I amp 20 tts/’
- IVFD NaCl 20 tts/’ persiapan transfusi
- Metronidazole inf 3x500 mg
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv
- Inj. Asam tranexamat 3x1 gr
- Inj. Vit K 3x1 (iv)
- Inj. Vit C 3x1 (iv)
- masase fundus uteri
16 Februari 2016
S/ Demam (-) mual (-) muntah (-) Perdarahan (+) jumlah berkurang, lemah (+)
pucat (+) pusing (-)
O/ Keadaan umum : sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 82 x / menit
Frekuensi nafas : 20 x / menit
Suhu : 370 C
Abdomen : FUT teraba 1 jari bawah pusat, kontraksi uterus baik, nyeri
tekan (-), Nyeri lepas (-), Defans muskular (-)
Genitalia : V/U tenang, PPV (+) jumlah sedikit
Hasil USG kesan Terlihat adanya sisa plasenta di kavum uteri
A/ Late HPP ec sisa plasenta NH 12
P/Sikap : kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV, transfuse 1 unit PRC (13.00),
rencana dilakukan kuretase
Terapi : - IVFD RL 500 ml + drip metergin II amp + oksitosin I amp 20 tts/’
- IVFD NaCl 20 tts/’ persiapan transfusi
- Metronidazole tab 3x1
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv
- Inj. Asam tranexamat 3x1 gr
- Inj. Vit K 3x1 (iv)
- Inj. Vit C 3x1 (iv)
- masase fundus uteri
Rencana : Perbaikan KU
Kuretase
Cek Hb post transfusi : 11,4 g/dl
Pukul 20.40
Dilakukan kuretase dalam narkose, berhasil dikeluarkan jaringan ±150 cc. perdarahan
selama tindakan ±100 cc.
A/ Post kuretase ai sisa plasenta NH 12
P/ sikap : kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV
Terapi : - IVFD RL 500 ml + drip metergin I amp + oksitosin I amp 20 tts/’
- Cefotaxim 2x1 gr
- Pronalgess supp (k/p)
17 Februari 2016
S/ Demam (-) mual (-) muntah (-) Perdarahan (-), lemah (-) pucat (-) pusing (-)
O/ Keadaan umum : sedang
Kesadaran : komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x / menit
Frekuensi nafas : 22 x / menit
Suhu : 370 C
Mata : conjunctiva anemis -/-, sclera tidak ikterik
Abdomen : FUT teraba 4 jari bawah pusat, kontraksi uterus baik, nyeri
tekan (-), Nyeri lepas (-), Defans muskular (-)
Genitalia : V/U tenang, PPV (-)
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, edema -/-
A/ Post kuretase ai sisa plasenta NH 13
P/Sikap : kontrol KU, VS, kontraksi uterus, PPV
Terapi : - IVFD RL 500 ml + drip metergin I amp + oksitosin I amp 20 tts/’
- Cefotaxim 2x1 gr
- Pronalgess supp (k/p)
Pasien diperbolehkan pulang
Th/ cefixime 2x1
Asam mefenamat 3x1
Metyl ergometrin 3x1
Vitamin C 3x1
SF 1x1
BAB IV
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien wanita umur 31 tahun dengan diagnosa Syok
Hemoragik teratasi ec Late HPP ec susp sisa plasenta + Anemia sedang. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaa fisik dan pemeriksaan penunjang.
Keluhan utama pasien berupa keluar darah yang banyak dari kemaluan sejak 3
jam sebelum masuk rumah sakit. Kondisi pasien saat di IGD, dalam keadaan syok
hemoragik akibat perdarahan yang dialami oleh pasien, dimana terjadi penurunan
tekanan darah hingga 80/40 mmHg, takikardi, takipneu, dan akral pasien yang teraba
dingin, sehingga pada tahap awal dilakukan resusitasi cairan menggunakan cairan
kristaloid RL 500 cc, diguyur. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa
syok hemoragik dalah konsisi syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak,
dimana syok disebabkan gangguan sirkulasi darah ke jaringan sehingga tidak dapat
memnuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil
metabolism. Gejala yang muncul pada pasien syok berupa hipotensi, nadi cepat dan
halus, pucat, keringat dingin, sianosis jari-jari, sesak nafas, gelisah, dan oliguria
Kemudian dilakukan pemantauan dalam 30 menit kemudian, terjadi perbaikan dari
keadaan pasien, tekanan darah pasien naik menjadi 100/ 70 mmHg.
Ketika dilakukan resusitasi cairan pada pasien, pasien dilakukan pemasangan
kateter, fungsi nya untuk memantau bagaimana balance cairan pada pasien. Berdasarkan
teori, disebutkan bahwa urine output yang normal pada seseorang adalah 1
cc/kgBB/jam, sehingga pada pasien diperkirakan ± 50-60 cc dalam 1 jam pertama. Hal
ini penting diketahui, karena pada keadaan seseorang syok yang berat, dapat
menimbulkan keadaan oliguria bahkan anuria yang menandakan terjadinya gangguan
pada ginjal pasien. Oleh sebab itu, harusnya pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
terhadap fungsi ginjal, baik pemeriksaan fungsi ginjal yang dilihat dari nilai ureum
kreatinin darah, pemeriksaan urine pasien.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan darah rutin, didapatkan Hb 7 g/dl, dan
leukosit 28.300. Berdasarkan derajat anemia menurut WHO, disebut anemia ringan
sekali jika Hb 10-13, anemia ringan Hb 8-9,9, kemudian anemia sedang 6-7,9 dan
anemia berat jika Hb<6 g/dl, sehingga dapat disebutkan bahwa pasien mengalami
Anemia sedang, dan butuh transfusi darah dan pengobatan antiperdarahan untuk
menghentikan perdarahan yang terjadi pada pasien.
Transfusi darah yang diberikan pada pasien adalah PRC sebanyak 4 unit, dimana
didapatkan pada pasien harus mendapat ±750 cc. Berdasarkan literatur, pada keadaan
syok hemoragik seharusnya diberikan tranfusi darah berupa WB karena akan mengganti
semua komponen darah yang hilang, namun pada pasien diberikan PRC karena
ditakutkan kondisi pasien yang dalam masa nifas secara fisiologis tubuh masih
mengalami peningkatan kardiovaskular, jika diberikan WB akan semakin meningkatkan
beban kardiovaskular, dan ditakutkan terjadi kondisi edema paru yang jika terjadi pada
pasien nantinya tidak dapat ditanggulangi karena keterbatasan fasilitas ICU di rumah
sakit.
Untuk hasil leukosit yang >10.000 menunjukkan keadaan leukositosis yang
menggambarkan kondisi telah terjadi infeksi pada pasien, dan dibutuhkan penangan
berupa pemberian antibiotika selama masa rawatan. Pada keadaan leukositosis yang
dialami oleh pasien, penting dicurigai keadaan sepsis pada pasien, karena berdasarkan
literatur dijelaskan bahwa sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi
dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi
aktivasi proses inflamasi, dengan munculan gejala klinis yakni suhu >38°C atau <36°C,
frekuensi jantung 90 kali/menit, frekuensi nafas >20 kali/menit atau PaCO2<32, dan
leukosit >12.000/mm3, <4000/mm3, atau jumlah batang >10%.
Diketahui pasien berada dalam masa nifas dimana sebelumnya pasien
melahirkan seorang bayi laki-laki 10 hari yang lalu di rumah ditolong oleh bidan. Hal
ini mengindikasikan bahwa perdarahan yang dialami ibu erat kaitannya dengan proses
persalinan yang ia jalani. Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan postpartum
berdasarkan onset terjadinya terbagi menjadi 2, yaitu early hemorrhagic postpartum dan
late hemorrhagic postpartum. Kasus ini sesuai dengan definisi late hemorrhagic
postpartum atau perdarahan postpartum sekunder, dimana perdarahan terjadi lebih dari
24 jam hingga 12 minggu postpartum.
Keluhan ini juga diikuti keluhan nyeri perut, dan badan terasa lemah. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 100/70 mmHg, dan suhu 39,3oC.
Pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis +/+. Dari palpasi abdomen
didapatkan tinggi fundus uteri masih 1 jari dibawah pusat, dan nyeri tekan (+). Keadaan
ini mengindikasikan masih adanya jaringan dalam uterus yang menyebabkan uterus
tidakr mengecil menjadi ukuran normal. Dari inspeksi genitalia tampak darah mengalir
dari vagina, kemudian dilakukan inspekulo dan tampak darah mengalir dari portio, dan
tumpukan darah di forniks posterior. Keadaan ini menunjukkan bahwa perdarahan aktif
berasal dari dalam rongga uterus melalui kanalis servikalis. Dari hasil USG tampak sisa
plasenta masih ada dalam uterus,yang menunjukkan bahwa sumber perdarahan yang
terjadi berasal dari sisa plasenta tersebut.
Hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan suhu 39,3oC menandai keadaan
demam yang terjadi pada masa nifas pasien ini. Kriteria demam nifas adalah suhu 380C
atau lebih yang terjadi antara hari ke 2-10 postpartum. Demam nifas adalah salah satu
tanda terjadinya infeksi nifas. Pada pasien ini infeksi nifas dapat disebabkan oleh lokasi
persalinan yang belum jelas hiegenitasnya, alat-alat yang belum tentu steril, tindakan
dan tim penolong yang belum tentu sesuai dengan standart pencegahan infeksi,
perlukaan jalan lahir, dan tatalaksana postpartum yang tidak sempurna. Pada kasus ini
pasien hanya mendapatkan antibiotik amoxicillin sebanyak 10 tablet. Menurut teori
pemakaian antibiotik minimal diberikan selama 5 hari.
Untuk perawatan masa nifas pada pasien ini juga belum terjamin apakah sesuai
prosedur atau tidak. Perawatan masa nifas itu sendiri dimulai dari kala uri persalinan
sampai 40 hari post partum. Pada pasien ini tidak dilakukan pemberian obat uterotonika
seperti tablet methyl ergometrin yang berguna untuk proses involusi uterus nya.
Rendahnya pengetahuan tentang masa nifas juga menjadi permasalahan dalam kasus ini.
Seorang ibu pasca melahirkan seharusnya sudah paham mengenai apa itu masa nifas,
bagaimana perawatan dan apa-apa yang dinilai saat masa nifas tersebut. Edukasi ini
harusnya sudah didapat saat ANC waktu kehamilan tua sehingga apabila ditemui
keadaan-keadaan abnormal pasca melahirkan bisa segera ke fasilitas kesehatan (bidan,
puskesmas, RS) dengan segera. Faktanya pada pasien ini keluar darah bergumpal dan
berwarna merah kehitaman yang menunjukkan bukan lochea normal, seharusnya bisa
segera dibawa berobat.
Sehingga dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi
pasien perlu dilakukan perbaikan keadaan umum, dengan kontrol KU, VS, kontraksi
uterus, PPV, persiapan transfusi 4 unit, dan diberi terapi berupa IVFD RL 500 ml +
drip metergin II amp + oksitosin I amp 20 tts/’, PCT inf 1x1 gr, Metronidazole inf
3x500 mg, Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv, Inj. Asam tranexamat 3x1 gr, Inj. Vit K 3x1 (iv),
Inj. Vit C 3x1 (iv) dan dilakukan masase fundus uterus untuk merangsang kontraksi dari
uterus agar membaik.
Pada kasus ini, setelah dilakukan perbaikan keadaan umum, dengan
dilakukannya transfusi darah 4 unit, dan tidak ditemukan keadaan syok pada pasien,
kemudian dilakukan pemeriksaan USG untuk melihat sisa plasenta dan selanjutnya
pasien direncanakan untuk kuretase. Setelah dilakukan kuretase pada pasien, dan
berhasil dikeluarkan jaringan ± 150 cc, dan perdarahan selama tindakan ±100cc, jumlah
perdarahan pervaginam minimal, dan telah dilakukan pemeriksaan Hb post transfuse,
dengan hasil Hb 11,4g/dl, dan pasien diperbolehkan pulang dengan pengobatan yang
diberikan untuk pasien berupa Cefixime, Asam mefenamat, Metyl ergometrin, Vitamin
C, dan SF.
Berdasarkan teori salah satu sumber infeksi nifas pada persalinan pervaginam
berasal dari tempat implantasi plasenta. Pada pasie ini ditemukan adanya sisa pasenta
yang merupakan benda asing yang dapat menjadi sumber infeksi. Pemberian Antibiotik
pasien ini juga tidak tuntas, pasien ini hanya mendapat antibiotik Amoksisilin selama 3
hari, sedangkan ketentuannya Antibiotik tersebut diberikan minimal 5 hari.
Berdasarkan teori, komponen kesehatan reproduksi terdiri dari komponen
mampu, berhasil, dan aman. Mampu, artinya berfungsi baik sebagai alat hubungan
seksual dan sebagai alat reproduksi. Berhasil, artinya melahirkan bayi well born baby
dan well health mother. Aman, artinya proses reproduksi berjalan baik dan hubungan
seks, hamil, bersalin, nifas, dan laktasi berlangsung dengan aman. Selanjutnya,
reproduksi berikutnya juga berlangsung aman tanpa penyulit.
Pada kasus ini juga dapat disimpulkan bahwa komponen kesehatan reproduksi
juga belum seutuhnya tercapai, pasien baru sampai ke tahap mampu, namun belum
berhasil dan aman. Dikatakan belum berhasil karena belum tercapai well health moher
dan belum aman karena pada kala 4 yaitu masa nifas masih terdapat penyulit berupa
perdarahan post partum ec sisa plasenta yang dikarenakan kurang sempurnanya proses
kala dua persalinan.
Dari anamnesis juga diketahui dalam proses persalinan, kala I dan kala II dinilai
tidak ada masalah yang berarti. Kala I merupakan tahapan persalinan yang dimulai dari
awal kontraksi uterus hingga pembukaan serviks penuh (10 cm). Pada Ny. U, dari hasil
pemeriksaan dalam pertama kali dilaporkan pembukaan yang terjadi sudah 4-5 cm. Hal
ini menandakan bahwa Ny. U sudah memasuki kala I fase aktif, dimana kecepatan
pembukaan serviks pada multigravida seperti Ny. U bisa lebih dari 1 cm hingga 2 cm
per jam. Walaupun dari anamnesis, pasien tidak menyebutkan kapan pembukaan
lengkap terjadi, tetapi dari data bahwasanya anak lahir pada jam 14.00, yaitu 3 jam
berikutnya, dapat diperkirakan tidak ada hambatan dalam pembukaan serviks di kala I.
Pada kala II, yaitu tahapan persalinan dimana anak lahir spontan dengan dorongan aktif
dari ibu, juga dinilai tidak ada masalah dimana anak lahir tidak lama setelah dipimpin
mengedan oleh bidan penolong persalinan. Tetapi pada kala III, setelah plasenta
dilahirkan, pada perabaan uterus, dirasakan kontraksi uterus jelek, sehingga dilakukan
masase uterus selama ½ jam, dan kemudian kontraksi uterus membaik. Plasenta setelah
dilakukan pengecekan kelengkapan oleh bidan penolong persalinan dan diakui lengkap,.
Riwayat kehamilan ini, pasien tidak mengalami masalah, pasien melakukan
ANC dengan baik. Pasien teratur melakukan ANC, tiap bulan ke posyandu atau
puskesmas, pasien mengikuti anjuran untuk makanan yang bergizi, pasien tidak ada
masalah dalam menjangkau pelayanan kesehatan terdekat. Dan hal ini berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari pasien yang merupakan seorang kader.
Berdasarkan status ekonomi pasien termasuk golongan ekonomi menengah ke
atas dan tidak memiliki kendala dalam mengakses pelayanan kesehatan serta biaya
untuk kontrol kehamilannya. Dan dari segi pendidikan, pasangan suami istri tersebut
memiliki pendidikan terakhir SMA dan ibu merupakan seorang kader. Namun,
pengaruh kebiasaan masyarakat setempat, pasien memutuskan untuk persalinan di
rumah saja, dan memanggil bidan untuk datang ke rumah.
Pada kasus ini, seharusnya diberikan KIE (komunikasi, informas dan edukasi)
tidak hanya kepada pasien, namun juuga kepada suami pasien, keluarga, masyarakat
serta tenaga kesehatan yang menolong persalinan. Dimana KIE yang perlu disampaikan
ke pasien adalah mengenai perawatan masa nifas yang meliputi jenis lokia yang normal,
diet tinggi karbohidrat tinggi protein, pemberian ASI yang baik dan benar, perawatan
payudara, kebersihan diri, vulva hygiene, dan pembatasan pengobatan-pengobatan
tradisonal. Sedangkan edukasi yang dapat diberikan pada suami pasien adalah agar
selalu memberi dukungan pada ibu, karena ibu mengalami kelelahan post partum. KIE
yang diberikan keluarga adalah kebersihan lingkungan, begitu juga KIE ke masyarakat
sehingga diharapkan KIE dapat memberi perubahan pola perilaku masyarakat, karena
kondisi pasien yang mengalami infeksi nifas ini tidak terpaut hanya penyebab dari
faktor ibu saja, sebagai bukti masih kuatnya kebiasaan masyarakat setempat yang
membiasakan proses melahirkan hanya di rumah saja. Selain itu, juga perlu edukasi
lebih lanjut ke tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan persalinan ke pasien,
dimana sebagai penolong persalinan, harusnya sudah memberikan gambaran bahwa
proses persalinan yang dilakukan dirumah akan memberi kemungkinan tidak hygiene,
serta pada pemeriksaan plasenta, jika masih ragu dengan kelengkapan plasenta,
hendaknya segera di Rujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lanjut.
Hal ini merupakan salah satu permasalahan kesehatan terkait dengan kultur
masyarakat. Diharapkan keluarga dan pemuka masyarakat memberi edukasi pada
pasangan suami istri yang merencanakan atau sedang melewati kehamilan untuk dapat
mengambil keputusan tentang bagaimana, kemana, dan kepada siapa pertolongan
persalinan harus didapatkan. Sehingga, angka morbiditas maternal dapat ditekan.
Hal-hal yang dipantau
Waktu pemantauan : Sebelum transfuseSaat tiap 15 menit pertama dan tiap jamSetelah tiap jam dalam 4 jam pertama
Reaksi transfusi
(-) (+)
AdrenalinPrometrazin
Stop transfuseLapor bank darah
Uji konfirmasi urin
SYOK HEMORAGIK EC PERDARAHAN POST PARTUM
Emergency
ABC
Terapi Cairan15-20’ pertama = 500-1000 ml
Tetesan pemeliharaan(1L dalam 6-8 jam)
Cek laboratorium Cyto
Golongan darah
Hb = (Hb diinginkan-Hb target) x BB x 3
leukosit
menurun normal
Transfuse (PRC untuk pemulihan fungsi oksigenasi jaringan, Hb mampu mengikat
dan menghantarkan oksigen)
ALGORITMA SYOK HEMORAGIK ec PERDARAHAN POST PARTUM
KU, Suhu, Nafas, Nadi, Tek.darah
Balance cairan/kateterisasi(1-2 cc/kgBB/jam)
stabil
Analisa penyebab perdarahan post partum(anamnesa + pem.fisik)
Perdarahan segera setelah anak lahir+ kont.uterus tidak bagus
Plasenta belum lahir dalam 30 menit + darah segar
Plasenta/ selaput tidak lengkap + muncul 6-10 hari pasca salin + subinvolusi uterus
Perdarahan segera + nyeri + kontraksi uterus tidak bagus
Tidak teraba uterus + tampak di lumen vagina nyeri
Pemeriksaan Laboratorium
atonia Retensio plasenta
Ec sisa plasenta
Rupture uteri
Inverse uteri Kelainan koagulasi
Konfirmasi dg USG
Beri infus oksitosin : metergin 1:1 dalam 1L cairan kristaloidEksplorasiKuretaseBeri antibioticanalgetik
DAFTAR PUSTAKA1. Dorland, WA, 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Ed 31. Jakarta: EGC. 922. Smith J.R., dan Brennan B.G. Postpartum Hemorrhage. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#showall. Diakses pada 16 Februari 2016
3. Burd I., 2012. The Three Stages of Labor. Diunduh dari http://umm.edu/health/medical/pregnancy/labor-and-delivery/the-three-stages-of-labor. Diakses 11 Juli 2014
4. Cunningham F.G, Leveno K.J., Bloom S.L., Hauth., Rouse D.J., Spong C.Y., 2009. Obstetri Williams. Ed 23. Jakarta: EGC. Hal 795
5. Coker A. and Oliver R., 2006. Definitions and classifications. Dalam (B-Lynch C, Keith L, Lalonde A, Karoshi M, editors) A Textbook of Postpartum Hemorrhage. United Kingdom: Sapiens Publishing.130(Khan dan El-Refaey, 2006).
6. Sulaiman S., Martaadisoebrata D., dan Wirakusumah F.F., 2003. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi. Ed 2. Jakarta: EGC. Hal 175(Karkata, 2010)
7. Kavle J.A., Stoltzfus Rebecca J., Witter Frank, Tielsch James M., Khalfan Sabra S., Caulfield Laura E., 2008. Association Between Anaemia During Pregnancy and Blood Loss at and after Delivery among Women with Vaginal Births in Pemba Island, Zanzibar, Tanzania. Journal of Health, Population and Nutrition. 26(2): 232-240
8. Eriza N., 2013. Hubungan Perdarahan Postpartum dengan Paritas di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 1 Januari 2010-31 Desember 2012. Skipsi, Universitas Andalas.
9. Cameron M.J., dan Robson S.C., 2006. Vital Statistics : An Overview. Dalam (B-Lynch C, Keith L, Lalonde A, Karoshi M, editors) A Textbook of Postpartum Hemorrhage. United Kingdom: Sapiens Publishing. 17
10. Widianti E.Ydan Setyaningsih A., 2014. Hubungan Jarak Kelahiran dengan Kejadian Perdarahan Postpartum Primer di BPS Hermin Sigit Ampel Boyolali. Jurnal Kebidanan. 6 : 22-32
11. Endriani S.D, Rosidi A., dan Andarsari W., 2012. Hubungan Umur, Paritas, dan Berat Bayi Lahir dengan Kejadian Laserasi Perineum di Bidan Praktek Swasta Hj. Sri Wahyuni, S.SiT Semarang Tahun 2012. Diunduh dari http://www.jurnal.unimus.ac.id. Diakses pada 22 Oktober 201
12. (CIHI, 2011).13. Borton C., 2014. Gravidity and Parity Definitions (and their Implications in Risk
Assessment). Diunduh dari www.patient.co.uk/doctor/gravidity-and-parity-definitions-and-their-implications-in-riskassessment. Diakses pada 26 Oktober 2014
14. Al-Farsi Y., Brooks D.R., Werler M.M., Cabral H.J., Al-Shafei M., dan Wallenburg H.C., 2011. Effect of High Parity on Occurance of Anemia in Pregnancy. Bio Med Central Pregnancy Childbirth. 11(7)
15. Manuaba, IBG, 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
16. Sutanto A., Sudardi, Kartodimedjo D., 1973. Paritas dan Perdarahan Postpartum Khususnya Perdarahan Kala III dan IV. Berkala Ilmu Kedokteran Gadjah Mada. 5 : 25-29
17. Conde-Agudelo A. Dan Belizan J.M., 2000. Maternal Morbidity and Mortality Associated with Interpregnancy Interval: Cross-Sectional Study. British Medical Journal. 321(7271): 1255-1259
18. World Health Organization, 2005. Report of a WHO Technical Consultation on Birth Spacing. Geneva. Diunduh dari http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/birth_spacing.pdf. Diakses pada 15 Maret 2015
19. Eleje G.U., Ezebialu I.U., dan Eke N.O., 2011. Inter-Pregnancy Interval (IPI) : Why is The Ideal?. Afrimedic Journal. 2(1): 36-38
20. World Health Organization, 2012. WHO Recommendations for The Prevention and Treatment of Postpartum Hemorrhage. Geneva. Diunduh dari http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75411/1/9789241548502_eng.pdf. Diakses pada 31 Maret 2015
21. Departemen Kesehatan RI. 2008. Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal.22. Wuryanti, A. 2010. Hubungan Anemia dalam Kehamilan dengan Perdarahan
Postpartum karena Atonia Uteri di RSUD Wonogiri. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
23. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu24. Departemen Kesehatan RI. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED).25. Prawirohardjo,S : Ilmu Kebidanan, Fisiologi Nifas dan Penanganannya, ed-I.
Yayasan Bina Pustaka, Jakarta 2011. 26. Mochtar,R : Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi-Obstetri Patologi I, ed-2
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 200227. Manuata, Candranita. Pengantar Kuliah Obstetri, EGC, Jakarta, 2007