72
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam 3 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015 EPISTEMOLOGI AL-QURAN DALAM MEMBANGUN SAINS ISLAM Iing Misbahuddin Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri “Walisongo” Jl. Prof. Dr. Hamka Km.1, Ngaliyan, Semarang e-mail: [email protected] Abstract: This article aims to elaborate on the Quran as the basis of Islamic epistemology in building science. The concept of science in the Quran, from the point of view of philosophy. Framework used to analyze this theme is the philosophical framework. In the paradigm of philosophy, science concepts can be classified in three dimensions; the first, an epistemological dimension, namely the study of philosophy from the aspect of how to acquire knowledge. Part of this philosophy is called the theory of knowledge, namely methodology to gain knowledge or science, or how to obtain a true knowledge; second, the ontological dimension, namely the branch of philosophy that discusses the object of study of science, or the nature of the study of science; and the third, axiological dimension, namely the branch of philosophy that discusses the purpose and use value and the value of the benefits of science. Part of this philosophy better known as the theory of value. And what about his role in building the Islamic sciences in Islamic universities in particular and in the Islamic world in general. Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi al-Quran sebagai landasan epistemologi dalam membangun sains Islam. Konsep ilmu dalam al-Quran, ditinjau dari sudut pandang filsafat. Kerangka yang dipakai untuk menganalisis tema ini adalah kerangka pemikiran filsafat. Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga dimensi; pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar; kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang objek kajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian ilmu; dan ketiga, dimensi aksiologis, yakni cabang filsafat yang mem- bahas tentang tujuan dan nilai guna serta nilai manfaat ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan teori nilai. Dan bagaimana peranannya dalam membangun sains Islam di perguruan tinggi Islam khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Keywords: al-Quran, ayat al-matluwah, ayat al-majluwah, al-‘ilm, al- ḥikmah, dan al-ma‘rifah.

EPISTEMOLOGI AL-QURAN DALAM MEMBANGUN SAINS ISLAM

Embed Size (px)

Citation preview

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

3

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

EPISTEMOLOGI AL-QURAN DALAM MEMBANGUN SAINS ISLAM

Iing Misbahuddin

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri “Walisongo”

Jl. Prof. Dr. Hamka Km.1, Ngaliyan, Semarang

e-mail: [email protected]

Abstract: This article aims to elaborate on the Quran as the basis of

Islamic epistemology in building science. The concept of science in the

Quran, from the point of view of philosophy. Framework used to analyze

this theme is the philosophical framework. In the paradigm of philosophy,

science concepts can be classified in three dimensions; the first, an

epistemological dimension, namely the study of philosophy from the

aspect of how to acquire knowledge. Part of this philosophy is called the

theory of knowledge, namely methodology to gain knowledge or science,

or how to obtain a true knowledge; second, the ontological dimension,

namely the branch of philosophy that discusses the object of study of

science, or the nature of the study of science; and the third, axiological

dimension, namely the branch of philosophy that discusses the purpose

and use value and the value of the benefits of science. Part of this

philosophy better known as the theory of value. And what about his role in

building the Islamic sciences in Islamic universities in particular and in the

Islamic world in general.

Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi al-Quran sebagai

landasan epistemologi dalam membangun sains Islam. Konsep ilmu

dalam al-Quran, ditinjau dari sudut pandang filsafat. Kerangka yang

dipakai untuk menganalisis tema ini adalah kerangka pemikiran filsafat.

Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga

dimensi; pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek

bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini

disebut teori ilmu pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan

ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar;

kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang

objek kajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian

ilmu; dan ketiga, dimensi aksiologis, yakni cabang filsafat yang mem-

bahas tentang tujuan dan nilai guna serta nilai manfaat ilmu

pengetahuan. Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan teori nilai. Dan

bagaimana peranannya dalam membangun sains Islam di perguruan

tinggi Islam khususnya dan di dunia Islam pada umumnya.

Keywords: al-Quran, ayat al-matluwah, ayat al-majluwah, al-‘ilm, al-

ḥikmah, dan al-ma‘rifah.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

4

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

A. Pendahuluan

Al-Quran–sebagaimana didefinisi-

kan para ulama uṣūl–adalah firman

Allah sebagai mukjizat yang diurunkan

kepada Nabi Muhammad saw. melalui

malaikat Jibril, dituliskan dalam mushaf

dimulai dari surat al-Fātiḥah dan di-

akhiri dengan surat al-Nās.1 Dengan

tegas dinyatakan dalam al-Quran bahwa

fungsinya yang utama adalah sebagai

petunjuk bagi manusia dan memberi

keterangan-keterangan serta sebagai

pembeda antara hak dan batil (QS. al-

Baqarah [2]: 185).

Tidak diragukan lagi al-Quran

tidak hanya mengandung keterangan

tentang hukum, sosial dan moral,

melainkan juga berisi banyak ayat yang

berkaitan dengan hakekat ilmu pengeta-

huan, dan bagaimana mem-perolehnya

serta bagaimana meman-faatkan ilmu

pengetahuan tersebut untuk kemas-

lahatan manusia di dunia ini. Al-Quran

menegaskan bahwa ilmu Allah itu tak

terbatas (infinif dan ab-solut) yang

digambarkan dalam al-Qur-an sebagai

berikut:

Katakanlah: “Sekiranya lautan men-

jadi tinta untuk (menulis) kalimat-

kalimat Tuhanku, sungguh habislah

lautan itu sebelum habis (ditulis)

kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun

Kami datangkan tam-bahan sebanyak

itu (pula).” (QS. Al-Kahfi [18]: 109).

Dan seandainya pohon-pohon di bumi

menjadi pena dan laut (menjadi tinta),

ditambahkan kepadanya tujuh laut

(lagi) sesudah (kering)nya, niscaya

tidak akan habis-habisnya (ditulis-

1Muḥammad ‘Ali Ṣabūnī, al-Tibyān fī

‘Ulūm al-Qur’ān, Damaskus: Maktabah ‘Arabiyah, 1990.

kan) kalimat Allah. Sesungguhnya

Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27).

Yang dimaksud dengan kalimat

Allah dalam ayat tersebut adalah ilmu-

Nya dan hikmahnya. Betapa luas dan

tak terhingga kandungan ilmu penge-

tahuan dalam kalam Allah al-Quran. Al-

Quran tidak hanya sebagai sumber ilmu

teologi, fikih dan muamalah. Akan tetapi

al-Quran adalah sebagai kitab kumpul-

an ilmu pengetahuan dan al-Quran telah

lama menjadi pedoman pada universi-

tas al-Azhar Mesir dan universitas-

universitas Islam di seluruh dunia me-

megang peranan penting sebagai dasar

seluruh kurikulum dan pengajaran.2

Demikian al-Quran agar menjadi obyek

pemikiran bagi manusia ayat demi ayat

untuk menggali ilmu pengetahuan dan

hikmahnya. Sebagaimana firman Allah

swt: Ini adalah sebuah kitab yang Kami

turunkan kepadamu penuh dengan

berkah supaya mereka memperhatikan

ayat-ayatNya dan supaya mendapat

pelajaran orang-orang yang mempunyai

pikiran. (QS. Ṣād [38]: 29). Dengan

demikian, al-Quran sangat mendorong

manusia agar memperhatikan dan me-

mikirkan alam semesta agar mengetahui

rahasia dan hikmah serta tujuan di-

ciptakan alam semesta ini (QS. al-A‘rāf

[7]: 185).

Tulisan ini lebih lanjut akan

mengkaji konsep ilmu dalam al-Quran,

ditinjau dari sudut pandang filsafat.

Kerangka yang dipakai untuk

menganalisis tema ini adalah kerangka

pemikiran filsafat. Dalam paradigma

2Philip K. Hitti, The Arabs: A Short History,

Bandung: Sumur Bandung Bandung, 1970, h. 49.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

5

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi

dalam tiga dimensi; pertama, dimensi

epistemologis, yakni kajian filsafat dari

aspek bagaimana cara memperoleh ilmu

pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut

teori ilmu pengetahuan, yaitu meto-

dologi untuk mendapatkan ilmu penge-

tahuan, atau cara mendapatkan pengeta-

huan yang benar; kedua, dimensi

ontologis, yakni cabang filsafat yang

membahas tentang objek kajian ilmu

pengetahuan, atau hakikat segala yang

menjadi kajian ilmu; dan ketiga, dimensi

aksiologis, yakni cabang filsafat yang

membahas tentang tujuan dan nilai guna

serta nilai manfaat ilmu pengetahuan.

Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan

teori nilai.3 Dan bagaimana peranan-

nya dalam membangun sains Islam di

perguruan tinggi Islam khususnya dan

di dunia Islam pada ummnya.

B. Epistemologi Al-Quran

Dalam uraian ini, epistemologi al-

Quran dibagi ke dalam tiga pokok

pembahasan yang penting. Pertama

dimentasi epistimologi ilmu pengeta-

huan menurut al-Quran yakni suatu

kajian filsafat dari aspek bagaimana

metode memperoleh ilmu pengetahuan.

Dalam kajian filsafat disebut teori ilmu

pengetahuan yaitu metodologi untuk

memperoleh ilmu pengetahuan menu-

rut al-Quran. Kedua dimensi ontologi

yakni bidang filsafat yang membahas

obyek ilmu pengetahu-an atau hakekat

segala hal yang menjadi obyek kajian

ilmu pengetahuan. Ketiga dimensi tuju-

3Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut

al-Quran, Bandung: Mizan, 1999, h. 137; Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, h. 15.

an dan nilai guna serta mamafaat dari

pada ilmu pengetahuan.4

Al-Quran telah menyampaikan

pesan-pesan tentang ilmu pengetahuan

dengan menggunakan term-term yang

bervariasi yaitu dengan kata العلم (ilmu

pengetahuan) berjumlah 844 kata de-

ngan macam bentuk kata secara

semantik misalnya العالم معلوم –علما -يعلم

-علمالعلماء العالمين dan kata deviriasi

lainnya seperti “الحكمة” (kebenaran )

dan المعرفة (ilmu pengetahuan). Untuk

lebih jelasnya term-term tersebut akan

diuraikan berikut ini :

Pertama kata Al-‘Ilm ( العلم)

Al-Quran menyampaikan kata

ilmu yang memiliki beberapa makna

yang berbeda karena perbedaan kon-

teks ayat namun makna subtansinya

sama. Ilmu berarti mengetahui sesuatu,

ada dua makna yaitu mengetahui zat

sesuatu dan mengetahui sifat sesuatu.

Dalam bahasa Arab kata ‘alima di-

sandarkan kepada satu obyek (maf’ūl)

dan yang kedua kepada dua obyek

(maf’ūlain). Ilmu ada dua macam yaitu

pertama pengetahuan teoritis (naẓari),

yaitu pengetahuan tentang sesuatu

misalnya pengetahuai tentang adanya

alam. Kedua pengetahuan praksis, yaitu

pengetahuan itu tidak sempurna kecuali

setelah mengaplikasikannya, misalnya

pengetahuan tentang ibadah.5

Di samping makna tersebut kata

ilmu dari sisi lain ada dua macam ilmu

yaitu ilmu samā’i (wahyu) atau naqli,

yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh

secara langsung dari Allah seperti wah-

yu dan ilham. Kata ilmu berasal dari

4Ibid. 5al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradāt

li Alfāẓ al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kitāb al-Ghazālī, tth, h. 355.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

6

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

kata i’lam yang berarti pemberitahuan

dan ilmu aqli (penalaran ) yaitu ilmu

pengetahuan yang diperoleh melalui

proses pembelajaran secara berulang-

ulang sehingga tertanam dalam akal dan

jiwa. Kata ilmu ini beasal dari kata

ta’allum yang berarti pembelajaran.6

Dengan demikian ilmu pengetahuan

menurut al-Quran ada dua macam yaitu

ilmu pengetahuan yang diperoleh se-

cara langsung dari Allah melalui wahyu

dan ilham dan ilmu pengetahuan yang

diperoleh melalui proses pembelajaran.

Meskipun demikian kedua-duanya ber-

asal dari Yang Maha Mengetahui, Allah

swt. Karena ilmu merupakan sifat Allah

yang utama yang memilki ta’alluq atas

sesuutu yang maujud sedangkan ilmu

pengetahuan juga obyeknya segala

sesautu yang maujud.

Berikut ini di antara ayat-ayat

tentang ilmu pengetahuan dalam al-

Quran:

Dan siapkanlah untuk menghadapi

mereka kekuatan apa saja yang kamu

sanggupi dan dari kuda-kuda yang

ditambat untuk berperang (yang

dengan persiapan itu) kamu meng-

gentarkan musuh Allah dan musuhmu

dan orang orang selain mereka yang

kamu tidak mengeta-huinya; sedang

Allah mengetahuinya. Apa saja yang

kamu nafkah-kan pada jalan Allah

niscaya akan dibalasi dengan cukup

ke-padamu dan kamu tidak akan

dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfāl

[8]: 60).

(Ingatlah), hari di waktu Allah me-

ngumpulkan Para Rasul lalu Allah

bertanya (kepada mereka): "Apa jawaban kaummu terhadap (seru-

an)mu?". Para Rasul menjawab:

6 Philip K. Hitti, The Arabs, h.356.

"Tidak ada pengetahuan Kami (ten-

tang itu); sesungguhnya Engkaulah

yang mengetahui per-kara yang

ghaib" (QS. al-Mā’idah [5]: 109).

Sesungguhnya Allah telah memberi

karunia kepada orang-orang yang

beriman ketika Allah mengutus

diantara seorang Rasul dari golongan

mereka sendiri, yang membacakan

kepada mereka ayat-ayat Allah,

membersihkan (jiwa) mereka, dan

mengajarkan kepada mereka Al kitab

dan al-Ḥikmah. dan Sesungguhnya

sebelum (ke-datangan Nabi) itu,

mereka adalah benar-benar dalam

kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran

[3]: 164).

Bacalah dengan (menyebut) nama

Tuhanmu yang menciptakan; Dia

telah menciptakan manusia dari

segumpal darah. Bacalah, dan

Tuhanmulah yang Maha pemurah,

yang mengajar (manusia) dengan

perantaran kalam, dan meng-ajarkan

suatu yang belum di-ketahuinya (QS.

al-‘Alaq [96]: 1-5).

Kedua kata Ḥikmah (الحكمة)

Al-Quran dalam beberapa ayatnya

menggunakan kata ḥikmah, yang

berasal dari kata jadian “حكم ـ يحكم ـ حكما”

artinya “kokoh, mengikat”, dan arti

mufradatnya adalah memperoleh suatu

kebenaran dengan ilmu dan akal. Al-

Ḥikmah dari sisi Allah sebagai Al- Ḥākim

artinya Allah mengetahuai segala

sesuatu dan menciptakannya dengan

sangat kokoh, sedangkan dari sisi

manusia ḥikmah artinya “manusia

mengetahui segala yang maujud dan

dapat melakukannya kebajikan.”7 Demi-

kian makna ini sebagaimana Allah telah

7al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradāt,

h. 126.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

7

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

memberikan ḥikmah kepada Luqman

dalam firman-Nya:

Dan sesungguhya telah Kami berikan

ḥikmah kepada Luqman, yaitu:

"Bersyukurlah kepada Allah; dan

barangsiapa yang bersyukur (kepada

Allah), maka sesungguh-nya ia

bersyukur untuk dirinya sendiri; dan

barangsiapa yang tidak bersyukur,

maka sesungguh-nya Allah Maha Kaya

lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman [31]:

12).

Sebagai kata jadian dari ḥikmah

adalah al-ḥukmu dan al-ḥakīm, makna

al-ḥukmu lebih umum daripada ḥukmun

karena setiap ḥikmah ada hukum dan

tidak setiap hukum ada ḥikmah. Karena

hukum adalah memutuskan sesuatu atas

sesuatu yang lain. Namun kadang kata

ḥukmun berarti hikmah. Sebagaimana

firman Allah:

Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka

sesorang Rasul dari ka-langan

mereka, yang akan membacakan

kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan

mengajarkan kepada mereka al-Kitāb

(al-Quran) dan al-Ḥikmah (al-Sunnah)

serta mensucikan mereka. Sesung-

guhnya Engkaulah yang Maha Kuasa

lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah

[2]: 129).

Dalam ayat tersebut kata ḥikmah

berarti sunnah. Dengan demikian, Nabi

Muhammad saw menerima al-Kitāb

yakni al-Quran dan al-Ḥikmah yakni

sunnah Nabi. Keduanya merupakan

pengetahuan yang langsung dari Allah,

demikian juga para rasul sebelumnya.

Di tempat yang lainnya, al-Ḥikmah

adakalanya disebut karena menerangi

jalan dihadapan orang-orang beriman,

dan adakalanya disebut al-furqān

karena ḥikmah dapat membedakan an-

tara hak dan batil antara baik dan buruk

dan antara benar dan salah. Ini dapat

disimak dari ayat berikut:

Hai orang-orang yang beriman (ke-

pada para rasul), bertakwalah kepada

Allah dan berimanlah kepada Rasul-

Nya, niscaya Allah memberikan

rahmat-Nya kepada-mu dua bagian,

dan menjadikan untukmu cahaya

yang dengan cahaya itu kamu dapat

berjalan dan Dia mengampuni kamu.

dan Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang. (QS. al-Ḥadīd [57]:

Ketiga kata al-Ma’rifah ( المعرفة )

Berasal dari عرف يعرف عرفا معرفة

berarti mengeahui atau mengenal

,ma’rifah atau irfan berarti mengetahui

sesuatu dengan berfikir atau tadabbur

terhadap dampaknya misalnya berfikir

tentang ke mahakuasaan Allah melalui

ciptaan-Nya. Al-Ma’rifah lebih khusus

daripada ilmu kebalikannya adalah ing-

kar sedang ilmu (tahu) kebalikannya

jahlu (bodoh). Dikatakan “ia ma’rifat

kepada Allah” tidak dikatakan “ia

mengetahui Allah”. Manusia ma’rifat

kepada Allah dengan men-tadabbur

ciptaan-Nya atau firman-Nya akan

tetapi tidak mengetahui zat-Nya. 8

Menurut para filosof (filsuf)

ma’rifat adalah hasil dari interaksi hu-

bungan antara zat yang dima’rifati

dengan dengan obyeknya, berbeda de-

ngan ilmu sekiranya ma’rifat terjadi

pada satu waktu adanya hubungan

yang kuat antara keduanya. Ilmu

pengetahuan dengan ma’rifat adalah

ilmu pengetahuan tanpa perantara

antara zat dan obyeknya seperti ilham

8Ibid., h. 343.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

8

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

atau ‘irfān (pengetahuan yang langsung

dari Allah).9

Al-Quran tidak menyebutkan

secara eksplisit kata ma’rifat tetapi

menyebutkan kata kerjanya (fi‘il)

sebagaimana dalam ayat berikut:

Dan setelah datang kepada mere-ka

al-Quran dari Allah yang membenar-

kan apa yang ada pada mereka,

padahal sebelumnya mereka biasa

memohon (keda-tangan Nabi) untuk

men-dapat kemenangan atas orang-

orang ka-fir, maka setelah datang

kepada mereka apa yang telah mereka

ketahui, mereka lalu ingkar kepada-

nya. Maka laknat Allah-lah atas orang-

orang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah

[2]: 89).

Dan saudara-saudara Yusuf da-tang

(ke Mesir) lalu mereka masuk ke

(tempat)nya. Maka Yusuf me-ngenal

mereka, sedang mereka tidak kenal

(lagi) kepadanya (QS. Yūsuf [12]:

58).10

Hai anakku, dirikanlah salat dan

suruhlah (manusia) mengerjakan

yang baik dan cegahlah (mereka) dari

perbuatan yang mungkar dan

bersabarlah terhadap apa yang

menimpa kamu. Sesungguhnya yang

demikian itu Termasuk hal-hal yang

diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman

[31]: 17).

Dari uraian tersebut di atas dapat

diambil kesimpulan bahwa ilmu penge-

tahuan dalam perspektif disebutkan

dalam tiga term yaitu: ‘ilm, ḥikmah, dan

9Jamīl Ṣalibā, Mu’jam al-Falsafī, Beirut:

Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979, h 186. 10Menurut sejarah ketika terjadi musim

paceklik di Mesir dan sekitarnya, Maka atas anjuran Ya'qub, saudara-saudara Yusuf datang dari Kanaan ke Mesir menghadap pembesar-pembesar Mesir untuk meminta bantuan bahan makanan.

ma’rifah. Ketiga macam term tersebut

menurut konteksnya menunjukkan tiga

macam model ilmu pengetahuan;

pertama, ḥikmah adalah ilmu penge-

tahuan yang langsung Allah anugerah-

kan kepada hamba pilihan-Nya seperti

para nabi dan rasul serta orang-orang

saleh yang mendapat ilham dari Allah.

Kedua, ma’rifah adalah ilmu pengeta-

huan yang diperoleh melalui tadabbur

dan tafakkur terhadap aya-ayat ciptaan

Allah dan firman-Nya. Ketiga, ‘ilm

adalah ilmu pengetahuan yang di-

peroleh melalui proses pembelajaran

atau ilmu pengetahuan kasb (hasil

usaha). Ketiga macam ilmu pengetahuan

tersebut pada hakekatnya adalah suatu

kesatuan karena berasal dari Allah.

Inilah yang merupakan faktor ontologi

ilmu pengetahuan menurut al-Quran.

Selanjutnya akan di uraikan faktor

metodologi memperoleh ilmu pengeta-

huan.

C. Metode Memperoleh Ilmu Penge-

tahuan

Setiap manusia yang dilahirkan ke

dunia ini, Allah telah memberikan

potensi dalam diri manusia untuk dapat

memperoleh ilmu pengetahuan. Walau-

pun secara sunnatullah ketika lahir

manusia tidak mengetahui apa-apa,

namun kemudian Allah memberinya

indera pendengaran, penglihatan dan

akal. Dengan anugerah Allah ini

manusia berpotensi memiliki dan

mengembang-kan ilmu pengetahuan

apabila ia dapat mengaktualisasikan

anugerah Allah tersebut. Ini dijelaskan

oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya di

bawah ini:

dan Allah mengeluarkan kamu dari

perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatu pun, dan Dia

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

9

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

memberi kamu pendengaran, peng-

lihatan dan hati, agar kamu ber-

syukur. (QS. al-Naḥl [16]: 78).

Dari sini pentingnya peran

pendidikan dan pengajaran bagi setiap

anak yang dilahirkan untuk me-

ngembangkan potensi asal yang di-

milikinya. Allah telah memberikan akal

kepada manusia sebagaimana memberi-

kan untuk membedakan antara yang

baik dan yang buruk. Karenanya,

pendidikan berperan untuk mengarah-

kan manusia ke jalan yang baik dan

benar dan mengembangkan ilmu pe-

ngetahuannya.11

Al-Quran al-Karim telah memberi-

kan petunjuk untuk memperoleh ilmu

pengetahuan dengan metode ilmiah

dan praktis, bukan berdasarkan teori

perdebatan dan berdasarkan asumsi

yang bertentangan dengan akal sehat.

Metode praksis memperoleh ilmu

pengetahuan berdasarkan kepada dua

metode. Pertama, metode simā’i, yakni

kita mengambil manfaat hasil penelitian

orang lain baik mereka para peneliti

dahulu atau mereka semasa dengan

kita yang kemudian memanfaatkan

hasil penelitian mereka. Metode ini

tersyirat dalam firman Allah:

Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat peringat-an

bagi orang-orang yang mempu-nyai

akal atau yang me-nggunakan

pendengarannya, se-dang Dia

menyaksikan-nya. (QS. Qāf [50]: 37).

Dengan landasan ini hendaknya

setiap generasi mengajarkan kepada

generasi berikutnya ilmu pengetahuan

yang mereka peroleh dari generasi

sebelumnya atau hendaknya orang-

11Fadil Muhannad al-Jamali, Konsep

Pendidikan Qurani, terj. Judi al-Falasani, Solo: Ramadani, tth, h 100.

orang berilmu mengajarkan kepada

yang tidak berilmu, dengan demikian

terdapat kemajuan ilmu pengetahuan

ke jalan peningkatan dan kesempurna-

an. Karena itu, tidak ada jaminan

kemajuan ilmu pengetahuan jika tidak

menekankan beberapa hal sebagai

berikut:12

Pertama, hendaknya orang

berilmu tidak menutupi ilmu penge-

tahuan yang telah diperolehnya. Karena

ilmu pengetahuan ini bukan miliknya

sendiri karena ilmu pengetahuan itu

adalah petunjuk dan anugerah Allah.

Hadis Nabi menegaskan bahwa orang

berilmu apabila ditanya tentang ilmunya

kemudian ia menutupi maka ia diancam

siksaan belenggu dalam neraka pada

hari kiamat, dan Allahpun sesungguhnya

sudah mengintakan hal ini.

Sesungguhnya orang-orang yang

menyembunyikan apa yang telah

Kami turunkan berupa kete-rangan-

keterangan (yang jelas) dan petunjuk,

setelah Kami menerangkannya

kepada manusia dalam al-Kitāb,

mereka itu dilaknati Allah dan

dilaknati (pula) oleh semua (mahluk)

yang dapat melaknati, kecuali mereka

yang telah taubat dan mengadakan

perbaikan dan menerangkan (ke-

benaran), Maka terhadap mereka

Itulah aku menerima taubatnya dan

Akulah yang Maha menerima taubat

lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah

[2]: 160).

Kedua, ilmu pengetahuan adalah

amanah maka hendaknya menyampai-

kan ilmu pengetahuan dengan jelas

tidak terkontaminasi dan tidak meng-

12Ali Abd ‘Aẓīm, al-Ma’rifah fī al-Qur’ān,

Cairo: Maṭba’ah Amiriyah, 1973, h. 24.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

10

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

ubah dan tidak mengurangi, sebagai-

mana firman Allah:

Dan janganlah kamu campur adukkan

yang hak dengan yang batil dan

janganlah kamu sembu-nyikan yang

hak itu, sedang kamu mengetahui.

(QS. al-Baqarah [2]: 42).

Ketiga, ilmu pengetahuan adalah

milik kemanusiaan secara kolektif. Allah

tidak mengutus beberapa rasul kecuali

mereka mengajarkan dan membimbing

umat baik dengan wahyu yang di-

terimanya maupun dengan keteladanan

yang baik, mereka tidak menuntut upah

karena menentukan syarat upah dalam

pengajaran adalah bertentangan de-

ngan prinsip Islam sebagaimana firman

Allah:

Ikutilah orang yang tiada minta balas-

an kepadamu; dan mereka adalah

orang-orang yang men-dapat

petunjuk. (QS. Yā Sīn [36]: 21).

Keempat, tidak menyia-nyiakan

waktu untuk berdebat baik dari pihak

pengajar maupun para peserta didik,

sebagaimana firman Allah:

Dan jika mereka membantah kamu,

maka katakanlah: "Allah lebih menge-

tahui tentang apa yang kamu kerja-

kan". (QS. al-Ḥajj [22]: 68).

Kelima, menerima suatu kebenar-

an yang didasarkan pada argumen yang

kuat. Al-Quran mencela orang-orang

yang menolak kebenaran tanpa alasan,

sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya Setiap kali aku

menyeru mereka (kepada iman) agar

Engkau mengampuni mereka, mereka

me-masukkan anak jari mereka ke

dalam telinganya dan menutupkan

bajunya (kemukanya) dan mereka

tetap (mengingkari) dan menyo-

mbongkan diri dengan sangat. (QS.

Nūḥ [71]: 7).

Keenam, menerima sesuatu yang

bermanfaat dan meninggalkan pemba-

hasan yang berkepanjangan tanpa dasar

yang kuat.

Dan orang-orang yang menjauh-kan

diri dari (perbuatan dan perkataan)

yang tiada berguna. (QS. al-Mu’minūn

[23]: 3).

Ketujuh, menyeleksi ilmu penge-

tahuan yang membawa kemaslahatan

bagi peradaban manusia.

Dan orang-orang yang menjauhi

Ṭaghūt (yaitu) tidak menyembah-nya

dan kembali kepada Allah, bagi

mereka berita gembira; sebab itu

sampaikanlah berita itu kepada

hamba-hamba-Ku, yang men-

dengarkan perkataan lalu mengi-kuti

apa yang paling baik di antaranya.

Mereka itulah orang-orang yang telah

diberi Allah petunjuk dan mereka

itulah orang-orang yang mempunyai

akal. (QS. al-Zumar [39]: 17-18).

Kedelapan, teliti dan cermat dalam

menerima ilmu pengetahuan yang

sampai kepada kita, dan keharusan

bertanya kepada orang-orang berilmu

apabila tidak mengetahuinya.

Kami tiada mengutus rasul-rasul

sebelum kamu (Muhammad),

melainkan beberapa orang laki-laki

yang Kami beri wahyu kepada

mereka, maka tanyakanlah olehmu

kepada orang-orang yang berilmu,

jika kamu tidak mengetahui. (QS. al-

Anbiyā [21]: 7).

Kedua, metode tajribī. Melakukan

penelitian dan eksperimen yang di-

dasarkan kepada pemikiran yang logis.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

11

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

al-Quran telah memberikan petunjuk

bagaimana melakukan pemikiran

dengan dasar-dasar sebagai berikut:

1) Hendaknya kita membebaskan

pikiran dari asumsi-asumsi dan

tradisi yang membelunggu pikiran

kita dari para nenek moyang dan

lingkungan di mana kita hidup sejak

masa kanak-kanak. Dengan demikian

kita dapat berpikir dengan bebas. Dan

hendaknya meragukan sesuatu infor-

masi yang datang sebelum melaku-

kan klarifikasi sampai kita meyakini

kebenarannya.

2) Hendaknya kita menggunakan indera

dan akal sekaligus dalam melakukan

penelitian baik bersifat empirik

maupun non-empirik. Karena ke-

duanya saling melengkapi. Keduanya

tidak dapat dipisahkan atau berbeda

dengan para filosuf aliran empi-

risme dan rasioalisme yang membe-

dakan antara indera dan akal. Ini

merujuk firman Allah:

Sesungguhnya Kami jadikan untuk

(isi neraka Jahannam) kebanyakan

dari jin dan manusia, mereka

mempunyai hati, tetapi tidak

dipergunakannya untuk memahami

(ayat-ayat Allah) dan mereka

mempunyai mata (tetapi) tidak

dipergunakannya untuk melihat

(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan

mereka mempunyai telinga (tetapi)

tidak diperguna-kannya untuk

mendengar (ayat-ayat Allah). Me-

reka itu sebagai binatang ternak,

bahkan mereka lebih sesat lagi.

Mereka itulah orang-orang yang

lalai. (QS. al-A‘rāf [7]: 179).

3) Allah mengingatkan kepada

manusia bahwa dalam diri manusia

terdapat anugerah Allah yang rahasia

selain indera dan akal anugerah ini

disebut al-Ḥikmah, yaitu sebagai-

mana diungkapkan oleh ahli sufi de-

ngan ‘hati nurani’ dan oleh para

filosuf disebut al-hadas (indera

keenam), yakni kemampuan menge-

tahui sesuatu yang tidak terjangkau

oleh indera dan akal secara bersama-

sama apa dibalik yang diketahui dan

apa dibalik kenyataan yang dapat

diindera. Allah telah memberikan

anugerah ini kepada hamba-hamba-

Nya yang dikehendaki.13 Allah

berfirman:

Allah menganugerahkan al-Ḥikmah

(kepahaman yang dalam tentang al-

Qurandan al-Sunnah) kepada siapa

yang dikehendaki-Nya; dan barang-

siapa yang dianugerahi hikmah, ia

benar-benar telah dianugerahi

karunia yang banyak; dan hanya

orang-orang yang berakallah yang

dapat mengambil pelajaran (dari

firman Allah). (QS. al-Baqarah [2]:

269).

Sesungguhnya telah Kami beri-kan

hikmah kepada Luqman, yaitu:

"Bersyukurlah kepada Allah, dan

barangsiapa yang bersyukur

(kepada Allah), maka sesungguhnya

ia bersyukur untuk dirinya sendiri;

dan barangsiapa yang tidak bersyu-

kur, maka sesungguhnya Allah Maha

Kaya lagi Maha Terpuji". (QS.

Luqman [31]: 12).

Demikianlah metode memper-

oleh ilmu pengetahuan dan tahapan-

nya yang dideskripsikan al-Quran

dalam ayat–ayatnya dengan jelas be-

berapa abad sebelum para filosof mene-

mukannya. Al-Quran menegaskan bah-

wa metode memperoleh ilmu penge-

13Ali Abd ‘Aẓīm, al-Ma’rifah, h 35.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

12

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

tahuan dengan mengaktualisasikan anu-

gerah Allah kepada manusia berupa

indera dan akal. Di samping yang itu

ada anugerah Allah yang amat isti-

mewa yaitu anugrah hikmah atau

cahaya ilahi atau ‘irfān yang Allah

berikan kepada hamba-Nya yang

dikehendaki.

D. Membangun sains islam

Ilmu pengetahuan Islam (Islamic

science) hendaknya dibangun di atas

fondasi pemikiran theolologis atas

dasar kesatuan ilmu pengetahuan bah-

wa ilmu pengetahuan berkembang di

atas dasar dua ayat, yaitu ayat al-

Matluwah (al-Quran) dan ayat al-Majlu-

wah (alam semesta). Kedua ayat itu

adalah kalam Allah yang saling ber-

kaitan satu dengan lainnya dan me-

rupakan sumber ilmu pengeahuan yang

tak terbatas. Apabila tidak demikian

maka tidak akan terjadi paradigma

kesatuan ilmu pengetahuan dalam Is-

lam dan selamanya akan terjadi dikho-

tomi ilmu pengetahuan antara ilmu pe-

ngetahuan agama yang ber-dasarkan al-

Quran dan al-Sunnah dan ilmu pengeta-

huan umum yang berdasarkan pada

hasil kerja empirik intelektual para

ilmuwan setelah melakukan obsevasi,

penelitian, eksperimen terhadap feno-

mena alam semesta. Padahal keduanya

baik ilmu pengetahuan agama atau ilmu

pengetahuan empirik bersumber dari

kalām Allah, yaitu ayat al-Matluwah

dan ayat al-Majluwah.

Al-Quran menekankan pentingnya

ilmu pengetahuan bagi siapa pun. Ia

merupakan bagian dari milik manusia

secara kolektf. Dibedakannya Adam

dengan para malaikat dan diperintah-

kannya mereka bersujud kepadanya

tidak lain karena Adam mempuyai kele-

bihan dan kemampuan belajar dan

memperoleh ilmu pengetahuan yang

diajarkan kepadanya. Maka dengan ilmu

pengetahuan Adam lebih tinggi dan

lebih mulia daripada para malaikat dan

jadi khalifah di muka bumi ini. Hal ini

mengandung makna bahwa Allah

memberikan apresiasi dan derajat yang

tinggi terhadap para ilmuwan.

Al-Quran memberikan sebutan

atau gelar “اوتواااعلم” (berilmu penge-

tahuan), العلما ء (para ilmuwan ), بصارا

orang memiliki mata hati atau) االوليا

nurani), اولي اللباب (berakal) dan lain

lain. Ini menegaskan kedudukan dan

penghargaan Allah bagi mereka yang

memiliki ilmu pengetahuan dan meng-

abdikan ilmunya untuk agama, nusa dan

bangsanya. Di antra ayat-ayat al-Quran

tentang kedudukan para ilmuwan se-

bagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman apabila

dikatakan kepadamu: "Berlapang-

lapanglah dalam maj-lis", maka

lapangkanlah niscaya Allah akan

memberi kelapangan untukmu. Dan

apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",

maka berdiri-lah, niscaya Allah akan

meninggi-kan orang-orang yang

beriman di antaramu dan orang-orang

yang diberi ilmu pengetahuan

beberapa derajat. Dan Allah Maha

menge-tahui apa yang kamu kerjakan.

(QS. al-Mujādilah [58]: 11).

Dan demikian (pula) di antara

manusia, binatang-binatang melata

dan binatang-binatang ternak ada

yang bermacam-macam warnanya

(dan jenisnya). Sesungguhnya yang

takut kepada Allah diantara hamba-

hamba-Nya, hanyalah ula-ma.

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa

lagi Maha Pengampun. (QS. Fāṭir [35]:

28).

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

13

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-

Quran) kepada kamu, di antara

(isi)nya ada ayat-ayat yang muḥ-

kamāt, itulah pokok-pokok isi al-

Quran dan yang lain (ayat-ayat)

mutasyābihāt. Adapun orang-orang

yang dalam hatinya condong kepada

kesesatan, maka mereka mengikuti

sebahagian ayat-ayat yang

mutasyābihāt daripadanya untuk me-

nimbulkan fitnah untuk mencari-cari

ta'wilnya, padahal tidak ada yang

mengetahui ta'wil-nya melainkan

Allah. Dan orang-orang yang

mendalam ilmunya berkata: "Kami

beriman kepada ayat-ayat yang

mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi

Tuhan kami." dan tidak dapat

mengambil pelajaran (daripadanya)

melain-kan orang-orang yang berakal.

(QS. Ali Imran [3]: 7).

Ayat yang muḥkamāt ialah ayat-

ayat yang terang dan tegas maksudnya,

dapat dipahami dengan mudah. Ter-

masuk dalam pengertian ayat-ayat

mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang

mengandung beberapa pengertian dan

tidak dapat ditentukan arti mana yang

dimaksud kecuali sesudah diselidiki

secara mendalam; atau ayat-ayat yang

pengertiannya hanya Allah yang menge-

tahui seperti ayat-ayat yang berhubu-

ngan dengan yang ghaib-ghaib misalnya

ayat-ayat yang mengenai hari kiamat,

surga, neraka dan lain-lain.

Sesungguhnya telah ada tanda bagi

kamu pada dua golongan yang telah

bertemu (bertempur). Sego-longan

berperang di jalan Allah dan

(segolongan) yang lain kafir yang

dengan mata kepala melihat (seakan-

akan) orang-orang muslimin dua kali

jumlah mereka. Allah menguatkan

dengan bantuan-Nya siapa yang

dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada

yang demikian itu terdapat pelajaran

bagi orang-orang yang mempunyai

mata hati. (QS. Ali Imran [3]: 137).

Makanlah dan gembalakanlah bina-

tang-binatangmu. Sesungguhnya pada

yang demikian itu, terda-pat tanda-

tanda kekuasaan Allah bagi orang-

orang yang berakal. (QS. Ṭā Hā [20]:

54).

Itulah beberapa ayat al-Quran

yang menunjukkan betapa tinggi kedu-

dukan orang-orang berilmu atau para

ilmuwan dan kenyataannya al-Quran

itu merupakan kitab ilmu pengetahuan

juga.

Apabila kita memperhatikan ayat-

ayat al-Quran yang berkaitan dengan

ilmu pengetahuan dan ditambahkan de-

ngan keterangan-keterangan dari hadis

Nabi, maka kita merasakan bahwa se-

olah-olah tujuan hidup kita yang utama

adalah menambah ilmu penge-tahuan.14

Dengan demikian, membangun sains

Islam hendaknya berlandaskan kepada

al-Quran sebagai pa-radigma kesatuan

ilmu pengetahuan. Sebab, al-Quran

sebagai firman Allah (kalām Allāh) se-

bagai sifat utama Allah, sebagai sum-

ber segala ilmu pengetahuan manusia

dan ayat al-Majluwah, yakni alam

semesta yang merupakan ciptaan Allah

dan sumber ilmu pengetahuan. Oleh

karena itu, ilmu pengetahuan sebagai

sarana mengenal Allah dan ketakwaan

kepada-Nya. Dengan kata lain, semakin

bertambah ilmu pengetahuan maka

akan semakin beriman dan bertakwa

kepada Allah.15

14Hamid Hasan Bilgram dan Ali Asyraf,

Konsep Universitas Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, h. 8.

15Ibid.

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

14

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Materi ilmu pengetahuan yang di-

perintahkan al-Quran untuk dicari dan

pelajari mencakup seluruh alam dan

seluruh kehidupan. Hal itu pertama kali

untuk mengenal dan beriman kepada

Allah (tauhid), kemudian yang kedua

untuk mengetahui dan menggali harta

kekayaan alam semesta dan mengguna-

kannya sebagai sarana untuk mencapai

kebaikan dan kesejahteraan umat manu-

sia. Tidak ada sesuatu apa pun yang ada

di dunia ini yang tidak diperintahkan

oleh al-Quran untuk dipelajari dan

dipikirkan baik segi material maupun

spiritual.

Dengan mempelajari dan mema-

hami al-Quran secara mendalam kita

akan mengetahui betapa al-Quran mene-

kankan pentingnya mempelajari agama

(dīn), sejarah, dan peninggalan umat

terdahulu, ilmu falak, geografi, psiko-

logi, ilmu kedokteran, ilmu per-tanian,

ilmu biologi, ilmu matematika, ilmu

sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu bahasa

arab dan sastraya, dan lain-lain. Yang

dapat menjamin kehidupan dan kese-

jahteraan ummat manusia serta meni-

nggikan derajatnya.

Al-Quran sering memerintahkan

kepada kita agar memperhatikan dan

mengamati fenomena yang terjadi di

alam semesta ini, awan mengakibatkan

turun hujan, hujan menumbuhkan tum-

buh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan atau

tanaman memberi makan kepada bina-

tang dan manusia, dan manusia meman-

faatkan berbagai macam ciptaan Allah

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Oleh karena itu, ia harus dan wajib

mengetahui hubungan semua itu kepa-

da Allah Yang Maha Menciptakan dan

memelihara alam semesta ini.

Al-Quran juga memerintahkan ke-

pada supaya melakukan ekspedisi, me-

nyelidiki dan memperhatikan serta

memikirkan segala ciptaan Allah. Al-

Quran tidak meletakan batas dan apalagi

penghalang bagi ilmu pengetahuan.

Meskipun al-Quran bukan kitab ilmu

pengetahuan alam atau ilmu pengeta-

huan sosial melainkan kitab petunjuk

(guide book), namun al-Quran meme-

rintahkan kepada kita untuk mempe-

lajari segala macam ilmu pengetahuan.

Adapun ayat-ayat yang memberi-

kan isyarat terhadap berbagai macam

ilmu pengetahuan: (1) ilmu agama (QS.

al-Taubah [9]: 122), (2) ilmu psikologi

(QS. Fuṣṣilat [41]: 53), (3) ilmu sejarah

dan arkeologi (QS. Muḥammad [47]: 10),

(4) biologi, pertanian, dan embriologi

(QS. al-Ḥajj [22]: 5), (5) ilmu botani dan

kelautan (QS. Fāṭir [35]: 12), (6) ilmu

astronomi (QS. Yā Sīn [36]: 37-40), (7)

ilmu matematika dan eksakta (QS. al-

Jinn [72]: 28), (8) ilmu fisika dan kimia

(QS. al-Ḥadīd [57]: 25), (9) ilmu geografi

(QS. al-Żāriyat [51]: 20-21), (10) ilmu

geologi QS. Fāṭir [35]: 27), dan (11)

kosmologi dan antropologi (QS. al-Naḥl

[16]: 3-17). Masih banyak ayat yang

memberikan isyarat terhadap ilmu

pengetahuan. Ini menunjukkan dan

sekaligus mendorong kita untuk

menggali isyarat ilmu pengetahuan

dalam al-Quran tersebut untuk

melakukan penelitian demi kemanusia-

an dan peradaban, dan tentunya

semakin dekat kepada Allah, Sang

Pemilik Ilmu Pengetahuan.

E. Kesimpulan

Epistimologi al-Quran sebagai

sumber ilmu pngetahuan yang

berlandasan bahwa Allah telah menu-

runkan dua ayat yaitu ayat Matluwah

Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam

15

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

(al-Quran) dan ayat al-Majluwah (alam

semesta) dengan segala fenomenanya.

Keduanya merupakan sumber infor-

masi dan sarana observasi dan eksperi-

men ilmu pengetahuan. Keduanya

adalah kalām Allah yang tidak terbatas.

Karena itu, epistemologi al-Quran dari

aspek ontologi, metodo-logi dan aksio-

logi menunjukkan kesatuan ilmu penge-

tahuan. Dengan demikian tidak ada lagi

dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu

pengetahuan umum.

Kesatuan ilmu pengetahuan yang

berlandaskan kepada ayat tersebut

pada akhirya akan menciptakan ilmu

pengetahuan yang berlandaskan

keesaan Allah (tauhid). Oleh karena

itu, ilmu pengetahuan hendaknya di-

jadikan sarana mengenal Allah dan me-

ningkatkan keimanaan dan ketakwaan

ke-pada-Nya. Apabila sudah demikian,

maka ilmu pengetahuan akan mewu-

judkan kemudahan, kebaikan dan ke-

sejahteraan umat manusia di muka ini.

Kesatuan ilmu pengetahuan dalam

Islam tidak akan dapat dibangun kecuali

dengan landasan pada ayat al- Matluwah

dan ayat al-Majluwah sehingga apa pun

disiplin ilmu hendaknya dilandasi oleh

epistemologi al-Quran dalam aspek

ontologi, metodologi dan aksiologinya.

Jika tidak demikan akan melahirkan

ilmu pengetahuan sekuler bahkan

sampai atheis, ilmu pengeta-huan yang

tidak bertuhan yang akan membawa

kerusakan dan kebinasaan umat

manusia di muka bumi ini. []

DAFTAR PUSTAKA

‘Aẓīm, Ali Abd, al-Ma’rifah fī al-Qur’ān,

Cairo: Maṭba’ah Amiriyah, 1973.

Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradāt li

Alfāẓ al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kitāb

al-Ghazālī, tth.

Bilgram, Hamid Hasan, dan Ali Asyraf,

Konsep Universitas Islam, Yogya-

karta: Tiara Wacana, 1989.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut

al-Quran, Bandung: Mizan, 1999.

Hitti, Philip K., The Arabs: A Short

History, Bandung: Sumur, 1970.

Jamali, Fadil Muhannad, Konsep Pen-

didikan Qurani, terj. Judi al-

Falasani, Solo: Ramadani, tth.

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme

Dalam Islam, Jakarta: Bulan

Bintang, 1980.

Ṣabūnī, Muḥammad ‘Ali, al-Tibyān fī

‘Ulūm al-Qur’ān, Damaskus: Mak-

tabah ‘Arabiyah, 1990.

Ṣalibā, Jamīl, Mu’jam al-Falsafī, Beirut:

Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

30

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

ISLAM: MEMBENTUK SAINS DAN TEKNOLOGI

Danusiri

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo

Jl. Prof. Dr. Hamka Km 1, Ngaliyan-Semarang

e-mail: [email protected]

Abstract: The establishment of science-technology Islam originated from

the transcendental consciousness that God acts directly provide

instruction to people in his capacity as al-'Alim and al-Mu'allim al-Nās

with inspiration pattern into intuition or follow the instructions of the

Quran on the basis of faith in the verses relating to science-technology.

God teaching techniques outlined by humans with the conceptualization,

theorization, saintifikasi, and technologization the verses of Allah either

paragraph quraniyyah and kauniyyah. Starting point is the establishment

of science-technology read. Results of reading will get something, a

concept, or a variable. Thus, the more the reading of a Muslim will

increasingly have something, concepts or variables. If the reader can find

the basic relationship of two or more things, concepts, variables, then he

can find one unit theory. Segususan systematic theory will result in one

branch of science. Human intellectual activity that knows no stopping,

then starting from only one branch of science will continue to be found

various kinds of science. The next route, childbirth science technology.

And, science-technology school of Islam embraced the benefits of

technology for the service in order to obtain marḍatillah.

Abstrak: Rute pembentukan sains-teknologi Islam berawal dari

kesadaran transendental bahwa Allah berperan langsung memberikan

pengajaran kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai al-‘Alim dan al-

Mu’allim al-nās dengan pola pengilhaman ke dalam intuisi atau

mengikuti petunjuk al-Quran atas dasar iman dalam ayat-ayat yang

berkaitan dengan sains-teknologi. Teknik pengajaran Allah dijabarkan

oleh manusia dengan jalan konseptualisasi, teorisasi, saintifikasi, dan

teknologisasi terhadap ayat-ayat Allah baik ayat quraniyyah maupun

kauniyyah. Dan, sains-teknologi Islam menganut mazhab manfaat

teknologi untuk ibadah dalam rangka memperoleh marḍatillah.

Keywords: konsep, teori, sains, teknologi, marḍatillah.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

31

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

A. Pendahuluan Al-Quran sebagai sesuatu yang

benar berkategori mutlak, tanpa tawar,

dan tidak ada keraguan bagi setiap

orang Islam atas dasar iman, meminjam

istilah Amin Abdullah taken for granted.

Dengan demikian, kebenaran Al-Quran

tidak perlu diuji, meminjam istilah dari

Karl R. Poper, untestable trust.1 Kitab

suci ini mendeklarasikan bahwa dirinya

menjelaskan segala sesuatu.2

Bersamaan dengan itu, ia juga

menyatakan tidak ada sesuatupun di

alam semesta ini yang dialpakan atau

terbiarkan berlalu begitu saja3, melain-

kan tetap diurus oleh kitab suci ini.

Praksis keurusannya tidak ada yang sia-

sia, dalam arti bermanfaat bagi kehi-

dupan manusia.4 Sehubungan dengan

ini, Gibb mengatakan “Islam is more a

system of theology. It’s a complete

civilization”5 Senada dengan Gibb,

ungkapan berikut menyebutkan bahwa

“Istilah ‘Islam’ dapat digunakan dalam

tiga pengertian: awalnya merupakan

sebuah agama (identik dengan teologi

dalam terminologi sains barat),

kemudian menjadi negara dan akhirnya

budaya”6

1Muslim A.Kadir, Ilmu Islam Terapan,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. h. 5,10 2Qs. An-Nahl/16]: 89. Disebutkan dalam

ayat ini “wa nazzalnā ‘alaikal kitāba tibyānan luklli syai’”

3Qs. Al-An’am /6:38. Disebutkan dalam ayat ini”Ma farraṭnā fi al-kitabi min syai’”

4Qs. Ali Imran/3: 191. Disebutkan dalam ayat ini “ma khalaqta haża baṭilā”

5H.A.R. Gibb, Whither Islam? A Survey of Modern Movement in the Moslem Warld. London:Victor Golanz Ltd, 1932, h.12.

6Phillip K Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002, h.181. Konsekuensi logis pernyataan Hitti ini adalah, apa yang disebut negara maupun budaya tidak terlepas dari pangkuan Islam. Praksisnya, negara terjadi karena Islam, demikian juga budaya.

Bagian dari ‘segala sesuatu’ adalah

pembentukan sains dan teknologi

termasuk bentuk jadinya. Segera

dihipotesiskan bahwa sosok sains dan

teknologi yang bersumber dari kitab

suci ini pasti berbeda dari sains dan

teknologi barat yang berwatak seku-

larisme dan sekaligus ateisme. Secara

eksplisit, paradigma sains dan teknologi

barat seperti tampak pada aliran:

positivisme, positivisme logis, empiris-

me, realisme, esensialisme, dan objekti-

visme memang menyatakan nilai sains

adalah untuk sains itu sendiri “science

for the science”, terbebas dari keper-

cayaan dan nilai-nilai, termasuk nilai

keagamaan.7 Lebih parah lagi, sains dan

teknologi barat, sebagaimana tam-pak

pada aliran hedonisme, selalu terkait

dengan bisnis kesenangan lahiriah8.

Pada kesempatan ini dijelaskan bagai-

mana Islam membentuk sains-teknologi.

B. Rute Pembentukan Sains-Tekno-

logi

Al-Quran Sebagai Sumber Petunjuk

Bagi seorang beriman kepada kitab

suci Al-Quran, pasti beriman pula bahwa

kitab suci ini merupakan sumber

petunjuk yang tidak ada keraguan di

dalamnya.9 Terma petunjuk dalam kitab

suci ini secara praktis menggunakan

kata ‘huda’ dan berbagai derivasinya,

seperti: hada, ahda, tahdu, tahdi, yahdi,

yahdāna, tahtadāna, ihtada, hādin, huda,

muhtadān, dan muhtadīn. Keseluruhan

terma ini disebut dalam Al-Quran

terulang hingga tidak kurang dari 318

kali. Jadi sangat meyakinkan bahwa

7Hamdani, Filsafat Sains Bandung:

Pustaka Setia, 2011, h.153. 8 Ibid., h. 162. 9 QS. al-Baqarah/2:2.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

32

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

kitab suci ini menyatakan dirinya

sebagai sumber petunjuk. Jika seorang

beriman mengikuti petunjuknya akan

memperoleh keberuntungan, sebaliknya

jika menolaknya justru akan sesat dan

memperoleh kerugian,10 termasuk

dalam pengembangan sains-teknologi.

Barat, dalam mengembangkan sains-

teknologi tanpa penerangan petunjuk

Al-Quran, ternyata gagal memposisikan

manusia sebagai pemakmur bumi.

Aneka krisis kemanusiaan seperti pola

hidup serumah tanpa nikah, revolusi

seksualisme, apharteitisme, perlombaan

senjata pemusnah massal, dan masih

banyak lagi kalau mau disebut, adalah

dampak sains-tekionogi barat yang

sekularistik-positivistik-ateistik. Oleh

karena itu, pengembangan sains-

teknologi yang berbasis Al-Quran harus

tidak dipandang subjektifistik bagi umat

Islam, melainkan dipandang secara

objektif bagi pemulihan martabat

manusia dari dampak negatif sains-

teknologi barat. Penerangan Al-Quran

dalam membentuk sains-teknologi sejak

pembentukan konsep hingga dimensi

aksiologi.

Konseptualisasi (Taṣawwur)

Konsep disebut juga tashawwur

adalah gambaran tentang realitas yang

ada dalam pikiran11, contohnya adalah

konsep tentang ‘sapi’. Dalam contoh ini

pikiran menggambarkan tentang

kenyataan ‘sapi’, dan ini korespon

dengan ‘sapi’ dalam realitas di luar

pikiran. Konsep tentang’sapi’ dalam

pikiran terjadi setelah pemilik pikiran

mengobyektifasi ‘sapi’ dalam realitas di

10 QS. al-A’raf/7:178. 11Murtadla Muthahari, Pengantar Menuju

Logika, terj. Ibrahim Husein al-Habsyi, Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1994, h. 27-28.

luar pikirannya. Pikiran yang di

dalamnya memiliki taṣawwur tentang

‘sapi’ menjelma menjadi pengetahuan

(knowledge) baginya.12 Artinya, sebelum

mengobyektifasi pikiran berada dalam

kondisi jahl (ketidaktahuan)13 tentang

sapi.

Dalam paham al-Quran, asal-usul

tashawwur bukan semata-mata persepsi

indrawi, rasio, atau intuisi sebagaimana

paham filsafat ilmu barat, melainkan

langsung dari Allah,14 baik melalui

ilham-Nya kepada yang Dia kehendaki15,

manusia dan non manusia–umpama

kepada lebah16-maupun melalui saluran

petunjuknya secara umum, yaitu Al-

Quran sebagai kodifikasi kalam-Nya.

Secara eksplisit Allah mengajarkan

kepada Adam–dan keturunanya–semua

konsep tentang segala yang ada, dan

yang mungkin ada.17 Ayat pertama al-

Quran yang diterima Rasulullah adalah

perintah untuk membaca, Iqra’

bismirabbika-llażī khalaq.18

Kandungan Term Qara’a

Keseluruhan Al-Quran yang turun

dari hadirat Allah ke bumi diterima oleh

Rasulullah secara berangsur-angsur

tercatat selama 22 tahun, dua bulan 22

hari dimulai pada malam 17 Ramadan

12Jenis pengetahuan semacam ini disebut

a posteriori karena terjadi setelah yang bersangkutan mengalaminya. Surajio, Filsafat Ilmu Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h.28.

13Muthahari, Pengantar. 14Dalam hal ini, Allah memiliki kapasitas

al-‘Alim terhadap segala sesuatu QS. Al-Baqarah/2:29 dan al-Mu’allim an-nās QS. al-‘Alaq/96:5.

15Semua manusia dilhami oleh Allah yang berupa semacam potensi untuk berbuat baik atau buruk. Lihat QS. al-Syams/91:8.

16 QS. an-Naḥl/16:68. 17 QS. al-Baqarah/2:31. 18M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran

Bandung: Mizan, 2007, h. 5

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

33

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

tahun 41 dari kelahiran Nabi dan

berakhir tanggal 9 zulhijjah tahun ke 63

usia beliau atau tahun 10 H.19

Kandungan ayatnya mencakup segala

aspek kehidupan.20 Karena turun secara

berangsur-angsur itu, maka wajar kalau

sesuatu masalah bisa turun berulangkali

menggunakan term yang berlainan

tetapi bermakna sama karena tuntutan

pemecahan problem yang mengemuka

di tengah-tengah masyarakat Rasulullah

pada waktu itu.21 umpama: kata al-ḥars{

sinonim dengan kata az-zira’ah yang

masing-masingnya di sebut hinnga 14

kali, kata al-Qur’ān sinonim dengan kata

al-waḥyu dan al-Islām dan masing-

masingnya disebut 70 kali, dan kata al-

jahr sinonim dengan kata al-‘alaniyyah

yang masing-masingnya disebut 16 kali.

Maka wajar kalau term qara’a yang

secara praksis diterjemahkan ‘membaca’

dalam bahasa Indonesia, dan term ini

menjadi komrehensi (mafhum) yang

denotasinya (ma ṣadaq) cukup banyak,

antara lain:

a. Tala dan berbagai derivasinya

seperti yatlu, utlu, yatlāna, yutla,

dan tilāwah22 dan disebut hingga

63 kali.

b. Naḍara23 dan berbagai derivasi-

nya, seperti: yanḍuru, yanḍurān,

19Hudhari Bik, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami

terj. Mohammad Zuhri /t.t], Rajamurah al-Qana’ah, 1980, h. 5-6.

20QS. al-Nahl/16:89; al-An’am/6:38. 21M. Quraish Shihab, Membumikan Al-

Qur’an, Bandung: Mizan, 2009, h. 41. 22Ahmad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-

Mufahras li Alfazh al-Qur’ān al-Karīm Indonesia: Maktabah Dahlan, /t.th], hh. 197-198

23Kata ini terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘nalar’ yang secara praksis adalah kegiatan berpikir untuk mencarai jawab sesuatu masalah. Dalam dunia akademis, naḍar menjadi penelitian.

yundarān, undur dan disebut

hingga 127 kali24

c. Fakara dan berbagai derivasinya,

seperti: yatafakkarān, tatafak-

karā, tatafakkarān, dan tafakkarā

terulang hingga 18 kali25

d. Fafahamna26 yang berakar dari

term fahima yang berarti mema-

hamkan, adalah stimulus aktifitas

berfikir untuk memperoleh se-

suatu konsep atau sesuatu.

e. Term: tafqahān, nafqahu, yaf-

qahu, yafqahān, dan yatafaq-qahā

yang berakar dari term faqiha

terulang hingga 23 kali.27

Masih terdapat term lain yang

esensinya terkait dengan kegiatan rasio

untuk mempersepsi, mengkognisi, dan

mengkonseptualisasi seperti: term

‘alima dan berbagai derivasi-nya, ulul al-

abṣār, ulu al-albāb, ulu al-nuha, al-‘ibrah,

dan, berbagai term yang berakar pada

term ‘aqala dan dabbara.

Aktualisasi Qara’a

Terminal terakhir dalam beragama

adalah perbuatan konkrit, baik dalam

level perasaan seperti bergembira

ketika mengetahui informasi dari

sejumlah ayat Al-Quran tentang betapa

nikmatnya hidup di surga, level

kepercayaan seperti memper-cayai

adanya balasan azab di akhirat kelak

sehingga takut untuk berbuat maksiat,

level pemikiran seperti berijtihad

terhadap sesuatu masalah hukum,

maupun level indrawi seperti melak-

sanakan salat lima kali dalam sehari

semalam28 dan kegiatan membaca atas

24 ‘Abd al-Baqi’, op cit., h. 876-877 25Ibid.,h. 666-667. 26 QS. al-Anbiyā’/21:79. 27 ‘Abd al-Baqi’, loc cit. 28Beragama mencakup tiga terminal,

pertama keyakinan dalam hati, kedua

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

34

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

dasar iman terhadap perintah membaca,

yaitu ‘iqra’bismi rabbika-llażī khalaq.

Dengan demikian, membaca atas dasar

model pema-haman ini merupakan

perwu-judan iman itu sendiri.

Ketika seseorang melaksanakan

perintah membaca, apakah ayat

Quraniyyah atau kauniyyah29 pasti

memperoleh sesuatu, pengetahuan

(knowledge/tashdiq), atau konsep

(tashawwur), atau variabel, termasuk

ketika sang pembaca itu mengatakan

“Aku tidak paham terhadap apa yang

baru saja aku baca dengan serius”.

Ketidaktahuannya itu adalah penge-

tahuan yang baru saja ia peroleh dari

kegiatan membaca. Sebelum memba-ca,

pasti ia dalam keadaan jahl (ketidak-

tahuan) terhadap denotasi (ma shadaq)

‘ketidaktahuan setelah membaca’.

Dari kegiatan membaca dapat

dihipotesiskan “semakin banyak mem-

baca, ia semakin banyak memiliki

konsep, pengetahuan, atau variabel.

Sebaliknya, tidak mau membaca, tidak

akan memiliki apa-apa. Dalam pepatah

Jawa dikenal “Bodho longa-longo koyo

kebo” (bodoh, tidak mengerti apa-apa

seperti kerbau), dan ini menyalahi

kodratnya seorang muslim karena Allah

mengajarkan segala sesuatu kepada

mengucapkan dengan lisannya, dan terminal terakhir mengekspresikan dengan perbuatan. Lihat: Joachim Wach, The Comparative Study of Religions New York: Columbia UniversityPress, 1925, hh.16-40; asy-Syahrastani, Kitāb al-Milāl wa an-Niḥāl Qahirah: an-Nahḍah al-Mishriyyah, 1951, h.111.

29Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1988, h. 19. Disebutkan bahwa dalam Al-Quran tidak kurang dari 750 ayat yang berbicara tentang alam semesta dan dapat menjadi inspirasi saintifik, lihat: Ach Maiumun Syamsuddin, Integrasi Multi Multidimensi& Sains Jogjakarta: IRCiSoD, 2012. h. 238.

manusia.30 Watak ilmuwan muslim

khususnya dan ini mestinya berlaku bagi

setiap muslim, ketika dihadapkan

kepada ketidakmengertian suatu

problem keilmuan adalah memburu

dalam arti tafakkur, tadabbur, ta’aqqul,

tafahhum, tafaqquh, ta’allum, dan

tanaḍḍur hingga suatu saat apa yang ia

sadari tidak mengerti menjadi

mengerti.31

Etika Membaca

Untuk menjadi tahu (berpenge-

tahuan) atau berilmu, di dalam Islam

bukan hanya didorong oleh rasa kagum

(tauma) atas sesuatu, hasrat selalu ingin

tahu (all men by nature desire to know),

atau karena tertumbuk pada masalah

(aporia) baik teoritis atau praktis yang

harus ia pecahkan32, melainkan juga

merupakan kewajiban. Dalam Hal ini

Rasulullah bersabda: Thalabul ‘ilmi

fariḍatun ‘ala kulli muslimin wa

muslimatin.33 Mafhum mukhalafah kan-

dungan hadis ini menunjukkan bahwa

tidak mau membaca dan tidak mau

mencari ilmu itu sebenarnya termasuk

membangkang, sudah barang tentu

dosa. Dengan demikian, masuk ke dalam

Islam itu belum cukup hanya

mengucapkan credo dua syahadad,

melainkan harus ada kesediaan dan

30QS. al-Baqarah/2:31. Realisasi pengaja-

ran Allah kepada manusia–menurut pemahaman Iqbal melalui teknik konseptualisasi, lihat: M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Kitab Bhavan, 1981, h.13, hasilnya ia memiliki al-ismu dan al-asma’ konsep tunggal dan ketakterhinggaan konsep.

31Tuntunan doa dalam Islam untuk pelacakan menuju kesadaran tentang konsep, variabel, teori, dan ilmu adalah: Rabbī zidnī ‘ilmā war zuqnī fahmā.

32 Hamdani, op cit., hh.19-20 33Hadis riwayat Ibnu Majah no. 220.

Lihat Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

35

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

realisasinya melakukan perintah

membaca.

Karena membaca adalah wajib,

tentu ada aturannya yang inherent di

dalamnya. Mencari ilmu sebagai realisa-

si qara’a dengan berbagai macam deno-

tasinya bukan semata-mata tuntutan

kompetensi dan profesionalisme, me-

lainkan harus juga disadari sebagai

apresisasi atas nama Tuhan.34 Membaca

dengan motif dan tujuan di luar

kesadaran atas nama Tuhan akan

memperoleh ancaman yang serius dari-

Nya. Banyak hadis yang menjelaskan

ancaman ini, satu diantaranya adalah

sebagai berikut:

جاري به العلماء أو من طلب العلم ل

صرف به وجوه فهاء أو ماري به الس ل

ار الناس الن ه أدخله للا إل

"Barangsiapa menuntut ilmu untuk

mendebat para ulama, atau untuk

mengolok-olok orang bodoh atau

untuk mengalihkan pandangan

manusia kepadanya, niscaya Allah

akan memasukkannya ke dalam

neraka".35

Lebih spesifik lagi, mencari ilmu di

luar motif karena Allah akan

menempatkan dirinya di neraka,

demikian Rasulullah bersabda:

ر أو أراد به غ ر للا قال من تعلم علما لغ

ار وف الباب عن أ مقعده من الن تبو فل للا

34QS. al-‘Alaq/96:1 35Hadis riwayat at-Tumuzi, hadis, nomor.

2578; Ibnu Majah hadis nomor: 249, 250, 255, dan 256; Ahmad hadis nomor 1564; ad-Darimi hadis nomor: 257, 369, 375, dan 376 - Lihat Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist. Hadis nomor 369 ditambahkan lafal yang kandungan artinya “untuk mencari perhatian penguasa’.

جابر قال أبو عسى هذا حدث حسن

وب إل من غرب ل ن عرفه من حدث أ

هذا الوجه

Beliau bersabda: "Barangsiapa belajar

Ilmu untuk selain Allah atau

menginginkan selain Allah, maka

hendaklah dia menempati tempat

duduknya (kelak) di neraka". Dan dalam

hadits bab ini juga diriwayatkan dari

Jabir. Abu Isa berkata; 'Hadits ini hasan

gharib, kami tidak mengetahuinya dari

hadits Ayyub kecuali dari jalur sanad

ini.'36

Itulah sebabnya, ketika seorang

muslim akan belajar, termasuk

mempelajari, meneliti, bereksperimen

untuk mengerti37, Rasulullah

memberikan tuntunan doa bahwa

‘kemengertian’ tentang sesuatu harus

bermanfaat secara umum. ه وسلم اللهم عل صلى للا قال رسول للا

نفعن انفعن بما علمتن وعلمن ما على كل حال وأعوذ وزدن علما الحمد لل

ار من حال أهل الن باللYa Allah! Berilah manfaat terhadap

apa yang telah Engkau berikan

kepadaku, ajarkanlah kepadaku

sesuatu yang bermanfaat bagiku dan

tambahkanlah kepadaku ilmu. Segala

puji hanya milik Allah pada semua

kondisi (baik kondosi bahagia

maupun susah) dan aku berlindung

kepada Allah dari perbuatan

penduduk neraka."38

Singkatnya, kegiatan keilmuan

(pembentukan konsep, teori, ilmu,

36 HR. at-Turmuz{i, hadis nomor 2579,

Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist 37 Mencakup

konseptualisasi,teorisasi,saintifikasi,dan teknologisasi.

38 Ibid., hadis nomor 3523.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

36

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

teknologi, dan aksiologi) dalam Islam

merupakan suatu ritual atau ibadah.

Teorisasi dan Saintifikasi

Teori dapat didefinisikan hubung-

an dasar dari dua atau lebih sesuatu

atau konsep atau variabel.39 Sementara

itu, yang dimaksud hubungan dasar

adalah pola hubungan yang mesti harus

terjadi dan tidak ada pola hubungan lain.

Contohnya adalah ketika Sumaryono

menikah dengan Sumaryani, maka dapat

dilakukan teorisasi bahwa akan ada

anak yang lahir akibat pernikahan

keduanya. Kelahiran anak hanya di-

mungkinkan kalau Sumaryono ber-

hubungan seksual dengan Sumarya-ni.

Hubungan bersebadan yang menjadi

sebab bertemunya sel sperma

Sumaryono dengan indung telur milik

Sumaryani di dalam rahimnya inilah

yang dimaksud dengan hubungan

dasar.40 Jika keduanya tidur berhimpitan

tetapi tidak melakukan hubungan

seksual Sumaryani tidak akan pernah

melahirkan anak. Tidur berhimpitan

hanya merupakan hubungan aksiden

bagi terwujudnya anak.

39Muhammad Nur Ibrahimi, Ilmu Mantiq

Surabaya: Salim Bahan, /t.th.], h.3; Bertrand Russel, Human Knowlwdge, Its Scope and Limits Oxford: Oxford University, 1979, h.439.

40Teknologi bayi tabung infitro fertilization secara syar’i termasuk hubungan dasar karena mempertemukan sel spermatozoa Sumaryono dengan indung telur ovum Sumaryani dalam tabung medis, di luar tubuh Sumaryani. Setelah berproses kemudian menyatu, menjadi embrio, disuntikkan oleh dokter ahli kandungan yang menanganinya ke dalam rahim Sumaryani. Biasanya dokter menyuntikkan hormon progiesterone pada ibu hamil agar janin bertahan di rahim. Proses panjang selanjutnya janin lahir ke dunia, baik secara alamiah atau operasi caesar; atau mempertemukan spermatozoa dengan indung telur ke dalam tabung medis hingga berproses 100 % di dalam tabung hingga menjadi bayi yang dikeluarkan dari tabung tersebut.

Sains apapun jenisnya, dibedakan

dari knowledge, hanya bertumpu pada

teori yang diperoleh dari objek

pengetahuan yang berupa data-data

fakta empiri. Tegasnya, sains adalah

kumpulan sistemik dari segugusan

teori.41 Yang dimaksud kumpulan

sistemik harus memenuhi kualifikasi

metode ilmiah sebagaimana ungkap

Kemeny42, atau keteraturan data.43

Untuk memperjelas bagaimana

sebuah ilmu terbentuk, berikut ini

disampaikan sebuah bagan ilmu:

41Hamdani, op cit., h. 151; John Kemeny, A

Philosopher looks at Science New York: Van Nostrand Reinhold, 1981, h. 175.

42Metode ilmiah mencakup: genetic explanation, intentional explanation, reasioning explanation, dispotitional explanation, functional explanation, explanation through empirical generalazation, dan explanation throught formal theory. Lihat: Hamdani, op cit., h.150.

43Sheldon J.Lachman, The Foundations of Science New York: Vantage Press, 1989, h.13. esensi keteraturan data adalah data serial dan keterkaitan dalam batas ruang lingkup pengamatan. Dapat dicontohkan di sini bahwa teori menyuntik yang tidak menimbulkan rasa sangat sakit dibangun dari sejumlah konsep atau sesuatu atau variabel praksis, jarum suntik yang tajam, steril dari kuman, bakteri, maupun virus, spirtus yang doleskan pada bagian yang akan disuntik, materi yang disuntikkan, penyuntikan yang tepat pada rongga aliran darah, ketegangan posisi bagian tubuh yang akan disuntik, kompetensi prima dari penyuntik, dan kesediaan tulus yang akan disuntik. Dalam kasus menyuntik ini tidak mungkin mengumpulkan data-data tentang gunung dan yang berkaitan dengannya. Data-data tentang gunung tidak serial dengan data-data teknik penyuntikan pasien.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

37

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Keterangan:

P = sesuatu, pengetahuan, konsep,

variabel.

T = teori

Pembidangan Sains

Sebenarnya, pemisahan dikotomis

bahwa ilmu dapat dibedakan menjadi

ilmu agama dan ilmu umum, atau

trikotomis: ilmu-ilmu kealaman (natural

sciencies), ilmu-ilmu sosial (social

science), dan humaniora, atau trikhotomi

lainnya: ilmu-ilmu normatif (normative

sciencies), ilmu-ilmu teoritis (theoritical

sciencies), ilmu-ilmu praktis (practical

sciencies) yang masing-masing berbeda,

terutama sumbernya, menurut ilmu

Islam tidak memilki pijakan yang kuat.

Ilmu Islam44 mengakui dikotomis,

trikotomis, atau multikotomis yang

mengerucut menjadi konsursium ilmu.

Namun agama ini menyatakan bahwa

semua ilmu, apapun jenisnya, berasal

dari Allah dalam kapasitas sebagai al-

‘Alim dan al-Mu’allim. Diktum ini bisa

mengacu kepada ayat sebagai berikut:

“Dia mengajar kepada manusia apa yang

tidak diketahuinya.”45

Kata ‘ya’lam’ pada ayat ini me-

rupakan sighat fi’il muḍari’ memilki dua

macam makna: zaman ḥal (sekarang)

dan zaman istiqbal (waktu yang akan

datang).46 Dari pembedaan kedua

44Kuntowijoyo menulis sebuah buku

berjudul ‘Islam sebagai Ilmu” dan berisi tiga tema besar: epistemologi, metodologi, dan etika. Salah satu ciri Islam sebagai ilmu adalah objektif, bukan hanya subjektif bagi umat Islam, tetapi semua manusia mengakuinya tanpa menyadari bahwa ‘sesuatu’ itu berasal dari Islam. Lihat: Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Jakarta: Teraju, 2005, hh. 62-64.

45 QS. al-‘Alaq/96:5. 46Anton Dahdah, Mu’jam Qawa’id al-

Lughat al-‘Arabiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1981, h. 114.

makna ini, dapat dipahami bahwa

pengajaran Allah kepada manusia bukan

hanya terbatas pada ketakterhinggaan

konsep (zaman ḥal), saya tahu . . .,

melainkan juga ‘saya dapat menjadikan

ini, ini, dan ini menjadi itu’. Kata ‘itu’

dalam ungkapan ini pada saat sekarang

belum ada wujudnya. Karena kegiatan

akal yang senantiasa melakukan konsep-

tualisasi terhadap objek-objek, hasilnya

mampu mengubah benda-benda alami

menjadi benda-benda budaya, bahkan

peradaban.47 Singkatnya, pengajaran

Allah kepada manusia mencakup bukan

saja hanya ilmu-ilmu normatif, melain-

kan juga ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-

ilmu teknik atau ilmu praktis.48 Proses

konseptualisasi pengetahuan, teori, dan

sains dari Allah kepada manusia dapat

dilihat pada skema sebagai berikut:

MODEL 149

PROSES TERJADINYA PENGETAHUAN

47 Muhammad Iqbal, Stray Reflection

Lahore:SH Ghulam Ali&Sons, 1961, h. 66. 48Ciri ilmu praktis atau ilmu teknik adalah

baik tujuan maupun objek sama-sama belum ditemukan. Keduanya baru dapat ditemukan ketika suatu ilmu itu teruji dalam dunia empiri. Ilmu teknik otomotif yang merancang satu unit sepeda motor yang penampilannya indah, gesit, irit bahan bakar, dan tangguh, baru bisa dikatakan benar-benar sebagai ilmu yang devinitif ketika sepeda motor itu sudah terwujud kemudian dihidupakn, didemonstrasikan, dikenadarai dalam waktu yang cukup lama dalam jalanan berliku, menanjak dan meturun, jalanan halus maupunn seperti gula kacang, dan terbukti tampilannya memang indah, gesit, tangguh, dan irit bahan bakar jika dibandingkan dengan sepeda motor lain yang sekelas.

49Kedua model epistemologis perolehan pengetahuan ini dapat dilihat pada: Danusiri, Epitemologi Dalam Tasawuf Iqbal Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 65-66.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

38

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Keterangan

Yang dimaksud objek dalam skema

di atas adalah objek yang bersifat

sam’iyyah, secara literal berarti sesuatu

yang hanya didengar dan yang dimak-

sud adalah wahyu yang datang dari

Allah sebagai petunjuk dan berada di

luar yang dipikirkan oleh manusia, eska-

tologis yang bersifat immaterial, seperti:

surga, al-ḥauḍ, thuba, neraka, ‘arsy, raf-

raf, sidratul mutaha, mimbar, kursyi,

malaikat, syafaat,dan iblis

Objek-objek wilayah ini tidak

dapat dipersepsi oleh indera, melainkan

diterima atas dasar iman melalui intuisi.

MODEL 2

PROSES TERJADINYA PENGETAHUAN

Keterangan

Konsep, pengetahuan berasal dari

Allah. Allah mengilhamkan kepada

manusia ke dalam intuisi (qalb/fuad)

muatan ilham menembus kepada indra.

Data-data indrawi menuju kepada akal.

Ada pengolahan di dalamnya hingga

menghasilkan suatu pengetahuan.

Skema di atas (model 2) disarikan

dari gagasan Iqbal dalam menafsirkan

bagaimana Allah melimpahkan penge-

tahuan, konsep, variabel, dan sains

kepada manusia.50 Demikian ia berujar:

What is screte of nevelties of science

50 Muhammad Iqbal, Asrar-i-Khudi terj.

Reinold Alayne Nicholson, The Scretes of The Self Lahore: Ashraf Press, 1950, h. 14.

A desire wich realised it self by its own

strenght

And burst fort from the heart and took

shape

Nose, hand, brain, eye, and ear,

thought, imagination,

Feeling, memory, and understanding

Intisari dari model pembelajaran

Allah kepada manusia. Pertama-tama

Allah mengilhamkan sesuatu ke dalam

hati sanubari. Kedua, sesuatu membus

ke indra, bisa kepada penglihatan saja

kalau sesuatu itu hanya penampakan ke

dalam indra penglihatan, umpama

pemandangan di suatu puncak gunung.

Sesuatu bisa hanya menembus ke indra

pendengaran saja, umpama gelombang

suara. Sesuatu bisa menembus ke indra

penglihatan dan pendengaran, umpama

menonton tayangan televisi, di

dalamnya ada suara dan gambar, dan

animasi. Sesuatu bisa menembus ke

indra penglihatan dan pencecap,

umpama merasakan lezatnya makan

nasi dengan lauk gulai kepala ikan.

Sesuatu bisa menembus ke indra

penglihatan dan penciuman hidung,

umpama melihat dan mengisap

harumnya bunga melati. Ketiga apa

yang diterima indra berlanjut ke akal. Di

sini terdapat aktifitas berfikir hingga

menimbulkan suatu pengertian. Kualitas

enak, baik, indah, banyak, sedikit adalah

hasil dari pemaknaan gejala yang masuk

ke dalam akal.

Pembidangan sains sebenarnya

hanya ditentukan oleh jenis objeknya.

Jika objek yang dipersepsi itu adalah

benda-benda alamiah, maka sains yang

akan terbangun adalah segugusan

konsep, proposisi, dan teori pembentuk

sains kealaman (natural science). Contoh

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

39

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

ilmu ini antara lain: teknik sipil dan

teknik komputer. Jika objek yang

dipersepsi itu ditinjau dari aspek

fa’alnya, maka sains yang terbangun

adalah segugusan konsep, proposisi, dan

teori pembentuk ilmu-ilmu praktis

(practical science). Contoh ilmu ini

antara lain: teknik otomotif dan teknik

elektro. Jika objek yang dipesepsi

ditinjau dari aspek kualitas maka ilmu

yang akan terbangun adalah

sekumpulan konsep, proposisi, dan teori

penbentuk ilmu-ilmu normatif. Contoh

ilmu normatif antara lain ilmu akhlaq,

ilmu fiqh, dan tafsir-hadis. Jika objek

yang dipersepsi itu perilaku manusia,

maka sains yang akan terbangun adalah

sejumlah konsep, proposisi, dan teori

pembentuk ilmu-ilmu sosial. Contoh

ilmu-ilmu sosial antara lain sosiologi,

antropologi, dan psikologi sosial.

Teknologisasi

Kegiatan intelektual manausia

tidak boleh berhenti pada sains,

mengerti tentang suseuatu, bahwa air

dipanaskan100oC pasti memuai, bahwa

permukaan air pada beberapa bejana

yang saling terhubung adalah sama, dan

natur air mengalir pada tempat yang

lebih rendah dari keberadaan semula.

Ilmu harus berlanjut dan menghasilkan

teknologi. Teknologi memang anak

kandung dari sains itu sendiri.51

Istilah teknologi berasal dari

bahasa Yunani ‘technologia’. Kata ini

terdiri atas dua konsep,‘techne’ dan

‘logos’. Arti asal ‘techne, adalah art, skill,

dan science. Secara istilahi berarti

seperangkat prinsip, metode rasional

yang terkait dalam memproduksi

sesuatu. Kata ‘logos’ secara umum

51 Muslim A Kadir, op cit., h. 34.

berarti ilmu atau sains.52 Jadi, yang

dimaksud dengan teknologi adalah ilmu

tentang metode memproduksi sesuatu.

Membuat gedung tinggi, kokoh, indah

dan megah adalah berdasar pada

teknologi – yang secara akademis untuk

era mutakhir ini merupakan kolaborasi

dari berbagai ilmu teknik, seperti

arsitektur, sipil, matematik, dan yang

lainnya yang terkait.

Secara empiris, pembuatan gedung

tampak tidak terkait dengan doktrin Al-

Quran, bahwa teknolog pembuat itu

sekularis-ateistik atau teistik-islamis

adalah sama saja. Akan tetapi, dalam

analisis ilmu Islam, kegiatan ini sangat

inherent dengan doktrin Al-Quran, yaitu

jika ditelusur balik yang bermula dari

pembentukan konsep. Dalam setiap

langkah rute keilmuan, teknolog Islam

senantiasa berkesadaran ilahiyah

Aksiologi Ilmu

Term aksiologi berasal dari bahasa

Yunani ‘axios’ yang berarti nilai atau

manfaat, dan ‘logos’ yang berarti ilmu.

Dengan demikian, secara praktis

aksiologi berarti bagaimana meman-

dang, dalam kacamata memandang

menurut apa adanya, metode ilmiah,

hingga dimensi metafisikanya, bahwa

sesuatu itu memilki nilai atau manfaat.53

Karena pembentukan sains-tek-

nologi Islam dituntun oleh doktrin al-

Quran dan basis sang ilmuwan maupun

teknolognya adalah kesadaran ilahiyah–

sebagai perwujudan dimensi metafisik -

maka dalam merangcang kegunaan

harus tetap mengacu atas nama Tuhan,

bismi Rabbik’. Gedung kokoh, indah, dan

52 Dagobert D Runes, Dictionary of

Philosophy Totowa-New Jersey: Littlefield-Adams&Co., 1976, h. 314.

53 Runes, op cit., h. 32.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

40

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

mewah dapat difungsikan sebagai pusat

kegiatan kasino, lokalisasi transaksi sek-

sual, atau secara umum sebagai media

kesenangan lahiriah-dunyawiyah (hedo-

nistik). Pemanfaatan model ini didasar-

kan atas pemihakannya pada ‘the ra-

tional theory of value’, the naturalistic

theory of value, atau ‘the emotive theory

of value terhadap gedung tersebut, bisa

juga digunakan sebagai ḥalaqah ulama

sedunia dalam aktivitasnya meng-

upayakan kedamaian dunia dan kemak-

muran bumi yang didasarkan pada

pemihakan ‘the intuitive theory of value54

yang wujud konkritnya adalah kesa-

daran islamiyah. Final goal sains-

teknologi Islam adalah marḍatillāh.

C. Implikasi

Alur pikir pembentukan sains-

teknologi sejak dari konseptualisasi

hingga aksiologisasi sepenuhnya di-

deduksikan pada wahyu, al-Qur’ān dan

al-sunnah al-ṣaḥīḥah, atau minimal

ḥasan, masih dalam kategori hadis yang

maqbāl-ma’māl. Implikasi model pemiki-

ran ini berbeda dari model pemikiran

unifikasi antara doktrin al-Quran,

inklusif di dalamnya al-sunnah al-

ṣaḥīḥah sebagaimana dikembangkan

oleh akademisi UIN Walisongo Sema-

rang karena sistem kerjanya meng-

elaborasi antara Islam dan non-Islam,

bisa berwujud khasanah keilmuan barat

atau khasanah-khasanah lokal.

Senafas dengan unifikasi UIN

Walisongo adalah model interkoneksi

dari akademikus UIN Sunan Kalijaga,

yang bertumpu pada ‘sarang laba-laba

(spider web)’-nya Amin Abdullah, karena

salah satu unsur koneksitas sains-

54 Hamdani, op cit. 24-25.

teknologi adalah juga dari unsur non-

Islam.

Model ‘pohon ilmu’ dari akade-

mikus UIN Malang pun berbeda jauh jika

diukur dari model deduksi atas wahyu

sebagaimana penulis ajukan ini. Gagasan

Imam Suprayoga meruapakan cerminan

berpikir bebas dan bertolak dari on-

tologia konsursium ilmu yang secara

devinitif menjadi acuan Dikti Kemenag

dengan cara mencari pembenaran dari

wahyu dari berbagai unsur langkah-

langkah keilmuan. Profil sains-teknologi

Imam Suprayoga, Amin Abdullah,

bahkan juga Naquib al-Attas dan Mahdi

Ghoslani yang memprakarsai integrasi

agama dan sains hanya mencapai – atas

dasar the emotive theory of value - taraf

islami karena bangunan gagasan mereka

tidak dideduksikan secara langsung dari

wahyu. Wallahu a’lamu bi ash-shawāb.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ān al-Karīm

‘Abd al-Baqi, Ahmad Fuad, al-Mu’jam al-

Mufahras li Alfazh al-Qur’ān al-

Karīm. Indonesia: Maktabah

Dahlan, tth.

Bik, Hudlari, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami

(terj.), Mohammad Zuhri. [t.t]:

Rajamurah al-Qana’ah, 1980.

Danusiri, Epitemologi Dalam Tasawuf

Iqbal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996.

Dahdah, Anton, Mu’jam Qawa’id al-

Lughat al-‘Arabiyyah. Beirut:

Maktabah Lubnan, 1981.

Gibb, H.A.R, Whither Islam? A Survey of

Modern Movement in the Moslem

Warld. London:Victor Golanz Ltd.,

1932.

Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi

41

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Phillip K Hitti, Phillip, History of the

Arab. Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta, 2002.

Hamdani, Filsafat Sains, Bandung:

Pustaka Setia, 2011.

Ibrahimi, Muhammad Nur, Ilmu Mantiq

(Surabaya: Salim Bahan, tth.

Iqbal, Muhammad, Asrar-i-Khudi, terj.

Reinold Alayne Nicholson, Lahore:

SH Ghulam Ali &S ons, 1950.

Iqbal, Muhammad, The Reconstruction

of Religious Thought in Islam,

Lahore: Kitab Bhavan, 1981.

John Kemeny, John, A Philosopher looks

at Science. New York: Van

Nostrand Reinhold, 1981.

Kadir, Muslim A, Ilmu Islam Terapan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu.

Jakarta: Teraju, 2005.

Lachman, Sheldon J., The Foundations of

Science. New York: Vantage Press,

1989.

Murtadla Muthahari, Murtadla, terj.

Ibrahim Husein al-Habsyi,

Pengantar Menuju Logika. Bangil:

Yayasan Pesantren Islam, 1994.

Rahmat, Jalauddin, Islam Alternatif.

Bandung: Mizan, 1988.

Runes, Dagobert D, Dictionary of

Philosophy. Totowa-New Jersey:

Littlefield-Adams & Co., 1976.

Russel, Bertrand, Human Knowlwdge, Its

Scope and Limits. Oxford: Oxford

University, 1979.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran.

Bandung: Mizan, 2007.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-

Qur’an, Bandung: Mizan, 2009.

Surajio, Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi

Aksara, 2010.

asy-Syahrastani, Abi al-Fatḥ ‘Abd al-

Karīm, Kitāb al-Milāl wa an-Niḥāl,

Qahirah: an-Nahḍah al-Mishriyyah,

1951.

Syamsuddin, Ach Maimun, Integrasi

Multi Multidimensi& Sains.

Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.

Wach, Joachim, The Comparative Study of

Religions. New York: Columbia

UniversityPress, 1925.

Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam

Hadist

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

58 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

KERUSAKAN LINGKUNGAN:

EPISTEMOLOGI SAINS ISLAM DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA

Fachruddin Mangunjaya

Pusat Pengkajian Islam (PPI) Universitas Nasional

Jl Sawo Manila No 61, Pejaten, Ps Minggu, Jakarta Selatan 12520

e-mail: [email protected]

Abstract: This article examines the challenges of environmental

degradation and arguing to retun back to the Quran as a search of

epistemological foundation of science and a necessary strong foundation

in managing the balance of carrying for the earth and environmental

crisis. This study also explores the principles of Islamic in view of the

environmental approach such as the understanding keywords about the

God creation (Ilm-al-Khalq), which can be laid as foundations such as

tawḥīd, which encourage the belief that the only the Creator with all

power single, the khalifah (caliph) that empasis on man responsibility,

mīzān which refers to maintaining a balance and keeping the fitrah as

ordered of (human) nature in order to maintain the patterns of life and

the integrity of God's creation.

Abstrak: Artikel ini menguji tantangan-tantangan degradasi lingkungan

dan mengajukan pendapat untuk kembali kepada al-Quran sebagai

sebuah cara mencari dasar epistemologi sains dan sebuah dasar yang

kuat dalam mengelola keseimbangan bagi bumi dan krisis lingkungan.

Studi ini mengeksplorasi prinsip-prinsip Islam dalam memandang

terhadap pendekatan lingkungan seperti adanya pemahaman kata-kata

kunci tentang ciptaan Tuhan (‘Ilm al-Khalq), yang bisa ditempatkan

sebagai dasar-dasar, yang mendorong keimanan sehingga hanya ada

Sang Pencipta dengan kekuatan yang tunggal, sang khalifah yang

menekankan pada tanggung jawab manusia, mīzān yang merujuk pada

mempertahankan keseimbangan pola-pola kehidupan dan integritas

makhluk Tuhan.

Keywords: Islamic epistemology, science, lingkungan, khalīfah,

mīzān.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

59 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

A. Pendahuluan

Albert Einstein, menulis surat

tentang keyakinannya pada Agama yang

akan dapat menjadi penopang keber-

hasilan ilmu pengetahuan untuk kema-

nusiaan dan peradaban.1 Ketimpangan

dan kerusakan lingkungan yang terjadi

sekarang ini, merupakan akibat jauhnya

ilmu pengetahuan pada kaidah-kaidah

agama yang dapat melakukan rem dan

mencegah adanya “kelumpuhan”

mendalam pada peradaban manusia,

akibat sains yang meninggalkan agama.

Berbagai kerusakan lingkungan yang

kerap mengakibatkan bencana, bisa kita

saksikan menjadi meningkat fre-

kuensinya, tentulah diakibatkan tinggi-

nya laju perusakan akibat agama telah

ditinggalkan sebagai norma etika dan

juga kebaikan akhlak.

Sains dan aplikasi teknologi yang

tidak dibungkus dengan kerangka

agama ini menimbulkan perilaku

hedonis hanya mencari kepuasan materi

yang tidak berujung pangkal, tidak lagi

memikirkan dampak dan telah me-

langgar etika dan kepantasan dan

melanggar empati kemanusiaan. Oleh

karena itulah, ilmu pengetahuan yang

berintegrasi dengan pemahaman agama

akan memegang posisi penting. Prinsip

prinsip agama sudah semestinya

menjadi pilar dalam memperkaya

integritas sebagai ilmuwan Islam bukan

saja dari tataran filosofis tetapi

harusnya sampai pada tingkat kebijakan

dan sikap praksis.

1Childish superstition: Einstein's letter

makes view of religion relatively clear. http://www.theguardian.com/science/2008/may/12/peopleinscience.religion

Bagi seorang Muslim sudah

sepantasnya sangat bersyukur karena

Kitab Sucinya (al-Quran) adalah

Mukjizat. Kesucian al-Quran inilah yang

seharusnya menjadi fondasi yang

penting bagi pengembangan penge-

tahuan. Sudah seharusnya umat Islam

memandang pengetahuan yang

diperolehnya tanpa adanya pandangan

dikhotomis antara pengetahuan dan

agama. Mengapa? Sebab, al-Quran

merupakan kitab petunjuk bagi

manusia, penjelasan atas petunjuk

tersebut dan pembeda antara haq dan

batil (QS. al-Baqarah [2]: 185).

Setelah hampir 15 Abad, al-Quran

diturunkan, ia merupakan satu-satunya

wahyu yang teruji dan dapat

membuktikan mukjizatnya, banyak di

antaranya hanya dapat dimengerti

setelah penemuan demi penemuan sains

dibuktikan di zaman modern, abad XX

ini. Maurice Buchaille, seorang ahli

bedah menguraikan tentang mukjizat al-

Quran yang tidak terbantahkan,

Wikipedia menuliskan:

“Buchaille mengatakan bahwa Islam,

sains dan agama adalah merupakan

“sudara kembar”. Menurutnya ter-

dapat kesalahan monumental pada

Bibel namun tak ada satupun

kesalahan al-Quran yang ditinjau

dengan pengetahuan modern. Bucaille

yakin bahwa deskripsi al-Quran

tentang fenomena alam sangat

kompatibel dengan sains modern.”2

Al-Quran juga mampu menjadi

“futurist” meramalkan kejadian masa

depan dan kini menjadi sejarah. Sejarah

penaklukan Bizantium (Romawi Timur)

yang merupakan negara Adidaya atau

2 Wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

60 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Super Power abad pertengahan (1453

M), sudah diramalkan oleh Surat al-

Rūm [30]: 1-2, dan juga diramalkan oleh

hadis Rasulullah saw:

“Konstantinopel akan jatuh ke tangan

Islam. Pemimpin yang menakluk-

kannya adalah sebaik-baik pemimpin

dan pasukan yang berada di bawah

komandonya adalah sebaik-baik

pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-

Musnad 4/335]

Maka, sesungguhnya umat Islam

mempunyai pedoman atau petunjuk

yang jelas, bukan saja harus diyakini,

tetapi dapat menjadi landasan mencari

ilmu (epistemologi), sehingga kebe-

naran al-Quran inilah yang dapat

menjadi cahaya manusia dan ilmuwan

muslim ditengah kegelapan dan

kegalauan.

Keunggulan al-Quran yang lain

adalah klaim bahwa apa yang di langit

dan di bumi juga merupakan ayat-ayat

bagi orang yang mempunyai akal (QS.

Ali Imran [3]: 190).

Sesungguhnya dalam penciptaan

langit dan bumi, dan silih bergantinya

malam dan siang terdapat tanda-

tanda bagi orang-orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat

Allah sambil berdiri atau duduk atau

dalam keadaan berbaring dan mereka

memikirkan tentang penciptaan langit

dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan

kami, tiadalah Engkau menciptakan

ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,

maka peliharalah kami dari siksa

neraka. (QS. Ali Imran [ 3]: 190-191).

Ibn Kaṡīr menggarisbawahi yang

dimaksud dengan ciptaan Allah itu

adalah:

“…merujuk pada pada langit yang

tinggi hamparan bumi yang luas

hamparan, planet yang mengelilingi

matahari padang pasir, pohon,

tanaman, buah-buahan, binatang,

logam dan berbagai warna mengun-

tungkan, aroma, rasa dan elemen.

(Ayat ...dan memikirkan tentang

penciptaan langit dan bumi),

merenungkan tentang tanda tanda

yang ada di langit da bumi serta

menjadi tanda kebesaran, kemaha-

perkasaan, ilmu pengetahuan, kasih

sayang dan kearifan Allah. Allah

mengkritik mereka yang tidak

merenungkan tentang ciptaan-Nya,

yang membuktikan keberadaan-Nya,

Atribut, Syari’`ah, keputusan-Nya dan

Ayat: ‘Dan banyak sekali tanda-tanda

(kekuasaan Allah) di langit dan di

bumi yang mereka melaluinya, sedang

mereka berpaling daripadanya. Dan

sebahagian besar dari mereka tidak

beriman kepada Allah, melainkan

dalam keadaan mempersekutukan

Allah (dengan sembahan-sembahan

lain). (QS. Yūsuf [12]: 105-106).’”3

Sangat jelas, dan nyata bahwa

mufasir Ibn Kaṡīr pun sepakat bahwa

ciptaan—langit, bumi dan segala

isinya—merupakan tanda-tanda ke-

kuasaan Allah seperti yang nyata

dijumpai di muka bumi tempatnya

manusia dan makhluk lainnya, bukan

yang selain itu. Jadi apabila bumi

sebagai ciptaan-Nya menjadi rusak dan

menimbulkan banyak bencana, maka

semua itu merupakan suatu sunnah

Allah akibat dari kelalaian manusia.

Sudah saatnya pula, ilmuwan Muslim

untuk kembali tetap berpedoman pada

keunggulan al-Quran.

3Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. II, terj.

M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’I, 2001, h. 209-210.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

61 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

B. Kerusakan Lingkungan

Lingkungan memang tengah

mengalami kerusakan, kekhawatiran

atas kerusakan tersebut, telah diakui

adalah akibat ketidak seimbangan yang

terjadi dan disebabkan intervensi

manusia yang berlebihan. Kerusakan

lingkungan ini mendorong para

pemimpin dunia megadakan pertemuan

puncak (Konferensi Tingkat Tinggi-KTT)

tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil

untuk membicarakan bagaimana nasib

planet bumi dimasa depan. Saat

pertemuan puncak Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) setelah (KTT Bumi) tahun

1992, maka disepakatilah tiga konvensi

penting yang mengikat berbagai bangsa-

bangsa di muka bumi untuk dapat

melakukan sesuatu bagi keselamatan

planet ini,

Peraturan tersebut diataranya

adalah: (1). Konvensi PBB Tentang

Perubahan Iklim (UNFCCC); (2).

Konvensi PBB tentang Keanekaragaman

Hayati (UNCBD) dan (3). Konvensi

mencegah terjadinya penggurunan

(UNCCD). Tiga jenis konvensi tersebut

menjadi berkekuatan hukum, manakala

masing-masing negara melakukan

ratifikasi (mengadopsi) menjadi

undang-undang di negara masing-

masing. Dari ketiga konvensi tersebut,

maka dua konvensi yaitu UNCBD dan

UNFCCC merupakan peraturan

lingkungan dunia yang mengikat dan

paling sering di rundingkan. Sekarang

ini November hingga Desember 2013

sedang diadakan negosiasi tentang

perubahan iklim Conference of Parties

(COP)-19/CMP-9 yang diikuti oleh

negara anggota penanda tangan

konvensi tersebut di Warsawa, Polandia.

Sedangkan UNCBD akan mengadakan

negosiasi COP-12 pada tahun 2014 di

Korea.

Adapun UNFCC mempunyai tujuan

agar semua bangsa dapat mengurangi

pencemaran atmosfer dari gas-gas

rumah kaca (GRK). Terdapat enam jenis

Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat

menimbulkan pemanasan global dan

dibicarakan di UNFCCC adalah: karbon

dioksida (CO2), metan (CH4), nitrat

oksida (N2O), dan gas-gas yang

mengandung fluor, seperti hydro-

flourocarbon (HFCs), perfluorocarbon

(PFCs), dan sulphur hexafluorida (SF6).

Dari keenam gas-gas rumah kaca

tersebut, karbon dioksida mengambil

porsi terbesar, yaitu sekitar 75%. Oleh

karena itulah, jumlah GRK selalu

disetarakan dengan kandungan CO2

yang ada di atmosfer.

Perubahan iklim ini selalu

dimonitor secara ilmiah oleh ribuan

ilmuan dari lintas negara, berdasarkan

laporan ilmiah yang disebut Assasement

Report (AR) tim ahli PBB yang

tergabung dalam Intergovemental Panel

on Climate Change (IPCC), memberikan

laporan teknis kepada PBB dan publik

akan adanya perubahan iklim global.

Terakhir, IPPC membuat laporan ke 4,

pada tahun 2007, yang disebut juga

Assessment Report (AR) 4, laporan ini

direview oleh 6000 ilmuwan di seluruh

dunia, sehingga menjadi salah satu

dokumen dengan pengakuan ilmu

pengetahuan yang valid dan tinggi.

Dalam AR 4, IPCC menyimpulkan:

"pemanasan sistem iklim adalah

nyata", dan "sebagian besar pening-

katan suhu rata-rata global yang

diamati sejak pertengahan abad ke-20

sangat mungkin diakibatkan oleh

peningkatan konsentrasi gas rumah

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

62 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

kaca yang diakibatkan oleh manusia

(antropogenik).4"

Akibat dari pemanasan global,

maka timbul perubahan iklim yang

wujudnya berupa anomali cuaca dan

penyimpangan–penyimpangan musim

yang sulit diprediksi. Ritme ke-

seimbangan alam menjadi terganggu,

disebabkan emisi gas-gas rumah kaca

yang kian menumpuk di atmosfer.

Daniel Murdiyarso, peneliti senior pada

Centre for International Forestry

Reseacrh (CIFOR) dan Guru Besar Ilmu

Atmosfer, Institut Pertanian Bogor (IPB)

menuliskan, “Karena iklim juga menjadi

suatu ciri fisik suatu kawasan, maka jika

terjadi perubahan, dampaknya terhadap

komponen-komponen biotik (hidup)

dan abiotik (tak hidup) akan sangat luas.

Boleh jadi, perubahan itu bersifat

permanen karena hilangnya komponen

penting dalam kawasan, misalnya hutan

sebagai ekosistem atau spesies yang ada

di dalam ekosistem hutan tersebut.”5

Oleh karena itu, dampak perubahan

iklim dianggap sangat fatal dan

mengerikan, karena manusia tidak bisa

mengembalikan (irreversible), apabila

iklim berubah.

Apabila diperhatikan, perubahan

iklim ini terjadi nyata setelah adanya

revolusi Industri pada abad 17 dan 18,

4 "...warming of the climate system is

unequivocal", and "most of the observed increase in global average temperatures since the mid-20th century is very likely due to the observed increase in anthropogenic greenhouse gas concentrations." IPCC Report AR4. IPCC Fourth Assessment Report: Climate Change 2007. The Physical Science Basis, artikel diakses dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg1/en/spmsspm-direct-observations.

5D. Murdiarso, “Perubahan Iklim: Dari Obrola Warung Kopi ke Meja Perundingan”, Prisma, April 2012, h. 23-33.

sebagai dampak dari majunya ilmu

pengetahuan dan teknologi yang ber-

kiblat pada ekonomi kapitalistik dan

eksploitas sumber daya alam yang

sangat masif. Sayangnya dari laporan

terakhir, tidak ada upaya signifikan

pengurangan konsertrasi gas-gas rumah

kaca yang terus menumpuk di atmosfer.

Ancaman perubahan iklim sesu-

ngguhnya sangat mengerikan, Bank

Dunia (2012), memberikan gambaran,

bahwa jika kita (warga bumi) tetap tidak

melakukan tindakan apa-apa atau

business as usual (BAU) maka akan

terjadi peningkatan suhu hingga 4°C,

dan hal ini akan mengakibatkan dampak

yang mengerikan: kota-kota pesisir

terancam banjir, produksi pangan

terancam turun yang tentu saja akan

meningkatkan kasus malnutrisi di-

sebabkan banyak kawasan kering yang

akan semakin kering, dan kawasan

basah menjadi lebih basah.

C. Kritik Filsafat Lingkungan pada

Keyakinan Agama

Kepentingan terhadap kondisi

planet bumi yang stabil, merupakan

kebutuhan semua makhluk, tidak

terkecuali manusia. Perubahan iklim

membawa krisis lingkungan dan ketidak

stabilan yang massif akibat anomali

cuaca dan musim yang tidak menentu.

Dugaan besar terhadap seringnya

terjadi prekwensi badai dan angin

puting beliung, di beberapa tampat

akhir-akhir ini, juga dipicu oleh adanya

perubahan iklim. Tercatat prekwensi

bagai dan gelombang laut semaking

tinggi dan demikian pula musim

kemarau panjang (el nino) dan musim

monsun basah (la nina), semakin sering

terjadi.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

63 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Beberapa peristiwa banjir semakin

sering dijumpai melebihi frekuensi

bencana banjir tahun-tahun se-

belumnya. Hal ini diakibatkan anomali

iklim dan rusaknya keseimbangan dan

berkurangnya kapasitas daya dukung

bumi. Pertanyaan penting yang harus

dijawab, adakah langkah kedepan yang

dapat diambil dalam upaya

menanggulangi krisis ligkungan ini?

Mengapa krisis dan kerusakan ling-

kungan terjadi dan pengurasan terhadap

dan tidak berhenti merongrong dan

rupanya, menurut Lynn White Jr,

persepsi pemahaman manusia, sangat

bergantung dengan apa yang menjadi

keyakinan mereka akan apa yang

diajarkan oleh Agama.

“mentality of the Industrial Re-

volution, that the earth was a

resource for human consumption, was

much older than the actuality of

machinery, and has its roots in

medieval Christianity and attitudes

towards nature...what people do

about their ecology depends on what

they think about themselves in

relation to things in their

environment. 6“

Apa yang dikatakan oleh Lynn

White, bahwa akar krisis terhadap

lingkungan adalah bahwa mentalitas

Revolusi Industri, yang menjadi

jembatan pemahaman bahwa bumi

adalah sumber daya untuk konsumsi

manusia, jauh lebih tua dari aktualitas

mesin, dan memiliki akar dalam

Kekristenan abad pertengahan dan

kemudian menentukan sikap para

industrialis tersebut terhadap alam, dan

6Lynn White Jr, “The Historical Root of

our ecologic crises”, Science Vol 155 (Number 3767), 10 Maret 1967, h. 1203–1207.

apa yang dilakukan orang tentang

ekologi mereka tergantung pada apa

yang mereka pikirkan tentang diri

mereka sendiri dalam kaitannya dengan

hal-hal di lingkungan mereka.

Hal senada dikemukakan oleh

Seyyed Hossein Nasr, yang memiliki

pemikiran yang lebih ekstrim tentang

hubungan manusia dan tanggunjawab

mereka terhadap alam:

“Nature has become desacralized for

modern man Nature has come to be

regarded as something to be used and

enjoyed to the fullest extent

possible....for modern man nature has

become like a prostitute to be

benefited from without any sense

obligation and responsibility toward

her”7

Jadi alam telah menjadi tidak suci

lagi bagi manusia modern, dan apa yang

menjadi karunia alam dan dianggap

sebagai sesuatu yang harus digunakan

dan dinikmati semaksimal mungkin Bagi

manusia modern, alam hanya seperti

seorang pelacur dimana manusia

diuntungkan tanpa adanya kewajiban

untuk ikut bertanggungjawab, me-

rawatnya. Memikirkannya untuk

generasi mendatang dan memikirkan

keturunan yang lebih baik. Hal ini nyata

terjadi, ketika konsesi diberikan, maka

para investor dan pengusaha hanya

merasa bertanggunjawab dan lunas

kewajibannya, setelah membayar rente

(iuran) hasil-hasil hutan atau perijinan

yang diwajibkan pemerintah, tanpa

mempunyai beban kemudian mereka

dapat dengan mudahnya mengambil

7Seyyed Hossein Nasr, “The Problem,”

taken from Man and Nature, Chicago: Kazi Publication, 1997.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

64 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

keuntungan sementara bumi yang

ditinggalkannya: berlobang, longsor,

kehilangan sumber daya dan seterusnya.

Lebih dari itu, bagi banyak

manusia ekonomi, maka tidak ada

kehadiran Tuhan di dalam kerja mereka.

Eksploitasi merupakan sebuah kenis-

cayaan, keuntungan yang diperoleh

memang diperuntukkan bagi kesejah-

teraan manusia. Sayangnya ternyata

hanya jangka pendek. Jadi, dalam terjadi

disintegrasi antara pesan-pesan agama

dan kehendak manusia (yang serakah)

dan kesenjagan terjadi pada arena

seperti ini, seperti yang dikatakan oleh

Nasr,

“The harmony between man and

nature has been destroyed…but not

everyone realized that this

disequilibrium is due to the

destruction of the harmony between

man dan God.”8

Kesimpulannya boleh jadi bahwa

manusia kemudian telah tersesat

menjauh dan merusak bumi, karena

meninggalkan pesan-pesan agama dan

menjauh dari keyakinan agama.

D. Integrasi Konservasi Lingkungan

dalam Ajaran Islam9

Al-Quran yang memanifestasikan

totalitas ini dengan demikian adalah

sebuah panduan untuk transaksi hidup

bagi umat manusia. Hal ini meletakkan

dasar-dasar bagi segala kegiatan kita

8Ibid. 9Sub Bab ini merupakan replikasi bagian

yang diambil dari karya penulis, Fachruddin Mangunjaya, “Islam and Natural Resources Management”, dalam J.M. McKay (ed), Integration Religion Within Conservation: Islamic Belief and Sumatran Forest Management, UK: Darwin Initiative Case Study, Durrel Insitute of Conservation and Ecology University of Kent, 2013, h.11-20.

dalam penciptaan. Pada satu tingkatan,

hal ini berbicara tentang melestarikan

tubuh dan jiwa dan hubungan kita

dengan tatanan alamiah, pada tingkatan

yang lain hal ini berbicara tentang

komunitas makhluk-makhluk yang

terbang dan merayap dan meloncat-

loncat dan berenang, dan dalam

tingkatan yang lain lagi, yang

dibicarakan adalah alam semesta, hutan,

dan sungai. Inti ajaran dalam al-Quran

yang berhubungan dengan hal ini dapat

digambarkan sebagai 'Ilm al-Khalq

(Pengetahuan tentang Penciptaan) yang

sudah ada sebelum ilmu ekologi ber-

kembang empat belas abad kemudian.10

Ajaran-ajaran tentang lingkungan

menimbulkan suatu fleksibilitas dalam

pendekatan, dan kita telah memilih

untuk merepresentasikan mereka ke

dalam empat prinsip utama berikut:

Tauḥīd, Khalīfah, Mīzān, dan Fiṭrah.

Prinsip-prinsip ini adalah tema-tema

dalam al-Quran yang dapat ditelusuri

untuk mendidik masyarakat dan

meningkatkan kesadaran tentang

pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan. Seiring kita menelaah

prinsip-prinsip ini, kita akan membahas

keempatnya dalam konteks pesan

universal tentang lingkungan dari al-

Quran, dengan menggunakan acuan dari

pendapat para ilmuwan dan

cendekiawan Islam.

Tauḥīd

Tauḥīd adalah sebuah elemen dari

prinsip-prinsip ajaran Islam tentang

lingkungan yang menyatakan bahwa

keimanan kepada Allah adalah mutlak,

10Fazlun Khalid, Qur’an Creation and

Conservation, Birmingham, UK: Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences 1999.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

65 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

menjadikan Islam sebagai agama

monoteistik. Tauḥīd disebutkan dalam

prinsip Islam tentang iman sebagai iman

di hadapan Allah. Dengan mengakui

tauḥīd, kita mengakui bahwa Allah

adalah Satu dan ciptaan-Nya juga

memiliki ciri kesatuan, atau disatukan

secara keseluruhan. Allah sebagai

pencipta telah menciptakan sedemikian

rupa ciptaan-Nya akan diperlakukan

sebagai alat untuk menyembah Dia (QS.

al-Māidah [5]: 56). Allah adalah al-

Khāliq (Pencipta) yang menciptakan

langit dan bumi dan segala sesuatu di

dalamnya (baca: QS. al-Ḥasyr [59]: 24).

Dengan mengakui tauḥīd, umat

Islam juga menyadari adanya harmoni

umum dari pencipta dan bahwa

terdapat hukum kosmik yang mengatur

rotasi bumi, matahari, bulan, bintang,

dan lain-lain, selama miliaran tahun

tanpa mengalami insiden apapun.

Selama miliaran tahun, bumi tidak

pernah mengalami tabrakan dengan

bulan, atau bulan dengan matahari.

Tanpa perintah yang ditetapkan Tuhan,

semua ini tidak akan terjadi, karena

Dialah yang menentukan orbit untuk

setiap benda langit tersebut:

“Dia-lah yang menjadikan matahari

bersinar dan bulan bercahaya dan

ditetapkan-Nya manzilah-manzilah

(tempat-tempat) bagi perjalanan

bulan itu, supaya kamu mengetahui

bilangan tahun dan perhitungan

(waktu). Allah tidak menciptakan

yang demikian itu melainkan dengan

hak. Dia menjelaskan tanda-tanda

(kebesaran-Nya) kepada orang-orang

yang mengetahui.” (QS. Yūnus [10]:

5).

“Tidaklah mungkin bagi matahari

mendapatkan bulan dan malampun

tidak dapat mendahului siang. Dan

masing-masing beredar pada garis

edarnya.” ( QS. Yā Sīn [36]: 40).

“Orang-orang yang mengingat Allah

sambil berdiri atau duduk atau dalam

keadan berbaring dan mereka

memikirkan tentang penciptaan langit

dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan

kami, tiadalah Engkau menciptakan

ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,

maka peliharalah kami dari siksa

neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191).

Osman Bakar menyatakan bahwa

memiliki nurani tentang Keesaan Allah

berarti menegakkan kebenaran bahwa

Allah adalah Satu dalam Zat-Nya, dalam

nama-Nya, serta dalam sifat dan

tindakan-Nya. Bakar sangat menegaskan

definisi Tawhid sebagai sumber dan

manifestasi dari semangat ilmu

pengetahuan dalam Islam. Sebuah

konsekuensi penting dari penegasan

kebenaran sentral adalah masyarakat

harus merangkul realitas objektif dari

kesatuan alam semesta. Sebagai sumber

untuk pengetahuan, agama menegaskan

bahwa sesuatu yang ada di alam

semesta ini saling berhubungan melalui

hukum kosmis yang mengaturnya,

dalam jaringan kesatuan alam semesta.

Kosmos terdiri dari berbagai lapisan

realitas, tidak hanya secara fisik. Tetapi

hal ini menciptakan suatu asal mula

metafisika terpadu yang dalam agama

disebut sebagai Tuhan.11

Al-Quran juga menekankan bahwa

kesatuan kosmis adalah contoh yang

sangat baik dari sifat Tuhan yang Esa:

11Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-

esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, h. 21.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

66 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

“Mereka selalu bertasbih malam dan

siang tiada henti-hentinya.” (QS. al-

Anbiyā [21]: 20).

Dalam sudut pandang Islam, tidak

terdapat perbedaan antara yang hidup

dan yang mati, karena semuanya adalah

bagian dari ciptaan dan mereka tetap

bertasbih kepada Allah (baca: QS. al-Isrā

[17]: 44, al-Nūr [24]: 41, al-Anbiyā’ [21]:

79). Semua makhluk dan ciptaan Allah

bertasbih kepada-Nya (QS. al-Taghābun

[64]: 1), yang juga merupakan ibadah

mereka kepada Allah, tetapi tidak semua

manusia memahaminya (QS. al-Isrā

[17]: 44). Hal ini juga merefleksikan

keesaan (tauḥīd), di mana penciptaan

alam dan manusia mempunyai tujuan

yang sama. Oleh karena itu, esensi

tauḥīd dapat dipahami bahwa semua

yang ada di langit dan di bumi berasal

dari pencipta yang satu (al-wiḥdah).

Sekiranya ada di langit dan di bumi

tuhan-tuhan selain Allah, tentulah

keduanya itu telah rusak binasa. Maka

Maha Suci Allah yang mempunyai

'Arsy daripada apa yang mereka

sifatkan. (QS. al-Anbiyā [21]: 22).

Terdapat dua aspek dalam tauḥīd

yang berbicara tentang memelihara

keutuhan bumi dan alam semesta. Aspek

pertama berbicara tentang esensi dari

Keesaan Allah, bahwa Dia tidak memiliki

sekutu, bahwa Dia berdiri sendiri, yang

diciptakan oleh siapa pun namun adalah

Pencipta (al-Khāliq) dan manusia

dilarang menentang-Nya dengan

bersaing dengan apa pun yang adalah

ciptaan-Nya. Kedua, segala sesuatu yang

Allah telah ciptakan adalah satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Allah memberikan kesempurnaan bagi

semua ciptaan-Nya dalam suatu sistem

yang terorganisasi dengan baik dan

teratur. Semuanya saling terkait, tetapi

tidak ada cara bagi manusia untuk

memahami segalanya. Sebagai contoh,

keutuhan suatu ekosistem didasarkan

pada urutan hal-hal yang tidak dapat

eksis secara sendiri-sendiri. Ekosistem

adalah gabungan dari berbagai spesies,

baik itu hewan, tumbuhan, atau

mikroorganisme, serta mineral: benda-

benda yang dianggap mati namun

memberikan roh bagi kehidupan.

Semua hal dalam suatu ekosistem

adalah makhluk, ciptaan, dan semuanya

bersujud di hadapan Allah, seperti

dalam firman-Nya:

Langit yang tujuh, bumi dan semua

yang ada di dalamnya bertasbih

kepada Allah. Dan tak ada suatupun

melainkan bertasbih dengan memuji-

Nya, tetapi kamu sekalian tidak

mengerti tasbih mereka. Sesungguh-

nya Dia adalah Maha Penyantun lagi

Maha Pengampun. (QS. al-Isrā [17]:

44).

Oleh karena itu, semua ciptaan

Allah tunduk kepada-Nya dengan cara

mereka masing-masing. Menurut

seorang mufassir Ibn Kaṡīr, tidak ada

makhluk yang tidak bertasbih dan

memuji Allah. Namun manusia tidak

mengerti bagaimana cara tasbih mereka

untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Ini

berarti bahwa manusia tidak memahami

nyanyian mereka, karena mereka semua

berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

Ibn Kaṡīr mengutip hadis Nabi saw yang

menyatakan bahwa Nabi Muhammad

melarang pembunuhan katak, dengan

berkata, “suaranya adalah tasbih.”

Karena itu, bunyi atau suara yang

keluar dari makhluk Allah adalah

kesaksian tentang keesaan-Nya, dalam

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

67 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

rubūbiyah (keteraturan) dan Ilāhiyah

(ketuhanan) Allah. Ia menandaskan:

“Dalam segala hal adalah tanda, yang

menunjukkan bahwa Dia (Allah)

adalah satu.”12

Oleh karena itu, perlu dipahami

bahwa sebagai bagian dari kesatuan

alam semesta, manusia serta unsur-

unsur lain dari ekosistem alam, semua

tunduk dan mematuhi hukum-hukum

Allah atau apa yang sekarang kita sebut

sebagai hukum alam. Sebagai konse-

kuensi logisnya, manusia harus

menghormati alam. Ini berarti kita tidak

boleh melihat alam sebagai objek untuk

dieksploitasi dan dirusak, tanpa benar-

benar memahami makna, esensi, dan

fungsi ekosistem. Kita harus meng-

upayakan berbagai cara untuk

melestarikannya.

Demikian pula, jika asal-usul

manusia dihancurkan, maka kekacauan

akan muncul, sama seperti hilangnya

salah satu unsur dalam sistem yang

seimbang sempurna akan mengubahnya

menjadi sistem yang tidak harmonis dan

kacau.

Khalīfah

Cendekiawan Muslim, Nurcholis

Madjid menulis bahwa ketika Tuhan

mengumumkan penciptaan manusia,

peristiwa ini terjadi sebagai suatu

drama kosmis, sebuah transaksi

penciptaan manusia seperti yang

digambarkan oleh al-Quran, di mana

Allah menempatkan manusia sebagai

khalīfah atas bumi.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman

kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya

12Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. V, terj.

M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’I, 2001, h. 269-270.

Aku hendak menjadikan seorang

khalifah di muka bumi.’ Mereka

berkata: ‘Mengapa Engkau hendak

menjadikan (khalifah) di bumi itu

orang yang akan membuat kerusakan

padanya dan menumpahkan darah,

padahal kami senantiasa bertasbih

dengan memuji Engkau dan men-

sucikan Engkau?’ Tuhan berfirman:

‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa

yang tidak kamu ketahui.’” (QS. al-

Baqarah [2]: 30).13

Madjid menjelaskan bahwa

“drama kosmik” yang melibatkan Allah,

Malaikat, Manusia, dan Setan terjadi

pada lokus primordial yang disebut

jannah (taman surga) ini dimulai dengan

Allah “mengucapkan” bahwa Ia akan

membuat umat manusia sebagai

khalifah-Nya atas bumi. Namun para

malaikat ragu dan skeptis terhadap

kemampuan manusia untuk menjalan-

kan tugasnya, mengingat kecenderung-

an manusia untuk menghancurkan dan

menumpahkan darah. Akan tetapi, klaim

para malaikat ini ditolak oleh Allah,

karena mereka tidak mengetahui

rahasia-Nya untuk mengajar Adam

“semua nama”. Selanjutnya, Nurcholish

Madjid menyatakan bahwa dalam

tugasnya sebagai khalifah maka:

1) Martabat manusia berkaitan dengan

konsep bahwa alam secara keseluruhan

menyediakan kebutuhan manusia, untuk

menjadi lahan garapan dan tempat untuk

menjalankan tugasnya.

2) Martabat ini juga terkait dengan nilai-

nilai kemanusiaan yang universal.

13Nurcholish Madjid, Islam Agama

Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 180-181.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

68 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

3) Untuk menjalankan tugasnya sebagai

khalifah Allah di bumi, manusia dibekali

ilmu pengetahuan.

4) Martabat manusia juga dilengkapi

dengan kebebasan, dengan pembatasan

tertentu (semua kecuali buah dari pohon

terlarang dapat dimakan).

5) Setiap pelanggaran atas batas-batas

tersebut mendegradasi umat manusia.

6) Dorongan untuk melanggar batas-batas

tersebut dinamakan keserakahan, yaitu

perasaan yang tak terpadamkan bahwa

semua karunia dari Allah tidaklah

memadai.

7) Karena ilmu pengetahuan saja tidak

menjamin manusia takkan terdegradasi,

maka arahan dari Allah diperlukan

sebagai jaring pengaman rohani.14

Di dalam konsep mengembangkan

kehidupan yang bermartabat,

spiritualitas sangat penting karena me-

nyediakan alat kendali atas sikap-sikap

negatif manusia. Rasa kemanusiaan

adalah kekal untuk orang-orang yang

mengemban tugas mereka sebagai

khalifah, lengkap dengan semua

dimensinya.15 Pada intinya, status

khalifah diberikan kepada manusia agar

ia bertindak secara bertanggung jawab

dalam pengelolaannya atas bumi.

Dalam mengelola bumi, manusia

diharapkan untuk bertindak

berdasarkan ilmu pengetahuan dan

bukan sekadar keinginan sendiri (QS al-

Nisā [4]: 135, al-Mu’minūn [23]: 71)

karena keserakahan akan membawa

tidak hanya akibat jangka pendek, yakni

kerugian atas kepunahan, tetapi juga

berbagai bencana lingkungan. Menipis-

nya cadangan sumber daya alam dari

14Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik

Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, h. 142-143. 15Ibid.

hari ke hari adalah tantangan bagi

manusia dan juga sebagai sarana untuk

membuatnya sadar bahwa eksploitasi

tidak boleh melanggar batas kese-

imbangan, atau kerusakan akan muncul.

Selain itu, manusia diharapkan untuk

menjaga janji mereka dan melaksanakan

mandat mereka, karena Allah telah

berfiman:

Sesungguhnya Kami telah menge-

mukakan amanat kepada langit, bumi

dan gunung-gunung, maka semuanya

enggan untuk memikul amanat itu

dan mereka khawatir akan meng-

khianatinya, dan dipikullah amanat

itu oleh manusia. Sesungguhnya

manusia itu amat zalim dan amat

bodoh. (QS. al-Aḥzāb [33]: 72).

Mīzān (Keseimbangan)

Mīzān, menurut asal katanya,

berarti ‘skala’ atau ‘keseimbangan’.

Allah telah memberikan gambaran yang

sangat mendasar dalam al-Quran untuk

menggambarkan penciptaan langit dan

bumi yang seimbang, karena segala

sesuatu di alam semesta diciptakan

berpasangan (QS. Yā Sīn [36]: 36).

Misalnya, siang dan malam, langit dan

bumi, panas dan dingin, hujan dan

kemarau. Allah berfirman dalam Surat

al-Raḥmān [55]: 7-8:

Dan Allah telah meninggikan langit

dan Dia meletakkan keseimbangan

(keadilan), supaya kamu jangan

melampaui batas tentang kese-

imbangan itu.

Keseimbangan diciptakan oleh

Allah melalui gaya-gaya gravitasi

konstan yang bekerja pada benda-benda

langit, sehingga menjaga planet-planet

tetap pada orbitnya masing-masing.

Keseimbangan membantu bumi dan

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

69 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

planet-planet lain dalam tata surya

berputar mengelilingi matahari secara

konsisten dan tidak berubah-ubah

jalurnya. Jadi bumi berputar pada

porosnya sendiri, tanpa gangguan

bahkan hingga detik ini, karena adanya

keseimbangan dan gravitasi yang telah

diciptakan Allah.

Apa yang akan terjadi jika gaya

gravitasi lebih besar dari apa yang kita

alami hari ini? Akan benar-benar sulit

bagi kita untuk berjalan, apalagi berlari.

Manusia dan semua makhluk akan

mengonsumsi lebih banyak energi untuk

sekadar berjalan. Apa yang akan terjadi

jika gravitasi itu menghilang? Debu dan

semua partikel, termasuk sampah dan

ranting dan segala sesuatu akan

mengapung di udara dan kita akan

merasa sangat sulit untuk bernapas di

permukaan bumi. Kecepatan hujan akan

berkurang secara drastis dan bahkan

airnya mungkin menguap sebelum

menyentuh permukaan bumi. Sungai

akan mengalir sangat lambat dan itu

akan sangat sulit untuk menghasilkan

listrik dari sungai, seperti yang kita

mampu lakukan hari ini.16 Oleh karena

itu, Allah telah menetapkan standar

yang sangat tepat.

Sesungguhnya Kami menciptakan

segala sesuatu menurut ukuran.” (QS.

al-Qamar [54]: 49).

Ketepatan dan akurasi memasti-

kan keseimbangan dalam kehidupan di

bumi, dan seperti Allah menciptakan

dunia menurut keseimbangan, ajaran

Islam juga didasarkan pada

keseimbangan dan keadilan. Bahkan

pikiran dan hati nurani manusia

16Lihat: Harun Yahya, Design in Nature.

London: Taha Publisher, 2002.

diciptakan selaras dengan ajaran-

ajarannya. Oleh karena itu, orang tidak

boleh bersandar terlalu jauh ke kanan

atau ke kiri, melainkan berusaha untuk

mencapai keseimbangan dalam semua

aspek kehidupan.

Sehubungan dengan upaya

konservasi, gagasan keseimbangan telah

sangat diprioritaskan dan dievaluasi.17

Berbagai fenomena yang merusak,

seperti tanah longsor, banjir, angin

puting beliung, dan bahkan perubahan

iklim saat ini, dianggap sebagai akibat

langsung dari ketidakseimbangan.

Ketika kawasan hutan dan lahan

dengan kemiringan yang ekstrem

ditebang pepohonannya untuk dibuka

sebagai lahan bercocok tanam, mereka

menjadi tidak stabil, menyebabkan

tanah longsor. Banjir terjadi karena

lahan yang berhutan sekaligus bertindak

sebagai spons untuk mempertahankan

air pada musim hujan, apabila rusak

tidak dapat lagi menyimpan air di dalam

tanahnya. Perubahan iklim terjadi

karena atmosfer semakin tebal dari hari

ke hari dengan gas rumah kaca yang

dikeluarkan oleh aktivitas manusia,

termasuk namun tidak terbatas pada

karbon dioksida (CO2) dari kendaraan

berbahan bakar fosil dan industri.

Albert Gore mencatat bahwa

manusia melepaskan 90 juta ton CO2

setiap harinya. Untuk menyeimbangkan

hal ini, hutan (dan juga lautan) mampu

menyerap emisi tetapi akan memakan

17Albert Gore, Our Choice: Rencana untuk

Memecahkan Krisis Iklim, terj. P. Handono Hadi,

Jakarta: Kanisius, 2010; J. Rockström, et al, “A

Safe Operating Space for Humanity”, dalam

Nature 461 (24 September 2009), h. 472-475.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

70 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

waktu dari 30 sampai 1.000 tahun untuk

melakukannya. Oleh karena itu,

pemanasan global secara langsung di-

sebabkan oleh gangguan oleh manusia

terhadap keseimbangan, melalui pen-

cemaran udara dengan gas rumah kaca.

Gangguan terhadap keseimbangan de-

ngan demikian disebut gangguan

antropogenik, atau yang disebabkan

oleh manusia.18

Fiṭrah

Fiṭrah secara harfiah berarti ‘asal’,

‘keaslian’, atau ‘keadaan alami’. Definisi

yang tepat dari fiṭrah adalah “keadaan

alami atau naluri yang ditemukan dalam

manusia, binatang atau sesuatu yang

memaksa manusia atau makhluk

mendambakan keadaan tersebut.”

Umat Islam meyakini bahwa

semua manusia dilahirkan sebagai

Muslim dan dalam keadaan murni.

Seorang bayi lahir murni, tanpa ada

dosa dan dilahirkan dalam fiṭrah,

sebagaimana tidak ada yang

mengintervensi kelahirannya. Jika

seorang bayi meninggal, ia mati dalam

kemurniannya. Oleh karena itu, apakah

seseorang menjadi religius atau tidak

bergantung pada bagaimana orang tua

mereka mendidik mereka setelah itu.

Jadi, fiṭrah, dalam hal ini, adalah

pengetahuan, di mana sejak Allah

menciptakan umat manusia, mereka

telah diakui oleh-Nya. Dalam all-Quran,

kata fiṭrah ditemukan dalam ayat

berikut:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan

lurus kepada agama Allah; (tetaplah

atas) fitrah Allah yang telah men-

ciptakan manusia menurut fitrah itu.

Tidak ada perubahan pada fitrah

Allah. (Itulah) agama yang lurus;

18Ibid.

tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui.” (QS. al-Rūm [30]: 30).

Menurut Ibn Kaṡīr, manusia se-

harusnya mengikuti fiṭrah yang telah

Allah berikan kepada semua makhluk.

Allah telah menganugerahkan fiṭrah

bahwa Dia adalah Satu, bahwa tidak ada

Allah lain (ilāh) yang benar (Ḥaq) selain

Dia. Ia lebih lanjut menambahkan

pernyataan bahwa “tidak ada perubahan

dari fiṭrah Allah”, yang berarti bahwa

manusia tidak boleh mengubah ciptaan

Allah, ataupun mengubah fiṭrah manusia

yang telah diberikan oleh Allah kepada

manusia. Ini berarti bahwa Allah

membuat semua ciptaan-Nya dengan

menganugerahkan atas mereka fiṭrah

yang sama, di mana tidak ada perbedaan

antara satu manusia dengan yang

lainnya.19 Yasin Mohammed (1996)

kemudian mendefinisikan fiṭrah sebagai

berikut:

"Konsep fiṭrah sebagai kebaikan yang

asli, dalam pandangan saya, tidak

hanya berkonotasi dengan penerima-

an pasif untuk bertindak baik dan

benar, tetapi kecenderungan aktif dan

kecenderungan bawaan alamiah

untuk mengenal Allah, untuk tunduk

kepada-Nya dan melakukan yang

benar. Ini adalah kecenderungan

alamiah manusia, dengan tidak

adanya faktor-faktor yang sifatnya

berseberangan. Meskipun semua anak

dilahirkan dalam keadaan fiṭrah,

pengaruh lingkungan sangat menen-

tukan; orang tua dapat mempenga-

ruhi agama anak dengan membuatnya

seorang Kristen, Yahudi atau Magian.

Jika tidak ada pengaruh buruk, maka

anak akan terus memanifestasikan

19Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. VI, terj.

M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’I, 2001, h. 371..

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

71 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

fiṭrah-nya sebagai sifat sejatinya.

Karena banyak bayi dilahirkan

dengan cacat fisik kotor, pencederaan

sebagaimana dimaksud dalam hadis

ini tidaklah dimaksudkan dalam arti

fisik, artinya semua anak dilahirkan

secara rohani murni, dalam keadaan

fiṭrah. Referensi kepada hewan yang

lahir utuh dalam hadits yang inti

harus dilihat sebagai analogi untuk

menggambarkan kondisi keutuhan

rohani yang serupa saat seorang anak

dilahirkan.”20

Dengan demikian, fiṭrah dalam

konteks ajaran Islam terhadap

lingkungan berarti bahwa Allah ingin

manusia memegang teguh janjinya

sesuai dengan fiṭrah Islam. Ajaran-

ajaran Islam memberikan batas-batas

moral yang pada intinya menetapkan

bahwa tidak ada yang boleh dilakukan

secara berlebihan, apalagi untuk

menciptakan kehancuran (QS. Ali Imran

[3]: 147; al-Mā’idah [5]: 77; al-An‘ām

[6]: 141; al-A‘rāf [7]: 31).

E. Penutup

Dari uraian di atas dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1) Islam mengajarkan keterpaduan,

tidak ada dikotomi antara

pengetahuan (sains) dengan

keyakinan agama.

2) Allah swt memberikan karunia, dan

memberikan Qur’an dan Sunnah

sebagai pedoman dalam

pengelolaan bumi.

3) Memelihara alam dan lingkungan

merupakan bagian dari misi

khalifah (pengemban amanah).

20Mohammed Yasien, The Definition of

Fitrah, London: TA-HA Publishers, 1996, h. 21.

4. Memelihara dan menjaga

keseimbangan (mīzān) bumi,

merupakan wujud dari amanah agar

manusia tetap berada dalam

fitrahnya. []

Daftar Pustaka

Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Gore, Albert, Our Choice: Rencana untuk

Memecahkan Krisis Iklim, terj. P.

Handono Hadi, Jakarta: Kanisius,

2010.

Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. II, V, dan VI, terj. M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’i, 2001.

Khalid, Fazlun, Qur’an Creation and Conservation, Birmingham, UK: Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences 1999.

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

Madjid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.

Mangunjaya, Fachruddin, “Islam and Natural Resources Management”, dalam J.M. McKay (ed), Integration Religion Within Conservation: Islamic Belief and Sumatran Forest Management, UK: Darwin Initiative Case Study, Durrel Insitute of Conservation and Ecology University of Kent, 2013.

Murdiarso, D., “Perubahan Iklim: Dari Obrola Warung Kopi ke Meja Perundingan”, Prisma, April 2012.

Nasr, Seyyed Hossein, “The Problem,” taken from Man and Nature, Chicago: Kazi Publication, 1997.

Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia

72 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Rockström, J., et al, “A Safe Operating

Space for Humanity”, dalam Nature

461 (24 September 2009).

White Jr, Lynn, “The Historical Root of our ecologic crises”, Science Vol 155 (Number 3767), 10 Maret 1967.

Wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille Yahya, Harun, Design in Nature. London:

Taha Publisher, 2002.

Yasien, Mohammed, The Definition of

Fitrah, London: TA-HA Publishers,

1996.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

73

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

MEMBACA AYAT-AYAT AL-QURAN DENGAN PERSPEKTIF IAN G. BARBOUR

Achmad Bisri

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang

Jl. Prof. Dr. Hamka Km.1, Ngaliyan, Semarang

e-mail: [email protected]

Asbtract: This aticle aims to understand the science verses of the Quran

with Ian G. Barbour perspective. To elaborate the problem, I used the

qualitative research with hermeneutic analysis. There are three findings

important in the research. Firstly, regarding the relation between religion

and science Ian G. Barbour divided four typologies: conflict, independence,

integration, and dialogue. Secondly, regarding to the Quran verses in the

line with Barbour’s thought to be found that some possibilities the science

explain the scientific verses of the Quran. Thirdly, with Barbour’s

perspective it was found the fact that relation the Qur’an and the science

were conflict, independence, and integration.

Abstrak: Artikel ini bertujuan memahami ayat-ayat sains dengan

perspektif Ian G. Barbour. Untuk menjelaskan masalah ini, saya

menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan analisis hermeneutik.

Adapun temuan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Pertama,

dalam mengemukan hubungan antara agama dan sains, Ian G. Barbour

membagi ke dalam empat tipologi (konflik, independen, integrasi, dan

dialog). Ia melihat bahwa keempat tipologi ini dijumpai di kalangan

saintis dan agamawan. Kedua, Berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran

yang senada dengan pemikiran Ian G. Barbour memang ditemukan

adanya kemungkinan sains menjelaskan ayat-ayat ilmiah dalam al-

Quran. Ketiga, dengan perspektif Ian G. Barbour, ditemukan fakta

bahwa relasi al-Quran dan sains berada pada tipologi konflik,

independen, dan integratif. Konflik terjadi ketika sains berbicara

tentang alam yang terbebas dari campur tangan Tuhan; independensi

terjadi ketika berkaitan dengan teori evolusi Darwin. Namun, integrasi

terjadi juga ketika sains mampu memecahkan informasi-informasi

ilmiah yang disajikan al-Quran.

Keywords: al-Quran, sains, dialog, integrasi, independen.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

74

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

A. Pendahuluan

Dalam Keputusan Rektor Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo1

Semarang Nomor 10 Tahun 2014

disebutkan: “Perguruan Tinggi Islam

Riset Terdepan Berbasis Kesatuan Ilmu

Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan

Peradaban.” Visi ini menyiratkan sebuah

kesadaran bahwa ilmu pengetahuan

tidak boleh lagi agama dikhotomis,

agama di satu di sisi, dan sains (science)

di sisi yang lain.

Visi ini sesungguhnya telah

diisyaratkan oleh Rasulullah dalam

banyak hadis yang menganjurkan

pencarian ilmu ke mana saja (“Carilah

ilmu walau ke negeri Cina”) dan kapan

saja (“Carilah ilmu dari buaian bayi

hingga liang lahat”). Itulah sebabnya

generasi awal, generasi-generasi ulama

yang pertama rajin menerjemahkan

karya-karya ilmiah dari berbagai bangsa

dan bahasa untuk kemudian disesuaikan

dengan ajaran Islam dan dikembangkan

lebih lanjut. Jadi, secara instrinsik tidak

ada pertentangan antara sains dan

Islam. Sains dalam pengertiannya yang

modern adalah pengembangan dari

filsafat alam yang merupakan bagian

dari filsafat yang menyeluruh dalam

khazanah keilmuan Yunani. Namun,

filsafat Yunani terlalu deduktif, yang

lebih berdasarkan pada pemikiran

spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi

oleh pengamatan empiris sebagaimana

yang diperintahkan oleh al-Quran. Dari

sini, di tangan ilmuwan Muslim, sains

1Sejak 6 April 2015, IAIN sudah berubah

status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo dengan visi: “Universitas Islam Riset Terdepan Berbasis pada Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradaban.”

berkembang dengan pesat. Pengujian

ekperimentasi me- nenyebabkan sains

Islam menjadi kukuh. Sains memperoleh

karak-ternya yang rasional objektif

selama gelombang pertama peradaban

Islam. Namun, rasionalitas sains tak bisa

dilepaskan dari rasionalitas religius

karena teologi, filsafat, dan sains

merupakan kesatuan integral.2

Kesadaran untuk mengintegrasi-

kan agama dan sains ini secara

internasional telah dibahas dalam

“Konferensi Internasional Kajian Islam

XIII-Integrasi Agama dan Sains ala

Indonesia” di Lombok, Nusa Tenggara

Barat, 18-21 Nopember 2013. Seorang

pembicara dari Ibn Thufayl University,

Maroko, Maryam Ait Ahmed

mengatakan bahwa integrasi ilmu Islam

dan ilmu lain sebenarnya sudah ada

sejak jaman dahulu. Menurutnya, dalam

sejarah ilmu peradaban Islam, para

ulama juga mempelajari ilmu-ilmu

orang lain yang disebut ‘ilmu orang-

orang terdahulu’ untuk mengakui

warisan bersama umat manusia. Ia

merujuk intelektual besar Islam seperti

al-Kindī, Ibn Ṣīnā, Ibn Rusyd, yang tidak

pernah melontarkan klaim ‘kedok-teran

Islami’ atau ‘filsafat islami’, namun

hanya mengandalkan kajian ilmiahnya

yang pada akhirnya memunculkan

pengakuan bahwa buah pikir mereka

adalah produk “orang Islam”. “Maka kita

tidak boleh memisahkan antara ilmu dīn

dan ilmu dunia. Dengan demikian,

integrasi keilmuan sangat perlu.”3

2Armahedi Mahzar, Revolusi Integ-ralisme

Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Bandung: Mizan, 2004, h. 210-211.

3“Konferensi Internasional Kajian Islam XIII - Integrasi Agama dan Sains ala Indonesia”,

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

75

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Apa yang menjadi visi besar UIN

Walisongo dan juga para ilmuwan

Muslim di seluruh dunia tampaknya

untuk menjawab hubungan yang tidak

harmonis antara agama dan sains.4

Fenomena ini terlihat dari banyaknya

seminar, terbitnya buku-buku dan

munculnya artikel-artikel dengan tema

tersebut. Tahun 1998, The Center for

Theology and the Natural Science

menyelenggarakan seminar dengan

tema “Science and the Spiritual Quest”,

sehingga Newsweek menurunkan tajuk

“Science Finds God”.5 Jurnal Zygon, yang

banyak memuat tulisan tentang isu

agama dan sains, juga merupakan ikon

penting dalam hal ini. Walaupun

demikian, kajian sistematis tentang peta

hubungan sains dan agama telah muncul

sejak awal paruh kedua abad XX, dengan

kehadiran Ian Barbour sebagai salah

satu tokoh pentingnya.6

Ian G. barbour adalah seorang

ilmuwan, ahli bidang fisika dan teologi,

yang melalui beberapa bukunya, Nature,

Human Nature, and God; Issues in Science

and Religion, dan dalam terjemahan

bahasa Indonesia, Juru Bicara Tuhan:

Dialog antara Sains dan Agama

(Bandung: Mizan, 2002), mencoba

diakses dari http://www.koran-sindo.com/node/345974 (30 Januari 2014).

4Lihat misalnya beberapa tulisan yang membahas tentang hubungan tidak harmonis ini: Frederick Temple, The Relations between Religion and Science: Eight Lectures Preached before the University of Oxford in the Year 1884 on the Foundation of the Late Rev. John Bampton, M.A, Cambridge: Cambridge University Press, 2009; Willem B. Drees, Religion and Science in Context: A Guide to the Debates, London dan New York: Routledge, 2010.

5Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Mutlidimensi Agama dan Sains: Analisis Sains Islam al-Attas dan Mehdi Golshani, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012, h. 19.

6Ibid., h. 19-20.

menampilkan gambaran yang amat

berbeda tentang sains dan agama.

Melalui buku-bukunya itu, Barbous

mengingatkan adanya “titik temu”

antara sains dan agama, yang sebenar-

nya bisa saling melengkapi. Berangkat

dari kerangka ini, maka Kitab Suci al-

Quran yang memuat informasi-

informasi ilmiah (sains) akan dipahami

dengan perspektif Barbour ini.

Sebagaimana diingatkan oleh Agus

Purwanto7 bahwa al-Quran turun bukan

di ruang hampa, juga bukan pada awal

sejarah kelahiran umat manusia. Al-

Quran turun ketika beberapa peradaban

telah berlangsung, beberapa pemikiran

nonwahyu tentang alam telah ber-

kembang. Artinya, sebelum al-Quran

diturunkan, manusia telah mempunyai

teori, pendapat, atau pandangan tentang

aneka fenomena alam. Karena itu, ketika

Islam datang dengan Kitab Suci al-

Qurannya, bukan untuk menghapus

paham-paham atau ajaran-ajaran yang

pernah ada sebelumnya. Sebaliknya,

Islam hadir untuk meluruskan yang

menyimpang dan menyempurnakan

yang kurang, termasuk tentang akal dan

perannya dalam memahami alam fisik

maupun nonfisik. Dengan kata-kata lain,

sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi

Azra:

“Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta menjadi UIN Syarif Hida-

yatullah Jakarta pada dasarnya ber-

tujuan untuk mendorong usaha

reintegrasi epistemologi keilmuan

yang pada gilirannya menghilangkan

dikhotomi antara ilmu-ilmu agama

7Lihat: Agus Purwanto dalam dua

bukunya: (1) Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi al-Quran yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 2013; dan (2) Nalar Ayat-ayat Semesta, Bandung: Mizan, 2012.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

76

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

dan ilmu-ilmu umum. Hal ini penting

dalam rangka memberikan landasan

moral Islam terhadap perkembangan

iptek dan sekaligus mengartikulasi-

kan ajaran Islam secara proporsional

di dalam kehidupan masyarakat.”8

Tulisan ini lebih jauh akan

memfokuskan pada “membaca” Kitab

Suci al-Quran yang berisi informasi-

informasi dengan perspektif Ian G.

Barbour tersebut. Barbour telah

membagi empat tipologi relasi sains dan

agama: konflik, independensi, integrasi,

dan dialog.

B. Tentang Ian G. Barbour

Ian Graeme Barbour—selanjutnya

digunakan Barbour—lahir pada 5

Oktober 1923 di Beijing, Republik

Rakyat Tiongkok (Cina). Ia merupakan

anak kedua dari tiga anak dari seorang

ibu Episkopal Amerika dan seorang ayah

Presbyterian Skotlandia. Ia menghabis-

kan masa kecilnya di Cina, Amerika

Serikat, dan Inggris. Dia menerima gelar

B.Sc. dalam fisika dari Universitas

Swarthmore. Gelar M.Sc. dalam fisika

dari Duke University pada tahun 1946,

dan dan Ph.D. dalam fisika dari

University of Chicago pada tahun 1950.

Sedangkan gelar B.Div. diraihnya pada

tahun 1956 dari Universitas Yale's

Divinity School.9

Barbour mengajar di Carleton

College awal tahun 1955 sebagai

Profesor agama. Pada 1970-an, ia men-

dirikan program Ilmu Pengetahuan,

Teknologi, dan Kebijakan Publik (the

8Azyumardi Azra, “Sambutan Rektor,”

Prospektus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta “Wawasan 2010” Leading Toward Research University, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006, h. ii.

9http://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Barbour

Science, Technology, and Public Policy

Program) di Carleton, yang kemudian

menjadi program Studi Teknologi

Lingkungan dan Teknologi (the

Environment and Technology Studies

program). Dia pensiun pada tahun 1986

sebagai Winifred dan Atherton Bean

Profesor Emeritus Ilmu, Teknologi dan

Masyarakat.10

Barbour menikah dengan Deane

Kern dari tahun 1947 sampai kematian-

nya pada tahun 2011 Mereka memiliki

empat anak. Ia menderita stroke pada

20 Desember 2013 di rumahnya di

Northfield, Minnesota , dan tetap dalam

keadaan koma di Rumah Sakit Abbott

Northwestern sampai kematiannya

empat hari kemudian (24 Desember

2013).

B.1. Kiprah dan Karya-karya

Sejarah hubungan ilmu dan agama

di Barat mencacat bahwa pemimpin

gereja menolak Teori Heliosentris

Galileo atau Teori Evolusi Darwin.

Pemimpin gereja membuat pernyataan

yang berada di luar kompetensinya.

Sementara di dunia Timur, dalam hal ini

dunia Islam, pengajaran ilmu-ilmu

agama Islam yang normatif-tekstual

terlepas dari perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu

sosial, ekonomi, hukum dan humaniora

pada umumnya.11

Di Barat, wacana mengenai hubu-

ngan ilmu dan agama di era millenium

baru ini dipopulerkan oleh Barbour.

Teolog cum fisikawan Kristen ini di-

anggap sebagai salah seorang peletak

10http://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Barbo

ur 11Waston, “Hubungan Sains dan Agama:

Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”, PROFETIKA: Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1, Juni 2014, h. 77.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

77

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

dasar wacana mutakhir sains dan

agama, baik dari segi materi maupun

metodologinya. Pengaruhnya kini telah

amat menyebar berkat penerjemahan

buku-bukunya, termasuk di Indonesia.12

Kiprah Barbour dalam konteks

hubungan sains dan agama telah di-

gambarkan secara komprehensif oleh

Russel. Barbour dikenal sebagai salah

seorang penggagas dialog antara sains

dan agama sekarang ini. Ia telah mende-

dikasikan dirinya dan memberi kontri-

busi yang luas pada ranah ini. Kontri-

businya dalam usaha menghubungkan

antara sains dan agama dapat dikatakan

jauh lebih besar daripada sumbangan

para ahli lainnya bahkan sampai

sekarang yang masih menulis. Sejak

tulisan-tulisannya yang paling awal,

Barbour telah memberi perhatian serius

terhadap bentuk bagaimana hubungan

yang tepat antara ilmu dan agama. Ia,

karenanya secara terus menerus

membahas masalah ini.

Pengakuan atas otoritasnya dalam

perbincangan sains dan agama datang

dalam bentuk undangan untuk

memberikan rangkaian kuliah Gifford

Lectures pada 1989-1991. Forum

akademik yang prestisius ini bertujuan

“mempromosikan studi mengenai

Theology of Nature dalam makna ter-

luasnya, yaitu ilmu mengenai Tuhan.

Dari ceramah-ceramah ini, ia menerbit-

kan buku terpentingnya, Religion in an

Age of Science and Ethics in an Age of

Technology.

Mengenai peran Barbour dalam

perkembangan terakhir ini, para peng-

12Zaenal Abidin Bagir, “Pengantar” dalam

Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sans dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002, h. 22.

kaji sains dan agama sepakat, tak

berlebihan mengatakan bahwa dialah

peletak dasar wacana mutakhir tentang

sains dan agama. Tentu, dia bukan orang

pertama yang menaruh perhatian pada

isu yang sudah berusia lama ini. Sejak

awal perkembangan sains modern, per-

tanyaan-pertanyaan menyangkut otori-

tas teori sains dan otoritas wahyu sudah

kerap muncul. Lalu pada awal abad ke

20, kita sering menemui lontaran-

lontaran religius para ilmuwan besar,

seperti Einstein, Heisenberg atau Planck

dan lain-lain. Akan tetapi, sebagaimana

diakui para pengkaji isu ini, Barbour

adalah orang pertama yang secara amat

serius mengembangkan wacana ini, baik

dari segi materi maupun metodo-

loginya.13

Dalam jurnal Zygon, yang ber-

spesialisasi pada sains agama, Gregory

R. Peterson bahkan mencatat dasawarsa

1990 sebagai titik balik penting dalam

lanskap wacana sains dan agama. Pada

awal dasawarsa itu, aecara serentak

terbit beberapa buku akademik pada

saat yang hampir bersamaan (di

antaranya buku Barbour, Religion in an

Age of science). Salah satu pengakuan

penting akan keberhasilan rintisannya

ini terwujud dalam pemberian peng-

hargaan Templeton (yang besarnya satu

juta dolar AS, lebih besar daripada

hadiah Nobel) pada tahun 1999. Dalam

kesempatan itu, Barbour mendapat

pujian dari John B. Cobb:

"No contemporary has made a more

original, deep and lasting contribution

toward the needed integration of

13Zubaidi, Dialog antara Sains menurut Ian

G. Barbour dengan Ayat-ayat al-Qur’an, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2005, h. 14.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

78

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

scientific and religious knowledge and

values than Ian Barbour. With respect

to the breadth of topics and fields

brought into this integration, Barbour

has no equal."14

“Tidak ada yang hasilkan di era

kontemporer ini suatu yang lebih

orisinal, kontribusi mendalam dan

abadi terhadap kebutuhan integrasi

ilmiah dan nilai-nilai dan pengetahu-

an agama daripada Barbour. Sehu-

bungan dengan luasnya topik dan

bidang dibawa ke integrasi ini,

Barbour tidak ada bandingannya.”

Seluruh hadiah itu, dia sumbang-

kan ke Center for Theology and Natural

Sciences, yang setahun sebelumnya

menjadi penyelenggara SSQ di Berkeley.

Dia mengatakan “tujuan saya sejak awal

terlibat dalam wacana ini adalah mem-

promosikan dialog tentang masalah-

masalah konseptual dan etis, bukan

mencampuradukkan sains dan agama.

Dari pandangan yang meletakkan sains

dan agama dalam kotak-kotak terpisah,

saya bergerak untuk menemukan

wilayah-wilayah subur bagi pe-

ngembangan interaksi keduanya.”

B.2. Karya-karyanya

Hampir semua buku Barbour

bertujuan utama untuk memberikan

peta bagi para ahli yang sejalan dengan

pemikirannya.

Dalam usahanya untuk meng-

hubungkan ilmu pengetahuan dan

agama di Isu dalam Sains dan Agama,

Barbour menciptakan istilah 'realisme

kritis'. Ini telah diadopsi oleh para

sarjana lainnya. Ia mengaku struktur

dasar agama adalah sama dengan ilmu

14http://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Barbo

ur

pengetahuan dalam beberapa hal tetapi

juga berbeda pada beberapa poin

penting. Mereka adalah bagian dari

spektrum yang sama di mana kedua

layar 'subjektif' serta fitur 'obyektif'.

Subjektif meliputi teori pada data,

ketahanan teori komprehensif untuk

pemalsuan, dan tidak adanya aturan

untuk pilihan antara paradigma. Fitur

tujuan termasuk adanya data umum,

bukti untuk atau terhadap teori, dan

kriteria yang tidak tergantung

paradigma. Kehadiran fitur subjektif dan

objektif dalam ilmu pengetahuan dan

agama membuat nya berpikir berharga

dan asli. Argumen Barbour telah

dikembangkan secara signifikan dan

beragam oleh berbagai sarjana, ter-

masuk Arthur Peacocke, John Polking-

horne, Sallie McFague dan Robert John

Russell.

Karya-karya penting Barbour

adalah: Issues in Science and Religion

(New York: Harper & Row Publisher,

1971), When Science Meets Religion

(New York: Harper Sanfrancisco, 2000),

Menemukan Tuhan dalam Sains

Kontemporer dan Agama (Bandung:

Mizan, 2005).

C. Ayat-Ayat Sains Perspektif Ian G.

Barbour

Muhammad Quraish Shihab

pernah mengingatkan bahwa al-Quran

bukan suatu kitab ilmiah sebagaimana

halnya kitab-kitab ilmiah yang dikenal

selama ini. Salah hal yang membuktikan

kebenaran pernyataan di atas adalah

sikap al-Quran terhadap pertanyaan

yang diajukan oleh para sahabat Nabi

tentang kejadian bulan: “Mereka

bertanya kepadamu tentang bulan” (QS.

al-Baqarah [2]: 189). Menurut ayat ini,

mereka bertanya mengapa bulan (sabit)

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

79

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

terlihat dari malam ke malam membesar

hingga purnama, kemudian sedikit demi

sedikit mengecil, hingga menghilang

dari pandangan mata.15

Pertanyaan di atas, lanjut Shihab,

tidak dijawab al-Quran dengan jawaban

ilmiah yang dikenal oleh astronom,

tetapi jawabannya justru diarahkan

kepada upaya memahami hikmah di

balik kenyataan itu,16 untuk menunjuk-

kan kebesaran Tuhan dan keesaan-Nya

serta mendorong manusia seluruhnya

untuk mengadakan observasi dan pene-

litian demi lebih menguatkan iman dan

kepercayaan kepada-Nya.17 Di sini al-

Quran tetap memberikan kesempatan

kepada mereka yang mempunyai nalar

(akal) untuk memecahkan pertanyaan-

pertanyaan yang diajukannya.

Al-Quran menyebut akal (‘aql)

sebanyak 49 kali dengan 48 kata dalam

bentuk kata kerja sedang/akan atau

imperfektum (fi’il muḍāri’) dan satu kata

kerja lampau (f’il māḍi). tepatnya,

ya’qilūn 22 kali, ta’qilūn 24 kali, dan

na’qilu, ya’qilu, ‘aqalū, masing-masing

satu kali. Masing-masing pola mem-

punyai karakteristik pesan tersendiri.18

Dengan mencermati posisi akal ini,

maka Allah menghendaki agar manusia

yang mau menggunakan akal-nya

tersebut untuk merenungi dan meme-

cahkan misteri-misteri alam semesta

15M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran

ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1997.

16Ibid., h. 166. 17M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-

Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996, h. 51.

18Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat Semesta: Menjadikan al-Quran sebagai Basis Konstruksi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Mizan, 2012, h. 59.

yang diciptakan-Nya. Inilah yang disebut

dengan ayat-ayat kauniyah, yang di

dalamnya berisi informasi-informasi

ilmiah (sains).

Dalam tulisan ini, penulis hanya

membatasi ayat-ayat sains yang menjadi

konsen Ian G. Barbour dalam bukunya

yang membahas dua persoalan pokok,

yakni (1) kejadian alam semesta, dan (2)

evolusi dan penciptaan manusia.19

Kedua persoalan ini, masing-masing

dibahas di bawah ini.

C.1. Kejadian Alam Semesta

Dalam al-Quran dijumpai beberapa

ayat yang membahas tentang kejadian

alam semesta sebagai berikut:

Dan kamu lihat gunung-gunung itu,

kamu sangka ia tetap di tempatnya,

padahal ia berjalan sebagai jalannya

awan. (Begitulah) perbuatan Allah

yang membuat dengan kokoh tiap-

tiap sesuatu; sesungguhnya Allah

Maha mengetahui apa yang kamu

kerjakan (QS. al-Naml [27]: 88).

Tuhan yang memelihara kedua

tempat terbit matahari dan Tuhan

yang memelihara kedua tempat

terbenamnya (QS. al-Rahman [55]:

17).

Sesungguhnya Kami telah mengutus

Rasul-rasul Kami dengan membawa

bukti-bukti yang nyata dan telah Kami

turunkan bersama mereka Al-Kitab

dan neraca (keadilan) supaya

manusia dapat melaksanakan ke-

adilan. Dan Kami ciptakan besi yang

padanya terdapat kekuatan yang

hebat dan berbagai manfaat bagi

manusia, (supaya mereka memper-

gunakan besi itu) dan supaya Allah

mengetahui siapa yang menolong

(agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya,

19Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan

dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias M, Bandung: Mizan, 2005.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

80

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

padahal Allah tidak dilihatnya.

Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi

Maha Perkasa (QS. al-Hadid [57]: 25)

Maha suci Allah, yang telah mem-

perjalankan hamba-Nya pada suatu

malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-

Masjidil Aqsha yang telah Kami

berkahi sekelilingnya agar Kami

perlihatkan kepadanya sebagian dari

tanda-tanda (kebesaran) Kami. Se-

sungguhnya Dia adalah Maha

mendengar lagi Maha mengetahui

(QS. al-Isra [17]: 1).

Allah Pencipta langit dan bumi, dan

bila Dia berkehendak (untuk

menciptakan) sesuatu, maka (cukup-

lah) Dia hanya mengatakan kepada-

nya: "Jadilah!" lalu jadilah ia (QS. al-

Baqarah [2]: 117).

Dan Dialah yang menciptakan langit

dan bumi dengan benar; dan benarlah

perkataan-Nya di waktu Dia mengata-

kan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di

tangan-Nyalah segala kekuasaan di

waktu sangkakala ditiup. Dia menge-

tahui yang ghaib dan yang nampak.

dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi

Maha mengetahui (QS. al-An’am [6]:

73).

Dari ayat di atas, Tuhan

memberitahukan kepada kita bagai-

mana Dia menciptakan langit dan bumi

ini dengan hanya mengatakan “kun

fayakūn”, yang tampak seperti “mirip

permainan sulap yang diawali dengan

mantra Sim Salabim atau Abrakadabra”.

Di sini memang sangat sulit dinalar oleh

akal manusia, karena tidak melalui

proses yang masuk akal, dan sebab

akibat bagi proses penciptaannya.

Namun, menurut Agus Purwanto, dalam

penciptaan dan penyelenggaraan tatan-

an alam semesta, Tuhan menyertakan

edukasi bagi manusia. Tidak ada kesulit-

an atau halangan bagi-Nya untuk men-

ciptakan dan menyelenggarakan sendiri

segala sesuatu yang di langit dan di

bumi. 20

Sementara itu, menurut mufassir

M. Quraish Shihab, kata “kun” dalam

firman-Nya “kun fayakūn” digunakan

untuk menggambarkan betapa mudah

bagi Allah menciptakan sesuatu dan

betapa cepat terciptanya sesuatu itu bila

Dia menghendaki. Cepat dan mudahnya

diibaratkan dengan mengucapkan kata

kun, walaupun sebenarnya Allah tidak

perlu mengucapkannya, karena Dia

tidak memerlukan suatu apa pun untuk

mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya.

“Sekali lagi, kata kun hanya untuk

melukiskan—buat manusia—be-tapa

Allah tidak membutuhkan sesuatu

untuk mewujudkan kehendak-Nya

dan betapa cepat sesuatu dapat

wujud, sama bahkan lebih cepat—jika

Dia meng-hendaki—dari masa yang

diguna-kan manusia mengucapkan

kata kun.”21

Dari penjelasan di atas jelaslah

bahwa Tuhanlah Pencipta awal, Pe-

ngatur, Pemelihara, dan Penghancur

alam semesta ini sesuai dengan ke-

hendak-Nya. Ini, misalnya, dijelaskan

dalam ayat pertama surah al-Fatihah:

“al-Ḥamdu li Allāh Rabb al-‘Ālamīn”

(segala puji bagi Allah Rabb semesta

alam). Menurut Maulana Muhammad

Ali, dalam kata Rabb itu terkandung

makna yang lengkap sebagai berikut:

Hence Rabb is the Author of all

existence, Who has not only given to

the whole creation its means of

nourishment but has also beforehand

ordained for each a sphere of capacity

20Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat

Semesta, h. 319. 21M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh:

Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. IV, Jakarta: Lentera Hati, 2001, h. 153.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

81

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

and within that sphere provided the

means by which it continues to attain

gradually to its goal of perfection. By

the use of the word Rabb the Holy

Qur’an thus hints at the law of

evolution which is working in the

universe.”22

“Jadi, Rabb ialah Pencipta sekalian

makhluk, Yang bukan hanya memberi

penghidupan saja, melainkan bagi

tiap-tiap makhluk telah Ia tentukan

sebelumnya daya kemampuan, dan

dalam lingkungan daya kemampuan

itu telah Ia siapkan sarana, yang

dengan sarana itu mereka secara

berangsur-angsur dapat meneruskan

perkembangannya hingga mencapai

puncak kesempurnaan. Jadi dengan

dicantumkannya sifat Rabb, al-Quran

mengisyaratkan adanya hukum

evolusi yang bekerja di alam

semesta.”

Lalu bagaimana pendapat para

saintis? Dalam catatan Barbour, para

saintis terbelah: ada yang tetap

mengakui keterlibatan Tuhan da nada

yang menolak campur tangan Tuhan

dalam penciptaan alam semesta ini.23

Bagi yang menolak campur tangan

Tuhan, mereka sama sekali tidak

menempatkan Tuhan untuk mengisi

celah-celah yang belum dijelaskan

dalam uraian ilmiah. Inilah kaum ateis.

Kaum ini mengatakan bahwa materi

berasal dari keabadian, bahwa ia tidak

memiliki permulaan, dan bahwa semua

bentuk berkembang secara kebetulan.

Sebagai contoh, seorang pakar teori

materialis ternama George Politzer,

22Maulana Muhammad Ali, The Holy

Qur’an: Arabic Text, English Translation, and Commentary, Lahore, Inc. U.S.A.: Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1991, h. 3.

23Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h. 77.

dalam tulisannya, menyatakan bahwa

alam semesta tidak diciptakan; kalau

memang diciptakan, maka semesra itu

pastilah buah karya Tuhan yang

menciptakannya pada suatu masa dari

ketiadaan. Oleh karena itu, agar bisa

menerima teori penciptaan, kita harus

membayangkan adanya suatu masa saat

tidak ada alam semesta, karena ia

muncul dari kehampaan.24

Sementara yang menerima campur

tangan Tuhan menegaskan bahwa

adanya bukti sains yang mendukung

keterlibatan Tuhan dalam penciptaan.

“….Allah mempunyai satu peranan

yang berkelanjutan dalam menopang

dunia dan hukum-hukumnya…dunia

ini tidak berdiri sendiri, tetapi

membutuhkan dukungan terus-

menerus dari Allah agar bisa bertahan

dan kuat.”25

Barbour termasuk yang menerima

adanya campur tangan Tuhan dalam

penciptaan alam semesta ini. “Allah

melampaui alam, tetapi Dia imanen

dalam proses-proses temporal, karena

Allah hadir dalam proses terwujudnya

setiap peristiwa. Ini berarti, alam tidak

boleh dieksploitasi atau disembah,

tetapi harus dihormati dan dihargai,

karena alam adalah panggung bagi

aktivitas Allah yang terus berkelanjut-

an,” tegas Barbour. 26 Di bagian lain, al-

Quran menyatakan bahwa Allah men-

ciptakan tatasurya ini selama enam hari:

Allahlah yang menciptakan langit dan

bumi dan apa yang ada di antara

keduanya dalam enam masa,

24Caner Taslaman, Miracle of the Quran:

Keajaiban al-Quran Mengungkap Penemuan-penemuan Ilmiah Modern, Bandung: Mizan, 2010, h. 45.

25Ibid., h. 80. 26Ibid., h. 286.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

82

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

kemudian Dia bersemayam di atas

'Arsy (QS. as-Sajdah [32]: 4).

Merujuk QS. al-Hajj [22]: 47 di-

jelaskan bahwa satu hari itu setara

dengan 1.000 tahun Qamariyah (lunar

year) atau 972 tahun Syamsiah (solar

year), yakni tahun pergantian musim.

Dengan demikian, yang dimaksud enam

hari pada ayat di atas adalah 6.000

tahun.27 Lalu ditegaskan bahwa Dia

bersemayam di ‘Arsy, yang berarti Allah

menciptakan dunia seperti yang kita

lihat ini dalam enam jarak waktu yang

besar, tetapi setelah penciptaan

pertama, Dia masih berkuasa, mengatur,

dan mengawasi segala masalah. Dia

tidak menyerahkan kekuasaan-Nya

kepada yang lain, lalu Dia sendiri

beristirahat.28 Dia tetap mengurus

ciptaan-Nya tanpa terikat oleh waktu,

dan tidak pernah beristirahat sejenak

pun:

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak

disembah) melainkan Dia yang hidup

kekal lagi terus menerus mengurus

(makhluk-Nya); tidak mengantuk dan

tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang

di langit dan di bumi. Tiada yang

dapat memberi syafa'at di sisi Allah

tanpa izin-Nya? Allah mengetahui

apa-apa yang di hadapan mereka dan

di belakang mereka, dan mereka tidak

mengetahui apa-apa dari ilmu Allah

melainkan apa yang dikehendaki-Nya.

Kursi Allah meliputi langit dan bumi.

dan Allah tidak merasa berat

memelihara keduanya, dan Allah

27Nazwar Syamsu, al-Qur’an Dasar Tanya

Jawab Ilmiah, Jakarta: Ghalia Indonesia, t.th, h. 20.

28Abdullah Yusuf Ali, Qur’an: Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 1065.

Maha Tinggi lagi Maha besar (QS. al-

Baqarah [2]: 255).

Sekiranya ada di langit dan di bumi

tuhan-tuhan selain Allah, tentulah

keduanya itu telah rusak binasa. Maka

Maha suci Allah yang mempunyai

'Arsy dari apa yang mereka sifatkan.

Dia tidak ditanya tentang apa yang

diperbuat-Nya dan merekalah yang

akan ditanyai. Apakah mereka me-

ngambil tuhan-tuhan selain-Nya?

Katakanlah: "Tunjukkanlah hujjahmu!

(al-Quran) ini adalah peringatan bagi

orang-orang yang bersamaku, dan

peringatan bagi orang-orang yang

sebelumku." Sebenarnya kebanyakan

mereka tiada mengetahui yang hak,

karena itu mereka berpaling; dan

Kami tidak mengutus seorang

Rasulpun sebelum kamu melainkan

Kami wahyukan kepadanya:

"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang

hak) melainkan Aku, maka sembahlah

olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-

Anbiya [21]: 22-25).

Dengan demikian, Allah sendiri

yang menciptakan alam semesta, ma-

nusia dan segala yang melata di atas

bumi serta yang terkandung di

dalamnya. Allah telah menjadikan

semua itu dari tidak ada dan

meletakkannya dalam suatu sistem yang

indah lagi rapi agar dapat menjadikan

sasaran pemikiran akal, sehigga darinya

dapat disimpulkan adanya Pencipta

Yang Maha Esa secara pasti, dan juga

agar kehidupan manusia di dalamnya

menjadi mudah dan gampang.29

Untuk menjelaskan secara ilmiah

tentang asal mula alam semesta ini

secara ilmiah, penulis akan mengutip

secara panjang lebar teori Big Bang yang

29M. Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat,

Jakarta: Bulan Bintang, 1988, h. 11.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

83

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

dikutip dari Caner Taslaman sebagai

berikut:

Teori Big Bang membenarkan bahwa

alam semesta dan waktu memiliki

permulaan dan materi tidak berasal

dari keabadian, tetapi diciptakan.

Pernyataan bahwa alam semesta

muncul dari keabadian sudah

dipatahkan. Big Bang tidak hanya

menunjukkan alam semesta di-

ciptakan oleh Sang Maha Pencipta,

tetapi secara bersamaan juga

membuktikan kelirunya keyakinan

semisal pendistribusian kekuasaan di

antara dewa-dewa, masing-masing

menguasai bumi, matahari, bulan, dan

gunung. Jelaslah bahwa siapa pun Dia,

Dialah yang merancang komposisi

awal dari alam semesta, yang

menyebabkan terjadinya Big Bang,

Pencipta segala sesuatunya. Dengan

demikian, alam semesta berada di

bawah kendali eksklusif Satu

Penguasa Tunggal dan kekuasaan ini

tidak dibagi. Jagat raya ini muncul

dari satu titik tunggal; Pencipta titik

itu adalah juga Pencipta manusia,

sungai, bintang, kupu-kupu, super-

nova, warna, penderitaan dan

kebahagiaan, musik dan estetika.

Karena segalanya maujud muncul

dari keesaan, Dia pastilah Pencipta

"keesaan" itu.

Big Bang menunjukkan bahwa materi

yang dipuja kaum ateis, dan materi

yang menyusun keseluruh-an alam

semesta ini tidak lain adalah sebutir

debu yang tak berarti, bisa dikatakan

demikian. Mereka yang menyaksikan

bahwa dari butiran tak berarti telah

muncul manusia, binatang buas,

tanaman, dan jagat raya dalam

cahayanya yang berkilauan, me-

mahami bahwa kegeniusan itu tidak

termaktub di dalam materi itu se-

ndiri, tetapi sesuatu di luarnya, yaitu

Sang Pencipta. Tutup mata Anda dan

cobalah membayangkan keham-paan,

lalu buka mata Anda dan lihat

pepohonan, lautan, langit, bayangan

Anda sendiri yang terpantul di

cermin, makanan yang tersaji untuk

Anda santap, dan karya seni....Bagai-

mana mungkin semua kemegahan ini

muncul sendiri dari kegelapan dan

dari satu titik tunggal dalam

kehampaan? Bagi otak yang cerdas,

ciptaan itu terungkap tidak hanya

dalam estetika seni, tetapi juga dalam

kerangka matematis. Kecepatan pe-

ngembangan alam semesta berada

pada besaran yang sangat kritis.

Menurut ungkapan seorang ilmuwan,

andai saja kecepatan ledakan purba

lebih lambat 1/1018-nya, maka alam

semesta akan runtuh, tenggelam ke

dalam dirinya sendiri dan tidak

mungkin menjadi seperti sekarang

ini. Demikian pula halnya dengan

kuantitas materi, jika ia kurang dari

yang sebenarnya, alam semesta tidak

akan tersebar ke sekitar, membuat

pembentukan benda-henda langit

menjadi tak mungkin. Kekuatan yang

berlaku dalam pemecahan komposisi

awal pada saat penciptaan tidak

hanya hebat tiada bandingan, tetapi

rancangan di baliknya luar biasa

brilian. Segala sesuatunya di-rancang

oleh Sang Pencipta untuk me-

mungkinkan keberadaan alam

semesta. Semua peristiwa ini adalah

sarana untuk menunjukkan

kekuasaan tak terbatas Sang Pencipta

kepada orang-orang yang matanya

tertutup itu. Untuk menunjukkan

fakta bahwa Dia merancang segala

sesuatunya sampai detail sekecil-

kecilnya dengan sempurna. Kita

menyaksikan fakta lain lewat feno-

mena ini: tidak ada "tak mungkin"

dalam kosakata Sang Pencipta; jika

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

84

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Dia berkehendak agar sesuatu

tercipta, maka terciptalah. 30

Dari uraian di atas dapatlah

digarisbawahi bahwa alam semesta ini

diciptakan oleh Allah, dan Dia akan

memelihara ciptaan-Nya, dan akan

menghancurkannya sesuai dengan

kehendak-Nya.

C.2. Evolusi dan Penciptaan

Manusia

Ian G. Barbour mengambil tokoh

evolusi, Charles Darwin. Menurut

Barbour, teori evolusi yang dikemuka-

kan Darwin menghebohkan pandangan

tradisional. Sejak saat itu, banyak

disiplin ilmiah mengumpul-kan berbagai

bukti akan kenyataan bahwa manusia

merupakan keturunan leluhur pra-

manusia. Dari biologi molukuler dewasa

ini, kita mengetahui bahwa simpanse

dan manusia memiliki lebih 99 persen

DNA yang sama, walaupun tentu saja

satu persen yang berbeda itu sangatlah

penting. Para antropolog di Afrika

menemukan pelbagai macam bentuk

fosil peralihan antara simpanse dan

manusia. Apa yang disebut Austra-

lopithecus afarensis, yaitu makhluk yang

mirip kera, setelah berjalan dengan dua

tungkai kira-kira 4 juta tahunn yang lalu.

Di Etiopia, sudah ditemukan tulang-

belulang dari makhluk yang dinamai

Lucy, makhluk betina makhluk ini sudah

berjalan dengan kedua tungkainya,

mempunyai lengan yang panjang dan

ukuran tengkorak yang sama dengan

kera besar, sementara giginya memper-

lihatkan ia sebagai pemakan daging.

Tampaknya perpindahan dari pepohon-

an ke padang rumput menyebabkan

terjadinya perubahan ke arah postur

30Caner Taslaman, Miracle of the Quran, h.

48-49.

tubuh yang tegap, yang memungkinkan

adanya kebebasan yang lebih besar

untuk memanipulasi objek-objek, jauh

lebih banyak mengandalkan penglihat-

an, dan beralih ke kegiatan berburu; hal

itu terjadi jauh sebelum perkembangan

otak yang lebih besar. Homo erectus, dua

juta tahun yang silam, sudah mem-

punyai otak yang jauh lebih besar,

mereka hidup dalam situs kelompok

yang bertahan lama, membuat alat-alat

yang jauh lebih rumit, dan mungkin juga

mereka sudah memakai api.31

Bentuk-bentuk purba Homo

sapiens muncul 400.000 tahun yang si-

lam, dan kelompok Neanderthal sudah

ada di Eropa150.000 tahun yang silam,

walaupun mereka mungkin saja tidak

ada dalam satu garis keturunan dengan

manusia modern. Kelompok Cromagnon

membuat lukisan di dinding gua dan

melakukan upacara penguburan kira-

kira 30.000 tahun yang silam. Tulisan

yang diketahui paling awal, yaitu tulisan

orang Sumeria, sudah berusia 6.000

tahun. Pelbagai teknik pembuatan biji

besi metalik akhirnya melahirkan

Zaman Perunggu dan kemudian, kurang

dari 3.000 tahun yang silam, muncullah

Zaman Besi. Setidak-tidaknya di sini kita

mempunyai garis besar perkembang-an

evolusi, baik dari fisiologi maupun

perilaku, dari pelbagai bentuk ke-

hidupan nonhuman hingga bentuk

human dan permulaan kebudayaan

manusia.32 Lalu bagaimana tanggapan

al-Quran tentang evolusi ini?

Menurut Quraish Shihab, di

kalangan ilmuwan Muslim ada juga yang

membenarkan teori Darwin tersebut.

31Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h.

105-106. 32Ibid., h. 106.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

85

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Ilmuwan Muslim ini memperkuat

argumen mereka dengan ayat:

“mengapakah kamu sekalian tidak

memikirkan/memper-cayai kebesaran

Allah, sedangkan Dia telah menjadikan

kamu berfase-fase” (QS. Nuh [71]: 13-

14). Fase-fase ini menurut mereka

sesuai dengan teori Darwin dalam

proses kejadian manusia. Sedangkan

ayat “adapun buih maka akan lenyaplah

ia sebagai sesuatu yang tak bernilai,

sedangkan yang berguna bagi manusia

tetap tinggal di permukaan bumi” (QS.

ar-Ra’d [13]:17) dijadikan bukti

kebenaran teori “struggle for life” yang

menjadi salah satu landasan teori

Darwin.33

Menurut Quraish Shihab, ayat-ayat

yang dijadikan penguatan teori Darwin

tidak dapat dijadikan dasar untuk

menguatkan dan membenar-kan teori

tersebut, tetapi ini bukan berarti bahwa

teori tersebut salah menurut al-Quran.

Shihab mengutip pendapat ‘Abbas al-

‘Aqad yang menerangkan dalam

bukunya al-Falsafah al-Qur’aniyah,

sebagai berikut:

“Mereka yang mengingkari teori evo-

lusi dapat mengingkarinya dari diri

mereka sendiri, karena mereka tidak

puas terhadap kebenaran argu-

mentasi-argumentasinya. Tetapi me-

reka tidak boleh mengingkarinya ber-

dasarkan al-Quran al-Karim, karena

mereka tidak dapat menafsirkan

kejadian asal-usul manusia dari tanah

dalam satu penafsiran saja kemudian

menyalahkan penafsir-an-penafsiran

lainnya.” 34

33M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-

Quran, h. 48. 34Ibid., h. 49.

Hal senada dinyatakan pula oleh

Muhammad Rasyīd Riḍa dalam majalah

al-Manar:

“Teori Darwin tidak membatal-kan—

bila teori tersebut benar dan

merupakan hal yang nyata—tentang

satu dasar dari dasar-dasar Islam;

tidak bertentangan dengan satu ayat

dai ayat-ayat al-Quran. Saya mengenal

dokter-dokter dan lainnya yang

sependapat dengan Darwin. Mereka

itu orang-orang mukmin dengan

keimanan yang benar dan Muslim

dengan keislaman sejati; mereka

menunaikan sembahyang dan ke-

wajiban-kewajiban lainnya, meni-

nggalkan keonaran, dosa dan ke-

kejaman yang dilarang Allah sesuai

dengan ajaran-ajaran agama mereka.

Tetapi teori tersebut adalah ilmiah,

bukan persoalan agama sedikit

pun.”35

Setelah memaparkan pendapat

para ahli Islam tersebut, Quraish Shihab

menegaskan bahwa kita tidak dapat

membenarkan atau menyalah-kan teori-

teori ilmiah dengan ayat-ayat al-Quran;

setiap ditemukan suatu teori cepat-

cepat pula kita membuka lembaran-

lembaran al-Quran untuk membenarkan

atau menyalahkannya, karena apabila

teori yan dibenarkan itu ternyata salah

atau sebaliknya, maka musuh-musuh

Islam mendapat kesempatan yang

sangat baik untuk menyalahkan Kitab

Allah sambil mencemooh kaum Muslim.

Jalan yang lebih tepat guna membantah

cemoohan ialah dengan menghindarkan

sebab-sebab ce-moohan itu,36

sebagaimana ditegas-kan dalam al-

Quran:

35Ibid., h. 49. 36Ibid., h. 49.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

86

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Janganlah kamu mencerca orang-

orang yang menyembah selain Allah,

karena hal ini menjadikan mereka

mencerca Allah dengan melampaui

batas, karena kebodohan mereka (QS.

al-An’am [6]: 108).”

Bertitik tolak dari penjelasan di

atas, maka langkah selanjutnya adalah

menelusuri penjelasan al-Quran me-

ngenai asal-usul manusia. Misalnya, al-

Quran menjelaskan bahwa manusia

diciptakan dari debu dan air. Terkadang

al-Quran menekankan elemen-elemen

ini secara terpisah, terkadang secara

bersamaan.

Dan sesungguhnya Kami telah

menciptakan manusia dari suatu

saripati (berasal) dari tanah (QS. al-

Mu’minūn [23]: 12).

Yang membuat segala sesuatu yang

Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang

memulai penciptaan manusia dari

tanah. (QS. al-Sajdah [32]: 7).

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-

Nya ialah Dia menciptakan kamu dari

tanah, kemudian tiba-tiba kamu

(menjadi) manusia yang berkembang

biak (QS. al-Rūm [30]: 20).

Sebelum ilmu pengetahuan

berkembang seperti sekarang, tak ter-

hitung banyaknya spekulasi mengenai

penciptaan manusia dari tanah liat

(kombinasi debu dan air). Setelah

berkembangnya ilmu biologi dan kimia,

penelitian analitik terhadap tanah liat

dan tubuh manusia dilakukan. Hasilnya

menunjukkan bahwa zat-zat penyusun

tanah liat dan penyusun manusia tepat

sama. Zat-zat tersebut adalah zat besi,

kalsium, oksigen, natrium, kalium, mag-

nesium, hidrogen, klorin, yodium,

mangan, timah, fosfor, karbon, seng,

sulfur, dan nitrogen. 37

C.3. Saripati Tanah Liat

Seperti telah dijelaskan dalam

Surah al-Mu'minun ayat 12, manusia di-

ciptakan dari suatu saripati. Tuhan

menggabungkan unsur-unsur yang ter-

kandung dalam tanah liat dengan

perhitungan tepat. Unsur-unsur ini se-

cara harmonis dan proporsional

tersebar dalam tubuh kita saat kita

dilahirkan; tubuh diprogram untuk

mempergunakannya dengan jumlah

yang telah ditentukan dan membuang

kelebihannya.

Tubuh manusia me-ngandung

kalsium kira-kira sebanyak 2 kg. Jika

jumlah ini berkurang, menggigit apel

saja akan mengakibatkan gigi pecah.

Tubuh kita membutuhkan 120 gram

kalium. Ke-kurangan kalium dapat

menga-kibatkan kejang otot, kelelahan,

gangguan pencernaan, dan gemetar. Kita

hanya membutuhkan seng sebanyak 2-

3gram. Sedikit saja kurang dari jumlah

yang dibutuhkan dapat mengakibatkan

kehilangan daya ingat, impotensi,

penurunan kemampuan untuk ber-

aktivitas dan melemahnya indra

pengecap dan pencium. Kekurangan

selenium dapat mengakibatkan lemah

otot, pengerasan pembuluh darah arteri

dan otot jantung. Semua data ini

memperlihatkan bahwa sewaktu Allah

menciptakan manusia dari tanah liat,

Dia menggabungkan zat-zat kandungan-

nya dalam jumlah yang ideal. 38

Di lain tempat, al-Quran memberi-

tahu kita bahwa manusia diciptakan dari

37Caner Taslaman, Miracle of the Quran, h.

189. 38Ibid., h. 189.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

87

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

air, dan bahkan segala kehidupan

berasal dari air. Allah berfirman:

Dan Dia (pula) yang menciptakan ma-

nusia dari air lalu Dia jadikan manusia

itu (punya) keturunan dan mu-

shaharah dan adalah Tuhanmu Maha

Kuasa. (QS. al-Furqān [25]: 54).

Dan dari air Kami jadikan segala

sesuatu yang hidup (QS. al-Anbiyā

[21]: 30).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, air

adalah unsur biologis dasar bagi

makhluk hidup. Sel terbentuk dari air

dengan perbandingan yang bervariasi

antara 60% sampai 80%. Sel yang bahan

dasarnya adalah air merupa-kan

makhluk hidup. Tanpa air tidak akan

ada kehidupan. Air terdiri dari dua atom

hidrogen dan satu atom oksigen. Air, de-

ngan unsur kimia pembangunnya telah

diatur sempur-na, terbuat dari atom

tanpa kehidupan organik dan 99%

ruang hampa. Bagaimana makhluk

hidup dan hewan diciptakan dari

sesuatu yang 99%-nya merupakan

ruang hampa? Bagaimana suatu entitas

yang terbuat dari bahan anorganik dan

tak bernyawa menjadi hidup?

Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang

Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,

Dia memiliki nama-nama yang indah.

Apa yang di iangit dan di bumi

bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah

Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana

(QS. al-Ḥasyr [59]: 24).

Kasus lain adalah ayat: “Dia

menciptakan manusia dari ‘alaq” (QS. al-

‘Alaq [96]: 2). Para ulama menafsirkan

arti kata ‘alaq dengan al-dam al-jāmid

(segumpal darah yang beku). Sedangkan

dalam surah al-Mu’minun disebutkan

proses kejadian manusia itu sebagai

berikut:

Dan sesungguhnya Kami telah

menciptakan manusia dari suatu

saripati (berasal) dari tanah,

kemudian Kami jadikan saripati itu air

mani (yang disimpan) dalam tempat

yang kokoh (rahim), kemudian air

mani itu Kami jadikan segumpal

darah, lalu segumpal darah itu Kami

jadikan segumpal daging, dan

segumpal daging itu Kami jadikan

tulang belulang, lalu tulang belulang

itu Kami bungkus dengan daging.

kemudian Kami jadikan Dia makhluk

yang (berbentuk) lain. Maka Maha

sucilah Allah, Pencipta yang paling

baik. (QS. al-Mu’minūn [23]: 12-14).

Dari ayat-ayat di atas jelaslah

bahwa periode kedua dari kejadian

manusia adalah al-‘alaq setelah an-

nuṭfah. Dari sini dapat disimpulkan

bahwa proses kejadian manusia terdiri

dari lima periode: (1) an-Nuṭfah (2)

al-‘Alaq (3) al-Muḍghah (4) al-

‘Iẓam (5) al-Lahm.

Apabila seseorang mempelajari

embriologi dan percaya akan kebenaran

al-Quran, maka dia sulit menafsirkan

kalimat al-‘alaq tersebut dengan

segumpal darah yang beku. Menurut

embriologi, proses kejadian manusia

terbagi dalam tiga periode:

Pertama, periode ovum. Periode

ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan)

karena adanya pertemuan antara sel

kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu

(ovum), yang kedua intinya bersatu dan

membentuk struktur atau zat baru yang

disebut zygote. Setelah fertilisasi

berlangsung, zygote membelah menjadi

dua, empat, delapan, enam belas sel, dan

seterusnya. Selama pembelahan ini,

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

88

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

zygote bergerak menuju ke kantong

kehamilan, kemudian melekat dan

akhirnya masuk ke dinding rahim.

Peristiwa ini dikenal dengan nama

implantasi.

Kedua, periode embrio. Periode ini

adalah periode pembentukan organ-

organ. Terkadang organ tidak terbenuk

dengan sempurna atau sama sekali tidak

terbentuk, misalnya, jika hasil

pembelahan zygote tidak bergantung

atau berdempet pada dinding rahim. Ini

dapat mengakibatkan keguguran atau

kelahiran cacat bawaan.

Ketiga, periode foetus. Periode ini

adalah periode perkembangan dan

penyempurnaan dari organ-organ tadi,

dengan perkembangan yang amat cepat

dan berakhir pada waktu kelahiran. 39

Quraish Shihab menjelaskan lebih

lanjut, bahwa jika kita melihat pada QS.

al-Mu’minun [23]: 12-14 di atas, periode

kejadian manusia itu: periode pertama

adalah (1) an-Nuṭfahperiode kedua

adalah al-‘Alaq periode ketiga adalah

al-Muḍghah. Al-Muḍghah—yang berarti

sepotong daging—menurut al-Quran

(QS. al-Hajj [22]: 5) terbagi dalam dua

kemungkinan: al-mukhallaqah (sem-

purna kejadiannya) dan ghayru mu-

khallaqah (tidak sempurna kejadian-

nya). Dari sini, tambah Shihab, bila

diadakan penyesuaian antara embrio-

logi dengan al-Quran dalam proses

kejadian manusia, nyata bahwa periode

ketiga yang disebut al-Quran sebagai al-

Muḍghah me-rupakan periode kedua

menurut embriologi (periode embrio).

Dalam periode inilah terbentuknya

organ-organ terpenting. Sedangkan pe-

riode keempat dan kelima menurut al-

39M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-

Quran, h. 58.

Quran sama dengan periode ketiga

(periode foetus). 40

Dalam membicarakan al-‘alaq—

yang oleh para mufasirin diartikan se-

gumpal darah—didapati per-tentangan

antara penafsiran tersebut dengan hasil

penyelidikan ilmiah. Karena periode

ovum terdiri atas ectoderm, endoterm

dan rongga amnion, yang terdapat di

dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur

tersebut tidak mengandung komponen

darah. Dari titik tolak ini, tegas Shihab,

mereka menolak penafsiran al-‘alaq

dengan segumpal darah, cair atau beku.

Mereka berpendapat bahwa al-‘alaq

adalah sesuatu yang bergantung atau

berdempet. Penafsiran ini sejalan

dengan pengertian bahasa Arab, dan

sesuai pula dengan embriologi yang

dinamai implantasi. Bahasa Arab tidak

menjadikan arti al-‘alaq khusus untuk

darah beku, tetapi salah satu dari

artinya adalah bergantungan atau

berdempetan. 41

Caner Taslaman menambahkan,

proses menempelnya embrio pada

dinding rahim merupakan hasil suatu

sistem yang rumit. Untuk menembus

lapisan asam pada dinding jaringan

rahim, embrio mengeluarkan enzim

(hyaluronidase) yang mengubah jarring-

an rahim dan memungkinkan embrio

menembusnya, dan kemudian menetap

di sana seperti tumbuhan. Sejak itu,

rahim menyediakan kebutuhannya akan

makanan dan oksigen. Hyaluronidase

yang di-keluarkan oleh embrio memper-

cepat penguraian asam hyaluronic. Lebih

jauh lagi, embrio melepaskan se-jumlah

zat kimia untuk mem-pertahankan diri

dari sistem imun si ibu. Tanpa zat-zat

40Ibid., h. 59. 41Ibid., h. 59.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

89

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

itu, embrio akan diperlakukan sebagai

zat asing yang harus dihancurkan. 42

D. Relasi al-Quran dan Sains

Bertitik tolak dari uraian di atas,

maka yang perlu dikemukakan se-

lanjutnya adalah bagaimanakah sesu-

ngguhnya relasi al-Quran dan sains dari

perspektif Ian Grame Barbour dengan

fokus pada dua persoalan yang sudah

diulas tersebut?

Merujuk pada empat tipologi hu-

bungan sains dan agama yang dikemu-

kakan oleh Barbour, yakni konflik,

independensi, dialog, dan integrasi;

maka dapat digambarkan hubungan al-

Quran dan sains sebagaimana diuraikan

di bawah ini.

Kasus I: Kejadian Alam Semesta

Untuk kasus kejadian alam

semesta, antara sains dan al-Quran

dapat dilihat sebagai berkonflik di satu

sisi, dan berintegrasi di sisi yang lain.

Jika merujuk pendapat Einstein

dan Hubble, bahwa alam semesta ini di-

mulai dengan ledakan suatu benda

raksasa, dari ledakan itu sampai kini

telah berlangsung 500 juta tahun. Ada

bintang-bintang baru yang muncul dan

pula yang mati. Keadaan ini berlalu

tanpa akhir, dan tatasurya kita bertahan

untuk masa 500 juta tahun lagi,

kemudian membesar lalu pecah dan

menghilan. Kedua ilmuwan ini ber-

kesimpulan bahwa semesta ini terwujud

dengan sendirinya tanpa pencipta kuasa,

dan bahwa semua benda angkasa itu

terwujud secara alamiah menurut

prosesnya dalam hukum evolusi. Se-

mentara itu, manusia sebagaimana bin-

tang datang dan pergi, lahir dan mati

tanpa bekas dan resiko. Mereka

42Caner Taslaman, Miracle of the Quran, h.

200.

berkesimpulan bahwa semesta raya ini

masih bertumbuh. Tentu saja pendapat

ini tidak bisa diterima oleh al-Quran.

Karena Kitab Suci ini dengan tegas me-

ngatakan bahwa alam semesta ini di-

ciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan, dan

Dia terus-menerus mengawal dan me-

ngurus ciptaan-Nya itu tanpa ber-

istirahat sejenak pun.

Sesungguhnya ilmu Allah menjang-

kau segala sesuatu yang di langit dan

yang di bumi. Dia Maha Mengetahui apa

yang terlintas dalam hati. Dia Maha

Mengetahui usaha segala makhluk,

mengetahui apa yang di darat dan di

laut, mengetahui daun-daun yang

berguguran di malam gelap gulita dan

lain sebagainya (baca: QS. al-An’am [6]:

3, 59; QS. Hud [11]: 5-6, dan QS. al-Mulk

[67]: 13-14).

Sementara itu, sains dan al-Quran

bisa berintegrasi. Sebagaimana dikata-

kan oleh Barbour, beberapa orang me-

ngupayakan suatu integrasi yang lebih

sistematik antara sains dan agama.

Dengan berpijak pada agama, maka

aspek-aspek sains dianggap sejalan

dengan keyakinan agama.

Integrasi ini dideskripsikan oleh

Barbour sebagai berikut: “orang lain

berangkat dari tradisi keagamaan

tertentu dan memperlihatkan bahwa

banyak hal dari keyakinannya sejalan

dengan ilmu pengetahuan modern,

tetapi beberapa keyakinan harus

dirumuskan kembali dalam terang

sorotan teori-teori ilmiah khusus. Saya

menyebutkan suatu pendekatan seperti

itu teologi alam (theology of nature, di

dalam satu tradisi keagamaan) daripada

teologi natural (natural theology, yang

ber-argumentasi dari ilmu pengetahuan

saja). Beberapa versi dari teologi alam

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

90

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

memakai suatu filsafat utuh-terpadu

seperti filsafat proses, yang menguraikan

secara sistematik serangkaian konsep

yang ada sangkut pautnya, baik dengan

ilmu pengetahuan maupun dengan

agama.43

Sebagaimana dikatakan oleh Prof.

Dr. M. Yusuf Musa, bahwa al-Quran tidak

berlawanan atau bertentangan dengan

ilmu, terutama ilmu alam dengan

pengertian yang sejalan dengan ajaran

akidah. Kelebihan Islam yang terbesar

adalah bahwa ia membuka bagi umat

Islam pintu-pintu ilmu pengetahuan

seraya menghimbau mereka untuk

masuk mencari dan mengembangkan

ilmu itu. Bukanlah kelebihannya dalam

membuat mereka malas mencari ilmu

dan melarang mereka memperluas

penelitian dan penalaran karena

semata-mata mereka menyangka bahwa

mereka telah memiliki semua jenis ilmu.

Umat Islam dihimbau oleh al-Quran

untuk maju dalam kehidupan dengan

mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan

sesuai dengan kedudukannya sebagai

khalīfah Allah di bumi ini.44

Dalam tataran yang lebih dalam

lagi, maka seorang ilmuwan Muslim

akan semakin dekat kepada ciptaan

Allah ketika ia menemukan fe-nomena-

fenomena alam yang menakjubkan.

Sebab, ia sadar bahwa aneka fenomena

alam tidaklah berdiri sendiri, mereka

saling terkait satu sama lain. Fenomena

alam tidak muncul sia-sia tanpa pesan,

tanpa tujuan. Ilmuwan Muslim, tulis

Agus Purwanto, mencoba memahami

dan menangkap pesan yang terkandung

43Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h.

32-33. 44M. Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, h.

70.

di balik aneka fenomena alam.

Mengamati dan merenungkan alam

berarti memahami kebijakan-Nya,

ketika misteri dari sebuah fenomena

alam tersibak, ilmuwan Muslim secara

spontan akan menyucikan Sang

Pengendali yang tersembunyi di balik

fenomena tersebut. Tidak sekadar

bertasbih, melainkan juga memohon

agar upaya menyingkap tabir alam dan

hasilnya tidak menggelincirkan serta

menyeretnya ke dalam azab-Nya dengan

berzikir: “Ya Tuhan kami, tidaklah

Engkau menciptakan semua ini sia-sia.

Maha Suci Engkau dan hindarkanlah

kami dari azab api neraka.” 45

Kasus II: Evolusi dan Penciptaan

Manusia

Hubungan al-Quran dan teori

evolusi Darwin tampaknya tidak bisa

dikompromikan, karena keduanya tidak

mungkin bertemu. Meskipun, sebagai-

mana diuraikan di atas, ada beberapa

ilmuwan Muslim yang mengikuti teori

ini. Karena itu, jalan terbaik untuk kasus

ini independensi. Sebagaimana ditulis

oleh Barbour, konflik dapat dihindari

kalau ilmu pengetahuan dan agama

tetap berada dalam ruang-ruang hidup

manusia yang terpisah. Ilmu penge-

tahuan dan agama berurusan dengan

ranah-ranah yang berbeda dan aspek-

aspek realitas yang berbeda. Ilmu

pengetahuan bertanya tentang bagai-

mana sesuatu bekerja dan mengandal-

kan data publik yang obyektif. Agama

bertanya tentang nilai-nilai dan

kerangka makna yang lebih besar bagi

hidup pribadi. Dalam pandangan ini,

dua bentuk wacana tidaklah bersaingan

karena mereka melayani fungsi-fungsi

45Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat

Semesta, h. 160.

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

91

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

yang benar-benar berbeda. Dua jenis

penyelidikan itu menawarkan panda-

ngan-pandangan yang saling melengkapi

tentang dunia, panda-ngan-pandangan

yan tidak saling menyingkirkan satu

sama lain. Pemisahan ruang

(kompartementalisasi) semacam ini me-

mang menghindarkan konflik, tetapi de-

ngan risiko mencegah terbangunnya

interaksi yang kon-struktif.46

Sikap al-Quran Terhadap Evolusi

Darwin

Sementara itu, untuk hal yang

berkaitan dengan asal-usul manusia, al-

Quran dan sains berhubungan integratif.

Artinya, sains dapat memberikan

penjelasan ilmiah mengenai proses

kejadian manusia. Walaupun sekilas

ayat-ayat al-Quran memberi informasi

sederhana, namun sesungguhnya ia

menggugah manusia untuk terus

menyelam ke dalam samudra yang

terkandung di dalamnya. Dan ini adalah

pekerjaan para ilmuwan.

E. Penutup

Setelah penulis menguraikan

panjang lebar di atas, maka diambil

kesimpulan sebagai berikut:

1) Dalam mengemukan hubungan

antara agama dan sains, Ian G.

Barbour membagi ke dalam empat

tipologi (konflik, independen,

integrasi, dan dialog). Ia melihat

bahwa keempat tipologi ini dijumpai

di kalangan saintis dan agamawan.

2) Berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran

yang senada dengan pemikiran Ian G.

Barbour memang ditemukan adanya

kemungkinan sains menjelaskan

ayat-ayat ilmiah dalam al-Quran.

46Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h.

31-32.

3) Dengan perspektif Ian G. Barbour,

ditemukan fakta bahwa relasi al-

Quran dan sains berada pada tipologi

konflik, independen, dan integratif.

Konflik terjadi ketika sains berbicara

tentang alam yang terbebas dari

campur tangan Tuhan; independensi

terjadi ketika berkaitan dengan teori

evolusi Darwin. Namun, integrasi

terjadi juga ketika sains mampu

memecahkan informasi-informasi

ilmiah yang disajikan al-Quran.[]

Daftar Pustaka

Ali, Abdullah Yusuf, Qur’an: Terjemahan

dan Tafsirnya, terj. Ali Audah,

Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Ali, Maulana Muhammad, The Holy

Qur’an: Arabic Text, English

Translation, and Commentary,

Lahore, Inc. U.S.A.: Ahmadiyah

Anjuman Isha’at Islam, 1991.

Azra, Azyumardi, “Sambutan Rektor,”

Prospektus UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta “Wawasan 2010” Leading

Toward Research University,

Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Bagir, Zaenal Abidin, “Pengantar” dalam

Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan,

Antara Sans dan Agama, terj. E.R.

Muhammad, Bandung: Mizan,

2002.

Barbour, Ian G., Menemukan Tuhan

dalam Sains Kontemporer dan

Agama, terj. Fransiskus Borgias M,

Bandung: Mizan, 2005.

Drees, Willem B., Religion and Science in

Context: A Guide to the Debates,

London dan New York: Routledge,

2010.

Mahzar, Armahedi, Revolusi Integralisme

Islam: Merumuskan Paradigma

Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour

92

TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

Sains dan Teknologi Islami,

Bandung: Mizan, 2004.

Musa, M. Yusuf, Al-Quran dan Filsafat,

Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Purwanto, Agus, Ayat-ayat Semesta: Sisi-

sisi al-Quran yang Terlupakan,

Bandung: Mizan, 2013.

Purwanto, Agus, Nalar Ayat-ayat

Semesta: Menjadikan al-Quran

sebagai Basis Konstruksi Ilmu

Pengetahuan, Bandung: Mizan,

2012.

Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al-

Quran: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat,

Bandung: Mizan, 1996.

Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Quran

ditinjau dari Aspek Kebahasaan,

Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan

Gaib, Bandung: Mizan, 1997.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbāh:

Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur’an, Vol. IV, Jakarta: Lentera

Hati, 2001.

Syamsu, Nazwar, al-Qur’an Dasar Tanya

Jawab Ilmiah, Jakarta: Ghalia

Indonesia, t.th.

Syamsuddin, Ach. Maimun, Integrasi

Mutlidimensi Agama dan Sains:

Analisis Sains Islam al-Attas dan

Mehdi Golshani, Yogyakarta:

IRCiSoD, 2012.

Taslaman, Caner, Miracle of the Quran:

Keajaiban al-Quran Mengungkap

Penemuan-penemuan Ilmiah

Modern, Bandung: Mizan, 2010.

Temple, Frederick, The Relations

between Religion and Science: Eight

Lectures Preached before the

University of Oxford in the Year

1884 on the Foundation of the Late

Rev. John Bampton, M.A,

Cambridge: Cambridge University

Press, 2009.

Waston, “Hubungan Sains dan Agama:

Refleksi Filosofis atas Pemikiran

Ian G. Barbour”, PROFETIKA: Jurnal

Studi Islam, Vol. 15, No. 1, Juni

2014.

Zubaidi, Dialog antara Sains menurut Ian

G. Barbour dengan Ayat-ayat al-

Qur’an, Skripsi pada Fakultas

Ushuluddin IAIN Walisongo

Semarang, 2005.

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

93 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

BENDA ASTRONOMI DALAM AL-QURAN DARI PERSPEKTIF SAINS

Muhammad Hasan

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak

Jl Letnan Jendral Soeprapto No 19 Pontianak 78121

e-mail: [email protected]

Abstract: The objects in the sky in an astronomical perspective is very

much the type and amount, but in the perspective of The Quran consists

only of the sun, moon, and stars. The Quran gives cues and clues about the

movement of the heavenly bodies. Sky objects in the perspective of the

Koran already set his destiny, and had been subdued, so consistently and

definitely outstanding. According to The Quran cue each celestial bodies,

circulation and no silent, including the sun are also outstanding. In the

circulation of the month, has its own characteristics, because only months

in circulation set manzilah-manzilah, so the moon when seen from Earth

show different form, sometimes the perfect (full moon), and sometimes

show an imperfect form. Thus, it can be well known, when the month of

the date of 1,2,3, and so on, so that people can practice their religion is

based on the moon trip.

Abstrak: Benda-benda di langit dalam perspektif astronomi sangat

banyak jenis dan jumlahnya, namun dalam perspektif al-Quran hanya

terdiri dari matahari, bulan, dan bintang. Al-Quran memberikan isyarat

dan petunjuk mengenai pergerakan benda-benda langit tersebut.

Benda-benda langit dalam perspektif al-Quran sudah ditetapkan

takdir-Nya, dan telah ditundukkan, sehingga beredar secara konsisten

dan pasti. Menurut isyarat al-Quran masing-masing benda langit,

beredar dan tidak ada yang diam, termasuk matahari juga beredar.

Dalam peredaran bulan, memiliki ciri tersendiri, karena hanya bulan

yang dalam peredarannya ditetapkan manzilah-manzilah, sehingga

bulan ketika dilihat dari bumi menunjukkan wujud yang berbeda-

beda, kadang sempurna (bulan purnama), dan terkadang menunjuk-

kan wujud yang tidak sempurna. Dengan demikian, dapat dikenal

dengan baik, kapan bulan tanggal 1,2,3, dan seterusnya, sehingga

manusia dapat melaksanakan ibadah berdasarkan perjalanan bulan

tersebut.

Keywords: matahari, bulan, bintang, al-Quran, astronomi

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

94 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015

A. Pendahuluan

Benda luar angkasa dalam

perspektif al-Quran meliputi tiga hal1:

matahari2, bulan3, dan bin-tang.4 Al-

Quran mengulang tiga istilah terse-

but dengan berbagai redaksi dan

istilah yang berbeda sebanyak 84 kali.

Dalam kajian astronomi semua benda

ruang angkasa termasuk bumi ber-

putar mengelilingi matahari.

Matahari merupakan pusat benda

langit yang memancarkan sinar sen-

diri. Sedangkan, bulan memantulkan

cahaya karena menerima sinar

matahari, sementara bintang adalah

benda langit yang memiliki cahaya

sendiri. Bagaimana dengan perspektif

al-Quran? Apakah menurut al-Quran

juga demikian?.

Persoalan benda-benda langit dan

peredarannya, merupakan persoalan

yang menarik. Dikatakan demikian,

karena persoalan tersebut merupakan

1QS al-Hajj [22]: 18. 2Matahari dalam al-Quran dibahasakan

dengan kata syams شمس dan kadang-kadang dibahasakan dengan kata sirāj/ سراج

3Bulan dalam al Quran dibahasakan dengan kata syahr شهر , qamar قمر , dan hilāl Masing-masing kata ini dalam al-Quran .هاللdigunakan untuk maksud yang berbeda-beda. Kata syahr شهر berorientasi pada makna bulan yang menunjukan arti waktu atau perhitungan waktu, misalnya dalam QS. al-Baqarah [2]: 185,194,197,217,226, dan 234. QS. al-Nisa’ [4] :92. QS. al–Mā’idah [5]: 97. QS. al-Taubah [9]: 2, 36, QS. al-Aḥqaf [46]: 15, QS al-Mujādalah [58]: 4, QS. al-Ṭalaq [65]: 4. Semua ayat tersebut menggunakan kata syahr untuk perhitungan waktu. Kata syahr شهر dalam al-Quran diulang sebanyak 13 kali dan menun-jukkan makna yang sama yakni bulan dalam arti perhitungan waktu dan bukan menunjuk-kan makna bulan dalam arti hakiki benda, sedangkan yang menunjukkan makna hakiki adalah kata qamar قمر , dan hilāl هالل.

4Bintang dalam al-Quran dibahasakan dengan kata nujūm نجىم, kaukab كىكة dan burūj تروج .

salah satu pondasi untuk memahami

per-soalan hisab rukyat secara sahih.

Peredaran matahari berkaitan lang-

sung dengan penentuan arah kiblat dan

penentuan ibadah salat. Perdebatan

mengenai waktu subuh yang belum

tuntas pada hakekatnya merupakan

perdebatan mengenai pergerakan mata-

hari. Perdebatan seputar penentu-an

awal bulan hijriah, perbedaan dalam

mengawali puasa, perbedaan penentu-

an idul fitri dan idul adha, merupakan

implikasi dari pemahaman terhadap

teks syar’i. Oleh karena itu, pemaham-

an yang komprehensif terhadap ayat-

ayat yang berkaitan dengan peredaran

matahari, bulan, dan bintang sangat

diperlukan.

Matahari dan bulan merupa-kan

obyek dalam perhitungan ka-lender

masehi (solar) dan kalender hijriah

(luni), sementara benda-benda langit

yang berkaitan dengan bintang, ber-

potensi mengganggu dalam pelaksana-

an rukyat.

Artikel ini akan mengkaji ayat-

ayat yang berkaitan dengan peredaran

benda-benda langit secara tematik.

Karena itu, hal penting dalam makalah

ini adalah pembatasan dan pemaknaan

isti-lah benda langit yang terdapat

dalam al-Quran dilihat dari perspektif

al-Quran, dan perspektif kebahasaan.

Selanjutnya, akan di-paparkan benda-

benda langit yang terdapat dalam al-

Quran dilihat dari perspektif al-Quran,

terutama yang berkaitan dengan ciri

dan karakteristiknya. Setelah menge-

tahui karakteristiknya akan dideskrip-

sikan, peredaran benda-benda langit

dilihat dari perspektif al-Quran, pers-

pektif mufassir, dan perspektif astro-

nom.

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

95

Pendekatan yang digunakan

untuk menjawab persoalan di atas

menggunakan pendekatan tafsir mau-

ḍū’ī. Adapun langkah-langkah yang

dilakukan adalah: 1) menginventarisasi

ayat-ayat yang berkaitan dengan

astronomi. 2) Mengelompokkan ayat-

ayat ter-sebut berdasarkan bahasa

yang digunakan. 3) Mengelompokkan

ayat-ayat tersebut berdasarkan tempat

dan waktu turunnya. 4) Mencari asbāb

al-Nuzūl yang ber-kaitan dengan ayat

tersebut. 5) Mencari penjelasan kata-

kata yang dianggap urgen dalam

kamus. 6) Melihat pendapat ulama

tafsir mengenai ayat tersebut dan

membandingkan dengan pendapat ahli

astronomi. 7) Menarik kesimpulan

akhir dari ayat/beberapa ayat

tersebut.

B. Matahari

Al-Quran menyebut istilah mata-

hari dengan kata شمس dan سراج . Al-

Quran mengulang kata matahari (شمس)

sebanyak 32 kali, dan menggunakan

kata matahari (sirāj/ (سراج sebanyak

empat kali, yakni dalam QS. al-Furqān

[25]: 61, al-Aḥzab (33):46, Nūḥ [71]:16,

al-Naba [78]: 13. Matahari (شمس)

disebut secara bersamaan dengan

kata qamar (قمر ) dan nujūm (نجىم)

sebanyak satu kali yakni dalam QS. al-

Ḥajj [22]: 18 sebagai berikut:

جدالل هأن ت رألم فومنمالس مواتفمنملهيسمرمض بالوالنجوموالمقمروالش ممسالم والش جروالم

………الن اسمنوكثيروالد واب

Apakah kamu tiada mengetahui,

bahwa kepada Allah bersujud apa

yang ada di langit, di bumi, matahari,

bulan, bintang, gu-nung, pohon-

pohonan, bina-tang-binatang yang

melata dan sebagian besar daripada

manusia…..

Ayat ini menggambarkan ke-

taatan ciptaan Allah kepada

penciptanya. Jadi kata matahari (شمس) ,

kata qamar (قمر ) dan nu-jūm (نجىم)

disebutkan secara bersamaan untuk

menunjukkan ketaatan ciptaan-Nya.

Dalam konteks ini Allah meng-

gambarkan benda-benda ciptaan-Nya

sebagai makhluk yang tak pernah

durhaka kepadanya, dan semuanya

tunduk kepada perintah-Nya kecuali

manusia. Ayat ini mem-berikan indikasi

bahwa matahari شمس) ), qamar (قمر )

dan nujūm (نجىم) akan selalu ber-

jalan sesuai dengan perintah Allah.

Sebagaimana dikatakan di atas, makh-

luk ciptaan Allah senantiasa mentaati

Allah, maksudnya ketundukan mata-

hari, bulan, dan bintang dalam bentuk

selalu mengikuti ketentuan yang telah

ditetapkan Allah untuknya.

Matahari (شمس) secara bersamaan

dengan kata qamar (قمر ) dan kaukab

(كىكة) disebut-kan dalam al-Quran

sebanyak 1 kali, yakni dalam QS. Yusuf

[12]: 4. Dalam QS. Yusuf (12): 4 mata-

hari (شمس) , qamar (قمر ) dan kaukab

(كىكة) dideskripsikan sebagai berikut:

كومكباعشرأحدرأيمتإنياأبتلبيهيوسفقالإذم ساجدينلرأي مت همموالمقمروالش ممس

Ingatlah ketika Yusuf berkata

kepada ayahnya: “Wahai ayahku,

sesungguhnya aku ber-mimpi melihat

sebelas bintang, matahari, dan bulan.

Kulihat semuanya sujud kepadaku.”

Ayat ini menggambarkan keha-

diran matahari, bulan, dan bintang

dalam mimpi Yusuf dan ketundukan-

nya kepada Yusuf. Karena itu, ayat ini

lebih bero-rientasi pada persoalan

Yusuf, bukan persoalan astronomi. Pe-

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

96

nggunaan kata bintang, bulan, dan

matahari dalam ayat ini hanya sebagai

obyek mimpi Yusuf saja, bukan

bintang, bulan, dan matahari yang

hakiki.

Matahari (شمس) disebut secara

bersamaan dengan kata qamar (قمر )

sebanyak 17 kali. Penyebutan mata-

hari (شمس) bersamaan dengan kata

qamar (قمر ) sebanyak 17 kali di temui

dalam QS. al-An’ām [6]: 96, QS. al-A’rāf

[7]: 54, QS. Yūnus [10]: 5, QS. al-Ra’d

[13]: 2, QS. Ibrāhīm [14]: 33, QS. al-Naḥl

[16]:12, QS. al-Anbiyā’ [21]: 33, QS. al-

‘Ankabūt [29]: 61, QS. Luqmān [31]: 29,

QS. Fāṭir (35): 13, QS. Yāsīn (36): 39-40,

QS. al-Zumar (39): 5, QS. Fuṣṣilat [41]:

37, QS. al-Raḥmān [55]: 5, QS. Nūḥ [71]:

16, dan QS. al-Qiyāmah (75): 9.

Kumpulan ayat-ayat tersebut,

kandungan isinya dapat dikategorikan

sebagai berikut: Per-tama, sebanyak

sebelas kali menunjukan peredaran

matahari dan bulan, yakni pada QS. al-

An‘ām [6]: 96, QS. al-A‘rāf [7]: 54, QS.

Yunus [10]: 5, QS. al Ra’d [13]: 2, QS.

Ibrahim (14): 33, QS. al-Anbiya’ [21]: 33,

QS. Lukman [31]: 29, QS. Fāṭir [35]: 13,

QS. Yāsīn [36]: 39-40, QS. al-Zumar (39):

5, QS. al-Rahman [55]: 5. Kedua, dua

kali menggambarkan manfaat mata-

hari dan bulan bagi kehidupan

manusia, yakni QS. al-Nahl [16]:12, QS.

Nuh [71]: 16. Ketiga, satu kali

mengenai keingkaran orang kafir

terhadap penciptaan langit, bumi,

ketundukan matahari, dan bulan yakni

QS. al-Ankabut [29]: 61. Keempat, satu

kali tentang larang-an sujud kepada

matahari dan bulan yakni pada QS.

Fuṣṣilat [41]: 37. Kelima, satu kali

mengenai ciri-ciri kehancuran alam,

yakni QS. al-Qiyamah (75): 9.

Matahari sebagai benda luar

angkasa digambarkan dalam be-

berapa ayat antara lain: QS al-Furqan

(25): 61, QS Nūḥ [71]:16, dan QS. al-

Naba’ [78]: 13, menggambarkan

matahari sebagai sirāj (سراجا ) . kata siraj

(سراجا) dalam kamus al-Munawwir

diartikan pelita atau lampu. De-ngan

demikian, matahari meman-carkan

sinar. Sedangkan, pada QS.Yunus (10):

5 matahari digambarkan sebagai

benda langit yang bersinar. Mengacu

kepada ayat-ayat ini dapat disimpulkan

bahwa ciri-ciri matahari adalah benda

langit yang memiliki sinar, dimana

sinarnya sebagai penerang bagi

kehidupan.

C. Bulan

Bulan dalam al-Quran disebut

dengan istilah syahr شهر) ), qamar (قمر

), dan hilāl (هالل) diulang sebanyak 40

kali. Sedangkan, bulan dengan istilah

qamar (قمر), dan hilāl (هالل) secara

bergan-dengan diulang sebanyak 27

kali. Bulan dalam istilah qamar (قمر)

saja diulang sebanyak 26 kali. Karena

syahr شهر) ) merupakan kata yang

tidak menunjukkan pada pengertian

bulan yang hakiki maka tidak akan

dibahas dalam makalah ini secara

mendalam. Namun demikian, kata شهر)

) memiliki keterikatan dengan qamar

dan hilāl, karena kata ini sebagai

perhitungan jumlah bilangan qamar

dan hilāl.

Kata qamar (قمر ) dan hilāl (هالل)

bermakna bulan dalam arti hakiki.

Keduanya menyatakan makna bulan

dalam arti hakiki, namun memiliki

perbedaan maksud. Kata qamar (قمر )

bermakna bulan yang sempurna. Ini

dapat dipahami dari QS. al-Insyiqah

[84]: 18 (dan dengan bulan apabila

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

97

jadi purnama/ سق ات إ ذا والقمر ) yang

menghubungkan kata qomar dengan

purnama. Begitu juga ketika al-Quran

selalu mengungkapkan kata qamar

-dalam bentuk mufrad, melam (قمر)

bangkan bahwa bulan yang sempurna

(شهر hanya sekali setiap bulan ( قمر) ),

yaitu pada bulan purnama. Dengan

demikian, kata qamar (قمر ) hanya ber-

arti bulan purnama (ketika penam-

pakan bulan sempurna).

Kata hilāl (هالل) diungkapkan

dalam al-Quran hanya satu kali dalam

bentuk jamak (اهلة). Kata ini ditemui

pada QS. al-Baqarah (2): 189. Ini dapat

dipahami bahwa hilāl itu berulang-

ulang, tidak hanya seka-li. Dalam arti,

perjalanan bulan dari sangat tipis

menuju sempur-na dan dari sempurna

menuju tipis kembali dapat disebut

hilāl.5 Dengan demikian, peredaran

bulan (قمر dan هالل ) selama satu bulan

(شهر ) terdiri dari, sekali bulan “qamar”

dan yang lainnya adalah bulan “hilāl”.

Ini berarti bahwa “hilāl” bermakna

bulan yang tidak sempurna, nampak

sedikit, sebagian, separuh, atau hampir

sempurna, ketika sempur-na maka

tidak disebut hilāl, tetapi disebut

qamar. Dengan kata lain penampakan

qamar yang tidak sempurna disebut

hilāl, sedangkan kata qamar itu sendiri

lebih berorientasi pada hakikat bulan

yang sempurna.

Berdasarkan pada QS. Nuh [71]:

16 dan QS. Yunus [10]: 5, sebagaimana

diungkapkan pada bagian terdahulu

dapat disimpul-kan bahwa bulan

5Pemaknaan kata hilal yang demikian,

berbeda dengan pemaknaan hilal dalam pandangan astronomi, dimana secara astronomi hilāl diartikan penampakan bulan yang halus seperti benang yang tampak pada awal bulan.

merupakan benda langit yang

memiliki cahaya (نىر) . Mengingat

sebagian besar ayat-ayat tentang

matahari dan bulan selalu digandeng,

maka dapat disimpulkan bahwa

antara sinar matahari dan cahaya

bulan memiliki keterikatan. Ini

membe-rikan indikasi bahwa cahaya

bulan sangat tergantung pada sinar

matahari. Kesimpulan ini diperkuat

oleh pendapat Za-makhsyari yang

menyatakan bah-wa: “ النورمنأقوىالضياء ”6.

D. Bintang

Bintang disebut al-Quran dengan

istilah تروج ,نجىم , dan كىكة. Al-Quran

tidak banyak menceritakan bintang,

baik de-ngan istilah nujūm (نجىم)

dan buruj (تروج ) maupun dengan

istilah kaukab (كىكة ) . Ketiga Isti-lah

tersebut digunakan secara bergantian

untuk menggambarkan obyek yang

berbeda. Misalnya, dalam QS. al-An’am

(6): 76 digunakan kata kaukab (كىكة) ,

disini kata kaukab (كىكة) digunakan

untuk menggambarkan bintang

sebagai benda yang di-kagumi

Ibrahim, kemudian dalam QS. Yusuf

(12): 4 kata kaukab (كىكة) digunakan

untuk meng-gambarkan bintang

dalam alam mimpi, sementara dalam

QS. al-Nur [24]: 35, kata kaukab (كىكة)

digunakan untuk menggambarkan

bintang sebagai benda langit yang

memiliki cahaya, namun sebagai obyek

perumpamaan. Dari sini dapat

dipahami bahwa kata kaukab (كىكة)

dalam al-Quran digunakan untuk

menggambarkan bintang sebagai benda

langit yang berada dalam alam

khaya-lan/angan-angan atau sesuatu

6Zamakhzari, Tafsir al Kassyaf, juz 2, tp:

tt, h. 494.

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

98

yang berada dalam dunia ide. Jadi kata

kaukab (كىكة) , bukan untuk menunjuk-

kan bintang yang ada dalam dunia

realitas, tetapi menunjuk pada bintang

yang ada dalam ide.

QS. al-Hajj [22]:18 mengguna-kan

kata nujūm (نجىم) , untuk meng-

gambarkan bintang sebagai benda

langit yang tunduk pada perintah

Allah. Dalam QS. al-Najm [53]: 1 kata

nujūm (نجىم) , diguna-kan untuk

menggambarkan bin-tang sebagai

benda langit untuk obyek sumpah

(qasam). Dalam QS. al-Tariq [86]: 3

kata nujūm (نجىم) , digunakan untuk

meng-gambarkan bintang sebagai

benda langit yang bercahaya.

Berdasar-kan pada beberapa ayat di

atas kata nujūm (نجىم) , memiliki makna

bintang dalam arti yang hakiki.

Pernyataan ini diperkuat oleh QS. at-

Takwir [81]: 2 yang meng-gambarkan

ciri hari kiamat dengan berjatuhannya

bintang (نجىم) . Di sini digunakan kata

nujūm (نجىم) , bukan kaukab. Oleh

karena itu, tampaknya pengguna-an

kata nujūm dalam al-Quran untuk

menggambarkan bintang dalam

pengertian yang hakiki. Sehingga, ilmu

yang berbicara me-ngenai perbin-

tangan, disebut ilmu nujūm.

Selain kata nujūm (نجىم) , untuk

menggambarkan bintang, dalam al-

Quran digunakan kata burūj (تروج)

sebagaimana ditemui dalam al-Hijr

)15(: 16, al-Furqan )25(:61, QS. al-Burūj

(85):1. Dalam Tafsir al-Ṭabarī diceri-

takan bahwa menurut Ibn Abbas yang

dimaksud dengan burūj adalah: “qusur

fi samā’i” yakni gugusan bintang-

bintang.7 Berdasarkan pada QS. an-Nur

(24): 35, dan QS. al-Ṭariq (86): 3

memberikan pe-mahaman bahwa

bintang adalah benda langit yang

memancarkan cahaya. Sedangkan, QS.

al-Buruj (85): 1, menggambarkan gu-

gusan bintang di langit. Kata burūj

dalam ayat tersebut meng-gambarkan

ciri-ciri dari nujūm. Karena itu,

bintang memiliki ciri-ciri diantaranya

adalah benda langit yang membentuk

gugusan. Gugusan bintang di langit

diper-kuat oleh QS. al-An’am [6]: 97.

Menurut Shihab bintang merupa-kan

petunjuk perjalanan manu-sia, baik di

darat maupun di laut. Dengan menge-

tahui bintang, terutama bintang tak

bergerak, seseorang yang akan

bepergian dapat menentukan arah

yang hendak dituju.8

E. Peredaran Matahari dan

Bulan.

Pada bagian terdahulu telah

diuraikan bahwa benda-benda la-ngit

dalam perspektif al-Qur an terdiri dari

matahari9 (syams), bulan10 (qamar dan

hilāl), dan bintang (nujūm). Peredaran

ben-da-benda tersebut ditemukan da-

7Al-Ṭabari, Muhammad bin Jarīr bin

Yazid bin Kaśir bin Gālib al-Amlī 224-310 H, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qurān, juz 24, tahqiq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Muassah ar-Risalah, 2000 M/1420 H, h. 331.

8Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 4, Jakarta;Lentera Hati, 2006 , 211.

9Dalam ilmu Astronomi matahari disebut dengan bintang yang paling dekat dengan kita, yang memiliki dan memancarkan cahaya sendiri Modji Raharto et.al. Islam untuk Disiplin Ilmu Astronomi, Jakarta:Dirjen Bagais, 2002 h. 21.

10Secara astronomi bulan merupakan benda langit yang paling dekat dengan bumi dan merupakan satelit alam bumi. Modji Raharto et.al., Islam, h. 20. Namun, dalam perspektif al-Quran matahari tidak dike-lompokkan dalam istilah bintang.

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

99

lam al-Quran yakni QS. al-An’am [6]:

96, QS. al-A’raf [7]: 54, QS. Yunus [10]:

5, QS. ar Ra’d [13]: 2, QS. Ibrahim [14]:

33, QS. al-Anbiya’ [21]: 33, QS. Lukman

(31): 29, QS. Fāṭir (35): 13, QS. Yāsīn

(36): 39-40, QS. al-Zumar (39): 5, QS. ar-

Rahman (55): 5. Dalam ayat-ayat ini

peredaran matahari dan bulan (قمر)

selalu disebutkan secara bersamaan.

Dilihat dari tempat turun-nya,

semua ayat yang berbicara mengenai

peredaran matahari dan bulan

termasuk dalam ke-lompok ayat-ayat

makkiyah kecua-li QS. al-Ra’d (13): 2.

Ayat ini termasuk kelompok ayat

madani-yah. Dengan demikian, ayat-

ayat tersebut, selain QS. al-Ra’d (13): 2

diturunkan sebelum nabi hijrah.

Adapun QS. al-Ra’d (13): 2 ditu-runkan

setelah Nabi hijrah. Menurut al-Ṭabarī

QS. ar-Ra’d (13):2 mengenai hikmah

dicipta-kan langit, menurutnya langit

sebagai atap bagi bumi. Karena itu,

menurutnya kontruksi langit dan

bumi ibarat bangunan yang utuh,

yang kemudian di dalam-nya

dilengkapi dengan matahari dan

bulan.11 Menurut al-Sa’di penundukan

matahari dan bulan oleh Allah dalam

ayat ini untuk kemaslahatan manusia

dan ke-maslahatan tumbuh-tumbuhan

di bumi. Sementara, yang dimaksud

dengan “yajrī liajalim musamma”

menurutnya, dengan pengaturan Allah,

matahari dan bumi beredar dengan

teratur, tidak saling mendahului dan

tidak saling tab-rakan sampai pada

waktu yang telah ditentukan.12

11al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, juz 24, h 249. 12As-Sa’di, ’Abdu ar-Rahman bin Nāśir bin

as-Sa’di, 2000 M/1420 H, Tafsīr al-Karīm ar-Rahman fī tafsīr Kalām al-Manān, tahqiq ’Abd ar-Rahman bin ma’lā al-wīhaq, jilid 1, Beirut: Muassah ar-Risalah. 412.

Mengacu pada penjelasan di atas,

QS. ar-Ra’d (13): 2 dapat dipahami

bahwa matahari dan bulan beredar

dengan teratur. Dalam peredarannya

matahari dan bulan memiliki waktu

ma-sing-masing. Bulan memiliki waktu

untuk beredar dan sampai pada

tempatnya. Matahari juga punya waktu

untuk beredar dan sampai pada

tempatnya.13 Keduanya ber-edar sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan

oleh Allah. Menurut ahli Astronomi,

per-edaran bulan mengelilingi bumi

selama 27,321661 hari, sedangkan

peredaran bumi dan bulan

mengelilingi matahari selama

365,256360 hari.14

Dilihat dari redaksinya ayat-ayat

yang berbicara mengenai peredaran

matahari dan bulan tidak terdapat

pertentangan an-tara yang makkiyah

dan yang madaniyah. Berikut ini

sederetan ayat-ayat tentang peredaran

ma-tahari dan bulan yang diturunkan

sebelum nabi hijrah, yakni: QS. al-An’am

(6): 96, QS. al-A’raf (7): 54, QS. Yunus

(10):5, QS. Ibrahim (14): 33, QS. al-

Anbiya’ (21): 33, QS. Lukman (31): 29,

QS. Fāṭir (35): 13, QS. Yāsīn (36):39-40,

QS. az-Zumar (39):5, QS. al-Rahman

(55): 5. Dari ayat-ayat tersebut ditemui

kata kunci (key words) berkaitan dengan

peredaran matahari dan bulan. Kata

kunci tersebut adalah kata taqdīr.

Kata taqdīr ditemui dalam al-

Quran hanya tiga kali dan semuanya

13Menurut ahli astronomi peredaran matahari adalah peredaran semu yang diakibatkan oleh gerak rotasi bumi pada sumbunya sebesar 360˚ per 24 jam, sehingga seolah-olah matahari bergerak dari Timur ke Barat. Baca, Muhyidin Khazin, Ilmu Falak, Yogyakarta:Buana pustaka, 2004, h.125

14Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976, 7.

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

100

dalam konteks pem-bicaraan tentang

peredaran mata-hari dan bulan, yakni

dalam QS. al-An’am (6): 96, QS, Yāsīn

(36): 38, dan QS. Fuṣṣilat (41): 12. Kata

ير -dalam ayat-ayat tersebut diguna تقد

kan untuk makna pengaturan dan

ketentuan yang sangat teliti dalam

konteks penciptaan alam semesta. Oleh

karena itu, kata ini dalam al-Quran

hanya digunakan untuk menunjukkan

konsistensi hu-kum-hukum Allah

yang ber-laku di alam raya. Menurut

Shihab kata takdīr mengandung arti: 1)

menjadi-kan sesuatu memiliki kadar

serta sistem tertentu dan teliti. 2)

menetap-kan kadar sesuatu, baik

yang berkaitan dengan materi,

maupun waktu. Penggunaan kata

takdīr diperkuat oleh kata العزيز) )

al’Azīz/ Maha Perkasa dan (العلين) al-

‘Alīm/ Maha Mengetahui pada akhir

ayat bertujuan menjelaskan bah-wa

pengaturan Allah terhadap benda

langit seperti matahari yang demikian

besar, dapat ter-laksana karena Dia

Maha Perkasa sehingga semua tunduk

kepada-Nya, dan Maha Mengetahui

sehingga pengaturan-Nya sangat teliti

dan mengagumkan.15 De-ngan

demikian, peredaran mata-hari dan

bulan sudah ditentukan kadar

peredarannya, sehingga akan selalu

beredar secara kon-sistensi

berdasarkan garis edarnya.

QS. al-An’am (6): 96 menyata-kan:

باحفالق والمقمروالش ممسسكناالل يملوجعلالمصمب المعليمالمعزيزت قمديرذلكاناحسم

Dia menyingsingkan pagi dan

menjadikan malam untuk ber-istirahat,

dan (menjadikan) mata-hari dan bulan

15Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol.

13, h. 209

untuk perhitungan. Itulah ketentuan

Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha

mengetahui (al-An’am [6]: 96).

Kata ير ت قد dalam ayat di atas

menguatkan kata husbānā (حسثانا) . Kata

Husbānā (حسثانا) secara bahasa

terambil dari kata (حساتا) hisābā yang

berarti kesempurna-an, sehingga ayat

tersebut berarti perhitungan yang

sempurna dan teliti. Kemudian hasil

perhitungan tersebut ditetapkan

sebagai takdir. Berkaitan dengan

ketelitian dalam penciptaan

perhitungan peredaran benda-benda

langit juga disinggung dalam firman-

Nya yang lain, misalnya dalam QS al-

Rahman [55]: 5. 16 Mengacu pada dua

ayat ini dapat ditarik kesimpulan

bahwa peredaran benda-benda langit

sedemikian konsisten dan pasti,

sehingga tidak mungkin terjadi

tabrakan antar benda langit yang satu

dengan benda langit yang lainnya.

Menurut Shihab, karena peredaran

matahari dan bulan sangat konsisten

dan pasti, maka dapat dijadikan

sebagai alat untuk melakukan

perhitungan waktu, tahun, bulan,

minggu dan hari bahkan menit dan

detik.17

Dalam peredaran bulan

ditetapkan manzilah-manzilah. Ini

ditemui dalam QS.Yunus (10): 5, dan

QS Yāsīn (36): 39. Ber-dasarkan kedua

ayat ini dapat dipahami bahwa bulan

memiliki manzilah-manzilah (fase-fase)

16Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah Vol. 13, h. 497 kata حسثا husbān dalam QS. al-Rahman [55]: 5 terambil dari kata hisāb yakni perhitungan. Penambahan حسابhuruf alif ا dan nun ن pada kata tersebut menurutnya mengandung makna ketelitian dan kesempurnaan.

17Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 4, h. 210.

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

101

dalam peredarannya. Dalam ayat

tersebut dikatakan qaddarahu

manāzilah. Al-Ṭabari mengatakan

bahwa kata manāzilah pada ayat di

atas hanya untuk bulan saja, bukan

untuk matahari. Dia beragumentasi

bahwa perhitung-an syahr dan sinīn

hanya dapat diketahui dengan

qamar.18 De-ngan demikian, dapat

dipahami bahwa bulan memiliki

manzilah-manzilah dalam

perjalanannya. Karena bulan memiliki

manzilah-manzilah, maka dapat dilihat

dari bumi setiap malam dalam bentuk

yang berbeda-beda, sehingga ada bulan

(hilāl) dan ada bulan (qa-mar). Oleh

karena itu, akan melahirkan sistem

perhitungan atau penanggalan bulan

kamariah.

Isyarat manzilah yang di-miliki

oleh bulan diperkuat oleh hasil

penelitian yang menyatakan bahwa

perjalanan bulan dari bulan mati

(muhaq) sampai de-ngan bulan purna-

ma dan menuju bulan mati lagi

memiliki fase-fase antara lain: 1). Bulan

baru/ bulan mati, 2) Kuartir pertama 3)

Bulan purnama 4) Kuartir ketiga, yakni

ketika bulan beredar ke arah

perempat ke-tiga.19 Menurut al-Jailani

perubahan penampakan wajah bulan

dari bumi sebagai akibat adanya

manzilah-manzilah. Dalam hal ini, wajah

bulan nampak berbeda dari waktu ke

waktu, yang dimulai dengan muhāq

(bulan mati) yakni ketika terjadi

peristiwa ijtimak antara bulan dan

matahari, selanjutnya hilāl (bulan baru)

yakni ketika bulan bergerak maka ada

bagian bulan yang menerima sinar dari

matahari terlihat dari bumi, berikutnya

18Al-Ṭabarī, Jāmi’, Juz 15, h 23. 19 Saadoe’ddin Djambek, Hisab, h. 5.

tarbi’ awwal (kwartir pertama) yakni

ketika bulan bergerak semakin jauh dari

titik ijtimak, selanjutnya badr (bulan

purnama) yakni ketika terjadi peristiwa

istiqbal dimana semua permukaan bulan

menghadap matahari, kemudian tarbi’

akhir (kwartir terakhir) ketika bulan

meninggalkan matahari setelah

terjadinya peristiwa istiqbal, dan

akhirnya kembali pada bentuk muhāq

hingga pada proses ijtimak kembali.20

Ayat yang berkaitan dengan

peredaran bulan yang dijelaskan dalam

dalam QS. Yāsīn (36): 39 adalah QS.

Yāsīn (36): 37-3821. Menurut Shihab,

Ayat 37 meng-ilustrasikan bumi

dalam keadaan gelap. Kemudian,

Matahari memancarkan sinarnya ke

bumi, maka bagian tertentu dari

bumi diliputi oleh sinarnya. Sinar

matahari itu diilustrasikan dengan

kulit dan malam di-ilustrasikan

dengan jasmani bina-tang yang

tertutup kulit. Lalu sedikit demi

sedikit sinar itu diambil dan

dikeluarkan bagai-kan binatang yang

dikuliti. Setiap saat, berpisah kulit itu

dari jasmaninya, setiap itu pula

kegelapan muncul, lalu setelah

selesai pengulitan yakni setelah posisi

matahari meninggalkan bumi karena

peredaran kedua-nya, maka kegelapan

pun menu-tupi bumi.22 Ayat 38

mengandung makna: 1) Matahari

bergerak menuju ke tempat

20Zubair Umar al-Jailani, al-Khulāsah al-

Wafiyyah f al-Falak bijadwal al-Lughāritmiyyah, Kudus: Menara Kudus, t.th, 42-43.

21Menurut Shihab kata naslakhu pada ayat 37 surat Yasin terambil dari kata سلخ salakhu yang biasa digunakan dalam arti menguliti binatang, sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut menurutnya ádalah mengeluarkan.

22Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 11, h. 540.

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

102

perhentiannya setiap hari. 2)

Matahari bergerak terus-menerus

sampai waktu yang ditetapkan Allah

untuk per-hentian geraknya, yakni

pada saat dunia akan kiamat.23

Zuhaili menjelaskan bahwa bulan

dan matahari tidak mungkin bertemu.

Keduanya, menurut Zuhaili memiliki

tempat dan kekuasaan. Kekuasaan

bulan pada malam hari dan kekuasaan

matahari pada siang hari. Karena

masing-masing memiliki tempat

kekuasaan, maka matahari dan bulan

akan selalu beredar pada garis

edarnya dan tidak akan saling

bertabrakan.24 Sadoe’ddin menambah-

kan bahwa antara kekuasaan bulan

dan kekuasaan matahari dibatasi oleh

garis ufuk, yang menjadi batas

peralihan siang kepada malam.25

Sementara, Shihab dengan bertolak dari

kata yasbahūn pada QS. Yāsīn (36):40,

menjelaskan bahwa ruang angkasa

diibaratkan samudera luas, dimana

benda-benda langit diibaratkan ikan-

ikan yang bere-nang di lautan lepas. 26

Berdasarkan pendapat di atas

dapat dipahami bahwa semua benda-

benda di langit bergerak dan beredar,

23Shihab Op.cit. Volume 11, h 540 24Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, Jilid

23 Beirut-libanon: Dar al-Fikr al-Ma’ashir,17. 25Sadoe’ddin Djambek, Op.cit. h.13. 26Kata ىن yasbahun menurut يسثح

Quraish Shihab 2008, jilid 11:543 mempunyai makna pada mulanya berarti mereka berenang. Menurut Shihab ruang angkasa diibaratkan oleh al-Qur an dengan samudera yang besar. Benda-benda langit diibaratkan dengan ikan-ikan yang berenang dilautan lepas. Allah melukiskan benda-benda itu dengan kata yang digunakan bagi yang berakal mereka berenang. Ini mengisyaratkan ketundukan benda-benda langit itu kepada ketentuan dan takdir yang ditetapkan Allah atasnya.

tak ter-kecuali matahari. Dalam per-

edarannya, sangat mustahil terjadi

tabrakan, karena telah memiliki

keteraturan sistem.

Peredaran matahari dan bulan

seperti yang dikemukakan di atas dapat

terjadi karena semua benda-benda

yang ada di langit telah ditundukkan

oleh Allah, sebagaimana dinyatakan

dalam QS. Ibrahim (14): 33, Lukman

(31): 29, Fāṭir (35): 13, dan Az-Zumar

(39):5. Mengacu pada beberapa ayat

tersebut, dapat ditarik kesimpulan: 1)

konsistensi per-edaran benda-benda

langit terjadi karena masing-masing

benda-benda langit telah ditentukan

tempat edarnya. 2) Konsistensi per-

edaran benda-benda langit terjadi

karena setiap benda langit telah

ditentukan waktu ber-edarnya. 3)

Konsistensi per-edaran benda langit

dapat terjadi karena setiap benda

langit telah di-tundukkan oleh Allah.

Selain Ayat-ayat yang telah

dijelaskan di atas, ada satu ayat

tentang peredaran bulan yang tidak

disebutkan secara ber-samaan dengan

matahari, itupun menggunakan kata

hilāl ( هالل) yakni QS. Al-Baqarah [2]:

189. Penulis tidak mengelompokkan

ayat ini dalam daftar kelompok ayat-

ayat peredaran bulan dan matahari,

karena ayat ini tidak secara implisit

berbicara tentang peredaran bulan.

Ayat ini secara implisit membicarakan

hilāl sebagai tanda-tanda waktu haji,

sebagaimana dinyatakan sebagai

berikut:

ألونك هل ةعنيسم جللن اسمواقيتهيقلمالم والم

Mereka bertanya kepadamu tentang

bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu

adalah tanda-tanda waktu bagi manusia

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

103

dan (bagi ibadah) haji (al-Baqarah [2]:

189).

Al-Qurtubi menceritakan bahwa

ayat ini diturunkan berkenaan dengan

pertanyaan orang-orang Yahudi

kepada Muadz bin Jabal mengenai hilāl.

Lalu Muadz menyampaikan pertanyaan

tersebut kepada Rasulullah kemudian

turun ayat ini. Dengan demikian, ayat

ini secara substansi tidak berkaitan

dengan peredaran bulan, namun ayat

ini lebih menekankan pada hikmah

adanya perubahan hilāl. Dilihat dari

asbab nuzulnya ayat ini mengindikasi-

kan adanya perubahan hilāl. Dalam

hal ini, adanya perubahan hilāl dari

yang paling halus sampai yang paling

jelas. Oleh karena itu, perubahan

tersebut mengandung arti dan

manfaat bagi manusia. Ibnu Katsir

menjelaskan hikmah perubahan hilāl

antara lain, untuk mengetahui bilangan

iddah wanita, waktu haji, dan waktu

memulai serta mengakhir puasa

Ramadan.27

Secara eksplisit ayat 189 surah al-

Baqarah mengindikasikan perubahan

waktu secara stagnan dalam

perhitungan bulan kamariah. Dalam hal

ini, perjalanan hilāl dari manzilah ke

manzilah akan mengakibatkan per-

ubahan bentuk penampakan hilāl dan

implikasi-nya terhadap perubahan

waktu. Penampakan bentuk hilāl

dalam perjalanan dari manzilah yang

satu ke manzilah yang lainnya

27Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-’Aẓīim,

ditahqiq oleh Samī bin Muhammad Salāmah, Beirut: Dār Ṭayyibah linasyri wa al-Tauzī’i, 1999 cet II, h.29.

mengakibatkan adanya tarikh

(penanggalan) kamariah dari tanggal 1,

2, 3, dan seterusnya sampai dengan

tanggal 29 atau 30. Setiap tanggal

tersebut, hilāl menunjukan bentuk

yang berbeda. Perubahan tersebut

terjadi secara terus menerus dan

stagnan, artinya apabila bulan telah

sampai tanggal 29/30 akan kembali

lagi menjadi tanggal 1.

F. Penutup

Kajian mengenai astronomi

dalam al-Quran merupakan kajian yang

cukup menarik. Secara umum pembi-

caraan mengenai benda-benda langit

dalam perspektif al-Quran terdiri dari

matahari, bulan dan bintang. Ketika

membicarakan matahari, al-Quran

selalu konsisten dengan kata syams

dalam bentuk mufrad. Sedangkan,

ketika berbicara mengenai bulan,

kadang-kadang menggunakan kata

qomar dalam bentuk mufrad, kadang

pula menggunakan kata hilāl dalam

bentuk jamak (ahillah/ اهلة) . Ketika

berbicara mengenai bintang digunakan

tiga kata, yakni kata nujūm, kaukab dan

burūj.

Benda-benda di langit dalam

perspektif al-Quran sudah ditetapkan

takdirnya, dan telah ditundukkan,

sehingga beredar secara konsisten dan

pasti. Bulan ditetapkan manzilah-

manzilah-nya, sehingga bulan ketika

dilihat dari bumi menunjukkan wujud

yang berbeda-beda, kadang sempurna

(bulan purnama), kadang menunjukkan

wujud yang tidak sempurna. Dengan

demikian, dapat dikenal dengan baik,

kapan bulan tanggal 1, 2, 3 dan

seterusnya, sehingga dapat

melaksanakan ibadah berdasarkan

perjalanan bulan tersebut. []

Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains

104

DAFTAR PUSTAKA Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu

Astronomi, Jakarta: Dirjen Bagais,

2002.

Djambek, Saadoe’ddin, Hisab Awal

Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976.

Humad, As’ad Mahmud, Aysar al-

Tafāsīr:Tafsīr, Asbāb al-Nuzūl, al-

Ḥadīṡ Namāzij I’rab, Damaskus: tp,

1992.

Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-’Aẓīm,

ditahqiq oleh Samī bin

Muhammad Salāmah, Dār

Ṭayyibah linasyri wa al-Tauzī’i,tp,

1999/1420 cet II.

Ibn Manżūr, Muhammad bin Mukrim

bin Manżur al-Ifriqī al-Miṣrī, Lisān

al-A’rabi, Beirut-Lebanon: Dār

Ṣādir, tth.

Ichwan, Muhammad Nor, Tafsir ‘Ilmi

Memahami al-Quran melalui

Pendekatan Sains Modern,

Jogyakarta, 2004.

Jailani, Zubair Umar, al-Khulāṣah al-

Wafiyyah fi al-Falak bi Jadwal al-

Lughāritmiyyah, Kudus: Menara

Kudus, t.t

Khazin, Muhyidin, Ilmu Falak,

Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004

Mahlī dan as-Suyutī, tt. Tafsir al-

Jalālain,tp,tt.

Munawir, AW, Kamus Arab-Indonesia,

Surabaya:Pustaka Progresif, 1997

Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah

Alam Filsafat, Jakarta: PT Rineka

Cipta, 1997.

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.

3, 4, 10, 11, 12, 13, 14, Jakarta:

Lentera Hati, 2006.

Sa’di, ’Abdu al-Rahman bin Nāśir bin al-

Sa’di, Tafsīr al-Karīm al-Rahman fī

Tafsīr Kalām al-Manān, tahqiq

’Abd al-Rah-man bin ma’lā al-

Wīhaq, Beirut: Muassah al-Risalah,

tth.

Ṭabarī, Muhammad bin Jarīr bin Yazid

bin Kaśir bin gālib al-Amlī, Jāmi’ al-

Bayān fī Ta’wīl al-Qurān, juz 24,

tahqiq Ahmad Muhammad Syākir,

Beirut:Muassah ar-Risalah,tt cet I

Wicks, Keith, Stars And Planet, terj.

Bambang Hidayat London:

Grisewood & Dempsey Ltd, 1997.

Zamakhzari tt, Tafsir al-Kassyaf, juz 2,

tp.

Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, Juz 11, 12, 13,

21, 23, Beirut: Dār al-Fikr al-

Ma’aṣir, 1991.