Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
3
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
EPISTEMOLOGI AL-QURAN DALAM MEMBANGUN SAINS ISLAM
Iing Misbahuddin
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri “Walisongo”
Jl. Prof. Dr. Hamka Km.1, Ngaliyan, Semarang
e-mail: [email protected]
Abstract: This article aims to elaborate on the Quran as the basis of
Islamic epistemology in building science. The concept of science in the
Quran, from the point of view of philosophy. Framework used to analyze
this theme is the philosophical framework. In the paradigm of philosophy,
science concepts can be classified in three dimensions; the first, an
epistemological dimension, namely the study of philosophy from the
aspect of how to acquire knowledge. Part of this philosophy is called the
theory of knowledge, namely methodology to gain knowledge or science,
or how to obtain a true knowledge; second, the ontological dimension,
namely the branch of philosophy that discusses the object of study of
science, or the nature of the study of science; and the third, axiological
dimension, namely the branch of philosophy that discusses the purpose
and use value and the value of the benefits of science. Part of this
philosophy better known as the theory of value. And what about his role in
building the Islamic sciences in Islamic universities in particular and in the
Islamic world in general.
Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengelaborasi al-Quran sebagai
landasan epistemologi dalam membangun sains Islam. Konsep ilmu
dalam al-Quran, ditinjau dari sudut pandang filsafat. Kerangka yang
dipakai untuk menganalisis tema ini adalah kerangka pemikiran filsafat.
Dalam paradigma filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga
dimensi; pertama, dimensi epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek
bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Bagian filsafat ini
disebut teori ilmu pengetahuan, yaitu metodologi untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan pengetahuan yang benar;
kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang membahas tentang
objek kajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang menjadi kajian
ilmu; dan ketiga, dimensi aksiologis, yakni cabang filsafat yang mem-
bahas tentang tujuan dan nilai guna serta nilai manfaat ilmu
pengetahuan. Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan teori nilai. Dan
bagaimana peranannya dalam membangun sains Islam di perguruan
tinggi Islam khususnya dan di dunia Islam pada umumnya.
Keywords: al-Quran, ayat al-matluwah, ayat al-majluwah, al-‘ilm, al-
ḥikmah, dan al-ma‘rifah.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
4
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
A. Pendahuluan
Al-Quran–sebagaimana didefinisi-
kan para ulama uṣūl–adalah firman
Allah sebagai mukjizat yang diurunkan
kepada Nabi Muhammad saw. melalui
malaikat Jibril, dituliskan dalam mushaf
dimulai dari surat al-Fātiḥah dan di-
akhiri dengan surat al-Nās.1 Dengan
tegas dinyatakan dalam al-Quran bahwa
fungsinya yang utama adalah sebagai
petunjuk bagi manusia dan memberi
keterangan-keterangan serta sebagai
pembeda antara hak dan batil (QS. al-
Baqarah [2]: 185).
Tidak diragukan lagi al-Quran
tidak hanya mengandung keterangan
tentang hukum, sosial dan moral,
melainkan juga berisi banyak ayat yang
berkaitan dengan hakekat ilmu pengeta-
huan, dan bagaimana mem-perolehnya
serta bagaimana meman-faatkan ilmu
pengetahuan tersebut untuk kemas-
lahatan manusia di dunia ini. Al-Quran
menegaskan bahwa ilmu Allah itu tak
terbatas (infinif dan ab-solut) yang
digambarkan dalam al-Qur-an sebagai
berikut:
Katakanlah: “Sekiranya lautan men-
jadi tinta untuk (menulis) kalimat-
kalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tam-bahan sebanyak
itu (pula).” (QS. Al-Kahfi [18]: 109).
Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut
(lagi) sesudah (kering)nya, niscaya
tidak akan habis-habisnya (ditulis-
1Muḥammad ‘Ali Ṣabūnī, al-Tibyān fī
‘Ulūm al-Qur’ān, Damaskus: Maktabah ‘Arabiyah, 1990.
kan) kalimat Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27).
Yang dimaksud dengan kalimat
Allah dalam ayat tersebut adalah ilmu-
Nya dan hikmahnya. Betapa luas dan
tak terhingga kandungan ilmu penge-
tahuan dalam kalam Allah al-Quran. Al-
Quran tidak hanya sebagai sumber ilmu
teologi, fikih dan muamalah. Akan tetapi
al-Quran adalah sebagai kitab kumpul-
an ilmu pengetahuan dan al-Quran telah
lama menjadi pedoman pada universi-
tas al-Azhar Mesir dan universitas-
universitas Islam di seluruh dunia me-
megang peranan penting sebagai dasar
seluruh kurikulum dan pengajaran.2
Demikian al-Quran agar menjadi obyek
pemikiran bagi manusia ayat demi ayat
untuk menggali ilmu pengetahuan dan
hikmahnya. Sebagaimana firman Allah
swt: Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatNya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran. (QS. Ṣād [38]: 29). Dengan
demikian, al-Quran sangat mendorong
manusia agar memperhatikan dan me-
mikirkan alam semesta agar mengetahui
rahasia dan hikmah serta tujuan di-
ciptakan alam semesta ini (QS. al-A‘rāf
[7]: 185).
Tulisan ini lebih lanjut akan
mengkaji konsep ilmu dalam al-Quran,
ditinjau dari sudut pandang filsafat.
Kerangka yang dipakai untuk
menganalisis tema ini adalah kerangka
pemikiran filsafat. Dalam paradigma
2Philip K. Hitti, The Arabs: A Short History,
Bandung: Sumur Bandung Bandung, 1970, h. 49.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
5
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi
dalam tiga dimensi; pertama, dimensi
epistemologis, yakni kajian filsafat dari
aspek bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut
teori ilmu pengetahuan, yaitu meto-
dologi untuk mendapatkan ilmu penge-
tahuan, atau cara mendapatkan pengeta-
huan yang benar; kedua, dimensi
ontologis, yakni cabang filsafat yang
membahas tentang objek kajian ilmu
pengetahuan, atau hakikat segala yang
menjadi kajian ilmu; dan ketiga, dimensi
aksiologis, yakni cabang filsafat yang
membahas tentang tujuan dan nilai guna
serta nilai manfaat ilmu pengetahuan.
Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan
teori nilai.3 Dan bagaimana peranan-
nya dalam membangun sains Islam di
perguruan tinggi Islam khususnya dan
di dunia Islam pada ummnya.
B. Epistemologi Al-Quran
Dalam uraian ini, epistemologi al-
Quran dibagi ke dalam tiga pokok
pembahasan yang penting. Pertama
dimentasi epistimologi ilmu pengeta-
huan menurut al-Quran yakni suatu
kajian filsafat dari aspek bagaimana
metode memperoleh ilmu pengetahuan.
Dalam kajian filsafat disebut teori ilmu
pengetahuan yaitu metodologi untuk
memperoleh ilmu pengetahuan menu-
rut al-Quran. Kedua dimensi ontologi
yakni bidang filsafat yang membahas
obyek ilmu pengetahu-an atau hakekat
segala hal yang menjadi obyek kajian
ilmu pengetahuan. Ketiga dimensi tuju-
3Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut
al-Quran, Bandung: Mizan, 1999, h. 137; Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, h. 15.
an dan nilai guna serta mamafaat dari
pada ilmu pengetahuan.4
Al-Quran telah menyampaikan
pesan-pesan tentang ilmu pengetahuan
dengan menggunakan term-term yang
bervariasi yaitu dengan kata العلم (ilmu
pengetahuan) berjumlah 844 kata de-
ngan macam bentuk kata secara
semantik misalnya العالم معلوم –علما -يعلم
-علمالعلماء العالمين dan kata deviriasi
lainnya seperti “الحكمة” (kebenaran )
dan المعرفة (ilmu pengetahuan). Untuk
lebih jelasnya term-term tersebut akan
diuraikan berikut ini :
Pertama kata Al-‘Ilm ( العلم)
Al-Quran menyampaikan kata
ilmu yang memiliki beberapa makna
yang berbeda karena perbedaan kon-
teks ayat namun makna subtansinya
sama. Ilmu berarti mengetahui sesuatu,
ada dua makna yaitu mengetahui zat
sesuatu dan mengetahui sifat sesuatu.
Dalam bahasa Arab kata ‘alima di-
sandarkan kepada satu obyek (maf’ūl)
dan yang kedua kepada dua obyek
(maf’ūlain). Ilmu ada dua macam yaitu
pertama pengetahuan teoritis (naẓari),
yaitu pengetahuan tentang sesuatu
misalnya pengetahuai tentang adanya
alam. Kedua pengetahuan praksis, yaitu
pengetahuan itu tidak sempurna kecuali
setelah mengaplikasikannya, misalnya
pengetahuan tentang ibadah.5
Di samping makna tersebut kata
ilmu dari sisi lain ada dua macam ilmu
yaitu ilmu samā’i (wahyu) atau naqli,
yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Allah seperti wah-
yu dan ilham. Kata ilmu berasal dari
4Ibid. 5al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradāt
li Alfāẓ al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kitāb al-Ghazālī, tth, h. 355.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
6
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
kata i’lam yang berarti pemberitahuan
dan ilmu aqli (penalaran ) yaitu ilmu
pengetahuan yang diperoleh melalui
proses pembelajaran secara berulang-
ulang sehingga tertanam dalam akal dan
jiwa. Kata ilmu ini beasal dari kata
ta’allum yang berarti pembelajaran.6
Dengan demikian ilmu pengetahuan
menurut al-Quran ada dua macam yaitu
ilmu pengetahuan yang diperoleh se-
cara langsung dari Allah melalui wahyu
dan ilham dan ilmu pengetahuan yang
diperoleh melalui proses pembelajaran.
Meskipun demikian kedua-duanya ber-
asal dari Yang Maha Mengetahui, Allah
swt. Karena ilmu merupakan sifat Allah
yang utama yang memilki ta’alluq atas
sesuutu yang maujud sedangkan ilmu
pengetahuan juga obyeknya segala
sesautu yang maujud.
Berikut ini di antara ayat-ayat
tentang ilmu pengetahuan dalam al-
Quran:
Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu meng-
gentarkan musuh Allah dan musuhmu
dan orang orang selain mereka yang
kamu tidak mengeta-huinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang
kamu nafkah-kan pada jalan Allah
niscaya akan dibalasi dengan cukup
ke-padamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfāl
[8]: 60).
(Ingatlah), hari di waktu Allah me-
ngumpulkan Para Rasul lalu Allah
bertanya (kepada mereka): "Apa jawaban kaummu terhadap (seru-
an)mu?". Para Rasul menjawab:
6 Philip K. Hitti, The Arabs, h.356.
"Tidak ada pengetahuan Kami (ten-
tang itu); sesungguhnya Engkaulah
yang mengetahui per-kara yang
ghaib" (QS. al-Mā’idah [5]: 109).
Sesungguhnya Allah telah memberi
karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus
diantara seorang Rasul dari golongan
mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al kitab
dan al-Ḥikmah. dan Sesungguhnya
sebelum (ke-datangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran
[3]: 164).
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan; Dia
telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah,
yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, dan meng-ajarkan
suatu yang belum di-ketahuinya (QS.
al-‘Alaq [96]: 1-5).
Kedua kata Ḥikmah (الحكمة)
Al-Quran dalam beberapa ayatnya
menggunakan kata ḥikmah, yang
berasal dari kata jadian “حكم ـ يحكم ـ حكما”
artinya “kokoh, mengikat”, dan arti
mufradatnya adalah memperoleh suatu
kebenaran dengan ilmu dan akal. Al-
Ḥikmah dari sisi Allah sebagai Al- Ḥākim
artinya Allah mengetahuai segala
sesuatu dan menciptakannya dengan
sangat kokoh, sedangkan dari sisi
manusia ḥikmah artinya “manusia
mengetahui segala yang maujud dan
dapat melakukannya kebajikan.”7 Demi-
kian makna ini sebagaimana Allah telah
7al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradāt,
h. 126.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
7
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
memberikan ḥikmah kepada Luqman
dalam firman-Nya:
Dan sesungguhya telah Kami berikan
ḥikmah kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah; dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguh-nya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur,
maka sesungguh-nya Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman [31]:
12).
Sebagai kata jadian dari ḥikmah
adalah al-ḥukmu dan al-ḥakīm, makna
al-ḥukmu lebih umum daripada ḥukmun
karena setiap ḥikmah ada hukum dan
tidak setiap hukum ada ḥikmah. Karena
hukum adalah memutuskan sesuatu atas
sesuatu yang lain. Namun kadang kata
ḥukmun berarti hikmah. Sebagaimana
firman Allah:
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka
sesorang Rasul dari ka-langan
mereka, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitāb
(al-Quran) dan al-Ḥikmah (al-Sunnah)
serta mensucikan mereka. Sesung-
guhnya Engkaulah yang Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah
[2]: 129).
Dalam ayat tersebut kata ḥikmah
berarti sunnah. Dengan demikian, Nabi
Muhammad saw menerima al-Kitāb
yakni al-Quran dan al-Ḥikmah yakni
sunnah Nabi. Keduanya merupakan
pengetahuan yang langsung dari Allah,
demikian juga para rasul sebelumnya.
Di tempat yang lainnya, al-Ḥikmah
adakalanya disebut karena menerangi
jalan dihadapan orang-orang beriman,
dan adakalanya disebut al-furqān
karena ḥikmah dapat membedakan an-
tara hak dan batil antara baik dan buruk
dan antara benar dan salah. Ini dapat
disimak dari ayat berikut:
Hai orang-orang yang beriman (ke-
pada para rasul), bertakwalah kepada
Allah dan berimanlah kepada Rasul-
Nya, niscaya Allah memberikan
rahmat-Nya kepada-mu dua bagian,
dan menjadikan untukmu cahaya
yang dengan cahaya itu kamu dapat
berjalan dan Dia mengampuni kamu.
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. al-Ḥadīd [57]:
Ketiga kata al-Ma’rifah ( المعرفة )
Berasal dari عرف يعرف عرفا معرفة
berarti mengeahui atau mengenal
,ma’rifah atau irfan berarti mengetahui
sesuatu dengan berfikir atau tadabbur
terhadap dampaknya misalnya berfikir
tentang ke mahakuasaan Allah melalui
ciptaan-Nya. Al-Ma’rifah lebih khusus
daripada ilmu kebalikannya adalah ing-
kar sedang ilmu (tahu) kebalikannya
jahlu (bodoh). Dikatakan “ia ma’rifat
kepada Allah” tidak dikatakan “ia
mengetahui Allah”. Manusia ma’rifat
kepada Allah dengan men-tadabbur
ciptaan-Nya atau firman-Nya akan
tetapi tidak mengetahui zat-Nya. 8
Menurut para filosof (filsuf)
ma’rifat adalah hasil dari interaksi hu-
bungan antara zat yang dima’rifati
dengan dengan obyeknya, berbeda de-
ngan ilmu sekiranya ma’rifat terjadi
pada satu waktu adanya hubungan
yang kuat antara keduanya. Ilmu
pengetahuan dengan ma’rifat adalah
ilmu pengetahuan tanpa perantara
antara zat dan obyeknya seperti ilham
8Ibid., h. 343.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
8
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
atau ‘irfān (pengetahuan yang langsung
dari Allah).9
Al-Quran tidak menyebutkan
secara eksplisit kata ma’rifat tetapi
menyebutkan kata kerjanya (fi‘il)
sebagaimana dalam ayat berikut:
Dan setelah datang kepada mere-ka
al-Quran dari Allah yang membenar-
kan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa
memohon (keda-tangan Nabi) untuk
men-dapat kemenangan atas orang-
orang ka-fir, maka setelah datang
kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepada-
nya. Maka laknat Allah-lah atas orang-
orang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah
[2]: 89).
Dan saudara-saudara Yusuf da-tang
(ke Mesir) lalu mereka masuk ke
(tempat)nya. Maka Yusuf me-ngenal
mereka, sedang mereka tidak kenal
(lagi) kepadanya (QS. Yūsuf [12]:
58).10
Hai anakku, dirikanlah salat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman
[31]: 17).
Dari uraian tersebut di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa ilmu penge-
tahuan dalam perspektif disebutkan
dalam tiga term yaitu: ‘ilm, ḥikmah, dan
9Jamīl Ṣalibā, Mu’jam al-Falsafī, Beirut:
Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979, h 186. 10Menurut sejarah ketika terjadi musim
paceklik di Mesir dan sekitarnya, Maka atas anjuran Ya'qub, saudara-saudara Yusuf datang dari Kanaan ke Mesir menghadap pembesar-pembesar Mesir untuk meminta bantuan bahan makanan.
ma’rifah. Ketiga macam term tersebut
menurut konteksnya menunjukkan tiga
macam model ilmu pengetahuan;
pertama, ḥikmah adalah ilmu penge-
tahuan yang langsung Allah anugerah-
kan kepada hamba pilihan-Nya seperti
para nabi dan rasul serta orang-orang
saleh yang mendapat ilham dari Allah.
Kedua, ma’rifah adalah ilmu pengeta-
huan yang diperoleh melalui tadabbur
dan tafakkur terhadap aya-ayat ciptaan
Allah dan firman-Nya. Ketiga, ‘ilm
adalah ilmu pengetahuan yang di-
peroleh melalui proses pembelajaran
atau ilmu pengetahuan kasb (hasil
usaha). Ketiga macam ilmu pengetahuan
tersebut pada hakekatnya adalah suatu
kesatuan karena berasal dari Allah.
Inilah yang merupakan faktor ontologi
ilmu pengetahuan menurut al-Quran.
Selanjutnya akan di uraikan faktor
metodologi memperoleh ilmu pengeta-
huan.
C. Metode Memperoleh Ilmu Penge-
tahuan
Setiap manusia yang dilahirkan ke
dunia ini, Allah telah memberikan
potensi dalam diri manusia untuk dapat
memperoleh ilmu pengetahuan. Walau-
pun secara sunnatullah ketika lahir
manusia tidak mengetahui apa-apa,
namun kemudian Allah memberinya
indera pendengaran, penglihatan dan
akal. Dengan anugerah Allah ini
manusia berpotensi memiliki dan
mengembang-kan ilmu pengetahuan
apabila ia dapat mengaktualisasikan
anugerah Allah tersebut. Ini dijelaskan
oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya di
bawah ini:
dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
9
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
memberi kamu pendengaran, peng-
lihatan dan hati, agar kamu ber-
syukur. (QS. al-Naḥl [16]: 78).
Dari sini pentingnya peran
pendidikan dan pengajaran bagi setiap
anak yang dilahirkan untuk me-
ngembangkan potensi asal yang di-
milikinya. Allah telah memberikan akal
kepada manusia sebagaimana memberi-
kan untuk membedakan antara yang
baik dan yang buruk. Karenanya,
pendidikan berperan untuk mengarah-
kan manusia ke jalan yang baik dan
benar dan mengembangkan ilmu pe-
ngetahuannya.11
Al-Quran al-Karim telah memberi-
kan petunjuk untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dengan metode ilmiah
dan praktis, bukan berdasarkan teori
perdebatan dan berdasarkan asumsi
yang bertentangan dengan akal sehat.
Metode praksis memperoleh ilmu
pengetahuan berdasarkan kepada dua
metode. Pertama, metode simā’i, yakni
kita mengambil manfaat hasil penelitian
orang lain baik mereka para peneliti
dahulu atau mereka semasa dengan
kita yang kemudian memanfaatkan
hasil penelitian mereka. Metode ini
tersyirat dalam firman Allah:
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringat-an
bagi orang-orang yang mempu-nyai
akal atau yang me-nggunakan
pendengarannya, se-dang Dia
menyaksikan-nya. (QS. Qāf [50]: 37).
Dengan landasan ini hendaknya
setiap generasi mengajarkan kepada
generasi berikutnya ilmu pengetahuan
yang mereka peroleh dari generasi
sebelumnya atau hendaknya orang-
11Fadil Muhannad al-Jamali, Konsep
Pendidikan Qurani, terj. Judi al-Falasani, Solo: Ramadani, tth, h 100.
orang berilmu mengajarkan kepada
yang tidak berilmu, dengan demikian
terdapat kemajuan ilmu pengetahuan
ke jalan peningkatan dan kesempurna-
an. Karena itu, tidak ada jaminan
kemajuan ilmu pengetahuan jika tidak
menekankan beberapa hal sebagai
berikut:12
Pertama, hendaknya orang
berilmu tidak menutupi ilmu penge-
tahuan yang telah diperolehnya. Karena
ilmu pengetahuan ini bukan miliknya
sendiri karena ilmu pengetahuan itu
adalah petunjuk dan anugerah Allah.
Hadis Nabi menegaskan bahwa orang
berilmu apabila ditanya tentang ilmunya
kemudian ia menutupi maka ia diancam
siksaan belenggu dalam neraka pada
hari kiamat, dan Allahpun sesungguhnya
sudah mengintakan hal ini.
Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa kete-rangan-
keterangan (yang jelas) dan petunjuk,
setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam al-Kitāb,
mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati (pula) oleh semua (mahluk)
yang dapat melaknati, kecuali mereka
yang telah taubat dan mengadakan
perbaikan dan menerangkan (ke-
benaran), Maka terhadap mereka
Itulah aku menerima taubatnya dan
Akulah yang Maha menerima taubat
lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah
[2]: 160).
Kedua, ilmu pengetahuan adalah
amanah maka hendaknya menyampai-
kan ilmu pengetahuan dengan jelas
tidak terkontaminasi dan tidak meng-
12Ali Abd ‘Aẓīm, al-Ma’rifah fī al-Qur’ān,
Cairo: Maṭba’ah Amiriyah, 1973, h. 24.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
10
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
ubah dan tidak mengurangi, sebagai-
mana firman Allah:
Dan janganlah kamu campur adukkan
yang hak dengan yang batil dan
janganlah kamu sembu-nyikan yang
hak itu, sedang kamu mengetahui.
(QS. al-Baqarah [2]: 42).
Ketiga, ilmu pengetahuan adalah
milik kemanusiaan secara kolektif. Allah
tidak mengutus beberapa rasul kecuali
mereka mengajarkan dan membimbing
umat baik dengan wahyu yang di-
terimanya maupun dengan keteladanan
yang baik, mereka tidak menuntut upah
karena menentukan syarat upah dalam
pengajaran adalah bertentangan de-
ngan prinsip Islam sebagaimana firman
Allah:
Ikutilah orang yang tiada minta balas-
an kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang men-dapat
petunjuk. (QS. Yā Sīn [36]: 21).
Keempat, tidak menyia-nyiakan
waktu untuk berdebat baik dari pihak
pengajar maupun para peserta didik,
sebagaimana firman Allah:
Dan jika mereka membantah kamu,
maka katakanlah: "Allah lebih menge-
tahui tentang apa yang kamu kerja-
kan". (QS. al-Ḥajj [22]: 68).
Kelima, menerima suatu kebenar-
an yang didasarkan pada argumen yang
kuat. Al-Quran mencela orang-orang
yang menolak kebenaran tanpa alasan,
sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya Setiap kali aku
menyeru mereka (kepada iman) agar
Engkau mengampuni mereka, mereka
me-masukkan anak jari mereka ke
dalam telinganya dan menutupkan
bajunya (kemukanya) dan mereka
tetap (mengingkari) dan menyo-
mbongkan diri dengan sangat. (QS.
Nūḥ [71]: 7).
Keenam, menerima sesuatu yang
bermanfaat dan meninggalkan pemba-
hasan yang berkepanjangan tanpa dasar
yang kuat.
Dan orang-orang yang menjauh-kan
diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna. (QS. al-Mu’minūn
[23]: 3).
Ketujuh, menyeleksi ilmu penge-
tahuan yang membawa kemaslahatan
bagi peradaban manusia.
Dan orang-orang yang menjauhi
Ṭaghūt (yaitu) tidak menyembah-nya
dan kembali kepada Allah, bagi
mereka berita gembira; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang men-
dengarkan perkataan lalu mengi-kuti
apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai
akal. (QS. al-Zumar [39]: 17-18).
Kedelapan, teliti dan cermat dalam
menerima ilmu pengetahuan yang
sampai kepada kita, dan keharusan
bertanya kepada orang-orang berilmu
apabila tidak mengetahuinya.
Kami tiada mengutus rasul-rasul
sebelum kamu (Muhammad),
melainkan beberapa orang laki-laki
yang Kami beri wahyu kepada
mereka, maka tanyakanlah olehmu
kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tidak mengetahui. (QS. al-
Anbiyā [21]: 7).
Kedua, metode tajribī. Melakukan
penelitian dan eksperimen yang di-
dasarkan kepada pemikiran yang logis.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
11
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
al-Quran telah memberikan petunjuk
bagaimana melakukan pemikiran
dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1) Hendaknya kita membebaskan
pikiran dari asumsi-asumsi dan
tradisi yang membelunggu pikiran
kita dari para nenek moyang dan
lingkungan di mana kita hidup sejak
masa kanak-kanak. Dengan demikian
kita dapat berpikir dengan bebas. Dan
hendaknya meragukan sesuatu infor-
masi yang datang sebelum melaku-
kan klarifikasi sampai kita meyakini
kebenarannya.
2) Hendaknya kita menggunakan indera
dan akal sekaligus dalam melakukan
penelitian baik bersifat empirik
maupun non-empirik. Karena ke-
duanya saling melengkapi. Keduanya
tidak dapat dipisahkan atau berbeda
dengan para filosuf aliran empi-
risme dan rasioalisme yang membe-
dakan antara indera dan akal. Ini
merujuk firman Allah:
Sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi neraka Jahannam) kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak diperguna-kannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Me-
reka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang
lalai. (QS. al-A‘rāf [7]: 179).
3) Allah mengingatkan kepada
manusia bahwa dalam diri manusia
terdapat anugerah Allah yang rahasia
selain indera dan akal anugerah ini
disebut al-Ḥikmah, yaitu sebagai-
mana diungkapkan oleh ahli sufi de-
ngan ‘hati nurani’ dan oleh para
filosuf disebut al-hadas (indera
keenam), yakni kemampuan menge-
tahui sesuatu yang tidak terjangkau
oleh indera dan akal secara bersama-
sama apa dibalik yang diketahui dan
apa dibalik kenyataan yang dapat
diindera. Allah telah memberikan
anugerah ini kepada hamba-hamba-
Nya yang dikehendaki.13 Allah
berfirman:
Allah menganugerahkan al-Ḥikmah
(kepahaman yang dalam tentang al-
Qurandan al-Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya; dan barang-
siapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak; dan hanya
orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah). (QS. al-Baqarah [2]:
269).
Sesungguhnya telah Kami beri-kan
hikmah kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah, dan
barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyu-
kur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji". (QS.
Luqman [31]: 12).
Demikianlah metode memper-
oleh ilmu pengetahuan dan tahapan-
nya yang dideskripsikan al-Quran
dalam ayat–ayatnya dengan jelas be-
berapa abad sebelum para filosof mene-
mukannya. Al-Quran menegaskan bah-
wa metode memperoleh ilmu penge-
13Ali Abd ‘Aẓīm, al-Ma’rifah, h 35.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
12
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
tahuan dengan mengaktualisasikan anu-
gerah Allah kepada manusia berupa
indera dan akal. Di samping yang itu
ada anugerah Allah yang amat isti-
mewa yaitu anugrah hikmah atau
cahaya ilahi atau ‘irfān yang Allah
berikan kepada hamba-Nya yang
dikehendaki.
D. Membangun sains islam
Ilmu pengetahuan Islam (Islamic
science) hendaknya dibangun di atas
fondasi pemikiran theolologis atas
dasar kesatuan ilmu pengetahuan bah-
wa ilmu pengetahuan berkembang di
atas dasar dua ayat, yaitu ayat al-
Matluwah (al-Quran) dan ayat al-Majlu-
wah (alam semesta). Kedua ayat itu
adalah kalam Allah yang saling ber-
kaitan satu dengan lainnya dan me-
rupakan sumber ilmu pengeahuan yang
tak terbatas. Apabila tidak demikian
maka tidak akan terjadi paradigma
kesatuan ilmu pengetahuan dalam Is-
lam dan selamanya akan terjadi dikho-
tomi ilmu pengetahuan antara ilmu pe-
ngetahuan agama yang ber-dasarkan al-
Quran dan al-Sunnah dan ilmu pengeta-
huan umum yang berdasarkan pada
hasil kerja empirik intelektual para
ilmuwan setelah melakukan obsevasi,
penelitian, eksperimen terhadap feno-
mena alam semesta. Padahal keduanya
baik ilmu pengetahuan agama atau ilmu
pengetahuan empirik bersumber dari
kalām Allah, yaitu ayat al-Matluwah
dan ayat al-Majluwah.
Al-Quran menekankan pentingnya
ilmu pengetahuan bagi siapa pun. Ia
merupakan bagian dari milik manusia
secara kolektf. Dibedakannya Adam
dengan para malaikat dan diperintah-
kannya mereka bersujud kepadanya
tidak lain karena Adam mempuyai kele-
bihan dan kemampuan belajar dan
memperoleh ilmu pengetahuan yang
diajarkan kepadanya. Maka dengan ilmu
pengetahuan Adam lebih tinggi dan
lebih mulia daripada para malaikat dan
jadi khalifah di muka bumi ini. Hal ini
mengandung makna bahwa Allah
memberikan apresiasi dan derajat yang
tinggi terhadap para ilmuwan.
Al-Quran memberikan sebutan
atau gelar “اوتواااعلم” (berilmu penge-
tahuan), العلما ء (para ilmuwan ), بصارا
orang memiliki mata hati atau) االوليا
nurani), اولي اللباب (berakal) dan lain
lain. Ini menegaskan kedudukan dan
penghargaan Allah bagi mereka yang
memiliki ilmu pengetahuan dan meng-
abdikan ilmunya untuk agama, nusa dan
bangsanya. Di antra ayat-ayat al-Quran
tentang kedudukan para ilmuwan se-
bagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam maj-lis", maka
lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
maka berdiri-lah, niscaya Allah akan
meninggi-kan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha
menge-tahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Mujādilah [58]: 11).
Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada
yang bermacam-macam warnanya
(dan jenisnya). Sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ula-ma.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun. (QS. Fāṭir [35]:
28).
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
13
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-
Quran) kepada kamu, di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muḥ-
kamāt, itulah pokok-pokok isi al-
Quran dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyābihāt. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang
mutasyābihāt daripadanya untuk me-
nimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wil-nya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya)
melain-kan orang-orang yang berakal.
(QS. Ali Imran [3]: 7).
Ayat yang muḥkamāt ialah ayat-
ayat yang terang dan tegas maksudnya,
dapat dipahami dengan mudah. Ter-
masuk dalam pengertian ayat-ayat
mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan
tidak dapat ditentukan arti mana yang
dimaksud kecuali sesudah diselidiki
secara mendalam; atau ayat-ayat yang
pengertiannya hanya Allah yang menge-
tahui seperti ayat-ayat yang berhubu-
ngan dengan yang ghaib-ghaib misalnya
ayat-ayat yang mengenai hari kiamat,
surga, neraka dan lain-lain.
Sesungguhnya telah ada tanda bagi
kamu pada dua golongan yang telah
bertemu (bertempur). Sego-longan
berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang
dengan mata kepala melihat (seakan-
akan) orang-orang muslimin dua kali
jumlah mereka. Allah menguatkan
dengan bantuan-Nya siapa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai
mata hati. (QS. Ali Imran [3]: 137).
Makanlah dan gembalakanlah bina-
tang-binatangmu. Sesungguhnya pada
yang demikian itu, terda-pat tanda-
tanda kekuasaan Allah bagi orang-
orang yang berakal. (QS. Ṭā Hā [20]:
54).
Itulah beberapa ayat al-Quran
yang menunjukkan betapa tinggi kedu-
dukan orang-orang berilmu atau para
ilmuwan dan kenyataannya al-Quran
itu merupakan kitab ilmu pengetahuan
juga.
Apabila kita memperhatikan ayat-
ayat al-Quran yang berkaitan dengan
ilmu pengetahuan dan ditambahkan de-
ngan keterangan-keterangan dari hadis
Nabi, maka kita merasakan bahwa se-
olah-olah tujuan hidup kita yang utama
adalah menambah ilmu penge-tahuan.14
Dengan demikian, membangun sains
Islam hendaknya berlandaskan kepada
al-Quran sebagai pa-radigma kesatuan
ilmu pengetahuan. Sebab, al-Quran
sebagai firman Allah (kalām Allāh) se-
bagai sifat utama Allah, sebagai sum-
ber segala ilmu pengetahuan manusia
dan ayat al-Majluwah, yakni alam
semesta yang merupakan ciptaan Allah
dan sumber ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan sebagai
sarana mengenal Allah dan ketakwaan
kepada-Nya. Dengan kata lain, semakin
bertambah ilmu pengetahuan maka
akan semakin beriman dan bertakwa
kepada Allah.15
14Hamid Hasan Bilgram dan Ali Asyraf,
Konsep Universitas Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989, h. 8.
15Ibid.
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
14
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Materi ilmu pengetahuan yang di-
perintahkan al-Quran untuk dicari dan
pelajari mencakup seluruh alam dan
seluruh kehidupan. Hal itu pertama kali
untuk mengenal dan beriman kepada
Allah (tauhid), kemudian yang kedua
untuk mengetahui dan menggali harta
kekayaan alam semesta dan mengguna-
kannya sebagai sarana untuk mencapai
kebaikan dan kesejahteraan umat manu-
sia. Tidak ada sesuatu apa pun yang ada
di dunia ini yang tidak diperintahkan
oleh al-Quran untuk dipelajari dan
dipikirkan baik segi material maupun
spiritual.
Dengan mempelajari dan mema-
hami al-Quran secara mendalam kita
akan mengetahui betapa al-Quran mene-
kankan pentingnya mempelajari agama
(dīn), sejarah, dan peninggalan umat
terdahulu, ilmu falak, geografi, psiko-
logi, ilmu kedokteran, ilmu per-tanian,
ilmu biologi, ilmu matematika, ilmu
sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu bahasa
arab dan sastraya, dan lain-lain. Yang
dapat menjamin kehidupan dan kese-
jahteraan ummat manusia serta meni-
nggikan derajatnya.
Al-Quran sering memerintahkan
kepada kita agar memperhatikan dan
mengamati fenomena yang terjadi di
alam semesta ini, awan mengakibatkan
turun hujan, hujan menumbuhkan tum-
buh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan atau
tanaman memberi makan kepada bina-
tang dan manusia, dan manusia meman-
faatkan berbagai macam ciptaan Allah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, ia harus dan wajib
mengetahui hubungan semua itu kepa-
da Allah Yang Maha Menciptakan dan
memelihara alam semesta ini.
Al-Quran juga memerintahkan ke-
pada supaya melakukan ekspedisi, me-
nyelidiki dan memperhatikan serta
memikirkan segala ciptaan Allah. Al-
Quran tidak meletakan batas dan apalagi
penghalang bagi ilmu pengetahuan.
Meskipun al-Quran bukan kitab ilmu
pengetahuan alam atau ilmu pengeta-
huan sosial melainkan kitab petunjuk
(guide book), namun al-Quran meme-
rintahkan kepada kita untuk mempe-
lajari segala macam ilmu pengetahuan.
Adapun ayat-ayat yang memberi-
kan isyarat terhadap berbagai macam
ilmu pengetahuan: (1) ilmu agama (QS.
al-Taubah [9]: 122), (2) ilmu psikologi
(QS. Fuṣṣilat [41]: 53), (3) ilmu sejarah
dan arkeologi (QS. Muḥammad [47]: 10),
(4) biologi, pertanian, dan embriologi
(QS. al-Ḥajj [22]: 5), (5) ilmu botani dan
kelautan (QS. Fāṭir [35]: 12), (6) ilmu
astronomi (QS. Yā Sīn [36]: 37-40), (7)
ilmu matematika dan eksakta (QS. al-
Jinn [72]: 28), (8) ilmu fisika dan kimia
(QS. al-Ḥadīd [57]: 25), (9) ilmu geografi
(QS. al-Żāriyat [51]: 20-21), (10) ilmu
geologi QS. Fāṭir [35]: 27), dan (11)
kosmologi dan antropologi (QS. al-Naḥl
[16]: 3-17). Masih banyak ayat yang
memberikan isyarat terhadap ilmu
pengetahuan. Ini menunjukkan dan
sekaligus mendorong kita untuk
menggali isyarat ilmu pengetahuan
dalam al-Quran tersebut untuk
melakukan penelitian demi kemanusia-
an dan peradaban, dan tentunya
semakin dekat kepada Allah, Sang
Pemilik Ilmu Pengetahuan.
E. Kesimpulan
Epistimologi al-Quran sebagai
sumber ilmu pngetahuan yang
berlandasan bahwa Allah telah menu-
runkan dua ayat yaitu ayat Matluwah
Iing Misbahuddin: Epistemologi al-Quran Dalam Membangun Sains Islam
15
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
(al-Quran) dan ayat al-Majluwah (alam
semesta) dengan segala fenomenanya.
Keduanya merupakan sumber infor-
masi dan sarana observasi dan eksperi-
men ilmu pengetahuan. Keduanya
adalah kalām Allah yang tidak terbatas.
Karena itu, epistemologi al-Quran dari
aspek ontologi, metodo-logi dan aksio-
logi menunjukkan kesatuan ilmu penge-
tahuan. Dengan demikian tidak ada lagi
dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum.
Kesatuan ilmu pengetahuan yang
berlandaskan kepada ayat tersebut
pada akhirya akan menciptakan ilmu
pengetahuan yang berlandaskan
keesaan Allah (tauhid). Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan hendaknya di-
jadikan sarana mengenal Allah dan me-
ningkatkan keimanaan dan ketakwaan
ke-pada-Nya. Apabila sudah demikian,
maka ilmu pengetahuan akan mewu-
judkan kemudahan, kebaikan dan ke-
sejahteraan umat manusia di muka ini.
Kesatuan ilmu pengetahuan dalam
Islam tidak akan dapat dibangun kecuali
dengan landasan pada ayat al- Matluwah
dan ayat al-Majluwah sehingga apa pun
disiplin ilmu hendaknya dilandasi oleh
epistemologi al-Quran dalam aspek
ontologi, metodologi dan aksiologinya.
Jika tidak demikan akan melahirkan
ilmu pengetahuan sekuler bahkan
sampai atheis, ilmu pengeta-huan yang
tidak bertuhan yang akan membawa
kerusakan dan kebinasaan umat
manusia di muka bumi ini. []
DAFTAR PUSTAKA
‘Aẓīm, Ali Abd, al-Ma’rifah fī al-Qur’ān,
Cairo: Maṭba’ah Amiriyah, 1973.
Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradāt li
Alfāẓ al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kitāb
al-Ghazālī, tth.
Bilgram, Hamid Hasan, dan Ali Asyraf,
Konsep Universitas Islam, Yogya-
karta: Tiara Wacana, 1989.
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut
al-Quran, Bandung: Mizan, 1999.
Hitti, Philip K., The Arabs: A Short
History, Bandung: Sumur, 1970.
Jamali, Fadil Muhannad, Konsep Pen-
didikan Qurani, terj. Judi al-
Falasani, Solo: Ramadani, tth.
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme
Dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1980.
Ṣabūnī, Muḥammad ‘Ali, al-Tibyān fī
‘Ulūm al-Qur’ān, Damaskus: Mak-
tabah ‘Arabiyah, 1990.
Ṣalibā, Jamīl, Mu’jam al-Falsafī, Beirut:
Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
30
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
ISLAM: MEMBENTUK SAINS DAN TEKNOLOGI
Danusiri
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Jl. Prof. Dr. Hamka Km 1, Ngaliyan-Semarang
e-mail: [email protected]
Abstract: The establishment of science-technology Islam originated from
the transcendental consciousness that God acts directly provide
instruction to people in his capacity as al-'Alim and al-Mu'allim al-Nās
with inspiration pattern into intuition or follow the instructions of the
Quran on the basis of faith in the verses relating to science-technology.
God teaching techniques outlined by humans with the conceptualization,
theorization, saintifikasi, and technologization the verses of Allah either
paragraph quraniyyah and kauniyyah. Starting point is the establishment
of science-technology read. Results of reading will get something, a
concept, or a variable. Thus, the more the reading of a Muslim will
increasingly have something, concepts or variables. If the reader can find
the basic relationship of two or more things, concepts, variables, then he
can find one unit theory. Segususan systematic theory will result in one
branch of science. Human intellectual activity that knows no stopping,
then starting from only one branch of science will continue to be found
various kinds of science. The next route, childbirth science technology.
And, science-technology school of Islam embraced the benefits of
technology for the service in order to obtain marḍatillah.
Abstrak: Rute pembentukan sains-teknologi Islam berawal dari
kesadaran transendental bahwa Allah berperan langsung memberikan
pengajaran kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai al-‘Alim dan al-
Mu’allim al-nās dengan pola pengilhaman ke dalam intuisi atau
mengikuti petunjuk al-Quran atas dasar iman dalam ayat-ayat yang
berkaitan dengan sains-teknologi. Teknik pengajaran Allah dijabarkan
oleh manusia dengan jalan konseptualisasi, teorisasi, saintifikasi, dan
teknologisasi terhadap ayat-ayat Allah baik ayat quraniyyah maupun
kauniyyah. Dan, sains-teknologi Islam menganut mazhab manfaat
teknologi untuk ibadah dalam rangka memperoleh marḍatillah.
Keywords: konsep, teori, sains, teknologi, marḍatillah.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
31
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
A. Pendahuluan Al-Quran sebagai sesuatu yang
benar berkategori mutlak, tanpa tawar,
dan tidak ada keraguan bagi setiap
orang Islam atas dasar iman, meminjam
istilah Amin Abdullah taken for granted.
Dengan demikian, kebenaran Al-Quran
tidak perlu diuji, meminjam istilah dari
Karl R. Poper, untestable trust.1 Kitab
suci ini mendeklarasikan bahwa dirinya
menjelaskan segala sesuatu.2
Bersamaan dengan itu, ia juga
menyatakan tidak ada sesuatupun di
alam semesta ini yang dialpakan atau
terbiarkan berlalu begitu saja3, melain-
kan tetap diurus oleh kitab suci ini.
Praksis keurusannya tidak ada yang sia-
sia, dalam arti bermanfaat bagi kehi-
dupan manusia.4 Sehubungan dengan
ini, Gibb mengatakan “Islam is more a
system of theology. It’s a complete
civilization”5 Senada dengan Gibb,
ungkapan berikut menyebutkan bahwa
“Istilah ‘Islam’ dapat digunakan dalam
tiga pengertian: awalnya merupakan
sebuah agama (identik dengan teologi
dalam terminologi sains barat),
kemudian menjadi negara dan akhirnya
budaya”6
1Muslim A.Kadir, Ilmu Islam Terapan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. h. 5,10 2Qs. An-Nahl/16]: 89. Disebutkan dalam
ayat ini “wa nazzalnā ‘alaikal kitāba tibyānan luklli syai’”
3Qs. Al-An’am /6:38. Disebutkan dalam ayat ini”Ma farraṭnā fi al-kitabi min syai’”
4Qs. Ali Imran/3: 191. Disebutkan dalam ayat ini “ma khalaqta haża baṭilā”
5H.A.R. Gibb, Whither Islam? A Survey of Modern Movement in the Moslem Warld. London:Victor Golanz Ltd, 1932, h.12.
6Phillip K Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002, h.181. Konsekuensi logis pernyataan Hitti ini adalah, apa yang disebut negara maupun budaya tidak terlepas dari pangkuan Islam. Praksisnya, negara terjadi karena Islam, demikian juga budaya.
Bagian dari ‘segala sesuatu’ adalah
pembentukan sains dan teknologi
termasuk bentuk jadinya. Segera
dihipotesiskan bahwa sosok sains dan
teknologi yang bersumber dari kitab
suci ini pasti berbeda dari sains dan
teknologi barat yang berwatak seku-
larisme dan sekaligus ateisme. Secara
eksplisit, paradigma sains dan teknologi
barat seperti tampak pada aliran:
positivisme, positivisme logis, empiris-
me, realisme, esensialisme, dan objekti-
visme memang menyatakan nilai sains
adalah untuk sains itu sendiri “science
for the science”, terbebas dari keper-
cayaan dan nilai-nilai, termasuk nilai
keagamaan.7 Lebih parah lagi, sains dan
teknologi barat, sebagaimana tam-pak
pada aliran hedonisme, selalu terkait
dengan bisnis kesenangan lahiriah8.
Pada kesempatan ini dijelaskan bagai-
mana Islam membentuk sains-teknologi.
B. Rute Pembentukan Sains-Tekno-
logi
Al-Quran Sebagai Sumber Petunjuk
Bagi seorang beriman kepada kitab
suci Al-Quran, pasti beriman pula bahwa
kitab suci ini merupakan sumber
petunjuk yang tidak ada keraguan di
dalamnya.9 Terma petunjuk dalam kitab
suci ini secara praktis menggunakan
kata ‘huda’ dan berbagai derivasinya,
seperti: hada, ahda, tahdu, tahdi, yahdi,
yahdāna, tahtadāna, ihtada, hādin, huda,
muhtadān, dan muhtadīn. Keseluruhan
terma ini disebut dalam Al-Quran
terulang hingga tidak kurang dari 318
kali. Jadi sangat meyakinkan bahwa
7Hamdani, Filsafat Sains Bandung:
Pustaka Setia, 2011, h.153. 8 Ibid., h. 162. 9 QS. al-Baqarah/2:2.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
32
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
kitab suci ini menyatakan dirinya
sebagai sumber petunjuk. Jika seorang
beriman mengikuti petunjuknya akan
memperoleh keberuntungan, sebaliknya
jika menolaknya justru akan sesat dan
memperoleh kerugian,10 termasuk
dalam pengembangan sains-teknologi.
Barat, dalam mengembangkan sains-
teknologi tanpa penerangan petunjuk
Al-Quran, ternyata gagal memposisikan
manusia sebagai pemakmur bumi.
Aneka krisis kemanusiaan seperti pola
hidup serumah tanpa nikah, revolusi
seksualisme, apharteitisme, perlombaan
senjata pemusnah massal, dan masih
banyak lagi kalau mau disebut, adalah
dampak sains-tekionogi barat yang
sekularistik-positivistik-ateistik. Oleh
karena itu, pengembangan sains-
teknologi yang berbasis Al-Quran harus
tidak dipandang subjektifistik bagi umat
Islam, melainkan dipandang secara
objektif bagi pemulihan martabat
manusia dari dampak negatif sains-
teknologi barat. Penerangan Al-Quran
dalam membentuk sains-teknologi sejak
pembentukan konsep hingga dimensi
aksiologi.
Konseptualisasi (Taṣawwur)
Konsep disebut juga tashawwur
adalah gambaran tentang realitas yang
ada dalam pikiran11, contohnya adalah
konsep tentang ‘sapi’. Dalam contoh ini
pikiran menggambarkan tentang
kenyataan ‘sapi’, dan ini korespon
dengan ‘sapi’ dalam realitas di luar
pikiran. Konsep tentang’sapi’ dalam
pikiran terjadi setelah pemilik pikiran
mengobyektifasi ‘sapi’ dalam realitas di
10 QS. al-A’raf/7:178. 11Murtadla Muthahari, Pengantar Menuju
Logika, terj. Ibrahim Husein al-Habsyi, Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1994, h. 27-28.
luar pikirannya. Pikiran yang di
dalamnya memiliki taṣawwur tentang
‘sapi’ menjelma menjadi pengetahuan
(knowledge) baginya.12 Artinya, sebelum
mengobyektifasi pikiran berada dalam
kondisi jahl (ketidaktahuan)13 tentang
sapi.
Dalam paham al-Quran, asal-usul
tashawwur bukan semata-mata persepsi
indrawi, rasio, atau intuisi sebagaimana
paham filsafat ilmu barat, melainkan
langsung dari Allah,14 baik melalui
ilham-Nya kepada yang Dia kehendaki15,
manusia dan non manusia–umpama
kepada lebah16-maupun melalui saluran
petunjuknya secara umum, yaitu Al-
Quran sebagai kodifikasi kalam-Nya.
Secara eksplisit Allah mengajarkan
kepada Adam–dan keturunanya–semua
konsep tentang segala yang ada, dan
yang mungkin ada.17 Ayat pertama al-
Quran yang diterima Rasulullah adalah
perintah untuk membaca, Iqra’
bismirabbika-llażī khalaq.18
Kandungan Term Qara’a
Keseluruhan Al-Quran yang turun
dari hadirat Allah ke bumi diterima oleh
Rasulullah secara berangsur-angsur
tercatat selama 22 tahun, dua bulan 22
hari dimulai pada malam 17 Ramadan
12Jenis pengetahuan semacam ini disebut
a posteriori karena terjadi setelah yang bersangkutan mengalaminya. Surajio, Filsafat Ilmu Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h.28.
13Muthahari, Pengantar. 14Dalam hal ini, Allah memiliki kapasitas
al-‘Alim terhadap segala sesuatu QS. Al-Baqarah/2:29 dan al-Mu’allim an-nās QS. al-‘Alaq/96:5.
15Semua manusia dilhami oleh Allah yang berupa semacam potensi untuk berbuat baik atau buruk. Lihat QS. al-Syams/91:8.
16 QS. an-Naḥl/16:68. 17 QS. al-Baqarah/2:31. 18M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran
Bandung: Mizan, 2007, h. 5
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
33
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
tahun 41 dari kelahiran Nabi dan
berakhir tanggal 9 zulhijjah tahun ke 63
usia beliau atau tahun 10 H.19
Kandungan ayatnya mencakup segala
aspek kehidupan.20 Karena turun secara
berangsur-angsur itu, maka wajar kalau
sesuatu masalah bisa turun berulangkali
menggunakan term yang berlainan
tetapi bermakna sama karena tuntutan
pemecahan problem yang mengemuka
di tengah-tengah masyarakat Rasulullah
pada waktu itu.21 umpama: kata al-ḥars{
sinonim dengan kata az-zira’ah yang
masing-masingnya di sebut hinnga 14
kali, kata al-Qur’ān sinonim dengan kata
al-waḥyu dan al-Islām dan masing-
masingnya disebut 70 kali, dan kata al-
jahr sinonim dengan kata al-‘alaniyyah
yang masing-masingnya disebut 16 kali.
Maka wajar kalau term qara’a yang
secara praksis diterjemahkan ‘membaca’
dalam bahasa Indonesia, dan term ini
menjadi komrehensi (mafhum) yang
denotasinya (ma ṣadaq) cukup banyak,
antara lain:
a. Tala dan berbagai derivasinya
seperti yatlu, utlu, yatlāna, yutla,
dan tilāwah22 dan disebut hingga
63 kali.
b. Naḍara23 dan berbagai derivasi-
nya, seperti: yanḍuru, yanḍurān,
19Hudhari Bik, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami
terj. Mohammad Zuhri /t.t], Rajamurah al-Qana’ah, 1980, h. 5-6.
20QS. al-Nahl/16:89; al-An’am/6:38. 21M. Quraish Shihab, Membumikan Al-
Qur’an, Bandung: Mizan, 2009, h. 41. 22Ahmad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfazh al-Qur’ān al-Karīm Indonesia: Maktabah Dahlan, /t.th], hh. 197-198
23Kata ini terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘nalar’ yang secara praksis adalah kegiatan berpikir untuk mencarai jawab sesuatu masalah. Dalam dunia akademis, naḍar menjadi penelitian.
yundarān, undur dan disebut
hingga 127 kali24
c. Fakara dan berbagai derivasinya,
seperti: yatafakkarān, tatafak-
karā, tatafakkarān, dan tafakkarā
terulang hingga 18 kali25
d. Fafahamna26 yang berakar dari
term fahima yang berarti mema-
hamkan, adalah stimulus aktifitas
berfikir untuk memperoleh se-
suatu konsep atau sesuatu.
e. Term: tafqahān, nafqahu, yaf-
qahu, yafqahān, dan yatafaq-qahā
yang berakar dari term faqiha
terulang hingga 23 kali.27
Masih terdapat term lain yang
esensinya terkait dengan kegiatan rasio
untuk mempersepsi, mengkognisi, dan
mengkonseptualisasi seperti: term
‘alima dan berbagai derivasi-nya, ulul al-
abṣār, ulu al-albāb, ulu al-nuha, al-‘ibrah,
dan, berbagai term yang berakar pada
term ‘aqala dan dabbara.
Aktualisasi Qara’a
Terminal terakhir dalam beragama
adalah perbuatan konkrit, baik dalam
level perasaan seperti bergembira
ketika mengetahui informasi dari
sejumlah ayat Al-Quran tentang betapa
nikmatnya hidup di surga, level
kepercayaan seperti memper-cayai
adanya balasan azab di akhirat kelak
sehingga takut untuk berbuat maksiat,
level pemikiran seperti berijtihad
terhadap sesuatu masalah hukum,
maupun level indrawi seperti melak-
sanakan salat lima kali dalam sehari
semalam28 dan kegiatan membaca atas
24 ‘Abd al-Baqi’, op cit., h. 876-877 25Ibid.,h. 666-667. 26 QS. al-Anbiyā’/21:79. 27 ‘Abd al-Baqi’, loc cit. 28Beragama mencakup tiga terminal,
pertama keyakinan dalam hati, kedua
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
34
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
dasar iman terhadap perintah membaca,
yaitu ‘iqra’bismi rabbika-llażī khalaq.
Dengan demikian, membaca atas dasar
model pema-haman ini merupakan
perwu-judan iman itu sendiri.
Ketika seseorang melaksanakan
perintah membaca, apakah ayat
Quraniyyah atau kauniyyah29 pasti
memperoleh sesuatu, pengetahuan
(knowledge/tashdiq), atau konsep
(tashawwur), atau variabel, termasuk
ketika sang pembaca itu mengatakan
“Aku tidak paham terhadap apa yang
baru saja aku baca dengan serius”.
Ketidaktahuannya itu adalah penge-
tahuan yang baru saja ia peroleh dari
kegiatan membaca. Sebelum memba-ca,
pasti ia dalam keadaan jahl (ketidak-
tahuan) terhadap denotasi (ma shadaq)
‘ketidaktahuan setelah membaca’.
Dari kegiatan membaca dapat
dihipotesiskan “semakin banyak mem-
baca, ia semakin banyak memiliki
konsep, pengetahuan, atau variabel.
Sebaliknya, tidak mau membaca, tidak
akan memiliki apa-apa. Dalam pepatah
Jawa dikenal “Bodho longa-longo koyo
kebo” (bodoh, tidak mengerti apa-apa
seperti kerbau), dan ini menyalahi
kodratnya seorang muslim karena Allah
mengajarkan segala sesuatu kepada
mengucapkan dengan lisannya, dan terminal terakhir mengekspresikan dengan perbuatan. Lihat: Joachim Wach, The Comparative Study of Religions New York: Columbia UniversityPress, 1925, hh.16-40; asy-Syahrastani, Kitāb al-Milāl wa an-Niḥāl Qahirah: an-Nahḍah al-Mishriyyah, 1951, h.111.
29Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1988, h. 19. Disebutkan bahwa dalam Al-Quran tidak kurang dari 750 ayat yang berbicara tentang alam semesta dan dapat menjadi inspirasi saintifik, lihat: Ach Maiumun Syamsuddin, Integrasi Multi Multidimensi& Sains Jogjakarta: IRCiSoD, 2012. h. 238.
manusia.30 Watak ilmuwan muslim
khususnya dan ini mestinya berlaku bagi
setiap muslim, ketika dihadapkan
kepada ketidakmengertian suatu
problem keilmuan adalah memburu
dalam arti tafakkur, tadabbur, ta’aqqul,
tafahhum, tafaqquh, ta’allum, dan
tanaḍḍur hingga suatu saat apa yang ia
sadari tidak mengerti menjadi
mengerti.31
Etika Membaca
Untuk menjadi tahu (berpenge-
tahuan) atau berilmu, di dalam Islam
bukan hanya didorong oleh rasa kagum
(tauma) atas sesuatu, hasrat selalu ingin
tahu (all men by nature desire to know),
atau karena tertumbuk pada masalah
(aporia) baik teoritis atau praktis yang
harus ia pecahkan32, melainkan juga
merupakan kewajiban. Dalam Hal ini
Rasulullah bersabda: Thalabul ‘ilmi
fariḍatun ‘ala kulli muslimin wa
muslimatin.33 Mafhum mukhalafah kan-
dungan hadis ini menunjukkan bahwa
tidak mau membaca dan tidak mau
mencari ilmu itu sebenarnya termasuk
membangkang, sudah barang tentu
dosa. Dengan demikian, masuk ke dalam
Islam itu belum cukup hanya
mengucapkan credo dua syahadad,
melainkan harus ada kesediaan dan
30QS. al-Baqarah/2:31. Realisasi pengaja-
ran Allah kepada manusia–menurut pemahaman Iqbal melalui teknik konseptualisasi, lihat: M. Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Kitab Bhavan, 1981, h.13, hasilnya ia memiliki al-ismu dan al-asma’ konsep tunggal dan ketakterhinggaan konsep.
31Tuntunan doa dalam Islam untuk pelacakan menuju kesadaran tentang konsep, variabel, teori, dan ilmu adalah: Rabbī zidnī ‘ilmā war zuqnī fahmā.
32 Hamdani, op cit., hh.19-20 33Hadis riwayat Ibnu Majah no. 220.
Lihat Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
35
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
realisasinya melakukan perintah
membaca.
Karena membaca adalah wajib,
tentu ada aturannya yang inherent di
dalamnya. Mencari ilmu sebagai realisa-
si qara’a dengan berbagai macam deno-
tasinya bukan semata-mata tuntutan
kompetensi dan profesionalisme, me-
lainkan harus juga disadari sebagai
apresisasi atas nama Tuhan.34 Membaca
dengan motif dan tujuan di luar
kesadaran atas nama Tuhan akan
memperoleh ancaman yang serius dari-
Nya. Banyak hadis yang menjelaskan
ancaman ini, satu diantaranya adalah
sebagai berikut:
جاري به العلماء أو من طلب العلم ل
صرف به وجوه فهاء أو ماري به الس ل
ار الناس الن ه أدخله للا إل
"Barangsiapa menuntut ilmu untuk
mendebat para ulama, atau untuk
mengolok-olok orang bodoh atau
untuk mengalihkan pandangan
manusia kepadanya, niscaya Allah
akan memasukkannya ke dalam
neraka".35
Lebih spesifik lagi, mencari ilmu di
luar motif karena Allah akan
menempatkan dirinya di neraka,
demikian Rasulullah bersabda:
ر أو أراد به غ ر للا قال من تعلم علما لغ
ار وف الباب عن أ مقعده من الن تبو فل للا
34QS. al-‘Alaq/96:1 35Hadis riwayat at-Tumuzi, hadis, nomor.
2578; Ibnu Majah hadis nomor: 249, 250, 255, dan 256; Ahmad hadis nomor 1564; ad-Darimi hadis nomor: 257, 369, 375, dan 376 - Lihat Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist. Hadis nomor 369 ditambahkan lafal yang kandungan artinya “untuk mencari perhatian penguasa’.
جابر قال أبو عسى هذا حدث حسن
وب إل من غرب ل ن عرفه من حدث أ
هذا الوجه
Beliau bersabda: "Barangsiapa belajar
Ilmu untuk selain Allah atau
menginginkan selain Allah, maka
hendaklah dia menempati tempat
duduknya (kelak) di neraka". Dan dalam
hadits bab ini juga diriwayatkan dari
Jabir. Abu Isa berkata; 'Hadits ini hasan
gharib, kami tidak mengetahuinya dari
hadits Ayyub kecuali dari jalur sanad
ini.'36
Itulah sebabnya, ketika seorang
muslim akan belajar, termasuk
mempelajari, meneliti, bereksperimen
untuk mengerti37, Rasulullah
memberikan tuntunan doa bahwa
‘kemengertian’ tentang sesuatu harus
bermanfaat secara umum. ه وسلم اللهم عل صلى للا قال رسول للا
نفعن انفعن بما علمتن وعلمن ما على كل حال وأعوذ وزدن علما الحمد لل
ار من حال أهل الن باللYa Allah! Berilah manfaat terhadap
apa yang telah Engkau berikan
kepadaku, ajarkanlah kepadaku
sesuatu yang bermanfaat bagiku dan
tambahkanlah kepadaku ilmu. Segala
puji hanya milik Allah pada semua
kondisi (baik kondosi bahagia
maupun susah) dan aku berlindung
kepada Allah dari perbuatan
penduduk neraka."38
Singkatnya, kegiatan keilmuan
(pembentukan konsep, teori, ilmu,
36 HR. at-Turmuz{i, hadis nomor 2579,
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist 37 Mencakup
konseptualisasi,teorisasi,saintifikasi,dan teknologisasi.
38 Ibid., hadis nomor 3523.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
36
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
teknologi, dan aksiologi) dalam Islam
merupakan suatu ritual atau ibadah.
Teorisasi dan Saintifikasi
Teori dapat didefinisikan hubung-
an dasar dari dua atau lebih sesuatu
atau konsep atau variabel.39 Sementara
itu, yang dimaksud hubungan dasar
adalah pola hubungan yang mesti harus
terjadi dan tidak ada pola hubungan lain.
Contohnya adalah ketika Sumaryono
menikah dengan Sumaryani, maka dapat
dilakukan teorisasi bahwa akan ada
anak yang lahir akibat pernikahan
keduanya. Kelahiran anak hanya di-
mungkinkan kalau Sumaryono ber-
hubungan seksual dengan Sumarya-ni.
Hubungan bersebadan yang menjadi
sebab bertemunya sel sperma
Sumaryono dengan indung telur milik
Sumaryani di dalam rahimnya inilah
yang dimaksud dengan hubungan
dasar.40 Jika keduanya tidur berhimpitan
tetapi tidak melakukan hubungan
seksual Sumaryani tidak akan pernah
melahirkan anak. Tidur berhimpitan
hanya merupakan hubungan aksiden
bagi terwujudnya anak.
39Muhammad Nur Ibrahimi, Ilmu Mantiq
Surabaya: Salim Bahan, /t.th.], h.3; Bertrand Russel, Human Knowlwdge, Its Scope and Limits Oxford: Oxford University, 1979, h.439.
40Teknologi bayi tabung infitro fertilization secara syar’i termasuk hubungan dasar karena mempertemukan sel spermatozoa Sumaryono dengan indung telur ovum Sumaryani dalam tabung medis, di luar tubuh Sumaryani. Setelah berproses kemudian menyatu, menjadi embrio, disuntikkan oleh dokter ahli kandungan yang menanganinya ke dalam rahim Sumaryani. Biasanya dokter menyuntikkan hormon progiesterone pada ibu hamil agar janin bertahan di rahim. Proses panjang selanjutnya janin lahir ke dunia, baik secara alamiah atau operasi caesar; atau mempertemukan spermatozoa dengan indung telur ke dalam tabung medis hingga berproses 100 % di dalam tabung hingga menjadi bayi yang dikeluarkan dari tabung tersebut.
Sains apapun jenisnya, dibedakan
dari knowledge, hanya bertumpu pada
teori yang diperoleh dari objek
pengetahuan yang berupa data-data
fakta empiri. Tegasnya, sains adalah
kumpulan sistemik dari segugusan
teori.41 Yang dimaksud kumpulan
sistemik harus memenuhi kualifikasi
metode ilmiah sebagaimana ungkap
Kemeny42, atau keteraturan data.43
Untuk memperjelas bagaimana
sebuah ilmu terbentuk, berikut ini
disampaikan sebuah bagan ilmu:
41Hamdani, op cit., h. 151; John Kemeny, A
Philosopher looks at Science New York: Van Nostrand Reinhold, 1981, h. 175.
42Metode ilmiah mencakup: genetic explanation, intentional explanation, reasioning explanation, dispotitional explanation, functional explanation, explanation through empirical generalazation, dan explanation throught formal theory. Lihat: Hamdani, op cit., h.150.
43Sheldon J.Lachman, The Foundations of Science New York: Vantage Press, 1989, h.13. esensi keteraturan data adalah data serial dan keterkaitan dalam batas ruang lingkup pengamatan. Dapat dicontohkan di sini bahwa teori menyuntik yang tidak menimbulkan rasa sangat sakit dibangun dari sejumlah konsep atau sesuatu atau variabel praksis, jarum suntik yang tajam, steril dari kuman, bakteri, maupun virus, spirtus yang doleskan pada bagian yang akan disuntik, materi yang disuntikkan, penyuntikan yang tepat pada rongga aliran darah, ketegangan posisi bagian tubuh yang akan disuntik, kompetensi prima dari penyuntik, dan kesediaan tulus yang akan disuntik. Dalam kasus menyuntik ini tidak mungkin mengumpulkan data-data tentang gunung dan yang berkaitan dengannya. Data-data tentang gunung tidak serial dengan data-data teknik penyuntikan pasien.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
37
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Keterangan:
P = sesuatu, pengetahuan, konsep,
variabel.
T = teori
Pembidangan Sains
Sebenarnya, pemisahan dikotomis
bahwa ilmu dapat dibedakan menjadi
ilmu agama dan ilmu umum, atau
trikotomis: ilmu-ilmu kealaman (natural
sciencies), ilmu-ilmu sosial (social
science), dan humaniora, atau trikhotomi
lainnya: ilmu-ilmu normatif (normative
sciencies), ilmu-ilmu teoritis (theoritical
sciencies), ilmu-ilmu praktis (practical
sciencies) yang masing-masing berbeda,
terutama sumbernya, menurut ilmu
Islam tidak memilki pijakan yang kuat.
Ilmu Islam44 mengakui dikotomis,
trikotomis, atau multikotomis yang
mengerucut menjadi konsursium ilmu.
Namun agama ini menyatakan bahwa
semua ilmu, apapun jenisnya, berasal
dari Allah dalam kapasitas sebagai al-
‘Alim dan al-Mu’allim. Diktum ini bisa
mengacu kepada ayat sebagai berikut:
“Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.”45
Kata ‘ya’lam’ pada ayat ini me-
rupakan sighat fi’il muḍari’ memilki dua
macam makna: zaman ḥal (sekarang)
dan zaman istiqbal (waktu yang akan
datang).46 Dari pembedaan kedua
44Kuntowijoyo menulis sebuah buku
berjudul ‘Islam sebagai Ilmu” dan berisi tiga tema besar: epistemologi, metodologi, dan etika. Salah satu ciri Islam sebagai ilmu adalah objektif, bukan hanya subjektif bagi umat Islam, tetapi semua manusia mengakuinya tanpa menyadari bahwa ‘sesuatu’ itu berasal dari Islam. Lihat: Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Jakarta: Teraju, 2005, hh. 62-64.
45 QS. al-‘Alaq/96:5. 46Anton Dahdah, Mu’jam Qawa’id al-
Lughat al-‘Arabiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1981, h. 114.
makna ini, dapat dipahami bahwa
pengajaran Allah kepada manusia bukan
hanya terbatas pada ketakterhinggaan
konsep (zaman ḥal), saya tahu . . .,
melainkan juga ‘saya dapat menjadikan
ini, ini, dan ini menjadi itu’. Kata ‘itu’
dalam ungkapan ini pada saat sekarang
belum ada wujudnya. Karena kegiatan
akal yang senantiasa melakukan konsep-
tualisasi terhadap objek-objek, hasilnya
mampu mengubah benda-benda alami
menjadi benda-benda budaya, bahkan
peradaban.47 Singkatnya, pengajaran
Allah kepada manusia mencakup bukan
saja hanya ilmu-ilmu normatif, melain-
kan juga ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-
ilmu teknik atau ilmu praktis.48 Proses
konseptualisasi pengetahuan, teori, dan
sains dari Allah kepada manusia dapat
dilihat pada skema sebagai berikut:
MODEL 149
PROSES TERJADINYA PENGETAHUAN
47 Muhammad Iqbal, Stray Reflection
Lahore:SH Ghulam Ali&Sons, 1961, h. 66. 48Ciri ilmu praktis atau ilmu teknik adalah
baik tujuan maupun objek sama-sama belum ditemukan. Keduanya baru dapat ditemukan ketika suatu ilmu itu teruji dalam dunia empiri. Ilmu teknik otomotif yang merancang satu unit sepeda motor yang penampilannya indah, gesit, irit bahan bakar, dan tangguh, baru bisa dikatakan benar-benar sebagai ilmu yang devinitif ketika sepeda motor itu sudah terwujud kemudian dihidupakn, didemonstrasikan, dikenadarai dalam waktu yang cukup lama dalam jalanan berliku, menanjak dan meturun, jalanan halus maupunn seperti gula kacang, dan terbukti tampilannya memang indah, gesit, tangguh, dan irit bahan bakar jika dibandingkan dengan sepeda motor lain yang sekelas.
49Kedua model epistemologis perolehan pengetahuan ini dapat dilihat pada: Danusiri, Epitemologi Dalam Tasawuf Iqbal Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 65-66.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
38
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Keterangan
Yang dimaksud objek dalam skema
di atas adalah objek yang bersifat
sam’iyyah, secara literal berarti sesuatu
yang hanya didengar dan yang dimak-
sud adalah wahyu yang datang dari
Allah sebagai petunjuk dan berada di
luar yang dipikirkan oleh manusia, eska-
tologis yang bersifat immaterial, seperti:
surga, al-ḥauḍ, thuba, neraka, ‘arsy, raf-
raf, sidratul mutaha, mimbar, kursyi,
malaikat, syafaat,dan iblis
Objek-objek wilayah ini tidak
dapat dipersepsi oleh indera, melainkan
diterima atas dasar iman melalui intuisi.
MODEL 2
PROSES TERJADINYA PENGETAHUAN
Keterangan
Konsep, pengetahuan berasal dari
Allah. Allah mengilhamkan kepada
manusia ke dalam intuisi (qalb/fuad)
muatan ilham menembus kepada indra.
Data-data indrawi menuju kepada akal.
Ada pengolahan di dalamnya hingga
menghasilkan suatu pengetahuan.
Skema di atas (model 2) disarikan
dari gagasan Iqbal dalam menafsirkan
bagaimana Allah melimpahkan penge-
tahuan, konsep, variabel, dan sains
kepada manusia.50 Demikian ia berujar:
What is screte of nevelties of science
50 Muhammad Iqbal, Asrar-i-Khudi terj.
Reinold Alayne Nicholson, The Scretes of The Self Lahore: Ashraf Press, 1950, h. 14.
A desire wich realised it self by its own
strenght
And burst fort from the heart and took
shape
Nose, hand, brain, eye, and ear,
thought, imagination,
Feeling, memory, and understanding
Intisari dari model pembelajaran
Allah kepada manusia. Pertama-tama
Allah mengilhamkan sesuatu ke dalam
hati sanubari. Kedua, sesuatu membus
ke indra, bisa kepada penglihatan saja
kalau sesuatu itu hanya penampakan ke
dalam indra penglihatan, umpama
pemandangan di suatu puncak gunung.
Sesuatu bisa hanya menembus ke indra
pendengaran saja, umpama gelombang
suara. Sesuatu bisa menembus ke indra
penglihatan dan pendengaran, umpama
menonton tayangan televisi, di
dalamnya ada suara dan gambar, dan
animasi. Sesuatu bisa menembus ke
indra penglihatan dan pencecap,
umpama merasakan lezatnya makan
nasi dengan lauk gulai kepala ikan.
Sesuatu bisa menembus ke indra
penglihatan dan penciuman hidung,
umpama melihat dan mengisap
harumnya bunga melati. Ketiga apa
yang diterima indra berlanjut ke akal. Di
sini terdapat aktifitas berfikir hingga
menimbulkan suatu pengertian. Kualitas
enak, baik, indah, banyak, sedikit adalah
hasil dari pemaknaan gejala yang masuk
ke dalam akal.
Pembidangan sains sebenarnya
hanya ditentukan oleh jenis objeknya.
Jika objek yang dipersepsi itu adalah
benda-benda alamiah, maka sains yang
akan terbangun adalah segugusan
konsep, proposisi, dan teori pembentuk
sains kealaman (natural science). Contoh
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
39
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
ilmu ini antara lain: teknik sipil dan
teknik komputer. Jika objek yang
dipersepsi itu ditinjau dari aspek
fa’alnya, maka sains yang terbangun
adalah segugusan konsep, proposisi, dan
teori pembentuk ilmu-ilmu praktis
(practical science). Contoh ilmu ini
antara lain: teknik otomotif dan teknik
elektro. Jika objek yang dipesepsi
ditinjau dari aspek kualitas maka ilmu
yang akan terbangun adalah
sekumpulan konsep, proposisi, dan teori
penbentuk ilmu-ilmu normatif. Contoh
ilmu normatif antara lain ilmu akhlaq,
ilmu fiqh, dan tafsir-hadis. Jika objek
yang dipersepsi itu perilaku manusia,
maka sains yang akan terbangun adalah
sejumlah konsep, proposisi, dan teori
pembentuk ilmu-ilmu sosial. Contoh
ilmu-ilmu sosial antara lain sosiologi,
antropologi, dan psikologi sosial.
Teknologisasi
Kegiatan intelektual manausia
tidak boleh berhenti pada sains,
mengerti tentang suseuatu, bahwa air
dipanaskan100oC pasti memuai, bahwa
permukaan air pada beberapa bejana
yang saling terhubung adalah sama, dan
natur air mengalir pada tempat yang
lebih rendah dari keberadaan semula.
Ilmu harus berlanjut dan menghasilkan
teknologi. Teknologi memang anak
kandung dari sains itu sendiri.51
Istilah teknologi berasal dari
bahasa Yunani ‘technologia’. Kata ini
terdiri atas dua konsep,‘techne’ dan
‘logos’. Arti asal ‘techne, adalah art, skill,
dan science. Secara istilahi berarti
seperangkat prinsip, metode rasional
yang terkait dalam memproduksi
sesuatu. Kata ‘logos’ secara umum
51 Muslim A Kadir, op cit., h. 34.
berarti ilmu atau sains.52 Jadi, yang
dimaksud dengan teknologi adalah ilmu
tentang metode memproduksi sesuatu.
Membuat gedung tinggi, kokoh, indah
dan megah adalah berdasar pada
teknologi – yang secara akademis untuk
era mutakhir ini merupakan kolaborasi
dari berbagai ilmu teknik, seperti
arsitektur, sipil, matematik, dan yang
lainnya yang terkait.
Secara empiris, pembuatan gedung
tampak tidak terkait dengan doktrin Al-
Quran, bahwa teknolog pembuat itu
sekularis-ateistik atau teistik-islamis
adalah sama saja. Akan tetapi, dalam
analisis ilmu Islam, kegiatan ini sangat
inherent dengan doktrin Al-Quran, yaitu
jika ditelusur balik yang bermula dari
pembentukan konsep. Dalam setiap
langkah rute keilmuan, teknolog Islam
senantiasa berkesadaran ilahiyah
Aksiologi Ilmu
Term aksiologi berasal dari bahasa
Yunani ‘axios’ yang berarti nilai atau
manfaat, dan ‘logos’ yang berarti ilmu.
Dengan demikian, secara praktis
aksiologi berarti bagaimana meman-
dang, dalam kacamata memandang
menurut apa adanya, metode ilmiah,
hingga dimensi metafisikanya, bahwa
sesuatu itu memilki nilai atau manfaat.53
Karena pembentukan sains-tek-
nologi Islam dituntun oleh doktrin al-
Quran dan basis sang ilmuwan maupun
teknolognya adalah kesadaran ilahiyah–
sebagai perwujudan dimensi metafisik -
maka dalam merangcang kegunaan
harus tetap mengacu atas nama Tuhan,
bismi Rabbik’. Gedung kokoh, indah, dan
52 Dagobert D Runes, Dictionary of
Philosophy Totowa-New Jersey: Littlefield-Adams&Co., 1976, h. 314.
53 Runes, op cit., h. 32.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
40
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
mewah dapat difungsikan sebagai pusat
kegiatan kasino, lokalisasi transaksi sek-
sual, atau secara umum sebagai media
kesenangan lahiriah-dunyawiyah (hedo-
nistik). Pemanfaatan model ini didasar-
kan atas pemihakannya pada ‘the ra-
tional theory of value’, the naturalistic
theory of value, atau ‘the emotive theory
of value terhadap gedung tersebut, bisa
juga digunakan sebagai ḥalaqah ulama
sedunia dalam aktivitasnya meng-
upayakan kedamaian dunia dan kemak-
muran bumi yang didasarkan pada
pemihakan ‘the intuitive theory of value54
yang wujud konkritnya adalah kesa-
daran islamiyah. Final goal sains-
teknologi Islam adalah marḍatillāh.
C. Implikasi
Alur pikir pembentukan sains-
teknologi sejak dari konseptualisasi
hingga aksiologisasi sepenuhnya di-
deduksikan pada wahyu, al-Qur’ān dan
al-sunnah al-ṣaḥīḥah, atau minimal
ḥasan, masih dalam kategori hadis yang
maqbāl-ma’māl. Implikasi model pemiki-
ran ini berbeda dari model pemikiran
unifikasi antara doktrin al-Quran,
inklusif di dalamnya al-sunnah al-
ṣaḥīḥah sebagaimana dikembangkan
oleh akademisi UIN Walisongo Sema-
rang karena sistem kerjanya meng-
elaborasi antara Islam dan non-Islam,
bisa berwujud khasanah keilmuan barat
atau khasanah-khasanah lokal.
Senafas dengan unifikasi UIN
Walisongo adalah model interkoneksi
dari akademikus UIN Sunan Kalijaga,
yang bertumpu pada ‘sarang laba-laba
(spider web)’-nya Amin Abdullah, karena
salah satu unsur koneksitas sains-
54 Hamdani, op cit. 24-25.
teknologi adalah juga dari unsur non-
Islam.
Model ‘pohon ilmu’ dari akade-
mikus UIN Malang pun berbeda jauh jika
diukur dari model deduksi atas wahyu
sebagaimana penulis ajukan ini. Gagasan
Imam Suprayoga meruapakan cerminan
berpikir bebas dan bertolak dari on-
tologia konsursium ilmu yang secara
devinitif menjadi acuan Dikti Kemenag
dengan cara mencari pembenaran dari
wahyu dari berbagai unsur langkah-
langkah keilmuan. Profil sains-teknologi
Imam Suprayoga, Amin Abdullah,
bahkan juga Naquib al-Attas dan Mahdi
Ghoslani yang memprakarsai integrasi
agama dan sains hanya mencapai – atas
dasar the emotive theory of value - taraf
islami karena bangunan gagasan mereka
tidak dideduksikan secara langsung dari
wahyu. Wallahu a’lamu bi ash-shawāb.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ān al-Karīm
‘Abd al-Baqi, Ahmad Fuad, al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfazh al-Qur’ān al-
Karīm. Indonesia: Maktabah
Dahlan, tth.
Bik, Hudlari, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami
(terj.), Mohammad Zuhri. [t.t]:
Rajamurah al-Qana’ah, 1980.
Danusiri, Epitemologi Dalam Tasawuf
Iqbal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Dahdah, Anton, Mu’jam Qawa’id al-
Lughat al-‘Arabiyyah. Beirut:
Maktabah Lubnan, 1981.
Gibb, H.A.R, Whither Islam? A Survey of
Modern Movement in the Moslem
Warld. London:Victor Golanz Ltd.,
1932.
Danusiri: Islam: Membentuk Sains dan Teknologi
41
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Phillip K Hitti, Phillip, History of the
Arab. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2002.
Hamdani, Filsafat Sains, Bandung:
Pustaka Setia, 2011.
Ibrahimi, Muhammad Nur, Ilmu Mantiq
(Surabaya: Salim Bahan, tth.
Iqbal, Muhammad, Asrar-i-Khudi, terj.
Reinold Alayne Nicholson, Lahore:
SH Ghulam Ali &S ons, 1950.
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction
of Religious Thought in Islam,
Lahore: Kitab Bhavan, 1981.
John Kemeny, John, A Philosopher looks
at Science. New York: Van
Nostrand Reinhold, 1981.
Kadir, Muslim A, Ilmu Islam Terapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu.
Jakarta: Teraju, 2005.
Lachman, Sheldon J., The Foundations of
Science. New York: Vantage Press,
1989.
Murtadla Muthahari, Murtadla, terj.
Ibrahim Husein al-Habsyi,
Pengantar Menuju Logika. Bangil:
Yayasan Pesantren Islam, 1994.
Rahmat, Jalauddin, Islam Alternatif.
Bandung: Mizan, 1988.
Runes, Dagobert D, Dictionary of
Philosophy. Totowa-New Jersey:
Littlefield-Adams & Co., 1976.
Russel, Bertrand, Human Knowlwdge, Its
Scope and Limits. Oxford: Oxford
University, 1979.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran.
Bandung: Mizan, 2007.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-
Qur’an, Bandung: Mizan, 2009.
Surajio, Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi
Aksara, 2010.
asy-Syahrastani, Abi al-Fatḥ ‘Abd al-
Karīm, Kitāb al-Milāl wa an-Niḥāl,
Qahirah: an-Nahḍah al-Mishriyyah,
1951.
Syamsuddin, Ach Maimun, Integrasi
Multi Multidimensi& Sains.
Jogjakarta: IRCiSoD, 2012.
Wach, Joachim, The Comparative Study of
Religions. New York: Columbia
UniversityPress, 1925.
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam
Hadist
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
58 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
KERUSAKAN LINGKUNGAN:
EPISTEMOLOGI SAINS ISLAM DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA
Fachruddin Mangunjaya
Pusat Pengkajian Islam (PPI) Universitas Nasional
Jl Sawo Manila No 61, Pejaten, Ps Minggu, Jakarta Selatan 12520
e-mail: [email protected]
Abstract: This article examines the challenges of environmental
degradation and arguing to retun back to the Quran as a search of
epistemological foundation of science and a necessary strong foundation
in managing the balance of carrying for the earth and environmental
crisis. This study also explores the principles of Islamic in view of the
environmental approach such as the understanding keywords about the
God creation (Ilm-al-Khalq), which can be laid as foundations such as
tawḥīd, which encourage the belief that the only the Creator with all
power single, the khalifah (caliph) that empasis on man responsibility,
mīzān which refers to maintaining a balance and keeping the fitrah as
ordered of (human) nature in order to maintain the patterns of life and
the integrity of God's creation.
Abstrak: Artikel ini menguji tantangan-tantangan degradasi lingkungan
dan mengajukan pendapat untuk kembali kepada al-Quran sebagai
sebuah cara mencari dasar epistemologi sains dan sebuah dasar yang
kuat dalam mengelola keseimbangan bagi bumi dan krisis lingkungan.
Studi ini mengeksplorasi prinsip-prinsip Islam dalam memandang
terhadap pendekatan lingkungan seperti adanya pemahaman kata-kata
kunci tentang ciptaan Tuhan (‘Ilm al-Khalq), yang bisa ditempatkan
sebagai dasar-dasar, yang mendorong keimanan sehingga hanya ada
Sang Pencipta dengan kekuatan yang tunggal, sang khalifah yang
menekankan pada tanggung jawab manusia, mīzān yang merujuk pada
mempertahankan keseimbangan pola-pola kehidupan dan integritas
makhluk Tuhan.
Keywords: Islamic epistemology, science, lingkungan, khalīfah,
mīzān.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
59 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
A. Pendahuluan
Albert Einstein, menulis surat
tentang keyakinannya pada Agama yang
akan dapat menjadi penopang keber-
hasilan ilmu pengetahuan untuk kema-
nusiaan dan peradaban.1 Ketimpangan
dan kerusakan lingkungan yang terjadi
sekarang ini, merupakan akibat jauhnya
ilmu pengetahuan pada kaidah-kaidah
agama yang dapat melakukan rem dan
mencegah adanya “kelumpuhan”
mendalam pada peradaban manusia,
akibat sains yang meninggalkan agama.
Berbagai kerusakan lingkungan yang
kerap mengakibatkan bencana, bisa kita
saksikan menjadi meningkat fre-
kuensinya, tentulah diakibatkan tinggi-
nya laju perusakan akibat agama telah
ditinggalkan sebagai norma etika dan
juga kebaikan akhlak.
Sains dan aplikasi teknologi yang
tidak dibungkus dengan kerangka
agama ini menimbulkan perilaku
hedonis hanya mencari kepuasan materi
yang tidak berujung pangkal, tidak lagi
memikirkan dampak dan telah me-
langgar etika dan kepantasan dan
melanggar empati kemanusiaan. Oleh
karena itulah, ilmu pengetahuan yang
berintegrasi dengan pemahaman agama
akan memegang posisi penting. Prinsip
prinsip agama sudah semestinya
menjadi pilar dalam memperkaya
integritas sebagai ilmuwan Islam bukan
saja dari tataran filosofis tetapi
harusnya sampai pada tingkat kebijakan
dan sikap praksis.
1Childish superstition: Einstein's letter
makes view of religion relatively clear. http://www.theguardian.com/science/2008/may/12/peopleinscience.religion
Bagi seorang Muslim sudah
sepantasnya sangat bersyukur karena
Kitab Sucinya (al-Quran) adalah
Mukjizat. Kesucian al-Quran inilah yang
seharusnya menjadi fondasi yang
penting bagi pengembangan penge-
tahuan. Sudah seharusnya umat Islam
memandang pengetahuan yang
diperolehnya tanpa adanya pandangan
dikhotomis antara pengetahuan dan
agama. Mengapa? Sebab, al-Quran
merupakan kitab petunjuk bagi
manusia, penjelasan atas petunjuk
tersebut dan pembeda antara haq dan
batil (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Setelah hampir 15 Abad, al-Quran
diturunkan, ia merupakan satu-satunya
wahyu yang teruji dan dapat
membuktikan mukjizatnya, banyak di
antaranya hanya dapat dimengerti
setelah penemuan demi penemuan sains
dibuktikan di zaman modern, abad XX
ini. Maurice Buchaille, seorang ahli
bedah menguraikan tentang mukjizat al-
Quran yang tidak terbantahkan,
Wikipedia menuliskan:
“Buchaille mengatakan bahwa Islam,
sains dan agama adalah merupakan
“sudara kembar”. Menurutnya ter-
dapat kesalahan monumental pada
Bibel namun tak ada satupun
kesalahan al-Quran yang ditinjau
dengan pengetahuan modern. Bucaille
yakin bahwa deskripsi al-Quran
tentang fenomena alam sangat
kompatibel dengan sains modern.”2
Al-Quran juga mampu menjadi
“futurist” meramalkan kejadian masa
depan dan kini menjadi sejarah. Sejarah
penaklukan Bizantium (Romawi Timur)
yang merupakan negara Adidaya atau
2 Wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
60 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Super Power abad pertengahan (1453
M), sudah diramalkan oleh Surat al-
Rūm [30]: 1-2, dan juga diramalkan oleh
hadis Rasulullah saw:
“Konstantinopel akan jatuh ke tangan
Islam. Pemimpin yang menakluk-
kannya adalah sebaik-baik pemimpin
dan pasukan yang berada di bawah
komandonya adalah sebaik-baik
pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-
Musnad 4/335]
Maka, sesungguhnya umat Islam
mempunyai pedoman atau petunjuk
yang jelas, bukan saja harus diyakini,
tetapi dapat menjadi landasan mencari
ilmu (epistemologi), sehingga kebe-
naran al-Quran inilah yang dapat
menjadi cahaya manusia dan ilmuwan
muslim ditengah kegelapan dan
kegalauan.
Keunggulan al-Quran yang lain
adalah klaim bahwa apa yang di langit
dan di bumi juga merupakan ayat-ayat
bagi orang yang mempunyai akal (QS.
Ali Imran [3]: 190).
Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa
neraka. (QS. Ali Imran [ 3]: 190-191).
Ibn Kaṡīr menggarisbawahi yang
dimaksud dengan ciptaan Allah itu
adalah:
“…merujuk pada pada langit yang
tinggi hamparan bumi yang luas
hamparan, planet yang mengelilingi
matahari padang pasir, pohon,
tanaman, buah-buahan, binatang,
logam dan berbagai warna mengun-
tungkan, aroma, rasa dan elemen.
(Ayat ...dan memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi),
merenungkan tentang tanda tanda
yang ada di langit da bumi serta
menjadi tanda kebesaran, kemaha-
perkasaan, ilmu pengetahuan, kasih
sayang dan kearifan Allah. Allah
mengkritik mereka yang tidak
merenungkan tentang ciptaan-Nya,
yang membuktikan keberadaan-Nya,
Atribut, Syari’`ah, keputusan-Nya dan
Ayat: ‘Dan banyak sekali tanda-tanda
(kekuasaan Allah) di langit dan di
bumi yang mereka melaluinya, sedang
mereka berpaling daripadanya. Dan
sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan
dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan
lain). (QS. Yūsuf [12]: 105-106).’”3
Sangat jelas, dan nyata bahwa
mufasir Ibn Kaṡīr pun sepakat bahwa
ciptaan—langit, bumi dan segala
isinya—merupakan tanda-tanda ke-
kuasaan Allah seperti yang nyata
dijumpai di muka bumi tempatnya
manusia dan makhluk lainnya, bukan
yang selain itu. Jadi apabila bumi
sebagai ciptaan-Nya menjadi rusak dan
menimbulkan banyak bencana, maka
semua itu merupakan suatu sunnah
Allah akibat dari kelalaian manusia.
Sudah saatnya pula, ilmuwan Muslim
untuk kembali tetap berpedoman pada
keunggulan al-Quran.
3Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. II, terj.
M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’I, 2001, h. 209-210.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
61 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
B. Kerusakan Lingkungan
Lingkungan memang tengah
mengalami kerusakan, kekhawatiran
atas kerusakan tersebut, telah diakui
adalah akibat ketidak seimbangan yang
terjadi dan disebabkan intervensi
manusia yang berlebihan. Kerusakan
lingkungan ini mendorong para
pemimpin dunia megadakan pertemuan
puncak (Konferensi Tingkat Tinggi-KTT)
tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil
untuk membicarakan bagaimana nasib
planet bumi dimasa depan. Saat
pertemuan puncak Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) setelah (KTT Bumi) tahun
1992, maka disepakatilah tiga konvensi
penting yang mengikat berbagai bangsa-
bangsa di muka bumi untuk dapat
melakukan sesuatu bagi keselamatan
planet ini,
Peraturan tersebut diataranya
adalah: (1). Konvensi PBB Tentang
Perubahan Iklim (UNFCCC); (2).
Konvensi PBB tentang Keanekaragaman
Hayati (UNCBD) dan (3). Konvensi
mencegah terjadinya penggurunan
(UNCCD). Tiga jenis konvensi tersebut
menjadi berkekuatan hukum, manakala
masing-masing negara melakukan
ratifikasi (mengadopsi) menjadi
undang-undang di negara masing-
masing. Dari ketiga konvensi tersebut,
maka dua konvensi yaitu UNCBD dan
UNFCCC merupakan peraturan
lingkungan dunia yang mengikat dan
paling sering di rundingkan. Sekarang
ini November hingga Desember 2013
sedang diadakan negosiasi tentang
perubahan iklim Conference of Parties
(COP)-19/CMP-9 yang diikuti oleh
negara anggota penanda tangan
konvensi tersebut di Warsawa, Polandia.
Sedangkan UNCBD akan mengadakan
negosiasi COP-12 pada tahun 2014 di
Korea.
Adapun UNFCC mempunyai tujuan
agar semua bangsa dapat mengurangi
pencemaran atmosfer dari gas-gas
rumah kaca (GRK). Terdapat enam jenis
Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat
menimbulkan pemanasan global dan
dibicarakan di UNFCCC adalah: karbon
dioksida (CO2), metan (CH4), nitrat
oksida (N2O), dan gas-gas yang
mengandung fluor, seperti hydro-
flourocarbon (HFCs), perfluorocarbon
(PFCs), dan sulphur hexafluorida (SF6).
Dari keenam gas-gas rumah kaca
tersebut, karbon dioksida mengambil
porsi terbesar, yaitu sekitar 75%. Oleh
karena itulah, jumlah GRK selalu
disetarakan dengan kandungan CO2
yang ada di atmosfer.
Perubahan iklim ini selalu
dimonitor secara ilmiah oleh ribuan
ilmuan dari lintas negara, berdasarkan
laporan ilmiah yang disebut Assasement
Report (AR) tim ahli PBB yang
tergabung dalam Intergovemental Panel
on Climate Change (IPCC), memberikan
laporan teknis kepada PBB dan publik
akan adanya perubahan iklim global.
Terakhir, IPPC membuat laporan ke 4,
pada tahun 2007, yang disebut juga
Assessment Report (AR) 4, laporan ini
direview oleh 6000 ilmuwan di seluruh
dunia, sehingga menjadi salah satu
dokumen dengan pengakuan ilmu
pengetahuan yang valid dan tinggi.
Dalam AR 4, IPCC menyimpulkan:
"pemanasan sistem iklim adalah
nyata", dan "sebagian besar pening-
katan suhu rata-rata global yang
diamati sejak pertengahan abad ke-20
sangat mungkin diakibatkan oleh
peningkatan konsentrasi gas rumah
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
62 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
kaca yang diakibatkan oleh manusia
(antropogenik).4"
Akibat dari pemanasan global,
maka timbul perubahan iklim yang
wujudnya berupa anomali cuaca dan
penyimpangan–penyimpangan musim
yang sulit diprediksi. Ritme ke-
seimbangan alam menjadi terganggu,
disebabkan emisi gas-gas rumah kaca
yang kian menumpuk di atmosfer.
Daniel Murdiyarso, peneliti senior pada
Centre for International Forestry
Reseacrh (CIFOR) dan Guru Besar Ilmu
Atmosfer, Institut Pertanian Bogor (IPB)
menuliskan, “Karena iklim juga menjadi
suatu ciri fisik suatu kawasan, maka jika
terjadi perubahan, dampaknya terhadap
komponen-komponen biotik (hidup)
dan abiotik (tak hidup) akan sangat luas.
Boleh jadi, perubahan itu bersifat
permanen karena hilangnya komponen
penting dalam kawasan, misalnya hutan
sebagai ekosistem atau spesies yang ada
di dalam ekosistem hutan tersebut.”5
Oleh karena itu, dampak perubahan
iklim dianggap sangat fatal dan
mengerikan, karena manusia tidak bisa
mengembalikan (irreversible), apabila
iklim berubah.
Apabila diperhatikan, perubahan
iklim ini terjadi nyata setelah adanya
revolusi Industri pada abad 17 dan 18,
4 "...warming of the climate system is
unequivocal", and "most of the observed increase in global average temperatures since the mid-20th century is very likely due to the observed increase in anthropogenic greenhouse gas concentrations." IPCC Report AR4. IPCC Fourth Assessment Report: Climate Change 2007. The Physical Science Basis, artikel diakses dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg1/en/spmsspm-direct-observations.
5D. Murdiarso, “Perubahan Iklim: Dari Obrola Warung Kopi ke Meja Perundingan”, Prisma, April 2012, h. 23-33.
sebagai dampak dari majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ber-
kiblat pada ekonomi kapitalistik dan
eksploitas sumber daya alam yang
sangat masif. Sayangnya dari laporan
terakhir, tidak ada upaya signifikan
pengurangan konsertrasi gas-gas rumah
kaca yang terus menumpuk di atmosfer.
Ancaman perubahan iklim sesu-
ngguhnya sangat mengerikan, Bank
Dunia (2012), memberikan gambaran,
bahwa jika kita (warga bumi) tetap tidak
melakukan tindakan apa-apa atau
business as usual (BAU) maka akan
terjadi peningkatan suhu hingga 4°C,
dan hal ini akan mengakibatkan dampak
yang mengerikan: kota-kota pesisir
terancam banjir, produksi pangan
terancam turun yang tentu saja akan
meningkatkan kasus malnutrisi di-
sebabkan banyak kawasan kering yang
akan semakin kering, dan kawasan
basah menjadi lebih basah.
C. Kritik Filsafat Lingkungan pada
Keyakinan Agama
Kepentingan terhadap kondisi
planet bumi yang stabil, merupakan
kebutuhan semua makhluk, tidak
terkecuali manusia. Perubahan iklim
membawa krisis lingkungan dan ketidak
stabilan yang massif akibat anomali
cuaca dan musim yang tidak menentu.
Dugaan besar terhadap seringnya
terjadi prekwensi badai dan angin
puting beliung, di beberapa tampat
akhir-akhir ini, juga dipicu oleh adanya
perubahan iklim. Tercatat prekwensi
bagai dan gelombang laut semaking
tinggi dan demikian pula musim
kemarau panjang (el nino) dan musim
monsun basah (la nina), semakin sering
terjadi.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
63 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Beberapa peristiwa banjir semakin
sering dijumpai melebihi frekuensi
bencana banjir tahun-tahun se-
belumnya. Hal ini diakibatkan anomali
iklim dan rusaknya keseimbangan dan
berkurangnya kapasitas daya dukung
bumi. Pertanyaan penting yang harus
dijawab, adakah langkah kedepan yang
dapat diambil dalam upaya
menanggulangi krisis ligkungan ini?
Mengapa krisis dan kerusakan ling-
kungan terjadi dan pengurasan terhadap
dan tidak berhenti merongrong dan
rupanya, menurut Lynn White Jr,
persepsi pemahaman manusia, sangat
bergantung dengan apa yang menjadi
keyakinan mereka akan apa yang
diajarkan oleh Agama.
“mentality of the Industrial Re-
volution, that the earth was a
resource for human consumption, was
much older than the actuality of
machinery, and has its roots in
medieval Christianity and attitudes
towards nature...what people do
about their ecology depends on what
they think about themselves in
relation to things in their
environment. 6“
Apa yang dikatakan oleh Lynn
White, bahwa akar krisis terhadap
lingkungan adalah bahwa mentalitas
Revolusi Industri, yang menjadi
jembatan pemahaman bahwa bumi
adalah sumber daya untuk konsumsi
manusia, jauh lebih tua dari aktualitas
mesin, dan memiliki akar dalam
Kekristenan abad pertengahan dan
kemudian menentukan sikap para
industrialis tersebut terhadap alam, dan
6Lynn White Jr, “The Historical Root of
our ecologic crises”, Science Vol 155 (Number 3767), 10 Maret 1967, h. 1203–1207.
apa yang dilakukan orang tentang
ekologi mereka tergantung pada apa
yang mereka pikirkan tentang diri
mereka sendiri dalam kaitannya dengan
hal-hal di lingkungan mereka.
Hal senada dikemukakan oleh
Seyyed Hossein Nasr, yang memiliki
pemikiran yang lebih ekstrim tentang
hubungan manusia dan tanggunjawab
mereka terhadap alam:
“Nature has become desacralized for
modern man Nature has come to be
regarded as something to be used and
enjoyed to the fullest extent
possible....for modern man nature has
become like a prostitute to be
benefited from without any sense
obligation and responsibility toward
her”7
Jadi alam telah menjadi tidak suci
lagi bagi manusia modern, dan apa yang
menjadi karunia alam dan dianggap
sebagai sesuatu yang harus digunakan
dan dinikmati semaksimal mungkin Bagi
manusia modern, alam hanya seperti
seorang pelacur dimana manusia
diuntungkan tanpa adanya kewajiban
untuk ikut bertanggungjawab, me-
rawatnya. Memikirkannya untuk
generasi mendatang dan memikirkan
keturunan yang lebih baik. Hal ini nyata
terjadi, ketika konsesi diberikan, maka
para investor dan pengusaha hanya
merasa bertanggunjawab dan lunas
kewajibannya, setelah membayar rente
(iuran) hasil-hasil hutan atau perijinan
yang diwajibkan pemerintah, tanpa
mempunyai beban kemudian mereka
dapat dengan mudahnya mengambil
7Seyyed Hossein Nasr, “The Problem,”
taken from Man and Nature, Chicago: Kazi Publication, 1997.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
64 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
keuntungan sementara bumi yang
ditinggalkannya: berlobang, longsor,
kehilangan sumber daya dan seterusnya.
Lebih dari itu, bagi banyak
manusia ekonomi, maka tidak ada
kehadiran Tuhan di dalam kerja mereka.
Eksploitasi merupakan sebuah kenis-
cayaan, keuntungan yang diperoleh
memang diperuntukkan bagi kesejah-
teraan manusia. Sayangnya ternyata
hanya jangka pendek. Jadi, dalam terjadi
disintegrasi antara pesan-pesan agama
dan kehendak manusia (yang serakah)
dan kesenjagan terjadi pada arena
seperti ini, seperti yang dikatakan oleh
Nasr,
“The harmony between man and
nature has been destroyed…but not
everyone realized that this
disequilibrium is due to the
destruction of the harmony between
man dan God.”8
Kesimpulannya boleh jadi bahwa
manusia kemudian telah tersesat
menjauh dan merusak bumi, karena
meninggalkan pesan-pesan agama dan
menjauh dari keyakinan agama.
D. Integrasi Konservasi Lingkungan
dalam Ajaran Islam9
Al-Quran yang memanifestasikan
totalitas ini dengan demikian adalah
sebuah panduan untuk transaksi hidup
bagi umat manusia. Hal ini meletakkan
dasar-dasar bagi segala kegiatan kita
8Ibid. 9Sub Bab ini merupakan replikasi bagian
yang diambil dari karya penulis, Fachruddin Mangunjaya, “Islam and Natural Resources Management”, dalam J.M. McKay (ed), Integration Religion Within Conservation: Islamic Belief and Sumatran Forest Management, UK: Darwin Initiative Case Study, Durrel Insitute of Conservation and Ecology University of Kent, 2013, h.11-20.
dalam penciptaan. Pada satu tingkatan,
hal ini berbicara tentang melestarikan
tubuh dan jiwa dan hubungan kita
dengan tatanan alamiah, pada tingkatan
yang lain hal ini berbicara tentang
komunitas makhluk-makhluk yang
terbang dan merayap dan meloncat-
loncat dan berenang, dan dalam
tingkatan yang lain lagi, yang
dibicarakan adalah alam semesta, hutan,
dan sungai. Inti ajaran dalam al-Quran
yang berhubungan dengan hal ini dapat
digambarkan sebagai 'Ilm al-Khalq
(Pengetahuan tentang Penciptaan) yang
sudah ada sebelum ilmu ekologi ber-
kembang empat belas abad kemudian.10
Ajaran-ajaran tentang lingkungan
menimbulkan suatu fleksibilitas dalam
pendekatan, dan kita telah memilih
untuk merepresentasikan mereka ke
dalam empat prinsip utama berikut:
Tauḥīd, Khalīfah, Mīzān, dan Fiṭrah.
Prinsip-prinsip ini adalah tema-tema
dalam al-Quran yang dapat ditelusuri
untuk mendidik masyarakat dan
meningkatkan kesadaran tentang
pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan. Seiring kita menelaah
prinsip-prinsip ini, kita akan membahas
keempatnya dalam konteks pesan
universal tentang lingkungan dari al-
Quran, dengan menggunakan acuan dari
pendapat para ilmuwan dan
cendekiawan Islam.
Tauḥīd
Tauḥīd adalah sebuah elemen dari
prinsip-prinsip ajaran Islam tentang
lingkungan yang menyatakan bahwa
keimanan kepada Allah adalah mutlak,
10Fazlun Khalid, Qur’an Creation and
Conservation, Birmingham, UK: Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences 1999.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
65 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
menjadikan Islam sebagai agama
monoteistik. Tauḥīd disebutkan dalam
prinsip Islam tentang iman sebagai iman
di hadapan Allah. Dengan mengakui
tauḥīd, kita mengakui bahwa Allah
adalah Satu dan ciptaan-Nya juga
memiliki ciri kesatuan, atau disatukan
secara keseluruhan. Allah sebagai
pencipta telah menciptakan sedemikian
rupa ciptaan-Nya akan diperlakukan
sebagai alat untuk menyembah Dia (QS.
al-Māidah [5]: 56). Allah adalah al-
Khāliq (Pencipta) yang menciptakan
langit dan bumi dan segala sesuatu di
dalamnya (baca: QS. al-Ḥasyr [59]: 24).
Dengan mengakui tauḥīd, umat
Islam juga menyadari adanya harmoni
umum dari pencipta dan bahwa
terdapat hukum kosmik yang mengatur
rotasi bumi, matahari, bulan, bintang,
dan lain-lain, selama miliaran tahun
tanpa mengalami insiden apapun.
Selama miliaran tahun, bumi tidak
pernah mengalami tabrakan dengan
bulan, atau bulan dengan matahari.
Tanpa perintah yang ditetapkan Tuhan,
semua ini tidak akan terjadi, karena
Dialah yang menentukan orbit untuk
setiap benda langit tersebut:
“Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan
bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan
yang demikian itu melainkan dengan
hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang
yang mengetahui.” (QS. Yūnus [10]:
5).
“Tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malampun
tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis
edarnya.” ( QS. Yā Sīn [36]: 40).
“Orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191).
Osman Bakar menyatakan bahwa
memiliki nurani tentang Keesaan Allah
berarti menegakkan kebenaran bahwa
Allah adalah Satu dalam Zat-Nya, dalam
nama-Nya, serta dalam sifat dan
tindakan-Nya. Bakar sangat menegaskan
definisi Tawhid sebagai sumber dan
manifestasi dari semangat ilmu
pengetahuan dalam Islam. Sebuah
konsekuensi penting dari penegasan
kebenaran sentral adalah masyarakat
harus merangkul realitas objektif dari
kesatuan alam semesta. Sebagai sumber
untuk pengetahuan, agama menegaskan
bahwa sesuatu yang ada di alam
semesta ini saling berhubungan melalui
hukum kosmis yang mengaturnya,
dalam jaringan kesatuan alam semesta.
Kosmos terdiri dari berbagai lapisan
realitas, tidak hanya secara fisik. Tetapi
hal ini menciptakan suatu asal mula
metafisika terpadu yang dalam agama
disebut sebagai Tuhan.11
Al-Quran juga menekankan bahwa
kesatuan kosmis adalah contoh yang
sangat baik dari sifat Tuhan yang Esa:
11Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-
esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, h. 21.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
66 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
“Mereka selalu bertasbih malam dan
siang tiada henti-hentinya.” (QS. al-
Anbiyā [21]: 20).
Dalam sudut pandang Islam, tidak
terdapat perbedaan antara yang hidup
dan yang mati, karena semuanya adalah
bagian dari ciptaan dan mereka tetap
bertasbih kepada Allah (baca: QS. al-Isrā
[17]: 44, al-Nūr [24]: 41, al-Anbiyā’ [21]:
79). Semua makhluk dan ciptaan Allah
bertasbih kepada-Nya (QS. al-Taghābun
[64]: 1), yang juga merupakan ibadah
mereka kepada Allah, tetapi tidak semua
manusia memahaminya (QS. al-Isrā
[17]: 44). Hal ini juga merefleksikan
keesaan (tauḥīd), di mana penciptaan
alam dan manusia mempunyai tujuan
yang sama. Oleh karena itu, esensi
tauḥīd dapat dipahami bahwa semua
yang ada di langit dan di bumi berasal
dari pencipta yang satu (al-wiḥdah).
Sekiranya ada di langit dan di bumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa. Maka
Maha Suci Allah yang mempunyai
'Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan. (QS. al-Anbiyā [21]: 22).
Terdapat dua aspek dalam tauḥīd
yang berbicara tentang memelihara
keutuhan bumi dan alam semesta. Aspek
pertama berbicara tentang esensi dari
Keesaan Allah, bahwa Dia tidak memiliki
sekutu, bahwa Dia berdiri sendiri, yang
diciptakan oleh siapa pun namun adalah
Pencipta (al-Khāliq) dan manusia
dilarang menentang-Nya dengan
bersaing dengan apa pun yang adalah
ciptaan-Nya. Kedua, segala sesuatu yang
Allah telah ciptakan adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Allah memberikan kesempurnaan bagi
semua ciptaan-Nya dalam suatu sistem
yang terorganisasi dengan baik dan
teratur. Semuanya saling terkait, tetapi
tidak ada cara bagi manusia untuk
memahami segalanya. Sebagai contoh,
keutuhan suatu ekosistem didasarkan
pada urutan hal-hal yang tidak dapat
eksis secara sendiri-sendiri. Ekosistem
adalah gabungan dari berbagai spesies,
baik itu hewan, tumbuhan, atau
mikroorganisme, serta mineral: benda-
benda yang dianggap mati namun
memberikan roh bagi kehidupan.
Semua hal dalam suatu ekosistem
adalah makhluk, ciptaan, dan semuanya
bersujud di hadapan Allah, seperti
dalam firman-Nya:
Langit yang tujuh, bumi dan semua
yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada suatupun
melainkan bertasbih dengan memuji-
Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguh-
nya Dia adalah Maha Penyantun lagi
Maha Pengampun. (QS. al-Isrā [17]:
44).
Oleh karena itu, semua ciptaan
Allah tunduk kepada-Nya dengan cara
mereka masing-masing. Menurut
seorang mufassir Ibn Kaṡīr, tidak ada
makhluk yang tidak bertasbih dan
memuji Allah. Namun manusia tidak
mengerti bagaimana cara tasbih mereka
untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Ini
berarti bahwa manusia tidak memahami
nyanyian mereka, karena mereka semua
berbicara dalam bahasa mereka sendiri.
Ibn Kaṡīr mengutip hadis Nabi saw yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad
melarang pembunuhan katak, dengan
berkata, “suaranya adalah tasbih.”
Karena itu, bunyi atau suara yang
keluar dari makhluk Allah adalah
kesaksian tentang keesaan-Nya, dalam
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
67 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
rubūbiyah (keteraturan) dan Ilāhiyah
(ketuhanan) Allah. Ia menandaskan:
“Dalam segala hal adalah tanda, yang
menunjukkan bahwa Dia (Allah)
adalah satu.”12
Oleh karena itu, perlu dipahami
bahwa sebagai bagian dari kesatuan
alam semesta, manusia serta unsur-
unsur lain dari ekosistem alam, semua
tunduk dan mematuhi hukum-hukum
Allah atau apa yang sekarang kita sebut
sebagai hukum alam. Sebagai konse-
kuensi logisnya, manusia harus
menghormati alam. Ini berarti kita tidak
boleh melihat alam sebagai objek untuk
dieksploitasi dan dirusak, tanpa benar-
benar memahami makna, esensi, dan
fungsi ekosistem. Kita harus meng-
upayakan berbagai cara untuk
melestarikannya.
Demikian pula, jika asal-usul
manusia dihancurkan, maka kekacauan
akan muncul, sama seperti hilangnya
salah satu unsur dalam sistem yang
seimbang sempurna akan mengubahnya
menjadi sistem yang tidak harmonis dan
kacau.
Khalīfah
Cendekiawan Muslim, Nurcholis
Madjid menulis bahwa ketika Tuhan
mengumumkan penciptaan manusia,
peristiwa ini terjadi sebagai suatu
drama kosmis, sebuah transaksi
penciptaan manusia seperti yang
digambarkan oleh al-Quran, di mana
Allah menempatkan manusia sebagai
khalīfah atas bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya
12Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. V, terj.
M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’I, 2001, h. 269-270.
Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.’ Mereka
berkata: ‘Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan men-
sucikan Engkau?’ Tuhan berfirman:
‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui.’” (QS. al-
Baqarah [2]: 30).13
Madjid menjelaskan bahwa
“drama kosmik” yang melibatkan Allah,
Malaikat, Manusia, dan Setan terjadi
pada lokus primordial yang disebut
jannah (taman surga) ini dimulai dengan
Allah “mengucapkan” bahwa Ia akan
membuat umat manusia sebagai
khalifah-Nya atas bumi. Namun para
malaikat ragu dan skeptis terhadap
kemampuan manusia untuk menjalan-
kan tugasnya, mengingat kecenderung-
an manusia untuk menghancurkan dan
menumpahkan darah. Akan tetapi, klaim
para malaikat ini ditolak oleh Allah,
karena mereka tidak mengetahui
rahasia-Nya untuk mengajar Adam
“semua nama”. Selanjutnya, Nurcholish
Madjid menyatakan bahwa dalam
tugasnya sebagai khalifah maka:
1) Martabat manusia berkaitan dengan
konsep bahwa alam secara keseluruhan
menyediakan kebutuhan manusia, untuk
menjadi lahan garapan dan tempat untuk
menjalankan tugasnya.
2) Martabat ini juga terkait dengan nilai-
nilai kemanusiaan yang universal.
13Nurcholish Madjid, Islam Agama
Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 180-181.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
68 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
3) Untuk menjalankan tugasnya sebagai
khalifah Allah di bumi, manusia dibekali
ilmu pengetahuan.
4) Martabat manusia juga dilengkapi
dengan kebebasan, dengan pembatasan
tertentu (semua kecuali buah dari pohon
terlarang dapat dimakan).
5) Setiap pelanggaran atas batas-batas
tersebut mendegradasi umat manusia.
6) Dorongan untuk melanggar batas-batas
tersebut dinamakan keserakahan, yaitu
perasaan yang tak terpadamkan bahwa
semua karunia dari Allah tidaklah
memadai.
7) Karena ilmu pengetahuan saja tidak
menjamin manusia takkan terdegradasi,
maka arahan dari Allah diperlukan
sebagai jaring pengaman rohani.14
Di dalam konsep mengembangkan
kehidupan yang bermartabat,
spiritualitas sangat penting karena me-
nyediakan alat kendali atas sikap-sikap
negatif manusia. Rasa kemanusiaan
adalah kekal untuk orang-orang yang
mengemban tugas mereka sebagai
khalifah, lengkap dengan semua
dimensinya.15 Pada intinya, status
khalifah diberikan kepada manusia agar
ia bertindak secara bertanggung jawab
dalam pengelolaannya atas bumi.
Dalam mengelola bumi, manusia
diharapkan untuk bertindak
berdasarkan ilmu pengetahuan dan
bukan sekadar keinginan sendiri (QS al-
Nisā [4]: 135, al-Mu’minūn [23]: 71)
karena keserakahan akan membawa
tidak hanya akibat jangka pendek, yakni
kerugian atas kepunahan, tetapi juga
berbagai bencana lingkungan. Menipis-
nya cadangan sumber daya alam dari
14Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik
Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, h. 142-143. 15Ibid.
hari ke hari adalah tantangan bagi
manusia dan juga sebagai sarana untuk
membuatnya sadar bahwa eksploitasi
tidak boleh melanggar batas kese-
imbangan, atau kerusakan akan muncul.
Selain itu, manusia diharapkan untuk
menjaga janji mereka dan melaksanakan
mandat mereka, karena Allah telah
berfiman:
Sesungguhnya Kami telah menge-
mukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan meng-
khianatinya, dan dipikullah amanat
itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat
bodoh. (QS. al-Aḥzāb [33]: 72).
Mīzān (Keseimbangan)
Mīzān, menurut asal katanya,
berarti ‘skala’ atau ‘keseimbangan’.
Allah telah memberikan gambaran yang
sangat mendasar dalam al-Quran untuk
menggambarkan penciptaan langit dan
bumi yang seimbang, karena segala
sesuatu di alam semesta diciptakan
berpasangan (QS. Yā Sīn [36]: 36).
Misalnya, siang dan malam, langit dan
bumi, panas dan dingin, hujan dan
kemarau. Allah berfirman dalam Surat
al-Raḥmān [55]: 7-8:
Dan Allah telah meninggikan langit
dan Dia meletakkan keseimbangan
(keadilan), supaya kamu jangan
melampaui batas tentang kese-
imbangan itu.
Keseimbangan diciptakan oleh
Allah melalui gaya-gaya gravitasi
konstan yang bekerja pada benda-benda
langit, sehingga menjaga planet-planet
tetap pada orbitnya masing-masing.
Keseimbangan membantu bumi dan
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
69 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
planet-planet lain dalam tata surya
berputar mengelilingi matahari secara
konsisten dan tidak berubah-ubah
jalurnya. Jadi bumi berputar pada
porosnya sendiri, tanpa gangguan
bahkan hingga detik ini, karena adanya
keseimbangan dan gravitasi yang telah
diciptakan Allah.
Apa yang akan terjadi jika gaya
gravitasi lebih besar dari apa yang kita
alami hari ini? Akan benar-benar sulit
bagi kita untuk berjalan, apalagi berlari.
Manusia dan semua makhluk akan
mengonsumsi lebih banyak energi untuk
sekadar berjalan. Apa yang akan terjadi
jika gravitasi itu menghilang? Debu dan
semua partikel, termasuk sampah dan
ranting dan segala sesuatu akan
mengapung di udara dan kita akan
merasa sangat sulit untuk bernapas di
permukaan bumi. Kecepatan hujan akan
berkurang secara drastis dan bahkan
airnya mungkin menguap sebelum
menyentuh permukaan bumi. Sungai
akan mengalir sangat lambat dan itu
akan sangat sulit untuk menghasilkan
listrik dari sungai, seperti yang kita
mampu lakukan hari ini.16 Oleh karena
itu, Allah telah menetapkan standar
yang sangat tepat.
Sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu menurut ukuran.” (QS.
al-Qamar [54]: 49).
Ketepatan dan akurasi memasti-
kan keseimbangan dalam kehidupan di
bumi, dan seperti Allah menciptakan
dunia menurut keseimbangan, ajaran
Islam juga didasarkan pada
keseimbangan dan keadilan. Bahkan
pikiran dan hati nurani manusia
16Lihat: Harun Yahya, Design in Nature.
London: Taha Publisher, 2002.
diciptakan selaras dengan ajaran-
ajarannya. Oleh karena itu, orang tidak
boleh bersandar terlalu jauh ke kanan
atau ke kiri, melainkan berusaha untuk
mencapai keseimbangan dalam semua
aspek kehidupan.
Sehubungan dengan upaya
konservasi, gagasan keseimbangan telah
sangat diprioritaskan dan dievaluasi.17
Berbagai fenomena yang merusak,
seperti tanah longsor, banjir, angin
puting beliung, dan bahkan perubahan
iklim saat ini, dianggap sebagai akibat
langsung dari ketidakseimbangan.
Ketika kawasan hutan dan lahan
dengan kemiringan yang ekstrem
ditebang pepohonannya untuk dibuka
sebagai lahan bercocok tanam, mereka
menjadi tidak stabil, menyebabkan
tanah longsor. Banjir terjadi karena
lahan yang berhutan sekaligus bertindak
sebagai spons untuk mempertahankan
air pada musim hujan, apabila rusak
tidak dapat lagi menyimpan air di dalam
tanahnya. Perubahan iklim terjadi
karena atmosfer semakin tebal dari hari
ke hari dengan gas rumah kaca yang
dikeluarkan oleh aktivitas manusia,
termasuk namun tidak terbatas pada
karbon dioksida (CO2) dari kendaraan
berbahan bakar fosil dan industri.
Albert Gore mencatat bahwa
manusia melepaskan 90 juta ton CO2
setiap harinya. Untuk menyeimbangkan
hal ini, hutan (dan juga lautan) mampu
menyerap emisi tetapi akan memakan
17Albert Gore, Our Choice: Rencana untuk
Memecahkan Krisis Iklim, terj. P. Handono Hadi,
Jakarta: Kanisius, 2010; J. Rockström, et al, “A
Safe Operating Space for Humanity”, dalam
Nature 461 (24 September 2009), h. 472-475.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
70 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
waktu dari 30 sampai 1.000 tahun untuk
melakukannya. Oleh karena itu,
pemanasan global secara langsung di-
sebabkan oleh gangguan oleh manusia
terhadap keseimbangan, melalui pen-
cemaran udara dengan gas rumah kaca.
Gangguan terhadap keseimbangan de-
ngan demikian disebut gangguan
antropogenik, atau yang disebabkan
oleh manusia.18
Fiṭrah
Fiṭrah secara harfiah berarti ‘asal’,
‘keaslian’, atau ‘keadaan alami’. Definisi
yang tepat dari fiṭrah adalah “keadaan
alami atau naluri yang ditemukan dalam
manusia, binatang atau sesuatu yang
memaksa manusia atau makhluk
mendambakan keadaan tersebut.”
Umat Islam meyakini bahwa
semua manusia dilahirkan sebagai
Muslim dan dalam keadaan murni.
Seorang bayi lahir murni, tanpa ada
dosa dan dilahirkan dalam fiṭrah,
sebagaimana tidak ada yang
mengintervensi kelahirannya. Jika
seorang bayi meninggal, ia mati dalam
kemurniannya. Oleh karena itu, apakah
seseorang menjadi religius atau tidak
bergantung pada bagaimana orang tua
mereka mendidik mereka setelah itu.
Jadi, fiṭrah, dalam hal ini, adalah
pengetahuan, di mana sejak Allah
menciptakan umat manusia, mereka
telah diakui oleh-Nya. Dalam all-Quran,
kata fiṭrah ditemukan dalam ayat
berikut:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah men-
ciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus;
18Ibid.
tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS. al-Rūm [30]: 30).
Menurut Ibn Kaṡīr, manusia se-
harusnya mengikuti fiṭrah yang telah
Allah berikan kepada semua makhluk.
Allah telah menganugerahkan fiṭrah
bahwa Dia adalah Satu, bahwa tidak ada
Allah lain (ilāh) yang benar (Ḥaq) selain
Dia. Ia lebih lanjut menambahkan
pernyataan bahwa “tidak ada perubahan
dari fiṭrah Allah”, yang berarti bahwa
manusia tidak boleh mengubah ciptaan
Allah, ataupun mengubah fiṭrah manusia
yang telah diberikan oleh Allah kepada
manusia. Ini berarti bahwa Allah
membuat semua ciptaan-Nya dengan
menganugerahkan atas mereka fiṭrah
yang sama, di mana tidak ada perbedaan
antara satu manusia dengan yang
lainnya.19 Yasin Mohammed (1996)
kemudian mendefinisikan fiṭrah sebagai
berikut:
"Konsep fiṭrah sebagai kebaikan yang
asli, dalam pandangan saya, tidak
hanya berkonotasi dengan penerima-
an pasif untuk bertindak baik dan
benar, tetapi kecenderungan aktif dan
kecenderungan bawaan alamiah
untuk mengenal Allah, untuk tunduk
kepada-Nya dan melakukan yang
benar. Ini adalah kecenderungan
alamiah manusia, dengan tidak
adanya faktor-faktor yang sifatnya
berseberangan. Meskipun semua anak
dilahirkan dalam keadaan fiṭrah,
pengaruh lingkungan sangat menen-
tukan; orang tua dapat mempenga-
ruhi agama anak dengan membuatnya
seorang Kristen, Yahudi atau Magian.
Jika tidak ada pengaruh buruk, maka
anak akan terus memanifestasikan
19Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. VI, terj.
M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’I, 2001, h. 371..
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
71 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
fiṭrah-nya sebagai sifat sejatinya.
Karena banyak bayi dilahirkan
dengan cacat fisik kotor, pencederaan
sebagaimana dimaksud dalam hadis
ini tidaklah dimaksudkan dalam arti
fisik, artinya semua anak dilahirkan
secara rohani murni, dalam keadaan
fiṭrah. Referensi kepada hewan yang
lahir utuh dalam hadits yang inti
harus dilihat sebagai analogi untuk
menggambarkan kondisi keutuhan
rohani yang serupa saat seorang anak
dilahirkan.”20
Dengan demikian, fiṭrah dalam
konteks ajaran Islam terhadap
lingkungan berarti bahwa Allah ingin
manusia memegang teguh janjinya
sesuai dengan fiṭrah Islam. Ajaran-
ajaran Islam memberikan batas-batas
moral yang pada intinya menetapkan
bahwa tidak ada yang boleh dilakukan
secara berlebihan, apalagi untuk
menciptakan kehancuran (QS. Ali Imran
[3]: 147; al-Mā’idah [5]: 77; al-An‘ām
[6]: 141; al-A‘rāf [7]: 31).
E. Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1) Islam mengajarkan keterpaduan,
tidak ada dikotomi antara
pengetahuan (sains) dengan
keyakinan agama.
2) Allah swt memberikan karunia, dan
memberikan Qur’an dan Sunnah
sebagai pedoman dalam
pengelolaan bumi.
3) Memelihara alam dan lingkungan
merupakan bagian dari misi
khalifah (pengemban amanah).
20Mohammed Yasien, The Definition of
Fitrah, London: TA-HA Publishers, 1996, h. 21.
4. Memelihara dan menjaga
keseimbangan (mīzān) bumi,
merupakan wujud dari amanah agar
manusia tetap berada dalam
fitrahnya. []
Daftar Pustaka
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Gore, Albert, Our Choice: Rencana untuk
Memecahkan Krisis Iklim, terj. P.
Handono Hadi, Jakarta: Kanisius,
2010.
Ibn Kaṡīr, Tafsir Ibnu Katsir, Jil. II, V, dan VI, terj. M. Abdul Ghoffar E.M, Jakarta: Pustaka Imam asy-Sayfi’i, 2001.
Khalid, Fazlun, Qur’an Creation and Conservation, Birmingham, UK: Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences 1999.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Madjid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Mangunjaya, Fachruddin, “Islam and Natural Resources Management”, dalam J.M. McKay (ed), Integration Religion Within Conservation: Islamic Belief and Sumatran Forest Management, UK: Darwin Initiative Case Study, Durrel Insitute of Conservation and Ecology University of Kent, 2013.
Murdiarso, D., “Perubahan Iklim: Dari Obrola Warung Kopi ke Meja Perundingan”, Prisma, April 2012.
Nasr, Seyyed Hossein, “The Problem,” taken from Man and Nature, Chicago: Kazi Publication, 1997.
Fachruddin Mangunjaya: Kerusakan Lingkungan: Epistemologi Sains Islam dan Tanggung Jawab Manusia
72 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Rockström, J., et al, “A Safe Operating
Space for Humanity”, dalam Nature
461 (24 September 2009).
White Jr, Lynn, “The Historical Root of our ecologic crises”, Science Vol 155 (Number 3767), 10 Maret 1967.
Wikipedia.org/wiki/Maurice_Bucaille Yahya, Harun, Design in Nature. London:
Taha Publisher, 2002.
Yasien, Mohammed, The Definition of
Fitrah, London: TA-HA Publishers,
1996.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
73
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
MEMBACA AYAT-AYAT AL-QURAN DENGAN PERSPEKTIF IAN G. BARBOUR
Achmad Bisri
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
Jl. Prof. Dr. Hamka Km.1, Ngaliyan, Semarang
e-mail: [email protected]
Asbtract: This aticle aims to understand the science verses of the Quran
with Ian G. Barbour perspective. To elaborate the problem, I used the
qualitative research with hermeneutic analysis. There are three findings
important in the research. Firstly, regarding the relation between religion
and science Ian G. Barbour divided four typologies: conflict, independence,
integration, and dialogue. Secondly, regarding to the Quran verses in the
line with Barbour’s thought to be found that some possibilities the science
explain the scientific verses of the Quran. Thirdly, with Barbour’s
perspective it was found the fact that relation the Qur’an and the science
were conflict, independence, and integration.
Abstrak: Artikel ini bertujuan memahami ayat-ayat sains dengan
perspektif Ian G. Barbour. Untuk menjelaskan masalah ini, saya
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan analisis hermeneutik.
Adapun temuan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Pertama,
dalam mengemukan hubungan antara agama dan sains, Ian G. Barbour
membagi ke dalam empat tipologi (konflik, independen, integrasi, dan
dialog). Ia melihat bahwa keempat tipologi ini dijumpai di kalangan
saintis dan agamawan. Kedua, Berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran
yang senada dengan pemikiran Ian G. Barbour memang ditemukan
adanya kemungkinan sains menjelaskan ayat-ayat ilmiah dalam al-
Quran. Ketiga, dengan perspektif Ian G. Barbour, ditemukan fakta
bahwa relasi al-Quran dan sains berada pada tipologi konflik,
independen, dan integratif. Konflik terjadi ketika sains berbicara
tentang alam yang terbebas dari campur tangan Tuhan; independensi
terjadi ketika berkaitan dengan teori evolusi Darwin. Namun, integrasi
terjadi juga ketika sains mampu memecahkan informasi-informasi
ilmiah yang disajikan al-Quran.
Keywords: al-Quran, sains, dialog, integrasi, independen.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
74
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
A. Pendahuluan
Dalam Keputusan Rektor Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo1
Semarang Nomor 10 Tahun 2014
disebutkan: “Perguruan Tinggi Islam
Riset Terdepan Berbasis Kesatuan Ilmu
Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan
Peradaban.” Visi ini menyiratkan sebuah
kesadaran bahwa ilmu pengetahuan
tidak boleh lagi agama dikhotomis,
agama di satu di sisi, dan sains (science)
di sisi yang lain.
Visi ini sesungguhnya telah
diisyaratkan oleh Rasulullah dalam
banyak hadis yang menganjurkan
pencarian ilmu ke mana saja (“Carilah
ilmu walau ke negeri Cina”) dan kapan
saja (“Carilah ilmu dari buaian bayi
hingga liang lahat”). Itulah sebabnya
generasi awal, generasi-generasi ulama
yang pertama rajin menerjemahkan
karya-karya ilmiah dari berbagai bangsa
dan bahasa untuk kemudian disesuaikan
dengan ajaran Islam dan dikembangkan
lebih lanjut. Jadi, secara instrinsik tidak
ada pertentangan antara sains dan
Islam. Sains dalam pengertiannya yang
modern adalah pengembangan dari
filsafat alam yang merupakan bagian
dari filsafat yang menyeluruh dalam
khazanah keilmuan Yunani. Namun,
filsafat Yunani terlalu deduktif, yang
lebih berdasarkan pada pemikiran
spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi
oleh pengamatan empiris sebagaimana
yang diperintahkan oleh al-Quran. Dari
sini, di tangan ilmuwan Muslim, sains
1Sejak 6 April 2015, IAIN sudah berubah
status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo dengan visi: “Universitas Islam Riset Terdepan Berbasis pada Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradaban.”
berkembang dengan pesat. Pengujian
ekperimentasi me- nenyebabkan sains
Islam menjadi kukuh. Sains memperoleh
karak-ternya yang rasional objektif
selama gelombang pertama peradaban
Islam. Namun, rasionalitas sains tak bisa
dilepaskan dari rasionalitas religius
karena teologi, filsafat, dan sains
merupakan kesatuan integral.2
Kesadaran untuk mengintegrasi-
kan agama dan sains ini secara
internasional telah dibahas dalam
“Konferensi Internasional Kajian Islam
XIII-Integrasi Agama dan Sains ala
Indonesia” di Lombok, Nusa Tenggara
Barat, 18-21 Nopember 2013. Seorang
pembicara dari Ibn Thufayl University,
Maroko, Maryam Ait Ahmed
mengatakan bahwa integrasi ilmu Islam
dan ilmu lain sebenarnya sudah ada
sejak jaman dahulu. Menurutnya, dalam
sejarah ilmu peradaban Islam, para
ulama juga mempelajari ilmu-ilmu
orang lain yang disebut ‘ilmu orang-
orang terdahulu’ untuk mengakui
warisan bersama umat manusia. Ia
merujuk intelektual besar Islam seperti
al-Kindī, Ibn Ṣīnā, Ibn Rusyd, yang tidak
pernah melontarkan klaim ‘kedok-teran
Islami’ atau ‘filsafat islami’, namun
hanya mengandalkan kajian ilmiahnya
yang pada akhirnya memunculkan
pengakuan bahwa buah pikir mereka
adalah produk “orang Islam”. “Maka kita
tidak boleh memisahkan antara ilmu dīn
dan ilmu dunia. Dengan demikian,
integrasi keilmuan sangat perlu.”3
2Armahedi Mahzar, Revolusi Integ-ralisme
Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Bandung: Mizan, 2004, h. 210-211.
3“Konferensi Internasional Kajian Islam XIII - Integrasi Agama dan Sains ala Indonesia”,
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
75
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Apa yang menjadi visi besar UIN
Walisongo dan juga para ilmuwan
Muslim di seluruh dunia tampaknya
untuk menjawab hubungan yang tidak
harmonis antara agama dan sains.4
Fenomena ini terlihat dari banyaknya
seminar, terbitnya buku-buku dan
munculnya artikel-artikel dengan tema
tersebut. Tahun 1998, The Center for
Theology and the Natural Science
menyelenggarakan seminar dengan
tema “Science and the Spiritual Quest”,
sehingga Newsweek menurunkan tajuk
“Science Finds God”.5 Jurnal Zygon, yang
banyak memuat tulisan tentang isu
agama dan sains, juga merupakan ikon
penting dalam hal ini. Walaupun
demikian, kajian sistematis tentang peta
hubungan sains dan agama telah muncul
sejak awal paruh kedua abad XX, dengan
kehadiran Ian Barbour sebagai salah
satu tokoh pentingnya.6
Ian G. barbour adalah seorang
ilmuwan, ahli bidang fisika dan teologi,
yang melalui beberapa bukunya, Nature,
Human Nature, and God; Issues in Science
and Religion, dan dalam terjemahan
bahasa Indonesia, Juru Bicara Tuhan:
Dialog antara Sains dan Agama
(Bandung: Mizan, 2002), mencoba
diakses dari http://www.koran-sindo.com/node/345974 (30 Januari 2014).
4Lihat misalnya beberapa tulisan yang membahas tentang hubungan tidak harmonis ini: Frederick Temple, The Relations between Religion and Science: Eight Lectures Preached before the University of Oxford in the Year 1884 on the Foundation of the Late Rev. John Bampton, M.A, Cambridge: Cambridge University Press, 2009; Willem B. Drees, Religion and Science in Context: A Guide to the Debates, London dan New York: Routledge, 2010.
5Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Mutlidimensi Agama dan Sains: Analisis Sains Islam al-Attas dan Mehdi Golshani, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012, h. 19.
6Ibid., h. 19-20.
menampilkan gambaran yang amat
berbeda tentang sains dan agama.
Melalui buku-bukunya itu, Barbous
mengingatkan adanya “titik temu”
antara sains dan agama, yang sebenar-
nya bisa saling melengkapi. Berangkat
dari kerangka ini, maka Kitab Suci al-
Quran yang memuat informasi-
informasi ilmiah (sains) akan dipahami
dengan perspektif Barbour ini.
Sebagaimana diingatkan oleh Agus
Purwanto7 bahwa al-Quran turun bukan
di ruang hampa, juga bukan pada awal
sejarah kelahiran umat manusia. Al-
Quran turun ketika beberapa peradaban
telah berlangsung, beberapa pemikiran
nonwahyu tentang alam telah ber-
kembang. Artinya, sebelum al-Quran
diturunkan, manusia telah mempunyai
teori, pendapat, atau pandangan tentang
aneka fenomena alam. Karena itu, ketika
Islam datang dengan Kitab Suci al-
Qurannya, bukan untuk menghapus
paham-paham atau ajaran-ajaran yang
pernah ada sebelumnya. Sebaliknya,
Islam hadir untuk meluruskan yang
menyimpang dan menyempurnakan
yang kurang, termasuk tentang akal dan
perannya dalam memahami alam fisik
maupun nonfisik. Dengan kata-kata lain,
sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi
Azra:
“Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta menjadi UIN Syarif Hida-
yatullah Jakarta pada dasarnya ber-
tujuan untuk mendorong usaha
reintegrasi epistemologi keilmuan
yang pada gilirannya menghilangkan
dikhotomi antara ilmu-ilmu agama
7Lihat: Agus Purwanto dalam dua
bukunya: (1) Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi al-Quran yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 2013; dan (2) Nalar Ayat-ayat Semesta, Bandung: Mizan, 2012.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
76
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
dan ilmu-ilmu umum. Hal ini penting
dalam rangka memberikan landasan
moral Islam terhadap perkembangan
iptek dan sekaligus mengartikulasi-
kan ajaran Islam secara proporsional
di dalam kehidupan masyarakat.”8
Tulisan ini lebih jauh akan
memfokuskan pada “membaca” Kitab
Suci al-Quran yang berisi informasi-
informasi dengan perspektif Ian G.
Barbour tersebut. Barbour telah
membagi empat tipologi relasi sains dan
agama: konflik, independensi, integrasi,
dan dialog.
B. Tentang Ian G. Barbour
Ian Graeme Barbour—selanjutnya
digunakan Barbour—lahir pada 5
Oktober 1923 di Beijing, Republik
Rakyat Tiongkok (Cina). Ia merupakan
anak kedua dari tiga anak dari seorang
ibu Episkopal Amerika dan seorang ayah
Presbyterian Skotlandia. Ia menghabis-
kan masa kecilnya di Cina, Amerika
Serikat, dan Inggris. Dia menerima gelar
B.Sc. dalam fisika dari Universitas
Swarthmore. Gelar M.Sc. dalam fisika
dari Duke University pada tahun 1946,
dan dan Ph.D. dalam fisika dari
University of Chicago pada tahun 1950.
Sedangkan gelar B.Div. diraihnya pada
tahun 1956 dari Universitas Yale's
Divinity School.9
Barbour mengajar di Carleton
College awal tahun 1955 sebagai
Profesor agama. Pada 1970-an, ia men-
dirikan program Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, dan Kebijakan Publik (the
8Azyumardi Azra, “Sambutan Rektor,”
Prospektus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta “Wawasan 2010” Leading Toward Research University, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006, h. ii.
9http://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Barbour
Science, Technology, and Public Policy
Program) di Carleton, yang kemudian
menjadi program Studi Teknologi
Lingkungan dan Teknologi (the
Environment and Technology Studies
program). Dia pensiun pada tahun 1986
sebagai Winifred dan Atherton Bean
Profesor Emeritus Ilmu, Teknologi dan
Masyarakat.10
Barbour menikah dengan Deane
Kern dari tahun 1947 sampai kematian-
nya pada tahun 2011 Mereka memiliki
empat anak. Ia menderita stroke pada
20 Desember 2013 di rumahnya di
Northfield, Minnesota , dan tetap dalam
keadaan koma di Rumah Sakit Abbott
Northwestern sampai kematiannya
empat hari kemudian (24 Desember
2013).
B.1. Kiprah dan Karya-karya
Sejarah hubungan ilmu dan agama
di Barat mencacat bahwa pemimpin
gereja menolak Teori Heliosentris
Galileo atau Teori Evolusi Darwin.
Pemimpin gereja membuat pernyataan
yang berada di luar kompetensinya.
Sementara di dunia Timur, dalam hal ini
dunia Islam, pengajaran ilmu-ilmu
agama Islam yang normatif-tekstual
terlepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu
sosial, ekonomi, hukum dan humaniora
pada umumnya.11
Di Barat, wacana mengenai hubu-
ngan ilmu dan agama di era millenium
baru ini dipopulerkan oleh Barbour.
Teolog cum fisikawan Kristen ini di-
anggap sebagai salah seorang peletak
10http://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Barbo
ur 11Waston, “Hubungan Sains dan Agama:
Refleksi Filosofis atas Pemikiran Ian G. Barbour”, PROFETIKA: Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1, Juni 2014, h. 77.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
77
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
dasar wacana mutakhir sains dan
agama, baik dari segi materi maupun
metodologinya. Pengaruhnya kini telah
amat menyebar berkat penerjemahan
buku-bukunya, termasuk di Indonesia.12
Kiprah Barbour dalam konteks
hubungan sains dan agama telah di-
gambarkan secara komprehensif oleh
Russel. Barbour dikenal sebagai salah
seorang penggagas dialog antara sains
dan agama sekarang ini. Ia telah mende-
dikasikan dirinya dan memberi kontri-
busi yang luas pada ranah ini. Kontri-
businya dalam usaha menghubungkan
antara sains dan agama dapat dikatakan
jauh lebih besar daripada sumbangan
para ahli lainnya bahkan sampai
sekarang yang masih menulis. Sejak
tulisan-tulisannya yang paling awal,
Barbour telah memberi perhatian serius
terhadap bentuk bagaimana hubungan
yang tepat antara ilmu dan agama. Ia,
karenanya secara terus menerus
membahas masalah ini.
Pengakuan atas otoritasnya dalam
perbincangan sains dan agama datang
dalam bentuk undangan untuk
memberikan rangkaian kuliah Gifford
Lectures pada 1989-1991. Forum
akademik yang prestisius ini bertujuan
“mempromosikan studi mengenai
Theology of Nature dalam makna ter-
luasnya, yaitu ilmu mengenai Tuhan.
Dari ceramah-ceramah ini, ia menerbit-
kan buku terpentingnya, Religion in an
Age of Science and Ethics in an Age of
Technology.
Mengenai peran Barbour dalam
perkembangan terakhir ini, para peng-
12Zaenal Abidin Bagir, “Pengantar” dalam
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sans dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002, h. 22.
kaji sains dan agama sepakat, tak
berlebihan mengatakan bahwa dialah
peletak dasar wacana mutakhir tentang
sains dan agama. Tentu, dia bukan orang
pertama yang menaruh perhatian pada
isu yang sudah berusia lama ini. Sejak
awal perkembangan sains modern, per-
tanyaan-pertanyaan menyangkut otori-
tas teori sains dan otoritas wahyu sudah
kerap muncul. Lalu pada awal abad ke
20, kita sering menemui lontaran-
lontaran religius para ilmuwan besar,
seperti Einstein, Heisenberg atau Planck
dan lain-lain. Akan tetapi, sebagaimana
diakui para pengkaji isu ini, Barbour
adalah orang pertama yang secara amat
serius mengembangkan wacana ini, baik
dari segi materi maupun metodo-
loginya.13
Dalam jurnal Zygon, yang ber-
spesialisasi pada sains agama, Gregory
R. Peterson bahkan mencatat dasawarsa
1990 sebagai titik balik penting dalam
lanskap wacana sains dan agama. Pada
awal dasawarsa itu, aecara serentak
terbit beberapa buku akademik pada
saat yang hampir bersamaan (di
antaranya buku Barbour, Religion in an
Age of science). Salah satu pengakuan
penting akan keberhasilan rintisannya
ini terwujud dalam pemberian peng-
hargaan Templeton (yang besarnya satu
juta dolar AS, lebih besar daripada
hadiah Nobel) pada tahun 1999. Dalam
kesempatan itu, Barbour mendapat
pujian dari John B. Cobb:
"No contemporary has made a more
original, deep and lasting contribution
toward the needed integration of
13Zubaidi, Dialog antara Sains menurut Ian
G. Barbour dengan Ayat-ayat al-Qur’an, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2005, h. 14.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
78
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
scientific and religious knowledge and
values than Ian Barbour. With respect
to the breadth of topics and fields
brought into this integration, Barbour
has no equal."14
“Tidak ada yang hasilkan di era
kontemporer ini suatu yang lebih
orisinal, kontribusi mendalam dan
abadi terhadap kebutuhan integrasi
ilmiah dan nilai-nilai dan pengetahu-
an agama daripada Barbour. Sehu-
bungan dengan luasnya topik dan
bidang dibawa ke integrasi ini,
Barbour tidak ada bandingannya.”
Seluruh hadiah itu, dia sumbang-
kan ke Center for Theology and Natural
Sciences, yang setahun sebelumnya
menjadi penyelenggara SSQ di Berkeley.
Dia mengatakan “tujuan saya sejak awal
terlibat dalam wacana ini adalah mem-
promosikan dialog tentang masalah-
masalah konseptual dan etis, bukan
mencampuradukkan sains dan agama.
Dari pandangan yang meletakkan sains
dan agama dalam kotak-kotak terpisah,
saya bergerak untuk menemukan
wilayah-wilayah subur bagi pe-
ngembangan interaksi keduanya.”
B.2. Karya-karyanya
Hampir semua buku Barbour
bertujuan utama untuk memberikan
peta bagi para ahli yang sejalan dengan
pemikirannya.
Dalam usahanya untuk meng-
hubungkan ilmu pengetahuan dan
agama di Isu dalam Sains dan Agama,
Barbour menciptakan istilah 'realisme
kritis'. Ini telah diadopsi oleh para
sarjana lainnya. Ia mengaku struktur
dasar agama adalah sama dengan ilmu
14http://en.wikipedia.org/wiki/Ian_Barbo
ur
pengetahuan dalam beberapa hal tetapi
juga berbeda pada beberapa poin
penting. Mereka adalah bagian dari
spektrum yang sama di mana kedua
layar 'subjektif' serta fitur 'obyektif'.
Subjektif meliputi teori pada data,
ketahanan teori komprehensif untuk
pemalsuan, dan tidak adanya aturan
untuk pilihan antara paradigma. Fitur
tujuan termasuk adanya data umum,
bukti untuk atau terhadap teori, dan
kriteria yang tidak tergantung
paradigma. Kehadiran fitur subjektif dan
objektif dalam ilmu pengetahuan dan
agama membuat nya berpikir berharga
dan asli. Argumen Barbour telah
dikembangkan secara signifikan dan
beragam oleh berbagai sarjana, ter-
masuk Arthur Peacocke, John Polking-
horne, Sallie McFague dan Robert John
Russell.
Karya-karya penting Barbour
adalah: Issues in Science and Religion
(New York: Harper & Row Publisher,
1971), When Science Meets Religion
(New York: Harper Sanfrancisco, 2000),
Menemukan Tuhan dalam Sains
Kontemporer dan Agama (Bandung:
Mizan, 2005).
C. Ayat-Ayat Sains Perspektif Ian G.
Barbour
Muhammad Quraish Shihab
pernah mengingatkan bahwa al-Quran
bukan suatu kitab ilmiah sebagaimana
halnya kitab-kitab ilmiah yang dikenal
selama ini. Salah hal yang membuktikan
kebenaran pernyataan di atas adalah
sikap al-Quran terhadap pertanyaan
yang diajukan oleh para sahabat Nabi
tentang kejadian bulan: “Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan” (QS.
al-Baqarah [2]: 189). Menurut ayat ini,
mereka bertanya mengapa bulan (sabit)
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
79
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
terlihat dari malam ke malam membesar
hingga purnama, kemudian sedikit demi
sedikit mengecil, hingga menghilang
dari pandangan mata.15
Pertanyaan di atas, lanjut Shihab,
tidak dijawab al-Quran dengan jawaban
ilmiah yang dikenal oleh astronom,
tetapi jawabannya justru diarahkan
kepada upaya memahami hikmah di
balik kenyataan itu,16 untuk menunjuk-
kan kebesaran Tuhan dan keesaan-Nya
serta mendorong manusia seluruhnya
untuk mengadakan observasi dan pene-
litian demi lebih menguatkan iman dan
kepercayaan kepada-Nya.17 Di sini al-
Quran tetap memberikan kesempatan
kepada mereka yang mempunyai nalar
(akal) untuk memecahkan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukannya.
Al-Quran menyebut akal (‘aql)
sebanyak 49 kali dengan 48 kata dalam
bentuk kata kerja sedang/akan atau
imperfektum (fi’il muḍāri’) dan satu kata
kerja lampau (f’il māḍi). tepatnya,
ya’qilūn 22 kali, ta’qilūn 24 kali, dan
na’qilu, ya’qilu, ‘aqalū, masing-masing
satu kali. Masing-masing pola mem-
punyai karakteristik pesan tersendiri.18
Dengan mencermati posisi akal ini,
maka Allah menghendaki agar manusia
yang mau menggunakan akal-nya
tersebut untuk merenungi dan meme-
cahkan misteri-misteri alam semesta
15M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran
ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1997.
16Ibid., h. 166. 17M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-
Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996, h. 51.
18Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat Semesta: Menjadikan al-Quran sebagai Basis Konstruksi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Mizan, 2012, h. 59.
yang diciptakan-Nya. Inilah yang disebut
dengan ayat-ayat kauniyah, yang di
dalamnya berisi informasi-informasi
ilmiah (sains).
Dalam tulisan ini, penulis hanya
membatasi ayat-ayat sains yang menjadi
konsen Ian G. Barbour dalam bukunya
yang membahas dua persoalan pokok,
yakni (1) kejadian alam semesta, dan (2)
evolusi dan penciptaan manusia.19
Kedua persoalan ini, masing-masing
dibahas di bawah ini.
C.1. Kejadian Alam Semesta
Dalam al-Quran dijumpai beberapa
ayat yang membahas tentang kejadian
alam semesta sebagai berikut:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu,
kamu sangka ia tetap di tempatnya,
padahal ia berjalan sebagai jalannya
awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-
tiap sesuatu; sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS. al-Naml [27]: 88).
Tuhan yang memelihara kedua
tempat terbit matahari dan Tuhan
yang memelihara kedua tempat
terbenamnya (QS. al-Rahman [55]:
17).
Sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab
dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan ke-
adilan. Dan Kami ciptakan besi yang
padanya terdapat kekuatan yang
hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka memper-
gunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong
(agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya,
19Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan
dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias M, Bandung: Mizan, 2005.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
80
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi
Maha Perkasa (QS. al-Hadid [57]: 25)
Maha suci Allah, yang telah mem-
perjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-
Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Se-
sungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui
(QS. al-Isra [17]: 1).
Allah Pencipta langit dan bumi, dan
bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukup-
lah) Dia hanya mengatakan kepada-
nya: "Jadilah!" lalu jadilah ia (QS. al-
Baqarah [2]: 117).
Dan Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dengan benar; dan benarlah
perkataan-Nya di waktu Dia mengata-
kan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di
tangan-Nyalah segala kekuasaan di
waktu sangkakala ditiup. Dia menge-
tahui yang ghaib dan yang nampak.
dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi
Maha mengetahui (QS. al-An’am [6]:
73).
Dari ayat di atas, Tuhan
memberitahukan kepada kita bagai-
mana Dia menciptakan langit dan bumi
ini dengan hanya mengatakan “kun
fayakūn”, yang tampak seperti “mirip
permainan sulap yang diawali dengan
mantra Sim Salabim atau Abrakadabra”.
Di sini memang sangat sulit dinalar oleh
akal manusia, karena tidak melalui
proses yang masuk akal, dan sebab
akibat bagi proses penciptaannya.
Namun, menurut Agus Purwanto, dalam
penciptaan dan penyelenggaraan tatan-
an alam semesta, Tuhan menyertakan
edukasi bagi manusia. Tidak ada kesulit-
an atau halangan bagi-Nya untuk men-
ciptakan dan menyelenggarakan sendiri
segala sesuatu yang di langit dan di
bumi. 20
Sementara itu, menurut mufassir
M. Quraish Shihab, kata “kun” dalam
firman-Nya “kun fayakūn” digunakan
untuk menggambarkan betapa mudah
bagi Allah menciptakan sesuatu dan
betapa cepat terciptanya sesuatu itu bila
Dia menghendaki. Cepat dan mudahnya
diibaratkan dengan mengucapkan kata
kun, walaupun sebenarnya Allah tidak
perlu mengucapkannya, karena Dia
tidak memerlukan suatu apa pun untuk
mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya.
“Sekali lagi, kata kun hanya untuk
melukiskan—buat manusia—be-tapa
Allah tidak membutuhkan sesuatu
untuk mewujudkan kehendak-Nya
dan betapa cepat sesuatu dapat
wujud, sama bahkan lebih cepat—jika
Dia meng-hendaki—dari masa yang
diguna-kan manusia mengucapkan
kata kun.”21
Dari penjelasan di atas jelaslah
bahwa Tuhanlah Pencipta awal, Pe-
ngatur, Pemelihara, dan Penghancur
alam semesta ini sesuai dengan ke-
hendak-Nya. Ini, misalnya, dijelaskan
dalam ayat pertama surah al-Fatihah:
“al-Ḥamdu li Allāh Rabb al-‘Ālamīn”
(segala puji bagi Allah Rabb semesta
alam). Menurut Maulana Muhammad
Ali, dalam kata Rabb itu terkandung
makna yang lengkap sebagai berikut:
Hence Rabb is the Author of all
existence, Who has not only given to
the whole creation its means of
nourishment but has also beforehand
ordained for each a sphere of capacity
20Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat
Semesta, h. 319. 21M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh:
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. IV, Jakarta: Lentera Hati, 2001, h. 153.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
81
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
and within that sphere provided the
means by which it continues to attain
gradually to its goal of perfection. By
the use of the word Rabb the Holy
Qur’an thus hints at the law of
evolution which is working in the
universe.”22
“Jadi, Rabb ialah Pencipta sekalian
makhluk, Yang bukan hanya memberi
penghidupan saja, melainkan bagi
tiap-tiap makhluk telah Ia tentukan
sebelumnya daya kemampuan, dan
dalam lingkungan daya kemampuan
itu telah Ia siapkan sarana, yang
dengan sarana itu mereka secara
berangsur-angsur dapat meneruskan
perkembangannya hingga mencapai
puncak kesempurnaan. Jadi dengan
dicantumkannya sifat Rabb, al-Quran
mengisyaratkan adanya hukum
evolusi yang bekerja di alam
semesta.”
Lalu bagaimana pendapat para
saintis? Dalam catatan Barbour, para
saintis terbelah: ada yang tetap
mengakui keterlibatan Tuhan da nada
yang menolak campur tangan Tuhan
dalam penciptaan alam semesta ini.23
Bagi yang menolak campur tangan
Tuhan, mereka sama sekali tidak
menempatkan Tuhan untuk mengisi
celah-celah yang belum dijelaskan
dalam uraian ilmiah. Inilah kaum ateis.
Kaum ini mengatakan bahwa materi
berasal dari keabadian, bahwa ia tidak
memiliki permulaan, dan bahwa semua
bentuk berkembang secara kebetulan.
Sebagai contoh, seorang pakar teori
materialis ternama George Politzer,
22Maulana Muhammad Ali, The Holy
Qur’an: Arabic Text, English Translation, and Commentary, Lahore, Inc. U.S.A.: Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1991, h. 3.
23Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h. 77.
dalam tulisannya, menyatakan bahwa
alam semesta tidak diciptakan; kalau
memang diciptakan, maka semesra itu
pastilah buah karya Tuhan yang
menciptakannya pada suatu masa dari
ketiadaan. Oleh karena itu, agar bisa
menerima teori penciptaan, kita harus
membayangkan adanya suatu masa saat
tidak ada alam semesta, karena ia
muncul dari kehampaan.24
Sementara yang menerima campur
tangan Tuhan menegaskan bahwa
adanya bukti sains yang mendukung
keterlibatan Tuhan dalam penciptaan.
“….Allah mempunyai satu peranan
yang berkelanjutan dalam menopang
dunia dan hukum-hukumnya…dunia
ini tidak berdiri sendiri, tetapi
membutuhkan dukungan terus-
menerus dari Allah agar bisa bertahan
dan kuat.”25
Barbour termasuk yang menerima
adanya campur tangan Tuhan dalam
penciptaan alam semesta ini. “Allah
melampaui alam, tetapi Dia imanen
dalam proses-proses temporal, karena
Allah hadir dalam proses terwujudnya
setiap peristiwa. Ini berarti, alam tidak
boleh dieksploitasi atau disembah,
tetapi harus dihormati dan dihargai,
karena alam adalah panggung bagi
aktivitas Allah yang terus berkelanjut-
an,” tegas Barbour. 26 Di bagian lain, al-
Quran menyatakan bahwa Allah men-
ciptakan tatasurya ini selama enam hari:
Allahlah yang menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa,
24Caner Taslaman, Miracle of the Quran:
Keajaiban al-Quran Mengungkap Penemuan-penemuan Ilmiah Modern, Bandung: Mizan, 2010, h. 45.
25Ibid., h. 80. 26Ibid., h. 286.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
82
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
kemudian Dia bersemayam di atas
'Arsy (QS. as-Sajdah [32]: 4).
Merujuk QS. al-Hajj [22]: 47 di-
jelaskan bahwa satu hari itu setara
dengan 1.000 tahun Qamariyah (lunar
year) atau 972 tahun Syamsiah (solar
year), yakni tahun pergantian musim.
Dengan demikian, yang dimaksud enam
hari pada ayat di atas adalah 6.000
tahun.27 Lalu ditegaskan bahwa Dia
bersemayam di ‘Arsy, yang berarti Allah
menciptakan dunia seperti yang kita
lihat ini dalam enam jarak waktu yang
besar, tetapi setelah penciptaan
pertama, Dia masih berkuasa, mengatur,
dan mengawasi segala masalah. Dia
tidak menyerahkan kekuasaan-Nya
kepada yang lain, lalu Dia sendiri
beristirahat.28 Dia tetap mengurus
ciptaan-Nya tanpa terikat oleh waktu,
dan tidak pernah beristirahat sejenak
pun:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia yang hidup
kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya); tidak mengantuk dan
tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang
di langit dan di bumi. Tiada yang
dapat memberi syafa'at di sisi Allah
tanpa izin-Nya? Allah mengetahui
apa-apa yang di hadapan mereka dan
di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya.
Kursi Allah meliputi langit dan bumi.
dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah
27Nazwar Syamsu, al-Qur’an Dasar Tanya
Jawab Ilmiah, Jakarta: Ghalia Indonesia, t.th, h. 20.
28Abdullah Yusuf Ali, Qur’an: Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 1065.
Maha Tinggi lagi Maha besar (QS. al-
Baqarah [2]: 255).
Sekiranya ada di langit dan di bumi
tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa. Maka
Maha suci Allah yang mempunyai
'Arsy dari apa yang mereka sifatkan.
Dia tidak ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya dan merekalah yang
akan ditanyai. Apakah mereka me-
ngambil tuhan-tuhan selain-Nya?
Katakanlah: "Tunjukkanlah hujjahmu!
(al-Quran) ini adalah peringatan bagi
orang-orang yang bersamaku, dan
peringatan bagi orang-orang yang
sebelumku." Sebenarnya kebanyakan
mereka tiada mengetahui yang hak,
karena itu mereka berpaling; dan
Kami tidak mengutus seorang
Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan Aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-
Anbiya [21]: 22-25).
Dengan demikian, Allah sendiri
yang menciptakan alam semesta, ma-
nusia dan segala yang melata di atas
bumi serta yang terkandung di
dalamnya. Allah telah menjadikan
semua itu dari tidak ada dan
meletakkannya dalam suatu sistem yang
indah lagi rapi agar dapat menjadikan
sasaran pemikiran akal, sehigga darinya
dapat disimpulkan adanya Pencipta
Yang Maha Esa secara pasti, dan juga
agar kehidupan manusia di dalamnya
menjadi mudah dan gampang.29
Untuk menjelaskan secara ilmiah
tentang asal mula alam semesta ini
secara ilmiah, penulis akan mengutip
secara panjang lebar teori Big Bang yang
29M. Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat,
Jakarta: Bulan Bintang, 1988, h. 11.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
83
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
dikutip dari Caner Taslaman sebagai
berikut:
Teori Big Bang membenarkan bahwa
alam semesta dan waktu memiliki
permulaan dan materi tidak berasal
dari keabadian, tetapi diciptakan.
Pernyataan bahwa alam semesta
muncul dari keabadian sudah
dipatahkan. Big Bang tidak hanya
menunjukkan alam semesta di-
ciptakan oleh Sang Maha Pencipta,
tetapi secara bersamaan juga
membuktikan kelirunya keyakinan
semisal pendistribusian kekuasaan di
antara dewa-dewa, masing-masing
menguasai bumi, matahari, bulan, dan
gunung. Jelaslah bahwa siapa pun Dia,
Dialah yang merancang komposisi
awal dari alam semesta, yang
menyebabkan terjadinya Big Bang,
Pencipta segala sesuatunya. Dengan
demikian, alam semesta berada di
bawah kendali eksklusif Satu
Penguasa Tunggal dan kekuasaan ini
tidak dibagi. Jagat raya ini muncul
dari satu titik tunggal; Pencipta titik
itu adalah juga Pencipta manusia,
sungai, bintang, kupu-kupu, super-
nova, warna, penderitaan dan
kebahagiaan, musik dan estetika.
Karena segalanya maujud muncul
dari keesaan, Dia pastilah Pencipta
"keesaan" itu.
Big Bang menunjukkan bahwa materi
yang dipuja kaum ateis, dan materi
yang menyusun keseluruh-an alam
semesta ini tidak lain adalah sebutir
debu yang tak berarti, bisa dikatakan
demikian. Mereka yang menyaksikan
bahwa dari butiran tak berarti telah
muncul manusia, binatang buas,
tanaman, dan jagat raya dalam
cahayanya yang berkilauan, me-
mahami bahwa kegeniusan itu tidak
termaktub di dalam materi itu se-
ndiri, tetapi sesuatu di luarnya, yaitu
Sang Pencipta. Tutup mata Anda dan
cobalah membayangkan keham-paan,
lalu buka mata Anda dan lihat
pepohonan, lautan, langit, bayangan
Anda sendiri yang terpantul di
cermin, makanan yang tersaji untuk
Anda santap, dan karya seni....Bagai-
mana mungkin semua kemegahan ini
muncul sendiri dari kegelapan dan
dari satu titik tunggal dalam
kehampaan? Bagi otak yang cerdas,
ciptaan itu terungkap tidak hanya
dalam estetika seni, tetapi juga dalam
kerangka matematis. Kecepatan pe-
ngembangan alam semesta berada
pada besaran yang sangat kritis.
Menurut ungkapan seorang ilmuwan,
andai saja kecepatan ledakan purba
lebih lambat 1/1018-nya, maka alam
semesta akan runtuh, tenggelam ke
dalam dirinya sendiri dan tidak
mungkin menjadi seperti sekarang
ini. Demikian pula halnya dengan
kuantitas materi, jika ia kurang dari
yang sebenarnya, alam semesta tidak
akan tersebar ke sekitar, membuat
pembentukan benda-henda langit
menjadi tak mungkin. Kekuatan yang
berlaku dalam pemecahan komposisi
awal pada saat penciptaan tidak
hanya hebat tiada bandingan, tetapi
rancangan di baliknya luar biasa
brilian. Segala sesuatunya di-rancang
oleh Sang Pencipta untuk me-
mungkinkan keberadaan alam
semesta. Semua peristiwa ini adalah
sarana untuk menunjukkan
kekuasaan tak terbatas Sang Pencipta
kepada orang-orang yang matanya
tertutup itu. Untuk menunjukkan
fakta bahwa Dia merancang segala
sesuatunya sampai detail sekecil-
kecilnya dengan sempurna. Kita
menyaksikan fakta lain lewat feno-
mena ini: tidak ada "tak mungkin"
dalam kosakata Sang Pencipta; jika
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
84
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Dia berkehendak agar sesuatu
tercipta, maka terciptalah. 30
Dari uraian di atas dapatlah
digarisbawahi bahwa alam semesta ini
diciptakan oleh Allah, dan Dia akan
memelihara ciptaan-Nya, dan akan
menghancurkannya sesuai dengan
kehendak-Nya.
C.2. Evolusi dan Penciptaan
Manusia
Ian G. Barbour mengambil tokoh
evolusi, Charles Darwin. Menurut
Barbour, teori evolusi yang dikemuka-
kan Darwin menghebohkan pandangan
tradisional. Sejak saat itu, banyak
disiplin ilmiah mengumpul-kan berbagai
bukti akan kenyataan bahwa manusia
merupakan keturunan leluhur pra-
manusia. Dari biologi molukuler dewasa
ini, kita mengetahui bahwa simpanse
dan manusia memiliki lebih 99 persen
DNA yang sama, walaupun tentu saja
satu persen yang berbeda itu sangatlah
penting. Para antropolog di Afrika
menemukan pelbagai macam bentuk
fosil peralihan antara simpanse dan
manusia. Apa yang disebut Austra-
lopithecus afarensis, yaitu makhluk yang
mirip kera, setelah berjalan dengan dua
tungkai kira-kira 4 juta tahunn yang lalu.
Di Etiopia, sudah ditemukan tulang-
belulang dari makhluk yang dinamai
Lucy, makhluk betina makhluk ini sudah
berjalan dengan kedua tungkainya,
mempunyai lengan yang panjang dan
ukuran tengkorak yang sama dengan
kera besar, sementara giginya memper-
lihatkan ia sebagai pemakan daging.
Tampaknya perpindahan dari pepohon-
an ke padang rumput menyebabkan
terjadinya perubahan ke arah postur
30Caner Taslaman, Miracle of the Quran, h.
48-49.
tubuh yang tegap, yang memungkinkan
adanya kebebasan yang lebih besar
untuk memanipulasi objek-objek, jauh
lebih banyak mengandalkan penglihat-
an, dan beralih ke kegiatan berburu; hal
itu terjadi jauh sebelum perkembangan
otak yang lebih besar. Homo erectus, dua
juta tahun yang silam, sudah mem-
punyai otak yang jauh lebih besar,
mereka hidup dalam situs kelompok
yang bertahan lama, membuat alat-alat
yang jauh lebih rumit, dan mungkin juga
mereka sudah memakai api.31
Bentuk-bentuk purba Homo
sapiens muncul 400.000 tahun yang si-
lam, dan kelompok Neanderthal sudah
ada di Eropa150.000 tahun yang silam,
walaupun mereka mungkin saja tidak
ada dalam satu garis keturunan dengan
manusia modern. Kelompok Cromagnon
membuat lukisan di dinding gua dan
melakukan upacara penguburan kira-
kira 30.000 tahun yang silam. Tulisan
yang diketahui paling awal, yaitu tulisan
orang Sumeria, sudah berusia 6.000
tahun. Pelbagai teknik pembuatan biji
besi metalik akhirnya melahirkan
Zaman Perunggu dan kemudian, kurang
dari 3.000 tahun yang silam, muncullah
Zaman Besi. Setidak-tidaknya di sini kita
mempunyai garis besar perkembang-an
evolusi, baik dari fisiologi maupun
perilaku, dari pelbagai bentuk ke-
hidupan nonhuman hingga bentuk
human dan permulaan kebudayaan
manusia.32 Lalu bagaimana tanggapan
al-Quran tentang evolusi ini?
Menurut Quraish Shihab, di
kalangan ilmuwan Muslim ada juga yang
membenarkan teori Darwin tersebut.
31Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h.
105-106. 32Ibid., h. 106.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
85
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Ilmuwan Muslim ini memperkuat
argumen mereka dengan ayat:
“mengapakah kamu sekalian tidak
memikirkan/memper-cayai kebesaran
Allah, sedangkan Dia telah menjadikan
kamu berfase-fase” (QS. Nuh [71]: 13-
14). Fase-fase ini menurut mereka
sesuai dengan teori Darwin dalam
proses kejadian manusia. Sedangkan
ayat “adapun buih maka akan lenyaplah
ia sebagai sesuatu yang tak bernilai,
sedangkan yang berguna bagi manusia
tetap tinggal di permukaan bumi” (QS.
ar-Ra’d [13]:17) dijadikan bukti
kebenaran teori “struggle for life” yang
menjadi salah satu landasan teori
Darwin.33
Menurut Quraish Shihab, ayat-ayat
yang dijadikan penguatan teori Darwin
tidak dapat dijadikan dasar untuk
menguatkan dan membenar-kan teori
tersebut, tetapi ini bukan berarti bahwa
teori tersebut salah menurut al-Quran.
Shihab mengutip pendapat ‘Abbas al-
‘Aqad yang menerangkan dalam
bukunya al-Falsafah al-Qur’aniyah,
sebagai berikut:
“Mereka yang mengingkari teori evo-
lusi dapat mengingkarinya dari diri
mereka sendiri, karena mereka tidak
puas terhadap kebenaran argu-
mentasi-argumentasinya. Tetapi me-
reka tidak boleh mengingkarinya ber-
dasarkan al-Quran al-Karim, karena
mereka tidak dapat menafsirkan
kejadian asal-usul manusia dari tanah
dalam satu penafsiran saja kemudian
menyalahkan penafsir-an-penafsiran
lainnya.” 34
33M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-
Quran, h. 48. 34Ibid., h. 49.
Hal senada dinyatakan pula oleh
Muhammad Rasyīd Riḍa dalam majalah
al-Manar:
“Teori Darwin tidak membatal-kan—
bila teori tersebut benar dan
merupakan hal yang nyata—tentang
satu dasar dari dasar-dasar Islam;
tidak bertentangan dengan satu ayat
dai ayat-ayat al-Quran. Saya mengenal
dokter-dokter dan lainnya yang
sependapat dengan Darwin. Mereka
itu orang-orang mukmin dengan
keimanan yang benar dan Muslim
dengan keislaman sejati; mereka
menunaikan sembahyang dan ke-
wajiban-kewajiban lainnya, meni-
nggalkan keonaran, dosa dan ke-
kejaman yang dilarang Allah sesuai
dengan ajaran-ajaran agama mereka.
Tetapi teori tersebut adalah ilmiah,
bukan persoalan agama sedikit
pun.”35
Setelah memaparkan pendapat
para ahli Islam tersebut, Quraish Shihab
menegaskan bahwa kita tidak dapat
membenarkan atau menyalah-kan teori-
teori ilmiah dengan ayat-ayat al-Quran;
setiap ditemukan suatu teori cepat-
cepat pula kita membuka lembaran-
lembaran al-Quran untuk membenarkan
atau menyalahkannya, karena apabila
teori yan dibenarkan itu ternyata salah
atau sebaliknya, maka musuh-musuh
Islam mendapat kesempatan yang
sangat baik untuk menyalahkan Kitab
Allah sambil mencemooh kaum Muslim.
Jalan yang lebih tepat guna membantah
cemoohan ialah dengan menghindarkan
sebab-sebab ce-moohan itu,36
sebagaimana ditegas-kan dalam al-
Quran:
35Ibid., h. 49. 36Ibid., h. 49.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
86
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Janganlah kamu mencerca orang-
orang yang menyembah selain Allah,
karena hal ini menjadikan mereka
mencerca Allah dengan melampaui
batas, karena kebodohan mereka (QS.
al-An’am [6]: 108).”
Bertitik tolak dari penjelasan di
atas, maka langkah selanjutnya adalah
menelusuri penjelasan al-Quran me-
ngenai asal-usul manusia. Misalnya, al-
Quran menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari debu dan air. Terkadang
al-Quran menekankan elemen-elemen
ini secara terpisah, terkadang secara
bersamaan.
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah (QS. al-
Mu’minūn [23]: 12).
Yang membuat segala sesuatu yang
Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang
memulai penciptaan manusia dari
tanah. (QS. al-Sajdah [32]: 7).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian tiba-tiba kamu
(menjadi) manusia yang berkembang
biak (QS. al-Rūm [30]: 20).
Sebelum ilmu pengetahuan
berkembang seperti sekarang, tak ter-
hitung banyaknya spekulasi mengenai
penciptaan manusia dari tanah liat
(kombinasi debu dan air). Setelah
berkembangnya ilmu biologi dan kimia,
penelitian analitik terhadap tanah liat
dan tubuh manusia dilakukan. Hasilnya
menunjukkan bahwa zat-zat penyusun
tanah liat dan penyusun manusia tepat
sama. Zat-zat tersebut adalah zat besi,
kalsium, oksigen, natrium, kalium, mag-
nesium, hidrogen, klorin, yodium,
mangan, timah, fosfor, karbon, seng,
sulfur, dan nitrogen. 37
C.3. Saripati Tanah Liat
Seperti telah dijelaskan dalam
Surah al-Mu'minun ayat 12, manusia di-
ciptakan dari suatu saripati. Tuhan
menggabungkan unsur-unsur yang ter-
kandung dalam tanah liat dengan
perhitungan tepat. Unsur-unsur ini se-
cara harmonis dan proporsional
tersebar dalam tubuh kita saat kita
dilahirkan; tubuh diprogram untuk
mempergunakannya dengan jumlah
yang telah ditentukan dan membuang
kelebihannya.
Tubuh manusia me-ngandung
kalsium kira-kira sebanyak 2 kg. Jika
jumlah ini berkurang, menggigit apel
saja akan mengakibatkan gigi pecah.
Tubuh kita membutuhkan 120 gram
kalium. Ke-kurangan kalium dapat
menga-kibatkan kejang otot, kelelahan,
gangguan pencernaan, dan gemetar. Kita
hanya membutuhkan seng sebanyak 2-
3gram. Sedikit saja kurang dari jumlah
yang dibutuhkan dapat mengakibatkan
kehilangan daya ingat, impotensi,
penurunan kemampuan untuk ber-
aktivitas dan melemahnya indra
pengecap dan pencium. Kekurangan
selenium dapat mengakibatkan lemah
otot, pengerasan pembuluh darah arteri
dan otot jantung. Semua data ini
memperlihatkan bahwa sewaktu Allah
menciptakan manusia dari tanah liat,
Dia menggabungkan zat-zat kandungan-
nya dalam jumlah yang ideal. 38
Di lain tempat, al-Quran memberi-
tahu kita bahwa manusia diciptakan dari
37Caner Taslaman, Miracle of the Quran, h.
189. 38Ibid., h. 189.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
87
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
air, dan bahkan segala kehidupan
berasal dari air. Allah berfirman:
Dan Dia (pula) yang menciptakan ma-
nusia dari air lalu Dia jadikan manusia
itu (punya) keturunan dan mu-
shaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa. (QS. al-Furqān [25]: 54).
Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup (QS. al-Anbiyā
[21]: 30).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, air
adalah unsur biologis dasar bagi
makhluk hidup. Sel terbentuk dari air
dengan perbandingan yang bervariasi
antara 60% sampai 80%. Sel yang bahan
dasarnya adalah air merupa-kan
makhluk hidup. Tanpa air tidak akan
ada kehidupan. Air terdiri dari dua atom
hidrogen dan satu atom oksigen. Air, de-
ngan unsur kimia pembangunnya telah
diatur sempur-na, terbuat dari atom
tanpa kehidupan organik dan 99%
ruang hampa. Bagaimana makhluk
hidup dan hewan diciptakan dari
sesuatu yang 99%-nya merupakan
ruang hampa? Bagaimana suatu entitas
yang terbuat dari bahan anorganik dan
tak bernyawa menjadi hidup?
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang
Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,
Dia memiliki nama-nama yang indah.
Apa yang di iangit dan di bumi
bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah
Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana
(QS. al-Ḥasyr [59]: 24).
Kasus lain adalah ayat: “Dia
menciptakan manusia dari ‘alaq” (QS. al-
‘Alaq [96]: 2). Para ulama menafsirkan
arti kata ‘alaq dengan al-dam al-jāmid
(segumpal darah yang beku). Sedangkan
dalam surah al-Mu’minun disebutkan
proses kejadian manusia itu sebagai
berikut:
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah,
kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim), kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang
itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik. (QS. al-Mu’minūn [23]: 12-14).
Dari ayat-ayat di atas jelaslah
bahwa periode kedua dari kejadian
manusia adalah al-‘alaq setelah an-
nuṭfah. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa proses kejadian manusia terdiri
dari lima periode: (1) an-Nuṭfah (2)
al-‘Alaq (3) al-Muḍghah (4) al-
‘Iẓam (5) al-Lahm.
Apabila seseorang mempelajari
embriologi dan percaya akan kebenaran
al-Quran, maka dia sulit menafsirkan
kalimat al-‘alaq tersebut dengan
segumpal darah yang beku. Menurut
embriologi, proses kejadian manusia
terbagi dalam tiga periode:
Pertama, periode ovum. Periode
ini dimulai dari fertilisasi (pembuahan)
karena adanya pertemuan antara sel
kelamin bapak (sperma) dengan sel ibu
(ovum), yang kedua intinya bersatu dan
membentuk struktur atau zat baru yang
disebut zygote. Setelah fertilisasi
berlangsung, zygote membelah menjadi
dua, empat, delapan, enam belas sel, dan
seterusnya. Selama pembelahan ini,
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
88
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
zygote bergerak menuju ke kantong
kehamilan, kemudian melekat dan
akhirnya masuk ke dinding rahim.
Peristiwa ini dikenal dengan nama
implantasi.
Kedua, periode embrio. Periode ini
adalah periode pembentukan organ-
organ. Terkadang organ tidak terbenuk
dengan sempurna atau sama sekali tidak
terbentuk, misalnya, jika hasil
pembelahan zygote tidak bergantung
atau berdempet pada dinding rahim. Ini
dapat mengakibatkan keguguran atau
kelahiran cacat bawaan.
Ketiga, periode foetus. Periode ini
adalah periode perkembangan dan
penyempurnaan dari organ-organ tadi,
dengan perkembangan yang amat cepat
dan berakhir pada waktu kelahiran. 39
Quraish Shihab menjelaskan lebih
lanjut, bahwa jika kita melihat pada QS.
al-Mu’minun [23]: 12-14 di atas, periode
kejadian manusia itu: periode pertama
adalah (1) an-Nuṭfahperiode kedua
adalah al-‘Alaq periode ketiga adalah
al-Muḍghah. Al-Muḍghah—yang berarti
sepotong daging—menurut al-Quran
(QS. al-Hajj [22]: 5) terbagi dalam dua
kemungkinan: al-mukhallaqah (sem-
purna kejadiannya) dan ghayru mu-
khallaqah (tidak sempurna kejadian-
nya). Dari sini, tambah Shihab, bila
diadakan penyesuaian antara embrio-
logi dengan al-Quran dalam proses
kejadian manusia, nyata bahwa periode
ketiga yang disebut al-Quran sebagai al-
Muḍghah me-rupakan periode kedua
menurut embriologi (periode embrio).
Dalam periode inilah terbentuknya
organ-organ terpenting. Sedangkan pe-
riode keempat dan kelima menurut al-
39M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-
Quran, h. 58.
Quran sama dengan periode ketiga
(periode foetus). 40
Dalam membicarakan al-‘alaq—
yang oleh para mufasirin diartikan se-
gumpal darah—didapati per-tentangan
antara penafsiran tersebut dengan hasil
penyelidikan ilmiah. Karena periode
ovum terdiri atas ectoderm, endoterm
dan rongga amnion, yang terdapat di
dalamnya cairan amnion. Unsur-unsur
tersebut tidak mengandung komponen
darah. Dari titik tolak ini, tegas Shihab,
mereka menolak penafsiran al-‘alaq
dengan segumpal darah, cair atau beku.
Mereka berpendapat bahwa al-‘alaq
adalah sesuatu yang bergantung atau
berdempet. Penafsiran ini sejalan
dengan pengertian bahasa Arab, dan
sesuai pula dengan embriologi yang
dinamai implantasi. Bahasa Arab tidak
menjadikan arti al-‘alaq khusus untuk
darah beku, tetapi salah satu dari
artinya adalah bergantungan atau
berdempetan. 41
Caner Taslaman menambahkan,
proses menempelnya embrio pada
dinding rahim merupakan hasil suatu
sistem yang rumit. Untuk menembus
lapisan asam pada dinding jaringan
rahim, embrio mengeluarkan enzim
(hyaluronidase) yang mengubah jarring-
an rahim dan memungkinkan embrio
menembusnya, dan kemudian menetap
di sana seperti tumbuhan. Sejak itu,
rahim menyediakan kebutuhannya akan
makanan dan oksigen. Hyaluronidase
yang di-keluarkan oleh embrio memper-
cepat penguraian asam hyaluronic. Lebih
jauh lagi, embrio melepaskan se-jumlah
zat kimia untuk mem-pertahankan diri
dari sistem imun si ibu. Tanpa zat-zat
40Ibid., h. 59. 41Ibid., h. 59.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
89
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
itu, embrio akan diperlakukan sebagai
zat asing yang harus dihancurkan. 42
D. Relasi al-Quran dan Sains
Bertitik tolak dari uraian di atas,
maka yang perlu dikemukakan se-
lanjutnya adalah bagaimanakah sesu-
ngguhnya relasi al-Quran dan sains dari
perspektif Ian Grame Barbour dengan
fokus pada dua persoalan yang sudah
diulas tersebut?
Merujuk pada empat tipologi hu-
bungan sains dan agama yang dikemu-
kakan oleh Barbour, yakni konflik,
independensi, dialog, dan integrasi;
maka dapat digambarkan hubungan al-
Quran dan sains sebagaimana diuraikan
di bawah ini.
Kasus I: Kejadian Alam Semesta
Untuk kasus kejadian alam
semesta, antara sains dan al-Quran
dapat dilihat sebagai berkonflik di satu
sisi, dan berintegrasi di sisi yang lain.
Jika merujuk pendapat Einstein
dan Hubble, bahwa alam semesta ini di-
mulai dengan ledakan suatu benda
raksasa, dari ledakan itu sampai kini
telah berlangsung 500 juta tahun. Ada
bintang-bintang baru yang muncul dan
pula yang mati. Keadaan ini berlalu
tanpa akhir, dan tatasurya kita bertahan
untuk masa 500 juta tahun lagi,
kemudian membesar lalu pecah dan
menghilan. Kedua ilmuwan ini ber-
kesimpulan bahwa semesta ini terwujud
dengan sendirinya tanpa pencipta kuasa,
dan bahwa semua benda angkasa itu
terwujud secara alamiah menurut
prosesnya dalam hukum evolusi. Se-
mentara itu, manusia sebagaimana bin-
tang datang dan pergi, lahir dan mati
tanpa bekas dan resiko. Mereka
42Caner Taslaman, Miracle of the Quran, h.
200.
berkesimpulan bahwa semesta raya ini
masih bertumbuh. Tentu saja pendapat
ini tidak bisa diterima oleh al-Quran.
Karena Kitab Suci ini dengan tegas me-
ngatakan bahwa alam semesta ini di-
ciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan, dan
Dia terus-menerus mengawal dan me-
ngurus ciptaan-Nya itu tanpa ber-
istirahat sejenak pun.
Sesungguhnya ilmu Allah menjang-
kau segala sesuatu yang di langit dan
yang di bumi. Dia Maha Mengetahui apa
yang terlintas dalam hati. Dia Maha
Mengetahui usaha segala makhluk,
mengetahui apa yang di darat dan di
laut, mengetahui daun-daun yang
berguguran di malam gelap gulita dan
lain sebagainya (baca: QS. al-An’am [6]:
3, 59; QS. Hud [11]: 5-6, dan QS. al-Mulk
[67]: 13-14).
Sementara itu, sains dan al-Quran
bisa berintegrasi. Sebagaimana dikata-
kan oleh Barbour, beberapa orang me-
ngupayakan suatu integrasi yang lebih
sistematik antara sains dan agama.
Dengan berpijak pada agama, maka
aspek-aspek sains dianggap sejalan
dengan keyakinan agama.
Integrasi ini dideskripsikan oleh
Barbour sebagai berikut: “orang lain
berangkat dari tradisi keagamaan
tertentu dan memperlihatkan bahwa
banyak hal dari keyakinannya sejalan
dengan ilmu pengetahuan modern,
tetapi beberapa keyakinan harus
dirumuskan kembali dalam terang
sorotan teori-teori ilmiah khusus. Saya
menyebutkan suatu pendekatan seperti
itu teologi alam (theology of nature, di
dalam satu tradisi keagamaan) daripada
teologi natural (natural theology, yang
ber-argumentasi dari ilmu pengetahuan
saja). Beberapa versi dari teologi alam
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
90
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
memakai suatu filsafat utuh-terpadu
seperti filsafat proses, yang menguraikan
secara sistematik serangkaian konsep
yang ada sangkut pautnya, baik dengan
ilmu pengetahuan maupun dengan
agama.43
Sebagaimana dikatakan oleh Prof.
Dr. M. Yusuf Musa, bahwa al-Quran tidak
berlawanan atau bertentangan dengan
ilmu, terutama ilmu alam dengan
pengertian yang sejalan dengan ajaran
akidah. Kelebihan Islam yang terbesar
adalah bahwa ia membuka bagi umat
Islam pintu-pintu ilmu pengetahuan
seraya menghimbau mereka untuk
masuk mencari dan mengembangkan
ilmu itu. Bukanlah kelebihannya dalam
membuat mereka malas mencari ilmu
dan melarang mereka memperluas
penelitian dan penalaran karena
semata-mata mereka menyangka bahwa
mereka telah memiliki semua jenis ilmu.
Umat Islam dihimbau oleh al-Quran
untuk maju dalam kehidupan dengan
mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kedudukannya sebagai
khalīfah Allah di bumi ini.44
Dalam tataran yang lebih dalam
lagi, maka seorang ilmuwan Muslim
akan semakin dekat kepada ciptaan
Allah ketika ia menemukan fe-nomena-
fenomena alam yang menakjubkan.
Sebab, ia sadar bahwa aneka fenomena
alam tidaklah berdiri sendiri, mereka
saling terkait satu sama lain. Fenomena
alam tidak muncul sia-sia tanpa pesan,
tanpa tujuan. Ilmuwan Muslim, tulis
Agus Purwanto, mencoba memahami
dan menangkap pesan yang terkandung
43Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h.
32-33. 44M. Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, h.
70.
di balik aneka fenomena alam.
Mengamati dan merenungkan alam
berarti memahami kebijakan-Nya,
ketika misteri dari sebuah fenomena
alam tersibak, ilmuwan Muslim secara
spontan akan menyucikan Sang
Pengendali yang tersembunyi di balik
fenomena tersebut. Tidak sekadar
bertasbih, melainkan juga memohon
agar upaya menyingkap tabir alam dan
hasilnya tidak menggelincirkan serta
menyeretnya ke dalam azab-Nya dengan
berzikir: “Ya Tuhan kami, tidaklah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia.
Maha Suci Engkau dan hindarkanlah
kami dari azab api neraka.” 45
Kasus II: Evolusi dan Penciptaan
Manusia
Hubungan al-Quran dan teori
evolusi Darwin tampaknya tidak bisa
dikompromikan, karena keduanya tidak
mungkin bertemu. Meskipun, sebagai-
mana diuraikan di atas, ada beberapa
ilmuwan Muslim yang mengikuti teori
ini. Karena itu, jalan terbaik untuk kasus
ini independensi. Sebagaimana ditulis
oleh Barbour, konflik dapat dihindari
kalau ilmu pengetahuan dan agama
tetap berada dalam ruang-ruang hidup
manusia yang terpisah. Ilmu penge-
tahuan dan agama berurusan dengan
ranah-ranah yang berbeda dan aspek-
aspek realitas yang berbeda. Ilmu
pengetahuan bertanya tentang bagai-
mana sesuatu bekerja dan mengandal-
kan data publik yang obyektif. Agama
bertanya tentang nilai-nilai dan
kerangka makna yang lebih besar bagi
hidup pribadi. Dalam pandangan ini,
dua bentuk wacana tidaklah bersaingan
karena mereka melayani fungsi-fungsi
45Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat
Semesta, h. 160.
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
91
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
yang benar-benar berbeda. Dua jenis
penyelidikan itu menawarkan panda-
ngan-pandangan yang saling melengkapi
tentang dunia, panda-ngan-pandangan
yan tidak saling menyingkirkan satu
sama lain. Pemisahan ruang
(kompartementalisasi) semacam ini me-
mang menghindarkan konflik, tetapi de-
ngan risiko mencegah terbangunnya
interaksi yang kon-struktif.46
Sikap al-Quran Terhadap Evolusi
Darwin
Sementara itu, untuk hal yang
berkaitan dengan asal-usul manusia, al-
Quran dan sains berhubungan integratif.
Artinya, sains dapat memberikan
penjelasan ilmiah mengenai proses
kejadian manusia. Walaupun sekilas
ayat-ayat al-Quran memberi informasi
sederhana, namun sesungguhnya ia
menggugah manusia untuk terus
menyelam ke dalam samudra yang
terkandung di dalamnya. Dan ini adalah
pekerjaan para ilmuwan.
E. Penutup
Setelah penulis menguraikan
panjang lebar di atas, maka diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1) Dalam mengemukan hubungan
antara agama dan sains, Ian G.
Barbour membagi ke dalam empat
tipologi (konflik, independen,
integrasi, dan dialog). Ia melihat
bahwa keempat tipologi ini dijumpai
di kalangan saintis dan agamawan.
2) Berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran
yang senada dengan pemikiran Ian G.
Barbour memang ditemukan adanya
kemungkinan sains menjelaskan
ayat-ayat ilmiah dalam al-Quran.
46Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan, h.
31-32.
3) Dengan perspektif Ian G. Barbour,
ditemukan fakta bahwa relasi al-
Quran dan sains berada pada tipologi
konflik, independen, dan integratif.
Konflik terjadi ketika sains berbicara
tentang alam yang terbebas dari
campur tangan Tuhan; independensi
terjadi ketika berkaitan dengan teori
evolusi Darwin. Namun, integrasi
terjadi juga ketika sains mampu
memecahkan informasi-informasi
ilmiah yang disajikan al-Quran.[]
Daftar Pustaka
Ali, Abdullah Yusuf, Qur’an: Terjemahan
dan Tafsirnya, terj. Ali Audah,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Ali, Maulana Muhammad, The Holy
Qur’an: Arabic Text, English
Translation, and Commentary,
Lahore, Inc. U.S.A.: Ahmadiyah
Anjuman Isha’at Islam, 1991.
Azra, Azyumardi, “Sambutan Rektor,”
Prospektus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta “Wawasan 2010” Leading
Toward Research University,
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Bagir, Zaenal Abidin, “Pengantar” dalam
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan,
Antara Sans dan Agama, terj. E.R.
Muhammad, Bandung: Mizan,
2002.
Barbour, Ian G., Menemukan Tuhan
dalam Sains Kontemporer dan
Agama, terj. Fransiskus Borgias M,
Bandung: Mizan, 2005.
Drees, Willem B., Religion and Science in
Context: A Guide to the Debates,
London dan New York: Routledge,
2010.
Mahzar, Armahedi, Revolusi Integralisme
Islam: Merumuskan Paradigma
Achmad Bisri: Membaca Ayat-ayat al-Quran dengan Perpektif Ian G. Barbour
92
TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
Sains dan Teknologi Islami,
Bandung: Mizan, 2004.
Musa, M. Yusuf, Al-Quran dan Filsafat,
Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Purwanto, Agus, Ayat-ayat Semesta: Sisi-
sisi al-Quran yang Terlupakan,
Bandung: Mizan, 2013.
Purwanto, Agus, Nalar Ayat-ayat
Semesta: Menjadikan al-Quran
sebagai Basis Konstruksi Ilmu
Pengetahuan, Bandung: Mizan,
2012.
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al-
Quran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Quran
ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan
Gaib, Bandung: Mizan, 1997.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbāh:
Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, Vol. IV, Jakarta: Lentera
Hati, 2001.
Syamsu, Nazwar, al-Qur’an Dasar Tanya
Jawab Ilmiah, Jakarta: Ghalia
Indonesia, t.th.
Syamsuddin, Ach. Maimun, Integrasi
Mutlidimensi Agama dan Sains:
Analisis Sains Islam al-Attas dan
Mehdi Golshani, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2012.
Taslaman, Caner, Miracle of the Quran:
Keajaiban al-Quran Mengungkap
Penemuan-penemuan Ilmiah
Modern, Bandung: Mizan, 2010.
Temple, Frederick, The Relations
between Religion and Science: Eight
Lectures Preached before the
University of Oxford in the Year
1884 on the Foundation of the Late
Rev. John Bampton, M.A,
Cambridge: Cambridge University
Press, 2009.
Waston, “Hubungan Sains dan Agama:
Refleksi Filosofis atas Pemikiran
Ian G. Barbour”, PROFETIKA: Jurnal
Studi Islam, Vol. 15, No. 1, Juni
2014.
Zubaidi, Dialog antara Sains menurut Ian
G. Barbour dengan Ayat-ayat al-
Qur’an, Skripsi pada Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo
Semarang, 2005.
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
93 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
BENDA ASTRONOMI DALAM AL-QURAN DARI PERSPEKTIF SAINS
Muhammad Hasan
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak
Jl Letnan Jendral Soeprapto No 19 Pontianak 78121
e-mail: [email protected]
Abstract: The objects in the sky in an astronomical perspective is very
much the type and amount, but in the perspective of The Quran consists
only of the sun, moon, and stars. The Quran gives cues and clues about the
movement of the heavenly bodies. Sky objects in the perspective of the
Koran already set his destiny, and had been subdued, so consistently and
definitely outstanding. According to The Quran cue each celestial bodies,
circulation and no silent, including the sun are also outstanding. In the
circulation of the month, has its own characteristics, because only months
in circulation set manzilah-manzilah, so the moon when seen from Earth
show different form, sometimes the perfect (full moon), and sometimes
show an imperfect form. Thus, it can be well known, when the month of
the date of 1,2,3, and so on, so that people can practice their religion is
based on the moon trip.
Abstrak: Benda-benda di langit dalam perspektif astronomi sangat
banyak jenis dan jumlahnya, namun dalam perspektif al-Quran hanya
terdiri dari matahari, bulan, dan bintang. Al-Quran memberikan isyarat
dan petunjuk mengenai pergerakan benda-benda langit tersebut.
Benda-benda langit dalam perspektif al-Quran sudah ditetapkan
takdir-Nya, dan telah ditundukkan, sehingga beredar secara konsisten
dan pasti. Menurut isyarat al-Quran masing-masing benda langit,
beredar dan tidak ada yang diam, termasuk matahari juga beredar.
Dalam peredaran bulan, memiliki ciri tersendiri, karena hanya bulan
yang dalam peredarannya ditetapkan manzilah-manzilah, sehingga
bulan ketika dilihat dari bumi menunjukkan wujud yang berbeda-
beda, kadang sempurna (bulan purnama), dan terkadang menunjuk-
kan wujud yang tidak sempurna. Dengan demikian, dapat dikenal
dengan baik, kapan bulan tanggal 1,2,3, dan seterusnya, sehingga
manusia dapat melaksanakan ibadah berdasarkan perjalanan bulan
tersebut.
Keywords: matahari, bulan, bintang, al-Quran, astronomi
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
94 TEOLOGIA, VOLUME 26, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2015
A. Pendahuluan
Benda luar angkasa dalam
perspektif al-Quran meliputi tiga hal1:
matahari2, bulan3, dan bin-tang.4 Al-
Quran mengulang tiga istilah terse-
but dengan berbagai redaksi dan
istilah yang berbeda sebanyak 84 kali.
Dalam kajian astronomi semua benda
ruang angkasa termasuk bumi ber-
putar mengelilingi matahari.
Matahari merupakan pusat benda
langit yang memancarkan sinar sen-
diri. Sedangkan, bulan memantulkan
cahaya karena menerima sinar
matahari, sementara bintang adalah
benda langit yang memiliki cahaya
sendiri. Bagaimana dengan perspektif
al-Quran? Apakah menurut al-Quran
juga demikian?.
Persoalan benda-benda langit dan
peredarannya, merupakan persoalan
yang menarik. Dikatakan demikian,
karena persoalan tersebut merupakan
1QS al-Hajj [22]: 18. 2Matahari dalam al-Quran dibahasakan
dengan kata syams شمس dan kadang-kadang dibahasakan dengan kata sirāj/ سراج
3Bulan dalam al Quran dibahasakan dengan kata syahr شهر , qamar قمر , dan hilāl Masing-masing kata ini dalam al-Quran .هاللdigunakan untuk maksud yang berbeda-beda. Kata syahr شهر berorientasi pada makna bulan yang menunjukan arti waktu atau perhitungan waktu, misalnya dalam QS. al-Baqarah [2]: 185,194,197,217,226, dan 234. QS. al-Nisa’ [4] :92. QS. al–Mā’idah [5]: 97. QS. al-Taubah [9]: 2, 36, QS. al-Aḥqaf [46]: 15, QS al-Mujādalah [58]: 4, QS. al-Ṭalaq [65]: 4. Semua ayat tersebut menggunakan kata syahr untuk perhitungan waktu. Kata syahr شهر dalam al-Quran diulang sebanyak 13 kali dan menun-jukkan makna yang sama yakni bulan dalam arti perhitungan waktu dan bukan menunjuk-kan makna bulan dalam arti hakiki benda, sedangkan yang menunjukkan makna hakiki adalah kata qamar قمر , dan hilāl هالل.
4Bintang dalam al-Quran dibahasakan dengan kata nujūm نجىم, kaukab كىكة dan burūj تروج .
salah satu pondasi untuk memahami
per-soalan hisab rukyat secara sahih.
Peredaran matahari berkaitan lang-
sung dengan penentuan arah kiblat dan
penentuan ibadah salat. Perdebatan
mengenai waktu subuh yang belum
tuntas pada hakekatnya merupakan
perdebatan mengenai pergerakan mata-
hari. Perdebatan seputar penentu-an
awal bulan hijriah, perbedaan dalam
mengawali puasa, perbedaan penentu-
an idul fitri dan idul adha, merupakan
implikasi dari pemahaman terhadap
teks syar’i. Oleh karena itu, pemaham-
an yang komprehensif terhadap ayat-
ayat yang berkaitan dengan peredaran
matahari, bulan, dan bintang sangat
diperlukan.
Matahari dan bulan merupa-kan
obyek dalam perhitungan ka-lender
masehi (solar) dan kalender hijriah
(luni), sementara benda-benda langit
yang berkaitan dengan bintang, ber-
potensi mengganggu dalam pelaksana-
an rukyat.
Artikel ini akan mengkaji ayat-
ayat yang berkaitan dengan peredaran
benda-benda langit secara tematik.
Karena itu, hal penting dalam makalah
ini adalah pembatasan dan pemaknaan
isti-lah benda langit yang terdapat
dalam al-Quran dilihat dari perspektif
al-Quran, dan perspektif kebahasaan.
Selanjutnya, akan di-paparkan benda-
benda langit yang terdapat dalam al-
Quran dilihat dari perspektif al-Quran,
terutama yang berkaitan dengan ciri
dan karakteristiknya. Setelah menge-
tahui karakteristiknya akan dideskrip-
sikan, peredaran benda-benda langit
dilihat dari perspektif al-Quran, pers-
pektif mufassir, dan perspektif astro-
nom.
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
95
Pendekatan yang digunakan
untuk menjawab persoalan di atas
menggunakan pendekatan tafsir mau-
ḍū’ī. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan adalah: 1) menginventarisasi
ayat-ayat yang berkaitan dengan
astronomi. 2) Mengelompokkan ayat-
ayat ter-sebut berdasarkan bahasa
yang digunakan. 3) Mengelompokkan
ayat-ayat tersebut berdasarkan tempat
dan waktu turunnya. 4) Mencari asbāb
al-Nuzūl yang ber-kaitan dengan ayat
tersebut. 5) Mencari penjelasan kata-
kata yang dianggap urgen dalam
kamus. 6) Melihat pendapat ulama
tafsir mengenai ayat tersebut dan
membandingkan dengan pendapat ahli
astronomi. 7) Menarik kesimpulan
akhir dari ayat/beberapa ayat
tersebut.
B. Matahari
Al-Quran menyebut istilah mata-
hari dengan kata شمس dan سراج . Al-
Quran mengulang kata matahari (شمس)
sebanyak 32 kali, dan menggunakan
kata matahari (sirāj/ (سراج sebanyak
empat kali, yakni dalam QS. al-Furqān
[25]: 61, al-Aḥzab (33):46, Nūḥ [71]:16,
al-Naba [78]: 13. Matahari (شمس)
disebut secara bersamaan dengan
kata qamar (قمر ) dan nujūm (نجىم)
sebanyak satu kali yakni dalam QS. al-
Ḥajj [22]: 18 sebagai berikut:
جدالل هأن ت رألم فومنمالس مواتفمنملهيسمرمض بالوالنجوموالمقمروالش ممسالم والش جروالم
………الن اسمنوكثيروالد واب
Apakah kamu tiada mengetahui,
bahwa kepada Allah bersujud apa
yang ada di langit, di bumi, matahari,
bulan, bintang, gu-nung, pohon-
pohonan, bina-tang-binatang yang
melata dan sebagian besar daripada
manusia…..
Ayat ini menggambarkan ke-
taatan ciptaan Allah kepada
penciptanya. Jadi kata matahari (شمس) ,
kata qamar (قمر ) dan nu-jūm (نجىم)
disebutkan secara bersamaan untuk
menunjukkan ketaatan ciptaan-Nya.
Dalam konteks ini Allah meng-
gambarkan benda-benda ciptaan-Nya
sebagai makhluk yang tak pernah
durhaka kepadanya, dan semuanya
tunduk kepada perintah-Nya kecuali
manusia. Ayat ini mem-berikan indikasi
bahwa matahari شمس) ), qamar (قمر )
dan nujūm (نجىم) akan selalu ber-
jalan sesuai dengan perintah Allah.
Sebagaimana dikatakan di atas, makh-
luk ciptaan Allah senantiasa mentaati
Allah, maksudnya ketundukan mata-
hari, bulan, dan bintang dalam bentuk
selalu mengikuti ketentuan yang telah
ditetapkan Allah untuknya.
Matahari (شمس) secara bersamaan
dengan kata qamar (قمر ) dan kaukab
(كىكة) disebut-kan dalam al-Quran
sebanyak 1 kali, yakni dalam QS. Yusuf
[12]: 4. Dalam QS. Yusuf (12): 4 mata-
hari (شمس) , qamar (قمر ) dan kaukab
(كىكة) dideskripsikan sebagai berikut:
كومكباعشرأحدرأيمتإنياأبتلبيهيوسفقالإذم ساجدينلرأي مت همموالمقمروالش ممس
Ingatlah ketika Yusuf berkata
kepada ayahnya: “Wahai ayahku,
sesungguhnya aku ber-mimpi melihat
sebelas bintang, matahari, dan bulan.
Kulihat semuanya sujud kepadaku.”
Ayat ini menggambarkan keha-
diran matahari, bulan, dan bintang
dalam mimpi Yusuf dan ketundukan-
nya kepada Yusuf. Karena itu, ayat ini
lebih bero-rientasi pada persoalan
Yusuf, bukan persoalan astronomi. Pe-
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
96
nggunaan kata bintang, bulan, dan
matahari dalam ayat ini hanya sebagai
obyek mimpi Yusuf saja, bukan
bintang, bulan, dan matahari yang
hakiki.
Matahari (شمس) disebut secara
bersamaan dengan kata qamar (قمر )
sebanyak 17 kali. Penyebutan mata-
hari (شمس) bersamaan dengan kata
qamar (قمر ) sebanyak 17 kali di temui
dalam QS. al-An’ām [6]: 96, QS. al-A’rāf
[7]: 54, QS. Yūnus [10]: 5, QS. al-Ra’d
[13]: 2, QS. Ibrāhīm [14]: 33, QS. al-Naḥl
[16]:12, QS. al-Anbiyā’ [21]: 33, QS. al-
‘Ankabūt [29]: 61, QS. Luqmān [31]: 29,
QS. Fāṭir (35): 13, QS. Yāsīn (36): 39-40,
QS. al-Zumar (39): 5, QS. Fuṣṣilat [41]:
37, QS. al-Raḥmān [55]: 5, QS. Nūḥ [71]:
16, dan QS. al-Qiyāmah (75): 9.
Kumpulan ayat-ayat tersebut,
kandungan isinya dapat dikategorikan
sebagai berikut: Per-tama, sebanyak
sebelas kali menunjukan peredaran
matahari dan bulan, yakni pada QS. al-
An‘ām [6]: 96, QS. al-A‘rāf [7]: 54, QS.
Yunus [10]: 5, QS. al Ra’d [13]: 2, QS.
Ibrahim (14): 33, QS. al-Anbiya’ [21]: 33,
QS. Lukman [31]: 29, QS. Fāṭir [35]: 13,
QS. Yāsīn [36]: 39-40, QS. al-Zumar (39):
5, QS. al-Rahman [55]: 5. Kedua, dua
kali menggambarkan manfaat mata-
hari dan bulan bagi kehidupan
manusia, yakni QS. al-Nahl [16]:12, QS.
Nuh [71]: 16. Ketiga, satu kali
mengenai keingkaran orang kafir
terhadap penciptaan langit, bumi,
ketundukan matahari, dan bulan yakni
QS. al-Ankabut [29]: 61. Keempat, satu
kali tentang larang-an sujud kepada
matahari dan bulan yakni pada QS.
Fuṣṣilat [41]: 37. Kelima, satu kali
mengenai ciri-ciri kehancuran alam,
yakni QS. al-Qiyamah (75): 9.
Matahari sebagai benda luar
angkasa digambarkan dalam be-
berapa ayat antara lain: QS al-Furqan
(25): 61, QS Nūḥ [71]:16, dan QS. al-
Naba’ [78]: 13, menggambarkan
matahari sebagai sirāj (سراجا ) . kata siraj
(سراجا) dalam kamus al-Munawwir
diartikan pelita atau lampu. De-ngan
demikian, matahari meman-carkan
sinar. Sedangkan, pada QS.Yunus (10):
5 matahari digambarkan sebagai
benda langit yang bersinar. Mengacu
kepada ayat-ayat ini dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri matahari adalah benda
langit yang memiliki sinar, dimana
sinarnya sebagai penerang bagi
kehidupan.
C. Bulan
Bulan dalam al-Quran disebut
dengan istilah syahr شهر) ), qamar (قمر
), dan hilāl (هالل) diulang sebanyak 40
kali. Sedangkan, bulan dengan istilah
qamar (قمر), dan hilāl (هالل) secara
bergan-dengan diulang sebanyak 27
kali. Bulan dalam istilah qamar (قمر)
saja diulang sebanyak 26 kali. Karena
syahr شهر) ) merupakan kata yang
tidak menunjukkan pada pengertian
bulan yang hakiki maka tidak akan
dibahas dalam makalah ini secara
mendalam. Namun demikian, kata شهر)
) memiliki keterikatan dengan qamar
dan hilāl, karena kata ini sebagai
perhitungan jumlah bilangan qamar
dan hilāl.
Kata qamar (قمر ) dan hilāl (هالل)
bermakna bulan dalam arti hakiki.
Keduanya menyatakan makna bulan
dalam arti hakiki, namun memiliki
perbedaan maksud. Kata qamar (قمر )
bermakna bulan yang sempurna. Ini
dapat dipahami dari QS. al-Insyiqah
[84]: 18 (dan dengan bulan apabila
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
97
jadi purnama/ سق ات إ ذا والقمر ) yang
menghubungkan kata qomar dengan
purnama. Begitu juga ketika al-Quran
selalu mengungkapkan kata qamar
-dalam bentuk mufrad, melam (قمر)
bangkan bahwa bulan yang sempurna
(شهر hanya sekali setiap bulan ( قمر) ),
yaitu pada bulan purnama. Dengan
demikian, kata qamar (قمر ) hanya ber-
arti bulan purnama (ketika penam-
pakan bulan sempurna).
Kata hilāl (هالل) diungkapkan
dalam al-Quran hanya satu kali dalam
bentuk jamak (اهلة). Kata ini ditemui
pada QS. al-Baqarah (2): 189. Ini dapat
dipahami bahwa hilāl itu berulang-
ulang, tidak hanya seka-li. Dalam arti,
perjalanan bulan dari sangat tipis
menuju sempur-na dan dari sempurna
menuju tipis kembali dapat disebut
hilāl.5 Dengan demikian, peredaran
bulan (قمر dan هالل ) selama satu bulan
(شهر ) terdiri dari, sekali bulan “qamar”
dan yang lainnya adalah bulan “hilāl”.
Ini berarti bahwa “hilāl” bermakna
bulan yang tidak sempurna, nampak
sedikit, sebagian, separuh, atau hampir
sempurna, ketika sempur-na maka
tidak disebut hilāl, tetapi disebut
qamar. Dengan kata lain penampakan
qamar yang tidak sempurna disebut
hilāl, sedangkan kata qamar itu sendiri
lebih berorientasi pada hakikat bulan
yang sempurna.
Berdasarkan pada QS. Nuh [71]:
16 dan QS. Yunus [10]: 5, sebagaimana
diungkapkan pada bagian terdahulu
dapat disimpul-kan bahwa bulan
5Pemaknaan kata hilal yang demikian,
berbeda dengan pemaknaan hilal dalam pandangan astronomi, dimana secara astronomi hilāl diartikan penampakan bulan yang halus seperti benang yang tampak pada awal bulan.
merupakan benda langit yang
memiliki cahaya (نىر) . Mengingat
sebagian besar ayat-ayat tentang
matahari dan bulan selalu digandeng,
maka dapat disimpulkan bahwa
antara sinar matahari dan cahaya
bulan memiliki keterikatan. Ini
membe-rikan indikasi bahwa cahaya
bulan sangat tergantung pada sinar
matahari. Kesimpulan ini diperkuat
oleh pendapat Za-makhsyari yang
menyatakan bah-wa: “ النورمنأقوىالضياء ”6.
D. Bintang
Bintang disebut al-Quran dengan
istilah تروج ,نجىم , dan كىكة. Al-Quran
tidak banyak menceritakan bintang,
baik de-ngan istilah nujūm (نجىم)
dan buruj (تروج ) maupun dengan
istilah kaukab (كىكة ) . Ketiga Isti-lah
tersebut digunakan secara bergantian
untuk menggambarkan obyek yang
berbeda. Misalnya, dalam QS. al-An’am
(6): 76 digunakan kata kaukab (كىكة) ,
disini kata kaukab (كىكة) digunakan
untuk menggambarkan bintang
sebagai benda yang di-kagumi
Ibrahim, kemudian dalam QS. Yusuf
(12): 4 kata kaukab (كىكة) digunakan
untuk meng-gambarkan bintang
dalam alam mimpi, sementara dalam
QS. al-Nur [24]: 35, kata kaukab (كىكة)
digunakan untuk menggambarkan
bintang sebagai benda langit yang
memiliki cahaya, namun sebagai obyek
perumpamaan. Dari sini dapat
dipahami bahwa kata kaukab (كىكة)
dalam al-Quran digunakan untuk
menggambarkan bintang sebagai benda
langit yang berada dalam alam
khaya-lan/angan-angan atau sesuatu
6Zamakhzari, Tafsir al Kassyaf, juz 2, tp:
tt, h. 494.
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
98
yang berada dalam dunia ide. Jadi kata
kaukab (كىكة) , bukan untuk menunjuk-
kan bintang yang ada dalam dunia
realitas, tetapi menunjuk pada bintang
yang ada dalam ide.
QS. al-Hajj [22]:18 mengguna-kan
kata nujūm (نجىم) , untuk meng-
gambarkan bintang sebagai benda
langit yang tunduk pada perintah
Allah. Dalam QS. al-Najm [53]: 1 kata
nujūm (نجىم) , diguna-kan untuk
menggambarkan bin-tang sebagai
benda langit untuk obyek sumpah
(qasam). Dalam QS. al-Tariq [86]: 3
kata nujūm (نجىم) , digunakan untuk
meng-gambarkan bintang sebagai
benda langit yang bercahaya.
Berdasar-kan pada beberapa ayat di
atas kata nujūm (نجىم) , memiliki makna
bintang dalam arti yang hakiki.
Pernyataan ini diperkuat oleh QS. at-
Takwir [81]: 2 yang meng-gambarkan
ciri hari kiamat dengan berjatuhannya
bintang (نجىم) . Di sini digunakan kata
nujūm (نجىم) , bukan kaukab. Oleh
karena itu, tampaknya pengguna-an
kata nujūm dalam al-Quran untuk
menggambarkan bintang dalam
pengertian yang hakiki. Sehingga, ilmu
yang berbicara me-ngenai perbin-
tangan, disebut ilmu nujūm.
Selain kata nujūm (نجىم) , untuk
menggambarkan bintang, dalam al-
Quran digunakan kata burūj (تروج)
sebagaimana ditemui dalam al-Hijr
)15(: 16, al-Furqan )25(:61, QS. al-Burūj
(85):1. Dalam Tafsir al-Ṭabarī diceri-
takan bahwa menurut Ibn Abbas yang
dimaksud dengan burūj adalah: “qusur
fi samā’i” yakni gugusan bintang-
bintang.7 Berdasarkan pada QS. an-Nur
(24): 35, dan QS. al-Ṭariq (86): 3
memberikan pe-mahaman bahwa
bintang adalah benda langit yang
memancarkan cahaya. Sedangkan, QS.
al-Buruj (85): 1, menggambarkan gu-
gusan bintang di langit. Kata burūj
dalam ayat tersebut meng-gambarkan
ciri-ciri dari nujūm. Karena itu,
bintang memiliki ciri-ciri diantaranya
adalah benda langit yang membentuk
gugusan. Gugusan bintang di langit
diper-kuat oleh QS. al-An’am [6]: 97.
Menurut Shihab bintang merupa-kan
petunjuk perjalanan manu-sia, baik di
darat maupun di laut. Dengan menge-
tahui bintang, terutama bintang tak
bergerak, seseorang yang akan
bepergian dapat menentukan arah
yang hendak dituju.8
E. Peredaran Matahari dan
Bulan.
Pada bagian terdahulu telah
diuraikan bahwa benda-benda la-ngit
dalam perspektif al-Qur an terdiri dari
matahari9 (syams), bulan10 (qamar dan
hilāl), dan bintang (nujūm). Peredaran
ben-da-benda tersebut ditemukan da-
7Al-Ṭabari, Muhammad bin Jarīr bin
Yazid bin Kaśir bin Gālib al-Amlī 224-310 H, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qurān, juz 24, tahqiq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Muassah ar-Risalah, 2000 M/1420 H, h. 331.
8Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 4, Jakarta;Lentera Hati, 2006 , 211.
9Dalam ilmu Astronomi matahari disebut dengan bintang yang paling dekat dengan kita, yang memiliki dan memancarkan cahaya sendiri Modji Raharto et.al. Islam untuk Disiplin Ilmu Astronomi, Jakarta:Dirjen Bagais, 2002 h. 21.
10Secara astronomi bulan merupakan benda langit yang paling dekat dengan bumi dan merupakan satelit alam bumi. Modji Raharto et.al., Islam, h. 20. Namun, dalam perspektif al-Quran matahari tidak dike-lompokkan dalam istilah bintang.
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
99
lam al-Quran yakni QS. al-An’am [6]:
96, QS. al-A’raf [7]: 54, QS. Yunus [10]:
5, QS. ar Ra’d [13]: 2, QS. Ibrahim [14]:
33, QS. al-Anbiya’ [21]: 33, QS. Lukman
(31): 29, QS. Fāṭir (35): 13, QS. Yāsīn
(36): 39-40, QS. al-Zumar (39): 5, QS. ar-
Rahman (55): 5. Dalam ayat-ayat ini
peredaran matahari dan bulan (قمر)
selalu disebutkan secara bersamaan.
Dilihat dari tempat turun-nya,
semua ayat yang berbicara mengenai
peredaran matahari dan bulan
termasuk dalam ke-lompok ayat-ayat
makkiyah kecua-li QS. al-Ra’d (13): 2.
Ayat ini termasuk kelompok ayat
madani-yah. Dengan demikian, ayat-
ayat tersebut, selain QS. al-Ra’d (13): 2
diturunkan sebelum nabi hijrah.
Adapun QS. al-Ra’d (13): 2 ditu-runkan
setelah Nabi hijrah. Menurut al-Ṭabarī
QS. ar-Ra’d (13):2 mengenai hikmah
dicipta-kan langit, menurutnya langit
sebagai atap bagi bumi. Karena itu,
menurutnya kontruksi langit dan
bumi ibarat bangunan yang utuh,
yang kemudian di dalam-nya
dilengkapi dengan matahari dan
bulan.11 Menurut al-Sa’di penundukan
matahari dan bulan oleh Allah dalam
ayat ini untuk kemaslahatan manusia
dan ke-maslahatan tumbuh-tumbuhan
di bumi. Sementara, yang dimaksud
dengan “yajrī liajalim musamma”
menurutnya, dengan pengaturan Allah,
matahari dan bumi beredar dengan
teratur, tidak saling mendahului dan
tidak saling tab-rakan sampai pada
waktu yang telah ditentukan.12
11al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān, juz 24, h 249. 12As-Sa’di, ’Abdu ar-Rahman bin Nāśir bin
as-Sa’di, 2000 M/1420 H, Tafsīr al-Karīm ar-Rahman fī tafsīr Kalām al-Manān, tahqiq ’Abd ar-Rahman bin ma’lā al-wīhaq, jilid 1, Beirut: Muassah ar-Risalah. 412.
Mengacu pada penjelasan di atas,
QS. ar-Ra’d (13): 2 dapat dipahami
bahwa matahari dan bulan beredar
dengan teratur. Dalam peredarannya
matahari dan bulan memiliki waktu
ma-sing-masing. Bulan memiliki waktu
untuk beredar dan sampai pada
tempatnya. Matahari juga punya waktu
untuk beredar dan sampai pada
tempatnya.13 Keduanya ber-edar sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan
oleh Allah. Menurut ahli Astronomi,
per-edaran bulan mengelilingi bumi
selama 27,321661 hari, sedangkan
peredaran bumi dan bulan
mengelilingi matahari selama
365,256360 hari.14
Dilihat dari redaksinya ayat-ayat
yang berbicara mengenai peredaran
matahari dan bulan tidak terdapat
pertentangan an-tara yang makkiyah
dan yang madaniyah. Berikut ini
sederetan ayat-ayat tentang peredaran
ma-tahari dan bulan yang diturunkan
sebelum nabi hijrah, yakni: QS. al-An’am
(6): 96, QS. al-A’raf (7): 54, QS. Yunus
(10):5, QS. Ibrahim (14): 33, QS. al-
Anbiya’ (21): 33, QS. Lukman (31): 29,
QS. Fāṭir (35): 13, QS. Yāsīn (36):39-40,
QS. az-Zumar (39):5, QS. al-Rahman
(55): 5. Dari ayat-ayat tersebut ditemui
kata kunci (key words) berkaitan dengan
peredaran matahari dan bulan. Kata
kunci tersebut adalah kata taqdīr.
Kata taqdīr ditemui dalam al-
Quran hanya tiga kali dan semuanya
13Menurut ahli astronomi peredaran matahari adalah peredaran semu yang diakibatkan oleh gerak rotasi bumi pada sumbunya sebesar 360˚ per 24 jam, sehingga seolah-olah matahari bergerak dari Timur ke Barat. Baca, Muhyidin Khazin, Ilmu Falak, Yogyakarta:Buana pustaka, 2004, h.125
14Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976, 7.
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
100
dalam konteks pem-bicaraan tentang
peredaran mata-hari dan bulan, yakni
dalam QS. al-An’am (6): 96, QS, Yāsīn
(36): 38, dan QS. Fuṣṣilat (41): 12. Kata
ير -dalam ayat-ayat tersebut diguna تقد
kan untuk makna pengaturan dan
ketentuan yang sangat teliti dalam
konteks penciptaan alam semesta. Oleh
karena itu, kata ini dalam al-Quran
hanya digunakan untuk menunjukkan
konsistensi hu-kum-hukum Allah
yang ber-laku di alam raya. Menurut
Shihab kata takdīr mengandung arti: 1)
menjadi-kan sesuatu memiliki kadar
serta sistem tertentu dan teliti. 2)
menetap-kan kadar sesuatu, baik
yang berkaitan dengan materi,
maupun waktu. Penggunaan kata
takdīr diperkuat oleh kata العزيز) )
al’Azīz/ Maha Perkasa dan (العلين) al-
‘Alīm/ Maha Mengetahui pada akhir
ayat bertujuan menjelaskan bah-wa
pengaturan Allah terhadap benda
langit seperti matahari yang demikian
besar, dapat ter-laksana karena Dia
Maha Perkasa sehingga semua tunduk
kepada-Nya, dan Maha Mengetahui
sehingga pengaturan-Nya sangat teliti
dan mengagumkan.15 De-ngan
demikian, peredaran mata-hari dan
bulan sudah ditentukan kadar
peredarannya, sehingga akan selalu
beredar secara kon-sistensi
berdasarkan garis edarnya.
QS. al-An’am (6): 96 menyata-kan:
باحفالق والمقمروالش ممسسكناالل يملوجعلالمصمب المعليمالمعزيزت قمديرذلكاناحسم
Dia menyingsingkan pagi dan
menjadikan malam untuk ber-istirahat,
dan (menjadikan) mata-hari dan bulan
15Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol.
13, h. 209
untuk perhitungan. Itulah ketentuan
Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha
mengetahui (al-An’am [6]: 96).
Kata ير ت قد dalam ayat di atas
menguatkan kata husbānā (حسثانا) . Kata
Husbānā (حسثانا) secara bahasa
terambil dari kata (حساتا) hisābā yang
berarti kesempurna-an, sehingga ayat
tersebut berarti perhitungan yang
sempurna dan teliti. Kemudian hasil
perhitungan tersebut ditetapkan
sebagai takdir. Berkaitan dengan
ketelitian dalam penciptaan
perhitungan peredaran benda-benda
langit juga disinggung dalam firman-
Nya yang lain, misalnya dalam QS al-
Rahman [55]: 5. 16 Mengacu pada dua
ayat ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa peredaran benda-benda langit
sedemikian konsisten dan pasti,
sehingga tidak mungkin terjadi
tabrakan antar benda langit yang satu
dengan benda langit yang lainnya.
Menurut Shihab, karena peredaran
matahari dan bulan sangat konsisten
dan pasti, maka dapat dijadikan
sebagai alat untuk melakukan
perhitungan waktu, tahun, bulan,
minggu dan hari bahkan menit dan
detik.17
Dalam peredaran bulan
ditetapkan manzilah-manzilah. Ini
ditemui dalam QS.Yunus (10): 5, dan
QS Yāsīn (36): 39. Ber-dasarkan kedua
ayat ini dapat dipahami bahwa bulan
memiliki manzilah-manzilah (fase-fase)
16Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah Vol. 13, h. 497 kata حسثا husbān dalam QS. al-Rahman [55]: 5 terambil dari kata hisāb yakni perhitungan. Penambahan حسابhuruf alif ا dan nun ن pada kata tersebut menurutnya mengandung makna ketelitian dan kesempurnaan.
17Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 4, h. 210.
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
101
dalam peredarannya. Dalam ayat
tersebut dikatakan qaddarahu
manāzilah. Al-Ṭabari mengatakan
bahwa kata manāzilah pada ayat di
atas hanya untuk bulan saja, bukan
untuk matahari. Dia beragumentasi
bahwa perhitung-an syahr dan sinīn
hanya dapat diketahui dengan
qamar.18 De-ngan demikian, dapat
dipahami bahwa bulan memiliki
manzilah-manzilah dalam
perjalanannya. Karena bulan memiliki
manzilah-manzilah, maka dapat dilihat
dari bumi setiap malam dalam bentuk
yang berbeda-beda, sehingga ada bulan
(hilāl) dan ada bulan (qa-mar). Oleh
karena itu, akan melahirkan sistem
perhitungan atau penanggalan bulan
kamariah.
Isyarat manzilah yang di-miliki
oleh bulan diperkuat oleh hasil
penelitian yang menyatakan bahwa
perjalanan bulan dari bulan mati
(muhaq) sampai de-ngan bulan purna-
ma dan menuju bulan mati lagi
memiliki fase-fase antara lain: 1). Bulan
baru/ bulan mati, 2) Kuartir pertama 3)
Bulan purnama 4) Kuartir ketiga, yakni
ketika bulan beredar ke arah
perempat ke-tiga.19 Menurut al-Jailani
perubahan penampakan wajah bulan
dari bumi sebagai akibat adanya
manzilah-manzilah. Dalam hal ini, wajah
bulan nampak berbeda dari waktu ke
waktu, yang dimulai dengan muhāq
(bulan mati) yakni ketika terjadi
peristiwa ijtimak antara bulan dan
matahari, selanjutnya hilāl (bulan baru)
yakni ketika bulan bergerak maka ada
bagian bulan yang menerima sinar dari
matahari terlihat dari bumi, berikutnya
18Al-Ṭabarī, Jāmi’, Juz 15, h 23. 19 Saadoe’ddin Djambek, Hisab, h. 5.
tarbi’ awwal (kwartir pertama) yakni
ketika bulan bergerak semakin jauh dari
titik ijtimak, selanjutnya badr (bulan
purnama) yakni ketika terjadi peristiwa
istiqbal dimana semua permukaan bulan
menghadap matahari, kemudian tarbi’
akhir (kwartir terakhir) ketika bulan
meninggalkan matahari setelah
terjadinya peristiwa istiqbal, dan
akhirnya kembali pada bentuk muhāq
hingga pada proses ijtimak kembali.20
Ayat yang berkaitan dengan
peredaran bulan yang dijelaskan dalam
dalam QS. Yāsīn (36): 39 adalah QS.
Yāsīn (36): 37-3821. Menurut Shihab,
Ayat 37 meng-ilustrasikan bumi
dalam keadaan gelap. Kemudian,
Matahari memancarkan sinarnya ke
bumi, maka bagian tertentu dari
bumi diliputi oleh sinarnya. Sinar
matahari itu diilustrasikan dengan
kulit dan malam di-ilustrasikan
dengan jasmani bina-tang yang
tertutup kulit. Lalu sedikit demi
sedikit sinar itu diambil dan
dikeluarkan bagai-kan binatang yang
dikuliti. Setiap saat, berpisah kulit itu
dari jasmaninya, setiap itu pula
kegelapan muncul, lalu setelah
selesai pengulitan yakni setelah posisi
matahari meninggalkan bumi karena
peredaran kedua-nya, maka kegelapan
pun menu-tupi bumi.22 Ayat 38
mengandung makna: 1) Matahari
bergerak menuju ke tempat
20Zubair Umar al-Jailani, al-Khulāsah al-
Wafiyyah f al-Falak bijadwal al-Lughāritmiyyah, Kudus: Menara Kudus, t.th, 42-43.
21Menurut Shihab kata naslakhu pada ayat 37 surat Yasin terambil dari kata سلخ salakhu yang biasa digunakan dalam arti menguliti binatang, sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut menurutnya ádalah mengeluarkan.
22Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 11, h. 540.
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
102
perhentiannya setiap hari. 2)
Matahari bergerak terus-menerus
sampai waktu yang ditetapkan Allah
untuk per-hentian geraknya, yakni
pada saat dunia akan kiamat.23
Zuhaili menjelaskan bahwa bulan
dan matahari tidak mungkin bertemu.
Keduanya, menurut Zuhaili memiliki
tempat dan kekuasaan. Kekuasaan
bulan pada malam hari dan kekuasaan
matahari pada siang hari. Karena
masing-masing memiliki tempat
kekuasaan, maka matahari dan bulan
akan selalu beredar pada garis
edarnya dan tidak akan saling
bertabrakan.24 Sadoe’ddin menambah-
kan bahwa antara kekuasaan bulan
dan kekuasaan matahari dibatasi oleh
garis ufuk, yang menjadi batas
peralihan siang kepada malam.25
Sementara, Shihab dengan bertolak dari
kata yasbahūn pada QS. Yāsīn (36):40,
menjelaskan bahwa ruang angkasa
diibaratkan samudera luas, dimana
benda-benda langit diibaratkan ikan-
ikan yang bere-nang di lautan lepas. 26
Berdasarkan pendapat di atas
dapat dipahami bahwa semua benda-
benda di langit bergerak dan beredar,
23Shihab Op.cit. Volume 11, h 540 24Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, Jilid
23 Beirut-libanon: Dar al-Fikr al-Ma’ashir,17. 25Sadoe’ddin Djambek, Op.cit. h.13. 26Kata ىن yasbahun menurut يسثح
Quraish Shihab 2008, jilid 11:543 mempunyai makna pada mulanya berarti mereka berenang. Menurut Shihab ruang angkasa diibaratkan oleh al-Qur an dengan samudera yang besar. Benda-benda langit diibaratkan dengan ikan-ikan yang berenang dilautan lepas. Allah melukiskan benda-benda itu dengan kata yang digunakan bagi yang berakal mereka berenang. Ini mengisyaratkan ketundukan benda-benda langit itu kepada ketentuan dan takdir yang ditetapkan Allah atasnya.
tak ter-kecuali matahari. Dalam per-
edarannya, sangat mustahil terjadi
tabrakan, karena telah memiliki
keteraturan sistem.
Peredaran matahari dan bulan
seperti yang dikemukakan di atas dapat
terjadi karena semua benda-benda
yang ada di langit telah ditundukkan
oleh Allah, sebagaimana dinyatakan
dalam QS. Ibrahim (14): 33, Lukman
(31): 29, Fāṭir (35): 13, dan Az-Zumar
(39):5. Mengacu pada beberapa ayat
tersebut, dapat ditarik kesimpulan: 1)
konsistensi per-edaran benda-benda
langit terjadi karena masing-masing
benda-benda langit telah ditentukan
tempat edarnya. 2) Konsistensi per-
edaran benda-benda langit terjadi
karena setiap benda langit telah
ditentukan waktu ber-edarnya. 3)
Konsistensi per-edaran benda langit
dapat terjadi karena setiap benda
langit telah di-tundukkan oleh Allah.
Selain Ayat-ayat yang telah
dijelaskan di atas, ada satu ayat
tentang peredaran bulan yang tidak
disebutkan secara ber-samaan dengan
matahari, itupun menggunakan kata
hilāl ( هالل) yakni QS. Al-Baqarah [2]:
189. Penulis tidak mengelompokkan
ayat ini dalam daftar kelompok ayat-
ayat peredaran bulan dan matahari,
karena ayat ini tidak secara implisit
berbicara tentang peredaran bulan.
Ayat ini secara implisit membicarakan
hilāl sebagai tanda-tanda waktu haji,
sebagaimana dinyatakan sebagai
berikut:
ألونك هل ةعنيسم جللن اسمواقيتهيقلمالم والم
Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
103
dan (bagi ibadah) haji (al-Baqarah [2]:
189).
Al-Qurtubi menceritakan bahwa
ayat ini diturunkan berkenaan dengan
pertanyaan orang-orang Yahudi
kepada Muadz bin Jabal mengenai hilāl.
Lalu Muadz menyampaikan pertanyaan
tersebut kepada Rasulullah kemudian
turun ayat ini. Dengan demikian, ayat
ini secara substansi tidak berkaitan
dengan peredaran bulan, namun ayat
ini lebih menekankan pada hikmah
adanya perubahan hilāl. Dilihat dari
asbab nuzulnya ayat ini mengindikasi-
kan adanya perubahan hilāl. Dalam
hal ini, adanya perubahan hilāl dari
yang paling halus sampai yang paling
jelas. Oleh karena itu, perubahan
tersebut mengandung arti dan
manfaat bagi manusia. Ibnu Katsir
menjelaskan hikmah perubahan hilāl
antara lain, untuk mengetahui bilangan
iddah wanita, waktu haji, dan waktu
memulai serta mengakhir puasa
Ramadan.27
Secara eksplisit ayat 189 surah al-
Baqarah mengindikasikan perubahan
waktu secara stagnan dalam
perhitungan bulan kamariah. Dalam hal
ini, perjalanan hilāl dari manzilah ke
manzilah akan mengakibatkan per-
ubahan bentuk penampakan hilāl dan
implikasi-nya terhadap perubahan
waktu. Penampakan bentuk hilāl
dalam perjalanan dari manzilah yang
satu ke manzilah yang lainnya
27Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-’Aẓīim,
ditahqiq oleh Samī bin Muhammad Salāmah, Beirut: Dār Ṭayyibah linasyri wa al-Tauzī’i, 1999 cet II, h.29.
mengakibatkan adanya tarikh
(penanggalan) kamariah dari tanggal 1,
2, 3, dan seterusnya sampai dengan
tanggal 29 atau 30. Setiap tanggal
tersebut, hilāl menunjukan bentuk
yang berbeda. Perubahan tersebut
terjadi secara terus menerus dan
stagnan, artinya apabila bulan telah
sampai tanggal 29/30 akan kembali
lagi menjadi tanggal 1.
F. Penutup
Kajian mengenai astronomi
dalam al-Quran merupakan kajian yang
cukup menarik. Secara umum pembi-
caraan mengenai benda-benda langit
dalam perspektif al-Quran terdiri dari
matahari, bulan dan bintang. Ketika
membicarakan matahari, al-Quran
selalu konsisten dengan kata syams
dalam bentuk mufrad. Sedangkan,
ketika berbicara mengenai bulan,
kadang-kadang menggunakan kata
qomar dalam bentuk mufrad, kadang
pula menggunakan kata hilāl dalam
bentuk jamak (ahillah/ اهلة) . Ketika
berbicara mengenai bintang digunakan
tiga kata, yakni kata nujūm, kaukab dan
burūj.
Benda-benda di langit dalam
perspektif al-Quran sudah ditetapkan
takdirnya, dan telah ditundukkan,
sehingga beredar secara konsisten dan
pasti. Bulan ditetapkan manzilah-
manzilah-nya, sehingga bulan ketika
dilihat dari bumi menunjukkan wujud
yang berbeda-beda, kadang sempurna
(bulan purnama), kadang menunjukkan
wujud yang tidak sempurna. Dengan
demikian, dapat dikenal dengan baik,
kapan bulan tanggal 1, 2, 3 dan
seterusnya, sehingga dapat
melaksanakan ibadah berdasarkan
perjalanan bulan tersebut. []
Muhammad Hasan: Bendan Astronomi Dalam al-Quran Perspektif Sains
104
DAFTAR PUSTAKA Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu
Astronomi, Jakarta: Dirjen Bagais,
2002.
Djambek, Saadoe’ddin, Hisab Awal
Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976.
Humad, As’ad Mahmud, Aysar al-
Tafāsīr:Tafsīr, Asbāb al-Nuzūl, al-
Ḥadīṡ Namāzij I’rab, Damaskus: tp,
1992.
Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-’Aẓīm,
ditahqiq oleh Samī bin
Muhammad Salāmah, Dār
Ṭayyibah linasyri wa al-Tauzī’i,tp,
1999/1420 cet II.
Ibn Manżūr, Muhammad bin Mukrim
bin Manżur al-Ifriqī al-Miṣrī, Lisān
al-A’rabi, Beirut-Lebanon: Dār
Ṣādir, tth.
Ichwan, Muhammad Nor, Tafsir ‘Ilmi
Memahami al-Quran melalui
Pendekatan Sains Modern,
Jogyakarta, 2004.
Jailani, Zubair Umar, al-Khulāṣah al-
Wafiyyah fi al-Falak bi Jadwal al-
Lughāritmiyyah, Kudus: Menara
Kudus, t.t
Khazin, Muhyidin, Ilmu Falak,
Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004
Mahlī dan as-Suyutī, tt. Tafsir al-
Jalālain,tp,tt.
Munawir, AW, Kamus Arab-Indonesia,
Surabaya:Pustaka Progresif, 1997
Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah
Alam Filsafat, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.
3, 4, 10, 11, 12, 13, 14, Jakarta:
Lentera Hati, 2006.
Sa’di, ’Abdu al-Rahman bin Nāśir bin al-
Sa’di, Tafsīr al-Karīm al-Rahman fī
Tafsīr Kalām al-Manān, tahqiq
’Abd al-Rah-man bin ma’lā al-
Wīhaq, Beirut: Muassah al-Risalah,
tth.
Ṭabarī, Muhammad bin Jarīr bin Yazid
bin Kaśir bin gālib al-Amlī, Jāmi’ al-
Bayān fī Ta’wīl al-Qurān, juz 24,
tahqiq Ahmad Muhammad Syākir,
Beirut:Muassah ar-Risalah,tt cet I
Wicks, Keith, Stars And Planet, terj.
Bambang Hidayat London:
Grisewood & Dempsey Ltd, 1997.
Zamakhzari tt, Tafsir al-Kassyaf, juz 2,
tp.
Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, Juz 11, 12, 13,
21, 23, Beirut: Dār al-Fikr al-
Ma’aṣir, 1991.