Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
IKATAN AHLI TEKNIK PERMINYAKAN
SIMPOSIUM DAN KONGRES NASIONAL IATMI XIII-2014
Jakarta, 2-4 Desember 2014
MAKALAH PROFESIONAL
IATMI 14 – 00X
FLUID REPLACEMENT MODELING (FRM) SEBAGAI MODEL SINTETIK SEISMIK
SAAT DIINJEKSI CO2 UNTUK ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) BERDASARKAN
METODE WELL-BASED MODELING DAN SYNTHETIC SEISMIC PADA FORMASI
NGRAYONG, JAWA TIMUR BASIN
INNANDA RIZQIANI PUTRI, NATASSA ADI PUTRI
Geophysical Engineering, ITS; Indonesia
*email: [email protected], [email protected]
2
Fluid Replacement Modeling (FRM) Sebagai Model Sintetik Seismik saat diinjeksi CO2
untuk Enhanced Oil Recovery (EOR) Berdasarkan Metode Well-Based Modeling dan
Synthetic Seismic pada Formasi Ngrayong, Jawa Timur Basin
Fluid Replacement Modeling (FRM) as a Model Synthetic Seismic Response Changes Result
of CO2 Injection for Enhanced Oil Recovery (EOR) Based on Well-Based Modeling and
Simulation of Synthetic Seismic in Ngrayong Formation, East Java Basin
Innanda Rizqiani Putri[1]
, Natassa Adi Putri[2]
Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
*email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Peningkatan emisi CO2 di bumi
disebabkan oleh meningkatnya
ketergantungan manusia pada energi bahan
bakar fosil. Carbon Capture and Storage
(CCS) adalah teknologi yang dapat
digunakan untuk mengurangi emisi CO2.
Selain untuk mengurangi emisi CO2, CCS
dapat digunakan sebagai Enhanced Oil
Recovery (EOR) pada sumur reservoir
yang masih mengandung sisa hidrokarbon
dan berpotensi digunakan sebagai CO2
storage. Tujuan dari penelitian ini adalah
memodelkan respon sumur reservoir
setelah CO2 diinjeksikan pada reservoir
yang mengandung sisa hidrokarbon
bedasarkan metode Fluid Replacement
Modeling (FRM). Metode FRM didasarkan
oleh Well Based Modeling dan Synthetic
Seismic dengan mengubah presentase pori
hidrokarbon yang mengisi batuan dengan
penambahan CO2. Hasil penelitian ini
adalah model respon sumur reservoar
setelah dilakukan injeksi CO2 pada sumur.
Hasil respon model ini dapat digunakan
sebagai monitoring sumur reservoir saat
proses injeksi CO2 pada sumur.
Kata Kunci – Carbon Capture and Storage
(CCS), Fluid Replacement Modeling
(FRM), NgrayongFormation, Simulation
Synthetic Seismic, Well Based Modeling.
Abstract
Increases of CO2 emissions in the
earth caused by increasing our continued
reliance on fossil fuel energy. Carbon
Capture and Storage (CCS) is a technology
that can be used to reduce CO2 emissions.
Utilization CCS also can be used as an
attempt Enhanced Oil Recovery (EOR) for
the reservoir which still contains residual
hydrocarbons and the potential to be used
as CO2 Storage. The objective of this study
is to model the seismic response changes
3
as a result of CO2 injection on the reservoir
containing residual hydrocarbons based on
the Fluid Replacement Modeling (FRM).
The method of Fluid Replacement
Modeling is based onWell Based
Modeling and Simulation of Synthetic
Seismic by changing the percentage of
hydrocarbon pore which fill the rock with
the addition of CO2. The results of the
study is the Fluid Replacement Modeling
and Synthetic Seismic Response after the
injected CO2 can be utilized for reservoir
monitoring while CO2 injection process.
Keywords – Carbon Capture and Storage
(CCS), Fluid Replacement Modeling
(FRM), NgrayongFormation, Simulation
Synthetic Seismic, Well Based Modeling.
Pendahuluan
Saat ini banyak sumur reservoiar yang
sudah tidak digunakan, namun masih
mengandug hidrokarbon. Terdapat
teknologi yang terbaru untuk
mengeksploitasi sisa hidrokarbon tersebut,
salah satunya dengan menggunakan
Carbon Capture and Storage (CCS).
Teknologi ini menggunakan metode Fluid
Replacement Modeling (FRM) yaitu
dengan mengubah presentase pori
hidrokarbon yang mengisi batuan dengan
penambahan CO2. Selain dapat
meningkatkan produksi minyak,
penggunaan CO2 yang diinjeksikan
kedalam reservoir juga dapat mengurangi
emisi CO2 yang semakin meningkat.
Formasi Ngrayong, Jawa Timur Basin
Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir
kuarsa dengan perselingan batulempung,
lanau, lignit, dan batugamping bioklastik.
Pada batupasir kuarsanya terkadang
mengandung cangkang moluska laut.
Berdasarkan kandungan fosil ini, Formasi
Ngrayong diperkirakan berumur Miosen
Tengah-Miosen akhir Formasi Ngrayong
merupakan salah satu formasi yang
menunjukkan adanya siklus regresi dan
transgresi.
Gambar 1. Litologi Jawa Timur Basin
Lingkungan pengendapannya berada di
daerah dangkal dekat pantai yang makin ke
atas lingkungannya menjadi littoral,
laguna, hingga sublittoral pinggir. Tebal
dari Formasi Ngrayong mencapai 90
meter. Karena litologinya terdiri dari
mayoritas pasir kuarsa, maka Formasi ini
merupakan batuan reservoir minyak yang
berpotensi di cekungan Jawa Timur bagian
Utara. Dari hal tersebut, Formasi
Ngrayong merupakan potensi yang baik
untuk penyimpanan karbon.
4
Injeksi Gas CO2
Injeksi gas CO2 adalah menginjeksikan
sejumlah gas CO2 ke dalam reservoir
dengan melalui sumur injeksi sehingga
dapat diperoleh minyak yang tertinggal.
Dalam penginjeksian digunakan gas CO2
karena CO2 adalah molekul stabil dimana
1 atm carbon mengikat 2 atom oksigen,
berat molekulnya 44.01, temperatur kritik
31.0 0CO2 dan tekanan kritik 73.3 Bars
(1168.65 Psi). Injeksi CO2 akan
mengakibatkan antara lain adalah
pengembangan volume minyak, penurunan
viskositas minyak reservoir, kenaikan
densitas pada minyak reservoir (karena
CO2 terlarut), dan Ekstraksi sebagian
komponen minyak.
Injeksi gas CO2 dalam sumur reservoir
memerlukan sumber CO2 dengan jumlah
yang banyak, karena injeksi ini
berlangsung dalam jangka waktu yang
panjang. Gas yang tersedia harus relatif
murni. Sumber yang biasa digunakan
adalah kumpulan gas hasil dari
pembakaran batubara atau biasanya
merupakan gas hasil pembuangan pabrik
ammonia.
Injeksi gas CO2 merupakan teknologi yang
ramah lingkungan. Dalam metode ini, gas
CO2 yang bersifat polutan di udara bebas
dapat diinjeksikan ke dalam perut bumi.
Walaupun begitu, harga yang ditawarkan
metode ini terbilang mahal.
Fluid Replacement Modeling (FRM)
Fluid Replacement Modeling adalah model
untuk memperkirakan perubahan nilai Vp,
Vs, dan densitas yang terjadi ketika
saturasi berubah. Pempdelan FRM
membutuhkan data kedalaman reservoir, P
wave velocity log, informasi porositas
dan/atau densitas, informasi shear wave
velocity, saturasi, matriks batuan, dan
property fluida. Untuk mengestimasi
perubahan yang terjadi saat perubahan
saturasi, digunakan persamaan berikut:
𝜌𝑠𝑎𝑡 = 𝜌𝑚𝑎 1 − ∅ + 𝜌𝑤 𝑆𝑤 ∅
+ 𝜌ℎ𝑐 1 − 𝑆ℎ𝑐 ∅ …............................… (1)
Dimana 𝜌𝑠𝑎𝑡 adalah masa jenis saat
batuan tersaturasi, 𝜌𝑚𝑎 adalah massa jenis
dari matriks batuan, 𝜌𝑤 adalah massa jenis
dari air, 𝜌ℎ𝑐 adalah massa jenis dari
hidrokarbon, Sw adalah saturasi air
didalam batuan, dan Shc adalah saturasi
hidrokarbon dalam batuan. (Asquith dan
Krygowski,2004)
Vertical Insidence Modeling
Vertical Incidence atau biasa dikenal
dengan zero offset merupakan pemodelan
seismic konvolusi yaitu pengkonvolusian
konstanta reflektifitas dengan wavelet.
Ketika ray mengenai sebuah permukaan
dengan normal incidence, energi yang
dipancarkan gelombang tersebut
direfleksikan dan ditransmisikan ke bawah
bidang batas. Pengertian lebih mudah
5
adalah, saat receiver diletakkan dengan
posisi yang sama dengan source.
Koefisien refleksi merupakan
perbandingan antara amplitude ray yang
direfleksikan dengan amplitude ray
incident. Perumusan baku diformulasikan
sesuai dengan rumus di bawah (untuk
normal incidence):
R= (Z2-Z1)/(Z2+Z1) ............................(2)
Dengan Z merupakan acoustic impedance
yang diformulasikan :
Z = ρV ...................................................(3)
Metodologi
Pembahasan
Pada penelitian ini menggunakan geologi
model dari Formasi Ngerayong. Akibat
dari proses injeksi CO2 pada sumur akan
mempengaruhi perubahan saturasi minyak
Pengumpulan Data - Data Geologi mengenai East Java Basin
- Data Sumur dari 2 sumur di Formasi Ngrayong (Vp dan densitas) - Densitas CO2
Menghitung data berdasarkan perubahan saturasi CO2 (30%-50%) selama injeksi
Membuat model Geologi sebelum injeksi dan sebelum injeksi
Well Based Modelling dan Analisa Vp selama penginjeksian
Synthetic Seismic Modelling dan menganalisa perubahan time delay dan amplitudo selama
injeksi
Analisa dengan Fluid Replacement Modelling
Penarikan Kesimpulan
6
dan juga akan mempengaruhi perubahan
velocity pada lapisan yang akan di injeksi.
Berikut ini model geologi yang digunakan:
Gambar 2. Model Geologi Jawa Timur
Basin
Well Based Modeling
Target sumur injeksi sebanyak 2 sumur,
yaitu sumur A di kedalaman 903,9 meter
hingga 919,1 meter dan sumur B di
kedalaman 878,7 meter hingga 903,9
meter. Pada kasus 2 sumur ini adalah low
impedance. Pada kasus ini dilakukan
injeksi CO2 ke dalam sumur reservoir
sebanyak 30%, 40%, dan 50%. Hal ini
menyebabkan adanya perubahan densitas
yang sudah tersaturasi dan perubahan
velocity pada lapisan reservoir yang telah
terinjeksi CO2.
Kondisi
CO2
(%)
Densitas
(g/cm3)
Vecocity
(m/s)
Sebelum
Injeksi - 1,917 3000
Sesudah
injeksi
30% 1,866 1370,904
40% 1,848 1349,795
50% 1,831 1328,686
Tabel 1. Perubahan densitas dan velocity
akibat injeksi pada sumur reservoir.
Grafik 1. Korelasi densitas dengan
presentase CO2 yang diinjeksikan ke
dalam sumur reservoir.
Grafik 2. Korelasi velocity dengan
presentase CO2 yang diinjeksikan ke
dalam sumur reservoir.
Pada grafik 1 diatas dapat dianalisis,
semakin tinggi presentase CO2 yang
diinjeksikan ke dalam sumur reservoir
akan mengakibatkan densitas saturasi
reservoir menurun. Hal ini dikarenakan
adanya proses injeksi CO2 pada lapisan
tersebut. Proses injeksi CO2 juga akan
mengakibatkan penurunan velocity. Hal ini
ditunjukkan pada grafik 2. Efek dari gas
CO2 ini yang menyebabkan penurunan
nilai velocity.
Setelah dilakukan analisa densitas dan
velocity maka dilakukan analisis
menggunakan metode Well Base
1,8
1,85
1,9
1,95
-10% 10% 30% 50%Den
sita
s (g
/m3)
Presentase injeksi C02 (%)
Korelasi Densitas dengan %CO2
0
2000
4000
0% 20% 40% 60%
Vel
oci
ty (
m/s
)
Presentase injeksi CO2 (%)
Korelasi Velocity dengan %CO2
7
Modeling. Yaitu mencari nilai koefisien
reflektivitas menggunakan persamanan
sekian, lalu dikorelasikan antara
reflektivitas dengan kedalaman sumur
reservoir. Setelah sumur reservoir diinjeksi
dengan CO2, maka nilai reflektivitas
lapisan yang diinjeksi akan menjadi kuat,
seperti grafik 3 dibawah ini.
Grafik 3. Korelasi antara kedalaman sumur
reservoir dengan reflectivity lapisan
sebelum dinjeksi CO2 maupun setelah
diinjeksi CO2.
Grafik 4. Analisis perubahan reflektivitas
pada lapisan reservoar setelah diinjeksi
CO2.
Nilai reflektivitas bergantung dengan nilai
velocity. Pada grafik 4 seperti diatas,
diambil sample pada kedalaman 500 meter
hingga 1000 meter, terlihat jelas perubahan
reflektifitasnya. Sebelum lapisan reservoar
diinjeksi CO2, nilai reflektifitas lapisan
lemah. Namun setelah sumur diinjeksi
CO2 sebanyak 30%, 40% dan 50%, nilai
reflektivitas lapisan reservoar tersebut
menjadi kuat. Hal ini diakibatkan adanya
efek gas CO2 yang diinjeksikan ke sumur
reservoar sehingga terjadi penurunan
velocity yang sangat drastis.
Grafik 5. Korelasi antara reflektivitas atas
dan reflektivitas bawah dengan presentase
CO2 yang diinjeksikan pada sumur
reservoar.
Analisis reflektivitas dibagi menjadi 2,
reflektivitas batas atas dengan batas
bawah. Pada reflektivitas batas atas
cenderung negatif karena velocity lapisan
diatas reservoar cenderung tinggi setelah
diinjeksikan CO2, sehingga terjadi low
impedance. Pada batas bawah reflektifitas
lapisan reservoar cencerung positif karena
velocity lapisan dibawah reservoar
cenderung lebih tinggi sehingga, terjadi
low impedance. Hal ini terjadi akibat dari
8
efek gas CO2 yang diinjeksi ke dalam
sumur sehingga menyebabkan penurunan
velocity yang drastis.
Sintetik Seismik Modeling
Pada saat sumur reservoir diinjeksi CO2
sebanyak 30%, maka didapatkan nilai
kecepatan gelombang primer yang
semakin menurun dibandingkan dengan
nilai kecepatan gelombang primer sebelum
diinjeksikan CO2. Penurunan kontras
velocity ini mengakibatkan amplitude yang
semakin menurun. Amplitude yang turun
mengakibatkan delay time yang semakin
panjang. Dibawah ini adalah gambar 3
yang menunjukkan perbedaan antara
kenampakan amplitude dari setiap
kapasitas CO2 yang diinjeksikan
Gambar 3. Sintetik Seismik pada saat
sebelum diinjeksikan CO2.
Gambar 4. Seismik Sintetik pada saat
injeksi CO2 sebesar 30% dengan Normal
Incidence Modeling.
Gambar 5. Seismik Sintetik pada saat
injeksi CO2 sebesar 40% dengan Normal
Incidence Modeling.
Gambar 6. Seismik sintetik pada saat
injeksi CO2 sebesar 50% dengan Normal
Incidence Modeling.
9
Pemodelan dalam kasus injeksi CO2 ini
menggunakan Normal Incidence Modeling
karena dianngap paling sederhana
dibandingkan modelling lainya. Normal
Incidence Modeling adalah pemodelan
yang digunakan saat receiver dan source
berada dalam satu posisi sehingga sumber
yang ditembakkan akan dipantulkan
langsung dan diterima pula oleh receiver.
Pemodelan ini menggunakan 801 titik
receiver dengan bentangan 10.000 m spasi
12,5 m. Berarti pemodelan Normal
Incidence dalam kasus ini mendapatkan
sebesar 801 titik receiver.
Untuk melihat delay time yang semakin
panjang, dilakukan pengurangan pada
sintetik seismic pada saat diinjeksikan dan
pada saat tidak diinjeksikan CO2. Akibat
dari penurunan kontras kecepatan, maka
delay time yang dihasilkan akan semakin
lama. Dalam penampang berikut akan
direpresentasikan dengan ketebalan dari
sintetik seismik itu sendiri. Semakin
tebal/terang dintetik seismik tersebut,
maka semakin panjang juga delay time
yang terjadi. Sehingga pada penampang
dengan injeksi CO2 sebanyak 50%
menghasilkan penampang yang lebih tajam
dibandingkan dengan kedua penampang
lainnya.
Gambar 7. Delay time pada saat injeksi
CO2 30%
Gambar 8. Delay time pada saat injeksi
CO2 40%.
Gambar 9. Delay time pada saat injeksi
CO2 50%.
10
Grafik 6. Korelasi antara Amplitudo
dengan saturasi CO2.
Korelasi antara Amplitudo dengan saturasi
CO2 dapat dilihat dari grafik 6 diatas ini.
Dapat dilihat bahwa kenaikan saturasi dari
CO2 mengakibatkan nilai amplitude
semakin menurun.
Grafik 8. Korelasi antara Delay time
dengan saturasi CO2.
Grafik korelasi antara Delay time dengan
saturasi CO2 dapat dilihat dari grafik
dibawah ini. Dapat dilihat bahwa semakin
banyaknya CO2 yang diijeksikan maka
delay time akan semakin panjang. Kedua
parameter ini, yaitu amplitude dengan
delay time merupakan parameter yang
berhubungan dengan kontras kecepatan.
Maka dari itu, ketika kontras kecepatan
mengalami perubahan, maka kedua
parameter ini juga akan mengalami
perubahan walaupun dalam kasus injeksi
CO2 ini perubahan yang dihasilkan tidak
signifikan.
Kesimpulan
1. Semakin tinggi presentase CO2
yang diinjeksikan ke dalam sumur
reservoir akan mengakibatkan
densitas saturasi dan velocity
lapisan reservoir tersebut menurun.
Hal ini dikarenakan adanya proses
injeksi CO2 pada lapisan reservoir
tersebut.
2. Kenaikan saturasi dari CO2
mengakibatkan nilai amplitude
semakin menurun.
3. Semakin banyaknya CO2 yang
diijeksikan maka delay time akan
semakin panjang.
4. Efek dari injeksi CO2 kedalam
sumur mengakibatkan nilai
reflektifitas semakin kuat.
5. Faktor dari penurunan velocity,
penurunan densitas saturasi,
amplitude, dan time delay yang
terjadi pada sumur reservoar ini
menjadi penting untuk
memodelkan respon sumur
reservoir setelah CO2 diinjeksikan
pada reservoir yang mengandung
sisa hidrokarbon.
-0,3
-0,2
-0,1
0
0 50 100
Am
plit
ud
o
Saturasi CO2 (%)
Korelasi Antara Amplitudo dengan Saturasi CO2
SebelumInjeksi
Injeksi 50%
750
800
850
900
0 50 100
Tim
e (s
)
Saturasi CO2 (%)
Korelasi Antara Delay Time dengan Saturasi CO2
Sebelum Injeksi
Injeksi 50%
11
Referensi
Asquith, G. and Krygowski, D. 2004.
Basic Well Log Analysis. Tulsa Oklhaoma
: The American Association of
Petroleum Geologist.
IEA. 2004. Energy Technology Analysis:
Prospects For CO2 Capture And
Storage. International Energy
Agency.
Matthews, S.J. and Bransden, P.J.E.1995.
Late Cretaceous and Cenozoic Tectono-
Stratigraphic Development of the
East Java Sea Basin, Indonesia.
Marine and Petroleum Geology
12[2], 499-510.
Mavko, G. and Mukerji, T. 2009. The
Rock Phyisic Handbook Secon
Edition: Tools for Seismic Analysis for
Porous Media. New York:
Cambridge Univerasity Press
Schon, J.H. 2011. Handbook of Petroleum
Exploration and Production Volume
8 : Physical Properties of Rock.