17
GRATIFIKASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN WACANA HUKUMAN MATI M. Nurul Irfan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda Ciputat Jakarta Email: [email protected] Abstract: Gratification in The Constitutional Court and Discourse of Death Penalty. The gratification case done by an ex-governor and an ex-judge of The Constitutional Court is very irony. As the last gate guard in low enforcement, the Court which concerns in struggling justice has “fallen off” due to greasing the palm done by the ex-chief judge. In view of Islamic perspective, the gratification crime belongs to jarîmah ta’zîr,a punishment relates to the policy of local government. It does not belong to jarîmah qishâs or hudûd which the punishment is determinated by the Qur’an and hadîts. Hence, there is discourse of death penalty for the gratification case in The Constitutional Court in order to make wary effect. It is because one of the ta’zîr punishments is death penalty that causes big hazard effect for all. Keywords: gratification, The Constitutional Court, death penalty, qishâs, hudûd. Abstrak: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati. Kasus gratifikasi yang melibat- kan seorang mantan Gubernur dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI sungguh sangat mem- perihatinkan. Sebagai gerbang terakhir lembaga penegakan hukum yang semestinya memperjuangan keadilan justru runtuh akibat tindak pidana suap yang dilakukan mantan ketuanya. Tindak pidana gratifikasi dalam perspektif hukum pidana Islam masuk ke dalam ranah jarimah takzir, yaitu hukuman yang didasarkan atas kebijakan penguasa setempat, bukan jarimah qisas atau hudud yang sanksi dan jenis hukumnya telah ditetapkan secara tegas di dalam Alquran dan hadis. Oleh sebab itu, wajar jika dalam kasus gratifiukiasi di MK muncul wacana hukuman mati, dalam rangka menimbulkan efek jera. Hal ini dimungkinkan karena di antara jenis hukuman takzir bisa berupa hukuman mati, khususnya terkait delik khusus yang tingkat kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar. Kata kunci: gratifikasi, Mahkamah Konstitusi, hukuman mati, kisas, hudud Pendahuluan Menanggapi tertangkap tangannya Ketua MK oleh KPK, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa pantasnya orang ini (AM) dihukum mati, walau undang-undang tidak mengenal pidana mati untuk korupsi. Sebagai pengampu mata kuliah hukum pidana Islam, penulis merasa sangat perlu ikut urun rembug dalam soal wacana hukuman mati bagi koruptor seperti AM yang mengguncang Negara ini. Walaupun tentu tidak terlalu mudah untuk segera menyepakati wacana ini, sebab hukuman mati dalam hukum pidana Islam masuk dalam dua kategori, yaitu dalam ranah kisas dan hudud. Kisas adalah hukuman setimpal atau hukuman pembalasan yang dikenakan kepada pelaku seperti ia melakukannya kepada korban. Jenis hukuman ini diberlakukan baik karena ia melakukan penganiayaan maupun pembunuhan, setelah melalui proses pembuktian yang pasti dan akurat. Hudud adalah jenis hukuman tertentu yang diberlakukan kepada para pelaku tindak pidana perzinaan, penuduhan zina, meminum khamr, mencuri, merampok, memberontak dan murtad. Untuk memberlakukan hukuman kisas dan hudud tidak bisa sembarangan dan terburu-buru, tetapi harus hati-hati dan penuh dengan ketelitian. Hal ini mutlak diperlukan karena pada umumnya berbagai jenis hukuman pada kategori ini bersifat sangat keras bahkan menyangkut kehormatan dan nyawa manusia. Oleh sebab itu dalam hukum pidana Islam terdapat sebuah prinsip 131 |

GRATIFIKASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN WACANA HUKUMAN MATI

Embed Size (px)

Citation preview

GRATIFIKASI DI MAHKAMAH KONSTITUSIDAN WACANA HUKUMAN MATI

M. Nurul IrfanFakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jl. Ir. H. Juanda Ciputat JakartaEmail: [email protected]

Abstract: Gratification in The Constitutional Court and Discourse of Death Penalty. The gratification case doneby an ex-governor and an ex-judge of The Constitutional Court is very irony. As the last gate guard in lowenforcement, the Court which concerns in struggling justice has “fallen off” due to greasing the palm done bythe ex-chief judge. In view of Islamic perspective, the gratification crime belongs to jarîmah ta’zîr, a punishmentrelates to the policy of local government. It does not belong to jarîmah qishâs or hudûd which the punishmentis determinated by the Qur’an and hadîts. Hence, there is discourse of death penalty for the gratification casein The Constitutional Court in order to make wary effect. It is because one of the ta’zîr punishments is deathpenalty that causes big hazard effect for all.

Keywords: gratification, The Constitutional Court, death penalty, qishâs, hudûd.

Abstrak: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati. Kasus gratifikasi yang melibat-kan seorang mantan Gubernur dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI sungguh sangat mem-perihatinkan. Sebagai gerbang terakhir lembaga penegakan hukum yang semestinya memperjuangankeadilan justru runtuh akibat tindak pidana suap yang dilakukan mantan ketuanya. Tindak pidana gratifikasidalam perspektif hukum pidana Islam masuk ke dalam ranah jarimah takzir, yaitu hukuman yang didasarkanatas kebijakan penguasa setempat, bukan jarimah qisas atau hudud yang sanksi dan jenis hukumnya telahditetapkan secara tegas di dalam Alquran dan hadis. Oleh sebab itu, wajar jika dalam kasus gratifiukiasidi MK muncul wacana hukuman mati, dalam rangka menimbulkan efek jera. Hal ini dimungkinkan karenadi antara jenis hukuman takzir bisa berupa hukuman mati, khususnya terkait delik khusus yang tingkatkerusakan yang ditimbulkannya sangat besar.

Kata kunci: gratifikasi, Mahkamah Konstitusi, hukuman mati, kisas, hudud

Pendahuluan

Menanggapi tertangkap tangannya Ketua MKoleh KPK, Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakanbahwa pantasnya orang ini (AM) dihukum mati,walau undang-undang tidak mengenal pidana matiuntuk korupsi. Sebagai pengampu mata kuliahhukum pidana Islam, penulis merasa sangat perluikut urun rembug dalam soal wacana hukumanmati bagi koruptor seperti AM yang mengguncangNegara ini. Walaupun tentu tidak terlalu mudahuntuk segera menyepakati wacana ini, sebabhukuman mati dalam hukum pidana Islam masukdalam dua kategori, yaitu dalam ranah kisas danhudud. Kisas adalah hukuman setimpal atauhukuman pembalasan yang dikenakan kepadapelaku seperti ia melakukannya kepada korban.

Jenis hukuman ini diberlakukan baik karena iamelakukan penganiayaan maupun pembunuhan,setelah melalui proses pembuktian yang pasti danakurat. Hudud adalah jenis hukuman tertentuyang diberlakukan kepada para pelaku tindakpidana perzinaan, penuduhan zina, meminumkhamr, mencuri, merampok, memberontak danmurtad.

Untuk memberlakukan hukuman kisas danhudud tidak bisa sembarangan dan terburu-buru,tetapi harus hati-hati dan penuh dengan ketelitian.Hal ini mutlak diperlukan karena pada umumnyaberbagai jenis hukuman pada kategori ini bersifatsangat keras bahkan menyangkut kehormatandan nyawa manusia. Oleh sebab itu dalamhukum pidana Islam terdapat sebuah prinsip

131 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

penting yang sangat mendasar berupa keharusanmembatalkan sanksi hudud jika ternyata terdapatunsur keraguan. Baik keraguan itu muncul akibatpembuktian yang belum kuat, terkait pelaku yangbisa jadi secara psikis memang sebagai seseorangyang sedang terganggu jiwanya, bahkan bisa jadikeraguan ini muncul akibat perbedaan pendapatpara pakar hukum dalam menentukan statushukum suatu hal.

Sanksi pidana mati untuk koruptor yangmengguncangkan tatanan kehidupan danmembangkrutkan Negara tampaknya sangatperlu dikaji secara mendalam dan serius. Sebabhal ini menyangkut nyawa manusia yang masukdalam lima hal pokok yang harus dilindungi dalamhukum Islam selain agama, akal, harta dan nasabatau keturunan. Bisa dibanyangkan seandainyaada seorang koruptor yang membangkrutkannegara sudah dieksekusi mati tetapi ternyatadalam perkembangan berikutnya ia tidak ter-bukti melakukan korupsi yang berakibat padabangkrutnya negara, atau bahkan sudah terlanjurdihukum mati tetapi ternyata ada bukti lain yangmeringankannya dan seterusnya, pasti akanberakibat sangat fatal. Belum lagi jika ternyatadalam aplikasinya belum bisa dilakukan secaraadil, melainkan masih tebang pilih sesuai denganselera kelompok dan kepentingannya politiktertentu, maka sungguh akan sangat runyamakibat ketergesaan dalam menerapkan pidanamati bagi koruptor sebelum dilakukan kajianserius dan mendalam terlebih dahulu denganmelibatkan banyak pakar terkait.

Pengertian dan Status Hukum GratifikasiGratifikasi disebut juga suap atau risywah.

Ia merupakan salah satu bentuk korupsi yangbukan hanya disebutkan dalam sebuah pasal UUKorupsi, melainkan telah ada sejak zaman Nabisaw. Berbeda dengan berbagai bentuk sanksiyang ditetapkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 joUU No 20 Tahun 2001 Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.

Dalam berbagai literatur hadis, sanksi bagipelaku gratifilasi tidak disebutkan secara tegas.Sanksi dimaksud lebih didominasi pada aspekpembinaan moral bagi pelaku gratifikasi berupaancaman laknat dan murka Allah dalam neraka.

Untuk konteks saat ini, sanksi dalam jenis inisangat bisa jadi tidak akan menimbulkan efek jerapada diri pelaku korupsi dalam kasus gratifikasi ini.

Gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawaidi luar gaji yang telah ditentukan.1 Gratifikasi yangdisebutkan dalam pasal 12 B dan 12 C Undang-undang No 20 Tahun 2001 Tentang PerubahanAtas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiadalah pemberian dalam arti luas, bukan hanyaberbentuk uang, melainkan meliputi pemberianbarang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpabunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, danfasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut berupa servis terhadappegawai negeri atau penyelenggara negara,sehingga bukan mengenai pemberian, tetapimengenai penerimaan gratifikasi,2 baik yangditerima di dalam maupun di luar negeri, danyang dilakukan dengan menggunakan saranaelektronik atau tanpa sarana elektronik.3

Dengan demikian, gratifikasi sama dengansuap yang dalam bahasa Arab disebut denganriyswah. Secara etimologis kata risywah berasaldari kata kerja “ ” yang masdar atauverbal nounnya bisa dibaca “ ”, “ ” atau“ ”, (huruf ra nya dibaca kasrah, fathah ataudhammah) berarti “ ”, upah, hadiah, komisiatau suap. Ibnu Manzhur juga mengemukakanpenjelasan Abul Abas tentang makna kata risywahyang mengatakan bahwa kata risywah terbentukdari kalimat “ ” anak burung merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepadainduknya untuk disuapi.4

Adapun secara terminologis, risywah adalahsesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkankemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalamrangka membenarkan yang batil/salah atau

1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2003), EdisiKetiga, Cet. ke-3, h 371.

2 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak PidanaKorupsi, h. 109, lihat Barda Nawawi Arief, Perbandingan HukumPidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. ke-2, h. 215.

3 Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan FormilKorupsi di Indonesia, h. 261.

4 Ibnu Manzur, Lisân al-`Arab (Beirut: Dâru Sâdir, t.th), jilidXIV, h. 322.

| 132

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

penting yang sangat mendasar berupa keharusanmembatalkan sanksi hudud jika ternyata terdapatunsur keraguan. Baik keraguan itu muncul akibatpembuktian yang belum kuat, terkait pelaku yangbisa jadi secara psikis memang sebagai seseorangyang sedang terganggu jiwanya, bahkan bisa jadikeraguan ini muncul akibat perbedaan pendapatpara pakar hukum dalam menentukan statushukum suatu hal.

Sanksi pidana mati untuk koruptor yangmengguncangkan tatanan kehidupan danmembangkrutkan Negara tampaknya sangatperlu dikaji secara mendalam dan serius. Sebabhal ini menyangkut nyawa manusia yang masukdalam lima hal pokok yang harus dilindungi dalamhukum Islam selain agama, akal, harta dan nasabatau keturunan. Bisa dibanyangkan seandainyaada seorang koruptor yang membangkrutkannegara sudah dieksekusi mati tetapi ternyatadalam perkembangan berikutnya ia tidak ter-bukti melakukan korupsi yang berakibat padabangkrutnya negara, atau bahkan sudah terlanjurdihukum mati tetapi ternyata ada bukti lain yangmeringankannya dan seterusnya, pasti akanberakibat sangat fatal. Belum lagi jika ternyatadalam aplikasinya belum bisa dilakukan secaraadil, melainkan masih tebang pilih sesuai denganselera kelompok dan kepentingannya politiktertentu, maka sungguh akan sangat runyamakibat ketergesaan dalam menerapkan pidanamati bagi koruptor sebelum dilakukan kajianserius dan mendalam terlebih dahulu denganmelibatkan banyak pakar terkait.

Pengertian dan Status Hukum GratifikasiGratifikasi disebut juga suap atau risywah.

Ia merupakan salah satu bentuk korupsi yangbukan hanya disebutkan dalam sebuah pasal UUKorupsi, melainkan telah ada sejak zaman Nabisaw. Berbeda dengan berbagai bentuk sanksiyang ditetapkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 joUU No 20 Tahun 2001 Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.

Dalam berbagai literatur hadis, sanksi bagipelaku gratifilasi tidak disebutkan secara tegas.Sanksi dimaksud lebih didominasi pada aspekpembinaan moral bagi pelaku gratifikasi berupaancaman laknat dan murka Allah dalam neraka.

Untuk konteks saat ini, sanksi dalam jenis inisangat bisa jadi tidak akan menimbulkan efek jerapada diri pelaku korupsi dalam kasus gratifikasi ini.

Gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawaidi luar gaji yang telah ditentukan.1 Gratifikasi yangdisebutkan dalam pasal 12 B dan 12 C Undang-undang No 20 Tahun 2001 Tentang PerubahanAtas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiadalah pemberian dalam arti luas, bukan hanyaberbentuk uang, melainkan meliputi pemberianbarang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpabunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, danfasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut berupa servis terhadappegawai negeri atau penyelenggara negara,sehingga bukan mengenai pemberian, tetapimengenai penerimaan gratifikasi,2 baik yangditerima di dalam maupun di luar negeri, danyang dilakukan dengan menggunakan saranaelektronik atau tanpa sarana elektronik.3

Dengan demikian, gratifikasi sama dengansuap yang dalam bahasa Arab disebut denganriyswah. Secara etimologis kata risywah berasaldari kata kerja “ ” yang masdar atauverbal nounnya bisa dibaca “ ”, “ ” atau“ ”, (huruf ra nya dibaca kasrah, fathah ataudhammah) berarti “ ”, upah, hadiah, komisiatau suap. Ibnu Manzhur juga mengemukakanpenjelasan Abul Abas tentang makna kata risywahyang mengatakan bahwa kata risywah terbentukdari kalimat “ ” anak burung merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepadainduknya untuk disuapi.4

Adapun secara terminologis, risywah adalahsesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkankemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalamrangka membenarkan yang batil/salah atau

1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2003), EdisiKetiga, Cet. ke-3, h 371.

2 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak PidanaKorupsi, h. 109, lihat Barda Nawawi Arief, Perbandingan HukumPidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. ke-2, h. 215.

3 Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan FormilKorupsi di Indonesia, h. 261.

4 Ibnu Manzur, Lisân al-`Arab (Beirut: Dâru Sâdir, t.th), jilidXIV, h. 322.

| 132

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

penting yang sangat mendasar berupa keharusanmembatalkan sanksi hudud jika ternyata terdapatunsur keraguan. Baik keraguan itu muncul akibatpembuktian yang belum kuat, terkait pelaku yangbisa jadi secara psikis memang sebagai seseorangyang sedang terganggu jiwanya, bahkan bisa jadikeraguan ini muncul akibat perbedaan pendapatpara pakar hukum dalam menentukan statushukum suatu hal.

Sanksi pidana mati untuk koruptor yangmengguncangkan tatanan kehidupan danmembangkrutkan Negara tampaknya sangatperlu dikaji secara mendalam dan serius. Sebabhal ini menyangkut nyawa manusia yang masukdalam lima hal pokok yang harus dilindungi dalamhukum Islam selain agama, akal, harta dan nasabatau keturunan. Bisa dibanyangkan seandainyaada seorang koruptor yang membangkrutkannegara sudah dieksekusi mati tetapi ternyatadalam perkembangan berikutnya ia tidak ter-bukti melakukan korupsi yang berakibat padabangkrutnya negara, atau bahkan sudah terlanjurdihukum mati tetapi ternyata ada bukti lain yangmeringankannya dan seterusnya, pasti akanberakibat sangat fatal. Belum lagi jika ternyatadalam aplikasinya belum bisa dilakukan secaraadil, melainkan masih tebang pilih sesuai denganselera kelompok dan kepentingannya politiktertentu, maka sungguh akan sangat runyamakibat ketergesaan dalam menerapkan pidanamati bagi koruptor sebelum dilakukan kajianserius dan mendalam terlebih dahulu denganmelibatkan banyak pakar terkait.

Pengertian dan Status Hukum GratifikasiGratifikasi disebut juga suap atau risywah.

Ia merupakan salah satu bentuk korupsi yangbukan hanya disebutkan dalam sebuah pasal UUKorupsi, melainkan telah ada sejak zaman Nabisaw. Berbeda dengan berbagai bentuk sanksiyang ditetapkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 joUU No 20 Tahun 2001 Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.

Dalam berbagai literatur hadis, sanksi bagipelaku gratifilasi tidak disebutkan secara tegas.Sanksi dimaksud lebih didominasi pada aspekpembinaan moral bagi pelaku gratifikasi berupaancaman laknat dan murka Allah dalam neraka.

Untuk konteks saat ini, sanksi dalam jenis inisangat bisa jadi tidak akan menimbulkan efek jerapada diri pelaku korupsi dalam kasus gratifikasi ini.

Gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawaidi luar gaji yang telah ditentukan.1 Gratifikasi yangdisebutkan dalam pasal 12 B dan 12 C Undang-undang No 20 Tahun 2001 Tentang PerubahanAtas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsiadalah pemberian dalam arti luas, bukan hanyaberbentuk uang, melainkan meliputi pemberianbarang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpabunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, danfasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut berupa servis terhadappegawai negeri atau penyelenggara negara,sehingga bukan mengenai pemberian, tetapimengenai penerimaan gratifikasi,2 baik yangditerima di dalam maupun di luar negeri, danyang dilakukan dengan menggunakan saranaelektronik atau tanpa sarana elektronik.3

Dengan demikian, gratifikasi sama dengansuap yang dalam bahasa Arab disebut denganriyswah. Secara etimologis kata risywah berasaldari kata kerja “ ” yang masdar atauverbal nounnya bisa dibaca “ ”, “ ” atau“ ”, (huruf ra nya dibaca kasrah, fathah ataudhammah) berarti “ ”, upah, hadiah, komisiatau suap. Ibnu Manzhur juga mengemukakanpenjelasan Abul Abas tentang makna kata risywahyang mengatakan bahwa kata risywah terbentukdari kalimat “ ” anak burung merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepadainduknya untuk disuapi.4

Adapun secara terminologis, risywah adalahsesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkankemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalamrangka membenarkan yang batil/salah atau

1 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2003), EdisiKetiga, Cet. ke-3, h 371.

2 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak PidanaKorupsi, h. 109, lihat Barda Nawawi Arief, Perbandingan HukumPidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. ke-2, h. 215.

3 Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan FormilKorupsi di Indonesia, h. 261.

4 Ibnu Manzur, Lisân al-`Arab (Beirut: Dâru Sâdir, t.th), jilidXIV, h. 322.

| 132

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

menyalahkan yang benar.5

Dalam sebuah kasus risywah, setidaknyapasti akan melibatkan tiga unsur utama yaitupihak pemberi ( ), pihak penerima pemberiantersebut ( ) dan barang bentuk dan jenispemberian yang diserahterimakan. Akan tetapidalam kasus risywah tertentu, boleh jadi bukanhanya melibatkan unsur pemberi, penerima danbarang sebagai obyek risywahnya, melainkanbisa juga melibatkan pihak keempat sebagaibroker atau perantara antara pihak pertama dankedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima,misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwaatau kesepakatan para pihak dimaksud.

Di antara beberapa definisi risywah, definisimenurut penulis buku Kasyaf al-Qanna `an Matnal-Iqnâ’, Mansur bin Yunus Idris al-Bahuti, menurutpenulis cukup menarik, sebab ia mengemukakanbahwa jika pihak pertama memberikan sesuatukepada pihak kedua dalam rangka mencegahpihak pertama agar terhindar dari kezaliman pihakkedua dan agar pihak kedua mau melaksanakankewajibannya, maka pemberian semacam ini tidakdianggap sebagai risywah yang dilarang agama.6

Dalam definisi ini dikemukakan sebuahpengandaian, yaitu seandainya pihak kedua

cara menyogok atau menyuapnya, tetapi justrusebaliknya diperingatkan, dikritik dan diberikansaran terbaik. Senada dengan pengandaianyang dikemukakan oleh al-Bahûtî di atas,Syams al-Haq al-Azim mengatakan sebaiknyapemberian-pemberian dalam kondisi sepertiini tidak dilakukan terhadap hakim-hakim danpara penguasa, sebab upaya untuk membelapihak yang benar sudah merupakan kewajibanyang harus dilakukan, menolak kezaliman yangdilaksanakan pelaku terhadap obyek (mazhlûm)juga wajib dilakukan oleh para hakim tersebut,maka tidak boleh mengambil atau menerimapemberian ini.” 7

Syams al-Haq al-Azim Abadi dalam pernyata-annya mengemukakan bahwa pemberian yangdilakukan dengan niat agar penyimpangan danpenyelewengan pihak penerima bisa diubahsemakin baik, ini sebaiknya tidak dilakukan dalammasalah peradilan dan pemerintahan ( ),sebab tanpa diberi sogok atau hadiah pun membeladan menegakkan keadilan sudah menjadi tugashakim dan pemerintah. Maka tidak layak kalaudalam rangka berbuat adil harus memberikan suap.8

Adapun beberapa hadis tentang risywahyang dibahas oleh para ulama tersebut adalah

melakukan kezaliman terhadap pihak pertamadan pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan terhadappihak pertama, maka dalam masalah ini bolehdiberikan sesuatu berupa suap atau sogok.Menurut penulis, pernyataan pengandaianseperti ini tidak wajar, sehingga dalam kasussemacam ini tidak perlu diselesaikan dengan

5 Ibrâhîm Anîs, dkk, Al-Mu’jam al-Wasît, Mesir : Majma` al-Lughah al-`Arabiyyah, 1972, Cet. ke-2, h. 348. Uraian lebih jelasmengenai definisi risywah ini, bandingkan dengan beberapasumber 1) al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât, h. 111, 2) Louis Ma’lûf, al-Munjid fî al-Lughah w al-A`lâm, h. 262. 3) Ali Qarâ’ah, al-Ushûlal-Qadhâ`iyyah fî al-Murâfa`ât al-Syar’`yyah, (Mesir : al-Ragha’ib,1921), h. 330. 4) al-Bahûthî, Kasyâf al-Qannâ’ `an Matn al-Iqnâ’,jilid VI, h.. 316. 5) Al-Sayyid Abdullâh Jamâluddîn, Ta`rîb al-Siyâsah al-Syar’`yyah fî Huqûq al-Râ`i wa Sa`âdah al-Ra`iyyah,(Mesir: Matba’ah al-Taraqqi, 1318 H), h. 50. 6) Syamsul Haqal-`Azhîm Âbâdî, `Aun al-Ma`bûd, jilid 6, h. 417. 7) al-Tharîqî,Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, h. 50. 8) IbnuHazm, al-Muhallâ, bi al-Âtsâr (Beirut: al-Maktabah al-Tijârî, t.th.,1351 H), jilid IX, h. 157. 9) Ibnu Âbidîn, Raddi al-Muhtâr ‘Alâ Durrial-Muhtâr, (Mesir: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâduh, 1386H), Cet. ke-2, jilid V, h. 362.

6 al-Bahûthî, Kasyâf al-Qannâ’ `an Matn al-Iqnâ’, jilid VI, h. 316

7 Syamsul Haq al-`Azîm âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd , jilid VI, h. 417.8 Dalam hal ini al-Syaukani secara lebih tegas menge-

mukakan pendapatnya bahwa “Diharamkan menyuap seoranghakim secara ijmak atas dasar sabda Nabi : “Allah melaknatseorang penyuap dan yang disuap”, Imam Yahya berpendapatbahwa pelaku dianggap telah fasiq, dengan tujuan untukmengancam seorang penyuap, jika ia menuntut suatu kebatilan,maka termasuk ke dalam cakupan hadis tersebut. AlmansurBillah, Abu Ja’far dan sebagian ulama-ulama ashab Syafi’iberpendapat bahwa kalau suap itu diberikan untuk menuntuthak yang disepakati, maka hal itu diperbolehkan. Tetapi kononmazhab Syafi’i yang jelas tidak memperbolehkannya atas dasarkeumuman hadis tentang haramnya risywah, tetapi kalau halini masih diperselisihkan, maka risywah model ini sama denganbatil yang tidak ada pengaruh dari segi hukum. Menurutsaya –kata al-Syaukani- upaya atau konsep takhsis tentangdiperbolehkannya menyerahkan suap kepada hakim dalamrangka menuntut hak ini, saya tidak mengerti dengan jenis ataumetode takhsis apa dilakukan, pendapat yang benar adalahtetap haram secara mutlaq dengan dasar sifat keumumanhadis, jadi seseorang yang membolehkan risywah dalamberbagai tipe dan bentuk-bentuknya bisa saja diterima asalkandisertai dengan dalil yang kuat (maqbûl). Tetapi kalau tidak adadalil yang kuat (maqbûl), maka takhsisnya ditolak, sebab padadasarnya harta seorang muslim haram (untuk saling diganggu)janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan carabatil”. Lihat Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-Syaukânî,Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid IX, h. 172.

133 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

menyalahkan yang benar.5

Dalam sebuah kasus risywah, setidaknyapasti akan melibatkan tiga unsur utama yaitupihak pemberi ( ), pihak penerima pemberiantersebut ( ) dan barang bentuk dan jenispemberian yang diserahterimakan. Akan tetapidalam kasus risywah tertentu, boleh jadi bukanhanya melibatkan unsur pemberi, penerima danbarang sebagai obyek risywahnya, melainkanbisa juga melibatkan pihak keempat sebagaibroker atau perantara antara pihak pertama dankedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima,misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwaatau kesepakatan para pihak dimaksud.

Di antara beberapa definisi risywah, definisimenurut penulis buku Kasyaf al-Qanna `an Matnal-Iqnâ’, Mansur bin Yunus Idris al-Bahuti, menurutpenulis cukup menarik, sebab ia mengemukakanbahwa jika pihak pertama memberikan sesuatukepada pihak kedua dalam rangka mencegahpihak pertama agar terhindar dari kezaliman pihakkedua dan agar pihak kedua mau melaksanakankewajibannya, maka pemberian semacam ini tidakdianggap sebagai risywah yang dilarang agama.6

Dalam definisi ini dikemukakan sebuahpengandaian, yaitu seandainya pihak kedua

cara menyogok atau menyuapnya, tetapi justrusebaliknya diperingatkan, dikritik dan diberikansaran terbaik. Senada dengan pengandaianyang dikemukakan oleh al-Bahûtî di atas,Syams al-Haq al-Azim mengatakan sebaiknyapemberian-pemberian dalam kondisi sepertiini tidak dilakukan terhadap hakim-hakim danpara penguasa, sebab upaya untuk membelapihak yang benar sudah merupakan kewajibanyang harus dilakukan, menolak kezaliman yangdilaksanakan pelaku terhadap obyek (mazhlûm)juga wajib dilakukan oleh para hakim tersebut,maka tidak boleh mengambil atau menerimapemberian ini.” 7

Syams al-Haq al-Azim Abadi dalam pernyata-annya mengemukakan bahwa pemberian yangdilakukan dengan niat agar penyimpangan danpenyelewengan pihak penerima bisa diubahsemakin baik, ini sebaiknya tidak dilakukan dalammasalah peradilan dan pemerintahan ( ),sebab tanpa diberi sogok atau hadiah pun membeladan menegakkan keadilan sudah menjadi tugashakim dan pemerintah. Maka tidak layak kalaudalam rangka berbuat adil harus memberikan suap.8

Adapun beberapa hadis tentang risywahyang dibahas oleh para ulama tersebut adalah

melakukan kezaliman terhadap pihak pertamadan pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan terhadappihak pertama, maka dalam masalah ini bolehdiberikan sesuatu berupa suap atau sogok.Menurut penulis, pernyataan pengandaianseperti ini tidak wajar, sehingga dalam kasussemacam ini tidak perlu diselesaikan dengan

5 Ibrâhîm Anîs, dkk, Al-Mu’jam al-Wasît, Mesir : Majma` al-Lughah al-`Arabiyyah, 1972, Cet. ke-2, h. 348. Uraian lebih jelasmengenai definisi risywah ini, bandingkan dengan beberapasumber 1) al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât, h. 111, 2) Louis Ma’lûf, al-Munjid fî al-Lughah w al-A`lâm, h. 262. 3) Ali Qarâ’ah, al-Ushûlal-Qadhâ`iyyah fî al-Murâfa`ât al-Syar’`yyah, (Mesir : al-Ragha’ib,1921), h. 330. 4) al-Bahûthî, Kasyâf al-Qannâ’ `an Matn al-Iqnâ’,jilid VI, h.. 316. 5) Al-Sayyid Abdullâh Jamâluddîn, Ta`rîb al-Siyâsah al-Syar’`yyah fî Huqûq al-Râ`i wa Sa`âdah al-Ra`iyyah,(Mesir: Matba’ah al-Taraqqi, 1318 H), h. 50. 6) Syamsul Haqal-`Azhîm Âbâdî, `Aun al-Ma`bûd, jilid 6, h. 417. 7) al-Tharîqî,Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, h. 50. 8) IbnuHazm, al-Muhallâ, bi al-Âtsâr (Beirut: al-Maktabah al-Tijârî, t.th.,1351 H), jilid IX, h. 157. 9) Ibnu Âbidîn, Raddi al-Muhtâr ‘Alâ Durrial-Muhtâr, (Mesir: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâduh, 1386H), Cet. ke-2, jilid V, h. 362.

6 al-Bahûthî, Kasyâf al-Qannâ’ `an Matn al-Iqnâ’, jilid VI, h. 316

7 Syamsul Haq al-`Azîm âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd , jilid VI, h. 417.8 Dalam hal ini al-Syaukani secara lebih tegas menge-

mukakan pendapatnya bahwa “Diharamkan menyuap seoranghakim secara ijmak atas dasar sabda Nabi : “Allah melaknatseorang penyuap dan yang disuap”, Imam Yahya berpendapatbahwa pelaku dianggap telah fasiq, dengan tujuan untukmengancam seorang penyuap, jika ia menuntut suatu kebatilan,maka termasuk ke dalam cakupan hadis tersebut. AlmansurBillah, Abu Ja’far dan sebagian ulama-ulama ashab Syafi’iberpendapat bahwa kalau suap itu diberikan untuk menuntuthak yang disepakati, maka hal itu diperbolehkan. Tetapi kononmazhab Syafi’i yang jelas tidak memperbolehkannya atas dasarkeumuman hadis tentang haramnya risywah, tetapi kalau halini masih diperselisihkan, maka risywah model ini sama denganbatil yang tidak ada pengaruh dari segi hukum. Menurutsaya –kata al-Syaukani- upaya atau konsep takhsis tentangdiperbolehkannya menyerahkan suap kepada hakim dalamrangka menuntut hak ini, saya tidak mengerti dengan jenis ataumetode takhsis apa dilakukan, pendapat yang benar adalahtetap haram secara mutlaq dengan dasar sifat keumumanhadis, jadi seseorang yang membolehkan risywah dalamberbagai tipe dan bentuk-bentuknya bisa saja diterima asalkandisertai dengan dalil yang kuat (maqbûl). Tetapi kalau tidak adadalil yang kuat (maqbûl), maka takhsisnya ditolak, sebab padadasarnya harta seorang muslim haram (untuk saling diganggu)janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan carabatil”. Lihat Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-Syaukânî,Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid IX, h. 172.

133 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

menyalahkan yang benar.5

Dalam sebuah kasus risywah, setidaknyapasti akan melibatkan tiga unsur utama yaitupihak pemberi ( ), pihak penerima pemberiantersebut ( ) dan barang bentuk dan jenispemberian yang diserahterimakan. Akan tetapidalam kasus risywah tertentu, boleh jadi bukanhanya melibatkan unsur pemberi, penerima danbarang sebagai obyek risywahnya, melainkanbisa juga melibatkan pihak keempat sebagaibroker atau perantara antara pihak pertama dankedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima,misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwaatau kesepakatan para pihak dimaksud.

Di antara beberapa definisi risywah, definisimenurut penulis buku Kasyaf al-Qanna `an Matnal-Iqnâ’, Mansur bin Yunus Idris al-Bahuti, menurutpenulis cukup menarik, sebab ia mengemukakanbahwa jika pihak pertama memberikan sesuatukepada pihak kedua dalam rangka mencegahpihak pertama agar terhindar dari kezaliman pihakkedua dan agar pihak kedua mau melaksanakankewajibannya, maka pemberian semacam ini tidakdianggap sebagai risywah yang dilarang agama.6

Dalam definisi ini dikemukakan sebuahpengandaian, yaitu seandainya pihak kedua

cara menyogok atau menyuapnya, tetapi justrusebaliknya diperingatkan, dikritik dan diberikansaran terbaik. Senada dengan pengandaianyang dikemukakan oleh al-Bahûtî di atas,Syams al-Haq al-Azim mengatakan sebaiknyapemberian-pemberian dalam kondisi sepertiini tidak dilakukan terhadap hakim-hakim danpara penguasa, sebab upaya untuk membelapihak yang benar sudah merupakan kewajibanyang harus dilakukan, menolak kezaliman yangdilaksanakan pelaku terhadap obyek (mazhlûm)juga wajib dilakukan oleh para hakim tersebut,maka tidak boleh mengambil atau menerimapemberian ini.” 7

Syams al-Haq al-Azim Abadi dalam pernyata-annya mengemukakan bahwa pemberian yangdilakukan dengan niat agar penyimpangan danpenyelewengan pihak penerima bisa diubahsemakin baik, ini sebaiknya tidak dilakukan dalammasalah peradilan dan pemerintahan ( ),sebab tanpa diberi sogok atau hadiah pun membeladan menegakkan keadilan sudah menjadi tugashakim dan pemerintah. Maka tidak layak kalaudalam rangka berbuat adil harus memberikan suap.8

Adapun beberapa hadis tentang risywahyang dibahas oleh para ulama tersebut adalah

melakukan kezaliman terhadap pihak pertamadan pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan terhadappihak pertama, maka dalam masalah ini bolehdiberikan sesuatu berupa suap atau sogok.Menurut penulis, pernyataan pengandaianseperti ini tidak wajar, sehingga dalam kasussemacam ini tidak perlu diselesaikan dengan

5 Ibrâhîm Anîs, dkk, Al-Mu’jam al-Wasît, Mesir : Majma` al-Lughah al-`Arabiyyah, 1972, Cet. ke-2, h. 348. Uraian lebih jelasmengenai definisi risywah ini, bandingkan dengan beberapasumber 1) al-Jurjânî, Kitâb al-Ta’rîfât, h. 111, 2) Louis Ma’lûf, al-Munjid fî al-Lughah w al-A`lâm, h. 262. 3) Ali Qarâ’ah, al-Ushûlal-Qadhâ`iyyah fî al-Murâfa`ât al-Syar’`yyah, (Mesir : al-Ragha’ib,1921), h. 330. 4) al-Bahûthî, Kasyâf al-Qannâ’ `an Matn al-Iqnâ’,jilid VI, h.. 316. 5) Al-Sayyid Abdullâh Jamâluddîn, Ta`rîb al-Siyâsah al-Syar’`yyah fî Huqûq al-Râ`i wa Sa`âdah al-Ra`iyyah,(Mesir: Matba’ah al-Taraqqi, 1318 H), h. 50. 6) Syamsul Haqal-`Azhîm Âbâdî, `Aun al-Ma`bûd, jilid 6, h. 417. 7) al-Tharîqî,Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, h. 50. 8) IbnuHazm, al-Muhallâ, bi al-Âtsâr (Beirut: al-Maktabah al-Tijârî, t.th.,1351 H), jilid IX, h. 157. 9) Ibnu Âbidîn, Raddi al-Muhtâr ‘Alâ Durrial-Muhtâr, (Mesir: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâduh, 1386H), Cet. ke-2, jilid V, h. 362.

6 al-Bahûthî, Kasyâf al-Qannâ’ `an Matn al-Iqnâ’, jilid VI, h. 316

7 Syamsul Haq al-`Azîm âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd , jilid VI, h. 417.8 Dalam hal ini al-Syaukani secara lebih tegas menge-

mukakan pendapatnya bahwa “Diharamkan menyuap seoranghakim secara ijmak atas dasar sabda Nabi : “Allah melaknatseorang penyuap dan yang disuap”, Imam Yahya berpendapatbahwa pelaku dianggap telah fasiq, dengan tujuan untukmengancam seorang penyuap, jika ia menuntut suatu kebatilan,maka termasuk ke dalam cakupan hadis tersebut. AlmansurBillah, Abu Ja’far dan sebagian ulama-ulama ashab Syafi’iberpendapat bahwa kalau suap itu diberikan untuk menuntuthak yang disepakati, maka hal itu diperbolehkan. Tetapi kononmazhab Syafi’i yang jelas tidak memperbolehkannya atas dasarkeumuman hadis tentang haramnya risywah, tetapi kalau halini masih diperselisihkan, maka risywah model ini sama denganbatil yang tidak ada pengaruh dari segi hukum. Menurutsaya –kata al-Syaukani- upaya atau konsep takhsis tentangdiperbolehkannya menyerahkan suap kepada hakim dalamrangka menuntut hak ini, saya tidak mengerti dengan jenis ataumetode takhsis apa dilakukan, pendapat yang benar adalahtetap haram secara mutlaq dengan dasar sifat keumumanhadis, jadi seseorang yang membolehkan risywah dalamberbagai tipe dan bentuk-bentuknya bisa saja diterima asalkandisertai dengan dalil yang kuat (maqbûl). Tetapi kalau tidak adadalil yang kuat (maqbûl), maka takhsisnya ditolak, sebab padadasarnya harta seorang muslim haram (untuk saling diganggu)janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan carabatil”. Lihat Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-Syaukânî,Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid IX, h. 172.

133 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

bahwa laknat Allah akan (ditimpakan) kepadaorang yang menyuap dan yang disuap dalammasalah hukum9, Rasulullah saw melaknat orangyang menyuap dan yang disuap10 dan Rasulullahsaw melaknat orang yang menyuap, orang yangdisuap dan orang yang menghubungkan, yaituorang yang berjalan di antara keduanya. 11

Setelah menjelaskan dan mengomentarihadis-hadis tentang risywah di atas, dalampaparannya al-Syaukani secara jelas mengatakanbahwa kalau ada seseorang yang menganggapadanya bentuk-bentuk risywah tertentu dandengan tujuan tertentu yang diperbolehkan, makahal itu harus disertai dengan alasan dan dalilyang bisa diterima. Sebab dalam hadis tentangterlaknatnya para pelaku risywah tidak disebutkantentang jenis dan kriteria-kriteria risywah.

Lebih lanjut al-Syaukani mengemukakan bahwadi antara dalil yang menunjukkan haramnya risywahadalah penafsiran Hasan (al-Basri) dan Sa`id binJubair sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ruslan,menurut keduanya kalimat “ ” yangterdapat dalam Alquran surat al-Maidah ayat 42dipahami oleh keduanya dengan risywah. Memang,menurut riwayat Masruq bin Mas`ud ketikaditanya tentang makna “ ” apakah berartirisywah ?, beliau memang tidak mengatakan “

” berarti risywah, tetapi siapa pun yangtidak menentukan hukum dengan hukum yangditurunkan oleh Allah, maka ia termasuk orangkafir, zalim dan fasiq, kemudian Ibnu Mas`udberkata, tetapi makna kata al-suht adalah jikaada seseorang yang meminta tolong kepadakalian atas kezaliman orang tersebut kemudian

9 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th),jilid IX, h. 172.

10 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172.11 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172.

dia memberikan hadiah kepada kalian, makajangan kalian terima12

Dengan redaksi yang sedikit berbeda al-Qurthubi mengemukakan riwayat Ibnu Mas`udtentang penafsiran kata al-suht adalah seseorangyang membantu meluluskan keperluan kawannyakemudian orang yang ditolong tersebut mem-berikan hadiah dan diterima oleh pihak yangtelah memberikan hadiah itu.13

Dalam definisi al-suht riwayat Ibnu Mas`udmenurut penukilan al-Qurthubi ini tidak dibatasiapakah hadiah diberikan kepada hakim dalamproses pengadilan atau semua jenis hadiah kepadasiapa pun. Dalam hal ini, al-Syaukani secara tegasmembatasi pada hadiah yang diberikan kepadahakim-hakim, atau pihak-pihak yang berkedudukanseperti hakim.14

Pendapat-pendapat seperti ini oleh al-Syaukani dianggap sebagai pendapat yangamat bobrok (fi ghâyah al-suqût), khususnyauraian al-Maghribi ketika mensyarahi hadisrisywah dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Bertolakdari prinsip al-Syaukani ini, Syamsul Anwarmengkontekstualisasikan tradisi pemikiran iniuntuk kasus di Indonesia. Menurutnya, pada

12 al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172 lihat jugaSyamsuddîn Abul Faraj ‘Abdurrahmân bin Abî ‘Amr Muhammadbin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasî, al-Syarh al-Kabîr,(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid VI, h. 170.

13 al-Qurtubî, al-Jâmi` lî Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Maktabahal-`Asriyyah, 2005), Cet. ke-1, jilid I, juz III, h. 403. bandingkandengan definisi al-Sya`râwî yang mengatakan bahwa :

(al-suht adalah segala bentuk upaya yang dilakukan bukandengan cara yang halal seperti suap, riba, mencuri, menjambret,merampas, semua jenis perjudian dan taruhan, semuanyadisebut dengan al-suht), lihat Tafsîr al-Sya`râwî, (T.tp: T.pn, t.th),jilid V, h. 3155.

14 Dalam hal ini al-Syaukani mengatakan bahwa Jelasnyahadiah-hadiah yang diberikan kepada hakim-hakim atau yangserupa dengan mereka, jelas merupakan salah satu bentukrisywah, sebab seseorang yang memberikan hadiah tesebutjika bukan karena sejak semula terbiasa memberikan hadiahkepada seorang hakim sebelum diangkat menjadi seoranghakim maka tidak mungkin ia memberikan hadiah tersebutkepadanya kecuali pasti ada maksud/ tujuan tertentu. Yaituadakalanya untuk menguatkan (keputusan) batilnya atauhadiah tersebut dimaksudkan untuk memenangkan haknya(pemberi hadiah) dan kedua-duanya tetap haram. Lihat al-Syaukânî, Nail al-Autâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid IX, h. 173

| 134

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

bahwa laknat Allah akan (ditimpakan) kepadaorang yang menyuap dan yang disuap dalammasalah hukum9, Rasulullah saw melaknat orangyang menyuap dan yang disuap10 dan Rasulullahsaw melaknat orang yang menyuap, orang yangdisuap dan orang yang menghubungkan, yaituorang yang berjalan di antara keduanya. 11

Setelah menjelaskan dan mengomentarihadis-hadis tentang risywah di atas, dalampaparannya al-Syaukani secara jelas mengatakanbahwa kalau ada seseorang yang menganggapadanya bentuk-bentuk risywah tertentu dandengan tujuan tertentu yang diperbolehkan, makahal itu harus disertai dengan alasan dan dalilyang bisa diterima. Sebab dalam hadis tentangterlaknatnya para pelaku risywah tidak disebutkantentang jenis dan kriteria-kriteria risywah.

Lebih lanjut al-Syaukani mengemukakan bahwadi antara dalil yang menunjukkan haramnya risywahadalah penafsiran Hasan (al-Basri) dan Sa`id binJubair sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ruslan,menurut keduanya kalimat “ ” yangterdapat dalam Alquran surat al-Maidah ayat 42dipahami oleh keduanya dengan risywah. Memang,menurut riwayat Masruq bin Mas`ud ketikaditanya tentang makna “ ” apakah berartirisywah ?, beliau memang tidak mengatakan “

” berarti risywah, tetapi siapa pun yangtidak menentukan hukum dengan hukum yangditurunkan oleh Allah, maka ia termasuk orangkafir, zalim dan fasiq, kemudian Ibnu Mas`udberkata, tetapi makna kata al-suht adalah jikaada seseorang yang meminta tolong kepadakalian atas kezaliman orang tersebut kemudian

9 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th),jilid IX, h. 172.

10 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172.11 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172.

dia memberikan hadiah kepada kalian, makajangan kalian terima12

Dengan redaksi yang sedikit berbeda al-Qurthubi mengemukakan riwayat Ibnu Mas`udtentang penafsiran kata al-suht adalah seseorangyang membantu meluluskan keperluan kawannyakemudian orang yang ditolong tersebut mem-berikan hadiah dan diterima oleh pihak yangtelah memberikan hadiah itu.13

Dalam definisi al-suht riwayat Ibnu Mas`udmenurut penukilan al-Qurthubi ini tidak dibatasiapakah hadiah diberikan kepada hakim dalamproses pengadilan atau semua jenis hadiah kepadasiapa pun. Dalam hal ini, al-Syaukani secara tegasmembatasi pada hadiah yang diberikan kepadahakim-hakim, atau pihak-pihak yang berkedudukanseperti hakim.14

Pendapat-pendapat seperti ini oleh al-Syaukani dianggap sebagai pendapat yangamat bobrok (fi ghâyah al-suqût), khususnyauraian al-Maghribi ketika mensyarahi hadisrisywah dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Bertolakdari prinsip al-Syaukani ini, Syamsul Anwarmengkontekstualisasikan tradisi pemikiran iniuntuk kasus di Indonesia. Menurutnya, pada

12 al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172 lihat jugaSyamsuddîn Abul Faraj ‘Abdurrahmân bin Abî ‘Amr Muhammadbin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasî, al-Syarh al-Kabîr,(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid VI, h. 170.

13 al-Qurtubî, al-Jâmi` lî Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Maktabahal-`Asriyyah, 2005), Cet. ke-1, jilid I, juz III, h. 403. bandingkandengan definisi al-Sya`râwî yang mengatakan bahwa :

(al-suht adalah segala bentuk upaya yang dilakukan bukandengan cara yang halal seperti suap, riba, mencuri, menjambret,merampas, semua jenis perjudian dan taruhan, semuanyadisebut dengan al-suht), lihat Tafsîr al-Sya`râwî, (T.tp: T.pn, t.th),jilid V, h. 3155.

14 Dalam hal ini al-Syaukani mengatakan bahwa Jelasnyahadiah-hadiah yang diberikan kepada hakim-hakim atau yangserupa dengan mereka, jelas merupakan salah satu bentukrisywah, sebab seseorang yang memberikan hadiah tesebutjika bukan karena sejak semula terbiasa memberikan hadiahkepada seorang hakim sebelum diangkat menjadi seoranghakim maka tidak mungkin ia memberikan hadiah tersebutkepadanya kecuali pasti ada maksud/ tujuan tertentu. Yaituadakalanya untuk menguatkan (keputusan) batilnya atauhadiah tersebut dimaksudkan untuk memenangkan haknya(pemberi hadiah) dan kedua-duanya tetap haram. Lihat al-Syaukânî, Nail al-Autâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid IX, h. 173

| 134

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

bahwa laknat Allah akan (ditimpakan) kepadaorang yang menyuap dan yang disuap dalammasalah hukum9, Rasulullah saw melaknat orangyang menyuap dan yang disuap10 dan Rasulullahsaw melaknat orang yang menyuap, orang yangdisuap dan orang yang menghubungkan, yaituorang yang berjalan di antara keduanya. 11

Setelah menjelaskan dan mengomentarihadis-hadis tentang risywah di atas, dalampaparannya al-Syaukani secara jelas mengatakanbahwa kalau ada seseorang yang menganggapadanya bentuk-bentuk risywah tertentu dandengan tujuan tertentu yang diperbolehkan, makahal itu harus disertai dengan alasan dan dalilyang bisa diterima. Sebab dalam hadis tentangterlaknatnya para pelaku risywah tidak disebutkantentang jenis dan kriteria-kriteria risywah.

Lebih lanjut al-Syaukani mengemukakan bahwadi antara dalil yang menunjukkan haramnya risywahadalah penafsiran Hasan (al-Basri) dan Sa`id binJubair sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ruslan,menurut keduanya kalimat “ ” yangterdapat dalam Alquran surat al-Maidah ayat 42dipahami oleh keduanya dengan risywah. Memang,menurut riwayat Masruq bin Mas`ud ketikaditanya tentang makna “ ” apakah berartirisywah ?, beliau memang tidak mengatakan “

” berarti risywah, tetapi siapa pun yangtidak menentukan hukum dengan hukum yangditurunkan oleh Allah, maka ia termasuk orangkafir, zalim dan fasiq, kemudian Ibnu Mas`udberkata, tetapi makna kata al-suht adalah jikaada seseorang yang meminta tolong kepadakalian atas kezaliman orang tersebut kemudian

9 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th),jilid IX, h. 172.

10 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172.11 Hadis dimaksud adalah sebagai berikut:

Lihat al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172.

dia memberikan hadiah kepada kalian, makajangan kalian terima12

Dengan redaksi yang sedikit berbeda al-Qurthubi mengemukakan riwayat Ibnu Mas`udtentang penafsiran kata al-suht adalah seseorangyang membantu meluluskan keperluan kawannyakemudian orang yang ditolong tersebut mem-berikan hadiah dan diterima oleh pihak yangtelah memberikan hadiah itu.13

Dalam definisi al-suht riwayat Ibnu Mas`udmenurut penukilan al-Qurthubi ini tidak dibatasiapakah hadiah diberikan kepada hakim dalamproses pengadilan atau semua jenis hadiah kepadasiapa pun. Dalam hal ini, al-Syaukani secara tegasmembatasi pada hadiah yang diberikan kepadahakim-hakim, atau pihak-pihak yang berkedudukanseperti hakim.14

Pendapat-pendapat seperti ini oleh al-Syaukani dianggap sebagai pendapat yangamat bobrok (fi ghâyah al-suqût), khususnyauraian al-Maghribi ketika mensyarahi hadisrisywah dalam kitab Bulûgh al-Marâm. Bertolakdari prinsip al-Syaukani ini, Syamsul Anwarmengkontekstualisasikan tradisi pemikiran iniuntuk kasus di Indonesia. Menurutnya, pada

12 al-Syaukânî, Nail al-Authâr, jilid IX, h. 172 lihat jugaSyamsuddîn Abul Faraj ‘Abdurrahmân bin Abî ‘Amr Muhammadbin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasî, al-Syarh al-Kabîr,(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid VI, h. 170.

13 al-Qurtubî, al-Jâmi` lî Ahkâm al-Qur`ân, (Beirut: Maktabahal-`Asriyyah, 2005), Cet. ke-1, jilid I, juz III, h. 403. bandingkandengan definisi al-Sya`râwî yang mengatakan bahwa :

(al-suht adalah segala bentuk upaya yang dilakukan bukandengan cara yang halal seperti suap, riba, mencuri, menjambret,merampas, semua jenis perjudian dan taruhan, semuanyadisebut dengan al-suht), lihat Tafsîr al-Sya`râwî, (T.tp: T.pn, t.th),jilid V, h. 3155.

14 Dalam hal ini al-Syaukani mengatakan bahwa Jelasnyahadiah-hadiah yang diberikan kepada hakim-hakim atau yangserupa dengan mereka, jelas merupakan salah satu bentukrisywah, sebab seseorang yang memberikan hadiah tesebutjika bukan karena sejak semula terbiasa memberikan hadiahkepada seorang hakim sebelum diangkat menjadi seoranghakim maka tidak mungkin ia memberikan hadiah tersebutkepadanya kecuali pasti ada maksud/ tujuan tertentu. Yaituadakalanya untuk menguatkan (keputusan) batilnya atauhadiah tersebut dimaksudkan untuk memenangkan haknya(pemberi hadiah) dan kedua-duanya tetap haram. Lihat al-Syaukânî, Nail al-Autâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid IX, h. 173

| 134

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

zaman sekarang paham seperti ini akan ikutmendorong lajunya korupsi. Pemberian semacamini, lebih lanjut ia jelaskan, meskipun dilakukanoleh pemberi untuk mendapatkan haknya yangsah, akan membawa dampak merusak kepadasistem pelayanan publik berupa memburuknyakualitas pelayanan tersebut.15

Menurut penulis, pendapat Syamsul Anwar diatas sangat tepat, sebab seandainya ketentuanboleh memberikan suap atau menerima suapuntuk memperoleh hak penyuap yang mestinyaia terima, untuk menolak atau memberantaskebatilan yang terjadi—walaupun banyak orangyang berpendapat boleh—tetap saja akan semakinrentan terhadap maraknya praktek sogok me-

Dengan mencermati pendapat para ulamadi atas, bisa diketahui bahwa pada umumnyaulama memperbolehkan suap yang bertujuanuntuk memperjuangkan haknya atau menolakkezaliman yang mengancam keselamatan dirinya.Masalahnya adalah bahwa budaya seperti ini jikasaat sekarang dipraktekkan di Indonesia yangsedang berusaha keras untuk memberantaskorupsi, kolusi dan nepotisme, jelas justru akansangat rentan. Sebab orang pasti akan berupayamencari celah dan alasan agar bisa mendapathak atau supaya selamat dari ketidakadilan dankezaliman. Sehingga akhirnya ia melakukanpenyuapan kepada pejabat atau kepada pihakyang berwenang.19

nyogok, kolusi, korupsi dan nepotisme bahkanakan semakin menumbuhsuburkan pratek mafiaperadilan yang sangat tidak terpuji.

Suap merupakan salah satu dosa besarsebagaimana yang dikemukakan oleh al-Dzahabidalam Kitâb al-Kabâ`ir. Menurutnya, suap termasukdosa besar yang ke-22,16 hanya saja al-Dzahabimengatakan sebuah pernyataan yang dikritiksecara keras oleh al-Syaukani di atas.17

Memang dalam masalah diperbolehkannyasuap dengan tujuan memperjuangkan hak danmenolak kezaliman yang dirasakan oleh pihakpemberi suap ini, al-Dzahabi tidak sendirian danbukan satu-satunya. Ahmad al-Siharanfuri dan al-Mubarak Furi juga mengemukakan hal serupa.18

15 Syamsul Anwar, “Sejarah Korupsi dan PerlawananTerhadapnya di Zaman Awal Islam : Perspektif Studi Hadis”dalam Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, vol. 4, No. 1,Januari - Juni 2005, h. 125.

16 al-Dzahabî, Kitâb al-Kabâ`ir, h. 111.17 Pernyataan al-Dzahabi dimaksud adalah sebagai

berikut: “Sesungguhnya laknat/kutukan diberikan kepadapenyuap, jika suap yang dilakukannya untuk menyakiti orangmuslim atau untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.Adapun jika suap dilakukan untuk memperjuangkan haknyayang mestinya diterima atau untuk menolak kezaliman yangmengancam dirinya, maka tidak termasuk dalam kategori suapyang pelakunya terlaknat. Tetapi risywah yang melibatkanhakim hukumnya tetap haram, baik risywah dimaksudkanuntuk membatalkan yang benar maupun untuk menolakkezaliman”. Lihat al-Dzahabî, Kitâb al-Kabâ`ir, h. 112.

18 Ahmad al-Siharanfuri mengatakan bahwa sesungguhnyasanksi hukum diberikan kepada mereka/ para pihak dalamkasus suap, pemberi dan penerima, jika kedua-duanya samadalam hal niat dan kemauan sehingga pemberi suap melakukansuap untuk memperoleh sesuatu yang batil dan suapnyadimaksudkan untuk memperjuangkan sesuatu yang zalim.

Adapun suap yang dilakukan untuk memperjuangkan hak (yangmestinya diterima) atau agar dirinya terhindar dari kezaliman,maka tidak termasuk dalam kriteria suap dengan ancamanhukuman laknat ini. Lihat al-Siharanfûrî, Badzlu al-Majhûd, jilidXV, h. 258. Bandingkan dengan pernyataan al-Mubarak Furibahwa adapun sesuatu yang diberikan untuk mengupayakanagar bisa mengambil hak atau menolak kezaliman maka tidakmasuk dalam cakupan hadis ini. Diriwayatkan bahwa IbnuMas`ud ketika akan mengambil tanah Habsyi (sebagai haknya)mendapatkan sedikit hambatan (dari penduduk setempat)maka beliau memberikan hadiah dua dinar, sehingga upayanyaberhasil dengan mulus. Diriwayatkan dari sejumlah besartokoh-tokoh tabi`in mereka berpendapat bahwa tidak berdosakalau seseorang mendayagunakan diri dan hartanya (untukmendapat hak) ketika dia takut terhadap kezaliman. Demikianungkapan Ibnu al-Asîr. Dalam kitab al-Mirqah Syarh al-Misykahdisebutkan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikanuntuk membatalkan/menyalahkan yang mestinya benaratau untuk membenarkan yang semestinya salah. Adapunsuatu pemberian untuk memperjuangkan hak atau menolakkezaliman yang membahayakan dirinya maka pemberianitu tidak berdosa. Demikian juga pihak penerima, jika hal itudilakukan untuk membela pihak yang menuntut hak makatidak dianggap berdosa. Tetapi semua ini sebaiknya tidakterjadi di kalangan para hakim dan para penguasa.

19 Dalam hal ini, penulis masih setuju dengan pendapatSyamsul Anwar bahwa tradisi atau pandangan yang meng-anggap tidak termasuk suap yang diancam laknat dalamhadis tentang risywah ini, jika penyuapan dilakukan untukmemperjuangkan haknya atau untuk menolak ketidakadilanyang dirasakannya harus sangat dipertimbangkan. Sebabpersoalan memperjuangkan hak dan menolak keidakadilanatau kezaliman ini merupakan sesuatu yang sangat abstrakdan sulit dicari tolok ukur dan standarisasinya. Di samping itu,situasi dan kondisi Indonesia yang saat ini sedang berjuang danberusaha kuat untuk memberantas korupsi akan terganggudengan pandangan tentang diperbolehkannya suap, sogokatau gratifikasi yang bertujuan untuk memperjuangkan hakdan menolak ketidakadilan atau kezaliman ini. Bahkan catatanpenting al-Syaukânî dan al-Mubarakfuri bahwa suap dalamkonteks ini seyogyanya jangan dilakukan terhadap para hakimdan para pejabat juga harus diperhatikan, jika bangsa besar inimau selamat.

135 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Pendapat yang berkembang di kalanganpara ulama tentang diperbolehkannya suap untukmemperjuangkan hak dan menolak ketidakadilanini tampaknya bukan berdasarkan pada teks hadistentang risywah yang berbunyi “”(Allah mengutuk penyuap dan yang disuap),20

tetapi pijakan mereka dari âtsâr atau riwayat-riwayat para sahabat dan tabi`in yang ketika itumelakukan praktek penyuapan dalam konteksseperti ini. Di antara riwayat dimaksud adalahapa yang dikemukakan oleh al-Baghawi bahwadiriwayatkan dari al-Hasan, al-Sya`bi, Jabir bin Zaiddan `Atha, sesungguhnya mereka berpendapatbahwa seseorang tidak dianggap berdosa ketikadia mendayagunakan / mengatur diri dan hartanya(untuk melakukan penyuapan) pada saat diaterancam dengan ketidakadilan.21

Walaupun dalam riwayat ini tidak disebutkansecara eksplisit bahwa pemberian Ibnu Mas`udtersebut bukan kepada hakim atau penguasaresmi, tetapi bisa diperkirakan dari data-data lainseperti yang dijelaskan oleh al-Mubarakfuri diatas, bahwa yang beliau sogok bukan hakim ataupejabat, melainkan preman atau sejenis tukangpalak (penguasa lahan) sebagai penguasa lahankawasan Habsyi yang ketika itu telah beradadalam wilayah Islam.22 Oleh sebab itu, catatanal-Syaukani dan al-Mubarakfuri menjadi sangatpenting untuk diperhatikan agar tidak mudahmenyogok hakim dan pejabat dalam rangkamendapatkan hak atau karena takut dizalimi.

Di samping data yang dikemukakan olehal-Baghawi di atas, Abu Abdullah AbdussalamAlusy dalam Ibânah al-Ahkâm mengatakan bahwa

20 al-Syaukânî, Nail al-Authâr, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilidIX, h. 172.

21 Abû Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawî, Syarh

terdapat riwayat yang berasal dari Ibnu Mas`ud dansahabat-sahabat lain bahwa mereka melakukanrisywah untuk memperjuangkan hak. Semua inidikemukakan oleh al-Khitabi dan ia memfatwakanbahwa suap untuk memperjuangkan sesuatu yangmerupakan hak diperbolehkan” 23

Dengan demikian, tampaknya hampir seluruhulama hadis pada saat memberikan ulasan tentanghadis risywah ini selalu mengemukakan tentangjenis risywah yang bisa dianggap benar, yaitujika suap yang dilakukan untuk menuntut danmemperjuangkan hak yang mesti diterima atausuap dalam rangka menolak ketidakadilan.

Hal menarik dalam masalah suap-menyuap ini,dikaitkan dengan pendapatan yang dianggap layakbagi seorang hakim, dijelaskan oleh Muhammadbin Isma`il al-Kahlâni al-Shan`ânî bahwa suapsecara ijmak dinyatakan haram, baik diberikankepada hakim, atau petugas atas nama sedekahmaupun bukan diberikan kepada kedua-duanya.Pendapatan yang biasanya diperoleh seoranghakim terdiri dari empat macam, suap, hadiah,gaji dan rezeki.24 Pertama, suap, jika tujuannyaagar hakim memutuskan perkara secara tidakbenar, maka status hukumnya adalah haram baikbagi pemberi maupun penerima suap. Tetapikalau tujuannya agar hakim memutuskan perkarasecara benar untuk (menyelesaikan) piutangpihak pemberi suap, maka suap dengan motifini haram bagi hakim tetapi halal bagi penyuap,sebab tujuannya untuk memperjuangkan hakyang mesti diterimanya. Suap dengan motif inisama dengan upah bagi pemenang sayembarayang bisa menemukan budak yang kabur, dansama dengan upah orang yang dipercaya dalammemenangkan persengketaan. Tetapi konon halini tetap diharamkan karena bisa menjerumuskan

al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), jilid V, h. 330.22 al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî, jilid IV, h. 565.

Dalam riwayat yang dijelaskan oleh al-Mubarakfuri disebutkanbahwa Ibnu Mas’ud mendapatkan masalah pada saat hendakmengambil harta miliknya sebagai haknya dan dizalimi olehpihak-pihak tertentu tersebut terjadi di Habsyi. Habsyi adalahAbessinia. Di antara sederetan nama gubernur yang pernahmemerintah di sana adalah Abrahah, seorang raja underbaw/dibawah pengawasan atasannya, raja Romawi Timur yangberkedudukan di Konstantinopel. Abrahah dari Abessiniainilah yang pernah menyerang Ka’bah pada hari Senin tanggal20 April 571 M, pada saat Rasulullah saw lahir. Abrahah danpasukannya itulah yang oleh Alquran surat al-Fîl disebutdengan “ashâb al-fîl».

23 Abû `Abdullâh `Abdussalâm ‘Allûsy, Ibânah al-AhkâmSyarh Bulûgh al-Marâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), jilid III, h. 88.

24 Keempat sumber pendapatan bagi hakim ini, setidak-nya menurut hasil penelitian al-San’ani yang hidup pada tahun1059-1182 H, sekitar 245 tahun yang lalu di San’a Ibu kotaYaman ketika itu. Sayangnya dari keempat sumber penghasilantersebut sumber terakhir yang ia sebut dengan rizki tidakdijelaskan secara gamblang sebagaimana ketiga jenis sumberpendapatan yang lain, yaitu risywah, hadiah dan gaji. Dalamhal ini boleh jadi yang beliau maksud dengan rizki adalahsegala bentuk penghasilan sampingan yang tidak tetap danmasuk dalam ketegori min haitsu lâ yahtasib, tidak diduga dandisangka-sangka.

| 136

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Pendapat yang berkembang di kalanganpara ulama tentang diperbolehkannya suap untukmemperjuangkan hak dan menolak ketidakadilanini tampaknya bukan berdasarkan pada teks hadistentang risywah yang berbunyi “”(Allah mengutuk penyuap dan yang disuap),20

tetapi pijakan mereka dari âtsâr atau riwayat-riwayat para sahabat dan tabi`in yang ketika itumelakukan praktek penyuapan dalam konteksseperti ini. Di antara riwayat dimaksud adalahapa yang dikemukakan oleh al-Baghawi bahwadiriwayatkan dari al-Hasan, al-Sya`bi, Jabir bin Zaiddan `Atha, sesungguhnya mereka berpendapatbahwa seseorang tidak dianggap berdosa ketikadia mendayagunakan / mengatur diri dan hartanya(untuk melakukan penyuapan) pada saat diaterancam dengan ketidakadilan.21

Walaupun dalam riwayat ini tidak disebutkansecara eksplisit bahwa pemberian Ibnu Mas`udtersebut bukan kepada hakim atau penguasaresmi, tetapi bisa diperkirakan dari data-data lainseperti yang dijelaskan oleh al-Mubarakfuri diatas, bahwa yang beliau sogok bukan hakim ataupejabat, melainkan preman atau sejenis tukangpalak (penguasa lahan) sebagai penguasa lahankawasan Habsyi yang ketika itu telah beradadalam wilayah Islam.22 Oleh sebab itu, catatanal-Syaukani dan al-Mubarakfuri menjadi sangatpenting untuk diperhatikan agar tidak mudahmenyogok hakim dan pejabat dalam rangkamendapatkan hak atau karena takut dizalimi.

Di samping data yang dikemukakan olehal-Baghawi di atas, Abu Abdullah AbdussalamAlusy dalam Ibânah al-Ahkâm mengatakan bahwa

20 al-Syaukânî, Nail al-Authâr, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilidIX, h. 172.

21 Abû Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawî, Syarh

terdapat riwayat yang berasal dari Ibnu Mas`ud dansahabat-sahabat lain bahwa mereka melakukanrisywah untuk memperjuangkan hak. Semua inidikemukakan oleh al-Khitabi dan ia memfatwakanbahwa suap untuk memperjuangkan sesuatu yangmerupakan hak diperbolehkan” 23

Dengan demikian, tampaknya hampir seluruhulama hadis pada saat memberikan ulasan tentanghadis risywah ini selalu mengemukakan tentangjenis risywah yang bisa dianggap benar, yaitujika suap yang dilakukan untuk menuntut danmemperjuangkan hak yang mesti diterima atausuap dalam rangka menolak ketidakadilan.

Hal menarik dalam masalah suap-menyuap ini,dikaitkan dengan pendapatan yang dianggap layakbagi seorang hakim, dijelaskan oleh Muhammadbin Isma`il al-Kahlâni al-Shan`ânî bahwa suapsecara ijmak dinyatakan haram, baik diberikankepada hakim, atau petugas atas nama sedekahmaupun bukan diberikan kepada kedua-duanya.Pendapatan yang biasanya diperoleh seoranghakim terdiri dari empat macam, suap, hadiah,gaji dan rezeki.24 Pertama, suap, jika tujuannyaagar hakim memutuskan perkara secara tidakbenar, maka status hukumnya adalah haram baikbagi pemberi maupun penerima suap. Tetapikalau tujuannya agar hakim memutuskan perkarasecara benar untuk (menyelesaikan) piutangpihak pemberi suap, maka suap dengan motifini haram bagi hakim tetapi halal bagi penyuap,sebab tujuannya untuk memperjuangkan hakyang mesti diterimanya. Suap dengan motif inisama dengan upah bagi pemenang sayembarayang bisa menemukan budak yang kabur, dansama dengan upah orang yang dipercaya dalammemenangkan persengketaan. Tetapi konon halini tetap diharamkan karena bisa menjerumuskan

al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), jilid V, h. 330.22 al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî, jilid IV, h. 565.

Dalam riwayat yang dijelaskan oleh al-Mubarakfuri disebutkanbahwa Ibnu Mas’ud mendapatkan masalah pada saat hendakmengambil harta miliknya sebagai haknya dan dizalimi olehpihak-pihak tertentu tersebut terjadi di Habsyi. Habsyi adalahAbessinia. Di antara sederetan nama gubernur yang pernahmemerintah di sana adalah Abrahah, seorang raja underbaw/dibawah pengawasan atasannya, raja Romawi Timur yangberkedudukan di Konstantinopel. Abrahah dari Abessiniainilah yang pernah menyerang Ka’bah pada hari Senin tanggal20 April 571 M, pada saat Rasulullah saw lahir. Abrahah danpasukannya itulah yang oleh Alquran surat al-Fîl disebutdengan “ashâb al-fîl».

23 Abû `Abdullâh `Abdussalâm ‘Allûsy, Ibânah al-AhkâmSyarh Bulûgh al-Marâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), jilid III, h. 88.

24 Keempat sumber pendapatan bagi hakim ini, setidak-nya menurut hasil penelitian al-San’ani yang hidup pada tahun1059-1182 H, sekitar 245 tahun yang lalu di San’a Ibu kotaYaman ketika itu. Sayangnya dari keempat sumber penghasilantersebut sumber terakhir yang ia sebut dengan rizki tidakdijelaskan secara gamblang sebagaimana ketiga jenis sumberpendapatan yang lain, yaitu risywah, hadiah dan gaji. Dalamhal ini boleh jadi yang beliau maksud dengan rizki adalahsegala bentuk penghasilan sampingan yang tidak tetap danmasuk dalam ketegori min haitsu lâ yahtasib, tidak diduga dandisangka-sangka.

| 136

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Pendapat yang berkembang di kalanganpara ulama tentang diperbolehkannya suap untukmemperjuangkan hak dan menolak ketidakadilanini tampaknya bukan berdasarkan pada teks hadistentang risywah yang berbunyi “”(Allah mengutuk penyuap dan yang disuap),20

tetapi pijakan mereka dari âtsâr atau riwayat-riwayat para sahabat dan tabi`in yang ketika itumelakukan praktek penyuapan dalam konteksseperti ini. Di antara riwayat dimaksud adalahapa yang dikemukakan oleh al-Baghawi bahwadiriwayatkan dari al-Hasan, al-Sya`bi, Jabir bin Zaiddan `Atha, sesungguhnya mereka berpendapatbahwa seseorang tidak dianggap berdosa ketikadia mendayagunakan / mengatur diri dan hartanya(untuk melakukan penyuapan) pada saat diaterancam dengan ketidakadilan.21

Walaupun dalam riwayat ini tidak disebutkansecara eksplisit bahwa pemberian Ibnu Mas`udtersebut bukan kepada hakim atau penguasaresmi, tetapi bisa diperkirakan dari data-data lainseperti yang dijelaskan oleh al-Mubarakfuri diatas, bahwa yang beliau sogok bukan hakim ataupejabat, melainkan preman atau sejenis tukangpalak (penguasa lahan) sebagai penguasa lahankawasan Habsyi yang ketika itu telah beradadalam wilayah Islam.22 Oleh sebab itu, catatanal-Syaukani dan al-Mubarakfuri menjadi sangatpenting untuk diperhatikan agar tidak mudahmenyogok hakim dan pejabat dalam rangkamendapatkan hak atau karena takut dizalimi.

Di samping data yang dikemukakan olehal-Baghawi di atas, Abu Abdullah AbdussalamAlusy dalam Ibânah al-Ahkâm mengatakan bahwa

20 al-Syaukânî, Nail al-Authâr, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilidIX, h. 172.

21 Abû Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawî, Syarh

terdapat riwayat yang berasal dari Ibnu Mas`ud dansahabat-sahabat lain bahwa mereka melakukanrisywah untuk memperjuangkan hak. Semua inidikemukakan oleh al-Khitabi dan ia memfatwakanbahwa suap untuk memperjuangkan sesuatu yangmerupakan hak diperbolehkan” 23

Dengan demikian, tampaknya hampir seluruhulama hadis pada saat memberikan ulasan tentanghadis risywah ini selalu mengemukakan tentangjenis risywah yang bisa dianggap benar, yaitujika suap yang dilakukan untuk menuntut danmemperjuangkan hak yang mesti diterima atausuap dalam rangka menolak ketidakadilan.

Hal menarik dalam masalah suap-menyuap ini,dikaitkan dengan pendapatan yang dianggap layakbagi seorang hakim, dijelaskan oleh Muhammadbin Isma`il al-Kahlâni al-Shan`ânî bahwa suapsecara ijmak dinyatakan haram, baik diberikankepada hakim, atau petugas atas nama sedekahmaupun bukan diberikan kepada kedua-duanya.Pendapatan yang biasanya diperoleh seoranghakim terdiri dari empat macam, suap, hadiah,gaji dan rezeki.24 Pertama, suap, jika tujuannyaagar hakim memutuskan perkara secara tidakbenar, maka status hukumnya adalah haram baikbagi pemberi maupun penerima suap. Tetapikalau tujuannya agar hakim memutuskan perkarasecara benar untuk (menyelesaikan) piutangpihak pemberi suap, maka suap dengan motifini haram bagi hakim tetapi halal bagi penyuap,sebab tujuannya untuk memperjuangkan hakyang mesti diterimanya. Suap dengan motif inisama dengan upah bagi pemenang sayembarayang bisa menemukan budak yang kabur, dansama dengan upah orang yang dipercaya dalammemenangkan persengketaan. Tetapi konon halini tetap diharamkan karena bisa menjerumuskan

al-Sunnah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), jilid V, h. 330.22 al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî, jilid IV, h. 565.

Dalam riwayat yang dijelaskan oleh al-Mubarakfuri disebutkanbahwa Ibnu Mas’ud mendapatkan masalah pada saat hendakmengambil harta miliknya sebagai haknya dan dizalimi olehpihak-pihak tertentu tersebut terjadi di Habsyi. Habsyi adalahAbessinia. Di antara sederetan nama gubernur yang pernahmemerintah di sana adalah Abrahah, seorang raja underbaw/dibawah pengawasan atasannya, raja Romawi Timur yangberkedudukan di Konstantinopel. Abrahah dari Abessiniainilah yang pernah menyerang Ka’bah pada hari Senin tanggal20 April 571 M, pada saat Rasulullah saw lahir. Abrahah danpasukannya itulah yang oleh Alquran surat al-Fîl disebutdengan “ashâb al-fîl».

23 Abû `Abdullâh `Abdussalâm ‘Allûsy, Ibânah al-AhkâmSyarh Bulûgh al-Marâm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), jilid III, h. 88.

24 Keempat sumber pendapatan bagi hakim ini, setidak-nya menurut hasil penelitian al-San’ani yang hidup pada tahun1059-1182 H, sekitar 245 tahun yang lalu di San’a Ibu kotaYaman ketika itu. Sayangnya dari keempat sumber penghasilantersebut sumber terakhir yang ia sebut dengan rizki tidakdijelaskan secara gamblang sebagaimana ketiga jenis sumberpendapatan yang lain, yaitu risywah, hadiah dan gaji. Dalamhal ini boleh jadi yang beliau maksud dengan rizki adalahsegala bentuk penghasilan sampingan yang tidak tetap danmasuk dalam ketegori min haitsu lâ yahtasib, tidak diduga dandisangka-sangka.

| 136

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

seorang hakim ke dalam dosa. Kedua, hadiah,jika hadiah ini diberikan dari seseorang pada saatsebelum penunjukkan seorang hakim yang akanmenangani perkaranya, maka status hukumnyatidak diharamkan, tetapi kalau setelah ditentukanhakim yang akan menanganinya, maka tetapharam dan jika hadiah itu berasal dari seseorangyang tidak ada pertengkaran antara dia danseseorang yang ada bersama dia, maka hadiahitu diperbolehkan, tetapi makruh, dan jika hadiahitu berasal dari seseorang yang mempunyaipersengketaan hutang dengan pihak lawan,maka hadiah dalam kasus ini hukumnya harambaik bagi hakim (sebagai penerima) maupun bagipemberi hadiah”. 25

Dengan penjelasan yang cukup sistematisdan runtut ini al-Shan`ânî sempat memerincibentuk-bentuk suap dan hadiah tertentu, adayang dinyatakan halal dan ada yang dinyatakanharam bahkan ada yang sekedar makruh. Namundemikian, tampak jelas dari uraian tentangjenis suap bahwa terdapat bentuk suap yangdianggap halal sebagaimana para ulama hadispada umumnya, yaitu suap yang dilakukanoleh seseorang dalam rangka memperjuangkanhak yang mesti diterimanya, dalam contohpenjelasannya disebutkan untuk bisa memperolehharta miliknya yang masih dalam piutang pihaklain. Di sini, hakim menurut al-Shan`ânî dianggapsebagai pemenang sayembara atau wakil delegasiyang berhasil dalam usaha membela klien,26

sehingga wajar jika mendapatkan upah atasjasanya.

Penjelasan yang sebaik dan sesistimatisapa yang dipaparkan oleh al-Shan`ani di atastidak penulis temukan dalam beberapa literaturhadis lain, baik dalam sumber aslinya yaitu SunanAbû Dâwud, al-Tirmizî, Ahmad dan Ibnu Mâjahmaupun dalam Bulûgh al-Marâm dengan berbagaisyarahnya yaitu Ibânah al-Ahkâm, Taudhîh al-

25 al-Shan’ânî, Subul al-Salâm, jilid IV, h. 124.26 Untuk konteks saat ini konsep al-San’ani tentang “

” Honor wakil yang membantu seseorang atauperkara yang dipersengketakan ini adalah berupa tunjangan,ongkos perkara para praktisi hukum, pengacara, advokat danbadan arbitrase. Penulis memperkirakan bahwa pada saat245 tahun yang lalu belum ada profesi-profesi dalam bidangperadilan sebagai yang sangat ramai di berbagai tingkatperadilan saat ini.

Ahkâm, Hidâyah al-Anâm dan Mishbâh al-Zhulâm.Hanya saja pada saat menjelaskan sumber-sumberpenghasilan seorang hakim, sumber pendapatanterakhir yang al-Shan`ani sebut dengan rizki tidakbeliau uraikan. Beliau hanya memaparkan masalahrisywah, hadiah dan ujrah atau gaji.27

Berkaitan dengan jenis penghasilan hakimyang kedua menurut al-Shan`ani yaitu tentanggaji, ia berpendapat bahwa kalau seseorang hakimtelah mendapatkan jatah rutin dari baitul mal (kasNegara) maka ia tidak boleh mendapatkan gajilagi. Menurut perkiraan penulis yang dimaksudkandengan gaji atau yang al-Shan`ani menyebutnyadengan “ ” adalah upah yang dibebankankepada para pihak yang berperkara, sedangkankata “ ” adalah gaji tetap yang diambil darikas Negara. Konsep ini jika dikontekstualisasikandengan praktek peradilan di Indonesia saat inilebih cocok dipahami bahwa yang mendapat gajitetap dari kas Negara (APBN) adalah hakim padasemua jenis peradilan dan tingkatannya yangmempunyai NIP dari Departemen Kehakiman.

27 Mengenai sumber pendapatan hakim yang disebutterakhir ini al-San’ani mengatakan bahwa adapun gaji, sebagaisumber penghasilan hakim yang ketiga jika seorang hakim telahmemiliki jirâyah (jatah rutin) dari baitul mal (kas negara) yangdiberikan kepadanya, maka ulama sepakat menyatakan bahwagaji di luar itu hukumnya haram, sebab dia telah mendapatkanjatah rutin karena pekerjaannya dalam bidang hukum, sehinggadinilai tidak patut untuk diberi upah, lain halnya kalau hakimtersebut belum mendapatkan jatah rutin dari baitul mal dalamkondisi seperti ini tetap diperbolehkan menerima gaji karenapekerjaannya bukan karena jabatannya sebagai hakim. Jika diamengambil bagian melebihi yang semestinya maka hukumnyaharam, sebab dia digaji semata-mata karena pekerjaannyabukan karena jabatannya sebagai hakim. Oleh sebab itu, jikadia masih menuntut lebih dari yang semestinya berarti diamenuntut sesuatu berdasarkan status dan jabatannya sebagaihakim, padahal ulama telah sepakat berpendapat bahwaharta rakyat tidak boleh diambil untuk menggaji hakim karenajabatannya, dia digaji karena pekerjaannya, tambahan atasgaji yang telah ditentukan hukumnya haram. Maka dari itu,ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa mengangkatseseorang yang kaya untuk menduduki jabatan hakim jauhlebih baik daripada mengangkat seseorang yang miskin untukmenjadi hakim, sebab dengan status dan kondisi ekonominyayang tergolong miskin akan berpotensi menimbulkan niat atausemangat untuk mendapat fasilitas yang pada dasarnya tidakboleh untuk dimiliki, lebih-lebih jika hakim miskin itu juga tidakmendapatkan jatah rutin dari baitul mal. Penulis subul al-salamberkata : pada saat ini kami tidak bisa menemukan seseorangyang mencari kedudukan jabatan sebagai hakim kecuali secarajelas tampak bahwa orang tersebut hanya berambisi kepadasesuatu yang menggugah seleranya, padahal ia pun mengertibahwa tidak akan memperoleh apa-apa dari baitul mal.

137 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

seorang hakim ke dalam dosa. Kedua, hadiah,jika hadiah ini diberikan dari seseorang pada saatsebelum penunjukkan seorang hakim yang akanmenangani perkaranya, maka status hukumnyatidak diharamkan, tetapi kalau setelah ditentukanhakim yang akan menanganinya, maka tetapharam dan jika hadiah itu berasal dari seseorangyang tidak ada pertengkaran antara dia danseseorang yang ada bersama dia, maka hadiahitu diperbolehkan, tetapi makruh, dan jika hadiahitu berasal dari seseorang yang mempunyaipersengketaan hutang dengan pihak lawan,maka hadiah dalam kasus ini hukumnya harambaik bagi hakim (sebagai penerima) maupun bagipemberi hadiah”. 25

Dengan penjelasan yang cukup sistematisdan runtut ini al-Shan`ânî sempat memerincibentuk-bentuk suap dan hadiah tertentu, adayang dinyatakan halal dan ada yang dinyatakanharam bahkan ada yang sekedar makruh. Namundemikian, tampak jelas dari uraian tentangjenis suap bahwa terdapat bentuk suap yangdianggap halal sebagaimana para ulama hadispada umumnya, yaitu suap yang dilakukanoleh seseorang dalam rangka memperjuangkanhak yang mesti diterimanya, dalam contohpenjelasannya disebutkan untuk bisa memperolehharta miliknya yang masih dalam piutang pihaklain. Di sini, hakim menurut al-Shan`ânî dianggapsebagai pemenang sayembara atau wakil delegasiyang berhasil dalam usaha membela klien,26

sehingga wajar jika mendapatkan upah atasjasanya.

Penjelasan yang sebaik dan sesistimatisapa yang dipaparkan oleh al-Shan`ani di atastidak penulis temukan dalam beberapa literaturhadis lain, baik dalam sumber aslinya yaitu SunanAbû Dâwud, al-Tirmizî, Ahmad dan Ibnu Mâjahmaupun dalam Bulûgh al-Marâm dengan berbagaisyarahnya yaitu Ibânah al-Ahkâm, Taudhîh al-

25 al-Shan’ânî, Subul al-Salâm, jilid IV, h. 124.26 Untuk konteks saat ini konsep al-San’ani tentang “

” Honor wakil yang membantu seseorang atauperkara yang dipersengketakan ini adalah berupa tunjangan,ongkos perkara para praktisi hukum, pengacara, advokat danbadan arbitrase. Penulis memperkirakan bahwa pada saat245 tahun yang lalu belum ada profesi-profesi dalam bidangperadilan sebagai yang sangat ramai di berbagai tingkatperadilan saat ini.

Ahkâm, Hidâyah al-Anâm dan Mishbâh al-Zhulâm.Hanya saja pada saat menjelaskan sumber-sumberpenghasilan seorang hakim, sumber pendapatanterakhir yang al-Shan`ani sebut dengan rizki tidakbeliau uraikan. Beliau hanya memaparkan masalahrisywah, hadiah dan ujrah atau gaji.27

Berkaitan dengan jenis penghasilan hakimyang kedua menurut al-Shan`ani yaitu tentanggaji, ia berpendapat bahwa kalau seseorang hakimtelah mendapatkan jatah rutin dari baitul mal (kasNegara) maka ia tidak boleh mendapatkan gajilagi. Menurut perkiraan penulis yang dimaksudkandengan gaji atau yang al-Shan`ani menyebutnyadengan “ ” adalah upah yang dibebankankepada para pihak yang berperkara, sedangkankata “ ” adalah gaji tetap yang diambil darikas Negara. Konsep ini jika dikontekstualisasikandengan praktek peradilan di Indonesia saat inilebih cocok dipahami bahwa yang mendapat gajitetap dari kas Negara (APBN) adalah hakim padasemua jenis peradilan dan tingkatannya yangmempunyai NIP dari Departemen Kehakiman.

27 Mengenai sumber pendapatan hakim yang disebutterakhir ini al-San’ani mengatakan bahwa adapun gaji, sebagaisumber penghasilan hakim yang ketiga jika seorang hakim telahmemiliki jirâyah (jatah rutin) dari baitul mal (kas negara) yangdiberikan kepadanya, maka ulama sepakat menyatakan bahwagaji di luar itu hukumnya haram, sebab dia telah mendapatkanjatah rutin karena pekerjaannya dalam bidang hukum, sehinggadinilai tidak patut untuk diberi upah, lain halnya kalau hakimtersebut belum mendapatkan jatah rutin dari baitul mal dalamkondisi seperti ini tetap diperbolehkan menerima gaji karenapekerjaannya bukan karena jabatannya sebagai hakim. Jika diamengambil bagian melebihi yang semestinya maka hukumnyaharam, sebab dia digaji semata-mata karena pekerjaannyabukan karena jabatannya sebagai hakim. Oleh sebab itu, jikadia masih menuntut lebih dari yang semestinya berarti diamenuntut sesuatu berdasarkan status dan jabatannya sebagaihakim, padahal ulama telah sepakat berpendapat bahwaharta rakyat tidak boleh diambil untuk menggaji hakim karenajabatannya, dia digaji karena pekerjaannya, tambahan atasgaji yang telah ditentukan hukumnya haram. Maka dari itu,ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa mengangkatseseorang yang kaya untuk menduduki jabatan hakim jauhlebih baik daripada mengangkat seseorang yang miskin untukmenjadi hakim, sebab dengan status dan kondisi ekonominyayang tergolong miskin akan berpotensi menimbulkan niat atausemangat untuk mendapat fasilitas yang pada dasarnya tidakboleh untuk dimiliki, lebih-lebih jika hakim miskin itu juga tidakmendapatkan jatah rutin dari baitul mal. Penulis subul al-salamberkata : pada saat ini kami tidak bisa menemukan seseorangyang mencari kedudukan jabatan sebagai hakim kecuali secarajelas tampak bahwa orang tersebut hanya berambisi kepadasesuatu yang menggugah seleranya, padahal ia pun mengertibahwa tidak akan memperoleh apa-apa dari baitul mal.

137 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

seorang hakim ke dalam dosa. Kedua, hadiah,jika hadiah ini diberikan dari seseorang pada saatsebelum penunjukkan seorang hakim yang akanmenangani perkaranya, maka status hukumnyatidak diharamkan, tetapi kalau setelah ditentukanhakim yang akan menanganinya, maka tetapharam dan jika hadiah itu berasal dari seseorangyang tidak ada pertengkaran antara dia danseseorang yang ada bersama dia, maka hadiahitu diperbolehkan, tetapi makruh, dan jika hadiahitu berasal dari seseorang yang mempunyaipersengketaan hutang dengan pihak lawan,maka hadiah dalam kasus ini hukumnya harambaik bagi hakim (sebagai penerima) maupun bagipemberi hadiah”. 25

Dengan penjelasan yang cukup sistematisdan runtut ini al-Shan`ânî sempat memerincibentuk-bentuk suap dan hadiah tertentu, adayang dinyatakan halal dan ada yang dinyatakanharam bahkan ada yang sekedar makruh. Namundemikian, tampak jelas dari uraian tentangjenis suap bahwa terdapat bentuk suap yangdianggap halal sebagaimana para ulama hadispada umumnya, yaitu suap yang dilakukanoleh seseorang dalam rangka memperjuangkanhak yang mesti diterimanya, dalam contohpenjelasannya disebutkan untuk bisa memperolehharta miliknya yang masih dalam piutang pihaklain. Di sini, hakim menurut al-Shan`ânî dianggapsebagai pemenang sayembara atau wakil delegasiyang berhasil dalam usaha membela klien,26

sehingga wajar jika mendapatkan upah atasjasanya.

Penjelasan yang sebaik dan sesistimatisapa yang dipaparkan oleh al-Shan`ani di atastidak penulis temukan dalam beberapa literaturhadis lain, baik dalam sumber aslinya yaitu SunanAbû Dâwud, al-Tirmizî, Ahmad dan Ibnu Mâjahmaupun dalam Bulûgh al-Marâm dengan berbagaisyarahnya yaitu Ibânah al-Ahkâm, Taudhîh al-

25 al-Shan’ânî, Subul al-Salâm, jilid IV, h. 124.26 Untuk konteks saat ini konsep al-San’ani tentang “

” Honor wakil yang membantu seseorang atauperkara yang dipersengketakan ini adalah berupa tunjangan,ongkos perkara para praktisi hukum, pengacara, advokat danbadan arbitrase. Penulis memperkirakan bahwa pada saat245 tahun yang lalu belum ada profesi-profesi dalam bidangperadilan sebagai yang sangat ramai di berbagai tingkatperadilan saat ini.

Ahkâm, Hidâyah al-Anâm dan Mishbâh al-Zhulâm.Hanya saja pada saat menjelaskan sumber-sumberpenghasilan seorang hakim, sumber pendapatanterakhir yang al-Shan`ani sebut dengan rizki tidakbeliau uraikan. Beliau hanya memaparkan masalahrisywah, hadiah dan ujrah atau gaji.27

Berkaitan dengan jenis penghasilan hakimyang kedua menurut al-Shan`ani yaitu tentanggaji, ia berpendapat bahwa kalau seseorang hakimtelah mendapatkan jatah rutin dari baitul mal (kasNegara) maka ia tidak boleh mendapatkan gajilagi. Menurut perkiraan penulis yang dimaksudkandengan gaji atau yang al-Shan`ani menyebutnyadengan “ ” adalah upah yang dibebankankepada para pihak yang berperkara, sedangkankata “ ” adalah gaji tetap yang diambil darikas Negara. Konsep ini jika dikontekstualisasikandengan praktek peradilan di Indonesia saat inilebih cocok dipahami bahwa yang mendapat gajitetap dari kas Negara (APBN) adalah hakim padasemua jenis peradilan dan tingkatannya yangmempunyai NIP dari Departemen Kehakiman.

27 Mengenai sumber pendapatan hakim yang disebutterakhir ini al-San’ani mengatakan bahwa adapun gaji, sebagaisumber penghasilan hakim yang ketiga jika seorang hakim telahmemiliki jirâyah (jatah rutin) dari baitul mal (kas negara) yangdiberikan kepadanya, maka ulama sepakat menyatakan bahwagaji di luar itu hukumnya haram, sebab dia telah mendapatkanjatah rutin karena pekerjaannya dalam bidang hukum, sehinggadinilai tidak patut untuk diberi upah, lain halnya kalau hakimtersebut belum mendapatkan jatah rutin dari baitul mal dalamkondisi seperti ini tetap diperbolehkan menerima gaji karenapekerjaannya bukan karena jabatannya sebagai hakim. Jika diamengambil bagian melebihi yang semestinya maka hukumnyaharam, sebab dia digaji semata-mata karena pekerjaannyabukan karena jabatannya sebagai hakim. Oleh sebab itu, jikadia masih menuntut lebih dari yang semestinya berarti diamenuntut sesuatu berdasarkan status dan jabatannya sebagaihakim, padahal ulama telah sepakat berpendapat bahwaharta rakyat tidak boleh diambil untuk menggaji hakim karenajabatannya, dia digaji karena pekerjaannya, tambahan atasgaji yang telah ditentukan hukumnya haram. Maka dari itu,ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa mengangkatseseorang yang kaya untuk menduduki jabatan hakim jauhlebih baik daripada mengangkat seseorang yang miskin untukmenjadi hakim, sebab dengan status dan kondisi ekonominyayang tergolong miskin akan berpotensi menimbulkan niat atausemangat untuk mendapat fasilitas yang pada dasarnya tidakboleh untuk dimiliki, lebih-lebih jika hakim miskin itu juga tidakmendapatkan jatah rutin dari baitul mal. Penulis subul al-salamberkata : pada saat ini kami tidak bisa menemukan seseorangyang mencari kedudukan jabatan sebagai hakim kecuali secarajelas tampak bahwa orang tersebut hanya berambisi kepadasesuatu yang menggugah seleranya, padahal ia pun mengertibahwa tidak akan memperoleh apa-apa dari baitul mal.

137 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Mereka inilah yang memiliki “ ” gaji tetap.Sedang pihak yang hanya memperoleh “ ”upah dari para pihak yang berperkara adalah parapengacara, advokat, dan konsultan-konsultanhukum.28

Pemisahan antara “ ” dan “ ” ini di-anggap penting agar para hakim yang telahmendapatkan “ ” gaji tetap dari APBN tidaklagi menuntut pemberian-pemberian tertentudari para pihak yang berperkara. Sebab pem-berian-pemberian semacam ini sangat rentanmenimbulkan praktek suap menyuap. Apalagikalau pihak “ ” pemberi suap berdalih denganadanya hak yang akan ia perjuangkan atau denganalasan menolak kezaliman dan ketidakadilan yangdirasakannya. Dalam kondisi seperti ini menurutpendapat para ulama, suap dengan tujuan mem-perjuangkan hak dan menolak ketidakadilan–bisadianggap benar serta tidak masuk dalam cakupanhadis yang mengharamkan suap.

Dari uraian tentang pengertian dan hukumrisywah di atas, bisa disimpulkan bahwa risywahatau suap adalah suatu pemberian yang diberikanseseorang kepada hakim, petugas atau pejabattertentu dengan suatu tujuan yang diinginkanoleh kedua belah pihak baik pemberi maupunpenerima pemberian tersebut. Dalam kasuspenyuapan, biasanya melibatkan tiga unsurutama yaitu pemberi suap (al-râsyî), penerimasuap (al-murtasyî) dan barang atau nilai yang

28 Para pengacara, advokat, dan konsultan-konsultanhukum yang biasanya tergabung dalam sebuah wadah LBHwalaupun mereka tidak mendapatkan “ ” atau gaji tetapdan tidak memiliki NIP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, namun darisisi income sangat boleh jadi penghasilan mereka jauh lebih

diserahterimakan dalam kasus suap. Namundemikian, tidak menutup kemungkinan dalamsuatu kasus suap juga melibatkan pihak keempatsebagai broker atau perantara antara pemberidan penerima suap. Broker atau perantara inidisebut dengan al-râisy.

Hukum perbuatan risywah disepakati olehpara ulama adalah haram, khususnya risywah yangterdapat unsur membenarkan yang salah dan ataumenyalahkan yang mestinya benar. Akan tetapipara ulama menganggap halal sebuah bentuksuap yang dilakukan dalam rangka menuntut ataumemperjuangkan hak yang mestinya diterima olehpihak pemberi suap atau dalam rangka menolakkezaliman, kemudaratan dan ketidakadilan yangdirasakan oleh pemberi suap. Hanya saja, penulistetap menganggap bahwa dalam bentuk sepertiini pun suap tetap tidak baik dilakukan apalagidalam suasana bangsa Indonesia yang sedangberusaha keras memberantas praktek korupsi,kolusi dan nepotisme yang pengaruhnya sangatmerusak seluruh tatanan kehidupan bangsa. Miripdengan suap, sogok atau gratifikasi sebagaiterjemahan dari risywah ini adalah hadiah. Olehsebab itu, hadiah merupakan salah satu jenis ataubentuk sogok, khususnya jika diberikan kepadapegawai, petugas, pejabat apalagi kepada hakim.

Klasifikasi GratifikasiPada uraian sebelumnya telah dikemukakan

bahwa setidaknya gratifikasi atau risywah, suap,ada yang disepakati oleh para ulama haramhukumnya dan ada yang disepakati halal hukum-nya.29 Risywah yang disepakati haram hukumnyaoleh para ulama adalah risywah yang dilakukandengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan

besar--sekalipun bersifat temporer--daripada hakim atau jaksapenuntut umum yang memiliki NIP dan mendapatkan “ ”dari APBN. Apalagi bagi para praktisi kondang dan senior sepertiAdnan Buyung Nasution, OC Kaligis, Todung Mulya Lubis, M.Assegaf dan advokat serta konsultan-konsultan hukum yang lain.Ketimpangan jumlah penghasilan antara pengacara dan hakim initerkadang berakibat adanya kecemburuan sosial antar mereka.Hal ini tentu sangat rentan terhadap timbulnya praktek sogokmenyogok di dalam proses acara pengadilan. Sehingga adanyagagasan untuk menaikkan gaji dan tunjangan hakim, mengingatadanya fenomena-fenomena seperti ini sangat bisa dimengerti.Karena itu wajar jika 245 tahun yang lalu al-Shan`ânî mengatakanbahwa: “ ” meng-angkat hakim yang sudah kaya lebih baik daripada mengangkathakim yang miskin, agar tidak gampang disuap. Apakah hal inibisa menjamin? , belum tentu.

29 Jenis suap yang oleh para ulama dinyatakan halal inioleh as-Syaukani dalam Nail al-Autâr, jilid IX h. 172 ditolak secarategas, suap dalam bentuk-bentuknya yang khusus dan dengantujuan apapun tetap haram sebab hadis mengenai risywahyang sangat terkenal itu tidak bisa ditakhsis kecuali dengan dalilyang maqbul (kuat dan bisa diterima), bukan sekedar denganperkiraan dan pertimbangan yang tidak mantap. Dalam hal inipenulis lebih setuju dengan al-Syaukani tanpa harus mengkritikpendapat jumhur ulama yang telah sepakat menghalalkanjenis risywah yang tujuannya untuk membela, menuntut danmemperjuangkan hak dan atau untuk menolak ketidakadilan.Sebab untuk konteks Indonesia saat ini, kalau mengikutipendapat jumhur ulama tersebut akan sangat rentan dengangagalnya pemerintah dalam memberantas praktek KKN dinegeri ini.

| 138

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Mereka inilah yang memiliki “ ” gaji tetap.Sedang pihak yang hanya memperoleh “ ”upah dari para pihak yang berperkara adalah parapengacara, advokat, dan konsultan-konsultanhukum.28

Pemisahan antara “ ” dan “ ” ini di-anggap penting agar para hakim yang telahmendapatkan “ ” gaji tetap dari APBN tidaklagi menuntut pemberian-pemberian tertentudari para pihak yang berperkara. Sebab pem-berian-pemberian semacam ini sangat rentanmenimbulkan praktek suap menyuap. Apalagikalau pihak “ ” pemberi suap berdalih denganadanya hak yang akan ia perjuangkan atau denganalasan menolak kezaliman dan ketidakadilan yangdirasakannya. Dalam kondisi seperti ini menurutpendapat para ulama, suap dengan tujuan mem-perjuangkan hak dan menolak ketidakadilan–bisadianggap benar serta tidak masuk dalam cakupanhadis yang mengharamkan suap.

Dari uraian tentang pengertian dan hukumrisywah di atas, bisa disimpulkan bahwa risywahatau suap adalah suatu pemberian yang diberikanseseorang kepada hakim, petugas atau pejabattertentu dengan suatu tujuan yang diinginkanoleh kedua belah pihak baik pemberi maupunpenerima pemberian tersebut. Dalam kasuspenyuapan, biasanya melibatkan tiga unsurutama yaitu pemberi suap (al-râsyî), penerimasuap (al-murtasyî) dan barang atau nilai yang

28 Para pengacara, advokat, dan konsultan-konsultanhukum yang biasanya tergabung dalam sebuah wadah LBHwalaupun mereka tidak mendapatkan “ ” atau gaji tetapdan tidak memiliki NIP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, namun darisisi income sangat boleh jadi penghasilan mereka jauh lebih

diserahterimakan dalam kasus suap. Namundemikian, tidak menutup kemungkinan dalamsuatu kasus suap juga melibatkan pihak keempatsebagai broker atau perantara antara pemberidan penerima suap. Broker atau perantara inidisebut dengan al-râisy.

Hukum perbuatan risywah disepakati olehpara ulama adalah haram, khususnya risywah yangterdapat unsur membenarkan yang salah dan ataumenyalahkan yang mestinya benar. Akan tetapipara ulama menganggap halal sebuah bentuksuap yang dilakukan dalam rangka menuntut ataumemperjuangkan hak yang mestinya diterima olehpihak pemberi suap atau dalam rangka menolakkezaliman, kemudaratan dan ketidakadilan yangdirasakan oleh pemberi suap. Hanya saja, penulistetap menganggap bahwa dalam bentuk sepertiini pun suap tetap tidak baik dilakukan apalagidalam suasana bangsa Indonesia yang sedangberusaha keras memberantas praktek korupsi,kolusi dan nepotisme yang pengaruhnya sangatmerusak seluruh tatanan kehidupan bangsa. Miripdengan suap, sogok atau gratifikasi sebagaiterjemahan dari risywah ini adalah hadiah. Olehsebab itu, hadiah merupakan salah satu jenis ataubentuk sogok, khususnya jika diberikan kepadapegawai, petugas, pejabat apalagi kepada hakim.

Klasifikasi GratifikasiPada uraian sebelumnya telah dikemukakan

bahwa setidaknya gratifikasi atau risywah, suap,ada yang disepakati oleh para ulama haramhukumnya dan ada yang disepakati halal hukum-nya.29 Risywah yang disepakati haram hukumnyaoleh para ulama adalah risywah yang dilakukandengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan

besar--sekalipun bersifat temporer--daripada hakim atau jaksapenuntut umum yang memiliki NIP dan mendapatkan “ ”dari APBN. Apalagi bagi para praktisi kondang dan senior sepertiAdnan Buyung Nasution, OC Kaligis, Todung Mulya Lubis, M.Assegaf dan advokat serta konsultan-konsultan hukum yang lain.Ketimpangan jumlah penghasilan antara pengacara dan hakim initerkadang berakibat adanya kecemburuan sosial antar mereka.Hal ini tentu sangat rentan terhadap timbulnya praktek sogokmenyogok di dalam proses acara pengadilan. Sehingga adanyagagasan untuk menaikkan gaji dan tunjangan hakim, mengingatadanya fenomena-fenomena seperti ini sangat bisa dimengerti.Karena itu wajar jika 245 tahun yang lalu al-Shan`ânî mengatakanbahwa: “ ” meng-angkat hakim yang sudah kaya lebih baik daripada mengangkathakim yang miskin, agar tidak gampang disuap. Apakah hal inibisa menjamin? , belum tentu.

29 Jenis suap yang oleh para ulama dinyatakan halal inioleh as-Syaukani dalam Nail al-Autâr, jilid IX h. 172 ditolak secarategas, suap dalam bentuk-bentuknya yang khusus dan dengantujuan apapun tetap haram sebab hadis mengenai risywahyang sangat terkenal itu tidak bisa ditakhsis kecuali dengan dalilyang maqbul (kuat dan bisa diterima), bukan sekedar denganperkiraan dan pertimbangan yang tidak mantap. Dalam hal inipenulis lebih setuju dengan al-Syaukani tanpa harus mengkritikpendapat jumhur ulama yang telah sepakat menghalalkanjenis risywah yang tujuannya untuk membela, menuntut danmemperjuangkan hak dan atau untuk menolak ketidakadilan.Sebab untuk konteks Indonesia saat ini, kalau mengikutipendapat jumhur ulama tersebut akan sangat rentan dengangagalnya pemerintah dalam memberantas praktek KKN dinegeri ini.

| 138

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Mereka inilah yang memiliki “ ” gaji tetap.Sedang pihak yang hanya memperoleh “ ”upah dari para pihak yang berperkara adalah parapengacara, advokat, dan konsultan-konsultanhukum.28

Pemisahan antara “ ” dan “ ” ini di-anggap penting agar para hakim yang telahmendapatkan “ ” gaji tetap dari APBN tidaklagi menuntut pemberian-pemberian tertentudari para pihak yang berperkara. Sebab pem-berian-pemberian semacam ini sangat rentanmenimbulkan praktek suap menyuap. Apalagikalau pihak “ ” pemberi suap berdalih denganadanya hak yang akan ia perjuangkan atau denganalasan menolak kezaliman dan ketidakadilan yangdirasakannya. Dalam kondisi seperti ini menurutpendapat para ulama, suap dengan tujuan mem-perjuangkan hak dan menolak ketidakadilan–bisadianggap benar serta tidak masuk dalam cakupanhadis yang mengharamkan suap.

Dari uraian tentang pengertian dan hukumrisywah di atas, bisa disimpulkan bahwa risywahatau suap adalah suatu pemberian yang diberikanseseorang kepada hakim, petugas atau pejabattertentu dengan suatu tujuan yang diinginkanoleh kedua belah pihak baik pemberi maupunpenerima pemberian tersebut. Dalam kasuspenyuapan, biasanya melibatkan tiga unsurutama yaitu pemberi suap (al-râsyî), penerimasuap (al-murtasyî) dan barang atau nilai yang

28 Para pengacara, advokat, dan konsultan-konsultanhukum yang biasanya tergabung dalam sebuah wadah LBHwalaupun mereka tidak mendapatkan “ ” atau gaji tetapdan tidak memiliki NIP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, namun darisisi income sangat boleh jadi penghasilan mereka jauh lebih

diserahterimakan dalam kasus suap. Namundemikian, tidak menutup kemungkinan dalamsuatu kasus suap juga melibatkan pihak keempatsebagai broker atau perantara antara pemberidan penerima suap. Broker atau perantara inidisebut dengan al-râisy.

Hukum perbuatan risywah disepakati olehpara ulama adalah haram, khususnya risywah yangterdapat unsur membenarkan yang salah dan ataumenyalahkan yang mestinya benar. Akan tetapipara ulama menganggap halal sebuah bentuksuap yang dilakukan dalam rangka menuntut ataumemperjuangkan hak yang mestinya diterima olehpihak pemberi suap atau dalam rangka menolakkezaliman, kemudaratan dan ketidakadilan yangdirasakan oleh pemberi suap. Hanya saja, penulistetap menganggap bahwa dalam bentuk sepertiini pun suap tetap tidak baik dilakukan apalagidalam suasana bangsa Indonesia yang sedangberusaha keras memberantas praktek korupsi,kolusi dan nepotisme yang pengaruhnya sangatmerusak seluruh tatanan kehidupan bangsa. Miripdengan suap, sogok atau gratifikasi sebagaiterjemahan dari risywah ini adalah hadiah. Olehsebab itu, hadiah merupakan salah satu jenis ataubentuk sogok, khususnya jika diberikan kepadapegawai, petugas, pejabat apalagi kepada hakim.

Klasifikasi GratifikasiPada uraian sebelumnya telah dikemukakan

bahwa setidaknya gratifikasi atau risywah, suap,ada yang disepakati oleh para ulama haramhukumnya dan ada yang disepakati halal hukum-nya.29 Risywah yang disepakati haram hukumnyaoleh para ulama adalah risywah yang dilakukandengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan

besar--sekalipun bersifat temporer--daripada hakim atau jaksapenuntut umum yang memiliki NIP dan mendapatkan “ ”dari APBN. Apalagi bagi para praktisi kondang dan senior sepertiAdnan Buyung Nasution, OC Kaligis, Todung Mulya Lubis, M.Assegaf dan advokat serta konsultan-konsultan hukum yang lain.Ketimpangan jumlah penghasilan antara pengacara dan hakim initerkadang berakibat adanya kecemburuan sosial antar mereka.Hal ini tentu sangat rentan terhadap timbulnya praktek sogokmenyogok di dalam proses acara pengadilan. Sehingga adanyagagasan untuk menaikkan gaji dan tunjangan hakim, mengingatadanya fenomena-fenomena seperti ini sangat bisa dimengerti.Karena itu wajar jika 245 tahun yang lalu al-Shan`ânî mengatakanbahwa: “ ” meng-angkat hakim yang sudah kaya lebih baik daripada mengangkathakim yang miskin, agar tidak gampang disuap. Apakah hal inibisa menjamin? , belum tentu.

29 Jenis suap yang oleh para ulama dinyatakan halal inioleh as-Syaukani dalam Nail al-Autâr, jilid IX h. 172 ditolak secarategas, suap dalam bentuk-bentuknya yang khusus dan dengantujuan apapun tetap haram sebab hadis mengenai risywahyang sangat terkenal itu tidak bisa ditakhsis kecuali dengan dalilyang maqbul (kuat dan bisa diterima), bukan sekedar denganperkiraan dan pertimbangan yang tidak mantap. Dalam hal inipenulis lebih setuju dengan al-Syaukani tanpa harus mengkritikpendapat jumhur ulama yang telah sepakat menghalalkanjenis risywah yang tujuannya untuk membela, menuntut danmemperjuangkan hak dan atau untuk menolak ketidakadilan.Sebab untuk konteks Indonesia saat ini, kalau mengikutipendapat jumhur ulama tersebut akan sangat rentan dengangagalnya pemerintah dalam memberantas praktek KKN dinegeri ini.

| 138

(

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

menyalahkan yang mestinya benar atau dengankata lain suap yang hukumnya haram adalah suapyang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinyamenang dan memenangkan pihak yang mestinyakalah. Sedangkan suap yang dinyatakan olehmayoritas ulama hukumnya halal adalah suapyang dilakukan dengan tujuan untuk menuntutatau memperjuangkan hak yang mestinya diterimaoleh pemberi suap ( ) atau untuk menolakkemudaratan, kezaliman dan ketidakadilan yangdirasakan oleh pihak pemberi suap tersebut.

Pembagian dua jenis suap yang haram dansuap yang halal ini memang tidak secara eksplisitbisa ditemukan dalam berbagai uraian paraulama, sebab haram atau halalnya suap sangattergantung pada niat dan motifasi penyuap ketikamemberikan suapnya kepada penerima, sehinggaada yang hanya dianggap halal bagi penyuaptetapi tetap haram bagi petugas, pegawai atauhakim sebagai pihak penerima ( ). Di antaraulama yang menjelaskan secara mendetail per-soalan ini adalah Ibnu Taimiyyah.30 Ibnu Taimiyyahmenjelaskan tentang alasan mengapa ada satujenis suap yang dianggap halal bagi pihakpemberi dan tetap saja haram bagi penerimasuap tersebut. Dalam beberapa referensi syarahhadis dan buku-buku fikih, alasan atau dalil ini

30 Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwasesungguhnya seseorang yang memberikan hadiah kepadapetugas agar dia melakukan untuknya sesuatu yang tidakdiperbolehkan adalah haram bagi pemberi hadiah danpenerimanya, karena hal ini termasuk suap yang disabdakanoleh Nabi saw. “Allah mengutuk penyuap dan penerimasuap” sedangkan jika seseorang memberi hadiah agarterhindar dari kezaliman atau agar mendapatkan hak yangwajib diberikan kepadanya maka hadiah semacam ini hanya

tidak penulis temukan, tetapi Ibnu Taimiyah dalamMajmû’ Fatâwânya mengutip sebuah hadis yangdiriyawatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahwaRasulullah pernah memberikan sejumlah uangkepada orang yang selalu meminta-minta beliau. 31

Atas dasar hadis inilah muncul pendapattentang adanya salah satu bentuk suap yangbisa dibenarkan, yaitu suap yang dilakukan olehseseorang dengan tujuan agar bisa memperolehhak yang mestinya ia terima atau dalam rangkamenolak kemudaratan, ketidakadilan dan ke-zaliman yang mengancam atau mengganggudiri pelaku. Dalam kasus yang dialami Rasulullahsaw sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad diatas adalah rasa ketidaknyamanan Nabi saw atastindakan seseorang yang selalu meminta-mintakepada beliau. Sangat boleh jadi orang-orangyang meminta kepada beliau itu sedikit memaksadan tanpa ada rasa malu, maka akibatnya beliausangat merasa terganggu sehingga beliau berikandua dinar, menurut informasi yang didengarUmar melalui seseorang dan ternyata setelahdikonfirmasi kepada Nabi saw beliau beritahubukan hanya 2 dinar, melainkan sejumlah besaruang 10 sampai dengan 100 dinar bahkan terdapatriwayat bahwa uang yang beliau berikan itusejumlah 10 sampai 100 atau 200 dinar, memangdalam hal ini perawi yang ragu tentang jumlahpersisnya.

Melalui hadis ini, secara jelas bisa dipahamibahwa tampaknya Rasulullah saw sudah bosanbahkan telah muak dengan ulah tukang palak yangterus meminta beliau dengan sedikit memaksa. Disini kemudian beliau memberikan sejumlah harta

haram bagi penerima ) tetapi boleh / halal bagi pemberikalau dia telah memberikan hadiah tersebut kepadanya,sebagaimana Nabi saw pernah bersabda: sesungguhnyasaya akan memberikan kepada salah seorang mereka sebuahpemberian maka akan keluar dari bagian bawah ketiaknyasebuah api ketika itu ditanyakan kepada beliau, wahaiRasulullah mengapa engkau memberikan (sesuatu) kepadamereka? beliau menjawab, mereka enggan (tidak bosan-bosanakan terus meminta) padahal Allah tidak berkenan kalau sayabersifat bakhil. Imâm Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnyajilid III h. 4 memberikan penjelasan kata “ ” ini dengankalimat “ ” yaitu bagian bawah ketiaknyaakan mengeluarkan api. Hal ini sebagai kecaman bahwa sikapmeminta-minta dengan cara memaksa dan dengan gayatukang palak ( ) ini merupakan perbuatanbiadab dan sangat tercela. Lihat Abdurrahmân ibn Qâsimal-Âsimî al-Najdî al-Hanbalî (ed.), Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid XXI, h. 286.

31 Riwayat tersebut adalah sebagai berikut ,“Dari AbuSa`id al-Khudriy, dia berkata Umar berkata, wahai Rasulullahsungguh saya mendengar Fulan dan Fulan berbuat baik denganpujian sambil keduanya bercerita sesungguhnya engkaumemberikan dua dinar. Umar berkata, Nabi saw bersabda, akantetapi demi Allah si Fulan bukanlah demikian itu, saya sungguhtelah memberikannya sepuluh sampai seratus, apa yang diaucapkan bukan seperti itu. Demi Allah, sesungguhnya salahseorang di antara kalian pasti akan keluar (bangkit) denganmembawa barang yang diminta dari sisiku pada bagian bawahketiaknya, maksudnya di bawah ketiaknya akan mengeluarkanapi. Umar bertanya, wahai Rasulullah mengapa engkau berikanuang itu kepada mereka ? Rasulullah menjawab, apa yang sayalakukan itu tidak akan membuat mereka bosan, tetapi merekaakan terus meminta, sedangkan Allah tidak berkenan jika sayamemiliki sifat bakhil “(HR. Ahmad). Lihat Ahmad ibn Hanbal,Musnad Ahmad, jilid III, h. 4.

139 |

(

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

menyalahkan yang mestinya benar atau dengankata lain suap yang hukumnya haram adalah suapyang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinyamenang dan memenangkan pihak yang mestinyakalah. Sedangkan suap yang dinyatakan olehmayoritas ulama hukumnya halal adalah suapyang dilakukan dengan tujuan untuk menuntutatau memperjuangkan hak yang mestinya diterimaoleh pemberi suap ( ) atau untuk menolakkemudaratan, kezaliman dan ketidakadilan yangdirasakan oleh pihak pemberi suap tersebut.

Pembagian dua jenis suap yang haram dansuap yang halal ini memang tidak secara eksplisitbisa ditemukan dalam berbagai uraian paraulama, sebab haram atau halalnya suap sangattergantung pada niat dan motifasi penyuap ketikamemberikan suapnya kepada penerima, sehinggaada yang hanya dianggap halal bagi penyuaptetapi tetap haram bagi petugas, pegawai atauhakim sebagai pihak penerima ( ). Di antaraulama yang menjelaskan secara mendetail per-soalan ini adalah Ibnu Taimiyyah.30 Ibnu Taimiyyahmenjelaskan tentang alasan mengapa ada satujenis suap yang dianggap halal bagi pihakpemberi dan tetap saja haram bagi penerimasuap tersebut. Dalam beberapa referensi syarahhadis dan buku-buku fikih, alasan atau dalil ini

30 Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwasesungguhnya seseorang yang memberikan hadiah kepadapetugas agar dia melakukan untuknya sesuatu yang tidakdiperbolehkan adalah haram bagi pemberi hadiah danpenerimanya, karena hal ini termasuk suap yang disabdakanoleh Nabi saw. “Allah mengutuk penyuap dan penerimasuap” sedangkan jika seseorang memberi hadiah agarterhindar dari kezaliman atau agar mendapatkan hak yangwajib diberikan kepadanya maka hadiah semacam ini hanya

tidak penulis temukan, tetapi Ibnu Taimiyah dalamMajmû’ Fatâwânya mengutip sebuah hadis yangdiriyawatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahwaRasulullah pernah memberikan sejumlah uangkepada orang yang selalu meminta-minta beliau. 31

Atas dasar hadis inilah muncul pendapattentang adanya salah satu bentuk suap yangbisa dibenarkan, yaitu suap yang dilakukan olehseseorang dengan tujuan agar bisa memperolehhak yang mestinya ia terima atau dalam rangkamenolak kemudaratan, ketidakadilan dan ke-zaliman yang mengancam atau mengganggudiri pelaku. Dalam kasus yang dialami Rasulullahsaw sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad diatas adalah rasa ketidaknyamanan Nabi saw atastindakan seseorang yang selalu meminta-mintakepada beliau. Sangat boleh jadi orang-orangyang meminta kepada beliau itu sedikit memaksadan tanpa ada rasa malu, maka akibatnya beliausangat merasa terganggu sehingga beliau berikandua dinar, menurut informasi yang didengarUmar melalui seseorang dan ternyata setelahdikonfirmasi kepada Nabi saw beliau beritahubukan hanya 2 dinar, melainkan sejumlah besaruang 10 sampai dengan 100 dinar bahkan terdapatriwayat bahwa uang yang beliau berikan itusejumlah 10 sampai 100 atau 200 dinar, memangdalam hal ini perawi yang ragu tentang jumlahpersisnya.

Melalui hadis ini, secara jelas bisa dipahamibahwa tampaknya Rasulullah saw sudah bosanbahkan telah muak dengan ulah tukang palak yangterus meminta beliau dengan sedikit memaksa. Disini kemudian beliau memberikan sejumlah harta

haram bagi penerima ) tetapi boleh / halal bagi pemberikalau dia telah memberikan hadiah tersebut kepadanya,sebagaimana Nabi saw pernah bersabda: sesungguhnyasaya akan memberikan kepada salah seorang mereka sebuahpemberian maka akan keluar dari bagian bawah ketiaknyasebuah api ketika itu ditanyakan kepada beliau, wahaiRasulullah mengapa engkau memberikan (sesuatu) kepadamereka? beliau menjawab, mereka enggan (tidak bosan-bosanakan terus meminta) padahal Allah tidak berkenan kalau sayabersifat bakhil. Imâm Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnyajilid III h. 4 memberikan penjelasan kata “ ” ini dengankalimat “ ” yaitu bagian bawah ketiaknyaakan mengeluarkan api. Hal ini sebagai kecaman bahwa sikapmeminta-minta dengan cara memaksa dan dengan gayatukang palak ( ) ini merupakan perbuatanbiadab dan sangat tercela. Lihat Abdurrahmân ibn Qâsimal-Âsimî al-Najdî al-Hanbalî (ed.), Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid XXI, h. 286.

31 Riwayat tersebut adalah sebagai berikut ,“Dari AbuSa`id al-Khudriy, dia berkata Umar berkata, wahai Rasulullahsungguh saya mendengar Fulan dan Fulan berbuat baik denganpujian sambil keduanya bercerita sesungguhnya engkaumemberikan dua dinar. Umar berkata, Nabi saw bersabda, akantetapi demi Allah si Fulan bukanlah demikian itu, saya sungguhtelah memberikannya sepuluh sampai seratus, apa yang diaucapkan bukan seperti itu. Demi Allah, sesungguhnya salahseorang di antara kalian pasti akan keluar (bangkit) denganmembawa barang yang diminta dari sisiku pada bagian bawahketiaknya, maksudnya di bawah ketiaknya akan mengeluarkanapi. Umar bertanya, wahai Rasulullah mengapa engkau berikanuang itu kepada mereka ? Rasulullah menjawab, apa yang sayalakukan itu tidak akan membuat mereka bosan, tetapi merekaakan terus meminta, sedangkan Allah tidak berkenan jika sayamemiliki sifat bakhil “(HR. Ahmad). Lihat Ahmad ibn Hanbal,Musnad Ahmad, jilid III, h. 4.

139 |

(

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

menyalahkan yang mestinya benar atau dengankata lain suap yang hukumnya haram adalah suapyang akibatnya mengalahkan pihak yang mestinyamenang dan memenangkan pihak yang mestinyakalah. Sedangkan suap yang dinyatakan olehmayoritas ulama hukumnya halal adalah suapyang dilakukan dengan tujuan untuk menuntutatau memperjuangkan hak yang mestinya diterimaoleh pemberi suap ( ) atau untuk menolakkemudaratan, kezaliman dan ketidakadilan yangdirasakan oleh pihak pemberi suap tersebut.

Pembagian dua jenis suap yang haram dansuap yang halal ini memang tidak secara eksplisitbisa ditemukan dalam berbagai uraian paraulama, sebab haram atau halalnya suap sangattergantung pada niat dan motifasi penyuap ketikamemberikan suapnya kepada penerima, sehinggaada yang hanya dianggap halal bagi penyuaptetapi tetap haram bagi petugas, pegawai atauhakim sebagai pihak penerima ( ). Di antaraulama yang menjelaskan secara mendetail per-soalan ini adalah Ibnu Taimiyyah.30 Ibnu Taimiyyahmenjelaskan tentang alasan mengapa ada satujenis suap yang dianggap halal bagi pihakpemberi dan tetap saja haram bagi penerimasuap tersebut. Dalam beberapa referensi syarahhadis dan buku-buku fikih, alasan atau dalil ini

30 Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwasesungguhnya seseorang yang memberikan hadiah kepadapetugas agar dia melakukan untuknya sesuatu yang tidakdiperbolehkan adalah haram bagi pemberi hadiah danpenerimanya, karena hal ini termasuk suap yang disabdakanoleh Nabi saw. “Allah mengutuk penyuap dan penerimasuap” sedangkan jika seseorang memberi hadiah agarterhindar dari kezaliman atau agar mendapatkan hak yangwajib diberikan kepadanya maka hadiah semacam ini hanya

tidak penulis temukan, tetapi Ibnu Taimiyah dalamMajmû’ Fatâwânya mengutip sebuah hadis yangdiriyawatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal bahwaRasulullah pernah memberikan sejumlah uangkepada orang yang selalu meminta-minta beliau. 31

Atas dasar hadis inilah muncul pendapattentang adanya salah satu bentuk suap yangbisa dibenarkan, yaitu suap yang dilakukan olehseseorang dengan tujuan agar bisa memperolehhak yang mestinya ia terima atau dalam rangkamenolak kemudaratan, ketidakadilan dan ke-zaliman yang mengancam atau mengganggudiri pelaku. Dalam kasus yang dialami Rasulullahsaw sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad diatas adalah rasa ketidaknyamanan Nabi saw atastindakan seseorang yang selalu meminta-mintakepada beliau. Sangat boleh jadi orang-orangyang meminta kepada beliau itu sedikit memaksadan tanpa ada rasa malu, maka akibatnya beliausangat merasa terganggu sehingga beliau berikandua dinar, menurut informasi yang didengarUmar melalui seseorang dan ternyata setelahdikonfirmasi kepada Nabi saw beliau beritahubukan hanya 2 dinar, melainkan sejumlah besaruang 10 sampai dengan 100 dinar bahkan terdapatriwayat bahwa uang yang beliau berikan itusejumlah 10 sampai 100 atau 200 dinar, memangdalam hal ini perawi yang ragu tentang jumlahpersisnya.

Melalui hadis ini, secara jelas bisa dipahamibahwa tampaknya Rasulullah saw sudah bosanbahkan telah muak dengan ulah tukang palak yangterus meminta beliau dengan sedikit memaksa. Disini kemudian beliau memberikan sejumlah harta

haram bagi penerima ) tetapi boleh / halal bagi pemberikalau dia telah memberikan hadiah tersebut kepadanya,sebagaimana Nabi saw pernah bersabda: sesungguhnyasaya akan memberikan kepada salah seorang mereka sebuahpemberian maka akan keluar dari bagian bawah ketiaknyasebuah api ketika itu ditanyakan kepada beliau, wahaiRasulullah mengapa engkau memberikan (sesuatu) kepadamereka? beliau menjawab, mereka enggan (tidak bosan-bosanakan terus meminta) padahal Allah tidak berkenan kalau sayabersifat bakhil. Imâm Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnyajilid III h. 4 memberikan penjelasan kata “ ” ini dengankalimat “ ” yaitu bagian bawah ketiaknyaakan mengeluarkan api. Hal ini sebagai kecaman bahwa sikapmeminta-minta dengan cara memaksa dan dengan gayatukang palak ( ) ini merupakan perbuatanbiadab dan sangat tercela. Lihat Abdurrahmân ibn Qâsimal-Âsimî al-Najdî al-Hanbalî (ed.), Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid XXI, h. 286.

31 Riwayat tersebut adalah sebagai berikut ,“Dari AbuSa`id al-Khudriy, dia berkata Umar berkata, wahai Rasulullahsungguh saya mendengar Fulan dan Fulan berbuat baik denganpujian sambil keduanya bercerita sesungguhnya engkaumemberikan dua dinar. Umar berkata, Nabi saw bersabda, akantetapi demi Allah si Fulan bukanlah demikian itu, saya sungguhtelah memberikannya sepuluh sampai seratus, apa yang diaucapkan bukan seperti itu. Demi Allah, sesungguhnya salahseorang di antara kalian pasti akan keluar (bangkit) denganmembawa barang yang diminta dari sisiku pada bagian bawahketiaknya, maksudnya di bawah ketiaknya akan mengeluarkanapi. Umar bertanya, wahai Rasulullah mengapa engkau berikanuang itu kepada mereka ? Rasulullah menjawab, apa yang sayalakukan itu tidak akan membuat mereka bosan, tetapi merekaakan terus meminta, sedangkan Allah tidak berkenan jika sayamemiliki sifat bakhil “(HR. Ahmad). Lihat Ahmad ibn Hanbal,Musnad Ahmad, jilid III, h. 4.

139 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

agar beliau terhindar dari kezalimannya dan agarbeliau bisa mendapatkan hak beliau untuk hiduptenang tanpa diganggu oleh peminta-minta yangtelah sangat mengganggu beliau.

Sanksi Hukum bagi Pelaku GratifikasiAdapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi

pelaku gratifikasi atau risywah, tampaknya tidakjauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelakughulûl atau penggelapan yaitu hukuman takzir,sebab keduanya memang tidak termasuk dalamranah kisas dan hudud. Dalam hal ini, AbdullahMuhsin al-Tariqi mengemukakan bahwa sanksihukum pelaku tindak pidana gratifikasi tidak di-sebutkan secara jelas oleh Syariat (Allah danRasul/Alquran dan hadis) mengingat sanksi tindakpidana risywah masuk dalam kategori sanksi-sanksitakzir yang kompetensinya ada di tangan hakim.Untuk menentukan jenis sanksi, tentu harus sesuaidengan kaidah-kaidah hukum Islam yang sejalandengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidupbermasyarakat, sehingga berat dan ringannya sanksihukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidanayang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan dimana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan denganmotivasi-motivasi yang mendorong sebuah tindakpidana dilakukan. Intinya bahwa risywah masukdalam kategori tindak pidana takzir” 32

Dalam beberapa hadis tentang risywah,memang disebutkan dengan pernyataan

atau dengan

”(Allah melaknat penyuap dan penerima suap ataudengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuapdan penerimanya). Meskipun para pihak yang terlibatdalam jarimah risywah dinyatakan terlaknat atauterkutuk, yang akibatnya risywah dikategorikanke dalam daftar dosa-dosa besar.33 Namun, karenatidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tatacara menjatuhkan sanksi, maka risywah dimasukkandalam kelompok tindak pidana takzir. Abdul AzizAmir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana risywah ini tidakdisebutkan jenis sanksi yang telah ditentukan, makasanksi yang diberlakukan adalah hukuman takzir 34

32 al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,h. 113.

33 al-Dzahabî, Kitâb al-Kabâ`ir, h. 11134 `Abdul `Azîz Amîr, al-Ta’zîr fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, h. 265.

Sanksi takzir bagi pelaku tindak pidanarisywah ini lebih lanjut dijelaskan oleh al-Tariqi bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah/tindak pidana risywah merupakan konsekwensidari sikap melawan hukum Islam dan sebagaikonsekwensi dari sikap menentang/bermaksiatkepada Allah. Oleh sebab itu, harus diberisanksi tegas yang sesuai dan mengandung(unsur yang bertujuan) untuk menyelamatkanorang banyak dari kejahatan para pelaku tindakpidana, untuk membersihkan masyarakat daripara penjahat, lebih-lebih budaya suap menyuaptermasuk salah satu dari jenis-jenis kemungkaranyang harus diberantas dari sebuah komunitasmasyarakat, sebagaimana sabda Rasulullahsaw, “siapa salah seorang dari kalian melihatkemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itudengan tangannya…” (HR. Muslim, al-Tirmizî,al-Nasâ’î dan Ahmad). Mengubah kemungkarandengan tangan sebagaimana perintah dalamhadis ini pada dasarnya merupakan tugas yangterletak di pundak pemerintah dan instansi yangberwenang untuk mengubah kemungkaran ini” .35

Pernyataan al-Tarîqî ini memang sangatlogis, yaitu bahwa kemungkaran-kemungkaranyang terjadi di masyarakat apalagi kemungkarankolektif seperti problem suap-menyuap yangmerupakan salah satu bentuk korupsi di Indonesiaharus ditangani langsung oleh pemerintah bekerjasama dengan semua komponen bangsa. Sebabtidak mungkin individu-individu tertentu akanberusaha memberantas tradisi korupsi yang terjadidi hampir semua lini dan sektor kehidupan ini.Upaya pemerintah selama ini bukan hanya di masareformasi, bahkan sejak era orde lama dan ordebaru berbagai peraturan dan sederet undang-undang telah bermunculan untuk berupayamemberantas korupsi ini, tetapi seperti yangbisa dilihat hasilnya masih belum memuaskan.

Wacana Hukuman Mati Bagi Ketua MKsebagai Penerima Gratifikasi

Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptorini sudah secara eksplisit disebutkan dalampasal 2 ayat (2) UU no 31 Tahun 1999 tentang

35 al- Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,h. 113.

| 140

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

agar beliau terhindar dari kezalimannya dan agarbeliau bisa mendapatkan hak beliau untuk hiduptenang tanpa diganggu oleh peminta-minta yangtelah sangat mengganggu beliau.

Sanksi Hukum bagi Pelaku GratifikasiAdapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi

pelaku gratifikasi atau risywah, tampaknya tidakjauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelakughulûl atau penggelapan yaitu hukuman takzir,sebab keduanya memang tidak termasuk dalamranah kisas dan hudud. Dalam hal ini, AbdullahMuhsin al-Tariqi mengemukakan bahwa sanksihukum pelaku tindak pidana gratifikasi tidak di-sebutkan secara jelas oleh Syariat (Allah danRasul/Alquran dan hadis) mengingat sanksi tindakpidana risywah masuk dalam kategori sanksi-sanksitakzir yang kompetensinya ada di tangan hakim.Untuk menentukan jenis sanksi, tentu harus sesuaidengan kaidah-kaidah hukum Islam yang sejalandengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidupbermasyarakat, sehingga berat dan ringannya sanksihukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidanayang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan dimana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan denganmotivasi-motivasi yang mendorong sebuah tindakpidana dilakukan. Intinya bahwa risywah masukdalam kategori tindak pidana takzir” 32

Dalam beberapa hadis tentang risywah,memang disebutkan dengan pernyataan

atau dengan

”(Allah melaknat penyuap dan penerima suap ataudengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuapdan penerimanya). Meskipun para pihak yang terlibatdalam jarimah risywah dinyatakan terlaknat atauterkutuk, yang akibatnya risywah dikategorikanke dalam daftar dosa-dosa besar.33 Namun, karenatidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tatacara menjatuhkan sanksi, maka risywah dimasukkandalam kelompok tindak pidana takzir. Abdul AzizAmir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana risywah ini tidakdisebutkan jenis sanksi yang telah ditentukan, makasanksi yang diberlakukan adalah hukuman takzir 34

32 al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,h. 113.

33 al-Dzahabî, Kitâb al-Kabâ`ir, h. 11134 `Abdul `Azîz Amîr, al-Ta’zîr fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, h. 265.

Sanksi takzir bagi pelaku tindak pidanarisywah ini lebih lanjut dijelaskan oleh al-Tariqi bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah/tindak pidana risywah merupakan konsekwensidari sikap melawan hukum Islam dan sebagaikonsekwensi dari sikap menentang/bermaksiatkepada Allah. Oleh sebab itu, harus diberisanksi tegas yang sesuai dan mengandung(unsur yang bertujuan) untuk menyelamatkanorang banyak dari kejahatan para pelaku tindakpidana, untuk membersihkan masyarakat daripara penjahat, lebih-lebih budaya suap menyuaptermasuk salah satu dari jenis-jenis kemungkaranyang harus diberantas dari sebuah komunitasmasyarakat, sebagaimana sabda Rasulullahsaw, “siapa salah seorang dari kalian melihatkemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itudengan tangannya…” (HR. Muslim, al-Tirmizî,al-Nasâ’î dan Ahmad). Mengubah kemungkarandengan tangan sebagaimana perintah dalamhadis ini pada dasarnya merupakan tugas yangterletak di pundak pemerintah dan instansi yangberwenang untuk mengubah kemungkaran ini” .35

Pernyataan al-Tarîqî ini memang sangatlogis, yaitu bahwa kemungkaran-kemungkaranyang terjadi di masyarakat apalagi kemungkarankolektif seperti problem suap-menyuap yangmerupakan salah satu bentuk korupsi di Indonesiaharus ditangani langsung oleh pemerintah bekerjasama dengan semua komponen bangsa. Sebabtidak mungkin individu-individu tertentu akanberusaha memberantas tradisi korupsi yang terjadidi hampir semua lini dan sektor kehidupan ini.Upaya pemerintah selama ini bukan hanya di masareformasi, bahkan sejak era orde lama dan ordebaru berbagai peraturan dan sederet undang-undang telah bermunculan untuk berupayamemberantas korupsi ini, tetapi seperti yangbisa dilihat hasilnya masih belum memuaskan.

Wacana Hukuman Mati Bagi Ketua MKsebagai Penerima Gratifikasi

Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptorini sudah secara eksplisit disebutkan dalampasal 2 ayat (2) UU no 31 Tahun 1999 tentang

35 al- Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,h. 113.

| 140

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

agar beliau terhindar dari kezalimannya dan agarbeliau bisa mendapatkan hak beliau untuk hiduptenang tanpa diganggu oleh peminta-minta yangtelah sangat mengganggu beliau.

Sanksi Hukum bagi Pelaku GratifikasiAdapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi

pelaku gratifikasi atau risywah, tampaknya tidakjauh berbeda dengan sanksi hukum bagi pelakughulûl atau penggelapan yaitu hukuman takzir,sebab keduanya memang tidak termasuk dalamranah kisas dan hudud. Dalam hal ini, AbdullahMuhsin al-Tariqi mengemukakan bahwa sanksihukum pelaku tindak pidana gratifikasi tidak di-sebutkan secara jelas oleh Syariat (Allah danRasul/Alquran dan hadis) mengingat sanksi tindakpidana risywah masuk dalam kategori sanksi-sanksitakzir yang kompetensinya ada di tangan hakim.Untuk menentukan jenis sanksi, tentu harus sesuaidengan kaidah-kaidah hukum Islam yang sejalandengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidupbermasyarakat, sehingga berat dan ringannya sanksihukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidanayang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan dimana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan denganmotivasi-motivasi yang mendorong sebuah tindakpidana dilakukan. Intinya bahwa risywah masukdalam kategori tindak pidana takzir” 32

Dalam beberapa hadis tentang risywah,memang disebutkan dengan pernyataan

atau dengan

”(Allah melaknat penyuap dan penerima suap ataudengan pernyataan lain laknat Allah atas penyuapdan penerimanya). Meskipun para pihak yang terlibatdalam jarimah risywah dinyatakan terlaknat atauterkutuk, yang akibatnya risywah dikategorikanke dalam daftar dosa-dosa besar.33 Namun, karenatidak ada ketentuan tegas tentang jenis dan tatacara menjatuhkan sanksi, maka risywah dimasukkandalam kelompok tindak pidana takzir. Abdul AzizAmir mengatakan bahwa oleh karena dalam teks-teks dalil tentang tindak pidana risywah ini tidakdisebutkan jenis sanksi yang telah ditentukan, makasanksi yang diberlakukan adalah hukuman takzir 34

32 al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,h. 113.

33 al-Dzahabî, Kitâb al-Kabâ`ir, h. 11134 `Abdul `Azîz Amîr, al-Ta’zîr fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, h. 265.

Sanksi takzir bagi pelaku tindak pidanarisywah ini lebih lanjut dijelaskan oleh al-Tariqi bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah/tindak pidana risywah merupakan konsekwensidari sikap melawan hukum Islam dan sebagaikonsekwensi dari sikap menentang/bermaksiatkepada Allah. Oleh sebab itu, harus diberisanksi tegas yang sesuai dan mengandung(unsur yang bertujuan) untuk menyelamatkanorang banyak dari kejahatan para pelaku tindakpidana, untuk membersihkan masyarakat daripara penjahat, lebih-lebih budaya suap menyuaptermasuk salah satu dari jenis-jenis kemungkaranyang harus diberantas dari sebuah komunitasmasyarakat, sebagaimana sabda Rasulullahsaw, “siapa salah seorang dari kalian melihatkemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itudengan tangannya…” (HR. Muslim, al-Tirmizî,al-Nasâ’î dan Ahmad). Mengubah kemungkarandengan tangan sebagaimana perintah dalamhadis ini pada dasarnya merupakan tugas yangterletak di pundak pemerintah dan instansi yangberwenang untuk mengubah kemungkaran ini” .35

Pernyataan al-Tarîqî ini memang sangatlogis, yaitu bahwa kemungkaran-kemungkaranyang terjadi di masyarakat apalagi kemungkarankolektif seperti problem suap-menyuap yangmerupakan salah satu bentuk korupsi di Indonesiaharus ditangani langsung oleh pemerintah bekerjasama dengan semua komponen bangsa. Sebabtidak mungkin individu-individu tertentu akanberusaha memberantas tradisi korupsi yang terjadidi hampir semua lini dan sektor kehidupan ini.Upaya pemerintah selama ini bukan hanya di masareformasi, bahkan sejak era orde lama dan ordebaru berbagai peraturan dan sederet undang-undang telah bermunculan untuk berupayamemberantas korupsi ini, tetapi seperti yangbisa dilihat hasilnya masih belum memuaskan.

Wacana Hukuman Mati Bagi Ketua MKsebagai Penerima Gratifikasi

Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptorini sudah secara eksplisit disebutkan dalampasal 2 ayat (2) UU no 31 Tahun 1999 tentang

35 al- Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fî al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,h. 113.

| 140

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Dalamrumusan pasal ini dikemukakan bahwa dalam haltindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkandalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan. Namun, penulisyakin bahwa hingga saat ini belum ada seorangkoruptor pun yang dituntut dengan pidana mati.Hal ini sangat penulis fahami karena para ahlihukum termasuk para penegak hukumnya masihbelum sepakat dan memiliki pemahaman yangbulat mengenai istilah “dalam keadaan tertentu”ini, sekalipun jika dicermati dalam penjelasanUU tersebut secara gamblang dijelaskan bahwayang dimaksud dengan “keadaan tertentu” inidimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelakutindak pidana korupsi apabila tindak pidanatersebut dilakukan pada waktu negara dalamkeadaan bahaya sesuai dengan undangundangyang berlaku, pada waktu terjadi bencana alamnasional, sebagai pengulangan tindak pidanakorupsi, atau pada waktu negara dalam keadaankrisis ekonomi dan moneter dan pengulangantindak pidana korupsi.

Para ahli hukum masih berdebat pada tataranmakna kata dalam keadaan tertentu bahkan masihada yang berusaha untuk mencermati kata “dapat”dalam rumusan pasal pidana mati bagi koruptorini. Kata dapat bersifak fakultatif, sehingga kalauseorang koruptor melakukan korupsi dalamkeadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati,

mati, para ulama berbeda pendapat. Perbedaanpendapat mereka bisa dikemukakan sebagaiberikut:

a. Menurut ulama Hanafiyah

Menurut mereka, hukuman mati sebagaitakzir bisa diberlakukan sebagai siyâsah(pertimbangan politik Negara) bagi pelakujarimah-jarimah tertentu yang sangat kejidan dilakukan secara berulang-ulang sertadengan pertimbangan kemaslahatan umumseperti terhadap pelaku pembunuhan denganbenda keras, pelaku sodomi dan terhadapseorang muslim yang berulang kali melakukanpenghinaan dan pelecehan terhadap NabiMuhammad saw.37 Demikian juga orang yangberulang kali mencuri, perampok, tukang sihirdan orang-orang zindiq,38 bahkan seseorangyang melakukan perselingkuhan dengan wanitalain yang tidak halal.39 Terhadap contoh terakhirtentang perselingkuhan, Abdul Muhsin at-Tariqimengatakan “ ” (walau tidakdiketahui secara pasti bahwa lelaki tersebutmelakukan perbuatan keji / berzina atau tidak).Tentu dalam masalah perselingkuhan ini akansangat sulit upaya pembuktiannya, sebabmenuduh berzina pihak lain tanpa bukti jugamerupakan jarimah.

b. Menurut sebagian ulama Syafi`iyah

Menurut mereka, hukuman mati sebagai

maka ia dapat pula tidak dijatuhi hukumanmati. Hal ini menunjukkan bahwa hukumanmati bagi koruptor seperti AM ini, sekalipuntelah mengakibatkan negara berguncang, jikamengacu pada rumusan pasal ini, maka dapat pulaia tidak dihukum mati. Oleh sebab itu, wacanahukuman mati ini mutlak diperlukan pembahasankomprehensif, simultan, mendalam dan seriusdengan melibatkan banyak pihak agar benar-benarbisa membawa kemashatan dan ketenteramansesuai dengan rasa keadilan masyarakat di negarakesatuan Republik Indonesia tercinta ini.

Hukuman mati sebagai takzir memang di-perbolehkan,36 tetapi dalam masalah penentuanjarimah apa yang layak diganjar dengan hukuman

36 Dalam masalah ini Abdul Qadîr Audah tampaknyasangat berat hati untuk mengatakan bahwa takzir boleh dalambentuk hukuman mati. Secara tegas ia mengatakan bahwa :

(Seyogyanya sanksi takzir bukan sanksi yang bersifat mematikan,maka dari itu takzir tidak boleh dalam bentuk hukuman matiatau pemotongan anggota tubuh pelaku. Tetapi mayoritasfukaha membolehkan sebagai pengecualian dari prinsip umumini, untuk menetapkan hukuman mati sebagai takzir, kalau akanmembawa kemaslahatan umum. Lihat Abdul Qadîr Audah, jilidI, h. 687 paragraf 480.

37 Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtâr `ala al-Durr al-Mukhtâr,Syarh Tanwîr al-Abshâr, (al-Qahirah: al-Maktabah al-Maimuniyyah, 1337 H), jilid IV, h. 62-64.

38 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 305-306, lihat juga IbnuTaimiyyah, Kitâb al-Siyâsah al-Syar`iyyah fi Islâhi al-Râ`î wa al-Ra`iyyah, (Beirut: Dâr al-Jail, 1988), Cet. ke 2, h. 99.

39 Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fi Syarî`ahal-Islâmiyyah ma`a Dirâsati Nizhâmi Muhafafah al-Risywah fi al-Mamlakah al-`Arabiyyah al-Su`ûdiyyah, (T.tp: t.pn, t.th), h. 25.

141 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Dalamrumusan pasal ini dikemukakan bahwa dalam haltindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkandalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan. Namun, penulisyakin bahwa hingga saat ini belum ada seorangkoruptor pun yang dituntut dengan pidana mati.Hal ini sangat penulis fahami karena para ahlihukum termasuk para penegak hukumnya masihbelum sepakat dan memiliki pemahaman yangbulat mengenai istilah “dalam keadaan tertentu”ini, sekalipun jika dicermati dalam penjelasanUU tersebut secara gamblang dijelaskan bahwayang dimaksud dengan “keadaan tertentu” inidimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelakutindak pidana korupsi apabila tindak pidanatersebut dilakukan pada waktu negara dalamkeadaan bahaya sesuai dengan undangundangyang berlaku, pada waktu terjadi bencana alamnasional, sebagai pengulangan tindak pidanakorupsi, atau pada waktu negara dalam keadaankrisis ekonomi dan moneter dan pengulangantindak pidana korupsi.

Para ahli hukum masih berdebat pada tataranmakna kata dalam keadaan tertentu bahkan masihada yang berusaha untuk mencermati kata “dapat”dalam rumusan pasal pidana mati bagi koruptorini. Kata dapat bersifak fakultatif, sehingga kalauseorang koruptor melakukan korupsi dalamkeadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati,

mati, para ulama berbeda pendapat. Perbedaanpendapat mereka bisa dikemukakan sebagaiberikut:

a. Menurut ulama Hanafiyah

Menurut mereka, hukuman mati sebagaitakzir bisa diberlakukan sebagai siyâsah(pertimbangan politik Negara) bagi pelakujarimah-jarimah tertentu yang sangat kejidan dilakukan secara berulang-ulang sertadengan pertimbangan kemaslahatan umumseperti terhadap pelaku pembunuhan denganbenda keras, pelaku sodomi dan terhadapseorang muslim yang berulang kali melakukanpenghinaan dan pelecehan terhadap NabiMuhammad saw.37 Demikian juga orang yangberulang kali mencuri, perampok, tukang sihirdan orang-orang zindiq,38 bahkan seseorangyang melakukan perselingkuhan dengan wanitalain yang tidak halal.39 Terhadap contoh terakhirtentang perselingkuhan, Abdul Muhsin at-Tariqimengatakan “ ” (walau tidakdiketahui secara pasti bahwa lelaki tersebutmelakukan perbuatan keji / berzina atau tidak).Tentu dalam masalah perselingkuhan ini akansangat sulit upaya pembuktiannya, sebabmenuduh berzina pihak lain tanpa bukti jugamerupakan jarimah.

b. Menurut sebagian ulama Syafi`iyah

Menurut mereka, hukuman mati sebagai

maka ia dapat pula tidak dijatuhi hukumanmati. Hal ini menunjukkan bahwa hukumanmati bagi koruptor seperti AM ini, sekalipuntelah mengakibatkan negara berguncang, jikamengacu pada rumusan pasal ini, maka dapat pulaia tidak dihukum mati. Oleh sebab itu, wacanahukuman mati ini mutlak diperlukan pembahasankomprehensif, simultan, mendalam dan seriusdengan melibatkan banyak pihak agar benar-benarbisa membawa kemashatan dan ketenteramansesuai dengan rasa keadilan masyarakat di negarakesatuan Republik Indonesia tercinta ini.

Hukuman mati sebagai takzir memang di-perbolehkan,36 tetapi dalam masalah penentuanjarimah apa yang layak diganjar dengan hukuman

36 Dalam masalah ini Abdul Qadîr Audah tampaknyasangat berat hati untuk mengatakan bahwa takzir boleh dalambentuk hukuman mati. Secara tegas ia mengatakan bahwa :

(Seyogyanya sanksi takzir bukan sanksi yang bersifat mematikan,maka dari itu takzir tidak boleh dalam bentuk hukuman matiatau pemotongan anggota tubuh pelaku. Tetapi mayoritasfukaha membolehkan sebagai pengecualian dari prinsip umumini, untuk menetapkan hukuman mati sebagai takzir, kalau akanmembawa kemaslahatan umum. Lihat Abdul Qadîr Audah, jilidI, h. 687 paragraf 480.

37 Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtâr `ala al-Durr al-Mukhtâr,Syarh Tanwîr al-Abshâr, (al-Qahirah: al-Maktabah al-Maimuniyyah, 1337 H), jilid IV, h. 62-64.

38 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 305-306, lihat juga IbnuTaimiyyah, Kitâb al-Siyâsah al-Syar`iyyah fi Islâhi al-Râ`î wa al-Ra`iyyah, (Beirut: Dâr al-Jail, 1988), Cet. ke 2, h. 99.

39 Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fi Syarî`ahal-Islâmiyyah ma`a Dirâsati Nizhâmi Muhafafah al-Risywah fi al-Mamlakah al-`Arabiyyah al-Su`ûdiyyah, (T.tp: t.pn, t.th), h. 25.

141 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Dalamrumusan pasal ini dikemukakan bahwa dalam haltindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkandalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan. Namun, penulisyakin bahwa hingga saat ini belum ada seorangkoruptor pun yang dituntut dengan pidana mati.Hal ini sangat penulis fahami karena para ahlihukum termasuk para penegak hukumnya masihbelum sepakat dan memiliki pemahaman yangbulat mengenai istilah “dalam keadaan tertentu”ini, sekalipun jika dicermati dalam penjelasanUU tersebut secara gamblang dijelaskan bahwayang dimaksud dengan “keadaan tertentu” inidimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelakutindak pidana korupsi apabila tindak pidanatersebut dilakukan pada waktu negara dalamkeadaan bahaya sesuai dengan undangundangyang berlaku, pada waktu terjadi bencana alamnasional, sebagai pengulangan tindak pidanakorupsi, atau pada waktu negara dalam keadaankrisis ekonomi dan moneter dan pengulangantindak pidana korupsi.

Para ahli hukum masih berdebat pada tataranmakna kata dalam keadaan tertentu bahkan masihada yang berusaha untuk mencermati kata “dapat”dalam rumusan pasal pidana mati bagi koruptorini. Kata dapat bersifak fakultatif, sehingga kalauseorang koruptor melakukan korupsi dalamkeadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati,

mati, para ulama berbeda pendapat. Perbedaanpendapat mereka bisa dikemukakan sebagaiberikut:

a. Menurut ulama Hanafiyah

Menurut mereka, hukuman mati sebagaitakzir bisa diberlakukan sebagai siyâsah(pertimbangan politik Negara) bagi pelakujarimah-jarimah tertentu yang sangat kejidan dilakukan secara berulang-ulang sertadengan pertimbangan kemaslahatan umumseperti terhadap pelaku pembunuhan denganbenda keras, pelaku sodomi dan terhadapseorang muslim yang berulang kali melakukanpenghinaan dan pelecehan terhadap NabiMuhammad saw.37 Demikian juga orang yangberulang kali mencuri, perampok, tukang sihirdan orang-orang zindiq,38 bahkan seseorangyang melakukan perselingkuhan dengan wanitalain yang tidak halal.39 Terhadap contoh terakhirtentang perselingkuhan, Abdul Muhsin at-Tariqimengatakan “ ” (walau tidakdiketahui secara pasti bahwa lelaki tersebutmelakukan perbuatan keji / berzina atau tidak).Tentu dalam masalah perselingkuhan ini akansangat sulit upaya pembuktiannya, sebabmenuduh berzina pihak lain tanpa bukti jugamerupakan jarimah.

b. Menurut sebagian ulama Syafi`iyah

Menurut mereka, hukuman mati sebagai

maka ia dapat pula tidak dijatuhi hukumanmati. Hal ini menunjukkan bahwa hukumanmati bagi koruptor seperti AM ini, sekalipuntelah mengakibatkan negara berguncang, jikamengacu pada rumusan pasal ini, maka dapat pulaia tidak dihukum mati. Oleh sebab itu, wacanahukuman mati ini mutlak diperlukan pembahasankomprehensif, simultan, mendalam dan seriusdengan melibatkan banyak pihak agar benar-benarbisa membawa kemashatan dan ketenteramansesuai dengan rasa keadilan masyarakat di negarakesatuan Republik Indonesia tercinta ini.

Hukuman mati sebagai takzir memang di-perbolehkan,36 tetapi dalam masalah penentuanjarimah apa yang layak diganjar dengan hukuman

36 Dalam masalah ini Abdul Qadîr Audah tampaknyasangat berat hati untuk mengatakan bahwa takzir boleh dalambentuk hukuman mati. Secara tegas ia mengatakan bahwa :

(Seyogyanya sanksi takzir bukan sanksi yang bersifat mematikan,maka dari itu takzir tidak boleh dalam bentuk hukuman matiatau pemotongan anggota tubuh pelaku. Tetapi mayoritasfukaha membolehkan sebagai pengecualian dari prinsip umumini, untuk menetapkan hukuman mati sebagai takzir, kalau akanmembawa kemaslahatan umum. Lihat Abdul Qadîr Audah, jilidI, h. 687 paragraf 480.

37 Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtâr `ala al-Durr al-Mukhtâr,Syarh Tanwîr al-Abshâr, (al-Qahirah: al-Maktabah al-Maimuniyyah, 1337 H), jilid IV, h. 62-64.

38 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 305-306, lihat juga IbnuTaimiyyah, Kitâb al-Siyâsah al-Syar`iyyah fi Islâhi al-Râ`î wa al-Ra`iyyah, (Beirut: Dâr al-Jail, 1988), Cet. ke 2, h. 99.

39 Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah fi Syarî`ahal-Islâmiyyah ma`a Dirâsati Nizhâmi Muhafafah al-Risywah fi al-Mamlakah al-`Arabiyyah al-Su`ûdiyyah, (T.tp: t.pn, t.th), h. 25.

141 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

takzir bisa diberlakukan terhadap orangyang mengajak pihak lain berlaku bid`ah danpenyimpangan-penyimpangan agama yangbertentangan dengan Alquran dan hadis.Di kalangan ulama Syafi`iyah juga ada yangberpendapat bahwa pelaku sodomi harusdiganjar dengan hukuman mati sebagaitakzir, tanpa dibedakan antara pelaku sudahpernah menikah secara sah atau belum.40 Halini merupakan pendapat minoritas ulamaSyafi`iyah. Adapun pendapat mayoritas,mereka tetap tidak mengakui adanya hukumanmati sebagai takzir, sebagaimana dinyatakanAbdul Qadîr Audah sebagai berikut:

41

(Ulama-ulama kalangan Syafi`iyah dan tokoh-tokoh besar ulama kalangan Malikiyah tidakmemperbolehkan diberlakukannya hukumanmati sebagai takzir. Mereka cenderungmemilih untuk memperlama masa penahanan(penjara seumur hidup) bagi pelaku kejahatanyang bisa merusak dan membahayakansampai pada masa yang tidak ditentukan agarkriminalitasnya bisa ditahan/dicegah tidakmenyebar di masyarakat. Pendapat sepertiini diikuti oleh sebagian ulama Hanabilah).

Pernyataan Abdul Qadîr Audah ini tampak-nya cukup beralasan, sebab kalau memangmayoritas ulama Syafi`iyah memperbolehkanhukuman mati sebagai takzir, tentu dalamreferensi-referensi ulama mazhab Syafi`iseperti al-Majmû` karya Imam al-Nawawi,Kitâb al-Ahkâm al-Sulthâniyyah dan al-Hâwial-Kabîr, keduanya karya al-Mawardi akandisebutkan. Tetapi ternyata dalam ketigakitab itu tidak disinggung tentang hukumanmati sebagai takzir.

40 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th) h. 306, lihat juga Ibnu Taimiyyah,Kitab al-Siyâsah..., h. 99, Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî` al-Jinâ’ial-Islâmi Muqâranan bi al-Qânûn al-Wadh`i, (Beirut: Mu’assasahal-Risâlah, 1992), jilid II, h. 688.

41 Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ`î al-Islâmî, h. 688.

c. Menurut ulama kalangan Malikiyah.

Menurut mereka, hukuman mati sebagai takzirdiperbolehkan seperti hukuman mati bagi mata-mata perang yang beragama Islam dan berpihakkepada musuh.42 Tentang boleh dan tidaknyaseorang mata-mata perang yang merugikannegara Islam ini dihukum mati, Shâlih al-`Usaiminmengemukakan tiga pendapat. Pendapat yangpertama dihukum mati, pendapat kedua tidakdihukum mati, dan pendapat ketiga tawaqquf,tidak berpendapat. Menurutnya, pendapat yangtepat adalah pendapat yang pertama, bolehdibunuh. Alasannya adalah kasus Hatib binAbi Baltha`ah,43 jika bukan karena ia termasukpeserta perang Badar, pasti sudah dihukummati.44

Dalam masalah hukuman mati sebagaitakzir ini, Abdul Aziz Amir, mengatakan bahwakonon Imam Malik membolehkan hukumanmati diberlakukan kepada kaum Qadariahkarena fasad, bukan karena kemurtadanmereka.45

Dalam mengungkapkan pendapat ulamakalangan Malikiah tentang hukuman matisebagai takzir ini, Wahbah al-Zuhaili tidakmenyinggung tentang eksekusi mati bagigolongan Qadariah yang konon sebagaipendapat Imam Malik. Al-Zuhaili hanya me-ngatakan:

46

42 Ibnu Taimiyyah, Kitab al-Siyâsah…, h. 98, lihat jugaAbdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, (T.tp: Dâral-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 306, Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarimahal-Risywah fi Syari’ah…, h. 25.

43 Informasi lengkap dan data-data tentang kasus Hatibbin Balta’ah ini telah penulis kemukakan pada waktu membahasmasalah sanksi hukum pelaku khianat pada bab tiga bagian A.4,khianat. Ada baiknya pembaca menelaah ulang uraian penulispada bagian tersebut.

44 Muhammad Shâlih al-Usaimin, Syarh Kitab al-Siyâsah al-Syar`iyyah li Syaikh al-Islâmi Ibnu Taimiyyah, (Ttp : Dâr al-Kutub,2005), Cet. ke-1, h. 336-337.

45 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 306, lihat juga MuhammadShâlih al-Usaimin, Syarh Kitab al-Siyâsah…, h. 337.

46 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1997), Cet. ke-4, jilid VII, h. 5594-5595.

| 142

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

takzir bisa diberlakukan terhadap orangyang mengajak pihak lain berlaku bid`ah danpenyimpangan-penyimpangan agama yangbertentangan dengan Alquran dan hadis.Di kalangan ulama Syafi`iyah juga ada yangberpendapat bahwa pelaku sodomi harusdiganjar dengan hukuman mati sebagaitakzir, tanpa dibedakan antara pelaku sudahpernah menikah secara sah atau belum.40 Halini merupakan pendapat minoritas ulamaSyafi`iyah. Adapun pendapat mayoritas,mereka tetap tidak mengakui adanya hukumanmati sebagai takzir, sebagaimana dinyatakanAbdul Qadîr Audah sebagai berikut:

41

(Ulama-ulama kalangan Syafi`iyah dan tokoh-tokoh besar ulama kalangan Malikiyah tidakmemperbolehkan diberlakukannya hukumanmati sebagai takzir. Mereka cenderungmemilih untuk memperlama masa penahanan(penjara seumur hidup) bagi pelaku kejahatanyang bisa merusak dan membahayakansampai pada masa yang tidak ditentukan agarkriminalitasnya bisa ditahan/dicegah tidakmenyebar di masyarakat. Pendapat sepertiini diikuti oleh sebagian ulama Hanabilah).

Pernyataan Abdul Qadîr Audah ini tampak-nya cukup beralasan, sebab kalau memangmayoritas ulama Syafi`iyah memperbolehkanhukuman mati sebagai takzir, tentu dalamreferensi-referensi ulama mazhab Syafi`iseperti al-Majmû` karya Imam al-Nawawi,Kitâb al-Ahkâm al-Sulthâniyyah dan al-Hâwial-Kabîr, keduanya karya al-Mawardi akandisebutkan. Tetapi ternyata dalam ketigakitab itu tidak disinggung tentang hukumanmati sebagai takzir.

40 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th) h. 306, lihat juga Ibnu Taimiyyah,Kitab al-Siyâsah..., h. 99, Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî` al-Jinâ’ial-Islâmi Muqâranan bi al-Qânûn al-Wadh`i, (Beirut: Mu’assasahal-Risâlah, 1992), jilid II, h. 688.

41 Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ`î al-Islâmî, h. 688.

c. Menurut ulama kalangan Malikiyah.

Menurut mereka, hukuman mati sebagai takzirdiperbolehkan seperti hukuman mati bagi mata-mata perang yang beragama Islam dan berpihakkepada musuh.42 Tentang boleh dan tidaknyaseorang mata-mata perang yang merugikannegara Islam ini dihukum mati, Shâlih al-`Usaiminmengemukakan tiga pendapat. Pendapat yangpertama dihukum mati, pendapat kedua tidakdihukum mati, dan pendapat ketiga tawaqquf,tidak berpendapat. Menurutnya, pendapat yangtepat adalah pendapat yang pertama, bolehdibunuh. Alasannya adalah kasus Hatib binAbi Baltha`ah,43 jika bukan karena ia termasukpeserta perang Badar, pasti sudah dihukummati.44

Dalam masalah hukuman mati sebagaitakzir ini, Abdul Aziz Amir, mengatakan bahwakonon Imam Malik membolehkan hukumanmati diberlakukan kepada kaum Qadariahkarena fasad, bukan karena kemurtadanmereka.45

Dalam mengungkapkan pendapat ulamakalangan Malikiah tentang hukuman matisebagai takzir ini, Wahbah al-Zuhaili tidakmenyinggung tentang eksekusi mati bagigolongan Qadariah yang konon sebagaipendapat Imam Malik. Al-Zuhaili hanya me-ngatakan:

46

42 Ibnu Taimiyyah, Kitab al-Siyâsah…, h. 98, lihat jugaAbdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, (T.tp: Dâral-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 306, Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarimahal-Risywah fi Syari’ah…, h. 25.

43 Informasi lengkap dan data-data tentang kasus Hatibbin Balta’ah ini telah penulis kemukakan pada waktu membahasmasalah sanksi hukum pelaku khianat pada bab tiga bagian A.4,khianat. Ada baiknya pembaca menelaah ulang uraian penulispada bagian tersebut.

44 Muhammad Shâlih al-Usaimin, Syarh Kitab al-Siyâsah al-Syar`iyyah li Syaikh al-Islâmi Ibnu Taimiyyah, (Ttp : Dâr al-Kutub,2005), Cet. ke-1, h. 336-337.

45 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 306, lihat juga MuhammadShâlih al-Usaimin, Syarh Kitab al-Siyâsah…, h. 337.

46 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1997), Cet. ke-4, jilid VII, h. 5594-5595.

| 142

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

takzir bisa diberlakukan terhadap orangyang mengajak pihak lain berlaku bid`ah danpenyimpangan-penyimpangan agama yangbertentangan dengan Alquran dan hadis.Di kalangan ulama Syafi`iyah juga ada yangberpendapat bahwa pelaku sodomi harusdiganjar dengan hukuman mati sebagaitakzir, tanpa dibedakan antara pelaku sudahpernah menikah secara sah atau belum.40 Halini merupakan pendapat minoritas ulamaSyafi`iyah. Adapun pendapat mayoritas,mereka tetap tidak mengakui adanya hukumanmati sebagai takzir, sebagaimana dinyatakanAbdul Qadîr Audah sebagai berikut:

41

(Ulama-ulama kalangan Syafi`iyah dan tokoh-tokoh besar ulama kalangan Malikiyah tidakmemperbolehkan diberlakukannya hukumanmati sebagai takzir. Mereka cenderungmemilih untuk memperlama masa penahanan(penjara seumur hidup) bagi pelaku kejahatanyang bisa merusak dan membahayakansampai pada masa yang tidak ditentukan agarkriminalitasnya bisa ditahan/dicegah tidakmenyebar di masyarakat. Pendapat sepertiini diikuti oleh sebagian ulama Hanabilah).

Pernyataan Abdul Qadîr Audah ini tampak-nya cukup beralasan, sebab kalau memangmayoritas ulama Syafi`iyah memperbolehkanhukuman mati sebagai takzir, tentu dalamreferensi-referensi ulama mazhab Syafi`iseperti al-Majmû` karya Imam al-Nawawi,Kitâb al-Ahkâm al-Sulthâniyyah dan al-Hâwial-Kabîr, keduanya karya al-Mawardi akandisebutkan. Tetapi ternyata dalam ketigakitab itu tidak disinggung tentang hukumanmati sebagai takzir.

40 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th) h. 306, lihat juga Ibnu Taimiyyah,Kitab al-Siyâsah..., h. 99, Abdul Qadir Audah, al-Tasyrî` al-Jinâ’ial-Islâmi Muqâranan bi al-Qânûn al-Wadh`i, (Beirut: Mu’assasahal-Risâlah, 1992), jilid II, h. 688.

41 Abdul Qâdir Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ`î al-Islâmî, h. 688.

c. Menurut ulama kalangan Malikiyah.

Menurut mereka, hukuman mati sebagai takzirdiperbolehkan seperti hukuman mati bagi mata-mata perang yang beragama Islam dan berpihakkepada musuh.42 Tentang boleh dan tidaknyaseorang mata-mata perang yang merugikannegara Islam ini dihukum mati, Shâlih al-`Usaiminmengemukakan tiga pendapat. Pendapat yangpertama dihukum mati, pendapat kedua tidakdihukum mati, dan pendapat ketiga tawaqquf,tidak berpendapat. Menurutnya, pendapat yangtepat adalah pendapat yang pertama, bolehdibunuh. Alasannya adalah kasus Hatib binAbi Baltha`ah,43 jika bukan karena ia termasukpeserta perang Badar, pasti sudah dihukummati.44

Dalam masalah hukuman mati sebagaitakzir ini, Abdul Aziz Amir, mengatakan bahwakonon Imam Malik membolehkan hukumanmati diberlakukan kepada kaum Qadariahkarena fasad, bukan karena kemurtadanmereka.45

Dalam mengungkapkan pendapat ulamakalangan Malikiah tentang hukuman matisebagai takzir ini, Wahbah al-Zuhaili tidakmenyinggung tentang eksekusi mati bagigolongan Qadariah yang konon sebagaipendapat Imam Malik. Al-Zuhaili hanya me-ngatakan:

46

42 Ibnu Taimiyyah, Kitab al-Siyâsah…, h. 98, lihat jugaAbdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah, (T.tp: Dâral-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 306, Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarimahal-Risywah fi Syari’ah…, h. 25.

43 Informasi lengkap dan data-data tentang kasus Hatibbin Balta’ah ini telah penulis kemukakan pada waktu membahasmasalah sanksi hukum pelaku khianat pada bab tiga bagian A.4,khianat. Ada baiknya pembaca menelaah ulang uraian penulispada bagian tersebut.

44 Muhammad Shâlih al-Usaimin, Syarh Kitab al-Siyâsah al-Syar`iyyah li Syaikh al-Islâmi Ibnu Taimiyyah, (Ttp : Dâr al-Kutub,2005), Cet. ke-1, h. 336-337.

45 Abdul Aziz Amir, al-Ta’zîr fi al-Syarî`ah al-Islâmiyyah,(T.tp: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t.th.) h. 306, lihat juga MuhammadShâlih al-Usaimin, Syarh Kitab al-Siyâsah…, h. 337.

46 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1997), Cet. ke-4, jilid VII, h. 5594-5595.

| 142

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

(Ulama Malikiah, Hanabilah dan yang lainmemperbolehkan diberlakukannya hukumanmati bagi mata-mata perang beragama Islamyang membocorkan berita kepada musuhdan membahayakan kaum muslimin, tetapiImam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tidakmembolehkannya).

d. Menurut ulama kalangan Hanabilah

Sekelompok ulama Hanabilah antara lain IbnuAqil berpendapat bahwa seorang mata-mataperang beragama Islam yang membocorkanrahasia kepada musuh dan membahayakankaum muslimin boleh dihukum mati sebagaitakzir. Pendapat ini sama dengan pendapatsebagian mereka yang mengatakan bahwapara pelaku bid’ah yang menyimpang danmenodai ajaran Islam juga bisa dihukummati. Demikian pula setiap orang yang selaluberbuat kerusakan yang merugikan banyakpihak dan tidak bisa diberantas kecualidengan hukuman mati, maka orang sepertiini harus diganjar dengan hukuman matisebagai takzir.47

Di antara alasan yang mereka kemuka-kan adalah hadis riwayat Muslim sebagaiberikut:

48

(Dari Arfajah al-Asyja’i ra. berkata, sayamendengar Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa mendatangi kalian, padahal keadaankalian berada dalam suatu kepemimpinanseseorang (yang sah), orang tersebut datangdengan maksud memecahkan tongkat (per-satuan) kalian, atau bermaksud memecahpersatuan kalian maka bunuhlah orangtersebut). (HR. Muslim).

Dalam hadis lain riwayat Muslim disebutkan:

47 Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah…, h. 26.Cek pada sumber aslinya al-Bahuthi al-Hanbali, Kasyf al-Qannâ’`an Matn al-Iqna`, (al-Qahirah: al-Matba`ah al-Syarfiyyah, 1319H), jilid 6, h. 124.

48 Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Murry al-Nawawi, al-Minhâj fi Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj Syarh al-Nawawi`Ala Muslim, (Riyad: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.th), h. 1852.

49

(Dari Ziyad bin `Alaqah berkata, saya mendengar`Arfajah berkata saya mendengar Rasulullahsaw bersabda “akan terjadi fitnah dan bid`ah,50

maka siapa bermaksud memecah persatuanumat ini, padahal mereka dalam persatuan,maka pukullah orang tersebut dengan pedang).(HR. Muslim).

Dari berbagai pendapat para ulama mazhabsebagaimana uraian di atas, bisa diketahui bahwahukuman mati sebagai takzir terhadap beberapajenis kejahatan tertentu seperti pelaku sodomi,orang muslim yang menjadi mata-mata perangdan merugikan kaum muslimin, pelaku bid`ahyang mengajak massa untuk menodai agamaIslam, orang muslim yang berulang kali menghinadan melecehkan Nabi Muhammad saw, danpelaku sebuah tindak pidana yang berulang kalimelakukan tindakan merusak dan merugikanbanyak pihak.

Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwatindak pidana korupsi yang dilakukan dalamkeadaan tertentu sebagaimana dimaksudkandalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindakpidana korupsi sudah sangat patut dan layak

49 Kalimat pukullah orang tersebut dengan pedang olehImam al-Nawawi ditafsirkan dengan mengatakan:

(Dalam hadis ini terdapat perintah untuk menghukum mati orangyang keluar (membangkan) penguasa atau bermaksud untukmemecah belah persatuan kaum muslimin dan semacamnya.Hadis ini juga berisi perintah untuk mencegah segala bentuktindakan seperti ini. Kalau pihak yang dilarang tidak mau ber-henti maka dia harus dihukum mati, kalau kejahatannya tidakbisa dicegah kecuali dengan cara dihukum mati maka darahnyatidak lagi terpelihara) (lihat Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnSyaraf ibn Murry al-Nawawi, al-Minhâj fi Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj Syarh al-Nawawi `Ala Muslim, (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.th.), h. 1852.

50 Imam al-Nawawi menafsirkan kata “ ” denganmengatakan:

“ ” maksud dari kata“hanat”

di sini adalah berbagai fitnah dan masalah-masalah baru ataubid`ah.

143 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

(Ulama Malikiah, Hanabilah dan yang lainmemperbolehkan diberlakukannya hukumanmati bagi mata-mata perang beragama Islamyang membocorkan berita kepada musuhdan membahayakan kaum muslimin, tetapiImam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tidakmembolehkannya).

d. Menurut ulama kalangan Hanabilah

Sekelompok ulama Hanabilah antara lain IbnuAqil berpendapat bahwa seorang mata-mataperang beragama Islam yang membocorkanrahasia kepada musuh dan membahayakankaum muslimin boleh dihukum mati sebagaitakzir. Pendapat ini sama dengan pendapatsebagian mereka yang mengatakan bahwapara pelaku bid’ah yang menyimpang danmenodai ajaran Islam juga bisa dihukummati. Demikian pula setiap orang yang selaluberbuat kerusakan yang merugikan banyakpihak dan tidak bisa diberantas kecualidengan hukuman mati, maka orang sepertiini harus diganjar dengan hukuman matisebagai takzir.47

Di antara alasan yang mereka kemuka-kan adalah hadis riwayat Muslim sebagaiberikut:

48

(Dari Arfajah al-Asyja’i ra. berkata, sayamendengar Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa mendatangi kalian, padahal keadaankalian berada dalam suatu kepemimpinanseseorang (yang sah), orang tersebut datangdengan maksud memecahkan tongkat (per-satuan) kalian, atau bermaksud memecahpersatuan kalian maka bunuhlah orangtersebut). (HR. Muslim).

Dalam hadis lain riwayat Muslim disebutkan:

47 Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah…, h. 26.Cek pada sumber aslinya al-Bahuthi al-Hanbali, Kasyf al-Qannâ’`an Matn al-Iqna`, (al-Qahirah: al-Matba`ah al-Syarfiyyah, 1319H), jilid 6, h. 124.

48 Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Murry al-Nawawi, al-Minhâj fi Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj Syarh al-Nawawi`Ala Muslim, (Riyad: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.th), h. 1852.

49

(Dari Ziyad bin `Alaqah berkata, saya mendengar`Arfajah berkata saya mendengar Rasulullahsaw bersabda “akan terjadi fitnah dan bid`ah,50

maka siapa bermaksud memecah persatuanumat ini, padahal mereka dalam persatuan,maka pukullah orang tersebut dengan pedang).(HR. Muslim).

Dari berbagai pendapat para ulama mazhabsebagaimana uraian di atas, bisa diketahui bahwahukuman mati sebagai takzir terhadap beberapajenis kejahatan tertentu seperti pelaku sodomi,orang muslim yang menjadi mata-mata perangdan merugikan kaum muslimin, pelaku bid`ahyang mengajak massa untuk menodai agamaIslam, orang muslim yang berulang kali menghinadan melecehkan Nabi Muhammad saw, danpelaku sebuah tindak pidana yang berulang kalimelakukan tindakan merusak dan merugikanbanyak pihak.

Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwatindak pidana korupsi yang dilakukan dalamkeadaan tertentu sebagaimana dimaksudkandalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindakpidana korupsi sudah sangat patut dan layak

49 Kalimat pukullah orang tersebut dengan pedang olehImam al-Nawawi ditafsirkan dengan mengatakan:

(Dalam hadis ini terdapat perintah untuk menghukum mati orangyang keluar (membangkan) penguasa atau bermaksud untukmemecah belah persatuan kaum muslimin dan semacamnya.Hadis ini juga berisi perintah untuk mencegah segala bentuktindakan seperti ini. Kalau pihak yang dilarang tidak mau ber-henti maka dia harus dihukum mati, kalau kejahatannya tidakbisa dicegah kecuali dengan cara dihukum mati maka darahnyatidak lagi terpelihara) (lihat Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnSyaraf ibn Murry al-Nawawi, al-Minhâj fi Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj Syarh al-Nawawi `Ala Muslim, (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.th.), h. 1852.

50 Imam al-Nawawi menafsirkan kata “ ” denganmengatakan:

“ ” maksud dari kata“hanat”

di sini adalah berbagai fitnah dan masalah-masalah baru ataubid`ah.

143 |

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

(Ulama Malikiah, Hanabilah dan yang lainmemperbolehkan diberlakukannya hukumanmati bagi mata-mata perang beragama Islamyang membocorkan berita kepada musuhdan membahayakan kaum muslimin, tetapiImam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tidakmembolehkannya).

d. Menurut ulama kalangan Hanabilah

Sekelompok ulama Hanabilah antara lain IbnuAqil berpendapat bahwa seorang mata-mataperang beragama Islam yang membocorkanrahasia kepada musuh dan membahayakankaum muslimin boleh dihukum mati sebagaitakzir. Pendapat ini sama dengan pendapatsebagian mereka yang mengatakan bahwapara pelaku bid’ah yang menyimpang danmenodai ajaran Islam juga bisa dihukummati. Demikian pula setiap orang yang selaluberbuat kerusakan yang merugikan banyakpihak dan tidak bisa diberantas kecualidengan hukuman mati, maka orang sepertiini harus diganjar dengan hukuman matisebagai takzir.47

Di antara alasan yang mereka kemuka-kan adalah hadis riwayat Muslim sebagaiberikut:

48

(Dari Arfajah al-Asyja’i ra. berkata, sayamendengar Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa mendatangi kalian, padahal keadaankalian berada dalam suatu kepemimpinanseseorang (yang sah), orang tersebut datangdengan maksud memecahkan tongkat (per-satuan) kalian, atau bermaksud memecahpersatuan kalian maka bunuhlah orangtersebut). (HR. Muslim).

Dalam hadis lain riwayat Muslim disebutkan:

47 Abdul Muhsin al-Tharîqî, Jarîmah al-Risywah…, h. 26.Cek pada sumber aslinya al-Bahuthi al-Hanbali, Kasyf al-Qannâ’`an Matn al-Iqna`, (al-Qahirah: al-Matba`ah al-Syarfiyyah, 1319H), jilid 6, h. 124.

48 Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Murry al-Nawawi, al-Minhâj fi Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj Syarh al-Nawawi`Ala Muslim, (Riyad: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.th), h. 1852.

49

(Dari Ziyad bin `Alaqah berkata, saya mendengar`Arfajah berkata saya mendengar Rasulullahsaw bersabda “akan terjadi fitnah dan bid`ah,50

maka siapa bermaksud memecah persatuanumat ini, padahal mereka dalam persatuan,maka pukullah orang tersebut dengan pedang).(HR. Muslim).

Dari berbagai pendapat para ulama mazhabsebagaimana uraian di atas, bisa diketahui bahwahukuman mati sebagai takzir terhadap beberapajenis kejahatan tertentu seperti pelaku sodomi,orang muslim yang menjadi mata-mata perangdan merugikan kaum muslimin, pelaku bid`ahyang mengajak massa untuk menodai agamaIslam, orang muslim yang berulang kali menghinadan melecehkan Nabi Muhammad saw, danpelaku sebuah tindak pidana yang berulang kalimelakukan tindakan merusak dan merugikanbanyak pihak.

Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwatindak pidana korupsi yang dilakukan dalamkeadaan tertentu sebagaimana dimaksudkandalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindakpidana korupsi sudah sangat patut dan layak

49 Kalimat pukullah orang tersebut dengan pedang olehImam al-Nawawi ditafsirkan dengan mengatakan:

(Dalam hadis ini terdapat perintah untuk menghukum mati orangyang keluar (membangkan) penguasa atau bermaksud untukmemecah belah persatuan kaum muslimin dan semacamnya.Hadis ini juga berisi perintah untuk mencegah segala bentuktindakan seperti ini. Kalau pihak yang dilarang tidak mau ber-henti maka dia harus dihukum mati, kalau kejahatannya tidakbisa dicegah kecuali dengan cara dihukum mati maka darahnyatidak lagi terpelihara) (lihat Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnSyaraf ibn Murry al-Nawawi, al-Minhâj fi Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj Syarh al-Nawawi `Ala Muslim, (Riyadh: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, t.th.), h. 1852.

50 Imam al-Nawawi menafsirkan kata “ ” denganmengatakan:

“ ” maksud dari kata“hanat”

di sini adalah berbagai fitnah dan masalah-masalah baru ataubid`ah.

143 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

untuk dijatuhi hukuman mati. Oleh sebab itu,semua pihak yang bertugas dan berwenanguntuk memberantas korupsi di Indonesia tidakperlu ragu untuk memberlakukan pasal 2 ayat (2)Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tersebut agartarget pemberantasan korupsi bisa terlaksanadengan baik dan memuaskan.

Secara khusus, penulis tegaskan bahwakepada para jaksa penuntut umum agar tidakperlu ragu dan merasa takut atau bersalahdalam memberlakukan pasal 2 ayat 2 UU no31 tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. Demikian juga kepada parahakim pada semua tingkat pengadilan agar tidakragu dalam mengetok palu untuk mengganjarseorang koruptor yang terbukti melakukankorupsi sebagaimana bunyi rumusan pasal 2 ayat2 tersebut dengan hukuman mati. Hal ini harusdiupayakan agar rumusan pasal sebuah undang-undang tidak hanya sebagai jargon simbolis yangtidak bermakna, dan target pemberantasankorupsi di negeri ini bisa terealisasi.

Di samping itu, walaupun dalam rumusanpasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 tahun1999 tersebut hanya disebutkan bahwa dalam haltindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkandalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan, namun pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini para jaksapenuntut umum dan para hakim tidak perlu ragudan merasa bersalah,51 dalam memberlakukanrumusan pasal ini, karena pidana mati tidakbertentangan dengan hukum pidana Islamyang di antara ketentuannya terdapat konsephukuman mati sebagai takzir, tentu saja setelahdilakukan penelitian dan penyelidikan dengan

51 Hal mendasar yang sangat berpotensi membuat hakimragu atau bahkan takut untuk menjatuhkan pidana matikepada pelaku korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat(2) UU PTPK tahun 1999, di samping faktor-faktor politis, ewuhpekewuh, takut melanggar HAM dan lain-lain, juga disebabkanoleh bunyi rumusan pasal 2 ayat (2) itu sendiri. Sebab dalampasal tersebut hanya dirumuskan dengan kata “dapat” bukandengan kata “harus”, sehingga pasal 2 ayat (2) ini bersifatfakultatif, artinya sekalipun tindak pidana korupsi nyata-nyatadilakukan dalam keadaan tertentu, hukuman mati dapat pulatidak dijatuhkan. Hal ini jelas akan berbeda jika rumusannyabukan dengan kata “dapat” tetapi menggunakan kata “harus”.Walaupun memang dalam rumusan dalam bahasa Arabnyajuga menggunakan kata “ ” artinya “dapat” lihatcatatan kaki berikutnya.

teliti dan seksama bahwa tindak pidana korupsibenar-benar dilakukan dalam keadaan tertentusebagaimana diatur dalam undang-undang.

Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwadi antara maksud dari kata “keadaan tertentu”di samping karena tindak pidana korupsi itudilakukan pada waktu negara dalam bahaya, ketikaterjadi bencana nasional, dan pada saat negaradalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, jugadimaksudkan sebagai pengulangan tindak pidana.Hal terakhir inilah yang sangat sesuai denganpendapat ulama kalangan mazhab Hanabilahyang memperbolehkan penjatuhan hukumanmati sebagai takzir, kalau pelaku berulang kalimelakukan tindak pidana.52

PenutupDari uraian di atas, bisa penulis simpulkan

bahwa wacana hukuman mati bagi AM, ketua MK,sebagaimana dikemukakan Prof. Jimly Asshiddiqiebahwa ia sudah sepantasnya dijatuhi hukumanmati, jika ditinjau dari perspektif pidana Islam,harus melalui ranah takzir, bukan kisas dan hudud.Di antara pendapat ulama yang membolehkanhukuman mati diberlakukan sebagai takzir adalahulama kalangan Hanafiyah. Menurut mereka,hukuman mati sebagai takzir bisa diberlakukansebagai siyâsah (pertimbangan politk Negara)bagi pelaku jarimah-jarimah tertentu yang sangatkeji. Di kalangan ulama Syafi`iyah juga ada yangberpendapat bahwa pelaku sodomi harus diganjardengan hukuman mati sebagai takzir, tanpadibedakan antara pelaku sudah pernah menikahsecara sah atau belum. Menurut ulama Malikiyah,hukuman mati sebagai takzir diperbolehkanseperti hukuman bagi mata-mata perang yangberagama Islam dan berpihak kepada musuh.

52 Mansur al-Bahuthi dalam Kasyf al-Qannâ’…, jilid VI, h.124 dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam al-Thuruq al-Hukmiyyahfi Siyâsah al-Syar`iyyah h. 107, keduanya mengatakan bahwapelaku tindak pidana yang bersifat merusak dan berulangkali melakukannya bisa dijatuhi hukuman mati sebagai takzir.Secara lengkap disebutkan dalam kitab tersebut:

(Siapa berulang kali melakukan sebuah jenis kerusakan dandia tidak bisa diatasi dengan hukuman hudud yang telah jelasukurannya, bahkan dia terus menerus melakukan perbuatantersebut, maka dapat dijatuhi pidana mati sebagai takzir).

| 144

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

untuk dijatuhi hukuman mati. Oleh sebab itu,semua pihak yang bertugas dan berwenanguntuk memberantas korupsi di Indonesia tidakperlu ragu untuk memberlakukan pasal 2 ayat (2)Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tersebut agartarget pemberantasan korupsi bisa terlaksanadengan baik dan memuaskan.

Secara khusus, penulis tegaskan bahwakepada para jaksa penuntut umum agar tidakperlu ragu dan merasa takut atau bersalahdalam memberlakukan pasal 2 ayat 2 UU no31 tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. Demikian juga kepada parahakim pada semua tingkat pengadilan agar tidakragu dalam mengetok palu untuk mengganjarseorang koruptor yang terbukti melakukankorupsi sebagaimana bunyi rumusan pasal 2 ayat2 tersebut dengan hukuman mati. Hal ini harusdiupayakan agar rumusan pasal sebuah undang-undang tidak hanya sebagai jargon simbolis yangtidak bermakna, dan target pemberantasankorupsi di negeri ini bisa terealisasi.

Di samping itu, walaupun dalam rumusanpasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 tahun1999 tersebut hanya disebutkan bahwa dalam haltindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkandalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan, namun pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini para jaksapenuntut umum dan para hakim tidak perlu ragudan merasa bersalah,51 dalam memberlakukanrumusan pasal ini, karena pidana mati tidakbertentangan dengan hukum pidana Islamyang di antara ketentuannya terdapat konsephukuman mati sebagai takzir, tentu saja setelahdilakukan penelitian dan penyelidikan dengan

51 Hal mendasar yang sangat berpotensi membuat hakimragu atau bahkan takut untuk menjatuhkan pidana matikepada pelaku korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat(2) UU PTPK tahun 1999, di samping faktor-faktor politis, ewuhpekewuh, takut melanggar HAM dan lain-lain, juga disebabkanoleh bunyi rumusan pasal 2 ayat (2) itu sendiri. Sebab dalampasal tersebut hanya dirumuskan dengan kata “dapat” bukandengan kata “harus”, sehingga pasal 2 ayat (2) ini bersifatfakultatif, artinya sekalipun tindak pidana korupsi nyata-nyatadilakukan dalam keadaan tertentu, hukuman mati dapat pulatidak dijatuhkan. Hal ini jelas akan berbeda jika rumusannyabukan dengan kata “dapat” tetapi menggunakan kata “harus”.Walaupun memang dalam rumusan dalam bahasa Arabnyajuga menggunakan kata “ ” artinya “dapat” lihatcatatan kaki berikutnya.

teliti dan seksama bahwa tindak pidana korupsibenar-benar dilakukan dalam keadaan tertentusebagaimana diatur dalam undang-undang.

Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwadi antara maksud dari kata “keadaan tertentu”di samping karena tindak pidana korupsi itudilakukan pada waktu negara dalam bahaya, ketikaterjadi bencana nasional, dan pada saat negaradalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, jugadimaksudkan sebagai pengulangan tindak pidana.Hal terakhir inilah yang sangat sesuai denganpendapat ulama kalangan mazhab Hanabilahyang memperbolehkan penjatuhan hukumanmati sebagai takzir, kalau pelaku berulang kalimelakukan tindak pidana.52

PenutupDari uraian di atas, bisa penulis simpulkan

bahwa wacana hukuman mati bagi AM, ketua MK,sebagaimana dikemukakan Prof. Jimly Asshiddiqiebahwa ia sudah sepantasnya dijatuhi hukumanmati, jika ditinjau dari perspektif pidana Islam,harus melalui ranah takzir, bukan kisas dan hudud.Di antara pendapat ulama yang membolehkanhukuman mati diberlakukan sebagai takzir adalahulama kalangan Hanafiyah. Menurut mereka,hukuman mati sebagai takzir bisa diberlakukansebagai siyâsah (pertimbangan politk Negara)bagi pelaku jarimah-jarimah tertentu yang sangatkeji. Di kalangan ulama Syafi`iyah juga ada yangberpendapat bahwa pelaku sodomi harus diganjardengan hukuman mati sebagai takzir, tanpadibedakan antara pelaku sudah pernah menikahsecara sah atau belum. Menurut ulama Malikiyah,hukuman mati sebagai takzir diperbolehkanseperti hukuman bagi mata-mata perang yangberagama Islam dan berpihak kepada musuh.

52 Mansur al-Bahuthi dalam Kasyf al-Qannâ’…, jilid VI, h.124 dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam al-Thuruq al-Hukmiyyahfi Siyâsah al-Syar`iyyah h. 107, keduanya mengatakan bahwapelaku tindak pidana yang bersifat merusak dan berulangkali melakukannya bisa dijatuhi hukuman mati sebagai takzir.Secara lengkap disebutkan dalam kitab tersebut:

(Siapa berulang kali melakukan sebuah jenis kerusakan dandia tidak bisa diatasi dengan hukuman hudud yang telah jelasukurannya, bahkan dia terus menerus melakukan perbuatantersebut, maka dapat dijatuhi pidana mati sebagai takzir).

| 144

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

untuk dijatuhi hukuman mati. Oleh sebab itu,semua pihak yang bertugas dan berwenanguntuk memberantas korupsi di Indonesia tidakperlu ragu untuk memberlakukan pasal 2 ayat (2)Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tersebut agartarget pemberantasan korupsi bisa terlaksanadengan baik dan memuaskan.

Secara khusus, penulis tegaskan bahwakepada para jaksa penuntut umum agar tidakperlu ragu dan merasa takut atau bersalahdalam memberlakukan pasal 2 ayat 2 UU no31 tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. Demikian juga kepada parahakim pada semua tingkat pengadilan agar tidakragu dalam mengetok palu untuk mengganjarseorang koruptor yang terbukti melakukankorupsi sebagaimana bunyi rumusan pasal 2 ayat2 tersebut dengan hukuman mati. Hal ini harusdiupayakan agar rumusan pasal sebuah undang-undang tidak hanya sebagai jargon simbolis yangtidak bermakna, dan target pemberantasankorupsi di negeri ini bisa terealisasi.

Di samping itu, walaupun dalam rumusanpasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 tahun1999 tersebut hanya disebutkan bahwa dalam haltindak pidana korupsi sebagaimana dimaksudkandalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan, namun pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini para jaksapenuntut umum dan para hakim tidak perlu ragudan merasa bersalah,51 dalam memberlakukanrumusan pasal ini, karena pidana mati tidakbertentangan dengan hukum pidana Islamyang di antara ketentuannya terdapat konsephukuman mati sebagai takzir, tentu saja setelahdilakukan penelitian dan penyelidikan dengan

51 Hal mendasar yang sangat berpotensi membuat hakimragu atau bahkan takut untuk menjatuhkan pidana matikepada pelaku korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat(2) UU PTPK tahun 1999, di samping faktor-faktor politis, ewuhpekewuh, takut melanggar HAM dan lain-lain, juga disebabkanoleh bunyi rumusan pasal 2 ayat (2) itu sendiri. Sebab dalampasal tersebut hanya dirumuskan dengan kata “dapat” bukandengan kata “harus”, sehingga pasal 2 ayat (2) ini bersifatfakultatif, artinya sekalipun tindak pidana korupsi nyata-nyatadilakukan dalam keadaan tertentu, hukuman mati dapat pulatidak dijatuhkan. Hal ini jelas akan berbeda jika rumusannyabukan dengan kata “dapat” tetapi menggunakan kata “harus”.Walaupun memang dalam rumusan dalam bahasa Arabnyajuga menggunakan kata “ ” artinya “dapat” lihatcatatan kaki berikutnya.

teliti dan seksama bahwa tindak pidana korupsibenar-benar dilakukan dalam keadaan tertentusebagaimana diatur dalam undang-undang.

Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwadi antara maksud dari kata “keadaan tertentu”di samping karena tindak pidana korupsi itudilakukan pada waktu negara dalam bahaya, ketikaterjadi bencana nasional, dan pada saat negaradalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, jugadimaksudkan sebagai pengulangan tindak pidana.Hal terakhir inilah yang sangat sesuai denganpendapat ulama kalangan mazhab Hanabilahyang memperbolehkan penjatuhan hukumanmati sebagai takzir, kalau pelaku berulang kalimelakukan tindak pidana.52

PenutupDari uraian di atas, bisa penulis simpulkan

bahwa wacana hukuman mati bagi AM, ketua MK,sebagaimana dikemukakan Prof. Jimly Asshiddiqiebahwa ia sudah sepantasnya dijatuhi hukumanmati, jika ditinjau dari perspektif pidana Islam,harus melalui ranah takzir, bukan kisas dan hudud.Di antara pendapat ulama yang membolehkanhukuman mati diberlakukan sebagai takzir adalahulama kalangan Hanafiyah. Menurut mereka,hukuman mati sebagai takzir bisa diberlakukansebagai siyâsah (pertimbangan politk Negara)bagi pelaku jarimah-jarimah tertentu yang sangatkeji. Di kalangan ulama Syafi`iyah juga ada yangberpendapat bahwa pelaku sodomi harus diganjardengan hukuman mati sebagai takzir, tanpadibedakan antara pelaku sudah pernah menikahsecara sah atau belum. Menurut ulama Malikiyah,hukuman mati sebagai takzir diperbolehkanseperti hukuman bagi mata-mata perang yangberagama Islam dan berpihak kepada musuh.

52 Mansur al-Bahuthi dalam Kasyf al-Qannâ’…, jilid VI, h.124 dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam al-Thuruq al-Hukmiyyahfi Siyâsah al-Syar`iyyah h. 107, keduanya mengatakan bahwapelaku tindak pidana yang bersifat merusak dan berulangkali melakukannya bisa dijatuhi hukuman mati sebagai takzir.Secara lengkap disebutkan dalam kitab tersebut:

(Siapa berulang kali melakukan sebuah jenis kerusakan dandia tidak bisa diatasi dengan hukuman hudud yang telah jelasukurannya, bahkan dia terus menerus melakukan perbuatantersebut, maka dapat dijatuhi pidana mati sebagai takzir).

| 144

M. Nurul Irfan: Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati

Menurut ulama kalangan Hanabilah antara lainIbnu `Aqil berpendapat bahwa seorang mata-mata perang beragama Islam yang membocorkanrahasia kepada musuh dan membahayakan kaummuslimin, boleh dihukum mati sebagai takzir.Oleh sebab itu, sekalipun pasti akan menuai prodan kontra, hukuman mati pantas dijatuhkankepada AM yang mengguncang wibawa hakimdan negara.

Pendapat ulama kalangan Hanafiyah inisangat cocok disinkronkan dengan komentarProf. Jimly di atas, dalam rangka siyâsah inilahAM layak dijatuhi hukuman mati, mengingatkedudukannya sebagai wakil Tuhan di mukabumi (chief justice). Terlebih sebagai ketua MKyang selama ini sangat diperhitungkan bahkanputusannya bersifat final and binding, terakhir danmengikat serta tidak bisa diubah oleh putusanpengadilan dalam tingkat yang lain. Gratifikasiyang telah dilakukan merupakan tindakan yangmerusak di muka bumi. Dalam hal ini, ulama-ulamaMuhammadiyah dalam buku Fikih Muhammadiyahpernah merestui diberlakukannya hukuman matibagi koruptor atas dasar Q.S: Al-Mâ’idah [5]: 33,karena seorang koruptor jelas-jelas telah berbuatkerusakan di muka bumi. Ayat ini memangsedang berbicara tentang hukuman mati bagipara perampok yang menyerang Allah dan rasul.Artinya menyerang hak Allah atau hak rakyat.Kerusakan tatanan hukum akan sangat dirasakanoleh seluruh rakyat akibat ulah hakim MK, terlebihlagi kapasitasnya sebagai ketua yang sangatstrategis dalam menetapkan sebuah putusan.Wacana hukuman mati bagi koruptor sangat perlumendapatkan tanggapan pemikiran serius bilabenar-benar akan dilaksanakan.

Sanksi bagi pelaku gratifikasi sebagaimanatercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menanggulangi danmemberantas korupsi di negeri ini, khususnyapasal 12 B dan 12 C Undang-undang No. 20 Tahun2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undangNomor 31 Tahun 1999 Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi, sudah jauh lebih baik danideal bila dibandingkan dengan konsep yang masihmerupakan doktrin hukum yang terdapat dalamkitab-kitab fikih. Berbagai peraturan perundang-undangan itulah yang merupakan bentuk kongkrit

dari konsep takzir yang ditawarkan oleh fikihjinayah, yaitu sebuah sanksi hukum yang tidakdijelaskan secara tegas mengenai jenis dan teknisserta tata cara melaksanakannya oleh Alquran danhadis-hadis Nabi, melainkan diserahkan kepadapemerintah dan hakim setempat.

Pustaka AcuanÂbâdî, Abû al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-

‘Azîm, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd,al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2001.

Âbidîn, Muhammad Amîn ibn, Radd al-Mukhtâr`Alâ Durr al-Mukhtâr, Mesir: Musthafâ al-Bâbîal-Halabî wa Aulâduh, 1386 H. Cet. ke-2,

‘Allûsy, Abû ‘Abdullâh Abdus Salâm, Ibânah al-Ahkâm Syarh Bulûgh al-Marâm, Beirut: Dâral-Fikr, 2002.

Âmir, ‘Abdul ‘Azîz al-Ta’zîr fî al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,al-Qâhirah: Dâr al-Fikr al- ‘Arabi, 1954.

Anîs, Ibrâhîm, dkk, Al-Mu’jam al-Wasît, Mesir:Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972, cet. ke-2.

Anwar, Syamsul, “Sejarah Korupsi dan PerlawananTerhadapnya di Zaman Awal Islam: PerspektifStudi Hadis”, dalam Hermenia, Jurnal KajianIslam Interdisipliner, Yogyakarta: PPS UINSuka, vol. 4, No. 1, 2005.

‘Âsimî, ‘Abdurrahmân bin Qâsim al-Najdî al-Hanbalîal- (ed), Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm IbnuTaimiyyah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, jilid 21.

Baghawî, Abû Muhammad al-Husain Ibn Mas’ûdal-, Syarh al-Sunnah, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th, jilid 5.

Bahûthî, Manshûr ibn Yûnus Idrîs al-, Kasyâf al-Qannâ’ `an Matn al-Iqnâ’, Beirut: Dâr al-Fikr,1982.

Chawazi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan FormilKorupsi di Indonesia, Jakarta: Bayu Media,2005, Cet ke-2.

Dzahabî, Syamsuddîn al-, Kitâb al-Kabâ`ir, Jakarta:Syirkah Dina Mutiara Berkah Utama, tth.

Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Ahmad, Beirut: Dâral-Fikr, t.th, jilid III.

Hazm, Abû Muhammad `Alî Ibn Ahmad bin Sa’îdIbn, al-Muhallâ, bi al-Âtsâr, Beirut: al-Maktabahal-Tijârî, 1351 H.

Jamâluddîn, Abdullâh, Al-Sayyid, Ta’rîb al-Siyâsahal-Syar’iyyah fî Huqûq al-Râ’i wa Sa`âdah al-Ra`iyyah, Mesir: Matba`ah al-Taraqqi, 1318 H.

145 |

MADANIA Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014

Jurjânî, ‘Alî Ibn Muhammad al-, Kitâb al-Ta’rîfât,Jakarta: Dâr al-Hikmah, t.th.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,Balai Pustaka, 2003, cet. ke-3.

Ma’lûf, Louis, al-Munjid fî al-Lughah wa al-Alâm,Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977.

Manzur, Abû al-Fadhal Jamâluddîn Muhammadibn Makram bin al-Afriqî al-Misrî Ibn, Lisânal-`Arab, Beirut: Dâr Shâdir, t.th.

Nawawi Arief, Barda, Perbandingan Hukum Pidana,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. ke-2.

Qarâ`ah, Ali, al-Ushûl al-Qadhâ’iyyah fî al-Murâfa`âtal-Syar`iyyah, Mesir: al-Raghâ’ib, 1921.

Qudâmah, Syamsuddîn Abul Faraj ‘Abdurrahmânbin Abî ‘Amr Muhammad Ibn Ahmad al-Muqaddasî ibn, al-Syarh al-Kabîr, Beirut: Dâral-Fikr, t.th.

San`ânî, al-Muhammad ibn Ismâ`îl al-Kahlânî, Subulal-Salâm, Indonesia: t.tp: Dahlan, t.th, jilid IV.

Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, khawâtiri Fadhilahal-Syaikh Muhammad Mutawallî al-Sya`rawiHaul al-Qur`ân, t.tp: t.pn, t.th, jilid V.

Syaukânî, Muhammad ibn `Ali ibn Muhammadal-, Nail al-Authâr, Beirut: Dâr al- Fikr, t.th,jilid VIII dan IX.

Tarîqî al-, `Abdullâh ibn Abdul Muhsin, Jarîmahal-Risywah fî al-Syarî`ah al- Islâmiyyah, Ma`aDirâsah Nizhâm Mukâfahah al-Risywah fî al-Mamlakah al `Arabiyyah al-Su`ûdiyyah,t.tp:t.pn, t.th.

Wiyono, Pembahasan Undang-undang PemberantasanTindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika,2005, Cet ke-1.