77
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014 Cover

Jamak-2014-Joko Isdianto.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

Cover

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

ii

CATATAN REDAKSI

Pembaca Jurnal Administrasi, Manajemen dan Kepemimpinan ( JAMAK )

Waskita yang kami hormati, dewan redaksi telah mengavaluasi terbitan JAMAK

Waskita Volume pertama.

Dalam edisi ini, redaksi menurunkan sembilan naskah di bidang

administrasi, manajemen dan kepemimpinan. Naskah pertama tulisanDr. Rulam

Ahmadi, M.Pd dengan judul Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi

dalam MeningkatkanKwalitas Pelayanan Publik. Naskah kedua tulisan Joko

Isdianto, S.Sos., M.Si dengan judul Technologies and Strategies for Providing

Education Through Open and Distance Learning System at Remote Regions in

Indonesia. Naskah ketiga tulisan Abd. Syakur, S.Sos., S.Pd., M.Pd dengan judul

Analisis Dialek Lokal Sebagai Penanda Identitas Lokal Individu ( Studi

Interlanguage Mahasiswa di Ilmu Administrasi Negara STISOSPOL. Naskah

keempat tulisan Dr. Sigit Wahyudi, Drs., S.E., MM dengan judul Ufoisme

Perilaku Komunikasi dalam Akulturasi Antar Etnis Jawa dan Etnis Madura di

Kab. Malang ( Studi Komunikasi Antar Budaya di Kec. Gedangan Kab. Malang.

Naskah kelima tulisan Dr. Deden Fathurrohman, MPA dengan judul

Administrative Reform in Bureaucracy and Civil Service. Naskah keenam tulisan

Drs. Stef. Alam Sutardjo, M.Si dengan judul Keadilan Hukum dalam Perspektif

Filsafat Hukum. Naskah ketujuh tulisan Dra. Sukarti Arisa Rosita, M.AP dengan

judul Peningkatan Pelayanan Publik Melalui Reformasi Birokrasi dan E-

Governance. Naskah kedelapan tulisan Muh. Agus Syukron, S.Sos., M.Si dengan

judul Pengembangan Kualitas Studi Ilmu Administrasi Publik di Indonesia.

Naskah kesembilan tulisan Drs. Ngatimin, M.Si dengan judul Keberlanjutan

Kesejahteraan Rakyat Indonesia : Menyongsong Pencapaian Millenium

Development Goals (MDGs) Tahun 2015.

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra redaksi yang merelakan

waktu dan pemikirannya untuk ikut serta dalam penyempurnaan penulisan naskah

dalam jurnal ini. Redaksi juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak

yang telah membantu dalam diterbitkannya jurnal ini.

Dengan segala keterbatasan dalam penerbitan jurnal JAMAK WASKITA

Vol. 1, kami dengan terbuka menerima saran dan kritik demi membangun

kesempurnaan pada penerbitan kedua nanti.

Redaksi

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

iii

Catatan Redaksi……………………………………………………………... ii

Daftar Isi ......................................................................................................... iii

Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam

Meningkatkan Kwalitas Pelayanan Publik

Rulam Ahmadi .................................................................................................. 1

Technologies and Strategies for Providing Education Through Open

and Distance Learning System at Remote Regions in Indonesia ( Case

Study at Pontianak, West Kalimantan, Indonesia)

Joko Isdianto .................................................................................................... 8

Analisis Dialek Lokal Sebagai Penanda Identitas Lokal Individu ( Studi

Interlanguage Mahasiswa di Ilmu Administrasi Negara STISOSPOL

“Waskita Dharma” Malang )

Abd. Syakur ...................................................................................................... 15

Ufoisme Perilaku Komunikasi dalam Akulturasi Antar Etnis Jawa dan

Etnis Madura di Kab. Malang ( Studi Komunikasi Antar Budaya di

Kec. Gedangan Kab. Malang

Sigit Wahyudi ................................................................................................... 20

Administrative Reform in Bureaucracy and Civil Service

Deden Fathurrohman ....................................................................................... 26

Keadilan Hukum dalam Perspektif Filsafat Hukum

Stef. Alam Sutardjo........................................................................................... 41

Peningkatan Pelayanan Publik Melalui Reformasi Birokrasi dan E-

Governance

Sukarti Arisa Rosita ......................................................................................... 49

Pengembangan Kualitas Studi Ilmu Administrasi Publik di Indonesia

(Pokok-Pokok Pikiran Menuju Paradigma Baru Ilmu Administrasi

Publik)

Muh. Agus Syukron .......................................................................................... 59

Keberlanjutan Kesejahteraan Rakyat Indonesia : Menyongsong

Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Tahun 2015

Ngatimin ........................................................................................................... 66

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

iv

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

1

PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM

MENINGKATKAN KWALITAS

PELAYANAN PUBLIK Rulam Ahmadi

Dosen Tim Ahli pada Program Studi Administrasi Negara STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang

Abstrak

Perubahan sosial belakangan ini semakin cepat dan kompleks. Sesuatu yang semula

diperkirakan tidak akan atau tidak mungkin terjadi atau sulit terjadi, semua itu mulai terjawab.

Yang jauh menjadi dekat, yang lamban menjadi cepat, dan yang berat menjadi ringan telah terjadi

dan seluruh masyarakat mengakuinya. Semua itu terjadi tiada lain karena kemahadahsyatan

perkembangan dan pengguna ilmu dan teknologi (IPTEK), khususnya Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technology (ICT). Perkembangan TIK

telah memberikan kontribusi yang sangat besar pada berbagai perubahan dan perkembangan dalam

semua sektor pembangunan (kehidupan), antara lain dalam sektor pelayanan publik.

Kata kunci: IPTEK, TIK, Kualitas, Pelayanan Publik

A. Pendahuluan

Jaman sekarang adalah jaman

teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Sebagai jaman informasi dan komunukasi

maka semua orang dan institusi akan mampu

hidup sesuai dengan perkembangan jaman

dan tuntutan-tuntutan baru apabila mampu

beradaptasi melalui proses belajar secara

terus-menerus. Kesadaran telah tumbuh pada

kebanyakan orang bahwa perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi telah

menciptakan perubahan sangat besar dalam

tata kehidupan manusia, termasuk tata

pemerintahan. Perkembangan TIK

menghasilkan hubungan bentuk baru seperti:

G2C (Governmet to Citizen), G2B

(Government to Business), dan G2G

(Government to Government).

Dengan penggunaan TIK maka dalam

waktu singkat dan bahkan bersamaan suatu

peristiwa di mana pun di dunia ini dapat

dinikmati oleh setiap orang di seluruh dunia.

Tidak ada batas waktu dan jarak, seluruh

informasi tentang berbagai peristiwa atau

aktivitas bisa diakses oleh siapa saja dan di

mana saja. Ramo dan Clair (1998) dalam

bukunya ―The System Approach. Fresh

Solutions to Complex Problems through

Science and Practical Common Sense‖

bahwa ―Ini adalah jaman kesadaran bahwa

ilmu dan teknologi sedang mengubah dunia

dengan cepat dan bahwa penemuan ilmu dan

perkembangan teknologi penyajikan daya

potensial bahkan lebih besar dari yang telah

sangat mempengaruhi kehidupan kita selama

ini.‖

TIK bukan hanya sekedar

menyampaikan informasi pada publik,

melainkan memberikan kesempatan pada

masyarakat untuk ambil bagian dalam proses

informasi itu sendiri sebagai perwujudan

adanya partisipasi masyarakat. Yang

terpenting bukan hanya bagaimana

masyarakat mengetahui informasi tentang

keputusan-keputusan (program) pemerintah

yang harus dilaksanakan sebagai tanggung

jawab bersama untuk memenuhi kebutuhan

publik. Masyarakat harus memiliki akses

terhadap semua informasi yang dihajatkan

untuk kepentingan diri mereka sendiri,

terutama mereka yang berada di wilayah

terluar yang cenderung tidak memilik akses

informasi tentang keputusan (program)

pemerintah. Teknologi informasi dan

komunikasi telah memberikan kontribusi

terhadap tersebarluasnya informasi

pembangunan, tetapi kalau masyarakat

hanya menerima informasi sebagai barang

jadi tanpa ikutserta dalam proses keputusan

yang ditetapkan maka informasi yang

diterima masyarakat belum tentu bahagia

apabila apa yang harus dilaksanakan tidak

bersentuhan dengan kepentingan mereka.

B. Pelayanan Publik yang Berkualitas

Penggunaan TIK dalam layanan

publik merupakan salah satu indikator

bahwa layanan yang diberikan itu termasuk

layanan publik yang prima (smart) atau

berkualitas. Pelayanan publik yang

berkualitas atau prima (smart) bukan hanya

merupakan kebutuhan, melainkan sudah

menjadi tuntutan yang tidak bisa diabaikan.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

2

Sebagaimana dikemukakan oleh Lovelock

(2004:76) bahwa ada 8 suplemen pelayanan

yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Information yaitu proses suatu

pelayanan yang berkualitas dimulai dari

produk dan jasa yang diperlukan oleh

pelanggan. Penyediaan saluran

informasi yang langsung memberikan

kemudahan dalam rangka menjawab

keinginan pelanggan tersebut, adalah

penting.

2) Consultation, setelah memperoleh

informasi yang diinginkan, pelanggan

memerlukan konsultasi baik

menyangkut masalah teknis,

administrasi, biaya. Untuk itu, suatu

organisasi harus menyiapkan sarananya

menyangkut materi konsultasi, tempat

konsultasi, karyawan/petugas yang

melayani, dan waktu untuk konsultasi

secara cuma-cuma.

3) Ordertaking, penilaian pelanggan pada

tiik ini adalah ditekankan pada kualitas

pelayanan yang mengacu pada

kemudahan pengisian aplikasi maupun

administrasi yang tidak berbelit-belit,

fleksibel, biaya murah, dan syarat-syarat

yang ringan.

4) Hospitality, pelanggan yang berurusan

secara langsung akan memberikan

penilaian kepada sikap ramah dan sopan

dari karyawan, ruang tunggu yang

nyaman dan fasilitas lain yang

memadai.

5) Caretaking, variasi latar belakang

pelanggan yang berbeda-beda akan

menuntut pelayanan yang berbeda-beda

pula.

6) Exception, beberapa pelanggan kadang-

kadang menginginkan pengecualian

kualitas pelayanan.

7) Billing, titik rawan berada pada

administrasi pembayaran. Artinya,

pelayanan harus memperhatikan hal-hal

yang berkaitan dengan administrasi

pembayaran, baik menyangkut daftar

isian formulir transaksi, mekanisme

pembayaran hingga keakuratan

perhitungan tagihan.

8) Payment, pada ujung pelayanan harus

disediakan fasilitas pembayaran

berdasarkan pada keinginan pelanggan,

seperti transfer bank, credit card, debet

langsung pada rekening pelanggan.

Berdasarkan pendapat Lovelock di atas

bahwa komponen informasi menduduki poin

pertama di mana publik dapat mengakses

dengan mudah terhadap informasi pelayanan

baik mengenai barang atau jasa. Dengan

penggunaan TIK maka informasi bisa

diakses oleh publik dengan cepat dan

mudah, apalagi jika menggunakan media

internet.

Pandangan lain yang terkait dengan

pelayanan yang berkualitas yang

menyertakan komponen kemudahan akses

informasi dikemukakan oleh Zeithaml et.all.

(dalam Tjiptono, 2002:69) sebagai berikut:

Ada sepuluh dimensi yang saling

melengkapi dan merupakan faktor utama

dalam menentukan kualitas pelayanan.

Kesepuluh dimensi tersebut meliputi:

1) Reliability, mencakup dua hal pokok,

yaitu konsistensi kerja (performance)

dan kemampuan untuk dipercaya

(dependability). Hal saat pertama (right

the first time). Selain itu juga berarti

bahwa perusahaan yang bersangkutan

memenuhi janjinya, misalnya

menyampaikan jasanya sesuai dengan

jadwal yang disepakati.

2) Responsiveness, yaitu kemauan atau

kesiapan para karyawan untuk

memberikan jasa yang dibutuhkan

pelanggan.

3) Competence, artinya setiap orang dalam

suatu perusahaan memiliki keterampilan

dan pengetahuan yang dibutuhkan agar

dapat memberikan jasa tertentu.

4) Acces, meliputi kemudahan untuk

dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti

lokasi fasilitas jasa yang mudah

dijangkau, waktu menunggu yang tidak

terlalu lama, saluran komunikasi

perusahaan yang mudah dihubungi, dan

lain-lain.

5) Courtesy, meliputi sikap sopan santun,

respek, perhatian, dan keramahan yang

dimiliki para contact personnel (seperti

resepsionis, operator telepon dan lain-

lain).

6) Communication, artinya memberikan

informasi kepada pelanggan dalam

bahasa yang dapat mereka pahami, serta

selalu mendengarkan saran dan keluhan

pelanggan.

7) Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat

dipercaya. Kredibilitas mencakup nama

perusahaan, reputasi perusahaan,

kareakteristik pribadi, contact

personnel, dan interaksi dengan

pelanggan.

8) Security, yaitu aman dari bahaya,

resiko, atau keragu-raguan. Aspek ini

meliputi keamanan secara fisik

(physical safety), keamanan finansial

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

3

(financial security), dan kerahasiaan

(confidentiality).

9) Understanding/knowing the customer,

yaitu usaha untuk memahami kebutuhan

pelanggan.

10) Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa,

bias berupa fasilitas fisik, peralatan

yang digunakan, representasi fisik dari

jasa (misalnya kartu kredit plastik).

Pada poin 4 dari pandangan Zeithaml di atas

dijelaskan bahwa saluran komunikasi

(informasi) hendaknya mudah dihubungi

oleh publik penerima pelayanan

(konsumen). Pandangan ini memperkuat

begitu tingginya peran TIK dalam rangka

pemberian pelayanan publik yang

berkualitas.

Berdasarkan pemikiran tentang

pelayanan publik yang berkualitas di atas

bahwa salah satu tolok ukur pelayanan

publik yang berkualitas adalah bahwa

pemerintah hendaknya selalu menyampaikan

informasi-informasi pada publik.

Penyampaian informasi yang dibutuhkan

sekarang adalah pelayanan yang tepat dan

cepat. Hal ini akan terwujud apabila

menggunakan Teknologi Informasi dan

Komunikasi. Yang harus memperoleh akses

terhadap informasi baru adalah seluruh

masyarakat Indonesia, sementara masyarakat

Indonesia tersebut di berbagai wilayah

kepuauan dan pedalaman. Dengan kondisi

geografis semacam ini maka pemerntah

perlu menggunakan media yang berskala

luas penggunaan, yakni teknologi informasi

dan komunikasi, misalnya dalam bentuk

website atau email. Dengan media tersebut

maka penyamaian informasi akan tersebar

merata secara luas dan dalam waktu yang

sangat singkat.

Dalam hal penggunaan teknologi

informasi dan komuniikasi oleh suatu

organisasi pada umumnya dilakukan melalui

skenario sebagai berikut (Primosic (1991):

1. Reducing cost, teknologi informasi

untuk mendukung urusan administrasi

intern, agar proses administrasi menjadi

lebih efektif, efisien dan mudah

dikontrol.

2. Leveraging investment, teknologi

informasi digunakan secara tidak

langsung dalam proses menciptakan

produk atau jasa yang ditawarkan

kepada pelangan.

3. Enhancing products and services,

teknologi informasi dipakai secara

langsung dalam proses menciptakan

produk atau jasa yang ditawarkan.

4. Enhancing executive decision making ,

teknologi informasi untuk memperbaiki

kinerja internal organisasi dengan

meningkatkan kualitas pengambilan

keputusan.

5. Reaching the customer, teknologi

informasi untuk meningkatkan

hubungan dengan pelanggan/calon

pelanggan.

Teknologi informasi digunakan

dalam rangka mempercepat proses

penyebaran informsi pada publik. Untuk

mempercepat proses penyebaran informasi

melalui teknologi informasi dan komunikasi

harus mempertimbangkan beberapa hal

sebagaimana dikemukakan oleh Indrajit

(1999) sebagai berikut: 1) Sistem informasi;

2) Teknologi informasi; dan 3) Manajemen

informasi.

C. Organisasi Belajar (Learning

Organization)

Organisasi belajar (learning

organisazation) merupakan salah persyaratan

yang mendukung terwujudnya penggunaan

TIIK dalam Pelayanan Publik. Hanya

organisasi yang terus belajar akan memiliki

wawasan yang luas dan kesadaran yang

lebih tinggi tentang manfaat penggunaan

TIK dalam pembangunan, khususnya dalam

aspek pelayanan publik. Yang dimaksud

dengan organisasi belajar adalah organisasi

yang seantiasa melakukan perubahan dan

perbaikan/peningkatan secara terus -menerus

sehingga bisa beradaptasi dengan segala

perubahan yang terjadi guna mencapai

tujuan yang diinginkan. Dengan konsep lain

bahwa organisasi belajar adalah organisasi

yang individu-individu di dalam organisasi

tersebut baik secara perorangan maupun

kolektif terus melakukan perubahan dan

peningkatan kualitas diri sesuai dengan

bidang profesi (tugas) masing-masing dan

tuntutan publik melalui pelibatan diri dalam

berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan

baik melalui jalur pendidikan formal,

informal, maupun non-formal. Suatu

organisasi dikatakan termasuk organisasi

yang belajar apabila organisasi tersebut

mengalami perubahan dan

perbaikan/peningkatan secara bertahap dan

berkelanjutan.

Mewujudkan organisasi belajar

bukanlah usaha yang mudah karena

berkaitan dengan manusia yang di dalam

dirinya terdapat potensi, kesadaran, minat,

dan motivasi, yang semuanya berpengaruh

pada terjadinya organisasi belajar. Bagi

organisasi yang individu-individu di

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

4

dalamnya tidak menyadari pentingnya

belajar secara terus menerus (lifelong

education/learning) maupun motivasi

belajarnya rendah maka tidak akan terjadi

organisasi belajar. Justeri yang akan terjadi

adalah beban organisasi menjadi berat dan

tidak mampu beradaptasi dengan perubahan

dan tuntutan baru yang terjadi.

Menurut Peter Senge (1995) dalam

Sedarmayanti (2004:176) bahwa istilah

organisasi yang terus belajar mempunyai arti

yang sangat luas, dan dapat berarti banyak

hal bagi banyak orang. Pada umumnya, ini

berarti organisasi yang luwes, tanggap,

adaptif, tidak begitu birokratis dan

sebagainya. Tetapi dalam kaitan ini

sesungguhnya berarti mengembangkan

berbagai kemampuan belajar spesifik, yang

tidak terdapat dalam berbagai organisasi

tradisional. Learning berarti proses di mana

individu mendapat pengetahuan baru dan

wawasan baru untuk mengubah perilaku.

Sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt

(1996) bahwa learning organization atau

organiwsasi belajar adalah organisasi yang

terus belajar secara sungguh-sungguh dan

bersama-sama. Kemudian

mentransformasikan dirinya agar dapat

mengoleksi, mengelola dan menggunakan

pengetahuannya secara lebih baik untuk

keberhasilan organisasi. Sedarmayanti

(2004:176) menegaskan bahwa melalui

belajar, individu sebagai anggota organisasi

dapat mencoba hal baru, walaupun dengan

resiko membuat kesalahan, dan belajar dari

kesalahan tersebut. Melalui belajar, akan

dapat mengkreasikan diri, mampu

melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak

dapat dilakukan, dapat mengeksistensikan

diri dalam arti berkreasi mengutarakan ide

baru. Jadi organisasi yang terus belajar

berusaha untuk memperluas kapasitas

berkreasi ke masa depan secara terus

menerus, dalam rangka menempatkan

organisasi tidak pada posisi bertahan, dan

keterpaduan pembelajaran dalam disiplin,

memiliki peran yang sangat penting dalam

peningkatan kinerja.

Organisasi yang terus belajar

memungkinkan terjadinya perluasan

wawasan, timbulnya kesadaran baru,

diperolehnya pengetahuan baru, dan

meningkatnya kualitas diri sehingga

memungkinkan untuk beradaptasi dengan

perkembangan IPTEK, khususnya

penggunaan Teknologi Informasi dan

Komunikasi dalam pelayanan publik.

Dampaknya tentu akan luar biasa, di mana

informasi pembangunan akan tersebar secara

tepat, cepat, dan luas tanpa batas sehingga

seluruh publik bisa mengaksesnya tanpa

terikat dengan waktu dan tempat. Di mana

saja dan kapan saja publik akan memperoleh

informasi terbaru, khususnya informasi yang

berkaitan dengan kepentingan publik. Dan

sebaliknya, organisasi yang muak belajar,

maka organisasi tersebut akan ketinggalan

dan akan ditinggalkan oleh publik, sehingga

organisasi bukan sebagai agen pembaruan

melainkan sebagai agen persoalan. Tinggal

sekarang tergantung pada organisasi

tersebut, apakah mau belajar terus atau

digilas oleh kemjuan.

D. Manfaat Penggunaan TIK dalam

Pelayanan Publik

Ada beberapa manfaat penggunaan

TIK dalam pelayanan public, yang

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Dilihat dari sisi aparatur pemerintah

bahwa dengan menggunakan TIK dapat

meningkatkan efisiensi dan efektifitas

kinerja aparatur Negara atau pelayan

public. Penggunaan TIK menghemat

biaya, namun mampu menjangkau

publik dalam jangkauan yang sangat

luas.

2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik

di mana masyarakat dapat mengakses

informasi-informasi terkini secara lelbih

leluas dan tanpa terikat oleh tempat dan

waktu. Pemerintah dan masyarakat

sama-sama memperoleh kemudahan

karena terbantu oleh penggunaan TIK.

3. Penggunaan TIK meningkatkan

kepercayaan publik pada aparatur

karena dengan TIK maka program-

program pembangunan bisa dikontrol

secara terbuka oleh publik. Publik

menjadi percaya bahwa aparatur

(pemerintah) telah menunjukkan

keterbukaan dan transparansi pada

publik sebagai petunjuk terwujudnya

good governance.

4. Memberikan peluang dan kesempatan

pada masyarakat luas untuk mengetahui

sedini mungkin informasi tentang

program-program pelayanan publik

(pembangunan), sehingga mereka

bersiap diri untuk ambil bagian dalam

proses-proses pembangunan.

5. Dengan menggunakan TIK dalam

pelayanan publik menciptakan

lingkungan baru bagi warga mayarakat,

yakni lingkungan atau suasana yang

mendorong masyarakat untuk terus

belajar dan mengetahui sesuatu yang

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

5

baru mengenai kehidupan masyarakat

dan/atau pembangunan.

E. Penerapan Penggunaan TIK dalam

Pelayanan Publik

Untuk menerapkan penggunaan

TIK dalam pelayanan publik memang sangat

sulit untuk diwujudkan di wilayah terluar

atau pedalaman yang prasarananya belum

tersedia, seperti jaringan internet, sementara

di daerah perkotaan perkembangan internet

menjamur bagai jamur di musim hujan.

Inilah yang membuat jarak perkembangan

dan kecepatan arus informasi antara di

wilayah perkotaan dan pedesaan, khuusnya

wilayah terluar sangat lebar. Sehingga

kebanyakan masyarakat di wilayah terluar

itu ketinggalan jauh dibanding masyarakat di

perkotaan. Akibatnya, proses perubahan dan

perkembangan wilayah tersebut ketinggalan

secara terus-menerus. Apabila kondisi

semacam ini terus tidak terpecahkan secara

terencana, terintegrasi, dan berkelanjutan

maka akan memungkinkan mengguncang

stabilitas nasional. Dengan terbatasnya

sarana/prasarana dalam upaya menerapkan

TIK dalam pelayanan publik merupakan

tantangan tersendiri bagi pemerintah. Hal

tersebut merupakan masalah (kebutuhan)

awal yang harus dipecahkan oleh

pemerintah. Langkah awal yang harus

dilakukan antara lain adalah menyediakan

jaringan internet Dalam hal penyediaan

sarana ini pemerintah bisa menempuh

kerjasama dengan para pengusaha apabila

pemerintah (daerah setempat) tidak memiliki

anggaran yang cukup untuk itu. dan

menggugah kesadaran masyarakat untuk

bisa beradatasi dengan perkembangan TIK.

Apabila kebutuhan sarana jaringan internet

sudah ada, itu tidak berarti bahwa penerapan

TIK dalam pelayanan publik langsung

berjalan sebagaimana diharapkan.

Pemerintah masih dihadapkan dengan

tantangan kelanjutan baru, yakni

membangun kesadaran masyarakat tentang

pentingnya untuk beradaptasi dengan

perkembangan TIK sehingga mereka bisa

mengakses setiap informasi yang diunggah

di website. Ada banyak alasan masyarakat

tidak mau menggunakan jeringan internet

dalam rangka memperoleh informasi-

informasi penting tentang pembangunan.

Diantara alasan-alasan tersebut adalah

rendahnya motivasi dan rendahnya

kemampuan mengoperasiikan internet.

Selengkap apapun jaringan internet yang

menyediakan informasi-informasi penting

bagi masyarakat apabila mereka tidak

memiliki motivasi yang tiinggi dan tidak

mau belajar mengoperasikan internet maka

TIK tidak memberikan manfaat apa-apa bagi

masyarakat. Salah satu kelemahan besar bagi

masyarakat bangsa kita adalah lemahnya

mtivasi belajar (membaca), apalagi harus

mengeluarkan uang.

Dalam hal penggunaan TIK dalam

pelayanan publik di berbagai daerah

pemerintah bisa kerjasama dengan berbagai

organisasi/lembaga terkait khususnya

perguruan tinggi melaluitri dharmanya.

Kerjasama dengan perguruan tinggi akan

lebih efisien dan efektif karena SDM-nya

relatif lebih memenuhi syarat. Banyak dosen

dan mahasiswa yang berkemampuan dalam

aktivitas motivasi sosiaol dan juga dalam hal

penggunaan TIK mulai dari mendesain

website/blog hingga upload datanya.

Program penggunaan TIK dalam pelayanan

publik dimasukkan sebagai salah satu

program pengabdian masyarakat yang

dilaksanakan oleh para mahasiswa atau

dosen sehingga ada titik temu antara

program perguruan tinggi dan program

pemerintah (pembangunan).

Apa yang harus dilakukan oleh

pemerintah antara lain adalah: 1)

mempersiapkan dan melatih tenaga-tenaga

di masing-masing birokrasi atau lembaga-

lembaga (dinas-dinas) pemerintahan mulai

dari tingkat desa hingga

perkotaan/kabupaten. Yang dipilih untuk

dilatih adalah bukan sembarang orang,

melainkan mereka yang memiliki minat dan

motivasi terhadap TIK dan siap untuk

menjalankan tugas di bidang pelayanan

publik berbasis TIK. Setiap ada keputusan,

pelaksanaan program, atau perubahan-

perubahan dan perkembangan, bahkan juga

persoalan, yang terjadi maka hal tersebut

harus diinformasikan secepatnya pad

masyarakat. Layanan ini hanya mungkin

dilakukan dengan menggunakan jaringan

internet.

F. Rangkuman

Perkembangan Teknologi Informasi

dan Komunikasi (TIK) telah menciptakan

perubahan-perubahan besar dalam semua

sector pembangunan. TIK telah mampu

meretas sekat-sekat informasi dalam

kehidupan manusia. Tidak ada lagi kendala

waktu dan lokasi, di mana kapan saja dan di

mana saja masyarakat dapat mengakses

informasi yang mereka perlukan.

Penggunaan TIK dalam pelayanan

publik telah membuat kemudahan-

kemudahan baik dari sisi pemerintah dalam

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

6

proses penebaran informasi pembangunan,

dan begitu juga pada sisi masyarakat bahwa

masyarakat memperoleh kemudahan dalam

mengakses informasi-informasi penting

yang telah dipublikasikan oleh pemerintah

melalui media berbasis TIK.

DAFTAR PUSTAKA

Lovelock, Christoper. 1994. Product Plus,

How Product and Service Competitive

Advantage, New York: Graw Hill, Inc.

Ramo, Simon andRobin K. St.Clair. 1998.

The Systems Approach. Fresh Solutions To

Complex Problems Through Combining

Science And Practical Common Sense.

California: KNI, INCORPORATED.

Sedarmayanti. 2004. Good Governance

(Kepemerintahan yang Baik). Bagian Kedua.

Bandung: Mandar Maju

Tjiptono, Fandy. 2002. Manajemen Jasa,

Yogyakarta: Penerbit Andi.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

7

TECHNOLOGIES AND STRATEGIES FOR PROVIDING EDUCATION

THROUGHOPEN AND DISTANCE LEARNING SYSTEM AT REMOTE REGIONS

IN INDONESIA(CASE STUDY AT PONTIANAK, WEST KALIMANTAN,

INDONESIA)

Joko Isdianto UPBJJ-UT Pontianak

Abstract

As we know that technology helps many people in the world whatever their fields. One of

the main benefit of the technology is the helping distance teaching and learning. Technology here

is the main support for the educational development in the most remote regions in Indonesia.

Many people use the advanced technologies, such as internet, as the main wares of the educational

development. They promote the using of internet in many schools in Indonesia, specially in remote

regions, such as remote regions in Sumatera, Kalimantan, Sulawesi and Papua. Today, most of the

students in such remote regions always have fun in their study with internet as the advanced

technology. Technology has enchaned teaching and learning method in Indonesia, Specially in

remote region. Many Students has used advanced technology, such as computer in the classroom,

new website, interactive key board, Blog and wikis, in this case, Web 2.0 that implemented in the

class, so the students can have much more dialogues, digest dialogues, ideas and brainstorming.

Beside that kinds, wireless michrophone, mobile and digital game, also to be the other alternatives

of the advanced technologies in enchanced teaching and learning sys tem. Distance educational

system by using advanced technologies make the goal of international education system become

more achievable and more accessible to all students. Here, Technology has more contributions to

the enchanced teaching and learning system, like what display in this site:

http://www.slideshare.net/NASuprawoto/penggunaan-internet-dalam-pembelajaran-matematika-

di-sd.

Here, Online tutorial is the most favourable mechanism for providing education through

Open and Distance Learning System all over the world. Online tutorial gives the students so many

things and choices for learning, beginning from the materials of studies, the choices of b ooks

shopping, various literatures at online library, various kind of friends for communicating between

one student to another.

So, Technologies and Online Learning Strategies can provide education through Open

and Distance Learning System at Remote Regions in Indonesia.

Introduction As we know that technology helps

many people in the world whatever their

fields. One of the main benefit of the

technology is the helping distance teaching

and learning. Technology here is the main

support for the educational development in

the most remote regions in Indonesia. Many

people use the advanced technologies, such

as internet, as the main wares of the

educational development. They promote the

using of internet in many schools in

Indonesia, specially in remote regions, such

as remote regions in Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi and Papua. I Observed at West

Kalimantan, Pontianak, Indonesia. Pontianak

is stated at Equator Line, Kalimantan Island,

located at North of Jakarta, Indonesia.

Today, Specially at West

Kalimantan, Most of the Open University‘s

Students always uses the internet materials

facilities. The Most Students of Post

Graduate at Pontianak ODL Unit uses the

online tutorial as their studies materials.

Here, the Datas about the Graduation

Numbers of Post Graduate Students at

Pontianak ODL Unit since 2006-2012 that

using online tutorial materials :

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

8

Sources: Pontianak ODL Unit

From datas above, at Pontianak

ODL unit (study scale 2006-2012), we can

know that The large numbers of Post

Graduate Students at Pontianak ODL unit

could finish their study ―on time‖ (in 3

years). Eventhough, they study with ODL

System by using Indonesia Open University

Website.

The Next, we can know about datas

of Online Tutorial using at Pontianak ODL

Unit, here we are :

DATAS OF ONLINE TUTORIAL USING AT PONTIANAK ODL UNIT

POST GRADUATE PROGRAMS 2006-20012

No Departements Location of Study Number of Students

Percentage of Using ODL ( % )

Final Result of ODL

1 Magister Administrasi

Publik Sintang 120 100 Thesis

Landak 5 100 Thesis

Kapuas Hulu 12 100 Thesis

Bengkayang 26 100 Thesis

2 Magister Manajemen Singkawang 34 100 On Process Thesis

Kapuas Hulu 35 100 Thesis

3 Magister Manajemen

Perikanan Pontianak 13 100 Thesis

Final Total 245

Sources: UPBJJ-UT Pontianak 2012

From the datas above we can know

that all Post Graduate Programme Students

always use the online tutorial facilities and

Indonesia open university website (100%).

Even, They all can finish their thesis till the

end. Eventhough, they learned with ODL.

They all from remotes area at West

Kalimantan, Indonesia.

Today, most of the students in such

remote regions always have fun in their

study with internet as the advanced

technology. Technology has enchaned

teaching and learning method in Indonesia,

Specially in remote region. Many Students

has used advanced technology, such as

computer in the classroom, new website,

interactive key board, Blog and wikis, in

this case, Web 2.0 that implemented in the

class, so the students can have much more

dialogues, digest dialogues, ideas and

brainstorming. Beside that kinds, wireless

michrophone, mobile and digital game, also

to be the other alternatives of the advanced

technologies in enchanced teaching and

learning system. Distance educational

system by using advanced technologies

make the goal of international education

system become more achievable and more

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

9

accessible to all students. Here, Technology

has more contributions to the enchanced

teaching and learning system, like what

display in this site:

http://www.slideshare.net/NASuprawoto/pen

ggunaan-internet-dalam-pembelajaran-

matematika-di-sd.

Datas at Pontianak ODL about Online

materials shows :

DATAS OF ONLINE TUTORIAL MATERIALS USING AT PONTIANAK ODL UNIT, INDONESIA

POST GRADUATE PROGRAMS 2006-20012

No Departements Location of

Study Number of Students

Online Materials Final Result ODL

1 Magister Administrasi Publik Sintang 120

Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis

Landak 5

Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk,

Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis

Kapuas Hulu 12

Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities Facilities Indonesia open university

website Thesis

Bengkayang 26 Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis

2 Magister Manajemen Singkawang 34

Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk,

Internet Facilities Facilities, Indonesia open university website

On Process Thesis

Kapuas Hulu 35 Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities Indonesia open university website Thesis

3

Magister Manajemen

Perikanan Pontianak 13

Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk,

Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis

4 Magister Manajemen Pendidikan

Modul , Compact Disk, Internet Facilities

Final Total 245

Sources: UPBJJ-UT Pontianak 2012

From Datas above, we can know

about the online software that always be used by Post Graduate Programme Students at Pontianak ODL Unit, Indonesia, easier and simplier for use. So, The Students like to use the website of Indonesia Open University, eventhough they are all seattled at remotes area at West Kalimantan, Indonesia, such as Sintang and Kapuas

Hulu, (Those towns are far away from Pontianak by Aircraft), and

Bengkayang is Frontier / Border area at West Kalimantan. Here, we give the samples of ODL Materials for Hubungan Pusat-Daerah Materials (Centre-Region Government

relationship Lecture).We give the

samples of materials.

:UT-Online HOME

MY COURSES MY PROFILE

SHORTCUTS

Hidupkan Mode Ubah

HUBUNGAN PUSAT DAERAH | BAGAN MINGGUAN

Forum Berita

RAT dan SATWord document

Skip Upcoming Events

UPCOMING EVENTS

There are no upcoming

events

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

10

PENTING bagi mahasisw a yang mengambil MK ISIP4215

Pengantar Statistik SosialWord document

This

w eek 10 JULI - 16 JULI

Inisiasi 1Bacaan

Diskusi 1Forum

"KLIK" REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-

DAERAHForum

17 JULI - 23 JULI

Inisiasi 2Bacaan

Diskusi 2Forum

REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum

24 JULI - 30 JULI

Inisiasi 4Bacaan

Diskusi 3Forum

REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum

31 JULI - 6 AGUSTUS

Inisiasi 3Bacaan

Tugas 1

REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum

7 AGUSTUS - 13 AGUSTUS

Inisiasi 5Bacaan

TUGAS 2

REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum

14 AGUSTUS - 20 AGUSTUS

inisiasi 6Bacaan

Diskusi 4Forum

REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum

21 AGUSTUS - 27 AGUSTUS

Inisiasi 7Bacaan

Go to calendar...

New Event... Skip Berita terbaru

BERITA TERBARU

Tambah topik baru...

(Belum ada berita yang

dikirim) Skip Aktif itas lalu

AKTIFITAS LALU

Aktivitas sejak Jumat, 12

Juli 2013, 13:38

laporan lengkap aktif itas

terbaru...

Tidak ada yang baru

sejak Anda terakhir login

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

11

Tugas 3

BERITA PENTING...!!!Forum

REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum

28 AGUSTUS - 3 SEPTEMBER

Inisiasi 8Bacaan

Diskusi 5Forum

BERITA PENTING...!!!Forum

REFRENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum

UT-Online/ IPEM4425.01

HUBUNGAN PUSAT DAERAH

Notes

Tuton Yang Saya Ikuti

IPEM4425.01

Tidak aktif selama lebih dari

Pilih periode

Daftar pengguna

Current role

Semua

Semua peserta: 283

(Keanggotaan tidak dipergunakan selama lebih dari 180 hari akan secara otomatis dikeluarkan dari Tuton)

Nama Depan : Semua A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z Nama akhir : Semua A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

Halaman: (Sebelumnya) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 (Selanjutnya)

GAMBAR PENGGUNA

NAMA DEPANURUTAN BERDASARKAN NAMA DEPAN URUT NAIK / NAMA AKHIRURUTAN

BERDASARKAN NAMA AKHIR URUT NAIK

KOTAURUTAN BERDASARKAN KOTA URUT

NAIK

NEGARAURUTAN BERDASARKAN

NEGARA URUT NAIK

TERAKHIR AKSESURUTAN

BERDASARKAN TERAKHIR AKSES URUT

TURUN

PILIHURUTAN BERDASARKAN

PILIH URUT NAIK

MARTINA HESTIS 014367572 .

66 hari 21 jam

KUSMA 015895191 .

66 hari 22 jam

priyanto - Jakarta Indonesia 67 hari 1 jam

M A S R I 015209284 .

67 hari 3 jam

TEGUH MULYONO 017986724

Tambak Banyumas

Indonesia 68 hari 19 jam

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

12

ULY SUPRAYOGI 018479369 Jakarta Indonesia 68 hari 21 jam

SRI ANDANI FITRIANISYAH 014710925

.

68 hari 22 jam

MUHAMMAD RIDWAN 017231629 Sambas Indonesia 69 hari

WINI NOVITA 016014571 .

69 hari 1 jam

ISILATINA 017082079 .

69 hari 2 jam

ADI PUTRA NOVRIONO 016282568 . Indonesia 69 hari 2 jam

HERU NURFAHMI 018075915 Tegal Indonesia 69 hari 2 jam

ENNY NASIRWAN 015553632 .

69 hari 2 jam

YATTI D OEMANU 014079176 .Kupang Indonesia 69 hari 3 jam

ADY TRI YANDHONO 016148309 . Indonesia 69 hari 5 jam

SIMON BATU PATIONA 018783301

.Lew oleba -

Lembata Indonesia 69 hari 11 jam

ASEP PRAMIADI 016153966 .

69 hari 15 jam

ELAH NURLAELAH 016736962 Batam Indonesia 69 hari 21 jam

RIAN SAPUTRA 016087724

muntok bangka

barat Indonesia 69 hari 21 jam

RIAN DWI SURYA 016133093 tegal Indonesia 69 hari 23 jam

Halaman: (Sebelumnya) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 (Selanjutnya)

Dengan pengguna yang dipilih...

Tampilkan semua 283

Anda login sebagai Joko Isdianto, S.Sos, M.Si Pontianak. (Keluar)

Here, Online tutorial is the most favourable mechanism for providing education through Open and Distance Learning System all over the world, even at remotes Areas, like West Kalimantan. Online tutorial gives the

students so many things and choices for learning, beginning from the materials of studies, the choices of books shopping, various literatures at online library, various kind of friends for

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

13

communicating between one student to another.

The problem solving for overcoming the signal trouble at remote areas for connecting ODL Website at Remote Areas is used to use modem, Blue Tooth, or Wi fi.So, Technologies and Online Learning Strategies can provide education through Open and Distance Learning System at Remote Regions in Indonesia.

REFERENCES

Hamalik Oemar. 1993. Sistem

Pembelajaran Jarak Jauh Dan Pembinaan Ketenagaan, Bandung: Trigenda karya

Kearsley Greg. 2000. Online Education; Learning and Teaching in Cyberspace. Wadsworth Thomson Learning

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.107/U/2001 (2 Juli 2001) tentang ‖Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh‖

Jurnal Online Teknologi Pendidikan, Sustaining Open Education Resources, November 24, 2008

http://www.teknologipendidikan.net/2010/06/05/e-learning-dalam-pendidikan-jarak-jauh/

http://www.slideshare.net/NASuprawoto/penggunaan-internet-dalam-pembelajaran-matematika-di-sd.

http://www.ut.ac.id/mahasiswa-dan-alumni/strategi-belajar.html

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

14

ANALISIS DIALEK LOKAL SEBAGAI PENANDA IDENTITAS LOKAL

INDIVIDU ( STUDIINTERLANGUAGE MAHASISWA DI ILMU

ADMINISTRASI NEGARA STISOSPOL “WASKITA DHARMA” MALANG )

Abd. Syakur Dosen Tetap Yayasan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma― Malang

Abstract

An analysis of Dialect is the symbol of individual an identity From the dialect, every

individual did not understand but they have undrestood, in another hands the presence of glowing

present dialect phenomena in the student circles, the identity of every individual becomes

disguised. The students would rather feel more comfortable to use the present dialect than local

dialect. They do this to make the process of social adaptation and adjustment easily.

This reserach has an objective in observing communication experience and understanding

of students in using interlanguage for social and comunication directly in Stisospol “Waskita

Dharma” Malang

The result of this research shows that the students would rather choose to use the present

dialect to be able to adapt and communicate with the surroundings and another student in

Stisospol “Waskita Dharma” Malang the present dialect which is used by the students constituties

the adaptation process with new surroundings. They can jo in into a new group if they use the same

dialect which is considered as superior dialect. Although the informan would rather choose to use

the present dialect than their own local dialect, they still have an understanding about the

existence of local dialect. Dialect is one of our own national culture, so if we do not perpetuate

that our local dialect can be extinct. Key word:Interlanguange, present dialect, local dialect, students Style in accent.

PENDAHULUAN

Fenomena dialek kekinian muncul

di dalam sebuah komunitas, terutama

komunitas anak muda. Berbagai macam

dialek dan bahasa akan terbentuk di dalam

komunitas. Bagi individu yang menjadi

anggota dari komunitas tersebut harus

menyesuaikan dialek dan bahasa yang sudah

digunakan. Individu-individu ini berusaha

untuk menjadikan dialek sebagai alat agar ia

dianggap oleh kelompok lainnya, sehingga

ia bisa dengan leluasa melakukan

komunikasi dan pendekatan-pendekatan

emosional dengan anggota kelompok.

Dialek kekinian lebih sering digunakan

karena dianggap lebih modern dan gaul.

Dalam konteks kekinian, dialek dan bahasa

gaul merupakan dialek bahasa Indonesia

non-formal yang digunakan di suatu daerah

atau komunitas tertentu. Seperti halnya TL -

SL dalam sebuah teori Caique translation.

Bahasa merupakan identitas diri.

Cara sederhana untuk menentukan identitas

kita dan mempengaruhi cara orang lain

memandang kita adalah dengan

menggunakan bahasa. Bahasa sangat penting

bagi pembentukan identitas individu dan

identitas sosial. Setiap partisipan komunikasi

pastimemiliki aksendandialek. Aksen yaitu

istilah yang mengacu padapengucapan,

aksenhanyavariasidalam pengucapanyang

terjadiketika orangberbicara bahasa yang

sama. Ini merupakan akibat dari perbedaan

geografisatau sejarah (Samovar, 2009: 227).

Pelafalan khas yang menjadi ciri seseorang

penduduk dari suatu tempat atau daerah.

Aksen juga lebih gampang disebut sebagai

logat. Aksen bahasa biasanya terkait dengan

wilayah geografis tertentu. Contohnya

seperti di madura dialek ini memiliki

pengucapan yang cukup berbeda dengan

Bahasa Jawa Standar.

Beraneka dialek hidup di dalam

suatu masyarakat, pemakai dialek ini

memungkinkan terjadinya persaingan dalam

upaya menempati tempat istimewa dalam

masyarakat tertentu. Jika masyarakat yang

secara sosial budaya beraneka ragam itu

merupakan kesatuan politis dan geografis,

akan timbul masalah kebahasaan. Masalah

bahasa ini sudah pasti melibatkan

masyarakat tuturnya. Penduduk yang

menggunakan beraneka ragam bahasa atau

dialek secara serempak, memerlukan alat

penghubung yang memungkinkan semua

warga masyarakat dalam satuan politik itu

bergaul dan bekerja sama. Sering kali karena

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

15

sedemikian kompleksnya, pemerintah harus

ikut campur menyelesaikannya. Faktor ini

membuat bahasa menjadi objek yang tidak

terhindarkan dari aneka pilihan politis

(Coulmas 2006:184: Moeliono 1985:1:

Alwasilah 1993:91 dalam Moriyama, 2010:

34).

Dinamika keberagaman dialek

pernah menimbulkan nuansa kekerasan di

Kabupaten Banyuwangi, yaitu orang Using

(Osing) bertempat tinggal sebuah kabupaten

yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa

Timur. Kerumitan seperti itulah yang

akhirnya dapat dipecahkan para pemuda

dalam Kongres Pemuda Indonesia pada

tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan

Sumpah Pemuda, Indonesia mempunyai

bahasa nasional yang mempersatukan

ratusan bahasa dan dialek. Kedudukan dan

fungsi Bahasa Indonesia yaitu sebagai

bahasa nasional, selain itu sebagai lambang

jatidiri bangsa, lambang kebanggaan bangsa,

alat pemersatu bangsa, alat perhubungan

antar budaya dan antar daerah sesuai

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009

tentang bendera, bahasa dan lambang negara

serta lagu kebangsaan. “Bahwa bendera,

bahasa, dan lambang negara, serta lagu

kebangsaan Indonesia merupakan sarana

pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi

bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan

kehormatan negara sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian yang digunakan

adalah deskriptif kualitatif. Penelitian

kualitatiflebih mungkinuntuk

mengeksplorasiproses daripada hasil. Riset

kualitatifberfokus

padamaknapengalamandengan

mengeksplorasibagaimanaorangmenjelaskan

, menggambarkan, danmetaforamasuk

akaldari sebuah pengalaman.Tujuan dari

penelitiankualitatif lebihdeskriptif

daripadaprediktif. Tujuannya adalah

untukmemahamisecara mendalamsudut

pandangpesertapenelitian.Menyadaribahwa

pemahamansemuadibangun melalui

interpretasi peserta penelitian yang berbeda-

beda dari pengalamanmereka sendiri

dansistem sosialdi manamereka

berinteraksi(Adnan Latief, 2012:26)

Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (Indepth Interview).

Yaitu cara mengumpulkan data atau

informasi dengan cara langsung bertatap

muka dengan responden agar mendapatkan

data secara lengkap dan mendalam. Subjek

penelitian diminta untuk menceritakan

kembali mengenai teks yang sudah

dikonsumsinya.Karena penelitian ini bersifat

kualitatif, maka pedoman yang digunakan

dalam wawancara adalah tidak berstruktur,

yaitu tidak selalu terpaku pada daftar

pertanyaan yang telah dirancang, tetapi

berkembang sesuai dengan jalannya

wawancara.

Penelitian yang dilakukan dengan

mengembangkan konsep dan menghimpun

fakta mengenai aktivitas komunikasi

mahasiswa Ilmu administrasi Negara dalam

menggunakan dialek kekinian sebagai alat

komunikasinya. Studi ini berusaha

mendeskripsikan pemahaman mahasiswa

terhadap dialek kekinian sebagai media

komunikasi dan menyimpulkan kondisi

dialek kekinian dalam kaitannya sebagai

media komunikasi di wilayah kampus.

Sehingga dapat dirumuskan pola komunikasi

mahasiwa dalam menggunakan dialek

kekinian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Data primer berasal dari hasil observasi dan

wawancara mendalam terhadap subjek

penelitian, yaitu informan I yang berasal dari

Madura, Informan II yang berasal dari

Pasuruan, Informan III yang berasal dari

lumajang dan informan IV berasal dari

Bandung. Ke-4 informan menjadi subjek

penelitian ini karena dalam aktivitas

berkomunikasinya di wilayah kampus dan

sekitarnya menggunakan dialek kekinian

gue-lo, walaupun ada kalanya mereka

menggunakan dialek daerah mereka masing-

masing.

Interpretasi mahasiswa mengenai

dialek lokal dapat dilihat dari bahasa dan

dialek yang digunakan dalam proses

komunikasi sehari-hari di kampus atau

sekitarnya, serta pengetahuan mahasiswa

tentang dialek lokal. Maka, dalam sub bab

ini, penulis membagi menjadi empat

kategori, yaitu (1) Pemahaman Bahasa dan

Dialek, (2) Media Komunikasi, (3) Dialek

Lokal, dan (4) Interaksi Sosial. Untuk

kategori Pemahaman Bahasa dan Dialek

para mahasiswa memberikan pemahaman

tentang bahasa, yaitu suatu simbol yang

disepakati bersama dan memiliki arti

tertentu dan digunakan untuk

berkomunikasi. Sedangkan untuk dialek

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

16

yaitu pengucapan atau pun cara

mempresentasikannya.

Kategori kedua yaitu Media

Komunikasi, terdapat 4 (empat) sub

kategori, yang pertama pemilihan dialek,

keempat mahasiswa ini memilih

menggunakan dialek kekinian sebagai alat

berkomunikasi mereka. Namun mereka yang

merupakan individu pendatang di

kotaMalang, lebih suka menggunakan

Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa sebagai

alat untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Karena dengan menggunakan kedua bahasa

tersebut, mereka dapat menyesuaikan

kepada siapa mereka berkomunikasi. Untuk

sub bab kedua yaitu konteks penyesuaian

dialek sebagai alat komunikasi. Para

mahasiswa memilih menggunakan dialek

Kekinian karena dialek tersebut lebih

banyak menggunakan bahasa Indonesia,

sehingga lebih dimengerti oleh kebanyakan

teman-temannya di kampus. Hal itu mereka

lakukan agar mudah melakukan penyesuaian

untuk masuk ke dalam kelompok barunya.

Untuk sub bab ketiga membahas

tentang pemilihan dialek kekinian yang

dipilih oleh para mahasiswa. Ada 2

mahasiswa yang memilih menggunakan

dialek kekinian sebagai proses penyesuaian

dengan kelompok atau lingkungan baru,

sedangkan 2 yang lain menyebutkan karena

sudah lama dan terbiasa menggunakan

dialek kekinian, sehingga mereka merasa

lebih nyaman menggunakan dialek kekinian.

Dan untuk sub bab terakhir, tentang

pemahaman dialek lokal. Para mahasiswa

menyebutkan bahwa dialek lokal adalah

sesuatu yang dianggap penting karena ciri

kita sebagai seorang individu yang berasal

dari sebuah daerah. Dengan adanya dialek

kedaerahan, kita bisa mengetahui darimana

asal orang yang kita ajak berbicara.

Kategori ketiga yaitu mengenai

pemahaman mahasiswa terhadap dialek

lokal. Di dalam kategori ini dibagi menjadi 3

(tiga) sub bab, yaitu (1) Kepedulian

Penggunaan Dialek Lokal, (2) Keseragaman

Bahasa dan Dialek, (3) Dialek Ideal di

Tengah Dialek Superior. Sub bab pertama

membahas tentang kepedulian mahasiswa

terhadap penggunaan dialek lokal. Salah satu

mahasiswa beranggapan bahwa apabila kita

tidak menggunakan dialek kekinian, maka

akan terjadi hilangnya salah satu

kebudayaan yang dimiliki oleh kita sebagai

warga Negara Indonesia. Sedangkan ketiga

mahasiswa lainnya beranggapan kalau, tidak

masalah apabila mereka tidak menggunakan

dialek lokal mereka sendiri, karena mereka

sebagai individu harus menyesuaikan

dengan siapa mereka berbicara. Namun

keempat mahasiswa ini tidak serta merta

ingin kehilangan salah satu kebudayaan

mereka, yaitu dialek lokal, mereka juga akan

mengajarkan kepada generasi penerus, agar

mereka masih mengetahui keberadaan dialek

lokal dan dapat menggunakan dialek

lokalnya masing-masing untuk

berkomunikasi.

Untuk sub bab kedua, yaitu

keseragaman bahasa dan dialek. Menurut

keempat keseragaman bahasa dan dialek

juga diperlukan karena keseragaman bahasa

dan dialek akan lebih mempermudah

komunikasi antar suku. Asalkan tetap

memahami dan mengerti dialek daerah

masing-masing. Dan sub bab ketiga, tentang

dialek ideal di tengah dialek superior.

Menurut keempat mahasiswa, dialek yang

ideal yang seharusnya digunakan oleh

masyarakat adalah dialek yang dapat

dipahami oleh orang-orang yang ada di kota

besar itu juga, dialek yang sebelumnya

sudah digunakan oleh individu yang ada di

kota tersebut.

Kategori keempat yaitu membahas

tentang interaksi sosial yang dilakukan oleh

mahasiswa sebagai informan. Dalam

kategori ini, dibagi menjadi 4 (empat) sub

bab, yaitu (1) Fenomena Dialek Kekinian,

(2) Sikap Individu Lain Terhadap Dialek

yang digunakan Informan, (3) Kemudahan

dalam Berinteraksi, serta (4) Penyesuaian di

Lingkungan Baru. Sub bab pertama yaitu

pemahaman mahasiswa terhadap fenomena

dialek kekinian, keempatnya mempunyai

pendapat tentang fenomena dialek kekinian

yang sedang marak, mereka beranggapan

bahwa tidak masalah apabila mereka

menggunakan dialek kekinian, karena sudah

ada mindset yang terbangun dari anak-anak

muda jaman sekarang dalam menggunakan

dialek kekinian. Bahwa penggunanaan

dialek kekinian gue-lo sudah bukan hal yang

tabu meskipun mereka tidak berasal bahkan

tidak tinggal di wilayah ibu kota jakarta

yang memang menggunakan dialek kekinian

gue-lo sebagai alat komunikasinya sehari-

hari. Untuk sub bab kedua yaitu sikap

individu lain terhadap dialek yang

digunakan informan (mahasiswa). Para

mahasiswa ini sempat menggunakan dialek

lokalnya masing-masing untuk

berkomunikasi dengan anggota kelompok

atau lingkungannya, lalu pandangan dari

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

17

sekitarnya ada yang suka ada yang biasa

saja. Tetapi ada juga yang tertawa

mendengarkan logat yang mereka gunakan.

Namun, sampai sekarang belum ada yang

menyebut mereka kampungan karena

menggunakan dialek lokal.

Untuk sub bab ketiga, yaitu

kemudahan dalam berinteraksi, keempatnya

sangat setuju ketika mereka menggunakan

dialek kekinian maka kemudahan dalam

berinteraksi mereka dapatkan karena dengan

menggunakan dialek tersebut akan lebih

diterima oleh teman-teman dan akan

membuat semakin dekat dengan teman-

teman sehingga pergaulan akan mudah

dijalani. Dan untu sub bab keempat, yaitu

mengenai penyesuaian mahasiswa di

lingkungan baru. dengan mereka tidak

menggunakan dialek kedaerahannya untuk

berkomunikasi, mereka sedang melakukan

proses penyesuaian dengan keadaan agar

dapat saling memahami satu sama lain di

dalam komunikasi yang sedang terjadi. Para

mahasiswa juga tidak ingin dianggap merasa

kurang gaul apabila tidak menggunakan

dialek kekinian, karena tergantung dengan

konteks dimana ia sedang berkomunikasi.

Proses penyesuaian agar mudah

berkomunikasi, apabila ada yang

menggunakan aku-kamu, maka mereka juga

akan menggunakan aku-kamu. Selain itu,

menggunakan dialek kekinian agar sama

sehingga obrolan juga menjadi lebih enak.

Menurut mereka gaul tidak dilihat dari

dialek apa yang digunakan oleh individu.

Pembahasan

Bahasa dalampenggunaannyatentubersifat

dinamis dandalam setiapbahasayang hidup

terdapat berbagai perbedaan. Penggunaan

bahasasetiappembicaramemiliki

keunikannya masing-masing.Dengan kata

lain,setiap individu memilikidialek

merekasendiri. Namuntiap

individumempunyaibeberapa karakteristik

daricara mereka menggunakanbahasa

denganindividu lain, baik

secarapribadi,lokal, regional, nasional dan

bahkantingkat global. Kitasebagai individu

memang memilikikemampuan untuk

membuatpenilaian tentangindividu

berdasarkanjenisbahasayang mereka

gunakan (Bloomer, 2005: 277).

Setelah melakukan pengumpulan

data dan analisis data maka ditemukan

bahwa mahasiswa yang menggunakan dialek

kekinian ketika mereka berkomunikasi

disebabkan karena ingin beradaptasi dengan

mahasiswa lainnya. Dengan menggunakan

dialek yang sama, yaitu dialek kekinian,

maka proses komunikasi mereka akan

semakin mudah karena adanya penyesuaian

dialek. Disini dapat dilihat bahwa dialek

lokal semakin lama semakin ditinggalkan

oleh masyarakat karena keberadaan dialek

kekinian yang sedang menjadi fenomena di

kalangan mahasiswa pada khususnya.

Hal yang menarik dalam penelitian

ini adalah untuk memenuhi kebutuhannya

yang beranekaragam, seseorang

berkomunikasi dengan individu lain dengan

menggunakan bahasa sebagai alat utamanya.

Artinya, cara dan alat yang paling tepat

untuk menyampaikan maksud ditentukan

oleh aturan-aturan yang berlaku di

masyarakat dan kebudayaan masyarakat

yang bersangkutan. Terkait dengan kajian

bahasa, muncul perbedaaan logat atau yang

biasa disebut dengan dialek. Bahasa maupun

dialek merupakan alat komunikasi yang

secara tidak langsung menjadikan sebagai

identitas diri dari seseorang. Salah satu

caraberpikir tentangbahasayaitu dengan

carasistematis,menggabungkanunit yang

lebih kecilke dalamunit yang lebih

besaruntuk tujuankomunikasi.Sebagai

contoh, kitamenggabungkanbunyi

bahasakita untuk membentuk kata-kata

sesuai dengan aturandari bahasayang kita

gunakan untuk berkomunikasi.

Dengan bahasa, dialek maupun

aksen yang dimiliki oleh tiap-tiap individu

pasti akan memperlihatkan identitasnya

sebagai seorang individu. Identitas adalah

apa yang telah ditinggalkan dari "ras" dan

"kelas" yaitu, sisa-sisa sebuah prinsip

membagi dan memobilisasi yang secara

bertahap menggantikan individu rasional

yang bertindak dan berpikir sebagai sebuah

konsep dan sebagai istilah referensi dan

menunjukkan perang tak pernah berakhir

(Donskis, 2009: 54).

Mahasiswa sekarang lebih nyaman

menunjukkan identitas nasionalnya

dibanding identitas lokalnya. Hal ini mereka

lakukan agar proses adaptasi dan

penyesuaian semakin mudah. Setiap

mahasiswa akan berinteraksi satu sama lain

sepanjang waktu, mereka berbagi pengertian

untuk istilah-istilah dan tindakan-tindakan

tertentu. Maka dari itu, mereka akan

berusaha agar dapat berinteraksi secara terus

menerus. Karena apabila sebuah komunikasi

berhasil maka tujuan dari komunikasi dapat

tercapai juga.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

18

Keempat mahasiswa yang diteliti

menggunakan dialek kekinian dan dialek

lokal mereka sendiri dalam proses

komunikasinya. Mereka mengakui apabila

tidak menggunakan dialek kekinian maka

mereka akan sulit melakukan penyesuaian

dengan mahasiswa lainnya. Dengan tidak

adanya penyesuaian di dalam proses

komunikasi itu dapat menimbulkan

perbedaan makna antara mahasiswa tersebut

dengan mahasiswa lainnya. Ini berarti

semakin terlihat bahwa dengan munculnya

fenomena dialek kekinian, mahasiswa

akanmencoba menjadi individu lain agar

dapat berinteraksi terus menerus dengan

mahasiswa lainnya.

Simpulan

Dialek merupakan alat yang digunakan

oleh para informan untuk berkomunikasi

dengan individu lainnya. Selain itu, dialek

menjadi ciri identitas individu. Namun,

dialek sudah beralih fungsi dimata para

informan, yaitu sebagai alat untuk

menyesuaikan diri agar dapat diterima oleh

kelompok atau lingkungan baru mereka.

Dalam proses komunikasi, penyesuaian

antar individu sangat diperlukan, karena

dengan begitu, informan yang menjadi

individu baru di dalam sebuah kelompok

dapat diterima. Apabila di dalam kelompok

tersebut, bahasa dan dialek yang digunakan

atau yang sudah tercipta sebelumnya adalah

dialek superior, maka para informan sebagai

pendatang harus ikut menggunakan dialek

tersebut, seperti dialek kekinian sebagai alat

berkomunikasi.

Faktor penyesuaian yang menjadikan

para informan meninggalkan identitasnya

untuk berinteraksi dengan individu lainnya.

Dengan persamaan dialek, maka mereka

beranggapan bahwa akan mudah diterima

oleh individu lain, sehingga menurut

mereka, keseragaman bahasa dan dialek

akan sangat membantu memudahkan setiap

individu yang ingin berinteraksi dengan

individu lain yang berasal dari berbagai

macam daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi

Komunikasi. Surabaya: Prenada Media

Grup.

Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar

Manusia. Jakata: Karisma Publishing

Group.

Harsyo, 1997. Pengantar Antropologi.

Bandung : Bina Cipta

Koentjaraningrat, 1993. Manusia dan

Kebudayaan di Indonesia . Jakarta:

Djambatan.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar

Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta

: Pustaka Pelajar.

Latief, Adnan. Metode Penelitian Kualitatif.

Malang : UM Press.

Moriyama, Mikihiro. Manneke Budiman.

(2010). Geliat Bahasa Selaras

Zaman. Perubahan Bahasa-Bahasa

Di Indonesia Pasca-orde Baru.

Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia. Partanto Pius A, Kamus ilmiah populer

indek,1984 Jakarta: Arpola

Saefullah, Ujang. 2007. KAPITA SELEKTA

KOMUNIKASIPendejatan Agama

dan Budaya. Bandung : Simbiosa

Rekatama Media.

.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

19

UFOISME PERILAKU KOMUNIKASI DALAM AKULTURASI ANTAR ETNIS

JAWA DAN ETNIS MADURA DI KAB. MALANG ( STUDI KOMUNIKASI

ANTAR BUDAYA DI KEC. GEDANGAN KAB. MALANG

Sigit Wahyudi Dosen Tidak Tetap pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang

Abstrak

Komunikasi termasuk dalam ufoisme dan kebudayaan yang merupakan dua konsep yang

tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan t erletak pada variasi

langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial.

Pelintasan komunikasi itu menggunakan kode-kode pesan, baik secara verbal maupun nonverbal,

yang secara alamiah selalu digunakan dalam semua konteks interaksi. Pusat perhatian studi

komunikasi dan kebudayan juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola -pola tindakan, dan

bagaimana makna serta pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah kelompok sosial, kelompok

budaya, kelompok politik , proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan

interaksi antarmanusia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Tipe penelitian yang digunakan

adalah deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatiflebih mungkinuntuk mengeksplorasiproses

daripada hasil. Riset kualitatifberfokus padamaknapengalamandengan

mengeksplorasibagaimanaorangmenjelaskan, menggambarkan, danmetaforamasuk akaldari

sebuah pengalaman.Tujuan dari penelitiankualitatif lebihdeskriptif dari padapredictif (Adnan Latief, 2012:26).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 5 (lima) pasangan informan, yang

terdiri dan 5 informan etnis pendatang Jawa yang melakukan pernikahan dengan 5 informan

penduduk lokal yang berdomisili di Desa Sumber Rejo dan Desa sumber sari Kecamatan

Gedangan Kabupaten Malang sebagai tempat berlangsungnya proses akulturasi, maka

kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang pada pasangan suami istri yang melakukan

pernikahan beda etnis dan menganalisis prilaku komunikasi yang terjadi didalamnya.

Kata kunci : Ufoisme, komunikasi, akulturasi etnis

PENDAHULUAN

Komunikasi termasuk dalam

ufoisme dan kebudayaan yang merupakan

dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.

Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan

terletak pada variasi langkah dan cara

manusia berkomunikasi melintasi komunitas

manusia atau kelompok sosial. Pelintasan

komunikasi itu menggunakan kode-kode

pesan, baik secara verbal maupun nonverbal,

yang secara alamiah selalu digunakan dalam

semua konteks interaksi. Pusat perhatian

studi komunikasi dan kebudayan juga

meliputi bagaimana menjajaki makna, pola-

pola tindakan, dan bagaimana makna serta

pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah

kelompok sosial, kelompok budaya,

kelompok politik, proses pendidikan, bahkan

lingkungan teknologi yang melibatkan

interaksi antarmanusia.

Seiring berjalannya waktu,

pertumbuhan penduduk di Indonesia

semakin pesat. sebagai Negara yang

memiliki beragam budaya dan kultur yang

berbeda, Indonesia juga terdiri dari suku-

suku yang berbeda di setiap daerah. Dengan

perbedaan tersebut, tak jarang diantara

mereka melakukan akulturasi.

Akulturasi merupakan perpaduan

antara kebudayaan yang berbeda yang

berlangsung dengan damai dan serasi.

Akulturasi atau Culture Contect, sebagai

proses sosial yang timbul bila suatu

kelompok dengan kebudayaan tertentu

dihadapkan dengan unsur-unsur dari

kebudayaan asing dengan sedemikian rupa

yang lambat laun kebudayaan asing itu

diterima dan diolah sendiri tanpa

menyebabkan hilangnya keaslian budaya itu

sendiri. Dalam artian yang lebih lugas,

bahwa akulturasi merupakan proses yang

dilakukan oleh masyarakat pendatang untuk

menyesuaikan diri dengan memperoleh

kebudayaan masyarakat setempat.

Dalam akulturasi selalu terjadi

proses penggabungan (fusi budaya) yang

memunculkan kebudayaan baru tanpa

menghilangkan nilai-nilai dari budaya lama

atau budaya asalnya. Sebagaimana

masyarakat setempat memperoleh pola-pola

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

20

budaya lokal lewat komunikasi, begitu pula

dengan seorang transmigran yang

memperoleh pola-pola budaya lokal lewat

komunikasi. George Herbert Mead dalam

filsafat ilmu komunikasi (2007:3)

mengatakan bahwa setiap manusia

mengembangkan konsep dirinya melalui

interaksi dengan orang lain dalam

masyarakat dan itu dilakukan lewat

komunikasi.

Seiring berjalannya waktu, seorang

transmigran akan mengatur dirinya untuk

mengetahui dan diketahui dalam

berhubungan dengan orang lain dan itu

dilakukannya lewat komunikasi. Elvinaro

Ardianto dalam Filsafat Ilmu Komunikasi

(2007:2) mengemukakan bahwa tujuan dasar

komunikasi adalah mengendalikan

lingkungan fisik dan psikologis kita. Lewat

komunikasi kita menyesuaikan diri dan

hubungan dengan lingkungan kita.

Proses akulturasi mengarah kepada

terjadinya asimilasi sebagai proses sosial

yakni suatu proses dimana individu-individu

atau kelompok-kelompok yang sebelumnya

berbeda-beda perhatiannya yang kemudian

mempunyai pandangan yang sama. Dengan

kata lain proses dari dua atau lebih

kebudayaan yang berbeda, tetapi secara

perlahan-lahan menjadi sama. Proses ini

berlangsung dua arah, saling mempengaruhi

dan saling mengisi sehingga membentuk

pola budaya baru. Hal ini berlangsung secara

terus-menerus dan dalam kondisi setaraf

antara individu atau kelompok.

Untuk mempermudah terjadinya

akulturasi, maka kecakapan komunikasi dari

transmigran merupakan hal yang sangat

berpengaruh. Sebagaimana seorang

transmigran pun memperoleh pola-pola

budaya penduduk lokal melalui komunikasi.

Seseorang transmigran akan mengatur

dirinya untuk mngetahui dan diketahui

dalam berhubungan dengan orang lain. Pada

akhirnya, bukan hanya system sosio-budaya

transmigran tetapi juga system sosio-budaya

masyarakat setempat akan mengalami

perubahan sebagai akibat dari kontak

komunikasi antar budaya dalam rentan

waktu yang lama. Malinowski dalam

Kebudayaan dan Lingkungan dalam

Perspektif Antropologi (2000:105)

mengatakan bahwa perubahan kebudayaan

bisa saja disebabkan oleh faktor-faktor dan

kekuatan spontan yang muncul dalam

komunitas atau hal tersebut bisa juga terjadi

melalui kontak dengan kebudayaan yang

berbeda.

Masalah pembauran budaya

merupakan masalah yang sangat kompleks,

sarat akan konflik, yang terkadang berakhir

dengan tejadinya disintegrasi. Dimana

hambatan komunikasi antara dua budaya

seringkali timbul dalam bentuk pebedaan

persepsi terhadap norma-norma budaya,

pola-pola berpikir, struktur budaya, system

budaya serta masalah komunikasi. Demikian

pula halnya di Kecamatan Gedangan yang

memiliki luas 103,62 km2 sebagai unit

pemukiman penduduk setingkat kecamatan

yang secara administratif berada di wilayah

Kabupaten Malang, dengan kapasitas jumlah

penduduk 8.157 jiwa yang sebagian

masyarakatnya berasal dari etnis pendatang

Madura dan Asli Jawa yang bermukim di

Desa Sumber Rejo dan Desa Sumbersari

Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang.

Berdasarkan pengamatan tersebut,

penulis mencoba membahas Akulturasi antar

etnis yang ada di Kecamatan Gedangan

khususnya Desa Sumber Rejo dan Desa

SumbersariDimana etnis pendatang Madura

menghadirkan budaya sukunya sehingga

terjadi pembauran budaya dengan Jawa di

Kecamatan Gedangan. Melihat keadaan

seperti ini maka penulis tertarik untuk

melakukan suatu penelitian tentang proses

akulturasi serta faktor-faktor lain yang dapat

mempermudah terjadinya akulturasi yang

mengarah pada asimilasi.

Kerangka Teori

Pada dasarnya prilaku komunikasi

merupakan interaksi dua arah, dimana

seseorang terlibat didalamnya berusaha

menciptakan dan menyampaikan informasi

kepada penerima. Dalam hal ini sumber dan

penerima harus mengformulasikan,

menyampaikan serta menanggapi pesan

tersebut secara jelas, lengkap dan benar.

Dengan demikian prilaku komunikasi tidak

lain dari bagaimana cara melakukan

komunikasi dan sejauh mana hasil yang

mungkin diperoleh dengan cara tersebut.

Perilaku komunikasi dikategorikan

sebagai prilaku yang terjadi dalam

berkomunikasi verbal maupun nonverbal,

yaitu bagaimana pelaku (sumber dan

penerima) mengola dan mentransfer suatu

pesan. Disini sumber seharusnya

mengformulasikan dan menyampaikan pesan

secara jelas, lengkap dan benar. Sementara

pihak yang menerima (penerima) diharapkan

menanggapi pesan seperti apa yang

dimaksud oleh sumber.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

21

Komunikasi antar budaya bukan

merupakan sesuatu yang baru terjadi.

Semenjak terjadinya pertemuan antara

individu-individu dengan latar belakang

kebudayaan yang berbeda. Sebagai salah

satu studi sistematik, komunikasi antar

budaya membahas mengenai kontak atau

interaksi yang terjadi antara orang-orang

yang memiliki latar belakang kebudayaan

berbeda dan relatif masih baru.

Transmigran yang memasuki suatu

daerah yang memiliki kebudayaan yang

berbeda harus memiliki potensi akulturasi

yang memadai untuk bisa menyesuaikan diri

dengan budaya yang baru agar bisa

mengatur dirinya untuk mengetahui dan

diketahui dalam berhubungan dengan

penduduk setempat.

Dalam akulturasi, proses

komunikasi menjadi hal utama. Hal ini

terjadi melalui identifikasi dan internalisasi

lambang-lambang masyarakat yang

dimasuki oleh seorang individu melalui

proses komunikasi. Individu yang memasuki

budaya baru akan belajar berkomunikasi

dalam berhubungan dengan orang lain.

Kim, dalam Rumondor ( 1995: 18)

mengatakan bahwa komunikasi antar budaya

merajuk pada suatu fenomena komunikasi

dimana para pesertanya masing-masing

memiliki latar belakang budaya yang

berbeda terlibat dalam suatu kontak antara

satu dengan yang lainnya, baik secara

langsung ataupun tidak langsung.

Berdasarkan gambaran diatas,

terlihat jelas bahwa proses komunikasi antar

budaya dapat membantu para pendatang

yang memiliki latar belakang budaya yang

berbeda untuk melakukan interaksi dengan

kebudayaan setempat. Dalam proses

akulturasi harus memiliki interkoneksitas

cara berkomunikasi sehingga dapat tercipta

interaksi yang baik dan dan saling

mendukung.

Menurut Suyono, dalam Rumondor

(1995: 208) akulturasi merupakan

pengambilan atau penerimaan satu atau

beberapa unsur kebudayaan yang berasal

dari pertemuan dua atau beberapa unsur

kebudayaan yang saling berhubungan atau

saling bertemu. Berdasarkan defenisi ini

tampak jelas dituntut adanya saling

pengertian antar kedua kebudayaan tersebut

sehingga akan terjadi proses komunikasi

antarbudaya. Walaupun komunikasi

antarbudaya membahas tentang persamaan

dan perbedaan dalam karakteristik

kebudayaan antar pelaku-pelaku

komunikasi, tetapi perhatian utamanya

adalah proses komunikasi antar individu-

individu dan kelompok-kelompok yang

berbeda kebudayaanya yang mencoba untuk

berinteraksi.

Ada tujuh unsur-unsur kebudayaan

yang dapat disebut sebagai isi pokok dari

setiap kebudayaan didunia yakni:

Bahasa

Sistem Ilmu Pengetahuan

Organisasi sosial

Sistem peralatan hidup dan teknologi

Sistem mata pencaharian hidup

Religi

Kesenian

Untuk menggambarkan proses

akulturasi tersebut, penulis menggunakan 2

model teori yakni:

1. Teori Konvergensi Budaya dari Kincaid

dan Everett M. Rogers.

Dalam teori ini, berbagai kultur bertemu

pada suatu titik dalam hal ini lingkungan

sebagai bentuk hubungan sosial yang

menyatakan bahwa komunikasi sebagai

proses yang memilih kecenderungan

bergerak kearah satu titik temu

(convergence), dengan kata lain komunikasi

adalah suatu proses yang mana orang-orang

atau lebih saling menukar informasi untuk

mencapai kebersamaan pengertian satu sama

lainnya salam situasi dimana mereka

berkomunikasi.

3. Model Komunikasi Antarbudaya

Dalam hubungannya dengan komunikasi

antarbudaya penulis juga menggunakan

proses akulturasi sebagai berikut:

Gambar 1.1

Sumber: Mulyana (1998)

Berdasarkan bagan diatas, model

komunikasi antarbudaya terjadi proses

akulturasi dimana budaya A yaitu etnis

Madura di Kecamatan Gedangan khususnya

Desa Sumber Rejo dan Desa

SumbersariDimana etnis pendatang Madura

yang diwakli oleh suatu segi empat dan

budaya B, yakni etnis pendatang Jawa yang

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

22

diwakili oleh suatu persegi enam. Dari

proses akulturasi tersebut timbul kebudayaan

baru yang merupakan hasil peretemuan

antara budaya A dan budaya B dimana

budaya baru digambarkan dalam bentuk

lingkaran. Penyadian-penyadian balik pesan

antara budaya A dan B dilukiskan oleh

panah-panah yang menhubungkan antara

dua budaya. Panah-panah ini menunjukkan

pesan komunikasi antar dua budaya yang

berbeda. Selanjutnya anak panah budaya A

dan budaya B menuju ke bentuk lingkaran

dimana budaya A dan budaya B bertemu

sehingga terjadi proses akulturasi yang dapat

menimbulkan suatu budaya baru pada

penduduk lokal atau budaya transmigran.

Dari model diatas menunjukkan

bahwa bisa terdapat banyak ragam

perbedaan dan persamaan budaya dalam

komunikasi antar budaya. Komunikasi antar

budaya terjadi dalam bentuk ragam situasi

yakni dari interaksi-interaksi antara orang-

orang yang berbeda budaya.

Dalam komunikasi antarbudaya ada

beberapa hal penting yang harus

dikembangkan yakni, sikap saling mengerti,

menghormati dan menghargai antara satu

budaya dengan budaya yang lainnya. Untuk

mengembangkan sikap saling mengerti

tersebut maka dalam proses akulturasi,

seorang individu atau kelompok sosial harus

berusaha mengembangkan persepsi tidak

atas dasar persepsi budayanya namun

haruslah memahami bagaimana budaya lain

yang sedang dihadapinya dalam melakukan

persepsi.

Berdasarkan uraian diatas, penulis

mencoba menggambarkan proses akulturasi

yang terjadi antara masyarakat pendatang

dengan penduduk asli sebagai berikut:

Gambar 1.2

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif, Tipe penelitian yang

digunakan adalah deskriptif kualitatif.

Penelitian kualitatiflebih mungkinuntuk

mengeksplorasiproses daripada hasil. Riset

kualitatifberfokus

padamaknapengalamandengan

mengeksplorasibagaimanaorangmenjelaskan

, menggambarkan, danmetaforamasuk

akaldari sebuah pengalaman.Tujuan dari

penelitiankualitatif lebihdeskriptif dari

padapredictif (Adnan Latief, 2012:26)

Aspek Budaya dan Adat Istiadat

Keadaan adat-istiadat di Kecamatan

Gedangan pada dasarnya tidak terlalu

meningkat, dalam artian masyarakat

setempat tidak terlalu fanatik dengan

kebiasaan turun-temurun, walaupun tidak

pula meninggalkannya. Hal tersebut terjadi

seiring masuknya pengaruh dari luar yang

tentunya melalui beberapa pertimbangan

tentang mana yang harus diterima dan yang

mana tidak layak diterima.

Disetiap daerah pasti memiliki

adat-istiadat yang berbeda-beda, beigtu pula

halnya di Kec. Gedangan yang masih saat ini

masih sering dilakukan oleh penduduk

setempat (etnis Madura) seperti acara

“Nyonson”(Membakar Kemenyan) yang

dilakukan para petani sebelum membuka

lahan baru saat berkebun. Para petani di

Madura umumnya memakai cara "tebang

dan bakar" untuk pertanian.

Saat ini, masyarakat Madura terbagi

atas beberapa kelas, yaitu keai (bangsawan

kelas atas), yang menjadi panutan dan oreng

biasa (rakyat biasa), dalam prosesi

penikahan, bila pasangan muda-mudi

Madura bertunangan, keluarga pengantin

membawa apa saja yang dibutuhkan oleh

keluarga perempuanatau keluarga Si gadis.

Etnis Madura pada prakteknya

merupakan Muslim Ahlussunnah

Waljamaah, meskipun kepercayan tradisonal

masih amat penting, terutama kepercayaan

akanNyonson”(Membakar Kemenyan).

Animisme (kepercayaan akan benda-benda

non-manusia memiliki keajaiban yang

luarbiasa dan berefek pada keberhasilan

yang bahasanya menggunakan bahasa

kromo) dianut oleh orang madura asli yang

tau akan hal budaya dengan ufoisme bahasa

yang diadopsi dari kitab barzanji dan yang

lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk memperoleh data yang

akurat dan dijamin kualitasnya, maka

sebelum menentukan subyek/informan

penelitian akan dilakukan overview atau

penjajakan terhadap anggota masyarakat

yang dianggap representative memberikan

informasi dengan mengajukan beberapa

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

23

pertanyaan yang terkait permasalahan yang

akan diteliti. Selanjutnya barulah ditentukan

subyek/informan yang akan diteliti.

Informan awal yang dipilih adalah orang yng

dapat membuka jalan untuk menentukan

informan berikutnya dan berhenti apabila

data yang dibutuhkan sudah cukup.

Penelitian ini dilakukan dengan

cara dipilih secara sengaja yakni dianggap

dapat memberikan informasi terhadap

masalah yang akan diteliti, melalui

wawancara secara mendalam dengan total

informan sebanyak 5 pasangan suami istri

yang melakukan perkawinan antar etnis

(etnis Madura dan etnis Jawa) yang

bertempat tinggal di Desa Sumber Rejo dan

Desa sumber sari Kecamatan Gedangan

Kabupaten Malang dengan perincian sebagai

berikut:

Penduduk lokal (Etnis Madura) 5 orang.

Penduduk Pendatang (Etnis Jawa) 5

orang.

Pasangan Informan Pertama

Wawancara:

Ibu berasal Dari Mana:

“ Saya berasal dari Jember, Jawa Timur

dan sudah 19 tahun tepatnya pada tahun

1984 saya datang dan tinggal di Desa

gedangan. Saya datang di desa ini

mengikuti kedua orang tua saya yang

bekerja. Pada saat itu saya masih berusia

lima tahun, ketika orang tua saya bekerja di

sini. Ketika saya menikah dengan bapak,

saya masih berusia 20 tahun. Kami

dijodohkan oleh kedua orang tuakami

karena bapak saya merupakan kawan baik

dari orang tua suami saya semenjak

keluargaku bekerja Saat ini kami dikaruniai

oleh dua orang Putri. Anak pertama kami

berusia 4 tahun dan yang kedua berusia 1

tahun 8 bulan”.

Pasangan Informan Kedua

Ibu Bisa bicara (Ngocak) bahasa

Madura:

“Saya lihat bahasa Madura termasuk

bahasa yang sulit dilafalkan butuh proses

yang lama untuk bisa berkomunikasi dalam

bahasa madura mengenai arti bahasa

madura sudah dapat dimengerti ketika

penduduk disini berkomunikasi dengan

saya. Namu sekrang ini saya sudah bisa

berbahasa jawa tetapi dengan logat jawa

dengan baik”.

Pasangan Informan Ketiga

Bagaimana hubungan ibu disini:

“Hubungan saya dengan penduduk lokal

sangat dekat, bisa dikatakan hubungan

saudara terutama dengan para tetangga dan

warga-warga disini, begitupula dengan

hubungan sosial dimasyarakat”.

Pasangan Informan Keempat

Ibu biasanya bersama siapa?

“Kemana saja kita pergi pasti bertemu

dengan etnis Jawa karena populasi etnis

Jawa di desa ini lebih banyak jika

dibandingkan dengan populasi penduduk

etnis Madura. Hubungan interaksi dan

komunikasi terjadi setiap harinya disekitar

tempat tinggal sesama tetangga, dipasar

yakni komunikasi antara saya sebagai

penjual sembako dan pembeli, diacara pesta

perkawinan, di acara syukuran jika

diundang, diacara arisan sesama ibu

bayangkara, majelis ta‟lim”.

Pasangan Informan Kelima

Bagaimana menurut ibuk adat istiadat

disini:

“Mengenai adat istiadat, sepengetahuan

saya penduduk lokal memiliki budaya yang

berbeda dengan etnis jawa seperti pada

acara perkawinan, sekarang ini masyarakat

pendatang lebih banyak menyesuaikan

dengan penduduk lokal. Seperti pada

perkawinan saya, suami saya yang lebih

banyak menyesuaikan disini”.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan terhadap 5 (lima) pasangan

informan, yang terdiri dan 5 informan etnis

pendatang Jawa yang melakukan pernikahan

dengan 5 informan penduduk lokal yang

berdomisili di Desa Sumber Rejo dan Desa

sumber sari Kecamatan Gedangan

Kabupaten Malang sebagai tempat

berlangsungnya proses akulturasi, maka

kesimpulan yang dapat diambil dari

penelitian yang pada pasangan suami istri

yang melakukan pernikahan beda etnis dan

menganalisis prilaku komunikasi yang

terjadi didalamnya dapat diuraikan sebagai

berikut:

Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa dan

etnis Desa Sumber Rejo dan Desa

sumber sari Kecamatan Gedangan

Kabupaten Malang, apa bila dilihat

secara keseluruhan terdapat adanya

hubungan social yang berbeda pada

tingkat yang baik. Proses akulturasi

ditandai dengan tiga proses yang

mendasar yang ditinjau dari variable

komunikasi yakni proses yang pertama

adalah komunikasi antar personal

(antarpribadi), proses yang kedua,

lingkungan komunikasi, sedangkan

proses yang ketiga adalah komunikasi

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

24

social. Selain ketiga proses tersebut, ada

7 (tujuh) proses yang mendukung proses

akulturasi yaitu bahasa, bersifat terbuka

dan berpikir positif, organisasi sosial,

system peralatam hidup adan teknologi,

system mata pencaharian hidup, religi

serta kesenian.

Prilaku akulturasi antar etnis Jawa

dengan etnis Madura dapat berjalan

dengan baik karena dalam hubungan

antara pribadi mereka terdapat adanya

sifat saling keterbukaan, saling

mendukung serta memiliki sifat positif

dalam pernikahan yang mereka jalani.

Dari kelima pasangan perkawinan yang

melakukan pernikahan beda etnis, dapat

lihat bahwa dengan memiliki sikap

keterbukaan, dukungan dan sikap positif

dalam keluarga, memberikan kontribusi

yang sangat besar dalam menciptakan

kenyamanan komunikasi dalam sebuah

keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi

Komunikasi. Surabaya: Prenada Media

Grup.

Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar

Manusia. Jakata: Karisma Publishing

Group.

Harsyo, 1997. Pengantar Antropologi.

Bandung : Bina Cipta

Koentjaraningrat, 1993. Manusia dan

Kebudayaan di Indonesia . Jakarta:

Djambatan.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar

Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta

: Pustaka Pelajar.

Latief, Adnan. Metode Penelitian Kualitatif.

Malang : UM Press.

Saefullah, Ujang. 2007. KAPITA SELEKTA

KOMUNIKASIPendejatan Agama dan

Budaya. Bandung : Simbiosa Rekatama

Media.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

25

ADMINISTRATIVE REFORM IN BUREAUCRACY AND CIVIL SERVICE

Deden Fathurrohman DPK di perbantukan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang

Abstract

It is a common for public organization to make kinds of reform in achieving the goals. One of basic reform in public organization is administrative reform. This reform is mainly in institutional and personal matters. In conceptual term, this reform is just an early step for public organization to challenge its target. However, many countries especially in developing countries still struggle in this step. So, it is very fruitful for us to study on administrative reform due to the existing need for public organization in terms of bureaucratic and civil service reforms. This study analyze and criticize the existing of bureaucracy and civil service reform in some developing countries. In seven Arab countries institutional and personal reform is still in a piecemeal approach rather than systemic or integrative approach. Civil service is still lack of having information to cope and implement the reform released. In addition, Indonesia as one of the developing country is also still struggle for its administrative reform in terms of its bureaucracy and civil service. Barriers in salary, institution and regulation is challenging for next administrative reform. Lack of prioritizing policy and information gap between levels of civil service to make a better administrative reform should be solved on a near future.

Some significant negative matters are still occurred, but we may need time and awareness to go. Good regime, policy from government leadership is a must. Further quality and quantity of bureaucracy and its civil servant is another good thing should exist. Those will be run well if it covered by culture, values and mentality that cope the need for reform.

Key words : Administrative reform, Bureaucracy reform, Civil Service reform, Developing Countries. 1. Introduction

Administrative reform is a

universal claim of contemporary societies,

but strategies of general applicability for

achieving such reforms are far from being

universally defined. It is due to some

differences in coping and implementing this

reform. Background of each developing

country in terms of their cultures, human

resources and other factors are also coloring

this reform. It is valuable to seek how

certain developing countries articulate

approaches and strategies for building

administrative capacities. In developing

nations, administrative reform often is

referred to as modernization and change in

society to effect social and economic

transformation (Farazmand, 2002).

Administrative reform is conceived

of as a deliberate policy and action to alter

organizational structures, processes, and

behavior in order to improve administrative

capacity for efficient and effective

performance. So, reform is based on

institutional capacity of public

organization—a kind of internal

environment reform. The advantage of this

definition is its operational thrust compared

with the view of administrative reform as

‗artificial inducement of adminis trative

transformation against resistance‘ (Caiden,

1969).

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

26

Based on Farazmand notion of

administrative reform, this reform has been

one of the most recurrent activities of

governments the world over. It has been

accentuated by the severity of the problems

faced by the less developed nations. Most of

these nations inherited a colonial legacy with

significant dependency on colonial powers

of the West, and their administrative systems

suffer profound deficiencies. However, not

all developing nations can be categorized in

this way. Many of them went through major

transformations after their independence.

Some of them have achieved significant

development with marked effectiveness;

others have lagged behind and remain

dependent on Western assistance. We can

find that late reform in developing countries

is the real condition that should be overcome

as it should be. Comparing with western

countries is another kind for having good

motivation. (Farazmand, 2002)

Because administrative reform is in

large measure about setting rules for

determining the institutional allocation and

distribution of state positions, bureaucrats

and politicians have a special interest in it.

Bureaucrats are assumed to be wary of

reform imposed by others because it

involves their income, careers and status.

The assumption does not lead to the

proposition that bureaucrats resist all reform,

rather that they will want to exert control

over it. Politicians may be prepared to

advocate administrative reform as a

collective good, but they will also be

interested in the opportunities for political

distribution arising from the control of

positions. Aside from their separate

perspectives, the nature of the relationship

between bureaucrats and politicians is a key

consideration in the supply of administrative

reform (cited from Moon and Ingraham),

and this relationship is in turn affected by

the institutional context. Institutional

analysis generally is concerned with the

effects of different configurations of rules

and norms on the behavior of actors. Martin

Painter, The Politics of Administrative

Reform in East and Southeast Asia: From

Gridlock to Continuous Self-Improvement?

Governance: An International Journal of

Policy, Administration, and Institutions, Vol.

17, No. 3,July 2004 (pp. 361–386).

Majorly, we agree that

administrative reform has been occurring in

most developing countries due to their need

for better government performances. They

need a kind of good objective on their

government structure and function. For this

reasons, most of these countries has tried to

make administrative reform in terms of

structural and personnel reform. However,

implementation of this reform has faced the

tension between political and bureaucrats in

a country. Bureaucrats are assumed to be

wary of reform imposed by others because it

involves their income, careers and status.

The assumption does not lead to the

proposition that bureaucrats resist all reform,

rather that they will want to exert control

over it On the other hand, politician may be

prepared to advocate administrative reform

as a collective good, but they will also be

interested in the opportunities for political

distribution arising from the control of

positions. Aside from their separate

perspectives, the nature of the relationship

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

27

between bureaucrats and politicians is a key

consideration in the supply of administrative

reform. So, the acceleration of

administrative reform is heavily depended

on these two factors rather than the methods

of administrative reform itself.

In developing countries,

administrative reform is generally based on

institutional and human resources reform. I

perceive this is due to the need for effective

and efficient of the organization. I agreed

with what Weber stated that the stage of

public organization in pursuing its objective

is by focusing on institutional need for

effective and efficient before move to

another stage on external environment.

However, in many developing countries

administrative reform can not only be

implemented by releasing regulation,

making capacity building for human

resources development, and consistently

improving those two factors but also need a

great support politically for the parliament

and civil society. Without considering these

factors, administrative reform is just good in

surface but fundamentally can not make in a

reality.

So it is worthwhile to observe and

discuss of the significant role of

Bureaucracy and civil servant for

Administrative reform. Institutional and

human resources are suitable approaches

that will affect environment of

administrative reform. This article will focus

on these two kinds of administrative reform:

Bureaucratic and civil service reform.

2. An Example of Result of

Administrative Reform in Arab

Countries

First, a more realistic approach to

reform can be achieved through employee

involvement. The prevalent, elitist, rigid

approach does not offer employees the

opportunity to actively participate in or

influence change. Soexclusivist have most

practices been that employees are never told

the reasons for change or the rationale for

decisions. We agree with the statement that

administrative reform is not in an empty

space. Involvement from every stakeholder

in steps of reform should be existed.

Second, diagnostic data ought to be

collected and discussed openly to inform or

allow those affected to become involved in

the redesign of activities. Such involvement

through information and feedback

mechanisms results in (a) more constructive

attitudes by employees, and (b)

improvements in the quality of all aspects of

reform because of the greater validity and

completeness of information and analysis.

That is true, in this global era, transparency

and participation from every actors and

institutions are a must. Flowing activities

supported by IT in back up activities can

accelerate the achieving process.

Third, personnel responsible for

defining reform policy, and implementing it,

often receive only minimal educational

preparation before a reform is begun. Lack

of understanding and expertise by those in

command of reform processes results in the

diminished quality and impact of the

changes made. Extensive training

programmes to familiarize employees with

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

28

the new order and to develop necessary

skills are crucial for acceptance and

implementation of reform. The quality of

actors in reform is very important.

Understanding roles and function of every

parts of institution is a leading factors to

achieve the goal.

Fourth, the pronounced support and

commitment of the political leadership is

imperative for the success of reform ideas;

bureaucracy in the societies in question

responds to serious prodding by the political

masters. Consistent commitment from

regime to support and cover the reform is a

significant power. However, the facts are

rather different from the need.

Fifth, incentive systems can replace

the appearance of threatening change by

making clear what benefits and advantages

will result to employees. Motivation is one

thing that still problems in some countries.

So, managing good budgeting and it

priorities can support incentive system for

reform.

Finally, administrative reform in

the seven countries must rest on a systems

perspective rather than a piecemeal approach

to reshaping contemporary institutions and

administrative behaviour. The systems view

considers people, organizations, processes,

interactions and relevant external

environment in the analysis and

prescriptions for change. This may be the

only means available for developing

societies to provide a complete and integral

approach to building administrative capacity

and generating indigenous, exploratory

theories and practices of management. Such

theories and practices cannot be imitative,

but must be independently evolving

(converging or diverging from Western

theories and practices) as their objectives

and criteria dictate. (Jreisat, 1988). I partly

agree with the statement. However,

uniqueness in one side and import concept

in another side sometime has made

confusion for the country to cope with.

3. Regime and Administrative Reform

In 1994, Bowornwathana,

explaining administrative reform stated that

regime type is a significant dimension for

understanding administrative reform. In

countries such as Thailand where there are

shifts back and forth between democratic

rule and bureaucratic governance, the

policies adopted for administrative reform

move from one extreme to the other. No

single reform paradigm can effectively grasp

the fluidity of the situation; consequently, a

multi-paradigmatic perspective is necessary

for comparing administrative reforms during

different regimes.

The many cases considered how

various administrative reform policies can

shift back and forth between bureaucratic

rule and democratic governance. The

phenomenon of regime shifts in unstable

political systems, such as in Thailand, is an

important dimension for understanding the

dynamics of administrative reform.

Contradictory reform policies can be found

between periods of bureaucratic rule and

democratic governance. To understand

administrative reform in such a setting, the

regime-survival paradigm is suggested.

Regime is a very influential factor

in achieving the good reform. It is due to the

power of regime that can make policy to

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

29

support reform or just steering

administrative reform for his political

interest. In many developing countries,

sometime, changing regime means changing

in policy. Former policy from previous

regime will change by the new one. SO, that

is no continuity in grand design and program

for reform.

In Indonesia we can find also that

regime has played a huge role in success or

fail of reform. It is due to the political

interest between elite in regime and the

external force of society and global

environment. Struggling between the need

for artificial and substantial in implementing

reform are the key for the regime to be

considered.

4. Complexity of Bureaucratic reform

Despite criticisms of its inherent

characteristics, bureaucracy remains the

main institution for initiating and

implementing change. Braibanti (1969)

concludes that the primary requisite for

development is a competent bureaucratic

system. Under conditions of a weak private

sector, public bureaucracy is an

indispensable instrument of development.

Hence, reforming bureaucracy remains the

key to successful development,

notwithstanding numerous common

obstacles facing reform from within and

without the bureaucracy.

The dilemma of administrative

reform in these countries resides in the

mediocrity of its results. But an

administrative reform project is difficult to

implement even in Western systems. Since

the 1930s, unheeded administrative

recommendations of various American

presidential commissions far exceed the

number adopted.

Many common obstacles to

administrative reform come from within the

bureaucracy itself. The list may include

resistance of staff and line personnel to

reform ideas, incompatibility with existing

systems, lack of adequate commitment and

support, inadequate skills and insufficient

data. These obstacles contribute to the wide

gap between proposed and executed

administrative change.

Based on the analytical framework,

we are able to examine the reform of the

bureaucracy. A reform, rather than a

revolution, is initiated by the top leadership

aiming to restructure the bureaucracy in

order to improve the efficiency of the

economy. Under the reform, many

bureaucratic agencies must be eliminated,

while other agencies need to be restructured

to provide useful services for private agents

(for instance, investors) in the economy.

Therefore, the top leadership would prefer

not to simply close all indiscriminately. But

the top leadership needs cooperation of

bureaucrats in order to reform. While there

are many reasons why their cooperation is

needed, our model focuses on one in

particular: information imperfection. In our

model, the leadership is unable to observe

directly the productivity of offices and

discern which offices should be closed and

which are to be restructured (Susanto Basu

dan David D. Lee, A, 2000)

Bureaucracy reform significantly

refers to what stated by Arifin (2008) as

follow:

(1) Institution (organization)

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

30

(2) administrative (bussiness process)

(3) Human resources (State Apparatus)

The new development phase of the

Indonesian bureaucracy started after the

downfall of Suharto in May 1998, following

the Asian Financial Crisis in mid 1997

which also marked the onset of the reform

era in Indonesia (reformasi). The extensive

bureaucracy was confronted with a

completely new set of challenges when the

highly centralised regime that had held the

bureaucracy together suddenly disappeared,

and was replaced by a large number of

political parties, entrepreneurs and

influential socio-religious leaders and

stronger civil society (Mietzner 2008).

We agree with these three

bureaucracy reforms that can make good

result. However, commitment of political

leadership is a prerequisite of the reform. So,

the first stage is focusing on the leader

commitment than releasing the reform as

follower stage. Political leadership that

supported the reform is a must. So, all

stakeholders should play roles in assisting

the right track reform.

Indonesia‘s bureaucratic reform is

actually still trying to cope with the gap

between the aims of getting things done

effectively and efficient and bureaucrat‘s

worries of loosing benefits caused by the

reform. The theory emphasizes the

difference between the bureaucracy and

individual bureaucrats. The bureaucracy is

sustained by overlapping generations of

bureaucrats, while the bureaucrats, like

managers of modern corporations, have

interests diverse from that of the

bureaucracy. Thus, agency problems exist

within the bureaucracy. The key to

reforming the bureaucracy is to incentivize

the incumbent bureaucrats either to close or

to restructure their agencies. In this regard,

the reform of the bureaucracy is like a long-

term investment.

The one-time cost is that associated

with dealing with the incumbent bureaucrats.

The benefit is from better institutions that

last for generations. Using this simple

framework, we analyze various strategies of

reform of the bureaucracy. The focus is on a

delegation strategy that grants incumbent

bureaucrats the decision rights to initiate and

to benefit from reform. It involves a

temporary relaxation of monitoring of

bureaucrats. Under certain conditions such a

decentralized strategy of reform can be

successful. An implication of the analysis is

an explanation of why in Indonesia and also

many countries, a surge in corruption co-

exists with reforms. Corruption in these

cases is a result of loosened control of

bureaucrats upon whom the autonomy of

reform is granted. This explanation is in

contrast to conventional views of corruption,

which are concerned with only static

bureaucracy rather then the reform of it.

Indonesia has been struggling with

these kinds of barrier. However,

Government has a great bureaucracy reform

as a road map of it. Indonesia‘s government

has a long terms objective of this reform

from 2005 till 2020. So we have to be

patient and focus on the reform to get a best

result come from the best practice.

As a comparison, here is

description of administrative reform in Arab

countries to consider that reform has been

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

31

implementing in all over the world. Every

country especially in developing countries

has been trying to cope with this kinds of

reform.

5. Civil Service Reform as One of

Indonesia’s Administrative Reform

To adapt to globalization, the

Indonesian government has to improve the

structure of its bureaucracy, both in terms of

enhancing the quality of government

employees and developing a modern and

efficient system. The development of human

resources would improve the quality of

services provided to citizens. This task is

currently especially significant in Indonesia

as the country is confronting a variety of

new developments, such as democratization

and decentralization.

Indonesia has a large number of

civil servants: approximately 3.74 million,

or 1.7% of the 2005 population. This figure

represents a decrease from 1974, during the

early years of the so-called New Order

Government (1966–98), when the ratio was

about 2.1% of the population. These ratios

are similar to those of other countries in the

region, such as India (1.2%), Pakistan

(1.5%), the Philippines (2.1%), and Vietnam

(3.2%) (Schiavo- Campo, 1998).Table 2

shows the number of civil servants at

different levels of government. Recently

there are growth in number of civil servant

in Indonesia. Indonesia‘s civil service

consists of some 4.6 million people. Of this,

about 500,000 are police and military,

leaving some 4 million civilian civil service.

At about 2 percent of the population, this is

small compared to Indonesia‘s South East

Asian Neighbors, although it is about at par

with other low or low-middle income

countries such as China and India. In

addition, a large but unknown number of

civil service workers are not registered as

such.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

32

Dis tribution of PNS /CPNS Bas ed on Education and s ex Back ground - Mei 2010

Education Male % Female % Total

SD 104.530 4,08 6.286 0,29 110.816

SLTP 132.476 5,17 17.877 0,82 150.353

SLTA 971.663 37,95 721.452 33,21 1.693.115

Diploma 1 29.387 1,15 52.918 2,44 82.305

Diploma 2 270.851 10,58 439.253 20,22 710.104

Diploma 3 195.006 7,62 252.580 11,63 447.586

Diploma 4 7.708 0,30 4.021 0,19 11.729

Strata 1 774.784 30,26 648.454 29,85 1.423.238

Strata 2 66.483 2,60 27.029 1,24 93.512

Strata 3 7.195 0,28 2.519 0,12 9.714

Total 2.560.083 100,00 2.172.389 100,00 4.732.472

Source: National Personnel Agency, 2010

6. Lack of Salary as an Evidence of Civil

Service In Indonesia

At the same time, even though the

number of civil servants in Indonesia is

equivalent to only about 1.7 percent of the

total population, the quality of government

employees is low. This is partly an outcome

of the unattractive salary system. To attract

effective, efficient, and uncorrupt

government employees, they need to be

provided with appropriate salaries and

benefits. Appropriate compensation will not

only have an impact on staff turnover and on

employees‘ productivity and quality of

work, but will also reduce tendencies for

civil servants to engage in corrupt practices.

Salaries for Indonesian civil

servants are determined by the level of

responsibility, the type of job, and the cost

of living. The salary system for government

employees in Indonesia is classified as a

combination scale system, because it

combines the single scale system and the

double scale system. Under a single scale

system, employees at the same rank receive

the same salary regardless of the type of job

and the level of responsibility. Under a

double scale system, salaries are determined

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

33

based on employees‘ level of responsibility

and type of job. Job performance is not

generally taken into account. Under the

combination scale system, some civil

servants might have significantly higher

salaries than their colleagues at the same

rank.

It is the fact that Indonesia‘s salary

structure is moving toward an egalitarian

system, with the result that most of the best

graduates from well-known and high-quality

universities are not keen to become

government employees. Moreover, the low

salaries tend to encourage wrongdoing and

illegal activities, such as accepting bribes

and asking for compensation for services

provided. In Institutional approach, the

UNDP can describe civil service The United

Nations Development Programme (2003)

describes civil service reform as developing

the capacity of the civil service to fulfill its

mandate by addressing such issues as

recruitment, promotion, pay, number of

employees, and performance appraisal, and

this still constitutes the bulk of national

programs concerned with public

administration reform. Civil service reform

has historically focused on the need to

contain the costs of public sector

employment through retrenchment and

restructuring, but has broadened to focus on

the longer-term goal of creating a

government workforce of the right size; with

the appropriate mix of skills; and with the

correct motivation, professional ethos, client

focus, and accountability (United Nations

Development Programme, 2003).

Furthermore, in a report for the

Indonesian government, the World Bank

(2001, p. 10) indicates that ―the civil service

reform strategy should include changes to

the incentive system, size of the civil

service, recruitment, performance

management, remuneration, and probity.‖

Indonesia is planning to launch a number of

promising initiatives in these areas. For

example, pilot reform initiatives are planned

for the ministries of Finance and Education,

including a new merit-based pay initiative

under Teacher Law No. 14/2005. If

successful, these initiatives could be scaled

up to the national level. In addition, an

independent remuneration commission will

advise on pay scales and on modernizing the

pay structure for senior officials; a review of

the legal framework for the civil service is

ongoing; a number of subnational reform

initiatives are taking place in Yogyakarta,

Jembrana in Bali, Solok in West Sumatra,

and elsewhere; and a cabinetlevel unit to

help implement reforms is planned (World

Bank, 2006).

It is very important to the leader to

cope with, since the 1980s, many countries,

including Asian countries, have engaged in

major efforts to promote administrative

reform, focusing on the openness,

transparency, and accountability of

government administration. All countries,

regardless of their economic situation or

stage of development, need good

governance. For some Asian countries this

became particularly important after the 1997

Asian financial and economic crisis.

In Indonesia, following the fall of

the New Order Government in 1998, a

political movement emerged that pursued

reforms in relation to politics, the economy,

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

34

the judicial system, and public

administration. Law no. 22/1999 on

Decentralization and Law no. 43/1999 on

Civil Service Administration opened up

possibilities for public service reform in

Indonesia, but the country still has a long

way to go in relation to having a high-

quality civil service. Since the 1980s, many

countries, including Asian countries, have

engaged in major efforts to promote

administrative reform, focusing on the

openness, transparency, and accountability

of government administration. All countries,

regardless of their economic situation or

stage of development, need good

governance. For some Asian countries this

became particularly important after the 1997

Asian financial and economic crisis.

In Indonesia, following the fall of

the New Order Government in 1998, a

political movement emerged that pursued

reforms in relation to politics, the economy,

the judicial system, and public

administration. Law no. 22/1999 on

Decentralization and Law no. 43/1999 on

Civil Service Administration opened up

possibilities for public service reform in

Indonesia, but the country still has a long

way to go in relation to having a high-

quality civil service. As with any reforms,

strong and determined, since the 1980s,

many countries, including Asian countries,

have engaged in major efforts to promote

administrative reform, focusing on the

openness, transparency, and accountability

of government administration. All countries,

regardless of their economic s ituation or

stage of development, need good

governance. For some Asian countries this

became particularly important after the 1997

Asian financial and economic crisis.

In Indonesia, following the fall of

the New Order Government in 1998, a

political movement emerged that pursued

reforms in relation to politics, the economy,

the judicial system, and public

administration. Law no. 22/1999 on

Decentralization and Law no. 43/1999 on

Civil Service Administration opened up

possibilities for public service reform in

Indonesia, but the country still has a long

way to go in relation to having a high-

quality civil service. As with any reforms,

strong and determined leadership is very

urgent one.

7. Civil Service Organization.

The civil service system is captured

in Laws 8/1974 and its revision of Law

43/99. The civil service is managed by a

civil service board), which keeps all records,

and has to give approval to all appointments

above a certain rank. All changes in the civil

servant‘s position have to be confirmed by a

change letter from BKN. Indonesia‘s civil

service has a dual system of positions. Every

civil servant has a rank (Golongan, ranging

from 1a to 4d) and of position. The positions

can be structural (Eschelon IVb-Ia)—mainly

managerial, although it includes some high-

level advisors, or functional, for instance

lawyer, teacher. There is no formal job

classification in the civil service. Entry ranks

are mainly determined by education level,

and increases in rank are largely driven by

seniority—with a maximum rank depending

on the entry level of the civil servant. Civil

service reforms have lagged behind other

reforms. Four constitutional changes, new

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

35

election laws, decentralization laws, laws on

the independent judiciary, and laws on

anticorruption and the anti-corruption

commission all signify progress on the

―reformasi‖ agenda.

But despite the passage of a new

civil service law in 1999 (Law 43/99) and

decentralization of more than 2/3 of the

central civil servants to the regions, the

structure and values have remained largely

unchanged. The system and philosophy

underpinning the Indonesian civil service is

not only outdated, the performance of the

civil service is sub-standard in a rapidly

changing society.

The key question is not whether the

civil service has the right size compared to

other countries or if the present positions in

the establishment are filled. The recent Civil

Service Census conducted by the Civil

Service Agency (BKN) revealed that there is

an urgency for a thorough review of the

system. The census counted roughly 3.6

million civil servants, but the state budget

operates with slightly less than 4 million. In

other words almost 400,000 civil servants

that were registered on the payroll do not

work for the state. However in 2011, the

number of civil servant has increased to be

4.7 million. What about the budge it? This

could remain more than the number of civil

servant. Reformation is a must to have a

better public personnel size and budgeting.

In September 2011, the government

of Indonesia will release policy reform in

terms of Moratorium Civil servant. The

moratorium will be followed by the signing

of a joint decree between the state minister

for Administrative Reforms and the Finance

and Home Affairs ministers. Recently, in

order to temporarily stop civil workers

recruitment, three ministers signed a Joint

Ministerial Decree (SKB) on the moratorium

on civil servant recruitment at the Vice

Presidential Office. The moratorium will be

effective September 2011 to December 31,

2012 but there would still be exceptions for

selected areas or positions. The number of

civil servants in Indonesia at present is

recorded at 4.7 million, or about 1.98

percent of the country‘s

population.(www.kompas.com, 25 Agustus

2011)

The objective of this policy is to

reduce the government‘s budget for civil

servants‘ salary by 30 to 50 percent. The

current portion is 50 to 70 percent. It is also

to streamline the bloated size of its

4.7 million employee corps as part of its

efforts to improve its bureaucracy‘s

efficiency, effectiveness and productivity.

By this policy— according to Finance

Minister Agus Martowardojo ―the

government wants to have a better control of

the effectiveness of its personnel

expenditure and increase the quality and

productivity of civil servants in accordance

with the criteria of bureaucratic reform.‖

The government will continue to carefully

control on personnel expenditure and focus

on improving the quality of civil servants. If

the required quality and the right corps size

are achieved, the productivity of civil

servants will automatically increase.

Civil servant reform should also be

placed in determining the institution which

administering them. In Indonesia, We still

find that public institutions in charge of civil

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

36

servant affairs unclear. There are two bodies

split the management of the civil service.

The Ministry of Administrative Reform

(MenPan) is responsible for regulations

governing the administration of the country.

It carries out this function mainly through

policy pronouncements and ministerial

decrees which go largely ignored by the rest

of the bureaucracy. The National Civil

Service Agency – Badan Kepegawaian

Nasional (BKN) is formally responsible for

implementing the civil service law by

issuing guidelines on hiring and firing and

promotions, and regulating the size of the

civil service. The Ministry of Finance plays

an important role, as its budget allocations in

effect determine the size of the civil service.

The Ministry of Home Affairs carries a great

deal of weight with decentralized

administrations in their management of the

civil service. In recent time, the government

is still making a process for having Civil

Service Commission for coping the need for

further reform.

8. ChallengesinAdministrative reform

in terms of Bureaucracy and Civil

Service

In many developing countries,

administrative reform especially in

bureaucracy and civil service for decades

ago has been a great effort to achieve.

However, there are some significant barriers

in their on going process. The author agree

with some scholars that administrative

reform in developing countries has been

implementing for such a long time but little

result occurred. These phenomena came to

surface do to lack of awareness of their

actors in political institution and also

executive institution. Administrative reform

actually is a new thing for some developing

countries due to their newly state

independence. They just have administrative

heritage from their colonials.

Further, arguably, it is easy to

change structure and functions of

administrative institutions but no for their

culture, behavior and values. It would need

much more time to adapt new things such as

many reforms come from outside. External

pressures for reform whether that is good for

the developing countries, the result can not

fully achieved. Culture and value of reforms

should firstly be in hand of the actors of the

states then move to their society. So, the

―good of administrative reform‖ can

eventually be achieved but need more time

and good political interest from the elites of

government.

In terms of bureaucratic reform,

there are some good reforms occurring in

many developing countries. Internally,

quality, neutrality, capability and other

bureaucrat capabilities have been

established. However, these indicators have

usually be intervened by the power of

politicians and actors who has power. We

can find also the resistant of some

bureaucrats due to their afraid of loosing

authority that they have as a special power

vis a vis politician and the society.

Other obstacle of bureaucracy

reform is about ―soul of competition‖ for

providing goods and services. They usually

act as the owner of services, citizen is just an

object that depend on them. This paradigm

should eventually eliminated by reform not

revolution. However, accelerating

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

37

bureaucracy for having soul of competition

is by looking to the live of private sector

organization and powerful forces of

globalization. Then elevate by the

responsible actors both politicians and

executive as a good regime.

Many Arabian and Asian countries

have great deals for reforming their

bureaucracy. They focused on institution,

administrative and human resources.

Institution reform has been implemented by

vary. For example, they eager to

downsizing, strengthening and streamlining

organization coped with the need for

effective and efficient objectives. In terms of

business process, they have been

implementing some strategy such as

privatization and partnerships in achieving

bureaucracy goals. Further, reform in human

resources is in very huge efforts by giving

access to training ground, education and

comparative studies. However, those three

will not give a significant impact if the

government leadership does not back up in

terms of policy and program. Further,

government actors should pay more

attention in hindering their vested interest.

Their intervention for political interest will

face the reform in a set back.

Critics to bureaucracy and service

servant reform can be mention in terms of:

1. Ministry concern as leader for reform

2. Demand management and behavior

change. Public services (provided by all

sectors) are universally terrible at

understanding their customers and

shaping their behaviour. So, we have to

pay more concern for this matter.

3. Many have tried and many have failed.

But effecting real change in the way

turning navel-gazing ‗policy-making‘

into real delivery and challenging the

notion of Civil Service ‗independence‘

would be a bold brushstroke that

showed the rest of the sector the

political leader is up for change.

4. Quality and consistency. Localism and a

supply shake-up are important - so is the

citizen expectation of a decent deal from

public services wherever they live.

5. Strategy: I see a lot from the

government that is poorly thought

through in terms of basic strategic

planning. This condition make the

reform is not in the right track.

In Indonesia there are some

significant efforts regarding these three

reforms. Releasing sub ministry for

bureaucracy reform is one significant effort.

Then this ministry has a long terms road

map for reforming bureaucracy. Hopefully,

the reform will always in a right tract and no

change direction do to regime change, as

two years to come Indonesia will have a

great political recruitment.

Civil service reform is a specific

reform as administrative and bureaucracy

reforms have taken place. Many developing

countries as Indonesia, have given a great

effort to reform state human resources.

Starting with the step of recruitment,

training, carrier opportunities, and

retirement, they have done in cycling.

However, they still face significant problems

such as quality and quantity of their civil

servant. In quantity, for example Indonesia,

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

38

the comparison between civil servant and the

society is still imbalance. There are almost

4.8 million civil service that should provide

services to more than 240 million citizens.

Further in quality, there are some lack of

skills and also behavior. Another obstacle is

about the imbalance quality and quantity

between regions. There are some differences

between civil service in west region and east

region of Indonesia. However the very

important thing is that civil service should

be neutral, skillful and have a good salary to

protect them in a negative trap of corruption,

collusion and nepotism as a bad performance

of civil servant for such a long time. Good

skills is not enough, there are more

important matters than skills, those are

moral, ethics and mentality.

9. Conclusion

To sum up, it is generally agreed

that a competent civil service has the

following challenges as characteristics:

it is merit-based and politically neutral;

it is well-structured, ―right-sized‖, and

well-paid;

it is accountable, professional, and

generally free of corruption;

it is relatively autonomous, responsive,

and representative;

it is well-trained, performance-oriented,

and relatively open..

All of these competent factors is

well defined in a blue print. However, in

practice this heavily depends on regime or

political leadership policy and also the civil

society awareness to ask and monitor the

regime to commit to the reform.

Further, if it is not a panacea, but

reform in a best way may run well on the

near future. Linking bureaucracy and civil

service reform to other ongoing public sector

reforms is a win-win agenda. The reform

reaches across government and is a key to

improved service delivery. We also consider

that Indonesia has an aging civil service

population. This provides the opportunity for

right-sizing through smooth retirement

schemes. It also presents opportunities to

start the implementation of transparent

recruitment, tailor job descriptions to tasks,

and rework conditions for incoming civil

servants. However, road map of

administrative reform released by the regime

of reform era in terms of bureaucratic and

personnel reform should be promoted and

keep on going program. There is no instant

policy reform for resulting best

administrative reform. Indonesia Vision on

Road map of bureaucracy reform till 2020

should be supported by all elements to have

a result. Whether occurring in a slow or fast

growth of reform, the phenomena should be

continued. To sum up, many developing

countries have been implementing

administrative reform in terms of their

bureaucracy and civil servant. However, the

reform is in one step behind compared to the

developed countries. It is so called they are

still in Weber‘s stage of reform which focus

on effectiveness and efficiency. It‘s a kind of

a long and winding road of Indonesia‘s

administrative reform.

References:

BidhyaBowornwathana,1994,

Administrative Reform and Regime

Shifts: Reflections on The Thai

Polity, Asian Journal of Public

administration, Vol. 16, No. 2.

December 1994, pp. 152-164

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

39

Blandine Bouniol, 2005, Consultant, and

Catherine Laurent, Senior Public

Sector Management Specialist,

MNSED (November 2005).

Duisburg-EssenJreisat, Jamil E., 1988,

Public Administration and

Development, Vol. 8, 85-97 (1988),

Administrative reform in

developing countries: a comparative

perspective

Farazmand,Ali

(Ed.),2002,AdministrativeReformin

Developing Nations, Praeger

Publishers, The US.

Haidy,Alix,and Lia,

http://www.impower.co.uk/en/five-

challenges-for-genuine-public-

service-reform, the UK.

Downloaded 17 April 2012

Heruanto,Agus. 2007, LOCAL PUBLIC

ADMINISTRATION REFORM:

An Empirical Study of Local

Government Reform in Indonesia

during the Local Autonomy

Implementation (1999-2004)

HADNA, ,

Gesellschaftswissenschaften

Fakultät der Universität

Nick Pearce andChris Nicholson and

Andrew Haldenby,

http://www.ethosjournal.com/home/

item/259-public-service-reform,

Downloaded 17 April 2012

Painter, Martin, 2004, The Politics of

Administrative Reform in East and

Southeast Asia: From Gridlock to

Continuous Self-Improvement?

Governance: An International

Journal of Policy, Administration,

and Institutions, Vol. 17, No.

3,July2004 (pp. 361–386).

Blackwell Publishing, 350 Main

St., Malden

Pelgrims, Christophe, 2007, The Impact of

Politicians on Administrative

Reform Processes? Analyzing the

Introduction and Implementation of

Mandates for Top Civil Servants,

Leading the Future of the Public

Sector: The Third Transatlantic

Dialogue University of Delaware,

Newark, Delaware, USA May 31–

June 2, 2007

Prijono Tjiptoherijanto,2007, Civil Service

Reform in Indonesia ,

International Public Management

Review electronic Journal at

http://www.ipmr.net Volume 8

Issue 2.

Susanto Basu dan David D. Lee, 2000, A

Theory of the Reform of

Bureaucratic Institutions. Jakarta.

United Nations Development Programme,

2003, Publication Report on

Countries reform.

World Bank, 2005, Civil service has so far

shunned change,

http://web.worldbank.org

World Bank, 2006, Indonesia Publication

Report.

www.kompas.com, 25 Agustus 2011

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

40

KEADILAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

Stef. Alam Sutardjo Ketua STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang

Abstract

The effort of up hold the law in create of justice in this state is sleep. Manny presssing case

show the fact, the process of justice has value, in doing his work, the up hold the law can not a s a

justice holder. The judicative of reformation versus oportunism of agency.

Keyword :Up hold law institution, justice

1. PENDAHULUAN

Kasus pemerasan oleh penegak hukum

menunjukkan jalan mewujudkan keadilan di

negeri ini semakin terjal. Terungkapnya

beberapa kasus pemerasan memperjelas

fakta, keadilan dalam proses peradilan ada

harganya. Dalam menjalankan tugasnya,

aparat penegak hukum tidak selalu bisa

berperan sebagai penegak keadilan.

Reformasi peradilan berhadapan dengan

oportunisme aparat.

Perilaku ―memeras‖ sering

diidentifikasikan preman. Polisi, jaksa,

hakim dan pengacara sebagai pilar keadilan

masyarakat sering bertindak melampaui

batas-batas kemanusiaannya. Hal ini

disebabkan oleh hukum dan keadilan yang

bisa dihargai dengan uang. Seberapa besar

uang yang ditukarkan dengan keadilan

mempengaruhi seberapa besar keadilan yang

didapat. Para pencari keadilan akan sulit

mendapat jaminan hukum yang adil bila

dalam saat yang sama tidak memmiliki uang

sebagai alat tukar.

Kini kita ada dalam gejala venalitas

cukup parah. Hukum, politik, birokrasi,

jabatan dan moralitas dihargai dengan uang.

Materialisme menjangkiti semua ranah

kehidupan dan menembus segala hal yang

dulu dipercaya tidak bisa dibeli dengan

uang. Dalam masyarakat sendiri lalu lahir

kata-kata, apa sih yang tidak bisa adilakukan

dengan uang? Masyarakat tahu, berapa

‖harga keadilan‖ bagi pelanggar lalu-lintas,

maling ayam, pengedar narkoba, pemerkosa,

hingga koruptor.

Inilah tantangan terbesar reformasi

peradilan dan sistem hukum kita. Gejala

venalitas sudah menjadi perilaku kehidupan

yang sedikit demi sedikit mulai dianggap

biasa. Gejala venalitas melahirkan ironi pada

hukum kita, yang sering disebut imunitas

(imunity). Seseorang akan merasa kebal

hukum bila memiliki kekuasaan untuk

membelinya. Segala sanksi atas pelanggaran

hukum bisa dibeli karena sudah ada

harganya.

Keadilan menjadi barang dagangan,

dipajang di ―supermarket hukum‖. Para

pencari keadilan yang tidak memiliki

kekuatan untuk membeli hukum akan

menjadi korban. Dalam tradisi hukum ini,

seseorang akan melakukan segala cara untuk

mendapatkan imunitas dan membeli sanksi

atas pelanggaran.

Para penguasa negeri ini sering

berlomba mencari imunitas karena merasa

dirinya memiliki kekuasaan untuk berbuat

segala sesuatu. Mengingat politik sering

berdiri diatas segala keputusan hukum, maka

hukum tidak bisa berada dalam zona netral.

Tentu saja, karena disana terdapat

pertukaran kepentingan.

Kekebalan atas hukum melahirkan

kekebalan yang amat menyebalkan. Praktik

hukum tak ubahnya orang membelah bambu,

injak yang bawah dan selamatkan yang atas.

Para mafia dan ―pialang keadilan‖ mondar-

mandir mencari mangsa.

(www.kompas.com/kompas-

cetak/0601/20/opini/2381567.htm - 40k,

diakses 4 Januari 2014 pkl. 14.00 wib).

2. Kajian Pustaka

Upaya Hukum untuk Mewujudkan

Keadilan di Tengah Reformasi Peradilan

Dalam kehidupan bermasyarakat

sebuah aturan sangat dibutuhkan untuk

mewujudkan ketertiban, keamanan,

ketentraman, serta tercapainya keadilan di

tengah masyarakat. Hal ini merupakan salah

satu fungsi hukum yang harus dikedepankan

secara bersama-sama di setiap sendi

kehidupan umat manusia. Kita tidak hanya

berpegang pada aturan yang yang dibuatoleh

penguasa namun juga harus kembali kepada

nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.

Kehidupan tidak hanya untuk kepentingan

pribadi namun lebih mengarah kedalam

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

41

aspek bersama atau lebih dikenal dengan

hidup berjama‘ah.

Menurut Benny Susetyo

(http:www.freelist.org/archives/ppi/09-

2005/msg00394.html, diakses 4 januari 2014

pkl. 14.05 wib.), bahwa jual beli perkara

sudah merupakan fakta sosial dan hukum

yang dihadapi dalam reformasi peradilan.

Dalam kondisi demikian, mengembalikan

wibawa hukum tidak bisa hanya dengan

mengganti aparatur. Jauh lebih mendasar

adalah menegasikan semua budaya venalitas

dan upaya imunitas yang dilakukan

segelintir orang di negeri ini. Dalam sistem

hukum yang sehat akan terdapat penegak

hukum yang sehat pula. Dalam sanubari

penegak hukum yang sehat juga ada jiwa

keadilan yang sehat. Akhirnya, tujuan

hukum adalah untuk menciptakan

kemakmuran. Kemakmuran akan tercipta

bila ada keadilan.

Mengadili siapapun yang bersalah

sesuai hukum merupakan langkah awal yang

harus ditempuh agar tidak ada lagi orang

yang mempercayai faktor imunitas.

Menghargai fungsi, peran, dan jati diri yang

dimiliki aparat hukum adalah cara utama

untuk kembali menegakkan supremasi

keadilan dan mengenyahkan moral venalitas

dalam hukum kita.

Agus Riewanto (2007:1)

mengatakan bahwa masalah penegakan

hukum menjadi titik sentral yang diharapkan

mampu menjadi motor penggerak

dimulainya kebangkitan nasional Indonesia

di semua bidang. Negara kita pernah

mempunyai tokoh-tokoh yang penuh

dedikasi berjuang menjadikan negara

bangkit dari belunggu penjajah. Saat ini kita

teramat merindukan lahirnya para penegak

hukum yang memiliki dedikasi seperti para

penggerak lahirnya Boedi Oetomo. Mengapa

demikian? Karena hari-hari ini publik kita

begitu rendah tingkat kepercayaannya

(public distrust) pada institusi hukum karena

tidak mampu menjalankan imperatif hukum

secara serius dan berpegang teguh pada

prinsip-prinsip moral-keadilan.

Tengoklah belakangan ini, hukum

tidak memihak pada keadilan. Bahkan lebih

banyak menyisakan duka dan kekecewaan

publik tatkala melihat proses jalannya

prosedur hukum. Ratusan bahkan ribuan

kasus kejahatan teruma korupsi melibatkan

kekuasaan politik dan uang dilepas begitu

saja (SP-3). Tapi terhadap kasus kejahatan

yang menimpa rakyat jelata dan miskin

relasi uang dan kekuasaan justru diburu

untuk ―dibunuh‖ dengan baju hukum.

Ini menunjukkan sebuah realitas,

bahwa hukum hanya tegas pada rakyat

jelata, tetapi tumpul dan bergeming pada

uang dan kekuasaan. Hukum kita, hari ini

seolah telah mendengungkan lonceng

kematiannya. Persis seperti unkapan Hugo

Black (156), ―there can be no equal justice

where the kind of trial a man gets depen on

the amount of he has‖; (tak akan pernah

tercapai keadilan jika keadilan masih

didasarkan pada besar kecilnya uang yang

didapat).

Hukum berideologi uang juga

mencerminkan betapa institusi hukum

(peradilan) kita tengah mempraktekkan

hukum berideologi uang bukan kebenaran

ilmu, commen sense dan rasa keadilan

masyarakat. Gejala praktek hukum

berideologi uang ini mirip seperti yang

disinyalir olej sosiolog Ignas Kleden (2004)

yang mempopulerkan istilah venalitas

(vernality), yakin gejala dimana uang bisa

digunakan untuk membayar dan membeli

hal-hal secara substansial tak mungkin bisa

dibeli dengan alat tukar uang.

Termasuk membeli hukum dan

keadilan. Hukum dan keadilan amat

bergantung pada uang. Sikap mental

materialisme yang bertumpu pada uang ini,

kini menjadi idiologi para pekerja dan para

pengabdi hukum kita (hakim, jaksa, polisi

dan advokat). Sehingga budaya venalitas ini

terus memasuki ruang-ruang yang dulu

mungkin tak dapat dan tak lazim dibeli

dengan uang. Hukum dan keadilan idealnya

tak bisa dibeli dengan uang, namun

realitasnya uang menjadi alat tukar dan daya

tawar utama.

Wajarlah bila banyak institusi

hukum (peradilan) dalam dan luar negeri

yang mengkritik lemahnya moralitas

lembaga-lembaga hukum kita, salah satunya

dituturkan oleh Price Waterhouse Coopers

dan British Institute of International and

Comparative law, 2001, serta Asian

Development Bank 2002, dalam final Report

of The Governance Audit of The Public

Prosecution Service of The Republic of

Indonesia, yang menuturkan, bahwa institusi

hukum adalah institusi demokrasi Indonesia

yang paling lamban dalam upaya

mereformasi diri.

Di titik inilah membangkitkan

institusi hukum (khususnya peradilan) dari

ketepurukannya memperoleh momentum

tepat dengan pertama-tama mendorong

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

42

aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dari

intervensi kekuasaan eksekutif. Karena

harus diakui bahwa lemahnya kinerja aparat

hukum selama ini dalam menuntaskan aneka

bentuk pelanggaran hukum, teruma kasus-

kasus korupsi adalah karena lemahnya dan

tak kuasanya di hadapan uang dan

kekuasaan eksekutif (dari Presiden,

Gubernur hingga Bupati/Walikota). Faktor

inilah yang menyeret institusi ini ke jurang

nestapa, sehingga tak tegas menjalankan

imperatif substansi hukum, yakni keadilan.

Agenda pembaruan berikutnya,

ialah perlunya pengawas internet dan

eksternal di institusi penegakan hukum

(polisi, jaksa, hakim dan advokat), seperti

inspektoral jenderal, komisi Kepolisian

Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan

(Koja), Komisi Yudisial (KY) dan Dewan

Etik Advokat didorong untuk memiliki

keberanian dan ketegasan dalam menindak

para polisi, jaksa, hakim dan advokat

―nakal‖ yang memperjual-belikan hukum

dan keadilan dengan sanksi yang tegas dan

mengikat secara hukum.

Ini penting dilakukan sebab

pengawasan tanpa diiringi dengan

keberanian memberi sanksi sama maknanya

dengan pengawasan ―banci‖. Kendati untuk

menuju kearah keberanian komisi ini untuk

melakukan proyek reformasi institusi hukum

harus diiringi dengn kontrol masyarakat sipil

dan media massa secara intensif.

Yang tak kalah pentingnya dari

agenda kebangkitan dalam penegakan

hukum ini adalah mendorong reformasi

moral. Karena menurut Harkristuti (2004)

reformasi hukum jauh lebih utama bila

dimulai dari reformasi moral, ketimbang

peraturan dan pengawasan verbal. Karena

itu, maka aneka komisi itu dan masyarakat

sipil perlu terus mendorong lahirnya

keteladanan moral dari pimpinan puncak

institusi hukum (Kapolri, Jaksa Agung, dan

Ketua MA).

Cara ini diharapkan akan meretas

ke polisi, jaksa dan hakim di tingkat lebih

rendah (Provinsi, Kabupaten/Kota, dan

Kecamatan). Sehingga publik dapat segera

menjumpai aparat-aparat hukum yang

profesional dan bermoral di semua ranah

publik (desa dan kota). Bangkitnya aparat

hukum dari perilaku buruknya, akan

mencerminkan kebangkitan penegakan

hukum dan kelak lamban tapi pasti

rakyatpun akan segera bangkit untuk

mempercayai (trusty) aparat hukum dalam

mengawal geraknnya roda keadilan.

Disinilah ditemukan relevansi kebangkitan

nasional dengan kebangkitan penegakan

hukum di negeri ini.

(http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?me

nu=artikel&id=911, diakses 4 januari 2014

pkl.14.30 wib).

Upaya Pencapaian Keadilan sebagai

Tujuan Hukum dalam Perspektif Filsafat

Hukum

Satjipto Rahardjo (13/02/2007:1)

mengatakan dalam jagat hukum, Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan

Agung, Markas Besar Kepolisian Negeri RI

tampak bagai bangunan besar yang

menjulang tinggi. Namun, dalam jagat

ketertiban, semua mengerut menjadi kecil.

Para Hakim Agung, Jaksa Agung, Kepala

Polri menyusut menjadi manusia kecil.

Dalam jagat hukum, hukum tampak perkasa

melalui kekuasaanya untuk membuat

peraturan, menyuruh orang patuh, dan

menghukum mereka yang tidak mematuhi

hukum. Dia sudah hegemonial. Yang ingin

dikatakan adalah dalam jagat ketertiban,

hukum hanya menempati satu sudut kecil,

bersama berbagai kekuasaan normatif yang

lain. Jagat ketertiban lebih luas dan alami

serta tidak hanya dihuni hukum atau orde

hukum. Karena jagat ketertiban juga

meliputi jagat keadilan. Lagi-lagi, orde

hukum tidak memonopoli keadilan. Hukum,

pada dasarnya hanya menghasilkan keadilan

formal atau legal, tetapi belum tentu

keadilan substansial. Keadilan substansial

bisa muncul dan diberikan di banyak tempat

lain, tidak (hanya) di pengadilan negara.

Maka, meski bernegara hukum, kita

dihadapkan jagat ketertiban dan jagat

keadilan yang jauh lebih luas dan

substansial. Meski demikian, harus diakui,

orde hukum memiliki banyak kelebihan,

seperti legalitas, birokrasi, fasilitas

pendukung, dan aparat profesional. Meski

demikian, dalam jagat ketertiban, hukum

harus berkompetisi dengan berbagai

kekuatan normatif lain yang menghuni jagat

ketertiban yang sama.

Dalam masa-masa krisis ketertiban

seperti sekarang, kita pantas memberi

perhatian terhadap fenomena itu. Kendati

Indonesia adalah sebuah negara hukum, itu

tidak sekaligus berarti hukum memonopoli

kekuasaan. Para ekonom mengatakan, dalam

krisis yang melanda Indonesia sejak akhir

tahun 1998, institut ekonomi yang besar dan

formal, seperti perbankan dan industri

mengalami pukulan berat, tetapi ―ekonomi

rakyat‖, ―ekonomi gurem‖, justru tidak.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

43

Institut-institut inilah yang justru yang tetap

berjalan dan membuat Indonesia bertahan

(survive).

Apa yang terjadi dalam ekonomi,

mutatus mutandis, juga terjadi dalam

hukum. Jika hukum dibaca media, orang

bisa berkesimpulan, Indonesia sudah ambruk

(collapse). Negeri ini sudah berubah menjadi

belantara karena suatu kehidupan yang

penuh ketertiban berubah menjadi medan

yang kacau (chaotic). Jika orang tidak puas

terhadap suatu keputusan, pengadilan

dirusak. Diruang sidang kadang sudah

disiapkan barisan yang akan mengintimidasi

hakim yang berani menghukum terdakwa.

Suatu keputusan yang sudah baik, dengan

berbagai alasan, akan dimintakan banding

dan jika belum puas, dimintakan kasasi.

Akhir-akhir ini, media

menyuguhkan ―perseteruan‖ antar sesama

lembaga pengadilan. KPK, Tim Tastipikor,

yang dengan semangat tinggi melawan

korupsi, digugat eksistensinya, ingin

dirobohkan. Konflik antara MA dan Komisi

Yudisial menjadi konflik terbuka dan lain-

lain lagi. Mengapa Indonesia tidak ambruk?

Karena rakyat diam-diam menyadari, ia

tidak dapat hidup dalam kekacauan dan

karena itu tidak mau negara hukum dan orde

hukum ini ambruk. Inilah ―kekuatan gaib‖

yang menopang kelangsungan hidup

Indonesia hingga kini. Meski hukum dan

lembaga hukum berantakan, rakyat masih

percaya kepada orde hukum. Maka, selama

rakyat masih menaruh kepercayaan keadaan

akan ―baik-baik saja‖. Jadi kini hukum

bukan berjalan karena ia adalah hukum dan

karena itu harus dipatuhi, tetapi karena

rakyat masih memiliki kepercayaan (trust).

Disaat rakyat masih memiliki

kepercayaan terhadap hukum untuk

mencapai keadilan, ternyata ditemukan

permainan uang (venalitas) dimana-mana,

termasuk di pengadilan, kejaksaan,

kepolisian, dan dunia advokat. Dengan

padat, Sebastian Pompe (2005)

menyimpulkan, hal-hal yang yang baik dan

mulia dalam hukum pada masa lalu kini

telah merosot. Menurut Pompe, yang

melakukan penelitian lumayan cermat,

kemerosotan itu digambarkan melalui kata-

kata courage turned to ccowardice,

capability to incompetence, integrity to

structural corruption, and respect to

contempt. Konstatasi Pompe hanya dapat

dilawan dengan mengajukan bukti-bukti

nyata yang sebaliknya dan ini rasanya sulit .

(http://www.reformasihukum.org/konten.ph

p?nama=pemilu&op=detail_politik-

pemilu&id= 129, diakses 5 januari 2014

pkl.10.30 wib).

Oleh karena, keadilan merupakan

salah satu tujuan hukum yang paling banyak

dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah

filsafat hukum. Telah disebutkan

sebelumnya, bahwa tujuan hukum memang

tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian

hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum

memang harus mengakomodasikan

ketiganya. Putusan hakim, misalnya, sedapat

mungkin merupakan resultante dari

ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada

yang berpendapat, diantara tiga tujuan

hukum itu, keadilan merupakan tujuan

hukum yang paling penting, bahkan ada

yang berpendapat merupakan tujuan hukum

satu-satunya (Darmodiharjo & Shidarta

2004:155). Oleh karena itu, pencapaian

keadilan juga diperlukan produk hukum

yang bisa dilaksanakan oleh aparat penegak

hukum dan institusi hukum (peradilan) serta

masyarakat dengan baik.

Jadi, pembuatan suatu produk

hukum menurut Zulhesni (2005:1), tidak

hanya memandang dari segi yuridisnya saja.

Artinya pembentukan sebuah produk hukum

yang harus ditetapkan namun juga harus

memandang aspek filosofis dan aspek

sosiologis. Kedua aspek ini, tentu bertujuan

supaya hukum mengakar serta diterima oleh

masyarakat. Pertimbangan terhadap aspek

filosofis dan aspek sosiologis akan mendapat

respon hukum dari masyarakat, mereka tidak

akan memandang hukum sebagai

kepentingan, namun masyarakat akan

menyadari makna dari kebutuhan hukum

tersebut.

Produk hukum responsif adalah

produk hukum yang mencerminkan rasa

keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.

Dalam proses pembuatannya memberikan

peranan besar dan partisipasi penuh

kelompok-kelompok sosial atau individu

dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat

respon terhadap kepentingan seluruh

elemen, baik dari segi masyarakat ataupun

dari segi penegak hukum. Hasil dari produk

hukum tersebut mengakomodir kepentingan

rakyat dan penguasanya. Prinsip check and

balance akan selalu tumbuh terhadap

dinamika kehidupan masyarakat.

Lawan dari hukum responsif adalah

produk hukum konservatif atau hukum

responsif yang merupakan produk hukum

yang isinya mencerminkan visi sosial elit

politik, lebih mencerminkan keinginan

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

44

pemerintah, bersifat positif instrumentalis,

yakni menjadi alat pelaksana idiologi dari

program negara. Berlawanan dengan hukum

responsif, hukum konservatif lebih tertutup

terhadap tuntutan-tuntutan kelompok

maupun individu-individu dalam

masyarakat. Dalam pembuatannya peranan

dan partisipasi masyarakat relatif kecil

(Moh. Mahfud dalam Zulhesni, 2005:1).

Dalam realita masyarakat Indonesia

pembentukan produk hukum konservati

relatif lebih mudah dan lebih gampang

dilakukan. Walaupun dalam pensahannya

mendapat pertentangan ataupun melalui

perdepatan panjang yang akhirnya lahir

produk hukum dalam bentuk konservatif.

Kenyataan ini akan menimbulkan reaksi dari

yang merasa deskriminasi terhadap kelahiran

sebuah produk hukum tersebut. Atau ada

juga produk hukum yang bertentangan

dengan produk hukum yang ada diatasnya.

Hal ini sudah banyak terjadi di Indonesia,

kasus-kasus judicial review merupakan bukti

nyata terhadap adanya sebuah aturan yang

dianggap diskriminasi atau peraturan

tersebut bertentangan dengan peraturan yang

ada diatasnya, pengajuan judial review

terhadap peraturan yang lebih rendah apabila

bertentangan dengan peraturan dengan yang

lebih tinggi merupakan salah satu bukti

lahirnya produk hukum yang konservatif.

Polemik bahwa produk hukum

tersebut merupakan produk hukum

konservatif terlihat bahwa hukum itu

berpihak pada kelompok tertentu atau

kepada kepentingan tertentu, artinya

terjadinya aturan yang berlaku dalam

masyarakat bukan atas kehendak atau

keinginan dari masyarakat namun lebih

tertuju terhadap kepentingan politik dari

para pembuat aturan tersebut maka lahirlah

apa yang dinamakan produk hukum

konservatif. Salah satu produk hukum yang

juga dianggap konservatif adalah undang-

undang terorisme dimana ini

mengesampingkan azas-azas hukum yang

lain serta mengesampingkan Hak Asasi

Manusia.

Untuk mengkalkulasikan apakah

produk hukum tersebut responsif atau

konservatif, ada indikator yang bisa dipakai

dalam penilaian sebuah produk hukum

tersebut. Penilaian yang dipakai adalah

proses pembuatannya, sifat hukumnya,

fungsi hukumnya, fungsi hukum dan

kemungkinan penafsiran terhadap pasal-

pasal dari produk hukum terssebut. Produk

hukum yang berkarakter responsif proses

pembuatanya bersifat partisipasif, yakni

mengundang sebanyak-banyaknya

partisipasi semua elemen masyarakat, baik

dari segi individu, ataupun kelompok

masyarakat. Kemudian dilihat dari fungsi

hukum yang berkarakter responsif tersebut

harus bersifat aspiratif yang bersumber dari

keinginan atau kehendak dari masyarakat,

produk hukum tersebut bukan kehendak dari

penguasa untuk melegitimasikan

kekuasaannya. Sehingga fungsi hukum bisa

menjadi nilai yang telah terkristal dalam

masyarakat.

Kemudian dilihat dari segi

penafsiran produk hukum yang berkarakter

responsif tersebut biasanya memberikan

sedikit peluang bagi pemerintah untuk

membuat penafsiran sendiri melalui berbagai

peraturan pelaksana dan peluang yang

sempit itupun hanya berlaku untuk hal yang

bersifat teknis, bukan dalam sifat pengaturan

yang bertentangan dengan aturan yang ada

diatasnya.

Pembangunan hukum responsif ini

harus disertakan dengan masyarakat yang

responsif pula. Karena pilar utama dari

penegakan hukum ada dalam diri

masyarakat. Masyarakat responsif adalah

masyarakat atau komunitas yang lebih

tanggap terhadap tuntutan warganya dan

mau mendengarkan keluhan serta keinginan-

keinginan warganya. Masyarakat jenis

responsif ini adalah masyarakat yang dalam

mengungkap dan menegakkan nilai-nilai

sosialnya, tujuan-tujuannya, kepentingan-

kepentingannya tidak dilakukan dengan

melalui cara paksaan akan tetapi cenderung

dilakukan dengan cara penyebarluasan

informasi, pengetahuan dan komunikasi.

Konsekwensinya, dalam memecah masalah-

masalah sosial, politik, ekonomi, budaya,

dan hankamnya terutama dilakukan dengan

cara-cara persuasif dan dengan memberikan

dorongan, bukannya unjuk kekuasaan atau

bahkan melembagakan budaya kekerasan.

Kenyataan ini menunjukkan betapa

pentingnya pembangunan hukum responsif

harus diiringi dengan masyarakat responsif.

Tuntutan untuk mengagendakan

urgensi pembangunan hukum responsif,

tersebut secara teoritas juga dilandasi oleh

suatu asumsi bahwa hukum, selain dapat

dipergunakan sebagai tool ofsocial control

juga seharusnya dipergunakan sebagai tool

of social engeneering yang akan menuntun

perubahan-perubahan sosial dan cita hukum

masyarakat bersangkutan. (M. Abdul

Kholiq, Jurnal Hukum dan Keadilan) Dalam

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

45

perspektif konstitusional misalnya, hukum

responsif yang aspiratif dalam arti

mengakomodir segala kepentingan

masyarakat banyak dan dengan demikian

juga berarti bahwa hukum tersebut bersifat

melindungi (sosial defence), menemukan

legitimasinya dalam UUD 1945.

Bahwa sesungguhnya pada

pembukaan UUD 1945 dalam konteksnya

dengan hukum mengandung empat nilai

dasar yang merupakan law frame yang harus

diperhatikan dalam pembangunan hukum di

Indonesia. Pertama, hukum itu berwatak

melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar

berisi muatan norma imperatif (memerintah)

begitu saja. Kedua, hukum itu mewujudkan

keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keadilan

sosial disini bukan semata-mata sebagai

tujuan, akan tetapi sekaligus sebagai

pegangan yang konkrit dalam membuat

peraturan hukum. Ketiga, hukum itu adalah

dari rakyat dan mengandung sifat

kerakyatan. Keempat, hukum adalah

pernyataan kesusilaan dan moralitas yang

tinggi baik dalam peraturan maupun dalam

pelaksanaannya sebagaimana diajarkan

didalam ajaran agama dan adat rakyat kita

(M. Abdul Kholik). Keseiringan antara nilai

hukum dengan keadaan masyarakat

menjadikan hukum tersebut berpihak serta

melindungi masyarakat. Maka untuk

tercapainya sebuah keadilan akan lebih

mudah.

Dalam mencapai tatanan hukum

responsif ini paradikma hukum kita juga

harus diubah. Tujuannya adalah agar

kepentingan politik sesaat tidak selalu

ditonjolkan, yang terjadi dalam era reformasi

sekarang ini adalah bahwa pembuatan

sebuah produk hukum akan selalu

ditonjolkan kepentingan politik. Makanya

untuk membangun sebuah produk hukum

yang responsif arah perpolitikan Indonesia

harus disertai dengan politik bermoral

dengan tujuan kebersamaan untuk

masyarakat. Kalau selama ini banyak partai

politik yang menonjolkan kepentingan

partainya maka masa yang akan datang arah

politik tersebut lebih menjurus terhadap

kepentingan rakyat. Karena kita sadari

bahwa hukum merupakan produk dari

politik, kalau politiknya baik maka akan

menghasilkan produk hukum yang baik,

kalau politiknya buruk akan melahirkan

produk hukum yang akan menyengsarakan

rakyat.

Untuk masa yang akan datang

dalam proses perubahan serta reformasi

yang kita hadapi peran masyarakat sangat

dibutuhkan untuk menegakkan hukum,

apalagi saat ini banyak para elit politik yang

mengatasnamakan rakyat namun untungnya

adalah untuk elit politik sendiri, mudah-

mudahan kita membangun responsif demi

kepentingan bersama. Apabila pembangunan

huku responsif terwujud maka budaya

hukum masyarakat akan datang dengan

sendirinya. Karena dengan produk hukum

yang dihasilkan secara responsif maka

lahirnya aturan itu adalah kehendak bersama

masyarakat bukan kehendak dari para

pembuat kebijakan.

(http://freelist.org/archives/ppi/09-

2005/msg00394.html, diakses 4 Januari

2014 pkl.14.05 wib).

Oleh karena itu, upaya pencapaian

keadilan yang didukung oleh masyarakat,

aparat penegak hukum dan peradilan yang

melaksanakan produk hukum dengan baik

dapat dilakukan dengan cara melaksanakan

dua prinsip keadilan. Seperti yang dipaparka

oleh Rawls (dalam Darmodiharjo &

Shidarta, 2004 : 164-165) bahwa

kecenderungan manusia untuk

mementingkan diri sendiri merupakan

kendala utama mencari prinsip-prinsip

keadilan itu. Apabila dapat menempatkan

diri pada posisi asli itu, manusia akan

sampai pada dua prinsip keadilan yang

paling mendasar, sebagai berikut.

Prinsip kebebasan yang sama sebesar-

besarnya (principle of greatest equal

liberty). Menurut prinsip ini setiap

orang mempunyai hak yang sama atas

seluruh keuntungan masyarakat.

Prinsip ini tidak menghalangi orang

untuk mencari keuntungan pribadi

asalkan kegiatan itu tetap

menguntungkan semua pihak. Huijbers

memberi contoh, apabila dengan

kegiatan pribadi saya dapat

memperoleh keuntungan 100, dan

jumlah itu, teman saya mendapat 20,

sedangkan saya 80, maka hal itu tetap

dianggap adil. Lebih baik kita semua

mendapat untung daripada tidak ada

untung sama sekali. Priyono menyebut

beberapa prinsip kebebasan dalam hal

ini adalah kebebasan untuk berperan

serta dalam kehidupan politik (hak

bersuara, hak mencalonkan diri dalam

pemilihan); kebebasan bebicara

(termasuk kebebasan pers); kebebasan

berkeyakinan (termasuk berkeyakinan

agama); kebebasan menjadi diri sendiri

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

46

(person); hak untuk mempertahankan

milik pribadi;

Prinsip ketidaksamaan, yang

menyatakan situasi perbedaan sosisal

ekonomi) harus diberikan aturan

sedemikian rupa sehingga paling

menguntungkan golongan masyarakat

yang paling lemah (paling tidak

mendapat peluang untuk mencapai

prospek kesejahteraan, pendapatan, dan

otoritas). Rumusan prinsip kedua ini

sesungguhnya merupakan gabungan

dari dua prinsip, yaitu prinsip

perbedaan (difference principle) dan

persamaan yang adil atas kesempatan

(the principle of fair equality of

opportunity).

Berdasarkan prinsip kebebasan dan

prinsip ketidaksamaan tersebut maka hakim

harus memberikan putusan terhadap suatu

perkara yang benar-benar adil sehingga

penegakan keadilan tercipta. Keadilan

(Gultom, 2003:31 dalam Henuk) diartikan

sebagai suatu kondisi dimana setiap orang

bisa melaksanakan hak dan kewajiban

secara, bertanggung-jawab dan bermanfaat.

Konsepsi keadilan berakar dari kondisi

masyarakat yang diinginkan. Secara analitis,

keadilan dapat dibagi dalam komponen

proseduril dan substantif, atau keadilan

formil dan keadilan materiil. Komponen

prosedural atau keadilan formil,

berhubungan dengan gaya sistem hukum,

seperti ―rule of law” dan negara hukum

(rechsstaat), sedangkan komponen

substantif atau keadaan materiil menyangkut

hak-hak sosial dan menandai penataan

politik, ekonomi di dalam masyarakat.

Oleh karena itu, hukum memiliki

tujuan untuk mewujudkan tertib masyarakat

yang damai dan adil. Jika ketertiban umum

harus merupakan ketertiban hukum, maka

ketertiban umum itu haruslah merupakan

suatu keadaan tertib yang adil, sesuai

pengertian keadilan sebagai substansi dari

tertib hukum dan ketertiban hukum,

sehingga fungsi utama dari hukum pada

akhirnya adalah untuk menegakkan

keadilan. Adil tidak adilnya hhukum

ditentukan oleh sikap yang diambil terhadap

hubungan antara hukum dan keadilan.

Pelaksanaan hukum dan penerapan hukum

yang adil mengandung arti yang sama bagi

setiap orang dan yang berjalan sesuai dengan

peraturan dan asas-asas hukum, ini

tergantung pada struktur sosial yang adil,

yaitu masyarakat yang ciri khasnya tidak

terdapat perbedaan kekuasaan yang besar

dan yang tidak diatur oleh hukum, dalam

aneka ragam bentuk dan variasinya

(Kusumah, 1981:26 & 126 dalam Henuk).

Jadi, penegak hukum diharapkan

oleh masyarakat mampu menjembatani

idealisme equality before the law menjadi

terwujud dalam realitas, artinya suatu kaidah

normatif yang menjadi muatan dalam

perundang-undangan dan diandalkan

menjadi kekuatan perekayasa di tengah

masyarakat menuntut kompetensi penegak

hukum yang melaksanakannya secara jujur

dan terbuka (trial and fair). Penegakkan

hukum yang benar dan adil harus bertitik

tolak dari postulat peradilan,

kemasyarakatan, kepatutan. Hanya

penegakan hukum yang mengandung nilai-

nilai peradapan dan kemanusian dan

kepatutan yang dapat mencapai kebenaran

(trust) dan keadilan (justice). Penegakan

hukum bukan semata-mata menegakkan

perturan perundang-undangan dan hukum

saja, tetapi harus ditujukan untuk

menegakkan kebenaran dan keadilan (to

enforce the truth and justice), alasannya

adalah sesuatu yang legal (wetmatig) belum

tentu rechvaardig (justice); sesuatu yang

rechmatig (lawful) belum tentu rechvaardig

(justice). Akan tetapi sesuatu yang sesuai

dengan nilai-nilai peradapan dan

kemanusian dan kepatutan, pasti

mengandung nilai-nilai kebenaran dan

keadilan (Harapan, 1997: 421-422 dalam

Henuk,

http://www.freelists.org/archives/ppi/07-

2006/msg00302.html, diakses Sabtu, 5

Januari 2008 pkl.10.35 wib).

Kesimpulan

Berdasarkan paparan diatas dapat

disimpulkan, sebagai berikut: (1) Jual beli

perkara sudah merupakan fakta sosial dan

hukum yang dihadapi dalam reformasi

peradilan. Dalam kondisi demikian,

mengembalikan wibawa hukum tidak bisa

hanya dengan mengganti aparatur. Jauh

lebik mendasar adalah menegasikan semua

budaya venalitas dan upaya imunitas yang

dilakukan segelintir orang; (3) Karena itu,

membangkitkan intitusi hukum (khususnya

peradilan) dari keterpurukannya dengan cara

mendorong aparat hukum (polisi, jaksa dan

hakim) dari intervensi kekuasaan eksekutif;

(4) Jadi, keadilan merupakan salah satu

tujuan hukum yang paling banyak

dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah

filsafat hukum sehingga tujuan hukum

memang tidak hanya keadilan, tapi juga

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

47

kepastian hukum dan kemanfaatan; (5)

Berdasarkan prinsip kebebasan dan prinsip

ketidaksamaan maka hakim harus

memberikan putusan terhadap suatu perkara

yang benar-benar adil sehingga penegakan

keadilan tercipta.

Daftar Rujukan

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2004.

Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa

dan Bagaimana Filsafat

HukumIndonesia. Cetakan kelima.

Jakarta: SUN.

Intenet

Henuk, Yusuf Leonard.

(http://www.freelists.org/archive/pp

i/07-2006/msg00302.html, diakses

5 Januari 2014 pkl.10.35 wib).

Rahardjo, Satjipto. 13-12-2007. Dalam

Jagat Ketertiban.

(http://www.reformasihukum.org/k

onten.php?nama=pemilu&op=detail

_politik_pemilu&id=129, diakses 5

Januari 2014 pkl.10.30 wib).

Riewanto, Agust. 20 Mei 2007.

SuaraPembaharuan. Kebangkitan

dalam Penegakan Hukum-Refleksi

Hari Kebangkitan Nasional.

(http://www.ham.go.id/index_HAM

.asp?menu=artikel&id=911, diakses

4 Januari 2014 pkl.14.30 wib).

Susetyo, Benny. Venalitas dan Harga

Sebuah Keadilan.

(www.kompas.com/kompas-

cetak/0601/20/opini/2381567.htm -

40k, diakses 4 Januari 2014 pkl

14.00 wib).

Zulhesni. Selasa, 20 September 2005.

Produk Hukum dan Keadilan

Masyarakat.

(http://www.freelists.org/archive/pp

i/09-2005/msg00394.html, diakses

4 Januari 2014 pkl.14.5 wib).

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

48

PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK MELALUI REFORMASI BIROKRASI

DAN E-GOVERNANCE

Sukarti Arisa Rosita DPK di perbantukan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang

Abatrak

Salah satu fungsi penyelengaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur

pemerintahan adalah pelayanan publik. Pada dasarnya penerapan ketatapemerintahan yang baik

adalah pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk mencapai kecita -cita ideal

tersebut di pemerintahan perlu memperbaiki sistim birokrasi yang ada. Karena selama ini birokrasi

cenderung tidak seperti apa yang dihrapkan. Birokasi yang ada tidak bisa menciptakan efisiensi

dan efektifitas kerja, sehingga birokrasi sering dianggap menjadi pengambat untuk mencapai

tujuanpemerintahan. Pelayanan tertentu dibuat dan yang tidak kalah penting ialah hak untuk

didengar dan diperhatikan pendapat-pendapatnya. Namun, amat disayangkan sejumlah hak

pentimg ini, sering hanya ada dalam atas kertas. Di kebanyakan negara sedang berkembang (tak

terkecuali indonesia) hak-hak itu justru kerap ditelikung oleh birokrasi, bahkan dikebiri.

Kata kunci :pelayanan publik, reformasi birokrasi, e-governance

1. Pendahuluan

Pemerintahan di seluruh dunia pada

saat ini mengahdapi ―tekanan‖ dari berbagi

pihak untuk meningkatkan kualitas

pelayanan publik dan meningkatkan

partisipasi aktif dalam pemberian informasi

bagi masyarakat serta di tuntut untuk labih

efektif. Hal tersebut menyababkan

pemerintahan berbasis elektronik (e-

governance) semakin berperan penting bagi

semua pengambilan keputusan.

Pemerintahan Tradisional (traditional

government) yang identik denagn paper-

basedadministratian mulai ditingkatkan.

Transformasi tradisional government

menjadi elektronic government (e-

government) menjadi salah satu isu

kebijakan publik yang sangat dibicarakan

saat ini. Di Indonesia e-government baru

dimulai dengan inisiatif yang dicanangkan

beberapa tahun lalu. Tulisan ini mencoba

membahas definisi dan tujuan e-government

dan memberikan contoh praktek/kaidah

terbaik (best practice) yang telah dilakukan

oleh negara-negara di Eropa yang cukup

maju dalam penerapan e-government-nya.

Tantangan dan langkah yang harus di ambil

pemerintah di era globalisasi akan menadi

simpulan dalam tulisan ini.

Pengertian Pelayanan Publik

Kantor Pelayanan PAN, ―segala

bentuk pelayanan sektor publik yang

dilaksanakan aparat pemerintahan dalam

bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai

dengan kebutuhan masyarakat dan

peruturan perundang-undanagan‖.

Komisi Hukum Nasional : ―suatu

kejiwaan yang diberi oleh kontitusi atau

undang-undang kepada Pemerintahan untuk

memenuhi hak-hak dasar warga Negara atau

penduduk atas suatu pelayanan (publik)‖.

Standar Mutu Pelayanan Publik

Dalam arti yang seluas-luasnya,

peran penting yang dimainkan oleh para

penguna jasa pelayanan publik dalam rangka

menyempumakan kualitas pelayanan publik

dapat kita kategorikan sebagai upaya

pemberdayaan masyarakat (empowering

society). Sebagai mana barang,

jasa/pelayanan itu adalah merupakan sesuatu

yang dihasilakan artinya, ia adalah sesuatu

produk. Pelayanan di sektor publik

umumnya memiliki dimensi kualitatif, sebab

lahir dari rahim sisitem politik. Kendati

sukar unruk merumuskan dan mengukurnya

diantaranya karena sarat dengan nilai-nilai

politik dan ideologi sebernarnya telah ada

konsensus diantara para pakar bahwa pada

akhirnya hal itu akan ditentukan oleh para

penguna jasa pelayanan itu sendiri. Sesbab,

satu-satunya ukuran atas kuatitas pelayanan

publik adalah apakah ia

memberikankepuasan tertentu pada diri

konsumen. Maka kualitas kata Jackson dan

Palmer (1992:49), ialah persepsi konsumen

terhadap ciri-ciri dan yampil tertentu yang

dianggap ada pada sebuah pelayanan, dan

nilai-nilai yang mereka (konsumen) berikan

pada ciri-ciri dan tampilan tersebut. Jadi,

sebagi sebuah konsep, kkualitas pada

hakikatnya merupakan sesuatu nilai yang

dilihat dari sudut pandang mereka yang

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

49

dilayani, bukan hasil rekayasa dari mereka

yang memberikan pelayanan (Jackson and

Palmer, 1992:50). Salah satu tolak ukur bagi

pelayanan publlik yang baik ( good service)

dengan demikian adalah the ability to meet

the needs of each individual served (Matgon

and Bacon, 1996:361-362).

Pemerintahan dalam menjalankan

peranan sebagai abdi masyarakat atau

pelayan terhadap kepentinagn publik sudah

sewajarnya dan buhkan seharusnya

merupakan suatu keharusan apabila

mempunyai standard mutu bagi peranya itu,

namun standar mutu pelayanan publik ini

belum banyak ditetapkan instansi

pemerintahan oleh karena itu dalam rangka

peningkatan pelayanan publik berikut ini

adalah standar mutu pelayanan publik yang

diungkapkan oleh PP Otoda Universitas

Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya

Malang; (1) sistem dan prosedur pelayanan;

(2) waktu penyelesaian; (3) biaya; (4)

produk dan mutu; (5) sarana dan prasarana;

(6) kopetensi, sikap, perilaku pelayanan; (7)

jenis dan alsesbilitas pelayanan; (8)

konsistensi.

Indikator penyelengaraan

kepemerintahan yang baik (good

governance) ditentukan oleh

terselenggaranya kualitas mutu pelayanan

publik secara efektif, efisiwn, trasparan dan

akuntavel ( Retna Ngesti pratiwi, 2005).

Kualitas pelayanan publik

dipengaruhi oleh banyak faktor. Bebrapa

faktor dominan yang bisa disebutkan adalah.

Kebijakan publik ini adalah faktor yang

akan memepengaruhi lembaga

pelayanan publik dari segi sumber

keuanagan, teknologi dan sumber daya

organisasi lainya untuk sebuah lemabag

pelayanan publik.

Karateristik dan lingkungan dari

masyarakat itu sendiri. Karateristik yang

dimaksud berkaitan dengan tingakt

pendidikan, tingaktan pendapatan,

besaran masyarakat, heterogenitas,

konfigurasi serta nilai-nilai dan norma-

norma. Selain itu, faktor lingkuangan

seperti sisitem politik, pers yang bebas

atau tingkatan kesulitan dalam

mengases lembaga layanan publik, juga

merupakan faktor-faktor yang akan

mempengaruhi kualitas pelayanan

publik.

Kontrol pemerintahan terhadap

penyedia layanan publik.

Kepuasan masyarakat terhadap

pelayanan publik ialah sangat erat kaitanya

terhadap standar mutu pelayanan publik.

Kupuasan masyarakat adalah ujung akhir

dari setiap pelayanan publik adalah adanya

kepuasan masyarakat sebagai penerima

pelayanan pemerintah. Indek kepuasan

masyarakat (IKM) adalah sebagai berikut:

(1) kesederhanan prosedur; (2) kesesuaian

persyaratan; (3) kejelasan petugas

pelayanan; (4) kedisiplinan petugas

pelayanan; (5) kejelasan wewenang dan

tangung jawab; (6) keahlian dan ketrampilan

petugas; (7) kecepatan pelayanan; (8)

keadilan mendapatkan dan ketrampilan

petugas; (9) kesopanan dan keramahan; (10)

kewajaran biaya pelayanan; (11) kepastian

biaya; (12) kepastian jadwal pelayanan; (13)

kenyamanan lingkunan; (14) keamanan

pelayanan.

Cakupan Pelayanan Publik

Secara konseptual,

penyalalnggaraan pelayanan publik yang

ideal mengakomodasi: (1) partisispasi

masyarakat (publik participation); (2)

kontrol masyarakat (pablic control); (3)

dukungan masyarakat (public support); (4)

respon masyarakat (public respon).

Administrasi dan pelayanan publik

merupakan hak masyarakat, yang pada

dasarnya (prinsisp ini diambil dari pasal 41

the charter of fundamental right of european

union).

Memperoleh penanganan unsur-

usurnya secera tidak memihak, adil dan

dalam waktu yang wajar.

Hak untuk didengar sebellum tindakan

individual apapaun yang akan

merugikan dirinya diputuskan.

Hak atas akses untuk memperoleh

berkas milik pribadi dengan tetap

menghormati kepentinganya yang sah

atas kerahasiaan dan atas kerahasiaan

prefesionalitasnya.

Kewajiban pihak administrasi negara

untuk memberikan alasan-aslasan yang

melandasi keputusanya.

Memperoleh ganti rugi yang timbul

oleh lembaga atau aparatur

pemerintahan dalam menjalankan

tugasnya.

Berdasarkan asumsi diatas

pelayanan publik berarti tidak hanya

meliputi pelayanan administrasi umum,

tetapi meluas pada kebutuhan penyelesaian

sengketa oleh badan-badan peradilan,

perlindungan hukum, pemenuhan kebutuhan

akan hak-hak dasar seperti pendidikan,

kesehatan lingkuan hidup yang sehat, dan

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

50

lainya lebih luas pelayanan publik akan

meningkatkan investasi, pertumbuhan

ekonomi dan lapangan kerja (Sunaryati

Hartono, 2003:35). Pelayan publik dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:

Pelayanan publik yang bersifat umum,

yaitu yang diberikan kepada siapa saja

yang membutuhkan pelayanan diberikan

oleh instansi publik yang diberikan

wewenang untuk itu, yang antara lain

meliputi: (a) pelayanan publik untuk

memperoleh dokumen pribadi yang

dapat berupa dokumen tentang jati diri

dan atau status seseorang dan dokumen

tentang pembuktian pemilikan

mengenai pemberian perijinan untuk

kegiatan ekonomi pribadi atau

kelompok.

Pelayanan publik yang bersifat khusus

yang timbul karenan adanya suatu

hubungan hukum yang bersifatnya

khusus di antaranya instansi publik

tertentu dengan publik tertentu. (Sri

Redjeki Hartono, 2003.)

Tujuan Pelayanan Publik

Melalui pelayanan publik yang baik

akan mewujudkan pemerintahan yang

baik.

Pelayanan publik yang baik sulit

diwujudkan pada pemerintahan yang

tidak demokratis, korup, dan tidak

memiliki kapasitas mewujudkan good

governance.

Sejumlah Masalah Dalam Pelayanan

Publik

Berdasarkan hasil setudi salah

satu kajian komisi hukum nasional mengenai

prosedur penyampaian keluhan publik‘,

diketahui bahwa permasalahn pelayanan

publik di Indonesia disebabkan oleh tidak

adanya standar minimum kualitas pelayanan

yang harus diberikan oleh setiap paratur

pemerintahan dalam menjalakan tugas dan

fungsinya. Beberapa peraturan perundang-

undangan Indonesia telah mengatur tentang

tugas dan tanggung jawab publik, namaun

tidak ada ssatu perundang-undangan tertentu

yang seccara khusus mengatur mengenai

pelayanan publik yang berisi ketentuan

minimum yang harus dipatuti dan dipenuhi

oleh instansi pelayanan publik.

Dilihat dari prespektif

governance, kelamahan yang paling

menonjol dalam birokasi pemerintahan

daerah adalah karaternya yang rule drive

atau rule following. Karater birokrasi

pemerintahan seperti ini jelas tidak cocok

dengan iklim kopetensi dan semangat

pengedepanan kepentingan publik dalam

program pelayanan publik. Ini tak lain

karenan sejak Indonesia merdeka hingga

sekarang. Akibatnya, implementasi

kebijakan pelayanan publik yang dijalankan

selama ini, selain berkecenderungan terlalu

birokratis, monoton (seragam) dan tidak

prefesional, adalah tidak kosisiten dan

kurang responsif terhadap opini publik

daerah. Pemerintahan daerah masa depan

jelas memebutuhkan birokrat-birokrat

daerah yang inovatif, mampu

mengimplememntasikan program-program

pelayanan publik secara kreatif seraya terus

mencari upaya solusi baru secara efisien.

Oleh karena itu perlu segera

diintroduksi sisitem peleyanan publik model

bisnis yang berorientasi pada kepentingan

konsumen dan memperluas akses mereka

pada sisitem pelayanan yang dikembangkan.

Hal yang disebut terakhir bisa dilakukan

dengan mempublikasikan rencana-rencana

kerja dan laporan-lapporan tentang kinerja

intansi secara teratur, membangun sistem

one stop service guna menyederhanakan

prosedur pengurusan berbagai perijinan atau

surat-surat (lihat Kingsley, 1996:13). Akan

ideal kalau hal itu bisa dibarengi dengan

surve yang mengatur derajad kepuasan

secara teratur dan dilakukan oleh sebuah

instansi yang independen.

PP Otoda Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya menyatakan bahwa

adanya beberapa masalah dalam pelayanan

publik, diantaranya adalah : (1) tidak adanya

insentif melakukan kebaikan; (2) buruknya

diskresi/inisiatif; (3) tingginya tingkat

ketergantungan kepada petunjuk pimpinan;

(4) budaya paternalis menempatkan

pimpinan sebagai prioritas; (5) rendahnya

etos kerja (nyambut gawe ngoyo-ngoyo

bayarane gak mundak, dipangan seminggu

entek).

Berkaitan dengan kinerja birokrasi

kita, secara mendasar masih terdapat

bebrapa masalah mendasar, sehingga

terkesan bahwa pengunjung tahun ini antara

lain.

Mentalitas mayoritas aparat birokrasi

belum berorientasi pada pelayanan

publik. Kondisi ini disebabkan masih

kuatnya mentalitas aparat publik yang

lain, sementara aparat publik yang baru

belum mampu mengubah budaya kerja

di unit kerjanya.

Pemerintah pusat belum ‗ikhsan‘

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

51

memberikan keleluasan pada birokrat

didaerah dalam upaya memacu

perkembangan daerahnya. Pada kasus

ini, pemerintah pusat slalu memonitor

dan menyupervisi perda-perda di tingkat

daerah. Nampaknya, pemerintah pusat

masih was-was dengan perkembangan

ditingkat daerah. Hal ini sangat kentara

sekalli saat kita mengamati polemik

seputar kewenangan Irwandi Yusuf dan

M. Nazar dalam pilkada gubernur

Nangroe Aceh Darusalam (NAD).

Birokrasi kurang berfungsi karena

peryataan visi dan misi yang tidak

konsisten. Daerah kurang mampu

membuat prioritas dalam mengekplorasi

potensi daerah. Akibatnya birokrasinya

kurang terfokus dalam memberikan

pelayanan publik.

Kepemimpinan birokrat yang lemah.

Birokrat di era reformasi cenderung

lentur seiring dengan demokratisasi

dalam masyarakat. Dengan demikian

gaya kepemimpinan tetap berperan di

sini. Kepemimpinan para birokrat kita

masih mengunakan konsep lama,

kurang fleksibel. Akibatnya, mesin

birokrasi juga kurang berfungsi dengan

baik.

Birokrasi di daerah masih berorientasi

ke dalam (jago kandang) sehingga

belum terbuka untuk bersaing dengan

daerah lain melalui inovasi, sehingga

memiliki nilai tambah. Problem

birokrasi seperti ini akan menghambat

kemajuan di daerah. Persaingan dengan

mengedpankan potensi yang dimiliki

daerah menjadi pemicu dan pemicu bagi

calan investor masih mengeluhkan

regulasi dan birokrasi dalam hal

perizinan yang dinilia amat merepotkan.

Upaya Meningkatkan Pelayanan Publik

Melalui Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi menjadikan

bagian penting dalam mewujudkan

pemerintahan yang baik dalam upaya

peningkatan pemerintahan yang baik dalam

upaya peningkatan kualitas pelayanan publik

dan pemberantas korupsi secara terarah,

sisitematis dan terpadu. ―selain itu reformasi

birokrasi harus dijalankan dengan

meningkatkan budaya kerja serta

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

para penyelengara negara terhadap prinsip-

prinsip pemerintahan yang baik,‖ (A.A. Gde

Agung, 2007:11)

Memang kita sudah sering

mendengar propaganda yang dilancarkan

oleh pemerintahan orde baru maupun

pemerintahan transisional Habibie yang

kurang lebih baik berkaitan dengan

reformasi birokrasi pelayanan publik,

bebrapa contoh, misalnya: kampanya

tentang pendayagunaan aparatur negara yang

bersih dan berwibawa, perang melawan

ekonomi biaya tinggi, gerakan efisiensi

nasional, gerakan penegakan disiplin

nasional, pelayanan prima (Surat Keputusan

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

No. 6 tahun 1995) dan yang mutakhir

penyelengaraan negara yang bersih dan

bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (TAP

MPR RJ No.XI /MPR/1998). Namun, sejauh

ini, kesemua itu berupa retorika politik,

belum berdampak nyata pada publik karena

belum ada tindakan yang serius untuk

mengimplementasikanya. Lemahnya

institusi masyarakat madani semisal adanaya

lembaga konsumen bebas, di barengi dengan

lemahnya law enforcement yang bisa

berperan efektif dalam melindungi

kepentingan situasi di sektor pelayanan

publik, di tanah air kita. Kita sering

mendengar, membaca surat-surat pembaca

di berbagai surat kabar dan bahkan

menyelesaikan sendiri betapa masih

rendahnya respon birokrasi terhadap

kerugian-kerugian yang diketahui publik dan

konsumen. Padahal, dalam penentuan

kualitas suatu pelayanan publik apakah ia

bagus ataukah buruk hanyalah publik yang

dilayani itulah yang sesungguhnya dapat

menilai. Konsumen pula yang dapat menilai

dengan tepat bagaimana kinerja pelayanan

publik yang telah diberikan kepada mereka

(Clarke and Steward, 1987:34)

Beberapa peryaratan untuk

mendukung reformasi tersebut adalah

(Philipus M Hadjon, 1993:55): (1) berbasis

pada kedaulatan rakyat, dimana terdapat

ruang bagi rakyat untuk dapat berpartisipasi

dalam proses pengambilan politik yang

berorientasi pada konsesus rakyat; (2)

pembentukan kelembagaan yang sesuai

dengan kebutuhan, potensi, kondisi objektif,

dan karater sosial ekonomi dan budaya

rakyat; (3) perimbagan kekuasaan dalam

hubungan antara lembaga yang dapat

melakukan ceck dan balance; (4) pembagian

wewenang yang jelas diantara bidang-bidang

pemerintahan yang sesuai dengan tugas dan

fumgsinya, namun memiliki sinergi satu

dengan yang lian; (5) fungsi managemen

pemerintahan yang berdasrkan pada

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

52

rasionalitas, objeyektifitas, efektifitas,

efisiensi dan tranparansi; (6) lembaga

legislatif yang dapat

meningkatkankemampuanya dalam hal

melakukan fungsi kontrol, legislatif dan

perumusan kebijkan pemerintah; (7)

kemampuan lembaga legislatif untuk

menjalankan fungsi kontrol terhadap

eksekutif, dan fungsi legislasi yang

senantiasa didasarkan pada pemahaman dan

pengakuan terhadap heterogenitas dan

aspirasi rakyat; (8) visi, misi dan tujuanyang

jelas dalam menetapkan strategi kebijakan

pemerintah yang rasponsive terhadap

perubahan rakyat; (9) penetapan prinsip

akutabilitas dalam penyelengaraan

pemerintahan.

Beberapa persyaratan tersebut

dapat dijadikan sebagai parameter politik

dalam penyelengaraan pelayanan publik,

dimana harus ada perubahan paradigma

bahwa orientasi kerja birokrasi tidak lagi

pada organisasi tetapi kepada kebutuhan dan

kesejahteraan rakyat atau publik.

Akuntabilitas dan transparansi

pelayanan publik adalah hal yang sangat

penting dalam menyelengarakan pelayanan

publik, hal ini juga sangat penting dilakukan

dalam rangka menjalankan reformasi

birokrasi., Hendardi dari pengimpunan

Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) dengan

makalah ―transparasi dan akuntabilitas

dalam negera Demokrasi Modern‖ pada

lokakarya ―Akuntabilitas Publik dan Ornop;

Isu dan Pelaksanaanya‖ di Yogyakarta

tanggal 14 Novembar 2001 mengatakan

bahwa setelah orde baru runtuh, kosa kata

―trasparansi‖ dan ―akuntabilitas publik‖

mulai dikenal dalam sistem kenegaraan kita.

Masyarakat mulai turut aktif mengontrol

pejabat penyelangaranan negara. Gelombang

reformasi tahun 1998 membuka ruang

kekuasaan negara, sehingga kini dapat

diakses oleh masyarakat. Didalam paham

negara hanya dapat bejalan efektif bila

program dan kebijakan pemerintah

dipaparkan secara transparan. Dengan

demikian rakyat dapat secara langsung dan

nyata menuntut pertanggungjawaban atau

akuntabilitas publik para penyalengara

negara, misalnya melalui pemberian pers

yang bebas dan pembentukan opini publik

pengembangan hukum untuk meningkatkan

pelayanan publik tidak lepas dari upaya

reformasi administrasi. Pelayanan publik

tidak hanya sepenuhnya diandalkan pada

adanya suatu peraturan perundang-undangan

yang menjadi landasan hukumnya, akan

tetapi perlu dilakukan reformasi administrasi

yang bermuara pada pembenahan birokrasi.

Reformasi administrasi meliputi: (1)

reformasi administrasi ditujukan untuk

memperbaiki birokrasi; (2) reformasi

birokrasi berkaitan dengan inovasi; (3)

perbaikan atas efisien dan efektifitas

pelayanan publik merupakan tujuan dari

reformasi administrasi; (4) urgrnsi reformasi

dijustifikasi dengan kebutuhan untuk

mengatasi ketidakpastian dan perubahan

dalam lingkungan organisasi (Mark Turner

and David Hulme, 1997:105).

Perilaku birokrasi dalam

memberikan pelayanan publik juga menjadi

perhatian utama dalam memperbaiki kinerja

pelayanan. Prinsip penting adalah adanya

akuntabilitas dan transparasi dalam

penyelenggaraan fungsi tersebut. Beberapa

persyaratan untuk mendukung reformasi

tersebut adalah: (1) berbasis pada kedaulatan

rakyat, dimana terdapat ruang bagi rakyat

untuk dapat berpartisipasi dalam proses

pengambilan kebijakan politik yang

berorientasi pada konsesus rakyat; (2)

pembentukan kelembagaan yang sesuai

dengan kebutuhan, potensi, kondisi objektif,

dan karakter sosial ekonomi dan budaya

rakyat; (3) perimbangan kekuasaan dalam

hubungan antara lembaga yang dapat

melakukan cek dan balance; (4) pembagian

kewenangan yang jelas diantara bidang-

bidang pemerintahan yang sesuai dengan

tugas dan fungsinya, namun memiliki sinergi

satu dengan lainya; (5) fungsi managemen

pemerintahan yang berdasarkan pada

rasionalitas, objektifitas, efektifitas, dan

transparasi; (6) kelembagaan legislatif yang

dapat meningkatkan kemampuanya dalam

hal melakukan fungsi kontrol, legislasi dan

perumusan kebijakan pemerintah; (7)

kemampuan lembaga untuk menjalankan

fungsi kontrol terhadap eksekutif, dan

legislasi yang sangat senantiasa didasarkan

pada pemahaman dan pengakuan terhadap

heterogenitas dan aspirasi rakyat; (8) visi,

misi, dan tujuan yang jelas dalam

menetapkan stategi kebijakan pemerintahan

yang responsive terhadap perubahan rakyat;

(9) penerapan prinsip akuntabilitas dalam

penyelengaraan pemerintahan.

Salah satu isu sentral yang sering

berkembang akhir-akhir ini adalah

bagaimana pemerintah dan lembaga

penyedia layanan publik (public

serviceprovider) maupun bersikap lebih

akuntabel terhadap masyarakat berkaitan

dengan pelayanan yang diberikanya. Jadi,

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

53

sebagai mana yang tercermin dari uraian di

atas, maka bisa mendenefisikan bahwa

akuntabilitas adalah kekuatan pengendali

yang mampu menciptakan dorongan

terhadap seluruh stakeholder yang terlibat

dan bertanggung jawab terhadap pelayanan

publik, serta untuk meyakinkan bahwa

proses produksi dan jasa berlangsung sesuai

dengan yang diinginkan.

Sektor pelayanan publik

berkembang dengan pesat, baik dalam arti

skala produksinya maupun diversitasnya.

Perkembangan ini tentu tidak bisa terlepas

dari adanya permintaan masyarakat yang

juga semakain meningkat. Imbas dari

perkembangan yang demikian pesat itu

adalah lehirnya kebutuhan baru yang tidak

akan bisa dikelola dengan baik oleh sisitem

akuntabilitas publik yang trasional. Sistem

akuntabilitas publik yang tradisional hanya

mengendalikan hubungan formal antara

legislatif, birokrasi pemerintahan dengan

lembaga penyedia layanan publik itu sendiri.

Dalam sistim akuntabilitas publik

yang modern, kontrol pemerintahan terhadap

lembaga penyedia layanan publik (berupa

sistim kontrol dan insentif) diperkuat dengan

dorongan dan kemempuan masyarakat

(public‟s willingness and ability) untuk

menemukan sumber-sumber pasokan

alternatif (exit) atau untuk mengelola protes

atau pressure (voice) apabila mereka merasa

tidak puas terhadap layanan yang ada.

Pendekatan akuntabilitas publik

menekankan pada hubungan-hubungan yang

terjadi antara tiga entitas masyarakat yang

selanjutnya disebut sebagai stakeholder.

Tiga entitas masyarakat tersebut adalah :

Pemimpinan pemerintahan dan

legislatif, sebagai pembuat kebijkan

publik sekaligus melakukan kontrol

hierarki untuk penyediaan layanan

publik itu sendiri. Dalam praktek sehari-

hari, kedua lembaga ini berfungsi

sebagai perencanaan sekaligus

pengawasan dan beroperasinya lembaga

pelayanan umum.

Lemabaga pelayanan umum, yaitu

lemabaga yang biasanya berbentuk

memproduksi dan menyediakan jasa

bagi masyarakat umum.

Masyarakat itu sendiri, baik sebagai

pemilik lembaga tersebut maupu

sebagai pengunan jasa yang diberikan

oleh lembaga pelayanan publik.

Upaya Meningkatkan Pelayanan Publik

Melalui E-Governance

Electronic government adalah

pemanfaatan teknologi secara optimal

kedalam pemerintahan, meliputi pengolahan

data, pengolahan informasi, sistem

manajegen dan proses kerja secara elektronis

dengan maksud agar pelayanan publik dapat

di akses secara mudah dan murah oleh

masyarakat di seluruh wilayah Republik

Indonesia. Penerapan e-government akan

meningkatkan transparasi, akuntabilitas dan

peran serta masyarakat dalam pembentukan

hukum, pelayanan hukum, dan penegakan

hukum karena mekanisme dan prosedur

menjadi sebih jelas, dan penegakan hukkum

karena mekanisme dan prosedur menjadi

lebih jelas. Hal ini dapat menjadi alat untuk

mengurangi praktek-praktek korupsi, kalusi

dan nepotisme di dalam pembangunan

bidang hukum. Namun sukses tidaknya

implementasi e-government tergantung pada

kemitraan antara pemerintahan, masyarakat

dan sektor swata, oleh karana itu fokus

penerapan e-government di arahkan pada

upaya peningkatan layanan pemerintahan

kepada kemitraan kepada masyarakat

sehingga masyarakat dapat memperoleh

akses keseluruh layanan pemerintahan dari

satu lokasi secara efektif dan efisien. (Retna

Ngesti Pratiwi, 2005:15)

Berdasarakan information

communikation and teknologi (ICT) adalh

merupakan salah satu solusi memperbaiki

birokrasi, untuk mencapai

ketatapemerintahan yang baik.

Dilikngkungan pemerintahan ICT dengan

sistem e-government, merupakan bentuk

manfaat teknologi informasi untuk

mendukung aktivitas-aktivitas pemerintahan,

maupun yang penting untuk memberikan

pelyanan yang prima dari pemerintah untuk

masyarakat. Semua aktivitas e-government

untuk mendukung terciptanya pemerintahan

yang bersih, transparan dan berwibawa.

Selain itu e-government

menjanjikan suatu hasil kerja efisien,

partisipasi pasip berkeadilan, demokrasi dan

yang terpenting lagi adalah Transparancy

dan accuntabillity, hal ini merupakan unsur

penting dalam ssitem aparatur negara

modern, yang dilandasi oleh derajat

rasionalisme yang tinggi. Pemerintah sendiri

sudah menyadari bahwa e-gov penting

dalam repormasi birokrasi dengan harapan

akan memberikan pelayanan yang lebih baik

kepada masyarakat, namun untuk

penerapanya memang tak mudah, karena

memerlukan proses tahapan seperti halnya

meningkatkan hasil kerja birokrasi.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

54

Definisi dari Word Bank, e-

government adalah pengunaan teknologi

informasi oleh pemerintah (seperti : Wide

Area Network, internet dan mobile

computing) yang memungkinkan pemerintah

untuk mentransformasikan hubungan dengan

masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang

berkepentingan. (www.wrodbank.org) dalam

prakteknya, e-government adalah pengunaan

internet untuk melaksanakan urusan

pemerintahan dan penyediaan pelayanan

publik yang lebih dan cara yang berorientasi

pada pelayanan masyarakat.

Secara ringkas tujuh yang dicapai

dengan implementasi e-governmen adalah

untuk menciptakan customer online dan

bukan in-line e-governmen bertujuan

memberikan pelayanan tanpa adanya

investasi pegawai instansi publik dan sistem

antrian yang panjang hanya untuk

mendapatkan suatu pelayanan yang

sederhana. Selain itu e-governmen juga

bertujuan untuk mendukung good

governmen. Pengunaan teknologi yang

mempermudahkan masyarakat untuk

mengakses informasi dapat mengurangi

korupsi dengan cara meningkatkan

transparan dan akuntabilitas lembaga publik.

e-governmen dapat memperluas partisipasi

publik dimana masyarakat dimungkinkan

untuk trlibat aktif dalam pengambilan

keputusan/kebijakan oleh pemerintah. e-

governmen juga diharapkan dapat

memperbaiki produktifitas dan efisiensi

birokrasi serta meningkatkan pertumbuhan

ekonomi. Adapun konsep dari e-governmen

adalah menciptakan interaksi yang ramah,

nyaman, transparan dan murah antara

pemerintah dan masyarakat (G2C –

government to citizens), pemerintah dan

perusahaan bisnis (G2B-government to

business enterptinship) dan hibungan antara

pemerintah (G2B-inter-agency relationship).

Inisiatif e-government di endonesia

telah diperkenalkan melalui intruksi

Presiden No. 6 tahun 2001 tanggal 24 April

2001 tentang Telekomunikasi, Media dan

Informatika yang menyatakan bahwa aparat

pemerintah harus mengunakan teknelogi

telematika untuk mendukung good

governance dan mempercepat proses

demokrasi. Lebih jauh lagi, e-government

wajib dikenalkan untuk tujuan yang berbeda

di kantor-kantor pemerintahan. Administrasi

publik adalah saslah satu area di internet

dapat digunakan untuk memnyediakan akses

bagi semua masyarakat yang berupa

pelayanan yang mendasar dan

mensimplefikasikan hubungan antara

masyarakat dan pemerintah.

E-government dengan menyediakan

pelayanan melalui internet dapat dibagi

dalam beberapa tinkatan yaitu penyediaan

informasi, interaksi satu arah, interaksi dua

arah dan transaksi yang berarti pelayanan

elektronik secara penuh. Interaksi satu arah

bisa berupa fasilitas men-download formulir

yang dibutuhkan. Pemrosesan/pengumpulan

formulir secara online merupakan contoh

interaksi dua arah. Sedangkan pelayanan

elektronik penuh berupa pengambilan

keputusan dan pembayaran (delivery).

Berdasarkan fakta yang ada pelaksanaan e-

government di Indonesia sebagian besar

barulah pada tahap publikasi situs oleh

pemerintahan atau baru pada tahap

pemberian informasi. Data Maret 2002

menunjukakan 369 kantor pemerintahan

telah membuka situs mereka. Akan tetapi 24

% dari situs tersebut gagal untuk

mempertahankan kelangsungan waktu

operasi karena anggaran yang terbatas. Saat

ini hanya 85 situs yang beroperasi dengan

pilihan yang lengkap ( Jakartapost, 15

januari 2003). Akan tetapi perlu digaris

bawahi bahwa e-government bukan hanya

sekedar publikasi situs oleh pemerintah.

Pemberian pelyanan sampai dengan tahap

full-electronic delivery servie perlu

diupayakan.

Situs-situs institusi publik di

Indonesia selain dapat diakses secara

langsung dapat diakses melalui entry point

lembaga publik Indonesia

www.indonesia.go.id yang merupakan

parpol nasional Indonesia. Dari situs ini

memperoleh informasi pengunjung juga

dapat mengakses secara langsung beberapa

situs institusi publik dan media. Beberapa

contoh implementasi e-governmant yang

mendominasi di seluruh dunia saat ini

berupa pelayanan pendaftaran warga negara

antara lain pendaftaran kelahiran,

pernikahan dan penggantian alamat,

perhitungan pajak (pajak penghasilan, pajak

perusahaan dan custom duties), pendaftaran

bisnis, perizinan kendaraaan dan sebagainya.

Sebagai studi komparatif, dapat

kita simak penerapan e-governmant di

negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa

merupakan salah satu komunikasi yang telah

merencanakan e-government dengan sukses.

Hanya Canada, Singpura dan amerika yang

telah menggungguli Uni Eropa dalam area e-

government. Uni Erupa sendiri telah

memiliki official website yang cukup

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

55

modern dimana setiap masyarakat dapat

mengakses informasi terbaru dan kebijakan

serta dasar hukuam kebijakan pemerintah

tersebut. Pada waktu-waktu tertentu

masyarakat bahkan dapar berinteraksi

langsung dengan para pengambil keputusan

melalui fasilitas chatting

(www.europa.eu.int). Dengan parpolnya

yang sangat besar kapasitasnya, para warga

dapat melamar pekerjaan serta magang di

instansi tersebut. Masih bannyak lag fasilitas

yang diberikan melalui parpolnya. Untuk

memotivasi public service dalam

melaksanakan e-government, Europe

awards (www.e-europeawards.org) yang

dilaksanakan dalam rangka memfasilitasi

sharing experience dan mutual learning

antara anggota Uni Eropa. Selain itu e-

government di Erupa juga ditampilkan

dengan memberikan fasilatas akses langsung

ke parpol pemerintahan negara anggota dan

negara aplikan serta negara Eropa lainya.

Contoh best practice yang terdapat

dibelanda antara administrasi bea cukai yang

dapat dilakukan secara online sehingga

dapat dikontrol dan mengurangi kasus suap.

Di Inggris para warga negaranya dapat

melakukan aplikasi dan pembaharuan paspor

secara online. Sedangkan di Prancis,

pembayaran pembayaran kembali biaya

dikeluarkan untuk biaya pengobatan oleh

perusahaan asuransi telah dapat dilakukan

secara online. Pemerintahan daerah Bonn di

jerman saat ini menyediakan peleyanan

online berupa pendaftaran Taman Kanak-

Kanak. Melalui parpol online-nya

masyarakat dapat memperoleh informasi

mengenai seluruh TK di kota itu dan orang

tua murid dapat mendaftarkan secara

langsung untuk dihubungi melalui telepon.

Pemeran benchmarking process

dan best dissemination Uni Erupa telah

membuahkan hasil yang cukup fantastis.

Berdasarkan servei yang dilakukan oleh Cap

Gemini Ernest & Young terhadap penerapan

e-government di Eropa diperoleh bahwa 5

Negara (Denmark, Prancis, Italia, Swedia

dan Finlandia) telah berhasil menerapkan

pelayanan elektronik secara penuh untuk

beberapa jenis pelayanan seperti pajak

pendapatan. Survei tersebut juga

menunjukaan bahwa 86% pelyaan publik di

Uni Eropa telah tesedia secara online.

Selain itu suksesnya e-

government di Eropa merupakan kontrabusi

kebijakan publik yang sesuai denagn

karakteristik e-government itu sendiri. Soft

policy berupa kebijakan open method

coordination pada e-government Eropa yang

mulai dengan visi yang luas dan diikuti

dengan disemination, proses benchmarking,

monitoring berkala, evaluasi dan review

secara pasangan dan diorganisir sebagai

proses pembelajaran muatan terbukti sukses

dalam rangka melaksanakan e-government

di Eropa.

Mencermati uraian di atas dan

memperhatikan kondisi yang ada, penerapan

e-government di indonesia menghadapi

beberpa tantangan khususnya yang dihadapi

oleh organisasi pemerintah. Salah satu

diantaranya adalah masalah sumber daya

manusia yang belum memadai. Penerapan e-

government di indonesia menghadapi

beberapa tantangan khususnya yang

dihadapi oleh organisasi pemerintah. Salah

satu diantaranya adalah masalah sumber

daya manusia yang belum memadai.

Penerpan e-government di kantor-kantor

publik perlu didukung oleh pegawai yang

mengerti mengenai teknologi. Yang juga

didukuang oleh pegawai yang mengerti

mengenai teknologi. Yang juga diperlukan

adalah pegawai yang mau belajar dan

mampu menanggapi perubahan (manage

change). Teknologi informasi berubah

secara cepat sehingga kemauan belajar pun

dituntut untuk memiliki setiap pegawai

lembaga publik. Selain itu penerapan e-

goverment memerlukan perubahandalam

organisasi dan dukungan ketrampilan baru.

Uni Eropa sebagai salah satu komunikasi

yang telah berhasil menerapan e-

government- nya mendefinisikan e-

government bukan hanya sekedar pengunaan

teknologi informasi melalinkan ―pengunaan

teknologi informasi yang juga

dikombinasikan dengan perubahan

organisasi dan ketrampilan baru dalam

rangka memperbaiki pelayanan publik dan

proses demokrasi dan mendukung kebijakan

publik‖. Organisasi pemerintahan indonesia

perlu di tata ulang untuk menerapkan e-

government secara efektif. KKN yang

membudaya mempengaruhi kesiapan dalam

mempermudah akses publik melalui

informasi. Jika KKN tidak dientaskan

terlebih dahulu akan ada oknum yang akan

mempergunakan kesempatan dengan

mempersulit mendapatkan informasi.

Budaya korupsi perlu dihilangkan dalam

rangka meningkatkan pelayanan sehingga

kemudahan yang dicapai dengan e-

government dapat disediakan dengan tidak

menimbulkan ongkos ekonomi yang lebih

tinggi yang harus dibayar masyarakat.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

56

Perlunya diciptakan budaya yang

menomorsatukan masyarakat dan budaya

melayani. Dengan kata lain e-government is

not just about technology but change of

culture.

Infrastruktur yang belum

memadai termasuk kekuranganya tempat

akses umum merupakan tantangan yang lain.

Penyediaan pelayanan melalui e-government

perlu didukung oleh tingkat penetrasi

internet yang tinggi baik dari rumah tangga

ataupun kios (stand) umum. Sebagai

gambaran pada tahun 2001 penetrasi internet

baru mencapai 1,9 juta penduduk atau

7,6persen dari total populasi indonesia. Pada

tahun 2002 dengan 667.000 jumlah pelangga

internet dan 4.500.000 pengunan komputer

dan telepun, persepsi pengunan internet di

indonesia sangat rendah. Tingkat penetasian

yang rendah ini juga merupakan suatu

kendala ( Asosiasi Penyelanggaraan Jasa

Internet Indonesia/APJII).

Sebagai perbandingan di Erupa,

walaupun belum merata di semua negara

Eropa, beberapa negara seperti Belanda,

Swedia dan Denmark internet akses pada

rumah tangga telah mencapai 60% persen

dimana rata-rata internet rumah tangga di 15

negara Uni Eropa sekitar 40%. Sementara

penetrasia intenet secara keseluruhan di Uni

Erupa telah mencapai 40,4% pada jini 2002

(Eurobarometer). Tidak dapat disangkal

bahwa angka-angka tersebut telah

memuluskan jalanuntuk suksesnya

implementasi e-government di Eropa.

Terbatasnya infrastruktur juga berhubungan

dengan terbatasnya anggaran pemerintah dan

maslah sosial lain seperti pemerataan dan

kependudukan. Keterbatasan pemerintah

untuk penyediaan tempat akses gratis bagi

masyarakat menjadi hambatan dalam

penyediaan pelayanan e-government secara

optimal.

Menghadapi tantangan diatas.

Pemerimtah kiranya perlu melakukan upaya

peningkatan kualitas SDM. Perlu diadakan

pelatihan bagi para pegawai pemerintah

mengenai teknologi. Karena teknologi

berubah secara cepat maka para

pegawaiperlu disiapkan juga dengan mental

yang mau belajar dan tanggap mengenai

perubahan. Sehubungan dengan mental

kendali kultural (cultural barriers) yang ada,

kesipan indonesia untuk menrapkan e-

government tergantung pada komitmen dari

pegawai publik untuk membangi informasi

serta memperlukan masyarakat seperti

―pelangan‖. Indonesia juga perlu menata

ulang organisasinya yang antara lain dapat

dilakukan secara berthap mengapus praktik

KKN yang berkontribusi pada kendala

budala dalam rangka pelaksanaan e-

government. Oknum-okknum yang

mengunakan kesempatan dengan mepersulit

mendapatkan informasi yang perlu dicegah.

Selain hal tesebut diatas perlu juga kiranya

dikaji atau policy di Indonesia. Kebijakan

untuk mengimplementasikan e-government

perlu suatu keseragaman dasar

hukum/maupun landasan pelaksanan yang

jelas. Selain kebijakan tersebut perlu

ditetapkan lebih lanjut dasar

hukum/petunjuk teknis penerapan e-

government atau cyber law.

Keuntungan yang diperloeh dari

e-goverment bukan hanya sekedar

menyediakan pelayana online tetapi lebih

luas dari pada itu, karena kinerja sektor

publik juga berkontribusi pada kemajuan

ekonomi dan sosial suatu negara. Di era

globalisasi penerapan e-government penting

karena telah memodernisasi pemerintah

publik di seluruh dunia dan juga hubungan

antara pemerintahan atau negara. Sebagai

tambahan selain contoh di Uni Eropa,

beberpa negara di Asia bahkan telah

mengunakan e-government –nya dalam

melaksanakan hubungan bilateral mereka.

Sajalan dengan tujuan yang ingin dicapai

cepat atau lambat Indonesia dituntut untuk

dapat menerapkan e-government. Pada saat

ini e-government merupaka suatu keharusan

dalam rangka menciptakan pelayanan publik

yang lebih baik.

Kesimpulan

Ditengah berbagai masalah dan

rintangan yang dihadapi pemerintah harus

menemukan pemecahannya agar tercipta

pelayanan publik yang lebih baik. Oleh

karena itu, kunci dari peningkatan kualitas

pelayanan publik adalah melalui reformasi

birokrasi, diantaranya adalah : (1) perlu

perubahan kultur yaitu, perubahan kultur

atasan-bawahan, penguasa-rakyat perlu

diubah kearah kesetaraan yang masing-

masing memiliki hak dan tanggung jawab

berdasarkan konstitusi dan peraturan

perundang-undangan; (2) organisasi

pelayanan yang bermutu dengan

menyelengarajan pelayanan publik (public

services); (3) sumber daya yang terampil dan

etis, aparat direkrut dari mereka yang tampil,

responsif, etis, bermoral agar menjadi

pelayanan yang visioner dan ahli; (4)

infratruktur yang memadahi dengan

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

57

pelayanan tidak bermutu bisa disebabkan

infratruktur yang buruk, infratruktur bagi

yang cacat, gagasan e-government menjadi

pilihan yang strategi; (5) sisitem dan

prosedur yang efektif, dengan sisitem

pelayanan satu atap perlu dievaluasi, karena

masih banyak keluhan, upaya perbaikan

perlu dilakukan melalui sistem dan prosedur

pelayanan dengan semangat

―debirokratisasi‖; (6) harus ada perubahan

paradikma bahwa orientasi kerja birokrasi

tidak lagi pada organisasi tetapi kepada

kebutuhan dan kesejahteraan rakyat,

penyelangaraan pelayanan publik tidak

hanya dapat digantungkan pada peraturan

perundangan semata; (7) perlunya peraturan

yang tegas terhadap pelyanan publik,

jaminan hukum, terwujudnya kontrol,

terwujudnya akuntabilitas, terwujudnya

transparasi, mencagah perilaku karup; (8)

penanganan kaluhan, perlu ditentukan

melalui peraturan perundang-undangan

bahwa semua kantor pemerintah wajib

menyusun tata cara trasparan tentang

pengajuan pengaduan oleh masyarakat,

apabila terjadi kesalahan, kekeliruan dan

keterlambatan dalam pemberian pelayanan

publik oleh kantor-kantor pemerintah, serta

masyarakat dijamin haknya untuk

melakukan kontral atas pengaduanya dan

berhak menyampaikan keberatan atas

perubahan dari pengaduan.

Daftar Rujukan

A.A Dde Agung. 2007. Di Mengwi, Jumat,

sambutan tertulis dalam apel

peringatan HUT ke-35 Kopri 12

Januari 2007.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Indonesia /APJII. Data

Penggunaan Internet di Indonesia

pada tahun 2001 dan 2002.

Clarke, M. And J Steward. 1992. Public

Service Orientation-Developing

the Approach, Local Goverment

Policy Making 13,4 : 23-4

Dwivedi, O.P. 1999. Governance and

Administration in South

Asia.Dalam Bureucracy and The

Alternatives in World Perspective,

Keith Henderson. O.P. Dwivedi

(eds). London : Macmillan Press

Ltd.

Hendardi. 2001. Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Negara

Demokrasi Modern. Makalah

pada lokakarya Akuntabilitas

Publik dan Ornop : Isu dan

Pelaksanaanna di Yogyakarta

tanggal 14 November 2001.

Jackson, P.M. dan B. Palmer, 1992.

Developing Performance

Monitoring In Public Sector

Organizations; A Management

Guide. The Management Centre,

University of Leicester.

Kingsley, G. Thomas. 1996. Perspectives on

Devolution. APA Journal.

Autumn.

M. Hadjon, Philipus et. All. Pengantar

Hukum Administrasi Indonesia

(Introduction to the

Administration Law). Gajah Mada

University : Yogyakarta, 1993.

Mark, Turner and David Hulme.

Governance, Administrasi and

Development: Making the State

Work. Mc Millan Press Ltd:

London, 1997). 1st ed. Paage.

106.

Morgan, Douglas and Kelly B. Bacon. 1996.

What Middles Managers Do In

Local Govermant Stewardship of

the Public Trush and the Limits of

Reinventing Goverment Public

Administration Review.

July/August, vol. 56, No. 4.

Hartono, Sri Redjeki. Mei 2003. Aspek

Keperdataan Pada Pelayanan

Publik . Disampaikan dalam

seminar RUU Pelayanan Publik

yang di selenggarakan oleh

Kementrian Pendayagunaan

Aparatur Negara.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

58

PENGEMBANGAN KUALITAS STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DI

INDONESIA (POKOK-POKOK PIKIRAN MENUJU PARADIGMA BARU ILMU

ADMINISTRASI PUBLIK)

Muh. Agus Syukron DPK di perbantukan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang

Abstract

This paper wants to build a construction of a new paradigm in the study of th e science of

public administration.Discussion of a new paradigm of public administration science essentially

evaluative and projections.Evaluation is needed to assess the system, curriculum, teaching

methods, and competencies are applied over the years.Whi le projections directed towards the

achievement of the implementation of the system and pattern learning/learning outcomes in the

university with the development of the situation, whether that is happening in the present or in

anticipation of future conditions.

Specifically, there are three topics that are relevant and logical according to the author to

put forward in this paper.Highlights are: first, the characteristics of the science of public

administration, and second, the development of the public administration discipline in Indonesia,

and the third, a new paradigm of public administration science studies. Key word: Administrative Science, paradigms, competencies.

1.Pendahuluan

Karakteristik Ilmu Administrasi Publik

Ilmu Administrasi Publik, menurut

David H. Rosenbloom (1998) didefinisikan

sebagai berikut: ―Public Administration is

the use of managerial, legal and political

theories and practices to fulfill the

legislative, legal and political Government

mandates for the provision of leguratory and

service functions to the societyas a whole or

part of it”. Transliterasi secara bebas kira-

kira artinya Ilmu Admnistrasi Publik sebagai

fungsi atau aktifitas pemerintah yang

mengurus kepentingan negara. Dengan

demikian tujuan dari adminstrasi publik

adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

dan kemakmuran masyarakat. Dalam

mencapai tujuan tersebut peranan aparatur

negara/pejabat publik menjadi salah faktor

yang sangat menentukan. Pengertian ilmu

adminstrasi publik yang diajukan oleh

Rosenbloom di atas lebih mengarah pada

pendekatan atau aliran positivisme.

Sementara itu, menurut Stillman

(1982: 30) menggambarkan gerakan ilmu

adminstrasi publik sebagai berikut: ―Bored

with the dry realism of the postwar

behavioralists, in search of new intellectual

foundations for Public Adminstration,

caught up in the egalitarian anthusiasms of

the moment, and concern with the „excessive

abuse‟ of bureaucratic authority in Vietnam

and elsewhere, The New Public

Adminstrationsts wanted to make a fresh

beginning for the field. Although the essays

contained in the Minnowbrook Perspective

seems looslely linked with one another, even

at time contradictory, there was evidence of

common themes of participation, concensus,

decentralization, trust, and even love of

mankind. However, the essence of their

weltanschauung was perhaps best capture in

two the words of one author, H. George

Frederickson: social equity.‖

Pandangan Osborne dan Gaebler

(1993) lebih menarik lagi dimana mereka

mencoba ―menemukan kembali pemerintah‘.

Mereka menggambarkannya sebagai berikut:

(1) Catalytic Government: Steering rather

than Rowing; (2) Community-Owned

Government: Empowering rather than

Serving; (3) Competitive Government:

Injecting Competition into Service Delivery;

(4) Mission-Driven Government:

Trasforming Rules-Driven Organization; (5)

Result-Oriented Government: Funding

Outcomes, Not Inputs; (6) Costumer-Driven

Government: Meeting the Needs of the

Customer, Not the Bureaucracy; (7)

Enterprising Government: Earning rather

than Spending; (8) Anticipatory

Government: Prevention rather than Cure;

(9) Decentralized Government: from

Hierarchy to Participation and Teamwork;

(10) Market-Oriented Government:

Leveraging Change Through the Market .

Meskipun mereka mengetengahkan konsep

‗entrepreneurial government‘, tapi mereka

tidak sependapat dengan pandangan bahwa

pemerintah harus dikelola seperti bisnis,

tidak juga menganggap penting besar-

kecilnya pemerintah, tetapi bagaimana

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

59

berfungsinya. Ia mengemukakan sepuluh

pendekatan, yang salah satunya adalah

empowering atau pemberdayaan, yang dapat

dikatakan revolusioner yang mana

pemerintah dianjurkan untuk

mentransformasikan sebagaian kewenangan

yang dimilikinya kepada masyarakat dari

pada ‗sangat sibuk‘ memberikan pelayanan

publik.

Oleh sebab itu, kajian atau studi

yang diterapkan dalam bidang administrasi

publik memerlukan integrasi pendekatan

―scientific‖ (empiris-positifistik) dan

pendekatan ―humaniora‖. Beberapa

pandangan lain yang dikemukakan para ahli

ilmu administrasi publik (Ostrom,1973;

Uveges, 1982; Waldo, 1992; Tjokrowinoto,

1993; Lester, 2000; Mustopadidjaja, 2003)

dapat diringkas secara umum, ilmu

administrasi publik memiliki tiga

karakteristik sebagai berikut:

Pertama, Ilmu Administrasi Publik

merupakan ilmu pengetahuan sosial yang

bersifat interdisipliner dan memiliki ruang

lingkup konteks kajian yang luas

menyangkut beragam aspek sosial, politik,

kebijakan, budaya, ekonomi, dan dampak

ekologi/lingkungan dari kehidupan manusia.

Tataran analisisnya juga bervariasi, dari

tataran personal, komunitas dan organisasi,

masyarakat (nation) sampai pada lingkup

internasional/global. Oleh sebab itu,

pendekatan yang diterapkan terhadap ilmu

administrasi public bersifat pula

interdispliner. Pemikiran-pemikiran teoritis

yang diajukan dalam ilmu administrasi

publik- berasal dan relevan dengan- berbagai

disiplin keilmuan lain misalnya sosiologi,

antropologi, komunikasi, psikologi, politik,

sastra-humaniora, hukum, ekonomi, dan

environment atau dapat juga berkaitan

dengan ilmu eksakta.

Kedua, Ilmu administrasi negara

bukan hanya ilmu pengetahuan pure-science

tetapi juga merupakan pengetahuan applied-

science yang dibutuhkan kelompok praktisi.

Ilmu administrasi negara juga menjelaskan

tentang seni dan prioritas kepentingan dalam

rangka mempertajam scientific validity dan

meningkatkan relevansi bagi perumusan

kebijakan (policy relevance). Mulai dari

kepentingan personal, kelompok/organisasi,

privat/swasta sampai pada kepentingan

bangsa dan negara (nation-state). Harapan

kita kajian ilmu administrasi negara mampu

menghasilkan professional di banyak bidang

yang berkaitan dengan masalah public

interest.

Ketiga, perkembangan teknologi

dan globalisasi, khususnya implementasi tata

kelola pemerintahan (governance) yang

menuntut kecepatan, keakuratan dan

ketepatan pengambilan keputusan

kepentingan publik dengan sekian luas

kondisi geografis dan kompleksitas public

goods – merupakan sekian kali dari kajian

utamanya. Ilmu administrasi publik perlu

menciptakan perangkat yang mampu

menjamin pencapaian public satisfaction,

baik perangkat software ataupun hardware-

nya.

Perspektif dan paradigma yang

diterapkan dalam ilmu administrasi publik

sebagaimana disiplin keilmuan yang lain,

juga beragam. Berdasarkan metode dan

logika penjelasannya, terdapat 6 (enam)

perspektif yang mendasari teori dalam ilmu

administrasi publik. Keenam perspektif

tersebut adalah: ‗human relation‟, decision

making‟, „system theory‟, „behaviour‟,

„kontigensi‟, and „bureaucratic analysis‟.

Ragam perspektif ini berkembang dari

bermacam-macam titik perhatian state of the

art Ilmu administrasi publik dan tantangan-

tantangan yang timbul sesuai dengan

perkembangan masyarakat sebagai respon

konseptual tantangan tersebut (Henry, 1995;

Frederickson, 1980; Montgomery, et al.,

1988; Osborne & Gaebler, 1993 dan lain-

lainnya).

Berdasarkan metodolgi

penelitiannya, mengadopsi dari pemikiran

Guba (1994) terdapat tiga paradigm:

Classical Paradigm, Critical Paradigm, dan

Contructivism Pardigma. Paradigma klasik

merupakan gabungan antara paradigm

‗positivism‟ dan ‗post-positivism‟, bersifat

intervensi, yakni melakukan pengujian

hipotesis dalam struktur hypothetico-

deductive method melalui eksperimen atau

survei eksplanatif dengan analisis

kuantitatif. Dengan demikian obyektifitas,

validitas, dan reliablitas diutamakan dalam

paradigma ini. Paradigma Kritis lebih

berorientasi ‗partisipative‟, dalam arti

mengutamakan analisis komprehensif,

kontekstual dan peneliti berperan sebagai

partisipan. Paradigma ketiga, kontruksitisme

menuntut peneliti dan subyek yang diteliti

perlu ada empati dan interaksi agar mampu

merekontruksi realitas yang diteliti melalui

metode kualitatif seperti pengamatan

partisipan (participant observation). Dari

uraian di atas dapat dikatakan bahwa ilmu

adminstrasi publik pada prinsipnya

merupakan salah satu disiplin ilmu social

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

60

yang bersifat multi perspektif atau

paradigma.

Perkembangan Adminstrasi Publik

(Negara) Di Indonesia

Perkembangan disiplin ilmu

administrasi publik di Indonesia dapat dibagi

dalam dua tahapan, yaitu masa lalu dan masa

sekarang dengan perkiraan perkembangan di

masa datang. Dengan pembagian tahapan

waktu yang demikian bukan dimaksudkan

untuk memisah-misahkan pembahasan topik

ini secara dikotomis, tujuannya adalah

mempermudah kajian sesuai sistematika

pentahapan kurun waktu tersebut.

Membahas Ilmu administrasi publik

selalu berkaitan dengan pembahasan tentang

struktur, proses dan sumber daya manusia.

Ketiga pilar tersebut pada kurun waktu yang

telah dikemukakan mempunyai nilai

filosofis dan pragmatis yang tidak sama dan

sangat terpengaruh oleh aspek-aspek

ekonomi, sosial, politik, lingkungan/ekologi,

behavior, yang bergerak dinamis dan

flutuatif. Dalam Uraian ini masa lampau

diuraikan dalam kurun berbeda yaitu: (1)

Awal kemerdekaan hingga tahun1960-an;

dan (2) Orde Baru hingga akhir tahun 1990-

an.

Pada masa awal kemerdekaan,

sebelum Tahun 1958, yaitu tahun berdirinya

Lembaga Administrasi Negara (LAN),

disiplin ilmu Administrasi publik (d/h

adminstrasi negara) belum banyak dikenal

masyarakat. Masa itu orientasi Negara masih

pekat dengan nilai politik, memperkokoh

argumentasi dan eksistensi bagi republic

yang baru merdeka baik di dalam maupun

luar negeri dengan konsolidasi potensi-

potensi nasional yang serba terbatas.

Mungkin salah satu factor

Indonesia terlambat membenahi system

administrasi negaranya adalah kenyataan

bahwa aspek-aspek kehidupan nasional yang

dikemukakan baru dapat ditinjau dari aspek

politisnya saja, heavy terhadap ―outward-

looking politics‖. Sedang aspek manajerial

dan legal-nya belum banyak dikaji tokoh-

tokoh nasional dan pemikir kenegaraan kita,

suatu aspek yang sebenarnya memuat lebih

‟insightful‟ isu-isu mengenai keadilan,

kesejahteraan dan pemberdayaan

masyarakat. Pemikiran pada masa itu lebih

terkonsentrasi pada pembebasan bangsa dari

imperialism dengan semua dampak

negatifnya.

Kesulitan-kesulitan dan masalah

yang timbul karena pemahaman yang

dikotomis dan cenderung mengabaikan

aspek manajerial dan legal menimbulkan

serunya pertarungan di arena politik yang

sampai sekarang kita rasakan. Prinsip

―separation of powers‖ yang mampu

memudahkan proses ―check and balances‖

kelembagaan, bukannya melaksanakan

prinsip-prinsip ― distribution of power‖

dimana proses pengawasan sulit ditegakkan

secara transparan dan proporsional. Dalam

administrasi negara, ketiga mandate

pemerintah (eksekutif, legislatif, dan

yudikatif) yang diamanatkan konstitusi

adalah memberikan fungsi-fungsi

pengaturan dan pemberdayaan masyarakat.

Bila aspek manajerial dalam

administrasi negara membahas secara detail

baik fisik, mental ataupun spiritualnya, maka

aspek legal dalam administrasi negara,

memberikan orientasi keadilan dalam

pencapaian tujuan negara melalui

pemerintahannya. Tanpa perspektif dan

orientasi keadilan maka rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi, dan

pembayar pajak yang taat, akan merasa

dicederai dan membongkar kepercayaan

kepada kepemimpinan nasional di semua

tingkatan pemerintahan.

Keterlambatan pengembangan

sumber daya manusia pada awal

kemerdekaan medapatkan jawaban pada

fase kedua pembangunan nasional, antara

Tahun 1970-an sampai menjelang awal abad

ke-21, sekalipun banyak dijumpai

ketimpangan-ketimpangan yang berlebihan.

Pembanguna fisik, infrastruktur

perekonomian, sosial, dan pemenuhan

kebutuhan dasar masyarakat menjadi

fenomena pembangunan pada masa ini.

Pembangunan periode ini sudah

berlandaskan prinsip-prinsip manajerial,

legal, dan judisial, hal ini terlihat dalam

Sistem Administrasi Negara Kesatuan

Republik Indonesia (SANKRI) dengan

sistem pembangunan nasional berdasar

REPELITA (rencana pembangunan lima

tahun) dengan dampak positif dan

negatifnya, dilanjutkan dengan sistem

adminstrasi negara era rformasi dengan

sistem pembangunan PROPENAS-RPJP

(program pembangunan nasiona/rencana

pembangunan jangka panjang).

Pada Era reformasi yang sedang

dijalankan, kita ditantang dengan adanya

dampak perubahan paradigm berpikir dalam

pembangunan nasioal: penegakan supremasi

hokum, pemerataan kesejahteraan sosial,

pemberdayaan masyarakat, integritas dan

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

61

nilai-nilai etika kebangsaan, dan

menegakkan nilai-nila demokrasi para elit

politik dan elit negara. Tantangan etrsebut

timbul sejalan dengan maikn pesatnya ilmu

pengetahuan termasuk ilmu adminstrasi

publik di seluru tanah air.

Tantangan dan Strategi Pengembangan

Ilmu Administrasi Publik

Perkembangan pendidikan tinggi

ilmu administrasi publik di Indonesia relatif

telah menunjukkan situasi yang

menggembirakan dengan semakin

bertambahnya lembaga-lembaga atau

jurusan ilmu administrasi yang sekaligus

sebagai refleksi kebutuhan perangkat

keilmuan administrasi publik di masyarakat.

Peningkatan kuantitas ini perlu disertai

peningkatan sarana akademis yang memadai

serta orientasi kurikulum yang sesuia dengan

kebutuhan nyata dunia kerja.

Hal ini akan menegaskan eksistensi

sebuah lembaga pendidikan tinggi yang

tidak semata bertumpu pada kiprah ilmu,

teknologi ataupun seni, juga pada sumber

kehidupan dan kearifan yang member

energy bagi setiap dinamika pendidikan

yang lebih bermakna, berbudaya, dan

memiliki keadaban. Beberapa kondisi yang

masih menjadi tantangan akademis antara

lain meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Tenaga Pengajar

Ketersediaan tenaga pengajar tetap,

baik dalam hal jumlah ataupun tingkat

pendidikan dan bidang keahliannya, meski

relatif baik, tapi dirasakan masih kurang dari

kebutuhan dengan rasio mahasiswanya.

Perlu mendorong seluruh tenaga pengajar

untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3

atau minimal bergelar Magister Administrasi

Publik atau Administrative Science,

sementara ini keahlian dari para pengajar

kebanyakan masih bersifat umum (generalis)

tidak memiliki keahlian spesialisasi tertentu.

2. Kurikulum Pendidikan

Kurikulum Pendidikan administrasi

publik yang berlaku umumnya relevansinya

minim dengan perkembangan kemajuan di

bidang ilmu, profesi dan teknologi informasi

yang terjadi. Laporan kegiatan Konferensi

Adminstrasi Negara V Tahun2012 yang

diselenggarakan di UNIBRAW Malang,

diperoleh gambaran bahwa bidang-bidang

studi administrasi publik yang

diselenggarakan umumnya masih bertumpu

pada kajian-kajian administrasi yang

konvensional antara lain teori adminstrasi,

organisasi, pemerintahan, dan pembangunan.

Sementara kajian tentang profesi pejabat

publik, studi kebijakan, e-governance,

policy environment, anggaran publik, kajian

perundangan pemerintahan dan praktek

keahlian di bidang kehumasan masih belum

mendapat porsi yang wajar bahkan ada yang

belum menyelenggarakan. Bobot kurikulum

khusunya untuk jenjang S-1 yang berlaku

sekarang ini masih terlalu umum dan bersifat

teoritis, sementara untuk mata kuliah

keahlian masih sangat kurang.

Ketersediaan tenaga

ahli/professional dan ‗sarana praktikum‘

yang memadai dapat menjadi kendala untuk

segera mengakhiri lemahnya bobot

kurikulum studi administrasi publik. Untuk

perguruan tinggi di kota-kota besar masalah

di atas dapat dicarikan solusi dengan

membentuk kerjasama dengan korporasi

privat atau lembaga lain yang kompeten

karena pusat pemerintahan dan

industri/ekonomi masih terpusat. Namun,

bagi perguruan tinggi di daerah, upaya ini

memiliki tingkat kompleksitas masalah

karena kondisi lingkungannya yang sangat

kurang mendukung.

Komposisi materi kurikulum studi

administrasi publik seyogyanya berimbang,

untuk lebih meningkatkan mutu lulusan dan

menciptakan daya saing pasar. Komposisi

kurikulum pendidikan administrasi publik

yang relevan untuk jenjang Diploma (D3),

S1, S2, dan S3 adalah sebagai berikut:

Jenjang Landasan

Teoritis-

Metodologis

Landasan

Terapan-

praktis

D3 20-30% 70-80%

S1 50-60% 40-50%

S2 70-80% 20-30%

S3 100% -

Komposisi kurikulum di atas

sebagai sarana menuju capaian pembelajaran

dan menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak

hanya pandai dalam teori dan metodologi,

juga memperoleh pengetahuan dan keahlian

yang memadai pada satu bidang profesi

sector publik akan dapat tercapai.

3. ProduktifitasKeilmuan

Beberapa uraian di atas, sulit untuk

kita menghindar dari kesimpulan bahwa

banyak hal yang harus kita lakukan untuk

memperkuat ilmu administrasi publik di

Indonesia, dalam upaya untuk mengejar

perkembangan dan kemajuan pendidikan

ilmu administrasi publik di dunia. Hal ini

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

62

sangat penting, karena pendidikan ilmu

administrasi publik besar pengaruhnya

terhadap pemikiran, pengembangan, dan

pelaksanaan administrasi publik pada

prakteknya (birokrasi Indonesia yang besar,

untuk melayani wilayahnya luas dan

penduduknya banyak).

Minimnya literatur mengenai

administrasi di Indonesia, baik terjemahan,

apalagi yang bersumber pada Indonesia,

banyak menghambat laju intelektual dan

produktifitas para pendidik dan penelitinya

untuk menulis. Akibatnya, sumber rujukan

kuliah, umumnya buku-buku teks asing

(dalam bahasa inggris dan sedikit mahasiswa

yang mampu berbahasa asing) atau hanya

mengandalkan diktat-diktat terbatas (jadi

mahasiswa/sarjana ‗diktator‘) belum juga

harganya yang relatif mahal. Bahkan

dibandingkan dengan disiplin ilmu sosial

lain, saya melihat diskusi-diskusi ilmiah di

bidang ilmu administrasi masih sedikit

dilakukan di Indonesia.

Barangkali perlu dibentuk banyak

wadah menampung pemikir-pemikir,

ilmuwan dan pakar pendidikan ilmu

administrasi publik untuk bersama-sama

memikirkan pola pengembangan pendidikan

tinggi ilmu administrasi, semacam

Minnowbrook Conference-nya Indonesia.

Ilmuwan administrasi perlu di dorong untuk

intensif dan fokus pada pengembangan

kajian keilmuannya dengan memberi

tunjangan yang layak (bukan hanya upah

buruh saja yang layak) untuk mencegah

mereka meluangkan waktu dengan ‗ngamen‟

atau ‗ngobyek‟ di luar kampus karena secara

finansial lebih menguntungkan.

4. Jaringan Kerjasama

Ilmu administrasi publik merupakan

salah satu disiplin ilmu sosial yang bersifat

multidisipliner, tetapi dialog antar disiplin

keilmuan, bahkan antar sesame pendukung

keilmuan sejenis masih jarang dilakukan. Di

era globalisasi sekarang ini, perguruan tinggi

hendaknya menjalin erat kerjasama dengan

institusi privat, pemerintah, swadaya

masyarakat baik dalam maupun luar negeri.

Kerjasama penyelenggaraan program

pendidikan bersama dengan perguruan tinggi

luar negeri dalam bentuk ‗joinededucational

program‟, ‗twinning program‟, ‗kelas

internasional, atau penerbitan karya ilmiah

bersama menjadi penting untuk dilakukan

perintisan.

5. Penulisan Skripsi

Keharusan penulisan skripsi bagi

peserta didik calon sarjana strata satu (S-1)

juga sebaiknya ditinjau kembali. Mengingat

para mahasiswa setelah menyelesaikan

studinya bebas memilih profesinya menjadi

tenaga pengajar dan peneliti atau menjadi

praktisi di bidang keahlian tertentu di luar

dunia akademik baik di sector pemerintah

atau swasta. Bagi mereka jalur skripsi,

meskipun bukan jaminan, mungkin tepat

bagi mereka yang berminat ungin menjadi

tenaga pengajar akademis atau peneliti.

Sementara bagi mereka yang akan memilih

bidang praktis di luar kedua profesi tadi

lebih baik jika diberikan alternative untuk

menyelesaikan kesarjanaannya tanpa harus

melalui jalur skripsi (sering pula sebab

berbagai faktor penyusunan skripsi

memerlukan waktu lebih dari 2 semester).

6. Bidang Kekhususan/Spesialisasi

sebagai Penguat Identitas

Program pendidikan ilmu

adminstrasi publik yang diselenggarakan

suatu prguruan tinggi selayaknya memiliki

karakteristik tertentu yangmenjadi

penguatan identitasnya sendiri. Identitas

yang dimaksud adalah adanya fokus kajian

spesialisasi terhadap salah satu atau dua

bidang studi yang sesuai dengan kondisi

lingkungan atau membuat pembedaan

dengan perguruan tinggi yang (tentu saja

bukan sekedar asal beda). Misalnya,

Universitas Indonesia Jakarta terkenal kuat

untuk kajian policy studies-nya, Universitas

Gajah Mada Yogyakarta terkenal dengan

kajian administrasi pembangunannya,

Universitas Brawijaya Malang terkenal

dengan kajian otonomi daerahnya, ataupun

beberapa universitas/perguruan tinggi swasta

yang lain ada memiliki keunggulan dalan

kajian ilmu pemerintahan, kajian anggaran

publik dan sebagainya. Identitas semacam

ini belum tampak menonjol pada sebagian

besar perguruan tinggi di Indonesia.

Konsekuensi logis dari problem

tersebut, kualitas lulusan adminitrasi publik

hanya sarjana dengan kompetensi ‗makro-

mini‘, yang berpengetahuan umum tentang

banyak hal tapi artikulatif, hanya permukaan

saja, tidak memiliki keahlian khusus dan

sedikit sekali yang familiar dengan aplikasi

teknologi dan manfaatnya. Contohnya,

seorang dikategorikan menjadi sarjana

Adminstrasi publik plus jika ia memiliki

kemampuan di bidang kajian pemerintahan

daerah serta mempunyai pengetahuan

penunjang yang memadai di bidang

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

63

keuangan/anggaran (APBN/APBD) atau

teknologi informatika, atau public speaking

atau suatu bidang lain spesifik lainnya.

Implikasinya mahasiswa ilmu

administrasi publik dapat disarankan untuk

mengambil mata kuliah aplikatif adminstrasi

publik secara memadai sesuai dengan minat

dan proyeksi profesi yang akan ditujunya

pasca studi, dengan demikian mereka

memiliki kepercayaan diri untuk

berkompetisi di pasaran kerja.

7. Feodalisme dalam Proses

Pembelajaran

Sikap-sikap dan praktek-praktek

feodalisme dalam proses pembelajaran

masih ditemui di sebagian besar perguruan

tinggi kita, PTN maupun PTS. Beberapa

indikasinya antara lain:

Dosen enggan atau tidak mau

dikritik, disanggah, atau dikomentari oleh

para mahasiswanya tentang pemikiran-

pemikirannya atau asumsi-asumsi yang

dikemukakannya. Mahasiswa lebih banyak

dipaksa mengikuti laur berpikir sang dosen

karena dianggap ‗yang benar‘. Akibatnya

pemikiran-pemikiran alternatif untuk

memunculkan kreatifitas dan kebebasan

akademik menjadi lemah.

Dosen membuat ‗jarak komunikasi‘

dengan mahasiswanya, berorientasi

formalistic daripada menumbuhkan

komunikasi informal dan memunculkan

dialog-dialog yang setara.

Dosen yang kurang obyektif dalam

memberikan penilaian terhadap hasil kerja

atau karya tulis mahasiswa, sangat irit dalam

memberikan nilai dengan berpegang pada

adagium: angka 100 hanya untuk Tuhan,

angka 90 untuk Dosen, dan maskimum 80

untuk mahasiswa yang terpintar. Akibatnya

rentetan nilai B dan C adalah nilai-nilai yang

lumrah dibaca di Kartu Hasil Studi (KHS)

mahasiswa di akhir semester.

Dosen enggan memberikan

kesepakatan tentang kontrak perkuliahan dan

memberikan semua bahan rujukan/referensi

yang dipergunakannya kepada mahasiswa di

awal perkuliahan/pembelajaran.

Paradigma Baru Pendidikan Ilmu

Administrasi Publik

Perkembangan kondisi internal dan

eksternal yang berkaitan dengan bidang

ilmu, profesi, dan teknologi informasi baik

dalam skala regional, nasional maupun

global serta era reformasi yang berlangsung

lebih dari satu decade ini membawa

implikasi perlunya pembenahan dan

penataan kembali pendidikan ilmu

administrasi publik di perguruan tinggi kita.

Paradigma baru perlu segera diterapkan,

suatu paradigma yang merujuk pada

pengelolaan dan system kurikulum

pendidikan ilmu adminstrasi publik yang

memiliki karakteristik sebagai berikut:

Kurikulum Ilmu Administrasi

publik yang dirancang memperhatikan 3

(tiga) dimensi yang saling terkait dan

merupakan satu kesatuan yakni Ilmu

Administrasi publik sebagai ilmu, profesi

dan teknologi. Perencanaan kurikulum ilmu

Administrasi publik pada dasarnya bersifat

fleksibel dan bersifat lintas disipliner dengan

pemilahan area kompetensi/spesialisasi

(major-minor) mengantisipasi

perkembangan atau dinamika pasar.

Komposisi kurikulum ilmu Administrasi

publik berorientasi aspek teoritis -

metodologis dan terapan-praktis secara

proporsional sesuai jenjang atau tingkat

penyelenggaran pendidikan.

Program pendidikan ilmu

Administrasi publik yang diselenggarakan

suatu perguruan tinggi memiliki program

atau area spesialisasi tertentu yang dapat

memperkuat identitas serta daya saing

dengan perguruan tinggi yang lain. Area

spesialisasi Administrasi publik yang dipilih

sesuai dengan karakter lingkungan sekitar

dan bukan sekedar pembeda belaka.

Penulisan Skripsi bukan merupakan

keharusan, hanya suatu alternative bagi

mahasiswa untuk mendapat gelar

kesarjanannya. Pemilihan alternative jalur:

skripsi dan non-skripsi. Bagi mahasiswa

yang menempuh jalur skripsi dapat

diberikan apresiasi akademis yang mampu

menunjang aktifitas akademiknya kelak.

Rekrutmen tenaga pengajar

akademis harus bersifat transparan dan

demokratis. Praktek-praktek ‗inbreeding‘

yang mengutamkan lulusan sendiri

(almamater) sebaiknya mulai ditinggalkan,

lintas disipliner dan memiliki kompetensi

ilmu dan profesinya.

Jaringan kerjasama dengan berbagai

pihak dalam dan luar negeri sangat penting

dalam penyeleprogram pendidikan. .

Kerjasama penyelenggaraan program

pendidikan bersama dengan perguruan tinggi

luar negeri dalam bentuk ‗joinededucational

program‟, ‗twinning program‟, ‗kelas

internasional, atau penerbitan karya ilmiah

dan sebagainya.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

64

DAFTAR PUSTAKA

Djabar, Sally Abdul. 2003. Perkembangan

dan Peran Ilmu Administrasi Dalam

Pembangunan Nasional di Sektor

Publik. Makalah Simposium

Nasional Ilmu Administrasi.

Univeritas Brawijaya. Malang.

Lester, James P. dan Joseph Stewart, Jr.

2000. Public Policy. Wadsworth.

Stamford USA.

Montgomery, John D. dan Willian J. Shiffin.

1988. Bureacrats and People:

Grassroots Participation in The

Third World Development. John

Hopkins University Press.

Baltimore.

Mustopadidjaja, AR. 2003. Dimensi-

Dimensi Pokok Sistem Administrasi

Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Overview Buku I

SANKRI: Prinsip-prinsip

Penyelenggaraan Negara. LAN RI.

Duta Pertiwi Foundation. Jakarta.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 1993.

Reinventing Government: Hoe the

Entrepreneurial Spirits is

Transforming the Public Sector.

Penguin. New York.

Osborne, David dan Ted Gaebler ,1996.

Mewirausahakan Birokrasi:

Mentransformasikan Semangat

Wirausaha ke Dalam Sektor Publik.

Abdul Rosyid (terj.), Pustaka

Binaman Pressindo. Jakarta.

Ostrom, Vincent. 1973. The Intelectual

Crisis in American Public

Administration. University of

Alabama Press. Alabama.

Rosenbloom, David H. 1998. Public

Administration, The McGraw-Hill

Companies Inc. New York.

Stilman II, Richard J. 1982. The Changing

Patterns of Public Administrations

Theory in America, dalam Joseph

A. Uveges, Jr. (ed.), Public

Administration: History and Theory

in Contemporary Perspective,

Marcel Dekker, Inc. New York.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 1993. State of the

Art Ilmu Administrasi Negara.

Makalah Lokakarya Perkembangan

Teori-teori Ilmu Politik . Asosiasi

Ilmu Politik Indonesia. Bogor.

Waldo, Dwight. The Enterprise of Public

Adminstration: A Summary View.

Chandler & Sharp Publisher, Inc.

California.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

65

KEBERLANJUTAN KESEJAHTERAAN RAKYAT INDONESIA :

MENYONGSONG PENCAPAIAN MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS

(MDGs) TAHUN 2015

Ngatimin Dosen Tetap Yayasan pada Ilmu Administrasi di STISOSPOL ―Waskita Dharma‖

Malang

Abstract

Millenium Development Goals (MDGs) are eight goals of development in response to

global problems, to be achieved by 2015.We recognize that the MDGs are quantifiable targets

global poverty and other dimensions of poverty, such as hunger, disease, basic infrastructure

(water supply, housing / residential) gender equality, education and the environment.

Deadline set by the UN Millennium Declaration by 2015 requires the commitment of all

stakeholders of the Indonesian nation.Meanwhile, the problem of the global financial crisis,

natural disasters, climate change, and public official corruption and accountability are all factors

that need consideration as well as other issues related to the development gap between regions in

different parts of Indonesia. Key word: MDGs, Indonesia, poverty.

1. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi, menciptakan struktur baru,

yaitu struktur global. Struktur tersebut akan

mengakibatkan semua bangsa di dunia

termasuk Indonesia, mau tidak mau akan

terlibat dalam suatu tatanan global yang

seragam, pola hubungan dan pergaulan yang

seragam khususnya dibidang ilmu

pengetahuan dan teknologi. Aspek Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang

semakin pesat terutama teknologi

komunikasi dan transportasi, menyebabkan

isu-isu global tersebut menjadi semakin

cepat menyebar dan menerpa pada berbagai

tatanan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial

budaya maupun pertahanan keamanan.

Dengan kata lain globalisasi yang

ditunjang dengan pesat ilmu pengetahuan

dan teknologi telah menjadikan dunia

menjadi transparan tanpa mengenal batas -

batas negara. Dengan perkembangan

teknologi yang begitu pesat, masyarakat

dunia khususnya masyarakat Indonesia terus

berubah sejalan dengan perkembangan

teknologi, dari masyarakat pertanian ke

masyarakat industri dan berlanjut ke

masyarakat paska-industri yang serba

teknologis, walaupun kualitas sumber daya

manusia (SDM) masih tetap yang utama.

Mengutip pendapat Scholte (2000),

Bahagijo mengemukakan bahwa globalisasi

merupakan fenomena berwajah majemuk

dan sering diidentifikasi dengan: 1.

Internationalisasi, yaitu hubungan antar

negara, meluasnya arus perdagangan dan

penanaman modal; 2. Liberalisasi,

pencabutan pembatasan-pembatasan untuk

membuka ekonomi tanpa pagar (borderless

world) dalam hambatan perdagangan,

pembatsasan keluar masuk mata uang,

kendali devisa dan ijin masuk suatu negara

(visa); 3. Universalisasi, yaitu ragam hidup

seperti McDonaldzation, ragam kendaraan

dan sejenisnya ke seluruh penjuru dunia; 4.

Westernisasi atau americanization, yaitu

ragam hidup model budaya barat atau

amerika; 5. de-teritorialisasi yaitu

perubahan-perubahan geografi sehingga

ruang sosial dalam perbatasan, tempat dan

distance menjadi berubah.

Herry-Priyono (2006) berpendapat

bahwa terdapat 3 (tiga) lapis definisi

globalisasi. Lapis pertama, globalisasi

sebagai transformasi kondisi spasial-

temporal kehidupan. Hidup yang kita alami

mengandaikan ruang (space) dan waktu

(times). Fakta ini berarti bahwa jika terjadi

perubahan pengelolaan tata ruang-waktu,

maka terjadi pula transformasi

pengorganisasian hidup. Misalnya, bila

sebuah berita yang dikirim dari Jakarta

kepada komunitas di Papua tidak lagi

membutuhkan waktu 30 hari (100 tahun

yang yalu) atau selama 7 hari (melalui pos

surat), tetapi akan hanya butuh waktu 1

menit melalui telepon, maka disini akan

terjadi perubahan dalam koordinasi interaksi

manusia. Ahli geografi, David Harvey,

menyebutnya sebagai gejala ‖pemadatan

ruang-waktu‖ atau ‖pengerutan dunia‖.

Sedangkan Anthony Giddens, sosiolog-

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

66

politik, menyebut globalisasi lapis pertama

ini sebagai ‖aksi dari kejauhan‖.

Lapis kedua, globalisasi sebagai

transformasi lingkup cara pandang, cara

berpikir, cara merasa dan cara mendekati

persoalan. Isi dan perasaan kita tidak hanya

diisi dan dipengaruhi oleh peristiwa yang

terjadi dalam lingkup hidup dimana kita

berada, tetapi juga diisi dan dipengaruhi oleh

variasi peristiwa yang terjadi di belahan lain

dunia. Setiap waktu kita akan melakukan

apresiasi dan sortir transformasi perilaku

budaya, ekonomi, politik, hukum dan bisnis

global.

Lapis ketiga, Globalisasi sebagai

transformasi modus tindakan dan praktik.

Iniliah lapis arti globalisasi yangbanyak

ditampilkan secara intens oleh pelaku

kepentingan (stakeholder), pejabat publik

dan dalam citra di media. Gejala yang

muncul dari interaksi yang makin intensif

dalam perdagangan, transaksi finansial,

media, transkultural, transportasi, teknologi,

informasi, kebebasan dan hak asasi manusia,

politik gender, kesehatan dan pendidikan,

serta harmonisasi kebijakan dan

implementasi untuk mencapai tujuan

bersama yaitu kesejahteraan bersama

merupakan linkage process yang makin erat

di semua aspek kehidupan dalam skala

global.

MILLENIUM DEVELOPMENT GOALs

(MDGs): Merangkai Komitmen Dunia

Globalisasi menghendaki peristiwa

kerjasama internasional terhadap masalah

ekonomi, sosial, kemanusiaan dan

penghormatan hak asasi manusia dan

kebebasan untuk semua, suatu hubungan

kerjasama berdasarkan kesetaraan dan

penentuan nasib sendiri serta untuk

mewujudkan perdamaian dan keamanan

global. Dorongan atau kehendak untuk

menciptakan kerjasama dan increasing

socio-economic dependencies dituangkan

melalui serangkaian peristiwa konferensi

dunia yang dimulai sejak awal 1990-an

hingga disepakatinya suatu Deklarasi

Milenium yang diadopsi oleh 189 negara

dan ditandatangani oleh 147 kepala negara

saat United Nation (UN) Millenium Summit

pada September 2000 dan dipertegas lagi

pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) para

pemimpin dunia di New York tanggal 22-24

September 2008 (Tabel 1).

Butir kesepakatan deklarasi

millenium antara lain memuat: 1. Penguatan

solidaritas dan langkah konkrit untuk

pembangunan dan pengurangan kemiskinan,

termasuk bagi pencapaian MDGs; 2.

Penguatan komitmen terhadap hak asasi

manusia, demokratisasi, tata pemerintahan

yang baik, perdamaian, dan lingkungan

hidup; 3. Penegakan kembali nilai-nilai

fundamental hubungan internasional:

Kemerdekaan, Kesetaraan, Solidaritas,

Toleransi, Penghargaan kepada Alam dan

Tanggung Jawab Bersama; dan 4.

Memastikan manfaat positif dari globalisasi

bagi masyrakat dunia, dan kebijakan global

terkait kepentingan negara berkembang

(development countries) dan aspirasi mereka

didengar dalam formulasi dan

implementasinya.

Mengutip UN Millenium

Declaration 2000 dikatakan bahwa ‖... no

individual and no nation must be denied the

opportunity to benefit from development.

The equal rights and opportuinities must be

assured. Men and women have the right to

live their lives with dignity, free from hunger

and from the fear of violence, oppression

and injustice‖ (www.endpoverty millenium

campagne.org).

Tabel 1.

KTT dan Konferensi Dunia Dekade 1990-an

1990 World Conference on Basic

Education for All, World Summit

for Children

1992 UN Conference on Environment

and Development

1993 World Conference on Human

Rights

1994 International Conference on

Polulation and Development

1995 Fourth World Conference on

Women

1995 World Summit for Social

Development

2000 Third UN Conference on the

LDCs

Sumber: Siahaan (2009)

MDGs merupakan gerakan dan

kampanye global yang tujuan akhirnnya

adalah pengentasan kemiskinan pada tahun

2015 untuk mewujudkan pembangunan yang

mensejahterakan terutama pada negara-

negara berkembang. Terdapat 8 (delapan)

agenda pokok yang menjadi target dari

kampanye tujuan pembangunan milenium

(MDGs) ini yaitu: 1. Memberantas

Kemiskinan dan Kelaparan; 2. Pendidikan

Dasar untuk semua; 3. Kesetaraan Gender;

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

67

4. Menurunkan Angka Kematian Anak; 5.

Meningkatkan Kesehatan Ibu; 6.

Pemberantasan Penyakit Malaria dan

Tuberkulosis (TB); 7. Memulihkan

Kelestarian Hidup; dan 8. Kemitraan bagi

Pembangunan.

Sejarah dan perkembangan

pembangunan di Indonesia sebenarnya telah

meratifikasi hampir semua persoalan yang

menjadi agenda MDGs, dari delapan butir

kampanye MDGs tidak ada satupun yang

lepas dari rencana-rencana pembangunan

nasional mulai dari konsep Garis -garis Besar

Haluan Negara (GBHN) dengan tahapan

REPELITA-nya di era Orde Baru atau

Program Pembangunan Nasional

(PROPENAS) dengan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di era

reformasi sekarang ini, dengan kata lain,

boleh disebut bahwa konsep baru dari

program MDGs sebenarnya telah pula

menjadi agenda prioritas pembangunan

nasional bangsa Indonesia sejak deklarasi

kemerdekaan.

Setiap bangsa dan negara

menyadari bahwa interaksi global tidak

memungkinkan mereka menghindar,

sebagaimana dikemukakan bahwa linkage

process mengakibatkan semua negara harus

redefining and remaining cultural

differences sebab tantangan MDGs saling

terkait sehingga upaya pencapaian salah

tujuan akan mendekatkan pencapaian tujuan

yang lain dengan pendekatan lebih holistik,

sasaran yang konkrit, terukur dan kuantitatif,

serta memiliki komitmen global yang kuat.

MDGs merupakan momentum untuk fokus

menata ulang kebijakan pembangunan yang

mensejahterakan rakyat, percepatan

penanggulangan kemiskinan, dan

menegakkan konsistensi keadilan dan hak

asasi manusia.

PENCAPAIAN MDGs DI INDONES IA

Dalam proses pembangunan di

Indonesia selama dua dekade terakhir pasca-

reformasi tahun 1998 kita telah banyak

mendapatkan pengalaman, secara umum

dapat digambarkan munculnya 3 (tiga)

gejala perkembangan yang sangat

mempengaruhi eksistensi tingkat

kesejahteraan manusia Indonesia.

Pertama, penetrasi ekonomi yang

lebih maju ke dalam perekonomian bangsa.

Penetrasi itu disambut dengan membuka

perekonomian kita sehingga perekonomian

Indonesia terintegrasi dengan perekonomian

dunia. Hal ini menumbuhkan proses

internasionalisasi pasar dan komoditi yang

mempengaruhi sikap dan cara hidup

masyarakat Indonesia.

Gejala kedua, terjadinya

perkembangan yang tidak seimbang antara

sektor-sektor ekonomi dan daerah-daerah

ekonomi. Faktor yang menentukan adalah

tersedianya tenaga kerja. Modal yang masuk

ke Indonesia mengarah pada daerah-daerah

konsentrasi tersedianya tenaga kerja.

Demikian pula investasi mengarah pada

pasar, yaitu pada sektor-sektor yang

mempunyai daya dukung tenaga beli. Situasi

ini menimbulkan disaparitas atau

kesenjangan pertumbuhan ekonomi di antara

sektor masyarakat dan daerah yang berujung

mempengaruhi eksistensi relatif manusia. Di

sini terdapat segmen-segmen ekonomi yang

sudah berkembang dan belum mengalami

perkembangan sehingga menimbulkan

potensi konflik dalam hubungan sosial.

Gejala ketiga, terjadinya proses

penyisihan (exclutionary process) manusia

dari kegiatan ekonomi. Ini disebabkan

karena penggunaan teknologi modern yang

mampu menghemat tenaga kerja,yaitu demi

efisiensi ekonomi. Padahal, di sisi lain,

pertumbuhan penduduk yang pesat tidak

terhindarkan karena justifikasi sosial bahwa

tiap anggota keluarga merupakan aset dan

faktor produksi yang dapat menghasilkan

dan meningkatkan pendapatan rumah

tangga.

Pencapaian cita-cita negara yang

sejahtera (welfarestate) menuntut komitmen

negara dan rakyat Indonsia dengan segenap

infrastruktur kewenangan yang dimiliki

supaya dapat hidup sejajar bersama dengan

negara maju (developed countries). Target

dan indikator MDGs seharusnya dapat terus

diadopsi dalam perencanaan pembangunan

nasiona dan sektoral sampai di tingkat

pemerintah kota/kabupaten.

Peran masyarakat sipil

(stakeholder) dan penguatan hak masyarakat

dalam menyuarakan tantangan dan restorasi

kebijakan publik sangat penting dan

dibutuhkan untuk melakukan kontrol atas

kinerja pemerintah untuk mewujudkan

pencapaian agenda MDGs. Berbagai

kampanye dan advokasi bersama pemerintah

dan pemangku kepentingan perlu

ditingkatkan secara berkala terutama

berkaitan dengan isu public hearing

musyawarah rencana pembangunan pusat-

daerah

(MUSRENBANGNAS/MUSRENBANGDA

), kampanye penanggulangan kemiskinan,

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

68

kesehatan isu dan anak, pemenuhan

pendidikan dasar, calon legislatif perempuan

(gender), penghargaan kepada inisatif swasta

dalam merintis Corporate Social

Responsibility (CSR) dan pemerintah

kota/kabupaten yang memiliki komitmen

dan inovasi kebijakan yang mengadopsi

nilai-nilai MDGs, dialog lintas agama

tentang pencapaian MDGs.

Tabel 2.

Pencapaian MDGs di Beberapa Negara

MDG & Indikator Indonesia Vietnam India Thailand Philippines

Population (pop growth) 231.6(1.3) 87.4(1.4) 1.169(1.6) 63.9(0.8) 88.0(2.1)

1. $1/day poverty 7.5 2.2 34.3 2.0 14.8

2. Primary enrollment 98.4 87.8 94.2 100.0 92.0

Reaching Grade 5 79.5 92.1 73.0 Na 70.4

3. Gendery primary 1.0 0.9 1.0 1.0 1.0

Literacy rates 98.9 93.9 82.1 98.2 94.4

Seats in Nat Parlianment 18(2009) 27.3 8.3 8.7 15.3

4. Under-5 Mortality 34 27 76 8 32

Immunization Coverage 72 93 59 96 92

5. MMR 420 150 450 110 230

6. HIV prevalence 0.2 0.5 0.3 1.4 0.1

TBC prevalence 253 225 299 198 432

7. Forest Cover 48.8 39.7 22. 8 28.4 24.0

CO2 Emissions 1.69 1.18 1.20 4.28 0.97

Water access 80 92 89 98 93

8. Internet User (per 100) 4.7 17.2 10.7 13.1 5.9

Sumber: Siahaan (2009)

Kemajuan berarti dicapai oleh

pemerintah Indonesia dalam upaya

pengentasan kemiskinan seperti dapat dilihat

pada tabel 2, dengan indikator pendapatan

perkapita rata-rata US$1 per hari penurunan

prosentase jumlah penduduk miskin menjadi

7,5% pada tahun 2008 dari angka 20.6%

pada Tahun 1990. Apabila indikator US$1

per hari diasumsikan masih terlalu rendah

maka data yang diperoleh jumlah garis

kemiskinan masih berkisar di angka 49%

pada Tahun 2008 dengan pendapatan

perkapita US$2.

Sementara jika melihat isu upaya

peningkatan keselamatan ibu saat

melahirkan, data yang diperoleh

menunjukkan masih perlu upaya serius dari

sektor berwenang dengan menunjuk bahwa

data Asian Development Bank (ADB) angka

kematian Ibu (MMR) naik menjadi 420

orang per 100.000 kelahiran hidup pada

tahun 2009, padahal Tahun 2007 sempat

menunjukkan prestasi penurunan angka

MMR menjadi 228 orang dari Tahun

2002/2003 yang sebesar 307 per 100.000

kelahiran hidup.

Prosentase perempuan Indonesia

menghadapi resiko kematian sebenarnya

bisa dikatakan lebih tinggi, berkisar 2-6 kali

dari perempuan di Vietnam, Thailand dan

Pilipina bila melihat teknis penanganan

proses persalinan kelahiran yang baru berada

di level 72% proses persalinan yang dibantu

atau didampingi oleh tenaga terlatih.

Angka kematian bayi pada Tahun

2015 diperkirakan akan mencapai target

sejumlah 32 anak per 1.000 kelahiran hidup,

jika melihat perkembangan angka kematian

bayi yang berjumlah 97 anak per 1.000

kelahiran hidup pada Tahun 1990 yang telah

turun menjadi 34 anak pada Tahun 2007.

Selanjutnya, kita juga dapat

menganalisis bahwa perhatian negara pada

peningkatan anggaran sektor kesehatan

masih sangat kecil bila diperbandingkan

dengan beberapa negara berkembang di

kawasan Asia Tenggara pun bahkan kita

masih jauh dengan komitmen Timor Leste di

sektor pengeluaran negara bagi kesehatan

publik ini. Anggaran sebagian negara di

Asia bagi sektor kesehatan masing-masing

negara adalah Timur Leste 8.8% dari

GDPnya, Thailand 2.2%, Vietnam 1.5%,

Philipina 1.4%, sedangkan India dan

Indonesia dengan potrnsi penduduk dan

sumber dayanya masih membutuhkan

alokasi anggaran yang lebih besar untuk

waktu-waktu mendatang karena masing-

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

69

masing baru mencapai 0.9% dan 1.0% dari

GDP untuk anggaran sektor kesehatan

publiknya. Langkah-langkah strategis dan

politik anggaran untuk sektor kesehatan

publik tampaknya masih perlu

diperjuangkan pada masa datang karena

faktor kesehatan sangat berpengaruh

terhadap aktifitas sosial-ekonomi

masyarakat secara keseluruhan (Diagram 1).

Diagram 1.

Sumber: Siahaan (2009), diolah

TANTANGAN DAN STRATEGI

NASIONAL-DAERAH PENCAPAIAN

MDGs

Keberhasilan dan keberlanjutan

pencapaian sasaran MDGs di Indonesia yang

masih tertinggal dibandingkan negara-

negara berkembang lainnya, khususnya di

kawasan Asia Tenggara membutuhkan kerja

lebih keras mengingat seluruh aspek sumber

daya yang disyaratkan terhadap pencapaian

MDGs tersebut bagi Indonesia sangalah

potensial. Perencanaan dan pengorganisasian

sumber daya dan potensi yang dimiliki

hendaknya dilaksanakan dengan riset

terprogram dan didukung pola

kepemimpinan nasional yang mampu

senantiasa mengarahkan pendulum target

MDGs sesuai batas yang diinginkan yaitu,

pengentasan kemisikinan pada Tahun 2015

medatang.

Beberapa tantangan besar yang

secara simultan dihadapi oleh Bangsa

Indonesia dan berpotensi menahan atau

bahkan membalikkan kemajuan yang telah

diraih dalam mewujudkan keberhasilan

pencapaian target MDGs antara lain:

1. Efektifitas sinergi/koordinasi

kelembagaan sosial-politik, karena

mengingat hampir seluruh kebijakan,

institusi pusat-daerah, aggaran yang

diperlukan telah dirancangdan

ditetapkan dan bahkan lebih dari cukup;

2. Adaptasi dalam perencanaan dan politik

anggaran, target dan indikator MDGs

masih perlu kosistensi pengawasan

sebagai ukuran kinerja dan akuntabilitas

pejabat publik, khususnya pada

pelayanan publik lokal (pemerintah

kota/kabupaten);

3. Situasi global dan gerakan ekonomi

transnasional juga perlu dicermati oleh

para pengambil kebijakan negara,

seperti: Perubahan iklim, krisis pangan,

krisis energi, krisis keuangan, dan

bencana alam;

4. Persoalan lain dan sangat mendesak,

yaitu tingkat penyelewengan kekuasaan

dan anggaran (korupsi yang akut) yang

melibatkan hampir seluruh institusi

penyelenggara pemerintahan baik di

eksekutif, legislatif dan yudikatif;

5. Peningkatan pendataan indikator per

sektoral atas program pembangunan

daerah baik yang telah berjalan sejak

dahulu ataupun yang khusus

dikembangkan bagi pencapaian MDGs;

6. Revitalisasi institusi pelayanan dasar

yang sudah menurun dan optimasliasi

yang telah berjalan baik, proses

anggaran, pengadaan barang dan jasa

dan sistem audit dana publik (APBN

dan APBD) harus dikawal untuk

meminimalkan praktek korupsi dan

mewujudkan akuntabilitas publik yang

dapat diharapkan meningkatkan

kredibiltas pemerintah.

Pemetaan persoalan dan tantangan

besar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia

emberikan penyadaran pada kita bahwa

mewujudkan keberhasilan pencapaian

MDGs Di Tahun 2015 mendatang

diperlukan suatu strategi percepatan dengan

memperkuat komitmen nasional tentang

sasaran dan target MDGs di Indonesia.

Komitmen nasional MDGs harus

diterjemahkan dalam rencana aksi yang

ditindaklanjuti oleh anggaran yang ‖pro-

poor‖, berbasis kinerja dan berkelanjutan,

fokus pada program pemecahan masalah

yang terintegrasi (bukan hanya proyek-

proyek sektoral).

Pro-poor tidak berarti menekan

pertumbuhan, pro-poor budget tidaklah

selalu berarti peningkatan anggaran

pengeluaran publik, tapi diprioritaskan bagi

program pemberdayaan masyarakat miskin.

Prioritas pembangunan juga ditujukan

kepada wilayah yang masih tertinggal,

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

70

dengan investasi publik yang dirancang

khusus untuk menghilangkan kesenjangan

sosial-ekonomi.

Target dan indikator MDGs dapat

digunakan sebagai referensi dan sasaran

akhir dari riset atau simulasi implementasi

kebijakan publik, seperti apa alternatif

kebijakan yang tersedia agar prosentase

penduduk miskin bisa turun di kisaran 1

(satu) persen per tahun antara 2013-2015,

berapa investasi publik yang dibutuhkan,

dan seterusnya.

Selanjutnya perlu dipikirkan pula

penguatan peran masyarakat sipil dan

kapasitas akademisi, wilayah Indonesia ini

begitu luas dan variatif dalam tantangan

MDGs. Hak masyarakat dalam proses

pembangunan dan pengetahuan harus terus

diperkuat kesadaran dan kapasitasnya

(Setiawan, 2003). Lembaga swadaya

masyarakat dan agen-agen perantara lain

(universitas, organisasi profesi, organisasi

masyarakat/ormas) perlu konsisten

melakukan advokasi pada kelompok-

kelompok masyarakat yangbelum kuat dan

cenderung diabaikan haknya dalam

mewujudkan Program MDGs, endpoverty

2015 millenium campaign.

Perhatian partisipasi masyarakat

sipil dan akademisi perlu diakomodasi pada

problem-problem seperti ragam kebijakan

dan program dengan konteks lokalitas untuk

akselerasi pencapaian MDGs sangat

dibutuhkan. Misalnya, tantangan Wilayah

Papua adalah memerangi penyebaran

HIV/AIDS dan distribusi ketenagaan sektor

kesehatan disamping diversifikasi ekonomi

lokal sedangkan fokus pemerintahan Jakarta

adalah mengahadapi tantangan kemacetan,

banjir, lingkungan hidup, dan kemiskinan

perkotaan. Demikian juga upaya

pemantauan berkala terhadap kinerja

pelayanan dasar seperti pelayanan

kesehatan, pendidikan, hak asasi manusia

(ibu dan anak) dan lainnya yang masih jauh

dari memuaskan.

Pengetahuan, monitoring

tools/instruments, sistem dan lainnya

termasuk kemampuan analisis dapat

difasilitasi oleh masyarakat sipil dan

akademisi, dimana hasilnya dapat

dimanfaatkan sebagai bahan evaluasi

kebijakan dan program yang harus direspon

oleh pemerintah dan DPR/DPRD.

PENUTUP

Gelombang globalisasi membawa

akibat dalam tata kehidupan manusia, dalam

tingkah laku, dalam sistem nilai yang

berlaku, saling menguatnya hubungan antar

negara yang berarti semakin memperkuat

ketergantungan pada sektor politik,

keamanan, sosial-ekonomi, lingkungan

hidup, demokratisasi global, dan hak asasi

manusia. Linkage process tersebut

mempunyai dampak positif dan dampak

negatif. Hubungan-hubungan internasional

tersebut menciptakan pula berbagai isu atau

agenda baru untuk membentuk tata kelola

dunia baru, global governance, yang

mengatur tata cara dan kesepakatan interaksi

antar negara.

MDGs merupakan salah satu

serangkaian keputusan global governance

yang ingin diwujudkan oleh setiap negara

berdasarkan kapasitas dan prioritas

pembangunannya. Pencapaian MDGs di

Indonesia memiliki kecenderungan yang

lemah dibandingkan pencapaian yang

diperoleh negara-negara berkembang

lainnya. Penguatan kapasitas dan komitmen

institusi/kelembagaan pemerintahan,

swadaya masyarakat, organisasi sosial untuk

mendukung keberhasilan pencapaian target 8

butir tujuan pembangunan milenium/MDGs

pada Tahun 2015.

Peran negara harus terpusat pada 3

(tiga) ide pokok untuk mewujudkan

pencapaian delapan butir target MDGs yaitu,

pertama, negara harus menjamin hak hidup

setiap individu dan keluarga pendapatan

minimum/pencapaian kebutuhan hidp layak;

kedua, negara harus memberi perlindungan

sosial jika individu dan keluarga dalam

situasi sulit, misalnya usia lanjut, sakit atau

menganggur; dan ketiga, semua warga

negara berhak mendapatkan akses pelayanan

sosial dasar seprti pendidikan, kesehatan

pemenuhan gizi (balita), sanitasi, dan air

bersih.

DAFTAR PUSTAKA

Bahagijo, Sugeng dan Darmawan

Triwibowo. 2006. Globalisasi,

Defisit Pengetahuan dan Indonesia,

Jurnal Hukum Jentera, Jakarta.

Hara, A. Eby. 2005. Nasionalisme

Indonesia: Dari Nasinalisme Lokal

ke Nasionalisme Kosmopolit.

Jurnal Politika. Volume 1, No.2.

Herry-Priyono, B. 2006. ‖Proyek Indonesia

dalam Globalisasi: Mencari

Terobosan dalam Hak Asasi

Ekonomi‖ dalam Irfan Nasution

dan Ronny Agustinus, Restorasi

Pancasila: Mendamaikan Politik

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

71

Identitas dan Modernitas, Brighten

Press, Jakarta.

Jones, Howard. 1990. Social Welfare in

Third World Development.

MacMillan: London.

Knowles, James C. 2000. A Look at Poverty

in the Developing Countries of

Asia. Asia-Pasific Population and

Policy Review. No.52.

Mkandawire, Thandikadan Virginia

Rodrigues. 2000. Globalization and

Social Development after

Copenhagen. Geneva: United

Nations Research Institute for

Social Development.

Moore, Mick. 2000. States, Social Policies

and Globalizations: Arguing on the

Right Terrain? IDS Bulletin. 31 (4),

p. 21-31.

Salim, Emil. 1985. Menuju Tinggal Landas

Tahun 2000. Dalam A. Rifai Hasan

(ed.). Tinjauan Kritis Tentang

Pembangunan. LSAF. Jakarta

Setiawan, Bobi B. 2003. Hak Masyarakat

dalam Penyusunan dan

Implementasi Kebijakan Tata

Ruang. Makalah Seminar Nasional

Proses Penyusunan dan

Implementasi Tata Ruang. Pusat

Studi Planologi FT Unissula.

Semarang.

Siahaan, Wilson. 2009. Tujuan

Pembangunan Milenium (MDGs).

Makalah Simposium Nasional

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu

Kesejahteraan Sosial FISIP

Universitas Indonesia. Jakarta.

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

i

JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014

ii