Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KOMPOSISI NYAMUK DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TENTANG VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH
DENGUE DI BARENG TENES RW 02
SKRIPSI
oleh
JENVIA RISTA PRATIWI
135090101111017
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KOMPOSISI NYAMUK DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TENTANG VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH
DENGUE DI BARENG TENES RW 02
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains dalam Bidang Biologi
oleh
JENVIA RISTA PRATIWI
135090101111017
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
KOMPOSISI NYAMUK DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TENTANG VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH
DENGUE DI BARENG TENES RW 02
JENVIA RISTA PRATIWI
135090100111017
Telah dipertahankan di depan Majelis Penguji
Pada tanggal 14 Juli 2017
Dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains dalam bidang Biologi
Menyetuji
Pembimbing
Zulfaidah Penata Gam, S.Si, M.Si., Ph.D
NIP 19720201 199702 2 001
Mengetahui
Ketua Program Studi S-1 Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
Rodliyati Azraningsih, S.Si., M.Sc., Ph.D. NIP 19700128 199412 2 001
iii
HALAMAN PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Jenvia Rista Pratiwi
NIM : 135090100111017
Jurusan : Biologi Penulis Skripsi berjudul : Komposisi Nyamuk Dan Persepsi
Masyarakat Tentang Vektor Penyakit
Demam Berdarah Dengue Di Bareng Tenes RW 02
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini adalah benar-benar karya saya sendiri dan bukan
hasil plagiat dari karya orang lain. Karya-karya yang tercantum dalam Daftar Pustaka Skripsi ini semata-mata
digunakan sebagai acuan/referensi.
2. Apabila kemudian hari diketahui bahwa isi Skripsi saya merupakan hasil plagiat, maka saya bersedia menanggung
segala resiko.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, 27 Juli 2017 Yang menyatakan
Jenvia Rista Pratiwi
135090100111017
iv
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI
Skripsi ini tidak dipublikasikan namun terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada penulis. Daftar Pustaka
diperkenankan untuk dicatat, tetapi pengutipan hanya dapat dilakukan
seizin penulis dan harus disertai kebiasaan ilmiah untuk
menyebutkannya.
v
Komposisi Nyamuk dan Persepsi Masyarakat tentang Vektor
Penyakit Demam Berdarah Dengue di Bareng Tenes RW02
Malang Jenvia R. Pratiwi, Zulfaidah P. Gama
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahauan Alam,
Universitas Brawijaya, Malang
2017
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dengan nyamuk dari jenis Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sebagai vektor. Kota Malang merupakan daerah endemik penyakit dengue di Jawa Timur. Salah satu kelurahan di Kota Malang
yang memiliki jumlah kasus DBD tinggi adalah Bareng Tenes. Jumlah
kasus kematian akibat DBD di Kota Malang sebanyak 5 pasien dari
879 kasus (Dinas Kesehatan kota Malang, 2010). Kelurahan Bareng Tenes RW 02 adalah salah satu daerah padat penduduk kota Malang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi komposisi
nyamuk dan menganalisis persepsi masyarakat tentang vektor DBD di Bareng Tenes RW 02 Malang. Penelitian ini menggunakan dua jenis
metode survei nyamuk, yaitu mengumpulkan larva secara langsung
dengan pipet dari wadah buatan dan metode kedua untuk mengumpulkan telur nyamuk dengan ovitrap. Persepsi masyarakat
diketahui melalui wawancara dengan menggunakan pedoman
kuesioner. Teknik sampling accidental dengan alat ukurnya skala
likert. Komposisi spesies nyamuk yang ditemukan di Bareng Tenes RW 02 adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus dan Culex
quinquefasciatus. Berdasarkan data survei nyamuk menunjukkan
bahwa spesies Aedes aegypti sebagai spesies dominan dan nilai INP untuk survei ovitrap adalah 118,06% sedangkan nilai INP untuk survai
larva adalah 103,51%. Berdasarkan data persepsi masyarakat
menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat sangat baik tentang
informasi DBD, vektor DBD dan cara pencegahan DBD, namun tindakan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat belum tampak
untuk mengendalikan populasi nyamuk terutama untuk larva.
Kata kunci : Aedes sp., dengue, ovitrap, survei larva
vi
Composition of Mosquito and Public Perception About
Dengue Vector of Hemorrhagic Fever in Bareng Tenes RW
02 Malang Jenvia R. Pratiwi, Zulfaidah P. Gama
Department of Biologi, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Brawijaya University, Malang
2017
ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a mosquito-borne tropical disease caused by the dengue virus. Aedes aegypti and Aedes
albopictus are a mosquito vectors of DHF. Malang city was on
endemic regions of dengue disease in East Java. One of the villages
that has a high number of DHF cases was Bareng Tenes. The number of Case Fatality Rate (CFR) in Malang city obtained 5 patients of 879
cases (Health Department od Malang city, 2010). Bareng Tenes RW
02 was one of the densely populated region of Malang city. The objective of this research were to identify mosquitoes composition and
to analyze the public perception about the DHF vectors in Bareng
Tenes RW 02 Malang. This research used two kind survey method of mosquitoes. The first method for collecting larvae was used by direct
capture, if larvae using pipettes from artificial containers and the
second method for collecting egg of mosquitoes was carried out by
ovitrap. Public perception already calculated using questionnaire technique. The accidental sampling technique in this research was
likert scale. The composition of mosquitoes that found in Bareng
Tenes RW 02 were Aedes aegypti, Aedes albopictus and Culex quinquefasciatus. Based on the result of mosquitoes survey showed
that Aedes aegypti as the dominant species and the IVI value for
ovitrap survey was 118.06% while the value of IVI for larval survey was 103.51%. Based on the public perception data resulted that the
community has a very good understanding of the DHF knowledge,
DHF vectors and ways of DHF preventing, but activities undertaken
by the community have not yet appeared to control the mosquito population especially for larvae.
Key words : community pereception, container survey, DHF, ovitrap
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdullilaahi Robbil ‘Aalamiin, dengan ungkapan rasa syukur pada Allah Yang Maha Kuasa akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains dalam bidang Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Ibu Zulfaidah Penata Gama, S.Si, M.Si., Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah mendampingi, memberikan tambahan
ilmu dan saran yang berguna bagi penulis serta memberikan
dukungan. 2. Bapak Dr. Bagyo Yanuwiadi dan Bapak Amin Setyo Leksono,
S.Si, M.Si., Ph.D selaku Dosen Penguji yang telah memberi
saran yang bermanfaat demi perbaikan penyusunan skripsi.
3. Bapak Dr. Swasono Rahardjo, S.Pd, M.Si dan Ibu Ninik selaku kedua orang tua, Noventia Sekar Pratiwi serta Mestakung Radja
Sejahtera selaku saudara kandung penulis serta Fajar Rizki
Fadlillah yang selalu senantiasa memberikan doa dan dukungan serta motivasi yang tidak terkira .
4. Purnomo, S.Si selaku laboran Ekologi dan Diversitas Hewan,
Nunung L, Nihayatul L, Anas Zul M, Pratama Nuri S, Hamdani, Retno Dwi K atas bantuan dan saran dalam
menyelesaikan penelitian.
5. Rizha H., M. Nizar F, Zahrina Zata D., Jerry Fahmi P., M. Alif
F., Putri Dyandra D., Anggi Putra E., Samuel Halomoan T., Lasria Y. dan teman-teman dari KSB dan Biolongi Angkatan
2013 serta seluruh civitas akademik yang ada di Jurusan
Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya.
Penulisan skripsi ini merupakan upaya optimal penulis sebagai
sarana terbaik dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Saran dan
kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menjadikan karya ini semakin bermanfaat.
Malang, 27 Juli 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................ v
ABSTRACT ............................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................ viii
DAFTAR TABEL .................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................ xiv
DAFTAR SINGKATAN .......................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 4
2.1 Karakteristik Nyamuk (Diptera: Culicidae) ......... 4 2.2 Siklus Hidup Nyamuk ....................................... 11
2.3 Perilaku dan Habitat Nyamuk ............................. 15
2.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Vektor Nyamuk 15 2.5 Persepsi Masyarakat Terhadap DBD................... 18
2.6 Kasus DBD di Kelurahan Bareng Tenes ............. 19
BAB III METODE PENELITIAN .......................................... 21
3.1 Waktu dan Tempat ............................................. 21
3.2 Demografii Wilayah Kelurahan Bareng Tenes
RW 02 Malang .................................................. 21 3.3 Survei larva ........................................................ 23
3.4 Survei ovitrap .................................................... 23
3.5 Pemeliharaan telur dan larva sampai fase imago . 24
3.6 Persepsi Masyarakat ........................................... 24 3.7 Analisis Data ...................................................... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................... 31 4.1 Komposisi Nyamuk yang Ditemukan di Bareng
Tenes ................................................................ 31
ix
4.2 Kelimpahan Nyamuk yang Ditemukan di Bareng
Tenes ................................................................ 36
4.3 INP Nyamuk yang Ditemukan di Bareng Tenes .. 41 4.4 Persepsi Masyarakat tentang DBD ...................... 43
4.5 Kepadatan Larva Nyamuk .................................. 47
4.6 Maya Index (MI) ................................................ 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................... 52
5.1 Kesimpulan ........................................................ 52
5.2 Saran .................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 53
LAMPIRAN ............................................................................. 60
x
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1 Perbedaan Jenis Larva Nyamuk Culex sp. Aedes sp.
Mansonia sp. Anpheles sp. dan Armigeres sp. ............... 14
2 Lokasi Pengambilan Sampel ......................................... 21
3 Kriteria Korelasi Pearson ............................................. 26
4 Kriteria Interpretasi Nilai Perhitungan ........................... 27
5 Kategori Parameter Entomologis Terhadap Resiko
Penularan DBD ............................................................ 28
6 Kategori Kepadatan Jentik ............................................ 28
7 Matriks 3x3 Komponen Breeding Risk Index (BRI) dan
Hygene Risk Index (HRI) Pada Maya Index (MI) ........... 30
8 Kelimpahan Spesies Nyamuk yang Diperoleh dari
Metode Survei Ovitrap .................................................. 37
9 Kelimpahan Spesies Nyamuk yang Diperoleh dari
Metode Survei Larva ..................................................... 37
10 Nilai Korelasi Pearson Antara Faktor Abiotik dan
Kelimpahan Nyamuk .................................................... 38
11 Hasil Perhitungan Angka Bebas Jentik (ABJ), House
Index (HI), Container Index (CI) dan Breteau Index
(BI) ............................................................................... 46
12 Hasil Perhitungan Breeding Risk Index (BRI) Tiap
Rumah .......................................................................... 48
13 Hasil Perhitungan Hygene Risk Index (HRI) Tiap
Rumah .......................................................................... 49
xi
14 Pengelompokan Tiap Rumah dengan Kategori
Breeding Risk Index (BRI), Hygene Risk Index (HRI)
dan Maya Index (MI) .................................................... 50
LT 15 Hasil Korelasi Pearson dengan SPSS ............................ 61
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1 Morfologi Nyamuk Secara Umum.................................... 5
2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes sp........................................ 12
3 Perbedaan Larva Nyamuk Culex sp., Aedes sp., dan
Anopheles sp. ................................................................... 12
4 Jumlah Kasus DBD di Kota Malang ................................ 20
5 Jumlah Kasus DBD di Kelurahan Bareng Tenes RW 02
Malang ............................................................................ 20
6 Lokasi Penelitian ............................................................ 22
7 Nyamuk Aedes Aegypti (imago) Hasil Survei Larva dan
Ovitrap yang Dipelihara Di laboratorium ......................... 31
8 Nyamuk Aedes Albopictus (imago) Hasil Survei Larva dan
Ovitrap yang Dipelihara Di laboratorium ......................... 33
9 Nyamuk Culex Quinquefasciatus (imago) Hasil Survei
Larva dan Ovitrap yang Dipelihara Di laboratorium ......... 35
10 Kelimpahan Spesies Nyamuk dengan Metode Survei
Ovitrap di Bareng Tenes RW 02 ...................................... . 39
11 Lokasi R5 ........................................................................ 40
12 INP (%) Spesies Nyamuk dengan Metode Survei Ovitrap
di Bareng Tenes RW 02 ................................................... 42
13 INP (%) Spesies Nyamuk dengan Metode Survei Larva di
Bareng Tenes RW 02 ....................................................... 43
14 Nilai Intrerpretasi Setiap Komponen Wawancara ............. 44
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Tempat Penampungan Air Alami yang Ditemukan di
Lokasi Penelitian .......................................................... 60
2 Hasil Korelasi Pearson dengan SPSS ............................ 61
3 Pedoman Wawancara untuk Masyarakat........................ 62
xv
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Keterangan DBD Demam Berdarah Dengue
Ae Aedes
Cx Culex
RW Rukun Warga Sp. Spesies
JE Japanese Encephalitis
JEV Virus Japanese Encephalitis KLB Kejadian Luar Biasa
ABJ Angka Bebas Jentik
HRI Hygene Risk Index BRI Breeding Risk Index
PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk
MI Maya Index
HI House Index CI Container Index
BI Breteau Index
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyamuk merupakan salah satu hewan Arthropoda. Nyamuk
dikenal sebagai hewan yang merugikan bagi kesehatan manusia. Hal
tersebut dikarenakan sifat nyamuk sebagai vektor untuk beberapa
jenis penyakit. Penyakit yang dapat ditularkan melalui nyamuk antara lain: Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Malaria. Penyakit
DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditandai
demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan syok dan kematian. Vektor penyakit DBD
adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, sedangkan
nyamuk Anopheles sp. merupakan vektor dari penyakit Malaria. Selain kedua penyakit tersebut, nyamuk juga dapat menularkan
penyakit Filariasis (kaki gajah), Chikungunya dan Encephalitis
(Islamiyah dkk, 2013). DBD merupakan salah satu penyakit yang
paling banyak ditemukan, terutama pada kondisi iklim tropis dan subtropis seperti Indonesia. DBD disebabkan oleh empat virus yang
saling terkait (Famili Flaviviridae Genus Flavivirus) DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4. Virus ini terdiri dari untai tunggal RNA dalam genus yang sama dengan virus Yellow Fever dan West Nile (Howard,
2005).
Vektor utama penyakit DBD di Indonesia adalah nyamuk Ae.
aegypti dan Ae. albopictus. Tempat yang disukai sebagai tempat perindukannya adalah genangan air bersih. Biasanya pada genangan
air yang terdapat dalam tempat penampungan air artifisial misalnya
drum, bak mandi, gentong, ember, dan lain-lain. Tempat penampungan air alami misalnya lubang pohon, daun pisang,
pelepah daun keladi, lubang batu. Tempat penampungan air artifisial
misalnya vas bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung dan sebagainya (Soegijanto, 2004).
Sekitar 500.000 sampai 1.000.000 orang di seluruh dunia
mengalami DBD per tahun, sehingga penyakit yang ditularkan
melalui Arthropoda ini menjadi penyakit yang paling umum di dunia. Penyakit ini sangat sering dijumpai pada lingkungan
perkotaan. Hal tersebut dikarenakan kebiasaan nyamuk betina
menghisap darah manusia untuk memenuhi kebutuhan nutrisi proses
2
pematangan telur. DBD juga sering ditemukan pada daerah tropis
dan subtopis terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan
Karibia (Guerdan, 2010). Kota Malang merupakan salah satu daerah endemis penyakit
DBD. Pada tahun 2010 diketahui jumlah kasus DBD mencapai 879
penderita dengan 5 penderita diantaranya meninggal dunia. Kasus
DBD mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2011 hingga 2015. Pada tahun 2011 diketahui jumlah kasus DBD sebanyak 163 penderita
dengan 1 penderita diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012
kasus DBD menurun menjadi 136 penderita. Peningkatan kasus DBD terjadi pada tahun 2013 dimana terdapat 409 penderita dengan
2 penderita diantaranya meninggal dunia. Jumlah kasus DBD pada
tahun 2014 menurun menjadi 160 penderita dengan 1 penderita meninggal diantaranya. Pada tahun 2015 terjadi peningkatan kasus
DBD dari sebelumnya dengan 298 penderita dan 3 penderita
meninggal dunia. Pada bulan Agustus 2016 penderita DBD sudah
mencapai 442 dengan 2 diantaranya meninggal (Dinas Kesehatan Kota Malang, 2016).
Kelurahan Bareng merupakan salah satu kelurahan yang memiliki
jumlah penderita DBD yang tinggi untuk setiap tahunnya. Pada tahun 2010 terdapat 83 penderita DBD yang tercatat di Puskesmas
Kelurahan Bareng Tenes. Jumlah penderita DBD di Kelurahan
Bareng Tenes terus mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2011 jumlah kasus DBD sebanyak 10 penderita. Peningkatan jumlah
kasus DBD pada tahun 2012 menjadi 18 penderita dan peningkatan
kembali pada tahun 2013 menjadi 34 penderita. Pada tahun 2014
kasus DBD di Puskesmas Kelurahan Bareng menurun menjadi 10 penderita. Pada tahun 2015 mengalami peningkatan jumlah kasus
DBD dengan total 23 penderita. Pada bulan Agustus 2016 sudah
terdapat 35 penderita yang tercatat oleh Dinas Kesehatan Kota Malang. Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan
jumlah penderita di kelurahan lain (Dinas Kesehatan Kota Malang,
2016). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang jenis
nyamuk yang ada di sekitar wilayah Kelurahan Bareng Tenes RW 02 Malang untuk memastikan keberadaan vektor penyakit DBD.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dari skripsi ini adalah:
3
1. Bagaimana komposisi nyamuk yang terdapat di Kelurahan
Bareng Tenes RW 02 Malang?
2. Bagaimana pengetahuan masyarakat di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 Malang tentang nyamuk sebagai vektor penyakit
DBD?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Mengidentifikasi komposisi nyamuk yang terdapat di
Kelurahan Bareng Tenes RW 02 Malang.
2. Menganalisa pendapat masyarakat di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 Malang mengenai nyamuk sebagai vektor DBD dan
pemahaman masyarakat tentang pencegahan penyakit DBD
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini bagi masyarakat diharapkan menambah informasi masyarakat terhadap jenis-jenis nyamuk yang terdapat di
Bareng Tenes RW 02 dan untuk membuktikan keberadaan Aedes
aegypti serta Aedes albopictus yang menjadi vektor penyakit DBD di daerah tersebut.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Nyamuk (Diptera: Culicidae)
Penelitian yang dilakukan oleh Suwito (2008) menyatakan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang cocok
untuk perkembangan berbagai jenis nyamuk. Masyarakat mengenal
nyamuk sebagai serangga penggangu yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Hal tersebut disebabkan karena beberapa
nyamuk yang memiliki kemampuan menjadi vektor dari suatu
penyakit. Contohnya pada nyamuk Aedes sp. yang diketahui sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Chikungunya,
nyamuk Anopeles sp. sebagai vektor penyakit Malaria, nyamuk
Culex sp. sebagai vektor penyakit Kaki Gajah, dan lain sebagainya (Ferry & Makhfudli, 2009).
Nyamuk tergolong dalam ordo Diptera dan Famili Culicidae
dengan ukuran tubuh kecil dan kakinya yang langsing. Proboscis
panjang, sisik pada bagian tepi vena sayapnya (Michigan Mosquito Control Association, 2002). Nyamuk jantan memiliki tubuh yang
berukuran lebih kecil dibandingkan tubuh nyamuk betina (Getachew
dkk., 2015). Antena yang dimiliki nyamuk jantan dan betina juga berbeda. Nyamuk jantan memiliki antena yang lebih besar
dibandingkan nyamuk betina. Antena nyamuk berbentuk filiform
yang panjang dan langsing serta memiliki 15 segmen. Fili pada
antena nyamuk jantan yang lebat biasa disebut plumose sedangkan pada nyamuk betina disebut pilose (Subekti, 2005).
Mulut nyamuk termasuk tipe menusuk dan menghisap (rasping-
sucking), mempunyai enam stilet yaitu gabungan antara mandibula, maxilla yang bergerak naik turun menusuk jaringan sampai
menemukan pembuluh darah kapiler dan mengeluarkan ludah yang
berfungsi sebagai cairan racun dan antikoagulan (Sembel, 2009). Tubuh nyamuk yang terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, dada
dan perut. Bagian dada didukung dengan adanya satu pasang sayap
dan tiga pasang kaki (hind leg, mid leg dan fore leg). Setiap spesies
nyamuk memiliki bentuk kepala, dada dan perut yang berbeda-beda. Struktur seta, posisi/letak dan warna pada kepala, dada, sayap, kaki
dan perut (Gambar 1) merupakan kunci identifikasi nyamuk
(Michigan Mosquito Control Association, 2002).
5
(Cambridge University Press, 2009)
Gambar 1. Morfologi nyamuk secara umum
2.1.1 Aedes sp.
Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti menurut Djakaria (2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Subfamilia : Culicinae Genus : Aedes
Spesies : Aedes sp.
6
Vektor penyakit DBD di Indonesia adalah nyamuk betina Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Dalam perkembangannya, fase telur,
larva dan pupa hidup di dalam air, sedangkan imago (fase nyamuk dewasa) hidup di udara (Rosa, 2007). Aedes aegypti dan Aedes
albopictus meletakkan telur dan berkembangbiak pada tempat
penampungan air bersih seperti bak mandi, tangki penampungan air,
vas bunga, kaleng-kaleng atau kantung plastik bekas yang biasanya ditemukan di atas lantai gedung terbuka, talang rumah, bambu pagar,
ban bekas, dan semua bentuk tempat penampungan air yang dapat
menampung air bersih. Aedes albopictus meletakkan telur dan berkembangbiak pada tempat penampungan air alami seperti kulit
buah rambutan dan kulit buah tempurung kelapa (Tim Pencegahan
DBD Departemen Kesehatan RI, 2004). Larva nyamuk dapat terlihat berenang naik turun atau berdiam di permukaan air pada tempat
penampungan air tersebut. Kedua jenis nyamuk Aedes albocpictus
dan Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit demam
berdarah (Sembel, 2009). Nyamuk Ae. aegypti memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil
dibandingkan dengan nyamuk lainnya seperti Culex sp., Anopheles
sp. dan lain sebagainya. Ae. aegypti jantan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga agar
dapat bertahan hidup. Ae. aegypti betina cenderung menghisap darah.
Hal tersebut dikarenakan nyamuk bentina membutuhkan darah sebagai kandungan protein untuk pematangan telur. Nyamuk betina
ini lebih menyukai darah manusia daripada darah binatang, karena
apabila nyamuk tersebut menghisap darah binatang maka
perkembangbiakannya akan melambat. Nyamuk ini melakukan gigitan terhadap manusia umumnya pagi pada pukul 09.00-10.00
WIB dan petang pada pukul 16.00-17.00 WIB. Jarak terbang nyamuk
Aedes sp. adalah 200 m. Hanya nyamuk betina yang menghisap darah. Kebiasaan menghisap darah pada Ae. aegypti umumnya pada
waktu siang hari sampai sore hari. Berdasarkan kebiasaan tersebut,
maka nyamuk Ae. aegypti betina lebih sering ditemukan pada
lingkungan rumah yang terdapat manusia seperti perkampungan maupun perumahan. Nyamuk betina tidak dapat membuat telur yang
dibuahi tanpa adanya darah sebagai pemicu pembentukan hormon
gonadotropik yang diperlukan untuk ovulasi. Hormon ini berasal dari corpora allata yaitu pituitary pada otak insekta dan dapat dirangsang
oleh serotonin dan adrenalin dari darah korbannya (Getachew dkk.,
2015).
7
2.1.2 Culex sp.
Klasifikasi nyamuk Culex sp. menurut Romoser & Stoffolano
(1998), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae Subfamilia : Culicianae
Genus : Culex
Spesies : Culex sp.
Culex sp. merupakan vektor dari penyakit Filariasis, Japanese
Encephalitis, West Nile virus dan lain sebagainya. Telurnya akan
bergerombol di permukaan air membentuk seperti rakit. Telur akan menetas menjadi larva setelah dua sampai tiga hari tanpa ada
pergantian air. Selanjutnya akan memasuki fase larva dimana fase ini
terdapat empat instar dan akan menjadi pupa setalah delapan sampai
14 hari. Pupa akan berubah menjadi nyamuk dewasa setelah satu sampai dua hari. Nyamuk dewasa dapat berukuran 4-10 mm. Secara
umum, nyamuk memiliki tiga bagian tubuh, yaitu kepala, dada, dan
perut. Di Indonesia spesies Culex sp. yang paling banyak ditemukan adalah jenis Culex quinquefasciatus. Setelah menjadi nyamuk
dewasa, nyamuk betina dalam waktu 2 x 24 jam akan melakukan
perkawinan yang biasanya dilakukan pada saat sore menjelang senja
dan kemudian akan mencari sumber protein dari darah untuk proses pematangan telur (Soekirno dkk, 2006).
Nyamuk Culex sp. memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan
nyamuk Aedes sp. Masa hidup Cx. quinquefasciatus jantan lebih pendek dibandingkan betinanya. Nyamuk jantan mampu bertahan
selama satu sampai dua minggu, sedangkan nyamuk betina mampu
bertahan sampai dia bulan. Nyamuk Culex sp. banyak ditemukan di sembarang tempat, baik di air bersih maupun air yang kotor. Tempat
penampungan air tersebut antara lain genangan air, got yang terbuka
dan empang atau kolam ikan (Sholichah, 2009).
Nyamuk membutuhkan energi untuk terbang yang dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi nektar bunga. Selain itu, nyamuk betina
membutuhkan sumber protein untuk proses pematangan telur yang
dapat dipenuhi pada darah. Nyamuk Culex sp. lebih suka menggigit
8
manusia dan hewan terutama pada malam hari, sedangkan pagi
sampai menjelang sore merupakan fase istirahatnya. Nyamuk Culex
sp. suka menggigit binatang peliharaan, unggas, kambing, kerbau dan sapi. Nyamuk Culex sp. suka beristirahat dalam rumah. Nyamuk
ini sering berada dalam rumah sehingga dikenal dengan nyamuk
rumahan. Nyamuk Culex sp. merupakan nyamuk nokturnal yang
memiliki perilaku suka menggigit manusia dan hewan terutama pada malam hari. Nyamuk Culex sp. menggigit pada beberapa jam setelah
matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit, dengan puncak
menggigit nyamuk ini adalah pada pukul 01.00-02.00 WIB. Nyamuk betina menggigit dengan posisi abdomennya terletak sejajar dengan
permukaan induk yang sedang digigit tersebut (Sholichah, 2009).
2.1.3 Mansonia sp.
Klasifikasi nyamuk Mansonia sp. menurut Romoser & Stoffolano
(1998), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda Classis : Insecta
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae Subfamilia : Culicianae
Genus : Mansonia
Spesies : Mansonia sp.
Nyamuk Genus Mansonia memiliki peranan sebagai vektor utama penularan penyakit Filariasis dari spesies Brugia malayi pada
kawasan Asia Tenggara (India Selatan, Indonesia dan Malaysia).
Nyamuk ini banyak ditemukan pada tumbuhan air di sekitar rawa-rawa. Tumbuhan air yang biasa menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk Mansonia sp. adalah selada air, eceng gondok, kangkung
dan lain sebagainya. Nyamuk ini aktif pada sore hari menjelang malam dengan puncaknya pada 18.00-19.00 WIB (Supranelfy dkk,
2012).
Fase telur Mansonia sp. terletak berdekatan seperti rakit dengan
bentuk telur yang lancip seperti duri. Telur-telur ini biasa ditemukan dibalik permukaan tumbuhan air mengingat nyamuk ini banyak
ditemukan pada rawa-rawa. Telur akan menetas setelah dua sampai
empat hari yang kemudian menjadi larva. Larva Mansonia sp.
9
memiliki siphon yang berujung lancip dan berwarna gelap. Fase
larva berlangsung selama tiga minggu yang selanjutnya akan
memasuki fase pupa. Pada saat fase pupa, nyamuk ini memiliki corong pernafasan seperti duri dan memiliki sepuluh segmen yang
berbentuk duri. Diperlukan waktu satu sampai tiga hari untuk fase
pupa menjadi fase nyamuk dewasa. Pada fase nyamuk dewasa,
nyamuk betina memiliki ciri pada palpus yang lebih pendek dari betina, sedangkan nyamuk jantan memiliki palpus yang lebih
panjang dari proboscis. Sisik sayapnya yang lebar dan asimetris.
Ujung abdomen nyamuk memiliki bentuk tumpul (Gandahusada dkk, 1998).
Nyamuk Mansonia sp. memiliki aktifitas menggigit pada malam
hari. Faktor abiotik seperti kelembaban udara dan suhu udara sangat berpengaruh terhadap aktifitas nyamuk. Jarak terbang dari nyamuk
Anopheles sekitar 0,5 sampai 3 km (Gandahusada dkk, 1998).
2.1.4 Anopheles sp.
Klasifikasi nyamuk Anopheles sp. Menurut Borror, dkk (1992) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda Classiss : Insecta
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Sub familia : Anophelini Genus : Anopheles
Spesies : Anopheles sp.
Nyamuk Anopheles sp. merupakan vektor dari penyakit Malaria. Nyamuk ini banyak ditemukan pada rawa yang bagian tepinya
ditumbuhi bakau, kobakan, parit, sumur, waduk, muara, bekas
pelepah kelapa dan parit. Habitat ini umumnya diteduhi oleh tanaman peneduh yaitu pohon kelapa, waru dan nipah (Shinta dkk,
2012).
Telur nyamuk Anopheles sp. berbentuk bundar lonjong dan
runcing di kedua ujungnya. Pada bagian bawahnya berbentuk konveks dan bagian atasnya konkaf serta memiliki sepasang
pelampung yang terletak di tengah lateral. Larva nyamuk Anopheles
sp. akan mengapung sejajar dengan permukaan air tidak ada siphon,
10
memiliki spirakel pada bagian posterior abdomen, tergal plate pada
bagian tengah bagiang dorsal abdomen dan bulu plasma pada bagian
lateral abdomen. Nyamuk jantan memiliki ujung palpus yang membesar. Pada bagian pinggir sayap ditumbuhi seperti sisik yang
bergerombol membentuk gradasi hitam dan putih. Nyamuk betina
memiliki venesi sayap kosta dan subkosta. Nyamuk ini
membutuhkan waktu dua sampai lima minggu untuk melakukan sekali siklus hidupnya (Prianto dkk, 2006).
Nyamuk Anopheles sp. memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan jenis nyamuk lainnya. Nyamuk ini memiliki urat sayap yang bersisik, proboscis panjang, tubuh ditutupi oleh
sisik, sisik pada pinggir sayap berubah menjadi jumbai, dan sayap
terdiri dari enam urat sayap yaitu urat sayap dua, empat dan lima bercabang (Achmadi, 2012).
2.1.5 Armigeres sp.
Klasifikasi nyamuk Armigeres sp. menurut Astuti & Marina
(2009) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Classis : Insekta Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Armigeres
Spesies : Armigeres sp.
Nyamuk Armigeres sp. banyak ditemukan pada tempat
penampungan air alami yang di dalamnya terdapat air kotor atau
dengan kandungan bahan organik yang tinggi, seperti balok berlubang, lubang batu, lubang pohon, lubang tunggul, bambu, kapak
pandan, sagu dan tunggangan pisang, kulit buah dan sekam, daun
tumbang, dan pot bunga. Larva nyamuk bersifat karnivora. Nyamuk Armigeres sp. aktif di siang hari dan sering ditemukan di hutan dan
di perkebunan (Kirti & Kaur, 2015).
Nyamuk Armigeres sp. mempunyai peranan sebagai vektor
penyakit menular yaitu Filariasis dan Japanese Encephalitis (JE). Salah satu spesies yang sudah menjadi vektor adalah Armigeres
subalbatus yang dapat menularkan cacing Wuchereria bancrofti ke
manusia. Selain itu, spesies ini juga membawa mikrofilaria Brugia
11
malayi ke manusia sehingga menyebabkan Filariasis. Di Asia,
termasuk Indonesia juga telah dilakukan isolasi JEV dari Anopheles
kochi dan Anopheles subalbatus. Nyamuk ini juga mampu membawa oocyt dan sporozoit Plasmodium gallinaceum dan menularkan
infeksinya terhadap ayam. Armigeres flavus mempunyai perilaku
oviposisi yang khas, nyamuk ini menahan telurnya dengan
menggunakan tungkai kaki belakang (Astuti & Marina, 2009).
2.2 Siklus Hidup Nyamuk
Nyamuk merupakan serangga yang mengalami metamorfosis
sempurna (Holometabola) yang terdiri dari fase telur, fase larva, fase pupa dan fase nyamuk dewasa. Nyamuk membutuhkan waktu
sembilan sampai sepuluh hari untuk metamorfosis dari telur menjadi
nyamuk. Telur nyamuk menetas menjadi larva membutuhkan waktu satu sampai dua hari dengan suhu udara 20-40 ºC. Perkembangan
larva menjadi pupa membutuhkan waktu empat sampai sembilan hari
dengan kisaran suhu udara, tempat, keadaan air dan ketersediaan
makanan yang sesuai. Fase pupa menjadi nyamuk berlangsung selama dua sampai tiga hari. Fase pupa merupakan fase tidak aktif,
sehingga tidak memerlukan makanan untuk selanjutnya menjadi
nyamuk dewasa. Keseluruhan nyamuk memerlukan waktu tujuh sampai 14 hari untuk sekali siklus hidup. Gambaran siklus hidup
nyamuk dapat dilihat pada Gambar 2 (Soegijanto, 2006).
1. Telur
Telur nyamuk umunya memiliki ukuran sekitar 0,5-2 mm dengan
bagian luar dari telur nyamuk (exochorion) terdapat garis-garis yang membentuk kain kasa. Umumnya nyamuk betina dapat menghasilkan
telur hingga 100 butir setelah cukup menghisap darah manusia. Telur
nyamuk dapat bertahan sampai enam bulan pada kondisi tempat yang
kering. Telur-telur tersebut dapat menetas menjadi larva sekitar satu sampai dua hari setelah telur tersebut terendam air (Sutanto, dkk,
2008).
Telur Culex sp. akan berkumpul menjadi satu koloni dan mengapung di permukaan air, sedangkan pada telur nyamuk Aedes
sp. merekat pada dinding kontainer atau tempat penampungan air.
Kemampuan merekatnya telur nyamuk terhadap dinding tersebut seperti lem. Telur nyamuk Aedes sp. memiliki exochorion berbentuk
12
(Hopp & Foley, 2001)
Gambar 2. Siklus hidup nyamuk Aedes sp.
(Sivanathan, 2006)
Gambar 3. Perbedaan larva nyamuk Culex sp., Aedes sp., dan Anopheles sp.
13
garis-garis seperti sarang lebah (Soekirno dkk, 2006). Telur nyamuk
Mansonia sp. terletak berdekatan seperti rakit dengan bentuk telur
yang lancip seperti duri. Telur akan menetas setelah 2 sampai 4 hari yang kemudian menjadi larva (Gandahusada dkk, 1998). Pada telur
Anopheles sp. memiliki bentuk yang bundar lonjong dengan runcing
di kedua ujungnya, sedangkan pada bagian bawahnya berbentuk
konveks dan bagian atasnya konkaf serta memiliki sepasang pelampung yang terletak di tengah lateral (Prianto dkk, 2006).
2. Larva
Larva nyamuk mengalami empat instar, dimana setiap instar akan
mengalami pergantian kulit yang berlangsung setiap dua hari.
Keempat instar tersebut yaitu larva instar I berukuran sangat kecil sekitar 1-2 mm, larva instar II berukuran 2,5-3,5 mm, larva instar III
berukuran 4-5 mm, dan larva instar IV berwarna gelap yang sudah
siap menjadi pupa (Sutanto dkk., 2008). Setiap spesies memiliki ciri yang berbeda. Ciri umum yang dapat membedakan adalah bentuk
siphon larva. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
3. Pupa
Larva nyamuk akan berubah bentuk menjadi bentuk menyerupai
tanda baca koma (,). Pada fase ini dikenal sebagai fase puasa dimana
nyamuk tidak membutuhkan makanan lagi, namun masih membutuhkan oksigen untuk bernafas, sehingga masih terdapat
siphon yang berada pada bagian thoraknya. Pupa akan berenang naik
turun dari bagian dasar ke permukaan air untuk memperoleh oksigen
dengan bantuan alat pernapasannya yang disebut trumpets (American Mousquito Control Assosiation, 2014 dan Sembel, 2009). Perbedaan
jantan dan betina juga belum dapat dilihat dari fase ini. Fase ini akan
berakhir dan menetas menjadi nyamuk dewasa setelah satu sampai dua hari. Secara umum, nyamuk jantan akan menetas terlebih dahulu
dibandingkan dengan nyamuk betina (Natadisastra & Agoes, 2009).
4. Nyamuk Dewasa (Imago) Fase nyamuk dewasa muncul ke permukaan air dalam waktu yang
singkat untuk beradaptasi dan memastikan tubuhnya dalam keadaan
yang kering dan semua bagian tubuhnya akan mengeras. Sayapnya
harus menyebar dan benar-benar kering sebelum bisa terbang (American Mousquito Control Assosiation, 2014).
14
Tabel 1. Perbedaan jenis larva nyamuk Culex sp., Aedes sp.,
Mansonia sp., Anopheles sp., dan Armigeres sp. (Suwito,
2008)
Aedes Anopheles Culex Mansonia Armigeres
Berenang Bebas di
air
Bebas di air Bebas di
air
Bebas di
air
Bebas di
air
Bentuk
Siphon
Besar dan
pendek
serta
terdapat
pectern
teeth pada
siphon
Tidak
mempunyai
siphon
Langsing
dan kecil
tanpa
pectern
teeth
Berujung
lancip,
bergigi dan
berpigmen
gelap
Sangat
pendek,
tanpa
pectern
teeth
Pada
waktu
istirahat
Membentuk sudut 45
º pada
bidang
permukaan
air
Sejajar permukaan
air
Membentuk sudut
dengan
permukaan
air
- -
Habitat Drum,
tempayan,
kaleng
bekas,
pelepah
pohon, dan
lain-lain
Genangan
air di rawa,
sawah,
ladang, dan
lain-lain
Genangan
air kotor
seperti air
comberan,
got, parit,
dan lain-
lain
Tumbuhan
air dekat
dengan
rawa-rawa
Tempat
penampu-
ngan air
alami
seperti
tanah liat
Nyamuk akan kawin dan mencari makan selama 24-36 jam.
Nyamuk betina membutuhkan darah sebagai sumber protein untuk ppematangan telur, sedangkan nyamuk jantan akan mencari makanan
berupa nektar bunga atau tumbuhan sebagai sumber energi yang
diperlukan oleh nyamuk tersebut. Nyamuk membutuhkan waktu
sekitar tujuh sampai 14 hari untuk berkembang dari telur menjadi nyamuk dewasa (Natadisastra & Agoes, 2009). Kondisi istirahat
pada nyamuk Culex sp. dan Aedes sp. akan hinggap dalam keadaan
yang sejajar dengan permukaan, sedangkan nyamuk Anopheles sp.
15
akan hinggap dan membentuk sudut dengan permukaan (Sembel,
2009).
2.3 Perilaku dan Habitat Nyamuk
Nyamuk betina membutuhkan darah untuk sumber protein pada
saat proses pematangan telurn. Hal tersebut yang menyebabkan
nyamuk memiliki kemampuan sebagai vektor penyakit (Supartha,
2008). Nyamuk jantan akan menghisap nektar sebagai sumber glukosa dalam proses pembentukan energi (Natadisastra & Agoes,
2009). Nyamuk umumnya ditemukan pada tempat gelap yang
terlindung dari sinar matahari, dan di air jernih yang tenang. Nyamuk memiliki tempat perindukan di dalam rumah maupun di luar rumah.
Di dalam rumah, nyamuk dapat meletakkan telur di bak mandi,
tempayan, gentong air, ember, dan lain-lain. Apabila di luar rumah, nyamuk dapat meletakkan telur di pot tanaman hias, kaleng bekas,
tempurung kelapa, dan lain-lain. Perkembangbiakan dari telur
menuju larva berlangsung selama dua hari setelah terendam air
(Siregar, 2004 & Soegijanto, 2006). Beberapa nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD antara lain
Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Penyakit kaki gajah (Filariasis)
ditularkan melalui nyamuk Aedes sp., Anopheles sp., Culex sp., dan Mansonia sp. Penyakit Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Ae.
aegypti, Ae. albopictus, Cx. fatigans dan Mansonia sp. Nyamuk Ae.
aegypti banyak ditemukan di rumah dan di bangunan. Tempat
perindukan nyamuk Ae. aegypti terdapat di dalam rumah (Cahyati & Suharyo, 2006).
2.4 Penyakit yang Disebabkan oleh Vektor Nyamuk
Berdasarkan perilaku nyamuk yang menghisap darah, berikut ini
merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektor:
1. Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue. Virus dengue masuk dalam Famili Flaviviridae
Genus Flavivirus. Virus ini terdiri dari empat serotip, antara lain
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotip tersbut memiliki sifat antigen yang saling berkaitan dan persebarannya
sudah ditemukan di Indonesia. DEN-3 diketahui merupakan salah
satu serotip yang paling banyak ditemukan dalam kasus DBD di
16
berbagai daerah yang tersebar di Indonesia sampai menjadi kejadian
luar biasa (KLB). Serotip ini paling dominan dan berhubungan
dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis berat dan penyebab penderita banyak yang meninggal (Soegijanto,
2004). Persebaran virus ini melalui gigitan nyamuk betina dari
spesies Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Kedua spesies nyamuk ini
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia dengan kondisi tropis maupun subtropis maksimal di ketinggian 1000 meter di atas
permukaan air laut (Kristina dkk, 2004), tapi di India ditemukan
nyamuk dengan ketinggian 2121 meter, bahkan di Kolombia juga ditemukan nyamuk pada ketinggian 2200 meter (Chandra, 2010).
Penyakit DBD umumnya dijumpai pada anak berumur di bawah
15 tahun, namun tidak sedikit pula menyerang orang dewasa disertai dengan manifestasi perdarahan, menimbulkan syok yang dapat
menyebabkan kematian (Zulkoni, 2011). Penyakit ini paling banyak
ditemukan pada musim penghujan dan kemarau. Sejak ditemukan
pertama kali pada tahun 1968 hingga saat ini jumlah kasus DBD dilaporkan meningkat dan penyebarannya semakin meluas mencapai
seluruh provinsi di Indonesia (33 provinsi). Penyakit ini seringkali
menimbulkan KLB di beberapa daerah yang memiliki potensi tinggi terjadinya penyakit DBD (KEMENKES RI, 2011).
2. Malaria
Malaria adalah penyakit reemerging, yakni penyakit yang menular kembali secara massal. Vektor penyakit malaria adalah
nyamuk (mosquito borne diseases). Penyakit infeksi ini banyak
dijumpai di daerah tropis, disertai gejala-gejala seperti demam
dengan fluktuasi suhu secara teratur, kurang darah, pembesaran limpa dan adanya pigmen dalam jaringan. Malaria diinfeksikan oleh
parasit bersel satu dari kelas Sporozoa, Genus Plasmodium.
Penyebabnya oleh satu atau lebih dari empat Plasmodium yang menginfeksi manusia: P. falciparum, P. malariae, P. vivax, dan P.
ovale. P. falciparum ditemukan terutama di daerah tropis dengan
resiko kematian yang lebih besar bagi orang dengan kadar imunitas
rendah (Arsin, 2012).
3. Chikungunya
Chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
Chikungunya. Virus Chikungunya adalah Arthopod borne virus yang ditransmisikan oleh beberapa spesies nyamuk. Hasil uji
hemaglutinasi inhibisi dan uji komplemen fiksasi, virus ini termasuk
17
Genus Alphavirus (“Group A” Arthropod-borne viruses) dan Famili
Togaviridae. Sedangkan DBD disebabkan oleh “Group B”
arthrophodborne viruses (flavivirus) (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012).
4. Kaki gajah (Filariasis)
Filariasis adalah penyakit rnenular menahun yang disebabkan
oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, dan Armigeres. Filariasis disebabkan oleh cacing Filaria
yaitu Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi. Di daerah Asia,
penyakit Filariasis kebanyakan disebabkan oleh cacing Brugia malayi dan Brugia timori (Becker dkk, 2010). Cacing Filaria ini
hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik
akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin
(Natadisastra & Agoes, 2009). Pada daerah tropis dan subtropis di
lingkungan pemukiman dan perkotaan, nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. fatigans merupakan vektor utama dari penyakit Filariasis.
Sedangkan di beberapa Kepulauan Pasifik Selatan penyakit
Filariasis disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti yang ditularkan oleh nyamuk Ae. polynesiensis (Becker dkk, 2010).
5. Radang Otak (Encephalitis)
Encephalitis adalah penyakit peradangan pada otak yang menyerang susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh infeksi virus
Japenese encephalitis. Japanese encephalitis adalah infeksi
neurologik yang berkaitan erat dengan St. Louis encephalitis dan
West Nile encephalitis. Virus JE menyebar terutama di daerah pedesaan (rural) di Asia. Virus tersebut disebarkan oleh nyamuk
Culicine. Nyamuk yang paling sering ditemukan sebagai vektor
adalah Cx. tritaeniorhynchus yang dapat menularkan virus JE baik ke manusia maupun ke hewan peliharaan lainnya (Halstead & Jacobson,
2003). Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada
musim hujan saat populasi nyamuk Culex meningkat, kecuali di
Malaysia, Singapura, dan Indonesia (sporadik terutama di daerah pertanian) (Endy & Nisalak, 2002).
18
2.5 Persepsi Masyarakat Terhadap DBD
Persepsi adalah proses seseorang mendapatkan informasi dari
lingkungan sekitar. Persepsi membutuhkan kontak langsung dengan
objek yang terkait dan juga proses kognisi dan afeksi untuk mendapatkannya. Persepsi dapat membantu individu untuk
menggambarkan dan menjelaskan apa yang dilakukan oleh individu
lain. Penafsiran persepsi melibatkan sensasi, atensi, ekspetasi,
motivasi dan memori (Robbins, 2001). Robbins (2001) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi persepsi masyarakat yaitu:
1. Pelaku persepsi Perilaku persepsi terjadi saat seseorang melihat suatu objek
dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya. Penafsiran
tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi.
2. Target atau objek
Karakteristik dari target yang diamati dapat mempengaruhi
hasil persepsi. Target tidak diamati dalam keadaan terisolasi, hubungan target dengan latar belakangnya mempengaruhi
persepsi seperti kecenderungan untuk mengelompokan benda-
benda yang berdekatan atau yang mirip. 3. Situasi
Situasi lingkungan sekitar sangat mempengaruhi persepsi
kita terhadap objek atau target yang diamati.
Persepsi masyarakat merupakan tanggapan seseorang terhadap kumpulan orang yang mendiami suatu tempat dalam kurun waktu
yang lama. Persepsi masyarakat tersebut didapatkan dari kontak
langsung dengan masyarakat. Pengukuran persepsi masyarakat hampir sama dengan pengukuran sikap. Secara ilmiah sikap dan
persepsi dapat diukur dengan angka. Menurut Fikriyah (2016),
terdapat dua metode yang dapat mengukur sikap dan persepsi, yaitu : 1. Self Report
Metode yang menjadikan jawaban seseorang menjadi
indikator sikap seseorang tersebut. Seluruh pertanyaan yang
diajukan harus terjawab, jika seseorang tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, maka tidak dapat diketahui pendapat
atau sikapnya.
19
2. Involuntary Behaviour
Metode ini dilakukan jika memang diinginkan atau dapat
dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap dipengaruhi kerelaan responden.
Penelitian ini menggunakan metode Self report, dimana peneliti
berinteraksi langsung dengan responden dengan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan tentang DBD. Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti harus terjawab semua oleh responden,
karena apabila responden tidak memberikan jawaban, maka peneliti
tdak akan mengetahui bagaimana pendapat maupun sikap dari responden yang bersangkutan.
2.6 Kasus DBD di Kelurahan Bareng Tenes
Kasus DBD di Kelurahan Bareng Tenes mengalami fluktuasi dari tahun 2010 sampai 2015. Kota Malang merupakan salah satu daerah
endemik DBD di Jawa Timur. Pada tahun 2010 diketahui jumlah
kasus DBD mencapai 879 penderita. Pada tahun 2011 diketahui
jumlah kasus DBD menurun menjadi 163 penderitaa. Pada tahun 2012 kasus DBD menurun lagi menjadi 136 penderita. Peningkatan
kasus DBD terjadi pada tahun 2013 dengan 409 penderita. Pada
tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 160 penderita. Pada tahun 2015 terjadi peningkatan kasus DBD dari sebelumnya dengan 298
penderita. Pada bulan Agustus 2016 penderita DBD sudah mencapai
442. Gambaran tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 (Dinas
Kesehatan Kota Malang, 2016). Kelurahan Bareng Tenes merupakan salah satu kelurahan dengan
jumlah penderita DBD yang tinggi untuk setiap tahunnya. Pada tahun
2010 terdapat 83 penderita DBD yang tercatat di Puskesmas Kelurahan Bareng Tenes. Jumlah penderita DBD di Kelurahan
Bareng Tenes terus mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun
2011 jumlah kasus DBD sebanyak 10 penderita. Peningkatan jumlah kasus DBD pada tahun 2012 menjadi 18 penderita dan peningkatan
kembali pada tahun 2013 menjadi 34 penderita. Pada tahun 2014
kasus DBD di puskesmas Kelurahan Bareng menurun menjadi 10
penderita. Pada tahun 2015 mengalami peningkatan jumlah kasus DBD dengan total 23 penderita. Pada bulan Agustus 2016 sudah
terdapat 35 penderita yang tercatat oleh Dinas Kesehatan Kota
Malang. Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan
20
jumlah penderita di Kelurahan lain. gambaran tersebut dapat dilihat
pada Gambar 5 (Dinas Kesehatan Kota Malang, 2016).
(Dinas Kesehatan Kota Malang, 2016)
Gambar 4. Jumlah kasus DBD di Kota Malang
(Dinas Kesehatan Kota Malang, 2016)
Gambar 5. Jumlah kasus DBD di Kelurahan Bareng TenesRW 02
Malang
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 sampai
April 2017 di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 dan Laboratorium
Ekologi dan Diversitas Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang.
3.2 Demografi Wilayah Kelurahan Bareng Tenes RW 02
Kelurahan Bareng Rukun Warga (RW) 02 terletak di Jalan Bareng Tenes, Malang, Jawa Timur. Terdiri dari delapan Rukun
Tetangga (RT). Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Kelurahan
Bareng berjumlah 390 KK dengan penduduknya yang berjumlah
2785 orang. Kelurahan Bareng memiliki luas daerah sekitar 10.650 km
2 dengan ketinggian dataran 4,44 mdpl, suhu udara maksimum-
minimumnya 18-30 0C, curah hujan 44 mm/tahun dan dengan
topografi berbentuk datar sampai berombak (Akaibara, 2016). Lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan rumah dan
lokasi aliran sungai. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
oleh Lestari, dkk. (2009), maka pengambilan sampel larva nyamuk dilakukan di sepuluh lokasi, dimana lokasi tersebut adalah rumah
warga berdasarkan daerah rumah yang dekat sungai.
Tabel 2. Lokasi pengambilan sampel
No Lokasi RT
1 Rumah 1 (di dalam dan di luar) 06
2 Rumah 2 (di dalam dan di luar) 01
3 Rumah 3 (di dalam dan di luar) 02
4 Rumah 4 (di dalam dan di luar) 04
5 Rumah 5 (di dalam dan di luar) 05
6 Rumah 6 (di dalam dan di luar) 03
7 Rumah 7 (di dalam dan di luar) 03
8 Rumah 8 (di dalam dan di luar) 07
9 Rumah 9 (di dalam dan di luar) 07
10 Rumah 10 (di dalam dan di luar) 03
23
Setelah menentukan lokasi pengambilan sampel, hal selanjutnya
yang dilakukan adalah menghubungi pihak Kelurahan Bareng RW
02 yang bersangkutan untuk meminta izin. Setelah diberikan izin, maka langkah selanjutnya adalah melakukan metode penangkapan
larva nyamuk.
3.3 Survei larva
Survei larva dilakukan dengan menggunakan teknik sampling, yaitu mengambil larva dengan menggunakan pipet plastik untuk
mendapatkan larva dari berbagai tempat di wilayah Bareng Tenes
RW 02 pada tempat-tempat yang berpotensi untuk perindukan nyamuk baik di dalam maupun di luar rumah. Lokasi survei larva
ditentukan berdasarkan daerah rumah yang dekat dengan aliran
sungai (Tabel 2). Di dalam maupun di luar rumah dilakukan pemeriksaan tempat penampungan air yang berpotensi sebagai
tempat perkembangbiakan larva nyamuk. Tempat penampungan air
di dalam antara lain bak mandi, ember, tempayan, tempat
penyimpanan air minum/dispenser dan akuarium. Tempat penampungan air di luar rumah antara lain ban bekas, kolam ikan,
kolam air mancur, kaleng bekas, drum bekas, botol bekas, gelas
bekas, dan pot bunga bekas. Larva yang didapatkan, selanjutnya ditempatkan dalam botol dan diberi label serta dibawa ke
laboratorium dan dilakukan pemeliharaan larva nyamuk sebelum
diidentifikasi spesies (Islamiyah dkk, 2013).
3.4 Survei ovitrap
Berdasarkan penelitian Ritchie dkk. (2003), Islamiyah dkk.
(2013) yang menggunakan ovitrap sebagai kontrol populasi nyamuk.
Survei dengan ovitrap dilakukan dengan menggunakan gelas plastik yang memiliki volume 250 mL dan berwarna hitam. Gelas plastik
tersebut memiliki diameter dasar 4,5 cm dan diameter atas 8,5 cm.
Masing-masing gelas plastik tersebut diisi dengan air dengan setinggi
4-4,5 cm. Selanjutnya ditempelkan kertas saring berukuran 5 x 10 cm yang mengelilingi dindingnya sebagai tempat nyamuk meletakkan
telurnya (modifikasi dari Wan-Norafikah, 2012). Jumlah
pemasangan ovitrap pada setiap rumah adalah dua buah. Satu buah di dalam rumah, yaitu di bagian rumah yang gelap misalnya di
bawah lemari, di bawah meja dan lain-lain dan satu lagi di luar
rumah. Karena siklus gonotropik nyamuk rata-rata empat hari maka
24
dalam penelitian ini ovitrap diambil setiap empat hari dan diganti
dengan kertas saring serta air yang baru untuk mencegah adanya
telur yang menumpuk pada kertas saring (Faradillah, 2013). Selain itu dilakukan pergantian air di dalam ovitrap agar telur yang ada di
dalam ovitrap tersebut tidak menetas menjadi larva (Islamiyah dkk,
2013). Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu udara,
kelembaban udara dan intensitas cahaya.
3.5 Pemeliharaan telur dan larva sampai fase imago
Ovitrap yang terdapat telur nyamuk disimpan dan dipelihara
sampai fase imago di laboratorium. Ovitrap ditutup menggunakan kain kasa dan diberi lampu bohlam 10 watt. Bohlam lampu dapat
membantu mempercepat pertumbuhan dari telur yang menetas
menjadi larva dan selanjutnya berkembang menjadi nyamuk. Larva diberi pakan dogfeed yang sebelumnya dihaluskan menggunakan
mortar dan pastle dengan pemberian pakan yang dilakukan satu kali
dalam satu hari. Fase pupa tidak perlu diberi makan karena pada fase
ini pupa tidak aktif. Larva yang telah menjadi nyamuk diambil menggunakan aspirator dan dipindahkan dalam gelas plastik lain.
Nyamuk dibius menggunakan alkohol atau klorofom dan selanjutnya
dipindahkan dalam cawan petri dan dibentuk untuk dilakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan menggunakan mikroskop stereo
dengan buku identifikasi Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (2008).
3.6 Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat tentang vektor penyakit DBD dapat
diketahui dengan memberikan kuisioner sebagai alat pengukurnya.
Populasi masyarakat diketahui dari 390 KK sebanyak 2785 orang, sehingga diperlukan adanya sampel yang mewakili populasi
masyarakat. Responden yang dipilih adalah ibu rumah tangga dengan
pertimbangan mereka sering di rumah dan terlibat langsung
membersihkan rumah. Sampel didapatkan dari metode teknik sampling yang dapat
mengukur atau menentukan jumlah sampel yang jumlahnya sesuai
dengan ukuran yang akan dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat penyebaran populasi agar sampel yang
diperoleh merupakan sampel yang benar-benar mewakili populasi
tersebut (Nawawi, 2001). Penelitian ini dilakukan dengan metode
25
teknik accidental sampilng merupakan teknik pengambilan sampel
yang sebelumnya tidak ditetapkan lebih dahulu respondennya,
namun mengumpulkan data langsung dari tempat sampling yang ditemui (Nawawi, 2001). Jumlah responden yang diambil dapat
menggunakan perhitungan dengan perumusan Slovin. Rumus Slovin
dapat dilihat pada persamaan 1 (Putra dkk, 2013).
…………………………………………………...(1)
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi d = % kelonggaran yang bias ditolerir
Penentuan sampel menggunakan presisi sebesar 10 % (0.1)
dengan tingkat kepercayaan 90%, maka ukuran sampel dapat
ditetapkan sebagai berikut:
responden
Kuisioner berisi tentang pertanyaan mengenai pengetahuan,
sikap dan perilaku masyarakat tentang nyamuk sebagai vektor penyakit DBD. Pedoman butir-butir pertanyaan menggunakan Skala
Likert. Batasan pertanyaan yang ditanyakan antara lain:
1. Pengetahuan tentang penyakit DBD
2. Pengetahuan tentang penyebab (nyamuk dan virus) penyakit DBD
3. Pengetahuan tentang cara pencegahan penyakit DBD
4. Pengetahuan tentang kondisi lingkungan (kebersihan) di Bareng Tenes RW 02
5. Pernah atau tidak pernah menderita penyakit DBD
26
3.7 Analisis data
Data jenis-jenis nyamuk dikumpulkan dengan bantuan
Microsoft Excel yang selanjutnya akan dihitung dengan metode
berikut:
1. Menghitung korelasi antara faktor abiotik dengan kelimpahan
nyamuk
Korelasi Pearson dilakukan dengan program SPSS karena data
yang didapatkan adalah data interval. Analisis bivariat melalui dua
langkah, yaitu penafsitan nilai korelasi (r). Kisaran nilai korelasi Pearson dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria Korelasi Pearson
Nilai r Keterangan
0,00 - 0,25 Tidak ada hubungan/hubungan lemah
0,26 - 0,50 Hubungan sedang
0,51 - 0,75 Hubungan kuat
0,76-1,00 Hubungan sangat kuat
(Dini, 2010)
2. Menentukan Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting digunakan untuk menggambarkan kedudukan ekologis suatu spesies terhadap komunitasnya. Nilai INP
didapat dari penjumlahan Kelimpahan Relatif (KR) dan Frekuensi
Relatif (FR). Kelimpahan didapatkan dengan menggunakan persamaan 2. Kelimpahan relatif didapatkan dengan persamaan 3.
Frekuensi didapatkan dengan persamaan 4. Frekuensi relatif
didapatkan dengan menggunakan persamaan 5. Analisis
menggunakan Microsoft Excel 2007. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk menentukan Frekuensi dan Indeks nilai penting
(Leksono, 2007 dalam Islamiyah dkk., 2013).
………………………………(2)
x 100 %...........(3)
27
………………...(4)
x 100 % ……… (5)
INP= Kelimpahan Relatif (KR) + Frekuensi Relatif (FR)
3. Pengolahan data kuisioner
Data hasil kuisioner dianalisis menggunakan bantuan Microsoft
Excel 2007 yang akan ditampilkan dalam bentuk diagram batang.
Uji korelasi dilakukan untuk validitas data yang diperoleh. Selanjutnya dilakukan analisis dengan persamaan 6 untuk
mendapatkan nilai interpretasi dari Skala Likert (modifikasi dari
Hakim, 2014):
………………………………...(6)
Keterangan: Ai = persepsi untuk butir pertanyaan ke-i a = jumlah responden yang memilih jawaban 4
b = jumlah responden yang memilih jawaban 3
c = jumlah responden yang memilih jawaban 2
d = jumlah responden yang memilih jawaban 1
Tabel 4. Kriteria interpretasi nilai perhitungan
Indeks Kategori
1 < x < 1,64 Tidak paham
1,65 < x < 2,29 Kurang paham
2,3 < x < 2,94 Cukup Paham
2,95 < x < 4 Sangat paham
(modifikasi dari Hakim, 2014)
4. Menghitung kepadatan larva (Jentik)
Kepadatan larva suatu daerah dapat diketahui dengan
menghitung ABJ (angka bebas jentik), HI (house index) dan CI
(container index). Nilai ABJ didapatkan dengan bantuan persamaan
7. Nilai HI didapatkan dengan bantuan persamaan 8. Nilai CI didapatkan dengan bantuan persamaan 9 dan nilai BI didapatkan
28
....(7)
.............(8)
..........(9)
…………..(10)
Tabel 5. Kategori parameter entomologis terhadap resiko penularan DBD
Parameter Entomologis Interpretasi Resiko Penularan
House Index (HI) ≥ 5 % Resiko Tinggi
House Index (HI) ˂ 5 % Resiko Rendah
Countainer Index (CI) ≥ 10 % Resiko Tinggi
Countainer Index (CI) ˂ 10 % Resiko Rendah
Breteau Index (BI) ≥ 50 Resiko Tinggi
Breteau Index (BI) ˂ 50 Resiko Rendah
(WHO dalam Mutiara, 2016)
Tabel 6. Kategori kepadatan jentik
Density
figure
(DF)
House
Index (HI)
Countainer
Index (CI)
Breteau
Index (BI)
Rendah 1 1-3 1-2 1-4
Sed
an
g 2 4-7 3-5 5-9
3 8-17 6-9 10-19 4 18-28 10-14 20-34
5 29-37 15-20 35-49
Tin
ggi 6 38-49 21-27 50-74
7 50-59 28-31 75-99
8 60-76 32-40 100-199
9 ˃77 ˃41 ˃200
(WHO dalam Mutiara, 2016)
29
dengan bantuan persamaan 10. Ketiga indikator tersebut dapat
menentukan suatu daerah memiliki potensi tinggi atau rendah
terhadap penyakit DBD. Semakin tinggi nilai ABJ, maka semakin rendah potensi daerah terhadap penyakit DBD. Semakin tinggi nilai
HI dan CI, maka semakin tinggi pula potensi daerah tersebut
terhadap penyakit DBD (Mubarokah, 2013).
5. Maya Index (MI)
Maya index digunakan untuk memperkirakan daerah yang
berisiko tinggi sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk,
dengan HRI (Hygine Risk Index) dan BRI (Breeding Risk Index) sebagai indikatornya. Kedua indikator tersebut memiliki tiga kriteria
yaitu tinggi, sedang dan rendah yang ditentukan dengan perhitungan
distribusi tertinggi. Kategori MI ditentukan dengan matriks 3x3. HRI dan BRI yang dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai HRI dan BRI dapat
diketahui dengan bantuan perumusan 11 dan 12 (Purnama &
Baskoro, 2012).
1. Hygene Risk Index
………………...
....(11)
2. Breeding Risk Index
…………(12)
Kategori MI dapat dilihat pada Tabel 7 yaitu jika BRI3/HRI3,
BRI3/HRI2, dan BRI2/HRI3 dapat dikategorikan tinggi; sedangkan
BRI1/HRI3, BRI2/HRI2, dan BRI3/HRI1 dapat dikategorikan sedang; apabila BRI1/HRI1, BRI2/HRI1, dan BRI1/HRI2 maka
dapat dikategorikan rendah (Miller dalam Astuti dkk, 2016).
30
Tabel 7. Matriks 3x3 komponen Breeding Risk Index (BRI) dan
Hygene Risk Index (HRI) pada Maya Index (MI)
H
RI
BRI
1
(rendah)
2
(sedang)
3
(tinggi)
1
(rendah)
BRI1/ HRI1
(rendah)
BRI2/HRI2
(rendah)
BRI3/HRI1
(sedang)
2
(Sedang)
BRI1/
HRI2 (rendah)
BRI2/ HRI2
(sedang)
BRI2/ HRI3
(tinggi)
3 (tinggi)
BRI1/
HRI3
(sedang)
BRI2/ HRI3 (tinggi)
BRI3/ HRI3 (tinggi)
(Miller dalam Astuti dkk, 2016)
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Nyamuk yang Ditemukan di Bareng Tenes
Komposisi nyamuk yang ditemukan dari hasil survei selama tiga
minggu di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 terdiri atas tiga spesies.
Ketiga spesies tersebut adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus dan
Culex quinqeufasciatus.
4.1.1 Aedes aegypti
Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti menurut Djakaria (2004)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Ordo : Diptera Familia : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
Gambar 7. Nyamuk Aedes aegypti (imago) hasil survei larva dan ovitrap yang dipelihara di laboratorium
1 mm
32
Nyamuk Ae. aegypti memiliki ciri tubuh berukuran lebih kecil
dan warna tubuhnya lebih coklat dibandingkan dengan nyamuk Ae.
albopictus. Bagian kaki dan abdomennya berwarna hitam dengan belang putih. Ciri khas lain yang membedakan nyamuk ini dengan
Ae. albopictus adalah pada bagian tengah dada (dorsal toraks).
Bagian skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan dua garis putih
sejajar yang berdada di tengahnya dan di bagian kanan dan kirinya terdapat garis lengkung berwarna putih. Hal tersebut dapat dilihat
pada Gambar 7 (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2008 & Getachew dkk., 2015). Nyamuk Ae. aegypti umumnya berkembangbiak pada tempat
penampungan air alami seperti ban bekas, pecahan gelas kaca, pot
bunga dan lain-lain. Tempat istirahat yang paling disukai oleh nyamuk Ae. aegypti adalah di kamar tidur, di dinding permukaan
yang gelap, di dekat lantai dan di permukaan atas dinding yang dekat
dengan langit-langit. Nyamuk betina biasanya beristirahat setelah
memenuhi kebutuhan darah yang diperlukan untuk proses pematangan telur (Chadee, 2013).
Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan beraktifitas dan
beristirahat di dalam ruangan (WHO dalam Arifudin dkk, 2016). Hal tersebut berkaitan dengan sifat nyamuk Ae. aegypti yang menyukai
darah manusia (antrofilik) dan kebiasaan nyamuk yang beristirahat di
tempat gelap, lembab serta tersembunyi di dalam ruangan (Athaillah dkk., 2017). Berdasarkan hasil survei larva dan ovitrap yang
didapatkan tidak menunjang pernyataan tersebut. Nyamuk Ae.
aegypti ditemukan dominan di luar ruangan. Hal tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Saleeza dkk. (2013) menyatakan bahwa larva nyamuk Ae. aegypti ditemukan di luar ruangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rathor dalam Seleeza dkk. (2013)
bahwa larva nyamuk Ae. aegypti ditemukan di tempat penampungan air alami seperti lubang pada pohon, namun masih dekat dengan
manusia. Nyamuk merupakan hewan berdarah dingin, sehingga
kehidupannya bergantung kepada faktor lingkungan (suhu) dan
tempat gelap. Penelitian yang dilakukan oleh Chareonviriyaphap dalam Saleeza dkk. (2013) yang menyatakan bahwa Ae. aegypti dan
Ae. albopictus melakukan perkembangbiakan di luar daripada di
dalam ruangan, walaupun pada umumnya nyamuk Ae. aegypti lebih sering melakukan perkembangbiakan dan aktifitas di dalam ruangan,
sedangkan Ae. albopictus lebih sering melakukan perkembangbiakan
dan makan di luar ruangan.
33
4.1.2 Aedes albopictus
Klasifikasi nyamuk Aedes albopictus menurut Djakaria (2004)
adalah sebagai berikut:
Kigdom : Animalia
Pylum : Arthropoda
Classis : Insecta
Ordo : Diptera Familli : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes albopictus
(
Gambar 8. Nyamuk Aedes albopictus (imago) hasil survei larva
dan ovitrap yang direaring di laboratorium
Nyamuk Ae. albopictus memiliki bagian kaki dan abdomen yang berwarna hitam belang putih. Nyamuk ini biasa ditemukan di
kebun atau pekarangan rumah yang terdapat banyak tanaman.
Nyamuk Ae. albopictus berukuran lebih besar dan lebih hitam dibandingkan nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk ini memiliki ciri khas
garis putih di tengah bagian dada (dorsal toraks). Skutum Ae.
1 mm
34
albopictus berwarna hitam dengan satu garis putih tebal di bagian
tengahnya. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 (Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2008 & Getachew dkk., 2015).
Berdasarkan hasil dari survei larva dan ovitrap, nyamuk Ae.
albopictus tidak ditemukan di dalam ruangan, semua nyamuk Ae.
albopictus ditemukan di luar ruangan. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosa (2007) yang menyatakan bahwa
nyamuk Ae. albopictus cenderung lebih sering beraktifitas di luar
rumah. Hasil ini juga didukung oleh WHO dalam Saleeza dkk (2013) yang menyatakan bahwa nyamuk Ae. albopictus lebih banyak
ditemukan di luar ruangan yang ternaungi vegetasi dengan tempat
perkembangbiakan yang cocok seperti ban bekas, tempat pembuangan sampah lubang pohon, ketiak daun, dan tempurung
kelapa. Nyamuk Ae. albopictus ditemukan dalam tempat
penampungan air alami seperti gelas bekas, kaleng bekas dan pot
bunga serta pada ovitrap (buatan manusia). Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Rao (2010) yang menyatakan
bahwa nyamuk Ae. albopictus ditemukan pada tempat penampungan
air alami dan buatan manusia dengan sisa bahan organik di dalamnya. Kebiasaan menghisap nyamuk Ae. albopictus umumnya
terjadi pada pagi hari di luar rumah. Suhu udara maksimum yang
dibutuhkan untuk Ae. albopictus dapat hidup adalah 25-30 ºC (Straetemans, 2008).
4.1.3 Culex quinquefasciatus
Klasifikasi nyamuk Culex sp. menurut Romoser & Stoffolano
(1998), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Classis : Insecta Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Genus : Culex
Spesies : Culex quinquefasciatus
Nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki tubuh yang berwarna
kecoklatan dan berukuran sedang serta memiliki bintik-bintik putih pada bagian dorsal abdomen. Bagian toraksnya memiliki banyak
35
rambut, tidak seperti spesies Aedes sp. yang memiliki proboscis
berwarna hitam polos. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 9
(Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan, 1989 dan Bhattacharya & Basu, 2016).
Gambar 9. Nyamuk Culex quinquefasciatus (imago) hasil survei larva dan ovitrap yang direaring di laboratorium
Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan subspesies Cx.
pipiens yang terdistribusi secara global. Nyamuk Cx.
quinquefasciatus berkembang biak pada tempat penampungan air artifisial seperti saluran pembuangan air yang terbuka, genangan air
limbah rumah tangga, genangan air tanah, parit dan tempat
penampungan air kecil lainnya. Nyamuk ini termasuk dalam nyamuk nokturnal dengan kebiasaan menggigit pada malam hari. Selain
manusia, nyamuk ini dapat menggigit hewan lain seperti ruminansia,
babi, kelinci, anjing dan amfibia. Perkembangan embrio Cx. quinquefasciatus memiliki pada suhu udara rendah ≤ 12 °C dan
tinggi ≥32 °C untuk hidup (Bhattacharya & Basu, 2016).
Berdasarkan hasil survei larva dan ovitrap, nyamuk Cx.
quinquefasciatus ditemukan di dalam tempat penampungan air di luar ruangan bersamaan dengan Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Hal
1 mm
36
tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saleeza dkk.
(2013) yang menyatakan bahwa Ae. albopictus dan Cx.
quinquefasciatus ditemukan dalam tempat penampungan air artifisial secara bersamaan.
4.2 Kelimpahan Nyamuk yang Ditemukan di Bareng Tenes
Kelimpahan nyamuk yang ditemukan di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 ada tiga spesies yang dilakukan pengambilan sampel
selama tiga minggu. Ketiga spesies tersebut antara lain Ae. aegypti,
Ae. albopictus dan Cx. quinquefasciatus. Spesies nyamuk yang paling mendominasi pada survei ovitrap adalah Ae. aegypti dengan
jumlah kelimpahan sepuluh individu. Hal tersebut didukung dengan
kelimpahan yang didapatkan dengan survei larva 40 individu. Aedes aegypti menjadi dominan di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 karena
lokasi tersebut merupakan daerah perkotaan padat penduduk. Daerah
perkotaan padat penduduk dapat menunjang perkembangbiakan
nyamuk Ae. aegypti. Hal tersebut berkaitan dengan kebutuhan nyamuk betina terhadap darah manusia untuk nutrisi proses
pematangan telur dalam tubuh nyamuk. Hal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 8 dan 9. Hal yang sama ditemukan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Getachew dkk. (2015) bahwa nyamuk Ae.
aegypti lebih sering ditemukan dalam perumahan yang padat
penduduk karena berhubungan dengan kebutuhan nyamuk betina terhadap darah manusia untuk memenuhi nutrisi dalam proses
pematangan telur nyamuk. Darah manusia lebih disukai oleh nyamuk
Aedes sp. karena memiliki asam amino dan ion yang berperan dalam
proses proses oogenesis, pematangan sel telur, pembentukan fat body melalui proses previtelogenik, dan vitellogenik (Mengko & Tuda,
2016). Serotonin dan adrenalin dalam darah manusia diperlukan
untuk merangsang hormon gonadotropik yang diperlukan untuk ovulasi (Palgunadi & Rahayu, 2011).
Perbedaan kelimpahan dari kedua jenis metode dapat
disebabkan perilaku nyamuk lebih menyukai tempat penampungan
air alami sebagai tempat oviposisi. Di dalam tempat penampungan air alami memiliki kandungan bahan organik seperti jamur, dan
bakteri sebagai nutrisi untuk telur nyamuk berkembangbiak. Serta
tempat penampungan air tersebut terletak dalam naungan vegetasi atau tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Tempat
penampungan air dengan dinding yang licin seperti gelas kaca
37
maupun gelas plastik menjadi salah satu kendala saat nyamuk
meletakkan telur (oviposisi), sehingga nyamuk akan menghindari
ovitrap dengan dinding yang licin. Faktor abiotik yang dapat mempengaruhi oviposisi nyamuk adalah suhu udara dan kelembaban
udara. Suhu udara maksimal nyamuk untuk oviposisi yang tinggi
adalah saat suhu udara 25 ºC sedangkan suhu udara minimal nyamuk
dapat oviposisi adalah 30 ºC. kelembaban udara berkisar antara 60-80 % (Reeves, 2004).
Tabel 8. Kelimpahan spesies nyamuk yang diperoleh dari metode
survei ovitrap
Spesies Kelimpahan
(individu)
Aedes aegypti 10
Aedes albopictus 9
Culex quinquefasciatus 2
Total 21
Tabel 9. Kelimpahan spesies nyamuk yang diperoleh dari metode survei larva
Spesies Kelimpahan
(individu)
Aedes aegypti 40
Aedes albopictus 16
Culex quinquefasciatus 3
Total 59
Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara
data interval. Hasil yang didapatkan dari pengukuran faktor abiotik (suhu, kelembaban dan instensitas cahaya) selama tiga minggu antara
lain, nilai korelasi Pearson antara kelimpahan nyamuk dan suhu
udara 0,451 dengan nilai signifikansi 0,012; sedangkan korelasi antara kelimpahan nyamuk dan kelembaban udara 0,026 dengan nilai
38
signifikansi 0,890; dan korelasi antara kelimpahan nyamuk dengan
intensitas cahaya 0,084 dengan nilai signifikansi 0,657 (Tabel 10).
Korelasi antara kelimpahan nyamuk dengan faktor abiotik seperti suhu udara, kelembaban udara dan intensitas cahaya
dihasilkan dari program SPSS 16.0. Nilai signifikansi yang terkecil
hanya terdapat pada korelasi antara suhu udara dengan kelimpahan
nyamuk, sedangkan pada korelasi antara kelembaban udara dengan kelimpahan nyamuk serta intensitas cahaya dengan kelimpahan
nyamuk memiliki nilai signifikansi yang tinggi (mendekati 1). Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai korelasi Pearson antara faktor abiotik dan
kelimpahan nyamuk
Suhu
udara
Kelembaban
udara
Intensitas
Cahaya
Kelimpahan
Nyamuk
Korelasi
Pearson
0,451* 0,026 0,084
Signifikansi 0,012 0,890 0,657
N 30 30 30
*: Signifikansi korelasi pada 0,05
Nilai signifikansi pada suhu udara adalah 0,012 (di bawah
0,05), sehingga dapat disimpulkan adanya korelasi antara suhu dengan kelimpahan nyamuk. Hal yang sama didapatkan pada
penelitian yang dilakukan Sihombing dkk (2015) menyatakan bahwa
antara suhu udara dengan kelimpahan nyamuk DBD memiliki korelasi positif. Semakin tinggi suhu udara, maka akan semakin
banyak kelimpahan nyamuk DBD. Nyamuk merupakan hewan
berdarah dingin yang hidupnya sangat bergantung pada kondisi
lingkungannya. Korelasi kelembaban udara dan kelimpahan nyamuk memiliki
nilai signifikansi 0,890 (diatas 0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara keduanya. Hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing dkk
(2015) yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan
antara kelembaban udara dengan kelimpahan nyamuk DBD.
Pernyataan tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
39
Yanti dalam Dini (2010) yang menyatakan kelembaban udara tidak
berpengaruh terhadap kelimpahan nyamuk, melainkan berpengaruh
terhadap umur nyamuk Ae. aegpti yang merupakan vektor penyakit DBD. Pada kondisi kelembaban di bawah 60 % akan menyebabkan
penguapan air dalam tubuh nyamuk, sehingga dapat memperpendek
umur nyamuk.
Intensitas cahaya dengan kelimpahan nyamuk memiliki nilai signifikansi 0,657 (di atas 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada korelasi yang signifikan diantara keduanya. Penelitian yang
dilakukan oleh Dini (2010) menyatakan bahwa intensitas cahaya dapat berpengaruh terhadap kebiasaan nyamuk mencari makan,
tempat beristirahat ataupun meletakkan telur (oviposisi). Sitorus
dalam Dini dkk. (2010) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya berpengaruh dengan suhu dan kelembaban yang ada di sekitarnya.
Gambar 10. Kelimpahan spesies nyamuk yang ditemukan pada setiap lokasi. Keterangan R1= R1, R2 = R2, R3= R3, R4=,
R5= R5, R6= R6, R7= R7, R8= R7, R9= R9, R10= R10 3, D = Dalam, L = Luar
Kelimpahan nyamuk yang paling tinggi terdapat pada lokasi
R5. Kondisi kelembaban udara 71-85 %, suhu udara 26,3-30,4 ºC
40
dan instensitas cahaya antara 0,237-5530 lux. Reeves (2004)
menyatakan bahwa nyamuk meletakkan telurnya (oviposisi) dengan
kelembaban udara 60-80 %. Semakin tinggi kelembaban udara maka semakin tinggi pula oviposisi nyamuk dan begitu pula sebaliknya,
semakin rendah kelembaban maka akan semakin rendah pula tingkat
oviposisi nyamuk. Selain kelembaban udara, faktor abiotik lain
seperti suhu udara juga berpengaruh dalam proses oviposisi. Suhu udara maksimal oviposisi nyamuk yang tinggi pada suhu udara 25
ºC, sedangkan suhu udara minimal oviposisi nyamuk yang rendah
pada suhu udara 39 ºC (Zen, 2014). Kondisi abiotik pada lokasi tersebut memenuhi syarat oviposisi nyamuk. Selain itu cahaya
matahari yang dapat masuk ke dalam rumah sangat sedikit. Hal
tersebut disebabkan karena letak rumah yang di bawah dan di depan rumah tersebut terdapat rumah yang tinggi, sehingga menghalangi
masuknya cahaya matahari. Bagian kamar sangat gelap dan lembab,
karena bagian dindingnya berbatasan dengan kamar mandi milik
tetangga. Kondisi lokasi R5 dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Lokasi R5
Kelimpahan nyamuk yang paling rendah terdapat pada lokasi
R1, R2 dan R10, tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khasanah (2017), pada lokasi R1 dan R10 merupakan lokasi yang
41
paling banyak ditemukan nyamuk. Perbedaan hasil tersebut dapat
terjadi karena perbedaan waktu pengambilan sampel. Selain itu, titik
peletakan ovitrap dengan titik penangkapan nyamuk berbeda. Berdasarkan faktor abiotik yang telah diukur pada lokasi R1
suhu udara 26,4-34,63 ºC dengan kelembaban udara 71-92 % dan
intensitas cahaya 6610-29660 lux. Pada R10 faktor abiotik suhu
udara berkisar antara 26,53-30,87 ºC, sedangkan kelembaban udara 69-75 % dan intensitas cahaya 15243-69200 lux. Terdapat kolam
yang dapat menjadi tempat penampungan air alami untuk oviposisi
nyamuk. Kolam tersebut didapati banyak larva saat dilakukan survei pendahuluan. Saat dilakukan sampling kolam tersebut dalam keadaan
bersih. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor perbedaan hasil
yang didapatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khasanah (2017).
Lokasi R3 memiliki kondisi kelembaban udara antara 75-85 %,
suhu udara 27,03-29,23 ºC dan intensitas cahaya 7810-27467 lux.
Lingkungan tersebut dapat dijadikan tempat untuk nyamuk melakukan oviposisi. Hasil survei ovitrap dan survei larva
menunjukkan bahwa tidak ada larva maupun telur yang ditemukan
disekitar rumah ini. Hal tersebut dikarenakan rumah ini tergolong bersih. Tidak ada timbunan barang ataupun gantungan baju yang
sangat banyak. Hal tersebut dapat mengurangi kesempatan nyamuk
untuk hinggap atau beristirahat. Halaman depan R1 memiliki berbagai macam tanaman anggrek, namun tidak ditemukan telur atau
larva nyamuk di sekitarnya.
4.3 INP Nyamuk yang Ditemukan di Bareng Tenes
Spesies dominan Ae. aegypti dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 118,06 % yang selanjutnya diikuti oleh Ae. albopictus 58,33
% dan Cx. quinquefasciatus 23,61 % pada metode survei ovitrap
(Gambar 12). Faktor penyebab Ae. aegypti menjadi spesies dominan dikarenakan lokasi penelitian di perumahan padat penduduk yang
terletak di perkotaan. Lokasi perumahan padat penduduk memiliki
letak rumah yang saling berhimpitan dengan jumlah penduduk yang
banyak. Satu rumah dapat berisi dua atau lebih Kartu Keluarga (KK). Hal tersebut memicu proses perkembangbiakan nyamuk yang
semakin meningkat. Semakin banyak penduduk, maka peluang
nyamuk untuk mendapatkan darah sebagai sumber nutrisi untuk pematangan telurnya juga akan semakin tinggi. Jumlah telur yang
42
didapatkan dari ovitrap dipengaruhi oleh warna dan jenis ovitrap.
Ovitrap seperti gelas kaca atau plastik kurang disukai oleh nyamuk
karena memiliki tekstur dinding yang licin, sehingga akan menyulitkan nyamuk untuk melakukan oviposisi (Islamiyah dkk.,
2013).
Survei larva nyamuk di Kelurahan Bareng Tenes RW 02
ditemukan tiga spesies yang sama ditemukan pada metode survei ovitrap, yaitu Ae. aegypti, Ae. albopictus dan Cx. quinquefasciatus.
Ae. aegypti merupakan spesies dominan dengan nilai INP sebesar
103,51 % yang selanjutnya diikuti oleh Ae. albopictus sebesar 69,01 % dan Cx. quinquefasciatus sebesar 27,49 % (Gambar 13). Ae.
aegypti menjadi spesies dominan dikarenakan lokasi penelitian pada
perumahan padat penduduk di perkotaan. Oviposisi nyamuk dipengaruhi oleh kriteria warna dan jenis tempat penampungan air
serta jenis air yang menampung tempat penampungan air tersebut.
Tempat penampungan air yang alami seperti lubang pada pohon,
tetapi masih dekat dengan manusia (Saleeza dkk, 2013). Ae. aegypti dan Ae. albopictus lebih menyukai air bersih seperti air hujan dan air
kran (Chadee, 2013), sedangkan Cx. quinquefasciatus lebih sering
ditemukan pada air yang berpolutan seperti air bekas limbah rumah tangga, air septic tank dll (Bhattacharya & Basu, 2016).
Gambar 12. INP (%) spesies nyamuk dengan metode survei ovitrap di Bareng Tenes RW 02
43
Gambar 13. INP (%) spesies nyamuk dengan metode survei larva di
Bareng Tenes RW 02
Larva nyamuk yang ditemukan di luar rumah dengan metode
survei larva sering ditemukan pada pot bunga yang menampung air
hujan selama lebih dari tiga hari. Pot bunga tersebut dapat berupa pot bunga yang kosong maupun yang terdapat tanaman, sehingga air
menggenang diatas media tanam (tanah). Tempat penampungan air
pot bunga yang berupa piring plastik juga sering ditemukan larva
nyamuk. Selain itu tempat penampungan air lain seperti gelas bekas dan kaleng bekas juga ditemukan larva nyamuk. Survei larva yang
dilakukan di dalam rumah seperti pada bak kamar mandi maupun
gelas bekas yang diletakkan di dalam rumah juga menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk. Larva nyamuk yang ditemukan pada
seluruh tempat penampungan air tersebut adalah larva nyamuk Ae.
aegypti, Ae. albopictus dan Cx. quinquefasciatus.
4.4 Persepsi Masyarakat tentang DBD
Persepsi masyarakat di Kelurahan Bareng Tenes RW 02
dilakukan dengan metode wawancara menggunakan pedoman
wawancara untuk masyarakat. Jumlah responden berdasarkan perhitungan rumus slovin adalah 97 responden. Responden yang
dipilih adalah responden yang sering berada di rumah dengan kisaran
umur sekitar 20-70 tahun. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD dihasilkan nilai Skala Likert 3,08. Pengetahuan masyarakat
tentang nyamuk sebagai vektor penyakit DBD dihasilkan nilai Skala
Likert 2,91. Pengetahuan tentang cara pencegahan DBD dihasilkan
nilai Skala Likert 2,90. Tindakan masyarakat tentang cara
44
pencegahan DBD dihasilkan nilai skala likert 2,89. Penderita DBD di
Kelurahan Bareng Tenes RW 02 didapatkan dengan nilai Skala
Likert 1,80. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.
4.4.1 Pengetahuan penyakit DBD
Pengetahuan masyarakat di Kelurahan Bareng Tenes RW 02
tentang penyakit DBD tergolong sangat baik. Hal itu diketahui
berdasarkan pada nilai Skala Likert 3,08. Masyarakat umumnya telah mengetahui DBD merupakan penyakit menular yang dapat
menyebabkan kematian. Gejala penyakit DBD seperti demam tinggi
secara tiba-tiba selama dua sampai 14 hari, pendarahan pada kulit berupa bintik-bintik merah (petechia), sakit kepala berat, dan nyeri
otot atau sendi. Penyakit akut lainnya juga menunjukkan gejala yang
sama dengan penyakit DBD, sehingga sulit dideteksi. Hal tersebut ditunjang dengan penelitian yang dilakukan oleh Fauzy dkk. (2014)
menyatakan bahwa masyarakat umumnya telah mengetahui bahwa
penyakit DBD merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Gejala-
gejala yang muncul sulit dideteksi karena hampir sama dengan penyakit lain seperti tifus.
Gambar 14. Nilai interpretasi setiap komponen wawancara
45
Penyuluhan atau sosialisasi penyakit DBD kepada masyarakat
Bareng Tenes RW 02 dilaksanakan saat perkumpulan PKK RT
maupun RW. Pihak puskesmas juga sering melakukan penyuluhan ketika ditemukan penderita DBD di Kelurahan Bareng Tenes RW 02
Malang. Hal tersebut disebabkan penyebaran penyakit DBD di suatu
wilayah bisa sangat cepat, maka harus segera dilakukan pencegahan
seperti penyuhulan kepada masyarakat tentang cara pencegahan (Fauzy dkk., 2014).
4.4.2 Pengetahuan tentang nyamuk sebagai vektor DBD
Pengetahuan masyarakat tentang nyamuk sebagai vektor DBD tergolong cukup baik. Hal tersebut diketahui berdasarkan pada nilai
Skala Likert 2,91. Sebagian besar masyarakat telah mengetahui
bahwa nyamuk merupakan vektor dari penyakit DBD dengan ciri-ciri nyamuk DBD seperti pada bagian tubuh dan kakinya terdapat bintik-
bintik putih. Nyamuk aktif pada pagi sampai menjelang sore hari.
sehingga beberapa masyarakat menyimpulkan bahwa tidur siang
sangat berbahawa karena dapat memberi peluang digigit oleh nyamuk DBD. Sedikit masyarakat yang tidak mengatahui bahwa
nyamuk merupakan vektor penyakit DBD, melainkan gejala akut
dari penyakit tifus.
4.4.3 Pengetahuan tentang cara pencegahan DBD
Pengetahuan masyarakat tentang cara pencegahan DBD
tergolong cukup baik. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai Skala
Likert 2,90. Pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan dengan mencegah berkembangbiaknya vektor penyakit DBD yaitu nyamuk.
Saat fase larva, nyamuk hidup di air, sedangkan saat fase dewasa
hidup di udara (Soegijanto, 2006). Pencegahan yang bisa dilakukan adalah mengurangi tempat perkembangbiakan nyamuk. Genangan air
selama lebih dari lima hari dapat menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk.
Nyamuk dewasa memiliki kebiasan beristirahat ditempat gelap seperti gantungan baju, kelambu dan lain-lain. Umumnya masyarakat
telah mengetahui cara pencegahan DBD dengan melakukan gerakan
3M (menutup, menguras, dan mengubur), namun tidak sedikit pula masyarakat yang masih tidak mengetahui tindakan-tindakan yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi penyakit DBD.
46
4.4.4 Tindakan pencegahan DBD
Tindakan masyarakat tentang pencegahan penyakit DBD
tergolong kurang baik. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai Skala
Likert 2,23. Tindakan pencegahan yang dilakukan masyarakat seperti menguras bak mandi dua sampai tiga hari sekali, menggunakan
ember di kamar mandi, menggunakan abate di bak mandi, beberapa
masyarakat menggunakan lotion anti nyamuk, dan tidak
menggantung baju secara berlebihan. Masyarakat umumnya membersihkan rumah di bagian dalam saja, sehingga bagian luar
rumah sering terabaikan. Hal tersebut dapat dilihat dari tempat
penampungan air penampungan air seperti pot bunga, kaleng bekas, gelas bekas dan lain-lain.
Kegiatan kerja bakti para RW 02 dilakukan setiap hari jumat.
Kerja bakti yang dilakukan warga antara lain membersihkan halaman rumah. Kegiatan jumantik di RW 02 dilakukan secara rutin dua
minggu sekali dengan anggota sekitar 20 orang. Tindakan
pencegahan DBD dengan 3M tidak selalu dilakukan dengan baik
oleh masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari tindakan masyarakat yang membuang barang bekas di tempat sampah dengan alasan
nantinya akan diangkut oleh petugas sampah.
Hadi (2013) menyatakan penyakit DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus, sehingga tidak ada pengobatan yang
dapat menghentikan perkembangan virus ini. Oleh karena itu, pihak
medis hanya dapat menghilangkan gejala-gejala yang muncul dari
penderita. Selain itu upaya menghindari hisapan nyamuk juga dilakukan seperti PSN, fogging, larvasida dan 3M.
Program 3M merupakan salah satu program Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) yang dicanangkan oleh pemerintah. Menguras merupakan kegiatan kebersihan yang diantaranya
menyikat bak mandi, bak WC dan lain-lain. Menutup merupakan
kegiatan yang menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dan lain-lain). Mengubur merupakan kegiatan yang
berhubungan dengan menyingkirkan atau memusnahkan barang
bekas (seperti kaleng, ban dan sebagainya). Pengurasan tempat
penampungan air perlu dilakukan secara teratur, minimal seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut.
Istilah lain yang dikenal dengan 3M Plus yaitu kegiatan 3M yang
diperluas dengan cara seperti mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali.
47
Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar. Menutup
lubang pada potongan bambu/pohon dan memasang kawat kasa.
Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai dan
menggunakan kelambu serta memakai obat yang dapat mencegah
gigitan nyamuk Ae. aegypti (Priwahyuni & Ropita, 2014).
4.4.5 Penderita DBD di Kelurahan Bareng Tenes
Penderita DBD di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 tergolong
jarang. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai Skala Likert 1,80.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Malang (2016) Puskesmas Bareng Tenes RW 02 tercatat 35 kasus DBD, sedangkan
saat dilakukan wawancara tidak ada warga Bareng Tenes RW 02
yang terkena penyakit DBD. Hal tersebut dikarenakan penderita DBD yang tercatat bukanlah warga Bareng Tenes RW 02 melainkan
warga lain yang berobat di Puskesmas Bareng Tenes.
Masyarakat umumnya pernah terkena DBD saat masih kecil.
Anak-anak cenderung lebih rentan karena faktor imunitas yang lebih rendah jika dibandingkan oleh dewasa. Penyebaran DBD yang
ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Jika suatu
daerah diketahui adanya serangan penyakit DBD, maka sangat mungkin terdapat penderita lain. Sehingga tindakan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) dan fogging harus dilakukan untuk mencegah
tersebarnya penyakit DBD pada suatu wilayah tersebut (Fauzy dkk.,
2014).
4.5 Kepadatan Larva Nyamuk
Kepadatan larva nyamuk dapat diketahui dengan nilai ABJ, CI,
HI dan BI. Nilai Angka Bebas Jentik (ABJ) didapatkan 30 %, nilai House Index (HI) didapatkan 70 %. Nilai Container Index (CI)
didapatkan 28,05%. Nilai Breteau Index (BI) didapatkan 230. Hal
tersebut dapat dilihat dalam Tabel 11.
Nilai Density Figure di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 Malang menunjukkan kategori kepadatan populasi nyamuk yang tinggi. Hal
tersebut dapat dilihat dari nilai ABJ (30 %) yang kurang dari
standart Depkes (95 %). Nilai tersebut juga tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan nilai ABJ di Kota Tangerang Selatan yaitu
72,7 % (Astuti dkk, 2016) Nilai CI (28,05 %) masih tergolong tinggi
dan kurang dari standart WHO (˂10 %). Nilai CI di daerah ini lebih
48
tinggi dibandingkan dengan nilai CI di Kota Tangerang Selatan yaitu
11,65 % (Astuti dkk, 2016). Faktor yang menyebabkan nilai ABJ dan
CI masih tergolong rendah adalah masih banyaknya ditemukan tempat penampungan air yang menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan
oleh Badrah & Hidayah (2011) di Kabupaten Penajam Paser,
Surabaya menunjukkan bahwa kondisi, jenis dan keberadaan tempat penampungan air yang berhubungan dengan keberadaan larva Ae.
aegypti.
Tabel 11. Hasil perhitungan Angka Bebas Jentik (ABJ), House Index
(HI), Container Index (CI) I dan Beretau Index (BI)
ABJ % HI % CI % BI
30 70 28,05 230
Nilai HI masih tergolong tinggi (70 %) dan kurang dari standart
WHO (˂5 %). Nilai tersebut tergolong sangat tinggi jika
dibandingkan dengan nilai HI di Kota Tangerang Selaan yaitu 27,3 % (Astuti dkk, 2016). Nilai BI juga masih tergolong tinggi (230) dan
kurang dari standart WHO (˂50). Nilai tersebut dangat tinggi jika
dibandingkan dengan BI di Kota Tangerang Selatan yaitu 32,2 (Astuti dkk, 2016). Hal tersebut menunjukkan daerah Kelurahan
Bareng Tenes memiliki resiko tinggi terhadap penyakit DBD.
4.6 Maya Index (MI)
Maya Index (MI) digunakan untuk mengetahui resiko perkembangbiakan nyamuk di tiap lokasi. Nyamuk tersebut diketahui
sebagai vektor dari penyakit DBD. Ketersediaan tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk dalam suatu daerah dapat menunjukkan status kebersihan lingkungan dari daerah tersebut. MI dapat
diketahui dengan bantuan dua indikator, yaitu HRI (Hygene Risk
Index) dan BRI (Breeding Risk Index) yang pengelompokan kategorinya menggunakan perhitungan distribusi tertinggi. Kategori
HRI dan BRI yang sudah didapatkan selanjutnya dianalisis dengan
49
bantuan matriks 3x3 untuk mendapatkan kategori MI (Purnama &
Baskoro, 2012).
Tabel 12. Hasil perhitungan Breeding Risk Index (BRI) tiap rumah
Jumlah
DS
DS positif
larva
Rerata DS
positif
BRI Kategori
R1 0 0 0 0 rendah
R2 0 0 0 0 rendah
R3 0 0 0 0 rendah
R4 0 0 0 0 rendah
R5 5 3 0,6 8,33 tinggi
R6 4 2 0,5 8 tinggi
R7 1 1 1 1 sedang
R8 1 1 1 1 sedang
R9 0 0 0 0 rendah
R10 0 0 0 0 rendah
Tabel 13. Hasil perhitungan Hygene Risk Index (HRI) tiap rumah
Jumlah
CS
CS positif
larva
Rerata CS
positif
HRI Kategori
R1 1 0 0 0 rendah
R2 1 0 0 0 rendah
R3 15 0 0 0 rendah
R4 1 0 0 0 rendah
R5 2 0 0 0 rendah
R6 14 5 0,625 22,4 sedang
R7 12 2 0,25 48 tinggi
R8 0 0 0 0 rendah
R9 1 0 0 0 rendah
R10 3 1 0,125 24 sedang
50
Hasil HRI didapatkan dari pembagian antara jumlah DS di
rumah dengan rata-rata DS di rumah Pada HRI dari kesepuluh
rumah, didapatkan kategori tinggi pada lokasi R7, sedangkan kategori sedang pada rumah R6 dan R10 dan ketujuh lokasi lain
tergolong rendah (Tabel 13). HRI tinggi menunjukkan bahwa
kebersihan lingkungan rumah kurang baik, begitu pula sebaliknya.
Hal tersebut dikarenakan terdapat tempat penampungan air (CS) banyak ditemukan positif larva nyamuk seperti bak kamar mandi dan
pot bunga (Purnama & Baskoro, 2012).
Tabel 14. Pengelompokan tiap rumah dengan kategori Breeding Risk Index (BRI), Hygene Risk Index (HRI) dan Maya Index
(MI)
Hygene Risk Index Breeding Risk Index Maya Index
R1 rendah rendah rendah
R2 rendah rendah rendah
R3 rendah rendah rendah
R4 rendah rendah rendah
R5 rendah tinggi sedang
R6 sedang tinggi tinggi
R7 tinggi sedang tinggi
R8 rendah sedang rendah
R9 rendah rendah rendah
R10 sedang rendah rendah
Kategori HRI dan BRI selanjutnya dikombinasikan untuk mendapatkan nilai kategori Maya Index. Dari sepuluh rumah yang
diperiksa, dua rumah masuk dalam kategori tinggi, satu rumah dalam
kategori sedang dan sisanya termasuk dalam kategori rendah. Kategori rendah terdapat pada R1, R2, R3, R4, R8 dan R10. Kategori
sedang terdapat pada R6 RT 05 dan kategori tinggi terdapat pada
rumah R6 dan R7 (Tabel 14). Hal tersebut dikarenakan pada rumah
R6 dan ditemukan larva pada dalam dan luar rumah. Selain itu, kedua rumah ini sama-sama memiliki tanaman yang banyak yang
memungkinkan banyaknya tempat penampungan ar seperti pot bunga
51
atau piring tatakan pot bunga yang dapat menampung air. Sama
halnya dengan R3 yang memiliki tanaman yang banyak, tetapi di R3
tidak ditemukan larva di luar maupun di dalam rumah. Hal tersebut dapat dikarenakan perbedaan perawatan yang dilakukan. Perawatan
tersebut dapat berkaitan dengan tindakan pencegahan DBD.
Pencegahaan DBD yang tidak dilakukan dengan baik akan
mengakibatkan suatu daerah mampu menjadi potensi tinggi DBD (Purnama & Baskoro, 2012).
Tempat penampungan air di rumah R6 banyak ditemukan berupa
piring plastik yang digunakan sebagai tatakan pot bunga. Pot bunga yang digunakan oleh R6 merupakan pot bunga yang telah memiliki
lubang di bagian bawahnya untuk tempat keluarnya air. Tatakan pot
bunga tidak memiliki lubang, sehingga dapat menjadi tempat penampungan air. Berbeda dengan pot bunga pada lokasi R7. Pot
bunga R7 merupakan kaleng bekas dan ember bekas yang tidak
memiliki lubang di bagian dasarnya, sehingga air yang berlebihan
tidak dapat keluar. Berbeda dengan pot bunga yang ditemukan pada lokasi R3, pada bagian bawah pot bunga terdapat lubang dan tidak
terdapat tatakan pot bunga, sehingga air yang berlebihan dapat
langsung keluar dari pot bunga dan tidak menjadi tempat penampungan air.
Lokasi yang memiliki kategori Maya Index (MI) tinggi dapat
berubah menjadi kategori sedang maupun rendah apabila warga setempat melakukan kontrol pada tempat penampungan air (TPA)
yang berada di sekitar lokasi tersebut. Kontrol yang dilakukan dapat
dengan membersihkan atau membuang benda yang sudah tidak
terpakai namun berpotensi sebagai penampungan air maupun tempat persembunyian nyamuk. Benda-benda tersebut antara lain gelas
bekas, piring bekas dan benda-benda lainnya yang berwarna gelap.
Tindakan 3M plus juga wajib dilaksanakan bagi seluruh warga. Pentingnya tindakan tersebut guna mengurangi nyamuk untuk
melakukan oviposisi, sedangkan bagi lokasi yang memiliki kategori
Maya Index (MI) rendah, warga sekitar harus tetap mempertahankan
kondisi.tersbut.
52
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Komposisi nyamuk yang ditemukan di Kelurahan Bareng Tenes
RW 02 adalah Ae. aegypti, Ae. albipictus dan Cx. quinquefasciatus.
Ae. aegypti menjadi spesies dominan dengan nilai INP 118,06 % pada survei ovitrap dan 103,51 % pada survei larva. Pengetahuan
masyarakat di Kelurahan Bareng Tenes RW 02 tentang DBD
tergolong cukup, namun tindakan pencegahan DBD masih kurang maksimal karena angka bebas jentik masih 30 % (kurang dari
standart Depkes). Kepadatan jentik di lokasi ini tergolong tinggi
dengan nilai HI, CI dan BI yang kurang dari standart WHO. Hasil Maya Index terdapat dua lokasi yang berpotensi lokasi tinggi DBD,
yaitu pada lokasi rumah R6 RT 03 dan R7 RT 03.
5.2. Saran
Peneliti selanjutnya dapat membandingkan ovitrap alami dan
buatan pada tempat yang sama. Selain itu lokasi sampel yang diambil
dapat diperluas untuk mendapatkan data yang lebih akurat.
53
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2012. Manajemen penyakit berbasis wilayah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Akaibara, 2016. Profil Kelurahan Bareng, Kecamatan Klojen, Kota
Malang. http://ngalam.co/2016/02/15/profil-kelurahan-bareng-
kecamatan-klojen-kota-malang/. Diakses 01 November 2016. American Mousquito Control Assosiation. 2014. Life cycle.
http://www.mosquito.org/life-cycle. Diakses 11 Oktober 2016.
Arifudin, M., Adrial, & S. R. Rusjdi. 2016. Survei larva nyamuk Aedes vektor Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Kuranji
Kecamatan Kuranji Kotamadya Padang Provinsi Sumatera
Barat. Jurnal Kesehatan andalas 5(1): 60-66. Arsin, A. A. 2012. Malaria di Indonesia tinjauan aspek
epidemiologi. Masagena Press. Makassar.
Astuti, E. P., & R. Marina. 2009. Oviposisi dan perkembangan
nyamuk Armigeres pada berbagai bahan kontainer. Jurnal Aspirator 1(2): 87-93.
Astuti, E. P., H. Prasetyowati, & A. Ginanjar. 2016. Risiko penularan
Demam Berdarah Dengue berdasarkan Maya Indeks dan Indeks Entomologi di Kota Tangerang Selatan, Banten. Jurnal
Media Litbangkes 26(4) : 211-218.
Athaillah, F., S. P. Br. Hasibuan & Eliawardani. 2017. Identifikasi dan distribusi nyamuk Aedes vektor penyebab Demam
Berdarah Dengue (DBD) di dalam Kampus Universitas Syiah
Kuala. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Veteriner 1(2): 136-147.
Badrah, S. & S. Hidayah N. 2011. Hubungan antara tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dengan kasus Demam
Berdarah Dengue di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam
Kabupaten Penajam Paser Utara. Journal Tropical of Pharmacy Chemical 1(2): 153-160.
Becker, N., D. Petric, M. Zgomba, C. Boase, M. Madon, C. Dhal &
A. Kaiser. 2010. Mosquitoes and their control. Springer.
London. Bhattacharya, S. & P. Basu. 2016. The southern house mosquito :
Culex quinquefasciatus profil a smart vector. Journal of
entomology and Soology studies 4(2): 73-81. Borror, D.J., Charles A.T., & Norman, F.J.1992. Pengenalan
pelajaran serangga. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
54
Cahyati, W. H. & Suharyo. 2006. Dinamika Aedes aegypti sebagai
vektor penyakit. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2(1): 11-15.
Cambridge University Press. 2009. Introduction to mosquites (Culicidae). http://www.cambridge.com. Diakses 10 Oktober
2016.
Chadee, D. D. 2013. Resting behaviour of Aedes aegypti in Trinidad:
with evidence for the re-introduction of indoor residual spraying (IRS) for dengue control. Biology Medical Central
6(1): 255-261.
Chandra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: epidemiologi, patogenesis, dan faktor risiko penularan. Aspirator 2(2): 110-
119.
Dinas Kesehatan Kota Malang. 2016. Data penderita Demam
Berdarah Kota Malang. Dinas Kesehatan Kota Malang.
Malang.
Dini, A. M. V., R. N. Fitriany, & R. A. Wulandari. 2010. Faktor
iklim dan angka insiden Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Serang. Jurnal Makara Kesehatan 14 (1) : 37-45.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 1989. KunciiIdentifikasi Culex jentik dan
dewasa di Jawa. Depatemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2008. Kunci identifikasi nyamuk Aedes.
Depatemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penehatan
Lingkungan, 2012. Pedoman pengendalian Demam
Chikungunya Edisi 2. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
Djakaria, S. 2004. Pendahuluan entomologi parasitologi
kedokteran edisi ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
Endy, T.P. & A. Nisalak. 2002. Japanese encephalitis virus: ecology
and epidemiology. Journal Curr Topical Microbiol Immunol 26(7): 11- 47.
Faradillah, F. 2013. Kajian siklus biologik dan siklus gonotropik
nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan Wonosobo. Jurusan
Kesehatan Ilmu Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang. Skripsi.
55
Fauzy, S., Z. Sugiyanto, & Nurjanah. 2014. Persepsi masyarakat
terhadap risiko DBD dan cara pencegahannya di Kelurahan
Sedangmulyo Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun 2014. Artikel Ilmiah
http://eprints.dinus.ac.id/6616/1/jurnal_13180.pdf. Diakses 27
Mei 2017.
Ferry, E. & Makhfudli, 2009. Keperawatan kesehatan komunitas. Salemba medika. Jakarta.
Fikriyah, N. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
persepsi keselamtan mengendarai sepeda motor pada siswa di Sekolah Menengah Atas Kota Depok. Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah. Jakarta. Skripsi. Gandahusada, S., H.H. Ilahude & W. Pribadi. 1998. Parasitologi
kedokteran edisi 3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Getachew, D., H. Tekie, T. Gebre-Michael, M. Balkew, & A.
Mesfin. 2015. Breeding Sites of Aedes aegypti: Potential Dengue vectors in Dire Dawa, East Ethiopia. Hindawi
Publishing Corporation Interdisciplinary Perspectives on
Infectious Diseases Article ID 706276. Guerdan, B. R. 2010. Dengue Fever/Dengue hemorrhagic fever.
American Journal of Clinica Medicine Spring 7(2): 51-53.
Hadi, U. K. 2013. Antisipasi Gigitan Nyamuk Aedes aegypti dengan Lotion Tolak Nyamuk. Publikasi Tertulis Program Komunikasi
Soffell 2013.
Hakim, L. 2014. Etnobotani dan manajemen kebun-pekarangan
rumah : ketahanan pangan, kesehatan dan agrowisata. Selaras. Malang.
Halstead, S.B & J. Jacobson. 2003. Japanese Encephalitis. Advances
Virus Research 61(1): 103-138. Hopp, N. & J. Foley. 2001. Global sale relationship between climate
and the Dengue Fever Vector Aedes aegypti. Climate Change
48(1): 441-463.
Howard, C. R. 2005. Viral haemorrhagic fevers. Journal Elsevier Prespective Medical Virology 11(7): 205-210
Islamiyah, M., A. S. Leksono & Z. P. Gama. 2013. Distribusi dan
komposisi nyamuk di wilayah Mojokerto. Jurnal Biotropika 1(2): 80-85
KEMENKES RI. 2011. Modul pengendalian Demam Berdarah
Dengue. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
56
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta.
Kirti, J. S. & S. Kaur. 2015. Prevalence and distrıbutıon of Armigeres subalbatus (Coquıllett) in Punjab. International
Journal of Fauna and Biological Studies 2(3): 44-47
Kristina, Isminah, & Wulandari L. 2004. Kajian masalah kesehatan
Demam Berdarah Dengue. http://www.litbang.depkes.go.id. Diakses 13 Mei 2016.
Lestari, B.D., Zulfaidah, P.G., & Brian R. 2009. Identifikasi nyamuk
di Kelurahan Sawojajar Kota Malang. http://www.academia.edu. Diakses 10 November 2016.
Mengko, S. & J. S. B. Tuda. 2016. Deteksi porfirin besi pada pakan
darah nyamuk liar antropofilik menggunakan uji benzidine. Jurnal e-Biomedik (eBm) 4(2): 1-7.
Michigan Mosquito Control Association. 2002. Michigan Mosquito
Manual. http://www.mimosq.org. Diakses 10 November 2016.
Mubarokah, R. 2013. Upaya peningkatan Angka Bebas Jentik
Demam Berdarah Dengue (ABJ-DBD) melalui
penggerakan juru pemantau jentik (jumantik) di RW I
Kelurahan Danyang Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan Tahun 2012. Jurusan Ilmu Kesehatan Fakultas
Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Skripsi. Mutiara, H. 2016. Analisis spasial kepadatan larva, Maya Index
dan kejadian Demam Berdarah Dengue. Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang. Skripsi.
Natadisastra, D & Agoes, R., 2009. Parasitologi kedokteran
ditinjau dari organ tubuh yang diserang. EGC. Jakarta.
Nawawi, H. 2001. Metode penelitian bidang sosial. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta. Khasanah, N. L. N. 2017. Komposisi dan Sebaran Spasial
Nyamuk Diural di Perumahan Padat Penduduk Bareng
Tenes Malang. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. Malang. Skripsi.
Palgunadi, S. U., & A. Rahayu. 2011. Aedes aegypti sebagai vektor
penyakit Demam Berdarah Dengue. Jurnal e-library Medical Faculty Wijaya Kusuma Surabaya University 2(1): 1-
6.
57
Prianto, J., Tjahaya & Darwanto. 2006. Atlas parasitologi
kedokteran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Priwahyuni, Y. & T. I. Ropita. 2014. Perilaku masyarakat tentang Menguras, Menutup, Mengubur (3M) plus terhadap bebas
jentik. Jurnal Kesehatan Komunitas 2(4): 154-157.
Purnama, S. G. & T. Baskoro. 2012. Maya Index dan kepadatan
larva Aedes aegypti terhadap infeksi Dengue. Jurnal Makara Kesehatan 16(2) : 57-64.
Putra, R. A. Suprayogi, & S. Kahar. 2013. Aplikasi SIG untuk
penentuan daerah quick count pemilihan kepala daerah (Studi Kasus : pemilihan walikota Cirebon 2013, Jawa Barat). Jurnal
Geodesi Undip 2(4): 1-12.
Rao, B. S. 2010. Larval habitats of Aedes albopictus Skuse in rural
areas of Calicut, Kerela, India. Journal of Vector Borne
Diseases 47: 175-177.
Reeves, W. K. 2004. Oviposition by Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in relation to conspecific larvae infected with
internal symbiotes. Journal of Vector Ecology 1(1): 159-163.
Ritchie, S. A., S. Long, A. Hart, C. E. Webb & R. C. Russell. 2003. An aulticidal sticky ovitrap for sampling container-breeding
mosquitoes. Journal of the American Mosquito Control
Association 19(3): 235-242. Robbins, S. 2001. Perilaku Organisasi. PT. Indeks Gramedi.
Jakarta.
Romoser, W. S. & Stoffolano, J. G. 1998. The science of
entomology (fourth edition). McGraww Hill Company. Singapore.
Rosa, E. 2007. Studi tempat perindukan nyamuk vektor Demam
Berdarah Dengue di dalam dan di luar rumah di Rajabasa Bandar Lampung. Jurnal Sains MIPA 13(1): 57 – 60.
Saleeza, S. N. R., Y. Norma-Rashid & M. S. Azirun. 2013. Mosquito
species and outdoor breeding place in residential areas In
Malaysia. Southeast Asian Journal Tropical Medical Public Health 44(6): 963-969.
Sembel, D.T. 2009. Entomologi kedokteran. CV. Andi Offset.
Yogyakarta. Shinta, S. Sukowati & Mardiana. 2012. Bionomik vektor malaria
nyamuk Anopheles sundaicus dan Anopheles letifer di
58
Kecamatan Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau. Jurnal
Buletin Penelitian Kesehata, 40(1): 19 – 30.
Sholichah, Z. 2009. Ancaman nyamuk Culex sp. yang terabaikan. Jurnal BALABA 5(1): 21-23.
Sihombing, G. F., I. Marsaulina & T. Ashar. 2015 . Hubungan curah
hujan, suhu udara, kelembaban udara, kepadatan penduduk dan
luas lahan pemukiman dengan kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Malang periode tahun 2002-2011. Jurnal
Universitas Sumatera Utara 3(1): 1-9.
Siregar, F. A. 2004. Epidemiologi dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmfazidah3.pdf.
Diakses 23 Mei 2016. Sivanathan. 2006. Ekologi dan biologi Aedes aegypti (L) dan Aedes
albopictus (Skues) (Diptera:Culicidae) dan status
keterpaparan Aedes albopictus (Strain Lapangan) terhadap
Organofosfat di Pulau Pinang Malaysia. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Malaysia. Malaysia. Tesis.
Soegijanto, S. 2004. Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press. Surabaya.
Soekirno, M., Y. Ariati & Mardiana. 2006. 13 Provinsi di Indonesia.
Jenis-jenis nyamuk yang ditemukan Di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal 3. St. Louis Encephalitis
Ekologi Kesehatan 5(1): 356 – 360.
Straetemans, M. 2008. Vector-related risk mapping of the
introduction and establishment of Aedes albopictus in Europe. Eurosurveillance 13(7): 1-3.
Subekti. R. M. 2005. Daya bunuh Bacillus thuringiensis isolat
Sampang Madura terhadap berbagai instar larva nyamuk Aedes aegypti. Universitas Brawijaya. Malang. Skripsi.
Supartha, I.W. 2008. Pengendalian terpadu vektor virus Demam
Berdarah Dengue Aedes aegypti (Linn) dan Aedes albopictus
(Skuse) (Diptera: Culicidae). http://dies.undud.ac.id. Diakses 10 Desember 2016.
Supranelfy, Y., H. Sitorus & R.I. Pahlepil. 2012. Bionomik nyamuk
Mansonia dan Anopheles di Desa Karya Makmur, Kabupaten Oku Timur. Jurnal Ekologi Kesehatan 11(2): 158 -166.
Sutanto, I, Ismid, I.S, Sjarifuddin, P.K, & Sungkar, S. 2008. Buku
ajar parasitologi kedokteran. FKUI. Jakarta.
59
Suwito, A. 2008. Nyamuk (Diptera: Culicidae) Taman Nasional
Boganinani Wartabone, Sulawesi Utara: keragaman, status dan
habitatnya. Jurnal Nasional Zoo Indonesi 17(1): 27-34. Tim Pencegahan DBD Departemen Kesehatan RI. 2004. Perilaku
dan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti sangat penting
diketahui dalam melakukan kegiatan pemberantasan sarang
nyamuk termasuk pemantauan jentik berkala. Buletin Harian. http://www.depkes.go.id. Diakses 13 Mei 2016.
Wan-Norafikah, O., W. A. Nazni, S. Noramiza, S. Shafa`Ar-
Ko`Ohar, S. K. Heah, A. H. Nor-Azlina, M. Khairul-Asuad & H. L. Lee. 2012. Distribution of Aedes mosquitoes in three
selected localities in Malaysia. Jurnal Sains Malaysiana
41(10): 1309-1313. Zen, S. 2014. Kemelimpahan dan aktivitas menggigit nyamuk Aedes
sp pada daerah endemis Demam Berdarah Dengue di Kota
Metro, Lampung. Jurnal Bioedukasi 5(2): 151-155.
Zulkoni, A. 2011. Parasitologi. Nuha Medika. Yogyakarta.