13
Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya) "Dari pertambangan pasir besi yang merupakan terbesar di Asia Tenggara ini, diharapkan menambah pendapatan asli daerah (PAD) Kulonprogo sebesar Rp1 triliun setiap tahun. Saya berharap penerus saya nanti meneruskan proyek pasir besi dan rencana pembangunan pelabuhan Adi Karta yang sudah ditunggu-tunggu masyarakat maupun investor," (Toyo S. Dipo, Mantan Bupati Kulon Progo) 1 “Hati kami sudah terlanjur terluka oleh pendekatan pemerintah dan pihak investor yang salah sejak awal. Mereka tidak menggunakan car-cara persuasif. Bahkan kami yang tinggal di selatan jalan Daendles, dari Trisik sampai timur Sungai Serang, diperlakukan seperti layaknya “Gepeng” (gelandangan dan pengemis-pen) yang harus disingkirkan.” (Supriadi, Ketua PPLP) 2 Pengantar Paska tumbangnya rezim Orde Baru, opsi desentralisasi adalah keniscayaan yang tak terhindarkan dari demokratisasi politik bagi terwujudnya otonomi masyarakat maupun perluasan partisipasinya di tingkat lokal. Selain bisa mereduksi inefisiensi pembangunan yang sentralistis, desentralisasi bisa mengalihkan lokus perumusan kebijakan publik dari bebadan pemerintah pusat ke pemerintah lokal, untuk membuka peluang yang jauh lebih lebar bagi demokrasi yang substansial. Proses demokratisasi selama tiga belas tahun tak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Implementasi otonomi daerah—paska kejatuhan Soeharto dan pemilu 1999 itu—telah melahirkan gelombang balik. Banyak kasus menunjukkan perumusan kebijakan publik di daerah tidak menunjukkan tingkat sensitifitas kepentingan masyarakat. 3 Kebijakan lebih berpihak dan menguntungkan para elit politik predatoris di tingkat lokal. 4 Mereka adalah individu dan kelompok yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal dan para birokrat sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun secara politik adalah para koneksi bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek dan penegak rezim. 5 1 Proyek Pasir Besi Harus Diteruskan dalam Kedaulatan Rakyat, 09 Agustus 2010. 2 Transkrip wawancara dengan Supriyadi pada 12 Juni 2011. 3 Baca Purwo Santoso dan Tri Susdinarjanti, Konflik dalam Perumusan Kebijakan Publik: Potret Persilangan Kepentingan dalam Menata Peradaban dalam Triyono, Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia; Yogyakarta: CSPS Books, 2004, hlm.263-287. 4 Aniruddha Dasgupta dan Victoria A. Beard, Community Driven Development, Collective Action and Elite Capture in Indonesia dalam Development and Change, 2007. hlm. 232 5 Vedi Hadiz, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neoinstitutionalist Perspective” dalam Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm.100. * AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 1 * Penulis adalah asisten Peneliti pada Pusat Studi Pedesaan & Kawasan UGM dan konsultan pada Kaldera Institute, AB.Widyant a, S.Sos, MA Oleh: Institute for Sustainable Development. Kontak: [email protected]; laman untuk artikelnya: spotakerblank.blogspot.com

Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo: Anatomi, Eskalasi, Resolusinya - AB. Widyanta

  • Upload
    ugm

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo

(Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya)

"Dari pertambangan pasir besi yang merupakan terbesar di Asia Tenggara ini,

diharapkan menambah pendapatan asli daerah (PAD) Kulonprogo sebesar Rp1 triliun setiap tahun. Saya berharap penerus saya nanti meneruskan proyek pasir besi

dan rencana pembangunan pelabuhan Adi Karta yang sudah ditunggu-tunggu masyarakat maupun investor,"

(Toyo S. Dipo, Mantan Bupati Kulon Progo)1

“Hati kami sudah terlanjur terluka oleh pendekatan pemerintah dan pihak investor yang salah sejak awal. Mereka tidak menggunakan car-cara persuasif.

Bahkan kami yang tinggal di selatan jalan Daendles, dari Trisik sampai timur Sungai Serang, diperlakukan seperti layaknya “Gepeng”

(gelandangan dan pengemis-pen) yang harus disingkirkan.” (Supriadi, Ketua PPLP)2

Pengantar Paska tumbangnya rezim Orde Baru, opsi desentralisasi adalah keniscayaan yang tak

terhindarkan dari demokratisasi politik bagi terwujudnya otonomi masyarakat maupun perluasan partisipasinya di tingkat lokal. Selain bisa mereduksi inefisiensi pembangunan yang sentralistis, desentralisasi bisa mengalihkan lokus perumusan kebijakan publik dari bebadan pemerintah pusat ke pemerintah lokal, untuk membuka peluang yang jauh lebih lebar bagi demokrasi yang substansial. Proses demokratisasi selama tiga belas tahun tak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Implementasi otonomi daerah—paska kejatuhan Soeharto dan pemilu 1999 itu—telah melahirkan gelombang balik. Banyak kasus menunjukkan perumusan kebijakan publik di daerah tidak menunjukkan tingkat sensitifitas kepentingan masyarakat.3 Kebijakan lebih berpihak dan menguntungkan para elit politik predatoris di tingkat lokal.4 Mereka adalah individu dan kelompok yang sebelumnya berfungsi sebagai operator-operator lokal dan para birokrat sisa Orde Baru—dari yang kecil sampai ukuran menengah, namun secara politik adalah para koneksi bisnis yang berambisi besar, juga sederetan mantan antek dan penegak rezim.

5

1 Proyek Pasir Besi Harus Diteruskan dalam Kedaulatan Rakyat, 09 Agustus 2010. 2 Transkrip wawancara dengan Supriyadi pada 12 Juni 2011. 3 Baca Purwo Santoso dan Tri Susdinarjanti, Konflik dalam Perumusan Kebijakan Publik: Potret Persilangan Kepentingan dalam Menata Peradaban dalam Triyono, Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia; Yogyakarta: CSPS Books, 2004, hlm.263-287. 4 Aniruddha Dasgupta dan Victoria A. Beard, Community Driven Development, Collective Action and Elite Capture in Indonesia dalam Development and Change, 2007. hlm. 232 5 Vedi Hadiz, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neoinstitutionalist Perspective” dalam Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm.100.

*

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 1

* Penulis adalah asisten Peneliti pada Pusat Studi Pedesaan & Kawasan UGM dan konsultan pada Kaldera Institute,

AB.Widyanta, S.Sos, MAOleh:

Institute for Sustainable Development. Kontak: [email protected]; laman untuk artikelnya: spotakerblank.blogspot.com

Dengan mengatasnamakan otonomi daerah, distribusi pemerataan kesejahteraan, elit-elit lokal berpolah persis seperti rezim otoritarian yang pernah berkuasa pada masa sebelumnya.6 Proses otonomi daerah banyak ditandai dengan terjadinya eksploitasi sumberdaya alam—khususnya sumberdaya yang tak terbaharui. Selain ditandai dengan degradasi lingkungan,7 semarak otonomi daerah juga dicirikan dengan beraneka kasus konflik struktural maupun horisontal di tingkat lokal. Berdalih “mengejar peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kemaslahatan rakyat”, elit-elit penguasa berkeras menyiasati berbagai barrier kebijakan dan mengabaikan warga demi terbangunnya “jalur bebas hambatan” untuk keterlibatan private sector (asing) dalam industri ekstraksi.

Tulisan ini akan menelisik konflik sumberdaya alam, mega proyek tambang pasir besi di Kabupaten Kulon Progo, yang dari hari ke hari semakin eksalatif. Resistensi politik rakyat, khususnya rakyat yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), tak bisa dihindarkan lagi. Tanpa takaran dialog memadai, kerasnya kebijakan yang bersikukuh merealisasikan proyek, semakin menyulut resistensi politik rakyat. Resistensi rakyat pun bermanifestasi menjadi konflik terbuka hingga berujung kekerasan. Malang tak dapat ditolak, konflik kekerasan pun menjadi penanda proses demokratisasi, dimana rakyat mengambil posisi tawar yang tegas terhadap dominasi para elit penguasa dan pengusaha berikut aktor-aktornya di tingkat basis.

Tulisan berupaya memetakan konflik yang telah berlangsung sekitar lima tahun, tanpa adanya tanda-tanda penyelesaian akhir dan justru semakin ekskalatif. Dengan mengacu pada pemetaan konflik Paul Wehr, bagian pertama tulisan akan mengilustrasikan konteks situasi yang melatarbelakangi konflik. Berbagai pihak yang terlibat (baik yang langsung dan tidak langsung, serta yang terkait upaya perdamaian) dan isu-isu atau persoalan utama sebagai obyek konflik pun turut terpapar di bagian ini. Pada bagian kedua, secara historis tulisan akan mengetengahkan eskalasi konflik itu sampai situasi terkini. Pada bagian ketiga, tulisan akan memapar berbagai peluang bagi resolusi konflik. Pada bagian keempat, tulisan akan mengakhiri uraian dengen memberikan beberapa catatan kritis, tanpa mengabaikan pembacaan atas peristiwa termutakhir seputar peta politik paska terpilihnya bupati baru di Kabupaten Kulon Progo.

Selain ditempuh melalui kajian pustaka dan penelusuran pemberitan dari sejumlah media massa, tulisan juga dilengkapi dengan hasil wawancara penulis dengan sejumlah narasumber yang terkait dalam konflik tambang pasir besi Kulon Progo.

Prahara-Berkepanjangan di Pesisir Kulon Progo Setelah berlangsung sekitar lima tahun, 2006-2011, kabar samar itu akhirnya berujung pada konflik kekerasan. Pada awal tahun 2006, warga pesisir pantai di empat kawasan kecamatan—Temon, Wates, Panjatan, dan Galur—Kulon Progo menganggap rencana penambangan dan pengolahan pasir besi hanya sebatas kabar angin belaka. Tak pernah terbayang di benak warga yang tersebar di pesisir sepanjang 22 km itu bahwa kawasan mereka akan dijadikan ajang penambangan pasir besi oleh pemerintah dan swasta.

Selain karena telah bersusah payah mengubah hamparan pasir-tandus menjadi lahan subur pertanian selama tidak kurang dari 2 dekade, warga memiliki dua aturan penjamin-kuat yang bisa menepis simpang siur kabar itu. Dua aturan itu adalah: pertama, Perda No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Kab. Kulon Progo yang menjelaskan bahwa sepanjang pantai selatan Kulonprogo ditetapkan sebagai kawasan perikanan pantai dan laut, dan kawasan pesisirnya sebagaian ditetapkan sebagai kawasan pertanian lahan kering; dan kedua, Surat Pakualam IX, No X/PA/2003 pint 1 huruf a, yang menyatakan bahwa PA Ground dapat dikembangkan untuk

6 Leo Agustino, Dinasti Politik Pasca-Otonomi Orde Baru: Pengalaman Banten dalam dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010, hlm. 102. 7 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Sentralisasi; Bandung: Widya Padjadjaran, 2011, hlm. 118.

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 2

kegiatan pertanian lahan pasir dan pariwisata.8 Selain itu tercantum juga klausul yang berbunyi: tidak diijinkan mengubah sifat fisik dan hayati seperti untuk penambangan pasir, dan ada sanksi terhadap pelanggar.9

Berita seputar rencana tambang besi di pesisir Kulon Progo yang kian santer tersiar di sejumlah kelompok tani dan dan mimbar-mimbar masjid desa menimbulkan keresahan masyarakat pesisir pantai. Sejumlah warga dari 4 kecamatan (Galur, Panjatan, Temon, dan Wates) yang mencakup 10 desa (Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan, Jangkaran dan Karangwuni) pun mengorganisir diri dan membentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP) pada 1 April 2006. Di-sesepuhi oleh salah seorang adik Sri Sultan HB X, Adjie Kusumo, PPLP dibentuk untuk menolak rencana pertambangan pasir besi di wilayah mereka.10

Kesimpangsiuran kabar di kalangan warga pesisir pun surut tatkala para petugas dari PT. Jogja Magasa Mining (JMM)—perusahaan milik keluarga penguasa politik di Propinsi Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Paku Alaman—mulai mensosialisasikan rencana penambangan pasir besi itu. Proses sosialisasi dilakukan melalui beberapa jalur: sosialisasi langsung kepada warga, sosialisasi melalui sejumlah tokoh formal dan informal, dan sosialisasi melalui dinas pemerintah daerah maupun kantor DPRD Kulon Progo. Proses sosialisasi langsung ke warga banyak terhambat oleh tentangan dan penolakan yang keras dari warga yang tergabung dalam PPLP.

Dalam perjalanannya, selain menggalang aliansi gerakan dengan beberapa lembaga seperti LBH Yogya, Walhi Yogya, sejumlah LSM, dan beberapa kalangan akademis, PPLP juga berulangkali menggelar aksi protes ke berbagai lembaga pemerintah terkait. Pada 27 Agustus 2007, PPLP berdemonstrasi di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi. Bupati Toyo Santosa Dipo dan Ketua DPRD Kulon Progo Kasdiyono menyetujui tuntutan warga secara tertulis, dengan konsekuensi pengunduran diri jika terjadi pengingkaran di kemudian hari.11

Lima bulan paska persetujuan, guna mencari kejelasan informasi seputar mega proyek pasir besi yang serba simpang-siur, pada 4 Februari 2008, sejumlah perwakilan dari PPLP melakukan audiensi dengan Komisi VII DPR RI (yang membidangi masalah energi, sumber daya mineral, ristek dan lingkungan hidup) di Senayan Jakarta. Menurut Widodo, anggota PPLP, selama ini ternyata Komisi VII hanya memperoleh informasi sepihak yang menyatakan bahwa tidak pernah ada masalah di lapangan dan masyarakat telah menerima rencana proyek tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyetujuinya. Karenanya, Komisi VII berencana akan terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi masyarakat yang sebenarnya, agar tidak ada anggota masyarakat di Kulonprogo yang dirugikan. Selain beraudiensi di Senayan, PPLP juga diterima Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jakarta untuk membicarakan persoalan yang sama.12

Sebulan berselang, pada 1 - 5 Maret 2008, warga Desa Bugel didukung PPLP yang berjumlah ratusan orang, menggelar aksi pemblokiran jalan yang merupakan akses keluar

8 Walhi Yogyakarta, Tanggapan KA-ANDAL Pertambangan Biji Besi PT JMI Kulon Progo, 25 April 2011. 9 Bambang Yunianto, Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan dan Pengolahan Pasir Besi di Pantai Selatan Kulon Progo, Yogyakarta dalam Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009; hlm.10. 10 Pada awal pembentukan PPLP, Adjie Kusumo terlibat dalam pengorganisasian para petani lahan pantai. Namun PPLP akhirnya memutuskan untuk independen dan tidak lagi melibatkan Adjie Kusumo. Penuturan Nasib Wardoyo (40 tahun), warga Karangwuni 5, anggota PPLP, pada 24 Juni 2011. Menurut hemat penulis, perseteruan politik pemerintah pusat vs pemerintah provinsi yang terkait RUUK Yogyakarta (2010), telah merubah peta konflik internal Keraton Yogyakarta. Konsolidasi internal Keraton berhasil meminimalisir friksi Sri Sultan HB X dan Adjie Kusumo. Dalam situasi itu, tidak strategis bagi PPLP untuk tetap melibatkan Adjie Kusumo. 11 Penolakan Rencana Pemerintah Melakukan Penambangan Biji Besi dalam Berita Kaum Tani, 2 Edisi II September 2007, hlm. 9-10 12 http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=152231&actmenu=36

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 3

masuknya kendaraan Pilot Project PT. Jogja Magasa Mining (JMM) menuju pantai Trisik. Aksi yang diikuti hingga ratusan warga itu ditempuh lantaran Bupati dan Ketua DPRD Kulon Progo ingkar terhadap kesepakatan tahun sebelumnya. Sementara warga lainnya memblokir jalan, pada 4 Maret 2008, sebagian anggota PPLP melakukan konferensi pers di kantor LBH Yogyakarta, yang menegaskan bahwa pelaksanaan uji coba pilot proyek penambangan pasir besi di Desa Trisik dan Banaran, Kecamatan Galur, pada dasarnya melanggar prosedur. Anggota PPLP memegang masukan dari Komisi VII DPR RI yang beberapa waktu sebelumnya berkunjung ke sana bahwa pilot project tidak boleh dilakukan sebelum AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) terbit.13 Gerakan PPLP menolak tambang besi kian menguat.

Pada 3 - 6 Juni 2008, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi ke Kulon Progo. Dalam pertemuan bersama perwakilan PPLP dan LBH, Nurkholis selaku Anggota Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, menyampaikan dua hasil kesimpulan investigasi: (1). Ada dugaan pelanggaran HAM karena hak-hak warga mendapat informasi proyek penambangan terabaikan. Eksekutif dan perusahaan pelaksana proyek harus mencatat hal itu; (2). Masyarakat lahan pantai Kulon Progo terpecah dua kubu (yang pro dan yang kontra). Terindikasikan, Bupati Kulon Progo dan jajarannya belum banyak berperan. Selain dua hasil investigasi itu, ditegaskan pula bahwa Komnas HAM akan mengerucutkan rekomendasi ke Presiden, meski tak ada jaminan rekomendasi pasti disetujui.14

Selang sebulan, pada 21 Juli 2008, dengan dikawal ketat oleh aparat kepolisian, PPLP bersama ribuan massanya (1.500 orang) menggelar demostrasi di Universitas Gadjah Mada, dan mendesak Fakultas Kehutanan untuk membatalkan kerjasama penelitian rehabilitasi paska penambangan pasir besi dengan PT Jogja Magasa Mining (JMM). Aksi demonstrasi itu terjadi lantaran UGM tidak memberikan sikap resmi setelah PPLP mengirim surat permintaan klarifikasi sebanyak 3 kali. Mengingat kerasnya reaksi petani pantai lahan pasir untuk mendesak pembatalan penelitian tersebut, maka Rektor UGM Soejarwadi dan Dekan Fakultas Kehutanan M. Na’iem pun akhirnya bersedia membatalkan kerjasama penelitian itu dengan penandatangan surat pernyataan.15

Penolakan warga atas tambang pasir besi terus berlangsung intensif. PPLP kembali berunjuk rasa, pada 23 - 25 Oktober 2008, guna menuntut pertanggung-jawaban Ketua DPRD dan Bupati Kulon Progo yang pernah menandatangani pernyataan penolakan rencana tambang pasir besi pada tanggal 27 Agustus 2007 lalu. Selain tak satu pun anggota dewan masuk kantor, Ketua DPRD Kulon Progo, Kasdiyono, juga dikabarkan masih ada di Jakarta untuk menghadiri pertemuan Asosiasi Ketua DPRD Kota dan Kabupaten se-Indonesia. Sementara, Bupati Kulon Progo, Toyo Santoso Dipo, belum kembali dari tugas dinas di Jakarta.16

Pada 27 Oktober 2008, ratusan orang tak dikenal menyerbu Desa Garongan dan Karangwuni di kawasan pesisir selatan Kulonprogo. Dua desa itu dikenal sebagai basis penentang rencana penambangan pasir besi oleh PT Jogja Magasa Mining (JMM). Menurut penilaian warga, penyerbuan itu merupakan upaya untuk mengalihkan isu penentangan rencana penambangan pasir ke masalah konflik antar warga. Muncul desas-desus akan ada serangan susulan.17

Tanpa disangka-sangka, kekhawathiran PPLP terjadi. Tepat pada 4 November 2008, muncul berita di media massa bahwa kontrak karya tambang pasir besi Kulon Progo resmi ditandatangani. Kontrak karya antara PT. Jogja Magasa Iron (JMI) yang diwakili Phil Welten, Presiden Komisaru Kutfi Heyder dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, itu mengantongi ijin operasi selama 30 tahun. Beberapa ketentuan kontrak itu antara lain: PT Jogja Magasa Iron

13 http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=155058&actmenu=36 14 http://nasional.kompas.com/read/2008/06/06/18353379/Komnas.HAM.Akan.Beri.Presiden.Rekomendasi. Soal.Lahan.Pasir.Besi 15 http://nasional.kompas.com/read/2008/07/21/12270523/penolakan.penambangan.pasir.besi.terus.berlangsung; http://lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/07/22/19372035/UGM.Batalkan.Kesepakatan.dengan.PT.JMM 16 http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/13543010/petani.pantai.tatap.tunggui.dprd 17 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/10/29/brk,20081029-142841,id.html

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 4

siap menanamkan investasi 1,7 miliar dolar AS untuk penambangan pasir besi (sand iron) sekaligus memproduksi besi kasar (pig iron) di pesisir selatan Kulon Progo. Rincian investasi itu 600 juta dolar AS untuk tambang dan 1,1 miliar dolar AS untuk infrastruktur. Dari tambang besi yang menggunakan sistem pertambangan terbuka tersebut, negara akan mendapat tambahan penerimaan pajak 20 juta dolar AS per tahun, pendanaan lokal 7 juta dolar AS per tahun dan royalti 11,25 juta dolar AS per tahun. Pemprov Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo akan mendapat kontribusi pengembangan masyarakat dan wilayah sebesar 1,5 % dari penjualan atau senilai 7 juta dolar AS per tahun selama 10 tahun pertama dan selanjutnya sebesar 2 %.18 Wilayah aplikasi kontrak karya seluas 2.987 hektare itu akan memiliki kapasitas produksi 1 juta ton di tahun pertama, per 2012. Jika itu menguntungkan akan ditingkatkan sampai 5 juta ton. Produksi awal rencananya akan dijual ke PT. Krakatau Steel.19

Tentangan dan penolakan yang keras dari warga PPLP selama hampir 3 tahun ternyata tak menyurutkan usaha PT. JMM—yang kemudian berganti nama menjadi PT. Jogja Magasa Iron (JMI)20—untuk mengantongi Kontrak Karya (KK) penambangan.21 Tak pelak penandatanganan KK itu pun mengundang protes keras dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa kalangan masyarakat itu diantaranya: Adjie Kusumo (pada saat itu masih sesepuh PPLP), warga PPLP, jejaring LSM lingkungan (seperti Jaringan Tambang dan Walhi), dll. Anatomi Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi

Berpijak pada paparan panjang di atas, uraian berikut akan mendiskripsikan hasil analisis mengenai berbagai faktor penyebab munculnya konflik. Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga faktor penyebab konflik yang beroperasi dalam mega proyek penambangan pasir besi di Kulon Progo ini.

Pertama, akar konflik yang nampak menyolok adalah persoalan tanah atau agraria. Persoalan status tanah Pakualam Ground itu mencuat setelah munculnya kontroversi penambangan pasir besi di wilayah pesisir Pantai Kulon Progo. Di satu sisi Pakualaman mengklaim bahwa sejumlah tanah di wilayah itu merupakan Pakualam Ground. Di sisi lainnya, warga merasa berhak pula atas tanah pesisir yang telah mereka kelola selama 20 tahun, hingga menjadi lahan pertanian yang subur seperti saat ini. Warga pun menuntut sertifikasi tanah lahan pesisir itu.

Menyoal keberadaan tanah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman Ground (PAG) memang memicu polemik publik yang berkepanjangan hingga saat ini. Terjadi dualisme penerapan hukum tanah untuk kasus di DIY: di satu sisi mengacu pada pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta No. 16/1918 dan Rijksblad Pakualaman No.18/1918 dan di sisi lainnya mengacu pada pemberlakuan UUPA No 5/1960.22 Dualisme pelaksanaan hukum itu jelas bertentangan dua asas hukum. Pertama, ketentuan hukum yang lebih tinggi menghapus ketentuan hukum yang lebih rendah (lex superior derrogat legi inferiori). Kedua, hukum yang 18 http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.Penambangan.Pasir. Besi. 19 http://finance.detik.com/read/2008/11/04/145945/1031064/4/kontrak-karya-tambang-pasir-besi-di-kulonprogo-diteken 20 Jogja Magasa Iron ini merupakan perusahaan berbentuk penananam modal asing (PMA) dimiliki PT Jogja Magasa Mining dari Indonesia sebesar 30 persen dan Indomines Limited dari Australia sebesar 70 persen. 21 Dalam tiga tahun itu, PT. JMM berarti telah melalui proses berikut: (1) mengajukan eksplorasi pasir besi, pada tanggal 6 Oktober 2005; (2). KP Eksplorasi No. 008/KPTS/ KP/EKKPL/X/2005 seluas 4.076,7 Ha (Wates, Temon, Panjatan, Galur); (3). Indo Mine, Ltd (Australia) pada 30 Juni 2005 bergabung karena mempunyai teknologi Autokumpu pengolahan pasirbesi menjadi pig iron; (4). PT. JMM melakukan eksplorasi dengan 929 titik bor, pada 25 Maret 2006, dan telah melaporkan hasil eksplorasi sebanyak 14 volume. Lihat Bambang Yunianto, Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan dan Pengolahan Pasir Besi di Pantai Selatan Kulon Progo, Yogyakarta dalam Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009; hlm.11. 22 Hendro Prabowo, Pluralisme Hukum dan Penguasaan Tanah di DIY dalam Mimbar Hukum, hlm. 64. Diunduh dari i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2940.

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 5

datangnya lebih dahulu dapat dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi priori).23 Persoalan agraria di DIY ini semakin terasa kompleks sejak berlangsungnya otonomi daerah, terutama saat mengemukanya kembali polemik RUUK dalam tiga tahun terakhir.

Kedua, terkait dengan akar persoalan agraria di atas, persoalan kedua ini adalah soal timpangnya kekuasaan dalam desentralisasi. Kekuasaan yang timpang di tingkat lokal akan berakibat pada dua hal: pertama, pola dan mekanisme perumusan kebijakan publik (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten) yang bias pada kepentingan elit penguasa; dan kedua, hasil kebijakan itu praktis akan mendorong optimalisasi penguasaan sumber-sumber ekonomi produktif oleh elit-elit lokal tersebut.

Ketiga, padu padan kedua persoalan di atas, akhirnya mengemuka dan terkuak ketika hadir pihak ketiga, yaitu pengusaha asing yang hendak menginvestasikan modalnya secara langsung di sektor industri ekstrasi di kancah lokal. Konflik yang semula berada di dalam sekam, akhirnya mengemuka sebagai konflik terbuka, bahkan telah berujung pada konflik kekarasan. Dalam pusaran persoalan yang saling berkelit berkelindan itulah yang menyebabkan para warga pesisir merasa tidak mendapatkan rasa keadilan. Lahan penghidupan sebagai sumber kesejahteran terancam terenggut dengan cara-cara yang tidak adil dan manusiawi. Dalam konteks inilah, Dom Helder Camara, pernah mengatakan bahwa bekerjanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama apa yang disebutnya sebagai spiral kekerasan.24

Dari paparan faktor-faktor penyebab konflik yang terkait dengan mega proyek penambangan pasir besi di atas, kita bisa membedakannya kedalam kategori berikut: pertama, persoalan agraria teridentifikasi sebagai akar konflik (yang memiliki kaitan erat dengan sejarah panjang persoalan agraria di DIY); kedua, ketimpangan kekuasaan dalam desentralisasi terkategorikan sebagai pendorong munculnya konflik; dan ketiga, keterlibatan investor asing di sektor industri ekstraksi merupakan pemicu konflik. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik Dalam konflik mega proyek tambang pasir besi ini, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini dipilah menjadi 2 kategori, yaitu pihak yang terlibat langsung dan pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam konflik. Pihak yang terkait langsung dalam konflik meliputi: (1). Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; (2). Investor (PT. Jogja Magasa Iron/ JMI); (3) Masyarakat Pesisir Pantai (Pro dan Kontra). Sedangkan pihak yang tidak terkait langsung dalam konflik diantaranya: (1) Elemen-elemen Masyarakat Sipil; (2). Komnas HAM; (3). DPRD 1. Terlibat Langsung dalam Konflik a. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten

Sejak awal, Pemerintah Pusat sangat berkepentingan untuk meloloskan investasi asing langsung, sebagaimana yang terjadi dalam proyek penambangan pasir besi ini. Hal itu terindikasikan pada saat Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan bahwa Kontrak Karya itu adalah satu-satunya yang berlokasi di Jawa dan juga untuk pasir besi. KK juga merupakan kontrak karya pertama sejak 1998. Menurutnya, sulit mencari investasi di saat krisis global seperti saat ini. Terlebih lagi investasi yang dicarai adalah investasi langsung.25 Senada dengan menteri ESDM, MS.Hidayat, Menteri Perindustrian, mengatakan bahwa ia mendukunng prakarsa dan pembangunan proyek pasir besi di DIY karena dapat menunjang pemenuhan besi baja nasional yang selama ini masih impor sekitar empat juta ton per tahun,''26

23 Jawahir Thontowi, Kepemimpinan yang Demokratis dan Penguasaan Tanah dalam Heru Nugroho, Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS, hlm.61. 24 Lambang Triyono, Kata Pengantar dalam Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2000,hlm.xi-xiii. 25 http://finance.detik.com/read/2008/11/04/145945/1031064/4/kontrak-karya-tambang-pasir-besi-di-kulonprogo-diteken 26 MS Hidayat: Investasi Awal Pasir Besi Kulon Progo 600 Juta Dollar AS. Republika, Senin, 21 Maret 2011

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 6

Pemerintah Provinsi adalah pihak yang paling berkepentingan dan paling “kuat” mendesakkan proyek penambangan pasir besi ini. Hanya saja yang perlu dicatat di sini, sebagai penguasa di tingkat provinsi, Sri Sultan HB X dan Pakualam ke IX, memiliki vested interest yang telah diketahui publik. Sangat jelas di sini terjadi conflict of interest terkait jabatannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kedudukannya sebagai pemilik saham dari korporasi PT. Jogja Magasa Iron (JMI). Saat berperan sebagai Gubernur, Sultan HB IX (yang notabene adalah Raja di Kasultanan Jogjakarta cum pemilik saham PT. JMI) mengatakan bahwa rencana penambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo, DI Yogyakarta, tidak boleh menggusur lahan dan rumah warga. Investor hanya diizinkan menambang di lahan pasir yang tidak dimanfaatkan warga.

Sementara, saat ditanya seputar kepemilikan sebagian saham PT JMI oleh Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman, Sultan mengatakan, kepemilikan saham itu karena lahan sebagian merupakan Pakualaman Ground. Ia menegaskan, tidak ada konflik kepentingan akibat kepemilikan saham. Keraton itu institusi sendiri. Bukan dia.27 Permainan “dua kaki” rupanya menjadi gaya-khas Sultan, termasuk ketika mengambil posisi soal RUUK.

Pemerintah Kabupaten pada dasarnya hanyalah kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dan Pemprov. Dalam takaran itu, Bupati Kulon Progo, Toyo S. Dipo senantiasa menjalankan politik propaganda bahwa proyek itu akan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Proyek pertambangan pasir besi merupakan megaproyek strategis. Dalam perhitungan pemerintah, pendapatan daerah yang masuk jika megaproyek itu terlaksana Rp 1,6 triliun per tahun. Dibutuhkan tenaga sebanyak 2.000 pegawai tetap, 2.000 pegawai kontrak dan 2.000 pegawai harian.28

Propaganda yang paling mengejutkan adalah ketika ia menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat Kulonprogo menyetujui rencana penambangan pasir besi ini. Yang tidak setuju hanya sebagian kecil saja, yaitu mereka tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP). Menurutnya, para petani yang menolak tersebut tidak paham tentang persyaratan antara investor dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.29

b. PT. Jogja Magasa Iron (JMI)

PT. JMI pada awalnya bernama PT. Jogja Magasa Mining (JMM). Terkait penolakan warga pesisir, General Manager PT JMM, Boedi Tjahjono, mengatakan pihaknya berkomitmen agar proyek penambangan pasir besi mampu mendatangkan kesejahteraan bagi warga pesisir Kulon Progo. Ia juga menjamin tidak akan ada penguasaan lahan petani oleh PT JMM, karena izin yang diajukan ke pemerintah daerah dan pusat adalah pengambilan bijih besi dalam jangka waktu tertentu. Jaminan ini masih diikuti dengan pemberian kompensasi dan dana pengembangan komunitas, serta daerah, apabila proyek benar-benar berlangsung. Sehingga JMM merasa tidak akan mengancam hak asasi warga sekitar.30

Sebagaimana tercantum dalam Kontrak Karya, Jogja Magasa Iron ini merupakan perusahaan berbentuk penananam modal asing (PMA) dimiliki PT Jogja Magasa Mining dari Indonesia sebesar 30 persen dan Indomines Limited dari Australia sebesar 70 persen.

c. Kelompok Warga Pesisir (Pro dan Kontra)

Sejak proses sosialisasi dilakukan, warga pesisir yang pada awalnya sebagian besar menolak proyek penambangan pasir besi, perlahan-lahan mulai terbelah menjadi dua kubu. Ditilik dari tata letak wilayah, warga yang berubah sikap mendukung proyek tambang pasir besi ini umumnya tinggal di sisi utara jalan Daendles. Dan hampir bisa dipastikan bahwa

27 http://regional.kompas.com/read/2010/12/21/05551731/Jangan.Gusur.Warga 28 http://www.tribunpalu.com/2011/02/10/toyo-janji-beri-pekerjaan-untuk-warga-peisisir 29 http://www.pme-indonesia.com/news/?catId=3&newsId=139 30 http://nasional.kompas.com/read/2008/06/05/21552753/seru.pro-kontra.rencana.penambangan.pasir.besi

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 7

mereka bukanlah para penggarap lahan pantai. Karena bukan petani penggarap lahan pantai maka, mereka tidak akan banyak terdampak atau terugikan dengan adanya proyek.

Sementara itu, warga yang berafiliasi di kubu kontra ini sebagian besar tinggal di sisi selatan jalan Daendles. Merekalah yang relatif banyak bertumpu pada penghidupan di sektor pertanian lahan pantai. Besarnya manfaat dan keuntungan ekonomi yang didapat dari lahan yang mereka garap membuat warga menolak hadirnya proyek tambang pasir besi. Warga yang kontra penambangan pasir ini terhimpun di dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP).

Menurut penuturan Risti (38 tahun), warga Dukuh 5 Karang Wuni, Wates, Kulonprogo, selama proses pro kontra proyek pasir besi, ia seringkali merasa takut. Hanya salah paham kecil saja, orang-orang mudah emosi sambil membawa golok dan pedang. Tidak jarang warga 1 RT tidak saling akur. Dalam situasi semacam itu, ia merasa kultur Jawa di tingkatan warga sudah mulai hilang.31

2. Tidak Terlibat Langsung dalam Konflik a. Beberapa Elemen Masyarakat Sipil

Dukungan kepada warga datang dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Namun yang jelas-jelas mendukung secara kelembagaan adalah LBH Yogyakarta sebagai pengawal proses hukum warga pesisir pantai. Pendampingan hukum dilakukan LBH sejak warga mengajukan permintaan bantuan hukum. Atas nama warga LBH mendesak kepada pemerintah pusat segera meninjau ulang penandatanganan kontrak karya proyek penambangan pasir besi.32 LBH juga membawa kasus bentrok di Kulon Progo ke Komnas HAM, lantaran tindakan Polisi terlalu berlebihan.33 Dan LBH juga melakukan pendampingan kasus kriminalisasi terhadap Tukijo, yang berujung sampai pada pendampingan peradilan atas tuduhan melakukan perusakan pilot project tambang pasir besi.

Terkategorikan juga dalam elemen ini adalah LSM lingkungan, Walhi dan LSM IDEA diposisikan sebagai aliansi strategis warga. Namun dalam perjalannya muncul resistensi terhadap LSM. PPLP meminta LSM yang ada di DIY tidak terlibat proyek penambangan pasir besi. Tersiar kabar ada keterlibatan LSM dalam program analisis dampak lingkungan (amdal) pasir besi. Dua lembaga ini adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Institute of Development and Economic Analysis (IDEA). Hasil klarifikasi dengan kedua LSM ini, kabar itu tidak benar.34

Terlepas dari resistensi warga, Walhi secara lantang melakukan protes penambangan pasir besi sejak awal. Pada saat Kontrak Karya ditandatangani, Walhi pun melayangkan surat mosi tidak percaya ke Menteri ESDM. Selain melaporkan Komisi Amdal dan Bupati Kulon Progo terkait lolosnya KA Andal, Walhi juga melaporkan Bupati Kulon Progo karena dinilai telah melanggar Undang-Undang Tata Ruang dengan mengeluarkan izin pertambangan pasir besi di pesisir pantai.35

b. DPRD

Karena mega proyek penambangan pasir besi ini pada agenda Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi, maka posisi DPRD DIY maupun DPRD Kulon Progo berada pada posisi yang tidak memiliki daya tawar apapun. Posisi mereka dilematis. Semisal lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY kepada Kementerian Dalam Negeri (yang terdapat pencantuman rencana tambang pasir

31 Transkrip wawancara dengan Risti, pada 12 Juni 2011. 32 http://nasional.kompas.com/read/2008/11/06/18421091/lbh.minta.kontrak.karya.pasir.besi.ditinjau.ulang 33 http://nasional.kompas.com/read/2009/10/20/12581847/ 34 http://www.ideajogja.or.id/news.php?item.56 35 http://cetak.kompas.com/read/2010/12/28/04011917/walhi.laporkan.bupati.kulon.progo

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 8

besi di pesisir selatan Kulon Progo), tanpa melibatkan aspirasi masyarakat atau evaluasi dari DPRD DIY adalah bukti dari ketidakberdayaan itu.

c. Komnas HAM

PPLP mendapatkan dukungan moril dari Komnas HAM selama melangsungkan penolakan mega proyek pasir besi ini. Setidaknya tercatat 2 kali Komnas HAM melakukan kunjungan ke Kulon Progo. Kali pertama, Juni 2008, Komnas HAM melakukan investigasi di lapangan dan menyusun rekomendasi untuk kemudian disampaikan kepada Presiden. Kedua, 9 Februari 2011, Komnas HAM meninjau pilot project terkait aksi pengrusakan yang dilakukan warga pesisir, di kawasan pilot project pertambangan pasir besi Kulonprogo. Pada tanggal itu pula Komnas HAM, atas permintaan Bupati Kulon Progo, menemui masyarakat pesisir untuk memediasi penolakan rencana penambangan pasir besi.36

Isu-Isu yang Mengemuka dalam Konflik 1. Status Kepemilikan Lahan

Terkait status tanah, warga mengklaim 75 persen adalah tanah milik warga, diperoleh secara turun temurun dan sebagian sudah bersertifikat. Hanya 25 persen lahan yang tak bertuan (Pakualaman Ground). “Kalau masih dipertentangkan soal status tanah yang katanya milik Pakualaman (Pakualam ground), kami punya bukti dengan pembuktian peta desa dan keterangan dari buku besar masing-masing desa.”37

2. Hilangnya Matapencaharian sebagai Petani “Hidup kami bergantung dari bertani, dari menanam cabe di lahan pantai. Kalau lahan

pertanian kami dijadikan penambangan pasir besi, kami tidak setuju. Malah kalau mau dibuat bandara, saya malah memperbolehkan, sebab kalau bandara kan kepentingan nasional atau negara. Kalau penambangan pasir besi ini kan untuk investor saja. Hanya untuk kepentingan perorangan.”38

Kegiatan bertani di pesisir pantai bagi para warga merupakan penyangga hidup mereka yang berjumlah 50 ribu jiwa. Supriyadi mencontohkan, bagi yang mempunyai lahan garapan tanaman cabai 1.200 meter persegi saja bisa dipanen sebanyak 30 kali dengan hasil rata-rata Rp 70 juta dalam waktu enam bulan. Sedangkan bagi yang tidak mempunyai lahan garap bisa menjadi buruh petik cabai dengan bayaran Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu per hari.39

3. Persoalan Pengangguran Meskipun penambangan pasir besi itu akan membuka lapangan kerja bagi warga pesisir,

seberapa banyak yang bisa diserap sebagai buruh tenaga kerja di penambangan itu. Selain itu setelah nanti penambangan besi berakhir, bagaimana nasib anak-cucu mereka nanti. Warga lebih memilih bertani, karena masih bisa diwariskan kepada anak cucu, ketimbang menjadi buruh penambangan yang tidak akan bisa mewariskan apapun kepada anak cucu.40

4. Persoalan Kerusakan Lingkungan Dampak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan oleh penambangan pasir besi itu meliputi beberapa poin berikut. a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir

Menurut warga gumuk pasir bisa menjadi benteng atau penahan gelombang tsunami. Warga mengkhawatirkan seperti yang terjadi di Cilacap, bahwa setelah ada

36 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/09/77555/Komnas-HAM-Mediasi-Tambang-Pasir-Besi 37 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html 38 Transkrip wawancara dengan Risti, pada 12 Juni 2011. 39 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html 40 Transkrip Wawancara dengan Supriyadi, pada 12 Juni 2011

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 9

pertambangan gundukan pasir pantai akan hilang. Jadi jika ada Tsunami kecil saja bisa sampai rumah, karena tidak ada penghalang lagi. 41

b. Intrusi air laut ke daratan Warga mengkhawatirkan setelah terjadinya penambangan, sumur-sumur warga

pesisir akan berubah menjadi asin. Jika itu terjadi maka warga tidak bisa lagi menggunakan air sumur itu untuk pertanian maupun untuk kebutuhan air bersih untuk keluarga mereka. Sejumlah perempuan menuturkan bahwa penggunaan air asin seperti itu juga akan berpengaruh pada kesehatan reproduksi perempuan.42

Bayangkan lahan akan dibor 13-14 meter dan kandungan pasirnya akan diambil 13%nya jika itu terjadi berarti di lahan eks pertambangan permukaannya akan turun 1 – 2 meter, dan jika terjadi siklus air pasang, maka pemukiman kami akan kena air laut. Dan tidak menutup kemungkinan setelah pasir diangkat 13% akan berdampak pada keasinan air sumur warga di sini. Padahal selama ini air sumur tidak asin.43

c. Abrasi laut selatan Abrasi laut selatan akan semakin parah karena rencana penambangan hingga

kedalaman hingga 14,5 meter dengan panjang 22 kilometer dan lebar 1,8 kilometer.44 d. Rusaknya lahan pertanian pantai

Puluhan ribu petani mengkhawatirkan lahan mereka akan rusak akibat dari penambangan, padahal saat ini mereka sudah menikmati dengan kehidupan bertani di pantai ini.45

5. Manipulasi Kebijakan - Ditandatanganinya Kontrak Karya Penambangan Pasir Besi oleh PT. JMI tanpa adanya

kelengkapan Amdal - Dilolosnya Kerangka Acuan Andal tambang pasir besi yang diajukan PT Jogja Magasa

Iron oleh Komisi Andal dan Bupati Kulon Progo - Lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi DIY (yang terselip pasal tentang penambangan pasir besi di Kulon Progo) kepada Kementerian Dalam Negeri, tanpa melibatkan aspirasi masyarakat dan tanpa adanya evaluasi dari DPRD DIY.

Eskalasi Konflik Paska ditandatanganinya Kontrak Karya pada 4 November 2008, terjadi eskalasi konflik

yang cukup tajam. Konflik struktural maupun konflik horisontal di tingkat warga juga semakin meninggi. Konflik stuktural melebar menjadi konflik horisontal ketika, aparat Kepolisian tidak memediasi konflik, tetapi hanya sekadar memenuhi standar hukum prosedural yang justru memperuncing konflik di tingkatan warga.

Semisal pada 8 Juni 2009, enam orang warga Desa Karangsewu (Mukidi, Wagiyo, Dwi Santoso, Tukijo, Sugiyanto dan Ponco), Kecamatan Galur, diperiksa di Makas Polisi Resort Kulonprogo atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan penghinaan. Sebelumnya, mereka terlibat konflik dengan kepala dukuh III Karangsewu, Isdiyanto, menyangkut persoalan pendataan para petani penggarap lahan pasir di kawasan yang rencananya akan dijadikan lokasi penambangan pasir besi.46

Sejak peristiwa itu, kasus-kasus kriminalisasi selalu menjadi modus untuk menekan warga. Radikalisasi warga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Pada 20 Okober 2009, terjadi bentrokan fisik antara petani Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo dengan aparat 41 Ibid 42 Ibid 43 Transkrip Wawancara dengan Supriyadi, pada 12 Juni 2011 44 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html 45 Ibid 46 http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/09/brk,20090609-180900,id.html

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 10

kepolisian, saat unjuk rasa menentang acara konsultasi publik penambangan pasir besi pesisir selatan Kulon Progo. Polisi menembakkan gas air mata untuk mengusir massa yang mulai beringas karena kecewa. Dua petani dilaporkan luka berat dab puluhan yang lain luka ringan.47

Setelah kurang lebih setahun mereda, situasi kembali memanas pada akhir tahun 2010. Pada 17 Desember 2010, situasi pesisir selatan Kulon Progo, DI Yogyakarta, tiba-tiba memanas setelah kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA –Andal) rencana penambangan pasir besi diterima oleh Komisi Amdal Kulon Progo. Ribuan warga yang ingin melindungi tanah garapan, warga menutup Pilot project I dan menyandera enam dari tujuh mobil rombongan surveyor (PT Pudipon Nusantara Makmur yang diduga rekanan PT Jogja Magasa Iron) sertamenyegel lokasi proyek percontohan tambang pasir besi di Desa Karangsewu, Kecamatan Galur.48

Selang sepuluh hari kemudian, 27 Desember 2010, didampingi kuasa hukumnya LBH Yogya, Petani lahan pasir Kabupaten Kulonprogo melaporkan Bupati Kulonprogo Toyo S Dipo ke polisi. Bupati dinilai melanggar undang-undang dengan mengeluarkan izin pemanfaatan pesisir pantai menjadi kawasan pertambangan pasir besi. Surat Keputusan Bupati bernomor 140 tertanggal 11 Mei 2010 itu melanggar pasal 37 ayat 7 UU No 26 tahun 2007 tentang tata ruang dan wilayah. Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap pejabat pemerintah dilarang mengeluarkan izin yang tidak sesuai dengan tata ruang.49

Radikalisasi warga kembali terjadi pada 9 April 2011. Warga menangkap dan menyandera tujuh buruh bangunan di pilot project penambangan pasir besi milik PT Jogja Magasa Iron (JMI) selama dua jam. Tujuh orang yang disandera itu adalah warga desa tetangga. Penangkapan dan penyanderaan itu pun akhirnya berbuntut ditangkapnya Tukijo oleh Polisi pada 1 Mei 2011. Selang dua hari penangkapan Tukijo, 3 Mei 2011, sekitar 1.500 warga Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) mendatangi Mapolres Kulonprogo. Kedatangan warga dengan 20 unit truk dan 50 sepeda motor tersebut menyampaikan tuntutan agar polisi membebaskan rekan mereka, Tukidjo warga Gupit, Karangsewu, Galur yang ditangkap polisi atas tuduhan melakukan penyanderaan terhadap 7 buruh lepas PT Jogja Magaza Iron (JMI).50

Atas penangkapan Tukijo, LBH Yogyakarta melayangkan surat gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo, pada 9 Mei 2011. Selain tak menunjukkan surat identitas penangkapan, polisi yang juga telah melanggar UU No. 12 tahun 2005 tentang konvensi internasional hak sipil politik.51 Tapi akhirnya, Polisilah yang memenangkan gugatan praperadilan pada 24 Mei 2011. Sebulan berselang, sidang perdana Tukijo pun digelar pada 16 Juni 2011, dengan materi, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum.52 Resolusi Konflik

Setelah seluruh elemen dari anatomi konflik dan eskalasinya telah terpapar di atas, tulisan akan mendedahkan beberapa tawaran skenario resolusi terkait mega proyek pasir besi di Kulon Progo. Akan terlalu ambisius untuk memapar detil konflik berdurasi 5 tahun hanya dalam ruang yang terbatas ini. Selain itu, ada variabel kunci yang tak terpaparkan dalam uraian di atas, yaitu peta konflik terkait dengan RUUK. Konsekuensinya, silang kepentingan politik yang terkait dalam peta konflik mega proyek pasir besi ini tidaklah nampak. Ia menjadi “tertenggelamkan” lantaran tulisan ini tidak menyediakan “alat pengapung” yang memadai. Sebelum menawarkan beberapa skenario resolusi konflik, terlebih dulu, penulis akan memberikan beberapa catatan penting sebagai entry point untuk resolusi tersebut. Beberapa catatan penting adalah sebagai

47 http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Kulon.Progo.Luka. Berat 48 http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas 49 http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/12/27/brk,20101227-301838,id.html 50 http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulonprogo.html 51 http://lbhyogyakarta.blogspot.com/2011/05/lbh-gugat-kapolres-kulonprogo.html 52 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-Perdana-Tukijo-Digelar

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 11

berikut: Pertama, terilustrasikan dalam paparan di atas bahwa mega proyek penambangan pasir besi merupakan grand design dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DIY yang tak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun, termasuk masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek tersebut. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo diposisikan sebagai ujung tombak untuk mengurusi “warga yang berontak” dan “investor yang sudah mengantongi kontrak”. Tak teragukan lagi, lintasan jalur dari bebadan ekskutif itu dari pusat hingga daerah tidak menunjukkan situasi konfliktual yang berarti, setidaknya yang manifes. Afiliasi politik yang berbeda antara Gubernur DIY dan Bupati Kulon Progo tidak menjadi variabel signifikan dalam peta konflik pasir besi ini.

Kedua, kevakuman persaingan kekuatan politik di tingkat DPRD rupanya menunjukkan gelagat serupa dengan jejalur lintas eksekutif di atas. “Keanggunan” dan “kekompakan” nampak hendak lebih ditonjolkan para wakil rakyat, ketimbang berperan sebagai kekuatan oposan eksekutif. Inikah warna yang mungkin hendak ditunjukkan Yogya agar tak terlihat karut-marut di mata Pemerintah Pusat?

Ketiga, terposisikan sebagai “anak bawang”, warga pesisir pantai terombang-ambingkan oleh kekuatan yang sepenuhnya terpolarisasi di satu kubu (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, DPRD DIY, DPRD Kulon Progo, dan tentunya investor). Peta politik nampaknya tidak tengah ingin menunjukkan warnanya yang menarik, lantaran telah terjadi homogenisasi kekuatan politik.

Keempat, peta kekuatan oligarkis telah berhasil membuka peluang lebar-lebar bagi pintu masuknya investor, melalui berbagai “pintu rahasia” yang warga tak akan pernah bisa mengaksesnya. Terloloskannnya Kontrak Karya, lolosnya Kerangka Acuan Andal telah memberikan gambaran jelas tentang absennya pemikiran tentang transparansi, akuntabilitas, dan segenap aspek dalam tata kelola demokratis di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Melihat pada berbagai catatan tersebut di atas, berikut ini penulis mencoba menawarkan langkah menuju tercapainya resolusi (bukannya resolusi itu sendiri) dalam konflik mega proyek pasir besi Kulon Progo. Tawaran langkah itu adalah sebagai berikut:

Pertama, bangun dan buka ruang-ruang dialog seluasnya bagi warga, terutama mereka yang paling terdampak langsung oleh proyek (PPLP), guna menampung seluruh kekawatiran, kecemasanm, maupun harapan yang mereka miliki. Dalam konteks proyek pasir besi, merangkul kembali warga yang terlanjur kecewa karena terabaikan tentu bukanlah urusan yang mudah untuk dilakukan. Namun tak ada pilihan yang paling strategis bagi pemerintah daerah kecuali untuk menghentikan sejenak segenap aktivitas tambang, untuk menata ulang pola pendekatan maupun pola perumusan kebijakan publik yang selama ini abai pada warga.

Kedua, perlu menghadirkan pihak ketiga yang dipercaya, terutama oleh warga terdampak langsung (PPLP), untuk memediasi konflik dan mendudukkan pihak-pihak yang terlibat konflik dalam tingkatan yang setara. Kegagalan Komnas HAM memediasi konflik perlu dicermati, ditelisik, dan dikaji lebih lanjut mengani sebab-musababnya, sehingga bisa mencari “penanda yang lebih besar” yang bisa merangkul semua pihak yang terlibat.

Ketiga, bangun dan buka ruang-ruang bagi dialog strategis multi-pihak tentang rencana pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah, maupun upaya membangun sistem kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Kendati sangat terlambat, namun pilihan langkah ini bisa disebut sebagai “merebut momentum” untuk tata kelola yang lebih demokratis.

Keempat, terkait dengan kepentingan untuk mencari “penanda besar” dan “merebut momentum, sangat strategis bagi pasangan bupati dan wakil bupati yang baru, Hasto Wardoyo-Sutedjo untuk merangkul warga dan memulihkan kepercayaan warga. Kendati secara faktual, situasi dan posisi bupati baru itu krusial, namun ia bisa memilih apakah akan mengikuti gaya politik bupati terdahulu ataukah akan merintis gaya politik baru yang lebih sensitif terhadap kepentingan masyarakat? Bagaimanapun, transisi politik bisa dibaca sebagai momentum bagi penentuan peran kepala daerah ke depan.[abw-270611]

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 5 AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 5

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 12

Wawancara Wawancara dengan Supriyadi Ketua PPLP pada 12 Juni 2011 Wawancara dengan Risti, Ibu Rumah Tangga, pada 12 Juni 2011 Referensi Agustino, Leo Dinasti Politik Pasca-Otonomi Orde Baru: Pengalaman Banten dalam dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010. Agustino, Leo. 2011. Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Sentralisasi;

Bandung: Widya Padjadjaran Bambang Yunianto, Kajian Permasalahan Lingkungan dan Sosial Ekonomi Rencana Penambangan dan Pengolahan

Pasir Besi di Pantai Selatan Kulon Progo, Yogyakarta dalam Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 05, Nomor 13, Januari 2009; hlm.10.

Berita Kaum Tani, 2 Edisi II September 2007, hlm. 9-10 Camara, Dom Helder. 2000.Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dasgupta, Aniruddha dan Victoria A. Beard, Community Driven Development, Collective Action and Elite Capture in

Indonesia dalam Development and Change, 2007. Hadiz, Vedi. Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neoinstitutionalist Perspective” dalam

Toby Carroll, Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal: Bank Dunia Dan Program Pengembangan Kecamatan di Indonesia, dalam Prisma Vol. 29, Juli 2010.

.Hendro Prabowo, Pluralisme Hukum dan Penguasaan Tanah di DIY dalam Mimbar Hukum, hlm. 64. Diunduh dari dari i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2940.

Heru Nugroho, Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS Triyono, Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia; Yogyakarta:

CSPS Books, 2004. Walhi Yogyakarta, Tanggapan KA-ANDAL Pertambangan Biji Besi PT JMI Kulon Progo. Website http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=152231&actmenu=36 http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=155058&actmenu=36 http://nasional.kompas.com/read/2008/06/06/18353379/Komnas.HAM.Akan.Beri.Presiden.Rekomendasi. Soal.Lahan.Pasir.Besi http://nasional.kompas.com/read/2008/07/21/12270523/penolakan.penambangan.pasir.besi.terus.berlangsung; http://lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/07/22/19372035/UGM.Batalkan.Kesepakatan.dengan.PT.JMM http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/13543010/petani.pantai.tatap.tunggui.dprd http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/10/29/brk,20081029-142841,id.html http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.Penambangan.Pasir. Besi. http://finance.detik.com/read/2008/11/04/145945/1031064/4/kontrak-karya-tambang-pasir-besi-di-kulonprogo-diteken http://finance.detik.com/read/2008/11/04/145945/1031064/4/kontrak-karya-tambang-pasir-besi-di-kulonprogo-diteken http://regional.kompas.com/read/2010/12/21/05551731/Jangan.Gusur.Warga http://www.tribunpalu.com/2011/02/10/toyo-janji-beri-pekerjaan-untuk-warga-peisisir http://www.pme-indonesia.com/news/?catId=3&newsId=139 http://nasional.kompas.com/read/2008/06/05/21552753/seru.pro-kontra.rencana.penambangan.pasir.besi http://nasional.kompas.com/read/2008/11/06/18421091/lbh.minta.kontrak.karya.pasir.besi.ditinjau.ulang http://nasional.kompas.com/read/2009/10/20/12581847/ http://www.ideajogja.or.id/news.php?item.56 http://cetak.kompas.com/read/2010/12/28/04011917/walhi.laporkan.bupati.kulon.progo http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/09/77555/Komnas-HAM-Mediasi-Tambang-Pasir-Besi http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/03/24/brk,20090324-166386,id.html http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/09/brk,20090609-180900,id.html http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Kulon.Progo.Luka. Berat http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/12/27/brk,20101227-301838,id.html

http://lbhyogyakarta.blogspot.com/2011/05/lbh-gugat-kapolres-kulonprogo.html

AB. Widyanta - Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progro: Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya 13

http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulonprogo.html

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-Perdana-Tukijo-Digelar