61
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya tugas Makalah ini dapat diselesaikan. Makalah yang berjudul ”Kekerasan Seksual Terhadap Anak Usia Dini” ini dengan sebaik kemampuan yang saya miliki. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya, tapi saya berhasil menyelesaikannya dengan semaksimal kemampuan yang saya miliki. Sebagai pemula, saya tentu sadar bahwa banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini baik dalam segi isi maupun sistematikanya, karena keterbatasan saya baik di bidang pengetahuan maupun wawasan. Maka hendaklah kiranya pembaca memberikan masukan dan saran sehingga isi makalah ini dapat lebih sempurna. Penyusunan makalah ini dapat diselesaikan atas bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu kami dengan tulus hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Frans Hawitony, M.pd selaku dosen pengajar yang senatiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada saya. 2. Bapak dan ibu yang telah memberikan do’a dan semangat. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. penulis mohon maaf jika ada kesalahan cetak atau bahasa yang kurang baku di dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita. 1

Makalah seks abuse fixa

Embed Size (px)

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas

rahmat dan hidayah-Nya tugas Makalah ini dapat diselesaikan. Makalah yang

berjudul ”Kekerasan Seksual Terhadap Anak Usia Dini” ini dengan sebaik

kemampuan yang saya miliki. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata

kuliah Pendidikan Pancasila. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya, tapi saya berhasil menyelesaikannya dengan semaksimal kemampuan yang saya miliki. Sebagai pemula, saya tentu sadar bahwa banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini baik dalam segi isi maupun sistematikanya, karena keterbatasan saya baik di bidang pengetahuan maupun wawasan. Maka hendaklah kiranya pembaca memberikan masukan dan saran sehingga isi makalah ini dapat lebih sempurna.

Penyusunan makalah ini dapat diselesaikan atas bantuan serta bimbingan

dari berbagai pihak, untuk itu kami dengan tulus hati menyampaikan ucapan

terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Frans Hawitony, M.pd selaku dosen pengajar yang

senatiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada saya.

2. Bapak dan ibu yang telah memberikan do’a dan semangat.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.

penulis mohon maaf jika ada kesalahan cetak atau bahasa yang kurang baku di dalam penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan

bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita.

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................1

DAFTAR ISI.........................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang...........................................................................................................3

B. Identifikasi Masalah..................................................................................................7

C. Rumusan Masalah.....................................................................................................8

D. Tujuan Penulisan.......................................................................................................8

BAB II KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DINI

A. Perkembangan psikoseksual anak.............................................................................9

B. Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan anak...............................................20

C. Seks policy bagi pelanggar kebijakan......................................................................39

D. Analisis jurnal kekerasan seksual terhadap anak.....................................................51

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................................58

B. Saran.......................................................................................................................59

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................60

2

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak usia dini merupakan dasar awal yang menentukan kehidupan suatu

bangsa dimasa yang akan datang, sehingga diperlukan persiapan generasi penerus

bangsa dengan mempersiapkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara

optimal baik dalam perkembangan moral, fisik/motorik, kognitif, bahasa,

maupun sosial emosional. Setiap anak berhak untuk mendapatkan penghidupan

dan perlindungan yang layak, serta dapat tumbuh dan berkembang secara

optimal. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 mengenai Perlindungan

Anak1, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan dimaksudkan untuk melindungi anak yang tereksploitasi

secara ekonomi, seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban

penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak

korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan seksual,

anak korban kekerasan fisik/mental, anak penyandang cacat, dan anak korban

penelantaran.

Akhir-akhir ini terdapat berbagai fenomena perilaku negatif terlihat dalam

kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau televisi dapat

dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik itu kekerasan fisik,

verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan seksual juga sudah menimpa

anak-anak. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang

1 Kemendag, UU No.23 tahun 2002, 2002, diakses dari http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf pada tanggal 24 mei 2014 pada pukul 09.16

3

telah dikenal anak, seperti keluarga, ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga,

guru maupun teman sepermainannya sendiri.

Banyak terdapat kasus-kasus mengenai kekerasan pada anak di dunia. Di

Afrika selatan misalnya terdapat kejadian pemerkosaan terhadap anak dan bayi

terbesar di dunia. Sebuah survei oleh Central Institute of Education Technology

menemukan bahwa 60% anak laki-laki dan perempuan menyangka bahwa

perlakuan pemaksaan seks dari seseorang yang mereka tahu bukanlah kekerasan

seksual, sementara sekitar 11% dari anak laki-laki dan 4% anak perempuan

mengaku mereka dipaksa berhubungan seks dengan orang lain. Pada survei yang

berkaitan melibatkan 1.500 anak sekolah di Johannesburg di kota Soweto,

seperempat dari anak laki-laki yang diwawancara mengatakan 'jackrolling',

sebuah istilah untuk pemerkosaan bersama, adalah menyenangkan. Lebih dari

separuh dari yang diwawancara menyatakan bahwa jika anak perempuan

mengatakan tidak untuk melakukan seks.2

Selain itu lebih dari 67.000 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual

terhadap anak-anak dilaporkan pada tahun 2000 di Afrika Selatan, sementara

pada tahun 1998 terjadi 37.500 kasus. Kelompok pemerhati anak-anak percaya

bahwa insiden yang tidak dilaporkan bisa 10 kali lipat dari angka kasus yang

dilaporkan. Peningkatan terbesar kejahatan seksual terjadi pada anak-anak di

bawah tujuh tahun. Prevalensi pelecehan seksual anak di Afrika juga didasarkan

kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anak perawan akan menyembuhkan

pria dari HIV atau AIDS. Kepercayaan ini adalah umum di Afrika Selatan,

dimana terdapat jumlah penduduk penyandang HIV-positif terbesar di dunia.

Menurut data resmi, satu dari delapan penduduk Afrika Selatan terinfeksi virus

ini.3

Di Indonesia, menurut data Komnas Perlindungan Anak pada tahun

2010 telah diterima laporan kekerasan pada anak mencapai 2.046 kasus,

2 Wikipedia. Pelecehan Seksual Terhadap Anak. http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak

3 United Nations HIV/AIDS Fact Sheet, United Nations Development Programme, 2002.

4

laporan kekerasan pada tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus, pada tahun

2012 naik lagi menjadi 2.629 kasus dan melonjak tinggi pada tahun 2013

tercatat ada 1.032 kasus kekerasan pada anak yang terdiri dari: kekerasan fisik

290 kasus (28%), kekerasan psikis 207 (20%), kekerasan seksual 535 kasus

(52%).4 Sedangkan dalam tiga bulan pertama pada tahun 2014 ini, Komnas

perlindungan anak telah menerima 252 laporan kekerasan pada anak. Jadi,

menurut Komnas perlindungan anak bahwa laporan kekerasan pada anak

didominasi oleh kejahatan seksual dari tahun 2010-2014 yang berkisar 42-

62%.5 Dari data tersebut terlihat bahwa kasus mengenai kekerasan pada anak

meningkat setiap tahunnya. Terlebih mengenai kasus pelecehan seksual yang

mendomonasi.

Banyak terdapat kasus-kasus mengenai pelecehan seksual pada anak

usia dini yang terjadi didaerah-daerah, diantaranya di Tuban di Jawa Timur,

yang dilakukan oleh pedagang asongan buku dan poster yang melakukan

kekerasan seksual pada 9 orang anak. Sedangkan di Sukabumi, Jawa Barat

(5/5/2014), tindakan pelecahan seksual yang dilakukan oleh AS (24) yang

berjumlah 89 anak. Dan baru-baru ini terjadi pelecahan seksual kepada anak-

anak Taman Kanak-kanak di JIS yang dilakukan oleh para petugas kebersihan

sekolah.

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak

di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk

4 Kompasiana. 2014. Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak. diakses pada http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-seksual-anak--579268.html (diakses pada tanggal 21 Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)

5 Kompas. 2014. Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak. diakses pada http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/0527140/Indonesia.Darurat.Kekerasan.pada.Anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)

5

rangsangan seksual.6 Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta anak

atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan

paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan

pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak,

kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual

tertentu seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk

memproduksi pornografi anak.

Anak perlu untuk diberikan pemahaman oleh orangtua mengenai sex

education. Sehingga melalui sex education ini diharapkan dapat tercapainya

tujuan dalam menjaga keselamatan, kesucian, dan kehormatan anak ditengah

masyarakat7. Cara penyampaiannya tentu harus disesuaikan kehidupan

masyarakat Indonesia yang berlandaskan agama dan tata krama, sehingga

anak didik baik laki-laki maupun perempuan dapat terjaga akhlak dan

agamanya hingga jenjang keluarga sekalipun. Selain itu, keluarga dan

masyarakat juga memiliki pengaruh besar terkait sex education sebagai pihak

pemberi informasi dan teladan, keluarga sebagai lingkungan terdekat anak

didik harus siap dengan berbagai pertanyaan dengan jawaban yang benar, dan

tidak membiarkan rasa ingin tahu mereka dijawab oleh teman atau media yang

belum tentu sesuai untuk usia mereka. Keluarga menjadi pengawas bagi anak

dalam mengontrol musik yang didengar, televisi yang ditonton, majalah yang

dibaca, serta pakaian yang dikenakan.

Sekolah juga mempunyai peranan dalam sex education untuk anak.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh memastikan pelajaran sistem

6 Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)

7 Nurlaili Lisdiya, 2013, sex education untuk-anak-anak, why not? Diakses dari http://sisimikro.blogspot.com/2013/01/sex-education-untuk-anak-anak-why-not.html pada tanggal 20 mei 2014 pada pukul 16.14 WIB

6

reproduksi masuk dalam kurikulum 2014. Kebijakan itu merupakan salah satu

bentuk pencegahan tindak kekerasan seksual pada anak.

M Nuh mengungkapkan bahwa " Dalam kurikulum tersebut, anak kelas 1 SD sudah mulai diberikan pelajaran sistem reproduksi. Pelajaran reproduksi untuk anak kelas 1 SD jangan dibayangkan dijelaskan secara biologi, tapi masuk dalam tema, misalnya tema tentang kebersihan diri bisa memuat materi soal pelajaran reproduksi itu. Menyangkut kebersihan diri, (dijarkan) termasuk underwear awareness. Jadi, anak-anak diajarkan untuk lebih perhatian terhadap daerah-daerah tubuh yang ditutupi underwear. Yang ditutupi itu barang mahal. Barang mahal pasti dirangkapi dobel-dobel. Beda dengan kuping, dahi yang dibiarkan terbuka kan,” 8

Kekerasan seksual terhadap anak dinyatakan tidak sah hampir di

manapun di dunia ini, umumnya diganjar dengan hukum pidana berat,

termasuk hukuman mati dan penjara seumur hidup.9 Hubungan seksual

seorang dewasa dengan anak di bawah umur dinyatakan sebagai pemerkosaan

menurut hukum, didasarkan pada prinsip bahwa seorang anak tidak dapat

memberikan persetujuan dan setiap persetujuan yang nyata oleh seorang anak

tidak dianggap sah.

Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah

perjanjian internasional yang secara resmi mewajibkan negara untuk

melindungi hak anak. Ayat 34 dan 35 dalam konvensi tersebut meminta

negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi dan pelecehan

seksual. Hal ini termasuk pernyataan bahwa ancaman kepada seorang anak

untuk melakukan aktivitas seksual, prostitusi anak, dan eksploitasi anak dalam

8 Laia Rahmawati, Nuh: Cegah Kekerasan Seksual, Kurikulum Ajarkan Kesadaran Soal Pakaian Dalam, 2014, Kompas, diakses dari http://edukasi.kompas.com/read/2014/05/17/0745343/Nuh.Cegah.Kekerasan.Seksual.Kurikulum.2014.Ajarkan.Kesadaran.soal.Pakaian.Dalam (pada tanggal 20 Mei 2014 pada pukul 16.16 WIB )

9 Levesque, Roger J. R. (1999). Sexual Abuse of Children: A Human Rights Perspective. Indiana University Press. hlm. 1,5–6,176–180. ISBN 0253334713. (pada tanggal 20 Mei 2014 pada pukul 16.40 WIB )

7

menciptakan pornografi dianggap melawan hukum. Negara juga diminta

mencegah penculikan dan perdagangan anak.10 Sejak bulan November 2008,

193 negara sepakat dengan Konvensi Hak-Hak Anak,11 termasuk setiap

anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.12

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sex education ini penting

untuk diberikan kepada anak, sehingga anak dapat mengetahui apa yang

seharusnya dilakukan untuk melindungi dirinya dari orang lain.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan indentifikasi

masalah, sebagai berikut:

1. Perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud dan Erik

Erikson.

2. Peran sekolah dalam membuat SOP (Standar Oprasional Prosedur)

keamanan pada anak.

3. Seks policy bagi pelanggar kebijakan

4. Analisis jurnal tentang kekerasan seks terhadap anak usia dini, guna

memberi wawasan dan mempertegas tentang dampak kasus seks abuse

serta cara penanganannya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita tarik beberapa pertanyaan

sebagai rumusan masalah, yang akan dibahas secara lebih mendalam dalam

makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut

10 United Nations Convention on the Rights of the Child.

11 United Nations Treaty Collection. Convention on the Rights of the Child . (Diakses 25 Mei 2014) 12 Child Rights Information Network (2008). Convention on the Rights of the Child. (Diakses 25 Mei 2014)

8

1. Bagaimanakah perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud

dan Erik Erikson?

2. Bagaimana Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan pada anak?

3. Bagaimana seks policy bagi pelanggar kebijakan?

4. Bagaimana kasus-kasus seks abuse terhadap anak yang ada di dunia,

diperoleh dari analisis jurnal?

D. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan umum penulisan makalah ini

adalah memberikan wawasan kepada pembaca tentang kekerasan seksual terhadap

anak usia dini, secara khusus tujuan penulisan makalah ini yaitu agar pembaca

memahami tentang

1. Untuk mengetahui perkembangan psikoseksual anak menurut para ahli.

2. Untuk mengetahui peran sekolah dalam membuat sop keamanan pada anak.

3. Untuk mengetahui seks policy bagi pelanggar kebijakan.

4. Untuk mengetahui dampak kasus seks abuse di dunia serta cara

penanganannya melalui analisis jurnal tentang kekerasan seks terhadap anak

usia dini.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Tahap Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud dan Erik Erikson

9

Teori-teori tentang tahap perkembangan psikoseksual identik dengan teori

psikoanalitis/psikoanalisis, hal ini disebabkan perkembangan psikoseksual

merupakan kajian yang mendalam pada tahap perkembangan manusia dan

melibatkan emosi di dalamnya. Psikoanalisis merupakan suatu sistem dinamis dari

psikologi yang mencari akar-akar tingkah laku manusia di dalam motivasi dan

konflik yang tidak disadari. Titik awal sistem ini, mencari atau bertolak dari

konsep libido yang secara asasi dirumuskan sebagai energi seksual baik dalam

bentuknya secara asli maupun dalam bentuk yang diubah sepanjang perkembangan

diri manusia, dalam segala bentuk cinta, afeksi, dan kemauan untuk hidup.13

Para ahli teori psikoanalitis menekankan bahwa perilaku hanyalah

merupakan karakteristik di permukaan, pemahaman sepenuhnya mengenai

perkembangan hanya dapat dicapai melalui analisis makna-makna simbolis dari

perilaku serta menelaah pikiran yang lebih dalam. Karakteristik ini disoroti dalam

teori psikoanalitis utama oleh Sigmund Freud. Teori Freud terlalu berfokus pada

insting seksual, yang kemudian direvisi secara signifikan oleh para ahli teori

psikoanalitis yang mengedepankan pengalaman budaya sebagai determinan dari

perkembangan individu. Salah satu pakar yang merevisi gagasan Freud adalah Erik

Erikson. Erik Erikson mengakui kontribusi Freud namun berpendapat bahwa

Freud keliru dalam menilai sejumlah dimensi penting dari perkembangan

manusia.Erik Erikson menyatakan bahwa individu berkembang menurut tahap-

tahap psikososial, bukan menurut tahap-tahap psikoseksual sebagaimana

dikemukakan oleh Freud. Berikut pembahasan teori psikoseksual menurut

Sigmund Freud dan psikososial menurut Erik Erikson:

1. Teori Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud14

Penelitian Freud telah membawanya untuk percaya bahwa perasaan seksual

mestinya aktif pada masa kanak-kanak, namun begitu konsep konsep seksualitas

13 J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi:Terjemahan Kartini Kartono,(Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h. 394

14 William Crain, Teori Perkembangan:Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), h. 388-405

10

Freud ini sangat luas. Tahap-tahap perkembangan psikoseksual Freud adalah tahap

oral, anal, falik atau odipal, latensi, dan pubertas/genital.

a) Tahap Oral

Beberapa bagian pada tahap oral adalah

Bagian Pertama, bagian ini mendeskripsikan kegiatan menghisap sebagai

aktivitas bayi dalam memperoleh makanan untuk bertahan hidup, namun

Freud melihat juga kalau tindakan menghisap menyediakan perasaan

menyenangkan bagi bayi. Itu sebabnya, bayi sampai terbawa-bawa

menghisap jarinya sendiri atau objek lain meskipun perutnya tidak lapar.

Freud menyebut kesenangan dari menghisap ini otoerotik, artinya ketika bayi

menghisap jarinya sendiri, mereka tidak mengarahkan impuls-impuls kepada

orang lain selain menemukan kenikmatan lewat tubuh mereka sendiri. Freud

menekankan sifat otoerotik di tahap oral ini karena ingin memperlihatkan

bayi terbungkus di dalam tubuh mereka sendiri, Freud melihat bahwa selama

enam bulan pertama atau lebih dari kehidupan pertamanya, dunia bayi tidak

berobjek, artinya bayi tidak memliki konsepsi tentang orang atau hal-hal

yang eksis dalam dirinya sendiri. Karena itu, meskipun bayi sungguh-

sungguh bergantung pada orang lain, mereka tidak akan sadar akan fakta ini

karena belum bisa menyadari keberadaan orang lain yang berbeda darinya.

Bagian kedua, kira-kira sejak usia 6 bulan, bayi mulai megembangkan

konsepsi tentang orang lain, khususnya ibu, sebagai pribadi yang berbeda

dan terpisah darinya namun dibutuhkan. Mereka jadi cemas jika ibu

meninggalkannya atau ketika mereka bertemu orang asing tanpa ibunya.

Pada saat yang sama, perkembangan penting lainnya sedang terjadi yaitu

pertumbuhan gigi dan dorongan untuk menggigit.

Bagian Ketiga (Fiksasi dan Regresi), Freud mengatakan bahwa dia tidak

begitu pasti dengan penyebab fiksasi, namun para psikoanalis umumnya

percaya bahwa fiksasi dihasilkan oleh kesenangan berlebihan atau rasa

frustasi berlebih-lebihan di tahap perkembangan tertentu. Contoh:

menghisap atau menggigit objek tertentu seperti pensil atau memperoleh

kesenangan terbesar dari aktivitas-aktivitas seksual yang bersifat oral, atau

merasa kecanduan merokok dan minum. Bayi yang menerima perawatan

11

panjang dan sangat memuaskan bisa terus mencari kesenangan oral ini, di

sisi lain bayi yang mengalami frustasi dan keputussaan besar di tahap oral

bisa bertindak seolah-olah, dia tidak ingin menyerah pada kepuasan oral atau

dia akan terjun pada kepuasan oral ini jika tidak ada bahaya jangka panjang

yang akan ditemuinya.

Kadang-kadang seseorang menunjukkan sejumlah ciri oral di dalam hidup

mereka sehari-hari sampai mereka kemudian mengalami sejumlah frustasi

dan kemudian mundur (regress) ke titik fiksasi oral. Contoh: Seorang anak

kecil yang tiba-tiba menemukan diri terpisah dari kasih sayang orang tua saat

adiknya lahir bisa mundur lagi ketingkah laku oral dan mulai menghisap ibu

jarinya lagi.

b) Tahap Anal

Selama tahun kedua atau ketiga kehidupan anak, wilayah anal menjadi fokus

ketertarikan seksual. Anak-anak jadi semakin sadar akan sensasi-sensasi

menyenangkan ketika sudah dapat mengontrol otot-otot dubur ini, kadang-

kadang mereka belajar untuk menahan gerakan perut sampai detik terakhir

untuk kemudian meningkatkan tekanan di dubur yang membawa kesenangan

tertinggi saat feses akhirnya terlepas (Freud, 1905). Anak-anak juga sering

tertarik untuk menikmati kegiatan memegang dan membaui feses mereka

sendiri (Freud,1913).

Pada tahap anal ini anak pertama kali diminta mengendalikan kesenangan

instingtual mereka dengan cara yang dramatis. Disinilah anak mulai

diberikan pengajaran toilet sebelum waktunya. Sejumlah anak mungkin

awalnya menentang pelajaran ini dengan merusak diri sendiri secara sadar,

mereka juga terkadang memberontak dengan menjadikan dirinya tidak

berguna, tidak teratur dan kacau. Ciri-ciri yang kadang masih bertahan pada

masa dewasa sebagai aspek-aspek dari karakter “anal ekspulsif”. Namun

Freud juga tertarik dengan reaksi yang berlwanan dari tuntutan-tuntutan

orang tua ini. Anak merasa seolah mereka sebagaia anak yang terlalu

beresiko memberontak terhadap tuntutan orang tua sehingga dengn penuh

kecemasan mereka mengiyakan saja aturan orang tua. Orang-orang seperti

12

ini menyimpan kebencian terhadap ketundukan pada otoritas namun tidak

berani mengekspresikan kemarahan secara terbuka, sebaliknya mereka lebih

banyak mengembangkan sikap pasif, menegaskan bahwa mereka melakukan

sesuatu menurut jadwal sendiri, sehingga orang lain seringkali dipaksa

menunggu, mereka juga bisa menjadi hemat dan kikir. Orang-orang seperti

ini yang terkadang disebut “Anal Kompulsif”.

c) Tahap Falik atau Odipal

Antara usia 3 sampai 6 tahun, anak memasuki tahap falik atau odipal. Freud

memahami tahapan ini lebih baik pada anak laki-laki daripada anak

perempuan. Daerah erogen (daerah yang sensitif terhadap stimulasi seksual,

penis pada anak laki-laki dan klitoris pada anak perempuan). Konflik antara

orang tua dan anak mungkin terjadi karena masturbasi , menggesekkan

daerah phallic untuk kepuasan seksual dimana orang tua mungkin bereaksi

dengan memberikan ancaman dan hukuman.15

Krisis odipal anak laki-laki. Krisis odipal dimulai saat anak laki-laki mulai

tertarik kepada penisnya. Organ ini yang begtitu mudah dibuat senang dan

berubah bentuk, dan begitu kaya akan sensasi (Freud 1923), anak lalu ingin

membandingkan penisnya dengan penis anak lain dan penis hewan, dan

berusaha melihat organ seksual anak perempuan dan wanita. Anak mungkin

juga menikmati memperlihatkan penisnya, dan yang lebih umum memainkan

peran yang bisa dmainkannya sebagai pria dewasa. Anak memulai

eksperimen dan memtar fantasi dimana dia menjadi pria heroik dan agresif,

seringkali mengarahkan intensinya menuju objek cinta utamanya, sang ibu.

Dia mulai menciumi ibu dengan agresif, atau tidur bersamanya ketika

malam, atau membayangkan menikahinya. Namun anak akan segera

menyadari jika tindakannya salah dengan alasan sudah menjadi “anak

besar”.

Krisis odipal anak perempuan, Pandangan Freud sendiri tentang topik ini

secara luas adalah mencatat bahwa anak perempuan di usia 5 tahun atau

lebih menjadi kecewa dengan ibunya. Anak merasa dicampakkkan karena

15 Jeffrey S. Nevid, Psikologi Abnormal, Edisi V jilid 1 , (Jakarta:Erlangga, 2005), h. 44

13

ibunya tidak lagi memberi cinta yang dipeoleh ketika dulu masih bayi. Lebih

jauh lagi, dia semakin marah dengan larangan ibu seperti masturbasi.

Akhirnya, dan yang paling mengecewakan, si anak menemukan bahwa dia

tidak memiliki penis. Denga kata lain anak perempuan merasakan yang

disebut Feud kecemburan akan penis, sebuah harapan memiliki penis seperti

dimiliki anak laki-laki. Namun akhirnya anak perempuan mulai bisa

memulihkan kebanggaan feminimnya, ketika dia mengapresiasi perhatian

sang ayah.

d) Tahap Latensi

Anak memasuki periode latensi sampai usia 11 tahun. seperti ditunjukkan

olehnya , fantasi-fantasi seksual dan agresivitas sekarang tersembunyi

dalam-dalam (laten) dijaga rapat-rapat dibawah, di dalam ketidaksadaran.

Anak sekarang bebas mengarahkan kembali energinya pada pengejaran-

pengejaran konkret yang bisa diterima secara sosial, seperti olahraga,

permainan, dan aktivitas-aktivitas intelektual.

e) Tahap Pubertas/Genital

Pada fase pubertas, yang dimulai sekitar usia 11 tahun untuk anak

perempuan, dan 13 tahun untuk anak laki, energi seksual sudah terbentuk

dalam kekuatan penuh orang dewasa dan mengancam membobol pertahanan

yang sudah dibangun selama ini. Perasaan odipal mengancam untuk

membobol keluar menuju kesadaran dan membawanya ke dalam realitas,

(Freud, 1920). Freud mengatakan bahwa dari pubertas ke depan, tugas

terbesar individu adalah membebaskan diri dari perwalian orangtua. Bagi

remaja laki-laki ini artinya membebaskan ikatan dengan ibu dan menemukan

waktu yang disukainya. Untuk remaja putri, tugasnya adalah harus bisa

memisahkan diri dari perwalian orang tua dan membangun hidupnya sendiri,

namun freud mencatat bahwa independensi tidak pernah datang dengan

mudah.

Teori Freud sangat kompleks termask teori tentang id, ego dan super ego

yang menjadi bagian dari jiwa manusia termasuk dalam memandang

tahapan perkembangan psikoseksualnya. Id adalah bagian dari kepribadian

yanga awalnya disebut Freud ketidaksadaran, dan mengandung refleks dan

14

dorongan biologis dasar. Jika diselidiki motivasinya maka id di dominasi

oleh prinsip kesenangan, tujuannnya adalah memaksimalkan kesenangn dan

meminimalkan rasa sakit. Kajiwaan bayi hampir seluruhnya didominasi oleh

“id”. Freud mengatakan jia “id” berisi hasrat-hasrat yang tak terjinakkan

maka “ego” berisi penalaran dan pemahaman yang tepat. Karena ego

memahami realitas, ego berusaha menahan tindakan sampai dia memliki

kesempatan untuk memahami realitas secara akurat memahami apa yang

sudah terjadi di dalam situasi serupa dimasa lalu, dan membuat rencana-

rencana realistik dimasa depan (Freud, 1940) sering dkenal sebagai proses

kognisi atau perseptual. Freud menulis tentang “superego” seolah-olah

mengandung dua bagian, salah satu bagiannya disebut suara hati. Ini adalah

bagian superego yang Yang bersifat menghukum, negatif dan kritis yang

mengatakan pada kita apa yang tidak boleh dilakukan dan menghukum kita

dengan rasa bersalah jika kita melanggar tuntutannya. Hal ini yang menjadi

standar anak pada krisis odiipal agar krisis odipal tidak menjadi kompleks.

Sedangkan bagian yang lain disebutnya ego ideal, karena terdiri atas

aspirasi-aspirasi positif, berisi ide-ide positif seperti keinginn menjadi lebih

murah hati, berani atau berdedikasi tinggi.

Pemikiran Freud tentang pendidikan tidaklah seradikal yang seperti

umumnya diduga. Dia percaya bahwa masyarakat akan selalu membuat

sejumlah penolakan instingtual, sehingga tidak adil jika mengirim anak ke

dunia dengan harapan mereka dapat melakukan apa saja yang diinginkan

(Freud, 1933). Di sisi lain Freud juga melihat kalau disiplin biasanya bersifat

memaksa, membuat anak jadi merasa malu dan bersalah oleh karena hal

yang tidak perlu mengenai tubuh dan fungsi-fungsi alamiah mereka. Freud

secara khusus berempati terhadap kebutuhan akan pendidikan seks yang

benar dan merekomendasikan agar pendidikan seks dipegang sekolah agar

anak bisa mempelajari reproduksi di dalam pelajaran tentang alam dan

hewan, dari situ mereka dapat menarik kesimpulan yang benar mengenai

kondisi manusia.

2. Teori Perkembangangan Psikoseksual/ Psikososial Erik Erikson

15

Erikson memperdalam penggalian psikoanalisis Freud , karena itu, di

setiap tahapan Freudian dia mulai memperkenalkan sejumlah konsep yang

secara bertahap mengarah kepada hubungan paling umum sekaligus krusial

antara anak dan dunia sosial, berikut pembahasannya:

a) Tahap oral – Kepercayaan vs ketidakpercayaan (trust vs mistrust)

Erikson memperluas deskripsi Freud mengenai tahapan oral. Erikson

menunjukkan bukan hanya zona oral yang penting, namun juga mode-mode

ego menghadapi dunia. Pertama-tama Erikson berusaha memberikan

generalitas lebih besar pada pentahahapan Freudian dengan menunjukkan

bahwa di tiap zona libidinal kita bisa menemukan mode ego yang khas. Di

tahap awal zona utamanya adalah mulut, bayi memiliki mode aktivitas yang

disebut inkoporasi yaitu memasukkan benda ke dalam mulunya secara pasif

namun sangat mendambakan sesuatu itu. Menurut Erikson, bayi tidak hanya

memasukkan sesuatu lewat mulutnya, tapi juga lewat matanya. Ketika

melihat sesuatu yang menarik dia membuka mata lebar-lebar dengan penuh

semangat berusaha memasukkan objek itu ke dalam dirinya,sejalan dengan

itu mereka memasukkan perasaan-perasaan lewat indera mereka yang masih

rapuh.

Bayi mengumpulkan informasi dan kemudian menggenggam benda lewat

beragam inderanya. Perkembangan ego bayi berhadapan dengan dunia sosial

dalam hal ini para pengasuhnya, dilakukan dengan cara umum dan tertentu.

Karena itu bayi perlu tahu bahwa pengasuh mereka bisa diprediksi dan bisa

memahami rasa aman yang dibutuhkan oleh batin mereka. Sehingga Erikson

mencoba menghubungkan dengan kondisi sosial yang terjadi. 16

Tahap pertama Erik Erikson dari perkembangan psikososial adalah tahap

kepercayaan vs ketidakpercayaan ( trust vs mistrust), yang dialami dalam

satu tahun pertama kehidupan seseorang. Di masa bayi kepercayaan akan

menentukan landasan bagi ekspektasi seumur hidup bahwa dunia akan

menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.17

16 William Crain, op.cit.,hh. 42817 John W. Santrock, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi XIII Jilid 1, (Jakarta: Erlangga,2012), h. 26

16

b) Tahap Anal- Otonomi vs Rasa malu dan ragu-ragu (autonomy vs shame

and doubt).

Erikson setuju dengan Freud kalau mode dasar tahapan ini adalah retensi dan

eliminasi yaitu, menahan atau melepaskan. Diantara dua hal yang

bertentangan ini anak berusah melatih kemampuan memilih. Anak yang

berusia dua tahun ingin memegang apapun yang diinginkan, dan mendorong

apapun yang tidak diinginkan. mereka melatih kehendak mereka tepatnya

otonomi. Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuhnya, bayi mulai

menemukan bahwa perilaku mereka adalah keputusan mereka sendiri.

Mereka mulai menyatakan rasa kemandirian atau otonominya. Jika bayi

terlalu banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras, mereka cenderung

mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.18

Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang

mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya

sendiri seerti mengontrol otot mereka sendiri, menggunakan tangannya

sendiri untuk makan, sedangkan rasa malu dan ragu-ragu datang dari

kesadaran akan ekspetasi dan tekanan sosial.19

c) Tahap Falik - Inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guilt)

Erikson menyebut mode utama tahap ini sebagai intrusi. Lewat istilah

ini dia berharap bisa menangkap pendapat Freud tentang anak yang semakin

tumbuh dalam keberanian, keingintahuan dan rasa persaingan. Istilah intrusi

melukiskan aktivitas penis anak laki-laki namun sebagai mode umum, istilah

ini mengacu pada banyak hal seperti intrusi pada tubuh orang lain lewat

serangan fisik, intrusi ke dalam telinga orang lain lewat percakapan agresif,

instrusi dalam ruang lewat gerakan menyolok, dan instrusi dalam hal-hal

yang tidak diketahui lewat keingintahuan(Erikson, 1983). 20

Tahap inisiatif vs rasa bersalah, berlangsung pada masa prasekolah

(3-6 tahun), ketika anak prasekoah memasuki dunia sosial yang luas, mereka

dihadapkan pada tantangan baru yang menuntut mereka untuk

18 John Santrock, loc.cit. h. 2719 William Crain, op.cit h. 43620 Ibid., h.437

17

mengembangkan perilaku yang aktif dan bertujuan. Anak-anak diharapkan

mampu bertanggung jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan dan hewan

peliharaan mereka. Namun, perasaan bersalah dapat muncul bila anak

dianggap tidak bertanggung jawab dan menjdi merasa sangat cemas.21 Orang

tua bisa membantu proses ini dengan memperlunak otoritas dan

memperbolehkan anak berpartisipasi dalam proyek-proyek kehidupan yang

menarik. Lewat cara ini orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis

pada tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan yang tidak rusak

oleh rasa bersalah maupun larangan.22

d) Tahap Latensi - Semangat vs rendah diri (Industry vs Inferiority)

Erikson mengatakan pada tahap ini anak belajar menguasai

kemampuan kognitif sosial. Tahap ini berlangsung selama sekolah dasar (6-

11 tahun). Prakarsa anak-anak membawa mereka terlibat dalam kontak

pengalaman-pengalaman baru yang kaya. Ketika mereka beralih kemasa

kanak-kanak pertengahan dan akhir, mereka mengarahkan energinya untuk

menguasai pengetahuan dan keterampilanintelektual. Tidak adasaat lain yang

lebih penuh semangat atau antusiasme untuk belajar dibandingkan pada

akhir periode pengembangan imajinasi pada kanak-kanak awal. Bahaya yang

dihadapi di masa sekolah dasar adalah anak dapat mengembangkan rasa

rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif23. Hal yang seperti

ini yang kemudian diberikan solusi oleh Erikson melalui penguatan ego atau

kompetensi yang merupakan sebuah latihan inteligensio dan kemampuan

secaa beas dalam menyelesaikan tugas-tugas tanpa diganggu perasaan

inferioritas yang berlebihan sebab menurutnya setiap anak itu berbeda dan

unik.24

e) Tahap Pubertas – Identitas Vs Kebingungan identitas

Pada masa remaja (10-20 tahun) individu dihadapkan pada tantangan

untuk menemukan siapa dirinya, bagaimana mereka nantinya, dan arah mana

21 Santrock, op.cit., h. 2622 Willianm Crain. op.cit., h.43823 Santrock, loc.cit. h. 2724 William, Op.cit., h.440

18

yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. Remaja dihadapkan pada

peran-peran baru dan status oang dewasa, pekerjaan dan romantisme.

Contohnya jika mereka menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara

yang sehat dan sampai pada suatu jalur yang positif, untuk diikuti dalam

kehidupan, maka identitas positif yang akan dicapai. Jika tidak maka mereka

akan mengalami kebingungan identitas.

Remaja hanya berpusat pada diri sendiri, lebih bergulat dengan

bagaimana penampilan mereka di mata orang lain, Merka jadi tertarik secara

seksual kepada orang lain bahkan jatuh cinta, namn kedekatan itu seringkali

hanya bertujuan untuk mendefinisikan dirinya saja.

f) Tahap Dewasa Muda – Intim Vs Isolasi (Intimacy Vs Isolation)

Tahap perkembangan dewasa Erikson berisi langkah-langkah

manusia memperlebar dan memperdalam kapasitas mencintai dan

memperhatikan orang lain. Masa remaja sebelumnya memiliki hasrat seksual

seperti jatuh cinta namun hanya untuk mendefenisikan dirinya sendiri. Untuk

menyongsong dewasa muda intinya adalah mencapai sebuah keintiman.

Keintiman yang riil adalah satu-satunya perasaan identitas paling

masuk akal yang sudah dibangun selama masa ini. Tidak ada pasangan yang

yang dapat mengalami sebuah keintiman total, maka kaum dewasa muda

dapat mengembangkan kekuatan ego yang disebut “cinta dewasa”, sebuah

mutualisme kesetiaan yang sampai kapanpun bisa mengatasi antagonisme

apapun diantara mereka berdua (Erikson 1964). Namun hanya orang yang

merasa aman dengan identitasnya saja yang sanggup kehilangan dirinya

dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Bila anak muda begitu

khawatir maskulinitasnya maka dia tidak akan dapat menjadi kekasih baik,

karena dia terlalu sadar diri, terlalu khawatir dengan bagaimana cara

mebuktikan diri dan bagaimana cara menarik diri dengan bebas dan lembut

dari pasangan seksualnya. Di tingkatan ini mereka yang gagal mencapai

mutualitas akan mengalami isolasi

g) Tahap Dewasa - Generativitas Vs Stagnasi (Generativity Vs

Stagnation)

19

Sekali dua insan muda sanggup membangun keintiman yang benar,

ketertarikan mereka mulai berkembangn melampaui fokus pada diri sendiri.

Mereka jadi peduli dengan membesarkan generasi selanjutnya. Di dalam

terminologi Erikson, mereka memasuki tahapan semanngat-berbagi vs

penyerapan diri-stagnasi. Semangat berbagi merupakan istilah yang sangat

luas mengacu bukan hanya kepada memproduksi anak, tetapi juga

memproduksi hal-hal dan juga ide-ide lewat kerja. Disisi lain ada juga

banyak orang yang menikah tapi kekurangan semanngat berbagi ini . Di

dalam kasus-kasus yang demikian pasangan ini seringkali muncul ke dalam

pseudo keintiman (Erikson, 1959). Erikson sering melihat pasangan seperti

ini terus menganalisis tanpa henti hubungan mereka untuk mencari seberapa

banyak bisa memperoleh sesuatu dari pasangannya. Individu seperti ini lebih

peduli dengan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan anak mereka.

h) Tahap Usia Senja - Integritas Vs Keputusasaan (Integrity Vs Despair)

Erikson sangat menyadari bahwa banyak penyesuaian, fisik maupun

sosial, harus dilakukan para lansia. Beliau meyadari fakta bahwa para lansia

tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan mestinya bukan diberikan pada

penyesuaian eksternal, melainkan penguatan batin di periode ini, sebuah

pergulatan yang berpotensi untuk tumbuh bhkan mencapai kebijaksanaan .

Erikson menyebut ini sebagai pergulatan integritas ego vs keputusasaan.

Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka akan

semakin menemukan pengertian mengenai integritas ego. Integritas ego kata

Erikson sangat sulit didefenisikan namun mencakup perasaan bahwa terdapat

sebuah suratan bagi hidupnya dan “penerimaan atas suratan tersebut, sebuah

siklus yang harus terjadi dan niscaya dan tidak ada yang

menggantikannnya...”(Erikson, 1963). Pergulatan batin ini cenderung

membuat seorang lansia seperti seorang filsuf, bergulat dengan diri sendiri

untuk menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan.

Kebijaksanaan bisa diungkapkan dengan banyak cara, namun selalu

merefleksikan upaya yang penuh pertimbangan dan pengharapan demi

menemukan nilai dan makna hidup sewaktu menghadapi kematian (Erikson,

1976).

20

Tahapan perkembangan psikoseksual dari Sigmund Freud dan Erik

Erikson menghasilkan analisis bahwa jika Freud beranggapan bahwa

motivasi utama manusia pada hakekatnya bersifat seksual maka Erikson

menganggap bahwa motivasi utama manusia bersifat sosial dan

mencerminkan hasrat untuk bergabung dengan orang lain. Menurut Freud

kepribadian dasar manusia dibentuk dalam lima tahun pertama kehidupan,

Erikson beranggapan perubahan dalam perkembangan berlangsung

sepanjang masa hidup. Dengan demikian menyangkut pandangan mengenai

pengenalan masa awal dan masa selanjutnya. Freud berpendapat bahwa

pengalaman masa awla lebih penting dibandingkan pengalaman di masa

selanjutnya. Sementara erikson menekankan pentingnya pengalmn dimasa

awal maupun masa selanjutnya.

B. PERAN SEKOLAH DALAM MEMBUAT SOP KEAMANAN ANAK

Sebagaimana kita ketahui seksama bahwa Undang-undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara tegas menyatakan

bahwa “Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang

ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan

melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki

pendidikan lebih lanjut”.

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan anak usia dini dapat

diselenggarakan melalui jalur formal (Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal),

jalur nonformal (Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan bentuk lainnya

yang sederajat), dan pada jalur informal (pendidikan keluarga atau lingkungan).

Dalam rangka mendukung kebijakan pembinaan layanan Pendidikan Anak Usia

Dini (PAUD) yang terarah, terpadu dan terkoordinasi, pada tahun 2010

Kementerian Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa

pembinaan PAUD baik formal, nonformal maupun informal, menjadi tanggung

21

jawab Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal

(Ditjen PAUDNI), yang secara teknis dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan

Anak Usia Dini.

Meskipun selama ini berbagai kebijakan yang terkait dengan pembinaan

PAUD telah ditetapkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat,

namun pada kenyataannya belum semua anak terlayani PAUD dan diperkirakan

hingga tahun 2010 dari 28,8 juta anak usia 0-6 tahun yang terlayani baru 53,7%.

Masih rendahnya jumlah anak yang terlayani PAUD, antara lain disebabkan (1)

belum semua orang tua dan masyarakat menyadari pentingnya PAUD, (2) masih

terbatasnya jumlah lembaga PAUD, terutama di daerah-daerah pedesaan, daerah

terpencil, dan daerah perbatasan, (3) tidak semua lembaga PAUD yang dapat

memberikan layanan bagi anak-anak yang ada disekitarnya, dan (4) terbatasnya

sarana, prasarana dan fasilitas yang dimiliki oleh lembaga PAUD. Berpijak dari

kondisi tersebut di atas, dalam rangka mendukung keterjangkauan, ketersediaan,

mutu/kualitas dan kesetaraan serta keterjaminan layanan PAUD diseluruh pelosok

tanah air, berdasarkan hal tersebut

1. Membuat Kebijakan Tentang Lingkungan Sekolah yang Sehat Dan Aman Bagi Peserta Didik

Memastikan bahwa semua peserta didik sehat, aman, dan dapat belajar adalah

bagian penting dari lingkungan pembelajaran inklusif yang efektif. Banyak

sekolah memiliki program seperti ini, karena mereka menyadari bahwa faktor

kesehatan, gizi yang baik dan lingkungan yang aman akan berpengaruh dalam

mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Kebijakan sekolah tentang

kesehatan adalah mengupayakan peningkatan kesehatan, kebersihan, gizi dan

keamanan bagi semua peserta didik dengan beragam latar belakang dan

kemampuan. Kebijakan tersebut harus menjamin dapat menciptakan sekolah yang

sehat, aman dan lingkungan yang ramah. Sehingga anak dapat belajar karena

mereka merasa aman. Melibatkan berbagai pihak terkait adalah cara terbaik untuk

mengembangkan kebijakan sekolah tentang kesehatan. Tujuannya agar mereka

22

memberikan sumbangan pemikiran dan memberikan kegiatan yang dapat

digunakan untuk mengadvokasikan kebijakan tentang kesehatan sekolah.

Melaksanakan kebijakan untuk menjamin lingkungan belajar yang inklusif,

melindungi, dan sehat memerlukan dukungan yang luas. Untuk memperoleh

dukungan ini dimulai dengan advokasi, yaitu, mengembangkan pesan persuasif

dan bermakna yang membuat para pengambil keputusan melihat bahwa kebijakan

tersebut memang dibutuhkan. Berikut akan disajikan contoh kebijakan kesehatan

dan perlindungan sekolah:25

No Isu Kebijakan Contoh Kebijakan Sekolah1 Kehamilan dini yang tidak

diinginkan dan konsekuensinya Memberikan kesempatan peserta

didik yang hamil tetap bersekolah Melibatkan pendidikan kehidupan

keluarga dalam kurikulum Melarang semua jenis diskriminasi

2 Sekolah Bebas Rokok dan Penyalahgunaan NAPZA

Larangan merokok di lingkungan sekolah

Larangan menjual rokok kepada anak

Larangan adanya iklan dan promosi rokok

Pendidikan kesehatan yang memfokuskan kepada bahaya penyalahgunaan NAPZA

3 Sanitasi dan Kesehatan Pemisahan WC untuk guru lelaki dan perempuan dan juga untuk peserta didik laki-laki dan perempuan.

Penggunaan air bersih di semua sekolah

Komitmen aktif dari Persatuan Guru dan Orang Tua serta

Komite Sekolah untuk memelihara fasilitas air dan sanitasi

4 HIV dan AIDS dan Penyakit Menular lainnya

Pendidikan kesehatan berbasis kecakapan yang memfokuskan pada pencegahan HIV dan AIDS.

Pemberdayaan teman sebaya dankonseling HIV dan AIDS di sekolah.

Tidak ada diskriminasi kepada guru 25  Focusing Resources on Effective School Health. Core Intervention 1: Health Related School Policies.

http://www.freshschools.org/schoolpolicies-0.htm (diakses 27 Mei 2014)

23

No Isu Kebijakan Contoh Kebijakan Sekolahdan peserta didik yang mengidap HIV DAN AIDS dan penyakit menular lainnya

Pendidikan kesehatan yang memfokuskan kepada pencegahan dan bahaya penyakit menular lainnya.

Adanya akses terhadap upaya pencegahan melalui media

5 Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap pesertaDidik

Jaminan hukum bahwa kekerasan dan pelecehan seksual itu dilarang di sekolah

Sosialisasi perundangan agar dikenal dan diterima semua orang.

Pemberdayaan remaja untuk melaporkan kasus-kasus yang ditemukan.

Memperkuat tindakan kedisiplinan yang efektif untuk mereka yang melakukan kekerasan

6 Sosialisasi tentang Kesehatan dan Gizi Sekolah.

Pelatihan dan pemanfaatan tenaga guru untuk ikut menangani kesehatan dan gizi peserta didik, serta melakukan kerja

sama dengan tenaga kesehatan, juga melibatkan masyarakat setempat.

Peraturan untuk pengelola kantin dan pedagang makanan kaki lima di sekitar sekolah berkenaan dengan kualitas, kebersihan, dan stiker makanan yang dijual

2. Monitoring dan Evaluasi Tentang Kebijakan Sekolah

Beberapa alasan untuk menciptakan kebijakan sekolah untuk kesehatan

yakni sekolah bekerja keras untuk memberikan pengetahuan dan kecakapan yang

dibutuhkan sebagai bekal kehidupan peserta didik. Tetapi sekolah akan

ditinggalkan peserta didiknya jika sekolah kotor, fasilitas toilet tidak memadai

atau tidak ada jaminan keamanan ketika peserta didiknya pergi dan pulang dari

sekolah. Olehnya itu pengelolaan dana, waktu, dan sumber daya yang baik di

sekolah merupakan investasi yang sangat penting, tetapi jika pengelolaan sumber

24

daya pendidikan tersebut tidak baik, ini tidak menjadi jaminan bagi peserta didik

untuk betah bersekolah di tempat tersebut.

Kemudian kehadiran peserta didik di sekolah akan menurun, jika orang tua

khawatir akan keselamatan anaknya atau ketika sekolah tidak memiliki sumber

daya yang cukup untuk memberikan layanan kesehatan dan gizi yang bermanfaat

untuk anak mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya kerja sama

dengan keluarga dan masyarakat. Ketika kita mempromosikan kebutuhan akan

kebijakan dan program kesehatan sekolah khususnya yang ditujukan untuk

melayani kebutuhan peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan yang

beragam, kita langsung akan mengetahui masyarakat yang mendukung kebijakan

tersebut. Orang-orang ini bisa saja menjadi advokat yang kuat, dan mereka dapat

membantu kita sekaligus mencarikan jalan keluarnya jika timbul penolakan atau

kesalahpahaman yang mungkin muncul mengenai masalah kesehatan sekolah.

Cara lain yang bermanfaat untuk hal ini adalah dengan menciptakan suatu

Komite Penasehat Kesehatan yang beranggotakan berbagai lapisan masyarakat.

Olehnya itu kebijakan sekolah tentang kesehatan harus memberikan manfaat pada

semua peserta didik dari berbagai kelompok masyarakat. Kebijakan yang

berkaitan dengan kebutuhan peserta didik tampaknya yang paling banyak

mendapat dukungan. Setelah kita mendapatkan dukungan untuk mengembangkan

kebijakan kesehatan dan keamanan sekolah, langkah berikutnya adalah

melaksanakan evaluasi dan monitor kebijakan sekolah tentang kesehatan

(pedoman terlampir).

3. Mengatasi Kekerasan: Pemetaan Kekerasan dan Pelaksanaan Program di Sekolah

a. Pemetaan Kekerasan

Di sekolah, peserta didik yang berbeda latarbelakang maupun kemampuan

rentan akan terjadi diskriminasi dan kekerasan, misalnya, upaya untuk

menjauhkan mereka dari yang lain di dalam sekolah dan kadang-kadang di

luar sekolah. Bahkan terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang

mengakibatkan luka-luka, kematian, gangguan psikologis, perkembangan fisik

yang buruk atau kerugian. Ada tiga bentuk tindak kekerasan, yaitu:

25

Kekerasan terhadap diri sendiri: adalah perilaku membahayakan yang

sengaja dilakukan untuk menyakiti diri sendiri, termasuk upaya

melakukan bunuh diri.

Kekerasan antarpribadi: adalah perilaku kekerasan antarindividu yang

berakibat pada hubungan korban-pelaku, misalnya penghinaan dan

pelecehan.

Kekerasan yang diorganisir: adalah bentuk perilaku kekerasan yang

dilakukan oleh kelompok sosial atau politik yang mempunyai tujuan

politik, ekonomi atau sosial. Contoh: konflik agama atau ras yang terjadi

di antara kelompok, geng atau mafia.

Kemudian ditinjau dari sebab terjadinya Kekerasan: kekerasan di sekolah,

keluarga, dan masyarakat berikut akan diuraikan beserta faktor- faktor yang

melatarbelakanginya:

Faktor penyebab pada anak:

Anak mempunyai kekurangan yang berkaitan dengan pengetahuan,

misalnya: sikap cara berfikir, kurang cakap berkomunikasi, dan

sebagainya

Penggunaan NAPZA

Menyaksikan atau korban kekerasan antarpribadi; dan

Adanya akses pada penggunaan pistol dan senjata tajam lainnya.

Faktor penyebab pada keluarga:

Kurangnya kasih sayang dan dukungan orang tua

Adanya kekerasan di rumah

Hukuman fisik dan penyiksaan anak; dan

Memiliki orang tua atau saudara kandung yang terlibat perilaku

criminal

Faktor penyebab yang ada di masyarakat dan lingkungan lainnya:

Ketidak setaraan ekonomi, urbanisasi dan terlalu padat

Tingkat pengangguran yang tinggi pada generasi pemuda

Pengaruh media

Norma sosial mendukung perilaku kekerasan

Ketersediaan senjata

26

Banyak di antara kita yang tidak berpikir bahwa sekolah dan masyarakat

bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan. Tapi sayangnya, banyak kekerasan

yang tidak kelihatan karena korban tidak melaporkannya pada guru. Lagi pula,

peristiwa kekerasan bisa terjadi di luar sekolah, seperti ketika seorang anak

dianiaya atau dilecehkan dalam perjalanan ke sekolah, tapi pengaruhnya

dibawa ke sekolah dan kelas.

Menentukan tingkat kekerasan di sekolah dapat dilakukan dengan

beberapa cara, seperti dengan bertanya kepada peserta didik untuk menjawab

kuisioner dan melibatkan mereka dalam diskusi kelompok atau melalui

pemetaan. Tujuan pemetaan kekerasan di sekolah adalah untuk menentukan di

mana dan kapan kekerasan terjadi, jenis kekerasan apa yang ada (merusak

diri, antarpribadi, terorganisir), dan siapa yang biasanya menjadi korban dan

pelaku. Proses pemetaan bisa menjadi alat berharga untuk memonitor dan

mengontrol kekerasan, karena hal ini dapat :

1) Mendorong peserta didik, guru dan staf sekolah lainnya untuk mulai

membicarakan tentang kekerasan di sekolah, yang dapat mengarah pada

pembuatan kebijakan yang lebih efektif.

2) Membantu mengevaluasi program intervensi kekerasan yang dibuat untuk

mendukung kebijakan melawan kekerasan di sekolah; dan meningkatkan

keterlibatan sekolah dalam mengatasi timbulnya kekerasan lainnya.

Untuk memetakan kekerasan di sekolah, kita dapat menggunakan suatu

proses yang serupa dengan pemetaan sekolah-masyarakat yang diberikan

sebelumnya. Mulai dengan memberikan peta sekolah kepada guru dan peserta

didik atau mereka yang dapat membuat peta sendiri dan minta mereka

untuk mengidentifikasi tempat terjadinya kekerasan. Kemudian kita dapat

menganalisis peta ini untuk mengidentifikasi lokasi terjadinya kekerasan.

Intervensi dan kebijakan yang diprakarsai dan dilaksanakan guru memegang

peranan penting dalam mengurangi tindak kekerasan di sekolah. Diskusi

kelompok harus diadakan untuk membicarakan tentang lokasi “titik rawan”

kekerasan yang terjadi di sekolah, mengapa beberapa anak rentan terhadap

kekerasan, dan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi kekerasan di

lokasi dan di antara peserta didik tersebut.

27

Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dalam menghentikan

kekerasan yang terjadi di sekolah juga dapat memperbaiki lingkungan

masyarakat. Ini sangat penting, khususnya apabila kekerasan terjadi di luar

lingkungan sekolah, seperti ketika anak datang atau pulang dari sekolah. Di

sini, strategi pemetaan dapat digunakan untuk memetakan kekerasan di

masyarakat dan di sekolah. Jenis pemetaan tersebut merupakan langkah

pertama yang sangat bagus dalam menjalin kerja sama dengan anggota

masyarakat, untuk mengidentifikasi mengapa lokasi tertentu menjadi tempat

yang paling rawan kekerasan, untuk mencari solusinya, dan untuk

melaksanakan program intervensi sekolah-masyarakat yang efektif.

b. Pelaksanaan Program; Indikasi Peserta Didik yang Dilecehkan

Guru yang jeli dapat melihat gejala-gejala terjadinya kekerasan pada peserta

didik. Di bawah ini sejumlah karakteristik eksternal yang diperlihatkan peserta

didik. Namun ingat, bahwa beberapa gejala yang muncul mungkin perilaku

normal untuk anak pada waktu itu. Oleh karenanya, penting untuk memperhatikan

kebiasaan pola perilaku anak agar mengetahui perilaku baru yang muncul,

perilaku ekstrim atau kombinasi dari karakteristik berikut. Jika hal ini terbukti,

anak harus cepat dirujuk untuk konseling dan diberi bantuan lainnya yang tepat

(seperti akses terhadap layanan kesejahteraan sosial atau hukum). Berikut akan

dijelaskan bagaimana mengidentifikasi anak yang dilecehkan (emosional dan

fisik):

a. Akibat Anak yang dilecehkan:

Takut akan hubungan antar pribadi atau terlalu mengalah/tunduk

Menarik diri, agresif atau aktif secara abnormal (hiperaktif)

Seringkali lesu atau mudah marah, memisahkan diri; atau

Tidak ada rasa sayang atau terlalu menunjukkan rasa sayang

(disalahartikan merayu).

b. Gejala Fisik

Memar, luka bakar, bekas luka/goresan, bilur, tulang patah, luka-luka

yang terus ada atau tak ketahuan penyebabnya

Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual; atau

28

Luka, pendarahan, atau gatal-gatal di sekitar kelamin

c. Perilaku dan Kebiasaan

Mimpi buruk

Takut pulang ke rumah atau ke tempat lain

Takut berada dekat pada orang tertentu

Kabur dari sekolah

Suka berbohong

d. Perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan umur:

Mengisap jempol

Aktivitas atau kesadaran seksual termasuk pelacuran

Penyimpangan seksual

Mengompol

Penyalahgunaan alkohol atau zat lainnya

Menyerang anak yang lebih muda; atau

Memikul tanggung jawab orang dewasa

e. Perilaku berkaitan dengan pendidikan:

Rasa ingin tahu, imajinasi yang ekstrim

Kegagalan akademis

Tidur di kelas

Ketidakmampuan berkonsentrasi

f. Indikator emosional

Depresi

Fobia (ketakutan yang berlebihan, misalnya takut kegelapan, takut

toilet umum, dll.)

Melukai diri sendiri

Melukai atau membunuh binatang

Reaksi spontanitas dan kreatifitas berkurang

4. Tanda-tanda Peserta Didik yang Rentan Kekerasan

Di bawah ini beberapa karakteristik anak yang rentan dan apa yang harus

dilakukan untuk membantu peserta didik tersebut. Bagaimana mengidentifikasi

dan membantu anak yang rentan kekerasan?

29

NO

Faktor Pendukung

dan PencegahBentuk Sikap Dan Perilaku

1 Faktor yang memungkinkan peserta didik rentan terhadap kekerasan

Keluarga yang tidak harmonis Orang tua yang menyalahgunakan zat adiktif atau

menderita gangguan mental Pengabaian Perilaku tak pantas atau agresif di kelas; Gagal atau kurang bertanggung jawab pada sekolah Kecakapan sosial yang terbatas Ikut teman yang menggunakan alkohol atau narkoba

atau ikut serta dalam perilaku yang beresiko lainnya Status ekonomi yang rendah; atau Perilaku yang

menunjukkan pemakaian narkoba, alkohol atau rokok pada usia dini.

2 Faktor positif yang dapat membantu mengurangi resiko kekerasan terhadap peserta didik

Ikatan keluarga yang kuat, keterlibatan keluarga dalam kehidupan anak

Sukses di sekolah Kecakapan sosial yang baik Aktif dalam kegiatan masyarakat setempatMembangun

hubungan yang baik setidaknya dengan satu orang dewasa seperti guru

3 Hal-hal yang dapat diupayakan guru dan pihak sekolah

Meningkatkan hubungan yang mendukung dan aman Hadir di sekolah secara teratur dan bermakna Mengembangkan kecakapan pribadi dan sosial Meningkatkan kecakapan akademis Membangun jaringan sosial yang suportif Mendorong nilai-nilai positif Mengajarkan pemahaman bagaimana mengakses

informal Menyampaikan pemahaman bagaimana menunda

keterlibatan penggunaan NAPZA atau perilaku beresiko lainnya

Memfasilitasi akses terhadap konseling

Berikut ini cara-cara yang dapat ditempuh mencegah tindak kekerasan di antara

peserta didik:

No Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan1 Buat peraturan yang tegas dan konsisten terhadap perilaku agresif2 Didik peserta didik dengan pola perilaku yang sehat dan tanpa kekerasan3 Pelajari dan terapkan pola tanpa kekerasan untuk menegakkan kedisiplinan dan terus

30

No Upaya-upaya pencegahan yang dilakukanmengoreksi ketika anak berperilaku tidak pantas (menggunakan kedisiplinan/ hukuman fisik mengajarkan anak bahwa agresi merupakan bentuk kontrol yang benar).

4 Perlihatkan diri kita sebagai contoh panutan yang baik untuk mengatasi konflik tanpa kekerasan

5 Tingkatkan komunikasi yang baik dengan anak kita (seperti mau mendengarkan)6 Laksanakan supervisi tentang keterlibatan anak yang berhubungan dengan media, sekolah,

kelompok teman sebaya, dan organisasi masyarakat7 Berikan harapan yang sesuai untuk semua anak.8 Dorong dan puji anak ketika selesai membantu orang lain dalam memecahkan masalah

tanpa kekerasan9 Identifikasi masalah narkoba, alkohol atau zat adiktif lainnya10 Ajarkan mekanisme yang tepat untuk mengatasi situasi krisis.11 Minta bantuan dari para ahli (sebelum terlambat).12 Arahkan upaya masyarakat untuk melakukan analisis kekerasan di sekolah dan

masyarakat (seperti melalui pemetaan) dan untuk mengembangkan layanan dukungan berbasis masyarakat dan sekolah yang diimplementasikan secara efektif.

13 Berikan kesempatan anak untuk melatih kecakapan hidup (Life Skills) khususnya bagaimana memecahkan masalah tanpa kekerasan

5. Memberikan Kecakapan Hidup Kepada Anak; Upaya Pendidikan Kesehatan Berbasis Kecakapan (stimulasi pada perkembangan fisik dan kognitif anak)

Semua anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda

memerlukan kecakapan agar dapat menggunakan pengetahuannya tentang

kesehatan untuk mempraktekkan kebiasaan sehat dan menghindari kebiasaan

yang tidak sehat. Satu cara untuk menanamkan kecakapan ini adalah melalui

“pendidikan kesehatan berbasis kecakapan.” Sekolah mengajarkan pendidikan

kesehatan. Tetapi bagaimana pendidikan kesehatan berbasis kecakapan ini

berbeda dengan pendekatan lain terhadap pendidikan kesehatan. Pendidikan

kesehatan berbasis kecakapan memfokuskan pada perubahan perilaku kesehatan

yang spesifik dalam hal pengetahuan, sikap dan kecakapan. Ini membantu

anak untuk menentukan dan membiasakan (tidak hanya belajar tentang itu)

perilaku sehat. Pendidikan kesehatan berbasis kecakapan memfokuskan pada

perubahan perilaku kesehatan yang spesifik dalam hal pengetahuan, sikap dan

kecakapan. Ini membantu anak untuk menentukan dan membiasakan (tidak

hanya belajar tentang itu) perilaku sehat.

Program pendidikan kesehatan berbasis kecakapan dirancang dengan

mempertimbangkan kebutuhan dan hak peserta didik, sehingga cocok bagi

kehidupan remaja sehari-hari. Keseimbangan dalam kurikulum, antara lain dalam

hal: (i) pengetahuan dan informasi, (ii) sikap dan nilai, dan (iii) kecakapan hidup.

31

Anak tidak hanya menjadi penerima informasi pasif, tetapi berpartisipasi aktif

dalam belajar melalui metode belajar dan mengajar partisipatori. Dalam

pendidikan kesehatan berbasis kecakapan, anak berpartisipasi dalam penyatuan

pengalaman belajar untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan kecakapan

hidup. Kecakapan ini membantu anak belajar membuat keputusan yang baik dan

melakukan tindakan positif agar mereka tetap sehat dan aman. Ini juga bisa

menjadi pola sikap, berupa pemecahan masalah, atau cara berkomunikasi

kesediaan dan perilaku yang membantu anak bekerja sama dengan sesama,

khususnya mereka yang beragam latar belakang dan kemampuan.

Kecakapan ini sering disebut Kecakapan hidup. Kecakapan hidup sangat

penting dalam hidup sehat dan bahagia. Pengajaran kecakapan hidup disebut

“pendidikan berbasis kecakapan hidup”, yang merupakan istilah yang sering

digunakan dalam pendidikan. Perbedaan antara keduanya terletak pada jenis isi

atau topik yang tercakup didalamnya. Pada pendidikan berbasis kecakapan hidup,

tidak semua isinya berkaitan dengan kesehatan, misalnya kemampuan membaca

dan berhitung yang berbasis kecakapan hidup. Istilah “kecakapan hidup” mengacu

pada sekolompok besar kecakapan psiko-sosial antar pribadi yang dapat

membantu anak membuat keputusan, berkomunikasi secara efektif dan

mengembangkan kecakapan mengurus diri sehingga dapat membantu mereka

menjalani kehidupan produktif dan sehat. Kecakapan hidup mungkin ditujukan

pada pengembangan tindakan pribadi seseorang dan tindakan kepada orang lain,

serta tindakan untuk mengubah lingkungan sekeliling agar kondusif untuk

kesehatan.

Kecakapan hidup juga dihubungkan dengan pengembangan perilaku yang

baik, misalnya kecakapan dalam mendengarkan orang lain. Ketika kita

mendengarkan mereka, kita menunjukkan rasa hormat. Empat sikap yang paling

penting untuk dikembangkan melalui pendidikan kesehatan berbasis kecakapan

(pedoman terlampir):

1. Penghargaan diri seperti saya ingin bersih, bugar dan sehat.

2. Penghargaan diri dan percaya diri, seperti saya tahu saya bisa

mempengaruhi dan membuat perbedaan atas kesehatan keluarga saya,

walaupun saya masih kecil.

32

3. Hargai orang lain seperti saya perlu mendengarkan orang lain,

menghormati mereka dan kebiasaannya bahkan walaupun mereka berbeda

atau walaupun saya tidak menyetujui mereka.

4. Peduli kepada orang lain, seperti saya melakukan yang terbaik untuk

membantu orang, lebih sehat, khususnya mereka yang membutuhkan

bantuan saya.

6. Mengajarkan Kecakapan Hidup Pada Peserta Didik

Peserta didik dapat belajar kecakapan hidup jika kita menggunakan metode

pengajaran yang memberi peluang peserta mempraktekkan kecakapan ini. Inilah

sebabnya cara kita mengajar sama pentingnya dengan apa yang kita ajarkan.

Berikut beberapa tips untuk pembelajaran kecakapan hidup yang aktif :

Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk Keberhasilan Mengajar

Kelompok diskusi:1. Bantu semua peserta didik untuk

terlibat, berbagi pengalaman dan berikan kesempatan berpendapat tentang topik kesehatan yang penting.

2. Bantu peserta didik belajar berkomunikasi dengan orang lain dan mendengarkan orang lain ketika mereka berbagi perasaannya

1. Bentuk kelompok kecil (5-7 peserta didik).

2. Pilih pemimpin secara demokrasi, dan pastikan bahwa semua memiliki kesempatan yang sama.

3. Pastikan ada pengaturan dan peraturan yang memperkenankan setiap orang berpartisipasi.

4. Pastikan tugasnya jelas dan kelompok mengetahui bagaimana dan apa yang akan mereka laporkan.

5. Pastikan topik kesehatan yang dipilih mendorong peserta didik berpikir dan mengambil hikmah dari pengalamannya sendiri.

Cerita:1. Berikan informasi dengan cara yang

menarik untuk membantu peserta didik memahami dan mengingat.

1. Gunakan cerita untuk memperkenalkan topik dan ide baru di bidang kesehatan.

33

Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk Keberhasilan Mengajar

2. Perkenalkan pada topik yang sulit dan sensitif.

3. Kembangkan imajinasi peserta didik.

4. Kembangkan kecakapan Berkomunikasi peserta didik (menyimak, berbicara, dan menulis)

2. Buat topik tersebut menarik dan dramatis.

3. Pastikan bahwa peserta didik mengetahui dan memahami poin utama cerita termasuk kesan mereka tentang karakternya.

4. Arahkan dari cerita ke kegiatan lain, seperti drama dan menggambar.

5. Dorong peserta didik untuk menceritakan sesuatu yang telah mereka baca kepada peserta didik lain atau anggota keluarga. Dorong mereka untuk menceritakan dan menulis ceritanya sendiri

Demonstrasi Praktis:1. Menghubungkan pengetahuan abstrak

kepada hal yang nyata.2. Mengembangkan kecakapan praktis

dan observasi.3. Mendorong berpikir logis

1. Jika memungkinkan, gunakan hal nyata (seperti makanan, larva nyamuk, dll.) dari pada gambar.

2. Libatkan peserta didik dalam demonstrasi praktis. Pastikan keterlibatan guru sesedikit mungkin.

3. Minta mereka menjabarkan apa yang mereka lakukan dan alasannya kepada peserta didik lain.

4. Peserta didik dapat menggunakan dirinya sendiri, seperti belajar tentang tubuh, untuk mendemonstrasikan pertolongan pertama.

Drama dan Bermain Peran:1. Kembangkan semua jenis kecakapan

berkomunikasi.2. Izinkan peserta didik untuk

mengeksplorasi sikap dan perasaan,

1. Bantu dan dorong peserta didik untuk membuat drama mereka sendiri. Jangan siapkan untuk

34

Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk Keberhasilan Mengajar

bahkan terhadap subjek yang sensitif seperti AIDS atau kecacatan.

3. Kembangkan percaya diri.4. Arahkan kepada kegiatan yang

membantu anak berpikir secara jelas dan membuat keputusan

mereka semuanya.2. Eksplorasi pembuatan dan

penggunaan wayang yang sangat sederhana.

3. Sering gunakan permainan peran yang pendek (fragmen) seperti “Bayangkan kalau kamu melihat seseorang melakukan ini, apa yang kamu lakukan atau katakan?”

4. Arahkan dari drama atau wayang ke diskusi; misalnya, “Mengapa orang bertindak seperti ini? Apa yang akan terjadi nanti?”

5. Selalu pastikan bahwa peserta didik telah memahami pesan tentang kesehatannya pada akhir drama.

6. Monitor perilaku mereka di luar kelas untuk melihat jika pesan tersebut telah diresapi.

7. Dalam situasi yang sulit, dimana seorang anak diejek, dorong peserta didik untuk berpikir tentang apa yang terjadi dan cara untuk membantu anak.

7. Pengelolaan dan Pembelajaran di Taman Kanak- kanak

Pembelajaran di taman kanak- kanak merupakan pendididkan yang aktif,

kreatif, efektif, dan menyenangkan. Aktif artinya bahwa dalam proses

pembelajaran, guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga peserta

didik, aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagaan, serta aktif

melakukan aktivitas pembelajaran lain. Belajar merupakan proses aktif dari

peserta didik dalam membangun pengetahuannnya , jika pembelajaran tidak

memberikan kesempatam kepada peserta didik untuk berperan aktif, maka

35

pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif peserta

didik sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang

mampumenghasilkan sesuatu untuk kepentingan drinya dan orang lain. Kreatif

jiga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga

berbagai tingkat kemampuan peserta didik. Menyenangkan dimaksudkan sebagai

suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga peserta didik memusatkan

perhatiannya secara penuh pada belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan

tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan

apa yang harus dikuasai peserta didik setelah proses pembelajaran berlangsung,

sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yng harus dicapai.

Jika pembelajaran tersebut tidak ubahnya seperti bermain biasa. Pelaksanaan

PAKEM di TK dapat digambarkan sebagai berikut 26:

1. Peserta didik terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan

pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada prinsip

bermain sambil belajar

2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dengan berbagai cara

pembelajaran (multimedia- multimethdo), termasuk menggunakan

lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran

menarik, menyenangkan, dan sesuai dengan perkembangan peserta didik.

3. Guru mengatur kelas seuai dengan kebutuhan pembelajaran melalui sudut

sentra dan area

4. Guru mendorong peserta didik untuk menemukan caranya sendiri dalam

pemecahan masalah, untuk mengungkapkan gagasan dan melibatkan

peserta didik melalui bimbingan guru.

Proses pembelajaran merupakan kegiatan utama di TK. TK diberi kebebasan

memilih strategi, metode, dan teknik- teknik pembeljaran yang sesuai dengan

karakteristik peserta didik, dan kondisi setempat. Beberapa contoh pelaksanaan

kewenangan pengelolaan proses pembelajaran antara lain;

26 I wayan AS, Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Formal, (Jakarta: Az- Zahra Book’s 8 , 2010) ., h. 376

36

1. Pengembangan pembelajaran dengan pendekatan berpusat pada peserta

didik (students- centered learning)

2. Pengembangan pembelajaran yang berarti dan sesuai dengan lingkungan

(contextual learning)

3. Pengoptimalan lingkungan dan sumber daya yang ada sebagai sumber

belajar

4. Pengaturan ruang kelas, pengorganisasian peserta didik (klasikal,

kelompok, dan individual), pengaturan alat/ sumber belajar, metode,

model pembelajaran, serta penilaian yang komprehensif

5. Pengembangan pembelajaran yang mencakup berbagai bidang

pengembangan, yaitu bahasa, kognitif, fisik- motorik, seni dan

pengembangan pembiasaan, yaitu moral, kemandirian, sosial- emosional,

dan lainnya.

6. Pengembangan pembelajaran dengan pendekatan berbasis luas dan

mendukung kecakapan hidup (broad- based education dan life skills)

melalui pembiasaan dan pengembangan kemampuan dasar.

9. Peran Serta Masyarakat di Taman Kanak-kanak, Partisipasi Dalam Peningkatan Kualitas TK

Tercapainya tujuan dalam peningkatan mutu pembelajaran tidak hanya

ditentukan oleh system pengajaran yang baik saja, tetapi ditentukan juga oleh

peran serta masyarakata secara meluas, karena TK pada hakikatnya bagian dari

msyarakat, milik masyarakat, dan menjalin hubungan yang harmonis melalui

wadah yang disebut komite TK. Berdasarkan Undang- undang No. 20 Tahun

2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa masyarakat juga berhak

berperan serta dalm pertencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi

program pendidikan, yang dilaksankan oleh sekolah hal ini menunjukkan bahwa

masyarakta juga harus terlibat dalam upaya melaksanakan pendidikan yang

bermutu, karena pada dasarnya antara sekolah dan masyarakat terjadi hubungan

timbal balik yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam pasal 51 ayat 1 Undang- undang No 20 tahun 2003 dijelaskan

bahwa “ pengelolaan suatu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan

37

pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal

dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”. Peningkatan mutu pendidikan dan

pembelajaran melalui MBS dapat dilakukan dengan 3 komponen (1)

Melaksanakan menejemen yang transparan, partisipatif dan akuntabel, (2)

Melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, (3)

Meningkatkan peran serta masyarakat.

Pada usia dini anak sedang melakukan adaptasi dengan lingkungan yang

dialaminya dirumah dan lingkungan yang diikutinya disekolah. Dalam proses

adaptasi ini sering muncul adanya permasalahan yang dapat mengganggu

kelangsungan KBM. Karenanya diperlukan perlakuan dan kebijakan tertentu

sehingga proses adaptasi dan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dapat

berjalan lancar. Kondisi tersebut mengharuskan guru menciptakan suasana yang

menyenangkan serta lingkungan yang mirip dengan lingkungan yang sudah akrab

dengan anak. Hal tersebut menuntut guru untuk dapat memahami karakteristik

dan latar belakang dari masing- masing anak sehingga dapat memberikan

perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak. Dengan

demikian pembelajaran yang dilakukan disekolah lebih bersifat tidak formal

sesuai dengan lingkungan alami, kekeluargaan, menyenangkan, serta banyak

bermain, beberapa hal tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pertimbangan perlunya partisipasi masyarakat: partisipasi masyarakat

diperlukan di TK antara lain karena beberapa hal berikut : a. pendidikan

adalah tanggung jawab bersama baik keluarga, masyarakat ,maupun

pemerintah,b. Keluarga bertanggung jawab untuk mendidik,

menyekolahkan, serta membiayai keperluan pendidikan anak, c.

pendidikan adalah investasi masa depan, d. Masyarakat berhak dan

berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik

2. Wujud partisipasi masyarakat terhadap TK dapat diwujudkan dalam

berbagai jenis mulai dari yang tingkatan terendah sampai yang tertinggi,

yaitu :

a. Menggunakan jasa pelayanan TK yang tersedia, yaitu masyarakat

bersedia menyekolahkan anaknya ke TK

b. Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga

38

c. Peran serta secara pasif, yaitu menyetujui dan menerima keputusan

sekolah (komite TK)

d. Masyarakat, termasuk orang tua peserta didik bekerjasama dengan

guru dan kepala TK merencanakan pengembangan TK mereka, dan

memantau penggunaan sumber daya di TK.

Pembelajaran di TK tidak cukup hanya dilakukan oleh guru, tetapi peran

serta orang tua di rumah juga sangat menetukan dalam membantu pembelajaran

yang telah dilakukan oleh guru. Dengan demikian, kerjasama yang baik antara

guru, orang tua, dan masyarakat penting untuk dijalin secara efektif agar

pembelajaran yang dilaksanakan dapat berhasil dan mencapai target yang

diharapkan. Komite taman kanak- kanak juga ikut terlibat dalam membantu taman

kanak-kanak juga ikut terlibat dalam membantu penciptaan suasana fisik maupun

psikis yang menyenangkan kemudian menunjang berlangsungnya kegiatan

pembelajaran. Kepala TK sebagai pemimpin di sekolah hendaknya juga dapat

memberikan perhatian yang lebih serius dengan memberikan kebijakan khusus,

karena pembeljaran di TK merupakan pondasi yang menentukan keberhasilan

pembeljaran pada tingkat yang lebih tinggi. Pengawas dan pengembang

professional juga dapat membantu guru dalam menyediakan dukungan

professional di TK, khususnya dalam konteks pendampingan pembelajaran (on

the job training)

C. SEKS POLICY BAGI PELANGGAR KEBIJAKAN

Pendidikan seks untuk anak usia dini kembali menjadi sorotan akibat

dari maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini yang sangat

memprihatinkan. Kasus demi kasus terungkap, bagaikan fenomena gunung es

yang tiba-tiba runtuh dan membuat semua orang terkejut. Kasus tersebut tidak

hanya terjadi di lingkungan keluarga, tetapi juga di sekolah dan masyarakat

dengan pelaku adalah orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan

bagi anak. Hal ini dapat kita ketahui melalui media massa dan data yang ada di

pusat-pusat pelayanan anak.

Salah satu yang harus dilakukan oleh kita sebagai orang-orang yang

bergelut pada pendidikan anak usia dini adalah memberikan pemahaman kepada

39

masyarakat untuk mengubah paradigma berfikir mereka. Pola fikir yang harus di

ubah adalah pendidikan seks untuk anak usia dini bukan hal yang tabu lagi tetapi

hal yang perlu. Banyak pihak, terutama para orangtua meyakini bahwa insting

seksual tidak dijumpai pada masa anak-anak, dan baru akan muncul pada masa

pubertas. Pendapat seperti ini merupakan kekeliruan yang sudah mengakar kuat

dalam masyarakat kita. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip kehidupan

seksual pada anak dapat berakibat negatif terhadap perkembangan peran seks

anak, dan terhadap sikap perilaku anak usia dini. Kajian mendalam mengenai

kehidupan seksual selama masa anak-anak akan mampu menunjukkan kepada kita

bagaimana proses pendampingan yang tepat bagi anak terkait perkembangan

peran seks nya.

Sebagai renungan, pada zaman dahulu ketika anak bertanya kepada

orang tua tentang hal-hal berkaitan dengan seks, orang tua cenderung akan

menolak untuk menjawab bahkan memarahi anaknya karena merasa tabu dan risih

serta bingung dalam menjelaskannya, ketika anak tidak mendapat jawaban dia

tidak akan mendapatkan atau mencari informasi dari tempat lain karena

keterbatasan akses informasi pada saat itu. Tetapi sekarang di era globalisai

semua informasi dapat diakses dengan mudah melalui media baik cetak maupun

elektronik, ketika anak bertanya kepada orang tua atau guru tentang seks, dan ia

tidak mendapat jawaban maka dia akan mencari informasi sendiri melalui media,

hal ini sangat berbahaya.

Berbagai pertanyaan yang dikemukakan oleh anak berkaitan dengan

seksualitas biasanya dimulai dari perbedaan jenis kelamin antara dirinya dengan

teman sebayanya, dan dengan orang tua nya. Rasa ingin tahu anak dan kebutuhan

eksplorasi yang tinggi pada anak membuat pertanyaan anak semakin bertambah

kompleks. Anak mulai bertanya tentang fungsi alat kelaminnya, proses kelahiran

bayi, proses munculnya bayi di dalam perut Ibu, mengapa laki-laki dan

perempuan harus menikah, dan apakah seorang Ibu dapat memiliki bayi apabila

tidak menikah.

Pada saat anak memperoleh jawaban yang benar, ilmiah, dan dapat

memuaskan rasa ingin tahu anak, anak akan memiliki pijakan yang benar untuk

memilih tindakan yang benar nantinya, dan menyadari konsekuensi dari tindakan

40

yang ia pilih. Jawaban yang tidak realistis, dan abstrak akan sulit dipahami anak.

Anak tidak memperoleh kepuasan akan rasa ingin tahu nya. Mereka akan

berusaha mencari jawaban yang benar melalui teman sebaya, melalui media, dan

melalui tindakan eksplorasi genital yang tidak terkontrol. Anak juga dapat

melakukan berbagai tindak eksperimen dengan dirinya sendiri ataupun teman

sepermainannya, tanpa sepengetahuan orangtua.

Sikap orangtua yang kaku menghadapi pertanyaan anak dan perilaku

seks anak di usia dini dapat membawa akibat yang buruk. Sikap keras dan otoriter

orangtua yang cenderung menghardik atau membentak pada saat anak bertanya

atau melakukan eksplorasi seksual dapat membuat anak merasa malu dan merasa

bersalah, sehingga anak mengembangkan berbagai macam persepsi yang keliru

tentang seks. Dibutuhkan proses upaya penanganan yang serius dan

berkesinambungan, dan ini dapat dilakukan melalui penerapan pendidikan seks

bagi anak dalam Pendidikan Anak Usia Dini.

Pemberian pemahaman pendidikan seks kepada anak dan orang tua

tujuannya adalah melakukan tindakan preventif/pencegahan terhadap kekerasan

seksual yang mengancam anak. Masyarakat harus diberi pemahaman apa saja

tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual terhadap anak.

Orang tua dan guru juga harus mengajarkan tindakan-tindakan pencegahan yang

dapat dilakukan anak untuk menghindari pelecehan seksual.

Mengingat bahwa pembangunan nasional berjalan seiring dengan

kemajuan budaya dan IPTEK, perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan

bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Perilaku

demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat

dikategorikan sesuai dengan norma dan ada yang tidak. Seseorang akan

cenderung berusaha memenuhi kebutuhannya dalam rangka mempertahankan

hidup.

Bagi mereka yang memiliki keahlian dibidang tertentu dan ditunjang

dengan tingkat pendidikan yang memadai akan cenderung memiliki tingkat

ekonomi yang lebih terjamin karena mereka dapat memperoleh pekerjaan

berdasarkan keahlian yang dimilikinya tersebut. Lain halnya bagi mereka yang

memiliki tingkat pendidikan yang bisa dikatakan rendah dan tidak memiliki

41

keahlian tertentu. Mereka cenderung memiliki tingkat ekonomi yang

menengah ke bawah. Seiring kemajuan jaman, kebutuhan mereka akan terus

bertambah sedangkan di sisi lain perekonomian mereka semakin terpuruk.

Membicarakan perbuatan pidana tidak lepas dengan akibat-akibat yang

di timbulkan di tengah masyarakat, baik akibat terhadap individu maupun

kelompok akibat-akibat yang di timbulkan ini menjadi tolak ukur suatu modus

dari perbuatan pidana, apakah perbuatan pidana itu merupakan kejahatan atau

pelanggaran.Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan

secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang

bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan

hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.27

Dalam bagian ini akan coba dijelaskan tindakan apa saja yang masuk

kategori pelanggaran seksual terhadap anak dan bagaimana sanksi bagi pelaku

yang melanggar hal tersebut

1. Dasar Hukum Perlindungan Anak

Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum)

ialah dimulai saat berada dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah

dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama

dia hidup. Setiap anak Indonesia adalah aset bangsa yang sangat berharga,

generasi penerus dan sumber daya manusia Indonesia yang bakal menjadi penentu

masa depan bangsa dan negara. Negara berkewajiban menciptakan rasa aman dan

memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak Indonesia agar mereka

tumbuh serta berkembang secara wajar dan berperan serta dalam pembangunan.

Tujuan perlindungan hukum itu sendiri untuk menjamin terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, berkembang dan partisipasi secara optimal sesuai

dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

27Yesmil Anwar Andang, Kriminologi, Refika Aditama, cetakan I, Bandung, 2010, h.318.

42

dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak

mulia dan sejahtera.

Dalam Pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi: “Anak yang ada dalam

kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana

kepentingan si anak menghendaki”. Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak

sejak ia masih dalam kandungan dan lahirnya harus hidup. Dalam Hukum Perdata

Indonesia perlindungan anak bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak-

haknya agar dalam hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

kekerasan, diskriminasi dan kekejaman. Yang dinamakan perlindungan khusus

adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang

berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak

yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak

yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, anak

korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik

fisik/mental, ataupun anak yang terkena korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pencabulan yang dilakukan terhadap sesama anak di bawah umur

tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya

terhadap anak tersebut terutama bagi korban. Dampak psikologis pada anak-anak

akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap

tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu,

dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut

kemungkindapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pencabulan

tersebut.

Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi

kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.Kekerasan terhadap anak setiap hari terus

meningkat, padahal didalam KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana) telah

tertulis aturan hukum tentang pencabulan dan Undang-undang No 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak. Dimana perbuatan cabul sendiri merupakan

perbuatan yang tidak senonoh dalam bidang seksual: misalnya, perbuatan meraba-

43

raba kemaluan yangdilakukan di muka umum yang menimbulkan rangsangan

birahi.28

Menurut UU RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia

(Lembaran Negara Tahun 1999 No 165, Tambahan 3886), bahwa Hak anak

merupakan bagian dari hak asasi manusia (sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya)

dan wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah dan negara agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Konvensi Hak Anak PBB yang diratifikasi oleh Kebutuhan Dasar Anak

pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, meliputi 4

(empat) prinsip dasar yaitu:29

Non diskriminasi

Kepentingan Terbaik bagi Anak

Hak Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang

Penghargaan Pendapat Anak

Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya

pembinaan kesehatan masyarakat, karena mereka akan berperan sebagai calon

orang tua, tenaga kerja, bahkan pemimpin bangsa di masa depan. Dalam rangka

meningkatkan derajat kesehatan anak di Indonesia diperlukan upaya pembinaan

kesehatan anak yang komprehensif dan terarah pada semua permasalahan

kesehatan akibat penyakit maupun masalah lainnya. Kekerasan dan penelantaran

anak mengakibatkan terjadinya gangguan proses pada tumbuh kembang anak.

Keadaan ini jika tidak ditangani secara dini dengan baik, akan berdampak

terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia.

28Andi Hamsah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Cetakan I, Jakarta, 2008, h.32.29 Lorem Ipsun et.all., Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap

Anak Bagi Petugas Kesehatan, (Jakarta: UNICEF & Departemen Kesehatan RI, 2007)., h. 15-16.

44

Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

pada Pasal 1 disebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasal

28B (2) menyatakan bahwa “Setiap anak berhak .... atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan untuk mencegah terjadinya kekerasan

terhadap anak Pasal 69 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (UUPA) menyebutkan bahwa “Perlindungan khusus bagi

anak korban kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: (a)

penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang

melindungi anak korban tindak kekerasan; dan (b) pemantauan, pelaporan, dan

pemberian sanksi. Sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta

melakukan kekerasan.” Sedangkan Pasal 54 menyebutkan bahwa “Anak di dalam

dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang

dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah

yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” Dengan demikian menjadi

tanggung jawab semua pihak untuk mengimplementasikan dalam aktivitas

keseharian.

Selain itu pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

mengamanatkan masyarakat dan lembaga untuk berperan dalam perlindungan

anak, termasuk di dalamnya melakukan upaya pencegahan kekerasan terhadap

anak di lingkungannya.30

2. Aturan Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban Seseorang yang melakukan tindak pidana baru

boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan

30 Lampiran Peraturan Menteri PPPA No. 11 Tahun 2011, Tentang Panduan PencegahanTerhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan. (Jakarta: Kementerian PPPA, 2011)., h. 3-4

45

yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan

kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan

dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah

seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum

pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana

mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan

psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan

adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan

dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan

perbuatan pidana.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah

ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,

ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu

bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya

seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal

yaitu:

a. Keadaan Jiwanya

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)

3. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan

sebagainya).

b. Kemampuan Jiwanya :

1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah

dilaksanakan atau tidak.

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Adapun menurut Van Hamel seseorang baru bisa diminta

pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

46

1. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara

kemasyarakatan adalah dilarang.

2. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap

perbuatannya tersebut.

Selain itu menurut, doktrinal untuk menentukan kemampuan

bertanggungjawab harus ada dua hal yaitu Adanya kemampuan untuk

membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum

dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan

kehendaknya menurut keinsafannya tentang baik buruknya perbuatan yang

dilakukan. Sementara itu berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung

jawab KUHP tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara

Negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu

mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan.

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu :

Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya.

Jiwanya terganggu karena penyakit.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh

karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsurpertanggung

jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya

unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu

dan biaya, maka dalam praktek dipakai yaitu bahwa setiap orang dianggap

mampu bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.31

3. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Kekerasan Seksual terhadap anak

Sanksi atau hukuman kepada pelaku tindak kekerasan kepada anak

merupakan upaya untuk memberikan efek jera atau membuat orang takut untuk

melakukan tindakan tersebut. Di Indonesia terdapat dua peraturan yang menjadi

dasar hukum perlindungan terhadap anak yaitu KUHP (Kitab Undang-undang

31Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Liberty, 1988)., h.105.

47

Hukum Pidana) pasal 287 hingga 294 dan UUPA (Undang-undang Perlindungan

Anak) No. 23 Tahun 2002) yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Menurut KUHP

Sanksi bagi para pelaku pedofilia menurut KUHP terdiri dari:32

a. Persetubuhan

Dalam hal persetubuhan, adalah persetubuhan yang dilakukan oleh

orang dewasa terhadap wanita diluar perkawinan, dimana pihak korban adalah

anak dibawah umur.

Pasal 287 ayat 1 menyatakan bahwa: ”barang siapa bersetubuh dengan

seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus

diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak

ternyata , belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling lama

Sembilan tahun.”

Pasal 288 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa: “barang siapa bersetubuh

dengan seorang wanita didalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya

harus diduga bahwa sebelum mampu kawin, diancam apabila perbuatan

mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

Perbuatan yang terjadi disini adalah perbuatan memaksakan kehendak

dari orang dewasa terhadap anak dibawah umur yang dilakukan tanpa atau

dengan kekerasan. Persetubuhan yang dilakukan tanpa kekerasan bisa terjadi

dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk korban dengan

mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang membuat korban

menjadi senang dan tertarik, dengan demikian sipelaku merasa lebih muda

untuk melakukan maksudnya untuk menyetubuhi korban.

b. Perbuatan cabul

Perbuatan cabul yang terjadi disini maksudnya adalah perbuatan yang

dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan korban.

Pasal 289 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan kekerasan

atau ancaman kekerasan memaksa sesorang untuk melakukan atau

32 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

48

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan

yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama

Sembilan tahun”

Pasal 290 ayat 2 KUHP menyatakan: “bahwa diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun: barangsiapa melakukan perbuatan cabul

dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa

umurnya belum lima belas tahun atau belum kawin.”

Pasal 290 ayat 3 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa membujuk

seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum

lima belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan

dengan orang lain.”

Pasal 292 KUHP menyatakan: “bahwa orang yang cukup umur, yang

melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui

atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun.”

Pasal 293 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan

memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang

timbul dari hubungan penyesatan sengaja menggerakan seorang belum cukup

umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan

dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal belum cukup umurnya itu

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Pasal 294 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa melakukan

perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah

pengawasannya yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum

cukup umur yang memeliharanya, pendidikannya atau penjagaannya

diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang

belum cukup umur, diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun.”

Pengertian perbuatan cabul ini adalah perbuatan dengan yang dilakukan

dengan cara melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang berhubungan

dengan tubuh korban dalam hal menyerang kehormatan korban dalam konteks

49

perbuatan asusila, dan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak di

bawah umur.

Pasal 295 KUHP menyatakan :1e. “Dengan hukuman penjara selama-

lamanya lima tahun, barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau

memudahkan perbuatan cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau

anak angkatnya yang belum dewasa, oleh anak yang di bawah

pengawasannya, orang yang belum dewasa yang diserahkan kepadanya,

supaya dipeliharanya,dididiknya atau dijaganya atau bujangnya yang di bawah

umur atau orang yang dibawahnya dengan orang lain”. 2e. “Dengan hukuman

penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa yang dengan sengaja, di

luar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau memudahkan perbuatan

cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang

diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa.

Pasal 296 KUHP menyatakan: Barang siapa yang pencahariannya atau

kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan

cabul dengan orang lain di hukum penjara selama-lamanya satu tahun empat

bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000 ( lima belas ribu rupiah).

2. Menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Sanksi bagi pelaku pelecehan seksual menurut UU No.23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak adalah:33

a. Persetubuhan

Dalam hal ini persetubuhan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh

orang dewasa terhadap perempuan diluar perkawinan dalam hal ini adalah

anak dibawah umur, diatur dalam pasal 81 yang isinya sebagai berikut:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

33 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002

50

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah);

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi

setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya

atau dengan orang lain.

b. Perbuatan Cabul

Perbuatan cabul yang terjadi disini adalah perbuatan yang dilakukan oleh

orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan kehormatan korban, diatur dalam pasal 82 yang

isinya sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,

atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda palingbanyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00) enam puluh juta rupiah)”.

c. Eksploitasi

Eksploitasi dalam hal ini adalah mengeksploitasi seksual anak di bawah

umur untuk kepentingan pelaku baik itu komersil ataupun kepuasan seksual,

hal ini terdapat dalam Pasal 88 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak: “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan

maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Tindakan para pelaku Phedofilia ini dengan berbagai macam cara baik

itu melalui internet atau pun organisasi, dan pedofilia juga sudah mempunyai

jaringan internasional lewat forum-forum sesama pelaku mereka menyebar

51

atau berbagi informasi daerah tujuan dan siapa-siapa saja yang bisa di jadikan

korban.

D. ANALISIS JURNAL

Berikut di paparkan beberapa analisis jurnal ilmiah yang berkaitan dengan

kekerasan seksual terhadap anak usia dini, untuk jurnal lengkapnya terlampir.

1. Judul jurnal: The Prevention of Childhood Sexual Abuse

Penulis : David Finkelhor

Penerbit : The Future of Children is a collaboration of the Woodrow Wilson School of Public and International Affairs at Princeton University and the Brookings Institution. http://futureofchildren.org

Tahun : 2009

Vol : VOL. 19 / NO. 2 / FALL 2009

Jumlah Halaman : 169-194 / 26 Lembar

Dasar pemikiran

David Finkelhor inisiatif mengkaji pencegahan pelecehan

seksual terhadap anak, yang memusatkan perhatian pada dua strategi

utama yaitu pelaku dan program pendidikan melalui manajemen berbasis

sekolah. Melalui strategi ini, pelaku utama diperiksa, memberitahu

masyarakat tentang kehadiran mereka, melakukan pemeriksaan lapangan

kerja, latar belakang, kehidupan, dan memberikan hukuman. Pada

kenyataannya penduduk jauh lebih beragam. Pelaku seksual bukan

hanya orang asing atau pedophilia, orang-orang sekitar juga banyak.

Oleh karenanya, Finkelhor menyarankan menggunakan penegakan

hukum sumber daya untuk menangkap pelaku secara lebih intensif dan

memusatkan perhatian pada upaya manajemen risiko tertinggi pada

korban yang lain dan selanjutnya.

Finkelhor menjelaskan bahwa manajemen berbasis sekolah

program pendidikan agar mengajar anak keterampilan seperti cara untuk

mengidentifikasi situasi berbahaya, menolak pendekatan yang abuser,

memutuskan sebuah interaksi, dan meminta bantuan. Program ini juga

52

bertujuan untuk mempromosikan keterbukaan, memobilisasi diri anak.

Finkelhor mendesak penelitian lebih lanjut dan pengembangan

pendekatan ini, khususnya dalam upaya untuk mengintegrasikan ke

komprehensif promosi kesehatan dan keselamatan kurikulum untuk

mengurangi korban, untuk mencegah sikap negatif dan kesehatan

mental.

Metode

Dalam hal ini, Finkelhor melakukan evaluasi program

pendidikan sebagai bentuk identifikasi situasi berbahaya dan

mengenalkan pendidikan seks.

Landasan Teori.

Banyak peneliti yang telah dilakukan studi ini dari program

pendidikan, tetapi beberapa telah menjawab pertanyaan, apakah anak-

anak belajar konsep-konsep? Banyak penelitian dirangkum dalam

berbagai kajian menemukan bahwa anak dari segala umur memperoleh

konsep kunci yang diajarkan. Dalam kenyataan, anak yang lebih muda

menunjukkan lebih banyak belajar dari anak yang lebih tua.

Hal-hal yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Pencegahan pelecehan seksual pada anak.

2. Program pendidikan.

3. Pemberitahuan kepada masyarakat.

Kesimpulan

Pelecehan Seksual adalah sebuah tantangan khusus, berbeda

dalam banyak dimensi dari jenis lain dari anak pelayanan buruk,

kejahatan, dan masalah kesejahteraan anak. Tetapi langkah besar telah

dibuat untuk memahami masalah, mendidik masyarakat, dan

memobilisasi sumber daya. Dengan tambahan penelitian dan

pengembangan program, ada banyak alasan untuk percaya jauh lebih

dapat diselesaikan.

2. Judul Jurnal: Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini

Penulis : Moh. Roqib

Penerbit : Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan P3M

53

STAIN Purwokerto

Tahun : 2008

Vol : Vol.13, No. 2/mei-Agustus 2008/271-286

ISSN/DOI : 271-286

Jumlah Halaman : 12 Lembar

Hasil Analisis

Tulisan ini dibuat untuk menjawab keresahan orangtua sebagai dampak

dari berbagai kasus dan peristiwa berbau free seks yang banyak terjadi di

masyarakat. Berkembangnya tehologi yang masih minim pengawasan

memungkinkan tereksposnya berbagai hal, termasuk didalam hal yang berbau

pornografi, secara bebas tanpa memikirnya dampak negatif yang mungkin

akan muncul.

Jurnal yang ditulis ini merupakan deskripsi pentingnya pendidikan seks

sedini mungkin, mengingat makin maraknya kasus yang berkaitan dengan

atau disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang seks itu sendiri.

Pendidikan seks perlu dikenalkan dan ditanamkan sedini mingkin pada anak

mengingat anak adalah amanah yang perlu dijaga dan diperhatikan

perkembangannya. Fokus utama pendidikan seks bagi anak adalah bagaimana

membantu anak mengetahui dan memahami berbagai topik biologis seperti

pertumbuhan, masa puber dan kemahamilan serta bagaimana memahami dan

menjaga dirinya sendiri.

Strategi pendidikan seks bagi anak harus disesuaikan dengan tujuan, usia

anak, tingkat pengetahuan kedewasaan anak serta kebudayaan setempat.

Tugas mendidik anak pada dasarnya adalah tugas orangtua, tapi karena

berbagai kendala dan keterbatasana maka tugas itu di bagi dengan lingkungan

seperti: kerabat dekat, guru, pemuka agama dan sebagainya. Namun bukan

berarti orang tua melepaskan sama sekali tentang pendidikan seks tersebut.

Kedekatan orang tua dan anak akan sangat membantu proses pengenalan.

Misalnya anak perempun pada umumnya dekat dengan ibu, saat itulah

pendidikan seks dapat dilakukan.

54

Pendidikan seks untuk anak usia 0-5 tahun adalah dengan teknik atau

strategi sebagai berikut:

1. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya.

2. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan

kasih sayang dari orangtuanya secara tulus

3. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak

boleh dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus

mengenakan baju kembali di dalam kamar mandi atau di dalam kamar.

Anak diberi tahu tentang hal-hal pribadi, tidak boleh disentuh, dan dilihat

orang lain.

4. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan

perempuan

5. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil

dan melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam

kandungan ibu sesuai tingkat kognitif anak.

3. Judul Jurnal: Applying Threat Sanction Which Maximal To Perpetrator Hardness Child

Penulis : Zulmar Adhy Surya, Said Karim & Syukri Akub

Penerbit : Jurnal Penelitian Hukum e-journal PPS Universitas Hasanudin

Tahun : 2012

Vol : Vol.1/1 Juni 2012

ISSN/DOI : 271-286

Jumlah Halaman : 8 Lembar

Hasil Analisis

Penelitian ini di latarbelakangi oleh ketidak adilan dalam penuntutan

pelaku kekerasan terhadap anak. Apakah telah menerapkan UUPA No. 23

tahun 2003 dalam mempidana pelaku kekerasan terhadap anak. Seharusnya

pelaku kekerasan seksual terhadap anak di tuntut dengan UUPA karena

disamping memuat tentang ancaman pidana badan juga tentang denda bagi

pelaku.

55

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami

penerapan ancaman sanksi maksimal terhadap pelaku kekerasan anak dan juga

menganalisis hakikat penerapan sanksi menurut undang-undang No. 23 tahun

2003 tentang perlindungan anak.

Penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang menitik

beratkan pada penelitan pustaka di mana mengkaji teori-teori serta peraturan

perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penerapan sanksi terhadap

pelaku kekerasan pada anak. Subjek penelitian adalah adalah para jaksa di

kejaksaan Negeri Makasar, sampel sebanyak 4 jaksa.

Metode pengumpulan data dalam penelitian normatif ini adalah bahan

hukum, terdiri bahan hukum primer dan sekunder yang dikelompokan agar

lebih mudah dianalisis, serta dilengkapi dengan hasil wawancara dengan jaksa

yang menjadi subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar aparat hukum di

kejaksaan negeri Makasar menggunakan UUPA no. 23 Tahun 2002, untuk

kasus kekerasan pada anak dan jarang menggunakan KUHP tanpa

memperhatikan berat ringannya ancaman sanksi di kedua peraturan

perundang-undangan tersebut, yang seharusnya dipakai aturan yang ancaman

sanksinya lebih berat, utamanya untuk kasus kekerasan pada anak yang

dilakukan secara sadis.

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa antara Undang-

undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan KUHP ancaman

sanksi terhadap pelaku kekerasan ada yang lebih berat dan ada yang lebih

ringan, tetapi pada UUPA disamping ancaman fisik (kurungan) juga ada

ancaman denda dan ancaman sanksi minimum.

4. Judul Jurnal: Intention, Behavior, and Sex Education in Early Childhood (Intensi dan Perilaku Orang Tua Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Dini)

Penulis : Umi Kulsum

Penerbit : Developmental and Clinical Psychology Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/dcp

Tahun : 2013

56

Vol : Vo1. 1 Oktober 2013

ISSN/DOI : ISSN 2252-6358

Jumlah Halaman : 19-25 / 7 Lembar

Hasil Analisis

Latar belakang penelitian ini adalah pemahaman orang tua yang sangat

kurang tentang kesadaran bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan

akses informasi yang benar tentang seksualitas sesuai dengan kebutuhan dan

tahap perkembangan usianya dengan menggunakan bahasa dan metodologi

yang tepat untuk anak usia dini. Anak juga berhak untuk dilindungi dari

resiko pelecehan dan kekerasan seksual. Data dari Biro Pusat Statistik tahun

2006, berdasarkan kasus yang dilaporkan terdapat 99.377 kasus kekerasan

seksual yang korbannya anak di bawah usia 19 tahun. Terdapat 51.676

(51%) dari total jumlah tersebut adalah anak usia dibawah 9 tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa anak-anak termasuk anak usia balita belum terlindungi

sehingga sangat rentan terhadap resiko kekerasan seksual.

Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

deskriptif intensi dan perilaku orang tua dalam memberikan pendidikan seks

pada anak usia dini di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota

Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan melibatkan

108 ibu di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang

sebagai subjek penelitian. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian

ini adalah one stage cluster random sampling. Intensi dalam memberikan

pendidikan seks pada anak usia dini diukur dengan menggunakan skala

intensi. Skala intensi mempunyai 47 item, kemudian dianalisis menggunakan

teknik product moment dan dinyatakan 6 item tidak valid sehingga

didapatkan 41 item yang valid. Skala intensi mempunyai nilai reliabilitas

sebesar 0,887. Sedangkan perilaku orang tua dalam memberikan pendidikan

seks pada anak usia dini diukur dengan angket perilaku. Angket perilaku

mempunyai 39 item, kemudian dianalisis menggunakan teknik product

moment dan dinyatakan 6 item tidak valid sehingga didapatkan 33 item yang

valid. Angket perilaku mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,924. Hasil

57

penelitian menunjukkan bahwa intensi orang tua dalam memberikan

pendidikan seks pada anak usia dini di Kelurahan Sekaran Kecamatan

Gunungpati Kota Semarang tergolong pada kriteria intensi yang cukup kuat.

Sedangkan perilaku orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak

usia dini di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang

tergolong pada kriteria perilaku yang cukup cenderung kuat.

BAB IIIPENUTUP

58

A. KESIMPULAN

Banyak pihak, terutama para orang tua meyakini bahwa insting seksual

tidak dijumpai pada masa anak-anak, dan baru akan muncul pada masa pubertas.

Pendapat seperti ini merupakan kekeliruan yang sudah mengakar kuat di

masyarakat kita. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip kehidupan seksual pada

anak dapat berakibat negatif terhadap perkembangan peran seks anak, dan

terhadap sikap perilaku anak usia dini. Kajian mendalam mengenai kehidupan

seksual selama masa anak-anak akan mampu menunjukan kepada kita bagaimana

proses pendampingan yang tepat bagi anak terkait perkembangan peran seks nya.

Perkembangan peran seks telah banyak dikaji dalam berbagai sudut

pandang keilmuan dan berbagai teori psikologi. Sigmund Freud dalam teori

psikoanalisanya menjelaskan bahwa perkembangan gender dan perkembangan

peran seks dibagi ke dalam lima fase yaitu fase oral, fase anal, fase phallic, fase

latent, dan fase genital. Sedangankan Erik Erikson mengembangkan teori

psikososial yang masih dipengaruhi oleh teori psikoanalisis Sigmund Freud, akan

tetapi teori ini memberikan wawasan yang lebih luas tentang perkembangan

kesadaran diri dan lingkungannya yaitu dikelompokkan ke dalam delapan fase

perkembangan yaitu fase trust vs mistrust, fase autonomy vs same & doubt, fase

initiative vs guilt, fase industry vs inferiority, fase identity vs role confusion, fase

intimary vs isolation, fase generativity vs stagnation, fase integrity vs despair.

Perbedaan yang mendasar antara teori Freud dan teori Erikson adalah pada

penekanannya, teori Erikson, penekanannya diberikan pada aspek budaya,

sedangkan teori Freud, penekanannya diletakkan aspek biologis dan orientasi

seksual.

Kewajiban semua lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan

anak usia dini adalah memberikan pelayanan dan pendidikan yang aman, nyaman

dan menyenangkan kepada anak. Salah satu upaya pemberian pelayanan yang

baik adalah tersusunnya Standar Oprasional Prosedur (SOP) yang mengatur

keamanan dan kenyamanan anak. SOP disusun melibatkan semua warga sekolah,

59

masyarakat, lembaga pemerhati anak dan pemangku kebijakan. Dengan adanya

SOP yang baik maka kenyamanan dan keamanan anak akan terjaga.

Terdapat beberapa dasar hukum yang menjadi acuan perlindungan terhadap

anak yaitu: 1) konvensi Anak PBB yang diratifikasikan ke Kepres No. 36 Tahun

1990; 2) amandemen UUD 1945 Pasal 28B Ayat (2) Perlindungan anak dari

kekerasan dan diskriminasi; 3) undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak; 4) undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 5)

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Dasar hukum yang mengatur

sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah KUHP (kitab

undang-undang hukum pidana) pasal 287 ayat 1; 288 ayat 1; 289; 290 ayat 2; 292;

293; 294 ayat 1; dan 296. Selain itu berlaku juga undang-undang khusus untuk

anak yaitu UUPA No. 23 tahun 2002 pasal 81 dan 88 tentang persetubuhan,

pencabulan dan eksploitasi anak.

B. SARAN

Diharapkan kepada mahasiswa/praktisi untuk dapat memahami tentang

teori perkembangan psikoseksual anak, penyusunan SOP keamanan di sekolah

dan sanksi pada pelaku kekerasan terhadap anak. Dengan memahami ketiga aspek

tersebut maka makhasiswa/praktisi dapat memberikan kontribusi nyata dalam

penanggulangan kekerasan terhadap anak. Ketika menemukan kasus kekerasan

terhadap anak dapat memberikan masukan, solusi atau pendampingan kepada

korban agar diperlakukan secara adil.

60

DAFTAR PUSTAKA

Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi:Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.  2011.

Crain William.Teori Perkembangan:Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2007.

Focusing Resources on Effective School Health. Core Intervention 1: Health Related School Policies. http://www.freshschools.org/schoolpolicies-0.htm (diakses 27 Mei 2015)

I wayan AS, Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Formal, (Jakarta: Az- Zahra Book’s 8 , 2010)

Kemendag, UU No.23 tahun 2002, 2002, diakses dari http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003 PERLINDUNGANANAK.pdf pada tanggal 24 mei 2015 pada pukul 09.16

Kompasiana. 2015. Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak. diakses pada http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-seksual-anak--579268.html (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)

Kompas. 2015. Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak. diakses pada http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/0527140/Indonesia.Darurat.Kekerasan.pada.Anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)

Lorem Ipsun et.all, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak Bagi Petugas Kesehatan, (Jakarta: UNICEF & Departemen Kesehatan RI, 2007)

Lampiran Peraturan Menteri PPPA No. 11 Tahun 2011, Tentang Panduan PencegahanTerhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kementerian PPPA, 2011)

Nevid, Jeffrey S. Psikologi Abnormal. Edisi V jilid 1. Jakarta:Erlangga. 2005

Santrock , John W. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi XIII Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 2012

United Nations HIV/AIDS Fact Sheet, United Nations Development Programme, 2002.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002. Tentang Perlindungan Anak.

Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)

61