Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya tugas Makalah ini dapat diselesaikan. Makalah yang
berjudul ”Kekerasan Seksual Terhadap Anak Usia Dini” ini dengan sebaik
kemampuan yang saya miliki. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Pendidikan Pancasila. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya, tapi saya berhasil menyelesaikannya dengan semaksimal kemampuan yang saya miliki. Sebagai pemula, saya tentu sadar bahwa banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini baik dalam segi isi maupun sistematikanya, karena keterbatasan saya baik di bidang pengetahuan maupun wawasan. Maka hendaklah kiranya pembaca memberikan masukan dan saran sehingga isi makalah ini dapat lebih sempurna.
Penyusunan makalah ini dapat diselesaikan atas bantuan serta bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu kami dengan tulus hati menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Frans Hawitony, M.pd selaku dosen pengajar yang
senatiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada saya.
2. Bapak dan ibu yang telah memberikan do’a dan semangat.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
penulis mohon maaf jika ada kesalahan cetak atau bahasa yang kurang baku di dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita.
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang...........................................................................................................3
B. Identifikasi Masalah..................................................................................................7
C. Rumusan Masalah.....................................................................................................8
D. Tujuan Penulisan.......................................................................................................8
BAB II KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK USIA DINI
A. Perkembangan psikoseksual anak.............................................................................9
B. Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan anak...............................................20
C. Seks policy bagi pelanggar kebijakan......................................................................39
D. Analisis jurnal kekerasan seksual terhadap anak.....................................................51
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................................58
B. Saran.......................................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................60
2
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini merupakan dasar awal yang menentukan kehidupan suatu
bangsa dimasa yang akan datang, sehingga diperlukan persiapan generasi penerus
bangsa dengan mempersiapkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal baik dalam perkembangan moral, fisik/motorik, kognitif, bahasa,
maupun sosial emosional. Setiap anak berhak untuk mendapatkan penghidupan
dan perlindungan yang layak, serta dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 mengenai Perlindungan
Anak1, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan dimaksudkan untuk melindungi anak yang tereksploitasi
secara ekonomi, seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan seksual,
anak korban kekerasan fisik/mental, anak penyandang cacat, dan anak korban
penelantaran.
Akhir-akhir ini terdapat berbagai fenomena perilaku negatif terlihat dalam
kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau televisi dapat
dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik itu kekerasan fisik,
verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan seksual juga sudah menimpa
anak-anak. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang
1 Kemendag, UU No.23 tahun 2002, 2002, diakses dari http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf pada tanggal 24 mei 2014 pada pukul 09.16
3
telah dikenal anak, seperti keluarga, ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga,
guru maupun teman sepermainannya sendiri.
Banyak terdapat kasus-kasus mengenai kekerasan pada anak di dunia. Di
Afrika selatan misalnya terdapat kejadian pemerkosaan terhadap anak dan bayi
terbesar di dunia. Sebuah survei oleh Central Institute of Education Technology
menemukan bahwa 60% anak laki-laki dan perempuan menyangka bahwa
perlakuan pemaksaan seks dari seseorang yang mereka tahu bukanlah kekerasan
seksual, sementara sekitar 11% dari anak laki-laki dan 4% anak perempuan
mengaku mereka dipaksa berhubungan seks dengan orang lain. Pada survei yang
berkaitan melibatkan 1.500 anak sekolah di Johannesburg di kota Soweto,
seperempat dari anak laki-laki yang diwawancara mengatakan 'jackrolling',
sebuah istilah untuk pemerkosaan bersama, adalah menyenangkan. Lebih dari
separuh dari yang diwawancara menyatakan bahwa jika anak perempuan
mengatakan tidak untuk melakukan seks.2
Selain itu lebih dari 67.000 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual
terhadap anak-anak dilaporkan pada tahun 2000 di Afrika Selatan, sementara
pada tahun 1998 terjadi 37.500 kasus. Kelompok pemerhati anak-anak percaya
bahwa insiden yang tidak dilaporkan bisa 10 kali lipat dari angka kasus yang
dilaporkan. Peningkatan terbesar kejahatan seksual terjadi pada anak-anak di
bawah tujuh tahun. Prevalensi pelecehan seksual anak di Afrika juga didasarkan
kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anak perawan akan menyembuhkan
pria dari HIV atau AIDS. Kepercayaan ini adalah umum di Afrika Selatan,
dimana terdapat jumlah penduduk penyandang HIV-positif terbesar di dunia.
Menurut data resmi, satu dari delapan penduduk Afrika Selatan terinfeksi virus
ini.3
Di Indonesia, menurut data Komnas Perlindungan Anak pada tahun
2010 telah diterima laporan kekerasan pada anak mencapai 2.046 kasus,
2 Wikipedia. Pelecehan Seksual Terhadap Anak. http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak
3 United Nations HIV/AIDS Fact Sheet, United Nations Development Programme, 2002.
4
laporan kekerasan pada tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus, pada tahun
2012 naik lagi menjadi 2.629 kasus dan melonjak tinggi pada tahun 2013
tercatat ada 1.032 kasus kekerasan pada anak yang terdiri dari: kekerasan fisik
290 kasus (28%), kekerasan psikis 207 (20%), kekerasan seksual 535 kasus
(52%).4 Sedangkan dalam tiga bulan pertama pada tahun 2014 ini, Komnas
perlindungan anak telah menerima 252 laporan kekerasan pada anak. Jadi,
menurut Komnas perlindungan anak bahwa laporan kekerasan pada anak
didominasi oleh kejahatan seksual dari tahun 2010-2014 yang berkisar 42-
62%.5 Dari data tersebut terlihat bahwa kasus mengenai kekerasan pada anak
meningkat setiap tahunnya. Terlebih mengenai kasus pelecehan seksual yang
mendomonasi.
Banyak terdapat kasus-kasus mengenai pelecehan seksual pada anak
usia dini yang terjadi didaerah-daerah, diantaranya di Tuban di Jawa Timur,
yang dilakukan oleh pedagang asongan buku dan poster yang melakukan
kekerasan seksual pada 9 orang anak. Sedangkan di Sukabumi, Jawa Barat
(5/5/2014), tindakan pelecahan seksual yang dilakukan oleh AS (24) yang
berjumlah 89 anak. Dan baru-baru ini terjadi pelecahan seksual kepada anak-
anak Taman Kanak-kanak di JIS yang dilakukan oleh para petugas kebersihan
sekolah.
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak
di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk
4 Kompasiana. 2014. Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak. diakses pada http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-seksual-anak--579268.html (diakses pada tanggal 21 Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)
5 Kompas. 2014. Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak. diakses pada http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/0527140/Indonesia.Darurat.Kekerasan.pada.Anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)
5
rangsangan seksual.6 Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta anak
atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan
paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan
pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak,
kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual
tertentu seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk
memproduksi pornografi anak.
Anak perlu untuk diberikan pemahaman oleh orangtua mengenai sex
education. Sehingga melalui sex education ini diharapkan dapat tercapainya
tujuan dalam menjaga keselamatan, kesucian, dan kehormatan anak ditengah
masyarakat7. Cara penyampaiannya tentu harus disesuaikan kehidupan
masyarakat Indonesia yang berlandaskan agama dan tata krama, sehingga
anak didik baik laki-laki maupun perempuan dapat terjaga akhlak dan
agamanya hingga jenjang keluarga sekalipun. Selain itu, keluarga dan
masyarakat juga memiliki pengaruh besar terkait sex education sebagai pihak
pemberi informasi dan teladan, keluarga sebagai lingkungan terdekat anak
didik harus siap dengan berbagai pertanyaan dengan jawaban yang benar, dan
tidak membiarkan rasa ingin tahu mereka dijawab oleh teman atau media yang
belum tentu sesuai untuk usia mereka. Keluarga menjadi pengawas bagi anak
dalam mengontrol musik yang didengar, televisi yang ditonton, majalah yang
dibaca, serta pakaian yang dikenakan.
Sekolah juga mempunyai peranan dalam sex education untuk anak.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh memastikan pelajaran sistem
6 Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)
7 Nurlaili Lisdiya, 2013, sex education untuk-anak-anak, why not? Diakses dari http://sisimikro.blogspot.com/2013/01/sex-education-untuk-anak-anak-why-not.html pada tanggal 20 mei 2014 pada pukul 16.14 WIB
6
reproduksi masuk dalam kurikulum 2014. Kebijakan itu merupakan salah satu
bentuk pencegahan tindak kekerasan seksual pada anak.
M Nuh mengungkapkan bahwa " Dalam kurikulum tersebut, anak kelas 1 SD sudah mulai diberikan pelajaran sistem reproduksi. Pelajaran reproduksi untuk anak kelas 1 SD jangan dibayangkan dijelaskan secara biologi, tapi masuk dalam tema, misalnya tema tentang kebersihan diri bisa memuat materi soal pelajaran reproduksi itu. Menyangkut kebersihan diri, (dijarkan) termasuk underwear awareness. Jadi, anak-anak diajarkan untuk lebih perhatian terhadap daerah-daerah tubuh yang ditutupi underwear. Yang ditutupi itu barang mahal. Barang mahal pasti dirangkapi dobel-dobel. Beda dengan kuping, dahi yang dibiarkan terbuka kan,” 8
Kekerasan seksual terhadap anak dinyatakan tidak sah hampir di
manapun di dunia ini, umumnya diganjar dengan hukum pidana berat,
termasuk hukuman mati dan penjara seumur hidup.9 Hubungan seksual
seorang dewasa dengan anak di bawah umur dinyatakan sebagai pemerkosaan
menurut hukum, didasarkan pada prinsip bahwa seorang anak tidak dapat
memberikan persetujuan dan setiap persetujuan yang nyata oleh seorang anak
tidak dianggap sah.
Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah
perjanjian internasional yang secara resmi mewajibkan negara untuk
melindungi hak anak. Ayat 34 dan 35 dalam konvensi tersebut meminta
negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi dan pelecehan
seksual. Hal ini termasuk pernyataan bahwa ancaman kepada seorang anak
untuk melakukan aktivitas seksual, prostitusi anak, dan eksploitasi anak dalam
8 Laia Rahmawati, Nuh: Cegah Kekerasan Seksual, Kurikulum Ajarkan Kesadaran Soal Pakaian Dalam, 2014, Kompas, diakses dari http://edukasi.kompas.com/read/2014/05/17/0745343/Nuh.Cegah.Kekerasan.Seksual.Kurikulum.2014.Ajarkan.Kesadaran.soal.Pakaian.Dalam (pada tanggal 20 Mei 2014 pada pukul 16.16 WIB )
9 Levesque, Roger J. R. (1999). Sexual Abuse of Children: A Human Rights Perspective. Indiana University Press. hlm. 1,5–6,176–180. ISBN 0253334713. (pada tanggal 20 Mei 2014 pada pukul 16.40 WIB )
7
menciptakan pornografi dianggap melawan hukum. Negara juga diminta
mencegah penculikan dan perdagangan anak.10 Sejak bulan November 2008,
193 negara sepakat dengan Konvensi Hak-Hak Anak,11 termasuk setiap
anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.12
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sex education ini penting
untuk diberikan kepada anak, sehingga anak dapat mengetahui apa yang
seharusnya dilakukan untuk melindungi dirinya dari orang lain.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dikemukakan indentifikasi
masalah, sebagai berikut:
1. Perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud dan Erik
Erikson.
2. Peran sekolah dalam membuat SOP (Standar Oprasional Prosedur)
keamanan pada anak.
3. Seks policy bagi pelanggar kebijakan
4. Analisis jurnal tentang kekerasan seks terhadap anak usia dini, guna
memberi wawasan dan mempertegas tentang dampak kasus seks abuse
serta cara penanganannya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita tarik beberapa pertanyaan
sebagai rumusan masalah, yang akan dibahas secara lebih mendalam dalam
makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut
10 United Nations Convention on the Rights of the Child.
11 United Nations Treaty Collection. Convention on the Rights of the Child . (Diakses 25 Mei 2014) 12 Child Rights Information Network (2008). Convention on the Rights of the Child. (Diakses 25 Mei 2014)
8
1. Bagaimanakah perkembangan psikoseksual anak menurut Sigmund Freud
dan Erik Erikson?
2. Bagaimana Peran sekolah dalam membuat SOP keamanan pada anak?
3. Bagaimana seks policy bagi pelanggar kebijakan?
4. Bagaimana kasus-kasus seks abuse terhadap anak yang ada di dunia,
diperoleh dari analisis jurnal?
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan umum penulisan makalah ini
adalah memberikan wawasan kepada pembaca tentang kekerasan seksual terhadap
anak usia dini, secara khusus tujuan penulisan makalah ini yaitu agar pembaca
memahami tentang
1. Untuk mengetahui perkembangan psikoseksual anak menurut para ahli.
2. Untuk mengetahui peran sekolah dalam membuat sop keamanan pada anak.
3. Untuk mengetahui seks policy bagi pelanggar kebijakan.
4. Untuk mengetahui dampak kasus seks abuse di dunia serta cara
penanganannya melalui analisis jurnal tentang kekerasan seks terhadap anak
usia dini.
BAB IIPEMBAHASAN
A. Tahap Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud dan Erik Erikson
9
Teori-teori tentang tahap perkembangan psikoseksual identik dengan teori
psikoanalitis/psikoanalisis, hal ini disebabkan perkembangan psikoseksual
merupakan kajian yang mendalam pada tahap perkembangan manusia dan
melibatkan emosi di dalamnya. Psikoanalisis merupakan suatu sistem dinamis dari
psikologi yang mencari akar-akar tingkah laku manusia di dalam motivasi dan
konflik yang tidak disadari. Titik awal sistem ini, mencari atau bertolak dari
konsep libido yang secara asasi dirumuskan sebagai energi seksual baik dalam
bentuknya secara asli maupun dalam bentuk yang diubah sepanjang perkembangan
diri manusia, dalam segala bentuk cinta, afeksi, dan kemauan untuk hidup.13
Para ahli teori psikoanalitis menekankan bahwa perilaku hanyalah
merupakan karakteristik di permukaan, pemahaman sepenuhnya mengenai
perkembangan hanya dapat dicapai melalui analisis makna-makna simbolis dari
perilaku serta menelaah pikiran yang lebih dalam. Karakteristik ini disoroti dalam
teori psikoanalitis utama oleh Sigmund Freud. Teori Freud terlalu berfokus pada
insting seksual, yang kemudian direvisi secara signifikan oleh para ahli teori
psikoanalitis yang mengedepankan pengalaman budaya sebagai determinan dari
perkembangan individu. Salah satu pakar yang merevisi gagasan Freud adalah Erik
Erikson. Erik Erikson mengakui kontribusi Freud namun berpendapat bahwa
Freud keliru dalam menilai sejumlah dimensi penting dari perkembangan
manusia.Erik Erikson menyatakan bahwa individu berkembang menurut tahap-
tahap psikososial, bukan menurut tahap-tahap psikoseksual sebagaimana
dikemukakan oleh Freud. Berikut pembahasan teori psikoseksual menurut
Sigmund Freud dan psikososial menurut Erik Erikson:
1. Teori Perkembangan Psikoseksual Sigmund Freud14
Penelitian Freud telah membawanya untuk percaya bahwa perasaan seksual
mestinya aktif pada masa kanak-kanak, namun begitu konsep konsep seksualitas
13 J.P Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi:Terjemahan Kartini Kartono,(Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h. 394
14 William Crain, Teori Perkembangan:Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), h. 388-405
10
Freud ini sangat luas. Tahap-tahap perkembangan psikoseksual Freud adalah tahap
oral, anal, falik atau odipal, latensi, dan pubertas/genital.
a) Tahap Oral
Beberapa bagian pada tahap oral adalah
Bagian Pertama, bagian ini mendeskripsikan kegiatan menghisap sebagai
aktivitas bayi dalam memperoleh makanan untuk bertahan hidup, namun
Freud melihat juga kalau tindakan menghisap menyediakan perasaan
menyenangkan bagi bayi. Itu sebabnya, bayi sampai terbawa-bawa
menghisap jarinya sendiri atau objek lain meskipun perutnya tidak lapar.
Freud menyebut kesenangan dari menghisap ini otoerotik, artinya ketika bayi
menghisap jarinya sendiri, mereka tidak mengarahkan impuls-impuls kepada
orang lain selain menemukan kenikmatan lewat tubuh mereka sendiri. Freud
menekankan sifat otoerotik di tahap oral ini karena ingin memperlihatkan
bayi terbungkus di dalam tubuh mereka sendiri, Freud melihat bahwa selama
enam bulan pertama atau lebih dari kehidupan pertamanya, dunia bayi tidak
berobjek, artinya bayi tidak memliki konsepsi tentang orang atau hal-hal
yang eksis dalam dirinya sendiri. Karena itu, meskipun bayi sungguh-
sungguh bergantung pada orang lain, mereka tidak akan sadar akan fakta ini
karena belum bisa menyadari keberadaan orang lain yang berbeda darinya.
Bagian kedua, kira-kira sejak usia 6 bulan, bayi mulai megembangkan
konsepsi tentang orang lain, khususnya ibu, sebagai pribadi yang berbeda
dan terpisah darinya namun dibutuhkan. Mereka jadi cemas jika ibu
meninggalkannya atau ketika mereka bertemu orang asing tanpa ibunya.
Pada saat yang sama, perkembangan penting lainnya sedang terjadi yaitu
pertumbuhan gigi dan dorongan untuk menggigit.
Bagian Ketiga (Fiksasi dan Regresi), Freud mengatakan bahwa dia tidak
begitu pasti dengan penyebab fiksasi, namun para psikoanalis umumnya
percaya bahwa fiksasi dihasilkan oleh kesenangan berlebihan atau rasa
frustasi berlebih-lebihan di tahap perkembangan tertentu. Contoh:
menghisap atau menggigit objek tertentu seperti pensil atau memperoleh
kesenangan terbesar dari aktivitas-aktivitas seksual yang bersifat oral, atau
merasa kecanduan merokok dan minum. Bayi yang menerima perawatan
11
panjang dan sangat memuaskan bisa terus mencari kesenangan oral ini, di
sisi lain bayi yang mengalami frustasi dan keputussaan besar di tahap oral
bisa bertindak seolah-olah, dia tidak ingin menyerah pada kepuasan oral atau
dia akan terjun pada kepuasan oral ini jika tidak ada bahaya jangka panjang
yang akan ditemuinya.
Kadang-kadang seseorang menunjukkan sejumlah ciri oral di dalam hidup
mereka sehari-hari sampai mereka kemudian mengalami sejumlah frustasi
dan kemudian mundur (regress) ke titik fiksasi oral. Contoh: Seorang anak
kecil yang tiba-tiba menemukan diri terpisah dari kasih sayang orang tua saat
adiknya lahir bisa mundur lagi ketingkah laku oral dan mulai menghisap ibu
jarinya lagi.
b) Tahap Anal
Selama tahun kedua atau ketiga kehidupan anak, wilayah anal menjadi fokus
ketertarikan seksual. Anak-anak jadi semakin sadar akan sensasi-sensasi
menyenangkan ketika sudah dapat mengontrol otot-otot dubur ini, kadang-
kadang mereka belajar untuk menahan gerakan perut sampai detik terakhir
untuk kemudian meningkatkan tekanan di dubur yang membawa kesenangan
tertinggi saat feses akhirnya terlepas (Freud, 1905). Anak-anak juga sering
tertarik untuk menikmati kegiatan memegang dan membaui feses mereka
sendiri (Freud,1913).
Pada tahap anal ini anak pertama kali diminta mengendalikan kesenangan
instingtual mereka dengan cara yang dramatis. Disinilah anak mulai
diberikan pengajaran toilet sebelum waktunya. Sejumlah anak mungkin
awalnya menentang pelajaran ini dengan merusak diri sendiri secara sadar,
mereka juga terkadang memberontak dengan menjadikan dirinya tidak
berguna, tidak teratur dan kacau. Ciri-ciri yang kadang masih bertahan pada
masa dewasa sebagai aspek-aspek dari karakter “anal ekspulsif”. Namun
Freud juga tertarik dengan reaksi yang berlwanan dari tuntutan-tuntutan
orang tua ini. Anak merasa seolah mereka sebagaia anak yang terlalu
beresiko memberontak terhadap tuntutan orang tua sehingga dengn penuh
kecemasan mereka mengiyakan saja aturan orang tua. Orang-orang seperti
12
ini menyimpan kebencian terhadap ketundukan pada otoritas namun tidak
berani mengekspresikan kemarahan secara terbuka, sebaliknya mereka lebih
banyak mengembangkan sikap pasif, menegaskan bahwa mereka melakukan
sesuatu menurut jadwal sendiri, sehingga orang lain seringkali dipaksa
menunggu, mereka juga bisa menjadi hemat dan kikir. Orang-orang seperti
ini yang terkadang disebut “Anal Kompulsif”.
c) Tahap Falik atau Odipal
Antara usia 3 sampai 6 tahun, anak memasuki tahap falik atau odipal. Freud
memahami tahapan ini lebih baik pada anak laki-laki daripada anak
perempuan. Daerah erogen (daerah yang sensitif terhadap stimulasi seksual,
penis pada anak laki-laki dan klitoris pada anak perempuan). Konflik antara
orang tua dan anak mungkin terjadi karena masturbasi , menggesekkan
daerah phallic untuk kepuasan seksual dimana orang tua mungkin bereaksi
dengan memberikan ancaman dan hukuman.15
Krisis odipal anak laki-laki. Krisis odipal dimulai saat anak laki-laki mulai
tertarik kepada penisnya. Organ ini yang begtitu mudah dibuat senang dan
berubah bentuk, dan begitu kaya akan sensasi (Freud 1923), anak lalu ingin
membandingkan penisnya dengan penis anak lain dan penis hewan, dan
berusaha melihat organ seksual anak perempuan dan wanita. Anak mungkin
juga menikmati memperlihatkan penisnya, dan yang lebih umum memainkan
peran yang bisa dmainkannya sebagai pria dewasa. Anak memulai
eksperimen dan memtar fantasi dimana dia menjadi pria heroik dan agresif,
seringkali mengarahkan intensinya menuju objek cinta utamanya, sang ibu.
Dia mulai menciumi ibu dengan agresif, atau tidur bersamanya ketika
malam, atau membayangkan menikahinya. Namun anak akan segera
menyadari jika tindakannya salah dengan alasan sudah menjadi “anak
besar”.
Krisis odipal anak perempuan, Pandangan Freud sendiri tentang topik ini
secara luas adalah mencatat bahwa anak perempuan di usia 5 tahun atau
lebih menjadi kecewa dengan ibunya. Anak merasa dicampakkkan karena
15 Jeffrey S. Nevid, Psikologi Abnormal, Edisi V jilid 1 , (Jakarta:Erlangga, 2005), h. 44
13
ibunya tidak lagi memberi cinta yang dipeoleh ketika dulu masih bayi. Lebih
jauh lagi, dia semakin marah dengan larangan ibu seperti masturbasi.
Akhirnya, dan yang paling mengecewakan, si anak menemukan bahwa dia
tidak memiliki penis. Denga kata lain anak perempuan merasakan yang
disebut Feud kecemburan akan penis, sebuah harapan memiliki penis seperti
dimiliki anak laki-laki. Namun akhirnya anak perempuan mulai bisa
memulihkan kebanggaan feminimnya, ketika dia mengapresiasi perhatian
sang ayah.
d) Tahap Latensi
Anak memasuki periode latensi sampai usia 11 tahun. seperti ditunjukkan
olehnya , fantasi-fantasi seksual dan agresivitas sekarang tersembunyi
dalam-dalam (laten) dijaga rapat-rapat dibawah, di dalam ketidaksadaran.
Anak sekarang bebas mengarahkan kembali energinya pada pengejaran-
pengejaran konkret yang bisa diterima secara sosial, seperti olahraga,
permainan, dan aktivitas-aktivitas intelektual.
e) Tahap Pubertas/Genital
Pada fase pubertas, yang dimulai sekitar usia 11 tahun untuk anak
perempuan, dan 13 tahun untuk anak laki, energi seksual sudah terbentuk
dalam kekuatan penuh orang dewasa dan mengancam membobol pertahanan
yang sudah dibangun selama ini. Perasaan odipal mengancam untuk
membobol keluar menuju kesadaran dan membawanya ke dalam realitas,
(Freud, 1920). Freud mengatakan bahwa dari pubertas ke depan, tugas
terbesar individu adalah membebaskan diri dari perwalian orangtua. Bagi
remaja laki-laki ini artinya membebaskan ikatan dengan ibu dan menemukan
waktu yang disukainya. Untuk remaja putri, tugasnya adalah harus bisa
memisahkan diri dari perwalian orang tua dan membangun hidupnya sendiri,
namun freud mencatat bahwa independensi tidak pernah datang dengan
mudah.
Teori Freud sangat kompleks termask teori tentang id, ego dan super ego
yang menjadi bagian dari jiwa manusia termasuk dalam memandang
tahapan perkembangan psikoseksualnya. Id adalah bagian dari kepribadian
yanga awalnya disebut Freud ketidaksadaran, dan mengandung refleks dan
14
dorongan biologis dasar. Jika diselidiki motivasinya maka id di dominasi
oleh prinsip kesenangan, tujuannnya adalah memaksimalkan kesenangn dan
meminimalkan rasa sakit. Kajiwaan bayi hampir seluruhnya didominasi oleh
“id”. Freud mengatakan jia “id” berisi hasrat-hasrat yang tak terjinakkan
maka “ego” berisi penalaran dan pemahaman yang tepat. Karena ego
memahami realitas, ego berusaha menahan tindakan sampai dia memliki
kesempatan untuk memahami realitas secara akurat memahami apa yang
sudah terjadi di dalam situasi serupa dimasa lalu, dan membuat rencana-
rencana realistik dimasa depan (Freud, 1940) sering dkenal sebagai proses
kognisi atau perseptual. Freud menulis tentang “superego” seolah-olah
mengandung dua bagian, salah satu bagiannya disebut suara hati. Ini adalah
bagian superego yang Yang bersifat menghukum, negatif dan kritis yang
mengatakan pada kita apa yang tidak boleh dilakukan dan menghukum kita
dengan rasa bersalah jika kita melanggar tuntutannya. Hal ini yang menjadi
standar anak pada krisis odiipal agar krisis odipal tidak menjadi kompleks.
Sedangkan bagian yang lain disebutnya ego ideal, karena terdiri atas
aspirasi-aspirasi positif, berisi ide-ide positif seperti keinginn menjadi lebih
murah hati, berani atau berdedikasi tinggi.
Pemikiran Freud tentang pendidikan tidaklah seradikal yang seperti
umumnya diduga. Dia percaya bahwa masyarakat akan selalu membuat
sejumlah penolakan instingtual, sehingga tidak adil jika mengirim anak ke
dunia dengan harapan mereka dapat melakukan apa saja yang diinginkan
(Freud, 1933). Di sisi lain Freud juga melihat kalau disiplin biasanya bersifat
memaksa, membuat anak jadi merasa malu dan bersalah oleh karena hal
yang tidak perlu mengenai tubuh dan fungsi-fungsi alamiah mereka. Freud
secara khusus berempati terhadap kebutuhan akan pendidikan seks yang
benar dan merekomendasikan agar pendidikan seks dipegang sekolah agar
anak bisa mempelajari reproduksi di dalam pelajaran tentang alam dan
hewan, dari situ mereka dapat menarik kesimpulan yang benar mengenai
kondisi manusia.
2. Teori Perkembangangan Psikoseksual/ Psikososial Erik Erikson
15
Erikson memperdalam penggalian psikoanalisis Freud , karena itu, di
setiap tahapan Freudian dia mulai memperkenalkan sejumlah konsep yang
secara bertahap mengarah kepada hubungan paling umum sekaligus krusial
antara anak dan dunia sosial, berikut pembahasannya:
a) Tahap oral – Kepercayaan vs ketidakpercayaan (trust vs mistrust)
Erikson memperluas deskripsi Freud mengenai tahapan oral. Erikson
menunjukkan bukan hanya zona oral yang penting, namun juga mode-mode
ego menghadapi dunia. Pertama-tama Erikson berusaha memberikan
generalitas lebih besar pada pentahahapan Freudian dengan menunjukkan
bahwa di tiap zona libidinal kita bisa menemukan mode ego yang khas. Di
tahap awal zona utamanya adalah mulut, bayi memiliki mode aktivitas yang
disebut inkoporasi yaitu memasukkan benda ke dalam mulunya secara pasif
namun sangat mendambakan sesuatu itu. Menurut Erikson, bayi tidak hanya
memasukkan sesuatu lewat mulutnya, tapi juga lewat matanya. Ketika
melihat sesuatu yang menarik dia membuka mata lebar-lebar dengan penuh
semangat berusaha memasukkan objek itu ke dalam dirinya,sejalan dengan
itu mereka memasukkan perasaan-perasaan lewat indera mereka yang masih
rapuh.
Bayi mengumpulkan informasi dan kemudian menggenggam benda lewat
beragam inderanya. Perkembangan ego bayi berhadapan dengan dunia sosial
dalam hal ini para pengasuhnya, dilakukan dengan cara umum dan tertentu.
Karena itu bayi perlu tahu bahwa pengasuh mereka bisa diprediksi dan bisa
memahami rasa aman yang dibutuhkan oleh batin mereka. Sehingga Erikson
mencoba menghubungkan dengan kondisi sosial yang terjadi. 16
Tahap pertama Erik Erikson dari perkembangan psikososial adalah tahap
kepercayaan vs ketidakpercayaan ( trust vs mistrust), yang dialami dalam
satu tahun pertama kehidupan seseorang. Di masa bayi kepercayaan akan
menentukan landasan bagi ekspektasi seumur hidup bahwa dunia akan
menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.17
16 William Crain, op.cit.,hh. 42817 John W. Santrock, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi XIII Jilid 1, (Jakarta: Erlangga,2012), h. 26
16
b) Tahap Anal- Otonomi vs Rasa malu dan ragu-ragu (autonomy vs shame
and doubt).
Erikson setuju dengan Freud kalau mode dasar tahapan ini adalah retensi dan
eliminasi yaitu, menahan atau melepaskan. Diantara dua hal yang
bertentangan ini anak berusah melatih kemampuan memilih. Anak yang
berusia dua tahun ingin memegang apapun yang diinginkan, dan mendorong
apapun yang tidak diinginkan. mereka melatih kehendak mereka tepatnya
otonomi. Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuhnya, bayi mulai
menemukan bahwa perilaku mereka adalah keputusan mereka sendiri.
Mereka mulai menyatakan rasa kemandirian atau otonominya. Jika bayi
terlalu banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras, mereka cenderung
mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.18
Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang
mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya
sendiri seerti mengontrol otot mereka sendiri, menggunakan tangannya
sendiri untuk makan, sedangkan rasa malu dan ragu-ragu datang dari
kesadaran akan ekspetasi dan tekanan sosial.19
c) Tahap Falik - Inisiatif vs rasa bersalah (initiative vs guilt)
Erikson menyebut mode utama tahap ini sebagai intrusi. Lewat istilah
ini dia berharap bisa menangkap pendapat Freud tentang anak yang semakin
tumbuh dalam keberanian, keingintahuan dan rasa persaingan. Istilah intrusi
melukiskan aktivitas penis anak laki-laki namun sebagai mode umum, istilah
ini mengacu pada banyak hal seperti intrusi pada tubuh orang lain lewat
serangan fisik, intrusi ke dalam telinga orang lain lewat percakapan agresif,
instrusi dalam ruang lewat gerakan menyolok, dan instrusi dalam hal-hal
yang tidak diketahui lewat keingintahuan(Erikson, 1983). 20
Tahap inisiatif vs rasa bersalah, berlangsung pada masa prasekolah
(3-6 tahun), ketika anak prasekoah memasuki dunia sosial yang luas, mereka
dihadapkan pada tantangan baru yang menuntut mereka untuk
18 John Santrock, loc.cit. h. 2719 William Crain, op.cit h. 43620 Ibid., h.437
17
mengembangkan perilaku yang aktif dan bertujuan. Anak-anak diharapkan
mampu bertanggung jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan dan hewan
peliharaan mereka. Namun, perasaan bersalah dapat muncul bila anak
dianggap tidak bertanggung jawab dan menjdi merasa sangat cemas.21 Orang
tua bisa membantu proses ini dengan memperlunak otoritas dan
memperbolehkan anak berpartisipasi dalam proyek-proyek kehidupan yang
menarik. Lewat cara ini orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis
pada tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan yang tidak rusak
oleh rasa bersalah maupun larangan.22
d) Tahap Latensi - Semangat vs rendah diri (Industry vs Inferiority)
Erikson mengatakan pada tahap ini anak belajar menguasai
kemampuan kognitif sosial. Tahap ini berlangsung selama sekolah dasar (6-
11 tahun). Prakarsa anak-anak membawa mereka terlibat dalam kontak
pengalaman-pengalaman baru yang kaya. Ketika mereka beralih kemasa
kanak-kanak pertengahan dan akhir, mereka mengarahkan energinya untuk
menguasai pengetahuan dan keterampilanintelektual. Tidak adasaat lain yang
lebih penuh semangat atau antusiasme untuk belajar dibandingkan pada
akhir periode pengembangan imajinasi pada kanak-kanak awal. Bahaya yang
dihadapi di masa sekolah dasar adalah anak dapat mengembangkan rasa
rendah diri, merasa tidak kompeten dan tidak produktif23. Hal yang seperti
ini yang kemudian diberikan solusi oleh Erikson melalui penguatan ego atau
kompetensi yang merupakan sebuah latihan inteligensio dan kemampuan
secaa beas dalam menyelesaikan tugas-tugas tanpa diganggu perasaan
inferioritas yang berlebihan sebab menurutnya setiap anak itu berbeda dan
unik.24
e) Tahap Pubertas – Identitas Vs Kebingungan identitas
Pada masa remaja (10-20 tahun) individu dihadapkan pada tantangan
untuk menemukan siapa dirinya, bagaimana mereka nantinya, dan arah mana
21 Santrock, op.cit., h. 2622 Willianm Crain. op.cit., h.43823 Santrock, loc.cit. h. 2724 William, Op.cit., h.440
18
yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. Remaja dihadapkan pada
peran-peran baru dan status oang dewasa, pekerjaan dan romantisme.
Contohnya jika mereka menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara
yang sehat dan sampai pada suatu jalur yang positif, untuk diikuti dalam
kehidupan, maka identitas positif yang akan dicapai. Jika tidak maka mereka
akan mengalami kebingungan identitas.
Remaja hanya berpusat pada diri sendiri, lebih bergulat dengan
bagaimana penampilan mereka di mata orang lain, Merka jadi tertarik secara
seksual kepada orang lain bahkan jatuh cinta, namn kedekatan itu seringkali
hanya bertujuan untuk mendefinisikan dirinya saja.
f) Tahap Dewasa Muda – Intim Vs Isolasi (Intimacy Vs Isolation)
Tahap perkembangan dewasa Erikson berisi langkah-langkah
manusia memperlebar dan memperdalam kapasitas mencintai dan
memperhatikan orang lain. Masa remaja sebelumnya memiliki hasrat seksual
seperti jatuh cinta namun hanya untuk mendefenisikan dirinya sendiri. Untuk
menyongsong dewasa muda intinya adalah mencapai sebuah keintiman.
Keintiman yang riil adalah satu-satunya perasaan identitas paling
masuk akal yang sudah dibangun selama masa ini. Tidak ada pasangan yang
yang dapat mengalami sebuah keintiman total, maka kaum dewasa muda
dapat mengembangkan kekuatan ego yang disebut “cinta dewasa”, sebuah
mutualisme kesetiaan yang sampai kapanpun bisa mengatasi antagonisme
apapun diantara mereka berdua (Erikson 1964). Namun hanya orang yang
merasa aman dengan identitasnya saja yang sanggup kehilangan dirinya
dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Bila anak muda begitu
khawatir maskulinitasnya maka dia tidak akan dapat menjadi kekasih baik,
karena dia terlalu sadar diri, terlalu khawatir dengan bagaimana cara
mebuktikan diri dan bagaimana cara menarik diri dengan bebas dan lembut
dari pasangan seksualnya. Di tingkatan ini mereka yang gagal mencapai
mutualitas akan mengalami isolasi
g) Tahap Dewasa - Generativitas Vs Stagnasi (Generativity Vs
Stagnation)
19
Sekali dua insan muda sanggup membangun keintiman yang benar,
ketertarikan mereka mulai berkembangn melampaui fokus pada diri sendiri.
Mereka jadi peduli dengan membesarkan generasi selanjutnya. Di dalam
terminologi Erikson, mereka memasuki tahapan semanngat-berbagi vs
penyerapan diri-stagnasi. Semangat berbagi merupakan istilah yang sangat
luas mengacu bukan hanya kepada memproduksi anak, tetapi juga
memproduksi hal-hal dan juga ide-ide lewat kerja. Disisi lain ada juga
banyak orang yang menikah tapi kekurangan semanngat berbagi ini . Di
dalam kasus-kasus yang demikian pasangan ini seringkali muncul ke dalam
pseudo keintiman (Erikson, 1959). Erikson sering melihat pasangan seperti
ini terus menganalisis tanpa henti hubungan mereka untuk mencari seberapa
banyak bisa memperoleh sesuatu dari pasangannya. Individu seperti ini lebih
peduli dengan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan anak mereka.
h) Tahap Usia Senja - Integritas Vs Keputusasaan (Integrity Vs Despair)
Erikson sangat menyadari bahwa banyak penyesuaian, fisik maupun
sosial, harus dilakukan para lansia. Beliau meyadari fakta bahwa para lansia
tidak bisa seaktif dulu. Namun penekanan mestinya bukan diberikan pada
penyesuaian eksternal, melainkan penguatan batin di periode ini, sebuah
pergulatan yang berpotensi untuk tumbuh bhkan mencapai kebijaksanaan .
Erikson menyebut ini sebagai pergulatan integritas ego vs keputusasaan.
Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka akan
semakin menemukan pengertian mengenai integritas ego. Integritas ego kata
Erikson sangat sulit didefenisikan namun mencakup perasaan bahwa terdapat
sebuah suratan bagi hidupnya dan “penerimaan atas suratan tersebut, sebuah
siklus yang harus terjadi dan niscaya dan tidak ada yang
menggantikannnya...”(Erikson, 1963). Pergulatan batin ini cenderung
membuat seorang lansia seperti seorang filsuf, bergulat dengan diri sendiri
untuk menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan.
Kebijaksanaan bisa diungkapkan dengan banyak cara, namun selalu
merefleksikan upaya yang penuh pertimbangan dan pengharapan demi
menemukan nilai dan makna hidup sewaktu menghadapi kematian (Erikson,
1976).
20
Tahapan perkembangan psikoseksual dari Sigmund Freud dan Erik
Erikson menghasilkan analisis bahwa jika Freud beranggapan bahwa
motivasi utama manusia pada hakekatnya bersifat seksual maka Erikson
menganggap bahwa motivasi utama manusia bersifat sosial dan
mencerminkan hasrat untuk bergabung dengan orang lain. Menurut Freud
kepribadian dasar manusia dibentuk dalam lima tahun pertama kehidupan,
Erikson beranggapan perubahan dalam perkembangan berlangsung
sepanjang masa hidup. Dengan demikian menyangkut pandangan mengenai
pengenalan masa awal dan masa selanjutnya. Freud berpendapat bahwa
pengalaman masa awla lebih penting dibandingkan pengalaman di masa
selanjutnya. Sementara erikson menekankan pentingnya pengalmn dimasa
awal maupun masa selanjutnya.
B. PERAN SEKOLAH DALAM MEMBUAT SOP KEAMANAN ANAK
Sebagaimana kita ketahui seksama bahwa Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara tegas menyatakan
bahwa “Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut”.
Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur formal (Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal),
jalur nonformal (Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan bentuk lainnya
yang sederajat), dan pada jalur informal (pendidikan keluarga atau lingkungan).
Dalam rangka mendukung kebijakan pembinaan layanan Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) yang terarah, terpadu dan terkoordinasi, pada tahun 2010
Kementerian Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa
pembinaan PAUD baik formal, nonformal maupun informal, menjadi tanggung
21
jawab Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal
(Ditjen PAUDNI), yang secara teknis dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan
Anak Usia Dini.
Meskipun selama ini berbagai kebijakan yang terkait dengan pembinaan
PAUD telah ditetapkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat,
namun pada kenyataannya belum semua anak terlayani PAUD dan diperkirakan
hingga tahun 2010 dari 28,8 juta anak usia 0-6 tahun yang terlayani baru 53,7%.
Masih rendahnya jumlah anak yang terlayani PAUD, antara lain disebabkan (1)
belum semua orang tua dan masyarakat menyadari pentingnya PAUD, (2) masih
terbatasnya jumlah lembaga PAUD, terutama di daerah-daerah pedesaan, daerah
terpencil, dan daerah perbatasan, (3) tidak semua lembaga PAUD yang dapat
memberikan layanan bagi anak-anak yang ada disekitarnya, dan (4) terbatasnya
sarana, prasarana dan fasilitas yang dimiliki oleh lembaga PAUD. Berpijak dari
kondisi tersebut di atas, dalam rangka mendukung keterjangkauan, ketersediaan,
mutu/kualitas dan kesetaraan serta keterjaminan layanan PAUD diseluruh pelosok
tanah air, berdasarkan hal tersebut
1. Membuat Kebijakan Tentang Lingkungan Sekolah yang Sehat Dan Aman Bagi Peserta Didik
Memastikan bahwa semua peserta didik sehat, aman, dan dapat belajar adalah
bagian penting dari lingkungan pembelajaran inklusif yang efektif. Banyak
sekolah memiliki program seperti ini, karena mereka menyadari bahwa faktor
kesehatan, gizi yang baik dan lingkungan yang aman akan berpengaruh dalam
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Kebijakan sekolah tentang
kesehatan adalah mengupayakan peningkatan kesehatan, kebersihan, gizi dan
keamanan bagi semua peserta didik dengan beragam latar belakang dan
kemampuan. Kebijakan tersebut harus menjamin dapat menciptakan sekolah yang
sehat, aman dan lingkungan yang ramah. Sehingga anak dapat belajar karena
mereka merasa aman. Melibatkan berbagai pihak terkait adalah cara terbaik untuk
mengembangkan kebijakan sekolah tentang kesehatan. Tujuannya agar mereka
22
memberikan sumbangan pemikiran dan memberikan kegiatan yang dapat
digunakan untuk mengadvokasikan kebijakan tentang kesehatan sekolah.
Melaksanakan kebijakan untuk menjamin lingkungan belajar yang inklusif,
melindungi, dan sehat memerlukan dukungan yang luas. Untuk memperoleh
dukungan ini dimulai dengan advokasi, yaitu, mengembangkan pesan persuasif
dan bermakna yang membuat para pengambil keputusan melihat bahwa kebijakan
tersebut memang dibutuhkan. Berikut akan disajikan contoh kebijakan kesehatan
dan perlindungan sekolah:25
No Isu Kebijakan Contoh Kebijakan Sekolah1 Kehamilan dini yang tidak
diinginkan dan konsekuensinya Memberikan kesempatan peserta
didik yang hamil tetap bersekolah Melibatkan pendidikan kehidupan
keluarga dalam kurikulum Melarang semua jenis diskriminasi
2 Sekolah Bebas Rokok dan Penyalahgunaan NAPZA
Larangan merokok di lingkungan sekolah
Larangan menjual rokok kepada anak
Larangan adanya iklan dan promosi rokok
Pendidikan kesehatan yang memfokuskan kepada bahaya penyalahgunaan NAPZA
3 Sanitasi dan Kesehatan Pemisahan WC untuk guru lelaki dan perempuan dan juga untuk peserta didik laki-laki dan perempuan.
Penggunaan air bersih di semua sekolah
Komitmen aktif dari Persatuan Guru dan Orang Tua serta
Komite Sekolah untuk memelihara fasilitas air dan sanitasi
4 HIV dan AIDS dan Penyakit Menular lainnya
Pendidikan kesehatan berbasis kecakapan yang memfokuskan pada pencegahan HIV dan AIDS.
Pemberdayaan teman sebaya dankonseling HIV dan AIDS di sekolah.
Tidak ada diskriminasi kepada guru 25 Focusing Resources on Effective School Health. Core Intervention 1: Health Related School Policies.
http://www.freshschools.org/schoolpolicies-0.htm (diakses 27 Mei 2014)
23
No Isu Kebijakan Contoh Kebijakan Sekolahdan peserta didik yang mengidap HIV DAN AIDS dan penyakit menular lainnya
Pendidikan kesehatan yang memfokuskan kepada pencegahan dan bahaya penyakit menular lainnya.
Adanya akses terhadap upaya pencegahan melalui media
5 Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap pesertaDidik
Jaminan hukum bahwa kekerasan dan pelecehan seksual itu dilarang di sekolah
Sosialisasi perundangan agar dikenal dan diterima semua orang.
Pemberdayaan remaja untuk melaporkan kasus-kasus yang ditemukan.
Memperkuat tindakan kedisiplinan yang efektif untuk mereka yang melakukan kekerasan
6 Sosialisasi tentang Kesehatan dan Gizi Sekolah.
Pelatihan dan pemanfaatan tenaga guru untuk ikut menangani kesehatan dan gizi peserta didik, serta melakukan kerja
sama dengan tenaga kesehatan, juga melibatkan masyarakat setempat.
Peraturan untuk pengelola kantin dan pedagang makanan kaki lima di sekitar sekolah berkenaan dengan kualitas, kebersihan, dan stiker makanan yang dijual
2. Monitoring dan Evaluasi Tentang Kebijakan Sekolah
Beberapa alasan untuk menciptakan kebijakan sekolah untuk kesehatan
yakni sekolah bekerja keras untuk memberikan pengetahuan dan kecakapan yang
dibutuhkan sebagai bekal kehidupan peserta didik. Tetapi sekolah akan
ditinggalkan peserta didiknya jika sekolah kotor, fasilitas toilet tidak memadai
atau tidak ada jaminan keamanan ketika peserta didiknya pergi dan pulang dari
sekolah. Olehnya itu pengelolaan dana, waktu, dan sumber daya yang baik di
sekolah merupakan investasi yang sangat penting, tetapi jika pengelolaan sumber
24
daya pendidikan tersebut tidak baik, ini tidak menjadi jaminan bagi peserta didik
untuk betah bersekolah di tempat tersebut.
Kemudian kehadiran peserta didik di sekolah akan menurun, jika orang tua
khawatir akan keselamatan anaknya atau ketika sekolah tidak memiliki sumber
daya yang cukup untuk memberikan layanan kesehatan dan gizi yang bermanfaat
untuk anak mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya kerja sama
dengan keluarga dan masyarakat. Ketika kita mempromosikan kebutuhan akan
kebijakan dan program kesehatan sekolah khususnya yang ditujukan untuk
melayani kebutuhan peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan yang
beragam, kita langsung akan mengetahui masyarakat yang mendukung kebijakan
tersebut. Orang-orang ini bisa saja menjadi advokat yang kuat, dan mereka dapat
membantu kita sekaligus mencarikan jalan keluarnya jika timbul penolakan atau
kesalahpahaman yang mungkin muncul mengenai masalah kesehatan sekolah.
Cara lain yang bermanfaat untuk hal ini adalah dengan menciptakan suatu
Komite Penasehat Kesehatan yang beranggotakan berbagai lapisan masyarakat.
Olehnya itu kebijakan sekolah tentang kesehatan harus memberikan manfaat pada
semua peserta didik dari berbagai kelompok masyarakat. Kebijakan yang
berkaitan dengan kebutuhan peserta didik tampaknya yang paling banyak
mendapat dukungan. Setelah kita mendapatkan dukungan untuk mengembangkan
kebijakan kesehatan dan keamanan sekolah, langkah berikutnya adalah
melaksanakan evaluasi dan monitor kebijakan sekolah tentang kesehatan
(pedoman terlampir).
3. Mengatasi Kekerasan: Pemetaan Kekerasan dan Pelaksanaan Program di Sekolah
a. Pemetaan Kekerasan
Di sekolah, peserta didik yang berbeda latarbelakang maupun kemampuan
rentan akan terjadi diskriminasi dan kekerasan, misalnya, upaya untuk
menjauhkan mereka dari yang lain di dalam sekolah dan kadang-kadang di
luar sekolah. Bahkan terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang
mengakibatkan luka-luka, kematian, gangguan psikologis, perkembangan fisik
yang buruk atau kerugian. Ada tiga bentuk tindak kekerasan, yaitu:
25
Kekerasan terhadap diri sendiri: adalah perilaku membahayakan yang
sengaja dilakukan untuk menyakiti diri sendiri, termasuk upaya
melakukan bunuh diri.
Kekerasan antarpribadi: adalah perilaku kekerasan antarindividu yang
berakibat pada hubungan korban-pelaku, misalnya penghinaan dan
pelecehan.
Kekerasan yang diorganisir: adalah bentuk perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok sosial atau politik yang mempunyai tujuan
politik, ekonomi atau sosial. Contoh: konflik agama atau ras yang terjadi
di antara kelompok, geng atau mafia.
Kemudian ditinjau dari sebab terjadinya Kekerasan: kekerasan di sekolah,
keluarga, dan masyarakat berikut akan diuraikan beserta faktor- faktor yang
melatarbelakanginya:
Faktor penyebab pada anak:
Anak mempunyai kekurangan yang berkaitan dengan pengetahuan,
misalnya: sikap cara berfikir, kurang cakap berkomunikasi, dan
sebagainya
Penggunaan NAPZA
Menyaksikan atau korban kekerasan antarpribadi; dan
Adanya akses pada penggunaan pistol dan senjata tajam lainnya.
Faktor penyebab pada keluarga:
Kurangnya kasih sayang dan dukungan orang tua
Adanya kekerasan di rumah
Hukuman fisik dan penyiksaan anak; dan
Memiliki orang tua atau saudara kandung yang terlibat perilaku
criminal
Faktor penyebab yang ada di masyarakat dan lingkungan lainnya:
Ketidak setaraan ekonomi, urbanisasi dan terlalu padat
Tingkat pengangguran yang tinggi pada generasi pemuda
Pengaruh media
Norma sosial mendukung perilaku kekerasan
Ketersediaan senjata
26
Banyak di antara kita yang tidak berpikir bahwa sekolah dan masyarakat
bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan. Tapi sayangnya, banyak kekerasan
yang tidak kelihatan karena korban tidak melaporkannya pada guru. Lagi pula,
peristiwa kekerasan bisa terjadi di luar sekolah, seperti ketika seorang anak
dianiaya atau dilecehkan dalam perjalanan ke sekolah, tapi pengaruhnya
dibawa ke sekolah dan kelas.
Menentukan tingkat kekerasan di sekolah dapat dilakukan dengan
beberapa cara, seperti dengan bertanya kepada peserta didik untuk menjawab
kuisioner dan melibatkan mereka dalam diskusi kelompok atau melalui
pemetaan. Tujuan pemetaan kekerasan di sekolah adalah untuk menentukan di
mana dan kapan kekerasan terjadi, jenis kekerasan apa yang ada (merusak
diri, antarpribadi, terorganisir), dan siapa yang biasanya menjadi korban dan
pelaku. Proses pemetaan bisa menjadi alat berharga untuk memonitor dan
mengontrol kekerasan, karena hal ini dapat :
1) Mendorong peserta didik, guru dan staf sekolah lainnya untuk mulai
membicarakan tentang kekerasan di sekolah, yang dapat mengarah pada
pembuatan kebijakan yang lebih efektif.
2) Membantu mengevaluasi program intervensi kekerasan yang dibuat untuk
mendukung kebijakan melawan kekerasan di sekolah; dan meningkatkan
keterlibatan sekolah dalam mengatasi timbulnya kekerasan lainnya.
Untuk memetakan kekerasan di sekolah, kita dapat menggunakan suatu
proses yang serupa dengan pemetaan sekolah-masyarakat yang diberikan
sebelumnya. Mulai dengan memberikan peta sekolah kepada guru dan peserta
didik atau mereka yang dapat membuat peta sendiri dan minta mereka
untuk mengidentifikasi tempat terjadinya kekerasan. Kemudian kita dapat
menganalisis peta ini untuk mengidentifikasi lokasi terjadinya kekerasan.
Intervensi dan kebijakan yang diprakarsai dan dilaksanakan guru memegang
peranan penting dalam mengurangi tindak kekerasan di sekolah. Diskusi
kelompok harus diadakan untuk membicarakan tentang lokasi “titik rawan”
kekerasan yang terjadi di sekolah, mengapa beberapa anak rentan terhadap
kekerasan, dan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi kekerasan di
lokasi dan di antara peserta didik tersebut.
27
Meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dalam menghentikan
kekerasan yang terjadi di sekolah juga dapat memperbaiki lingkungan
masyarakat. Ini sangat penting, khususnya apabila kekerasan terjadi di luar
lingkungan sekolah, seperti ketika anak datang atau pulang dari sekolah. Di
sini, strategi pemetaan dapat digunakan untuk memetakan kekerasan di
masyarakat dan di sekolah. Jenis pemetaan tersebut merupakan langkah
pertama yang sangat bagus dalam menjalin kerja sama dengan anggota
masyarakat, untuk mengidentifikasi mengapa lokasi tertentu menjadi tempat
yang paling rawan kekerasan, untuk mencari solusinya, dan untuk
melaksanakan program intervensi sekolah-masyarakat yang efektif.
b. Pelaksanaan Program; Indikasi Peserta Didik yang Dilecehkan
Guru yang jeli dapat melihat gejala-gejala terjadinya kekerasan pada peserta
didik. Di bawah ini sejumlah karakteristik eksternal yang diperlihatkan peserta
didik. Namun ingat, bahwa beberapa gejala yang muncul mungkin perilaku
normal untuk anak pada waktu itu. Oleh karenanya, penting untuk memperhatikan
kebiasaan pola perilaku anak agar mengetahui perilaku baru yang muncul,
perilaku ekstrim atau kombinasi dari karakteristik berikut. Jika hal ini terbukti,
anak harus cepat dirujuk untuk konseling dan diberi bantuan lainnya yang tepat
(seperti akses terhadap layanan kesejahteraan sosial atau hukum). Berikut akan
dijelaskan bagaimana mengidentifikasi anak yang dilecehkan (emosional dan
fisik):
a. Akibat Anak yang dilecehkan:
Takut akan hubungan antar pribadi atau terlalu mengalah/tunduk
Menarik diri, agresif atau aktif secara abnormal (hiperaktif)
Seringkali lesu atau mudah marah, memisahkan diri; atau
Tidak ada rasa sayang atau terlalu menunjukkan rasa sayang
(disalahartikan merayu).
b. Gejala Fisik
Memar, luka bakar, bekas luka/goresan, bilur, tulang patah, luka-luka
yang terus ada atau tak ketahuan penyebabnya
Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual; atau
28
Luka, pendarahan, atau gatal-gatal di sekitar kelamin
c. Perilaku dan Kebiasaan
Mimpi buruk
Takut pulang ke rumah atau ke tempat lain
Takut berada dekat pada orang tertentu
Kabur dari sekolah
Suka berbohong
d. Perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan umur:
Mengisap jempol
Aktivitas atau kesadaran seksual termasuk pelacuran
Penyimpangan seksual
Mengompol
Penyalahgunaan alkohol atau zat lainnya
Menyerang anak yang lebih muda; atau
Memikul tanggung jawab orang dewasa
e. Perilaku berkaitan dengan pendidikan:
Rasa ingin tahu, imajinasi yang ekstrim
Kegagalan akademis
Tidur di kelas
Ketidakmampuan berkonsentrasi
f. Indikator emosional
Depresi
Fobia (ketakutan yang berlebihan, misalnya takut kegelapan, takut
toilet umum, dll.)
Melukai diri sendiri
Melukai atau membunuh binatang
Reaksi spontanitas dan kreatifitas berkurang
4. Tanda-tanda Peserta Didik yang Rentan Kekerasan
Di bawah ini beberapa karakteristik anak yang rentan dan apa yang harus
dilakukan untuk membantu peserta didik tersebut. Bagaimana mengidentifikasi
dan membantu anak yang rentan kekerasan?
29
NO
Faktor Pendukung
dan PencegahBentuk Sikap Dan Perilaku
1 Faktor yang memungkinkan peserta didik rentan terhadap kekerasan
Keluarga yang tidak harmonis Orang tua yang menyalahgunakan zat adiktif atau
menderita gangguan mental Pengabaian Perilaku tak pantas atau agresif di kelas; Gagal atau kurang bertanggung jawab pada sekolah Kecakapan sosial yang terbatas Ikut teman yang menggunakan alkohol atau narkoba
atau ikut serta dalam perilaku yang beresiko lainnya Status ekonomi yang rendah; atau Perilaku yang
menunjukkan pemakaian narkoba, alkohol atau rokok pada usia dini.
2 Faktor positif yang dapat membantu mengurangi resiko kekerasan terhadap peserta didik
Ikatan keluarga yang kuat, keterlibatan keluarga dalam kehidupan anak
Sukses di sekolah Kecakapan sosial yang baik Aktif dalam kegiatan masyarakat setempatMembangun
hubungan yang baik setidaknya dengan satu orang dewasa seperti guru
3 Hal-hal yang dapat diupayakan guru dan pihak sekolah
Meningkatkan hubungan yang mendukung dan aman Hadir di sekolah secara teratur dan bermakna Mengembangkan kecakapan pribadi dan sosial Meningkatkan kecakapan akademis Membangun jaringan sosial yang suportif Mendorong nilai-nilai positif Mengajarkan pemahaman bagaimana mengakses
informal Menyampaikan pemahaman bagaimana menunda
keterlibatan penggunaan NAPZA atau perilaku beresiko lainnya
Memfasilitasi akses terhadap konseling
Berikut ini cara-cara yang dapat ditempuh mencegah tindak kekerasan di antara
peserta didik:
No Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan1 Buat peraturan yang tegas dan konsisten terhadap perilaku agresif2 Didik peserta didik dengan pola perilaku yang sehat dan tanpa kekerasan3 Pelajari dan terapkan pola tanpa kekerasan untuk menegakkan kedisiplinan dan terus
30
No Upaya-upaya pencegahan yang dilakukanmengoreksi ketika anak berperilaku tidak pantas (menggunakan kedisiplinan/ hukuman fisik mengajarkan anak bahwa agresi merupakan bentuk kontrol yang benar).
4 Perlihatkan diri kita sebagai contoh panutan yang baik untuk mengatasi konflik tanpa kekerasan
5 Tingkatkan komunikasi yang baik dengan anak kita (seperti mau mendengarkan)6 Laksanakan supervisi tentang keterlibatan anak yang berhubungan dengan media, sekolah,
kelompok teman sebaya, dan organisasi masyarakat7 Berikan harapan yang sesuai untuk semua anak.8 Dorong dan puji anak ketika selesai membantu orang lain dalam memecahkan masalah
tanpa kekerasan9 Identifikasi masalah narkoba, alkohol atau zat adiktif lainnya10 Ajarkan mekanisme yang tepat untuk mengatasi situasi krisis.11 Minta bantuan dari para ahli (sebelum terlambat).12 Arahkan upaya masyarakat untuk melakukan analisis kekerasan di sekolah dan
masyarakat (seperti melalui pemetaan) dan untuk mengembangkan layanan dukungan berbasis masyarakat dan sekolah yang diimplementasikan secara efektif.
13 Berikan kesempatan anak untuk melatih kecakapan hidup (Life Skills) khususnya bagaimana memecahkan masalah tanpa kekerasan
5. Memberikan Kecakapan Hidup Kepada Anak; Upaya Pendidikan Kesehatan Berbasis Kecakapan (stimulasi pada perkembangan fisik dan kognitif anak)
Semua anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda
memerlukan kecakapan agar dapat menggunakan pengetahuannya tentang
kesehatan untuk mempraktekkan kebiasaan sehat dan menghindari kebiasaan
yang tidak sehat. Satu cara untuk menanamkan kecakapan ini adalah melalui
“pendidikan kesehatan berbasis kecakapan.” Sekolah mengajarkan pendidikan
kesehatan. Tetapi bagaimana pendidikan kesehatan berbasis kecakapan ini
berbeda dengan pendekatan lain terhadap pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan berbasis kecakapan memfokuskan pada perubahan perilaku kesehatan
yang spesifik dalam hal pengetahuan, sikap dan kecakapan. Ini membantu
anak untuk menentukan dan membiasakan (tidak hanya belajar tentang itu)
perilaku sehat. Pendidikan kesehatan berbasis kecakapan memfokuskan pada
perubahan perilaku kesehatan yang spesifik dalam hal pengetahuan, sikap dan
kecakapan. Ini membantu anak untuk menentukan dan membiasakan (tidak
hanya belajar tentang itu) perilaku sehat.
Program pendidikan kesehatan berbasis kecakapan dirancang dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan hak peserta didik, sehingga cocok bagi
kehidupan remaja sehari-hari. Keseimbangan dalam kurikulum, antara lain dalam
hal: (i) pengetahuan dan informasi, (ii) sikap dan nilai, dan (iii) kecakapan hidup.
31
Anak tidak hanya menjadi penerima informasi pasif, tetapi berpartisipasi aktif
dalam belajar melalui metode belajar dan mengajar partisipatori. Dalam
pendidikan kesehatan berbasis kecakapan, anak berpartisipasi dalam penyatuan
pengalaman belajar untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan kecakapan
hidup. Kecakapan ini membantu anak belajar membuat keputusan yang baik dan
melakukan tindakan positif agar mereka tetap sehat dan aman. Ini juga bisa
menjadi pola sikap, berupa pemecahan masalah, atau cara berkomunikasi
kesediaan dan perilaku yang membantu anak bekerja sama dengan sesama,
khususnya mereka yang beragam latar belakang dan kemampuan.
Kecakapan ini sering disebut Kecakapan hidup. Kecakapan hidup sangat
penting dalam hidup sehat dan bahagia. Pengajaran kecakapan hidup disebut
“pendidikan berbasis kecakapan hidup”, yang merupakan istilah yang sering
digunakan dalam pendidikan. Perbedaan antara keduanya terletak pada jenis isi
atau topik yang tercakup didalamnya. Pada pendidikan berbasis kecakapan hidup,
tidak semua isinya berkaitan dengan kesehatan, misalnya kemampuan membaca
dan berhitung yang berbasis kecakapan hidup. Istilah “kecakapan hidup” mengacu
pada sekolompok besar kecakapan psiko-sosial antar pribadi yang dapat
membantu anak membuat keputusan, berkomunikasi secara efektif dan
mengembangkan kecakapan mengurus diri sehingga dapat membantu mereka
menjalani kehidupan produktif dan sehat. Kecakapan hidup mungkin ditujukan
pada pengembangan tindakan pribadi seseorang dan tindakan kepada orang lain,
serta tindakan untuk mengubah lingkungan sekeliling agar kondusif untuk
kesehatan.
Kecakapan hidup juga dihubungkan dengan pengembangan perilaku yang
baik, misalnya kecakapan dalam mendengarkan orang lain. Ketika kita
mendengarkan mereka, kita menunjukkan rasa hormat. Empat sikap yang paling
penting untuk dikembangkan melalui pendidikan kesehatan berbasis kecakapan
(pedoman terlampir):
1. Penghargaan diri seperti saya ingin bersih, bugar dan sehat.
2. Penghargaan diri dan percaya diri, seperti saya tahu saya bisa
mempengaruhi dan membuat perbedaan atas kesehatan keluarga saya,
walaupun saya masih kecil.
32
3. Hargai orang lain seperti saya perlu mendengarkan orang lain,
menghormati mereka dan kebiasaannya bahkan walaupun mereka berbeda
atau walaupun saya tidak menyetujui mereka.
4. Peduli kepada orang lain, seperti saya melakukan yang terbaik untuk
membantu orang, lebih sehat, khususnya mereka yang membutuhkan
bantuan saya.
6. Mengajarkan Kecakapan Hidup Pada Peserta Didik
Peserta didik dapat belajar kecakapan hidup jika kita menggunakan metode
pengajaran yang memberi peluang peserta mempraktekkan kecakapan ini. Inilah
sebabnya cara kita mengajar sama pentingnya dengan apa yang kita ajarkan.
Berikut beberapa tips untuk pembelajaran kecakapan hidup yang aktif :
Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk Keberhasilan Mengajar
Kelompok diskusi:1. Bantu semua peserta didik untuk
terlibat, berbagi pengalaman dan berikan kesempatan berpendapat tentang topik kesehatan yang penting.
2. Bantu peserta didik belajar berkomunikasi dengan orang lain dan mendengarkan orang lain ketika mereka berbagi perasaannya
1. Bentuk kelompok kecil (5-7 peserta didik).
2. Pilih pemimpin secara demokrasi, dan pastikan bahwa semua memiliki kesempatan yang sama.
3. Pastikan ada pengaturan dan peraturan yang memperkenankan setiap orang berpartisipasi.
4. Pastikan tugasnya jelas dan kelompok mengetahui bagaimana dan apa yang akan mereka laporkan.
5. Pastikan topik kesehatan yang dipilih mendorong peserta didik berpikir dan mengambil hikmah dari pengalamannya sendiri.
Cerita:1. Berikan informasi dengan cara yang
menarik untuk membantu peserta didik memahami dan mengingat.
1. Gunakan cerita untuk memperkenalkan topik dan ide baru di bidang kesehatan.
33
Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk Keberhasilan Mengajar
2. Perkenalkan pada topik yang sulit dan sensitif.
3. Kembangkan imajinasi peserta didik.
4. Kembangkan kecakapan Berkomunikasi peserta didik (menyimak, berbicara, dan menulis)
2. Buat topik tersebut menarik dan dramatis.
3. Pastikan bahwa peserta didik mengetahui dan memahami poin utama cerita termasuk kesan mereka tentang karakternya.
4. Arahkan dari cerita ke kegiatan lain, seperti drama dan menggambar.
5. Dorong peserta didik untuk menceritakan sesuatu yang telah mereka baca kepada peserta didik lain atau anggota keluarga. Dorong mereka untuk menceritakan dan menulis ceritanya sendiri
Demonstrasi Praktis:1. Menghubungkan pengetahuan abstrak
kepada hal yang nyata.2. Mengembangkan kecakapan praktis
dan observasi.3. Mendorong berpikir logis
1. Jika memungkinkan, gunakan hal nyata (seperti makanan, larva nyamuk, dll.) dari pada gambar.
2. Libatkan peserta didik dalam demonstrasi praktis. Pastikan keterlibatan guru sesedikit mungkin.
3. Minta mereka menjabarkan apa yang mereka lakukan dan alasannya kepada peserta didik lain.
4. Peserta didik dapat menggunakan dirinya sendiri, seperti belajar tentang tubuh, untuk mendemonstrasikan pertolongan pertama.
Drama dan Bermain Peran:1. Kembangkan semua jenis kecakapan
berkomunikasi.2. Izinkan peserta didik untuk
mengeksplorasi sikap dan perasaan,
1. Bantu dan dorong peserta didik untuk membuat drama mereka sendiri. Jangan siapkan untuk
34
Metode Pembelajaran Aktif Kiat-kiat untuk Keberhasilan Mengajar
bahkan terhadap subjek yang sensitif seperti AIDS atau kecacatan.
3. Kembangkan percaya diri.4. Arahkan kepada kegiatan yang
membantu anak berpikir secara jelas dan membuat keputusan
mereka semuanya.2. Eksplorasi pembuatan dan
penggunaan wayang yang sangat sederhana.
3. Sering gunakan permainan peran yang pendek (fragmen) seperti “Bayangkan kalau kamu melihat seseorang melakukan ini, apa yang kamu lakukan atau katakan?”
4. Arahkan dari drama atau wayang ke diskusi; misalnya, “Mengapa orang bertindak seperti ini? Apa yang akan terjadi nanti?”
5. Selalu pastikan bahwa peserta didik telah memahami pesan tentang kesehatannya pada akhir drama.
6. Monitor perilaku mereka di luar kelas untuk melihat jika pesan tersebut telah diresapi.
7. Dalam situasi yang sulit, dimana seorang anak diejek, dorong peserta didik untuk berpikir tentang apa yang terjadi dan cara untuk membantu anak.
7. Pengelolaan dan Pembelajaran di Taman Kanak- kanak
Pembelajaran di taman kanak- kanak merupakan pendididkan yang aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan. Aktif artinya bahwa dalam proses
pembelajaran, guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga peserta
didik, aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagaan, serta aktif
melakukan aktivitas pembelajaran lain. Belajar merupakan proses aktif dari
peserta didik dalam membangun pengetahuannnya , jika pembelajaran tidak
memberikan kesempatam kepada peserta didik untuk berperan aktif, maka
35
pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif peserta
didik sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang
mampumenghasilkan sesuatu untuk kepentingan drinya dan orang lain. Kreatif
jiga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga
berbagai tingkat kemampuan peserta didik. Menyenangkan dimaksudkan sebagai
suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga peserta didik memusatkan
perhatiannya secara penuh pada belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan
tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan
apa yang harus dikuasai peserta didik setelah proses pembelajaran berlangsung,
sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yng harus dicapai.
Jika pembelajaran tersebut tidak ubahnya seperti bermain biasa. Pelaksanaan
PAKEM di TK dapat digambarkan sebagai berikut 26:
1. Peserta didik terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan
pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada prinsip
bermain sambil belajar
2. Guru menggunakan berbagai alat bantu dengan berbagai cara
pembelajaran (multimedia- multimethdo), termasuk menggunakan
lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran
menarik, menyenangkan, dan sesuai dengan perkembangan peserta didik.
3. Guru mengatur kelas seuai dengan kebutuhan pembelajaran melalui sudut
sentra dan area
4. Guru mendorong peserta didik untuk menemukan caranya sendiri dalam
pemecahan masalah, untuk mengungkapkan gagasan dan melibatkan
peserta didik melalui bimbingan guru.
Proses pembelajaran merupakan kegiatan utama di TK. TK diberi kebebasan
memilih strategi, metode, dan teknik- teknik pembeljaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik, dan kondisi setempat. Beberapa contoh pelaksanaan
kewenangan pengelolaan proses pembelajaran antara lain;
26 I wayan AS, Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Formal, (Jakarta: Az- Zahra Book’s 8 , 2010) ., h. 376
36
1. Pengembangan pembelajaran dengan pendekatan berpusat pada peserta
didik (students- centered learning)
2. Pengembangan pembelajaran yang berarti dan sesuai dengan lingkungan
(contextual learning)
3. Pengoptimalan lingkungan dan sumber daya yang ada sebagai sumber
belajar
4. Pengaturan ruang kelas, pengorganisasian peserta didik (klasikal,
kelompok, dan individual), pengaturan alat/ sumber belajar, metode,
model pembelajaran, serta penilaian yang komprehensif
5. Pengembangan pembelajaran yang mencakup berbagai bidang
pengembangan, yaitu bahasa, kognitif, fisik- motorik, seni dan
pengembangan pembiasaan, yaitu moral, kemandirian, sosial- emosional,
dan lainnya.
6. Pengembangan pembelajaran dengan pendekatan berbasis luas dan
mendukung kecakapan hidup (broad- based education dan life skills)
melalui pembiasaan dan pengembangan kemampuan dasar.
9. Peran Serta Masyarakat di Taman Kanak-kanak, Partisipasi Dalam Peningkatan Kualitas TK
Tercapainya tujuan dalam peningkatan mutu pembelajaran tidak hanya
ditentukan oleh system pengajaran yang baik saja, tetapi ditentukan juga oleh
peran serta masyarakata secara meluas, karena TK pada hakikatnya bagian dari
msyarakat, milik masyarakat, dan menjalin hubungan yang harmonis melalui
wadah yang disebut komite TK. Berdasarkan Undang- undang No. 20 Tahun
2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa masyarakat juga berhak
berperan serta dalm pertencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan, yang dilaksankan oleh sekolah hal ini menunjukkan bahwa
masyarakta juga harus terlibat dalam upaya melaksanakan pendidikan yang
bermutu, karena pada dasarnya antara sekolah dan masyarakat terjadi hubungan
timbal balik yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam pasal 51 ayat 1 Undang- undang No 20 tahun 2003 dijelaskan
bahwa “ pengelolaan suatu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
37
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”. Peningkatan mutu pendidikan dan
pembelajaran melalui MBS dapat dilakukan dengan 3 komponen (1)
Melaksanakan menejemen yang transparan, partisipatif dan akuntabel, (2)
Melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, (3)
Meningkatkan peran serta masyarakat.
Pada usia dini anak sedang melakukan adaptasi dengan lingkungan yang
dialaminya dirumah dan lingkungan yang diikutinya disekolah. Dalam proses
adaptasi ini sering muncul adanya permasalahan yang dapat mengganggu
kelangsungan KBM. Karenanya diperlukan perlakuan dan kebijakan tertentu
sehingga proses adaptasi dan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dapat
berjalan lancar. Kondisi tersebut mengharuskan guru menciptakan suasana yang
menyenangkan serta lingkungan yang mirip dengan lingkungan yang sudah akrab
dengan anak. Hal tersebut menuntut guru untuk dapat memahami karakteristik
dan latar belakang dari masing- masing anak sehingga dapat memberikan
perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak. Dengan
demikian pembelajaran yang dilakukan disekolah lebih bersifat tidak formal
sesuai dengan lingkungan alami, kekeluargaan, menyenangkan, serta banyak
bermain, beberapa hal tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pertimbangan perlunya partisipasi masyarakat: partisipasi masyarakat
diperlukan di TK antara lain karena beberapa hal berikut : a. pendidikan
adalah tanggung jawab bersama baik keluarga, masyarakat ,maupun
pemerintah,b. Keluarga bertanggung jawab untuk mendidik,
menyekolahkan, serta membiayai keperluan pendidikan anak, c.
pendidikan adalah investasi masa depan, d. Masyarakat berhak dan
berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik
2. Wujud partisipasi masyarakat terhadap TK dapat diwujudkan dalam
berbagai jenis mulai dari yang tingkatan terendah sampai yang tertinggi,
yaitu :
a. Menggunakan jasa pelayanan TK yang tersedia, yaitu masyarakat
bersedia menyekolahkan anaknya ke TK
b. Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga
38
c. Peran serta secara pasif, yaitu menyetujui dan menerima keputusan
sekolah (komite TK)
d. Masyarakat, termasuk orang tua peserta didik bekerjasama dengan
guru dan kepala TK merencanakan pengembangan TK mereka, dan
memantau penggunaan sumber daya di TK.
Pembelajaran di TK tidak cukup hanya dilakukan oleh guru, tetapi peran
serta orang tua di rumah juga sangat menetukan dalam membantu pembelajaran
yang telah dilakukan oleh guru. Dengan demikian, kerjasama yang baik antara
guru, orang tua, dan masyarakat penting untuk dijalin secara efektif agar
pembelajaran yang dilaksanakan dapat berhasil dan mencapai target yang
diharapkan. Komite taman kanak- kanak juga ikut terlibat dalam membantu taman
kanak-kanak juga ikut terlibat dalam membantu penciptaan suasana fisik maupun
psikis yang menyenangkan kemudian menunjang berlangsungnya kegiatan
pembelajaran. Kepala TK sebagai pemimpin di sekolah hendaknya juga dapat
memberikan perhatian yang lebih serius dengan memberikan kebijakan khusus,
karena pembeljaran di TK merupakan pondasi yang menentukan keberhasilan
pembeljaran pada tingkat yang lebih tinggi. Pengawas dan pengembang
professional juga dapat membantu guru dalam menyediakan dukungan
professional di TK, khususnya dalam konteks pendampingan pembelajaran (on
the job training)
C. SEKS POLICY BAGI PELANGGAR KEBIJAKAN
Pendidikan seks untuk anak usia dini kembali menjadi sorotan akibat
dari maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini yang sangat
memprihatinkan. Kasus demi kasus terungkap, bagaikan fenomena gunung es
yang tiba-tiba runtuh dan membuat semua orang terkejut. Kasus tersebut tidak
hanya terjadi di lingkungan keluarga, tetapi juga di sekolah dan masyarakat
dengan pelaku adalah orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan
bagi anak. Hal ini dapat kita ketahui melalui media massa dan data yang ada di
pusat-pusat pelayanan anak.
Salah satu yang harus dilakukan oleh kita sebagai orang-orang yang
bergelut pada pendidikan anak usia dini adalah memberikan pemahaman kepada
39
masyarakat untuk mengubah paradigma berfikir mereka. Pola fikir yang harus di
ubah adalah pendidikan seks untuk anak usia dini bukan hal yang tabu lagi tetapi
hal yang perlu. Banyak pihak, terutama para orangtua meyakini bahwa insting
seksual tidak dijumpai pada masa anak-anak, dan baru akan muncul pada masa
pubertas. Pendapat seperti ini merupakan kekeliruan yang sudah mengakar kuat
dalam masyarakat kita. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip kehidupan
seksual pada anak dapat berakibat negatif terhadap perkembangan peran seks
anak, dan terhadap sikap perilaku anak usia dini. Kajian mendalam mengenai
kehidupan seksual selama masa anak-anak akan mampu menunjukkan kepada kita
bagaimana proses pendampingan yang tepat bagi anak terkait perkembangan
peran seks nya.
Sebagai renungan, pada zaman dahulu ketika anak bertanya kepada
orang tua tentang hal-hal berkaitan dengan seks, orang tua cenderung akan
menolak untuk menjawab bahkan memarahi anaknya karena merasa tabu dan risih
serta bingung dalam menjelaskannya, ketika anak tidak mendapat jawaban dia
tidak akan mendapatkan atau mencari informasi dari tempat lain karena
keterbatasan akses informasi pada saat itu. Tetapi sekarang di era globalisai
semua informasi dapat diakses dengan mudah melalui media baik cetak maupun
elektronik, ketika anak bertanya kepada orang tua atau guru tentang seks, dan ia
tidak mendapat jawaban maka dia akan mencari informasi sendiri melalui media,
hal ini sangat berbahaya.
Berbagai pertanyaan yang dikemukakan oleh anak berkaitan dengan
seksualitas biasanya dimulai dari perbedaan jenis kelamin antara dirinya dengan
teman sebayanya, dan dengan orang tua nya. Rasa ingin tahu anak dan kebutuhan
eksplorasi yang tinggi pada anak membuat pertanyaan anak semakin bertambah
kompleks. Anak mulai bertanya tentang fungsi alat kelaminnya, proses kelahiran
bayi, proses munculnya bayi di dalam perut Ibu, mengapa laki-laki dan
perempuan harus menikah, dan apakah seorang Ibu dapat memiliki bayi apabila
tidak menikah.
Pada saat anak memperoleh jawaban yang benar, ilmiah, dan dapat
memuaskan rasa ingin tahu anak, anak akan memiliki pijakan yang benar untuk
memilih tindakan yang benar nantinya, dan menyadari konsekuensi dari tindakan
40
yang ia pilih. Jawaban yang tidak realistis, dan abstrak akan sulit dipahami anak.
Anak tidak memperoleh kepuasan akan rasa ingin tahu nya. Mereka akan
berusaha mencari jawaban yang benar melalui teman sebaya, melalui media, dan
melalui tindakan eksplorasi genital yang tidak terkontrol. Anak juga dapat
melakukan berbagai tindak eksperimen dengan dirinya sendiri ataupun teman
sepermainannya, tanpa sepengetahuan orangtua.
Sikap orangtua yang kaku menghadapi pertanyaan anak dan perilaku
seks anak di usia dini dapat membawa akibat yang buruk. Sikap keras dan otoriter
orangtua yang cenderung menghardik atau membentak pada saat anak bertanya
atau melakukan eksplorasi seksual dapat membuat anak merasa malu dan merasa
bersalah, sehingga anak mengembangkan berbagai macam persepsi yang keliru
tentang seks. Dibutuhkan proses upaya penanganan yang serius dan
berkesinambungan, dan ini dapat dilakukan melalui penerapan pendidikan seks
bagi anak dalam Pendidikan Anak Usia Dini.
Pemberian pemahaman pendidikan seks kepada anak dan orang tua
tujuannya adalah melakukan tindakan preventif/pencegahan terhadap kekerasan
seksual yang mengancam anak. Masyarakat harus diberi pemahaman apa saja
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual terhadap anak.
Orang tua dan guru juga harus mengajarkan tindakan-tindakan pencegahan yang
dapat dilakukan anak untuk menghindari pelecehan seksual.
Mengingat bahwa pembangunan nasional berjalan seiring dengan
kemajuan budaya dan IPTEK, perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan
bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Perilaku
demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat
dikategorikan sesuai dengan norma dan ada yang tidak. Seseorang akan
cenderung berusaha memenuhi kebutuhannya dalam rangka mempertahankan
hidup.
Bagi mereka yang memiliki keahlian dibidang tertentu dan ditunjang
dengan tingkat pendidikan yang memadai akan cenderung memiliki tingkat
ekonomi yang lebih terjamin karena mereka dapat memperoleh pekerjaan
berdasarkan keahlian yang dimilikinya tersebut. Lain halnya bagi mereka yang
memiliki tingkat pendidikan yang bisa dikatakan rendah dan tidak memiliki
41
keahlian tertentu. Mereka cenderung memiliki tingkat ekonomi yang
menengah ke bawah. Seiring kemajuan jaman, kebutuhan mereka akan terus
bertambah sedangkan di sisi lain perekonomian mereka semakin terpuruk.
Membicarakan perbuatan pidana tidak lepas dengan akibat-akibat yang
di timbulkan di tengah masyarakat, baik akibat terhadap individu maupun
kelompok akibat-akibat yang di timbulkan ini menjadi tolak ukur suatu modus
dari perbuatan pidana, apakah perbuatan pidana itu merupakan kejahatan atau
pelanggaran.Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan
secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang
bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan
hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.27
Dalam bagian ini akan coba dijelaskan tindakan apa saja yang masuk
kategori pelanggaran seksual terhadap anak dan bagaimana sanksi bagi pelaku
yang melanggar hal tersebut
1. Dasar Hukum Perlindungan Anak
Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum)
ialah dimulai saat berada dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah
dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama
dia hidup. Setiap anak Indonesia adalah aset bangsa yang sangat berharga,
generasi penerus dan sumber daya manusia Indonesia yang bakal menjadi penentu
masa depan bangsa dan negara. Negara berkewajiban menciptakan rasa aman dan
memberikan perlindungan hukum kepada setiap anak Indonesia agar mereka
tumbuh serta berkembang secara wajar dan berperan serta dalam pembangunan.
Tujuan perlindungan hukum itu sendiri untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar dapat hidup, berkembang dan partisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
27Yesmil Anwar Andang, Kriminologi, Refika Aditama, cetakan I, Bandung, 2010, h.318.
42
dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.
Dalam Pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi: “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana
kepentingan si anak menghendaki”. Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak
sejak ia masih dalam kandungan dan lahirnya harus hidup. Dalam Hukum Perdata
Indonesia perlindungan anak bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak-
haknya agar dalam hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan, diskriminasi dan kekejaman. Yang dinamakan perlindungan khusus
adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, anak
korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik/mental, ataupun anak yang terkena korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pencabulan yang dilakukan terhadap sesama anak di bawah umur
tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya
terhadap anak tersebut terutama bagi korban. Dampak psikologis pada anak-anak
akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap
tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu,
dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut
kemungkindapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pencabulan
tersebut.
Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi
kejahatan kesusilaan sangat diperlukan.Kekerasan terhadap anak setiap hari terus
meningkat, padahal didalam KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana) telah
tertulis aturan hukum tentang pencabulan dan Undang-undang No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Dimana perbuatan cabul sendiri merupakan
perbuatan yang tidak senonoh dalam bidang seksual: misalnya, perbuatan meraba-
43
raba kemaluan yangdilakukan di muka umum yang menimbulkan rangsangan
birahi.28
Menurut UU RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 No 165, Tambahan 3886), bahwa Hak anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia (sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya)
dan wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Konvensi Hak Anak PBB yang diratifikasi oleh Kebutuhan Dasar Anak
pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, meliputi 4
(empat) prinsip dasar yaitu:29
Non diskriminasi
Kepentingan Terbaik bagi Anak
Hak Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang
Penghargaan Pendapat Anak
Anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian dalam upaya
pembinaan kesehatan masyarakat, karena mereka akan berperan sebagai calon
orang tua, tenaga kerja, bahkan pemimpin bangsa di masa depan. Dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan anak di Indonesia diperlukan upaya pembinaan
kesehatan anak yang komprehensif dan terarah pada semua permasalahan
kesehatan akibat penyakit maupun masalah lainnya. Kekerasan dan penelantaran
anak mengakibatkan terjadinya gangguan proses pada tumbuh kembang anak.
Keadaan ini jika tidak ditangani secara dini dengan baik, akan berdampak
terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia.
28Andi Hamsah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Cetakan I, Jakarta, 2008, h.32.29 Lorem Ipsun et.all., Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap
Anak Bagi Petugas Kesehatan, (Jakarta: UNICEF & Departemen Kesehatan RI, 2007)., h. 15-16.
44
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
pada Pasal 1 disebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 Pasal
28B (2) menyatakan bahwa “Setiap anak berhak .... atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan untuk mencegah terjadinya kekerasan
terhadap anak Pasal 69 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UUPA) menyebutkan bahwa “Perlindungan khusus bagi
anak korban kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya: (a)
penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
melindungi anak korban tindak kekerasan; dan (b) pemantauan, pelaporan, dan
pemberian sanksi. Sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan kekerasan.” Sedangkan Pasal 54 menyebutkan bahwa “Anak di dalam
dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah
yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” Dengan demikian menjadi
tanggung jawab semua pihak untuk mengimplementasikan dalam aktivitas
keseharian.
Selain itu pada Pasal 72 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
mengamanatkan masyarakat dan lembaga untuk berperan dalam perlindungan
anak, termasuk di dalamnya melakukan upaya pencegahan kekerasan terhadap
anak di lingkungannya.30
2. Aturan Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban Seseorang yang melakukan tindak pidana baru
boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan
30 Lampiran Peraturan Menteri PPPA No. 11 Tahun 2011, Tentang Panduan PencegahanTerhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan. (Jakarta: Kementerian PPPA, 2011)., h. 3-4
45
yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan
kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan
dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah
seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum
pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana
mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan
psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan
adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan
dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan
perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang,
ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya
seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal
yaitu:
a. Keadaan Jiwanya
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya)
3. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan
sebagainya).
b. Kemampuan Jiwanya :
1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya.
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
dilaksanakan atau tidak.
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Adapun menurut Van Hamel seseorang baru bisa diminta
pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
46
1. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara
kemasyarakatan adalah dilarang.
2. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatannya tersebut.
Selain itu menurut, doktrinal untuk menentukan kemampuan
bertanggungjawab harus ada dua hal yaitu Adanya kemampuan untuk
membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum
dan yang bertentangan dengan hak. Adanya kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsafannya tentang baik buruknya perbuatan yang
dilakukan. Sementara itu berkaitan dengan masalah kemampuan bertanggung
jawab KUHP tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara
Negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan.
Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu :
Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya.
Jiwanya terganggu karena penyakit.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh
karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsurpertanggung
jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya
unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu
dan biaya, maka dalam praktek dipakai yaitu bahwa setiap orang dianggap
mampu bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.31
3. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Kekerasan Seksual terhadap anak
Sanksi atau hukuman kepada pelaku tindak kekerasan kepada anak
merupakan upaya untuk memberikan efek jera atau membuat orang takut untuk
melakukan tindakan tersebut. Di Indonesia terdapat dua peraturan yang menjadi
dasar hukum perlindungan terhadap anak yaitu KUHP (Kitab Undang-undang
31Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Cetakan I, (Yogyakarta: Liberty, 1988)., h.105.
47
Hukum Pidana) pasal 287 hingga 294 dan UUPA (Undang-undang Perlindungan
Anak) No. 23 Tahun 2002) yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Menurut KUHP
Sanksi bagi para pelaku pedofilia menurut KUHP terdiri dari:32
a. Persetubuhan
Dalam hal persetubuhan, adalah persetubuhan yang dilakukan oleh
orang dewasa terhadap wanita diluar perkawinan, dimana pihak korban adalah
anak dibawah umur.
Pasal 287 ayat 1 menyatakan bahwa: ”barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus
diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
ternyata , belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling lama
Sembilan tahun.”
Pasal 288 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa: “barang siapa bersetubuh
dengan seorang wanita didalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga bahwa sebelum mampu kawin, diancam apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
Perbuatan yang terjadi disini adalah perbuatan memaksakan kehendak
dari orang dewasa terhadap anak dibawah umur yang dilakukan tanpa atau
dengan kekerasan. Persetubuhan yang dilakukan tanpa kekerasan bisa terjadi
dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk korban dengan
mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang membuat korban
menjadi senang dan tertarik, dengan demikian sipelaku merasa lebih muda
untuk melakukan maksudnya untuk menyetubuhi korban.
b. Perbuatan cabul
Perbuatan cabul yang terjadi disini maksudnya adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan korban.
Pasal 289 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa sesorang untuk melakukan atau
32 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
48
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan
yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama
Sembilan tahun”
Pasal 290 ayat 2 KUHP menyatakan: “bahwa diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun: barangsiapa melakukan perbuatan cabul
dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau belum kawin.”
Pasal 290 ayat 3 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa membujuk
seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum
lima belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan
dengan orang lain.”
Pasal 292 KUHP menyatakan: “bahwa orang yang cukup umur, yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 293 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan
memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang
timbul dari hubungan penyesatan sengaja menggerakan seorang belum cukup
umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan
dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal belum cukup umurnya itu
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 294 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa melakukan
perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah
pengawasannya yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum
cukup umur yang memeliharanya, pendidikannya atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang
belum cukup umur, diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun.”
Pengertian perbuatan cabul ini adalah perbuatan dengan yang dilakukan
dengan cara melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang berhubungan
dengan tubuh korban dalam hal menyerang kehormatan korban dalam konteks
49
perbuatan asusila, dan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak di
bawah umur.
Pasal 295 KUHP menyatakan :1e. “Dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima tahun, barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul yang dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya atau
anak angkatnya yang belum dewasa, oleh anak yang di bawah
pengawasannya, orang yang belum dewasa yang diserahkan kepadanya,
supaya dipeliharanya,dididiknya atau dijaganya atau bujangnya yang di bawah
umur atau orang yang dibawahnya dengan orang lain”. 2e. “Dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun, barang siapa yang dengan sengaja, di
luar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau memudahkan perbuatan
cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang
diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa.
Pasal 296 KUHP menyatakan: Barang siapa yang pencahariannya atau
kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan
cabul dengan orang lain di hukum penjara selama-lamanya satu tahun empat
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000 ( lima belas ribu rupiah).
2. Menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Sanksi bagi pelaku pelecehan seksual menurut UU No.23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak adalah:33
a. Persetubuhan
Dalam hal ini persetubuhan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh
orang dewasa terhadap perempuan diluar perkawinan dalam hal ini adalah
anak dibawah umur, diatur dalam pasal 81 yang isinya sebagai berikut:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
33 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
50
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enampuluh juta rupiah);
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.
b. Perbuatan Cabul
Perbuatan cabul yang terjadi disini adalah perbuatan yang dilakukan oleh
orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan kehormatan korban, diatur dalam pasal 82 yang
isinya sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda palingbanyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00) enam puluh juta rupiah)”.
c. Eksploitasi
Eksploitasi dalam hal ini adalah mengeksploitasi seksual anak di bawah
umur untuk kepentingan pelaku baik itu komersil ataupun kepuasan seksual,
hal ini terdapat dalam Pasal 88 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak: “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
Tindakan para pelaku Phedofilia ini dengan berbagai macam cara baik
itu melalui internet atau pun organisasi, dan pedofilia juga sudah mempunyai
jaringan internasional lewat forum-forum sesama pelaku mereka menyebar
51
atau berbagi informasi daerah tujuan dan siapa-siapa saja yang bisa di jadikan
korban.
D. ANALISIS JURNAL
Berikut di paparkan beberapa analisis jurnal ilmiah yang berkaitan dengan
kekerasan seksual terhadap anak usia dini, untuk jurnal lengkapnya terlampir.
1. Judul jurnal: The Prevention of Childhood Sexual Abuse
Penulis : David Finkelhor
Penerbit : The Future of Children is a collaboration of the Woodrow Wilson School of Public and International Affairs at Princeton University and the Brookings Institution. http://futureofchildren.org
Tahun : 2009
Vol : VOL. 19 / NO. 2 / FALL 2009
Jumlah Halaman : 169-194 / 26 Lembar
Dasar pemikiran
David Finkelhor inisiatif mengkaji pencegahan pelecehan
seksual terhadap anak, yang memusatkan perhatian pada dua strategi
utama yaitu pelaku dan program pendidikan melalui manajemen berbasis
sekolah. Melalui strategi ini, pelaku utama diperiksa, memberitahu
masyarakat tentang kehadiran mereka, melakukan pemeriksaan lapangan
kerja, latar belakang, kehidupan, dan memberikan hukuman. Pada
kenyataannya penduduk jauh lebih beragam. Pelaku seksual bukan
hanya orang asing atau pedophilia, orang-orang sekitar juga banyak.
Oleh karenanya, Finkelhor menyarankan menggunakan penegakan
hukum sumber daya untuk menangkap pelaku secara lebih intensif dan
memusatkan perhatian pada upaya manajemen risiko tertinggi pada
korban yang lain dan selanjutnya.
Finkelhor menjelaskan bahwa manajemen berbasis sekolah
program pendidikan agar mengajar anak keterampilan seperti cara untuk
mengidentifikasi situasi berbahaya, menolak pendekatan yang abuser,
memutuskan sebuah interaksi, dan meminta bantuan. Program ini juga
52
bertujuan untuk mempromosikan keterbukaan, memobilisasi diri anak.
Finkelhor mendesak penelitian lebih lanjut dan pengembangan
pendekatan ini, khususnya dalam upaya untuk mengintegrasikan ke
komprehensif promosi kesehatan dan keselamatan kurikulum untuk
mengurangi korban, untuk mencegah sikap negatif dan kesehatan
mental.
Metode
Dalam hal ini, Finkelhor melakukan evaluasi program
pendidikan sebagai bentuk identifikasi situasi berbahaya dan
mengenalkan pendidikan seks.
Landasan Teori.
Banyak peneliti yang telah dilakukan studi ini dari program
pendidikan, tetapi beberapa telah menjawab pertanyaan, apakah anak-
anak belajar konsep-konsep? Banyak penelitian dirangkum dalam
berbagai kajian menemukan bahwa anak dari segala umur memperoleh
konsep kunci yang diajarkan. Dalam kenyataan, anak yang lebih muda
menunjukkan lebih banyak belajar dari anak yang lebih tua.
Hal-hal yang dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Pencegahan pelecehan seksual pada anak.
2. Program pendidikan.
3. Pemberitahuan kepada masyarakat.
Kesimpulan
Pelecehan Seksual adalah sebuah tantangan khusus, berbeda
dalam banyak dimensi dari jenis lain dari anak pelayanan buruk,
kejahatan, dan masalah kesejahteraan anak. Tetapi langkah besar telah
dibuat untuk memahami masalah, mendidik masyarakat, dan
memobilisasi sumber daya. Dengan tambahan penelitian dan
pengembangan program, ada banyak alasan untuk percaya jauh lebih
dapat diselesaikan.
2. Judul Jurnal: Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini
Penulis : Moh. Roqib
Penerbit : Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan P3M
53
STAIN Purwokerto
Tahun : 2008
Vol : Vol.13, No. 2/mei-Agustus 2008/271-286
ISSN/DOI : 271-286
Jumlah Halaman : 12 Lembar
Hasil Analisis
Tulisan ini dibuat untuk menjawab keresahan orangtua sebagai dampak
dari berbagai kasus dan peristiwa berbau free seks yang banyak terjadi di
masyarakat. Berkembangnya tehologi yang masih minim pengawasan
memungkinkan tereksposnya berbagai hal, termasuk didalam hal yang berbau
pornografi, secara bebas tanpa memikirnya dampak negatif yang mungkin
akan muncul.
Jurnal yang ditulis ini merupakan deskripsi pentingnya pendidikan seks
sedini mungkin, mengingat makin maraknya kasus yang berkaitan dengan
atau disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang seks itu sendiri.
Pendidikan seks perlu dikenalkan dan ditanamkan sedini mingkin pada anak
mengingat anak adalah amanah yang perlu dijaga dan diperhatikan
perkembangannya. Fokus utama pendidikan seks bagi anak adalah bagaimana
membantu anak mengetahui dan memahami berbagai topik biologis seperti
pertumbuhan, masa puber dan kemahamilan serta bagaimana memahami dan
menjaga dirinya sendiri.
Strategi pendidikan seks bagi anak harus disesuaikan dengan tujuan, usia
anak, tingkat pengetahuan kedewasaan anak serta kebudayaan setempat.
Tugas mendidik anak pada dasarnya adalah tugas orangtua, tapi karena
berbagai kendala dan keterbatasana maka tugas itu di bagi dengan lingkungan
seperti: kerabat dekat, guru, pemuka agama dan sebagainya. Namun bukan
berarti orang tua melepaskan sama sekali tentang pendidikan seks tersebut.
Kedekatan orang tua dan anak akan sangat membantu proses pengenalan.
Misalnya anak perempun pada umumnya dekat dengan ibu, saat itulah
pendidikan seks dapat dilakukan.
54
Pendidikan seks untuk anak usia 0-5 tahun adalah dengan teknik atau
strategi sebagai berikut:
1. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya.
2. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan
kasih sayang dari orangtuanya secara tulus
3. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus
mengenakan baju kembali di dalam kamar mandi atau di dalam kamar.
Anak diberi tahu tentang hal-hal pribadi, tidak boleh disentuh, dan dilihat
orang lain.
4. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan
perempuan
5. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil
dan melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam
kandungan ibu sesuai tingkat kognitif anak.
3. Judul Jurnal: Applying Threat Sanction Which Maximal To Perpetrator Hardness Child
Penulis : Zulmar Adhy Surya, Said Karim & Syukri Akub
Penerbit : Jurnal Penelitian Hukum e-journal PPS Universitas Hasanudin
Tahun : 2012
Vol : Vol.1/1 Juni 2012
ISSN/DOI : 271-286
Jumlah Halaman : 8 Lembar
Hasil Analisis
Penelitian ini di latarbelakangi oleh ketidak adilan dalam penuntutan
pelaku kekerasan terhadap anak. Apakah telah menerapkan UUPA No. 23
tahun 2003 dalam mempidana pelaku kekerasan terhadap anak. Seharusnya
pelaku kekerasan seksual terhadap anak di tuntut dengan UUPA karena
disamping memuat tentang ancaman pidana badan juga tentang denda bagi
pelaku.
55
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
penerapan ancaman sanksi maksimal terhadap pelaku kekerasan anak dan juga
menganalisis hakikat penerapan sanksi menurut undang-undang No. 23 tahun
2003 tentang perlindungan anak.
Penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang menitik
beratkan pada penelitan pustaka di mana mengkaji teori-teori serta peraturan
perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penerapan sanksi terhadap
pelaku kekerasan pada anak. Subjek penelitian adalah adalah para jaksa di
kejaksaan Negeri Makasar, sampel sebanyak 4 jaksa.
Metode pengumpulan data dalam penelitian normatif ini adalah bahan
hukum, terdiri bahan hukum primer dan sekunder yang dikelompokan agar
lebih mudah dianalisis, serta dilengkapi dengan hasil wawancara dengan jaksa
yang menjadi subjek penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar aparat hukum di
kejaksaan negeri Makasar menggunakan UUPA no. 23 Tahun 2002, untuk
kasus kekerasan pada anak dan jarang menggunakan KUHP tanpa
memperhatikan berat ringannya ancaman sanksi di kedua peraturan
perundang-undangan tersebut, yang seharusnya dipakai aturan yang ancaman
sanksinya lebih berat, utamanya untuk kasus kekerasan pada anak yang
dilakukan secara sadis.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa antara Undang-
undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan KUHP ancaman
sanksi terhadap pelaku kekerasan ada yang lebih berat dan ada yang lebih
ringan, tetapi pada UUPA disamping ancaman fisik (kurungan) juga ada
ancaman denda dan ancaman sanksi minimum.
4. Judul Jurnal: Intention, Behavior, and Sex Education in Early Childhood (Intensi dan Perilaku Orang Tua Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Dini)
Penulis : Umi Kulsum
Penerbit : Developmental and Clinical Psychology Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/dcp
Tahun : 2013
56
Vol : Vo1. 1 Oktober 2013
ISSN/DOI : ISSN 2252-6358
Jumlah Halaman : 19-25 / 7 Lembar
Hasil Analisis
Latar belakang penelitian ini adalah pemahaman orang tua yang sangat
kurang tentang kesadaran bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan
akses informasi yang benar tentang seksualitas sesuai dengan kebutuhan dan
tahap perkembangan usianya dengan menggunakan bahasa dan metodologi
yang tepat untuk anak usia dini. Anak juga berhak untuk dilindungi dari
resiko pelecehan dan kekerasan seksual. Data dari Biro Pusat Statistik tahun
2006, berdasarkan kasus yang dilaporkan terdapat 99.377 kasus kekerasan
seksual yang korbannya anak di bawah usia 19 tahun. Terdapat 51.676
(51%) dari total jumlah tersebut adalah anak usia dibawah 9 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa anak-anak termasuk anak usia balita belum terlindungi
sehingga sangat rentan terhadap resiko kekerasan seksual.
Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
deskriptif intensi dan perilaku orang tua dalam memberikan pendidikan seks
pada anak usia dini di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota
Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan melibatkan
108 ibu di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang
sebagai subjek penelitian. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian
ini adalah one stage cluster random sampling. Intensi dalam memberikan
pendidikan seks pada anak usia dini diukur dengan menggunakan skala
intensi. Skala intensi mempunyai 47 item, kemudian dianalisis menggunakan
teknik product moment dan dinyatakan 6 item tidak valid sehingga
didapatkan 41 item yang valid. Skala intensi mempunyai nilai reliabilitas
sebesar 0,887. Sedangkan perilaku orang tua dalam memberikan pendidikan
seks pada anak usia dini diukur dengan angket perilaku. Angket perilaku
mempunyai 39 item, kemudian dianalisis menggunakan teknik product
moment dan dinyatakan 6 item tidak valid sehingga didapatkan 33 item yang
valid. Angket perilaku mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,924. Hasil
57
penelitian menunjukkan bahwa intensi orang tua dalam memberikan
pendidikan seks pada anak usia dini di Kelurahan Sekaran Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang tergolong pada kriteria intensi yang cukup kuat.
Sedangkan perilaku orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak
usia dini di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang
tergolong pada kriteria perilaku yang cukup cenderung kuat.
BAB IIIPENUTUP
58
A. KESIMPULAN
Banyak pihak, terutama para orang tua meyakini bahwa insting seksual
tidak dijumpai pada masa anak-anak, dan baru akan muncul pada masa pubertas.
Pendapat seperti ini merupakan kekeliruan yang sudah mengakar kuat di
masyarakat kita. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip kehidupan seksual pada
anak dapat berakibat negatif terhadap perkembangan peran seks anak, dan
terhadap sikap perilaku anak usia dini. Kajian mendalam mengenai kehidupan
seksual selama masa anak-anak akan mampu menunjukan kepada kita bagaimana
proses pendampingan yang tepat bagi anak terkait perkembangan peran seks nya.
Perkembangan peran seks telah banyak dikaji dalam berbagai sudut
pandang keilmuan dan berbagai teori psikologi. Sigmund Freud dalam teori
psikoanalisanya menjelaskan bahwa perkembangan gender dan perkembangan
peran seks dibagi ke dalam lima fase yaitu fase oral, fase anal, fase phallic, fase
latent, dan fase genital. Sedangankan Erik Erikson mengembangkan teori
psikososial yang masih dipengaruhi oleh teori psikoanalisis Sigmund Freud, akan
tetapi teori ini memberikan wawasan yang lebih luas tentang perkembangan
kesadaran diri dan lingkungannya yaitu dikelompokkan ke dalam delapan fase
perkembangan yaitu fase trust vs mistrust, fase autonomy vs same & doubt, fase
initiative vs guilt, fase industry vs inferiority, fase identity vs role confusion, fase
intimary vs isolation, fase generativity vs stagnation, fase integrity vs despair.
Perbedaan yang mendasar antara teori Freud dan teori Erikson adalah pada
penekanannya, teori Erikson, penekanannya diberikan pada aspek budaya,
sedangkan teori Freud, penekanannya diletakkan aspek biologis dan orientasi
seksual.
Kewajiban semua lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan
anak usia dini adalah memberikan pelayanan dan pendidikan yang aman, nyaman
dan menyenangkan kepada anak. Salah satu upaya pemberian pelayanan yang
baik adalah tersusunnya Standar Oprasional Prosedur (SOP) yang mengatur
keamanan dan kenyamanan anak. SOP disusun melibatkan semua warga sekolah,
59
masyarakat, lembaga pemerhati anak dan pemangku kebijakan. Dengan adanya
SOP yang baik maka kenyamanan dan keamanan anak akan terjaga.
Terdapat beberapa dasar hukum yang menjadi acuan perlindungan terhadap
anak yaitu: 1) konvensi Anak PBB yang diratifikasikan ke Kepres No. 36 Tahun
1990; 2) amandemen UUD 1945 Pasal 28B Ayat (2) Perlindungan anak dari
kekerasan dan diskriminasi; 3) undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak; 4) undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 5)
KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Dasar hukum yang mengatur
sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah KUHP (kitab
undang-undang hukum pidana) pasal 287 ayat 1; 288 ayat 1; 289; 290 ayat 2; 292;
293; 294 ayat 1; dan 296. Selain itu berlaku juga undang-undang khusus untuk
anak yaitu UUPA No. 23 tahun 2002 pasal 81 dan 88 tentang persetubuhan,
pencabulan dan eksploitasi anak.
B. SARAN
Diharapkan kepada mahasiswa/praktisi untuk dapat memahami tentang
teori perkembangan psikoseksual anak, penyusunan SOP keamanan di sekolah
dan sanksi pada pelaku kekerasan terhadap anak. Dengan memahami ketiga aspek
tersebut maka makhasiswa/praktisi dapat memberikan kontribusi nyata dalam
penanggulangan kekerasan terhadap anak. Ketika menemukan kasus kekerasan
terhadap anak dapat memberikan masukan, solusi atau pendampingan kepada
korban agar diperlakukan secara adil.
60
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi:Terjemahan Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Crain William.Teori Perkembangan:Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2007.
Focusing Resources on Effective School Health. Core Intervention 1: Health Related School Policies. http://www.freshschools.org/schoolpolicies-0.htm (diakses 27 Mei 2015)
I wayan AS, Konsep Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Formal, (Jakarta: Az- Zahra Book’s 8 , 2010)
Kemendag, UU No.23 tahun 2002, 2002, diakses dari http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/UUNo23tahun2003 PERLINDUNGANANAK.pdf pada tanggal 24 mei 2015 pada pukul 09.16
Kompasiana. 2015. Darurat Nasional: Eksploitasi Seksual Anak. diakses pada http://regional.kompasiana.com/2013/07/24/darurat-nasional-eksploitasi-seksual-anak--579268.html (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)
Kompas. 2015. Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak. diakses pada http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/0527140/Indonesia.Darurat.Kekerasan.pada.Anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pada pukul 11.21 WIB)
Lorem Ipsun et.all, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak Bagi Petugas Kesehatan, (Jakarta: UNICEF & Departemen Kesehatan RI, 2007)
Lampiran Peraturan Menteri PPPA No. 11 Tahun 2011, Tentang Panduan PencegahanTerhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kementerian PPPA, 2011)
Nevid, Jeffrey S. Psikologi Abnormal. Edisi V jilid 1. Jakarta:Erlangga. 2005
Santrock , John W. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi XIII Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 2012
United Nations HIV/AIDS Fact Sheet, United Nations Development Programme, 2002.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002. Tentang Perlindungan Anak.
Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak (diakses pada tanggal 21 Mei 2014 pada pukul 11.21 WIB)
61