12
Melacak “Akar” Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia Abstract Student movement is a part of history in Indonesia that always active to take a part of every change period. They called as an agent of change. However, there is not enough data, principally ideology, to explain the attribute. This article tries to investigate ideology of student movement, especially Islamic student movement in Indonesia. Among them are: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) and Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). The article also explored their political expression Keywords: ideologi, teologi, politik, gerakan, mahasiswa Islam Pendahuluan Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan ( interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa yang memiliki pengaruh signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam. Mereka adalah organisasi massa (ormas) mahasiswa yang memiliki basis konstituen yang jelas dan massa pendukung yang besar seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti perbedaan ideologi, strategi dan lainnya. Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial. [i] [1] Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat minim. Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa. Maka, permasalahan yang akan dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia? Ideologi Dalam Keterbatasan Akar Konseptual Menurut Frans Magnis Suseno, [2] ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.

Melacak \" Akar \" Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Melacak “Akar” Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Abstract

Student movement is a part of history in Indonesia that always active to take a part of every

change period. They called as an agent of change. However, there is not enough data, principally

ideology, to explain the attribute. This article tries to investigate ideology of student movement,

especially Islamic student movement in Indonesia. Among them are: Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah (IMM) and Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). The article also

explored their political expression

Keywords: ideologi, teologi, politik, gerakan, mahasiswa Islam

Pendahuluan

Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa

dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang

selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil

kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa yang memiliki pengaruh

signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam. Mereka adalah organisasi massa (ormas) mahasiswa

yang memiliki basis konstituen yang jelas dan massa pendukung yang besar seperti Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

(KAMMI).

Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam

entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama

lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti perbedaan ideologi,

strategi dan lainnya.

Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang

sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial.[i][1]

Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat

minim. Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa. Maka, permasalahan yang akan

dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia?

Ideologi Dalam Keterbatasan Akar Konseptual

Menurut Frans Magnis Suseno,[2] ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir,

nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi

dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial,

sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan

kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan

menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan

sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan

dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi

menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.

Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu

sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat

ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian

yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide,

moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.

Menurut Antonio Gramsci,[3] ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci,

ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi „mengatur‟

manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan

posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.

Secara sederhana, Franz Magnis Suseno[[4] mengemukakan tiga kategorisasi ideologi.

Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh

berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika.

Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma

politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh

melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi,

bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan

pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak

boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini

Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.

Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka

orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan

dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek

kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara

demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif,

tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam

keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia

harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak

diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung

tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan

suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.

Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku

kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit

dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari

sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur

yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.

Sepintas Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia

Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan

salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966,

Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru

tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula

mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi

“perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Menurut Arbi Sanit, [5] ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan

permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan.

Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa

mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua,

sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah

mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan

kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara

mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan

kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan

kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat

dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan

mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi

pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui

mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme

yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa [6]. Kedua potensi sumber daya tersebut „digodok‟ tidak

hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra

universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.

Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan

ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII

(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO

(Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi

Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa

label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan

yang khas. Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:

1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo

HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu

pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan

kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik

serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis

untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah

perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik,

pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat

adil makmur yang diridhoi Allah.

Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa.

Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di

kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya

menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa

Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan

pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering

melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana

sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam

Yes, Partai Islam No!.”

2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April

1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya

dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada

perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai

organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU.[vii][7]

Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama

kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung

digelarnya people‟s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh

mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga

kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual

PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai

hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.

3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun

1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik

dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda

Muhammadiyah seperti Muhammad Djasman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-

kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada

tanggal 14 Maret 1964.

Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan

Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma‟ruf nahi mungkar. Ide dasar

gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana

pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment

(pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan

potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.

Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai

moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari

Al Qur‟an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya

dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam

pemberdayaan umat [8].

4. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)

Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar

ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan

Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi

dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi

penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April

1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini

dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai

kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada

munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret

1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986[9].

Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara

sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik

dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang

merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto

kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara

justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.

HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka

cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan

memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan.

Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis

saat ini.

5. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga

Da‟wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998.

Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian

mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia

serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun

kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada

pemerintah.[10]

Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan

terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis

yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai

pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali

dengan adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya,

harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan

jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih

membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4

Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa

Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-

reformasi.

Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis

Sejak awal berdirinya, sebagian ormas mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok

sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM yang terang-terangan

mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun masih

memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain,

HMI Dipo, HMI MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan

tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian

berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul

akibat beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun.

Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah

mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi

yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan

hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak

perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu. Terlebih lagi tuntutan perubahan

mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.

Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan

dalam Al Qur‟an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas ke-

Rasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan

sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya

aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian

umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.

Dalam melakukan telaah keagamaan, mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-

pemikir Islam kontemporer, baik tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman

Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh dunia

Islam yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Yusuf

Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan masih banyak lagi. Ketajaman analisis dan

disiplin dalam mempergunakan metode, membuat para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan

mahasiswa Islam. Sampai kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan

mahasiswa Islam, bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam.

Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy[11] menyatakan tentang tipologi

gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme

merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan

ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia.

Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.

Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia

memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui konsep

rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan

memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan

hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para

teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang

bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.

Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman

teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai

wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi

pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran

dan perbedaan dari orang lain.

HMI Dipo telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi

pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI

inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.

Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang

lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pada mulanya PMII

memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama‟ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai

NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Doktrin teologi Aswaja lebih banyak

berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai

makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat

kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin

teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja

tersebut[12].

Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader

PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional,

kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang

rendah terhadap hal-hal baru. Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena

orientasi hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama

yang teguh dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki

pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan

kehidupan sosial. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima

perbedaan, akomodatif, dan toleran[13].

Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah

membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-

kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII, sudah tidak

relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran agama yang ada telah tercerabut dari

keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat.

Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai

keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.

Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada

satu titik yang sama yakni Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu

bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri,

dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan. Yang terpenting bagi agama

saat ini adalah harus membawa kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.

Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai

kritik wacana agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan ideologi. Titik

perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk

pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan

kebekuan tradisi pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish

Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. Makna “Islam

Liberal” dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana. Gagasan

tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat di lapisan bawah.

Berbeda lagi dengan IMM, ormas mahasiswa Islam yang satu ini tidak bisa lepas begitu

saja dari pengaruh kultur yang ada di Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial

keagamaan, tentu saja tidak bisa lepas dari agama sebagai landasan teologis dalam berpikir,

bertindak dan berinovasi. Aspek teologis ini penting karena dari sinilah Muhammadiyah

melancarkan purifikasi agama atau pemurnian tauhid dari segala bentuk praktek keagamaan yang

berbau takhayyul, bid‟ah dan khurafat. Dengan langkah ini sebenarnya Muhammadiyah ingin

melangkah ke arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir umat yang lebih “membumi”, tidak

mistis dan metafisis semata [14].

Pada konteks historis, dulu pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis

di Muhammadiyah, sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah

cukup mengesankan. Namun saat ini, citra Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan

Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak disadari telah

“memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana keagamaannya. Azyumardi Azra [15]

mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah). Padahal

kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama

Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih,

yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk

merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis

terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang

dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.

Dengan demikian, Muhammadiyah telah mengalami kebekuan dalam mengkontruksi

wacana teologinya. Muhammadiyyah terlalu disibukkan dengan aktivitas amal usahanya yang

secara tidak langsung mendorong formalisasi agama.

Kondisi semacam ini berimbas pada IMM secara langsung. Krisis wacana yang dialami

kader-kader IMM kemudian berakibat pada semakin banyaknya mereka yang menyibukkan diri di

amal usaha Muhammadiyah. Meski begitu, tetap saja ada kelompok minoritas kreatif yang tekun

melakukan rekontruksi wacana teologi serta relevansinya dengan tantangan umat Islam dan

Bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya adalah Fajar Riza Ul Haq kader muda Ketua Pimpinan

Cabang IMM Sukoharjo. Fajar dengan fasih berbicara tentang kelemahan teologi inklusifnya

Nurcholish Madjid yang berhenti pada tataran wacana tidak membumi dalam bentuk praksis

pembebasan. Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, Fajar [16] menyatakan perlunya

menggeser teologi inklusif kearah teologi pluralis yang liberatif terhadap kaum tertindas.

Bangunan epistimologi teologi pluralis adalah meyakini setiap agama mempunyai jalan

keselamatan sendiri-sendiri, jadi menghargai pluralitas teologi agama-agama. Sayangnya wacana

ini belum berkembang di sebagian besar pemikir-pemikir Muhammadiyah.

Sedangkan di HMI MPO, sebagaimana telah sedikit disinggung di awal, ormas mahasiswa

Islam ini mengalami pergeseran cukup drastis. Semula gerakan HMI MPO bersifat eksklusif,

konsisten dengan keislamannya, maka semua aktivitasnya harus diukur dengan parameter Islam.

Namun akhir-akhir ini HMI MPO cenderung terbuka dan menyerahkan pemahaman teologis

terhadap pluralitas anggotanya.

Dari penjelasan tersebut, terlihat tidak adanya keseragaman pemahanan teologis di HMI

MPO. Tidak aneh jika ekspresi keagamaan dari masing-masing kader nampak berbeda. Ada

kader yang sangat kental dengan nuansa religiusnya, tidak sedikit pula kader yang tampil lebih

moderat, bahkan cenderung „liar‟ dan semaunya sendiri. Pemandangan semacam ini mudah

dijumpai pada kader-kader HMI MPO.

KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak

pergerakan yang khas. Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan

Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji

banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini. Kehadiran massa dalam

jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan

reformasi.

Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa

Islam sebagai suatu sistem yang total (kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab

tantangan kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu,

tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial. Karena itu kemenangan Islam dalam

keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan. [17]

Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian

keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci. Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran

KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur‟an dan Hadits. Pembacaan

terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang (ghiroh) tersendiri bagi

KAMMI. Pada akhirnya, kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong

KAMMI berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi

umat.

Ekspresi Politik Gerakan Mahasiswa Islam

Untuk mengetahui ekspresi atau sikap gerakan mahasiswa Islam terhadap kondisi sosial

politik yang berlangsung, tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran.

Aliran menurut Clifford Geertz [18] ditandai oleh beberapa ciri. Pertama, aliran adalah suatu

gerakan sosial yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi pengelompokan politik. Kedua,

walaupun suatu aliran didefinisikan secara ideologis, namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita

moral yang lebih luas. Ketiga, walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu pengelompokan

politik, sebuah aliran biasanya dikelilingi oleh sebuah organisasi sukarela yang terikat secara

resmi maupun tidak resmi dengan pengelompokan politik yang menjadi pusatnya.

Tipologi Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle [19]

yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu itu ke dalam lima golongan: marxisme,

Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan

tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian berkembang tidak hanya

pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu.

Menurut Geertz, afiliasi pemilih juga berdasarkan pada pengelompokan budaya ini.

Kelompok santri kebanyakan berafiliasi ke NU dan Masyumi, abangan sebagian ke PKI, priyayi

lebih banyak berafiliasi ke PNI. Basis aliran ini kemudian berkembang menjadi ideologi politik

aliran yaitu Islam, nasionalis, komunis dan sosialis meskipun kelompok terakhir jumlahnya sangat

kecil. Pemilu pertama tahun 1955 membuktikan dari sekian banyak partai yang muncul, empat

partai besar sebagai pemenang dan semuanya mengambl tipologi Geertz sebagai basis ideologi

mereka yaitu nasionalis diwakili PNI, Islam dengan Masyumi dan NU, Komunis dengan PKI dan

Sosialis dengan PSI

Perkembangan pemilu 1999 menunjukkan gejala yang hampir sama meskipun tidak

seratus persen. Bahkan ada kecenderungan pada sebagian partai untuk menghidupkan fenomena

politik tahun 1955. Ada sisi menarik dari dalam hal afiliasi politik yang sifatnya cenderung

ideologis. Suara NU dan PNI tidak mungkin beralih ke partai- partai yang identik dengan

Masyumi (PBB, PK atau PAN) sementara suara Masyumi juga tidak beralih ke partai-partai yang

identik dengan NU, PNI atau PKI (PDI P, PKB dan PRD). Kecenderungan ideologis ini tidak

lepas dari tubuh Islam yang terbagi dalam dua kutub: modernis dan tradisionalis. NU mewakili

tradisionalis dan Masyumi mewakili kutub modernis.

Dua bentuk pemikiran ini selalu berbenturan dalam hampir semua hal termasuk dalam

bidang syariah. Kutub tradisionalis mengental dalam organisasi Nahdlotul Ulama, sementara

Kutub modernis diwakili organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri merupakan

organisasi reformis yang kehadirannya dimaksudkan untuk menjernihkan keyakinan umat Islam

dari berbagai bentuk takhyul, bid‟ah dan khufarat. Bagi Muhammadiyah, keyakinan umat telah

banyak terkontaminasi dngan masuknya praktik peribadatan yang berbau Hindhu-Budha-Jawa.

Sementara kelahiran NU salah satu latar belakangnya adalah untuk menyelamatkan tradisi.

Dalam hal ini, NU merasa keyakinannya dalam menjalankan ibadah terusik dengan hadirnya

Muhammadiyah. Dari sinilah muncul berbagai ketegangan dan bahkan konflik yang sampai

sekarang ada.

Kondisi gerakan mahasiswa Islam saat ini juga terjebak dalam polarisasi dan fragmentasi

yang tidak jauh berbeda dengan politik aliran Geertz, meski dalam beberapa hal mengalami

beberapa metamorfose. Organisasi massa mahasiswa Islam lahir dengan dipayungi kelompok

politik yang dominan waktu itu, atau sebagai underbow partai. PMII (Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia) lahir dari generasi muda NU (Nahdlatul Ulama), HMI (Himpunan Mahasiswa

Islam) lahir dibidani kelompok Islam modernis Masyumi. Selanjutnya, IMM (Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah) yang jelas berasal dari Muhammadiyah. Sementara, keberadaan KAMMI

(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada praktik politik selanjutnya juga tidak bisa

dilepaskan dari PK (Partai Keadilan).

Pada tahap selanjutnya, polarisasi lebih tajam terlihat pada kalangan Islam modernis yang

diwakili HMI Dipo, HMI MPO, IMM dan KAMMI dengan kalangan Islam tradisionalis yang

diwakili PMII. Hal ini dapat dicermati lebih rinci terutama pada masa pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid. Beberapa waktu menjelang lengsernya Gus Dur dan pada awal-awal

pemerintahan Megawati, terdapat friksi antar ormas Islam yang lebih disebabkan karena alasan

ideologis. Memang berkembang berbagai rumor di seputar pro dan kontra turunnya Gus Dur,

seperti permasalahan kesehatan Gus Dur, kapabilitas managerial ataupun konstitusi. Namun

apabila ditelisik mendalam, turunnya Gus Dur semata terjadi karena konflik ideologis yang sekian

lama terpendam.

Meskipun naiknya Gus Dur dengan bantuan poros tengah yang terdiri dari PPP, PAN,

PBB, PK, namun aspirasi dan kepentingan kelompok poros tengah relatif diabaikan. Apabila

ditelurusi, tentu saja hal ini bukan hal yang baru. NU atau dalam hal ini PKB jelas tidak mungkin

berafiliasi dengan kelompok modernis terutama poros tengah. NU lebih mudah bergandengan

tangan dengan kalangan abangan seperti dengan PDI P.

Fenomena yang sama juga terjadi pada ormas mahasiswa Islam. PMII lebih mudah

bekerja sama dengan kelompok kiri dibandingkan dengan ormas Islam lainnya. Hal seperti ini

sering terjadi seperti pada waktu pro kontra penurunan Gus Dur. PMII bekerja sama dengan

ormas kiri seperti PRD, PMKRI untuk mendukung atau pro Gus Dur tetap menjadi presiden.

Sementara, kelompok yang kontra Gus Dur seperti HMI Dipo, HMI MPO, IMM, dan KAMMI

secara serentak, bersama menuntut Gus Dur mundur. Hal senada juga diungkapkan oleh

kelompok modernis yang lain seperti HMI Dipo, HMI MPO, dan IMM.

Pada dasarnya mereka sama-sama memiliki keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas

Megawati diragukan. Sedangkan alasan lainnya adalah asumsi yang selama ini terbukti bahwa

kekuasaan itu cenderung korup, sebagaimana adagium Lord Acton. Sebagai organisasi yang

independen, ormas Islam modernis lebih menitikberatkan perjuangannya pada kepentingan

rakyat karena selama ini rakyat selalu berada dalam posisi yang tertindas padahal dalam konteks

demokrasi, mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

Kesimpulan

Pemahaman terhadap teologi sebagai landasan filosofis berpengaruh pada tindakan

politik sebagaimana tesis sosiologi pengetahuan, bahwa ada kaitan antara fikiran dan tindakan.

Selanjutnya, ideologi yang dianut oleh gerakan mahasiswa Islam ini terungkap dan diwujudkan

lebih jelas pada ekspresi politik.

Gerakan mahasiswa Islam sebagai realitas sosial merupakan replika atau miniatur dari

kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Polarisasi dan friksi yang terjadi pada ormas Islam

ternyata memiliki akar kesejarahan yang cukup panjang. Sampai saat ini, tipologi Clifford Geertz

tentang santri, priyayi dan abangan masih kental pada masyarakat sekarang.

Ideologi gerakan mahasiswa Islam pada dasarnya adalah Islam. Namun dalam

perkembangan selanjutnya mengalami metamorfose seiring dengan perkembangan jaman.

Dengan memahami ideologi mereka, kita dapat membaca atau menganalisa akan ke mana mereka

selanjutnya.

Perbedaan merupakan sunatullah. Perbedaan yang tercermin pada ekspresi politik aliran

tidak perlu di permasalahkan dan menjadi sumber konflik. Yang lebih penting adalah bagaimana

seluruh umat menyadari dan memahami kenyataan bahwa perbedaan juga memperkaya sekaligus

rahmat yang harus dijaga. Dengan perbedaanlah akan tumbuh otensitas keimanan dalam hidup

bermasyarakat karena benturan-benturan atau konflik yang terjadi dan upaya menyelesaikannya

akan mendewasakan sekaligus menjadi pengalaman yang berharga. Wallahu a’lam.

Oleh : Imam Cahyono

Lahir di Pati, 17 Januari 1979, tercatat sebagai mahasiswa sosiologi semester akhir FISIP

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Saat ini masih aktif sebagai editor Jurnal Interaksi

Sosiologi Fisip Unsoed, beberapa forum diskusi dan majlis taklim. Pengalaman organisasi yang

pernah digeluti antara lain sebagai Ketua Bidang Hikmah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

(IMM), Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sketsa Universitas Jenderal

Soedirman, dan koordinator Forum Kajian Islam Strategis, Purwokerto. Sekarang bekerja

sebagai koresponden dan penulis lepas di beberapa media massa. Tinggal di Jl Baturaden Gg G

Muria no 30 RT 01/3 Pabuwaran, Purwokerto 53124. HP: 0815 500 7410.

Email: [email protected]

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999. Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa

Orde Baru. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.

Berger, Peter L & Hansfried Kellner, 1985. Sosiologi ditafsirkan Kembali, Essay tentang Metode dan Bidang

Kerja. Jakarta: LP3ES.

-------------- & Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi

Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Feith, Herbert & Lance Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.

Huda, Nurul, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001

Kleden, Ignas, 1988. Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz. Jakarta: LP3ES.

Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.

-------------, 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijaksanaan

Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Larrain, Jorge, 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.

Latif, Yudi, 1999. Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. Bandung: Mizan.

Mannheim, Karl, 1993. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.

Nuswantoro, 2001. Daniel Bell, Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera.

Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, 2001. Perlawanan dari Masjid Kampus. Surakarta: Purimedia.

Salim HS, Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural.

Yogyakarta: LKiS.

Sanit. Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suseno, Franz Magnis, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius.

Surur, Bahrus, 2001, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam

Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.

Ul Haq, Fajar Riza, 2001, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif

Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001