85
METODE PENELITIAN SASTRA, SEBUAH PENGANTAR 1. Ilmu Sastra a. Sejarah Sastra Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampai hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tanpa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas ditelinga kita tapi apakah sesungguhnya sastra itu? Sastra (Sanskerta: शशशशशशश, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir. Misalnya, sejarah timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra (genre), sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya (Pradopo, 2007: 9). b. Kritik Sastra Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya (Pradopo, 2007: 9).

metode penelitian sastra

Embed Size (px)

Citation preview

METODE PENELITIAN SASTRA, SEBUAH PENGANTAR

1.      Ilmu Sastra

a.      Sejarah Sastra

Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampai

hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tanpa mengerti

arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas

ditelinga kita tapi apakah sesungguhnya sastra itu?

Sastra (Sanskerta: शशशशशशश, shastra) merupakan kata serapan daribahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi"

atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau

"ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk

kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau

keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua

jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak. Selain itu dalam arti

kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra

lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan

tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk

mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai

timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir. Misalnya, sejarah

timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra (genre), sejarah

perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran

manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya

(Pradopo, 2007: 9).

b.      Kritik Sastra

Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya

sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya

karya sastra, bernilai seni atau tidaknya (Pradopo, 2007: 9).

Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan

penilaian sastra atau suatu kegiatan yang menilai baik-buruknya karya

sastra atau kritik sastra itu semacam resensi dan ulasan kritik sastra.

Prinsip kritik sastra adalah mengobrak-abrik karya sastra untuk

memperoleh mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut HB. Yassin kritik

sastra adalah pertimbangan baik dan buruk sesuatu hasil karya sastra.

Kritik sastra bersifat ilmiah karena terikat pada teori, metode, dan

objek. Kritik sastra memberikan penilaian atas karya sastra berdasarkan

teori dan sejarah sastra, artinya kritik sastra memerlukan teori dan

sejarah sastra dan sebaliknya kritik sastra memberikan sumbangan

pendapat atau bahan bagi penyusunan/pengembangan teori sastra dan

sejarah sastra.Kritik sastra dapat memberikan petunjuk kepada pembaca

tentang karya sastra yang unggul dan yang rendah, yang asli dan yang

bukan serta memberikan sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang

tentang karyanya.

1.      Jenis-Jenis Kritik Sastra

i.                    Menurut Bentuknya

Kritik sastra menurut bentuknya dapat digolongkan menjadi kritik

teori (thoeritical criticism), dan kritik terapan (applied criticism).

Kritik teori adalah bidang kritik sastra yang bekerja untuk menerapkan

istilah-istilah, kategori-kategori dan kriteria-kriteria untuk

diterapkan dalam pertimbangan dan interprestasi karya sastra, yang

dengannya karya sastra dan para sastrawannya dinilai. Adapun kritik

terapan adalah pelaksanaan dalam penerapan teori-teori kritik sastra

sastra baik secara eksplisit, maupun implisit.

ii.                  Menurut Pelaksanaannya

Menurut pelaksanaanya kritik sastra terbagi atas kritik judisial

(judicial criticism) dan impresionistik (impressionistic criticism).

Kritik judisial adalah kritik sastra yang melakukan analisis,

interprestasi, dan penilaiannya berdasarkan ukuran-ukuran, hukum-hukum

dan standar-standar tertentu. Kritikus judisal melakukan kritik sastra

berdasarkan ukuran-ukuran tersebut. Jenis sifatnya deduktif. Dapat

dikatakan kritik ini merupakan kebalikan dari kritik yang sifatnya

induktif. Dalam kritik yang induktif, seorang kritikus tidak menerapkan

standar-standar tertentu dalam mengkritik karya sastra. Ia berangkat

dari fenomena yang ada dalam karya sastra itu secara objektif. Sedangkan

kritik impresionik adalah kritik yang dibuat kritikus dengan

mengemukakan kesan-kesan kritikus tentang objek kritiknya, tanggapan-

tanggapan tentang kara sastra itu berdasarkan apa yang dirasakan

kritikus tersebut. Dalam kritik yang impresionik, seorang kritikus

menggunakan tafsiran untuk mengagumkan pembaca. Dalam kritik jenis ini

kritikus jarang menggunakan penilaian.

iii.                Menurut Orientasi Kritik

Ferdinaen Saragih dalam artikelnya yang berjudul “Jenis-Jenis Kritik

Sastra dan Pengertiannya”, mengutip pendapat Abram dalam David Logde,

1972:5-21 membagi jenis kritik berdasarkan orientasinya, yaitu kritik

mimetik, kritik ekspresif, kritik pragmatik dan kritik objektif.

1.    Kritik mimetik adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai

pencerminan kenyataan kehidupan manusia. Menurut Abrams, kritikus pada

jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra

merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria

yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan

objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita

semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi

oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah

tiruan kenyataan.

2.    Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra

sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik

ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini

bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang

melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang

dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung

menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan

penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini

sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman

sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.

3.    Kritik pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun

untuk mencapai efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca),

baik berupa efek kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek lainnya.

Kritik ini cenderung menilai karya sastra menurut berhasil tidaknya

karya tersebut mencapai tujuan tersebut (Pradopo, 1997:26). Kritik ini

memandang karya sastra sebagai sesuatau yang dibangun untuk mencapai

efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca), baik berupa efek

kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek lainnya. Sementara tujuan

karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata

lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya

mencapai tujuan. Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih

bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada

Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjabana pernah menulis kritik

jenis ini yang dibukukan dengan judul “Perjuangan dan Tanggung Jawab”

dalam Kesusastraan.

4.    Kritik objektif memandang karya satra hendaknya tidak dikaitkan dengan

hal-hal di luar karya sastra itu. Ia harus dipandang dsebagai teks yang

utuh dan otonom, bebas dari hal-hal yang melatarbelakanginya, seperti

pengarang, kenyataan, maupun pembaca. Objek kritik adalah teks satra:

unsur-unsur interinsik karya tersebut.

iv.                Menurut Objek Kritik

Karya sastra terdiri atas beragam jenis, yaitu puisi, prosa dan

drama. Artinya, kritik sastra dapat menjadikan puisi, puisi, prosa atau

drama sebagai objeknya. Dengan demikain, jenis kritik ini dapat dibagi

lagi menjadi berdasarkan objeknya, yakni kritik puisi, kritik prosa,

kritik drama. Selain itu, kritik satra itu sendiri dapat dijadikan

kritik sehingga dinamakan kritik atas kritik.

Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya,

tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah

dan mengehendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria

intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan,

integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya. Jadi,

unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh,

dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan,

integritas, dan sebagainya. Pendekatan kritik sastra jenis ini

menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.

Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 1920-an dan melahirkan

teori-teori:

1.              New Critics (Kritikus Baru di AS)

2.              Kritikus formalis di Eropa

3.              Para strukturalis Perancis

v.                  Menurut Sifatnya

Dalam dunia kritik sastra sering terjadi pertentangan antara kritik

sastra yang ditulis kalangan akademik dan nonakademik. Hal ini misalnya

terlihat pada polemik antara kritikus sastra yang mengusung apa yang

dinamakan metode Ganzheit dengan tokoh antara lain Goenawan Mohamad dan

Arif Budiman versus kritikus sastra yang kemudian diistilahkan dengan

aliran Rawamangun dengan tokoh-tokohnya antaralain M.S Hutagalung. Dapat

dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik sasta kalangan

akademik. Sedangkan kritik sasta aliran Ganzheti mewakili kalangan

nonakdemik.

Ada perbedaan antara dua kritik sastra dua aliran tersebut. Kritik

sastra nonakademik tidak terpaku pada format seperti yang terdapat pada

petunjuk Teknik Penulisan Ilmiah; teori dan metode sastra meskipun

digunakan ─ tidak diekspilitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer.

Jenis-jenis tulisannya berupa esai dan artikel yang dipublikasikan lewat

koran, majalah, atau buku-buku yang merupakan kumpulan kritik sastra.

Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan atau kalangan umum yang

tertarik mendalam dunia sastra.

2.      Pendekatan Kritik Sastra

i.                    Pendekatan Mimetik

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai tiruan atau

pembayangan dunia kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan pertamakali

oleh Plato dan Aristoteles. Menurut Platokarya sastra hanyalah tiruan

alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide.Sedangkan

menurut Aristotelestiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu

yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.

ii.                  Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia

batin pengarang. Dengan demikian apabila segala gagasan, cita, rasa,

emosi, ide, angan-angan merupakan “dunia dalam” pengarang, maka karya

sastra merupakan “dunia luar” yang bersesuaian dengan dunia dalam itu.

Dengan pendekatan ini penilaian sastra tertuju pada emosi atau keadaan

jiwa pengarang sehingga karya sastra merupakan sarana untuk memahami

keadaan jiwa pengarang.

iii.                Pendekatan Objektif

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang

dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan latar belakang sosial budaya

zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya,

dengan kata lain karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsiknya.

iv.                Pendekatan Pragmatik

Pendekatan ini memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik

pembaca selaku penyambut karya sastra. Dengan demikian karya sastra

dipandang sebagai karya seni yg berhasil atau unggul apabila bermanfaat

bagi masyarakat, seperti: mendidik, menghibur, menyenangkan, dst.

3.      Kritik Sastra Indonesia Modern

i.                    Kritik Sastra Angkatan Balai Pustaka

Paham para pengarang dalam masa permulaan kesustraan Indonesia

modern memandang bahwa karya sastra yang baik adalah suatu karya yang

langsung memberi didikan kepada para pembaca (Pradopo, 2007: 94).

Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan

kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral hingga

demikian, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya

sastra sebagai seni yang menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan

yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan pada

nomor dua. Begitulah paham pertama dalam penilaian karya sastra yang

secara tidak langsung, yang disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia

yang mula-mula, ialah memberi didikan dan nasehat kepada pembaca.

ii.                  Kritik Sastra Angkatan Pujangga Baru

Dalam masa Pujangga Baru telah bergema pertentangan paham tentang

karya sastra, yang berupa paham “seni untuk seni” dan “seni bertendens”.

“Seni untuk seni” menghendaki seni yang murni, seni untuk kepentingan

seni, seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan seni

“murninya”, pada permulaannya ia mementingkan bentuk pengucapannya

daripada isi karya sastranya‒ ia lebih mementingkan bentuk pengucapan

“seninya” dari “isi” sastranya. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada

semboyan “seni untuk seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.

“Seni bertendens” menghendaki seni diciptakan untuk tujuan, yaitu

untuk kepentingan masyarakat, untuk membawa bangsa Indonesia ke taraf

penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus memelopori bangsanya, ia

harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan

dan kehidupan. Tokoh sastrawan yang memegang semboyan ini adalah Sutan

Takdir Alisjahbana. Pandangan beliau adalah pandangan seorang

utilitarian yang lebih mementingkan tujuan daripada pernyataan seni.

Selain Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh sastrawan

pada era Pujangga Baru adalah Amir Hamzah, dan Armijn Pane.

iii.                Kritik Sastra Angkatan ‘45

Sastrawan Angkatan ’45 menghendaki kesusastraan yang universal, yang

dapt diterima oleh segala manusia, karena yang dikemukakan dalam karya

sastra ialah persoalan-persoalan manusia yang umum, persoalan hakikat

manusia karena pada hakikatnya manusia seluruh dunia adalah sama, dari

sejak dahulu hingga sekarang. Mereka menghendaki kebahagiaan, terbebas

dari derita, siksaan, dan penjajahan, dan sebagainya. Maka dalam

penilaian pun menghendaki penilaian yang sifatnya universal, yang dapat

berlaku secara umum. Angkatan ’45 dipelopori oleh Chairil Anwar dalam

bidang puisi dan Idrus dalam bidang prosa. Tokoh Angkatan ’45 yang

penting lainnya adalah Asrul Sani dan H. B. Jassin.

iv.                Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Nonakademik

Kritik sastra akademik sering dipertentangkan dengan kritik sastra

nonakademik. Hal ini mulai mencuat pada polemik yang terjadi tahun 1968-

an antara kritikus yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit

(dengan tokoh-tokohnya antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman)

versus kritik sastra yang kemudian diistilahkan dengan kritik aliran

Rawamangun (dengan salah seorang tokohnya M.S. Hutagalung). Dapat

dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik kalangan

akademik. Kritik Ganzheit mewakili kritik kalangan nonakademik.

Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula

dengan kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis

dalam pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik

Penulisan Ilmiah (TPI); mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu

dalam pengkajiannya serta dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa

Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada

skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel, jurnal, dan sejenisnya.

Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen,

peneliti di lembaga-lembaga bahasa dan sastra.

Kritik nonakademik bersifat sebaliknya. Kritik sastra ini tidak

terpaku pada format TPI; teori dan metode -meskipun digunakan- umumnya

tidak dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis

tulisannya berupa esai, resensi, dan artikel yang dipublikasikan lewat

koran, majalah, atau buku-buku antologi kritik sastra. Para penulisnya

umumnya sastrawan, wartawan, atau kalangan umum yang tertarik dan

mendalami sastra.

c.       Teori Sastra

1.    Pengertian Teori Sastra

Teori sastra dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang

saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang

berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra (Ratna, 2012: 10).

Dalam referensi yang lain dijelaskan Teori sastra ialah cabang ilmu

sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori,

kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan

sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu

sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola

pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori

berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu

pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Teori sastra dapat

disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara

otomatis perlu mengkaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu

pendapat tentang sastra (Tambunsaribu, 2012: 2).

2.      Perkembangan Teori Sastra

Teori sastra berasal dari kata theria(bahasa Latin). Secara

etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada

tataran yang lebih luas,dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori

berarti perangkat pengertian,konsep,proposisi yang mempunyai

korelasi,yang telah teruji kebenarannya.

Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik.Setelah suatu

ilmu pengetahuan berhasil untuk mengabstraksikan keseluruhan konsepnya

pada suatu rumusan ilmiah yang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu

sendiri,maka teori tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga

cabang-cabang ilmu pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci

dan mendalam.

Pemanfaatan teori formal menurut Vredenbreght (Ratna, 2012: 4),

memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha peneliti sepanjang

sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus

mengujinya melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama

makin sempurna. Teori ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra

diadopsi melalui pemikiran para sarjana Barat. Tradisi seperti ini

sering menimbulkan perdebatan diantara para sarjana Indonesia antara

yang tidak setuju dengan yang setuju. Kelompok yang pertama menginginkan

agar khasanah Indonesia dianalisis dengan menggunakan teori sastra

Indonesia, dengan konsekuensi agar sarjana Indonesia dapat menemukan

teori-teori sastra yang lahir melalui sastra Indonesia sebagai teori

Indonesia asli,sebaliknya yang kedua tidak mempermasalahkan perbedaan

diantaranya, dengan pertimbangan sebagai berikut:

1.      Tradisi ilmu pengetahuan berkembang diBarat,demikian pula tradisi

sastra.

2.      Karya sastra sekaligus bersifat lokal dan universal.

3.      Globalisasi, termasuk paradigma postmodernisme menghapuskan

perbedaan antara Barat dengan Timur.

Sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai

berikut:

1.      Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianalisis.

2.      Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.

3.      Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis, baik ilmu sejenis maupun

berbeda.

4.      Memiliki formula-formula yang sederhana tetapi mengimplikasikan

jaringan analisis yang kompleks.

5.      Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh kemasa depan.

Teori dan metode memiliki fungsi untuk membantu menjelaskan dua

hubungan gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang

terjadi.

Teori dan metode disamping mempermudah memahami gejala yang akan

diteliti yang lebih penting adalah kemampuannya untuk

memotivasi,mengevokasi, sekaligus memodifikasi pikiran peneliti.Artinya

dengan memanfaatkan teori dan metode tertentu maka dalam pikiran

peneliti akan timbul kemampuan untuk memahami gejala sebelumnya yang

sama sekali belum tampak. Sebagai alat, teori berfungsi untuk

mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung

dilakukan melalui instrument yang lebih konkret yaitu melalui metode dan

teknik.

Berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan

syarat pokok.Teori yang lama dengan sendirinya harus ditinggalkan,

digantikan dengan teori dan metode yang baru.Demikian seterusnya

sehingga teori yang terakhirlah yang dianggap paling relevan. Intensitas

terhadap kebaruan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1.      Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.

2.      Teori dan metode adalah hasil penemuan.

3.      Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan

karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai cara

untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang saling

melengkapi.

Dalam khasanah sastra Indonesia aktivitas penelitian dengan

memanfaatkan teori dan metode intuisif ekspresif sudah dimulai sejak

periode Pujangga Baru.Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu

abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa

indikator, sebagai berikut:

1.      Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri

sudah terkandung problematika yang sangat luas.

2.      Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam budaya

itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.

3.      Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan

Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dengan berbagai

disiplin, khususnya filsafat.

4.      Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk

menemukan berbagai cara sebagai teori yang baru.

5.      Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-

kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.

Dalam ilmu sastra yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan

untuk mengumpulkan data,menganalisis data,dan menyajikan hasil

penelitian. Peneliti sastra yang pada umumnya disebut kritikus sastra

baik sebelum maupun sesudah melakukan penelitian secara sadar mengetahui

teori apa yang digunakan, metode dan teknik apa yang

membantunya.Penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai

berikut:

1.      Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat

deskripsi bukan generalisasi.

2.      Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan kecuali dalam penelitian

tertentu.

3.      Tidak diperlukan objektivitas yang umumsebab peneliti terlibat secara

terus-menerus, objektivitas terjadi saat penelitian dilakukan.

4.      Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat

terbuka deskripsi dan pemahaman berkembang terus.

5.      Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tapi wacana,teks,sebab

sebagai hakikat deskrusif bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua

dengan berbagai sistem komunikasinya.

3.      Macam-macam Teori Sastra

i.      Teori-Teori Strukturalisme

-          Teori Formalisme

Sebagai teori modern mengenai sastra,secara historis kelahiran

formalisme dipicu oleh tiga faktor sebagai berikut:

1.      Formalisme lahir akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme

abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas dalam hubungan

ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.

2.      Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora dimana terjadinya

pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.

3.      Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan

perhatian terhadap karya sastra dengan sejarah sosiologi dan psikologi.

Formalisme menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup,

sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai

kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami

dalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya

sastra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang

lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari

yang menyampaikan informasi melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri.

Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi,

oleh karena itulah, cara kerjanya disebut metode formal.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang

terdiri dari para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan,

yaitu:

a). Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman

Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.

b). Mahzab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang

didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik,

dan Lev Iaukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk dalam

Ratna, 2012: 82).

Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra dengan

cara meneliti unsur-unsur kesastraan puitika,asosiasi,oposisi,dan

sebagainya.Metode yang digunakan adalah metode formal. Metode formal

tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi

dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks

sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Formalisme dianggap

sebagai peletak dasar ilmu sastra modern (Luxemburg, dkk dalam Ratna.

2012: 83).

Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh

kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan

sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi.

-          Teori Strukturalisme Dinamik

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin

yang yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (dalam Ratna,

2012: 88), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang

melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui

tradisiformalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu

pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan

strukturalis. Di pihak lain atas dasar pengalaman formalislah mereka

mendirikan strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan

yang terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali dalam

strukturalisme.

Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur,

yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu

pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang

lain hubungan antar unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut

tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan

kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan.

Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan

arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap

sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak, bahkan

‘mematikan’ subjek pencipta. Oleh karena itulah strukturalisme dianggap

sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari

sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan

strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian

formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai

penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas

terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-

aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh

Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema dalam Ratna, 2012: 93).

Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik,

terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda

yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya

seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang

menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

-          Teori Semiotika

Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing

berakar dalam kondisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial

yang menghasilkannya. Menurut Noth (dalam Ratna, 2012: 97) ada empat

tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik

logika, retorika, dan hermeunetika. Masih dalam Ratna, Culler

menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik,

strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada

tanda. Begitupun pendapat Selden (dalam Ratna, 2012: 97) menganggap

strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama,

sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk

menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan

dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya, analisis semiotika

mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme.

Menurut Paul Cobley dan Litza Janz (dalam Ratna, 2012: 97)

semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang bearti penafsir

tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata

semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai

teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan

interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap

kehidupan manusia.

Kajian mengenai semiotika secara benar-benar ilmiah baru dilakukan

pada awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada

zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapi

sama sekali tidak saling mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah

Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-

1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah ahli

filsafat dan logika, tetapi di samping itu ia juga menekuni ilmu

kealaman, psikologi, astronomi, dan agama. Saussure menggunakan istilah

semiologi, sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika.

Dalam semiotika, terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan

Peircean. Menurut Aart van Zoest (dalam Ratna, 2012: 103), dikaitkan

dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semioyika dapat dibedakan

paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.

1.      Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam

kaitannya dengan pengirm dan penerima, tanda yang disertai dengan

maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seprti rambu-rambu

lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.

2.      Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian

diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model

kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping

sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyakatan, dipelopori

oleh Ronald Barthes.

3.      Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud)

dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia

Kristeva.

Dalam lapangan semiotika, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu

(1) penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda,

dan (2) pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda.

Ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan

indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan ilmiah, yaitu

persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan pertanda. Simbol adalah

tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan ilmiah antara keduanya,

hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah

sistem tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti

simbol ditentukan oleh konvensi masyarakat.

Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem

ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan

tingkat kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti

bahasa dalam sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut

makna (significance) yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam

karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping

konvensi bahasa itu sendiri. Oleh karena itu yang dimaksud makna

(bahasa) sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya. Jadi, yang

dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa, suasana, perasaan,

intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian

tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.

Menurut Pradopo (dalam Hudayat, 2007: 59) studi sastra bersifat

semiotik itu adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu

memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-

variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal

relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa

sebagai sistem semiotik tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan

konvensi-konvensi tambahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari

arti yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi

makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan

timbulnya makna sastra, maka menganalisis karya sastra itu adalah

memburu tanda-tanda.

Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di

luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna,

yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar

strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik

dikenal metode hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh

kepada sebuah karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis

secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh

kenyataan bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya,

termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau

realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan

budaya. Menurut pandangan intertekstualitas, sebuah karya sastra

merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir sebelumnya,

baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi

ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna atau

konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas itu perlu

diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam

hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan

mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi

tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang

memungkinkan diproduksinya maknakarya sastra.

Semiotika Sastra.

Ikon yaitu ciri-ciri kemiripan itu sendiri, berfungsi sebagai menarik

partikel-partikel ketandaan, sehingga proses intrpretasi dimungkinkan

secara terus-menerus. Ada tiga macam ikon, yaitu: a) ikon topografis,

berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi-puisi konkret atau

visual, b) ikon diagramatis atau relasional, berdasarkan persamaan dua

diagram, c) ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang

didenotasikan sekaligus langsung atau tidak langsung, misalnya alegori

atau parabel. Edmund Leach (dalam Ratna, 2012:116) membedakan antara

simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal menunjukkan hubungan dua gejala

secara mekanis dan otomatis. Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu:

a)antara penanda dan petanda tak ada hubungan intrinsik sebelumnya, b)

penanda dan petanda merupakan unsur struktural yang berbeda. Ciri-ciri

tanda, a) ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) termasuk kedalam konteks

kultural yang sama.

Semiotika Sosial

Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan

hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, semiotika

sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana tanda-tanda

tersebut difungsikan. Tanda difungsikan dalam dirinya sendiri. Oleh

karena itulah baik dalam strukturalisme maupun semiotika konsep antar

hubungan memegang peranan yang sangat menentukan, fungsi-fungsi yang

selalu diabaikan oleh para peneliti sastra.

-          Teori Strukturalisme Genetik

Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik

dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme

murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme

dinamik maupun strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra

sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. Perbedaannya, strukturalisme

dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis dan pembaca dalam

rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh

yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah inilah yang berhasil membawa

strukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu, dianggap

sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat

maupun di Indonesia.

Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang

filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Strukturalisme genetik memiliki

implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu

kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann sampai

pada kesimpulan bahwa struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki

arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian

seterusnya sehimgga setiap unsur menopang totalitasnya.

Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur

dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas

berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian

terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai

teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih

ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori

sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subyek

transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil

membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun

1980-an hingga 1990-an.

Secara definitif strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur

dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi

konsep homologi, kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan

dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya:

a) meneliti unsur-unsur karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya

sastra dengan totalitas karya sastra, c) meneliti unsur-unsur masyarakat

yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur

masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara

keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

-          Teori Strukturalisme Naratologi

Naratologi, dari kata narratio (bahasa Latin, berarti cerita,

perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut

teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks)

naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen

(cerita) an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik,

seperti model sintaksis, sebagaiman hubungan antara subjek, predikat,

dan objek penderita.

Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian

juga dengan wacana teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya.

Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai

representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atua fiksional dalam

urutan waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna dalam

Hudayat, 2007: 72) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek

secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif

dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya

yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu

kemanusiaan (humaniora).

Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan

yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal

menyebutkan bahwa pembaca membaca teks dan wacana yang berbeda dari

cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan

bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang

misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang

menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks tidak

diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa; diceritakan oleh

narator, bukan pengarang.

Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah

pascastruktural, analisis naratif merupakan bagian ideologi. Cerita dan

penceritaan dimanfaatkan untuk melegetimasi kekuatan dan kekuasaan bagi

mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap

kelompok tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik,

politik, dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan

wacana. Pada paham pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada

teks sastra saja melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas

manusia, sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas

kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks yang dengan sendirinya dapat

dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Visi sastra kontemporer

memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting

dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu

pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya; cerita sebagai

tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan kebudayaan

yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh

aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu sendiri

dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui

paradigma sebuah teks.

Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas

terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel,

juga roman, cerpen, puisi naratif, dongeng, biografi, lelucon, mitos,

epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre

sastra, tetapi juga setiap bentuk cerita dalam media massa.

Secara historis, Maria-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk

dalam Hudayat, 2007: 75) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi

menjadi tiga periode, yaitu:

1.      Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an).

2.      Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an).

3.      Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).

Awal perkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles

(cerita dan teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar

dan datar); Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran

dan fungsi). Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam

dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot). Para pelopornya, di

antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov

(historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal

(fabula, story, text). Greimas (tata bahasa naratif dan struktur actans).

Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration).

Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi

parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer,

interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di

antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara),

Gerald Prince (struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif),

Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (Kernels dan satellits),

Mikhail Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry

Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques

Derrida (dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-

Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas,

pastiche).

Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi-

Strauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode

strukturalis.

1.      Vladimir Propp

Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan

secara serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap

dikotomi fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat,

seratus dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan

secara luas tahun 1958. Propp (dalam Hudayat, 2007: 76) menyimpulkan

bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya,

dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi

perbuatan dan peran-perannya sama. Oleh karena itu, penelitian Propp

disebut sebagai usaha untuk menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan

dongeng pada umumnya. Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting

bukanlah tokoh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya

disebut fungsi. Unsur yang dianalisis adalah motif (elemen), unit

terkecil yang membentuk tema. Propp memandang sjuzhet sebagai tema bukan

plot seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif

merupakan unsur yang penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet

dengan demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan pendeita yang kemudian

dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang

berubah (pelaku dan penderita). Dalam hubungan ini yang penting adalah

unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu sendiri.

Propp mengemukakan bahwa fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak

tergantung dari siapa yang melakukan. Di sini, persona bertindak sebagai

variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam

dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi yang dikelompokkan ke dalam

tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu: (1) penjahat, (2) donor, (3)

penolong, (4) putri dan ayahnya, (5) orang yang menyuruh, (6) pahlawan,

dan (7) pahlawan palsu. Menurut Propp dan Teeuw (dalam Hudayat, 2007:

77), tujuan Propp bukan tipologi struktur tetapi melalui struktur dasar

dapat ditemukan bentuk-bentuk purba. Dengan kalimat lain, dengan

menggabungkan antara struktur dan genetiknya (struktur mendahului

sejarah), maka akan ditemukan proses penyebarannya kemudian. Model Propp

mendasari penelitian dari Greimas, Bremond, dan Todorov.

2.      Levi-Strauss

Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya

pada mitos. Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan

estetis. Ia mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan

perhatiannya terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik

secara bulat maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu

sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan

tertentu.

Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota

masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik

material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah

termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang

mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian

dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali sehingga

dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi

sastra, melalui struktural, khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu,

dan incest, misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di satu pihak,

oposisi biner didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati

memiliki kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-

laki perempuan, bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan perkawinan di

antara keluarga secara logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di

luar keluarga yang pada gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru,

sekaligus menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang

lain.

Berhubungan dengan pembicaraan strukturalisme, Levi-Strauss

menyatakan bahwa struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas.

Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang tampil

sebagai organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah,

disebutkan bahwa isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut, dan

sebaliknya.

3.      Tzvetan Todorov

Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov

(dalam Hudayat, 2007: 79) mengembangkan konsep historie dan discours yang

sejajar dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov

menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak,

komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan

interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang

terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga

aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara

kronologis dan logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan

lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti

sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.

Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep

pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara

berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi. Konsep kedua

menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai

hubungan makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya antarhubungan adalah kausalitas.

Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai antitesis (in praesentia). Sebaliknya

tokoh juga dapat menunjuk sesuatu yang lain di luar struktur naratif (in

absentia). Todorov membedakan antara sastra sebagai ilmu mengenai sastra

(puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan disiplin yang lain, sastra

sebagai proyeksi, seperti: psikologi sastra, sosiologi sastra, studi

biografi, kritik fenomenologis, dll.

4.      Greimas

Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu

dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi

yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004:

137-140, dalam Hudayat, 2007: 80) memberikan perhatian pada relasi,

menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan yang lebih universal,

yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas lebih mementingkan aksi

dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di balik wacana. Yang ada

hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut

actans dan acteurs.

Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur

naratif, acteurs merupakan kategori umum. Dia mencontohkan: John dan

Paul memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs

tetapi satu actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai

penerima. Apel adalah sebagai objek. Dalam kalimat John membelikan

dirinya sendiri sebuah baju, John adalah satu acteu yang berfungsi

sebagai dua actans, baik sebagai pengirim maupun penerima.

Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs

menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat

dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu

sosial lainnya. Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp

disederhanakan menjadi dua puluh fungsi yang kemudian dikelompokkan

menjadi tiga struktur, yaitu struktur berdasarkan perjanjian, struktur

yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur yang bersifat pemutusan.

Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi enam actans

(peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan menjadi tig pasangan

oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan dengan orang yang

dianugerahi atau pengirim dan penerima, dan penolong dengan penentang.

Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh

seorang atau sejumlah pelaku. Actans merupakan struktur dalam, sedangkan

acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan manifestasi kongkret

actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu,

sedangkan struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama

pada saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-

beda. Sebaliknya, actans yang sama terbentuk oleh acteur yang berbeda-

beda.

Untuk menyederhanakan konsep-konsep tersebut di atas, maka dalam

kritik sastra Indonesia istilah fabula dan sjuzet sebagai konsep dasar dari

naratologi ditafsirkan dengan istilah cerita dan penceritaan. Dalam

penceritaanlah terkandung wacana dan atau teks. Penceritaan memiliki

identitas yan hampir sama dengan wacana, teks, dan plot. Cerita adalah

bahan kasar, perangkat peristiwa, seperti ringkasan cerita atau

sinopsis. Wacana adalah cerita yang telah disusun kembali tetapi lebih

banyak berkaitan dengan unsur bahasa , sebagai model pertama. Adapun

teks adalah susunan peristiwa yang sesungguhnya; susunan kejadian yang

didominasi oleh kualitas literer, sebagai model kedua.

ii.    Teori-Teori Postrukturalisme

Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir baik dalam

bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam menguji

objek.Pada umumnya kelemahan strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai

berikut: a)model strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya

dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan pada struktur dan

sistemtertentu. b) strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian

suatu karya sastra sebagai kualitas otonom dengan sistem dan

strukturnya.c) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya

sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.

Strukturalisme (Ritzer dalam Ratna, 2012: 144) lahir sebagai reaksi

terhadap model-model penelitian sebelumnya yang memberikan perhatian

pada sejarah dan asal-usul suatu gejala kultural khususnya bahasa.

Sedangkan postmodernisme, berasal dari kata ‘post’ +modern+ ‘isme’ yang

berarti paham sesudah modern, dan postkulturalisme, dari kata ‘post’

+struktur+ ‘isme’ yang berarti paham sesudah struktur, baik secara

historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang

sangat erat. Prefiks ‘post’ dengan padanannya, seperti ‘para’ dan akhir,

sudah digunakan jauh sebelumnya, seperti post industri, para-Marxis,

akhir manusia dan akhir sejarah, dan sebagainya.Postmodernisme dan

postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu oleh tiga

indikator yang saling melengkapi, yaitu:

1.      Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir

peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.

2.      Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai

teks, maupun nonsastra sebagaidiskursus.

3.      Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai

disiplin dalam kajian tunggal.

a.      Teori Postmodernisme

Modernisme dan postmodernisme merupakan dua gejala yang saling

melengkapi, postmodernisme tidak menghancurkan modernisme, post

modernisme hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten,

tersembunyi, terlupakan, terabaikan, dan terlalaikan. Semua yang

terlupakan tersebut, bagi kelompok postmodernisme tetap memiliki fungsi,

yang dengan sendirinya juga harus diberikan arti. Meskipun demikian

Robert Dunn (dalam Ratna, 2012: 151) mencoba memberikan ciri-ciri

modernisme dengan postmodernisme, diantaranya: a) pergeseran nilai yang

menyertai budaya massa dari produksi ke konsumsi, dari pencipta ke

penerima, dari karya ke teks, dariseniman ke penikmat, b) pergeseran

dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan(populer),

dari kedalaman kepermukaan, dari universal ke partikular, c) kebangkitan

kembali nilai-nilai estetis periode 1960-an, d) munculnya politik

representasi periode 1970-an yang menentang struktur otoritas, e)

kebangkitan kembali tradisi primordial dan nilai-nilai masyarakat

lainnya.

Ciri-ciri utama teori postmodern (Linda Hutcheon dalam Ratna, 2012:

154) dan dengan sendirinya juga postrukturalisme adalah penolakan

terhadap adanya satu pusat,kemutlakan,narasi-narasi

besar,metanarasi,gerak sejarah yang monolinier. Poststrukturalisme

menolak sistem pemikiran tunggal (homologi), seperti ras, agama, laki-

laki, dan sebagainya dengan cara menawarkan sistem pemikiran plural

(parologi). Narasi besar hanya satu, sedangkan narasi kecil merupakan

hasil setiap orang yang bersikap demokratis, aktif, partisipatif, dan

kreatif. Postmodernisme mensubversi uniformitas, homogenitas, dan

totalisasi dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan

relativitas dan pluralisme. Postmodernisme mengakui identitas lain

sebagai retivisme budaya. Oleh karena itu, metode yang dianggap tepat

adalah kualitatif, sebab tujuannya bukanlah objektifitas, tatapi dasar-

dasar berpikir yang berbeda.

b.      Teori Poststruktulisme

Hubungan antara strukturalisme dengan poststrukturalisme sangat

kompleks. Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2007: 160) strukturalisme dianggap

memiliki kelemahan dengan alasan, a) belum memiliki syarat sebagai teori

yang lengkap, b) Karya seni tidak bis diteliti secara terpisah daro

struktur sosial, c) Kesangsian terhadap struktur obyektif karya, d)

Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya, dan e) Karya sastra juga

dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Di

satu pihak strukturalisme mementingkan pola-pola, di pihak lain

menekankan adanya satu arti. Oleh karena itulah, strukturalisme perlu

disempurnakan, yang secara keseluruhan dilengkapi oleh

poststrukturalisme.

Atas dasar persamaan dan perbedaannya dengan strukturalisme, maka

secara definitif poststrukturalisme adalah teori-teori sastra sesudah

strukturalisme. Persamaan yang dimaksudkan, baik strukturalisme maupun

poststrukturalisme memandang struktur yaitu unsur-unsur dengan mekanisme

antar hubungannya sebagai masalah utama. Perbedaannya, apabila

strukturalisme memandang antar unsur dengan mekanisme hubungan yang

relatif stabil, bahkan statis, maka postsrukturalisme memadang model

hubungan tersebut bersifat labil dan dengan sendirinya dinamis. Secara

praktis kelompok strukturalis berusaha menguasai teks, kemudian berusaha

mengungkapkan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya.

-          Teori Resepsi Sastra

Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin),

reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan

pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks,

cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan

respons terhadapnya. Respons yang dimaksudkan tidak dilakukan antara

karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah,

pembaca dalam periode tertentu.

Secara etimologis resepsi berarti tanggapan. Analog dengan

pengertian tersebut, maka rsepsi sastra berarti tanggapan pembaca

terhadap karya sastra. Sesuai dengan namanya pendekatan ini mencoba

memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembaca

terhadap karya sastra tertentu. Pendekatan tersebut dilandasi oleh

pandangan bahwa sejak terbitnya karya sastra selalu mendapat tanggapan

dari para pembacanya (Pradopo dalam Wiyatmi, 2008: 102).

Resepsi sastra tampil sebagai sebuah teori dominan sejak tahun1970-

an dengan pertimbangan:

1.      Sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap

bahwa hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur.

2.      Timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai

kemanusiaan dalam rangka kesadaran humanisme universal.

3.      Kesadaran bahwa nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui

kompetensi pembaca.

4.      Kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca.

5.      Kesadaran bahwa nilai terkandumg dalamhubungan ambiguitas antara

karya sastra dengan pembaca.

Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: a)

resepsi secara sinkronis, b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama

meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman.

Sekelompok pembaca, misalnya, membeeikan tanggapan baik secara

sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Bentuk resepsi yang

lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara diakronis sebab melibatkan

pembaca sepanjang sejarah. Penelitian resepsi secara diakronis

memerlukan data dokumenter yang memadai.

-          Teori Interteks

Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubunga-hubungan

bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan

sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks

memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemuka

hypogram. Interteks dapat dilakukan dengan antara novel dengan novel,

novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak

sematamata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai

pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.

Pemahaman secara intertekstual menggali secara maksimal makna-

makna yang terkandung dalam sebuah teks. Menurut teori interteks,

pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan pada pemahaman

terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat

teori-teori pascastrukturalis, pembaca bukan lagi menjadi konsumen,

melainkan produsen. Oleh karena itulah, secara aktif aktivitas interteks

terjadi melalui dua cara, yaitu: (a) membaca dua teks atau lebih secara

berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi

dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca

sebelumnya. Intertekstualitas yang sesungguhnya adalah yang kesua, sebab

aktivitas inilah yang memungkinkan terjadinya teks jamak, teks tanpa

batas.

-          Teori Feminis

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang

dipelopori oleh Virginia Woofl, dalam bukunya yang berjudul A Room of

One’s Own (1929). Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah

satu aspek teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960an. Model

analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-

aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teeuw dalam Ratna (2012:

183) beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan

feminis didunia Barat tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Berkembangnya teknik kontrasepsi yang memungkinkan perempuan

melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.

2.      Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.

3.      Lahirnya gerakan pembebasan dari ikata-ikatan tradisional, misalnya

ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan

sebagainya.

4.      Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.

5.      Perkembangan pendidikan secara khusus dinikamati oleh perempuan.

6.      Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari

struktur sosial, seperti kritik baru dan strukturalisme.

7.      Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxisortodoks, tidak

terbatas sebagi Marxis Soviet atau China, tetapi Marxis di dunia Barat

secara keseluruhan.

Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama

kritik sastra feminis, adalah salah satu kajian karya sastra yang

mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan

dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam

karya sastra-karya sastranya. Djananegara dalam Wiyatmi (2008: 113)

feminisme dan pascamodernisme pada umumnya menggoncangkan sistem nilai

yang telah mapan, mendekonstruksi sistem pemikiran tunggal, narasi-

narasi besar, baik yang berkaitan dengan wacana sastra maupun sistem

religi, patriarki, ideologi, dan sebagainya. Sebagai gerakan

kontemporer, feminisme dan pascamodernisme mempertanyakan kredibilitas

cita-cita besar, cerita-cerita yang membentuk metanarasi, homologi

menurut pemahaman Lyotard. Menurut teori pascamodernisme, legitimasi

homologi perlu dideligitimasikan, yaitu dengan cara paralogi, sistem

pemikiran plural.

Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan

hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya

konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminisme memiliki

asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan

hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang

dianggap lebih kuat.

Sesuai dengan latar belakang kelahirannya, sebagai gerakan politik,

sosial dan ekonomi, analisis feminis dengan demikian termasuk penelitian

multidisiplin, melibatkan berbagai ilme pengetahuan. Keberagaman dan

perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi

feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan

diantaranya: tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca

perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, novel

populer dan perempuan, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan kajian

budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan kesetaraan

gender. Tokoh terpenting feminis kontemporer yaitu Luce Irigarai, Julia

Kristeva, Helene Cixous, dan Donna Haraway.

-          Teori Postkolonial

Secara etimologis postkolonial berasal dari kata “post” dan

kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata

colonia, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman.

Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan,

penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya, postkolonial

melibatkan tiga pengertian, yaitu: a)abad berakhirnya imperium kolonial

diseluruh dunia, b) segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-

pengalaman kolonial, c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis

masalah-masalah pascakolonialisme. Paling sedikit terkandung empat

alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui

teori-teori postkolonial, yaitu:

1.      Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara

pengirim dan penerima, sebagai mediator masa lampau dengan masa

sekarang.

2.      Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan,

emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah

masyarakat itu sendiri.

3.      Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas

adalah manifestasi yang paling signifikan.

4.      Berbagai masalah yang dilukiskan secara simbolis, terselubung,

sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak.

(Said,2003:44-45, visi postkolonial menunjukkan bahwa pada masa

penjajahan yang ditanamkan adalah perbedaan sehingga jurang pemisah

antara kolonial dengan pribumi bertambah lebar.

Analisis wacana postkolonialis bisa digunakan, di satu pihak untuk

menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan,

sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain

membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam

hubungan inilah peranan bahasa, sastra dan kebudayaan pada umumnya dapat

memainkan peranan sebab dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung

wacana sebagaimana diintesikan oleh kelompok kolonialistik.

-          Teori Dekonstruksi

Ciri khas deskrontruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derida (Ratna,

2012: 222) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme

yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berfikir

lainnya yang bersifat hirerakis dikotomis.

Dekonstruksi merupakan metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi

ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang

dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan

selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya,

anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-

anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut

pembentukannya dalam sejarah.

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang

kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada

tahun 1980-an. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida,

seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik

sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis

Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.

Prinsip dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna

paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau

merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi

yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi

metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari

fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang

tuturan. Dekonstruksi mentut kita lebih teliti dan kritis terhadap teks

sastra.

c.       Teori Postrukturalisme Naratologi

Naratologi adalah bidang ilmu mengenai narasi,studi mengenai bentuk

dan fungsi naratif.Secara definitife menurutLuxemburg, dkk (Ratna, 2012:

240) yang dimaksudkan denganstruktur wacana atau teks naratif

adalahsemua wacana atau teks yang isinya merupakan rangkaian

peristiwa,yang dibedakan menjadistruktur narasi fiksi dan struktur

narasi nonfiksi.Dalam sastra oral (Ruth Finnegan dalam Ratna 2012: 243)

karya sastra tidak dapat dipahani semata-mata melalui teks, melalui

struktur naratif sebab karya selalu berubah setiap kali dipentaskan.

Pementasan tidak bisa dianggap sebagai aspek sekunder atau

pelengkap,melainkan merupakan bagian integral totalitas.

2.      Fokus Penelitian Sastra

Langkah awal dalam merencanakan sebuah penelitian sastra adalah

menentukan teks sastra yang aka dikaji atau diteliti dan persoalan apa

yang hendak diteliti. Setelah itu, langkah kedua adalah penentuan fokus

penelitian. Secara umum, penelitian sastra dibagi menjadi lima fokus,

yaitu:

1.      Penelitian genetik (penelitian dengan fokus teks dan hubungannya

dengan penulis).

Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa kajian akan mencapai

objektivitas jika pengkaji meneliti intensitas penulis atau apa yang

sesungguhnya dikehendaki oleh penulis, karena penulis adalah sumber

informasi yang paling sahih dan dapat dipercaya tentang teks yang

dihasilkannya. Dengan kata lain, seperti apa makna dari suatu puisi

adalah apa yang dimaksud penulis tentang puisi tersebut tatkala ia

menciptakannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaitkan antara

karya sastra dengan kehidupan, pikiran, intensitas, milliu

sosial/politis/intelektual atau kepribadian penulisnya, baik yang

bersifat sadar maupun bawah sadar. Jika penulis masih hidup wawancara

terhadap penulis dilakukan untuk mendapatkan data, jika penulis sudah

meninggal, apa lagi pada masa yang sudah lampau, peneliti akan

membongkar dan mencermati tulisan-tulisan ikhwal penulis, baik dari

karya penulis sendiri (surat, catatan harian, tulisan lain, otokritik

dan sebagainya) maupun karya orang lain tentang penulis tersebut. Teori

yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini: Expressive Realism,

Historicism, Biographical Criticism, Psikoanalisis.

2.      Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.

Penelitian dengan fokus ini melihat pembaca sebagai faktor penentu

dari makna.Makna dari sebuah teks tidak mungkin muncul dan tidak lebih

dari sekadar onggokan kertas tanpa peran aktif pembaca.Tanggapan dan

reaksi pembaca yang bervariasi terhadap suatu teks menjadi daya tarik

peneliti. Pada abad ke-20 terjadi pergeseran cara pandang pembaca dari

pembaca imajiner atau pembaca yang tersirat dalam teks kea rah pembaca

dalam arti yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah teks-teks yang

menakutkan (The Frankenstein), atau teks yang bersifat controversial dan

mendapatkan banyak sensor (Are You There God dan It’s Margaret), atau

terhadap pengakhiran cerita yang mengundang debat seperti bunuh diri

sang tokoh pada The Awakening, isu lesbianism pada The Hurs, diasumsikan

bahwa pembaca atau kelompok-kelompok pembaca akan memberikan tanggapan

atau reaksi yang berbeda terhadap teks-teks tersebut. Adanya perbedaan

asumsi masing-masing pembaca atau kelompok pembaca merupakan hal yang

cukup menarik untuk diteliti lebih jauh, dengan fokus penelitian pada

pembaca.Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah

Reader-Response Theory, teori resepsi, dan psikoanalisis pembaca.

3.      Penelitian dengan fokus teks itu sendiri, tanpa memandang hubungan

teks dengan unsur lain yang melingkupinya.

Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa objektivitas kajian dapat

dicapai jika peneliti memandang teks secara otonom tanpa mengkait-

kaitkan dengan penulis, pembaca, realitas atau teks lain. Sumber data

penelitian dengan fokus ini adalah elemen-elemen yang ada di dalam teks

itu saja.Penelitian dilakukan dengan mengkonsentrasikan diri pada

informasi yang ada pada teks dan hubungan internal antar informasi atau

elemen di dalam teks sebagai entitas yang utuh. Penelitian ini tidak

membutuhkan bahan atau sumber data lain selain teks itu sendiri. Teori

yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini di antaranya: New

Criticism, Structuralism.

4.      Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.

Peneliti dengan fokus ini percaya bahwa teks sastra adalah cerminan

realitas, sehingga sebuah teks akan dianggap berbobot jika ia mampu

memotret realitas. Peneliti mencari hubungan antara kejadian atau

realitas teks dengan realitas nyata pada saat teks itu ditulis untuk

melihat sejauh mana teks menggambarkan realita.Dalam perkembangannya

pakar sastra pasca strukturalisme memandang realitas secara berbeda

dengan pengamat sastra yang menganut paham mimesis.Mereka berpendapat

bahwa yang dapat dibangun dari teks-teks adalah suatu „versi realitas‟

yang berbeda-beda dari teks satu ke teks yanglain.Mereka juga

berpendapat bahwa teks sastra justru memiliki kemampuan untuk

menciptakan realitas. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung

penelitian ini di antaranya: mimesis, sosiologi sastra, cultural studies,

marxism, postrukturalisme, poskolonialisme, feminisme.

5.      Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan teks lain.

Penelitian jenis ini memandang teks sebagai sesuatu yang tidak pernah

asli. Setiap teks memiliki hubungan analogis dengan teks lain yang

memiliki konvensi yang sama. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung

penelitian ini adalah teori intertekstualitas.

3.      Objek Penelitian Sastra

a.      Objek Formal

Obyek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu.

Karena objek formal mengandaikan cara keberadaan yang spesifik, teknik

pengumpulan data yang dapat digunakan secara efisien dan efektif

tentunya harus sesuai dengan cara keberadaan dari objek formal itu.

Untuk memperoleh data verbal cara terbaik yang dapat digunakan adalah

teknik simak yang dapat disetarakan dengan observasi , untuk memperoleh

data intensional yang diperlukan tentu saja teknik wawancara, sedangkan

data social dapat dipinjam segala macam teknik yang biasa digunakan

dalam ilmu sosial.

Objek formalnya meliputi kajian strukturalisme sastra, sosiologi

sastra, psikologi sastra, semiotika, antropologi sastra, filologi,

hingga yang termutakhir, postkolonialisme sastra. Pada sisi ini, objek

formal dipandang sebagai unit analisis atau kajian yang digunakan untuk

membedah karya sastra. Dengan kedua batasan ini, sastra dapat dikatakan

sebagai sebuah ilmu atau keilmuan.

b.      Objek Material

Objek Material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian. Yang

menjadi objek material adalah keseluruhan tuturan manusia atau

masyarakat bahasa yang diteliti, sedangkan objek formalnya dapat berupa

satuan-satuan tertentu dari tuturan itu beserta relasi-relasi tertentu

antar satuan tuturan yang bersangkutan. Tidak tertutup kemungkinan yang

menjadi objek formal adalah konteks tutran, intensi penutur, efek

tuturan, dan sebagainya , yang kesemuanya ditentukan oleh sudut pandang

yang digunakan peneliti terhadap objek materialnya.

Sudut pandang tidak saja menentukan objek material penelitian,

melainkan sekaligus mengimplikasikan asumsi-asumsi peneliti mengenai

kodrat keberadaaan objek penelitiannya.

Tujuan utama dari karya sastra adalah menghubungkan pembaca dengan

dinamika kehidupannya, sehingga terjadi proses pelajaran khusus untuk

melakoni kehidupan yang sebenarnya. Pada posisi ini, bahasa menjadi

medium utama untuk mengomunikasikan makna-makna bagi pengarang dengan

permainan diksi untuk menghasilkan bentuk-bentuk karya yang

dimanifestasikan melalui puisi, prosa, dan drama. Sastra hadir dalam

spektrum zaman untuk menjelaskan identitas kultural suatu masyarakat

tertentu sesuai dengan teritorial sastra itu berkembang. Sebagi suatu

diskursus keilmuan, sastra mesti memiliki objek material maupun objek

formalnya. Objek material sastra meliputi karya-karya sastra itu

sendiri, yakni novel, teks drama, puisi, novelet, karya-karya epos kuno,

hingga esai.

4.      Ciri-Ciri Penelitian Sastra

1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat

deskripsi, bukan generalisasi. Gejala sastra tidak berulang, makna

yang tidak tetap yang justru merupakan hakikat

2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam

penelitian tertentu, misalnya penelitian yang melibatkan sejumlah

karya atau konsumen

3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat

terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus

4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab

peneliti terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi saat

penelitian dilakukan

Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab

sebagai hakikat diskursi bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua

dengan berbagai sistem komunikasinya.

5.      Metode-Metode Penelitian Sastra

1.      Intuitif

Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam

upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas

dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-

unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Sejajar dengan perkembangan ilmu

pengetahuan maka setiap komponen diperbaharui sekaligus disesuaikan

dengan objek yang dipahami.

Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman

terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan

antara individu dengan alam semesta. Dikaitkan dengan zamannya yang

jelas metode intuitif memiliki hubungan yang erat dengan hermeneutika.

Metode intuitif kontemplatif, demikian juga metode intuitif

hermeneutis jelas telah digunakan dalam memahami sastra, khususnya

sastra Indonesia sebelum lahirnya strukturalisme.

2.      Hermeneutika

Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah ada

sejak zaman Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini berfungsi untuk

menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru berkembang sejak abad

ke-19 melalui gagasan Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer,

Habermas, Ricoeur, dan sebagainya. Dalam sastra dan filsafat,

hermeneutik disejajarkan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan

retroaktif. Dalam ilmu-ilmu sosial juga disebut metode kualitatif,

analisis isi, alamiah, naturalistik, studi kasus, etnografi,

etnometodologi, dan fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari makna

yang benar melainkan makna yang paling optimal. Untuk menghindarkan

keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak

yang jelas. Penafsiran terjadi karena setiap subjek memandang objek

melalui horison dan paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada

gilirannya menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia, menambah

kualitas estetika, etika, dan logika.

3.      Metode kualitatif

Metode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang

berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode

kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan

Wilhlem Dilthey . Objek sosial bukan gejala social sebagai bentuk

substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang

justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan inilah

metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman atau

verstehen.Penelitian kualitatif mempertahankan nilai-nilai. Dalam ilmu

sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data penelitiannya

adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya

sedangkan data penelitiannya teks. Sejalan dengan uraian di atas, ciri-

ciri terpenting metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah:

1.      Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan

hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.

2.      Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian

sehingga makna selalu berubah.

3.      Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian,

subjek peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi

langsung di antaranya.

4.      Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian

bersifat terbuka.

5.      Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya

masing-masing.

4.      Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Analisis Isi (Content Analysis) secara sederhana diartikan sebagai

metode untuk mengunpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”.

Teks dapat berupa katakata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan

bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis Isi berusaha

memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai

gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkadang dalam sebuah teks,

dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan. Sesuai

tujuannya, maka metode Analisis Isi menjadi pilihan untuk diterapkan

pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks.

Ada beberapapertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan

metode Analisis Isi, yaitu:

1.      Pertanyaan tentang prioritas/ hal penting dari isi teks, seperti

frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis citra atau cerita dari

peristiwa yang direpresentasikan.

2.      Pertanyaan tentang “bias” informasi dalam teks, seperti komparasi

relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan

dalam berbagai representasi.

3.      Perubahan historis dalam modus representasi.

5.      Metode Formal

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek

formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur karya sastra.

Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan

memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri utama

metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra kemudian

mempertalikan hubungan antarunsur tersebut dengan totalitasnya. Metode

ini sama dengan metode struktural yang berkembang menjadi teori

strukturalisme. Metode formal memandang bahwa keseluruhan aktivitas

kultural memiliki dan terdiri atas unsur-unsur.

6.      Metode Dialektika

Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis..

Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur

lainnya. Individualitas dipertahankan di samping interdependensinya.

Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk menguntungkan secara sepihak.

Sintesis bukanlah hasil yang pasti tetapi justru merupakan awal

penelusuran gejala berikutnya. Prinsip-prinsip dialektika hampir sama

dengan hermeneutik, yaitu gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah

kepada penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode

ini, kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis

tetapi diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan

makna secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai

energi pemahaman objek. Metode dialektika digunakan dengan sangat

berhasil oleh Goldmann dalam struktural genetik. Secara teoretis, setiap

fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi.

Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang atau

berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu

sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya sehingga

proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.

7.      Metode Deskriptif Analisis

Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang

kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak sematamata hanya

menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Metode ini

dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis lainnya, misalnya metode

deskriptif komparatif atau metode deskriptif induktif. Metode ini dapat

diperoleh melalui gabungan dua metode dengan menitikberatkan kepada

metode yang lebih khas yang sesuai dengan tujuan penelitian.

8.      Metode Analisis Wacana

Secara umum wacana dimengerti sebagai pernyataan-pernyataan.

Wikipedia (dalam Purbani, 2010: 9) mendefinisikan wacana sebagai

perdebatan atau komunikasi tertulis maupun lisan. Masyarakat umum

memahami wacana sebagai perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal

topik tertentu. Dalam ranah yang lebih ilmiah Michael Stubbs dalam

Slemborouck (Purbani, 2010: 9) menyatakan bahwa wacana memiliki

karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a) memberi perhatian

terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language system) yang

lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada

hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi perhatian

terhadap perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari.

Slembrouck juga menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak

memandang secara bias antara bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya

dapat dijadikan objek pemeriksaan analisis wacana.

Agenda utama analisis wacana adalah mengungkap bagaimana kekuasaan,

dominasi dan ketidaksetaraan dipraktikkan, direproduksi atau dilawan

oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks sosial dan politis.

Dengan demikian analisis wacana mengambil posisi non-konformis atau

melawan arus dominasi dalam kerangka besar untuk melawan ketidakadilan

sosial.

Dalam penelitian sastra, analisis wacana yang disarankan adalah

analisis wacana kritis (CDA). Kata kritis (critical) dalam CDA membawa

konsekuensi yang tidak ringan. Pengertian kritis di sini bukan untuk

diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan

keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis

menurut Wodak (dalam Purbani, 2010: 10) hendaknya dimaknai sebagai

sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan

kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan,

dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri

melalui proses, dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang

pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis

juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif.

Kritis dalam CDA mencakup 3 dimensi yakni dimensi teks, dimensi

sosiodiagnostik dan dimensi perspektif/retropekstif yang mengandung

konsekuensi adanya integrasi dari banyak lapisan konteks dalam analisa

mendalam (indepth) yang dilakukan. Sikap kritis ini mesti digunakan

dalam setiap langkah penelitian mulai dari penentuan objek yang akan

diinvestigasi, pemilihan metode analisis dan kategorisasi, penentuan

sampel, penggunaan theoretical framework, interpretasi terhadap data dan

pengajuan rekomendasi. Sikap kritis harus berjalan tatkala menentukan

tim, melakukan sesi-sesi refleksi. Penggunaan ahli dari luar tim dalam

melakukan refleksi kritis sangat dianjurkan.

Analisis wacana merupakan teori sekaligus metode analisis yang

banyak menggunakan teknik interpretasi. Pada tingkat lanjut interpretasi

yang dilakukan mengacu pada model dekonstruksi yang dikembangkan

Derrida, yakni model pembacaan yang yang dilakukan guna menunjukkan apa

yang terkubur atau tersembunyi di balik ujaran. Karena bersifat

interpretatif maka reliabilitas dan validitas analisis sering

dipertanyakan. Tetapi reliablilitas dan validitas ini bisa

dipertanggungjawabkan melalui logika dan rasional dari argumen-argumen

yang dihasilkan. Dengan kata lain validitas penelitian tergantung pada

kualitas logika analisis serta kualitas retorik dari argumen yang

digunakan peneliti dalam membahas data.

CDA juga bersifat eksplanatif atau menjelaskan bukan sekadar

deskriptif, sehingga peneliti tidak boleh terjebak dalam analisis yang

bersifat superficial atau kulitan. Antaki et al memerinci beberapa

kelemahan metodologis CDA yang sering ditemukannya dalam laporan hasil

penelitian atau tulisan dalam jurnal ilmiah. Di antara kelemahan-

kelemahan metodologis tersebut adalah perancuan antara analisis wacana

dengan peringkasan atau deskripsi wacana, minimnya penjelasan terhadap

kutipan wawancara, dan keberpihakan dalam melakukan analisis.

Wodak menyatakan bahwa CDA tidak sekadar metode atau metodologi

melainkan juga teori produksi dan resepsi teks. CDA menekankan pada

detil, sistematisasi dan transparansi. Pembaca dapat melacak detil

dari analisis tekstual yang mendalam seperti banyak diterapkan pada

penelitian sosial.

6.      Pendekatan-Pendekatan Teori Sastra

Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 53-55).

Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis,

pendekatanberasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai

jalan dan penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara

menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan,

menganalisis, dan menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa

sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara

sistematis dan metodis, maka perlu dibedakan antara metode dengan

pendekatan.

Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih

tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan

dimungkinkan untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam

hubungan inilah, pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu,

seperti pendekatan sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik,

pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya.

Definisi tersebut bersifat relatif sebab yang jauh lebih penting adalah

tujuan yang hendak dicapai sehingga sebuah pendekatan pada tahap

tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan adalah pengakuan terhadap

hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan

tertentu. Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan.

Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian.

Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan

mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah

yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan

penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.

a.      Pendekatan Mimesis

Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu

karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang

sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams,

1958:8). Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu

segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh

karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan

diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya

Luxemberg, 1989:15). Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni

berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra

memandang karya seni dianggap sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai

refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah

ditafsirkan.

Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94)

mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Marxist. Menurut konsep ini

konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist

menyatakan bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan

realitas sosial. Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam

telaah teks sastra yang berhubungan dengan pendekatan mimesis.

Menurutnya, norma fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda

linguistik yang berfungsi dalam teks sastra tidak merujuk secara

langsung pada dunia kita, tetapi pada dunia fiksional teks karya sastra.

Adapun John Baxter (dalam Makaryk, 1993: 591-593) menguraikan bahwa

mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni karya

yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal. Mimesis

sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis

menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya

berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu produk akhir;

mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan

aktif dengan suatu kenyataan hidup. Menurut Baxter, metode terbaik

mimesis adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam pemahaman moral,

menyelidiki dan menafsirkan semesta yang diterima secara riil.

Proses tidak berhenti hanya dengan apa pembaca atau penulis mencoba

untuk mengetahuinya. Mungkin rentang batas yang riil dengan yang

dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun hanya sesaat dalam kondisi riil,

atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang tidak bisa dijangkau

jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan berbeda karena

tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh. Oleh karena itu,

kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan yang ideal.

Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut sebagai

'imajinasi yang utama' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari

kesadaran tertinggi.

Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan

metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:

(1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2)

representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang

kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal,

dan (4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas

kenyataan.

Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat

disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan

mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara

tekstual, (2) menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk

dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai

tujuan, misalnya menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi

kenyataan secara dinamis, dan sebagainya, (3) membicarakan hubungan

spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra dengan kenyataan fakta

realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang terkandung dalam

teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang

direpresentasikan dalam karya sastra.

Realitas: sosial, budaya, politik

Karya sastra

Hubungan antara karya sastra dengan realitas

b.      Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan

perhatianterhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk

apa yang terjadidalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi

pendekatan ini adalah diripengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-

hasil karyanya. Pendekatan inidapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-

ciri individualisme, nasionalisme,komunisme, feminisme, dan sebagainya

dalam karya baik karya sastraindividual maupun karya sastra dalam

kerangka periodisasi.

Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkankarya

sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan

perasaanpengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan

produksipersepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan

yangdikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah

padapenelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham

strukturgenetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini

mencari fakta-faktatentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman

sastrawan yangsecara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam

karyanya tersebut.

Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui

bahwapendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud

ekspresipengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan

persepsipersepsi,pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk

pandangandunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat

dilakukan melaluipendekatan ini adalah: (1) memberikan sejumlah pikiran,

persepsi, danperasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di

dalam karyanya,(2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan

pengarang yangditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori

faktual teks berupawatak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3)

merujukkan data yangdiperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-

fakta khusus menyangkutwatak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang

secara faktual luar teks (datasekunder berupa data biografis), dan (4)

membicarakan secara menyeluruh,sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang

dalam konteks individual maupunsosial dengan mempertimbangkan hubungan-

hubungan teks karya sastra hasilciptaannya dengan data biografisnya.

Pengarang karya sastra

ide, gagasan, emosi

pengalaman (lahir dan batin)

Skema hubungan antara karya sastra dengan pengarang

c.       Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatis menurut Abrams (1958: 14-21) memberikan

perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan

perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan

pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai

kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan

pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan

pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman

pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka

sinkronis maupun diakronis.

Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik,

mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi.

Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah

baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra

seharusnyadipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca.

Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian

utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis

estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi

sastra.

Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik

memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata

kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions

undwirkungsasthetik “tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang

menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca

dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya

dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan

pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka

sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-

masing. Baru dalamkaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna

dan fungsinya.

Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi

Jauss, yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai

estetik, (4) semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif

sinkronik dan diakronik, dan (7) sejarah umum. Pengalaman pembaca yang

dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang

bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi

pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan

yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang

berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu

antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam

aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak

bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh

pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.

Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk

masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman

atas genre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari

oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam

kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu

menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang

dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya

harapan-harapan atas karya yang dibacanya.

Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk menentukan

karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya pada

syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horizon harapan

yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan potensi-

potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan horison

sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau sampai pada

peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan. Kondisi yang

mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif menurut

sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan

kritiknya.

Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan

suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan

pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan

diarahkan kepada bagaimana pembaca zaman sekarang bisa memandang dan

memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal

yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari

kesulitan yang menyelimutinya.

Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra

dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut

bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk

mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman

kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah

sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai

proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman

berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang

ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan

permasalahan baru.

Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis

yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan

untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan

satusatunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra.

Pembenahan tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif

sejarah sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman

karya-karya baru dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga

mempertimbangkan pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-

kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem

hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu.

Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan

dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat

seperti 'sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'.

Hubungan ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan,

satirik, atau gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi

hubungannya dapat ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi

sosial sastra memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya

jika pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya

dari kehidupan praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman

atas dunianya. Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku

sosialnya.

Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat

hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser

menyebutnya sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya

sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam

rangka melakukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini

melihat bahwa karya sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali

dari sesuatu yang telah diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini

melahirkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Konsekuensinya, teori

respon estetik dihadapkan pada permasalahan bagaimana suatu situasi yang

tidak diformukasikan dapat diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari

teori ini adalah teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian

atas teks tersebut melalui pembaca.

Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54),

interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary

repertoire, dan literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint

yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire

merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai

untuk membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah

familiar dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih

dahulu. Strategi digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk

mengkomunikasikan teks dengan pembacanya tanpa mendeterminasikannya.

Melalui strategi ini disajikan primary code kepada pembaca dan membuat

pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang bervariasi.

Masing-masing teori di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik

metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis

pada aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan

pemodelan yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang

menyatakan bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses

pembacaan. Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas

teks tersebut melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari

pengalaman pembaca yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang

perlu diikuti sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan

langkah (1) menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang

mencirikan adanya perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan

meneliti unsur-unsur dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.

Karya sastra pembaca

Hubungan antara karya sastra dengan pembaca dalam pendekatan pragmatik

d.      Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian

semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan

ini mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan

adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek

historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya,

termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut

analisis otonomi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-

unsur dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan

unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain.

Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah

karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam

unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan

erat (koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya

melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang

terlibatdalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya

dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam

keseluruhan karya sastra.

Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra

sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat

bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di

dalamnya. Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada

jenis sastranya.Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis

yang digunakan terhadap saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai

dari lapir bunyi sampai ke lapis metafisik. Teknik analisisnya pun bisa

diarahkan pada pembacaan heuristik sampai ke tingkat pembacaan

hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai dengan sifat fiksi yang

merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada struktur

ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsur-

unsurpembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar),

dan sarana cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dan lain-

lain.). Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan

menjadi satu oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur

tersebut ditelusuri dan dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur.

Tema berjalin erat dengan fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana

sastra.

Keempat pendekatan tersebut mengalami perkembangan sehingga menjadi

lebih luas, antara lain:

1.      Pendekatan Biografis

Pendekatan ini merupakan studi sistematis mengenai proses

kreativitas. Segala hal yang berkaitan dengan pengarang dianggap sangat

berpengaruh dalam proses pembuatan karya sastra. Oleh karena itu,

penelitian harus mencamtumkan biografi, surat-surat, dokumen penting

pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung dengan pengarang.

Pendekatan ini berpandangan bahwa karya sastra identik dengan riwayat

hidup, pernyataan-pernyataan pengarang dianggap sebagai suatu kebenaran,

biografi mensubordinasikan karya.

2.      Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis bertolak belakang dengan pendekatan biografis,

di mana pendekatan ini menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan

proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Jika pendekatan

biografis menganggap bahwa karya sastra merupakan milik pengarang, maka

pendekatan sosiologis beranggapan sebaliknya, yaitu karya sastra

merupakan milik masyarakat. Dasar pendekatan ini adalah adanya hubungan

hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan ini terbentuk

karena karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang, pengarang merupakan

bagian dari masyarakat, pengarang memanfaatkan kekayaan yag ada pada

masyarakat dan hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pendekatan sosiologis merupakan perkembangan dari pendekatan

mimetik. Untuk menerapkan pendekatan ini, disamping harus menguasai ilmu

sastra, peneliti juga harus menguasai konsep-konsep ilmu sosiologi dan

data-data kemasyarakatan yang biasanya ditelaah oleh ilmu sosiologi.

Pendekatan ini dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu sosiologi

pengarang, karya, dan sosiologi pembaca dan dampak social karya

sastra.dalam sosiologi pengarang, hal-hal yang ditelaah adalah latar

belakang social, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang

dilihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Dalam

sosiologi karya ditelaah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang

tersirat dalam karya sastra itu sendiri yang berkaitan dengan masalah

sosial. Dalam sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra ditelaah

sejauh mana sastra ditentukan ayau tergantung dari latar sosial,

perubahan, dan pekembangan sosial (Wiyatmi, 2008: 98).

3.      Pendekatan Psikologis

Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (Wiyatmi, 2008:

106), psikologi sastra mempunyai empat kemungianan pergertian, yaitu:

(1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2)

studi proses kreatif, (3) studi dan hukum-hukum psikologi yang

diterapkan pada karya sastra, dan (4) mempelajari dampak karya sastra

pada pembaca.

Pendekatan psikologis menurut Wellek dan Warren (Ratna, 2012: 61)

dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca.

Pendekatan ini padadasarnya berkaitan dengan tiga gejala utama, yaitu

pengarang, karya sastra, dan pembaca dengan mempertimbangkan bahwa

pendekatan psikologis lebh banyak berhubungan dengan pengarang dan karya

sastra.

Yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendekatan psikologi menurut

Wellek dan Warren (Wiyatmi, 2008: 108) adalah bahwa seandainya pun

seorang pengarang berhasil membuat tokoh-tokohnya berlaku sesuai

dengan’kebenaran psikologis’ perlu dipertanyakan apakah kebenaran

semacam itu bernilai artistik, sebab banyak karya besar yang menyimpang

dari standar psikologi sezaman atau sesudahnya. Karya sastra kadang

menyajikan situasi-situasi yang terkadang tidak masuk akal dan motif-

motif yang fantastis, dan bahkan upaya mendramatisasi cukup dominan

kehadirannya.

Sampai saat ini teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan

psikologis adalah determinisme psikologiSigmund Freud (Ratna, 2012: 62).

Teori kepribadian menurut Freud pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu:

(a) Id atau Es, (b) Ego atau Ich, dan (c) SuperEgo atau ÜberIch. Id adalah

dorongan-dorongan primitive yang harus dipuaskan, salah satunya adalah

libido. Id merupakan kenyataan subjektif prime, dunia batin sebelum

individu memiliki penglaman tentang dunia luar. Ego bertugas untuk

mengontrol Id, sedangkan SuperEgo berisi tentang kata hati.

4.      Pendekatan Antropologis

Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi dibedakan menjadi dua

bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Pendekatan

antropologi ini lebih banyak berkaitan dengn objek verbal. Lahirnya

pendekatan antropologis didasarkan atas kenyataan: (a) adanya hubungan

antara ilmu antropologi dengan bahasa, (b) dikaitkan dengan tradisi

lisan, baik antropologi maupun sastra sama-sama menjadikan hal tersebut

sebagai fokus yang penting (Ratna, 2012: 64).

Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis

adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai unsur

naratif, di antaranya adalah:

1.      Aspek-aspek kebudayaan yang berbeda-beda.

2.      Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel

yang paling modern.

3.      Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya

individual maupun generasi.

4.      Bentuk-bentuk mitos dan system religi dalam karya sastra.

5.      Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam

kebudayaan populer.

5.      Pendekatan Historis

Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra

yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan

sastra sejak awal hingga sekarang, sastra sejarahsebagai karya sastra

yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah, novel dengan

unsur-unsur sejarah (Ratna, 2012: 65). Pendekatan sejarah paling sesuai

jika digunakan untuk mengkaji sastra dan novel sejarah, tetpi tidak

menutu kekungkinan dapat juga digunakan untuk meneliti karya sastra yang

unsur-unsur sejarahnya tidak dominan.

Pendekatan ini secara umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah

sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi pengarang, karya

sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra

individual. Dengan memperhatikan indikator sejarah dan sastra, maka

beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis antara

lain (Ratna, 2012: 66):

1.      Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses

penerbitan ulang.

2.      Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.

3.      Kedudukan pengarang pada saat menulis karya sastra tersebut.

4.      Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.

6.      Pendekatan Mitopoik

Secara etimologis mythopic berasal dari kata myth. Mitos dalam

pengertian secara tradisional sejajar dengan fabel dan legenda. Karya

sastra bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah

menifestasi mitos itu sendiri. Dalam menciptakan karya seni, pada

dasarnya para seniman memanfaatkan ketidaksadaran personal yang diterima

dalam kehidupan sekarang (ontogenesis) dan ketidaksadaran impersonal

yang diterima melalui nenek moyang (filogenesis). Dengan demikian,

pengarang mengarang berdasarkan mitos tertentu dan menjadikan mitos

tersebut sebagai struktur (Ratna, 2012: 67).

Di antara semua pendekatan, pendekatan mitopoik dianggap sebagai

sebuah pendekatan yang paling pluralis karena memasukkan hampir semua

unsur kebudayaan seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi,

agama, filsafat, dan kesenian. Kecenderungan pendekatan multidisiplin

memberikan harapan yang lebih signifikan terhadap pendekatan mitopik,

sehingga pendekatan tersebut bukan pendekatan gabungan yang tanpa arah

karena memasukkan banyak data. Oleh karena itu, diperlukan teori dan

metode yang berfungsi untuk mengorganisasikan keseluruhan data yang

masuk, sehingga dapat diperoleh makna yang bersifat tunggal (Ratna,

2012: 67-68).

7.      Pendekatan Moral

Selain dapat dibahas dan dikritik dengan sejumlah pendekatan di

atas, karya sastra juga dapat dibahas dan dikritik dengan pendekatan

moral. Pendekatan ini sebenarnya termasuk tipe pendekatan pragmatik

karena membahas hubungan antara karya sastra dan pembacanya, yaitu pesan

moral apa yag disampaikan oleh karya sastra kepada pembaca (Wiyatmi,

2008: 109). Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari dasar

pemikiran bahwa karya sastra dapat menjadi media yang paling efektif

untuk membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Adapun

moral yang dimaksudkan di sini adalah suatu norma etika, suatu konsep

tetang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat.

Latar belakang munculnya pendekatan ini adalah pandangan yang mengatakan

bahwa karya sastra yang baik selalu memberikan pesan moral kepada

pembaca untuk berbuat baik, yaitu mengajak para pembaca untuk menjunjung

tinggi norma-norma sosial. Dalam konteks ini, karya sastra dianggap

sebagai sarana pendidikan moral (Darma dalam Wiyatmi, 2008: 110).

Dalam pendekatan moral terhadap karya sastra perlu dipahami

bagaimana hubungan antara karya sastra dengan pembacanya karena

pembacalah yang nantinya akan menemukan dan memanfaatkan moral yang ada

di dalamnya. Dalam hal ini Budi dalam Wiyatmi (2008: 110) menjelaskan

bahwa karya sastra yang baik akan melihat karya tersebut sebagai

cerminan dirinya sendiri. Ada resiprokal dalam pembacaan karya sastra.

Dengan jalan menimbulkan pathos, yaitu simpati terhadap dan merasa

terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya sastra yang

dibacanya, maka pembaca dapat mengadakan hubungan dlangsung dengan karya

tersebut, untuk kemudian akan lebih mudah untuk menangkap gagasan dan

maksud pengarang, sekaligus menangkap pesan moral yang terdapat dalam

karya tersebut.

Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak secara langsung

disampaikan, tetapi melalui hal-hal yang seringkali amoral terlebih

dulu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikenal sebagai tahap katarsis pada

pembaca karya sastra. Katarsis adalah pencucian jiwa yang dialami

pembaca atau penonton drama. Pada prosesnya, untuk menuju moral,

seringkali penonton harus melalui proses menyaksikan adegan yang tidak

sejalan dengan kepentingan moral.

7.      Contoh-Contoh Penelitian Sastra

PENELITIAN I

DRAMA FAUST I KARYA JOHANN WOLFGANG VON GOETHE:

KAJIAN SEMIOTIKA RIFFATERRE

Tesis oleh Isti Haryati

A.    Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan makna

tanda-tanda penting dalam drama Faust I yang berkaitan dengan hubungan

antara manusia dan setan.

B.     Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: drama Faust I dalam sastra

Jerman, tragedi yag terjadi pada tokoh-tokoh dalam drama Faust I, struktur

dan tekstur drama Faust I, makna tanda-tanda yang berhubungan dengan

hubungan manusia dan setan dalam drama Faust I, hipogram-hipogram makna

drama Faust I.

C.    Penelitian yang relevan:

a.       Naluri Beragama Tokoh Utama dalam Drama Faust I Karya Johann Wolfgang von

Goethe oleh Is’adiyah Utami (2000). Hasil analisis yang dilakukan

menunjukkan bahwa hal-hal yang mendorong bangkitnya naluri beragama

tokoh utama (Faust) di antaranya dalah terlepasnya Faust dari niat buruk

untuk bunuh diri setelah mendengar lagu-lagu suci yang merupakan

peringatan Tuhan. Faust juga meminta perlindungan Tuhan saat pertama

bertemu dengan setan yang baginya menakutkan. Terakhir, ia juga

menyebutkan nama Tuhan saat mengagumi keindahan ciptaan Tuhan, yakni

kecantikan Margarette (Gretchen).

b.      Kajian Sosiologi Drama Iphiginie auf Tauris Karya Johann Wolgang von Goethe (Pendekatan

Strukturalisme Genetik) tahun 2005 oleh Indah Aini. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa situasi dan kondisi yang melatarbelakangi lahirnya

pandangan dunia dalam drama Iphiginie auf Tauris adalah sepertiga abad ke-18

ketika kekuasaan para raja absolut dan pertentangan terhadap gereja atau

agama sedemikian kuat. Drama ini ditulis pada periode klasik ketika para

tokohnya memperjuangkan humanisme sekuler, yaitu aliran yang menganggap

kemanusiaan murni sebagai segala-galanya bagi kehidupan manusia dan

menganggap agama sebagai sumber permasalahan kehidupan manusia.

c.       Godot di Amerika dan Indonesia, Suatu Studi Banding (2002) sebuah buku yang

merupakan karya disertasi oleh Soebakdi Soemanto. Dalam buku tersebut,

Soebakdi membahas tanggapan beberapa drama di Indonesia atas drama

Waiting for Godot karya Samuel Becket, di mana judul aslinya adalah En

Ettendant Godot. Aspek yang dikaji pada buku ini adalah tekstur dan

struktur dari drama-drama tersebut. Pada bagian struktur, Soebakdi

menguraikan plot, karakter, dan tema, sedangkan analisis terhadap

tekstur meliputi dialog, suasana hati (mood), dan spektakel.

d.      Senandung Semenanjung, Sebuah Analisis Intertekstualitas (2003) oleh Cahyaningrum

Dejowati. Penelitian ini membahas hubungan intertekstualitas antara

drama Senandung Semenanjung karya Wisran Hadi dengan Hikayat Hang Tuah. Dalam

penelitian ini diadakan analisis struktur dan tekstur drama dan data

tersbut digunakan untuk melihat hubungan intertekstualitas antara drama

Senandung Semenanjung dan Hikayat Hang Tuah, serta kreativitas Wisran Hadi

sebagai penyambut teks Hikayat hang Tuah.

D.    Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika

Riffaterre. Menurut Riffaterre, karya sastra merupakan dialektika antara

tataran mimetik dengan tataran semiotik. Pembaca yang bertugas memberi

makna pada sebuah karya sastra, tidak dapat tidak (mutlak) harus mulai

dengan menemukan arti unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya, menurut

kemampuan bahasanya, yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat

komunikasi. Fungsi mimetik kemudian meningkat menuju tataran semiotik,

di mana kode karya sastra akan dibongkar secara struktural atas dasar

signifikansinya.

Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pemaknaan puisi atau karya

sastra menurut Riffaterre, yaitu: (1) puisi itu merupakan ekspresi yang

tidak langsung, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) matriks,

model, varian, (4) hipogram. Dalam memaknai karya sastra yang berbentuk

puisi, keempat hal tersebut dapat dilakukan, tetapi untuk memaknai karya

sastra yang berbentuk prosa dan drama, tidak semua aspek dapat

diterapkan.

Untuk memahami semiotika karya sastra, dilakukan dua tahap pembacaan

terhadap karya sastra, yakni heuristik dan hermeneutik, karena sebelum

mencapai signifikansi, pembaca harus memahami mimesis. Pembacan

heuristik merupakan interpretasi tahap pertama yang bergerak dari awal

ke akhir teks sastra, dari puncak hingga dasar halaman dan mengikuti

pemekaran sintagmatik. Pembacaan tahap kedua merupakan pembacaan

retroaktif, yaitu pembacaan yang didasarkan pada konvensi sastra,

merupakan saat interpretasi yang kedua. Dalam pembacaan ini, pembaca

harus bergerak lebih jauh untuk memperoleh kesatuan maknanya dari

pemahaman makna sebelumnya yang masih beraneka ragam.

Menurut Riffaterre, karya sastra (terutama puisi) dipahami menyerupai

bentuk donat, yang mempunyai lubang di tengahnya. Apa yang hadir secara

tekstual adalah daging donat, sedngkan yang tidak hadir adalah ruang

kosong berbentuk bundar yang ada di tengahnya dan sekaligus menopang dan

membentuk daging donat itu menjadi donat. Ruang kosong yang tidak ada

secara tektual tetapi mnentukan terbentuknya puisi ini disebut sebagai

hipogram.

Ada dua macam hipogram, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual.

Hipogram potensial merupakan segala macam bentuk impliksi makna

kebahasaan, baik yang berupa presuposisi (penganggapan) bahasa, makna-

makna konotatif yang sudah dianggap umum, dan sebagainya. Hipogram

potensial tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus diabstrasikan

dari teks, yang berupa aplikasi makna kebahasaan baik yag berupa

presuposisi maupun sistem deskriptif atau kelompok asosiasi

konvensional. Hiprogram aktual dapat berupa teks nyata, kata, kalimat,

peribahasa, dan seluruh kata. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan

teks baru. Hipogram aktual terwujud dalam teks-teks yang sudah ada

sebelumnya, baik yang berupa mitos maupun karya sastra lainnya.

Ruang kosong yang berbentuk bundar dan menopang daging donat serta

manjdikan donat benar-benar menjadi donat merupakan pusat makna karya

sastra. Pusat makna ini disebut sebagai matriks yang merupakan konsep

abstrak dan dapat berupa satu kata atau satu kalimat yang tidak selalu

teraktualisasikan dalam teks. Aktualisasi pertama dari matriks adalah

model, yang berupa satu kata atau kalimat tertentu. Untuk membedakan

kata-kata biasa dengan model adalah dengan memperhatikan kualitas

puitisnya. Sifat puitis tersebut haruslah dipahamidengan memperhatikan

tanda tersebut apakah tanda tersebut bersifat hipogramatik (menjadi

latar penciptaan sebuah teks), atau bersifat monumental. Model kemudian

diperluas menjadi varian-varian sehingga menurunkan teks secara

keseluruhan.

E.     Metode Penelitian

a.       Objek material penelitian: drama Faust I karya Johann Wolfgang von

Goethe yang diterbitkan tahun 1982 oleh Diogenes Verlag AG, Jerman. Teks

drama ini terdiri dari 3 pra-adegan dan 25 adegan.

b.      Objek formal penelitian: tanda-tanda semiotik penting yang berkaitan

dengan hubungan antara manusia dan setan dalam drama Faust I yang dicari

maknanya dengan menggunakan semiotika Riffaterre.

c.       Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif

dengan jenis penelitian pustaka.

d.      Langkah-langkah penelitian:

1.      Menetapkan objek penelitian, yaitu drama Faust I karya Johann Wofgang

von Goethe, melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data-

data yang mendukung objek penelitian.

2.      Melakukan kajian terhadap drama Faust I.

3.      Melakukan pembacaan heuristik terhadap drama Faust I.

4.      Melakukan pembacaan hermeneutik terhadap drama Faust I.

5.      Mencari matriks, model, dan varian-varian drama Faust I serta memaknai

drama Faust I berdasarkan hipogramnya.

6.      Membuat kesimpulan dan melaporkan hasil penelitian.

F.     Kesimpulan Penelitian:

a.       Drama Faust I karya Johann Wolfgang von Goethe adalah karya yang

ditulis pada masa kalasik dalam kesusasteraan Jerman sehingga ciri khas

karya sastra pada masa klasik tercermin pada drama ini.

b.      Drama Faust I adalah sebuah tragedi sehingga permasalahan yang muncul

di dalamnya adalah tragedi yang terjadi pada tokoh-tokohnya, yakni pada

Faust dan Gretchen.

c.       Melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik ditemukan

ketidaklangsungan ekspresi pada drama Faust I, yaitu penggantian arti yang

berupa metafora. Melalui pembacaan hermeneutik disimpulkan bahwa

hubungan manusia dengan setan yang terjadi dalam drama Faust I muncul

dalam beberapa bentuk, yaitu dengan mempelajari Magie, mengadakan

perjanjian dengan setan dan akhirnya menjual jiwanya pada setan.

d.      Hipogram drama Faust I adalah kisah Ayub dalam Injil dan Al-Quran,

cerita rakyat Historia von D. Johann Fausten yang diterbitkan oleh

Johann Spies, drama The Tragical History of Doktor Faustus oleh

Christopher Marlowe, kisah nyata pembunuhn anak (Kindesmörderin) dan

gerakan Freemansory.

e.       Dengan drama Faust I ini Goethe ingin menegaskan keberadaan manusia

yang mengadakan hubungan dengan setan karena hasratnya yang tinggi untuk

menguasai ilmu pengetahuan berhadapan dengan keterbatasannya.

Keterbatasan manusia tidak akan menyebabkan manusia menempuh jalan yang

salah apabila manusia tersebut mempunyai suatu sebagai pegangan yang

kuat dalam hidupnya. Keberadaan setan bias mengatasi keterbatasan yang

dimiliki oleh manusia kerena setan mempunyai kelebihan yang tidak

dimiliki oleh manusia. Akan tetapi, dengan mengadakan hubungan dan

meminta bantuan kepada setan, berarti manusia telah dikalahkan oleh

setan dan kepercayaannya kepada Tuhan telah ternodai. Persekutuan

manusia dengansetan menyebabkan manusia tergantung kepada setan dalam

mengatasi permasalahan hidupnya, seperti kondisi manusia di zaman modern

ini yang tergantung pada modernitas karena telah mengikatkan diri

padanya. Pengagungan manusia kepada teknologi yang mewakili modernitas

bias menyebabkan manusia merasa menjadi manusia unggulan (Übermensch) yang

bias mengatasi permasalahn hidupnya tanpa campur tangan Tuhan.

PENELITIAN II

MITOS MODERN DALAM ROMAN DIE VERWANDLUNG KARYA FRANZ KAFKA MELALUI

ANALISIS LIMA KODE SEMIOTIK ROLAND BARTHES

Oleh Nila Viayanti Mala Effendhi

A.  Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan mitos-mitos

beserta maknanya dalam RomanDie Verwandlung karya Franz Kafkadengan

menggunakan analisis lima kode semiotik Roland Barthes (kode

hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode

referensial atau kultural).

B.  Batasan Istilah

1.    Roman merupakan salah satu bentuk karya sastra yang bergenre prosa.

Roman memiliki pandangan tersendiri terhadap kepribadian satu tokoh

yang mempunyai ciri khas ataupun kelompok tertentu yang mempunyai

perbedaan nasib dalam dunianya. Tokoh-tokoh di dalamnya selalu berusaha

menunjukkan eksistensinya karena kehilangan aturan-aturan dan rasa

tenteram, adanya permasalahan, perpecahan, bahaya, dan ketidakselarasan

dari kesempurnaan dan kenyataan yang ada, baik di dalam maupun di luar

dunia yang dibangunnya.

2.    Semiotika adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang tanda. Tanda adalah

sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (makna) yang dapat berupa

pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.

3.    Mitos adalah sebuah sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah

pesan yang tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide, dengan

kata lain, mitos adalah wacana yang berkonotasi.

4.    Leksia (lexias) adalah satuan terkecil pembacaan, sepotong bagian teks,

yang apabila diselesaikan dapat berdampak atau memiliki fungsi yang khas

bila dibandingkan dengan potongan teks lain di sekitarnya.

C.    Kajian Teori

1.      Roman

Ada perbedaan terminologi antara Roman dalam teori sastra Jerman dan

teori sastra Indonesia. Menurut teori sastra Jerman, Roman bisa masuk

menjadi roman ataupun novel dalam teori sastra Indonesia. Roman dalam

teori sastra Jerman tidak selalu menceritakan kehidupan seorang tokoh

dari lahir sampai akhir hayatnya, tapi bisa juga seperti novel dalam

teori sastra Indonesia yang hanya berupa penggalan kehidupan seorang

tokoh yang digambarkan dalam cerita tersebut.

2.      Semiologi Roland Barthes

Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes mengemukakan tentang

adanya mitos. Mitos yang dimaksudkan di sini bukan cerita-cerita rakyat,

melainkan adalah sebuah tipe wicara (type of speech). Mitos merupakan sebuah

sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah pesan yang tidak bisa

menjadi sebuah objek, konsep, atau ide. Mitos tidak ditentukan oleh

objek pesannya, namun oleh cara bagaimana mitos tersebut mengutarakan

pesan itu sendiri (walaupun mitos memiliki batas-batas formal yang tidak

begitu substansial). Karena mitos adalah wicara (di mana wicara ini

sendiri adalah sebuah pesan yang bisa terdiri dari berbagai bentuk

tulisan atau representasi), maka ia tidak berupa wicara lisan saja,

tetapi juga bisa berbentuk wacana tertulis, fotografi, sinema,

reportase, olahraga, pertunjukan, publikasi, yang kesemuanya bisa

berfungsi sebagai pendukung wicara mistis (Barthes, 2006: 152-3).

Secara semiotis, mitos dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran

kewacanaan yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (second

order semiological system). Pada tataran bahasa, yaitu sistem semiologis

tingkat pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda

sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Tanda-tanda pada tataran pertama

ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan

pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi

inilah mitos berada (Barthes via Budiman, 2002: 94).

Bahasa

MITOS

(Dari gambar di atas

terlihat bahwa dalam

mitos terdapat dua sistem semiologis, di mana salah satu sistem tersebut

tersusun berdasarkan keterpautannya dengan sistem yang lain: sistem

linguistik, bahasa (atau model representasi yang diasimilasikan

padanya), yang akan saya sebut sebagai bahasa-objek, karena ia adalah

bahasa yang digunakan oleh mitos untuk membangun sistemnya sendiri; dan

mitos itu sendiri, yang akan saya sebut sebagai metabahasa, sebab ia

adalah bahasa kedua, tempat di mana bahasa yang pertama dibicarakan).

Beberapa kriteria yang bisa digunakan sebagai panduan untuk mencari

atau menemukan leksia-leksia dari suatu teks, yaitu:

1.   kriteria pertama, pemusatan

Suatu penggalan teks dapat dikatakan sebagai leksia apabila penggalan

tersebut berpusat pada satu titik perhatian, yaitu satu peristiwa yang

sama, satu tokoh yang sama, dan satu masalah yang sama.

2.   kriteria kedua, koherensi

Suatu leksia yang baik merupakan pemenggalan teks yang mampu mengurung

suatu kurun ruang dan waktu yang koheren, yaitu dapat berupa suatu hal,

keadaan, peristiwa dalam ruang dan waktu yang sama.

3.   kriteria ketiga, batasan formal

Ada kalanya suatu leksia dapat diperoleh dengan mempertimbangkan

penanda-penanda formal yang memberi jeda, atau batas antara bagian dalam

teks tersebut, misalnya ruang kosong atau nomor yang menandai pergantian

bab, jarak baris yang menandai pergantian paragraf dan tanda-tanda

formal lain yang menandai pergantian suatu masalah.

1.           

Penanda

2.           

Petanda

3.      Tanda

I. PENANDA               

PETANDAIII.             TANDA

4.   kriteria keempat, signifikasi

Leksia sebaiknya merupakan penggalan yang benar-benar signifikan sebagai

sebuah narasi. Sebagai contoh adalah judul yang hanya berupa satu atau

dua huruf, bilangan angka, mengadopsi kosakata dari disiplin tertentu,

dan lain-lain. Selain itu, hal-hal yang memiliki kadar signifikasi yang

tinggi dalam sebuah cerita dapat dipandang sebagai satu leksia

tersendiri.

Langkah-langkah analisis terhadap teks akan dilakukan secara

mendetail, melalui tahap demi tahap yang secara garis besar terbagi

dalam beberapa tahap, yaitu:

1.      pembagian teks ke dalam satuan-satuan analisis (leksia)

2.      identifikasi terhadap leksia-leksia tersebut secara sistematis dan

berurutan

penyusunan daftar semua kode pada kartu data dan penafsiran atas leksia-

leksia tersebut.

Setiap leksia bisa mengandung satu sampai tiga kode. Dalam

menganalisis sebuah teks, Barthes menggunakan lima kode. Kode-kode

tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Kode Hermeneutik (HER)

Kode hermeneutik adalah kode yang mengandung unit-unit tanda yang

secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai

cara dialektik pertanyaan-respons, yang dalam prosesnya jawaban atau

kesimpulan (cerita) ditangguhkan atau mengalami penundaan, sehingga

menimbulkan semacam enigma atau teka-teki. Kode ini menentukan misteri

dan ketegangan (suspence) dengan membantu pembaca mengenali apa yang

dianggap sebagai teka-teki dan menyusun rincian-rincian sebagai

kontribusi yang memungkinkan terjadinya pemecahan.

2.      Kode Semik (SEM)

Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat,

petunjuk atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda

tertentu. Kode ini merupakan penanda yang mengacu pada gambaran-gambaran

mengenai kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik suatu tempat atau

objek tertentu. Kode semik disebut juga sebagai kode semantik, merupakan

kode yang berada dalam kawasan penanda, yakni penanda yang memiliki

konotasi atau penanda materialnya sendiri tanpa rantai penandaan pada

tingkat ideologis karena sudah menawarkan makna konotasi. Kode ini

menjadi penanda bagi dunia konotasi yang ke dalamnya mengalir kesan atau

nilai rasa tertentu. Pada tataran tertentu, kode konotatif ini agak

mirip dengan apa yang disebut sebagai tema atau struktur tematik. Kode

ini juga memberikan stereotip-stereotip kultural (misal: model-model

kepribadian) yang membuat pembaca mampu menghimpun kepingan-kepingan

informasi untuk menciptakan pelbagai karakter.

3.      Kode Simbolik (SIM)

Kode simbolik merupakan kode pengelompokan yang kemunculannya

berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual,

misalnya: berupa antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin

dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur

simbolik dan mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda di mana satu

ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi,

keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari

kemungkinan-kemungkinan makna ke kemungkinan lain. Penanda-penanda dalam

wilayah ini mempunyai banyak makna (multivalence) yang dapat saling bertukar

posisi (reversibility). Kode simbolik merupakan kode yang mengatur aspek bawah

sadar tanda dan dengan demikian merupakan kawasan psikoanalisis

(Barthes, 1990: 19). Dengan kata lain, kode simbolik membimbing

eksplorasi dari rincian-rincian tekstual menuju interpretasi-

interpretasi simbolik.

4.      Kode Proairetik atau Kode Aksi (PRO)

Kode ini merupakan kode tindakan yang didasarkan pada konsep

proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan akibat dari suatu tindakan

rasional yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-

tindakan membuahkan dampak-dampak yang masing-masing memiliki nama

generik sendiri, semacam judul bagi sekuen yang bersangkutan. Kode ini

mengatur alur suatu cerita atau narasi dan menjamin bahwa teks yang

dibaca mempunyai sebuah cerita, yakni serangkaian aksi yang saling

berkaitan satu sama lain.

5.      Kode Kultural atau Referensial (KUL)

Kode kultural adalah kode yang mengatur dan membentuk suara-suara

kolektif dan anonim dari pertandaan yang berasal dari pengalaman manusia

dan tradisi yang beranekaragam. Kode ini dalam pengertian yang luas

adalah penanda-penanda yang merujuk pada seperangkat referensi atau

pengetahuan umum yang mendukung teks. Unit-unit kode ini dibentuk oleh

beranekaragam pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat kolektif.

Dalam mengungkapkan kode ini, analis cukup mengindikasikan adanya tipe-

tipe pengetahuan yang menjadi rujukan tersebut, misal: filsafat,

psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Kode ini merupakan serangkaian

kode kultural yang paling mudah dipikirkan sebagai pegangan yang

memberikan informasi kultural yang menjadi sandaran teks tersebut.

D.     Penelitian Yang Relevan

Salah satu penelitian yang juga menggunakan semiologi Roland Barthes

adalah skripsi dengan judul Keragaman Makna dalam Cerpen Kematian Paman Gober

Karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Semiotika Sastra Roland Barthes yang ditulis oleh

Bambang Barohmad (mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Gadjah Mada) tahun 2004. Sebagai karya sastra yang

termasuk dalam kategori karya postmodern, hal yang menonjol dalam cerpen

Seno ini adalah adanya keragaman makna, di mana untuk mengungkap

keragaman makna tersebut dibutuhkan adanya proses interpretasi dan

pemaknaan atas teks. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengadakan

penafsiran terhadap teks dengan menggunakan teori semiotika Roland

Barthes. Teks ini terbagi menjadi 40 leksia, dan menghasilkan beberapa

kesimpulan, di antaranya adalah sebagai berikut.

1.      Cerpen Kematian Paman Gober (selanjutnya disingkat menjadi KPG)

memiliki keberagaman makna yang dapat dipahami sebagai narasi-narasi

yang tersembunyi dalam teks yang dimunculkan oleh beragam pengalaman dan

pengetahuan yang merupakan perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-

suara, dari teks-teks lain dan dari kode-kode lain sehingga memiliki

korelasi dan saling melengkapi.

2.      Tema besar yang merupakan pusat penceritaan dari cerpen KPG adalah

kekuasaan.

3.      Gaya parodi yang digunakan dalam cerpen ini cenderung mempersempit

keleluasaan proses penafsiran.

4.      Cerpen KPG menjadi sebuah penanda atas keberadaan mitos tentang

kekuasaan Suharto dalam wilayah penciptaan sastra.

5.      Cerpen ini menunjukkan sesuatu yang absurd.

Selain penelitian di atas, penelitian dengan judul Menelaah Makna

Cerpen Das Brot Karya Wolfgang Borchert Melalui Analisis Lima Kode Semiotik Roland Barthes

yang ditulis oleh Dwi Wijayanti, mahasiswa Jurusan pendidikan Bahasa

Jerman (Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta) tahun

2010 juga merupakan penelitian yang relevan dengan penelitian yang

dilakukan oleh penulis. Penelitian tersebut bertujuan untuk

mengungkapkan makna cerpen Das Brot melalui analisis lima kode semiotik

Roland Barthes yang berupa kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik,

kode proairetik, dan kode referensial atau kultural.

Dari telaah tersebut diperoleh 21 kode hermeneutik, 16 kode semik,

20 kode simbolik, 20 kode proairetik, dan 8 kode kultural. Berdasarkan

analisis leksia cerpen Das Brot dapat diperoleh makna bahwa tokoh

perempuan (istri) merupakan penyelamat kehidupan masyarakat pada masa

setelah Perang Dunia II, sedangkan tokoh suami dari perempuan tersebut

merupakan simbol ketidakjujuran, kepura-puraan, dan kelemahan. Hal yang

menjadi alasan utama kebohongan dan kepura-puraan suami, yaitu roti,

merupakan simbol kemiskinan yang dialami oleh pasangan suami istri

tersebut.

E.     Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena yang menjadi

sumber data adalah teks Roman. Sumber data yang digunakan adalah

RomanDie Verwandlung karya Franz Kafka yang ditulis pada tahun 1914,

diterbitkan pertama kali pada tahun 1916 oleh Kurt Wolff Verlag, Leipzig dan

diterbitkan ulang oleh Fischer Taschenbuch Verlag GmbH, Frankfurt am Main pada

tahun 1994. Buku ini merupakan kumpulan karya-karya Kafka (Das Urteil, Die

Verwandlung, Ein Landarzt, Auf der Galerie, Vor dem Gesetzt, Elf Söhne, Ein Bericht für eine

Akademie, In der Strafkolonie, und Ein Hungerkünstler). Data penelitian ini berupa

leksia-leksia yang ada pada Die Verwandlung.

F.   Teknik Pengumpulan Data

Data yang akan dianalisis adalah sebuah Roman berjudul Die

Verwandlung karya Franz Kafka. Data penelitian ini dikumpulkan dengan

teknik baca catat terhadap objek penulisan. Kemudian data dicatat dalam

kartu data untuk kemudian diketik menggunakan komputer. Untuk

mendapatkan data yang konsisten dan sesuai dengan apa yang diharapkan,

maka penulis melakukan pengamatan dan pembacaan secara mendalam secara

berulang-ulang dengan teliti dan cermat.

G.  Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan adalah penulis sendiri yang berperan

sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data, penganalisis, dan

pelapor hasil penelitian (Moleong, 1999: 121). Dengan kata lain,

instrumen penulisan berupa manusia (human instrument). Hasil kerja

pengumpulan data kemudian dicatat dalam kartu data, yang merupakan hasil

pencatatan sesudah pembacaan Roman.

H.  Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah

teknik analisis deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan

metode penulisan yang memaparkan hasil analisisnya dengan menggunakan

kata-kata. Sesuai dengan aspek yang dikaji, penulisan ini akan

mendesripsikan mitos-mitos beserta maknanya dan kritik terhadap manusia

yang ingin dilontarkan oleh Franz Kafka dalam RomanDie Verwandlung dengan

menggunakan teori semiologi dan lima kode semiotik Roland Barthes (kode

hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode

referensial atau kode kultural). Data Roman tersebut bersifat kualitatif

sehingga penjelasannya dijabarkan dalam bentuk deskriptif atau uraian.

Deskriptif didapatkan melalui analis terhadap Roman tersebut hingga

terbentuk pemahaman dan kejelasan. Langkah-langkah analisis terhadap

teks akan dilakukan secara mendetail , melalui tahap demi tahap yang

secara garis besar terbagi dalam beberapa tahap, yaitu:

1.      pembagian teks ke dalam satuan-satuan analisis (leksia)

2.      identifikasi terhadap leksia-leksia tersebut secara sistematis dan

berurutan

3.      penyusunan daftar semua kode pada kartu data dan penafsiran atas

leksia-leksia tersebut dengan menggunakan lima kode semiotik Roland

Barthes.

I.     Validitas dan Reliabilitas

Validitas dan reliabilitas diperlukan untuk menjaga kesahihan dan

keabsahan data agar hasil penelitian dapat diterima dan

dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ini digunakan validitas

semantik. Validitas semantik mengukur keabsahan data berdasarkan tingkat

kesensitifan suatu teknik terhadap makna yang relevan dengan konteks

yang dianalisa. Validitas semantik merupakan cara mengamati kemungkinan

data mengandung wujud dan karakteristik tema sebuah Roman. Penafsiran

terhadap data tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan konteks data

itu berada. Selain itu, data yang diperoleh dikonsultasikan kepada ahli

(expert judgement) dalam hal ini adalah Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II.

Reliabilitas data yang digunakan dalam penulisan ini adalah

reliabilitas intrarater dan reliabilitas interrater. Reliabilitas intrarater

dilakukan dengan cara membaca dan meneliti secara berulang-ulang RomanDie

Verwandlung karya Franz Kafka agar diperoleh data dengan hasil yang

tetap. Reliabilitas interrater dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil

penulisan dengan pengamat, baik dosen pembimbing maupun teman sejawat

yang mengetahui bidang yang diteliti.

J.      Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian pada Roman Die Verwandlung karya Franz Kafka

melalui analisis lima kode semiotik Roland Barthes (kode hermeneutik,

kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode referensial atau

kultural), dapat disimpulkan bahwa:

1.        17 leksia yang didapat dalam penelitian merepresentasikan lima

mitos, dengan rincian sebagai berikut.

a.         Mitos tentang kapitalisme pada leksia 1, 3, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13,

17

b.        Mitos tentang modernisme pada leksia 2 dan 16.

c.         Mitos tentang kebutuhan dasar manusia berdasarkan teori Hierarki

Kebutuhan (Hierarchy of Needs) Abraham Maslow pada leksia 3, 4, 9, 11.

d.        Mitos tentang imperialisme pada leksia 10 dan15.

e.         Mitos tentang keberadaan Yesus bagi umat Kristen pada leksia 14.

2.        Rincian kode leksia adalah sebagai berikut.

a.         Kode Hermeneutika (HER) : leksia 1, 3.

b.        Kode Semik (SEM): leksia 3, 11

c.         Kode Simbolik (SIM) : leksia 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 14,

16, 17.

d.        Kode Referensial atau kultural (KUL) : leksia 2, 7, 9, 15, 16, 17.

e.          Tidak ditemukan leksia yang mengandung kode proairetik (PRO)

K.    Contoh Data dan Analisis Kode

a.                   Leksia 1 : Die Verwandlung (Seite 21).

“perubahan, metamorfosis”

HER : metamorfosis atau perubahan yang seperti apa yang akan dikisahkan

dalam Roman ini.

SIM : metamorfosis manusia menjadi binatang karena hanya merasa aktif

dalam fungsi-fungsi hewaniahnya karena adanya alienasi dalam

kapitalisme.

b.                  Leksia 2 : Es stellte eine Dame dar, die mit einem Pelzhut und einer

Pelzboa versehen, aufrecht dasaβ und einen schweren Pelzmuff, in dem ihr ganzer unterarm

veschwunden war, dem Beschauer entgegenhob (Seite 23). “Gambar seorang wanita

memakai topi dan syal bulu, yang sedang duduk tegak dan memamerkan

sarung tangan bulu tebal, yang menutupi seluruh lengan bawahnya dari

pandangan pembaca”.

KUL : pakaian hangat yang biasa dikenakan pada musim dingin, yang

biasanya ditambah dengan topi, syal dan sarung tangan.

SIM : simbol dari modernitas seseorang yang ditunjukkan dalam hal

pakaian, baik pemilihan mode maupun bahan baku pembuat pakaian.

c.                   Leksia 3 : und auβerdem ist mir noch diese Plage des Reisens auferlegt, die Sorgen

um die Zuganschlüsse, das unregelmäβige, schlechte Essen, ein immer wechselnder, nie

andauernder, nie herzlich werdender menschlicher Verkehr (Seite 24).

“dan terlebih lagi aku merasa terbebani dengan semua ketegangan

perjalanan ini, cemas akan jadwal kereta api, makanan yang tidak enak

dan tidak teratur, pertemuan dengan orang yang berbeda setiap saat yang

tidak memungkinkan untuk mengenal siapapun dengan baik ataupun bersikap

ramah pada mereka”.

HER : mengapa Gregor selalu cemas akan jadwal kereta api, makanan

yang tidak enak dan tidak teratur padahal ia sudah lima tahun menjalani

hidup sebagai seorang pedagang keliling.

SEM : Gregor merasa cemas akan beberapa hal mengenai pekerjaannya, dan

hal ini tidak hanya berpengaruh pada psikologisnya saja akan tetapi juga

pasa kehidupan sosialnya.

SIM : alienasi terhadap manusia karena adanya kapitalisme, terutama

alienasi dari sesama pekerja.

8.      Literatur-Literatur yang Disarankan

1.      Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Karya: Faruk.

Penerbit: Pustaka Pelajar.

2.      Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Karya: Rachmat Djoko Pradopo.

Penerbit: Gadjah Mada University Press.

3.      Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Karya: Prof. Dr. Nyoman

Kutha Ratna, S.U. Penerbit: Pustaka Pelajar.

4.      Teori Penelitian Sastra. Karya: Jabrohim. Penerbit: Pustaka Pelajar.

5.      Pengantar Kajian Sastra. Karya: Wiyatmi. Penerbit: Pustaka Book

Publisher.

6.      Asep Yusup Hudayat.Modul Metode Penelitian Sastra. Universitas

Padjajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. (1958). The Mirror and lamp: Romantic Theory and the Critical Theory. Toronto-Buffalo-London: University of Toronto Press.

Hudayat, Asep Yusup. (2007). Modul Metode Penelitian Sastra. Bandung: UniversitasPadjajaran.

Iser, Wlfgang. (1987). The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns HopkinsUniversity Press. Inc.

Jabrohim. (2012). Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Makaryk, Irena R. (ed.). (1993). Enclyclopedia of Contemporary LiteraryTradition. New York:The Norton Library; W.W. Norton & Company

Pradopo, Rachmat Djoko. (2007). Prinsip-Prinsip Karya Sastra. Yogyakarta: GadjahMada University Press.

------------------------------. (2002). Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: GamaMedia.

Ratna, Nyoman Kutha. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Rien T. Segers. (2000). Evaluasi Teks Sastra. Diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti.Yogyakarta: AdiCita.

Wiyatmi. (2008). Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Internet Sources:

Aisyah, Nenden Lilis. Menghidupkan Kritik Sastra Akademik.file.upi.edu/...SASTRA...LILIS.../Artikel_MENGHIDUPKAN_KRITIK_SASTRA_AKADEMIK.

Saragih, Ferdinaen. Jenis-Jenis Kritik Sastra dan Pengertiannya.http://sigodangpos.blogspot.com/2011/09/jenis-jenis-kritik-sastra-dan.html

Supadi, I Made Juliadi. (2012). Kritik Sastra.http://www.slideshare.net/ImadeJuliadiSupadi/kritik-sastra

Tambunsaribu, Gunawan. (2012). Teori Sastra (Part I). www.scribd.com/doc/41959915/ teori - sastra

unpad.ac.id/.../publikasi_dosen/metode_penelitian_sastra.PDF

http://idhuleducation81-manusiapembelajar.blogspot.com/2011/03/makalah-teori-teori-dalam-penelitian.html

http://massofa.wordpress.com/2011/10/19/metode-penelitian-yg-dapat-digunakan-pada-penelitian-sastra/