Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
METODE PENELITIAN SASTRA, SEBUAH PENGANTAR
1. Ilmu Sastra
a. Sejarah Sastra
Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampai
hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tanpa mengerti
arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas
ditelinga kita tapi apakah sesungguhnya sastra itu?
Sastra (Sanskerta: शशशशशशश, shastra) merupakan kata serapan daribahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi"
atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau
"ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk
kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua
jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak. Selain itu dalam arti
kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra
lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan
tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk
mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai
timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir. Misalnya, sejarah
timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra (genre), sejarah
perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran
manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya
(Pradopo, 2007: 9).
b. Kritik Sastra
Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya
sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya
karya sastra, bernilai seni atau tidaknya (Pradopo, 2007: 9).
Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan
penilaian sastra atau suatu kegiatan yang menilai baik-buruknya karya
sastra atau kritik sastra itu semacam resensi dan ulasan kritik sastra.
Prinsip kritik sastra adalah mengobrak-abrik karya sastra untuk
memperoleh mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut HB. Yassin kritik
sastra adalah pertimbangan baik dan buruk sesuatu hasil karya sastra.
Kritik sastra bersifat ilmiah karena terikat pada teori, metode, dan
objek. Kritik sastra memberikan penilaian atas karya sastra berdasarkan
teori dan sejarah sastra, artinya kritik sastra memerlukan teori dan
sejarah sastra dan sebaliknya kritik sastra memberikan sumbangan
pendapat atau bahan bagi penyusunan/pengembangan teori sastra dan
sejarah sastra.Kritik sastra dapat memberikan petunjuk kepada pembaca
tentang karya sastra yang unggul dan yang rendah, yang asli dan yang
bukan serta memberikan sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang
tentang karyanya.
1. Jenis-Jenis Kritik Sastra
i. Menurut Bentuknya
Kritik sastra menurut bentuknya dapat digolongkan menjadi kritik
teori (thoeritical criticism), dan kritik terapan (applied criticism).
Kritik teori adalah bidang kritik sastra yang bekerja untuk menerapkan
istilah-istilah, kategori-kategori dan kriteria-kriteria untuk
diterapkan dalam pertimbangan dan interprestasi karya sastra, yang
dengannya karya sastra dan para sastrawannya dinilai. Adapun kritik
terapan adalah pelaksanaan dalam penerapan teori-teori kritik sastra
sastra baik secara eksplisit, maupun implisit.
ii. Menurut Pelaksanaannya
Menurut pelaksanaanya kritik sastra terbagi atas kritik judisial
(judicial criticism) dan impresionistik (impressionistic criticism).
Kritik judisial adalah kritik sastra yang melakukan analisis,
interprestasi, dan penilaiannya berdasarkan ukuran-ukuran, hukum-hukum
dan standar-standar tertentu. Kritikus judisal melakukan kritik sastra
berdasarkan ukuran-ukuran tersebut. Jenis sifatnya deduktif. Dapat
dikatakan kritik ini merupakan kebalikan dari kritik yang sifatnya
induktif. Dalam kritik yang induktif, seorang kritikus tidak menerapkan
standar-standar tertentu dalam mengkritik karya sastra. Ia berangkat
dari fenomena yang ada dalam karya sastra itu secara objektif. Sedangkan
kritik impresionik adalah kritik yang dibuat kritikus dengan
mengemukakan kesan-kesan kritikus tentang objek kritiknya, tanggapan-
tanggapan tentang kara sastra itu berdasarkan apa yang dirasakan
kritikus tersebut. Dalam kritik yang impresionik, seorang kritikus
menggunakan tafsiran untuk mengagumkan pembaca. Dalam kritik jenis ini
kritikus jarang menggunakan penilaian.
iii. Menurut Orientasi Kritik
Ferdinaen Saragih dalam artikelnya yang berjudul “Jenis-Jenis Kritik
Sastra dan Pengertiannya”, mengutip pendapat Abram dalam David Logde,
1972:5-21 membagi jenis kritik berdasarkan orientasinya, yaitu kritik
mimetik, kritik ekspresif, kritik pragmatik dan kritik objektif.
1. Kritik mimetik adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai
pencerminan kenyataan kehidupan manusia. Menurut Abrams, kritikus pada
jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra
merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria
yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan
objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita
semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi
oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah
tiruan kenyataan.
2. Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra
sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik
ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini
bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang
melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang
dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung
menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan
penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini
sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman
sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.
3. Kritik pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun
untuk mencapai efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca),
baik berupa efek kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek lainnya.
Kritik ini cenderung menilai karya sastra menurut berhasil tidaknya
karya tersebut mencapai tujuan tersebut (Pradopo, 1997:26). Kritik ini
memandang karya sastra sebagai sesuatau yang dibangun untuk mencapai
efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca), baik berupa efek
kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek lainnya. Sementara tujuan
karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata
lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya
mencapai tujuan. Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih
bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada
Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjabana pernah menulis kritik
jenis ini yang dibukukan dengan judul “Perjuangan dan Tanggung Jawab”
dalam Kesusastraan.
4. Kritik objektif memandang karya satra hendaknya tidak dikaitkan dengan
hal-hal di luar karya sastra itu. Ia harus dipandang dsebagai teks yang
utuh dan otonom, bebas dari hal-hal yang melatarbelakanginya, seperti
pengarang, kenyataan, maupun pembaca. Objek kritik adalah teks satra:
unsur-unsur interinsik karya tersebut.
iv. Menurut Objek Kritik
Karya sastra terdiri atas beragam jenis, yaitu puisi, prosa dan
drama. Artinya, kritik sastra dapat menjadikan puisi, puisi, prosa atau
drama sebagai objeknya. Dengan demikain, jenis kritik ini dapat dibagi
lagi menjadi berdasarkan objeknya, yakni kritik puisi, kritik prosa,
kritik drama. Selain itu, kritik satra itu sendiri dapat dijadikan
kritik sehingga dinamakan kritik atas kritik.
Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya,
tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah
dan mengehendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria
intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan,
integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya. Jadi,
unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh,
dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan,
integritas, dan sebagainya. Pendekatan kritik sastra jenis ini
menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.
Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 1920-an dan melahirkan
teori-teori:
1. New Critics (Kritikus Baru di AS)
2. Kritikus formalis di Eropa
3. Para strukturalis Perancis
v. Menurut Sifatnya
Dalam dunia kritik sastra sering terjadi pertentangan antara kritik
sastra yang ditulis kalangan akademik dan nonakademik. Hal ini misalnya
terlihat pada polemik antara kritikus sastra yang mengusung apa yang
dinamakan metode Ganzheit dengan tokoh antara lain Goenawan Mohamad dan
Arif Budiman versus kritikus sastra yang kemudian diistilahkan dengan
aliran Rawamangun dengan tokoh-tokohnya antaralain M.S Hutagalung. Dapat
dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik sasta kalangan
akademik. Sedangkan kritik sasta aliran Ganzheti mewakili kalangan
nonakdemik.
Ada perbedaan antara dua kritik sastra dua aliran tersebut. Kritik
sastra nonakademik tidak terpaku pada format seperti yang terdapat pada
petunjuk Teknik Penulisan Ilmiah; teori dan metode sastra meskipun
digunakan ─ tidak diekspilitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer.
Jenis-jenis tulisannya berupa esai dan artikel yang dipublikasikan lewat
koran, majalah, atau buku-buku yang merupakan kumpulan kritik sastra.
Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan atau kalangan umum yang
tertarik mendalam dunia sastra.
2. Pendekatan Kritik Sastra
i. Pendekatan Mimetik
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai tiruan atau
pembayangan dunia kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan pertamakali
oleh Plato dan Aristoteles. Menurut Platokarya sastra hanyalah tiruan
alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide.Sedangkan
menurut Aristotelestiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu
yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.
ii. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia
batin pengarang. Dengan demikian apabila segala gagasan, cita, rasa,
emosi, ide, angan-angan merupakan “dunia dalam” pengarang, maka karya
sastra merupakan “dunia luar” yang bersesuaian dengan dunia dalam itu.
Dengan pendekatan ini penilaian sastra tertuju pada emosi atau keadaan
jiwa pengarang sehingga karya sastra merupakan sarana untuk memahami
keadaan jiwa pengarang.
iii. Pendekatan Objektif
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang
dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan latar belakang sosial budaya
zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya,
dengan kata lain karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsiknya.
iv. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik
pembaca selaku penyambut karya sastra. Dengan demikian karya sastra
dipandang sebagai karya seni yg berhasil atau unggul apabila bermanfaat
bagi masyarakat, seperti: mendidik, menghibur, menyenangkan, dst.
3. Kritik Sastra Indonesia Modern
i. Kritik Sastra Angkatan Balai Pustaka
Paham para pengarang dalam masa permulaan kesustraan Indonesia
modern memandang bahwa karya sastra yang baik adalah suatu karya yang
langsung memberi didikan kepada para pembaca (Pradopo, 2007: 94).
Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan
kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral hingga
demikian, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya
sastra sebagai seni yang menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan
yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan pada
nomor dua. Begitulah paham pertama dalam penilaian karya sastra yang
secara tidak langsung, yang disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia
yang mula-mula, ialah memberi didikan dan nasehat kepada pembaca.
ii. Kritik Sastra Angkatan Pujangga Baru
Dalam masa Pujangga Baru telah bergema pertentangan paham tentang
karya sastra, yang berupa paham “seni untuk seni” dan “seni bertendens”.
“Seni untuk seni” menghendaki seni yang murni, seni untuk kepentingan
seni, seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan seni
“murninya”, pada permulaannya ia mementingkan bentuk pengucapannya
daripada isi karya sastranya‒ ia lebih mementingkan bentuk pengucapan
“seninya” dari “isi” sastranya. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada
semboyan “seni untuk seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.
“Seni bertendens” menghendaki seni diciptakan untuk tujuan, yaitu
untuk kepentingan masyarakat, untuk membawa bangsa Indonesia ke taraf
penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus memelopori bangsanya, ia
harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan
dan kehidupan. Tokoh sastrawan yang memegang semboyan ini adalah Sutan
Takdir Alisjahbana. Pandangan beliau adalah pandangan seorang
utilitarian yang lebih mementingkan tujuan daripada pernyataan seni.
Selain Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh sastrawan
pada era Pujangga Baru adalah Amir Hamzah, dan Armijn Pane.
iii. Kritik Sastra Angkatan ‘45
Sastrawan Angkatan ’45 menghendaki kesusastraan yang universal, yang
dapt diterima oleh segala manusia, karena yang dikemukakan dalam karya
sastra ialah persoalan-persoalan manusia yang umum, persoalan hakikat
manusia karena pada hakikatnya manusia seluruh dunia adalah sama, dari
sejak dahulu hingga sekarang. Mereka menghendaki kebahagiaan, terbebas
dari derita, siksaan, dan penjajahan, dan sebagainya. Maka dalam
penilaian pun menghendaki penilaian yang sifatnya universal, yang dapat
berlaku secara umum. Angkatan ’45 dipelopori oleh Chairil Anwar dalam
bidang puisi dan Idrus dalam bidang prosa. Tokoh Angkatan ’45 yang
penting lainnya adalah Asrul Sani dan H. B. Jassin.
iv. Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Nonakademik
Kritik sastra akademik sering dipertentangkan dengan kritik sastra
nonakademik. Hal ini mulai mencuat pada polemik yang terjadi tahun 1968-
an antara kritikus yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit
(dengan tokoh-tokohnya antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman)
versus kritik sastra yang kemudian diistilahkan dengan kritik aliran
Rawamangun (dengan salah seorang tokohnya M.S. Hutagalung). Dapat
dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik kalangan
akademik. Kritik Ganzheit mewakili kritik kalangan nonakademik.
Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula
dengan kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis
dalam pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik
Penulisan Ilmiah (TPI); mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu
dalam pengkajiannya serta dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa
Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada
skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel, jurnal, dan sejenisnya.
Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen,
peneliti di lembaga-lembaga bahasa dan sastra.
Kritik nonakademik bersifat sebaliknya. Kritik sastra ini tidak
terpaku pada format TPI; teori dan metode -meskipun digunakan- umumnya
tidak dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis
tulisannya berupa esai, resensi, dan artikel yang dipublikasikan lewat
koran, majalah, atau buku-buku antologi kritik sastra. Para penulisnya
umumnya sastrawan, wartawan, atau kalangan umum yang tertarik dan
mendalami sastra.
c. Teori Sastra
1. Pengertian Teori Sastra
Teori sastra dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang
saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang
berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra (Ratna, 2012: 10).
Dalam referensi yang lain dijelaskan Teori sastra ialah cabang ilmu
sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori,
kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan
sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu
sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola
pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori
berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu
pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Teori sastra dapat
disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara
otomatis perlu mengkaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu
pendapat tentang sastra (Tambunsaribu, 2012: 2).
2. Perkembangan Teori Sastra
Teori sastra berasal dari kata theria(bahasa Latin). Secara
etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada
tataran yang lebih luas,dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori
berarti perangkat pengertian,konsep,proposisi yang mempunyai
korelasi,yang telah teruji kebenarannya.
Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik.Setelah suatu
ilmu pengetahuan berhasil untuk mengabstraksikan keseluruhan konsepnya
pada suatu rumusan ilmiah yang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu
sendiri,maka teori tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga
cabang-cabang ilmu pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci
dan mendalam.
Pemanfaatan teori formal menurut Vredenbreght (Ratna, 2012: 4),
memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha peneliti sepanjang
sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus
mengujinya melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama
makin sempurna. Teori ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra
diadopsi melalui pemikiran para sarjana Barat. Tradisi seperti ini
sering menimbulkan perdebatan diantara para sarjana Indonesia antara
yang tidak setuju dengan yang setuju. Kelompok yang pertama menginginkan
agar khasanah Indonesia dianalisis dengan menggunakan teori sastra
Indonesia, dengan konsekuensi agar sarjana Indonesia dapat menemukan
teori-teori sastra yang lahir melalui sastra Indonesia sebagai teori
Indonesia asli,sebaliknya yang kedua tidak mempermasalahkan perbedaan
diantaranya, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Tradisi ilmu pengetahuan berkembang diBarat,demikian pula tradisi
sastra.
2. Karya sastra sekaligus bersifat lokal dan universal.
3. Globalisasi, termasuk paradigma postmodernisme menghapuskan
perbedaan antara Barat dengan Timur.
Sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai
berikut:
1. Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianalisis.
2. Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
3. Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis, baik ilmu sejenis maupun
berbeda.
4. Memiliki formula-formula yang sederhana tetapi mengimplikasikan
jaringan analisis yang kompleks.
5. Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh kemasa depan.
Teori dan metode memiliki fungsi untuk membantu menjelaskan dua
hubungan gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang
terjadi.
Teori dan metode disamping mempermudah memahami gejala yang akan
diteliti yang lebih penting adalah kemampuannya untuk
memotivasi,mengevokasi, sekaligus memodifikasi pikiran peneliti.Artinya
dengan memanfaatkan teori dan metode tertentu maka dalam pikiran
peneliti akan timbul kemampuan untuk memahami gejala sebelumnya yang
sama sekali belum tampak. Sebagai alat, teori berfungsi untuk
mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung
dilakukan melalui instrument yang lebih konkret yaitu melalui metode dan
teknik.
Berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan
syarat pokok.Teori yang lama dengan sendirinya harus ditinggalkan,
digantikan dengan teori dan metode yang baru.Demikian seterusnya
sehingga teori yang terakhirlah yang dianggap paling relevan. Intensitas
terhadap kebaruan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.
2. Teori dan metode adalah hasil penemuan.
3. Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan
karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai cara
untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang saling
melengkapi.
Dalam khasanah sastra Indonesia aktivitas penelitian dengan
memanfaatkan teori dan metode intuisif ekspresif sudah dimulai sejak
periode Pujangga Baru.Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu
abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa
indikator, sebagai berikut:
1. Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri
sudah terkandung problematika yang sangat luas.
2. Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam budaya
itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.
3. Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan
Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dengan berbagai
disiplin, khususnya filsafat.
4. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk
menemukan berbagai cara sebagai teori yang baru.
5. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-
kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam ilmu sastra yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan
untuk mengumpulkan data,menganalisis data,dan menyajikan hasil
penelitian. Peneliti sastra yang pada umumnya disebut kritikus sastra
baik sebelum maupun sesudah melakukan penelitian secara sadar mengetahui
teori apa yang digunakan, metode dan teknik apa yang
membantunya.Penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat
deskripsi bukan generalisasi.
2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan kecuali dalam penelitian
tertentu.
3. Tidak diperlukan objektivitas yang umumsebab peneliti terlibat secara
terus-menerus, objektivitas terjadi saat penelitian dilakukan.
4. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat
terbuka deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tapi wacana,teks,sebab
sebagai hakikat deskrusif bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua
dengan berbagai sistem komunikasinya.
3. Macam-macam Teori Sastra
i. Teori-Teori Strukturalisme
- Teori Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra,secara historis kelahiran
formalisme dipicu oleh tiga faktor sebagai berikut:
1. Formalisme lahir akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme
abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas dalam hubungan
ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora dimana terjadinya
pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan
perhatian terhadap karya sastra dengan sejarah sosiologi dan psikologi.
Formalisme menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup,
sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai
kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami
dalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya
sastra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang
lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari
yang menyampaikan informasi melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri.
Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi,
oleh karena itulah, cara kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang
terdiri dari para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan,
yaitu:
a). Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman
Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.
b). Mahzab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang
didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik,
dan Lev Iaukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk dalam
Ratna, 2012: 82).
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra dengan
cara meneliti unsur-unsur kesastraan puitika,asosiasi,oposisi,dan
sebagainya.Metode yang digunakan adalah metode formal. Metode formal
tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi
dengan cara memaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks
sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Formalisme dianggap
sebagai peletak dasar ilmu sastra modern (Luxemburg, dkk dalam Ratna.
2012: 83).
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh
kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan
sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi.
- Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin
yang yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (dalam Ratna,
2012: 88), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang
melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui
tradisiformalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu
pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan
strukturalis. Di pihak lain atas dasar pengalaman formalislah mereka
mendirikan strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan
yang terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali dalam
strukturalisme.
Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur,
yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu
pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang
lain hubungan antar unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut
tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan
kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan.
Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan
arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap
sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak, bahkan
‘mematikan’ subjek pencipta. Oleh karena itulah strukturalisme dianggap
sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari
sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan
strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian
formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai
penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas
terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-
aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh
Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema dalam Ratna, 2012: 93).
Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik,
terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda
yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya
seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang
menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.
- Teori Semiotika
Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing
berakar dalam kondisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial
yang menghasilkannya. Menurut Noth (dalam Ratna, 2012: 97) ada empat
tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik
logika, retorika, dan hermeunetika. Masih dalam Ratna, Culler
menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik,
strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada
tanda. Begitupun pendapat Selden (dalam Ratna, 2012: 97) menganggap
strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama,
sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk
menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan
dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya, analisis semiotika
mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme.
Menurut Paul Cobley dan Litza Janz (dalam Ratna, 2012: 97)
semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang bearti penafsir
tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata
semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai
teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan
interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap
kehidupan manusia.
Kajian mengenai semiotika secara benar-benar ilmiah baru dilakukan
pada awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada
zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapi
sama sekali tidak saling mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-
1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah ahli
filsafat dan logika, tetapi di samping itu ia juga menekuni ilmu
kealaman, psikologi, astronomi, dan agama. Saussure menggunakan istilah
semiologi, sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika.
Dalam semiotika, terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan
Peircean. Menurut Aart van Zoest (dalam Ratna, 2012: 103), dikaitkan
dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semioyika dapat dibedakan
paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1. Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam
kaitannya dengan pengirm dan penerima, tanda yang disertai dengan
maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seprti rambu-rambu
lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2. Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian
diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model
kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping
sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyakatan, dipelopori
oleh Ronald Barthes.
3. Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud)
dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia
Kristeva.
Dalam lapangan semiotika, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu
(1) penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda,
dan (2) pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda.
Ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan
indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan ilmiah, yaitu
persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan pertanda. Simbol adalah
tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan ilmiah antara keduanya,
hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah
sistem tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti
simbol ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem
ketandaan tingkat pertama ini ditingkatkan menjadi sistem ketandaan
tingkat kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning), arti
bahasa dalam sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut
makna (significance) yang merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam
karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra di samping
konvensi bahasa itu sendiri. Oleh karena itu yang dimaksud makna
(bahasa) sastra itu bukan semata-mata arti bahasanya. Jadi, yang
dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa, suasana, perasaan,
intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian
tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Menurut Pradopo (dalam Hudayat, 2007: 59) studi sastra bersifat
semiotik itu adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu
memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-
variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal
relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa
sebagai sistem semiotik tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan
konvensi-konvensi tambahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari
arti yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi
makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan
timbulnya makna sastra, maka menganalisis karya sastra itu adalah
memburu tanda-tanda.
Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di
luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna,
yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar
strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik
dikenal metode hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh
kepada sebuah karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis
secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya,
termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau
realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan
budaya. Menurut pandangan intertekstualitas, sebuah karya sastra
merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir sebelumnya,
baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi
ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna atau
konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas itu perlu
diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam
hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan
mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi
tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang
memungkinkan diproduksinya maknakarya sastra.
Semiotika Sastra.
Ikon yaitu ciri-ciri kemiripan itu sendiri, berfungsi sebagai menarik
partikel-partikel ketandaan, sehingga proses intrpretasi dimungkinkan
secara terus-menerus. Ada tiga macam ikon, yaitu: a) ikon topografis,
berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi-puisi konkret atau
visual, b) ikon diagramatis atau relasional, berdasarkan persamaan dua
diagram, c) ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang
didenotasikan sekaligus langsung atau tidak langsung, misalnya alegori
atau parabel. Edmund Leach (dalam Ratna, 2012:116) membedakan antara
simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal menunjukkan hubungan dua gejala
secara mekanis dan otomatis. Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu:
a)antara penanda dan petanda tak ada hubungan intrinsik sebelumnya, b)
penanda dan petanda merupakan unsur struktural yang berbeda. Ciri-ciri
tanda, a) ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) termasuk kedalam konteks
kultural yang sama.
Semiotika Sosial
Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan
hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, semiotika
sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana tanda-tanda
tersebut difungsikan. Tanda difungsikan dalam dirinya sendiri. Oleh
karena itulah baik dalam strukturalisme maupun semiotika konsep antar
hubungan memegang peranan yang sangat menentukan, fungsi-fungsi yang
selalu diabaikan oleh para peneliti sastra.
- Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik
dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme
murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme
dinamik maupun strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra
sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. Perbedaannya, strukturalisme
dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis dan pembaca dalam
rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh
yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah inilah yang berhasil membawa
strukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu, dianggap
sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat
maupun di Indonesia.
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang
filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Strukturalisme genetik memiliki
implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu
kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann sampai
pada kesimpulan bahwa struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki
arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian
seterusnya sehimgga setiap unsur menopang totalitasnya.
Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur
dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas
berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian
terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai
teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih
ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori
sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subyek
transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil
membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun
1980-an hingga 1990-an.
Secara definitif strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur
dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi
konsep homologi, kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan
dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya:
a) meneliti unsur-unsur karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya
sastra dengan totalitas karya sastra, c) meneliti unsur-unsur masyarakat
yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur
masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara
keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.
- Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi, dari kata narratio (bahasa Latin, berarti cerita,
perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut
teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks)
naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen
(cerita) an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik,
seperti model sintaksis, sebagaiman hubungan antara subjek, predikat,
dan objek penderita.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian
juga dengan wacana teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya.
Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai
representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atua fiksional dalam
urutan waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna dalam
Hudayat, 2007: 72) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek
secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif
dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya
yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu
kemanusiaan (humaniora).
Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan
yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal
menyebutkan bahwa pembaca membaca teks dan wacana yang berbeda dari
cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan
bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang
misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang
menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks tidak
diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa; diceritakan oleh
narator, bukan pengarang.
Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah
pascastruktural, analisis naratif merupakan bagian ideologi. Cerita dan
penceritaan dimanfaatkan untuk melegetimasi kekuatan dan kekuasaan bagi
mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap
kelompok tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik,
politik, dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan
wacana. Pada paham pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada
teks sastra saja melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas
manusia, sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas
kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks yang dengan sendirinya dapat
dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Visi sastra kontemporer
memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting
dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu
pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya; cerita sebagai
tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan kebudayaan
yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh
aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu sendiri
dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui
paradigma sebuah teks.
Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas
terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel,
juga roman, cerpen, puisi naratif, dongeng, biografi, lelucon, mitos,
epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre
sastra, tetapi juga setiap bentuk cerita dalam media massa.
Secara historis, Maria-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk
dalam Hudayat, 2007: 75) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi
menjadi tiga periode, yaitu:
1. Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an).
2. Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an).
3. Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).
Awal perkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles
(cerita dan teks); Henry James (tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar
dan datar); Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp (peran
dan fungsi). Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam
dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot). Para pelopornya, di
antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov
(historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal
(fabula, story, text). Greimas (tata bahasa naratif dan struktur actans).
Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration).
Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi
parole dan langue, fabula, dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer,
interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di
antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara),
Gerald Prince (struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif),
Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (Kernels dan satellits),
Mikhail Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry
Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques
Derrida (dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-
Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas,
pastiche).
Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi-
Strauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode
strukturalis.
1. Vladimir Propp
Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan
secara serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap
dikotomi fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat,
seratus dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan
secara luas tahun 1958. Propp (dalam Hudayat, 2007: 76) menyimpulkan
bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya,
dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi
perbuatan dan peran-perannya sama. Oleh karena itu, penelitian Propp
disebut sebagai usaha untuk menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan
dongeng pada umumnya. Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting
bukanlah tokoh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya
disebut fungsi. Unsur yang dianalisis adalah motif (elemen), unit
terkecil yang membentuk tema. Propp memandang sjuzhet sebagai tema bukan
plot seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif
merupakan unsur yang penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet
dengan demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan pendeita yang kemudian
dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang
berubah (pelaku dan penderita). Dalam hubungan ini yang penting adalah
unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu sendiri.
Propp mengemukakan bahwa fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak
tergantung dari siapa yang melakukan. Di sini, persona bertindak sebagai
variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam
dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi yang dikelompokkan ke dalam
tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu: (1) penjahat, (2) donor, (3)
penolong, (4) putri dan ayahnya, (5) orang yang menyuruh, (6) pahlawan,
dan (7) pahlawan palsu. Menurut Propp dan Teeuw (dalam Hudayat, 2007:
77), tujuan Propp bukan tipologi struktur tetapi melalui struktur dasar
dapat ditemukan bentuk-bentuk purba. Dengan kalimat lain, dengan
menggabungkan antara struktur dan genetiknya (struktur mendahului
sejarah), maka akan ditemukan proses penyebarannya kemudian. Model Propp
mendasari penelitian dari Greimas, Bremond, dan Todorov.
2. Levi-Strauss
Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya
pada mitos. Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan
estetis. Ia mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan
perhatiannya terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik
secara bulat maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu
sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan
tertentu.
Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota
masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik
material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah
termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang
mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian
dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali sehingga
dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi
sastra, melalui struktural, khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu,
dan incest, misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di satu pihak,
oposisi biner didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati
memiliki kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-
laki perempuan, bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan perkawinan di
antara keluarga secara logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di
luar keluarga yang pada gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru,
sekaligus menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang
lain.
Berhubungan dengan pembicaraan strukturalisme, Levi-Strauss
menyatakan bahwa struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas.
Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang tampil
sebagai organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah,
disebutkan bahwa isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut, dan
sebaliknya.
3. Tzvetan Todorov
Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov
(dalam Hudayat, 2007: 79) mengembangkan konsep historie dan discours yang
sejajar dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov
menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak,
komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan
interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang
terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga
aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara
kronologis dan logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan
lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti
sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.
Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep
pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara
berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi. Konsep kedua
menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai
hubungan makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya antarhubungan adalah kausalitas.
Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai antitesis (in praesentia). Sebaliknya
tokoh juga dapat menunjuk sesuatu yang lain di luar struktur naratif (in
absentia). Todorov membedakan antara sastra sebagai ilmu mengenai sastra
(puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan disiplin yang lain, sastra
sebagai proyeksi, seperti: psikologi sastra, sosiologi sastra, studi
biografi, kritik fenomenologis, dll.
4. Greimas
Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu
dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi
yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004:
137-140, dalam Hudayat, 2007: 80) memberikan perhatian pada relasi,
menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan yang lebih universal,
yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas lebih mementingkan aksi
dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di balik wacana. Yang ada
hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut
actans dan acteurs.
Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur
naratif, acteurs merupakan kategori umum. Dia mencontohkan: John dan
Paul memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs
tetapi satu actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai
penerima. Apel adalah sebagai objek. Dalam kalimat John membelikan
dirinya sendiri sebuah baju, John adalah satu acteu yang berfungsi
sebagai dua actans, baik sebagai pengirim maupun penerima.
Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs
menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat
dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu
sosial lainnya. Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp
disederhanakan menjadi dua puluh fungsi yang kemudian dikelompokkan
menjadi tiga struktur, yaitu struktur berdasarkan perjanjian, struktur
yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur yang bersifat pemutusan.
Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi enam actans
(peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan menjadi tig pasangan
oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan dengan orang yang
dianugerahi atau pengirim dan penerima, dan penolong dengan penentang.
Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh
seorang atau sejumlah pelaku. Actans merupakan struktur dalam, sedangkan
acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan manifestasi kongkret
actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu,
sedangkan struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama
pada saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-
beda. Sebaliknya, actans yang sama terbentuk oleh acteur yang berbeda-
beda.
Untuk menyederhanakan konsep-konsep tersebut di atas, maka dalam
kritik sastra Indonesia istilah fabula dan sjuzet sebagai konsep dasar dari
naratologi ditafsirkan dengan istilah cerita dan penceritaan. Dalam
penceritaanlah terkandung wacana dan atau teks. Penceritaan memiliki
identitas yan hampir sama dengan wacana, teks, dan plot. Cerita adalah
bahan kasar, perangkat peristiwa, seperti ringkasan cerita atau
sinopsis. Wacana adalah cerita yang telah disusun kembali tetapi lebih
banyak berkaitan dengan unsur bahasa , sebagai model pertama. Adapun
teks adalah susunan peristiwa yang sesungguhnya; susunan kejadian yang
didominasi oleh kualitas literer, sebagai model kedua.
ii. Teori-Teori Postrukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir baik dalam
bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam menguji
objek.Pada umumnya kelemahan strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai
berikut: a)model strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya
dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan pada struktur dan
sistemtertentu. b) strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian
suatu karya sastra sebagai kualitas otonom dengan sistem dan
strukturnya.c) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya
sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Strukturalisme (Ritzer dalam Ratna, 2012: 144) lahir sebagai reaksi
terhadap model-model penelitian sebelumnya yang memberikan perhatian
pada sejarah dan asal-usul suatu gejala kultural khususnya bahasa.
Sedangkan postmodernisme, berasal dari kata ‘post’ +modern+ ‘isme’ yang
berarti paham sesudah modern, dan postkulturalisme, dari kata ‘post’
+struktur+ ‘isme’ yang berarti paham sesudah struktur, baik secara
historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang
sangat erat. Prefiks ‘post’ dengan padanannya, seperti ‘para’ dan akhir,
sudah digunakan jauh sebelumnya, seperti post industri, para-Marxis,
akhir manusia dan akhir sejarah, dan sebagainya.Postmodernisme dan
postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu oleh tiga
indikator yang saling melengkapi, yaitu:
1. Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir
peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2. Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai
teks, maupun nonsastra sebagaidiskursus.
3. Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai
disiplin dalam kajian tunggal.
a. Teori Postmodernisme
Modernisme dan postmodernisme merupakan dua gejala yang saling
melengkapi, postmodernisme tidak menghancurkan modernisme, post
modernisme hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten,
tersembunyi, terlupakan, terabaikan, dan terlalaikan. Semua yang
terlupakan tersebut, bagi kelompok postmodernisme tetap memiliki fungsi,
yang dengan sendirinya juga harus diberikan arti. Meskipun demikian
Robert Dunn (dalam Ratna, 2012: 151) mencoba memberikan ciri-ciri
modernisme dengan postmodernisme, diantaranya: a) pergeseran nilai yang
menyertai budaya massa dari produksi ke konsumsi, dari pencipta ke
penerima, dari karya ke teks, dariseniman ke penikmat, b) pergeseran
dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan(populer),
dari kedalaman kepermukaan, dari universal ke partikular, c) kebangkitan
kembali nilai-nilai estetis periode 1960-an, d) munculnya politik
representasi periode 1970-an yang menentang struktur otoritas, e)
kebangkitan kembali tradisi primordial dan nilai-nilai masyarakat
lainnya.
Ciri-ciri utama teori postmodern (Linda Hutcheon dalam Ratna, 2012:
154) dan dengan sendirinya juga postrukturalisme adalah penolakan
terhadap adanya satu pusat,kemutlakan,narasi-narasi
besar,metanarasi,gerak sejarah yang monolinier. Poststrukturalisme
menolak sistem pemikiran tunggal (homologi), seperti ras, agama, laki-
laki, dan sebagainya dengan cara menawarkan sistem pemikiran plural
(parologi). Narasi besar hanya satu, sedangkan narasi kecil merupakan
hasil setiap orang yang bersikap demokratis, aktif, partisipatif, dan
kreatif. Postmodernisme mensubversi uniformitas, homogenitas, dan
totalisasi dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan
relativitas dan pluralisme. Postmodernisme mengakui identitas lain
sebagai retivisme budaya. Oleh karena itu, metode yang dianggap tepat
adalah kualitatif, sebab tujuannya bukanlah objektifitas, tatapi dasar-
dasar berpikir yang berbeda.
b. Teori Poststruktulisme
Hubungan antara strukturalisme dengan poststrukturalisme sangat
kompleks. Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2007: 160) strukturalisme dianggap
memiliki kelemahan dengan alasan, a) belum memiliki syarat sebagai teori
yang lengkap, b) Karya seni tidak bis diteliti secara terpisah daro
struktur sosial, c) Kesangsian terhadap struktur obyektif karya, d)
Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya, dan e) Karya sastra juga
dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Di
satu pihak strukturalisme mementingkan pola-pola, di pihak lain
menekankan adanya satu arti. Oleh karena itulah, strukturalisme perlu
disempurnakan, yang secara keseluruhan dilengkapi oleh
poststrukturalisme.
Atas dasar persamaan dan perbedaannya dengan strukturalisme, maka
secara definitif poststrukturalisme adalah teori-teori sastra sesudah
strukturalisme. Persamaan yang dimaksudkan, baik strukturalisme maupun
poststrukturalisme memandang struktur yaitu unsur-unsur dengan mekanisme
antar hubungannya sebagai masalah utama. Perbedaannya, apabila
strukturalisme memandang antar unsur dengan mekanisme hubungan yang
relatif stabil, bahkan statis, maka postsrukturalisme memadang model
hubungan tersebut bersifat labil dan dengan sendirinya dinamis. Secara
praktis kelompok strukturalis berusaha menguasai teks, kemudian berusaha
mengungkapkan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya.
- Teori Resepsi Sastra
Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin),
reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan
pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks,
cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan
respons terhadapnya. Respons yang dimaksudkan tidak dilakukan antara
karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah,
pembaca dalam periode tertentu.
Secara etimologis resepsi berarti tanggapan. Analog dengan
pengertian tersebut, maka rsepsi sastra berarti tanggapan pembaca
terhadap karya sastra. Sesuai dengan namanya pendekatan ini mencoba
memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembaca
terhadap karya sastra tertentu. Pendekatan tersebut dilandasi oleh
pandangan bahwa sejak terbitnya karya sastra selalu mendapat tanggapan
dari para pembacanya (Pradopo dalam Wiyatmi, 2008: 102).
Resepsi sastra tampil sebagai sebuah teori dominan sejak tahun1970-
an dengan pertimbangan:
1. Sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap
bahwa hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur.
2. Timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai
kemanusiaan dalam rangka kesadaran humanisme universal.
3. Kesadaran bahwa nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui
kompetensi pembaca.
4. Kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca.
5. Kesadaran bahwa nilai terkandumg dalamhubungan ambiguitas antara
karya sastra dengan pembaca.
Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: a)
resepsi secara sinkronis, b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama
meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman.
Sekelompok pembaca, misalnya, membeeikan tanggapan baik secara
sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Bentuk resepsi yang
lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara diakronis sebab melibatkan
pembaca sepanjang sejarah. Penelitian resepsi secara diakronis
memerlukan data dokumenter yang memadai.
- Teori Interteks
Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubunga-hubungan
bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan
sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks
memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemuka
hypogram. Interteks dapat dilakukan dengan antara novel dengan novel,
novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak
sematamata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai
pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Pemahaman secara intertekstual menggali secara maksimal makna-
makna yang terkandung dalam sebuah teks. Menurut teori interteks,
pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan pada pemahaman
terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat
teori-teori pascastrukturalis, pembaca bukan lagi menjadi konsumen,
melainkan produsen. Oleh karena itulah, secara aktif aktivitas interteks
terjadi melalui dua cara, yaitu: (a) membaca dua teks atau lebih secara
berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi
dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca
sebelumnya. Intertekstualitas yang sesungguhnya adalah yang kesua, sebab
aktivitas inilah yang memungkinkan terjadinya teks jamak, teks tanpa
batas.
- Teori Feminis
Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang
dipelopori oleh Virginia Woofl, dalam bukunya yang berjudul A Room of
One’s Own (1929). Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah
satu aspek teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960an. Model
analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-
aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teeuw dalam Ratna (2012:
183) beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan
feminis didunia Barat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Berkembangnya teknik kontrasepsi yang memungkinkan perempuan
melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
2. Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3. Lahirnya gerakan pembebasan dari ikata-ikatan tradisional, misalnya
ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan
sebagainya.
4. Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5. Perkembangan pendidikan secara khusus dinikamati oleh perempuan.
6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari
struktur sosial, seperti kritik baru dan strukturalisme.
7. Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxisortodoks, tidak
terbatas sebagi Marxis Soviet atau China, tetapi Marxis di dunia Barat
secara keseluruhan.
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama
kritik sastra feminis, adalah salah satu kajian karya sastra yang
mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan
dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam
karya sastra-karya sastranya. Djananegara dalam Wiyatmi (2008: 113)
feminisme dan pascamodernisme pada umumnya menggoncangkan sistem nilai
yang telah mapan, mendekonstruksi sistem pemikiran tunggal, narasi-
narasi besar, baik yang berkaitan dengan wacana sastra maupun sistem
religi, patriarki, ideologi, dan sebagainya. Sebagai gerakan
kontemporer, feminisme dan pascamodernisme mempertanyakan kredibilitas
cita-cita besar, cerita-cerita yang membentuk metanarasi, homologi
menurut pemahaman Lyotard. Menurut teori pascamodernisme, legitimasi
homologi perlu dideligitimasikan, yaitu dengan cara paralogi, sistem
pemikiran plural.
Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan
hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya
konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminisme memiliki
asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan
hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang
dianggap lebih kuat.
Sesuai dengan latar belakang kelahirannya, sebagai gerakan politik,
sosial dan ekonomi, analisis feminis dengan demikian termasuk penelitian
multidisiplin, melibatkan berbagai ilme pengetahuan. Keberagaman dan
perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi
feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan
diantaranya: tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca
perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, novel
populer dan perempuan, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan kajian
budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan kesetaraan
gender. Tokoh terpenting feminis kontemporer yaitu Luce Irigarai, Julia
Kristeva, Helene Cixous, dan Donna Haraway.
- Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata “post” dan
kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata
colonia, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman.
Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan,
penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya, postkolonial
melibatkan tiga pengertian, yaitu: a)abad berakhirnya imperium kolonial
diseluruh dunia, b) segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-
pengalaman kolonial, c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah pascakolonialisme. Paling sedikit terkandung empat
alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui
teori-teori postkolonial, yaitu:
1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara
pengirim dan penerima, sebagai mediator masa lampau dengan masa
sekarang.
2. Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan,
emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah
masyarakat itu sendiri.
3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas
adalah manifestasi yang paling signifikan.
4. Berbagai masalah yang dilukiskan secara simbolis, terselubung,
sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak.
(Said,2003:44-45, visi postkolonial menunjukkan bahwa pada masa
penjajahan yang ditanamkan adalah perbedaan sehingga jurang pemisah
antara kolonial dengan pribumi bertambah lebar.
Analisis wacana postkolonialis bisa digunakan, di satu pihak untuk
menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan,
sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain
membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam
hubungan inilah peranan bahasa, sastra dan kebudayaan pada umumnya dapat
memainkan peranan sebab dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung
wacana sebagaimana diintesikan oleh kelompok kolonialistik.
- Teori Dekonstruksi
Ciri khas deskrontruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derida (Ratna,
2012: 222) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme
yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berfikir
lainnya yang bersifat hirerakis dikotomis.
Dekonstruksi merupakan metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi
ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan
selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya,
anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-
anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut
pembentukannya dalam sejarah.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang
kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada
tahun 1980-an. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida,
seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik
sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis
Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.
Prinsip dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna
paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau
merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi
yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi
metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari
fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang
tuturan. Dekonstruksi mentut kita lebih teliti dan kritis terhadap teks
sastra.
c. Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi adalah bidang ilmu mengenai narasi,studi mengenai bentuk
dan fungsi naratif.Secara definitife menurutLuxemburg, dkk (Ratna, 2012:
240) yang dimaksudkan denganstruktur wacana atau teks naratif
adalahsemua wacana atau teks yang isinya merupakan rangkaian
peristiwa,yang dibedakan menjadistruktur narasi fiksi dan struktur
narasi nonfiksi.Dalam sastra oral (Ruth Finnegan dalam Ratna 2012: 243)
karya sastra tidak dapat dipahani semata-mata melalui teks, melalui
struktur naratif sebab karya selalu berubah setiap kali dipentaskan.
Pementasan tidak bisa dianggap sebagai aspek sekunder atau
pelengkap,melainkan merupakan bagian integral totalitas.
2. Fokus Penelitian Sastra
Langkah awal dalam merencanakan sebuah penelitian sastra adalah
menentukan teks sastra yang aka dikaji atau diteliti dan persoalan apa
yang hendak diteliti. Setelah itu, langkah kedua adalah penentuan fokus
penelitian. Secara umum, penelitian sastra dibagi menjadi lima fokus,
yaitu:
1. Penelitian genetik (penelitian dengan fokus teks dan hubungannya
dengan penulis).
Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa kajian akan mencapai
objektivitas jika pengkaji meneliti intensitas penulis atau apa yang
sesungguhnya dikehendaki oleh penulis, karena penulis adalah sumber
informasi yang paling sahih dan dapat dipercaya tentang teks yang
dihasilkannya. Dengan kata lain, seperti apa makna dari suatu puisi
adalah apa yang dimaksud penulis tentang puisi tersebut tatkala ia
menciptakannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaitkan antara
karya sastra dengan kehidupan, pikiran, intensitas, milliu
sosial/politis/intelektual atau kepribadian penulisnya, baik yang
bersifat sadar maupun bawah sadar. Jika penulis masih hidup wawancara
terhadap penulis dilakukan untuk mendapatkan data, jika penulis sudah
meninggal, apa lagi pada masa yang sudah lampau, peneliti akan
membongkar dan mencermati tulisan-tulisan ikhwal penulis, baik dari
karya penulis sendiri (surat, catatan harian, tulisan lain, otokritik
dan sebagainya) maupun karya orang lain tentang penulis tersebut. Teori
yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini: Expressive Realism,
Historicism, Biographical Criticism, Psikoanalisis.
2. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.
Penelitian dengan fokus ini melihat pembaca sebagai faktor penentu
dari makna.Makna dari sebuah teks tidak mungkin muncul dan tidak lebih
dari sekadar onggokan kertas tanpa peran aktif pembaca.Tanggapan dan
reaksi pembaca yang bervariasi terhadap suatu teks menjadi daya tarik
peneliti. Pada abad ke-20 terjadi pergeseran cara pandang pembaca dari
pembaca imajiner atau pembaca yang tersirat dalam teks kea rah pembaca
dalam arti yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah teks-teks yang
menakutkan (The Frankenstein), atau teks yang bersifat controversial dan
mendapatkan banyak sensor (Are You There God dan It’s Margaret), atau
terhadap pengakhiran cerita yang mengundang debat seperti bunuh diri
sang tokoh pada The Awakening, isu lesbianism pada The Hurs, diasumsikan
bahwa pembaca atau kelompok-kelompok pembaca akan memberikan tanggapan
atau reaksi yang berbeda terhadap teks-teks tersebut. Adanya perbedaan
asumsi masing-masing pembaca atau kelompok pembaca merupakan hal yang
cukup menarik untuk diteliti lebih jauh, dengan fokus penelitian pada
pembaca.Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah
Reader-Response Theory, teori resepsi, dan psikoanalisis pembaca.
3. Penelitian dengan fokus teks itu sendiri, tanpa memandang hubungan
teks dengan unsur lain yang melingkupinya.
Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa objektivitas kajian dapat
dicapai jika peneliti memandang teks secara otonom tanpa mengkait-
kaitkan dengan penulis, pembaca, realitas atau teks lain. Sumber data
penelitian dengan fokus ini adalah elemen-elemen yang ada di dalam teks
itu saja.Penelitian dilakukan dengan mengkonsentrasikan diri pada
informasi yang ada pada teks dan hubungan internal antar informasi atau
elemen di dalam teks sebagai entitas yang utuh. Penelitian ini tidak
membutuhkan bahan atau sumber data lain selain teks itu sendiri. Teori
yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini di antaranya: New
Criticism, Structuralism.
4. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.
Peneliti dengan fokus ini percaya bahwa teks sastra adalah cerminan
realitas, sehingga sebuah teks akan dianggap berbobot jika ia mampu
memotret realitas. Peneliti mencari hubungan antara kejadian atau
realitas teks dengan realitas nyata pada saat teks itu ditulis untuk
melihat sejauh mana teks menggambarkan realita.Dalam perkembangannya
pakar sastra pasca strukturalisme memandang realitas secara berbeda
dengan pengamat sastra yang menganut paham mimesis.Mereka berpendapat
bahwa yang dapat dibangun dari teks-teks adalah suatu „versi realitas‟
yang berbeda-beda dari teks satu ke teks yanglain.Mereka juga
berpendapat bahwa teks sastra justru memiliki kemampuan untuk
menciptakan realitas. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung
penelitian ini di antaranya: mimesis, sosiologi sastra, cultural studies,
marxism, postrukturalisme, poskolonialisme, feminisme.
5. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan teks lain.
Penelitian jenis ini memandang teks sebagai sesuatu yang tidak pernah
asli. Setiap teks memiliki hubungan analogis dengan teks lain yang
memiliki konvensi yang sama. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung
penelitian ini adalah teori intertekstualitas.
3. Objek Penelitian Sastra
a. Objek Formal
Obyek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu.
Karena objek formal mengandaikan cara keberadaan yang spesifik, teknik
pengumpulan data yang dapat digunakan secara efisien dan efektif
tentunya harus sesuai dengan cara keberadaan dari objek formal itu.
Untuk memperoleh data verbal cara terbaik yang dapat digunakan adalah
teknik simak yang dapat disetarakan dengan observasi , untuk memperoleh
data intensional yang diperlukan tentu saja teknik wawancara, sedangkan
data social dapat dipinjam segala macam teknik yang biasa digunakan
dalam ilmu sosial.
Objek formalnya meliputi kajian strukturalisme sastra, sosiologi
sastra, psikologi sastra, semiotika, antropologi sastra, filologi,
hingga yang termutakhir, postkolonialisme sastra. Pada sisi ini, objek
formal dipandang sebagai unit analisis atau kajian yang digunakan untuk
membedah karya sastra. Dengan kedua batasan ini, sastra dapat dikatakan
sebagai sebuah ilmu atau keilmuan.
b. Objek Material
Objek Material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian. Yang
menjadi objek material adalah keseluruhan tuturan manusia atau
masyarakat bahasa yang diteliti, sedangkan objek formalnya dapat berupa
satuan-satuan tertentu dari tuturan itu beserta relasi-relasi tertentu
antar satuan tuturan yang bersangkutan. Tidak tertutup kemungkinan yang
menjadi objek formal adalah konteks tutran, intensi penutur, efek
tuturan, dan sebagainya , yang kesemuanya ditentukan oleh sudut pandang
yang digunakan peneliti terhadap objek materialnya.
Sudut pandang tidak saja menentukan objek material penelitian,
melainkan sekaligus mengimplikasikan asumsi-asumsi peneliti mengenai
kodrat keberadaaan objek penelitiannya.
Tujuan utama dari karya sastra adalah menghubungkan pembaca dengan
dinamika kehidupannya, sehingga terjadi proses pelajaran khusus untuk
melakoni kehidupan yang sebenarnya. Pada posisi ini, bahasa menjadi
medium utama untuk mengomunikasikan makna-makna bagi pengarang dengan
permainan diksi untuk menghasilkan bentuk-bentuk karya yang
dimanifestasikan melalui puisi, prosa, dan drama. Sastra hadir dalam
spektrum zaman untuk menjelaskan identitas kultural suatu masyarakat
tertentu sesuai dengan teritorial sastra itu berkembang. Sebagi suatu
diskursus keilmuan, sastra mesti memiliki objek material maupun objek
formalnya. Objek material sastra meliputi karya-karya sastra itu
sendiri, yakni novel, teks drama, puisi, novelet, karya-karya epos kuno,
hingga esai.
4. Ciri-Ciri Penelitian Sastra
1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat
deskripsi, bukan generalisasi. Gejala sastra tidak berulang, makna
yang tidak tetap yang justru merupakan hakikat
2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam
penelitian tertentu, misalnya penelitian yang melibatkan sejumlah
karya atau konsumen
3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat
terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus
4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab
peneliti terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi saat
penelitian dilakukan
Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab
sebagai hakikat diskursi bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua
dengan berbagai sistem komunikasinya.
5. Metode-Metode Penelitian Sastra
1. Intuitif
Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam
upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas
dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-
unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Sejajar dengan perkembangan ilmu
pengetahuan maka setiap komponen diperbaharui sekaligus disesuaikan
dengan objek yang dipahami.
Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman
terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan
antara individu dengan alam semesta. Dikaitkan dengan zamannya yang
jelas metode intuitif memiliki hubungan yang erat dengan hermeneutika.
Metode intuitif kontemplatif, demikian juga metode intuitif
hermeneutis jelas telah digunakan dalam memahami sastra, khususnya
sastra Indonesia sebelum lahirnya strukturalisme.
2. Hermeneutika
Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah ada
sejak zaman Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini berfungsi untuk
menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru berkembang sejak abad
ke-19 melalui gagasan Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer,
Habermas, Ricoeur, dan sebagainya. Dalam sastra dan filsafat,
hermeneutik disejajarkan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan
retroaktif. Dalam ilmu-ilmu sosial juga disebut metode kualitatif,
analisis isi, alamiah, naturalistik, studi kasus, etnografi,
etnometodologi, dan fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari makna
yang benar melainkan makna yang paling optimal. Untuk menghindarkan
keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak
yang jelas. Penafsiran terjadi karena setiap subjek memandang objek
melalui horison dan paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada
gilirannya menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia, menambah
kualitas estetika, etika, dan logika.
3. Metode kualitatif
Metode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang
berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode
kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan
Wilhlem Dilthey . Objek sosial bukan gejala social sebagai bentuk
substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang
justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan inilah
metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman atau
verstehen.Penelitian kualitatif mempertahankan nilai-nilai. Dalam ilmu
sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data penelitiannya
adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya
sedangkan data penelitiannya teks. Sejalan dengan uraian di atas, ciri-
ciri terpenting metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah:
1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan
hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.
2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian
sehingga makna selalu berubah.
3. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian,
subjek peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi
langsung di antaranya.
4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian
bersifat terbuka.
5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya
masing-masing.
4. Metode Analisis Isi (Content Analysis)
Analisis Isi (Content Analysis) secara sederhana diartikan sebagai
metode untuk mengunpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”.
Teks dapat berupa katakata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan
bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis Isi berusaha
memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai
gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkadang dalam sebuah teks,
dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan. Sesuai
tujuannya, maka metode Analisis Isi menjadi pilihan untuk diterapkan
pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks.
Ada beberapapertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan
metode Analisis Isi, yaitu:
1. Pertanyaan tentang prioritas/ hal penting dari isi teks, seperti
frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis citra atau cerita dari
peristiwa yang direpresentasikan.
2. Pertanyaan tentang “bias” informasi dalam teks, seperti komparasi
relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan
dalam berbagai representasi.
3. Perubahan historis dalam modus representasi.
5. Metode Formal
Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek
formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur karya sastra.
Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan
memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri utama
metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra kemudian
mempertalikan hubungan antarunsur tersebut dengan totalitasnya. Metode
ini sama dengan metode struktural yang berkembang menjadi teori
strukturalisme. Metode formal memandang bahwa keseluruhan aktivitas
kultural memiliki dan terdiri atas unsur-unsur.
6. Metode Dialektika
Mekanisme kerja metode ini adalah tesis, antitesis, dan sintesis..
Prinsip dasarnya adalah unsur yang satu tidak harus lebur ke dalam unsur
lainnya. Individualitas dipertahankan di samping interdependensinya.
Kontradiksi tidak dimaksudkan untuk menguntungkan secara sepihak.
Sintesis bukanlah hasil yang pasti tetapi justru merupakan awal
penelusuran gejala berikutnya. Prinsip-prinsip dialektika hampir sama
dengan hermeneutik, yaitu gerak spiral eksplorasi makna yang mengarah
kepada penelusuran unsur ke dalam totalitas dan sebaliknya. Pada metode
ini, kontinuitas operasionalisasi tidak berhenti pada level tertulis
tetapi diteruskan pada jaringan kategori sosial sebagai penjaringan
makna secara lengkap. Kontradiksi dalam dialektika dianggap sebagai
energi pemahaman objek. Metode dialektika digunakan dengan sangat
berhasil oleh Goldmann dalam struktural genetik. Secara teoretis, setiap
fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis kemudian diadakan negasi.
Dengan adanya pengingkaran, tesis dan antitesis seolah-olah hilang atau
berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu
sendiri. Sintesis kemudian menjadi tesis kembali dan seterusnya sehingga
proses pemahaman terjadi secara terus- menerus.
7. Metode Deskriptif Analisis
Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang
kemudian disusul dengan analisis. Metode ini tidak sematamata hanya
menguraikan tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Metode ini
dapat diaplikasikan ke dalam beberapa jenis lainnya, misalnya metode
deskriptif komparatif atau metode deskriptif induktif. Metode ini dapat
diperoleh melalui gabungan dua metode dengan menitikberatkan kepada
metode yang lebih khas yang sesuai dengan tujuan penelitian.
8. Metode Analisis Wacana
Secara umum wacana dimengerti sebagai pernyataan-pernyataan.
Wikipedia (dalam Purbani, 2010: 9) mendefinisikan wacana sebagai
perdebatan atau komunikasi tertulis maupun lisan. Masyarakat umum
memahami wacana sebagai perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal
topik tertentu. Dalam ranah yang lebih ilmiah Michael Stubbs dalam
Slemborouck (Purbani, 2010: 9) menyatakan bahwa wacana memiliki
karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a) memberi perhatian
terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language system) yang
lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada
hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi perhatian
terhadap perangkat interaktif dialogis dari komunikasi sehari-hari.
Slembrouck juga menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak
memandang secara bias antara bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya
dapat dijadikan objek pemeriksaan analisis wacana.
Agenda utama analisis wacana adalah mengungkap bagaimana kekuasaan,
dominasi dan ketidaksetaraan dipraktikkan, direproduksi atau dilawan
oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks sosial dan politis.
Dengan demikian analisis wacana mengambil posisi non-konformis atau
melawan arus dominasi dalam kerangka besar untuk melawan ketidakadilan
sosial.
Dalam penelitian sastra, analisis wacana yang disarankan adalah
analisis wacana kritis (CDA). Kata kritis (critical) dalam CDA membawa
konsekuensi yang tidak ringan. Pengertian kritis di sini bukan untuk
diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan
keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis
menurut Wodak (dalam Purbani, 2010: 10) hendaknya dimaknai sebagai
sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan
kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan,
dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri
melalui proses, dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang
pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis
juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif.
Kritis dalam CDA mencakup 3 dimensi yakni dimensi teks, dimensi
sosiodiagnostik dan dimensi perspektif/retropekstif yang mengandung
konsekuensi adanya integrasi dari banyak lapisan konteks dalam analisa
mendalam (indepth) yang dilakukan. Sikap kritis ini mesti digunakan
dalam setiap langkah penelitian mulai dari penentuan objek yang akan
diinvestigasi, pemilihan metode analisis dan kategorisasi, penentuan
sampel, penggunaan theoretical framework, interpretasi terhadap data dan
pengajuan rekomendasi. Sikap kritis harus berjalan tatkala menentukan
tim, melakukan sesi-sesi refleksi. Penggunaan ahli dari luar tim dalam
melakukan refleksi kritis sangat dianjurkan.
Analisis wacana merupakan teori sekaligus metode analisis yang
banyak menggunakan teknik interpretasi. Pada tingkat lanjut interpretasi
yang dilakukan mengacu pada model dekonstruksi yang dikembangkan
Derrida, yakni model pembacaan yang yang dilakukan guna menunjukkan apa
yang terkubur atau tersembunyi di balik ujaran. Karena bersifat
interpretatif maka reliabilitas dan validitas analisis sering
dipertanyakan. Tetapi reliablilitas dan validitas ini bisa
dipertanggungjawabkan melalui logika dan rasional dari argumen-argumen
yang dihasilkan. Dengan kata lain validitas penelitian tergantung pada
kualitas logika analisis serta kualitas retorik dari argumen yang
digunakan peneliti dalam membahas data.
CDA juga bersifat eksplanatif atau menjelaskan bukan sekadar
deskriptif, sehingga peneliti tidak boleh terjebak dalam analisis yang
bersifat superficial atau kulitan. Antaki et al memerinci beberapa
kelemahan metodologis CDA yang sering ditemukannya dalam laporan hasil
penelitian atau tulisan dalam jurnal ilmiah. Di antara kelemahan-
kelemahan metodologis tersebut adalah perancuan antara analisis wacana
dengan peringkasan atau deskripsi wacana, minimnya penjelasan terhadap
kutipan wawancara, dan keberpihakan dalam melakukan analisis.
Wodak menyatakan bahwa CDA tidak sekadar metode atau metodologi
melainkan juga teori produksi dan resepsi teks. CDA menekankan pada
detil, sistematisasi dan transparansi. Pembaca dapat melacak detil
dari analisis tekstual yang mendalam seperti banyak diterapkan pada
penelitian sosial.
6. Pendekatan-Pendekatan Teori Sastra
Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 53-55).
Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis,
pendekatanberasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai
jalan dan penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara
menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan,
menganalisis, dan menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa
sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara
sistematis dan metodis, maka perlu dibedakan antara metode dengan
pendekatan.
Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih
tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan
dimungkinkan untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam
hubungan inilah, pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu,
seperti pendekatan sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik,
pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya.
Definisi tersebut bersifat relatif sebab yang jauh lebih penting adalah
tujuan yang hendak dicapai sehingga sebuah pendekatan pada tahap
tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan adalah pengakuan terhadap
hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan
tertentu. Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan.
Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian.
Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan
mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah
yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan
penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.
a. Pendekatan Mimesis
Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu
karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang
sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams,
1958:8). Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu
segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh
karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan
diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya
Luxemberg, 1989:15). Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni
berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra
memandang karya seni dianggap sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai
refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah
ditafsirkan.
Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94)
mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Marxist. Menurut konsep ini
konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist
menyatakan bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan
realitas sosial. Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam
telaah teks sastra yang berhubungan dengan pendekatan mimesis.
Menurutnya, norma fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda
linguistik yang berfungsi dalam teks sastra tidak merujuk secara
langsung pada dunia kita, tetapi pada dunia fiksional teks karya sastra.
Adapun John Baxter (dalam Makaryk, 1993: 591-593) menguraikan bahwa
mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni karya
yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal. Mimesis
sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis
menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya
berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu produk akhir;
mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan
aktif dengan suatu kenyataan hidup. Menurut Baxter, metode terbaik
mimesis adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam pemahaman moral,
menyelidiki dan menafsirkan semesta yang diterima secara riil.
Proses tidak berhenti hanya dengan apa pembaca atau penulis mencoba
untuk mengetahuinya. Mungkin rentang batas yang riil dengan yang
dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun hanya sesaat dalam kondisi riil,
atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang tidak bisa dijangkau
jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan berbeda karena
tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh. Oleh karena itu,
kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan yang ideal.
Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut sebagai
'imajinasi yang utama' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari
kesadaran tertinggi.
Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan
metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai:
(1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2)
representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang
kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal,
dan (4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas
kenyataan.
Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat
disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan
mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara
tekstual, (2) menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk
dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai
tujuan, misalnya menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi
kenyataan secara dinamis, dan sebagainya, (3) membicarakan hubungan
spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra dengan kenyataan fakta
realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang terkandung dalam
teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang
direpresentasikan dalam karya sastra.
Realitas: sosial, budaya, politik
Karya sastra
b. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan
perhatianterhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk
apa yang terjadidalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi
pendekatan ini adalah diripengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-
hasil karyanya. Pendekatan inidapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-
ciri individualisme, nasionalisme,komunisme, feminisme, dan sebagainya
dalam karya baik karya sastraindividual maupun karya sastra dalam
kerangka periodisasi.
Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkankarya
sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan
perasaanpengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan
produksipersepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan
yangdikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah
padapenelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham
strukturgenetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini
mencari fakta-faktatentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman
sastrawan yangsecara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam
karyanya tersebut.
Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui
bahwapendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud
ekspresipengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan
persepsipersepsi,pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk
pandangandunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat
dilakukan melaluipendekatan ini adalah: (1) memberikan sejumlah pikiran,
persepsi, danperasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di
dalam karyanya,(2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan
pengarang yangditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori
faktual teks berupawatak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3)
merujukkan data yangdiperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-
fakta khusus menyangkutwatak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang
secara faktual luar teks (datasekunder berupa data biografis), dan (4)
membicarakan secara menyeluruh,sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang
dalam konteks individual maupunsosial dengan mempertimbangkan hubungan-
hubungan teks karya sastra hasilciptaannya dengan data biografisnya.
Pengarang karya sastra
ide, gagasan, emosi
pengalaman (lahir dan batin)
Skema hubungan antara karya sastra dengan pengarang
c. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis menurut Abrams (1958: 14-21) memberikan
perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan
perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan
pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan
pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan
pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman
pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka
sinkronis maupun diakronis.
Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik,
mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi.
Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah
baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra
seharusnyadipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca.
Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian
utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis
estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi
sastra.
Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik
memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata
kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah rezeptions
undwirkungsasthetik “tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang
menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca
dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya
dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan
pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka
sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-
masing. Baru dalamkaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna
dan fungsinya.
Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi
Jauss, yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai
estetik, (4) semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif
sinkronik dan diakronik, dan (7) sejarah umum. Pengalaman pembaca yang
dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang
bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi
pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan
yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang
berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu
antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam
aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak
bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh
pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.
Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk
masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman
atas genre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari
oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam
kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu
menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang
dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya
harapan-harapan atas karya yang dibacanya.
Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk menentukan
karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya pada
syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horizon harapan
yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan potensi-
potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan horison
sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau sampai pada
peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan. Kondisi yang
mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif menurut
sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan
kritiknya.
Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan
suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan
pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan
diarahkan kepada bagaimana pembaca zaman sekarang bisa memandang dan
memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal
yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari
kesulitan yang menyelimutinya.
Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra
dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut
bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk
mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman
kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah
sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai
proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman
berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang
ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan
permasalahan baru.
Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis
yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan
untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan
satusatunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra.
Pembenahan tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif
sejarah sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman
karya-karya baru dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga
mempertimbangkan pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-
kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem
hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu.
Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan
dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat
seperti 'sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'.
Hubungan ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan,
satirik, atau gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi
hubungannya dapat ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi
sosial sastra memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya
jika pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya
dari kehidupan praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman
atas dunianya. Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku
sosialnya.
Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat
hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser
menyebutnya sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya
sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam
rangka melakukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini
melihat bahwa karya sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali
dari sesuatu yang telah diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini
melahirkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Konsekuensinya, teori
respon estetik dihadapkan pada permasalahan bagaimana suatu situasi yang
tidak diformukasikan dapat diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari
teori ini adalah teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian
atas teks tersebut melalui pembaca.
Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54),
interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary
repertoire, dan literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint
yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire
merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai
untuk membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah
familiar dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih
dahulu. Strategi digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk
mengkomunikasikan teks dengan pembacanya tanpa mendeterminasikannya.
Melalui strategi ini disajikan primary code kepada pembaca dan membuat
pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang bervariasi.
Masing-masing teori di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik
metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis
pada aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan
pemodelan yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang
menyatakan bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses
pembacaan. Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas
teks tersebut melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari
pengalaman pembaca yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang
perlu diikuti sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan
langkah (1) menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang
mencirikan adanya perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan
meneliti unsur-unsur dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.
Karya sastra pembaca
Hubungan antara karya sastra dengan pembaca dalam pendekatan pragmatik
d. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian
semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan
ini mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan
adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek
historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya,
termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut
analisis otonomi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-
unsur dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan
unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain.
Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah
karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam
unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan
erat (koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya
melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang
terlibatdalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya
dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam
keseluruhan karya sastra.
Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra
sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat
bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di
dalamnya. Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada
jenis sastranya.Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis
yang digunakan terhadap saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai
dari lapir bunyi sampai ke lapis metafisik. Teknik analisisnya pun bisa
diarahkan pada pembacaan heuristik sampai ke tingkat pembacaan
hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai dengan sifat fiksi yang
merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada struktur
ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki melalui unsur-
unsurpembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar),
dan sarana cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dan lain-
lain.). Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan
menjadi satu oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur
tersebut ditelusuri dan dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur.
Tema berjalin erat dengan fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana
sastra.
Keempat pendekatan tersebut mengalami perkembangan sehingga menjadi
lebih luas, antara lain:
1. Pendekatan Biografis
Pendekatan ini merupakan studi sistematis mengenai proses
kreativitas. Segala hal yang berkaitan dengan pengarang dianggap sangat
berpengaruh dalam proses pembuatan karya sastra. Oleh karena itu,
penelitian harus mencamtumkan biografi, surat-surat, dokumen penting
pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung dengan pengarang.
Pendekatan ini berpandangan bahwa karya sastra identik dengan riwayat
hidup, pernyataan-pernyataan pengarang dianggap sebagai suatu kebenaran,
biografi mensubordinasikan karya.
2. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis bertolak belakang dengan pendekatan biografis,
di mana pendekatan ini menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan
proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Jika pendekatan
biografis menganggap bahwa karya sastra merupakan milik pengarang, maka
pendekatan sosiologis beranggapan sebaliknya, yaitu karya sastra
merupakan milik masyarakat. Dasar pendekatan ini adalah adanya hubungan
hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan ini terbentuk
karena karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang, pengarang merupakan
bagian dari masyarakat, pengarang memanfaatkan kekayaan yag ada pada
masyarakat dan hasil karya sastra itu dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pendekatan sosiologis merupakan perkembangan dari pendekatan
mimetik. Untuk menerapkan pendekatan ini, disamping harus menguasai ilmu
sastra, peneliti juga harus menguasai konsep-konsep ilmu sosiologi dan
data-data kemasyarakatan yang biasanya ditelaah oleh ilmu sosiologi.
Pendekatan ini dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu sosiologi
pengarang, karya, dan sosiologi pembaca dan dampak social karya
sastra.dalam sosiologi pengarang, hal-hal yang ditelaah adalah latar
belakang social, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang yang
dilihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Dalam
sosiologi karya ditelaah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang
tersirat dalam karya sastra itu sendiri yang berkaitan dengan masalah
sosial. Dalam sosiologi pembaca dan dampak sosial karya sastra ditelaah
sejauh mana sastra ditentukan ayau tergantung dari latar sosial,
perubahan, dan pekembangan sosial (Wiyatmi, 2008: 98).
3. Pendekatan Psikologis
Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (Wiyatmi, 2008:
106), psikologi sastra mempunyai empat kemungianan pergertian, yaitu:
(1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2)
studi proses kreatif, (3) studi dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra, dan (4) mempelajari dampak karya sastra
pada pembaca.
Pendekatan psikologis menurut Wellek dan Warren (Ratna, 2012: 61)
dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca.
Pendekatan ini padadasarnya berkaitan dengan tiga gejala utama, yaitu
pengarang, karya sastra, dan pembaca dengan mempertimbangkan bahwa
pendekatan psikologis lebh banyak berhubungan dengan pengarang dan karya
sastra.
Yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendekatan psikologi menurut
Wellek dan Warren (Wiyatmi, 2008: 108) adalah bahwa seandainya pun
seorang pengarang berhasil membuat tokoh-tokohnya berlaku sesuai
dengan’kebenaran psikologis’ perlu dipertanyakan apakah kebenaran
semacam itu bernilai artistik, sebab banyak karya besar yang menyimpang
dari standar psikologi sezaman atau sesudahnya. Karya sastra kadang
menyajikan situasi-situasi yang terkadang tidak masuk akal dan motif-
motif yang fantastis, dan bahkan upaya mendramatisasi cukup dominan
kehadirannya.
Sampai saat ini teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan
psikologis adalah determinisme psikologiSigmund Freud (Ratna, 2012: 62).
Teori kepribadian menurut Freud pada umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu:
(a) Id atau Es, (b) Ego atau Ich, dan (c) SuperEgo atau ÜberIch. Id adalah
dorongan-dorongan primitive yang harus dipuaskan, salah satunya adalah
libido. Id merupakan kenyataan subjektif prime, dunia batin sebelum
individu memiliki penglaman tentang dunia luar. Ego bertugas untuk
mengontrol Id, sedangkan SuperEgo berisi tentang kata hati.
4. Pendekatan Antropologis
Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi dibedakan menjadi dua
bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Pendekatan
antropologi ini lebih banyak berkaitan dengn objek verbal. Lahirnya
pendekatan antropologis didasarkan atas kenyataan: (a) adanya hubungan
antara ilmu antropologi dengan bahasa, (b) dikaitkan dengan tradisi
lisan, baik antropologi maupun sastra sama-sama menjadikan hal tersebut
sebagai fokus yang penting (Ratna, 2012: 64).
Pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis
adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai unsur
naratif, di antaranya adalah:
1. Aspek-aspek kebudayaan yang berbeda-beda.
2. Penelitian aspek naratif sejak epik yang paling awal hingga novel
yang paling modern.
3. Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya
individual maupun generasi.
4. Bentuk-bentuk mitos dan system religi dalam karya sastra.
5. Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam
kebudayaan populer.
5. Pendekatan Historis
Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra
yang diteliti, yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan
sastra sejak awal hingga sekarang, sastra sejarahsebagai karya sastra
yang mengandung unsur-unsur sejarah, dan novel sejarah, novel dengan
unsur-unsur sejarah (Ratna, 2012: 65). Pendekatan sejarah paling sesuai
jika digunakan untuk mengkaji sastra dan novel sejarah, tetpi tidak
menutu kekungkinan dapat juga digunakan untuk meneliti karya sastra yang
unsur-unsur sejarahnya tidak dominan.
Pendekatan ini secara umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah
sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi pengarang, karya
sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra
individual. Dengan memperhatikan indikator sejarah dan sastra, maka
beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis antara
lain (Ratna, 2012: 66):
1. Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akibat proses
penerbitan ulang.
2. Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3. Kedudukan pengarang pada saat menulis karya sastra tersebut.
4. Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.
6. Pendekatan Mitopoik
Secara etimologis mythopic berasal dari kata myth. Mitos dalam
pengertian secara tradisional sejajar dengan fabel dan legenda. Karya
sastra bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah
menifestasi mitos itu sendiri. Dalam menciptakan karya seni, pada
dasarnya para seniman memanfaatkan ketidaksadaran personal yang diterima
dalam kehidupan sekarang (ontogenesis) dan ketidaksadaran impersonal
yang diterima melalui nenek moyang (filogenesis). Dengan demikian,
pengarang mengarang berdasarkan mitos tertentu dan menjadikan mitos
tersebut sebagai struktur (Ratna, 2012: 67).
Di antara semua pendekatan, pendekatan mitopoik dianggap sebagai
sebuah pendekatan yang paling pluralis karena memasukkan hampir semua
unsur kebudayaan seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi,
agama, filsafat, dan kesenian. Kecenderungan pendekatan multidisiplin
memberikan harapan yang lebih signifikan terhadap pendekatan mitopik,
sehingga pendekatan tersebut bukan pendekatan gabungan yang tanpa arah
karena memasukkan banyak data. Oleh karena itu, diperlukan teori dan
metode yang berfungsi untuk mengorganisasikan keseluruhan data yang
masuk, sehingga dapat diperoleh makna yang bersifat tunggal (Ratna,
2012: 67-68).
7. Pendekatan Moral
Selain dapat dibahas dan dikritik dengan sejumlah pendekatan di
atas, karya sastra juga dapat dibahas dan dikritik dengan pendekatan
moral. Pendekatan ini sebenarnya termasuk tipe pendekatan pragmatik
karena membahas hubungan antara karya sastra dan pembacanya, yaitu pesan
moral apa yag disampaikan oleh karya sastra kepada pembaca (Wiyatmi,
2008: 109). Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari dasar
pemikiran bahwa karya sastra dapat menjadi media yang paling efektif
untuk membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Adapun
moral yang dimaksudkan di sini adalah suatu norma etika, suatu konsep
tetang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat.
Latar belakang munculnya pendekatan ini adalah pandangan yang mengatakan
bahwa karya sastra yang baik selalu memberikan pesan moral kepada
pembaca untuk berbuat baik, yaitu mengajak para pembaca untuk menjunjung
tinggi norma-norma sosial. Dalam konteks ini, karya sastra dianggap
sebagai sarana pendidikan moral (Darma dalam Wiyatmi, 2008: 110).
Dalam pendekatan moral terhadap karya sastra perlu dipahami
bagaimana hubungan antara karya sastra dengan pembacanya karena
pembacalah yang nantinya akan menemukan dan memanfaatkan moral yang ada
di dalamnya. Dalam hal ini Budi dalam Wiyatmi (2008: 110) menjelaskan
bahwa karya sastra yang baik akan melihat karya tersebut sebagai
cerminan dirinya sendiri. Ada resiprokal dalam pembacaan karya sastra.
Dengan jalan menimbulkan pathos, yaitu simpati terhadap dan merasa
terlibat dalam peristiwa mental yang terjadi dalam karya sastra yang
dibacanya, maka pembaca dapat mengadakan hubungan dlangsung dengan karya
tersebut, untuk kemudian akan lebih mudah untuk menangkap gagasan dan
maksud pengarang, sekaligus menangkap pesan moral yang terdapat dalam
karya tersebut.
Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak secara langsung
disampaikan, tetapi melalui hal-hal yang seringkali amoral terlebih
dulu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikenal sebagai tahap katarsis pada
pembaca karya sastra. Katarsis adalah pencucian jiwa yang dialami
pembaca atau penonton drama. Pada prosesnya, untuk menuju moral,
seringkali penonton harus melalui proses menyaksikan adegan yang tidak
sejalan dengan kepentingan moral.
7. Contoh-Contoh Penelitian Sastra
PENELITIAN I
DRAMA FAUST I KARYA JOHANN WOLFGANG VON GOETHE:
KAJIAN SEMIOTIKA RIFFATERRE
Tesis oleh Isti Haryati
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkapkan makna
tanda-tanda penting dalam drama Faust I yang berkaitan dengan hubungan
antara manusia dan setan.
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: drama Faust I dalam sastra
Jerman, tragedi yag terjadi pada tokoh-tokoh dalam drama Faust I, struktur
dan tekstur drama Faust I, makna tanda-tanda yang berhubungan dengan
hubungan manusia dan setan dalam drama Faust I, hipogram-hipogram makna
drama Faust I.
C. Penelitian yang relevan:
a. Naluri Beragama Tokoh Utama dalam Drama Faust I Karya Johann Wolfgang von
Goethe oleh Is’adiyah Utami (2000). Hasil analisis yang dilakukan
menunjukkan bahwa hal-hal yang mendorong bangkitnya naluri beragama
tokoh utama (Faust) di antaranya dalah terlepasnya Faust dari niat buruk
untuk bunuh diri setelah mendengar lagu-lagu suci yang merupakan
peringatan Tuhan. Faust juga meminta perlindungan Tuhan saat pertama
bertemu dengan setan yang baginya menakutkan. Terakhir, ia juga
menyebutkan nama Tuhan saat mengagumi keindahan ciptaan Tuhan, yakni
kecantikan Margarette (Gretchen).
b. Kajian Sosiologi Drama Iphiginie auf Tauris Karya Johann Wolgang von Goethe (Pendekatan
Strukturalisme Genetik) tahun 2005 oleh Indah Aini. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa situasi dan kondisi yang melatarbelakangi lahirnya
pandangan dunia dalam drama Iphiginie auf Tauris adalah sepertiga abad ke-18
ketika kekuasaan para raja absolut dan pertentangan terhadap gereja atau
agama sedemikian kuat. Drama ini ditulis pada periode klasik ketika para
tokohnya memperjuangkan humanisme sekuler, yaitu aliran yang menganggap
kemanusiaan murni sebagai segala-galanya bagi kehidupan manusia dan
menganggap agama sebagai sumber permasalahan kehidupan manusia.
c. Godot di Amerika dan Indonesia, Suatu Studi Banding (2002) sebuah buku yang
merupakan karya disertasi oleh Soebakdi Soemanto. Dalam buku tersebut,
Soebakdi membahas tanggapan beberapa drama di Indonesia atas drama
Waiting for Godot karya Samuel Becket, di mana judul aslinya adalah En
Ettendant Godot. Aspek yang dikaji pada buku ini adalah tekstur dan
struktur dari drama-drama tersebut. Pada bagian struktur, Soebakdi
menguraikan plot, karakter, dan tema, sedangkan analisis terhadap
tekstur meliputi dialog, suasana hati (mood), dan spektakel.
d. Senandung Semenanjung, Sebuah Analisis Intertekstualitas (2003) oleh Cahyaningrum
Dejowati. Penelitian ini membahas hubungan intertekstualitas antara
drama Senandung Semenanjung karya Wisran Hadi dengan Hikayat Hang Tuah. Dalam
penelitian ini diadakan analisis struktur dan tekstur drama dan data
tersbut digunakan untuk melihat hubungan intertekstualitas antara drama
Senandung Semenanjung dan Hikayat Hang Tuah, serta kreativitas Wisran Hadi
sebagai penyambut teks Hikayat hang Tuah.
D. Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika
Riffaterre. Menurut Riffaterre, karya sastra merupakan dialektika antara
tataran mimetik dengan tataran semiotik. Pembaca yang bertugas memberi
makna pada sebuah karya sastra, tidak dapat tidak (mutlak) harus mulai
dengan menemukan arti unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya, menurut
kemampuan bahasanya, yang berdasarkan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Fungsi mimetik kemudian meningkat menuju tataran semiotik,
di mana kode karya sastra akan dibongkar secara struktural atas dasar
signifikansinya.
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pemaknaan puisi atau karya
sastra menurut Riffaterre, yaitu: (1) puisi itu merupakan ekspresi yang
tidak langsung, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3) matriks,
model, varian, (4) hipogram. Dalam memaknai karya sastra yang berbentuk
puisi, keempat hal tersebut dapat dilakukan, tetapi untuk memaknai karya
sastra yang berbentuk prosa dan drama, tidak semua aspek dapat
diterapkan.
Untuk memahami semiotika karya sastra, dilakukan dua tahap pembacaan
terhadap karya sastra, yakni heuristik dan hermeneutik, karena sebelum
mencapai signifikansi, pembaca harus memahami mimesis. Pembacan
heuristik merupakan interpretasi tahap pertama yang bergerak dari awal
ke akhir teks sastra, dari puncak hingga dasar halaman dan mengikuti
pemekaran sintagmatik. Pembacaan tahap kedua merupakan pembacaan
retroaktif, yaitu pembacaan yang didasarkan pada konvensi sastra,
merupakan saat interpretasi yang kedua. Dalam pembacaan ini, pembaca
harus bergerak lebih jauh untuk memperoleh kesatuan maknanya dari
pemahaman makna sebelumnya yang masih beraneka ragam.
Menurut Riffaterre, karya sastra (terutama puisi) dipahami menyerupai
bentuk donat, yang mempunyai lubang di tengahnya. Apa yang hadir secara
tekstual adalah daging donat, sedngkan yang tidak hadir adalah ruang
kosong berbentuk bundar yang ada di tengahnya dan sekaligus menopang dan
membentuk daging donat itu menjadi donat. Ruang kosong yang tidak ada
secara tektual tetapi mnentukan terbentuknya puisi ini disebut sebagai
hipogram.
Ada dua macam hipogram, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual.
Hipogram potensial merupakan segala macam bentuk impliksi makna
kebahasaan, baik yang berupa presuposisi (penganggapan) bahasa, makna-
makna konotatif yang sudah dianggap umum, dan sebagainya. Hipogram
potensial tidak tereksplisitkan dalam teks, tetapi harus diabstrasikan
dari teks, yang berupa aplikasi makna kebahasaan baik yag berupa
presuposisi maupun sistem deskriptif atau kelompok asosiasi
konvensional. Hiprogram aktual dapat berupa teks nyata, kata, kalimat,
peribahasa, dan seluruh kata. Hipogram aktual menjadi latar penciptaan
teks baru. Hipogram aktual terwujud dalam teks-teks yang sudah ada
sebelumnya, baik yang berupa mitos maupun karya sastra lainnya.
Ruang kosong yang berbentuk bundar dan menopang daging donat serta
manjdikan donat benar-benar menjadi donat merupakan pusat makna karya
sastra. Pusat makna ini disebut sebagai matriks yang merupakan konsep
abstrak dan dapat berupa satu kata atau satu kalimat yang tidak selalu
teraktualisasikan dalam teks. Aktualisasi pertama dari matriks adalah
model, yang berupa satu kata atau kalimat tertentu. Untuk membedakan
kata-kata biasa dengan model adalah dengan memperhatikan kualitas
puitisnya. Sifat puitis tersebut haruslah dipahamidengan memperhatikan
tanda tersebut apakah tanda tersebut bersifat hipogramatik (menjadi
latar penciptaan sebuah teks), atau bersifat monumental. Model kemudian
diperluas menjadi varian-varian sehingga menurunkan teks secara
keseluruhan.
E. Metode Penelitian
a. Objek material penelitian: drama Faust I karya Johann Wolfgang von
Goethe yang diterbitkan tahun 1982 oleh Diogenes Verlag AG, Jerman. Teks
drama ini terdiri dari 3 pra-adegan dan 25 adegan.
b. Objek formal penelitian: tanda-tanda semiotik penting yang berkaitan
dengan hubungan antara manusia dan setan dalam drama Faust I yang dicari
maknanya dengan menggunakan semiotika Riffaterre.
c. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif
dengan jenis penelitian pustaka.
d. Langkah-langkah penelitian:
1. Menetapkan objek penelitian, yaitu drama Faust I karya Johann Wofgang
von Goethe, melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan data-
data yang mendukung objek penelitian.
2. Melakukan kajian terhadap drama Faust I.
3. Melakukan pembacaan heuristik terhadap drama Faust I.
4. Melakukan pembacaan hermeneutik terhadap drama Faust I.
5. Mencari matriks, model, dan varian-varian drama Faust I serta memaknai
drama Faust I berdasarkan hipogramnya.
6. Membuat kesimpulan dan melaporkan hasil penelitian.
F. Kesimpulan Penelitian:
a. Drama Faust I karya Johann Wolfgang von Goethe adalah karya yang
ditulis pada masa kalasik dalam kesusasteraan Jerman sehingga ciri khas
karya sastra pada masa klasik tercermin pada drama ini.
b. Drama Faust I adalah sebuah tragedi sehingga permasalahan yang muncul
di dalamnya adalah tragedi yang terjadi pada tokoh-tokohnya, yakni pada
Faust dan Gretchen.
c. Melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik ditemukan
ketidaklangsungan ekspresi pada drama Faust I, yaitu penggantian arti yang
berupa metafora. Melalui pembacaan hermeneutik disimpulkan bahwa
hubungan manusia dengan setan yang terjadi dalam drama Faust I muncul
dalam beberapa bentuk, yaitu dengan mempelajari Magie, mengadakan
perjanjian dengan setan dan akhirnya menjual jiwanya pada setan.
d. Hipogram drama Faust I adalah kisah Ayub dalam Injil dan Al-Quran,
cerita rakyat Historia von D. Johann Fausten yang diterbitkan oleh
Johann Spies, drama The Tragical History of Doktor Faustus oleh
Christopher Marlowe, kisah nyata pembunuhn anak (Kindesmörderin) dan
gerakan Freemansory.
e. Dengan drama Faust I ini Goethe ingin menegaskan keberadaan manusia
yang mengadakan hubungan dengan setan karena hasratnya yang tinggi untuk
menguasai ilmu pengetahuan berhadapan dengan keterbatasannya.
Keterbatasan manusia tidak akan menyebabkan manusia menempuh jalan yang
salah apabila manusia tersebut mempunyai suatu sebagai pegangan yang
kuat dalam hidupnya. Keberadaan setan bias mengatasi keterbatasan yang
dimiliki oleh manusia kerena setan mempunyai kelebihan yang tidak
dimiliki oleh manusia. Akan tetapi, dengan mengadakan hubungan dan
meminta bantuan kepada setan, berarti manusia telah dikalahkan oleh
setan dan kepercayaannya kepada Tuhan telah ternodai. Persekutuan
manusia dengansetan menyebabkan manusia tergantung kepada setan dalam
mengatasi permasalahan hidupnya, seperti kondisi manusia di zaman modern
ini yang tergantung pada modernitas karena telah mengikatkan diri
padanya. Pengagungan manusia kepada teknologi yang mewakili modernitas
bias menyebabkan manusia merasa menjadi manusia unggulan (Übermensch) yang
bias mengatasi permasalahn hidupnya tanpa campur tangan Tuhan.
PENELITIAN II
MITOS MODERN DALAM ROMAN DIE VERWANDLUNG KARYA FRANZ KAFKA MELALUI
ANALISIS LIMA KODE SEMIOTIK ROLAND BARTHES
Oleh Nila Viayanti Mala Effendhi
A. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan mitos-mitos
beserta maknanya dalam RomanDie Verwandlung karya Franz Kafkadengan
menggunakan analisis lima kode semiotik Roland Barthes (kode
hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode
referensial atau kultural).
B. Batasan Istilah
1. Roman merupakan salah satu bentuk karya sastra yang bergenre prosa.
Roman memiliki pandangan tersendiri terhadap kepribadian satu tokoh
yang mempunyai ciri khas ataupun kelompok tertentu yang mempunyai
perbedaan nasib dalam dunianya. Tokoh-tokoh di dalamnya selalu berusaha
menunjukkan eksistensinya karena kehilangan aturan-aturan dan rasa
tenteram, adanya permasalahan, perpecahan, bahaya, dan ketidakselarasan
dari kesempurnaan dan kenyataan yang ada, baik di dalam maupun di luar
dunia yang dibangunnya.
2. Semiotika adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang tanda. Tanda adalah
sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (makna) yang dapat berupa
pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.
3. Mitos adalah sebuah sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah
pesan yang tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide, dengan
kata lain, mitos adalah wacana yang berkonotasi.
4. Leksia (lexias) adalah satuan terkecil pembacaan, sepotong bagian teks,
yang apabila diselesaikan dapat berdampak atau memiliki fungsi yang khas
bila dibandingkan dengan potongan teks lain di sekitarnya.
C. Kajian Teori
1. Roman
Ada perbedaan terminologi antara Roman dalam teori sastra Jerman dan
teori sastra Indonesia. Menurut teori sastra Jerman, Roman bisa masuk
menjadi roman ataupun novel dalam teori sastra Indonesia. Roman dalam
teori sastra Jerman tidak selalu menceritakan kehidupan seorang tokoh
dari lahir sampai akhir hayatnya, tapi bisa juga seperti novel dalam
teori sastra Indonesia yang hanya berupa penggalan kehidupan seorang
tokoh yang digambarkan dalam cerita tersebut.
2. Semiologi Roland Barthes
Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes mengemukakan tentang
adanya mitos. Mitos yang dimaksudkan di sini bukan cerita-cerita rakyat,
melainkan adalah sebuah tipe wicara (type of speech). Mitos merupakan sebuah
sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah pesan yang tidak bisa
menjadi sebuah objek, konsep, atau ide. Mitos tidak ditentukan oleh
objek pesannya, namun oleh cara bagaimana mitos tersebut mengutarakan
pesan itu sendiri (walaupun mitos memiliki batas-batas formal yang tidak
begitu substansial). Karena mitos adalah wicara (di mana wicara ini
sendiri adalah sebuah pesan yang bisa terdiri dari berbagai bentuk
tulisan atau representasi), maka ia tidak berupa wicara lisan saja,
tetapi juga bisa berbentuk wacana tertulis, fotografi, sinema,
reportase, olahraga, pertunjukan, publikasi, yang kesemuanya bisa
berfungsi sebagai pendukung wicara mistis (Barthes, 2006: 152-3).
Secara semiotis, mitos dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran
kewacanaan yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (second
order semiological system). Pada tataran bahasa, yaitu sistem semiologis
tingkat pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda
sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Tanda-tanda pada tataran pertama
ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan
pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi
inilah mitos berada (Barthes via Budiman, 2002: 94).
Bahasa
MITOS
(Dari gambar di atas
terlihat bahwa dalam
mitos terdapat dua sistem semiologis, di mana salah satu sistem tersebut
tersusun berdasarkan keterpautannya dengan sistem yang lain: sistem
linguistik, bahasa (atau model representasi yang diasimilasikan
padanya), yang akan saya sebut sebagai bahasa-objek, karena ia adalah
bahasa yang digunakan oleh mitos untuk membangun sistemnya sendiri; dan
mitos itu sendiri, yang akan saya sebut sebagai metabahasa, sebab ia
adalah bahasa kedua, tempat di mana bahasa yang pertama dibicarakan).
Beberapa kriteria yang bisa digunakan sebagai panduan untuk mencari
atau menemukan leksia-leksia dari suatu teks, yaitu:
1. kriteria pertama, pemusatan
Suatu penggalan teks dapat dikatakan sebagai leksia apabila penggalan
tersebut berpusat pada satu titik perhatian, yaitu satu peristiwa yang
sama, satu tokoh yang sama, dan satu masalah yang sama.
2. kriteria kedua, koherensi
Suatu leksia yang baik merupakan pemenggalan teks yang mampu mengurung
suatu kurun ruang dan waktu yang koheren, yaitu dapat berupa suatu hal,
keadaan, peristiwa dalam ruang dan waktu yang sama.
3. kriteria ketiga, batasan formal
Ada kalanya suatu leksia dapat diperoleh dengan mempertimbangkan
penanda-penanda formal yang memberi jeda, atau batas antara bagian dalam
teks tersebut, misalnya ruang kosong atau nomor yang menandai pergantian
bab, jarak baris yang menandai pergantian paragraf dan tanda-tanda
formal lain yang menandai pergantian suatu masalah.
1.
Penanda
2.
Petanda
3. Tanda
I. PENANDA
PETANDAIII. TANDA
4. kriteria keempat, signifikasi
Leksia sebaiknya merupakan penggalan yang benar-benar signifikan sebagai
sebuah narasi. Sebagai contoh adalah judul yang hanya berupa satu atau
dua huruf, bilangan angka, mengadopsi kosakata dari disiplin tertentu,
dan lain-lain. Selain itu, hal-hal yang memiliki kadar signifikasi yang
tinggi dalam sebuah cerita dapat dipandang sebagai satu leksia
tersendiri.
Langkah-langkah analisis terhadap teks akan dilakukan secara
mendetail, melalui tahap demi tahap yang secara garis besar terbagi
dalam beberapa tahap, yaitu:
1. pembagian teks ke dalam satuan-satuan analisis (leksia)
2. identifikasi terhadap leksia-leksia tersebut secara sistematis dan
berurutan
penyusunan daftar semua kode pada kartu data dan penafsiran atas leksia-
leksia tersebut.
Setiap leksia bisa mengandung satu sampai tiga kode. Dalam
menganalisis sebuah teks, Barthes menggunakan lima kode. Kode-kode
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kode Hermeneutik (HER)
Kode hermeneutik adalah kode yang mengandung unit-unit tanda yang
secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai
cara dialektik pertanyaan-respons, yang dalam prosesnya jawaban atau
kesimpulan (cerita) ditangguhkan atau mengalami penundaan, sehingga
menimbulkan semacam enigma atau teka-teki. Kode ini menentukan misteri
dan ketegangan (suspence) dengan membantu pembaca mengenali apa yang
dianggap sebagai teka-teki dan menyusun rincian-rincian sebagai
kontribusi yang memungkinkan terjadinya pemecahan.
2. Kode Semik (SEM)
Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat,
petunjuk atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda
tertentu. Kode ini merupakan penanda yang mengacu pada gambaran-gambaran
mengenai kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik suatu tempat atau
objek tertentu. Kode semik disebut juga sebagai kode semantik, merupakan
kode yang berada dalam kawasan penanda, yakni penanda yang memiliki
konotasi atau penanda materialnya sendiri tanpa rantai penandaan pada
tingkat ideologis karena sudah menawarkan makna konotasi. Kode ini
menjadi penanda bagi dunia konotasi yang ke dalamnya mengalir kesan atau
nilai rasa tertentu. Pada tataran tertentu, kode konotatif ini agak
mirip dengan apa yang disebut sebagai tema atau struktur tematik. Kode
ini juga memberikan stereotip-stereotip kultural (misal: model-model
kepribadian) yang membuat pembaca mampu menghimpun kepingan-kepingan
informasi untuk menciptakan pelbagai karakter.
3. Kode Simbolik (SIM)
Kode simbolik merupakan kode pengelompokan yang kemunculannya
berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual,
misalnya: berupa antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin
dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur
simbolik dan mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda di mana satu
ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi,
keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari
kemungkinan-kemungkinan makna ke kemungkinan lain. Penanda-penanda dalam
wilayah ini mempunyai banyak makna (multivalence) yang dapat saling bertukar
posisi (reversibility). Kode simbolik merupakan kode yang mengatur aspek bawah
sadar tanda dan dengan demikian merupakan kawasan psikoanalisis
(Barthes, 1990: 19). Dengan kata lain, kode simbolik membimbing
eksplorasi dari rincian-rincian tekstual menuju interpretasi-
interpretasi simbolik.
4. Kode Proairetik atau Kode Aksi (PRO)
Kode ini merupakan kode tindakan yang didasarkan pada konsep
proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan akibat dari suatu tindakan
rasional yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-
tindakan membuahkan dampak-dampak yang masing-masing memiliki nama
generik sendiri, semacam judul bagi sekuen yang bersangkutan. Kode ini
mengatur alur suatu cerita atau narasi dan menjamin bahwa teks yang
dibaca mempunyai sebuah cerita, yakni serangkaian aksi yang saling
berkaitan satu sama lain.
5. Kode Kultural atau Referensial (KUL)
Kode kultural adalah kode yang mengatur dan membentuk suara-suara
kolektif dan anonim dari pertandaan yang berasal dari pengalaman manusia
dan tradisi yang beranekaragam. Kode ini dalam pengertian yang luas
adalah penanda-penanda yang merujuk pada seperangkat referensi atau
pengetahuan umum yang mendukung teks. Unit-unit kode ini dibentuk oleh
beranekaragam pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat kolektif.
Dalam mengungkapkan kode ini, analis cukup mengindikasikan adanya tipe-
tipe pengetahuan yang menjadi rujukan tersebut, misal: filsafat,
psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Kode ini merupakan serangkaian
kode kultural yang paling mudah dipikirkan sebagai pegangan yang
memberikan informasi kultural yang menjadi sandaran teks tersebut.
D. Penelitian Yang Relevan
Salah satu penelitian yang juga menggunakan semiologi Roland Barthes
adalah skripsi dengan judul Keragaman Makna dalam Cerpen Kematian Paman Gober
Karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Semiotika Sastra Roland Barthes yang ditulis oleh
Bambang Barohmad (mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada) tahun 2004. Sebagai karya sastra yang
termasuk dalam kategori karya postmodern, hal yang menonjol dalam cerpen
Seno ini adalah adanya keragaman makna, di mana untuk mengungkap
keragaman makna tersebut dibutuhkan adanya proses interpretasi dan
pemaknaan atas teks. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengadakan
penafsiran terhadap teks dengan menggunakan teori semiotika Roland
Barthes. Teks ini terbagi menjadi 40 leksia, dan menghasilkan beberapa
kesimpulan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Cerpen Kematian Paman Gober (selanjutnya disingkat menjadi KPG)
memiliki keberagaman makna yang dapat dipahami sebagai narasi-narasi
yang tersembunyi dalam teks yang dimunculkan oleh beragam pengalaman dan
pengetahuan yang merupakan perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-
suara, dari teks-teks lain dan dari kode-kode lain sehingga memiliki
korelasi dan saling melengkapi.
2. Tema besar yang merupakan pusat penceritaan dari cerpen KPG adalah
kekuasaan.
3. Gaya parodi yang digunakan dalam cerpen ini cenderung mempersempit
keleluasaan proses penafsiran.
4. Cerpen KPG menjadi sebuah penanda atas keberadaan mitos tentang
kekuasaan Suharto dalam wilayah penciptaan sastra.
5. Cerpen ini menunjukkan sesuatu yang absurd.
Selain penelitian di atas, penelitian dengan judul Menelaah Makna
Cerpen Das Brot Karya Wolfgang Borchert Melalui Analisis Lima Kode Semiotik Roland Barthes
yang ditulis oleh Dwi Wijayanti, mahasiswa Jurusan pendidikan Bahasa
Jerman (Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta) tahun
2010 juga merupakan penelitian yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengungkapkan makna cerpen Das Brot melalui analisis lima kode semiotik
Roland Barthes yang berupa kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik,
kode proairetik, dan kode referensial atau kultural.
Dari telaah tersebut diperoleh 21 kode hermeneutik, 16 kode semik,
20 kode simbolik, 20 kode proairetik, dan 8 kode kultural. Berdasarkan
analisis leksia cerpen Das Brot dapat diperoleh makna bahwa tokoh
perempuan (istri) merupakan penyelamat kehidupan masyarakat pada masa
setelah Perang Dunia II, sedangkan tokoh suami dari perempuan tersebut
merupakan simbol ketidakjujuran, kepura-puraan, dan kelemahan. Hal yang
menjadi alasan utama kebohongan dan kepura-puraan suami, yaitu roti,
merupakan simbol kemiskinan yang dialami oleh pasangan suami istri
tersebut.
E. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena yang menjadi
sumber data adalah teks Roman. Sumber data yang digunakan adalah
RomanDie Verwandlung karya Franz Kafka yang ditulis pada tahun 1914,
diterbitkan pertama kali pada tahun 1916 oleh Kurt Wolff Verlag, Leipzig dan
diterbitkan ulang oleh Fischer Taschenbuch Verlag GmbH, Frankfurt am Main pada
tahun 1994. Buku ini merupakan kumpulan karya-karya Kafka (Das Urteil, Die
Verwandlung, Ein Landarzt, Auf der Galerie, Vor dem Gesetzt, Elf Söhne, Ein Bericht für eine
Akademie, In der Strafkolonie, und Ein Hungerkünstler). Data penelitian ini berupa
leksia-leksia yang ada pada Die Verwandlung.
F. Teknik Pengumpulan Data
Data yang akan dianalisis adalah sebuah Roman berjudul Die
Verwandlung karya Franz Kafka. Data penelitian ini dikumpulkan dengan
teknik baca catat terhadap objek penulisan. Kemudian data dicatat dalam
kartu data untuk kemudian diketik menggunakan komputer. Untuk
mendapatkan data yang konsisten dan sesuai dengan apa yang diharapkan,
maka penulis melakukan pengamatan dan pembacaan secara mendalam secara
berulang-ulang dengan teliti dan cermat.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah penulis sendiri yang berperan
sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data, penganalisis, dan
pelapor hasil penelitian (Moleong, 1999: 121). Dengan kata lain,
instrumen penulisan berupa manusia (human instrument). Hasil kerja
pengumpulan data kemudian dicatat dalam kartu data, yang merupakan hasil
pencatatan sesudah pembacaan Roman.
H. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah
teknik analisis deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif merupakan
metode penulisan yang memaparkan hasil analisisnya dengan menggunakan
kata-kata. Sesuai dengan aspek yang dikaji, penulisan ini akan
mendesripsikan mitos-mitos beserta maknanya dan kritik terhadap manusia
yang ingin dilontarkan oleh Franz Kafka dalam RomanDie Verwandlung dengan
menggunakan teori semiologi dan lima kode semiotik Roland Barthes (kode
hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode
referensial atau kode kultural). Data Roman tersebut bersifat kualitatif
sehingga penjelasannya dijabarkan dalam bentuk deskriptif atau uraian.
Deskriptif didapatkan melalui analis terhadap Roman tersebut hingga
terbentuk pemahaman dan kejelasan. Langkah-langkah analisis terhadap
teks akan dilakukan secara mendetail , melalui tahap demi tahap yang
secara garis besar terbagi dalam beberapa tahap, yaitu:
1. pembagian teks ke dalam satuan-satuan analisis (leksia)
2. identifikasi terhadap leksia-leksia tersebut secara sistematis dan
berurutan
3. penyusunan daftar semua kode pada kartu data dan penafsiran atas
leksia-leksia tersebut dengan menggunakan lima kode semiotik Roland
Barthes.
I. Validitas dan Reliabilitas
Validitas dan reliabilitas diperlukan untuk menjaga kesahihan dan
keabsahan data agar hasil penelitian dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ini digunakan validitas
semantik. Validitas semantik mengukur keabsahan data berdasarkan tingkat
kesensitifan suatu teknik terhadap makna yang relevan dengan konteks
yang dianalisa. Validitas semantik merupakan cara mengamati kemungkinan
data mengandung wujud dan karakteristik tema sebuah Roman. Penafsiran
terhadap data tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan konteks data
itu berada. Selain itu, data yang diperoleh dikonsultasikan kepada ahli
(expert judgement) dalam hal ini adalah Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II.
Reliabilitas data yang digunakan dalam penulisan ini adalah
reliabilitas intrarater dan reliabilitas interrater. Reliabilitas intrarater
dilakukan dengan cara membaca dan meneliti secara berulang-ulang RomanDie
Verwandlung karya Franz Kafka agar diperoleh data dengan hasil yang
tetap. Reliabilitas interrater dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil
penulisan dengan pengamat, baik dosen pembimbing maupun teman sejawat
yang mengetahui bidang yang diteliti.
J. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian pada Roman Die Verwandlung karya Franz Kafka
melalui analisis lima kode semiotik Roland Barthes (kode hermeneutik,
kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode referensial atau
kultural), dapat disimpulkan bahwa:
1. 17 leksia yang didapat dalam penelitian merepresentasikan lima
mitos, dengan rincian sebagai berikut.
a. Mitos tentang kapitalisme pada leksia 1, 3, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13,
17
b. Mitos tentang modernisme pada leksia 2 dan 16.
c. Mitos tentang kebutuhan dasar manusia berdasarkan teori Hierarki
Kebutuhan (Hierarchy of Needs) Abraham Maslow pada leksia 3, 4, 9, 11.
d. Mitos tentang imperialisme pada leksia 10 dan15.
e. Mitos tentang keberadaan Yesus bagi umat Kristen pada leksia 14.
2. Rincian kode leksia adalah sebagai berikut.
a. Kode Hermeneutika (HER) : leksia 1, 3.
b. Kode Semik (SEM): leksia 3, 11
c. Kode Simbolik (SIM) : leksia 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 14,
16, 17.
d. Kode Referensial atau kultural (KUL) : leksia 2, 7, 9, 15, 16, 17.
e. Tidak ditemukan leksia yang mengandung kode proairetik (PRO)
K. Contoh Data dan Analisis Kode
a. Leksia 1 : Die Verwandlung (Seite 21).
“perubahan, metamorfosis”
HER : metamorfosis atau perubahan yang seperti apa yang akan dikisahkan
dalam Roman ini.
SIM : metamorfosis manusia menjadi binatang karena hanya merasa aktif
dalam fungsi-fungsi hewaniahnya karena adanya alienasi dalam
kapitalisme.
b. Leksia 2 : Es stellte eine Dame dar, die mit einem Pelzhut und einer
Pelzboa versehen, aufrecht dasaβ und einen schweren Pelzmuff, in dem ihr ganzer unterarm
veschwunden war, dem Beschauer entgegenhob (Seite 23). “Gambar seorang wanita
memakai topi dan syal bulu, yang sedang duduk tegak dan memamerkan
sarung tangan bulu tebal, yang menutupi seluruh lengan bawahnya dari
pandangan pembaca”.
KUL : pakaian hangat yang biasa dikenakan pada musim dingin, yang
biasanya ditambah dengan topi, syal dan sarung tangan.
SIM : simbol dari modernitas seseorang yang ditunjukkan dalam hal
pakaian, baik pemilihan mode maupun bahan baku pembuat pakaian.
c. Leksia 3 : und auβerdem ist mir noch diese Plage des Reisens auferlegt, die Sorgen
um die Zuganschlüsse, das unregelmäβige, schlechte Essen, ein immer wechselnder, nie
andauernder, nie herzlich werdender menschlicher Verkehr (Seite 24).
“dan terlebih lagi aku merasa terbebani dengan semua ketegangan
perjalanan ini, cemas akan jadwal kereta api, makanan yang tidak enak
dan tidak teratur, pertemuan dengan orang yang berbeda setiap saat yang
tidak memungkinkan untuk mengenal siapapun dengan baik ataupun bersikap
ramah pada mereka”.
HER : mengapa Gregor selalu cemas akan jadwal kereta api, makanan
yang tidak enak dan tidak teratur padahal ia sudah lima tahun menjalani
hidup sebagai seorang pedagang keliling.
SEM : Gregor merasa cemas akan beberapa hal mengenai pekerjaannya, dan
hal ini tidak hanya berpengaruh pada psikologisnya saja akan tetapi juga
pasa kehidupan sosialnya.
SIM : alienasi terhadap manusia karena adanya kapitalisme, terutama
alienasi dari sesama pekerja.
8. Literatur-Literatur yang Disarankan
1. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Karya: Faruk.
Penerbit: Pustaka Pelajar.
2. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Karya: Rachmat Djoko Pradopo.
Penerbit: Gadjah Mada University Press.
3. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Karya: Prof. Dr. Nyoman
Kutha Ratna, S.U. Penerbit: Pustaka Pelajar.
4. Teori Penelitian Sastra. Karya: Jabrohim. Penerbit: Pustaka Pelajar.
5. Pengantar Kajian Sastra. Karya: Wiyatmi. Penerbit: Pustaka Book
Publisher.
6. Asep Yusup Hudayat.Modul Metode Penelitian Sastra. Universitas
Padjajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. (1958). The Mirror and lamp: Romantic Theory and the Critical Theory. Toronto-Buffalo-London: University of Toronto Press.
Hudayat, Asep Yusup. (2007). Modul Metode Penelitian Sastra. Bandung: UniversitasPadjajaran.
Iser, Wlfgang. (1987). The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns HopkinsUniversity Press. Inc.
Jabrohim. (2012). Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Makaryk, Irena R. (ed.). (1993). Enclyclopedia of Contemporary LiteraryTradition. New York:The Norton Library; W.W. Norton & Company
Pradopo, Rachmat Djoko. (2007). Prinsip-Prinsip Karya Sastra. Yogyakarta: GadjahMada University Press.
------------------------------. (2002). Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: GamaMedia.
Ratna, Nyoman Kutha. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Rien T. Segers. (2000). Evaluasi Teks Sastra. Diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti.Yogyakarta: AdiCita.
Wiyatmi. (2008). Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
Internet Sources:
Aisyah, Nenden Lilis. Menghidupkan Kritik Sastra Akademik.file.upi.edu/...SASTRA...LILIS.../Artikel_MENGHIDUPKAN_KRITIK_SASTRA_AKADEMIK.
Saragih, Ferdinaen. Jenis-Jenis Kritik Sastra dan Pengertiannya.http://sigodangpos.blogspot.com/2011/09/jenis-jenis-kritik-sastra-dan.html
Supadi, I Made Juliadi. (2012). Kritik Sastra.http://www.slideshare.net/ImadeJuliadiSupadi/kritik-sastra
Tambunsaribu, Gunawan. (2012). Teori Sastra (Part I). www.scribd.com/doc/41959915/ teori - sastra
unpad.ac.id/.../publikasi_dosen/metode_penelitian_sastra.PDF
http://idhuleducation81-manusiapembelajar.blogspot.com/2011/03/makalah-teori-teori-dalam-penelitian.html
http://massofa.wordpress.com/2011/10/19/metode-penelitian-yg-dapat-digunakan-pada-penelitian-sastra/