101

mobilitas sirkulasi - dalam masyarakat lokal - Universitas Halu

Embed Size (px)

Citation preview

i

MOBILITAS SIRKULASI DALAM MASYARAKAT LOKAL

ii

Dr. Tanzil, M.Si.

Literacy Institute, 2020

MOBILITAS SIRKULASI DALAM MASYARAKAT LOKAL

iii

MOBILITAS SIRKULASI DALAM MASYARAKAT LOKAL

Penulis Dr. Tanzil, M.Si.

ISBN: 978-602-5722-37-0

vi + 94 hlm.; 14,8 x 21 cm

Editor Dr. Ambo Upe, S.Sos., M.Si.

Desain Sampul wbookdesign

Tata Letak Agung Dermawansa

Penerbit

Literacy Institute Bumi Wanggu Permai II Blok D/12

Kota Kendari, 93231, Telp. 085299793323

Email: [email protected]

Website: https://literacyinstitute.org

Cetakan Pertama: Juli, 2020

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara

apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin

sah dari penerbit.

iv

Kata Pengantar Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Tuhan yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan petunjuk-Nya buku yang berjudul Mobilitas Sirkulasi dalam Masyarakat Lokal ini dapat diselesaikan. Adapun maksud dan tujuan dari penerbitan buku ini ada-lah dapat menjadi salah satu bacaan bagi mahasiswa yang melakukan pengkajian ilmu-ilmu sosial terutama menyangkut mobilitas sosial dalam masyarakat lokal.

Penulis berharap dengan terbitnya buku ini dapat meningkatkan kopetensi mahasiswa. Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi, yakni (a) Mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profe-sional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian; (b) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta mengoptimalkan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penerbitan buku ini. Tentu saja dalam penerbitan buku ini masih banyak ditemukan ke-kurangan. Oleh karena itu, sangat diharapkan masukan dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan buku ini.

Kendari, Juni 2020

Penulis

v

Daftar Isi

Bab 1 Pendahuluan .................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................ 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................... 4 D. Kebaruan ...................................................................... 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka ............................................................ 6 A. Mobilitas Sosial ............................................................ 6 B. Migrasi Sirkulasi .......................................................... 9 C. Konsep Jaringan Sosial dan Masyarakat Lokal ............ 13 D. Migrasi dan Jaringan Sosial .......................................... 17 E. Faktor-faktor Penyebab Migrasi Sirkuler ..................... 26 F. Penelitian tentang Mobilitas Sosial ............................... 31 G. Kerangka Pemikiran ..................................................... 36 H. Hipotesis ....................................................................... 38

Bab 3 Metode Penelitian ............................................................ 39 A. Lokasi Penelitian .......................................................... 39 B. Jenis Penelitian ............................................................. 39 C. Populasi dan Sampel ..................................................... 39 D. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 40 E. Konsep Operasional ...................................................... 41 F. Teknik Analisis Data .................................................... 42

Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan .................................. 43 A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian .......................... 43 B. Karakteristik Responden ............................................... 66 C. Analisis Mobilitas ......................................................... 72

vi

Bab 5 Penutup ............................................................................ 77 A. Kesimpulan ................................................................... 77 B. Saran ............................................................................. 78

Daftar Pustaka ........................................................................... 79 Lampiran .................................................................................... 84 Tentang Penulis .......................................................................... 90

Mobilitas Sirkulasi | 1

Bab 1

Pendahuluan A. Latar Belakang

Pada masa lalu, di negara kita terdapat kecenderungan menilai berbagai masalah kependudukan dari berbagai ukuran seperti aspek demografis; jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan penduduk yang cepat, dan distribusi yang tidak seimbang, (Ghani, 2004). Dengan pemahaman tersebut, menyebabkan pemikiran intervensi da-lam pemecahan persoalan kependudukan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan demografis. Hasilnya menunjukkan bahwa walaupun upaya-upaya tersebut telah bermanfaat namun penduduk negara kita telah menjadi negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar.

Seperti dikemukakan Triningsih (2013) bahwa kebijakan ke-pendudukan belum dapat mengatasi permasalahan kependudukan yang muncul di era 2000-an. Saat ini permasalahan kependudukan yang muncul hampir disetiap daerah di Indonesia mengarah kepada masih rendahnya pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas, masih tingginya laju pertumbuhan dan jumlah kualitas penduduk, serta masih tingginya tingkat kelahiran penduduk. Masalah lain yang dihadapi termasuk masih kurangnya pengetahuan dan ke-sadaran pasangan usia subur dan remaja akan hak-hak reproduksi, masih rendahnya usia kawin pertama penduduk, rendahnya partisipasi laki-laki dalam meningkatkan kualitas keluarga, serta masih lemahnya ekonomi dan ketahanan keluarga. Di tingkat yang lebih luas, berbagai kendala juga dihadapi, seperti masih lemahnya institusi daerah dalam

2 | Dalam Masyarakat Lokal

pelaksanaan keluarga bahagia dan belum serasinya kebijakan ke-pendudukan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Belajar dari kenyataan tersebut, intervensi mengenai persoalan kependudukan tidak lagi semata-mata dalam rangka mencapai tujuan yang bersifat sosial demografis tetapi juga sekaligus dapat tercapai tujuan yang bersifat sosial ekonomi. Sejalan dengan pemikiran Anggun (2017), bahwa salah satu yang perlu dilakukan adalah perlu-nya upaya agar masyarakat mengetahui dan memahami isu-isu yang berkaitan dengan kependudukan. Asumsi yang dibangun dari adanya alternatif kebijakan dengan pendidikan kependudukan kepada masya-rakat agar dapat merubah kesadaran kritis sehingga masyarakat mampuh menganalisis kenyataan dan mampu melakukan pemikiran ke depan apa yang harus ia lakukan. Pendekatan yang ditawarkan dengan kebijakan ini adalah dengan penyadaran masyarakat. Diharap-kan agar dapat mengembangkan dan meningkatkan kesadaran masya-rakat tentang berbagai persoalan kependudukan dan ikut serta me-mecahkan masalah tersebut secara bersama, dan mengajak masya-rakat lainya untuk memiliki keperdulian.

Untuk itu, dapatlah dimaklumi jika kita dapat menyaksikan dalam suatu kelompok masyarakat berupaya memperoleh tambahan penghasilan disuatu tempat tertentu. Keinginan suatu masyarakat me-lakukan perantauan kesuatu tempat beberapa waktu untuk mendapat-kan nafkah tambahan diidentikan sebagai bagian dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Di sisi lain, hal tersebut dapat dikatakan sebagai kemauan keras untuk tidak menerima keadaan dengan pasrah, tetapi tetap berihtiar melakukan berbagai cara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi keluarga. Dengan demikian, melakukan suatu migrasi diberbagai pemukiman masyarakat dapat dikatakan sesuatu yang baik bila dengan kegiatan tersebut dapat menjamin kondisi sosial ekonomi rumah tangga. Seperti halnya studi yang dilakukan Sopian (2017)

Mobilitas Sirkulasi | 3

akibat adanya merantau dalam masyarakat di Desa Sijelling umumnya dapat di katakan positif. Masyarakat Desa Sijelling dengan mening-galkan kampung halamannya mampu meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Masyarakat Desa Sijelling yang berhasil di rantauan dan kembali di kampung dapat membangun rumah yang lebih baik, mem-beli sawah dan membangun Mesjid.

Oleh karena itu terlihat fakta yang menarik terkait mobilitas sosial dari sekelompok warga yang melakukan sirkulasi di tempat-tempat tertentu. Fenomena ini juga terjadi pada masyarakat di Keca-matan Lea-Lea Kota Baubau Propinsi Sulawesi Tenggara. Mereka meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari sumber-sumber pendapatan baru beberapa waktu lamanya. Dari uraian ter-sebut akhirnya penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Mobilitas Sirkulasi dalam Masyarakat Lokal di Wilayah Kepulauan. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan pokok untuk penelitian ini adalah: 1. Apakah ada perbedaan karakteristik sosial dan ekonomi antara

warga Lea-Lea yang melakukan sirkulasi dengan warga Lea-Lea yang tidak melakukan sirkulasi?

2. Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan frekuensi sirkulasi warga Lea-Lea yang melakukan sirkulasi dari pemukiman mereka ke daerah lain?

4 | Dalam Masyarakat Lokal

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui perbedaan karakteristik sosial dan ekonomi antara warga Lea-Lea yang melakukan sirkulasi dengan yang tidak melakukan sirkulasi.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi sirkulasi warga Lea-Lea yang melaku-kan sirkulasi dari pemukiman mereka ke daerah lain.

2. Manfaat Penelitian: Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai beikut: a. Dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan dalam penge-

lolaan warga masyarakat dan sekaligus peningkatan pem-bangunan daerah oleh instansi yang terkait.

b. Bagi para akademisi, temuan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk mengadakan penelitian se-jenis dengan fenomena yang berbeda dimasa yang akan datang.

c. Bagi peneliti sendiri, dapat digunakan sebagai bahan untuk mengkaji lebih lanjut dalam rangka pengabdian dan pengembangan ilmu pengetahuan baik dilingkungan kampus maupun dalam masyarakat.

D. Kebaruan Hasil-hasil penelitian tentang mobilitas sosial telah banyak di-

lakukan seperti penelitian Effendi (2005) dalam penelitiannya tentang determinasi mobilitas petani Kemiri di Kabupaten Daerah Tingkat II Maros, berikutnya adalah penelitian Busaini (2003) dengan topik ka-rakteristik dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas wanita pekerja di desa Pesinggalan Kecamatan Mataram Kotamadya

Mobilitas Sirkulasi | 5

Mataram, selanjutnya penelitian Mantra (2005) yang mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi seseorang untuk berpindah atau menetap tinggal di dukuh pada masyarakat padi sawah di Daerah Istimewah Yogyakarta, dengan mengambil dua dukuh sebagai kasus yaitu Kadirajo (Sleman) dan Piring (Bantul). Berbagai penelitian ter-sebut telah memberikan perhatian pada aspek mobilitas sosial secara horizontal dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah. Namun penelitian tentang mobilitas sosial dilihat pada aspek perbedaan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang melakukan mobilitas horizontal dan yang tidak melakukan mobilitas horizontal di wilayah kepulauan masih jarang dilakukan. Penelitian ini akan memperkaya penelitian sebelumnya tentang mobilitas sosial dengan kebaruanyakni memberi penjelasan tentang perbedaan karakteristik sosial dan eko-nomi dalam kelompok masyarakat kepulauan yang melakukan mobi-litas sirkulasi dengan yang tidak melakukan mobilitas sirkulasi.

6 | Dalam Masyarakat Lokal

Bab 2

Tinjauan Pustaka A. Mobilitas Sosial

Pada dasarnya ada dua macam mobilitas sosial yaitu mobilitas sosial secara vertikal dan mobilitas sosial secara horizontal. Mobilitas sosial secara vertikal adalah perpindahan individu atau kelompok sosial dari satu kedudukan sosial kekedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sedang mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau kelompok dari suatu kelompok kekelompok lainnya yang sederajat. Perpindahan ini bisa berupa perpindahan bidang pe-kerjaan dan perpindahan tempat atau geografis (Samuel, 1997).

Selanjutnya Munir (2003) membagi mobilitas penduduk me-nurut perspektif sifat dan bentuk mobilitas. Dari segi perspektif sifat dibaginya pula atas: (1) mobilitas horizontal; dan (2) mobilitas verti-kal. Mobilias horizontal dimaksudkannya sebagai perpindahan pendu-duk secara teritorial, spasial atau geografis. Sedangkan mobilitas ver-tikal diartikannya sebagai perpindahan/perubahan status sosial sese-orang. Sementara itu dari perspektif bentuk mobilitas dibagi atas: (1) perubahan tempat yang bersifat rutin misalnya orang yang pulang balik bekerja (recurrent movement); (2) perubahan tempat yang ber-sifat sementara, seperti perpindahan tempat tinggal bagi para pekerja musiman; dan (3) perubahan tempat tinggal dengan tujuan menetap dan tidak kembali ketempat semula. Dengan demikian, pengertian mobilitas yang paling relevan dengan permasalahan penelitian ini dari perspektif sifat mobilitas adalah mobilitas horizontal, sedangkan dari perspektif bentuk mobilitas yakni perubahan tempat yang bersifat sementara.

Mobilitas Sirkulasi | 7

Mobilitas penduduk horizontal didefenisikan oleh Mantra (2005) sebagai semua gerakan (movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu pula. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa mobolitas penduduk tersebut dapat di-bagi menjadi dua bentuk yaitu: (1) mobilitas permanen atau migrasi; dan (2) mobilitas non permanen atau mobilitas sirkuler. Mobilitas per-manen atau migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk menetap di daerah tujuan. Sedangkan mobilitas non permanen atau sirkuler adalah gerak pen-duduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan. Prothero (dalam Mantra, 2005) mengkasifi-kasi mobilitas sirkuler dalam berbagai macam bentuk, misalnya mo-bilitas ulang-alik (Jawa = nglaju, Bali = ngajag, Inggeris = commuting), periodik, musiman, dan jangka panjang. Pada dasarnya mobilitas sirkuler tersebut dibagi menjadi dua bentuk yaitu: (1) komutasi; dan (2) sirkulasi.

Secara konsepsional, cukup memadai apabila komutasi didefi-nisikan sebagai bentuk mobilitas penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dan kembali ketempat asal pada hari yang sama, sedang-kan sirkulasi adalah bentuk mobilitas penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan selang waktu lebih dari satu hari dan kurang satu tahun. Sementara secara operasional, nampaknya kedua konsep ter-sebut oleh para ahli mobilitas penduduk diberi pengertian yang ber-beda, misalnya Mantra (2005) mendefinisikan kumutasi/ngalju se-bagai bentuk perpindahan penduduk yang melintasi suatu batas wilayah (dukuh) dengan selang waktu minimal enam jam dan kembali pada hari yang sama; sedangkan Hugo (2008) menekankan bahwa tidak perlu tiap hari penduduk yang melintasi batas wilayah (desa) kembali ke desa asal yang penting perjalanan perpindahan penduduk tersebut teratur (rutin) ke dan dari tempat bekerja atau bersekolah.

8 | Dalam Masyarakat Lokal

Perbedaan seperti diutarakan di atas juga tampak pada batasan pengertian mobilitas sirkuler. Menurut Mantra (2005) mobilitas sir-kuler sebagai bentuk mobilitas penduduk yang melintasi suatu batas wilayah (dukuh) dalam selang waktu lebih dari satu hari dan kurang dari satu tahun. Sementara Hugo (2008) memberikan batasan yang berbeda dengan batasan oleh Mantra yakni sebagai bentuk mobilitas penduduk secara terus-menerus meninggalkan desa sampai enam bulan.

Perbedaan serupa di atas, juga terjadi pada pembatasan penger-tian mobilitas permanen/migrasi. Hugo (2008) menggunakan mobi-litas penduduk secara terus-menerus meninggalkan desa sampai enam bulan, sedangkan menurut Mantra (2005) adalah perpindahan tempat tinggal penduduk sekurang-kurangnya satu tahun. Dari beberapa batasan pengertian ini, tampak bahwa masing-masing peneliti meng-gunakan batasan ruang dan waktu yang berbeda sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing peneliti.

Hal lain yang menjadi parameter dalam membedakan antara mobilitas permanen (migrasi) dengan mobilitas non permanen (sirkulasi, komutasi) adalah hasrat atau niat yang mendasari seseorang melakukan mobilitas sebagaimana juga telah disinggung sekilas di atas. Apabila seseorang melakukan perpindahan dengan dilandasi oleh hasrat atau niat untuk menetap di wilayah tujuan, maka per-pindahan tersebut digolongkan sebagai migrasi; sebaliknya apabila hasrat atau niat tidak untuk menetap, maka perpindahan tersebut di-golongkan sebagai sirkuler. Hal ini dapat kita lihat dalam formulasi Prothere (dalam Effendi, 2005) yang mengemukakan bahwa antara permanen dan non permanen perpindahan penduduk ditentukan oleh hasrat atau keinginan yang bersangkutan pada saat pindah atau sebelum pindah ke tempat lain.

Mobilitas Sirkulasi | 9

B. Migrasi Siskulasi Migrasi dapat diartikan sebagai pergerakan penduduk secaa

geografi, atau perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Hugo (1986) membedakan migrasi dalam dua kategori, yaitu migrasi permanen dan non permanen. Perbedaannya terletak pada tujuan per-gerakan tersebut. Bila seorang migran bertujuan untuk pindah tempat tinggal secara tetap, migran tersebut dikategorikan sebagai migran permanen, sebaliknya bila tidak ada niat menetap di tempat tujuan di-kategorikan sebagai migran sirkuler. Mantra menambahkan satu lagi bentuk yang disebut komutasi (nglaju), yaitu pergerakan penduduk yang dilakukan dengan cara pergi ke tempat kerja dan pulang ke rumah pada hari yang sama.

Selanjutnya, seperti dikemukakan Jellinek (1986) mengatakan bahwa lain hal dengan migrasi permanen yang memboyong seluruh anggota keluarganya dan menetap di daerah tujuan, migrasi sirkuler adalah migran yang meskipun bekerja di tempat tujuan, tetapi umum-nya keluarga masih tetap tingggal di desa. Dikemukakan Jellinek bahwa migran sirkuler adalah migran yang meninggalkan daerah asal hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka menganggap dan merasa tempat tinggal permanen mereka di tempat asal, di mana terdapat isteri, anak, dan kekayaannya. Dalam hal ini Mantra (1995) menjelas-kan bahwa kunjungan pelaku migrasi sirkuler ke daerah asal dapat bersifat periodik dan insidental. Kunjungan bersifat periodik. Dalam peristiwa tersebut ada semacam kewajiban moral bagi migran untuk berkunjung ke kampung halaman. Kunjungan bersifat insidental, di-lakukan pada saat-saat tertentu, misalnya ada tetangga atau kerabat di daerah asal meninggal atau melaksanakan adat kerja.

Pemikiran yang dikemukakan oleh Mabogunje (1970), hubu-ngan migran dengan desa asal dapat dilihat dari materi informasi yang mengalir dari kota ke daerah asal. Jenis informasi ini dapat bersifat

10 | Dalam Masyarakat Lokal

positif dan negatif. Informasi positif biasanya datang dari migran yang berhasil. Hal ini berakibat (1) stimulus untuk pindah semakin kuat di kalangan migran potensial di daerah asal; (2) pranata sosial yang mengontrol mengalirnya warga desa ke luar semakin longgar; (3) arah pergerakan penduduk tertuju ke kota-kota atau daerah tertentu; dan (4) perubahan pola investasi dan/atau pemilikan tanah di desa karena tanah mulai dilihat sebagai suatu komoditi pasar. Sementara itu, informasi negatif biasanya datang dari migran yang gagal sehingga mengakibatkan dampak sebaliknya.

Gambaran yang dikemukakan Hugo (1981), melihat eratnya hubungan migran dengan daerah asal merupakan fungsi dari: (1) sifat migrasi yang dilakukan, apakah merupakan migrasi permanen atau non permanen; (2) tingkat tanggungjawab migran terhadap keluarga yang ditinggalkan di desa asal; (3) tingkat kontrol sosial keluarga terhadap migran; (4) tingkat kedekatan hubungan migran dengan ke-luarganya di daerah asal; (5) sifat dan kebutuhan migran, serta ke-luarga yang ditinggalkan di desa; (6) jenis pekerjaan, pendapatan, dan biaya hidup migran. Bagi pelaku migrasi, proses perpindahan dari desa ke kota seringkali menimbulkan persoalan, sebab antara desa asal dengan kota tujuan merupakan dua lingkungan yang berbeda.

Perbedaan tersebut tidak hanya secara geografis, melainkan juga dalam hal nilai-nilai, norma-norma dan model-model penge-tahuan. Lingkungan mempengaruhi kebudayaan, sehingga kebudaya-an yang terbentuk merupakan nilai-nilai, norma-norma, dan model-model pengetahuan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan ling-kungan yang dihadapinya. Dengan demikian kebudayaan yang tumbuh di desa berbeda dengan di kota. Kebudayaan dalam hal ini di-lihat sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai manusia se-bagai makhluk sosial yang isinya adalah model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan

Mobilitas Sirkulasi | 11

menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.

Operasionalisasi dari kebudayaan dalam kehidupan nyata ter-wujud dalam struktur yang ada dalam masyarakat, yang hanya mungkin terjadi karena adanya pranata-pranata sosial yang dipunyai masyarakat. Pranata sosial merupakan suatu sistem antar-hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan sosial utama tertentu, yang dirasakan perlunya oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Per-bedaan antara kota dengan desa terletak pada tingkat kompleksitas ke-budayaannya. Kompleksitasini tercermin dalam berbagai sistem orga-nisasi serta struktur yang ada di kota dan di desa, dan dari berbagai tingkah laku para warga kota dan desa. Dalam bidang pekerjaan di kota, di samping adanya pekerjaan yang berkaitan dengan keahlian spesialisasi tertentu dan menekankan pada pekerjaan otak, juga ter-dapat macam kegiatan ekonomi yang membutuhkan tenaga trampil yang dapat dilakukan dengan melalui suatu pendidikan ketrampilan atau keahlian khusus. Keanekaragaman kegiatan ekonomi dalam sis-tem ekonomi kota dimungkinkan oleh kepadatan penduduknya yang relatif lebih tinggi daripada di pedesaan, dan oleh kompleksnya struktur sosial di kota, seperti yang digambarkan oleh (Suparlan, 1980).

Fenomena adanya berbagai perbedaan antara desa dan kota, maka sebagai pendatang yang berasal dari daerah pedesaan, para pe-laku migrasi sirkuler ketika tiba di kota tujuan dihadapkan pada ber-bagai persoalan yang harus diatasi. Persoalan yang dihadapi tersebut tidak sekedar bagaimana para pelaku migrasi berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan kota yang memiliki kompleksitas kebudayaan yang amat berbeda dengan kehidupan yang dialami para migran ketika mereka masih di desa, melainkan juga persoalan tentang

12 | Dalam Masyarakat Lokal

bagamana para pelaku migrasi berusaha bisa bertahan hidup, memperoleh tempat tinggal serta dalam hal mencari nafkah di kota tujuan.

Berhubung pendidikan kaum migran sirkuler yang umumnya rendah, dan juga karena mereka tidak memiliki ketrampilan yang me-madai, seringkali mengakibatkan mereka mencari nafkah di kota dengan melakukan usaha mandiri kecil-kecilan, menggunakan per-alatan dan ketrampilan sederhana yang dikuasainya. Mereka bekerja sebagai pemulung, penjual keliling, pedagang asongan, tukang becak, tukang ojek, pedagang kaki lima, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang umumnya merupakan bagian dari sektor informal (Hart, 1985) Jang-kauan kegiatan di sektor informal ini sangat luas. Kegiatan ini bisa di-jumpai di sektor perbankan dalam bentuk kegiatan rentenir, di sektor angkutan dalam bentuk operasi tukang becak, di bidang jasa dalam bentuk kegiatan memulung, di sektor perdagangan ada kegiatan ber-dagang di kaki lima, dan di sektor konstruksi dalam bentuk pengguna-an jasa pekerja bangunan dan mandor.

Penjelasan yang menarik dikemukakan Hugo (1986), bahwa ada dua pertimbangan yang mempengaruhi kaum migran sirkuler ter-libat dalam kegiatan di sektor informal. Pertama, bekerja di sektor informal lebih sesuai dengan sifat migran. Tidak seperti sektor formal mumnya dapat involute dan sangat fleksibel menyerap tenaga kerja dari golongan dan kelas manapun. Bagi migran asal desa Kepatihan di Jakarta yang umumnya juga memiliki pendidikan rendah dan dengan ketrampilan yang amat terbatas, sebagian besar dari mereka juga me-lakukan kegiatan mencari nafkah di sektor informal. Kegiatan in-formal yang dilakukan migran tersebut sebagian besar adalah sebagai penjual bakso untuk migran laki-laki dan sebagai penjual jamu gendong untuk migran perempuan. Sejak beberapa tahun belakangan ini mulai ada migran yang melakukan kegiatan di sektor formal

Mobilitas Sirkulasi | 13

seperti sebagai pekerja pabrik, pegawai perusahaan, pegawai negeri, dan TNI/POLRI. Berbagai macam kegiatan yang dilakukan di kota, baik di sektor informal maupun sektor formal pada umumnya tidak pernah dilakukannya ketika mereka masih di desa asal. yang meng-hendaki orang bekerja enam hari dalam seminggu, dengan jam kerja yang teratur. Kedua, kaum migran jauh lebih mudah memasuki sektor informal daripada sektor formal. Hugo mengatakan bahwa seperti sektor pertanian Jawa, sektor informal kota.

Sekalipun mereka bekerja di sektor informal, namun bagi migran yang bersangkutan pendapatan yang bisa diperoleh umumnya jauh lebih memadai, bila dibandingkan dengan pendapatan mereka ketika di desa, atau pendapatan yang kemungkinan bisa diperoleh jika mereka bekerja di desa asal. Bahkan bila dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor formal, secara umum penghasilan migran yang bekerja di sektor informal rata-rata justru lebih baik. Hal ini nampaknya sesuai dengan hasil pemikiran Pananek (1986) yang menemukan bahwa para migran di kota umumnya bernasib lebih baik daripada ketika mereka masih berada di pedesaan. Pendapatan mereka dilaporkan meningkat dua pertiga kali lipat. Meskipun secara umum ada peningkatan kehidupan sosial ekonomi migran setelah mereka melakukan migrasi sirkuler, namun demikian keberhasilan para migran dalam meningkatkan kehidupan sosial ekonomi tidaklah ter-jadi secara merata.

C. Konsep Jaringan Sosial dan Masyarakat Lokal Dengan adanya kebijakan desentralisasi yang melahirkan oto-

nomi daerah berdampak dengan munculnya istilah lokal. Seperti di-katakan Sukmana (2008) pada tatanan makro, istilah lokal adalah lawan dari istilah global. Sehingga istilah lokal dapat digunakan untuk menyebut peradaban suatu negara, sedang global untuk menyebut

14 | Dalam Masyarakat Lokal

peradaban pada tatanan antar-negara, baik regional maupun inter-nasional. Lokal menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah ada-lah pada tatanan mikro, artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah propinsi, daerah kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik lagi yaitu kecamatan atau desa/ kelurahan. Sedang pengertian masyarakat menurut Koentjaraningrat (1994) mengemukakan masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang ber-sifat kontinu, dan yang terikat oleh rasa identitas bersama.

Selanjutnya konsep jaringan sosial adalah sebagai salah satu pendekatan dalam kajian sosiologi. Konsep jaringan berupaya me-mahami bentuk dan fungsi hubungan-hubungan sosial dalam masya-rakat yang kompleks. Pendekatan jaringan sosial mulai berkembang akhir-akhir ini, karena adanya keinginan untuk mengembangkan kajian dalam ilmu sosiologi. Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi kapital sosial selain kepercayaandan norma. Konsep jaringan dalam kapital sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial yang diikat oleh ada-nya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media hubungan sosial menjadi kerja sama.

Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. Intinya, konsep jaringan dalam kapital sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan ke-giatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005). Selanjutnya, jaringan itu sendiri dapat terbentuk dari hubungan antar personal, antar individu dengan institusi, serta jaringan antar institusi.

Mobilitas Sirkulasi | 15

Sementara jaringan sosial (networks) merupakan dimensi yang bisa saja memerlukan dukungan dua dimensi lainnya karena kerja sama atau jaringan sosial tidak akan terwujud tanpa dilandasi norma dan rasa saling percaya. Lebih lanjut, dalam menganalisis jaringan sosial, Granovetter (2005) mengetengahkan gagasan mengenai penga-ruh struktur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan ter-hadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut kualitas informasi. Menurutnya terdapat empat prinsip utama yang melandasi pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan sosial dengan manfaat ekonomi, yakni: Pertama, norma dan kepadatan jaringan (network density). Kedua, lemah atau kuatnya ikatan (ties) yakni man-faat ekonomi yang ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah.

Dalam konteks ini ia menjelaskan bahwa pada tataran empiris, informasi baru misalnya, akan cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu, dan kenalan baru relatif mem-buka cakrawala dunia luar individu. Ketiga, peran lubang struktur (structural holes) yang berada di luar ikatan lemah ataupun ikatan kuat yang ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan pihak luar. Keempat, interpretasi terhadap tindakan ekonomi dan non ekonomi, yaitu adanya kegiatan-kegiatan non ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata mempenga-ruhi tindakan ekonominya.

Dalam hal ini Granovetter menyebutnya ketertambatan tinda-kan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai akibat adanya jaringan sosial. Demikian halnya mengenai ketertambatan kegiatan ekonomi dalam struktur, budaya, politik, bahkan agama. Satu hal lagi yang juga dikemukakan adalah mengenai adanya pengaruh yang sede-mikan kuat dari struktur ataupun jaringan sosial terhadap pengem-

16 | Dalam Masyarakat Lokal

bangan ekonomi yang menyangkut masalah pengaruh struktur sosial terhadap distribusi tenaga kerja, dalam hal ini dijelaskan bagaimana jaringan kerja memainkan peranan penting dalam pasar tenaga kerja. Selain itu, disebutkan juga peranan jaringan kerja dalam dinamika pasar, terutama dalam hal pergeseran atau bahkan penetapan harga antara pembeli dan penjual yang timbul sebagai akibat jaringan sosial. Terakhir juga diuraikan oleh Granovetter, bagaimana jaringan sosial berperan sebagai sumber inovasi beserta adopsinya, sebagai gambaran adanya interpenetrasi kegiatan sosial dalam tindakan ekonomi.

Pada dasarnya jaringan sosial dan perannya dalam pengem-bangan agribisnis berbasis komunitas erat kaitannya dengan teori di-fusi inovasi yang diperkenalkan oleh Roger (1983). Menurut teori ini, masuknya suatu inovasi dalam sistem sosial sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain berupa faktor internal yang berupa ciri-ciri atau karakteristik individu yang akan berkonsekuensi pada terjadinya perubahan dalam sistem sosial itu, sebagai akibat dari pengadopsian ataupun penolakan suatu inovasi Adopsi inovasi merupakan konsep yang merujuk kepada suatu proses, yakni proses mental yang terjadi pada diri individu sejak pertama kali mengenal inovasi sampai meng-adopsinya. Inovasi merujuk kepada dimensi waktu dalam menerapkan suatu gagasan atau ide-ide baru.

Inovasi merupakan bagian dari konsep perubahan sosial yang mengandung adanya gejala modifikasi sistem struktur dan kultur. Semua inovasi merupakan perubahan sosial, tetapi perubahan sosial bukan inovasi. Penyebaran atau diseminasi inovasi teknologi pada dasarnya merupakan transfer teknologi dari hasil-hasil penelitian ke-pada pengguna. Proses penyebaran inovasi tentunya sangat tergantung dari beberapa hal, termasuk kondisi sosial, ekonomi, dan budaya ma-syarakat. Sejalan dengan pandangan itu, Garanovetter (2005) meng-utarakan mengenaiteori jaringan sosial dengan menjelaskan hubungan

Mobilitas Sirkulasi | 17

pengaruh antara jaringan sosial dengan manfaat ekonomi. Dalam hal ini Granovetter menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi, seperti halnya bagaimana jaringan sosial berperan sebagai sumber inovasi yang terkait dengan teori difusi inovasi.

D. Migrasi dan Jaringan Sosial Pandangan Mitchell (1969), jaringan sosial merupakan se-

perangkat hubungan-hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang, di mana karakteristik hubungan-hubungan tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasikan motif-motif peri-laku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam ke-nyataan kehidupan, jaringan sosial ini sedemikian kompleks dan saling tumpang-tindih atau saling memotong satu sama lain. Lebih lanjut Barnes (1969), membedakan adanya dua macam jaringan sosial, yaitu jaringan sosial menyeluruh dan jaringan sosial parsial. Jaringan sosial menyeluruh adalah keseluruhan jaringan yang dimiliki individu-individu dan mencakup berbagai konteks atau bidang kehi-dupan dalam masyarakat. Jaringan sosial parsial adalah jaringan yang dimiliki oleh individu-individu terbatas pada bidang-bidang kehi-dupan tertentu, misalnya jaringan politik, ekonomi, keagamaan, ke-kerabatan.

Jika dilihat dari kehidupan masyarakat secara umum, khusus-nya masyarakat perkotaan, dijumpai adanya tiga jenis keteraturan hubungan-hubungan sosial, yaitu: 1. Keteraturan struktural (structural order), di mana perilaku orang-

orang ditafsirkan dalam istilah-istilah tindakan yang sesuai dengan posisi yang diduduki dalam seperangkat tatanan posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga, partai politik;

18 | Dalam Masyarakat Lokal

2. Keteraturan kategorikal (categorical order), di mana perilaku-perilaku orang dalam situasi tidak terstruktur yang dapat ditafsir-kan dengan istilah stereotipe seperti kelas, ras, dan kesuku-bangsan;

3. Keteraturan personal (personal order), di mana perilaku orang-orang baik dalam situasi-situasi terstruktur atau tidak terstruktur dapat ditafsirkan dalam istilah hubungan-hubungan antar individu dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain (Mitchell, 1969).

Bila dilihat dari tujuan hubungan sosial yang membentuk ja-ringan sosial, dapat dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, jaringan kekuasaan (power), merupakan hubungan-hubungan sosial yang membentuknya bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasi saling keterkaitan antar-pelaku di dalamnya disengaja atau diatur. Tipe jaringan ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan konfi-gurasi yang saling keterhubungan antar pelaku biasanya bersifat per-manen. Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus.

Struktur yang muncul dari tipe jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah. Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas dasar muatan perasaan, di mana hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tin-dakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan pera-saan ini cenderung mantap dan permanen. Hubungan sosial yang ter-wujud biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelaku-pelaku lain dalam jaringan sosial. Oleh karena itu muncul adanya

Mobilitas Sirkulasi | 19

saling kontrol yang relatif kuat antar-pelaku (Agusyanto, 1996). Di-lihat dari status sosial ekonomi individu yang terlibat, terdapat dua jenis jaringan sosial, yaitu jaringan sosial horizontal dan vertikal. Jaringan sosial dikatakan bersifat horizontal jika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial ekonomi yang relatif sama. Mereka memiliki kewajiban yang sama dalam perolehan sumber daya, dan sumber daya yang dipertukarkan juga relatif sama. Sebaliknya dalam jaringan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan (Foster, 1967; Wolf, 1978).

Selanjutnya, studi yang dilakukan Saifuddin (1991), telah mengidentifikasi hubungan-hubungan sosial yang kontinyu di antara anggota-anggota rumah tangga miskin atau antara mereka dengan pihak lain yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi, baik yang berasal dari dalam atau dari luar masyarakat yang ber-sangkutan. Kemampuan penduduk miskin melakukan seleksi atas potensi sosial budaya untuk lingkungan hidup di daerah perkotaan menjadikan mereka menciptakan dan memelihara jaringan sosial, baik untuk mereka yang memiliki stuatus ekonomi setara maupun berbeda. Sarana terpenting untuk hal tersebut adalah jaringan kekerabatan, ke-tetanggaan, pertemanan, dan kesamaan tempat asal-usul. Dalam ja-ringan sosial tersebut khususnya jaringan sosial horizontal, faktor ke-kerabatan merupakan salah satu strategi untuk memenuhi atau meng-atasi tekanan kehidupan sosial ekonomi di perkotaan. Dengan kata lain, jaringan sosial merupakan dasar untuk mempermudah akumulasi dan distribusi sumber daya sosial ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh rumah tangga miskin.

Pemikiran tentang jaringan sosial yang dikembangkan dan di-pelihara di antara sesama migran sirkuler, antara lain dapat ditelusuri sejak migran pertama kali berangkat bermigrasi, karena sejak awal

20 | Dalam Masyarakat Lokal

keberangkatan seorang migran tidak lepas dari hubungannya dengan sesama migran sedesa asal. Penelitian terhadap migran sirkuler asal desa Kepatihan ini menemukan bahwa umumnya ketika pertama kali seorang migran baru bermigrasi ke kota, ia tidak berangkat seorang diri, melainkan selalu ada migran yang telah lebih dahulu bermigrasi yang mengajak atau membawanya. Dengan adanya migran terdahulu yang mengajak, seorang migran baru akan memiliki kejelasan atau kepastian mengenai tempat yang pertama kali dituju, tempat tinggal untuk sementara waktu, pekerjaan pada saat-saat awal berada di kota tujuan, atau bahkan kemungkinan pekerjaan yang kelak akan di-tekuninya.

Hal tersebut sesuai yang dikemukakan Mabogunje (1970), bahwa kontribusi migran terdahulu di kota sangatlah besar dalam membantu migran baru yang berasal dari desa atau daerah yang sama dengan mereka, terutama pada tahap-tahap awal dari mekanisme pe-nyesuaian diri di daerah tujuan. Dalam hal ini para migran baru tidak sekedar ditampung di rumah migran yang mengajaknya, tetapi juga dicukupi kebutuhan makan, dan dibantu untuk mendapatkan pekerja-an sesuai dengan kemampuan dan relasi yang dimilikinya. Hal ter-sebut di atas menyebabkan lapangan pekerjaan tertentu di suatu kota atau daerah didominasi migran dari daerah atau desa tertentu, dan juga karena proses mencari pekerjaan itu biasanya berkisar antar relasi migran sedesa asal juga. Berhubung para migran sirkuler laki-laki asal desa Kepatihan yang lebih dulu bermigrasi sebagian besar bekerja sebagai penjual bakso, maka para migran baru yang diajaknya kebanyakan juga berjualan bakso. Dengan demikian, akhirnya se-bagian besar migran sirkuler laki-laki asal desa Kepatihan di Jakarta bekerja sebagai penjual bakso.

Ada cukup banyak strategi yang dikembangkan para migran dalam usahanya untuk mempertahankan kehidupannya di kota dan

Mobilitas Sirkulasi | 21

meraih kesuksesan dalam kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Salah satu strategi yang dilakukan migran adalah dengan cara mengembang-kan dan memelihara jaringan sosial di antara sesama migran sedesa asal. Munculnya jaringan sosial memberi petunjuk tentang mengapa dengan kondisi di kota yang sama, migran yang satu lebih bertahan hidup atau lebih berhasil dalam kegiatan ekonominya dibanding migran yang lain. Penelitian ini menemukan adanya ketiga bentuk jaringan sosial sebagai salah satu strategi yang dikembangkan dan di-pelihara para migran sirkuler asal Desa Kepatihan dalam mengatasi kesulitan yang dihadapinya di kota. Ketiga bentuk tersebut, yaitu: 1. Jaringan sosial yang didasarkan pada sistem kekerabatan dan ke-

keluargaan, khususnya dengan migran yang se daerah asal. Jaringan sosial semacam ini sengaja dibentuk dan dikembangkan oleh para migran sebagai salah satu strategi mengatasi persoalan yang dihadapi di kota dan mempertahankan kehidupannya di kota;

2. Jaringan sosial yang dibentuk dan dikembangkan dengan kelom-pok-kelompok sosial dalam pola hubungan sosial vertikal, yaitu dengan orang-orang yang memiliki kegiatan usaha atau kondisi keuangan lebih mantap. Bentuk hubungan sosial semacam ini merupakan hubungan patron klien;

3. Jaringan sosial dibentuk pada kelompok-kelompok sosial baru guna saling memenuhi kebutuhan di antara migran. Kelompok-kelompok sosial ini bisa bermacam-macam bentuknya, misalnya: kelompok ketetanggaan, kelompok orang yang tinggal bersama, kelompok orang dengan nilai-nilai baru yang muncul di kota ke-lompok-kelompok yang terjadi karena kesamaan agama, profesi, dan sebagainya. Namun demikian, di antara ketiga pola tersebut ternyata seringkali terjadi tumpang tindih antara pola yang satu dengan yang lain. Misalnya, ditemukan jaringan sosial yang di-

22 | Dalam Masyarakat Lokal

dasarkan atas hubungan kekerabatan yang bersifat vertikal dan juga bersifat horizontal, dan jaringan sosial tersebut juga me-libatkan adanya hubungan ketetanggaan-ketetanggaan dalam arti di desa asal maupun di kota tujuan.

Pentingnya peranan migran terdahulu tidak sekedar dalam pe-milihan pekerjaan, tetapi sedikit banyak juga akan berpengaruh ter-hadap tingkat keberhasilan migran baru dalam melakukan kegiatan usahanya. Bila migran baru diajak oleh migran yang telah berhasil dalam melakukan kegiatan berjualan, misalnya mengikuti migran yang telah berjualan secara menetap dengan usahanya yang cukup sukses, maka migran baru akan banyak belajar bagaimana mengelola kegiatan berjualan secara menetap, dan hal ini juga akan memberi motivasi kepada migran baru untuk melakukan kegiatan serupa. Sebaliknya bila migran baru mengikuti migran terdahulu yang ke-giatan berjualannya belum berhasil, misalnya masih berjualan secara berkeliling, hal ini sedikit banyak juga akan berpengaruh terhadap kegiatan yang akan ditekuninya kelak.

Dalam hal pilihan tempat tinggal migran di kota tujuan, di-temukan bahwa secara umum para migran cenderung memilih tempat tinggal di dekat atau di sekitar tempat tinggal migran se-daerah asal. Dengan demikian ada semacam pengelompokan tempat tinggal di antara sesama migran di suatu lokasi pemukiman, meskipun tidak se-cara khusus dihuni oleh warga sedaerah asal. Pilihan tempat tinggal ini berpengaruh terhadap kemungkinan berkembangnya dan terpeli-haranya jaringan sosial di antara sesama migran sedesa asal. Dalam hal ini peran migran terdahulu amat dominan tehadap migran baru, baik pada tahap awal kedatangan mereka di kota, dengan cara di-tampung tempat tinggal, dicukupi kebutuhan makan sehari-hari, di-ajak bekerja sambil dibimbing untuk melakukan pekerjaan yang di-tekuninya. Karena itu hubungan yang terjalin sejak awal tersebut akan

Mobilitas Sirkulasi | 23

berlanjut di masa kemudian. Dengan semakin banyaknya orang yang dibawa dan dibimbing untk melakukan pekerjaan serupa maka akan terbentuk jaringan-jaringan sosial, terutama berdasarkan asal daerah dan pekerjaan yang ditekuni di tempat tujuan (Joko, 2007).

Seperti dikemukakan Wolf (1978), yang membedakan jaringan sosial berdasarkan status sosial ekonomi, yaitu jaringan sosial hori-zontal dan vertikal, penelitian ini menemukan bahwa kedua bentuk jaringan sosial tersebut. Dalam jaringan sosial horizontal, para migran yang terlibat dalam jaringan sosial tersebut memiliki status sosial ekonomi yang relatif sepadan. Beberapa migran yang sama-sama di-bawa dan ditampung serta diajari migran terdahulu, dan kemudian mereka masih menjalin ikatan merupakan contoh bentuk jaringan sosial horisontal. Sebaliknya dalam jaringan sosial vertikal, para migran yang terlibat jaringan sosial memiliki status sosial ekonomi yang tidak sepadan. Biasanya bentuk jaringan ini muncul manakala migran terdahulu yang mengajak dan membimbing migran yang di-bawanya, kemudian diberi modal berdagang, sehingga ada keterikatan dan ketegantungan dengan migran terdahulu.

Kenyataan juga menemukan bahwa jaringan sosial yang di-bentuk, baik bersifat horizontal maupun vertikal berdasarkan hubu-ngan-hubungan kekerabatan, ketetanggaan, maupun campuran antara kekerabatan dan ketetanggaan. Hubungan-hubungan kekerabatan se-cara umum memang memegang peran penting dalam jaringan sosial. Pentingnya hubungan kekerabatan tersebut nampak ketika pertama kali seorang migran berangkat bermigrasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Suparlan (1980), bahwa di kota-kota besar di Indonesia, kelompok-kelompok kekerabatan mempunyai peranan dalam usaha saling tolong-menolong dan kerjasama dalam mengatasi berbagai masalah dan kesulitan hidup di kota-kota besar. Gejala seperti ini juga ditemukan pada etnis Batak yang bermigrasi ke kota

24 | Dalam Masyarakat Lokal

Medan. Dikatakan bahwa hubungan kekerabatan di antara mereka, baik yang tinggal di kota maupun yang tinggal di desa, sangat kuat dan memiliki fungsi serta arti penting dalam kehidupan mereka.

Seperti hasil kajian Stack (1981), terhadap keluarga kulit hitam di pemukiman flat memperoleh temuan serupa. Bahwa jaringan sosial budaya berfungsi sebagai sarana adaptasi kolektif anggota keluarga tersebut terhadap tekanan-tekanan kehidupan di perkotaan. Jaringan sosial berdasarkan unsur kekerabatan mempunyai peranan penting da-lam menghadapi tekanan sosial dan kemiskinan, pengangguran, serta keterbatasan akses terhadap sumber daya ekonomi. Pemikiran Saifuddin (1991), menggambarkan bahwa kemampuan penduduk miskin melakukan seleksi atas potensi sosial budaya untuk ling-kungan hidup di perkotaan menjadikan mereka menciptakan dan me-melihara jaringan sosial terhadap mereka yang memiliki status sosial ekonomi sepadan maupun tidak sepadan. Sarana terpenting untuk hal tersebut adalah jaringan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan, dan kesamaan daerah asal. Selain jaringan sosial berdasarkan hubungan kekerabatan, penelitian ini juga menemukan bahwa jaringan sosial juga dikembangkan dan dipelihara oleh sesama migran yang memiliki hubungan kekerabatan bercampur ketetanggaan. Sementara itu pene-litian ini tidak menemukan adanya hubungan pertemanan dalam jaringan sosial sesama migran. Bisa dipahami tentang pentingnya peranan kerabat dan tetangga sedesa asal, sebab dengan mereka itulah umumnya para migran sering mengadakan hubungan. Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa keberangkatan migran baru pertama kali bermigrasi umumnya diajak oleh migran yang telah bermigrasi.

Lebih lanjut (Joko, 2007) mengemukakan bahwa masyarakat dapat ditemukan bahwa migran terdahulu mengutamakan kerabatnya sendiri untuk diajak bermigrasi, seperti saudara kandung, saudara sepupu, kemenakan, paman. Setelah itu baru mengajak tetangganya.

Mobilitas Sirkulasi | 25

Menarik juga untuk dicermati bahwa baik jaringan sosial horisontal maupun vertikal, faktor hubungan kekerabatan memegang peranan penting. Dalam jaringan sosial horisontal, peranan kekerabatan ter-utama berfungsi sebagai sarana untuk saling tolong-menolong di antara sesama mereka bila menghadapi kesulitan, saling pinjam-me-minjam uang atau barang, atau menitipkan uang atau barang ketika salah seorang di antara mereka pulang kampung. Berhubung tempat tinggal mereka umumnya bertetangga, baik ketika di kota maupun di daerah asal, maka hubungan sosial mereka amat intensif untuk ber-bagai kepentingan.

Sementara itu dalam jaringan sosial vertikal, adanya status sosial ekonomi yang tidak sepadan di antara migran yang terlibat jaringan sosial, yang muncul adalah adanya ketergantungan antara migran status sosial ekonomi yang lebih rendah terhadap migran yang status sosial ekonomi lebih tinggi. Jaringan sosial tersebut umumnya terjadi dalam bentuk hubungan antara majikan dengan pekerjanya, atau hubungan antara migran yang melakukan aktivitas usaha sendiri, tetapi modal usaha berasal dari migran lain. Kadang terjadi perubahan bentuk hubungan dalam jaringan sosial yang semula merupakan hu-bungan vertikal kemudian berubah menjadi bersifat horisontal. Contoh kasus, hubungan seorang migran baru dengan migran ter-dahulu yang mengajaknya pada awalnya dalam bentuk hubungan sosial vertikal, ketika dalam proses migran baru magang yang di-lanjutkan dengan pemberian modal pertama untuk usaha. Ketika migran yang diajaknya semakin mampu mandiri dan mengembalikan modal pinjamannya, dan bahkan kemungkinan lambat laun bisa lebih sukses dan lebih baik kondisi sosial ekonominya dibanding migran yang dulu mengajaknya, maka hubungan sosial berubah menjadi ber-sifat horizontal.

26 | Dalam Masyarakat Lokal

E. Faktor-faktor Penyebab Migrasi Sirkuler Fokus kajian ini adalah bentuk migrasi sirkuler (sirkulasi) ter-

masuk pergerakan dari desa ke kota, dan dalam kaitan ini Todaro (dalam Busaini, 2003) mengemukakan bahwa faktor yang mempe-ngaruhi seseorang untuk melakukan migrasi sangatlah beragam dan rumit, karena migrasi merupakan proses yang secara selektif mem-pengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidi-kan, dan demografi tertentu maka pengaruhnya secara relatif terhadap faktor ekonomi maupun non ekonomi akan berlainan.

Pada faktor ekonomi penekanan pengaruh tersebut terutama pada bidang-bidang sebagai berikut: 1. Sosial, misalnya keinginan migran keluar dari kendala-kendala

tradisional yang terdapat pada organisasi-organisasi sosial; 2. Fisik, misalnya menghindari bencana alam; 3. Demografi, misalnya tingkat kepadatan penduduk di pedesaan

yang tinggi akibat dari tingkat kematian yang telah dapat ditekan namun kelahiran belum dapatditekan sehingga laju pertumbuhan penduduk tinggi;

4. Kultural, misalnya hormonisasi ataupun disharmonisasi kekeluar-gaan;

5. Komunikasi dan transportasi, misalnya prasarana transportasi yang semakin baik dengan diiringi oleh ketersediaan sarana trans-portasi yang semakin lancar, ketersediaan sarana komunikasi di kota yang relatif lengkap di perkotaan dibandingkan di pedesaan.

Namun, Todaro melanjutkan bahwa faktor non ekonomi di atas memang relevan dengan determinan mobilitas desa-kota, akan tetapi saat ini ada kesepakatan umum bahwa mobilitas dari desa ke kota di-sebabkan oleh faktor ekonomi, yang mencakup bukan hanya push factor dari dunia pertanian, tetapi juga full factor berupa kesempatan kerja/upah yang relatif tinggi di kota. Seirama dengan ini, Abustam

Mobilitas Sirkulasi | 27

(2004) berpendapat bahwa selain petani lapisan atas, petani-petani lapisan lain – lahan sempit, gurem – termotivasi ke kota karena faktor ekonomi, mereka pindah ke kota bukan mencari suasana baru atau menambah pengalaman; melainkan pencarian atau perpindahan pekerjaan.

Bintarto R. (1977), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan penduduk bermigrasi dibedakan menjadi dua bagian yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (full factor). Selanjutnya yang termasuk faktor pendorong untuk melakukan migrasi antara lain pertambahan alami, kekurangan sumber alami, fluktuasi iklim dan kegelisahan sosial. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, faktor yang mendorong manusia meninggalkan daerah asalnya antara lain disebabkan adanya pertambahan alami seperti adanya per-tambahan penduduk. Sedangkan faktor-faktor penarik dalam migrasi menyatakan antara lain penemuan daerah baru yang mempunyai tanah subur, penemuan industri-industri baru dan iklim yang cocok, di samping itu adanya faktor-faktor kebijaksanaan pemerintah, faktor pribadi dan pemindahan lokasi pasar.

Selajutnya pandangan yang sama dikemukakan Lee (1991) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi orang meng-ambil keputusan untuk bermigrasi dan proses migrasi dapat diangkat menjadi empat faktor sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang terdapat didaerahasal; 2. Faktor-faktor yang terdapat ditempat tujuan; 3. Penghalangantara; 4. Faktor-faktor pribadi.

Lee dalam Mantra (2005) dalam mengungkapkan bahwa volume migrasi di suatu daerah berkembang sesuai dengan tingkat keanekaragaman daerah diwilayah tersebut. Di daerah asal dan daerah tujuan ada faktor-faktor positif (+), negatif (-), ada pula faktor netral

28 | Dalam Masyarakat Lokal

(o). Faktor positif adalah faktor yang memberikan nilai menguntung-kan kalau bertempat tinggal di daerah itu, misalnya di daerah tersebut terdapat sekolah, kesempatan kerja atau iklim yang baik. Faktor negatif adalah faktor yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang ingin pindah dari tempat tersebut karena kebutuhan tertentu tidak terpenuhi. Besar kecilnya arus migrasi juga dipengaruhi oleh rintangan antara, misalnya berupa ongkos pindah yang tinggi, topografi antara daerah asal dengan daerah tujuan berbukit, dan terbatasnya sarana tranportasi atau pajak masuk ke daerah-daerah tujuan tinggi. Faktor yang juga tidak kalah pentingnya adalah faktor individu karena dialah yang menilai positif dan negatifnya suatu daerah, dia pulalah yang memutuskan apakah akan pindah dari daerah ini atau tidak. Kalau pindah, daerah mana yang akan dituju.

Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sese-orang melakukan mobilitas disebabkan karena banyaknya faktor, seperti faktor daerahasal yaitu misalnya terbatasnya kesempatan, lahan pertanian yang sempit, sedangkan di daerah tujuan adalah ada-nya potensi yang lebih baik dari daerah asal atau informasi-informasi mengenai daerah tujuan yang diperoleh daya tarik. Faktor induvidu meliputi tingkat pendidikan, cita-cita, harapan dan secara tingkat modernisasi. 1. Faktor Pendorong

Adanya perbedaan yang berarti antara daerah asal dan daerah tujuan dari segi ekonomi dan kesempatan kerja, menyebabkan adanya mobilitas penduduk dari desa ke kota. Makin tinggi perbedaan ter-sebut makin banyak penduduk melaksanakan mobilitas. Menurut Munir (2003) mengemukakan bahwa daya dorong penduduk untuk melakukan migrasi yaitu disebabkan oleh:

Mobilitas Sirkulasi | 29

1. Makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya per-mintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya yang masih sulit diperoleh;

2. Menyempitnya lapangan pekerjaan di daerah asal; 3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama dan

suku di daerah asal; 4. Tidak cocok lagi dengan adat/budaya/kepercayaan di daerah asal; 5. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bias

mengembangkan karir pribadi; 6. Bencana alam seperti banjir, kebakaran dan lain sebagainya.

Dari pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seseorang melakukan mobilitas disebabkan karena adanya faktor pendorong dari daerah asal, seperti terbatasnya kesempatan kerja di daerah asal, keadaan ekonomi yang kurangbaik. 2. Faktor Penarik

Selain ada faktor pendorong yang menyebabkan penduduk me-lakukan mobilitas dari daerah asal, maka ada faktor penarik yang mendorong pendudukuntuk melakukan mobilitas kedaearah tujuan. Menurut Munir (2003) berpendapat bahwa: Faktor-faktor penarik orang bermigrasi antara lain: 1. Kesempatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok; 2. Kesempatan mendapatkan lapangan pekerjaan yang lebih baik; 3. Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi; 4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan

misalnya perumahan; 5. Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat pelindung.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka tujuan penduduk bermigrasi atau pindah adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya terutama di bidang ekonomi. Seperti pemikiran Komaruddin (1974) bahwa sempitya lapangan pekerjaan

30 | Dalam Masyarakat Lokal

atau terbatanya kesempatan kerja pada suatu daerah disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk pada daerah tersebut yang mencari pe-kerjaan, sedangkan lapangan pekerjaan yang dapat dimasuki terbatas, hal ini mendorong penduduk pada daerah tersebut untuk mencari pe-kerjaan di daerah lain yang memungkinkan mereka untuk bekerja atau memasuki lapangan pekerjaan.

Dari pemikiran ini maka dapat dipahami bahwa pekerjaan me-rupakan salah satu hal yang menyebabkan penduduk untuk melakukan mobilitas sirkuler. Lapangan pekerjaan yang dirasa sulit di daerah asal memungkinkan penduduk untuk mencari lapangan pekerjaan di luar daerahnya yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Tingkat pendapatan mempunyai pengaruh terhadap migrasi suatu penduduk, seperti yang dikemukakan oleh Lee (1991) bahwa adanya perbedaan yang berarti antara desa dan kota dari segi ekonomi dan kesempatan kerja, menyebabkan adanya mobilitas dari desa ke kota. Makin tinggi perbedaan tersebut makin banyak pen-duduk yang melaksanakan mobilitas. Alasan utama mereka melak-sanakan mobilitas ialah alasan ekonomi, sosial dan kejiwaan.

Berdasarkan panangan Hall (1985) bahwa penduduk yang ber-pendapatan rendahakan bersifat mobil atauakan melakukan perpin-dahan yang bersifat permanen sehingga terjadi perubahan tempat tinggal. Sesuai pendapat tersebut, maka dapat diambil suatu kesim-pulan bahwa pendapatan yang rendah di daerah asal tanpa adanya pe-nambahan kesempatan kerja dan produktivitas kerja akan memung-kinkan penduduk untuk bermigrasi ke daerah lain di luar daerahnya untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada di daerah asalnya. Kemudahan untuk mendapatkan peluang usaha di daerah tujuan merupakan salah satu penyebab penting bagi penduduk mela-kukan mobilitas sirkuler. Kemudahan untuk mendapatkan kesempatan kerja di daerah tujuan merupakan hal yang sangat berperan dalam

Mobilitas Sirkulasi | 31

bermigrasi suatu penduduk. Adanya perbedaan yang berartiantara desa dan kota dari segi ekonomi dan kesempatan kerja menyebabkan adanya mobilitas penduduk dari desa ke kota. Seperti dikatakan Singarimbun (1976) tidak diragukan lagi perpindahan penduduk sering merupakan reaksi terhadap faktor-faktor ekonomi, seperti ada-nya kesempatan lapangan pekerjaan yang lebih baik.

Lee (1991) menjelaskan bahwa kondisi sosial ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan (needs) seseorang menyebabkanorang tersebut ingin pergi ke daerah lain yang dapat memenuhi kabutuhan tersebut. Selanjutnya, Munir (2003) mengemukakan bahwa faktor penarik penduduk melakukan mobilitas antara lain memasuki lapangan kerja yang cocok, kesem-patan mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi, keadaan hidup yang menyenangkan sebagai daya tarik penduduk untuk melakukan mobi-litas. F. Penelitian tentang Mobilitas Sirkulasi

Pertama, Sunarto (1991) tentang Dampak Migrasi Sirkuler terhadap Desa Asal Migran di dua desa yaitu Sodo dan Mulusan Kabupaten Gunung Kidul. Menyimpulkan bahwa dilihat segi ke-tenagakerjaan seluruh migran sirkuler termasuk ke dalam kelompok penduduk yang potensial untuk bekerja, sedangkan dari segi sosial ekonomi mereka merupakan kelompok masyarakat papan bawah. Hasil penelitiannya juga menemukan bahwa mobilitas sirkuler ber-pengaruh positif terhadap daerah asal yaitu dalam hal: (1). Mening-katkan kesejahteraan rumah tangga; (2). sebagai penyangga terhadap kehidupan sosial; (3). Memperbaiki ketimpangan tagihan pendapatan masyarakat; (4). memperbaiki cara pengelolaan lahan pertanian; dan (5). Memperbesar volume peredaran uang di pedesaan. Melihat besar-nya dampak positif mobilitas terhadap daerah asal, ia mengemukakan

32 | Dalam Masyarakat Lokal

bahwa tidak diragukan lagi migrasi sirkuler dibutuhkan bahkan perlu dipacu untuk daerah-daerah kritis seperti Gunung Kidul.

Kedua, hasil penelitian Purnomo, (2009), tentang Fenomena Migrasi Tenaga Kerja dan Perannya Bagi Pembangunan Daerah Asal: Studi Empiris di Kabupaten Wonogiri. Hasil penelitian menunjukkan Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan migran asal Wonogiri tetap sebagai migran sirkuler (temporary), dengan demikian para tenaga kerja asal Wonogiri ini akan lebih suka tetap tinggal di desa asalnya bila tersedia lapangan pekerjaan atau lahan yang dapat di-garap. Hal ini memberikan konsekuensi kepada pemerintah dalam hal ini Pemda Kabupaten Wonogiri untuk dapat menyediakan/mencipta-kan lapangan pekerjaan, termasuk penyediaan lahan garapan yang tidak produktif menjadi lahan produktif. Adanya lahan garapan bagi para migran di Wonogiri ini sesuai dengan keinginan mereka untuk tetap bekerja di daerah asalnya. Migran yang berniat menetap, biasa-nya adalah mereka yang sudah mapan dalam pekerjaan dan peng-hasilannya. Mereka akan memberikan informasi kepada migran potensial di desa asal (Wonogiri). Penelitian tersebut menyarankan, Pemda Wonogiri perlu mengkoordinir para migran dengan bekerja-sama dengan paguyuban yang telah ada. Hal ini dapat diwujudkan, apabila dilakukan pendataan mengenai tenaga kerja yang melakukan aktivitas boro. Upaya pendataan ini, selain bermanfaat dari sisi admi-nistrasi, juga sebagai indikator untuk mengontrol mobilitas penduduk. Berdasar pengamatan di lapangan, fenomena para perantau asal Wonogiri ini semakin meningkat setiap tahunnya. Sehingga, dampak dari mobilitas penduduk ini terlihat pada peningkatan prasarana dan kemudahan transportasi, yang selanjutnya menjadi penghubung antara kehidupan desa dengan kota, dimana banyak tenaga kerja asal Wonogiri berharap meningkatkan kesejahteraannya di daerah tujuan. Pemerintah dalam hal ini Pemda Kabupaten Wonogiri tidak dapat

Mobilitas Sirkulasi | 33

mencegah fenomena ini, tetapi yang diperlukan justru dukungan ter-hadap mereka, paling tidak dalam bentuk moril.

Ketiga, penelitian Wulan (2010) tentang Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Migrasi Sirkuler ke Kabupaten Semarang. Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa variabel usia berpengaruh secara signifikan terhadap minat migrasi. Hal ini relevan mengingat saat seseorang merasa telah mampu untuk bekerja maka ia akan men-cari pekerjaan yang lebih bisa meningkatkan standar hidup keluarga di daerah asal maka ia akan bermigrasi ke luar daerah. Pemerintah daerah perlu mengadakan modernisasi sektor pertanian yang me-rupakan sektor utama daerah pedesaan guna meningkatkan produksi dan produktivitas hasil-hasil pertanian dan dengan harapan hal ini dapat menambah kesempatan kerja di desa sehingga tenaga-tenaga muda di pedesaan tidak perlu meninggalkan daerahnya untuk bekerja di luar kota. Bahwa variabel pendapatan berpengaruh secara signifi-kan terhadap minat migrasi. Oleh karena itu pemerintah perlu me-ngembangkan potensi di berbagai daerah supaya kesejahteraan ma-syarakat juga dapat meningkat, karena hampir semua responden me-ngatakan bahwa faktor pendapatan di daerah asal lebih rendah di-bandingkan dengan daerah tujuan membuat mereka berpikir untuk bekerja di luar daerah dengan harapan mendapat pendapatan yang lebih baik. Bahwa variabel pekerjaan asal berpengaruh secara signifikan terhadap minat migrasi. Penduduk yang tidak bekerja mau-pun sudah bekerja akan meninggalkan daerah asal dan beralih pada daerah lain jika ada perbedaan dalam pendapatan di daerah lain. Oleh karena itu pemerintah perlu mengadakan program penyuluhan pengo-lahan hasil pasca panen, supaya tercipta kesempatan kerja sehingga dapat menahan penduduk untuk bermigrasi dan masyarakat dapat be-kerja meningkatkan pembangunan di kampung halaman mereka sen-diri. Bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan

34 | Dalam Masyarakat Lokal

terhadap minat migrasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan masya-rakat, akan semakin kuat keinginan memperoleh pekerjaan yang lebih baik di kota daripada di desa. Bahwa variabel kepemilikan tanah ber-pengaruh secara signifikan terhadap minat migrasi. Berkurangnya lahan disebabkan karena sebagian besar lahan sawah digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau berbagai fasilitas umum dan kegiatan perindustrian sehingga lahan menjadi sempit.

Keempat, penelitian Sumartono (2013) tentang Proses Strategi Nafkah Migran Sirkuler Pedagang Sayur Keliling di Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan. Strategi nafkah kehidupan pe-dagang sayur keliling di lingkungan perkotaan wilayah Pamulang pada umumnya mempunyai pola strategi kehidupan yang hampir sama. Hal ini sangat dimungkinkan karena pedagang sayur keliling mempunyai komunitas tersendiri dan pada umumnya berasal dari daerah yang sama. Komunitas pedagang sayur keliling di wilayah Pamulang pada umumnya berasal dari wilayah Pekalongan dan se-kitarnya. Komunitas yang berasal dari daerah yang sama pada umum-nya telah mempunyai kemiripan dalam perilaku usahanya. Strategi nafkah kehidupan pedagang sayur keliling di lingkungan perkotaan wilayah Pamulang pada umumnya mempunyai pola strategi kehi-dupan yang hampir sama. Hal ini sangat dimungkinkan karena pe-dagang sayur keliling mempunyai komunitas tersendiri dan pada umumnya berasal dari daerah yang sama. Komunitas pedagang sayur keliling di wilayah Pamulang pada umumnya berasal dari wilayah Pekalongan dan sekitarnya. Komunitas yang berasal dari daerah yang sama pada umumnya telah mempunyai kemiripan dalam perilaku usahanya.

Kelima, penelitian Mantra (2005) dalam penelitiannya pada masyarakat padi sawah di Daerah Istimewah Yogyakarta, dengan mengambil dua dukuh sebagai kasus yaitu Kadirajo (Sleman) dan

Mobilitas Sirkulasi | 35

Piring (Bantul) mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang mempenga-ruhi seseorang untuk berpindah atau menetap tinggal di dalam dukuh. Di kedua daerah penelitian tersebut. Kekuatan yang mendorong se-seorang untuk meninggalkan daerahnya adalah adanya ketidakpuasan penduduk dalam bidang pertanian, kurang kesempatan kerja dan ter-batasnya fasilitas pendidikan. Sempitnya rata-rata pemilikan tanah mengakibatkan hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, walapun dengan menggunakan teknologi baru, maka untuk me-nambah penghasilan keluarga mereka mencari pekerjaan diluar dukuh.

Keenam Busaini (2003) dengan topik karakteristik dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mobilitas wanita pekerja di desa Pesinggalan Kecamatan Mataram Kotamadya Mataram, dengan mengangkat hipotesis antara lain” mobilitas pekerja wanita dipenga-ruhi oleh faktor pendapatan, biaya transportasi, jumlah tanggungan dan waktu yang dikorbankan” menemukan bahwa hanya faktor pen-dapatan dan waktu luang yang berpengaruh, sedangkan dua faktor lainnya, yaitu biaya transportasi dan jumlah tanggungan tidak ber-pengaruh terhadap mobilitas wanita pekerja. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang menahan seseorang untuk tetap tinggal di dukuh (sentripetal) adalah: (1) jalinan persaudaraan yang kuat diantara semua warga desa; (2) sistem gotong royong yang kuat; (3) keter-kaitan mereka dengan tanah pertanian dalam arti pemilikan tanah memberi status yang tinggi; (4) ikatan batin dengan leluhur mereka untuk selalu mengunjungi makam mereka pada setiap ruah dan lebaran; dan (5) ongkos transpor yang tinggi apabila dibandingkan dengan pendapatan mereka (Mantra, 2005).

Selanjutnya ketuju penelitian Effendi (2005) dalam penelitian-nya tentang determinasi mobilitas petani Kemiri di Kabupaten Daerah Tingkat II Maros menemukan bahwa yang mendorong petani kemiri

36 | Dalam Masyarakat Lokal

melakukan mobilitas ke daerah tujuan (Ujung Pandang) adalah tingginya harga Kemiri di Ujung Pandang dibandingkan di daerah lokasi penelitian (daerah asal). Selanjutnya, peneliti dalam analisisnya menemukan pulah bahwa faktor yang membedakan tingkat mobilitas antara satu petani Kemiri dengan Petani Kemiri lainnya adalah hasil produksi Kemiri, jumlah tanggungan, biaya transpor, rata-rata waktu sekali mobilitas. Diantara faktor-faktor tersebut, faktor hasil/jumlah produksi kemiri yang paling tinggi pengaruhnya dibandingkan faktor-faktor lainya.

G. Kerangka Pemikiran Fenomena suatu kelompok masyarakat untuk melakukan mobi-

litas sosial secara horizontal adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi merupakan kajian yang sangat menarik. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Secara fisik tentu saja kelompok usia muda memiliki kemampuan yang lebih unggul jika dibanding dengan kelompok usia yang lebih tua. Sehingga diasumsikan bahwa kelompok usia mudah akan lebih dominan untuk melakukan mobilitas sirkulasi dibanding yang berusia tua, karena aktivitas tersebut lebih banyak mengandalkan aktivitas yang bersifat fisik. Perilaku mobilitas sirkulasi juga didorong tingkat pendidikan. Diasumsikan bahwa se-makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin meng-inspirasi untuk semakin banyak melakukan pilihan-pilihan memenuhi kebutuhan hidup. Disamping itu karakteristik tingkat pendidikan juga diduga mempunyai hubungan dengan prilaku sirkulasi. Oleh karena itu, jika tingkat pendidikan lebih tinggi, kemungkinannya lebih besar untuk menentukan pilihan meningkatkan keadaan sosial ekonomi rumah tangga jika dibandingkan dengan seseorang berpendidikan rendah. Selanjutnya, penghasilan dari suatu pekerjaan juga akan

Mobilitas Sirkulasi | 37

menentukan seseorang untuk melakukan mobilitas sirkulasi. Sese-orang akan terdorong untuk melakukan mobilitas sirkulasi jika peng-hasilan didaerah tujuan akan lebih besar dibanding penghasilan dari pekerjaan di daerah asal. Terlebih-lebih jika jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan adalah cukup besar.

Berbagai faktor diduga telah mempengaruhi berfariasinya fre-kuensi mobilitas sirkulasi antara lain: besarnya penghasilan yang di-dapatkan di daerah tujuan mobilitas sirkulasi. Jika penghasilan yang diperoleh lebih banyak pada setiap kali melakukan sirkulasi, akan lebih tinggi pula frekuensi sirkulasinya dibanding kelompok orang yang penghasilannya lebih rendah. Aspek yang lain yakni besarnya anggota rumah dimana dapat dipastikan keluarga atau rumah tangga yang besar memerlukan biaya yang lebih besar pula. Dalam kondisi seperti ini anggota rumah tangga akan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan tentunya memiliki biaya yang besar pula untuk memenuhi kebutuhannya. Hal inilah menjadi salah satu pendorong untuk melakukan mobilitas sirkulasi, dimana semakin besar kebutuhan rumah tangga disebabkan jumlah anggota-nya yang besar juga akan mendorong anggota rumah tangga untuk melakukan mobilitas sirkulasi.

Berikutnya adalah yang berkaitan dengan waktu yang diguna-kan dalam setiap kali melakukan mobilitas sirkulasi juga mempe-ngaruhi frekuensi mobilitas sirkulasi. Kelompok masyarakat yang menggunakan waktu yang relatif singkat dalam setiap kali melakukan sirkulasi relatif lebih tinggi pula frekuensinya dibanding bagi mereka yang menggunakan waktu yang lama melakukan mobilitas sirkulasi.

Oleh karena itu, mobilitas sirkulasi dimaksudkan untuk me-menuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, yang tentu saja dapat di-pandang sebagai salah satu strategi ketika suatu rumah tangga di-perhadapkan dengan berbagai persoalan.

38 | Dalam Masyarakat Lokal

H. Hipotesis Sejalan dengan uraian kerangka pikir, dalam penelitian ini di-

kemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Ada perbedaan karakteristik sosial dan ekonomi antara warga

Lea-Lea yang melakukan sirkulasi dengan yang tidak melakukan sirkulasi.

2. Ada hubungan antara frekuensi sirkulasi warga Lea-Lea yang melakukan sirkulasi dari unit pemukiman ke daerah lain dengan faktor jumlah rumah tangga, penghasilan rumah tangga. Hipotesis kedua ini dapat diuraikan menjadi beberapa hipotesis kerja: a. Semakin besar rumah tangga, semakin sering pulah frekuensi

sirkulasi warga Lea-Lea. b. Semakin tinggi penghasilan rumah tangga, semakin tinggi

pula frekuensi sirkulasi warga Lea-Lea.

Mobilitas Sirkulasi | 39

Bab 3

Metode Penelitian A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Lea-Lea Kota Bau-Bau Propinsi Sulawesi Tenggara. Alasan memilih Lea-Lea sebagai lokasi penelitian karena masyarakat didaerah ini memiliki etos kerja yang cukup besar untuk berupaya memenuhi kebutuhan keluarga secara mandiri. Di Wilayah Kecamatan Lea-Lea dijumpai beberapa desa yang kurang memungkinkan untuk dijadikan pengembangan per-tanian. Dengan kondisi seperti inilah kemudian mendorong sebagian keluarga melakukan migrasi yakni meninggalkan kampung mereka beberapa saat untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di daerah lain.

B. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian survai

deskriptif yang berupaya mendalami: (1) perbedaan karakteristik warga Lea-Lea yang melakukan sirkulasi dengan warga Lea-Lea yang tidak melakukan sirkulasi, (2) faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi sirkulasi. Waktu penelitian dilakukan secara cross sectional yang berartiadanya periode tertentu dalam melakukan wawancara yang menggunakan daftar pertanyaan untuk pengumpulan data.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Warga Lea-Lea di Kota Bau-Bau Propinsi Sulawesi Tenggara. Pengambilan populasi dilaku-

40 | Dalam Masyarakat Lokal

kan dalam dua kelompok, yaitu (1) populasi yang pernah melakukan sirkulasi; dan (2) populasi yang tidak pernah melakukan sirkulasi. Teknik pengelompokan populasi ke dalam dua kelompok merupakan langkah yang penulis tempuh, untuk mengetahui sejauh mana per-bedaan karakteristik sosial demografi dan sosial ekonomi antara warga Lea-Lea yang melakukan mobilitas sirkulasi dengan yang tidak melakukan mobilitas sirkulasi. 2. Sampel

Selanjutnya mengenai penarikan sampel penelitian ini diawali dengan penetapan 2 (kelurahan) di Kecamatan Lea-Lea yang dilaku-kan dengan menggunakan teknik purposive. Kemudian, dari setiap kelurahan yang terpilih tersebut, sampel ditarik secara acak dari populasi sejumlah 20 orang. Penarikan sampel dalam penelitian ini akhirnya diperoleh sejumlah 40 orang.

Sumber data juga diperoleh dari informan, yaitu beberapa pejabat pada Dinas Kependudukan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial Kota Bau-Bau, Camat, Lurah sebagai Pejabad Pemerintah. Informan penelitian juga diambil dari beberapa Ketua Rukun Warga (RW) dan Ketua Rukun Tetangga (RT). Penentuan informan didasarkan atas kemampuan informan dalam menjawab permasalahan penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan 3

(tiga) macam teknik pengumpulan data; Pertama adalah observasi yakni dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara mendalam tentang mobilitas sirkulasi dilokasi penelitian. Faktor-faktor yang menyebabkan warga Lea-lea melakukan mobilitas sirkulasi. Kedua adalah wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan secara ter-tutup dan daftar pertanyaan secara terbuka. Hal ini dilakukan untuk

Mobilitas Sirkulasi | 41

memahami tentang persoalan mobilitas sirkulasi yang dilakukan Warga Lea-lea sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. Ketiga adalah dokumentasi, dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi.

E. Konsep Operasional Konsep operasional dimaksudkan agar variabel dalam pene-

litian ini dioperasionalisasikan, sehingga memudahkan dalam proses analisis data sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini juga dilakukan agar penelitian ini mampu memberikan rekomendasi yang berguna baik untuk kepentingan praktis maupun untuk kepentingan pengem-bangan ilmu pengetahuan. Adapun konsep dan variabel dalam pene-litian ini adalah sebagai berikut: a. Frekuensi sirkulasi

Indikator yang digunakan adalah berapa kali responden melaku-kan sirkulasi dalam satu tahun terakhir.

b. Umur/Usia Indikator yang digunakan adalah usia respondens yang dihitung dari tahun kelahirannya, dan dinyatakan dalam tahun.

c. Pendidikan Indikator yang digunakan adalah tingkat pendidikan formal yang pernah ditamatkan. Untuk memudahkan analisis, data pendidikan akan dikelompokan kedalam kelompok, yaitu: tidak/tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, tamat Perguruan Tinggi.

d. Jumlah tanggungan rumah tangga Indikator yang digunakan banyaknya orang yang berada dalam tanggungan satu rumah tangga dengan menggantungkan hidup dari pembiayaan rumah tangga tersebut, baik yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di tempat lain.

42 | Dalam Masyarakat Lokal

e. Penghasilan rumah tangga Indikator yang digunakan adalah semua penghasilan yang di-peroleh dari hasil kegiatan ekonomi produktif yang dilakukan oleh semua anggota rumah tangga yang dinyatakan dalam rupiah per bulan/tahun.

F. Teknik Analisis Data Apabila data yang diperlukan penulis telah diperoleh, maka

selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Analisis data dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas daridata yang telah disimpulkan dan disusun dalam keseluruhan data. Dalam penelitian ini digunakan teknik pengolahan dan analisis data yakni dengan mengelompokkan data ke dalam tabel frekuensi. Tabel frekuensi digunakan untuk melihat bagaimana keadaan suatu variabel yang diamati terutama mengenai kondisi responden pada variabel tersebut. Selanjutnya, variabel yang berkenaan dengan perbedaan karakteristik sosial dan ekonomi antara warga Lea-Lea yang me-lakukan sirkulasi dengan warga Lea-Lea yang tidak melakukan sirkulasi digunakan analisis statistik non parametrik dengan model Chi-square, selanjutnya analisis Tabel Silang digunakan untuk meng-analisis variabel yang diasumsikan berhubungan dengan frekuensi sirkulasi warga Lea-Lea.

Mobilitas Sirkulasi | 43

Bab 4

Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Geografi

Kondisi geografi suatu wilayah adalah keadaan mukabumi dari aspek letak, cuaca, iklim, relief, jenis tanah, flora dan fauna serta sumber daya alamnya.Letak suatu wilayah berhubungan dengan lokasi, posisi batas, bentuk dan luas. Relief atau topografi, adalah keadaan tinggi-rendahnya bentuk permukaan bumi. Penampakan alam yang berhubungandengan relief wilayah daratan terdiri atas pegunu-ngan, gunung, dataran tinggi, dataran rendah, lembah, dan dataran pantai. Cuaca adalah keadaan atmosfer harian pada jangka waktu tertentu yang meliputi wilayah yang relatif sempit. Sedangkan iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang lama dan meliputi cakupan wilayah yang luas. Suhu menunjukkan derajat panas benda. Pengertian curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air se-tinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.

Kecamatan Lea-Lea terletak pada bagian selatan garis khatu-listiwa serta terletak pada 5033'-5034' Lintang Selatan dan 122067'-122069' Bujur Timur. Batas wilayah Kecamatan Lea-Lea yaitu se-belah utara berbatasan dengan selatan Buton, sebelat timur berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Buton dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.

44 | Dalam Masyarakat Lokal

Gambar 1. Peta Batas Kecamatan Lea-Lea

Kecamatan Lea-Lea memiliki luas yaitu 33,40 Km2 atau 11,39 dari luas kota Baubau. Luas wilayah menurut kelurahan di Kecamatan Lea-Lea dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Luas Wilayah Menurut Kelurahan di Kecamatan Lea-Lea No Kelurahan Luas (Km2) Persentase

1 Kolese 1,20 3,95

2 Lowu-Lowu 4,50 13,47

3 Kalia-Lia 6,50 19,46

4 Kantalai 7,20 21,56

5 Palabusa 14,0 41,92

Kecamatan Lea-Lea 33,4 100

Sumber: BPS Kota Bau-Bau 2020

Mobilitas Sirkulasi | 45

Palabusa merupakan kelurahan dengan wilayah terluas yakni sebesar 14,00 Km2. Sedangkan Kolese merupakan kelurahan dengan wilayah terkecil yakni hanya seluas 1,20 Km2. Kecamatan Lea-Lea termasuk daerah pesisir/tepi pantai yang meliputi Kelurahan Kolese, Lowu-Lowu, Kalia-Lia serta Kelurahan Kantalai. Keadaan musim di Kecamatan Lea-Lea sama seperti daerah lainnya di Kota Baubau yang dikenal dengan musim penghujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi karena arus angin yang banyak mengandung uap air ber-hembus dari Asia dan Samudera Pasifik yang biasanya banyak terjadi antara bulan Januari sampai dengan bulan Juni. Musim kemarau ter-jadi karena arus angin yang tidak banyak mengandung uap air bertiup dari Australia yang biasanya terjadi antara bulan Juli sampai dengan bulan Oktober. Suhu udara di suatu tempat antara lain di tentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan air laut dan jaraknya dari pantai. Mengenai rata-rata curah hujan pada setiap bulan di Kecamatan Lea-Lea pada tahun 2017 dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Rata-rata Curah Hujan Setiap Bulan di Kecamatan Lea-Lea (2017).

46 | Dalam Masyarakat Lokal

Pada tahun 2017 suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus, sebesar 20,00C dan suhu udara maksimum terjadi pada bulan November, sebesar 35,40C. Kecepatan angin di Kecamatan Lea-Lea pada tahun 2017 umumnya merata setiap tahunnya, yakni dengan kecepatan rata-rata berkisar antara 1,5 sampai dengan 3,5 knots. Rata-rata tekanan Angin pada setiap bulan di Kecamatan Lea-Lea dapat dilihat pada Tabel 2: Tabel 2. Tekanan Udara dan Kecepatan Angin di Kecamatan Lea-Lea

(2017)

No Bulan Rara-rata Tekanan

Udara (mb)

Rara-rata Kecepatan

Angin (knot)

1 Januari 1011,8 3,5

2 Februari 1012,8 3,5

3 Maret 1012,9 2,5

4 April 1013,0 2,0

5 Mei 1013,6 1,5

6 Juni 1014,7 2,0

7 Juli 1014,8 1,8

8 Agustus 1014,9 2,6

9 September 1015,0 2,0

10 Oktober 1013,2 2,4

11 Nopember 1011,2 2,0

12 Desember 1011,7 3,0

Sumber: BPS Kota Bau-Bau Di Kecamatan Lea-Lea pada tahun 2017 mempunyai tingkat

kelembaban yang relatif tinggi, berkisar antara 77 persen sampai

Mobilitas Sirkulasi | 47

dengan 87 persen. Curah hujan di suatu tempat antara lain dipenga-ruhi oleh keadaan iklim, keadaan topografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu curah hujan di Kecamatan Lea-Lea pada tahun 2017 sangat beragam setiap bulannya, dimana curah hujan ter-banyak terjadi pada bulan Januari sebesar 464,5 mm. Faktor lain yang mempengaruhi hujan dan arah kecepatan angin adalah perbedaan tekanan udara. Mengenai rata-rata suhu udara dan kelembaban relatif setiap bulan di Kecamatan Lea-Lea dapat dilihat dalam tabel 3. Tabel 3. Suhu Udara dan Kelembaban Relatif di Kecamatan Lea-Lea

(2017) No Bulan Minimum Maksimum Persen

1 Januari 22,4 34,4 79

2 Februari 22,6 34,2 82

3 Maret 22,8 33,2 86

4 April 23,0 34,2 86

5 Mei 22,8 33,6 86

6 Juni 21,0 33,2 87

7 Juli 21,0 32,2 87

8 Agustus 20,0 33,0 77

9 September 21,4 34,4 76

10 Oktober 21,5 34,8 79

11 Nopember 23,2 35,4 82

12 Desember 21,8 34,2 84

Sumber: BPS Kota Bau-Bau 2. Pemerintahan

Kecamatan adalah wilayah administratif di Indonesia di bawah kabupaten atau kota. Kecamatan terdiri atas desa-desa atau kelurahan-

48 | Dalam Masyarakat Lokal

kelurahan. Pemerintah kecamatan dipimpin oleh camat dengan di-bantu oleh perangkat kecamatan. Camat merupakan pegawai negeri sipil dan bertanggung jawab kepada bupati atau walikota karena keca-matan adalah bawahan kabupaten atau kota. Perangkat kecamatan juga berstatus pegawai negeri sipil dan bertanggung jawab pada camat. Perangkat kecamatan itu antara lain: 1) Sekretaris kecamatan. 2) Seksi-seksi yang terdiri atas: Seksi pemerintahan, Seksi ekonomi pembangunan, Seksi pelayanan umum, Seksi kesejahteraan rakyat, Seksi ketenteraman dan ketertiban. Rukun Warga (RW) adalah pem-bagian wilayah di Indonesia di bawah Desa atau Kelurahan (atau di bawah: Dusun atau Lingkungan Kelurahan). Rukun Warga bukanlah termasuk pembagian administrasi pemerintahan, dan pembentukannya adalah melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Desa atau Kelurahan. Rukun Warga dipimpin oleh Ketua RW yang dipilih oleh warganya.

Dewasa ini banyak Pemilihan Ketua RW di Indonesia yang di-model mirip dengan Pemilihan Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah, di mana terdapat kampanye dan pemungutan suara. Sebuah RW terdiri atas sejumlah Rukun Tetangga. Rukun Tetangga meru-pakan organisasi masyarakat yang diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan didesa dan kelurahan. Setiap RT sebanyak-banyaknya terdiri dari 30 KK untuk desa dan sebanyak-banyaknya 50 KK untuk kelurahan yang dibentuk. Untuk klasifikasi kelurahan menurut perkembangannya (2013-2017) disajikan dalam tabel 4 berikut ini.

Mobilitas Sirkulasi | 49

Tabel 4. Klasifikasi Perkembangan Kelurahan (2013-2017) di Kecamatan Lea-Lea

Tahun Tahun Swadaya Swakarya Swasembada

2013 2013 - 2 3

2014 2014 - 2 3

2015 2015 - 2 3

2016 2016 - 2 3

2017 2017- - 2 3

Sumber: BPS Kota Bau-Bau 2020 Wilayah administratif Pemerintahan Kecamatan Lea-Lea me-

nurut klasifikasi perkembangannya pada tahun 2017 dimana terdapat 2 kelurahan swakarya di Kecamatan Lea-Lea dan 3 kelurahan meru-pakan kelurahan swasembada. Untuk menunjang jalannya roda peme-rintahan yang baik, tentunya sangatdidukung oleh tersedianya sarana dan prasarana pemerintahan. Mengenai jumlah prasarana pemerin-tahan di Kecamatan Le-Lea dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Jumlah Prasarana Pemerintahan di Kecamatan Lea-Lea Tahun 2017

No Kelurahan Kantor Lurah

Balai Desa

Sanggar PKK

Jumlah

1 Kolese 1 1 1 3

2 Lowu-Lowu 1 1 1 3

3 Kalia-Lia 1 1 1 3

4 Kantalai 1 1 - 2

5 Palabusa 1 1 1 3

Kecamatan Lea-Lea 5 5 4 14

Sumber: BPS Kota Bau-Bau 2020

50 | Dalam Masyarakat Lokal

Keberadaan sarana dan prasarana pemerintahan tahun 2017, dimana terdapat 5 kantor lurah, 5 balai desa dan 4 sanggar PKK. Jumlah rukun warga dan rukun tetangga selama tahun 2017, yakni terdapat 12 rukun warga serta 42 rukun tetangga dimana Lowu-Lowu merupakan kelurahan yang memiliki RW dan RT terbanyak, yaitu 3 rukun warga dan 11 rukun tetangga. Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memadai di kantor kecamatan dan kelurahan sangat mendukung jalannya roda pemerintahan. Pada kantor Keca-matan Lea-Lea terdapat 12 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdiri dari golongan dua sebanyak 4 orang, golongan tiga sebanyak 7 orang dan 1 orang golongan empat. 3. Kependudukan

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap. Rata-rata pertumbuhan penduduk adalah angka yang me-nunjukkan tingkat pertambahan penduduk per tahun dalam jangka waktu tertentu. Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per kilometer persegi. Rasio jenis kelamin adalah perbandingan antara banyaknya penduduk laki-laki dengan banyaknya penduduk perem-puan pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Biasanya dinyatakan dengan banyaknya penduduk laki-laki untuk 100 penduduk perem-puan. Rumah tangga adalah seseorang atausekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama serta pengelolaan makan dari satu dapur. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada waktu pen-cacahan maupun yang sementara tidak ada.Rata-rata anggota rumah tangga adalah angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga per rumah tangga.

Mobilitas Sirkulasi | 51

Pada tahun 2017, rasio jenis kelamin penduduk Kecamatan Lea-Lea masih berada dibawah angka 100. Hal ini menunjukan bahwa jumlah penduduk perempuan di Kecamatan Lea-Lea lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki. Sementara itu, kelompok umur 5 – 9 tahun menempati jumlah yang terbesar yakni sejumlah 1.002 jiwa, menyusul kelompok umur 0 – 4 tahun yakni sejumlah 970 jiwa dan kelompok umur 10 – 14 tahun yaitu sejumlah 970 jiwa. Kelompok umur 60 – 64 tahun menempati jumlah yang terendah yakni sejumlah 191 jiwa. Selengkapnya jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kecamatan Lea-Lea disajikan dalam tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Lea-Lea (2017)

Kelompok

Umur

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Laki-Laki Perempuan Jumlah

0 – 4 474 496 970

5 – 9 552 480 1002

10 – 14 455 459 914

15 – 19 367 356 723

20 – 24 324 328 652

25 – 29 269 278 547

30 – 34 248 248 496

35 – 39 204 250 454

40 – 44 214 249 463

45 – 49 196 198 394

50 – 54 139 187 326

52 | Dalam Masyarakat Lokal

55 – 59 134 185 319

60 – 64 92 99 191

65 189 262 451

Jumlah 3827 4075 7902

Sumber: BPS Kota Baubau Jumlah penduduk di Kecamatan Lea-Lea yang disajikan meru-

pakan hasil proyeksi penduduk tahun 2016 dan 2017. Pada tahun 2016 jumlah penduduk Kecamatan Lea-Lea yakni 7.682 orang, sedangkan pada tahun 2017 meningkat menjadi 7.902 orang dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,86. Laju pertumbuhan pen-duduk di Kecamatan Lea-Lea dapat dikatakan cukup tinggi karena berada di atas laju pertumbuhan penduduk Tingkat Sulawesi Tenggara yakni sebesar 2,18. Jika dibandingkan dengan laju per-tumbuhan penduduk tingkat nasional sangatlah jauh perbedaannya yakni 1,38. Ini berarti laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Lea-Lea dapat digolongkan sebagai daerah yang memiliki laju partum-buhan penduduk yang cukup tinggi. Laju pertumbuhan penduduk untuk setiap kelurahan di Kecamatan Lea-Lea dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini.

Mobilitas Sirkulasi | 53

Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Lea-Lea (2016 – 2017)

Kelurahan Jumlah Penduduk

(Jiwa) Laju Pertumbuhan Pdk per Tahun (%)

2016 2017 2015-2016 Kolese 1131 1164 2.92

Lowu-Lowu 2503 2574 2.84

Kalia-Lia 1272 1308 2.83

Kantalai 792 815 2.90

Palabusa 1984 2041 2.87

Kecamatan Lea-Lea 7682 7902 2.86

Sumber: BPS Kota Baubau Jumlah penduduk yang cukup besar dan terus bertambah setiap

tahunnya tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk dan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk. Tingkat ke-padatan penduduk pada tahun 2017, dimana terlihat Kelurahan Kolese merupakan yang terpadat dengan tingkat kepadatan mencapai 970 orang per kilometer, sedangkan yang terendah yakni Kelurahan Kantalai yang hanya mencapai 113 orang per kilometer. Mengenai persentase persebaran penduduk, dimana terlihat sekitar 32,57 persen penduduk Kecamatan Lea-Lea berada di Kelurahan Lowu-Lowu dengan luas wilayah hanya 13,47 persen dari luas Kecamatan Lea-Lea. Sementara Kelurahan Kantalai dengan luas wilayah mencapai 21,56 persen dari luas Kecamatan Lea-Lea, hanya di huni sekitar 10,31 persen dari jumlah penduduk Kecamatan Lea-Lea. Hal ini menunju-kan tidak meratanya tingkat persebaran penduduk. Jumlah rumah tangga di Kecamatan Lea-Lea sebesar 1.698 dengan rata-rata anggota per rumah tangga sebesar 4 – 5 pada tahun 2017. Mengenai

54 | Dalam Masyarakat Lokal

tingkat persebaran penduduk di Kecamatan Lea-Lea dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Jumlah Penduduk dan Persentase Persebaran Penduduk di Kecamatan Lea-Lea Tahun 2017

Kelurahan Jumlah Penduduk

(Jiwa) Persebaran (%)

Kolese 1164 14.73

Lowu-Lowu 2574 32.57

Kalia-Lia 1308 16.56

Kantalai 815 10.31

Palabusa 2041 25.83

Kecamatan Lea-Lea 7902 100

Sumber: BPS Kota Baubau 4. Pertanian

Luas panen adalah luas tanaman sayuran, buah-buahan, biofar-maka dan tanaman hias yang diambil hasilnya/dipanen pada periode pelaporan. Produksi adalah hasil menurut bentuk produk dari setiap tanaman sayuran, buah-buahan, biofarmaka dan tanaman hias yang diambil berdasarkan luas yang dipanen/tanaman yang menghasilkan pada bulan/triwulan laporan. Produksi padi mencakup padi sawah dan padi ladang. Data produksi padi dan palawija yang disajikan adalah dalam kualitas: gabah kering giling (padi), pipilan kering (jagung), biji kering (kedelai dan kacang tanah), dan umbi basah (ubi kayu dan ubi jalar). Gambaran tentang penggunaan lahan di Kecamatan Lea-Lea disajikan dengan gambar 3 berikut ini.

Mobilitas Sirkulasi | 55

Gambar 3: Persentase Luas Lahan menurut Jenis Penggunaan di Kec. Lea-Lea (2017)

Selengkapnya penggunaan lahan di Kecamatan Lea-Lea disaji-kan dengan tabel 9 berikut ini.

56 | Dalam Masyarakat Lokal

Tabel 9. Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Lea-Lea Tahun 2017

Uraian Luas (ha) Persentase dgn Luas

Kec. Lea-Lea. Lahan sawah 121 3,02

Tegal/Kebun 259 6,47

Ladang/Huma 95 2,37

Padang Rumput 28 0,70

Sementara tdk diusahakan 131 3,27

Ditanami Pohon 171 4,27

Hutan Negara 443 11,07

Perkebunan Rakyat 578 14,5

Rawa tdk ditanami - -

Kolam/Tambak - -

Lahan bukan sawah 128 3,20

Lainnya 2048 51,18

Kecamatan Lea-Lea 4002 100

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Baubau Penggunaan Lahan Kecamatan Lea-Lea dengan luas 4.002

hektar pada tahun 2016, sebesar 48,82 persen merupakan lahan yang diusahakan untuk pertanian yang terdiri dari lahan sawah sebesar 3,02 persen, tegal/kebun sebesar 6,47 persen, lahan perkebunan sebesar 10,05 persen, dan ladang/huma sebesar 2,37 persen, serta ditanami pohon/hutan rakyat sebesar 4,27 persen. Sedangkan sisanya yakni hutan negara sebesar 15,77 persen, padang rumput sebesar 0,70 persen, sementara tidak diusahakan sebesar 2,97 persen serta yang di-gunakan untuk lahan pertanian bukan sawah lainnya sebesar 3,20 persen dan penggunaan lainnya sebesar 51,18 persen.

Mobilitas Sirkulasi | 57

Selanjutnya mengenai keberadaan tanaman pangan di Keca-matan Lea-Lea disajikan dengan tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Produktivitas Tanaman Pangan di Kecamatan Lea-Lea (2016-2017)

Jenis Tanaman satuan 2016 2017

Padi sawah

Luas Panen

Produksi

Produktivitas

(ha)

(ton)

(ku/ha)

230,00

977,50

42,50

223

918,76

41,2

Jagung

Luas Panen

Produksi

Produktivitas

(ha)

(ton)

(ku/ha)

92,00

239,20

26,00

6,00

171,6

2,60

Ubi Kayu

Luas panen

Produksi

Produktivitas

(ha)

(ton)

(ku/ha)

46,00

432,40

4,60

63,00

592,20

9,40

Ubi Jalar

Luas Panen

Produksi

Produktivitas

(ha)

(ton)

(ku/ha)

8,00

50,40

63,00

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Baubau Produksi tanaman pangan di Kecamatan Lea-Lea pada tahun

2016. Untuk padi sawah pada tahun 2016 mampu berproduksi sebesar 977,5 ton, tanaman jagung dengan produksi sebesar 239,2 ton serta tanaman ubi kayu dan ubi jalar yang mampu berproduksi sebesar

58 | Dalam Masyarakat Lokal

432,4 dan 50,4 ton. Untuk membandingkan tinggi rendahnya produksi tanaman pangan di Kecamatan Lea-Lea dapat dilihat gambar 4 berikut ini.

Gambar: 4 Produksi Tanaman Pangan di Kecamatan Lea-Lea (2016-2017).

Hasil produksi buah-buahan yang paling menonjol pada tahun 2016 adalah pisang sebesar 1.260 kuintal, dan buah-buahan yang juga cukup menonjol lainnya yakni buah Pepaya sebanyak 882 kuintal dan Mangga sebanyak 357 kuintal. Sedangkan buah-buahan yang kecil produksinya adalah buah rambutan dan salak, masing-masing sebesar 10 kuintal dan 6 kuintal. Produksi buah-buahan di Kecamatan Lea-Lea di gambarkan dalam tabel 11 berikut ini.

Mobilitas Sirkulasi | 59

Tabel 11. Produksi Buah-buahan di Kecamatan Lea-Lea Tahun 22016-2017

Jenis Tanaman Tahun

2016 2017

Alpokat 68 0,3

Mangga 357 72,6

Rambutan 10 9,2

Jeruk 144 49,5

Jambu Biji 20 5

Jambu Air 66 18

Pepaya 882 26,8

Pisang 1260 177,5

Nanas 15 1,2

Salak 6 1,3

Nangka 336 72,1

Sukun 143 11

Belimbing 32 2,6

Sirsak 226 13,8

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Baubau Dari hasil pemgamatan di lapangan, secara umum memper-

lihatkan peningkatan produksi yang yang sangat kecil. Komoditas hasil perkebunan yang paling menonjol pada tahun 2016 adalah jambu mete yang mencapai produksi sebesar 250 ton, mengalami pe-ningkatan produksi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, komoditi tanaman perkebunan yang pada tahun 2016 memberikan hasil paling sedikit yakni kemiri sebesar 1 ton. Produksi

60 | Dalam Masyarakat Lokal

tanaman perkebunan di Kecamatan Lea-Lea digambarkan dengan tabel 12 berikut ini. Tabel 12. Produksi Tanaman Perkebunan di Kecamatan Lea-Lea (ton)

Tahun 2016-2017

Jenis Tanaman Tahun

2016 2017

Kelapa Dalam 13,00 -

Kopi 0,70 0,70

Kapuk 25,30 25,00

Jambu Mete 43,40 43,40

Kemiri 0,20 -

Coklat 0,70 -

Enau 0,82 -

Kelapa Hybrida 0,85 -

Asam Jawa 0,40 0,40

Lada - -

Cengkeh - -

Pinang - -

Palini - -

Lainnya - -

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Baubau Jumlah populasi ternak besar dan ternak kecil mengalami pe-

ningkatan di kecamatan Lea-lea pada tahun 2016 begitu pula dengan populasi ternak unggas secara umum mengalami peningkatan. Tahun 2016 populasi sapi mengalami peningkatan yakni sebesar 9,04 persen. Ternak kambing juga mengalami peningkatan sebesar 16,67 persen.

Mobilitas Sirkulasi | 61

Untuk produksi daging ternak sapi mengalami peningkatan sebesar 5,86 persen serta kambing meningkat sebesar 5,63 persen. Untuk ternak unggas yang mengalami peningkatan yaitu ayam kampung 2,74 persen, ayam ras dan itik/itik manila megalami peningkatan jumlah populasi masing-masing 22,22 dan 47,84 persen. Gambaran tentang ternak unggss di Kecamatan Lea-Lea Tahun 2013-2017 digambarkan dalam tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Populasi Ternak Unggas di Kecamatan Lea-Lea Tahun 2013-2017

Jenis

Ternak

Populasi

(ekor)

Yang

Dipotong

(ekor)

Produksi

daging (kg)

Produksi

telur (butir)

Ayam Kampung

2013

2014

2015

2016

2017

17054

17414

-

17892

18651

2923

7690

-

17302

17821

6924

3122

-

6920

7128

276062

11276

-

289627

301913

Ayam Ras

2013

2014

2015

2016

2017

2900

3500

-

4500

4500

10150

14400

-

2061

4117

2575

3108

-

100

2553

325296

20331

-

192768

-

62 | Dalam Masyarakat Lokal

Itik Manila

2013

2014

2015

2016

2017

624

788

-

1165

1183

157

157

-

212

217

365

89

-

125

124

60035

5054

-

112085

113816

Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Baubau Untuk ternak unggas, ayam kampung maupun itik manila me-

ngalami peningkatan masing-masing sebesar sebesar 121,6 persen dan 40,45 persen. Untuk produksi telur unggas sebesar 594.480 kg selama tahun 2016. Hasil produksi perikanan pada tahun 2016 mengalami pe-nurunan bila dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 8,11 persen, dimana hasil produksi tahun 2014 sebanyak 4.037,99 ton sedangkan pada tahun 2013 mencapai 4.394,52 ton. Luas kawasan hutan yang telah ditetapkan di wilayah Kecamatan Lea-Lea sebesar 631,23 ha, di-mana menurut jenisnya seluruhnya diperuntukkan untuk hutan lindung. 5. Perindustrian

Industri didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan pengo-lahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Jika di-lihat dari asal bahan bakunya industri digolongkan menjadi: Industri ekstraktif adalah industri yang bahan baku diambil langsung dari alam sekitar, misalnya pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, peter-nakan, pertambangan dan lain-lain. Industri non ekstraktif adalah in-dustri yang bahan baku didapat dari tempat lain selain alam sekitar. Industri fasilitatif adalah industri yang produk utamanya adalah ber-bentuk jasa yang dijual kepada para konsumennya, misalnya asuransi,

Mobilitas Sirkulasi | 63

perbankan dan transportasi. Jenis industri berdasarkan jumlah tenaga kerja, yakni Industri rumah tangga adalah industri yang jumlah karya-wan/tenaga kerja berjumlah antara 1 – 4 orang. Industri kecil adalah industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 5 – 19 orang. Industri sedang adalah industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 20 – 99 orang. Industri besar adalah industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 100 orang atau lebih. Jenis industri berdasarkan besar kecil modal, yakni: Industri padat modal adalah industri yang dibangun dengan modal yang jum-lahnya besar untuk kegiatan operasional maupun pembangunannya. Industri padat karya adalah industri yang lebih dititik beratkan pada sejumlah besar tenaga kerja atau pekerja dalam pembangunan serta pengoperasiannya. Gambar 5 berikut ini melukiskan sektor industri menurut jenis industri di Kecamatan Lea-Lea Tahun 2017.

Gambar 5: Jenis-Jenis Industri di Kecamatan Lea-Lea Tahun 2017

64 | Dalam Masyarakat Lokal

Sektor industri merupakan sektor utama dalam roda perekono-mian suatu daerah. Di Indonesia industri pengolahan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri rumah tangga. Pengelompokan ini didasarkan pada banyaknya pekerja yang terlibat di dalamnya, tanpa memperhatikan penggunaan mesin produksi yang digunakan ataupun modal yang ditanamkan. Sebagai gambaran kegiatan industri di Kecamatan Lea-Lea hanya terlihat industri sedang yakni sebanyak 2 unit dengan 42 orang tenaga kerja, industri kecil sebanyak 22 unit dengan tenaga kerja mencapai 110 orang. Untuk industri rumah tangga terdapat 271 unit dengan tenaga kerja sejumlah 329 orang. Berdasarkan jenis in-dustri, di Kecamatan Lea-Lea terdapat 23 industri logam dan mesin dengan tenaga kerja sebanyak 46 orang, industri aneka sebanyak 70 dengan tenaga kerja 209 orang kemudian terdapat 5 industri kimia yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 10 orang serta industri hasil pertanian dan kehutanan sebanyak 22 dengan tenaga kerja sejumlah 25 orang. 6. Keuangan

Kelancaran kegiatan pemerintahan dan pembangunan sangat tergantung tersedianya biaya baik untuk administrasi maupun untuk kegiatan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah Kecamatan Lea-Lea senantiasa menggalakkan kesadaran membayar pajak bagi masyarakatnya. Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan untuk kepentingan peme-rintah dan masyarakat umum. Berdasarkan UU KUHP Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang ber-sifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat-kan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada tabel 14 menyajikan

Mobilitas Sirkulasi | 65

banyaknya wajib pajak, pokok dan realisasi penerimaan PBB tiap kelurahan tahun 2017. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah wajib pajak sebanyak 3.177 wajib pajak dengan pokok sebesar 98.577 ribu rupiah dan realisasi sebesar 47.226 ribu rupiah dengan persentase 47,9%. Tabel 14. Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan Lea-Lea

Tahun 2017

Kelurahan Wajib Pajak

Pokok (000 Rp)

Realisasi (000 Rp)

%

Kolese 472 7694 6958 90,4

Lowu-Lowu 46 24738 14506 58,6

Kalai-Lia 322 4681 3172 67,8

Kantalai 973 20359 8283 40,3

Palabusa 764 40923 14305 35

Lea-Lea 3177 98577 47226 47,9

Sumber: Kantor Pelayanan Pajak Kota Bau-Bau Selanjutnya gambar 6 menyajikan banyaknya penunggak pajak,

nilai tunggakan dan persentasenya, dimana terlihat bahwa terdapat 1.263 penunggak dengan nilai tunggakan sebesar Rp. 51.351.000. Untuk jumlah penunggak terbanyak terdapat di Kelurahan Kantalai sebanyak 568 penunggak dengan nilai tunggakan Rp. 12.256.000,-Kelurahan palabusa jumlah penunggak sebanyak 369 dengan nilai tunggakan Rp. 26.617.000. Kelurahan Lowu-Lowu jumlah penunggak sebanyak 220 orang dengan nilai tunggakan sebesar Rp. 10.232.000. Selanjutnya Kelurahan Kalia-Lia jumlah penunggak sebanyak 72 orang dengan nilai tunggakan sebanyak Rp. 1.509.000,- dan yang ter-akhir Kelurahan kolesa jumlah penunggak sebanyak 34 orang dengan nilai tunggakan sebanyak Rp. 735.000,- Untuk lebih jelasnya

66 | Dalam Masyarakat Lokal

mengenai jumlah tunggakan pajak di Kecamatan Lea-Lea dapat dilihat gambar 6 berikut ini.

Gambar 6: Jumlah Penunggak Pajak di Kec. Lea-Lea Tahun 2017

B. Karakteristik Responden Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terlebih dahulu

dikemukakan tentang karakteristik responden. Uraian tentang karak-teristik responden dalam penelitian ini digambarkan dalam beberapa hal dimulai dengan umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan rumah tangga, serta penghasilan rumah tangga. Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan uraiantentang karakteristik baik sosial mau-pun ekonomi responden dalam kajian ini. Selanjutnya variabel-variabel karakteristik sosial dan ekonomi responden ini dianalisis dengan uni Chi square untuk melihat perbedaan dari kedua kelompok responden dalam penelitian ini yaitu kelompok penduduk yang mela-kukan mobilitas sirkulasi dan yang tidak melakukan mobilitas sirku-lasi. Dengan demikian diharapkan mendapatkan gambaran yang utuh.

Mobilitas Sirkulasi | 67

1. Usia responden Usia responden dilihat dari awal kelahiran sampai pada saat

penelitian dilakukan. Umur responden diukur dalam tahun. Indikator umur responden ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte kelahiran atau surat keterangan dari pemerintah setem. Penelitian tentang usia kerja, keseluruhan responden yang berjumlah 40 orang dengan rincian 20 responden yang melakukan sirkulasi dan 20 res-ponden yang lainya tidak melakukan sirkulasi kesemuanya berstatus sebagai kelompok usia kerja utama. Hasil penelitian menggambarkan bahwa usia terendah responden 26 tahun sedang usia tertinggi yakni 52 tahun. Proporsi usia yang terendah berada pada usia 29 tahun ke bawah sedang proporsi yang terbesar berada usia 40 tahun ke atas.

Penelitian ini dilakukan pemisahan antara kelompok responden yang melakukan sirkulasi dan responden yang tidak melakukan mo-bilitas sirkulasi. Seperti yang dipaparkan pada tabel 1 menggambar-kan bahwa proporsi terendah berada pada usia 29 tahun kebawah. Ini mencakup baik kelompok responden yang melakukan sirkulasi maupun kelompok responden yang tidak melakukan sirkulasi. Sedang proporsi usia responden yang tertinggi berada pada usia 40 tahun keatas. Ini berarti kelompok usia produktif dapat dikatakan relatif lebih besar. Dengan besarnya kelompok usia produktif ini relatif akan dapat menekan munculnya berbagai problema sosial karena kelompok usia produktif biasanya akan dapat menunjang kehidupan kelompok usia yang lainnya

68 | Dalam Masyarakat Lokal

Tabel 15. Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur

No Kelompok

Umur

Bersirkulasi Tidak

Bersirkulasi Jumlah Persen F % F %

1 29 ke bawah 2 10 3 15 5 12,5

2 30 – 39 7 35 8 40 15 37,5

3 40 ke atas 11 55 9 45 20 50

Jumlah 20 100 20 100 40 100

Sumber: Data Primer, 2020 2. Tingkat pendidikan responden

Merupakan jumlah tahun sukses yang pernah dijalani respon-den dalam jenjang pendidikan formal. Ukurannya dilihat dari Ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dan buku raport. Dipahami bahwa pendidikan akan mendorong orang untuk membangun potensi supaya dapat memenuhi kebutuhannya, selain itu akan melahirkan perubahan dalam keseluruhan cara hidup seseorang. Jika tingkat pen-didikan seseorang semakin tinggi, semakin tinggi pula potensi untuk memilih dan menentukan pilihan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan dirinya sekaligus dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi keluarganya.

Penelitian dilapangan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden tergolong masih rendah, dalam arti sebanyak 50% respon-den berpendidikan tidak/tamat SD, sementara responden yang dengan tingkat pendidikan tamat SMTP sebanyak 27,5% sedang responden dengan tingkat pendidikan tamat SMTA hanya sebanyak 22,5%. Jika tingkat pendidikan responden ini diadakan pemisahan antara respon-den yang melakukan sirkulasi dan responden yang tidak melakukan sirkulasi keadaannya juga relatif memiliki kesamaan dimana respon-

Mobilitas Sirkulasi | 69

den dengan tingkat pendidikan Tidak/Tamat SD proporsinya lebih besar jika dibandingkan dengan responden dengan tingkat pendidikan tamat SLTP maupun responden dengan tingkat pendidikan Tamat SMTA.

Kelompok responden yang melakukan sirkulasi dengan tingkat pendidikan Tidak/Tamat SD sebanyak 45% lebih kecil dibanding ke-lompok responden yang tidak melakukan sirkulasi yaitu sebesar 55%. Responden dengan tingkat pendidikan Tamat SMTP yang melakukan sirkulasi sebanyak 30%, lebih besar dibanding responden yang tidak melakukan sirkulasi dengan tingkat pendidikan Tamat SMTP. Rendahnya tingkat pendidikan responden menggambarkan bahwa perkerjaan yang mereka tekuni adalah pekerjaan yang relatif tidak mengandalkan daya pikir, namun pekerjaan yang lebih banyak mengandalkan tenaga atau jenis pekerjaan yang mengandalkan kerja fisik.

Tabel 16. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat

Pendidikan

Bersirkulasi Tidak

Bersirkulasi Jumlah % F % F %

1 Tidak/Tamat SD 9 45 11 55 20 50

2 Tamat SMTP 6 30 5 25 11 27,5

3 Tamat SMTA 5 25 4 20 9 22,5

Jumlah 20 100 20 100 40 100

Sumber: Data Primer, 2020 3. Jumlah anggota rumah tangga responden

Adalah banyaknya anggota keluarga responden yang menjadi beban tanggungan responden secara ekonomi dalam rumah tangga. Hal ini dilihat dalam Kartu Keluarga (KK) atau catatan resmi dari

70 | Dalam Masyarakat Lokal

instansi pemerintahan setempat. Besaran rumah tangga responden, jumlahnya sangat bervariasi antara yang terkecil dan juga yang ter-besar. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa rumah tangga dengan jumlah jiwa yang terendah berada pada kisaran 7 – 8 orang per rumah tangga sebesar 30%. Rumah tangga dengan jumlah jiwa 5 - 6 orang per rumah tangga dan 3 – 4 orang per rumah tangga masing-masing sebesar 32,5% dan 37,5%.

Jika jumlah anggota rumah tangga ini dipisahkan antara kelompok responden yang melakukan sirkulasi dan kelompok respon-den yang tidak melakukan sirkulasi ditemukan fenomena yang relatif bervariasi. Kelompok responden yang melakukan sirkulasi, proporsi besaran rumah tangga responden yang terbesar berada pada rumah tangga dengan jumlah jiwa yang berkisar 5 – 6 orang yaitu sebanyak 40%, kemudian disusul oleh rumah tangga dengan jumlah jiwa 3 – 4 orang yakni sebanyak 35% responden. Sementara untuk proporsi besaran rumah tangga responden yang terkecil berada pada rumah tangga dengan jumlah jiwa 7 – 8 orang yakni sebanyak 25%.

Jumlah anggota rumah tangga bagi responden yang tidak me-lakukan sirkulasi, proporsi yang terbesar berada pada rumah tangga dengan jumlah jiwa 3 – 4 orang yakni sebanyak 40%, disusul dengan rumah tangga dengan jumlah jiwa 7 – 8 orang yakni sebanyak 35% dan proporsi terkecil berada pada rumah tangga dengan jumlah jiwa yang berkisar 5 – 6 orang yakni sebanyak 25%.

Secara umum dipahami bahwa jumlah anggota rumah tangga menggambarkan sejauhmana beban yang harus ditanggulangi oleh rumah tangga. Bertambahnya besar jumlah anggota rumah tangga akan semakin besar pulah pendapatan yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga. Beban berat akibat basarnya jumlah anggota rumah tangga dialami oleh beberapa responden dalam penelitian ini, dimana

Mobilitas Sirkulasi | 71

ditemukan beberapa responden dengan besaran rumah tangga pada kisaran 7 – 8 orang.

Tabel 17. Responden Menurut Jumlah Tanggungan Rumah Tangga

No Besaran Rumah Tangga

Bersirkulasi Tidak

Bersirkulasi Jumlah Persen F % F %

1 3 - 4 7 35 8 40 15 37,5

2 5 - 6 8 40 5 25 13 32,5

3 7 - 8 5 25 7 35 12 30

Jumlah 20 100 20 100 40 100

Sumber: Data Primer, 2020 4. Tingkat pendapatan rumah tangga responden

Adalah pengurangan penerimaan responden dengan total biaya (pengeluaran rumah tangga). Tingkat pendapatan diukur dalam rupiah. Indikator pendapatan responden adalah pernyataan responden yang mengacu pada rumus Pd= TR-TC.

Pd.= pendapatan (revenue). TR= total penerimaan (total revenue). TC= total biaya (total cost). Menyangkut tentang peng-hasilan rumah tangga, 37,5% responden berpenghasilan pada kisaran Rp. 900.000 – Rp. 1.200.000 menyusul responden yang berpeng-hasilan kurang dari Rp. 900.000,- juga sebanyak 37,5%. Sedang responden yang berpenghasilan di atas Rp. 1.200.000,- hanya sebesar 25%.

Penelitian ini diadakan pemisahan antara responden yang me-lakukan siskulasi dan responden yang tidak melakukan sirkulasi, untuk penghasilan pada kisaran Rp. 900.000 – Rp. I.200.000, res-ponden yang melakukan sirkulasi sebesar 50% sedang responden yang tidak melakukan sirkulasi sebesar 25%. Sementara itu responden

72 | Dalam Masyarakat Lokal

dengan penghasilan di bawah Rp. 900.0000,- untuk responden yang bersirkulasi sebesar 35%, persentase penghasilan responden yang ber-sirkulasi ini lebih kecil jika dibanding persentase penghasilan res-ponden yang tidak bersirkulasi yaitu sebanyak 40%. Bagi responden yang berpenghasilan di atas Rp. 1.200.000,- untuk responden yang tidak bersirkulasi hanya sebesar 35%. Hal ini lebih kecil jika di-banding reponden yang berpenghasilan di atas Rp. 1.200.000,- bagi responden yang bersirkulasi yakni 35%. Tabel 18. Distribusi Responden Menurut Penghasilan Rumah Tangga

No Penghasilan

Rumah Tangga

Bersirkulasi Tidak

Bersirkulasi Jumlah % F % F %

1

Kurang dari

Rp.900.000,- 7 35 8 40 15 37,5

2

Rp.900.000-

Rp.1.200.000 10 50 5 25 15 37,5

3

Lebih dari

Rp.1.200.0000,- 3 15 7 35 10 25

Jumlah 20 100 20 100 40 100

Sumber: Data Primer, 2020

C. Analisis Mobilitas Kajian mengenai variabel karakteristik sosial dan ekonomi baik

bagi responden yang melakukan mobilitas siskulasi maupun respon-den yang tidak melakukan mobilitas sirkulasi masing-masing telah di-gambarkan dengan menggunakan angka persentase. Tetapi dengan uraian tersebut belumlah dapat dipahami secara tegas karakteristik sosial ekonomi apa yang berbeda diantara kedua kelompok responden

Mobilitas Sirkulasi | 73

yang dianalisis. Oleh karena itu, untuk kepentingan itu variabel-variabel karakteristik sosial dan ekonomi responden dalam penelitian ini dianalisis dengan uji Chi square yang hasilnya dapat digambarkan sebagai berikut.

Pertama, sehubungan dengan variabel karakteristik umur/usia yang mennggambarkan bahwa X2 hitung (0.013) < X2 tabel (5,99), dan hal ini dapat dimaknai bahwa tidak terdapat perbedaan yang sig-nifikan antara responden yang melakukan mobilitas sirkulasi dengan responden yang tidak melakukan mobilitas sirkulasi jika dilihat pada karakteristik umur/usia. Kecenderungan ini dapat digambarkan bahwa baik responden yang berusia muda maupun yang berusia tua dalam arti usia terendah dan usia tertinggi memiliki kecenderungan yang relatif seragam untuk terlibat dalam mobilitas sirkulasi atau tidak ter-libat dalam mobilitas sirkulasi.

Kedua, sehubungan dengan variabel tingkat pendidikan dapat digambarkan bahwa X2 hitung (0,076) <X2 tabel (5,99). Ini mengan-dung pengertian bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara res-ponden yang melakukan mobilitas sirkulasi dengan responden yang tidak melakukan mobilitas sirkulasi menurut tingkat pendidikan yang pernah ditamatkan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa responden dengan berbagai latar belakang baik rendah maupun sedang memiliki derajat kecenderungan yang sama untuk melakukan atau tidak mela-kukan aktivitas mobilitas sirkulasi.

Ketiga, berkaitan dengan variabel penghasilan rumah tangga responden, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara responden yang melakukan sirkulasi dengan responden yang tidak melakukan sirkulasi, dimana X2 hitung (0,535 < X2 tabel (5,99). Hal ini menggambarkan bahwa baik responden yang memiliki penghasilan rumah tangga rendah maupun mereka yang memiliki penghasilan rumah tangga tinggi/besar memiliki derajat kecenderu-

74 | Dalam Masyarakat Lokal

ngan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan mobilitas sirkulasi.

Keempat, berkaitan dengan variael jumlah tanggungan rumah tangga responden yang menunjukkan X2 hitung (0,839) < X2 tabel (5,99). Hal ini berarti bahwa baik responden yang memiliki jumlah anggota rumah tangga yang banyak maupun yang sedikit memiliki derajat kecenderungan yang sama untuk melakukan atau tidak mela-kukan mobilitas sirkulasi.

Dari uraian tentang perbedaan karakteristik responden yang melakukan mobilitas sirkulasi dengan responden yang tidak mela-kukan mobilitas sirkulasi seperti telah diuraikan, telah mampu untuk memberikan jawaban tentang kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan mobilitas sirkulasi. Dalam penelitian ini belum dapat diperoleh jawaban yang jelas me-ngenai bervariasinya perilaku melakukan mobilitas sirkulasi. Selan-jutnya dalam penelitian ini akan menganalisis tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi sirkulasi responden.

Hasil penelitian mengenai distribusi responden menurut freku-ensi sirkulasi yaitu, 30% responden melakukan sirkulasisekitas 2 – 3 kali, 45% responden melakukan sirkulasi antara 4 – 5 kali, serta 25% responden melakukan sirkulasi antara 6 – 7 kali. Disamping itu, apa-bila memperhatikan hasil analisis data-data dalam penelitian ini, dapat digambarkan bahwa rata-rata frekuensi sirkulasi seluruh responden dengan data distribusi frekuensi sirkulasi responden, maka terlihat ada 49% responden yang memiliki frekuensi sirkulasi dibawah frekuensi sirkulasi rata-rata seluruh responden, sementara 25% responden mela-kukan sirkulasi dengan frekuensi yang lebih tinggi (lebih sering) dari pada frekuensi rata-rata seluruh responden. Selebihnya, yaitu 45% responden melakukan sirkulasi dengan rata-rata frekuensi sirkulasi relatif sama dengan rata-rata frekuensi sirkulasi seluruh responden.

Mobilitas Sirkulasi | 75

Jika jumlah waktu dalam hal ini jumlah hari yang digunakan oleh responden dalam melakukan sirkulasi. Secara rinci distribusi res-ponden yang melakukan sirkulasi menurut rata-rata jumlah hari yang digunakan dalam setiap kali melakukan sirkulasi adalah sebagai berikut: sebanyak 35% resonden menggunakan waktu dalam setiap kali sirkulasi 10 hari ke bawah, sebanyak 45% responden mengguna-kan waktu kisaran 11 – 12 hari, dan 20% responden menggunakan waktu setiap kali sirkulasi kisaran 21 – 28 hari.

Jikalau diperhatikan data tentang rata-rata waktu atau jumlah hari yang digunakan setiap kali melakukan sirkulasi seluruh respon-den dengan data distribusi responden menurut rata-rata jumlah hari yang digunakan dalam setiap kali melakukan sirkulasi, maka nampak ada sejumlah 20% responden yang menggunakan jumlah rata-rata hari setiap melakukan sirkulasi di atas jumlah rata-rata jumlah hari yang digunakan seluruh responden, sedangkan 35% responden mengguna-kan rata-rata waktu setiapkali melakukan sirkulasi di bawah/kurang dari rata-rata jumlah hari yang digunakan seluruh responden, serta 45% responden lainnya menggunakan jumlah hari yang relatif sama dengan rata-ratajumlah hari yang digunakan seluruh responden dalam setiap kali melakukan sirkulasi.

Seperti dirumuskan dalam hipotesis penelitian, berturut-turut diuraikan analisis mengenai hubungan frekuensi sirkulasi menurut (1) jumlah tanggungan keluarga, dan (2) penghasilan rumah tangga dimana dalam penelitian ini dapat dikemukakan bahwa hasil analisis hubungan frekuensi sirkulasi (variabel dependen) dengan kedua variabel independent tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, sehu-bungan dengan variabel penghasilan rumah tangga responden mem-perlihatkan bahwa ada hubunngan yang signifikan antara frekuensi sirkulasi dengan penghasilan rumah tangga. Hal ini mengindikasikan

76 | Dalam Masyarakat Lokal

bahwa jika penghasilan rumah tangga responden tinggi, maka fre-kuensi sirkulasi akan tinggi pula.

Kedua, berkaitan analisis hubungan antara jumlah tanggungan keluarga dengan frekuensi sirkulasi, dapat digambarkan memiliki hu-bungan yang signifikan.Hal ini juga menguatkan asumsi bahwa anggota keluarga baik itu suami, istri, dan anggota keluarga yang lain-nya menjadi sumber tenaga untuk pengamanan sosial ekonomi rumah tangga. Tatangan ini sekaligus akan mendorong anggota keluarga dalam melakukan upaya-upaya strategis untuk memperoleh sumber-sumber pendapatan baru.

Mobilitas Sirkulasi | 77

Bab 5

Penutup A. Kesimpulan

Sebagai akhir pembahasan penelitian ini dapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara responden yang melakukan sirkulasi dengan responden yang tidak melakukan sirkulasi menurut karak-teristik umur. Fenomena ini menggambarkan bahwa baik usia tua maupun usia muda memiliki kecenderungan yang sama untuk melakukan mobilitas sirkulasi. Kedua, berhubungan dengan variabel tingkat pendidikan, hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara responden yang melakukan mobilitas sir-kulasi dengan responden yang tidak melakukan mobilitas sirku-lasi. Fenomena ini menggambarkan bahwa kecenderungan untuk melakukan mobilitas sirkulasi dilihat dari tingkat pendidikan res-ponden menunjukkan kecenderungan yang sama antara responden yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi dan respon-den yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Ketiga, berhubungan dengan variabel penghasilan rumah tangga, hasil pe-nelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara res-ponden yang melakukan mobilitas sirkulasi dengan responden yang tidak melakukan mobilitas sirkulasi. Fenomena ini meng-gambarkan bahwa kecenderungan untuk melakukan mobilitas sir-kulasi antara responden yang berpenghasilan rendah dan respon-den yang berpenghasilan tinggi memiliki kecenderungan yang sama. Keempat, berhubungan dengan variabel jumlah tanggungan

78 | Dalam Masyarakat Lokal

rumah tangga menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang sig-nifikan. Fenomena ini menggambarkan bahwa kecenderungan untuk melakukan mobilitas sirkulasi terdapat kecenderungan yang sama antara responden yang memiliki jumlah tanggungan yang besar dan responden yang memiliki jumlah tanggungan yang relatif kecil.

2. Terkait dengan variabel penghasilan rumah tangga responden me-nunjukkan hubungan yang signifikan antara frekuensi sirkulasi dengan penghasilan rumah tangga. Fenomena ini menunjukkan jika penghasilan rumah tangga tinggi, maka frekuensi sirkulasi akan menjadi tinggi pula. Kemudian berkaitan dengan analisis hu-bungan frekuensi mobilitas sirkulasi dengan jumlah tanggungan rumah tangga, hasil penelitian menunjukkan hubungan yang sig-nifikan. Fenomena ini berarti bahwa semakin tinggi jumlah tang-gungan rumah tangga semakin tinggi pulah frekuensi mobilitas-nya.

B. Saran Melihat aktivitas mobilitas sirkulasi merupakan gejala yang

terjadi dalam masyarakat dan tidak terkecuali pada masyarakat kepu-lauan maka pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipatif. Yang harus dipikirkan adalah jangan sampai mengarah pada ketidak-seimbangan dimana arus mobilitas sirkuler begitu besar sehingga mengakibatkan berbagai persoalan di daerah tujuan. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan untuk memberikan perlindu-ngan kepada masyarakat dalam menangani kerawanan sosial ekonomi dalam masyarakat ekonomi lemah dan mendorong terciptanya lapa-ngan kerja baru.

Mobilitas Sirkulasi | 79

Daftar Pustaka

Abustam, H.M. Idrus. 2004. Gerak Penduduk, Pembangunan dan

Perubahan Sosial (Kasus Tiga Komunitas Padi Sawah di Sulawesi Selatan). Universitas Indonesia. UI-PRESS, Jakarta.

Agusyanto, Ruddy. 1996. Dampak Jaringan-jaringan Sosial dalam Organisasi: Kasus PAM Jaya, DKI Jakarta, Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana UI.

Anggun, Rike Artisa. 2017. Policy Paper: Pengendalian Pertumbuhan Penduduk Indonesia untuk Mendukung Pembangunan Nasio-nal. Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik. Vol. 08 No. 02, 09-23.

Barness, J.A. 1969. “Network and Political Process,” dalam Mitchell J. Clyde (ed.), Social Network in Urban Situation: Analysis of Personal Relationship in Central Africa Town. Manchester: Manchester University Press.

Bintarto. 1977. Buku Penuntun Geografi Sosial. Yogyakarta: U.P. Spring.

----------. 1977. Geografi Desa. Yogyakarta: U.P.Spring. ----------. 1977. Pengantar Geografi Kota. Yogyakarta: U.P.Spring. ----------. 1984. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahamya. Jakarta:

Ghalia Indonesia. Busaini. 2003. Karakteristik dan faktor-Faktor Berpengaruh Ter-

hadap Pekerja Wanita, Pascasarjana, Universitas Hasanuddin Makassar.

Hall, Calvin & Garner Lindzey. 1985. Introduction to Theories of Personality. Canada: John Wiley & John.

80 | Dalam Masyarakat Lokal

Effendi, S. 2005. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Petani Kemiri Kelurahan Cempaniga dan Desa Padaelo ke Kotamadya Makassar, Tesis S-2 Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Foster, George M. 1967. “The Dyadic Contract: Model for the Social Structure of a Mexican Peasant Village,” dalam Jack M. Foster, May N. Diaz dan George M. Foster (eds.), Peasant Society A Reader. Boston: Little Brown and Co.

Ghani, Abdul Abud. 2004. Keluargaku Surgaku. Jakarta: Mizan Publika.

Granovetter M. 2005. The Impact of Social Structure on Economic Outcomes. Journal of Economis Perspectives. Vol. 19 No. 1.

Hart, Keit, 1985. “Sektor Informal”, dalam Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi Pengangguran dan Sektor Informal. Jakarta: Gramedia.

Hugo, Graeme. J. 2008. Population Mobility in West Java, Gajah Mada University Pres, Yokyakarta.

Hugo, Graeme J., “Population and Mobility in West Java,” Disertasi Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981.

Hugo, Graeme J., 1986 “Migrasi Sirkuler,” dalam Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (ed.), Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Joko, Tri S. Haryono. 2007. Jaringan Sosial Migran Sirkuler Analisis tentang Bentuk dan Fungsi, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XX, no. 2 April, 1-12.

Jellinek, Lea. 1986. “Sistem Pondok dan Migrasi Sirkuler,” dalam Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (ed.) Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Komaruddin. 1974. Ensiklopedia Menejemen. Bumi Aksara. Jakarta.

Mobilitas Sirkulasi | 81

Lee, Everets. 1991. Suatu Teori Migrasi. Terjemahan dari Hans Daeng. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

Mabogunje. 1970. “System Approach to a Theory of Rural-Urban Migration,” dalam Geographical Analysis 2.

Mantra, Ida Bagus. 1995 Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudu-kan.

Mantra, Ida Bagus. 2005. Pengantar Studi Demografi, Penerdit Nurcahaya. Yogyakarta.

Mitchell, J. Clyde. 1969. Social Networks in Urban Situation: Analysis of Personal Relationships in Central Africa Town. Manchester: Manchester University Press.

Munir. 2003. Studi Demografi. Nurcahaya. Yogyakarta. Oberai, A.S., State Policies and Internal Migration: Studies in Market

and Planned Economies( London: Croombelm, 1985). Papanek, Gustav & Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. 1986. “Penduduk

Miskin di Jakarta,” dalam Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Purnomo, Didit. 2009. Fenomena Migrasi Tenaga Kerja dan Perannya Bagi Pembangunan Daerah Asal: Studi Empiris di Kabupaten Wonogiri. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 10, No.1 Juni, hal. 84-102.

Rogers, E.M. 1983. Diffusion of Innovation. The Free Press. New York.

Saifuddin, Achmad Fedyani1991. Stability and Change: A Study of the Social Network and Houshold Flexibility Among the Poor of Jakarta, Indonesia. Pittsburgh: University of Pittsburgh.

Samuel, Hanneman dan Asis Suganda. 1997. Sosiologi 1. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.

82 | Dalam Masyarakat Lokal

Singarimbun, Masridan D.H.Penny. 1976. Penduduk danKemiskinan, Kasus Sri Harjo di Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhatara KaryaAksara.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Sjahrir, Kartini, Pasar Tenaga Kerja di Indonesia: Kasus Sektor Konstruksi (Jakarta: Grafiti, 1990).

Sopian, Agustan Tamrin. 2017. Merantau: Studi tentang Faktor Pendorong dan Dampak Sosial Ekonomi terhadap Aktifitas Merantau di Desa Sijelling Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone. Program Studi sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri makasar.

Stack, Coral B., 1981. All Our Kin: Strategies for Survival in a Black Community. New York: Harpen and Row.

Sukmana, Oman. 2008. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Miskin Pedesaan Melalui Pengembangan Institusi dan Modal Sosial Lokal, Jurnal publica Vol. 4 No. 3 halaman 118-121.

Suparlan, Parsudi. 1980. “Lapangan Kerja bagi Penduduk Berpeng-hasilan Rendah di Kota,” dalam Widyapura, No 6, tahun 2.

Sumaatmadja, Nursid, 1998. Metodologi Pengajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara.

Sumaatmadja, Nursid, 1998. Model-model Pembelajaran Geografi. Malang: Aditya Media Publeshing.

Sumartono. 2013. Proses Strategi Nafkah Migran Sirkuler Pedagang Sayur Keliling di Wilayah Pamulang Kota Tangerang Selatan. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Mate-matika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka.

Sunarto. 1991. Dampak Migrasi Sirkuler terhadap Desa Asal Migran di dua desa yaitu Sodo dan Mulusan Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Populasi 2 (2).

Mobilitas Sirkulasi | 83

Tanzil, 2007. Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga (Kasus Pengungsi Ambon di Kelurahan Kadolokatapi Kota Bau-Bau, Majalah Ilmiah Sosial Politik Fisip Unhalu, Nomor 02 Desember 2007.

Trisnaningsih.1998. Geogragi Penduduk dan Demografi. (Buku Ajar) FKIP. UNILA. Bandar Lampung.

Triningsih, Anna. 2013. Masalah Demografis dan Kebijakan Peme-rintah Propinsi Kepulauan Riau. Jurnal Kependudukan Indonesia. Volume 8 Nomor 2, 65-78

Von Benda-Beckman, F.et.al (ed) 2007. Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Wolf, W. Alfin. 1978. “The Rise of Network Thinking in Anthropology,” dalam Social Network: An International Journal of Structure Analysis. Canada: Elsevier Sequoia, Vol. 1, No.1.

Wulan, Ayu Puspitasari (2010). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Migrasi Sirkuler ke Kabupaten Semarang. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang.

84 | Dalam Masyarakat Lokal

Lampiran

Analisis Perbedaan 1. Tingkat Pendidikan

Tingkat_Pendidikan

Observed N Expected N Residual

SD 20 13.3 6.7

SMP 11 13.3 -2.3

SMA 9 13.3 -4.3

Total 40

Sirkulasi

Observed N Expected N Residual

Bersirkulasi 20 20.0 .0

Tidak Bersirkulasi 20 20.0 .0

Total 40

Test Statistics

Tingkat_Pendidikan Sirkulasi

Chi-Square 5.150a .000b

df 2 1

Asymp. Sig. .076 1.000

a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 13,3.

Mobilitas Sirkulasi | 85

2. Kelompok Umur

Kelompok_Umur

Observed N Expected N Residual

kurang atau sama dengan 29

5 13.3 -8.3

30 sampai 39 15 13.3 1.7

40 ke atas 20 13.3 6.7

Total 40

Sirkulasi

Observed N Expected N Residual

Bersirkulasi 20 20.0 .0

Tidak Bersirkulasi 20 20.0 .0

Total 40

Test Statistics

Kelompok_Umur Sirkulasi

Chi-Square 8.750a .000b

df 2 1

Asymp. Sig. .013 1.000

a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 13,3.

b. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 20,0.

86 | Dalam Masyarakat Lokal

3. Besaran Rumah Tangga

Besaran_Rumah_Tangga

Observed N Expected N Residual

1 15 13.3 1.7

2 13 13.3 -.3

3 12 13.3 -1.3

Total 40

Sirkulasi

Observed N Expected N Residual

Bersirkulasi 20 20.0 .0

Tidak Bersirkulasi 20 20.0 .0

Total 40

Test Statistics

Besaran_Rumah_Tangga Sirkulasi

Chi-Square .350a .000b

df 2 1

Asymp. Sig. .839 1.000

a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 13,3.

b. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 20,0.

Mobilitas Sirkulasi | 87

4. Penghasilan

Penghasilan

Observed N Expected N Residual

Kurang dari Rp. 900 15 13.3 1.7

Rp. 900-1.200.000 15 13.3 1.7

lebih dari Rp. 1.200.000 10 13.3 -3.3

Total 40

Sirkulasi

Observed N Expected N Residual

Bersirkulasi 20 20.0 .0

Tidak Bersirkulasi 20 20.0 .0

Total 40

Test Statistics

Penghasilan Sirkulasi

Chi-Square 1.250a .000b

df 2 1

Asymp. Sig. .535 1.000

a. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 13,3.

b. 0 cells (,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 20,0.

88 | Dalam Masyarakat Lokal

Analisis Hubungan 1. Penghasilan dengan Frekuensi Sirkulasi

Besaran_Rumah_Tangga * Sirkulasi Crosstabulation

Count

Sirkulasi Total

Jarang Sedang Sering

Besaran_Rumah_Tangga

Kecil 2 4 1 7

Sedang 3 4 3 10

Besar 1 1 1 3

Total 6 9 5 20

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .207 .925

N of Valid Cases 20

0,925 = Sangat Tinggi

Mobilitas Sirkulasi | 89

2. Besaran Rumah Tangga dengan Frekuensi Sirkulasi

Besaran_Rumah_Tangga * Frekuensi_Sirkulasi Crosstabulation

Count

Frekuensi_Sirkulasi

Total Kurang Sedang Sering

Besaran_Rumah_Tangga

Kecil 3 3 1 7

Sedang 1 4 3 8

Besar 2 2 1 5

Total 6 9 5 20

Symmetric Measures

Value

Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .322 .677

N of Valid Cases 20

0,677 = Tinggi Interpretasi Korelasional: 0,00 – 0,199 Sangat Rendah 0,20 – 0,399 Rendah 0,40 – 0,599 Sedang 0,60 – 0,799 Tinggi 0,80 – 1,00 Sangat tinggi

90 | Dalam Masyarakat Lokal

Tentang Penulis

Dr. Tanzil, M.Si. lahir di Lowu-Lowu, 27 Maret 1966. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 1989 dalam bidang ilmu Pemerintahan di Universitas Hasanuddin Makassar. Selanjutnya program magister dalam bidang ilmu Sosiologi dilanjutkan pada tahun 2001 di universitas yang

sama dan berhasil meraih gelar M.Si pada tahun 2004. Sebagai bentuk kecintaan terhadap pengembangan ilmu, maka penulis kemudian me-lanjutkan pendidikan doktor dalam bidang ilmu Pengembangan Masyarakat di Universitas Halu Oleo dan berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 2017. Dosen Tetap Sosiologi Universitas Halu Oleo ini sangat aktif dan produktif di berbagai bidang Tridharma.

Selain rutinitas pengajaran pada Program Studi Sosiologi, Ilmu Kesejahteraan Sosial, dan Ilmu Pemerintahan, penulis juga aktif me-laksanakan kegiatan penelitian. Beberapa kegiatan penelitian baik yang didanai oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di-antaranya: 1. Anggota Peneliti tentang Studi Aspirasi Warga Komunitas

Miskin Kabupaten Konawe Selatan (tahun 2010). 2. Ketua Peneliti Refleksi Budaya Politik dalam Sarana Wolio:

Sebuah Studi dalam Sistem Pemerintahan di Kesultanan Buton (tahun 2012).

3. Anggota Peneliti tentang Modal Sosial Perempuan Nelayan dan Strategi Pemanfaatannya dalam Upaya Penanggulangan Kemiski-nan Keluarga Nelayan: Studi pada Masyarakat Pesisir Pantai

Mobilitas Sirkulasi | 91

Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan (tahun 2013).

4. Anggota Peneliti tentang Konstruksi Sosial Peran Perempuan Nelayan dan Kontribusinya bagi Kesejahteraan Sosial Rumah Tangga Nelayan: Studi Fenomenologi di Pesisir Pantai Soropia Kabupaten Konawe (tahun 2014).

5. Anggota Peneliti Strategi Perencanaan Pembangunan Daerah Berbasis Kultural: Studi Komunitas di Wilayah Pemerintahan Kabupaten Konawe (tahun 2015).

6. Ketua Peneliti Strategi Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Modal Sosial Pobhinci-Bhinciki Kuli (tahun 2017).

Demikian juga dengan pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) secara rutin ditekuni oleh penulis. Beberapa ke-giatan PkM baik mandiri maupun didanai diantaranya: 1. Penyuluhan tentang Peningkatan Kesadaran Masyarkat di Kelu-

rahan Toronipa Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe (tahun 2010).

2. Penyuluhan tentang Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di kelurahan Sawa Kecamatan Sawa Kabupaten konawe Utara (tahun 2011).

3. Penyuluhan tentang Upaya Penanggulangan Kemiskinan secara Partisipatif di Desa Torobulu Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan (tahun 2011).

4. Penyuluhan tentang Bahaya Narkoba bagi Kesehatan Masyarakat dan Masa Depan Remaja di Desa Lawoila Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan (tahun 2011).

5. Pelatihan Kepemimpinan bagi Anggota Organisasi Masyarakat Desa di Desa Puasana Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. (tahun 2011).

92 | Dalam Masyarakat Lokal

6. Bimbingan Teknis Partisipasi Masyarakat terhadap Kebersihan Lingkungan di Kelurahan Toronipa Kecamatan Soropia Kabu-paten Konawe (tahun 2013).

7. Bimbingan Teknis Perencanaan Sosial secara Partisipatif dalam Pembangunan Desa di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe (tahun 2013).

8. Bimbingan Teknis Partisipasi Masyarakat terhadap Kebersihan Lingkungan di Kelurahan Wawanggu Kecamatan Kadia Kota Kendari (tahun 2017).

9. Pelatihan Perencanaan Pembangunan Pedesaan Berbasis Modal Sosial di Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe selatan (tahun 2018).

10. Pelatihan Revolusi Mental Bagi Aparatur Pengelola Dana Desa, di Desa Lalonggowuna dan Desa Momea Kecamatan Tonggauna Kabupaten Konawe (tahun 2019).

Meski di tengah kesibukan pengajaran (pada program sarjana dan pascasarjana), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, penulis masih meluangkan waktu dalam menulis karya ilmiah, berupa jurnal (nasional dan internasional), prosiding, dan buku. Beberapa publikasi ilmiah penulis diantaranya: 1. Studi Kebutuhan Petani/Nelayan Tambak di Kecamatan Laeya

Kabupaten Konawe Selatan (Jurnal Sumber Daya Insani, No.20 Edisi Juli 2011).

2. Aspirasi Kelompok Sosial Petani Sawah di Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan (Jurnal Government, Vol.1 No.1 Edisi Setember 2013).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kehidupan Sosial Ekonomi Petani: Studi di Desa Puao Kecamatan Angata Kabu-paten Konawe Selatan (Jurnal Societal, Vol.1 No.1 Edisi April 2014).

Mobilitas Sirkulasi | 93

4. Community Empowerment Strategy Based on Social and Cultural Capital of Coastal Communities at Makassar Island (IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 156 (1) 2018).

5. Peranan Jaringan Sosial dalam Penanganan Kemiskinan Nelayan di Kota Baubau (Jurnal Sosio Konsepsia 8 (2), 173-183 vol. 2019).

6. Problematika dan Kebutuhan Petani Tambak di Kabupaten Konawe Selatan (Jurnal Neo Societal 5 (1), 52-57 vol., 2020).

7. Modal Sosial dan Mitigasi Bencana pada Masyarakat di Pulau Makasar Kota Baubau (Talenta Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts (LWSA) 2 (1), 1-7, 2019).

94 | Dalam Masyarakat Lokal