Upload
uinsby
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pendahuluan
Desentralisasi adalah kata yang begitu akrab ditelinga
semenjak orde baru tumbang, politik hukum yang tadinya
sentralistik berbalik arah menjadi desentralistik.
Keinginan membuat pemerintahan daerah yang bersifat
otonom segera diwujudkan dengan membuat produk hukum
yang mengaturnya, hal ini terbukti dengan dibuatnya UU No
22 th 1999 pada era presiden Habibie yang kemudian
direvisi dengan UU no 32 th 2004.
Desentralisasi atau otonomi memberikan amanat kepada
daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan. Dalam
model desentralisasi yang kita terapkan, urusan
pemerintahan yang diurus oleh daerah sangat luas karena
hampir semuanya menjadi urusan pemerintah daerah kecuali
enam jenis yang ditetapkan dalam UU No 32 th 2004 sebagai
urusan pemerintah pusat yaitu bidang politik luar negeri,
pertahanan, keamananan, peradilan/yustisi, moneter dan
fiskal nasional, serta agama. Dalam kerangka
desentralisasi, sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat
yang berdsarkan permusyawaratan perwakilan, daerah
diperkenankan membuat peraturan yang dibuat oleh DPRD dan
Kepala Daerah setempat.
1
Namun, karena Indonesia adalah Negara kesatuan maka
otonomi daerah tidak dibiarkan berjalan secara liar,
pusat tetap memberikan kontrol ke daerah salah satunya
dengan kewenangan membatalkan peraturan daerah yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan
umum. Ketika pemerintah dalam hal ini mendagri
membatalkan suatu perda mungkin dapat dibenarkan dengan
alasan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dalam
Negara kesatuan, meskipun hal ini pun juga masih
teradapat kontra dari berbagai kalangan karena dalam
konstitusi kewenangan tersebut telah diserahakan kepada
Mahakamah Agung. Namun bagaimana jika pembatalan tersebut
semata-mata dengan alasan “bertentangan dengan
kepentingan umum”?.
Makalah ini akan memefokuskan pembahasan tentang
pembatalan perda yang dianggap bertentangan dengan
kepentingan umum, hal ini penulis permasalahkan karena
yang membuat peraturan di daerah tentunya lebih mengerti
kepentingan untuk daerah mereka dibandingkan dengan
mendagri dan jajaranya di pemerintah pusat. Ketika suatu
saat makna kepentingan umum dipergunakan secara
subyektif, maka otonomi hanyalah pepesan kosong, karena
2
pusat sangat mudah membatalkan perda tanpa adanya rambu-
rambu yang jelas.
Dalam praktiknya, kebanyakan perda yang dibatalkan
oleh mendagri bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Oleh karenanya dalam makalah ini penulis tidak
menampilkan contoh perda yang dibatalkan dengan alasan
bertentangan dengan kepentingan umum, kajian yang penulis
lakukan adalah kajian teoritis yang bersifat kritik
terhadap ketentuan pembatalan perda tersebut. Sesuai
dengan judul makalah ini, kewenangan yang penulis
maksudkan adalah dari segi teoritis, karena jika dari
peraturan perundang-undangan, pemerintah pusat mempunyai
kewenangan sebagaimana yang diamanatkan dalan UU No 32 th
2004.
Rumusan masalah
Dari pengantar di atas, penulis mengajukan rumusan
masalah sebagai berikut:
Bagaimana tinjauan teoritis terhadap kewenangan
pemerintah pusat membatalkan perda dengan alasan
bertentangan kepentingan umum?
3
Pembahasan
1. Kelahiran dan Makna Desentralisasi
Ketika orde baru berkuasa, program utama yang
dijalankan adalah pembangunan. Model pembangunan yang
digalakkan pada rezim Soeharto mengharuskan adanya
system perencanaan yang terpusat. Perencanaan dan
pengendalian yan terpuast ini mengaharuskan adanya
penyeragaman system organisasi pemerintahan daerah dan
manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Akibat
dari hal ini, daerah semakin tergantung dengan
pemerintah pusat. Daerah kurang mempunyai kreatifitas
dalam mengembangkan potensi dan kebutuhan di
tempatnya, sedangkan model pemusatan pemerintahan ini
pada akhirnya membuat beban yang sangat besar bagi
pemerintah pusat, dan beban ini memuncak ketika
terjadi krisis 1997. Menurut Syaukani dkk, kegagalan
pemerintah mengatasi krisis karena pemerintah terlalu
banyak menggunakan waktu dan energinya untuk mengurusi
4
masalah domestik yang sebenarnya bisa diurus oleh
pemerintah daerah, sehinggga pemeritnah pusat tidak
cukup waktu dan energy untuk mempelajari
kecenderungan-kecenderungan global1.
Hasil penelitian tim kajian Econit Advisory Group
sebagaimana yang dikutip oleh tim Lapera menemukan
lima ketimpangan antar daerah yang terjadi pada masa
orde baru: pertama, kesenjangan antar daerah yang
besar antara kota-kota besar dan kota lainya. Kedua,
kesenjangan yang besar antar daerah dalam hal
investasi, kegiatan investasi hanya terpusat di pulau
Jawa. Ketiga, akibat investasi yang terpusat di Jawa,
maka industri pun juga hanya terkonsentrasi di pulau
Jawa. Keempat, pendapatan daerah dikuasi pusat, akibat
dari sentralisasi maka pemerintah pusat dangat
menguasi pendapatan dan daerah sangat tergantung pada
alokasi bantuan dari pusat. Kelima, transfer antar
daerah (kredit) juga terjadi ketimpangan2.
Akibat berbagai ketimpangan dan ketidak adilan
terhadap daerah, gelombang reformasi membawa keinginan
kuat membentuk system pemerintahan yang1 Syaukani dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 170-171 2 Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, (Yogyakrta: Lapera Pustaka
Utama, 2001), hlm. 36-37
5
desentralistik. UU No 5 tahun 1974 dianggap tidak
mampu mewunjudkan pemerintahan yang benar-benar
desentralisasi sehingga segera setelah Soeharto
tumbang UU No 22 th 1999 segera disahkan. Ternyata
undang-undang produk reformasi tersebut hanya bertahan
5 tahun dan segera diganti dengan UU No 32 th 2004,
undang-undang yang disebutkan terakhir ini sampai
sekarang dirasa masih mampu memayungi kebijakan
desentralisasi, revisi terhadap undang-undang tersebut
hanya terkait calon perseorangan akibat adanya putusan
MK dan pengisisan kekosongan jabatan kepala daerah.
Sebagai konsep, desentralisasi mulai banyak dibahas
dan diperdebatkan pada tahun 1950, tahun tersebut
dapat dikatakan sebagai gelombang pertama dari
pembahasan desentralisasi. Sedangkan gelombang kedua
pembahasanya dilakukan pada tahun 1970. Desentralisasi
merupakan lawan dari sentralisasi, dalam
desentralisasi terdapat pembagian kewenangan serta
terjadinya ruang gerak yang memadai untuk memaknai
kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan di
daerah. Desentralisasi berasal dari kata de (lepas) dan
centrum (pusat), itu berarti makna dari desentralisasi
adalah melepaskan diri dari pusat. Dalam bidang
ketatangeraan, desentralisasi bermakna penyerahan
6
kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah-daerah3.
Menurut parson sebagaimana yang dikutip oleh Ni’matul
Huda, desentralisasi dalam aspek politik merupakan
pembagian kekuasaan pemerintahan dari pusat dengan
kelompok lain yang masing-masing mempunyai wewenang
kedalam suatu daerah tertentu dari suatu Negara4.
Dalam bukunya, Ni’matul Huda memaparkan pendapat
Amrah Muslimin mengenai jenis dan pembedaan
desentralisasi, menurutnya desentralisasi dibedakan
menjadi desentralisasi politik, desentralisasi
fungsional, dan desentralisasi kebudayaan.
Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan
dari pemerintah pusat, akibat dari pelimpahan wewenang
tersebut kemudian daerah mempunyai hak mengurus
sendiri kepentingan rumah tangganya melalui badan-
badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat.
Desentralisasi fungsionil adalah pemberian hak dan
kewenangan pada golongan-golongan mengurus sutau macam
atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik
terikat maupun tidak pada suatu daerah tertentu,
contohnya seperti mengurus kepentingan irigasi bagi
golongan petani. Sedangakan desentralisai fungsionil3 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media,
2009), hlm. 644 ibid., 60-61
7
dalam pandangan Irawan Soejito dimakanai sebagai
pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan Negara
untuk dijalankan atau diselenggarakan oleh suatu organ
atau badan ahli yang khsusus dibentuk untuk hal itu.
Yang terakhir dari jenis desentralisasi menurut Amrah
Muslimin adalah desentralisasi kebudayaan, ia
memaknainya sebagai pemberian hak kepada golongan-
golongan kecil dalam masyarakat menyelenggarakan
kebudayaanya sendiri untuk mengatur pendidikan, agama,
dll5.
Makna desentralisai dalam UU No 32 th 2004 adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jika desentralisasi penyerahan
wewenang, maka otonomi dalam undang-undang tersebut
didefinsikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5 Lihat Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 65-66
8
2. Tujuan Desentralisasi
Untuk melihat kewenangan pemerintah pusat mematalkan
perda yang bertentangan dengna kepentingan umum,
terlebih dahulu perlu kita ketahui tujuan daripada
desentralisasi itu sendiri. Tujuan dari desentralisasi
dapat kita lihat pada konsideran undang-undang
pemerintahan daerah, disana disebutkan pemerintahan
daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
diarahakan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta
peningkatan daya saing daerah. Untuk itulah kemudian
efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah perlu
digenjot dengan memberikan kewenangan yang seluas-
luasnya kepada daerah dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah6.
Secara teoritis, tujuan dari desentralisasi dapat
kita lihat pada tulisanya Smith sebagaimana yang
diuraikan oleh Syarif Hidayat. Smith melihat tujuan
dari desentralisasi dari dua segi; pemerintah pusat
dan daerah. Dari kepentingan pemerintah pusat, tujuan
6 Lihat UU No 32 th 2004 tentang pemerintahan Daerah.
9
desentralisasi ada tiga macam: pendidikan politik,
latihan kepemimpinan dan menciptakan stabilitas
politik. Bagi kepentingan pemerintah daerah,
desentralisasi untuk mewujudkan political equality, local
accountability and local responsiveness. Desentralisasi dengan
tujuan political equality akan lebih membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingakat lokal. Sehingga
masyarakat di daerah dapat dengan elegan mempraktikan
bentuk-bentuk partisipasi politik seperti menjadi
anggota partai politik dan kelompok kepentingan,
mendapatkan kebebasan mengekspresikan kepentingan dan
aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Dalam local
accountability melalui pelaksanaan desentralisasi
diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan
pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak
komunitasnya yang meliputi hak untuk ikut serta dalam
proses pengambilan keputusan dan implementasi
kebijakan di daerah serta hak untuk mengontrol
pelaksanaan pemerintahan daerah. Tujuan local
responsiveness dari desentralisasi dengan asumsi karena
pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai
masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan
desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk
10
mengatasi masalah dan sekaligaus meningkatkan
akselerasi pembangunan social dan ekonomi di daerah7.
Rondinelli juga membahas tujuan dari desentralisasi,
menurutnya tujuan utama yang hendak dicapai melalui
kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good
and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembangunan ekonomi di daerah8.
Ada dua pendekatan yang didasarkan pada dua
proposisi dalam alur berpikir otonomi daerah. Pertama,
pada dasarya semua persoalan sepatutnya diserahkan
kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan
dan memecahkan persoalan kecuali jika memang
persoalan-persoalan tersebut tidak mungkin
diselesaikan oleh daerah itu sendiri. Kedua, seluruh
persoalan pada dasarnya harus diserahkan kepada
pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan
tertentu yang telah dapat ditangai oleh daerah.
Pendekatan yang pertama adalah pendekatan federalistik
dan yang kedua unitaristik9. Pada dasarnya otonomi
daerah memang mempunyai alur pijaknya pada kerangka7 Lihat Syarif Hidayat, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif
State-Society Relation, Jurnal Poelitik Vol 1 No 1 th 2008, hlm, 3-58 Ibid, hlm. 59 Pheni Chalid, Otonomi Daerah, (Jakarta: Kemitraan, 2005), hlm.
22
11
Negara federal. Jadi menurut penulis, pendekatan yang
digunakan ketika akan menjalankan desentralisasi
adalah pendekatan yang pertama, semua urusan pada
dasarnya diserahkan kepada daerah untuk mengurusnya
sendiri kecuali bebrapa urusan yang menjadi bagian
pusat dan hal ini sesuai dengan metode desentralisasi
yang kita gunakan karena hanya enam jenis saja yang
menjadi urusan pemerintah pusat. Hal ini menurut
penulis didasarkan pada asumsi bahwa daerah yang
bersangkutan lebih mengetahui apa yang terbaik untuk
mereka, dengan system desentralisasi dalam bidang
fiskal daerah juga diharapkan mampu mandiri untuk
mencukupi berbagai kebutuhanya.
Asumsi yang penulis paparkan memang terdapat
dalam berbagai literature, misalnya dalam bukunya
Pheni Chalid, ia menuliskan sebagai berikut:
Otonomi daerah merupakan system yang memungkinkandaerah untuk memiliki kemampuan mengoptimalisasipotens terbaik yang dimilikinya dan mendorong daerahuntuk berkembang sesuai dengn karakteristik ekonomi,geografis dan social budayanya…… Pada dasarnyaotonomi daerah bertujuan untuk membangun partisipasiyang seluas-luasnya agar potensi yang ada dapatberkembang secara optimal10
10 Ibid, hlm. 22-23
12
Syaukani dkk, juga menuliskan dalam bukunya yang
berjudul Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan .
Otonomi daerah yang dicanangkan seperti sekarang inidiharapkan akan mempercepat pertumbuhan danpembangunan daerah, disamping menciptakankeseimbangan pembangunan antar daerah. Kebijakanpembangunan yang sentralistik dampaknya sudah kitaketahui, yaitu ketimpangan antar daerah, terutamaantra Jawa dan luar Jawa dan antara Indonesia bagianbarat dan Indonesia bagian timur. Ahli pembangunanekonomi regional sudah melakukan kajian yangintensif akan hal itu11
3. Pengawasan dan Pembatalan Perda
Dalam pasal 218 UU No 32 th 2004, pemerintah pusat
mempunyai kewenangan mengawasi jalanya pemerintahan di
daerah, pengawasan yang disebutkan dalam pasal
tersebut terkait pelaksanaan urusan pemerintahan di
daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah serta
peraturan kepala daerah. Hal yang terkait dengan
pengawasan dalam peratuan daerah dirinci dalam pasal
145 yang mengamanatkan agar perda yang telah dibuat
disampaikan kepada pemerintah paling lambat tujuh hari
semenjak disahkan dan pemerintah dapat membatalkanya11 Syaukani, dkk. Op, Cit, hlm. 217-218
13
jika menurut anggapan pemerintah perda tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam
pasal tersebut pembatalan perda ditetapkan dengan
peraturan presiden dengan jangka waktu paling lama 60
hari, namun yang terjadi dalam praktiknya pembatalan
perda dimuat dalam keputusan Menteri Dalam Negeri.
Kemudian jika daerah yang bersangkutan tidak terima
dengan keputusan pembatalan tersebut, mereka bisa
mengajukan keberatan kepada Mahakamah Agung dengan
alasan yang dapat dibenarkna oleh peraturan perundang-
undangan12. Agar lebih jelas, berikut ini penulis
kutipkan langsung bunyi dari pasal 145, khususnya ayat
2:
Pasal 145
1) Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7(tujuh) hari setelah ditetapkan.
2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yangbertentangan dengan kepentingan umum dan/atauperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapatdibatalkan oleh pemerintah
3) Keputusan pembatalan perda sebgaimana dimaksud padaayat 2 ditetapkan dengan peraturan presiden palinglama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya perdasebagaimana dimaksud pada ayat 1
12 Lihat pasal 145 UU No 32 th 2004 tentang Pemerintahan Daerah
14
4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusanpembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, kepaladaerah harus memberhentikan pelaksanaan perda danselanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabutperda dimaksud
5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerimakeputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud padaayat 3 dengan alasan yang dapat dibenarkan olehperaturan perudnang-undangan, kepada daerah dapatmengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Melihat bunyi pasal tersebut ada kritik yang hendak
penulis sampaikan. Dalam ayat 5 jika daerah tidak
dapat menerima pembatalanya, mereka boleh mengajukan
keberatan kepada MA dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, padahal
jika yang digunakan batu uji pembatalan tersebut
adalah “bertentangan dengan kepentingan umum” tidak
ada rumusanya dalam peraturan perudnang-undangan, jadi
pasal 5 hanya dapat digunakan jika pembatalan perda
nya dengan alasan “bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”.
Dalam teori terdapat tida model pengujian peraturan
perundang-undangan, yakni Judicial Review, Legislatif
Review/Political Review dan Adminsitratif Review.
Pembatalan perda oleh pemerintah pusat tergolong pada
model Adminsitratif Review/Eksekutif Review. Model
15
Eksekutif Review pada pokokyna tidak mesti terkait
dengan constitusional review. Tentang metode ini Jimly
Asshhiddiqie mencontohkan pembatalan perda yang
terdapat dalam UU No 22 th 1999 jo UU No 32 th 2004,
lebih lengkapnya ia mengatakan13
Di dalam kedua undang-undang ini, pemerintah pusatdalam hal ini Menteri Dalam Negeri, diberikewenangan untuk menyatakan batal atau membatalakanberlakunya Peraturan Daerah yang dibentuk olehKepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota)dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(Provinsi, Kabupaten/kota). Mekanisme pembatalan inidapat disebut sebagai mekanisme pengujian juga,tetapi tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman(judicary) ataupun oleh legislator, melainkan olehlembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas (pusat)
Pada dasarnya pengawasan pemerintah pusat terhadap
produk hukum daerah adalah agar pemerintah daerah
berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku14. Menurut Hans Kelsen,
dalam desentralisasi yang tidak sempurna, norma hukum
pusat dapat menghapuskan hukum di daerah jika
berlawanan, dia mengatakan dalam keadaan tertentu
undang-undang daerah dapat dihapus atau diganti oelh
13 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 74
14 Ni’matul Huda, Op, Cit, hlm. 234
16
suatu undang-undang pusat yang berlawanan, hal ini
atas dasar prinsip bahwa hukum pusat mengatasi hukum
daerah15. Kewenangan pembatalan perda oleh pemerintah
dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum
akan menemukan paradoks jika landasan berpikir yang
digunakan adalah kesesuaian hirarki peraturan
perundang-undangan, karena tidak ada rambu-rambu yang
jelas ketika pemerintah menggunakan kewenanganya ini.
Hal ini akan menjadikan tidak ada kepastian hukum dan
menghambat tujuan dari desentralisasi dan otonomi
daerah.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan16. Selain kebebasan dalam
menjalankan otonomi, daerah memang menjalankan urusan
yang berasal dari pusat dalam bentuk dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Namun, dekonsentrasi dan tugas
pembatuan ada satu hal dan otonomi adalah hal lain.
Tidak bisa dibenarkan jika demi dekonsentrasi dan
tugas pembantuan kemudian mengamputasi kewenangan15 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, alih bahasa Raisul
Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2006), hlm. 44316 Ni’matul Huda, Op, Cit, hlm. 216
17
daerah dalam menjalankan otonominya. Model pengujian
dengan alasan “bertentangan dengan kepentingan umum”
menurut penulis terlihat sangat subjektif dan dapat
digunakan secara sewenang-wenang. Dan sayangnya, jika
kemudian keberatan yang diajukan oleh daerah akibat
keputusan tersebut tidak mempunyai landasan
normatifnya dalam peraturan perundang-undangan, maka
daerah yang bersangkutan tidak bisa memperjuangkanya
lagi ke Mahkamah Agung.
18
Penutup
Sebagai penutup, penulis akan menyimpulkan sekaligus
menjawab rumusan masalah yang telah penulis ajukan
dalam pendahuluan. Dari segi teoritis, dalam kerangka
ketatanegaran pemerintah pusat tidak bisa membatalkan
perda dengan alasan “bertentangan dengan kepentingan
umum”. Karena pada dasarnya tujuan dari otonomi daerah
adalah agar daerah dapat mengembangkan potensinya
dalam berbagai bidang terutama dalam hal perekonomian,
mengingat alasan yang paling dominan terhadap tuntutan
desentralisasi adalah adanya ketimpangan perekonomian
yang tidak merata antar daerah. Berbagai teori
mengenai desentralisasi dan otonomi mendukung pendapat
yang penulis sampaikan, misalnya teroinya Smith
tentang local responsiveness bagi daerah dengan asumsi
19
karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui
berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, ia
mengatakan pelaksanaan desentralisasi akan menjadi
jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus
meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi
di daerah.
Tujuan otonomi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan di daerah, sehingga produk hokum yang
dibuat (Perda) adalah demi mewujudkan kesejahteraan
tersebut. Ketika daerah dianggap lebih mengerti
urusanya, maka penafsiran “kepentingan umum” oleh
pemerintah pusat tentunya tidak relevan. Pembatalan
perda dengan alasan ini juga akan menimbulkan tidak
adanya kepastian hukum karena tidak ada rambu-rambu
yang jelas tentang makna “bertentangan dengan
kepentingan umum”.
Yang dapat dibenarkan, batu uji yang digunakan oleh
pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan
perundang-undangan adalah jika suatu Perda
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingakatanya, hal ini memang sesuai
dengan kerangka Negara kesatuan dan harmonisasi
peraturan perundang-undangan. Meskipun hal ini juga
20
masih menyisakan masalah karena dalam menyelaraskan
peraturan perundang-undngan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang yang diberi kewenangan oleh
Kontitusi adalah Mahkamah Agung. Lebih tepatnya,
sesuai dengan hierarki peratruan perundang-undangan
yang berlaku sekarang, kewenangan pemerintah
membatalkan Perda adalah jika suatu perda itu
bertentangan dengan PP dan Perpres dikarenakan jika
pertentanganya dengan undang-undang hak membatalkanya
ada pada Mahakamah Agung sebagaimana bunyi dalam UUD
1945.
Kewenangan pembatalan perda dengan alasan tersebut
yang dipayungi oleh UU No 32 th 2004 dalam pasal 145
ayat 2 tidak bisa dibenarkan, dan kedepanya para
pembuat undang-undang harus lebih jeli dalam melihat
hal ini.
21
Daftar Pustaka
A. Buku dan Jurnal
Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005
Chalid, Pheni, Otonomi Daerah, Jakarta: Kemitraan,
2005
22
Hidayat, Syarif, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam
Perspektif State-Society Relation, Jurnal Poelitik Vol 1 No
1 th 2008
Huda, Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung:
Nusa Media, 2009
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, alih bahasa
Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2006
Syaukani dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, Yogyakrta: Lapera
Pustaka Utama, 2001
B. Peraturan Perundang Undangan
UUD 1945 Pasca Amandemen
UU No 32 th 2004 tentang Pemerintahan Daerah
23