23
Pendahuluan Desentralisasi adalah kata yang begitu akrab ditelinga semenjak orde baru tumbang, politik hukum yang tadinya sentralistik berbalik arah menjadi desentralistik. Keinginan membuat pemerintahan daerah yang bersifat otonom segera diwujudkan dengan membuat produk hukum yang mengaturnya, hal ini terbukti dengan dibuatnya UU No 22 th 1999 pada era presiden Habibie yang kemudian direvisi dengan UU no 32 th 2004. Desentralisasi atau otonomi memberikan amanat kepada daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan. Dalam model desentralisasi yang kita terapkan, urusan pemerintahan yang diurus oleh daerah sangat luas karena hampir semuanya menjadi urusan pemerintah daerah kecuali enam jenis yang ditetapkan dalam UU No 32 th 2004 sebagai urusan pemerintah pusat yaitu bidang politik luar negeri, pertahanan, keamananan, peradilan/yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Dalam kerangka desentralisasi, sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berdsarkan permusyawaratan perwakilan, daerah diperkenankan membuat peraturan yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah setempat. 1

pembatalan perda oleh presiden

  • Upload
    uinsby

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Pendahuluan

Desentralisasi adalah kata yang begitu akrab ditelinga

semenjak orde baru tumbang, politik hukum yang tadinya

sentralistik berbalik arah menjadi desentralistik.

Keinginan membuat pemerintahan daerah yang bersifat

otonom segera diwujudkan dengan membuat produk hukum

yang mengaturnya, hal ini terbukti dengan dibuatnya UU No

22 th 1999 pada era presiden Habibie yang kemudian

direvisi dengan UU no 32 th 2004.

Desentralisasi atau otonomi memberikan amanat kepada

daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan. Dalam

model desentralisasi yang kita terapkan, urusan

pemerintahan yang diurus oleh daerah sangat luas karena

hampir semuanya menjadi urusan pemerintah daerah kecuali

enam jenis yang ditetapkan dalam UU No 32 th 2004 sebagai

urusan pemerintah pusat yaitu bidang politik luar negeri,

pertahanan, keamananan, peradilan/yustisi, moneter dan

fiskal nasional, serta agama. Dalam kerangka

desentralisasi, sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat

yang berdsarkan permusyawaratan perwakilan, daerah

diperkenankan membuat peraturan yang dibuat oleh DPRD dan

Kepala Daerah setempat.

1

Namun, karena Indonesia adalah Negara kesatuan maka

otonomi daerah tidak dibiarkan berjalan secara liar,

pusat tetap memberikan kontrol ke daerah salah satunya

dengan kewenangan membatalkan peraturan daerah yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan

umum. Ketika pemerintah dalam hal ini mendagri

membatalkan suatu perda mungkin dapat dibenarkan dengan

alasan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dalam

Negara kesatuan, meskipun hal ini pun juga masih

teradapat kontra dari berbagai kalangan karena dalam

konstitusi kewenangan tersebut telah diserahakan kepada

Mahakamah Agung. Namun bagaimana jika pembatalan tersebut

semata-mata dengan alasan “bertentangan dengan

kepentingan umum”?.

Makalah ini akan memefokuskan pembahasan tentang

pembatalan perda yang dianggap bertentangan dengan

kepentingan umum, hal ini penulis permasalahkan karena

yang membuat peraturan di daerah tentunya lebih mengerti

kepentingan untuk daerah mereka dibandingkan dengan

mendagri dan jajaranya di pemerintah pusat. Ketika suatu

saat makna kepentingan umum dipergunakan secara

subyektif, maka otonomi hanyalah pepesan kosong, karena

2

pusat sangat mudah membatalkan perda tanpa adanya rambu-

rambu yang jelas.

Dalam praktiknya, kebanyakan perda yang dibatalkan

oleh mendagri bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan. Oleh karenanya dalam makalah ini penulis tidak

menampilkan contoh perda yang dibatalkan dengan alasan

bertentangan dengan kepentingan umum, kajian yang penulis

lakukan adalah kajian teoritis yang bersifat kritik

terhadap ketentuan pembatalan perda tersebut. Sesuai

dengan judul makalah ini, kewenangan yang penulis

maksudkan adalah dari segi teoritis, karena jika dari

peraturan perundang-undangan, pemerintah pusat mempunyai

kewenangan sebagaimana yang diamanatkan dalan UU No 32 th

2004.

Rumusan masalah

Dari pengantar di atas, penulis mengajukan rumusan

masalah sebagai berikut:

Bagaimana tinjauan teoritis terhadap kewenangan

pemerintah pusat membatalkan perda dengan alasan

bertentangan kepentingan umum?

3

Pembahasan

1. Kelahiran dan Makna Desentralisasi

Ketika orde baru berkuasa, program utama yang

dijalankan adalah pembangunan. Model pembangunan yang

digalakkan pada rezim Soeharto mengharuskan adanya

system perencanaan yang terpusat. Perencanaan dan

pengendalian yan terpuast ini mengaharuskan adanya

penyeragaman system organisasi pemerintahan daerah dan

manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Akibat

dari hal ini, daerah semakin tergantung dengan

pemerintah pusat. Daerah kurang mempunyai kreatifitas

dalam mengembangkan potensi dan kebutuhan di

tempatnya, sedangkan model pemusatan pemerintahan ini

pada akhirnya membuat beban yang sangat besar bagi

pemerintah pusat, dan beban ini memuncak ketika

terjadi krisis 1997. Menurut Syaukani dkk, kegagalan

pemerintah mengatasi krisis karena pemerintah terlalu

banyak menggunakan waktu dan energinya untuk mengurusi

4

masalah domestik yang sebenarnya bisa diurus oleh

pemerintah daerah, sehinggga pemeritnah pusat tidak

cukup waktu dan energy untuk mempelajari

kecenderungan-kecenderungan global1.

Hasil penelitian tim kajian Econit Advisory Group

sebagaimana yang dikutip oleh tim Lapera menemukan

lima ketimpangan antar daerah yang terjadi pada masa

orde baru: pertama, kesenjangan antar daerah yang

besar antara kota-kota besar dan kota lainya. Kedua,

kesenjangan yang besar antar daerah dalam hal

investasi, kegiatan investasi hanya terpusat di pulau

Jawa. Ketiga, akibat investasi yang terpusat di Jawa,

maka industri pun juga hanya terkonsentrasi di pulau

Jawa. Keempat, pendapatan daerah dikuasi pusat, akibat

dari sentralisasi maka pemerintah pusat dangat

menguasi pendapatan dan daerah sangat tergantung pada

alokasi bantuan dari pusat. Kelima, transfer antar

daerah (kredit) juga terjadi ketimpangan2.

Akibat berbagai ketimpangan dan ketidak adilan

terhadap daerah, gelombang reformasi membawa keinginan

kuat membentuk system pemerintahan yang1 Syaukani dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 170-171 2 Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, (Yogyakrta: Lapera Pustaka

Utama, 2001), hlm. 36-37

5

desentralistik. UU No 5 tahun 1974 dianggap tidak

mampu mewunjudkan pemerintahan yang benar-benar

desentralisasi sehingga segera setelah Soeharto

tumbang UU No 22 th 1999 segera disahkan. Ternyata

undang-undang produk reformasi tersebut hanya bertahan

5 tahun dan segera diganti dengan UU No 32 th 2004,

undang-undang yang disebutkan terakhir ini sampai

sekarang dirasa masih mampu memayungi kebijakan

desentralisasi, revisi terhadap undang-undang tersebut

hanya terkait calon perseorangan akibat adanya putusan

MK dan pengisisan kekosongan jabatan kepala daerah.

Sebagai konsep, desentralisasi mulai banyak dibahas

dan diperdebatkan pada tahun 1950, tahun tersebut

dapat dikatakan sebagai gelombang pertama dari

pembahasan desentralisasi. Sedangkan gelombang kedua

pembahasanya dilakukan pada tahun 1970. Desentralisasi

merupakan lawan dari sentralisasi, dalam

desentralisasi terdapat pembagian kewenangan serta

terjadinya ruang gerak yang memadai untuk memaknai

kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan di

daerah. Desentralisasi berasal dari kata de (lepas) dan

centrum (pusat), itu berarti makna dari desentralisasi

adalah melepaskan diri dari pusat. Dalam bidang

ketatangeraan, desentralisasi bermakna penyerahan

6

kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah-daerah3.

Menurut parson sebagaimana yang dikutip oleh Ni’matul

Huda, desentralisasi dalam aspek politik merupakan

pembagian kekuasaan pemerintahan dari pusat dengan

kelompok lain yang masing-masing mempunyai wewenang

kedalam suatu daerah tertentu dari suatu Negara4.

Dalam bukunya, Ni’matul Huda memaparkan pendapat

Amrah Muslimin mengenai jenis dan pembedaan

desentralisasi, menurutnya desentralisasi dibedakan

menjadi desentralisasi politik, desentralisasi

fungsional, dan desentralisasi kebudayaan.

Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan

dari pemerintah pusat, akibat dari pelimpahan wewenang

tersebut kemudian daerah mempunyai hak mengurus

sendiri kepentingan rumah tangganya melalui badan-

badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat.

Desentralisasi fungsionil adalah pemberian hak dan

kewenangan pada golongan-golongan mengurus sutau macam

atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik

terikat maupun tidak pada suatu daerah tertentu,

contohnya seperti mengurus kepentingan irigasi bagi

golongan petani. Sedangakan desentralisai fungsionil3 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media,

2009), hlm. 644 ibid., 60-61

7

dalam pandangan Irawan Soejito dimakanai sebagai

pemberian kewenangan dari fungsi pemerintahan Negara

untuk dijalankan atau diselenggarakan oleh suatu organ

atau badan ahli yang khsusus dibentuk untuk hal itu.

Yang terakhir dari jenis desentralisasi menurut Amrah

Muslimin adalah desentralisasi kebudayaan, ia

memaknainya sebagai pemberian hak kepada golongan-

golongan kecil dalam masyarakat menyelenggarakan

kebudayaanya sendiri untuk mengatur pendidikan, agama,

dll5.

Makna desentralisai dalam UU No 32 th 2004 adalah

penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Jika desentralisasi penyerahan

wewenang, maka otonomi dalam undang-undang tersebut

didefinsikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5 Lihat Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 65-66

8

2. Tujuan Desentralisasi

Untuk melihat kewenangan pemerintah pusat mematalkan

perda yang bertentangan dengna kepentingan umum,

terlebih dahulu perlu kita ketahui tujuan daripada

desentralisasi itu sendiri. Tujuan dari desentralisasi

dapat kita lihat pada konsideran undang-undang

pemerintahan daerah, disana disebutkan pemerintahan

daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

diarahakan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta

peningkatan daya saing daerah. Untuk itulah kemudian

efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah perlu

digenjot dengan memberikan kewenangan yang seluas-

luasnya kepada daerah dengan pemberian hak dan

kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah6.

Secara teoritis, tujuan dari desentralisasi dapat

kita lihat pada tulisanya Smith sebagaimana yang

diuraikan oleh Syarif Hidayat. Smith melihat tujuan

dari desentralisasi dari dua segi; pemerintah pusat

dan daerah. Dari kepentingan pemerintah pusat, tujuan

6 Lihat UU No 32 th 2004 tentang pemerintahan Daerah.

9

desentralisasi ada tiga macam: pendidikan politik,

latihan kepemimpinan dan menciptakan stabilitas

politik. Bagi kepentingan pemerintah daerah,

desentralisasi untuk mewujudkan political equality, local

accountability and local responsiveness. Desentralisasi dengan

tujuan political equality akan lebih membuka kesempatan bagi

masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai

aktivitas politik di tingakat lokal. Sehingga

masyarakat di daerah dapat dengan elegan mempraktikan

bentuk-bentuk partisipasi politik seperti menjadi

anggota partai politik dan kelompok kepentingan,

mendapatkan kebebasan mengekspresikan kepentingan dan

aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Dalam local

accountability melalui pelaksanaan desentralisasi

diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan

pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak

komunitasnya yang meliputi hak untuk ikut serta dalam

proses pengambilan keputusan dan implementasi

kebijakan di daerah serta hak untuk mengontrol

pelaksanaan pemerintahan daerah. Tujuan local

responsiveness dari desentralisasi dengan asumsi karena

pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui berbagai

masalah yang dihadapi komunitasnya, pelaksanaan

desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk

10

mengatasi masalah dan sekaligaus meningkatkan

akselerasi pembangunan social dan ekonomi di daerah7.

Rondinelli juga membahas tujuan dari desentralisasi,

menurutnya tujuan utama yang hendak dicapai melalui

kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan

kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good

and services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas pembangunan ekonomi di daerah8.

Ada dua pendekatan yang didasarkan pada dua

proposisi dalam alur berpikir otonomi daerah. Pertama,

pada dasarya semua persoalan sepatutnya diserahkan

kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan

dan memecahkan persoalan kecuali jika memang

persoalan-persoalan tersebut tidak mungkin

diselesaikan oleh daerah itu sendiri. Kedua, seluruh

persoalan pada dasarnya harus diserahkan kepada

pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan

tertentu yang telah dapat ditangai oleh daerah.

Pendekatan yang pertama adalah pendekatan federalistik

dan yang kedua unitaristik9. Pada dasarnya otonomi

daerah memang mempunyai alur pijaknya pada kerangka7 Lihat Syarif Hidayat, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif

State-Society Relation, Jurnal Poelitik Vol 1 No 1 th 2008, hlm, 3-58 Ibid, hlm. 59 Pheni Chalid, Otonomi Daerah, (Jakarta: Kemitraan, 2005), hlm.

22

11

Negara federal. Jadi menurut penulis, pendekatan yang

digunakan ketika akan menjalankan desentralisasi

adalah pendekatan yang pertama, semua urusan pada

dasarnya diserahkan kepada daerah untuk mengurusnya

sendiri kecuali bebrapa urusan yang menjadi bagian

pusat dan hal ini sesuai dengan metode desentralisasi

yang kita gunakan karena hanya enam jenis saja yang

menjadi urusan pemerintah pusat. Hal ini menurut

penulis didasarkan pada asumsi bahwa daerah yang

bersangkutan lebih mengetahui apa yang terbaik untuk

mereka, dengan system desentralisasi dalam bidang

fiskal daerah juga diharapkan mampu mandiri untuk

mencukupi berbagai kebutuhanya.

Asumsi yang penulis paparkan memang terdapat

dalam berbagai literature, misalnya dalam bukunya

Pheni Chalid, ia menuliskan sebagai berikut:

Otonomi daerah merupakan system yang memungkinkandaerah untuk memiliki kemampuan mengoptimalisasipotens terbaik yang dimilikinya dan mendorong daerahuntuk berkembang sesuai dengn karakteristik ekonomi,geografis dan social budayanya…… Pada dasarnyaotonomi daerah bertujuan untuk membangun partisipasiyang seluas-luasnya agar potensi yang ada dapatberkembang secara optimal10

10 Ibid, hlm. 22-23

12

Syaukani dkk, juga menuliskan dalam bukunya yang

berjudul Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan .

Otonomi daerah yang dicanangkan seperti sekarang inidiharapkan akan mempercepat pertumbuhan danpembangunan daerah, disamping menciptakankeseimbangan pembangunan antar daerah. Kebijakanpembangunan yang sentralistik dampaknya sudah kitaketahui, yaitu ketimpangan antar daerah, terutamaantra Jawa dan luar Jawa dan antara Indonesia bagianbarat dan Indonesia bagian timur. Ahli pembangunanekonomi regional sudah melakukan kajian yangintensif akan hal itu11

3. Pengawasan dan Pembatalan Perda

Dalam pasal 218 UU No 32 th 2004, pemerintah pusat

mempunyai kewenangan mengawasi jalanya pemerintahan di

daerah, pengawasan yang disebutkan dalam pasal

tersebut terkait pelaksanaan urusan pemerintahan di

daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah serta

peraturan kepala daerah. Hal yang terkait dengan

pengawasan dalam peratuan daerah dirinci dalam pasal

145 yang mengamanatkan agar perda yang telah dibuat

disampaikan kepada pemerintah paling lambat tujuh hari

semenjak disahkan dan pemerintah dapat membatalkanya11 Syaukani, dkk. Op, Cit, hlm. 217-218

13

jika menurut anggapan pemerintah perda tersebut

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam

pasal tersebut pembatalan perda ditetapkan dengan

peraturan presiden dengan jangka waktu paling lama 60

hari, namun yang terjadi dalam praktiknya pembatalan

perda dimuat dalam keputusan Menteri Dalam Negeri.

Kemudian jika daerah yang bersangkutan tidak terima

dengan keputusan pembatalan tersebut, mereka bisa

mengajukan keberatan kepada Mahakamah Agung dengan

alasan yang dapat dibenarkna oleh peraturan perundang-

undangan12. Agar lebih jelas, berikut ini penulis

kutipkan langsung bunyi dari pasal 145, khususnya ayat

2:

Pasal 145

1) Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7(tujuh) hari setelah ditetapkan.

2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yangbertentangan dengan kepentingan umum dan/atauperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapatdibatalkan oleh pemerintah

3) Keputusan pembatalan perda sebgaimana dimaksud padaayat 2 ditetapkan dengan peraturan presiden palinglama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya perdasebagaimana dimaksud pada ayat 1

12 Lihat pasal 145 UU No 32 th 2004 tentang Pemerintahan Daerah

14

4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusanpembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, kepaladaerah harus memberhentikan pelaksanaan perda danselanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabutperda dimaksud

5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerimakeputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud padaayat 3 dengan alasan yang dapat dibenarkan olehperaturan perudnang-undangan, kepada daerah dapatmengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Melihat bunyi pasal tersebut ada kritik yang hendak

penulis sampaikan. Dalam ayat 5 jika daerah tidak

dapat menerima pembatalanya, mereka boleh mengajukan

keberatan kepada MA dengan alasan yang dapat

dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, padahal

jika yang digunakan batu uji pembatalan tersebut

adalah “bertentangan dengan kepentingan umum” tidak

ada rumusanya dalam peraturan perudnang-undangan, jadi

pasal 5 hanya dapat digunakan jika pembatalan perda

nya dengan alasan “bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Dalam teori terdapat tida model pengujian peraturan

perundang-undangan, yakni Judicial Review, Legislatif

Review/Political Review dan Adminsitratif Review.

Pembatalan perda oleh pemerintah pusat tergolong pada

model Adminsitratif Review/Eksekutif Review. Model

15

Eksekutif Review pada pokokyna tidak mesti terkait

dengan constitusional review. Tentang metode ini Jimly

Asshhiddiqie mencontohkan pembatalan perda yang

terdapat dalam UU No 22 th 1999 jo UU No 32 th 2004,

lebih lengkapnya ia mengatakan13

Di dalam kedua undang-undang ini, pemerintah pusatdalam hal ini Menteri Dalam Negeri, diberikewenangan untuk menyatakan batal atau membatalakanberlakunya Peraturan Daerah yang dibentuk olehKepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota)dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(Provinsi, Kabupaten/kota). Mekanisme pembatalan inidapat disebut sebagai mekanisme pengujian juga,tetapi tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman(judicary) ataupun oleh legislator, melainkan olehlembaga pemerintahan eksekutif tingkat atas (pusat)

Pada dasarnya pengawasan pemerintah pusat terhadap

produk hukum daerah adalah agar pemerintah daerah

berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku14. Menurut Hans Kelsen,

dalam desentralisasi yang tidak sempurna, norma hukum

pusat dapat menghapuskan hukum di daerah jika

berlawanan, dia mengatakan dalam keadaan tertentu

undang-undang daerah dapat dihapus atau diganti oelh

13 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 74

14 Ni’matul Huda, Op, Cit, hlm. 234

16

suatu undang-undang pusat yang berlawanan, hal ini

atas dasar prinsip bahwa hukum pusat mengatasi hukum

daerah15. Kewenangan pembatalan perda oleh pemerintah

dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum

akan menemukan paradoks jika landasan berpikir yang

digunakan adalah kesesuaian hirarki peraturan

perundang-undangan, karena tidak ada rambu-rambu yang

jelas ketika pemerintah menggunakan kewenanganya ini.

Hal ini akan menjadikan tidak ada kepastian hukum dan

menghambat tujuan dari desentralisasi dan otonomi

daerah.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan16. Selain kebebasan dalam

menjalankan otonomi, daerah memang menjalankan urusan

yang berasal dari pusat dalam bentuk dekonsentrasi dan

tugas pembantuan. Namun, dekonsentrasi dan tugas

pembatuan ada satu hal dan otonomi adalah hal lain.

Tidak bisa dibenarkan jika demi dekonsentrasi dan

tugas pembantuan kemudian mengamputasi kewenangan15 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, alih bahasa Raisul

Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2006), hlm. 44316 Ni’matul Huda, Op, Cit, hlm. 216

17

daerah dalam menjalankan otonominya. Model pengujian

dengan alasan “bertentangan dengan kepentingan umum”

menurut penulis terlihat sangat subjektif dan dapat

digunakan secara sewenang-wenang. Dan sayangnya, jika

kemudian keberatan yang diajukan oleh daerah akibat

keputusan tersebut tidak mempunyai landasan

normatifnya dalam peraturan perundang-undangan, maka

daerah yang bersangkutan tidak bisa memperjuangkanya

lagi ke Mahkamah Agung.

18

Penutup

Sebagai penutup, penulis akan menyimpulkan sekaligus

menjawab rumusan masalah yang telah penulis ajukan

dalam pendahuluan. Dari segi teoritis, dalam kerangka

ketatanegaran pemerintah pusat tidak bisa membatalkan

perda dengan alasan “bertentangan dengan kepentingan

umum”. Karena pada dasarnya tujuan dari otonomi daerah

adalah agar daerah dapat mengembangkan potensinya

dalam berbagai bidang terutama dalam hal perekonomian,

mengingat alasan yang paling dominan terhadap tuntutan

desentralisasi adalah adanya ketimpangan perekonomian

yang tidak merata antar daerah. Berbagai teori

mengenai desentralisasi dan otonomi mendukung pendapat

yang penulis sampaikan, misalnya teroinya Smith

tentang local responsiveness bagi daerah dengan asumsi

19

karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui

berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya, ia

mengatakan pelaksanaan desentralisasi akan menjadi

jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus

meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi

di daerah.

Tujuan otonomi adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan di daerah, sehingga produk hokum yang

dibuat (Perda) adalah demi mewujudkan kesejahteraan

tersebut. Ketika daerah dianggap lebih mengerti

urusanya, maka penafsiran “kepentingan umum” oleh

pemerintah pusat tentunya tidak relevan. Pembatalan

perda dengan alasan ini juga akan menimbulkan tidak

adanya kepastian hukum karena tidak ada rambu-rambu

yang jelas tentang makna “bertentangan dengan

kepentingan umum”.

Yang dapat dibenarkan, batu uji yang digunakan oleh

pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan

perundang-undangan adalah jika suatu Perda

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tingakatanya, hal ini memang sesuai

dengan kerangka Negara kesatuan dan harmonisasi

peraturan perundang-undangan. Meskipun hal ini juga

20

masih menyisakan masalah karena dalam menyelaraskan

peraturan perundang-undngan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang yang diberi kewenangan oleh

Kontitusi adalah Mahkamah Agung. Lebih tepatnya,

sesuai dengan hierarki peratruan perundang-undangan

yang berlaku sekarang, kewenangan pemerintah

membatalkan Perda adalah jika suatu perda itu

bertentangan dengan PP dan Perpres dikarenakan jika

pertentanganya dengan undang-undang hak membatalkanya

ada pada Mahakamah Agung sebagaimana bunyi dalam UUD

1945.

Kewenangan pembatalan perda dengan alasan tersebut

yang dipayungi oleh UU No 32 th 2004 dalam pasal 145

ayat 2 tidak bisa dibenarkan, dan kedepanya para

pembuat undang-undang harus lebih jeli dalam melihat

hal ini.

21

Daftar Pustaka

A. Buku dan Jurnal

Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di

Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005

Chalid, Pheni, Otonomi Daerah, Jakarta: Kemitraan,

2005

22

Hidayat, Syarif, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam

Perspektif State-Society Relation, Jurnal Poelitik Vol 1 No

1 th 2008

Huda, Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung:

Nusa Media, 2009

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, alih bahasa

Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2006

Syaukani dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara, Yogyakrta: Lapera

Pustaka Utama, 2001

B. Peraturan Perundang Undangan

UUD 1945 Pasca Amandemen

UU No 32 th 2004 tentang Pemerintahan Daerah

23