Upload
uinsu
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAANUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
PERBANDINGAN PENGELOLAAN KEUANGANNEGARA INDONESIA DAN JEPANG
Oleh : EdiNIM :127003006
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Desentralisasi menjadi salah satu alternatif sistem pemerintahan di
berbagai dunia pada saat ini. Menurut Rondinelli, ada tiga pendorong
dibutuhkannya desentralisasi yaitu adanya kegagalan perencanaan sentralistik,
adanya kebutuhan pengembangan dan pengelolaan program dan proyek
pembangunan yang cepat dan inovatif dan perkembangan kompleksitas
masyarakat di daerah yang berdampak pada kegiatan pemerintahan yang semakin
membengkak. Maka, penerapan sistem ini pun diterapkan di beberapa negara
dalam sistem pemerintahannya. Selain itu, penerapan desentralisasi dianggap
dapat memberikan keuntungan dan manfaat bagi pelaksanaan pemerintahan yang
baik. Menurut Hulme merujuk Smith, ada dua manfaat dan keuntungan utama dari
desentralisasi yaitu, pertama secara politik memiliki manfaat antara lain,
pendidikan politik bagi masyarakat, adanya keadilan politik karena distribusi
kekuasaan, tingginya akuntabilitas karena akses bagi masyarakat luas semakin
tinggi dan daya-tanggap pemerintah semakin baik karena keterwakilan dan
partisipasi semakin tinggi. Kedua, dari sisi administrasi dan manajemen
manfaatnya diantaranya adalah perencanaan lokal dapat dibangun semakin baik,
koordinasi antar organisasi di tingkat lokal dapat terwujud semakin nyata,
tumbuhya inovasi dan tentu beban kerja pemerintah pusat berkurang.
Implikasi dari penerapan desentralisasi adalah dibentuknya pemerintah di
tingkat lokal atau disebut pemerintah daerah. Pemerintah daerah dibentuk guna
menjalankan prinsip otonomi daerah. Menurut Kaho secara umum bahwa
2
kemampuan pelaksanaan otonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
manusia pelaksana, faktor keuangan, faktor peralatandan faktor organisasi dan
manajemen. Para pakar lain seperti Rondinelli dan Cheema, Smith, dan Hoessein
seringkali juga mengatakan bahwa faktor keuangan menjadi penentu keberhasilan
kebijakan desentralisasi. Adanya desentralisasi mengakibatkan adanya
pembagian urusan antara pusat dan daerah. Hal ini melahirkan dua pemahaman
dalam keuangan daerah dan pusat. Pemahaman pertama melihat perlu adanya
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah karena merupakan upaya
mencari perimbangan akibat fungsi dan kewenangan yang diemban daerah dengan
sumber keuangan yang dimiliki dan diraihnya. Sedangkan pemahaman kedua
melihat adanya hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Di dasari oleh
kenyataan multilevel pemerintahan sehingga mau-tidak mau ada pola hubungan
yang tercipta yang harus diatur. Pada dasarnya pembagian urusan keuangan
adalah implikasi dari penerapan desentralisasi.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Anggaran (KEM-
PPKF) pada dasarnya merupakan sebuah acuan sekaligus landasan bagi
Pemerintah dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN). Selain itu, Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok
Kebijakan Anggaran (KEM-PPKF) disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas dari Pemerintah kepada rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal
13 ayat 1 UndangUndang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Pasal 157 ayat 2 UU 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Pada era setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, pelaksanaan
desentralisasi anggaran di Indonesia meningkat secara signifikan. Bagian
pengeluaran pemerintah daerah pada Tahun Anggaran 2001 meningkat hampir
dua kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi sekitar 30% dari total pengeluaran
pemerintah pusat dan daerah (Brodjonegoro dan Martinez-Vazquez, 2002;
Rochana, 2010). Dalam kaitan ini, Bank Dunia memberikan istilah The
Indonesia’s 2001 Big Bang Decentralization karena hanya dalam ”semalam”
Indonesia berubah dari negara yang sangat sentralistik menjadi negara yang
sangat desentralistik (Bank Dunia, 2003).
3
Secara teoretis, alasan ekonomi desentralisasi anggaran adalah
meningkatkan efisiensi penyediaan barang publik sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi (Oates, 1972; Martinez-Vazquez dan McNab, 2003;
Brueckner, 2006). Berbeda dengan barang privat, barang publik memiliki
karekteristik nonexcludable dan nonrival, yang menyebabkan mekanisme pasar
gagal mencapai kondisi pareto efisien. Untuk efisiensi alokasi barang publik,
Teori Ekonomi menawarkan desentralisasi. Tiebout Hypothesis (Tiebout, 1956),
Club Good Theory (McGuire, 1974), Decentralization Theorem (Oates, 1972),
Misperceifed Preferences (Stigler, 1957), dan Public Choice (Brenan dan
Buchanan, 1980) mengungkapkan bahwa sistem pemerintahan yang
terdesentralisasi dapat menciptakan mekanisme quasi market untuk barang publik
yang akan menghasilkan solusi mirip pasar (market like solution), yaitu alokasi
barang publik yang efisien seperti alokasi barang privat dalam mekanisme pasar.
Kebijakan anggaran merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah
untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan
(berupa pajak) pemerintah, kebijakan anggaran berbeda dengan kebijakan moneter
yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat
bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan anggaran adalah
pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran
pemerintah dapat memengaruhi variable-variabel.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penulisan ini adalah
1. Apakah bentuk pengelolaan keuangan pusat dan daerah negara
Indonesia dan Jepang.
2. Apakah persamaan dan perbedaan keuangan pusat dan daerah negara
Indonesia dan Jepang.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Menganalisis pengelolaan keuangan pusat dan daerah negara
Indonesia dan Jepang.
4
2. Menganalisis persamaan dan perbedaan keuangan pusat dan daerah
negara Indonesia dan Jepang.
1.4. Manfaat
Manfaat penulisan ini adalah memberikan gambaran perbandingan
keuangan di Indonesia dan Jepangasebagai tugas mata kuliah Perencanaan
Keuangan Daerah.
II. KERANGKA TEORI
Undang-undang Keuangan Negara pada dasarnya mengatur prinsip-prinsip
umum keuangan negara. Hal-hal baru dan perubahan mendasar dalam ketentuan
keuangan negara yang diatur dalam UU. No 17 Tahun 2003 meliputi penetapan
pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, penegasan kedudukan Presiden
sebagai pemegang kekuasaan umum keuangan negara, pengaturan pendelegasian
wewenang pengelolaan anggaran kepada Menteri Keuangan dan
Menteri/Pimpinan Lembaga, penegasan kedudukan Gubernur Bank Sentral selaku
pengelola kebijakan moneter dan pengaturan hubungan otoritas anggaran dan
otoritas moneter, penegasan asas desentralisasi dalam bidang keuangan negara,
penyusunan rencana strategis nasional oleh Dewan Perencanaan Nasional yang
beranggotakan pemerintah dan masyarakat, penetapan struktur anggaran,
penetapan solusi dalam hal RAPBN tidak disetujui DPR, penetapan prinsip-
prinsip umum pengelolaan anggaran negara dan daerah, serta penetapan
keharusan pemerintah menyajikan Neraca pemerintah dan Laporan Keuangan
Perusahaan Negara dalam pertanggungjawaban tahunan keuangan negara.
Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara memuat
berbagai perubahan mendasar dalam pendekatan anggaran. Reformasi
pengelolaan keuangan negara meliputi aspek-aspek penerapan pendekatan
penganggaran dengan perspektif jangka menengah (Medium Term Expenditure
Framework), penerapan penganggaran secara terpadu (Unified Budget) dan
penerapan anggaran berdasarkan kinerja (Performance Budget).
5
Munculnya Undang-Undang No.17 Tahun 2003 menggantikan undang-
undang yang lama merupakan upaya reformasi di bidang keuangan negara untuk
meningkatkan efisiensi, akuntabilitas dan profesionalitas. Perubahan tersebut
dilakukan karena dalam proses penganggaran yang selama ini berlaku dinilai
mempunyai beberapa kelemahan, antara lain :
1. Kurang terkaitnya antara kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan
pelaksanaannya.
2. Penganggaran yang berhorizon satu tahun.
3. Penganggaran yang berdasarkan masukan (inputs).
4. Terpisahnya penyusunan anggaran rutin dan anggaran pembangunan.
Di lain pihak, perencanaan dan proses penganggaran Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang baru tersebut dalam
pelaksanaannya masih mengandung beberapa permasalahan dan kekurangan,
yaitu:
1. Jajaran pemerintah, khususnya Departemen Keuangan yang terlibat dan
Panitia Anggaran DPR praktis bekerja hampir sepanjang tahun, mulai Maret
hingga Oktober, untuk membahas dan mengesahkan APBN. Mekanisme
birokrasi kepemerintahan di tingkat eksekutif dan jadwal serta tata tertib
persidangan di DPR sering tidak sejalan.
2. Persetujuan DPR atas APBN sampai ke jenis belanja, organisasi, dan fungsi
memang bertujuan baik dan ideal untuk disiplin anggaran. Namun, sering kali
menyulitkan kedua belah pihak karena kedalaman materi dan waktu yang
mendesak sering kali memerlukan kompromi- kompromi. Ketergantungan
eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran dengan legislatif sebagai
pemegang kendali budget menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi
fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan anggaran.
3. Di pihak eksekutif, khususnya departemen dan lembaga pengguna anggaran
yang saat ini belum terbiasa dengan disiplin anggaran, cenderung resisten
dengan sistem yang mengharuskan akuntabilitas tinggi. Akibatnya
keterlambatan pencairan terjadi dan program pembangunan terkorbankan.
6
4. Terjadinya keterlambatan karena masih terjadi dalam beberapa kasus
tumpang tindih pekerjaan penyusunan dan verifikasi DIPA dan RKAKL di
Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Depkeu. Namun, diharapkan hal
tersebut tidak terjadi lagi di tahun 2006.
Dalam tahap perencanaan anggaran, reformasi yang dilakukan adalah
perubahan anggaran dual budgeting system (DBS) menjadi unified budgeting
system (UBS). DBS yang selama ini dikenal adalah berupa pemisahan antara
belanja rutin dan belanja pembangunan. Adapun UBS (penganggaran terpadu)
adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi
untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintah dengan
prinsip efisiensi alokasi dana.
Selain perubahan dalam siklus perencanaan, reformasi di bidang keuangan
negara juga berdampak positif terhadap siklus ketiga dari APBN, yaitu
pelaksanaan anggaran. Menteri/pimpinan lembaga/kepala satker perangkat daerah
selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan,
aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang
berada dalam tanggung jawabnya.
2.1. Konsepsi Tentang Sistem Keuangan Negara
Keuangan negara dapat diartikan sebagai (Sumosudirdjo et al, 1983),
”Semua hak dan semua kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula
segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan
negara, berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Definisi lebih lanjut tentang keuangan negara tersebut dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara No. 2776. Keuangan negera tidak hanya termasuk
uang negara, tetapi seluruh kekayaan negara, termasuk didalamnya segala hak
serta kewajiban yang timbul karenanya, baik kekayaan itu berada dalam
penguasaaan dan pengurusan pada pejabat-pejabat dan/atau lembaga-lembaga
yang termasuk pemerintahan umum maupun berada dalam penguasaan dan
pengurusan bank-bank Pemerintah, yayasan Pemerintah, dengan status hukum
publik maupun privat, usaha di mana Pemerintah mempunyai kepentingan khusus
7
serta dalam penguasaan dan perjanjian dengan penyertaan Pemerintah ataupun
penunjukkan dari Pemerintah.
Di lain pihak keuangan negara dapat didefinisikan sebagai (Musgrave,
1958) “The complex of problems that counter around the revenue and
expenditure process of government is referred to traditionally as public finance”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keuangan negara
meliputi masalah yang berkisar tentang pendapatan dan pembelanjaan oleh
Pemerintah, sehingga keuangan negara dapat mempunyai arti yang luas dalam
prakteknya. Sehingga perlu adanya klasifikasi yang jelas dalam pembagian mana
yang masuk dalam pendapatan dan pembelanjaan dalam negara. Secara singkat
keuangan negara termasuk:
1. Semua penerimaan dan pengeluaran Pemerintah, baik di pusat maupun di
daerah
2. Semua kekayaan negara yang ada pada Departemen-Departemen dan
Lembaga-Lembaga Negara serta Lembaga-Lembaga Pemerintah non
Departemen termasuk instansi vertikalnya
3. Semua kekayaan daerah beserta instansi vertikalnya
4. Semua kekayaan negara yang dipisahkan
5. Semua kekayaan dari badan, baik dari badan hukum publik maupun privat
yang dibiayai atau disubsidi oleh negara, ataupun di mana negara mempunyai
kepentingan keuangan
Pada dasarnya konsep keuangan negara masih belum mempunyai
bentukan final, sehingga masih sering terjadi perdebatan. Setidaknya ada dua hal
mendasar mengenai tanggung jawab keuangan negara seperti dalam pasal 23 ayat
5 UUD 1945 mengenai tanggung jawab tentang pelaksanaan APBN, di lain hal
ketentuan pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) UU 5/1973 adalah ruang lingkup
pemeriksaan yang harus dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Kedua
hal ini saling terkait atau menjelaskan. Hal yang menjadi krusial adalah sistem
keuangan negara itu sendiri masih merujuk pada Indische Compatibilities Wet
Stbl 1925 No 448 yang diubah dan ditambah terakhir dengan UU No 9/1968 atau
8
dikenal dengan ICW. Dengan kata lain sistem pengelolaan APBN yang
mendatang masih merujuk pada ICW.
Lebih lanjut tentang tugas Badan Pemeriksaan Keuangan yang terdapat
dalam pasal 2 UU No. 5 tahun 1973 masih menyangkut ruang lingkup yang luas.
Hal ini diterangkan dalam penjelasan tersebut bahwa pertanggungjawaban
keuangan negara termasuk antara lain APBN, Anggaran dan Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) serta anggaran perusahaan-perusahaan milik negara,
hakekatnya seluruh kekayaan negara. Dalam pengertian lain terdapat batasan yang
tidak jelas apa yang dimaksud dengan keuangan negara dalam hal ini. Disamping
itu, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa bumi dan air dari kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berarti kekayaan negara yang termasuk
dalam ruang lingkup keuangan negara. Sehingga ruang lingkup keuangan negara
mencakup APBN, APBD, anggaran BUMN/BUMD, bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya yang hakekatnya seluruh kekayaan negara.
Pengurusan kekayaan negara di Indonesia dibagi dalam dua macam yaitu:
1. Pengurusan umum atau pengurusan administratif
2. Pengurusan khusus atau pengurusan bendaharawan
Dalam hal ini persamaannya adalah bahwa baik pada pengurusan umum
maupun pada pengurusan khusus, kedua-duanya mengandung unsur pengurusan
dan unsur pertanggungjawaban. Sedangkan perbedaannya adalah pengurusan
umum luas sifatnya dan pengurusan khusus sempit sifatnya. Pengurusan umum
mengandung unsur penguasaan sedangkan pengurusan khusus mengandung unsur
kewajiban. Menurut Sumosudirdjo et., al., (1983) segala perintah, pengaturan dan
petunjuk dibuat oleh pengurusan umum, sedangkan pengurusan khusus
berkewajiban melaksanakan perintah, peraturan dan petunjuk tersebut.
Pengurusan umum berhubungan erat dengan penyelenggaraan tugas
negara di segala bidang yang akan membawa akibat kepada pengeluaran
keuangan negara serta mendatangkan penerimaan atau pendapatan untuk dapat
menutupi pengeluaran atau belanja negara itu. Mengingat pelaksanaan tugas
negara yang sangat luas dan bermacam ragam jenisnya dengan kemungkinan
9
pembiayaannya yang terbatas, maka perlu sekali disusun rencana keuangan yang
akan dijalankan untuk masa mendatang, yang biasanya dibuat untuk satu tahun.
Rencana keuangan ini yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang dibuat tiap-tiap tahun untuk dapat menjalankan tugas-tugas
negara dan melanjutkan roda Pemerintah. Pemerintah Negara Indonesia seperti
yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 bertugas melindungi segenap
bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Presiden sebagai penguasa sekunder dalam praktek sehari-harinya
dilaksanakan oleh menteri keuangan. Dalam hal ini para menteri lainnya apabila
mengambil tindakan-tindakan yang akan membawa akibat pengeluaran keuangan
negara, senantiasa memerlukan persetujuan dari menteri keuangan sebagai pejabat
ordonatur. Ordonatur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk :
1. Memeriksa semua tagihan kepada negara
2. Membebankan pengeluaran negara
3. Menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM)
4. Menerbitkan Surat Penagihan (SPN)
Menteri Keuangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
ordonatur mempunyai aparat yang berada di dalam jajaran Direktorat Jenderal
Anggaran. Sedangkan yang ditunjuk untuk menjalankan pengurusan khusus sejak
dulu dikenal dengan sebutan Comptable dan sekarang dikenal dengan
Bendaharawan. Ketentuan tentang bendaharawan (Comptabel) terdapat pada pasal
77 (1) ICW yang menetapkan,
Bendaharawan adalah orang-orang dan badan-badan yang karena negara
ditugaskan untuk menerima, menyimpan, membayar dan mengeluarkan atau
menyerahkan uang, atau kertas-kertas berharga dan barang-barang di dalam
gudang-gudang atau tempat-tempat penyimpanan yang lain sebagai dimaksud
dengan pasal 55 ICW dan selaku demikian diwajibkan memberikan perhitungan
10
dan pertanggungjawaban tentang hal pengurusannya kepada Badan Pemeriksa
Keuangan.
Sedangkan yang diatur dalam pasal 55 ICW, Pengurusan barang-barang
dalam gudang-gudang negara dan tempat-tempat penyimpanan lainnya berada
dalam pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan, berdasarkan dan dengan cara
yang ditentukan dengan peraturan umum.
Sedangkan bendaharawan mengurus:
1. Hanya uang negara, atau uang milik pihak lain yang dikuasai negara dan
berada pada kas negara. Dalam pengertian ini termasuk kertas-kertas
berharga. Contohnya adalah Surat Perintah Membayar (SPM) yang juga
disebut mandate, bea meterai dan perangko.
2. Hanya barang-barang milik negara atau barang-barang milik pihak lain yang
dikuasai negara dan berada dalam gudang atau tempat penyimpanan yang
lain.
3. Mengurus uang dan barang milik negara
Pada dasarnya bendaharawan bertanggung jawab kepada Menteri
Keuangan atau Pimpinan Lembaga yang mengangkatnya. Dalam taraf terakhir
bendaharawan dihadapkan pada BPK yang berwenang memberi peradilan, yaitu
mengadakan tuntuan ganti rugi terhadapnya, jikalau bendaharawan melakukan
perbuatan tercela atau mengabaikan tugasnya sehingga negara dirugikan.
2.2. Tinjauan dan Teori Penganggaran
Anggaran mempunyai peran penting dalam perencanaan, pengendalian
dan evaluasi dalam operasionalisasi pemerintah. Ketiga tahap anggaran tersebut
adalah aspek penting dalam pendekatan dan proses anggaran.
1. Perencanaan
Perencanaan adalah proses penciptaan tujuan organisasi. Organisasi yang
sukses mengkoordinasikan jangka panjang dan pendek. Hal ini terkait dengan
tujuan organisasi dan arah tujuan. Perencanaan merupakan hal yang penting
karena jenis, kuantitas dan kualitas kinerja jasa dan pengadaan pemerintah tidak
dievaluasi dan disesuaikan melalui mekanisme pasar terbuka dan mereka cukup
11
peka kepada kepentingan umum. Lebih lanjnut, perencanaan dan keputusan
pemerintah merupakan proses gabungan yang melibatkan warga negara, badan
legislatif dan eksekutif.
2. Pengendalian
Anggaran merupakan pengendalian pemerintah berkaitan dengan
pengendalian legislatif atas eksekutif dan pengendalian eksekutif atas pemerintah
atau departemen. Oleh karena itu sistem akuntansi harus menyediakan informasi
yang dapat membuat departemen menjaga pengeluaran sesuai batasan eksekutif.
Sehingga eksekutif harus menjaga pengeluaran pemerintah secara keseluruhan
sesuai dengan batasan badan legislatif.
3. Evaluasi
Laporan keuangan yang membandingkan antara pendapatan dan
pengeluaran yang dianggarkan dan aktual utnuk periode tertentu sebagai basis
untuk evaluasi terhadap standar yang ada. Anggaran juga menyediakan tujuan
yang jelas untuk evaluasi kinerja pada tiap level tanggung jawab.
Anggaran menurut The National Committee on Governmental Accounting,
“A budget is plan of financial operation embodying an estimated of proposed
expenditures for a given period of time and the proposed means of financing
them“
Sehingga dapat diambil kesimpulan dari definisi di atas bahwa anggaran
merupakan rencana operasional keuangan yang mencakup suatu estimasi
pengeluaran untuk suatu jangka waktu tertentu dan rencana penerimaan
pendapatan untuk membiayai. Di lain hal anggaran juga didefinisikan sebagai
(Razek& Hosch, 1995),
“A formal estimate of the resources that an organization plans to expend
for agiven purpose over a given period and the proposed means of acquiring
these resources. It informs the reader of what activities the organization plans to
undertake and how the organization expects to finance these activities and thus it
acts as a standard against which efficiency and effectiveness can be measured.”
12
Selain itu anggaran dapat juga didefinisikan sebagai proses alokasi sumber
daya yang terbatas terhadap permintaan yang tidak terbatas dan satuan mata uang
dalam perencanaan operasi untuk periode tertentu. Perencanaan harus berisi
informasi mengenai jenis dan jumlah pengeluaran yang direncanakan, tujuan yang
dibuat dan alat tujuan keuangan (Freeman & Shoulders, 1999).
2.3. Pentingnya Anggaran
Anggaran untuk organisasi sektor publik berasal secara umum dari
penggunaan tingkat pajak atau jumlah yang digunakan untuk jasa. Peran
perencanaan dicapai dengan ukuran moneter (seperti materi, pekerja dan
perlengkapan) diperlukan untuk mencapai aktivitas yang direncanakan dalam
periode anggaran. Peran pengendalian dicapai dengan mempersiapkan anggaran
yang menunjukkan masukan dan rencana yang dicapai. Varian antara anggaran
dan aktual menunjukkan divergensi sumber daya yang jelas dalam alokasi
organisasi pemerintah untuk membolehkan melakukan tugas yang
bertanggungjawab. Pengendalian dapat dilakukan dengan membandingkan hasil
anggaran dengan aktual untuk meyakinkan tingkat pengeluaran tidak melebihi dan
aktivitas dari rencana yang terjadi. Kecuali alasan untuk varian yang dianalisa dan
langkah perbaikan menghantarkan anggaran dan kembali ke aktual sesuai garis,
keseluruhan sistem akan diluar pengendalian. Oleh karena itu, kondisi relevan,
akurat dan laporan yang tepat waktu posisi aktual dan anggaran diperlukan pada
setiap level menajemen untuk dapat dimonitor sesuai anggaran.
Dalam hal pengembangan sistem anggaran terdapat lima jenis sistem
penganggaran, yaitu:
1. Line Item Budgeting, merupakan penyusunan anggaran yang didasarkan
kepada dan darimana dana berasal (pos-pos penerimaan) dan untuk apa
dana tersebut digunakan (pos-pos pengeluaran)
2. Incremental Budgeting adalah sistem anggaran belanja dan pendapatan
yang memungkinkan revisi selama tahun berjalan, sekaligus sebagai dasar
penentuan usulan anggaran periode tahun yang akan dating. Angka di pos
pengeluaran yang merupakan peruabahan (kenaikan) dari angka periode
sebelumnya. Permasalahan yang harus diputuskan bersama adalah metode
13
penaikan/ penurunan (incremental) dari angka anggaran tahun
sebelumnya. Logika sistem anggaran ini adalah seluruh kegiatan yang
dilaksanakan merupakan kelanjutan kegiatan dari tahun sebelumnya.
3. Planning Programming Budgeting System, adalah proses perencanaan,
pembuatan program dan penganggaran yang terkait dalam suatu sistem
sebagai suatu kesatuan yang bulat dan tidak terpisah-pisah dan di
dalamnya terkandung identifikasi tujuan organisasi, permasalahan yang
mungkin timbul. Proses pengorganisasian, pengkoordinasian dan
pengawasan terhadap semua kegiatan yang diperlukan dan pertimbangan
implikasi keputusan terhadap berbagai kegiatan di masa yang akan dating.
4. Zero Base Budgeting adalah sistem anggaran yang didasarkan pada
perkiraan kegiatan, bukan pada pada yang telah dilakukan pada masa lalu.
Setiap kegiatanakan dievaluasi secara terpisah. Ini berarti berbagai
program dikembangkan dalam visi tahun yang bersangkutan.
5. Performance Budgeting, adalah teknik penyusunan anggaran berdasarkan
pertimbangan beban kerja (work load) dan unit cost dari setiap kegiatan
yang terstruktur. Struktur disini diawali dengan pencapaian tujuan,
program dan didasari pemikiran bahwa penganggaran digunakan sebagai
alat manajemen. Penyusunan anggaran menjamin tingkat keberhasilan
program, baik sisi eksekutif maupun legislative. Oleh karena itu, anggaran
dianggap sebagai pencerminan program kerja.
6. MTEF adalah suatu kerangka strategi kebijakan Pemerintah tentang
anggaran belanja untuk department dan lembaga pemerintah non
departemen. Kerangka ini memberikan tanggungjawab lebih besar kepada
departemen untuk penetapan alokasi dan penggunaan sumber dana
pembangunan. Keberhasilan suatu MTEF tergantung kepada mekanisme
pengambilan keputusan anggaran secara agregat yang didasarkan kepada
skala prioritas. Dalam mekanisme MTEF, komponen anggaran yang
ditetapkan (top down), perkiraan anggaran biaya yang diusulkan (bottom
up) dan penyesuaian perkiraan anggaran biaya, disesuaikan menurut
sumber daya yang ada.
14
Tingkat kesiapan membangun MTEF tergantung pada kondisi keuangan
negara. Ketidakstabilan kebijakan anggaran akan menyebabkan tidak tepatnya
alokasi sumberdaya untuk berbagai program atau satker. Selain itu,
ketidakterpaduan kebijakan perencanaan, penganggaran dan pelaksanaannya akan
mengakibatkan kesulitan pengalokasian dana seperti di Indonesia. Di Indonesia,
pengalikasian dana masih merupakan hal yang didominasi aspek politik. Apabila
ada pengeluaran tertentu yang bersifat unsustainable (seperti gaji dan upah, uang
pension dan pembayaran bunga) maka diperlukan waktu lebih lama untuk
menghasilkan MTEF yang lebih terpercaya. Bila kondisi semacam ini yang harus
dihadapai maka perubahan struktur pengeluaran anggaran perlu dilakukan.
Sehingga siklus anggaran untuk pelaksanaan keuangan negara adalah
merupakan hal yang penting bagi sistem akuntansi Pemerintah yang dimulai dari
penyusunan rencana anggaran, pengajuan RUU APBN kepada DPR, pembahasan
dan persetujuan DPR sehingga menjadi UU APBN, pelaksanaan anggaran oleh
pemerintahan, pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran oleh
aparat pengawasan fungsional sampai dengan pengajuan RUU PAN menjadi UU
PAN. Secara umum siklus anggaran negara Republik Indonesia dapat dibagi
menjadi 5 tahap:
1. Penyusunan anggaran dan pengajuan RUU APBN oleh Pemerintah kepada
DPR.
2. Pembahasan dan persetujuan DPR atas RUU APBN yang dilanjutkan dengan
penetapan UU APBN.
3. Pelaksanaan anggaan, akuntansi anggaran dan pelaporan keuangan oleh
Pemerintah.
4. Pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran dan akuntansi
anggaran oleh aparat pengawasan fungsional.
5. Pembahasan dan persetujuan DPR atas RUU perhitungan anggaran negara
sebagai pertanggungjawaban Pemerintah atas pelaksanaan APBN dan
dilanjutkan dengan penetapan UU PAN.
2.4. Penerapan Dual Budgeting System
15
Selama lebih dari 32 tahun, pemerintah melaksanakan sistem anggaran
yang dikenal dengan “dual budgeting,” dimana anggaran belanja negara
dipisahkan antara anggaran belanja rutin dan anggaran pembangunan. Pemisahan
anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk
menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam pelaksanaannya telah
menunjukan banyak kelemahan (Abimanyu, 2004).
Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh
karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan
satuan kerja (satker), khususnya kegiatan-kegiatan non-fisik. Dengan demikian,
kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan kondisi
yang sesungguhnya.
Kedua, penggunaan “dual budgeting system” mendorong dualisme dalam
penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu
jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain
yang ditetapkan untuk belanja pembangunan.
Ketiga, analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran
belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja
anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi.
Keempat, proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan
sama dengan satker, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya
bersifat sementara. Jika satker sudah selesai atau dihentikan tidak ada
kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang
dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam
pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan
antara output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi.
2.5. Kebijakan Sistem Penyusunan Anggaran dan Perencanaan
Pembangunan
1. Kebijakan Sistem Penyusunan Anggaran Belanja Kementerian/ Lembaga.
Perubahan yang cukup mendasar dalam pemanfaatan anggaran belanja
pemerintah beserta jajarannya yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan ditetapkannya
16
peraturan perundangan tersebut dikenal adanya sistem penganggaran
berbasis kinerja, yaitu suatu sistem penganggaran yang harus disusun atas
dasar :
a. Fungsi/kegiatan yang akan dilakukan oleh setiap satuan
kerja/Kementerian/Lembaga, hal ini berarti bahwa setiap pengalokasian
anggaran belanja harus diorientasikan pada fungsi/kegiatan program yang
akan dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (budget follow functions).\
b. Penyusunan rencana anggaran berbasis kinerja (performance budgeting
system), hal ini merupakan pembaruan dalam sistem perencanaan
anggaran belanja pemerintah, karena setiap pengeluaran anggaran yang
teralokasikan harus terakunkan oleh pencapaian kinerja kegiatan program
yang ditunjukkan melalui keluaran (out put) dan hasil (out come) yang
akan dicapai.
c. Disusun dengan prakiraan maju (progress estimate). Prakiraan maju
dalam hal ini adalah bahwa penyusunan rencana kegiatan program yang
akan dilaksanakan dan anggaran yang diperlukan, disusun dalam satu
rangkaian prakiraan dua tahun berikutnya.
2. Kebijakan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Sebagai tindak lanjut
dari adanya perubahan sistem perencanaan anggaran pemerintah sebagai
tersebut diatas, ditetapkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Substansi dari peraturan
perundangan ini adalah kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional yang
mengamanatkan bahwa Rencana Kerja setiap Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah (RKKL dan RKPD) disusun berpedoman pada Rencana
Strategi (Renstra) masing-masing Kementerian/Lembaga. Selanjutnya juga
dinyatakan bahwa Renstra Kementerian/Lembaga memuat visi, misi, tujuan,
strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas
dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada
RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Kemudian dinyatakan lagi, bahwa
Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan Rencana Kerja K/L
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu pada rancangan
17
awal RKP dan berpedoman pada Renstra K/L.
2.6. Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara melalui Penerapan Unified
Budgeting System.
Dalam pengelolaan negara pemerintah sudah melakukan reformasi yang
cukup berarti terkait didalamnya perubahan anggaran dual budgeting system
menjadi unified budgeting system. Dual Budgeting System yang selama ini dikenal
adalah berupa pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan. Adapun
penganggaran terpadu adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang
dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan
kegiatan pemerintah dengan prinsip efisiensi alokasi dana (Abimanyu , 2006).
Tidak hanya dalam siklus perencanaan, reformasi di bidang keuangan
negara juga berdampak positif terhadap siklus ketiga dari APBN, yaitu
pelaksanaan anggaran. Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat
daerah selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi
keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan
belanja yang berada dalam tanggung jawabnya (Abimanyu , 2006).
Anggaran Terpadu Menurut PP 21/2004:
1. Definisi: “Penyusunan rencana keuangan tahunan secara terintegrasi untuk
seluruh jenis belanja yang didasarkan atas prinsip pencapaian efisiensi
alokasi dana”.
2. Keterpaduan terjadi dengan memadukan perencanaan dan anggaran dalam
kementerian melalui satu dokumen rencana kerja/anggaran serta melalui
penyatuan anggaran rutin dan pembangunan.
3. Anggaran yang akan dipadukan, disusun menurut klasifikasi: (a)
Kementerian/Lembaga; (b) Program; (c) Kegiatan; (d) Jenis Pengeluaran;
dan (e) Fungsi” MTEF/Prakiraan Maju
Menurut UU No. 17 :
1. Pasal 13 menyatakan Pemerintah harus menyampaikan kerangka ekonomi
makro dan kebijakan anggaran kepada DPR pada bulan Mei untuk tahun
18
anggaran berikutnya (sebagai bagian dari rencana kerja tahunan
pemerintah).
2. Menurut pasal 13 pembahasan makro/anggaran antara Pemerintah/DPR di
bulan Mei akan menghasilkan acuan bagi Kementerian/Lembaga untuk
menyiapkan anggaran
3. Menurut pasal 14 unit-unit organisasi anggaran menyusun rencana kerja dan
anggaran tahunan disertai prakiraan untuk satu tahun berikutnya
4. Meskipun UU No. 17 tidak mengatur penyusunan MTEF/Prakiraan Maju
secara rinci, tetapi Pasal 14 mengamanatkan penyusunan anggaran/rencana
kerja akan diatur oleh peraturan pemerintah
Penganggaran Berbasis Kinerja dan Sasaran Manajemen dan
Penganggaran berbasis Kinerja:
1. Sasaran secara garis besar adalah meningkatnya akuntabilitas dan
manajemen
2. Alokasi sumberdaya yang lebih baik didukung oleh informasi yang lengkap
mengenai efisiensi dan efektivitas pengeluaran
3. Efektivitas pengeluaran yang lebih baik – sumberdaya dialokasikan pada
prioritas-prioritas tertinggi – program dikelola sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan – agar hasil-hasil yang diharapkan bisa dicapai
4. Efisiensi pengeluaran yang lebih baik – biaya satuan keluaran terendah –
pengeluaran yang telah ditetapkan efisien – meminimalkan pengeluaran
yang sia-sia/meningkatkan dampak.
Jenjang Organisasi Dalam Penyusunan Anggaran Dan Penyusunan
berawal dari jenjang terendah, satuan kerja, dan kemudian dilanjutkan dengan
penggabungan pada tingkat lebih tinggi:
1. Satuan kerja jenjang rendah (Satuan Kerja).
2. Berbagai Eselon dalam Kementerian dan Organisasi lainnya yang memiliki
anggaran
3. Seluruh Kementerian/Lembaga
20
III. PEMBAHASAN PENGELOLAAN ANGGARAN
3.1. Sistem Anggaran Indonesia
3.1.1. Penerimaan Pemerintah Daerah
Pada prinsipnya pembagian sumber keuangan menurut UU 25/1999 dan
UU 33/2004 menganut azas pemisahan terikat terhadap sumber keuangan, dimana
objek pajak yang dikenakan oleh pemerintah pusat tidak dapat dikenakan lagi oleh
pemerintah daerah. Sumber-sumber penerimaan atau pendapatan dareah yaitu
Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud dalam UU 29/2002 Pasal 2 Ayat (2)
dirinci menurut Kelompok Pendapatan yan meliputi Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang sah. Setiap kelompok
Pendapatan dirinci menurut Jenis pendapatan. Setiap Jenis Pendapatan dirinci
menurut, Obyek Pendapatan. Setiap,Obyek Pendapatan dirinci menurut Rincian
Obyek Pendapatan.
Tabel 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara IndonesiaTahun 2013
21
Sumber: Kemenkeu, 2013
Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan menjadi sumber utama
pendapatan daerah di masa depan. Pendapatan ini diperoleh dari pajak daerah,
pungutan daerah atau retribusi daerah keuntungan bersih aset daerah, dan sumber
legal lainnya. Peningkatan pendapatan asli daerah dalam jumlah besar diharapkan
dapat mendorong akuntabilitas yang lebih besar dari pemerintah daerah yang
bersangkutan. Meskipun demikian, tingkat pendapatan asli daerah saat ini masih
kurang dari sepuluh persen dari total pendapatan daerah seluruhnya, dan
perubahannya juga sangat lamban. Pajak itu sendiri terdiri dari pajak yang
dikelola oleh pusat dan pejak yang dikelola oleh daerah.
Gambar 2. Anggaran Kementerian/Lembaga Indonesia Tahun 2012-2014
22
3.1.2. Pembagian Pajak Daerah dan Pajak Pusat
Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
a. Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
d. Bea Meterai
e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah
dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir
seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik
Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
f. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah
Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota antara lain meliputi :
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
23
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir.
Saat ini ada empat jenis pajak propinsi dan tujuh jenis pajak untuk
kabupaten/kota. Dasar penentuan pajak ini ditetapkan oleh pemerintah pusat dan
ada platform untuk setiap pajak yang membatasi penetapan tingkat pajak oleh
pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah daerah mempunyai hak untuk
menetapkan pajak-pajak baru sejauh pajak-pajak itu sejalan dengan prinsip
”perpajakan yang baik” yang sejiwa dengan praktek- praktek yang baik di dunia
internasional.
Dana Perimbangan terdiri dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus,
dan dana bagi hasil. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumber utama
pendapatan pemerintah daerah, yang digunakan baik untuk perimbangan vertical
maupun perimbangan horisontal. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa
mekanisme penyaluran keuangan merupakan hal yang sangat penting terhadap
suksesnya kebijakan desentralisasi. Pemerintah mengacu kepada prinsip money
follows functions dan pemerintah berharap untuk membuat cara pengaturan DAU
menjadi lebih baik. DAU adalah hibah (block grant) yang didasarkan atas
formula: dimulai pada tahun anggaran 2008 DAU minimal mencapai 26% dari
total pendapatan domestik bersih (penghasilan total dikurangi dana bagi-hasil) dan
pembagiannya diantara Propinsi, Kabupaten/Kota ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah. Ini terdiri dari alokasi dasar dan alokasi kesenjangan anggaran.
Alokasi dasar meliputi pengeluaran gaji PNS dari masing-masing pemerintah
24
daerah. Unsur kesenjangan anggaran dihitung dari jumlah perbedaan antara
kebutuhan anggaran dan kemampuan anggaran. Variabel pengganti yang dipakai
untuk penghitungan kebutuhan keuangan adalah jumlah proporsional penduduk,
luas daerah, indeks harga bangunan, PDRB per kapita, dan kebalikan dari Indeks
Pengembangan SDM (yang terakhir ini dapat dilihat sebagai cerminan indeks
kemiskinan, sebuah ukuran yang dipakai dalam rumusan sebelumnya). Variabel
kapasitas keuangan adalah pendapatan asli daerah yang terealisasi, pajak, dan
dana bagi hasil SDA. Mulai tahun anggaran 2008 (dengan dihapuskannya hold
harmless provision) daerah-daerah dengan kesenjangan anggaran sama dengan
nol hanya akan memperoleh alokasi dasar; daerah-daerah dengan kesenjangan
anggaran negatif, yaitu lebih dari atau sama dengan alokasi dasar tidak akan
menerima DAU lagi.
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana alokasi pengimbang
(matching) untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan prioritas nasional atau
kebutuhan khusus yang tidak bisa dimasukkan ke dalam DAU, misalnya bantuan
darurat. DAK diprioritaskan bagi pemerintah-pemerintah daerah yang mempunyai
kapasitas keuangan lebih rendah dari rata-rata.UU 33/2004 juga menyebutkan
acuan khusus bahwa kebutuhan khusus tersebut termasuk pelayanan dasar bagi
masyarakat. Mekanisme DAK yang terdapat dalam UU 32/2004 tentang
Pemerintahan Daearh dan dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
tidaklah sama. Dalam UU 32/2004, DAK bisa dikabulkan atas permintaan
pemerintah daerah, sedangkan dalam UU 33/2004 dana tersebut pada dasarnya
dibagikan secara nasional melalui sejumlah kriteria. Masih harus diperjelas
kebijakan yang lebih khusus terkait dengan peran sementara dan tetap DAK,
hubungan DAK dengan DAU, dan berapa besarannya saat ini dan di masa datang.
Pemerintah Indonesia telah menyatakan niatnya untuk memperbaiki kriteria
pembagian DAK dan cara penyalurannya. UU 32/2004 menuntut pendekatan dari
bawah ke atas (bottom-up) dan alokasinya didasarkan atas usulan pemerintah
daerah. Pemerintah Pusat belum mampu menangani mekanisme ini, dan belum
menggali bagaimana cara penanganan mekanisme ini (misalnya dengan
menggunakan pemerintahan propinsi secara lebih intensif).
25
Tidak ada pernyataan kebijakan mendasar Pemerintah Indonesia untuk
mengarahkan pajak dan pendapatan bagi-hasil, kecuali bahwa garis besar hukum
yang sedang dikaji memperlihatkan bahwa program pajak dan pendapatan bagi
hasil akan tetap dilanjutkan di masa depan. Tetapi ”hold harmless provision”
DAU akan dihapuskan pada tahun 2008 untuk mengurangi kesenjangan daerah,
yang sudah diperburuk oleh beberapa daerah yang sangat menikmati pajak dan
pendapatan bagi-hasil. Desentralisasi meningkatkan sumbangan pajak dan
pendapatan bagi hasil pemerintah kabupaten/ kota. Pembagian pajak terutama
berdasarkan prinsip derivasi, sedangkan royalti perikanan dan pajak yang terkait
dengan bumi dan bangunan juga menggunakan bagian yang sama dengan kriteria
tambahan. Bagian nasional 9% atas pajak bumi dan bangunan merupakan ”ongkos
administrasi” untuk membayar administrasi pajak nasional dalam pengumpulan
dan pengelolaan pajak.
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah, dapat bersumber dari
hibah yang berasal dari pemerintah kabupaten/kota propinsi, pemerintah
kabupaten/kota di luar propinsi, pemerintah provinsi atau lainnya, dari perusahaan
dareah (BUMD), dari perusahaan Negara (BUMN) atau dari masyarakat,
kemudian dapat juga bersumber dari dana darurat dari pemerintah dalam rangka
penanggulangan korban atau kerusakan akibat bencana alam, dana bagi hasil dari
propinsi kepada kabupaten/kota dari pemerintah daerah lainnya, dana penyesuaian
dan dana otonomi khusus.
Beberapa alasan adanya pembagian dan pengalokasian dana perimbangan
daerah yaitu:
1. Dari segi keuangan daerah belum siap sepenuhnya untuk menjalankan
otonominya, sehingga perlu adanya campur tangan dari pemerintah dalam
pembagian dan pengalokasian dana perimbangan.
2. Perbedaan potensi daerah yang dimiliki oleh masing-masing daerah berbeda-
beda. Jika sekelompok daerah tertentu tidak memiliki potensi khusus yang
dapat memberikan tambahan penghasilan untuk daerahnya tentu akan
menimbulkan kesenjangan antar daerah.
26
3. Kebutuhan dasar maupun kebutuhan lain yang ada di setiap daerah berbeda-
beda. Hal ini akan mendorong kesenjangan sosial antar daerah jika tidak ada
pengalokasian dana perimbangan antara pusat dengan daerah.
3.5.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Pusat
Pengeluaran daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja
langsung. Balanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga,
belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan social, belanja bagi hasil, bantuan
keuangan dan belanja tak terduga. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
Tabel 2. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi Tahun 2013-2014
Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan
pemerintah yang menjadi kewenangan propinsi dan kabupaten/ kota yang terdiri
dari rusa wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanangannya dalam bagian atau
bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Bagi penyelenggara urusan
wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat dalam rangka memenuhi kewajiban daerahnya.
Tabel 3. Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2013-2014
27
3.2. Sistem Aggaran Pemerintah Daerah Jepang
3.2.1. Struktural dan Fungsional
Pemerintah daerah memiliki dasar dalam konstitusi Jepang yang dikenal
sebagai bentuk perwujudan demokrasi dan dibentuk sebagai bagian dari sistem
pemerintahan negara. Pembentukan pemerintah daerah di Jepang berdasarkan
kepada Undang-undang otonomi daerah . Berdasarkan Undang-undang otonomi
daerah, setiap struktur pemerintah di tingkat daerah memiliki local assembly
(dewan kota) dan chief eksekutif (kepala eksekutif) yang dipilih langsung
masyarakatnya selama empat tahun sekali (Ministry of Home Affair and
Communications, 2009). Hubungan antara dewan-kota dan kepala eksekutif
adalah bentuk check and balance. Berdasarkan artikel UN ESCAP, undang-
undang otonomi daerah Jepang membagi pemerintah daerah di bawah kepala
eksekutif menjadi dua kategori utama, yaitu ordinary local public entities dan
special local public entities. Pemerintah daerah terdiri dari prefektur dan
municipalities sebagai ordinary local public entities dan special public entities
terdiri distrik kota istimewa, koperasi kota, distrik kota properti dan Korporasi
Pembangunan Daerah.
Pemerintah daerah yang termasuk kedalam kategori local public entities di
jepang memiliki dua tier atau tingkat, terdiri dari 47 prefektur dan 1810
municipalities (kota dan desa) yang eksis sampai tanggal 1 April 2009.
Municipalities adalah unit dari pemerintah daerah yang sangat dekat dengan
28
kehidupan masyarakat setempat. Sedangkan, prefectur mencakup daerah yang
lebih luas dari municipalities yang melaksanakan sejumlah tugas-tugas yang
beragam (UN ESCAP). Namun demikian, kedudukan antara municipalities dan
prefektur sejajar.
Bila dilihat dari struktur organisasi administrasi, organisasi perangkat
daerah yang berada di bawah kekuasaan eksekutif di prefektur maupun
municipalities memiliki cukup banyak perbedaan. Hal ini disebabkan oleh adanya
pembagian urusan dan tugas antara keduanya. Berikut adalah struktur organisasi
perangkat daerah yang ada di prefektur dan municipalities.
Gambar 3. Tipe Administrasi Organisasi Prefektur dan Kota
Sumber : Ministry of Internal Affairs and Communications (MIC), Japan ( 2009)
Dilihat dari gambar diatas, struktur organisasi perangkat daerah yang ada
di prefektur dan municipalities bisa dikatakan tidak terlalu berbeda. Hanya saja,
terdapat perbedaan tugas-tugas departemen yang ada di bawah gubernur atau
major. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan lingkup dan cakupan tugas
dari prefektur dan municipalities.
3.2.2. Pembagian Urusan Pemerintah
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dapat berupa bentuk
tersentraslisasi atau bentuk yang terdesentralisasi. Hubungan yang tersentralisasi
29
terjadi dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan dan sumber keuangan
yang lebih besar dibandingkan pemerintah daerah. Dalam bentuk hubungan yang
terdesentralisasi dimana adanya transfer kewenangan dan sumber keuangan
dengan ukuran yang luas kepada pemerintah daerah.
Pemerintah daerah dan pemerintah pusat memiliki wilayah yuridiksi yang
berbeda. Struktur dari otonomi daerah dan hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah diatur dengan jelas dalam undang-undang otonomi daerah
dan berdasarkan kepada konstitusi Jepang. Pembagian urusan pemerintah daerah
dan pusat dalam hal penyedian pelayanan publik atau mengenai masalah-masalah
administrasi. Pembagiann urusan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4. Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah dalamPenyediaan Pelayanan Publik
Sumber : Ministry of Internal Affairs and Communications (MIC), Japan ( 2009)
3.3. Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di Jepang
3.3.1. Penerimaan Pemerintah Daerah
Penerimaan pemerintah daerah di Jepang berasal dari dua sumber utama
yaitu pajak daerah dan sumber penerimaan umum. Penerimaan pajak daerah
dapat mencapai 40% dari total keseluruhan penerimaan. Adapun komposisi dari
total penerimaan pemerintah daerah dapat dilihat dari tabel 2.
Tabel 5. Komposisi Total Penerimaan Pemerintah DaerahTahun Anggaran 2005
30
Sumber : Ministry of Home Affair and Communications, 2007.
Dari tabel diatas terlihat bahwa penerimaan dominan berasal dari pajak,
khususnya pajak daerah. Walaupun sudah menjadi suatu hal yang wajar bagi suatu
pemerintah daerah memenuhi pembiayaan yang harus dikeluarkannya
denganpenerimaan yang yang berasal dari daerahnya sendiri, masih ada
perbedaan yang besar dalam kemampuan keuangan diantara daerah. Oleh karena
itu, pemerintah pusat bertanggungjawab melakukan suatu tindakan penyesuaian
atas perbedaan keuangan antar daerah yang dilakukan melalui penyamaan beban
pajak dan penetapan standar minimum nasional pelayanan publik diantara seluruh
daerah Jepang. Hubungan Pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam
rangka penyesuaian keuangan antar daerah dapat terlihat dari adanya sumber
penerimaan daerah berikut :
Local transfer tax, dana yang dipungut sebagai pajak nasional dan pusat dan
ditransfer ke pemerintah daerah
Special local grant, sumber pendapatan yang tidak berasal dari pajak daerah,
melainkan bentuk bantuan khusus kepada daerah yang mengalami penurunan
pajak daerah akibat pemotongan pajak tahun anggaran 1999.
Local allocation tax, sumber pendapatan intrinsik lokal yang bertujuan untuk
menyesuaikan ketidakseimbangan dalam sumber-sumber pendapatan
pemerintah daerah dan menjamin setiap pendapatan pemerintah daerah agar
dapat memberikan pelayanan publik bagi penduduk sesuai dengan tingkat
standar minimum nasional.
National treasury disbursements, dana disalurkan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk keperluan tertentu.
Local government borrowings (Local bonds), pinjaman pemerintah daerah
yang tidak diganti dalam tahun anggaran.
31
Berikut adalah grafik penerimaan pemerintah daerah (prefektur dan
municipalities) tahun 2007.
Gambar 4. Penerimaan Total Pemerintah Prefektur dan Kota Tahun 2009
Sumber : Ministry of Home Affair and Communications, 2009.
Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa penerimaan pemerintah daerah
terbesar adalah pajak daerah yang dapat mencapai kisaran 40 %. Adapun
komposisi pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah adalah sebagai
berikut :
Tabel 6. Komposisi Pungutan Pajak Daerah
32
Sumber : opcit, 2007
Dari tabel diatas, dapat terlihat bahwa pajak daerah yang memiliki tingkat
pungutan tertinggi adalah pajak perusahaan korporasi yang mencapai 30, 9 %
atau sekitar 4, 698,4 Juta Yen, selanjutnya adalah pajak tempat tinggal
(inhabitants tax) yang mencapai 3,585,4 Juta Yen.
Adanya Pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah tentu
memiliki dampak dalam pembagian keuangan. Perimbangan keuangan menjadi
hal yang mutlak dimana pemerintah daerah dan pusat melakukan sharing atas
penerimaan yang didapat baik di pusat maupun di daerah. Local Allocation Tax
grant, sumber penerimaan negara yang berasal dari dana perimbangan pemerintah
pusat, dimana dana ini diberikan untuk menjaga ketersedian penerimaan (kas
daerah) sehingga setiap daerah dapat menyediakan pelayanan sesuai dengan
standar nasional yang telah ditetapkan. Dana alokasi lokal pajak dibagi menjadi
dana alokasi pajak lokal biasa (94%) dan dana alokasi khusus (6%). Dana yang
dikumpulkan pada tingkat daerah mencapai hampir 35% dari total pendapatan
daerah, salah satu rasio tertinggi di dunia dan jauh melebihi rata-rata untuk
negara-negara OECD. Adapun distibusi keuangan pusat dan daerah dapat dilihat
lebih jelas melalui tabel dibawah ini :
Tabel 7. Penerimaan dan Alokasi Anggaran Pusat Dan Daerah Tahun 2014
33
Sumber : Ministry of Finacial, 2014.
Dari tabel diatas terlihat bahwa sebelum adanya pajak alokasi antara pusat
dan daerah, pajak nasional lebih besar dibandingkan dengan pajak daerah.
Proyeksi pajak nasional pada tahun 2014 sebesar 52,1 % sedangkan penerimaan
lain 4,8 dan Obligasi Pemerintah 43%. Sedangkan belanja pemerintah terdiri dari:
bayar hutang Negara sebesar 24,3%, belanja primer 75.7%, keamanan social
31,8% dan alokasi hibah local 16,8%.
Komposisi penerimaan pajak nasional dari pajak pendapatan, konsumsi
dan properti sebagai berikut. Skema perpajakan jepang pascaperang terutama
difokuskanpada pajak pendapatan, ekonomi jepang yang curam mendorong
pertumbuhan pendapatan pajak penghasilan pribadi karena struktur tarif pajak
progresif dan juga memberikan kontribusi terhadap kenaikan pendapatan aktiva
pajak tangguhan pajak.
Gambar 5. Distribusi Pendapatan dan Belanja Pusat Dan Daerah
34
Sumber : Ministry of Home Affair 2013
Gambar 6. Trend Penerimaan Pajak, Total Belanja dan Obligasi Pemerintah Jepang
Namun demikian, pada prinsipnya otoritas final mengenai distribusi pajak
alokasi lokal (local allocation tax) berada di keputusan Majelis Nasional. Menurut
hukum, penetapan Local Allocation Tax (LAT) harus didasarkan pada
penggunaan rumus yang seragam bagi seluruh daerah. Kementrian dalam negeri
35
atau ministry of home affairs (MOHA) bertanggung jawab atasoperasi
(menghitung jumlah LAT) dari dana transfer yang akan diberikan dan
menentukanmodifikasi coefficients. Pemberian otoritas final ini bertujuan untuk
menyetujuiformula dan biaya per unit dimana mekanisme yang ketat ini
merupakan mekanisme yang penting untuk mencegah setiap upaya manipulasi
distribusi dana yang ada.
Selain itu, penentuan tingkat dan besaran LAT juga diberikan kepada
Moha secara fleksibel, karena Moha memiliki kewenangan untuk menentukan
koefisien yang digunakan untuk menentukan besar LAT untuk masing-masing
pemerintah daerah. Di samping itu, Moha memiliki tanggung jawab untuk
mengumpulkan data, yang digunakan untuk perhitungan LAT dan untuk membuat
suatu list tingkatan diantara data daerah yang terkumpul. Dan masing-masing
Gubernur berkewajiban untuk menyajikan data ini untuk Moha, dan walikota
masing-masing wajib untuk menyajikan data ke gubernur. Jadi, pemerintah daerah
tidak memiliki otoritas apapun dalam menentukan besaran LAT yang
didapatkannya. Pada intinya, hanya Moha yang menghitung LAT. Kerangka
hukum memastikan bahwa tidak ada wilayah tunggal atau pejabat senior secara
efektif mempengaruhi distribusi LAT terhadap daerah tertentu tanpa
mempengaruhi banyak daerah lainnya.
Moha sendiri tentu memiliki rumus dalam menentukan LAT, namun
demikian ,secara umum ada beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan
pemerintah pusat untuk memberikan sejumlah transfer dana ke daerah , yaitu :
2. Berdasarkan kepada ukuran kebutuhan lokal akan pelayanan dasar. Bila
suatu daerah memiliki luas wilayah yang lebih luas, maka kebutuhan
masyarakat akan pelayanan tentu akan semakin besar pula pembiayaan
daerahnya.
3. Berkaitan dengan ukuran kemampuan keuangan lokal. Perhitungan
kemampuan keuangan lokal, dapat dirumuskan sebagai berikut, total
kapasitas keuangan daerah kemudian dikurangkan dari total pengeluaran.
4. Sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Semakin banyak sumber daya,
maka akan semakin banyak penerimaan dan pemasukan yang dapat
dihasilkan.
36
Gambar 7. Rincian Rencana Pendapatan Sektor Pajak Pusat Dan DaerahTahun Fiskal 2010
Bentuk perimbangan keuangan Jepang yang seperti ini membawa suatu
masalah dimana terlihat bahwa ada kesenjangan yang cukup lebar antara
penerimaan dengan pengeluaraan Negara. Hal ini merupakan masalah politik yang
sangat besar di Jepang (Kohno Takeshi, 14/03/2006). 1Kebijakan jangka pendek
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengizinkan daerah menerbitkan
obligasi, tetapi dalam jangka panjang hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya
defisit keuangan daerah serta semakin menurunnya kemampuan keuangan Negara
untuk membayar utang kepada rakyat. Menurut pendapat Mr. Yamazaki Motoki,
Director International Affairs Office for Local Authorities dari Kementrian Dalam
Negeri Jepang, ada beberapa alternatif kebijakan yang dapat diambil untuk
mengatasi hal tersebut:
b. Menaikkan pajak, jika langkah ini diambil, maka dapat menjadi masalah
politik yang sangat tajam. Perdana Menteri Koizumi tidak melakukan hal ini.
c. Mangurangi bagi hasil pajak ke daerah. Walaupun hal ini agak sulit, tapi
dapat dicoba karena kebijakan ini lebih baik daripada menaikkan pajak
dengan asumsi bahwa penerimaan pajak dapat maksimal.
37
d. Mengurangi subsidi. Jika kebijakan ini diambil maka berbagai jenis
pelayanan kepada masyarakat akan berkurang.
e. Mengurangi kualitas pelayanan kepada masyarakat. Walaupun kebijakan ini
akan sulit diterima oleh rakyat tapi harus dilakuan misalnya pemotongan gaji
pegawai pemerintah daerah dan sebagainya
Selain upaya-upaya diatas, pemerintah Jepang juga melakukan suatu
tindakan yang dapat mengurangi ketergantungan daerah atas dana alokasi yang
diberikan pusat. Usaha tersebut berupa program yang disebut ”trinity reform”.
"Reformasi trinitas" dilakukan pada sistem lokal pajak di Jepang antara tahun
2004 anggaran dan 2006. Sebagai hasilnya, pajak lokal secara bertahap
meningkat, dan pada tahun anggaran 2007 pemerintah daerah di Jepang
mempertangungjawabkan hampir 43,3% dari seluruh pendapatan pemerintah
daerah. Sedangkan pos-pos penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat
mengalami penurunan seperti local allocation and transfer taxes (chikofuzei and
chihoujoyozei; 17.8%), national treasury disbursements (kokko shishutsukin;
11.2%), and local government bonds (chihosal, 11,8%).
3.3.2. Pengeluaran Pemerintah Daerah
Penerimaan pemerintah daerah lalu digunakan untuk membiayai urusan-
urusan pemerintah daerah. Pembiayaan pemerintah pusat dan daerah berbeda
karena adanya pembagian urusan. Pembiayaan yang menjadi tanggungan
pemerintah daerah seperti yang di tampilkan dalam tabel 7.
Berdasarkan tabel diatas, dijelaskan sektor apa saja yang menjadi
pembiayaan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan urusan yang menjadi
tanggungjawab dari prefektur dan kota. Adanya pembagian urusan antara
pemerintah daerah dan pemerintah pusatpun mengakibatkan adanya konsekuensi
perbedaan ratio pembiayaan antara pusat dan daerah.
Pada tahun 2009, mengalami sedikit perubahan yaitu seperti terlihat dalam
gambar berikut ini:
Gambar 8. Rasio Pembiayaan antara Pusat dan Daerah
38
Sumber : Ministry Of Home Affair and Communication, 2009
Rasio Pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan
kepada fungsi secara umum yaitu pada pemerintah daerah sebesar 59% sedangkan
pemerintah pusat atau nasional sebesar 41 %. Berdasarkan gambar diatas,
pembiayaan yang secara total atau 100% ditanggung oleh pemerintah pusat
adalah biaya pertahanan dan biaya pensiunan pegawai. Pemerintah daerah
menanggung pembiayaan yang paling maksimal mencapai besaran 95% yaitu
pada penyediaan pelayanan kesehatan dan pengelolaan sampah. Selanjutnya,
pembiayaan yang lebih banyak ditanggung pemerintah daerah adalah biaya
pendidikan khususnya pendidikan pada tingkat anak-anak, sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama. Biaya yang ditanggung pemerintah daerah mencapai
87% sedangkan pemerintah pusat menanggung sisanya. Bahkan, biaya
kesejahteraan masyarakat, seperti santunan, subsidi, kesejahteraan anak dan
subsidi bagi kaum lanjut usia ditanggung oleh pemerintah daerah sebesar 64%
sedangkan sisanya dipenuhi oleh pemerintah pusat. Pembiayaan lain yang
alokasinya juga besar adalah biaya pengembangan lahan dan infrastruktur seperti
jalan, jembatan, perumahan, dan lain-lain. Pembiayaan ini ditanggung oleh
pemerintah daerah sebesar 70%. Ini menandakan bahwa begitu pentingnya fungsi
39
pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga
pembiayaan lebih diberatkan kepada pemerintah daerah Selain itu, hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah Jepang memiliki
kontrol yang paling tinggi atas pendapatan dan pengeluaran diantara negara
OECD lainnya.
3.6. Perbandingan Keuangan antara Indonesia dan Jepang
Perbedaaan antara siklus anggaran negara Indonesia dan Jepang terletak
pada tahap kelima tentang pembahasan dan persetujuan DPR atas perhitungan
anggaran negara sebagai pertanggungjawaban Pemerintah atas pelaksanaan APBN
dan penetapan UU PAN. Sedangkan perbedaan yang mendasar adalah lembaga
yang memberikan persetujuan atas rencana angagran negara tersebut. Di
Indonesia yang memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran negara adalah
DPR bukan Majelis Tinggi, sedangkan di Jepang persetujuan terhadap rencana
anggaran diberikan oleh Majelis Tinggi (Sangi-in) MPR bukan hanya the House
of Representative (Shongi-In).
Selain itu anggaran yang di anut oleh Republik Indonesia menganut
anggaran berimbang (balanced budget) sedangkan Jepang menganut sistem
anggaran pembiayaan defisit (deficit spending). Perbedaan lainnya terletak pada
tahun anggaran bagi masing-masing negara yaitu Tahun anggaran Republik
Indonesia mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun berikutnya,
sedangkan di Jepang tahun anggaran mulai 1 Oktober sampai dengan 30
September tahun berikutnya.
Jepang dan Indonesia merupakan sama-sama negara kesatuan yang
menerapkan sistem desentralisasi dalam pemerintahannya. Di tingkat pemerintah
pusat, adanya keseimbangan kekuasaan (check and balance) diantara kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, ada perbedaan terkait hubungan
wewenang eksekutif dan legislatif. Jepang menganut sistem parlementer
sedangkan Indonesia menganut sistem presidensial. Di tingkat daerah, adanya
pemerintah daerah sebagai wujud dari undang-undang otonomi daerah di kedua
negara. Sistem pemerintah daerah Indonesia dan Jepang pada dasarnya tidak jauh
berbeda. Adanya otonomi daerah di daerah dijalankan oleh lembaga eksekutif dan
legislatif yang berbagi wewenang dan dipilih secara langsung oleh masyarakat
40
setempat. Pemerintah daerah di Jepang tidak terlalu hierarkis seperti di Indonesia.
Pemerintah daerah di Jepang lebih menekankan pada pembagian fungsi terkait
pelayanan kepada masayarakat. Pemerintah daerah di Jepang terdiri dari prefektur
dan kota. Sedangkan di Indonesia, masih adanya hubungan hierarkis antara
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi,dimana pemerintah provinsi dianggap
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Tabel 8. Perbandingan Keuangan antara Indonesia dan Jepang
Indikator Jepang IndonesiaPenerimaan Local transfer tax
Special local grant Local allocation tax National treasury
disbursements Local government
borrowings Goverment grant
pendapatan asli daerah dana perimbangan
lain-lain pendapatan yangsah
Pengeluaran Gaji pegawai kantor Pembiayaan konstruksi
bangunan Pembiayaan terkait fungsi-
fungsi yang diembanprefektur dan kota
belanja langsung Belanja tidak langsung
Danaperimbanganpusat dandaerah
Berupa local allocation taxyang diberikan secaraumum dan khusus
Berupa share tax yangdisebut local transfer tex
Berupa bantuan pemerintahpusat yang spesifik ( grant)
dana alokasi umum (DAU) dana alokasi khusus (DAK) dana bagi hasil
Dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, tentu adanya
pembagian urusan antara keduanya. Jepang menekankan pada lebih banyaknya
tugas dan urusan yang menjadi tanggung jawab daerah karena pemerintah daerah
lebih dekat dengan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Hal ini tentu
mengakibatkan pengeluaran pemerintah daerah yang cukup besar, bahkan
presentase pengeluaran pemerintah daerah lebih besar dari pemerintah pusat. Oleh
karena itu, hampir sebagian besar penerimaan pusat ditransfer ke daerah guna
membantu daerah membiayai pengeluaran yang banyak dan untuk menjamin
41
ketersedian kas daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Ini dilakukan agar
adanya pemerataan pelayanan di seluruh negeri. Sedangkan, di Indonesia pada
dasarnya, pemerintah daerah memiliki urusan yang lebih banyak karena dalam
konstitusi urusan pemerintah daerah yang dirinci. Namun, banyaknya urusan
yang ditanggung pemerintah daerah tidak ditunjang dengan cukupnya dana di
daerah. Penghasilan asli daerah saja sangat kecil hampir di setiap daerah.
Pemerintah pusat tetap memiliki kewajiban membantu daerah dengan
memberikan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Hanya saja, dana ini
belum bisa merata dibagikan ke seluruh daerah. Sehingga, pemerataan
penyediaan pelayanan publik di seluruh negeri masih sulit untuk dicapai.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
42
4.1. Kesimpulan
1. Jepang dan Indonesia mempunyai perbedaan terkait hubungan
wewenang eksekutif dan legislatif. Jepang menganut sistem
parlementer sedangkan Indonesia menganut sistem presidensial. Di
tingkat daerah, adanya pemerintah daerah sebagai wujud dari undang-
undang otonomi daerah di kedua negara. Sistem pemerintah daerah
Indonesia dan Jepang pada dasarnya tidak jauh berbeda. Adanya
otonomi daerah di daerah dijalankan oleh lembaga eksekutif dan
legislatif yang berbagi wewenang dan dipilih secara langsung oleh
masyarakat setempat. Pemerintah daerah di Jepang tidak terlalu
hierarkis seperti di Indonesia. Pemerintah daerah di Jepang lebih
menekankan pada pembagian fungsi terkait pelayanan kepada
masayarakat. Pemerintah daerah di Jepang terdiri dari prefektur dan
kota. Sedangkan di Indonesia, masih adanya hubungan hierarkis
antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi,dimana pemerintah
provinsi dianggap sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, tentu adanya
pembagian urusan antara keduanya. Jepang menekankan pada lebih
banyaknya tugas dan urusan yang menjadi tanggung jawab daerah
karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat sebagai
pengguna pelayanan publik.
3. Pengeluaran pemerintah daerah yang cukup besar, bahkan presentase
pengeluaran pemerintah daerah lebih besar dari pemerintah pusat.
Hampir sebagian besar penerimaan pusat ditransfer ke daerah guna
membantu daerah membiayai pengeluaran yang banyak dan untuk
menjamin ketersedian kas daerah dalam penyediaan pelayanan publik.
Ini dilakukan agar adanya pemerataan pelayanan di seluruh negeri.
4. Indonesia pada dasarnya, pemerintah daerah memiliki urusan yang
lebih banyak karena dalam konstitusi urusan pemerintah daerah yang
dirinci. Namun, banyaknya urusan yang ditanggung pemerintah
daerah tidak ditunjang dengan cukupnya dana di daerah. Penghasilan
asli daerah saja sangat kecil hampir di setiap daerah. Pemerintah
43
pusat tetap memiliki kewajiban membantu daerah dengan memberikan
dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Hanya saja, dana ini
belum bisa merata dibagikan ke seluruh daerah. Sehingga, pemerataan
penyediaan pelayanan publik di seluruh negeri masih sulit untuk
dicapai.
4.2. Saran
1. Studi komparatif antara kedua negara ini, dengan sumber penerimaan
yang beragam di setiap negara, disarankan supaya setiap negara,
Indonesia khususnya, melakukan sinkronisasi keuangan yang baik
antara pemerintah pusat dan daerah supaya setiap penerimaan daerah,
khususnya Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dapat
berlangsung secara adil dan merata bagi setiap wilayah otonom.
Penerimaan pajak pada dasarnya merupakan penerimaan utama suatu
negara. Oleh karena itu, peningkatan penerimaan pajak baik di pusat
dan di daerah merupakan salah satu jawaban untuk meningkatkan
kinerja pemerintah daerah di Indonesia.
44
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2004. ”Format Anggaran Terpadu, Menghilangkan TumpangTindih”, Kompas, 13 Mei.
Anonimous. 2013. Local Autonomy in Japan 2009.http://www.clair.or.jp/j/forum/other_data/pdf/20100216_soumu_e.pdf[diakses 15 Januari 2014]
Anonimous. 2013. Local Government in Asia and the Pacific, A ComparativeStudy, Country Paper: Japan.http://www.unescap.org/huset/lgstudy/country/japan/japan.html [diakses 15Januari 2014]
Budiardjo, Miriam. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT GramediaPustaka Utama.
Freeman, Robert J & Shoulders, Craig D. 1999. Governmental and Non-profitAccounting, Theory and Practice. New Jersey: Prentice Hall
Japan Ministry of Financial. 2013. Japan Piscal Condition December 2013.http://www.mof.go.jp/english/budget/budget/index.html [diakses 15 Januari2014]
Japan Ministry of Internal Affair and Communication, 2013. Local PublicFinancial Bureau. http://www.soumu.go.jp/english/lpfb/index.html. [diakses15 Januari 2014]
Kementerian Keuangan RI, 2014. Anggaran Pendapatan Dan Belanja NegaraTahun 2014. http://www.kemenkeu.go.id/Page/infografis-apbn-2014.[diakses 15 Januari 2014]
45
Musgrave, Richard A. 1958. The Theory of Public Finance. New York: McGrawHill Book Company Inc.
Mochida, Nobuki. 2001. Taxes and Transfers in Japan’s Local Public Finances.http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37171.pdf [diakses15 Januari 2014]
Razek, Joseph R & Hosch, Gordon A. 1995. Introduction to Governmental andNon For Profit Accounting, New Jersey: Prentice Hall
Sumosudirdjo, Harjono et al. 1983. Pedoman Bendaharawan, PegawaiAdministrasi, Pengawas Keuangan. Jakarta: Penerbit Kurnia Esa.
Prasojo, Eko, dkk. 2006. Desentralisasi dan pemerintahan daerah: antara modeldemokrasi local dan efisiensi structural. Depok : Departemen Ilmuadministrasi Fakultas Ilmu Social dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.