20
PENYUSUNAN PETA LAHAN KRITIS KAWASAN LINDUNG HUTAN DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) CITARUM DAN PENENTUAN LAHAN KRITIS Ayang Fitri 1) , Krisdayanti 1) , Lidya Astu Widyanti 1) , Muhammad Adi Rini 1) , Muhamad Eki Nugraha 1) , Theo Syamuda 1) 1) Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung E-mail: [email protected] Abstrak : Penetapan lahan kritis mengacu pada penilaian kekritisan lahan yang akan bergantung pada fungsi lahan yang terbagi dalam tiga fungsi. Kekritisan lahan pada fungsi kawasan lindung dapat dinilai berdasarkan aspek tutupan lahan, kelerengan lahan, tingkat erosi, dan manajemen lahan. Pada jurnal ini, kami melakukan analisis seluruh kabupaten yang ada di kawasan DAS (Daerah aliran Sungai) Citarum, maka data kawasan DAS Citarum diklasifikasikan ke dalam tingkat- tingkat lahan kritis tertentu. Terdapat 5 tingkatan lahan kritis yaitu Tidak Kritis, Potensial Kritis, Agak Kritis, Kritis, dan Sangat Kritis. Proses penentuan tersebut dapat dibantu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat memberikan informasi spasial untuk dapat menyajikan data dalam bentuk peta yang mampu memberikan informasi lebih akurat dibandingkan dengan bentuk data lainnya. Jurnal ini bertujuan untuk menentukan sebaran dan luas wilayah lahan kritis berdasarkan tingkat kekritisan kawasan hutan lindung DAS Citarum Kata kunci : tutupan lahan, kelerengan lahan, tingkat erosi, manajemen lahan Abstract : Determination of critical land refers to land that criticality assessment will depend on the function of land is divided into three functions. Criticality of land in protected areas function can be evaluated based on land cover, slope steepness, erosion rates, and land management. In this paper, we perform the analysis of entire districts in the region Citarum, then the data area of Citarum classified into levels of certain critical areas. There are 5 levels of degraded land that is Not Critical, Critical Potential, Somewhat Critical, Critical, and Very Critical. The determination process can be aided by using Geographic Information System (GIS) that can provide spatial information to be able to present the data in map form that is capable of providing more accurate information than the other data forms. This journal aims to determine the distribution and the area of degraded lands based on the degree of criticality of protected forest areas Citarum Keywords : land cover, slope steepness, erosion rates, land management PENDAHULUAN Upaya perbaikan kondisi lingkungan melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) akan dapat terlaksana dengan baik apabila informasi obyektif kondisi hutan dan lahan sasaran RHL dapat teridentifikasi secara menyeluruh (Nugraha 2008). Penyediaan data dan informasi tersebut sangat diperlukan terutama dalam menunjang formulasi strategi RHL yang berdayaguna, sehingga diharapkan dapat diperoleh acuan dalam pengalokasian sumberdaya secara proporsional. Dengan demikian diharapkan tercipta daya dukung sumberdaya hutan dan lahan yang optimal dan lestari bagi kesejahteraan manusia. Data lahan kritis yang saat ini telah tersedia di Departemen Kehutanan dan dalam beberapa kesempatan disampaikan kepada berbagai pihak dan masyarakat (ditetapkan berdasarkan kriteria menurut SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998) hanya berupa data atribut, sehingga distribusinya secara spasial tidak dapat diketahui. Hal tersebut berakibat pada sulitnya sinkronisasi program RHL yang bersifat multisektor, mengingat analisa spasial merupakan salah satu main tool dalam sinkronisasi program multisektor. Penetapan lahan kritis mengacu pada penilaian kekritisan lahan yang akan bergantung pada fungsi lahan yang terbagi dalam tiga fungsi. Kekritisan lahan pada fungsi kawasan lindung dapat dinilai berdasarkan aspek tutupan lahan, kelerengan lahan, tingkat erosi, dan manajemen lahan. Proses penentuan tersebut dapat dibantu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat memberikan

PENYUSUNAN PETA LAHAN KRITIS KAWASAN LINDUNG HUTAN DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) CITARUM DAN PENENTUAN LAHAN KRITIS

  • Upload
    itb

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PENYUSUNAN PETA LAHAN KRITIS KAWASAN LINDUNG HUTAN DAS (DAERAH ALIRAN SUNGAI) CITARUM DAN PENENTUAN LAHAN KRITIS

Ayang Fitri1), Krisdayanti1), Lidya Astu Widyanti1), Muhammad Adi Rini1), Muhamad Eki Nugraha1), Theo Syamuda1)

1)Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi HayatiInstitut Teknologi Bandung

E-mail: [email protected]

Abstrak : Penetapan lahan kritis mengacu pada penilaian kekritisan lahan yang akan bergantung pada fungsi lahan yang terbagi dalam tiga fungsi. Kekritisan lahan pada fungsi kawasan lindung dapat dinilai berdasarkan aspek tutupan lahan, kelerengan lahan, tingkat erosi, dan manajemen lahan. Pada jurnal ini, kami melakukan analisis seluruh kabupaten yang ada di kawasan DAS (Daerah aliran Sungai) Citarum, maka data kawasan DAS Citarum diklasifikasikan ke dalam tingkat- tingkat lahan kritis tertentu. Terdapat 5 tingkatan lahan kritis yaitu Tidak Kritis, Potensial Kritis, Agak Kritis, Kritis, dan Sangat Kritis. Proses penentuan tersebut dapat dibantu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat memberikan informasi spasial untuk dapat menyajikan data dalam bentuk peta yang mampu memberikan informasi lebih akurat dibandingkan dengan bentuk data lainnya. Jurnal ini bertujuan untuk menentukan sebaran dan luas wilayah lahan kritis berdasarkan tingkat kekritisan kawasan hutan lindung DAS CitarumKata kunci : tutupan lahan, kelerengan lahan, tingkat erosi, manajemen lahan

Abstract : Determination of critical land refers to land that criticality assessment will depend on the function of land is divided into three functions. Criticality of land in protected areas function can be evaluated based on land cover, slope steepness, erosion rates, and land management. In this paper, we perform the analysis of entire districts in the region Citarum, then the data area of Citarum classified into levels of certain critical areas. There are 5 levels of degraded land that is Not Critical, Critical Potential, Somewhat Critical, Critical, and Very Critical. The determination process can be aided by using Geographic Information System (GIS) that can provide spatial information to be able to present the data in map form that is capable of providing more accurate information than the other data forms. This journal aims to determine the distribution and the area of degraded lands based on the degree of criticality of protected forest areas CitarumKeywords : land cover, slope steepness, erosion rates, land management

PENDAHULUANUpaya perbaikan kondisi lingkungan

melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) akan dapat terlaksana dengan baik apabila informasi obyektif kondisi hutan dan lahan sasaran RHL dapat teridentifikasi secara menyeluruh (Nugraha 2008). Penyediaan data dan informasi tersebut sangat diperlukan terutama dalam menunjang formulasi strategi RHL yang berdayaguna, sehingga diharapkan dapat diperoleh acuan dalam pengalokasian sumberdaya secara proporsional. Dengan demikian diharapkan tercipta daya dukung sumberdaya hutan dan lahan yang optimal dan lestari bagi kesejahteraan manusia. Data lahan kritis yang saat ini telah tersedia di Departemen Kehutanan dan dalam beberapa kesempatan disampaikan kepada berbagai pihak dan masyarakat (ditetapkan berdasarkan

kriteria menurut SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998) hanya berupa data atribut, sehingga distribusinya secara spasial tidak dapat diketahui. Hal tersebut berakibat pada sulitnya sinkronisasi program RHL yang bersifat multisektor, mengingat analisa spasial merupakan salah satu main tool dalam sinkronisasi program multisektor.

Penetapan lahan kritis mengacu pada penilaian kekritisan lahan yang akan bergantung pada fungsi lahan yang terbagi dalam tiga fungsi. Kekritisan lahan pada fungsi kawasan lindung dapat dinilai berdasarkan aspek tutupan lahan, kelerengan lahan, tingkat erosi, dan manajemen lahan. Proses penentuan tersebut dapat dibantu dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat memberikan

informasi spasial untuk dapat menyajikan data dalam bentuk peta yang mampu memberikan informasi lebih akurat dibandingkan dengan bentuk data lainnya. Aspek-aspek penilaian yang akan menentukan tingkat kekritisan lahan terdiri dari data spasial maupun non-spasial. (Dalimunthe, 2011). Pada Praktikum Sistem Infomasi Geografis ini perlu dilakukan Tugas Besar untuk penyusunan data spasial lahan kritis, dan penentuan persebarannya.

Tujuan dari pembuatan jurnal ini adalah menentukan sebaran dan luas wilayah lahan kritis berdasarkan tingkat kekritisan kawasan hutan lindung DAS Citarum.

METODOLOGIAlat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pembuatan peta lahan kritis kawasan hutan lindung adalah Laptop disertai software ArcGIS 10.3 (Software pembuat peta lahan kritis kawasan hutan lindung) dan dikung oleh software Global Mapper, Google Earth, serta ENVI. Bahan data spasial yang akan diolah pada praktikum ini adalah data dari Citra Landsat 8 OLI TIRS yang diambil pada tanggal 10 September 2013, path 122 dan row 65, yang bersumber dari earthexplorer.usgs.gov.us dengan resolusi 30m, kriteria lainnya yaitu, persen awan 10%, data set L8 OLI/TIRS (raster); Digital Elevation Model SRTM resolusi 30 meter (raster); peta kajian DAS Citarum; peta batas Jawa Barat; peta administrasi Jawa Barat; peta DAS Jawa Barat bagian kelompok 2 (DAS Citarum); peta erosivitas Jawa Barat; peta erodibilitas Jawa Barat; peta solum tanah Jawa Barat; peta kawasan lindung hutan Jawa Barat; peta landsystem Jawa Barat; tabel manajemen kawasan lindung hutan Jawa Barat serta table manajemen kawasan lindung berbentuk data excel.

Waktu dan Deskripsi LokasiPengolahan data praktikum Sistem

Informasi Geografis ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 2015 hingga 24 November 2015. Lokasi dalam pengolahan

data dilakukan di kawasan kampus ITB Jatinangor, di laboraturium komputer ITB Jatinangor dan gedung Asrama ITB Jatinagor TB 2 yang terletak di Jl. Let. Jen. Purn. Dr. (HC) Mashudi no.1 Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Langkah KerjaHal pertama yang dilakukan dalam

pembuatan peta lahan kritis kawasan hutan lindung adalah kita mengambil data raster DAS (Daerah Aliran Sungai Citarum) yang berasal dari website United States Geological Survey, yaitu earthexplorer.usgs.gov.us. Data yang diambil adalah data landsat 8, sehingga dipilih OLI/TIRS. Untuk daerah DAS Citarum ada 3 file yang perlu didownload sehingga seluruh wilayah DAS kelompok dua dapat tercover.

Ketiga file yag didapat dari USGS dapat disatukan dengan program ENVI, namun sebelumnya data yang sudah didownload dilakukan ekstraksi. Tugas besar ini membutuhkan data tiga band untuk membuat citra natural color sehingga yang perlu diolah adalah band 4, band 3, dan band 2. Pekerjaan menyatukan band dari ketiga data dapat dilakukan dimulai dari band 4. Data band 4 untuk data pertama dibuka sebagai file ADS40 dalam aplikasi ENVI, kemudian dapat dibuka juga untuk data kedua dan ketiga. Setelah semua terbuka maka Seamless Mosaic Tool diaktifkan, Input ketiga band 4 dan crop bagian DAS yang diperlukan agar memperkecil data yang nantinya akan diolah dalam ArcMap. Setelah disimpan dengan format geotiff, maka data dibuka dalam Global Mapper. Dalam global mappaer data dihapuskan background yang merupakan layer selain DAS kelompok dua dan disimpan dalam format TIFF. Langkah yang sama akan dibutuhkan untuk memperoleh gambar DAS band 3 maupun band 2.

Apabila semua data yang dibutuhkan telah didapatkan maka kita dapat memulai untuk membuat peta lahan kritis kawasan hutan lindung DAS Citarum, gambaran umum

pembuatan peta dapat dilihat pada gambar 2 dan secara rinci terdapat pada lampiran B.

Gambar 1. Langkah Kerja Secara Umum

a) Peta Kemiringan LahanPeta kelerengan dapat diperoleh melalui

analisis terrain. Peta kemiringan lahan dibuat dengan digunakannya data kontur atau DEM (Digital Elevation Model) bagian jawa barat. Data DEM jawa barat kemudian dipotong dengan digunakannya fitur clip raster sesuai dengan wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum. Kemudian dilakukan analisis kelerengan pada data raster tersebut dengan menggunakan analisis spasial kelerengan yang terdapat pada ArcToolbox. Setelah dilakukan analisis kelerengan, kelas kelerengan dibagi menjadi 5 dengan menggunakan fitur reclassify pada ArcToolbox sesuai tabel 1 lampiran A serta diubah dari raster ke polygon agar data tesebut dapat dilakukan analisis superposisi (Overlay) dan juga diberikan skor sesuai dengan tabel 1 lampiran A dan bobot sesuai tabel 6 lampiran A

b) Peta Penutupan LahanPeta penutupan lahan dibuat dengan

menggunakan data raster yang berasal dari landsat 8 yang berupa kombinasi band 4, 3 dan 2 yang berupa natural color dan membentuk peta wilayah DAS Citarum yang berupa raster. Dari data raster tersebut dilakukan klasifikasi terawasi (supervised) wilayah hutan dan bukan hutan kemudian akan terlihat wilayah penutupan lahan hutan dan juga diubah dari raster ke polygon. Parameter penutupan lahan hutan dinilai berdasarkan persentase

penutupan tajuk pohon terhadap luas setiap land system (menurut RePPProT) dan diklasifikasikan menjadi lima kelas sesuai dengan tabel 2 lampiran A, kemudia hasil klasifikasi dan peta landsystem DAS Citarum dilakukan analisis superposisi (Overlay) dengan cara Intersect atau Union pada ArcToolbox. Masing – masing kelas penutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis sesuai tabel 2 lampiran A.

c) Peta Manajemen KawasanManajemen merupakan kriteria yang

digunakan untuk lahan kritis di kawasan hutan lindung dinilai. Peta manajemen kawasan dibuat dengan digunakannya peta administrasi Jawa Barat yang kemudian dipotong sesuai dengan wilayah DAS Citarum. Kemudian sesudah dipotong dilakukan penyatuan data peta dengan data manajemen kawasan yang berupa kelengkapan aspek pengelolaan wilyah meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan data atribut. Kemudian data peta Kawasan Administrasi Kawasan DAS Citarum disatukan dengan menggunakan fitur join tabel kepada data atribut yang berupa data manejemen kawasan. Setelah itu dilakukan skoring sesuai dengan tabel 3 lampiran A.

d) Peta Bahaya ErosiKetika membuat peta bahaya erosi ada

beberapa komponen peta yang diperlukan yaitu petaa erosi dan peta solum tanah. Peta erosi (Model Usle) dibentuk oleh peta pengelolaan lahan, peta erosivitas, peta erodibilitas dan peta kemiringan lahan dengan menggunakan analisis spasial superposisi (Overlay) dan setelah itu dilakukan lagi analisis spasial superposisi (Overlay) dengan peta solum tanah Jawa Barat kemudian dilakukan skoring sesuai dengan tabel 4 lampiran A.

Secara deskriptif, model USLE diformulasikan sebagai berikut:

Ea=R × K × LS ×C × PdenganEa = banyaknya tanah tererosi per satuan luas per satuan waktu (ton/ha/tahun)R = indeks erosivitas hujan dan aliran permukaanK = indeks erodibilitas (kepekaan) tanahLS = faktor panjang-kemiringan lerengC = faktor tanaman penutup lahan dan pengelolaan tanamanP = faktor tindakan khusus konservasi tanah

1) Peta Pengelolaan LahanPeta pengelolaan dibentuk oleh peta

tutupan lahan yang diklasifikasikan menjadi 6 kelas yaitu air, awan, hutan, bangunan, lahan terbuka dan sawah. Kemudian dilakukan penilaian tingkat pengelolaan lahan berdasarkan tingkat pengelolaan baik atau buruk sesuai dengan tabel 8 lampiran A dapat dilakukan dengan cara menggunakan pengecekan menggunakan software Google Earth.

2) Peta ErosivitasPenghitung nilai erosivitas dapat dengan

mudah dilakukan ketika nilai R sudah diperoleh. Peta Erosivitas yang kita gunakan nilai R sudah dimiliki. Cukup dilakukan pemotongan wilayah sesuai DAS Citarum.

3) Peta ErodibilitasPenghitung nilai erodibilitas dapat

dilakukan ketika nilai K diperoleh. Peta erodobilitas yang kita gunakan nilai K sudah dimiliki. Cukup dilakukan pemotongan wilayah sesuai DAS Citarum.

4) Peta Kemiringan LahanSama dengan peta kemiringan lahan

sebelumnnya hanya saja dilakukan pembagian kelas yang berbeda sesuai dengan tabel 7 lampiran A.

Apabila keempat peta tersebut sesudah dibentuk, nilai Ea (Banyaknya tanah tererosi per satuan luas per satuan waktu (ton/ha/tahun)) dihitung dengan rumus yang sudah ada.Setelah itu Peta Erosi yang sudah terbentuk dilakukan penggabungan dengan peta solum tanah dengan cara analisis spasial superposisi (Overlay) dapat dilakukan dengan fitur yang terdapat pada ArcToolboox yaitu Union atau Intersect. Kemudian dilakukan klasifikasi kelas tingkat bahaya erosi berdasarkan tabel 7 lampiran A.

e) Peta Lahan Kritis Dalam membuat peta lahan kritis

kawasan hutan lindung dilakukan beberapa tahap pembuatan peta (Empat Komponen Peta), seperti pembuatan peta kemiringan lahan, penutupan lahan, peta manajemen kawasan dan peta bahaya erosi serta pengambiian data raster peta kawasan das citarum melalui landsat 8. Kemudian empat komponen tersebut disatukan dengan cara analisis spasial superposisi (Overlay) setelah itu dilakukan skoring sesuai dengan bobot masing masing yang dapat dilihat pada tabel 5 pada lampiran A. Sehingga semua komponen harus diubah terlebih dahulu menjadi data vektor apabila berasal dari data raster.

f) Peta Lahan Kritis Kawasan Hutan LindungApabila Empat Komponen Peta Lahan

Kritis telah terbentuk maka Peta Lahan kritis Kawasan Hutan Lindung harus dibuat dengan

cara melakukan analisis spasial superposisi (Overlay) yang berupa Intersect antara Peta Lahan Kritis yang telah kita buat dengan Peta Kawasan Hutan Lindung yang ada di Jawa Barat. Setelah itu akan terbentuk Peta Lahan Kritis Kawasan Hutan Lindung Das Citarum, dan lakukan klasifikasi tingkat lahan kritis sesuai skor total dari setiap wilayah sesuai dengan tabel 6 lampiran A.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasila) Sebaran Lahan Kritis

Hasil dari pembuatan peta lahan kritis kawasan lindung hutan DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2. Peta Lahan Kritis Kawasan Lindung Hutan DAS Citarum

Pada peta lahan kritis kawasan lindung hutan DAS Citarum, dapat dilihat bahwa lahan kritis mencakup hampir seluruh wilayah lindung hutan seperti Sukabumi, Sumedang, Bogor, Purwakarta, Garut, Bandung, Cianjur, Subang, Karawang dan Bekasi. Pada daerah daerah tersebut juga terdapat lahan yang sangat kritis (berwarna orange muda), kecuali daerah Sukabumi, Bogor Dan Cianjur. Pada kawasan lindung hutan yang berada pada DAS Citarum tersebut sebagian besar merupakan lahan yang berpotensi menjadi kritis, yang terlihat pada peta berwarna orange tua. Komponen peta penyusun peta lahan kritis

kawasan lindung hutan DAS Citarum dapat dilihat pada lampiran C.

b) Luasan Lahan KritisUntuk luasan lahan kritis kawasan

hutan lindung pada setiap wilayah administrasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Luas Lahan Kritis Berdasarkan Tingkat Kritis dan Wilayah Administrasi

No. Wilayah (Kabupaten/Kota) Tingkat Kritis Luasan

(Hektar)

1 BOGOR Potensial Kritis 671,21

2 BOGOR Agak Kritis 1511,96

3 BOGOR Kritis 159,27

4 BOGOR Sangat Kritis 0,11

5 BANDUNG Tidak Kritis 1451,68

6 BANDUNG Potensial Kritis 40622,27

7 BANDUNG Agak Kritis 14266,98

8 BANDUNG Kritis 3542,11

9 BANDUNG Sangat Kritis 6,27

10 KOTA BANDUNG Potensial Kritis 9,65

11 KOTA BANDUNG Agak Kritis 6,60

12 BEKASI Agak Kritis 14,68

13 BEKASI Kritis 2589,27

14 CIANJUR Tidak Kritis 489,15

15 CIANJUR Potensial Kritis 8797,68

16 CIANJUR Agak Kritis 5081,24

17 CIANJUR Kritis 2012,21

18 CIANJUR Sangat Kritis 4,97

19 SUKABUMI Potensial Kritis 185,44

20 SUKABUMI Agak Kritis 11,29

21 SUKABUMI Kritis 8,28

22 SUKABUMI Sangat Kritis 0,20

23 GARUT Potensial Kritis 681,09

24 GARUT Agak Kritis 361,92

25 GARUT Kritis 10,80

26 SUMEDANG Potensial Kritis 1949,91

27 SUMEDANG Agak Kritis 1302,66

28 SUMEDANG Kritis 344,80

29 SUMEDANG Sangat Kritis 0,53

30 SUBANG Potensial Kritis 28,57

31 SUBANG Agak Kritis 42,25

32 SUBANG Kritis 4,51

33 PURWAKARTA Potensial Kritis 1052,52

34 PURWAKARTA Agak Kritis 2797,18

35 PURWAKARTA Kritis 145,33

36 PURWAKARTA Sangat Kritis 2,58

37 KARAWANG Agak Kritis 4091,57

38 KARAWANG Potensial Kritis 10,63

39 KARAWANG Kritis 12,54

Untuk luasan lahan kritis hanya berdasarkan kelas lahan kritis dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Luas Wilayah Lahan Kritis Sesuai Tingkatan/Kelas

Tingkat Kritis Luas Wilayah (Hektar)

Tidak Kritis 1940,83

Potensial Kritis 54008,97Agak Kritis 29488,32Kritis 8829,12Sangat Kritis 14,68Luas Total (Hektar) 94281,91

Seluruh kabupaten yang ada di kawasan DAS Citarum dimasukkan ke dalam tingkat- tingkat lahan kritis tertentu. Terdapat 5 tingkatan lahan kritis yaitu Tidak Kritis, Potensial Kritis, Agak Kritis, Kritis, dan Sangat Kritis. Lahan dengan tingkat potensial kritis merupakan lahan yang paling luas di wilayah DAS Citarum dengan luas total 54008.97 ha. Diikuti lahan agak kritis dengan luas total 29488.32 ha, lahan kritis dengan luas 8829.12, tidak kritis dengan luas 1940.83, dan sangat kritis 14.68 ha.

Dikarenakan banyaknya lahan yang bertingkat potensial kritis, maka diperlukan penanganan khusus terhadap lahan- lahan tersebut. Lahan dengan potensial kritis berarti lahan tersebut masih normal namun memiliki potensi yang besar untuk menjadi rusak atau kritis. Pengawasan berbasis spasial menjadi kunci utama agar lahan yang belum kritis ini tidak berubah menjadi kritis. Pengamanan dan penjagaan langsung terhadap vegetasi yang ada juga perlu dilakukan secara langsung di lapangan. Pengamanan dan penjagaan dapat dilakukan oleh masyarakat setempat yang diperdayakan oleh pemerintah maupun pihak berwajib seperti polisi hutan.

Luas lahan sangat kritis merupakan luasan terkecil yang terdapat di kawasan DAS Citarum. Hal ini menjadi baik mengingat lahan sangat kritis adalah lahan yang paling tidak diinginkan dalam pengelolaan DAS Citarum. Oleh karena itu diperlukan penanganan khusus agar lahan yang berstatus sangat kritis ini dapat diturunkan tingkat kekrtitisannya menjadi tidak kritis. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti revegetasi.

Pembahasana) Pembahasan Metode

Berdasarkan Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2009, untuk menentukan peta lahan ktitis diperlukan parameter sebagai berikut :1. Penutupan lahan2. Kemiringan lereng3. Tingkat bahaya erosi4. Produktivitas5. Manejemen

Pembuatan peta lahan kritis untuk kawasan hutan lindung pada praktikum kali ini ditentukan oleh beberapa parameter seperti penutupan lahan, kelerangan, manajemen dan tingkatan bahaya erosi yang terdiri dari indeks erosivitas hujan, indeks erodibilitas tanah, faktor panjang-kemiringan lereng, faktor pengelolaan. Bobot dari masing-masing tiap parameter berbeda-beda, bobot untuk kemiringan lahan sebesar 20%, bobot untuk penutupun lahan sebesar 50%, bobot unutk manajemen kawasan sebesar 10%, bobot untuk tingkat bahaya erosi sebesar 20%. Pada praktikum kali ini tidak menggunakan paremeter produktivitas, karena data ini biasanya dipergunakan unutk menilai ke kritisan lahan di kawasan budidaya pertanian.

Penyusunan data spasial lahan kritis dapat dilakukan apabila parameter tersebut di atas sudah disusun terlebih dahulu. Data spasial untuk masing-masing parameter harus dibuat dengan standar tertentu guna mempermudah proses analisis spasial untuk menentukan lahan kritis. Standar data spasial untuk masing-masing parameter meliputi kesamaan dalam sistem proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan serta kesamaan data atributnya. Sistem proyeksi dan sistem koordinat data spasial yang digunakan adalah Geografi (lintang/latitude dan bujur/longitude).

Paremeter penutupan lahan sebagai parameter penentu lahan kritis memiliki bobot yang paling besar diantara paremeter lain, hal ini disebabkan karena penutupan lahan memberikan efek langsung atau efek yang paling besar terhadap lahan kritis sesuai dengan pengertian lahan kritis. Menurut Poerwowidodo (1990) lahan kritis adalah

suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar, sebagai akibat dari solum tanah yang tipis dengan batuan bermunculan dipermukaan tanah akibat tererosi berat dan produktivitasnya rendah.

Parameter kemiringan memiliki bobot sebesar 20% karena panjang lereng, bentuk dan arah lereng dapat mempengaruhi terjadinya erosi yang merupakan cikal-bakal terjadinya lahan kritis. Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai pada suatu titik dimana air masuk kedalam saluran atau sungai atau kemiringan lereng yang berkurang sehingga kecepatan aliran air berubah (Arsyad,1989).

Parameter tingkat bahaya erosi memiliki bobot sebesar 20% karena salah satu yang dapat menimbulkan degradasi tanah adalah erosi.Menurt Saried (1985) erosi adalah proses pengikisan lapisan tanah dipermukaan sebagai akibat dari tumbukan butir hujan dan aliran air di permukaan.

b) Pembahasan HasilBerdasarkan peraturan perundangan yang

ada, diantaranya Undang-Undang No. 41/1999 pasal 1, hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Mengacu pada fungsi dari kawasan lindung hutan yang disebutkan pada Undang-Undang tersebut, maka apabila kawasan lindung hutan tersebut rusak maka secara otomatis fungsi-fungi hutan lindung tersebut hilang. Daerah daerah yang berada di sekitar kawasan lindung hutan akan terkena dampaknya, seperti, kekeringan pada saat kemarau, banjir pada saat hujan, dan terkena longsor, mengingat ketentuan kelerengan kawasan untuk kawasan lindung hutan menurut PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah 40 % atau lebih. Selain itu untuk daerah kawasan pantai maka akan terkena intrusi air laut. Berkaitan dengan

kesuburan tanah, dengan rusaknya kawasan lindung hutan akan menyebabkan run off ketika hujan yang berakibat topsoil terkikis dan pada daerah yang terkana run off terjadi penimbunan tanah serta materi lain yang menghalangi topsoil lahan yang digunakan. Maka dari itu akan mengganggu pada pertanian warga sekitar dan lebih jauhnya akan berakibat pada masalah ekonomi masyarakat sekitar kawasan lindung hutan.

Peta lahan kritis yang kami buat didapat dari beberapa peta yang digabungkan dengan presentase pembobotan tertentu. Peta kemiringan lahan bernilai 20%, peta penutupan lahan bernilai 50%, peta manajemen kawasan bernilai 10%, dan peta tingkat bahaya erosi benilai 20 %. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kawasan kritis pada peta lahan kritis adalah kawasan yang memiliki kemiringan tinggi, penutupan lahan rendah, manajemen kawasan yang rendah, dan memiliki tingkat bahaya erosi yang tinggi. Potensi- potensi berbahaya yang dapat terjadi di lahan kritis adalah tanah longsor, rusaknya ekosistem, gundulnya hutan, terkikisnya zat hara di permukaan tanah, kesulitan terjadinya suksesi alami, dan sebagainya. Lahan yang sangat miring akan mengakibatkan run off lebih mudah terjadi, dan run off akan diperparah jika tidak ada tutupan lahan yang menaunginya.

Jenis tanah yang ada di kawasan suatu wilayah juga mempengaruhi potensi besar tidaknya erosi yang dapat terjadi. Tanah alluvial misalkan, adalah tanah yang tidak peka terhadap erosi, sedangkan tanah regosol adalah tanah yang sangat peka terhadap erosi. Ekosistem yang berada di dalam lahan kritis biasanya merupakan ekosistem yang rusak. Vegetasi tidak dapat tumbuh karena tanah yang ada selalu terkikis sehingga tidak dapat menopang akar tumbuhan semai. Hal lain yang juga berperan adalah tidak adanya nutrisi yang cukup bagi tumbuhan yang ingin tumbuha di kawasan tersebut, dikarenakan oleh mineral zat hara alinnya selalu terkikis ketika hujan dating. Oleh karena itu lahan yang kritis akan sangat sulit untuk bersuksesi secara alami.

Peta manajemen lahan hutan dapat kita manfaatkan untuk mencari tahu apakah suatu wilayah hutan lindung dikelola oleh baik atau tidak, indikator yang dipakai adalah ada tidaknya tanda batas kawasan, pengamanan pengawasan, dan penyuluhan. Kawasan yang memiliki indicator tersebut merupakan kawasan yang baik dan akan lebih mudah untuk direhabilitasi lahan kritisnya. Perbaikan lahan kritis dapat dilakukan dengan berbagai cara, penanaman lahan dengan biota- biota tumbuhan asli kawasan adalah salah satunya. Suatu kawasan tidak akan mudah tererosi jika ada vegetasi diatasnya. Vegetasi yang ada akan menopang tanah bagian atas yang biasanya terkikis untuk tidak berpindah.

Jika lahan tersebut tidak ditumbuhi vegetasi sama sekali, maka perlu dilakukan suseksi buatan yang dikontrol. Manajemen lahan suseksi harus diperhatikan dan dilaksanakan dengan benar agar terciptanya vegetasi yang dapat mencegah erosi tersebut. Jika lahan tersebut sudah ditumbuhi oleh vegetasi yang ringan seperti herba atau perdu- perduan, maka penghijauan dengan tanaman pohon merupakan langkah yang harus dilakukan.

Vegetasi yang nantinya berada pada lahan kritis juga membantu agar lahan tersbut tidak longsor, tanah secara kolektif dapat tertahan oleh akar- akar pohon yang kokoh. Kemungkinan akan terjadinya longsor lebih besar pada lahan dengan kemiringan yang tinggi sehingga tanah dengan kemiringan tinggi menjadi prioritas untuk dilakukan rehabilitasi.

Diharapkan dengan dilakukannya suseksi buatan maupun penghijauan oleh pohon, didapat lahan yang sehat kembali dengan vegetasi yang sehat pula.

KESIMPULANPeta lahan kritis kawasan hutan lindung

DAS Citarum dapat dilihat pada gambar 2. Luas wilayah sebesar 94281,91 ha dan dibagi menjadi 5 tingkatan/kelas.

Lahan dengan tingkat potensial kritis merupakan lahan yang paling luas di wilayah

DAS Citarum dengan luas total 54008.97 ha. Diikuti lahan agak kritis dengan luas total 29488.32 ha, lahan kritis dengan luas 8829.12, tidak kritis dengan luas 1940.83, dan sangat kritis 14.68 ha. Dikarenakan lahan potensial kritis paling besar agar tidak terjadi peningkatan kelas perlu adanya tindakan pengamanan dan penjagaan langsung terhadap vegetasi yang ada juga perlu dilakukan secara langsung di lapangan. Pengamanan dan penjagaan dapat dilakukan oleh masyarakat setempat yang diperdayakan oleh pemerintah maupun pihak berwajib seperti polisi hutan

SARANSaran dalam pembuatan peta lahan kritis

dalam tahap pembuatan peta pengelolaan lahan dalam menilai pengelolaan lahan dapat dilakukan dengan survey langsung kelapangan tidak menggunakan software google earth agar hasil yang didapatkan lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKAArsyad S., 1989. Konservasi Tanah dan Air.

IPB Press, Bogor.Dalimunthe, Jannatul Laila. 2011. Penentuan

Tingkat Kekritisan Lahan Daerah Aliran Sungai Bilah Di Kabupaten Labuhan Batu. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Dr. Ir. E. Saifuddin Sarief. (1985). Konservasi Tanah dan Air. Bandung: PT. Pustaka Buana.

Nugraha S., 2008. Penggunaan Metode Fuzzy Dalam Penentuan Kekritisan Lahan Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Daerah Subdas Cipeles. Makalah.

Poerwowidodo. 1990. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia,Rajawali Press, Hal 104-105

PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan LindungUndang-Undang No. 41/1999 pasal 1

LAMPIRAN A

TABEL SKORING DARI SETIAP JENIS PETA

Tabel 1. Skoring Pada Peta Kemiringan Lahan

Tabel 2.

Luas Hutan pada Landsystem(Luas TutupanTajuk Pada Landsystem)Luas Landsytem

=Presentase Penutupan Tajuk (% )

Tabel 3. Skoring Pada Peta Manajemen Kawasan

Tabel 4. Skoring Pada Peta Bahaya Erosi

Tabel 5. Skoring Pada Peta Lahan Kritis Kawasan Lindung Hutan

Tabel 6. Skoring

Penilaian Tingkat

Peta Lahan Kritis

Total Skor Tingkat Lahan Kritis

120-180 Sangat Kritis

181-270 Kritis

271-360 Agak Kritis

361-450 Potensial Kritis

450-500 Tidak Kritis

Tabel 7. Kemiringan Peta Pengelolaan Lahan

Kemiringan LerengLS

0 – 5 0,255 – 15 1,20

15 – 35 4,2535 – 40 9,50

>40 12

Tabel 8. Penentuan Nilai CP

Kode B TA Tata Guna Lahan Kemiringan B aik B uruk

1 Settlement area (Kawasan pemukiman)

0 - 2 0.05000 0.05000

2 - 15 0.05000 0.05000

15 - 40 0.05000 0.05000

> 40 0.05000 0.05000

2 Irrigated agriculture

0 - 2 0.01000 0.01000

2 - 15 0.01000 0.01000

15 - 40 0.01000 0.01000

> 40 0.01000 0.01000

3 Non-irrigated agriculture

0 - 2 0.04450 0.31000

2 - 15 0.06250 0.33000

15 - 40 0.09550 0.36000

> 40 0.13650 0.44000

4 Estates and plantations

0 - 2 0.00450 0.22500

2 - 15 0.01040 0.25400

15 - 40 0.01990 0.28600

> 40 0.03380 0.32000

5 Mixed gardens (Kebun)

0 - 2 0.02230 0.15500

2 - 15 0.03130 0.16500

15 - 40 0.04780 0.19800

> 40 0.06830 0.22000

6 Natural forest (Hutan alam) 0 - 2 0.00020 0.00050

Kode B TA Tata Guna Lahan Kemiringan B aik B uruk

2 - 15 0.00050 0.00100

15 - 40 0.00100 0.00150

> 40 0.00100 0.00150

7 Production forest (Hutan produksi)

0 - 2 0.00100 0.00100

2 - 15 0.00100 0.00200

15 - 40 0.00200 0.00300

> 40 0.00200 0.00300

8 Shrub (Semak belukar)

0 - 2 0.00100 0.00100

2 - 15 0.00150 0.00150

15 - 40 0.00200 0.00200

> 40 0.00200 0.00200

9 Grassland (Padang rumput)

0 - 2 0.00500 0.02000

2 - 15 0.01000 0.05000

15 - 40 0.02000 0.07000

> 40 0.02000 0.07000

10 Swamps and ponds (Rawa dan kolam)

0 - 2 0.00000 0.00000

2 - 15 0.00000 0.00000

15 - 40 0.00000 0.00000

> 40 0.00000 0.00000

11 Unproductive land (Lahan tidak produktif)

0 - 2 1.00000 1.00000

2 - 15 1.00000 1.00000

15 - 40 1.00000 1.00000

> 40 1.00000 1.00000

12

Clouds (Awan)

0 - 2 0.00100 0.00100

2 - 15 0.00100 0.00100

15 - 40 0.00100 0.00100

> 40 0.00100 0.00100

LAMPIRAN B

LANGKAH KERJA

Peta Manajemen Kawasan

Gambar 1. Langkah Kerja Peta Manajemen Kawasan

Peta Kemiringan Lahan

Gambar 2. Langkah Kerja Peta Kemiringan Lahan

Peta Penutupan Lahan

Gambar 3. Langkah Kerja Penutupan Lahan

Peta Bahaya Erosi

Gambar 4. Langkah Kerja Peta Baha Erosi

Peta Pengelolaan Lahan

Gambar 5. Langkah Kerja Peta Pengelolaan Lahan

Peta Erodibilitas dan Erosivias

Gambar 6. Langkah Kerja Peta Erodibilitas dan Erosivias

Peta Lahan Kritis

Gambar 7. Langkah Kerja Peta Lahan Kritis

Peta Lahan Kritis Kawasan Hutan Lindung

Gambar 8. Langkah Kerja Peta Lahan Kritis Kawasan Hutan Lindung

LAMPIRAN C

KOMPONEN PENYUSUN PETA LAHAN KRITISKAWASAN LINDUNG HUTAN DAS CITARUM

Peta Manajemen

Gambar 1. Peta Manajemen

Peta Penutupan Lahan

Gambar 2. Peta Penutupan Lahan

Peta Pengelolaan Lahan

Gambar 3. Peta Pengelolaan Lahan

Peta Kemiringan dan Faktor Panjang

Gambar 4. Peta Kemiringan dan Faktor Panjang

Peta Bahaya Erosi

Gambar 5. Peta Bahaya Erosi