23
ORASI ILMIAH PERKEMBANGAN RANCANG BANGUN PEMECAH GELOMBANG UNTUK PENGENDALIAN KERUSAKAN PANTAI Oleh I Gusti Bagus Sila Dharma Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Teknik Pantai Universitas Udayana Sabtu, 18 November 2017 UNIVERSITAS UDAYANA 2017

PERKEMBANGAN RANCANG BANGUN PEMECAH

Embed Size (px)

Citation preview

ORASI ILMIAH

PERKEMBANGAN RANCANG BANGUN PEMECAH GELOMBANG UNTUK

PENGENDALIAN KERUSAKAN PANTAI

Oleh

I Gusti Bagus Sila Dharma

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Teknik Pantai Universitas Udayana

Sabtu, 18 November 2017

UNIVERSITAS UDAYANA2017

I Gusti Bagus Sila Dharma

Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 3

Yang terhormat,Rektor dan Ketua Senat Universitas Udayana,Para Anggota Senat Universitas Udayana,Segenap Civitas Akademika Universitas Udayana,Para Undangan dan Hadirin yang saya hormati

Om SwastyastuPertama-tama ijinkan saya memanjatkan puji syukur kehadapan Ida

Sang Hyang Widi Wasa, karena atas asung kertha wara nugrahaNya, kita dapat hadir bersama pada acara ini.

Hadirin yang saya muliakan,Pada kesempatan yang baik ini, perkenankan saya menyampaikan

orasi ilmiah terkait dengan Perkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang Untuk Pengendalian Kerusakan Pantai. Semoga dengan keterbatasan yang ada, pokok-pokok pikiran yang disampaikan dalam orasi ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan yang memerlukan.

PANTAI, PEMANFAATAN DAN PERMASALAHAN

Hadirin yang saya muliakan,Kawasan pantai di seluruh dunia saat ini menghadapi peningkatan

risiko akibat aktifitas manusia. Kawasan pantai berkembang demikian cepatnya untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai daerah pemukiman, pelabuhan, industri, perikanan, pertanian dan juga sebagai kawasan rekreasi atau kawasan wisata serta nilai-nilai budaya. Selain itu wilayah pantai merupakan garis depan pertahanan terhadap bahaya yang mengancam daratan. Pantai merupakan daerah penyangga terhadap bahaya tsunami, gelombang pasang, banjir dan erosi. Secara garis besar wilayah pantai mempunyai aspek penyediaan

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

4 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 5

ekologi, penyangga bahaya dan pemanfaatan oleh manusia. Degradasi dari habitat pantai dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi pantai sebagai pertahanan alami dan meningkatnya risiko banjir.

Perkembangan kawasan pantai yang demikian cepat mendorong peningkatan kebutuhan akan lahan pantai beserta prasarana yang diperlukan untuk mendukung segala kegiatan yang ada di daerah pantai tersebut. Keadaan ini berkombinasi dengan gaya-gaya dinamik yang terjadi di pantai menimbulkan berbagai masalah baru seperti halnya (Kamphuis, 2000):

• Erosi pantai, dengan tingkat yang bervariasi pada hampir 90 persen areal pantai di dunia yang pada umumnya disebabkan oleh meningkatnya paras muka laut dan aktifitas badai. Hal ini menyebabkan mundurnya garis pantai dan merusak berbagai fasilitas yang ada di daerah tersebut.

• Polusi lingkungan oleh limbah yang berasal dari daerah pemukiman/perkotaan ataupun dari kawasan industri mengakibatkan hilang atau rusaknya habitat ikan di laut. Hampir 1/3 habitat ikan di US rusak ataupun tercemar oleh polusi. Polusi pantai tersebar di seluruh dunia khususnya di daerah urban dimana sistem pembuangan ke pantai tetap terjadi.

• Kontaminasi air tanah di sejumlah daerah pesisir pantai akibat adanya pemompaan air tanah yang berlebihan. Hal ini juga akan menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah. Bangkok, Tokyo dan Jakarta merupakan suatu contoh, dimana terjadi penurunan muka tanah sekitar 5-10 cm pertahun akibat pemompaan air tanah.

• Berkurangnya sumber material pantai seperti pasir dan gravel akibat adanya penambangan material pantai unttuk kegiatan pengisian/reklamasi pantai, mempercepat proses erosi. Deposit material lepas pantai mungkin merupakan suatu alternatif, tapi akan menimbulkan dilema lingkungan dan ekonomi. Untuk beberapa wilayah pantai, sungai merupakan penyuplai sedimen pantai. Bangunan-bangunan pengontrol banjir dan penangkap

air di sungai menyebabkan berkurangnya sedimen yang terbawa ke pantai, yang pada akhirnya menyebabkan erosi pantai.

Permasalahan-permasalahan di kawasan pantai seperti di atas berlanjut di seluruh dunia, terutama di US dan beberapa negara di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Review dari the Millennium Ecosystem Assessment menyatakan bahwa ekosistem pantai, baik onshore maupun offshore, merupakan area yang paling produktif, dan juga yang paling menderita akibat aktifitas manusia (McGranahan, 2006). Diestimasi sekitar sepertiga hutan mangrove dan seperlima coral reefs dunia telah hilang. Di beberapa tempat di dunia, populasi ikan menurun secara signifikan.

Apabila tren perkembangan penduduk dunia dan pengembangan pembangunan terus berlanjut, dan bila kenaikan muka air laut dan aktifitas badai meningkat, akibat iklim global seperti yang diprediksi, lingkungan pantai akan menerima beban yang cukup signifikan sampai 50 tahun ke depan.

Saat ini banyak ruas pantai yang keadaannya sudah menjurus ke arah rawan, baik rawan secara fisik maupun rawan tata guna lahan. Keadaan rawan tersebut dapat dilihat dari berbagai kenampakan yang ada, seperti (i) daerah pantai menjadi daerah perumahan/perhotelan atau berkembang menjadi daerah industri tanpa memperhatikan sempadan garis pantai dan kelestarian lingkungan, (ii) banyak daerah pantai yang tererosi akibat penambangan pasir dan karang, penebangan pohon bakau, dan pembuatan bangunan pantai yang kurang tepat, (iii) pengembangan daerah pantai yang tidak sesuai dengan potensi sumber daya yang ada di daerah tersebut.

Proses erosi pantai pada dasarnya dapat terjadi apabila angkutan sedimen pada suatu pantai lebih besar daripada suplai, atau apabila tebing pantai tersebut tidak mampu menahan gempuran gelombang. Dalam hal ini maka perlu dilakukan penanganan terhadap masalah tersebut baik secara teknis maupun non-teknis, yang tercakup dalam suatu sistem manajemen kawasan pantai yang terintegrasi. Untuk merencanakan suatu sistem pengamanan pantai, perlulah dipahami sifat pantai itu sendiri.

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

6 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 7

Seperti dikemukakan di depan, pantai selalu mengalami perubahan. Jangka waktu perubahan ini perlu dicermati karena seringkali pantai mengalami perubahan siklik yakni perubahan dengan periode ulang jangka panjang, sehingga pantai mungkin mengalami erosi selama beberapa tahun diikuti oleh akresi selama tahun-tahun berikutnya. Namun demikian seringkali memang keharusan untuk mengubah tata pantai bagi kepentingan manusia tidak dapat dihindarkan. Dalam hal yang demikian, diperlukan pendekatan-pendekatan yang menyeluruh dan berjangkauan panjang. Koordinasi antar disiplin ilmu diperlukan untuk lebih memahami bagaimana pantai terbentuk dan berevolusi. Pemahaman yang baik tentang bagaimana lingkungan pantai terbentuk dan perubahan-perubahan alamiah yang terjadi sebelumnya merupakan keharusan dalam memprediksi karakter pantai selanjutnya.

PENANGANAN PERMASALAHAN KAWASAAN PANTAI

Hadirin yang saya muliakan, Meskipun kejadian serius erosi pantai umumnya terjadi pada saat

badai, ada banyak penyebab yang lain, baik alami ataupun akibat kegiatan manusia. Penyebab alami erosi adalah yang terjadi akibat respon pantai pada efek-efek alami. Erosi yang disebabkan manusia terjadi ketika kegiatan-kegiatan yang dilakukan memberikan pengaruh pada sistem alami di pantai. Kebanyakan erosi yang terjadi akibat manusia, dikarenakan kurangnya pengetahuan di bidang ini, namun banyak juga erosi terjadi karena pembangunan yang memang secara ekonomi berguna bagi manusia. Beberapa penyebab-penyebab erosi baik alamiah ataupun akibat kegiatan manusia antara lain (CEM, 2002, Mangor, K., 2004):

• Kenaikan muka air secara perlahan relatif terhadap daratan terjadi di banyak tempat di dunia. Kenaikan ini menyebabkan mundurnya garis pantai secara perlahan, sebagian karena daratan tergenang langsung, dan sebagian lagi karena penyesuaian pada naiknya muka air. Sebagai contoh, apabila terjadi kenaikan muka

air laut 0,50 m dan kemiringan dasar laut 1/100, akan terjadi kemunduran garis pantai sekitar 50 m. Pantai dengan material halus akan mengalami risiko kemunduran lebih besar

• Perubahan asupan sedimen ke Littoral Zone. Perubahan pola cuaca bumi yang menyebabkan kemarau dapat menyebabkan menurunnya debit dari sungai yang membawa sedimen ke pantai.

• Gelombang besar pada saat badai. Gelombang yang curam (steep wave) akibat badai menyebabkan berpindahnya pasir dari pantai ke arah laut dan disimpan sebagai sand bar yang pada proses alami akan dikembalikan ke pantai. Namun seringkali hal itu tidak terjadi, dan pasir selamanya hilang di bawa ke laut yang lebih dalam.

• Penurunan daratan akibat dikeluarkannya material dari perut bumi (land subsidence). Pengeluaran sumber daya alami, seperti gas, minyak, batubara dan air tanah yang berada di daerah pantai dapat menyebabkan turunnya daratan pantai. Hal ini akan menyebabkan efek yang sama sebagaimana efek kenaikan muka air laut.

• Penahanan transpor material. Faktor ini mungkin merupakan faktor terbesar yang dapat menyebabkan erosi akibat kegiatan manusia. Meningkatkan fungsi alur dengan cara pengerukan alur dan juga struktur-struktur pelabuhan dapat menangkap transpor sedimen. Sedimen akan terperangkap dalam alur sehingga menimbulkan pendangkalan, yang kemudian harus dilakukan pengerukan. Kegiatan pengerukan tersebut membuat sedimen akan berkurang karena material kerukan dibuang di tempat yang jauh.

• Pengurangan suplai sedimen ke pantai. Di beberapa kawasan pantai, suplai sedimen dari sungai menjadi sumber utama material. Pembangunan bendungan di sungai akan menyebabkan terperangkapnya sedimen di hulu sungai dan juga mengurangi debit banjir yang pada akhirnya akan mengurangi suplai sedimen

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

8 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 9

ke pantai sehingga terjadi erosi.• Pemusatan energi gelombang di pantai. Bangunan-bangunan

pantai (seperti dinding vertikal), dapat meningkatkan jumlah energi gelombang yang harus diredam oleh pantai di depan struktur sehingga dapat meningkatkan laju erosi.

• Merubah pelindung pantai alami. Pengerukan di nearshore bar dan daerah-daerah dangkal didekat pantai dapat merubah pola disipasi energi di pantai. Bila perubahan yang terjadi menyebabkan meningkatnya energi gelombang yang datang, erosi dapat terjadi. Di daerah daratan, merubah elevasi dune, dihancurkannya vegetasi pantai, pembangunan alur pelayaran dapat menyebabkan meningkatnya erosi.

Dengan adanya pengembangan pantai untuk berbagai kepentingan manusia, maka perimbangan dan perlindungan alami yang ada dapat terusik atau rusak. Akibatnya pantai menjadi terbuka dan rentan terhadap erosi. Proses erosi pantai pada dasarnya dapat terjadi apabila angkutan sedimen pada suatu pantai lebih besar daripada suplai, atau apabila tebing pantai tersebut tidak mampu menahan gempuran gelombang. Dalam hal ini maka perlu dilakukan penanganan terhadap masalah tersebut baik dengan membuat bangunan pengaman pantai ataupun dengan cara-cara yang lain.

Sebelum membangun suatu system pengamanan pantai, sebaiknya beberapa pertanyaan dibawah perlu dijawab (Kamphuis, 2000):

• Apakah kita memerlukan suatu system pengamanan pantai,• Alternatif-alternatif apa sajakah yang tersedia,• Bagaimana kita mengimplementasikan system pengamanan

tersebut dan bagaimana caranya menjaga supaya pantai tetap tampak natural dan indah.

Selain itu, para perencana dan pengambil keputusan sebaiknya memperhitungkan bahwa pantai adalah daerah yang dinamis, yang secara tetap berevolusi untuk mencapai kondisi yang baru. Selain itu perlu juga diperhitungkan bahwa keseimbangan dan interaksi proses-proses yang terjadi di pantai berbeda antara satu pantai dengan

pantai lainnya. Pengertian mengenai perbedaan-perbedaan ini akan merupakan kunci keberhasilan suatu design.

Beberapa cara yang dapat dipakai untuk menghilangkan atau mengurangi permasalahan kerusakan pantai antara lain (Nur Yuwono, 1998, Nizam, 1992, Kamphuis, 2000):

• Pengelolaan tata guna lahan dan pembangunan di areal pantai yang beresiko besar terjadi erosi.

• Pengamanan sistem alamiah dengan mengadakan suatu daerah penyangga (buffer coastal erosion).

• Menerima dan hidup berdampingan dengan permasalahan erosi.• Memodifikasi proses alamiah pantai (engineering modification).

Hadirin yang saya muliakan, Tiga opsi pertama di atas terfokus pada perilaku masyarakat

sedangkan yang terakhir difokuskan pada pengelolaan dengan memperhatikan proses alamiah pantai.

Pengelolaan tata guna lahan dan pembangunan di areal pantaiHampir sebagian besar masalah erosi pantai berasal dari

pengembangan kawasan yang terlalu dekat dengan pantai sehingga mengganggu proses perubahan pantai secara alamiah. Untuk itu pemanfaatan lahan dan pembangunan perlu dikelola dengan baik untuk mengurangi resiko erosi pantai. Hal yang fundamental yang perlu diperhatikan untuk pendekatan ini adalah mengidentifikasi kondisi pantai eksisting dan potensi-potensi permasalahan yang ada. Informasi yang cukup diperlukan mengenai proses-proses yang terjadi di pantai, sumber sedimen, dan sejarah perubahan garis pantai.

Tipikal manajemen tata guna lahan dan pengembangan kawasan pantai pada kawasan pantai yang belum dikembangkan umumnya dapat dilakukan dengan pengembangan ke belakang (development setback). Sistem ini menyiapkan daerah pantai sebagai daerah bebas (daerah sempadan pantai) yang dapat dipergunakan oleh umum. Untuk kawasan pantai yang sudah berkembang, umumnya pengelolaannya tidak mudah

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

10 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 11

dan memerlukan biaya tinggi. Pengaturan pembangunan yang ketat dan persiapan untuk setback menjauhi areal erosi diperlukan. Apabila erosi sudah membahayakan infrastruktur penting seperti jalan, jembatan dll, pengamanan dengan memodifikasi perilaku alamiah pantai diperlukan seperti beach nourishment, groin, revetment, atau bangunan-bangunan pengaman lainnya (Sullivan and Davidson-Arnott, 1995).

Pengamanan sistem alamiah dengan mengadakan suatu daerah penyangga (buffer coastal erosion)

Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan pengelolaan dan memproteksi kondisi alamiah pantai seperti dunes (gumukan pasir), yang menyiapkan proteksi dari erosi pantai dan meningkatkan kemampuan daerah penyangga seperti beach dan dune nourishment. Dunes, mangrove dan wetland menyiapkan pertahanan pantai yang paling murah dan alamiah. Pada pantai yang setimbang, proses alami membentuk suatu sistem perlindungan terhadap erosi/kerusakan pantai. Untuk pantai berpasir, perlindungan tersebut dapat berupa gumuk pasir (sand dune) di sisi belakang pantai, longshore bar, serta sumber sedimen baik berasal dari aktifitas organisme (kerang) maupun dari sungai-sungai yang bermuara di daerah pantai.

Pada pantai berawa/lumpur, alam menyediakan tumbuhan pantai seperti tumbuhan bakau atau pohon api-api. Tumbuhan pantai ini dapat mematahkan atau mengurangi energi gelombang dan dapat memacu pertumbuhan pantai. Gerakan air yang cukup lambat diantara akar-akar pohon menyebabkan terjadinya proses pengendapan. Disamping itu akar-akar pohon tersebut dapat pula berfungsi sebagai tempat berkembang biaknya ikan-ikan atau binatang pantai lainnya.

Di daerah tropis, alam menyediakan terumbu karang yang berfungsi sebagai pemecah gelombang bawah air. Gelombang sebelum sampai di pantai akan pecah di daerah terumbu karang, dengan demikian energi gelombang yang diteruskan ke pantai relatip kecil. Terumbu karang ini akan selalu tumbuh selama lingkungan di kawasan tersebut tidak rusak akibat pencemaran atau perbuatan manusia.

Menerima dan hidup berdampingan dengan permasalahan erosi

Karena proses erosi pantai merupakan suatu proses alamiah, penting bagi masyarakat di sekitar pantai untuk mengenal dan memahami proses ini. Seperti disebutkan di depan, hampir semua permasalahan erosi pantai timbul disebabkan kurang fahamnya masyarakat terhadap proses alamiah yang terjadi di pantai. Persepsi yang umum adalah proses pantai merupakan proses statis dan tidak alamiah, sebuah problem dari pada proses alamiah. Peningkatan pengertian tentang proses dinamis pantai akan membantu masyarakat beradaptasi dengan lingkungan pantai.

Memodifikasi proses alamiah pantai (engineering modification)Pendekatan ini lebih mengarah ke campur tangan manusia untuk

mengurangi problem erosi dengan memodifikasi proses alamiah pantai dengan penanganan struktural (hard structures). Struktur-struktur ini didesain dan dibangun untuk melindungi infrastruktur di belakang pantai dari ancaman erosi. Apabila sistem ini didesain dan dibangun dengan baik akan merupakan suatu sistem pengamanan pantai yang efektif. Namun sistem ini juga dapat menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap proses pantai dan lingkungan pantai. Beberapa pendekatan dengan sistem ini antara lain:

Mengurangi laju angkutan sedimen sejajar pantai, sehingga didapat keseimbangan antara suplai dan kebutuhan. Untuk mengubah angkutan sedimen ini diperlukan bangunan pengatur yang biasa disebut groin atau krib. Groin adalah bangunan yang tegak lurus/hampir tegak lurus garis pantai yang berpengaruh pada proses pantai serta merubah morfologi pantai melalui proses penghentian/pengurangan transportasi sedimen sejajar pantai. Groin yang dibangun secara individu akan mengurangi laju transpor sedimen dan membentuk sedimentasi (dan garis pantai baru) di depan bangunan, dan erosi/kerusakan di belakang bangunan.

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

12 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 13

Suatu seri groin berfungsi untuk membagi ruas pantai menjadi beberapa bagian kecil yang dapat dapat berfungsi merubah sudut datang gelombang terhadap pantai. Sudut datang gelombang yang tadinya cukup besar akan berkurang dengan terjadinya proses erosi dan sedimentasi di dalam kantong groin, sehingga groin mempunyai efek mempercepat proses menuju kesetimbangan pantai. Panjang dan jarak antar groin tergantung dari orientasi rata-rata dan orientasi ekstrim garis pantai. Groin sebaiknya di tempatkan di belakang garis pantai untuk mencegah efek gelombang pecah pada bagian belakang groin yang dapat mengakibatkan alur gerusan (flanking) dan mengurangi stabilitas bangunan.

Kombinasi groin dan penambahan pasir dapat mengurangi kerusakan pada bangunan dan dapat mengintegrasikan groin dengan lingkungan sekitarnya. Efektivitas groin sebagai pelindung pantai sampai saat ini masih kontroversial, terutama bila groin tersebut dibuat dari bahan dengan reflektivitas tinggi. Refleksi gelombang di dalam kantong groin justru meningkatkan pola arus pusar yang sangat merusak yang terjadi di dekat dinding groin. Groin juga tidak dapat menahan erosi akibat transportasi sedimen tegak lurus pantai. Tipe lain yang sejenis dengan groin adalah tanjung buatan (headlands), dimana bangunan ini merupakan versi lain dari suatu seri groin dengan dimensi yang jauh lebih besar dan juga dapat berfungsi menahan transpor sedimen tegak lurus pantai. Tipe ini sudah digunakan secara luas antara lain di Toronto, dimana beberapa headland membentuk beberapa ruas pantai dengan fungsi yang berbeda-beda seperti untuk windsurfing, renang dan marina. Diskusi detail mengenai headland ini dapat dibaca di Silvester dan Hsu (1997).

Mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai. Pengurangan energi gelombang yang menghantam pantai dapat dilakukan dengan pembuatan bangunan pemecah gelombang sejajar pantai (offshore breakwaters). Pemecah gelombang ini menirukan prinsip perlindungan alami oleh terumbu karang. Gelombang besar yang menghempas pantai ditahan dan dihancurkan sebelum garis

pantai, sehingga ketika mencapai garis pantai energi gelombang berkurang. Dengan berkurangnya energi gelombang di daerah bayangan pemecah gelombang, maka transportasi sedimen di daerah tersebut akan berkurang dan akan terjadi pengendapan. Untuk bangunan pemecah gelombang lepas pantai yang dibangun lebih dari satu, gelombang-gelombang yang menuju pantai akan melalui celah-celah antar bangunan yang akan merubah formasi gelombang. Gelombang ini akan merubah garis pantai dari garis pantai yang relative lurus menjadi bergelombang. Pembahasan aplikasi offshore breakwaters dapat dibaca di CUR (1997).

Material untuk membentuk garis pantai yang baru ini didapatkan dari pantai sekitar bangunan yang dibawa oleh arus dan gelombang, yang menyebabkan terjadinya erosi lokal di sekitar bangunan. Kombinasi bangunan ini dengan pengisian pasir merupakan seusatu yang ideal. Pengisian pasir menghindari terjadinya erosi dan bangunan menahan pasir tetap ditempat. Kehadiran pemecah gelombang lepas pantai yang menonjol di atas permukaan air mungkin mengganggu pemandangan, khususnya untuk kawasan pantai wisata. Pemecah gelombang bawah air (submerged breakwaters) mungkin merupakan alternatif yang baik, tetapi harus diwaspadai karena submerged breakwaters mengganggu para perenang ataupun boat yang melintas.

Perencanaan bangunan pemecah gelombang lepas pantai merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan ada unsur ketidakpastian dalam hal bentuk garis pantai baru. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang yang melewati puncak bangunan (wave overtopping), dimana transpor massa oleh gelombang diatas puncak bangunan menyebabkan berkurangnya kecepatan arus dan akan membentuk tombolo (pantai yang menyatu dengan bangunan). Sehubungan dengan gelombang yang melalui puncak bangunan dipengaruhi oleh level muka air, morfologi garis pantai akan dipengaruhi oleh fluktuasi permukaan air laut. Oleh sebab itu aplikasi bangunan-bangunan lepas pantai yang direncanakan untuk membentuk garis pantai yang tidak menyatu dengan bangunan (salient) biasanya dibangun pada daerah yang mempunyai fluktuasi

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

14 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 15

muka air kecil. Keberadaan bangunan lepas pantai kemungkinan akan cukup berbahaya bagi para perenang karena arus yang terjadi di belakang bangunan, teutama saat gelombang pasang. Meskipun gelombang yang terjadi di belakang bangunan relatif kecil, para perenang biasanya tidak sadar bahwa arus yang ditimbukan cukup kuat karena merupakan kombinasi dari gelombang besar di luar bangunan. Penempatan penjaga pantai (life guard) pada saat gelombang pasang sangat diharapkan dan para perenang sebaiknya menghindari lokasi-lokasi dimana terjadi aktivitas arus yang cukup kuat, terutama diujung-ujung bangunan.

Memperkuat tebing pantai. Cara ini dapat dilakukan dengan pembuatan tembok laut (seawall) ataupun revetment. Bangunan-bangunan ini memperkuat pantai dengan cara melindungi pantai dari gempuran gelombang dan secara langsung menghentikan erosi pada pantai di belakang bangunan tersebut. Meskipun tembok pantai secara langsung menghentikan erosi pada pantai di belakang tembok tersebut, namun efektifitas bangunan ini dalam menahan erosi pantai masih menjadi pertanyaan. Hal tersebut terutama mengingat bahwa dengan adanya tembok laut energi gelombang tidaklah dihancurkan tetapi justru dipantulkan, sehingga akan terbentuk gelombang tegak (standing waves) yang justru meningkatkan gerusan pada kaki tembok laut tersebut yang mengakibatkan berkurangnya stabilitas bangunan.

Revetment berupa bangunan pelindung lereng dengan struktur yang lebih ringan dari tembok laut. Prinsip revetment serupa dengan tembok laut, namun refleksi dari bangunan ini relatif lebih kecil dari tembok laut. Perencanaan seawall atau revetment dipengaruhi oleh elevasi muka air. Elevasi muka air yang tinggi menyebabkan gelombang datang juga tinggi yang akan mengakibatkan bangunan dan area di belakang bangunan mendapatkan gaya-gaya dan erosi yang lebih besar. Masyarakat yang bermukim dekat dengan bangunan kemungkinan akan menghadapi bahaya terseret arus terutama pada saat air laut pasang. Untuk kawasan pantai wisata, seawall atau revetment biasanya digantikan dengan bangunan lepas pantai, penimbunan pasir, atau kombinasi keduanya.

PERTIMBANGAN DALAM PERENCANAAN PENGAMAN PANTAI

Hadirin yang saya muliakan,

Struktural atau non-struktural?Bangunan–bangunan pelindung pantai tidak menyiapkan pasir

akan tetap berada di tempat semula, tetapi meredistribusi pasir yang tersedia sehingga sedimentasi di suatu tempat akan diimbangi oleh erosi di tempat yang lain, kecuali ada penambahan pasir dari luar. Perencanaan pengamanan pantai tanpa dibarengi dengan penambahan pasir dari luar (beach nourishment) berarti akan terjadi penumpukan pasir di suatu tempat dan pengurangan pasir di tempat yang lain. Tingkat toleransi perubahan yang disebabkan oleh proses alamiah ini perlu didefinisikan terlebih dahulu, dan apabila dampak negatif tidak dapat ditoleransi, beach nourishment perlu dilakukan.

Restorasi pantai sering tidak berarti banyak dan sifatnya jangka pendek disebabkan oleh frekuensi dan intensitas dari gelombang badai. Penambahan pasir secara kontinyu (renourishment) mungkin akan diperlukan untuk mempertahankan tingkat pelayanan dari bangunan yang direncanakan dalam memproteksi pantai. Bangunan-bangunan pantai yang digabungkan dengan beach nourishment dapat meningkatkan lama tinggal material dalam area pantai yang diproteksi. Apabila periode pengisian kembali material pasir cukup lama sehingga mengurangi biaya pemeliharaan dan memperkecil biaya dari bangunan secara keseluruhan, system ini dapat dipertimbangkan untuk dipakai.

Pemilihan alternatifTiga pertimbangan utama untuk memilih alternatif skema

stabilisasi pantai yaitu: tujuan dari kegiatan tersebut, proses-proses fisik yang akan terjadi di area pantai yang diakibatkan oleh bangunan yang direncanakan; dan dampak negatif yang mungkin akan terjadi (Kamphuis, 2000).

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

16 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 17

•Tujuan Beberapa faktor menentukan tujuan dari dibangunannya bangunan

pelindung pantai. Langkah penting pertama adalah mendefinisikan secara jelas tujuan dari proyek tersebut. Tujuan dari proyek mungkin untuk melindungi infrastruktur di daratan, menjaga pantai tetap seperti semula, atau keduanya. Bangunan-bangunan yang melindungi pantai, bangunan stabilisasi pantai, pengisian pasir, atau kombinasi system di atas dapat dipakai untuk mencapai tujuan dari proyek. Apabila tujuan proyek hanya untuk infrastruktur di daratan dari gelombang badai dan melindungi pantai dari erosi, hard structures dengan revetment atau seawall mungkin dianggap cukup. Apabila tujuan dari proyek adalah untuk melindungi infrastruktur dan juga menjaga pantai untuk tempat rekreasi, solusi yang meliputi bangunan pengaman pantai, hanya penambahan pasir atau bangunan stabilisasi pantai dengan penambahan pasir dapat dipilih. Apabila tujuannya adalah untuk menstabilkan pantai, maka pengisian pasir atau kombinasi bangunan stabilisasi pantai dengan pengisian pasir dianggap suatu solusi.

•Proses Fisik/Physical processes. Apabila stabilisasi pantai merupakan tujuan dan sedimen yang

hilang disebabkan oleh longshore transport, bangunan pemecah gelombang yang melintang (groin) merupakan salah satu solusi. Apabila sedimen yang hilang didominasi oleh offshore transport, groin mungkin tidak efektif sebagai bangunan stabilisasi pantai dan mungkin akan menyebakan terjadinya formasi rip current. Pemecah gelombang (breakwater) mengurangi kehilangan sedimen yang diakibatkan oleh longshore maupun offshore transport, tetapi secara signifikan mengurangi energi gelombang sepanjang pantai dan menyebabkan berkurangnya tinggi gelombang di daerah surf zone. Di satu sisi kondisi ini akan mengurangi tekanan gelombang terhadap pantai, tapi di sisi lain dengan berkurangnya gelombang di daerah surf zone mungkin tidak menyenangkan bagi para surfer.

•Dampak terhadap pantai. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya kegiatan juga menentukan

dalam pemilihan tipe bangunan stabilisasi pantai. Bangunan-bangunan pemecah gelombang, yang menahan longshore transport, dapat menyebabkan terjadinya erosi baik di daerah downdrift maupun updrift. Dampak ini dapat dikurangi dengan penambahan pasir sebgai bagian dari skema proyek. Penambahan pasir mengurangi waktu dari profil pantai mencapai konfigurasi equilibriumnya daripada tanpa pengisian pasir. Tanpa pengisian pasir, keseimbangan baru dari pantai memerlukan waktu beberapa tahun, kalau hanya mengandalkan pengisian secara alamiah. Kalau memungkinkan, groin dan breakwater sebaiknya didisain untuk dapat dilewati oleh pasir untuk mengurangi erosi di daerah downdrift.

Apakah diperlukan adanya proteksi? Wilayah pantai merupakan suatu wilayah yang penting dalam

aktivitas manusia, seperti pemukiman yang berlokasi dekat pantai, sungai ataupun delta. Apabila pantai terdiri dari batuan, erosi umumnya tidak terjadi. Dalam kondisi alamiah, pantai berubah secara dinamis dalam bentuk erosi ataupun sedimentasi. Tidak ada yang salah dengan erosi, kecuali beberapa kepentingan manusia menjadi terusik. Erosi, sepanjang tidak merugikan manusia, tidak diperlukan adanya tindakan apapun. Akan selalu terjadi keseimbangan antara usaha perlindungan pantai dan kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut.

Gambar berikut memperlihatkan siklus erosi dan sedimentasi suatu wilayah pantai (dengan periode beberapa dekade). Dalam periode akresi, manusia mengusahakan areal sedimentasi untuk kegiatan pertanian, tambak, pemukiman dll. Saat dimulainya periode erosi, pertanyaan muncul, apakah areal tersebut sebaiknya diproteksi dan berapa besar biayanya. Sistem perlindungan pantai pada umumnya sangat mahal dan apabila kegiatan ekonomi tidak begitu penting, akan lebih baik mempertimbangkan mencari lahan lain dan membiarkan pantai tersebut mencapai keseimbangannya sendiri

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

18 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 19

Proteksi ataukah tidak? (Kamphuis, 2000)

JENIS BANGUNAN PENGAMAN PANTAI

Perlindungan pantai pada umumnya merupakan bagian dari proyek besar seperti jalur navigasi, system pengamanan pantai, pembangunan pulau buatan atau pembangunan jembatan. Sebuah proyek harus mengikuti suatu kriteria disain yang ada untk memperoleh hasil yang diinginkan. Design criteria adalah parameter minimum suatu perencanaan yang harus diikuti untuk meyakinkan bahwa proyek tersebut dapat berfungsi dan konstruksi yang dibangun sesuai dengan keinginan pengguna. Sebuah perencanaan terdiri dari sejumlah design criteria antara lain; kriteria material, kriteria geoteknik, kriteria konstruksi, kriteria pemeliharaan, kriteria ekonomi, dll, yang mungkin berhubungan satu dengan lainnya.

Pada prinsipnya bangunan pantai akan berpengaruh pada proses pantai melalui mekanisme berikut (Nur Yuwono, 1998):

• Perkuatan pantai• Perubahan energi gelombang• Perubahan transpor sedimen yang mengakibatkan perubahan

keseimbangan sedimen.

Hadirin yang saya muliakan, Salah satu jenis bangunan pantai yang umum dipergunakan dalam

penanganan erosi pantai adalah pemecah gelombang ambang rendah (low crested structures, LCS). Pemecah gelombang ini menirukan prinsip perlindungan alami oleh terumbu karang. Gelombang besar yang menghempas pantai ditahan dan dihancurkan sebelum garis pantai, sehingga ketika mencapai garis pantai energi gelombang berkurang. Dengan berkurangnya energi gelombang di daerah bayangan pemecah gelombang, maka transportasi sedimen di daerah tersebut akan berkurang dan akan terjadi pengendapan. Untuk mencapai tujuan tersebut, LCS didisain untuk dapat meneruskan sejumlah tertentu energi gelombang di atas ambang struktur melalui mekanisme overtopping dan juga transmisi melalui tubuh struktur atau mekanisme pecahnya gelombang dan proses disipasi energi pada bangunan tenggelam (submerged). Untuk bangunan pemecah gelombang lepas pantai yang dibangun lebih dari satu, gelombang-gelombang yang menuju pantai akan melalui celah-celah antar bangunan yang akan merubah formasi gelombang. Gelombang ini akan merubah garis pantai dari garis pantai yang relative lurus menjadi bergelombang.

Pada kawasan pantai dengan pasang surut tinggi dan sering terjadi gelombang besar, low crested structures dengan ambang sempit akan tidak efektif dalam meredam energi gelombang datang. Hal ini juga menyebabkan mengapa LCS dengan ambang lebar (umum disebut artificial reefs) menjadi lebih populer (Yoshioka et al., 1993). Namun LCS ambang lebar akan menyebabkan biaya pembangunan lebih mahal dibandingkan dengan ambang sempit sehingga perlu didisain dengan matang sehingga menjadi layak untuk dibangun. Pengembangan dengan material alternative, seperti kantong pasir (sand filled geotubes) dapat mengurangi biaya pembangunan (Pilarczyk, 1996, 1999). Pemanfaatan Geotextile Sand Container (GSC) sebagai struktur bangunan pantai belakangan ini meningkat cukup signifikan terutama di Australia dan Germany (Restall et al, 2001). Pengalaman-pengalaman praktis dalam pembangunan konstruksi ini menghasilkan pengembangan material,

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

20 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 21

metode desain dan metode konstruksi. Penggunaan GSC menambah perbendaharaan material dan aplikasinya dalam konstruksi revetment, groin, breakwater, stabilisasi lereng, proteksi gerusan dan sebagainya. Saat ini dimana proses disain melibatkan banyak pihak, dalam banyak hal GSC memberikan solusi dalam perlindungan pantai dimana bangunan-bangunan pantai dengan material konvensional tidak dapat diterima dengan pertimbangan dampak yang ditimbulkan dan biaya yang relative lebih tinggi.

Deskripsi pemecah gelombang ambang rendahPengurangan energi gelombang yang mengenai pantai dapat

dilakukan dengan pembuatan bangunan pemecah gelombang sejajar pantai (offshore breakwaters). Pemecah gelombang ini menirukan prinsip perlindungan alami oleh terumbu karang. Gelombang besar yang menghempas pantai ditahan dan dihancurkan sebelum garis pantai, sehingga ketika mencapai garis pantai energi gelombang berkurang. Dengan berkurangnya energi gelombang di daerah bayangan pemecah gelombang, maka transportasi sedimen di daerah tersebut akan berkurang dan akan terjadi pengendapan.

Pemecah gelombang ambang rendah dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu: dynamically stable reef breakwater, statically stable low-crested breakwater dan statically stable submerged breakwater (van der Meer, 1991). Pemakaian pemecah gelombang ambang rendah, termasuk submerged breakwater belakangan ini cukup banyak dipakai (Pina, 1990). Submerged breakwater adalah pemecah gelombang ambang rendah dengan elevasi awal ambang terletak di bawah elevasi muka air diam (SWL). Pemecah gelombang ini mungkin tidak efektif pada saat pasang. Untuk mendapatkan hasil yang efektif, pemecah gelombang ini sebaiknya dipasang pada lokasi dengan pasang surut rendah. Fungsi utama dari pemecah gelombang ambang rendah adalah meredam energi gelombang yang datang ke pantai melalui mekanisme gelombang pecah, disipasi, gesekan, dan refleksi gelombang. Refleksi gelombang adalah proses transfer energi

dari satu arah ke arah lain ketika gelombang datang diintersepsi oleh suatu penghalang. Sebagian atau seluruh energi gelombang datang kemungkinan akan direfleksikan kembali ke arah laut oleh penghalang tersebut. Besarnya gelombang yang direfleksikan sangat tergantung dari kedalaman air di kaki struktur (Ahrens 1987, van der Meer 1991), sedangkan kemiringan sisi struktur tidak begitu besar pengaruhnya (Datattri et al., 1978).

Perancangan pemecah gelombang ambang rendah berarti menentukan tinggi gelombang transmisi dan refleksi yang diharapkan masih melewati puncak pemecah gelombang. Gelombang transmisi dapat disebabkan oleh gelombang overtpopping dan run-up yang melewati struktur. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain lebar puncak struktur, kedalaman air di kaki struktur, kemiringan sisi bangunan, porositas dan diameter nominal dari unit lapis lindung. Apabila struktur pemecah gelombang permeable, transmisi gelombang juga disebabkan oleh penetrasi gelombang melalui pori-pori struktur. Hanson and Kraus (1989, 1990, 1991) menyatakan bahwa respon garis pantai terhadap dibangunnya LCS dipengaruhi oleh paling tidak 14 variable dimana delapan variable merupakan komponen utama yaitu: 1) jarak struktur dengan garis pantai, 2) panjang struktur, 3) karakteristik transmisi gelombang pada struktur, 4) kemiringan pantai dan kedalaman muka air, 5) tinggi gelombang, 6) periode gelombang, 7) orientasi sudut struktur, dan 8) arah gelombang datang dominan. Untuk struktur yang segmented, jarak antar struktur (gap) juga merupakan variable utama.

Dari beberapa hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan elevasi muka air dan tinggi gelombang rencana merupakan factor penentu dalam perencanaan pemecah gelombang. Kinerja suatu pemecah gelombang pada umumnya dihubungkan dengan stabilitas struktur terhadap gaya-gaya gelombang. Perencanaan suatu pemecah gelombang adalah menentukan berat unit lapis lindung yang tahan terhadap gelombang rencana. Stabilitas pemecah gelombang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kondisi lingkungan pantai dan karakter fisik struktur. Faktor lingkungan

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

22 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 23

pantai antara lain tinggi gelombang (Hs), periode gelombang (Ts), durasi (jumlah) gelombang, arah gelombang datang, dan kelompok gelombang. Faktor fisik struktur antara lain diameter nominal unit lapis lindung, bentuk dan kekasaran lapis lindung, kemiringan lereng, lebar puncak struktur, tinggi struktur dan permeabilitas inti. Faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat stabilitas struktur tumpukan batu adalah metode penempatan lapis lindung (Lording and Scott, 1971, dan Brown, 1978).

Uji model fisik dalam penelitian kinerja pemecah gelombangTujuan dan kebutuhan uji model fisik bangunan-bangunan pantai

umumnya antara lain menentukan stabilitas struktur, pelindung kaki dan puncak struktur (crown) saat dikenai oleh berbagai karakterisitik gelombang dan elevasi muka air; Menentukan gaya-gaya hidrodinamis pada struktur; Optimasi tipe struktur, ukuran dan geometri yang sesuai dengan kebutuhan disain dan biaya; Mengetahui cara/metode yang tepat dalam penanganan kerusakan bangunan-bangunan yang ada atau meningkatkan kinerja bangunan-bangunan tersebut; Investigasi karakteristik struktur dalam interaksinya dengan gelombang seperti runup, rundown, overtopping, refleksi, transmisi, absorpsi dan gaya-gaya statis/dinamis untuk berbagai tipe dan geometri struktur.

Penelitian kinerja pemecah gelombang pada umumnya meneliti tentang besarnya transformasi gelombang seperti transmisi, refleksi, debit overtopping gelombang dan stabilitas struktur serta perlindungan kaki. Penelitian ini dapat berupa penelitian 2-D ataupun 3-D, yang memerlukan biaya yang tinggi. Penelitian tentang transmisi, refleksi dan overtopping pada pemecah gelombang umumnya dilakukan di saluran gelombang karena yang dipentingkan adalah besaran transmisi, refleksi dan overtopping untuk gelombang yang datang normal terhadap struktur. Penelitian stabilitas dapat dilakukan pada saluran gelombang ataupun kolam gelombang. Penelitian 3-D umumnya dilakukan untuk memperoleh posisi struktur yang optimum, panjang, tinggi dan alinyemen struktur (Markle, 1989) untuk gelombang normal ataupun gelombang serong.

Parameter penyusun transmisi dan refleksi gelombang serta stabilitas

Interaksi gelombang dan bangunan pantai merupakan suatu fenomena yang kompleks yang kadang-kadang tidak dapat dijelaskan secara teoritis. Untuk menjelaskan respon gelombang terhadap struktur, uji model fisik kadang-kadang merupakan satu-satunya solusi. Untuk melakukan uji model fisik, diperlukan adanya model yang mempunyai kesesuaian dengan prototipe yang direncanakan. Analisis dimensi dipergunakan untuk membangun hubungan antara model dan prototipe yang memenuhi hukum kesebangunan. Dengan analisis dimensi, dapat dikelompokkan variabel-variabel (yang lazimnya memiliki dimensi tertentu) yang terlibat dalam masalah yang diteliti menjadi kelompok-kelompok variabel non-dimensional (yang dikenal sebagai π term), yang berakibat tereduksinya jumlah variabel tak diketahui yang terlibat dalam masalah tersebut. Selain variabel yang terlibat menjadi lebih sedikit, karena variabel tersebut non-dimensional, hubungan antara model dengan prototipe meskipun skalanya bervariasi dapat dirumuskan.

Efek utama dari sebuah pemecah gelombang ambang rendah adalah energi gelombang yang dapat melewati puncak struktur dan menimbulkan gelombang dibelakang struktur (transmisi gelombang). Parameter utama yang dapat menjelakan transmisi gelombang untuk pemecah gelombang tipe timbunan antara lain tinggi gelombang signifikan Hi, tinggi gelombang transmisi Ht, periode gelombang Tp, nominal diameter lapis lindung Dn50, kemiringan sruktur (slope) tan α, free board Rc, tinggi struktur hc, dan lebar puncak B. Parameter lain adalah kekasaran lapis lindung, porositas struktur dan sudut datang gelombang. Untuk stabilitas struktur, parameter yang dianggap berpengaruh adalah karakteristik gelombang (tinggi gelombang Hi, periode gelombang Tp, kelompok gelombang GF, bentuk spectrum gelombang, jumlah gelombang dan sudut datang gelombang), karakteristik material (nominal diameter Dn50, rapat massa material, bentuk dan kekasaran material), geometri struktur (ketebalan lapis

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

24 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 25

lindung dan filter ta, permeabilitas struktur P, kemiringan struktur tan α, tinggi struktur). Parameter lain adalah tinggi struktur dan cara pelaksanaan.

Penelitian tentang transmisi gelombang sudah banyak dilakukan dan menghasilkan formula-formula yang saat ini banyak dipergunakan dalam aplikasi-aplikasi praktis, tetapi masing-masing formula mempunyai keterbatasan (a.l. Dick and Brebner 1968, Ahren and Mc Cartney 1975, Dattatri et al. 1978, Bade and Kaldenhoff 1980, Abdul Khader and Rai 1980, Seelig 1980, Alssop 1983, van der Meer 1991, van der Meer and Daemen 1994, d’Angremond et al., 1996, Siladharma, 2001, Armono, 2003). Penelitian-penelitian berikutnya yang lebih ekstensif dilakukan oleh Seabrook and Hall (1998) untuk pemecah gelombang tenggelam (submerged) tumpukan batu dengan cakupan variable yang cukup luas sehingga dapat lebih menjelaskan fenomena transmisi gelombang. Hirose (2002) melakukan penelitian serupa dengan Seabrook and Hall dengan lapis lindung yang disebut Aquareef. Dua penelitian di atas dilakukan khusus pada struktur tenggelam. DELOS Project (2001) melakukan studi 2D dimana salah satu fokusnya adalah transmisi gelombang pada LCS dengan ambang lembar maupun sempit. Dari studi-studi terdahulu, Van der Meer, et al. (2005) melakukan analisa ulang terhadap perumusan transmisi gelombang yang didasarkan atas dua rumus yang dibangun oleh Van der Meer dan Daemen (1994) dan d’Angremond (1996).

Rumus Van der Meer dan Daemen mengimplementasikan nominal diameter D50 untuk menjelaskan pengaruh tinggi puncak pada transmisi gelombang, sedangkan d’Angreemond et al. menghubungkan tinggi jagaan (Rc) dengan tinggi gelombang dan dapat diimpelmentasikan untuk struktur rubblemound dan juga struktur impermeable. Van der Meer, et al. (2005) menganalisis bahwa dua formula sebelumnya mempunyai keterbatasan dalam menjelaskan pengaruh lebar puncak struktur (B/Hi) terhadap transmisi gelombang. Untuk B/Hi > 10, formula-formula yang dibangun menghasilkan nilai Kt yang overestimate ataupun pengaruh lebar puncak menjadi tidak jelas.

Perilaku LCS dalam proses refleksi gelombang juga sudah banyak dikaji dalam berbagai cara dan menghasilkan berbagai formula. Penelitian tentang refleksi gelombang pada umumnya berbarengan dengan penelitian-penelitian transmisi gelombang. Dalam proses refleksi, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kedalaman air dan karakteristik gelombang merupakan parameter yang signifikan. Slope dan diameter unit lapis lindung juga cukup signifikan mempengaruhi refleksi gelombang. Refleksi gelombang juga dihubungkan dengan beberapa parameter tanpa dimensi seperti tinggi relative pemecah gelombang (hc/Hi) dan periode gelombang. Parameter surf merupakan rasio antara kemiringan sisi struktur (slope) dengan tinggi dan periode gelombang. Tren data memperlihatkan bahwa refleksi gelombang meningkat secara signifikan dengan bertambah besarnya nilai ξ.

Tidak semua LCS dibangun dengan tipe tumpukan batu. Untuk keperluan tertentu LCS dilapisi aspal ataupun dibentuk dari blok revetment. Karakteristik transmisi gelombang pada lapis halus berbeda dengan tipe tumpukan batu, dimana transmisi gelombang akan lebih besar pada LCS lapis halus. Hal ini disebabkan tidak ada/kecilnya disipasi energy oleh gesekan dan porositas struktur. Van der Meer et al. (2005) melakukan re-analisis formula dari d’Angremond (1996) dan menghasilkan persamaan yang dapat dipergunakan untuk kondisi LCS tipe halus.

•Perubahan time series gelombangDari analisis dengan metode zero crossing, dapat dilihat bahwa

tinggi gelombang transmisi lebih rendah dari tinggi gelombang datang, tetapi mempunyai frekuensi yang lebih tinggi. Pada proses transmisi, frekuensi-frekuensi gelombang tinggi umumnya terjadi apabila elevasi muka air berada di sekitar elevasi puncak struktur. Petti and Ruol (1990, 1992) dan Liberatore and Petti (1992) menyatakan bahwa proses naiknya elevasi muka air (setup) dibelakang struktur menyebabkan terjadinya frekuensi gelombang yang lebih kecil di depan struktur.

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

26 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 27

•Perubahan Bentuk SpektrumSpektrum gelombang transmisi sering berbeda dengan spectrum

gelombang datang. Hal ini disebabkan oleh terjadinya gelombang pecah diatas puncak LCS yang membentuk dua atau lebih gelombang transmisi di belakang struktur dan berdampak pada meningkatnya energy gelombang pada frekuensi-frekuensi tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tinggi puncak relative hc/Hi mempengaruhi proses perubahan ini (e.g Van der Meer et al. 2000; Seabrook and Hall, 1998). Parameter yang biasa dipakai untuk menunjukkan bentuk spectrum adalah ε dan Qp. Parameter ε adalah spectral bandwidth atau broadness factor. Parameter ini pertama kali diperkenalkan oleh Cartwright and Longuet Higgins (1956) untuk menjelaskan lebar spectrum. Nilai ε = 0 menunjukkan spktrum gelombang dengan frekuensi sempit sedangkan ε ~ 1 menunjukkan spectrum lebar. Parameter lain adalah spectral peakedness factor, Qp yang diperkenalkan oleh Goda (1974). Penelitian dari Beji and Battjes (1993) menunjukkan bahwa gelombang trasnmisi mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan gelombang datang, yang mengindikasikan bahwa gelombang transmisi mempunyai spectrum yang lebih lebar dibandingkan gelombang datang. Hasil penelitian juga menunjukkan perubahan kecil dari nilai tinggi relative struktur akan menyebabkan perubahan nilai Qp yang signifikan.

Layout struktur dan perubahan morfologi pantaiPada umumnya pembangunan LCS seperti artificial reef akan

menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai dalam bentuk salient atau tombolo. Hal ini disebabkan karena terjadinya reduksi tinggi gelombang dibelakang struktur dan menyebabkan berkurangnya kapasitas gelombang untuk mengangkut sedimen. Konsekuensinya, sedimen diangkut oleh arus dan gelombang dibelakang struktur (Black, 2001). Bentuk perubahan garis pantai ditentukan oleh ukuran dan posisi struktur terhadap pantai. Harris and Herbich (1986) dan Dally and Pope (1986) sebagai contoh, memberikan kriteria empiris layout dan bentuk garis pantai untuk struktur detached LCS sebagai berikut:

• Formasi tombolo akan terbentuk apabila Ls/X > (1.0 to 1.5)• Formasi salient akan terbentuk apabila Ls/X = (0.5 to 1.0)• Formasi salient untuk LCS seri akan terbentuk apabila G X/

Ls2> 0.5Dalam hal ini Ls adalah panjang struktur, X adalah jarak struktur

terhadap pantai dan G adalah gap antara dua LCS seperti terlihat pada Gambar 10. Pilarczyk and Zeidler (1996) mengusulkan pendekatan respon perubahan garis pantai akibat struktur dengan memasukkan factor transmisi.

Kriteria yang diusulkan adalah: • Untuk tombolo: Ls/X > (1.0 to 1.5)/(1-Kt) atau X/Ls< (2/3-1)

(1-Kt), atau X/(1-Kt) < (2/3 to 1) Ls• Untuk salient: Ls/X < 1/(1-Kt) atau X/Ls> (1-Kt), atau X/(1-Kt)

> Ls • Untuk salient pada LCS seri: G X/Ls2> 0.5(1-Kt) • Gap antara dua LCS umumnya diambil L ≤ G ≤ 0.8 Ls dimana

L adalah panjang gelombang. Hanson and Kraus (1989, 1990) mengusulkan kriteria untuk

pemecah gelombang ambang rendah yang didasarkan atas simulasi numeric yang diverifikasi dengan data terbatas dalam bentuk:

• Untuk salient: Ls/L ≤ 48 (1 – Kt) Ho/h • Untuk tombolo: Ls/L ≤ 11 (1 – Kt) Ho/hDimana Ls adalah panjang pemecah gelombang, X = nh = jarak

struktur dari garis pantai dengan n= kemiringan pantai, h = kedalaman struktur, Ho = tinggi gelombang laut dalam dan L = panjang gelombang yang terjadi pada pemecah gelombang.

Aspek stabilitas strukturKinerja pemecah gelombang umumnya dihubungkan stabilitas.

Untuk pemecah gelombang tumpukan batu, stabilitas struktur didesain berdasarkan rumus-rumus empiris dari penelitian-penelitian laboratorium. Aplikasi dari rumus-rumus tersebut adalah menetapkan berat unit yang disiapkan sebagai penahan gempuran gelombang.

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

28 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 29

Kerusakan struktur tipe tumpukan batu biasanya diawali oleh proses terlepasnya/berpindahnya satu unit batu dari tumpukan semula. Bruun and Kjelstrup (1983) mengklasifikasikan stabilitas pemecah gelombang sebagai berikut:

• The overall stability of the mound. Fokus utama adalah stabilitas terhadap geser dari lapis lindung, kerusakan pelindung kaki dan keruntuhan struktur oleh gelombang.

• The unit stability. Adalah stabilitas unit lapis lindung secara individu.

• The structural stability of a group of individual members of the mound. Stabilitas struktur yang didasarkan atas kemampuan unit sebagai satu kesatuan lapis lindung.

Parameter yang berpengaruh terhadap stabilitas pemecah gelombang tumpukan batu dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu variable yang berhubungan dengan lingkungan dan variable yang berhubugan dengan struktur. Variabel lingkungan antara lain: tinggi dan periode gelombang (Hs dan Ts), durasi gelombang/jumlah gelombang (N), arah gelombang datang (ϕo), kelompok gelombang (GF), rapat massa air (ρw), viskositas dinamis air (µ) dan tegangan permukaan (σ). Variabel fisik struktur terkait dengan karakteristik material dan geometri struktur antara lain diameter unit (D50), rapat massa unit (ρa), bentuk dan kekasaran material, ketebalan lapis lindung dan filter (ta), permeabilitas struktur (P), slope (cot α), lebar ambang (B) dan tinggi struktur (hs). Aspek stabilitas pada pemecah gelombang ambang rendah sudah banyak dibahas seperti Ahrens (1987), Uda (1988), Van der Meer (1987, 1988), CUR/CIRIA (1991, 2007), Pilarczyk and Zeidler (1996) dan Vidal et al, (1992, 1998). Dari hasil-hasil penelitian tersebut, tingkat kerusakan pemecah gelombang yang dikenai oleh berbagai jenis gelombang sangat tergantung dari tinggi gelombang datang. Kombinasi antara tekanan, drag, gaya angkat berpotensi untuk mengangkat unit lapis lindung dari tempatnya semula dan memindahkan ke tempat lain. Parameter lain yang mempengaruhi stabilitas struktur antara lain kedalaman air dan bentuk geometri bangunan.

Sampai saat ini tersedia beberapa formula untuk memprediksi stabilitas pemecah gelombang. Semua formula tersebut diturunkan berdasarkan penelitian eksperimental, dimana formula-formula tersebut mempertimbangkan tinggi gelombang, rapat massa air, slope struktur dan diameter unit sebagai parameter utama. Rumus yang sampai saat ini paling banyak digunakan adalah rumus Hudson (1959) untuk menentukan berat dari unit lapis lindung sebagai fungsi dari tinggi gelombang, rapat massa air dan material, slope struktur dan bentuk material. Van der Meer (1987, 1988) menurunkan rumus untuk menghitung stabilitas pemecah gelombang tumpukan batu dan revetment untuk kondisi perairan dalam dan perairan dangkal dengan batasan-batasan tertentu, yang dapat dilihat pada Rock Manual, 2007.

Kriteria Kerusakan StrukturAnalisis stabilitas sebuah pemecah gelombang memerlukan kepastian

tentang tingkat kerusakan struktur. Definisi klasik tentang kerusakan adalah prosentase dari unit lapis lindung yang berpindah dari tempat semula terhadap jumlah total unit lapis lindung yang digunakan sebagai konstruksi utama. Perpindahan unit lapis lindung dalam hal ini dimaksudkan sebagai perpindahan unit dengan jarak lebih besar dari satu kali panjang unit. Hudson (1959) mendefinisikan stabilitas struktur dengan kriteria no-damage sebagai perpindahan 1% unit lapis lindung yang terkena tinggi gelombang tertentu dan 0.5 jam durasi gelombang. Van der Kreeke (1969) menyatakan tingkat kerusakan struktur sebagai perpindahan unit lapis lindung terhadap jumlah unit lapis lindung pada area tertentu disekitar elevasi muka air. Definisi ini tidak bisa menjelaskan tingkat kerusakan total dari struktur. CERC (1984) menyatakan tingkat kerusakan sebagai prosentase unit yang berpindah dari suatu zone active. Dalam hal ini zone aktif didefinisikan sebagai area dari setengah lebar puncak sampai satu tinggi gelombang dibawah elevasi muka air. Kriteria di atas didasarkan atas jumlah unit yang berpindah. Teknik lain untuk mengkuantifikasikan tingkat kerusakan didasarkan atas luasan erosi pada suatu profil pemecah

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

30 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 31

gelombang (Ahrens, 1984, van der Meer dan Pilarczyk, 1984, van der Meer, 1987, 1988).

Dari uraian di atas, beberapa formula untuk menentukan stabilitas pemecah gelombang mempunyai keterbatasan masing-masing. Pengguna diharapkan untuk memperhatikan batasan aplikasi rumus-rumus di atas dan apakah semua informasi yang diperlukan tersedia, seperti kedalaman dasar laut, tipe struktur, karakteristik gelombang, jenis material bangunan, dll. Sebagai contoh, apabila tidak tersedia informasi periode gelombang pada struktur, persamaan Hudson (1953) atau Van Gent et al (2004) dapat dipakai. Apabila semua informasi tersedia dan semua rumus yang tersedia dalam batas aplikasi, analisis sensitivitas sebaiknya dilakukan untuk memilih formula yang paling tepat.

PENUTUP

Hadirin yang saya muliakan, Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyiapkan formula baru dalam

perancangan LCS, namun diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi yang memerlukan. Black and Mead (1999) menyatakan bangunan pengamanan pantai berfungsi untuk memproteksi suatu kawasan pantai dari erosi juga diharapkan mempunyai nilai ekonomi maupun rekreasi sehingga dalam konservasi dan pengembangan kawasan pantai sebaiknya juga mempertimbangkan peningkatan fungsi-fungsi rekreasi dan kenyamanan. Pemahaman tentang batasan-batasan penggunaan formula yang ada perlu terus ditingkatkan untuk memperoleh hasil perencanaan yang optimal dan berfungsi dengan baik. Usaha-usaha penelitian tentang system pengaman pantai, terutama LCS, akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap prediksi respon pantai dan metode untuk mengoptimasi disain pemecah gelombang. Usaha ini akan memberikan para perancang suatu aplikasi yang lebih efisien dalam menangani permasalahan pantai. Monitoring diperlukan untuk dapat dipakai sebagai bahan evaluasi/verifikasi

disain-disain yang sudah ada. Masih banyak ketidakpastian dalam pemilihan gelombang rencana

untuk perhitungan disain. Saat ini ketidakpastian tersebut diselesaikan dengan mempergunakan model fisik dalam memperhitungan aspek stabilitas. Sangat direkomendasikan semua disain dari hasil perhitungan dilanjutkan dengan tes model fisik, sehubungan dengan stabilitas struktur pemecah gelombang tidak hanya cukup ditetapkan berdasarkan sebuah grafik sederhana.

Hadirin yang saya muliakan, Ijinkan saya mengutip sebuah pernyataan sebagai berikut.It should be kept in mind that, once a location is protected along a coast that has eroded on a large scale, the protected part can induce extra erosion and in the end the whole coast will have to be protected. So, look before you leap, should be the motto.

UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang saya muliakan, Sebelum mengakhiri orasi ini, ijinkan saya mengucapkan

terimakasih kepada Menteri Riset, Teknologi dan Pendidkan Tinggi, Rektor Universitas Udayana, Senat Universitas Udayana, yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk mengemban tugas akademik sebagai Guru Besar dalam bidang Teknik Pantai di Universitas Udayana.

Kepada Dekan Fakultas Teknik dan jajarannya, pimpinan di Jurusan Teknik Sipil berserta teman-teman dosen di Fakultas Teknik dan Jurusan Teknik Sipil, saya haturkan terima kasih atas dorongan dan bantuannya.

Kepada Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan serta jajarannya, dimana saat ini saya ditugaskan, teman-teman dosen dan pegawai, saya haturkan terima kasih atas kerjasamanya selama ini.

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

32 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 33

Kepada para dosen beserta pembimbing atau promotor saya baik yang ada di Fakultas Teknik Unud, Program Pasca sarjana UGM (Prof. Nur Yuwono, Prof. Nizam, Prof. Radianta Triatmadja) maupun ketika menempuh program S-3 di Dalhousie University, Canada (Prof. MG. Satish dan Prof. Kevin Hall), saya ucapkan terimakasih atas semua ilmu, tuntunan dan bimbingannya.

Kepada orang tua I Gusti Made Jelantik Sushila dan I Gusti Ayu Rai Bintang (alm), terima kasih atas ketulusannya dalam membesarkan dan mendidik saya. Kepada mertua I Gusti Made Oka Wirya dan Ida Ayu Ardhini (alm), terima kasih atas dorongan semangatnya.

Kepada istri I Gusti Ayu Diah Anggraini, anak IGB. Dharma Agastia dan IGB. Dharma Mahardika, terima kasih atas segala pengorbanan, pemberi inspirasi serta semangatnya.

Kepada kakak, adik, ipar dan ponakan-ponakan serta keluarga besar Swa Wandawa Sembung-Karangjung, terima kasih atas segala bantuan, dorongan dan motivasinya.

Kepada kolega dilingkungan Universitas Udayana, instansi pemerintah, swasta dan lainnya, yang tidak bisa saya sebut satu persatu, saya haturkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang sudah terjalin. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan tersebut.

Om shanti, shanti, shanti Om

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khader, M.H. and Rai, S.P., 1980, A Study of Submerged Breakwaters, Journal of Hydraulic Research, 18, No. 2, pp. 113-121.

Black, K. and S. Mead, 1999, Submerged structures for coastal protection, ASR, Marine and Freshwater Consultants, New Zealand

Bremner, W.D., Foster, N., Miller, C.W. and Wallace, B.C., 1980, The Design Concept of Dual Breakwaters and Its Application to Townsville, Australia, Proc. of the 17th Coastal Engineering Conf., Sidney, Australia, pp.1898-1908.

Bruun, P. (ed.), 1985, Design and Construction of Mounds for Breakwaters and Coastal Protection, Elservier, Amsterdam, The Netherlands.

CIRIA, CUR, CETMEF. 2007, The Rock Manual. The use of rock in hydraulic engineering (2nd edition). C683, CIRIA, London.

Coastal Engineering Research Center, 1984, Shore Protection Manual, Department of the Army, Waterways Experiment Station, Corps of Engineers, Vicksburg, Mississippi.

d’Angremond, K., van der Meer, J.W., de Jong, R.J., 1996. Wave transmission at low crested structures. Proc. 25th Int. Conf. on Coastal Engineering, ASCE, pp. 3305–3318.

Dattatri, J., Raman, H. and Shankar, N.J, 1978, Performance Characteristics of Submerged Breakwater, Proc. of the 16th Coastal Engineering Conf., Hamburg, Germany, pp.2153-2171.

Dick, T.M. and Brebner, A., 1968, Solid and Permeable Submerged Breakwaters, Proc. of the 11th Coastal Engineering Conf., London, England, pp. 1141-1149.

Funke, E.R. and Mansard, E.P.D, 1980, On the Synthesis of Realistic Sea States, Proc. of the 17th Coastal Engineering Conf., Sydney-Australia, pp. 2974-2991.

Gironella, X., Sanchez-Arcilla, A., Briganti, R., Sierra, J.P., Moreno, L.,

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

34 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 35

2002. Submerge d detached breakwaters: towards a functional design. Proc. 28th Int. Conf. on Coastal Engineering, ASCE, pp. 1768–1777.

Hirose, N., A. Watanuki and M. Saito, 2002, New Type Units for Artificial Reef Development of Eco-friendly Artificial Reefs and the Effectiveness Thereof, PIANC Congress, Sydney

Hudson, R.Y., 1959, Laboratory Investigation of Rubble-Mound Breakwaters, J. of Waterways, Harbours and Coastal Eng. Div., ASCE, Vol. 85, No. WW3, pp. 93-121

Jim Dahm, 1999, Coastal Erosion Risk Mitigation Strategy for the Waikato Region, Environment Waikato, Hamilton East.

Kamphuis, J.W., 2000, Introduction to Coastal Engineering and Management, World Scientific, Singapore

Kramer, M., Zanuttigh, B., van der Meer, J.W., Vidal, C., Gironella, F.X., 2005. Laboratory Experiments on Low- Crested Breakwaters. Coastal Engineering 52.

Lopez, C., Losada, M.A. and Kobayashi, N., 1998, Stability of Mound Breakwater: dependence on wave reflection, Proceeding of the 26th Coastal Engineering Conference, Copenhagen, Denmark, pp. 1833-1845.

Mangor, K., 2004, Shoreline Management Guidelines, DHI Water & Environment, Denmark

McGranahan, Gordon, Deborah Balk and Bridget Anderson (2006), Low coastal zone settlements, Tiempo No 59, pages 23–26.

McGranahan, Gordon, Peter J Marcotullio, Xuemei Bai et al. (2005), Urban systems, in Rashid Hassan, Robert Scholes and Neville Ash (editors), Ecosystems and Human Well-Being: Current Status and Trends, Island Press, Washington DC, pages 795–825.

Melito, I., Melby, J.A., 2002. Wave runup, transmission, and reflection for structures armoured with CORE-LOC. J. of Coastal Engineering vol. 45. Elsevier, pp. 33–52.

Miles, M.D., 1989, User Guide for GEDAP Version 2.0 Wave Generation Software, Technical Memorandum LM-HY-034, National Research

Council of Canada, Ottawa.Nizam, 1992, Proses Kepantaian, Program Pasca Sarjana Univ. Gadjah

Mada, YogyakartaNur Yuwono, 1998, Dasar-Dasar Penyusunan Master Plan Pengelolaan

dan Pengamanan Daerah pantai, PAU Ilmu teknik UGM, YogyakartaPilarczyk, K.W. and Zeidler, R.B., 1996, Offshore breakwaters and shore

evolution control, A.A. Balkema, Rotterdam.Pina, G.G. and J.M. Valdes F. Alarcon, 1990, Experiments on Coastal

Protection Submerged Breakwaters: A Way to Look at the Results, Proc. of the 22nd Coastal Engineering Conf., Delft, the Netherlands, pp.1592-1605.

Restall, S.J., L.A. Jackson and Georg Heerten, 2001, The Challenge of Geotextile Sand Containers as Armour Units for Coastal Protection Works in Australasia, Proceedings of the 15th Australasian Coastal & Ocean Engineering Conference, 25-28th September 2001 Gold Coast, Australia

Seabrook, S.R., Hall, K.R., 1998. Wave transmission at submerged rubble mound breakwaters. Proc. 26th Int. Conf. on Coastal Engineering, ASCE, pp. 2000– 2013.

Sila Dharma, IGB, 2001, A Study of Wave Transmission, Reflection and Stability of Low Crested Structures, Dalhousie University, Canada.

Siladharma, IGB and DM. Sulaiman, 2011, Hydraulic Characteristics of Low Crested Structures under Wave Attack, International Journal of Shipping and Ocean Engineering Vol. 1 No. 3, August 2011, ISSN 2159-5879 (Print), ISSN 2159-5887 (online), David Publishing Company, 1840 Industrial Drive, Suite 160, Libertyville, Illinois 60048, pp. 141-149

Siladharma, IGB, 2011, Design Formulae of Wave Transmission due to Oblique Waves at Low Crested Structures, Journal of Civil Engineering, ITB, Vol. 18 No.1 April 2011, ISSN 0853-2982

Smith, O.P., 1986, Cost-Effectiveness of Breakwater Cross Sections, J. of Waterway, Port, Coastal, and Ocean Eng., ASCE, Vol. 113, No. 5, pp. 447-460.

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

36 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 37

Sullivan, J.D. and Davidson-Arnott, R.G.D., 1995, Hazard and Regulatory Standards: Great Lakes-St. Lawrence River System Shorelines, Proc. Canadian Coastal Conference, CCSEA, Halifax.

U.S. Army Corps of Engineers, Coastal Engineering Manual (CEM), Engineer Manual 1110-2-1100, Washington

Van der Meer, J.W., 1987, Stability of Breakwater Armour Layers-Design Formulae, Coastal Engineering, 11, pp. 219-239.

Van der Meer, J.W., 1988, Rock Slopes and Gravel Beaches under Wave Attack, Doctoral thesis, Delft University of Technology. Also: Delft Hydraulics Communication No. 396.

Van der Meer, J.W., 1991, Stability and Transmission at Low Crested Structures, Delft Hydraulics Publication No. 453.

Van der Meer, J.W., Regeling, H.J., de Waal, J.P., 2000. Wave transmission: spectral changes and its effects on run up and overtopping. Proc 27th Int. Conf on Coastal Engineering, pp. 2156– 2168.

Van der Meer, J.W., Tonjes, P., de Waal, J.P., 1998. A code for dike height design and examination. In: Allsop, N.W.H. (Ed.), Coastlines, Structures and Breakwaters. ICE. Thomas Telford, London, UK, pp. 5 –19.

Van der Meer, J.W., Wang, B., Wolters, A., Zanuttigh, B., Kramer, M., 2003. Oblique wave transmission over lowcrested structures. ASCE, Proc. Coastal Structures 2003, Portland, USA, pp. 567–579.

Vidal, C. and Mansard, E.P.D., 1995, On the Stability of Reef Breakwaters, Technical Report, National Research Council of Canada, Ottawa.

Vidal, C., Losada, M.A. and Medina, R., 1991, Stability of Mound Breakwater’s Head and Trunk, Journal of Waterway, Port, Coastal, and Ocean Eng., ASCE, Vol. 117, No. 6, pp. 570-587.

Walker, J.R, Palmer, R.Q. and Dunham, J.W., 1975, Breakwater Back Slope Stability, Proc. of Civil Engineering in the Oceans/III, ASCE, New York, NY, pp. 879-898.

Wang, B., 2003, Oblique wave transmission at low-crested structures. MSc-thesis HE 133, UNESCO-IHE, Delft, NL.

Wang, B., Otta, A.K., Chadwick, A.J., 2005. Analysis of oblique wave transmission at smooth and rubble mound structures. ICE, Proc. Coastlines, Structures and Breakwaters 2005, London, UK.

Yoshioka, K., Kawakami, T., Tanaka, S., Koarai, M. and Uda, T., 1993. Design Manual for Artificial Reefs, in Coastlines of Japan II, Coastal Zone’93, ASCE.

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

38 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 39

RIWAYAT SINGKAT

Nama : I Gusti Bagus Sila Dharma.Tempat, tanggal lahir : Denpasar, 15 April 1961Alamat : Jalan Pulau Menjangan No. 8 Denpasar

Riwayat Pendidikan :• SD No. 2 Saraswati, Denpasar, 1973.• SMPN 1 Denpasar, 1976.• SMAN 1 Denpasar, 1980• S1 (Ir), Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Udayana,

Denpasar, 1986.• S2 (MT), Bidang Studi Teknik Pantai, Program Pasca Sarjana, UGM,

Yogyakarta, 1994.• S3 (Ph.D.), Civil Engineering Dept., Dalhousie University, Canada,

2002.

Short Courses/Pelatihan:• Pelatihan Penggunaan Mobilev Software untuk Penyusunan

Inventarisasi Emisi, Solo, 23-25 Oktober 2013, Kementerian Lingkungan Hidup-GIZ

• Pelatihan untuk Pelatih Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Bogor, 1-4 Oktober 2012, Kementerian Lingkungan Hidup

• ToT Implementasi Instrumen Ekonomi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Mataram, 04-06 Oktober 2011, Kementerian Lingkungan Hidup-Danida ESP2

• Pelatihan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004, ITB Bandung/PT IEC,16-17 Oktober 2010

• Pelatihan asesor BAN-PT, 23-24 November 2008, Jakarta • Short Course Best practices in The Coastal Environment, 23

Februari 2008, PIANC-COPEDEC, Dubai, UEA• ToT Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan Pesisir dan

Laut, 17-20 Mei 2006, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta

• Coastal Zone Management, PPSDALH, UNUD, 23-29 Oktober 1995, Denpasar.

• Pengelolaan dan Perencanaan Bangunan Pantai, PAU Ilmu Teknik UGM, 2-14 September 1991, Yogyakarta.

• Model Perubahan Konfigurasi Dasar Sungai, PAU Ilmu Teknik UGM, 8-13 Pebruari 1993, Yogyakarta.

• Pengembangan Daerah Rawa, PAU Ilmu Teknik UGM, 15-19 Pebruari 1993, Yogyakarta.

Keanggotaan dalam organisasi Profesi: • Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) No. Anggota:

122287• Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) No. Anggota: 2003181

Riwayat Pekerjaan:• 1987-sekarang: Staf pengajar Jurusan Teknik Sipil UNUD

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

40 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 41

• 2003-2007: Sekretaris Jurusan Teknik Sipil Univ. Udayana• 2010-2014: Sekretaris Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)

UNUD.• 2014: Ketua Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan

Perikanan• 2014-sekarang: Wakil Dekan II Fakultas Kelautan dan Perikanan,

Universitas Udayana

Penelitian/studi:• Evaluasi Kinerja Prototip Pengaman Pantai di Bali, Loka Penerapan

Teknologi Pantai, 2006, Pusat Litbang SDA, Dep. PU• Evaluasi Kinerja Prototip Pengaman Pantai di Bali, Loka Penerapan

Teknologi Pantai, 2007, Pusat Litbang SDA, Dep. PU• Kajian Teknis Daerah Rawan Air Propinsi Bali, 2008, Bappeda

Provinsi Bali• Studi Kelayakan Pembangunan Pelabuhan Khusus PLTU Celukan

Bawang, 2008, PT. General Energy Bali• Kajian Sempadan Pantai Kabupaten Tabanan, 2008, Bappeda Kab.

Tabanan• A Study of Wave Transmission, Reflection and Stability of Low

Crested Structures, 2009, Hibah Dikti• Sensitivitas Kawasan Pantai Terhadap Kenaikan Muka Air Laut,

2010, Unud• Kajian Mitigasi Bencana di Kawasan Pesisir, 2010, Unud• Perubahan Karakteristik Hujan Akibat Perubahan Iklim Global

dan Dampaknya Terhadap Fenomena Banjir, 2011, Unud• Scoping Study of Development of a 2 x 100 MW Coal fired power

plant in Bali-Indonesia, 2011, International Power PLC, Bangkok• Preliminary Study of Development of Bali Gas Fired CCGT Electric

Power Plant, 2012, IPR-GDF SUEZ Asia co., Ltd, Bangkok• Studi Evolusi Profil Pantai Setelah Pengisian Pasir Berdasarkan

Model Komputer (Studi Kasus Pantai Nusa Dua), 2012, Unud• Inventarisasi Sumber Emisi Kota Denpasar, 2013, Kementerian

Lingkungan Hidup• Potensi Tukad Unda untuk Memenuhi Kebutuhan Air Sarbagiku

(Denpasar, Badung, Gianyar, Klungkung), 2013, Unud• Simulasi Run up Gelombang Tsunami dengan SPH Model, 2014,

Unud• Pemetaan Perubahan Garis Pantai Pulau Bali Berdasarkan Citra

Landsat dengan GIS dan Remote Sensing, 2014, Unud• Kajian Pencemaran Pantai Kuta, 2014, Unud• Model Pengelolaan Air Tanah Kota Denpasar Melalui Pendekatan

Ergo-Hidrogeologi, 2014, DP2M Dikti skim PUPT• Kontribusi Sedimentasi Dalam Runoff (Air Larian) Terhadap

Prevalensi Penyakit Karang Pada Terumbu Karang Dangkal Di Perairan Pesisir Pemuteran, 2016, Unud

• Studi Pergerakan Sampah Lautan dengan Pemodelan Numerik Di Perairan Selat Bali: Hubungannya Dengan Pencemaran Sampah di Pantai Kuta, Bali, 2016, Unud

Publikasi Ilmiah beberapa tahun terakhir• IGB. Sila Dharma and Windy Candrayana, 2017, Hydrodynamics

and sediment transport of Benoa Bay, Semi-enclosed Bay in Bali, Indonesia, 2017, Journal of Applied Mechanics and Materials, ISSN:1662-7482, Vol. 862, pp 3-8

• Abd. Rahman As-syakur, Takahiro Osawa, Fusanori Miura, IWayan Nuarsa, Ni Wayan Ekayanti, IGusti Bagus Sila Dharma, IWayan Sandi Adnyana, IWayan Arthana, Tasuku Tanaka, 2016, Maritime Continent rainfall variability during the TRMM era: the role of monsoon, topography and El Niño Modoki. Dynamics of Atmospheres and Oceans, Volume 75, Elsevier, September 2016, pp. 58–77

• I Gusti Bagus Sila Dharma and Soni Senjaya Efendi, 2015, Study of the Evolution of Sanur Beach Nourishment Project for Beach Enhancement, Journal of Applied Mechanics and Materials Vol 776 (2015) pp 145-150

I Gusti Bagus Sila DharmaPerkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

42 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Sabtu, 18 November 2017 43

• IGB. Siladharma, 2012, Cross-shore profile and coastline changes of sandy beaches, south coast of Bali island, 8th International Conference on Coastal and Port Engineering in Developing Countries, COPEDEC 2012, IIT Madras, Chennai, INDIA, 20-24 Feb. 2012, ISBN: 978-93-80689-06-7

• IGB. Siladharma and DM. Sulaiman, 2011, Hydraulic Characteristics of Low Crested Structures under Wave Attack, Journal of Shipping and Ocean Engineering Vol. 1 No. 3, August 2011, ISSN 2159-5879 (Print), ISSN 2159-5887 (online), David Publishing Company, 1840 Industrial Drive, Suite 160, Libertyville, Illinois 60048, pp. 141-149

• IGB. Siladharma, 2011, Design Formulae of Wave Transmission due to Oblique Waves at Low Crested Structures, Journal of Civil Engineering, Vol. 18 No.1 April 2011, ISSN 0853-2982

• IGB. Sila Dharma, IGA. Adnyana Putera and Made Doddy H. Ardana, Artificial Neural Networks untuk Pemodelan Curah Hujan-Limpasan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Bali, 2011, Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari, Akreditasi No. 64a/DIKTI/Kep/2010, Vol. 11, No 1, Pebruari 2011, ISSN 1411-9668, pp. 9-22

• IGB. Sila Dharma dan Sony Senjaya, Klasifikasi Profil Pantai Berdasarkan Parameter Morfodinamika Sebagai Indikator Tingkat Perubahan Pantai, 2010, Pertemuan Ilmiah Tahunan Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) XXVII dan Kongres X, 29 Juli-1 Agustus 2010, Surabaya

• Sila Dharma, IGB. and Silvia G. Tonyes, 2010, Low Crested Structures and Beach Nourishment as Environmentally Friendly Coastal Erosion Control for Bali Beach Conservation Project, International Conference on Sustainable Technology Development (ICSTD), 7-8 October 2010, Bali.

• Sila Dharma, IGB., 2009, Profile Change at Nusa Dua Beach, South Coast of Bali After Beach Nourishment Project, International Seminar on Climate Change: Impacts on Water Resources and Coastal Management in Developing Countries, Manado-Indonesia, 4-6 May 2009

• Siladharma, I.G.B. and Mawiti, I.Y, 2009, Prediction of thermal water dispersion from Kubu steamed power plant, Third International Conference in Ocean Engineering, ICOE 2009, IIT Madras, Chennai, India, 1-5 Feb. 2009, ISBN: 978-81-904235-8-8

• IGB. Sila Dharma, Silvia G Tonyes dan IK Swijana, 2009, Perilaku Geotextile Sand Containers (GSC) Sebagai Struktur Bangunan Pantai, Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XIII Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI), 5-6 Nopember 2009, Denpasar, Bali, pp. 274-277, ISBN: 978-979-96668-7-1

• IG.A. Adnyana Putera, IG.B. Sila Dharma and IG Rai Yohanes Oka Suarcita, 2008, Pengembangan Fasilitas Pendukung Turn Around Cruise Port Pada Pelabuhan Benoa, Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan (SENTA), 17 Desember 2008, ITS, Surabaya, pp. F-97-104, ISSN 1412-2332

• DM. Sulaiman and IGB. Siladharma, 2008, Erosion Rate of Sanur Beach Nourishment Project, Seventh International Conference on Coastal and Port Engineering in Developing Countries (COPEDEC), Dubai, United Arab Emirates: 24-28 Feb 2008

• IGB. Siladharma, Dede M. Sulaiman dan Soni Senjaya, 2007, Laju Erosi Pantai Nusa Dua Tiga Tahun Setelah Proyek Pengisian Pasir, Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 13-14 November 2007, Puslitbang Sumber Daya Air, Departemen PU, Bandung, pp. III 160-171, ISSN 1829-9644

• IGB. Sila Dharma, Upaya-upaya Mitigasi Erosi Pantai Wilayah Pesisir Bali Selatan, 2006, Konferensi Nasional V Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Batam, 29 Agustus – 1 September 2006

• Siladharma, IGB, Satish, M.G and Sudiarta, W., 2005, Low crested Structures for Coastal Protection, Canadian Coastal Conference, 15-17 November 2005, Dartmouth, Nova Scotia, Canada

• Sila Dharma, IGB., Analisis Penyebab Erosi Daerah Pantai Pulau Bali, 2003, dalam Menuju Pembangunan Bali Berkelanjutan,

Perkembangan Rancang Bangun Pemecah Gelombang untuk Pengendalian Kerusakan Pantai

44 Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Udayana

Udayana University, pp. 64-77., ISBN 979-8286-71-5• Dharma, S. and K. Hall, 2003, Diffraction Effects on Wave

Transmission at Submerged Breakwaters, Canadian Coastal Conference, 15-17 October 2003, Queen’s University, Kingston, Canada.

• Siladharma, I. and Satish, M.G., 2001, Stability of Low Crested Rubble Mound Breakwaters Under Wave Attack, in Brebbia, C.A. (ed), Coastal Engineering: Computer Modeling of Seas and Coastal Regions, WIT Press, Southampton, UK, pp. 235-242, ISBN 1-85312-879-1