29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia yang merupakan negara Hukum sebagaimana yang di gagas oleh founding father yang dirumuskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (disingkat UUD 1945) bahwa Indonesia adalah negara Hukum (Rechtstaat) 1 . Bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( matchstaat) semata 2 . dan Indonesia adalah Negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya. Dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 disebutkan bahwa : “ Negara Indonesia adalah Negara hukum. “ Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law ). Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum, tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebelum perubahan.Selain itu pernyataanbahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum juga dapat dilihat dalam penjalasan UUD 1945 sebelum perubahan. Negara Hukum Indonesia dengan menggunakan konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon) sumber semua Hukum di Indonesia adalah dari Grundnorm (norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang ‘tatanan’ yang diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini, Negara). Grundnormmerupaka syarat transcendental logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Seluruh tata hukum positif di Indonesia Harus berpedoman secara hirarki pada Undang-Undang Dasar NRI 1945 serupa dengan pendapat Kelsen Mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan. Hierarki Peraturan perundang-udangan di Indonesia dengan merujuk pada Undang- Undang no 12 Tahun 2011 Tentang Pembenttukan Peraturan perundang-Undangan lebih tepatnya pada pasal 7 (Tujuh) memberikan kosep jenjang berlapis peraturan perundang-undangan di Indoesia mulai dari UUD NRI 1945 hasil kompilasi 4 (empat) amandemen sampai peraturan organic lainnya. Dan harmonisasi serta sinergitas antar peraturan perundang-undangan secara Vertikal sudah jelas terkristalisasi dalam UU no 1 Istilah rechtstaat pertama kali digunakan oleh Rudolf van Gnes (1816-1895), seorang guru besar di Berlin-Jerman pada awal abad ke 19 sebagai konsepsi baru dari ide rule of law. Istilah ini terdapat dalam bukunya yang berjudul “Englishce verwaltunngerechte” pada tahun 1857 dimana ia menggunakan istilah Rechtstaat untuk pemerintah negara Ingris. 2 ? dalam konsepsi Negara Hukum ( rechtstaat) utuh yang established penulis lebih memilih sepakat dengan pernyataan mantan hakim konstitusi kita yaitu prof. A.Mukhtie fadjar, SH, MSI) yang mengutip pendapat dari Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia memang belum secara utuh menjadi negara hukum yang artinya adalah negara Hukum Indonesia merupkan suatu bangunan yang belum selesai dan masih dalam proses pembentukan yang intensif. Lihat tulisan beliau dalam tipe negara hukum. Bayu Media, malang 2004 dan Reformasi Konstitusi dalam masa transisi paradigmatik, In-TRANS, Malang 2003. Hal .56.

Rekonstruksi syarat menjadi advokat bagi mantan narapidana dalam Undang-undang No 18 Taun 2003 tentang advokat ( ditinjau dari UU lembaga permasyarakatan )

  • Upload
    twa

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia yang merupakan negara Hukum sebagaimana yang di gagas oleh founding father yang dirumuskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (disingkat UUD 1945) bahwa Indonesia adalah negara Hukum (Rechtstaat)1. Bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (matchstaat) semata2. dan Indonesia adalah Negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya.

Dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 disebutkan bahwa : “ Negara Indonesia adalah Negara hukum. “ Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law ). Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum, tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebelum perubahan.Selain itu pernyataanbahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum juga dapat dilihat dalam penjalasan UUD 1945 sebelum perubahan.

Negara Hukum Indonesia dengan menggunakan konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon) sumber semua Hukum di Indonesia adalah dari Grundnorm (norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang ‘tatanan’ yang diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini, Negara). Grundnormmerupaka syarat transcendental logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Seluruh tata hukum positif di Indonesia Harus berpedoman secara hirarki pada Undang-Undang Dasar NRI 1945 serupa dengan pendapat Kelsen Mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan.

Hierarki Peraturan perundang-udangan di Indonesia dengan merujuk pada Undang-Undang no 12 Tahun 2011 Tentang Pembenttukan Peraturan perundang-Undangan lebih tepatnya pada pasal 7 (Tujuh) memberikan kosep jenjang berlapis peraturan perundang-undangan di Indoesia mulai dari UUD NRI 1945 hasil kompilasi 4 (empat) amandemen sampai peraturan organic lainnya. Dan harmonisasi serta sinergitas antar peraturan perundang-undangan secara Vertikal sudah jelas terkristalisasi dalam UU no

1 Istilah rechtstaat pertama kali digunakan oleh Rudolf van Gnes (1816-1895), seorang guru besar di Berlin-Jerman pada awal abad ke 19 sebagai konsepsi baru dari ide rule of law. Istilah ini terdapat dalam bukunya yang berjudul “Englishce verwaltunngerechte” pada tahun 1857 dimana ia menggunakan istilah Rechtstaat untuk pemerintah negara Ingris.

2 ? dalam konsepsi Negara Hukum (rechtstaat) utuh yang established penulis lebih memilih sepakat dengan pernyataan mantan hakim konstitusi kita yaitu prof. A.Mukhtie fadjar, SH, MSI) yang mengutip pendapat dari Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia memang belum secara utuh menjadi negara hukum yang artinya adalah negara Hukum Indonesia merupkan suatu bangunan yang belum selesai dan masih dalam proses pembentukan yang intensif. Lihat tulisan beliau dalam tipe negara hukum. Bayu Media, malang 2004 dan Reformasi Konstitusi dalam masa transisi paradigmatik, In-TRANS, Malang 2003. Hal .56.

12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-Undangan.Tetapi tidak berhenti hanya sebatas vertical antara peraturan yang dibawah harus sesuai dengan peraturan diatasnya.Tetapi harmonisasi dan sinergitas antar peraturan perundang-undangan setingkat merupakan sebuah keharusan dalam system hukum berjenjang. Disharmonisasi antar peraturan perundang-undangan akan menimbulkan sebuah kerancuan dalam keefektifannya dan daya berlaku Peraturan perundang-undangannya.

UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi pasal 28D ayat 1, 2 & 3 berbunyi:

“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”

Pengimplementasian pasal 28D UUD 1945 pada ayat 1 adalah dengan menegakkan supremasi hukum bagi tiap masyarakat.Hukum memegang peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Hukum berfungsi mengatur segala hal agar segala hal yang dilakukan dapat berjalan tertib, lancar, dan sesuai aturan.Hukum dibuat untuk dipatuhi dan ditaati.Bukan untuk dilanggar. Namun, apa yang terjadi adalah hukum di negara ini seperti dua sisi mata pisau. Tumpul bagi kalangan atas dan tajam bagi kalangan bawah.Contoh nyata adalah maraknya mafia pengadilan di negeri ini.Para mafia dengan mudahnya melalui perangkat pengadilan menjatuhkan hukuman atau memenangkan perkara sesuai bayaran yang dibayarkan pihak yang bersengketa.Begitu juga peraturan atau undang-undang yang dibuat legislatif banyak yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Lihat saja UU Tipikor yang pengesahannya berlarut-larut dan hukuman bagi para koruptor tidak sebanding dengan apa yang diakibatkan dari perbuatannya.

Pembangunan dan pengembangan budaya hukum ditujukan untuk terciptanya ketentraman serta ketertiban dan tegaknya hukum yang berintikan kejujuran, kebenaran dan keadilan untuk mewujudkan kepastian hukum dalam rangka menumbuhkan disiplin nasional.Kesadaran hukum penyelenggaraan negara dan masyarakat perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara terus-menerus melalui pendidikan, penyuluhan, sosialisasi, keteladanan dan penegakan hukum untuk menghormati suatu bangsa yang berbudaya hukum.

Dalam ayat 2 pasal 28D tiap orang berhak untuk memperoleh pekerjaan yang sangat penting demi memenuhi kebutuhannya.Untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan imbalan yang pentas memang tergantung kepada persiapan para pencari kerja tapi pemerintah juga berkewajiban menciptakan banyak lapangan pekerjaan agar tingkat pengangguran semakin menurun dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat.

Ayat 3 pasal 28D, negara memberikan hak kepada tiap warga atau masyarakat untuk ikut dalam berpolitik.Negara terlihat berusaha memenuhi kewajibannya.Ini sudah terlihat dari banyak munculnya berbagai partai politik.Tinggal bagaimana para partisipan politik benar-benar bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa adanya penyimpangan.

Indonesia telah membagi cabang-cabang kekuasaannya menjadi beberapa cabang, setelah dinding romantisme orde baru runtuh, reformai kelembagaan di Indonesia pu berubah, dengan tidak ada lagi lembaga tinggi Negara. Kemudian penegak hukum pun bertambah dengan Lahirnya Undang-undang No 18 tahun 2003 tentang advokat, dengan dimasukkannya advokat sebagai penegak hukum di Indonesia.

Akar kata advokat, apabila didasarkan pada Kamus Latin-Indonesia, dapat ditelusuri dari bahasa Latin, yaitu Advocatus, yang berarti antara lain yang membantu seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, kata advokat juga berasal dari kata Latin, yaitu Advocare, suatu kata kerja yang berarti to defend, to call ones’s aid, to vouch to warrant. Sebagai kata benda (noun), Artinya, seseorang yang membantu, mempertahankan, membela orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari hukum dan telah diakui untuk berpraktik, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara untuk yang bersangkutan di hadapan pengadilan.Seorang asisten, penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.

Sedangkan menurut English Languange Dictionary, advokat didefinisikan sebagai berikut:

Advokat adalah seorang pengacara yang berbicara atas nama seseorang atau membela mereka di pengadilan. Definisi atau pengertan advokat tersebut menunjukkan behwa cakupan pekerjaan advokat dapat meliputi pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan dan pekerjaan di luar pengadilan.

Perkatan advokat sudah dikenal sejak abad pertengahan (abad ke 5-15), yang dinamakan advokat gereja (kerkelijke advocaten, duivel advocaten), yaitu advokat yang tugasnya memberikan segala macam keberatan-keberatan dan/atau nasihat dalam suatu acara pernyataan suci bagi seorang yang telah meninggal.Pada zaman kerajaan Romawi, advokat hanya memberikan nasihat-nasihat, sedangkan yang bertindak sebagai pembicara dinamakan patronus-procureur.Terakhir, pengertian advokat menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam Pasal 1 angka (1) dikatakan:

“Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Berdasarkan uraian di atas, pengertian advokat memperoleh penekanan pada pekerjaan yang berkaitan dengan pengadilan. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 8/2003, sudah ditegaskan bahwa advokat adalah orang yang melakukan pekerjaannya baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Berdasarkan pemaparan di atas, cakupan advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan, sebagaimana diatur undang-undang advokat.Berdasarkan hal tersebut dan apabila kita mengikuti pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, dari sudut ilu hukum, cakupan advokat tersebut sebagai politik hukum (legal policy).Politik hukum yang dimaksudkan di sini adalah mencari kegiatan untuk memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.

Nilai-nilai (value) di atas merupakan percerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah pembentuk undang-undang (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat) yang mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara lain mencakup para praktisi hukum. Hal ini dimaksudkan antara lain agar antara para praktisi hukum yang dulu terkotak-kotak (advokat/pengacara dan konsultan hukum) kiranya dapat bersatu dan dihimpundalam wadah (organisasi) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas advokat dan menjadi professional yang disegani pada masa mendatang.

Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yang diundangkan pada tanggal 5 april 2003 ( selanjutnya disebut Undang-Undang No 18 Tahun 2003 atau UU advokat) menjadi awal eksistensi serta dasar Hukum bagi Advokat sebagai Penegak Hukum,3 dengan semangat agar terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia.4Dengan diundangkannya UU advokat tersebut memberikan Legitimasi bahwa advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam meneggakkan hukum.

Tidak terlepas dari landasan terbentuknya Undang-Undang no 18 Tahun 2003 Tentang advokat pasal 3 ayat 1 huruf H menyatakan bahwa persyaratan untuk diangkat menjadi advokat salah satunya adalah tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (Lima) tahun atau lebih. generalisasi orang yang pernah di penjara karena kejahatan menafikkan adanya unsure kealpaan didalamnya.

Pasal tersebut diatas mengisyaratkan bahwa para mantan nara pidana yang telah dipidana dengan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih tidak dapat menjadi advokat, yang berarti advokat bersih dari mantan narapidana yang tersebut di pasal A quo .

Berbeda dengan landasan perubahan perlakuan terhadap warga binaan permasyarakatan dari system kepenjaraan menjadi system permasyarakatan dalam Undang-Undang No 12 tahun 1995.Menyadari kesalahannya dan berubah menjadi lebih baik merupakan semangat dari Undang-Undang tentang lembaga permasyarakatan.Dengan tujuan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.Hal tersebut menjadikan lembaga permasyarakatan sebagai wahana resosialisasi narapidana.Dan tidak ada diskriminasi yang terjadi setelah narapidana menjalani masa binaannya didalam lembaga permasyarakatan.

3?Lihat pasal 5 Undang-Undang No 18 Tahun 2003 Tentang advokat.4Lihat landasan menimbang UU advokat.

Dengan di berdasarkan Undang-Undang Dasar NRI 1945 pasal 28 D yang telah disebut diatas terlihat pertentangan antara Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang advokat dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945 secara vertical dan Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Lembaga permasyarakatan secara horizontal.

Penjara sebagai lembaga koreksi atau lembaga permasyarakatan yang dimaksudkan sebagai tempat pembinaan guna mengembalikan kondisi para narapidana untuk siap bersosialisasi kembali ditengah-tengah masyarakat, dengan fungsi Lembaga permasyarakatan sebagai tempat membuat orang menjadi lebih baik dan menyadari kesalahannya.

Peraturan yang mendiskriminasi mantan narapidana dalam UU A quo memberikan pernyataan secara tersirat kepada lembaga permasyarakatan bahwasannya fungsi penjara membuat orang tidak menjadi lebih baik, membuat para narapidananya semakin jahat, dan bahkan semakin brutal, serta memberikan penafsiran bahwa lembaga permasyarakatan merupakan sekolah para criminal ( The school of criminals) .

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implikasi Yuridis pasal 3 Ayat (1) huruf H Undang-undang No 18 Tahun 2013 terhadap Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Lembaga permasyarakatan dan Hak Konstitusional Mantan nara Pidana?

2. Bagaimana Rekonstruksi Persyaratan Menjadi advokat dalam Undang-Undang advokat?

BAB II

KAJIAN TEORIA. Teori Negara Hukum

Kajian negara hukum sudah dimulai dari negara hukum klasik, yaitu Nomokrasi Plato (427-347 SM) dan Negara Hukum Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW (570-632). Gagasan negara hukum Plato (427-347 SM) tentang nomokrasi. Konon katanya negara harus dipimpin orang bijak (the philosophers) dan membagi warga negara menjadi tiga lapisan masyarakat, yaitu: the perfect guardians (kaum filosof yang bijak bestari); the auxiliary guardians (golongan pembantu seperti militer dan teknokrat); the ordinary people (kaum petani dan pedagang).5

Negara Hukum Madinah yang didirikan Nabi Muhammad SAW (570-632) pada kurun waktu tahun 622-632 yang merupakan tipe ideal negara hukum yang didasarkan pada perjanjian masyarakat. Negara hukum Madinah adalah negara hukum yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW, bermula dari perjanjian Aqabah Pertama tahun 620 dan perjanjian Aqabah Kedua tahun 621, Konstitusi Madinah mulai berlaku tahun 622. 6

Kemudian dari pada itu, lahir cikal bakal negara hukum modern dan bentuk konkritnya lahir setelah filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804) dengan konsep rechtsstaat dan filosof Inggris A.V. Dicey dengan rule of law, yang merupakan gagasan untuk menjamin hak asasi dan pemisahan kekuasaan.

Konsep rechtsstaat berkembang dalam suasana liberalisasi dan kapitalisme abad ke-18 yang dirumuskan oleh Immanuel Kant (1724-1804) untuk menjabarkan paham laissez faire laissez aller dan nachwachtersstaat, untuk menjamin kedudukan hukum setiap individu,7 yang diinspirasi oleh teori pemisahan kekuasaan Montesquieu (1689-1755) yang lahir untuk menghindari pemusatan kekuasaan yang dapat mendorong terjadinya kesewenang-wenangan dan berkaitan dengan paham demokrasi dari Rousseau (1712-1778).

Lebih lanjut, unsur-unsur negara hukum gagasan Immanuel Kant (1724-1804) yang dikembangkan oleh Friedrich Stahl, sebagai berikut: (1) Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia (2). Adanya pemisahan dalam kekuasaan negara (3). Setiap tindakan negara harus didasarkan atas undang-undang yang telah ditetapkan terlebih dahulu (4). Adanya peradilan administrasi negara.8

Kemudian konsep negara hukum (rechsstaat) dikembangkan lagi oleh S.W. Couwenberg menjadi sepuluh unsur seperti dikutip oleh Philipus M. Hadjon, yaitu sebagai berikut:9

1. Pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, dan pemisahan antara hukum publik dan privat.

5 Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 82-83.

6 Musdah Mulia, Negara Islam Pemikiran Politik Husayn Haykal, (Jakarta: Paramadina, 2001), Hal. 617 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 90. 8 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1987), hal. 75.9 Ibid, Hal. 91

2. Pemisahan antara negara dan gereja. 3. Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil. 4. Persamaan terhadap undang-undang. 5. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar sistem hukum. 6. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dan sistem checks and balances. 7. Asas legalitas. 8. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak

dan netral. 9. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan yang

bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut diletakkan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.

10. Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat teritorial maupun vertikal.

Berbeda dengan di atas M. Scheltema seperti dikutip oleh Bagir Manan yang menyebutkan bahwa negara berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama, yaitu: (1) Asas kepastian hukum (2) Asas persamaan (3) Asas demokrasi (4) Asas pemerintah dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat. 10

Beda dengan rechtsstaat, the rule of law yang dimulai dikembangkan di Inggris dan berkembang pula di Amerika Serikat. Perkembangannya di Amerika Serikat dalam government of judiciary, yang oleh W. Friedman mempunyai dua arti, yaitu formal dan materiil. Arti formal adalah kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power) dan setiap negara modern memiliki rezim hukum sendiri-sendiri. Arti material adalah pemerintahan oleh hukum yang berkeadilan (the rule of just law), sedangkan oleh pelopor utamanya A.V. Dicey, the rule of law mempunyai tiga unsur, yaitu: supremacy of law, equality before the law, and the constituion based on individual rights. 11

Sehubungan dengan konsep-konsep negara hukum di atas, sebagaimana diketahui secara umum negara Indonesia identik dengan rechtsstaat. dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat).12 pengertian rechstaat disamakan dengan “negara berdasarkan atas hukum”. Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, menurut Sudargo Gautama,13 tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan bertindak negara. Undang-Undang Dasar yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.

Sebagai negara hukum, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila.14

Menyambung pengertian Negara Hukum Pancasila tersebut, Padmo Wahyono menelaahnya dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam

10 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM, (Bandung: Unisba, 1995), Hal. 5. 11 A. Mukhtie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, Jawa Timur12 Di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (setelah di Amandemen) dinyatakan secara tegas

bahwa Negara Republik Indonesia adalah “Negara Hukum”. Lihat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah Amandemen ketiga yang disahkan tanggal 10 November 2001.

13 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hal.314 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi

Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal.69.

UUD 1945 (asas ini masih tetap ada meskipun UUD 1945 telah di Amandemen, vide Pasal 33). Menurut Padmo Wahyono dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”.15

Dalam kaitannya dengan negara hukum di Indonesia, Sri Soemantri16 secara lebih transparan menyebut salah satu unsur Negara Hukum Indonesia yakni, dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Dengan demikian, sudah semestinya aparat penegak hukum maupun pejabat administrasi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya mempertimbangkan pula hukum tidak tertulis disamping hukum tertulis.

Selanjutnya Sunaryati Hartono menyamakan arti istilah ”negara hukum” dengan rule of law, sebagaimana terlihat dari tulisannya:.....”supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu harus dalam arti materiil”.17

Sementara itu, Philipus M. Hadjon18 mengemukakan bahwa negara hukum di Indonesia tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan rechtsstaat maupun rule of law dengan alasan sebagai berikut; (1) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakang sejarahnya lahir dari

suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesia sejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentuk kesewenangan atau absolutisme;

(2) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai titik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;

(3) untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigeheid dan rule of law mengedepankan prinsip equality before the law, sedangkan Negara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.

Meskipun Indonesia tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua kelompok negara hukum tersebut, namun akibat penjajahan Belanda yang menganut sistem hukum kontinental, maka pembentukan negara hukum dan sistem hukum di Indonesia banyak terpengaruh oleh sistem hukum kontinental (rechtsstaat).

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Sunaryati hartono menyatakan bahwa pada masa kini diatas pancasila dan UUD 1945 berdiri tata hukum Indonesia yang pluralistis yang tersusun atas sistem hukum adat, sistem hukum islam, sistem hukum nasional dan sistem hukum barat.19

Suatu konsep negara hukum rechtstaat ataupun rule of law yang berlaku universal bagi seluruh dan bagi semua negara memang tidak mungkin diperoleh, akan tetapi International Commission of Jurist telah berusaha untuk merumuskan unsur-unsur/elemen-elemen pokok atau prinsip-prinsip umum dari konsep negara hukum (rule of law) sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan oleh segala macam

15 Ibid, hal.69-70. 16 Sri Soemantri, Negara Kekeluargaan Dalam Pandangan Pancasila, makalah SESKOAD ABRI,

tanpa tahun. 17 Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law, Alumni: Bandung, 1976, hal. 35 18 Philipus M. Hadjon, Op.Cit., hal.84-8519 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni: Bandung, 1991,

hal. 61

sistem hukum dari berbagai negara yang mempunyai latar belakang sejarah, struktural sosial-ekonomi-politik-kultural serta pandangan filsafat yang berbeda-beda.

Ikrar Athena 1995 dari International Commission of Jurist mengemukakan bahwa sebagai prinsip utama negara hukum (rule of law) ialah:

1. Negara harus tunduk kepada hukum;2. Pemerintah harus menghormati hak-hak individu di bawah rule of law,3. Hakim-hakim harus dibimbing oleh rule of law, melindungi dan menjalankan

tanpa takut, tanpa memihak, dan menentang oleh setiap campur tangan pemerintah atau partai-partai terhadap kebebasannya sebagai hakim8.Oemar Seno Adji, dalam prasarananya pada symposium Indonesia Negara Hukum tahun 1966 baik konsep rechtstaat atau rule of law ataupun konsep socialist legality, mempunyai basic requirement atau elemen pokok yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia, asas legalitas, serta hakim yang bebas dan tidak memihak.

Demikian pula, kemudian, symposium tersebut merumuskan bahwa ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum ialah:

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural, dan pendidikan;

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun;

3. Legalitas, dalam arti hukum baik formal ataupun materiil20.

Bandingkan dengan Frederich Julius Stahl yang mengemukakan empat unsur negara hukum yaitu,

1. Hak-hak dasar manusia,2. Pembagian kekuasaan,3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, dan4. Peradilan tata usaha dan perselisihan21.

B. Teori Pemidanaan1. TEORI ABSOLUT ATAU MUTLAK

Menurut teori-teori absolut ini,setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh tidak tampak tawar-menawar.Tidak dilihat akibat-akibat apa pun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana.Tidak dipedulikan, apakah dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.

Hutang pati, nyati pati; hutang lara, nyaur lara yang berarti; si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. Demikianlah terdengar semboyan di Indonesia. Oog o moog, tand (mata sama mata, gigi sama gigi) dari Kitab Injil Perjanjian Lama bermakna sama.

20Ibid. hal, 115921 Citasi Prof. Oemar Seno Adji, FHIPKUI

Nada yang sekiranya terlihat juga dalam Kitab Al-Quran surat An Nisaa ayat 93 yang berbunyi:

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam; kekal ia didalamnya, dan Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab dan besar baginya.”

“Pembalasan”(vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hatilah yang dikejar lain tidak.Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita karena kejahatan itu, maka “kepuasan-hati” itu terutama ada pada si oknum itu. Dalam hal pembunuhan, kepuasan hati ada pada keluarga si korban pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Dengan meluasnya kepuasan hati pada sekumpulan orang, maka mudah juga meluasnya sasaran dari pembalasan kepada orang-orang lain dari si penjahat, yaitu pada sanak keluarga atau kawan-kawan karib. Maka, unsur pembalasan – meskipun dapat dimengerti – tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana.

Akan tetapi, ternyata kata “vergelding” atau “pembalasan” ini biasanya dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukkan dasar dari teori “absolut” tentang hukum pidana (absolute strafrechtstheorien).

Prof. Mr.J.M. van Bemmelen dalam buku karya bersama dengan Prof. Mr.W.F.C. van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht jilid II halaman 12 dan 13 mengemukakan unsur naastenliefde (cinta kepada sesame manusia) sebagai dasar adanya norma-norma yang dilanggar oleh para penjahat. Cinta pada sesame manusia ini mendasari larangan mencuri, menipu, membunuh, dan menganiaya. Dengan dasar ini maka kejahatan sudah selayaknya ditanggapi dengan suatu pidana yang dilimpahkan kepada si penjahat. Tidak perlu dicari alasan lain. Jadi, kini terdapat nada absolut atau mutlak pula.

2. Teori-Teori Relatif atau NisbiMenurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu

pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.

Dengan demikian,harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjauhkan pidana saja.Dengan demikian,teori-teori ini juga dinamakan teori-teori “tujuan” (doel-theorien).Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upanya agar di kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan bahwa mulai dengan ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana orang akan takut menjalankan kejahatan.

Dalam prevensi khusus, hal membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi umum diusahakan agar para oknum semua juga takut

akan menjalankan kejahatan. Kedua macam gagasan ini mempunyai penganut-penganut yang dengan gigih berdebat satu sama lain. Sebagai penganut prevensi khusus, Zevenbergen (halaman 295) menyebutkan dua penulis, yaitu Van Hamel dan Grolman. Sebagai penganut prevensi umum, oleh Zevenbergen, Van Hattum, dan Hazewinkel Suringa disebutkan terutama Paul Anselm Feuerbach yang menitikberatkan pada ancaman dengan pidana, termuat dalam peraturan hukum pidana. Penulis ini mempergunakan pengertian psychologischedwang, yang berarti bahwa dengan ancaman pidana ini orang-orang didorong secara psikis tidak secara fisik untuk tidak melakukan kejahatan.

Teori relatif lain melihat bahwa upaya untuk dengan menjatuhkan pidana memperbaiki si penjahat agar menjadi orang baik yang tidak akan lagi melakukan kejahatan. Menurut Zevenbergen (halaman 24), terdapat tiga macam “memperbaiki si penjahat” ini, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral. Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berpikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi. Zevenbergen menunjukkan sebagai pembela dari ketiga macam perbaikan ini masing-masing Stelzer, Groos, dan Kraus.

3. Teori-Teori Gabungan (Verenigings-Theorien)Apabila terdapat dua pendapat yang diametral berhadapan satu sama lain,

biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berda di tengah-tengah. Demikia juga disamping teori-teori absolut dan teori-teori relative tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” (vergelding) dalam hukum pidana. Akan tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.

Zevenbergen (halaman 296) menganggap dirinya termasuk golongan ketiga ini dan menunjuk nama-nama seperti Beling, Binding, dan Merkel sebagai eksponen-eksponen penting dari teori gabungan ini.

Van Hattum (halaman 18) menunjuk Pompe, sedangkan Hazenwinkel-Suringa menunjuk Hugo de Groot, Rossi, dan Taverne sebagai tokoh-tokoh dari golongan teori gabungan ini.

C. Tinjauan Umum Teori Stufenbau Hans Kelsen

Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufenbau), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).

Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan Pre-supposed22.

Menurut Hans Kelsen norma hukum (Legal Norm) tersebut dapat dibedakan antara general norm dan individual norm. Termasuk dalam general norm adalah Custom dan Legislation. Hukum yang diciptakan dari Custom disebut "customary law”, sedangkan hukum yang diciptakan oleh badan legislative (law created by legislative) disebut statute. Kemudian norma-norma individual meliputi "putusan badan yudisial" disebut "judicial acts”, "putusan badan administrasi",disebut “administrative acts", dan "transaksi hukum" atau "legal transaction” yaitu berupa contract dan treaty. 23

Salah seorang murid Kelsen bernama Hans Nawiasky mengembangkan teori yang dikedepankan Kelsen. Nawiasky dalam bukunya berjudul Algemeine Rechtlehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang lebih tertinggi yang disebut norma dasar. Tetapi Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Nawiasky mengelompokkan norma-normahukum dalam suatu negara itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yangterdiri dari24 :

Kelompok I : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)Kelompok II : Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &aturan

ortonom)Menurut Hans Nawiasky memperinci urutan norma hukum yang terdiri dari:25

1. Grundnorm.2. Aturan-aturan dasar negara.3. aturan formal, undang-undang.4. peraturan di bawah undang-undang.

D. Tinjauan umum tentang Moralitas

22 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Ctk. Kedua. Kanisius, Yogyakarta, 1998, Hlm. 2523 Rosjisi Ranggawijaya, Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandung, 1998, hlm. 2724Marsillam Simanjuntak,1997, Pandangan Negara Integralistik, Garfiti, Jakarta, hal. 30-32

25 Maria Farida Indrati Soeprapto Op.Cit. hal. 39.

Secara etimologis, kata moralitas berasal dari kata bahasa Latin mos- mores yang berarti ‘kebiasaan’, ‘adat’ dan sebagainya. (Agus Tridiatno,2000:14). Moralitas pada dasarnya memiliki arti yang sama dengan moral tetapi lebih abstrak. Moralitas adalah segi moral atau baik-buruknya suatu perbuatan (K. Bertens, 1993:7). Sebagaimana telah diuraikan bahwa moralitas berawal dari kebiasaan atau adat (mos-mores). Kebiasaan tersebut mula-mula mungkin hanya bersifat individual. Namun karena manusia senantiasa hidup bersama dengan orang lain dan dalam suatu lingkungan tertentu, maka kebiasaan individu tersebut akan ditiru orang lain, dan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan kelompok. Jika kelompok sudah menetapkan bahwa kebiasaan tersebut baik, maka kebiasaan tersebut dijadikan kewajiban yang harus ditaati oleh kelompok (Agus Tridiatno, 2000:15). Dengan demikian, moralitas semula hanya berupa kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang manusia secara menyeluruh. Di samping sifat universalnya, moralitas bersifat rasional. Artinya, moralitas ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal sehat, nalar dan rasio dan bukan berdasarkan selera (Agus Tridiatno, 2000:17)

Menurut Franz Magnis-Suseno, (Franz Magnis-Suseno, 1985:19), term moral selalu merujuk pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, hakim, jaksa, advokat, melainkan sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma moral menjadi ukuran yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

Hubungan moral dengan penegakan hukum menentukan suatu keperhasilan atau ketidakberhasilan dalam penegakan hukum, sebagaimana diharapkan oleh tujuan hukum. Stephen Palmquis yang mengambil pandangan dari Immanuel Kant, bahwa tindakan moral ialah kebebasan. Kebebasan sebagai satu-satunya fakta pemberian akal praktis pada sudut pandang aktualnya menerobos tapal batas ruang dan waktu (kemampuan indrawi) dan menggantikannya dengan kebebasan. Kebebasan tidak berarti dalam arti sebenak kita dapat mengetahui kebenaran, yang kemudian tercermin pada pembatasan diri untuk menjalankan suatu kebajikan. Semua kaidah harus sesuai dengan hukum moral yang menciptakan suatu tuntutan yang tak bersyarat. Kewajiban adalah perintah yang mengandung kebenaran. Menurut Kant, kewajiban adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum moral, dalam rangka ketaatan terhadap hati nurani manusia daripada hanya mengikuti nafsu.

Rumusan Immanuel Kant terhadap tindakan moral (imperative kategoris) ada tiga kriteria yang mensyaratkan yaitu:

1. Suatu tindakan adalah moral hanya jika kaidahnya bisa di semestakan (kaidah sebagai hukum universal)

2. Menghargai pribadi orang, yang bertindak sedemikian rupa, sehingga memperlakukan manusia sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai alat belaka.

3. Kaidah itu harus otonom. Kaidah moral harus selaras dengan penentuan kehendak hukum yang universal (Soerjono Soekanto, 1993:22)

E. Tinjauan Umum Hak Asasi Manusia (HAM)

1. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia.Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia

manusia yaitu hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia lahir.26 Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Dengan demikian hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.

Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun.27 Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaannya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia. Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu, selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.28

Terdapat beberapa pandangan menyangkut bagaimana pengertian HAM dari berbagai perspektif antara lain:

1. Pandangan Universal Absolute

Pandangan ini melihat bahwa HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana

dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM nternasional, seperti the International

Bill of Human Rights.Dalam hal ini, profil sosial budaya yang melekat pada masing-

masing bangsa tidak diperhitungkan.Penganut pandangan ini adalah negara-negara

26 Rhoma K.M.Smith (et.al). 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta , hal. 727 Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya

sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and rights”.

28NiWayanDytaDiantari,SejarahHakAsasiManusia, http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, di unduh tanggal 12 februari 2014

maju, dimana bagi negara-negara berkembang mereka dinilai eksploitatif karena

menerapkan HAM sebagai alat penekan dan sebagai instrumen penilai (tool of

judgement).Sebagai contoh, country report dari Kedubes Amerika Serikat di atas.

Demikian pula salah satu pernyataan yang tersurat dan tersirat dalam Summary of

Bangkok NGO Declaration, yang antara lain menyatakan:

ketika hak-hak asasi manusia menjadi perhatian dan berharga serta bersifat

universal, pembelaan hak-hak asasi manusia tidak dapat dianggap sebagai

pelanggaran atas kedaulatan nasional.29

2. Pandangan Universal Relatif

Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal. Namun

demikian, perkecualian dan pembatasan yang didsasarkan atas asas-asas hukum

nasional tetap diakui keberadaannya, sebagai contoh, ketentuan yang diatur dalam

Pasal 29 ayat 2 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menegaskan

bahwa:

Dalam penerapan hak dan kebebasannya, setiap orang dihadapkan pada suatu

batasan-batasan tertentu yang ditentukan oleh hukum yang bertujuan untuk

melindungi penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang

lain dan memenuhi syarat-syarat yang adil dari segi moral, norma masyarakat, dan

kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.30

3. PandanganPartikularis Absolut

Pandangan ini melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa

memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap

berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini sering kali

menimbulkan kesan chauvinist, egois, defensive, dan pasif tentang HAM.31

4. Pandangan Partikularis Relatif

Dalam pandangan ini, HAM dilihat disamping sebagai masalah universal juga

merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-dokumen

HAM internasional harus diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan, serta

29 A. masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/DInamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010). Hal 84.30Ibid, hal 86.31 Ibid.

memeroleh dukungan budaya bangsa. Pandangan ini tidak hanya menjadikan

kekhususan yang ada pada masing-masing bangsa sebagai sasaran untuk bersikap

defensif, tetapi di lain pihak juga aktif mencari perumusan dan pembenaran

(vindication) terhadap karakteristik HAM yang dianutnya.32

Pandangan yang terakhir ini menonjol dalam The Jakarta Message tahun 2005

(butir 18).33Perjuangan negara-negara nonblok memeroleh pembenaran secara

internasional, karena di dalam The Vienna Declaration and Programme of Action

yang dihasilkan oleh Conference on Human Rights, ditegaskanbahwa:

Artinya, HAM adalah universal, tak terpisahkan, saling berketergantungan dan

saling berhubungan. Masyarakat internasional sudah seharusnya memperlakukan

HAM secara keseluruhan dengan adil dan merata, berkedudukan sama dan dengan

penekanan yang sama. Sementara itu, pengertian-pengertian baik yang bersifat

nasional, regional, dan berbagai latarbelakang sejarah, kebudayaan/keagamaan harus

ditanamkan dalam pikiran, sekalihus menjadi tugas Negara, tanpa memandang

system politik, ekonomi dan budayanya tetap memperhatikan dan melindungi HAM

dan kebebasan dasar manusia.

32 Ibid33Ibid, hal 87.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Implikasi Yuridis pasal 3 Ayat (1) huruf H Undang-undang No 18 Tahun 2003

terhadap Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Lembaga permasyarakatan

dan Hak Konstitusional Mantan nara Pidana ditinjau dari teori pemidanaan

Indonesia berdasarkan Undang-Undang dasarnya dengan jelas menyebutkan bahwa indonesia merupakan Negara Hukum, dengan sistem Hukum Civil law nya Indonesia negara Hukum Rechtstaat yang indonesia gunakan dengan asas utaa yang bagir manan kemukakan bahwa salah satu asas Utamanya adalah asas persamaan atau Equality Before The law . bahwa semua orang harus diperlakukan sama di hadapan Hukum. maka konsekuensi logis dari asas tersebut tidak hal-hal diskriminatif dalam semua perlakuan hukum maupun diskriminasi yang terkristalisasi dalam peraturan perundang-undangan.

perubahan konsep Negara dari Negara penjaga malam menjadi neggara keejahtraan pun menjadi tujuan Negara indonesia sendiri yang terkonseptualisasi dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945 paragraf 4,

Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang lembaga permasyarakatan dengan semangat mengembalikan para narapidana menjadi orang baik, dengan mengubah sistem penjaranya menjadi sistem permasyarakatan, Tersirat kemanfaatan yang di gunakan oleh Undang-Undang tersebut, bahwa memberikan manfaat bagi para narapidana menjadi dengan memperlakukannya dengan baik dan manusiawi agar mampu kembali menjalani hidup sebagai warga baik dan bertanggung jawab serta dapat hidup secara wajar kembali.

Perampasan Hak kebebasannya karna telah melakukan kejahatan dan dipidana penjara merupakan hasil dari perbuatannya yang melanggar peraturan perundang-undangan. menadapatkan akibat hukum dari perbuatannya merupakan konsekwensi. keadilan yang dicita-citakan hukum pun terlihat jelas.

Undang-undang No 18 Tahun 2003 tentang advokat sebagai Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang advokat dengan semangat agar terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum. dan menjadikan dasar bahwasannya advokat yang merupakan penegak hukum ataupun profesi yang mulia agar terjaminnya kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum. tetapi terlepas dari semangat dari lahirnya peraturan ini, pasal 3 ayat (1) angka 8 telah memberikan suatu persyaratan untuk menjadi seorang advokat.

Untuk mewujudkan hidup bersama yang tertib diperlukan pedoman-pedoman obayektif yang harus dipatuhi bersama, sama hal nya dengan Undang-undang no 18 tahun 2003 sebagai pedoman obyektif atau bisa disebut sebagai Hukum yang harus

bersumber dari Grundnorm (norma dasar) yang merupakan syarat transcendental logis bagi seluruh tata hukum . Undang-undang dasar 1945 sebagai Norma dasar indonesia dan UUD 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. hal ini lah yang menjadi sorotan dalam tulisan ini, UU no 18 tahun 2003 tentang advokat sebagai pedoman obyektif harus sinergis dengan UUD 1945 sebagai Grundnorm indonesia.

Syarat menjadi advokat yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) UU

Advokat No. 18 Tahun 2003, yaitu: warga negara Republik Indonesia, bertempat

tinggal di Indonesia, tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara, berusia

sekurang-kurangnya 25 tahun, berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan

tinggi hukum, lulus ujian, magang sekurang-kurangnya 2 tahun. Dua syarat terakhir

untuk menjadi advokat adalah tidak pernah dipidana karenamelakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan berperilaku baik,

jujur, bertanggungjawab, adil dan mempunyai integritas yang tinggi.Tidak terlepas dari

landasan terbentuknya Undang-Undang no 18 Tahun 2003 Tentang advokat pasal 3

ayat 1 huruf H Pasal tersebut diatas mengisyaratkan bahwa para mantan nara pidana

yang telah dipidana dengan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5

(lima) tahun atau lebih tidak dapat menjadi advokat. Namun berbeda dengan landasan

perubahan perlakuan terhadap warga binaan permasyarakatan dari sistem kepenjaraan

menjadi sistem permasyarakatan dalam Undang-Undang No 12 tahun 1995.Menyadari

kesalahannya dan berubah menjadi lebih baik merupakan semangat dari Undang-

Undang tentang lembaga permasyarakatan..

Dari permasalahan ini saya memilih menggunakan teori pemidanaan (teorirelatif)

sebagai pisau analisa.34Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk

menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.Tujuan pidana adalah tata tertib

masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.Untuk mencapai

tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)

2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering)

3. Bersifat membinasakan (onschadelijkmaken)

34Sumberhttp://apbisma.blogspot.co.id/2013/11/teori-pemidanaan.htmldiaksespadaMinggu, 13 Desember 2015 08.40 WIB

Dalam teori relatif, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan diselesaikan dengan

pidana, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat

atau bagi si penjahat sendiri.Tidak hanya dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada

masa depan. Yang juga apabila kita kaji berdasarkan tiga sifat pidana (bersifat menakut-

nakuti, bersifat memperbaiki, bersifat membinasakan) maka jelas terkandung spirit

setelah membuat seorang terpidana jera maka selanjutnya adalah memperbaikinya

sehingga ketika ia sudah terlepas dari tanggung jawab pidananya ia akan siap untuk

kembali bermasyarakat.

Sebagaimana UUD pun member hak kepada setiap warga Negara atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak, hak untuk mempertahankan kehidupan. Narapidana juga

telah menjalani hukuman sebagai penebus dosa, artinya ia sudah mendapatkan balasan

setimpal atas perbuatannya maka kemudian ia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai

warga. Sehingga apabila larangan tersebut diberlakukan, akan memasung hak-hak para

mantan nara pidana menjadi advokat seumur hidupnya. Pada hal teori relative melihat

bahwa upaya menjatuhkan pidana adalah untuk memperbaiki mantan nara pidana secara

yuridis, intelektual dan moral.

Menurut hemat saya selama seseorang telah memenuhi syarat normatif untuk

dilantik menjadi advokat maka ia pun berhak untuk dilantik. Hal ini sesuai dengan

pengimplementasian pasal 28D UUD 1945, pasal 3 Ayat (1) huruf H Undang-undang

No 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan ,adalah dengan menegakkan supremasi hukum bagi tiap masyarakat.35

Dalam pernyataan yang mengarah pada hukum alam, Plato menemukan landasan untuk

menegakkan bahwa pemerintah hanyalah pelayan hukum.Hukum yang sejati adalah

hukum yang memberi kebaikan bagi warga negara .Bagi Plato, hukum/konstitusi tidak

sekedar sarana untuk memastikan bahwa Negara hanya terjamin hak hidupnya, lebih

dari itu harus pula dijamin bahwa mereka hidup sejahtera. Hanya hukum semacam

inilah yang dianggap benar.

konsep Keadilan restoratif yang dimanifestasikan dalam Undang-Undang no 12

tahun 1995 tentang lembaga permasyarakatan, termuat didalam Undang-undang

tersebut percaya bahwa pemidanaan memiliki sebuah tujuan , dan bukan hanya untuk

35PrasetyoIskandarDosy& Tanya L Benrad, HukumEtika Dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), Hal. 45

pembalasan semata. tujuan untuk mengembalikan para mantan nara pidana menjadi

warga yang siap bersosialisasi kembali di masyarakat.

Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang

hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans

Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-

lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian

seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat

hipotetis dan fiktif, yaitu Norma dasar (Grundnorm).

Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak

lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan

terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi

norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-

supposed.36

Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada

norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan

menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata

susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat

bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah

akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.37

Dalam tataran norma tingkatan yang lebih tinggi seperti sistem anak tangga

dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan

pada norma hukum yang lebih tinggi. DimanaUndang-UndangDasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945sebagai norma tertinggi yang tertuang dalam pasal 28D ayat (1)

menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

36[1]Farida IndratiSoeprapto, IlmuPerundang-Undangan : Jenis, Fungsi, danMateriMuatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, halaman 41. ?[2]Ibid, halaman 42

37

Sementara itu advokat di jelasakan bahwasanya merupakan profesi yang bebas,

mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakakan hukum.Sebagai profesi yang

dituntut professional sebagaimana yang di tuangkan dalam Undang-undang No.18

tahun 2003, organisasi advokat diberikan kewenangan untuk mengatur diri sendiri

terutama untuk melakukan pengangkatan advokat.

Dalam hal ini persyaratan untuk menjadi advokat salah satunya pada pasal 3 ayat

(1) huruf h Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat untuk dapat diangkat

menjadi advokat harus memenuhi persyaratan bahwa tidak pernah dipidana karena

melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana, begitupun secara

tegas tersiratdalam pasal 3 ayat (1) i penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang terdapat dalam

pasal 2 menyatakan sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk

warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali

oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup

secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pada tataran kenegaraan atau hukum tata Negara, yaitu ilmu perundang-undangan

saat ini realitas hukumnya adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai asas keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan yang terdapat dalam pasal 6 Ayat (1) huruf j Undang-

Undang No. 12 tahun 2011yaitu, bahwa setiap materi muatan perundang-undangan

harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan

individu, masyarakatdan kepentingan bangsa dan Negara dan asas ini secara tersirat

menggambarkan bahwasanya Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang

pemasyarakatan dan undang-undang No.18 tahun 2003 tentang advokat tampaknya

harus keseimbangan antar substansi dari keduanya. Dimana secara horizontal harus

adanya sinergetas antar norma yang mempunyai kedudukan yang sama. Selain itu

norma yang tingkatan ya sama tentunya tidak boleh bertentangan dengan norma dasar

(Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia tahun 1945) sebagai norma yang

lebih tinggi kedudukanya.

Tujuan lembaga permasyarakatan yang telah terkonseptualisasi telah dinafikkan

oleh pasal 3 ayat (1) angka 8 Undang-undang no 18 tahun 2003 tentang advokat dengan

memberikan label terhadap mantan narapidana adalah orang jahat dan tetap jahat

apabila telah di pidana. dalam kenyataannya sistem yang telah dibangun dari hukum

tentang wargabinaan ini yang agak melenceng. dengan kelebihan kapasistas, penjaga

LP yang bermain dibelakang. tetapi tidak benar ketika mengamputasi tujuan dari sebuah

Peraturan perundang-undangan dalam hal ini undang-undang no 12 tahun 1995.

label jahat kepada mantan nara pidana yang telah menjalani pidana 5 (lima) tahun

atau lebih dan mengeneralisir semua mantan narapidana yang tersirat dari syarat di

pasal 3 ayat (1) nomor 8 UU tentang advokat tersebut, tidak adanya harapan bagi

mantan narapidana yang telah sukses menjalani pemidanaannya hingga insyaf dan

menjadi orang yang benar-benar baik.

Profesi advokat sebagai profesi terhormat dan juga sbagai penegak hukum

memang ssangat dibutuhkannya moral yang baik agak terjaminnya penegakan hukum di

indonesia yang baik, baik buruk perbuatan seorang penegak hukum pun tampak dari

moralitasnya. Kejahatan yang dilakukan oleh manusia serta sanksi pidana yang

diperolehnya memang benar-benar untuk kejiwaannya. Buruk perilakunya yang juga

merupakan kemerosotan moral dari seseorang. Menurut frans magnis suseno perbuatan

manusialah yang menentukan apakah perbuatannya selaku narapidana baik atau buruk

sebagai manusia.

B. Rekonstruksi Persyaratan Menjadi advokat dalam Undang-Undang advokat

dari uraian penulis diatas tentang implikasi syarat menajdi advokat bagi manan

narapidana yang berada dalam Undang-undang no 18 tahun 2003 terdapat berbagai

implikasi antara lain:

1. Undang-Undang advokat telah mengingkari tujuan dari undang-undang no 12

tahun 1995 tentang lembaga kemasyarakatan yang bertujuan meresosialisasi warga

binaan. jadi undang-undang terebut tidak mengakui bahwasannya warga binaan

yang menjalani pidana di LP selama 5(lima) tahun atau lebih dapat menjadi baik

dan mampu menjalani hidup sebagai warga dimasyarakat.

2. Asas persamaan dihadapan Hukum yang menjadi landasan Undang-undang

advokat hanya dimaknai advokat untuk seluruh masyarakat. tidak untuk

masyarakat yang ingin menjadi advokat.

3. Keadilan restorative dalam teori relative pemidanaan tidak diakui bagi narapidana

yang dipenjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana 5 tahun

atau lebih.

4. Hak untuk mengembangkan diri pun terbatasi dengan adanya syarat ini.

5. pertentangan Undang-undang no 18 tahun 2003 dengan undang-undang no 12

tahun 1995 tentang lembaga permasyarakatan memberikan disharmonisasi

terhadap peraturan perundang-undangan secara horizontal.

Tetapi dampak positif dari pengaturan syarat menjdi advokat apabila di tinjau dari

segi moral penegak hukum dapat dikatakan bisa menjadikan penegak hukum yang

baik secara moral dan profesi advokat terhindar dari para advokat yang pernah tercela

secara moral.

dari Implikasi yang telah dirumuskan diaatas maka menurut hemat penulis perlu

diadakannya rekonstruksi dari persyaratan menjadi advokat lebih khusus dalam pasal

3 yat (1) nomor 8 Undang-undang No 18 tahun 2003 tentang advokat. agar Impliksai

yang telah dipaparkan mampu untuk diatasi. Dan dapat pula disesuaikan dengan moral

para penegak hukum yang dalam hal ini adalah adovokat.

pelabelan terhadap mantan narapidana tidak dapat digeneralisir. dikotomi antara

jabatan public dengan profesi bukan menjadi alasan untuk menjadikan persamaan

dihadapan hukum dan tujuan lembaga permasyarakatan menjadi sirna, pendikotomian

ini telah menimbulkan sanksi seumur hidup terhadap orang yang telah dipidana dan

memiliki orientasi hidup untuk menjadi advokat.

generalisir ini juga tampak diberlakukan untuk seluruh tindak pidana, konsep

retributive yang akan tampak apabila persyaratan ini dipandang menjadi kaku.

seharusnya pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum

dalam suatu masyrakat yang dikedepankan. bukan hanya melihat pada profesi advokat

ini merupakat profesi terhormat sebagai penegak hukum, dengan logika bagaiman

mungkin seorang penegak hukum adalah orang yang pernah dijatuhi hukuman.

disharmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan sebuah dampak dari

Negara hukum yang menganut sistem hukum positif. Hyper regulation adalah salah

satu dampaknya. semangat menjapai cita hukum kadang bisa memberikan dampak

melupakan peraturan yang sudah disahkan dan diundangkan. mensinergikan dan

mengharmonisasikan Peraturan sebelum diundangkan merupakan syarat mutlak bagi

peraturan perundang-undangan yang akan diundangkan.

peraturan perundang-undangan yang merupakan hukum harus mengacu kepada

ide dasar hukum ataupun cita hukum, yang di gaga oleh gustav radbruch sebagai Idee

des recht , keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang harus menjadi orientasi.

dan diformalkan menjadi sebuah hukum. dengan tetap mengedepankan keadilan apabila

terjadi pertentangan .

Persyaratan menjadi advokat dalam pasal 3 khususnya dalam ayat (1) nomor 8

harus di jabarkan lebih lanjut lagi , yaitu dengan memperbolehkan mantan terpidana

untuk menjadi advokat dengan tambahan sebagai berikut.:38

38 Rekonstruksi ini ditinjau pula dari segi hukum dan moralitas penegak hukum, dan bukan hanya kebebasan semata

1. para mantan nara pidana yang telah menjalani hukuman 5 tahun atau lebih

bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

2. pada saat ingin menjadi advokat telah selesai menjalani pidananya 5 tahun

atau lebih dan ditambah 5 tahun bersosialisasi dengan masyarakat.

3. adanya pengakuan oleh masyarakat bahwasannya mantan narapidana tesebut

telah berubah menjadi lebih baik.

4. sebelum menjadi advokat mantan terpidana secara jujur dan terbuka

mengemukakan kepada public bahwasannya dia adalah mantan terpidana.

5. bukan terpidana tindak pidana politik.

6. dan syarat-syarat administrative lainnya yang dapat membuktikan

bahwasannya mantan terpidana tersebut telah mampu bersosialisasi menjadi

warga yang baik di masyarakat.

rekonstruksi syarat menjadi advokat diatas merupakan sebuah vermminan

bahwasannya advokat tetap menjadi profesi yang mulia atau Officium nobille dan tetap

mengakui bahwasannya Undang-undang no 12 tahun 1995 tentang lembaga

permasyarakan bertujuan untuk dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab. serta keadilan restorative tetap sebagai sistem pemidanaan indonesia.

karena dewasa ini sudah bukan saatna lagi pidana hanya untuk sebuah pembalasan semata.

BAB IV

PENUTUP

A. kesimpulan

1. terdapat implikasi positif dan implikasi negative dari syarat menajdi advokat bagi

manan narapidana yang berada dalam Undang-undang no 18 tahun 2003 terdapat

berbagai implikasi antara lain:

1. Undang-Undang advokat telah mengingkari tujuan dari undang-undang no 12

tahun 1995 tentang lembaga kemasyarakatan yang bertujuan meresosialisasi

warga binaan. jadi undang-undang terebut tidak mengakui bahwasannya warga

binaan yang menjalani pidana di LP selama 5(lima) tahun atau lebih dapat

menjadi baik dan mampu menjalani hidup sebagai warga dimasyarakat.

2. Asas persamaan dihadapan Hukum yang menjadi landasan Undang-undang

advokat hanya dimaknai advokat untuk seluruh masyarakat. tidak untuk

masyarakat yang ingin menjadi advokat.

3. Keadilan restorative dalam teori relative pemidanaan tidak diakui bagi

narapidana yang dipenjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan

pidana 5 tahun atau lebih.

4. Hak untuk mengembangkan diri pun terbatasi dengan adanya syarat ini.

5. pertentangan Undang-undang no 18 tahun 2003 dengan undang-undang no 12

tahun 1995 tentang lembaga permasyarakatan memberikan disharmonisasi

terhadap peraturan perundang-undangan secara horizontal.

Tetapi dampak positif dari pengaturan syarat menjdi advokat apabila di tinjau dari

segi moral penegak hukum dapat dikatakan bisa menjadikan penegak hukum yang

baik secara moral dan profesi advokat terhindar dari para advokat yang pernah tercela

secara moral.

2. perlu diadakannya rekonstruksi dari persyaratan menjadi advokat dengan

memperhatikan Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Lembaga

permasyarakatan sebagai wahana resosialisasi mantan nara pidana serta aspek

moralitas penegak hukum. aspek moral tidak dapat di hilangkan hanya karena

kebebasan semata, tetapi kebebasan haruslah iiringi dengan aspek moral.

6. Rekomendasi

1. Perlu judicial reviw bagi konsepsi pengujian formal dan konsep materiil,maka

perlu adanya kejelasan konsepsi pengujian formal yang ditungkan dalam

Undang-undang pasal 3 Ayat (1) huruf H Undang-udang No 18 Tahun 2003

terhadap Undang-undang No 12 Tahun 1995 secara khusus.

2. Kejelasan akibat hukum yang berbeda terhdap pengujian formal,dikarenakan

Undang-udang memiliki satu cara keberadaan tertentu yang disebut keberlakuan

(geldig) yaitu aspek moral,aspek sosial dan aspek yuridis.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

PrasetyoIskandarDosy& Tanya L Benrad, 2011, HukumEtika Dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Genta Publishing,

V.Harlen Sinaga,2011, Dasar-dasar profesi advokat, Penerbit Erlangga , Jakarta.Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1998), Musdah Mulia, Negara Islam Pemikiran Politik Husayn Haykal, (Jakarta: Paramadina,

2001), Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT. Bina

Ilmu, 1987), Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM, (Bandung: Unisba,

1995), A. Mukhtie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, Jawa

TimurSudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni,

1983), Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya

Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasi pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Sri Soemantri, Negara Kekeluargaan Dalam Pandangan Pancasila, makalah SESKOAD ABRI, tanpa tahun.

Sunaryati Hartono,1976, Apakah The Rule of Law, Alumni: Bandung, Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni:

Bandung, 1991, Maria Farida Indarti S, 1998, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan

pembentukannya, Ctk. Kedua. Kanisius, Yogyakarta, 1998, Rosjisi Ranggawijaya,1998, Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk.

Pertama, Bandung, Marsillam Simanjuntak,1997, Pandangan Negara Integralistik, Garfiti, Jakarta, Rhoma K.M.Smith (et.al). 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta ,

hal. A. masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/DInamika

Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Bogor: Ghalia Indonesia,

REKONSTRUKSI PERSYARAT MENJADI ADVOKAT

DALAM UU ADVOKAT

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Hukum

yang dibina oleh Dr.Rachmad Safa’at,S.H,M.Si

Disusun oleh:

Muhammad Anwar Hidayat (15601010011132)

Kasyful Qulub (15601010011130)

Aninda Hayyu Yustisiani (15601010011140)

Fatmasari (15601010011138)

Achmad Saifudn R. (15601010011136)

Rizki Rachmaddiansyah (15601010011134)

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Desember, 2015