Upload
independent
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan; terdiri dari pulau-pulau dengan
dikelilingi oleh lautan yang luas. Ada sekitar 13.667 pulau, dengan luas daratan
1.922.570 km2 dan luas perairan lautnya mencapai 3.250.483 km2 (belum
termasuk Zona Ekonomi Eksklusif). Panjang garis pantainya mencapai 81.479
km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan Zona
Ekonomi Eksklusif, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81%
dari luas keseluruhan.1 Sehingga dengan kondisi ini Transportasi laut menjadi
sangat penting bagi pemerataan pembangunan di Indonesia.
Transportasi laut adalah suatu usaha perpindahan manusia atau barang dari
pulau ke pulau lainnya melalui areal perairan baik samudera, lautan, ataupun selat
yang dilakukan dengan menggunakan kapal. Kapal merupakan suatu kendaraan
pengangkut penumpang dan barang di laut, sungai, danau, dan lain sebagainya.
Kapal dalam istilah Inggris dibedakan menjadi dua yaitu Ship untuk kapal yang
berukuran lebih besar dan Boat untuk kapal yang berukuran lebih kecil.2
Saat ini angkutan laut menjadi salah satu moda transportasi yang
menggerakkan sektor perekonomian nasional, dikarenakan wilayah Indonesia
yang terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh perairan menjadikan
angkutan laut sebagai moda transportasi yang memiliki peranan yang sangat vital
1P Ginting dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial-Geografi, Erlangga, 2006, hlm. 172 Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, 2005, hlm. 8
2
di Indonesia, Selain sebagai transportasi orang dari satu pulau ke pulau yang
lainnya, juga sebagai sarana pengangkutan barang, baik berupa bahan-bahan
logistik, hasil pertanian, pertambangan, hasil produksi, serta berbagai kebutuhan
pokok lainnya yang sangat penting bagi pemerataan pembangunan, selain itu juga
kegiatan ekspor-impor hampir 80% diangkut menggunakan transportasi laut.3
Pada umumnya pengusaha yang hendak memasarkan barang produksinya
ke luar pulau atau ke luar negeri menggunakan jasa perusahaan pengangkutan laut
untuk mengangkut barang dagangannya dari pulau tempat kediaman pemilik
barang melalui pelabuhan terdekat menuju pelanuhan tujan. Sebelum barang
diangkut pada awalnya didahului dengan perjanjian angkutan laut antara pihak
pemilik barang dengan pihak perusahaan angkutan laut. Perjanjiannya mengacu
pada perjanjian pada umumnya yaitu pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Isi perjanjian tersebut di dalamnya biasanya berisi tentang
ketentuan-ketentuan umum berupa jenis barang yang diangkut, berat tonase
barang, jarak ke pelabuhan tujuan, klausula-klausula yang disepakati apabila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan serta lamanya waktu pengiriman. Perjanjian
ini disepakati kedua belah pihak dan menjadi dasar bagi kedua belah pihak apabila
terjadi klaim atas pengangkutan barang.
Bagi para pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan laut akan
mendapatkan perlindungan hukum dengan adanya bukti tertulis dalam suatu
ikatan perjanjian tersebut,
Pasal 1313 Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi; 3Sution Usman Adji, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta :Rineka Cipta, 2012. Hlm 46
3
“Suatu perjanjian adalahsuatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.4
Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang berarti bahwa yang
bersangkutan haknya dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Perjanjian
angkutan laut ini merupakan perjanjian timbal balik dimana pihak yang pertama
(pemilik barang) berkewajiban menyerahkan sejumlah uang kepada pihak kedua
(perusahaan angkutan laut), dan pihak kedua berkewajiban mengantarkan barang
milik pihak pertama dari pelabuhan asal ke pelabuhan yang dituju, atas
kesepakatan kedua belah pihak.5
Perusahaan angkutan laut berkewajiban mengantarkan barang milik
kliennya dengan selamat sesuai dengan yang di perjanjikandalam surat perjanjian
angkutan laut antara kedua belah pihak, berdasarkan pasal 40 ayat (1) Undang-
Undang nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran yang bunyinya :
“Perusahaan angkutan laut bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya”6
Dalam tulisan ini penulis mengangkat kasus keterlambatan pengiriman
yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut yang menyebabkan kerugian yang
menimpa pemilik barang. Dalam hal ini force majeure dilihat dari sudut pandang
perdata adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya
kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
4 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005, cet. 36. Hlm 3385Sudargo Gautama,Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku 1), Bandung : Alumni, 2010. Hlm.266 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 40 ayat (1)
4
Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244-1245 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1244 berbunyi:
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.7
Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang”.8
Pada mulanya sebuah perusaan PT KARYA MANDIRI MAKMUR
SEJATI melakukan perjanjian penyewaan tongkang dan tugboat tertanggal 15
Mei 2009 dengan No.001/Dir/TCS/.TC-KMMS/V/09 dengan PT TANJUNG
CEMERLANG SHIPPING selaku pemilik Tugboat Brandon dan Tongkang TC
2301, kemudian PT Karya Mandiri Makmur Sejati selaku penyewa tugboat dan
tongkang mengadakan Perjanjian Angkutan Laut dengan CV KARYA ARDI
PRESTASI tertanggal 28 Mei 2009 dengan No.001/SPAL-KKMS-KAP/V/2009
yang mana PT Karya Mandiri Makmur Sejati Selaku operator kapal dan CV.
Karya Ardi Prestasi selaku penyewa kapal.
Dalam perjanjian angkutan laut yang telah disepakati tersebut barang milik
CV Karya Ardi Prestasi yakni berupa batu split sejumlah 2.304,34 m3akan dikirim
oleh PT Karya Mandiri Makmur Sejati dengan daerah tujuan dari Pelabuhan
Merak, Banten, hingga Pelabuhan Teluk Dewa, Sebukat, Kalimantan Tengah
7 Subekti Op.Cit, hlm 3248 Ibid, hlm 325
5
sebagai tujuan akhir pengiriman, di jadwalkan berangkat pada tanggal 12 Juni
2009 dan diperkirakan sampai pada pelabuhan tujuan tanggal 16 Juni 2009 .
Dalam kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian angkutan laut.
Kemudian dalam perjalanan kapal Tugboat Brandon dan Tongkang TC
2301 menemui hambatan berupa kerusakan mesin utama dan terjangan ombak
yang menyebabkan kapal tugboat dan tongkang terhempas hingga Pulau
Penambun, yang mana hal ini tentu saja menyebabkan keterlambatan pengiriman
barang milik CV. Karya Ardi Prestasi dan menimbulkan kerugian karena barang
yag seharusnya diterima oleh pelanggan tidak kunjung datang, bahkan hal ini juga
membuat CV. Karya Ardi Prestasi melakukan pengiriman ulang dengan menyewa
tugboat dan tongkang dari perusahaan lain.
Di sisi lain Tugboat Brandon dan Tongkang TC 2301 yang terdampar di
pulau penambun harus segera dievakuasi guna mencegah rusaknya barang milik
CV. Karya Adi Prestasi, namun PT Karya Mandiri Makmur Sejati selaku operator
kapal dan PT Tanjung Cemerlang Shipping selaku pemilik kapal urung
melaksanakan evakuasi dengan alasan kekurangan biaya, hingga akhirnya
disepakati dalam perjanjian bahwa CV. Karya Adi Prestasi juga turut menaggung
biaya penyelamatan kapal yang besarnya sekitar 68 juta rupiah, hal ini tentu saja
memberatkan pihak pemilik barang dikarenakan harus mengeluarkan biaya yang
jumlahnya tidak sedikit.
Tugboat Brandon berhasil diselamatkan pada tanggal 18 Juli 2009 dengan
menyewa kapal lain, dan kemudian sampai di Pelabuhan Kendawangan,
Kalimantan Tengah, namun sayangnya untuk Tongkang TC 2301 yang berisi
6
barang milik CV. Karya Ardi Prestasi masih sulit untuk diselamatkan karena
terkendala cuaca buruk, beratnya beban tongkang, serta posisi tongkang yang
miring.
Pada Akhirnya Tongkang TC 2301 berhasil diselamatkan setelah melalui
proses penyelaman, pengelasan, dan pemompaan hingga akhirnya tongkang
tersebut berhasil mengapung, dan Pada tanggal 13 Februari 2010 kembali berlayar
menuju Kumai, Kalimantan dan tiba pada tanggal 15 Februari 2010. Usaha
penyelamatan ini memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya.
Atas segala kerugian yang diterima CV. Karya Ardi Prestasi, mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat terhadap PT Karya Mandiri Makmur
Sejati selaku operator tugboat dan PT Tanjung Cemerlang Shipping selaku
pemilik kapal, dengan dalil gugatan bahwa para tergugat telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata yang menyebabkan
kerugian bagi penggugat.
Pada proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, majlis Hakim
memutuskan menolak gugatan Penggugat dengan alasan bahwa kejadian yang
menimpa tugboat Brandon merupakan force majeure sesuai dengan Pasal 1245
KUHPerdata.
Setelah melalui proses persidangan tingkat I yang memenangkan pihak
Tergugat, CV. Karya Ardi Prestasi melakukan upaya hukum banding ke
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pada tingkat ini pihak penggugat dikabulkan
gugatannya dan menyatakan bahwa Tergugat 1 dan 2 telah melakukan perbutan
melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
7
Atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta PT Karya Mandiri Makmur Sejati
dan PT Tanjung Cemerlang Shipping tidak tinggal diam dan mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung, dan Akhirnya MA memutuskan memenangkan pihak
tergugat dengan dalil bahwa kejadian yang menimpa Tugboat Brandon dan
Tongkang TC 2301 merupakan force majeur, sesuai dengan pasal 1245
KUHPerdata dan Majelis Hakim Agung memutuskan untuk MENGABULKAN
permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi: I. PT KARYA MANDIRI MAKMUR
SEJATI., dan II. PT TANJUNG CEMERLANG SHIPPING., serta
MEMBATALKAN putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 105/Pdt/2011/
PT.DKI tanggal 20 April 2011 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat Nomor 590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR tanggal 21 Juli 2010. Padahal
disisi lain ditemukan fakta bahwa terjadi kelalaian yang dilakukan oleh Tergugat 1
sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan mesin dan membuat kapal
terdampar.
Putusan di atas kemudian menimbulkan pertanyaan yaitu bagaimanakah
pertanggungjawaban perusahaan angkutan laut terhadap keterlambatan yang
menyebabkan kerugian terhadap pemilik barang? Dan Apakah putusan MA
No.1014k/Pdt/2012 telah sesuai dengan kaidah Pasal 40 ayat(1) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran?
Atas dasar uraian di atas penulis rasanya perlu meneliti permasalahan di
atas dan menuangkannya dalam karya tulis ilmiah berupa skripsi untuk
mendapatkan pemahaman mengenai pertanggung jawaban perusahaan angkutan
laut, Dalam hal ini kiranya tepat jika penulis memilih judul: TANGGUNG
8
JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT MENURUT PASAL 40
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008TENTANG PELAYARAN
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 1014
K/Pdt/2012)
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Setelah penulis membaca, menelaah, dan memahami dengan teliti
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/Pdt/2012, penulis menilai
9
bahwa telah terjadi permasalahan di mana perusahaan pengangkut telah
lalai dalam menjalankan kewajibannya mengantarkan barang sehingga
menyebabkan kerugian terhadap pemilik barang, di mana kelalaian
tersebut dapat dibuktikan dengan adanya temuan uji laboratorium bahwa
oli kapal yang digunakan oleh operator kapal (tergugat 1) tidak layak
pakai sehingga menyebabkan kerusakan terhadap kapal, namun sayangnya
hal ini tidak pernah dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Mahkamah Agung. Kejadian ini
diperparah dengan adanya cuaca buruk sehingga kapal yang telah rusak
kemudian terhempas ombak dan terdampar di daerah Kepulauan Bangka
Belitung.
Karena berdasarkan alasan inilah penulis menilai bahwa
keterlambatan ini adalah diawali oleh kelalaian operator kapal (tergugat 1).
Selain itu dalam proses persidangan terjadi ketidak konsistenan dalam
penerapan hukum, di mana pada putusan pengadilan Negeri Jakarta Barat,
memutuskan bahwa kejadian tersebut merupakan force majeur, namun
dalam tingkat Banding Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
memutus bahwa telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh operator kapal,
Di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung memutuskan bahwa hal ini
merupakan force majeur, padahal kita ketahui bersama bahwa tujuan
hukum itu merupakan kepastian, hal inilah yang bagi penulis wajib
diangkat dan diteliti.
2. Rumusan Masaalah
10
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban perusahaan angkutan laut
terhadap keterlambatan yang mengakibatkan kerugian terhadap
pemilik barang, berkaitan dengan kasus diatas?
b. Apakah putusan Majelis Hakim No.1014K /Pdt/2012 telah sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang
pelayaran dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimanakah pertanggungjawaban
perusahaan angkutan laut terhadap keterlambatan yang mengakibatkan
kerugian terhadap pemilik barang.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji apakah putusan Majelis Hakim
No.1014K /Pdt/2012 telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata .
2. Manfaat penelitian
Selain dari hal-hal yang diungkapkan di atas setiap penelitian harus
mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu
suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada
kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua
segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis.
11
Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan dapat
memberikan manfaat :
1. Manfaat Akademis
a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam
perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.
b. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai
pertanggungjawaban perusahaan angkutan laut dalam hal
pengangkutan yang menemui kendala dan menyebabkan kerugian
bagi klien.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada
umumnya dan pada khususnya tentang pertanggungjawaban
perusahaan angkutan laut dalam hal pengangkutan yang menemui
kendala dan menyebabkan kerugian bagi klien.
b. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas
tentang peraturan mengenai pengangkutan laut dan
pertanggungjawaban keselamatan dan keamanan barang bawaan
dalam pengangkutan laut.
c. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan
bagi penulis, khususnya bidang hukum perdata.
D. Kerangka Teoretis, Konsepsional, dan Pemikiran
1. Kerangka Teoretis
12
Berkaitan dengan Perjanjian angkutan laut, maka pada dasarnya
tidak bisa lepas dari peraturan dasar mengenai perjanjian. Peraturan
perundangan dimaksud adalah Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tentang akibat perjanjian, Pasal 1339 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang pembatasan dan asas kebebasan
berkontrak.
Di dalam Perjanjian Angkutan Laut tersebut biasanya memuat
berbagai macam klausul yang di antaranya adalah identitas operator dan
shipper, nama dan data kapal, kesediaan muatan kapal, kondisi muatan,
kondisi kontrak, tata cara pembayaran, pelabuhan muat, pelabuhan
bongkar atau pelabuhan tujuan, dana keterlambatan atau demurrage,
penerima barang, asuransi kapal dan barang, keagenan kapal, syarat-syarat
tambahan yang disetujui bersama, serta penyelesaian apabila terjadi
perselisihan.
2. Kerangka Konseptual
Dalam setiap jenis perjanjian pengangkutan barang termasuk
perjanjian angkutan laut, tentunya memuat suatu klausula yang mana
apabila salah satu pihak urung dalam menjalankan prestasinya maka akan
menimbulkan dampak hukum berupa kewajiban untuk memnuhi ganti
rugi. Konsep ganti rugi terdapat dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian, atau bungan karena tidak terpenuhinyasuatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur,
13
walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang telah melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan” 9
Menurut pengertian pasal di atas, ganti rugi menitikberatkan pada
ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni kewajiban
debitur untuk mengganti kerugian debitur akibat kelalaian pihak debitur
melakukan wanprestasi. Ganti rugi tersebut meliputi ongkos atau biaya
yang telah dikeluarkan; kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan,
kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, bunga atau
keuntungan yang diharapkan.
Force Majeure adalah suatu keadaan di mana suatu debitur
terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa
yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Hal ini merupakan dalil
pemaaf bagi terjadinya wanprestasi, namun berdasarkan pasal 1244 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata debitur harus dihukum mengganti
kerugian apabila tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya waktu
pelaksanaan prestasi disebabkan hal yang tidak dapat diduga (bukan
karena kesalahan atau kelalaiannya) yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya, meskipun dengan itikad baik.
3. Kerangka Pemikiran
Pasal 40 UU no. 17 2008 Tanggung jawab Perjanjian
9 Subekti, Op. Cit
14
Tentang Pelayaran Pengangkut Angkutan Laut
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Putusan PN Jakbar Banding Putusan PT Jakarta
Putusan MA no.1014k/Pdt/2012 Kasasi
E. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum akan digunakan oleh penulis pada karya tulis ini
adalah metode penelitian hukum yuridis-normatif. Soerjono Soekanto
15
mengemukakan bahwa metode penelitian hukum yuridis-normatif atau yuridis-
dogmatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder.10
Data sekunder adalah data yang sudah didokumentasikan sehingga
merupakan data yang sudah siap pakai. Penulis menggunakan pendekatan yuridis
normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm).
Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value),
peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa
asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.11Suatu
metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu
metode ilmiah yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk
dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang
bersangkutan. Metode ilmiah adalah cara-cara (prosedur) yang harus ditempuh
dalam suatu penelitian untuk mencari jawaban dari setiap masalah sehingga
diperoleh pengetahuan ilmiah yang yang dapat diterima akal sehat.[4] Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode–metode sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai ialah metode penelitian Hukum
Doktriner, penelitian hukum doktriner merupakan penelitian yang
10 Hotma Pardomuan Sibuea dan Heryberthus Sukartono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Krakatauw Book, 2009, hlm 79
11 Ibid. hlm. 10
16
mengkaji data-data kepustakaan dengan pengkajian pada peraturan yang
berlaku, yakni undang-undang, asas-asas hukum, peraturan pemerintah,
jurisprudensi, serta doktrin-doktrin para pakar hukum dalam meneliti
permasalahan ini.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam mengkaji
permasalahan ini adalah penelitian yang bersifat Normatif, di mana
penelitian yang merupakan prosedur penyelesaian masalah diselidiki
dengan cara mengkaji aturan-aturan hukum yang berlaku, asas-asas
hukum, peraturan pemerintah, jurisprudensi. dan doktrin para pakar
hukum.
3. Sumber Data
Data-data yang akan dikaji merupakan data sekunder atau data
kepustakaan. Data-data ini merupakan bahan-bahan hukum yang sudah
jadi atau telah didokumentasikan. Bahan-bahan hukum ini di antaranya
yakni:
a. bahan hukum primer, seperti Undang-Undang Dasar, Undang-
Undang, Peraturan pemerintah pengganti undang-undang,
Peraturan pemerintah, Vonis. Bahan hukum ini memiliki kekuatan
hukum yang mengikat terhadap subjek hukum sehingga menjadi
sumber utama dalam penelitian penulis.
b. bahan hukum sekunder, seperti buku, jurnal ilmiah yang
mengandung isi pendapat para pakar. Bahan hukum ini tidak
17
memiliki kekuatan hukum mengikat namun memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer.
c. bahan hukum tersier, seperti kamus bahasa, kamus hukum dan
lain-lain. Yang mana bahan hukum ini memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
sekunder.
4. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data secara Normatif. Analisa dilakukan terhadap pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap permasalahan
terkait. Langkah-langkah dalam metode ini diantaranya:
a. Penerapan Kriteria Identifikasi
b. Seleksi Dan Pengumpulan Norma-Norma
c. Pengorganisasian Norma-Norma yang dikumpulkan (Sylogisme
Premis mayor-minor)
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang penulis melakukan penelitian terhadap
permasalahan terkait; Tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian ini;
18
Kerangka teoritis, Konsepsional, dan Pemikiran; Metode penelitian yang
digunakan; serta Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat tentang pengertian Perusahaan Angkutan Laut,
Perjanjian, Angkutan Laut, Hak dan Kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian
angkutan laut, Teori Pertanggungjawaban, Teori Perbuatan Melawan Hukum,
Teori Wanprestasi, dan Keadaan Memaksa.
BAB III HASIL PENELITIAN
Bab ini memuat tentang Para pihak yang bersengketa, Posisi kasus
yang menjadi objek penelitian, Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan, dan Putusan Mahkamah Agung mengenai kasus terkait.
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN
Bab ini memuat tentang analisa Kasus dan permasalahan hukum yang
terjadi di lapangan, dengan menggunakan teori-teori dan doktrin hukum yang
berkaitan dengan permasalahan hukum yang terjadi.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran penulis terhadap kasus yang
terkait khususnya, umumnya terhadap Pengembangan hukum kemaritiman di
Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perusahaan Angkutan Laut
Perusahaan adalah organisasi yang didirikan oleh seseorang atau
sekelompok orang atau badan usaha yang kegiatannya melakukan
produksi dan distribusi barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan
ekonomis manusia. Kegiatan produksi dan distribusi dilakukan dengan
menggabungkan berbagai faktor produksi, yaitu manusia, alam dan modal.
Kegiatan produksi dan distribusi umumnya dilakukan untuk memperoleh
laba. Sedangkan Angkutan Laut adalah suatau usaha untuk memindahkan
orang atau melalui wilayah perairan Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 17 tahun 1988 pengertian pengangkutan laut yaitu:
“setiap kegiatan pelayaran dengan menggunakan kapal laut untuk mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan untuk satu perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain atau antara beberapa pelabuhan (Pasal 1 Angka 1 PP No. 17 tahun 1988)”. 12
Jadi Perusahaan Angkutan Laut adalah suatu organisasi berbadan
hukum yang kegiatannya berupa jasa distribusi barang dari satu pulau ke
pulau lainnya melalui perairan Indonesia.
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka
7:
12 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1988 Tentang Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka 1
20
“Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia (Indonesian national shipping company) yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri. Perusahaan angkutan laut nasional dapat berupa badan hukum yang keseluruhan sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia maupun dalam bentuk kerjasama dengan asing (PMA/joint venture) asalkan telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan No. 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut khususnya dalam Pasal 20 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.” 13
Adapun isi Pasal 20 Keputusan Menteri Perhubungan No. 33
TAHUN 2001 adalah:
1. Perusahaan angkutan laut nasional atau badan hokum Indonesia
atau warga negara Indonesia dapat melakukan kerjasama
dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum
asing atau warga negara asing dalam bentuk (usaha patungan
joint venture) dengan membentuk satu perusahaan angkutan
laut nasional.
2. Perusahaan angkutan laut patungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memiliki kapal berbendera Indonesia yang
laik laut sekurang-kurangnya 1 (satu) unit ukuran GT.5000
(lima ribu).
3. Ketentuan persyaratan untuk memperoleh izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 butir a,c,d,e dan f
13 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka 7
21
berlaku pula terhadap persyaratan pendirian perusahaan
angkutan laut yang melakukan usaha patungan (joint venture).
B. Perjanjian Angkutan Laut
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan
antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.14
Dalam permasalahan ini dapat diartikan bahwa Perjanjian
Angkutan Laut merupakan salah satu jenis perjanjian antara Shipper atau
pengirim barang, dengan pihak perusahaan angkutan laut. Dengan
diadakannya Perjanjian Angkutan Laut ini diharapkan dapat memberikan
hak dan tanggung jawab semua pihak sehingga tidak ada kerugian yang
dialami semua pihak. Tujuan dari perjanjian inipun dimaksudkan untuk
menempatkan semua pihak ditempat yang sejajar yang artinya tidak ada
pihak yang lemah dan tidak ada pihak yang kuat.
Di dalam Perjanjian Angkutan Laut tersebut biasanya memuat
berbagai macam klausul yang diantaranya adalah: identitas operator dan
shipper; nama dan data kapal; kesediaan muatan kapal; kondisi muatan;
kondisi kontrak; tata cara pembayaran; pelabuhan muat; pelabuhan 14Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6
22
bongkar atau pelabuhan tujuan; dana keterlambatan atau demurrage;
penerima barang; asuransi kapal dan barang; keagenan kapal; syarat-syarat
tambahan yang disetujui bersama; serta penyelesaian apabila terjadi
perselisihan.
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Angkutan Laut
Para pihak dalam perjanjian Angkutan laut memiliki hak dan
kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi, Hak dan Kewajiban dari
pihak Shipper atau pengirim barang adalah menikmati jasa dari pihak
Perusahaan Angkutan Laut berupa pengantaran barang miliknya dari
pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan yang telah disepakati bersama dengan
tepat waktu, sesuai dengan perjanjian, dan kewajiban dari pihak shipper
yaitu memberikan prestasi berupa pembayaran ke pihak Perusahaan
Angkutan Laut, dengan metode dan nominal yang sesuai dengan isi
perjanjian.
Selain pihak pemilik barang, Perusahaan Angkutan Laut juga
memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, Perusahaan Angkutan
Laut wajib mengantarkan barang milik shipper dari pelabuhan asal ke
pelabuhan tujuan dengan selamat, dan sesuai dengan tenggat waktu yang
diperjanjiakan. Perusahaan Angkutan Laut berhak menerima atau
menuntut pembayaran terhadap pemenuhan kewajiban yang telah
dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.
D. Teori Pertanggungjawaban
23
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab
adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung
jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang
telah diwajibkan kepadanya.15 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu
akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang
berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.16
Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai
dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk
menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum
orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.17
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam
kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Dalam pengertian dan
penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban
hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek
hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban
politik.18
Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam
perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori,
yaitu:19
15Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.16Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 44.17Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2010, hlm 48.18 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-337.19Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm.503.
24
a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability),
tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa
sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa
yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.
b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability),
didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang
berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur
baur (interminglend).
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut.20
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault
liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup
umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365 dan 1366,
sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat
dalam Pasal 359. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur
kesalahan yang dilakukannya.
20Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 73-79.
25
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan
dengan hukum.Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan
undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam
masyarakat.
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability”
adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan
diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan
bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan
untuk menghindarkan terjadinya kerugian.21
21 E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 21
26
Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si
tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik
(omkering van bewijs last). Hal ini tentu bertentangan dengan asas
hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun
jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian
cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban
untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha
yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa
dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat
sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai
penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha,
jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua,
prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.
Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum
pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau
bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang
(konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini
pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan
27
pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk
membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering
diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute
liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan
kedua terminologi di atas.
Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah
prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai
faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian
yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,
misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability
adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya.
Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan
absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk
membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian
yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri.
Tanggung jawab adalah mutlak.22
5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of
liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk 22Ibid, hlm. 23.
28
dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar
yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya
ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau
rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya
dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.
Dalam ketentuan Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan
jabatan notaris maka diperlukan tanggung jawab profesional
berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar
Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggung
jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability)
dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.
Tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena mereka (para
penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka
sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa
tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.23
Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi
tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan
kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan
intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil 23 Shidarta, op.cit., hlm. 82.
29
atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat
pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau
ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh
kesadaran intelektualnya.24 Tanggung jawab dalam arti hukum adalah
tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan
kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan
dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.
Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung
jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab
kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral,
intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan
cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati
nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab
kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik
mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan
cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang
berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak
semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga
pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani
menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu.
24Masyhur Efendi, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.
30
Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang
membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan
berdosa kepada Tuhan.25
E. Perbuatan Melawan Hukum
Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut
dengan istilah (onrechtmatige daad) atau dalam bahasa Inggris disebut tort.
Kata tort berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata
yang bukan dari wanprestasi kontrak. Kata tort berasal dari bahasa latin
orquer atau tortus dalam bahasa Prancis, seperti kata wrong berasal dari
bahasa Prancis wrung yang berarti kesalahan atau kerugian injury.
Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum yang kemudian
dikenal dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai
seperti apa yang disebut oleh Peribahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt haec
honeste vivere,alterum non leadere, suum cuque tribune artinya semboyan
hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan
orang lain haknya.
Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum
adalah perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919
berdasar Arrest Het Reglement 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen
melawan Lindenbaum, maka yang dimaksud perbuatan melawan hukum
adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain, hukum tertulis dan hukum
25 Abdulkadir Muhamad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 60.
31
tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan dan kesusilaan yang diterima
di masyarakat.26
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Rumusan perbuatan melawan
hukum terdapat pada Pasal 1365 yaitu :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepadaseorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”27
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori
perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :28
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian).
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Jika ditinjau dari pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainnya, sebagaimana juga
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di negara sistem Eropa
Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :29
26Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm. 511.27 Subekti, Op.cit, hlm. 34628Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2010, hlm. 3.29Ibid, hlm. 3.
32
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas sebgaimana yang diatur dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan
melawan hukum, maka harus memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagai
berikut :30
1. Adanya suatu perbuatan
Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat
digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan
kesengajaan (dilakukansecara aktif) dan perbuatan yang merupakan
kelalaian (pasif/tidak berniatmelakukannya).
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
Perbuatan pada unsur pertama dikatakan memenuhi unsur
kedua yaitu melawan hukum apabila memenuhi ketentuan sebagai
berikut :
a. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
Melanggar hak subjektif orang lain berarti melanggar
wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada 30Rosa Agustina, Hukum Perikatan (contract law), Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, hlm 16
33
seseorang. Sifat hakikat dari hak subjektif wewenang khusus
yang diberikan oleh hukum kepada seseorang yang
memperolehnya demi kepentingannya. Karakteristik untuk
hak subjektif seseorang adalah:
1. Kepentingan yang mempunyai nilai tinggi terhadap
yang bersangkutan.
2. Pengakuan langsung terhadap kewenangan yang
bersangkutan oleh suatu peraturan perundang-undangan.
3. Suatu posisi pembuktian yang kuat dalam suatu
perkara yang mungkin timbul.
Hak Subjektif dalam masyarakat dikenal sebagai:
A. Hak kebendaan yang absolut, misalnya hak milik;
B. Hak-hak pribadi, seperti hak untuk mempunyai integritas
terhadap Jiwa dan kehidupan, kebebasan pribadi,
kehormatan dan nama baik.
C. Hak-hak istimewa, misalnya hak untuk menempati
rumah oleh penyewa rumah.
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
Menurut pandangan yang berlaku saat ini, hukum diartikan
sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.Yang dimaksud dengan suatu
tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku adalah suatu tingkah laku yang bertentangan
34
dengan suatu ketentuan undang-undang. Yang dimaksud dengan
undang-undang di sini adalah semua peraturan yang sah yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan mempunyai daya
ikat keluar.
c. Bertentangan dengan kesusilaan
Kaidah kesusilaan diartikan sebagai norma-norma sosial
dalam masyarakat, sepanjang norma tersebut diterima oleh anggota
masyarakat sebagai/dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang
tidak tertulis. Sebagai pertimbangan ialah kasus antara
Lindenbaum vs. Cohen di mana perbuatan Cohen dinilai
bertentangan dengan tata susila,ketika ia membujuk karyawan
Lindenbaum untuk membocorkan rahasia perusahaannya.
d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian
(patiha)
Dalam pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang
rasa dengan lingkungannya dan sesama manusia, sehingga tidak
hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan
orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai dengan
kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang berlaku dalam
masyarakat. Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan
dengan kepatutan, yaitu:
1. Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan
yang layak;
35
2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya
bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu
diperhatikan.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku
Unsur kesalahan pada suatu perbuatan sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan unsur melawan hukum, unsur ini menekankan
pada kombinasi antara kedua unsur di atas di mana perbuatan (yang
meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur
melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa
seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan
yang terjadi karena perbuatannya yang salah.
4. Adanya kerugian bagi korban
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan
kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti
rugi. Namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian
tersebut. Pasal 1371 ayat(2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memberikan sedikit pedoman untuk itu dengan menyebutkan:
“Juga penggantian kerugian ini di nilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”. 31
Pedoman selanjutnya dapat ditemukan pada Pasal 1372 ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan:
“Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula
31 Subekti, Op.cit, 347
36
pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”. 32
Dalam hukum perdata dipersoalkan apakah ada perbedaan
pengertian antara kerugian sebagai akibat suatu perbuatan melawan
hukum di satu pihak dan kerugian sebagai akibat dari tidak
terlaksananya suatu perjanjian di lain pihak. Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menamakan kerugian akibat perbuatan
melawan hukum sebagai “scade” (rugi) saja, sedangkan kerugian
akibat wanprestasi oleh Pasal 1246 KUH Perdata dinamakan “kosten,
scaden en interessen” (biaya, kerugian dan bunga). Penentuan ganti
kerugian berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata menunjukkan segi-segi
persamaan dengan penentuan ganti kerugian karena wanprestasi, tapi
juga dalam beberapa hal berbeda. Dalam Undang-undang tidak diatur
tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan
hukum, sedang pasal 1243 KUH Perdata memuat ketentuan tentang
ganti kerugian yang harus dibayar karena wanprestasi. Untuk
penentuan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat
diterapkan ketentuan-ketentuan yang sama dengan ketentuan tentang
ganti kerugian karena wanprestasi.
Mengenai kerugian kekayaan (vermogenschade), penggantian
pada umumnya terdiri dari penggantian atas kerugian yang diderita dan
juga berupa keuntungan yang sekiranya diharapkan akan diterima
(gederfdewinst). Sehubungan dengan hal tersebut tidaklah semudah
32 Ibid.
37
diperkirakan untuk menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian
tersebut. Sebagai ketentuan umum kiranya dapat digunakan kenyataan
bahwa maksud dari kewajiban memberikan ganti kerugian adalah
untuk membawa si penderita sedapat mungkin pada keadaan sekiranya
tidak terjadi perbuatan melawan hukum.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Unsur terakhir yang tidak kalah penting adalah adanya
hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang diderita. Pada
unsur ini kerugian yang diderita oleh korban haruslah benar-benar
sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukan oleh
akibat perbuatan lain. Ada dua ajaran yang berkaitan dengan hubungan
kausal, yaitu:
A. Teori Conditio Sine Qua Non (Van Buri)
Inti dari ajaran ini adalah: tiap-tiap masalah, yang
merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat, adalah sebab
dari akibat. Misalnya A menyuruh B untuk membeli suatu
barang di toko seberang jalan, ketika menyeberang ia ditabrak
mobil yang dikendarai oleh C. Sebenarnya yang merupakan
sebab langsung terlukanya B adalah C, namun menurut
VonBuri, kesalahan bisa ditimbulkan pada semua pihak yang
mengakibatkan kerugian, yaitu A yang menyuruh B dan C yang
menabrak B.
B. Teori Adaequate Veroorzaking (Von Kries)
38
Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus
dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah
perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk
menentukan “perbuatan yang seimbang” adalah perhitungan
yang layak, yaitu menurut akal sehat patut dapat diduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat tertentu.
Misalnya: A meminta B untuk datang ke rumahnya karena ia
mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas, dalam
perjalanan ke rumah A, B ditabrak oleh C sehingga
menyebabkan ia terluka parah dan dibawa kerumah sakit.
Menurut ajaran Von Kries, perbuatan yang dianggap sebagai
sebab dari terlukanya B adalah C yang menabrak bukan A yang
meminta B datang kerumahnya.
F. Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada
pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana
dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau
debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi
buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang
dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi
39
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian,33dan bukan dalam keadaan
memaksa.
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:34
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi
prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya,
maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang
keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak
memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:35
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang
33Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003, cet. 1, hal. 2.2134 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Putra Abadin, 1999, cet. 6, hal.1835Subekti, Op.cit, hlm. 46
40
diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa
tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan
wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa
berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan
dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap
melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak
ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur
melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang
diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur
yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika
atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.36
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan
wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-
bentuk somasi menurut pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
adalah:37
36Subekti , Op.cit, 323
37 Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22
41
1. Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk
penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara
lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal
ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2. Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah
menentukan saat adanya wanprestasi.
Suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut
berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara
tertulis. Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk
menyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam
hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam
perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya
wanprestasi.
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi
yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:38
1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2. Pembatalan perjanjian;38Ibid, hal. 2.22-2.25
42
3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka
hakim.
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang
berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl) Yang dimaksud
kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya
yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang
sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga
berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat
seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).39 Bahwa kerugian yang
harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat
langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara
wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada
dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:40
1. Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa
B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada
pristiwa A
2. Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa
B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia
yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
39 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005, cet. 32, hal. 14840Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.23
43
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan
beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht);
2. Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
3. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk
menuntut ganti rugi.
G. Keadaan Memaksa
Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa
adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada
kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya,
seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Menurut Prof. Dr. R.
Wirjono Prodjodikoro S.H. keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang
menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan
hukum tidak dapat dilaksanakan.
1. Dasar Hukum Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244-
1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal1244 berbunyi:
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. 41
41 Subekti, Op.cit, hlm 324
44
Selanjutnya Pasal 1245 berbunyi:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.”42
2. Teori- Teori Keadaan Memaksa
a. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkeheid)
Teori ini berpendapat bahwa keadan memaksa adalah suatu keadaan
tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolute
onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali
dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur.
2. Ketidakmungkinan relatif atau ketidakmungkinan subjektif
(relative onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan
relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya.
b. Teori Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van
schuld).
Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah
kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.
3. Macam-Macam Keadaan Memaksa
a. Keadaan Memaksa Absolut
Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan
dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi
42 Ibid Op.cit, 325
45
perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa
bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin
membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A
ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka
si A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si B.
Kalau keadaan memaksa mengakibatkan, bahwa suatu hak atau
kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat
dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka
keadaan memaksa itu dinamakan “absolut”. Keadaan memaksa
yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali
tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya
barangnya sudah hapus karena bencana alam).
b. Keadaan Memaksa yang Relatif
Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang
menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.
Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan
memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau
menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia
atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.
Contohnya, A telah meminjam, kredit usaha tani dari Koperasi
Unit Desa, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi
sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada
saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada
46
Koperasi Unit Desa, tetapi ia akan membayar pada musim panen
mendatang.
Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila dalam
keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada
suatu perhubungan hukum tidak dapat dikatakan sama sekali tidak
dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya
dan dengan pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sehingga
patutlah dikatakan bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap.
Adanya keadaan memaksa yang relatif ini, sangat
tergantung dari pada isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan
hukum yang bersangkutan. Misalnya, seorang tukang berjanji akan
membuat rumah untuk orang lain, kemudian pada waktu
pembuatan rumah itu sedang berjalan semua buruh-buruhnya
bersama-sama mogok. Apakah oleh karena keadaan ini keharusan
untuk menyelesaikan pembuatan rumah adalah lenyap? Kalau
Dapat dikatakan, bahwa tukang pembuat rumah harus
mempekerjakan buruh-buruh lain, betapapun mahalnya upah
buruh-buruh itu, maka dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada
keadaan memaksa. Akan tetapi, kalau berhubungan dengan isi,
maksud, dan tujuan dari persetujuan antara kedua belah pihak,
dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sedemikian besarnya,
47
tidak patut dibebankan kepada si tukang pembuat rumah, sehingga
keadaan ini dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa.
Apabila terjadinya keadaan memaksa dapat diperkirakan
oleh siapapun secara objektif, dan tidak dapat dihindarkan dengan
usaha apapun juga, maka dapat dikatakan bahwa dari pihak yang
berkewajiban itu sama sekali tidak ada kesalahan, dan seharusnya
ia dibebaskan sama sekali dari pertanggungjawaban.
Sebaliknya, jika keadaan memaksa itu secara objektif dapat
diperkirakan terlebih dahulu untuk menjaga agar jangan sampai
keadaan memaksa itu terjadi, maka dapatlah si berwajib itu
dipertanggungjawabkan. Misalnya, suatu perusahaan pengangkutan
barang berjanji akan mengangkut barang dari suatu kota ke kota,
dan sudah diketahui oleh umum bahwa di perjalanan antar dua kota
itu sudah beberapa kali terjadi perampokan atas barang-barang
angkutan, maka patutlah apabila si pengangkut barang itu
bagaimanapun caranya berusaha untuk menghidari perampokan itu
misalnya menyewa pengawal bersenjata api. Kalau usaha ini sama
sekali tidak dilakukan maka jika kemudian terjadi perampokan atas
barang-barang yang diangkut itu, si pengangkut dapatlah dimintai
pertanggungjawaban atas keadaan memaksa yang menyebabkan
barang-barang itu tidak sampai di tempat yang dimaksudkan.
3. Akibat Keadaan Memaksa
48
a. Akibat Keadaan Memaksa Absolut
1. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH
Perdata)
2. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi
sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk
menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut
dalam Pasal 1460 Kitab Undang-Undag Hukum Perdata.
b. Akibat Keadaan Memaksa Relatif
Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan
memaksa sementara
H. Tinjauan Umum Kelalaian
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), kelalaian
biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan. Hal ini
dapat dilihat dalam penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 359 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, yang mengatakan bahwa “karena salahnya” sama dengan kurang hati-hati,
lalai lupa, amat kurang perhatian.43 Dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana disebutkan:
43 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Jakarta, Erlangga, 1990, hlm 14
49
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.”
Dalam hukum pidana, kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan
disebut dengan culpa. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya yang
berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia mengatakan bahwa arti culpa
adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum culpa
mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang
tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang
tidak disengaja terjadi.44
Sedangkan, Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana
mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir,
kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan Remmelink,
ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu
dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata
(terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang
tersebut padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.
Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink mengatakan
bahwa menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi tolak ukur
bagi pembuat undang-undang bukanlah diligentissimus pater familias (kehati-
hatian tertinggi kepala keluarga), melainkan warga pada umumnya. Syarat untuk
penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhati-
44 “Adakah ukuran Kelalaian dalam Hukum Pidana?” http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51d592cf9865d/adakah-ukuran-kelalaian-dalam-hukum-pidana?. Diakses tanggal 26 Juni 2015
50
hatian besar yang cukup; bukan culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa
lata (kelalaian yang kentara/besar).45
Hal serupa juga dikatakan oleh Wirjono Prodjodikoro (Ibid, hal. 73), yaitu
bahwa menurut para penulis Belanda, yang dimaksudkan dengan culpa dalam
pasal-pasal KUHP adalah kesalahan yang agak berat.Istilah yang mereka
pergunakan adalah grove schuld (kesalahan besar). Meskipun ukuran grove
schuld ini belum tegas seperti kesengajaan, namun dengan istilah grove schuld ini
sudah ada sekedar ancar-ancar bahwa tidak masuk culpa apabila seorang pelaku
tidak perlu sangat berhati-hati untuk bebas dari hukuman.
Lebih lanjut, dikatakan bahwa untuk culpa ini harus diambil sebagai
ukuran bagaimana kebanyakan orang dalam masyarakat bertindak dalam keadaan
yang in concreto terjadi. Jadi, tidaklah dipergunakan sebagai ukuran seorang yang
selalu sangat berhati-hati, dan juga tidak seorang yang selalu serampangan dalam
tindak tanduknya. Pada akhirnya, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa
dengan demikian seorang hakim juga tidak boleh mempergunakan sifatnya sendiri
sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Akan
tetapi, tentunya ada peranan penting yang bersifat pribadi sang hakim sendiri. Hal
ini tidak dapat dielakkan. Jadi, pada dasarnya yang dijadikan tolak ukur adalah
ukuran kehati-hatian yang ada di masyarakat, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa hakim juga berperan serta dalam menentukan hal tersebut.
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kelalaian tercantum
dalam Pasal 1366 yang berbunyi “setiap orang bertanggung jawab bukan hanya 45 Ibid.
51
atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Posisi Kasus
Pada kasus ini pihak Penggugat adalah CV.KARYA ARDI PRESTASI,
berkedudukan di Jalan Buyut Arman No.42A, Cilegon, dalam hal ini diwakili oleh
Ardiansyah Harsojo, Direktur CV.KARYA ARDI PRESTASI, dalam hal ini
memberi kuasa kepada Frans Paulus, SH.,MH., dan kawan-kawan, para Advokat,
berkantor di Law Firm Frans Paulus & Partners, yang beralamat di Wisma Bhakti
Mulya Building 4th Floor, Suite 403, Jalan Kramat Raya 160 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 10 Desember 2009, Termohon Kasasi I.2. dan
Termohon Kasasi II.2. dahulu Penggugat/ Pembanding sedangkan pihak Tergugat
yaitu PT. KARYA MANDIRI MAKMUR SEJATI, berkedudukan di Jalan
Kramat I No.8, Karawaci c.q. Tangerang City, Blok D No.59, Jalan Jenderal
Sudirman, Tangerang, Banten, yang diwakili oleh Rudy, Direktur PT.KARYA
MANDIRI MAKMUR SEJATI, dalam hal ini memberi kuasa kepada Capt.Tekky
Toreh,SH.,MM.,M.Mar., dan kawan-kawan, para Advokat, yang berkantor di
Kantor Hukum ”Tekky Toreh and Partners,beralamat di Jalan Pulomas Barat XI
No.22, Jakarta Timur,berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 21 Januari
2010,Pemohon Kasasi I/ Termohon Kasasi II.1. dahulu Tergugat I/Terbanding I
dsn PT.TANJUNG CEMERLANG SHIPPING, berkedudukan di Jalan Tiang
Bendera Raya 43-44 Jakarta Barat, yang diwakili oleh Kevin Ong, Direktur
PT.TANJUNG CEMERLANG SHIPPING, dalam hal ini memberi kuasa kepada
Daryo Muktikno,SH., dan kawan-kawan, para Advokat, berkantor di Kantor
53
Hukum “SAPALA”, beralamat di Jalan Nurul HidayahNo.57A Ciracas, Jakarta
Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Oktober 2011, Pemohon
Kasasi II/ Termohon KasasiI.1. dahulu Tergugat II/ Terbanding II.
Dasar terjadinya sengketa yaitu semula para pihak Tergugat telah
menandatangani perjanjian Time Charter Tug And Barge tertanggal 15 Mei 2009
dengan No.001/Dir/TCS.TC-KMMS/V/09 antara PT.Karya Mandiri Makmur
Sejati yang diwakili oleh saudara Ivotik Widjaya yang mana dalam gugatan ini
selaku Tergugat I dengan PT.Tanjung Cemerlang Shipping yang diwakili oleh
Sdr. Kevin Ong, yang mana dalam gugatan ini selaku Tergugat II. Dengan adanya
perjanjian tersebut di atas, maka pada tanggal 28 Mei 2009 timbullah Surat
Perjanjian Angkutan Laut Nomor.001/SPAL-KKMS-KAP/2009 antara PT.Karya
Mandiri Makmur Sejati sebagai pemilik kapal/ operator kapal yang dalam gugatan
ini selaku Tergugat I dengan CV Karya Ardi Prestasi sebagai penyewa kapal yang
dalam gugatan ini selaku Penggugat. Dalam Perjanjian Angkutan Laut
No.001/SPAL-KKMS-KAP/V/2009 disepakati bahwa barang milik Penggugat
sejumlah 2.304,34 m3 berupa Batu Split akan dikirim olehTergugat I dengan
daerah tujuan dari Pelabuhan Merak hingga Pelabuhan Teluk Dewa/Sebukat,
Kalimantan Tengah sebagai tujuan akhir pengiriman. Dalam kesepakatan yang
tertuang dalam Perjanjian Angkutan Laut No. 001/SPAL-KKMS-KAP/2009, telah
disepakati pembayaran atas jasa pengiriman barang tersebut hingga sampai tujuan
dengan kondisi pembayaran sebagai berikut:
• 25% pada saat kapal sandar;
• 50% pada saat selesai muat;
54
• 25% pada saat kapal tiba di lokasi tujuan sebelum muatan dibongkar;
Dan sesuai dengan kesepakatan tersebut di atas pihak CV.Karya Ardi
Prestasi selaku Penggugat telah melaksanakan kewajibannya di mana telah
melunasi 25% pada saat kapal sandar dan 50% pada saat selesai muat, total
pembayaran keseluruhan sebesar Rp253.125.000,00 (dua ratus lima puluh tiga
juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) kepada PT.Karya Mandiri Makmur Sejati
selaku Tergugat I. Proses pembayaran pada poin 2 (dua) di atas dilakukan dengan
2 (dua) kali pembayaran yaitu : Pada tanggal 30 Mei 2009 dibayarkan melalui
Giro Bank BCA No.YH 223112 sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dengan bukti pelunasan diterbitkannya Kwitansi Pelunasan oleh Tergugat
I. Pada tanggal 11 Juni 2009 dibayarkan melalui transfer langsung ke rekening
PT.Karya Mandiri Makmur Sejati selaku Tergugat I sebesar Rp 203.125.000,00
(dua ratus tiga juta seratus dua puluh lima ribu rupiah), dan bukti pelunasan
diterbitkannya Kwitansi Pelunasan oleh Tergugat I. Dengan demikian berdasarkan
bukti pembayaran yang dilakukan CV.Karya Ardi Prestasi selaku Penggugat di
atas dengan ini dapat dibuktikan bahwa Penggugat telah melakukan kewajibannya
secara penuh dan sah menurut hukum kepada PT.Karya Mandiri Makmur Sejati
selaku Tergugat I. Berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
CV.Karya ArdiPrestasi (Penggugat) selama ini dalam proses pengiriman barang
pada umumnya waktu yang dibutuhkan memakan waktu ± 7 (tujuh) hari dari
tanggal dikeluarkannya Surat Ijin Berlayar No.L1/KM17/154/VI/2009 tertanggal
10 Juni 2009 untuk Kapal Brandon dengan Nomor Reg.: 06/075 dan Surat Ijin
Berlayar No.L1/ KM17/155/VI/2009 tertanggal 10 Juni 2009 untuk
55
Tongkang/BG.TC 2301 . Berdasarkan perjanjian yang disepakati antara
Penggugat dengan Tergugat Iadalah pengiriman barang dengan jenis barang "Batu
Split" dengan jumlah muatan 2.304,34m3, dan dengan tujuan dari Pelabuhan
Merak ke Teluk Dewa - Sebukat, Kalimantan Tengah, yang mana menggunakan
kapal TB.Brandon - Bg TC 2301 Milik Tergugat II. Dapatlah diyakini pemilik
sebenamya dari kapal TB.Brandon - Bg TC 2301 adalah PT.Tanjung Cemerlang
Shipping selaku Tergugat II. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Perjanjian
antara Tergugat I dengan Tergugat II yang tertuang dalam Surat Perjanjian Time
Charter Tug and Barge No.001/Dir/TCS/TC-KMMS/V/09 tertanggal 15 Mei
2009 sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya pada poin 1 (satu) di atas.
Dalam perjalanannya terdapat permasalahan yang timbul dari proses
pengiriman barang tersebut, dengan tidak dapat dipenuhinya kewajiban dari pihak
Tergugat I untuk mengirimkan barang dari pihak Penggugat ke tempat tujuan
yang disepakati sesuai dalam perjanjian, di mana dijadwalkan tanggal 12 Juni
2009 kapal berjalan dan tanggal 16 Juni 2009 diperkirakan kapal sampai ke tujuan
sesuai dengan surat yang dikirimkan oleh Tergugat Itertanggal 15 Juli 2009 dan
ditandatangani oleh saudara Ivotik Widjaya selaku direktur . Hal tersebut di atas
pihak Penggugat sudah cukup sabar dan beritikad baik untuk menunggu
penyelesaian permasalahan yang ada, namun tidak pernah diperoleh kepastian
sertatelah banyak kerugian yang telah diderita Penggugat dan banyak biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh Penggugat dalam membantu menyelesaikan permasalahan
yang timbul danyang mana hingga gugatan ini diajukan sudah ± 6 (enam) bulan
barang tersebut belum juga sampai di tujuan. Yang menjadi permasalahan tidak
56
dapat dikirimkannya barang Penggugat olehTergugat I adalah bermula pada
tanggal 15 Juli 2009 pihak Tergugat I yang diwakili oleh Sdr.lvotik Widjaja
selaku Direktur PT.Karya Mandiri Makmur Sejati (Tergugat I) mengirimkan surat
kepada Penggugat, dengan substansi/ isi surat yang menjelaskan bahwa telah
terjadi hantaman ombak terhadap kapal dan baru termonitor pada tanggal 24 Juni
2009. Serta kerusakan mesin induk sebelah kanan yang dikabarkan oleh KKM
pada tanggal 1 juli2009 sesuai dengan Bukti P-6 di atas.
Surat yang diberikan Tergugat I kepada Penggugat tertanggal 15 Juli 2009,
merupakan surat yang sangat tidak beralasan dan tidak dapat diterima secara
logika, dikarenakan bagaimana kapal yang diperkirakan dan dijadwalkan
tanggal16 Juni 2009 dapat sampai di tujuan tetapi terhempas oleh ombak baru
termonitor tanggal 24 Juni 2009. Dalam terhambatnya pengiriman oleh Tergugat I
yang menjadi permasalahan pokok adalah telah terjadi kerusakan mesin induk
sebelah kanan yang berakibat tidak dapat dioperasikannya kapal tersebut secara
normal dan baik, namun dikarenakan tidak adanya niat baik dari para Tergugat
dalam mengatasi kerusakan yang ada, serta sengaja membuat masalah menjadi
berlarut-larut, maka kapal tersebut menjadi terombang-ambing di tengah laut
hingga kapal tersebut terhempas ombak dan sempat terdampar di daerah Pulau
Belitung.
Jika dilihat dari kronologis kejadian, maka dapat disimpulkan timbulnya
permasalahan yang ada mutlak dikarenakan adanya kerusakan mesin induk
sebelah kanan kapal pengangkut barang milik Tergugat II, yang mana para
Tergugat yaitu Tergugat I danTergugat II masing-masing ingin melepaskan
57
tanggung jawabnya dan tidak ada yang mau bertanggung jawab atas kerusakan
kapal tersebut, sehingga membawa dampak kerugian kepada pihak ke III yakni,
pihak Penggugat.
Pihak Tergugat I sesuai surat tanggal 15 Juli 2009 juga mengatakan
dengan tegas telah terjadi kerusakan mesin induk sebelah kanan yang dikabarkan
KKM pada tanggal 1 Juli 2009, hal ini jelas diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 41
ayat (1) Undang-UndangNo.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 40 ayat (1) dan (2);
Ayat (1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab
terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/ atau barang yang
diangkutnya;
Ayat (2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab
terhadap muatan kapal Sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan
dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan
yang telah disepakati;
Pasal 41 ayat (1);
Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:
a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. Keterlambatan angkutan penumpang dan/ atau barang yang
diangkut atau;
58
d. Kerugian pihak ke tiga.
Dengan jelas dapat disimpulkan bahwa pihak Tergugat I dan Tergugat II
berkewajiban secara penuh dengan tanggung renteng atas segala kerusakan yang
ada dan berkewajiban untuk memperbaiki kapal tersebut hingga berfungsi seperti
semula.
Kewajiban yang harus dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II di atas
tidak pernah dilakukan dengan serius, pihak Tergugat I dan Tergugat II sangat
tidak bertanggung jawab serta saling melempar tanggung jawab dan tidak
beritikad baik dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan oleh karena alasan
biaya yang tidak mau ditanggung oleh para Tergugat I dan Tergugat II, hal ini
dapat dibuktikan dengan telah membebani bermacam-macam biaya kepada
Penggugat untuk memperbaiki kondisi kapal tersebut yang mana hal tersebut tidak
pernah ada dalam perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Beban biaya yang telah dibebankan kepada Penggugat dalam memperbaiki
kondisi kapal serta segala biaya untuk menarik kapal, dan Iain-Iain adalah sebagai
berikut:
a. Pemberian uang tunai ke Johndri Tatilu selaku ex. Operational Manager dari
Tergugat I:
1. Pengambilan uang tunai pada tanggal 09 Juni 2009 sebesar Rp
4.000.000,00 (empat juta rupiah) untuk pembayaran uang muka biaya
shifting;
2. Transfer via ATM BNI a/n Abdul Gafur dengan No.Rekening:
0101725149 pada tanggal 16 Juli 2009 sebesar Rp 2.500.000,00 (dua
59
juta lima ratus riburupiah) untuk biaya operasional Sdr.Johndri Tatilu
selama ada di Kumai-Kalimantan Tengah.
b. Biaya pembayaran sewa perahu nelayan untuk Captain Totot atas persetujuan
Bp.Ivotik Wijaya pada tanggal 27 Juli 2009 via ATM BRI atas nama Norasi
dengan Nomor Rekening: 480501001562532 sebesar Rp 2.000.000,00 (dua
juta rupiah);
c. Transfer uang sebesar Rp 60.000.000,00 melalui BNI pada tanggal 14 Agustus
2009 dikirimkan ke rekening a/n Sdr.Abdul Gafur, hal ini dibayarkan guna
untuk:
1. Biaya bunker Tb.Tulus Bersama 23 sebesar Rp 51.297.000,00 (lima
puluh satu juta dua ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah);
2. Ijin khusus penarikan TK TC 2301 sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta
rupiah);
3. DP biaya perbaikan tongkang sebesar Rp 6.703.000,00 (enam juta
tujuh ratus tiga ribu rupiah);
Dengan ini total biaya keseluruhan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) yang mana telah ditransfer oleh Penggugat melalui bank BNI, dengan
demikian total keseluruhan biaya-biaya atau beban lainnya yang telah dikeluarkan
oleh Penggugat dan yang seharusnya bukan kewajiban dari Penggugat adalah
sebesar Rp 68.500.000,00 (enam puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah).
Beban biaya tersebut di atas yang dibebankan kepada Penggugat terpaksa
dipenuhi oleh Penggugat dikarenakan desakan dari Tergugat I dan Tergugat II,
yang mengkondisikan bahwa apabila Penggugat tidak ikut menanggung biaya-
60
biaya tersebut maka Tergugat I dan Tergugat II juga tidak mau bertanggung jawab
terhadap pengiriman barang Penggugat. Beban biaya dalam penarikan kapal
tersebut juga dituangkan dengan tegas dalam Surat Kesepakatan Bersama antara
Penggugat dengan Tergugat I serta Tergugat II, sebagaimana dalam Surat
Kesepakatan Bersama tanggal 30 Juli 2009/ 01/SKM/VII/2009.
Surat kesepakatan bersama sebagaimana yang diuraikan di atas sangatlah
membebani pihak Penggugat, karena sebelumnya Penggugat tidak mau
melakukan. Namun akibat desakan Tergugat I dan Tergugat II yang
menyampaikan bahwa barang milik Penggugat dapat diselamatkan dengan baik
asalkan Penggugat ikut menanggung biaya-biaya yang ada, akan tetapi dalam
kenyataannya hingga sampai gugatan ini dimasukkan, barang milik Penggugat
belum sampai pada lokasi tujuan yang diperjanjikan.
Dengan adanya Surat Kesepakatan Bersama tertanggal 30 Juli 2009/
01/SKM/VII/2009 sebagaimana yang tercantum di atas menunjukkan secara sah
suatu perikatan hubungan hukum antara para pihak yang saling terkait dan para
pihak baik Tergugat I maupun Tergugat II tidak bisa melepaskan tanggung jawab
yang harus dipikul oleh Tergugat I dan Tergugat II dari kewajibannya atas
kerusakan kapal tersebut serta kewajibannya kepada pihak Penggugat. Sudah
berulangkali Penggugat mengajukan permintaan secara baik-baik kepada para
Tergugat I dan Tergugat II untuk menyelesaikan permasalahan yang ada namun
hal tersebut tidak pernah dihiraukan dan digubris, para Tergugat I dan Tergugat II
saling melemparkan tanggungjawabnya satu sama lain. Atas perbuatan para
61
Tergugat ini yang tidak beritikat baik dalam menyelesaikan permasalahan yang
ada sangatlah merugikan pihak Penggugat yang berada di posisi yang lemah.
Akibat dari perbuatan para Tergugat I dan Tergugat II yang tidak mau
bertanggung jawab dan lalai dalam memperbaiki kapal yang berada dalam kondisi
rusak dan membuat menjadi berlarut-larut hal ini telah menimbulkan banyak
kerugian bagi pihak Penggugat, di mana kerugian materiil yang telah nyata dan
dapat dilihat adalah barang yang seharusnya dikirimkan kepada pelanggan dari
Penggugat ke Teluk Dewa-Sebukat,Kalimantan Tengah tidak sampai dan tidak
jelas keberadaannya, yang mana jika diperhitungkan nilai barang tersebut sebesar
Rp 264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empatjuta sembilan ratus sembilan
puluh sembilan ribu seratus rupiah), dengan uraian sebagai berikut (harga modal +
laba x jumlah barang = hasil akhir) atau Rp 85.000,00 + Rp 30.000,00x 2,304,34
m3 = Rp 264.999.100,00 sehingga Penggugat memohon kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Barat agar menghukum para Tergugat, yaitu Tergugat I dan
Tergugat II secara tanggung renteng untuk mengganti kerugian tersebut di atas;
Bahwa, Penggugat menyampaikan kepada Majelis Hakim yang memeriksa
perkara ini. Di mana akibat dari perbuatan dan kelalaian pihak Tergugat I dan
Tergugat II dalam memperbaiki kapal yang rusak tersebut sehingga berdampak
pada pengiriman barang milik Penggugat yang tidak kunjung sampai pada tujuan
yang telah diperjanjikan semula, maka pihak Penggugat terpaksa pada tanggal 08
Desember 2009 harus mengirimkan kembali jenis barang yang sama dengan
barang yang semula, yaitu berupa Batu Split dengan volume2.103,84 m3. Hal ini
dilakukan akibat dari tuntutan pihak PT.Yala Persada Angkasa yang beralamat
62
Kumai - Kalteng selaku pembeli dari Penggugat dan hal di atas dapat dibuktikan
dengan Bill Of Lading No.01/MRK-KMI/XII/09 serta Surat Ijin BerlayarNo.L1/
KM17/123/XII/2009 untuk Kapal TB.Kedaung II dengan Nomor
Reg.:12/077/2009dan Surat ijin Berlayar No.L1/KM17/124/XII/2009 untuk
Tongkang/ BG.CBS 005 denganNomor Reg.:12/078/2009.
Apa yang diuraikan pada poin di atas cukuplah membuktikan bahwa
kerugian yang dialami oleh pihak Penggugat sangatlah besar, dan hal ini harus
menjadi kewajiban dan tanggung jawab pihak Tergugat baik Tergugat I dan
Tergugat II karena hal ini terjadi karena kelalaian para pihak Tergugat, yang mana
para pihak Tergugat tidak segera untuk mengatasi masalah kerusakan kapal yang
ada dan sangat tidak bertanggung jawab dan telah melakukan perbuatan melawan
hokum. Seharusnya para Tergugat berkewajiban memperbaiki kapal tersebut
sesuai dengan Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dalam Pasal
40 ayat (1), (2) dan Pasal 41 ayat (1) sebagaimana yang telah diuraikan pada poin
16 di atas.
Perlu kami sampaikan kepada Majelis Hakim yang mulia agar kiranya
dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Penggugat atas tindakan para
Tergugat yang telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang
diatur dalam undang-undang. Akibat perbuatan para Tergugat yang telah lalai
dalam melakukan perbaikan kapal adalah perbuatan melawan hukum sehingga
menimbulkan kerugian yang sangat besar secara materiil maupun immateriil bagi
pihak Penggugat.
63
Jelas dapat dipastikan para Tergugat baik Tergugat I dan Tergugat II tidak
memiliki itikad baik dalam menjalankan tanggung jawab mereka dan dengan
sengaja mengulur-ngulur waktu dan tidak segera menyelesaikan perbaikan atas
kapal tersebut yang mana hingga gugatan ini diajukan tidak ada upaya yang
konkrit/ pasti dalam melakukan perbaikan kapal, di mana jika para Tergugat
beritikad baik kami yakin kapal tersebut dapat diperbaiki serta dapat diupayakan
dengan segala cara untuk menarik kapal tersebut dan dapat dioperasikan seperti
semula dan tidak menjadi berlarut-larut tanpa kejelasan seperti sekarang ini.
Dengan kelalaian yang dilakukan oleh para Tergugat, baik Tergugat I dan
Tergugat II benar-benar telah merugikan pihak Penggugat dan hal tersebut telah
diatur dalam Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365:
“Tiap perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut";46
Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
"Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kekurang hatihatiannya";47
Pasal 1367 KUHPerdata:
"Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannyasendiri.Tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjaditanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang di bawah pengawasannya".48
46 Subekti, Op.cit, hlm 34647 Ibid.48 Ibid.
64
Dapat dengan jelas kita simpulkan bahwa semua perbuatan yang dilakukan
oleh Tergugat I dan Tergugat II jelas-jelas telah melanggar hukum dan tindakan
para Tergugat jelas-jelas telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya
memperbaiki kapal yang rusak seperti yang telah diatur pada Pasal 40 dan Pasal
41 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dapat disimpulkan pada Pasal 1367 KUHPerdata bahwa para Tergugat
juga harus bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh barang-
barang yang berada di bawah penguasaanya yaitu kapal tersebut. Dalam hal ini
perlu kami jelaskan juga bahwa Batu Split milik Penggugat yang berada di atas
kapal milik Tergugat II, apabila di kemudian hari para pihak Tergugat
berkeinginan menarik kembali hingga sampai pada tujuan yang diperjanjikan.
Dengan tegas kami sampaikan bahwa pihak pembeli yang beralamat di Teluk
Dewa-Sebukat, Kalimantan Tengah dengan jelas tidak mau menerima kembali
barang tersebut dikarenakan berdasarkan bukti yang ada bahwa proyek yang
dikerjakan oleh pihak pembeli sudah selesai terhitung awal Desember 2009. Kami
perlu juga menegaskan, hal ini sangatlah tidak logis apabila barang tersebut
dikembalikan kepada pihak Penggugat untuk dikemudian hari.
Atas perbuatan Tergugat I dan Tergugat II, pihak Penggugat juga jelas-
jelas telah mengalami kerugian immateriil, dengan telah hilangnya kepercayaan
pelanggan terhadap professionalitas kerja Penggugat dan hal tersebut juga
berdampak sangat buruk bagi kelangsungan usaha dari Penggugat, dikarenakan
dalam dunia usaha/ bisnis sangat dipengaruhi oleh rasa kepercayaan, yang mana
kepercayaan pelanggan kepada Penggugat telah hilang oleh karena terjadinya
65
permasalahan ini. Berdasarkan hal tersebut Penggugat mengalami kerugian
immateriil yang telah ditimbulkan oleh Tergugat I dan Tergugat II sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), maka dengan ini memohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar menghukum Tergugat I dan Tergugat II
secara tanggung renteng membayar kerugian immateriil tersebut di atas. Bahwa
akibat dari perbuatan Tergugat I, dengan ini Penggugat memohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sudahlah sepatutnya kiranya menghukum
Tergugat I untuk mengembalikan seluruh pembayaran yang telah dilakukan oleh
Penggugat kepada Tergugat I atas sewa kapal yang telah dibayarkan lunas oleh
Penggugat yakni untuk pembayaran pertama kali sebesar Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan pembayaran ke dua sebesar Rp 203.125.000,00 (dua ratus
tiga juta seratus dua puluh lima ribu rupiah), sehingga total seluruhnya sebesar Rp
253.125.000,00 (dua ratus lima puluh tiga juta seratus dua puluh lima ribu rupiah).
Dengan adanya keterlambatan bongkar muat sesuai yang diatur pada Pasal
18 Surat Perjanjian Angkutan Laut, maka Penggugat berhak menuntut uang
Denda Keterlambatan (demurrage) sebesar Rp 12.500.000,00/ per hari kepada
Tergugat I, terhitung dari tanggal perkiraan barang Penggugat seharusnya sampai
yaitu tanggal 16 Juni 2009 hingga putusan dalam gugatan ini dilaksanakan.
Di samping itu juga Penggugat berhak menuntut uang bunga sebesar 6%
(enam persen) setahunnya menurut undang-undang dari jumlah nilai barang
sebesar Rp 264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empat juta sembilan ratus
sembilan puluh Sembilan ribu seratus rupiah) hal ini terhitung sejak gugatan
diajukan di hadapan sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat sampai Tergugat
66
melaksanakan putusan ini telah berusaha terus menerus untuk menempuh jalan
damai guna menyelesaikan persoalan ini baik secara lisan maupun tulisan, tetapi
para Tergugat tidak menanggapinya dengan itikad baik, yang mana pada tanggal
17 November 2009 juga telah diundang secara resmi melalui Kuasa Hukum
Penggugat.
Penggugat melalui kuasa hukumnya telah mensomasi para Tergugat
namun tetap tidak ditanggapi, maka terpaksa Penggugat membawa persoalan ini
ke sidang pengadilan. Untuk menjamin terpenuhinya semua tuntutan Penggugat,
maka Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk
meletakan sita jaminan terhadap 1(satu) buah Kapal Tug Boat TB Brandon dan 1
(satu) buah tongkang Barge TC 2301 beserta muatan milik Penggugat dan yang
mana terdiri dari beberapa bagian dan spesifikasinya sebagai berikut:
1. Tug Boat, dengan spesifikasi sebagai berikut:
Name of Vessel : TB Brandon;
Type of Vessel : Twin Screw Tug Boat;
Material Hull : Steel;
Classification : Biro Klasifikasi Indonesia (BKI);
Year Of Built : 1996 Malaysia;
Port Of Registry : Cirebon;
Flag : Indonesia;
GRT/ NRT : 114 Gil 68 NT;
Dimension :
Length : 22.65 meter;
67
Breadth : 7.00 meter;
Depth : 2.90 meter;
Main Engine : 2 (two) set "Yanmar" 6 LAAM UTE 2 x 530
Hp;Fuel Oil Capacity : 2 (two) set "Yanmar” 4 TNE 84GIA 2 x 36.1 Hp;
Fresh Water : 73 ton;
Speed : 30 ton;
Anchor Equpment : 2 (two) set-2 x 300 kg;
Life saving : 2 (two) set Life Craft @ 10 person;
Navigation Equip : Marine Standard;
Last Docking : May, 2009;
2. Tongkang/ Barge, dengan spesifikasi sebagai berikut:
Name of Vessel : TC-2301;
Type of Vessel : Steel Barge;
Port Registry : Cirebon;
Classification : Biro Klasifikasi Indonesia (BKI);
Year Of Built/ Place : 1997-Batam;
Flag : Indonesia;
GRT/ NRT : 1332 GT/ 400 NT;
Dimension :
Length : 67.30 meter;
Breadth : 18.29 meter;
Depth : 4.27 meter;
68
Capacity : 3750 Mt;
Last Docking : May, 2009;
Untuk menjamin terpenuhinya semua tuntuan Penggugat tersebut yakni
membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang ditimbulkan secara materiil
maupun immateriil, maka Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Barat berkenan meletakkan sita jaminan terhadap seluruh harta benda milik
Tergugat I dan Tergugat II, baik barang bergerak maupun tidak bergerak.
Untuk, menjamin dilaksanakannya putusan ini nantinya oleh Tergugat I
dan Tergugat II, maka Pengugat memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Barat agar menghukum Tergugat I dan Tergugat II masing-masing untuk
membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap harinya kepada Pengugat apabila ternyata
Tergugat I dan Tergugat II setiap ia lalai memenuhi isi putusan terhitung sejak
putusan diucapkan sampai dilaksanakan.
Penggugat memohon putusan serta merta atau dengan kata lain Penggugat
memohon kepada Majelis Hakim berkenan untuk menyatakan putusan yang
dijatuhkan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada
bantahan (verzet), banding ataukasasi (uitvoerbar bij voorraad).
Isi gugatan Penggugat di antaranya adalah:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga semua alat bukti yang diajukan Penggugat
dalam perkara ini;
69
3. Menyatakan secara sah menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I dan
Tergugat II jelas-jelas merupakan perbuatan melawan hukum (PMH);
4. Menghukum Tergugat I Dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk
mengembalikan seluruh beban biaya yang telah dikeluarkan oleh
Penggugat dalam memperbaiki kondisi kapal yang bukan merupakan
kewajiban Penggugat pada poin 18 posita sebesar Rp 68.500.000,00 (enam
puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah);
5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar ganti kerugian atas
kerugian materiil kepada Penggugat sejumlah nilai barang milik
Penggugat yang bernilai Rp 264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empat
juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu seratus rupiah) secara
tanggung renteng;
6. Menghukum Tergugat I untuk mengembalikan secara penuh seluruh
pembayaran yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat I atas
pembayaran sewa kapal sesuai dengan Perjanjian Angkutan Laut Nomor
001/SPAL-KMMS-KAP/V/ 2009 dan sesuai Bukti P-3 dan P4 sebesar Rp
253.125.000,00 (dua ratus lima puluh tiga juta seratus dua puluh lima ribu
rupiah) kepada Penggugat;
7. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang denda keterlambatan
(demurrage) sebesar Rp 12.500.000,00/ per hari kepada Penggugat
terhitung tanggal 16 Juni 2009 hingga putusan ini dilaksanakan;
70
8. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar ganti kerugian kepada
Penggugat atas kerugian immateriil yang ditimbulkan sebesar Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) secara tanggung renteng;
9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II masing masing untuk membayar
uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
kepada Penggugat untuk setiap harinya setiap ia lalai memenuhi isi
putusan terhitung sejak putusan diucapkan hingga dilaksanakan;
10. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan dalam perkara ini;
11. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu
walaupun para Tergugat mengajukan verzet, banding dan kasasi
(uitvoerbaar bij voorraad);
12. Menghukum para Tergugat membayar biaya perkarasecara tanggung
renteng.
Kemudian atas gugatan diatas pihak Tergugat mengajukan eksepsi
yang pada intinya menyatakan bahwa tergugat telah memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Selain itu Tergugat juga
menyatakan bahwa terdamparnya tugboat Brandon merupakan kejadian
yang berada diluar kekuasaan manusia atau force majeure.
Namun terdapat satu hal yang penulis temukan dalam eksepsi
Tergugat 2, yakni Tergugat 2 menyatakan bahwa ada unsur kelalaian yang
yang dilakukan Tergugat 1 dalam hal perawatan kapal sehingga
menyebabkan rusaknya mesin kapal, namun hal tersebut urung menjadi
pertimbangan bagi Majelis Hakim Pengadilana Negeri Jakarta Barat dan
71
Mahkamah Agung, padahal kelalaian tersebut berdasarkan pengamatan
penulis merupakan penyebab awal dari kerusakan kapal hingga
menyebabkan kapal terdampar.
B. Hasil Putusan
1. Pengadilan Negeri
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah
mengambil putusan, yaitu Putusannya No.590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR
tanggal 21 Juli 2010 yang amarnya sebagai berikut:
a. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
b. Memerintahkan agar sita jaminan sebagaimana dalam Berita acara
Nomor: 02/ Pdt.Del/2010/PN.Cn., jo. Nomor:
590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR., tanggal 12 Mei 2010, diangkat;
c. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
1.508.000,- (satu juta lima ratus delapan ribu rupiah);
2. Pengadilan Tinggi
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut pihak
penggugat merasa keberatan karena merasa putusan tersebut tidak
memenuhi rasa keadilan bagi penggugat sehingga penggugat mengajukan
banding atas putusan tersebut, dalam prosesnya Pengadilan Tinggi Jakarta
menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
dikarenakan kelalaian yang dilakukan Tergugat 1.
72
Dalam putusannya Pengadilan Tinggi Jakarta Mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian;
a. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I dan
Tergugat II merupakan perbuatan melawan hukum;
b. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng
membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp 333.499.100,00
(tiga ratus tiga puluh tiga juta empat ratus sembilan puluh sembilan
ribu seratus rupiah), yang terdiri dari biaya yang telah dikeluarkan
Penggugat memperbaiki kondisi kapal yang bukan kewajiban
Penggugat sebesar Rp 68.500.000,00 (enam puluh delapan juta lima
ratus ribu rupiah), dan Nilai barang Penggugat sebesar Rp
264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empat juta sembilan ratus
sembilan puluh sembilan ribu seratus rupiah);
c. Menyatakan, bahwa sita jaminan sebagaimana tersebut dalam Berita
Acara Nomor: 02/Pen.Pdt.Del/2010/PN.Cn., jo. Nomor:
590/Pdt.G/2009/ PN.JKT.BAR., tanggal 12 Mei 2010, adalah sah dan
berharga;
d. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya perkara
dalam kedua tingkat pengadilan yang dalam tingkat banding ditetapkan
sejumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);
e. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
73
3. Mahkamah Agung
Atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut Tergugat merasa
keberatan mengajukan Kasasi atas putusan tersebut. Tergugat merasa
bahwa pihaknya telah memenuhi kewajibannya dan peristiwa yang terjadi
merupakan force majeure. Dalam prosenya Mahkamah Agung
memutuskan batalnya putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan menyatakan
bahwa tergugat bebas dari kewajiban ganti rugi.
Dalam putusannya Mahkamah Agung memutusakan menolak
gugatan Penggugat seluruhnya;
a. Memerintahkan agar sita jaminan sebagaimana dalam Berita Acara
Nomor 02/ Pen.Pdt.Del/2010/PN.Cn., jo. Nomor
590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR., tanggal 12 Mei 2010, diangkat;
b. Menghukum Termohon Kasasi I.2. dan Termohon Kasasi II.2./
Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Putusan Mahkamah Agung menjadi putusan terakhir yang akhirnya
memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht, namun penggugat tidak
mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni pengajuan kembali atas
putusan kasasi Mahkamah Agung Tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Force Majeure Dalam Perspektif Hukum Perdata Dan Pidana
Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Menurut H.S Salim
dalam buku Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU)
“Menurut Hukum Perdata Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur
tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya
kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah
longsor, dan lain-lain.” Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro dalam buku
Asas-Asas Hukum Perdata “keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang
menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan
hukum tidak dapat dilaksanakan.”
Dalam perspektif Hukum Pidana Overmacht atau force majeure ialah
suatu keadaan yang menggambarkan tidak adanya suatu kemungkinan untuk
melakukan perlawanan. Dasar peniadaan pidana karena adanya daya paksa
(overmacht) dirumuskan dalam Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang menyatakan “Niet straafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door
overmacht is gedrongen“, yang artinya barang siapa melakukan perbuatan karena
terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.
75
Menurut pandangan Van Hamel mengenai Overmacht, drang overmacht
atau tekanan overmacht itu dapat bersifat absolut dan dapat pula bersifat relatif.
Dikatakannya lebih lanjut, bahwa paksaan yang bersifat absolut atau vis absoluta
itu dapat merupakan paksaan secara fisik dan dapat pula merupakan paksaan
secara psikis. Paksaan yang bersifat relatif atau vis compulsiva itu merupakan
paksaan secara psikis dalam arti luas, yang berupa begeerten en voorstelling atau
berupa keinginan-keinginan dan pemikiran-pemikiran” yang telah bekerja
sedemikian rupa, hingga mampu mempengaruhi orang, yaitu untuk melakukan
sesuatu ataupun untuk tidak melakukan sesuatu.
Paksaan secara fisik itu dapat dipandang sebagai absolute dwang yaitu
apabila paksaan tersebut demikian kuat, hingga segala kegiatan atau kemampuan
untuk melakukan sesuatu kegiatan pada orang yang dipaksa itu tidak ada. Paksaan
secara psikis atau pshycise dwang, yaitu apabila paksaan tersebut mempunyai
pengaruh yang demikian besar pada susunan syaraf (zenuwstelsel) dari orang yang
mendapat paksaan, hingga kemampuan dari orang itu sendiri menjadi tidak ada
sama sekali, misalnya seseorang yang karena pengaruh sugesti secara hipnotis
telah melakukan sesuatu ataupun telah tidak melakukan sesuatu sesuai dengan
yang diinginkan oleh orang yang telah menghipnotisnya.
Dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan
mengenai hapusnya perikatan, yaitu salah satunya dikarenakan musnahnya barang
yang menjadi objek terutang, secara detail dalam Pasal 1444 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menjelaskan mengenai barang yang musnah atau rusak,
disebutkan bahwa:
76
“ Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti harga.”
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah, tidak
dapat lagi diperdagangkan atau hilang, berarti telah terjadi suatu “keadaan
memaksa” atau force majeur sehingga undang-undang mengatur mengenai
akibat-akibat hukum dalam kondisi demikian. Menurut pasal ini maka kondisi
yang sangat memaksa itu menyebabkan hapuslah sebuah perikatan tersebut
asalkan barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia
lalai menyerahkannya. Karena hal ini terkait dengan ketentuan pada suatu
perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan
kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang
bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan, menjadi
tanggungannya.
Namun Ketentuan sebagai mana pada pasal 1444 diatas, hanya berlaku
bagi perjanjian Cuma-Cuma. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik/ atas beban
menurut pasal 1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
77
“Jika barang yang terutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, maka debitur, jika ia mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak dan tuntutan tersebut kepada kreditur”
Sehingga apa yang adil di dalam perjanjian Cuma-Cuma belum tentu
adil dalam perngertian Force Majeure di dalam perjanjian timbal balik. Karena
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal ini mengatur secara khusus
ketentuan “keadaan memaksa” dalam hal perjanjian timbal balik. Jika terjadi
obyek perjanjian tersebut musnah diluar kesalahan Debitur, maka ia tetap harus
melakukan prestasinya. Artinya tetap melakukan kewajiban-kewajibannya serta
dalam kondisi tertentu dapat pula menuntut hak-haknya kepada kreditur.
Kemudian dalam perspektif hukum perdata ketentuan tentang keadaan
memaksa diatur dalam Pasal 1244-1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
Selanjutnya Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.
Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa
sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak
terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, Debitur tidak
dapat dipersalahkan / di luar kesalahan Debitur. Dengan kata lain Debitur tidak
78
dapat memenuhi kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya
akan tetapi karena keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung
jawabkan kepadanya. Dengan demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi
sebagaimana hak yang dimiliki oleh Kreditur dalam wanprestasi.
Menurut Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata “Keadaan
memaksa ada yang bersifat mutlak (absoluut) yaitu dalam hal sama sekali tidak
mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hilang atau
rusak karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief)
yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga dilaksanakan
dengan pengorbanan-pengorbanan yang besar dari hak yang berhutang.” Misalnya
harga barang yang harus didatangkan oleh penjual tiba-tiba naik sangat tinggi
yang mana menyebabkan orang yang berhutang tidak dapat mengirimkan barang
kepada yang berpiutang.
Unsur-unsur overmacht (Keadaan Memaksa)
1. Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban.
2. Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur.
3. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Debitur.
Dengan adanya Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi
terhenti, yakni:
1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
2. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3. Resiko tidak beralih kepada Debitur.
79
Jadi, dengan adanya Overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya
menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya Overmacht yang
bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari
pihak karena Overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus
dibebaskan untuk berprestasi.
Berkaitan dengan kasus yang dijadikan bahan kajian oleh penulis
mengenai keterlambatan pengiriman yang menyebabkan kerugian terhadap
pemilik barang, aspek pertanggungjawaban pemilik kapal merupakan salah satu
fokus utama yang menjadi bahan kajian, karena kasus yang terjadi bukan hanya
melibatkan pemilik barang dan operator kapal, melainkan juga pemilik kapal.
Dalam perkara ini PT Karya Mandiri Makmur Sejati yang merupakan
Tergugat 1 selaku operator yang menyewa kapal dari PT Tanjung Cemerlang
Shipping atau Tergugat 2, dengan terbitnya Surat Perjanjian Time Charter Tug
and Barge No. 001/Dir/TCS/.TC.KMMS/V/09, dapat disimpulkan sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas opeerasional dan perawatan kapal Tug Boat
Brandon dan Barge No. 2301. Sementara itu PT Tanjung Cemerlang Shipping
sejatinya hanya berkedudukan sebagai Pemilik sah atau pemilik dari Alas Hak
atas Tug Boat Brandon dan Berge No. 2301.
Sementara itu sebagai operator yang telah menyewa kapal dan tongkang
PT Karya Mandiri Makmur Sejati yang merupakan pemilik sementara dari kapal
tersebut melakukan perjanjian angkutan laut dengan CV Karya Ardi Prestasi yang
merupakan penggugat, dengan terbitnya Surat Perjanjian Angkutan Laut Nomor
001/SPAL-KKMS-KAP/2009, yang mana dalam surat tersebut operator kapal
80
berjanji memenuhi prestasi berupa jasa pengangkutan barang milik Penggugat
dari pelabuhan Merak menuju pelabuhan Teluk Dewa, Kalimantan Tengah dan
dari perjanjian tersebut dikeluarkanlah surat ijin berlayar Nomor
LI/KM17/154/2009 untuk Tugboat Brandon dan nomor LI/KM17/155/2009 untuk
Barge 2031.
Dalam perjalanan timbul permasalahan berupa kerusakan mesin kapal dan
diperburuk oleh terjangan ombak yang menyebabkan kapal dan tongkang tersebut
terhempas dan terdampar di daerah Kepulauan Penambun. Tidak hanya
terdampar, kapal tersebut juga mengalami kandas di pantai pulau Penambun
hingga sulit untuk ditarik kembali ke tengah laut. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan kapal terdampar hingga sembilan bulan lamanya, sehingga
menyebabkan kerugian besar bagi Penggugat.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran yang berbunyi :
“Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan/atau barang yang diangkutnya”
Dan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang nomor 17 Tahun 2008 yang
berbunyi :
“Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagaiakibat pengoperasian kapal, berupa:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; ataud. kerugian pihak ketiga”.
81
Selain Undang-Undang nomor 17 Tahun 2008, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata juga mengatur mengenai pertanggungjawaban para pihak dalam
perjanjian, hal itu diatur dalam pasal 1367 yang berbunyi:
“Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya”
Dilihat dari peraturan-peraturan di atas bahwa sesungguhnya sebuah
perusahaan pengangkutan laut, wajib bertanggung jawab atas segala macam
kerusakan dan keterlambatan yang dialami dalam proses pengangkutan, karena
hal ini menyebabkan kerugian terhadap pemilik barang, namun majelis hakim
melihat secara keseluruhan bahwa penyebab terjadinya keterlambatan terdapat
unsur Force Majeure dalam kasus tersebut.
Jika dalam suatu pelaksanaan perjanjian terdapat hal tidak terduga yang di
luar nalar dan kekuasaan manusia, maka hal tersebut bisa dikategorikan force
majeure, dalam Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan
bahwa :
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
Hal ini secara otomatis dapat menjadi dasar atas penghapusan tanggung
jawab apabila bisa dibuktikan bahwa benar penyebab terjadinya kerusakan
ataupun keterlambatan tersebut merupakan murni faktor gejala alam. Penghapusan
82
tanggung jawab dikarenakan alasan force majeure tersebut harus bisa dibuktikan
oleh pihak tergugat, bahwa benar terjadinya peristiwa yang di luar kekuasaanya
tersebut merupakan penyebab utama dan ada hubungan sebab akibat terhadap
terjadinya keterlambatan tersebut. Namun apabila tergugat tidak dapat
membuktikan bahwa kejadian force majeure tersebut merupakan penyebab utama
kerusakan dan keterlambatan, serta adanya hubungan sebab akibat diantara
keduanya, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman ganti
rugi kepada para Tergugat.
Sebagai contoh, dalam Tragedi jatuhnya Pesawat Adam air pada awal
tahun 2007 silam, pihak maskapai digugat oleh para ahli waris korban kecelakaan,
yang menuntut ganti rugi terhadap kematian para korban jatuhnya pesawat
tersebut. Dalam eksepsinya pihak Adam air menggunakan dalil force majeure
karena menganggap bahwa jatuhnya pesawat disebabkan oleh cuaca buruk
sehingga membuat pesawat kehilangan kendali dan jatuh ke dasar laut, hingga
tidak bisa ditemukan bangkai pesawat maupun jasad para korban. Namun pihak
penggugat dapat mematahkan dalil tersebut dengan temuan dari Komite Nasional
Keselamatan Transpotasi yang menyatakan bahwa Jatuhnya Adam air
dikarenakan faktor human error yakni ketidakmampuan pilot dalam menguasai
Quick Refference Handbook, dan juga terjadinya kerusakan terhadap system
navigasi. Hal ini jelas merupakan unsur kelalaian yang menjadi faktor utama
terhadap jatuhnya pesawat, sehingga akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Barat memutus Adam air bersalah dan mewajibkan maskapai memberi
ganti kerugian kepada ahli waris korban kecelakaan.
83
Dalam kasus ini force majeure menjadi alasan utama terhadap
penghapusan tanggung jawab atas keterlambatan yang menyebabkan kerugian
terhadap Penggugat, Majelis Hakim berpandangan bahwa cuaca buruk berupa
terjangan ombak menjadi pemicu terjadinya keterlambatan tersebut, dengan dasar
hukum yaitu Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
“Tidak ada penggatian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang telah diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang baginya”.
Atas dasar itulah, majelis hakim memutus bahwa keterlambatan yang
terjadi merupakan merupakan akibat dari force majeure. Jika dilihat secara
seksama bahwa sebuah perusahaan angkutan laut yang membawa barang milik
shipper pada hakikatnya bertanggung jawab secara penuh terhadap keselamatan
barang yang dia antarkan menuju pelabuhan tujuan, sesuai dengan Pasal 40 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Apabila pihak
operator melakukan kelalaian yang menyebabkan barang milik shipper rusak atau
mengalami keterlambatan pengiriman maka sudah sepatutnya operator
bertanggung jawab dengan mengganti kerugian yang diderita pemilik barang.
Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab
pengangkut yaitu:
1. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab
atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang
diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia
84
tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti
rugi kerugian itu. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang
dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum
(illegal act) sebagai aturan umum.
2. Tanggung Jawab atas dasar Kesalahan (Base on Fault or Negligence)
Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut
harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan
pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib
membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan
kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.
3. Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan
kesalahannya.Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab
atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang iselenggarakan
tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.Prinsip ini
tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan.
Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan
apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan
dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang
timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.
85
4. Pembatasan Tanggungjawab Pengangkut (Limitation of liability)
Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak dibatasi, maka ada
kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit.
Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang
ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut
sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan,
konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang.
5. Penghapusan Tanggungjawab pengangkut (Presumption of Non Liability)
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung
jawab. Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari
tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang
diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam
mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan.
Jika merujuk pada lima asas diatas menurut penulis maka Asas Base on
Fault or Negligence merupakan asas yang tepat untuk diterapkan dalam
pemecahan masalah ini, karena pihak operator kapal harus bertanggungjawab
terhadap kesalahannya yang menyebabkan kerugian pada pemilik barang, namun
pemilik barang juga wajib membuktikan bahwa kerugian yang terjadi merupakan
kesalahan pengangkut.
Dalam kasus ini sesungguhnya nampak jelas ada unsur kelalaian yang
dilakukan operator kapal yakni dalam hal perawatan mesin kapal, kapal Tug Boat
dan Tongkang tersebut sejatinya bukanlah milik operator kapal melainkan milik
86
perusahaan pelayaran yang menyewakan kapal tersebut ke operator kapal,
sehingga tanggung jawab perawatan dan operasional kapal tentunya ada di tangan
operator kapal, namun dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap kapal yang
telah disewa, pihak operator telah lalai dalam hal merawat mesin kapal. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan adanya temuan uji lab dari pihak pemilik kapal
bahwa operator kapal menggunakan oli sebanyak dua drum yang tidak layak pakai
sehingga menyebabkan kerusakan parah pada mesin kapal dan jebolnya cyker
kapal, hal inilah yang merupakan kelalaian dari pihak operator sehingga kapal
mengalami kerusakan dan terdampar di Pulau Penambun.
Hal ini juga membuat pertanyaan besar bagi penulis, bahwa bagaimana
bisa kapal yang terbukti tidak laik jalan mendapatkan surat ijin berlayar dari
pejabat yang berwenang, dalam hal ini yaitu Syahbandar Pelabuhan Merak,
padahal berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, yakni bahwa:
“Setiap kapal wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang meliputi :1. Keselamatan Kapal;2. Pengawakan Kapal;3. Manajemen keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan
pencemaran dari kapal;4. Pemuatan; dan5. Status hukum kapal.
Lolosnya kapal Tugboat Brandon dan Tongkang 2031 dari pengawasan
Syahbandar Pelabuhan Merak, jelas merupakan kelalaian dari aparat berwenang
terkait penegakan peraturan perkapalan, lemahnya pengawasan ini akan
berdampak buruk pada sistem perkapalan di Indonesia. Sehingga hal ini juga
secara tidak langsung telah menjadi pemicu atas terjadinya kerugian yang diderita
87
pemilik barang, namun sayangnya hal ini juga tidak dijadikan dasar pertimbangan
bagi majelis hakim dalam menjatuhkan putusan.
B. Analisa Terhadap Putusan Hakim
Pada setiap perkara yang diajukan ke pengadilan, majelis hakim wajib
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. majelis hakim wajib
memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku
dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Dalam kasus yang penulis angkat, Penggugat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tahun 2009, Dalam prosesnya majelis
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan putusan dengan
memenangkan pihak tergugat. Pada proses selanjutnya pihak penggugat
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, Dalam putusan tingkat
banding majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan banding pihak
Penggugat. Tergugat kemudian mengajukan kasasi atas putusan banding tersebut
ke Mahkamah Agung, hingga akhirnya pada tingkat Kasasi, Majelis Hakim
Agung memutuskan mengabulkan Kasasi Pihak Penggugat, dan putusan tersebut
telah inkracht pada tingkat kasasi.
Merujuk pada Putusan Kasasi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,
Penulis melakukan kajian mendalam atas putusan tersebut, yakni bahwa dalam
menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut, majelis hakim memiliki
pertimbangan-pertimbangan tertentu. majelis hakim berpandangan bahwa
keterlambatan yang terjadi merupakan buntut dari suatu peristiwa yang berada di
88
luar kemampuan manusia atau overmacht, hal ini sesuai dengan pasal 1245 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya”
Adanya unsur overmacht dalam kasus ini, dimata majelis hakim terdapat
pada kejadian terjangan ombak yang menyebabkan kapal yang mengangkut
barang penggugat terhempas hingga terdampar di Kepulauan Penambun.
Tentunya hal ini cukup untuk menjadikan alasan terhadap penghapusan tanggung
jawab terhadap kerugian yang diderita Penggugat.
Selain pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalil overmacht juga
terdapat dalam peraturan yang khusus mengatur mengenai pelayaran yakni,
Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dalam Pasal 41 ayat (1)
dan (2) yang berbunyi :
“(1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; ataud. kerugian pihak ketiga.
(2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
Sehingga jika dilihat dari sudut pandang majelis hakim, penerapan dalil
force majeure dalam penghapusan tanggung jawab para tergugat dapat
dibenarkan.
89
Menurut Prof. Rosa Agustina, terdapat beberapa alasan pembenar bagi
perbuatan melawan hukum, Alasan pembenar, adalah alasan yang menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi, perbuatan yang menurut kriteria adalah
melawan hukum, akan tetapi sebagai akibat terdapatnya keadaan yang
meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan
yang dibenarkan.
Pada umumnya telah diterima dan diakui 4 alasan pembenar sebagai
berikut.(1) Keadaan memaksa (overmacht), (2) Pembelaan Terpaksa (noodweer),
(3) Melaksanakan undang-undang (wettelijk voorschrift), dan (4) Perintah atasan
(wettelijk bevel).
Menurut Moegni dalam buku Perbuatan Melawan Hukum, beliau membagi dasar
pembenar menjadi dua golongan utama,yaitu :
1. Dasar pembenar yang bersumber dari undang-undang
a. Keadaan memaksa (Overmacht)
Pengaturan keadaan memaksa dapat ditemukan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. Keadaan memaksa dalam pembelaan
terhadap dalil perbuatan melawan hukum merujuk pada Pasal
48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sementara dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga terdapat aturan
yang mengatur mengenai keadaan memaksa yaitu dalam
Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Benang merah dari kedua ketentuan dalam Kitab Undang-
90
undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana adalah bahwa tidak boleh seseorang dihukum, bila ia
melakukan suatu perbuatan melawan hukum karena terdesak
oleh keadaan memaksa. Sehingga seseorang yang melakukan
perbuatan melawan hukum perdata karena keadaan terpaksa,
ia dapat membebaskan dirinya dari kewajiban untuk
membayar ganti kerugian. Hal lain yang perlu diperhatikan
mengenai keadaaan dalam perbuatan melawan hukum selain
keadaan memaksa adalah keadaan darurat (noodtoestand).
Rutten menjelaskan “noodtoestand terjadi, bilamana
kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan karena
adalah sifat melawan hukum, dihapus oleh kewajiban hukum
atau kepentingan yang lebih tinggi”
b. Pembelaan terpaksa (noodweer)
Pasal 49 KUH Pidana merumuskan, bahwa
barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukan
untuk membela dirinya atau orang lain, untuk membela
kehormatan dirinya atau orang lain atau membela harta
benda miliknya sendiri atau orang lain terhadap serangan
dengan sengaja yang datangnya secara tiba-tiba. Dengan
demikian, pembelaan terpaksa terjadi terhadap serangan
yang sengaja tidak dapat dielakkan lagi akibat dari
perbuatan melawan hukum orang lain.
91
Perbedaan antara pembelaan terpaksa berbeda
dengan keadaan darurat sangat jelas. Pembelaan terpaksa,
seseorang yang menghadapi serangan dengan sengaja yang
datangnya secara tiba-tiba yang tidak dapat elakan lagi.
Sementara keadaan darurat, serangan yang datang tidak
disengaja.
c. Melaksanakan undang-undang (weetelijk voorschrift)
Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 50 KUH
Pidana, bahwa tidak dapat dipidana barangsiapa melakukan
perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang
(wettelijk voorschrift). Dengan demikian seseorang tidak
akan dihukum apabila dalam tindakan yang didalilkan
melawan hukum tersebut merupakan tindakan menjalankan
peraturan undang-undang. Pasal tersebut hanya
merumuskan mengenai menjalankan peraturan perundang-
undangan namun tidak merumuskan mengenai kewenangan
menurut undang-undang (wettelijke bevoegheid). Tetapi
kedua hal tersebut dalam hukum perdata tidak dibedakan,
karena keduanya merupakan sesuatu yang meniadakan sifat
melawan hukum. Misalkan tindakan penggugat yang
merupakan kreditur yang meminta dilakukannya pensitaan
conservatior atas harta benda debitur sebagai tergugat,
tidak lah melawan hukum. Argumentasinya, bahwa
92
tindakan penggugat tersebut merupakan kewenangannya
berdasarkan Pasal 226-227 Het Indische Reglement .
Kemudian yurisprudensi Mahkamah Agung No.
206K/Sip/1956, telah mempertimbangkan bahwa tidaklah
melawan hukum perbuatan seseorang penggugat, yang
meminta diletakan penyitaan conservatior, hanya karena
gugatanya ditolak.
d. Perintah Atasan (wettelijk bevel)
Rumusan Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana memuat ketentuan, bahwa tidaklah dapat dihukum
barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk
melaksanakan suatu perintah jabatan, yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang untuk itu. Rutten menjelaskan
bahwa tidak perlu adanya suatu hubungan atasan dengan
bawahan (ondergeschikthied) untuk menggunakan dalil ini.
Menurutnya setiap orang yang diharuskan mentaati perintah
dapat menggunakan dalil pembelaan ini.
2. Dasar pembenar yang tidak bersumber dari undang-undang
Dasar-dasar pembenar yang tidak bersumber dari undang-
undang adalahdasar-dasar pembenar yang tidak tertulis dalam
undang-undang namun dapat digunakan untuk meniadakan sifat
melawan hukum dari suatu perbuatan. Misalkan:
93
a. adanya persetujuan baik secara tegas atau diam-diam
dari orang yang merasa dirugikan .
b. menderita atau menanggung risikonya sediri
Akibat terpenuhinya unsur pembenar dalam perbuatan melawan hokum
apabila tergugat dapat membuktikan atau terpenuhinya dasar pembenar dalam
Perbuatan Melawan Hukum baik berdasarkan undang-undang atau alasan
pembenar yang tidak berdasarkan undang-undang berakibat tanggung jawab
hapus seluruhnya sehingga hapus pula kewajiban untuk menganti kerugian.
Dalam sudut pandang yang lain, penulis memiliki pendapat bahwa ada
kekeliruan dalam pertimbangan majelis hakim, banyak hal yang harusnya
dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan terhadap permasalahan ini
namun tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim.
Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, mengatur bagaimana majelis hakim memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang diajukan. majelis hakim wajib memeriksa dan mengadili
perkara sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terjadi di lapangan. Pasal 53 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa :
“(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.”
Sehingga suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim wajib
mempertimbangkan dasar-dasar Hukum yang tepat serta melihat fakta-fakta yang
terjadi di lapangan.
94
Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa Majelis Hakim seharusnya
melihat fakta bahwa ada unsur kelalaian yang yang menjadi penyebab
terdamparnya Tug Boat Brandon dan Tongkang 2301, sehingga menyebabkan
kerugian bagi pemilik barang. Unsur kelalaian ini dapat terlihat dari temuan fakta
yang terdapat dalam eksepsi Tergugat 2, yang mana dalam hal ini Tergugat 2
melakukan uji laboratorium terhadap oli yang digunakan Tergugat 1 yang ternyata
oli yang tidak layak pakai, hal inilah yang menyebabkan kerusakan pada kapal
ketika berlayar, sehingga perlu dipahami bahwa cuaca buruk bukanlah satu-
satunya penyebab terdamparnya kapal, rusaknya mesin kapal membawa dampak
lebih buruk terhadap kelangsungan perjalanan pengiriman.
Rusaknya mesin yang disebabkan oleh kelalaian operator kapal/Tergugat 1
adalah fakta yang ditemukan di lapangan, hal ini menyebabkan dalil force
majeure dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat
diterapkan dalam pertimbangan putusan hakim. Sehingga berdasarkan Pasal 1366
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Setiap orang bertanggungjawab bukan hanya atas kerugian yang
disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”
Maka sudah sepantasnya majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Tergugat 1
untuk mengganti kerugian yang diderita penggugat. Hal ini juga bertentangan
dengan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang no. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Kelalaian operator tidak termasuk dalam kategori force majeure dalam
hukum perdata, karena force majeure berdasarkan pasal 1245 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata terdapat unsur keadaan memaksa dan kebetulan yang
95
menghalangi seorang kreditur memenuhi kewajibannya. Kelalaian yang dilakukan
oleh Tergugat 1 bukan merupakan kebetulan ataupun keadaan memaksa, karena
hal tersebut sudah jelas diketahui dan merupakan kewajiban Tergugat 1 sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas perawatan kapal.
Menurut Imam Soepomo dalam buku Hukum Perburuhan,” force majeure
biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir,
gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya,
hal ini berarti bahwa suatu kondisi yang diluar kemampuan seorang manusia,
berbeda dengan kondisi force majeure dalam Hukum Pidana, di mana adanya
campur tangan manusia sangat dimungkinkan terjadi dalam force majeure”.
Fakta yang ditemukan di lapangan, kerusakan yang dialami oleh kapal
Tugboat Brandon dan Tongkang 2301 disebabkan kelalaian yang dilakukan
Operator kapal, hal ini lah yang menjadi penyebab utama terdamparnya kapal
tersebut. Fakta yang terjadi di lapangan jelas bertentangan dengan dalil force
majeure dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena tidak
sesuai dengan kondisi yang disyaratkan oleh teori force majeure yang mana
unsur-unsur dari pasal tersebut yakni keadaan memaksa atau tak terduga yang
membuat debitur terhalang memenuhi prestasinya.
Selain bertentangan dengan teori-teori diatas, putusan majelis hakim juga
urung mempertimbangkan teori kausalitas dalam menentukan duduk perkara.
Suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan yang
saling terkait yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya akibat.
96
Yang menjadi permasalahan adalah kepada siapa akan dipertanggungjawabkannya
suatu akibat tersebut.
Menurut analisa Penulis hasil Putusan dari Kasasi No. 1014k/Pdt/2012
bertentagan dengan teori-teori yang dikemukakan para ahli hukum. Dalam hal ini
penulis mengambil Teori yang dikemukakan oleh ahli Hukum Jerman yakni Von
Buri, yaitu teori Conditio Sine Qua Non. Dalam teori ini Von Buri berpandangan
bahwa “bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak
dapat dihilangkan (weggedacht) ) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan
akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat
dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan
kausal dengan akibat yang timbul. Tiap faktor diberi nilai, jika tidak dapat
dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta
memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat”.
Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent
theorie), karena tiap faktor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan
sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab
(meervoudige causa). Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs
theorie” (teori syarat ), disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat
(bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Berdasarkan Teori Conditio sine qua Non yang dikemukakan oleh Von
Buri ini maka faktor kelalaian operator dalam hal terjadinya peristiwa a quo tidak
dapat dihilangkan atau dikesampingkan. Kelalaian ini menjadi salah satu “causa”
97
dalam rangkaian peristiwa terdamparnya Tug Boat Brandon, sehingga menurut
penulis kurang tepat apabila majelis hakim memutuskan untuk membebaskan
pihak tergugat dari tanggung jawab.
Sehingga apabila disimpulkan, permasalahan hukum pada putusan Nomor
1014 k/Pdt/2012 adalah fakta yang terjadi di lapangan yakni bertentangan dengan
Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena tidak
memenuhi Unsur-Unsur yang disyaratkan sebagai kondisi force majeure, dan
berdasarkan Pasal 1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka Tergugat
sebagai debitur yang bertanggung jawab atas keselamatan barang yang menjadi
tanggungannya. Putusan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, karena telah membebaskan dari
tanggung jawab, pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita Penggugat, serta dapat disimpulkan bahwa kelalaian yang dilakukan
tergugat 1 merupakan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata
karena kelalaian merupakan salah satu unsur perbuatan melawan hukum seperti
apa yang telah diungkapkan Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum
Pendekatan Kontemporer.
Selain bertentangan dengan Undang-Undang, putusan A quo juga
bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum yang dikemukakan para ahli, yakni
teori Conditio sine Qua Non dari Von Buri, karena pada putusan tersebut majelis
hakim tidak menjadikan kelalaian Tergugat 1 sebagai dasar dalam menjatuhkan
putusan, padahal kelalaian penggugat tersebut telah menjadi faktor penyebab
dalam Peristiwa terdamparnya Tug boat Brandon.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sebuah perusahaan angkutan laut yang membawa barang milik
shipper pada hakikatnya bertanggung jawab secara penuh terhadap
keselamatan barang yang dia antarkan menuju pelabuhan tujuan,
sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran. Apabila pihak operator melakukan
kelalaian yang menyebabkan barang milik shipper rusak atau
mengalami keterlambatan pengiriman maka sudah sepatutnya
operator bertanggung jawab dengan mengganti kerugian yang
diderita pemilik barang.
Berkaitan dengan kasus ini sesungguhnya terlihat jelas ada unsur
kelalaian yang dilakukan operator kapal yakni dalam hal perawatan
mesin kapal, kapal Tug Boat dan Tongkang tersebut sejatinya
bukanlah milik operator kapal melainkan milik perusahaan pelayaran
yang menyewakan kapal tersebut ke operator kapal, sehingga
tanggung jawab perawatan dan operasional kapal tentunya ada
ditangan operator kapal, namun dalam melaksanakan tanggung
jawabnya terhadap kapal yang telah disewa, pihak operator telah
lalai dalam hal merawat mesin kapal. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan adanya temuan uji lab dari pihak pemilik kapal bahwa
operator kapal menggunakan oli sebanyak dua drum yang tidak
99
layak pakai sehingga menyebabkan kerusakan parah pada mesin
kapal dan rusaknya cyker kapal, hal inilah yang merupakan kelalaian
dari pihak operator sehingga kapal mengalami kerusakan dan
terdampar di Pulau Penambun. Kelalaian ini tidak hanya dilakukan
oleh penggugat melainkan juga dilakukan oleh pihak berwenang
yakni Syahbandar Pelabuhan Merak yang telah menerbitkan Surat
Izin Berlayar terhadap Tugboat Brandon dan Barge no. 2301 yang
sebenarnya tidak laik jalan berdasarkan temuan diatas, hal ini
menandakan masih lemahnya pengawasan dari pihak syahbandar
pelabuhan dalam mengawasi kelaikan jalan dari kapal-kapal yang
beredar sehingga menyebabkan hal-hal merugikan bagi pihgak
pengguna jasa perkapalan.
Jika mengacu pada dalil keadaan memaksa yang menjadi dasar bagi
majelis hakim dalam menjatuhkan putusan, maka hal tersebut
menurut penulis rasa kurang tepat karena terdapat faktor lain yang
berperan lebih besar terhadap keterlambatan yang mengakibatkan
kerugian bagi Penggugat, yakni faktor kelalaian yang dilakukan oleh
Tergugat 1 dalam hal ini PT. Karya Mandiri Makmur Sejati,
sehingga apa yang menjadi Unsur-Unsur dalam dalil force majeure
tidak terpenuhi, dan berdasarkan teori conditio sine qua non yang
dikemukakan oleh Von Buri yang berpandangan bahwa “bahwa tiap-
tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat
dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang
100
menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor
tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor
penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang
timbul. Tiap faktor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet
weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki
hubungan kausal dengan timbulnya akibat”. Sehingga bila
disimpulkan bahwa kelalaian Tergugat adalah salah satu “cause”
terhadap terjadinya keterlambatan. Kelalaian yang terjadi dilakukan
oleh Tergugat 1 selaku pihak yang bertanggung jawab atas
perawatan dan operasional kapal, sehingga berdasarkan Pasal 1366
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal ini penulis
menyimpulkan bahwa Tergugat 1 atau PT. Karya Mandiri Makmur
Sejati wajib bertanggungjawab atas kelalaian yang ia lakukan
sehingga menyebabkan kerugian atas Penggugat atau CV. Karya
Ardi Prestasi. Dalam tingkat Kasasi majelis hakim telah
menjatuhkan putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni
menyatakan bahwa tergugat dibebaskan dari kewajiban tanggung
jawab atas kerugian yang diderita Penggugat dengan dalil force
majeure. Putusan ini menimbulkan pertanyaan yang besar bagi
penulis karena dalil yang digunakan hakim dalam menjatuhkan
putusan penulis nilai kurang tepat, karena dalil force majeure yang
menjadi pertimbangan hakim dapat dipatahkan dengan fakta bahwa
101
terdapat unsur kelalaian yang dilakukan tergugat 1 menjadi
penyebab terjadinya keterlambatan.
Sehingga apabila disimpulkan, permasalahan hukum pada putusan
Nomor 1014 k/Pdt/2012 adalah bahwa fakta yang terjadi di lapangan
yakni bertentangan dengan Pasal 1244 dan pasal 1245 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, karena tidak memenuhi unsur-
unsur yang disyaratkan sebagai kondisi force majeure. Selain itu
juga putusan tersebut bertentangan dengan pasal 40 Unndang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, karena telah
membebaskan dari tanggung jawab, pihak yang seharusnya
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Penggugat.
Selain bertentangan dengan undang-undang, putusan terkait juga
bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum yang dikemukakan para
ahli, yakni teori Conditio sine Qua Non dari Von Buri, karena pada
putusan tersebut majelis hakim tidak menjadikan kelalaian Tergugat
1 sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan, padahal kelalaian
penggugat tersebut telah menjadi faktor penyebab dalam peristiwa
terdamparnya Tug boat Brandon.
2. Kesimpulan penulis mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor
1014k/Pdt/2012 yakni bahwa putusan tersebut telah bertentangan
Pasal 40 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran,
karena majelis hakim memutus Tergugat bebas dari tanggung jawab
ganti kerugian, dengan dalih bahwa apa yang menjadi penyebab
102
terdamparnya kapal dikarenakan faktor force majeure, namun
berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa faktor
utama dari terjadinya keterlambatan dikarenakan kelalaian yang
dilakukan oleh Tergugat 1 dengan bukti berupa temuan yang
terdapat dalam eksepsi Tergugat 2. Akibat dari kelalaian Tergugat 1
maka unsur-unsur yang disyaratkan force majeure tidak terpenuhi
sehingga para tergugat wajib mengganti kerugian yang diderita
Penggugat berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran.
B. Saran
1. Dalam setiap perjanjian Agkutan Laut para pihak sudah seharusnya paham
dan mengerti kedudukan masing-masing dan para pihak bertanggung
jawab atas apa yang menjadi kewajibannya masing-masing, baik dari
pemilik barang yang berkewajiban melunasi prestasi berupa pembayaran
kepada pihak operator sesuai dengan kesepakatan, maupun operator yang
bertanggung jawab atas keselamatan barang milik shipper dari pelabuhan
awal hingga pelabuhan tujuan, juga atas ketepatan waktu pengiriman yang
telah ditentukan sebelumnya agar tidak menimbulkan kerugian bagi
pemilik barang. Selain itu pihak operator juga bertanggung jawab atas
kelaikan kapal yang dioperasikan untuk mengangkut barang milik shipper
sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Tentang Perkapalan, dan apabila terjadi keterlambatan yang disebabkan
103
oleh kelalaian pihak operator kapal maka berdasarkan Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, maka pihak operator
wajib bertanggung jawab atas kerusakan, dan keterlambatan yang terjadi,
dengan tidak saling melempar kewajiban kepada pihak pemilik kapal,
karena peristiwa yang terjadi merupakan buntut dari kelalaian operator
kapal.
Disamping itu juga ketegasan dari aparat yang berwenang di pelabuhan
syahbandar, penulis rasa sangat lemah, sehingga wajib ditingkatkan
pengawasan terhadap kelaikan kapal-kapal yang beroperasi, sehingga
berdampak pada meningkatnya kedisiplinan pihak pemilik maupun
operator kapal dalam merawat kelayakan kapal, agar tidak terjadi hal-hal
yang merugikan pengguna jasa perkapalan.
Dalam kaitannya dengan force majeure penulis merasa bahwa perlu
adanya peraturan yang khusus mengatur mengenai keadaan memaksa
secara detail dan explicit, karena peraturan mengenai keadaan memaksa
hanya diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
saja, sehingga menimbulkan kebingungan pada masyarakat dalam
menghadapi situasi tersebut
2. Hakim sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan
di dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap
berlandaskan aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai
pertimbangan berdasarkan data-data yang otentik serta para saksi yang
104
dapat dipercaya.49 Dalam memutus perkara, hakim harus merujuk pada
undang-undang yang berlaku. Tetapi, dalam konteks peradilan di
Indonesia, hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah corong
kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam
konteks inilah, keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.50 Berkaitan dengan
putusan Nomor 1014K/Pdt/2012 majelis hakim sudah sepatutnya dalam
menjatuhkan putusan tidak hanya mempertimbangkan aspek force majeure
saja, melainkan juga harus mempertimbangkan asal-muasal penyebab
terjadinya keterlambatan, yakni faktor kelalaian, karena kelalaian dari
Tergugat 1 telah jelas-jelas menjadi penyebab terdamparnya kapal,
sehingga seharusnya majelis hakim menjatuhkan hukuman terhadap
Tergugat 1 berupa ganti kerugian yang diderita Penggugat atas
keterlambatan yang dialami, majelis hakim juga harus menggali lebih
dalam mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya suatu
peristiwa serta menjadikannya bahan pertimbangan, sehingga tercipta rasa
keadilan yang diharapkan.
49 Departemen Kehakiman, 1981, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Yayasan Pengayoman, Jakarta , hal 8650 “Masalah Independensi Hakim Dan Rasa Keadilan Masyarakat” http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan-masyarakat. Diakses tanggal 22 Juli 2015