104
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan; terdiri dari pulau-pulau dengan dikelilingi oleh lautan yang luas. Ada sekitar 13.667 pulau, dengan luas daratan 1.922.570 km 2 dan luas perairan lautnya mencapai 3.250.483 km 2 (belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif). Panjang garis pantainya mencapai 81.479 km 2 ; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km 2 atau 81% dari luas keseluruhan. 1 Sehingga dengan kondisi ini Transportasi laut menjadi sangat penting bagi pemerataan pembangunan di Indonesia. Transportasi laut adalah suatu usaha perpindahan manusia atau barang dari pulau ke pulau lainnya melalui areal perairan baik samudera, lautan, ataupun selat yang dilakukan dengan menggunakan kapal. Kapal merupakan suatu kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut, sungai, danau, dan lain sebagainya. Kapal dalam istilah Inggris dibedakan menjadi dua yaitu Ship untuk kapal yang berukuran lebih besar dan Boat untuk kapal yang berukuran lebih kecil. 2 Saat ini angkutan laut menjadi salah satu moda transportasi yang menggerakkan sektor perekonomian nasional, dikarenakan wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh perairan menjadikan angkutan laut sebagai moda transportasi yang memiliki peranan yang sangat vital 1 P Ginting dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial-Geografi, Erlangga, 2006, hlm. 17 2 Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, 2005, hlm. 8

SKRIPSII buat perpus

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan; terdiri dari pulau-pulau dengan

dikelilingi oleh lautan yang luas. Ada sekitar 13.667 pulau, dengan luas daratan

1.922.570 km2 dan luas perairan lautnya mencapai 3.250.483 km2 (belum

termasuk Zona Ekonomi Eksklusif). Panjang garis pantainya mencapai 81.479

km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan Zona

Ekonomi Eksklusif, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81%

dari luas keseluruhan.1 Sehingga dengan kondisi ini Transportasi laut menjadi

sangat penting bagi pemerataan pembangunan di Indonesia.

Transportasi laut adalah suatu usaha perpindahan manusia atau barang dari

pulau ke pulau lainnya melalui areal perairan baik samudera, lautan, ataupun selat

yang dilakukan dengan menggunakan kapal. Kapal merupakan suatu kendaraan

pengangkut penumpang dan barang di laut, sungai, danau, dan lain sebagainya.

Kapal dalam istilah Inggris dibedakan menjadi dua yaitu Ship untuk kapal yang

berukuran lebih besar dan Boat untuk kapal yang berukuran lebih kecil.2

Saat ini angkutan laut menjadi salah satu moda transportasi yang

menggerakkan sektor perekonomian nasional, dikarenakan wilayah Indonesia

yang terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh perairan menjadikan

angkutan laut sebagai moda transportasi yang memiliki peranan yang sangat vital

1P Ginting dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial-Geografi, Erlangga, 2006, hlm. 172 Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, 2005, hlm. 8

2

di Indonesia, Selain sebagai transportasi orang dari satu pulau ke pulau yang

lainnya, juga sebagai sarana pengangkutan barang, baik berupa bahan-bahan

logistik, hasil pertanian, pertambangan, hasil produksi, serta berbagai kebutuhan

pokok lainnya yang sangat penting bagi pemerataan pembangunan, selain itu juga

kegiatan ekspor-impor hampir 80% diangkut menggunakan transportasi laut.3

Pada umumnya pengusaha yang hendak memasarkan barang produksinya

ke luar pulau atau ke luar negeri menggunakan jasa perusahaan pengangkutan laut

untuk mengangkut barang dagangannya dari pulau tempat kediaman pemilik

barang melalui pelabuhan terdekat menuju pelanuhan tujan. Sebelum barang

diangkut pada awalnya didahului dengan perjanjian angkutan laut antara pihak

pemilik barang dengan pihak perusahaan angkutan laut. Perjanjiannya mengacu

pada perjanjian pada umumnya yaitu pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Isi perjanjian tersebut di dalamnya biasanya berisi tentang

ketentuan-ketentuan umum berupa jenis barang yang diangkut, berat tonase

barang, jarak ke pelabuhan tujuan, klausula-klausula yang disepakati apabila

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan serta lamanya waktu pengiriman. Perjanjian

ini disepakati kedua belah pihak dan menjadi dasar bagi kedua belah pihak apabila

terjadi klaim atas pengangkutan barang.

Bagi para pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan laut akan

mendapatkan perlindungan hukum dengan adanya bukti tertulis dalam suatu

ikatan perjanjian tersebut,

Pasal 1313 Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi; 3Sution Usman Adji, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta :Rineka Cipta, 2012. Hlm 46

3

“Suatu perjanjian adalahsuatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih  mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.4

Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang berarti bahwa yang

bersangkutan haknya dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Perjanjian

angkutan laut ini merupakan perjanjian timbal balik dimana pihak yang pertama

(pemilik barang) berkewajiban menyerahkan sejumlah uang kepada pihak kedua

(perusahaan angkutan laut), dan pihak kedua berkewajiban mengantarkan barang

milik pihak pertama dari pelabuhan asal ke pelabuhan yang dituju, atas

kesepakatan kedua belah pihak.5

Perusahaan angkutan laut berkewajiban mengantarkan barang milik

kliennya dengan selamat sesuai dengan yang di perjanjikandalam surat perjanjian

angkutan laut antara kedua belah pihak, berdasarkan pasal 40 ayat (1) Undang-

Undang nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran yang bunyinya :

“Perusahaan angkutan laut bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya”6

Dalam tulisan ini penulis mengangkat kasus keterlambatan pengiriman

yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut yang menyebabkan kerugian yang

menimpa pemilik barang. Dalam hal ini force majeure dilihat dari sudut pandang

perdata adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya

kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar

kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.

4 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005, cet. 36. Hlm 3385Sudargo Gautama,Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku 1), Bandung : Alumni, 2010. Hlm.266 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 40 ayat (1)

4

Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244-1245 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1244 berbunyi:

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.7

Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi:

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang”.8

Pada mulanya sebuah perusaan PT KARYA MANDIRI MAKMUR

SEJATI melakukan perjanjian penyewaan tongkang dan tugboat tertanggal 15

Mei 2009 dengan No.001/Dir/TCS/.TC-KMMS/V/09 dengan PT TANJUNG

CEMERLANG SHIPPING selaku pemilik Tugboat Brandon dan Tongkang TC

2301, kemudian PT Karya Mandiri Makmur Sejati selaku penyewa tugboat dan

tongkang mengadakan Perjanjian Angkutan Laut dengan CV KARYA ARDI

PRESTASI tertanggal 28 Mei 2009 dengan No.001/SPAL-KKMS-KAP/V/2009

yang mana PT Karya Mandiri Makmur Sejati Selaku operator kapal dan CV.

Karya Ardi Prestasi selaku penyewa kapal.

Dalam perjanjian angkutan laut yang telah disepakati tersebut barang milik

CV Karya Ardi Prestasi yakni berupa batu split sejumlah 2.304,34 m3akan dikirim

oleh PT Karya Mandiri Makmur Sejati dengan daerah tujuan dari Pelabuhan

Merak, Banten, hingga Pelabuhan Teluk Dewa, Sebukat, Kalimantan Tengah

7 Subekti Op.Cit, hlm 3248 Ibid, hlm 325

5

sebagai tujuan akhir pengiriman, di jadwalkan berangkat pada tanggal 12 Juni

2009 dan diperkirakan sampai pada pelabuhan tujuan tanggal 16 Juni 2009 .

Dalam kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian angkutan laut.

Kemudian dalam perjalanan kapal Tugboat Brandon dan Tongkang TC

2301 menemui hambatan berupa kerusakan mesin utama dan terjangan ombak

yang menyebabkan kapal tugboat dan tongkang terhempas hingga Pulau

Penambun, yang mana hal ini tentu saja menyebabkan keterlambatan pengiriman

barang milik CV. Karya Ardi Prestasi dan menimbulkan kerugian karena barang

yag seharusnya diterima oleh pelanggan tidak kunjung datang, bahkan hal ini juga

membuat CV. Karya Ardi Prestasi melakukan pengiriman ulang dengan menyewa

tugboat dan tongkang dari perusahaan lain.

Di sisi lain Tugboat Brandon dan Tongkang TC 2301 yang terdampar di

pulau penambun harus segera dievakuasi guna mencegah rusaknya barang milik

CV. Karya Adi Prestasi, namun PT Karya Mandiri Makmur Sejati selaku operator

kapal dan PT Tanjung Cemerlang Shipping selaku pemilik kapal urung

melaksanakan evakuasi dengan alasan kekurangan biaya, hingga akhirnya

disepakati dalam perjanjian bahwa CV. Karya Adi Prestasi juga turut menaggung

biaya penyelamatan kapal yang besarnya sekitar 68 juta rupiah, hal ini tentu saja

memberatkan pihak pemilik barang dikarenakan harus mengeluarkan biaya yang

jumlahnya tidak sedikit.

Tugboat Brandon berhasil diselamatkan pada tanggal 18 Juli 2009 dengan

menyewa kapal lain, dan kemudian sampai di Pelabuhan Kendawangan,

Kalimantan Tengah, namun sayangnya untuk Tongkang TC 2301 yang berisi

6

barang milik CV. Karya Ardi Prestasi masih sulit untuk diselamatkan karena

terkendala cuaca buruk, beratnya beban tongkang, serta posisi tongkang yang

miring.

Pada Akhirnya Tongkang TC 2301 berhasil diselamatkan setelah melalui

proses penyelaman, pengelasan, dan pemompaan hingga akhirnya tongkang

tersebut berhasil mengapung, dan Pada tanggal 13 Februari 2010 kembali berlayar

menuju Kumai, Kalimantan dan tiba pada tanggal 15 Februari 2010. Usaha

penyelamatan ini memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya.

Atas segala kerugian yang diterima CV. Karya Ardi Prestasi, mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat terhadap PT Karya Mandiri Makmur

Sejati selaku operator tugboat dan PT Tanjung Cemerlang Shipping selaku

pemilik kapal, dengan dalil gugatan bahwa para tergugat telah melakukan

Perbuatan Melawan Hukum sesuai pasal 1365 KUHPerdata yang menyebabkan

kerugian bagi penggugat.

Pada proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, majlis Hakim

memutuskan menolak gugatan Penggugat dengan alasan bahwa kejadian yang

menimpa tugboat Brandon merupakan force majeure sesuai dengan Pasal 1245

KUHPerdata.

Setelah melalui proses persidangan tingkat I yang memenangkan pihak

Tergugat, CV. Karya Ardi Prestasi melakukan upaya hukum banding ke

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pada tingkat ini pihak penggugat dikabulkan

gugatannya dan menyatakan bahwa Tergugat 1 dan 2 telah melakukan perbutan

melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

7

Atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta PT Karya Mandiri Makmur Sejati

dan PT Tanjung Cemerlang Shipping tidak tinggal diam dan mengajukan kasasi

ke Mahkamah Agung, dan Akhirnya MA memutuskan memenangkan pihak

tergugat dengan dalil bahwa kejadian yang menimpa Tugboat Brandon dan

Tongkang TC 2301 merupakan force majeur, sesuai dengan pasal 1245

KUHPerdata dan Majelis Hakim Agung memutuskan untuk MENGABULKAN

permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi: I. PT KARYA MANDIRI MAKMUR

SEJATI., dan II. PT TANJUNG CEMERLANG SHIPPING., serta

MEMBATALKAN putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 105/Pdt/2011/

PT.DKI tanggal 20 April 2011 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Barat Nomor 590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR tanggal 21 Juli 2010. Padahal

disisi lain ditemukan fakta bahwa terjadi kelalaian yang dilakukan oleh Tergugat 1

sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan mesin dan membuat kapal

terdampar.

Putusan di atas kemudian menimbulkan pertanyaan yaitu bagaimanakah

pertanggungjawaban perusahaan angkutan laut terhadap keterlambatan yang

menyebabkan kerugian terhadap pemilik barang? Dan Apakah putusan MA

No.1014k/Pdt/2012 telah sesuai dengan kaidah Pasal 40 ayat(1) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran?

Atas dasar uraian di atas penulis rasanya perlu meneliti permasalahan di

atas dan menuangkannya dalam karya tulis ilmiah berupa skripsi untuk

mendapatkan pemahaman mengenai pertanggung jawaban perusahaan angkutan

laut, Dalam hal ini kiranya tepat jika penulis memilih judul: TANGGUNG

8

JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT MENURUT PASAL 40

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008TENTANG PELAYARAN

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR : 1014

K/Pdt/2012)

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Setelah penulis membaca, menelaah, dan memahami dengan teliti

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/Pdt/2012, penulis menilai

9

bahwa telah terjadi permasalahan di mana perusahaan pengangkut telah

lalai dalam menjalankan kewajibannya mengantarkan barang sehingga

menyebabkan kerugian terhadap pemilik barang, di mana kelalaian

tersebut dapat dibuktikan dengan adanya temuan uji laboratorium bahwa

oli kapal yang digunakan oleh operator kapal (tergugat 1) tidak layak

pakai sehingga menyebabkan kerusakan terhadap kapal, namun sayangnya

hal ini tidak pernah dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Mahkamah Agung. Kejadian ini

diperparah dengan adanya cuaca buruk sehingga kapal yang telah rusak

kemudian terhempas ombak dan terdampar di daerah Kepulauan Bangka

Belitung.

Karena berdasarkan alasan inilah penulis menilai bahwa

keterlambatan ini adalah diawali oleh kelalaian operator kapal (tergugat 1).

Selain itu dalam proses persidangan terjadi ketidak konsistenan dalam

penerapan hukum, di mana pada putusan pengadilan Negeri Jakarta Barat,

memutuskan bahwa kejadian tersebut merupakan force majeur, namun

dalam tingkat Banding Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

memutus bahwa telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh operator kapal,

Di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung memutuskan bahwa hal ini

merupakan force majeur, padahal kita ketahui bersama bahwa tujuan

hukum itu merupakan kepastian, hal inilah yang bagi penulis wajib

diangkat dan diteliti.

2. Rumusan Masaalah

10

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban perusahaan angkutan laut

terhadap keterlambatan yang mengakibatkan kerugian terhadap

pemilik barang, berkaitan dengan kasus diatas?

b. Apakah putusan Majelis Hakim No.1014K /Pdt/2012 telah sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang

pelayaran dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimanakah pertanggungjawaban

perusahaan angkutan laut terhadap keterlambatan yang mengakibatkan

kerugian terhadap pemilik barang.

b. Untuk mengetahui dan mengkaji apakah putusan Majelis Hakim

No.1014K /Pdt/2012 telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran dan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata .

2. Manfaat penelitian

Selain dari hal-hal yang diungkapkan di atas setiap penelitian harus

mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu

suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada

kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua

segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis.

11

Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan dapat

memberikan manfaat :

1. Manfaat Akademis

a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam

perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.

b. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai

pertanggungjawaban perusahaan angkutan laut dalam hal

pengangkutan yang menemui kendala dan menyebabkan kerugian

bagi klien.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada

umumnya dan pada khususnya tentang pertanggungjawaban

perusahaan angkutan laut dalam hal pengangkutan yang menemui

kendala dan menyebabkan kerugian bagi klien.

b. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas

tentang peraturan mengenai pengangkutan laut dan

pertanggungjawaban keselamatan dan keamanan barang bawaan

dalam pengangkutan laut.

c. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan

bagi penulis, khususnya bidang hukum perdata.

D. Kerangka Teoretis, Konsepsional, dan Pemikiran

1. Kerangka Teoretis

12

Berkaitan dengan Perjanjian angkutan laut, maka pada dasarnya

tidak bisa lepas dari peraturan dasar mengenai perjanjian. Peraturan

perundangan dimaksud adalah Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, Pasal 1338 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata tentang akibat perjanjian, Pasal 1339 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang pembatasan dan asas kebebasan

berkontrak.

Di dalam Perjanjian Angkutan Laut tersebut biasanya memuat

berbagai macam klausul yang di antaranya adalah identitas operator dan

shipper, nama dan data kapal, kesediaan muatan kapal, kondisi muatan,

kondisi kontrak, tata cara pembayaran, pelabuhan muat, pelabuhan

bongkar atau pelabuhan tujuan, dana keterlambatan atau demurrage,

penerima barang, asuransi kapal dan barang, keagenan kapal, syarat-syarat

tambahan yang disetujui bersama, serta penyelesaian apabila terjadi

perselisihan.

2. Kerangka Konseptual

Dalam setiap jenis perjanjian pengangkutan barang termasuk

perjanjian angkutan laut, tentunya memuat suatu klausula yang mana

apabila salah satu pihak urung dalam menjalankan prestasinya maka akan

menimbulkan dampak hukum berupa kewajiban untuk memnuhi ganti

rugi. Konsep ganti rugi terdapat dalam pasal 1243 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi:

“Penggantian biaya, kerugian, atau bungan karena tidak terpenuhinyasuatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur,

13

walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang telah melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan” 9

Menurut pengertian pasal di atas, ganti rugi menitikberatkan pada

ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni kewajiban

debitur untuk mengganti kerugian debitur akibat kelalaian pihak debitur

melakukan wanprestasi. Ganti rugi tersebut meliputi ongkos atau biaya

yang telah dikeluarkan; kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan,

kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, bunga atau

keuntungan yang diharapkan.

Force Majeure adalah suatu keadaan di mana suatu debitur

terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa

yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Hal ini merupakan dalil

pemaaf bagi terjadinya wanprestasi, namun berdasarkan pasal 1244 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata debitur harus dihukum mengganti

kerugian apabila tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya waktu

pelaksanaan prestasi disebabkan hal yang tidak dapat diduga (bukan

karena kesalahan atau kelalaiannya) yang tidak dapat dipertanggungkan

kepadanya, meskipun dengan itikad baik.

3. Kerangka Pemikiran

Pasal 40 UU no. 17 2008 Tanggung jawab Perjanjian

9 Subekti, Op. Cit

14

Tentang Pelayaran Pengangkut Angkutan Laut

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Putusan PN Jakbar Banding Putusan PT Jakarta

Putusan MA no.1014k/Pdt/2012 Kasasi

E. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum akan digunakan oleh penulis pada karya tulis ini

adalah metode penelitian hukum yuridis-normatif. Soerjono Soekanto

15

mengemukakan bahwa metode penelitian hukum yuridis-normatif atau yuridis-

dogmatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder.10

Data sekunder adalah data yang sudah didokumentasikan sehingga

merupakan data yang sudah siap pakai. Penulis menggunakan pendekatan yuridis

normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm).

Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value),

peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa

asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.11Suatu

metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu

metode ilmiah yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk

dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang

bersangkutan. Metode ilmiah adalah cara-cara (prosedur) yang harus ditempuh

dalam suatu penelitian untuk mencari jawaban dari setiap masalah sehingga

diperoleh pengetahuan ilmiah yang yang dapat diterima akal sehat.[4] Dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode–metode sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai ialah metode penelitian Hukum

Doktriner, penelitian hukum doktriner merupakan penelitian yang

10 Hotma Pardomuan Sibuea dan Heryberthus Sukartono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Krakatauw Book, 2009, hlm 79

11 Ibid. hlm. 10

16

mengkaji data-data kepustakaan dengan pengkajian pada peraturan yang

berlaku, yakni undang-undang, asas-asas hukum, peraturan pemerintah,

jurisprudensi, serta doktrin-doktrin para pakar hukum dalam meneliti

permasalahan ini.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam mengkaji

permasalahan ini adalah penelitian yang bersifat Normatif, di mana

penelitian yang merupakan prosedur penyelesaian masalah diselidiki

dengan cara mengkaji aturan-aturan hukum yang berlaku, asas-asas

hukum, peraturan pemerintah, jurisprudensi. dan doktrin para pakar

hukum.

3. Sumber Data

Data-data yang akan dikaji merupakan data sekunder atau data

kepustakaan. Data-data ini merupakan bahan-bahan hukum yang sudah

jadi atau telah didokumentasikan. Bahan-bahan hukum ini di antaranya

yakni:

a. bahan hukum primer, seperti Undang-Undang Dasar, Undang-

Undang, Peraturan pemerintah pengganti undang-undang,

Peraturan pemerintah, Vonis. Bahan hukum ini memiliki kekuatan

hukum yang mengikat terhadap subjek hukum sehingga menjadi

sumber utama dalam penelitian penulis.

b. bahan hukum sekunder, seperti buku, jurnal ilmiah yang

mengandung isi pendapat para pakar. Bahan hukum ini tidak

17

memiliki kekuatan hukum mengikat namun memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer.

c. bahan hukum tersier, seperti kamus bahasa, kamus hukum dan

lain-lain. Yang mana bahan hukum ini memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun

sekunder.

4. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data secara Normatif. Analisa dilakukan terhadap pasal-pasal dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap permasalahan

terkait. Langkah-langkah dalam metode ini diantaranya:

a. Penerapan Kriteria Identifikasi

b. Seleksi Dan Pengumpulan Norma-Norma

c. Pengorganisasian Norma-Norma yang dikumpulkan (Sylogisme

Premis mayor-minor)

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang penulis melakukan penelitian terhadap

permasalahan terkait; Tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian ini;

18

Kerangka teoritis, Konsepsional, dan Pemikiran; Metode penelitian yang

digunakan; serta Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat tentang pengertian Perusahaan Angkutan Laut,

Perjanjian, Angkutan Laut, Hak dan Kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian

angkutan laut, Teori Pertanggungjawaban, Teori Perbuatan Melawan Hukum,

Teori Wanprestasi, dan Keadaan Memaksa.

BAB III HASIL PENELITIAN

Bab ini memuat tentang Para pihak yang bersengketa, Posisi kasus

yang menjadi objek penelitian, Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan, dan Putusan Mahkamah Agung mengenai kasus terkait.

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN

Bab ini memuat tentang analisa Kasus dan permasalahan hukum yang

terjadi di lapangan, dengan menggunakan teori-teori dan doktrin hukum yang

berkaitan dengan permasalahan hukum yang terjadi.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran penulis terhadap kasus yang

terkait khususnya, umumnya terhadap Pengembangan hukum kemaritiman di

Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perusahaan Angkutan Laut

Perusahaan adalah organisasi yang didirikan oleh seseorang atau

sekelompok orang atau badan usaha yang kegiatannya melakukan

produksi dan distribusi barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan

ekonomis manusia. Kegiatan produksi dan distribusi dilakukan dengan

menggabungkan berbagai faktor produksi, yaitu manusia, alam dan modal.

Kegiatan produksi dan distribusi umumnya dilakukan untuk memperoleh

laba. Sedangkan Angkutan Laut adalah suatau usaha untuk memindahkan

orang atau melalui wilayah perairan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 17 tahun 1988 pengertian pengangkutan laut yaitu:

“setiap kegiatan pelayaran dengan menggunakan kapal laut untuk mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan untuk satu perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain atau antara beberapa pelabuhan (Pasal 1 Angka 1 PP No. 17 tahun 1988)”. 12

Jadi Perusahaan Angkutan Laut adalah suatu organisasi berbadan

hukum yang kegiatannya berupa jasa distribusi barang dari satu pulau ke

pulau lainnya melalui perairan Indonesia.

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001

tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka

7:

12 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1988 Tentang Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka 1

20

“Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia (Indonesian national shipping company) yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri. Perusahaan angkutan laut nasional dapat berupa badan hukum yang keseluruhan sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia maupun dalam bentuk kerjasama dengan asing (PMA/joint venture) asalkan telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan No. 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut khususnya dalam Pasal 20 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.” 13

Adapun isi Pasal 20 Keputusan Menteri Perhubungan No. 33

TAHUN 2001 adalah:

1. Perusahaan angkutan laut nasional atau badan hokum Indonesia

atau warga negara Indonesia dapat melakukan kerjasama

dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum

asing atau warga negara asing dalam bentuk (usaha patungan

joint venture) dengan membentuk satu perusahaan angkutan

laut nasional.

2. Perusahaan angkutan laut patungan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) wajib memiliki kapal berbendera Indonesia yang

laik laut sekurang-kurangnya 1 (satu) unit ukuran GT.5000

(lima ribu).

3. Ketentuan persyaratan untuk memperoleh izin usaha

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 butir a,c,d,e dan f

13 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka 7

21

berlaku pula terhadap persyaratan pendirian perusahaan

angkutan laut yang melakukan usaha patungan (joint venture).

B. Perjanjian Angkutan Laut

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji

kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan

antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu

menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam

bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.14

Dalam permasalahan ini dapat diartikan bahwa Perjanjian

Angkutan Laut merupakan salah satu jenis perjanjian antara Shipper atau

pengirim barang, dengan pihak perusahaan angkutan laut. Dengan

diadakannya Perjanjian Angkutan Laut ini diharapkan dapat memberikan

hak dan tanggung jawab semua pihak sehingga tidak ada kerugian yang

dialami semua pihak. Tujuan dari perjanjian inipun dimaksudkan untuk

menempatkan semua pihak ditempat yang sejajar yang artinya tidak ada

pihak yang lemah dan tidak ada pihak yang kuat.

Di dalam Perjanjian Angkutan Laut tersebut biasanya memuat

berbagai macam klausul yang diantaranya adalah: identitas operator dan

shipper; nama dan data kapal; kesediaan muatan kapal; kondisi muatan;

kondisi kontrak; tata cara pembayaran; pelabuhan muat; pelabuhan 14Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4, h.6

22

bongkar atau pelabuhan tujuan; dana keterlambatan atau demurrage;

penerima barang; asuransi kapal dan barang; keagenan kapal; syarat-syarat

tambahan yang disetujui bersama; serta penyelesaian apabila terjadi

perselisihan.

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Angkutan Laut

Para pihak dalam perjanjian Angkutan laut memiliki hak dan

kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi, Hak dan Kewajiban dari

pihak Shipper atau pengirim barang adalah menikmati jasa dari pihak

Perusahaan Angkutan Laut berupa pengantaran barang miliknya dari

pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan yang telah disepakati bersama dengan

tepat waktu, sesuai dengan perjanjian, dan kewajiban dari pihak shipper

yaitu memberikan prestasi berupa pembayaran ke pihak Perusahaan

Angkutan Laut, dengan metode dan nominal yang sesuai dengan isi

perjanjian.

Selain pihak pemilik barang, Perusahaan Angkutan Laut juga

memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, Perusahaan Angkutan

Laut wajib mengantarkan barang milik shipper dari pelabuhan asal ke

pelabuhan tujuan dengan selamat, dan sesuai dengan tenggat waktu yang

diperjanjiakan. Perusahaan Angkutan Laut berhak menerima atau

menuntut pembayaran terhadap pemenuhan kewajiban yang telah

dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.

D. Teori Pertanggungjawaban

23

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab

adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung

jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang

telah diwajibkan kepadanya.15 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu

akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang

berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.16

Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai

dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk

menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum

orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.17

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam

kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Dalam pengertian dan

penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban

hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek

hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban

politik.18

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam

perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori,

yaitu:19

15Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.16Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 44.17Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,Jakarta, 2010, hlm 48.18 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-337.19Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, hlm.503.

24

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability),

tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa

sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa

yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability),

didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang

berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur

baur (interminglend).

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut.20

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault

liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup

umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365 dan 1366,

sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat

dalam Pasal 359. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat

dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur

kesalahan yang dilakukannya.

20Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 73-79.

25

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,

mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a. adanya perbuatan;

b. adanya unsur kesalahan;

c. adanya kerugian yang diderita;

d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan

kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan

dengan hukum.Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan

undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam

masyarakat.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap

bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia

dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability”

adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan

diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan

bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan

untuk menghindarkan terjadinya kerugian.21

21 E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 21

26

Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si

tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik

(omkering van bewijs last). Hal ini tentu bertentangan dengan asas

hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun

jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian

cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban

untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha

yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa

dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat

sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai

penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha,

jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua,

prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya

dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.

Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum

pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau

bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang

(konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini

pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan

27

pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk

membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering

diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute

liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan

kedua terminologi di atas.

Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah

prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai

faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian

yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,

misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability

adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

pengecualiannya.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan

absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk

membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian

yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri.

Tanggung jawab adalah mutlak.22

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of

liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk 22Ibid, hlm. 23.

28

dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar

yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya

ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau

rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya

dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

Dalam ketentuan Pasal 19 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku

usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan,

pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan

jabatan notaris maka diperlukan tanggung jawab profesional

berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar

Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggung

jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability)

dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.

Tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena mereka (para

penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka

sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa

tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.23

Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi

tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan

kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan

intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil 23 Shidarta, op.cit., hlm. 82.

29

atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat

pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau

ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh

kesadaran intelektualnya.24 Tanggung jawab dalam arti hukum adalah

tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan

kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan

dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Dalam memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung

jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab

kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral,

intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam

memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam

memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan

cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati

nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab

kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik

mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan

cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang

berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak

semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga

pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani

menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu.

24Masyhur Efendi, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 121.

30

Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang

membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan

berdosa kepada Tuhan.25

E. Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut

dengan istilah (onrechtmatige daad) atau dalam bahasa Inggris disebut tort.

Kata tort berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata

yang bukan dari wanprestasi kontrak. Kata tort berasal dari bahasa latin

orquer atau tortus dalam bahasa Prancis, seperti kata wrong berasal dari

bahasa Prancis wrung yang berarti kesalahan atau kerugian injury.

Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum yang kemudian

dikenal dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai

seperti apa yang disebut oleh Peribahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt haec

honeste vivere,alterum non leadere, suum cuque tribune artinya semboyan

hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan

orang lain haknya.

Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum

adalah perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919

berdasar Arrest Het Reglement 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen

melawan Lindenbaum, maka yang dimaksud perbuatan melawan hukum

adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain, hukum tertulis dan hukum

25 Abdulkadir Muhamad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 60.

31

tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan dan kesusilaan yang diterima

di masyarakat.26

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Buku

III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Rumusan perbuatan melawan

hukum terdapat pada Pasal 1365 yaitu :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepadaseorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”27

Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang

dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan

hukum yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan

kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori

perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :28

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan

maupun kelalaian).

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Jika ditinjau dari pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainnya, sebagaimana juga

dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di negara sistem Eropa

Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :29

26Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm. 511.27 Subekti, Op.cit, hlm. 34628Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Adiyta Bakti, Bandung, 2010, hlm. 3.29Ibid, hlm. 3.

32

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas sebgaimana yang diatur dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan

melawan hukum, maka harus memenuhi unsur-unsur perbuatan sebagai

berikut :30

1. Adanya suatu perbuatan

Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat

digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan

kesengajaan (dilakukansecara aktif) dan perbuatan yang merupakan

kelalaian (pasif/tidak berniatmelakukannya).

2. Perbuatan tersebut melawan hukum

Perbuatan pada unsur pertama dikatakan memenuhi unsur

kedua yaitu melawan hukum apabila memenuhi ketentuan sebagai

berikut :

a. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

Melanggar hak subjektif orang lain berarti melanggar

wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada 30Rosa Agustina, Hukum Perikatan (contract law), Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, hlm 16

33

seseorang. Sifat hakikat dari hak subjektif wewenang khusus

yang diberikan oleh hukum kepada seseorang yang

memperolehnya demi kepentingannya. Karakteristik untuk

hak subjektif seseorang adalah:

1. Kepentingan yang mempunyai nilai tinggi terhadap

yang bersangkutan.

2. Pengakuan langsung terhadap kewenangan yang

bersangkutan oleh suatu peraturan perundang-undangan.

3. Suatu posisi pembuktian yang kuat dalam suatu

perkara yang mungkin timbul.

Hak Subjektif dalam masyarakat dikenal sebagai:

A. Hak kebendaan yang absolut, misalnya hak milik;

B. Hak-hak pribadi, seperti hak untuk mempunyai integritas

terhadap Jiwa dan kehidupan, kebebasan pribadi,

kehormatan dan nama baik.

C. Hak-hak istimewa, misalnya hak untuk menempati

rumah oleh penyewa rumah.

b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

Menurut pandangan yang berlaku saat ini, hukum diartikan

sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang

tertulis maupun yang tidak tertulis.Yang dimaksud dengan suatu

tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku adalah suatu tingkah laku yang bertentangan

34

dengan suatu ketentuan undang-undang. Yang dimaksud dengan

undang-undang di sini adalah semua peraturan yang sah yang

dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan mempunyai daya

ikat keluar.

c. Bertentangan dengan kesusilaan

Kaidah kesusilaan diartikan sebagai norma-norma sosial

dalam masyarakat, sepanjang norma tersebut diterima oleh anggota

masyarakat sebagai/dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang

tidak tertulis. Sebagai pertimbangan ialah kasus antara

Lindenbaum vs. Cohen di mana perbuatan Cohen dinilai

bertentangan dengan tata susila,ketika ia membujuk karyawan

Lindenbaum untuk membocorkan rahasia perusahaannya.

d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian

(patiha)

Dalam pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang

rasa dengan lingkungannya dan sesama manusia, sehingga tidak

hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan

orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai dengan

kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang berlaku dalam

masyarakat. Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan

dengan kepatutan, yaitu:

1. Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan

yang layak;

35

2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya

bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu

diperhatikan.

3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku

Unsur kesalahan pada suatu perbuatan sebenarnya tidak

berbeda jauh dengan unsur melawan hukum, unsur ini menekankan

pada kombinasi antara kedua unsur di atas di mana perbuatan (yang

meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur

melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa

seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan

yang terjadi karena perbuatannya yang salah.

4. Adanya kerugian bagi korban

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan

kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti

rugi. Namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian

tersebut. Pasal 1371 ayat(2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

memberikan sedikit pedoman untuk itu dengan menyebutkan:

“Juga penggantian kerugian ini di nilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”. 31

Pedoman selanjutnya dapat ditemukan pada Pasal 1372 ayat (2)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan:

“Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula

31 Subekti, Op.cit, 347

36

pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”. 32

Dalam hukum perdata dipersoalkan apakah ada perbedaan

pengertian antara kerugian sebagai akibat suatu perbuatan melawan

hukum di satu pihak dan kerugian sebagai akibat dari tidak

terlaksananya suatu perjanjian di lain pihak. Pasal 1365 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata menamakan kerugian akibat perbuatan

melawan hukum sebagai “scade” (rugi) saja, sedangkan kerugian

akibat wanprestasi oleh Pasal 1246 KUH Perdata dinamakan “kosten,

scaden en interessen” (biaya, kerugian dan bunga). Penentuan ganti

kerugian berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata menunjukkan segi-segi

persamaan dengan penentuan ganti kerugian karena wanprestasi, tapi

juga dalam beberapa hal berbeda. Dalam Undang-undang tidak diatur

tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan

hukum, sedang pasal 1243 KUH Perdata memuat ketentuan tentang

ganti kerugian yang harus dibayar karena wanprestasi. Untuk

penentuan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat

diterapkan ketentuan-ketentuan yang sama dengan ketentuan tentang

ganti kerugian karena wanprestasi.

Mengenai kerugian kekayaan (vermogenschade), penggantian

pada umumnya terdiri dari penggantian atas kerugian yang diderita dan

juga berupa keuntungan yang sekiranya diharapkan akan diterima

(gederfdewinst). Sehubungan dengan hal tersebut tidaklah semudah

32 Ibid.

37

diperkirakan untuk menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian

tersebut. Sebagai ketentuan umum kiranya dapat digunakan kenyataan

bahwa maksud dari kewajiban memberikan ganti kerugian adalah

untuk membawa si penderita sedapat mungkin pada keadaan sekiranya

tidak terjadi perbuatan melawan hukum.

5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Unsur terakhir yang tidak kalah penting adalah adanya

hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang diderita. Pada

unsur ini kerugian yang diderita oleh korban haruslah benar-benar

sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukan oleh

akibat perbuatan lain. Ada dua ajaran yang berkaitan dengan hubungan

kausal, yaitu:

A. Teori Conditio Sine Qua Non (Van Buri)

Inti dari ajaran ini adalah: tiap-tiap masalah, yang

merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat, adalah sebab

dari akibat. Misalnya A menyuruh B untuk membeli suatu

barang di toko seberang jalan, ketika menyeberang ia ditabrak

mobil yang dikendarai oleh C. Sebenarnya yang merupakan

sebab langsung terlukanya B adalah C, namun menurut

VonBuri, kesalahan bisa ditimbulkan pada semua pihak yang

mengakibatkan kerugian, yaitu A yang menyuruh B dan C yang

menabrak B.

B. Teori Adaequate Veroorzaking (Von Kries)

38

Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus

dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah

perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk

menentukan “perbuatan yang seimbang” adalah perhitungan

yang layak, yaitu menurut akal sehat patut dapat diduga bahwa

perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat tertentu.

Misalnya: A meminta B untuk datang ke rumahnya karena ia

mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas, dalam

perjalanan ke rumah A, B ditabrak oleh C sehingga

menyebabkan ia terluka parah dan dibawa kerumah sakit.

Menurut ajaran Von Kries, perbuatan yang dianggap sebagai

sebab dari terlukanya B adalah C yang menabrak bukan A yang

meminta B datang kerumahnya.

F. Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah

memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada

pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana

dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau

debitur.

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi

buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang

dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi

39

seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian,33dan bukan dalam keadaan

memaksa.

Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:34

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi

prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya,

maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang

keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak

memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:35

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana

dijanjikannya;

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu

perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan

dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang

33Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003, cet. 1, hal. 2.2134 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Putra Abadin, 1999, cet. 6, hal.1835Subekti, Op.cit, hlm. 46

40

diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa

tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan

wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak

diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa

berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan

dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap

melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak

ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur

melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang

diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur

yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika

atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Menurut pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyakan bahwa:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.36

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan

wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-

bentuk somasi menurut pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

adalah:37

36Subekti , Op.cit, 323

37 Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22

41

1. Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk

penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara

lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal

ini biasa disebut “exploit juru Sita”

2. Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah

menentukan saat adanya wanprestasi.

Suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan

kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk

mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut

berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara

tertulis. Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk

menyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam

hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam

perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya

wanprestasi.

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi

yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:38

1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2. Pembatalan perjanjian;38Ibid, hal. 2.22-2.25

42

3. Peralihan resiko;

4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka

hakim.

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang

berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl) Yang dimaksud

kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya

yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang

sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga

berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat

seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).39 Bahwa kerugian yang

harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat

langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara

wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada

dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:40

1. Conditio Sine qua Non (Von Buri)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa

B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada

pristiwa A

2. Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa

B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia

yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).

39 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005, cet. 32, hal. 14840Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.23

43

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan

beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht);

2. Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

3. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk

menuntut ganti rugi.

G. Keadaan Memaksa

Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure,

sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa

adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada

kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya,

seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Menurut Prof. Dr. R.

Wirjono Prodjodikoro S.H. keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang

menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan

hukum tidak dapat dilaksanakan.

1. Dasar Hukum Keadaan Memaksa

Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244-

1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal1244 berbunyi:

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. 41

41 Subekti, Op.cit, hlm 324

44

Selanjutnya Pasal 1245 berbunyi:

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.”42

2. Teori- Teori Keadaan Memaksa

a. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkeheid)

Teori ini berpendapat bahwa keadan memaksa adalah suatu keadaan

tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan.

Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolute

onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali

dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur.

2. Ketidakmungkinan relatif atau ketidakmungkinan subjektif

(relative onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan

relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya.

b.   Teori Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van

schuld).

Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah

kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan.

3. Macam-Macam Keadaan Memaksa

a. Keadaan Memaksa Absolut

Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan

dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi

42 Ibid Op.cit, 325

45

perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa

bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin

membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A

ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka

si A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si B.

Kalau keadaan memaksa mengakibatkan, bahwa suatu hak atau

kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat

dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka

keadaan memaksa itu dinamakan “absolut”. Keadaan memaksa

yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali

tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya

barangnya sudah hapus karena bencana alam).

b. Keadaan Memaksa yang Relatif

Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang

menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.

Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan

memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau

menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia

atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.

Contohnya, A telah meminjam, kredit usaha tani dari Koperasi

Unit Desa, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi

sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada

saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada

46

Koperasi Unit Desa, tetapi ia akan membayar pada musim panen

mendatang.

Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila dalam

keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada

suatu perhubungan hukum tidak dapat dikatakan sama sekali tidak

dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya

dan dengan pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sehingga

patutlah dikatakan bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap.

Adanya keadaan memaksa yang relatif ini, sangat

tergantung dari pada isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan

hukum yang bersangkutan. Misalnya, seorang tukang berjanji akan

membuat rumah untuk orang lain, kemudian pada waktu

pembuatan rumah itu sedang berjalan semua buruh-buruhnya

bersama-sama mogok. Apakah oleh karena keadaan ini keharusan

untuk menyelesaikan pembuatan rumah adalah lenyap? Kalau

Dapat dikatakan, bahwa tukang pembuat rumah harus

mempekerjakan buruh-buruh lain, betapapun mahalnya upah

buruh-buruh itu, maka dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada

keadaan memaksa. Akan tetapi, kalau berhubungan dengan isi,

maksud, dan tujuan dari persetujuan antara kedua belah pihak,

dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sedemikian besarnya,

47

tidak patut dibebankan kepada si tukang pembuat rumah, sehingga

keadaan ini dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa.

Apabila terjadinya keadaan memaksa dapat diperkirakan

oleh siapapun secara objektif, dan tidak dapat dihindarkan dengan

usaha apapun juga, maka dapat dikatakan bahwa dari pihak yang

berkewajiban itu sama sekali tidak ada kesalahan, dan seharusnya

ia dibebaskan sama sekali dari pertanggungjawaban.

Sebaliknya, jika keadaan memaksa itu secara objektif dapat

diperkirakan terlebih dahulu untuk menjaga agar jangan sampai

keadaan memaksa itu terjadi, maka dapatlah si berwajib itu

dipertanggungjawabkan. Misalnya, suatu perusahaan pengangkutan

barang berjanji akan mengangkut barang dari suatu kota ke kota,

dan sudah diketahui oleh umum bahwa di perjalanan antar dua kota

itu sudah beberapa kali terjadi perampokan atas barang-barang

angkutan, maka patutlah apabila si pengangkut barang itu

bagaimanapun caranya berusaha untuk menghidari perampokan itu

misalnya menyewa pengawal bersenjata api. Kalau usaha ini sama

sekali tidak dilakukan maka jika kemudian terjadi perampokan atas

barang-barang yang diangkut itu, si pengangkut dapatlah dimintai

pertanggungjawaban atas keadaan memaksa yang menyebabkan

barang-barang itu tidak sampai di tempat yang dimaksudkan.

3. Akibat Keadaan Memaksa

48

a. Akibat Keadaan Memaksa Absolut

1. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH

Perdata)

2. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi

sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk

menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut

dalam Pasal 1460 Kitab Undang-Undag Hukum Perdata.

b. Akibat Keadaan Memaksa Relatif

Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan

memaksa sementara

H. Tinjauan Umum Kelalaian

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), kelalaian

biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan. Hal ini

dapat dilihat dalam penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 359 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi

Pasal, yang mengatakan bahwa “karena salahnya” sama dengan kurang hati-hati,

lalai lupa, amat kurang perhatian.43 Dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana disebutkan:

43 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Jakarta, Erlangga, 1990, hlm 14

49

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana

kurungan paling lama satu tahun.”

Dalam hukum pidana, kelalaian, kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan

disebut dengan culpa. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya yang

berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia mengatakan bahwa arti culpa

adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum culpa

mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang

tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang

tidak disengaja terjadi.44

Sedangkan, Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana

mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir,

kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan Remmelink,

ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu

dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata

(terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang

tersebut padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.

Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink mengatakan

bahwa menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi tolak ukur

bagi pembuat undang-undang bukanlah diligentissimus pater familias (kehati-

hatian tertinggi kepala keluarga), melainkan warga pada umumnya. Syarat untuk

penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhati-

44 “Adakah ukuran Kelalaian dalam Hukum Pidana?” http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51d592cf9865d/adakah-ukuran-kelalaian-dalam-hukum-pidana?. Diakses tanggal 26 Juni 2015

50

hatian besar yang cukup; bukan culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa

lata (kelalaian yang kentara/besar).45

Hal serupa juga dikatakan oleh Wirjono Prodjodikoro (Ibid, hal. 73), yaitu

bahwa menurut para penulis Belanda, yang dimaksudkan dengan culpa dalam

pasal-pasal KUHP adalah kesalahan yang agak berat.Istilah yang mereka

pergunakan adalah grove schuld (kesalahan besar). Meskipun ukuran grove

schuld ini belum tegas seperti kesengajaan, namun dengan istilah grove schuld ini

sudah ada sekedar ancar-ancar bahwa tidak masuk culpa apabila seorang pelaku

tidak perlu sangat berhati-hati untuk bebas dari hukuman.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa untuk culpa ini harus diambil sebagai

ukuran bagaimana kebanyakan orang dalam masyarakat bertindak dalam keadaan

yang in concreto terjadi. Jadi, tidaklah dipergunakan sebagai ukuran seorang yang

selalu sangat berhati-hati, dan juga tidak seorang yang selalu serampangan dalam

tindak tanduknya. Pada akhirnya, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa

dengan demikian seorang hakim juga tidak boleh mempergunakan sifatnya sendiri

sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Akan

tetapi, tentunya ada peranan penting yang bersifat pribadi sang hakim sendiri. Hal

ini tidak dapat dielakkan. Jadi, pada dasarnya yang dijadikan tolak ukur adalah

ukuran kehati-hatian yang ada di masyarakat, akan tetapi tidak menutup

kemungkinan bahwa hakim juga berperan serta dalam menentukan hal tersebut.

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kelalaian tercantum

dalam Pasal 1366 yang berbunyi “setiap orang bertanggung jawab bukan hanya 45 Ibid.

51

atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian

yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Posisi Kasus

Pada kasus ini pihak Penggugat adalah CV.KARYA ARDI PRESTASI,

berkedudukan di Jalan Buyut Arman No.42A, Cilegon, dalam hal ini diwakili oleh

Ardiansyah Harsojo, Direktur CV.KARYA ARDI PRESTASI, dalam hal ini

memberi kuasa kepada Frans Paulus, SH.,MH., dan kawan-kawan, para Advokat,

berkantor di Law Firm Frans Paulus & Partners, yang beralamat di Wisma Bhakti

Mulya Building 4th Floor, Suite 403, Jalan Kramat Raya 160 Jakarta, berdasarkan

Surat Kuasa Khusus tanggal 10 Desember 2009, Termohon Kasasi I.2. dan

Termohon Kasasi II.2. dahulu Penggugat/ Pembanding sedangkan pihak Tergugat

yaitu PT. KARYA MANDIRI MAKMUR SEJATI, berkedudukan di Jalan

Kramat I No.8, Karawaci c.q. Tangerang City, Blok D No.59, Jalan Jenderal

Sudirman, Tangerang, Banten, yang diwakili oleh Rudy, Direktur PT.KARYA

MANDIRI MAKMUR SEJATI, dalam hal ini memberi kuasa kepada Capt.Tekky

Toreh,SH.,MM.,M.Mar., dan kawan-kawan, para Advokat, yang berkantor di

Kantor Hukum ”Tekky Toreh and Partners,beralamat di Jalan Pulomas Barat XI

No.22, Jakarta Timur,berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 21 Januari

2010,Pemohon Kasasi I/ Termohon Kasasi II.1. dahulu Tergugat I/Terbanding I

dsn PT.TANJUNG CEMERLANG SHIPPING, berkedudukan di Jalan Tiang

Bendera Raya 43-44 Jakarta Barat, yang diwakili oleh Kevin Ong, Direktur

PT.TANJUNG CEMERLANG SHIPPING, dalam hal ini memberi kuasa kepada

Daryo Muktikno,SH., dan kawan-kawan, para Advokat, berkantor di Kantor

53

Hukum “SAPALA”, beralamat di Jalan Nurul HidayahNo.57A Ciracas, Jakarta

Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Oktober 2011, Pemohon

Kasasi II/ Termohon KasasiI.1. dahulu Tergugat II/ Terbanding II.

Dasar terjadinya sengketa yaitu semula para pihak Tergugat telah

menandatangani perjanjian Time Charter Tug And Barge tertanggal 15 Mei 2009

dengan No.001/Dir/TCS.TC-KMMS/V/09 antara PT.Karya Mandiri Makmur

Sejati yang diwakili oleh saudara Ivotik Widjaya yang mana dalam gugatan ini

selaku Tergugat I dengan PT.Tanjung Cemerlang Shipping yang diwakili oleh

Sdr. Kevin Ong, yang mana dalam gugatan ini selaku Tergugat II. Dengan adanya

perjanjian tersebut di atas, maka pada tanggal 28 Mei 2009 timbullah Surat

Perjanjian Angkutan Laut Nomor.001/SPAL-KKMS-KAP/2009 antara PT.Karya

Mandiri Makmur Sejati sebagai pemilik kapal/ operator kapal yang dalam gugatan

ini selaku Tergugat I dengan CV Karya Ardi Prestasi sebagai penyewa kapal yang

dalam gugatan ini selaku Penggugat. Dalam Perjanjian Angkutan Laut

No.001/SPAL-KKMS-KAP/V/2009 disepakati bahwa barang milik Penggugat

sejumlah 2.304,34 m3 berupa Batu Split akan dikirim olehTergugat I dengan

daerah tujuan dari Pelabuhan Merak hingga Pelabuhan Teluk Dewa/Sebukat,

Kalimantan Tengah sebagai tujuan akhir pengiriman. Dalam kesepakatan yang

tertuang dalam Perjanjian Angkutan Laut No. 001/SPAL-KKMS-KAP/2009, telah

disepakati pembayaran atas jasa pengiriman barang tersebut hingga sampai tujuan

dengan kondisi pembayaran sebagai berikut:

• 25% pada saat kapal sandar;

• 50% pada saat selesai muat;

54

• 25% pada saat kapal tiba di lokasi tujuan sebelum muatan dibongkar;

Dan sesuai dengan kesepakatan tersebut di atas pihak CV.Karya Ardi

Prestasi selaku Penggugat telah melaksanakan kewajibannya di mana telah

melunasi 25% pada saat kapal sandar dan 50% pada saat selesai muat, total

pembayaran keseluruhan sebesar Rp253.125.000,00 (dua ratus lima puluh tiga

juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) kepada PT.Karya Mandiri Makmur Sejati

selaku Tergugat I. Proses pembayaran pada poin 2 (dua) di atas dilakukan dengan

2 (dua) kali pembayaran yaitu : Pada tanggal 30 Mei 2009 dibayarkan melalui

Giro Bank BCA No.YH 223112 sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) dengan bukti pelunasan diterbitkannya Kwitansi Pelunasan oleh Tergugat

I. Pada tanggal 11 Juni 2009 dibayarkan melalui transfer langsung ke rekening

PT.Karya Mandiri Makmur Sejati selaku Tergugat I sebesar Rp 203.125.000,00

(dua ratus tiga juta seratus dua puluh lima ribu rupiah), dan bukti pelunasan

diterbitkannya Kwitansi Pelunasan oleh Tergugat I. Dengan demikian berdasarkan

bukti pembayaran yang dilakukan CV.Karya Ardi Prestasi selaku Penggugat di

atas dengan ini dapat dibuktikan bahwa Penggugat telah melakukan kewajibannya

secara penuh dan sah menurut hukum kepada PT.Karya Mandiri Makmur Sejati

selaku Tergugat I. Berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh

CV.Karya ArdiPrestasi (Penggugat) selama ini dalam proses pengiriman barang

pada umumnya waktu yang dibutuhkan memakan waktu ± 7 (tujuh) hari dari

tanggal dikeluarkannya Surat Ijin Berlayar No.L1/KM17/154/VI/2009 tertanggal

10 Juni 2009 untuk Kapal Brandon dengan Nomor Reg.: 06/075 dan Surat Ijin

Berlayar No.L1/ KM17/155/VI/2009 tertanggal 10 Juni 2009 untuk

55

Tongkang/BG.TC 2301 . Berdasarkan perjanjian yang disepakati antara

Penggugat dengan Tergugat Iadalah pengiriman barang dengan jenis barang "Batu

Split" dengan jumlah muatan 2.304,34m3, dan dengan tujuan dari Pelabuhan

Merak ke Teluk Dewa - Sebukat, Kalimantan Tengah, yang mana menggunakan

kapal TB.Brandon - Bg TC 2301 Milik Tergugat II. Dapatlah diyakini pemilik

sebenamya dari kapal TB.Brandon - Bg TC 2301 adalah PT.Tanjung Cemerlang

Shipping selaku Tergugat II. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya Perjanjian

antara Tergugat I dengan Tergugat II yang tertuang dalam Surat Perjanjian Time

Charter Tug and Barge No.001/Dir/TCS/TC-KMMS/V/09 tertanggal 15 Mei

2009 sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya pada poin 1 (satu) di atas.

Dalam perjalanannya terdapat permasalahan yang timbul dari proses

pengiriman barang tersebut, dengan tidak dapat dipenuhinya kewajiban dari pihak

Tergugat I untuk mengirimkan barang dari pihak Penggugat ke tempat tujuan

yang disepakati sesuai dalam perjanjian, di mana dijadwalkan tanggal 12 Juni

2009 kapal berjalan dan tanggal 16 Juni 2009 diperkirakan kapal sampai ke tujuan

sesuai dengan surat yang dikirimkan oleh Tergugat Itertanggal 15 Juli 2009 dan

ditandatangani oleh saudara Ivotik Widjaya selaku direktur . Hal tersebut di atas

pihak Penggugat sudah cukup sabar dan beritikad baik untuk menunggu

penyelesaian permasalahan yang ada, namun tidak pernah diperoleh kepastian

sertatelah banyak kerugian yang telah diderita Penggugat dan banyak biaya-biaya

yang dikeluarkan oleh Penggugat dalam membantu menyelesaikan permasalahan

yang timbul danyang mana hingga gugatan ini diajukan sudah ± 6 (enam) bulan

barang tersebut belum juga sampai di tujuan. Yang menjadi permasalahan tidak

56

dapat dikirimkannya barang Penggugat olehTergugat I adalah bermula pada

tanggal 15 Juli 2009 pihak Tergugat I yang diwakili oleh Sdr.lvotik Widjaja

selaku Direktur PT.Karya Mandiri Makmur Sejati (Tergugat I) mengirimkan surat

kepada Penggugat, dengan substansi/ isi surat yang menjelaskan bahwa telah

terjadi hantaman ombak terhadap kapal dan baru termonitor pada tanggal 24 Juni

2009. Serta kerusakan mesin induk sebelah kanan yang dikabarkan oleh KKM

pada tanggal 1 juli2009 sesuai dengan Bukti P-6 di atas.

Surat yang diberikan Tergugat I kepada Penggugat tertanggal 15 Juli 2009,

merupakan surat yang sangat tidak beralasan dan tidak dapat diterima secara

logika, dikarenakan bagaimana kapal yang diperkirakan dan dijadwalkan

tanggal16 Juni 2009 dapat sampai di tujuan tetapi terhempas oleh ombak baru

termonitor tanggal 24 Juni 2009. Dalam terhambatnya pengiriman oleh Tergugat I

yang menjadi permasalahan pokok adalah telah terjadi kerusakan mesin induk

sebelah kanan yang berakibat tidak dapat dioperasikannya kapal tersebut secara

normal dan baik, namun dikarenakan tidak adanya niat baik dari para Tergugat

dalam mengatasi kerusakan yang ada, serta sengaja membuat masalah menjadi

berlarut-larut, maka kapal tersebut menjadi terombang-ambing di tengah laut

hingga kapal tersebut terhempas ombak dan sempat terdampar di daerah Pulau

Belitung.

Jika dilihat dari kronologis kejadian, maka dapat disimpulkan timbulnya

permasalahan yang ada mutlak dikarenakan adanya kerusakan mesin induk

sebelah kanan kapal pengangkut barang milik Tergugat II, yang mana para

Tergugat yaitu Tergugat I danTergugat II masing-masing ingin melepaskan

57

tanggung jawabnya dan tidak ada yang mau bertanggung jawab atas kerusakan

kapal tersebut, sehingga membawa dampak kerugian kepada pihak ke III yakni,

pihak Penggugat.

Pihak Tergugat I sesuai surat tanggal 15 Juli 2009 juga mengatakan

dengan tegas telah terjadi kerusakan mesin induk sebelah kanan yang dikabarkan

KKM pada tanggal 1 Juli 2009, hal ini jelas diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 41

ayat (1) Undang-UndangNo.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menyatakan

sebagai berikut:

Pasal 40 ayat (1) dan (2);

Ayat (1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab

terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/ atau barang yang

diangkutnya;

Ayat (2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab

terhadap muatan kapal Sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan

dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan

yang telah disepakati;

Pasal 41 ayat (1);

Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40

ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:

a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;

b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

c. Keterlambatan angkutan penumpang dan/ atau barang yang

diangkut atau;

58

d. Kerugian pihak ke tiga.

Dengan jelas dapat disimpulkan bahwa pihak Tergugat I dan Tergugat II

berkewajiban secara penuh dengan tanggung renteng atas segala kerusakan yang

ada dan berkewajiban untuk memperbaiki kapal tersebut hingga berfungsi seperti

semula.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II di atas

tidak pernah dilakukan dengan serius, pihak Tergugat I dan Tergugat II sangat

tidak bertanggung jawab serta saling melempar tanggung jawab dan tidak

beritikad baik dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan oleh karena alasan

biaya yang tidak mau ditanggung oleh para Tergugat I dan Tergugat II, hal ini

dapat dibuktikan dengan telah membebani bermacam-macam biaya kepada

Penggugat untuk memperbaiki kondisi kapal tersebut yang mana hal tersebut tidak

pernah ada dalam perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

Beban biaya yang telah dibebankan kepada Penggugat dalam memperbaiki

kondisi kapal serta segala biaya untuk menarik kapal, dan Iain-Iain adalah sebagai

berikut:

a. Pemberian uang tunai ke Johndri Tatilu selaku ex. Operational Manager dari

Tergugat I:

1. Pengambilan uang tunai pada tanggal 09 Juni 2009 sebesar Rp

4.000.000,00 (empat juta rupiah) untuk pembayaran uang muka biaya

shifting;

2. Transfer via ATM BNI a/n Abdul Gafur dengan No.Rekening:

0101725149 pada tanggal 16 Juli 2009 sebesar Rp 2.500.000,00 (dua

59

juta lima ratus riburupiah) untuk biaya operasional Sdr.Johndri Tatilu

selama ada di Kumai-Kalimantan Tengah.

b. Biaya pembayaran sewa perahu nelayan untuk Captain Totot atas persetujuan

Bp.Ivotik Wijaya pada tanggal 27 Juli 2009 via ATM BRI atas nama Norasi

dengan Nomor Rekening: 480501001562532 sebesar Rp 2.000.000,00 (dua

juta rupiah);

c. Transfer uang sebesar Rp 60.000.000,00 melalui BNI pada tanggal 14 Agustus

2009 dikirimkan ke rekening a/n Sdr.Abdul Gafur, hal ini dibayarkan guna

untuk:

1. Biaya bunker Tb.Tulus Bersama 23 sebesar Rp 51.297.000,00 (lima

puluh satu juta dua ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah);

2. Ijin khusus penarikan TK TC 2301 sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta

rupiah);

3. DP biaya perbaikan tongkang sebesar Rp 6.703.000,00 (enam juta

tujuh ratus tiga ribu rupiah);

Dengan ini total biaya keseluruhan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh

juta rupiah) yang mana telah ditransfer oleh Penggugat melalui bank BNI, dengan

demikian total keseluruhan biaya-biaya atau beban lainnya yang telah dikeluarkan

oleh Penggugat dan yang seharusnya bukan kewajiban dari Penggugat adalah

sebesar Rp 68.500.000,00 (enam puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah).

Beban biaya tersebut di atas yang dibebankan kepada Penggugat terpaksa

dipenuhi oleh Penggugat dikarenakan desakan dari Tergugat I dan Tergugat II,

yang mengkondisikan bahwa apabila Penggugat tidak ikut menanggung biaya-

60

biaya tersebut maka Tergugat I dan Tergugat II juga tidak mau bertanggung jawab

terhadap pengiriman barang Penggugat. Beban biaya dalam penarikan kapal

tersebut juga dituangkan dengan tegas dalam Surat Kesepakatan Bersama antara

Penggugat dengan Tergugat I serta Tergugat II, sebagaimana dalam Surat

Kesepakatan Bersama tanggal 30 Juli 2009/ 01/SKM/VII/2009.

Surat kesepakatan bersama sebagaimana yang diuraikan di atas sangatlah

membebani pihak Penggugat, karena sebelumnya Penggugat tidak mau

melakukan. Namun akibat desakan Tergugat I dan Tergugat II yang

menyampaikan bahwa barang milik Penggugat dapat diselamatkan dengan baik

asalkan Penggugat ikut menanggung biaya-biaya yang ada, akan tetapi dalam

kenyataannya hingga sampai gugatan ini dimasukkan, barang milik Penggugat

belum sampai pada lokasi tujuan yang diperjanjikan.

Dengan adanya Surat Kesepakatan Bersama tertanggal 30 Juli 2009/

01/SKM/VII/2009 sebagaimana yang tercantum di atas menunjukkan secara sah

suatu perikatan hubungan hukum antara para pihak yang saling terkait dan para

pihak baik Tergugat I maupun Tergugat II tidak bisa melepaskan tanggung jawab

yang harus dipikul oleh Tergugat I dan Tergugat II dari kewajibannya atas

kerusakan kapal tersebut serta kewajibannya kepada pihak Penggugat. Sudah

berulangkali Penggugat mengajukan permintaan secara baik-baik kepada para

Tergugat I dan Tergugat II untuk menyelesaikan permasalahan yang ada namun

hal tersebut tidak pernah dihiraukan dan digubris, para Tergugat I dan Tergugat II

saling melemparkan tanggungjawabnya satu sama lain. Atas perbuatan para

61

Tergugat ini yang tidak beritikat baik dalam menyelesaikan permasalahan yang

ada sangatlah merugikan pihak Penggugat yang berada di posisi yang lemah.

Akibat dari perbuatan para Tergugat I dan Tergugat II yang tidak mau

bertanggung jawab dan lalai dalam memperbaiki kapal yang berada dalam kondisi

rusak dan membuat menjadi berlarut-larut hal ini telah menimbulkan banyak

kerugian bagi pihak Penggugat, di mana kerugian materiil yang telah nyata dan

dapat dilihat adalah barang yang seharusnya dikirimkan kepada pelanggan dari

Penggugat ke Teluk Dewa-Sebukat,Kalimantan Tengah tidak sampai dan tidak

jelas keberadaannya, yang mana jika diperhitungkan nilai barang tersebut sebesar

Rp 264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empatjuta sembilan ratus sembilan

puluh sembilan ribu seratus rupiah), dengan uraian sebagai berikut (harga modal +

laba x jumlah barang = hasil akhir) atau Rp 85.000,00 + Rp 30.000,00x 2,304,34

m3 = Rp 264.999.100,00 sehingga Penggugat memohon kepada Pengadilan

Negeri Jakarta Barat agar menghukum para Tergugat, yaitu Tergugat I dan

Tergugat II secara tanggung renteng untuk mengganti kerugian tersebut di atas;

Bahwa, Penggugat menyampaikan kepada Majelis Hakim yang memeriksa

perkara ini. Di mana akibat dari perbuatan dan kelalaian pihak Tergugat I dan

Tergugat II dalam memperbaiki kapal yang rusak tersebut sehingga berdampak

pada pengiriman barang milik Penggugat yang tidak kunjung sampai pada tujuan

yang telah diperjanjikan semula, maka pihak Penggugat terpaksa pada tanggal 08

Desember 2009 harus mengirimkan kembali jenis barang yang sama dengan

barang yang semula, yaitu berupa Batu Split dengan volume2.103,84 m3. Hal ini

dilakukan akibat dari tuntutan pihak PT.Yala Persada Angkasa yang beralamat

62

Kumai - Kalteng selaku pembeli dari Penggugat dan hal di atas dapat dibuktikan

dengan Bill Of Lading No.01/MRK-KMI/XII/09 serta Surat Ijin BerlayarNo.L1/

KM17/123/XII/2009 untuk Kapal TB.Kedaung II dengan Nomor

Reg.:12/077/2009dan Surat ijin Berlayar No.L1/KM17/124/XII/2009 untuk

Tongkang/ BG.CBS 005 denganNomor Reg.:12/078/2009.

Apa yang diuraikan pada poin di atas cukuplah membuktikan bahwa

kerugian yang dialami oleh pihak Penggugat sangatlah besar, dan hal ini harus

menjadi kewajiban dan tanggung jawab pihak Tergugat baik Tergugat I dan

Tergugat II karena hal ini terjadi karena kelalaian para pihak Tergugat, yang mana

para pihak Tergugat tidak segera untuk mengatasi masalah kerusakan kapal yang

ada dan sangat tidak bertanggung jawab dan telah melakukan perbuatan melawan

hokum. Seharusnya para Tergugat berkewajiban memperbaiki kapal tersebut

sesuai dengan Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dalam Pasal

40 ayat (1), (2) dan Pasal 41 ayat (1) sebagaimana yang telah diuraikan pada poin

16 di atas.

Perlu kami sampaikan kepada Majelis Hakim yang mulia agar kiranya

dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Penggugat atas tindakan para

Tergugat yang telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang

diatur dalam undang-undang. Akibat perbuatan para Tergugat yang telah lalai

dalam melakukan perbaikan kapal adalah perbuatan melawan hukum sehingga

menimbulkan kerugian yang sangat besar secara materiil maupun immateriil bagi

pihak Penggugat.

63

Jelas dapat dipastikan para Tergugat baik Tergugat I dan Tergugat II tidak

memiliki itikad baik dalam menjalankan tanggung jawab mereka dan dengan

sengaja mengulur-ngulur waktu dan tidak segera menyelesaikan perbaikan atas

kapal tersebut yang mana hingga gugatan ini diajukan tidak ada upaya yang

konkrit/ pasti dalam melakukan perbaikan kapal, di mana jika para Tergugat

beritikad baik kami yakin kapal tersebut dapat diperbaiki serta dapat diupayakan

dengan segala cara untuk menarik kapal tersebut dan dapat dioperasikan seperti

semula dan tidak menjadi berlarut-larut tanpa kejelasan seperti sekarang ini.

Dengan kelalaian yang dilakukan oleh para Tergugat, baik Tergugat I dan

Tergugat II benar-benar telah merugikan pihak Penggugat dan hal tersebut telah

diatur dalam Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365:

“Tiap perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut";46

Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

"Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kekurang hatihatiannya";47

Pasal 1367 KUHPerdata:

"Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannyasendiri.Tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjaditanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang di bawah pengawasannya".48

46 Subekti, Op.cit, hlm 34647 Ibid.48 Ibid.

64

Dapat dengan jelas kita simpulkan bahwa semua perbuatan yang dilakukan

oleh Tergugat I dan Tergugat II jelas-jelas telah melanggar hukum dan tindakan

para Tergugat jelas-jelas telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya

memperbaiki kapal yang rusak seperti yang telah diatur pada Pasal 40 dan Pasal

41 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Dapat disimpulkan pada Pasal 1367 KUHPerdata bahwa para Tergugat

juga harus bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh barang-

barang yang berada di bawah penguasaanya yaitu kapal tersebut. Dalam hal ini

perlu kami jelaskan juga bahwa Batu Split milik Penggugat yang berada di atas

kapal milik Tergugat II, apabila di kemudian hari para pihak Tergugat

berkeinginan menarik kembali hingga sampai pada tujuan yang diperjanjikan.

Dengan tegas kami sampaikan bahwa pihak pembeli yang beralamat di Teluk

Dewa-Sebukat, Kalimantan Tengah dengan jelas tidak mau menerima kembali

barang tersebut dikarenakan berdasarkan bukti yang ada bahwa proyek yang

dikerjakan oleh pihak pembeli sudah selesai terhitung awal Desember 2009. Kami

perlu juga menegaskan, hal ini sangatlah tidak logis apabila barang tersebut

dikembalikan kepada pihak Penggugat untuk dikemudian hari.

Atas perbuatan Tergugat I dan Tergugat II, pihak Penggugat juga jelas-

jelas telah mengalami kerugian immateriil, dengan telah hilangnya kepercayaan

pelanggan terhadap professionalitas kerja Penggugat dan hal tersebut juga

berdampak sangat buruk bagi kelangsungan usaha dari Penggugat, dikarenakan

dalam dunia usaha/ bisnis sangat dipengaruhi oleh rasa kepercayaan, yang mana

kepercayaan pelanggan kepada Penggugat telah hilang oleh karena terjadinya

65

permasalahan ini. Berdasarkan hal tersebut Penggugat mengalami kerugian

immateriil yang telah ditimbulkan oleh Tergugat I dan Tergugat II sebesar

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), maka dengan ini memohon kepada

Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar menghukum Tergugat I dan Tergugat II

secara tanggung renteng membayar kerugian immateriil tersebut di atas. Bahwa

akibat dari perbuatan Tergugat I, dengan ini Penggugat memohon kepada

Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sudahlah sepatutnya kiranya menghukum

Tergugat I untuk mengembalikan seluruh pembayaran yang telah dilakukan oleh

Penggugat kepada Tergugat I atas sewa kapal yang telah dibayarkan lunas oleh

Penggugat yakni untuk pembayaran pertama kali sebesar Rp 50.000.000,00 (lima

puluh juta rupiah) dan pembayaran ke dua sebesar Rp 203.125.000,00 (dua ratus

tiga juta seratus dua puluh lima ribu rupiah), sehingga total seluruhnya sebesar Rp

253.125.000,00 (dua ratus lima puluh tiga juta seratus dua puluh lima ribu rupiah).

Dengan adanya keterlambatan bongkar muat sesuai yang diatur pada Pasal

18 Surat Perjanjian Angkutan Laut, maka Penggugat berhak menuntut uang

Denda Keterlambatan (demurrage) sebesar Rp 12.500.000,00/ per hari kepada

Tergugat I, terhitung dari tanggal perkiraan barang Penggugat seharusnya sampai

yaitu tanggal 16 Juni 2009 hingga putusan dalam gugatan ini dilaksanakan.

Di samping itu juga Penggugat berhak menuntut uang bunga sebesar 6%

(enam persen) setahunnya menurut undang-undang dari jumlah nilai barang

sebesar Rp 264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empat juta sembilan ratus

sembilan puluh Sembilan ribu seratus rupiah) hal ini terhitung sejak gugatan

diajukan di hadapan sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat sampai Tergugat

66

melaksanakan putusan ini telah berusaha terus menerus untuk menempuh jalan

damai guna menyelesaikan persoalan ini baik secara lisan maupun tulisan, tetapi

para Tergugat tidak menanggapinya dengan itikad baik, yang mana pada tanggal

17 November 2009 juga telah diundang secara resmi melalui Kuasa Hukum

Penggugat.

Penggugat melalui kuasa hukumnya telah mensomasi para Tergugat

namun tetap tidak ditanggapi, maka terpaksa Penggugat membawa persoalan ini

ke sidang pengadilan. Untuk menjamin terpenuhinya semua tuntutan Penggugat,

maka Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk

meletakan sita jaminan terhadap 1(satu) buah Kapal Tug Boat TB Brandon dan 1

(satu) buah tongkang Barge TC 2301 beserta muatan milik Penggugat dan yang

mana terdiri dari beberapa bagian dan spesifikasinya sebagai berikut:

1. Tug Boat, dengan spesifikasi sebagai berikut:

Name of Vessel : TB Brandon;

Type of Vessel : Twin Screw Tug Boat;

Material Hull : Steel;

Classification : Biro Klasifikasi Indonesia (BKI);

Year Of Built : 1996 Malaysia;

Port Of Registry : Cirebon;

Flag : Indonesia;

GRT/ NRT : 114 Gil 68 NT;

Dimension :

Length : 22.65 meter;

67

Breadth : 7.00 meter;

Depth : 2.90 meter;

Main Engine : 2 (two) set "Yanmar" 6 LAAM UTE 2 x 530

Hp;Fuel Oil Capacity : 2 (two) set "Yanmar” 4 TNE 84GIA 2 x 36.1 Hp;

Fresh Water : 73 ton;

Speed : 30 ton;

Anchor Equpment : 2 (two) set-2 x 300 kg;

Life saving : 2 (two) set Life Craft @ 10 person;

Navigation Equip : Marine Standard;

Last Docking : May, 2009;

2. Tongkang/ Barge, dengan spesifikasi sebagai berikut:

Name of Vessel : TC-2301;

Type of Vessel : Steel Barge;

Port Registry : Cirebon;

Classification : Biro Klasifikasi Indonesia (BKI);

Year Of Built/ Place : 1997-Batam;

Flag : Indonesia;

GRT/ NRT : 1332 GT/ 400 NT;

Dimension :

Length : 67.30 meter;

Breadth : 18.29 meter;

Depth : 4.27 meter;

68

Capacity : 3750 Mt;

Last Docking : May, 2009;

Untuk menjamin terpenuhinya semua tuntuan Penggugat tersebut yakni

membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang ditimbulkan secara materiil

maupun immateriil, maka Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta

Barat berkenan meletakkan sita jaminan terhadap seluruh harta benda milik

Tergugat I dan Tergugat II, baik barang bergerak maupun tidak bergerak.

Untuk, menjamin dilaksanakannya putusan ini nantinya oleh Tergugat I

dan Tergugat II, maka Pengugat memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta

Barat agar menghukum Tergugat I dan Tergugat II masing-masing untuk

membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp 10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah) untuk setiap harinya kepada Pengugat apabila ternyata

Tergugat I dan Tergugat II setiap ia lalai memenuhi isi putusan terhitung sejak

putusan diucapkan sampai dilaksanakan.

Penggugat memohon putusan serta merta atau dengan kata lain Penggugat

memohon kepada Majelis Hakim berkenan untuk menyatakan putusan yang

dijatuhkan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada

bantahan (verzet), banding ataukasasi (uitvoerbar bij voorraad).

Isi gugatan Penggugat di antaranya adalah:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan sah dan berharga semua alat bukti yang diajukan Penggugat

dalam perkara ini;

69

3. Menyatakan secara sah menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I dan

Tergugat II jelas-jelas merupakan perbuatan melawan hukum (PMH);

4. Menghukum Tergugat I Dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk

mengembalikan seluruh beban biaya yang telah dikeluarkan oleh

Penggugat dalam memperbaiki kondisi kapal yang bukan merupakan

kewajiban Penggugat pada poin 18 posita sebesar Rp 68.500.000,00 (enam

puluh delapan juta lima ratus ribu rupiah);

5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar ganti kerugian atas

kerugian materiil kepada Penggugat sejumlah nilai barang milik

Penggugat yang bernilai Rp 264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empat

juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu seratus rupiah) secara

tanggung renteng;

6. Menghukum Tergugat I untuk mengembalikan secara penuh seluruh

pembayaran yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat I atas

pembayaran sewa kapal sesuai dengan Perjanjian Angkutan Laut Nomor

001/SPAL-KMMS-KAP/V/ 2009 dan sesuai Bukti P-3 dan P4 sebesar Rp

253.125.000,00 (dua ratus lima puluh tiga juta seratus dua puluh lima ribu

rupiah) kepada Penggugat;

7. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang denda keterlambatan

(demurrage) sebesar Rp 12.500.000,00/ per hari kepada Penggugat

terhitung tanggal 16 Juni 2009 hingga putusan ini dilaksanakan;

70

8. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar ganti kerugian kepada

Penggugat atas kerugian immateriil yang ditimbulkan sebesar Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) secara tanggung renteng;

9. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II masing masing untuk membayar

uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)

kepada Penggugat untuk setiap harinya setiap ia lalai memenuhi isi

putusan terhitung sejak putusan diucapkan hingga dilaksanakan;

10. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan dalam perkara ini;

11. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu

walaupun para Tergugat mengajukan verzet, banding dan kasasi

(uitvoerbaar bij voorraad);

12. Menghukum para Tergugat membayar biaya perkarasecara tanggung

renteng.

Kemudian atas gugatan diatas pihak Tergugat mengajukan eksepsi

yang pada intinya menyatakan bahwa tergugat telah memenuhi

kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Selain itu Tergugat juga

menyatakan bahwa terdamparnya tugboat Brandon merupakan kejadian

yang berada diluar kekuasaan manusia atau force majeure.

Namun terdapat satu hal yang penulis temukan dalam eksepsi

Tergugat 2, yakni Tergugat 2 menyatakan bahwa ada unsur kelalaian yang

yang dilakukan Tergugat 1 dalam hal perawatan kapal sehingga

menyebabkan rusaknya mesin kapal, namun hal tersebut urung menjadi

pertimbangan bagi Majelis Hakim Pengadilana Negeri Jakarta Barat dan

71

Mahkamah Agung, padahal kelalaian tersebut berdasarkan pengamatan

penulis merupakan penyebab awal dari kerusakan kapal hingga

menyebabkan kapal terdampar.

B. Hasil Putusan

1. Pengadilan Negeri

Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah

mengambil putusan, yaitu Putusannya No.590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR

tanggal 21 Juli 2010 yang amarnya sebagai berikut:

a. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

b. Memerintahkan agar sita jaminan sebagaimana dalam Berita acara

Nomor: 02/ Pdt.Del/2010/PN.Cn., jo. Nomor:

590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR., tanggal 12 Mei 2010, diangkat;

c. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

1.508.000,- (satu juta lima ratus delapan ribu rupiah);

2. Pengadilan Tinggi

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut pihak

penggugat merasa keberatan karena merasa putusan tersebut tidak

memenuhi rasa keadilan bagi penggugat sehingga penggugat mengajukan

banding atas putusan tersebut, dalam prosesnya Pengadilan Tinggi Jakarta

menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum

dikarenakan kelalaian yang dilakukan Tergugat 1.

72

Dalam putusannya Pengadilan Tinggi Jakarta Mengabulkan

gugatan Penggugat untuk sebagian;

a. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I dan

Tergugat II merupakan perbuatan melawan hukum;

b. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng

membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp 333.499.100,00

(tiga ratus tiga puluh tiga juta empat ratus sembilan puluh sembilan

ribu seratus rupiah), yang terdiri dari biaya yang telah dikeluarkan

Penggugat memperbaiki kondisi kapal yang bukan kewajiban

Penggugat sebesar Rp 68.500.000,00 (enam puluh delapan juta lima

ratus ribu rupiah), dan Nilai barang Penggugat sebesar Rp

264.999.100,00 (dua ratus enam puluh empat juta sembilan ratus

sembilan puluh sembilan ribu seratus rupiah);

c. Menyatakan, bahwa sita jaminan sebagaimana tersebut dalam Berita

Acara Nomor: 02/Pen.Pdt.Del/2010/PN.Cn., jo. Nomor:

590/Pdt.G/2009/ PN.JKT.BAR., tanggal 12 Mei 2010, adalah sah dan

berharga;

d. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya perkara

dalam kedua tingkat pengadilan yang dalam tingkat banding ditetapkan

sejumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);

e. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

73

3. Mahkamah Agung

Atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut Tergugat merasa

keberatan mengajukan Kasasi atas putusan tersebut. Tergugat merasa

bahwa pihaknya telah memenuhi kewajibannya dan peristiwa yang terjadi

merupakan force majeure. Dalam prosenya Mahkamah Agung

memutuskan batalnya putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan menyatakan

bahwa tergugat bebas dari kewajiban ganti rugi.

Dalam putusannya Mahkamah Agung memutusakan menolak

gugatan Penggugat seluruhnya;

a. Memerintahkan agar sita jaminan sebagaimana dalam Berita Acara

Nomor 02/ Pen.Pdt.Del/2010/PN.Cn., jo. Nomor

590/Pdt.G/2009/PN.JKT.BAR., tanggal 12 Mei 2010, diangkat;

b. Menghukum Termohon Kasasi I.2. dan Termohon Kasasi II.2./

Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat

peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp

500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Putusan Mahkamah Agung menjadi putusan terakhir yang akhirnya

memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht, namun penggugat tidak

mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni pengajuan kembali atas

putusan kasasi Mahkamah Agung Tersebut.

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Force Majeure Dalam Perspektif Hukum Perdata Dan Pidana

Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure,

sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Menurut H.S Salim

dalam buku Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU)

“Menurut Hukum Perdata Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur

tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya

kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah

longsor, dan lain-lain.” Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro dalam buku

Asas-Asas Hukum Perdata “keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang

menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan

hukum tidak dapat dilaksanakan.”

Dalam perspektif Hukum Pidana Overmacht atau force majeure ialah

suatu keadaan yang menggambarkan tidak adanya suatu kemungkinan untuk

melakukan perlawanan. Dasar peniadaan pidana karena adanya daya paksa

(overmacht) dirumuskan dalam Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

yang menyatakan “Niet straafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door

overmacht is gedrongen“, yang artinya barang siapa melakukan perbuatan karena

terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.

75

Menurut pandangan Van Hamel mengenai Overmacht, drang overmacht

atau tekanan overmacht itu dapat bersifat absolut dan dapat pula bersifat relatif.

Dikatakannya lebih lanjut, bahwa paksaan yang bersifat absolut atau vis absoluta

itu dapat merupakan paksaan secara fisik dan dapat pula merupakan paksaan

secara psikis. Paksaan yang bersifat relatif atau vis compulsiva itu merupakan

paksaan secara psikis dalam arti luas, yang berupa begeerten en voorstelling atau

berupa keinginan-keinginan dan pemikiran-pemikiran” yang telah bekerja

sedemikian rupa, hingga mampu mempengaruhi orang, yaitu untuk melakukan

sesuatu ataupun untuk tidak melakukan sesuatu.

Paksaan secara fisik itu dapat dipandang sebagai absolute dwang yaitu

apabila paksaan tersebut demikian kuat, hingga segala kegiatan atau kemampuan

untuk melakukan sesuatu kegiatan pada orang yang dipaksa itu tidak ada. Paksaan

secara psikis atau pshycise dwang, yaitu apabila paksaan tersebut mempunyai

pengaruh yang demikian besar pada susunan syaraf (zenuwstelsel) dari orang yang

mendapat paksaan, hingga kemampuan dari orang itu sendiri menjadi tidak ada

sama sekali, misalnya seseorang yang karena pengaruh sugesti secara hipnotis

telah melakukan sesuatu ataupun telah tidak melakukan sesuatu sesuai dengan

yang diinginkan oleh orang yang telah menghipnotisnya.

Dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan

mengenai hapusnya perikatan, yaitu salah satunya dikarenakan musnahnya barang

yang menjadi objek terutang, secara detail dalam Pasal 1444 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata menjelaskan mengenai barang yang musnah atau rusak,

disebutkan bahwa:

76

“ Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti harga.”

Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah, tidak

dapat lagi diperdagangkan atau hilang, berarti telah terjadi suatu “keadaan

memaksa” atau force majeur  sehingga undang-undang mengatur mengenai

akibat-akibat hukum dalam kondisi demikian. Menurut pasal ini maka kondisi

yang sangat memaksa itu menyebabkan hapuslah sebuah perikatan tersebut

asalkan barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia

lalai menyerahkannya. Karena hal ini terkait dengan ketentuan pada suatu

perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan

kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang

bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan, menjadi

tanggungannya.

Namun Ketentuan sebagai mana pada pasal 1444 diatas, hanya berlaku

bagi perjanjian Cuma-Cuma. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik/ atas beban

menurut pasal 1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

77

“Jika barang yang terutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, maka debitur, jika ia mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak dan tuntutan tersebut kepada kreditur”

Sehingga apa yang adil di dalam perjanjian Cuma-Cuma belum tentu

adil dalam perngertian Force Majeure di dalam perjanjian timbal balik. Karena

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal ini mengatur secara khusus

ketentuan “keadaan memaksa” dalam hal perjanjian timbal balik. Jika terjadi

obyek perjanjian tersebut musnah diluar kesalahan Debitur, maka ia tetap harus

melakukan prestasinya. Artinya tetap melakukan kewajiban-kewajibannya serta

dalam kondisi tertentu dapat pula menuntut hak-haknya kepada kreditur.

Kemudian dalam perspektif hukum perdata ketentuan tentang keadaan

memaksa diatur dalam Pasal 1244-1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.

Selanjutnya Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang.

Dalam suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa

sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak

terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, Debitur tidak

dapat dipersalahkan / di luar kesalahan Debitur. Dengan kata lain Debitur tidak

78

dapat memenuhi kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya

akan tetapi karena keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung

jawabkan kepadanya. Dengan demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi

sebagaimana hak yang dimiliki oleh Kreditur dalam wanprestasi.

Menurut Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata “Keadaan

memaksa ada yang bersifat mutlak (absoluut) yaitu dalam hal sama sekali tidak

mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hilang atau

rusak karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief)

yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga dilaksanakan

dengan pengorbanan-pengorbanan yang besar dari hak yang berhutang.” Misalnya

harga barang yang harus didatangkan oleh penjual tiba-tiba naik sangat tinggi

yang mana menyebabkan orang yang berhutang tidak dapat mengirimkan barang

kepada yang berpiutang.

Unsur-unsur overmacht (Keadaan Memaksa)

1.    Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban.

2.    Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur.

3.    Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari Debitur.

Dengan adanya Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi

terhenti, yakni:

1.      Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.

2.      Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.

3.      Resiko tidak beralih  kepada Debitur.

79

Jadi, dengan adanya Overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya

menghentikan berlakunya perikatan. Hal ini penting bagi adanya Overmacht yang

bersifat sementara. Dalam suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari

pihak karena Overmacht terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus

dibebaskan untuk berprestasi.

Berkaitan dengan kasus yang dijadikan bahan kajian oleh penulis

mengenai keterlambatan pengiriman yang menyebabkan kerugian terhadap

pemilik barang, aspek pertanggungjawaban pemilik kapal merupakan salah satu

fokus utama yang menjadi bahan kajian, karena kasus yang terjadi bukan hanya

melibatkan pemilik barang dan operator kapal, melainkan juga pemilik kapal.

Dalam perkara ini PT Karya Mandiri Makmur Sejati yang merupakan

Tergugat 1 selaku operator yang menyewa kapal dari PT Tanjung Cemerlang

Shipping atau Tergugat 2, dengan terbitnya Surat Perjanjian Time Charter Tug

and Barge No. 001/Dir/TCS/.TC.KMMS/V/09, dapat disimpulkan sebagai pihak

yang bertanggung jawab atas opeerasional dan perawatan kapal Tug Boat

Brandon dan Barge No. 2301. Sementara itu PT Tanjung Cemerlang Shipping

sejatinya hanya berkedudukan sebagai Pemilik sah atau pemilik dari Alas Hak

atas Tug Boat Brandon dan Berge No. 2301.

Sementara itu sebagai operator yang telah menyewa kapal dan tongkang

PT Karya Mandiri Makmur Sejati yang merupakan pemilik sementara dari kapal

tersebut melakukan perjanjian angkutan laut dengan CV Karya Ardi Prestasi yang

merupakan penggugat, dengan terbitnya Surat Perjanjian Angkutan Laut Nomor

001/SPAL-KKMS-KAP/2009, yang mana dalam surat tersebut operator kapal

80

berjanji memenuhi prestasi berupa jasa pengangkutan barang milik Penggugat

dari pelabuhan Merak menuju pelabuhan Teluk Dewa, Kalimantan Tengah dan

dari perjanjian tersebut dikeluarkanlah surat ijin berlayar Nomor

LI/KM17/154/2009 untuk Tugboat Brandon dan nomor LI/KM17/155/2009 untuk

Barge 2031.

Dalam perjalanan timbul permasalahan berupa kerusakan mesin kapal dan

diperburuk oleh terjangan ombak yang menyebabkan kapal dan tongkang tersebut

terhempas dan terdampar di daerah Kepulauan Penambun. Tidak hanya

terdampar, kapal tersebut juga mengalami kandas di pantai pulau Penambun

hingga sulit untuk ditarik kembali ke tengah laut. Hal inilah yang kemudian

menyebabkan kapal terdampar hingga sembilan bulan lamanya, sehingga

menyebabkan kerugian besar bagi Penggugat.

Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran yang berbunyi :

“Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan/atau barang yang diangkutnya”

Dan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang nomor 17 Tahun 2008 yang

berbunyi :

“Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagaiakibat pengoperasian kapal, berupa:

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; ataud. kerugian pihak ketiga”.

81

Selain Undang-Undang nomor 17 Tahun 2008, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata juga mengatur mengenai pertanggungjawaban para pihak dalam

perjanjian, hal itu diatur dalam pasal 1367 yang berbunyi:

“Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya”

Dilihat dari peraturan-peraturan di atas bahwa sesungguhnya sebuah

perusahaan pengangkutan laut, wajib bertanggung jawab atas segala macam

kerusakan dan keterlambatan yang dialami dalam proses pengangkutan, karena

hal ini menyebabkan kerugian terhadap pemilik barang, namun majelis hakim

melihat secara keseluruhan bahwa penyebab terjadinya keterlambatan terdapat

unsur Force Majeure dalam kasus tersebut.

Jika dalam suatu pelaksanaan perjanjian terdapat hal tidak terduga yang di

luar nalar dan kekuasaan manusia, maka hal tersebut bisa dikategorikan force

majeure, dalam Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan

bahwa :

“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.

Hal ini secara otomatis dapat menjadi dasar atas penghapusan tanggung

jawab apabila bisa dibuktikan bahwa benar penyebab terjadinya kerusakan

ataupun keterlambatan tersebut merupakan murni faktor gejala alam. Penghapusan

82

tanggung jawab dikarenakan alasan force majeure tersebut harus bisa dibuktikan

oleh pihak tergugat, bahwa benar terjadinya peristiwa yang di luar kekuasaanya

tersebut merupakan penyebab utama dan ada hubungan sebab akibat terhadap

terjadinya keterlambatan tersebut. Namun apabila tergugat tidak dapat

membuktikan bahwa kejadian force majeure tersebut merupakan penyebab utama

kerusakan dan keterlambatan, serta adanya hubungan sebab akibat diantara

keduanya, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman ganti

rugi kepada para Tergugat.

Sebagai contoh, dalam Tragedi jatuhnya Pesawat Adam air pada awal

tahun 2007 silam, pihak maskapai digugat oleh para ahli waris korban kecelakaan,

yang menuntut ganti rugi terhadap kematian para korban jatuhnya pesawat

tersebut. Dalam eksepsinya pihak Adam air menggunakan dalil force majeure

karena menganggap bahwa jatuhnya pesawat disebabkan oleh cuaca buruk

sehingga membuat pesawat kehilangan kendali dan jatuh ke dasar laut, hingga

tidak bisa ditemukan bangkai pesawat maupun jasad para korban. Namun pihak

penggugat dapat mematahkan dalil tersebut dengan temuan dari Komite Nasional

Keselamatan Transpotasi yang menyatakan bahwa Jatuhnya Adam air

dikarenakan faktor human error yakni ketidakmampuan pilot dalam menguasai

Quick Refference Handbook, dan juga terjadinya kerusakan terhadap system

navigasi. Hal ini jelas merupakan unsur kelalaian yang menjadi faktor utama

terhadap jatuhnya pesawat, sehingga akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Barat memutus Adam air bersalah dan mewajibkan maskapai memberi

ganti kerugian kepada ahli waris korban kecelakaan.

83

Dalam kasus ini force majeure menjadi alasan utama terhadap

penghapusan tanggung jawab atas keterlambatan yang menyebabkan kerugian

terhadap Penggugat, Majelis Hakim berpandangan bahwa cuaca buruk berupa

terjangan ombak menjadi pemicu terjadinya keterlambatan tersebut, dengan dasar

hukum yaitu Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“Tidak ada penggatian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang telah diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang baginya”.

Atas dasar itulah, majelis hakim memutus bahwa keterlambatan yang

terjadi merupakan merupakan akibat dari force majeure. Jika dilihat secara

seksama bahwa sebuah perusahaan angkutan laut yang membawa barang milik

shipper pada hakikatnya bertanggung jawab secara penuh terhadap keselamatan

barang yang dia antarkan menuju pelabuhan tujuan, sesuai dengan Pasal 40 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Apabila pihak

operator melakukan kelalaian yang menyebabkan barang milik shipper rusak atau

mengalami keterlambatan pengiriman maka sudah sepatutnya operator

bertanggung jawab dengan mengganti kerugian yang diderita pemilik barang.

Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab

pengangkut yaitu:

1. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)

Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab

atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang

diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia

84

tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti

rugi kerugian itu. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang

dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam Pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum

(illegal act) sebagai aturan umum.

2. Tanggung Jawab atas dasar Kesalahan (Base on Fault or Negligence)

Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut

harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan

pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib

membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan

kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.

3. Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)

Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan

kesalahannya.Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab

atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang iselenggarakan

tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.Prinsip ini

tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan.

Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan

apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan

dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang

timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.

85

4. Pembatasan Tanggungjawab Pengangkut (Limitation of liability)

Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak dibatasi, maka ada

kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit.

Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang

ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut

sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan,

konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang.

5. Penghapusan Tanggungjawab pengangkut (Presumption of Non Liability)

Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung

jawab. Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari

tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang

diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam

mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan.

Jika merujuk pada lima asas diatas menurut penulis maka Asas Base on

Fault or Negligence merupakan asas yang tepat untuk diterapkan dalam

pemecahan masalah ini, karena pihak operator kapal harus bertanggungjawab

terhadap kesalahannya yang menyebabkan kerugian pada pemilik barang, namun

pemilik barang juga wajib membuktikan bahwa kerugian yang terjadi merupakan

kesalahan pengangkut.

Dalam kasus ini sesungguhnya nampak jelas ada unsur kelalaian yang

dilakukan operator kapal yakni dalam hal perawatan mesin kapal, kapal Tug Boat

dan Tongkang tersebut sejatinya bukanlah milik operator kapal melainkan milik

86

perusahaan pelayaran yang menyewakan kapal tersebut ke operator kapal,

sehingga tanggung jawab perawatan dan operasional kapal tentunya ada di tangan

operator kapal, namun dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap kapal yang

telah disewa, pihak operator telah lalai dalam hal merawat mesin kapal. Hal

tersebut dapat dibuktikan dengan adanya temuan uji lab dari pihak pemilik kapal

bahwa operator kapal menggunakan oli sebanyak dua drum yang tidak layak pakai

sehingga menyebabkan kerusakan parah pada mesin kapal dan jebolnya cyker

kapal, hal inilah yang merupakan kelalaian dari pihak operator sehingga kapal

mengalami kerusakan dan terdampar di Pulau Penambun.

Hal ini juga membuat pertanyaan besar bagi penulis, bahwa bagaimana

bisa kapal yang terbukti tidak laik jalan mendapatkan surat ijin berlayar dari

pejabat yang berwenang, dalam hal ini yaitu Syahbandar Pelabuhan Merak,

padahal berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, yakni bahwa:

“Setiap kapal wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang meliputi :1. Keselamatan Kapal;2. Pengawakan Kapal;3. Manajemen keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan

pencemaran dari kapal;4. Pemuatan; dan5. Status hukum kapal.

Lolosnya kapal Tugboat Brandon dan Tongkang 2031 dari pengawasan

Syahbandar Pelabuhan Merak, jelas merupakan kelalaian dari aparat berwenang

terkait penegakan peraturan perkapalan, lemahnya pengawasan ini akan

berdampak buruk pada sistem perkapalan di Indonesia. Sehingga hal ini juga

secara tidak langsung telah menjadi pemicu atas terjadinya kerugian yang diderita

87

pemilik barang, namun sayangnya hal ini juga tidak dijadikan dasar pertimbangan

bagi majelis hakim dalam menjatuhkan putusan.

B. Analisa Terhadap Putusan Hakim

Pada setiap perkara yang diajukan ke pengadilan, majelis hakim wajib

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. majelis hakim wajib

memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku

dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

Dalam kasus yang penulis angkat, Penggugat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tahun 2009, Dalam prosesnya majelis

hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan putusan dengan

memenangkan pihak tergugat. Pada proses selanjutnya pihak penggugat

mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, Dalam putusan tingkat

banding majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan banding pihak

Penggugat. Tergugat kemudian mengajukan kasasi atas putusan banding tersebut

ke Mahkamah Agung, hingga akhirnya pada tingkat Kasasi, Majelis Hakim

Agung memutuskan mengabulkan Kasasi Pihak Penggugat, dan putusan tersebut

telah inkracht pada tingkat kasasi.

Merujuk pada Putusan Kasasi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,

Penulis melakukan kajian mendalam atas putusan tersebut, yakni bahwa dalam

menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut, majelis hakim memiliki

pertimbangan-pertimbangan tertentu. majelis hakim berpandangan bahwa

keterlambatan yang terjadi merupakan buntut dari suatu peristiwa yang berada di

88

luar kemampuan manusia atau overmacht, hal ini sesuai dengan pasal 1245 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya”

Adanya unsur overmacht dalam kasus ini, dimata majelis hakim terdapat

pada kejadian terjangan ombak yang menyebabkan kapal yang mengangkut

barang penggugat terhempas hingga terdampar di Kepulauan Penambun.

Tentunya hal ini cukup untuk menjadikan alasan terhadap penghapusan tanggung

jawab terhadap kerugian yang diderita Penggugat.

Selain pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalil overmacht juga

terdapat dalam peraturan yang khusus mengatur mengenai pelayaran yakni,

Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dalam Pasal 41 ayat (1)

dan (2) yang berbunyi :

“(1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; ataud. kerugian pihak ketiga.

(2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

Sehingga jika dilihat dari sudut pandang majelis hakim, penerapan dalil

force majeure dalam penghapusan tanggung jawab para tergugat dapat

dibenarkan.

89

Menurut Prof. Rosa Agustina, terdapat beberapa alasan pembenar bagi

perbuatan melawan hukum, Alasan pembenar, adalah alasan yang menghapuskan

sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi, perbuatan yang menurut kriteria adalah

melawan hukum, akan tetapi sebagai akibat terdapatnya keadaan yang

meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan

yang dibenarkan.

Pada umumnya telah diterima dan diakui 4 alasan pembenar sebagai

berikut.(1) Keadaan memaksa (overmacht), (2) Pembelaan Terpaksa (noodweer),

(3) Melaksanakan undang-undang (wettelijk voorschrift), dan (4) Perintah atasan

(wettelijk bevel).

Menurut Moegni dalam buku Perbuatan Melawan Hukum, beliau membagi dasar

pembenar menjadi dua golongan utama,yaitu :

1. Dasar pembenar yang bersumber dari undang-undang

a. Keadaan memaksa (Overmacht)

Pengaturan keadaan memaksa dapat ditemukan dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-

undang Hukum Pidana. Keadaan memaksa dalam pembelaan

terhadap dalil perbuatan melawan hukum merujuk pada Pasal

48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sementara dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga terdapat aturan

yang mengatur mengenai keadaan memaksa yaitu dalam

Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Benang merah dari kedua ketentuan dalam Kitab Undang-

90

undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana adalah bahwa tidak boleh seseorang dihukum, bila ia

melakukan suatu perbuatan melawan hukum karena terdesak

oleh keadaan memaksa. Sehingga seseorang yang melakukan

perbuatan melawan hukum perdata karena keadaan terpaksa,

ia dapat membebaskan dirinya dari kewajiban untuk

membayar ganti kerugian. Hal lain yang perlu diperhatikan

mengenai keadaaan dalam perbuatan melawan hukum selain

keadaan memaksa adalah keadaan darurat (noodtoestand).

Rutten menjelaskan “noodtoestand terjadi, bilamana

kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan karena

adalah sifat melawan hukum, dihapus oleh kewajiban hukum

atau kepentingan yang lebih tinggi”

b. Pembelaan terpaksa (noodweer)

Pasal 49 KUH Pidana merumuskan, bahwa

barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukan

untuk membela dirinya atau orang lain, untuk membela

kehormatan dirinya atau orang lain atau membela harta

benda miliknya sendiri atau orang lain terhadap serangan

dengan sengaja yang datangnya secara tiba-tiba. Dengan

demikian, pembelaan terpaksa terjadi terhadap serangan

yang sengaja tidak dapat dielakkan lagi akibat dari

perbuatan melawan hukum orang lain.

91

Perbedaan antara pembelaan terpaksa berbeda

dengan keadaan darurat sangat jelas. Pembelaan terpaksa,

seseorang yang menghadapi serangan dengan sengaja yang

datangnya secara tiba-tiba yang tidak dapat elakan lagi.

Sementara keadaan darurat, serangan yang datang tidak

disengaja.

c. Melaksanakan undang-undang (weetelijk voorschrift)

Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 50 KUH

Pidana, bahwa tidak dapat dipidana barangsiapa melakukan

perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang

(wettelijk voorschrift). Dengan demikian seseorang tidak

akan dihukum apabila dalam tindakan yang didalilkan

melawan hukum tersebut merupakan tindakan menjalankan

peraturan undang-undang. Pasal tersebut hanya

merumuskan mengenai menjalankan peraturan perundang-

undangan namun tidak merumuskan mengenai kewenangan

menurut undang-undang (wettelijke bevoegheid). Tetapi

kedua hal tersebut dalam hukum perdata tidak dibedakan,

karena keduanya merupakan sesuatu yang meniadakan sifat

melawan hukum. Misalkan tindakan penggugat yang

merupakan kreditur yang meminta dilakukannya pensitaan

conservatior atas harta benda debitur sebagai tergugat,

tidak lah melawan hukum. Argumentasinya, bahwa

92

tindakan penggugat tersebut merupakan kewenangannya

berdasarkan Pasal 226-227 Het Indische Reglement .

Kemudian yurisprudensi Mahkamah Agung No.

206K/Sip/1956, telah mempertimbangkan bahwa tidaklah

melawan hukum perbuatan seseorang penggugat, yang

meminta diletakan penyitaan conservatior, hanya karena

gugatanya ditolak.

d. Perintah Atasan (wettelijk bevel)

Rumusan Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana memuat ketentuan, bahwa tidaklah dapat dihukum

barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk

melaksanakan suatu perintah jabatan, yang diberikan oleh

penguasa yang berwenang untuk itu. Rutten menjelaskan

bahwa tidak perlu adanya suatu hubungan atasan dengan

bawahan (ondergeschikthied) untuk menggunakan dalil ini.

Menurutnya setiap orang yang diharuskan mentaati perintah

dapat menggunakan dalil pembelaan ini.

2. Dasar pembenar yang tidak bersumber dari undang-undang

Dasar-dasar pembenar yang tidak bersumber dari undang-

undang adalahdasar-dasar pembenar yang tidak tertulis dalam

undang-undang namun dapat digunakan untuk meniadakan sifat

melawan hukum dari suatu perbuatan. Misalkan:

93

a. adanya persetujuan baik secara tegas atau diam-diam

dari orang yang merasa dirugikan .

b. menderita atau menanggung risikonya sediri

Akibat terpenuhinya unsur pembenar dalam perbuatan melawan hokum

apabila tergugat dapat membuktikan atau terpenuhinya dasar pembenar dalam

Perbuatan Melawan Hukum baik berdasarkan undang-undang atau alasan

pembenar yang tidak berdasarkan undang-undang berakibat tanggung jawab

hapus seluruhnya sehingga hapus pula kewajiban untuk menganti kerugian.

Dalam sudut pandang yang lain, penulis memiliki pendapat bahwa ada

kekeliruan dalam pertimbangan majelis hakim, banyak hal yang harusnya

dijadikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan terhadap permasalahan ini

namun tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim.

Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, mengatur bagaimana majelis hakim memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara yang diajukan. majelis hakim wajib memeriksa dan mengadili

perkara sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terjadi di lapangan. Pasal 53 ayat

(1) dan (2) Undang-Undang no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyebutkan bahwa :

“(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.”

Sehingga suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim wajib

mempertimbangkan dasar-dasar Hukum yang tepat serta melihat fakta-fakta yang

terjadi di lapangan.

94

Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa Majelis Hakim seharusnya

melihat fakta bahwa ada unsur kelalaian yang yang menjadi penyebab

terdamparnya Tug Boat Brandon dan Tongkang 2301, sehingga menyebabkan

kerugian bagi pemilik barang. Unsur kelalaian ini dapat terlihat dari temuan fakta

yang terdapat dalam eksepsi Tergugat 2, yang mana dalam hal ini Tergugat 2

melakukan uji laboratorium terhadap oli yang digunakan Tergugat 1 yang ternyata

oli yang tidak layak pakai, hal inilah yang menyebabkan kerusakan pada kapal

ketika berlayar, sehingga perlu dipahami bahwa cuaca buruk bukanlah satu-

satunya penyebab terdamparnya kapal, rusaknya mesin kapal membawa dampak

lebih buruk terhadap kelangsungan perjalanan pengiriman.

Rusaknya mesin yang disebabkan oleh kelalaian operator kapal/Tergugat 1

adalah fakta yang ditemukan di lapangan, hal ini menyebabkan dalil force

majeure dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat

diterapkan dalam pertimbangan putusan hakim. Sehingga berdasarkan Pasal 1366

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“Setiap orang bertanggungjawab bukan hanya atas kerugian yang

disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian

yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”

Maka sudah sepantasnya majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Tergugat 1

untuk mengganti kerugian yang diderita penggugat. Hal ini juga bertentangan

dengan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang no. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Kelalaian operator tidak termasuk dalam kategori force majeure dalam

hukum perdata, karena force majeure berdasarkan pasal 1245 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata terdapat unsur keadaan memaksa dan kebetulan yang

95

menghalangi seorang kreditur memenuhi kewajibannya. Kelalaian yang dilakukan

oleh Tergugat 1 bukan merupakan kebetulan ataupun keadaan memaksa, karena

hal tersebut sudah jelas diketahui dan merupakan kewajiban Tergugat 1 sebagai

pihak yang bertanggung jawab atas perawatan kapal.

Menurut Imam Soepomo dalam buku Hukum Perburuhan,” force majeure

biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir,

gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya,

hal ini berarti bahwa suatu kondisi yang diluar kemampuan seorang manusia,

berbeda dengan kondisi force majeure dalam Hukum Pidana, di mana adanya

campur tangan manusia sangat dimungkinkan terjadi dalam force majeure”.

Fakta yang ditemukan di lapangan, kerusakan yang dialami oleh kapal

Tugboat Brandon dan Tongkang 2301 disebabkan kelalaian yang dilakukan

Operator kapal, hal ini lah yang menjadi penyebab utama terdamparnya kapal

tersebut. Fakta yang terjadi di lapangan jelas bertentangan dengan dalil force

majeure dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena tidak

sesuai dengan kondisi yang disyaratkan oleh teori force majeure yang mana

unsur-unsur dari pasal tersebut yakni keadaan memaksa atau tak terduga yang

membuat debitur terhalang memenuhi prestasinya.

Selain bertentangan dengan teori-teori diatas, putusan majelis hakim juga

urung mempertimbangkan teori kausalitas dalam menentukan duduk perkara.

Suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan yang

saling terkait yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya akibat.

96

Yang menjadi permasalahan adalah kepada siapa akan dipertanggungjawabkannya

suatu akibat tersebut.

Menurut analisa Penulis hasil Putusan dari Kasasi No. 1014k/Pdt/2012

bertentagan dengan teori-teori yang dikemukakan para ahli hukum. Dalam hal ini

penulis mengambil Teori yang dikemukakan oleh ahli Hukum Jerman yakni Von

Buri, yaitu teori Conditio Sine Qua Non. Dalam teori ini Von Buri berpandangan

bahwa “bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak

dapat dihilangkan (weggedacht) ) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan

akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat

dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan

kausal dengan akibat yang timbul. Tiap faktor diberi nilai, jika tidak dapat

dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta

memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat”.

Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent

theorie), karena tiap faktor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan

sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab

(meervoudige causa). Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs

theorie” (teori syarat ), disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat

(bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.

Berdasarkan Teori Conditio sine qua Non yang dikemukakan oleh Von

Buri ini maka faktor kelalaian operator dalam hal terjadinya peristiwa a quo tidak

dapat dihilangkan atau dikesampingkan. Kelalaian ini menjadi salah satu “causa”

97

dalam rangkaian peristiwa terdamparnya Tug Boat Brandon, sehingga menurut

penulis kurang tepat apabila majelis hakim memutuskan untuk membebaskan

pihak tergugat dari tanggung jawab.

Sehingga apabila disimpulkan, permasalahan hukum pada putusan Nomor

1014 k/Pdt/2012 adalah fakta yang terjadi di lapangan yakni bertentangan dengan

Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena tidak

memenuhi Unsur-Unsur yang disyaratkan sebagai kondisi force majeure, dan

berdasarkan Pasal 1445 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka Tergugat

sebagai debitur yang bertanggung jawab atas keselamatan barang yang menjadi

tanggungannya. Putusan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 40 Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, karena telah membebaskan dari

tanggung jawab, pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita Penggugat, serta dapat disimpulkan bahwa kelalaian yang dilakukan

tergugat 1 merupakan perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata

karena kelalaian merupakan salah satu unsur perbuatan melawan hukum seperti

apa yang telah diungkapkan Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum

Pendekatan Kontemporer.

Selain bertentangan dengan Undang-Undang, putusan A quo juga

bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum yang dikemukakan para ahli, yakni

teori Conditio sine Qua Non dari Von Buri, karena pada putusan tersebut majelis

hakim tidak menjadikan kelalaian Tergugat 1 sebagai dasar dalam menjatuhkan

putusan, padahal kelalaian penggugat tersebut telah menjadi faktor penyebab

dalam Peristiwa terdamparnya Tug boat Brandon.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sebuah perusahaan angkutan laut yang membawa barang milik

shipper pada hakikatnya bertanggung jawab secara penuh terhadap

keselamatan barang yang dia antarkan menuju pelabuhan tujuan,

sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2008 Tentang Pelayaran. Apabila pihak operator melakukan

kelalaian yang menyebabkan barang milik shipper rusak atau

mengalami keterlambatan pengiriman maka sudah sepatutnya

operator bertanggung jawab dengan mengganti kerugian yang

diderita pemilik barang.

Berkaitan dengan kasus ini sesungguhnya terlihat jelas ada unsur

kelalaian yang dilakukan operator kapal yakni dalam hal perawatan

mesin kapal, kapal Tug Boat dan Tongkang tersebut sejatinya

bukanlah milik operator kapal melainkan milik perusahaan pelayaran

yang menyewakan kapal tersebut ke operator kapal, sehingga

tanggung jawab perawatan dan operasional kapal tentunya ada

ditangan operator kapal, namun dalam melaksanakan tanggung

jawabnya terhadap kapal yang telah disewa, pihak operator telah

lalai dalam hal merawat mesin kapal. Hal tersebut dapat dibuktikan

dengan adanya temuan uji lab dari pihak pemilik kapal bahwa

operator kapal menggunakan oli sebanyak dua drum yang tidak

99

layak pakai sehingga menyebabkan kerusakan parah pada mesin

kapal dan rusaknya cyker kapal, hal inilah yang merupakan kelalaian

dari pihak operator sehingga kapal mengalami kerusakan dan

terdampar di Pulau Penambun. Kelalaian ini tidak hanya dilakukan

oleh penggugat melainkan juga dilakukan oleh pihak berwenang

yakni Syahbandar Pelabuhan Merak yang telah menerbitkan Surat

Izin Berlayar terhadap Tugboat Brandon dan Barge no. 2301 yang

sebenarnya tidak laik jalan berdasarkan temuan diatas, hal ini

menandakan masih lemahnya pengawasan dari pihak syahbandar

pelabuhan dalam mengawasi kelaikan jalan dari kapal-kapal yang

beredar sehingga menyebabkan hal-hal merugikan bagi pihgak

pengguna jasa perkapalan.

Jika mengacu pada dalil keadaan memaksa yang menjadi dasar bagi

majelis hakim dalam menjatuhkan putusan, maka hal tersebut

menurut penulis rasa kurang tepat karena terdapat faktor lain yang

berperan lebih besar terhadap keterlambatan yang mengakibatkan

kerugian bagi Penggugat, yakni faktor kelalaian yang dilakukan oleh

Tergugat 1 dalam hal ini PT. Karya Mandiri Makmur Sejati,

sehingga apa yang menjadi Unsur-Unsur dalam dalil force majeure

tidak terpenuhi, dan berdasarkan teori conditio sine qua non yang

dikemukakan oleh Von Buri yang berpandangan bahwa “bahwa tiap-

tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat

dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang

100

menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor

tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor

penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang

timbul. Tiap faktor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet

weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki

hubungan kausal dengan timbulnya akibat”. Sehingga bila

disimpulkan bahwa kelalaian Tergugat adalah salah satu “cause”

terhadap terjadinya keterlambatan. Kelalaian yang terjadi dilakukan

oleh Tergugat 1 selaku pihak yang bertanggung jawab atas

perawatan dan operasional kapal, sehingga berdasarkan Pasal 1366

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal ini penulis

menyimpulkan bahwa Tergugat 1 atau PT. Karya Mandiri Makmur

Sejati wajib bertanggungjawab atas kelalaian yang ia lakukan

sehingga menyebabkan kerugian atas Penggugat atau CV. Karya

Ardi Prestasi. Dalam tingkat Kasasi majelis hakim telah

menjatuhkan putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni

menyatakan bahwa tergugat dibebaskan dari kewajiban tanggung

jawab atas kerugian yang diderita Penggugat dengan dalil force

majeure. Putusan ini menimbulkan pertanyaan yang besar bagi

penulis karena dalil yang digunakan hakim dalam menjatuhkan

putusan penulis nilai kurang tepat, karena dalil force majeure yang

menjadi pertimbangan hakim dapat dipatahkan dengan fakta bahwa

101

terdapat unsur kelalaian yang dilakukan tergugat 1 menjadi

penyebab terjadinya keterlambatan.

Sehingga apabila disimpulkan, permasalahan hukum pada putusan

Nomor 1014 k/Pdt/2012 adalah bahwa fakta yang terjadi di lapangan

yakni bertentangan dengan Pasal 1244 dan pasal 1245 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, karena tidak memenuhi unsur-

unsur yang disyaratkan sebagai kondisi force majeure. Selain itu

juga putusan tersebut bertentangan dengan pasal 40 Unndang-

Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, karena telah

membebaskan dari tanggung jawab, pihak yang seharusnya

bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Penggugat.

Selain bertentangan dengan undang-undang, putusan terkait juga

bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum yang dikemukakan para

ahli, yakni teori Conditio sine Qua Non dari Von Buri, karena pada

putusan tersebut majelis hakim tidak menjadikan kelalaian Tergugat

1 sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan, padahal kelalaian

penggugat tersebut telah menjadi faktor penyebab dalam peristiwa

terdamparnya Tug boat Brandon.

2. Kesimpulan penulis mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor

1014k/Pdt/2012 yakni bahwa putusan tersebut telah bertentangan

Pasal 40 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran,

karena majelis hakim memutus Tergugat bebas dari tanggung jawab

ganti kerugian, dengan dalih bahwa apa yang menjadi penyebab

102

terdamparnya kapal dikarenakan faktor force majeure, namun

berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa faktor

utama dari terjadinya keterlambatan dikarenakan kelalaian yang

dilakukan oleh Tergugat 1 dengan bukti berupa temuan yang

terdapat dalam eksepsi Tergugat 2. Akibat dari kelalaian Tergugat 1

maka unsur-unsur yang disyaratkan force majeure tidak terpenuhi

sehingga para tergugat wajib mengganti kerugian yang diderita

Penggugat berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2008 Tentang Pelayaran.

B. Saran

1. Dalam setiap perjanjian Agkutan Laut para pihak sudah seharusnya paham

dan mengerti kedudukan masing-masing dan para pihak bertanggung

jawab atas apa yang menjadi kewajibannya masing-masing, baik dari

pemilik barang yang berkewajiban melunasi prestasi berupa pembayaran

kepada pihak operator sesuai dengan kesepakatan, maupun operator yang

bertanggung jawab atas keselamatan barang milik shipper dari pelabuhan

awal hingga pelabuhan tujuan, juga atas ketepatan waktu pengiriman yang

telah ditentukan sebelumnya agar tidak menimbulkan kerugian bagi

pemilik barang. Selain itu pihak operator juga bertanggung jawab atas

kelaikan kapal yang dioperasikan untuk mengangkut barang milik shipper

sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Tentang Perkapalan, dan apabila terjadi keterlambatan yang disebabkan

103

oleh kelalaian pihak operator kapal maka berdasarkan Pasal 40 Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, maka pihak operator

wajib bertanggung jawab atas kerusakan, dan keterlambatan yang terjadi,

dengan tidak saling melempar kewajiban kepada pihak pemilik kapal,

karena peristiwa yang terjadi merupakan buntut dari kelalaian operator

kapal.

Disamping itu juga ketegasan dari aparat yang berwenang di pelabuhan

syahbandar, penulis rasa sangat lemah, sehingga wajib ditingkatkan

pengawasan terhadap kelaikan kapal-kapal yang beroperasi, sehingga

berdampak pada meningkatnya kedisiplinan pihak pemilik maupun

operator kapal dalam merawat kelayakan kapal, agar tidak terjadi hal-hal

yang merugikan pengguna jasa perkapalan.

Dalam kaitannya dengan force majeure penulis merasa bahwa perlu

adanya peraturan yang khusus mengatur mengenai keadaan memaksa

secara detail dan explicit, karena peraturan mengenai keadaan memaksa

hanya diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

saja, sehingga menimbulkan kebingungan pada masyarakat dalam

menghadapi situasi tersebut

2. Hakim sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan

di dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap

berlandaskan aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai

pertimbangan berdasarkan data-data yang otentik serta para saksi yang

104

dapat dipercaya.49 Dalam memutus perkara, hakim harus merujuk pada

undang-undang yang berlaku. Tetapi, dalam konteks peradilan di

Indonesia, hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah corong

kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam

konteks inilah, keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim

sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.50 Berkaitan dengan

putusan Nomor 1014K/Pdt/2012 majelis hakim sudah sepatutnya dalam

menjatuhkan putusan tidak hanya mempertimbangkan aspek force majeure

saja, melainkan juga harus mempertimbangkan asal-muasal penyebab

terjadinya keterlambatan, yakni faktor kelalaian, karena kelalaian dari

Tergugat 1 telah jelas-jelas menjadi penyebab terdamparnya kapal,

sehingga seharusnya majelis hakim menjatuhkan hukuman terhadap

Tergugat 1 berupa ganti kerugian yang diderita Penggugat atas

keterlambatan yang dialami, majelis hakim juga harus menggali lebih

dalam mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya suatu

peristiwa serta menjadikannya bahan pertimbangan, sehingga tercipta rasa

keadilan yang diharapkan.

49 Departemen Kehakiman, 1981, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Yayasan Pengayoman, Jakarta , hal 8650 “Masalah Independensi Hakim Dan Rasa Keadilan Masyarakat” http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan-masyarakat. Diakses tanggal 22 Juli 2015