Upload
uii
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN YURIDIS TINDAKAN KEPOLISIAN DIDALAMMENGAMANKAN PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA
BERDASARKAN PERKAPOLRI NO.8 TAHUN 2011
TENTANG PENGAMANAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIAOleh:
ROBBY ANDRIAN, SH.,MHhttp://law-indonesia.blogspot.com
Latar belakang masalah
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan Pemberi
Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditur lainnya.1
Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
( Selanjutnya disebut UUJF). Yaitu :
“ Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objekJaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi JaminanFidusia.”
1 ? Pasal 1 Angka 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
1
Apabila pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang
menjadi objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan,
penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak
yang berwenang. (diatur dalam Penjelasan Pasal 30 UUJF).
Peraturan mengenai jaminan fidusia tidak mengatur lebih lanjut
dengan jelas siapa pihak yang berwenang untuk dimintai bantuan
dalam eksekusi jaminan fidusia.
Kepolisian Republik Indonesia adalah alat negara yang
bertugas dan berperan untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, adalah yang paling berwenang didalam
memberikan bantuan pengamanan pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum
mengikat yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Atas dasar itu dibentuklah Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011
tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Lembaga kepolisian
adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan
diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan
perundang-undangan ( Sadjijono, 2008: 52-53).
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentangKepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa:
“ Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alatNegara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertibanmasyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
2
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangkaterpeliharanya keamanan dalam negeri.”
Kewenangan Kepolisian didalam mengamankan pelaksanaan
eksekusi Jaminan Fidusia adalah bertujuan agar terselenggaranya
pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia secara aman, tertib, lancar
dan dapat dipertanggung jawabkan serta terlindunginya keselamatan
dan keamananan Penerima Jaminan Fidusia , Pemberi Fidusia dan/
atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian
harta benda dan keselamatan. Artinya ruang lingkup Kepolisian
dalam rangka pengamanan eksekusi Jaminan Fidusia adalah dalam
lingkup melindungi keselamatan dan keamanan para Pihak (Pemberi
dan Penerima Fidusia) serta masyarakat secara umum dari tindakan,
perbuatan dan hal-hal yang merugikan harta benda dan keselamatan.
Dalam pasal 20 PERKAPOLRI No.8 Tahun 2011, menyebutkan :“ Dalam hal termohon eksekusi merasa telah membayar atau melunasikewajibannya kepadapetugas lain yang ditunjuk oleh pemohon eksekusi, yangmengakibatkan timbulnya perselisihan pada saat atau sedangdilaksanakan eksekusi, maka personel Polri yang melaksanakanpengamanan melakukan tindakan sebagai berikut:
a. mengadakan pendekatan persuasif antara pemohon dan termohon melalui musyawarah;b. menanyakan dengan sopan dan humanis kepada termohon, untuk menunjukan dokumen pendukung atau bukti pembayaran atau pelunasan;c. mengamankan lingkungan sekitar eksekusi untuk mencegah meningkatnya eskalasi keamanan; dand. apabila termohon mempunyai bukti pembayaran atau pelunasan yang sah,
3
personel Polri: 1. menunda atau menghentikan pelaksanaan eksekusi; 2. membawa dan menyerahkan petugas yang ditugaskan oleh pemohon kepada penyidik Polri untuk penanganan lebih lanjut; dan 3. membawa pihak termohon dan pemohon eksekusi ke kantor kepolisian terdekat untuk penanganan lebih lanjut. “
sebagaimana dalam pasal yang disebutkan diatas, maka Tugas dan
kewenangan Kepolisian dalam rangka ikut mengamankan pelaksanaan
eksekusi Jaminan Fidusia telah memasuki ruang lingkup yang tidak
lagi menjadi kewenangannya, yaitu memasuki ruang lingkup Hukum
Perdata.
PERMASALAHAN
1. Sejauh mana Kewenangan Kepolisian dalam melaksanakan
Tindakannya berdasarkan pasal 20 PERKAPOLRI No.8 Tahun 2011
didalam mengamankan pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia ?
2. Apakah tindakan Kepolisian berdasarkan PERKAPOLRI No.8 Tahun
2011 bertentangan dengan UU No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia
?
TINJAUAN PUSTAKA
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan
larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat
dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat
demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya. Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan
4
kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara
subyek hukum.
Hukum perdata Indonesia
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil
sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya
politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan
sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara),
kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan
antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya
kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,
pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya.2
Perjanjian Utang Piutang adalah Hubungan Keperdataan
Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUH Perdata”) tidak diatur secara tegas dan terperinci,
namun bersirat dalam Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyatakan
dalam perjanjian pinjaman, pihak yang meminjam harus
mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama (selanjutnya
untuk kemudahan, maka istilah yang dipergunakan adalah
“perjanjian utang piutang”). Pasal 1754 KUH Perdata yang dkutip
sebagai berikut:
2 ? http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_di_Indonesia/Hukum perdata Indonesia, diakses 5 Januari 2014
5
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.”
Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam
hal ini utang piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para
pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
berbunyi sebagai berikut:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”
Sehingga, kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para
pihak yang tertuang dalam perjanjian utang piutang tersebut harus
dengan iktikad baik dilaksanakan. Dalam hal tidak ada atau bahkan
kesepakatan rinci tidak dituangkan dalam suatu bentuk tertulis,
maka berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata ditegaskan
bahwa aturan umum dalam KUH Perdata akan berlaku dan menjadi
aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak. Dengan berpatokan
pada KUH Perdata, maka setiap penafsiran, tindakan, maupun
penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk pada perjanjian
utang piutang dan KUH Perdata. Termasuk untuk menentukan suatu
pihak berada dalam keadaan wanprestasi, yang banyak ahli hukum
perdata mengkategorikan wanprestasi ke dalam 4 (empat) keadaan,
yaitu:
1. Sama sekali tidak memenuhi.
6
2. Tidak tunai memenuhi prestasi.
3. Terlambat memenuhi prestasi.
4. Keliru memenuhi prestasi.
Sehingga, pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam
keadaan wanprestasi apabila telah menerima teguran
(sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi kewajibannya untuk
melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUH
Perdata yang dikutip sebagai berikut:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah ataudengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demiperikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yangditentukan.”
Muara terakhir dari keadaan wanprestasi ini adalah
pengajuan gugatan terhadap pihak yang berutang. Dengan demikian,
pengadilan terkait didasarkan pada bukti yang kuat akan
menyatakan si berutang berada dalam keadaan wanprestasi, dan
diwajibkan untuk memenuhinya, serta apabila diminta pengadilan
akan meletakan sita terhadap harta benda si berutang. Artinya,
kekuatan eksekutorial dimiliki oleh pihak yang mengutangkan,
sehingga secara hukum dia berhak meminta bantuan pengadilan untuk
mengeksekusi barang si berutang tersebut.3
Merupakan suatu keharusan, dalam suatu hubungan utang
piutang, adanya pelunasan dari pihak yang berutang atau debitur
untuk melakukan pelunasan atas utangnya tersebut, termasuk
3 ? http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5475/bolehkah-memakai-jasa-polisi-untuk-penagihan-utang , diakses 5 Januari 2014
7
apabila ditentukan adanya bunga, provisi, maupun beban-beban
lainnya. Selain itu dapat pula dipersyaratkan, oleh pihak
berpiutang atau kreditur, mengenai adanya jaminan yang
ditunjukkan untuk lebih menjamin kepastian pelunasan utang
tersebut, agar dapat terlaksana sesuai dengan yang
diperjanjikan.4 Adanya kepastian jaminan pelunasan utang kepada
kreditur termaksud di atas, kemudian diwujudkan dalam suatu hak
jaminan (zekerheidsrechten), yaitu hak yang memberikan kepada
kreditur kedudukan yang lebih baik dari pada kreditur-kreditur
lainnya dalam suatu hubungan utang piutang. Kedudukan lebih baik
ini diperoleh kreditur dikarenakan dalam pemenuhan pelunasan
piutangnya, kreditur tersebut lebih terjamin dibandingkan
kreditur lainnya yang tidak mempunyai hak jaminan.
Jaminan Fidusia Adalah Perjanjian Accessoir Dari Perjanjian
Utang Piutang
Dalam suatu hak jaminan khusus, pemberian
jaminan pada dasarnya merupakan pemberian hak kepada kreditur
tertentu oleh debitur dalam bentuk penunjukan atau penyerahan
benda tertentu secara khusus, sebagai jaminan atau pelunasan
kewajiban atau utang. Oleh karenanya hak jaminan khusus ini
hanya berlaku untuk kreditur tertentu tersebut, baik secara
kebendaan maupun secara perorangan. 5 Penunjukan ini
didasarkan dalam suatu perjanjian yang bersifat accessoir,4 ? J. Satrio , 2002,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.9
8
yaitu perjanjian yang mengikuti dan yang melekat pada
perjanjian dasar atau perjanjian pokok, dalam hal ini adalah
perjanjian utang piutang.
Berdasarkan Pasal 4 UUJF, Jaminan Fidusia adalah
perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Perjanjian Pokoknya adalah Pinjam-meminjam Uang antara Debitor
sebagai Pemberi Fidusia dan Kreditor sebagai Pemegang Fidusia.
Fidusia sebagai lembaga jaminan sebenarnya bukanlah hal yang
baru, tapi sudah lama digunakan dalam dunia usaha, baik di
Indonesia maupun di negara maju lainnya dengan berbagai
variasi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sri Soedewi
Masjchun Sofwan, jika ditelusuri sejarah sebenarnya lembaga
fidusia dengan berbagai variasinya telah dipraktekkan juga di
beberapa negara maju lainnya selain Belanda.6 Kata Fidusia
pada awalnya berasal dari kata “Fides” yang mempunyai arti
kepercayaan. Sesuai dengan arti/makna dari kata tersebut, maka
hubungan (hukum) antara debitur (pemberi fidusia) dengan
kreditur (penerima fidusia), merupakan hubungan hukum yang
didasarkan atas kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa
penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah
diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima
fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan
5 ? Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Cet. III (Bandung : PT Alumni, 1986), hlm 256 ? Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia, Cet. II, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 13
9
menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya7. Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia yang dimaksud dengan Jaminan fidusia adalah:
“ hak jaminan atas benda bergerak, baik berwujud maupun tidakberwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yangtidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalampenguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasanutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakankepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia yang dimaksud dengan pengertian
Fidusia adalah :
“pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaandengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkantersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
Beberapa ciri yang tampak dalam perumusan tersebut antara
lain:
a. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;
b. Atas dasar kepercayaan;
c. Benda itu tetap dalam penguasaan pemilik benda 8
Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia seperti tersebut di atas dilakukan
dengan cara constitutum possessorium (verklaring van houderschap),
artinya, pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan
7 ? Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisnis), Cet. II, Jakarta , PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 113.8 ? Munir Fuady, Op.Cit. hal. 19.
10
tetap menguasai secara fisik benda tersebut yang berakibat
bahwa Pemberi Fidusia seterusnya akan menguasai dan memakai
benda dimaksud untuk kepentingan penerima jaminan fidusia
“(Penerima Fidusia”) 9.
Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang
ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir
Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan
fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi
lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung
perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian pokok
adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi
para pihak untuk memenuhi prestasi. Sifat accessoir
dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan
perjanjian ikutan dan suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi
prestasi. Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa
Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya utang yang
dijamin dengan fidusia.
2. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite (Pasal 20
UUJF).9 ? Fred B.G. Tumbuan, Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia , dalamBuletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan , Volume 10, Nomor 2, Mei -Agustus 2012, hlm.30
11
Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda
tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda
persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Ketentuan ini mengakui prinsip Droit de Suite yang
telah merupakan bagian dari Peraturan Perundang-
undangan Indonesia dalam kaitannya dengan Hak Mutlak
atas kebendaan (in rem).10
3. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent. (Pasal 27
UUJF)11
Memberikan kedudukan yang mendahului kepada Kreditor
penerima Fidusia terhadap Kreditor lainnya. Penerima
Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap
kreditor lainnya. Hak yang didahulukan dihitung sejak
tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Hak
didahulukan yang dimaksud adalah hak Penerima Fidusia
untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil
eksekusi benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak
hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi
Pemberi Fidusia. Ketentuan dalam hal ini berhubungan
dengan ketentuan bahwa Jaminan Fidusia merupakan hak
agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang. Disamping10 ? Purwahidpatrik, Hukum jaminan edisi revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, semarang, 2004 hlm.36-3711 ? Purwahid patrik,loc.cit
12
itu, ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan
menentukan bahwa benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia diluar kepailitan dan atau likuidasi. Apabila
atas benda yang sama menjadi objek Jaminan fidusia
lebih dari 1 satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka
hak yang didahulukan ini diberikan kepada pihak yang
lebih dulu mendaftarkannya pada kantor Pendaftaran
Fidusia.
4. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada
atau akan ada.
Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan
suatu utang yang besarnya telah diperjanjikan dalam
perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau
perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya
dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, yaitu :12
a) Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang
ditentukan dalam perjanjian kredit atau
perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada
dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang
maksimum atau disebut plafond kredit. Sering
terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum
dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik12 ? Ni Made Trisna Dewi, Tesis " Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar 2011, Hlm.75-76
13
oleh debitur sehingga jumlah utang yang
sebenarnya tidak sama dengan jumlah plafond
dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu
besarnya utang telah ada, dapat menggunakan
bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti
lainnya yang dikeluarkan bank. Rekening koran
yang diterbitkan bank inilah merupakan bukti
besarnya jumlah utang riil yang ada yang dijamin
pelunasannya dengan jaminan fidusia.
b) Utang yang akan timbul dikemudian hari yang
telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang
yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan
ada ini misalnya utang yang timbul dari
pembayaran yang akan dilakukan oleh kreditur
untuk kepentingan debitur dalam rangka
pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan
utang yang akan ada karena terjadinya di masa
akan datang tetapi jumlahnya utang sudah bisa
ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk
membayar bank garansi akibat debitur tidak
memenuhi kewajibannya kepada penerima bank
garansi (pihak yang dijamin).
c) Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan
jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang
menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi.
Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia,14
kreditur akan menentukan jumlah utang riil
debitur berdasarkan perjanjian kredit atau
rekening koran yang meliputi penarikan hutang
pokok, bunga, denda keterlambatan dan biaya-
biaya lainnya yang dikeluarkan kreditur.
berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang
dapat ditentukan pada saat kreditur akan
mengajukan eksekusi.
5. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia dapat
diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia
atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia
tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda
jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada
kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit
secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang
kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain
(secara konsorsium atau sindikasi) memberikan kredit
kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit.
Jaminan fidusia yang diberikan debitur digunakan
untuk menjamin kepada semua kreditur itu secara
bersama. Antara kreditur satu dengan kreditur lainnya
mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan fidusia,
tidak ada kreditur yang memiliki peringkat yang lebih
tinggi dibanding debitur lain. Dari ketentuan Pasal 815
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia ini tidak berlaku ketentuan pemegang jaminan
peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat
kedua terhadap kreditur yang memberikan kredit secara
bilateral kepada seorang debitur. Tidak adanya
peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama,
kedua dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal 17
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia yang mengatur bahwa pemberi fidusia dilarang
melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Hal ini
berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat
Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya yang
berlaku bagi kreditur dalam memberikan kredit kepada
debitur baik dilakukan secara bersama-sama dengan
kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi maupun
secara bilateral atau masing-masing kreditur.13
6. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
( Pasal 29 UUJF).
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam hal
Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, Pemberi
Fidusia wajib menyerahkan objek Jaminan Fidusia dalam
rangka pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dapat
dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel
eksekutorial oleh Pemegang Fidusia artinya langsung13 ? Ibid, hlm.77
16
melaksanakan eksekusi melalui Lembaga Parate
Eksekusi, atau penjualan benda Objek Jaminan fidusia
atas kekuasannya sendiri melalui Pelelangan Umum
serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan. Dalam
hal akan dilakukan penjualan dibawah tangan, harus
dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan
Penerima Fidusia.14 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan
Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata
”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dengan sifat eksekutorial ini jika
debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima
fidusia dapat melakukan penjualan benda jaminan
secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau
tidak dengan bantuan Kantor Lelang dan tidak perlu
meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk
menjual sendiri benda jaminan dinamakan Parate
Eksekusi.15
7. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga
mengikat pihak ketiga dan memberikan Jaminan
14 ? Purwahid patrik,loc.cit15 ? Ni Made Trisna Dewi,op.cit, hlm.78
17
kepastian hokum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. (Pasal 6 dan Pasal 11 UUJF).16
Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci
mengenai obyek jaminan fidusia. Benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia harus diuraikan secara jelas
dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda jaminan
tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti
kepemilikannya dalam Akta Jaminan Fidusia.
Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta
Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda
yang dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta
Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran
Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan.
Untuk benda-benda yang dibebani Jaminan Fidusia
tetapi berada di luar wilayah Negara Republik
Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran
Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia
berkedudukan. Dengan dilaksanakan pendaftaran benda
yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran
Fidusia, maka masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu
benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga
masyarakat akan berhati hati untuk melakukan
transaksi atas benda tersebut dan sekaligus
memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur
lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan16 ? Purwahid patrik,loc.cit
18
fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani
jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas publisitas
seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur
bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
wajib didaftarkan.
8. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang
Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan
yang menjamin pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan
juga memiliki sifat ini. Sifat ini sesuai fungsi
setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan
kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari
hasil penjualan jaminan tersebut bila debitur cidera
janji bukan untuk dimiliki kreditur.17
Hukum Pidana Indonesia
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan
yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam
tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan
terhadap yang melakukannya. Menurut Prof. Moeljatno, S.H :
Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau17 ? Ni Made Trisna Dewi,op.cit, hlm.80
19
sanksi yang berupa nestapa tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut. 18
Tugas dan fungsi Kepolisian
Kepolisian adalah alat Negara, yang berdasarkan Pasal 2 UU
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(“UU Kepolisian”) yang mana fungsi Kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat. Ditinjau dari tujuan
pembentukannya, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4 UU
Kepolisian).
Tugas pokok dari Kepolisian sebagaimana termaktub dalam
Pasal 13 UU Kepolisian, yang dikutip sebagai berikut:18 ? http://ditjenahu.kemenkumham.go.id/publikasi/artikel/item/65-tentang-ruang-lingkup-berlakunya-hukum-pidana , diakses 5 Januari 2014
20
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;b. menegakkan hukum; danc. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepadamasyarakat.”
Dalam menjalankan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 UU Kepolisian tersebut di atas, maka Kepolisian Republik
Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai
kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warna
masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil,
dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
21
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran
kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian
untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat,
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau
bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara
sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang
berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Wewenang Polisi
Disamping memiliki tugas-tugas tersebut di atas, polisi
memiliki wewenang secara umum yang diatur dalam Pasal 15 ayat
22
(1) Undang–Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia,yaitu sebagai berikut:
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat
yang dapat mengganggu
ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit
masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan
atau mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administratif
kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
23
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta
memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan
yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan
pelaksanaan putusan pengadilan,
kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat;.Menerima dan menyimpan barang
temuan untuk sementara waktu.
Dalam menjalankan tugas di atas, Kepolisian harus tunduk
pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang
dalam PP RI No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin
Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian dikutip
sebagaimana di bawah ini:
“Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
24
a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan
martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
b. melakukan kegiatan politik praktis;
c. mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d. bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar
lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e. bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan
untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari
kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi
kepentingan pribadi;
f. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya
berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g. bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi,
dan tempat hiburan;
h. menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang
punya utang;
i. menjadi perantara/makelar perkara;
25
j. menelantarkan keluarga.”
Pengamanan Eksekusi Fidusia Oleh Kepolisian
Berdasarkan Pasal 1 angka (11) Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia , Pengamanan
Eksekusi adalah :
“ Tindakan kepolisian dalam rangka memberikan pengamanan
dan perlindungan terhadap pelaksana eksekusi, pemohon
eksekusi, termohon eksekusi (tereksekusi) pada saat
eksekusi dilaksanakan.”
Tindakan kepolisian terhadap pengamanan eksekusi jaminan
fidusia pada dasarnya dilakukan pada saat pengambilan benda objek
jaminan fidusia dari pemberi fidusia yang telah lalai dan tidak
mau menyerahkan benda secara sukarela. Karena permasalahan yang
seringkali terjadi adalah adanya perlawanan pada saat pengambilan
benda objek jaminan dari pemberi fidusia. Oleh karena itu
Kepolisian sebagai alat Negara berperan didalam ikut mengamankan
proses eksekusi Jaminan fidusia tersebut.
Tindakan Kepolisian terkait pengamanan tersebut masih
dalam ruang lingkup kewenangan kepolisian sebagai alat Negara.
Akan tetapi kepolisian yang melakukan tindakan sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 20 Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi
Jaminan Fidusia maka Kepolisian sudah tidak lagi berhak secara
tugas maupun kewenangannya ikut campur dalam masalah keperdataan
26
antara Pemberi dan Penerima Fidusia,karena hal tersebut telah
masuk dalam Ruang Lingkup Perdata.
Pasal 20 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011:
“ Dalam hal termohon eksekusi merasa telah membayar atau melunasikewajibannya kepada petugas lain yang ditunjuk oleh pemohon eksekusi, yang mengakibatkan timbulnya perselisihan pada saat atau sedang dilaksanakan eksekusi, maka personel Polri yang melaksanakan Pengamanan melakukan tindakan sebagai berikut:
a. mengadakan pendekatan persuasif antara pemohon dan termohon melalui musyawarah;b. menanyakan dengan sopan dan humanis kepada termohon, untuk menunjukan dokumenpendukung atau bukti pembayaran atau pelunasan;
c. mengamankan lingkungan sekitar eksekusi untuk mencegah meningkatnya eskalasi keamanan; dand. apabila termohon mempunyai bukti pembayaran atau pelunasan yang sah, personel Polri: 1. menunda atau menghentikan pelaksanaan eksekusi; 2. membawa dan menyerahkan petugas yang ditugaskan oleh pemohon kepada penyidik Polri untuk penanganan lebih lanjut; dan 3. membawa pihak termohon dan pemohon eksekusi ke kantor kepolisian terdekat untuk penanganan lebih lanjut. “
Analisa peraturan tersebut diatas bahwa Kepolisian telah
bertindak melampaui batas kewenangannya sebagai alat negara yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Tindakan Kepolisian melampaui kewenangannya adalah :
27
1. Tindakan tersebut masuk dalam ruang lingkup keperdataan yang
sudah bukan lagi merupakan kewenangan Kepolisian.
2. Tindakan Kepolisian tersebut sudah tidak lagi tindakan
mengamankan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, akan
tetapi Kepolisian sudah terlalu jauh dalam mencampuri
permasalahan yang terjadi, yang pada dasarnya sudah masuk
dalam ruang lingkup keperdataan, yaitu hubungan hokum antara
para pihak dalam hal utang-piutang dengan jaminan Fidusia
yang telah dijamin kepastian hukumnya oleh UUJF. Tindakan
yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku adalah
ketika pada saat Pemegang Fidusia dapat menunjukkan
Sertifikat Fidusia yang memuat irah-irah “ Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , apabila Pemberi
Fidusia merasa sudah membayar dan atau merasa sudah memenuhi
seluruh kewajibannya dengan dalih apapun, harus melalui
jalur hukum yang sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Yaitu jika
Pemberi Fidusia merasa telah membayar/ melunasi Kewajibannya
, maka Pemberi Fidusia diberi hak untuk menempuh Jalur hukum
melalui Gugatan di Pengadilan. Karena berdasarkan ,
Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan :
“ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak ataumengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu,atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikanadanya perbuatan itu.”
28
Dengan Pemberi Fidusia membawa apa yang menjadi
permasalahannya ke dalam sidang pengadilan, maka pihak-pihak yang
berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat
dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk
membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa-peristiwa tersebut
sudah tentu tidak cukup dikemukakan begitu saja, baik secara
tertulis maupun lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau disertai
bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan
kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus
disertai pembuktian secara yuridis. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang
sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.19
Oleh karena itu Kepolisian tidak dibenarkan melakukan
tindakan-tindakan sebagaimana dalam pasal 20 tersebut jika muncul
suatu keadaan Termohon eksekusi merasa sudah membayar/
menyelesaikan kewajibannya, apalagi memutuskan sah atau tidaknya
bukti pembayaran yang dikemukakan oleh Termohon Eksekusi,
kemudian kepolisian menghentikan pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia. Tindakan tersebut jelas melanggar ketentuan pasal 29
UUJF.
Menurut J. Satrio Undang-Undang Fidusia menganut prinsip
pendaftaran jaminan fidusia. Sekalipun dalam pasal 11 UUJF
19 ? H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83
29
disebutkan ”benda yang dibebankan jaminan fidusia wajib
didaftarkan”, tetapi sebaliknya dibaca ”jaminan fidusia” harus
didaftarkan, karena dari ketentuan-ketentuan lebih lanjut dapat
diketahui bahwa demikian itulah yang dimaksud oleh pembuat
Undang-Undang.20
Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh kreditur atau
kuasanya atau wakilnya. Dalam prakteknya kreditur memberikan
kuasa kepada Notaris yang membuat akta jaminan fidusia untuk
melakukan pendaftaran jaminan fidusia dimaksud. Adapun tujuan
pendaftaran jaminan fidusia adalah :
1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan.
2. Memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada penerima
fidusia terhadap kreditur yang lain. Ini disebabkan jaminan
fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk tetap
menguasai bendanya yang menjadi obyek jaminan fidusia berdasarkan
kepercayaan (Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan
Akta Jaminan Fidusia).21
Dalam hal terjadi debitur wanprestasi atau cedera janji di
dalam perjanjian jaminan fidusia, maka dapat dilakukan eksekusi
terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Menurut Pasal
20 ? J. Satrio , 2002,HukumJaminanHakJaminanKebendaan, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, hal. 175.21 ? Salim HS, PerkembanganHukumJaminan di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2008, hal. 21.
30
29 Undang-Undang Jaminan Fidusia, pengeksekusian dapat dilakukan
dengan cara antara lain:
1. Eksekusi Fidusia dengan Titel Eksekutorial
Pelaksanaan title eksekutorial dalam mengeksekusi objek
jaminan Fidusia, yaitu didasarkan adanya irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada sertifikat jaminan
fidusia. Adanya irah-irah tersebut berarti sertifikat jaminan
fidusia memiliki kekuatan eksekutorial, ini berarti memberikan
kedudukan yang kuat kepada kreditur penerima fidusia untuk
melakukan eksekusi benda jaminan fidusia yang dijadikan jaminan
hutang oleh debitur pemberi jaminan fidusia. Berdasarkan irah-
irah itulah yang kemudian mensejajarkan kekuatan akta tersebut
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Dengan demikian, akta tersebut tinggal dieksekusi (tanpa
perlu lagi suatu Putusan Pengadilan).22
Melihat ketentuan yang menjadi dasar dilaksanakannya
eksekusi Jaminan Fidusia adalah dikarenakan Pemberi Fidusia
( Debitor) “Wanprestasi”. Sedangkan Pemegang Fidusia (Kreditor)
adalah sebagai Pihak yang berdasarkan UUJF berhak mengambil
barang yang dijadikan jaminan atas utang Debitor demi Pelunasan
Utang Debitor. Pemegang Jaminan Fidusia yang didaftarkan telah
memenuhi prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sertifikat Fidusianya pun memiliki kekuatan eksekutorial yang
sama dengan Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan Hukum
Tetap. Sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUJF. 22 ? Munir fuady, Op.Cit,hlm.59
31
Atas dasar ketentuan tersebut maka Kewenangan Kepolisian
sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011, adalah melampaui
batas kewenangannya, Kepolisian tidak berhak melakukan tindakan
sebagaimana yang diatur dalam pasal tersebut, dan tindakan
Kepolisian yang diatur didalam Pasal tersebut Bertentangan dengan
UUJF.
Kesimpulan
Tindakan kepolisian sebagaimana yang disebutkan dalam
Perkapolri No.8 Tahun 2011 , menjadikan kewenangan kepolisian
terlalu jauh didalam turut campur didalam masalah perdata antara
Pemberi fidusia dan pemegang fidusia. Sehingga tindakan
kepolisian berdasarkan Perkapolri No.8 Tahun 2011 telah melampaui
kewenangannya.
Tindakan kepolisian sebagaimana tersebut didalam
Perkapolri No.8 Tahun 2011 adalah bertentangan dengan UU No.42
Tahun1999 tentang Jaminan Fidusia, dan bertentangan dengan UU
kepolisian itu sendiri yaitu UU no.2 Tahun 2002.
32
DAFTAR PUSTAKA
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata,Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta
Andi Kasmawati, “Perjanjian Fidusia: Peluang DanHambatannya”, dalam Supremasi, Volume II Nomor 2,Oktober 2007
Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia, Cet. II,Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, JaminanFidusia (Seri Hukum Bisnis), Cet. II, Jakarta ,PT.Raja Grafindo Persada
M. Yahya Harahap, 1998, Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi BidangPerdata, Jakarta, PT. Gramedia
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan Di IndonesiaPokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta,Liberty
Marulak Pardede,Laporan Akhir Penelitian Hukum tentangImplementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia,Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum DanHam-Ri Jakarta, 2006
Fred B.G. Tumbuan, Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia , dalam Buletin Hukum Perbankan danKebanksentralan , Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus2012
33
Purwahidpatrik, Hukum jaminan edisi revisi denganUUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, semarang,2004
H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum AcaraPerdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
J. Satrio , 2002,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2008
Ni Made TrisnaDewi, Tesis" Tanggung Jawab Debitur TerhadapMusnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” ,Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_di_Indonesia/Hukum perdata Indonesia, diakses 5 Januari 2014
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5475/bolehkah-memakai-jasa-polisi-untuk- penagihan-utang, diakses 5 Januari 2014
http://ditjenahu.kemenkumham.go.id/publikasi/artikel/item/65-tentang-ruang-lingkup- berlakunya-hukum-pidana, diakses 5 Januari 2014
Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang JaminanFidusia
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang KepolisianRepublik Indonesia
34