24
1. Bagaimana Menurut Anda Tentang Proses Kebijakan Publik ? Jawab. a. Definisi Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai “public policy”, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi. Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi peraturan pemerintah atau peraturan presiden termasuk peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati. b. Proses Kebijakan Publik Kebijakan publik dapat dilihat dari dua sudut pandang, dari pra dan pasca terbentuknya. yang pertama (pra), melihat dari proses pembentukan sedangkan yang kedua (pasca) memandang dari setelah menjadi produk kebijakan, berupa

Tugas ( Kebijakan Publik )

Embed Size (px)

Citation preview

1. Bagaimana Menurut Anda Tentang Proses Kebijakan Publik ?

Jawab.

a. Definisi

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa

kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut

sebagai “public policy”, yaitu suatu aturan yang mengatur

kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat

seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi

sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi

dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai

tugas menjatuhkan sanksi. Aturan atau peraturan tersebut

secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi

kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan

tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya

secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut

kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka

formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus

dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang

berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan

menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang,

apakah menjadi peraturan pemerintah atau peraturan presiden

termasuk peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut

berubah menjadi hukum yang harus ditaati.

b. Proses Kebijakan Publik

Kebijakan publik dapat dilihat dari dua sudut pandang,

dari pra dan pasca terbentuknya. yang pertama (pra), melihat

dari proses pembentukan sedangkan yang kedua (pasca)

memandang dari setelah menjadi produk kebijakan, berupa

perundangan dan atau peraturan publik. Dalam pendekatan

pertama, terdapat tahapan yang lazim berlaku. Diawali dengan

identifikasi terhadap problematika yang muncul di ranah

publik, pihak tertentu yang berpekentingan kemudian

mengupayakan permasalahan tersebut dikemukakan ke hadapan

publik sehingga diketahui dan disadari bahwa persoalan yang

muncul terkait dengan kepentingan publik (public issues).

Ketika semakin banyak yang menaruh perhatian (concerned),

maka isu publik beranjak menjadi agenda publik, yang biasanya

ditindak-lanjuti dengan berbagai aksi-reaksi antara pemangku

kepentingan dengan lembaga publik yang berwenang menerbitkan

kebijakan. Pada tahap ini acap timbul pro dan kontra, adu

argumentasi, saling mempengaruhi, pengerahan dukungan dan

lain sebagainya. Jika tercapai konklusi, hasil akhir produk

kebijakan publik berupa perundangan dan atau peraturan

publik.

Mengikuti proses di atas seringkali melelahkan, oleh

karenanya, banyak pihak memilih mengomentari produk

kebijakan, menganalisis mengapa, untuk apa, dan siapa yang

diuntungkan/dirugikan dari produk kebijakan publik tersebut.

Tentu saja analisis yang dikemukakan dipengaruhi oleh posisi

relatif dan kepentingan yang bersangkutan terhadap isu-isu

terkait kebijakan publik tersebut.

proses atau formulasi pembuatan kebijakan public meliputi

beberapa hal berikut :

1. Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy

problem). Identifikasi masalah dapat dilakukan melalui

identifikasi apa yang menjadi tuntutan (demands) atas

tindakan pemerintah.

2. Penyusunan agenda (agenda setting) merupakan aktifitas

memfokuskan perhatian pada pejabat publik dan media massa

atas keputusan apa yang akan diputuskan terhadap masalah

publik tertentu. 

3. Perumusan kebijakan (policy formulation) merupakan tahapan

pengusulan rumusan kebijakan melalui inisiasi dan

penyusunan usulan kebijakan melalui organisasi perencanaan

kebijakan, kelompok kepentingan, birokasi pemerintah,

presiden dan lembaga legislatif.

4. Pengesahan kebijakan (legitimating of policies) melalui

tindakan politik oleh partai politik, kelompok

penekan, presiden dan kongres.

5. Implementasi kebijakan (policy implementation) dilakukan

melalui birokrasi, anggaran publik, dan aktivitas agen

eksekutif yang terorganisasi.

6. Evaluasi kebijakan (policy evaluation) dilakukan oleh

lembaga pemerintah sendiri, konsultan di luar pemerintah,

pers dan masyarakat (publik).

c. Bentuk Penyimpangan Dalam Proses Kebijakan Publik.

Studi kebijakan publik dalam konteks Indonesia menjadi

semakin penting dan menarik jika dikaitkan dengan wacana

otonomi daerah yang kini tengah dijalankan. Pelaksanaan

otonomi daerah tersebut diharapkan akan memberi kesejahteraan

kepada sebagian besar rakyat, namun dibalik harapan tersebut

juga diliputi kekhawatiran. Otonomi daerah dicemaskan hanya

akan melahirkan “raja-raja kecil” di daerah, yang tidak

memperdulikan kesejahteran rakyat. Dengan demikian, maka

studi kebijakan publik dengan alasan profesional semakin

dibutuhkan.

Dalam posisi yang bersebelahan dengan  kebijakan publik

yang semakin penting, perihal kebijakan publik akan menjadi

sebuah upaya tanggung jawab dari pemerintah untuk melayani

masyarakat sebagai individu yang menjadi ladang penerapan

kebijakan publik. Kebijakan publik menjadi sebuah tindakan

pemegang kebijakan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak

melakukan sesuatu terhadap masyarakatnya. Kemudian diambil

suatu upaya untuk mencapai kebijakan publik yang tepat

sasaran sesuai dengan prinsip good governance.Maka

dibentuklah suatu agenda kebijakan yang dimaksudkan sebagai

wadah untuk menampung masalah-masalah yang akan diselesaikan

oleh pemerintah.

Agenda kebijakan berbentuk daftar masalah tersebut

kemudian di identifikasi oleh lembaga pengambil keputusan

untuk dijadikan pembahasan guna menentukan kebijakan publik

yang akan diambil. Tetapi kenyataan yang diterima oleh

masyarakat agenda kebijakan tidak sepenuhnya tercapai, karena

dalam penerapannya kelembagaan pemerintah malah mendapat

permasalahan yang lebih rumit. Hal ini disebabkan antara lain

keterbatasan waktu dan begitu banyaknya masalah yang harus

ditangani oleh sebuah lembaga pengambil keputusan.

Agenda kebijakan mungkin hanya mampu membahas beberapa

masalah dan kebutuhan sesuai dengan standar yang diterapkan

oleh organisasi pengambil keputusan. Dalam hal ini kemudian

muncul arti penting memahami masalah berdasarkan urgensinya.

Karena bisa saja agenda kebijakan publik tidak mendasarkan

pada aspek prioritas tetapi mungkin karena motif-motif

tertentu seperti motif ekonomi dan motif politik.Dengan

demikian sebelum masalah menjadi sebuah agenda kebijakan,

pada dasarnya telah terjadi pertarungan ditingkat sebelumnya,

yaitu bagaimana seseorang atau lembaga pengambil keputusan

menentukan prioritas masalah menjadi sebuah agenda kebijakan.

Disinilah sesungguhnya dibutuhkan suatu keahlian dan

keterampilan pengambil kebijakan untuk memahami, mengerti dan

akhirnya memutuskan apa yang hendak dimasukkan dalam agenda

kebijakan.

Defenisi yang menyatakan maksud agenda kebijakan adalah:

“List of subject or problems to which government officials and people outside of

government closely with these official, are paying some serious attention any given”

Dari defenisi ini ada beberapa masalah yang harus digaris

bawahi ;

Daftar urusan atau masalah, contohnya adalah pelayanan umum

apa yang harus diperbuat oleh pembuat kebijakan. Dalam hal

ini badan-badan pemerintah yang berhadapan langsung dengan

tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum, bukan

semata-mata kepentingan kalangan pelaku usaha.

Agenda kebijakan seharusnya melibatkan orang-orang di dalam

maupun di luar pemerintahan. Artinya dibutuhkan suatu

partnership dari berbagai pihak yang berkepentingan

(stakeholders) untuk menentukan dan mempengaruhi proses

kebijakan, agar sebuah masalah dapat dimasukkan dalam

daftar kebijakan.

Ada sebuah pandangan terhadap urgensi kebutuhan masyarakat

demi tercapainya pelayanan umum, maka diusulkan letak

penting prioritas permasalahan.

Dalam mewujudkan pelayanan publik melalui kebijakan publik

yang digagas oleh pemerintah dibutuhkan suatu kerjasama dengan

masyarakat demi terwujudnya kebijakan publik yang tepat guna.

Namun dalam kenyataannya pemerintah, dalam hal ini khususnya

pemerintah daerah, sepertinya mengenyampingkan kebutuhan-

kebutuhan masyarakat sehingga banyak bermunculan kebijakan

publik yang berorientasi kepada motif ekonomi dan motif

politik yang sebelumnya telah dipaparkan. Kenapa hal ini

terjadi? Karena tidak adanya akuntabilitas birokrasi terhadap

kenyataan publik, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan

agenda kebijakan publik yang tidak berorientasi kepada

pelayanan masyarakat. Penyimpangan-penyimpangan ini akhirnya

membentuk sesuatu yang dinamakan simpul korupsi birokrasi.

2. Analisis Undang-Undang No. 39 Tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI Tahun 2004

Jawab.

1. Calon TKI/TKI. Karakteristik calon TKI/TKI yang sebagian besar

terbatas aksesnya untuk mendapatkan informasi disebabkan

kualitas calon TKI/TKI memiliki pendidikan dan keterampilan

yang rendah, biasanya disebut sebagai tenaga kerja informal,

sehingga perlu mendapat perlindungan ekstra dari pemerintah.

Fakta, tanggung jawab PPTKIS lebih besar dari pemerintah,

lihatlah penjelasan Undang Undang Nomor: 39 Tahun 2004

menyebutkan bahwa calon TKI/TKI yang belum dapat menikmati

akses informasi menjadi tanggung jawab pemerintah.

2. Penganggaran. Berdasarkan Undang Undang APBN Tahun 2008,

BNP2TKI telah ditetapkan sebagai lembaga untuk menempatkan

TKI di seluruh negara penempatan. Berarti tidak hanya G to

G/P yang saat ini hanya untuk negara Korea Selatan dan

Jepang.

3. Pelayanan langsung. BNP2TKI membawahi 19 (sembilan belas )

organisasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Balai Pelayanan

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI)

serta 13 (tiga belas) Pos Pelayanan di embarkasi atau

debarkasi yang tugas pokoknya memberikan kemudahan pemrosesan

dokumen dan penyelesaian permasalahan TKI. Pelayanan langsung

melalui pelayanan terpadu satu pintu. Dalam pelayanan satu

pintu, kedudukan Dinas ketenagakerjaan merupakan instansi

yang sangat berperan dalam pelayanan tersebut. Selain itu,

keberadaan BP3TKI sebelumnya BP2TKI, sejak diberlakukannya

Undang Undang Nomor: 22 Tahun 1999 yang sekarang menjadi

Undang Undang Nomor: 32 Tahun 2004, UPT tersebut tidak

diserahkan ke pemerintahan daerah. Alasannya karena bersifat

lintas negara dan lintas provinsi.

4. Pelimpahan urusan pemerintahan. Dalam pelimpahan urusan

pemerintahan (urpem) terlebih dahulu menetapkan Standar

Pelayanan Minimal (SPM), tidak serta merta dengan Peraturan

Menteri. Menteri hanya membuat standar, pedoman, kriteria dan

prosedur dan pembahasannya bersama dengan Menteri Dalam

Negeri serta pemangku kepentingan termasuk BNP2TKI. Materi

yang dibuat SPM telah tercantum dalam lampiran PP Nomor: 38

Tahun 2007. Apabila diatur sebaliknya, maka terjadi tumpang

tindih antara dinas dengan BP3TKI.

5. Upaya hukum (legal remedies).

a. penyelesaian melalui lingkungan eksekutif (executif review)

artinya tidak mengambil keputusan atas nama negara apabila

ada konflik kepentingan, semestinya diserahkan kepada

atasannya atau pihak lain di lingkungan eksekutif yang

paling berwenang;

b. penyelesaian melalui Ombudsman sebagai lembaga negara yang

bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan

lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, karena

alasan terganggunya pelayanan publik (Undang Undang Nomor:

37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia);

c. Penyelesaian melalui kewenangan legislatif (DPR) dengan

melaksanakan hak mengajukan peratanyaan atau angket karena

adanya perbedaan dalam mengimplementasikan undang-undang;

d. Judicial Review pengujian legalitas peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-Undang ke Mahkamah Agung (the legality

of regulation);

e. Pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah

Konstitusi dengan batu ujinya adalah Undang Undang Dasar

1945 terhadap Undang Undang Nomor: 39 Tahun 2004.

6. Akhirnya, reformasi terhadap penempatan dan perlindungan TKI

telah gagal di tengah jalan karena kehilangan good will dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan. Jangan mengutamakan

kekuasaan atau kewenangan lebih mulia mengambil peran aktif

memperbaiki keadaan TKI.

Apa yang Membatalkan Anggito Abimanyu Gagal di Lantik Menjadi

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ?

Jawab.

3. Sebutkan Salah Satu Produk Kebijakan Pemerintah yang

Menimbulkan Masalah? Silahkan Menganalisis Melalui 4 Pendekatan.

Ekonomi, Politik, Sosial dan Keamanan.

Jawab.

Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang merupakan produk

kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jawaban

atas janji kampanye untuk menyelenggarakan pendidikan dasar

gratis, dimulai pada tahun ajaran 2005/2006, sampai sekarang

masih terus diliputi persoalan. Pada awal peluncurannya dulu,

persoalan yang muncul adalah jumlah dana BOS yang terbatas dan

waktu pengucurannya yang terlambat, di samping di daerah-daerah

banyak pungutan liar yang dilakukan oleh pejabat dinas

pendidikan setempat. Mekanisme tersebut kemudian diperbaiki

sehingga tidak terlambat.

Saat ini, besaran BOS yang diterima oleh sekolah sudah

dinaikkan, termasuk untuk BOS Buku dengan besaran: SD/SDLB di

kota Rp 400 ribu per siswa per tahun; SD/SDLB di kabupaten Rp

397 ribu per siswa per tahun; SMP/SMPLB/SMPT di kota Rp 575 ribu

per siswa per tahun; dan SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten Rp 570 ribu

per siswa per tahun. Total dana BOS 2011 ini mencapai Rp 16,8

triliun untuk 36.751.515 murid, yang terdiri atas 27.225.299

siswa SD/SDLB dan 9.526.216 siswa SMP/SMPLB/SMPT. Jadi, dari

segi jumlah, dana BOS yang diberikan sudah meningkat dibanding

pada awal implementasi dulu. Persoalan BOS tahun ini mencakup

dua hal.

Pertama, menyangkut soal penggunaan dana untuk belanja pegawai

(honor guru) bagi sekolah negeri maksimal 20 persen, seperti

diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

(Permendiknas) Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis

Penggunaan Dana BOS Tahun 2011. Konsekuensi dari Permendiknas

ini adalah banyak guru honorer di sekolah negeri yang

pendapatannya turun hampir 50 persen, ada yang dari Rp 400 ribu

merosot menjadi Rp 200 ribu, atau dari Rp 1,2 juta menjadi Rp

700 ribu, sehingga berpengaruh terhadap kinerja mereka. Di

beberapa sekolah negeri, keberadaan guru honorer itu terpaksa

dihentikan karena sekolah tidak punya sumber dana yang cukup,

meskipun keberadaan guru honorer tersebut dibutuhkan oleh

sekolah.

Kedua, menyangkut penyalurannya yang terlambat. Ironisnya,

keterlambatan tersebut terjadi justru ketika proses

penyalurannya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing,

yang semestinya bisa lebih cepat, karena secara geografis lebih

dekat dengan lokasi sekolah. Sebelumnya, penyaluran dana BOS itu

dari pemerintah pusat langsung ke rekening sekolah masing-

masing. Dengan tujuan  meningkatkan rasa memiliki daerah, mulai

2011 ini penyaluran dana BOS diubah melalui kabupaten/kota.

Pendekatan Ekonomi.

Pendekatan pertama ditempuh melalui mekanisme ekonomi.

Pendekatan ini dilakukan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi

yang kuat. Langkah yang dilakukan diantaranya dengan memperluas

investasi dan meningkatkan belanja pemerintah. Bila merujuk pada

UU penanaman modal, tujuan dari investasi adalah sebagai

berikut:

Menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional

Menciptakan lapangan kerja

Menigkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan

Menigkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional

Menigkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional

Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan

Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi rill

dengan menggunakan dana yang berasal baik dalam negeri maupun

luar negeri

Menigkatkan kesejahteraan rakyat

Kemiskinan di Indonesia terjadi salah satunya karena minimnya

lapangan pekerjaan. Berdasarkan data dari BPS, jumlah

pengangguran terbuka di Indonesia mengalami penurunan. Definisi

penganguran terbuka adalah orang yang mencari pekerjaan,

mempersiapkan Usaha, merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan,

atau sudah punya pekerjaan tetapi belum dimulai. Pada Februari

2010 mencapai 8.592.490 jiwa, sedangkan pada Agustus 2010 turun

menjadi 8.319.779 jiwa. Oleh sebab itu, melalui perluasan

investasi diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha. Dengan tersedianya kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha diharapkan bisa membawa dampak semakin

banyak warga negara yang memperoleh penghasilan dan kemiskinan

pun dapat dikurangi.

Estimasi dampak penerima bantuan BOS terhadap jumlah tingkat

putus sekolah usia 16 - 20 tahun dengan memperhitungkan

karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan individu.

memperlihatkan hasil estimasi dengan memperhitungkan siswa yang

sebelumnya pernah menerima manfaat BOS namun saat ini sudah

menginjak usia antara 16-20 tahun. Koefisien dampak program BOS

terhadap tingkat putus sekolah memperlihatkan hasil yang

signifikan secara statistic. Hasil ini konsisten dengan

perhitungan difference in difference, dimana dampak program BOS pada

siswa yang sebelumnya pernah menerima bantuan dan sekarang telah

berusia 16-20 tahun berpengaruh positif terhadap tingkat putus

sebesar 0,1637 poin dan signifikan secara statistic pada tingkat

kepercayaan 99 persen.

Karateristik rumah tangga yang berpengaruh negatif terhadap

tingkat putus sekolah adalah status pekerjaan kepala rumah

tangga jika bekerja yang mencapai 0,1263 dan signifikan secara

statistic pada tingkat kepercayaan 95%. Artinya, jika terjadi

peningkatan sebesar 1 poin status pekerjaan rumah tangga jika

bekerja maka akan menurunkan tingkat putus sekolah sebesar

0,1263 poin dengan asumsi cateris paribus. Hasil ini

memperlihatkan bahwa tingkat putus sekolah banyak disebabkan

tidak hanya karena ketidakmampuan secara ekonomi, termasuk jika

kepala rumah tangga tidak bekerja. Hal ini akan mengakibatkan

anakanak mereka dilibatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan

ekonomi keluarga sehingga merasa terbebani dengan masalah

ekonomi ini. Dalam jangka panjang, dapat menyebabkan anak usia

sekolah terpaksa putus sekolah dan masuk ke pasar kerja dalam

usia muda guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya (ILO,

2006). Sebaliknya, jika kepala rumah tangga bekerja maka akan

cenderung untuk tidak melibatkan anak mereka untuk membantu

memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan berusaha menjaga

anakanaknya agar tetap bersekolah. Oleh karena itu, kondisi

tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan tingkat putus

sekolah. Sementara itu, karateristik anak yang berpengaruh

terhadap penurunan tingkat putus sekolah adalah jumlah anak yang

sekolah. Jumlah anak yang bersekolah berpengaruh negatif

terhadap tingkat penurunan putus sekolah sebesar 0,0372 poin

pada tingkat kepercayaan 90%. Artinya, jika terjadi peningkatan

1 poin jumlah usia sekolah maka akan menurunkan tingkat putus

sekolah sebesar 0,0372 poin dengan asumsi cateris paribus.

Sementara itu, variabelvariabel lainnya yaitu jumlah anggota

rumah tangga,jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalamrumah

tangga, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala keluarga,

pengeluaran perkapita, pendidikan kepala rumah tangga, status

perkawinan kepala rumah tangga dan usia anak sekolah tidak

signifikan secara statistik.

Pendekatan Sosial dan Politik

Era modern saat ini perkembangan teknologi dan pengetahuan

sudah semakin cepat menyebar melalui berbagai media-media

informasi yang menjadi penghubung antar masyarakat dunia saat

ini. Persaingan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya sangat

ketat baik didalam satu negara itu sendiri maupun antar

bangsa/negara.

Pada masa ini agar terus bisa maju melangkah menuju

perkembangan yang lebih baik, dibutuhkan banyak perubahan-

perubahan dalam segala aspek kehidupan. Aspek kehidupan yang

paling penting untuk mencapai perkembangan yang lebih baik dan

maju adalah aspek sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas

tinggi. Karena hal ini bisa dijadikan kunci sebagai sarana

mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Dukungan atas kualitas sumber daya manusia yang tinggi sangat

mempengaruhi kemajuan pembangunan dan teknologi yang berkembang

di setiap Negara. Melalui pengembangan dan peningkatan sumber

daya manusia yang unggul setiap negara bisa mulai berani untuk

merangkak menuju singgasana kemajuan global dunia.

peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia menekankan

manusia sebagai alat (means) dan sebagai tujuan akhir

pembangunan. Peningkatan sumber daya manusia dapat diperoleh

melalui : perbaikan kesehatan dan gizi, kesempatan kerja,

lingkungan hidup yang sehat, pengembangan karir ditempat kerja

dan kehidupan politik yang bebas serta pendidikan dan pelatihan.

Diantara unsur-unsur tersebut pendidikan dan pelatihan merupakan

unsur terpenting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Karena dapat dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan inti

dari peningkatan kualitas hidup. Jika pendidikan sudah meningkat

maka secara berlahan unsur yang lainnya akan ikut meningkat

juga.

Di Indonesia pendidikan merupakan salah satu jalur yang

digalakkan saat ini untuk meningkatkan kualitas hidup sumber

daya manusia Indonesia agar lebih baik, terarah dan tidak

tertinggal dengan negara-negara lain yang telah maju dan modern.

Di dalam tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 th 2003

tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa : Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya

potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat

berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.

Sebuah Implementasi dari Undang-undang tersebut, pemerintah

mulai mengasah kreativitas mereka guna menemukan kebijakan-

kebijakan untuk membantu menuju pendidikan masyarakat yang lebih

maju. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara

berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yang

dikenal dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan

Tahun. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib

memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada

tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/Mts serta satuan

pendidikan yang sederajat).

Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan

kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Namun,

sampai dengan saat ini masih banyak orang miskin yang memiliki

keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu, hal ini

disebabkan antara lain karena mahalnya biaya pendidikan.

Kenaikan harga BBM beberapa tahun belakangan dikhawatirkan akan

menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin. Hal tersebut

dapat menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar

Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, karena penduduk miskin akan

semakin sulit memenuhi kebutuhan biaya pendidikan.

pendekatan keamanan

4. Apa Saja yang di Analisis Dalam Formulasi Kebijakan ?

Jawab

Pada dasarnya ada empat belas macam model perumusan

kebijakan, dan keempat belas model tersebut dikelompokkan

kedalam dua model yaitu model elite dan model pluralis (Nugroho,

2012:544). Model elite merupakan model yang dipengaruhi

kontinentalis yang terdiri dari model kelembagaan (institutional),

model proses (process), model kelompok (group), model elit (elite),

model rasional (rational), model inkremental (incremental) dan model

pengamatan terpadu (mixed scanning). Sementara model pluralis yaitu

model yang dipengaruhi oleh anglo-saxonis yaitu model teori

permainan (game theory), model pilihan publik (pilihan publik), model

sistem (system), model demokratis (democratic), model deliberatif

(deliberative), model strategis (strategic), dan model tong sampah

(garbage can).

Untuk lebih memahami mengenai proses perumusan kebijakan,

Nugroho (2011:551) mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan

Kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik yang

dikembangkan untuk Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur

Negara Tahun 2006 yang secara umum dapat digambarkan secara

sederhana dalam urutan proses sebagai berikut :

1. Munculnya isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah

dan atau kebutuhan masyarakat dan atau negara, yang bersifat

mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan memerlukan

pengaturan pemerintah.

2. Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim

perumus kebijakan. Tim kemudian secara paralel merumuskan

naskah akademik dan atau langsung merumuskan draf nol

kebijakan.

3. Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan

bersama forum publik, dalam jenjang sebagai berikut :

a. Forum publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan

pakar yang berkenaaan dengan masalah terkait.

b. Forum publik kedua, yaitu dengan instansi pemerintah yang

merumuskan kebijakan tersebut.

c. Forum publik yang ketiga dengan para pihak yang terkait atau

yang terkena impact langsung kebijakan, disebut juga

benificiaries.

d. Forum publik yang keempat adalah dengan seluruh pihak

terkait secara luas, menghadirkan tokoh masyarakat, termasuk

didalamnnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu

terkait.

Hasil diskusi publik ini kemudian dijadikan materi penyusunan

pasal-pasal kebijakan yang akan dikerjakan oleh tim perumus.

Draf ini disebut Draf 1.

4. Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused group discussion

yang melibatkan dinas/instansi terkait, pakar kebijakan, dan

pakar dari permasalahan yang akan diatur.

5. Tim perumus merumuskan Draf 2, yang merupakan Draf Final dari

kebijakan.

6. Draf final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, atau,

untuk kebijakan undang-undang, dibawa ke proses legislasi yang

secara perundang – undangan telah diatur dalam UU Nomor 12

Tahun 2011.

Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan, Abidin

(2012:123) mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan publik

dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan Kerangka

Proses dan Lingkungan Kebijaksanaan (KPLK). Kerangka proses

tersebut menggambarkan proses kebijakan dalam tiga dimensi,

antara lain dimensi luar, dimensi dalam dan tujuan. Diantara

dimensi luar dan dimensi dalam terdapat jaringan keterkaitan

(linkages).

Elemen luar adalah bagian luar dari suatu organisasi yang

mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap rumusan kebijakan.

Dimensi dalam adalah bagian dalam dari dalam suatu organisasi,

elemen-elemen yang berada di dalam sistem ini terdiri atas

struktur organisasi, sumber daya manusia, dan sarana organisasi,

termasuk peralatan dan teknologi yang dikuasainya. Keterkaitan

atau linkages, yaitu pertama keterkaitan yang ditujukan untuk

memperoleh dukungan keabsahan atau legitimasi (enabling linkages),

kedua adalah keterkaitan sumber daya yang diperlukan dalam

perumusan kebijakan. Terkait dengan sumber daya yang diperlukan

dalam proses kebijakan, Riant Nugroho (2011:506) mengemukakan

terdapat keterbatasan sumber daya dalam proses kebijakan publik,

adapun keterbatasan tersebut antara lain keterbatasan sumber

daya waktu, kemampuan sumber daya manusia, keterbatasan

kelembagaan, keterbatasan dana atau anggaran, dan keterbatasan

yang bersifat teknis yaitu kemampuan menyusun kebijakan itu

sendiri.

Dalam membicarakan perumusan kebijakan publik, adalah penting

untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses

perumusan kebijakan tersebut. Winarno (2012:126) membagi aktor-

aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat

dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan

pemeran serta tidak resmi.

5. Dalam Evaluasi Kebijakan Apa Saja yang Perlu di Analisis ?

Jawab.

Dimensi Evaluasi

Secara garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh

informasinya dari studi dievaluasi dalam kebijakan publik.

Dimensi tersebut seperti :

1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni

mengevaluasi kinerja orang-orang yang bertanggungjawab

mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan memperoleh

jawaban atau informasi mengenai kinerja implementasi,

efektifitas dan efisiensi, dlsb yang terkait.

2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi

kebijakan itu sendiri serta kandungan programnya. Darinya

kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat (efek)

kebijakan, dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian

kebijakan/program dengan tujuan yang ingin dicapainya

(kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll

Menurut Palumbo dimensi kajian pada studi evaluasi mencakup

keseluruhan siklus di dalam proses  kebijakan, dari saat

penyusunan desain kebijakan,  saat implementasi, hingga saat

selesai diimplementasikan. Jika dikaitkan dengan kebutuhan

informasi yang diperoleh dari hasil evaluasi, maka dimensi

evaluasi kebijakan meliputi hal-hal berikut :

Dimensi Evaluasi dalam Siklus kebijakan

- Penentuan Agenda

- Pendefinisian Masalah

- Forecasting, Definisi Sasaran

- Pendefinisian Ukuran, Distribusi Masalah

- Analisis Keputusan

- Desain Kebijakan

- Analisis Feasibilitas Politik

- Terminasi

- Pooling, Survey

- Legitimasi Kebijakan

- Evaluasi Formatif

- Evaluasi Sumatif

- Dampak

- Implementasi

Penelitian evaluasi kebijakan bukanlah hal yang dapat dipandang

sepele karena dari hasil penelitian tersebut diharapkan

diperoleh masukan/umpan balik dan penilaian-penilaian yang

akurat atas sebuah kinerja kebijakan/program, serta hasilnya

dapat dipertanggung-jawabkan.

A. Sebelum pelaksanaan

Gunakan prosedur-prosedur ilmiah

- Mengamati dan memahami tujuan evaluasi

- Mengamati dan memilih  criteria

- Mengamati sensitivitas metode

Focus pada proses dan outcomes kebijakan/program, bukan hanya

pada outcomesnya saja. Dengan demikian dapat diperoleh

informasi mengenai aktifitas-aktifitas apa menghasilkan apa;

serta memungkinkan upaya replikasi di kemudian hari.

Jangan batasi dampak hanya pada sasaran-sasaran yang

dinyatakan secara formal saja, sebab tidak semua sasaran

kebijakan dinyatakan secara formal. Konsekuensi-konsekuensi

yang mungkin terjadi akibat program/kebijakan juga

dipertimbangkan. Untuk itu manfaatkan  hasil penelitian yang

terkait, gunakan logika, atau pengalaman-pengalaman atas

program yang serupa.

Pertimbangkan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh

pembuat keputusan di masa mendatang, bukan hanya kebutuhan

saat ini. Bersikaplah sebagai ilmuwan, bukan teknisi

evaluasi.

B. Persiapan sebelum menguji Program

1) Definisi Program Secara Jelas.

Harus dipastikan bahwa label yang diberikan pada sebuah

program memiliki makna dan maksud yang sama bagi semua yang

terlibat, sehingga jelas data mana yang harus diukur

(definisi konsep harus jelas, sehingga definisi

operasionalnya juga jelas dan dapat direplikasikan).

2) Spesifikasi Sasaran/goals.

Karena sasaran-sasaran merupakan criteria keberhasilan

program, maka harus dinyatakan secara spesifik agar dapat

diperoleh tolok ukurnya. Sayangnya seringkali

tujuan/sasaran tersebut hanya disebutkan secara umum,

jangka panjang, bahkan kadang kontradiksi dan tidak terkait

dengan aktifitas-aktifitas program. Jika hal ini terjadi,

maka peneliti bertanggung-jawab untuk merumuskannya secara

bersama-sama dengan perencana program dan manajer program.

3) Keterkaitan Rasional.

Harus ada keterkaitan rasional antara program yang akan

dievaluasi dengan sasaran yang dituju dan dampak yang

diharapkan. Ada tidaknya kaitan rasional tersebut, dapat

menentukan apakah program tersebut yang harus dimodifikasi

atau sasaran dan hasil yang harus dirubah (misal Program

Pelatihan Angkatan Kerja dengan sasaran jangka panjang

berkurangnya angka pengangguran. Akan lebih masuk akal jika

dikaitkan dengan sasaran jangka pendek : pencapaian tenaga

kerja berketrampilan.

4) Pastikan Kegunaan Evaluasi.

Kendati studi evaluasi dimaksudkan sebagai akuntabilitas

program, serta untuk memberikan informasi yang terkait

dengan pelaksanaan dan hasil program kepada pembuat

keputusan dan manajemen, namun seringkali studi evaluasi

dilakukan dengan maksud-maksud tertentu, yang disebut oleh

Edward Suchman sebagai Pseudoevaluations. Karenanya evaluator

juga harus mengetahui siapa yang menghendaki dan mendanai

studi evaluasi tersebut untuk mencegah timbulnya ketegangan

dengan administrator program.

5) Spesifikasikan Variabel-variabel Evaluasi

- Spesifikasikan komponen-komponen program,  dengan

memperjelas terdiri dari komponen-komponen aktifitas

apa saja program tersebut (misalnya PKK dengan 10

Program PKKnya). Gunanya adalah sebagai

- Component testing untuk menguji sumbangan keefektifan

masing-masing komponen terhadap program.

- Spesifikasikan sasaran-sasaran dan efeknya. Bukan

hanya yang dinyatakan secara formal dalam dokumen atau

oleh pengelola program, namun juga sasaran-sasaran

latent dan dampak-dampak lain yang diharapkan oleh

masyarakat (misal kasus program Bantuan Langsung Tunai

BLT yang ditujukan untuk meringankan beban masyarakat

miskin akibat kenaikan harga BBM, dapat ditanggapi  

beragam – missal: apa criteria ‘miskin’ dan apa

criteria ‘meringankan’ yang dimaksudkan oleh program

tsb? Karena jawabannya dapat beragam, demikian juga

dampaknya). 

6) Spesifikasikan Variabel-variabel antesedennya.

Anteseden variable adalah factor-faktor konteks yang dapat

mempengaruhi jalannya program (misalnya karakteristik

target kebijakan; sifat dasar permasalahan sehingga

memerlukan intervensi kebijakn, dll).

7) Spesifikasikan variable-variabel Interveningnya

dengan menanyakan : ”setelah program dijalankan, faktor-

faktor apakah yang dapat mendukung atau menghambat

pencapaian sasaran program?

- Antecedent factors

- Program Implementation

- Intervening

- Goals / Effects

8) Measurement

setelah mengetahui apa saja yang harus diukur, maka langkah

selanjutnya adalah memilih tehnik pengukuran yang tepat

untuk menilai. Untuk itu perlu : a). ketepatan indicator

(tolok ukur) yang digunakan; b). Reliabilitas alat ukur

(hasil yang diberikan konsisten meski dilakukan dalam

situasi yang berbeda) dan c). Validitas alat ukur

(ketepatan alat ukur dalam mengukur fenomena).

C. Kriteria yang harus dipenuhi dalam evaluasi

1) Relevansi : harus mampu memberikan informasi yang tepat pada

pembuat dan pelaku kebijakan, mampu menjawab secara benar

pertanyaan dalam waktu yang tepat

2) Signifikan : harus mampu memberikan informasi yang baru  dan

penting.

3) Validitas : mampu memberikan pertimbangan yang tepat sesuai

dengan hasil nyata/data empiric mengenai hasil kebijakan.

4) Reliabilitas : dapat membuktikan bahwa hasilnya diperoleh

dengan penelitian yang teliti

5) Obyektif : tidak memihak /bias

6) Tepat waktu

7) Daya guna : hasil penelitian dapat dipahami dan  dimanfaatkan

oleh pelaku dan pembuat kebijakan