196
UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PRIVATISASI AIR DKI JAKARTA SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana PRASHASTI WILUJENG PUTRI 1006693243 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI DEPOK 2014

UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PRIVATISASI AIR DKI JAKARTA SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Embed Size (px)

Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN PRIVATISASI AIR DKI JAKARTA SEBAGAI

BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

PRASHASTI WILUJENG PUTRI

1006693243

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI

DEPOK

2014

ii Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Prashasti Wilujeng Putri

NPM : 1006693243

Tanda Tangan :

Tanggal : 7 Mei 2014

iii Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa

skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh

Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 7 Mei 2014

Prashasti Wilujeng Putri

iv Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh

nama : Prashasti Wilujeng Putri

NPM : 1006693243

program studi : Kriminologi

judul : Kebijakan Privatisasi Air DKI Jakarta sebagai Bentuk

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

ini telah berhasil dipertahankan di depan hadapan Dewan Penguji dan

diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh

gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ferdinand T. Andi Lolo, S.H., L.L.M., Ph.D

Penguji Ahli : Prof. Dr. Muhammad Mustofa

Ketua Sidang : Dra. Mamik Sri Supatmi, M. Si.

Sekretaris Sidang : Dr. Iqrak Sulhin, M. Si.

Ditetapkan di : Universitas Indonesia, Depok

Tanggal : 7 Mei 2014

v Universitas Indonesia

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan segala keterbatasan peneliti, peneliti sadar bahwa tidak mungkin

naskah skripsi ini dibuat apabila peneliti tidak mendapat bantuan dari siapapun.

Untuk itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih untuk segala pihak yang

membantu pembuatan naskah skripsi ini.

Segala puji, hormat, juga syukur dipanjatkan bagi Sang Pencipta semesta.

Hanya dengan berkat dan pengampunan-Nya, peneliti dapat menyusun

naskah skripsi ini dari awal hingga akhirnya.

Terima kasih kepada Yohanes Haryono, Soeastuti Poerwanti, Prabham

Wulung Pratipodyo, Prathiwi Widyatmi Putri, Susi Lusiani, Galuh Dahayu

Waranggani Pratipodyo, dan Bhre Reksa Bhagawanta Pratipodyo untuk cinta

kasih yang tak terhingga.

Ferdinand T. Andi Lolo, S.H., L.L.M., Ph.D. selaku dosen pembimbing

peneliti yang telah memberikan bimbingan, bantuan, kritik, dan berbagai ilmu

sehingga peneliti dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik.

Prof. Dr. Muhammad Mustofa selaku penguji ahli. Terima kasih atas semua

masukan akan konsep, teori, dan metode selama saya mengerjakan skripsi ini.

Dr. Iqrak Sulhin, M. Si. selaku sekretaris sidang dan yang telah banyak

menemani saya berdiskusi dan mencerahkan pikiran saya yang kadang

menemui jalan buntu.

Dra. Mamik Sri Supatmi, M. Si. selaku ketua sidang dan ketua program studi

reguler.

Para dosen dari Departemen Kriminologi FISIP UI yang kerap membantu

saya selama studi strata satu saya. Semoga semakin berkembang.

Arief Effendy beserta staff Departemen Kriminologi FISIP UI yang lain,

yang sangat membantu saya selama masa perkuliahan dalam bidang

administrasi. Ntah apa jadinya kalau mas Arief dan rekan-rekan tidak ada.

Para narasumber yang memberikan saya banyak data, masukan, dan sudut

pandang baru: Riant Nugroho, Sri Widayanto Kaderi, Ahmad Lanti, Firdaus

Ali; Ibu-ibu di Muara Baru: Muhayati, Siti Maryam, Hamidah, Linda; Ibu-ibu

di Rawa Badak: Ella, Ncih, Halimah.

vi Universitas Indonesia

Pihak-pihak yang membantu saya mengakses dokumen dan narasumber

penelitian: M. Reza Shahib, Suachman, dan Sigit Karyadi Budiono dari

Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air; Arif Maulana dan Zae dari Lembaga

Bantuan Hukum Jakarta; Royke dari PAM Jaya; Nurhidayah dari Solidaritas

Perempuan; Marsha, Mimi, dan Palgunadi dari Badan Regulator Pelayanan

Air Minum Jakarta; Andreas Harsono.

Teman-teman dari Departemen Kriminologi yang memberi warna-warni

dalam kehidupan peneliti selama empat tahun ini, terutama Agustin, Agalliso,

Akbar Acil, Alala, Alwin, Anggi, Anin, Annisa Nichi, Annisa Ica, Anugrah,

Ardi Putra, Argina, Arief Ucup, Arief Padang, Arsendi, Ayu, Azhara, Azizul,

Fahmi, Firyan, Gerald, Gome, Hardiat Dani, Harris, Hawlah, Ical, Irfan Lele,

Juliana, Meutia Udung, Mulki, Nadia, Nisa, Kasa, Kenn, Kunto, Marcha,

Rahmadiani, Razhes, Remon, Ridho, Rini, Sekar, Suci, Syahrizal, Taufan,

Tubagus, Teddy, Tyas Puspo, Vanny, Wahid, Wara, Yudith, Yunia, Oshin,

Bob, Rima, Techa, Swaswa, Sherlyna, Bagas, Manshur Zikri, Ovan, Affin,

Endah, Vivi, Maria, Pangesti, Tua, Rasyel, Ace, Shaila, Zainal, Naya, Cika,

Tiani, Agung, Arma, Dila.

Acista Nitbani, Aditya Hizkia, Alanda Arifin, Albino Panjaitan, Ananda Putri

Permatasari, Andreas Wahyu Apridiyanto, Berto Tukan, Carl Jaya, Christ

Billy Ariyanto, Christin Stefphanie, Febrina Manalu, Grace Manalu, Jefri

Tien Yun, Joseph Rustandi Harahap, Kara Toruan, Pascalia Bertie, Pingkan

Polla, Tanius Sebastian, Thalita Adwinda, Theresa Panjaitan, Thomas Galih

Satria, Whisnu Yonar yang membantu saya dalam memberi saran, pemikiran,

teknik pengambilan data, operasional penelitian, dan penghiburan, serta

semangat.

Semoga semua pihak yang telah membantu bisa mendapat karma baik dari hal

yang telah dilakukan. Semoga naskah skripsi ini bisa membawa kebaikan dan

manfaat bagi dunia akademis dan praktis.

Depok, 2014

Peneliti

vii Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Prashasti Wilujeng Putri

NPM : 1006693243

Program studi : Kriminologi

Departemen : Kriminologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-ekslusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Kebijakan Privatisasi Air DKI Jakarta sebagai Bentuk Pelanggaran Hak

Asasi Manusia

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Nonekslusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan

atau memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan

nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok

Pada tanggal: 2014

Yang menyatakan,

Prashasti Wilujeng Putri

viii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Prashasti Wilujeng Putri

Program Studi : Kriminologi

Judul : Kebijakan Privatisasi Air DKI Jakarta sebagai Bentuk

Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Skripsi ini membahas tentang bagaimana pemerintah Indonesia melakukan

kejahatan dalam melakukan kebijakan privatisasi air bagi warga DKI Jakarta.

Teori yang dipakai dalam skripsi ini adalah kejahatan negara yang dilakukan

karena melakukan pelanggaran HAM oleh Julia dan Herman Scwendinger, teori

Strukturasi oleh Giddens, dan crimes of domination oleh Quinney. Skripsi ini

melihat bagaimana praktik-praktik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia

tidak terlepas dari dan mendukung adanya struktur yang lebih besar dalam

globalisasi. Indonesia dihegemoni oleh Bank Dunia dalam rangka globalisasi yang

kemudian diberi reaksi oleh Indonesia sebagai bentuk adaptasi struktural sehingga

pemerintah Indonesia melakukan crimes of domination. Dalam hal ini, pemerintah

Indonesia melakukan kejahatan dengan adanya pelanggaran hak asasi manusia

atas air bersih terhadap warga DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kriminologi kritis untuk mengkaji masalah kebijakan privatisasi air

bersih ini. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi

dokumen, wawancara, FGD, dan penelusuran data sekunder sebagai teknik

mengumpulkan data.

Kata Kunci:

Privatisasi Air, Hak Asasi Manusia, Strukturasi, Crimes of Domination,

Pelanggaran HAM, Kejahatan Negara.

ix Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Prashasti Wilujeng Putri

Course : Criminology

Title : Water Privatization Policy in DKI Jakarta as a Form of

Human Rights Violation

This thesis discusses about how the Indonesian government commit a crime in

doing water privatization policy for the Jakarta citizens. The theory and concept

used in this thesis are a state crime for committing human rights violations by

Julia and Herman Schwendinger, Structuration theory by Giddens, and crimes of

domination by Quinney. This thesis sees how the practices done by the

government of Indonesia cannot be separated from and promote the bigger

structure in the globalization. World Bank performs hegemony in the context of

globalization to Indonesia whose the reaction, as a form of structural adaptation, is

committing crimes of domination. In this case, the Indonesian government

commit a crime in the presence of human right to water violation to the people in

Jakarta. This study uses critical criminology approach to study the problem of

clean water privatization policy. The method used is a qualitative method with the

documents study, interviews, focus group discussions, and secondary data

retrieval as data gathering technique.

Keywords:

Water Privatization, Human Rights, Structuration, Crimes of Domination, Human

Rights Violation, State Crime.

x Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ....................................................... iii

UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................................................... vii

ABSTRAK ......................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv

1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

1.2. Masalah Penelitian ................................................................................ 8

1.3. Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 9

1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 9

1.5. Signifikansi Penelitian ......................................................................... 9

1.5.1. Signifikansi Akademis ............................................................... 9

1.5.2. Signifikansi Praktis .................................................................... 10

1.6. Sistematika Penulisan .......................................................................... 10

2. KAJIAN PUSTAKA ................................................................................... 12

2.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 12

2.1.1. Hak Asasi Manusia ..................................................................... 12

2.1.2. Globalisasi................................................................................... 14

2.1.3. Neoliberalisme ............................................................................ 16

2.1.4. Strukturasi ................................................................................... 17

2.1.5. Hegemoni .................................................................................... 18

2.1.6. Kebijakan Publik ........................................................................ 20

2.1.7. Privatisasi Air.............................................................................. 21

2.1.8. Barang Publik dan Barang Ekonomi ........................................... 23

2.1.9. Viktimisasi Struktural ................................................................. 25

2.1.10. Welfare Justice .......................................................................... 26

2.1.11. Crime of Domination sebagai Kejahatan Negara ...................... 27

2.2. Landasan Teori

Pendekatan Kriminologi Kritis oleh Julia dan Herman Schwendinger 29

2.3. Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang ............................................ 31

2.4. Kerangka pemikiran ............................................................................. 36

xi Universitas Indonesia

3. METODE PENELITIAN .......................................................................... 39

3.1. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 39

3.2. Batasan Penelitian ................................................................................. 40

3.3. Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 40

3.3.1. Studi Dokumen ........................................................................... 40

3.3.2. Wawancara Mendalam ................................................................ 41

3.3.3. Focus Group Discussion ............................................................. 43

3.3.4. Penelusuran Data Sekunder ........................................................ 44

3.4. Waktu Penelitian ................................................................................... 44

3.5. Hambatan Penelitian ............................................................................. 45

4. TEMUAN DATA ......................................................................................... 46

4.1. Awal Perjalanan Privatisasi Air DKI Jakarta ........................................ 46

4.2. Keterlibatan Badan-Badan Internasional .............................................. 54

4.3. Regulasi ................................................................................................. 56

4.4. Pelayanan Air Bersih terhadap Warga .................................................. 60

4.5. Kerugian yang Dialami oleh Warga Akibat Privatisasi Air .................. 63

5. ANALISIS ................................................................................................... 67

5.1. Air sebagai Hak Asasi Manusia ............................................................ 67

5.2. Dominasi Bank Dunia akan Nilai Neoliberalisme terhadap Indonesia

Dalam Jubah Globalisasi....................................................................... 69

5.3. Reaksi Pemerintah Indonesia atas Hergemoni Bank Dunia ................. 74

5.4. Implementasi Kebijakan Privatisasi Air ............................................... 78

5.5. Viktimisasi Struktural ........................................................................... 81

6. PENUTUP ................................................................................................... 86

6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 86

6.2. Saran ..................................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 92

LAMPIRAN ....................................................................................................... 99

xii Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Tabel Perubahan Perjanjian Kerjasama Sebelum dan Sesudah

Diperbaiki dan Diberlakukan Kembali tanggal 22 Oktober 2001 .......... 50

Tabel 4.2. Tabel Upaya Penurunan Kehilangan Air yang Dicantumkan pada

Lampiran Perjanjian Kerjasama .............................................................. 60

Tabel 4.3. Tabel Pembagian Tarif Air PAM ............................................................. 61

Tabel 4.4. Tabel Kategori Pembagian Tarif Air PAM ............................................... 62

xiii Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Gambar Pembagian Wilayah Produksi dan Distribusi Air ................. 52

Gambar 4.2. Bagan Mekanisme Kenaikan Water Tariff .......................................... 57

Gambar 4.3. Grafik Ilustrasi Grafik Water Charge dan Water Tariff yang

Terjadi Sebenarnya ............................................................................ 58

Gambar 4.4 Grafik Ilustrasi Grafik Water Charge dan Water Tariff yang Ideal

Menurut Perjanjian Kerjasama Gambar ............................................ 58

Gambar 4.5. Penjual Air di Muara Baru ................................................................. 65

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dikatakan, “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”. Secara eksplisit dinyatakan bahwa air

merupakan suatu hal yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. Leonardo da

Vinci mengatakan, bahwa air adalah poros penggerak kehidupan (Biswas &

Tortajada, 2005). Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar

manusia.Selain untuk diminum, air bersih digunakan untuk mencuci, mandi,

memasak, industri, rekreasi, dan pertanian.Ada istilah yang tersebar, bahwa di

mana ada air, di situ lah ada kehidupan.Air merupakan sumber kehidupan yang

bermanfaat untuk lingkungan hidup manusia dan vital bagikesehatan umat

manusia. Kebutuhan manusia akan air merupakan hal yang tidak terelakkan.

Produktivitas manusia untuk mengaktualisasi diri sangat bergantung pada air

karena air merupakan hal yang sangat fundamental bagi keberlangsungan siklus

kehidupan alam semesta ini. Semakin manusia bertumbuh, semakin manusia

membutuhkan air. Untuk itu, air merupakan hal yang harus dikuasai oleh negara

untuk kemudian digunakan untuk rakyat.

Dalam buku Water Wars: Privatization, Pollution, and Profit, Vandana

Shiva (2002) menulis,

“Water has traditionally been treated as a natural right–a right arising out of

human nature, historic conditions, basic needs, or notions of justice. Water rights

as a natural rights do not originate with the state; they evolve out of a given

ecological context of human existence. As natural rights, water rights are

usufructuary rights, water can be used but not owned. People have a right to life

and the resources that sustain it, such as water.”(Shiva, 2002; 20-21)

Hal yang dikatakan oleh Vandana Shiva adalah benar. Hak atas air

merupakan natural rights. Shiva menyebutkan, bahwa natural rights adalah hak

yang melekat pada sifat manusia, kondisi historis, kebutuhan dasar, dan gagasan

akan keadilan. Dalam Talbott (2010) juga disebutkan, bahwa natural rights adalah

hak yang membuat seseorang tidak dapat dilukai secara sengaja ataupun karena

2

Universitas Indonesia

kelalaian. Hak atas air pun merupakan usufructuary rights. Usufructuary rights

adalah hak untuk menggunakan dan menikmati keuntungan dari sesuatu hal yang

dimiliki pihak lain selama hal tersebut tidak rusak atau diubah dengan cara

apapun. Tidak terkecuali, setiap orang membutuhkan air untuk hidup dan setiap

orang berhak memperoleh air. Hak atas air merupakan hak asasi manusia. Di

Indonesia, hak asasi manusia telah dijamin dalam UUD 1945 Amandemen

Keempat pada Bab XA Pasal 28 sampai 28 J.

Namun, terdapat fakta bahwa World Health Organization (WHO)

mengestimasi bahwa satu miliar orang di dunia tidak mendapatkan akses terhadap

air minum yang bersih. Oleh karena itu, terdapat masalah kesehatan yang

menimpa orang-orang yang tidak mendapatkan akses air bersih tersebut (Hale,

2007).Dengan gambaran kecil ini, kita bisa melihat bahwa air bersih merupakan

hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Kelangkaan air semacam itu telah terjadi di Indonesia, misalnya di Jawa.

Jawa yang mempunyai penduduk banyak dan padat tentunya mempunyai

kebutuhan akan air bersih yang sangat tinggi. Warga Jakarta merasakan adanya

krisis air saat musim kemarau. Dengan semakin banyaknya orang yang datang ke

pulau Jawa, khususnya Jakarta, krisis air bersih akan meningkat. Belum lagi

masalah industrialisasi dengan banyaknya pabrik dan teknologinya.Polusi

membuat air bersih semakin terbatas.

Setiap orang membutuhkan paling sedikit dua belas liter air bersih untuk

dikonsumsi per hari (Overman, 1976).Warga Jakarta, yang pada November 2011

berjumlah 10.287.595 jiwa (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2011), tentu saja membutuhkan air sebagai

salah satu penunjang hidup.Apablila setiap orang membutuhkan paling sedikit dua

belas liter air per hari, warga Jakarta tentu membutuhkan paling sedikit

123.451.140 liter setiap harinya.Sebenarnya manusia bisa menggunakan air yang

tersedia di sungai, namun, karena berbagai limbah domestik dan limbah industri

berat di Jakarta, warga Jakarta tidak bisa mengkonsumsi air di sungai.Air sungai

menjadi coklat, bahkan hitam pekat, dan mengeluarkan bau.

Air bersih keluar dari mata air menuju sungai dan selokan-selokan, lalu

menuju ke laut. Namun, yang terjadi sekarang adalah terdapat pihak yang

3

Universitas Indonesia

mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi merasa berhak untuk menampung dan

mengolah air bersih tersebut, kemudian menjualnya. Air menjadi barang mahal

bagi manusia, apalagi bagi kaum miskin yang tidak diperhatikan oleh

penguasa.Air bersih hanya bisa diakses oleh warga yang kelas ekonominya

menengah ke atas.

Dari data penelitian Walhi, 65 persen penduduk Indonesia tinggal di pulau

Jawa yang kapasitas kandungan airnya hanya 4,5 persen saja. Data lain dari

Kompas, 85 persen sumur di Jakarta tercemar bakteri e-coli. Hal itu dapat

menimbulkan adanya penyakit menular antarwarga.Komplikasi lainnya adalah

penyakit tersebut dapat mewabah dan lebih menyebabkan kerugian yang lebih

besar lagi. Selain itu, hanya 40 persen warga perkotaan dan 30 persen warga

pedesaan yang tersambung jaringan PAM. Dengan kata lain, masih banyak warga

yang tidak mendapatkan akses air bersih untuk kehidupannya.Bila merujuk lagi

pada tahun 1991, dikatakan bahwa populasi penduduk Jakarta nyaris mencapai

angka tujuh juta, namun hanya 45 persen masyarakat Jakarta yang dapat

menikmati air keran yang bersih dan berkualitas (Sopian dkk, 2006).

Selain itu, di daerah Jakarta Utara, sejumlah pengusaha pencucian sepeda

motor dan mobil menyedot air tanah karena pasokan PAM tidak lancer. Salah satu

karyawannya mengungkapkan bahwa distribusi air dari PAM kadang terhenti

tanpa pemberitahuan. Usaha pencucian sepeda motor ini dapat terhambat apabila

tidak ada air. Dengan begitu, akan banyak pekerja di pencucian sepeda motor ini

yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, mereka harus

menyedot air tanah agar tetap bisa melakukan usaha. Namun, para pihak

pengelola usaha pencucian motor dan mobil tersebut tidak mempunyai surat izin

pengambilan air tanah. Rupanya para pelaku usaha pencucian motor dan mobil

tersebut mengambil air tanah secara diam-diam karena tarif pengambilan air tanah

dilipatgandakan oleh pemerintah daerah setempat pada 2009 untuk menghambat

defisit air tanah yang kian parah (KRuHA, 2012). Hal ini dapat dilihat pada

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah.

Contoh kasus dalam masalah ini adalah kasus di Penjaringan (KRuHA,

2011).Penjaringan merupakan salah satu daerah termiskin di DKI Jakarta. Dari

4

Universitas Indonesia

segala ketidakpastian hidup, seperti pekerjaan dan makanan sehari-hari, air

merupakan salah satunya. Endang (41) mengungkapkan kepada KruHA bahwa air

bersih susah sekali didapat. Tempat itu berdekatan dengan laut sehingga air laut

masuk ke sumur dan akhirnya air sumur pun tidak bisa diminum. Juga, untuk

mencuci, air terlalu keruh. Untuk mendapatkan air bersih, penduduk membeli air

per gerobak setiap hari.Selain itu, ada juga warga yang berlangganan air perpipaan

dari perusahaan swasta PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA), dan ada juga yang

terpaksa menggunakan air sumur.Air hanya mengalir antara pukul dua hingga tiga

dini hari dengan aliran sangat kecil.Dalam satu malam, air bersih yang didapat

hanyalah sebanyak dua ember.

Dinyatakan di dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial,

dan Budaya, bahwa air bersih merupakan hak setiap warga negara.Kovenan

tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun

2005.Dalam kovenan tersebut dinyatakan bahwa negara harus mengakui hak

setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk pangan, sandang, dan

papan, dan atas perbaikan kondisi yang terus-menerus. Negara juga harus

meningkatkan cara produksi, konservasi, dan distribusi pangan dengan ilmu

pengetahuan melalui penyebarluasan pengetahuan kepada seluruh masyarakat.

Setiap warga negara harus menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas

kesehatan fisik dan mental.Negara harus sangat mengupayakan perwujudan hak

ini sepenuhnya dengan membuat ketentuan-ketentuan, perbaikan, pencegahan,

pengobatan, dan pengendalian segala penyakit, perkembangan kehidupan, dan

kesehatan lingkungan.

Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2002 dari Komite Hak Ekonomi Sosial

dan Budaya PBB tentang Hak atas Air adalah hak atas air merupakan sesuatu

yang tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya.

“Water is a limited natural resource and a public good fundamental for life and

health. The human right to water is indispensable for leading a life in human

dignity. It is a prerequisite for the realization of other human rights.” (Committee

on Economic, Social, and Cultural Rights, 2002, Art. I.1.)

“The human right to water entitles everyone to sufficient, safe, acceptable,

physically accessible and affordable water for personal and domestic

use.”(Committee on Economic, Social, and Cultural Rights, 2002, Art. I.2.)

5

Universitas Indonesia

Kemudian, terdapat Sidang Umum PBB pada tahun 2010 yang

menyepakati bahwa air minum yang bersih dan sanitasi yang baik merupakan hak

asasi manusia yang sangat penting untuk kehidupan dan keseluruhan hak asasi

manusia. Sidang Umum PBB tersebut juga meminta negara-negara dan

organisasi-organisasi internasional untuk menyediakan keuangan, sumber daya,

peningkatan kapasitas, dan transfer teknologi melalui bantuan dan kerjasama

internasional dalam rangka meningkatkan upaya pemberian air minum yang

bersih, aman, mudah diakses, dan dapat dijangkau oleh semua orang. (United

Nations, 2010)

Sidang Umum PBB pada Juli 2010 telah menetapkan air sebagai Hak

Asasi Manusia. Untuk itu, terdapat standar air bersih yang harus dipenuhi (United

Nations, 2014), yaitu

1. Mencukupi: pasokan air untuk setiap orang harus cukup dan

berkesinambungan untuk keperluan pribadi dan rumah tangga.

Menurut WHO, antara 50 dan 100 liter air per orang per hari yang

diperlukan untuk memastikan bahwa sebagian besar kebutuhan dasar

terpenuhi.

2. Aman: Air harus bebas dari mikroorganisme, zat kimia, dan bahaya

radiologis yang merupakan ancaman bagi kesehatan seseorang.

3. Layak: Air harus dalam keadaan warna, bau, dan rasa yang dapat

diterima (acceptable) untuk setiap penggunaan pribadi atau rumah

tangga. Semua fasilitas dan layanan air harus sensitif dengan budaya,

gender, siklus hidup, dan kebutuhan privasi.

4. Mudah diakses: setiap orang berhak atas layanan air dan sanitasi yang

dapat diakses secara fisik di dalam atau di sekitar rumah tangga,

lembaga pendidikan, tempat kerja, atau lembaga kesehatan. Menurut

WHO, sumber air harus dalam 1.000 meter dari rumah dan waktu

mengambilnya tidak boleh lebih dari 30 menit.

5. Terjangkau: air dan fasilitas pelayanan air harus terjangkau bagi

semua. UNDP menunjukkan, bahwa biaya air tidak boleh melebihi tiga

persen dari pendapatan rumah tangga.

6

Universitas Indonesia

Sangat disayangkan, bahwa yang membuat air bersih menjadi sulit

dijangkau adalah kebijakan pemerintah sendiri yang memasukkan swasta dalam

sektor penyediaan air bersih. Awal masuknya pihak swasta dalam sektor

penyediaan air ini adalah pada tahun 1980-an dan 1990-an. Bank Dunia dan

lembaga-lembaga donor mengeluarkan strategi privatisasi untuk pengembangan

sistem air bersih di negara-negara berkembang(Hall & Lobina, 2008). Hal tersebut

didasari pada adanya pandangan bahwa pemerintah negara berkembang tidak

dapat memberikan pelayanan air bersih kepada warga negaranya. Kemudian,

privatisasi ini muncul sebagai solusi akan hal itu. Harapan dari privatisasi ini

adalah untuk dapat menjaring dana untuk investasi, perbaikan efisiensi, dan

pengelolaan yang lebih baik. Tergiurnya pebisnis-pebisnis dunia akan bisnis air

bersih ini membuat kebijakan privatisasi air ini berlanjut.

Pelanggengan atas masuknya swasta dalam sektor penyediaan air bersih

ini dilakukan pemerintah dengan adanya UU Nomor 7 tahun 2004 mengenai

Sumberdaya Air. Dalam undang-undang tersebut, terdapat tiga macam hak guna

air:

“(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak

guna pakai ai dan hak guna usaha air. (2) Hak guna air sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau

seluruhnya.” (UU Nomor 7 tahun 2004 Pasal 7)

“Hak guna pakai air adalah hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya

melaluia tanah orang lain yang berbatasan dengannya. Hak guna pakai air

diperoleh tanpa izin untuk kebutuhan sehari-hari.” (UU Nomor 7 tahun 2004

Pasal 8)

“Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha

dengan izin pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan

kewenangannya.” (UU Nomor 7 tahun 2004 Pasal 9)

7

Universitas Indonesia

Ada dua bentuk privatisasi.Yang pertama bersifat pengalihan sebagian ke

pihak swasta.Yang kedua bersifat pengalihan keseluruhan aspek, seperti peran,

tanggung jawab, dan kepemilikan dari pemerintah ke pihak swasta(Tim KRuHA,

2005).Bagaimana pun bentuknya, apabila peran dan tanggung jawab sudah

sebagian dialihkan adalah privatisasi.Namun, Bank Dunia lebih memilih istilah

lain, seperti Private Sector Participation (PSP) atau Public Private Partnership

(PPP).

Sepertinya, kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta ini tidaklah

menghasilkan buah yang baik dan bermanfaat untuk masyarakat banyak. Dari

hasil diskusi kampung yang dilakukan oleh KRuHA dan Koalisi Rakyat untuk

Keadilan Perikanan (KIARA) pada 23 Agustus 2013 di Pesisir Marunda Kepu,

Cilincing Jakarta Utara, banyak masyarakat miskin yang tidak mendapat

pelayanan air yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Mereka menyatakan,

bahwa sejak diberlakukannya privatisasi air pada 1997, yaitu pada saat perjanjian

kerjasama pengelolaan air antara pemerintah Indonesia dengan dua swasta asing,

air menjadi semakin sulit didapat karena layanan air semakin memburuk, seperti

air mengalir hanya sedikit dan air menjadi kuning dan berbau. Padahal sebelum

adanya privatisasi, air mengalir lancar, tidak mengeluarkan bau, dan tidak

berwarna. (KIARA dan KRuHA, 2013)

Air bersih yang merupakan suatu hal utama penyokong kehidupan

merupakan hak asasi setiap manusia yang harus dipenuhi. Namun, air menjadi

barang yang mahal dan eksklusif karena air menjadi milik swasta. Air sebagai

kebutuhan pokok manusia untuk hidup tidak terpenuhi. Hal tersebut merupakan

kerugian sosial yang dirasakan oleh masyarakat. Kerugian sosial merupakan

masalah serius bagi disiplin Kriminologi. Sutherland dalam Cohen (1993),

memasukan kriteria kerugian sosial untuk mendefinisikan kejahatan. Julia dan

Herman Schwendinger mengatakan pula, bahwa genosida dan eksploitasi

ekonomi yang dilakukan oleh negara juga merupakan kejahatan karena ada pihak

yang dirugikan. Hal itu dikatakan dalam wacana politik sebagai kejahatan negara.

Genosida dan eksploitasi ekonomi setara dengan perang, rasisme, dan seksisme.

Apabila kita masuk ke ranah diskursus kriminologi, kita berbicara tentang pelaku

kriminal yang menyebabkan kerugian sosial. (Cohen, 1993)

8

Universitas Indonesia

Dalam kasus privatisasi air ini, pemerintah melanggengkan privatisasi air

tersebut dan membuat adanya diskriminasi yang muncul dari adanya rakyat

miskin yang tidak mempunyai akses terhadap distribusi air bersih. Situasi ini

dijelaskan dengan faktor-faktor, termasuk ketidakmampuan mereka untuk

membayar, dan investasi infrastruktur yang bias antara pemerintah daerah dengan

korporasi.

1.2. Masalah Penelitian

Sebagaimana yang telah disinggung di bagian Latar Belakang Masalah, air

merupakan hak asasi manusia setiap warga negara. Hal itu telah diakui oleh

pemerintah Indonesia dengan meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam UU No. 11 tahun 2005. Namun, pemerintah

membuat undang-undang dan kebijakan lain. Terdapat UU No. 7 tahun 2004

tentang Sumber Daya Air yang dalam pasal 9 dikatakan bahwa hak guna usaha air

dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari

pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Masalah kebijakan privatisasi air ini adalah masalah Kriminologi, karena

kebijakan ini membuat banyak warga DKI Jakarta yang tidak mempunyai cukup

uang untuk membeli jasa pelayanan air menjadi tidak bisa menikmati air bersih

yang sebenarnya adalah hak hidup yang sangat penting.

Masyarakat DKI Jakarta menjadi korban dari kebijakan akan air bersih ini.

Namun, ironisnya masih banyak warga Jakarta dan para akademisi yang tidak

sadar bahwa privatisasi air ini merupakan suatu masalah yang apabila dibiarkan

akan bisa membuat kerugian lebih banyak terhadap warga Jakarta. Dalam kajian

kriminologis pun, masalah privatisasi air ini jarang dibahas, padahal jelas HAM

ini adalah hal serius bagi kriminologi.

Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1

butir keenam, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap

perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja

maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,

menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau

kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan,

9

Universitas Indonesia

atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,

berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Melihat fenomena tersebut, permasalahan yang akan peneliti coba angkat

adalah bahwa ada masalah dalam kebijakan privatisasi air ini yang berdampak

pada ketiadaan akses masyarakat DKI Jakarta atas pemenuhan kebutuhan pokok,

dalam hal ini adalah air bersih. Peneliti ingin mencoba menjawab pertanyaan

bahwa seberapa jauh kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta dikategorikan

sebagai kejahatan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan masalah penelitian yang telah

peneliti jelaskan sebelumnya, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

Seberapa jauh kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta dapat dikategorikan

sebagai kejahatan?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diidentifikasi oleh peneliti,

tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis kritis secara

akademis tentang kejahatan apa yang ada pada kebijakan privatisasi air di DKI

Jakarta. Selain itu, peneliti ingin memberi saran terkait dengan masalah privatisasi

air ini kepada para penegak hukum dan lembaga-lembaga yang peduli dan

menaruh fokus kepada masalah privatisasi air ini.

1.5. Signifikansi Penelitian

1.5.1. Signifikansi akademis

Dalam kriminologi, terdapat empat pilar utama, yaitu kejahatan, pelaku

kejahatan, korban kejahatan, dan reaksi masyarakat. Penelitian ini

menitikberatkan pada pilar kejahatan. Kejahatan itu sendiri, menurut. Mustofa

(2010), adalah tindakan yang dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok yang

dapat merugikan orang lain ataupun kelompok lain. Penelitian ini diharapkan

dapat berguna dalam ranah akademis bagi penelitian dalam masalah privatisasi air

10

Universitas Indonesia

di DKI Jakarta dengan menggunakan pendekatan kriminologi kritis. Hal ini

disebabkan oleh karena belum pernah ada yang mengkaji masalah kebijakan

privatisasi air di DKI Jakarta ini dalam pendekatan kriminologi kritis. Untuk itu,

peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang kejahatan yang terdapat dalam

kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta ini.

1.5.2. Signifikansi praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam ranah praktis untuk

memberikan suatu bentuk penyadaran untuk masyarakat, terutama mahasiswa

sebagai kaum intelektual bahwa kebijakan privatisasi air di DKI Jakarta ini

merupakan masalah yang terdapat di dalam kehidupan kita. Peneliti berharap

bahwa dengan sadarnya masyarakat akan masalah ini, masyarakat akan bisa

beraksi untuk menolak privatisasi air dan mengembalikannya ke ruang publik.

1.6. Sistematika Penulisan

Bab 1 Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang permasalahan dan masalah penelitian

yang menjadi dasar dan acuan peneliti dalam melakukan penelitian

tentang analisa kebijakan privatisasi air Jakarta dalam kajian

kriminologis. Bab ini juga berisi pertanyaan penelitian, tujuan

penelitian, dan signifikansi penelitian.

Bab 2 Kajian Pustaka

Bab ini berisi konsep-konsep yang peneliti gunakan dalam rangka

menganalisa masalah penelitian. Selain konsep, bab ini juga berisi

teori dan kajian penelitian yang terdahulu yang digunakan oleh

peneliti sebagai dasar untuk membuat kerangka pemikiran.

Bab 3 Metode Penelitian

Bab ini berisi metode penelitian yang digunakan peneliti dalam

penelitian tentang analisa kebijakan privatisasi air Jakarta dalam

kajian kriminologis ini.

11

Universitas Indonesia

Bab 4 Temuan Data

Bab ini berisi pemaparan data berupa hasil studi dokumen,

penelusuran data literatur, dan beberapa dokumentasi foto yang

berhubungan dengan topik penelitian.

Bab 5 Analisis

Bab ini berisi tentang analisa dari paparan data yang telah peneliti

paparkan pada Bab 4. Analisis yang dilakukan oleh peneliti mengacu

pada kerangka pikir yang telah peneliti buat di Bab 2.

Bab 6 Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil temuan data yang telah dianalisa

oleh peneliti. Selain itu, bab ini juga berisi saran yang peneliti berikan

berkaitan dengan kebijakan privatisasi air Jakarta.

12

Universitas Indonesia

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Konsep

2.1.1. Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada manusia,

apapun kebangsaannya, tempat tinggalnya, jenis kelamin, suku bangsa, warna

kulit, agama, bahasa yang ia pakai, ataupun status-status lain yang melekat pada

diri manusia. Kita semua sebagai manusia berhak akan pemenuhan hak asasi.

Hak-hak ini semua saling terkait, saling tergantung, dan tak terpisahkan. Prinsip-

prinsip HAM adalah universal, saling tergantung dan tak terpisahkan, setara dan

tidak bersifat diskriminatif, dan memerlukan kedua hal: hak dan kewajiban.

Universal maksudnya adalah semua orang di seluruh dunia terikat pada

HAM.Universalitas ini maksudnya adalah semua masyarakat di dunia terikat pada

nilai moral dan etika bersama yang dimiliki seluruh wilayah di dunia. Saling

tergantung dan tak terpisahkan maksudnya adalah pemenuhan satu hak tergantung

pada pemenuhan hak yang lain. Misalnya, hak atas pendidikan bergantung pada

pemenuhan hak akan fasilitas, akses, dan informasi. Setara dan tanpa diskriminatif

maksudnya adalah setiap orang tidak diperlakukan secara berbeda berdasarkan

suatu status yang melekat pada dirinya, seperti warna kulit, gender, orientasi

seksual, usia, ras, asal-usul sosial, dan lainnya. Selain itu, HAM memerlukan

pemenuhan kedua hal ini: hak dan kewajiban. Pemenuhan hak menuntut adanya

kewajiban yang harus dilakukan, seperti menghormati dan mengaplikasikan HAM

dalam kehidupan (United Nations Human Rights, 2013). HAM dalam

pemenuhannya tidak bersifat paralel antara hak dan kewajiban, HAM bukanlah

sesuatu yang akan seseorang dapatkan setelah ia menunaikan kewajiban. Suatu

kewajiban bagi negara untuk melindungi dan mewujudkan hak asasi manusia.

Hak asasi manusia merupakan properti yang hanya akan terwujud apabila orang

lain memberikan suatu hak asasi manusia itu. Hak dan kewajiban dalam HAM ini

merupakan sesuatu yang saling terkait antarmanusia.

Mengacu pada Klawitter & Qazzaz (2007), instrumen hukum yang berlaku

di dalam suatu negara tidak lah menentukan HAM. Hukum bukanlah sumber dari

12

13

Universitas Indonesia

hak-hak asasi manusia ini. HAM tidak diberikan oleh otoritas manusia atau

pemerintah, namun berasal dari martabat dan kemanusiaan itu sendiri. Dalam

HAM, tidak terdapat hierarki sehingga semua hak harus dianggap sebagai

prioritas yang setara.

Hak Asasi Manusia menjadi sebuah cita-cita yang dapat direalisasikan

dengan politik budaya. Politik budaya di sini maksudnya adalah kurang lebih

adalah sebuah simbol yang membingkai isu, kejadian, atau proses aktor-aktor

sosial yang secara emosional dan intelektual berinvestasi dalam membagikan

pengertian kepada dunia. Namun, politik budaya ini tidak hanya semata-mata

sebuah simbol, namun fokus pada bagaimana masyarakat itu dibayangkan,

bagaimana kehidupan hubungan sosial, dan bagaimana masyarakat diatur. Hal itu

membuat konsep HAM tidak hanya menjadi sebuah hal yang abstrak dan

kemudian HAM dapat dihormati secara penuh. (Nash, 2009)

Hak atas air bersih merupakan HAM. Hal ini berkaitan dengan hak hidup

dan atas kehidupan yang layak untuk manusia. Air bersih merupakan hal yang

sangat penting dan vital bagi kehidupan manusia.Tanpa air bersih, manusia tidak

dapat menjaga kesehatannya dan berproduksi. Di dalam masyarakat tradisional,

hak kolektif akan air dan manajemen air merupakan kunci dari konservasi dan

pemanenan. Dengan membuat peraturan dan batas akan penggunaan air,

manajemen air kolektif memastikan keberlanjutan akan hak akan air tersebut dan

kesetaraan (Shiva, 2002). Dalam buku Water Wars ini, Vandana Shiva juga

mengatakan bahwa air adalah hal yang secara turun-temurun dipergunakan secara

gratis oleh masyarakat.Peraturan dan manajemen air diaplikasikan dengan

kebijakan warga lokal dan secara musyawarah diaplikasikan.Hal itu membuat

pemakaian air bersih menjadi rata dan tidak ada yang termarginalkan.

Bingkai kerja hak atas air ini merujuk pada air sebagai hak sosial dan

ekonomi yang penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Hal ini bukan lah

hanya hak sebagai izin untuk menggunakan air, namun, hak asasi manusia atas air

ini menyadarkan bahwa semua manusia mempunyai kebutuhan akan air bersih

yang melekat pada dirinya. (Hale, 2007)

Hak asasi manusia atas air juga disebut dengan konsep usufructuary rights.

Usufructuary rights adalah hak untuk menikmati atau menggunakan suatu hal

14

Universitas Indonesia

yang dimiliki oleh pihak lain dengan tidak menyebabkan kerusakan atau

mengubah daya guna hal tersebut (World Wide Words, 2002). Vandana Shiva

(2002) juga menyebutkan konsep usufructuary rights ini. Shiva menjelaskan

bahwa seseorang berhak menggunakan dan menikmati suatu hal dengan tidak

melarang orang lain untuk menggunakan dan menikmati hal tersebut.

Air merupakan milik publik yang dapat dinikmati bersama demi

berlangsungnya kehidupan manusia. Secara tradisional, masyarakat

memperlakukan air sebagai milik bersama. Apabila ada tanah bermata air yang

dimiliki oleh suatu pihak, ia akan membiarkan masyarakat di sekitarnya

mengambil air dari situ sehingga masyarakat bisa mengonsumsi air bersih untuk

berbagai macam keperluan. Masyarakat tradisional menganut nilai bahwa

walaupun seseorang menjadi pemilik tanah tersebut, mata airnya adalah tetap

milik masyarakat bersama.

Pengurangan atau peniadaan hak manusia atas air merupakan pelanggaran

HAM. Pelanggaran atas HAM merupakan hal yang sangat serius. Dalam UU

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 butir keenam

disebutkan, bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan

seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun

tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,

menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau

kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan,

atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,

berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

2.1.2. Globalisasi

Adanya gagasan tentang hak asasi manusia yang kemudian diterapkan di

seluruh negara dunia tersebar melalui globalisasi. Selain itu, terdapat pula gagasan

tentang privatisasi air yang lahir dari menyebarnya ideologi neoliberal ke seluruh

negara di dunia. Indonesia pun tidak luput dari globalisasi ini dan kemudian turut

melakukan privatisasi air.

Globalisasi dalam Ahalla (2012) disebutkan sebagai suatu proses

meningkatnya keterkaitan antarmasyarakat yang kemudian memberi pengaruh

15

Universitas Indonesia

kepada seluruh warga dunia. Kejadian yang terjadi di suatu belahan dunia dapat

memberikan pengaruh terhadap orang-orang di belahan dunia yang lain. Batas-

batas antarnegara sudah tidak terlihat lagi, yang dapat dibuktikan dari mudahnya

akses berita dan informasi suatu negara yang dapat diperoleh oleh masyarakat

negara lain dalam waktu yang bersamaan tanpa harus berada di tempat kejadian.

Kejadian yang dapat memberi pengaruh terhadap belahan dunia lain, seperti yang

dijelaskan oleh Ahalla tersebut dapat dijelaskan alasannya oleh tulisan Gregg

Barak (2001) yang menyatakan, bahwa globalisasi merujuk pada adanya proses

pertumbuhan keadaan saling tergantung antara kejadian, masyarakat, dan

pemerintah di seluruh dunia yang terhubung melalui ekonomi-politik di seluruh

dunia serta komunikasi, transportasi, dan komputer yang berkembang. Mark

Findlay dalam bukunya yang berjudul Globalisation of Crime mengatakan, bahwa

dalam dunia yang terglobalisasi, hanya ada satu masyarakat dan budaya yang ada

di dalam planet bumi ini. Globalisasi adalah negara transisi. Berbicara tentang

globalisasi tidak hanya tentang hilangnya waktu dan ruang, namun juga adanya

kesadaran manusia sebagai penghuni dunia global tersebut terhadap adanya dunia

secara utuh, dunia yang hubungan antarwarga di dalam dunia ini secara konkret

saling tergantung. (Findlay, 2004)

Globalisasi kemudian memberikan kesempatan bagi sektor ekonomi dan

politik di seluruh dunia untuk saling membuka diri. Keterbukaan ekonomi-politik

di seluruh dunia dalam proses globalisasi ini memberikan janji-janji. Stiglitz

(2002) mengatakan, bahwa membuka diri terhadap perdagangan internasional bisa

membuat pertumbuhan negara menjadi lebih cepat. Perdagangan internasional

bisa menolong pembangunan ekonomi saat ekspor suatu negara mendukung

pertumbuhan ekonomi. Itulah janji globalisasi. Globalisasi itu sendiri sangat

dipengaruhi oleh korporasi internasional yang tidak hanya membantu

memindahkan modal dan barang melewati batas-batas negara, tapi juga membantu

memindahkan teknologi. Kemudian, ada bantuan asing sebagai satu aspek dunia

global(Stiglitz, 2002). Ciri-ciri globalisasi sebagai hal-hal positif tidak

memperhitungkan dampaknya bagi hal-hal yang tidak terkait langsung dengan

modal dan terutama bagi mereka yang lemah dari segi modal (Imam, 2006).

Bantuan asing tersebut masuk ketika negara berkembang terpuruk dalam rangka

16

Universitas Indonesia

mencapai level pembangunan yang dilakukan oleh negara maju. Seperti yang

dinyatakan oleh Barak (2001), bahwa negara berkembang ditandai oleh

tersedianya sumber daya yang murah, dan yang mempunyai standar kehidupan

yang rendah. Hal itu lah yang akhirnya dikatakan oleh Barak, bahwa ada

ketergantungan negara berkembang terhadap bantuan asing tersebut dengan

adanya bantuan untuk melakukan pembangunan di negara berkembang tersebut.

2.1.3. Neoliberalisme

Neoliberalisme merupakan kelanjutan dari paham liberalisme klasik yang

yang pernah berkembang dan mengalami krisis. Globalisasi yang sangat

mempengaruhi perdagangan antarnegara dalam dunia internasional sangat

bergantung pada pasar (Serra & Stiglitz, 2008). Namun, masih adanya campur

tangan yang besar dari negara membuat pasar tidak bebas dalam melakukan

kegiatanya. Untuk itu, lahir lah paham neoliberalisme ini yang ingin

menyingkirkan campur tangan negara dalam kegiatan pasar. Paham itu lah yang

kemudian dilembagakan dalam suatu konsensus yang bernama Konsensus

Washington (The Washington Consensus).

Konsensus Washington ini merupakan konsensus antara IMF, Bank Dunia,

dan the US Treasury tentang kebijakan untuk negara berkembang (Stiglitz, 2002).

Konsensus Washington menyatakan, bahwa era negara dalam memimpin

industrialisasi dan substitusi impor sudah berakhir (Serra & Stiglitz, 2008).

Mengacu pada Aminuddin (2009), terdapat reaksi dari negara-negara di dunia

untuk mencapai akselerasi ekonomi global. Hal itu membuat negara-negara di

dunia tidak luput dari neoliberalisasi ekonomi.

Gagasan neoliberalisme itu sendiri muncul dari paham bahwa semua

aktivitas, tindakan, dan hubungan antarmanusia merupakan model transaksi pasar

ekonomi. Paham neoliberalisme ini mengontrol seluruh kehidupan manusia.

Kehidupan manusia dibuat menjadi mekanisme pasar, yang penuh dengan

kegiatan jual-beli. Dalam hal ini, hal-hal seperti pendidikan, kesehatan, makanan,

air, dan tempat tinggal untuk hidup tidak lagi dipandang sebagai hak, namun

sebagai barang yang harus dibeli. Oleh karena itu, masyarakat harus mempunyai

daya beli untuk membeli segala hal tersebut (Priyono, 2006). Hal itu berimplikasi

17

Universitas Indonesia

pada kebijakan pemerintah yang harus memotong anggaran untuk melakukan

pelayanan publik untuk warga negaranya.

Serra dan Stiglitz (2008) dalam bukunya juga menyatakan, bahwa

Konsensus Washington ini mempunyai tiga ide besar yang diambil dari paham

neoliberal, yaitu privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Hal itu sangat berdampak

pada bentuk hubungan antara negara, publik, dengan pasar. Satu-satunya tolok

ukur dalam menilai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah dengan kinerja

dan kepentingan pasar. Akibatnya, terjadilah liberalisasi dan deregulasi. Negara

tidak memiliki wewenang untuk mengontrol dan mencampuri pasar bebas. Logika

pasar bukan mengedepankan kepentingan publik, namun mengedepankan

kepentingan tiap individu. Menurut penganut neoliberalisme, pelayanan publik

merupakan bentuk inefisiensi finansial. Untuk itu, harus dilakukan privatisasi agar

terjadi efisiensi finansial.

2.1.4. Strukturasi

Giddens dalam teori strukturasi ini mengangkat hubungan antara struktur

dan agensi (Priyono, 2002).Giddens mengatakan bahwa, “Setiap penelitian ilmu

sosial atau sejarah pasti melibatkan pengaitan tindakan [seringkali digunakan

secara sinonim dengan agensi] dengan struktur ... tidak mungkin struktur

„menentukan‟ tindakan atau sebaliknya.”(Ritzer & Goodman, 2011). Namun,

menurut Giddens, hubungan antara struktur dan agensi merupakan dualitas

(timbal-balik) dan bukan dualisme (pertentangan).Agensi merupakan orang-orang

yang melakukan tindakan dan praktik yang konkret dalam kontinuitas tindakan

dan peristiwa di dunia.Kemudian, struktur merupakan aturan dan sumberdaya

yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial (Priyono, 2002).

Dualitas yang dimaksud oleh Giddens adalah bahwa agensi dan struktur

tidak dapat dipahami secara terpisah satu sama lain. Semua tindakan sosial

melibatkan struktur dan semua struktur melibatkan tindakan sosial.Aktivitas yang

terus-menerus dijalankan oleh manusia ini adalah hal yang membentuk jalinan

erat antara agensi dengan struktur.Ketika agensi mengekspresikan dirinya,

manusia melakukan praktik.Kemudian, praktik tersebut menghasilkan kesadaran

dan struktur (Ritzer & Goodman, 2011).Dualitas terletak pada saat tindakan sosial

18

Universitas Indonesia

menghasilkan struktur sosial dan struktur sosial memperkuat tindakan sosial

sehingga praktik sosial bisa berlanjut terus-menerus.

Giddens melihat adanya tiga gugus besar struktur.Pertama, struktur

penandaan atau signifikasi, yang menyangkut tata simbol dan wacana.Kedua,

struktur dominasi, yang mencakup tata penguasaan atas orang (politik) dan barang

(ekonomi).Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi, yang mencakup peraturan

normatif yang terungkap dalam tata hukum.Ketiga gugus besar ini berkelindan

dan membentuk suatu struktur besar.Struktur ini lah yang menjadi dasar untuk

melakukan praktik sosial.(Priyono, 2002)

Giddens menyatakan, bahwa manusia sebagai agen atau pelaku praktik

sosial ini mengetahui akan keberlangsungan struktur ini, namun tahu tidak berarti

sadar. Terdapat tiga dimensi internal pelaku.Pertama, motivasi tak sadar, yang

menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan

tindakan.Kedua, kesadaran diskursif, yang mengacu pada kapasitas kita

merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan

kita.Ketiga, kesadaran praktis, yang menunjuk pada gugus pengetahuan praktis

yang tidak selalu bisa diurai. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk

memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktis sosial lambat-laun

bisa menjadi struktur, dan bagaimana struktur tersebut bisa mengekang serta

memampuan tindakan dan praktik sosial manusia. (Priyono, 2002)

2.1.5. Hegemoni

Globalisasi merupakan konteks kekuasaan dan menegaskan hirarki dalam

kekuasaan (Findlay, 2004). Dalam globalisasi, Gramsci dalam Green dan Ward

(2004) menyebutkan, bahwa negara kapitalis mengamankan legitimasi mereka

dengan proses hegemoni. Hegemoni merupakan proses yang mendukung status

quo yang dimiliki oleh masyarakat dominan sehingga hal itu muncul seolah-olah

sebagai konsensus yang telah disepakati bersama. “Konsensus” ini kemudian

diaplikasikan menjadi hukum yang berlaku di masyarakat dan dapat

mempertahankan pemerintahan yang berkuasa.

Dalam Adamson (1980), disebutkan, bahwa terdapat konsep dominasi

dalam hegemoni, yaitu monopoli negara dalam arti kekerasan dan peran yang

19

Universitas Indonesia

konsekuen sebagai wasit dari semua sengketa. Dalam definisi selanjutnya,

Adamson menuliskan tentang level hegemoni yang merepresentasikan kesadaran

kelas yang dimengerti tidak hanya secara ekonomi, namun juga dalam hal

intelektual dan kesadaran moral dalam pengaruh kultural. Jadi, masyarakat yang

dikuasai harus menyetujui subordinasi atas diri mereka. Cox (1997) menyatakan

bahwa hegemoni didefinisikan sebagai kemampuan dari kelompok dominan untuk

memberlakukan serangkaian praktik-praktik sosial pada skala spasial tertentu

untuk keuntungan kelompok dominan tersebut (misalnya perusahaan, pemilik

modal). Lebih umumnya, Cox menyatakan bahwa hegemoni itu sendiri adalah

kapasitas dari model hubungan sosial untuk memaksakan dirinya sebagai model

yang diinginkan atau diimpikan pada seluruh masyarakat, dan bahkan pada

masyarakat yang belum ada di bawah dominasinya.

Istilah “hegemoni” dapat digunakan dalam hubungan internasional.

Pertama, hegemoni mengacu pada hubungan kekuasaan dan distribusi, seperti

militer, teknologi, dan finansial. Yang kedua, adalah dominasi dari beberapa ide

atau asumsi-asumsi, seperti liberalisme ekonomi dan globalisasi (Moghalu, 2006).

Moghalu juga mengatakan bahwa hegemoni ini berjubah sebagai globalisasi

norma yang seakan menuntut semua pihak yang terlibat untuk tunduk dalam

hegemoni. Dalam Held (2003) yang dikutip oleh Aas (2007), selain berbicara soal

hubungan sosial kekuasaan, hegemoni dalam globalisasi berbicara tentang

meningkatnya intensitas dan kecepatan interkoneksi global serta meningkatkan

dampaknya terhadap local development.

Dalam teori Strukturasi Giddens, terdapat konsep motivasi tak sadar,

kesadaran diskursif, dan kesadaran praktis. Dalam arus globalisasi, wacana

perdagangan internasional yang akan memajukan ekonomi suatu negara membuat

munculnya keinginan suatu negara untuk mencapai kemajuan ekonomi yang

tinggi. Hal itu merupakan motivasi tak sadar yang kemudian berkembang menjadi

kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Dalam hal ini, hegemoni membuat

adanya kesadaran moral dan pengaruh kultural, kemudian pihak yang dihegemoni

menyetujui subordinasi atas diri mereka. Konsep kesadaran Giddens ini turut

memunculkan adanya struktur yang lebih besar, yaitu struktur dominasi yang juga

tidak bisa terlepas dari adanya struktur signifikasi dan legitimasi.

20

Universitas Indonesia

2.1.6. Kebijakan Publik

Kebijakan privatisasi air merupakan kebijakan publik. Dalam buku

Analisis Kebijakan Publik karya Edi Suharto (2006), terdapat kutipan Dye yang

diambil dari Young dan Quinn (2002) yang memberikan definisi kebijakan

publik, yaitu whatever governments choose to do or not to do.Edi Suharto juga

mengutip definisi yang disampaikan oleh Anderson tentang kebijakan publik yang

lebih spesifik, yaitu a purposive course of action followed by an actor or set of

actors in dealing with a problem or matter of concern.

Edi Suharto (2006) mengutip dalam Young dan Quinn (2002) bahwa

kebijakan publik merupakan tindakan pemerintah yang dibuat dan

diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum,

politis, dan finansial.Kebijakan publik merupakan reaksi atas kenyataan

kebutuhan yang ada di dalam masyarakat.Orientasi kebijakan publik adalah pada

suatu tujuan dan bukan merupakan keputusan tunggal, melainkan terdiri dari

beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan

tersebut demi kepentingan masyarakat luas (Suharto, 2006).Kebijakan adalah soal

pilihan. Pilihan akan objektivitas, pilihan akan alasan untuk melakukan suatu aksi,

pilihan akan instrumen kebijakan, dan pilihan untuk merespon konsekuensi dari

hasil kebijakan (Kay, 2006).Dalam menentukan kebijakan, pemerintah harus

memiliki public awareness dan juga membuat masyarakat terlibat dalam

menentukan kebijakan tersebut (Moran, Rein, & Goodin, 2008).Hal itu

disebabkan karena masyarakat pula lah yang merasakan implementasi dari

kebijakan publik tersebut.

Merujuk pada buku Public Policy for the Developing Countries karya

Riant Nugroho, sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang ini, judul dari

program negara-negara berkembang adalah pembangunan. Setiap negara tentu

mempunyai ideologi masing-masing. Buah dari ideologi itu diimplementasikan

dalam bentuk kebijakan-kebijakan publik yang berusaha melakukan

pembangunan di dalam negara tersebut. Dalam bukunya, Riant Nugroho menulis,

bahwa tujuan dari adanya kebijakan untuk pembangunan tersebut adalah untuk

mencapai tujuan negara, untuk membangun masyarakat, dan untuk mengimbangi

kemajuan dari negara yang sudah maju. (Nugroho, 2012)

21

Universitas Indonesia

Kebijakan publik yang fokus dalam memperhatikan kesejahteraan sosial

disebut dengan kebijakan sosial. Area kebijakan sosial ini mencakup kebijakan

tentang keamanan sosial, jaminan untuk pengangguran, perumahan, kesehatan,

pendidikan, dan keluarga. Kebijakan sosial tersebut memperhatikan:

1. Peran negara dalam distribusi sumber daya dan kesempatan antara yang kaya

dan yang miskin, pekerja dan orang yang bergantung, orang tua dan muda.

2. Pembagian tanggung jawab akan distribusi kepada pemerintah dan institusi

sosial lainnya, seperti pasar, bidang amal, keluarga dan individual.

3. Pengertian tentang konsekuensi sosial dan ekonomi dari perubahan

pengaturan. (Knepper, 2007)

Dalam hal ini, air merupakan arena kebijakan sosial. Negara dituntut untuk

berperan dalam distribusi sumber daya dan kesempatan akan akses terhadap air

bersih kepada seluruh masyarakat. Kemudian, tanggung jawab pemerintah harus

ditekankan di sini walaupun ada distribusi tugas antara pasar, bidang amal, dan

kelompok-kelompok masyarakat. Tidak boleh ada hubungan yang timpang antara

pemerintah dengan pasar dan pemerintah dengan masyarakat karena pemerintah

harus menjamin keamanan dan jaminan akan akses air bersih yang merupakan

kebutuhan dasar manusia untuk hidup.

2.1.7. Privatisasi Air

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara, privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun

seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai

perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas

pemilikan saham oleh masyarakat.

Sesuai dengan pasal 2 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara

Nomor PER-01/MBU/2010 tentang Cara Privatisasi, Penyusunan Program

Tahunan Privatisasi, dan Penunjukan Lembaga dan/atau Profesi Penunjang serta

Profesi lainnya, privatisasi dilakukan dengan cara: pertama, penjualan saham

berdasarkan ketentuan pasar modal. Yang kedua adalah penjualan saham secara

langsung kepada investor. Yang ketiga adalah penjualan saham kepada

manajemen dan/atau karyawan persero yang bersangkutan. Privatisasi dilakukan

22

Universitas Indonesia

melalui penjualan saham negara pada persero atau penjualan saham dalam

simpanan. (Leks & Co Lawyers, 2013)

Salah satu bentuk privatisasi adalah privatisasi air. Privatisasi air

merupakan fenomena internasional yang terjadi di berbagai tempat di dunia,

seperti Inggris, Cina, Argentina, Filipina, Afrika Selatan, dan tidak terkecuali

Indonesia. Gelombang neoliberalisme yang dibawa oleh globalisasi membuat

privatisasi air ini juga melibatkan institusi global, seperti World Bank dan the

United Nations. Kelompok pendukung privatisasi berpendapat, bahwa pemerintah

itu korup, tidak akuntabel, tidak imajinatif, dan kekuarangan keuangan tidak

mampu memperluas dan meningkatkan pelayanan air. Hal itu membuat sektor

swasta harus menjadi pusat komponen strategi penyaluran air bersih (McDonald

& Ruiters, 2005).

Privatisasi air adalah berpindahnya pengelolaan air, baik sebagian maupun

seluruhnya dari sektor publik kepada sektor swasta (Koalisi Rakyat untuk Hak

atas Air, 2011). Dalam privatisasi, perusahaan swasta diberikan hak untuk

mengelola air di area tertentu dan bisa mematok harga jual air tersebut (Spronk,

2007). Para pendukung privatisasi air berpendapat bahwa privatisasi adalah cara

yang paling baik untuk mengatasi persoalan sulitnya akses masyarakat miskin

untuk memperoleh air bersih. Selain itu, privatisasi, dengan menjual-belikan air,

dipandang membantu untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi layanan air

yang selama ini dikelola oleh pemerintah.Namun, menurut para penentang

privatisasi air, air merupakan kebutuhan dasar manusia dan bukan merupakan

barang ekonomi yang diperjual-belikan.Memperjual-belikan barang tersebut

merupakan salah satu tindakan dari adanya keterlibatan sektor swasta dalam

pengelolaan dan penyediaan air bersih. Sektor swasta akan lebih memprioritaskan

keuntungan daripada pelayanan kepada masyarakat.(Janmaat, 2011)

Dalam perkembangannya, terdapat dua model privatisasi air. Yang

pertama adalah model United Kingdom (UK) yang diterapkan di Inggris dan

Wales yang kepemilikan dan pengelolaan utilitas air dilakukan oleh sektor swasta.

Yang kedua adalah model Prancis, yang kepemilikannya ditangan publik, namun

pengelolaannya dilakukan oleh swasta. Perbedaan tersebut adalah kalau model

23

Universitas Indonesia

UK, di bentuk Office of Water Services sebagai badan independen. Sedangkan, di

Prancis, peran economic regulator-nya diperankan oleh pemerintah daerah.

2.1.8. Barang Publik dan Barang Ekonomi

Bannock, Graham, Baxter, dan Davis (1987) dalam Budds & McGranahan

(2003) menyebutkan bahwa barang publik (public goods) didefinisikan sebagai:

Non-rivalrous – pemakaian satu orang tidak mengurangi atau

menghilangkan hak orang lain dalam memakai barang tersebut.

Non-excludable – jika satu orang mengonsumsi barang tersebut, hal

itu menjadi mustahil untuk melarang orang lain dalam mengonsumsi

barang tersebut.

Non-rejectable – individu tidak bisa menjauhkan diri dari konsumsi

bahkan apabila ia menginginkan hal itu.

Menurut Nancy Holstrom (2000), terdapat banyak macam barang publik

dan beberapa pengertian akan barang publik. Namun, semua barang publik

mempunyai hal yang sama, yaitu secara definisi, barang publik adlah barang

untuk semua orang atau kebanyakan orang dan kebutuhan orang-orang tersebut

bisa dipuaskan hanya dengan barang tersebut.

Secara tradisional, air merupakan hal yang digunakan oleh masyarakat

secara bebas.Hal ini berarti air merupakan barang publik yang bisa bebas

digunakan oleh masyarakat. Dengan hak atas air, manusia diperbolehkan

mengonsumsi air untuk bertahan hidup dan untuk berproduksi dalam

pekerjaannya.

Kebutuhan akan air bersih terus meningkat seiring meningkatnya populasi

manusia. Hal ini membutuhkan manajemen air yang bagus di dalam

masyarakat.Manajemen air tersebut seharusnya diambil alih oleh negara,

namunpemerintah dianggap tidak mampu dalam memberikan pelayanan air.Air,

yang merupakan ranah publik, merupakan arena terbuka. Arena terbuka ini mejadi

arena yang dapat diperebutkan untuk dibentuk menjadi apa saja, tergantung pada

kekuatan mana yang punya sumber daya paling kuat untuk menguasainya

(Priyono, 2005). Kemudian, pelayanan air diambil alih oleh pihak swasta yang

mempunyai sumber daya yang kuat.Jaringan air di perkotaan, drainase, dan

24

Universitas Indonesia

sanitasi bukan lah murni barang publik, namun, jaringan air di perkotaan,

drainase, dan sanitasi tersebut bisa membuat keuntungan pada publik, termasuk

perlindungan terhadap publik dari bahaya infeksi dan kesehatan lainnya.Air bersih

menjadi barang ekonomi yang memiliki nilai tinggi dalam memenuhi kebutuhan

manusia, dan untuk dapat mengakses air bersih, warga negara harus membayar

mahal sesuai dengan tarif yang dipatok oleh perusahaan swasta.

Dalam mengelola air bersih, Peter Gleick mengatakan bahwa terdapat tiga

pandangan yang berbeda-beda: memperlakukan air sebagai public goods,

memperlakukan air sebagai economic goods, dan gabungan keduanya (Hadi,

Sitepu, Soraya, Kusumaningtyas, Ndaru, & Arumsari, 2007):

1. Pandangan untuk tetap mengelola air sebagai public goods mempunyai

alasan bahwa harus terdapat pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan

air. Dalam setiap proses privatisasi yang terjadi, warga yang berada di

wilayah pelayanan harus dijamin pasokan airnya. Selain itu, harus ada

pula pemenuhan kebutuhan ekosistem alami akan air. Ekosistem alami

harus mendapatkan perlindungan. Penyediaan air dilakukan dengan

menggunakan subsidi, terutama bagi warga yang tidak mampu

membayar akses air bersih.

2. Sedangkan, pandangan untuk mengelola air sebagai economic goods,

beralasan bahwa pengelolaan air membutuhkan biaya yang tinggi arena

air harus dirancang untuk meningkatkan penggunaan air yang efektif

dan efisien. Pelayanan yang telah disepakati bersama tidak lah murah.

Peningkatan pelayanan juga berarti peningkatan harga air. Subsidi yang

dilakukan adalah kepada pengguna air, bukan mengurangi harga air.

Hal itu disebabkan karena pengurangan harga air akan berdampak pada

pengurangan efisiensi penggunaan air.

3. Pandangan yang menggabungkan keduanya menuntut untuk menjaga

pengawasan dan pengaturan dari pemerintah. Kontrol atas sumber air

merupakan hak pemerintah. Kepemilikan atau sumber daya air tidak

boleh sepenuhnya dikuasai oleh pihak swasta. Pemerintah harus ikut

andil. Lembaga publik dan pengelola air juga harus mengawasi kualitas

air. Pemerintah dan lembaga publik independen harus bekerjasama

25

Universitas Indonesia

secara terpadu dengan pengelola air dalam mengawasi kualitas air.

Selain itu, sebelum ditentukan dan diputuskannya privatisasi,

pemerintah dan pihak swasta harus menentukan prosedur penyelesaian

perselisihan untuk membangun prosedur yang tidak merugikan rakyat.

Yang paling penting adalah negosiasi privatisasi harus terbuka,

transparan, dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

2.1.9. Viktimisasi Struktural

Intensi manusia akan pencapaian tujuan politik dan ekonomi dicerminkan

dalam setiap kebijakan yang diambil. Kebijakan tersebut tentu akan berdampak

pada orang-orang yang terlibat dan mempunyai relasi dengan pembuat keputusan

yang tentunya mempunyai kepentingan. Seringkali, orang lain yang terlibat di

dalamnya namun tidak mempunyai daya apa-apa akan disingkirkan.

Viktimisasi merupakan tindakan yang membuat pihak tertentu menderita

secara baik mental, fisik, maupun sosial yang dilakukan oleh pihak tertentu dan

demi kepentingan tertentu (Gosita, 2004). Kemudian, Fattah mengklasifikasi

viktimisasi ke dalam beberapa tipe, salah satunya adalah viktimisasi struktural.

Terdapat korelasi positif antara ketidakberdayaan (powerlessness) dengan

perampasan dan frekuensi viktimisasi. Hal ini meningkatkan risiko atas timbulnya

viktimisasi dengan cara merancang kelompok tertentu sebagai korban (Fattah,

2000). Perancangan ini dimasukkan ke dalam struktur sosial yang melembaga.

Fattah (1991) dalam Andari (2012) menyebutkan, bahwa viktimisasi struktural

memiliki beragam bentuk, seperti perang, genosida, tirani, kediktatoran, opresi,

represi, penyiksaan, penderitaan, eksploitasi, diskriminasi, rasisme, seksisme,

ageism, dan classism. Viktimisasi ini kemudian berujung pada adanya kerusakan

sosial.

Mengacu pada Chambliss, Michalowski, & Kramer(2010), dari perspektif

kerusakan sosial, konten kriminologi harus ditentukan dengan hasil dari aksi-aksi

daripada status legal. Kerusakan sosial mengacu pada intensi aksi manusia akan

pencapaian tujuan politik dan ekonomi, yang di dalamnya terdapat kebijakan

publik, yang menghasilkan kerusakan kesetaraan sebagai tindakan yang disebut

sebagai kejahatan.

26

Universitas Indonesia

2.1.10. Welfare Justice

Berbicara tentang kejahatan tidak terlepas dari kesejahteraan (welfare),

kemudian, kesejahteraan tersebut menjadi salah satu tujuan dari diadakannya

kebijakan publik, termasuk kebijakan sosial seperti air bersih. Mustofa (2010)

menyebutkan, bahwa kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari kemerdekaan

bangsa tidak dapat dilepaskan dari konsep kejahatan. Keadaan tidak terwujudnya

kesejahteraan berhubungan secara umum dengan konsep kejahatan. Goodin

(1988) yang dikutip oleh Mustofa (2010) menyatakan, tujuan dari kesejahteraan

sosial bukanlah persamaan keadaan dari kelas-kelas dalam masyarakat, atau untuk

menatur kegiatan ekonomi, namun adalah untuk menyediakan pelayanan barang

dan barang untuk pihak yang berhak mendapatkannya. Perwujudan kesejahteraan

sangat berhubungan dengan hak-hak asasi manusia yang diwujudkan oleh

pemerintah.

Menurut Neil Gilbert dalam bukunya yang berjudul Welfare Justice,

kesejahteraan dilandaskan pada keadilan (equity), bukan pada persamaan

(equality). Keadilan itu sendiri merupakan suatu gagasan bahwa kontrak sosial

menentukan tanggung jawab timbal-balik antara individu dengan negara (Stoesz,

1996). Keadilan tersebut bisa diukur dengan kesejahteraan. Kesejahteraan itu

mencakup pendidikan, kesehatan, dan pangan. Ketiadaan akses terhadap hal-hal

mendasar tersebut membuat tidak adanya keadilan kesejahteraan.

Gilbert melihat pada kasus Amerika Serikat, di mana kebijakan untuk

memajukan kesejahteraan menjadi tidak adil. Hal itu disebabkan oleh adanya

redistribusi akan barang dan jasa yang dilandaskan pada kemampuan untuk

membayar. Hal tersebut menjadi isu yang sangat serius, yaitu ketidakadilan

(Borgatta, 1996). Apa yang Gilbert nyatakan berlaku juga di Indonesia. Kebijakan

privatisasi air juga telah menjadikan air sebagai objek yang didistribusikan pada

kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, kebijakan privatisasi bertentangan

dengan kebijakan kesejahteraan.

Konsep welfare justice selalu ditentang oleh orang-orang berpendekatan

ekonomi karena tidak bisa diukur oleh ekonomi. Dalam welfare justice, negara

tetap boleh menjalan bisnis. Bisnis dapat menjadi salah satu jalan

27

Universitas Indonesia

menyejahterakan warga negara, namun bukan untuk mencari keuntungam. Oleh

karena itu, ada konsep subsidi silang dalam pembedaan kelas ekonomi.

2.1.11. Crime of Domination sebagai Kejahatan Negara

Vito, Maahs, dan Holmes (2006), dalam bukunya, menjelaskan tentang

Quinney yang menggambarkan beberapa tipe kejahatan. Gregg Barak (2001)

mengutip tulisan dari Quinney (1977), bahwa dalam konteks pembangunan

kapitalis dan perjuangan kelas, terdapat berbagai macam bentuk dan ekspresi dari

kejahatan itu sendiri yang disebut sebagai adaptasi struktural. Adaptasi struktural

tersebut yang membuat muncul atau terjadinya kejahatan.

Tipe kejahatan yang pertama yang pertama adalah crimes of domination,

yang merupakan kejahatan yang dilakukan oleh para kapitalis dalam rangka

mempertahankan kekuasaan dan kontrol mereka atas masyarakat. Di dalamnya

termasuk crimes of control, crimes of government, crimes of economic

domination, dan social injuries. Kemudian, tipe kejahatan yang kedua adalah

kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di kelas pekerja atau

kelas bawah. Kejahatan ini disebut sebagai crimes of accommodation, yang di

dalamnya termasuk predatory crimes, personal crimes, dan crimes of resistance.

Kejahatan negara ini dimasukkan Quinney ke dalam tipe crimes of domination.

(Vito, Maahs, & Holmes, 2006)

Alan Doig (2011) menyatakan, bahwa state crime merupakan gagasan

jangka panjang yang merujuk hanya pada tindak kejahatan yang dapat pemerintah

lakukan. Istilah kejahatan itu sendiri harus dijelaskan. Kejahatan menurut Mustofa

(2010) sesuai dengan definisi sosiokriminologis adalah

a. Pola tingkah laku yang dilakukan oleh individu, sekelompok individu

baik yang terstruktur ataupun tidak, dan suatu organisasi baik formal

maupun nonformal di dalam masyarakat yang merugikan masyarakat

secara fisik, psikologis, ataupun materi. Tingkah laku tersebut

diberikan definisi sebagai tingkah laku jahat dan dirumuskan di dalam

hukum tertulis. Pelaku dari kejahatan ini diberi reaksi formal, seperti

sanksi pidana.

28

Universitas Indonesia

b. Pola tingkah laku individu, sekolompok individu baik yang terstruktur

ataupun tidak, dan suatu organisasi baik formal maupun nonformal di

dalam masyarakat yang bertentangan dengan perasaan moral dan nilai

masyarakat. Pelaku dari kejahatan ini diberi reaksi nonformal oleh

masyarakat, seperti pengucilan.

Kejahatan negara itu adalah salah satu kategori penyimpangan organisasi,

seperti kejahatan korporasi, kejahatan terorganisasi. Analisis kejahatan negara

lebih meluas ke arah bagaimana politik dan ekonomi negara yang brutal pada

abad kedua puluh satu. Negara dan ekonomi merupakan kerangka pikir untuk

studi kejahatan negara. Kejahatan negara merupakan kejahatan dengan definisi

yang lebih terfokus pada kerugian sosial. Dominasi ekonomi yang berasal dari

sistem perekonomian suatu negara merupakan sebab dari adanya kerugian sosial.

Namun, faktanya adalah bahwa kejahatan negara sangat jarang diekspos atau

dihukum dalam sistem peradilan pidana. (Chambliss, Michalowski, & Kramer,

2010)

Barlow dan Decker (2010) menyebutkan, bahwa perilaku kriminal pada

tingkat organisasi mempunyai tekanan untuk mencapai tujuan. Namun, kejahatan

pada tingkat negara (state crime), merupakan kejahatan kasat mata sehingga tidak

dapat dengan mudah didefinisikan, bahkan ditentukan siapa pelakunya. Hal itu

disebabkan oleh karena konsep kejahatan itu sendiri merupakan bentukan negara.

Kejahatan merupakan pelanggaran hukum. Tidak peduli dengan tingkat

imoralitasnya, tingkat ketercelaannya, dan tingkat ketidaksenonohannya suatu

tindakan, tindakan tersebut tidak akan disebut sebagai tindakan jahat apabila tidak

dituliskan dalam hukum oleh negara. (Sutherland & Cressey, 1978)

Kejahatan negara yang kasat mata dan sangat jarang diberikan perhatian

serius dalam praktiknya disebutkan sebagai crime of omission atau crimes against

humanity yang merupakan kejahatan dalam pengabaian hak asasi manusia.

Kejahatan ini dibatasi oleh pendefinisian kejahatan dalam hukum pidana.

Hasilnya, kegagalan dalam mengakui kemanusiaan ini mendorong untuk

membentuk gagasan baru akan kejahatan, kerusakan, dan kerugian. (Barak, 2009)

29

Universitas Indonesia

2.2. Landasan Teori

Pendekatan Kriminologi Kritis oleh Julia dan Herman Schwendinger

Julia dan Herman Schwendinger berasumsi bahwa ada hubungan antara

kejahatan dan kerusakan. Dengan itu, mereka mengkritik definisi legal atas

kejahatan dengan dasar bahwa mereka menggunakan kriteria yang ditentukan oleh

perjuangan kelas yang tidak adil sebagai dasar dari praktik keilmuan (Lasslett,

2010). Dengan begitu, definisi legal akan kejahatan gagal untuk menangkap

beragam contoh akan kerusakan serius yang dilakukan oleh kelas yang

mendominasi dan membuat peraturan.

Solusi alternatif yang diberikan oleh Julia dan Herman Schwendinger

(1975) dalam artikel mereka yang berjudul Defenders of Order or Guardians of

Human Rights? adalah bahwa definisi kejahatan harus terbuka dengan isu moral.

Isu moral dalam kehidupan manusia tidak lah sederhana (Coicaud, Doyle, &

Gardner, 2003). Secara tradisional, isu moral tersebut misalnya kerusakan sosial

dan tindakan anti-sosial. Terminologi-terminologi tersebut ditentukan oleh

adanya hak-hak asasi manusia. Agenda politik modern (abad kedelapan belas)

sangat mendukung adanya penegakkan hak asasi manusia, seperti hak

mendapatkan rasa aman, hak berbicara, dan hak berkumpul secara bebas. Pada

saat itu, kelas menengah baru muncul dan membentuk tantangan terhadap hak

istimewa ekonomi dari aristrokat feodal. Dengan bentuk ini, kesetaraan

merupakan hak yang immutable (abadi, kekal) untuk berkompetisi secara setara

dan bebas dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Namun, persamaan yang

bersifat kompetitif tersebut, yang juga disebut sebagai prinsip egaliter,

menimbulkan pembenaran akan adanya ketidaksetaraan dalam hal jenis kelamin,

kelas, ras, dan bangsa. Hal tersebut justru membuat ketiadaan equality of

opportunity (keseteraan akan kesempatan).(Schwendinger & Scwendinger, 1975)

Julia dan Herman Schwendinger beranggapan bahwa kesetaraan akan

kesempatan tersebut tidak ada kaitannya dengan prinsip egaliter. Kesetaraan akan

kesempatan merujuk pada prinsip keadilan yang harus mengendalikan adanya

ketidaksetaraan sosial di dalam masyarakat. Dalam menyediakan kesempatan

dalam pembangunan bebas akan potensi-potensi individu untuk diraih dalam

masyarakat industri, individu harus dilihat dan diperhatikan sebagai lebih dari

30

Universitas Indonesia

objek yang diperlakukan secara setara oleh institusi. Semua orang harus dijamin

prasyarat kehidupannya, termasuk makanan, tempat berlindung, pakaian,

pelayanan medis, pekerjaan, rekreasi, dan keamanan dari individu predator atau

elit sosial yang imperialistik dan represif. Hal-hal tersebut merupakan hal dasar

yang tidak boleh dianggap sebagai hadiah ataupun privileges. Hal-hal tersebut

merupakan hak. (Schwendinger & Scwendinger, 1975)

Namun, dalam perjuangan memperjuangkan kesetaraan, kesetaraan itu

sendiri sering kali secara meyakinkan dibela bukan atas dasar logika formal,

melainkan atas dasar politik. Atas dasar siapa yang menang. Hal tersebut

membuat semua manusia tidak terlahir bebas dan setara. Pencapaian kebebasan

dan kesetaraan tersebut harus dicapai dengan harga tinggi sebagai usaha

pencapaiannya.(Schwendinger & Scwendinger, 1975)

Julia dan Herman Schwendinger (1975) menyatakan, bahwa sistem sosial

yang menyebabkan ketidaksetaraan tersebut merupakan pelaku kejahatan. Saat

hak asasi manusia dibuat menjadi dasar dari definisi akan perilaku kejahatan,

maka pelanggaran terhadap hak asasi manusia merupakan domain utama dari

kriminologi. Suatu hal yang pasti adalah bahwa keamanan akan seseorang

merupakan hal yang mendasar. Ancaman terhadap kesehatan seseorang atau

kehidupan seseorang membahayakan hal lainnya. Begitu juga hak kesetaraan

dalam hal ekonomi, seksual, dan rasial. Pemusnahan akan hak-hak tersebut

membatasi kesempatan individu untuk memenuhi kehidupannya. Pernyataan

tersebut membuat pihak yang menolak hak tersebut merupakan pelaku kejahatan.

Demikian pula, hubungan sosial dan sistem sosial yang secara teratur

menyebabkan adanya pemusnahan akan hak-hak ini disebut pelaku kejahatan

karena menyebabkan adanya kerusakan sosial yang besar. Itu sebabnya,

pemerintah yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara legal disebut

sebagai pelaku kejahatan. Namun, seringkali korban dari pelanggaran hak asasi

manusia tidak disadari oleh banyak orang dan bahkan orang yang menjadi korban

itu sendiri tidak menyadari bahwa mereka adalah korban kejahatan. Hal tersebut

disebabkan oleh tidak adanya definisi legal akan kerugian sosial yang disebabkan

oleh pelanggaran hak asasi manusia. (Schwendinger & Scwendinger, 1975)

31

Universitas Indonesia

2.3. Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang

Terdapat penelitian di Manila, Filipina yang dilakukan oleh Sarah Hale

(2007). Manila adalah tempat dengan banyak kebijakan air baru. Penduduk

Manila tidak memiliki hak atas air. Biaya akan air meningkat karena adanya

privatisasi air. Selain itu, kualitas air menurun pula. Kebijakan yang ada di Manila

adalah bahwa individu memiliki hak untuk menggunakan air. Hak tersebut

melindungi aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas air. Hal tersebut disebut

dengan water right atau lisensi air. “Individuals may apply for a water rughts

permit allowing use of the water, but all uses must be beneficial.” tulis Hale.

Kebijakan tersebut bukannya menjamin right to water bagi masyarakat Manila,

namun malah membuat penduduk manila tidak memiliki hak atas air. Hale

berpendapat bahwa menerapkan HAM dalam masalah hak air ini adalah langkah

penting dalam perbaikan privatisasi air yang jelas gagal di Manila. Hukum dan

peraturan arus air tidak memadai untuk melindungi dan memberikan solusi bagi

pengguna air individu. Pemerintah Filipina harus mengakui peran penting air

dalam menopang kehidupan. Langkah pertama dan paling signifikan adalah

mengadopsi hak hukum positif terhadap air untuk semua warga negara.

Jessica Budds dan Gordon McGranahan (2003) melakukan penelitian yang

berjudul “Are the Debates on Water Privatizaion Missing the Point? Experiences

from Africa, Asia, and Latin America.” Prtivatisasi di Timur Tengah dan Afrika

utara menggunakan subsidi dan tidak menerapkan pemulihan biaya penuh.

Kontrak manajemen yang ada sangat merugikan masyarakat. Perusahaan yang

dominan adalah Suez dan Veolia. Budds dan McGranahan ingin mengungkap

beberapa argumen dengam masalah privatisasi yang kontroversial. Selain itu,

mereka juga ingin meninjau skala dan sifat penyediaan sektor swasta air dan

sanitasi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Air dan sanitasi umum atau pribadi

dioperasikan dengan kebingungan dan banyak hambatan. Hal ini bukan untuk

mengatakan bahwa daerah tidak diimbau untuk bekerjasama dengan perusahaan

swasta dalam hal air dan sanitasi, namun hal ini menunjukan bahwa tidak ada

pembenaran dan persetujuan bagi badan internasional untuk dapat membuat

partisipasi sektor swasta lebih besar.

32

Universitas Indonesia

Dalam tulisannya, Budds dan McGranahan (2003) berpendapat bahwa

kekuatan privatisasi air adalah perubahan politik internasional dan pergeseran

kebijakan di arena pembangunan internasional, khususnya lembaga keuangan

internasional di akhir 1970an. Penyediaan sarana umum yang gagal dalam hal

penyediaan air diberi solusi berupa privatisasi air yang merupakan kebijakan

tanpa pembuktian bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang efektif.

Permukiman informal dan kepemilikan lahan pun menjadi hambatan privatisasi.

Sektor swasta tidak dapat meningkatkan pelayanan dan menghilangkan politisasi

penyediaan air.

Rhodante Ahlers (2010) melakukan penelitiannya yang berjudul Fixing

and Nixing: The Politics of Water Privatization. Ahlers melakukan penelitian di

Meksiko dengan fokus sistem irigasi di sana. Kebijakan penyesuaian struktural di

Meksiko didefinisikan oleh Bank Dunia dan IMF. Awal tahun 1990-an di

Meksiko telah ada kebijakan air yang mengarah pada desentralisasi manajemen

dan mengandalkan harga. Pemulihan biaya penuh dan peningkatan partisipasi oleh

semua pemangku kepentingan di sektor air dibuat sebagai barang ekonomi. Hal

itu membuat definisi air yang tadinya merupakan barang publik menjadi

komoditas.

Ahlers menemukan bahwa adanya konsep pasar global yang bertemu

dengan sektor publik merupakan gagasan untuk komodifikasi dan privatisasi

barang dan aset publik. Kelangkaan air dibuat menjadi produksi pertanian dalam

neoliberal sehingga dapat menjadikan lahan air dan tenaga kerja untuk sarana

pasar.

Sementara itu, Terhorst (2008) melakukan penelitian yang mengeksplorasi

kontra-hegemonik kasus air minum dan sanitasi. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk membahas signifikansi dari jaringan transnasional dan dampaknya pada

sektor air dan sanitasi. Proyek reclaiming public water merupakan proyek yang

disajikan dalam konteks pembangunan dan pergerakan globalisasi. Argumen dan

materi perkara yang proyek reclaiming public water tersebut kembangkan

dirangkum dan diproses serta dieksplorasi secara signifikan dengan gagasan

globalisasi. Ruang publik transnasional akan proyek ini diperiksa potensinya

untuk mengembangkan masyarakat melawan agenda privatisasi.

33

Universitas Indonesia

Tanpa adanya gerakan publik menentang privatisasi, hanya akan ada ruang

yang kecil bagi masyarakat transnasional untuk mengembangkan sistem air

publik. Tanpa tekanan populer, kebijakan liberalisasi yang bias akan tetap

dikembangkan. Terhorst menulis bahwa untuk itu, kesempatan politik ada harus

diciptakan untuk membuka level baru dari lokal ke global untuk melakukan

delegitimasi privatisasi air.

Allen, Davila, dan Hofmann (2006) melakukan penelitian di peri-urban

lima kota metropolitan, yaitu Kairo, Caracas, Chennai, Dar es Salaam, dan

Mexico City. Kota-kota tersebut adalah kota dengan penduduk yang sulit sekali

mendapatkan akses air bersih dan sanitasi untuk kebutuhan kehidupan mereka. Di

Dar es Salaam, terdapat privatisasi air yang berbentuk Public-Private Partnership

(PPP) dengan komponen komunitas. Di Kairo, terdapat dua agensi publik yang

terpisah untuk pelayanan air dan sanitasi. Sedangkan di Mexico City, terdapat

sistem publik yang melayani air dan sanitasi, namun dengan konsesi privat.Di

Caracas dan Chennai, yang melakukan pelayanan air dan sanitasi adalah agensi

publik.

Lima studi kasus ini memberikan gambaran yang kompleks tentang

berbagai sarana pelayanan air dan sanitasi dasar penduduk pinggiran kota.

Kegagalan pelayanan yang dilakukan oleh publik dan swasta untuk mendukung

pelayanan air dan sanitasi memperlihatkan bahwa kaum miskin seringkali

tertinggal dalam pelayanan-pelayanan publik. Mereka seringkali “invisible” untuk

sektor publik. Untuk itu, Allen, Davila, dan Hofmann mengeluarkan istilah,

bahwa warga negara terlihat sebagai konsumen atau pelanggan, bukan sebagai

warga negara yang harus dipenuhi haknya dalam pelayanan publik.

Cynthia Morinville dan Lucy Rodina (2012) menulis artikel yang berjudul

Rethinking the Human Right to Water: Water Access and Dispossession in

Botswana‟s Central Kalahari Game Reserve. Artikel itu berisikan penelitian

Morinville dan Rodina tentang perdepatan akan hak manusia atas air melalui

eksplorasi hukum antara San dan Bakgaladi dengan pemerintah Botswana tentang

akses terhadap air di Central Kalahari Game Reserve. Morinvillr dan Rodina

menawarkan evaluasi kontekstual dari proses yang memungkinkan realisasi

sebenarnya dari hak asasi manusia atas air bagi penduduk Central Kalahari Game

34

Universitas Indonesia

Reserve. Morinville dan Rodina menggunakan kata “perampasan” sebagai lensa

analitis titik awal yang berguna untuk mengonsepkan hak asasi manusia atas air.

Akses terhadap air adalah bagian tak terpisahkan dari mata

pencaharian.Dalam kasus San dan Bakgaladi ini, hak atas air dan hak atas tanah

merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan untuk menjamin kehidupan mereka.

Konseptualisasi yang lebih luas dari hak atas air ini fokus pada perampasan dan

implikasi yang bersamaan untuk pertanyaan reproduksi sosial. Hak atas air ini

tidak hanya menjamin hak manusia atas air, tapi juga turut menjamin keadilan

sosial yang lebih luas.

Dalam artikel jurnal yang berjudul Water Rights in the Context of

Pluralism and Policy Changes in Malawi, Wapulumuka O. Mulwafu (2010)

meneliti tentang sumber daya air yang digunakan oleh banyak pengguna dan

digunakan untuk berbagai kegiatan dengan menggunakan kerangka kerja

pluralisme legal. Tahun 1990-an merupakan tahun dengan penuh pembangunan

akan berbagai kebijakan dan legislasi yang diselaraskan dengan politik dan

ekonomi bari di Afrika. Tujuan dari pembangunan tersebut adalah untuk

melonggarkan cengkraman negara akan kekuasaan dan sumber daya dari struktur

yang dikendalikan secara terpusat ke sistem desentralisasi dengan partisipasi yang

lebih besar dari negara-negara stakeholders.

Mulwafu mengkaji dampak perubahan kebijakan tentang hak atas air di

Malawi. Ia berargumen bahwa, di Malawi, seperti tempat lain di Afrika, reformasi

kebijakan tidak berarti akan menghasilkan peningkatan akses orang miskin dan

kelompok marjinal lainnya terhadap hak atas air. Namun, peningkatan partisipasi

dan memperluas akses terhadap hak atas air oleh kelompok miskin dan marjinal

adalah salah satu argumen terkuat untuk melakukan pengubahan kebijakan.

Kajian ini menggarisbawahi kenyataan bahwa jika tidak dipahami dengan jelas,

perubahan kebijakan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan

jutaan orang yang bergantung pada air dan sumber daya alam lainnya.

Dalam tulisan yang ditulis oleh Karen Bakker (2007), terdapat bingkai

paradigma atas hal privatisasi ini, yaitu neoliberalization of nature. Penelitian

yang dilakukan oleh Bakker fokus pada dampak negatif dari bentuk

neoliberalisme, termasuk dampak lingkungan dan distributif pada akumulasi

35

Universitas Indonesia

disposisi. Terdapat pandangan yang menganggap bahwa neoliberalization of

nature tersebut bisa terjadi dalam konteks regulasi ulang negara yang turut

menemani privatisasi. Komersialisasi alam, seperti air bersih, seringkali diikuti

oleh komodifikasi air bersih itu sendiri. Dalam pandangan neoliberalization of

nature, kampanye anti-privatisasi yang dilakukan oleh orang-orang

pergerakanhanyalah mengatasnamakan hak asasi manusia tanpa melihat

kemungkinan dari privatisasi yang berhasil. Namun, kelompok neoliberalization

of nature dengan begitu hanyalah memberi batasan kepada istilah hak asasi

manusia itu sendiri.

Privatisasi di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh fragmentasi

politis yang dimainkan oleh peran yang dignifikan dalam menjelaskan keputusan

pemerintah untuk melakukan privatisasi. Hal itu disebutkan dalam artikel jurnal

yang berjudul Delayed Privatization yang ditulis oleh Bernardo Bortolotti dan

Paolo Pinotti (2008). Proses penetuan kebijakan dilakukan atau tidaknya

privatisasi sangat ditentukan oleh banyaknya partai politik dan pemegang

kepentingan. Dengan begitu, bentuk ekonomi yang ditentukan juga akan bisa

terombang-ambing selama para pemegang kepentingan itu masih beradu argumen.

Dalam artikel jurnal yang berjudul Subaltern Strategies and Development

Practice: Urban Water Privatization in Ghana, Ian Yeboah (2006) menulis

bahwa praktik pembangunan di Ghana ditandai dengan ketergantungan pada

sumber-sumber asing modal dan keahlian yang menggambarkan jiwa dan pola

pikir Eurosentrisme terkait dengan elit pengambil keputusan di Ghana itu sendiri.

Dasar pemikiran untuk adanya privatisasi air tidak hanya menunjukkan

ketergantungan, namun juga sejauh mana pembuat keputusan bersedia

mengorbankan kedaultan dan budaya yang sensitif dalam melakukan sesuatu,

modal global, dalam pertukaran untuk dana pembangunan.

Privatisasi air ternyata juga sangat berpengaruh bagi kehidupan para

perempuan di Jakarta, seperti yang diltulis oleh Triyananda (2013) dalam

skripsinya. Privatisasi air oleh PAM Jaya sebagai Perusahaan Daerah Air Minum

setempat dilakukan dengan alasan efisiensi dan efektivitas yang tida dapat

dihasilkan oleh PAM Jaya. Namun, pada kenyataannya, pelayanan air memburuk

dan krisis air bersih menjadi berkepanjangan. Pertanyaan yang dicoba dijawab

36

Universitas Indonesia

adalah bagaimana pola diskriminasi yang terjadi kepada di Muara Baru, dan

bagaimana peran pengawasan pemerintah kota dalam praktik pelayanan air

minum pasca privatisasi PAM Jaya.

Terdapat tiga pola diskriminasi yang terjadi dalam tiga bentuk. Pertama,

telah ada larangan hidran umum di daerah yang memiliki jaringan pipa, namun

pengusaha hidran umum masih bertebaran. Yang kedua, tidak ada upaya

signifikan dari Palyja untuk menutup usaha hidran umum sehingga hidran umum

tersebut bisa dimanfaatkan dan ada oknum-oknum yang meraih keuntungan dari

situ. Yang ketiga adalah bantuan fasilitas yang diberikan Palyja kepada

masyarakat tidak lah signifikan sehingga masyarakat tidak dapat mendapatkan air

bersih secara layak, terutama perempuan yang bekerja di rumah.

Intias Maresta Buditami (2012) juga melakukan penelitian terkait

pengawasan Public-Private Partnership (PPP) di PAM Jaya dalam tinjauan

akuntabilitas publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan

menggambarkan apa saja lembaga-lembaga pengawas dalam proses pengawasan

PPP serta bagaimana pengawasan tersebut berjalan dalam tinjauan akuntabilitas

publik. Hasil dari penelitian tersebut adalah pengawasan internal dan eksternal

PPP PAM Jaya masih memiliki banyak masalah dan pengawasan tersebut tidak

berjalan optimal.

Sedangkan, dalam Irwansyah (2001), dituliskan dalam skripsinya, bahwa

terdapat perlakuan diskriminatif dalam hal wewenang, kepercayaan, dan sistem

gaji. Pada temuannya, Irwansyah menemukan bahwa dengan adanya privatisasi

ini, karyawan PAM Jaya mempunyai wewenang dan kepercayaan yang kurang

daripada karyawan swasta. Selain itu, karyawan PAM Jaya mempunyai gaji yang

lebih kecil daripada karyawan swasta. Dalam pergerakan Serikat Pekerja di PAM

Jaya, terdapat rasa ketidakadilan yang menjadi sentral dalam teori mobilisasi

tentang eksploitasi dan dominasi dalam ekonomi kapitalis yang diturunkan dari

analisa Marxis.

2.4. Kerangka Pemikiran

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang terdapat pada diri manusia yang

tidak diberikan oleh negara ataupun penguasa. Manusia sejak lahir telah

37

Universitas Indonesia

mempunyai hak asasi yang harus lah dipenuhi.Pemenuhan hak dan kewajiban

tentang air bersih sangat lah kurang.Kita semua tahu bahwa air bersih merupakan

hal yang vital bagi kehidupan manusia. Hak atas air merupakan hak sosial dan

ekonomi yang penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Namun kemudian

terjadi kebijakan privatisasi air yang membuat pelayanan pendistribusian air

bersih ke seluruh penduduk belumlah merata dan berkualitas baik. Masih banyak

penduduk yang tidak mendapatkan akses air bersih.

Dikatakan dalam Ahlers (2010) bahwa privatisasi dianggap sebagai babak

baru milik bersama, dilaksanakan oleh negara neoliberal untuk membuka wilayah

baru untuk pembangunan kapitalis dan bentuk kapitalis pasar.Hal itu merupakan

bertemunya konsep pasar global dan sektor publik sebagai gagasan yang

mengambil makna baru untuk komodifikasi dan privatisasi barang dan aset

publik. Padahal, di dalam Schwab (2008), disebutkan bahwa korporasi harus

terlibat di dalam isu global walaupun komunitas bisnis tidak bisa sendirian

memecahkan masalah global, seperti kemiskinan, pendidikan yang buruk, dan

pelayanan kesehatan yang tidak setara. Untuk itu, tanggung jawab pemerintah dan

organisasi multilateral tidak bisa dilepaskan begitu saja. Tulisan Scwab ini

menunjukkan, bahwa neoliberalisme sangat mempengaruhi perdagangan

internasional. Dengan adanya globalisasi, seluruh rangkaian kegiatan pasar global

dijalankan dengan paham neoliberal, yang berusaha meminimalisasi peran negara

dan lebih memaksimalisasi peran swasta dan komunitas bisnis.

Hal itu membuat Indonesia, sebagai negara berkembang, mendapat

tekanan dalam rangka pembangunan dan perjuangan kelas agar bisa menyetarakan

diri dengan negara-negara maju dunia. Merujuk pada Quinney, reaksi yang

diberikan Indonesia dalam tekanan dan perjuangan kelas internasional tersebut

menimbulkan adanya kejahatan, yaitu crimes of domination. Negara sendiri yang

akhirnya harus melaksanakan kebijakan privatisasi, khususnya privatisasi air,

dalam rangka pembangunan. Dalam makna neoliberal, air tidak lagi dianggap

sebagai hak, namun sebagai barang yang harus dibeli. Untuk itu, warga nergara

Indonesia harus memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhannya atas air bersih.

Air, yang tadinya merupakan barang publik, diubah menjadi barang ekonomi.

38

Universitas Indonesia

Merujuk pada Branco & Henriques (2010), terdapat fakta bahwa banyak

keluarga miskin yang tidak memiliki akses distribusi air, termasuk

ketidakmampuan mereka untuk membayar jasa pelayanan air bersih merupakan

bentuk dari adanya diskriminasi. Ketidaksetaraan dan diskriminasi ini merupakan

pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, dan oleh karena itu tidak boleh

ditoleransi. Pelanggaran hak asasi manusia ini lah yang menjadi kejahatan negara,

seperti apa yang dikatakan oleh Julia dan Herman Schwendinger.

Alur Pemikiran:

Neoliberalisme

Dominasi Bank Dunia

Privatisasi Air DKI Jakarta

State Crime - Crime of Domination

Proses

viktimisasi

Kerugian

Korban

Reaksi Korban

39

Universitas Indonesia

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Neuman (1997) menyatakan, bahwa critical social science bertujuan untuk

mengungkap struktur dalam dunia material dengan tujuan membantu masyarakat

membangun dunia yang lebih baik. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang

emansipatif. Emansipatif berarti mempunyai ambisi untuk mendorong adanya

perubahan. Pendekatan ini menolak pendekatan positivisme dan interpretivisme

karena kedua pendekatan tersebut bersifat amoral dan pasif. Sedangkan,

pendekatan kritis ini menganggap bahwa penelitian merupakan aktivitas politis

sekaligus aktivitas moral, bukan hanya sekadar pencapaian akademis.

Pendekatan kritis ini menganggap, bahwa peneliti sosial mempunyai

tanggung jawab untuk menempatkan diri dalam relasi dengan pihak yang berjuang

sebagai karakteristik masyarakat yang berkonflik. Untuk itu, pendekatan ini

menuntut peneliti untuk berpihak (Neuman, 1997). Penelitian ini menggunakan

pendekatan kritis. Peneliti bermaksud mengkaji kebijakan pemerintah Indonesia

yang menyangkut soal privatisasi air di DKI Jakarta. Dengan menggunakan

pendekatan penelitian kritis, penelitian ini berpihak pada masyarakat dan mencoba

melakukan perubahan pemikiran tentang konsep kejahatan yang terjadi di dalam

kehidupan masyarakat DKI Jakarta.

Jenis pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis proses

kebijakan. Dalam Dunn (2003), disebutkan bahwa penelitian analisis kebijakan

bersifat deskriptif dan normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena peneliti

ingin menggambarkan sebab dan akibat dari kebijakan privatisasi air di DKI

Jakarta. Sedangkan bersifat normatif karena peneliti ingin mengkaji nilai

kebijakan publik untuk masa lalu, masa kini, dan masa datang.

Dalam analisis proses kebijakan, terdapat metode analisis perilaku

berganda. Analisis perilaku berganda ini merupakan analisis dengen mempelajari

dan mencari data-data terkait dengan pembuat kebijakan dan pihak yang

merasakan kebijakan tersebut. Bentuk analisisnya adalah analisis kebijakan

retrospektif yang berorientasi pada disiplin ilmu. Analisis kebijakan bentuk ini

39

40

Universitas Indonesia

ingin menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan, seperti konteks masa lalu di

saat kebijakan itu dibuat, dan dampak dari kebijakan itu sendiri.

Dalam menjelaskan konteks global dan konteks lokal, peneliti

menggunakan hubungan makro dengan mikro oleh Anthony Giddens yang

berjudul strukturasi. Konsep globalisasi yang turut mempengaruhi Indonesia

dalam pengambilan keputusan kebijakan dapat dijelaskan dengan teori strukturasi

Giddens yang menghubungkan dengan praktik pemerintah Indonesia dalam

melakukan kejahatan pelanggaran hak asasi manusia.

3.2. Batasan Penelitian

Penelitian ini fokus pada bagaimana kebijakan privatisasi air dapat

membuat air menjadi barang ekonomi. Peneliti akan mengaitkan kebijakan ini ke

dalam konteks global yang sedang berlangsung saat kebijakan tersebut dibuat dan

dijalankan. Kemudian, hal itu akan dihubungkan pada dampak yang dirasakan

oleh masyarakat miskin dari kebijakan privatisasi air itu.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan pengumpulan data dengan

penelitian multimetode (Dunn, 2003). Penelitian multimetode adalah penelitian

yang teknik pengumpulan datanya adalah kajian terhadap dokumen-dokumen

kebijakan privatisasi air DKI Jakarta, wawancara, FGD, dan penelusuran data

sekunder.

3.3.1. Studi Dokumen

Penelitian ini membutuhkan dokumen-dokumen kebijakan privatisasi air

DKI Jakarta. Dokumen yang dibutuhkan adalah perjanjian, surat keputusan,

undang-undang, laporan, rekomendasi, dan notulensi. Studi dokumen ini

bertujuan untuk melihat bagaimana proses terjadinya privatisasi ini dan

bagaimana konteks masa lalu yang terjadi pada saat kebijakan ini dibuat.

Pada awalnya, peneliti mencari dokumen-dokumen tersebut di kantor

Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA). Peneliti dapat mengakses kontrak

perjanjian antara PAM Jaya dengan pihak swasta. Untuk mengakses surat

41

Universitas Indonesia

keputusan, notulensi, surat rekomendasi, dan notulensi, peneliti menghubungi

salah satu advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, yang

sedang mengurus Gugatan Warga Negara atas privatisasi air Jakarta yang diproses

di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk itu, peneliti mengurus berbagai

keperluan administrasi yang dibutuhkan untuk mengakses dokumen-dokumen

tersebut di LBH Jakarta.

Karena adanya keterbatasan waktu dan tenaga dari LBH Jakarta,

pengumpulan dokumen dilakukan dalam dua kali. Yang pertama adalah pada

tanggal 18 November 2013 dan yang kedua adalah pada tanggal 25 November

2013. Dokumen-dokumen yang terdapat di LBH Jakarta tidak boleh difotokopi

ataupun dipinjam oleh peneliti. Oleh karena itu, peneliti mencatat isi inti dari

dokumen-dokumen tersebut dalam tabel yang dilampirkan di akhir naskah skripsi

ini.

Selain mengakses dokumen dari LBH Jakarta, peneliti juga mencari

dokumen-dokumen di internet, seperti surat pinjaman Bank Dunia dan

rekomendasi Bank Dunia terkait privatisasi air ini. Selain itu, peneliti juga

mengakses beberapa Undang-Undang di internet.

Setelah mengumpulkan semua dokumen yang diperlukan, peneliti

menyusunnya sehingga menjadi cerita kronologis yang lengkap. Hal itu dilakukan

supaya peneliti bisa mempelajari dan mengerti bagaimana proses kelahiran

kebijakan ini berlangsung dan bagaimana keadaan yang melatarbelakangi adanya

kelahiran kebijakan tersebut.

3.3.2. Wawancara Mendalam

Setelah mempelajari dokumen, peneliti melakukan wawancara.

Wawancara ini dilakukan dengan teknik snow-balling. Awalnya, peneliti

menghubungi Muhammad Reza dari KRuHA yang mengenal salah satu mantan

pengurus Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BRPAM) Jakarta periode

2005-2008 dan 2008-2011, yaitu Riant Nugroho, yang adalah seorang ahli

kebijakan publik. Selain itu, ia merupakan dosen kebijakan publik di pascasarjana

FISIP UI. Ia juga menjadi pengajar tamu di Universitas Sebelas Maret,

Universitas Gajah Mada, dan Diklatpim I dan II Lembaga Administrasi Negara.

42

Universitas Indonesia

Setelah mendapatkan kontaknya, peneliti menghubungi Riant Nugroho

untuk mewawancarai beliau. Kepada Riant Nugroho, peneliti menanyakan

bagaimana kebijakan tarif dan kinerja oleh PAM Jaya dan kedua mitra swastanya.

Riant Nugroho juga menjelaskan bagaimana Bank Dunia mempengaruhi adanya

kebijakan tersebut dan juga menjelaskan posisi BRPAM dalam pelayanan air

minum di DKI Jakarta.

Dari Riant Nugroho, peneliti diberi kontak ke mantan asisten Riant

Nugroho, Marsha dan Mimi di kantor BRPAM yang terletak di Pejompongan.

Dari Marsha dan Mimi, peneliti mendapatkan buku-buku yang memuat penelitian

dan kajian BRPAM tentang pelayanan air minum di Jakarta.

Setelah itu, peneliti menghubungi Firdaus Ali, seorang ahli air dan sanitasi

dan juga dosen di Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik UI. Firdaus Ali juga

merupakan mantan penguus BRPAM Jakarta di tahun yang sama dengan Riant

Nugroho. Dengan Firdaus Ali, peneliti menanyakan soal bagaimana keadaan air

bersih dan sanitasi di Jakarta dalam segi teknis. Kemudian, dari Firdaus Ali,

peneliti mendapat kontak Ahmad Lanti.

Pada saat pelaksanaan negosiasi perjanjian kerjasama, Ahmad Lanti

menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen

Pekerjaan Umum. Ahmad Lanti merupakan anggota tim negosiasi gabungan yang

menegosiasikan perjanjian kerjasama privatisasi air Jakarta. Kemudian, beliau

juga merupakan ketua Badan Regulator PAM pada 2002-2008. Dari Ahmad Lanti,

peneliti menanyakan soal bagaimana keadaan saat proses awal perjanjian

kerjasama antara PAM Jaya dengan swasta.

Rentang waktu dari pertemuan dengan Firdaus Ali sampai ke pertemuan

dengan Ahmad Lanti memakan waktu lebih dari seminggu. Di waktu yang kosong

itu, peneliti mengikuti perkembangan sidang Gugatan Warga Negara atas

privatisasi air Jakarta. Saat persidangan, peneliti bertemu dengan Arif Maulana

dan kawan-kawan LBH Jakarta yang lain. Di sana, Arif Maulana mengenalkan

peneliti dengan seorang karyawan administrasi PAM Jaya yang bernama Royke.

Dari Royke, peneliti dipertemukan dengan Sriwidayanto Kaderi, seorang Direktur

Umum PAM Jaya yang sekarang sedang menjabat. Kepada Sriwidayanto Kaderi,

peneliti menanyakan tentang bagaimana kondisi PAM Jaya sekarang secara

43

Universitas Indonesia

umum, bagaimana kebijakan tarif, dan soal perjanjian kerjasama dengan pihak

swasta, serta pelayanan PAM kepada masyarakat miskin.

Di persidangan itu juga, peneliti berkenalan dengan Andreas Harsono,

yang saat itu menjadi saksi di persidangan Gugatan Warga Negara atas privatisasi

air Jakarta. Andreas Harsono merupakan jurnalis yang pernah melakukan liputan

investigasi akan kasus perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dan swasta. Ia juga

pernah mewawancarai Ahmad Lanti. Dengannya, peneliti berdiskusi sebentar

sehingga peneliti mendapat pengetahuan lebih banyak tentang kasus air ini dan

peneliti pun lebih bisa mengerti dan membicarakan dengan baik apa yang Ahmad

Lanti bahas saat mewawancara Ahmad Lanti.

Setiap wawancara peneliti rekam dan dibuat hasil transkripnya sehingga

memudahkan peneliti untuk melakukan penulisan penemuan data. Selain itu,

transkrip juga berguna untuk memudahkan analisa.

3.3.3. Focus Group Discussion

Selain itu studi dokumen dan wawancara kepada pihak-pihak yang terkait

dengan pembuatan kebijakan, peneliti melakukan teknik focus group discussion

(FGD) kepada warga yang terkena dampak kebijakan privatisasi air Jakarta ini.

Dalam melakukan FGD, terdapat dua kelompok berbeda, yang pertama adalah

ibu-ibu di Rawa Badak yang daerahnya dialiri oleh air PAM dengan operator

Aetra. Yang kedua adalah ibu-ibu di Muara Baru yang daerahnya dialiri oleh air

PAM dengan operator Palyja. Konsep ibu-ibu di sini adalah seorang perempuan

yang menjadi ibu rumah tangga. Peneliti memilih ibu-ibu karena ibu-ibu dekat

dengan urusan domestik rumah tangga, yang mana air merupakan kebutuhan

dasar rumah tangga.

Dalam melakukan FGD, peneliti dibantu oleh teman-teman peneliti dalam

hal operasional, seperti mendokumentasikan kegiatan FGD dan melakukan

notulensi. Dalam mengajukan pertanyaan dan isu untuk didiskusikan, peneliti

memakai pedoman sehingga hal-hal yang dibicarakan tidak keluar dari konteks

privatisasi air.

Peneliti melakukan FGD karena peneliti ingin memperoleh jawaban

konsensus yang dimiliki oleh warga yang terkena dampak kerugian kebijakan

44

Universitas Indonesia

privatisasi air Jakarta. Peneliti ingin memperoleh pandangan kelompok. Peneliti

ingin menggali pendapat tentang bagaimana efek yang dirasakan tentang

privatisasi air. Peneliti ingin memperoleh informasi mendalam tentang persepsi,

sikap, dan pengalaman narasumber. Peneliti juga membutuhkan informasi

tambahan berupa data kualitatif yang melibatkan persoalan masyarakat. Dalam hal

ini, pendapat kelompok sangat penting bagi peneliti.

FGD dilakukan dengan pedoman agar data yang didapat dapat sesuai dan

dapat digunakan oleh peneliti. FGD dilakukan untuk mendukung hasil kajian

terhadap dokumen kebijakan privatisasi air DKI Jakarta. Hasil FGD ini dicatat di

dalam catatan peneliti serta direkam agar peneliti tidak melupakan informasi yang

diberikan oleh narasumber. Dengan catatan dan rekaman itu pula peneliti dapat

menyusun hasil FGD dengan baik sehingga dapat melakukan analisis data.

3.3.4. Penelusuran Data Sekunder

Peneliti mencari data sekunder sebagai sumber tambahan dalam

memahami kebijakan privatisasi air Jakarta ini. Peneliti melakukan pencarian dari

beberapa sumber untuk mendapatkan data yang tepat. Peneliti mendapat data dari

BRPAM berupa buku-buku yang berisi penelitian dan kajian tentang pelayanan

air minum DKI Jakarta. Selain itu, dari pak Sriwidayanto Kaderi, peneliti

mendapatkan profil perusahaan PAM Jaya yang berisi soal pembagian daerah

pelayanan di Jakarta, tarif air, dan kriteria penggolongan tarif air.

3.4. Waktu Penelitian

Pengambilan data dilakukan oleh peneliti dilakukan dalam dua tahap.

Yang pertama adalah pengambilan data untuk studi dokumen yang dilakukan

peneliti mulai dari 18 November 2013 sampai 25 November 2013. Kemudian,

peneliti mulai mewawancarai para narasumber pada 20 Januari 2014 sampai 13

Februari 2014. Peneliti memakan waktu lama dalam bertemu dengan narasumber

karena adanya hambatan seperti ada banjir bandang di Jakarta, dan juga para

narasumber merupakan orang sibuk.

Selama proses mewawancarai para narasumber, peneliti juga

mengumpulkan data sekunder, seperti data-data implementasi kebijakan

45

Universitas Indonesia

privatisasi air dari Badan Regulator Pelayanan Air Minum (BRPAM) dan PAM

Jaya. Selain itu, sambil menunggu proses wawancara, peneliti melakukan

observasi dan pendekatan kepada para narasumber berikutnya dengan cara datang

ke persidangan gugatan swastanisasi air Jakarta.

3.5. Hambatan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini mempunyai beberapa hambatan. Pertama, para

narasumber merupakan orang-orang sibuk sehingga seringkali peneliti harus

menjadwal ulang pertemuan dengan mereka. Hal itu membuat proses turun

lapangan memakan waktu lama.

Yang kedua, pada saat peneliti menghubungi pihak Bank Dunia (Alain

Locussol), peneliti tidak direspon sama sekali. Untuk itu, peneliti mencari data

dari perjanjian tertulis antara Bank Dunia dan Indonesia, yaitu Loan

AgreementNumber 3219 IND, dengan proyek bernama Second Jabotabek Urban

Development Project.

Ketiga, adanya banjir besar di Jakarta selama awal Januari sampai akhir

Februari membuat proses turun lapangan terhambat. Narasumber yang berada di

daerah Rawa Badak dan Muara Baru kebanjiran dan banjir saat itu memakan

waktu yang lumayan lama.

46

Universitas Indonesia

BAB 4

TEMUAN DATA

4.1. Awal Perjalanan Privatisasi Air DKI Jakarta

Pada awalnya, pelayanan air minum DKI Jakarta dilayani oleh PAM Jaya

yang dalam operasinya membagi wilayah pelayanan menjadi enam wilayah (dapat

dilihat pada Gambar 4.1.:

1. Wilayah I: Sekitar Jakarta Pusat

2. Wilayah II: Sebagian Jakarta Pusat dan sebagian Jakarta Timur

3. Wilayah III: Sebagian Jakarta Utara bagian Timur

4. Wilayah IV: Jakarta Barat

5. Wilayah V: Jakarta Selatan

6. Wilayah VI: Jakarta Timur bagian Selatan

Pembagian wilayah tersebut disebabkan oleh adanya pembatasan pipa-pipa primer

yang mengaliri air untuk Jakarta.

“...wilayah Jakarta ini kan dari awal PAM Jaya dalam operasinya membagi

wilayah pelayanan enam wilayah. Ini adalah berdasarkan keberadaan pipa-pipa

besar dan instalasi di area itu.Wilayah satu itu secara kewilayahan itu sekitar

Jakarta Pusat.Wilayah dua itu sebagian Jakarta Pusat, kemudian sebagian

Jakarta Timur.Wilayah tiga itu sebagian Jakarta Utara tapi sisi timur.Wilayah

empat itu Jakarta Barat. Wilayah lima ini hampir semua Jakarta Selatan.

Wilayah enam itu Jakarta Timur sisi selatan.Tapi itu sebenernya karena

dibatasin oleh pipa-pipa primer.Basenya adalah pipa yang ada.Jadi waktu

awalnya itu sebenernya kerjasama ini adalah bahwa Jakarta yang sudah seperti

itu silakan aja diteruskan. Awalnya itu kita akan membangun di jatiluhur.

Kemudian mengirim air bersih dijual kepada Jakarta.”

(Wawancara dengan pak Sriwidayanto Kaderi tanggal 10 Februari 2014)

Kebijakan privatisasi air di Jakarta itu sendiri awalnya merupakan salah

satu pinjaman Bank Dunia (World Bank). Ditemukan dalam Loan Agreement

Number 3219 IND, tertanggal 6 Juli 1990, ditulis bahwa International Bank for

Reconstruction and Development (IBRD) menyetujui pemberian pinjaman kepada

Pemerintah RI dalam proyek yang bernama Second Jabotabek Urban

Development Project.IBRD ini sendiri merupakan salah satu bagian dari Bank

Dunia.Pinjaman yang diberikan oleh IBRD kepada pemerintah RI berjumlah total

46

47

Universitas Indonesia

190 juta USD. Pinjaman tersebut dibagikan kepada tiga lembaga yang ketiga-

tiganya bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan air minum DKI Jakarta:

19 juta USD kepada Pemprov DKI Jakarta, 92 juta USD kepada PAM Jaya, dan

13 juta USD kepada PDAM Tangerang. Dalam Loan Agreement tersebut

dikatakan bahwa per 1 April 1991 pengelolaan dan pengoperasian saluran air dan

limbah DKI Jakarta sudah harus berjalan.

Kemudian, peneliti menemukan dokumen Risalah Rapat Koordinasi

Penyediaan Air Bersih bagi DKI Jakarta dan sekitarnya. Di dalam dokumen

tersebut, peneliti mengetahui bahwa pada 12 Juni 1995, Presiden RI saat itu,

Soeharto, mengeluarkan Petunjuk Presiden RI kepada Menteri PU yang sedang

menjabat, Ir. Radinal Mochtar, yang berisi perlu penanganan penyediaan air

bersih untuk DKI Jakarta dan sekitarnya, dan penanganan tersebut

mengikutsertakan dua perusahaan swasta. Untuk menindaklanjuti Petunjuk

Presiden tersebut, Menteri PU mengadakan Rapat Koordinasi Penyediaan Air

Bersih bagi DKI Jakarta dan Sekitarnya pada 15 Juni 1995. Inti hasil rapat

tersebut adalah bahwa pengelolaan air bersih untuk DKI Jakarta dan sekitarnya

ditetapkan menjadi dua bagian, yaitu sebelah timur kali Ciliwung dan sebelah

barat kali Ciliwung dengan operator swasta. Setelah diadakan rapat tersebut,

dengan Surat Keputusan Menteri PU No. 249/KPTS/1995 tertanggal 6 Juli 1995,

Menteri PU membentuk Tim Koordinasi Penyiapan Proyek Penyediaan Air

Bersih Kota Jakarta dan Kawasan Sekitarnya dengan Peran Swasta.

Salah satu narasumber, Ahmad Lanti menyatakan bahwa saat itu menteri

PU mensyaratkan adanya uji kelayakan sebelum ditentukannya privatisasi.

Setelah uji kelayakan tersebut selesai, uji kelayakan tersebut diterima dan

disetujui oleh menteri PU dengan sedikit perubahan di sana-sini.

“Tapi waktu itu persyaratannya menteri PU adalah mereka harus melakukan

kajian tentang kelayakan. Uji kelayakan itu dibuat hampir enam sampai sepuluh

bulan ya.Selesai, disampaikan kepada menteri PU.Kemudian PU membuat

evaluasi yang dipimpin oleh Dirjen Cipta Karya. Namanya Ir. Rahmadi B. S. Nah

tim ini lah yang menilai uji kelayakan tersebut. Nah, akhirnya uji kelayakan itu

dengan sedikit perubahan di sana-sini dapat diterima oleh Kementerian PU. Nah,

jadi untuk itu

48

Universitas Indonesia

diminta jadi menteri PU supaya dibentuk Tim Gabungan. Tapi tetap diketuai oleh

Dirjen Cipta Karya ya.Jadi ada dari Kementerian PU, ada dari Pemprov DKI.

Nah saya waktu itu ditunjuk sebagai wakil tim Negosiasi. Ketua Tim Negosiasinya

waktu itu Pak Prawoto”

(Wawancara dengan pak Ahmad Lanti tanggal 10 Februari 2014)

Selanjutnya, peneliti menemukan bahwa terdapat dokumen Surat

Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta No. 1327 Tahun 1995 tentang

Pembentukan Tim Negosiasi Pemerintah DKI Jakarta untuk Kerjasama Kemitraan

antara PAM Jaya dengan Swasta (Tim Negosiasi Gabungan). Gubernur yang saat

itu menjabat adalah pak Suryadi Sudirja. SK ini merupakan tindak lanjut dari uji

kelayakan yang diterima oleh menteri PU tersebut. Tim Negosiasi Gabungan yang

dipimpin oleh Dirjen Cipta Karya, Ir. Rahmadi B. S. Ketua tim negosiasi

gabungan ini sendiri adalah pak Prawoto, yang saat itu merupakan Asisten

Pembangunan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan wakilnya adalah Ahmad

Lanti, yang waktu itu menjabat sebagai pejabat Dinas Pekerjaan Umum Eselon

Satu. Anggotanya merupakan Direktur Utama PAM Jaya, pak Rama Boedi dan

banyak orang teknis lainnya. Termasuk juga di dalamnya ada orang-orang dari

TPJ dan Palyja. Negosiasi tersebut berlangsung berkali-kali, pak Ahmad Lanti

sendiri tidak bisa mengingatnya.

“Iya. Dengan SK menteri PU waktu itu.Itu dibuat tahun 96.Ketuanya dari DKI ada

asisten pembangunan, pak Prawoto, wakilnya saya.Anggotanya Dirut PAM Jaya

dan banyak lagi orang-orang teknis yang lainnya.Terus termasuk juga di

dalamnya ada namanya TPJ dan Palyja.Waktu itu sudah dibentuk PT-nya.Waktu

itu sudah terdiri dari orang asing dan orang Indonesia itu Palyja dan

TPJ.Negosiasi itu berlangsung berkali-kali bolak-balik, lupa saya berapa kali,

sampai akhirnya satu tahun setengah negosiasinya.14 bulan kalau ga salah waktu

itu.Akhirnya pada bulan Juni, ditandatanganilah kontrak itu dengan Palyja dan

TPJ.Yang taken contract adalah Dirut PAM Jaya namanya Ir. Rama Boedi. Dan

dari pihak swasta itu saya lupa, nama asing semua. Diketahui dan disetujui oleh

gubernur, pak Suryadi Sudirja.Menteri PU hadir menyaksikan aja di Balaikota.Itu

tahun 97, bulan juni.Kalau 25 tahun, berakhirnya Juni 2022 kan.”

(Wawancara dengan pak Ahmad Lanti tanggal 10 Februari 2014)

Pada saat negosiasi-negosiasi itu dibuat, pak Ahmad Lanti dan rekan-

rekannya berada di bawah tekanan Suharto.

49

Universitas Indonesia

“Ya itu orde baru sih ya. Di bawah tekanan itu kerjanya.Karena ada kepentingan-

kepentingan bisnis dari orang-orang dekatnya pak Harto.Jadi kalau mau ngomong

keras, ditegur gitu.Ditegur melalui menteri PU.Pak Kardono asisten presiden

bidang militer ya?Pokoknya itu lah.Dia staf presiden bidang militer.Nah itu yang

menekan.Ya seolah-olah ya kepada menteri PU, menteri PU menyampaikan ke

kita.Kita bekerja di bawah tekanan.Susah ngomongnya. Terus cost nya dibayar

sama masyarakat Jakarta. Social cost nya.”

(Wawancara dengan pak Ahmad Lanti tanggal 10 Februari 2014)

Jika mereka mulai menentang, mereka akan ditegur melalui menteri PU. Sebelum

menteri PU menegur, ia mendapat teguran dari seorang asisten presiden bidang

militer yang bernama pak Kardono.

Di dalam dokumen ini disebutkan bahwa biaya pelaksanaan sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan ini dibebankan pada anggaran PAM Jaya tahun

1995/1996.Keputusan ini berlaku sejak 15 September 1995. Keputusan ini

ditetapkan di Jakarta, 31 Oktober 1995.

Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta tersebut ditindaklanjuti oleh

Ketua Tim Negosiasi Pemda DKI Jakarta untuk Kerjasama Kemitraan antara

PAM Jaya dengan Swasta, Ir. H. Prawoto Danoemihardjo dengan membuat Surat

Keputusan No. 010/TN/XI/1995 tentang Pembentukan Satuan Tugas untuk

Kerjasama Kemitraan antara PAM Jaya dengan Swasta tertanggal 16 November

1995. Untuk menindaklanjuti hal itu, terdapat Instruksi Menteri Dalam Negeri No.

21 Tahun 1996 tentang Petunjuk Kerjasama antara Perusahaan Daerah Air Minum

dengan Pihak Swasta tertanggal 22 Juli 1996 di Jakarta dengan ditandatangani

oleh Menteri Dalam Negeri saat itu: Moh. Yogie S. M.

Kemudian, perjanjian kerjasama ditandatangani pada 6 Juni 1997 antara

PAM Jaya dengan mitra swasta. Pelaksanaan penyediaan air bersih Provinsi DKI

Jakarta dialihkan kepada pihak swasta, yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (gabungan

dari Lyonnaise des Eaux dan Salim Group) untuk wilayah barat Jakarta, dan PT

Thames PAM Jaya (gabungan dari Thames Water Overseas dan perusahaan milik

Sigit Harjojudanto, anak dari presiden RI saat itu, Suharto) untuk bagian timur

Jakarta.

Namun, perjanjian kerjasama tersebut baru berlaku efektif pada 1 Februari

1998. Hal itu disebabkan karena berlakunya condition precedent (persyaratan

pendahuluan) yang sudah disepakati. (Lanti, Nugroho, Ali, Kretarto, & Zulfikar,

50

Universitas Indonesia

2008). Kemudian, para pihak dalam perjanjian kerjasama tersebut menyepakati

untuk perlu diadakan beberapa perubahan atas isi kerjasama untuk disesuaikan

dengan perkembangan kondisi. Pada 22 Oktober 2001 terdapat Re-stated

Cooperation Agreement (RCA) yang disebakati oleh semua pihak.

Tabel 4.1.: Tabel Perubahan Perjanjian Kerjasama Sebelum dan Sesudah

Diperbaiki dan Diberlakukan Kembali tanggal 22 Oktober 2001

No Pokok Hal Perjanjian Kerjasama 6

Juni1997

Perjanjian Kerjasama

22 Oktober 2001

1 Perjanjian

kerjasama efektif

11 persyaratan

pendahuluan sebelum

berlaku efektif. Dimulai

efektif 1 Februari 1998.

Tidak ada persyaratan

pendahuluan. Segera

efektif 22 Oktober 2001.

2 Penyelesaian

perselisihan

Penyelesaian secara

musyawarah, melalui

mediasi, expert. Arbritase

melalui UNCITRAL,

Singapura.

Penyelesaian secara

musyawarah, melalui

mediasi Badan

Regulator. Melalui

mediasi pakar yang

ditunjuk. Arbritase

dilakukan oleh

UNCITRAL, Singapura.

3 Status karyawan

2.803 karyawan yang

diperbantukan memiliki

“status ganda” – kondisi

kurang stabil.

Dialihkan menjadi status

tunggal melalui

mekanisme tiga opsi.

4 Kontrak air baku

dan air curah

Kontrak melalui PAM

Jaya.

Kontrak langsung dengan

mitra swasta.

5 Target teknis dan

standar pelayanan

Berdasarkan studi

kelayakan 1996.

Direvisi karena krisis

moneter 1998-2000.

6 Sanksi dan penalti

Obyek yang dikenal

sanksi/peneliti terbatas

pada volume air terjual

dan kualitas air.

Obyek ditambah: Angka

kebocoran air, cakupan

pelayanan, ketepatan

penyampaian laporan.

7 Pemompaan air

tanah

Kehilangan pendapatan

akibat kegagalan menutup

sumur dalam

dikompensasi oleh PAM

Jaya. Akibatnya, target

teknis dapat berubah.

Dalam hal gagal menutup

sumur dalam: kehilangan

pendapatan tidak

dikompensasi, PAM Jaya

hanya sebagai fasilitator.

Tidak mempangurhi

51

Universitas Indonesia

No Pokok Hal Perjanjian Kerjasama 6

Juni1997

Perjanjian Kerjasama

22 Oktober 2001

Retribusi pajak air tanah

dibagi untuk Mitra

Swasta.

target teknis. Pihak

kedua tidak berhak

menerima pajak air

tanah.

8 Finpro dan

imbalan air

Karena krisis moneter,

Finpro 1997 tidak bisa

diterapkan dan tidak

memenuhi kelayakan.

Imbalan air > tarif (defisit

besar. Untuk Kompensasi

defisit, pihak kedua dapat

menjual kelebihan aset

apabila disetujui PAM

Jaya.

Kenaikan tarif 35%,

Finpro baru disepakati

(sebagai lampiran PKS

baru). Imbalan baru

(bersifat indikatif)

diturunkan lebih kurang

20%. Defisit yang lalu

diaudit oleh BPKP.

Imbalan air yang

dievaluasi ditetapkan

setelah periode transisi

(Januari 2003) sebagai

titi awal untuk sisa waktu

kontrak kerjasama.

9 Badan pengatur

(Badan Regulator)

Badan Pengawas = Badan

Regulator kurang

efektif/produktif

Badan Regulator

independen disepakati.

10 Manajemen aset

Pada akhir periode

kerjasama, sisa nilai buku

aset dikompensasi oleh

PAM Jaya. Pada akhir

kerjasama, tidak ada

jaminan dari pihak kedua

tentang kondisi aset pihak

pertama.

Program investasi

dijadwalkan tidak ada

sisa nilai buku pada akhir

kerjasama. Jaminan

Performance Bond atas

aset yang dikembalikan

pada akhir konsesi.

11 Mekanisme

Escrow Account

Mekanisme pengambilan

dana dari E/A hanya

berdasarkan instruksi

sepihak pihak kedua.

Mekanisme pengambilan

dana atas persetujuan

kedua pihak.

Sumber: Djamal, Utami, Ali, Kretarto, & Nugroho (2011)

52

Universitas Indonesia

Gambar 4.1.: Gambar Pembagian Wilayah Produksi dan Distribusi Air

Sumber: Profil Perusahaan PAM Jaya 2012

Pada Perjanjian Kerjasama PAM dengan swasta tertanggal 6 Juni 1997

(sebagaimana telah diubah dan dinyatakan kembali tertanggal 22 Oktober 2001),

terdapat klausula hak dan kewajiban. Dalam klausula 9 (Hak dan Kewajiban), hak

PDAM DKI Jakarta (pihak pertama) adalah memeriksa, mengawasi, menilai, dan

mengevaluasi pelaksanaan kewajiban-kewajiban pihak kedua; memberikan saran-

saran kepada Badan Pengatur dan Instansi Pemerintah terkait dengan penetapan

tarif; menerima bagian pendapatan pihak pertama, pendapatan yang tidak dibagi

dari pihak pertama, dan kebutuhan bulanan sekunder pihak pertama; menerima

laporan proyek dari pihak kedua; menerima dan menyetujui program lima tahun

untuk setiap periode berikutnya. Kewajiban PDAM adalah menyediakan,

memperbaharui, memperpanjang perizinan; memberi seluruh bantuan yang wajar

kepada pihak kedua sehubungan dengan pelaksanaan proyek oleh pihak kedua

sepanjang bantuan tersebut berada dalam kewenangan pihak pertama;

memberikan data dan informasi yang disimpan oleh pihak pertama kepada pihak

53

Universitas Indonesia

kedua untuk maksud pengelolaan, operasi, pengembangan proyek; mengalihkan

pengelolaan dan operasi dari aset yang ada kepada pihak kedua; membantu pihak

kedua dalam pengaturan penawaran opsi untuk menjadi karyawan.

Hak pihak kedua (swasta) adalah secara eksklusif melaksanakan proyek

dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan perjanjian ini selama jangka waktu

sesuai dengan perjanjian ini; menerima bantuan umum yang pantas dari pihak

pertama dan badan pengatur berkenaan dengan hubungan dengan Departemen

Permukiman dan Prasarana Wilayah dan Departemen Dalam negeri dan Otonomi

Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya; menerima bagian pendapatan pihak

kedua dan pendapatan yang tidak dibagi dari pihak kedua; mengatur pengukuran

meter dan penagihan para pelanggan; mengatur penagihan pendapatan yang dibagi

dan pendapatan yang tidak dibagi; mengadakan sambungan-sambungan baru pada

fasilitas distribusi. Kewajiban pihak kedua adalah mengatur seluruh pendanaan

yang diperlukan untuk proyek; memenuhi target teknis dan standar pelayanan

sementara bertindak sesuai dengan tata cara pengoperasian yang baik;

Memperoleh dari pihak ketiga terkait seluruh persediaan air baku dan aiar curah

olahan yang diperlukan untuk pelajsanaan kewajiban; menyampaikan laporan

megenai proyek kepada pihak pertama; Bekerjasama dalam penggunaan bersama

aset (apabila perlu dengan pihak lain) dengan ketentuan bahwa hal ini tidak akan

mengganggu kemampuan pihak kedua untuk melaksanakan kewajibannya;

menyiapkan program lima tahunan berdasarkan hasil studi kelayakan dan

menyerahkan serta membicarakan rencana investasi tahunan dan program

pengoperasian dan pemeliharaan tahunan; mengalihkan pengetahuan, keahlian,

dan teknologi yang berkaitan dengan proyek kepada pihak pertama.

Namun kemudian, pada 1997, Palyja menjual sahamnya 49% Kepada

Astratel dan 51% masih dipegang oleh Prancis (Suez Environment – Lyonnaise

des Eaux). Kemudian, di sisi timur, Thames PAM Jaya menjual saham seluruhnya

kepada PT Aetra, yang merupakan perusahaan Indonesia, beberapa tahun

setelahnya.

54

Universitas Indonesia

4.2. Keterlibatan Badan-Badan Internasional

Dalam melakukan pembangunan besar-besaran, Pemerintah RI melakukan

pinjaman kepada Bank Dunia. Hal itu terdapat pada dokumen Loan Agreement

Number 3219 IND pada tanggal 6 Juli 1990. Proyek tersebut bernama Second

Jabotabek Urban Project. Bank Dunia meminjamkan dana sebanyak 190 juta

USD, dan 92 juta dari uang tersebut digunakan untuk memperbaiki infrastruktur

air. Dana pinjaman tersebut sudah harus dibuat untuk mendirikan sistem

pengolahan air kotor pada 1 April 1991. Kemudian, disebutkan bahwa penarikan

dana terakhir adalah pada tanggal 31 Desember 1996.

Peneliti juga diceritakan oleh pak Ahmad Lanti bahwa perjanjian

kerjasama antara PAM Jaya dengan kedua mitra swasta tersebut memakai

pengadilan internasional: Singapore International Arbritation Centre (SIAC)

yang merupakan bagian dari International Criminal Court (ICC). Badan PBB

yang fokus pada hal ini adalah United Nations Commission on International

Trade Law (UNCITRAL). Pada saat itu, pengadilan Indonesia belum kuat.

Dengan memakai SIAC, pemerintah dapat menjamin bahwa investasi swasta

asing di indonesia tetap akan dibayar apabila terjadi huru-hara.

“...Tapi begini, masalahnya kalau pengadilan Indonesia memutuskan, itu tidak

bisa dieksekusi.Karena di dalam kontrak itu dibilang kalau terjadi pemutusan

kontrak, itu harus di Singapura, di SIAC namanya.”“Kenapa begitu pak?” “Ya

begitu memang bunyi kontraknya zaman pak Harto. SIAC: Singapore

International Arbritation Centre. Itu bagian dari ICC.Itu ga bisa.Jadi misalnya

ini mau dieksekusi, dibawa ke Genewa itu nanti.Pengadilan Indonesia ga

berdaya itu.Kan gini, ada ICC itu ini di Genewa.Ini semua seluruh dunia

mengakui ini.Indonesia juga anggota di sini.Ga bisa ini diputusi kalau tidak

melalui sini. Model-model kayak apa itu ga ada itu. Kontraknya waktu itu pake

ini ni. Jadi pinter swastanya itu mempengaruhi pak Harto terus dia setuju

dengan ini. Bukannya pengadilan Indonesia.Karena waktu itu pengadilan

arbitrasi Indonesia belum kuat.Jadi mereka minta ini supaya ga kelamaan. Kan

waktu itu dia minta recost investment kan. Artinya gini, pemerintah menjamin

bahwa barang-barang di Indonesia ini tetap akan dibayar apabila terjadi huru-

hara. Sekarang sudah ada jaminan kan. Lembaga pemberi jaminan itu.Waktu itu,

ditetapkan Non-recost Investment.Artinya, tidak dijamin pemerintah investasi dia

itu kalau terjadi huru-hara akan kembali.”

(Wawancara dengan pak Ahmad Lanti tanggal 10 Februari 2014)

Pada 30 Oktober 1997, tim kajian dari Bank Dunia yang diketuai oleh

Alain Locussol mengeluarkan laporan yang berjudul Indonesia Urban Water

55

Universitas Indonesia

Supply Sector Policy Framework. Ada beberapa poin penting yang Locussol

kemukakan di dalam laporan itu:

1. Pinjaman Bank Dunia yang 92 juta USD dari 190 juta USD tersebut

adalah untuk perbaikan infrastruktur air.

2. PAM tidak akuntabel dalam efisiensi operasi pelayanan air karena

PAM tidak mempunyai otonomi yang dibutuhkan untuk membuat

keputusan-keputusan. Hal itu disebabkan oleh semua keputusan saat

itu harus ditentukan oleh pemerintah RI.

3. Pencapaian yang bagus akan sektor penyediaan air hanya dapat dicapai

apabila terdapat kebijakan yang mengubah perusahaan penyedia air

bersih yang sekarang (PAM) menjadi industri pelayanan yang

berorientasikan pada pelanggan (costumer).

4. Terdapat ketidakdisiplinan dalam hal finansial dalam pemerintah RI

yang telah melakukan pinjaman atas performa PDAM yang buruk.

5. Memisahkan kepemilikan aset penyediaan air dari manajemen

penyediaan air dapat membatasi pengaruh politik dalam manajemen

operasi penyediaan air.

6. Kondisi keuangan PAM dan pemerintah RI yang saat itu buruk dapat

menyebabkan bisnis yang berisiko.

7. Untuk itu, harus ada badan regulator yang bekerja secepatnya setelah

kerjasama privatisasi tersebut menjadi efektif. Badan regulator ini

bertugas untuk menentukan water tariff, standar pelayanan yang layak,

memonitor performa pihak swasta, mengarbritase perselisihan di antara

PAM dan swasta, dan untuk menentukan sanksi atas kegagalan

memenuhi standar

Hal ini diperkuat dengan tuturan dari pak Riant Nugroho saat ditemui di

kantornya di daerah Kebon Sirih:

“..., itu Bank Dunia mengucurkan pinjaman untuk pembangunan pengelolaan

air...96 dana (terakhir) dikucurkan, 97 diaudit oleh Bank Dunia. Hasilnya adalah

PAM Jaya

56

Universitas Indonesia

itu performanya jelek, karena utangnya kegedean. ...Tahun 97, Bank Dunia

keluar dengan fatwa harus diprivatisasi.”

(Wawancara dengan pak Riant Nugroho tanggal 20 Januari 2014)

Dalam dokumen Loan Agreement Number 3219 IND, disebutkan bahwa

sistem pengelolaan air yang dilakukan oleh Indonesia harus dioperasikan dalam

standar kepuasan Bank Dunia. Oleh karena itu, Indonesia sangat tergantung dan

harus melakukan privatisasi air, seperti yang direkomendasikan oleh Bank Dunia.

4.3. Regulasi

Di dalam kontrak kerjasama, pihak swasta bertanggung jawab untuk

mendistribusikan air kepada publik. Untuk itu, swasta berhak mendapatkan

imbalan air atau water charge per meter kubik air tertagih yang dibebankan

kepada PAM Jaya. Water charge ini disesuaikan setiap semester sesuai dengan

indikator inflasi dan beberapa penghitungan lain yang ditetapkan oleh PAM Jaya

bersama swasta. Sementara itu, water tariff adalah tarif air yang dibebankan

kepada masyarakat. (Lanti, Nugroho, Ali, Kretarto, & Zulfikar, 2008). Kenaikan

water tariff tentunya dibuat untuk menyesuaikan dengan water charge dengan

water tariff lebih tinggi daripada water charge agar selisih di antaranya bisa

didapatkan sebagai surplus. Terdapat mekanisme kenaikan water tariff pada

Bagan 4.1.

Tahun 1998-2001 merupakan masa-masa krisis moneter hebat di

Indonesia. Oleh karena itu, water tariff tidak naik sama sekali, sementara water

charge naik. Akibat dari itu, water charge lebih tinggi daripada water tariff. Hal

tersebut menyebabkan adanya shortfall atau utang yang diharus ditanggung oleh

PAM Jaya. Oleh sebab itu, setiap lima tahun sekali diadakan rebasing. Rebasing

adalah evaluasi lima tahunan yang salah satunya membahas water tariff dan

target-target untuk meningkatkan pelayanan air.

Karena ada shortfall besar pada krisis moneter, Badan Regulator

Pelayanan Air Minum (BRPAM) DKI Jakarta periode pertama menaikkan water

tariff dengan persentase tinggi (Penyesuaian Tarif Otomatis/PTO). Namun, dari

enam kali usulan PTO, BRPAM hanya mengajukan empat kali usulan PTO, dan

57

Universitas Indonesia

dua kali mengajukan usulan tidak memelaksanakan PTO. Keputusan itu diambil

karena kinerja belum memenuhi syarat. Kenaikan water charge tidak dikaitkan

dengan kinerja, sementara kenaikan water tariff dinilai BRPAM harus

berdasarkan kinerja pelayanan (Lanti, Nugroho, Ali, Kretarto, & Zulfikar, 2008).

Hal tersebut didukung oleh pernyataan pak Ahmad Lanti:

“..., pada 1998 ini ga bisa naik ini karena demo. Kalau misalnya dia naik ke sana,

tidak naik dia. Flat terus. Akibat dari itu, terjadi shortfall.Antara WC dan WT.

Defisit.Ini jadi tiap enam bulan naik WC mengikuti indeksasi statistik, tapi tarif di

Indonesia sekali setahun naik.Sehingga dia tetap berada di atas WC tarif rata-

ratanya.Nah.Waktu itu terjadi shortfall besar.Waktu saya masuk, supaya ini tidak

shortfall, ini dinaikin tarifnya berapa puluh persen waktu itu.Dengan izin gubernur,

naik lagi ini dia.”

(Wawancara dengan pak Ahmad Lanti tanggal 10 Februari 2014)

Gambar 4.2. Bagan Mekanisme Kenaikan Water Tariff

Sumber: Keterangan dari pak Sriwidayanto Kaderi dalam Wawancara Tanggal 10 Februari 2014

yang diolah kembali oleh peneliti

Usulan mitra swasta kepada PAM Jaya

PAM Jaya berkonsultasi dengan Badan

Pengawas PAM Jaya

PAM Jaya mengusulkan kepada BRPAM

BRPAM melakukan kajian

Konsultasi publik untuk mendapat masukan dari masyarakat (pelanggan)

BRPAM membuat proposal ke Gubernur

DKI Jakarta

Gubernur konsultasi dengan DPRD

DPRD memberi masukan kepada

Gubernur DKI Jakarta

Tarif ditetapkan dengan SK Gubernur DKI Jakarta

BRPAM, PAM Jaya, swasta melakukan

sosialisasi kenaikan tarif

30 hari setelah itu, tarif baru berlaku

58

Universitas Indonesia

Gambar 4.3. Grafik Ilustrasi Grafik Water Charge dan Water Tariff yang

Ideal Menurut Perjanjian Kerjasama

Sumber : Keterangan dari Riant Nugroho dalam Wawancara Tanggal 20 Januari 2014 yang

digambar ulang oleh peneliti.

Gambar 4.4. Grafik Ilustrasi Grafik Water Charge dan Water Tariff yang

Terjadi Sebenarnya

Sumber: Keterangan dari Riant Nugraha dalam Wawancara Tanggal 20 Januari 2014 yang

digambar ulang oleh peneliti.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

2002 2004 2006 2008

Water tariff Water charge

shortfal

l

59

Universitas Indonesia

“Karena kalau sudah kontrak, setiap enam bulan maka water charge harus

naik. Tiap enam bulan.Padahal, tarif air itu tidak progresif.Coba tak gambar

sini. (Menggambar) Ini adalah Water Tariff (WT), ini adalah Water Charge

(WC).Nah, selisih ini punya nya DKI Jakarta.Tetapi, yang terjadi adalah WC

itu naik terus.Tapi WT ga bisa.Sekarang, tarif air tiap tahun naik.Teriak

masyarakat, karena tidak affordable.Jadi, untuk ini ada namanya affordability.

Sehingga terjadi adalah short fall. Ketika ada short fall, maka kita bilang, tarif

air tidak boleh naik. Karena tarif air ga boleh naik, maka terjadi yang namanya

short fall nya tertahan.Karena tarif air ga bisa naik maka kurva menjadi seperti

ini.Kenapa?Kita itu tidak bisa menentukan WC.Yang bisa menentukan WC

adalah PAM dan swasta.Tapi, gara-gara ini maka PAM dan swasta ketika bikin

WC itu melibatkan BR. Liat ya, ini kontraknya seperti ini.Tidak adil.Maka kita

bekerja di luar ini.Berkembang dari sini ke sini.Itu lah sebabnya, BRPAM itu

dibenci oleh PAM Jaya dan swasta.Kenapa?Karena dengan program seperti

ini, maunya seperti ini terus.Sehingga pada tahun 2007 sampai 2012 itu tidak

ada kenaikan tarif sama sekali.”

(Wawancara dengan pak Riant Nugroho tanggal 20 Januari 2014)

Water charge yang tiap enam bulan sekali naik secara tidak langsung

menuntut agar water tariff juga naik. Namun, BRPAM memutuskan agar water

tariff tidak naik lagi sejak 2007 karena masyarakat banyak yang protes karena

mereka tidak mampu untuk membayar tagihan air yang semakin mahal.

“Kemudian, water lossnya ini. Kehilangan air.50% hilang.Ini pada kontrak

pertama kali, tahun 1998. Pada tahun 2003, mereka mengalami kehilangan air

dari 58% turun menjadi 43%. Tapi yang terjadi adalah realisasinya

45%.Bukannya mereka itu kemudian menyatakan bahwa „saya mau perbaiki‟,

tidak.Yang mereka lakukan mengoreksi targetnya. Jadi deket kan realisasi sama

targetnya? Kalau deket, dendanya murah. Maka lebih baik mereka bayar denda

ketimbang kerja keras. Koreksi ini dilakukan tanpa sepengetahuan BR. ...,

setiap kontrak kerjasama dengan asing, itu basisnya adalah performance kan.

Kalau orang performance ga bisa, dia cabut kan. Ini enggak.Ini berdasarkan

yang namanya kebutuhan keuangan. Liat kata-katanya: Water charge is not

based on kinerja. But based on a great finpro.Finpro tuh financial projection.

Kalau mereka menyatakan, tahun depan harus untung sekian, nah itu

acuannya. Bukan performance.”

(Wawancara dengan pak Riant Nugroho tanggal 20 Januari 2014)

Tabel 4.2. adalah tabel yang berisi target penurunan kehilangan air yang

disepakati oleh PAM Jaya dan pihak swasta. Pada 1998, disepakati target

kehilangan air adalah 58,35%. Lalu pada saat rebasing tahun 2003, target

kehilangan air turun menjadi 43%. Namun, realisasinya adalah 45,26%. Alih-alih

memperbaiki realisasi, pihak PAM Jaya dan swasta justru memperbaiki target

menjadi 45,34% pada tahun 2004. Hal itu menyebabkan realisasi dekat dengan

60

Universitas Indonesia

target. Apabila realisasi dekat dengan target, denda yang diberikan akan menjadi

lebih murah. Koreksi target ini dilakukan oleh PAM Jaya dengan swasta tanpa

sepengetahuan BRPAM. Selain itu, alih-alih dibuat dengan dasar kinerja atau

performa, kontrak kerjasama ini juga dibuat dengan berdasarkan great financial

projection. Jadi, target capaian yang harus dicapai adalah target untung, bukan

target performa, seperti yang dikemukakan oleh pak Riant Nugroho di atas.

Tabel 4.2.: Upaya Penurunan Kehilangan Air yang Dicantumkan pada

Lampiran Perjanjian Kerjasama

Sumber: Djamal, Ali, Nugroho, Kretarto, & Utami (2009)

4.4. Pelayanan Air Bersih terhadap Warga

Dalam melakukan pelayanan air bersih, PAM akan memberikan saluran air

kepada warga masyarakat. Apabila ternyata ada warga yang belum mendapat

aliran air tapi di sekitarnya sudah ada aliran air PAM, warga tersebut harus aktif

meminta kepada PAM dan/atau pihak swasta untuk menjadi pelanggan. Hal itu

61

Universitas Indonesia

disebabkan karena PAM tidak bisa menawarkan terus-menerus. Namun, apabila

ada suatu kawasan tertentu yang belum ada aliran PAM, PAM mempunyai

program kerja yang memang sudah menargetkan akan melayani daerah-daerah

tertentu yang belum dialiri oleh PAM.

“Jadi gini, kalau warga belum ada aliran air tapi misalnya di sekitarnya, di

deketnya dia sudah ada aliran air, itu berarti warga yang harus aktif minta

kepada PAM, saya mau jadi pelanggan, rumah saya di sini, tetangga yang

terdekat dengan saya di sini. Kalau misalnya satu kawasan tertentu yang belum

ada alirannya PAM, PAM pasti punya program apa tahun sekian akan masuk ke

sana, tahun sekian apa masuk ke sana. Jadi dua.PAM yang memang sudah

memprogramkan untuk itu atau sebenernya sudah ada cuma warganya yang

belum minta.Kan kita juga ga bisa menawarkan terus-terusan. ... Cuma kan saya

ga boleh melayani di daerah ilegal. Kecuali sekarang karena kalau saya ga

melayani, mereka kan butuh air. Makanya kalo di area ilegal itu, sekarang

sistemnya adalah kami layani dengan master meter. Jadi kami layanin misalnya

nih areanya segini. Kita alirin ke sini, kita berhenti di sini, kita pasang meter di

sini. Nah meter ini lah nanti yang akan dikelola oleh warga yang ada di sini ini,

mereka akan milih, siapa yang akan ditunjuk sebagai pengelola ini. Jadi nanti

saya tinggal mintanya kepada orang yang ditunjuk itu.Nanti dia yang

menyalurkan kepada warga yang ditunjuk di sini. ... Harus bayar. Ke mitra.

Kalau ini kan ke mitra kan. Kecuali kalau misalnya mitra ga layanin.Yang

layanin PAM. Kemudian bayarnya PAM.”

(Wawancara dengan pak Sriwidayanto Kaderi tanggal 10 Februari 2014)

Tabel 4.3.: Pembagian Tarif Air PAM

Sumber: http://www.pamjaya.co.id/Informasi-Tarif.html

62

Universitas Indonesia

Tabel 4.4.: Kategori Pembagian Tarif Air PAM

Sumber: http://www.pamjaya.co.id/Pelanggan-PAM-JAYA.html

Hal berbeda diterapkan oleh PAM di area ilegal. Area ilegal misalnya

adalah tanah sengketa, seperti Tanah Merah. PAM atau pihak swasta akan

mengalirkan air ke daerah sana, namun hanya berhenti sampai di perbatasan. Di

perbatasan tersebut, PAM akan memasang meteran atau hidran air. Meteran

tersebut akan dikelola oleh warga yang ada di daerah tersebut. Warga akan

memilih, siapa yang akan ditunjuk sebagai pengelola sehingga pihak PAM atau

63

Universitas Indonesia

swasta hanya berkoordinasi dengan orang yang ditunjuk tersebut. Sistem

pembayarannya adalah warga masyarakat yang akan membayar kepada pengelola

hidran air atau meteran tersebut. Kemudian, orang tersebut akan membayar

kepada PAM Jaya sesuai dengan hitungan meteran. Soal tarif, PAM memberikan

harga untuk masyarakat tidak mampu hanya Rp1.050,00.

Soal keluhan pelanggan, pak Sriwidayanto Kaderi mengemukakan, bahwa

keluhan dapat disampaikan baik ke pihak swasta maupun ke pihak PAM Jaya.

Dengan begitu, PAM Jaya pun bisa melakukan pengawasan secara langsung.

4.5. Kerugian yang Dialami oleh Warga Akibat Privatisasi

Ibu Ella, ibu Ncih, dan ibu Halimah adalah warga Rawa Badak Utara RT 9

RW 9. Ibu Ella merupakan perempuan kelahiran tahun 1972. Ia tinggal bersama

satu suami dan dua anak di sebuah kontrakan di Rawa Badak Utara. Ia memakai

jasa PAM Jaya untuk mengkonsumsi air bersih sejak tahun 1994. Sedangkan, ibu

Ncih seorang kelahiran 1965 telah berada di Rawa Badak Utara sejak tahun 1980.

Ia tinggal bersama satu suami dan tujuh anak. Pada tahun 1983, ia sudah mulai

mengonsumsi air bersih dari PAM Jaya. Ibu Halimah juga merupakan warga lama

di Rawa Badak Utara, yaitu sejak tahun 1990 dan ia langsung berlangganan PAM.

Ia tinggal di sana bersama satu suami, tiga anak, dan seorang cucu, serta lima

orang ipar.

Mereka mengonsumsi air sehari-harinya dengan berlangganan PAM.

Namun, sudah lama PAM tidak mengaliri rumah mereka. Pada siang hari, mereka

mengaku tidak mendapat air sama sekali. Mereka harus menunggu dari jam satu

pagi untuk hanya mendapatkan dua ember air yang banyak jentiknya. Selama air

mati, warga tetap diharuskan membayar pelayanan air dari Aetra walaupun

mereka tidak pernah mendapatkan pelayanan air bersih.

“...mungkin dulu itu kita dipenuhin ama pam jaya karena masih konsumennya

kan masih dikit, pabrik pabrik baru ada di pos satu, sekarang kan pabrik banyak

butuh air, udah banyak pabrik disini, dulu kelapa gading masih rawa, masih

sawah, ya. Jadi ibaratnya belum dibutuhkan, sekarang kelapa gading udah jadi

apartemen, udah tingkat-tingkat sampai berjulang tinggi ke atas langit apa ga

butuh air banyak, sehingga ya mungkin kesininya kita dapatnya ga banyak lah ga

seperti dulu.”

(FGD dengan ibu-ibu di Rawa Badak Tanggal 29 Januari 2014)

64

Universitas Indonesia

Mereka menuturkan, bahwa sekarang ini banyak pabrik, apartemen, serta

perumahan yang membutuhkan banyak asupan air bersih. Hal itu membuat

permukiman-permukiman kumuh tidak mendapatkan air. Kadang memang air

menyala, namun airnya berwarna hitam, bau, dan banyak jentiknya. Hal tersebut

dibenarkan oleh pak Firdaus Ali, yang berkata bahwa air baku yang jumlahnya

tetap tidak sebanding dengan banyaknya warga Jakarta sekarang sehingga warga

banyak yang berebut air.

“...operator kan dibunyikan dia harus menambah layanannya dengan

bertambahnya pelanggan. Sementara, jumlah air baku yang diolah kan tidak

bertambah. Otomatis jumlah pelanggan yang dulu pada saat kontrak itu 328

ribu, sekarang jadi 807 ribu, kan naik dua kali lipat lebih kan. Jadi apa, dengan

air baku yang sama, air baku sama kan, ga bertambah kan. Pelanggan

bertambah dua kali lipat lebih. Otomatis kan ya logikanya ada pelanggan yang

tidak akan dapat air. Kalau ada pelanggan yang harusnya dapat air 24 jam,

sekarang jadi 12 jam.Kalau dulu dia dapet 12 jam, sekarang dia dapet 6

jam.Kemudian, karena jumlah pelanggan bertambah, jumlah air yang

dibutuhkan bertambah, sementara tidak tersedia air bakunya.Jadi orang

berebut.Air susah, mahal, dan sebagainya.”

(Wawancara dengan pak Firdaus Ali tanggal 3 Februari 2014)

Saat ditanya mengenai sosialisasi struktur dan besaran tarif serta tagihan,

mereka mengaku tidak mendapat sosialisasi apa-apa. Merasa dirugikan, mereka

pun protes. Awalnya, mereka menanyakan sebab air mati kepada RT dan RW.

Namun, tidak ada yang tahu. Akhirnya, mereka meminta surat pengantar dari RT

dan RW bahwa air PAM tidak menyala di wilayah Rawa Badak RT 9 RW 9 itu.

Setelah itu, mereka melakukan protes kepada pihak operator. Namun, aduan

mereka tidak ditanggapi oleh pihak operator. Mereka akhirnya melakukan demo

di Kantor Gubernur DKI Jakarta. Puncaknya, mereka menjadi saksi dalam

pengadilan tuntutan rakyat atas privatisasi air Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.

Hal itu membuat mereka harus beli air dengan gerobak-gerobak. Dengan

memakai gerobak, mereka mengonsumsi air sebanyak 24 jerigen. Harga setiap

dua jerigen adalah Rp4.500,00 sampai dengan Rp5.000,00. Gerobak-gerobak

tersebut mengambil air dari hidran-hidran air yang selalu menyala. Hidran-hidran

air itu merupakan milik Aetra yang dikelola oleh seseorang yang kemudian

65

Universitas Indonesia

menjualnya kembali ke tukang gerobak air. Kemudian, tukang air gerobak

tersebut menjual lagi ke warga masyarakat di sekitar situ.

Gambar 4.5. Penjual Air

Sumber: dokumen peneliti

Hal yang sama juga dialami oleh warga di Muara Baru RT 20 RW 17

Kelurahan Penjaringan. Ibu Linda, ibu Siti Maryam, dan ibu Hamidah merupakan

warga yang sudah lama tinggal di sana. Ibu Linda, yang merupakan kelahiran

1973, hidup di sana dengan satu suami dan dua anak sejak tahun 1992 dan sejak

itu pula sudah berlangganan air PAM. Ibu Siti Maryam merupakan perempuan

yang lahir pada tahun 1972. Ia tinggal di sana sejak tahun 1980 bersama dengan

suami dan tiga anaknya. Sejak itu pula ia langganan air PAM. Kemudian, ibu

Hamidah merupakan kelahiran tahun 1974. Ia pindah ke Muara Baru pada tahun

1980 bersama dengan satu orang suami dan satu orang anak dan langsung

berlangganan air PAM.

66

Universitas Indonesia

“Nyala juga kapan tau udah lama.” “Kita disuruh bayar abodemennya doang

tadinya itu. Kalau air jalan, ya kita bayar. Misalnya air mulai Januari nyala, ya

kita mau bayar. Ya orang ga jalan-jalan ya gimana.” “Kalau jalan, baunya

minta ampun.” “Jijik ya.Bau banget.Item lagi.Jijik buangget.Ih.Jijik deh.Kadang

ya ga item, kuning gitu.Tapi ya bau.” “Itu dimasak juga itu buat diminum?”

“Ga bisa.Mandi aja ga bisa.”

(FGD dengan ibu-ibu di Muara Baru tanggal 13 Februari 2014)

Mereka mengaku, bahwa air PAM sudah lama tidak menyala. Terakhir

menyala adalah saat lebaran, itu pun hanya dua hari. Hal itu disebabkan oleh

pabrik di dekat tempat mereka sedang libur. Namun, kalaupun menyala, airnya

berbau dan berwarna hitam atau kuning. Hal itu membuat air tidak bisa diminum

dan dimasak.

Saat ditanya mengenai operator yang sudah bukan dilakukan oleh PAM,

mereka sama sekali tidak tahu. Mereka tidak pernah diberi sosialisasi akan

penggantian operator dan besaran tarif. Petugas yang datang hanya melihat

meterannya. Mereka pun masih disuruh membayar abodemennya walaupun air

tidak mengalir.

Tidak adanya aliran air PAM membuat mereka harus mengambil air dari

sumur warga yang sifatnya kolektif. Namun, air sumurnya terasa payau sehingga

mereka hanya bisa menggunakannya untuk mencuci. Oleh karena itu, mereka juga

harus membeli air dengan jerigen-jerigen. Rata-rata satu harinya mereka

menghabiskan sepuluh pikul dengan harga per pikulnya adalah Rp2.500,00.

Namun, saat persediaan air di hidran utama sedikit, harga menjadi Rp5.000,00.

Kemudian, untuk minum, mereka harus membeli galon air mineral kemasan lagi.

Apabila kelompok ibu-ibu di Rawa Badak Utara aktif melakukan protes

apabila air tidak menyala, kelompok ibu-ibu di Muara Baru tidak melakukan

protes, baik kepada perangkat pemerintahan setempat maupun kepada pihak

swasta atau PAM Jaya. Kemudian, perbedaan selanjutnya adalah bahwa

kelompok ibu-ibu di Rawa Badak Utara mengetahui dan mengerti akan privatisasi

air yang terjadi di Jakarta dengan cara mencari tahu sendiri, namun kelompok ibu-

ibu di Muara Baru tidak mengetahui privatisasi air yang terjadi di Jakarta.

67

Universitas Indonesia

BAB 5

ANALISIS

5.1. Air sebagai Hak Asasi Manusia

Pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dikatakan, “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Hal itu merupakan penegasan bahwa hak

atas air merupakan hak konstitusi setiap warga negara.

Selain itu, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya dinyatakan secara implisit bahwa hak atas air merupakan hak setiap

orang. Dalam pasal 11 dan 12 disebutkan bahwa negara harus mengakui hak

setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk pangan, sandang, dan

papan, dan atas perbaikan kondisi yang terus-menerus. Kesehatan fisik dan mental

warga negara merupakan hal yang sangat penting.Peningkatan produksi setiap

warga negara, termasuk juga konservasi dan distribusi pangan dengan ilmu

pengetahuan juga harus dijamin oleh negara.Perwujudan hak ini diwujudkan

dengan membuat ketentuan-ketentuan, perbaikan, pencegahan, pengobatan,

pengendalian segala penyait, perkembangan kehidupan, dan kesehatan

lingkungan.Kovenan Internasional ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

dengan UU Nomor 11 Tahun 2005.

Kemudian, kovenan tersebut mempunyai turunan kovenan yang berupa

Komentar Umum (General Comment) No.15/2002 yang harus diperhatikan oleh

negara. Dalam Komentar Umum tersebut dinyatakan:

“Article 11, paragraph 1, of the Covenant specifies a number of rights emanating

from, and indispensable for, the realization of the right to an adequate standard

of living “including adequate food, clothing and housing”. The use of the word

“including” indicates that this catalogue of rights was not intended to be

exhaustive. The right to water clearly falls within the category of guarantees

essential for securing an adequate standard of living, particularly since it is one

of the most fundamental conditions for survival.”

Hal yang menjadi penekanan di sini adalah kalimat yang menyatakan,

bahwa hak atas air secara jelas termasuk ke dalam kategori jaminan penting untuk

mengamankan standar kehidupan yang layak, terutama karena hak atas air adalah

67

68

Universitas Indonesia

salah satu dari kondisi-kondisi mendasar untuk bertahan hidup. Kemudian,

terdapat Sidang Umum PBB pada tahun 2010 yang menyepakati bahwa air

minum yang bersih dan sanitasi yang baik merupakan hak asasi manusia yang

sangat penting untuk kehidupan dan keseluruhan hak asasi manusia.

Dari apa yang telah peneliti paparkan, masyarakat dunia lewat lembaga

internasional PBB telah menyatakan, bahwa air merupakan hak asasi manusia.

Hak manusia atas air adalah hak yang melekat pada diri manusia apapun status

yang melekat padanya. HAM yang bersifat universal mengingatkan kita, bahwa

seluruh manusia di dunia ini terikat pada nilai moral dan etika bersama. Air

merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia di belahan

dunia mana pun. Kemudian, hak atas air merupakan hal yang saling tergantung

pada pemenuhan atas hak tersebut. Hak manusia atas air tergantung pada

aksesibilitas dan informasi atas penyediaan air bersih. Setiap orang berhak atas air

dan tidak boleh ada perlakuan berbeda berdasarkan suatu status tertentu. Selain itu

juga, hak manusia atas air menuntut adanya kewajiban yang harus dilakukan,

seperti saling menghormati dan melayani hak tersebut kepada orang lain.

Seperti ungkapan Hale (2007), Hak Asasi Manusia atas air ini tidak hanya

sekadar izin untuk menggunakan air. Hak atas air ini merupakan hak sosial dan

ekonomi yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Hak atas air

ini menyadarkan kita, bahwa semua manusia mempunyai kebutuhan akan air yang

tidak bisa diambil oleh apapun dan siapa pun. Vandana Shiva (2002) menulis

tentang hak atas air yang merupakan usufructuary rights. Usufructuary rights ini

sendiri adalah hak untuk menikmati atau menggunakan suatu hal yang dimiliki

oleh pihak lain tanpa menyebabkan kerusakan atau mengubah daya guna hal

tersebut. Seseorang yang mengkonsumsi air bersih tidak boleh melarang orang

lain untuk menggunakan dan menikmati air bersih.

“Terus apa sih bu yang diharapkan ke depannya untuk masalah air bersih ini?”

“Ya pengennya sih ke depannya jalan. Soalnya repot ini air bersih soalnya.”

“Iya, yang ga punya juga bisa minta ke kita.”

(FGD dengan ibu-ibu di Muara Baru tanggal 13 Februari 2014)

69

Universitas Indonesia

Ibu-ibu di Muara Baru saat ditemui oleh peneliti menyatakan, bahwa

mereka sangat kerepotan saat air bersih tidak ada. Hal itu menunjukkan, bahwa air

bersih merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan aktivitas sehari-

hari. Selain itu, kolektivitas masyarakat di Muara Baru masih menganut nilai yang

menganut bahwa air merupakan milik bersama. Mereka berbagi air apabila ada

yang tidak mempunyai air bersih sehingga semua orang bisa mengonsumsi air

bersih untuk beragam keperluan. Memang, secara turun-temurun air dipergunakan

secara gratis oleh masyarakat (Shiva, 2002). Manajemen air yang diaplikasikan

oleh masyarakat merupakan manajemen air yang berdasarkan kebijakan warga

lokal dan hasil musyawarah. Dengan begitu, pembagian air bersih menjadi rata.

Warga sendiri menyadari bahwa air merupakan kebutuhan yang tidak bisa tidak

dipenuhi, dan lebih dari itu, air bersih merupakan hak.

5.2. Dominasi Bank Dunia akan Nilai Neoliberalisme terhadap Indonesia

dalam Jubah Globalisasi

Tahun 1980-an sampai 1990-an merupakan tahun-tahun saat Indonesia

sedang melakukan banyak pembangunan demi naiknya nama Indonesia di

kalangan internasional. Banyak pembangunan besar-besaran seperti jalan tol dan

pembangunan gedung-gedung. Tak terkecuali pelayanan air bersih. Dalam

melakukan pembangunan besar-besaran tersebut, pemerintah Republik Indonesia

(RI) melakukan pinjaman kepada Bank Dunia, dilihat dari adanya dokumen Loan

Agreement Number 3219 IND, pada tanggal 6 Juli 1990. Proyek tersebut bernama

Second Jabotabek Urban Development Project. Pinjaman tersebut diberikan

kepada Indonesia sebesar 190 juta USD. Pinjaman tersebut juga akan digunakan

untuk perbaikan infrastruktur air sebanyak 92 USD.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ahalla (2012), bahwa terdapat proses

meningkatnya keterkaitan antarmasyarakat yang kemudian memberi pengaruh

kepada seluruh warga dunia. Kemudian, Barak (2011) juga menyatakan, bahwa

globalisasi merujuk pada adanya proses pertumbuhan keadaan saling tergantung

antara kejadian, masyarakat, dan pemerintah di seluruh dunia yang terhubung

melalui ekonomi-politik di seluruh dunia serta komunikasi, transportasi, dan

komputer yang berkembang.

70

Universitas Indonesia

Hal yang dikatakan oleh Stiglitz (2002) menjadi tampak dalam hal ini.

Dalam era globalisasi, Indonesia, negara yang sedang berkembang, ingin

membuka diri terhadap perdagangan internasional agar pertumbuhan negara

menjadi lebih cepat. Sebagai salah satu aspek dunia global, Stiglitz mengatakan,

bahwa ada lembaga asing yang bersifat “membantu” dalam meminjamkan dana

kepada negara berkembang agar negara tersebut bisa memajukan

perekonomiannya. Bantuan asing, dalam kasus ini adalah Bank Dunia, masuk saat

Indonesia berusaha ingin mencapai level pembangunan yang telah dilakukan oleh

negara maju. Hal itu disebabkan tidak adanya modal yang cukup yang dimiliki

oleh Indonesia untuk melakukan pembangunan tersebut. Hal ini membuat

Indonesia, yang sumber dayanya masih murah dan mempunyai standar kehidupan

yang rendah, bergantung kepada Bank Dunia.

Konsensus Washington, yang mana Bank Dunia ada di dalam salah satu

yang membuat konsensus tersebut, menganut paham neoliberal. Tiga ide

besarnya, yaitu liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Hal tersebut membuat

adanya dampak besar bagi hubungan antara negara, publik, dengan pasar. Seperti

yang dikatakan oleh Serra dan Stiglitz (2008), neoliberalisme menganut bahwa

kinerja dan kepentingan pasar merupakan satu-satunya tolok ukur untuk menilai

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, dilakukan liberalisasi dan

deregulasi agar campur tangan dan kontrol negara dalam pasar dapat berkurang.

Tolok ukur atas dasar kepentingan pasar ini yang membuat negara harus

menyingkirkan kepentingan publik. Hal itu disebabkan oleh adanya pandangan

bahwa anggaran untuk pelayanan publik merupakan bentuk inefisiensi finansial.

Untuk menimbulkan efisiensi finansial, dilakukanlah privatisasi.

Dalam McDonald & Ruiters (2005) dikatakan, bahwa privatisasi dibawa

oleh gelombang neoliberalisme yang masuk dalam arus globalisasi. Pemerintah

yang korup, tidak akuntabel, dan kekurangan keuangan membuat pelayanan air

menjadi tidak efektif dan efisien. Untuk itu, harus ada peran swasta. Privatisasi itu

sendiri merupakan masuknya pihak swasta dalam pengelolaan aset publik.

Pembahasan tentang globalisasi dan pengaruhnya terhadap Indonesia dapat

dijelaskan dengan teori Strukturasi oleh Anthony Giddens. Terdapat aktivitas

manusia yang dijalankan terus-menerus, yang membentuk jalinan erat antara

71

Universitas Indonesia

agensi dengan struktur. Agensi merupakan orang-orang yang melakukan tindakan

dan praktik yang konkret dalam kontinuitas tindakan dan peristiwa di dunia.

Sedangkan, struktur adalah aturan dan sumberdaya yang terbentuk dari dan

membentuk perulangan praktik sosial. Agensi dan struktur ini merupakan

hubungan dualitas atau timbal-balik. Agensi dan struktur ini tidak bisa dipahami

secara terpisah satu sama lain. Semua tindakan sosial melibatkan struktur, dan

semua struktur melibatkan tindakan manusia.

Dalam hal privatisasi air di DKI Jakarta ini, agensi adalah pemerintah

Indonesia, Bank Dunia, pasar (perusahaan), dan warga DKI Jakarta. Kemudian

ada suatu struktur besar, yaitu struktur globalisasi. Struktur signifikasi globalisasi

yang ada adalah terdapat wacana, bahwa apabila suatu negara mengikuti

perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi negara tersebut akan maju. Hal

tersebut menimbulkan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia kemudian memiliki motivasi tak sadar yang adalah

menginginkan kesamaan tingkat ekonomi dengan negara maju di dunia. Dengan

begitu, Indonesia mengikuti perdagangan internasional. Namun, Indonesia tidak

memiliki modal dan teknologi yang cukup sehingga harus meminjam dana ke

lembaga donor internasional. Kemudian, Indonesia pun mempunyai kesadaran

diskursif, bahwa pemerintah Indonesia harus meminjam dana ke lembaga donor

internasional, dalam hal ini Bank Dunia, karena pemerintah Indonesia

membutuhkannya untuk mengikuti perdagangan Internasional. Dalam mengikuti

perdagangan internasional dengan sistem ekonomi neoliberalisme, pemerintah

juga harus turut melanggengkan sistem privatisasi air yang terkandung dalam

aktivitas internasional dalam relasi negara dengan pasar. Hal tersebut terulang

sehingga saat pemerintah Indonesia menginginkan untuk melakukan aktivitas

internasional namun tidak mempunyai modal, dengan sendirinya Indonesia

meminjam dana kepada lembaga donor internasional, dan dalam relasinya dengan

pasar, pemerintah seakan mempunyai acuan bagaimana harus berinteraksi dengan

korporasi internasional sehingga pemerintah Indonesia akan mulai melakukan

proses privatisasi air. Hal tersebut lah yang dikatakan sebagai kesadaran praktis

oleh Giddens.

72

Universitas Indonesia

“..., itu Bank Dunia mengucurkan pinjaman untuk pembangunan pengelolaan

air...96 dana (terakhir) dikucurkan, 97 diaudit oleh Bank Dunia. Hasilnya adalah

PAM Jaya itu performanya jelek, karena utangnya kegedean....Tahun 97, Bank

Dunia keluar dengan fatwa harus diprivatisasi.”

(Wawancara dengan Riant Nugroho tanggal 20 Januari 2014)

Pinjaman Indonesia kepada Bank Dunia membuat Indonesia tidak luput

dari neoliberalisasi ekonomi yang terjadi di dunia. Dalam dokumen Loan

Agreement Number 3219 IND, disebutkan bahwa sistem pengelolaan air yang

dilakukan oleh Indonesia harus dioperasikan dalam standar kepuasan Bank Dunia.

Kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia menghasilkan laporan yang berjudul

Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework. Inti dari laporan

tersebut adalah bahwa dana pinjaman dari Bank Dunia untuk memperbaiki

pelayanan air bersih digunakan dengan tidak efektif dan efisien. Disebutkan,

bahwa PAM tidak akuntabel, tidak disiplin dalam hal finansial, masih terpengaruh

sistem politik, dan hal-hal tersebut dapat menyebabkan bisnis yang berisiko.

Untuk itu, Bank Dunia membuat rekomendasi untuk mengganti orientasi PAM

menjadi industri pelayanan yang berorientasikan pada pelanggan.

Indonesia sebagai negara berkembang yang melakukan pinjaman dana

kepada Bank Dunia menjadi tidak mempunyai daya tawar. Indonesia menjadi

sangat tergantung kepada Bank Dunia sehingga Indonesia harus mengganti

orientasi PAM menjadi industri pelayanan yang berorientasikan pada pelanggan.

Dengan kata lain, Indonesia harus melakukan privatisasi air. Hal ini merupakan

cerminan hegemoni dalam rangka globalisasi. Terdapat sistem global yang

melakukan hegemoni atas Indonesia. Indonesia tidak sadar akan keberadaan

hegemoni ini. Seakan terdapat norma global yang berlaku sehingga Indonesia

seakan harus turut mengikuti aktivitas internasional.

Terdapat hegemoni dalam hubungan internasional ini. Hegemoni tidak

hanya mengacu pada hubungan antara negara dan rakyatnya, namun juga

mengacu pada hubungan kekuasaan dan distribusi dalam dunia global, seperti

militer, teknologi, dan finansial. Kemudian, ketergantungan negara berkembang

terhadap donor-donor asing membuat negara berkembang didominasi oleh donor

asing tersebut. Dari dominasi tersebut, masuklah dominasi ide-ide, seperti

neoliberalisme ekonomi. Dalam Moghalu (2006) disebukan, bahwa hegemoni

73

Universitas Indonesia

berjubah sebagai globalisasi norma yang menuntut semua pihak untuk tunduk

dalam hegemoni. Lewat adanya Konsensus Washington juga dapat dikatakan

bahwa itu merupakan sebuah bentuk hegemoni dari lembaga internasional kepada

negara berkembang, khususnya Indonesia. Gramsci mengatakan, bahwa negara

kapitalis mengamankan legitimasi mereka dengan proses hegemoni. Lembaga

internasional membutuhkan proses yang mendukung status quo mereka dalam

rangka menjadi yang dominan sehingga dominasi tersebut terdapat dalam suatu

konsensus yang seolah-olah telah disepakati bersama. Konsensus inilah yang

dapat mempertahankan pihak yang berkuasa.

Ini lah yang disebut Giddens sebagai struktur dominasi sekaligus struktur

legitimasi. Tata politik Bank Dunia berkuasa dengan Loan Agreement yang

berlaku antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia. Di sini, Bank Dunia

mendominasi dan berkuasa atas Indonesia sehingga Indonesia harus

memprivatisasi air. Struktur legitimasinya terletak pada adanya Loan Agreement

yang ditandatangani oleh Bank Dunia dan pemerintah Indonesia. Dalam kasus

pinjaman dana kepada Bank Dunia ini, Indonesia pun terlihat menyetujui

keputusan Bank Dunia. Hal itu disebut oleh Adamson (1980) sebagai penyetujuan

subordinasi atas diri mereka sendiri. Indonesia, yang tergiur janji globalisasi yang

membuat perekonomian suatu negara dapat meningkat, menyetujui untuk

melakukan pinjaman kepada Bank Dunia. Padahal, Loan Agreement tersebut

secara eksplisit menyebutkan bahwa praktik-praktik pelaksanaan dari pinjaman

tersebut harus dioperasikan dengan standar Bank Dunia. Cox (1997)

menyebutkan, bahwa hegemoni itu sendiri merupakan kapasitas dari model

hubungan sosial untuk memaksakan dirinya sebagai model yang diimpikan

seluruh masyarakat, bahkan pada masyarakat yang belum ada di bawah

dominasinya.

Adanya struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi ini kemudian

membuat pemerintah Indonesia dengan mudah melakukan privatisasi air. Hal ini

merupakan sistem timbal-balik yang tidak bisa dijelaskan secara terpisah, karena

saat membicarakan privatisasi air sebagai praktik sosial, hal itu tidak bisa

dilepaskan dari dominasi Bank Dunia dan relasi pemerintah Indonesia dengan

pasar internasional. Di sini lah kemudian muncul adanya paradigma pasar dalam

74

Universitas Indonesia

melakukan pemerintahan karena adanya nilai neoliberalisme yang masuk. Saat

negara mengutamakan pasar, rakyat lah yang dirugikan karena tidak semua rakyat

memiliki daya yang cukup untuk melakukan aktivitas pasar. Hal itu membuat ada

pihak-pihak yang tersisih dan dirugikan. Dalam hal ini, konsep kesejahteraan

sosial (Mustofa, 2010) dan keadilan kesejahteraan oleh Neil Gilbert (Stoesz,

1996) tidak dipenuhi. Keadilan merupakan gagasan kontrak sosial yang

menentukan tanggung jawab timbal-balik antara rakyat dengan negara. Keadilan

tersebut diukur dari kesejahteraan, yang mencakup pendidikan, kesehatan, dan

pangan. Ketiadaan akses terhadap hal-hal mendasar tersebut membuat tidak

adanya keadilan kesejahteraan.

5.3. Implementasi Kebijakan Privatisasi Air

Salah satu poin perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dengan kedua mitra

swasta adalah tentang hak dan kewajiban PAM Jaya sebagai pihak pertama dan

mitra swasta sebagai pihak kedua. Beberapa dari hak PAM Jaya adalah

memeriksa, mengawasi, menilai, dan mengevaluasi pelaksanaan kewajiban-

kewajiban pihak kedua. Kemudian, PAM Jaya juga berhak menerima laporan

proyek, menerima dan menyetujui program lima tahun untuk setiap periode

berikutnya. Sedangkan, kewajibannya adalah menyediakan, memperbaharui,

memperpanjang perizinan; memberi seluruh bantuan yang wajar kepada pihak

kedua, memberikan data dan informasi yang disimpan kepada mitra swasta dalam

rangka pengelolaan dan operasi. Sedangkan, hak pihak kedua adalah

melaksanakan proyek, menerima bantuan umum,menerima pendapatan, mengatur

pengukuran meter dan penagihan para pelanggan. Kewajibannya di antaranya

adalah mengatur seluruh pendanaan yang diperlukan untuk proyek; memenuhi

target teknis dan standar pelayanan sementara bertindak sesuai dengan tata cara

pengoperasian yang baik.

Dalam perjanjian tersebut disebutkan, bahwa pihak yang mengatur

pendanaan, target teknis, standar pelayanan, pengukuran dan penagihan, dan

melaksanakan seluruh operasional adalah pihak swasta. Sedangkan, pihak pertama

hanya berhak menerima dan menyetujui laporan dan target, serta berkewajiban

untuk memberi bantuan kepada pihak swasta.

75

Universitas Indonesia

Selain itu, perjanjian kerjasama ini telah melanggar Pasal 2 Peraturan

Daerah DKI Jakarta No. 13 Tahun 1992 tentang PDAM DKI Jakarta, yang

menjelaskan bahwa PAM Jaya adalah badan hukum yang bewenang melakukan

pengusahaan, penyediaan dan pendistribusian air minum serta usaha-usaha lain

berdasarkan Peraturan Daerah ini. Perjanjian kerjasama disebut melanggar karena

dalam hak dan kewajiban yang disebutkan di dalam perjanjian, PAM Jaya hanya

menjadi pengawas atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada pihak

swasta.PAM Jaya menjadi kehilangan fungsi karena kewenangannya dialihkan

kepada pihak swasta. Isi dari perjanjian tersebut sangat mencerinkan prinsip

neoliberalisme yang meminimalisasi peran negara dan memaksimalisasi peran

swasta.

Peraturan perundangan tentang sumber daya air kemudian diatur pada UU

Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada pasal 2, pasal 5, dan pasal 6

dijelaskan bahwa sumber daya air dikelola dengan menganut asas keadilan,

kemandirian, transparansi, dan akuntabilitas.Hal itu dijamin oleh negara bahwa

setiap orang berhak untuk mendapat air bagi kebutuhan pokok mereka.Air yang

didistribusikan merupakan air yang sehat, bersih, dan produktif supaya warga

negara bisa memenuhi standar kehidupan yang layak untuk bertahan hidup.Oleh

karena itu, sumber daya air dikuasai oleh negara.Masyarakat, sebagai warga

negara mempunyai peran dalam pengelolaan sumber daya air. Peran ini

mempunyai korelasi dengan pemenuhan hak serta penjaminan pemenuhan hak

asasi manusia atas air itu sendiri. Dalam pasal 84 ayat 1 disebutkan bahwa

masyarakat berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan

terhadap pengelolaan sumber daya air.

Namun, UU Nomor 7 Tahun 2004 ini bersifat tidak konsisten akan

peraturan yang diproduksi. Pada pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa hak guna usaha

air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin pemerintah

atau pemerintah daerah.Jelas, badan usaha merupakan badan yang bersifat

mencari untung. Penjaminan hak atas air menjadi tidak ada karena pemberian hak

guna usaha kepada perseorangan atau badan usaha merupakan hal yang membuat

air diubah sifatnya dari yang tadinya barang publik menjadi barang

ekonomi.Rupanya, pasal 9 UU Nomor 7 Tahun 2004 merupakan bentuk

76

Universitas Indonesia

pelanggengan atau legitimasi atas swastanisasi air atau privatisasi air yang telah

dilakukan pada tahun 1980-an dan 1990-an atas dasar kebijakan Bank Dunia.

Di dalam kontrak kerjasama antara PAM Jaya dengan pihak swasta,

disebutkan bahwa pihak swasta adalah pihak yang bertanggung jawab untuk

mendistribusikan air kepada masyarakat. Hal itu membuat PAM Jaya harus

memberikan bantuan kepada swasta agar swasta dapat menjalankan kewajibannya

dengan baik, yaitu dengan cara memberikan imbalan air kepada swasta. Imbalan

air ini disebut dengan water charge. Tingginya water charge ini disesuaikan

setiap semester sesuai dengan indikator inflasi dan beberapa penghitungan lain

yang ditetapkan oleh PAM Jaya bersama swasta.

Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya keinginan perusahaan untuk

mencapai surplus. Surplus tidak akan dicapai apabila water charge tidak

disesuaikan dengan perhitungan-perhitungan seperti inflasi. Kemudian, terdapat

water tariff. Water tariff merupakan biaya yang dibebankan kepada masyarakat

untuk membayar jasa pelayanan distribusi air. Kenaikan water tariff ini

disesuaikan dengan water charge sehingga besarnya water tariff tersebut lebih

tinggi daripada water charge. Hal itu akan membuat adanya selisih yang menjadi

surplus. Namun, apabila water tariff lebih rendah daripada water charge, akan

terjadi shortfall (lihat Grafik 4.2.). Shortfall merupakan utang yang harus

dibayarkan PAM Jaya kepada mitra swasta sehingga PAM Jaya mengalami

kerugian seperti yang dialami oleh PAM Jaya sekarang ini.

Hal ini sangat sesuai dengan nilai-nilai yang dikemukakan oleh paham

neoliberal yang melihat bahwa semua interaksi antarmanusia merupakan interaksi

pasar yang mana isinya adalah tentang untung dan rugi. Bank Dunia dalam Loan

Agreement Number 3219 IND mengatakan bahwa untuk mencapai efisiensi

pendistribusian air bersih kepada warga, Indonesia harus melakukan privatisasi.

Paham neoliberal di sini melihat, bahwa pengadaan anggaran untuk pelayanan

publik merupakan bentuk inefisiensi finansial. Dalam hal ini, Badan Regulator

PAM Jaya, yang telah memutuskan untuk tidak menaikkan water tariff agar tarif

air masih bisa dicapai oleh masyarakat yang kurang mampu, secara tidak langsung

melakuan pelayanan publik. Pelayanan publik tersebut menyebabkan adanya

inefisiensi anggaran sehingga PAM Jaya mengalami kerugian karena paham yang

77

Universitas Indonesia

dipakai dalam kebijakan ini adalah neoliberalisme. Hal ini dapat terjadi karena

tidak adanya konsep pelayanan publik dalam konteks pasar. Hal yang penting

hanyalah apakah pelaku kegiatan pasar mendapatkan untung atau rugi sehingga

konsep pelayanan publik disingkirkan.

“Kemudian, water lossnya ini. Kehilangan air.50% hilang.Ini pada kontrak

pertama kali, tahun 1998. Pada tahun 2003, mereka mengalami kehilangan air

dari 58% turun menjadi 43%. Tapi yang terjadi adalah realisasinya

45%.Bukannya mereka itu kemudian menyatakan bahwa „saya mau perbaiki‟,

tidak.Yang mereka lakukan mengoreksi targetnya. Jadi deket kan realisasi sama

targetnya? Kalau deket, dendanya murah. Maka lebih baik mereka bayar denda

ketimbang kerja keras. Koreksi ini dilakukan tanpa sepengetahuan BR. ..., setiap

kontrak kerjasama dengan asing, itu basisnya adalah performance kan. Kalau

orang performance ga bisa, dia cabut kan. Ini enggak.Ini berdasarkan yang

namanya kebutuhan keuangan. Liat kata-katanya: Water charge is not based on

kinerja. But based on a great finpro.Finpro tuh financial projection. Kalau

mereka menyatakan, tahun depan harus untung sekian, nah itu acuannya. Bukan

performance.”

(Wawancara dengan Riant Nugroho tanggal 20 Januari 2014)

Dalam Tabel 4.2. pada bab Temuan Data dipaparkan data target upaya

penurunan kehilangan air oleh mitra swasta dan PAM Jaya. Realisasi yang dicapai

tidak sesuai dengan targetnya. Hal itu akan membuat denda yang harus

dibayarkan oleh swasta kepada PAM Jaya lebih besar, dan pertanggungjawaban

PAM Jaya juga akan dinilai buruk. Kemudian, untuk mengakali hal itu, PAM Jaya

dan swasta melakukan koreksi target selanjutnya agar realisasi dekat dengan

angka target. Hal itu akan membuat denda yang dibayarkan akan menjadi lebih

murah. Dapat dilihat dari hal ini, bahwa capaian yang ingin dicapai adalah target

untung, bukan target performa.

Hal ini menunjukkan, bahwa air, yang tadinya merupakan barang publik,

diubah menjadi barang ekonomi. Bannock, Graham, Baxter, dan Davis (1987)

mendefinisikan barang publik sebagai hal yang non-rivalrous, non-excludable,

dan non-rejectable. Pemakaian air oleh satu orang tidak akan mengurangi hak

orang lain untuk memakai air. Kemudian, apabila ada satu orang yang

mengonsumsi air bersih, orang lain tidak boleh dilarang untuk mengonsumsi air

bersih tersebut. Dan lagi, air bersih merupakan hal yang tidak bisa dijauhkan dari

setiap individu, bahkan apabila individu tersebut menginginkan hal tersebut.

78

Universitas Indonesia

Namun, kebijakan privatisasi air yang mencerminkan nilai neoliberalisme

membuat air menjadi barang jualan yang dijual kepada masyarakat. Dengan

demikian, air sekarang menjadi barang ekonomi yang memiliki nilai jual-beli

yang tinggi. Nilai jual beli yang tinggi tersebut disebabkan oleh adanya sistem

yang membuat pelayanan air yang telah disepakati bersama tidak lah murah.

Pengelolaan air membutuhkan biaya yang tinggi karena air harus dirancang untuk

meningkatkan penggunaan air yang efektif dan efisien. Pandangan pasar adalah

bahwa apabila pelayanan pendistribusian air meningkat, berarti harga air juga

meningkat.

Dalam Hadi, Sitepu, Soraya, Kusumaningtyas, Ndaru, & Arumsari (2007),

terdapat pandangan yang menggabungkan air sebagai barang publik dan air

sebagai barang ekonomi. Hal ini juga merupakan bentuk privatisasi air. Kontrol

atas sumber air merupakan hak pemerintah dan pemerintah pun harus ikut andil.

Namun, swasta juga dapat masuk untuk mengelola air. Pandangan ini merupakan

bentuk kamuflase atau bentuk pelembutan kata privatisasi karena apabila swasta

masuk ke dalam pengelolaan air, swasta pasti akan mencari untung di situ.

5.4. Viktimisasi Struktural

Pihak yang paling merasakan dari adanya orientasi pasar yang

diaplikasikan pada pelayanan air bersih adalah masyarakat miskin. Air yang

mengaliri ke rumah-rumah warga di Rawa Badak Utara dan Muara Baru sangat

sedikit. Bahkan, seringkali mereka kehabisan air karena air tidak mengaliri

rumah-rumah mereka. Tidak jarang mereka harus menunggu air mengalir pada

dini hari hanya untuk mendapatkan dua ember air. Air yang didapatkan pun tidak

layak untuk minum karena banyak jentiknya, berbau, dan berwarna hitam ataupun

kuning.

Hal itu sangat memberatkan mereka karena mereka masih harus bayar

pelayanan air dari swasta walaupun air tidak mengalir. Untuk mempertahankan

hidup, mereka akhirnya membeli air dari tukang gerobak dengan harga mahal.

Setiap dua jerigen, mereka harus membayar Rp2.500,00 sampai Rp5.000,00.

Untuk mendapatkan satu meter kubik air, mereka harus membeli sebanyak satu

gerobak, yaitu kira-kira dua puluh jerigen. Untuk itu, mereka harus membayar

79

Universitas Indonesia

kurang lebih Rp50.000,00 sampai Rp100.000,00 per pikul. Padahal, kalau mereka

hanya berlangganan air PAM, mereka hanya membayar Rp1.050,00 sampai

Rp1.575,00 per 10 meter kubiknya (lihat tabel 4.3. dan tabel 4.4. pada bab

Temuan Data). Dengan banyaknya anggota keluarga yang ada di rumah,

pemakaian air pun akan meningkat. Hal tersebut akan memperberat pengeluaran

untuk kebutuhan air bersih warga.

Warga merasa tidak pernah diberitahu atau diberi sosialisasi mengenai

besaran tarif, tagihan, ataupun pergantian operator dari PAM Jaya menjadi pihak

swasta. Merasa diperlakukan tidak adil, mereka pun melakukan protes. Namun,

sampai sekarang, tidak ada perubahan signifikan terhadap pelayanan air bersih

yang diberikan kepada mereka.

Pada subbab sebelumnya, terdapat penuturan bahwa air sudah menjadi

barang ekonomi. Dengan berubahnya nilai air menjadi barang ekonomi, air

menjadi ajang bisnis bagi para pemilik modal. Air menjadi ajang meraih

keuntungan. Nilai sosial air menjadi tidak ada dan untuk mendapat air, warga

harus menjadi pelanggan. Meminjam istilah Allen, Davila, dan Hofmann (2006),

di sini, warga tidak lagi menjadi warga negara yang haknya harus dipenuhi,

melainkan hanya menjadi pelanggan akan suatu barang yang harus dibeli dan jasa

pendistribusiannya harus dibayar dengan mahal.

Kemudian, adanya pabrik-pabrik, perumahan elite, dan apartemen di dekat

kawasan Rawa Badak membuat aliran air ke daerah permukiman kumuh

berkurang karena telah diserap oleh pabrik, perumahan, dan apartemen tersebut.

Hal itu membuat hak warga Rawa Badak Utara akan air dikurangi. Air baku yang

jumlahnya tetap tidak sebanding dengan banyaknya warga Jakarta sekarang. Hal

itu membuat pihak operator mendahului para pelanggan yang terdapat di daerah

perumahan elite dan apartemen, serta pabrik-pabrik yang masuk dalam Kelompok

IV dalam kategori tarif PAM (lihat Tabel 4.4.) Kelompok IV adalah kelompok

dengan pembagian tarif nomor dua termahal di bawah Kelompok V yang adalah

pelabuhan (lihat Tabel 4.3.). Sedangkan warga Muara Baru RT 20 RW 17

Kelurahan Penjaringan dan warga Rawa Badak Utara RT 09 RW 09. Pasar Ular

Plumpang, Permai Koja, Jakarta Utara merupakan warga yang masuk dalam

80

Universitas Indonesia

Kelompok II yang membayar lebih kecil daripada warga yang berada di

Kelompok IV.

Hal itu meminimkan akses warga miskin terhadap air bersih. Warga

miskin menjadi disingkirkan karena tidak mempunyai daya beli yang cukup untuk

membeli air bersih. Jaringan pipa air yang ada untuk dialiri air menjadi kosong

dan air tidak mengalir ke rumah warga. Untuk dapat bertahan hidup, mereka harus

membeli air dari tukang air yang menjual air dengan jerigen atau gerobak. Dengan

membeli air bersih dari tukang air, warga harus mengeluarkan uang dengan

jumlah yang lebih besar lagi, yaitu sebanyak Rp50.000,00 sampai Rp100.000,00

per dua puluh jerigen atau sekitar satu meter kubik air bersih. Bisa dilihat di sini

bahwa akses terhadap air bersih menjadi minim sekali.

Hal ini merupakan suatu bentuk viktimisasi struktural. Menurut Gosita

(2004), viktimisasi merupakan tindakan yang membuat pihak tertentu menderita

secara baik mental, fisik, maupun sosial yang dilakukan oleh pihak tertentu dan

demi kepentingan tertentu. Warga miskin di Muara Baru dan Rawa Badak Utara

merupakan pihak yang menjadi korban karena mereka menderita secara sosial

yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia demi kepentingan pasar. Mengacu

pada Fattah (2000), ketidakberdayaan warga miskin diperkuat dengan adanya

perampasan akan hak asasi manusia akan air bersih. Ada crisis by design atau

krisis yang dibuat melalui perencanaan. Perencanaan tersebut dimasukkan ke

dalam struktur sosial yang melembaga, yang dilegalkan dalam bentuk kebijakan

publik.

Viktimisasi struktural ini diperlihatkan dalam bagaimana warga susah

mengakses air bersih yang merupakan suatu kebutuhan dasar manusia, terlebih air

bersih ini merupakan hak asasi manusia. Viktimisasi struktural ini kemudian

berujung pada adanya kerusakan sosial. Pemerintah Indonesia berambisi untuk

mencapai kesetaraan dengan negara maju dalam bidang ekonomi dan politik

membuat adanya kerusakan sosial yang menghasilkan kerusakan kesetaraan akan

akses terhadap air bersih. Mengacu pada Fattah (2000), viktimisasi ini timbul

dengan cara merancang kelompok tertentu sebagai korban. Dapat kita lihat, bahwa

pihak yang diuntungkan dalam hal ini adalah korporasi internasional dan juga

Bank Dunia yang menginginkan status quo dalam aktivitas internasional. Di lain

81

Universitas Indonesia

pihak, warga Indonesia, khusunya Jakarta malah mengalami kerugian. Warga

Jakarta dirancang sebagai pihak yang menjadi korban. Apabila warga Jakarta tetap

dapat mendapat air bersih, keuntungan jangka panjang hanya akan didapat oleh

korporasi internasional, bukan warga negara Indonesia.

5.5. Crime of Domination sebagai Bentuk Kejahatan Negara dalam

Pelanggaran Hak Asasi Manusia akan Air Bersih

Di awal bab ini, peneliti telah menyatakan, bahwa hak atas air merupakan

suatu hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Sidang Umum PBB pada tahun

2010 telah menyepakati bahwa air minum yang bersih dan sanitasi yang baik

merupakan hak asasi manusia yang sangat penting untuk kehidupan dan

keseluruhan hak asasi manusia.Hak atas air ini ini menunjukkan bahwa manusia

mempunyai kebutuhan akan air yang tidak bisa digantikan oleh apapun juga. Air

merupakan penggerak roda kehidupan manusia. Seperti kata Hale (2007), bahwa

Hak Asasi Manusia atas air ini tidak hanya sekadar izin untuk menggunakan air.

Hak atas air ini merupakan hak sosial dan ekonomi yang sangat penting bagi

keberlangsungan hidup manusia.

Manusia mempunyai hak yang kekal dan abadi untuk berkompetisi secara

setara, adil, dan bebas dalam bidang sosial, ekonomi, dan poolitik. Kesempatan

yang setara ini merujuk pada prinsip keadilan yang harus mengendalikan adanya

ketidaksetaraan sosial di dalam masyarakat. Segala prasyarat kehidupan manusia,

seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, rekreasi, dan

keamanan harus dijamin. Hal-hal tersebut merupakan hal dasar yang tidak boleh

dianggap sebagai hadiah. Hal tersebut merupakan hak yang harus dijamin

pemenuhannya (Schwendinger & Scwendinger, 1975). Dalam hal ini, air bersih

merupakan hak yang kekal dan abadi dan melekat pada manusia. Apabila kita

membicarakan hak asasi manusia akan air bersih, kita harus pula membicarakan

kesempatan yang setara dan adil dalam mengakses air bersih. Dengan akses yang

bisa dicapai, air bersih pun dapat dicapai dan bisa membuat adanya kesejahteraan

di dalam kehidupan manusia. Hak atas air ini tidak bisa dianggap sebagai hadiah

semata. Hak atas air ini harus dipenuhi oleh pemerintah agar warga negaranya

bisa hidup sejahtera.

82

Universitas Indonesia

Namun, air sekarang tidak bisa diakses dengan mudah, murah, dan

berkualitas oleh masyarakat dengan kelas ekonomi bawah. Akses terhadap air

bersih menjadi sangat sulit. Hal itu membuat pemenuhan hak asasi manusia akan

air pun menjadi susah, karena pemenuhan HAM akan suatu hal tidak bisa

dilakukan tanpa adanya akses terhadap hal itu. Oleh karena itu, ketiadaan akses

akan air ini merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM.

Pun disebutkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia Pasal 1 butir keenam, bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah

setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik

disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum

mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia

seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak

mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang

adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dalam rangka menyesuaikan diri dari dominasi Bank Dunia, pemerintah

RI membuat kebijakan privatisasi air dan mengadakan perjanjian kerjasama

dengan pihak swasta. Mengacu pada Barak (2001), tindakan Indonesia dalam

membuat kebijakan privatisasi air merupakan produk dari kegiatan yang terlibat

baik secara langsung maupun tidak langsung dalam akumulasi modal. Quinney

berkata, bahwa terdapat reaksi dan ekspresi dari adanya penekanan struktural dan

perjuangan kelas. Reaksi dan ekspresi tersebut disebut sebagai adaptasi struktural,

dan hal itu merupakan sebab dari adanya tindak kejahatan (Barak, 2001).

Mengacu pada Vito, Maahs, & Holmes (2006), bentuk adaptasi struktural

melahirkan adanya crimes of accommodation. Kebijakan privatisasi air ini lah

yang menjadi bentuk reaksi dan ekspresi sebagai hasil adaptasi struktural dari

pemerintah Indonesia dari adanya perjuangan kelas yang dilakukan oleh negara

Indonesia dalam dunia global.

Mengacu pada Giddens dalam Priyono (2002), struktur signifikasi,

dominasi, dan legitimasi yang terdapat pada praktik globalisasi membuat

pemerintah Indonesia berada dalam lingkaran struktur yang membentuk praktik-

praktik yang kemudian lebih menguatkan struktur tersebut. Dalam dominasi dan

legitimasinya, Bank Dunia mengharuskan Indonesia membuat kebijakan

83

Universitas Indonesia

privatisasi air. Dalam hal ini, Indonesia berada dalam suatu sistem yang

merupakan timbal-balik antara struktur dan praktik sosial yang terus-menerus

dilakukan.

Oleh karena itu, Indonesia pun menjalani proses pergeseran orientasi PAM

Jaya, yang tadinya adalah sebagai pelayanan publik menjadi berorientasi

pelanggan (costumer oriented) atau berorientasi pasar. Proses pergeseran orientasi

PAM Jaya tersebut dijalani dengan proses yang cukup lama, yaitu sejak adanya

Petunjuk Presiden RI pada 12 Juni 1995 sampai dengan ditandatanganinya

perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dengan kedua mitra swasta.

Dalam hal ini, rakyatlah yang dirugikan. Terdapat viktimisasi struktural

dalam kebijakan ini. Terdapat struktur yang secara kontinyu yang membuat warga

miskin dirugikan. Adanya viktimisasi struktural membuktikan bahwa telah terjadi

ketidakadilan yang dilahirkan oleh kebijakan publik ini. Menurut Neil Gilbert

dalam Stoesz (1996), keadilan merupakan suatu gagasan bahwa kontrak sosial

menentukan tanggung jawab timbal-balik antara individu dengan negara.

Keadilan ini dapat diukur dengan kesejahteraan. Hal yang dialami oleh warga

miskin di Rawa Badak Utara dan Muara Baru merupakan bentuk dari ketiadaan

akses terhadap air bersih. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat ketidaksejahteraan

karena tidak adanya akses terhadap air bersih yang merupakan kebutuhan

mendasar bagi kehidupan manusia. Distribusi akan barang dan jasa dilandaskan

pada kemampuan untuk membayar, bukan atas dasar kemanusiaan. Tidak ada

konsep keadilan dalam kebijakan privatisasi air ini. Hal tersebut disebabkan oleh

karena orang-orang berpaham neoliberal, yang menilai bahwa semua tindakan

manusia merupakan tindakan pasar, menentang konsep welfare justice karena hal

tersebut tidak bisa diukur oleh ekonomi.

Dalam Schwendinger & Scwendinger (1975), dikatakan bahwa prinsip

keadilan harus mengendalikan adanya ketidaksetaraan sosial di dalam masyarakat.

Individu harus dilihat dan diperhatikan sebagai lebih dari objek yang diperlakukan

secara setara oleh institusi. Semua orang harus dijamin prasyarat kehidupannya,

termasuk makanan, tempat berlindung, pakaian, pelayanan medis, pekerjaan,

rekreasi, dan keamanan dari individu predator atau elit sosial yang imperialistik

dan represif. Namun, kesetaraan seringkali dibela bukan atas dasar logika formal,

84

Universitas Indonesia

namun atas dasar politik. Dalam privatisasi air ini, kebijakan dibuat atas dasar

kepentingan pemerintah yang berparadigma pasar dalam rangka neoliberalisme.

Hal ini membuat warga Jakarta menjadi tidak terlahir bebas dan setara.

Kesetaraan dalam hal mengakses air bersih menjadi harus dicapai dengan harga

tinggi sebagai usaha pencapaiannya. Dalam hal ini, konsep welfare justice tidak

diaplikasikan.

Menurut Mustofa (2010), apabila masyarakat mengalami kerugian, baik

secara fisik, psikologis, maupun materi yang disebabkan oleh adanya suatu pola

tingkah laku, di situ terdapat kejahatan. Kejahatan dapat dilakukan baik secara

individu maupun secara kelompok, baik dalam suatu organisasi, maupun di luar

organisasi.

Negara merupakan suatu organisasi besar. Apabila suatu negara

melakukan suatu tindakan, tindakan tersebut pastilah akan berdampak pada warga

negaranya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam melakukan suatu kebijakan,

negara bisa melakukan kejahatan. Dalam hal ini, negara melakukan kejahatan

dengan meniadakan akses air bersih bagi warga miskin. Warga miskin menjadi

dirugikan karena mereka tidak mendapatkan air bersih. Namun, Barlow dan

Decker (2010) menyebutkan, bahwa kejahatan negara merupakan hal yang kasat

mata karena tidak dapat dengan mudah didefinisikan. Hal itu disebabkan oleh apa

yang disebut Quinney sebagai pendefinian kejahatan oleh aparat penegak hukum.

Aparat penegak hukum merupakan representasi dari negara yang membuat hukum

dan definisi kejahatan untuk mengontrol kelas bawah (Vito, Maahs, & Holmes,

2006) dan hal itu membuat negara sulit didefinisikan sebagai pelaku kejahatan.

Menurut Julia dan Herman Schwendinger, definisi kejahatan harus terbuka

dengan isu moral (Schwendinger & Scwendinger, 1975). Isu tentang air bersih ini

merupakan isu moral yang apabila dilanggar, akan menyebabkan kerusakan

sosial. Pelanggaran hak asasi manusia atas air ini berwujud pada viktimisasi

struktural oleh negara yang membuat warga miskin tidak bisa mengkses air

bersih. Hal tersebut menyebabkan kerusakan sosial, dan oleh sebab itu

kesempatan individu untuk memenuhi kehidupannya pun manjadi terbatas.

Mengacu pada Schwendinger & Scwendinger (1975), terdapat sistem sosial yang

menyebabkan ketidaksetaraan. Sistem sosial ini lah yang merupakan pelaku

85

Universitas Indonesia

kejahatan. Adanya kegiatan yang berulang-ulang dan ajeg membuat rakyat

semakin menderita karena sulit mengakses air bersih.

Keadaan ini bertentangan dengan sila kelima Pancasila yang berbunyi,

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pemerintah sebagai institusi yang

netral dan mempunyai kuasa untuk mengatur negara dengan tujuan

mensejahterakan rakyatnya, seharusnya menegakkan pemenuhan hak asasi

manusia bagi warganya. Pemerintah harus dapat menyediakan pelayanan barang

dan jasa untuk semua pihak yang berhak mendapatkannya. Hal tersebut membuat

negara, sebagai pelaku yang membuat air bersih menjadi tidak bisa diraih,

menjadi pelaku kejahatan.

Menurut Schwendinger & Scwendinger (1975), saat hak asasi manusia

dibuat menjadi dasar dari definisi perilaku kejahatan, pelanggaran terhadap hak

asasi manusia merupakan perhatian utama kriminologi. Keamanan dan jaminan

kesehatan dan akses akan air bersih merupakan hal yang mendasar. Ancaman

terhadap kesehatan seseorang akan membahayakan hal lainnya.Pemusnahan akan

hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi atas air yang disebabkan oleh adanya

hubungan dan sistem sosial yang teratur dan kontinyu menghasilkan suatu

kerusakan sosial (Schwendinger & Scwendinger, 1975). Hal tersebut akan

membatasi kesempatan individu untuk memenuhi kehidupannya. Penolak hak

asasi manusia merupakan pihak pelaku kejahatan.

Hal itu membuat Julia dan Herman Scwendinger menyebutkan, bahwa

pemerintah secara legal disebut sebagai pelaku kejahatan karena telah melakukan

pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah membuat sistem dan hubungan sosial

yang secara terus-menerus membuat air bersih menjadi susah dan mahal diraih

oleh warga miskin. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa pemerintah Indonesia

melakukan pelanggaran hak asasi manusia atas air.

86

Universitas Indonesia

BAB 6

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Globalisasi yang terjadi membuat batas ruang dan waktu menjadi pudar,

bahkan menghilang. Akses berita dan informasi dari suatu tempat akan mudah

didapatkan dan diketahui oleh orang-orang yang berada di belahan dunia lain.

Transportasi dan komunikasi berkembang pesat untuk memenuhi era globalisasi,

dan globalisasi pun turut mendukung adanya transportasi dan komunikasi yang

makin canggih. Dengan begitu, mengambil istilah dari Mark Findlay (2004),

bahwa terdapat kesadaran manusia sebagai penduduk dunia secara global terhadap

adanya dunia secara utuh. Hal ini memberikan kesempatan bagi setiap negara

untuk membuka diri terhadap politik dan ekonomi global. Dalam dunia yang

secara utuh tergabung ini, hubungan antarmanusia di dalam dunia menjadi saling

tergantung.

Salah satu cerminan dari globalisasi adalah adanya pengakuan atas hak

asasi manusia atas air. Pengakuan atas hak asasi manusia atas air ini awalnya

adalah dari Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang salah

satu poinnya menyatakan bahwa terdapat hak setiap orang atas standar kehidupan

yang layak, termasuk pangan, sandang, dan papan, dan atas perbaikan yang terus-

menerus. Kemudian, terdapat Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2002 dari

Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB tentang Hak atas Air yang

menyatakan, bahwa hak atas air merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan

dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dalam Komentar Umum itu terdapat kalimat

yang menyatakan, bahwa hak atas air masuk ke dalam jaminan penting untuk

mengamankan standar kehidupan yang layak. Untuk menindaklanjuti hal itu,

diadakan Sidang Umum PBB tahun 2010 yang menyepakati bahwa air minum

yang bersih dan sanitasi yang baik merupkan hak asasi manusia yang sangat

penting untuk kehidupan.

Selain meningkatkan kesadaran akan hak asasi manusia, globalisasi juga

memberikan janji-janji ekonomi kepada semua negara di dunia. Globalisasi

menjanjikan akan memberikan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dalam

86

87

Universitas Indonesia

suatu negara apabila negara tersebut mau membuka diri terhadap perdangan

internasional (Stiglitz, 2002). Dengan keterbukaan ekonomi, korporasi

internasional dapat membantu memindahkan teknologi, modal, dan barang

melewati batas-batas negara. Dengan itu, suatu negara, khususnya negara yang

sedang berkembang, dapat melakukan akselerasi pembangunan negara untuk

mencapai pembangunan yang telah dilakukan oleh negara-negara maju, seperti

USA dan UK. Kemudian, dalam rangka melakukan pembangunan untuk mencapai

akselerasi level global, negara berkembang tidak mempunyai modal yang cukup

untuk memulai pembangunan. Untuk itu, diadakan suatu lembaga bantuan asing

sebagai salah satu aspek dunia global.

Hal ini dialami sendiri oleh Indonesia. Dalam era globalisasi, Indonesia

ingin turut melakukan pembangunan untuk menjadi negara maju di dunia. Namun

sayangnya, Indonesia tidak mempunyai cukup modal dan teknologi dalam

membangun negara. Untuk itu, Indonesai meminjam dana kepada Bank Dunia

dalam rangka melakukan pembangunan. Dengan adanya pinjaman tersebut,

Indonesia menjadi terikat dengan suatu perjanjian peminjaman dana yang

membuat Indonesia menjadi tergantung kepada Bank Dunia.

Bank Dunia sendiri merupakan lembaga yang turut membuat Konsensus

Washington (the Washington Consensus) yang menganut paham neoliberal,

bersama dengan IMF dan the US Treasury. Tiga ide besar paham neoliberal

adalah liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Neoliberalisme menganut bahwa

hubungan antarmanusia dinilai dengan kegiatan pasar. Tolok ukur untuk menilai

kebijakan pemerintah adalah bagamana kegiatan, kinerja, dan kepentingan pasar

terjadi. Oleh karena itu, dilakukan liberalisasi dan deregulasi agar campur tangan

negara dapat berkurang dan dapat menyilakan pasar untuk berkegiatan sebebas

mungkin. Kemudian, untuk menyokong kepentingan pasar, negara harus

menyingkirkan kepentingan publik. Hal itu didasari oleh pandangan bahwa

anggaran untuk pelayanan publik merupakan bentuk inefisiensi finansial. Untuk

itu, dilakukan privatisasi agar dapat menumbuhkan efisiensi finansial.

Dengan melakukan pinjaman kepada Bank Dunia, Indonesia disusupi

nilai-nilai dari paham neoliberal tersebut. Bank Dunia mengeluarkan kajian yang

berisi bahwa pelayanan air di Indonesia masih terpengaruh sistem politik dan

88

Universitas Indonesia

tidak disiplin dalam hal finansial. Hal itu merupakan kamuflase agar pelayanan

publik dapat jatuh ke ranah pasar yang kemudian akan menghilangkan nilai

barang publik tersebut dan menggantinya menjadi barang ekonomi. Indonesia

yang terikat dan tergantung pada Bank Dunia pun harus melakukan privatisasi

dengan alasan harus terciptanya peningkatan efisiensi kerja dan finansial.

Pelayanan publik akan air pun berubah orientasi menjadi berorientasi pada

pelanggan. Dengan kata lain, air menjadi barang ekonomi yang diperjualbelikan

kepada pelanggan yang untuk mengonsumsinya harus mempunyai daya beli.

Hal ini merupakan bentuk dari struktur globalisasi yang di dalamnya

terdapat tata wacana, tata politik, dan tata legitimasi Bank Dunia sebagai aspek

globalisasi. Dalam praktiknya, Indonesia tidak bisa menentukan sendiri kebijakan

apa yang harus diputuskan karena Indonesia sudah masuk ke dalam sistem yang

mana struktur dan praktik sosial merupakan dua hal yang saling mendukung

keberlangsungan keduanya.

Susupan ide neoliberalisme ini merupakan bentuk hegemoni yang

dilakukan oleh Bank Dunia terhadap Indonesia dalam dunia internasional.

Mengacu pada Gramsci, hegemoni ini merupakan bentuk pengamanan legitimasi

Bank Dunia dalam dunia global. Bank Dunia membutuhkan pengakuan akan

status quo yang kemudian dapat mengamini dominasinya sehingga dominasi

tersebut seolah-olah disepakati bersama oleh semua negara di dunia, termasuk

Indonesia, dan kemudian dilembagakan dalam suatu konsensus.

Di sini jelas Indonesia ditekan dalam rangka hegemoni Bank Dunia

terhadap Indonesia. Dalam konteks ini, apabila mengacu pada Barak (2001),

penekanan yang dilakukan oleh Bank Dunia membuat Indonesia menghasilkan

suatu reaksi sebagai bentuk adaptasi struktural. Mengacu pada Quinney, reaksi

tersebut adalah berupa crimes of domination. Privatisasi air itu lah yang

merupakan bentuk dari crimes of domination yang dilakukan pemerintah

Indonesia terhadap rakyatnya. Hal itu disebabkan oleh karena adanya rakyat

miskin yang dimarginalisasi karena tidak dapat mengakses air bersih dengan

murah, mudah, dan berkualitas. Dengan sistem privatisasi, air bersih menjadi

barang ekonomi yang hanya dapat dikonsumsi apabila pelanggan mempunyai

daya beli. Rakyat Indonesia, dalam kasus ini adalah rakyat Jakarta, dianggap

89

Universitas Indonesia

sebagai pelanggan, bukan sebagai warga negara yang haknya harus dipenuhi oleh

negara.

Air bersih merupakan isu moral karena ia berhubungan dengan bagaimana

manusia dapat terus-menerus menggerakkan roda kehidupan mereka. Menurut

Julia dan Herman Schwendinger, isu moral tersebut ditentukan dengan adanya

hak asasi manusia. Prasyarat kehidupan semua orang harus dijamin, seperti

makanan, tempat berlindung, pakaian, kesehatan, pekerjaan, rekreasi, dan

keamanan. Termasuk juga di dalamnya adalah air bersih. Air bersih tersebut

merupakan hal dasar yang tidak boleh hanya dianggap sebagai hadiah. Air bersih

merupakan hak asasi yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia.

Mengacu pada Julia dan Herman Schwendinger dalam Taylor, Walton,

Young (1975), kesetaraan untuk mendapatkan air bersih sebagai hak asasi

manusia dibela dengan dasar politik atau atas dasar siapa yang menang.

Pemerintah melegitimasikan hal itu dalam bentuk kebijakan yang dibuat dan

diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum,

politis, dan finansial (Suharto, 2006), dan dibuat dengan tujuan pembangunan

negara (Nugroho, 2012) sebagai bentuk kamuflase. Hal itu membuat pencapaian

kebebasan dan kesetaraan harus dicapai dengan harga tinggi.

Julia dan Herman Schwendinger mengatakan, bahwa saat hak asasi

manusia dibuat sebagai dasar definisi akan tindak kejahatan, maka pelanggaran

terhadap hak asasi manusia merupakan domain utama dari kriminologi. Terdapat

pembatasan yang membuat manusia menjadi terhambat untuk memenuhi

kehidupannya.

Dalam kasus privatisasi air ini, pemerintah melanggengkan privatisasi air

tersebut dan membuat adanya diskriminasi yang muncul dari adanya rakyat

miskin yang tidak mempunyai akses terhadap distribusi air bersih. Situasi ini

dijelaskan dengan faktor-faktor, termasuk ketidakmampuan mereka untuk

membayar, dan investasi infrastruktur yang bias antara pemerintah daerah dengan

korporasi. Padahal, manusia mempunyai hak untuk hidup dan sumber daya yang

menunjang kehidupan itu sendiri.

Kebijakan privatisasi air DKI Jakarta ini mendorong adanya krisis. Banyak

kejadian yang mengindikasikan bahwa negara merugikan masyarakat, seperti

90

Universitas Indonesia

koreksi target yang bukannya memperbaiki performa, malah akan membuat

untung PAM Jaya dan pihak swasta, air bersih yang jarang mengalir ke

permukiman miskin, dan kualitas air yang sangat buruk sehingga tidak bisa

dikonsumsi. Masyarakat miskin tidak mendapatkan pelayanan distribusi air bersih

sehingga mereka harus membeli air bersih di gerobak atau jerigen dengan harga

yang mahal. Hal itu dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai hasil adaptasi

struktural dari hegemoni Bank Dunia yang di dalamnya mengandung suntikan ide

neoliberal yang dilakukan dalam jubah globalisasi.

Kondisi ini merepresentasikan adanya pelanggaran serius akan hak asasi

manusia dan hal itu tidak bisa ditoleransi. Dengan dilanggarnya hak asasi manusia

masyarakat DKI Jakarta atas air bersih, masyarakat menjadi korban atas

ketidakadilan sistem sehingga mereka tidak bisa mengakses air bersih untuk

kehidupan mereka. Masyarakat DKI Jakarta dirugikan.Negara jelas melakukan

kejahatan dengan mengeluarkan kebijakan privatisasi air ini.Jadi, dengan ini,

pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia atas air. Dengan

melanggar hak asasi manusia atas air, pemerintah melakukan suatu tindakan

kejahatan yang berat.

6.2. Saran

Dalam memenuhi hak asasi mansuai warga atas air bersih, pemerintah

Indonesia harus menyerahkan operasional pelayanan air seluruhnya kepada

publik. Hal ini berarti, pemerintah lah yang memegang semua bentuk kendali dan

operasional pelayanan air bersih. Peneliti menyarankan hal ini atas dasar pikiran

bahwa dalam melakukan tugas kenegaraan, negara melakukan bentuk pelayanan

kepada warga negaranya. Namun, apabila ada peran swasta di dalamnya,

penyediaan air bersih untuk warga harus didasari oleh berapa keuntungan yang

bisa didapat tanpa melihat sisi kemanusiaan dalam pelayanan publik. Dengan

pemerintah yang memegang kendali, manajemen pelayanan bisa dilakukan atas

dasar hak asasi manusia atas air bersih.

Kemudian, negara harus meninjau kembali semua undang-undang dan

segala bentuk peraturan lainnya yang berimplikasi pada pemenuhan hak asasi

manusia. Negara harus menyesuaikan segala bentuk peraturan yang dibuat dengan

91

Universitas Indonesia

UUD 1945 dan konvensi HAM yang diikuti. Hal itu akan membuat segala bentuk

kebijakan, hukum, dan peraturan akan sejalan dengan realisasi pemenuhan hak-

hak asasi manusia.

Selain itu, perlu diadakan penelitian lanjutan yang membahas fenomena

yang sama namun dengan subjek yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh

kompleksnya masalah air bersih dan sanitasi di DKI Jakarta. Masalah-masalah

tersebut meliputi pencurian air dari pipa saluran air oleh warga, preman-preman

yang menguasai suatu daerah sehingga pihak operator tidak bisa menyalurkan air

dengan leluasa, dan indikasi korupsi dalam penyediaan air bersih ini. Selain itu,

perlu juga ada penelitian dari sudut pandang kriminologis soal pasokan air bersih

ke gedung-gedung bertingkat yang minim sehingga menyebabkan terjadinya

penghisapan air tanah dalam secara besar-besaran yang mengakibatkan turunnya

tanah Jakarta sehingga mengakibatkan banjir bandang di Jakarta.

92

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aas, K. F. (2007). Globalization and Crime. London: SAGE Publication.

Adamson, W. L. (1980). Hegemony and Revolution: A Study of Antonio Gramsci's

Political and Cultural Theory. California: University of California Press,

Ltd.

Aminuddin, M. F. (2009). Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan

Dampaknya bagi Demoratisasi Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.

Barak, G. (2009). Criminolgy: An Integrated Approach. Plymouth: Rowman &

Littlefield Publishers.

Barlow, H. D., & Decker, S. H. (2010). Criminology and Public Policy: Putting

Theory to Work. Pennsylvania: Temple University Press.

Biswas, A. K., & Tortajada, C. (2005). Water Pricing and Public-Private

Partnership. New York: Routledge.

Chambliss, W. J., Michalowski, R., & Kramer, R. (2010). State Crime in the

Global Age. Portland: Willan Publishing.

Coicaud, J.-M., Doyle, M. W., & Gardner, A.-M. (2003). The Globalization of

Human Rights. Tokyo: The United Nation University Press.

Committee on Economic, Social, and Cultural Rights. (2002). The Right to Water.

United Nations.

Cox, K. R. (1997). Spaces of Globalization. New York: The Guilford Press.

Doig, A. (2011). State Crime. New York: Willan Publishing.

Dunn, W. N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Findlay, M. (2004). Globalisation of Crime. Cape Town: Cambridge University

Press.

Green, P., & Ward, T. (2004). State Crime : Governments, Violence and

Corruption. London: Pluto Press.

Gosita, A. (2004). Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan. Jakarta:

Bhuana Ilmu Populer.

93

Universitas Indonesia

Hadi, S., Sitepu, D. S., Soraya, D., Kusumaningtyas, D., Ndaru, H., & Arumsari,

M. (2007). Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di

Indonesia. Tangerang: Marjin Kiri.

Hall, D., & Lobina, E. (2008). Air Sebagai Layanan Publik. Jakarta: KRuHA.

Kay, A. (2006). The Dynamics of Public Policy. Cheltenham: Edward Elgar

Publishing.

KIARA dan KRuHA. (2013). Catatan Diskusi Komunitas Nelayan Marunda

Kepu. Jakarta: KIARA - KRuHA.

Knepper, P. (2007). Criminology and Social Policy. London: SAGE Publication.

Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta. (t.thn.). Praktik

Swastanisasi Air di Jakarta. Praktik Swastanisasi Air di Jakarta. Koalisi

Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta.

Lanti, A., Nugroho, R., Ali, F., Kretarto, A., & Zulfikar, A. (2008). Sepuluh

Tahun Kerjasama Pemerintah-Swasta pada Pelayanan Air PAM DKI

Jakarta 1998-2008. Jakarta: Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI

Jakarta.

McDonald, D. A., & Ruiters, G. (2005). The Age of Commodity. London:

Earthscan.

Moghalu, K. C. (2006). Global Justice: The Politics of War Crimes Trials.

Connecticut: Praeger Security International.

Moran, M., Rein, M., & Goodin, R. (2008). The Oxford Handbook of Public

Policy. New York: Orford University Press.

Mustofa, M. (2010). Kriminologi. Bekasi: Sari Ilmu Pratama.

Nash, K. (2009). The Cultural Politics of Human Rights. Cambridge: Cambridge

University Press.

Neuman, L. M. (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative

Approaches in Social Works. New York: Columbia University.

Nugroho, R. (2012). Public Policy for the Developing Countries. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Overman, M. (1976). Water: Solutions to a Problem of Supply and Demand.

London: The Open University Press.

Priyono, H. (2002). Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia.

94

Universitas Indonesia

Priyono, H. (2006). Neoliberalisme dan SIfat Elusif Kebebasan. Jakarta: Dewan

Kesenian Jakarta.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi. Bantul: LKPM.

Serra, N., & Stiglitz, J. E. (2008). The Washington Consensus Reconsidered:

Towards a New Global Governance. New York: Oxford University Press.

Shiva, V. (2002). Water Wars: Privatization, Pollution, and Profit. London: Pluto

Press.

Sopian, A., & dkk. (2006). Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan

Memikat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Schwendinger, J., & Scwendinger, H. (1975). Defenders of Order or Guardians of

Human Rights? dalam I. Taylor, P. Walton, & J. Young, Critical

Criminology (hal. 113-146). London: Routledge and Kegan Paul Ltd.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. New York: W. W. Norton

& Company.

Suharto, E. (2006). Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji

Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.

Sutherland, E. H., & Cressey, D. R. (1978). Criminology. New York: J. B.

Lippincott Company.

Talbott, W. J. (2010). Human Rights and HUman Well-Being. New York: Oxford

University Press.

Tim KRuHA. (2005). Kemelut Sumber Daya Air: Menggugat Privatisasi Air di

Indonesia. Yogyakarta: LAPERA dan KRuHA.

United Nations. (2010). UN General Assembly: Resolution adopted by the

General Assembly on 28 July 2010: The Human Right to Water and

Sanitation. United Nations.

United Nations Human Rights; WHO. (2008). Human Rights, Health, and Poverty

Reduction Strategies. Geneva: WHO Press.

Vito, G. F., Maahs, J. R., & Holmes, R. M. (2006). Criminology: Theory,

Research, and Policy. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers.

95

Universitas Indonesia

Jurnal

Ahlers, R. (2010). Fixing and Nixing: The Politics of Water Privatization. Review

of Radical Political Economics, Sage Publication.

Allen, A., Dávila, J. D., & Hofmann, P. (2006). The peri-urban water poor:

citizens or consumers? Environment and Urbanization, 333-351.

Bakker, K. (2007). The "Commons" Versus the "Commodity": Alter-

globalization, Anti-privatization and the Human Right to Water in the

Global South. Journal Compilation: Editorial Board of Antipode, 430-

455.

Barak, G. (2001). Crime and Crime Control in and Age of Globalization: A

Theoretical Dissection. Critical Criminology, 57-72.

Borgatta, E. F. (1996). Welfare Justice: Restoring Social Equity by Neil Gilbert

(Review). Contemporary Sociology, 498-499.

Bortolotti, B., & Pinotti, P. (2008). Delayed Privatization. Public Choice, 331-

351.

Branco, M. C., & Henriques, P. D. (2010). The Political Economy of the Human

Right to Water. Review of Radical Political Economics, 142-156.

Budds, J., & McGranahan, G. (2003). Are the debates on water privatization

missing the point? Experiences from Africa, Asia, and Latin America.

Environment and Urbanization, 87-114.

Cohen, S. (1993). Human Rights and Crimes of The State: The Culture of Denial.

Austrialian & New Zealand Journal of Criminology, 97-116.

Fattah, E. A. (2000). Victimology: Past, Present, and Future. Criminologie, 17-46.

Hale, S. (2007). The Significance of Justiciability: Legal Rights, Development,

and the Human Right to Water in the Philippines. The SAIS Review of

International Affairs, 139-150.

Janmaat, J. (2011). Water Markets, Licenses, and Conservation: Some

Implications. Land Economics, 145-160.

Klawitter, S., & Qazzaz, H. (2007). Water as a Human Right: Understanding of

Water in the Arab Countries of the Middle East. Water Resources in the

Middle East, 283-290.

Lasslett, K. (2010). Crime or Social Harm? A Dialectical Perspective. Crime,

Law, and Social Change, 1-19.

96

Universitas Indonesia

Morinville, C., & Rodina, L. (2012). Rethinking the human right to water: Water

access and dispossession in Botswana’s Central Kalahari Game Reserve.

Geoforum, 150-159.

Mulwafu, W. O. (2010). Water Rights in the Context of Pluralism and Policy

Changes in Malawi. Physics and Chemistry of the Earth, 35, 752-757.

Schwab, K. (2008). Global Corporate Citizenship: Working with Governments

and Civil Society. Foreign Affairs, 107-118.

Spronk, S. J. (2007). The Politics of Water Privatization in the Third World.

Review of Radical Political Economics, 126-132.

Stoesz, D. (1996). Welfare Justice: Restoring Social Equity (Review). Scholarly

Journals, 570-571.

Terhorst, P. (2008). 'Reclaiming public water': changing sector policy through

globalization from below. Progress in Development Studies, 103-114.

Yeboah, I. (2006). Subaltern Strategies and Development Practice: Urban Water

Privatization in Ghana. The Geographical Journal, 50-65.

Skripsi

Andari, A. J. (2012). Analisis Viktimisasi Struktural terhadap Tiga Korban

Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan. Depok: Universitas

Indonesia.

Buditami, I. M. (2012). Pengawasan Pelaksanaan Privatisasi Air di Indonesia

dalam Tinjauan Akuntabilitas Publik (Studi Kasus Public-Private

Partnership di Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta). Depok:

Universitas Indonesia.

Irwansyah. (2001). Mobilisasi dan Aksi-Aksi Kolektif Serikat Pekerja PAM Jaya

Menentang Privatisasi PAM Jaya. Depok: Universitas Indonesia.

Triyananda, A. (2013). Dampak Privatisasi Air di Jakarta terhadap Diskriminasi

Perempuan atas Akses Air Periode 1998-2003 (Studi Kasus Pelayanan

Palyja di Muara Baru). Depok: Universitas Indonesia.

97

Universitas Indonesia

Website

Ahalla, M. (2012, Desember 14). Globalisasi dalam Hubungan Internasional.

Dipetik November 9, 2013, dari Ahalla Tsauro: http://muhammad-ahalla-

fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-68388-umum-

Globalisasi%20dalam%20Hubungan%20Internasional.html

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

(2011, November). Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta. Dipetik

Februari 23, 2013, dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta:

http://dki.kependudukancapil.go.id/?Itemid=63&id=4&option=com_conte

nt&view=article

Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air. (2011, Maret 15). Privatisasi Air. Dipetik

September 23, 2013, dari KRuHA.org:

http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/101/Privatisasi_Air/Privati

sasi_Air.html

Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air. (2011). Profil KRuHA. Dipetik Maret 29,

2013, dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air:

http://www.kruha.org/page/id/static/1/Profil.html

KRuHA. (2011, Desember 3). Warga Miskin Jakarta Menjadi Tumbal

Swastanisasi Layanan Air. Dipetik November 18, 2012, dari KRuHA:

http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/22/221/Kampanye/Warga_Mi

skin_Jakarta_Menjadi_Tumbal_Swastanisasi_Layanan_Air_.html

KRuHA. (2012, Desember 8). Skandal Swastanisasi Air Jakarta: Negosiasi Bagi

Untung PAM JAYA dan PALYJA. Dipetik Februari 19, 2013, dari KRuHA:

http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/59/283/Berita/Negosiasi_Bagi

_Untung_PAM_Jaya_dan_PALYJA.html

Leks & Co Lawyers. (2013, November 6). Privatisasi Perusahaan Perseroan.

Dipetik Maret 3, 2014, dari Hukum Perseroan Terbatas:

http://www.hukumperseroanterbatas.com/2013/11/06/privatisasi-

perusahaan-perseroan/

Liputan6.Com. (2013, Agustus 6). [VIDEO] Tak Mengucur, Warga Penjaringan

Patungan Beli Air. Dipetik November 13, 2013, dari Liputan6.Com:

http://news.liputan6.com/read/659100/video-tak-mengucur-warga-

penjaringan-patungan-beli-air

PAM Jaya. (2012). PAM Jaya. Dipetik 2014, dari PAM Jaya:

http://www.pamjaya.co.id/home

98

Universitas Indonesia

PosKotaNews.Com. (2012, Februari 24). 475 KK di Penjaringan Minim Air

Bersih. Dipetik November 13, 2013, dari PosKotaNews.Com:

http://www.poskotanews.com/2012/02/24/475-kk-di-penjaringan-minim-

air-bersih/

United Nations Human Rights. (2013). What are human rights? Dipetik Februari

24, 2013, dari United Nations Human Rights:

http://www.ohchr.org/en/issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx

World Wide Words. (2002, Agustus 10). Usufructuary. Dipetik Oktober 30, 2013,

dari World Wide Words:

http://www.worldwidewords.org/weirdwords/ww-usu1.htm

99

Universitas Indonesia

DAFTAR DOKUMEN

Kode

Dokumen Nama Dokumen Isi Dokumen

01 UUD 1945 Pasal 33

Ayat 3

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat."

02

Kovenan

Internasional Hak-

Hak Ekonomi, Sosial,

dan Budaya (pasal 11

dan 12). Ratifikasi:

UU No. 11 Tahun

2005

Bahwa negara harus mengakui hak setiap orang atas

standar kehidupan yang layak, termasuk pangan,

sandang, dan papan, dan atas perbaikan kondisi yang

terus-menerus. Negara juga harus meningkatkan cara

produksi, konservasi, dan distribusi pangan dengan ilmu

pengetahuan melalui penyebarluasan pengetahuan

kepada seluruh masyarakat. Setiap warga negara harus

menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas

kesehatan fisik dan mental. Negara harus sangat

mengupayakan perwujudan hak ini sepenuhnya dengan

membuat ketentuan-ketentuan, perbaikan, pencegahan,

pengobatan, dan pengendalian segala penyakit,

perkembangan kehidupan, dan kesehatan lingkungan

.

03

Komentar Umum

PBB No. 15 Tahun

2002

“Article 11, paragraph 1, of the Covenant specifies a

number of rights emanating from, and indispensable for,

the realization of the right to an adequate standard of

living “including adequate food, clothing and housing”.

The use of the word “including” indicates that this

catalogue of rights was not intended to be exhaustive.

The right to water clearly falls within the category of

guarantees essential for securing an adequate standard of

living, particularly since it is one of the most

fundamental conditions for survival.”

04

UU No. 7 Tahun

2004 tentang Sumber

Daya Air

Pasal 2: "Sumber daya air dikelola berdasarkan asas

kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum,

keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta

transparansi dan akuntabilitas."

Pasal 5: "Negara menjamin hak setiap orang untuk

mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-

hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih,

dan produktif."

Pasal 6: "Sumber daya air dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Pasal 9 ayat 1: "Hak guna usaha air dapat diberikan

kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari

Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya."

Pasal 84 ayat 1: "Masyarakat mempunyai kesempatan

yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan

sumber daya air."

100

Universitas Indonesia

05

Perda DKI Jakarta

No. 13 Tahun 1992

tentang PDAM DKI

Jakarta

Pasal 2: Bahwa PAM Jaya adalah badan hukum yang

bewenang melakukan pengusahaan, penyediaan dan

pendistribusian air minum serta usaha-usaha lain

berdasarkan Peraturan Daerah ini.

Pasal 15: Bahwa direksi harus mendapatkan persetujuan

tertulis dari Gubernur Kepala Daerah dalam mengadakan

perjanjian kerjasama yang berlaku untuk jangka waktu

lebih dari satu tahun; mengadakan pinjaman dari dalam

dan luar negeri; memperoleh, memindahtangankan dan

menghipotekkan benda tak bergerak milik PAM Jaya;

penyertaan modal dalam perusahaan lain; melaksanakan

hal yang bersifat prinsip lainnya yang berhubungan

dengan penyelenggaraan dan pengelolaan PAM Jaya.

06

Perjanjian Kerjasama

PAM-Palyja

tertanggal 6 Juni 1997

(sebagaimana telah

diubah dan

dinyatakan kembali

tertanggal 22 Oktober

2001)

PT PAM Lyonnaise Jaya merupakan pihak yang secara

eksklusif ditunjuk oleh Direktur Utama PDAM DKI

Jakarta untuk melaksanakan proyek berupa

memproduksi atau mendistribusikan air bersih dan atau

air minum di dalam atau untuk wilayah kerjasama, yakni

wilayah barat Jakarta.Dalam klausula 9 (Hak dan

Kewajiban), hak PDAM DKI Jakarta (pihak pertama)

adalah memeriksa, mengawasi, menilai, dan

mengevaluasi pelaksanaan kewajiban-kewajiban pihak

kedua; memberikan saran-saran kepada Badan Pengatur

dan Instansi Pemerintah terkait dengan penetapan tarif;

menerima bagian pendapatan pihak pertama, pendapatan

yang tidak dibagi dari pihak pertama, dan kebutuhan

bulanan sekunder pihak pertama; menerima laporan

proyek dari pihak kedua; menerima dan menyetujui

program lima tahun untuk setiap periode berikutnya.

Kewajiban PDAM adalah menyediakan, memperbaharui,

memperpanjang perizinan; memberi seluruh bantuan

yang wajar kepada pihak kedua sehubungan dengan

pelaksanaan proyek oleh pihak kedua sepanjang bantuan

tersebut berada dalam kewenangan pihak pertama;

memberikan data dan informasi yang disimpan oleh

pihak pertama kepada pihak kedua untuk maksud

pengelolaan, operasi, pengembangan proyek;

mengalihkan pengelolaan dan operasi dari aset yang ada

kepada pihak kedua; membantu pihak kedua dalam

pengaturan penawaran opsi untuk menjadi

karyawan.Hak pihak kedua (PALYJA) adalah secara

eksklusif melaksanakan proyek dan kewajiban-

kewajiban lainnya berdasarkan perjanjian ini selama

jangka waktu sesuai dengan perjanjian ini; menerima

bantuan umum yang pantas dari pihak pertama dan

badan pengatur berkenaan dengan hubungan dengan

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dan

Departemen Dalam negeri dan Otonomi Daerah dan

Instansi Pemerintah lainnya; menerima bagian

pendapatan pihak kedua dan pendapatan yang tidak

dibagi dari pihak kedua; mengatur pengukuran meter dan

101

Universitas Indonesia

penagihan para pelanggan; mengatur penagihan

pendapatan yang dibagi dan pendapatan yang tidak

dibagi; mengadakan sambungan-sambungan baru pada

fasilitas distribusi. Kewajiban pihak kedua adalah

mengatur seluruh pendanaan yang diperlukan untuk

proyek; memenuhi target teknis dan standar pelayanan

sementara bertindak sesuai dengan tata cara

pengoperasian yang baik; Memperoleh dari pihak ketiga

terkait seluruh persediaan air baku dan aiar curah olahan

yang diperlukan untuk pelajsanaan kewajiban;

menyampaikan laporan megenai proyek kepada pihak

pertama; Bekerjasama dalam penggunaan bersama aset

(apabila perlu dengan pihak lain) dengan ketentuan

bahwa hal ini tidak akan mengganggu kemampuan pihak

kedua untuk melaksanakan kewajibannya; menyiapkan

program lima tahunan berdasarkan hasil studi kelayakan

dan menyerahkan serta membicarakan rencana investasi

tahunan dan program pengoperasian dan pemeliharaan

tahunan; mengalihkan pengetahuan, keahlian, dan

teknologi yang berkaitan dengan proyek kepada pihak

pertama.

07

Perjanjian Kerjasama

tertanggal 6 Juni 1997

(sebagaimana telah

diubah dan

dinyatakan kembali

tertanggal 22 Oktober

2001)

PT Thames PAM Jaya merupakan pihak yang secara

eksklusif ditunjuk oleh Direktur Utama PDAM DKI

Jakarta untuk melaksanakan proyek berupa

memproduksi atau mendistribusikan air bersih dan atau

air minum di dalam atau untuk wilayah kerjasama, yakni

wilayah timur Jakarta. Bahwa pada saat penandatangan

Perjanjian Kerjasama, saham dari PT. Thames PAM

Jaya dimiliki secara bersama-sama oleh Thames Water

Overseas, Ltd dan PT. Tera Meta Phora, dengan

komposisi kepemilikan 95 % Thames Water Overseas,

Ltd dan 5 % PT. Tera Meta Phora. Bahwa pada tahun

2006, Thames Water Overseas, Ltd menjual 100

(seratus) % saham miliknya kepada Aquatico Pte. Ltd

dan dan PT. Tera Meta Phora menjual seluruh saham

miliknya, yakni 5 (lima) % ke Alberta Utilities. Dengan

demikian seluruh hak dan kewajiban dari pemegang

saham PT. Thames PAM Jaya telah beralih ke pemilik

saham yang baru. Bahwa kemudian Aquatico Pte. Ltd

dan PT. Alberta Utilities membentuk PT. Aetra Air

Jakarta untuk melaksanakan proyek berupa

memproduksi dan mendistribusikan air bersih dan air

minum yang sebelum pengalihan saham dilakukan oleh

PT. Thames PAM Jaya.Dalam klausula 9 (Hak dan

Kewajiban), hak PDAM DKI Jakarta (pihak pertama)

adalah memeriksa, mengawasi, menilai, dan

mengevaluasi pelaksanaan kewajiban-kewajiban pihak

kedua; memberikan saran-saran kepada Badan Pengatur

dan Instansi Pemerintah terkait dengan penetapan tarif;

menerima bagian pendapatan pihak pertama, pendapatan

yang tidak dibagi dari pihak pertama, dan kebutuhan

102

Universitas Indonesia

bulanan sekunder pihak pertama; menerima laporan

proyek dari pihak kedua; menerima dan menyetujui

program lima tahun untuk setiap periode berikutnya.

Kewajiban PDAM adalah menyediakan, memperbaharui,

memperpanjang perizinan; memberi seluruh bantuan

yang wajar kepada pihak kedua sehubungan dengan

pelaksanaan proyek oleh pihak kedua sepanjang bantuan

tersebut berada dalam kewenangan pihak pertama;

memberikan data dan informasi yang disimpan oleh

pihak pertama kepada pihak kedua untuk maksud

pengelolaan, operasi, pengembangan proyek;

mengalihkan pengelolaan dan operasi dari aset yang ada

kepada pihak kedua; membantu pihak kedua dalam

pengaturan penawaran opsi untuk menjadi

karyawan.Hak pihak kedua (THAMES PAM JAYA)

adalah secara eksklusif melaksanakan proyek dan

kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan perjanjian ini

selama jangka waktu sesuai dengan perjanjian ini;

menerima bantuan umum yang pantas dari pihak

pertama dan badan pengatur berkenaan dengan

hubungan dengan Departemen Permukiman dan

Prasarana Wilayah dan Departemen Dalam negeri dan

Otonomi Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya;

menerima bagian pendapatan pihak kedua dan

pendapatan yang tidak dibagi dari pihak kedua;

mengatur pengukuran meter dan penagihan para

pelanggan; mengatur penagihan pendapatan yang dibagi

dan pendapatan yang tidak dibagi; mengadakan

sambungan-sambungan baru pada fasilitas distribusi.

Kewajiban pihak kedua adalah mengatur seluruh

pendanaan yang diperlukan untuk proyek; memenuhi

target teknis dan standar pelayanan sementara bertindak

sesuai dengan tata cara pengoperasian yang baik;

Memperoleh dari pihak ketiga terkait seluruh persediaan

air baku dan aiar curah olahan yang diperlukan untuk

pelajsanaan kewajiban; menyampaikan laporan megenai

proyek kepada pihak pertama; Bekerjasama dalam

penggunaan bersama aset (apabila perlu dengan pihak

lain) dengan ketentuan bahwa hal ini tidak akan

mengganggu kemampuan pihak kedua untuk

melaksanakan kewajibannya; menyiapkan program lima

tahunan berdasarkan hasil studi kelayakan dan

menyerahkan serta membicarakan rencana investasi

tahunan dan program pengoperasian dan pemeliharaan

tahunan; mengalihkan pengetahuan, keahlian, dan

teknologi yang berkaitan dengan proyek kepada pihak

pertama.

103

Universitas Indonesia

08 Laporan Invesitgasi

ICW

Selain mendapat dana dari Pemerintah Pusat, PDAM

Jaya juga mendapat pinjaman dari OECF untuk

pembangunan instalasi pengolahan air dan dana

pinjaman dari Bank Dunia untuk pembangunan jaringan

pipa distribusi (PAM Jaya System Improvement

Project). Total pinjaman dari Bank Dunia kepada PDAM

Jaya melalui Departemen Pekerjaan Umum maupun

Pemerintah DKI jakarta sejak tahun 1978 hingga 1999

sejumlah 4 Trilyun Rupiah. Sedangkan jumlah total

pinjaman dari OECF kepada PDAM Jaya.

09 Loan Agreement

Number 3219 IND

Pada 6 Juli 1990, International Bank for Reconstruction

and Development (IBRD) yang merupakan salah satu

bagian dari Bank Dunia, menyetujui pemberian

pinjaman kepada Pemerintah Indonesia, yaitu Second

Jabotabek Urban Development Project. Pinjaman total

adalah 190 juta USD. Pinjaman tersebut dibagikan

kepada tiga lembaga yang ketiga-tiganya bertujuan untuk

meningkatkan kualitas layanan air minum DKI Jakarta:

19 juta USD kepada Pemprov DKI Jakarta; 92 juta USD

kepada PAM Jaya; 13 juta USD kepada PDAM

Tanggerang.

10

Risalah Rapat

Koordinasi

Penyediaan Air

Bersih bagi DKI

Jakarta dan sekitarnya

Rapat diadakan pada Kamis, 15 Juni 1995 di ruang

sidang Menteri Pekerjaan Umum. Rapat dipimpin oleh

Menteri Pekerjaan Umum. Dokumen ini berisikan bahwa

untuk menindaklanjuti kebijakan privatisasi Bank Dunia,

Presiden RI (Soeharto) mengeluarkan Petunjuk Presiden

RI pada 12 Juni 1995 kepada Menteri PU (Ir. Radinal

Mochtar) yang berisi: (1) Perlu penanganan secara tepat

penyediaan air bersih untuk DKI Jakarta dan sekitarnya

bagi kepentingan masyarakat luas. (2) Penanganannya

agar mengikutsertakan dua perusahaan swasta dengan

pengaturan batas penanganan adalah Kali Ciliwung

sebelah barat dan sebelah timur di mana masing-masing

perusahaan diberi tugas dalam penyediaan air bersih

masing-masing lebih-kurang 20 m3/detik.

Hasil rapat tersebut adalah:

i. Pengelolaan air bersih untuk DKI dan seitarnya

ditetapkan menjadi dua bagian: sebelah timur dan barat

dengan batas kali ciliwung

ii. Perum otorita Jatiluhur akan menjamin pasokan air

baku baik menyangkut kuantitas, kualitas, dan

kontinuitas sesuai dengan kemampuannya, dan akan

ditetapkan sebagai persyaratan dalam kerjasama

iii. Agar dalam waktu yang tidak terlalu lama (tahun

1997) sudah tampak realisasinya berupa peningkatan,

penyediaan air bersih untuk DKI dan sekitarnya, maka

perlu diusahakan pada akhir agustus agar sudah

diperoleh kesepakatan umum (MoU) tentang pendekatan

penanganan penyediaan air bersih untuk DKI dan

sekitarnya yang akan ditandatangani bersama.

iv. Segera diadakan rapat teknis tentang pola penanganan

104

Universitas Indonesia

implementasi dan kesiapannya lebih lanjut. Untuk itu,

tim koordinasi akan dibentuk melalui surat keputusan

menteri PU yang diketuai Direktur Jenderal Cipta Karya.

v. Dalam waktu dekat (Juli) perlu dipersiapkan laporan

sebagai dasar langkah tindak lanjut untuk dimohonkan

petunjuk Presiden.

11

Surat Keputusan

Menteri PU No.

249/KPTS/1995

Menteri PU membentuk Tim Koordinasi Penyiapan

Proyek Penyediaan Air Bersih Kota Jakarta dan

Kawasan Sekitarnya dengan Peran Swasta.Tim

Koordinasi diketuai Direktur Jenderal Cipta Karya yang

merangkap sebagai anggota dengan anggota-anggotanya

sebagai berikut:1. Dirjen PUOD2. Dirjen Pengairan3.

Ketua Bappeda Tk I DKI Jakarta4. Kakanwil PU Jawa

Barat5. PDAM DKI Jakarta6. Kepala Dinas Cipta Karya

ymewakili PDAM Jabar7. Perum otorita jatiluhur8. PT

Kekar Plastindo9. PT Salim Group

12

Surat Keputusan No.

010/TN/XI/1995

tentang Pembentukan

Satuan Tugas untuk

Kerjasama Kemitraan

antara PAM Jaya

dengan Swasta

tertanggal 16

November 1995

Ketua Tim Negosiasi Pemda Pemerintah DKI Jakarta

untuk Kerjasama Kemitraan antara PAM Jaya dengan

Swasta (Ir. H. Prawoto Danoemihardjo) menindaklanjuti

Keputusan Gubernur No. 1327 Tahun 1995 tentang

Pembentukan Tim Negosiasi Pemda Pemerintah DKI

Jakarta untuk Kerjasama Kemitraan antara PAM Jaya

dengan Swasta.

13

Perda DKI Jakarta

No. 11 Tahun 1993

tentang Pelayanan Air

Minum

Pasal 4: bahwa setiap pengelolaan air minum yang

diusahakan selain oleh PAM Jaya harus terlebih dahulu

mendapat izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah.

Kemudian, tata cara dan persyaratan perizinan

sebagaimana dimaksud oleh ayat satu pasal ini

ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

14

Laporan Hasil

Pemeriksaan BPK

atas Pendapatan dan

Biaya Non-

Operasional Tahun

Buku 2007 dan 2008

pada PAM Jaya di

Jakarta Nomor

05/LHP/XVIII.JKT-

XVIII.JKT.3/01/2009

tertanggal 23 Januari

2009

Hasil pemeriksaan BPK RI atas dokumen perjanjian

kerjasama (PKS) operasional tersebut: 6 juni 1997

PDAM DKI Jakarta sebagai BUMD melakukan PKS

tentang penyediaan dan peningkatan pelayanan air bersih

di wilayah barat jakarta, yaitu PT GDS.i. Tidak ada

persetujuan tertulis dari gubernur kepala daerah jakarta

mengenai direksi pam jaya mengadakan perjanjian

kerjasama dengan PT. GDS. hasil pemeriksaan diketahui

bahwa sebelum dilakukan penandatanganan PKS ini ada

suatu mekanisme yang terlebih dahulu harus dilakukan

DIREKSI PAM Jaya yaitu mendapatkan persetujuan

tertulis dari Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi

Jakarta. Namun dokumen persetujuan tertulis dari

Gubernur Daerah Jakarta kepada Direksi PAM JAYA

untuk mengadakan PKS dengan pihak lain dengan

jangka waktu lebih dari satu tahun, hingga pemeriksaan

berakhir tanggal 31 Desember 2008 dokumen

persetujuan tersebut belum disampaikan/diterima BPK

105

Universitas Indonesia

RI.ii. Pemindahtanganan benda tidak bergerak milik pam

jaya kepada pt gds terkait pks tidak didukung

persetujuan tertulis gubernuriii. Pks melanggar tugas dan

fungsi pam jaya sebagai badan hukum yang berwenang

melakukan pengusahaan, penyediaan, dan

pendistribusian air minumiv. Penyerahan aset yang

dikerjasamakan milik pam jaya ke swasta sebesar

Rp1.775.229,91 juta belum didukung dokumen

penyerahan yang memadai dan pemanfaatannya oleh pt

palyja tidak dikenali biaya.v. Pembayaran rekening air

dari konsumen yang dtiampung dalam escrow account

untuk tahun 2007 hingga september 2008 senilai

Rp1.667.489,26 juta tidak dapat diyakini

kewajarannya.vi. Saldo piutang tahun 1007 senilai

Rp168.691,99 juta dan tahun 2008 (sampai dengan

september 2008) senilai Rp188.674,67 juta yang

tercantum dalam laporan keuangan pt palyja belum

diakui sebagai pendapatan pam jaya.vii. Hasil penjualan

air PT Palyja untuk tahun 2007 senilai Rp3.319,16 juta

dan tahun 2008 (sampai dengan september 2008)

senilaiRp1.727,82 juta tidak sesuai dengan tarif yang

ditetapka dalam peraturan gubernurviii. Penjualan aset

baru milik proyek oleh pt palyja senilai Rp3.043,30 juta

tidak disetorkan ke kas pam jaya.ix. Adanya utang bulk

water retroaktif sebesar Rp52.291,84 juta merugikan

pam jayax. Pengeliaran biaya expatriate tahun 2007 pada

pt palyja sebesar Rp3.865,49 juta tidak perlu dibayar

oleh PAM Jayaxi. Kelebihan pembayaran kompensasi

dan sanksi denda untuk pengurangan shortfall pam jaya

sebesar Rp34.038,59 jutaxii. Pengadaan barang/jasa pam

jaya tahun 2008 senilai Rp373,45 juta dilakukan dengan

penunjukkan langsungxiii. Penghitungan dan penetapan

water charge oleh pt palyja kurang transparan dan tidak

seimbangxiv. Tarif watercharge diindeksasi setiap 6

bulan sehingga terjadi kenaikan watercharge setiap 6

bulan. Sedangkan water tariff tidak dapat selalu naik

setiap 6 bulan karena mempertimbangkan

kemampuan/keterjangkauan konsumen. Risiko

ketidakmampuan tarif untuk naik ini tidak ditanggung

oleh pt palyja (mitra swasta)xv. Hal tsb tidak sesuai

dengan Peraturan pemerintah nomor 16 tahun 2005

tentang pengembangan sistem air minum yang

menyatakan:a. Pasal 60 ayat 2 dan 3:i. Perhitungan dan

penetapan tarif air minumii. Komponen biaya yang

diperhitungkan dalam perhitungan tarifb. Peraturan

menteri dalam negeri nomor 23 tahun 2006 tentang

pedoman teknis dan tata cara pengaturan tarif air minum

pada pdam yang dinyatakan pada pasal 5,7,12,13,14,22c.

Keputusan mendagri dan otda no 43 tahun 2000 tentang

pedoman kerjasama perusahaan daerah dan pihak ketiga

pasal 10 yang menyatakan kerjasama sebagaimana

dimaksud pasal 6 harus dapat menjamin:i. Peningkatan

efisiensi dan produktivitas perusahaan daerah atau

106

Universitas Indonesia

peningkatan pelayanan kepada masyarakatii.

Peningkatan pengamanan modal/aset perusahaaniii.

Kerjasama harus saling menguntungkan bagi kedua

belah pihakiv. Peranan dan tanggung jawab masing2

pihak dikaitkan dengan risiko yang mungkin terjadi, baik

dalam masa kerjasama maupun setelah berakhirnya

perjanjian kerjasama.d. Hal tersebut mengakibatkan:i.

Tingginya watercharge menyebabkan tarif air minum di

DKI Jakarta menjadi lebih tinggi sehingga memberatkan

bagi konsumen DKI Jakartaii. Watercharge yang tidak

diimbangi oleh kenaikan tarif membebani keuangan pam

jaya sehingga timbul utang shortfall.e. Hal tersebut

disebabkan:i. Ketimpangan dalam pembuatan perjanjian

kerjasama beserta lampirannya sehingga hanya

mengamankan posisi pt palyja dan merugikan pam

jaya.ii. Direksi pam jaya tidak melaksanakan

perencanaan, pengawasan, dan evaluasi yang memadai

sehingga membuat komitmen-komitmen yang merugikan

masyarakat dan keuangan daerah.

15

Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor

23 Tahun 2006

tentang Pedoman

Teknis dan Tata Cara

Pengaturan Tarif Air

Minum pada PDAM

Pasal 2 menyebutkan bahwa penetapan tarif harus

didasarkan pada prinsip keterjangkauan dan keadilan,

mutu pelayanan, pemulihan biaya, efisiensi pemakaian

air, transparansi dan akuntabilitas, serta perlindungan air

baku.Pasal 3 menyebutkan bahwa tarif untuk standar

kebutuhan pokok air minum harus terjangkau oleh daya

beli masyarakat pelanggan yang berpenghasilan sama

dengan upah minimun provinsi. Tarif memenuhi prinsip

keterjangkauan apabila pengeluaran rumah tangga untuk

memenuhi standar kebutuhan pokok air minum tidak

melampaui 4% dari pendapatan masyarakat pelanggan.

107

Universitas Indonesia

16

Instruksi Menteri

Dalam Negeri No. 21

Tahun 1996 tentang

Petunjuk Kerjasama

antara Perusahaan

Daerah Air Minum

dengan Pihak Swasta

(Jkt, 22 Juli 1996:

Mendagri: Moh.

Yogie S. M.)

a. Bentuk kerjasama PDAM dengan Pihak Swasta

dilakukan dengan dua bentuk dasar:i. Kerjasama

Pengelolaan (Joint Operation): PDAM dengan pihak

swasta bersama-sama mengelola suatu usaha yang

dituangkan dalam perjanjian kerjasama, tanpa

membentuk badan usaha baru.ii. Kerjasama Patungan

(Joint Venture): PDAM dan pihak swasta bersama-sama

membentuk suatu Perseroan Terbatas (PT) patungan,

dengan tidak menghilangkan keberadaan Perusahaan

Daerah.b. Proses Kerjasamai. Penunjukan secara

langsung: suatu kerjasama yang prakarsanya berasal dari

kesiapan Pihak Swasta yang diajukan kepada Pemerintah

Daerah/PDAM.ii. Pemilihan pihak swasta: suatu

kerjasama yang prakarsanya berasal dari PDAM yang

ditawarkan kepada Pihak Swasta.c. Bagan langkah-

langkah Penyiapan Perjanjian Kerjasama melalui Proses

Penunjukan Langsung (Scanned)d. Pembentukan Panitia

dalam Rangka Pelaksanaan Proses Kerjasamai.

Pembinaanii. Bentuk Panitia Proyek Kerjasama1. Panitia

Persiapan Perjanjian Kerjasama2. Panitia Pengawasan

(supervisi) Pelaksanaan Perjanjian Kerjasamaiii.

Pembentukan Panitia1. Pada daerah tingkat I: SK

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I2. Pada daerah tingkat

II: SK Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat

II3. Sipervisi ditetapan dengan SK Direktur Utama

PDAM Tk. I dan Tk. II.iv. Susunan Keanggotaan1.

Panitia Persiapan Perjanjian Kerjasamaa. Pengarah:i.

Ketua: Kepala Daerahii. Anggota: Badan Pengawas,

Ketua Bappeda Tk. I / II, Biro/Bagian Perekonomianb.

Pelaksana:i. Ketua: Direktur Utama PDAMii. Sekretaris:

Direktur Umum/Keuanganiii. Anggota: Direktur Teknik,

Biro/Bagian Hukum, Dinas PU/Pengarian Tk. I/Tk. II,

Aparat PDAMc. Susunan anggota panitia dapat

disesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah

masing-masing.2. Panitia Pengawasan Pelaksanaan

Perjanjian Kerjasamaa. Pejabat PemDab. Aparat PDAM

c. Wakil pihak swastad. Tenaga ahli atau konsultan

independen

17

Keputuasn Gubernur

Kepala Daerah DKI

Jakarta No. 1327

Tahun 1995 tentang

Pembentukan Tim

Negosiasi Pemerintah

DKI Jakarta untuk

Kerjasama Kemitraan

antara PAM Jaya

dengan Swasta (Tim

Negosiasi).

Sebagai penyusunan Kerjasama, Gubernur

mengeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI

Jakarta No. 1327 Tahun 1995. Bahwa dalam keputusan

ini disebutkan bahwa tugas tim negosiasi adalah menilai

studi kelayakan, melakukan negosiasi, menyusun berita

acara persetujuan studi kelayakan, menyusun draft

perjanjian kerjasama, menyusun laporan periodik. Biaya

pelaksanaan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan ini

dibebankan pada anggaran PAM Jaya tahun 1995/1996.

Keputusan ini berlaku sejak 15 September 1995.

Keputusan ini ditetapkan di Jakarta, 31 Oktober 1995.

108

Universitas Indonesia

18

Indonesia Urban

Water Supply Sector

Policy Framework -

Summary Report by

Alain Locussol

(Principal Water

Supply and Sanitation

Specialist, EASUR) -

30 Oktober 1997

1. Pinjaman Bank Dunia yang 92 juta USD dari 190 juta

USD tersebut adalah untuk perbaikan infrastruktur air.

2. PAM tidak akuntabel dalam efisiensi operasi

pelayanan air karena PAM tidak mempunyai otonomi

yang dibutuhkan untuk membuat keputusan-keputusan.

Hal itu disebabkan oleh semua keputusan saat itu harus

ditentukan oleh pemerintah RI.

3. Pencapaian yang bagus akan sektor penyediaan air

hanya dapat dicapai apabila terdapat kebijakan yang

mengubah perusahaan penyedia air bersih yang sekarang

(PAM) menjadi industri pelayanan yang berorientasikan

pada pelanggan (costumer).

4. Terdapat ketidakdisiplinan dalam hal finansial dalam

pemerintah RI yang telah melakukan pinjaman atas

performa PDAM yang buruk.

5. Memisahkan kepemilikan aset penyediaan air dari

manajemen penyediaan air dapat membatasi pengaruh

politik dalam manajemen operasi penyediaan air.

6. Kondisi keuangan PAM dan pemerintah RI yang saat

itu buruk dapat menyebabkan bisnis yang berisiko.

7. Untuk itu, harus ada badan regulator yang bekerja

secepatnya setelah kerjasama privatisasi tersebut

menjadi efektif. Badan regulator ini bertugas untuk

menentukan water tariff, standar pelayanan yang layak,

memonitor performa pihak swasta, mengarbritase

perselisihan di antara PAM dan swasta, dan untuk

menentukan sanksi atas kegagalan memenuhi standar

19

UN General

Assembly: The

Human Right to

Water and Sanitation

Sidang Umum PBB pada tahun 2010 menyepakati

bahwa air minum yang bersih dan sanitasi yang baik

merupakan hak asasi manusia yang sangat penting untuk

kehidupan dan keseluruhan hak asasi manusia. Sidang

Umum PBB tersebut juga meminta negara-negara dan

organisasi-organisasi internasional untuk menyediakan

keuangan, sumber daya, peningkatan kapasitas, dan

transfer teknologi melalui bantuan dan kerjasama

internasional dalam rangka meningkatkan upaya

pemberian air minum yang bersih, aman, mudah diakses,

dan dapat dijangkau oleh semua orang.

109

Universitas Indonesia

Pedoman Wawancara kepada Badan Regulator PAM

1. Mengapa Badan Regulator PAM itu penting sehingga dapat berdiri?

2. Bagaimana proses pendirian badan regulator PAM?

3. Apa tugas pokok organisasi badan regulator PAM?

4. Produk kebijakan apa saja yang telah dibuat oleh Badan Regulator PAM?

5. Evaluasi dari produk kebijakan yang dibuat. (Apa saja yang sudah

berjalan, apa saja yang tidak berjalan, mengapa)

6. Pengetahuan tentang kebijakan privatisasi air.

7. Proses pembuatan kebijakan privatisasi air. (konteks saat itu, World Bank)

8. Aktor-aktor yang bermain.

9. Perbandingan sebelum dan sesudah adanya kebijakan privatisasi air.

10. Dampak kepada masyarakat atas kebijakan tersebut menurut perspektif

Badan Regulator PAM?

110

Universitas Indonesia

Pedoman Wawancara kepada Pejabat PAM Jaya

1. Bagaimana sistem pengelolaan air minum Jakarta?

2. Pengetahuan soal kebijakan privatisasi air.

3. Proses pembuatan kebijakan privatisasi air. (konteks saat itu, World Bank)

4. Aktor-aktor yang bermain dalam kebijakan privatisasi air.

5. Perbandingan sebelum dan sesudah kebijakan privatisasi air.

6. Dampak kepada masyarakat.

7. Solusi atas masalah dampak.

111

Universitas Indonesia

Pedoman FGD kepada Warga

1. Identitas umum (nama, keluarga, lama tinggal)

2. Konsumsi air dalam sehari

3. Langganan air PAM atau tidak?

4. Bagaimana pelayanan PAM?

5. Dapat air dari mana saja? Kalau kurang, mencari air di mana?

6. Pengetahuan soal kebijakan privatisasi air.

7. Perbandingan sebelum dan sesudah adanya kebijakan privatisasi air.

8. Apakah warga mendapatkan informasi tentang struktur dan besaran tarif

serta tagihan?

9. Apakah warga memperoleh pelayanan pembuangan air limbah atau

penyedotan lumpur tinja?

10. Merasa dirugikan atau tidak? (Apakah dengan adanya kebijakan ini, warga

dapat mencukupi kebutuhan pokok lainnya?)

11. Apabila dirugikan, apakah warga mengajukan gugatan ke pengadilan?

12. Apakah warga mendapatkan ganti rugi yang layak?

112

Universitas Indonesia

Transkrip Wawancara dengan Dr. Riant Nugroho

Hari, tanggal : Senin, 20 Januari 2014

Tempat : Kantor Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia

Nomor Isi Keterangan

1 Peneliti (P) : Iya pak, saya tau dari mas Reza, dari KRuHA.

Katanya bapak dulu di Badan Regulator PAM

(BRPAM)?

Riant Nugroho (RN) : Iya, dua periode.

P : Dua periode. Saya mau nanya dulu, awalnya,

kenapa BRPAM itu dulu kenapa bisa berdiri?

RN : Jadi, tahun 95, itu Bank Dunia mengucurkan

pinjaman untuk pembangunan pengelolaan air.

Namanya IPA. Instalasi Penjernihan Air. Buaran 1-

2. Itu untuk PAM. 96 dana dikucurkan, 97 diaudit

oleh Bank Dunia. Hasilnya adalah PAM Jaya itu

performanya jelek, karena utangnya kegedean. Jadi

bayangkan, itu duit baru dikucurkan buat bangun

pabrik, setahun kemudian pabrik belum selesai, dia

dinyatakan sebagai perusahaan yang nggak

perform. Tahun 97, Bank Dunia keluar dengan

fatwa harus diprivatisasi.

P : Yang WATSAL itu ya pak?

RN : Iya, WATSAL. Setelah diprivatisasi, yang menang

dua: satu Anthony Salim, satu si Sigit. Anthony

join sama Prancis, Sigit sama Inggris. Anthony

sama Lyonnaise, kemudian Sigit sama Thames.

Jadi Anda tahu, sejak awal itu kacau kan. Tetapi

satu hal yang tidak bisa dihindari adalah standar

Bank Dunia adalah kalau ada privatisasi aset publik

maka harus ada badan regulator. Inget, Bank Dunia

juga tidak bodoh. Karena, Bank Dunia tahu, bahwa

ini adalah ranah regulasi. Karena ini sifatnya

monopoli. Sesuatu yang naturally monopoli maka

dia harus diregulasi. Untuk meregulasi, maka nggak

bisa diserahkan pada pemerintah. Tapi, diserahkan

pada badan regulator. Kenapa? Badan regulator itu

dianggap independen. Sehingga di New York, itu

ada badan regulator untuk listrik, untuk air, untuk

transportasi publik. Untuk itu, di Jakarta, pada

Alasan Badan

Regulator Pelayanan

Air Minum

(BRPAM) Jakarta;

Proses pendirian

BRPAM Jakarta.

113

Universitas Indonesia

waktu dibentuknya badan regulator adalah karena

kerjasama itu mensyaratkan. Ini standar dunia. Jadi

PPP, Public Private Partnership, itu dia adalah

privatisasi layanan publik sebagai monopoli

sehingga dia harus membentuk badan regulator.

Periode pertama itu ditunjuk oleh Gubernur Jakarta.

Periode kedua mulai seleksi, dan seterusnya seleksi.

Saya masuk periode kedua dan ketiga.

2 P : Nah, lalu tugas pokoknya BRPAM itu apa aja pak?

RN : Memastikan kerjasama itu sesuai dengan kontrak.

Tetapi BRPAM pada waktu era saya, itu melanggar

itu. Karena kita memastikan bahwa yang namanya

pelayanan itu sesuai dengan kewajaran. Fairness.

Kenapa seperti itu? Karena kalau sudah kontrak,

setiap enam bulan maka water charge harus naik.

Tiap enam bulan. Padahal, tarif air itu tidak

progresif. Coba tak gambar sini. (Menggambar) Ini

adalah Water Tariff (WT), ini adalah Water Charge

(WC). Nah, selisih ini punya nya DKI Jakarta.

Tetapi, yang terjadi adalah WC itu naik terus. Tapi

WT ga bisa. Sekarang, tarif air tiap tahun naik.

Teriak masyarakat, karena tidak affordable. Jadi,

untuk ini ada namanya affordability. Sehingga

terjadi adalah short fall. Ketika ada short fall, maka

kita bilang, tarif air tidak boleh naik. Karena tarif

air ga boleh naik, maka terjadi yang namanya short

fall nya tertahan. Karena tarif air ga bisa naik maka

kurva menjadi seperti ini. Kenapa? Kita itu tidak

bisa menentukan WC. Yang bisa menentukan WC

adalah PAM dan swasta. Tapi, gara-gara ini maka

PAM dan swasta ketika bikin WC itu melibatkan

BR. Liat ya, ini kontraknya seperti ini. Tidak adil.

Maka kita bekerja di luar ini. Berkembang dari sini

ke sini. Itu lah sebabnya, BRPAM itu dibenci oleh

PAM Jaya dan swasta. Kenapa? Karena dengan

program seperti ini, maunya seperti ini terus.

Sehingga pada tahun 2006 sampai 2012 itu tidak

ada kenaikan tarif sama sekali. Sebagai

konsekuensinya, kami pada waktu itu seluruh

anggota BR tidak mau naik gaji sama sekali. Hanya

staf, tapi yang paling bawah. Nah dengan adanya

Tugas pokok

BRPAM

114

Universitas Indonesia

ini ga naik tarif, yang namanya WC juga ga naik.

Nah, keuntungannya adalah pada tahun 2007, yang

namanya bagian timur, masuklah Aetra. Aetra

begitu masuk maka yang punya orang Indonesia.

Dia membuat sebuah sequence: sampai tahun akhir

konsesi, dia tidak minta WT karena WC ga perlu

naik. Kemudian, water lossnya ini. Kehilangan air.

50% hilang. Ini pada kontrak pertama kali, tahun

1998. Pada tahun 2003, mereka mengalami

kehilangan air dari 58% turun menjadi 43%. Tapi

yang terjadi adalah realisasinya 45%. Bukannya

mereka itu kemudian menyatakan bahwa „saya mau

perbaiki‟, tidak. Yang mereka lakukan mengoreksi

targetnya. Jadi deket kan realisasi sama targetnya?

Kalau deket, dendanya murah. Maka lebih baik

mereka bayar denda ketimbang kerja keras. Koreksi

ini dilakukan tanpa sepengetahuan BR. Jadi

kejahatan juga dilakukan oleh PAM Jaya. Jadi, air

sebagai politic community, ditambah lagi

performance nya, financial teknis finance, maka

dikatakan sebagai undermanage. Manajemen jelek

karena privatisasi. Setiap lima tahun itu ada

namanya rebasing. Pada waktu kita di BRPAM, itu

kita kendalikan. Setelah itu enggak. Ada di buku

saya, judulnya Public Policy for Developing

Countries, ada di salah satu chapter saya, tentang

pertemuan World Water Week. Hanya beberapa

negara yang bisa, di antaranya adalah Manila.

Kenapa? Karena operatornya perusahaan lokal.

Perusahaan lokal itu ikut Good Corporate

Governance Lokal. Perusahaan internasional ketika

masuk, dia akan lari ke arbritase internasional.

Pertamina aja kalah. Apalagi yang lain-lain. Ada

lagi?

3 P : Baik, tentang ini pak, tentang sejarahnya kebijakan

privatisasi ini pak.

RN : Sejarahnya ya. Jadi waktu itu, tolong cari yang

namanya Ahmad Lanti. Ahmad Lanti itu adalah

orang PU, eselon dua. Dia yang ngedesain kontrak

kerjasama. Namun kemudian kontrak kerjasama itu

tiba-tiba hilang, diganti draft yang disiapkan oleh

Bank Dunia. Begitu cepat pergeserannya, tiba-tiba

Sejarah kebijakan

privatisasi air Jakarta

115

Universitas Indonesia

jadi aja. Waktu itu nggak ada seorang pun yang

berani dengan pak Harto. Salah satu mind

masternya itu namanya Radinal Mochtar. Menteri

PU waktu itu. Nah dia yang termasuk membuat

kesalahan besar. Karena membiarkan kontrak yang

tidak balance.

P : Bahkan dia yang membuat pertemuan lanjutan

tentang itu ya pak. Saya melihat dokumennya.

RN : Iya. Tidak balance kenapa? Karena setiap kontrak

kerjasama dengan asing, itu basisnya adalah

performance kan. Kalau orang performance ga bisa,

dia cabut kan. Ini enggak. Ini berdasarkan yang

namanya kebutuhan keuangan. Liat kata-katanya:

Water charge is not based on kinerja. But based on

a great finpro. Finpro tuh financial projection.

Kalau mereka menyatakan, tahun depan harus

untung sekian, nah itu acuannya. Bukan

performance.

P : Jadi justru keuntungannya yang ditargetin ya

RN : Internal rate of written dari operator itu 22%.

Ditambah dengan yang namanya franchise fee gitu-

gitu. Total kira-kira 32%. Di Aetra sudah berhasil

diubah menjadi 15%. Palyja nggak bisa. Nggak

mau. Kenapa? Dia orang Prancis. Itu lah sebabnya

Ahok mau ambil alih. Ini lagi diproses supaya nanti

Jakarta yang kuasai asetnya Palyja.

P : Jadi mau dibeli sahamnya ya?

RN : Iya. Itu pun kacau. Karena pembelian harganya

kira-kira 2 triliyun. Dan itu buat Jakarta itu akan

teriak-teriak. Nilai pasarnya kira-kira hanya 300-

400 milyar. Tapi 2 triliyun itu juga estimasi

keuntungan ke sana. Tapi kenapa mau diambil

langkah nekat sama DKI Jakarta? Karena jika

konsesi ini diselesaikan dengan apa adanya, maka

pada akhir tahun 2022, maka DKI Jakarta akan

punya short fall 19 triliyun.

4 RN : Nah, mbak mau tinjau masalah ini dari mana?

P : Dari state-crime nya pak. Bagaimana negara

mengabaikan hak asasi manusia atas air.

RN : Nah agak sulit mbak sebenarnya. Karena dalam

membuat kebijakan, harus memperhitungkan nih

Soeharto. Lalu di kondisi bisnis ada Tommy dan

Kebijakan privatisasi

air

116

Universitas Indonesia

Anthony. Kemudian kondisi BUMD. Keempat,

kondisi Bank Dunia. Karena ini atas nasihat Bank

Dunia. Kalau nggak dilaksanakan, maka Indonesia

punya masalah. Di sini Anda akan melihat bahwa

ada namanya crime by international intention. Jadi

pada saat kita menjadi Badan Regulator, pada saat

itu lah hak-hak asasi manusia mulai naik. Kenapa?

Waktu itu kita bilang sama pak Sutiyoso. Pak,

sebelum you bikin apa-apa, coba you coba yang

namanya YLKI. Ga usah pake kita. Supaya dia jadi

partnernya Sutiyoso. Sehingga pada waktu kita

masuk, yang namanya WC sama WT itu freeze.

Jadi waktu itu operator terpaksa kerja keras. Ketika

zaman Foke, ilang. Sutiyoso itu setiap bulan

melakukan rapat dengan BR rata-rata antara dua

sampai empat kali. Foke ga pernah. Nah sekarang,

pak Ahok mulai seperti ini bukan karena BRPAM

berkerja. Karena personally, ada dua orang yang

dekat dengan pak Ahok. Saya pribadi dengan pak

Firdaus Ali. Kenapa? Karena BRPAM hari ini tuh

ga bisa bekerja dengan baik. Ga kompeten. Karena

BRPAM diberhentikan dengan paksa sama Foke.

Dicabut. Jadi kita itu kerja pada...pokoknya pada

waktu bulan Maret, kita tuh mendapatkan surat

pemberhentian yang berlaku bulan Desember.

P : Desember 2000...?

RN : Jadi 2012 itu kita kerja diberhentikannya 2011.

Pernah ga pemberhentian berlaku mundur? Udah

gitu, biasanya pemberhentian itu sudah ada yang

baru. Nah karena pemberhentian mendadak, nggak

ada yang baru, seleksinya asal. Ada dua kali seleksi

karena ga ada yang daftar. Untuk diketahui, zaman

saya itu ada lima orang. Ahmad Lanti, ketuanya,

dia yang desainer itu. Dia itu ahli air. Luar biasa

jeniusnya. Kemudian Firdaus Ali. Firdaus Ali

adalah ahli ilmu Teknik Lingkungan dan dia

temennya Bill Gates. Dia ketua asosiasi mahasiswa

Indonesia di luar negeri sedunia. Lalu saya

menguasai public policy dan saya mengajar di

berbagai negara, di Cina, India, Malaysia. Satu lagi

Agus Kretarto. Dia senior audit untuk BPKB. Itu

matanya udah kayak elang itu, ga bisa orang nipu

117

Universitas Indonesia

itu. Kelima, namanya Andi Zulfikar. Dia itu adalah

lawyer yang kerja di Singapura. BRPAM hari ini?

Ketuanya mantan direkturnya PAM Jaya yang

dikenal orang yang baik. Era sebelumnya, ketika

pimpinan diganti sama pak Irsal Jamal. Tapi yang

terjadi kalau kembali ke sini adalah pemerintah

melakukan yang namanya kriminalisasi hak-hak

asasi manusia, hak atas air. Nah ingat hati-hati. Hak

atas air itu menjadi ambigu. Karena yang namanya

hak atas air itu hanyalah berdasarkan kesepakatan.

Dia belum masuk ke HAM yang tahun 46 itu lho.

Dia masih grey area. Saya ga tau kondisi

terakhirnya.

P : 2010 ada komentar umum PBB soal bahwa hak atas

air merupakan hak asasi manusia.

RN : Coba cek lagi, kalau sudah masuk, bagus. Berarti

betul hak asasi. Kedua, hak asasi atas air itu rumit.

Kenapa? Nomor satu kalau hak asasi atas

pendidikan, atas kesehatan, pekerjaan itu abstrak.

Susah dihukum gitu lho. Tapi kita berhubungan

dengan air, sangat real gitu. Produksinya

melibatkan banyak hal. Sekarang kenapa Jakarta ga

bisa menyupply air bersih untuk orangnya sendiri?

Karena Jakarta, untuk mensupply 80% penduduk

Jakarta, kita memerlukan supply air bersih dari hulu

dengan jumlah kira-kira 36 liter per detik. Nah kita

itu hanya dapet kira-kira 16. Nggak ada bahan

bakunya. Di Jakarta ada 13 air tapi nggak ada satu

pun yang bisa dipakai. Dia hanya dari Tarum Barat.

Dan Tarum Barat itu open channel. Nah ketika ada

longsor, mati aja. Lalu ketika kemarau, ngumpul itu

petani-petani, abis airnya. Ketiga, dia dilewati oleh

tiga sungai di Bekasi yang buat dia contaminated.

Rusak. Hal lain yang berhubungan dengan air

minum adalah kalau kita mengatakan sebagai hak,

bisa ga kita melihat itu sebagai security to water.

Nah ini yang ga masuk. Nation Security itu ada

tiga: energy security, food security, water security.

Kalau yang namanya energy sama food security

udah tau lah ya. Tau ga film James Bond yang The

World is not Enough?

P : Belum nonton pak.

118

Universitas Indonesia

RN : Ha kau harus nonton film, kau. Itu yang namanya

kelangkaan energy itu bikin perang. Perangnya

udah nampak di mana-mana. Nah perang air,

nonton juga James Bond, the Quantum of Solace.

Itu rebutan air kan? Nah yang namanya Malaysia

sama Singapura udah perang. Nanti perang di

banyak dunia perang untuk itu. Ini yang ga pernah

diangkat di ranah kebijakan, khususnya Indonesia.

Karena Indonesia ga punya kebijakan publik. Kita

hanya punya hukum. Kita ga punya policy.

Kenapa? Policy tuh forward, hukum itu dia

cenderung backward. Ada kasus, selesaikan. Nah

ini yang ga bisa dijembatani. Nah ini, Anda

masukkan yang namanya komplikasi. Satu,

komplikasi kriminalisasi negara. Negara melakukan

kriminalisasi. Oke, fine, karena kontraknya seperti

itu. Tapi penyebabnya Anda masukkan nanti.

Kenapa? Karena ke depan kita ga bisa mencegah

negara itu melakukan hal kriminal kalau ujungnya

ga kita pegang. Misalnya, perilaku bisnis, perilaku

sektor perbankan, perilaku lembaga internasional.

Anda ga bisa ngatur negara. Kedua, di sini yang

harus diliat adalah setiap kontrak antarnegara,

sorry, setiap kontrak yang memprivatisasi

pelayanan publik, yang berkenan dengan hal-hak

dasar manusia itu harus melibatkan misalnya

usernya atau wakil dari pelanggannya. Saya

mengatakan wakil user.

5 P : Nah, dulu kenapa Indonesia bisa harus

menandatangani perjanjian itu? Awalnya tuh World

Bank kenapa gitu?

RN : Yang saya bilang tadi, tahun 96 World Bank itu

kasih pinjaman, 97 mengevaluasi bahwa

pengelolaannya buruk.

P : Nah itu maksudnya pinjaman itu pinjaman atas dasar

apa?

RN : Jadi waktu itu sebelumnya ada namanya Research

Jakarta...lupa namanya. Jadi itu sebuah proyek Bank

Dunia untuk merevitalisasi Jakarta. Jadi saya terus

terang, kenapa saya bilang ini kriminalisasi dari

Bank Dunia karena tahun ini dikasih pinjaman, tahun

depan dievaluasi, kesimpulan seperti itu maka harus

Konteks global saat

itu

119

Universitas Indonesia

diprivatisasi. Itu missing link nya. Betul-betul hilang.

Sehingga kenapa Bank Dunia itu sangat malu? Pada

tahun 2006 itu ada GPOB. Ini apa lah, Global

Partnership Output apa gitu.. Jadi, itu ceritanya Bank

Dunia memberikan Grand 50 milyar supaya

masyarakat yang ga mampu diberi sambungan air.

Tapi saya bilang ini kesalahan fatal ini. Jadi kan

orang miskin dikasih sambungan free. Supaya ga free

oke deh, supaya mereka ikut memiliki, disuruh bayar

cuma 50ribu. Kan kecil kan. Tapi, itu harga per

meter kubiknya 1050. Nah, harga WC itu 7000. Ini

aja, shortfall kan 6000 kan. Kalau pelanggan baru

jumlahnya 100ribu, maka ada 600juta perbulan. Kali

10 lah. 6milyar kan. 6 milyar tambah 12. 7,2 milyar

kan. 7,2 milyar per tahun shortfall siapa yang

nanggung?

P : PAM?

RN : Mampus dia! Kena KPK dia. Kenapa PAM

memperkaya pihak lain dengan kasih ini? Susah kan.

6 RN : Kenapa ga ada? Karena harganya 1050. Kalau

operator ngasih air ke sini, yang mereka dapatkan

adalah 1050 plus shortfall. Shortfall artinya utang.

Ga ada cashnya. Kamu mau dibayar pake utang? Ini

lah sebabnya waktu saya jadi BRPAM, bayangan

saya, tarif air DKI Jakarta satu aja. 7000. Selesai.

Semuanya dapat air. Supaya semangat. Tapi, yang

namanya WC itu jadi 3000. Ada untung 4000. Saya

bilang ke orang-orang, eh mau ga kalo tarif 5000 per

meter kubik? Wah boleh itu. 5000 per meter kubik

kami mau. Tau ga kenapa? Harga air kalo

mereka...kamu rumahmu di mana?

P : Di Lubang Buaya.

RN : Wah ga ada masalah. Kamu ga pernah ikut susahnya

sana. Kalau kamu tinggal di Jakarta Utara, maka

kamu harus beli air pake itu lho, gerobak. Pada

waktu musim tidak kering, harga air per gerobak itu

50.000/m3. Pada waktu musim kering, 75.000/m3.

Coba, mereka kasih harga 10.000 mau? Mau!

Tarif air

120

Universitas Indonesia

Transkrip Wawancara dengan Ir. Firdaus Ali, M. Sc., Ph. D.

Hari, tanggal : Senin, 3 Februari 2014

Tempat : Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Nomor Isi Keterangan

1 Peneliti (P) : Ya pak, pertamanya saya pengen nanya,

dulu gimana sih badan regulator PAM itu

berdiri? Jadi kebijakan privatisasi air ini

gimana bisa ada sampe akhirnya BRPAM

itu berdiri?

Firdaus Ali (FA) : Sebetulnya yang mendorong

masuknya investor swasta ke air minum Jakarta itu

Bank Dunia. Kenapa? Karena Bank Dunia punya

kepentingan, pertama karena Bank Dunia

meminjamkan uang untuk membangun instalasi

pengelolaan air di Buaran satu dan Buaran dua

sehingga ini kemudian ketika Bank Dunia melihat

cakupan PAM Jakarta untuk melayani itu masih

rendah, sementara kebutuhan airnya tinggi, dan

menurut Bank Dunia belum dikelola secara

profesional, sehingga Bank Dunia kemudian

menawarkan mengundang sektor swasta ke dalam

air minum Jakarta. Pada saat itu, tender tidak ada

seperti sekarang. Tahun 97, Bank Dunia

memberikan rekomendasi lalu kemudian, lapor ke

pemerintah, lalu nembus ke presiden, lalu presiden

memerintahkan menteri PU untuk turut kemudian

menyiapkan kerjasama antara PAM Jaya dengan

dua operator asing, yaitu di timur Thames, di barat

Suez. Memang ga ada tender waktu itu. Karena

prosedurnya prosedur izin. Pada saat itu, setau saya,

pengadaan barang dan jasa itu belum ada. Jadi,

terutama adalah terkait dengan kerjasama dengan

pihak asing, yang ada barangkali pada waktu itu

peraturan lelang, tapi lokal sifatnya. Lalu kemudian

dikerjasamakan. Perusahaan asing dibagi dua

wilayahnya. Kontrak kerjasama yang dibuat,

terutama yang berkepentingan adalah investor.

Karena dia punya lawyer kan. Dibikin lah, kontrak

kerjasama tentunya. Dalam perjalanan ketika

Alasan Badan

Regulator Pelayanan

Air Minum

(BRPAM) Jakarta;

Proses pendirian

BRPAM Jakarta.

121

Universitas Indonesia

sampai di BRPAM tidak seimbang. Lalu dalam

kontrak kerjasama itu dituliskan bahwa nanti akan

dibentuk badan pengatur yang akan meregulasi

segala kebijakan terkait dengan kerjasama ini dan

badan pengatur itu kemudian dibentuk tahun 2001.

Tiga tahun setelah kontrak itu ditandatangani,

dibentuklah Badan Regulator Air Minum Jakarta.

Jadi BRPAM itu ada karena dibunyikan dalam

kontrak. Lalu kemudian, tugas BRPAM melakukan

mediasi, lalu kemudian mengusulkan tarif,

mengawasi kinerja, hal yang seperti itu lah.

2 FA : Lalu kemudian, begitu ada BRPAM, lalu ada PAM

Jaya pihak pertama, ada operator pihak kedua, tetap

kontrak kerjasama tidak berimbang kan. Makanya,

salah satu misinya BRPAM waktu saya dan pak

Lanti itu adalah me-rebalancing itu tadi. Sehingga ya

denda yang seharusnya sama dengan kerugian,

ternyata tidak. Kita coba naikin dendanya. Lalu

kemudian, BRPAM mengusulkan tarif. Dalam salah

satu poin di isi kerjasama adalah pihak operator

mendapatkan imbalan air. Lalu, setiap meter kubik

yang digunakan oleh pelanggan, ga peduli dia kelas

menengah, atas, atau miskin gitu ya, dia akan

mendapatkan imbalan air yang disebut dengan water

charge. WC tadi itu tadi diitung dengan formulasi

macam-macam. Ada catex, capital expenditure,

kemudian ada opex, pengembalian pinjaman luar

negeri, kemudian TAD untuk DKI Jakarta, kemudian

biaya operasionalnya PAM Jaya, biaya

operasionalnya BRPAM. Dari semua komponen cost

tadi, ditambahkan kemudian berapa keuntungannya,

dapatlah WC pada saat awal kontrak. Disebutlah

WCnya Xo. Di perjanjian dibunyikan, setiap enam

bulan, untuk menghadapi inflasi dan sebagainya ini

diindeksasi rumusnya. Jadi gini, WC akan naik terus

kan. Lalu kemudian di sisi lain, pelanggan dikenakan

tarif. Dari golongan satu 1.050, sampai golongan atas

14.650. Nah sekarang makin banyak pelanggan

bawah, tarif rata-ratanya itu semakin rendah kan.

Jadi Anda lihat, ini WC, ini water tarif. Jadi awalnya

gini, tarif di sini rata-rata, WC di sini. Tarif ini kan

naiknya pelan-pelan. Nah ini naik terus kan. Dan

Tarif Air

122

Universitas Indonesia

suatu ketika kemudian, tarif itu di bawahnya WC.

Begitu tarif itu di bawahnya WC, timbul utang. Lalu

kemudian, yang jadi persoalan politiknya adalah kok

PAMnya ngutang. Di perjanjian dibunyikan begitu.

Ini kan perjanjian internasional. Terlepas dari

kontrak yang tidak seimbang, tapi kan kontrak ini

kan diakui dunia. Karena kan kita akan maju ke

arbitrasi internasional. Di arbitrasi nanti akan dilihat,

kontak berbunyi seperti apa, kendatipun undang-

undang mengatakan lain bunyinya. Nanti Anda lihat,

bagaimana nanti ini. Ada di kontrak dibunyikan

begini, pasalnya lupa saya, kewajiban pihak pertama

adalah menyediakan air baku. Kewajiban pihak

kedua adalah mengelola dan mendistribusikan air.

Berarti kan kewajiban pemerintah adalah memenuhi

air baku. Kenapa? Kalau air baku ga ada, ya otomatis

persoalannya terkait dengan cakupan layanan, target

teknisnya yang mereka, seperti kebocoran, kemudian

kualitas air akan berpengaruh. Tapi pemerintah DKI

Jakarta tidak punya kendali di air baku. Kendalinya

ada di Pemerintah Pusat. Karena air baku kita kan di

Jati Luhur. Tapi air baku kita sudah terkontaminasi

kan. Jadi, DKI tidak berhasil melakukan

kewajibannya. Sementara, operator kan dibunyikan

dia harus menambah layanannya dengan

bertambahnya pelanggan. Sementara, jumlah air

baku yang diolah kan tidak bertambah. Otomatis

jumlah pelanggan yang dulu pada saat kontrak itu

328 ribu, sekarang jadi 807 ribu, kan naik dua kali

lipat lebih kan. Jadi apa, dengan air baku yang sama,

air baku sama kan, ga bertambah kan. Pelanggan

bertambah dua kali lipat lebih. Otomatis kan ya

logikanya ada pelanggan yang tidak akan dapat air.

Kalau ada pelanggan yang harusnya dapat air 24 jam,

sekarang jadi 12 jam. Kalau dulu dia dapet 12 jam,

sekarang dia dapet 6 jam. Kemudian, karena jumlah

pelanggan bertambah, jumlah air yang dibutuhkan

bertambah, sementara tidak tersedia air bakunya. Jadi

orang berebut. Air susah, mahal, dan sebagainya.

Disedot dengan sumur bor apa namanya air gitu kan.

Ini kan membahayakan. Begitu pagi-pagi semua

orang menyedot air dengan pompa kan pompa akan

123

Universitas Indonesia

vakum. Begitu vakum, sambungannya pasti akan

rusak. Begitu rusak, ya air dari tanah yang di kali, di

got pasti akan masuk. Kemudian kualitasnya akan,

ya terbukti, kualitasnya jelek. Kemudian ya instalasi

di Pejompongan, ya kalau kita lihat instalasinya ya

dia bersih sekali. Memenuhi standar kualitas. Ini kan

persoalannya ketika distribusi. Ditambah dengan

pipanya kemudian mengalami penuaan. Sehingga

kemudian ada isu kualitas. Ada isu kuantitas,

jumlahnya ga cukup. Ada isu kontinuitas. Kenapa?

Nggak 24 jam sehari mengalir. Sementara, WC jalan

terus kan sehingga beban short fall meningkat.

Kemudian berusahalah mengejar tarif tadi. Otomatis

ya dua hal yang berkompetisi ini kemudian yang jadi

beban ke masyarakat.

3 P : Terus pak, lalu masalah instalasi air nih. Di rumah

saya sendiri tuh ga ada saluran PAM gitu. Nah itu

sebenarnya kewajiban PAM atau kewajiban swasta?

Lalu kemudian...

FA : Tinggalnya di mana?

P : Di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

FA : Itu ga ada jaringan atau emang ga langganan?

P : Ga ada jaringan. Jadi emang satu deret tuh semua

pompa semua.

FA : Jadi gini, sesuai dengan Perda 13 tahun 1993,

kewajiban PAM Jaya adalah melayani kebutuhan air

bersih masyarakat. Otomatis dengan perpipaan. Tapi

ya kemudian karena air baku terbatas, jaringan

terbatas, otomatis kemudian pelayanan kan juga

tertahan. Ditambah lagi karena ada sebagian

masyarakat merasa ga usah pasang PAM. Kenapa?

Karena sumur saya masih bersih. Ketika PAM

melakukan survey, dari 1000 rumah, cuma beberapa

yang berminat memasang PAM. Secara ekonomi,

tidak masuk. Sehingga dia tidak melayani. Sehingga

kemudian, PAM di sisi lain dia hanya melayani

apabila ada permintaan yang ekonomik. Pipa kita

pasang, ada yang berlangganan, kebanyang kan.

Kenapa? Karena PAM kan Perusahaan Air Minum.

Perusahaan kan harus untung. Di sisi lain, secara

undang-undang, dia mempunyai fungsi sosial. Dia

mempunyai kewajiban memeberikan air ke

Teknis

124

Universitas Indonesia

masyarakat. Ini posisi yang sangat dilematis.

Makanya saya bilang, harusnya namanya bukan

PDAM, tapi BPAM. Badan Pelayanan Air Minum.

Kalau PD, Perusahaan, di mana pun di muka bumi

ini, perusahaan pasti nyari untung. Kalau enggak ya,

bukan perusahaan namanya. Nanti, kalau hukum bisa

diputus. Kamu perusahaan kok begitu. Kamu

merugikan negara sekian. Jadi dilematis. Artinya,

kita udah salah dari kor-nya. Ini mau memberikan

layanan apa mau commercial? Jangan banci. Kalau

ini kan banci. Namanya PDAM. Kemudian dituntut

untung. Kalau ga untung ya diganti direkturnya ya

kan. Tapi di sisi lain kemudian memberikan

pelayanan sosial. Akhirnya kemudian dalam

praktiknya kita mencari binding criteria. Binding

criterianya gini, tiap menambah 5 pelanggan orang

miskin, harus dapat pelanggan orang kaya dua.

Untuk menutupi ini gitu kan. Nanti Anda pelajari itu.

Sebetulnya kita komit. Terkait dengan masalah air

minum kita. Kenapa cakupan air minum kita di

republik ini lambat sekali dengan di vietnam lah

yang baru merdeka? Kalau tadi itu iya-iya-enggak-

enggak. Kenapa? Kalau kita lihat, BBM, pupuk,

energi, listrik itu kan disubsidi langsung oleh negara.

Misalnya harga ekonomisnya premium itu misalnya

8500 rupiah, lalu kemudian dijual di SPBU itu 6500.

Berarti 2000 rupiah uangnya negara dibayarkan ke

Pertamina untuk subsidi kan. Energi juga demikian,

pupuk juga demikian. Artinya apa? Jadi negara

mensubsidi real. Jangan lupa, air minum negara tidak

mensubsidi. Yang mensubsidi adalah pelanggan

antar pelanggan. Padahal pupuk, listrik, bbm, bukan

kebutuhan pokok negara. Jadi dia makanya saya

selalu menkritisi, pemerintah sangat sembrono.

Kenapa kalau ya, ini kebutuhan basic orang. Orang

bisa sakit kalau ga ada air. Penyakit bisa

berkembang. Tetapi lucunya, pemerintah tidak

memberikan subsidi. Kenapa BBM disubsidi?

Soalnya seksi. Klo ini kan enggak. Jadi, klo kita

pergi ke arbitrasi, kita juga akan kalah. Kamu

katanya hak asasi. Kalau hak asasi buktinya apa?

Kontrak tidak kamu lakukan, terus yang subsidi

125

Universitas Indonesia

siapa? Pelanggan. Ya itu bukan hak asasi. Kalau hak

asasi, ya itu tanggung jawab negara full. Jadi

persoalan ini kemudian, diingatkan pemerintah gitu.

Mereka salah nih. Operator ini. Kemudian, kesalahan

mereka berpangkal juga dari kesalahan kita.

Aturannya ga jelas. Kemudian juga, kewajiban kita

menyupply air baku tidak dilakuan. Ya kan?

Sehingga kemudian, saya senang aja Anda

mempelajari ini. Sisi hukumnya gimana.

4 FA : Ya menurut Anda, apa yang ditujukan dari citizen

law suit ini?

P : Dimiliki kembali oleh negara.

FA : Apa jaminannya dimiliki kembali oleh negara? Apa

yang kita harapkan?

P : Bahwa air itu kemudian bisa didistribusikan dengan

murah dan mudah.

FA : Kalau tidak ada air bakunya gimana? Ini kenapa,

karena saya akademisi dan praktisi gitu ya. Ada 400

PDAM yang dimiliki Indonesia, tidak sampai

sepertiganya yang baik airnya. Sisanya semuanya

sakit. Kenapa? Ga ada air bakunya. Dikelola oleh

pemerintah daerah. Jadinya, bagi saya adalah ya apa

target dari menendang Suez dari Indonesia gitu

kemudian dikembalikan ke PAM Jaya. Ide kita

mengundang sektor swasta dalam layanan publik itu

adalah pertama adalah kita ingin mendapatkan

teknologi yang lebih bagus. Kedua, kita ingin

mendapatkan manajemen yang lebih bagus. Ketiga,

karena kita ingin mendapatkan kapital, karena kita

kekurangan. Ya kan? Ya tiga tadi. Manajemen kita

buruk. Kapital kita kurang, jadi nawar-nawarin ke

luar. Kalau kapital kita kuat, pemerintah tinggal

bangun kan. Teknologi ya kita lebih rendah.

Sekarang kalau kemudian CLS ini berhasil dan

hakim memutuskan oke, demi hukum, perjanjian

kerjasama dibatalkan. Lalu kemudian ada turunannya

kan? Menurut Anda, apa yang akan diputuskan

hakim?

P : Semua saham PAM dipegang milik DKI, PDAMnya.

Jadi, setidaknya kalau misalnya kita tidak berurusan

dengan swasta luar. Karena kalau swasta luar kan ke

arbitrasi internasional. Jadi kayak lebih mudah

Citizen Law Suit

126

Universitas Indonesia

mungkin.

FA : Persoalan luar dan dalam negeri itu kan karena kita

bodoh aja gitu kan. Kalau kalah kan selama ini

karena kita ceroboh. Taruhlah sengketanya dengan

perusahaan dalam negeri. Arbitrasinya Indonesia.

5 P : Iya sebenarnya juga saya ingin mengangkat dan

menghubungkan ini dengan World Bank. Bagaimana

dominasi World Bank ke Indonesia.

FA : Pertanyaan ini akan saya tanyakan juga ke hakim.

Saya juga akan diundang jadi saksi nanti gitu.

Kenapa? Karena memang ini kesalahan dari negara.

Pasal 33 ayat 3 itu tidak pernah diterjemahkan secara

sesungguhnya gitu. Bumi, air, dan kekayaan yang

dikandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk

kemaslahatan banyak orang. Contohnya apa? Batu

bara, minyak. Selama ini kan negara fokusnya cuma

di batubara sama minyak doang. Jadi airnya sendiri

kan dilupain. Padahal yang mendasar itu kan ya air

tadi. Air diserahkan ke mekanisme pasar.

P : Menjadi barang ekonomi?

FA : Ya iya, menjadi barang ekonomi apabila kemudian

negara tidak campur kaki untuk mengurus ini. Di sisi

lain, kita ga mau ada apa-apa terus bikin chaos

sistem kan? Swasta pergi terus ga ada operator kan?

Sehari aja. Ibu kota ini bisa lumpuh total. Jadi hal

seperti itu kan kemudian menjadi akan operator akan

menjadi yang ditawarkan dalam CLS ini dia akan

dibawa ke arbitrasi. Di arbitrasi ya kamu tidak

melaksanakan kewajiban kamu kok. Air baku kan

tanggung jawab kamu. Ya kan? Terus mau ngapain

coba? Makanya dari dulu saya katakan, penuhi dulu

kewajiban kita sehingga kita tidak punya labelity. Ini

kan lalu jadi persoalan gitu kan. Di sisi lain, ketika

operator mau memberantas pencurian.

Pengaruh lembaga

dunia

6 P : Seperti kebocoran ya?

FA : Ya, kebocorannya itu nontechnical. Kenapa? Karena

di lapangan itu banyak preman, mafia. Palyja dan

Aetra sudah meminta bantuan kepada pemerintah

DKI Jakarta, memberikan bantuan dalam bentuk

operasional melalui satpol pp, atau dibentuk polisi air

gitu. Untuk mengawasi orang yang mencuri gitu.

Karena yang mencuri juga oknum. Ex PAM Jaya.

Teknis

127

Universitas Indonesia

Yang nyolong juga orang-orang itu juga. Lalu juga

negara harus tegas memposisikan PAM ini sebagai

fungsi sosial atau bisnis. Lalu subsidi apa yang

diberikan negara kalau ini memang hak asasi? Energi

hak asasi ga? BBM hak asasi ga? Ya enggak. Air?

Iya. Buktinya apa kamu sebagai negara tapi kamu ga

hadir di sana?

P : Terus tadi bisa diceritain lebih detil ga pak soal

pencurian air itu?

FA : Pencurian air adalah ya oknum yang tau bagaimana

cara masang pipa dan sebagainya kemudian

disambungkan ke pelanggan lain kemudian dia

collect uangnya. Yang lebih celaka lagi, airnya dijual

ke pelabuhan. Salah kita di sini. Tarif kita untuk

golongan bawah itu 1.050 termasuk terminal air dan

hidran umum. Jadi Asti nih, ngaku orang miskin.

Asti kelola hidran umum dan terminal air. Nanti Asti

bayar ke saya, PAM ya. Tapi kan Asti bisa jual ke

orang lain. Harganya 20 ribu ke pelabuhan. Kenapa?

Tarifnya itu mau 10, mau 20, mau 30 sama. Kalau

yang lain kan ada progresif.

P : Saya juga dari Muara Baru, Penjaringan, katanya ada

satu orang di situ, dia bayar sampe berapa puluh juta

ke PAM. Jadi dia bisa memiliki hidran air itu.

FA : Dimafia sekarang. Sepertinya hidran umum itu

temporary sampe udah ada jaringan. Jadi harusnya,

hidran umum dan terminal air ini hanya untuk 5

tahun. Kalau sudah baik, ditutup. Tapi kan

kenyataannya ini enggak.

P : Kalau soal perbaikan kebocoran pipa di jalan-jalan

itu gimana pak?

FA : Ada. Yang dilakukan swasta banyak. Termasuk yang

menggunakan helium dan sebagainya. Namun, dalam

upaya mengganti pipa tadi, ada macam-macam

hambaran. Izin itu setengah mati keluar.

P : Izin kepada?

FA : Pemerintah. Izin kan harus bayar.

P : Maksudnya ke polisi?

FA : Ke dinas itu apa itu

P : PU?

FA : PU. Lalu kemudian pengambilan air secara ilegal itu

kan juga merusak. Mempengaruhi pipa. Terus ada

128

Universitas Indonesia

jalan-jalan tertentu dilapisi beton. Itu kan tidak bisa

diganti dengan mudahnya. Itu kalau udah bocor

bingung kan. Klo aspal, klo bocor airnya keluar.

Kalo udah dibeton, air bocor ga tau. Bocornya ke

bawah. Klo aspal kan bocor ke atas, ketangkep. Itu

menambah kompleksitas.

P : Berarti ini masuk ke perencanaan tata kota ya pak

ya?

FA : Iya. It‟s too complicated. Pertama kamu tata kota

kamu salah, kedua kamu ga pernah menegakkan

peraturan dengan benar. Ketiga kamu undang orang,

konsekuensinya kamu ya tunduk dengan aturan

kerjasama ini gitu kan.

P : Lalu kalau sebelum dan sesudah adanya privatisasi

ini gimana pak?

FA : Ya dulu kan salah satunya adalah cakupan layanan.

Dulu Cuma 328 ribu. Sekarang 807 ribu. Jumlah

sambungan sudah jelas peningkatan. Dulu kebocoran

waktu pertama kali 58%, sekarang 43%.

P : Berarti kebocorannya menurun dong?

FA : Menurun. Kendati pun tidak sesuai dengan yang

dijanjikan. Yang dijanjikan harusnya sudah 26%

sekarang.

P : Kenapa bisa gitu pak?

FA : Ya tadi itu. Karena penggantian pipa sulit, mafia

tidak bisa diberantas. Air baku tidak cukup. Izin

penggantian pipa tidak dikeluarkan. Kayak gitu-gitu

lah.

7 P : Terus kalau menurut bapak sendiri, gimana dampak

ke masyarakat miskin yang ga dapet saluran PAM?

FA : Sebenernya masyarakat miskin dapet air termurah

1.050 tadi kan. Hanya kemudian ketika kita ke

Penjaringan gitu, ke Kamal Muara, ke Cilincing, di

sana persoalannya begini: karena akses ke air

perpipaan terbatas, sehingga yang berkuasa itu

gerobak-gerobak. Itu gila. Per meter kubik harganya

bisa 100ribu. Padahal harusnya 1.050 rupiah kan. Ya

kalau yaudah kalau gitu kenapa tidak dikasih

sambungan mereka. Kita punya GPOBA.

P : Apa itu pak?

FA : Global Partnership Output Based Aid. Jadi Bank

Dunia dalam rangka menghapus dosanya

Dampak ke

masyarakat miskin

129

Universitas Indonesia

memberikan bantuan kepada PDAM Jakarta melalui

dua operator ini untuk membikinkan sambungan

langsung kepada daerah-daerah ini. Nanti begitu air

mengalir, biaya pipa dan sambungan itu diganti oleh

Bank Dunia dalam bentuk cash. Tapi kemudian

gimana, airnya ga ada. Yang kedua, perizinannya ga

bisa didapatkan. Kenapa? Ada preman tadi. Orang

masang pipa, premannya beraksi. Ya akhirnya ga

bisa ekspansi kan. Pemerintah atur ini lah, tertibkan.

Kita dipukul balik oleh ini.

8 P : Ngomong-ngomong peran pemerintah, saya juga

baca kontrak itu bahwa dia juga harus mengawasi

swasta kalau misalnya kerjanya tidak baik. Menurut

bapak selama ini PAM menjalankan tugas itu ga?

FA : PAM tidak melaksanakan. Lepas tangan. PAM takut

sama bule. Jadi inilah kontribusi PAM juga besar.

Kalau ditanya di pengadilan, kamu tugasnya

mengawasi, dilaksanakan ga? Enggak. Kenapa?

Kami kalah lobi. Kamu yang goblok. Aset milik

kamu, negara milik kamu, kok kamu takut sama

asing.

P : Mengetahui itu, waktu bapak di BRPAM, bapak

melakukan apa?

FA : Ya saya panggil semuanya. Saya push PAMnya.

Saya marah-marahin dirut PAMnya. Tapi itu

kemudian saya ga tau kalau diam-diam PAM dapat

uang dari swasta.

P : Lalu tarif juga ditentukan oleh BRPAM?

FA : Itu gubernur yang menentukan.

P : Berarti waktu itu gubernurnya Sutiyoso ya?

FA : Sutiyoso dan Foke.

P : Mereka berkooperasi dengan baik ga pak untuk

membangun air yang lebih baik untuk Jakarta? Bisa

diceritain ga pak?

FA : Saya sudah memberikan ide macam-macam. Sampai

saat ini alhamdulilah tidak ada yang dikerjakan.

Kalau enggak, kita ga akan krisis air.

P : Kalau yang sekarang? Pak Jokowi dan Pak Ahok?

FA : Komitmen mereka besar. Mereka mau mengambil

alih saham itu.

P : Waktu itu pak Riant juga sempet cerita soal pak

Ahmad Lanti yang mendesain awal instalasi atau apa

Tarif air

130

Universitas Indonesia

gitu soal air lalu desainnya dihilangkan lalu dipakai

desain World Bank.

FA : Saya dengan pak Lanti mendesain PAM Jati Luhur.

Lalu diambil oleh kementrian PU, lalu kemudian

berubah. Jadi sampai hari ini tidak dilaksanakan.

P : Lalu bagaimana pak setelah bapak mengetahui itu?

FA : Ya saya marah. Hanya marah saja. Tidak bisa

melakukan apapun.

131

Universitas Indonesia

Transkrip Wawancara dengan Ir. Ahmad Lanti, M. Eng

Hari, tanggal : Senin, 10 Februari 2014

Tempat : Kantor Indonesia Infrastructure Initiative

Nomor Isi Keterangan

1 Ahmad Lanti (AL) : ...tiba-tiba tahun 2007 PAM Jaya

membuat perjanjian dengan Lyonnaise

des Eaux dan Thames Water. Menjadi

kerjasama 25 tahun sampai 2022. Nah

Jepang kaget. Minta sama saya, kenapa

begitu. Saya buatkan paper dalam bahasa

Inggris tuh waktu itu. Akhirnya mereka

puas. Tapi saya ga tau itu kan saya

buatnya udah 10 tahun yang lalu saya

buat dek. Sudah ga tau. Tapi ceritanya

dulu aja ya.

Peneliti (P) : Maaf, boleh saya rekam ya pak?

AL : Ya ya silakan aja. Jadi waktu itu, kementerian PU,

menterinya waktu itu pak Radinal Mochtar

mendapatkan suatu ya dari presiden Soeharto untuk

supaya PAM Jaya ini dalam rangka meningkatkan

pelayanan coba dibikinkan kerjasama dengan swasta

asing yang sangat berpengalaman dalam bidang air

minum di dunia gitu ya. Gitu. Waktu itu tahun 95

kalau ga salah permintaannya kepada menteri PU.

Nah kemudian menteri PU waktu itu, nah waktu itu

di paper ada lengkap itu. Tahun 95 pak Radinal

Mochtar membentuk satu tim pengkajian itu. Tapi

memang waktu itu sudah dikatakan ada dua

perusahaan asing yang sangat berpengalaman di

dalam penyediaan air minum hmm anu kerjasama

pemerintah-swasta. Atau disingkat dengan KPS ya

Kerjasama Pemerintah-Swasta. PPP bahasa

Inggrisnya. Public-Private Partnership. Dulu itu

anggotanya dari pemprov DKI. Gubernur nya waktu

itu Suryadi Soedirdja. Jadi, ditentukan waktu itu oleh

pak Harto, Lyonnaise des Eaux dan Thames. Prancis

dan Inggris. Tapi waktu itu persyaratannya menteri

PU adalah mereka harus melakukan kajian tentang

kelayakan. Uji kelayakan itu dibuat hampir enam

Sejarah Perjanjian

Kerjasama PAM-

Swasta

132

Universitas Indonesia

sampai sepuluh bulan ya. Selesai, disampaikan

kepada menteri PU. Kemudian PU membuat evaluasi

yang dipimpin oleh Dirjen Cipta Karya. Namanya Ir.

Rahmadi B. S. Nah tim ini lah yang menilai uji

kelayakan tersebut. Nah, akhirnya uji kelayakan itu

dengan sedikit perubahan di sana-sini dapat diterima

oleh Kementerian PU. Nah, jadi untuk itu diminta

jadi menteri PU supaya dibentuk Tim Gabungan.

Tapi tetap diketuai oleh Dirjen Cipta Karya ya. Jadi

ada dari Kementerian PU, ada dari Pemprov DKI.

Nah saya waktu itu ditunjuk sebagai wakil tim

Negosiasi. Ketua Tim Negosiasinya waktu itu Pak

Prawoto.

P : Maaf pak, jadi tim negosiasi nya itu ada di tim

gabungan itu?

AL : Iya. Dengan SK menteri PU waktu itu. Itu dibuat

tahun 96. Ketuanya dari DKI ada asisten

pembangunan, pak Prawoto, wakilnya saya.

Anggotanya Dirut PAM Jaya dan banyak lagi orang-

orang teknis yang lainnya. Terus termasuk juga di

dalamnya ada namanya TPJ dan Palyja. Waktu itu

sudah dibentuk PT-nya. Waktu itu sudah terdiri dari

orang asing dan orang Indonesia itu Palyja dan TPJ.

Negosiasi itu berlangsung berkali-kali bolak-balik,

lupa saya berapa kali, sampai akhirnya satu tahun

setengah negosiasinya. 14 bulan kalau ga salah

waktu itu. Akhirnya pada bulan Juni,

ditandatanganilah kontrak itu dengan Palyja dan TPJ.

Yang taken contract adalah Dirut PAM Jaya

namanya Ir. Rama Boedi. Dan dari pihak swasta itu

saya lupa, nama asing semua. Diketahui dan disetujui

oleh gubernur, pak Suryadi Sudirja. Menteri PU

hadir menyaksikan aja di Balaikota. Itu tahun 97,

bulan juni. Kalau 25 tahun, berakhirnya Juni 2022

kan. Tapi begini ya, isi dari perjanjian kerjasama itu

sendiri itu timpang sebenarnya, tidak seimbang

antara kepentingan PAM Jaya dengan swasta. Lebih

menguntungkan swasta. Nah dalam perjalanan, itu

kan kebetulan pak Harto jatuh kan. Tahun 98 jatuh.

Timbul lah huru-hara di Jakarta kan. Itu orang-orang

PAM Jaya itu...karena orang asingnya lari semua ke

luar negeri kan dibakar-bakar di Jakarta itu kan. Itu

133

Universitas Indonesia

istilahnya diambil paksa gitu lho kantornya. Kan

waktu itu seluruh instalasi pengelolaan air apa di

barat dan di timur, di Palyja dan TPJ kan diserahkan

ke swasta. Karena dengan dasar itu mereka bisa

melayani pembeli. Jadi istilahnya itu ada aset yang

diserahkan. Ada di agreement nya. Nanti bisa minta

sama Marsha nanti isi dari agreement awal. Itu

aksesnya yang diambil, diserahkan pada swasta itu

diambil alih oleh serikat pekerja PAM Jaya.

Istilahnya kudeta. Diambil kembali. Setelah keadaan

mulai aman, itu duta besar Prancis dan Inggris tuh

protes kepada Presiden Habibie. Akhirnya dipaksa

juga untuk dikembalikan ke mereka sampai

sekarang. Dalam perjalanannya memang banyak

hambatan. Karena isi dari perjanjian kerjasama itu

tidak seimbang. Terlalu menguntungkan pihak

swasta dibandingkan pemerintah, dalam hal ini PAM

Jaya. Kemudian, timbul lah di sini BRPAM atau

Jakarta Water Supply Regulatory Body. Dengan

keputusan Gubernur. Nah BR ini dimaksudkan

supaya bisa menjadi pihak netral. Tidak boleh

berpihak pada sini sana. Tapi dia ditugaskan untuk

membela kepentingan pelanggan. Tapi tentunya

terikat pada isi kontrak yang ada. Seperti yang saya

sampaikan tadi, isi kontrak ini kan tidak berimbang.

Karena waktu itu memang kepentingan swasta itu

bisa mempengaruhi keputusan Presiden. Timbul lah

upaya-upaya kita melalui BRPAM untuk melakukan

amandemen, revisi terhadap kerjasama ini. Ada

komplain apa saja. Itu terus berjalan sampai

sekarang. Dalam perjalanan, ternyata ada satu hal

yang tidak bisa dianukan karena ini kinerja swasta

sebenernya tidak begitu bagus. Tapi dia tetap minta

kenaikan tarif tiap enam bulan. Karena ada di

perjanjian kerjasama. Itu lah akhirnya pada tahun

berapa itu ya, distop, tidak boleh ada lagi kenaikan

tarif sampai ia memenuhi standar pelayanannya.

Waktu saya terakhir jadi BRPAM, setelah itu tidak

ada lagi kenaikan sampai sekarang. Nah itu lah. Tapi

97, Palyja itu menjual sahamnya 49% kepada

Astratel. 51% persen masih dimiliki Prancis.

Kemudian di sini di timur, TPJ, dua tahun kemudian

134

Universitas Indonesia

dijual seluruhnya sudah menjadi Aetra. Itu

perusahaan Indonesia. Tapi ndak tau apakah ada

modal dari luar ya. Dulu mereka itu kompak karena

sama-sama asing. Sekarang itu tidak kompak. Karena

misalnya Aetra mengatakan, oke dengan tarif yang

ada, saya bisa bertahan sampai 2022. Kalau Palyja ga

mau. Tetap aja tiap enam bulan dia tuntut. Jadi

kekurangan bayar itu selisih antara kan di situ ada

WC dengan WT kan. Selisihnya ke PAM Jaya.

Karena Water Charge itu kan. Itu haknya operator.

Nanti uangnya dibagi sebagian besar ke mereka,

sebagian kecil ke PAM Jaya untuk biaya operasional

PAM Jaya. Tapi kalau namanya tarif, yang tentukan

pak Gubernur. Jadi kalau tarif sendiri masih di atas

water charge ya oke, bagus. Tapi kalau udah Wcnya

naik terus, itu terjadi gap kan. Gap ini shortfall yang

ditanggung oleh PAM Jaya.

2 P : Kalau misalnya sudah ratusan milyar itu nanti PAM

Jaya menanggulanginya bagaimana?

AL : Nanti itu sama pak Chris Tutuko nanti. Tadi Sri ga

ngomong?

P : Iya, kalau pak Sri bilangnya itu adalah beban PAM

Jaya bersama swasta. Katanya gitu.

AL : Tapi ga ada di kontrak. Kan kontraknya belum

dirubah. Shortfall itu tanggung jawab PAM Jaya di

kontrak.

P : Pihak Aetranya sudah mengiyakan untuk tidak naik.

AL : Iya betul. Aetra menyimpang dari kontrak. Karena ia

adalah perusahaan Indonesia. Dia mengerti

bagaimana hati nurani rakyat Jakarta. Tapi kalau

asing ini kan profit making dia. Shortfall yang terjadi

itu tetap punyanya PAM Jaya. Makanya dilematis

kan. Makanya sekarang lagi upaya untuk melakukan

amandemen kontrak. Tapi saya dengar terakhir tidak

selesai-selesai. Nah kalau you mau tau lebih detil,

sudah ketemu Sri ya tadi. Ketemu juga sama pak

Chris. Di sana ada Marsha di sana. Saya tadi cari

sudah ga ada.

Kontrak Kerjasama

3 P : Bapak itu di BRPAM 2001 sampai?

AL : Terakhir itu hmm.. 2007. Saya dua periode. Jadi saya

ikut di negosiasi awal. Setelah itu jadi ketua BRPAM

selama enam tahun.

Kondisi saat kontrak

dibuat

135

Universitas Indonesia

P : Dulu di tim negosiasinya itu kalau misalnya sudah

tahu bahwa perjanjiannya itu berat sebelah ke swasta,

itu bagaimana pak adu pendapatnya, bagaimana

siapa yang lebih dominan di dalamnya seperti itu?

AL : Ya itu orde baru sih ya. Di bawah tekanan itu

kerjanya. Karena ada kepentingan-kepentingan bisnis

dari orang-orang dekatnya pak Harto. Jadi kalau mau

ngomong keras, ditegur gitu. Ditegur melalui menteri

PU. Pak Kardono asisten presiden bidang militer ya?

Pokoknya itu lah. Dia staf presiden bidang militer.

Nah itu yang menekan. Ya seolah-olah ya kepada

menteri PU, menteri PU menyampaikan ke kita. Kita

bekerja di bawah tekanan. Susah ngomongnya. Terus

cost nya dibayar sama masyarakat Jakarta. Social

cost nya. Nah ini lah sekarang dengan adanya hmm

berapa gubernur pak sutiyoso ga bisa tembus juga.

Padahal udah orde reformasi. Zamannya setelah

Suryadi Sudirja itu kan Sutiyoso 10 tahun ya gitu-

gitu aja. Foke tetap aja juga ga bisa. Sekarang ini

Jokowi dengan Ahok ini lebih keras sekarang.

4 P : Sekarang sih DKI sedang mau membeli sahamnya

Palyja katanya.

AL : Nah iya memang ada itu mau dibeli. Mau dibeli

semua. Tapi masalahnya gini, dalam kontrak itu

masih ada kalau pemutusan kontrak sepihak oleh

pihak pemerintah, dalam hal ini PAM Jaya, itu

semua sisa keuntungan dia ke depan itu harus

dibayar dulu kepada dia. Ada dalam kontrak. Kecuali

dia minta putus, maka ini bisa dikorting. Jadi gini,

ada keuntungan yang diproyeksikan sampai tahun

2022. Nah itu kalau kita yang mutuskan, keuntungan

yang di sini harus dibayar sekarang. Tapi berapa

persen saya ga tau angkanya. Di samping itu, semua

utang-utang shortfall itu harus dibayar juga di sini.

P : Yang bayar PAM?

AL : PAM tentunya. PAM dari mana? Ya pasti dari

Pemda.

P : Bukan dari uang pelanggan?

AL : Ndak. Swasta itu kan mau ngambil. Pembangunan

Jaya misalnya. Misalnya beli, utang-utang harus dia

bayar di depan. Keuntungan ke depan itu sebagian

harus dibayar juga sekarang. Itu ada di kontrak. Itu

Tekanan asing dalam

kontrak kerjasama

136

Universitas Indonesia

lah sekarang kenapa sulit sekali terminasi kontrak.

Kalau Aetra bilang, tarif yang ada sekarang itu tidak

perlu naik sampai 2022. Jadi Aetra itu tidak

bermasalah dengan Pemprov. Karena dia swasta

nasional kan. Yang masalah itu Palyja. Nah yang

dibeli yang Prancis dulu. Baru yang satunya mau

dibeli. Tapi belum cocok harga. Karena kontraknya

belum diubah. Waktu saya keluar dari sana tahun

2007, saya sudah usulkan ke pak Sutiyoso, kalau

bapak mau aman, itu harus diubah pak. Nah

diteruskan sama ketua BR yang baru. Itu juga ga

berhasil sampai sekarang. Tapi sekarang Jokowi

lebih keras ini. Malah dibawa ke pengadilan

sekarang ini. Mau dituntut masyarakat ini.

P : Kemarin saya ikuti persidangannya.

AL : Keputusannya gimana?

P : Belum ada putusan pak. Baru saksi kemarin,

AL : Siapa saksinya?

P : Andreas Harsono, wartawan yang melakukan

investigasi. Sama ada satu warga.

AL : Andreas memang bagus itu. Tapi begini, masalahnya

kalau pengadilan Indonesia memutuskan, itu tidak

bisa dieksekusi. Karena di dalam kontrak itu dibilang

kalau terjadi pemutusan kontrak, itu harus di

Singapura, di SIAC namanya.

P : Kenapa begitu pak?

AL : Ya begitu memang bunyi kontraknya zaman pak

Harto. SIAC: Singapore International Arbritation

Centre. Itu bagian dari ICC. Itu ga bisa. Jadi

misalnya ini mau dieksekusi, dibawa ke Genewa itu

nanti. Pengadilan Indonesia ga berdaya itu. Kan gini,

ada ICC itu ini di Genewa. Ini semua seluruh dunia

mengakui ini. Indonesia juga anggota di sini. Ga bisa

ini diputusi kalau tidak melalui sini. Model-model

kayak apa itu ga ada itu. Kontraknya waktu itu pake

ini ni. Jadi pinter swastanya itu mempengaruhi pak

Harto terus dia setuju dengan ini. Bukannya

pengadilan Indonesia. Karena waktu itu pengadilan

arbitrasi Indonesia belum kuat. Jadi mereka minta ini

supaya ga kelamaan. Kan waktu itu dia minta recost

investment kan. Artinya gini, pemerintah menjamin

bahwa barang-barang di Indonesia ini tetap akan

137

Universitas Indonesia

dibayar apabila terjadi huru-hara. Sekarang sudah

ada jaminan kan. Lembaga pemberi jaminan itu.

Waktu itu, ditetapkan Non-recost Investment.

Artinya, tidak dijamin pemerintah investasi dia itu

kalau terjadi huru-hara akan kembali.

P : Invesatasinya swasta?

AL : Iya iya. Makanya oke, dia setuju pilih ini. Makanya

nanti di SIAC dia memutuskan kalau ini tanggung

jawabnya siapa. Ga bisa pengadilan negeri kita, ga

bisa.

5 P : Kalau campur tangannya World Bank waktu itu

gimana pak?

AL : Oh ga, world bank waktu itu hanya gini di awal

tahun 95, itu kan ada studi dari world bank mengenai

KPS itu kerjasama pemerintah-swasta di bidang

infrastruktur. Karena waktu itu pak Harto minta

jangan semua infrastruktur itu dibiayai oleh APBN.

Beri kesempatan juga swasta masuk. Di Indonesia,

world bank melakukan studi terhadap sektor air

minum waktu itu. Nah keluar rekomendasi world

bank bahwa itu satu bidang yang bisa

dikerjasamakan dengan swasta. World bank. Karena

Indonesia belum bisa.

P : Itu awalnya ada pinjaman dari World Bank kan ya?

AL : Iya, pinjaman konsultan. Konsultan ya, studi. Karena

diminta oleh Indonesia, BAPPENAS waktu itu minta

untuk melakukan studi bidang-bidang infrastruktur

mana saja yang bisa...waktu itu belum ada peraturan

berapa persen yang dikerjasamakan swasta kan.

Semua pemerintah kan. Dan waktu itu APBN kita

juga sudah mulai kedodoran karena keperluan

infrastruktur besar sekali. Makanya keluar

rekomendasinya. Jalan tol bisa, air minum bisa,

apalagi, telekomunikasi bisa. Keluar itu

rekomendasinya world bank. Air minum tadinya

diprotek karena ini kan untuk kepentingan rakyat

banyak. Sesuai dengan UUD 45 kan mengenai air,

bumi, dan apa itu dikuasai oleh negara dan

dimanfaatkan sebesar-besarnya. Pasal 33 itu. Air

termasuk waktu itu diprotek. Tapi dengan

rekomendasi world bank, dibuka kesempatan.

P : Itu world bank berarti atas dasar permintaan

Hubungan Indonesia

dan Bank Dunia saat

itu

138

Universitas Indonesia

Indonesia ya? Bukan world bank yang menawarkan?

AL : Pemerintah Indonesia. World Bank ga bisa studi-

studi kalo ga diminta BAPPENAS kok.

P : Jadi tidak ada tekanan world bank sama sekali?

AL : Oh ga ada. Itu juga terserah kita. Mau kita pake atau

enggak. World Bank waktu itu bilang bisa

diswastakan tapi syarat-syaratnya seperti ini, contoh-

contohn ya seperti ini. Dari situ lah BAPPENAS

menetapkan sektor air minum terbuka. Bukan

ditekan oleh world bank. Ga ada. Apa hak nya world

bank? Ga ada. Locussol. Itu yang

merekomendasikan. Itu team leadernya di world

bank itu. Tahun 95 studinya itu. Tapi itu atas

pemerintah kita, bukan maunya mereka. BAPPENAS

itu yang minta. Dasar itu kita bergerak. Kita pilih

Jakarta dulu karena Jakarta waktu itu morat-marit

kepengurusannya. Kita juga ga punya uang untuk

investasi. Atas dasar itu lah kemudian pak harto

mengambil inisiatif. Disetujui oleh pemprov DKI.

Waktu itu tapi kan gubernur ga setuju ga boleh.

6 P : Lalu pak, kalau ga salah, syarat PPP itu kan makanya

ada BRPAM itu kan. Namun, BRPAM itu baru

dibentuk tiga tahun setelah penandatanganan. Nah,

berarti sebelum adanya BRPAM itu menentukan

tarifnya itu gimana?

AL : Nah ini pertanyaannya. Ada di tulisan saya itu di

BRPAM itu. Ada di Marsha itu. Jadi gini. Jadi ini

tarif, ini waktu. Kenaikan tarif itu kan tiap enam

bulan. Rata-rata tarif ini. Ada indeksasinya ada. Pake

angka-angka statistik itu. Jadi grafiknya gini kira-

kira. Naik terus gini kan. Nah, seharusnya...eh ini

water charge namanya. Imbalan air lah bahasa

Indonesianya. Nah, tarif kita itu kan harus di atas.

Kalau enggak, dia surplusnya. Namanya defisit. Jadi,

tarif itu kan gini ya. Nih, misalnya di sini. Setahun

sekali, dia naik. Ini tarif. Enam bulan kan ini naik.

Misalnya setelah itu ini udah agak tetap ya. Terus

naik, terus flat lagi. Satu tahun. Tapi di sini, ini

adalah tarif rata-rata. Sehingga ada selisih antara WT

dan WC untuk bayar macam-macam. Nah, pada

1998 ini ga bisa naik ini karena demo. Kalau

misalnya dia naik ke sana, tidak naik dia. Flat terus.

Tarif air

139

Universitas Indonesia

Akibat dari itu, terjadi shortfall. Antara WC dan WT.

Defisit. Ini jadi tiap enam bulan naik WC mengikuti

indeksasi statistik, tapi tarif di Indonesia sekali

setahun naik. Sehingga dia tetap berada di atas WC

tarif rata-ratanya. Nah. Waktu itu terjadi shortfall

besar. Waktu saya masuk, supaya ini tidak shortfall,

ini dinaikin tarifnya berapa puluh persen waktu itu.

Dengan izin gubernur, naik lagi ini dia. Tiba-tiba

naik tinggi dia. Nah ini kembali lagi, kembalikan

seperti ini dia.

P : Lalu, waktu itu pembagian antara PAM dan swasta

itu kan PAM hanya mesupervisi, memonitor pihak

swasta. Lalu, kalau misalnya menurut bapak sendiri,

PAM itu mengawasinya sudah jalan atau bagaimana?

AL : Saya tidak mengawasi. Saya hanya bertindak selaku

wasit. Kalau terjadi perselisihan, dia datang ke saya.

Saya memutuskan. Kalau mereka tidak setuju, naik

banding mereka ke gubernur.

P : Lalu penentuan tarifnya itu PAM, gubernur, lalu...

AL : Kita. Bukan PAM Jaya. Kita. Bukan PAM Jaya.

P : Oh jadi PAM Jaya tidak menentukan sama sekali?

AL : Tidak. Sampe saya selesai, saya yang menentukan.

Sudah ada rumus-rumusnya. Tinggal masuk-masukin

saja angkanya. Jadi, sudah mekanisme otomatis. Ada

rumus. Panjang. Indeks-indeks harga itu misalnya

kenaikan harga bahan bakar ada di situ, kenaikan

buruh ada. Ada kenaikan harga bahan kimia,

kenaikan listrik, ada semua tinggal dimasuk-masukin

angkanya. Kayak mekanisme otomatis, keluar

angkanya. Saya tidak menyalahi juga. Saya

mengikuti kontrak dan melaksanakan isi kontrak.

Tapi yang mengusulkan ke Gubernur, saya bukan

PAM Jaya. Pak gubernur baca itu, saya dipanggil.

Saya bilang, dia ketuk palu. Oke setuju. Jadi saya

konsultasi di depan gubernur. Ada PAM Jaya, ada

operator. Di depan pak Sutiyoso saya presentasi

sekali setahun. Kalau naik itu, saya dipanggil

gubernur. Ada PAM Jaya, ada operator-operator.

Nah debatlah kita di situ. Gara-gara operator tidak

setuju itu kekecilan. PAM Jaya kegedean. Nah saya

bilang, saya kerja atas dasar rumus dan indeks yang

dari BPS. Akhirnya mereka sepakat dengan angka

140

Universitas Indonesia

saya. Karena saya tinggal hitung-hitungan aja kok.

Tinggal isi kontrak aja. Jadi semua dalam kontrak itu

sudah yaa terlepas dari isi kontraknya tidak

berimbang ya, itu sudah rapi sekali, pake rumus,

pake angka BPS, masukkan. Putuskan. Keluarklah

instruksi gubernur. Tapi sebelum jadi instruksi

gubernur, dirapatkan dulu. Rapat pleno namanya.

PAM Jaya kadang-kadang minta terlalu tinggi. Tapi

swastanya bilang, ah kurang. Tapi saya berdasarkan

isi kontrak. Biasanya gubernur selalu setuju dengan

saya, pak Sutiyoso.

141

Universitas Indonesia

Transkrip Wawancara dengan Ir. Sriwidayanto Kaderi

Hari, tanggal : Senin, 10 Februari 2014

Tempat : Kantor PAM Jaya

Nomor Isi Keterangan

1 Peneliti (P)

: Pertama mau menanyakan sistem pengelolaan air

minum Jakarta itu seperti apa ya pak?

Sriwidayanto Kaderi (SK)

: Sistem pengelolaan air minum Jakarta itu mengacu

pada Perda 13 tahun 1992 dan Perda 11 tahun 1993.

Perda 13 itu mengatur pendirian PAM Jaya, abis itu

tugasnya yang salah satunya itu mengatur tentang air

minum Jakarta. Kalau mulai tahun 98, ada kerjasama

antara PAM Jaya dengan mitra swasta, waktu itu GDS

yang kemudian diubah menjadi PALYJA. Dan satu lagi

di timur itu PT KATI yang kemudian menjadi PT TPJ

sekarang menjadi AETRA. Jadi dengan adanya

kerjasama itu, fungsi PAM itu adalah mengawasi atau

mensupervisi dari proyek kerjasama ini. Operasional

pelayanan air minum itu dilakukan oleh kedua

mitranya, PAM hanya mengawasi.

Sistem

pengelolaan air

minum Jakarta

2 P : Lalu aturan pembagian tugasnya selain hanya

mengawasi itu PAM ngapain lagi ya pak?

SK : Ya ngawasin itu dalam artian yang luas. Dari mulai dari

bagaimana kita menyepakati target-target yang harus

dicapai oleh pelayanan itu, misalnya dengan cakupan

layanan terus kemudian tekanan yang harus diberikan

kepada masyarakat, kemudian kualitas, kontinuitas,

investasi yang harus kita lakukan.

P : Kalau soal pemasangan pipa, kebocoran gitu pak?

SK : Nah kalau pemasangan pipa, kebocoran itu kan

dilakukan oleh mitra swasta. Karena kalau pemasangan

pipa gitu bisa jadi investasi yang dilakukan oleh mitra

swasta. Kemudian kalau perbaikan adanya kebocoran

atau pemasangan baru, itu adalah bagian daripada

operasional, perawatan, ataupun kegiatan pembiayaan.

P : Jadi kalau sambungan baru segala itu dari swasta ya?

SK : Iya. Itu dilakukan oleh mitra. Ketentuan-ketentuan

mengenai sambungan baru, tarif itu ditetapkan oleh

Pembagian

tugas antara

PAM Jaya

dengan mitra

swasta

142

Universitas Indonesia

PAM maupun oleh pemerintah DKI.

3 P : Nah kalau penentuan tarif nih pak, bisa diceritain ga

pak?

SK : Ya, penentuan tarif itu sebenarnya diusulkan

berdasarkan pada tingkat kebutuhan pembiayaan.

Diusulkan oleh mitra swasta, diusulkan oleh PAM Jaya

kepada BRPAM. Kemudian, BRPAM akan melakukan

evaluasi, kajian, konsultasi publik. Kalau semuanya

sudah oke angkanya, angka itu baru kemudian

diberikan kepada gubernur. Nah gubernurnya akan

melakukan evaluasi juga. Setelah itu, udah oke,

kemudian dimintakan pendapat. Jadi bukan persetujuan

sebenernya. Pendapat kepada DPRD. Saran. Jadi nanti

udah keluar, jadi baru ada peraturan atau SK Gubernur

mengenai tarif.

P : Kalau hitung-hitungan tarifnya itu sendiri dapatnya dari

mana ya pak?

SK : Hitungan tarif diperhitungkan dari tadi itu. Dari biaya

operasional, dari pinjaman investasi, dari pengembalian

utang-utang PAM, itu semuanya ada itung-itungannya.

P : Saya sempet tau juga soal WC sama WT. Bisa tolong

dijelasin ga pak?

SK : Ya kalau WT, itu yang tadi, yang ditetapkan oleh

Gubernur. Kalau WC atau imbalan itu adalah biaya

yang dihitung berdasarkan satu formula yang waktu itu

sudah disepakati bersama sehingga imbalan ini

dilakukan itung-itungannya sebenernya ya sama, kayak

ada biaya operasinya, ada berapa biaya tunjangannya,

investasinya, terus dari situ kemudian bisa ditentukan,

berapa imbalannya mereka. Kemudian nanti, setiap

lima tahun imbalan dasarnya kemudian dibahas

kembali. Kemudian tiap enam bulan, clashnya di sini.

Tiap enam bulan, ada semacam adjustment berdasarkan

pada kondisi tingkat inflasi yang dikeluarkan oleh BPS.

Nah dari situ nanti dimasukkan kepada formula tadi,

dilihat apakah ada kenaikan harga atau kenaikan

imbalan, apakah penurunan imbalan. Cuma di negeri

ini kan belum pernah ada yang kemudian kita

melakukan adjustment tapi minus gitu kan. Adjustment

kan biasanya nambah. Itu juga terjadi di soal air ini.

Karena kan inflasi misalnya kaitannya dengan

pekerjaan konstruksi ada inflasi misalnya 2%. Nah kita

Penentuan tarif

dan saham

143

Universitas Indonesia

harus menghitung itu inflasi 2% pengaruh di konstruksi

atau di investasi ada. Formula itu nanti tinggal kita

masukkan.

P : Berarti ngaruh ke WT?

SK : Enggak, ga ngaruh ke WT. Pengaruhnya kepada WC.

Memang yang ideal adalah kemudian setelah WC ada,

WT itu harus dilakukan penyesuaian dengan WC gitu.

Kalau WT kan tadi, karena melalui pak gubernur,

melalui DPRD, melalui ini, sisi politisnya jauh lebih

besar. Sehingga dampaknya seperti sekarang. WT itu

dari tahun 2007 sampe sekarang blm pernah naik lagi.

Terakhir naik itu Januari 2007. Sementara WC itu kan

naik terus tiap enam bulan, tiap semester berdasarkan

perjanjian kerjasama. Kemudian, kalau untuk Aetra

naiknya sekarang tidak tiap enam bulan. Kenapa?

Karena Aetra kita udah menyepakati tahun 2012 satu

master agreement perjanjian kerjasama ini. Sehingga

perjanjian dengan mereka itu naiknya setaun sekali. Itu

pun besarannya tidak ditetapkan, sekitar satu setengah

persen lah lebih kurang pertahun. Nanti ada perubahan

yang sangat besar, kondisi makro ekonomi yang sangat

besar berubahnya, kita mengadakan diskusi yang

disebut renegosiasi. Kita mendiskusikan, misalnya

kayak listrik nih. Katanya Mei nanti listrik mau

dinaikin 38% misalnya. Itu kan sesuatu yang sangat ini

gitu lho. Artinya klo naik listrik kan biasanya 3% atau

berapa gitu. Jadi kalau dalam penyusunan anggaran kita

tetapkan angka tertentu, atau misalnya naiknya sampai

30% kan udah bubar semua ininya gitu. Jadi mungkin

dimungkinan untuk kemudian kita duduk bersama lagi

untuk membicarakan perubahan itu. Misalnya

pemerintah, dan misalnya ada kebijakan gaji pegawai

negeri, eh jangan pegawai negeri karena kita bukan

pegawai negeri. Gaji buruh diturunkan misalnya

ekstremnya, kita duduk kembali melakukan

renegosiasi.

P : Lalu kalau misalnya WCnya naik terus WT nya tetap

seperti itu...

SK : Nah itu kemudian itu menjadi defisit. Defisit itu lah

yang disebut sebagai shortfall. Shortfall itu lah yang

kemudian yang seharusnya shortfall itu ditanggung

oleh proyek kerjasama. Jadi yang nanggung bukan

144

Universitas Indonesia

hanya PAM saja atau swasta saja. Harus ditanggung

bareng-bareng sebenernya. Tapi ga tau saya

bermulanya dari mana, kok itu kemudian seolah-olah

menjadi bebannya PAM.

P : Lalu PAM sendiri melakukan apa pak terhadap hal itu?

SK : Ya itu, PAM melakukan renegosiasi. Yang sekarang

lebih terkenal sebagai rebalancing. Contohnya dengan

Aetra, kami sudah sepakat. Bahwa yang disebut utang

itu tadi sudah menjadi tanggung jawabnya Aetra.

Kemudian utang yang kemaren 330 milyar itu memang

secara bertahap akan dinolkan oleh kerjasama ini. Oleh

Aetra. Aetra mau mengakui bahwa utang yang 330

milyar itu seolah-olah akan menjadi tanggung

jawabnya dia. Itu sampai dengan tahun 2016 harus

menjadi nol. Setelah 2016 apabila terjadi lagi defisit,

itu telah menjadi tanggung jawabnya pihak kedua.

Dalam hal ini Aetra. Jadi kalau terjadi defisit lagi, ya

itu utangnya Aetra. Jadi kita lebih firm menetapkan.

Kalau dulu kan ngambang. Oh itu utangnya proyek.

Begitu proyek ga jelas, jadi tanggung jawabnya PAM.

Jadi seolah-olah PAM punya utang. Itu kemudian

kenapa kita minta Aetra seperti itu. Kepada Palyja juga

hal yang sama. Namun Palyja belum sepakat sampai

dengan hari ini. Karena belum sepakat, kemudian akhir

2012, mereka akan menjual saham ke Manila Water.

Namun kita menolak. Lebih baik BUMD yang membeli

sahamnya, sehingga prosesnya kemudian pertengahan

tahun 2013 kita tolak. Kita diskusikan kembali dengan

Palyja untuk mau menjual kepada BUMD. Kemudian

BUMD dengan mereka lah melakukan diskusi tawar-

menawar.

P : Yang beritanya soal DKI mau membeli sahamnya...

SK : Ya itu tadi. Sahamnya Palyja tadi itu. Suez sama

Astratel. Itu prosesnya mudah-mudahan ya dalam

waktu dekat bisa disepakati.

P : Tapi itu hanya Palyja ya? Aetra tidak?

SK : Belum, bukan tidak. Karena tidak sama belum kan

beda. Kenapa belum, pertimbangannya ada dua. Yang

pertama, kita juga tidak ingin bahwa kemudian

dianggap seolah-olah Pemda DKI ingin hmm kasarnya

begitu saja kemudian menginikan peran swasta di

dalam pengelolaan air minum. Kan ga mau juga

145

Universitas Indonesia

pemerintah DKI berantem dengan pemerintah pusat

gitu kan. Jadi kita bertahap. Yang kedua, juga begitu

nanti beralih kan pelayanan kan ga boleh berubah.

Harus meningkat. Kita juga pengen tau dulu, begitu

nanti berbalik, pelayanannya menjadi seperti apa.

Kalau Aetra ga mau, tapi kita pelayanannya lebih

bagus, Aetra lebih jelek, ya kan kita bisa langsung kita

beli lagi.

P : Yang tadi waktu Palyja ingin dibeli Manila Water tadi,

ada proses biddingnya ga?

SK : Ada, di sisi mereka sana ada. Tapi PAM tidak?

P : Kan memang di perjanjian kerjasama memang

amanatnya seperti itu. Jadi PAM emang cuma

dimintakan persetujuannya pada waktu mereka sudah

punya calon pembeli. Itu pun juga pada posisi

mayoritas pemilik saham. Jadi kalau mereka jual

sahamnya Cuma 40-49% itu ga perlu ada persetujuan

dari PAM. Cuma mereka lapor aja. Makanya, dulu

waktu Palyja jual saham kepada Astratel maupun

kepada City Corps pada waktu itu juga mereka ga perlu

izin persetujuan. Cuma dia melaporkan aja. Saya

sekarang sudah tidak menguasai 100% Palyja lagi,

yang 49% sudah saya jual. Jadi pembagiannya 29, 29,

20 kalau ga salah. 29 punya Astratel, 20 punya City

Corps. Kalau City Corps dalam jangka waktu sekian

tahun dijual kepada Astratel, akhirnya Astratel punya

49, Suez nya punya 51. Nanti Astratel menjual pun, itu

ga perlu izin PAM. Dia hanya menyampaikan laporan.

Tapi kalau yang Suez ini karena dia 51%, dia harus

minta izin persetujuan dari PAM. Itu lah yang

kemudian diproses. Walaupun yang membeli siapapun,

yang pemda sekalipun. Sekarang Pemda, dalam hal ini

BUMD. Tetep harus ada proses itu.

4 P : Lalu kan sekarang banyak berita tentang privatisasi air

gitu kan pak. Nah tanggapan bapak sendiri gimana?

SK : Jadi sebenernya gini. Mungkin kita jangan, kalau saya

lebih seneng sebenernya PPP. Public-Private

Partnership. Itu bukan privatisasi. Kalau privatisasi

seolah-olah PDAM itu sudah tidak ada. Diganti oleh

swasta. Swastanisasi. Menurut saya lebih seneng PPP.

Jadi ada swasta yang kemudian bermitra dengan

perusahaan publik. Sebenernya itu. Nah, saya tidak

Pandangan

tentang

privatisasi air

146

Universitas Indonesia

menolak itu dalam artian jangan hulu-hilir sebagaimana

yang terjadi di Jakarta. Jadi boleh kita juga membuka

ruang. Boleh swasta ikut berperan serta. Misalnya

apakah membangun instalasi misalnya, lalu mereka

menjual kepada PDAM. Seperti PLN. Jadi PLN kan

gitu. Ada pembangkit, kemudian mereka menjual

kepada PLN listriknya. Mereka lah yang menyalurkan

kepada masyarakat. Kalau seperti itu, emang itu lah

sebenernya peran yang harus dilakukan oleh swasta.

Karena kan negara ga mungkin mampu membiayai.

Kira-kira seperti itu. Yang kedua juga negara ga boleh

juga menutup swasta ga boleh berusaha. Jadi, UUD 45

pasal 33 juga sebenernya tidak tabu terhadap adanya

peran swasta di dalamnya walaupun itu kan dulunya

dikuasai negara. Dikuasai negara bukan berarti semua

diinikan oleh negara. Kan boleh negara: oke bagian ini

kamu yang pegang. Jadi intinya adalah bahwa tidak

boleh dilakukan, atau tidak boleh diberikan hak

ekskusif kepada swasta untuk mengelola satu kawasan

atau area dari hulu ke hilir dari seluruh wilayah.

5 SK : Tapi misalnya sekarang gini, kita punya satu daerah

tertentu. Sebutlah misalnya X. Kita pun juga belum

bisa melayani ke sana. Belum bisa itu banyak sebab.

Mungkin karena airnya, mungkin karena finansialnya.

Kebetulan ada swasta yang menawarkan. Aku mau tuh

melayani daerah X itu. X ini adalah bagian kecil

daripada satu wilayah. Misalnya kalau DKI itu wilayah

Jakarta, satu pojokan tertentu misalnya Pluit. Atau

Kamal misalnya. Ada swasta yang pengen menawarkan

itu. Selagi memang itu berdampak positif bagi

masyarakat yang dilayani, yang kedua itu berdampak

positif bagi PDAM dan DKI ya ga masalah. Atau kalau

tidak ya tadi, parsial. Apakah ia hanya produksinya

saja, atau dia hanya masangin pipa ya ga masalah.

Yang penting adalah jangan dia yang mengelola secara

keseluruhan. Makanya, Jakarta ini adalah satu sample,

contoh, yang perjanjian pada waktu itu kita buat yang

memang kita belum punya dasar-dasarnya. Sehingga

kita perlu membuat dasar-dasar hukum yang sepakat.

Dulu dasarnya kan pake seinget saya pake UU 11 tahun

74, UU pengairan. Mungkin. Terus ada mendagri untuk

kerjasama antara PDAM dengan swasta itu bentuknya

Pelayanan

distribusi air

147

Universitas Indonesia

seperti apa. Mungkin gitu aja dasarnya. Nah sekarang

itu sebenernya udah diatur lebih detil lagi di dalam UU

7 tahun 2004. Itu jauh lebih bagus peraturannya.

Sehingga ga ada lagi kejadian kerjasama seperti yang

ada di Jakarta. Cuma dalam amanatnya UU 7 itu, bagi

perjanjian yang sudah ada, itu tetap berjalan terus

namun demikian dilakukan evaluasi dan negosiasi. Itu

lah yang kami lakukan. Dengan Aetra kita clear, sampe

kelar. Tapi sama Palyja enggak. Nah terus pembeli

Palyja ini, setelah Manila Water kita tolak kan BUMD.

BUMD pun itu sudah kita sampaikan: kalian boleh

membeli, tapi persyaratan-persyaratan utamanya adalah

bagaimana kita merebalancing perubahan terhadap

kontrak kerjasama ini yang tidak merugikan PAM,

pemerintah, dan masyarakat. Dan juga mencapai

cakupan layanan dan pelayanan yang lebih baik. Kita

harus punya standar pelayanan minimum yang

kemudian disepakati bersama yang disepakati dengan

perubahan-perubahan dari kerjasama awal.

P : Lalu kalau misalnya masyarakat mau memberikan

keluhan seperti itu ke PAM atau ke operator swasta?

SK : Kalau keluhan, itu biasanya banyak juga yang ke kita.

Karena pahamnya masyarakat kan pokoknya kalau air

minum Jakarta kan PAM. Kan gitu. Jadi ya mau ga

mau. Tapi sebenernya ya keluhan itu diterima siapapun

ya ga masalah. Mitra juga boleh ke mitra. Cuma

kadang-kadang ke mitra itu ga ditanggapin, pasti ke

kita. Ada juga yang orang males ke mitra karena susah

ga ditanggapin, langsung ke kita. Gapapa. Itu kan yang

penting untuk perbaikan bersama. Kita kan juga

monitor juga keluhan pelanggan. Kita ada rapat rutin

bulanan, evaluasi, lalu setiap kita dapat berita keluhan,

kita melakukan teguran untuk mereka. Teguran ke kita

pun, karena operasionalnya ke kita, kita juga

melakukan teguran ke mereka. Cuma kami ikut

memonitor secara langsung jadinya. Karena kami

mendapat keluhan dari masyarakat dan sebagainya.

P : Jadi respon dari pihak swasta setelah mendapatkan

teguran itu biasanya seperti apa pak?

SK : Ya mereka bilang bahwa kami sudah melakukan

perbaikan atau oh ini belum bisa karena perlu

perizininan, perlu ini perlu itu. Ya kerjasama lah.

148

Universitas Indonesia

6 P : Hmm kita mundur ke belakang nih pak. Boleh

diceritain ga pak soal dulu kebijakan privatisasi air itu

awalnya gimana sih bisa sampe ada?

SK : Kalau itu tanyanya ke siapa ya. Saya kan ga tau juga

saya. Ya kira-kira gini, kalau kebijakannya saya ga tau.

Tapi sejarahnya itu dengan pertumbuhan dan

perkembangan perekonomian Indonesia tahun 80-an

sampai 90-an itu kan sangan tinggi kita. Sangat pesat.

Sedangkan kemudian kemampuan pemerintah itu tidak

semuanya tidak bisa dilakukan oleh pemerintah,

sehingga kemudian ada kebijakan waktu itu untuk

melakukan yang disebutkan peran serta swasta di

dalam bukan hanya pelayanan air minum. Pada waktu

itu kan ada air minum, ada jalan tol, ada listrik, ada

perumahan, ada macem-macem kan. Cuman memang

dengan melihat Jakarta yang bertumbuh seperti itu,

dengan kemampuan PAM Jaya untuk melakukan

percepatan pengembangan yang seperti itu dirasa tidak

mungkin, kan ada kebijakan dari pemerintah pusat.

Katanya adalah instruksinya presiden kepada menteri

PU. Yaudah percepatan pelayanan Jakarta dilakukan

kerjasama. Jadi kalau ceritanya para pendahulu itu

awalnya kerjasama ini ga kemudian Jakarta ini dibagi

dua seperti sekarang. Awalnya itu juga sebenernya

seperti tadi saya sampaikan bahwa yang baik adalah

seperti itu. Dan awalnya mungkin kita oke kita

instalasinya aja dulu atau mungkin misalnya wilayah

Jakarta ini kan dari awal PAM Jaya dalam operasinya

membagi wilayah pelayanan enam wilayah. Ini adalah

berdasarkan keberadaan pipa-pipa besar dan instalasi di

area itu. Wilayah satu itu secara kewilayahan itu sekitar

Jakarta Pusat. Wilayah dua itu sebagian Jakarta Pusat,

kemudian sebagian Jakarta Timur. Wilayah tiga itu

sebagian Jakarta Utara tapi sisi timur. Wilayah empat

itu Jakarta Barat. Wilayah lima ini hampir semua

Jakarta Selatan. Wilayah enam itu Jakarta Timur sisi

selatan. Tapi itu sebenernya karena dibatasin oleh pipa-

pipa primer. Basenya adalah pipa yang ada. Jadi waktu

awalnya itu sebenernya kerjasama ini adalah bahwa

Jakarta yang sudah seperti itu silakan aja diteruskan.

Awalnya itu kita akan membangun di jatiluhur.

Kemudian mengirim air bersih dijual kepada Jakarta.

Perjanjian antara

PAM Jaya

dengan swasta

149

Universitas Indonesia

Nah saya ga tau gimana, ini kan saya cuma denger

cerita sejarah ya. Mungkin ya, gubernur mikir bisa

lama sekali. Yaudah ini aja, Jakarta dibagi dua saja.

Dibagi dua terus gimana? Yaudah PAM nya nanti

sebagai pengawas saja. Swastalah nanti yang akan

mengoperasikan. Bagi dua, batesnya kali ciliwung.

Ciliwung ke barat dan ciliwung ke timur. Kebetulan

tadi, karena kewilayahan Jakarta sudah dibagi enam

gitu, kalau wilayah timur menjadi wilayah 3, wilayah 2,

dan wilayah 6. Nah kebetulan yang di barat, itu ada

wilayah 1 Jakarta Pusat, wilayah 4 Jakarta Barat,

Jakarta Pusat itu kan sampe ke Utara juga kan. Barat

juga sampe ke Utara, kemudian ada Jakarta Selatan di

sebelah barat. Kita seperti itu pembagiannya. Di situ

lah kita mulai yaudah PAMnya jadi berfungsi sebagai

supervisi, kemudian yang mengoperasikan itu adalah

swasta. Walaupun yang dipekerjakan tetep karyawan

PAM Jaya dulu plus beberapa karyawan mereka.

Sehingga dulu itu perjanjiannya itu harus 80-20. 80%

adalah orang PAM, 20% adalah mitra swasta. Harusnya

itu dipertahankan terus. Cuman karena ini ya saya ga

tau, saya cuma dapet warisan, ini posisinya sudah 51

swasta, 49 PAM. Kalau yang di barat. Kalau yang di

timur masih tinggian PAM sedikit. PAM 50,3 apa,

terus swasta 49,7. Itu. Tapi dalam perubahan

renegosiasi itu saya menghendaki tetep 80-20 harus

dijalankan. Tapi itu kan tidak membalik tangan. Ada

prosesnya. Prosesnya adalah secara perlahan,

karyawan-karyawan yang sudah ada di mitra itu kalau

yang bagus-bagus nanti ya akan kita wawancara, akan

kita rekrut untuk menjadi karyawannya PAM. Jadi

bertahap kita akan nambah. Tapi, batasannya memang

kalau untuk Aetra, kalau Palyja kan kita emang belum

sampai ke sana. Kalau untuk Aetra akan kita sepakati

bahwa empat tahun sebelum kerjasama berakhir, itu

kita sudah mulai membahas detilnya. Pelaksanaan itu

gimana. Pelakasanaan itu kan juga ga mudah. Dua

tahun sebelum kerjasama berakhir, baru kemudian

beralih. Karena dampaknya dari peralihan status itu kan

harus diitung konsekuensinya. Karena gajinya

karyawan PAM dengan gajinya karyawan swasta kan

berbeda. Di samping hak-hak yang lain lah.

150

Universitas Indonesia

7 P : Lalu pak, kalau misalnya mau ada warga yang

rumahnya belum teraliri oleh PAM. Lalu dia apakah

harus minta dulu, request dulu gitu atau memang ada

program kerja untuk mengaliri?

SK : Tergantung. Jadi gini, kalau warga belum ada aliran air

tapi misalnya di sekitarnya, di deketnya dia sudah ada

aliran air, itu berarti warga yang harus aktif minta

kepada PAM, saya mau jadi pelanggan, rumah saya di

sini, tetangga yang terdekat dengan saya di sini. Kalau

misalnya satu kawasan tertentu yang belum ada

alirannya PAM, PAM pasti punya program apa tahun

sekian akan masuk ke sana, tahun sekian apa masuk ke

sana. Jadi dua. PAM yang memang sudah

memprogramkan untuk itu atau sebenernya sudah ada

cuma warganya yang belum minta. Kan kita juga ga

bisa menawarkan terus-terusan. Nanti ada yang disebut

sebagai temu pelanggan. Temu pelanggan itu kalau ga

salah hampir tiap bulan itu ada. Jadi per bulan di Aetra

sekali, sebulan di Palyja sekali. Jadi itu paling tidak ada

dua kali pertemuan. Misalnya nanti daerah tertentu gitu

misalnya hmm apa kecamatan atau kelurahan slipi

misalnya. Itu nanti biasanya ada. Warga-warga di

tempat itu yang pelanggan maupun yang bukan

pelanggan biasanya akan datang.

P : Lalu PAM sendiri bagaimana cara memberikan akses

kepada orang-orang yang misalnya di Muara Baru,

Penjaringan itu kan ada yang belum dapet PAM. Ada

yang berteriak air mahal itu bagaimana pak?

SK : Ya kalau misalnya satu wilayah tertentu belum ada air

PAMnya ya itu tadi. Kalau misalnya kita emang ada

program ke sana, ya kita emang akan alirkan ke sana.

Kalau misalnya memang itu harus dilayani kemudian

mitranya belum punya kemampuan untuk itu ya

PAMnya akan melihat ke sana, seperti apa, propertinya

bener apa enggak. Kepemilikannya bener apa enggak.

Cuma kan saya ga boleh melayani di daerah ilegal.

Kecuali sekarang karena kalau saya ga melayani,

mereka kan butuh air. Makanya kalo di area ilegal itu,

sekarang sistemnya adalah kami layani dengan master

meter. Jadi kami layanin misalnya nih areanya segini.

Kita alirin ke sini, kita berhenti di sini, kita pasang

Pelayanan

distribusi air

151

Universitas Indonesia

meter di sini. Nah meter ini lah nanti yang akan

dikelola oleh warga yang ada di sini ini, mereka akan

milih, siapa yang akan ditunjuk sebagai pengelola ini.

Jadi nanti saya tinggal mintanya kepada orang yang

ditunjuk itu. Nanti dia yang menyalurkan kepada warga

yang ditunjuk di sini.

P : Area ilegal itu kenapa pak?

SK : Area ilegal itu ya misalnya mereka bukan tanahnya.

Misalnya kayak Tanah Merah. Itu kan punya Pertamina

itu. Warga kan ada di situ. Warga kan butuh air. Kalau

zaman dulu kan saya ga mau layanin. Nah tapi karena

sekian lama ga kita layani, kemudian mereka nyolong,

airnya kan ilang. Lebih baik saya buat seperti itu tadi.

Saya bangun di sini ada hidran atau apa. Saya tinggal

percaya pada satu atau dua orang itu saja.

P : Lalu satu orang itu harus bayar ke PAM?

SK : Iya. Harus bayar. Ke mitra. Kalau ini kan ke mitra kan.

Kecuali kalau misalnya mitra ga layanin. Yang layanin

PAM. Kemudian bayarnya PAM. Contoh yang

dilayanin sama PAM itu misalnya Rusun di Muara

Baru. Itu karena Palyja belum sanggup, kemudian

PAM melayani. Saya bikin instalasi di sana. Saya

layanin bener-bener. Saya ambil air dari waduk pluit.

Saya olah, saya proses, saya layankan ke rumah susun

itu. Nah kalau harga mahal, itu sebenernya justru kalau

bisa dilayanin oleh kami, harganya pasti akan murah.

Harga mahal itu karena kemudian mereka belinya

dorongan. Kalau dorongan itu kan satu dorongan itu

berapa itu ya ada yang 10 ada yang 20. Kalau satu

jerigen itu misalnya anggeplah 500 misalnya, kalau

satu pikul 2 jerigen itu kan udah 1000. Sedangkan

1kubik itu 50 jerigen. Kalau harganya 2 jerigen itu

udah 1000, jadi lebih mahal. Sedangkan air dari PAM,

kalau itu warga masyarakat sangat tidak mampu itu kan

cuma 1.050 satu kubik pertamanya. Itu lah yang

kemudian kami atas pemprov DKI, pimpinan pak

gubernur dan pak wakil gubernur, kami sekarang sudah

memprogramkan untuk melayani area-area masyarakat

tidak mampu. Jadi mereka akan berikan sampai dengan

10 kubik itu tarifnya cuma 1.050. Tapi nanti begitu

mereka pakai 11 kubik, 12 dan seterusnya, itu nanti

akan kita kenakan 10.000. Itu kalau dihitung pun tetap

152

Universitas Indonesia

masih jauh lebih murah dibandingkan kalau dia itu.

Yang jadi problem sekarang adalah ketersediaan air

kan gitu. Persediaan air kita untuk bisa sampe ke sana

itu kan yang masalahnya belum ada. Sehingga mau ga

mau ya gitu. Ya air baku. Kan ga ada air bersih kalau

ga ada air baku. Sehingga dengan adanya perbaikan-

perbaikan sungai-sungai yang ada di Jakarta, kemudian

situ-situ itu, saya akan melakukan kajian ulang. Kita

pelajari, kualitasnya gimana, kuantitasnya gimana,

apakah waduk ini bisa kita olah. Kemudian nanti kami

akan bangun instalasi layanan di sekitarnya. Jadi ga

perlu lagi air harus dari sini. Di sekitar situ saja. Ini

dulu kenapa ini ada di sini ini kan sistemnya dulu

masalahnya sentralisasi. Sentralisasi instalasi. Memang

pada waktu itu ya mungkin-mungkin saja. Karena kan

emang kita belum tahu juga perkembangan Jakarta

akan ke mana. Ini dulu di sini juga tempat jin buang

anak juga. Tahun 50-60 gitu. Masih sepi banget. Masih

rawa-rawa juga. Sehingga kami memang ingin

melakukan layanan-layanan kecil. Kluster-kluster gitu.

Sehingga tingkat kebocoran juga pasti akan jauh

berkurang. Karena kan ga perlu mendorong air lagi dari

pejompongan sampe ke pluit. Mungkin Pejompongan

cuma kita dorong sampe Tanah Abang. Ya sejauh-

jauhnya mungkin sampe Grogol gitu kan. Sehingga kita

memang ingin membangun instalasi-instalasi di sekitar

Jembatan Besi, di sekitaran deket hutan kota sana itu

yang pinggir tol, kemudian juga akan nanti juga akan

dibangun di bekasi sana terus air nya bisa dialirin ke

Muara Karang.

8 P : Tadi bapak menyebutkan bahwa Water Tariff itu dari

gubernur, DPRD, kalau misalnya soal PU atau menkeu,

mendagri, itu tidak ada campur tangannya di WT ini?

SK : Tidak. Campur tangannya mereka kan ada di kebijakan.

Kemudian ya kalo PU, mendagri ya dulu pada waktu

bentuk kerjasama ini.

P : Kalau pertanggungjawaban PAM sendiri itu ke mana

ya pak ya?

SK : Pertanggungjawaban PAM kepada gubernur.

P : Baik. Lalu soal ini pak. Saya lihat di webnya PAM ada

golongan-golongan tarif. Itu asalnya dari pendapatan

atau gimana?

Tarif air

153

Universitas Indonesia

SK : Bukan, golongan tarif itu gini. Kan warga masyarakat

kita coba bagi-bagi. Ada yang sosial, kayak masjid,

gereja, klenteng, terus panti jompo, panti sosial. Itu kita

anggep sebagai golongan sosial, golongan 1. Tarifnya

berapapun dia pake air 1.050. Tapi nanti kita akan

melakukan evaluasi. Karena kita bukan suuzon. Ada

juga oknum yang memanfaatkan. Kan gitu kan. Pakai

banyak banget, pemakaiannya jadi berlebihan. Tapi

berlebihannya jadinya tidak dipakai untuk itu jadi

dijual-jual. Makanya kita nanti akan batesin bahwa

pemakaian sampai dengan 10 kubik pertama 1.050,

terus berikutnya menjadi 10.000 tadi. Biar orang biar

bijak juga menggunakan air. Di sisi lain, ada banyak

warga yang belum dapat air, di sisi lainnya lagi

kemudian warga untuk keuntungannya mereka pakai

ini. Keadilan air jadi ga ada kan. Lalu golongan 2. Saya

juga ga apal tapi kira-kira gitu. Itu misalnya untuk

rumah tangga sangat-sangat sederhana. Pemakaiannya

10 kubik pertama 1.050. Kemudian 11 kubik ke atas itu

1.550 apa 1.575 lah. Gitu. Kemudian ada golongan tiga

itu dibagi A sama B. Kalau A itu rumah sederhana,

kalau B ini rumah menengah. Nanti ada 4A rumah

tangga mewah. Lalu ada 4B ini apartemen mewah,

hotel, dan seterusnya, industri. Lalu ada satu lagi,

sebenernya ini ga perlu. Tapi karena ini ada di dalem

SK itu, ada lagi golongan 5 untuk pelabuhan. Cuma

satu pelanggannya, kan cuma Tanjung Priuk doang.

P : Lalu mengukur rumah tangga sangat sederhana,

sederhana, menengah, mewah itu dari mana?

SK : Ada beberapa kriteria. Salah satu di antaranya adalah

rumah tangga sangat sederhana itu misalnya lantainya

masih tanah, terus kemudian bangunannya belum

bangunan permanen tembok. Sederhana misalnya

lantainya sudah plitur, sudah tembok tapi baru separo.

Termasuk juga luar bangunan. Misalnya sangat

sederhana itu 21 meter persegi. Jadi banyak macem

kriterianya. Karena apa karena sekarang kan apartemen

yang 21 meter juga banyak, tapi apartemennya kan

sangat mewah. 21 meter cuma untuk tidur doang. Kan

ga mungkin kita kenain 1.050. Kan niaga atau usaha

juga macem-macem. Usaha kecil bisa masuk kategori

3B mungkin ya. Nanti diliat aja. Itu kan ada itu nanti

154

Universitas Indonesia

minta aja tabel tarif gitu ke pak Roy. Nanti ada di situ.

Tarif golongan satu itu apa aja gitu.

P : Jadi ada tabel tarif ya pak. Saya bisa minta pamflet atau

apa?

SK : Minta aja nanti.

P : Baik pak. Segini dulu pak. Terima kasih banyak.

155

Universitas Indonesia

Transkrip FGD dengan ibu-ibu di Rawa Badak

Hari, tanggal : Rabu, 29 Januari 2014

Tempat : Rumah ibu Ncih, Rawa Badak

Nomor Isi Keterangan

1 P (Peneliti) : Asalnya ibu dari mana ibu?

Ibu Ncih : Asal mulanya ibu dari banten pandeglang.

Daerah ini dulu bersahabatnya dengan demit-

demit dan setan-setan, betul benar saya kalo

mau ngomong kan dulu di sini rawa-rawa ibu

tinggal disini.

Ibu Ella : Iya benar

Ibu Halimah : Iya dulu rawa-rawa, sawah kemudian menjadi

perumahan

Ibu Ncih : Orang lamanya mah udah pada ga ada, orang-

orang baru

P : Ibu udah lama ya disini?

Ibu Halimah : Udah, udah lama dia

Ibu Ella : Dia pas mau nikah aku baru disini

Ibu Ncih : Duluan ibu mah, tahun 80 masih rawa rawa

disini. Ibu mah dari tahun 80 udah disini.

Masih bersahabatnya wilayah gini udah rame

ni, ayam-ayaman yang suka di rawa itu neng

itu udah ramai itu

Ibu Ella : Kita kalo mau lewat mah masi serem

Ibu Ncih : Tahun 80?

Ibu Halimah : Tahun 80 ya? Aku kesini aja tahun 89

Ibu Ncih : Ini masih bloon.. masih di kampung (menunjuk

ke ibu kedua sambil tertawa)

Ibu Ella : Hehe iya masih di kampung

Ibu Halimah : Saya 89 atau tahun berapa lupa... tapi saya ga

disini kalo 79 saya di Sumedang. Baru kesini

saya 90nya.

Ibu Ncih : 78, 77 saya di Boncang, 80 saya kesini.

P : Kalo ibu emm keluarganya.. anggota

keluarganya ada berapa?

Ibu Ncih : Ibu pribadi apa keluarga dari ibu atau anak ibu?

P : Anak ibu

Ibu Ncih : Anak ibu semua ada tujuh.. yang hidup tujuh

Ibu Halimah : Ada yang meninggal?

Data demografi

156

Universitas Indonesia

Ibu Ncih : Itu almarhum, almarhum mah ga ditulis ya?

Delapan semuanya, yang nikah baru tujuh

delapan bulan udah dipanggil sama yang

mahakuasa

P : Dipanggilnya 8 bulan?

Ibu Ncih : Tahun 81 dia lahirnya, meninggalnya udah 6

tahun. Ya nikah baru tujuh delapan bulan dia

udah ninggalin istrinya yang ga dikasih

keturunan, ono no bapanya (menunjuk foto),.

Wartawan juga anak ibu dulu, kameraman.

P : Oh gitu... sehari-hari ibu ngapain?

Ibu Ncih : Sebelumnya ibu tu ga kerja nak, ayah sama

suami itu dagang kecil-kecilan jadi bantu ayah

dagang kecil-kecilan. Saat ini mah ya udah

pensiun dua duanya. Saat ini udah ga ada apa..

kegiatan usahanya sekarang ini laptop mulu

namanya udah tua nganggur hahaha.

Ibu Halimah : Paling ngurusin cucu ya, dia mah jaya

Ibu Ncih : Iya hahaha, ngurusin cucu. Alhamdullilah

anak-anak ibu udah ngasih cucu. Coba ditanya

ibu anaknya tujuh, cucunya udah mau sepuluh

hahaha. Tahun 86 ibu nikah, eh 65 lahir bulan

6, tahun 80 nikah. Anak jaman sekarang mah

dipenjara umur segitu nikah haha.

P : Kalo ngumpul keluarga berarti rame banget

ya?

Ibu Ncih : Ih alhamdulillah, malah ga cukup nak. Kalo

lagi ngumpul itu kadang-kadang sama nenek

ya wahh ga cukup.

Ibu Halimah : Berarti kalo masuk ke air kurang aja itu

pemasukan air.

(Ibu Ncih berbicara sebentar dengan anak perempuannya yang

menghampirinya)

P : Kalo bu Halimah asalnya dari mana bu?

Ibu Halimah : Saya dari Sulawesi Selatan

P : Pindah kesininya?

Ibu Halimah : Saya pindah kesini 79, ehh sekolah disini sma

P : Kalo pindah ke sininya di Rawa Badak?

Ibu Halimah : Kalo saya pindah ke Rawa Badak sini sekitar

90, 91.

P : Anggota keluarganya berapa ibu?

Ibu Halimah : Kalo saya si anggota keluarganya ada... saya,

157

Universitas Indonesia

suami, anak saya tiga. Lima orang

P : Udah punya cucu?

Ibu Halimah : Baru satu

P : Ohh yang paling tua ya?

Ibu Halimah : Iya.. Saya dulu di rumah itu di tempat saya itu

ada lima orang itu jadi keluarga saya lima

sama ipar-ipar. Jadi saya namanya merantau

ya siap menampung keluarga gitu.

P : Kalo pekerjaan sehari-harinya apa ya bu?

Ibu Halimah : Siapanya?

P : Ibu

Ibu Halimah : Oh kalo saya mah ibu rumah tangga biasa aja

cuman saya mulai aktif di lingkungan itu

waktu pilpres 2004 itu, saya bergabung

dengan LSM itu tahun 2004, emm di

perempuan atas dasar program perempuan.

Iya, jadi saya disitu memang saya dengan

persiwa air ini susah, jadi sebenarnya kita bisa

menggali pengalaman orang per orang,

dikumpulin gitu. Kebetulan saya ditanggapi,

jadi mulai digali, dari apa ya udah berapa

periode yang saya langkahi... empat periode di

SP saya lalui. Mereka selalu respon terus

tentang air kita ini, apa namanya gimana

airnya. Saya mulai disitu bergabung dan

memang saya ada niatnya disitu. Mereka

merespon, jadi ya dan saya sudah sempat jadi

pengurus karena memang saya, sebenarnya

saya ini ga sanggup jadi pengurus udah tua,

udah usia lima puluh, masih tuaan saya dari

dia (menunjuk ibu Ncih), aku umurnya 63

lahirnya, dia 65.

Ibu Ncih : Walaupun tua tapi kan udah punya

pendidikan, ini muda kan buta huruf hehehe.

Ibu Halimah : Emm apa namanya, kita bergabung disitu

sudah mulai angkat bicara tentang hal ini, ya

itu yang saya alami itu sangat berat. Ternyata

bukan saya sendiri aja yang merasakan. Jadi

kita mulai, istilahnya karena saya mulai

mengangkat isu, kenapa si air begini begini ga

bisa dibetulin atau bagaiamana, oh ibu kalo

bisa ibu kolektif, dikumpulin itunya, orangnya

158

Universitas Indonesia

yang airnya mati yang dikampung ibu yang

mati airnya kumpulin, kumpulin rekeningnya

ibu fotokopi, ibu menghadap ke sana ke

tanjung priuk sana, kata saya ribet amat si pak.

Saya ini sendiri aja deh, oh ibu jangan kalo

mau di liat ininya, ya harus kumpulin orang.

Minimal 70 orang

P : Oh awalnya disitu?

Ibu Halimah : Iya awalnya disitu, karena saya kesal juga

belum ada apa namanya, dari tim yang ini

belum ada reaksinya kenapa air mati, kenapa

air bau, saya udah mulai emm memasuki apa

namanya pertanyaan ke pak RT, pak RT

gimana sih caranya, kenapa sih bu? Iya airnya

kering, wah kadang-kadang mati juga memang

kenapa, akhirnya saya minta surat

pengantarnya, ke RT RW tapi ga sampai

kelurahan, rt rw aja mengetahui bahwa

memang kita di wilayah sini air mati, mulailah

dari situ saya kumpulin rekening, saya mau

emm buat surat pa rt, bahwa memang air di

sekitar sini mati dan bau gitu, sudah mati

giliran nyala bau, ga bisa dipake, Cuma bisa

buat siram wc aja kan, buat cebok ibu

khawatir, ya kan?

P : Iya. Oh iya sebentar itu nanti masuk

pertanyaannya nanti. Kalo ibu Ella, ibu Ella

mau tau identitasnya dulu nih

Ibu Ella : Namanya Ella Sari.

P : Apa tu, katanya anak dua.

Ibu Ella : Heem.

P : Suami?

Ibu Ella : Suami pengennya ya satu aja lah. Hehehe

P : Gak boleh ya bu?

Ibu Ncih : Masa ada poliandri hahahaha

P : Terus lahirnya tahun berapa bu?

Ibu Ella : Emm, 70. Eh sesuai KTP ya? 72 berarti saya.

P : Pindah kesini tahun berapa bu?

Ibu Ella : Kalo tempatnya sekitar tahun 99, 99 baru saya

menetap di Jakarta. Dulunya di kampung

P : Oh gitu, 99 jadi pas belum masuk...

Ibu Ella : Udah itu Cuma kita belum heboh hebohnya ya

159

Universitas Indonesia

bu ya

Ibu Halimah : Heboh setelah mau ke pilpres 2004

Ibu Ella : Kalo salah itu abis megawati itu, dari

megawati.

P : Mmm kalo di rumah Cuma sama anak sama

suami aja?

Ibu Ella : Iya

P : Kalo ini kan bu Halimah rame, bu Ncih ada

cucu banyak

Ibu Ella : Malah kemarin ada itu ada ade. Kemarin ada

ade satu, sekarang mah ga ada.

2 P : Ibu disini kalo kondisi air seharinya kira kira

berapa banyak ya bu, itu untuk pakai apa aja?

Ibu Halimah : Masak, masak pake air itu kan umum ya.

Nyuci, mandi, emm, masak, wudhu, emm kalo

itu kan sekarang dulu, dulu ya kita belum ada

galon ya bu ya. Tahun berapa itu masih... itu

yang kita masak, itu yang kita minum, ya kalo

gitu bisa 24 sehari, 24 itu pikulannya 6 pikul

jadi 12 jerigen. 12 jerigen dikali dua, berarti

24 jerigen, gitu. Pagi sore.

P : Itu tiap hari? Tiap hari 12 jerigen?

Ibu Halimah : Iya setiap hari. Nah setelah saya memasang

pam itu kan belum pasang saya, nah itu saya

waktu beli air itu ke jerigen itu saya masih

nampung di rumah saya lima orang, anak saya

tiga ada bapaknya dan saya, jadi itu pagi sore

harus diisi

P : Jadi bolak balik gitu ya?

Ibu Halimah : Iya kita beli yang jerigen itu yang dorongan

gerobak itu, iya kita dulu jaman dulu sepikul

berapa si?

Ibu Ncih : 500

P : Sejerigen?

Ibu Halimah : Ngga sepikul, sepasang gitu. Itu udah berapa

tu itungannya, 250 x 6. Dikali 6 dikali 6 lagi,

jadi 1500 kan dikali dua 3000. Jaman dulu tiga

ribu mah bisa belanja seharian. Ya itu, benar-

benar butuh air. Karena kan kita selalu irit

airnya, irit airnya, iya gitu. Kalo ga gitu ya

neng, mandi anak itu kita dari bak jadi supaya

air ini bisa ngakalinnya seperti itu, ya kan.

Konsumsi Air

160

Universitas Indonesia

Saya mandiin baby gimana si, ya kan? Setelah

itu diangkat dipake airnya, itu ga dibuang,

ditaro. Selesai buang air ya kita itu yang kita

buang, kan sayang air bersih Cuma dibuat

siram wc mendingan yang itu. Cara ngirit air

ya seperti itu. Nah setelah kejadiannya kesini,

kejadiannya emm 2004 kesini setelah

peristiwa apa si itu... emm itu cerita itu udah

mulai tu, apa namanya orang yang berani

berani buka buka mulut, dulu kan ga berani

kita. Dulu dicomotin, ditarikin, diculik gitu

kan. Nah setelah itu masuklah pilpres 2004..

Ibu Ncih : Itu apa ya disebutnya yang begituan?

Ibu Ella : Reformasi, jamannya reformasi akhirnya kita

mulai berani gitu

P : Tapi berarti sebelum 98 itu airnya itu

maksudnya udah memakai pam atau belum

bu?

Ibu Ncih : Oh belum lah, belum ada belum masuk pam

kesini

Ibu Halimah : Tapi saya langganan air sejak 94 mba, saya

udah langganan air

P : Oh gitu

Ibu Ncih : Sebelumnya kan belum ada, dari tahun

80,81,82 kan belum. Setelah ada pam jaya

masuk kan sawah dulu itu. Nah 83 ibu punya

anak yang nomor tiga ibu masang

P : Oh masang pam?

Ibu Ncih : Iya.

Ibu Halimah : Waktu 94 itu aku masang, emm karena kita

pengeluaran air luar biasa apalagi anak-anak

kan bur burr gitu mandinya. Kadang kadang

ya nyimpen nyimpen air. Apalagi ada yang

numpang tolong ya, namanya ipar kan, kan ga

enak.

P : Kalo bu Ella, gimana bu?

Ibu Ella : Kalo saya dulu memang langganan air, karena

begitu, kalo sekarang ya sudah langganan air

pam langsung dari aetra.

P : Oh gitu

Ibu Halimah : Karena dulu kan berpindah-pindah jadi kalo

pernah ngontrak rumah ada fasilitasnya kan

161

Universitas Indonesia

sekarang pindah kontrakan sekarang jadi gitu.

P : Kalo dulu pas masih di kontrakan yang lama,

yang pake pam itu gimana bu?

Ibu Ella : Bayarnya sih murah sebenarnya, kalo

dibanding sekarang itu ada pam. Cuma

walaupun boros kita kan minum beli, apa aja

beli. Jadi tetep ga bisa diminum

P : Oh gitu, kalo misalnya dimasak dulu baru

diminum bisa ga?

Ibu Ella : Ya sekitar 2000... 2002an kesana lah itu

Ibu Halimah : Pernah tahun 2000 berapa itu pernah saya

ngalamin itu ya, hampir berbulan-bulan ya kita

nungguin air dari jam satu pagi kita Cuma

dapat dua ember, jadi malam itu rame orang

nungguin air. Siangnya itu kering kerontang

ga ada sama sekali air. Ada kira-kira tiga bulan

seperti itu nyala mati nyala mati, itu yang

bikin akhirnya saya bergabung disini.

P : Itu tahun berapa bu?

Ibu Halimah : 2004

P : Oh gitu, mm selain dari ini, selain dari apa

yang gerobak-gerobak itu dari mana aja bu?

Misalnya dari hydrant-hydarant gitu

Ibu Halimah : Nah gerobak-gerobak itu dari hydrant

P : Ohh, ada yang punya ya?

Ibu Halimah : Iya, kan yang bikin herannya itu kalo air mati,

hydrant itu nyala.

Ibu Ncih : Dia mah ga mati-mati, hydrant itu ga pernah

mati. Soalnya dia kan ibaratnya induk, kalo

kita anaknya.

Ibu Ncih : Tapi ya waktu itu kita, walaupun mahal kita

merasa bersyukur karena ada yang dibeli

Ibu Ella : Lagipula harga air yang sekarang dengan yang

dulu beda jauh, kalo itu mah lima ribu. Tapi

kalo dulu mah Cuma 1500, nah sekarang ga

bisa harus 4500 lima ribu, itu perpikul. Dua

jerigen.

Ibu Ncih : Dua setengah satu jerigen, iya udah tinggi

harganya sama kaya air pam.

Ibu Halimah : Sebenarnya sama aja, nilai uang itu kan justru

memang gitu kalo sekarang kan dibilangnya

lima ribu.

162

Universitas Indonesia

Ibu Ella : Cuma hasilnya lima ribu hasilnya banyak, kalo

sekarang mah Cuma segitu

Ibu Ncih : Kalo dulunya ibu kalo mau bayar air di pam

perbulan mah dua ribu lima ratus, sekarang

mah udah seratus ribu lebih

P : Oh iya?

Ibu Ncih : Iya, tidak percaya? Boleh diambil. Tapi ibu

mah udah lama menderita air ini, aetra, setelah

pergantian dari pam jaya itu diantara 2007, eh

sembilan berapa ya, itu mungkin tahun apa ya,

pokoknya ampe belasan tahun menderitanya

bukannya setahun dua tahun menderita

3 Ibu Halimah : Dulu kita dipegang pam jaya, masih ada kata

mendingan daripada disini dipegang aetra

P : Oh gitu ya, emang gimana perbandingannya?

Ibu Halimah : Nah perbandingannya, apa ya, emm siapa

yang jawab

P : Terserah

Ibu Ncih : Perbandingannya ibu itu waktu pam jaya ya

ibu kan... mungkin dulu itu kita dipenuhin ama

pam jaya karena masih konsumennya kan

masih dikit, pabrik pabrik baru ada di pos satu,

sekarang kan pabrik banyak butuh air, udah

banyak pabrik disini, dulu kelapa gading

masih rawa, masih sawah, ya. Jadi ibaratnya

belum dibutuhkan, sekarang kelapa gading

udah jadi apartemen, udah tingkat-tingkat

sampai berjulang tinggi ke atas langit apa ga

butuh air banyak, sehingga ya mungkin

kesininya kita dapatnya ga banyak lah ga

seperti dulu. Cuma menderitanya ini nih, ibu

itu merasa terdzolimi. Dari aetra itu merasa

terdzolimi itu karena apa, karena yang lain lain

nyala air, walaupun bau bau juga ya, tapi dulu

ibu ngga ga bisa nyala lama. Ga nyala,

sekalipun nyala kaya gini ni pas banjir.

Ternyata yang masuk tu air kotor. Kan disitu

dia ditulis masuk air, ternyata sampe di kamar

mandi kita buang, kan ga layak pake neng.

Item, bau, banyak jentiknya, air kali air got

bagaimana sih. Akhirnya ibu diajak bergabung

sama kawan-kawan ibu yah, ibu merasa

Perbandingan

sebelum dan

sesudah

privatisasi air

163

Universitas Indonesia

dibimbing sama kawan-kawan, karena merasa

ibu orang bodoh, tidak mengerti, tapi ibu ada

hak disitu sehingga ibu diangkat sama kawan-

kawan, ayo kita gini. Masuklah kita ke SP kita

ya, habis itu ibu memberanikan diri neng biar

ibu bodoh. Ya, ibu maju lah, ga bakal takut lah

ayo kemana ayo. Ya, alhamdulillah habis itu

di respon. Baru dua tahun, tiga tahun ini

Ibu Halimah : Tahun berapa itu ya... kalo ga salah 2010

bulan desember protesnya

Ibu Ncih : Heeh, setelah kita datengin kantor gubernur.

Di jalan apa itu ibu

Ibu Halimah : Iya, kantor gubernur di Monas itu

Ibu Ncih : Iya, tahun 2011. Ibu dari situ tu, karena sakit

hati. Beli iya, begadang iya, suruh bayar ke

PAM iya, tiada maaf bagimu. Tiada merasa

dia itu gimana mengecewakan orang susah,

orang miskin, orang bodoh ya gitu ya. Sampe-

sampe ibu dipanggil kesana, dipanggil kesini

kaya orang ngerti aja. Suruh kesono kesini

ikutin aja sampe dibilangin ibu udah pasrah.

Ibu Halimah : Karena kita yang mengalami soalnya. Jadi kita

memang harus bersaksi, kami lho yang

mengalami ini.

Ibu Ncih : Iya, karena kita sebagai perempuan kita ini

sekali, apa namanya merasa gimana ya

membutuhkan untuk mengharapkan air bersih.

Karena kaya ibu kan banyak anak, efeknya

gimana kalo ibu mesti konsumsi air kotor. Nah

pada akhirnya ibu kesel, ibu kesel, ngadu,

setiap ngadu ga pernah didenger karena aduan

ibu memang dianggap buku kecil ya. Ya,

akhirnya bagaimana caranya supaya ucapan

kita ini ditanggapin. Masalahnya dia mau

ditanggapin sama kita, sebulan dua bulan ga

dibayar main putus putus aja, kita ngadu kaga

pernah diiniin. Kita beli punya hak, orang beli

itu kan maunya kan yang bagus yang bersih

yang bisa dipakai. Ya ini kita tiap bulan bayar,

tapi airnya ga pernah layak pakai

Ibu Halimah : Telat dapet denda, denda itu air mati, air kotor

yang harus dibayar. Letaknya dimana keadilan

164

Universitas Indonesia

Ibu Ella : Ga ada ga ada keadilan

Ibu Ncih : Sampai ibu dua tahun atau setahun ibu kesel

ga bayar bayar, ya mana anak banyak usaha

ayah kan serabutan. Suruh beli tiap hari, suruh

bayar juga tiap bulan ibu gamau. Ibu gamau

bayar neng, karena apa, untuk bayar listrik

untuk beli di luar. Ngapain ibu mau nyumbang

ama orang kaya. Udah gitu si aetra katanya ibu

denger yang punya orang amerika, orang

jerman. Mau bagaimana itu, pas didengerin

ibu diundang ke hotel bidakara, ketemuan

sama bos yang punya air, wah nekat ibu

langsung mau kesono. Dia ngomong bahasa

inggris, kita ngomong sunda aja apa ya, biar

dia ga tau kita gatau. Kan saya orang bodoh

disuruh ngomong bahasa elu gatau, uh saya

ngomong bahasa gua juga lu kata saya.

Akhirnya, kawan kita kan ada disana, ga boleh

gitu ini kan yang diajak ngomong bukan

mahasiswa, ibu ibu yang kecil yang ada

dibawah yang tidak mengerti

Ibu Halimah : Ibu-ibu yang meminta haknya, membayar air

kami ini sudah membeli berarti terlayani

dengan baik. Kita membeli setidaknya apa

namanya kan yang layak diminum, dipakai

buat mandi dan nyuci. Ini kelayakan ga ada

sama sekali, debitnya kurang, airnya bau,

pelayanannya tidak memadai. Misalnya kita

terlambat, denda. Yang didenda itu air bau,

yang masuk itu angin, putaran itu kita bayar.

Putaran itu kan air kan, dengan tanahnya debit

air itu bertambah berapa dalam air ga ada yang

masuk karena angin, jadi meteran itu mutar.

Itu kita bayar coba, didenda pula coba.

Bagaimana sakit hatinya kita, makanya saya

mulai dari situ, ayo ibu ibu jangan takut kita

ke walikota

Ibu Ella : Sekarang ibu udah agak berani

Ibu Ncih : Habisnya gimana, kita orang sini ngeluh

semua ga ada yang berani orang sini, iya disini

Cuma bisa marah doang tapi diajak ngga, saya

mah walau ga pinter ya saya berani demi hak

165

Universitas Indonesia

sendiri ya kan, akhirnya pada saat itu setelah

dari sana direspon didatangin sama suruhan

orang aetra, pegawai-pegawainya orang aetra

akhirnya ini dibongkar semua. Subhanallah

kata pak Haji, bu ncih saya mohon maaf yang

sebesar-besarnya, kenapa pak, udah kelamaan

ngedzolimin saya orang susah lho, Allah ga

suka tau orang susah didzolimi. Yaampun ibu

ncih gimana ibu uci katanya ga make air

busuk, emang airnya putus dari sana yang

masuk kesini memang hanya air kotor.

Seandainya ibu orang pintar, di BLB kami ,

hak kami mana, selama ini kami dikasih air

busuk suruh dipakai suruh dibeli dan suruh

dibayar. Andai kata ibu pintar, ibu pintar,

pintar sekolah ibu, ibu tuntut ini. Masalahnya

kami didzolimi hampir sekian tahun, ternyata

disini diputus semua dari sono tu putus, jadi

yang disedot air kali sendiri, nah itu efek

jeranya kami menderita muntah berak, anak

kami gatal-gatal. Ya sekarang efeknya suami

kena serangan jantung, ibu juga ya kena

penyakit dalam batuk-batuk, apa ya efek-efek

yang dulu. Nah kalo ibu pintar neng, ibu tuntut

terus , masalahnya hak saya punya hak disitu.

Berhubung ibu ini merasa dirinya bodoh, entar

salah ngomongnya, ibu kan ngomongnya

bahasa gitu ya bahasanya orang ga

berpendidikan ya, jadi ibu tu apa ibaratnya ga

seperti kaya eneng eneng ada pendidikan. Ibu

mah kan sekarepnya dewek ya namanya gitu,

ibu mah ga ngerti, kalo ibu pinter itu dituntut

sama ibu, selama ini bertahun-tahun bahkan

belasan tahun kami menderita. Sekarang ini

ibu belum 100% ni dikarenakan apa, paralon

air ini masih campur ama air limbah

Ibu Halimah : Iya, instalasinya itu direndam di dalam got,

kalo misalkan ada yang retak atau pecah kan

masuk kita pakai air kotor. Ya kan?

Ibu Ncih : Dia ga memikirkan kesehatan orang, andai

kata ibu ncih bisa tuntut ibu ncih tuntut itu,

dituntut bukan karena apa, hak sendiri, kami

166

Universitas Indonesia

ini merasa beli sama kamu.

4 Ibu Halimah : Tahun berapa itu saya aksi itu bu ya, saya aksi

di depan walikota, saya sempet ikut,

Ibu Ncih : Perwakilannya Cuma dua itu

Ibu Halimah : Pa Security saya boleh masuk ga? Saya

pengen minta sama pa walikota supaya air ini

dibenerin, ngga katanya. Akhirnya aku pake

toa teriak, hey yang diatas turun semuanya

saya bilang gitu. Kita dipkk disuruh sehatkan

anak-anak, bagaimana mau sehat anak kalo

sumber air sudah kotor, itu sumber

semuamuanya kan di air. Masak apapun kan

air, mandi air, wudhu air, masak pake air, kalo

pake air itu gimana kita dapat generasi yang

sehat, akhirnya ibu dorong-dorong pager sakit

hati.

Ibu Ncih : Sebenarnya itu, lagi menggugat menggugat

gitu ibu bilang, apa yang mau digugat kalo

sekedar air bersih sekarang udah dibuktikan

sama dia. Tetapi kalo kita nuntut hak,

dibodohi didzolimi kita bisa disitu. Kalo

ibunya mau ngurus lanjut, ibu rasa kan ibu

punya hak disitu, udah bayar ga dikasih.

Kecuali kita dikasih bener-bener kita masih

mau ini, ini hak kan walaupun seperak dua

perak ya kan bisa kita tuntut. Saya bertahun-

tahun itu, ini buktinya (menunjukkan berkas

berkas pembayaran) didzolimi sama aetra ini

suruh bayar air busuk, nih ibu bawa ni,

makanya gua bawa-bawa kemana-mana ke

LBH yuk. Gua bodoh bodoh gini ini saya

bukti

Ibu Halimah : Kemarin si saya udah bersaksi puncaknya, itu

perdana menghadirkan saksi, saya yang

pertama hadir. Ini belom ya?

Ibu Ella : Sudah

Ibu Halimah : Sudah juga ya tanggal berapa?

Ibu Ella : Tanggal.... berapa ya delapan kalo ga salah.

Ibu Ncih : Soalnya ibu ncih waktu diminta kesana

mereka aja ibu si kalo didata lagi ibu bisa

berbicara dengan keadaan bukti, ibu ncih

bukan ngebohong. Ibu punya bukti. Mereka

Protes warga

167

Universitas Indonesia

mungkin ga ada bukti, kalo saya punya bukti,

buktinya ini numpuk dari tahun berapa ini kan

bisa diliat tanggalnya, tahunnya, didzoliminya,

berapa pemakaian air busuk mesti harus

dibayar, disini ada. Kalo orang bisa liat huruf,

liat tanggal dan tahun ada disini banyak.

Orang sini malah berterima kasih

Ibu Halimah : Iya, soalnya kita kan membuktikannya bahwa

air itu kapan matinya kapan hidupnya kita

susah ngebuktiin ya. Akhirnya saya dengan

yayat itu membuat karya macam kalender, jadi

kita disitu, kapan mati tanggal sekian dari jam

berapa, terus catat nyalanya mulai kapan.

Terus kualitas airnya juga dicatat bening,

keruh atau bau. Mati kapan, hidup kapan

sampai bulan apa itu ya, iya itu ide saya. Saya

ngasih wah bagus bu katanya, sampe dibuat

selebaran kita bagi disekitar sini saya akhirnya

ada bantuan LBH, terus dibilang ibu itu harus

dibantu, terus dari bantuan lsm apalagi itu

banyak, kita ada tujuh.

Ibu Ella : Semuanya banyak 14 kalo ga salah.

Ibu Ncih : Pada gabung kita, dari tarakan, cilincing,

alhamdulillah banyak yang gabung.

Ibu Halimah : Iya, mulai dari situ semuanya pada ngumpul.

Sebenarnya air itu kan hak semua warga

negara, dan itu tidak membedakan warga

negara seharusnya, tapi kenapa di daerah sana

dapat air kita disini orang biasa ga dapat air.

Itu seringnya, seperti apa sih kayanya apa ini

memang aetra ini membela yang bayar mahal

atau memang emm hak kita sebagai warga

negara ada dimana? Kita tetap bayar walaupun

itu mahal, yang jelas tersedia bersih, layak

dikonsumsi, tapi ini kita bayar tidak layak

dikonsumsi. Itu yang sehari-harinya kata si

bapak merana amat si mah, merana lah bisa

sakit-sakitan kalo gini caranya. Kita itu

harusnya bisa biaya anak kuliah, sampe

sekarang anakku ga kuliah itu tergerus dari

situ, aku menampung saudara, anakku sendiri

paling tinggi cuma sma, ga ada yang kuliah

168

Universitas Indonesia

Ibu Ncih : Kalo ibu ncih ngga, niatnya gini, ibunya ini

orang buta huruf tapi andaikata ibunya ibu

ncih orang mampu bisa nyekolahin, ibu ncih

juga pengen sekolah tinggi mau galak sama

orang yang salah. Merasa tertindas maunya

maju, jangan bodoh kaya mama. Orang bodoh

itu Cuma bisa ngomong, ga bisa bicara ibu,

diajak kesana kesini keder.

Ibu Halimah : Saya waktu pulang kampung, saya ga ada

disini sebenarnya itu tujunya ke saya karena

saya memang pertama mengangkat itu ya bu

ya. Jadi bertiga, saya dia pentolannya disini,

ibaratnya yang keliling nanya bu airnya

gimana bu airnya. Ibu ibu gosip air hehehehe

Ibu Ncih : Kita dulunya disini bukan air si neng, sebelum

sp disini udah lama sebelum kita menggugat

karena air, andaikata dari dulu bu ani kesini

kita kan dikasih penyuluhan dulu sebelumnya

kan ga langsung ke ini, karena kita juga kan

pengen tau bergabung dengan orang yang

pintar pintar cari pengalaman cari apa

namanya, wawasan yang sampai dimana ya

kan gitu ya. Ibu Ncih kan namanya minder

namanya ibu orang bodoh neng, tapi ibu kalo

ditanyain nyerocos mulu

Ibu Ella : Bagus lah, apa adanya itu mah..

Ibu Ncih : Iya nyerocos mulu, jadi apa yang ditanya itu

yang ibu rasakan, setiap ditanya ama mereka

itu ya ibu rasakan ya ibu nyerocos ajalah ya

gitu.

Ibu Halimah : Saya sebenarnya, untuk mencari pokok

permasalahan kita diskusikan dulu ini, tapi

kita dicari pengalaman orang per orang apa

yang kita alami, apa yang dirasakan. Ya saya

maju lah air itu

5 P : Kalo bu Ella sendiri gimana, daritadi diam aja

hehe. Untuk konsumsi air apakah mengurangi

pembelian untuk kebutuhan lain kaya gitu

Ibu Ella : Ya jelas, istilah kata kita membeli air udah

gitu biasanya kita maap makan pakai ikan

istilah kata ya, sekarang kan menunya harus

berobah tadinya makan enak, harus beli air

Pengalaman dan

pendapat warga

169

Universitas Indonesia

karena apa mending kita beli air. Ya kalau kita

mau begitu, kita ga mandi ga nyuci. Udah gitu

airnya juga kan bukan Cuma itu aja, air

minum air galon. Air masak air galon.

Ibu Halimah : Pengalaman pahit kita si nadangin air mati ya

Ibu Ncih : Berbulan-bulan, bertahun-tahun neng mati

idup seminggu matinya tiga bulan. Air itu.

Selama tiga bulan ga pernah pere bayar terus.

Ga pernah absen itu pere ke kaya kita, dia juga

merein kita, iya ga penah pere bayar terus

Ibu Halimah : Jadi pengalaman saya mengalami air mati ini,

pengalaman pahit saya ni ngalamin yang

namanya air mati ini, ngumpulin air beras,

ngumpulin air beras ga dibuang itu. Pernah

saya ngalamin cebok air beras. Sedih ya, tapi

saya selalu ngelap, ngelap. Tapi tetep ada

bagaimana ga ada air, sumber air Cuma dari

itu. Gilirannya ujan kita wuuhhh semua orang

keluar nampung air. Hahahaha. Pernah air

mati, di belakang sini ada sumber air, sumber

air itu rupanya resapan air got tapi keluarnya

bening, nah itu bekas 17an

Ibu Ncih : Bekas panjat pinang

Ibu Halimah : Iya, itu dicabut keluar air tapi bening, orang

dipake mandi ke situ.

Ibu Ncih : Ampe sekarang masih ada

Ibu Halimah : Nah, ibu berpikir ya kalau dipikir-pikir

indonesia ini sumber airnya berlimpah, kenapa

kita harus begini. Di undang-undang hak

semua warga negara, tapi tidak tersedia oleh

negara untuk rakyat. Air itu tersedia hanya

untuk orang yang bisnis, orang yang

memperjualbelikannya. Untuk kita, orang

yang kecil keadilan itu ga ada itu. Makanya

gondoknya saya, keluar ampe bener-bener

serak itu teriak. HEIII TURUN KESINI, kita

disuruh sehatkan bayi bayi coba, bagaimana

mau sehat bayi kalo sumber airnya aja udah ga

bagus. Ya kan kebetulan kan di ini, apa

namanya kader-kader Jakarta, kader posyandu

coba.

Ibu Ncih : Eh denger-denger dari selentingan dari yang

170

Universitas Indonesia

nyarter itu pekerja PAM, memang ini mau

diambil ama ini, pam ama yang punya jalan tol

itu siapa... si nia.... siapa mertua itu yang botak

itu palanya yang punya jalan tol ke jawa itu,

eh iya bakrie.

P : Aburizal bakrie?

Ibu Ncih : Heeh.

Ibu Halimah : Kalo saya kalo perjuangan saya, kalo

mendengar isu seperti itu saya si maunya

dikelola negara ga dimilikin siapa-siapa. Kalo

saya maunya dikelola negara, sdm kita banyak

ko. Yang nganggur-nganggur coba diangkat

lah suruh kerja di PAM itu, banyak yang mau

bekerja. Dulu kita dilayani Pam sebelum....

Ibu Ncih : Mungkin selama bertahun-tahun yang megang

Aetra ini anteng-anteng kali ya.

Ibu Halimah : Sebelum ini, tahun berapa.... sama pam jaya...

air tu luber-luber bersih, walaupun memang

belum banyak penduduk tapi itu kan layak.

Setelah ditanganin aetra, kenapa mesti mati,

bau lah, udah gitu airnya kurang lah yakan.

Jadi ya memang air ini kan sudah memasuki

ranah bisnis, gitu. Bukan lagi itu bukan untuk

mensejahterakan rakyat.

Ibu Ncih : Memang itu kenyataannya dibuat bisnis,

hasilnya juga buat negara orang ya kan.. ya

satu ya begitu. Kedua konsumennyakan modal

banyak ya kan ga seperti dulu.

Ibu Halimah : Iya kan, karena sebetulnya negara wajib

menyediakan air untuk rakyat. Negara ini

harusnya yang megang air itu, jangan pihak

swasta kalo gitu, kalo bisa yang megang

BUMN

P : Dulu emm bisa tau apa namanya, dari pam

jaya pindah ke Aetra itu ada sosialisasinya gitu

ga?

Ibu Halimah : Tidak ada, kita mengetahuinya langsung dari

rekening sudah tau tau di rekening itu bukan

pam jaya lagi tidak pernah diberitahu ini sudah

dilimpahkan ke swasta tidak pernah

Ibu Ncih : Jadi ibaratnya gini ya. Ini ibaratnya kita ini

kan pelanggan, pelanggan itu jemaah,

171

Universitas Indonesia

ibaratnya presiden itu kan menunjuk jadi

presiden kan harus dari bawah dari rakyatnya.

Dia menerima uang banyak kan dari

konsumen rakyat, yang seharusnya

dikonfirmasi, dibahwa pam jaya mau

dioperalih ke aetra

Ibu Ella : Iya harusnya itu kan harus disosialisasikan ada

pemberitahuan ke masyarakat, tau tau udah

gitu aja rekeningnya berubah.

Ibu Ncih : Sementara air sekarang naik terus.

Ibu Ella : Tapi ibu waktu itu waktu ke pengadilan untuk

tuntutan si pt aetra itu tau air itu ga naik. Itu

kenapa orang bapak harga air itu di jakarta itu

mahal sekali, dia mau mengungkapkan itu

tidak pernah naik itu apa harga air itu dari sana

ke publiknya. Ini bagaimana kata saya,

bagaimana mungkin kata saya. Berarti kan

oknum-oknumnya di kantor bapak itu bukan

dari masyarakat. Jadi, setelah saya buka itu

kemarin, panas panas tu semuanya kuping

udah panas wehhh pokoknya mah udah gitu

mah. Saya juga udah bolak balik tu bu, udah

akhirnya intinya kata saya yang bertanggung

jawab itu aetra kata saya

Ibu Ncih : Iya naik terus naik perbulan

Ibu Ella : Kubiknya tergantung pemakaian mungkin, ini

harganya ini teh naik terus

Ibu Ncih : Lah iya itu.

Ibu Halimah : Tadinya kalo orang sini emm pakai

perkubiknya, sekarang perkubiknya itu naik

kalo udah pakai 50 kubik udah berapa? Udah

berapa dah tu

Ibu Ella : Nah itu dia, dia katanya ga naik coba, itu ga

naik katanya.

P : Tapi berarti dari awal gak dikasih tau kalo

misalnya naik mau naik tu ga dikasih tau

Ibu Ella : Iya sosialisasinya ga ada.

Ibu Halimah : Iya ga usah deh naik. Air mau mati ibu-ibu

pengumuman pengumuman... ga pernah

seperti itu tau tau pett ahhh ga ada air.

Begitu...

Ibu Ella : Iya tidak ada pemberitahuan

172

Universitas Indonesia

Ibu Halimah : Begitu juga kalo air naik, tau-tau blekk......

sekian bayarnya. Belum lagi terlambat denda

P : Kira-kira perbulan berapa bu?

Ibu Ella : Tergantung pemakaian meter kubiknya

P : Rata-rata?

Ibu Ncih : 125 ibu perbulan, kalo diuangin, tapi kalo itu

100 lebih.

Ibu Halimah : Kalo aku dirumah udah make karna ada yang

ngontrak, itu kan juga mereka punya hak

sebagai warga negara haknya juga. Walaupun

membeli dari saya, saya menyediakan dia

punya hak. Saya sekarang bayar lebih dari

200ribu, itu pun diirit cuma sekali dalam

sehari isi sebak, bagaimana caranya untuk

iritnya itu bagaimana pagi ngisi pagi besok

pagi lagi baru diisi, itu pemakaian air kan

banyak itu dari pagi ampe pagi lagi.

Ibu Ncih : Ibu mereka make air bu Halimah apa beli?

Ibu Halimah : ya dari saya kan ngontrak juga kan.

Ibu Ncih : Kalo saya sendiri mah udah keluarga udah

dibawa lakinya masing-masing tapi masih

gede aja ni bayaran air.

Ibu Halimah : kesamping-samping itu?

Ibu Ncih : Ke Eli? Eli mah dua hari sekali dibelakang ga

ada,

Ibu Ella : Ini tapi masih gede aja si bayarannya

(menunjuk kertas pembayaran ibu Ncih)

Ibu Ncih : Iya makin gede.. makanya..

Ibu Halimah : Kalo bisa itu kecilin meterannya juga diliat

berapa...

Ibu Ncih : Semenjak abis diganti itu meteran

Ibu Halimah : Kecilin meterannya diputer sedikit

Ibu Ncih : Oh gitu ya

Ibu Halimah : Nanti ketahuan cara pemakaiannya gimana ada

penurunan atau memang tambah naik. Kalo

tambah naik berarti nembak doang ga melihat

meteran

Ibu Ncih : Ahhh orang udah saya taekin ininya masa ga

ditembak

Ibu Halimah : Bisa jadi, berarti itu nyala terus airnya

Ibu Ncih : Ya kan bu Halimah saya kan orangnya ga bisa

begitu, jadi saya langsung ditampung. Jadi

173

Universitas Indonesia

saya kalo udah dari meteran langsung saya

mah langsung. Jadi kalo saya ga pake selang

ya ga ambil, ga nembak

Ibu Halimah : Ga pake tampungan?

Ibu Ncih : Ga pake tampungan iya.

P : Ini bu apa, mm advokasinya awalnya tanggal

berapa ya tau digugat

Ibu Halimah : Baru tahun belakangan ini emm tahun 2012

Ibu Ncih : Dua tahunan lebih ni ibu ini, tiga tahun lah,

penderitaan dengan ininya

Ibu Halimah : Jadi dulu ibu belajar dulu di sp

Ibu Ncih :Lama kita sekolahnya belajar dulu

Ibu Halimah : Benar ga sp ini apa namanya membimbing kita

layaknya sebagai warga negara mengetahui

haknya sebagai negara, hak negara ke kita, hak

kita ke negara. Itu kita benar-benar jadi tau.

Makanya kita sekarang duh kalo begitumah ya

Allah, air udara tanah dan segala isinya atas

dasar masyarakat itu sebenarnya dipergunakan

sebanyak-banyaknya untuk rakyat Indonesia,

lah kita mana? Yang kaya doang, yang punya

duit doang, yang punya kesempatan bisnis kita

mah udah lah hahaha. Jadi kalo saya sih, ya

sekarang di lingkungan sini aja dulu, terakhir

saya sakit kemarin tanggal berapa ya sebelum

akhir tahun. Karena udah puncak saya

perjuangannya di SP, bukan puncak di sp

sebenarnya perjuangan di kita terutama di sini.

Ncih disuruh mau bersaksi ga pernah nongol

orangnya.

Ibu Ncih : Saya kalo disuruh bersaksi beh galak, saya kesel

saya. Hahaha

Ibu Halimah : Kalo jadi saksi ga boleh galak-galak malah...

Ibu Ncih : Maksudnya saya kan kenyataan, ya kalo saya

mah ga mau bohong orangnya, ya saya

rasakan gitu ya saya bersaksi, yang ga saya

rasakan ya ngga...

Ibu Halimah : Yang lucunya mah, ya kalo air mati itu, justru

malem dari jam 1 ke jam 4, woiii airnya udah

belum kita keliling gitu nanya boro-boro.

Ibu Ncih : Jadi ini misalkan dari pusat ni dikirim ni air buat

Rawa Badak, ibu Ncih kan ininya kan buntu

174

Universitas Indonesia

jadi para apa itu namanya, para yang

nyambung ke ibu Ncih ditekuk ni sama orang

Aetra, jadi ibarat ditekuk kalo orang sono udah

punya air, ya ibu Ncih ga kebagian mulu

gimana ga menderita, jadi ibaratnya udah

diambil dulu ama orang ujung sekalinya udah

mau nyampe diambil ama bu Halimah, kapan

ibu Ncihnya bertahun-tahun mah kering kita

begini. Makanya saya ngomong ama pa

hajinya, pa haji eli jangan tega-teganya

kenapa si pa haji mah, iya kasian mah ibu

Ncih tenang ibu Ncih saya usahakan. Ibu Ncih

udah menderita ya iya pak saya bilang, yaiya

coba pak bapak semprot darisana ke sini

airnya, ya diambil ama orang-orang sono

disedot semua pake jet pump pake ini yang

kaya itu...

P : Pa haji eli itu siapa ya bu?

Ibu Ncih : Ada ini orang Aetra yang ininya tapi dia bagian

lapangannya yang bongkar-bongkar jalan gitu,

ya ibu Ncih kasian. Ya sekarang pa Eli diini

dari sono ke sono, nih ibaratnya dari sini mau

ke sini nah ibu Ncih ditengah-tengah, yang

disini nyampe disini nyampe. Ya sekarang

alhamdulillah mau jam berapa aja airnya

selalu ada, ya kalo dulu mah ngga ditekuk

neng, begini (memperagakan). Jadi kalo yang

dari sini dilewatin, disini kalo di rumah sana

duluan mah kita ga kebagian hahahaha orang

ditekuk buntu nih dibakar ama dia, ibu kan

ngeliatin ya bikinnya, terus kan ditekukin

paralonnya. Ya kesini ya sekalinya dedek

haha.

P : Iya, ibu mau nanya juga kalo misalnya beli di

jerigen jerigen itu atau yang abang itu itu

bayarnya kemana, terus nanti dia?

Ibu Halimah : Dia kan beli di hydrant, dia jual lagi ke kita, kita

belinya ke abang-abang itu

P : Hydrantnya itu punya siapa?

Ibu Ella : Ya punyanya Aetra, nah gini dia itu, saya

misalkan punya PAM punya hydrant ya gede,

nah itulah kita menampung air disitu, bapak-

175

Universitas Indonesia

bapak itu yang penjual gerobak itu ngambil air

saya, beli di saya.

Ibu Ncih : Andai kita segerobak lima ribu, dijual ama kami

lima belas ribu.

Ibu Halimah : Jadi kaya tempulak juga modelnya, agen gitu.

Ibu Ella : Nah nanti kita bayarnya sama dia dari jerigen.

Ibu Ncih : Nah nanti yang punya hydrant itu bayarnya ke

PAM.

Ibu Halimah : Maksudnya hydrantnya itu beda hydrant itu dia

punya saluran sendiri lebih besar dari PAM

176

Universitas Indonesia

Transkrip FGD dengan ibu-ibu di Muara Baru RT 20

Hari, tanggal : Kamis, 13 Februari 2014

Tempat : Rumah ibu Linda, Muara Baru RT 20

Nomor Isi Keterangan

1 Peneliti (P) : Selamat siang ibu-ibu. Saya Asti dari

FISIP UI. Mau bikin soal bagaimana sih

keadaan air di sini. Akses air bersihnya

gimana gitu. Dimulai aja, biasanya

konsumsi air dalam sehari biasanya berapa

sih bu? Mungkin mulai dari Ibu Linda

dulu.

Bu Linda (L) : Saya? Lima pikulan lah sehari sama nyuci.

P : Lima pikul berarti sepuluh jerigen ya?

L : Iya. Dua hari saya satu gerobak.

P : Buat apa aja bu?

L : Mandi doang. Masak juga tapi. Tapi

blongnya dipisahin gitu. Pokoknya sehari

setengah lah lima pikul itu. Kalau nyuci,

sehari.

P : Beli aqua lagi ga bu buat minum?

L : Galon? Iya itu udah pasti. Dua hari itu

segalon.

P : Jadi segalon buat dua hari ya? Baik, kalau

bu Maryam?

Bu Siti Maryam (SM) : Ya empat pikul sehari. Kan

ada bantuan air sumur. Kalau ga ada

bantuan mah, tujuh pikul.

P : Sumurnya sumur warga gitu bu? Kolektif?

SM : Iya. Ngambil sendiri-sendiri dari sumur.

P : Itu yang ngelola siapa bu? Ada yang

misalnya ngelola sendiri

L : Kayak misalnya ini punya gue nih, gitu.

Enggak sih. Kelola aja bareng-bareng.

SM : Kalau banyak warga, ya rame-rame aja.

P : Kalau bu Midah, konsumsi air perhari

berapa ya bu?

Bu Hamidah (H) : Dua setengah pikul.

L : Dia mah deket sumurnya.

SM : Iya, deket dia mah sumurnya.

Konsumsi Air Bersih

177

Universitas Indonesia

H : Paling buat mandi doang itu. Kalau yang

lainnya kalau nyuci mah sumur.

L : Kalau buat nyuci tuh bisa. Kalau buat

minum yang ga bisa.

SM : Anta airnya.

P : Anta itu asin?

SM : Enggak...

H : Asin enggak, tawar enggak.

P : Oh kayak payau gitu yah bu?

SM : Iya gitu.

2 P : Kok pake pikul-pikulan gitu, ibu pada langganan air

pam apa enggak bu?

L : Ada yang jual juga sih ya. Ya mungkin langganan air

pam juga kali dia. Ngambilnya kan jauh dia. Dari

mobil ya dianter ya?

SM : Enggak. Dia kan ada khusus untuk penjual air.

H : Selangnya ada lagi beda. Untuk penjual lain lagi,

warga lain lagi.

SM : Ada izinnya di situ tuh.

P : Kalau ibu-ibu sendiri langganan PAM ga di rumah bu?

SM : Ada saluran airnya. Tapi ga nyala.

L : Ga nyala. Percuma. Mau dibongkar ya bongkar aja.

Makanya kita ga mau bayar ya

H : Nyala juga kapan tau udah lama.

L : Kita disuruh bayar abodemennya doang tadinya itu.

Kalau air jalan, ya kita bayar. Misalnya air mulai

Januari nyala, ya kita mau bayar. Ya orang ga jalan-

jalan ya gimana.

SM : Kalau jalan, baunya minta ampun.

P : Oh berbau bu?

SM : Jijik ya. Bau banget. Item lagi. Jijik buangget. Ih. Jijik

deh. Kadang ya ga item, kuning gitu. Tapi ya bau.

P : Itu dimasak juga itu buat diminum?

L : Ga bisa. Mandi aja ga bisa.

H : Air ledeng mah ga bisa dimasak. Bau dia. Kaporit

baunya. Kalau dulu mah bisa.

P : Dulunya tuh kapan bu?

H : Ya masih tahun 80an masih bisa dimasak.

P : Oh gitu? Pas masih ngalir terus?

H : Iya. Bisa dimasak. Yang sekarang ga bisa. Bau dia.

Kaporit. Jadi kalau buat masak mah air sulingan aja,

air galon. Buat masak air mah ga bisa.

Pelayanan air PAM

178

Universitas Indonesia

L : Kalau buat minum udah ga bisa.

P : Tapi ini masih suka disuruh bayar ga bu?

SM : Enggak sekarang mah. Orang-orang sini udah ga mau.

Kalau nyala juga bau minta ampun.

P : Terakhir nyala emang kapan bu?

H : Udah lama.

SM : Setahun sekali.

L : Tapi begitu.

H : Ya paling lebaran.

L : Lebaran dua hari doang.Gara-gara pabriknya liburan.

H : Seminggu aja ga nyampe.

L : Seminggu mana, dua hari!

SM : Lebaran THRnya air ya. Sering mati, bau.

L : Jadi mending kita beli aja di gerobakan. Segerobak

2500.

SM : Iya kalau lagi ga capek, anak saya disuruh ambil air

gerobakan.

P : Selain dari gerobak, dari mana aja bu?

SM : Gerobak aja.

P : Biasanya kalau sebulan tuh habis berapa bu untuk beli

air aja?

H : Ya itung aja berapa tuh. 2500 kali sehari kali lima

pikulan.

L : Dua hari sekali udah 50. Kali tiga puluh hari berapa?

SM : Belum beli galon. Air galon pun sekarang ada uget-

ugetnya. Bau juga. Makanya pake aqua aja.

L : Orang yang jualan air itu pinter juga. Dipakein batu es.

Ada yang ngisi-ngisi isi ulang itu, katanya pake air

pegunungan. Kan kalau baru naro kan dingin ya.

Karena itu pam biasa dikasih batu es. Makanya, kata

orang yang itu katanya bu ati-ati bu, galon biasanya

ledeng biasa. Bukan aqua.

SM : Mending beli aqua aja.

P : Hmm gitu.. Ibu-ibu tau ga kalau sekarang PAM udah

bukan seluruhnya pemerintah yang megang?

H : Enggak tau.

L : Ga tau saya.

SM : Tau, baru aja. Tau dari bu Yati. Hahhaa

P : Oh gitu.. Iya bu, sekarang itu PAM udah bukan

pemerintah full lagi yang megang. Jadi ada perusahaan

Prancis juga yang megang. Nah, dulu waktu air ngalir

itu ibu ada struk bayarannya kan ya?

179

Universitas Indonesia

SM : Rekening? Udah hanyut ga tau ke mana.

P : Itu dikasih tau ga bu kalau misalnya ada perusahaan

lain yang megang gitu?

L : Enggak.

P : Ga ada sosialisasinya gitu bu?

L : Kita waktu itu ada orang yang dateng sih sendiri. Mau

dipasang PAM ga? Gitu..

SM : Iya kalau ada perubahan sih ga tau.

P : Kalau tarifnya waktu sering ngalir waktu sering bayar

gitu?

H : Yah lupa. Tapi ga mahal. Ga nyampe 10 ribu itu mah.

L : Iya kita mah gapapa kalau emang jalan mah kita

bayar.

P : Berarti waktu masih ngalir itu menurut ibu mahal apa

gimana?

L : Paling sebulan 30 ribu.

SM : Nih dengerin. Mendingan dia disuruh pulang ke

negaranya daripada ngerusak kita mah. Ya kan?

L : Iya 30-50 ribu sebulan paling.

H : Lagian pemerintahnya nerima aja sih.

SM : Iya mending pulang aja.

H : Daripada kita sendiri.

SM : Yang melarat mah tambah sengsara. Hahaha

P : Dulu waktu masih ngalir itu dapet tarif itu berapa,

kalau mau naik gitu dapet informasi gitu ga bu?

SM : Ya informasi dapet sih suka dapet. Tapi belum ada

kenaikan ya?

L : Ya keburu ga jalan sih.

P : Oh selama ga jalan ini, ada petugas yang dateng ga

bu?

H : Ada tapi cuma dilihat doang.

L : Meterannya diliat. Nama-nama kita mah masih ada di

dia. Masih nanyain. Ini bu ini gimana sih? Diliat

PAMnya.

SM : Ada yang dikubur jauh itu pipanya.

L : Kilometernya juga. Ada yang banyak dicolongin

orang.

SM : Kalau saya mah dikubur, tapi kilometernya masih

keliatan. Di situ tuh.

P : Kalau bu Midah gimana bu?

H : Ya hahaha udah diilangin. Abis ga nyala-nyala, ya

pusing.

180

Universitas Indonesia

P : Selain petugas itu ada pemerintah gitu ada yang

dateng ga bu?

H : Ga ada...

P : Terus berarti dengan ini ibu merasa dirugikan atau

tidak bu?

L : Iya lah. Repot. Kalau ga ada air bersih repot.

SM : Kalau lagi ga ada air mah yaampun setengah mati

nungguin. Tukang dorongan mah ada yang ngasih ada

yang enggak. Bang mau beli. Ah ada pesenan orang.

P : Oh jadi itu sistemnya langganan juga ya?

SM : Iyaaaa. Kalau saya mah ngedorong sendiri.

H : Iya, kalau ga langganan mah dia ga mau ngasih.

P : Oh karena dia udah jual buat orang gitu?

H : Iya.

L : Kalau saya mah, kalau udah buka blong, kosong ya

udah diisiin.

SM : Kalau tengah malem mati mah langsung ngambil aja.

L : Dia mah deket tinggal ngambil itu ngedorong dari situ.

Kalau saya mah jauh.

H : Iya sama. Saya juga ga kuat.

SM : Untung punya anak bujangan. Kalau ga mah, ga kuat.

P : Emang gimana bu cerita sehari-harinya? Ambil airnya

jam berapa, gitu?

SM : Nih kalau ga ngantri, tiga jam baru dapet air.

P : Ngantrinya di mana?

SM : Di sana di tempat ngambil air nya. Gerobak dari sana,

terus jerigennya jerigen sana. Jadi nanti dikembaliin.

Pokoknya kalo pagi, pagi banget. Kalo sore, sore

banget.

L : Ya nunggu antrean orang. Tapi daripada nunggu gitu

mending pake selang aja ya. Langganan aja. Gausah

diangkat-angkat.

P : Kalau bu linda emang gimana bu?

L : Saya mah ga ngambil air. Langganan. Jadi kalau blong

kosong, jadi langsung diisiin. Pokoknya isi aja. Bu,

tadi ngisi, bayar gitu.

P : Itu maksudnya disediaan ember gitu?

L : Blong yang lima pikul. Drum yang lima pukul ditaro.

Satu drum itu kan lima pikul, ini lima pikul. Berarti

kan segerobak. Jadi langsung diisiin gitu sama dia.

Saya nyedot ke dalem.

P : Itu tiap pagi?

181

Universitas Indonesia

L : Kalau habis aja minta isi. Ga pagi, ga malem, ga siang.

Pokoknya di bak mandi saya udah habis, di blong ada

air, ya sedot. Gitu aja.

P : Kalau bu midah gimana bu tiap harinya?

H : Kadang ngambil, kadang beli di abang gerobak.

P : Tiap jam berapa bu?

H : Sore. Kalau pagi mah ga bisa, anak sekolah. Udah

langganan. Dua orang. Depan sama belakang. Jadi dua

orang langganannya. Maksudnya kalo yang depan ga

ada ke langganan belakang, klo belakang ga ada ya ke

depan gitu.

P : Itu ngambil sendiri bu?

H : Enggak, dianterin. Disediain blong-blong gitu juga.

P : Kalau bu Maryam juga nyediain blong juga?

SM : Iya ada di belakang di kamar mandi. Rata-rata di sini

pada punya blong.

P : Pernah ga yang di sananya juga ga ada air. Jadi, ga

jualan air di gerobakan?

L : Ituuu waktu itu kita kan ga ada air yah. Kita nyarinya

sampe ke ujung-ujung. Pernah ke bakti. Itu juga

mahal. Tadinya 2500 jadi 5000 sepikul.

P : Itu udah harga dorong gerobaknya?

L : Enggak, klo dorong sendiri mah lain lagi harganya.

SM : Lampu merah ke sono lagi noh klo mati mah.

H : Yang mau ke kota.

3 P : Oooh.. Terus kalau ibu merasa dirugikan gitu, ibu

lapor ga kayak ke RT gitu?

H : Ya begimana, urusan air mah urusan masing-masing.

L : Eh tapi pasar hidup kok. RT 20 nih paling parah.

H : Iya, tapi kitanya enggak.

L : Tapi daerah situ udah pada ngejual sih ya

P : Maksudnya ngejual?

L : Jadi agen gitu. Tukang jual air. Disalur-salurin. Klo ke

sini enggak. Soalnya sini paling belakang. Habis di

depan.

SM : Jalanin lagi dah PAMnya. Tapi bayarnya abis nyala.

L : Ada pemutihan gitu ya. Yang dulu-dulu mah ga usah

bayar. Masa saya disuruh bayar berapa tahun itu saya

kena berapa juta tuh. Enam juta apa coba. Mana mau

dah. Kalau nyala sih gapapa. Mending nyala. Pernah

saya marahin orangnya. Dia ngecek meteran. Disuruh

bayar. Lah siapa yang mau bayar, nyala juga enggak.

Protes warga

182

Universitas Indonesia

Dibilangnya, tapi kan ibu udah nyewa ini. Ya klo

nyewa itu ada hasilnya. Hasilnya aja ga ada. Saya mau

klo itu jalan, saya bayar. Jalan aja mulai bulan ini,

saya bayar sampe seterusnya. Kalo disuruh bayar

bulan-bulan kemaren, masa bayar.

P : Terus kan tadi sempet bilang ke RT juga cuma yaudah

gitu. Itu ada ini ga sih, misalnya ibu-ibu di sini

melakukan perlawanan apa gimana?

L : Ga ada.

P : Hmm ga ada ya. Terus respon pak RT nya juga ga

peduli itu?

L : Ya dia punya air juga ga jalan juga. Ya dia paling

nanya kontrol PAMnya. Ya saya jawab, dia cuma

kontrol doang. Ga tau apa-apa dia.

P : Terus apa sih bu yang diharapkan ke depannya untuk

masalah air bersih ini?

H : Ya pengennya sih ke depannya jalan. Soalnya repot ini

air bersih soalnya.

L : Iya, yang ga punya juga bisa minta ke kita.

H : Iya, klo air mah udah penting banget.

P : Ohiya bu, dulu waktu pasang pipa ini, emang minta

kayak request gitu?

SM : Dulu pemutihan. Dia yang nawarin. Bu mau pasang

ledeng bu?

P : Itu pasangnya bayar juga ga dulu?

SM : Dulu bayarnya berapa sih ya. 700 klo ga pemutihan.

Klo pemutihan murah kok. Tapi lupa. Jamannya iwan

ya. Itu dari RT juga ngajuin. Tapi klo mau pasang lagi,

ke sininya mahal. Soalnya belum ada yang masang

juga kan dulu.

P : Tapi sekarang klo mau masang baru, bisa ga sih?

SM : Ya bisa aja. Tapi kan ya sami mawon.

H : Ya percuma. Masang baru juga. Gimana ngambil

pipanya?

L : Iya, salurannya dari mana. Kita yang ada aja klo

emang mau.

SM : Sekarang mah ga jelas. Saya nanya yang suka meriksa

kan, dia bilang ga tau, saya juga capek meriksa-

meriksa doang. Begitu masa. Periksa-periksa tapi ga

ada hasilnya. Ini matinya.

4 P : Kemarin banjir gimana bu?

SM : Se gini kemaren tuh.

Pelayanan PAM

183

Universitas Indonesia

L : Kalau rumah saya sedada.

SM : Tinggi di sini mah. 17 Januari juga sama taun lalu,

yang kemaren juga 17 januari juga. Kata saya ini

ulang tahun ini.

P : Terus masalah air bersihnya gimana bu?

SM : Susah kalau ga ada bantuan dari mobil yang PAM juga

itu. Tapi ya itu keroyok. Rebutan.

P : Oh jadi ada bantuan gitu ya bu?

L : Iya isi air bersih. Gerobak-gerobak kan ga jalan.

SM : Bantuannya tapi klo ga dapet ya ga. Orang beli air aja

jauhnyaaa minta ampun yang galon itu.

P : Oh jadi ga per rumah ya?

H : Enggak. Jadi dia mampir kan depan jalan ke kiri nih.

Udah kita antre bawa jerigen, bawa ember.

P : Baik bu, terima kasih ya bu atas waktunya.