Upload
resty-rahmiliah-rahim
View
244
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
TINEA PEDIS
I. PENDAHULUAN
Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau
stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan
oleh golongan jamur dermatofita. D ermatomikosis merupakan arti umum, yaitu
semua penyakit jamur yang menyerang kulit.(1)
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela
jari dan telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap
sebagai tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena
bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan
pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat
dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena. Kenyataaannya, tinea pedis jarang
ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis
adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. (2)
II. EPIDEMIOLOGI
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling
sering terjadi. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita
sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam
renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi.(3)
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa (30-50%), daripada anak
remaja terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak.
Prevalensi keseluruhan dalam masyarakat dan mencakup semua kelompok usia
namun dari survei menunjukkan bahwa diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di
banyak negara menderita penyakit ini. Laki-laki dewasa memiliki risiko 20 %
1
terkena tinea pedis, sementara di kalangan perempuan hanya 5% cenderung menjadi
infeksi kronis(4,5,6)
III. ETIOLOGI
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum
(paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan
Epidermophyton floccosum.(2) T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang
hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki; T.
mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih meradang
sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua pola lesi diatas.(4)
IV. PATOGENESIS
Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi
jaringan keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan
sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus
tumbuh dan menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada
proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma
dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru
muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk
kompetisi dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan
pertumbuhan jamur oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat
tergantung pada aktivasi sistem kekebalan tubuh. (3)
V. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
1. Interdigitalis
2
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari
IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat
meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah
ini lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih
dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru,
yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat
berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali.
Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,
limfangitis dan limfadenitis.(1,7)
Gambar : Tinea pedis tipe interdigitalis
2. Moccasin foot (plantar)
Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit
menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian
tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. (1)
3
Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang biasanya resisten terhadap pengobatan.(8)
3. Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-
kadang bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari,
kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut
meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut
menimbulkan gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada
bentuk selulitis, limfangitis dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga
didapati pada atap vesikel.(1,8)
Tinea pedis tipe vesikobulosa; vesikel yang meluas ke punggung kaki
4
4. Tipe Ulseratif
Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis
akibat maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari;
dapat dilihat pada pasien yang imunokompromais dan pasien diabetes. (2,3)
Gambar Tinea pedis tipe ulseratif
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis dari tinea pedis biasanya dilakukan secara klinikal dan berdasarkan
examinasi dari daerah yang terinfeksi. Diagnosis yang digunakan biasanya dengan
cara kulit dikerok untuk preparat KOH, biopsi skin, atau kulture dari daerah yang
terinfeksi. (7)
1. Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) 10-20% pada kerokan sisik kulit akan
terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis.
KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas
kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian
5
sedikit di luar kelainan sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan
di atas gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama
15-20 menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis
tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.(3,9,10)
KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)
2. Kultur
Kutur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan menentukan
spesis jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam bahan klinis pada media
buatan. Kultur dari tinea pedis yang dicurigai dilakukan pada medium
SDA(sabouraud’s dextrose agar), pH asam dari 5,6 untuk media ini menghambat
banyak spesies bakteri dan dapat dibuat lebih selektif dengan penambahan suplemen
kloramfenikol. Pemeriksaan ini dapat selesai 2-4 minggu. Dermatophyte test medium
(DTM) digunakan untuk isolasi selektif dan mengenali jamur dermatofitosis adalah
pilihan lain diagnostik, yang bergantung pada indikasi perubahan warna dari oranye
ke merah untuk menandakan kehadiran dermatofit. (5)
6
Trichophyton rubrum; koloni Downy
3.Pemeriksaan histopatologi,
Karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum adalah adanya akantosis,
hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler superfisialis kronik pada dermis). (3,10)
Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari epidermis
3.Pemeriksaan lampu Wood
Pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena banyak
dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.(15)
7
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa :
a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan hifa yaitu double conture
(dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua) dan bersepta.
Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-)
tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. (3)
b) Kultur ditemukan dermatofit. (3)
VII. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding klinis dari erupsi cutaneus kaki seperti kontak dermatitis,
psoriasis, dihydrosis, eczema, dermatitis atopic, keratoderma, liken planus dan
beberapa infeki bacterial seperti C.minutissimum, streptococcal cellulitis dan lain-lain
yang umumnya susah dibedakan dengan tinea pedis.(5,6)
1. Dermatitiskontak
Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak
jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Predileksinya pada bagian
yang kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya
riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya
tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif,
sedangkan pada tinea pedis hasilnya negatif. (1)
8
2.Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas;
psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada
pemeriksaan kulit.(1)
A B
Gambar A menunjukan psoriasis dengan eritrodermi eksfoliatif. Gambar B
menunjukkan hiperkeratotik psoriasis yang simetri.
IX. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan pengobatannya (2)
Tipe Organisme Penyebab
Gejala Klinis Pengobatan
Moccasin Trichophyton rubrum Epidermophyton floccosumScytalidium hyalinum S. dimidiatum
Hiperkeratosis yang difus, eritema dan retakan pada permukaan telapak kaki; pada umumnya sifatnya kronik dan sulit disembuhkan; berhubungan dengan defisiensi
Antifungal topikal disertai dengan obat-obatan keratolitik asam salisilat, urea dan asam laktat untuk mengurangi hiperkeratosis; dapat juga ditambahkan
9
Cell Mediated Immunity (CMI)
dengan obat-obatan oral
Interdigital T. mentagrophytes (var. interdigitale)T. rubrum E. floccosumS. hyalinum S. dimidiatumCandida spp.
Tipe yang paling sering; eritema, krusta dan maserasi yang terjadi pada sela-sela jari kaki,
Obat-obatan topikal; bisa juga menggunakan obat-obatan oral dan pemberian antibiotik jika terdapat infeksi bakteri; kronik : ammonium klorida hexahidrate 20 %
Inflamasi Vesikobulosa
T. mentagrophytes (var. mentagrophytes)
Vesikel dan bula pada pertengahan kaki; berhubungan dengan reaksi dermatofit
Obat-obatan topikal biasanya cukup pada fase akut, namun apabila dalam keadaan berat maka indikasi pemberian glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum T. mentagrophytesE. floccosum
Eksaserbasi pada daerah interdigital; Ulserasi dan erosi; biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri; biasanya terdapat pada pasien imunokompromais dan pasien diabetes
Obat-obatan topikal; antibiotik digunakan apabila terdapat infeksi sekunder
A. ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir.
Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak
alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. (2)
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada
pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.(10)
10
Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan
sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,
eritema, edema dan gatal.
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan
Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang
mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4
minggu.
Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat
biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan
keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %
bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali
sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat
sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.(9,10)
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai
jenis jamur.
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan
tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang
dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang
terjadi. (10,11)
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna
pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik). (11)
Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan
kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan
11
penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama
dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang
lebih kecil dan lebih aman. (11)
e. Antijamur Topikal Lainnya. (10,11)
Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat
dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep
Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat
memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka
penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi
terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga
ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini
berlemak.
Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik
tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek
fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep campuran yang mengangung 5
% undesilenat dan 20% seng undesilenat.
Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal
kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia
dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.
B. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal
dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :
1. Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam
bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa
dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita.
12
Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang
dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan
dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar
penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis.
Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat
berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat
tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.(1)
2. Ketokonazole
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang
bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu
pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk
penderita kelainan hepar.(1)
3. Itrakonazole
Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai
pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih
dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur
dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol
yang merupakan komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat
tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya
cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi
dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus),
amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat
meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis
tipe moccasion. (1,11,14)
4. Terbinafin
Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari
13
bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat
epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan
gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi
yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan
dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia
ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 %
kasus.(1) Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang
sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea
pedis dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan
griseofulvin. (12,13)
X. PENCEGAHAN
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap
dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab, menghindari
pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki telanjang di tempat-
tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari kontak dengan pasien
yang sama. Penularan jamur ini biasanya asimptomatik, sehingga umumnya tidak
terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit dan membutuhkan proses
yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci dengan benzoil peroksidase. (3,14)
XI. KOMPLIKASI
1. Selulitis
Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis.
Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi
bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder
pada luka. Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit
pembuluh darah perifer. Dalam keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi
14
dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi tempat
masuknya bakteri pathogen seperti β-hemolytic streptococci (group A, B C, F, and
G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram negatif.
Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi
gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka digunakan
antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin,
golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon. (3,14)
2. Tinea Ungium
Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya
dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum
merupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-
pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut. (14)
3. Dermatofid
Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi “id”, merupakan suatu penyakit
imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat
menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan
jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea
pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi antifungal. (14,15)
Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik, imunosupresi,
hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan profilaksis
penyakit ini dapat kambuh kembali.(3,14)
XII. PROGNOSIS
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa
minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun
kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun
dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien
dapat terkena reinfeksi.(2,3)
15
XIII.KESIMPULAN
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela
jari dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa
dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela
jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang
lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea
pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T.
interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion
foot, lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan ditemukan
adanya hifa double counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa
dermatitis kontak, pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan
disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa antifungal topikal
maupun oral dan apabila ditemukan infeksi sekunder maka indikasi penggunaan
antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga agar
kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang lembab dan
pemakaian sepatu yang terlalu lama.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5thedition. Jakarta; Fk-UI,2007;p 93
2. Bolognia JL, Jorizzo L, Rapini RP. Dermatology. Tinea Pedis. 2 nd ed.
British Library; 2008. p19-21
3. Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Tinea Pedis. 7th edition.2. New York; McGraw-Hill Medicine
2008; 709-712
4. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Dermatology. Tinea Pedis. Thieme
Clinical Companions, 2006;p109-110
5. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. Asian journal of
medical science. Tinea Pedis, 2011; p134- 135
6. Berth-jones J. Rook’s Textbook of Dermatology. Mycology. 8 th edition.1.
Cambridge; Wiley-Balckwell, 2010;p 36.30-36.32
7. Claire J. Carlo, MD, Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. Tinea
Pedis(athelete foot) available at http://www.bhchp.org/BHCHP
%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/TineaPedis.pdf
8. Habif TP. Clinical Dermatology : a color guide to diagnosis and therapy.
4 th ed. London: Mosby; 2004 p409-416
9. James D William, Berger G Timothy, Elston M Dirk. Andrews’ disease of
the skin; Diseases resulting from fungi and yeast . 10th edition. Canada;
Saunders Elsevier, 2008;p 303-305
10. Weinstein A, Berman B. Topical treatment of common superficial tinea
infections. Am Fam Physic 2002;65:2095-102
11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R,
Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 5th ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2005. p. 571-84.
17
12. Savin RC, Zaias N. Treatment of chronic moccasin-type tinea pedis with
terbinafine: a double-blind, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol
1990;23:804-7
13. Bell-Syer SEM, Hart R, Crawford F, Torgerson DJ, Tyrrell W, Russell I.
Oral treatments for fungal infections of the skin of the foot. [Online]. 2002
Apr 22 [cited 2013 september 18]; Available from: URL:
http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003584.html
14. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology
for the practicing allergist: tinea pedis and its complications. Clin Mol
Allergy 2004;2:5.
15. Noble SL, Pharm D, Forbes RC. Diagnosis and management of common
tinea infections. [Online]. 2000 July [cited 2013 September 18];
Available from: URL: http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html
18