13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberadaan gereja dewasa ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia. Tiga persoalan tersebut dapat memberikan pengaruh yang luas bagi kehidupan bergerejawi. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia merupakan hal yang lazim dalam gereja. Namun, persoalan tersebut sering kali diabaikan dan dianggap sepele oleh gereja. Gereja Kristen Protestan di Bali (selanjutnya akan disebut GKPB) tentu tidak dapat dilepaskan dari tiga persoalan tersebut. Sebagai gereja yang hadir di tengah masyarakat Bali persoalan hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia menjadi persoalan yang penting untuk digali secara lebih mendalam. Melihat hal tersebut, penyusun akan memaparkan secara mendalam terkait persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia. 1.1.1 Hawa Nafsu Gereja pada dasarnya mengumandangkan sikap untuk melawan dan menahan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan tema populer yang sering diangkat dalam kotbah, renungan harian, pelajaran katekisasi dan konseling pranikah. Namun, hawa nafsu masih dilihat dalam kerangka berpikir yang sempit. Dalam kehidupan bergereja hawa nafsu sering dikaitkan dengan persoalan seksualitas. Dengan alasan, pelaku pelecehan seksual tidak dapat menahan hawa nafsu. Albertus Sujoko menyatakan, penelitian psikologis menunjukkan sangat sering masalah seksual terjadi lebih disebabkan dari kegelisahan dari pada hawa nafsu. Kegelisahan tersebut antara lain adalah akibat dari rendahnya penghargaan diri. Kegelisahan orang yang rendah diri diproyeksikan dalam khayalan-khayalan, bahwa kenikmatan erotis dapat memuaskan kegelisahan tersebut. 1 Dengan kata lain, hawa nafsu memiliki makna yang luas tidak hanya menyangkut persoalan seksualitas, melainkan menyangkut persoalan keinginan mendalam yang ada dalam diri manusia itu sendiri. 2 Secara harafiah hawa nafsu dapat diartikan sebagai keinginan atau hasrat yang sangat kuat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hawa nafsu berasal dari kata “nafsu” 1 Albertus Sujoko, Identitas Yesus dan Misteri Manusia: Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 408. 2 Ibid. ©UKDW

©UKDWsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01092247/9e7279...menghilangkan kebebasan kristen dan memberi dampak buruk, bagi ... pada kenyaataannya hawa nafsu masih saja

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keberadaan gereja dewasa ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari persoalan mengenai

hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia. Tiga persoalan tersebut dapat memberikan

pengaruh yang luas bagi kehidupan bergerejawi. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan

dunia merupakan hal yang lazim dalam gereja. Namun, persoalan tersebut sering kali diabaikan

dan dianggap sepele oleh gereja. Gereja Kristen Protestan di Bali (selanjutnya akan disebut

GKPB) tentu tidak dapat dilepaskan dari tiga persoalan tersebut. Sebagai gereja yang hadir di

tengah masyarakat Bali persoalan hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia menjadi

persoalan yang penting untuk digali secara lebih mendalam. Melihat hal tersebut, penyusun akan

memaparkan secara mendalam terkait persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan

dengan dunia.

1.1.1 Hawa Nafsu

Gereja pada dasarnya mengumandangkan sikap untuk melawan dan menahan

hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan tema populer yang sering diangkat dalam kotbah,

renungan harian, pelajaran katekisasi dan konseling pranikah. Namun, hawa nafsu masih

dilihat dalam kerangka berpikir yang sempit. Dalam kehidupan bergereja hawa nafsu

sering dikaitkan dengan persoalan seksualitas. Dengan alasan, pelaku pelecehan seksual

tidak dapat menahan hawa nafsu. Albertus Sujoko menyatakan,

penelitian psikologis menunjukkan sangat sering masalah seksual terjadi lebih

disebabkan dari kegelisahan dari pada hawa nafsu. Kegelisahan tersebut antara

lain adalah akibat dari rendahnya penghargaan diri. Kegelisahan orang yang

rendah diri diproyeksikan dalam khayalan-khayalan, bahwa kenikmatan erotis

dapat memuaskan kegelisahan tersebut.1

Dengan kata lain, hawa nafsu memiliki makna yang luas tidak hanya menyangkut

persoalan seksualitas, melainkan menyangkut persoalan keinginan mendalam yang ada

dalam diri manusia itu sendiri.2

Secara harafiah hawa nafsu dapat diartikan sebagai keinginan atau hasrat yang

sangat kuat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hawa nafsu berasal dari kata nafsu

1Albertus Sujoko, Identitas Yesus dan Misteri Manusia: Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental

(Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 408. 2Ibid.

UKD

W

2

yang berarti keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat, dorongan hati yang

kuat untuk berbuat yang kurang baik, selera, dan gairah.3 Istilah hawa nafsu dalam bahasa

Yunani yaitu . Secara harafiah kata dapat berarti kesenangan,

kenikmatan, keinginan dan hasrat.4 Dalam tradisi Yahudi istilah hawa nafsu atau

keinginan dikenal dengan istilah yetser. Istilah ini dipakai untuk tendensi yang berbahaya

dan emosi yang paling kompleks dalam diri manusia, yang bisa menghasilkan berbagai

bentuk kejahatan.5 Sehingga hawa nafsu dapat diartikan sebagai dorongan, keinginan,

selera dan gairah hati yang sangat kuat. Hawa nafsu pada dasarnya muncul dari manusia

itu sendiri. Setiap manusia tentu memiliki hasrat dan keinginan yang kuat di dalam

dirinya.

Dalam etika kristen, hawa nafsu merupakan hal yang wajib untuk dikendalikan

dan dihindari. Hawa nafsu dipandang sebagai penghalang antara Allah dengan manusia.6

Pandangan tersebut tidak lepas dari pemahaman bahwa hawa nafsu merupakan persoalan

etis yang sering terjadi dalam kehidupan bergereja. Verne H. Fletcher menyatakan,

hawa nafsu dapat memperbudak kebebasan dan mengakibatkan kecenderungan-

kecenderungan yang bersifat tercela, perbuatan hina serta kebiasaan-kebiasaan

buruk. Karena kebebasan kristen berarti kebebasan dari hasrat yang kurang luhur

(hawa nafsu) serta bebas dari hasrat-hasrat egois (berlebihan), agar dapat maju ke

arah kejatian hidup yang luhur dan manusiawi.7

Dapat dikatakan, bahwa hawa nafsu yang bersifat egois (berlebihan) dapat

menghilangkan kebebasan kristen dan memberi dampak buruk, bagi seorang yang

menjadi budak hawa nafsu. Namun, jika orang tersebut mampu menahan dan mengontrol

hawa nafsu, hawa nafsu juga akan memberikan dampak baik. Meskipun etika kristen

melihat hawa nafsu dari banyak segi, pada kenyaataannya hawa nafsu masih saja dilihat

dari cara pandang yang sempit (hanya pada satu ruang lingkup saja). Sehingga kasus-

kasus yang berkaitan dengan hawa nafsu oleh gereja tidak pernah diperdalam dan

ditelaah secara lebih serius. Karena persoalan hawa nafsu sering dianggap hanya sebatas

3Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm.

605. 4Barclay M. Newman, Kamus Yunani Indonesia Untuk Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm.

74. 5Yakob Tri Handoko, Tafsiran Alkitab Untuk Orang Awam: Surat Yakobus (Surabaya: Star Publisher, 2008), hlm.

193 6Jochem Douma, Kelakuan Yang Bertanggung Jawab: Pembimbing ke dalam Etika Kristen (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2007), hlm. 10. 7Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2007), hlm. 39.

UKD

W

3

persoalan berkaitan dengan moral dan bukan suatu persoalan penting, yang memerlukan

pendampingan khusus.

Hawa nafsu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bersifat negatif. Karena setiap

manusia memiliki hawa nafsu (hasrat, keinginan, selera dan gairah hati). Seperti yang

dijelaskan oleh David K. Clark, bahwa hawa nafsu bukanlah merupakan sesuatu yang

bersifat buruk, karena hawa nafsu ada dalam diri setiap manusia. Namun, jika seseorang

mampu dalam mengatasi hawa nafsu, orang tersebut dapat disebut sebagai seorang yang

dewasa (matang).8 Dapat dikatakan, hawa nafsu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

setiap orang. Setiap orang pasti mempunyai keinginan, hasrat, gairah, kebutuhan,

kenikmatan dan selera hati dalam menjalani sebuah proses kehidupan. Jika seseorang

tidak memiliki hawa nafsu berarti ada sesuatu yang kurang pada orang tersebut. Namun,

hawa nafsu dapat menjadi sesuatu yang bersifat buruk dan merusak, jika hawa nafsu

dipergunakan secara berlebihan dan menguasai diri orang tersebut.

Hawa nafsu dapat menjadi sumber pertikaian dalam gereja. Jika di dalam gereja

semua orang kristen memiliki keinginan yang kuat untuk mengusai sesuatu hal, tentu

pertikaian tidak akan dapat untuk dihindari. Keinginan yang kuat untuk mengusai, pada

dasarnya merupakan persoalan bersifat etis, yang dapat menyebabkan terjadinya konflik

berkepanjangan. Hal tersebut dapat membuat pelakunya menjadi lupa dan bersikap egois

terhadap sesamanya. Dalam kehidupan bergereja, keinginan yang kuat untuk menguasai

dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat negatif, seperti: perpecahan

dalam gereja, ketidak-puasan spiritual, perselisihan antar warga gereja dan persaingan-

persaingan dalam gereja yang bersifat tidak sehat. Persoalan hawa nafsu dalam kaitannya

dengan keinginan yang kuat untuk menguasai, merupakan persoalan yang perlu mendapat

perhatian khusus dari gereja. Tidak hanya hawa nafsu dalam kaitannya dengan keinginan

untuk menguasai yang mendapat perhatian khusus, melainkan seluruh persoalan yang

berkaitan dengan hawa nafsu yang terjadi di dalam gereja.

Selain itu, dikuasai oleh hawa nafsu dapat membuat gereja lupa dan tidak peka

terhadap sesamanya. Gereja menjadi acuh tak acuh, hanya memikirkan dirinya sendiri,

mencari aman dan tidak berani menempuh resiko untuk berjuang demi keadilan.9 Jika hal

tersebut dibiarkan, gereja sebagai kumpulan orang-orang percaya tidak lagi memancarkan

8David K. Clark, Reading In Christians Etich (United States Of America: Baker Academic, 2008), hlm. 160.

9Eka Darma Putra, Spiritualitas Siap Juang: Khotbah-Khotbah Tentang Spiritualitas Masa Kini (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2008), hlm. 91.

UKD

W

4

kasih Kristus ke tengah-tengah dunia. Dengan kata lain, gereja perlu untuk lebih peka

terhadap persoalan hawa nafsu.

1.1.2 Doa

Seorang bapa rohani bertanya kepada murid-muridnya: apakah awal-mula doa

itu? Murid pertama menjawab: dalam kesesakan orang mulai berdoa. Bila orang

menghadapi kesulitan, mereka mulai berdoa. Kalau saya terjepit saya lari kepada Allah!

Murid yang kedua menyambung: bila saya bergembira, hatiku lupa akan segala

ketakutan dan kecemasan, lalu terbang kepada Allah. Murid yang ketiga berkata: dalam

kesunyian, kalau jiwaku tenang aku suka berbicara dengan Allah. Murid keempat

menjawab pertanyaan gurunya: hanya jika aku dapat mengoceh seperti seorang anak

kecil dan tidak malu berceloteh di hadapan Allah. Dia besar dan aku kecil dan semuanya

seperti semestinya. Lalu bapa rohani angkat suara: jawaban kalian semua itu baik.

Tetapi, ada suatu awal-mula yang mendahului semua apa yang kalian sebut. Doa dimulai

pada Allah. Dialah yang memulainya, bukan kita.10

Dalam ilustrasi di atas, doa diperlihatkan sebagai proses menjalin hubungan

antara Allah dan manusia serta usaha untuk mendengarkan dan menanggapi sabda atau

kehadiran Allah.11

Doa tidak membuat Allah hadir. Doa bukanlah suatu usaha manusia

sendiri saja, karena doa dimulai dengan kemauan manusia untuk masuk ke dalam suatu

hubungan khusus dengan Allah atas undangan dan prakarsa ilahi.12

Untuk itu, perlu

melihat persoalan doa secara lebih mendalam. Pada hakikatnya doa adalah suatu cara

bagi manusia untuk mengungkapkan dan menghayati hubungannya dengan Allah. Dalam

bergereja doa merupakan hal yang dasariah, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

orang kristen. Dalam arti tertentu, doa dimaknai sebagai ungkapan diri yang dinamis

orang beriman di hadapan Allah. Dengan berdoa menunjukkan suatu sikap kesiapan

untuk terlibat dalam menanggapi karya Allah.13

Selain itu, doa juga dimaknai sebagai

sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan serta sebagai cara terdalam bagi orang kristen

dalam melayani satu sama lainnya.14

Dapat dikatakan, bahwa dalam keseharian minimal

berdoa dapat dilakukan lebih dari satu kali. Contohnya, berdoa ketika akan makan,

10

Dikutip dari K. Hemmerle, Dein Herz an Gottes Ohr, dalam buku Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani:

Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 13. 11

Ibid, hlm. 14. 12

Ibid. 13

Yosef Lalu, Makna Hidup Dalam Terang Iman Katolik: Agama-Agama Membantu Manusia Menggumuli Makna

Hidupnya (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 167. 14

Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 140.

UKD

W

5

berdoa ketika tidur, berdoa ketika akan berpergian, berdoa ketika menghadapi masalah,

berdoa ketika sedang senang, dan berdoa ketika doa tersebut dibutuhkan. Hal tersebut

menunjukkan, bahwa berdoa merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang

Kristen. Persoalan yang muncul adalah, apakah ketika berdoa tidak dibumbui dengan

hawa nafsu?

Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan bergerja, doa sering dimaknai sebagai

permintaan atau sarana untuk meminta sesuatu kepada Tuhan. Pemahaman tersebut

tidak lepas dari cara memaknai doa sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Dalam berdoa memang berkaitan dengan meminta sesuatu kepada Tuhan. Hal ini bukan

berarti, bahwa fungsi doa hanya sebatas meminta. Jika berdoa hanya dimaknai sebagai

permintaan, maka nilai-nilai spiritualitas dalam sebuah doa menjadi hilang. Dalam

kehidupan bergerejawi doa seharusnya memiliki banyak fungsi. Charles J. Keating

menegaskan, bahwa doa dapat berfungsi sebagai indikator menyangkut relasi manusia

dengan Allah, sesama dan diri manusia itu sendiri. Doa juga dapat berfungsi sebagai

ukuran utama dari sehat tidaknya hidup rohani seseorang.15

Dapat dikatakan, bahwa doa

tidak hanya sebatas berfungsi sebagai permintaan, melainkan memiliki fungsi yang luas

menyangkut relasi dengan diri sendiri, sesama manusia dan Allah.

Pada dasarnya berdoa bukanlah aktifitas rohani yang dilakukan apabila seseorang

memiliki waktu untuk melakukannya, bukan suatu aktifitas yang bersifat rutinitas tanpa

nilai-nilai spiritualitas di dalamnya. Berdoa merupakan hal yang sangat penting dalam

kehidupan beriman seseorang, karena doa adalah tanda dari kehidupan iman seseorang.16

Namun, pada kenyataannya terkadang doa sering menjadi sebuah norma atau aturan-

aturan wajib dalam kehidupan bergereja, yaitu menjadi norma yang mengatur sedemikian

rupa tata cara dalam berdoa. Hal tersebut membuat doa dilakukan karena keterpaksaan

dan formalitas dalam mengikuti aturan gerejawi, bukan sebagai wujud penyatuan dengan

Allah dan mengalami Allah. Doa seharusnya tidak menjadi norma atau aturan-aturan

yang membebankan seseorang untuk melakukannya. Doa seharusnya menjadi sesuatu

yang menyenangkan bagi kehidupan orang beriman.

Bagi masyarakat Hindu di Bali, doa dipandang memiliki kekuatan supranatural,

kekuatan mistik atau magis dan dianggap menjadi pembersih atau pengontrol dari panca

15

Charles J. Keating, Doa Dan Kepribadian (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 18. 16

Liem Sien Liong, Studi Teologis Tentang Berdoa Di Dalam Roh Kudus Menurut Perjanjian Baru Dan

Penerapannya Bagi Kehidupan Doa Orang Percaya, Veritas 9/2, Oktober 2008, hlm. 171.

UKD

W

6

indra secara mendasar.17

Doa juga dimaknai dengan penggunaan kata Om. Om

berasal dari Kata AUM atau singkatan dari kata Ang, Ung dan Mang yang

dianggap merupakan aksara suci dari Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Dewa Trimurti

(Brahma = Ang, Wisnu = Ung, dan Siwa = Mang). Jika dibaca dan disatukan aksara itu

menjadi Om. Penggabungan dari ketiga aksara ini disebut dengan istilah Ong Kara.

Ong Kara inilah sumber dari semua aksara, kemudian disebut wija-aksara atau aksara

Yang Maha Suci lambang dari Dewa Trimurti.18

Penggunaan kata Om sebagai doa

kepada Tuhan, memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi tersebut:

mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Dapat dikatakan,

bahwa kata Om merupakan simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Selain itu, doa

juga dipahami sebagai sarana untuk menyeimbangkan hawa nafsu duniawi dan

memungkinkan manusia untuk berkelakuan baik atau mampu untuk mengontrol hawa

nafsu duniawi.19

Dalam konteks GKPB, kata berdoa juga merupakan hal yang sangat penting

dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat

kristen di Bali. Kesalehan seseorang diukur dari cara orang itu berdoa dan dari doa yang

selalu terjawab. Jika ada orang yang doanya tidak terjawab, orang tersebut tidak tekun

dalam berdoa. Kesan tersebut sering memberikan dampak yang negatif kepada mereka

yang tidak dijawab doanya. Seakan-akan doa yang tidak diterima tersebut digunakan

sebagai patokan untuk memberikan suatu stereotip terhadap tingkat penerimaan doa.

Secara tidak langsung, kesan tersebut telah menimbulkan suatu pelecehan spiritual. Jeff

VanVonderen menegaskan, bahwa pelecehan spiritual dapat terjadi, ketika spiritualitas

dipakai untuk membuat orang lain hidup menurut suatu standar spiritual.20

Hal tersebut

mengangkat penampilan spiritual yang tidak mempedulikan keberadaan individu yang

sesungguhnya dan dipakai sebagai suatu cara untuk membuktikan spiritualitas

seseorang.21

Dengan kata lain, hal itu telah membuat suatu cara beriman yang tidak sehat,

dengan memberikan stereotip baru yang sebenarnya telah melakukan pelecehan spiritual,

17

Nyoman S. Pendit, Nyepi: Kebangkitan, Toleransi Dan Kerukunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),

hlm. 164. 18

Diunduh dari http://dewaarka.wordpress.com/2009/09/30/doa-sehari-hari-menurut-hindu/, pada Senin, 22

September 2014, pada pukul 22.00 wib. 19

Nyoman S. Pendit, Nyepi, hlm. 165. 20

David Johnson, Jeff VanVonderen, Kuasa Terselubung Dari Pelecehan Spiritual: Mengenal dan Memahami

Manipulasi Spiritual dan Otoritas Spiritual Palsu di Dalam Gereja (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000), hlm. 25. 21

Ibid.

UKD

W

http://dewaarka.wordpress.com/2009/09/30/doa-sehari-hari-menurut-hindu/

7

baik kepada mereka yang melakukan dan kepada mereka yang menjadi korban stereotip

tersebut.

Doa yang seharusnya menjadi sesuatu hal yang indah, berubah menjadi sebuah

ketakutan yang mendalam untuk berdoa. Selain itu, pandangan tersebut telah

menimbulkan suatu perspektif tertentu dalam memaknai cara berdoa, bahkan aturan

dalam berdoa. Berdoa pada akhirnya dipandang dari sudut pandang yang sangat sempit.

Berdoa yang seharusnya tidak perlu dibalut dengan stereotip tertentu, menjadi penuh

dengan kesan-kesan yang membatasi ruang seseorang dalam berdoa.

1.1.3 Persahabatan dengan Dunia

Dalam sebuah lagu rohani Kristen yang berjudul Hidup Tanpamu ciptaan dari

Sidney Mohede, pada bagian liriknya menyebutkan: Dunia ini mengatakan hidup tuk

senang saja, hiduplah tuk puaskan jiwa. Namun, aku mau hidup bagi Allah Bapa..22

Tanpa disadari potongan lirik lagu tersebut mencerminkan sikap gereja yang cenderung

menjadi lebih defensif terhadap dunia. Dunia seakan-akan dipandang sebagai hal yang

buruk dan orang-orang kristen diwajibkan untuk menjauh dari dunia. Tema-tema populer

yang sering muncul dalam gereja adalah sikap untuk melawan dunia. Pandangan tersebut

menimbulkan paradigma, bahwa gereja berbeda dengan dunia.23

GKPB sebagai gereja

yang hadir di tengah-tengah masyarakat Bali, tentu tidak dapat dipisahkan dari persolan

ini. Pandangan bahwa gereja dan dunia berbeda, tentu dapat memberi dampak yang besar

dalam kehidupan bergereja, khususnya bagi GKPB.

Gereja sering memberikan batasan-batasan yang bersifat ekstrem untuk menjauh

dari dunia. Batasan tersebut telah membuat gereja merasa dirinya sebagai yang benar dan

dunia adalah sesuatu yang salah. Sehingga muncul pandangan hanyalah gereja tetapi

dunia tidak.24

Pandangan ini membuat pelayanan dan kehidupaan kristen didefinisikan

semata-mata sebagai pemberitaan, ibadah publik, pengembalaan dan amal. Orang-orang

kristen yang menjalankan imannya didefinisikan sebagai pengunjung gereja yang

teratur.25

Hal tersebut menimbulkan sikap yang bersifat oposisi terhadap dunia. Gereja

menjadi menghayati panggilannya, hanya untuk melayani dirinya sendiri bukan untuk

melayani dunia. Andar Ismail menegaskan, bahwa pada dasarnya gereja dipanggil untuk

22

Diunduh dari http://www.kidung.com/indo/hidup_tanpaMu.htm, pada Senin, 14 Juli 2014, pada pukul 10.05 wib. 23

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2006), hm. 576 24

Ibid. 25

Ibid, hlm. 577.

UKD

W

http://www.kidung.com/indo/hidup_tanpaMu.htm

8

melayani dunia bukan untuk menjauh dari dunia. Namun, pada kenyaataanya gereja

sering kali lupa akan tugas dan lebih berfokus pada pemikiran bahwa gereja dan dunia

berbeda.26

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Krispurwana Cahyadi, bahwa gereja

seharusnya menempatkan diri sebagai pelayan kehidupan yang tidak hanya melayani injil

dan umat melainkan melayani dunia juga.27

Hal ini berarti, bahwa gereja semakin

dipanggil untuk hadir ditengah-tengah dunia dan diutus untuk mewujudnyatakan dirinya.

Pandangan Yesus terhadap dunia: karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku

telah memilih kamu dari dunia .... (bdk. Yoh. 15:18-19)28

, menimbulkan hal yang

bersifat kontradiktif. Hal ini jugalah yang terkadang membuat gereja merasa dirinya

bukan berasal dari dunia. Pandangan Yesus tersebut terhadap dunia perlu untuk dikaji

secara lebih mendalam. Penggunaan kata dunia atau secara harafiah memang

berarti dunia secara utuh dan keseluruhan. Penggunaan kata dunia tersebut

menimbulkan persoalan: apakah kata itu murni merupakan perkataan Yesus? Atau,

apakah kata tersebut merupakan kata dari penulis Injil Yohanes atau redaktur dari Injil

Yohanes? Perlu diperhatikan, bahwa pola pemikiran Injil Yohanes berasal dari

pemahaman pasca kebangkitan Yesus dan berkaitan dengan konteks pembaca dari Injil

Yohanes. Injil Yohanes dan Injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas), merupakan injil

yang ada pasca Yesus dan surat-surat Paulus yang pertama. Dengan kata lain, hal tersebut

tidak dapat dijadikan bukti bahwa Yesus menggunakan kata dunia untuk membedakan

secara langsung. Lebih tepat jika kata tersebut disebut sebagai pemahaman teologis

penulis injil Yohanes terhadap Yesus, sesuai dengan konteks kehidupan jemaat yang pada

saat itu. Seperti yang ditegaskan oleh Raymond E. Brown, bahwa penggunaan kata

dunia tersebut lebih merujuk pada pandangan penulis injil Yohanes terhadap Yesus,

bahwa dunia tidak akan melihat Yesus lagi.29

Pandangan tersebut justru menunjukkan,

bahwa Yesus tidak menolak dunia. Hal tersebut menjadi jelas, ketika Yesus mengutus

murid-muridnya untuk melayani dunia (bdk. Mrk. 16:15).

26

Andar Ismail, Awam dan Pendeta Mitra Membina Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hlm. 80. 27

Krispurwana Cahyadi, Pastoral Gereja: Paroki Dalam Upaya Membangun Gereja Yang Hidup (Yogyakarta:

Kanisius, 2009), hlm. 239. 28

Dalam Yohanes 15:18-19 versi TB LAI disebutkan, bahwa Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu

sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab

itulah dunia membenci kamu. 29

Raymond E. Brown, The Anchor Bible: The Gospel According To John XIII-XXI (New York: Garden City, 1984),

hlm. 647.

UKD

W

9

Lalu siapakah sebenarnya dunia? Dalam konteks kekristenan dunia lebih

mengarah kepada orang-orang yang berada di luar kekristenan. Seperti yang dinyatakan

oleh Jerome H. Neyrey, bahwa dunia adalah orang-orang yang masih tetap dikuasai oleh

keinginan dan kesenangan.30

Pemahaman kata dunia, sering dipahami dalam arti

yang negatif dengan menerjemahkan kata ini secara harafiah. Dunia dipahami sebagai

sesuatu hal yang berbeda dengan kekristenan, bahkan gereja pun sering kali merasa

berbeda dengan dunia. Secara tidak langsung persoalan mengenai persahabatan dengan

dunia, menjadi suatu dilema yang dapat menimbulkan sikap anti terhadap ideologi,

budaya dan agama lain. Hal tersebut tentu akan menimbulkan suatu sikap tertutup dan

fanatisme yang berlebihan, jika bersahabat dengan dunia. Pemahaman yang negatif

tersebut dapat membuat jurang yang sangat besar dalam konteks masyarakat yang plural

dan memicu terjadinya konflik, berkaitan dengan relasi antar umat beragama.

1.2 Alasan Pemilihan Yakobus 4:1-10

Berangkat dari persoalan yang dijelaskan dalam latar belakang di atas, penyusun merasa

penting untuk mengangkat persolan yang ada dalam Yakobus 4:1-10. Karena persoalan-

persoalan yang dipaparkan oleh penulis surat Yakobus dalam perikop 4:1-10, dekat dengan

konteks kehidupan saat ini, secara khusus dalam kehidupan bergereja. Persoalan yang

dipaparkan dalam Yakobus 4:1-10 merupakan persoalan yang bersifat etis, dalam kaitannya

dengan hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia.

Perikop Yakobus 4:1-10, terkadang tidak dilihat dalam satu-kesatuan yang utuh,

melainkan sebagai bagian yang terpisah-pisah. Jika melihat persoalan yang satu, maka persoalan

yang lain tidak dilihat atau diabaikan. Penulis surat Yakobus mewanti-wanti pembacanya untuk

menyadari, bahwa persoalan keinginan yang berlebihan, bukanlah persoalan yang mudah.

Keadaan tersebut mendorong penulis surat Yakobus untuk mengangkat persoalan itu. Bagi

penulis surat Yakobus, persoalan keinginan berasal dari keinginan diri sendiri, merupakan

sesuatu hal yang penting, namun sering dilupakan dan diabaikan. Karena sumber dari

perselisihan dan pertengkaran berawal dari sebuah keinginan yang bergejolak di dalam diri

manusia.

Bagi penyusun, nasihat-nasihat yang diberikan oleh penulis surat Yakobus dalam

Yakobus 4:1-10, menjadi penting untuk diangkat kembali dan dijadikan pedoman bagi

kehidupan bergereja saat ini, secara khusus bagi kehidupan bergereja GKPB. Karena gereja

30

Jerome H. Neyrey, Yakobus, dalam buku Dianne Bergant, Lembaga Alkitab Indonesia: Tafsir Alkitab Perjanjian

Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 441.

UKD

W

10

dituntut untuk lebih peka dalam pelayanannya kepada sesamanya dan tidak hanya mementingkan

kepentingan dirinya. Sehingga gereja tidak mengabaikan realitas di sekitarnya berkaitan dengan

tiga poin di atas (hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia) dan mampu memahami

pelayanan yang dibutuhkan oleh sesamanya.

1.3 Rumusan Masalah

Melihat dinamika dan perkembangan teologi kita saat ini, menarik untuk menggali secara

lebih mendalam perikop Yakobus 4:1-10. Menarik, karena perikop Yakobus 4:1-10 berisikan

pesan moral yang dekat dengan dinamika kehidupan kita saat ini. Beranjak dari pemaparan

persoalan hermeneutis mulai dari persoalan mengenai hawa nafsu, doa, persahabatan dengan

dunia dan alasan pemilihan Yakobus 4:1-10. Persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan

persahabatan dengan dunia merupakan persoalan yang bersifat dilematis. Ada tiga hal penting

yang perlu untuk diperhatikan dalam melihat perikop Yakobus 4:1-10: 1) Teks ini berangkat dari

satu kata kunci yaitu keinginan atau hawa nafsu (terjemahan TB LAI). 2) Teks ini

memberikan suatu stereotip tertentu terhadap kata berdoa atau , dalam kaitannya

dengan doa yang salah dan doa yang benar, dengan dugaan doa yang benar hanyalah doa yang

terjawab maka doa yang salah adalah doa yang tidak terjawab. Teks dalam kaitannya dengan doa

ini merupakan teks yang populer dalam kalangan orang kristen, terkhusus bagi GKPB. 3) Teks

mengenai persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah, secara tidak langsung

menunjukkan keeksklusifan dari teks ini. Teks ini sering dilihat secara apa adanya, sehingga

menyebabkan sensitifitas yang sangat tinggi, ketika ingin bersahabat dengan mereka yang

berbeda.

Melalui skripsi ini, penyusun mencoba melihat persoalan-persoalan yang ada dalam

perikop Yakobus 4:1-10, dengan menggunakan pendekatan hermeneutis Sosio-Rhetorika.

Dengan demikian pertanyaan permasalahan yang muncul adalah:

1. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia sering dilihat dan dimengerti

sebagai persoalan yang terpisah-pisah. Bagaimana pendekatan hermeneutis Sosio-

Rhetorika melihat dan membaca pergumulan mengenai hawa nafsu, doa dan

persahabatan dengan dunia diperhadapkan dengan teks Yakobus 4:1-10, sebagai satu

kesatuan yang utuh?

2. Bagaimana memaknai hawa nafsu, doa, serta persahabatan dengan dunia dari sudut

pandang penulis surat Yakobus dalam Yakobus 4:1-10, sehingga perikop Yakobus

4:1-10 dapat memberikan sumbangsih bagi Gereja Kristen Protestan di Bali?

UKD

W

11

1.4 Batasan Permasalahan

Penyusun menyadari, bahwa topik yang diangkat dalam skripsi ini dapat meluas. Oleh

karena itu, penyusun membatasi permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Skripsi ini

mengkaji mengenai persoalan hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia yang akan

didapati melalui telaah kritis terhadap teks Yakobus 4:1-10. Pokok permasalahan dalam

penyusunan skripsi ini dibatasi hanya pada perikop Yakobus 4:1-10, berkaitan dengan hawa

nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia secara teologis, karena penyusun hendak melihat

kedudukan surat Yakobus 4:1-10 secara utuh.

1.5 Tujuan Penyusunan

Penyusun merasa bahwa memahami maksud dan tujuan dari penulis surat Yakobus

terhadap hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia adalah hal yang penting, terkhusus

bagi GKPB. Persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia merupakan

persoalan yang dekat dengan dinamika kehidupan saat ini. Namun, persoalan tersebut sering

dianggap sebagai persoalan yang sepele. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia

bukanlah persoalan sepele, karena persoalan tersebut memiliki pengaruh yang kuat dalam

kehidupan. Melalui perikop Yakobus 4:1-10 penyusun mencari pemahaman penulis surat

Yakobus mengenai hawa nafsu, doa, dan persahabatan dengan dunia dengan mengunakan

pendekatan Sosio-Rhetorika. Setelah memahami makna dari hawa nafsu, doa, dan persahabatan

dengan dunia dari sudut pandang penulis surat Yakobus dalam Yakobus 4:1-10, maka akan

digali relevansinya bagi Gereja Kristen Protestan di Bali.

1.6 Metode Penelitian

1.7.1 Metode penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode literatur. Dengan

kata lain proses pencarian data melalui buku, ebook, jurnal ilmiah, kamus,

Alkitab, dan artikel-artikel ilmiah yang mendukung dalam proses penyusunan

skripsi ini.

1.7.2 Metode penafsiran menggunakan pendekatan Sosio-Rhetorika sebagai dasar

pendekatan penyusunan skripsi ini. Selain itu, metode penafsiran ini juga

didukung dan dikembangkan dengan pendekatan Sastera dan pendekatan Bentuk.

Tujuannya adalah untuk menggali secara kritis dan mendalam perikop Yakobus

4:1-10, mengenai bagaimana perikop ini dapat memberikan pesan dalam konteks

UKD

W

12

pembaca aslinya. Kerangka penyusunan yang digunakan dalam penyusunan

skripsi ini adalah diskripsi analitis.

1.7 Judul Skripsi

Hawa Nafsu, Doa dan Persahabatan dengan Dunia Diperhadapkan

dengan Yakobus 4:1-10 dan Relevansinya bagi Gereja Kristen Protestan di Bali

Pemilihan judul ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali pentingnya persoalan

mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia yang sering terjadi dalam kehidupan

bergereja, khususnya di GKPB. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia merupakan

persoalan yang lazim dalam kehidupan bergereja. Namun, pada prakteknya persoalan tersebut

sering diabaikan.

Persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia merupakan

persoalan yang bersifat etis. Penyusun melihat Yakobus 4:1-10, juga merupakan teks yang unik

dan penuh dengan nasihat-nasihat etis yang dekat dengan kehidupan saat ini. Penyusun memilih

Yakobus 4:1-10, karena penyusun melihat bahwa Yakobus 4:1-10 dapat memberikan jawaban

terhadap tiga persoalan: hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia.

Kontekstualisasi merupakan hal yang penting dalam kehidupan bergereja saat ini. Untuk

itu, penyusun merasa penting untuk menafsirkan perikop Yakobus 4:1-10 dengan melihat

konteks kehidupan bergereja saat ini. Sehingga Yakobus 4:1-10 dapat memberikan sumbangsih

bagi Gereja Kristen Protestan di Bali.

1.8 Sistematika Tulisan

Bab 1 Rumusan Masalah

Dalam bab ini penyusun akan memaparkan secara umum mengenai latar belakang

permasalahan, perumusan masalah, batasan permasalahan, tujuan penyusunan,

metodologi penyusunan, judul skripsi, serta sistematika penyusunan skripsi mengenai

hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia diperhadapkan dengan Yakobus 4:1-10.

Bab 2 Pembimbing Kritis Surat Yakobus

Dalam bab ini penyusun akan memaparkan konteks surat Yakobus: kepengarangan surat

Yakobus, para pembaca dari surat Yakobus, sifat sastera surat Yakobus, kanonisasi serta

struktur surat Yakobus.

Bab 3 Tafsir Kritis Yakobus 4:1-10

UKD

W

13

Dalam bab ini penyusun memaparkan tafsiran perikop Yakobus 4:1-10 dengan

menggunakan pendekatan Sosio-Rhetorika, untuk menggali apa makna keinginan diri

sendiri, doa dan persahabatan dengan dunia bagi penulis surat Yakobus dan pembaca

aslinya.

Bab 4 Relevansi Surat Yakobus 4:1-10 Bagi Gereja Kristen Protestan di Bali

Dalam bab ini penyusun akan memaparkan relevansi perikop Yakobus 4:1-10 untuk

Gereja Kristen Protestan di Bali.

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini penyusun akan memaparkan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang

telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya beserta saran-saran pengembangan bagi

kehidupan masa kini.

UKD

W

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah1.1.1 Hawa Nafsu1.1.2 Doa1.1.3 Persahabatan dengan Dunia

1.2 Alasan Pemilihan Yakobus 4:1-101.3 Rumusan Masalah1.4 Batasan Permasalahan1.5 Tujuan Penyusunan1.6 Metode Penelitian1.7 Judul Skripsi1.8 Sistematika Tulisan