Upload
trankhanh
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keberadaan gereja dewasa ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari persoalan mengenai
hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia. Tiga persoalan tersebut dapat memberikan
pengaruh yang luas bagi kehidupan bergerejawi. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan
dunia merupakan hal yang lazim dalam gereja. Namun, persoalan tersebut sering kali diabaikan
dan dianggap sepele oleh gereja. Gereja Kristen Protestan di Bali (selanjutnya akan disebut
GKPB) tentu tidak dapat dilepaskan dari tiga persoalan tersebut. Sebagai gereja yang hadir di
tengah masyarakat Bali persoalan hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia menjadi
persoalan yang penting untuk digali secara lebih mendalam. Melihat hal tersebut, penyusun akan
memaparkan secara mendalam terkait persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan
dengan dunia.
1.1.1 Hawa Nafsu
Gereja pada dasarnya mengumandangkan sikap untuk melawan dan menahan
hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan tema populer yang sering diangkat dalam kotbah,
renungan harian, pelajaran katekisasi dan konseling pranikah. Namun, hawa nafsu masih
dilihat dalam kerangka berpikir yang sempit. Dalam kehidupan bergereja hawa nafsu
sering dikaitkan dengan persoalan seksualitas. Dengan alasan, pelaku pelecehan seksual
tidak dapat menahan hawa nafsu. Albertus Sujoko menyatakan,
penelitian psikologis menunjukkan sangat sering masalah seksual terjadi lebih
disebabkan dari kegelisahan dari pada hawa nafsu. Kegelisahan tersebut antara
lain adalah akibat dari rendahnya penghargaan diri. Kegelisahan orang yang
rendah diri diproyeksikan dalam khayalan-khayalan, bahwa kenikmatan erotis
dapat memuaskan kegelisahan tersebut.1
Dengan kata lain, hawa nafsu memiliki makna yang luas tidak hanya menyangkut
persoalan seksualitas, melainkan menyangkut persoalan keinginan mendalam yang ada
dalam diri manusia itu sendiri.2
Secara harafiah hawa nafsu dapat diartikan sebagai keinginan atau hasrat yang
sangat kuat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hawa nafsu berasal dari kata nafsu
1Albertus Sujoko, Identitas Yesus dan Misteri Manusia: Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 408. 2Ibid.
UKD
W
2
yang berarti keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat, dorongan hati yang
kuat untuk berbuat yang kurang baik, selera, dan gairah.3 Istilah hawa nafsu dalam bahasa
Yunani yaitu . Secara harafiah kata dapat berarti kesenangan,
kenikmatan, keinginan dan hasrat.4 Dalam tradisi Yahudi istilah hawa nafsu atau
keinginan dikenal dengan istilah yetser. Istilah ini dipakai untuk tendensi yang berbahaya
dan emosi yang paling kompleks dalam diri manusia, yang bisa menghasilkan berbagai
bentuk kejahatan.5 Sehingga hawa nafsu dapat diartikan sebagai dorongan, keinginan,
selera dan gairah hati yang sangat kuat. Hawa nafsu pada dasarnya muncul dari manusia
itu sendiri. Setiap manusia tentu memiliki hasrat dan keinginan yang kuat di dalam
dirinya.
Dalam etika kristen, hawa nafsu merupakan hal yang wajib untuk dikendalikan
dan dihindari. Hawa nafsu dipandang sebagai penghalang antara Allah dengan manusia.6
Pandangan tersebut tidak lepas dari pemahaman bahwa hawa nafsu merupakan persoalan
etis yang sering terjadi dalam kehidupan bergereja. Verne H. Fletcher menyatakan,
hawa nafsu dapat memperbudak kebebasan dan mengakibatkan kecenderungan-
kecenderungan yang bersifat tercela, perbuatan hina serta kebiasaan-kebiasaan
buruk. Karena kebebasan kristen berarti kebebasan dari hasrat yang kurang luhur
(hawa nafsu) serta bebas dari hasrat-hasrat egois (berlebihan), agar dapat maju ke
arah kejatian hidup yang luhur dan manusiawi.7
Dapat dikatakan, bahwa hawa nafsu yang bersifat egois (berlebihan) dapat
menghilangkan kebebasan kristen dan memberi dampak buruk, bagi seorang yang
menjadi budak hawa nafsu. Namun, jika orang tersebut mampu menahan dan mengontrol
hawa nafsu, hawa nafsu juga akan memberikan dampak baik. Meskipun etika kristen
melihat hawa nafsu dari banyak segi, pada kenyaataannya hawa nafsu masih saja dilihat
dari cara pandang yang sempit (hanya pada satu ruang lingkup saja). Sehingga kasus-
kasus yang berkaitan dengan hawa nafsu oleh gereja tidak pernah diperdalam dan
ditelaah secara lebih serius. Karena persoalan hawa nafsu sering dianggap hanya sebatas
3Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm.
605. 4Barclay M. Newman, Kamus Yunani Indonesia Untuk Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm.
74. 5Yakob Tri Handoko, Tafsiran Alkitab Untuk Orang Awam: Surat Yakobus (Surabaya: Star Publisher, 2008), hlm.
193 6Jochem Douma, Kelakuan Yang Bertanggung Jawab: Pembimbing ke dalam Etika Kristen (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007), hlm. 10. 7Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007), hlm. 39.
UKD
W
3
persoalan berkaitan dengan moral dan bukan suatu persoalan penting, yang memerlukan
pendampingan khusus.
Hawa nafsu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bersifat negatif. Karena setiap
manusia memiliki hawa nafsu (hasrat, keinginan, selera dan gairah hati). Seperti yang
dijelaskan oleh David K. Clark, bahwa hawa nafsu bukanlah merupakan sesuatu yang
bersifat buruk, karena hawa nafsu ada dalam diri setiap manusia. Namun, jika seseorang
mampu dalam mengatasi hawa nafsu, orang tersebut dapat disebut sebagai seorang yang
dewasa (matang).8 Dapat dikatakan, hawa nafsu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
setiap orang. Setiap orang pasti mempunyai keinginan, hasrat, gairah, kebutuhan,
kenikmatan dan selera hati dalam menjalani sebuah proses kehidupan. Jika seseorang
tidak memiliki hawa nafsu berarti ada sesuatu yang kurang pada orang tersebut. Namun,
hawa nafsu dapat menjadi sesuatu yang bersifat buruk dan merusak, jika hawa nafsu
dipergunakan secara berlebihan dan menguasai diri orang tersebut.
Hawa nafsu dapat menjadi sumber pertikaian dalam gereja. Jika di dalam gereja
semua orang kristen memiliki keinginan yang kuat untuk mengusai sesuatu hal, tentu
pertikaian tidak akan dapat untuk dihindari. Keinginan yang kuat untuk mengusai, pada
dasarnya merupakan persoalan bersifat etis, yang dapat menyebabkan terjadinya konflik
berkepanjangan. Hal tersebut dapat membuat pelakunya menjadi lupa dan bersikap egois
terhadap sesamanya. Dalam kehidupan bergereja, keinginan yang kuat untuk menguasai
dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat negatif, seperti: perpecahan
dalam gereja, ketidak-puasan spiritual, perselisihan antar warga gereja dan persaingan-
persaingan dalam gereja yang bersifat tidak sehat. Persoalan hawa nafsu dalam kaitannya
dengan keinginan yang kuat untuk menguasai, merupakan persoalan yang perlu mendapat
perhatian khusus dari gereja. Tidak hanya hawa nafsu dalam kaitannya dengan keinginan
untuk menguasai yang mendapat perhatian khusus, melainkan seluruh persoalan yang
berkaitan dengan hawa nafsu yang terjadi di dalam gereja.
Selain itu, dikuasai oleh hawa nafsu dapat membuat gereja lupa dan tidak peka
terhadap sesamanya. Gereja menjadi acuh tak acuh, hanya memikirkan dirinya sendiri,
mencari aman dan tidak berani menempuh resiko untuk berjuang demi keadilan.9 Jika hal
tersebut dibiarkan, gereja sebagai kumpulan orang-orang percaya tidak lagi memancarkan
8David K. Clark, Reading In Christians Etich (United States Of America: Baker Academic, 2008), hlm. 160.
9Eka Darma Putra, Spiritualitas Siap Juang: Khotbah-Khotbah Tentang Spiritualitas Masa Kini (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008), hlm. 91.
UKD
W
4
kasih Kristus ke tengah-tengah dunia. Dengan kata lain, gereja perlu untuk lebih peka
terhadap persoalan hawa nafsu.
1.1.2 Doa
Seorang bapa rohani bertanya kepada murid-muridnya: apakah awal-mula doa
itu? Murid pertama menjawab: dalam kesesakan orang mulai berdoa. Bila orang
menghadapi kesulitan, mereka mulai berdoa. Kalau saya terjepit saya lari kepada Allah!
Murid yang kedua menyambung: bila saya bergembira, hatiku lupa akan segala
ketakutan dan kecemasan, lalu terbang kepada Allah. Murid yang ketiga berkata: dalam
kesunyian, kalau jiwaku tenang aku suka berbicara dengan Allah. Murid keempat
menjawab pertanyaan gurunya: hanya jika aku dapat mengoceh seperti seorang anak
kecil dan tidak malu berceloteh di hadapan Allah. Dia besar dan aku kecil dan semuanya
seperti semestinya. Lalu bapa rohani angkat suara: jawaban kalian semua itu baik.
Tetapi, ada suatu awal-mula yang mendahului semua apa yang kalian sebut. Doa dimulai
pada Allah. Dialah yang memulainya, bukan kita.10
Dalam ilustrasi di atas, doa diperlihatkan sebagai proses menjalin hubungan
antara Allah dan manusia serta usaha untuk mendengarkan dan menanggapi sabda atau
kehadiran Allah.11
Doa tidak membuat Allah hadir. Doa bukanlah suatu usaha manusia
sendiri saja, karena doa dimulai dengan kemauan manusia untuk masuk ke dalam suatu
hubungan khusus dengan Allah atas undangan dan prakarsa ilahi.12
Untuk itu, perlu
melihat persoalan doa secara lebih mendalam. Pada hakikatnya doa adalah suatu cara
bagi manusia untuk mengungkapkan dan menghayati hubungannya dengan Allah. Dalam
bergereja doa merupakan hal yang dasariah, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
orang kristen. Dalam arti tertentu, doa dimaknai sebagai ungkapan diri yang dinamis
orang beriman di hadapan Allah. Dengan berdoa menunjukkan suatu sikap kesiapan
untuk terlibat dalam menanggapi karya Allah.13
Selain itu, doa juga dimaknai sebagai
sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan serta sebagai cara terdalam bagi orang kristen
dalam melayani satu sama lainnya.14
Dapat dikatakan, bahwa dalam keseharian minimal
berdoa dapat dilakukan lebih dari satu kali. Contohnya, berdoa ketika akan makan,
10
Dikutip dari K. Hemmerle, Dein Herz an Gottes Ohr, dalam buku Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani:
Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 13. 11
Ibid, hlm. 14. 12
Ibid. 13
Yosef Lalu, Makna Hidup Dalam Terang Iman Katolik: Agama-Agama Membantu Manusia Menggumuli Makna
Hidupnya (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 167. 14
Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 140.
UKD
W
5
berdoa ketika tidur, berdoa ketika akan berpergian, berdoa ketika menghadapi masalah,
berdoa ketika sedang senang, dan berdoa ketika doa tersebut dibutuhkan. Hal tersebut
menunjukkan, bahwa berdoa merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang
Kristen. Persoalan yang muncul adalah, apakah ketika berdoa tidak dibumbui dengan
hawa nafsu?
Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan bergerja, doa sering dimaknai sebagai
permintaan atau sarana untuk meminta sesuatu kepada Tuhan. Pemahaman tersebut
tidak lepas dari cara memaknai doa sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Dalam berdoa memang berkaitan dengan meminta sesuatu kepada Tuhan. Hal ini bukan
berarti, bahwa fungsi doa hanya sebatas meminta. Jika berdoa hanya dimaknai sebagai
permintaan, maka nilai-nilai spiritualitas dalam sebuah doa menjadi hilang. Dalam
kehidupan bergerejawi doa seharusnya memiliki banyak fungsi. Charles J. Keating
menegaskan, bahwa doa dapat berfungsi sebagai indikator menyangkut relasi manusia
dengan Allah, sesama dan diri manusia itu sendiri. Doa juga dapat berfungsi sebagai
ukuran utama dari sehat tidaknya hidup rohani seseorang.15
Dapat dikatakan, bahwa doa
tidak hanya sebatas berfungsi sebagai permintaan, melainkan memiliki fungsi yang luas
menyangkut relasi dengan diri sendiri, sesama manusia dan Allah.
Pada dasarnya berdoa bukanlah aktifitas rohani yang dilakukan apabila seseorang
memiliki waktu untuk melakukannya, bukan suatu aktifitas yang bersifat rutinitas tanpa
nilai-nilai spiritualitas di dalamnya. Berdoa merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan beriman seseorang, karena doa adalah tanda dari kehidupan iman seseorang.16
Namun, pada kenyataannya terkadang doa sering menjadi sebuah norma atau aturan-
aturan wajib dalam kehidupan bergereja, yaitu menjadi norma yang mengatur sedemikian
rupa tata cara dalam berdoa. Hal tersebut membuat doa dilakukan karena keterpaksaan
dan formalitas dalam mengikuti aturan gerejawi, bukan sebagai wujud penyatuan dengan
Allah dan mengalami Allah. Doa seharusnya tidak menjadi norma atau aturan-aturan
yang membebankan seseorang untuk melakukannya. Doa seharusnya menjadi sesuatu
yang menyenangkan bagi kehidupan orang beriman.
Bagi masyarakat Hindu di Bali, doa dipandang memiliki kekuatan supranatural,
kekuatan mistik atau magis dan dianggap menjadi pembersih atau pengontrol dari panca
15
Charles J. Keating, Doa Dan Kepribadian (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 18. 16
Liem Sien Liong, Studi Teologis Tentang Berdoa Di Dalam Roh Kudus Menurut Perjanjian Baru Dan
Penerapannya Bagi Kehidupan Doa Orang Percaya, Veritas 9/2, Oktober 2008, hlm. 171.
UKD
W
6
indra secara mendasar.17
Doa juga dimaknai dengan penggunaan kata Om. Om
berasal dari Kata AUM atau singkatan dari kata Ang, Ung dan Mang yang
dianggap merupakan aksara suci dari Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Dewa Trimurti
(Brahma = Ang, Wisnu = Ung, dan Siwa = Mang). Jika dibaca dan disatukan aksara itu
menjadi Om. Penggabungan dari ketiga aksara ini disebut dengan istilah Ong Kara.
Ong Kara inilah sumber dari semua aksara, kemudian disebut wija-aksara atau aksara
Yang Maha Suci lambang dari Dewa Trimurti.18
Penggunaan kata Om sebagai doa
kepada Tuhan, memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi tersebut:
mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Dapat dikatakan,
bahwa kata Om merupakan simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Selain itu, doa
juga dipahami sebagai sarana untuk menyeimbangkan hawa nafsu duniawi dan
memungkinkan manusia untuk berkelakuan baik atau mampu untuk mengontrol hawa
nafsu duniawi.19
Dalam konteks GKPB, kata berdoa juga merupakan hal yang sangat penting
dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat
kristen di Bali. Kesalehan seseorang diukur dari cara orang itu berdoa dan dari doa yang
selalu terjawab. Jika ada orang yang doanya tidak terjawab, orang tersebut tidak tekun
dalam berdoa. Kesan tersebut sering memberikan dampak yang negatif kepada mereka
yang tidak dijawab doanya. Seakan-akan doa yang tidak diterima tersebut digunakan
sebagai patokan untuk memberikan suatu stereotip terhadap tingkat penerimaan doa.
Secara tidak langsung, kesan tersebut telah menimbulkan suatu pelecehan spiritual. Jeff
VanVonderen menegaskan, bahwa pelecehan spiritual dapat terjadi, ketika spiritualitas
dipakai untuk membuat orang lain hidup menurut suatu standar spiritual.20
Hal tersebut
mengangkat penampilan spiritual yang tidak mempedulikan keberadaan individu yang
sesungguhnya dan dipakai sebagai suatu cara untuk membuktikan spiritualitas
seseorang.21
Dengan kata lain, hal itu telah membuat suatu cara beriman yang tidak sehat,
dengan memberikan stereotip baru yang sebenarnya telah melakukan pelecehan spiritual,
17
Nyoman S. Pendit, Nyepi: Kebangkitan, Toleransi Dan Kerukunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
hlm. 164. 18
Diunduh dari http://dewaarka.wordpress.com/2009/09/30/doa-sehari-hari-menurut-hindu/, pada Senin, 22
September 2014, pada pukul 22.00 wib. 19
Nyoman S. Pendit, Nyepi, hlm. 165. 20
David Johnson, Jeff VanVonderen, Kuasa Terselubung Dari Pelecehan Spiritual: Mengenal dan Memahami
Manipulasi Spiritual dan Otoritas Spiritual Palsu di Dalam Gereja (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2000), hlm. 25. 21
Ibid.
UKD
W
http://dewaarka.wordpress.com/2009/09/30/doa-sehari-hari-menurut-hindu/
7
baik kepada mereka yang melakukan dan kepada mereka yang menjadi korban stereotip
tersebut.
Doa yang seharusnya menjadi sesuatu hal yang indah, berubah menjadi sebuah
ketakutan yang mendalam untuk berdoa. Selain itu, pandangan tersebut telah
menimbulkan suatu perspektif tertentu dalam memaknai cara berdoa, bahkan aturan
dalam berdoa. Berdoa pada akhirnya dipandang dari sudut pandang yang sangat sempit.
Berdoa yang seharusnya tidak perlu dibalut dengan stereotip tertentu, menjadi penuh
dengan kesan-kesan yang membatasi ruang seseorang dalam berdoa.
1.1.3 Persahabatan dengan Dunia
Dalam sebuah lagu rohani Kristen yang berjudul Hidup Tanpamu ciptaan dari
Sidney Mohede, pada bagian liriknya menyebutkan: Dunia ini mengatakan hidup tuk
senang saja, hiduplah tuk puaskan jiwa. Namun, aku mau hidup bagi Allah Bapa..22
Tanpa disadari potongan lirik lagu tersebut mencerminkan sikap gereja yang cenderung
menjadi lebih defensif terhadap dunia. Dunia seakan-akan dipandang sebagai hal yang
buruk dan orang-orang kristen diwajibkan untuk menjauh dari dunia. Tema-tema populer
yang sering muncul dalam gereja adalah sikap untuk melawan dunia. Pandangan tersebut
menimbulkan paradigma, bahwa gereja berbeda dengan dunia.23
GKPB sebagai gereja
yang hadir di tengah-tengah masyarakat Bali, tentu tidak dapat dipisahkan dari persolan
ini. Pandangan bahwa gereja dan dunia berbeda, tentu dapat memberi dampak yang besar
dalam kehidupan bergereja, khususnya bagi GKPB.
Gereja sering memberikan batasan-batasan yang bersifat ekstrem untuk menjauh
dari dunia. Batasan tersebut telah membuat gereja merasa dirinya sebagai yang benar dan
dunia adalah sesuatu yang salah. Sehingga muncul pandangan hanyalah gereja tetapi
dunia tidak.24
Pandangan ini membuat pelayanan dan kehidupaan kristen didefinisikan
semata-mata sebagai pemberitaan, ibadah publik, pengembalaan dan amal. Orang-orang
kristen yang menjalankan imannya didefinisikan sebagai pengunjung gereja yang
teratur.25
Hal tersebut menimbulkan sikap yang bersifat oposisi terhadap dunia. Gereja
menjadi menghayati panggilannya, hanya untuk melayani dirinya sendiri bukan untuk
melayani dunia. Andar Ismail menegaskan, bahwa pada dasarnya gereja dipanggil untuk
22
Diunduh dari http://www.kidung.com/indo/hidup_tanpaMu.htm, pada Senin, 14 Juli 2014, pada pukul 10.05 wib. 23
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), hm. 576 24
Ibid. 25
Ibid, hlm. 577.
UKD
W
http://www.kidung.com/indo/hidup_tanpaMu.htm
8
melayani dunia bukan untuk menjauh dari dunia. Namun, pada kenyaataanya gereja
sering kali lupa akan tugas dan lebih berfokus pada pemikiran bahwa gereja dan dunia
berbeda.26
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Krispurwana Cahyadi, bahwa gereja
seharusnya menempatkan diri sebagai pelayan kehidupan yang tidak hanya melayani injil
dan umat melainkan melayani dunia juga.27
Hal ini berarti, bahwa gereja semakin
dipanggil untuk hadir ditengah-tengah dunia dan diutus untuk mewujudnyatakan dirinya.
Pandangan Yesus terhadap dunia: karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku
telah memilih kamu dari dunia .... (bdk. Yoh. 15:18-19)28
, menimbulkan hal yang
bersifat kontradiktif. Hal ini jugalah yang terkadang membuat gereja merasa dirinya
bukan berasal dari dunia. Pandangan Yesus tersebut terhadap dunia perlu untuk dikaji
secara lebih mendalam. Penggunaan kata dunia atau secara harafiah memang
berarti dunia secara utuh dan keseluruhan. Penggunaan kata dunia tersebut
menimbulkan persoalan: apakah kata itu murni merupakan perkataan Yesus? Atau,
apakah kata tersebut merupakan kata dari penulis Injil Yohanes atau redaktur dari Injil
Yohanes? Perlu diperhatikan, bahwa pola pemikiran Injil Yohanes berasal dari
pemahaman pasca kebangkitan Yesus dan berkaitan dengan konteks pembaca dari Injil
Yohanes. Injil Yohanes dan Injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas), merupakan injil
yang ada pasca Yesus dan surat-surat Paulus yang pertama. Dengan kata lain, hal tersebut
tidak dapat dijadikan bukti bahwa Yesus menggunakan kata dunia untuk membedakan
secara langsung. Lebih tepat jika kata tersebut disebut sebagai pemahaman teologis
penulis injil Yohanes terhadap Yesus, sesuai dengan konteks kehidupan jemaat yang pada
saat itu. Seperti yang ditegaskan oleh Raymond E. Brown, bahwa penggunaan kata
dunia tersebut lebih merujuk pada pandangan penulis injil Yohanes terhadap Yesus,
bahwa dunia tidak akan melihat Yesus lagi.29
Pandangan tersebut justru menunjukkan,
bahwa Yesus tidak menolak dunia. Hal tersebut menjadi jelas, ketika Yesus mengutus
murid-muridnya untuk melayani dunia (bdk. Mrk. 16:15).
26
Andar Ismail, Awam dan Pendeta Mitra Membina Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hlm. 80. 27
Krispurwana Cahyadi, Pastoral Gereja: Paroki Dalam Upaya Membangun Gereja Yang Hidup (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), hlm. 239. 28
Dalam Yohanes 15:18-19 versi TB LAI disebutkan, bahwa Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu
sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab
itulah dunia membenci kamu. 29
Raymond E. Brown, The Anchor Bible: The Gospel According To John XIII-XXI (New York: Garden City, 1984),
hlm. 647.
UKD
W
9
Lalu siapakah sebenarnya dunia? Dalam konteks kekristenan dunia lebih
mengarah kepada orang-orang yang berada di luar kekristenan. Seperti yang dinyatakan
oleh Jerome H. Neyrey, bahwa dunia adalah orang-orang yang masih tetap dikuasai oleh
keinginan dan kesenangan.30
Pemahaman kata dunia, sering dipahami dalam arti
yang negatif dengan menerjemahkan kata ini secara harafiah. Dunia dipahami sebagai
sesuatu hal yang berbeda dengan kekristenan, bahkan gereja pun sering kali merasa
berbeda dengan dunia. Secara tidak langsung persoalan mengenai persahabatan dengan
dunia, menjadi suatu dilema yang dapat menimbulkan sikap anti terhadap ideologi,
budaya dan agama lain. Hal tersebut tentu akan menimbulkan suatu sikap tertutup dan
fanatisme yang berlebihan, jika bersahabat dengan dunia. Pemahaman yang negatif
tersebut dapat membuat jurang yang sangat besar dalam konteks masyarakat yang plural
dan memicu terjadinya konflik, berkaitan dengan relasi antar umat beragama.
1.2 Alasan Pemilihan Yakobus 4:1-10
Berangkat dari persoalan yang dijelaskan dalam latar belakang di atas, penyusun merasa
penting untuk mengangkat persolan yang ada dalam Yakobus 4:1-10. Karena persoalan-
persoalan yang dipaparkan oleh penulis surat Yakobus dalam perikop 4:1-10, dekat dengan
konteks kehidupan saat ini, secara khusus dalam kehidupan bergereja. Persoalan yang
dipaparkan dalam Yakobus 4:1-10 merupakan persoalan yang bersifat etis, dalam kaitannya
dengan hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia.
Perikop Yakobus 4:1-10, terkadang tidak dilihat dalam satu-kesatuan yang utuh,
melainkan sebagai bagian yang terpisah-pisah. Jika melihat persoalan yang satu, maka persoalan
yang lain tidak dilihat atau diabaikan. Penulis surat Yakobus mewanti-wanti pembacanya untuk
menyadari, bahwa persoalan keinginan yang berlebihan, bukanlah persoalan yang mudah.
Keadaan tersebut mendorong penulis surat Yakobus untuk mengangkat persoalan itu. Bagi
penulis surat Yakobus, persoalan keinginan berasal dari keinginan diri sendiri, merupakan
sesuatu hal yang penting, namun sering dilupakan dan diabaikan. Karena sumber dari
perselisihan dan pertengkaran berawal dari sebuah keinginan yang bergejolak di dalam diri
manusia.
Bagi penyusun, nasihat-nasihat yang diberikan oleh penulis surat Yakobus dalam
Yakobus 4:1-10, menjadi penting untuk diangkat kembali dan dijadikan pedoman bagi
kehidupan bergereja saat ini, secara khusus bagi kehidupan bergereja GKPB. Karena gereja
30
Jerome H. Neyrey, Yakobus, dalam buku Dianne Bergant, Lembaga Alkitab Indonesia: Tafsir Alkitab Perjanjian
Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 441.
UKD
W
10
dituntut untuk lebih peka dalam pelayanannya kepada sesamanya dan tidak hanya mementingkan
kepentingan dirinya. Sehingga gereja tidak mengabaikan realitas di sekitarnya berkaitan dengan
tiga poin di atas (hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia) dan mampu memahami
pelayanan yang dibutuhkan oleh sesamanya.
1.3 Rumusan Masalah
Melihat dinamika dan perkembangan teologi kita saat ini, menarik untuk menggali secara
lebih mendalam perikop Yakobus 4:1-10. Menarik, karena perikop Yakobus 4:1-10 berisikan
pesan moral yang dekat dengan dinamika kehidupan kita saat ini. Beranjak dari pemaparan
persoalan hermeneutis mulai dari persoalan mengenai hawa nafsu, doa, persahabatan dengan
dunia dan alasan pemilihan Yakobus 4:1-10. Persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan
persahabatan dengan dunia merupakan persoalan yang bersifat dilematis. Ada tiga hal penting
yang perlu untuk diperhatikan dalam melihat perikop Yakobus 4:1-10: 1) Teks ini berangkat dari
satu kata kunci yaitu keinginan atau hawa nafsu (terjemahan TB LAI). 2) Teks ini
memberikan suatu stereotip tertentu terhadap kata berdoa atau , dalam kaitannya
dengan doa yang salah dan doa yang benar, dengan dugaan doa yang benar hanyalah doa yang
terjawab maka doa yang salah adalah doa yang tidak terjawab. Teks dalam kaitannya dengan doa
ini merupakan teks yang populer dalam kalangan orang kristen, terkhusus bagi GKPB. 3) Teks
mengenai persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah, secara tidak langsung
menunjukkan keeksklusifan dari teks ini. Teks ini sering dilihat secara apa adanya, sehingga
menyebabkan sensitifitas yang sangat tinggi, ketika ingin bersahabat dengan mereka yang
berbeda.
Melalui skripsi ini, penyusun mencoba melihat persoalan-persoalan yang ada dalam
perikop Yakobus 4:1-10, dengan menggunakan pendekatan hermeneutis Sosio-Rhetorika.
Dengan demikian pertanyaan permasalahan yang muncul adalah:
1. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia sering dilihat dan dimengerti
sebagai persoalan yang terpisah-pisah. Bagaimana pendekatan hermeneutis Sosio-
Rhetorika melihat dan membaca pergumulan mengenai hawa nafsu, doa dan
persahabatan dengan dunia diperhadapkan dengan teks Yakobus 4:1-10, sebagai satu
kesatuan yang utuh?
2. Bagaimana memaknai hawa nafsu, doa, serta persahabatan dengan dunia dari sudut
pandang penulis surat Yakobus dalam Yakobus 4:1-10, sehingga perikop Yakobus
4:1-10 dapat memberikan sumbangsih bagi Gereja Kristen Protestan di Bali?
UKD
W
11
1.4 Batasan Permasalahan
Penyusun menyadari, bahwa topik yang diangkat dalam skripsi ini dapat meluas. Oleh
karena itu, penyusun membatasi permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Skripsi ini
mengkaji mengenai persoalan hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia yang akan
didapati melalui telaah kritis terhadap teks Yakobus 4:1-10. Pokok permasalahan dalam
penyusunan skripsi ini dibatasi hanya pada perikop Yakobus 4:1-10, berkaitan dengan hawa
nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia secara teologis, karena penyusun hendak melihat
kedudukan surat Yakobus 4:1-10 secara utuh.
1.5 Tujuan Penyusunan
Penyusun merasa bahwa memahami maksud dan tujuan dari penulis surat Yakobus
terhadap hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia adalah hal yang penting, terkhusus
bagi GKPB. Persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia merupakan
persoalan yang dekat dengan dinamika kehidupan saat ini. Namun, persoalan tersebut sering
dianggap sebagai persoalan yang sepele. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia
bukanlah persoalan sepele, karena persoalan tersebut memiliki pengaruh yang kuat dalam
kehidupan. Melalui perikop Yakobus 4:1-10 penyusun mencari pemahaman penulis surat
Yakobus mengenai hawa nafsu, doa, dan persahabatan dengan dunia dengan mengunakan
pendekatan Sosio-Rhetorika. Setelah memahami makna dari hawa nafsu, doa, dan persahabatan
dengan dunia dari sudut pandang penulis surat Yakobus dalam Yakobus 4:1-10, maka akan
digali relevansinya bagi Gereja Kristen Protestan di Bali.
1.6 Metode Penelitian
1.7.1 Metode penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode literatur. Dengan
kata lain proses pencarian data melalui buku, ebook, jurnal ilmiah, kamus,
Alkitab, dan artikel-artikel ilmiah yang mendukung dalam proses penyusunan
skripsi ini.
1.7.2 Metode penafsiran menggunakan pendekatan Sosio-Rhetorika sebagai dasar
pendekatan penyusunan skripsi ini. Selain itu, metode penafsiran ini juga
didukung dan dikembangkan dengan pendekatan Sastera dan pendekatan Bentuk.
Tujuannya adalah untuk menggali secara kritis dan mendalam perikop Yakobus
4:1-10, mengenai bagaimana perikop ini dapat memberikan pesan dalam konteks
UKD
W
12
pembaca aslinya. Kerangka penyusunan yang digunakan dalam penyusunan
skripsi ini adalah diskripsi analitis.
1.7 Judul Skripsi
Hawa Nafsu, Doa dan Persahabatan dengan Dunia Diperhadapkan
dengan Yakobus 4:1-10 dan Relevansinya bagi Gereja Kristen Protestan di Bali
Pemilihan judul ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali pentingnya persoalan
mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia yang sering terjadi dalam kehidupan
bergereja, khususnya di GKPB. Hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia merupakan
persoalan yang lazim dalam kehidupan bergereja. Namun, pada prakteknya persoalan tersebut
sering diabaikan.
Persoalan mengenai hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia merupakan
persoalan yang bersifat etis. Penyusun melihat Yakobus 4:1-10, juga merupakan teks yang unik
dan penuh dengan nasihat-nasihat etis yang dekat dengan kehidupan saat ini. Penyusun memilih
Yakobus 4:1-10, karena penyusun melihat bahwa Yakobus 4:1-10 dapat memberikan jawaban
terhadap tiga persoalan: hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia.
Kontekstualisasi merupakan hal yang penting dalam kehidupan bergereja saat ini. Untuk
itu, penyusun merasa penting untuk menafsirkan perikop Yakobus 4:1-10 dengan melihat
konteks kehidupan bergereja saat ini. Sehingga Yakobus 4:1-10 dapat memberikan sumbangsih
bagi Gereja Kristen Protestan di Bali.
1.8 Sistematika Tulisan
Bab 1 Rumusan Masalah
Dalam bab ini penyusun akan memaparkan secara umum mengenai latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, batasan permasalahan, tujuan penyusunan,
metodologi penyusunan, judul skripsi, serta sistematika penyusunan skripsi mengenai
hawa nafsu, doa dan persahabatan dengan dunia diperhadapkan dengan Yakobus 4:1-10.
Bab 2 Pembimbing Kritis Surat Yakobus
Dalam bab ini penyusun akan memaparkan konteks surat Yakobus: kepengarangan surat
Yakobus, para pembaca dari surat Yakobus, sifat sastera surat Yakobus, kanonisasi serta
struktur surat Yakobus.
Bab 3 Tafsir Kritis Yakobus 4:1-10
UKD
W
13
Dalam bab ini penyusun memaparkan tafsiran perikop Yakobus 4:1-10 dengan
menggunakan pendekatan Sosio-Rhetorika, untuk menggali apa makna keinginan diri
sendiri, doa dan persahabatan dengan dunia bagi penulis surat Yakobus dan pembaca
aslinya.
Bab 4 Relevansi Surat Yakobus 4:1-10 Bagi Gereja Kristen Protestan di Bali
Dalam bab ini penyusun akan memaparkan relevansi perikop Yakobus 4:1-10 untuk
Gereja Kristen Protestan di Bali.
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini penyusun akan memaparkan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang
telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya beserta saran-saran pengembangan bagi
kehidupan masa kini.
UKD
W
BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah1.1.1 Hawa Nafsu1.1.2 Doa1.1.3 Persahabatan dengan Dunia
1.2 Alasan Pemilihan Yakobus 4:1-101.3 Rumusan Masalah1.4 Batasan Permasalahan1.5 Tujuan Penyusunan1.6 Metode Penelitian1.7 Judul Skripsi1.8 Sistematika Tulisan