Upload
dangxuyen
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMANFAATAN SEMUT Solenopsis sp. DARI PEMATANG SAWAH
UNTUK PENGENDALIAN HAMA PUTIH PALSU (Cnaphalocrocis
medinalis) PADA TANAMAN PADI
NURMIN NURWAHIDAH
G111 12 316
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PEMANFAATAN SEMUT Solenopsis sp. DARI PEMATANG SAWAH
UNTUK PENGENDALIAN HAMA PUTIH PALSU (Cnaphalocrocis
medinalis) PADA TANAMAN PADI
Oleh :
NURMIN NURWAHIDAHG111 12 316
Laporan Praktik Lapang dalam Mata Ajaran Minat UtamaIlmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh GelarSarjana Pertanian
Pada
Fakultas PertanianUniversitas Hasanuddin
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
Pemanfaatan Semut Solenopsis sp. dari Pematang Sawah untuk
Pengendalian Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis) pada Tanaman
Padi
Nurmin Nurwahidah, Itji Diana Daud, Tamrin Abdullah([email protected])
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,Universitas Hasanuddin
ABSTRAK
Semut merupakan predator generalis dengan populasi tinggi pada agroekosistem.Semut Solenopsis sp. hidup di pematang sawah dan dapat berperan sebagaipredator hama padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasiSolenopsis sp. pada pematang sawah dan kemampuan predasi terhadap larvaCnaphalocrocis medinalis pada tanaman padi. Penelitian ini dilaksanakan dipematang sawah dan lahan tanaman padi. Pengamatan populasi Solenopsis sp.pada pematang sawah dilakukan setiap hari sebanyak 12 kali pengamatan. Indekskategori populasi menggunakan skala Way dan Khoo. Kemampuan predasiSolenopsis sp. menggunakan 60 ekor larva hama putih palsu. Dengan caramembuat simulasi jalan semut menggunakan tali yang menghubungkan daripematang ke lahan pertanaman padi. Hasil menunjukkan rata-rata populasiSolenopsis sp. sebanyak 136,5 ekor/ sarang alami. Kemampuan predasi Solenopsissp. terhadap larva Cnaphalocrocis medinalis sebanyak 56% dari jumlah mangsayang tersedia.
Kata Kunci : Solenopsis sp., tali, predasi Cnaphalocrocis medinalis
“The Utilization of Solenopsis sp. from Rice Fields to Control Fake White(Cnaphalocrocis medinalis) on Rice Plants”
Nurmin Nurwahidah, Itji Diana Daud, Tamrin Abdullah([email protected])
Department of Plants Pests and Diseases, Faculty of Agriculture, HasanuddinUniversity
ABSTRACT
Ants are generalist predators with high populations in agroecosystems. Solenopsis
sp. live in rice field dikes and can act as pest predators of rice. The aim of this
research is to know the population of Solenopsis sp. on rice field and predation
ability of Cnaphalocrocis medinalis larvae on rice plant. This research was
conducted in rice field and rice field cultivation. Observation of Solenopsis sp.
population on rice field embankment is done every day as much as 12 times
observation. The population category index uses the Way and Khoo scales. The
predation ability of Solenopsis sp uses 60 false white pest larvae. By way of
simulating the ant path using a rope connecting from the embankment to the rice
cultivation field. The results show the average population of Solenopsis sp. as
many as 136.5 nests / natural nest. The predominant ability of Solenopsis sp. to
Cnaphalocrocis medinalis larvae is 56% of the number of prey available.
Keywords : Solenopsis sp., Rope, Predation Cnaphalocrocis medinalis
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala kebesaran
dan limpahan nikmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Salam dan shalawat kepada
suri tauladan kita nabi Muhammad SAW semoga senantiasa tercurah Amin.
Penulis menyadari dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, hingga
penyusunan skripsi ini penulis tidak bekerja sendiri, melainkan berkat bantuan
dari berbagai pihak yang telah mendukung penulis baik secara moril maupun
materil. Dari lubuk hati yang paling dalam penulis menyampaikan terima kasih
yang tiada terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga tercinta, Ayahanda Abd. Rahman R. dan Ibunda Halimah J. yang
telah memberikan doa, pengorbanan, cinta dan kasih sayang kepada
penulis yang tak ternilai harganya, sehingga penulis tetap semangat
mewujudkan harapan yang dititipkan, semoga ketulusan hati dalam
mendidik mendapat balasan pahala dan limpahan rahmat Allah SWT serta
kepada saudaraku Achmad Rizaldin atas bantuan dan motivasinya dalam
setiap langkah.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Itji Diana Daud, MS selaku pembimbing I dan Bapak Dr.
Ir. Tamrin Abdullah, M.Si. selaku pembimbing II atas segala keikhlasan
dan ketulusannya mengarahkan, memberikan bimbingan, bantuan,
motivasi, dan saran kepada penulis mulai dari penyusunan rencana
penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Prof. Dr. Ir. Nurariaty Agus, MS selaku penguji bersama Bapak Dr. Ir.
Andi Nasruddin, M.Sc dan Bapak Ir. Patahuddin, MP serta Almarhum
Bapak Prof. Dr. Ir. La Daha, MS atas saran dan masukannya, telah
memberikan inspirasi semangat dan motivasi dalam melaksanakan
penelitian serta seluruh bapak dan ibu dosen pengajar yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
vii
4. Para Pegawai dan Staf Laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Ibu Rahmatiah, SH., Ibu Nirwana Rahman, SE., Bapak
Kamaruddin, dan Bapak Ardan yang telah banyak membantu, memberikan
saran dan motivasi sehingga bisa menyelesaikan penelitian ini.
5. Teman-teman seperjuangan Feromon 2012, Agroteknologi 2012 yang
selalu membagi suka dan duka dalam kebersamaan selama perkuliahan
berlangsung, serta teman-teman pengurus HMPT UH atas bantuan, saran,
dan semangatnya kepada penulis.
6. Teman-teman sedari mahasiswa baru Sri Ayu Anggita, SP., Siti A. Regina
Zees, SP., Chaerani Nurazizah, SP., Nurshinta Basyir, SP., Ella Yunisriani
Ahmadi, dan Putriyani Rante Lembang atas dukungan semangat dan
kebersamaannya.
7. Para sahabat dari grup 5 KM dan Sisterhood yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, yang selalu memberikan bantuan dan motivasi
untuk penulis.
8. Ibu Aisyah yang bersedia menyediakan lahan penelitian untuk penulis.
Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini,
tetapi semua merupakan suatu proses pembelajaran yang sangat berguna sebagai
modal dimasa yang akan datang. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati
penulis sekali lagi mengucapkan terima kasih semoga apa yang disajikan penulis
dapat memberikan manfaat bagi pembaca, Amin.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Mei 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................ vi
DAFTAR TABEL ............................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ...................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan .......................................................... 5
1.3 Hipotesis .............................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keanekaragaman semut ....................................................... 6
2.2 Morfologi Tubuh Semut ...................................................... 8
2.3 Semut sebagai Predator ....................................................... 10
2.4 Perilaku Semut ..................................................................... 12
2.5 Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis) .................. 13
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu .............................................................. 16
3.2 Metode Pelaksanaan ............................................................. 16
3.2.1 Persiapan Sarang Buatan ............................................. 16
3.2.2 Persiapan Tali Penghubung ......................................... 16
3.2.3 Parameter Pengamatan ................................................ 18
3.3 Analisis Data ......................................................................... 19
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ...................................................................................... 20
ix
4.1.1 Populasi Solenopsis sp ................................................ 20
4.1.2 Populasi Solenopsis sp pada Sarang Alami ................ 21
4.1.3 Populasi Solenopsis sp pada Sarang Buatan ............... 22
4.1.4 Larva Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis) 23
4.2 Pembahasan .......................................................................... 23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................... 26
5.2 Saran ...................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Analisis Ragam Populasi Solenopsis sp pada Setiap Perlakuan ........ 20
2. Populasi Solenopsis sp yang Mencapai Sarang Buatan ..................... 22
3. Jumlah Larva Hama Putih Palsu ........................................................ 23
LAMPIRAN
1. Populasi Solenopsis sp pada Tali Perlakuan ....................................... 30
2. Total populasi Solenopsis sp pada tiap Perlakuan .............................. 31
3. Analisis Ragam ................................................................................... 31
4. Populasi Solenopsis sp pada Sarang Alami ........................................ 32
5. Skoring semut (Way dan Khoo) ......................................................... 32
6. Populasi Solenopsis sp. pada Sarang Buatan ....................................... 33
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Larva Cnaphalocrocis medinalis ..................................................... 15
2. Tali Perlakuan ................................................................................. 17
3. Kurva Populasi Solenopsis sp pada Sarang Alami .......................... 22
LAMPIRAN
1. Pengamatan Solenopsis sp .............................................................. 34
2. Solenopsis sp .................................................................................. 34
3. Handcounter (Alat Hitung Semut) .................................................. 34
4. Sarang Buatan ................................................................................. 35
5. Larva Cnaphalocrocis medinalis .................................................... 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan jenis flora dan fauna
dan hampir sebagian besar dari jenis ini sangat berpotensi untuk dikembangkan
dan diusahakan. Salah satunya yaitu tanaman padi yang merupakan sumber
makanan pokok seluruh dunia khususnya di Indonesia. Padi merupakan tanaman
penting dan merupakan komoditi yang strategis. Peningkatan produktivitas padi
terus diupayakan untuk mengimbangi kenaikan konsumsi, karena pertumbuhan
jumlah penduduk masih tinggi. Hama dan penyakit adalah salah satu kendala
program peningkatan produksi padi, kendala peningkatan produksi akan semakin
kompleks akibat perubahan iklim global.
Hama putih palsu merupakan hama pada tanaman padi yang ditandai
dengan gejala daun terlipat akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh larva hama
putih palsu. Tanda mulai akan adanya serangan hama putih palsu ini adalah
penerbangan ngengat yang berwarna kuning coklat, pada sayap depan terdapat 3
pita hitam. Hama ini tidak menyebabkan kerugian yang besar pada budidaya padi,
tetapi akan menjadi masalah yang perlu diwaspadai jika kerusakan daun mencapai
50% pada fase anakan dan fase pematangan.
Barbosa (1998) menegaskan bahwa diperlukan pengetahuan tentang biologi,
perilaku dan ekologi dari hama dan musuh alami dimana merupakan strategi
konservasi musuh alami. Untuk mengembangkan konservasi dan peningkatan
musuh alami yang efektif, diperlukan pemahaman biofisik (lingkungan yang
2
terdiri dari komponen biotik dan abiotik) tentang faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap populasi alami dan kemampuan musuh alami untuk mengendalikan
hama. Dengan kata lain, faktor pembatas bagi peningkatan populasi musuh alami
harus bisa diidentifikasi sehingga bisa dilakukan manipulasi untuk meningkatkan
populasi musuh alami.
Teknik pengendalian serangga hama dengan memanfaatkan musuh alami
dapat dilakukan dengan tiga cara : introduksi atau menghadirkan musuh alami,
augmentasi atau meningkatkan populasi musuh alami, dan konservasi musuh
alami (tindakan yang melindungi dan memelihara populasi musuh alami yang
sudah ada di lokasi) (Johnson, 1987).
Keberadaan serangga pada suatu habitat tidak terlepas dari ketersediaan
makanan dan kesesuaian kondisi lingkungan. Pada habitat pertanian seperti
persawahan, serangga-serangga herbivor cenderung lebih mendominasi karena
ketersediaan tanaman padi sebagai sumber makanan. Walaupun demikian,
serangga-serangga lain baik yang memiliki hubungan tropik secara langsung,
seperti kelompok pengurai dan polinator, juga ditemukan melimpah pada habitat
pertanian (Settle et al., 1996). Keanekaragaman serangga-serangga tersebut
bervariasi bergantung pada cara budidaya yang digunakan dan kondisi lahan
pertanian (Altieri, 1999).
Setiap jenis hama secara alami dapat dikendalikan oleh kompleks musuh
alami yang meliputi predator, parasitoid dan patogen. Dibandingkan dengan
penggunaan pestisida, penggunaan musuh alami bersifat alami, efektif, murah dan
tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Oleh
3
karena itu perlu pengelolahan agroekosistem sedemikian rupa sehingga musuh
alami dapat dilestarikan dan dimanfaatkan. Sebagai contoh semut merah.
Semut digunakan sebagai studi kasus dalam penelitian ini karena semut
merupakan kelompok serangga yang paling dominan di habitat darat (Holldobler
& Wilson 1990). Di samping itu semut juga memiliki kepekaan terhadap tekanan
yang ada di lingkungannya (Andersen, 1997), sehingga dapat digunakan sebagai
indikator gangguan habitat (Peck et al., 1998) dan juga indikator pengaruh
aplikasi pestisida (Matlock & de la Cruz, 2002). Semut juga bisa beradaptasi
dengan manusia atau yang biasa disebut tramp (McGlynn 1999) dan bahkan
semut Solenopsis geminata mampu beradaptasi pada habitat persawahan
mengikuti perubahan kondisi lahan dan umur tanaman padi (Way et al., 1998).
Solenopsis mampu menundukkan dan memangsa serangga yang badannya
lebih besar. Solenopsis dapat menjadi pemangsa (predator) serangga yang sangat
kuat dan agresif, membantu petani melawan serangga-serangga pengganggu
tanaman baik tanaman padi maupun tanaman lainnya. Semut akan memberikan
respon apabila terjadi gangguan terhadap vegetasi dan tanah sebagai habitat
hidupnya. Perlu upaya untuk meningkatkan peran semut sebagai predator di
sawah. Salah satunya dengan melestarikan habitat atau sarang semut itu sendiri
baik secara alami maupun buatan. Sarang buatan dapat membantu semut agar
koloni yang semakin banyak bisa tetap hidup sebagai predator di sawah.
Solenopsis sp adalah semut yang banyak terdapat pada lahan pertanian ini, lokasi
sarangnya bisa merupakan gundukan setinggi 40 cm atau di samping benda yang
ditemukan di tanah, misalnya tumpukan kayu. Jika terdesak, jenis ini dapat
4
bereaksi agresif dan dapat menimbulkan sengatan menyakitkan. Pada lahan
sawah, semut ini bisa ditemui pada pematang sawah yang membentuk sarang
sebagai habitatnya.
Semut sebagai predator ini mampu menekan populasi hama pada
pertanaman padi. Bagi semut, kendala yang dihadapi dalam menekan populasi
hama adalah sulitnya menjangkau atau ketidakmampuan semut mencapai
pertanaman padi yang selalu tergenang air. Pengendalian bisa dilakukan dengan
pengeringan sawah selama tiga hari. Namun, pengendalian ini tidak
memungkinkan dilakukan secara terus menerus karena lahan sawah akan
mengalami kekeringan yang bisa membuat pertanaman padi kekurangan air dan
mati. Perlu upaya pemberian tali ke dalam sawah sebagai jembatan atau
penghubung predator ini menjangkau pertanaman padi. Hal inilah yang
menjadikan semut sangat sesuai untuk melihat keanekaragaman dan potensi semut
menjangkau pertanaman padi sebagai predator hama putih palsu pada pertanaman
padi.
Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pemberian tali ke dalam sawah
sebagai jembatan menjangkau pertanaman padi menggunakan tali rajut putih.
Perlakuan tali rajut putih dengan olesan larutan gula lebih efektif dibandingkan
dengan perlakuan tali rajut putih yang diolesi campuran ebi, tali dari batang
pisang yang diolesi campuran ebi, tali rajut putih yang diolesi minyak jelantah,
dan tali rajut putih tanpa olesan. Populasi semut sangat tinggi pada perlakuan
tersebut disebabkan karena kebutuhan semut akan kandungan gizi dalam makanan
yang selalu berubah-ubah (Mutmainna Iin, 2017). Hal ini sesuai dengan pendapat
5
Chapman (1971) bahwa kebutuhan semut akan makanan dapat berubah pada
setiap tahap perkembangan.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui populasi Solenopsis sp,
jarak yang ditempuh Solenopsis sp pada perlakuan tali/jembatan yang berbeda, 2)
mengetahui populasi Solenopsis sp pada sarang alaminya di pematang tempat
ikatan pangkal tali, 3) mengetahui populasi Solenopsis sp yang berada (mencapai)
di sekitar sarang buatan, dan 4) mengetahui banyaknya larva hama putih palsu
yang dimakan atau dibawa oleh Solenopsis sp pada masing-masing tali perlakuan.
Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada
masyarakat khususnya petani sawah bahwa dengan upaya pemanfaatan/
pelestarian semut sebagai predator dalam menjangkau pertanaman padi dengan
perantara jembatan tali buatan ke dalam area persawahan, mampu mengurangi
keberadaan hama pada pertanaman padi.
1.3 Hipotesis
Diduga terjadi perbedaan waktu yang digunakan semut Solenopsis sp untuk
menemukan mangsa dan pakan buatan serta diduga salah satu perlakuan tali akan
lebih efektif sebagai jembatan bagi semut dari pematang sawah ke dalam
pertanaman padi.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keanekaragaman Semut
Keanekaragaman hayati yang ada pada ekosistem di suatu daerah dapat
mempengaruhi keadaan lingkungan dan sekitarnya, yaitu dalam sistem perputaran
nutrisi, perubahan iklim mikro dan detoksifikasi senyawa kimia. Seperti halnya
semut yang mempunyai peranan penting yaitu sebagai bioindikator dan indikator
kondisi agroekosistem pada suatu daerah (Rizali et al., 2002).
Semut adalah serangga yang mempunyai beragam peranan penting dalam
suatu ekosistem dan penyebarannya sangat begitu luas dan diperkirakan mencapai
15.000 spesies. Semut dapat berperan sebagai indikator ekologi untuk menilai
kondisi ekosistem, menyebar dalam jumlah yang banyak dalam suatu lokasi dan
memungkinkan untuk diidentifikasi (Latumahina, 2011).
Semakin beragamnya spesies semut maka peranan semut di alam tidak akan
hilang, namun seperti kita ketahui akibat dari konversi lahan yang begitu cepat
keberadaan serangga ini juga terancam punah. Konversi lahan merupakan
penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati, baik itu semut maupun
serangga-serangga lainnya yang mempunyai peranan penting di alam. Konversi
akan menjadi ancaman terhadap fungsi ekosistem dan penggunaan lahan yang
berkelanjutan (Latumahina, 2011). Keanekaragaman semut harus dijaga dengan
baik karena kelangsungan hidup dari semut-semut ini sangatlah penting bagi
ekosistem alam. Indeks keanekaragaman yang rendah dipengaruhi oleh makanan
yang ada pada suatu daerah dan umumnya jenis semut ini adalah sebagai predator.
7
Semut (Formicidae: hymenoptera) adalah kelompok hewan Invertebrata
yang berdasarkan jumlah keanekaragaman jenis, sifat biologi dan ekologinya
sangat penting. Kehidupan sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor.
Semut memiliki adaptasi tinggi terhadap lingkungan sehingga dapat dijumpai
diberbagai habitat dan memiliki struktur sosial yang efektif. Semut memiliki
spesies dan tersebar di seluruh dunia. Semut termasuk dalam kingdom animalia,
kelas insecta, ordo hymenoptera dan famili formicidae. Semut berperan penting
dalam ekosistem terestrial, yaitu sebagai predator, herbivor dan detrivitor. Semut
juga memiliki peranan yang unik dalam interaksinya dengan organisme lain,
seperti tumbuhan atau serangga lain. Interaksi semut dengan tumbuhan berupa
simbiosis mutualisme (Irfanul Arifin, 2014).
Semut dari subfamili myrmicinae terdapat 4 genus (Syamsul Rizal, 2002)
yaitu :
a. Baracidrus sp
Semut kecil berwarna hitam dengan mata yang berkembang biak dengan
baik. Semut pekerja cenderung memiliki panjang 1,5 – 2 mm, sedangkan semut
jantan lebih panjang dengan ukuran 3 mm dan berwarna hitam gelap. Semut ratu
memiliki panjang tubuh 3,6 – 5 mm. Tersebar luas di seluruh Malaysia, Singapura
dan Brunei, mereka perlu suhu hangat, kondisi lembab yang berarti bahwa di
wilayah mereka terbatas pada bangunan dan sering ditemukan di rumah sakit.
Habitat dari semut ini adalah pada tanah dan pohon dengan makanan utama
berupa serangga kecil yang berada di sekitar sarang.
8
b. Solenopsis sp
Semut berwarna kemerahan sampai coklat. Mereka membuat sarang di
tanah kering dan menyukai tempat yang hangat oleh sinar matahari. Mereka bisa
mencari makanan sampai beberapa meter dari sarangnya. Semut api cepat
membentuk koloni di tempat yang baru, membuat sarang dengan ratusan sampai
ribuan pekerja dan serdadu. Semut memangsa berbagai jenis serangga dari hewan
kecil. Mereka juga membawa biji-bijian dari sawah yang kering dan dibawa ke
sarangnya. Ada pekerja yang bertugas khusus untuk menghancurkan biji-bijian
sehingga menjadi bentuk yang dapat dimakan bagi semut yang muda.
c. Paedalgus
Genus ini memiliki warna tubuh kuning. Habitat genus ini menyukai tempat
yang sedikit kering dan banyak menghabiskan waktu mencari makan disiang hari.
Makanan utama berupa serangga kecil yang hidup di tanah.
d. Oligomyrmex
Genus ini memiliki ukuran tubuh yang kecil yaitu 2 mm. Memiliki warna
tubuh coklat kehitaman dengan bagian perut yang berwarna hitam. Semut dewasa
memiliki sayap, namun akan hilang setelah proses perkawinan berkunjung.
Makanan semut ini berupa biji-bijian dari tanaman budidaya sehingga genus
carebara dianggap sebagai hama.
2.2 Morfologi Tubuh Semut
Tubuh semut terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, mesosama (dada) dan
metasoma (perut). Morfologi semut cukup jelas dibandingkan dengan serangga
9
lain yang juga memiliki antena, kelenjar metapleural dan bagian perut kedua yang
berhubungan ke tangkai semut membentuk pinggang sempit (pedunkel) diantara
mesosoma (bagian rongga dada dan daerah perut). Petiole yang dapat dibentuk
oleh satu atau dua node (hanya yang kedua dan ketiga abdominal segmen ini bisa
terwujud) (Agus Krisno, 2002).
Morfologi tubuh semut seperti serangga lainnya, memiliki eksoskeleton
yang memberikan perlindungan dan juga sebagai tempat menempelnya otot, dan
merupakan hewan bertulang belakang. Serangga tidak memiliki paru-paru, tetapi
serangga memiliki lubang-lubang pernapasan di bagian dada bernama spirakel
untuk sirkulasi udara dalam sistem respirasi. Serangga juga tidak memiliki sistem
peredaran darah tertutup. Sebagai gantinya, serangga memiliki saluran berbentuk
panjang dan tipis disepanjang bagian atas tubuhnya yang disebut “aorta
punggung” yang fungsinya mirip dengan jantung. Sistem saraf semut terdiri dari
sebuah semacam otot saraf ventral yang berada disepanjang tubuhnya, dengan
beberapa buah ganglion dan cabang yang berhubungan dengan setiap bagian
dalam tubuhnya (Suhara, 2007).
Kebanyakan semut umumnya memiliki penglihatan yang buruk, bahkan
beberapa jenis dari semut itu buta. Pada kepala semut terdapat banyak organ
sensor. Semut layaknya serangga lainnya, memiliki mata majemuk yang terdiri
dari kumpulan lensa mata yang lebih kecil dan tergabung untuk mendeteksi
gerakan dengan sangat baik. Semut juga mempunyai tiga oselus di bagian puncak
kepalanya untuk mendeteksi perubahan cahaya dan polarisasi. Antena semut juga
digunakan untuk berkomunikasi satu sama lain dan mendeteksi feromon yang
10
dikeluarkan oleh semut lain. Selain itu antena semut juga berfungsi sebagai alat
peraba untuk mendeteksi segala sesuatu yang berada di depannya. Pada bagian
depan kepala semut juga terdapat sepasang rahang atau mandibula yang
digunakan untuk membawa makanan, memanipulasi objek, membangun sarang
dan untuk pertahanan.
Pada beberapa spesies, di bagian dalam mulutnya terdapat semacam
kantung kecil untuk menyimpan makanan, untuk sementara waktu sebelum
dipindahkan ke semut lain atau larvanya. Di bagian dada semut terdapat 3 pasang
kaki dan diujung setiap kakinya terdapat semacam cakar kecil yang membantu
semut memanjat dan berpijak pada permukaan. Sebagian besar semut jantan dan
betina calon ratu memiliki sayap. Namun, setelah kawin betina akan
meninggalkan sayapnya dan menjadi ratu semut yang tidak bersayap.
2.3 Semut sebagai Predator
Semut melakukan interaksi dengan tumbuhan dan hewan. Interaksi semut
dengan tumbuhan berupa simbiosis mutualisme. Semut mendapatkan
perlindungan, makanan atau keduanya dari tumbuhan dan tumbuhan akan
mendapat perlindungan dari arthropoda dan vertebrata herbivora. Semut juga
membantu penyebaran biji dan membantu polinasi tumbuhan. Interaksi semut
dengan hewan bisa berupa predator atau pemangsa (Agosti et al., 2000).
Pemanfaatan agens pengendali hayati untuk mengendalikan hama
merupakan pilihan yang tepat untuk menekan penggunaan bahan kimia di sektor
pertanian. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan ragam hayati yang
dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mengendalikan Organisme
11
Pengganggu Tanaman (OPT). Organisme tersebut dapat berfungsi sebagai
patogen, parasit dan predator bagi hama-hama tanaman. Hubungan fungsional
antara hama dan musuh alaminya akan berlangsung dengan baik apabila
memenuhi syarat yaitu: 1) Musuh alami dapat menentukan inang/mangsa, 2)
Jumlah minimal populasi musuh alami mampu membunuh inang/mangsa, 3)
Sinkronisasi dan fenologi antara musuh alami dengan inang/mangsa, dan 4) selalu
tersedia pakan bagi agens hayati untuk dapat bertahan hidup.
Peran semut di alam dapat memberikan pengaruh positif dan negatif
terhadap hewan dan manusia. Manfaat segi positif tidak dapat secara langsung
dinikmati oleh manusia misalnya perannya sebagai predator, menguraikan bahan
organik, mengendalikan hama dan bahkan membantu penyerbukan. Semut secara
ekonomi kurang bermanfaat langsung bagi manusia, namun bila dilihat secara
ekologi dapat bermanfaat untuk hewan lain dan tumbuhan, karena dalam rantai
makanan memiliki peran yang sangat penting. Semut dapat dimanfatkan menjadi
predator untuk mengurangi hama di perkebunan. Rossi dan Fowler (2002)
melaporkan bahwa Solenopsis sp di Brazil dapat dimanfaatkan sebagai agen
pengontrol kepadatan larva Diatraea saccharalis. Larva ini dapat mengebor
tanaman tebu. Menurut Depparaba dan Mamesah (2005) bahwa populasi dan
serangan penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dapat
dikurangi dengan musuh alami semut hitam (Dolichoderus sp). Pengaruh negatif
semut dapat menggigit dan memakan makanan simpanan.
Solenopsis sp adalah predator berbagai hama yang hidup secara berkoloni.
Semut predator ini banyak ditemukan baik diekosistem yang telah dikelola
12
manusia (agroekosistem) maupun ekosistem asli (Wetterer & Snelling, 2006).
Selain berfungsi sebagai predator semut dapat juga dijadikan indikator terjadinya
kontaminasi pestisida pada ekosistem (Matlock & Ramiro de la Cruz, 2003).
Meskipun efektivitas predatisme Solenopsis sp telah diketahui, namun di
Indonesia belum dimanfaatkan sebagai pengendali hayati pada hama-hama padi
padahal predator tersebut memiliki potensi tinggi untuk menekan populasi hama
padi terutama fase telur dan pradewasa, yang kalau dibiarkan bisa mengancam
produksi beras. Beberapa contoh pemanfaatan serangga predator sebagai agens
pengendali hama yang cukup berhasil adalah penggunaan Curinus Careolis untuk
mengendalikan kutu loncat Heteropsylla Cubana, Lycosa Pseudoanulata untuk
mengendalikan kepik Dysmicossus brevipes (Cockerell) (Gonzalez-Hernandez et
al., 1999).
2.4 Perilaku Semut
Semut merupakan hewan yang memiliki tingkat sosial tinggi, hal ini terbukti
pada aktivitas mencari makan dan pengangkutan semut yang mati ke dalam
sarang. Semut melakukan aktivitas mencari makan dengan menggunakan suatu
senyawa yang terdapat di dalam tubuhnya yaitu feromon. Selain itu solidaritas
semut berupa pengangkatan semut yang mati ke dalam sarang tidak terjadi secara
kebetulan, melainkan hal itu terjadi terus menerus setiap ada semut yang mati
dalam satu koloni, maka semut pekerja akan membawa semut yang mati ke dalam
sarang. Sebagai makhluk sosial semut hidup dalam koloni yang terdiri dari banyak
individu, dari jumlah ratusan hingga ribuan. Biasanya dalam setiap koloni terdiri
atas kelompok pekerja, pradewasa (larva dan pupa), ratu dan semut jantan. Koloni
13
semut secara umum terdiri atas dua kasta utama yaitu kasta reproduktif seperti
ratu dan pejantan, dan individu non reproduktif yaitu terdiri dari pekerja.
Dalam hal komunikasi semut, pertama, semut pencari pergi ke sumber
makanan yang baru ditemukan. Kemudian memanggil semut lain dengan cairan
yang sibut feromon. Saat kerumunan di sekitar makanan membesar, sekresi
feromon membatasi pekerja. Jika makanan sangat kecil atau jauh, pencari
menyesuaikan jumlah semut yang mencoba mencapai makanan dengan
mengeluarkan isyarat. Jika makanan besar, semut mencoba lebih giat untuk
meninggalkan lebih banyak jejak, sehingga lebih banyak semut dari sarang yang
membantu para pemburu. Apapun yang terjadi, tak pernah ada masalah dalam
konsumsi makanan dan pemindahannya ke sarang (Yahya, 2003).
Semut dapat dengan mudah mendeteksi apakah seekor semut lain berasal
dari koloni yang sama atau tidak. Semut pekerja menyentuh tubuh semut satunya
untuk mengenali, jika semut lain memasuki sarangnya. Ia dapat langsung
membedakan semut yang sekoloni dengannya atau tidak, berkat bau khusus
koloni pada tubuh semut. Jika semut yang memasuki sarang adalah semut asing,
gerombolan semut akan menyerang tamu tak diundang ini secara kejam. Penghuni
sarang akan menggigit tubuh semut asing dengan rahang mereka yang kuat dan
membuatnya tak berdaya dengan asam format, sitronelal, dan zat racun lain yang
mereka sekresikan.
Contoh lain berkaitan dengan semut penjelajah yang bermigrasi dari sarang
ke sarang. Semut ini mendekati sarang tua dari sarang yang baru ditemukan
dengan meninggalkan jejak. Para pekerja memeriksa sarang itu dan jika sudah
14
yakin, semut pekerja juga mulai meninggalkan jejak kimiawi di atas jejak lama.
Oleh karena itu, semut yang berjalan di antara dua sarang itu meningkat
jumlahnya dan menyiapkan sarang.
2.5 Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis)
Hama putih palsu Cnaphalocrocis medinalis termasuk dalam famili
Pyralidae, ordo Lepidoptera. Hama ini disebut sebagai hama putih palsu
karena gejala serangannya hampir menyerupai gejala serangan hama putih
(Harahap & Tjahjono 1988). Hanya stadia larva yang bertindak sebagai hama,
menyerang pertanaman padi sawah, gogo dan gogoranca sejak persemaian sampai
panen. Bagian tanaman padi yang diserang adalah daun, menyebabkan bagian
daun yang terserang berwarna putih transparan memanjang sejajar tulang daun
karena zat hijau daun dimakan dan hanya disisakan kulit epidermis bagian atas.
Larva Cnaphalocrosis makan dan merusak daun sehingga berpengaruh terhadap
fosintesis pada daun yang tidak diserang. Di samping itu daun padi digulung ke
bagian atas dan tepi daun direkatkan dengan benang-benang yang dihasilkan oleh
larva. Larva tinggal dalam gulungan daun tersebut dan makan di dalamnya. Siklus
hidup hama ini 30-60 hari.
Secara alami hama ini mempunyai beberapa musuh alami, berupa
parasitoid, predator dan patogen. Trichogramma spp adalah parasitoid yang
menyerang telur-telur hama putih palsu. Larva dan pupa hama ini diserang oleh
bermacam jenis parasitoid diantaranya dari famili-famili: Brachonidae,
Chlacididae, Elasmidae, Encytridae, dan Icheneumidae. Beberapa predator hama
ini terdiri dari famili Carabidae, Coccinella, Dermaptera, serta laba-laba sering
15
terlihat memangsa imago hama putih palsu. Sedangkan petogen serangga yang
dijumpai pada hama ini, antara lain Beauveria basssiana (CAB international,
2004).
Salah satu kendala biologis yang dihadapi dalam melakukan usaha tani padi
adanya Cnaphalocrosis medinalis (Guenee) (Klilin et al., 1993). Hama ini telah
menimbulkan masalah serius masalah serius pada tanaman padi di daerah di
Indonesia seperti di Minahasa Selatan (Tangkilisan dkk, 2013) dan di daerah
Sumatra Utara (Anonim, 2014).
Gambar 1. Larva Cnaphalocrocis medinalis (Hymenoptera: Formicidae). Sumber:
koleksi foto pribadi, 2016
16
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Lahan pertanaman padi sawah Kelurahan
Tamarunang, Kecamatan Somba Opu Gowa dan Laboratorium Hama dan
Penyakit Tanaman, Universitas Hasanuddin, Makassar, yang berlangsung selama
bulan November 2016.
3.2 Metode Pelaksanaan
3.2.1 Persiapan Sarang Buatan
Sarang buatan terbuat dari bambu yang ditopang oleh papan dengan ukuran
bambu masing-masing panjang satu ruas dengan diameter >5 cm. Bambu tersebut
dibuatkan lubang sebanyak 4 lubang dengan diameter 1 cm. Selanjutnya, di dalam
bambu tersebut diisi dengan media campuran tanah kering, daun pisang kering
sesuai dengan sarang alami spesies semut yang telah diobservasi sebelumnya. Di
samping bambu diletakkan pakan semut berupa udang rebon kering, larutan gula
dan pakan buatan. Sarang buatan tersebut dipasang di tengan sawah dengan jarak
dari pematang sawah sejauh 5 meter.
3.2.2 Persiapan Tali Penghubung
Kegiatan ini dilakukan di sawah areal pertanaman padi milik petani (Ibu
Aisyah) di Tamarunang, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Makassar
selama bulan November 2016. Saat itu tanaman padinya berumur 14 hari setelah
tanam (HST). Pada varietas Inpari 14 dipindahkan dari persemaian saat bibit
berumur 15 hari. Luas persawahan satu petak 800 m2.
17
Percobaan disusun mengikuti prosedur rancangan acak kelompok yang
terdiri dari 5 perlakuan dan 12 ulangan, dengan pengamatan hari ke – sebagai
ulangannya. Dengan tarikan tali pandn putih dengan olesan larutan gula sebagai
perlakuan satu, tarikan tali pandan putih tanpa olesan sebagai perlakuan dua,
tarikan tali ijuk hitam dengan olesan larutan gula sebagai perlakuan tiga, tarikan
tali rajut putih dengan olesan larutan gula sebagai perlakuan empat serta tarikan
tali terbuat dari batang pisang tanpa olesan sebagai perlakuan lima.
Gambar 2. Tali Perlakuan
Tali pandan putih yang digunakan memiliki panjang 5 meter dengan
diameter 0,3 cm. Pengolesan larutan gula dilakukan menggunakan kuas pada saat
sebelum pengamatan dan sekali setiap pengamatan. Tali diolesi dengan larutan
gula yang sebelumnya dilarutkan dengan air sebanyak 100 gr ke dalam labu
erlenmeyer mencapai 200 ml. Tali ijuk hitam terbuat dari ijuk yang membentuk
tali dengan panjang 5 meter dengan diameter 0,5 cm. Pengolesan gula dilakukan
30 menit sebelum pengamatan dan sekali setiap pengamatan. Tali batang pisang
terbuat dari batang pisang yang telah dikeringkan agar tidak mudah putus, dengan
diameter tali 0,5 cm.
18
Untuk mengetahui banyaknya larva hama putih palsu yang dimakan atau
dibawa oleh semut ini, maka setiap sore hari sebelum waktu pengamatan
dikumpulkan larva hama putih palsu yang berada pada pertanaman padi sebanyak
yang diperlukan. Pada penelitian ini, setiap hari pengamatan, larva yang
digunakan sebanyak 5 ekor. Jadi selama 12 hari pengamatan diperlukan 60 ekor
larva Cnaphalocrocis medinalis. Dipasangkan/ ditempelkan pada meter kedua
setiap tarikan tali perlakuan dengan masing-masing sebanyak 1 ekor larva. Guna
pemasangan larva ini untuk mengetahui apakah kehadiran semut mampu
mengurangi populasi larva hama putih palsu pada area pertanaman padi.
3.2.3 Parameter Pengamatan
Masing-masing tarikan tali pada meter kedua ditempelkan daun padi yang
mengandung larva hama putih. Pengumpulan larva dilakukan tiap sore hari
sebanyak yang diperlukan. Kemudian ditempelkan pada tarikan tali meter kedua
tiap jam 6 awal pengamatan pada pagi hari. Adapun parameter pengamatan yang
diamati adalah banyaknya populasi Solenopsis sp untuk tiap perlakuan tali
penghubung dan populasi Solenopsis sp yang berada di sekitar sarang buatan serta
menghitung larva hama putih palsu yang terbawa/ termakan oleh semut tersebut
saat dilakukannya pengamatan.
Pada awal pengamatan setiap harinya, dilakukan pula perhitungan/
pengamatan terhadap populasi semut pada sarang alaminya di pematang tempat
pangkal tali diikatkan.
19
3.3 Analisis Data
Tabulasi data ke dalam frekuensi dilakukan sebelum analisis data. Tabel
frekuensi untuk semua variabel dalam pengamatan semut disusun sendiri. Tabel
ini dijadikan bahan dasar untuk menganalisis data. Data pengaruh perlakuan tali
terhadap populasi semut dianalisis dengan analisis ragam. Hasil analisis ragam
yang menunjukkan perbedaan yang nyata, selanjutnya diuji dengan uji jarak
berganda Duncan pada taraf α = 0,05.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Rataan Populasi Solenopsis sp
Hasil pengamatan selama 12 hari dengan 5 perlakuan yang berbeda
menunjukkan bahwa populasi Solenopsis sp tertinggi berada pada perlakuan tali
ijuk hitam dengan olesan larutan gula.
Tabel 1. Analisis Ragam Populasi Solenopsis sp pada tiap Perlakuan
Perlakuan Rataan populasi
Tali pandan putih dengan olesan gula 301,83ab
Tali pandan putih tanpa olesan 209,00ab
Tali ijuk hitam dengan olesan gula 402,75b
Tali rajut putih dengan olesan gula 39,42a
Tali batang pisang tanpa olesan 32,50a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama berarti tidak berbeda
nyata pada α = 0,05 dengan uji jarak Ganda Duncan.
Hasil analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
menunjukkan bahwa populasi Solenopsis sp pada perlakuan tali batang pisang
merupakan yang terendah populasinya dari semua tali perlakuan. Tali pandan
putih dengan olesan larutan gula (rataan 301,83 ekor) nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan tali pandan putih tanpa olesan (rataan 209 ekor)
dan tali rajut putih dengan olesan larutan gula (rataan 39,42 ekor). Selanjutnya,
pada tali ijuk hitam dengan olesan larutan gula (rataan 402,7 ekor) adalah yang
tertinggi populasi semutnya dari semua perlakuan. Sehingga disimpulkan bahwa
perlakuan tali ijuk hitam dengan olesan larutan gula adalah yang terbaik dari
semua perlakuan.
21
Perlakuan tali ijuk hitam dengan olesan gula lebih efektif dibandingkan
dengan perlakuan lainnya, selain terdapatnya sumber makanan pada sarang
buatan, memang pada tali ijuk hitam sudah terdapat gula bagi semut sebagai
sumber karbohidrat yang merupakan nutrisi penting untuk melakukan
aktivitasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ho dan Khoo (1997) yang
menyatakan bahwa semut memerlukan karbohidrat dalam bentuk glukosa.
Pada perlakuan tali lainnya yang tanpa olesan gula yakni tali pandan putih
tanpa olesan dan tali batang pisang kering tanpa olesan, karena sumber makanan
(sarang buatan) jauh, semut pencari menyesuaikan jumlah semut yang akan
mencapai sarang buatan tersebut. Sehingga jumlah semut pada tali perlakuan lebih
sedikit dibandingkan dengan tali perlakuan dengan olesan larutan gula karena
terbatasnya sumber makanan bagi semut. Semut akan mengeluarkan isyarat, jika
makanan dalam jumlah yang besar, semut mencoba lebih giat untuk
meninggalkan lebih banyak jejak (feromon), sehingga lebih banyak semut dari
sarang yang mencari makanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Borror et al (2005)
dan Elzinga (1987) yang menyatakan bahwa serangga memiliki feromon jejak
untuk pemandu jenisnya menemukan sumber makanan.
4.1.2. Populasi Solenopsis sp pada Sarang Alami
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata populasi Solenopsis sp
pada sarang alami sebanyak 136,5 ekor/pengamatan termasuk dalam kategori
banyak sesuai dengan nilai indeks skala populasi menurut Way dan Khoo.
22
populasi (ekor/sarang alami)
Umur Padi (Hari Setelah Tanam)
Gambar 1. Perkembangan Populasi Solenopsis sp pada sarang alami
4.1.3 Populasi Solenopsis sp pada Sarang Buatan
Tabel 2. Populasi Solenopsis sp yang mencapai sarang buatan
Waktu
pengamtan
(Pukul)
Selenopsis yang Mencapai Sarang Buatan
∑ Rataan
Tali
pandan
putih
dengan
olesan
gula
Tali
pandan
putih tanpa
olesan
Tali ijuk
hitam
dengan
olesan
gula
Tali rajut
putih
dengan
olesan
gula
Tali batang
pisang
kering
tanpa
olesan
6 324 402 497 0 15 1238 247,6
7 329 495 521 5 46 1396 279,2
8 262 432 566 5 63 1328 265,6
9 282 404 473 4 56 1219 243,8
∑ 1197 1733 2057 14 180 5181 1036
Rataan 299,25 433,25 514,25 3,5 45 1295,3 259,1
Solenopsis sp yang mencapai sarang buatan untuk semua perlakuan
sebanyak 5181 ekor dengan 12 hari pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa rata-rata populasi Solenopsis sp pada sarang buatan pada tiap perlakuan
sebanyak 299,25 ekor pada perlakuan tali pandan putih dengan olesan larutan
gula, tali pandan putih tanpa olesan 433,25 ekor, tali ijuk hitam dengan olesan
larutan gula 514,25 ekor, tali rajut putih dengan olesan larutan gula 3,5 ekor dan
tali batang pisang 45 ekor.
0
50
100
150
200
250
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
23
4.1.4 Larva Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis)
Tabel 3. Persentase larva hama putih palsu yang termangsa oleh Solenopsis sp
Larva
Hama Putih
Palsu
Jenis Tali
Jumlah Tali pandan
putih
dengan
olesan gula
Tali pandan
putih tanpa
olesan
Tali ijuk
hitam
dengan
olesan gula
Tali rajut
putih
dengan
olesan gula
Tali batang
pisang
tanpa
olesan
Disediakan 12 12 12 12 12 60
Termangsa 10 6 12 5 1 34
Termangsa
(%) 83,33 50 100 41,67 8,33 56,67
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada larva hama putih palsu
yang dibawa oleh Solenopsis sp pada seluruh perlakuan, akan tetapi jumlah larva
hama putih palsu yang termakan oleh Solenopsis sp bervariasi. Pada perlakuan
tarikan tali pandan putih dengan olesan larutan gula, tali pandan putih tanpa
olesan, tali ijuk hitam dengan olesan larutan gula, tali rajut putih dan tali dari
batang pisang kering masing-masing jumlah hama putih palsu yang termakan oleh
Solenopsis sp yaitu 10, 6, 12, 5, dan 1 ekor, sehingga total keseluruhan larva hama
putih palsu yang termakan sebesar 34 ekor dari total 60 ekor yang disediakan. Hal
ini terjadi karena pada seluruh perlakuan kecuali pada perlakuan tarikan tali ijuk
hitam dengan olesan larutan gula pada beberapa pengamatan tidak ditemukan
Solenopsis sp. Sehingga, larva hama putih palsu yang ditempelkan pada semua
perlakuan pada beberapa pengamatan tersebut tidak termakan ataupun dibawa
oleh Solenopsis sp.
4.2 Pembahasan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan tali ijuk hitam dengan
olesan larutan gula lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan tali pandan putih
24
tanpa olesan larutan gula, tali pandan putih dengan olesan larutan gula, tali rajut
putih dengan olesan larutan gula dan tali dari batang pisang tanpa olesan.
Solenopsis sp sangat tinggi pada perlakuan tali ijuk hitam diduga karena jumlah
sumber makanan pada beberapa tali perlakuan berbeda, yakni pada perlakuan tali
ijuk hitam dengan olesan larutan dengan tali perlakuan lainnya yang tanpa olesan.
Meskipun pada tali pandan putih dan tali rajut putih mendapat perlakuan yang
sama dengan olesan larutan gula sama halnya dengan tali ijuk hitam, namun
perbedaan kerapatan tali yang membuat kandungan tali ijuk hitam mampu
menyerap gula lebih banyak (lebih lama) dibandingkan dengan tali pandan putih
dan tali rajut putih. Diduga, juga dipengaruhi oleh ukuran tali ijuk hitam yang
lebih besar dari ukuran tali lainnya sehingga jumlah semut yang melewati masing-
masing tali perlakuan jauh lebih besar jumlahnya.
Rataan populasi semut pada sarang alami sebanyak 136,5 ekor/ pengamatan
termasuk dalam kategori banyak sesuai dengan indeks skala populasi Way dan
Khoo. Keberadaan semut pada lingkungan (tanah) dipengaruhi oleh suhu tanah.
Pernyataan ini didukung oleh pendapat Rahmawati (2004) bahwa suhu tanah
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan
organisme tanah. Solenopsis sp cenderung tinggi populasinya pada pematang
sawah, apalagi jika sarang alaminya diberi pakan dimana semut ini menyukai
larutan gula, ebi kering dan makanan buatan lainnya. Populasi Solenopsis sp juga
dapat dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik yang mendukung kehidupan
populasi semut. Hal ini sesuai dengan pendapat Price (1998), bahwa kehidupan
populasi hewan dipengaruhi oleh faktor biotik dan faktor abiotik, ditambahkan
25
oleh Harington dan Stork (1997) bahwa faktor fisik lingkungan seperti temperatur
dapat mempengaruhi perkembangan dan fekunditas serangga.
Tali perlakuan yang paling efektif dalam aktivitas semut yaitu pada
perlakuan tali ijuk hitam yang diolesi larutan gula dimana jumlah semut yang
melewatinya menuju sarang buatan mencapai 402 ekor. Penyebab lain yang
mungkin memacu kehadiran semut adalah kemampuan semut berjalan mengikuti
jejak jenisnya. Kemampuan mengikuti jejak ini karena adanya feromon pemandu.
Hal ini terlihat dari hasil pengamatan umumnya semut Solenopsis sp berjalan
mengikuti jejak jenisnya. Menurut Borror et al (2005) & Elzinga (1987)
menyatakan bahwa serangga memiiki feromon jejak untuk pemandu jenisnya
menemukan sumber makanan.
Selain dari sifat semut yang memiliki feromon untuk saling mengikuti
sesama jenisnya, pada ujung tali perlakuan juga terdapat sarang buatan berisi
larutan gula, udang rebon kering dan pakan buatan yang merupakan pakan dari
semut tersebut. Karbohidrat diperlukan serangga untuk kelangsungan hidupnya.
Semut memerlukan karbohidrat dalam bentuk glukosa (Ho dan Khoo, 1997).
Serangan larva Cnaphalocrocis medinalis mampu dikendalikan oleh
hadirnya musuh alami pada pertanaman sawah. Dengan adanya musuh alami yang
mampu menekan populasi hama, diharapkan di dalam agroekosistem terjadi
keseimbangan populasi antara hama dengan musuh alaminya, sehingga populasi
hama tidak melampaui ambang toleransi tanaman (Balitsa, 2015).
26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Populasi Solenopsis sp tertinggi berada pada perlakuan tali ijuk hitam
dengan olesan larutan gula mencapai rataan 402,75 ekor dan terendah pada
perlakuan tali batang pisang dengan rataan 32,50 ekor. Populasi Solenopsis sp
pada sarang alami mencapai 136,5 ekor/ pengamatan. Sedangkan pada sarang
buatan populasi tertinggi berada pada perlakuan tali ijuk hitam dengan olesan
larutan gula sebanyak 5181 ekor selama 12 hari pengamatan. Selanjutnya, pada
larva yang ditempelkan pada meter kedua tiap tali perlakuan mampu menarik/
mendatangkan semut Solenopsis sp masuk ke area pertanaman padi. Larva hama
putih palsu yang termakan oleh Solenopsis sp sebanyak 34 ekor.
5.2 Saran
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian tentang sarang buatan yang disukai
semut dan jenis tali lain yang mampu menarik semut masuk dalam pertanaman
padi sebagai predator yang mampu mengendalikan hama tanaman padi sehingga
dapat berproduksi dengan baik.
27
DAFTAR PUSTAKA
Altieri MA. 1999. The Ecological role of Biodiversity in Agroecosystem,
agriculture, Ecosystem and Environment 74:19–31.
Andersen AN. 1997. Using ants as bioindicators: multiscale issnes in ant
community ecology, http://www.Consecol. Org/vol1/iss1/art8/. (diakses
Agustus 2016)
Arifin, Irfanul. 2014. Keanekaragaman Semut (Hymenoptera Formicidae) pada
berbagai Subzone Hutan Pegunungan di Sepanjang Jalur Pendakian
Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede-Pangngaro (TNGGP). BIOMA.
Vol.X, no 2
Balitsa, H. 2015. Empat Prinsip Dasar dalam Penerapan Pengendalian Hama
Terpadu (PHT). http:// balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/ index.php/ berita-
terbaru/378empat-prinsip-dasar-dalam-penerapan-pengendalian-
hamaterpadu-pht.html
Barbosa, P. 1998. Conservation Biological Control. Academic. Press. USA.
CAB International. 2004. Crop Protection Compendium. Wallingford, UK: CAB
(Commonwealth Agricultural Bureaux) International. Disajikan dalam
compact disc.
Depparaba, F. dan Mamesah, D., 2005. Populasi dan Serangan Penggerek daun
(Phyllocnistis citrella Staint) pada Tanaman Jeruk dan Alternatif
Pengendalianya. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Vol 8 No. 1 Hal 88-93.
Gonzalez, hernandez, H; M. W. Johnson; and N. Reimer. 1999. Impact of
Pheidole Megacephala (F.) (Hymenoptera: Formicidae) on The Biological
Control of Dysmicoccus Brevipes (Cockerell) (Homoptera:
Pseudococcidae). Biological Control Volume 15, issue 2, June 1999: 145-
152.
Harahap, I. S. Dan B. Tjahjono, 1998. Pengendalian Hama Penyakit Padi.
Penebar Swadaya, Jakarta, 114 hal.
Harrington, R. And Stork, N.E., 1997. Insects in a changing Environment.
Academy Press. Harcourt Brace & Company, Publishers London, San
Diego, New York, Boston, Sydeney, Tokyo, Torornto.
28
Harun Yahya, 2003. Menjelajah Dunia Semut, (Solid Converter Pdf, 2003), h.11
Holldober B & Wilson. 1990. The Ants. Cambridge, Mass. 732pp.
Johnson, M.W. 1987. Biological Control of Pests. Hand Out Compilation of 1987
Spring Season Course. Departement of Entomology University of Hawai at
Manoa. Honalulu Hawai.
Klilin. D. I. W. Laba dan P. Panuju. 1993. Dampak Penggunaan Insektisida
dalam Pengendalian Hama Wereng Coklat dan Penggerek Batang Padi.
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/Bogor 23-25
Agustus 1993.
Krisno, Agus. 2011. Klasifikasi Makhluk Hidup secara Umum dan Kajian
Mikrobiologi Umum. (Online), http://biologimediacentre.com/macam-
klasifikasi-makhluk-hidup. (Diakses tanggal 1 Februari 2018, pukul 22.00)
Latumahina, Fransina. 2011. Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap
Keanekaragaman semut Dalam Hutan Lindung Nona-Ambon. Jurnal
Agroforestri. Volume VI Nomor I. 2011.
Matlock RB Jr, de la Cruz R. 2002. An inventory of Parasitic Hymenoptera in
banana plantations under two pesticide regimes. Agriculture, Ecosystem &
Environment 93:147-164. Doi: http://dx.doi.org/10.1016/s.0167-
8809(02)00002-6.
MyGlynn TP. 1999. The worldwide transfer of ants:geographical distribution &
ecological invastons. Biogeography 26:535-548.
Oerke, E.C., et al. 1994. “Crop Production and Crop Protection: Estimated
Losses in Major food and Cash Crops”. In Global Yield Loss, Economic
Impact. Crop Protection. CAB International 2001 edition.
Peck SL, Mcquard B, Campbell CL. 1998. Using and species (Hymenoptera:
Formicidae) as a biological indicator of agroecosystem condition. Environ
Entomol 27:1102-1110.
Purtaniwingsih, 2001. Kehadiran Liriomyza Huidobrents (Blanchard) (Diptera:
Agromyzidae) pada Tanaman Kentang (Solanum Tuberosum Var. Granolo)
Selama Dua Musim Tanam. Jurnal ILMU DASAR 2(2) :87-95.
Price, P.W., 1997. Insects Ecology. Third Edition. Jhon Wiley & Sons Inc. New
York. Chichester, Weinkeim, Brisbane, Singapore, Torornto.
29
Rahmawati, 2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan
Wisata Alam Sibolangit. USU e-USU repository : 1-17.
Rossi, M.N. and Fowler, H.G., 2002. Manifulation of Fire Ant Density, Solenopsis
spp., for Short-Term Reduction of Diatraea saccharalis Larva densities in
Brazil. Scientia Agricola, Vol 59, N.2. p.389-392.
Settle, W.H., H. Ariawan, E. Tri Astuti, W. Cahyono, A. L. Hakim, D. Hidayana,
A. Sri Lestari & Pajarningsih. 1996. Managing Tropical Rice Pest Through
Concervation of generatif Natural Enemies & Alternative Prey. Ecology,
77(7).
Suhara. 2007. “Morfologi Semut”. (On-Line)., tersedia di
http://upikke.staff.ipb.ac.id.Struktur-Tubuh-Semut1.jpg. (diakses 3 juli 2015
pukul 07.30)
Syamsul, Rizal. 2002. Keanekaragaman Semut Predator permukaan Tanah
(Mymenoptera:Formicidae) Di perkebunan Kelapa Sawit SPPN Sembawa
Banyuasin. Jurnal penelitian. Palembang. Universitas PGRI.
Way MJ, Islam Z. Heong KL, Joshi RC. 1998. Ants in tropical irrigated rice:
distribution and abudance, of Solenopsis geminate (Hymenoptera:
Formicidae). Bull. Entomol. Res 88:467-476.
LAMPIRAN
Tabel lampiran 1. Populasi Solenopsis sp pada Tiap Tali perlakuan
UmurTanamanPadi (hst)
Tali Pandan Putih + Gula Tali Pandan Putih tanpaolesan Tali Ijuk Hitam + Gula Tali Rajut Putih + Gula Tali Batang pisang Kering
Total Rataan6 7 8 9 6 7 8 9 6 7 8 9 6 7 8 9 6 7 8 9
14 21 4 1 0 0 6 0 0 111 66 62 34 72 88 46 19 0 0 0 0 530 26,515 1 7 1 0 18 0 0 0 133 101 59 19 18 17 10 3 0 0 0 0 387 19,3516 0 0 0 18 0 0 0 0 110 108 118 33 20 54 25 14 0 0 0 0 500 2517 134 169 69 136 0 0 0 0 96 104 88 240 0 0 0 0 0 0 0 0 1036 51,818 453 409 320 167 0 0 0 0 90 57 45 404 0 0 0 0 0 0 0 0 1945 97,2519 360 244 136 157 0 0 0 0 174 166 104 92 28 0 22 27 0 0 0 0 1510 75,520 81 70 66 50 116 106 68 56 71 99 72 51 0 5 3 2 0 0 0 0 916 45,821 0 0 0 0 0 0 0 0 101 54 94 125 0 0 0 0 0 0 0 0 374 18,722 0 0 0 0 0 0 0 0 91 92 83 67 0 0 0 0 0 0 0 0 333 16,6523 0 0 0 0 0 0 0 0 84 67 112 76 0 0 0 0 0 0 0 0 339 16,9524 178 120 126 110 158 135 77 89 99 97 65 96 0 0 0 0 121 121 80 68 1740 8725 14 0 0 0 523 435 388 333 141 115 142 125 0 0 0 0 0 0 0 0 2216 110,8
Total 1242 1023 719 638 815 682 533 478 1301 1126 1044 1362 138 164 106 65 121 121 80 68 11826 591,3
Rataan 104 85,25 59,92 53,17 67,92 56,8 44,4 39,83 108,42 93,833 87 113,5 11,5 13,67 8,8333 5,417 10,08 10,08 6,667 5,667 985,5 49,275
31
Tabel Lampiran 2. Total Populasi Solenopsis sp pada Tali Perlakuan
Keterangan : Perlakuan 1 = Tali Pandan Putih dengan Olesan Gula
Perlakuan 2 = Tali Pandan Putih tanpa Olesan
Perlakuan 3 = Tali Ijuk Hitam dengan Olesan Gula
Perlakuan 4 = Tali Rajut Putih dengan Olesan gula
Perlakuan 5 = Tali Batang Pisang kering tanpa Olesan
Tabel Lampiran 3. Analisis Ragam
sumber keragaman db JK KTFhitung Ftabel "tn"
atau **0,05 0,01Ulangan 11 1061113 96464,8182 1,0507815 2,01 2,68 tn
Perlakuan 4 1264317,57 316079,392 3,44302081 2,58 3,78 *Acak 44 4039328,83 91802,928Total 59 6364759,4
Keterangan : tn = Tidak Berbeda Nyata
* = Berbeda Nyata pada Taraf 0,05
** = Berbeda Nyata pada taraf 0,05 dan 0,01
UlanganPerlakuan
1 2 3 4 5
1 26 6 273 225 02 9 18 312 48 03 18 0 369 113 04 508 0 528 0 05 1349 0 596 0 06 897 0 536 77 07 267 346 293 10 08 0 0 374 0 09 0 0 333 0 010 0 0 339 0 011 534 459 357 0 39012 14 1679 523 0 0
Total 3622 2508 4833 473 390
Rataan 301,8333 209 402,75 39,41667 32,5
32
Tabel Lampiran 4. Populasi Solenopsis sp pada Sarang Alaminya
Pengamatanke -
Umur padi(hst)
Populasi Solenopsis sp(ekor)
1 14 1362 15 703 16 1654 17 1145 18 1836 19 937 20 1098 21 1209 22 9810 23 17411 24 16812 25 208
Total 1638Rataan 136,5
Tabel Lampiran 5. Skoring Semut (Way dan Khoo)
KategoriNilaiskor
Jumlah semut dipohon
Populasi tidak ada 0 Tidak terdapat semutSedikit 1 1 - 19 ekor semutSedang 2 20 - 50 ekor semutBanyak 3 51 - 200 ekor semutSangat banyak 4 201 - 1000 ekor semutMelimpah 5 > 1000
33
Tabel Lampiran 6. Populasi Solenopsis sp pada Sarang Buatan
6 7 8 9Total Rataan
P1 P2 P3 P4 P5 P1 P2 P3 P4 P5 P1 P2 P3 P4 P5 P1 P2 P3 P4 P5U1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0U2 0 0 59 0 0 0 0 42 0 0 0 0 42 0 0 0 0 2 0 0 145 7,25U3 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23 0 0 0 0 0 0 0 30 1,5U4 0 0 36 0 0 0 0 40 0 0 0 0 42 0 0 3 0 47 0 0 168 8,4U5 143 0 68 0 0 120 80 55 0 0 105 58 70 0 0 105 71 93 0 0 968 48,4U6 100 52 60 0 0 109 60 77 0 0 51 44 64 0 0 100 50 0 0 0 767 38,35U7 51 63 52 0 0 38 83 42 5 0 26 41 38 5 0 26 19 37 4 0 530 26,5U8 0 0 35 0 0 0 0 31 0 0 0 0 48 0 0 0 0 53 0 0 167 8,35U9 0 0 51 0 0 0 0 62 0 0 0 0 51 0 0 0 0 43 0 0 207 10,35
U10 0 0 43 0 0 0 0 40 0 0 0 0 62 0 0 0 0 51 0 0 196 9,8U11 30 82 38 0 15 62 71 76 0 46 80 66 57 0 63 48 66 73 0 56 929 46,45U12 0 205 48 0 0 0 201 56 0 0 0 223 69 0 0 0 198 74 0 0 1074 53,7Total 324 402 497 0 15 329 495 521 5 46 262 432 566 5 63 282 404 473 4 56 5181 259,1
Rataan 27 33,5 41,4 0 1,25 27,4 41,3 43,4 0,42 3,83 21,8 36 47,2 0,42 5,25 23,5 33,7 39,4 0,33 4,67 431,8
35
LAMPIRAN
Gambar 1. Pengamatan
Gambar 2. Solenopsis sp Gambar 3. Handcounter
35
Gambar 4. Sarang buatan
Gambar 5. Larva Cnaphalocrocis medinalis