Upload
mira-fitriani-suwarnoo-ii
View
250
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
1
BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
HASIL
PENELITIAN
SEPTEMBER
2013
PERBANDINGAN PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL
KONTINYU DAN NUTRISI ENTERAL INTERMITTEN
TERHADAP KADAR GULA DARAH SEWAKTU PADA
PASIEN CEDERA OTAK BERAT PASCABEDAH
Oleh
Veronika Susanty Siampa
Pembimbing
dr. Hisbullah, SpAn, KIC-
KAKV Dr. Dr. Arifin Seweng, MPH
DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 BIDANG STUDI ILMU ANESTESI, TERAPI INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2
Abstrak
VERONIKA SUSANTY SIAMPA. Perbandingan Pemberian Nutrisi Enteral Kontinyu dan Nutrisi Enteral Intermitten terhadap Kadar Gula Darah pada Pasien Cedera Otak Berat Pascabedah.(Dibimbing oleh : Hisbullah, Arifin Seweng). Penelitian ini bertujuan untuk menilai fluktuasi kadar gula darah sewaktu(GDS) pada pasien cedera otak berat pascabedah yang dirawat di ruangan ICU, yang mendapatkan nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan nutrisi enteral intermitten. Penelitian eksperimental ini dilakukan secara acak pada 46 pasien cedera otak berat pascabedah yang dirawat di ruangan ICU. Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok perlakuan yakni kelompok pertama yang diberikan nutrisi enteral secara kontinyu dengan kebutuhan kalori total 25 Kkal/kgBB/24 jam dengan menggunakan kantung gravitasi dimana 24 jam pertama hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua diberikan 75% dari total kebutuhan kalori, dan 24 jam ketiga diberikan 100% dari total kebutuhan kalori. Sementara kelompok kedua yang diberikan yang diberikan nutrisi enteral secara intermitten dengan kebutuhan kalori total 25 Kkal/kgBB/24 jam dibagi dalam enam kali pemberian, dimana 24 jam pertama hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua 75% dari total kebutuhan kalori, 24 jam ketiga 100% dari total kebutuhan kalori. Dilakukan penilaian terhadap kadar gula darah sewaktu setiap 4 jam setelah awal pemberian nutrisi selama 72 jam observasi. Analisis statistik dilakukan dengan uji Mann-whitney dan chi-square, dengan p<0,05 bermakna secara signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada pengukuran kadar GDS pada pengamatan 24 jam kedua dan ketiga dari kedua kelompok (p<0,05). Dan juga terdapat perbedaan bermakna pada pengukuran residu NGT baik pada 24 jam pertama, kedua, dan ketiga dari kedua kelompok (p<0,05).
Kata kunci : kadar gula darah, nutrisi enteral kontinyu, nutrisi enteral intermitten, cedera otak berat.
3
Abstrac
VERONIKA SUSANTY SIAMPA. Comparison of Continuous Enteral Nutrition and Intermittent Enteral Nutrition to Blood Sugar Levels in Posoperative Patients with Severe Brain Injury, (Supervised by : Hisbullah, Arifin Seweng). This study aims to assess fluctuations in blood sugar levels in postoperative patients with severe brain injury who where treated in ICU, which get continuous enteral nutrition compared with patients receiving intermittent enteral nutrition. This experimental study randomly assigned 46 postoperative severe brain injury patients who were admitted to ICU. Subjects were divided into two groups, the first group given continuous enteral nutrition with total calorie needs 25 Kkal/kgBW/24 hours using a gravity bag, which the first 24 hours only provided 50% of total calorie needs, the second ones given 75% of total calorie needs, and the third ones was given 100% of total calorie4 needs. While the second group were given intermittent enteral nutrition with total calorie needs 25 Kkal/kgBW/ 24 hours divided into six time delivery, in which the first 24 hours only provided 50% of total calorie needs, the second ones 75% of total calorie needs, and the third ones 100% of total calorie needs. Assessment of blood sugar levels was done every 4 hours after the initial provision of nutrition for 72 jam hours observation. Statistical analysis was performed with Mann-Whitney test and Chi-square, with p< 0,05 were statistically significant. The result showed that there were significant differences in measured blood sugar levels of the second and the third 24 hours observation of both groups (p<0,05). And there are also significant differences in NGT residual measurements at the first, second, and the third 24 hours in both groups (p<0,05).
Keywords : blood sugar level, continuous enteral nutrition, intermittent enteral nutrition, severe brain injury.
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) biasanya ditandai dengan
hipermetabolisme dan katabolisme yang meningkat sehingga dapat menyebabkan
malnutrisi. Nutrisi yang tidak adekuat dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas,
dan menambah lama rawat di rumah sakit. Pemberian nutrisi tambahan sudah
berkembang dan merupakan bagian dari terapi di ICU dalam memahami sistem
imun, sepsis, disfungsi organ, dan proses penyembuhan.1
Nutrisi enteral merupakan salah satu terapi tambahan pada pasien-pasien
dengan penyakit kritis dengan fungsi gastrointestinal baik namun intake oral tidak
dapat diberikan. Keuntungan nutrisi enteral adalah meningkatkan integritas
mukosa intestinal absorbsi nutrisi, memperbaiki respon metabolik dan imun, dan
komplikasi serta harga lebih kurang bila dibandingkan dengan nutrisi parenteral.
Namun, hal-hal tersebut seringkali bertentangan dengan kondisi pasien-pasien
kritis. Misalnya pada pasien-pasien dengan penurunan sekunder fungsi motilitas
gastrointestinal pada pasien pasca operasi ileus, stasis gaster, khususnya pada
kondisi sepsis, trauma, shock, dan gagal organ. Hal itu juga ditunjukkan pada
kondisi dimana terjadi penurunan fungsi peristaltik misalnya pada pasien dengan
penggunaan ventilator mekanik, sedasi, dan penggunaan antibiotik dan obat-
obatan lainnya.2
Cedera otak merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia,
angka kejadian cedera kepala menempati 15-20% kematian pada usia 5-35 tahun
dan 1% dari seluruh kematian pada orang dewasa. Penanganan modern terhadap
cedera kepala saat ini telah dilakukan oleh tim dokter neurointensifis,
neuroanesthesia, dan ahli bedah saraf.3
Pasien dengan cedera otak cenderung mengalami ketidakstabilan
hemodiamik yang disebabkan penurunan volume intravaskuler dan trauma
miokardium yang menyebabkan kegagalan pompa primer, bahkan bila trauma
pada batang otak dapat langsung mempengaruhi stabilitas kardiovaskuler.
5
Hipotensi harus dihindari karena dapat menyebabkan reduksi aliran darah otak
dan bila MAP (Mean Arterial Pressure) rendah mengakibatkan iskemik otak,
sebaliknya bila hipertensi dapat mengeksaserbasi edema vasogenik sehingga
terjadi vasokonstriksi yang mempengaruhi tekanan intrakranial.
Penanganan nutrisi juga memegang peranan penting dan disarankan sesegera
mungkin diberikan pada pasien cedera otak. Cedera otak sedang sampai berat
ditandai dengan adanya hipermetabolik dan hiperkatabolik. Hiperglikemia sering
terjadi dan merupakan penyebab utama produksi keton, meningkatkan produksi
asam laktat oleh otak dan asidosis seluler.4 Karena itu pentingnya untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi ketika stabilitas hemodinamik dicapai. Nutrisi dapat
menentukan outcome bagi pasien demi kelangsungan hidup dan kecacatan, lebih
lanjut lagi bila nutrisi diberikan awal secara agresif dapat meningkatkan fungsi
imun dengan meningkatkan sel CD4, rasio CD4-CD8 dan kepekaan limfosit T
serta dapat mencegah terjadinya cedera sekunder.3,4
Jalur pemberian nutrisi
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Nutrisi enteral lebih dipilih karena lebih
fisiologis, tidak mahal dan resiko lebih kecil daripada nutrisi parenteral total,
namun perlu pengawasan yang baik untuk mencegah efek samping seperti
hiperglikemia, ketoasidosis, intoleransi gaster, diare yang menimbulkan dehidrasi
dan hipovolemia relatif yang mengganggu stabilitas hemodinamik.3,5
Gastroparesis akut menyebabkan gangguan nutrisi yang akan menyebabkan
terjadinya fluktuasi level Gula Darah Sewaktu (GDS), sehingga dapat
memperberat penyakit.6 Peningkatan fluktuasi gula darah tidak hanya
meningkatkan angka mortalitas, tapi juga meningkatkan angka morbiditas, seperti
infeksi nosokomial, dan lama rawat di rumah sakit.
Al-Dorzi dkk (2010) melaporkan bahwa fluktuasi GD yang tajam
dihubungkan dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 22% .7
Thor dkk (2002) melaporkan bahwa pada pasien-pasien dengan trauma kepala
berat menunjukkan disritmia gastrik dan intoleransi terhadap makanan.5
Rhoney dkk (2002) melaporkan bahwa intoleransi makanan lebih sering timbul
pada kelompok enteral bolus (intermitten) dibandingkan dengan kelompok lain.5
6
Serpa LF dkk (2003) melaporkan bahwa baik pemberian nutrisi enteral
kontinyu 25 Kcal/KgBB/hari maupun secara bolus (intermittent) 25
Kcal/KgBB/hari (diberikan selama 1 jam dengan interval 2 jam), keduanya
menunjukkan efek komplikasi akibat pemberian nutrisi cukup rendah, sementara
pada kelompok nutrisi kontinyu pada hari pertama menghabiskan volume lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok intermitten.2
Maurya I dkk(2011) melaporkan pada grup enteral kontinyu yang diberikan
nutrisi 30 kcal/KgBB/hari dibandingkan dengan grup enteral intermittent yang
juga diberikan nutrisi 30 Kcal/KgBB/hari menunjukkan tidak ada perubahan
signifikan pada pengukuran Respiratory Quation(RQ) dan Energy Expenditure
Resting(REE).8
Kami ingin menguji hipotesa bahwa pemberian nutrisi enteral kontinyu
dibandingkan dengan nutrisi intermitten pada pasien Cedera Otak Berat (COB)
akan mengurangi fluktuasi tajam kadar GDS, selain itu juga pada pasien yang
menerima nutrisi enteral kontinyu akan lebih menunjukkan efek tolerabel dengan
berkurangnya efek samping oleh karena pemberian nutrisi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah : “Apakah dengan pemberian nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan nutrisi
enteral intermitten menunjukkan kadar GDS yang tidak berfluktuatif pada pasien
COB pascabedah yang dirawat di ICU?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui fluktuasi kadar GDS pada pasien COB pascabedah yang dirawat
di ICU yang diberikan nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan pasien COB
pascabedah yang diberikan nutrisi enteral intermitten.
7
2. Tujuan Khusus
a. Membandingkan kadar GDS setiap 4 jam pada 24 jam pertama antara
kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten
yang diberikan nutrisi 50% dari total kebutuhan kalori per hari.
b. Membandingkan kadar GDS setiap 4 jam pada 24 jam kedua antara
kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten
yang diberikan nutrisi 75% dari total kebutuhan kalori per hari.
c. Membandingkan kadar GDS setiap 4 jam pada 24 jam ketiga antara
kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten
yang diberikan nutrisi 100% dari total kebutuhan kalori per hari.
d. Membandingkan jumlah residu NGT per 24 jam pada 24 jam pertama
antara kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral
intermitten yang diberikan nutrisi 50% dari total kebutuhan kalori per hari.
e. Membandingkan jumlah residu NGT per 24 jam pada 24 jam kedua antara
kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten
yang diberikan nutrisi 75% dari total kebutuhan kalori per hari.
f. Membandingkan jumlah residu NGT per 24 jam pada 24 jam ketiga antara
kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten
yang diberikan nutrisi 100% dari total kebutuhan kalori per hari.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh pemberian nutrisi enteral
kontinyu dibandingkan nutrisi enteral intermitten terhadap fluktuasi kadar
GDS pada pasien COB pascabedah yang dirawat di ICU.
2. Dapat diaplikasikan secara klinis terutama pada perawatan pasien COB
pascabedah di ICU untuk mengurangi fluktuasi kadar GDS.
3. Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Metabolisme Otak.
Kerusakan otak akibat cedera dibagi kedalam dua bagian yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika terjadinya
trauma. Efek yang segera akibat trauma adalah laserasi otak, robekan yang difus,
robeknya pembuluh darah atau kerusakan neuron, axon dan dendrit. Cedera
sekunder adalah cedera yang terjadi setelah terjadinya trauma. Penyebab cedera
sekunder bisa sistemik dan intrakranial. Penyebab sistemik adalah hipoksemia,
hiperkapnia, hipotensi arterial, anemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipertermia,
sepsis, koagulopati, dan hipertensi. Sedang penyebab intrakranial adalah
epidural/subdural hematom, kontusio/intraserebral hematom, peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebral, infeksi intrakranial, epilepsi post trauma.9
Cedera otak tersebut akan menyebabkan gangguan keseimbangan metabolisme
tubuh secara keseluruhan, berupa hipermetabolisme dan katabolisme dengan hasil
akhir adalah kehilangan protein dari sel-sel tubuh dan pengurangan dari cadangan
nutrien tubuh. Mekanisme ini terjadi oleh aktifasi dari sistem neurohumoral
berupa pelepasan dari katekolamin endogen yang terdiri adrenalin noradrenalin,
kortisol juga peningkatan dari hormon-hormon glukagon, hormon pertumbuhan
yang mepunyai peranan penting gangguan keseimbangan metabolisme tubuh,
berupa peningkatan laju proteolisis, lipolisis, serta terjadinya peningkatan kadar
gula darah. Keadaan ini akan diperberat lagi dengan adanya multipel trauma.3,4,10
Neuron mempunyai laju metabolisme tinggi dan menggunakan lebih banyak
energi dibandingkan sel tubuh lain. Walaupun berat otak hanya 2% berat badan
total, tapi pada istirahat otak mengkonsumsi 20% oksigen yang diambil. Laju
metabolisme basal untuk oksigen adalah 3,3 ml/100gr/menit dan untuk glukosa
4,5 mg/100 gr/menit. Keadaan ini relatif konstan pada saat tidur dan bangun. Otak
memerlukan pasokan substrat yang konstan karena metabolismenya yang tinggi.
Glukosa merupakan bahan bakar untuk jaringan saraf walaupun keton dapat
9
dipakai selama periode puasa dan ketoasidosis. Aliran darah otak dan laju
metabolisme serebral berlangsung bersama-sama. Peningkatan metabolisme akan
meningkatkan aliran darah otak.11
Pasien dengan cedera otak merupakan manifestasi dari trauma dengan angka
kematian 20-50% di Amerika dengan 85% dari kematian tersebut terjadi pada dua
minggu pertama setelah trauma. Sementara di San Paulo (1997) angka kejadian
cedera otak rata-rata 0,36% dari 1000 penduduk, dengan perkiraan angka
mortalitas 26-39%.10
Sehingga perlunya strategi untuk menjaga perfusi otak dan
mencegah hipoksia, hipotensi dan hipertensi intrakranial yang dapat menurunkan
resiko kematian dan memperbaiki angka kesembuhan dari COB.
Asfiksia atau obstruksi saluran napas atas adalah penyebab utama kematian
pada pasien COB. Cedera pada saraf kranial IX,X,XII dapat membahayakan
kemampuan pasien untuk mempertahankan jalan napas sehingga intubasi
endotrakeal dan ventilasi mekanis merupakan metode yang paling baik untuk
mempertahankan jalan napas dan tetap dipertahankan paska operasi sambil tetap
memantau tingkat kesadaran pasien, dengan tetap mempertahankan pasien tetap
tersedasi dengan analgetik opioid kuat.
B. Glukosa.
Organ-organ yang terlibat dalam homeostasis glukosa adalah otak, penkreas,
otot, jaringan lemak, hati dan daerah hepatoportal serta ginjal. Interaksi dari
semua organ ini untuk menstabilkan glukosa adalah kompleks. Glukosa masuk ke
dalam sel melalui dua cara; secara difusi atau transpor aktif. Cara difusi
membutuhkan alat transport glukosa yang spesifik (GLUTs)(GLUTs-1 sampai
GLUTs-12, H+/pembawa mioinositol dan natrium-dependen glukosa cotranspor
1-6) Insulin adalah salah satu dari beberapa hormon yang terlibat homeostasis
glukosa, merupakan yang terpenting. Meskipun demikian tidak semua sel
tergantung pada insulin untuk transpor glukosa. Transpor glukosa yang tidak
tergantung insulin terjadi di pankreas, otak dan sel endotelial. Sebaliknya, sel
yang glukosa transpornya tergantung pada insulin adalah otot skelet, otot jantung,
jaringan lemak(predominan GLUT-4) dan hati dimana pengambilan glukosanya
diregulasi terutama oleh GLUT-2. Karenanya suatu kondisi yang menyebabkan
10
penurunan jumlah sekresi insulin atau penurunan sensitivitas sel terhadap insulin
atau keduanya menyebabkan hiperglikemia.12,13
Gambar 1 .Organ utama yang terlibat dalam homeostasis glukosa ( dikutip dari: Herman MA, Kahn BB. Glucose transport and sensing in the maintenance of glucose homeostasis and metabolic harmony. J Clin Invest 2006;116:1767-75).
Respon stress bisa menganggu homeostasis serebral yang mana masih tetap
menjadi salah satu tujuan penting dari neuroanestesi. Lebih khusus, hiperglikemi
bisa menyebabkan kerusakan neurologis akibat peningkatan metabolisme
anaerobik. Pada neuroanestesia, pemberian preparat glukosa dihindari karena akan
memperburuk kerusakan otak pada periode iskemik. Aristedis dkk (2000) dalam
studi restropektif dengan 267 pasien cedera otak mendapatkan bahwa hasil terbaik
yang didapatkan pada pasien dengan kadar GD antara 145 mg/dl dan 180 mg/dl
dimana pada semua kelompok glukosa didapatkan bahwa pemberian insulin
berhubungan dengan resiko mortalitas.14,15
11
Hiperglikemi menekan fungsi imun (kemotaksis, fagositosis, mengaktifkan
oksigen reaktif spesifik, dan pemusnahan bakteri intraseluler) dan peningkatan
konsentrasi sitokin dalam sirkulasi. Beberapa pengaruh efek hiperglikemi
dilaporkan pada konsentrasi GD>200 mg/dl .16
C. Perubahan Metabolik Dan Nutrisi Pasien Cedera Otak.
Cedera otak akan menstimulasi pengeluaran berbagai hormon, termasuk jalur
hipotalamus-pituitary yang memproduksi adrenocorticotropin releasing
hormon(ACTH, growth hormon, prolactin, vasopressin, dan kortisol sebagai
respon alami terhadap stress. Glukagon dan katekolamin juga akan dilepaskan.
Meskipun katekolamin dapat mempertahankan tekanan darah dan curah
jantung(sehingga memperbaiki perfusi serebral), katekolamin juga meningkatkan
metabolisme basal, konsumsi oksigen, glikogenolisis, hiperglikemia, proteolisis,
dan muscle wasting. Hiperglikemia dan produksi laktat intraseluler dihubungkan
dengan oksigen reaktif, khususnya selama fase iskemik akut akibat cedera
otak.17,18
Perubahan level sitokin dan hormon merupakan bagian dari respon fase akut.
Sebagai contoh, proses infeksi di paru akan merusak monosit yang akan menjadi
makrofag pada bagian infeksi. Makrofag ini akan mengeluarkan protein berupa
sitokin dan peptide lain yang merusak sel darah putih dan menginisiasi respon
inflamasi. Sitokin terdiri dari tumor necrosis faktor-α (TNF-α), dan interleukin 1-
32. TNF-α dan sitokin lain bersirkulasi di hepar, dimana mereka menurunkan
sintesis albumin dan stimulasi sintesis protein fase akut seperti :1) C-reaktif
protein, yang meningkatkan fagositosis dan memodulasi respon imun seluler, 2)al-
antikimotripsin yang memperkecil kerusakan jaringan dari fagositosis dan
mengurangi koagulasi intravaskuler, dan 3) α2-makroglobulin, merupakan bentuk
kompleks dari protease dan mengubahnya dari sirkulasi, terdiri dari produksi
antibodi dan peningkatan granulopoiesis. TNF-α dan beberapa interleukin juga
bersirkulasi di otak dimana mereka berespon pada terjadinya demam dan stimulasi
hormon adrenokortikal dengan peningkatan pada serum kortisol.19
12
Respon fase akut pada sakit berat atau trauma merupakan salah satu dasar
utama pertahanan selama sakit. Secara philogenetik, respon ini dapat menjadi
pertimbangan utama dan hal itu sama dengan kerusakan pada trauma, luka bakar,
dan infeksi. Dapat meliputi distribusi dan metabolisme asam amino, peningkatan
sintesis protein di fase akut, peningkatan glukoneogenesis, penurunan level serum
besi dan zink, dan peningkatan level seruloplasmin. Demam dan balans nitrogen
yang negatif merupakan tindakan lanjutan pada perubahan ini.9,19
Pembagian klasik pada fase-fase respon inflamasi sistemik pada cedera otak
atau trauma merupakan sarana yang penting untuk menginterpretasikan kejadian
metabolik komplek yang terjadi selama trauma. Fase awal (Ebb Fase) merupakan
respon awal terhadap trauma dimana keadaan hemodinamik tidak stabil, dan pada
akhirnya akan terjadi hipermetabolisme. Fase awal ini biasanya berlangsung
selama 24 jam pertama. Pada fase ini terjadi penurunan penggunaan substrat dan
penurunan fungsi dari sel-sel sehingga mayoritas jaringan tubuh akan terdepresi.
Gejala klinis lainnya yang mungkin timbul mencakup hipotensi sistemik dan
aktivasi sistem saraf otonom(berkeringat, sianosis perifer, dan takikardia).
Pada fase berikutnya (Flow Fase) ditandai dengan peningkatan kardiak output
dan peningkatan kebutuhan energi dan eksresi nitrogen. Pada fase hipermetabolik
ini terjadi pelepasan insulin yang cukup tinggi tetapi efek insulin ini tidak terlihat
karena hormon-hormon anti insulin seperti glukagon, katekolamin serta kortisol
yang dilepaskan juga dalam kadar yang tinggi. Akibat ketidakseimbangan hormon
ini menghasilkan peningkatan mobilisasi asam amino dan asam lemak bebas dari
otot perifer dan jaringan lemak, dimana sebagian besar digunakan sebagai sumber
energi sedangkan yang lainnya akan dibentuk langsung menjadi glukosa dan
melalui proses di hepar menjadi trigliserida. Sementara itu keadaan
hipermetabolik akan melibatkan proses anabolik dan katabolik dan dengan hasil
akhir adalah kehilangan protein dan lemak yang sangat bermakna. Oleh karena itu
pemberian nutrisi sebaiknya diberikan pada Flow fase, sementara pada fase awal
hanya dilakukan resusitasi.3,20
Akan terjadi perubahan konsentrasi komponen fase akut, elektrolit, dan asam
amino setelah cedera otak dan mungkin akan memberikan pengaruh terjadinya
13
cedera otak sekunder dan penyembuhan cedera otak. Level serum Zinc biasanya
menurun pada cedera otak, akibat sekuestrasi hepar, dan peningkatan kliren renal.
Zinc merupakan bagian penting untuk metabolisme substrat, fungsi immun dan
fungsi reseptor N-methyl-D-aspartat(NMDA). Pemberian suplemen Zinc selama
lebih dari 1 bulan pasca cedera otak akan memperbaiki metabolisme protein dan
prognosis neurologik. Magnesium juga berperan sebagai neuroprotektor karena
aktivitas pada reseptor NMDA dan meningkatkan produksi energi seluler dan
influx kalsium.10, 17
Insulin-like growth factor binding protein-3 (IGFBP-3) biasanya juga
menurun, dimana akan meningkatkan klirens dan mengurangi aktifitas insulin-like
growth factor 1(IGF-1). Suplemen IGF-1 pada pasien cedera otak akan
mengurangi kejadian hiperglikemia dan memperbaiki penyimpanan protein.
Sementara glutamin, yang biasanya dihubungkan dengan berkurangnya
translokasi bakteri, akan meningkatkan sintesis glutamat. Glutamat akan
berinteraksi dengan reseptor NMDA yang dapat menyebabkan kematian sel
dengan pelepasan kalsium.10,17
Tabel 1 . perubahan metabolik dan imun akibat cedera kepala(dikutip dari Cook AM, Peppard A, Magnuson B. Nutrition consideration in traumatic brain injury. Nutrition in clinical practice. 2008; 23(6):608-17).
14
D. Perubahan Hormon.
Hiperglikemia dikenal sebagai komponen dari respon stress terhadap cedera, mempunyai efek buruk pada neuron. Mekanisme toksisitas secara invivo dari
hiperglikemia belum jelas. Mungkin melalui jalur eksotoksik atau sekunder
terhadap asidosis jaringan atau peningkatan laktat pada neutrofil. Hiperglikemia
setelah cedera mungkin dipacu oleh peningkatan katekolamin dan peningkatan
glukosa endogen yang diproduksi oleh hepar. Hasil akhirnya adalah peningkatan
kadar glukosa di ruang ekstraseluler. Tingkatan hiperglikemia berkorelasi dengan
beratnya cedera. 21,22
Hiperglikemia akan memperburuk defisit neurologis. Pada keadaan adanya
iskemik otak, kadar GD tinggi akan meningkatkan metabolisme anaerob sehingga
terjadi pembentukan laktat yang berlebihan. Keadaan asidosis laktat serebral ini
merangsang pembentukan radikal bebas dan selanjutnya terjadi kerusakan neuron.
Asidosis serebral juga menimbulkan vasodilatasi lokal dan hiperemia, edema
serebral, dan akhirnya kenaikan tekanan intrakranial. 23
Peningkatan serum kortisol adalah salah satu faktor yang berespon pada
peningkatan resistensi insulin. Resistensi insulin mudah didiagnosa karena pasien
dengan trauma akan terjadi peningkatan level glukosa darah (puasa >125 mg/dl
atau tidak puasa > 199 mg/dl). Sebagai tambahan pada kortisol, peningkatan
katekolamin, glukagon dan hormon pertumbuhan pada pasien cedera memberi
kontribusi pada peningkatan resistensi insulin. Semua hormon tersebut
meningkatkan tingkat produksi glukosa. Peningkatan level katekolamin pada
respon langsung, terjadi kerusakan jaringan/cedera dengan pengeluaran hormon
oleh kelenjar adrenal dan ganglia simpatis di seluruh tubuh. Level hormon
glukagon dan hormon pertumbuhan meningkat. Hormon tersebut juga
meningkatkan produksi glukosa oleh hati. 19,24
Sebagai respon normal dari cedera, kemampuan tubuh untuk mengubah
bentuk hormon tiroid, tiroksin (T4) ke bentuk aktif triidotironin (T3) menjadi
terganggu. Terjadi peningkatan konversi dari T4 menjadi bentuk tidak aktif dari
hormon tiroid yang dikenal sebagai reverse T3 (rT3) dibandingkan T3. Hal ini
dapat berkembang menjadi respon energi selama terjadi kerusakan jaringan atau
15
dalam keadaan sakit untuk mengurangi kontribusi T3 dalam meningkatkan
Resting Energi Expenditure (REE). 19
Respon cedera juga berhubungan dengan peningkatan sintesa protein dan
degradasi protein yang telah ditetapkan studi penelitian radioaktif asam amino.
Berbeda dengan peningkatan sintesa protein tubuh, protein massa otot biasanya
berkurang sehingga peningkatan jumlah sintesa protein dapat menghasilkan
protein fase akut, leukosit, komplemen, dan immunoglobulin. Leukosit
mempunyai waktu paruh 4-6 jam selama infeksi, sehingga sokongan nutrisi yang
adekuat sangat penting untuk perbaikan dan fungsinya. Hal ini diestimasi rata-rata
terpecah dan resintesis menjadi 400 gram protein per hari. 9,25
E. Kebutuhan Kalori.
Pasien dengan cedera berat kebutuhan energinya sekitar 120-250% diatas perkiraan kebutuhan energi basal berdasarkan perhitungan Harris-Benedict. Dengan pemberian sedatif, obat-obat paralise dan barbiturat dapat menurunkan
kebutuhan ini menjadi 76-120%.10
Namun perhitungan berdasarkan Harris
Benedict harus dikalikan dengan koreksi faktor stress yang ada. Penetapan REE (Resting Energy Expenditure)harus dilakukan sebelum pemberian nutrisi. REE
adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk mempertahankan
kehidupan pada kondisi istirahat dan 12-18 jam setelah makan. Perkiraan REE
yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian
nutrisi (overfeeding). Sehingga pada akhirnya orang lebih suka menghitung
kebutuhan energi dengan 25 kcal/kgBB/hari dan dibagi dalam 20% protein, 30%
lemak, dan 50% karbohidrat.26
16
Tabel 2. Kebutuhan makronutrisi orang dewasa(dikutip dari Roberts PR. Approach to nutritional support. In: Apostolakos MJ, Papadakos PJ, editor. The Intensive Care Manual. 2001. New york: McGraw-Hill Medical Publishing Division: 169-87). F. Nutrisi Enteral.
Nutrisi enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan di rumah
sakit untuk pasien kritis dan pada pasien-pasien yang tidak dapat makan secara
oral atau dengan intake oral yang tidak adekuat dengan keadaan saluran
gastrointestinal yang berfungsi dengan baik. 27
Gambar 2. Perjalanan nutrisi enteral( dikutip dari The DAA Nutrition Support Interest Group. Enteral nutrition manual for adults in health care facilities.2011:5-18).
17
Pemberian makanan enteral dini akan memberikan manfaat antara lain
memperkecil respon katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki
toleransi pasien, mempertahankan respon imunologik, lebih fisiologis dan
memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit. Nutrisi enteral
memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1
kkal/ml cairan
Kandungan makanannya harus seimbang, harus mengandung semua
komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak, vitamin,
mineral, dan element lain yang memenuhi jumlah kebutuhan
Memiliki osmolalitas yang sama dengan osmolalitas cairan tubuh.
Osmolalitas yang ideal untuk nutrisi enteral adalah 350-400 mOsm sesuai
dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler.
Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat nutrisi enteral sebaiknya terdiri
dari komponenen-komponen yang siap diabsorbsi atau paling tidak hanya
sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorbsi.
Tanpa atau kurang mengandung laktosa, menghindari terjadinya
intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita malnutrisi. Paling
tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya.
Bebas dari bahan-bahan yang dapat menghasilkan purin dan kolesterol
The American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) dan Canadian Clinical Practice Guidelines (CCPG) merekomendasikan bahwa terapi
nutrisi pada cedera otak sebaiknya dimulai lebih awal; antara 24-48 jam sejak
perawatan ICU, sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil. Sementara European Society for parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN)
merekomendasikan terapi nutrisi enteral sebaiknya dimulai setelah 24 jam jika
memungkinkan. 10
Ada juga kepustakaan yang mengatakan bahwa sebaiknya nutrisi enteral
dimulai jika aspirasi residu gaster kurang dari 400 cc per hari, dan tidak ada
kontraindikasi khusus. Dimulai dengan pemberian nutrisi 25 cc per jam, dan
ditingkatkan setiap 12 jam sampai dicapai target 100 cc per jam.4
18
Pemberian nutrisi dini dapat menurunkan sekresi hormon katabolik, juga
dapat mempertahankan berat badan dan massa otot, serta dihubungkan dengan
proliferasi kuman yang minimal sehingga dapat mengurangi translokasi kuman.
Penegakan status nutrisi juga amat penting sebelum pemberian terapi nutrisi.
Pengukuran berat badan, tinggi, indeks massa tubuh sangat penting. Pemeriksaan
serum albumin darah, prealbumin, transferin dan hitung limfosit dapat juga
digunakan penegakan status nutrisi. Namun protein darah sangat dipengaruhi oleh
hidrasi dan hiperkatabolik dan akan menurun secara nyata dalam dua minggu
pertama setelah COB. Keseimbangan nitrogen juga merupakan metode praktis
untuk mengetahui status nutrisi protein.10,26
Atoni gaster dan gangguan pengosongan lambung yang sering terjadi pada
pasien cedera otak menyebabkan pemberian nutrisi enteral dini sulit. Pemberian
agent prokinetik seperti metoclorpramid atau eritromisin dapat diberikan untuk
meningkatkan motilitas gaster. Diare bisa terjadi akibat pemberian nutrisi enteral,
dapat diatasi dengan pemberian formula yang berbeda. Namun diare persisten
kemungkinan akibat infeksi Clostridium Difficile terutama pasien yang mendapat
antibiotik multipel. Loperamid (2 mg) setiap 500 cc makanan dan setiap setelah
diare, merupakan terapi yang efektif. 4,5
Komplikasi pemberian nutrisi enteral
lainnya adalah banyaknya residu volume gaster, regurgitasi dan aspirasi, ulserasi
bagian hidung, dan kontaminasi dari bahan nutrisi itu sendiri. ASPEN dan CCPG
merekomendasikan agar selalu meninggikan posisi kepala di tempat tidur pada
pasien-pasien kritis yang mendapat nutrisi enteral. Sebaiknya mempertahankan
posisi kepala 30-45 jika tidak ada kontraindikasi medis dan tetap mempertahankan
posisi kepala lebih di atas selama 30 menit setelah pemberian nutrisi.10,28
Pasien yang menerima nutrisi enteral sebaiknya tetap dimonitoring terutama
insersi NGT nya, maintenance keseimbangan metabolik, deteksi awal terjadinya
komplikasi akibat pemberian nutrisi enteral, juga tetap memonitor kadar Gula
darah sewaktu (GDS) setiap 4-6 jam serta kadar elektrolit. 28
Pemberian nutrisi enteral sebaiknya diatur sesuai dengan usia pasien, penyakit
primer, status nutrisi, alat akses nutrisi enteral tersebut, serta kondisi dari saluran
19
gastrointesinalnya sendiri. Teknik pemberian nutrisi enteral dapat diberikan secara
intermitten atau secara kontinyu, ataupun dengan teknik kombinasi keduanya.
Gejala seperti mual, muntah, distensi abdominal, dan eliminasi feses dan
peningkatan residu gaster merupakan tanda adanya gangguan motilitas
gastrointestional. ASPEN merekomendasikan residu gaster diukur setiap 4 jam
selama pemberian nutrisi dan nutrisi tetap diberikan jika residu kurang dari 500 cc
per hari dan tidak ada tanda-tanda lain intoleransi makanan.10
Ada juga
kepustakaan lain yang mengatakan bahwa tanda-tanda intoleransi ditegakkkan
bila ditemukan residu NGT lebih dari 200 cc/jam.28
Terdapat dua cara untuk
mengukur residu volume gaster : pertama dengan sistem gravitasi ( biarkan ujung
dari tube NGT berada dibawah level abdomen selama 10 menit), yang kedua
dengan cara mengisap (suction) dengan menggunakan spoit 50 ml.10
G. Nutrisi Enteral Kontinyu.
Nutrisi enteral kontinyu adalah pemberian makanan enteral selama 24 jam
secara kontinyu baik dengan pompa makanan maupun dengan drip gravitasi. 27
Nutrisi enteral kontinyu dengan volume rendah seringkali digunakan dalam tahap
awal pemberian nutrisi enteral dan teknik ini dianggap paling sesuai untuk pasien
penyakit kritis dibanding dengan teknik lainnya. Saat nutrisi postpilorik
dibutuhkan, maka nutrisi kontinyu lebih dapat ditoleransi dibanding nutrisi
intermitten. Formula ini sebaiknya diganti atau diisi ulang setiap 4 jam per 24 jam
tergantung sistem yang digunakan.27,29
Nutrisi enteral kontinyu yang direkomendasikan oleh ASPEN dimulai
dengan kecepatan 10-40 ml per jam. Dapat ditingkatkan 10-20 ml per jam setiap
8-12 jam sampai kebutuhan energi target tercapai. 10,29
Jika tidak tersedia enteral
pump dapat menggunakan gravity bag. Dengan mengatur roda klemnya kita dapat
mengatur tetesan formula enteral per menitnya. Metode ini tidak mahal dan
kecepatan drip formula enteralnya dapat dicek secara teratur untuk memastikan
kecepatan formula yang kita berikan.
20
Tabel 3. Kecepatan jumlah tetesan sesuai dengan volume per jam yang akan diberikan ( dikutip dari The DAA Nutrition Support Interest Group. Enteral nutrition manual for adults in health care facilities.2011:5-18).
Jumlah (ml/jam) Jumlah tetesan/menit
25 7
50 13
75 20
100 27
125 33
150 40
175 47
200 53
H. Nutrisi Enteral Intermittent.
Nutrisi enteral intermitten adalah pemberian makanan enteral selama 4-16
jam saat siang dan malam hari dihentikan pemberiannya. Karena periode
pemberian makanan lebih pendek, maka dibutuhkan jumlah pemberian yang lebih
banyak setiap kali pemberian.
Keuntungan pemberian nutrisi intermitten ini adalah
- Mengijinkan pasien memiliki mobilitas lebih banyak.
- Sebagai transisi dari nutrisi enteral kontinyu menjadi nutrisi enteral bolus,
atau bahkan ke intake oral.
- Pemberian makanan siang hari lebih menurunkan resiko aspirasi karena
sulit mempertahankan elevasi kepala 30 saat malam hari.
- Pemberian makanan siang hari lebih fisiologis dan mungkin memberi
keuntungan seperti membantu menstabilkan siklus diurnal, meningkatkan
motilitas gastrointestinal dan meningkatkan keasaman
lambung(meningkatkan perlawanan terhadap bakteri).
Sementara kerugian dari nutrisi intermitten ini bila dibandingkan dengan
nutrisi kontinyu, nutrisi intermitten membutuhkan kecepatan infus yang jauh lebih
cepat, hal ini mungkin kurang bisa ditoleransi sehingga beresiko menyebabkan
refluks, aspirasi, distensi abdomen, diare, dan nausea.27
21
I. Nutrisi Untuk Kontrol Gula Darah
Terdapat beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa intoleransi nutrisi
enteral pada pasien-pasien dengan penyakit kritis dihubungkan dengan kontrol
GD kurang optimal. Kontrol GD yang lebih ketat dapat memperbaiki angka
harapan hidup dan memperbaiki toleransi terhadap nutrisi enteral. Hiperglikemia
merupakan efek yang merugikan pada gangguan pengosongan lambung sehingga
dapat menyebabkan gastroparesis. Hiperglikemia umum terjadi pada pasien
penyakit kritis. Faktor-faktor yang berperan termasuk meningkatnya sekresi
hormon-hormon counterregulatory ( misalnya katekolamin, kortisol, hormon
pertumbuhan, glukagon) yang mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis dan
glikogenolisis, juga resistensi insulin yang terjadi akibat peningkatan kadar
sitokin. Peningkatan level GD dapat merusak fungsi imun melalui penurunan
adhesi, kemotaksis, fagositosis, dan kemampuan membunuh mikroba oleh
neutrofil dan juga terjadi glikosilasi imunoglobulin. ASPEN merekomendasikan
utuk mempertahankan GD antara 110-150 mg/dL selama pemberian nutrisi,
karena jika glukosa terlalu rendah dapat mencetuskan terjadinya hipoglikemia.
10,30,31,32
Kontrol GD dengan insulin tanpa pemberian kalori dan karbohidrat akan
meningkatkan resiko hipoglikemia. Strategi untuk mengontrol GD secara ketat
sebaiknya hati-hati dan dikoordinasikan dengan level pemberian nutrisi dan status
metabolik, dimana seringkali mengalami perubahan terutama pada pasien kritis
bedah syaraf. Penelitian terakhir memperlihatkan pengaruh pemberian nutrisi
enteral pada metabolisme otak dengan menggunakan mikrodialisa pada pasien Sub Arachnoid Hematom (SAH). Dua jam setelah pemberian 250 kcal melalui
pipa nasoyeyenum, terdapat penambahan level glukosa di darah dan di daerah
ekstraseluler serebral tanpa terjadi perubahan konsentrasi glutamat. 6
Stress hiperglikemia menginduksi kerusakan motilitas usus sebagai akibat
dari beberapa faktor seperti sitokin yang merupakan hasil produksi inflamasi,
stress oksidatif, vasoaktif peptida intestinal, hipoperfusi splanik, dan obat-obatan
seperti fenitoin, steroid, dan opioid. Gastroparesis akut menyebabkan gangguan
nutrisi yang akan menyebabkan terjadinya fluktuasi kadar GD, sehingga dapat
22
memperberat penyakit. 6 Peningkatan fluktuasi GD tidak hanya meningkatkan
angka mortalitas, tapi juga meningkatkan angka morbiditas, seperti infeksi
nosokomial, lama rawat di rumah sakit.
Telah diketahui dengan baik bahwa apapun bentuk penyakitnya, akut
ataupun trauma dapat menyebabkan resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan
hiperglikemia. Penyakit ataupun trauma dapat meningkatkan produksi glukosa
oleh hepar bersamaan dengan berjalannya proses glukoneogenesis meskipun
terjadi hiperglikemia dan penghambatan pelepasan insulin. Terdapat resistensi
insulin pada hepar dan pada otot skelet, sebagaimana halnya pada jantung,
pengambilan glukosa yang distimulasi oleh insulin mengalami kerusakan.
Pengambilan glukosa oleh pasien penyakit kritis, akan tetapi, terjadi peningkatan
tapi tempatnya terutama pada jaringan yang tidak tergantung pada insulin untuk
pengambilan glukosa seperti sistem syaraf dan sel darah merah. Resistensi insulin
pada stress dan penyakit kritis dikarakteristikkan dengan peningkatan kadar IGF-
binding protein 1 (IGFBP-1)pada sirkulasi. Telah dilakukan observasi bahwa
kasus yang paling berat dari respon stress termasuk hiperglikemia dan
meningkatkan kadar IGFBP-1 dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan
meningkatnya kematian pasien. Respon hormon counterregulatory, pelepasan
sitokin dan sinyal dari sistem syaraf, semuanya berpengaruh terhadap jalur
metabolik glukosa. Hormon yang terlibat termasuk katekolamin, kortisol,
glukagon, dan hormon pertumbuhan. Sitokin proinflamasi mempengaruhi
homeostasis glukosa secara tidak langsung, dengan merangsang sekresi hormon
counterregulatory secara langsung, dengan mengurangi sinyal reseptor insulin.
Kenyataannya, baik katekolamin endogen maupun eksogen pada penyakit kritis
akan menghambat sekresi insulin dari sel-sel α. Katekolamin juga menekan efek
antiinsulin. 33,34
Fluktuasi kadar GD yang tinggi akan mencetuskan hiperglikemia. Efek ini
mungkin dicetuskan oleh perubahan besar osmolaritas dan kemudian akan
mempengaruhi fungsi sel dan organ. Peningkatan stress oksidatif dapat
menyebabkan disfungsi endotelial dan pada akhirnya akan merusak vaskuler.
Stress oksidatif mungkin merupakan salah satu mekanisme yang mencetuskan
23
vasokonstriksi, trombosis mikrovaskuler, dan inflamasi yang dihubungkan dengan
hiperglikemia dan variasi GD. Perubahan mendadak dari level glukosa juga dapat
menginduksi adhesi monosit pada sel endotelial. Alasan lain mengapa variasi GD
yang tajam dihubungkan dengan keparahan pasien ICU yaitu terjadinya
hipoglikemia yang tidak terdeteksi. Karena itu perlunya monitoring kontinyu
kadar GD untuk mencegah fluktuasi GD yang ekstrim dan dapat memelihara
kadar GD yang optimal tanpa menyebabkan hipoglikemia. 35
Karena hiperglikemia merupakan faktor resiko terhadap mortalitas dan
morbiditas, pemberian insulin sangat efektif menurunkan kadar gula darah dan
efektif dalam menurunkan mortalitas, tingkat infeksi berat, gagal ginjal akut,
transfusi sel darah merah, durasi pemakaian ventilator, dan lama rawat. Insulin
memiliki efek anabolik dan antikatabolik yang memegang peranan penting pada
metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak. Di ICU, infus intravena merupakan
rute terpilih untuk pemberian insulin dan infus insulin intravena secara kontinyu
terlihat merupakan metode yang efektif untuk mencapai target glikemik spesifik.
Oleh karena waktu paruh insulin yang sangat singkat, pemberian secara intravena
membolehkan penyesuaian dosis dengan cepat.31,32
Target optimal GD untuk pembedahan umum, pasien trauma, dan luka bakar
masih belum jelas. Sekarang ini, studi yang berbeda telah dilakukan yakni
membandingkan kelompok intensif (biasanya 80-110 mg/dL) versus kelompok
konvensional (biasanya <200 mg/dL atau 180-200 mg/dL). RCT terbesar,
penelitian NICE (Normoglycaemia in Intensive Care Evaluation)-SUGAR
(Survival Using Glucose Algorithm Regulation), menemukan peningkatan
mortalitas pada kelompok insulin intensif. Semua penelitian memperlihatkan
peningkatan signifikan insiden hipoglikemia (yang didefinisikan sebagai glukosa
<40 mg/dL atau <50 mg/dL) pada kelompok insulin intensif dibandingkan
kelompok konvensional. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh penelitian
ini, jelas bahwa mempertahankan hampir euglikemia berbahaya pada populasi
pasien penyakit kritis. Berdasarkan informasi yang tersedia sekarang, American
Diabetic Association(ADA)/ American Association of Clinical Endocrinologist
24
(AACE) merekomendasikan rentang target yaitu 140-180 mg/dL untuk pasien
penyakit kritis.31,36,37
Tabel 4. Regular Insulin “Sliding Scale” (RISS) (dikutip dari Inzucchi SE. Regular Insulin “Sliding Scales” (RISS). In : Diabetes Facts and Guidlines. Yale Diabetes center. 2011: 12-13).
Blood glukosa Highly Insulin Normal Insulin Highly Insulin
(mg/dL) Sensitive Sensitivity (for most Resistant
patients)
<150 0 U 0 U 0 U
150-199 1 U 2 U 3 U
200-249 2 U 4 U 6 U
250-299 3 U 6 U 9 U
300-349 4 U 8 U 12 U
>350 5 U 10 U 15 U
J. Hipotesis Penelitian
Pemberian nutrisi enteral kontinyu akan mengurangi fluktuasi kadar GD dibandingkan dengan pemberian enteral intermitten pada pasien COB pascabedah
yang dirawat di ICU.
25
KERANGKA TEORI.
COB + Respon Stress Pembedahan
Pelepasan katekolamin dan
hormon/mediator inflamasi
Resistensi Insulin Hipermetabolik
/hiperkatabolik
Hiperglikemia Gastroparesis akut
Nutrisi Enteral Fluktuasi level Gula Nutrisi Enteral
Intermitten darah Kontinyu
Meningkatkan mortalitas dan morbiditas
26
BAB III
KERANGKA KONSEP
NUTRISI
ENTERAL
KONTINYU CEDERA OTAK BERAT GDS
NUTRISI ENTERAL
INTERMITTEN
UMUR
BB
: variabel bebas
: variabel tergantung
: variabel antara
: variabel kontrol
27
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal (single blind
randomised control trial)
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar dan di RS
jejaring di Makassar mulai Juni 2013.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien COB pascabedah yang dirawat di ruangan
ICU RS dr.Wahidin Sudirohusodo dan di ICU RS jejaring di Makassar selama
masa penelitian.
Sampel adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
setuju untuk ikut dalam penelitian, yang diambil dengan metode consecutive
sampling. Pembagian kelompok sampel dilakukan secara acak melalui
pengundian dengan amplop berkode.
D. Perkiraan Besar Sampel
Perkiraan besar sampel dengan menggunakan rumus kategorikal tidak
berpasangan, dimana Zα = 1,96, Zβ = 1,64, P1 (kekuatan/power penelitian sebelumnya) = 0,8, P2 ( clinical judgement) = 0,5 maka diperoleh besar sampel
+ Zβ ( √
n1= n2 = [ Zα √ 2PQ P1Q1 + P2Q2 ) ] 2
dimana : Zα : deviasi baku α
Zβ : deviasi baku β
P1 : kekuatan (power) penelitian sebelumnya.
P2 : clinical judgement.
28
Berdasarkan rumus diatas didapatkan jumlah sampel 21 untuk tiap kelompok.
Ditambah 10% kemungkinan drop out maka jumlah sampel yang diperlukan
adalah 23 untuk tiap kelompok.
E. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
1. Kriteria Inklusi.
a. Pasien COB pascabedah yang dirawat di ruangan ICU.
b. Keluarga pasien setuju untuk ikut serta dalam penelitian dan
menandatangani surat persetujuan penelian.
c. Umur pasien berkisar antara 16-64 tahun.
d. Berat badan antara 50-75 kg.
e. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat
2. Kriteria Eksklusi.
a. Pasien dengan riwayat penyakit Diabetes Mellitus (DM).
b. Pasien dengan riwayat penggunaan steroid lama.
c. Pasien COB disertai multi organ trauma.
3. Kriteria Drop Out.
a. Karena suatu hal keluarga pasien mengundurkan diri dari penelitian.
b. Terjadi tanda-tanda intoleransi berat terhadap nutrisi enteral sehingga
pemberian nutrisi enteral tidak dapat dilanjutkan.
F. Ijin Penelitian dan Rekomendasi Persetujuan Etik.
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan kelaikan
etik(ethical cleareance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Manusia
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua keluarga pasien yang
memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani
29
lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian secaraa sukarela. Bila karena suatu
alasan tertentu, keluarga pasien berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian
ini.
G. Metode Kerja.
1. Alokasi subyek.
a. Kelompok K (nutrisi enteral kontinyu), yaitu subyek yang mendapatkan
nutrisi enteral kontinyu 25 Kkal/kgBB/24 jam dengan menggunakan
gravity bag yang diberikan 50% dari total kebutuhan kalorinya pada 24
jam pertama, 75% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam kedua, dan
100% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam ketiga.
b. Kelompok I (nutrisi enteral intermitten), yaitu subyek yang mendapatkan
nutrisi enteral intermitten 25 Kkal/kgBB/24 jam dibagi dalam 6 kali
pemberian dengan cara bolus dengan menggunakan spoit 50 cc selama 15
menit, yang diberikan 50% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam
pertama, 75% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam kedua, dan
100% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam ketiga.
2. Cara Kerja.
a. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi setelah berada di ruangan ICU,
dilakukan pengambilan data dan pengukuran perkiraan berat badan
berdasarkan tinggi badan.
b. Pasien dikontrol dengan ventilator yang diatur sesuai prosedur standar di
ICU.
c. Kemudian diberikan juga sedasi dan analgetik opioid pascabedah sesuai
dengan prosedur standar di ICU. Diberikan juga obat golongan proton
pump inhibitor untuk mencegah ulkus peptik.
d. Setelah 24 jam pascabedah, sebelum pemberian nutrisi, dilakukan
pengukuran kadar GDS basal pasien kedua kelompok.
e. Secara acak sederhana, pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok K
yang mendapatkan perlakuan pemberian nutrisi enteral secara kontinyu 25
30
Kcal/kgBB/24 jam yang pada 24 jam pertama hanya diberikan nutrisi 50%
dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua diberikan 75% dari total
kebutuhan kalori, dan pada 24 jam ketiga diberikan 100% dari total
kebutuhan kalori, dengan menggunakan gravity bag. Sementara kelompok
I yang mendapatkan perlakuan pemberian nutrisi enteral secara intermitten
25 Kcal/KgBB/24 jam dibagi dalam 6 kali pemberian , yang pada 24 jam
pertama hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua
diberikan 75% dari total kebutuhan kalori , dan pada 24 jam ketiga
diberikan 100% dari total kebutuhan kalori dengan menggunakan spoit 50
cc dengan cara bolus selama 15 menit. f. Kadar GDS kedua kelompok diukur setiap 4 jam per 24 jam pada
pemberian nutrisi 50%,75%, dan 100% dari total kebutuhan kalorinya. g. Jumlah residu NGT kedua kelompok juga diukur setiap 4 jam per 24 jam
dengan cara melakukan pengisapan aktif melalui pipa NGT. h. Jika dalam waktu 72 jam pengumpulan data, ternyata kadar GDS baik
kelompok I maupun kelompok K menunjukkan angka 200 gr/dL selama
pengukuran 2 kali berturut-turut, maka diberikan insulin berdasarkan tabel
RISS.
31
H. Alur Penelitian.
Subyek yang memenuhi kriteria inklusi
Atur ventilator mode PCV RR 20x/menit, TV 6cc/kgBB, PEEP
5 mmH2O, I:E ratio=1:2,FiO2 70-100% Berikan sedasi dengan midazolam 0,05 mg/KgBB/jam/SP, dan analgetik pascabedah dengan
fentanyl 0,5 mcg/KgBB/jam/SP, omeprazole 40 mg/24 jam/iv
Setelah 24 jam pascabedah, ukur kadar GDS
basal kedua kelompok(T0)
Pemberian nutrisi enteral
Nutrisi enteral Nutrisi enteral
intermitten(kelompok I) 25
kontinyu(kelompok K) 25
Kcal/KgBB/hari dibagi
Kcal/KgBB/hari yang
dalam 6 kali pemberian,
diberikan 50%, 75%, 100%
yang diberikan50%, 75%,
dari total kebutuhan
100% dari total kebutuhan
kalorinya
Pengukuran kadar GDS pada jam ke-
4, 8, 12, 16, 20, dan ke-24 selama 3
hari(T1,T2, dst)
Ukur residu NGT per 4 jam selama 72
jam observasi
Pengumpulan data
Analisa dan pengolahan data
32
Keterangan :
T0 : 24 jam setelah pasien di ruangan ICU, sebelum diberikan nut-
risi.
T1 : Waktu 4 jam setelah diberikan nutrisi enteral awal.
T2 dan seterusnya : Waktu setiap 4 jam setelah T1 selama 72 jam observasi.
I. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel
1. Identifikasi Variabel
a. Nutrisi enteral kontinyu.
b. Nutrisi Enteral intermitten
c. Cedera Otak Berat
d. Kadar GDS
e. Umur
f. Berat badan
2. Klasifikasi Variabel
a. Berdasarkan jenis variabel.
1. Variabel kategorika : Cedera Otak Berat
2. Variabel numerik : Umur, Berat badan, kadar GDS.
b. Berdasarkan Peran/Fungsi Variabel.
1. Variabel bebas : Nutrisi enteral kontinyu, nutrisi enteral intermitten.
2. Variabel tergantung: Kadar GDS
3. Variabel antara : Cedera Otak Berat
4. Variabel kendali : Umur, Berat badan..
33
J. Defenisi Operasional
Karakteristik penderita : data pribadi dari keluarga pasien seperti umur, berat
badan, riwayat DM, dan riwayat kejadian trauma.
Umur : usia pasien sesuai tanggal lahir yang tercantum di
status pasien yang dikonfirmasikan dengan keluarga
pasien.
Berat badan : dihitung berdasarkan Predicted Body Weight
- laki-laki : 50 + [2,3x(tinggi badan dalam inci – 60)]
- perempuan: 45,5 + [2,3x(tinggi badan dalam inci –
60)].
Kadar GDS : kadar glukosa darah sewaktu yang diperiksa dengan
menggunakan glucoDr, dengan nilai normal pada
pasien kritis adalah 140-180 gr/dL.
Nutrisi enteral kontinyu : pemberian nutrisi enteral(peptisol) secara kontinyu
dengan menggunakan gravity bag dengan total
kebutuhan kalori 25 Kcal/KgBB/hari, yang diberikan
pada hari ke-1 sebanyak 50% dari total kebutuhan
kalorinya, hari ke-2 diberikan 75% dari total
kebutuhan kalorinya, dan hari ke-3 diberikan 100%
dari total kebutuhan kalorinya.
Nutrisi enteral intermitten : pemberian nutrisi enteral(peptisol) secara intermitten
dengan menggunakan spoit 50 cc secara bolus dengan
total kebutuhan kalorinya 25 Kcal/KgBB/hari yang
dibagi dalam 6 kali pemberian, dimana hari ke-1
hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalorinya,
hari ke-2 diberikan 75% dari total kebutuhan
kalorinya, dan hari ke-3 diberikan 100% dari total
kebutuhan kalorinya.
Cedera Otak : cedera otak diklasifikasikan berdasarkan Glasgow
Coma Score (GCS). GCS adalah skala untuk
34
mengukur kesadaran seseorang, dan merupakan
standar Internasional dan dipergunakan secara luas di
Indonesia. Tiga fungsi utama GCS yang dinilai yaitu :
-Eye (respon membuka mata)
-Verbal (respon suara atau kemampuan bicara)
-Motorik ( respon gerakan)
K. Kriteria Obyektif
1. Usia dinyatakan dalam tahun. 2. Berat badan dinyatakan dalam satuan Kg. 3. Kadar GD dinyatakan dalam satuan gr/dL 4. Nutrisi enteral intermitten (peptisol) dinyatakan dalam Kcal. 5. Nutrisi enteral kontinyu (peptisol) dinyatakan dalam Kcal. 6. Cedera Otak Berat bila skor GCS 8
Respon membuka mata (E)
4 : Buka mata spontan
3 : Buka mata bila ada rangsangan suara
2 : Buka mata bila ada ramgsang nyeri
1 : Tidak buka mata walaupun dirangsang apapun
Respon suara atau kemampuan bicara (V) 5
: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 : Bingung, disorientasi waktu, tempat, orang
3 : Dengan rangsangan hanya ada kata-kata tetapi tidak berbentuk kalimat
2 : Dengan rangsangan hanya ada suara tetapi tidak berbentuk kata-kata 1
: Tidak ada suara walaupun dirangsang apapun
Respon Gerakan lengan/tungkai(M)
6 : Mengikuti perintah
35
5 : Melokalisir nyeri (menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri
4 : withdraws (menghindar/menarik ekstremitas atau tubuh menjauhi stimulus
saat dirangsang nyeri
3 : fleksi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada dan
kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri.
2 : ekstensi abnormal (tangan satu atau keduanya ekstensi disisi tubuh, dengan
jari mengepal dan kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri.
1 : tidak ada respon gerakan walau dirangsang apapun
Klasifikasi skor GCS jika dihubungkan dengan cedera otak
- Cedera Otak Ringan : bila skor 13-15
- Cedera Otak Sedang : bila skor 9-12
- Cedera Otak berat : bila skor 8
L. Pengolahan data dan analisa data.
Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk narasi,
tabel atau grafik. Analisis statistik menggunakan piranti statistik elektronik. Bila
simpangan baku sangat beragam, data parametrik diuji dengan t test dan one
sample test, data non parametrik diuji dengan uji Mann-Whitney. Tingkat
kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05.
M. Jadwal Penelitian.
Penelitian ini akan mulai dilaksanakan pada periode Juli 2013 sampai sampel
terpenuhi.
36
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Juli sampai dengan
Agustus 2013 dan diperoleh 46 pasien yang keluarganya bersedia mengikuti
penelitian dan memenuhi kriteria inklusi. Empat puluh enam pasien tersebut
kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan
nutrisi enteral kontinyu 25 Kkal/kgBB/24 jam dengan menggunakan gravity bag
dan kelompok yang mendapatkan nutrisi enteral intermitten 25 Kkal/kgBB/24 jam
dibagi dalam enam kali pemberian dengan menggunakan spoit 50 cc dengan cara
bolus selama 15 menit. Setiap kelompok terdiri atas 23 sampel penelitian.
A. KARAKTERISTIK SAMPEL PENELITIAN
Karakteristik sampel penelitian kedua kelompok meliputi umur, tinggi badan,
berat badan, dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5 dan 6.
Dari tabel 5 tampak bahwa untuk kategori umur didapatkan nilai rerata umur
untuk kelompok kontinyu 30,6 (SD 13,2) dan kelompok intermitten 32,7 (SD
13,8). Dari analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara
kedua kelompok (p = 0,598).
Untuk kategori tinggi badan didapatkan nilai rerata pada kelompok kontinyu
64,5 (SD 2,5) dan kelompok intermitten 63,9 (SD 2,0). Berdasarkan analisis
statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p =
0,3444).
Untuk kategori berat badan didapatkan nilai rerata pada kelompok kontinyu
58,9 (SD 6,5) dan kelompok intermitten 57,3 (SD 5,7). Berdasarkan analisis
statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p =
0,428).
37
Tabel 5. Perbandingan sebaran umur, tinggi badan, dan berat badan pada kedua kelompok
Kelompok
Variabel Studi (n=23) Kontrol (n=23)
Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD
Umur1)
16 60 30,6 13,2 16 60 32,7 13,8
TB2) 60,2 69,0 64,5 2,5 61,0 66,8 63,9 2,0
BB3)
50 70 58,9 6,5 48 66 57,3 5,7
Mann-Whitney test 1) p = 0,598
2) p = 0,344
3) p = 0,428
Keterangan :
Umur, tinggi badan dan berat badan tidak berbeda bermakna antara kedua
Kelompok kontinyu dan intermitten. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua
kelompok sampel adalah homogen dalam hal umur, tinggi badan, dan
berat badan.
Jenis kelamin laki-laki atau perempuan, dianalisa dengan uji Chi-Square untuk
menilai perbedaan proporsi antar kedua kelompok penelitian. Pada kelompok
kontinyu, laki-laki sebanyak 15 orang (65,2%) dan perempuan sebanyak 8 orang
(34,8%). Pada kelompok intermitten, laki-laki sebanyak 14 orang (60,9%) dan
perempuan sebanyak 9 orang (39,1%). Berdasarkan analisis statistik tidak
didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,760).
Tabel 6. Perbandingan sebaran jenis kelamin pada kedua kelompok. Kelompok
Jenis Kelamin Studi (n=23) Kontrol (n=23) P*
n % n %
Laki-Laki 15 65,2% 14 60,9% 0,760
Perempuan 8 34,8% 9 39,1%
* Uji Chi Square test
38
Keterangan :
Sebaran proporsi jenis kelamin tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok kontinyu maupun intermitten.
Dari kedua tabel diatas menunjukkan bahwa kedua sampel adalah homogen
berdasarkan karakteristik. Dengan demikian hasil analisis perbandingan yang
dilakukan dibawah ini dianggap tidak dipengaruhi oleh karakteristik sampel.
B. KADAR GULA DARAH SEWAKTU
Karakteristik kadar gula darah sewaktu pada kedua kelompok penelitian dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 7. Perbandingan sebaran kadar GDS basal pada kedua kelompok
Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten
P*
Mean SD Mean SD
T0 155,130 12,538 159,522 14,578 0,279
* Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna. Keterangan :
Sebaran proporsi kadar GDS basal tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua kelompok sampel adalah homogen dalam hal kadar GDS basal.
39
159,522
160
159
158
157
GDS 156 155,130
(gr/dl)
155
154
153
152
Kontinyu Intermitten
Gambar 3. Perbandingan sebaran kadar GDS basal antara kedua kelompok
Berdasarkan tabel 7 dan gambar 3, nilai rerata kadar GDS basal pada
kelompok kontinyu 155,30 (SD 12,538) dan pada kelompok intermitten 159,522
(SD 14,578). Setelah diuji dengan uji T-Test didapatkan p = 0,279, yakni tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna.
Hasil penelitian tentang kadar GDS pada 24 jam pertama, 24 jam kedua, dan
24 jam ketiga pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 8, 9, 10 dan juga
diperlihatkan pada gambar 4, 5, dan 6.
Tabel 8. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam pertama pada kedua kelompok
Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten
P*
Mean SD Mean SD
T1 156,087 10,282 159,043 16,316 0,466
T2 151,391 6,444 156,783 12,295 0,069
T3 150,130 5,319 153,435 13,218 0,272
T4 149,261 5,586 153,304 12,521 0,164
T5 153,783 9,568 157,044 13,907 0,359
T6 152,304 7,169 157,696 13,723 0,102
* Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna
40
160 159,043
158 156,783 157,044 157,696
156 156,087
154 153,435 153,304
152 151,391 153,783
GDS
150
150,130
152,304
(gr/dl)
148
149,261
146
144
T1 T2
T3
T4
T5
T6
Kontinyu
Intermitten
Gambar 4. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam pertama pada kedua kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jam ke-4 pada kelompok kontinyu
didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 156,087 (SD = 10,282) sedangkan pada
kelompok intermitten 159,043 (SD = 16,316). Pada jam ke-8 pada kelompok
kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 151,391 (SD = 6,444)
sedangkan pada kelompok intermitten 156,783 (SD = 12,295). Pada jam ke-12
pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 150,130 (SD =
5,319) sedangkan pada kelompok intermitten 153,435 (SD = 13,218). Pada jam
ke-16 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 149,261
(SD =5,586) sedangkan pada kelompok intermitten 153,304 (SD = 12,521). Pada
jam ke-20 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah
153,783 (SD = 9,568) sedangkan pada kelompok intermitten 157,004 (SD =
13,907). Sementara pada jam ke-24 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai
rerata kadar GDS adalah 152,304 (SD = 7,169) sedangkan pada kelompok
intermitten 157,696 (SD = 13,723). Dari analisis statistik tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna kadar GDS 24 jam pertama pada kedua kelompok ( p >
0,05).
41
Tabel 9. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam kedua pada kedua kelompok.
Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten
P
Mean SD Mean SD
T7 148,913 6,374 166,261 17,625 0,000
T8 147,304 7,678 161,826 14,779 0,000
T9 150,000 6,701 168,652 14,370 0,000
T10 150,565 6,066 162,043 14,121 0,001
T11 150,739 8,976 165,609 15,695 0,000
T12 151,217 12,703 162,130 18,069 0,022
Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna
170 166,261 168,652
165 161,826 165,609
162,043
162,130 160
155
GDS 150
148,913
(gr/dl) 150,000
150,565
147,304
150,739
151,217
145
140
135
T7 T8
T9
T10
T11
T12
Kontinyu
Intermitten
Gambar 5. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam kedua pada kedua kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jam ke-28 pada kelompok kontinyu
didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 148,913 (SD = 6,374) sedangkan pada
kelompok intermitten 166,261 (SD = 17,625). Pada jam ke-32 pada kelompok
kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 147,304 (SD = 7,678)
sedangkan pada kelompok intermitten 161,826 (SD = 14,779). Pada jam ke-36
pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 150,000 (SD =
6,701) sedangkan pada kelompok intermitten 168,652 (SD = 14,370). Pada jam
ke-40 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 150,565
42
(SD =6,006) sedangkan pada kelompok intermitten 162,043 (SD = 14,121). Pada
jam ke-44 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah
150,739 (SD = 8,976) sedangkan pada kelompok intermitten 165,609 (SD =
15,695). Sementara pada jam ke-48 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai
rerata kadar GDS adalah 151,217 (SD = 12,703) sedangkan pada kelompok
intermitten 162,130 (SD = 18,069). Dari analisis statistik didapatkan perbedaan
yang bermakna kadar GDS 24 jam kedua pada kedua kelompok ( p < 0,05).
Tabel 10. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam ketiga pada kedua kelompok.
Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten
P
Mean SD Mean SD
T13 149,130 5,934 162,348 16,143 0,001
T14 149,261 5,056 157,869 14,117 0,009
T15 146,652 4,638 157,565 12,511 0,000
T16 148,478 5,526 154,913 8,681 0,004
T17 147,869 5,234 155,435 10,139 0,003
T18 147,522 5,459 158,348 10,209 0,000
Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna
165 162,348
160 157,869 157,565
158,348
154,913 155,435
155
GDS 150
149,130 149,261
(gr/dl)
145
146,652 148,478 147,869
147,522
140
135
T13 T14
T15
T16
T17
T18
Kontinyu
Intermitten
Gambar 6. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam ketiga pada kedua kelompok.
43
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jam ke-52 pada kelompok
kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 149,130 (SD = 5,934)
sedangkan pada kelompok intermitten 162,348 (SD = 16,143). Pada jam ke-56
pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 149,261 (SD =
5,056) sedangkan pada kelompok intermitten 157,869 (SD = 14,117). Pada jam
ke-60 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 146,652
(SD = 4,638) sedangkan pada kelompok intermitten 157,565 (SD = 12,511). Pada
jam ke-64 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah
148,478 (SD =5,526) sedangkan pada kelompok intermitten 154,913 (SD =
8,681). Pada jam ke-68 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar
GDS adalah 147,869 (SD = 5,234) sedangkan pada kelompok intermitten 155,435
(SD = 10,139). Sementara pada jam ke-72 pada kelompok kontinyu didapatkan
nilai rerata kadar GDS adalah 147,522 (SD = 5,459) sedangkan pada kelompok
intermitten 155,435 (SD = 10,209). Dari analisis statistik dengan uji T test
didapatkan perbedaan yang bermakna kadar GDS 24 jam ketiga pada kedua
kelompok ( p < 0,05).
C. RESIDU NGT
Hasil penelitian mengenai residu NGT per 24 jam pada kedua kelompok dapat
dilihat pada tabel 11 dan diperlihatkan dalam bentuk diagram batang pada gambar
7. Tabel 11. Perbandingan residu NGT per 24 jam pada kedua kelompok.
Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten
p
Mean SD Mean SD
24 jam
pertama 73,826 42,682 104,869 54,122 0,036
24 jam
kedua 58,739 32,485 114,000 51,712 0,000
24 jam
ketiga 40,261 37,533 107,522 37,533 0,000
Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna
44
120 114,000
104,869 107,522
100
73,826 80 58,739 NGT 60 (cc) 40,261 40
20
0
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3
Kontinyu
Intermitten
Gambar 7. Perbandingan residu NGT per 24 jam pada kedua kelompok.
Berdasarkan tabel 11 dan gambar 7, jumlah rerata residu NGT pada 24 jam
pertama pada kelompok kontinyu adalah 73,826 (SD = 42,682), sedangkan pada
kelompok intermitten 104,869 (SD = 54,122). Jumlah rerata residu NGT pada 24
jam kedua pada kelompok kontinyu adalah 58,739 (SD = 32,485), sedangkan pada
kelompok intermitten 114,000 (SD = 51,712). Jumlah rerata residu NGT pada 24
jam ketiga pada kelompok kontinyu adalah 40,261 (SD = 37,533), sedangkan
pada kelompok intermitten 107,522 (SD = 37,533). Dari analisis statistik dengan
uji T test didapatkan perbedaan yang bermakna dari jumlah residu NGT per 24
jam baik pada 24 jam pertama, 24 jam kedua, dan 24 jam ketiga pada kedua
kelompok( p < 0,05).
45
BAB VI
PEMBAHASAN
Telah dilakukan penelitian di ICU RS Wahidin Sudirohusodo dan di ICU RS
jejaring di Makassar terhadap 46 pasien cedera otak berat pascabedah yang
dirawat di ICU. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan fluktuasi
kadar GDS pada pasien cedera otak berat pascabedah yang dirawat di ICU yang
diberikan nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan yang diberikan nutrisi
enteral intermitten.
A. Karakteristik Sampel
Karakteristik sampel penelitian yang meliputi umur, tinggi badan, berat badan,
dan jenis kelamin tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik.
Sehingga sampel dalam penelitian ini dinilai homogen dan layak untuk
dibandingkan. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi terjadinya fluktuasi kadar
GDS selain faktor stess adalah usia dalam hal ini adalah geriatrik, dan berat badan
pasien dalam hal ini adalah obesitas. Dimana berat badan pasien kami peroleh
dengan rumus pengukuran berat badan berdasarkan tinggi badan, sehingga kami
membatasi berat badan pasien yang ikut serta dalam penelitian ini adalah ≤ 75 kg.
Pada sampel penelitian ini, usia dan berat badan tidak berbeda secara statistik.
Pemberian nutrisi enteral sebaiknya diatur sesuai dengan usia pasien, berat
badan, penyakit primer, status nutrisi, alat akses nutrisi enteral tersebut, serta
kondisi dari saluran gastrointesinalnya sendiri. Teknik pemberian nutrisi enteral
dapat diberikan secara intermitten atau secara kontinyu, ataupun dengan teknik
kombinasi keduanya. (10,28)
46
B. KADAR GULA DARAH SEWAKTU
Kadar GDS basal dinilai setelah pasien 24 jam berada di ruangan ICU, atau
sesaat sebelum pemberian nutrisi awal. Pada kelompok kontinyu didapatkan nilai
rerata untuk kadar GDS basal 155,130 (SD 12,538), sedangkan pada kelompok
intermitten didapatkan nilai rerata untuk kadar GDS basal 159,552 (SD 14,578).
Dari analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara kedua
kelompok.
Fluktuasi kadar GDS biasanya diinduksi oleh beberapa faktor sperti stress,
nyeri, trauma, faktor pembedahan, dan beberapa obat-obatan tertentu. Kadar GDS
basal pada kedua kelompok berkisar antara 143-189 mg/dL. Kadar gula darah
tersebut dipengaruhi oleh faktor stress karena trauma dan pasca pembedahan.
Faktor nyeri dapat disingkirkan karena setiap sampel penelitian setelah
pascabedah tetap diberikan analgetik dan sedasi pascabadah sesuai standar di
ruangan ICU. Fluktuasi yang tajam tersebut biasanya dihubungkan dengan angka
mortalitas yang tinggi. Karena peningkatan fluktuasi gula darah akan
menyebabkan stress oksidatif sekunder yang akan menambah kerusakan otak. (6)
Peningkatan stress oksidatif dapat menyebabkan disfungsi endotelial dan pada
akhirnya akan merusak vaskuler. Stress oksidatif mungkin merupakan salah satu
mekanisme yang mencetuskan vasokonstriksi, trombosis mikrovaskuler, dan
inflamasi yang dihubungkan dengan hiperglikemia dan variasi GD. (6,35)
Hiperglikemia akan memperburuk defisit neurologis. Pada keadaan adanya
iskemik otak, kadar GD tinggi akan meningkatkan metabolisme anaerob sehingga
terjadi pembentukan laktat yang berlebihan. Keadaan asidosis laktat serebral ini
merangsang pembentukan radikal bebas dan selanjutnya terjadi kerusakan neuron.
Asidosis serebral juga menimbulkan vasodilatasi lokal dan hiperemia, edema
serebral, dan akhirnya kenaikan tekanan intrakranial. 23
Allport et all (2006) menemukan bahwa akan terjadi peningkatan fluktuasi gula
darah mulai setelah 8 jam pasca trauma atau stroke.(6)
Namun dalam penelitian ini
kami tidak menguji secara statistik waktu kejadian trauma setiap sampel
penelitian ini.
47
The American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) dan Canadian Clinical Practice Guidelines (CCPG) merekomendasikan bahwa terapi
nutrisi pada cedera otak sebaiknya dimulai lebih awal; antara 24-48 jam sejak
perawatan ICU, atau sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil. Sementara European Society for parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN)
merekomendasikan terapi nutrisi enteral sebaiknya dimulai setelah 24 jam jika
memungkinkan. 10
Biasanya pasien dengan cedera otak dapat mentolerir nutrisi
enteral pada awal pemberian nutrisi hanya sekitar 50% dari total kebutuhan
kalorinya. (17)
Oleh karena itu pada penelitian ini awal pemberian nutrisi selama
24 jam pertama kami hanya memberikan 50% dari total kebutuhan kalori setiap
sampel dan diharapkan pemberian nutrisi enteral ini diberikan dengan dosis penuh
dalam kurun waktu 3 kali 24 jam.
Pada penelitian ini kadar GDS pada 24 jam pertama pada kelompok kontinyu
berkisar antara 140-178 mg/dL. Sedangkan pada kelompok intermitten berkisar
antara 140-180 mg/dL. Dari uji analisis statistik didapatkan bahwa tidak terdapat
perbedaan bermakna kadar GDS 24 jam pertama pemberian nutrisi antara
kelompok kontinyu dan kelompok intermitten.
Maurya dkk (2011) dalam penelitiannya terhadap 40 pasien trauma kepala
yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok nutrisi enteral kontinyu dan nutrisi
enteral intermitten, dengan masing-masing kelompok diberikan nutrisi 30
Kkal/kgBB/24 jam, juga didapatkan tidak ada perbedaan bermakna terhadap kadar
GDS pada masing-masing kelompok. (8)
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa teknik apapun yang dilakukan dalam
pemberian nutrisi enteral tidak akan memberikan efek terhadap kadar GDS jika
pasien mendapatkan makanan /nutrisi yang adekuat.
Namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa pada pengukuran kadar GDS 24
jam kedua dan ketiga terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok
setelah diuji secara statistik. Pada kelompok kontinyu pada 24 jam kedua
pemberian nutrisi yaitu sebanyak 75% dari kebutuhan total ditemukan kadar GDS
berkisar antara 136-162 mg/dL sedangkan pada kelompok intermitten ditemukan
berkisar antara 140-198 mg/dL. Pada kelompok kontinyu pada 24 jam ketiga
48
pemberian nutrisi yaitu sebanyak 100% dari kebutuhan kalori total ditemukan
kadar GDS berkisar antara 140-158 mg/dL sedangkan pada kelompok intermitten
ditemukan kadar GDS berkisar antara 138-193 mg/dL. Terlihat bahwa pada
kelompok intermitten terjadi fluktuasi gula darah yang tajam. Fluktuasi yang
tajam dihubungkan dengan pemberian nutrisi secara bolus pada 24 jam kedua dan
ketiga ternyata kurang bisa ditolerir oleh kelompok intermitten. Hal tersebut
ditunjukkan dengan jumlah residu sampel kelompok intermitten pada 24 jam
kedua dan ketiga menunjukkan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan
dengan kelompok kontinyu.
Dengan banyaknya jumlah residu per 24 jam maka akan menambah berat
gastroparesis akut yang sering terjadi pada pasien COB, sehingga akan
menyebabkan gangguan pemberian nutrisi dan dapat menyebabkan fluktuasi level
gula darah. (6,17)
Namun kekurangan yang kami temui sepanjang penelitian ini pada teknik
pemberian nutrisi enteral kontinyu dengan menggunakan kantung gravitasi adalah
agak sulit mengatur roda klemnya untuk pengaturan tetesan formula enteral per
menitnya, perlu pengawasan yang lebih sering agar tetesan formula tersebut tidak
mengalami perubahan. Mungkin akan lebih mudah bila kita menggunakan pompa
khusus untuk nutrisi sehingga tetesannya per menit jauh lebih akurat.
Dan selama 3 kali 24 jam penelitian ini tidak ditemukan insiden hipoglikemi
maupun hiperglikemia, sehingga kami tidak pernah melakukan intervensi terhadap
kadar GDS pada kedua kelompok.
C. JUMLAH RESIDU NGT
Jumlah rerata residu NGT 24 jam pertama pemberian nutrisi pada kelompok
kontinyu adalah 73,826 (SD 42,682) dibandingkan pada kelompok intermitten
adalah 104,869 (SD 51,122). Jumlah rerata residu NGT 24 jam kedua pemberian
nutrisi pada kelompok kontinyu adalah 58,739 (SD 32,485) dibandingkan pada
kelompok intermitten 114,000 (SD 54 ,712). Sementara jumlah rerata residu NGT
24 jam ketiga pemberian nutrisi pada kelompok kontinyu adalah 40,261 (SD
49
37,533) dibandingkan pada kelompok intermitten 107,522 (SD 37,533). Setelah
dilakukan uji analisis statistik didapatkan perbedaan yang bermakna baik pada 24
jam pertama, 24 jam kedua dan 24 jam ketiga pada kedua kelompok. Terlihat
bahwa residu NGT pada kelompok kontinyu jauh lebih sedikit dibandingkan pada
kelompok intermitten.
Rhoney dkk (2002) melaporkan bahwa intoleransi makanan lebih sering timbul
pada kelompok enteral bolus (intermitten) dibandingkan dengan kelompok lain.5
Pada pasien cedera otak biasanya memang terjadi gangguan pengosongan
lambung akibat kerusakan nervus vagus, peningkatan level opioid endogen dan
endorfin, atau karena penggunaan obat fenobarbital atau narkotik. (17)
Dan hal tersebut dapat diperberat oleh respon stress dan fluktuasi kadar gula darah
yang tinggi.
Atoni gaster dan gangguan pengosongan lambung yang sering terjadi pada
pasien cedera otak menyebabkan pemberian nutrisi enteral dini mengalami
kesulitan. Pemberian proton pump inhibitor serta agent prokinetik yaitu
metoclorpramid atau eritromisin dapat diberikan untuk meningkatkan motilitas
gaster. (4,5)
Pada setiap sampel penelitian ini pascabedah setelah berada di ICU, pasien
tetap diberikan proton pump inhibitor sesuai standar perawatan ICU. Pada
kelompok kontinyu, tidak ditemukan jumlah residu NGT per 24 jam sebanyak ≥ 200 cc, sehingga pada kelompok kontinyu kami tidak pernah melakukan
intervensi berupa penambahan agent prokinetik. Namun pada kelompok
intermitten ditemukan 6 sampel dengan jumlah residu NGT per 24 jam > 200 cc,
yaitu 1 sampel pada 24 jam pertama, 4 sampel pada 24 jam kedua, dan 1 sampel
pada 24 jam ketiga, sehingga kami menambahkan metoclorpramid 10 mg/8 jam/iv
selama pemberian nutrisi. Dan setelah penambahan metoclorpramid kami
mencatat terjadi penurunan jumlah residu NGT.
Nutrisi intermitten membutuhkan kecepatan bolus yang jauh lebih cepat
dengan jumlah volume lebih besar sehingga hal ini kurang bisa ditoleransi
sehingga dengan jumlah residu yang besar beresiko menyebabkan refluks,
aspirasi, distensi abdomen, diare, dan nausea.27
Sementara pada nutrisi enteral
50
kontinyu dimana pemberian makanan enteral selama 24 jam secara kontinyu
baik dengan pompa makanan maupun dengan kantung gravitasi membutuhkan
volume rendah sehingga absorbsi makanan jauh lebih baik. Oleh karena itu
teknik ini dianggap paling sesuai untuk pasien penyakit kritis dibanding
dengan teknik lainnya. (27,29)
Komplikasi lainnya seperti diare, refluks bahkan aspirasi, serta distensi
abdomen tidak kami temukan selama penelitian ini baik pada kelompok
kontinyu maupun pada kelompok intermitten.
51
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN 1. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu tidak menunjukkan fluktuasi
kadar GDS yang tajam pada pemberian nutrisi 24 jam kedua dan 24 jam
ketiga. 2. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap kadar GDS pada
pemberian nutrisi 24 jam pertama antara kelompok kontinyu dan
kelompok intermitten. 3. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu lebih baik penyerapannya di
lambung dibandingkan dengan nutrisi enteral secara intermitten, dengan
melihat jumlah residu NGT kelompok kontinyu lebih sedikit dibandingkan
kelompok intermitten baik pada 24 jam pertama, 24 jam kedua, maupun 24
jam ketiga pemberian nutrisi.
B. SARAN 1. Pemberian nutrisi enteral untuk pasien COB yang dirawat di ICU mungkin
dapat dipertimbangkan dengan menggunakan teknik kontinyu dengan
berbagai keuntungan dan dengan efek samping yang hampir tidak ada. 2. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu ini sebaiknya menggunakan
pompa makanan khusus sehingga jumlah tetesan per menitnya dapat lebih
akurat dan efektif. 3. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai hubungan petanda
inflamasi dan stress pada pemberian nutrisi secara kontinyu maupun secara
intermitten pada pasien COB.
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Slone DS. Nutritional support of the critically ill and injured patient. Critical
care clinics.2004;20:135-57. 2. Serpa LF, Kimura M, Faintuch J, Coconello I. Effects of continous versus bolus
infusion of enteral nutrition in critical patients. HOSP. CLIN.FAC.MED.S.
PAULO.2003;58(1):9-14. 3. Debora Y, Villyastuti YW, Harahap MS. Nutrisi pada pasien cedera kepala. J
Anestesiologi Indonesia.2009;1(1):56-64. 4. Gupta AK, Summors A. Nutrition in the neurocritical care unit. In: Notes in
neuroanesthesia and critical care. Green wich medical media london. 2001: 212-3. 5. Lucena AF, Tiburcio RV, Vasconselos GC, Ximenes JDA, Filho GC. Influence of
acute brain injuries on gut motility. Bras ter Intensiva.2011; 23(1):96-103.
6. Godoy DA, Napoli MD, Biestro A, Leinhardt R. Perioperative glukosa control
in neurosurgical patients. Anesthesiology Research and Practice; 31 Juli 2011
[diunduh 21 Oktober 2011] + [sekitar 13 halaman]. Tersedia dari Hindawi
Publishing Corporation. 7. Valentine G, Phillips A, Blood glucose control within critical care – a review of
literature influencing practise. Journal of diabtes nursing.2012;16(8):332-7. 8. Maurya I, Pawar M, Garg R, Kaur M, Sood R. Comparison of respiratory quotient
and resting energy expenditure in two regimens of enteral feeding – continous vs.
Intermittent in head-injured critically ill patients. Saudi J Anaesth. 2011;5(2):195-
201. 9. Bisri T. Terapi nutrisi. Dalam : Penanganan neuroanesthesia dan critical care
cedera otak traumatik. Bandung: Fakulktas Kedokteran Universitas Padjajaran.
2012:229-42. 10. Campos. Machado FS. Nutrition therapy in severe head trauma patients. Bras Ter
intensiva. 2012; 24(1): 97-105.
1
11. Weisman C. Nutrition and metabolic control. In: Miller RD. Eriksson LI. Fleisher
LA. Wiener JP. Young WL, editors. Miller’s anesthesia. 7th
ed. Philadelphia:
Elsevier; 2009: 390-3. 12. Herman MA, Kahn BB. Glucose transport and sensing in the maintenance of
glucose homeostasis and metabolic harmony. J Clin Invest 2006; 116: 1767-75. 13. Cely CM, Arora P, Quartin AA, Kett DH, Schein RM. Relationship of baseline
glucose homeostasis to hyperglycemia during medical critical illness. Chest.
2004;126:879-87. 14. Pasternak JJ, McGregor DG, Scroeder DR, Lanier WL, Shi Q, Hindman BJ et al.
Hyperglicemia in patients undergoing cerebral aneurysma surgery: its association
with longterm gross neurologic and neuropsychological function. Mayo Clin Proc.
2008;83:406-17. 15. Inzucchi SE. Clinical practise. Management of hyperglicaemia in the hospital
setting. N Engl J Med. 2006; 355:1903-11. 16. Turina M, Miller FN, Tucker CF, Polk HC. Short-term hyperglycemia in surgical
patients and a study of related cellular mechanism. Ann Surg. 2006; 243: 843-51. 17. Cook AM, Peppard A, Magnuson B. Nutrition consideration in traumatic brain
injury. Nutrition in clinical practice. 2008; 23(6):608-17. 18. Wiryana M. Nutrisi pada penderita sakit kritis. Bagian Ilmu Anestesi dan
Reanimasi FK UNUD. J Peny Dalam. 2007; 18. 19. Tayek JA. Nutrition. In: Bongard FS, Sue DY, Vintch JR, editors. Current
diagnosis and treatment critical care. 3rd
. New York: McGraw-Hill. 2008: 117-35. 20. Zaloga GP. Report of the twelfth ross round on medical issues colombus OH.
Ross Laboratories. 1992:44-51. 21. Frontera JA, Fernandes A, cloasen J, Schmidt M, Schumacher HC, Wartenberg K,
et al. Hiperglicemia after SAH predictors, associated complications and impact on
outcome. American Heart Association. 2005. Tersedia dari : www.strokeaha.org. 22. Schmidt JM, Claassen J, Ko SB, Lantigua H, Presciutti M, Lee K. Nutritional
support and brain tissue glucose metabolism in poor-grade SAH : a retrospective
observasional study. Crit Care. 2012;16(1):15-27.
2
23. Muppet IK. Traumatic brain injury: assesment, resuscitation early management.
BJA. 2007;99(1):18-31. 24. Kudsk KA, Jack GS. Nutrition in the care of the patient with surgery, trauma, and
sepsis. In: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, editors.
Modern nutrition in health and disease. 10th
ed. New york:Lippincott Williams
and Wilkins; 2006: 234-7. 25. Peake SL, Ridley E, Chapman M. Energy goals in the critically ill adult. In:
Vincent JL, editor. Annual update in intensive care and emergency medicine.
2011. New York: Springer.2011: 698-701. 26. Roberts PR. Approach to nutritional support. In: Apostolakos MJ, Papadakos PJ,
editor. The Intensive Care Manual. 2001. New york: McGraw-Hill Medical
Publishing Division: 169-87. 27. The DAA Nutrition Support Interest Group. Enteral nutrition manual for adults in
health care facilities.2011:5-18. 28. Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidlines for enteral feeding in adult hospital
patients. Gut 2003;52(7): 1-12 [diunduh February 2013]. Tersedia dari
www.gutjnl.com. 29. Bankhead R, Boullata J, Brantley S, Corkins M, Guenter P, Krenitsky J, et al.
Journal of parenteral and enteral nutrition. The American Society for Parenteral
and Enteral Nutrition. January 2009 [diunduh Maret 2009]. Tersedia dari
http://www.sagepublications.com. 30. Van den Bergh G, Schetz M, Vlaaselaers D, Hermans G, Wlimer A, Bouillon R,
et al. Intensive insulin therapy in critically ill patients : nice sugar or leuvon blood
glucose target. J Clin Endocrinol Metab. 2009;94:3163-70. 31. Department of surgical education, Management of hyperglycemia in critically ill
surgical (non-cardiac) patients, Orlando regional Medical Centre, 2011. 32. Prins A. Glucose : the worst of all evils. S Afr J Clin Nutr. 2010;23:50-4. 33. Egi M, Bellomo R, Reducing glycemic variability in intensive care unit patients :
a new therapeutic target?. Journal of Diabetes Science and Technology. 2009;
3(6):1302-8.
3
34. Sengupta G, Guha A, Rudra A, Maitra G, Kumar p, Roy K. Indian Journal of
Anaesthesia. 2008; 52(1):23-27. 35. Hsu CW. Glycemic control in critically ill patients. World J Crit Care Med.
2012;1(1):31-39. 36. Klonoff DC. Intensive insulin therapy in critically ill hospitalized patients :
making it save and effective. Journal of Diabetes Science and Technology.
2011;5(3):755-67. 37. Klonoff DC. Intensive insulin therapy in critically ill hospitalized patients :
making it save and effective. Journal of Diabetes Science and Technology.
2011;5(3):755-67. 38. Inzucchi SE. Regular Insulin “Sliding Scales” (RISS). In : Diabetes Facts and
Guidlines. Yale Diabetes center. 2011: 12-13.