55
1 BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN HASIL PENELITIAN SEPTEMBER 2013 PERBANDINGAN PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU DAN NUTRISI ENTERAL INTERMITTEN TERHADAP KADAR GULA DARAH SEWAKTU PADA PASIEN CEDERA OTAK BERAT PASCABEDAH Oleh Veronika Susanty Siampa Pembimbing dr. Hisbullah, SpAn, KIC- KAKV Dr. Dr. Arifin Seweng, MPH DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 BIDANG STUDI ILMU ANESTESI, TERAPI INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

--veronikasu-3447-1-13-veron-k kjkj

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pdf

Citation preview

Page 1: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

1

BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

HASIL

PENELITIAN

SEPTEMBER

2013

PERBANDINGAN PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL

KONTINYU DAN NUTRISI ENTERAL INTERMITTEN

TERHADAP KADAR GULA DARAH SEWAKTU PADA

PASIEN CEDERA OTAK BERAT PASCABEDAH

Oleh

Veronika Susanty Siampa

Pembimbing

dr. Hisbullah, SpAn, KIC-

KAKV Dr. Dr. Arifin Seweng, MPH

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 BIDANG STUDI ILMU ANESTESI, TERAPI INTENSIF, DAN MANAJEMEN NYERI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

Page 2: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

2

Abstrak

VERONIKA SUSANTY SIAMPA. Perbandingan Pemberian Nutrisi Enteral Kontinyu dan Nutrisi Enteral Intermitten terhadap Kadar Gula Darah pada Pasien Cedera Otak Berat Pascabedah.(Dibimbing oleh : Hisbullah, Arifin Seweng). Penelitian ini bertujuan untuk menilai fluktuasi kadar gula darah sewaktu(GDS) pada pasien cedera otak berat pascabedah yang dirawat di ruangan ICU, yang mendapatkan nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan nutrisi enteral intermitten. Penelitian eksperimental ini dilakukan secara acak pada 46 pasien cedera otak berat pascabedah yang dirawat di ruangan ICU. Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok perlakuan yakni kelompok pertama yang diberikan nutrisi enteral secara kontinyu dengan kebutuhan kalori total 25 Kkal/kgBB/24 jam dengan menggunakan kantung gravitasi dimana 24 jam pertama hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua diberikan 75% dari total kebutuhan kalori, dan 24 jam ketiga diberikan 100% dari total kebutuhan kalori. Sementara kelompok kedua yang diberikan yang diberikan nutrisi enteral secara intermitten dengan kebutuhan kalori total 25 Kkal/kgBB/24 jam dibagi dalam enam kali pemberian, dimana 24 jam pertama hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua 75% dari total kebutuhan kalori, 24 jam ketiga 100% dari total kebutuhan kalori. Dilakukan penilaian terhadap kadar gula darah sewaktu setiap 4 jam setelah awal pemberian nutrisi selama 72 jam observasi. Analisis statistik dilakukan dengan uji Mann-whitney dan chi-square, dengan p<0,05 bermakna secara signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada pengukuran kadar GDS pada pengamatan 24 jam kedua dan ketiga dari kedua kelompok (p<0,05). Dan juga terdapat perbedaan bermakna pada pengukuran residu NGT baik pada 24 jam pertama, kedua, dan ketiga dari kedua kelompok (p<0,05).

Kata kunci : kadar gula darah, nutrisi enteral kontinyu, nutrisi enteral intermitten, cedera otak berat.

Page 3: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

3

Abstrac

VERONIKA SUSANTY SIAMPA. Comparison of Continuous Enteral Nutrition and Intermittent Enteral Nutrition to Blood Sugar Levels in Posoperative Patients with Severe Brain Injury, (Supervised by : Hisbullah, Arifin Seweng). This study aims to assess fluctuations in blood sugar levels in postoperative patients with severe brain injury who where treated in ICU, which get continuous enteral nutrition compared with patients receiving intermittent enteral nutrition. This experimental study randomly assigned 46 postoperative severe brain injury patients who were admitted to ICU. Subjects were divided into two groups, the first group given continuous enteral nutrition with total calorie needs 25 Kkal/kgBW/24 hours using a gravity bag, which the first 24 hours only provided 50% of total calorie needs, the second ones given 75% of total calorie needs, and the third ones was given 100% of total calorie4 needs. While the second group were given intermittent enteral nutrition with total calorie needs 25 Kkal/kgBW/ 24 hours divided into six time delivery, in which the first 24 hours only provided 50% of total calorie needs, the second ones 75% of total calorie needs, and the third ones 100% of total calorie needs. Assessment of blood sugar levels was done every 4 hours after the initial provision of nutrition for 72 jam hours observation. Statistical analysis was performed with Mann-Whitney test and Chi-square, with p< 0,05 were statistically significant. The result showed that there were significant differences in measured blood sugar levels of the second and the third 24 hours observation of both groups (p<0,05). And there are also significant differences in NGT residual measurements at the first, second, and the third 24 hours in both groups (p<0,05).

Keywords : blood sugar level, continuous enteral nutrition, intermittent enteral nutrition, severe brain injury.

Page 4: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) biasanya ditandai dengan

hipermetabolisme dan katabolisme yang meningkat sehingga dapat menyebabkan

malnutrisi. Nutrisi yang tidak adekuat dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas,

dan menambah lama rawat di rumah sakit. Pemberian nutrisi tambahan sudah

berkembang dan merupakan bagian dari terapi di ICU dalam memahami sistem

imun, sepsis, disfungsi organ, dan proses penyembuhan.1

Nutrisi enteral merupakan salah satu terapi tambahan pada pasien-pasien

dengan penyakit kritis dengan fungsi gastrointestinal baik namun intake oral tidak

dapat diberikan. Keuntungan nutrisi enteral adalah meningkatkan integritas

mukosa intestinal absorbsi nutrisi, memperbaiki respon metabolik dan imun, dan

komplikasi serta harga lebih kurang bila dibandingkan dengan nutrisi parenteral.

Namun, hal-hal tersebut seringkali bertentangan dengan kondisi pasien-pasien

kritis. Misalnya pada pasien-pasien dengan penurunan sekunder fungsi motilitas

gastrointestinal pada pasien pasca operasi ileus, stasis gaster, khususnya pada

kondisi sepsis, trauma, shock, dan gagal organ. Hal itu juga ditunjukkan pada

kondisi dimana terjadi penurunan fungsi peristaltik misalnya pada pasien dengan

penggunaan ventilator mekanik, sedasi, dan penggunaan antibiotik dan obat-

obatan lainnya.2

Cedera otak merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia,

angka kejadian cedera kepala menempati 15-20% kematian pada usia 5-35 tahun

dan 1% dari seluruh kematian pada orang dewasa. Penanganan modern terhadap

cedera kepala saat ini telah dilakukan oleh tim dokter neurointensifis,

neuroanesthesia, dan ahli bedah saraf.3

Pasien dengan cedera otak cenderung mengalami ketidakstabilan

hemodiamik yang disebabkan penurunan volume intravaskuler dan trauma

miokardium yang menyebabkan kegagalan pompa primer, bahkan bila trauma

pada batang otak dapat langsung mempengaruhi stabilitas kardiovaskuler.

Page 5: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

5

Hipotensi harus dihindari karena dapat menyebabkan reduksi aliran darah otak

dan bila MAP (Mean Arterial Pressure) rendah mengakibatkan iskemik otak,

sebaliknya bila hipertensi dapat mengeksaserbasi edema vasogenik sehingga

terjadi vasokonstriksi yang mempengaruhi tekanan intrakranial.

Penanganan nutrisi juga memegang peranan penting dan disarankan sesegera

mungkin diberikan pada pasien cedera otak. Cedera otak sedang sampai berat

ditandai dengan adanya hipermetabolik dan hiperkatabolik. Hiperglikemia sering

terjadi dan merupakan penyebab utama produksi keton, meningkatkan produksi

asam laktat oleh otak dan asidosis seluler.4 Karena itu pentingnya untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi ketika stabilitas hemodinamik dicapai. Nutrisi dapat

menentukan outcome bagi pasien demi kelangsungan hidup dan kecacatan, lebih

lanjut lagi bila nutrisi diberikan awal secara agresif dapat meningkatkan fungsi

imun dengan meningkatkan sel CD4, rasio CD4-CD8 dan kepekaan limfosit T

serta dapat mencegah terjadinya cedera sekunder.3,4

Jalur pemberian nutrisi

disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Nutrisi enteral lebih dipilih karena lebih

fisiologis, tidak mahal dan resiko lebih kecil daripada nutrisi parenteral total,

namun perlu pengawasan yang baik untuk mencegah efek samping seperti

hiperglikemia, ketoasidosis, intoleransi gaster, diare yang menimbulkan dehidrasi

dan hipovolemia relatif yang mengganggu stabilitas hemodinamik.3,5

Gastroparesis akut menyebabkan gangguan nutrisi yang akan menyebabkan

terjadinya fluktuasi level Gula Darah Sewaktu (GDS), sehingga dapat

memperberat penyakit.6 Peningkatan fluktuasi gula darah tidak hanya

meningkatkan angka mortalitas, tapi juga meningkatkan angka morbiditas, seperti

infeksi nosokomial, dan lama rawat di rumah sakit.

Al-Dorzi dkk (2010) melaporkan bahwa fluktuasi GD yang tajam

dihubungkan dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 22% .7

Thor dkk (2002) melaporkan bahwa pada pasien-pasien dengan trauma kepala

berat menunjukkan disritmia gastrik dan intoleransi terhadap makanan.5

Rhoney dkk (2002) melaporkan bahwa intoleransi makanan lebih sering timbul

pada kelompok enteral bolus (intermitten) dibandingkan dengan kelompok lain.5

Page 6: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

6

Serpa LF dkk (2003) melaporkan bahwa baik pemberian nutrisi enteral

kontinyu 25 Kcal/KgBB/hari maupun secara bolus (intermittent) 25

Kcal/KgBB/hari (diberikan selama 1 jam dengan interval 2 jam), keduanya

menunjukkan efek komplikasi akibat pemberian nutrisi cukup rendah, sementara

pada kelompok nutrisi kontinyu pada hari pertama menghabiskan volume lebih

banyak dibandingkan dengan kelompok intermitten.2

Maurya I dkk(2011) melaporkan pada grup enteral kontinyu yang diberikan

nutrisi 30 kcal/KgBB/hari dibandingkan dengan grup enteral intermittent yang

juga diberikan nutrisi 30 Kcal/KgBB/hari menunjukkan tidak ada perubahan

signifikan pada pengukuran Respiratory Quation(RQ) dan Energy Expenditure

Resting(REE).8

Kami ingin menguji hipotesa bahwa pemberian nutrisi enteral kontinyu

dibandingkan dengan nutrisi intermitten pada pasien Cedera Otak Berat (COB)

akan mengurangi fluktuasi tajam kadar GDS, selain itu juga pada pasien yang

menerima nutrisi enteral kontinyu akan lebih menunjukkan efek tolerabel dengan

berkurangnya efek samping oleh karena pemberian nutrisi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah : “Apakah dengan pemberian nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan nutrisi

enteral intermitten menunjukkan kadar GDS yang tidak berfluktuatif pada pasien

COB pascabedah yang dirawat di ICU?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui fluktuasi kadar GDS pada pasien COB pascabedah yang dirawat

di ICU yang diberikan nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan pasien COB

pascabedah yang diberikan nutrisi enteral intermitten.

Page 7: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

7

2. Tujuan Khusus

a. Membandingkan kadar GDS setiap 4 jam pada 24 jam pertama antara

kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten

yang diberikan nutrisi 50% dari total kebutuhan kalori per hari.

b. Membandingkan kadar GDS setiap 4 jam pada 24 jam kedua antara

kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten

yang diberikan nutrisi 75% dari total kebutuhan kalori per hari.

c. Membandingkan kadar GDS setiap 4 jam pada 24 jam ketiga antara

kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten

yang diberikan nutrisi 100% dari total kebutuhan kalori per hari.

d. Membandingkan jumlah residu NGT per 24 jam pada 24 jam pertama

antara kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral

intermitten yang diberikan nutrisi 50% dari total kebutuhan kalori per hari.

e. Membandingkan jumlah residu NGT per 24 jam pada 24 jam kedua antara

kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten

yang diberikan nutrisi 75% dari total kebutuhan kalori per hari.

f. Membandingkan jumlah residu NGT per 24 jam pada 24 jam ketiga antara

kelompok nutrisi enteral kontinyu dan kelompok nutrisi enteral intermitten

yang diberikan nutrisi 100% dari total kebutuhan kalori per hari.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh pemberian nutrisi enteral

kontinyu dibandingkan nutrisi enteral intermitten terhadap fluktuasi kadar

GDS pada pasien COB pascabedah yang dirawat di ICU.

2. Dapat diaplikasikan secara klinis terutama pada perawatan pasien COB

pascabedah di ICU untuk mengurangi fluktuasi kadar GDS.

3. Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Page 8: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Metabolisme Otak.

Kerusakan otak akibat cedera dibagi kedalam dua bagian yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika terjadinya

trauma. Efek yang segera akibat trauma adalah laserasi otak, robekan yang difus,

robeknya pembuluh darah atau kerusakan neuron, axon dan dendrit. Cedera

sekunder adalah cedera yang terjadi setelah terjadinya trauma. Penyebab cedera

sekunder bisa sistemik dan intrakranial. Penyebab sistemik adalah hipoksemia,

hiperkapnia, hipotensi arterial, anemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipertermia,

sepsis, koagulopati, dan hipertensi. Sedang penyebab intrakranial adalah

epidural/subdural hematom, kontusio/intraserebral hematom, peningkatan tekanan

intrakranial, edema serebral, infeksi intrakranial, epilepsi post trauma.9

Cedera otak tersebut akan menyebabkan gangguan keseimbangan metabolisme

tubuh secara keseluruhan, berupa hipermetabolisme dan katabolisme dengan hasil

akhir adalah kehilangan protein dari sel-sel tubuh dan pengurangan dari cadangan

nutrien tubuh. Mekanisme ini terjadi oleh aktifasi dari sistem neurohumoral

berupa pelepasan dari katekolamin endogen yang terdiri adrenalin noradrenalin,

kortisol juga peningkatan dari hormon-hormon glukagon, hormon pertumbuhan

yang mepunyai peranan penting gangguan keseimbangan metabolisme tubuh,

berupa peningkatan laju proteolisis, lipolisis, serta terjadinya peningkatan kadar

gula darah. Keadaan ini akan diperberat lagi dengan adanya multipel trauma.3,4,10

Neuron mempunyai laju metabolisme tinggi dan menggunakan lebih banyak

energi dibandingkan sel tubuh lain. Walaupun berat otak hanya 2% berat badan

total, tapi pada istirahat otak mengkonsumsi 20% oksigen yang diambil. Laju

metabolisme basal untuk oksigen adalah 3,3 ml/100gr/menit dan untuk glukosa

4,5 mg/100 gr/menit. Keadaan ini relatif konstan pada saat tidur dan bangun. Otak

memerlukan pasokan substrat yang konstan karena metabolismenya yang tinggi.

Glukosa merupakan bahan bakar untuk jaringan saraf walaupun keton dapat

Page 9: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

9

dipakai selama periode puasa dan ketoasidosis. Aliran darah otak dan laju

metabolisme serebral berlangsung bersama-sama. Peningkatan metabolisme akan

meningkatkan aliran darah otak.11

Pasien dengan cedera otak merupakan manifestasi dari trauma dengan angka

kematian 20-50% di Amerika dengan 85% dari kematian tersebut terjadi pada dua

minggu pertama setelah trauma. Sementara di San Paulo (1997) angka kejadian

cedera otak rata-rata 0,36% dari 1000 penduduk, dengan perkiraan angka

mortalitas 26-39%.10

Sehingga perlunya strategi untuk menjaga perfusi otak dan

mencegah hipoksia, hipotensi dan hipertensi intrakranial yang dapat menurunkan

resiko kematian dan memperbaiki angka kesembuhan dari COB.

Asfiksia atau obstruksi saluran napas atas adalah penyebab utama kematian

pada pasien COB. Cedera pada saraf kranial IX,X,XII dapat membahayakan

kemampuan pasien untuk mempertahankan jalan napas sehingga intubasi

endotrakeal dan ventilasi mekanis merupakan metode yang paling baik untuk

mempertahankan jalan napas dan tetap dipertahankan paska operasi sambil tetap

memantau tingkat kesadaran pasien, dengan tetap mempertahankan pasien tetap

tersedasi dengan analgetik opioid kuat.

B. Glukosa.

Organ-organ yang terlibat dalam homeostasis glukosa adalah otak, penkreas,

otot, jaringan lemak, hati dan daerah hepatoportal serta ginjal. Interaksi dari

semua organ ini untuk menstabilkan glukosa adalah kompleks. Glukosa masuk ke

dalam sel melalui dua cara; secara difusi atau transpor aktif. Cara difusi

membutuhkan alat transport glukosa yang spesifik (GLUTs)(GLUTs-1 sampai

GLUTs-12, H+/pembawa mioinositol dan natrium-dependen glukosa cotranspor

1-6) Insulin adalah salah satu dari beberapa hormon yang terlibat homeostasis

glukosa, merupakan yang terpenting. Meskipun demikian tidak semua sel

tergantung pada insulin untuk transpor glukosa. Transpor glukosa yang tidak

tergantung insulin terjadi di pankreas, otak dan sel endotelial. Sebaliknya, sel

yang glukosa transpornya tergantung pada insulin adalah otot skelet, otot jantung,

jaringan lemak(predominan GLUT-4) dan hati dimana pengambilan glukosanya

diregulasi terutama oleh GLUT-2. Karenanya suatu kondisi yang menyebabkan

Page 10: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

10

penurunan jumlah sekresi insulin atau penurunan sensitivitas sel terhadap insulin

atau keduanya menyebabkan hiperglikemia.12,13

Gambar 1 .Organ utama yang terlibat dalam homeostasis glukosa ( dikutip dari: Herman MA, Kahn BB. Glucose transport and sensing in the maintenance of glucose homeostasis and metabolic harmony. J Clin Invest 2006;116:1767-75).

Respon stress bisa menganggu homeostasis serebral yang mana masih tetap

menjadi salah satu tujuan penting dari neuroanestesi. Lebih khusus, hiperglikemi

bisa menyebabkan kerusakan neurologis akibat peningkatan metabolisme

anaerobik. Pada neuroanestesia, pemberian preparat glukosa dihindari karena akan

memperburuk kerusakan otak pada periode iskemik. Aristedis dkk (2000) dalam

studi restropektif dengan 267 pasien cedera otak mendapatkan bahwa hasil terbaik

yang didapatkan pada pasien dengan kadar GD antara 145 mg/dl dan 180 mg/dl

dimana pada semua kelompok glukosa didapatkan bahwa pemberian insulin

berhubungan dengan resiko mortalitas.14,15

Page 11: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

11

Hiperglikemi menekan fungsi imun (kemotaksis, fagositosis, mengaktifkan

oksigen reaktif spesifik, dan pemusnahan bakteri intraseluler) dan peningkatan

konsentrasi sitokin dalam sirkulasi. Beberapa pengaruh efek hiperglikemi

dilaporkan pada konsentrasi GD>200 mg/dl .16

C. Perubahan Metabolik Dan Nutrisi Pasien Cedera Otak.

Cedera otak akan menstimulasi pengeluaran berbagai hormon, termasuk jalur

hipotalamus-pituitary yang memproduksi adrenocorticotropin releasing

hormon(ACTH, growth hormon, prolactin, vasopressin, dan kortisol sebagai

respon alami terhadap stress. Glukagon dan katekolamin juga akan dilepaskan.

Meskipun katekolamin dapat mempertahankan tekanan darah dan curah

jantung(sehingga memperbaiki perfusi serebral), katekolamin juga meningkatkan

metabolisme basal, konsumsi oksigen, glikogenolisis, hiperglikemia, proteolisis,

dan muscle wasting. Hiperglikemia dan produksi laktat intraseluler dihubungkan

dengan oksigen reaktif, khususnya selama fase iskemik akut akibat cedera

otak.17,18

Perubahan level sitokin dan hormon merupakan bagian dari respon fase akut.

Sebagai contoh, proses infeksi di paru akan merusak monosit yang akan menjadi

makrofag pada bagian infeksi. Makrofag ini akan mengeluarkan protein berupa

sitokin dan peptide lain yang merusak sel darah putih dan menginisiasi respon

inflamasi. Sitokin terdiri dari tumor necrosis faktor-α (TNF-α), dan interleukin 1-

32. TNF-α dan sitokin lain bersirkulasi di hepar, dimana mereka menurunkan

sintesis albumin dan stimulasi sintesis protein fase akut seperti :1) C-reaktif

protein, yang meningkatkan fagositosis dan memodulasi respon imun seluler, 2)al-

antikimotripsin yang memperkecil kerusakan jaringan dari fagositosis dan

mengurangi koagulasi intravaskuler, dan 3) α2-makroglobulin, merupakan bentuk

kompleks dari protease dan mengubahnya dari sirkulasi, terdiri dari produksi

antibodi dan peningkatan granulopoiesis. TNF-α dan beberapa interleukin juga

bersirkulasi di otak dimana mereka berespon pada terjadinya demam dan stimulasi

hormon adrenokortikal dengan peningkatan pada serum kortisol.19

Page 12: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

12

Respon fase akut pada sakit berat atau trauma merupakan salah satu dasar

utama pertahanan selama sakit. Secara philogenetik, respon ini dapat menjadi

pertimbangan utama dan hal itu sama dengan kerusakan pada trauma, luka bakar,

dan infeksi. Dapat meliputi distribusi dan metabolisme asam amino, peningkatan

sintesis protein di fase akut, peningkatan glukoneogenesis, penurunan level serum

besi dan zink, dan peningkatan level seruloplasmin. Demam dan balans nitrogen

yang negatif merupakan tindakan lanjutan pada perubahan ini.9,19

Pembagian klasik pada fase-fase respon inflamasi sistemik pada cedera otak

atau trauma merupakan sarana yang penting untuk menginterpretasikan kejadian

metabolik komplek yang terjadi selama trauma. Fase awal (Ebb Fase) merupakan

respon awal terhadap trauma dimana keadaan hemodinamik tidak stabil, dan pada

akhirnya akan terjadi hipermetabolisme. Fase awal ini biasanya berlangsung

selama 24 jam pertama. Pada fase ini terjadi penurunan penggunaan substrat dan

penurunan fungsi dari sel-sel sehingga mayoritas jaringan tubuh akan terdepresi.

Gejala klinis lainnya yang mungkin timbul mencakup hipotensi sistemik dan

aktivasi sistem saraf otonom(berkeringat, sianosis perifer, dan takikardia).

Pada fase berikutnya (Flow Fase) ditandai dengan peningkatan kardiak output

dan peningkatan kebutuhan energi dan eksresi nitrogen. Pada fase hipermetabolik

ini terjadi pelepasan insulin yang cukup tinggi tetapi efek insulin ini tidak terlihat

karena hormon-hormon anti insulin seperti glukagon, katekolamin serta kortisol

yang dilepaskan juga dalam kadar yang tinggi. Akibat ketidakseimbangan hormon

ini menghasilkan peningkatan mobilisasi asam amino dan asam lemak bebas dari

otot perifer dan jaringan lemak, dimana sebagian besar digunakan sebagai sumber

energi sedangkan yang lainnya akan dibentuk langsung menjadi glukosa dan

melalui proses di hepar menjadi trigliserida. Sementara itu keadaan

hipermetabolik akan melibatkan proses anabolik dan katabolik dan dengan hasil

akhir adalah kehilangan protein dan lemak yang sangat bermakna. Oleh karena itu

pemberian nutrisi sebaiknya diberikan pada Flow fase, sementara pada fase awal

hanya dilakukan resusitasi.3,20

Akan terjadi perubahan konsentrasi komponen fase akut, elektrolit, dan asam

amino setelah cedera otak dan mungkin akan memberikan pengaruh terjadinya

Page 13: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

13

cedera otak sekunder dan penyembuhan cedera otak. Level serum Zinc biasanya

menurun pada cedera otak, akibat sekuestrasi hepar, dan peningkatan kliren renal.

Zinc merupakan bagian penting untuk metabolisme substrat, fungsi immun dan

fungsi reseptor N-methyl-D-aspartat(NMDA). Pemberian suplemen Zinc selama

lebih dari 1 bulan pasca cedera otak akan memperbaiki metabolisme protein dan

prognosis neurologik. Magnesium juga berperan sebagai neuroprotektor karena

aktivitas pada reseptor NMDA dan meningkatkan produksi energi seluler dan

influx kalsium.10, 17

Insulin-like growth factor binding protein-3 (IGFBP-3) biasanya juga

menurun, dimana akan meningkatkan klirens dan mengurangi aktifitas insulin-like

growth factor 1(IGF-1). Suplemen IGF-1 pada pasien cedera otak akan

mengurangi kejadian hiperglikemia dan memperbaiki penyimpanan protein.

Sementara glutamin, yang biasanya dihubungkan dengan berkurangnya

translokasi bakteri, akan meningkatkan sintesis glutamat. Glutamat akan

berinteraksi dengan reseptor NMDA yang dapat menyebabkan kematian sel

dengan pelepasan kalsium.10,17

Tabel 1 . perubahan metabolik dan imun akibat cedera kepala(dikutip dari Cook AM, Peppard A, Magnuson B. Nutrition consideration in traumatic brain injury. Nutrition in clinical practice. 2008; 23(6):608-17).

Page 14: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

14

D. Perubahan Hormon.

Hiperglikemia dikenal sebagai komponen dari respon stress terhadap cedera, mempunyai efek buruk pada neuron. Mekanisme toksisitas secara invivo dari

hiperglikemia belum jelas. Mungkin melalui jalur eksotoksik atau sekunder

terhadap asidosis jaringan atau peningkatan laktat pada neutrofil. Hiperglikemia

setelah cedera mungkin dipacu oleh peningkatan katekolamin dan peningkatan

glukosa endogen yang diproduksi oleh hepar. Hasil akhirnya adalah peningkatan

kadar glukosa di ruang ekstraseluler. Tingkatan hiperglikemia berkorelasi dengan

beratnya cedera. 21,22

Hiperglikemia akan memperburuk defisit neurologis. Pada keadaan adanya

iskemik otak, kadar GD tinggi akan meningkatkan metabolisme anaerob sehingga

terjadi pembentukan laktat yang berlebihan. Keadaan asidosis laktat serebral ini

merangsang pembentukan radikal bebas dan selanjutnya terjadi kerusakan neuron.

Asidosis serebral juga menimbulkan vasodilatasi lokal dan hiperemia, edema

serebral, dan akhirnya kenaikan tekanan intrakranial. 23

Peningkatan serum kortisol adalah salah satu faktor yang berespon pada

peningkatan resistensi insulin. Resistensi insulin mudah didiagnosa karena pasien

dengan trauma akan terjadi peningkatan level glukosa darah (puasa >125 mg/dl

atau tidak puasa > 199 mg/dl). Sebagai tambahan pada kortisol, peningkatan

katekolamin, glukagon dan hormon pertumbuhan pada pasien cedera memberi

kontribusi pada peningkatan resistensi insulin. Semua hormon tersebut

meningkatkan tingkat produksi glukosa. Peningkatan level katekolamin pada

respon langsung, terjadi kerusakan jaringan/cedera dengan pengeluaran hormon

oleh kelenjar adrenal dan ganglia simpatis di seluruh tubuh. Level hormon

glukagon dan hormon pertumbuhan meningkat. Hormon tersebut juga

meningkatkan produksi glukosa oleh hati. 19,24

Sebagai respon normal dari cedera, kemampuan tubuh untuk mengubah

bentuk hormon tiroid, tiroksin (T4) ke bentuk aktif triidotironin (T3) menjadi

terganggu. Terjadi peningkatan konversi dari T4 menjadi bentuk tidak aktif dari

hormon tiroid yang dikenal sebagai reverse T3 (rT3) dibandingkan T3. Hal ini

dapat berkembang menjadi respon energi selama terjadi kerusakan jaringan atau

Page 15: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

15

dalam keadaan sakit untuk mengurangi kontribusi T3 dalam meningkatkan

Resting Energi Expenditure (REE). 19

Respon cedera juga berhubungan dengan peningkatan sintesa protein dan

degradasi protein yang telah ditetapkan studi penelitian radioaktif asam amino.

Berbeda dengan peningkatan sintesa protein tubuh, protein massa otot biasanya

berkurang sehingga peningkatan jumlah sintesa protein dapat menghasilkan

protein fase akut, leukosit, komplemen, dan immunoglobulin. Leukosit

mempunyai waktu paruh 4-6 jam selama infeksi, sehingga sokongan nutrisi yang

adekuat sangat penting untuk perbaikan dan fungsinya. Hal ini diestimasi rata-rata

terpecah dan resintesis menjadi 400 gram protein per hari. 9,25

E. Kebutuhan Kalori.

Pasien dengan cedera berat kebutuhan energinya sekitar 120-250% diatas perkiraan kebutuhan energi basal berdasarkan perhitungan Harris-Benedict. Dengan pemberian sedatif, obat-obat paralise dan barbiturat dapat menurunkan

kebutuhan ini menjadi 76-120%.10

Namun perhitungan berdasarkan Harris

Benedict harus dikalikan dengan koreksi faktor stress yang ada. Penetapan REE (Resting Energy Expenditure)harus dilakukan sebelum pemberian nutrisi. REE

adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk mempertahankan

kehidupan pada kondisi istirahat dan 12-18 jam setelah makan. Perkiraan REE

yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian

nutrisi (overfeeding). Sehingga pada akhirnya orang lebih suka menghitung

kebutuhan energi dengan 25 kcal/kgBB/hari dan dibagi dalam 20% protein, 30%

lemak, dan 50% karbohidrat.26

Page 16: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

16

Tabel 2. Kebutuhan makronutrisi orang dewasa(dikutip dari Roberts PR. Approach to nutritional support. In: Apostolakos MJ, Papadakos PJ, editor. The Intensive Care Manual. 2001. New york: McGraw-Hill Medical Publishing Division: 169-87). F. Nutrisi Enteral.

Nutrisi enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan di rumah

sakit untuk pasien kritis dan pada pasien-pasien yang tidak dapat makan secara

oral atau dengan intake oral yang tidak adekuat dengan keadaan saluran

gastrointestinal yang berfungsi dengan baik. 27

Gambar 2. Perjalanan nutrisi enteral( dikutip dari The DAA Nutrition Support Interest Group. Enteral nutrition manual for adults in health care facilities.2011:5-18).

Page 17: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

17

Pemberian makanan enteral dini akan memberikan manfaat antara lain

memperkecil respon katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki

toleransi pasien, mempertahankan respon imunologik, lebih fisiologis dan

memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit. Nutrisi enteral

memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1

kkal/ml cairan

Kandungan makanannya harus seimbang, harus mengandung semua

komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak, vitamin,

mineral, dan element lain yang memenuhi jumlah kebutuhan

Memiliki osmolalitas yang sama dengan osmolalitas cairan tubuh.

Osmolalitas yang ideal untuk nutrisi enteral adalah 350-400 mOsm sesuai

dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler.

Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat nutrisi enteral sebaiknya terdiri

dari komponenen-komponen yang siap diabsorbsi atau paling tidak hanya

sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorbsi.

Tanpa atau kurang mengandung laktosa, menghindari terjadinya

intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita malnutrisi. Paling

tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya.

Bebas dari bahan-bahan yang dapat menghasilkan purin dan kolesterol

The American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) dan Canadian Clinical Practice Guidelines (CCPG) merekomendasikan bahwa terapi

nutrisi pada cedera otak sebaiknya dimulai lebih awal; antara 24-48 jam sejak

perawatan ICU, sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil. Sementara European Society for parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN)

merekomendasikan terapi nutrisi enteral sebaiknya dimulai setelah 24 jam jika

memungkinkan. 10

Ada juga kepustakaan yang mengatakan bahwa sebaiknya nutrisi enteral

dimulai jika aspirasi residu gaster kurang dari 400 cc per hari, dan tidak ada

kontraindikasi khusus. Dimulai dengan pemberian nutrisi 25 cc per jam, dan

ditingkatkan setiap 12 jam sampai dicapai target 100 cc per jam.4

Page 18: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

18

Pemberian nutrisi dini dapat menurunkan sekresi hormon katabolik, juga

dapat mempertahankan berat badan dan massa otot, serta dihubungkan dengan

proliferasi kuman yang minimal sehingga dapat mengurangi translokasi kuman.

Penegakan status nutrisi juga amat penting sebelum pemberian terapi nutrisi.

Pengukuran berat badan, tinggi, indeks massa tubuh sangat penting. Pemeriksaan

serum albumin darah, prealbumin, transferin dan hitung limfosit dapat juga

digunakan penegakan status nutrisi. Namun protein darah sangat dipengaruhi oleh

hidrasi dan hiperkatabolik dan akan menurun secara nyata dalam dua minggu

pertama setelah COB. Keseimbangan nitrogen juga merupakan metode praktis

untuk mengetahui status nutrisi protein.10,26

Atoni gaster dan gangguan pengosongan lambung yang sering terjadi pada

pasien cedera otak menyebabkan pemberian nutrisi enteral dini sulit. Pemberian

agent prokinetik seperti metoclorpramid atau eritromisin dapat diberikan untuk

meningkatkan motilitas gaster. Diare bisa terjadi akibat pemberian nutrisi enteral,

dapat diatasi dengan pemberian formula yang berbeda. Namun diare persisten

kemungkinan akibat infeksi Clostridium Difficile terutama pasien yang mendapat

antibiotik multipel. Loperamid (2 mg) setiap 500 cc makanan dan setiap setelah

diare, merupakan terapi yang efektif. 4,5

Komplikasi pemberian nutrisi enteral

lainnya adalah banyaknya residu volume gaster, regurgitasi dan aspirasi, ulserasi

bagian hidung, dan kontaminasi dari bahan nutrisi itu sendiri. ASPEN dan CCPG

merekomendasikan agar selalu meninggikan posisi kepala di tempat tidur pada

pasien-pasien kritis yang mendapat nutrisi enteral. Sebaiknya mempertahankan

posisi kepala 30-45 jika tidak ada kontraindikasi medis dan tetap mempertahankan

posisi kepala lebih di atas selama 30 menit setelah pemberian nutrisi.10,28

Pasien yang menerima nutrisi enteral sebaiknya tetap dimonitoring terutama

insersi NGT nya, maintenance keseimbangan metabolik, deteksi awal terjadinya

komplikasi akibat pemberian nutrisi enteral, juga tetap memonitor kadar Gula

darah sewaktu (GDS) setiap 4-6 jam serta kadar elektrolit. 28

Pemberian nutrisi enteral sebaiknya diatur sesuai dengan usia pasien, penyakit

primer, status nutrisi, alat akses nutrisi enteral tersebut, serta kondisi dari saluran

Page 19: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

19

gastrointesinalnya sendiri. Teknik pemberian nutrisi enteral dapat diberikan secara

intermitten atau secara kontinyu, ataupun dengan teknik kombinasi keduanya.

Gejala seperti mual, muntah, distensi abdominal, dan eliminasi feses dan

peningkatan residu gaster merupakan tanda adanya gangguan motilitas

gastrointestional. ASPEN merekomendasikan residu gaster diukur setiap 4 jam

selama pemberian nutrisi dan nutrisi tetap diberikan jika residu kurang dari 500 cc

per hari dan tidak ada tanda-tanda lain intoleransi makanan.10

Ada juga

kepustakaan lain yang mengatakan bahwa tanda-tanda intoleransi ditegakkkan

bila ditemukan residu NGT lebih dari 200 cc/jam.28

Terdapat dua cara untuk

mengukur residu volume gaster : pertama dengan sistem gravitasi ( biarkan ujung

dari tube NGT berada dibawah level abdomen selama 10 menit), yang kedua

dengan cara mengisap (suction) dengan menggunakan spoit 50 ml.10

G. Nutrisi Enteral Kontinyu.

Nutrisi enteral kontinyu adalah pemberian makanan enteral selama 24 jam

secara kontinyu baik dengan pompa makanan maupun dengan drip gravitasi. 27

Nutrisi enteral kontinyu dengan volume rendah seringkali digunakan dalam tahap

awal pemberian nutrisi enteral dan teknik ini dianggap paling sesuai untuk pasien

penyakit kritis dibanding dengan teknik lainnya. Saat nutrisi postpilorik

dibutuhkan, maka nutrisi kontinyu lebih dapat ditoleransi dibanding nutrisi

intermitten. Formula ini sebaiknya diganti atau diisi ulang setiap 4 jam per 24 jam

tergantung sistem yang digunakan.27,29

Nutrisi enteral kontinyu yang direkomendasikan oleh ASPEN dimulai

dengan kecepatan 10-40 ml per jam. Dapat ditingkatkan 10-20 ml per jam setiap

8-12 jam sampai kebutuhan energi target tercapai. 10,29

Jika tidak tersedia enteral

pump dapat menggunakan gravity bag. Dengan mengatur roda klemnya kita dapat

mengatur tetesan formula enteral per menitnya. Metode ini tidak mahal dan

kecepatan drip formula enteralnya dapat dicek secara teratur untuk memastikan

kecepatan formula yang kita berikan.

Page 20: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

20

Tabel 3. Kecepatan jumlah tetesan sesuai dengan volume per jam yang akan diberikan ( dikutip dari The DAA Nutrition Support Interest Group. Enteral nutrition manual for adults in health care facilities.2011:5-18).

Jumlah (ml/jam) Jumlah tetesan/menit

25 7

50 13

75 20

100 27

125 33

150 40

175 47

200 53

H. Nutrisi Enteral Intermittent.

Nutrisi enteral intermitten adalah pemberian makanan enteral selama 4-16

jam saat siang dan malam hari dihentikan pemberiannya. Karena periode

pemberian makanan lebih pendek, maka dibutuhkan jumlah pemberian yang lebih

banyak setiap kali pemberian.

Keuntungan pemberian nutrisi intermitten ini adalah

- Mengijinkan pasien memiliki mobilitas lebih banyak.

- Sebagai transisi dari nutrisi enteral kontinyu menjadi nutrisi enteral bolus,

atau bahkan ke intake oral.

- Pemberian makanan siang hari lebih menurunkan resiko aspirasi karena

sulit mempertahankan elevasi kepala 30 saat malam hari.

- Pemberian makanan siang hari lebih fisiologis dan mungkin memberi

keuntungan seperti membantu menstabilkan siklus diurnal, meningkatkan

motilitas gastrointestinal dan meningkatkan keasaman

lambung(meningkatkan perlawanan terhadap bakteri).

Sementara kerugian dari nutrisi intermitten ini bila dibandingkan dengan

nutrisi kontinyu, nutrisi intermitten membutuhkan kecepatan infus yang jauh lebih

cepat, hal ini mungkin kurang bisa ditoleransi sehingga beresiko menyebabkan

refluks, aspirasi, distensi abdomen, diare, dan nausea.27

Page 21: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

21

I. Nutrisi Untuk Kontrol Gula Darah

Terdapat beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa intoleransi nutrisi

enteral pada pasien-pasien dengan penyakit kritis dihubungkan dengan kontrol

GD kurang optimal. Kontrol GD yang lebih ketat dapat memperbaiki angka

harapan hidup dan memperbaiki toleransi terhadap nutrisi enteral. Hiperglikemia

merupakan efek yang merugikan pada gangguan pengosongan lambung sehingga

dapat menyebabkan gastroparesis. Hiperglikemia umum terjadi pada pasien

penyakit kritis. Faktor-faktor yang berperan termasuk meningkatnya sekresi

hormon-hormon counterregulatory ( misalnya katekolamin, kortisol, hormon

pertumbuhan, glukagon) yang mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis dan

glikogenolisis, juga resistensi insulin yang terjadi akibat peningkatan kadar

sitokin. Peningkatan level GD dapat merusak fungsi imun melalui penurunan

adhesi, kemotaksis, fagositosis, dan kemampuan membunuh mikroba oleh

neutrofil dan juga terjadi glikosilasi imunoglobulin. ASPEN merekomendasikan

utuk mempertahankan GD antara 110-150 mg/dL selama pemberian nutrisi,

karena jika glukosa terlalu rendah dapat mencetuskan terjadinya hipoglikemia.

10,30,31,32

Kontrol GD dengan insulin tanpa pemberian kalori dan karbohidrat akan

meningkatkan resiko hipoglikemia. Strategi untuk mengontrol GD secara ketat

sebaiknya hati-hati dan dikoordinasikan dengan level pemberian nutrisi dan status

metabolik, dimana seringkali mengalami perubahan terutama pada pasien kritis

bedah syaraf. Penelitian terakhir memperlihatkan pengaruh pemberian nutrisi

enteral pada metabolisme otak dengan menggunakan mikrodialisa pada pasien Sub Arachnoid Hematom (SAH). Dua jam setelah pemberian 250 kcal melalui

pipa nasoyeyenum, terdapat penambahan level glukosa di darah dan di daerah

ekstraseluler serebral tanpa terjadi perubahan konsentrasi glutamat. 6

Stress hiperglikemia menginduksi kerusakan motilitas usus sebagai akibat

dari beberapa faktor seperti sitokin yang merupakan hasil produksi inflamasi,

stress oksidatif, vasoaktif peptida intestinal, hipoperfusi splanik, dan obat-obatan

seperti fenitoin, steroid, dan opioid. Gastroparesis akut menyebabkan gangguan

nutrisi yang akan menyebabkan terjadinya fluktuasi kadar GD, sehingga dapat

Page 22: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

22

memperberat penyakit. 6 Peningkatan fluktuasi GD tidak hanya meningkatkan

angka mortalitas, tapi juga meningkatkan angka morbiditas, seperti infeksi

nosokomial, lama rawat di rumah sakit.

Telah diketahui dengan baik bahwa apapun bentuk penyakitnya, akut

ataupun trauma dapat menyebabkan resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan

hiperglikemia. Penyakit ataupun trauma dapat meningkatkan produksi glukosa

oleh hepar bersamaan dengan berjalannya proses glukoneogenesis meskipun

terjadi hiperglikemia dan penghambatan pelepasan insulin. Terdapat resistensi

insulin pada hepar dan pada otot skelet, sebagaimana halnya pada jantung,

pengambilan glukosa yang distimulasi oleh insulin mengalami kerusakan.

Pengambilan glukosa oleh pasien penyakit kritis, akan tetapi, terjadi peningkatan

tapi tempatnya terutama pada jaringan yang tidak tergantung pada insulin untuk

pengambilan glukosa seperti sistem syaraf dan sel darah merah. Resistensi insulin

pada stress dan penyakit kritis dikarakteristikkan dengan peningkatan kadar IGF-

binding protein 1 (IGFBP-1)pada sirkulasi. Telah dilakukan observasi bahwa

kasus yang paling berat dari respon stress termasuk hiperglikemia dan

meningkatkan kadar IGFBP-1 dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan

meningkatnya kematian pasien. Respon hormon counterregulatory, pelepasan

sitokin dan sinyal dari sistem syaraf, semuanya berpengaruh terhadap jalur

metabolik glukosa. Hormon yang terlibat termasuk katekolamin, kortisol,

glukagon, dan hormon pertumbuhan. Sitokin proinflamasi mempengaruhi

homeostasis glukosa secara tidak langsung, dengan merangsang sekresi hormon

counterregulatory secara langsung, dengan mengurangi sinyal reseptor insulin.

Kenyataannya, baik katekolamin endogen maupun eksogen pada penyakit kritis

akan menghambat sekresi insulin dari sel-sel α. Katekolamin juga menekan efek

antiinsulin. 33,34

Fluktuasi kadar GD yang tinggi akan mencetuskan hiperglikemia. Efek ini

mungkin dicetuskan oleh perubahan besar osmolaritas dan kemudian akan

mempengaruhi fungsi sel dan organ. Peningkatan stress oksidatif dapat

menyebabkan disfungsi endotelial dan pada akhirnya akan merusak vaskuler.

Stress oksidatif mungkin merupakan salah satu mekanisme yang mencetuskan

Page 23: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

23

vasokonstriksi, trombosis mikrovaskuler, dan inflamasi yang dihubungkan dengan

hiperglikemia dan variasi GD. Perubahan mendadak dari level glukosa juga dapat

menginduksi adhesi monosit pada sel endotelial. Alasan lain mengapa variasi GD

yang tajam dihubungkan dengan keparahan pasien ICU yaitu terjadinya

hipoglikemia yang tidak terdeteksi. Karena itu perlunya monitoring kontinyu

kadar GD untuk mencegah fluktuasi GD yang ekstrim dan dapat memelihara

kadar GD yang optimal tanpa menyebabkan hipoglikemia. 35

Karena hiperglikemia merupakan faktor resiko terhadap mortalitas dan

morbiditas, pemberian insulin sangat efektif menurunkan kadar gula darah dan

efektif dalam menurunkan mortalitas, tingkat infeksi berat, gagal ginjal akut,

transfusi sel darah merah, durasi pemakaian ventilator, dan lama rawat. Insulin

memiliki efek anabolik dan antikatabolik yang memegang peranan penting pada

metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak. Di ICU, infus intravena merupakan

rute terpilih untuk pemberian insulin dan infus insulin intravena secara kontinyu

terlihat merupakan metode yang efektif untuk mencapai target glikemik spesifik.

Oleh karena waktu paruh insulin yang sangat singkat, pemberian secara intravena

membolehkan penyesuaian dosis dengan cepat.31,32

Target optimal GD untuk pembedahan umum, pasien trauma, dan luka bakar

masih belum jelas. Sekarang ini, studi yang berbeda telah dilakukan yakni

membandingkan kelompok intensif (biasanya 80-110 mg/dL) versus kelompok

konvensional (biasanya <200 mg/dL atau 180-200 mg/dL). RCT terbesar,

penelitian NICE (Normoglycaemia in Intensive Care Evaluation)-SUGAR

(Survival Using Glucose Algorithm Regulation), menemukan peningkatan

mortalitas pada kelompok insulin intensif. Semua penelitian memperlihatkan

peningkatan signifikan insiden hipoglikemia (yang didefinisikan sebagai glukosa

<40 mg/dL atau <50 mg/dL) pada kelompok insulin intensif dibandingkan

kelompok konvensional. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh penelitian

ini, jelas bahwa mempertahankan hampir euglikemia berbahaya pada populasi

pasien penyakit kritis. Berdasarkan informasi yang tersedia sekarang, American

Diabetic Association(ADA)/ American Association of Clinical Endocrinologist

Page 24: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

24

(AACE) merekomendasikan rentang target yaitu 140-180 mg/dL untuk pasien

penyakit kritis.31,36,37

Tabel 4. Regular Insulin “Sliding Scale” (RISS) (dikutip dari Inzucchi SE. Regular Insulin “Sliding Scales” (RISS). In : Diabetes Facts and Guidlines. Yale Diabetes center. 2011: 12-13).

Blood glukosa Highly Insulin Normal Insulin Highly Insulin

(mg/dL) Sensitive Sensitivity (for most Resistant

patients)

<150 0 U 0 U 0 U

150-199 1 U 2 U 3 U

200-249 2 U 4 U 6 U

250-299 3 U 6 U 9 U

300-349 4 U 8 U 12 U

>350 5 U 10 U 15 U

J. Hipotesis Penelitian

Pemberian nutrisi enteral kontinyu akan mengurangi fluktuasi kadar GD dibandingkan dengan pemberian enteral intermitten pada pasien COB pascabedah

yang dirawat di ICU.

Page 25: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

25

KERANGKA TEORI.

COB + Respon Stress Pembedahan

Pelepasan katekolamin dan

hormon/mediator inflamasi

Resistensi Insulin Hipermetabolik

/hiperkatabolik

Hiperglikemia Gastroparesis akut

Nutrisi Enteral Fluktuasi level Gula Nutrisi Enteral

Intermitten darah Kontinyu

Meningkatkan mortalitas dan morbiditas

Page 26: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

26

BAB III

KERANGKA KONSEP

NUTRISI

ENTERAL

KONTINYU CEDERA OTAK BERAT GDS

NUTRISI ENTERAL

INTERMITTEN

UMUR

BB

: variabel bebas

: variabel tergantung

: variabel antara

: variabel kontrol

Page 27: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

27

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal (single blind

randomised control trial)

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar dan di RS

jejaring di Makassar mulai Juni 2013.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah pasien COB pascabedah yang dirawat di ruangan

ICU RS dr.Wahidin Sudirohusodo dan di ICU RS jejaring di Makassar selama

masa penelitian.

Sampel adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan

setuju untuk ikut dalam penelitian, yang diambil dengan metode consecutive

sampling. Pembagian kelompok sampel dilakukan secara acak melalui

pengundian dengan amplop berkode.

D. Perkiraan Besar Sampel

Perkiraan besar sampel dengan menggunakan rumus kategorikal tidak

berpasangan, dimana Zα = 1,96, Zβ = 1,64, P1 (kekuatan/power penelitian sebelumnya) = 0,8, P2 ( clinical judgement) = 0,5 maka diperoleh besar sampel

+ Zβ ( √

n1= n2 = [ Zα √ 2PQ P1Q1 + P2Q2 ) ] 2

dimana : Zα : deviasi baku α

Zβ : deviasi baku β

P1 : kekuatan (power) penelitian sebelumnya.

P2 : clinical judgement.

Page 28: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

28

Berdasarkan rumus diatas didapatkan jumlah sampel 21 untuk tiap kelompok.

Ditambah 10% kemungkinan drop out maka jumlah sampel yang diperlukan

adalah 23 untuk tiap kelompok.

E. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

1. Kriteria Inklusi.

a. Pasien COB pascabedah yang dirawat di ruangan ICU.

b. Keluarga pasien setuju untuk ikut serta dalam penelitian dan

menandatangani surat persetujuan penelian.

c. Umur pasien berkisar antara 16-64 tahun.

d. Berat badan antara 50-75 kg.

e. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat

2. Kriteria Eksklusi.

a. Pasien dengan riwayat penyakit Diabetes Mellitus (DM).

b. Pasien dengan riwayat penggunaan steroid lama.

c. Pasien COB disertai multi organ trauma.

3. Kriteria Drop Out.

a. Karena suatu hal keluarga pasien mengundurkan diri dari penelitian.

b. Terjadi tanda-tanda intoleransi berat terhadap nutrisi enteral sehingga

pemberian nutrisi enteral tidak dapat dilanjutkan.

F. Ijin Penelitian dan Rekomendasi Persetujuan Etik.

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta keterangan kelaikan

etik(ethical cleareance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Manusia

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Semua keluarga pasien yang

memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani

Page 29: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

29

lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian secaraa sukarela. Bila karena suatu

alasan tertentu, keluarga pasien berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian

ini.

G. Metode Kerja.

1. Alokasi subyek.

a. Kelompok K (nutrisi enteral kontinyu), yaitu subyek yang mendapatkan

nutrisi enteral kontinyu 25 Kkal/kgBB/24 jam dengan menggunakan

gravity bag yang diberikan 50% dari total kebutuhan kalorinya pada 24

jam pertama, 75% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam kedua, dan

100% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam ketiga.

b. Kelompok I (nutrisi enteral intermitten), yaitu subyek yang mendapatkan

nutrisi enteral intermitten 25 Kkal/kgBB/24 jam dibagi dalam 6 kali

pemberian dengan cara bolus dengan menggunakan spoit 50 cc selama 15

menit, yang diberikan 50% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam

pertama, 75% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam kedua, dan

100% dari total kebutuhan kalorinya pada 24 jam ketiga.

2. Cara Kerja.

a. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi setelah berada di ruangan ICU,

dilakukan pengambilan data dan pengukuran perkiraan berat badan

berdasarkan tinggi badan.

b. Pasien dikontrol dengan ventilator yang diatur sesuai prosedur standar di

ICU.

c. Kemudian diberikan juga sedasi dan analgetik opioid pascabedah sesuai

dengan prosedur standar di ICU. Diberikan juga obat golongan proton

pump inhibitor untuk mencegah ulkus peptik.

d. Setelah 24 jam pascabedah, sebelum pemberian nutrisi, dilakukan

pengukuran kadar GDS basal pasien kedua kelompok.

e. Secara acak sederhana, pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok K

yang mendapatkan perlakuan pemberian nutrisi enteral secara kontinyu 25

Page 30: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

30

Kcal/kgBB/24 jam yang pada 24 jam pertama hanya diberikan nutrisi 50%

dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua diberikan 75% dari total

kebutuhan kalori, dan pada 24 jam ketiga diberikan 100% dari total

kebutuhan kalori, dengan menggunakan gravity bag. Sementara kelompok

I yang mendapatkan perlakuan pemberian nutrisi enteral secara intermitten

25 Kcal/KgBB/24 jam dibagi dalam 6 kali pemberian , yang pada 24 jam

pertama hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalori, 24 jam kedua

diberikan 75% dari total kebutuhan kalori , dan pada 24 jam ketiga

diberikan 100% dari total kebutuhan kalori dengan menggunakan spoit 50

cc dengan cara bolus selama 15 menit. f. Kadar GDS kedua kelompok diukur setiap 4 jam per 24 jam pada

pemberian nutrisi 50%,75%, dan 100% dari total kebutuhan kalorinya. g. Jumlah residu NGT kedua kelompok juga diukur setiap 4 jam per 24 jam

dengan cara melakukan pengisapan aktif melalui pipa NGT. h. Jika dalam waktu 72 jam pengumpulan data, ternyata kadar GDS baik

kelompok I maupun kelompok K menunjukkan angka 200 gr/dL selama

pengukuran 2 kali berturut-turut, maka diberikan insulin berdasarkan tabel

RISS.

Page 31: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

31

H. Alur Penelitian.

Subyek yang memenuhi kriteria inklusi

Atur ventilator mode PCV RR 20x/menit, TV 6cc/kgBB, PEEP

5 mmH2O, I:E ratio=1:2,FiO2 70-100% Berikan sedasi dengan midazolam 0,05 mg/KgBB/jam/SP, dan analgetik pascabedah dengan

fentanyl 0,5 mcg/KgBB/jam/SP, omeprazole 40 mg/24 jam/iv

Setelah 24 jam pascabedah, ukur kadar GDS

basal kedua kelompok(T0)

Pemberian nutrisi enteral

Nutrisi enteral Nutrisi enteral

intermitten(kelompok I) 25

kontinyu(kelompok K) 25

Kcal/KgBB/hari dibagi

Kcal/KgBB/hari yang

dalam 6 kali pemberian,

diberikan 50%, 75%, 100%

yang diberikan50%, 75%,

dari total kebutuhan

100% dari total kebutuhan

kalorinya

Pengukuran kadar GDS pada jam ke-

4, 8, 12, 16, 20, dan ke-24 selama 3

hari(T1,T2, dst)

Ukur residu NGT per 4 jam selama 72

jam observasi

Pengumpulan data

Analisa dan pengolahan data

Page 32: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

32

Keterangan :

T0 : 24 jam setelah pasien di ruangan ICU, sebelum diberikan nut-

risi.

T1 : Waktu 4 jam setelah diberikan nutrisi enteral awal.

T2 dan seterusnya : Waktu setiap 4 jam setelah T1 selama 72 jam observasi.

I. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel

1. Identifikasi Variabel

a. Nutrisi enteral kontinyu.

b. Nutrisi Enteral intermitten

c. Cedera Otak Berat

d. Kadar GDS

e. Umur

f. Berat badan

2. Klasifikasi Variabel

a. Berdasarkan jenis variabel.

1. Variabel kategorika : Cedera Otak Berat

2. Variabel numerik : Umur, Berat badan, kadar GDS.

b. Berdasarkan Peran/Fungsi Variabel.

1. Variabel bebas : Nutrisi enteral kontinyu, nutrisi enteral intermitten.

2. Variabel tergantung: Kadar GDS

3. Variabel antara : Cedera Otak Berat

4. Variabel kendali : Umur, Berat badan..

Page 33: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

33

J. Defenisi Operasional

Karakteristik penderita : data pribadi dari keluarga pasien seperti umur, berat

badan, riwayat DM, dan riwayat kejadian trauma.

Umur : usia pasien sesuai tanggal lahir yang tercantum di

status pasien yang dikonfirmasikan dengan keluarga

pasien.

Berat badan : dihitung berdasarkan Predicted Body Weight

- laki-laki : 50 + [2,3x(tinggi badan dalam inci – 60)]

- perempuan: 45,5 + [2,3x(tinggi badan dalam inci –

60)].

Kadar GDS : kadar glukosa darah sewaktu yang diperiksa dengan

menggunakan glucoDr, dengan nilai normal pada

pasien kritis adalah 140-180 gr/dL.

Nutrisi enteral kontinyu : pemberian nutrisi enteral(peptisol) secara kontinyu

dengan menggunakan gravity bag dengan total

kebutuhan kalori 25 Kcal/KgBB/hari, yang diberikan

pada hari ke-1 sebanyak 50% dari total kebutuhan

kalorinya, hari ke-2 diberikan 75% dari total

kebutuhan kalorinya, dan hari ke-3 diberikan 100%

dari total kebutuhan kalorinya.

Nutrisi enteral intermitten : pemberian nutrisi enteral(peptisol) secara intermitten

dengan menggunakan spoit 50 cc secara bolus dengan

total kebutuhan kalorinya 25 Kcal/KgBB/hari yang

dibagi dalam 6 kali pemberian, dimana hari ke-1

hanya diberikan 50% dari total kebutuhan kalorinya,

hari ke-2 diberikan 75% dari total kebutuhan

kalorinya, dan hari ke-3 diberikan 100% dari total

kebutuhan kalorinya.

Cedera Otak : cedera otak diklasifikasikan berdasarkan Glasgow

Coma Score (GCS). GCS adalah skala untuk

Page 34: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

34

mengukur kesadaran seseorang, dan merupakan

standar Internasional dan dipergunakan secara luas di

Indonesia. Tiga fungsi utama GCS yang dinilai yaitu :

-Eye (respon membuka mata)

-Verbal (respon suara atau kemampuan bicara)

-Motorik ( respon gerakan)

K. Kriteria Obyektif

1. Usia dinyatakan dalam tahun. 2. Berat badan dinyatakan dalam satuan Kg. 3. Kadar GD dinyatakan dalam satuan gr/dL 4. Nutrisi enteral intermitten (peptisol) dinyatakan dalam Kcal. 5. Nutrisi enteral kontinyu (peptisol) dinyatakan dalam Kcal. 6. Cedera Otak Berat bila skor GCS 8

Respon membuka mata (E)

4 : Buka mata spontan

3 : Buka mata bila ada rangsangan suara

2 : Buka mata bila ada ramgsang nyeri

1 : Tidak buka mata walaupun dirangsang apapun

Respon suara atau kemampuan bicara (V) 5

: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

4 : Bingung, disorientasi waktu, tempat, orang

3 : Dengan rangsangan hanya ada kata-kata tetapi tidak berbentuk kalimat

2 : Dengan rangsangan hanya ada suara tetapi tidak berbentuk kata-kata 1

: Tidak ada suara walaupun dirangsang apapun

Respon Gerakan lengan/tungkai(M)

6 : Mengikuti perintah

Page 35: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

35

5 : Melokalisir nyeri (menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi

rangsang nyeri

4 : withdraws (menghindar/menarik ekstremitas atau tubuh menjauhi stimulus

saat dirangsang nyeri

3 : fleksi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada dan

kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri.

2 : ekstensi abnormal (tangan satu atau keduanya ekstensi disisi tubuh, dengan

jari mengepal dan kaki ekstensi saat diberi rangsang nyeri.

1 : tidak ada respon gerakan walau dirangsang apapun

Klasifikasi skor GCS jika dihubungkan dengan cedera otak

- Cedera Otak Ringan : bila skor 13-15

- Cedera Otak Sedang : bila skor 9-12

- Cedera Otak berat : bila skor 8

L. Pengolahan data dan analisa data.

Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk narasi,

tabel atau grafik. Analisis statistik menggunakan piranti statistik elektronik. Bila

simpangan baku sangat beragam, data parametrik diuji dengan t test dan one

sample test, data non parametrik diuji dengan uji Mann-Whitney. Tingkat

kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05.

M. Jadwal Penelitian.

Penelitian ini akan mulai dilaksanakan pada periode Juli 2013 sampai sampel

terpenuhi.

Page 36: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

36

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Juli sampai dengan

Agustus 2013 dan diperoleh 46 pasien yang keluarganya bersedia mengikuti

penelitian dan memenuhi kriteria inklusi. Empat puluh enam pasien tersebut

kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan

nutrisi enteral kontinyu 25 Kkal/kgBB/24 jam dengan menggunakan gravity bag

dan kelompok yang mendapatkan nutrisi enteral intermitten 25 Kkal/kgBB/24 jam

dibagi dalam enam kali pemberian dengan menggunakan spoit 50 cc dengan cara

bolus selama 15 menit. Setiap kelompok terdiri atas 23 sampel penelitian.

A. KARAKTERISTIK SAMPEL PENELITIAN

Karakteristik sampel penelitian kedua kelompok meliputi umur, tinggi badan,

berat badan, dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5 dan 6.

Dari tabel 5 tampak bahwa untuk kategori umur didapatkan nilai rerata umur

untuk kelompok kontinyu 30,6 (SD 13,2) dan kelompok intermitten 32,7 (SD

13,8). Dari analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara

kedua kelompok (p = 0,598).

Untuk kategori tinggi badan didapatkan nilai rerata pada kelompok kontinyu

64,5 (SD 2,5) dan kelompok intermitten 63,9 (SD 2,0). Berdasarkan analisis

statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p =

0,3444).

Untuk kategori berat badan didapatkan nilai rerata pada kelompok kontinyu

58,9 (SD 6,5) dan kelompok intermitten 57,3 (SD 5,7). Berdasarkan analisis

statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p =

0,428).

Page 37: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

37

Tabel 5. Perbandingan sebaran umur, tinggi badan, dan berat badan pada kedua kelompok

Kelompok

Variabel Studi (n=23) Kontrol (n=23)

Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD

Umur1)

16 60 30,6 13,2 16 60 32,7 13,8

TB2) 60,2 69,0 64,5 2,5 61,0 66,8 63,9 2,0

BB3)

50 70 58,9 6,5 48 66 57,3 5,7

Mann-Whitney test 1) p = 0,598

2) p = 0,344

3) p = 0,428

Keterangan :

Umur, tinggi badan dan berat badan tidak berbeda bermakna antara kedua

Kelompok kontinyu dan intermitten. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua

kelompok sampel adalah homogen dalam hal umur, tinggi badan, dan

berat badan.

Jenis kelamin laki-laki atau perempuan, dianalisa dengan uji Chi-Square untuk

menilai perbedaan proporsi antar kedua kelompok penelitian. Pada kelompok

kontinyu, laki-laki sebanyak 15 orang (65,2%) dan perempuan sebanyak 8 orang

(34,8%). Pada kelompok intermitten, laki-laki sebanyak 14 orang (60,9%) dan

perempuan sebanyak 9 orang (39,1%). Berdasarkan analisis statistik tidak

didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,760).

Tabel 6. Perbandingan sebaran jenis kelamin pada kedua kelompok. Kelompok

Jenis Kelamin Studi (n=23) Kontrol (n=23) P*

n % n %

Laki-Laki 15 65,2% 14 60,9% 0,760

Perempuan 8 34,8% 9 39,1%

* Uji Chi Square test

Page 38: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

38

Keterangan :

Sebaran proporsi jenis kelamin tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok kontinyu maupun intermitten.

Dari kedua tabel diatas menunjukkan bahwa kedua sampel adalah homogen

berdasarkan karakteristik. Dengan demikian hasil analisis perbandingan yang

dilakukan dibawah ini dianggap tidak dipengaruhi oleh karakteristik sampel.

B. KADAR GULA DARAH SEWAKTU

Karakteristik kadar gula darah sewaktu pada kedua kelompok penelitian dapat

dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 7. Perbandingan sebaran kadar GDS basal pada kedua kelompok

Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten

P*

Mean SD Mean SD

T0 155,130 12,538 159,522 14,578 0,279

* Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna. Keterangan :

Sebaran proporsi kadar GDS basal tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua kelompok sampel adalah homogen dalam hal kadar GDS basal.

Page 39: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

39

159,522

160

159

158

157

GDS 156 155,130

(gr/dl)

155

154

153

152

Kontinyu Intermitten

Gambar 3. Perbandingan sebaran kadar GDS basal antara kedua kelompok

Berdasarkan tabel 7 dan gambar 3, nilai rerata kadar GDS basal pada

kelompok kontinyu 155,30 (SD 12,538) dan pada kelompok intermitten 159,522

(SD 14,578). Setelah diuji dengan uji T-Test didapatkan p = 0,279, yakni tidak

didapatkan perbedaan yang bermakna.

Hasil penelitian tentang kadar GDS pada 24 jam pertama, 24 jam kedua, dan

24 jam ketiga pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 8, 9, 10 dan juga

diperlihatkan pada gambar 4, 5, dan 6.

Tabel 8. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam pertama pada kedua kelompok

Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten

P*

Mean SD Mean SD

T1 156,087 10,282 159,043 16,316 0,466

T2 151,391 6,444 156,783 12,295 0,069

T3 150,130 5,319 153,435 13,218 0,272

T4 149,261 5,586 153,304 12,521 0,164

T5 153,783 9,568 157,044 13,907 0,359

T6 152,304 7,169 157,696 13,723 0,102

* Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna

Page 40: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

40

160 159,043

158 156,783 157,044 157,696

156 156,087

154 153,435 153,304

152 151,391 153,783

GDS

150

150,130

152,304

(gr/dl)

148

149,261

146

144

T1 T2

T3

T4

T5

T6

Kontinyu

Intermitten

Gambar 4. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam pertama pada kedua kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jam ke-4 pada kelompok kontinyu

didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 156,087 (SD = 10,282) sedangkan pada

kelompok intermitten 159,043 (SD = 16,316). Pada jam ke-8 pada kelompok

kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 151,391 (SD = 6,444)

sedangkan pada kelompok intermitten 156,783 (SD = 12,295). Pada jam ke-12

pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 150,130 (SD =

5,319) sedangkan pada kelompok intermitten 153,435 (SD = 13,218). Pada jam

ke-16 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 149,261

(SD =5,586) sedangkan pada kelompok intermitten 153,304 (SD = 12,521). Pada

jam ke-20 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah

153,783 (SD = 9,568) sedangkan pada kelompok intermitten 157,004 (SD =

13,907). Sementara pada jam ke-24 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai

rerata kadar GDS adalah 152,304 (SD = 7,169) sedangkan pada kelompok

intermitten 157,696 (SD = 13,723). Dari analisis statistik tidak didapatkan

perbedaan yang bermakna kadar GDS 24 jam pertama pada kedua kelompok ( p >

0,05).

Page 41: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

41

Tabel 9. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam kedua pada kedua kelompok.

Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten

P

Mean SD Mean SD

T7 148,913 6,374 166,261 17,625 0,000

T8 147,304 7,678 161,826 14,779 0,000

T9 150,000 6,701 168,652 14,370 0,000

T10 150,565 6,066 162,043 14,121 0,001

T11 150,739 8,976 165,609 15,695 0,000

T12 151,217 12,703 162,130 18,069 0,022

Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna

170 166,261 168,652

165 161,826 165,609

162,043

162,130 160

155

GDS 150

148,913

(gr/dl) 150,000

150,565

147,304

150,739

151,217

145

140

135

T7 T8

T9

T10

T11

T12

Kontinyu

Intermitten

Gambar 5. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam kedua pada kedua kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jam ke-28 pada kelompok kontinyu

didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 148,913 (SD = 6,374) sedangkan pada

kelompok intermitten 166,261 (SD = 17,625). Pada jam ke-32 pada kelompok

kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 147,304 (SD = 7,678)

sedangkan pada kelompok intermitten 161,826 (SD = 14,779). Pada jam ke-36

pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 150,000 (SD =

6,701) sedangkan pada kelompok intermitten 168,652 (SD = 14,370). Pada jam

ke-40 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 150,565

Page 42: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

42

(SD =6,006) sedangkan pada kelompok intermitten 162,043 (SD = 14,121). Pada

jam ke-44 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah

150,739 (SD = 8,976) sedangkan pada kelompok intermitten 165,609 (SD =

15,695). Sementara pada jam ke-48 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai

rerata kadar GDS adalah 151,217 (SD = 12,703) sedangkan pada kelompok

intermitten 162,130 (SD = 18,069). Dari analisis statistik didapatkan perbedaan

yang bermakna kadar GDS 24 jam kedua pada kedua kelompok ( p < 0,05).

Tabel 10. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam ketiga pada kedua kelompok.

Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten

P

Mean SD Mean SD

T13 149,130 5,934 162,348 16,143 0,001

T14 149,261 5,056 157,869 14,117 0,009

T15 146,652 4,638 157,565 12,511 0,000

T16 148,478 5,526 154,913 8,681 0,004

T17 147,869 5,234 155,435 10,139 0,003

T18 147,522 5,459 158,348 10,209 0,000

Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna

165 162,348

160 157,869 157,565

158,348

154,913 155,435

155

GDS 150

149,130 149,261

(gr/dl)

145

146,652 148,478 147,869

147,522

140

135

T13 T14

T15

T16

T17

T18

Kontinyu

Intermitten

Gambar 6. Perbandingan sebaran kadar GDS 24 jam ketiga pada kedua kelompok.

Page 43: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

43

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jam ke-52 pada kelompok

kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 149,130 (SD = 5,934)

sedangkan pada kelompok intermitten 162,348 (SD = 16,143). Pada jam ke-56

pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 149,261 (SD =

5,056) sedangkan pada kelompok intermitten 157,869 (SD = 14,117). Pada jam

ke-60 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah 146,652

(SD = 4,638) sedangkan pada kelompok intermitten 157,565 (SD = 12,511). Pada

jam ke-64 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar GDS adalah

148,478 (SD =5,526) sedangkan pada kelompok intermitten 154,913 (SD =

8,681). Pada jam ke-68 pada kelompok kontinyu didapatkan nilai rerata kadar

GDS adalah 147,869 (SD = 5,234) sedangkan pada kelompok intermitten 155,435

(SD = 10,139). Sementara pada jam ke-72 pada kelompok kontinyu didapatkan

nilai rerata kadar GDS adalah 147,522 (SD = 5,459) sedangkan pada kelompok

intermitten 155,435 (SD = 10,209). Dari analisis statistik dengan uji T test

didapatkan perbedaan yang bermakna kadar GDS 24 jam ketiga pada kedua

kelompok ( p < 0,05).

C. RESIDU NGT

Hasil penelitian mengenai residu NGT per 24 jam pada kedua kelompok dapat

dilihat pada tabel 11 dan diperlihatkan dalam bentuk diagram batang pada gambar

7. Tabel 11. Perbandingan residu NGT per 24 jam pada kedua kelompok.

Waktu Kelompok Kontinyu Kelompok Intermitten

p

Mean SD Mean SD

24 jam

pertama 73,826 42,682 104,869 54,122 0,036

24 jam

kedua 58,739 32,485 114,000 51,712 0,000

24 jam

ketiga 40,261 37,533 107,522 37,533 0,000

Uji T test, p < 0,05 dinyatakan bermakna

Page 44: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

44

120 114,000

104,869 107,522

100

73,826 80 58,739 NGT 60 (cc) 40,261 40

20

0

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3

Kontinyu

Intermitten

Gambar 7. Perbandingan residu NGT per 24 jam pada kedua kelompok.

Berdasarkan tabel 11 dan gambar 7, jumlah rerata residu NGT pada 24 jam

pertama pada kelompok kontinyu adalah 73,826 (SD = 42,682), sedangkan pada

kelompok intermitten 104,869 (SD = 54,122). Jumlah rerata residu NGT pada 24

jam kedua pada kelompok kontinyu adalah 58,739 (SD = 32,485), sedangkan pada

kelompok intermitten 114,000 (SD = 51,712). Jumlah rerata residu NGT pada 24

jam ketiga pada kelompok kontinyu adalah 40,261 (SD = 37,533), sedangkan

pada kelompok intermitten 107,522 (SD = 37,533). Dari analisis statistik dengan

uji T test didapatkan perbedaan yang bermakna dari jumlah residu NGT per 24

jam baik pada 24 jam pertama, 24 jam kedua, dan 24 jam ketiga pada kedua

kelompok( p < 0,05).

Page 45: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

45

BAB VI

PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian di ICU RS Wahidin Sudirohusodo dan di ICU RS

jejaring di Makassar terhadap 46 pasien cedera otak berat pascabedah yang

dirawat di ICU. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan fluktuasi

kadar GDS pada pasien cedera otak berat pascabedah yang dirawat di ICU yang

diberikan nutrisi enteral kontinyu dibandingkan dengan yang diberikan nutrisi

enteral intermitten.

A. Karakteristik Sampel

Karakteristik sampel penelitian yang meliputi umur, tinggi badan, berat badan,

dan jenis kelamin tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik.

Sehingga sampel dalam penelitian ini dinilai homogen dan layak untuk

dibandingkan. Faktor pasien yang dapat mempengaruhi terjadinya fluktuasi kadar

GDS selain faktor stess adalah usia dalam hal ini adalah geriatrik, dan berat badan

pasien dalam hal ini adalah obesitas. Dimana berat badan pasien kami peroleh

dengan rumus pengukuran berat badan berdasarkan tinggi badan, sehingga kami

membatasi berat badan pasien yang ikut serta dalam penelitian ini adalah ≤ 75 kg.

Pada sampel penelitian ini, usia dan berat badan tidak berbeda secara statistik.

Pemberian nutrisi enteral sebaiknya diatur sesuai dengan usia pasien, berat

badan, penyakit primer, status nutrisi, alat akses nutrisi enteral tersebut, serta

kondisi dari saluran gastrointesinalnya sendiri. Teknik pemberian nutrisi enteral

dapat diberikan secara intermitten atau secara kontinyu, ataupun dengan teknik

kombinasi keduanya. (10,28)

Page 46: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

46

B. KADAR GULA DARAH SEWAKTU

Kadar GDS basal dinilai setelah pasien 24 jam berada di ruangan ICU, atau

sesaat sebelum pemberian nutrisi awal. Pada kelompok kontinyu didapatkan nilai

rerata untuk kadar GDS basal 155,130 (SD 12,538), sedangkan pada kelompok

intermitten didapatkan nilai rerata untuk kadar GDS basal 159,552 (SD 14,578).

Dari analisis statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara kedua

kelompok.

Fluktuasi kadar GDS biasanya diinduksi oleh beberapa faktor sperti stress,

nyeri, trauma, faktor pembedahan, dan beberapa obat-obatan tertentu. Kadar GDS

basal pada kedua kelompok berkisar antara 143-189 mg/dL. Kadar gula darah

tersebut dipengaruhi oleh faktor stress karena trauma dan pasca pembedahan.

Faktor nyeri dapat disingkirkan karena setiap sampel penelitian setelah

pascabedah tetap diberikan analgetik dan sedasi pascabadah sesuai standar di

ruangan ICU. Fluktuasi yang tajam tersebut biasanya dihubungkan dengan angka

mortalitas yang tinggi. Karena peningkatan fluktuasi gula darah akan

menyebabkan stress oksidatif sekunder yang akan menambah kerusakan otak. (6)

Peningkatan stress oksidatif dapat menyebabkan disfungsi endotelial dan pada

akhirnya akan merusak vaskuler. Stress oksidatif mungkin merupakan salah satu

mekanisme yang mencetuskan vasokonstriksi, trombosis mikrovaskuler, dan

inflamasi yang dihubungkan dengan hiperglikemia dan variasi GD. (6,35)

Hiperglikemia akan memperburuk defisit neurologis. Pada keadaan adanya

iskemik otak, kadar GD tinggi akan meningkatkan metabolisme anaerob sehingga

terjadi pembentukan laktat yang berlebihan. Keadaan asidosis laktat serebral ini

merangsang pembentukan radikal bebas dan selanjutnya terjadi kerusakan neuron.

Asidosis serebral juga menimbulkan vasodilatasi lokal dan hiperemia, edema

serebral, dan akhirnya kenaikan tekanan intrakranial. 23

Allport et all (2006) menemukan bahwa akan terjadi peningkatan fluktuasi gula

darah mulai setelah 8 jam pasca trauma atau stroke.(6)

Namun dalam penelitian ini

kami tidak menguji secara statistik waktu kejadian trauma setiap sampel

penelitian ini.

Page 47: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

47

The American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) dan Canadian Clinical Practice Guidelines (CCPG) merekomendasikan bahwa terapi

nutrisi pada cedera otak sebaiknya dimulai lebih awal; antara 24-48 jam sejak

perawatan ICU, atau sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil. Sementara European Society for parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN)

merekomendasikan terapi nutrisi enteral sebaiknya dimulai setelah 24 jam jika

memungkinkan. 10

Biasanya pasien dengan cedera otak dapat mentolerir nutrisi

enteral pada awal pemberian nutrisi hanya sekitar 50% dari total kebutuhan

kalorinya. (17)

Oleh karena itu pada penelitian ini awal pemberian nutrisi selama

24 jam pertama kami hanya memberikan 50% dari total kebutuhan kalori setiap

sampel dan diharapkan pemberian nutrisi enteral ini diberikan dengan dosis penuh

dalam kurun waktu 3 kali 24 jam.

Pada penelitian ini kadar GDS pada 24 jam pertama pada kelompok kontinyu

berkisar antara 140-178 mg/dL. Sedangkan pada kelompok intermitten berkisar

antara 140-180 mg/dL. Dari uji analisis statistik didapatkan bahwa tidak terdapat

perbedaan bermakna kadar GDS 24 jam pertama pemberian nutrisi antara

kelompok kontinyu dan kelompok intermitten.

Maurya dkk (2011) dalam penelitiannya terhadap 40 pasien trauma kepala

yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok nutrisi enteral kontinyu dan nutrisi

enteral intermitten, dengan masing-masing kelompok diberikan nutrisi 30

Kkal/kgBB/24 jam, juga didapatkan tidak ada perbedaan bermakna terhadap kadar

GDS pada masing-masing kelompok. (8)

Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa teknik apapun yang dilakukan dalam

pemberian nutrisi enteral tidak akan memberikan efek terhadap kadar GDS jika

pasien mendapatkan makanan /nutrisi yang adekuat.

Namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa pada pengukuran kadar GDS 24

jam kedua dan ketiga terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok

setelah diuji secara statistik. Pada kelompok kontinyu pada 24 jam kedua

pemberian nutrisi yaitu sebanyak 75% dari kebutuhan total ditemukan kadar GDS

berkisar antara 136-162 mg/dL sedangkan pada kelompok intermitten ditemukan

berkisar antara 140-198 mg/dL. Pada kelompok kontinyu pada 24 jam ketiga

Page 48: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

48

pemberian nutrisi yaitu sebanyak 100% dari kebutuhan kalori total ditemukan

kadar GDS berkisar antara 140-158 mg/dL sedangkan pada kelompok intermitten

ditemukan kadar GDS berkisar antara 138-193 mg/dL. Terlihat bahwa pada

kelompok intermitten terjadi fluktuasi gula darah yang tajam. Fluktuasi yang

tajam dihubungkan dengan pemberian nutrisi secara bolus pada 24 jam kedua dan

ketiga ternyata kurang bisa ditolerir oleh kelompok intermitten. Hal tersebut

ditunjukkan dengan jumlah residu sampel kelompok intermitten pada 24 jam

kedua dan ketiga menunjukkan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan

dengan kelompok kontinyu.

Dengan banyaknya jumlah residu per 24 jam maka akan menambah berat

gastroparesis akut yang sering terjadi pada pasien COB, sehingga akan

menyebabkan gangguan pemberian nutrisi dan dapat menyebabkan fluktuasi level

gula darah. (6,17)

Namun kekurangan yang kami temui sepanjang penelitian ini pada teknik

pemberian nutrisi enteral kontinyu dengan menggunakan kantung gravitasi adalah

agak sulit mengatur roda klemnya untuk pengaturan tetesan formula enteral per

menitnya, perlu pengawasan yang lebih sering agar tetesan formula tersebut tidak

mengalami perubahan. Mungkin akan lebih mudah bila kita menggunakan pompa

khusus untuk nutrisi sehingga tetesannya per menit jauh lebih akurat.

Dan selama 3 kali 24 jam penelitian ini tidak ditemukan insiden hipoglikemi

maupun hiperglikemia, sehingga kami tidak pernah melakukan intervensi terhadap

kadar GDS pada kedua kelompok.

C. JUMLAH RESIDU NGT

Jumlah rerata residu NGT 24 jam pertama pemberian nutrisi pada kelompok

kontinyu adalah 73,826 (SD 42,682) dibandingkan pada kelompok intermitten

adalah 104,869 (SD 51,122). Jumlah rerata residu NGT 24 jam kedua pemberian

nutrisi pada kelompok kontinyu adalah 58,739 (SD 32,485) dibandingkan pada

kelompok intermitten 114,000 (SD 54 ,712). Sementara jumlah rerata residu NGT

24 jam ketiga pemberian nutrisi pada kelompok kontinyu adalah 40,261 (SD

Page 49: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

49

37,533) dibandingkan pada kelompok intermitten 107,522 (SD 37,533). Setelah

dilakukan uji analisis statistik didapatkan perbedaan yang bermakna baik pada 24

jam pertama, 24 jam kedua dan 24 jam ketiga pada kedua kelompok. Terlihat

bahwa residu NGT pada kelompok kontinyu jauh lebih sedikit dibandingkan pada

kelompok intermitten.

Rhoney dkk (2002) melaporkan bahwa intoleransi makanan lebih sering timbul

pada kelompok enteral bolus (intermitten) dibandingkan dengan kelompok lain.5

Pada pasien cedera otak biasanya memang terjadi gangguan pengosongan

lambung akibat kerusakan nervus vagus, peningkatan level opioid endogen dan

endorfin, atau karena penggunaan obat fenobarbital atau narkotik. (17)

Dan hal tersebut dapat diperberat oleh respon stress dan fluktuasi kadar gula darah

yang tinggi.

Atoni gaster dan gangguan pengosongan lambung yang sering terjadi pada

pasien cedera otak menyebabkan pemberian nutrisi enteral dini mengalami

kesulitan. Pemberian proton pump inhibitor serta agent prokinetik yaitu

metoclorpramid atau eritromisin dapat diberikan untuk meningkatkan motilitas

gaster. (4,5)

Pada setiap sampel penelitian ini pascabedah setelah berada di ICU, pasien

tetap diberikan proton pump inhibitor sesuai standar perawatan ICU. Pada

kelompok kontinyu, tidak ditemukan jumlah residu NGT per 24 jam sebanyak ≥ 200 cc, sehingga pada kelompok kontinyu kami tidak pernah melakukan

intervensi berupa penambahan agent prokinetik. Namun pada kelompok

intermitten ditemukan 6 sampel dengan jumlah residu NGT per 24 jam > 200 cc,

yaitu 1 sampel pada 24 jam pertama, 4 sampel pada 24 jam kedua, dan 1 sampel

pada 24 jam ketiga, sehingga kami menambahkan metoclorpramid 10 mg/8 jam/iv

selama pemberian nutrisi. Dan setelah penambahan metoclorpramid kami

mencatat terjadi penurunan jumlah residu NGT.

Nutrisi intermitten membutuhkan kecepatan bolus yang jauh lebih cepat

dengan jumlah volume lebih besar sehingga hal ini kurang bisa ditoleransi

sehingga dengan jumlah residu yang besar beresiko menyebabkan refluks,

aspirasi, distensi abdomen, diare, dan nausea.27

Sementara pada nutrisi enteral

Page 50: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

50

kontinyu dimana pemberian makanan enteral selama 24 jam secara kontinyu

baik dengan pompa makanan maupun dengan kantung gravitasi membutuhkan

volume rendah sehingga absorbsi makanan jauh lebih baik. Oleh karena itu

teknik ini dianggap paling sesuai untuk pasien penyakit kritis dibanding

dengan teknik lainnya. (27,29)

Komplikasi lainnya seperti diare, refluks bahkan aspirasi, serta distensi

abdomen tidak kami temukan selama penelitian ini baik pada kelompok

kontinyu maupun pada kelompok intermitten.

Page 51: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

51

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN 1. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu tidak menunjukkan fluktuasi

kadar GDS yang tajam pada pemberian nutrisi 24 jam kedua dan 24 jam

ketiga. 2. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap kadar GDS pada

pemberian nutrisi 24 jam pertama antara kelompok kontinyu dan

kelompok intermitten. 3. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu lebih baik penyerapannya di

lambung dibandingkan dengan nutrisi enteral secara intermitten, dengan

melihat jumlah residu NGT kelompok kontinyu lebih sedikit dibandingkan

kelompok intermitten baik pada 24 jam pertama, 24 jam kedua, maupun 24

jam ketiga pemberian nutrisi.

B. SARAN 1. Pemberian nutrisi enteral untuk pasien COB yang dirawat di ICU mungkin

dapat dipertimbangkan dengan menggunakan teknik kontinyu dengan

berbagai keuntungan dan dengan efek samping yang hampir tidak ada. 2. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu ini sebaiknya menggunakan

pompa makanan khusus sehingga jumlah tetesan per menitnya dapat lebih

akurat dan efektif. 3. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai hubungan petanda

inflamasi dan stress pada pemberian nutrisi secara kontinyu maupun secara

intermitten pada pasien COB.

Page 52: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

52

DAFTAR PUSTAKA

1. Slone DS. Nutritional support of the critically ill and injured patient. Critical

care clinics.2004;20:135-57. 2. Serpa LF, Kimura M, Faintuch J, Coconello I. Effects of continous versus bolus

infusion of enteral nutrition in critical patients. HOSP. CLIN.FAC.MED.S.

PAULO.2003;58(1):9-14. 3. Debora Y, Villyastuti YW, Harahap MS. Nutrisi pada pasien cedera kepala. J

Anestesiologi Indonesia.2009;1(1):56-64. 4. Gupta AK, Summors A. Nutrition in the neurocritical care unit. In: Notes in

neuroanesthesia and critical care. Green wich medical media london. 2001: 212-3. 5. Lucena AF, Tiburcio RV, Vasconselos GC, Ximenes JDA, Filho GC. Influence of

acute brain injuries on gut motility. Bras ter Intensiva.2011; 23(1):96-103.

6. Godoy DA, Napoli MD, Biestro A, Leinhardt R. Perioperative glukosa control

in neurosurgical patients. Anesthesiology Research and Practice; 31 Juli 2011

[diunduh 21 Oktober 2011] + [sekitar 13 halaman]. Tersedia dari Hindawi

Publishing Corporation. 7. Valentine G, Phillips A, Blood glucose control within critical care – a review of

literature influencing practise. Journal of diabtes nursing.2012;16(8):332-7. 8. Maurya I, Pawar M, Garg R, Kaur M, Sood R. Comparison of respiratory quotient

and resting energy expenditure in two regimens of enteral feeding – continous vs.

Intermittent in head-injured critically ill patients. Saudi J Anaesth. 2011;5(2):195-

201. 9. Bisri T. Terapi nutrisi. Dalam : Penanganan neuroanesthesia dan critical care

cedera otak traumatik. Bandung: Fakulktas Kedokteran Universitas Padjajaran.

2012:229-42. 10. Campos. Machado FS. Nutrition therapy in severe head trauma patients. Bras Ter

intensiva. 2012; 24(1): 97-105.

Page 53: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

1

11. Weisman C. Nutrition and metabolic control. In: Miller RD. Eriksson LI. Fleisher

LA. Wiener JP. Young WL, editors. Miller’s anesthesia. 7th

ed. Philadelphia:

Elsevier; 2009: 390-3. 12. Herman MA, Kahn BB. Glucose transport and sensing in the maintenance of

glucose homeostasis and metabolic harmony. J Clin Invest 2006; 116: 1767-75. 13. Cely CM, Arora P, Quartin AA, Kett DH, Schein RM. Relationship of baseline

glucose homeostasis to hyperglycemia during medical critical illness. Chest.

2004;126:879-87. 14. Pasternak JJ, McGregor DG, Scroeder DR, Lanier WL, Shi Q, Hindman BJ et al.

Hyperglicemia in patients undergoing cerebral aneurysma surgery: its association

with longterm gross neurologic and neuropsychological function. Mayo Clin Proc.

2008;83:406-17. 15. Inzucchi SE. Clinical practise. Management of hyperglicaemia in the hospital

setting. N Engl J Med. 2006; 355:1903-11. 16. Turina M, Miller FN, Tucker CF, Polk HC. Short-term hyperglycemia in surgical

patients and a study of related cellular mechanism. Ann Surg. 2006; 243: 843-51. 17. Cook AM, Peppard A, Magnuson B. Nutrition consideration in traumatic brain

injury. Nutrition in clinical practice. 2008; 23(6):608-17. 18. Wiryana M. Nutrisi pada penderita sakit kritis. Bagian Ilmu Anestesi dan

Reanimasi FK UNUD. J Peny Dalam. 2007; 18. 19. Tayek JA. Nutrition. In: Bongard FS, Sue DY, Vintch JR, editors. Current

diagnosis and treatment critical care. 3rd

. New York: McGraw-Hill. 2008: 117-35. 20. Zaloga GP. Report of the twelfth ross round on medical issues colombus OH.

Ross Laboratories. 1992:44-51. 21. Frontera JA, Fernandes A, cloasen J, Schmidt M, Schumacher HC, Wartenberg K,

et al. Hiperglicemia after SAH predictors, associated complications and impact on

outcome. American Heart Association. 2005. Tersedia dari : www.strokeaha.org. 22. Schmidt JM, Claassen J, Ko SB, Lantigua H, Presciutti M, Lee K. Nutritional

support and brain tissue glucose metabolism in poor-grade SAH : a retrospective

observasional study. Crit Care. 2012;16(1):15-27.

Page 54: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

2

23. Muppet IK. Traumatic brain injury: assesment, resuscitation early management.

BJA. 2007;99(1):18-31. 24. Kudsk KA, Jack GS. Nutrition in the care of the patient with surgery, trauma, and

sepsis. In: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, editors.

Modern nutrition in health and disease. 10th

ed. New york:Lippincott Williams

and Wilkins; 2006: 234-7. 25. Peake SL, Ridley E, Chapman M. Energy goals in the critically ill adult. In:

Vincent JL, editor. Annual update in intensive care and emergency medicine.

2011. New York: Springer.2011: 698-701. 26. Roberts PR. Approach to nutritional support. In: Apostolakos MJ, Papadakos PJ,

editor. The Intensive Care Manual. 2001. New york: McGraw-Hill Medical

Publishing Division: 169-87. 27. The DAA Nutrition Support Interest Group. Enteral nutrition manual for adults in

health care facilities.2011:5-18. 28. Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidlines for enteral feeding in adult hospital

patients. Gut 2003;52(7): 1-12 [diunduh February 2013]. Tersedia dari

www.gutjnl.com. 29. Bankhead R, Boullata J, Brantley S, Corkins M, Guenter P, Krenitsky J, et al.

Journal of parenteral and enteral nutrition. The American Society for Parenteral

and Enteral Nutrition. January 2009 [diunduh Maret 2009]. Tersedia dari

http://www.sagepublications.com. 30. Van den Bergh G, Schetz M, Vlaaselaers D, Hermans G, Wlimer A, Bouillon R,

et al. Intensive insulin therapy in critically ill patients : nice sugar or leuvon blood

glucose target. J Clin Endocrinol Metab. 2009;94:3163-70. 31. Department of surgical education, Management of hyperglycemia in critically ill

surgical (non-cardiac) patients, Orlando regional Medical Centre, 2011. 32. Prins A. Glucose : the worst of all evils. S Afr J Clin Nutr. 2010;23:50-4. 33. Egi M, Bellomo R, Reducing glycemic variability in intensive care unit patients :

a new therapeutic target?. Journal of Diabetes Science and Technology. 2009;

3(6):1302-8.

Page 55: --veronikasu-3447-1-13-veron-k  kjkj

3

34. Sengupta G, Guha A, Rudra A, Maitra G, Kumar p, Roy K. Indian Journal of

Anaesthesia. 2008; 52(1):23-27. 35. Hsu CW. Glycemic control in critically ill patients. World J Crit Care Med.

2012;1(1):31-39. 36. Klonoff DC. Intensive insulin therapy in critically ill hospitalized patients :

making it save and effective. Journal of Diabetes Science and Technology.

2011;5(3):755-67. 37. Klonoff DC. Intensive insulin therapy in critically ill hospitalized patients :

making it save and effective. Journal of Diabetes Science and Technology.

2011;5(3):755-67. 38. Inzucchi SE. Regular Insulin “Sliding Scales” (RISS). In : Diabetes Facts and

Guidlines. Yale Diabetes center. 2011: 12-13.