Upload
doannhi
View
254
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Maqosid syar’iyah (tujuan hukum islam), secara bahasa maqosid syar’iyah
terdiri dari 2 kata yaitu maqosid dan syar’iyah. Maqosid berarti kesengajaan/tujuan
maqosid termasuk bentuk jama dari maksud yang berasal dari kata qoshada yang
berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqosid berati hal-hal yang dikehendaki
dan di maksudkan, secara syariah maqosid adalah sumber air. Qs. Al Jariyah :18
Allah berfirman :
“Kemudian kami jadikan kamu berada berada diatas sesuatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu) maka ikutlah syariat itu dan jangan kamu ikuti
hawa nafsuh orang-orang yang tidak mengetahui.”
Konsep maqosid syar’iyah, menurut al syatibi syariat adalah aturan-aturannya yang
diciptakan Allah wajib di pedomani oleh manusia dan mengatur hubungan dengan
tuhan, dengan manusia baik sesama muslim atau non muslim.
Maqosid syar’iyah secara istilah yaitu tujuan-tujuan syariat islam yang
terkandung dalam setiap aturannya. Sesungguhnnya syariat itu di tetapkan bertujuan
untuk tegaknnya kemaslahatan manusia didunia dan akhirat.
Maqosid syar’iyah secara umum yaitu kemaslahatan bagi manusia dengan
memelihara kebutuhan dhururat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Haji’yat
dan tahsiniyat mereka.
Abu Ishak ala shafibi merumuskam 5 tujuan islam:
Hifdz addin (memelihara agama)
Hifdz An- nafs (memelihara jiwa)
Hifdz Al-a’aql (meelihara akal)
Hifdz An nasb (memelihara keturunan)
1
Hifdz Al-mial ( memelihara harta)
Tingkatannya:
a. Kebutuhan dahrurrat, kebutuhan primer,
b. Kebutuhan hijayat, kebutuhan skunder.
c. Kebutuhan Tashiniyat, kebutuhan yang tidak terpenuhi.
B. BATASAN MASALAH
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
1. Apa yang dimaksud Maqosid syar’iyah?
2. Apa manfaat mempelajari Maqosid syar’iyah?
3. Unsur- unsur apa sajakah yang terkandung Maqosid syar’iyah?
C. TujuanAgar semua tahu pengertiaan, Unsur-unsurnnya, hukum-hukumnnya, manfaatnnya
dari Maqosid syar’iyah, agar mereka mengarti dalam pembelajaran ini.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Maqashid Syari’ah
Maqashid bererti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan,
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan syari’at secara
bahasa berarti الماء الي تحدر ertinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber المواضع
air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Didalam Al-Qur’an Allah swt. menyebutkan beberapa kata syari’at diantaranya sebagai mana
yang terdapat dalam Surah Al-Jassiyah dan Asy-Syura:
يعلمون ) ال الذين أهواء تتبع وال فاتبعها األمر من شريعة على جعلناك (١٨ثم
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama
itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. (Al-Jatsiyah 45 : 18)
لقضي الفصل كلمة ولوال الله به يأذن لم ما الدين من لهم شرعوا شركاء لهم أم
أليم ) عذاب لهم الظالمين وإن (٢١بينهم
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa iaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. (Asy-Syura 42: 13)
Perkataan syari’at apabila disebut para ulama boleh terdiri kepada dua pengertian;
1. Seluruh agama yang mencakup akidah, ibadah, adab, akhlak, hukum dan mu’amalat
2. Sisi hukum amal di dalam agama
Di dalam tulisan ini, kami memlilih yang kita maksudkan syari’at adalah seluruh maksud
Islam kerana akidah adalah pokok, asas dan banggunan seluruh agama.
3
Dalam istilah para ulama, Maqashid Asy-Syari’ah adalah: tujuan yang menjadi target nash
dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa
perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.
““Maksud-maksud” juga boleh disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan
ditetapkan huku. Baik yang diharuskan ataupun tidak. Kerana dalam setiap hukum yang
disyari’atkan oleh Allah untuk hambaNya pasti terdapat hikmah.”
Contohnya di dalam pewarisan harta, syari’at Islam memberikan hak istimewa kepada anak
perempuan daripada anak lelaki kerana meskipun tidak perlu menanggung kewajipan seperti
yang ditanggung anak lelaki, anak perempuan tetap diberikan harta waris.
“Maksud-maksud syari’at bukanlah ‘illat (motif penetapan hukum) yang disebutkan oleh para
ahli ushul fikih dalam bab qiyas dan didefinisikan edngan “sifat yang jelas, tetap, dan sesuai
dengan hukum.” Illat tersebut sesuai dengan hukum, tetapi ia bukan maksud bagi hukum
tersebut.”
Sebagai contoh, ‘illat rukhsah ketika safar baik dalam bentuk jama’-qashar atau berbuka
ketika shaum di bulan Ramadhan adalah safar, bukannya hikmah yakni kesusahan yang
dirasakan sewaktu bermusafir. Para ahli ushul fikih tidak menyatukan antara hukum dan
hikmah kerana hikmah sulit untuk ditetapkan contohnya jika kesusahan itu i’llat, mungkin
ada orang yang mengatakan saya tidak susah.
Secara bahasa, maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yakni, maqashid dan
syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshid yang berarti kesengajaan atau
tujuan, syari’ah berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula
dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Menurut asy-Syatibi, maqashid
syari’ah merupakan tujuan syari’ah yang lebih memperhatikan kepentingan umum.
Sebagaimana yang ada di dalam kamus dan penjelasannya bahwa syariat adalah
hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau, hukum
yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji,
zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan
manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Allah SWT berfirman :
ثم جعلنا على شر ىعه من االمر
4
“kemudian kami jadikan kamu berada di atas sebuah syariat, peraturan dari
urusan agama itu” (QS. al- Jatsiyah :18)
Islam memiliki kitab suci al-Qur’an. Sebagai sumber utama, al-Qur’an
mengandung berbagai ajaran. Dikalangan ulama ada yang membagi kandungan al-
Qur’an kepada tiga kelompok besar yaitu, aqidah, khuluqiyyah, dan amaliyah. Aqidah
berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyyah berkaitan dengan etika dan akhlak.
Amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang keluar dari Aqwal (ungkapan-
ungkapan), dan af’al (perbuatan-perbuatan manusia).
Sebelum kita melangkah pada pengertian Maqashid asy Syari’ah, terlebih dahulu
kita jelaskan pengertian syari’ah secara terpisah. Dalam literatur hukum islam dapat
ditemukan pendapat-pendapat ulama tentang syari’ah ini.
Dalam periode-periode awal, syari’ah merupakan al-nusus al-Muqaddas dari al-
Qur’an dan sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri pemikiran
manusia. Dalam wujud seperti syari’ah disebut al – tariwah al mustaqimah. Muatan
syari’ah dalam arti ini mencangkup aqidah amaliyah, dan khuluqiyyah.
Menurut istilah, Maqashid Syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan
persyariatan hukum. Jadi, Maqashid Syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai
dari suatu penetapan hukum.
B. Jalan Menuju Maqashid Syari’ah
Untuk menuju kepada maksud-maksud syari’at. Hujjatul Islam Abul Hamid Al-Ghazali telah
membuat satu perbahasan khusus yang menjelaskan tentang maslahat sebagai asal yang tidak
jelas (ash mauhum) dan membahaginya kepada tiga (3) tingkatan yang kemudiannya dirinci
oleh Imam Asy-Syathibi 5 dll iaitu:
,الضروريات مقاصد حاجيات مقاصد dan التحسيناتمقاصد
1. Dharûriyât (primer) ertinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika
tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam.
2. Hâjiyât (sekunder) maksudnya sesuatu yang diperlukan untuk menghilangkan
kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit.
5
3. Tahsiniat (tertier) ertinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan
menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis,
dan menutup aurat.
Dharûriyât dijelaskan dengan lebih rinci mencakup lima tujuan (al-kulliyyat al-khamsah),
iaitu :
1. menjaga agama (hifzh ad-din)
2. menjaga jiwa (hifzh an-nafs)
3. menjaga akal (hifzh al-‘aql)
4. menjaga keturunan (hifzh an-nasl)
5. menjaga harta (hifzh al-mal)
Sehingga tujuan dari Maqashid Syariah akan tercapai jika terpenuhinya penjagaan kelima
unsur yang telah disebutkan tadi.
Namun orientasi para ahli Ushul Fiqih di zaman dahulu lebih diarahkan kepada individu,
tidak kepada masyarakat, umat, Negara dan hubungan kemanusiaan. Dr Yusuf Qardhawi
berpendapat bahwa maksud-maksud syari’at boleh dicapai dengan beberapa jalan;
1. Meneliti setiap ‘illat nash Al-Quran dan As-Sunnah
2. Meneliti, mengikuti, dan memikirkan hukum-hukum partikular. Untuk kemudian
menyatukan antara satu hukum dengan hukum yang lain agar dari penelitian ini kita
dapat mendapatkan maksud-maksud umum yang menjadi maksud Allah dalam
membuat hukum-hukum tersebut.
Imam Asy-Syathibi menyebutkan tiga (3) syarat yang diperlukan untuk memahami
Maqashid Syari’ah. Ketiga syarat itu adalah:
1. Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab. Contoh: lafaz ‘am, lafaz Khas,
musytarak, haqiqat, majaz, dilalah lafaz, dan nasakh
2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya Ayat
6
C. Maqashid Syari’ah adalah Manhaj Para Sahabat
Fikih Khulafaur-rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbad, Ibnu Umar, Aisyah, Muadz, Zaid bin
Tsabit pasti akan terlihat dengan jelas bahwa mereka memerhatikan terhadap hal-hal yang
ada di belakang hukum baik merupakan ‘illat, kemaslahatan, ataupun hikmah serta maksud-
maksud yang ada di dalam perintah dan larangan.
Contoh :
1. Ketika Muadz bin Jabal diutus ke Yaman, baginda saw. menyuruh Muadz ra. agar
mengambil zakat daripada orang-orang kaya untuk diberikan kepada faqir miskin. “Ambillah
biji daripada biji, kambing daripada kambing, unta daripada unta dan lembu daripada lembu.”
HR Bukhari
Ketika ibu kota khalifah memerlukan banyak bantuan, Muadz tidak mengambil biji keculai
dari biji secara literal, tetapi berpendapat bahwa mengambil harga/nilai yang ada dalam harta
zakat untuk memenuhi keperluan kaum muslimin dengan mengambil pakaian dan kain
Yaman.
2. Umar ra. yang merubah aqilah (kerabat daripada pihak bapa untuk membayar diyat dalam
pembunuhan tidak sengaja) kepada dewan kerana tolong-menolong (tanashur) pada zaman
sebelumnya adalah fanatisme kabilah tetapi dasar tolong-menolong kini telah berubah.
Sesuatu boleh menjadi aqilah sesuai dengan tempat dan waktu bagi orang yang menolong
seseorang di waktu dan tempat tersebut seperti sewaktu anda berada di luar negara, jauh
daripada keluarga atau pertubuhan.
D. Beberapa Pendekatan dalam memahami maksud-maksud global dalam syari’at
dan nash-nash partikular
Seharusnya, nash-nash yang partikular berjalan dalam kerangka yang global dan
hukum-hukum perlu dihubungkan dengan maksud-maksudnya, bukan dipisahkan. Namun
terdapat dua (2) madrasah yang memiliki manhaj yang pelik.
7
Pertama (Zhohiriyyah); Madrasah yang lebih bergantung kepada nash-nash partikular,
memahaminya dengan pemahaman literal dan jauh daripada maksud-maksud syari’at yang
ada di belakangnya.
Ciri-ciri :
1. Pemahaman dan penafsiran yang literal. Contoh dalam masalah isbal 6
(memanjangkan kain melebihi buku lali) dan tidak memandang ‘illat yang ada pada
hadis lain yang sahih yang mengharamkan isbal kerana “kesombongan”
2. Keras dan menyulitkan. Mereka berpendapat apa sahaja hal yang mereka putuskan
adalah kebenaran yang sesuai dengan dalil. Pendapat mereka lebih dekat kepada
haram sedangkan ulama salaf tidak pernah menyebutkan kata “haram” kecuali
terhadap hal yang jelas-jelas di haramkan.
3. Sombong terhadap pendapat mereka. Pendapat mereka adalah kebenaran mutlak dan
selainnya salah.
4. Tidak menerima orang-orang yang berbeza pendapat.
5. Mengkafirkan orang-orang yang berbeza pendapat. Mereka ada yang menghukum
sesiapa yang berbeza pendapat dengan mereka sebagai khawarij dan kafir. Sedangkan
menurut kaedah hukum orang yng dituduh adalah “benar” sehingga terbukti bersalah
6. Tidak peduli terhadap fitnah.
Landasan :
1. Memahami nash dengan literal tanpa melihat ‘illat, makna dan maksud-maksud yang
terkandung dalam nash tersebut. Sedangkan para sahabat berselisih pendapat dalam
sabda nabi “Tidak boleh ada seorang pun yang solat kecuali di Bani Quraizhah” HR
Bukhari
2. Mengingkari ta’lil (reasoning) hukum yang berasal dari akal dan ijtihad manusia.
Ulama bersepakat ta’lil tidak dibolehkan dalam hukum ibadah kerana dasar ibadah
adalah ta’abbud tanpa mengetahui hikmah sedangkan dasar mu’amalah adalah
mengetahui makna, rahsia dan maksud-maksud.
3. Kurang menghargai peranan aqal, dan cenderung tidak menggunakan aqal (rasional)
untuk memahami nash.
8
4. Menempun jalan yang sulit dalam hukum. Mereka mencela fiqh taysir sedangkan
Nabi saw. bersabda, “Tidak diberi pilihan dua perkara kecuali selalu mengambil yang
paling mudah, selama ia tidak dosa.” HR Bukhari
Fatwa harus berubah seiring perubahan zaman, tempat, tradisi dan keadaan.
Antara Hasil Madrasah Ini –
1. Mengharamkan/Membatalkan harga wang kertas (Pendapat golongan al-ahbasy di
Lebanon) kerana ia bukanlah wang yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan
wang itu tidak perlu dikeluarkan zakat dan tidak berlaku riba’ keatasnya.
Sedangkan dengan wang inilah kita menjalankan kehidupan seharian.
2. Menggugurkan zakat harta perdagangan kerana tidak berubah menjadi wang dn terjadi
perubahan sedikit hingga mencapai haul.
Sedangkan dalam dunia perniagaan hari ini, barang dagangan sentiasa datang dan pergi dan
ini bertentangan dengan maksud hukum zakat itu sendiri.
3. Zakat fitrah harus dikeluarkan dari makanan sahaja sedangkan inti kepadanya adalah
menjadikan kecukupan orang miskin di hari yang mulia itu.
4. Mengharamkan fotografi/video
Kedua; Madrasah yang jauh menyimpang daripada Al-Quran dan As-Sunnah dengan klaim
mereka bergantung kepada maksud-maksud syari’at dan ruh agama dengan membatalkan
nash-nash partikular untuk menghalalkan liberalisme, sekularisme, modernisme dan
sebagainya yang menjadi hamba kepada al-hawa.
Ciri-ciri :
1. Dangkal pemahaman terhadap syari’at.
2. Berani berpendapat tanpa ilmu, untuk berlaku sombong dan melakukan klaim-klaim.
3. Hamba barat
9
Landasan:
1. Meninggikan aqal daripada wahyu. Mereka berdalil “Allah mengkehendaki kemudahan
bagimu, dan tidak mengkehendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185) untuk
membatalkan nash-nash syari’at.
Sehebat mana-pun aqal manudia di zaman moden ini, jutaan manusia terjerumus dalam
kehancuran akibat aqal yang dipandu tanpa wahyu
2. Mengklaim bahwa Umar ra. membatalkan nash atas nama maslahat.
Contoh sikap Umar ra. zakat memberikan bahagian zakat kepada muallaf (at-Taubah: 60),
membatalkan pembahagian ghanimah di antara orang-orang yang ikut berperang (al-Anfal:
41) dan tidak melaksanakan had mencuri pada tahun kelaparan (al-Maidah: 38).
Sedangkan fiqih Umar ra. tidak pernah lari daripada maksud-maksud syari’at. Kerana tidak
ada objek yang perlu dipujuk hatinya, maka ‘illat hilang dan Rasulullah telah memujuk hati
mereka para muallaf demi kemaslahatan Islam sedangkan di zaman Umar Allah swt. telah
memuliakan Islam hinggakan tiada alasan lagi untuk memujuk hati mereka.
Hudud pula harus dihindari kerana adanya syuhbat.
3. Salah faham terhadap pemikiran Najmuddin ath-Thufi
4. Berpegang dengan kaedah, “Dimana ada kemaslahatan, di sanalah ada syari’at Allah”
Yang sebenarnya mereka tidak mengambil kaedah yang dinisbatkan kepada Ibnul Qayyim ini
baik pada teks mahupun lafaznya kerana mereka menganggap syari’at Allah wajib menurut
kemaslahatan sedangkan sepatutnya “dimana ada syari’at Allah di sanalah ada kemaslahatan
manusia.”
Antara Hasil Madrasah Ini:
1. Membuang nash qath’i dan mengambil nash mutasyabihat
Contoh mereka berpendapat Allah tidak mengharamkan arak dengan jelas seperti bangkai,
darah dan daging babi dan mereka ragu terhadap As-Sunnah.
10
Sedangkan yang haram di dalam Al-Quran tidak semestinya menggunakan lafaz haram.
2. Melawan hukum Islam dan Hudud atas nama kemaslahatan
Contoh mengatakan maksud ibadah adalah mensucikan jiwa dan dengan maksud itu kita
boleh beribadah dengan apa cara sekalipun. Mereka juga menghalalkan pelacuran, arak dan
riba dengan berbagai alasan contohnya untuk menarik pelancong untuk kemajuan.
3. Munculnya pemikiran-pemikiran yang keliru
E. Madarasah Moderat – Menggabungkan Teks-Teks Partikular dan Maksud-Maksud
Global
Inilah manhaj “jalan lurus” (ash-shirath al-mustakim) yang menolak extremisme kedua
kelompok di atas. Firman Allah swt.;
الميزان ) في تطغوا الميزان( )٨أال تخسروا وال بالقسط الوزن (٩وأقيموا
Supaya kamu tidak melampaui batas dalam menjalankan keadilan; an betulkanlah cara
menimbang itu dengan adil, serta janganlah kamu mengurangi barang yang ditimbang. (Surah
Ar-Rahman: 8-9)
Ciri-ciri:
1. Percaya kepada hikmah syari’at yang mengandung kemaslahatan. (al-Baqarah: 143, 185,
220, al-Maidah: 6, al-Hajj: 78, an-Nisa’: 28, al-Anbiya’: 107)
Berkata Ibnul Qayyim,
Seluruh syari’at mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah. Segala masalah
yang mengubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi bencana, maslahat menjadi
kemudharatan, dan hikmah menjadi kebathilan, adalah bukan syari’at. Meskipun masalah
tersebut dicuba untuk ditakwil. 7
2. Menggabungkan nash dan hukum syari’at. Hukum syari’at harus dilihat secara
komprehensif, dan tidak terpisah antara satu sama lain.
11
3. Memandang dengan adil terhadap urusan agama dan dunia
4. Menyambungkan nash dengan realiti kehidupan. Contoh permasalahan kaum muslimin
yang minoriti di negeri bukan Islam
5. Memudahkan manusia.
6. Terbuka, dialog, dan toleransi terhadap dunia.
Landasan:
1. Mencari maksud-maksud syari’at sebelum mengeluarkan hukum.
Contoh hadis Ibnu Umar “Berbezalah dengan orang-orang musyrik, panjangkanlah janggut
dan potonglah misai.” Muttafaqun ‘Alaih
o ‘illat khusus hadis ini adalah tidak menyamai bentuk dan gaya non-muslim.
o Apakah perbezaan bentuk tersebut termasuk ke dalam adh-dharuriyyat, al-hajiyyat
atau at-tahsiniyyat ? Justru ia lebih sesuai kepada at-tahsiniyyah yang sama dengan
sunnah, bukan wajib.
o Sama seperti perintah warnakan uban dll. Tetapi memakai hijab adalah wajib dan
tidak boleh ditinggalkan
2. Memahami nash dalam bingkai sebab dan keadaannya
Ada hukum yang dibangun daripada sesetengah hadis yang gugur apabila hilang ‘illatnya.
o Contoh seperti wanita bepergian tanpa mahram dan seseorang yang mengetuk pintu
rumah di malam hari.
“Seseorang wanita tidak boleh bepergian jauh kecuali dengan mahram” HR Bukhari
‘illat larangan di atas adalah adanya kekhuatiran atau rasa takut jika wanita pergi sendiri
tanpa suami atau mahram di mana pada saat itu umumnya bepergian jauh menggunakan unta
dll merentasi padang pasir.
o Membukukan Al-Quran:
“Janganlah kalian menulis dariku sedikit-pun. Barangsiapa yang menulis selain Al-Quran
hendaklah menghapusnya.” HR Muslim
12
3. Membezakan antara maksud-maksud yang tetap dan wasilah-wasilah yang berubah
Contoh prinsip syura dalam kehidupan Islam (asy-Syura: 38), persiapkan kuda untuk
menghadapi musuh (al-Anfal: 60), hijab muslimah (al-Ahzab: 59), siwak, melihat
hilal dll
Tidak boleh mengubah maksud kepada wasilah atau sebaliknya. Contoh tidak perlu
ruku’ dan sujud yang penting hati ikhlas berlawanan dengan hadis jibril
4. Menyesuaikan dengan yang telah tetap dan yang akan senantiasa berubah
Hal yang dibenarkan ijtihad adalah dalam nash-nash zhanni, baik tsubut, dilalah mahupun
keduanya.
5. Melihat perbedaan makna dalam ibadah dan mu’amalah.
Mempertimbangkan antara Maqashid Syariah dan Detail-Detail Nash
Yang menjadikan keharusan di sini adalah mempertimbangkan antara dua hal
yang sama-sama pentingnya, yaitu memelihara maqashid “tujuan” syariah yang
menyeluruh (kulli) dan memelihara nushush yang parsial (juz’i).
Kesimpulannya adalah bahwa tujuan syariat itu untuk mencapai kebaikan,
maslahat bagi manusia, dan menghindari bahaya dan kerusakan mereka. Inilah tang
menjadi pusat kajian Imam asy-Syatibi dalam kitab muwafaqat yang menjadikan ilmu
dan pemahaman merupakan sebab ijtihat bukan hanya sekadar syarat. Ini pula yang kita
terangkan yang dilakukan oleh para sahabat terutama Khulafaur-Rasyidin, Ibnu Mas’ud,
Ibnu Abbas, Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan lainnya. Mereka yidak mengesampingkan
tujuan dalam fiqih dan fatwa mereka.
Kategori Hukum )Maqashid asy Syari’ah(
Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari maqashid asy
syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum yaitu antara
lain :
1. Daruriyyat
13
Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam kategori
ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan keturunanan, serta
memelihara harta benda.
Dalam kebutuhan Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
maka akan mengancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.
2. Hajiyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini
tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami
kesulitan.Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum
rukhsa (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban,
sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.
3. Tahsiniyyat
Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Unsur-Unsur yang Membentuk Maqashid Asy Syari’ah
Secara umum, tujuan-tujuan hukum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori
yang luas. Dalam sub kategori yang pertama, Syatibi membahas maksud Tuhan yang
sebenarnya dalam menetapkan hukum, dalam hal ini untuk melindungi kemaslahatan
manusia (baik yang berkenaan dengan duniawi maupun agama). Sepanjang yang diakui
oleh prinsip-prinsip daruriyyat, hajiyyat, tahsiniyyat. Dalam sub kategori yang kedua,
Syatibi membicarakan tentang maksud Tuhan membuat syariat. Dengan demikian syariat
mestilah dapat dipahami oleh orang awam dan tidak boleh dimengerti oleh kalangan
tertentu. Jadi, tujuannya adalah agar orang-orang yang beriman dapat mengenali hukum
Allah, karena jika mereka tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh hukum itu, maka
berarti mengabaikan hukum itu sendiri. Sub kategori yang ketiga cenderung mudah
dipahami, dan pada sebagian besar dari tulisan bagian ini mengatakan bahwa dalam
14
menurunkan hukumnya menghendaki agar umat Islam mematuhi peraturannya secara
menyeluruh.
Begitulah semestinya pelanggaran atas hukum secara sengaja dapat dijatuhi
hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya tersebut. Dapat pula dinyatakan bahwa ada
perbuatan yang praktiknya melanggar hukum padahal niatnya tidak demikian. Tampak
bahwa kehendak manusia dalam wacana Syatibi sejauh ini dijelaskan dengan
menjadikan sufi sebagai contoh. Namun disini dia melajutkan diskusi tentang siasat
hukum (biyal) dalam hubungan yang erat, ataupun tidak, antara kehendak Tuhan dan
keinginan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa sasarannya kali ini berpindah dari kaum
sufi kepada kelompok ahli fiqih yang dianggapnya telah bertindak berlebih-lebihan
dalam menyepelekan hukum, barangkali dalam menyampaikan kritikannya pada para
ahli fiqih tersebut. Ia berpendapat bahwa tujuan utama biyal adalah untuk mencegah
berlakunya suatu hukum atau menggantinya dengan ketentuan yang lain agar tidak
terjadi akibat yang tidak diinginkan oleh hukum.
Norma-Norma Hukum Maqashid asy Syari’ah
Pembahasannya pada perbuatan – perbuatan yang berkategori mubah, yang baik
dilakukan ataupun tidak sama – sama diperbolehkan, dan tidak mengakibatkan pahala
maupun dosa. Syatibi mengembangkan sebuah penjelasan dan taksonomi baru mengenai
mubah. Menurutnya perbuatan – perbuatan yang termasuk mubah dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian yang masing – masing terbagi lagi menjadi dua sub – kategori.
Pertama adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika
perbuatan itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka akan
mejadi mandub atau wajib. Kedua adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus
mubah, namun ketika perbuatan itu merugikan dalam skala yang lebih luas, maka perbuatan
tersebut menjadi makruh atau haram.Dari dua pembagian ini kemudian memunculkan
empat sub kategori, yaitu :
1. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun secara keseluruhan bisa menjadi
mandub.
2. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dala skala luas dapat menjadi wajib.
15
3. Perbuatan yang pada dasarnya mubah tetapi dalam skala besar dapat menjadi
makruh.
4. Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dalam kerangka yang lebih luas dapat
menjadi haram.
Jadi, garis yang membedakan antara perbuatan mubah yang diperbolehkan atau tidak
adalah karena kadar dan frekuensi perbuatan tersebut. Perbuatan – perbuatan yang mandub
dan makruh dapat dianalisa dengan pembagian yang serupa. Sebuah perbuatan yang
berstatus mandub, tetapi dalam kerangka yang luas yaitu universal dan dilakukan secara
rutin akan menjadi wajib. Demikian pula halnya dengan perbuatan yang dipandang makruh
apabila dilakukan sekadarnya saja, akan menjadi haram ketika terlalu sering dilakukannya.
Syatibi kemudian menambahkan norma yang kemudian dianggap bagian yang tidak
terpisahkan dari hukum. Norma ini juga memperkuat dua norma lain yaitu mandub dan
makruh dan memperkenankan penyimpangan dan toleransi dalam hukum. Syatibi kemudian
menybut norma ini sebagai ‘afw, sebuah knsep yang mewakili sesuatu yang belum atau
tidak memiliki status hukum atau yang telah memiliki status hukum, tetapi dalam hal telah
memiliki status hukum, orang yang mengerjakannya tidak tahu atau lupa akan status hukum
perbuatan tersebut. Sebuah sejarah yang bermula dari hadis nabi ‘afw : “orang yang paling
bersalah adalah orng yang menanyakan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang,
kemudian menjadi dilarang setalah dinyatakan status hukumnya”. Maksud dari hadis
tersebut adalah bahwa selama sebuah perbuatan tidak memiliki status hukum yang jelas,
maka perbuatan itu termasuk yang tidak berstatus hukum. Jika suatu masalah belum
memiliki status hukum, maka seorang muslim selama ia tidak meminta pandangan seorang
ahli hukum, boleh melakukannya tanpa memperoleh pahala atau dosa.
Dalam masalah – masalah dimana norma hukum telah ditetapkan, ‘afw berarti
menjadikan dosa, apapun masalahnya selama ada alasan yang kuat untuk itu. Melakukan
sebuah perbuatan yang dilarang karena lupa tidak mengakibatkan dosa.
Yang termasuk juga dalam kategori ini adalah masalah-masalah yang berhubungan
dengan ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakannya. Dalam hal ini ketentuan yang
berlaku yang dikenal dengan ‘azima dan rukhsa. Diperbolehkannya menggunakan rukhsa
karena adanya kebutuhan yang mendesak, namun dalam menghilangkan kesulitan bukan
16
hanya berdasarkan kebutuhan yang mendesak tetapi juga karena ketidakmampuan pada
kondisi – kondisi yang tidak memungkinkan.
Peranan Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan hukum
Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab
Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami
redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang
sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak
tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-
metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqashid Syari’ah. Qiyas,
misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan Maqashid Syari’ah-nya
yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus
diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah: 90). Dari hasil penelitian ulama
ditemukan bahwa Maqashid Syari’ah dari diharamkannya minuman khamar ialah sifat
memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan
logis (‘iilat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu
sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang
sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘iilat hukum dalam suatu
ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi).
Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus
dapat dijadikan tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan al mawis ‘alaih (tempat
meng- qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih,
tetapi termasuk dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara
sekurangnya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan
metode maslahah mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahat bila
17
sejalan atau tidak dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai
landasan hukum yang dikenal maslahat mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash
atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan
akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih
layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan,
khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode
penetapan hukum melalui maqashid syari’ah dalam praktik – praktik istinbat tersebut,
yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah (malsahah mursalah), dan lainnya seperti
istishab, sad al-zari’ah. dan ‘urf (adat kebiasaan), di samping dissebut sebagai metode
penetapan hukum melalui maqashid syari’ah, juga oleh sebagian besar ulama ushul fiqh
disebut sebagai dalil – dalil pendukung, seperti telah diuraikan secara singkat pada
pembahasan dalil – dalil hukum di atas. Di bawah ini akan dijelaskan tentang metode –
metode yang berdasarkan atas maqasyid syari’ah.
1. Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni
menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut al-Ghazali
dalam kitabnya al-Mustashfa juz I : 137, “istihsan adalah semua hal yang
dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”.
Fuqaha Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua macam yaitu :
a. Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata).
Seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka
masuk pula secara otomatis hak perairan (irigasi), hak air minum, hak
lewat ke dalam wakaf tanpa harus menyebutkannya berdasarkan istihsan.
b. Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan
adanya suatu dalil.
Apabila penjual dan pembeli bersengketa mengenai jumlah harga sebelum
serah terima yang dijual, kemudian penjual mengaku bahwa harganya
18
adalah seratus juneh, dan pembeli mengaku harganya sembilan puluh
juneh, maka mereka berdua bersumpah berdasarkan istihsan.
2. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dalil,
tetapi tidak ada juga pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada
ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan
kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai
dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan
kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut
dinamakan maslahah mursalah. Tujuan utama maslahah mursalah adalah
kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga
kemanfaatannya.
19
BAB III
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadipokok bahasan
dalam laporan ini, tentu nya masih banyak kekurangan dan kelemahan nya, kerena terbatas
nya pengetahuan dan kurang nya rujukan atau referensi yang ada hubungan nya dengan judul
makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurna nya laporan ini dan dan penulisan makalah
dikesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi saya pada khusus
nya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
A. KESIMPULAN
Maqosid syar’iyah (tujuan hukum islam), secara bahasa maqosid syar’iyah
terdiri dari 2 kata yaitu maqosid dan syar’iyah. Maqosid berarti kesengajaan/tujuan
maqosid termasuk bentuk jama dari maksud yang berasal dari kata qoshada yang
berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqosid berati hal-hal yang dikehendaki
dan di maksudkan, secara syariah maqosid adalah sumber air. Qs. Al Jariyah :18
Allah berfirman :
“Kemudian kami jadikan kamu berada berada diatas sesuatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu) maka ikutlah syariat itu dan jangan kamu ikuti
hawa nafsuh orang-orang yang tidak mengetahui.”
Konsep maqosid syar’iyah, menurut al syatibi syariat adalah aturan-aturannya yang
diciptakan Allah wajib di pedomani oleh manusia dan mengatur hubungan dengan
tuhan, dengan manusia baik sesama muslim atau non muslim.
20
DAFTAR PUSTAKA
o Buku karangan Syeh Muhammad Sultoan
o Kitab AC Muhufagot_Imam Assyathibi
o Efendi,Satria.Ushul Fiqih.(Jakarta)
o http:// Aden Muzakki /
21