Upload
doankien
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Universitas Indonesia
MIGRASI INTERNAL DAN SPATIAL FOCUSING
STUDI KASUS KECENDERUNGAN MIGRASI KEPULAUAN RIAU
Hermawan A, Zakiyatut T, Endaryani, dan Riza Fatma A
I. PENDAHULUAN
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu
tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas
administratif/batas bagian dalam suatu negara, (Munir, 2010). Migrasi
mempengaruhi jumlah penduduk jika salah satu dari jumlah penduduk yang
masuk atau keluar dari wilayah tersebut lebih besar. Menurut Hasil Sensus
Penduduk 2010, sekitar 12 % dari 237 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di
provinsi yang berbeda dengan provinsi tempat lahirnya, dan lebih dari 47%
penduduk Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) lahir di provinsi lain (BPS,2011).
Berdasarkan data SUPAS 2005, perbandingan migrasi masuk terhadap migrasi
keluar di Kepulauan Riau sebesar 18:1 dan 4:1 (hasil SP2010), hal ini
menunjukan ketimpangan yang tinggi antara arus migran yang masuk dan keluar.
Berdasarkan hasil SP 2010 dan SUPAS 2005 tersebut, Kep. Riau telah menjadi
daerah tujuan para migran di Indonesia. Beberapa teori tentang migrasi
menyebutkan bahwa, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi terjadinya migrasi, dimana fenomena perbedaan dalam
kesempatan memperoleh pendapatan dan lingkungan kehidupan yang layak
merupakan kekuatan utama dalam memotivasi penduduk untuk bermigrasi.
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya
menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan migrasi dari satu
daerah ke daerah lainnya.
Menurut Lee dalam Munir, faktor jarak antara daerah asal dengan daerah
tujuan, yang disebut sebagai rintangan antara, juga sangat menentukan keputusan
seseorang untuk berpindah, (Munir, 2011). Banyak migran di Indonesia menuju
wilayah yang berjarak dekat, sedangkan migran yang jauh tertuju ke pusat-pusat
perdagangan dan industri, (Emalisa, 2003). Sehingga kajian tentang migrasi selalu
1
Universitas Indonesia
memperhatikan keterkaitan secara spasial antar daerah. Data spasial merupakan
data yang observasinya merupakan suatu lokasi. Keterkaitan spasial antar daerah
ini cenderung sering terjadi karena pengaruh lokasi yang saling berdekatan.
Pola dan arus migrasi internal/antar provinsi dapat mempengaruhi
perubahan konsentrasi komposisi penduduk pada suatu daerah/regional.
Perubahan arus migrasi ini dari waktu ke waktu disebabkan oleh berbagai faktor
seperti adanya pembangunan disuatu wilayah, urbanisasi dan sebagainya sehingga
menyebabkan munculnya konsentrasi arus migrasi disuatu wilayah. Menurut
Plane dan Mulligan (1997), menyarankan untuk menggunakan metode indeks gini
untuk mengukur derajat spatial focusing pada sistem migrasi internal.
Negara Indonesia terdiri dari 33 provinsi dan memungkinkan penduduk
melakukan migrasi secara permanen ke provinsi yang lain. Dari hasil SUPAS
pada tahun 2005 tercatat sekitar 12,10 % adalah migran risen masuk ke Kepulauan
Riau. Persentase ini mengalami peningkatan menjadi 12,51 % di tahun 2010. Dan
hampir 23 % migran masuk risen adalah migran yang berasal dari Sumatera
Utara, sekitar 13 % berasal dari Jawa Tengah. Berdasarkan fenomena yang
tercatat pada hasil SP 2010, dimana Provinsi Kepulauan Riau menjadi populer
sebagai provinsi tujuan para migran dari provinsi yang lain, sehingga hal ini
menarik untuk dikaji tentang arus dan konsentrasi migrasi di Kepulauan Riau.
Letak geografis Provinsi Kepulauan Riau yang terletak di perairan selat malaka
dan berhadapan langsung dengan negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia,
selain itu ibu kota provinsi, Kota Batam, merupakan kota perdagangan dan
perindustrian yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Maka
tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui arus konsentrasi dan kencenderungan
migrasi di Kep. Riau.
2
Universitas Indonesia
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian tinjauan pustaka, pertama (sub bab 2.1) akan dibahas
mengenai definisi dan konsep migrasi. Kemudian, pada sub bab 2.2 akan
membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi, pada sub bab 2.3
akan membahas tentang migrasi internal dan teori migrasi, dan pada sub bab 2.4
membahas pola migasi internal dan spatial focusing. Kemudian pada sub bab 2.5
mereview penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan migrasi
internal di Indonesia dan spatial focusing. Selanjutanya pada sub bab 2.6 akan
menyajikan cara pengukuran spatial focusing. Dan terakhir pada sub bab 2.7,
merupakan ringkasan berupa kerangka konseptual teoritis.
II.1 Definisi Migrasi
Menurut Munir (2011), migrasi adalah perpindahan penduduk dengan
tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas
politik/negara ataupun batas administratif/batas bagian dalam suatu negara. Jadi
migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu
daerah ke daerah lain. Ada dua dimensi penting yang perlu ditinjau dalam
penelaahan migrasi, yaitu dimensi waktu dan dimensi tempat tinggal. Menurut
BPS (2011), migrasi dalam arti luas adalah perubahan tempat tinggal secara
permanen tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya
yaitu apakah tindakan itu bersifat sukarela atau terpaksa, serta tidak ada perbedaan
antar perpindahan didalam negeri dan atau keluar negeri. Migrasi dalam SP 2010
adalah perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat
lain melewati batas administratif provinsi (migrasi internal).
Batasan waktu migran ditetapkan enam bulan sejalan dengan konsep
tempat tinggal, artinya seorang dikatakan migran jika tinggal ditempat baru atau
berniat tinggal ditempat baru paling sedikit enam bulan lamanya. Keterangan
bahwa seseorang pernah pindah atau tidak bisa dilihat pada ada tidaknya
perubahan tempat tinggal. Perbedaan tempat tinggal inilah yang digunakan
sebagai proxy migrasi.
3
Universitas Indonesia
Ada tiga pertanyaan pada SP 2010, yang dijadikan dasar perhitungan
migrasi yaitu keterangan tentang provinsi dan kabupaten/kota tempat tinggal
sekarang (waktu pencacahan), pertanyaan mengenai provinsi dan kabupaten/kota
tempat lahir dan pertanyaan mengenai provinsi dan kabupaten/kota tempat tinggal
lima tahun yang lalu. Seseorang diklasifikasikan sebagai migran seumur hidup,
jika provinsi tempat lahir berbeda dari provinsi tempat tinggal sekarang.
Sedangkan seseorang dikategorikan sebagai migran risen, jika provinsi atau
kabupaten/kota tempat tinggalnya lima tahun yang lalu berbeda dengan tempat
tinggalnya sekarang (saat pencacahan).
Munir (2011) menjelaskan tentang jenis migrasi sebagai berikut:
1. Migrasi masuk (In Migration), masuknya penduduk ke suatu daerah tujuan
(area of destination).
2. Migrasi keluar (Out Migration), perpindahan penduduk keluar dari suatu
daerah asal (area of migration).
3. Migrasi neto (Net Migration), merupakan selisih antara jumlah migrasi
masuk dan migrasi keluar.
4. Migrasi bruto (Gross Migration), jumlah migrasi masuk dan migrasi
keluar.
5. Migrasi total (Total Migration), adalah kesuluruhan kejadian migrasi,
mencakup migrasi semasa hidup dan migrasi pulang (semua orang yang
pernah berpindah).
II.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Migrasi
Faktor pendorong dan faktor penarik dalam migrasi, pertama kali
disampaikan oleh Ravenstein pada tahun 1889. Ravenstein menyimpulkan bahwa
ternyata faktor penarik lebih penting dibandingkan dengan faktor pendorong.
Dengan kata lain, peluang seseorang untuk melakukan migrasi secara sukarela
akan kecil apabila hanya merespon dampak dari faktor pendorong kecuali mereka
merasa bahwa terdapat alasan lain yang menarik yang kita sebut sebagai faktor
penarik. Ravenstein dalam studinya tahun 1885 di barat laut daratan Inggris
mendeskripsikan kaum migrant sebagai kelompok masyarakat yang memiliki
motivasi kuat untuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Kaum migrant akan
4
Universitas Indonesia
bergerak ke wilayah yang lebih maju. Fakta yang ditemukan dari Pola migrasi
Ravenstein adalah migrasi terjadi dalam jarak dekat, artinya terdapat keterbatasan
teknologi, transportasi, dan informasi. Penduduk lebih banyak mengenal
kesempatan-kesempatan di kota-kota besar yang jauh dari daerah asalnya.
Besarnya migrasi masuk untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi
besarnya faktor penarik (pull factor) daerah tersebut bagi pendatang. Semakin
maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor
penarik, seperti perkembangan industri, perdagangan, pendidikan, perumahan, dan
transportasi. Kondisi ini diminati oleh penduduk daerah lain yang berharap dapat
memenuhi kebutuhan dan keinginannya.Misalnya perkembangan industri dan
perdagangan dimana lokasi industri yang menekankan pada biaya transportasi
yang rendah. Pada prinsipnya beberapa teori lokasi memberikan masukan bagi
penentuan lokasi optimum, yaitu lokasi yang terbaik dan menguntungkan secara
ekonomi. Alfed Weber (1909), teori lokasi industri yaitu menentukan suatu lokasi
industri dengan mempertimbangkan risiko biaya atau ongkos yang paling
minimum, dengan asumsi wilayah yang akan dijadikan lokasi indutri memiliki
topografi, iklim dan penduduk yang relatif homogen, sumberdaya atau bahan
mentah yang dibutuhkan cukup memadai, upah tenaga kerja didasarkan pada
ketentuan, hanya ada satu jenis alat transportasi, biaya angkut ditentukan
berdasarkan beban dan jarak angkut, terdapat persaingan antar kegiatan industri,
dan manusia yang ada didaerah tersebut masih berpikir rasional. Kemudian teori
tersebut disempurnakan oleh Lösch (1945), yang mengemukakan bahwa lokasi
industri didasarkan pada permintaan, sehingga dalam teori ini diasumsikan bahwa
lokasi optimal dari suatu pabrik atau industri yaitu apabila dapat menguasai
wilayah pemasaran yang luas, sehingga dapat dihasilkan pendapatan paling besar.
Pada sisi lain, setiap daerah mempunyai faktor pendorong (push factor)
yang menyebabkan sejumlah penduduk migrasi ke luar daerahnya. Faktor
pendorong itu antara lain kesempatan kerja yang terbatas jumlah dan jenisnya,
sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, fasilitas perumahan dan
kondisi lingkungan yang kurang baik.
Menurut Lee (1966) ada empat faktor yang menyebabkan orang
mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu faktor yang terdapat
5
Universitas Indonesia
didaerah asal, faktor yang terdapat ditempat tujuan, rintangan yang menghambat,
dan faktor pribadi. Disetiap tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor
positif yang menahan orang untuk kerap tinggal di daerah itu dan bahkan menarik
orang keluar untuk pindah ke tempat tersebut. Sebaliknya, ada sejumlah faktor
negatif yang mendorong orang untuk pindah dari suatu tempat dan sejumlah
faktor netral yang tidak menjadi masalah dalam keputusan untuk migrasi. Selalu
terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak seberapa
beratnya, tetapi dalam keadaan lain, tidak dapat diatasi. Rintangan-rintangan itu
antara lain berupa jarak antara daerah asal dan daerah tujuan. Penyebab migrasi
selama ini yang paling banyak diteliti adalah masalah jarak, mungkin transportasi
dan informasi tempat tujuan, serta pertimbangan-pertimbangan individu yang
mendorong membatalkan keputusan migrasi.
Jadi keputusan bermigrasi merupakan sesuatu yang digerakkan oleh
alasan/motif migrasi. Suatu keputusan migrasi dibuat dengan mempertimbangkan
faktor-faktor penghalang sebelum melakukan migrasi. Dalam Rashid 2013,
mengutip Rashid (2010), keputusan migrasi sebagian besar dilakukan karena
faktor pendorong dari daerah asal, dan pemilihan tujuan tempat migrasi
dipengaruhi oleh faktor penarik dari daerah tujuan. Gambaran keputusan
bermigrasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Sumber : Rashid (2013)Gambar 1. Proses Keputusan Bermigrasi
II.3 Migrasi Internal
6
Universitas Indonesia
Migasi internal adalah perpindahan penduduk yang masih dalam lingkup
satu wilayah negara, dengan tujuan menetap dari suatu tempat ke tempat lain
melewati batas administratif provinsi. Jika migrasi dilihat secara spasial baik
secara geografi maupun batas administrasi, maka ada 2 tipe migrasi yaitu
pergerakan local dan migrasi internal. Pergerakan local, maksutnya adalah
perpindahan penduduk secara geografi tapi tidak melewati batas administrasi,
sedangkan migrasi internal melewati batas administrasi. Sebagai ilustrasi dapat
dilihat padagambar dibawah ini.
Gambar 2. Konsep Migrasi Internal
Migrasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor dan komplek. Oleh karena itu,
migrasi sebenarnya merupakan suatu proses memilih yang mempengaruhi
individu dengan karakteristik-karakteristik ekonomi, sosial, pendidikan, dan
demografis tertentu. Karakteristik para migran bisa dibedakan menjadi 3 katagori
umum yaitu demografis, pendidikan, dan ekonomi.
1. Karakteristik demografis. Para migran di perkotaan negara-negara sedang
berkembang pada umumnya berusia antara 15 – 24 tahun. Proporsi wanita juga
tampaknya juga cenderung meningkat, karena semakin luasnya kesempatan-
kesempatan mereka untuk bersekolah.
7
Universitas Indonesia
2. Karakteristik pendidikan. Tampaknya ada hubungan yang jelas antara tingkat
pendidikan yang dicapai dan keinginan untuk berimigrasi. Orang yang pendidikan
tinggi cenderung lebih banyak melakukan migrasi dari pada yang berpendidikan
rendah.
3. Karakteristik Ekonomi. Persentase migrasi yang terbanyak adalah kaum miskin,
tidak memiliki tanah, tidak mempunyai ketrampilan dan berasal dari daerah
perdesaan.
Todaro (1998), migrasi merupakan suatu proses yang sangat selektif
mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan
demografi tertentu, maka pengaruhnya terhadap faktor-faktor ekonomi dan non
ekonomi dari masing-masing individu juga bervariasi. Variasi tersebut tidak
hanya terdapat pada arus migrasi antar wilayah pada negara yang sama, tetapi juga
pada migrasi antar negara. Beberapa faktor non ekonomis yang mempengaruhi
keinginan seseorang melakukan migrasi adalah:
1. Faktor-faktor sosial, termasuk keinginan para migran untuk melepaskan dari
kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam organisasi-organisasi
sosial yang sebelumnya mengekang mereka.
2. Faktor-faktor fisik, termasuk pengaruh iklim dan bencana meteorologis,
seperti banjir dan kekeringan.
3. Faktor-faktor demografi, termasuk penurunan tingkat kematian yang
kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk suatu tempat.
4. Faktor-faktor kultural, termasuk pembinaan kelestarian hubungan keluarga
besar yang berada pada tempat tujuan migrasi
5. Faktor-faktor komunikasi, termasuk kualitas seluruh sarana transportasi,
sistem pendidikan yang cenderung berorientasi pada kehidupan kota dan
dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan oleh media massa atau media
elektronik
Klasifikasi faktor determinan migrasi internal sangatlah kompleks. Adanya
perbedaan antara karakteristik individu atau rumah tangga yang menunjukkan
kecenderungan yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam melakukan migrasi dan
faktor apa saja yang menentukan terjadinya migrasi dan pemilihan tempat tujuan.
8
Universitas Indonesia
Maka faktor demografi dan determinan migrasi secara selektif sangatlah
berpengaruh. Faktor demografi meliputi usia dan jenis kelamin. Migrasi
cenderung lebih tinggi untuk anak-anak, menurun di usia sekolah sekolah, dan
naik lagi di ketika memasuki usia angkatan kerja.
Borjas (2000) dalam Bunea (2012), Di dalam ekonomi migrasi,
pertimbangan faktor umum penentu dalam migrasi internal antara lain yaitu :
Usia: orang muda bermigrasi lebih karena mereka memiliki waktu yang lebih
lama di mana mereka bisa mendapatkan keuntungan dari investasi melakukan
migrasi jika kembali kedaerahnya.
Pendidikan: orang berpendidikan tinggi sangat ingin untuk bermigrasi karena
mereka lebih efisien dalam mencari peluang kerja di berbagai pasar tenaga
kerja, sehingga mengurangi biaya migrasi.
Jarak : semakin lama jarak tempuh migrasi semakin rendah insentif untuk
bermigrasi karena biaya migrasi yang lebih besar.
Faktor-faktor lain: pengangguran-pengangguran lebih cenderung akan
bermigrasi, menderita masalah endogenitas, perbedaan upah -dampak positif
potensial sensitif terhadap masalah penyimpangan seleksi.
Secara umum faktor penenu migrasi internal cenderung konvergen pada
satu kesimpulan yang hampir sama yaitu, faktor ekonomi dan non ekonomi akibat
adanya faktor penarik ataupun pendorong terhadap individu atau institusi untuk
bermigrasi. Namun, banyak literature yang mengatakan perangsang terjadinya
migrasi disebabkan oleh faktor ekonomi. Berikut ini beberapa teori yang berkaitan
faktor yang mendorong migrasi.
II.3.1 Teori Lewis Fei Ranis
Lewis (1954) berpendapat bahwa di negara-negara yang sedang
berkembang terdapat dualisme kegiatan perekonomian, yaitu di sector ekonomi
subsisten (pertanian) di pedesaan, dan sector ekonomi modern dengan tingkat
prodiktivitas yang tinggi diperkotaan. Pembangunan di Negara-negara
berkembang dimulai dari sektor subsisten dan dalam waktu yang hampir
bersamaan dilakukan pembangunan besar-besaran di sektor industri modern.
Produktivitas yang tinggi di sektor industri modern, telah menghasilkan sektor ini
9
Universitas Indonesia
memberikan kontribusi yang besar dalam mendorong laju pembangunan ekonomi.
Sedangkan pada sektor pertanian dengan produktivitas yang relative rendah, telah
menyebabkan terjadinya kelebihan tenaga kerja di sector ini. Sering dengan
kondisi tersebut, pertambahan penduduk yang relative besardi pedesaan,
menyebabkan luas lahan di sektor pertanian semakin sempit. Akibatnya tenaga
kerja di sektor pertanian akan pindah ke sektor industri perkotaan. Di sisi dengan
perkembangan yang pesat yang terjadi di sektor industri/kapitalis yang sangat
terkonsentrasi di daerah perkotaan ini, mengakibatkan perdeaan upah antara sector
industri dan pertanian semakin besar. Kondidi ini pula yang menyebabkan
terjadinya migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan.
Dengan adanya perbedaan upah antara sector industri dan pertanian, maka
tenaga kerja akan bermigrasi ke perkotaan dalam rangka memperoleh pekerjaan
pada sector induistri, karena sector pertanian mengalami pertumbuhan relative
lambat, baik di sector produksi, penyerapan tenaga kerja, demikian juga tingkat
upah.
Teori Lewis ini mendapat krikan. Model pembangunan teori ini
memperhatikan proses perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota, perekomian
dibagi 2 sektor yaitu sector tradisional (pedesaan yang subsisten) yang ditandai
dengan produktivitas tenaga kerja yang sangat rendah dan sector modern (industri
perkotaan) dimana tenaga kerja dari sector subsisten berpindah secara perlahan.
Titik perhatian utama model ini adalah proses perpindahan tenaga kerja dan
pertumbuhan tingkat pengerjaan (employment) di sector modern (perkotaan)
menyebabkan pertumbuhan output di sector modern. Kecepatan dua hal
(perpindahan tenaga kerja dan pertumbuhan pengerjaan) tergantung pada tingkat
akumulasi modal industri di sector modern.
Walaupun model pembangunan dua sector dari lewis adalah sederhana dan
sesuai dengan pengalaman sejarah pertumbuhan ekonomi di Barat, model ini
mempunyai 3 asumsi pokok yang sangat berbeda dengan kenyataan-kenyataan
dari migrasi dan keterbelakangan yang terjadi di negara berkembang saat ini.
Pertama, model ini menganggap bahwa tingkat perpindahan tenaga kerja
dan tingkat perpindahan tenaga kerja dan tingkat penciptaan kesempatan kerja di
10
Universitas Indonesia
sector perkotaan adalah proporsional dengan tingkat akumulasi modal di
perkotaan. Tetapi jika surplus laba para pemilik modal diinvestasikan kembali8
dalam bentuk peralatan yang lebih hemat tenaga kerja (labor-saving) daripada
sekedar menambah modal saja. Hal ini lebih memberikan gambaran apa yang
biasa disebut pertumbuhan ekonomi “anti pembangunan”.
Kedua, asumsi dari model ini yang berbeda dengan kenyataan adalah
asumsi bahwa “surplus” tenaga kerja terjadi di daerah pedesaan sedangkan di
daerah perkotaan ada banyak kesempatan kerja. Hampir semua penelitian
sekarang menunjukkan keadaan yang sebaliknya yang terjadi negara berkemabng
yaitu banyak pengangguran terbuka terjadi di daerah perkotaan tetapi hanya ada
sedikit surplus tenaga kerja di daerah perdesaan.
Ketiga, asumsi model lewis yang tidak realistis adalah anggapan bahwa
upah nyata di perkotaan akan selalu tetap sampai pada satu titik dimana
penawaran dari surplus tenaga kerja perdesaan habis. Salah satu gambaran yang
menarik dari pasar tenaga kerja perkotaan dan penentuan tingkat upah di hampir
semua negara berkembang adalah adanya kecenderungan bahwa tingkat upah
untuk meningkat secara nyata sepanjang waktu, baik dalam nilai absolutnya
maupun jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata perdesaan, sekalipun ada
kenaikan tingkat pengangguran terbuka.
II.3.2 Teori Todaro - Hariss
Model todaro merumuskan bahwa migrasi berkembang karena perbedaan
antar pendapatan yang diharapkan dan yang terjadi di pedesaan dan di perkotaan.
Anggapan yang mendasar adalah bahwa para migran tersebut memperhatikan
berbagai kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka dan memilih salah satu yang
bisa memaksimumkan manfaat yang mereka harapkan dari bermigrasi tersebut.
Manfaat-manfaat yang diharapakan ditentukan oleh perbedaan-perbedaan nyata
antara kerja di desa dan di kota serta kemungkinan migrasi tersebut untuk
mendapatkan kerja di kota.
Ada 4 point penting dalam teori todaro, yaitu:
11
Universitas Indonesia
1. Migrasi dirangsang oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis yang
rasional. Misalnya pertimbangan manfaat (benefits) dan biaya (costs),
kebanyakan secara financial tetapi juga secara psikologis.
2. Keputusan untuk bermigrasi lebih tergantung pada perbedaan upah riil “yang
diharapkan” daripada “yang terjadi” antara pedesaan dan perkotaan, di mana
perbedaan yang “diharakan” itu ditentukan oleh interkasi anta dua variable
yaitu perbedaan upah pedesaan-perkotaan yang terjadi kemungkinan untuk
memperoleh pekerjaan di sector perkotaan.
3. Kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan di perkotaan berhubungan
terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan.
4. Tingkat migrasi yang melebihi tingkat pertumbuhan kesemptana kerja di
perkotaan sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, tingkat pengangguran
yang tinggi di perkotaan merupakan hal yang tidak terelakkan karena adanya
ketidakseimbangan yang tinggi antara kesempatan-kesempatan ekonomi di
perkotaan dan di pedesaan di negara berkembang pada umumnya.
Kemudian teori ini berkembang menjadi Teori Harris Todaro, terjadinya
migrasi dari sector tradisional di pedesaan ke sector modern di perkotaan
ditentukan oleh dua factor, yaitu: Pertama, tingkat perbedaan upah nyata antara
sector pertanian (pedesaan) dan sector industri (perkotaan). Kedua, adanya
peluang untuk memperoleh pekerjaan di perkotaan. Migrasi akan terjadi apabila
ada perbedaan upah yang diharapkan (expected rate) antara sector pertanian di
pedesaan dan sector industri di perkotaan. Tetapi jika upah yang diharapkan
(expected rate) lebih tinggi di sector pertanian di pedesaan tidak akan terjadi
migrasi dari perkotaan ke perdesaan.
II.3.3 Teori Gravitasi Lowry
Interaksi migrasi biasanya berdasarkan pada migrasi masuk atau keluar.
Model gravitasi dianggap lebih tepat dalam mengambarkan hubungan kedua
daerah. Model ini mengambarkan interaksi spasial antara dua entitas. Wijoyo
(2011), mengutip bahwa hukum gravitasi ini pertama kali di perkenalkan dibidang
fisika oleh Isaac Newton. Dan pada tahun 1962, Tinbergen menggunakan teori
gravitasi untuk perdaganan barang dan jasa. Teori ini dapat digunakan untuk
memperkirakan daya tarik suatu daerah dibandingkan dengan daerah yang lain.
12
Universitas Indonesia
Teori gravity migrasi, memandang bahwa migrasi terjadi menurut hukum
alam yaitu adanya gaya tarik menarik dan massa. Teori ini mempunyai
kelemahan, yaitu jika dikaitkan dengan proses migrasi maka tidak dapat
menjelaskan lebih jauh bagaimana perpindahan tersebut terjadi seperti
perpindahan individu, penduduk serta jarak sebagai proxi ekonomi. Perbedaan
upah menjadi penyebab utama migrasi. Teori Lowry mengatakan bahwa migrasi
dipengaruhi oleh tingkat pengangguran di daerah asal dan tujuan, tingkat upah di
daerah asal dan tujuan, angkatan kerja di daerah asal dan tujuan, serta jarak antara
daerah asal dan daerah tujuan.Teori ini pun terus berkembang dan kemudian Van
der Berg dan Lewer (2008) dalam Wijoyo (2011), menggunakan teori ini untuk
migrasi internasional, dimana faktor PDB dan jumlah penduduk pada kedua
negara tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi daya tarik.
Kemungkinan proses terjadinya migrasi, baik migrasi masuk dan keluar,
adalah dipengaruhi oleh jarak yang bisa diukur dengan juga dengan biaya migrasi.
Biaya yang tinggi karena faktor jarak yang jauh dan mungkin sulit untuk
dijangkau, sehingga elastisitas jarak dianggap negatif yang negatif. Greenwood
(1997) dalam Bunea 2012, menganggap bahwa elastisitas jarak migrasi menurun
dari waktu ke waktu karena informasi modern, teknologi komunikasi dan
transportasi.
II.3.4 Teori Don Bellane dan Mark Jackson
Bellante dan Jackson dengan kerangka konsep yang dikembangkan, telah
menghipotesisikan bahwa migrasi tenaga kerja ke suatu daerah dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu sebagai penawaran dan juga permintaan terhadap tenaga kerja. Jika
penawaran tenaga kerja bertambah terus, maka pada daerah tersebut akan terjadi
kelebihan tenaga kerja, sedangkan di daerah asal akan menjadi kekurangan tenaga
kerja. Dalam kondisi demikian terjadi perubahan tingkat upah. Tingkat upah di
daerah tujuan cenderung menurun, dan daerah asal cenderung naik. Sebagai akibat
dari pergeseran dan pergerakan dalam penawaran tenaga kerja maka upah nyata
akan meningkat dan perbedaan upah ini akan menyebabkan kecenderungan tenaga
kerja untuk bermigrasi ke luar wilayah menuju wilayah yang upahnya lebih tinggi.
(dalam Dohar 1999)
13
Universitas Indonesia
Determinan migrasi dapat diklasifikasikan dalam variabel gravitasi,
variabel ekonomi, variabel pasar tenaga kerja, variabel pemukiman, variabel
lingkungan dan variabel politik. Variabel gravitasi adalah besarnya jumlah
penduduk, dengan pengaruh positif, dan jarak , dengan pengaruh negatif. Variabel
ekonomi antara lain: produk domestik bruto per kapita, industri baru, upah, dan
sebagainya. Variabel pasar tenaga kerja meliputi: tingkat penganguran, perubahan
kondisi kerja,dan sebagainya. Variabel Pemukiman: tingginya harga rumah akan
menghalangi migrasi kecuali diantisipasi oleh calon migran, ukuran, struktur dan
kualitas ketersediaan perumahan mempengaruhi tingkat dan jenis migrasi, serta
konstruksi dan tingkat kerusakan. Variabel lingkungan adalah mereka yang
mempengaruhi kualitas hidup baik di jangka pendek dan panjang, di antara
kondisi daerah, kepadatan penduduk, tingkat urbanisasi, perilaku sosial penduduk
setempat, kondisi iklim, waktu luang dan hiburan kegiatan, dan lain-lain. Variabel
kebijakan mengacu pada subsidi pemerintah,seperti pajak daerah, anggaran
pertahanan, tawaran pendidikan, rencana daerah perkotaan, atau tindakan
langsung seperti insentif dan kebijakan migrasi.Van der Gaag dkk, 2003, dalam
Bunea, 2012.
II.4 Pola Migasi Internal Dan Spatial Focusing
Pola migrasi di suatu daerah dipengaruhi oleh faktor pendorong dan
penarik. Benyaknya arus migrasi yang masuk dan keluar dari suatu daerah
cenderung akan menunjukan adanya perbedaan tingkat arus masuk atau keluar
yang lebih besar atau lebih kecil. Sehingga mengakibatkan adanya kecenderungan
yang terfokus terhadap daerah tertentu (spatial tertentu).
Kepulauan Riau adalah
propinsi dari pemekaran wilayah
Riau. Kepulauan Riau memisahkan
diri secara administratif dari
Provinsi Riau pada tahun 2004.
Peresmian Kepulauan Riau sebagai
provinsi baru yang ke-32,
dilaksanakan tanggal 19 Agustus 2004 oleh Menteri Dalam Negeri.Undang-
14
Universitas Indonesia
undang menetapkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau beribukota di Tajung pinang.
Semula Provinsi Kepulauan Riau memiliki lima kabupaten dan dua kota yaitu:
Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Lingga dan Kabupaten
Natuna, serta Kota Batam dan Kota Tajungpinang. Dalam perkembangannya
hingga Juni 2009, memasuki tahun keempat, Provinsi Kepulauan Riau menambah
satu lagi kabupaten yakni Kabupaten Anambas sebagai pemekaran dari Kabupaten
Natuna. Kedudukan kota Batam (P. Batam) sebagai pusat pengembangan industri,
perkembangannya cukup pesat di segala bidang terutama disektor industri. Secara
administratif provinsi ini meliputi 59 kecamatan dan 351 desa/ kelurahan. Luas
provinsinya sekitar 252.810.71 km2, yang 96 persen merupakan perairan, dan 4
persen berupa daratan dari 2.408 pulaudan jauh dari pusat pemerintahan
menyebabkan panjangnya rentangan kendali. Sekitar 40 persen pulau-pulau itu
tidak berpenghuni.
Menurut Setyohadi (2008), pergerakan penduduk antar wilayah cukup
besar baik yang menuju pusat kota maupun menuju ke pusat-pusat kegiatan
industri, perdagangan dan lain- lain yang tersebar di wilayah Kota Batam. Pola
Pergerakannya juga bervariasi berdasarkan tingkat sosial di masing-masing
daerah. Penduduk memilih tinggal di daerah pinggiran dikarenakan daerah
industri, yaitu untuk mendekatkan dengan tempat kerja dan faktor karena harga
rumah/tanah/sewa relatif lebih murah, sedang penduduk yang memilih tinggal di
pusat kota karena ingin meningkatkan taraf hidup dengan membuka
usaha/strategis untuk membuka usaha.
Tabel 1. merupakan tabel Migrasi Risen dari 33 Propinsi di Indonesia
tahun 2005 dan tahun 2010. Berdasarkan tabel terlihat bahwa pola migrasi dari
setiap propinsi sangat beragam dan penambahan migran yang masuk maupun
migran yang keluar sangat beragam pula. Bila dibandingkan dengan pola migrasi
antara periode sebelum otonomi dan sesudah otonomi, maka terlihat bahwa pola
migrasi di beberapa propinsi ada yang naik pesat dan ada pula yang turun dengan
tajam.
15
Universitas Indonesia
Tabel 1. Migrasi Risen Tahun 2005 dan Tahun 2010
No Provinsi 2005 2010Masuk Keluar Ratio Masuk Keluar Ratio
1 Nanggroe Aceh Darussalam 0 0 62.142 38.802 1,602 Sumatera Utara 105.599 201.898 0,52 121.207 372.644 0,323 Sumatera Barat 105.322 128.758 0,82 127.720 150.709 0,854 Riau 212.761 98.794 2,15 293.617 125.814 2,335 Jambi 65.618 51.367 1,28 108.356 52.689 2,066 Sumatera Selatan 65.473 106.772 0,61 115.456 129.814 0,897 Bengkulu 32.495 29.982 1,08 47.032 269.10 1,758 Lampung 91.605 110.869 0,83 90.050 154.420 0,589 Bangka Belitung 19.466 17.791 1,09 60.439 17.054 3,5410 Kepulauan Riau 153.050 8.605 17,79 205.036 54.847 3,7311 DKI Jakarta 570.687 734.584 0,78 635.921 883.423 0,7212 Jawa Barat 714.587 443.039 1,61 1.030.003 595.877 1,7343 Jawa Tengah 307.082 662.193 0,46 283.676 979.860 0,2914 DI Yogyakarta 188.653 87.741 2,15 222.413 103.492 2,1515 Jawa Timur 227.695 344.266 0,66 213.770 528.370 0,4016 Banten 287.667 132.867 2,17 462.898 192.983 2,4017 B a l i 75.833 38.959 1,95 99.596 41.216 2,4218 Nusa Tenggara Barat 22.190 32.340 0,69 31.050 40.982 0,7619 Nusa Tenggara Timur 25.802 30.200 0,85 39.977 67.484 0,5920 Kalimantan Barat 15.870 32.955 0,48 41.121 42.144 0,9821 Kalimantan Tengah 30.970 47.273 0,66 122.617 34.506 3,5522 Kalimantan Selatan 61.041 41.888 1,46 102.323 55.292 1,8523 Kalimantan Timur 144.801 47.478 3,05 208.925 73.039 2,8624 Sulawesi Utara 28.592 31.813 0,90 47.138 45.473 1,0425 Sulawesi Tengah 51.862 27.464 1,89 61.142 39.174 1,5626 Sulawesi Selatan 90.869 139.342 0,65 105.294 208.570 0,5027 Sulawesi Tenggara 38.179 30.685 1,24 61.376 42.613 1,4428 Gorontalo 0 0 0 26.638 16.820 1,5829 Sulawesi Barat 11.082 15.616 0,71 35.623 20.053 1,7830 Maluku 9.615 30.417 0,32 29.122 30.179 0,9631 Maluku Utara 10.365 16.592 0,63 24.414 14.887 1,6432 Papua 51.449 33.869 1.52 66.010 38.803 1,7033 Papua Barat 53.676 16.835 3,19Sumber : Diolah dari data Badan Pusat Statistik (www.BPS.go.id).
Selain itu pada tahun 2005 dijumpai tambahan propinsi baru hasil
pemekaran wilayah, yaitu KepulauanRiau (KEPRI), Bangka Belitung (BABEL),
Banten, Gorontalo, dan Maluku Utara. Berdasarkan Jumlah perbandingan migrasi
masuk dan migrasi keluar diantara 5 propinsi baru tersebut, berurutan mulai dari
yang terbesar ke yang terkecil berdasarkan hasil SP 2010 adalah Kepulauan riau
4:1 (migrasi masuk 205,036 jiwa sedangkan migrasi keluar 54.847 jiwa), Babel
4:1(Migrasi masuk 60,439 jiwa, sedangkan migrasi keluar 17,054 jiwa), Banten
2:1 (migrasi masuk 462,898 jiwa sedangkan migrasi keluar 192,983 jiwa),
16
Universitas Indonesia
Maluku utara 2: 1 (Migrasi masuk 24,414 jiwa, sedangkan migrasi keluar 14,887
jiwa), Gorontalo 2:1 (migrasi masuk 26,638 jiwa, sedangkan migrasi keluar
16,820 jiwa). Kesenjangan yang besar antara arus migrasi masuk dan migrasi
keluar di Kepulauan Riau membuatnya menarik untuk diteliti lebih lanjut
terutama mengenai pola migrasinya.
Seperti yang ditunjukkan pada grafik perbandingan rasio migrasi risen
berdasarkan supas 2005 dan SP 2010.
17
Universitas Indonesia
MALUKU
JAWA TENGAH
KALIMANTAN BARAT
SUMATERA UTARA
SUMATERA SELATAN
MALUKU UTARA
SULAWESI SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
JAWA TIMUR
NUSA TENGGARA BARAT
GORONTALO
DKI JAKARTA
SUMATERA BARAT
LAMPUNG
NUSA TENGGARA TIMUR
SULAWESI UTARA
BENGKULU
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
SULAWESI TENGGARA
JAMBI
KALIMANTAN SELATAN
PAPUA
JAWA BARAT
SULAWESI TENGAH
BALI
D I YOGYAKARTA
RIAU
BANTEN
KALIMANTAN TIMUR
KEPULAUAN RIAU
0.002.00
4.006.00
8.0010.00
12.0014.00
16.0018.00
Rasio Migrasi Supas 2005
18
Universitas Indonesia
JAWA TENGAHSUMATERA UTARA
JAWA TIMURSULAWESI SELATAN
LAMPUNGNUSA TENGGARA TIMUR
DKI JAKARTANUSA TENGGARA BARAT
SUMATERA BARATSUMATERA SELATAN
MALUKUKALIMANTAN BARAT
SULAWESI UTARASULAWESI TENGGARA
SULAWESI TENGAHGORONTALO
NANGGROE ACEH DARUSSALAMMALUKU UTARA
PAPUAJAWA BARAT
BENGKULUSULAWESI BARAT
KALIMANTAN SELATANJAMBI
D I YOGYAKARTARIAU
BANTENBALI
KALIMANTAN TIMURPAPUA BARAT
KEPULAUAN BANGKA BELITUNGKALIMANTAN TENGAH
KEPULAUAN RIAU
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00
Rasio Migrasi SP2010
Berdasarkan data SUPAS tahun 2005, perbandingan migrasi masuk dan
keluar di Kepri sekitar 18 : 1, yang artinya ada 18 migran dari provinsi lain
menuju ke Kepri dan ada penduduk kepri yang migrasi ke provinsi lain. Dan data
SP2010 perbandingan migrasi masuk dan keluar di Kepri menurun sekitar 4 : 1,
namun Kepulauan Riau masih menduduki peringkat teratas. Ketimpangan migrasi
ini terlihat tinggi, dimana kecenderungan migran masuk lebih banyak daripada
19
Universitas Indonesia
migran keluar. Hal ini menarik untk dibahas lebih lanjut sehingga mengetahui
konsentrasi arus migrasi secara spatial.
Menurut Plane dan Mulligan (1997), yang dimaksud dengan spatial
focusing adalah adanya ketimpangan relatif volume sekelompok arus migrasi
tertentu dari daerah asal atau daerah tujuan. Derajat spatial focusing tinggi jika
banyak arus migran masuk yang selektif menuju beberapa daerah daerah tujuan
dan hanya sedikit yang migran keluar yang meninggalkan daerah tersebut.
Sedangkan spatial focusing rendah jika arus migrasi keluar dan masuk relatif
sama disemua daerah.
Semakin tinggi pola migrasi masuk dan keluar dari suatu daerah akan
mempengaruhi perubahan pertumbuhan penduduk dan stuktur penduduk daerah
tersebut dimasa yang akan datang. Dampak dari tingginya tingkat migrasi keluar
atau masuk dapat berpengaruh terhadap perekonomian dan kehidupan sosial
masyarakat pada daerah tersebut.
Dalam setiap sistem migrasi internal kemungkinan memiliki populasi yang
berbeda, dan jarak tempat tujuan-tujuan migrasi dari daerah asal berbeda-beda .
Karena faktor-faktor struktur tersebut, jumlah arus migrasi tidak akan pernah
sama. Maka untuk melihat konsentrasi kecenderungan arus migrasi yang tinggi
disuatu daerah dapat dilihat dari pergeseran pola arus migrasi geografi secara
keseluruhan. Dan pola migrasi secara geografis dapat berubah drastisdalam kurun
waktu yang pendek, ukuran populasi dan jarak populasi dengan pusat konsentrasi
penduduk yang lain akan aberubah secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu.
Bahkan analisis spatial focusing ini akan lebih berguna, dan mungkin
menjadi alasan utama untuk memasukkannya ke dalam analis migrasi, spatial
focusing merupakan ukuran yang praktis untuk menggambarkan perbedaan
antara pola pergerakan migrasi keluar dan masuk dalam suatu wilayah. Net
migrasi merupakan perubahan arus migrasi masuk dengan migrasi keluar. Sebuah
wilayah yang menarik migran masuk dari daerah asal yang berbeda-beda,
kemungkinan akan menyebabkan net migrasi sama dengan nol (total gross
migration in = total gross migration out), tapi yang paling penting dalam analisis
migrasi adalah redistribusi penduduk dalam sistem migrasi. Arus migrasi tertentu
20
Universitas Indonesia
dari suatu daerah mungkin berbeda-beda konsentrasi tingkat spasialnya. Aliran
migrasi yang terkonsentrasi secara spatial akan berhubungan denganperubahan
penduduk di sebuah daerah yang menggantikan daerah lain dari sistem migrasi.
II.5 Penelitian Terdahulu Migasi Internal Dan Spatial Focusing
Menurut Emalisa (2003), migrasi di Indonesia masih bersifat “centris”
dimana masih menuju kota-kota besar didaerah pulau Jawa. Selain itu, provinsi
Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan sumber/asal migran terbesar di
Indonesia pada tahun 1980, 1990, dan 1995. Tidak ada satu provinsi pun yang ada
di Indonesia yang tidak mengalami perpindahan penduduk, baik migrasi masuk
maupun keluar. Faktor ekonomi merupakan alasan yang mendominasi para
migran melakukan migrasi diseluruh daerah di Indonesia.
Migrasi sebenarnya merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi
pada suatu wilayah. Faktor ekonomi merupakan motif yang paling sering
dijadikan sebagai alasan utama keputusan seseorang untuk melakukan migrasi.
Migrasi internal di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh mereka yang berumur
produktif. Hal tersebut memungkinkan tingginya angka pertumbuhan penduduk
serta tingkat laju pembangunan disuatu daerah. Namun, menurut Darmawan
(2007), menduga bahwa pola migrasi yang terjadi antar provinsi di Indonesia yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi yaitu Domestik Regional Bruto (PDRB)
per Kapita Atas Dasar Harga Konstan, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan
Pengangguran. Hasil analisis dengan menggunakan data SUPAS dan SP,
menyimpulkan bahwa ketiga indikator ekonomi tersebut secara bersama-sama
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap migrasi antar provinsi di
Indonesia. Tetapi, indikator pengangguran menunjukan pengaruh yang tidak
signifikan terhadap migrasi yang terjadi. Begitu juga dengan indikator UMP
menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak sesuai dengan dugaan karena migran
justru cenderung menuju provinsi yang mempunyai UMP lebih rendah
dibandingkan provinsi asalnya.
Sedangkan Wajdi 2010, pola migrasi antar pulau di Indonesia dengan
menggunakan Schedule Migrasi dan Model Gravitasi yang dimodifikasi
menunjukkan bahwa semakin tinggi perbedaan upah, semakin tinggi
21
Universitas Indonesia
kecenderungan bermigrasi dengan hubungan yang tidak linier. Tetapi semakin
besar struktur ekonomi antar daerah, maka migrasi akan cenderung tinggi
meskipun perbedaan upah antar daerah relatif rendah. Selain itu yang paling
mobile adalah migranyang berusia 23 sampai 54 tahun. Dan alasan migrasi adalah
ekonomi, keluarga dan pendidikan.
Spatial focusing merupakan hal yang menarik dalam study migrasi.
Banyak literature yang mengemukakan ukuran-ukuran yang dapat digunakan
untuk menggambarkan spatial focusing. Dalam Plane dan Mulligan (1997),
menyebutkan bahwa ukuran-ukuran statistik dapat mengambarkan konsentrasi
migrasi dengan melihat ketimpangan suatu nilai variasi dari suatu distribusi.
Misalnya Range/Jangkauan, Relatif Mean Deviasi Relatif , Varians, Koefisien
Variasi, Standar Deviasi Logaritma, Indeks Gini, Indeks Entropi Theil, dan Indeks
Atkinson (Atkinson1970 ; Duncan dan Duncan 1955; Griffith dan Amrhein 1991;
Isard 1960; Kendall 1958; Raja 1969, Sen 1970, Smith 1975). Ukuran-ukuran
tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. Hal
didukung oleh hasil penelitian Rashid (2007) yang menyimpulkan bahwa Indeks
Gini merupakan metode yang sangat berguna untuk mengetahui sistem migrasi di
area urban.
II.6 Metode Pengukuran Spatial Focusing
Menurut Plane dan Mulligan (1997), menyarankan untuk menggunakan
metode indeks gini untuk mengukur derajat spatial focusing pada sistem migrasi
internal. Namun, Roger dan Sweeney (1998) menyarankan untuk menggunakan
koefisien variansi karena memiliki tingkat spatial focusing yang lebih tinggi
daripada Indeks Gini sehingga lebih sensitif terhadap arus konsentrasi migrasi
disuatu daerah.
a. Indeks Gini
Strukur migrasi yang spesifik digambarkan dengan sebuah matrik dimana pada
komponen kolom menunjukkan arus migrasi keluar dan komponen baris
menunjukkan arus migrasi masuk. Dari matrik tersebut didekomposisi menjadi 4
komponen yaitu baris, kolom, danpairwise/pasangan (ij dan ji) yang
22
Universitas Indonesia
menggambarkan gross migrasi keluar dan net migrasi masuk, dan perubahan net
migrasi antar daerah. Indeks Gini merupakan suatu ukuran yang dapat
membandingkanarus migrasi terhadap arus migrasi yang lain dalam sistem, hal
inidikarenakan kelebihan Indeks Gini sebagai berikut:
Komprehensif untuk menangkap ukuran tunggal semua perubahanpairwise
(pasangan in-out)yang mungkin dalam sistem migrasi (misalnya, untuk
memasukkan semua kemungkinan arus migrasi internal dalam sistem )
Spesifik dalam membandingkan secara langsung perbedaan antara setiap
kemungkinan pasangan arus,
Berguna untuk menangkap perubahan antarwaktu dalam pola
perubahansistem yang luas (yaitu, dapat mengukur perubahan arus migrasi
dari satu periode ke periode yang lain),
Adaptif dalam menangkap perbedaan-perbedaan dalam arus pada skala
geografis yang beragam,
Fleksibel untuk menggambarkan tren di wilayah migrasi masuk yang khusus
dan perbedaan migrasi keluar, serta perbedaan perubahan yang langsung
antara daerah.
Dapat dimodifikasi untuk daerah-daerah yang tingkat kecenderungannya
bervariasi
Berikut adalah rumus umum dari Indeks Gini :
(1)
Dimana :
Ya dan Yb : 2 pengamatan (migrasi keluar dan migrasi masuk)
µ : rata-rata jumlah n pengamatan
n : jumlah pengamatan
Indeks Gini Migrasi Keluar dan Masuk Pada Suatu Daerah
23
Universitas Indonesia
Indeks baris dan kolom dapat diuraikan lebih jauh untuk merepresentasikan
konstribusi tiap baris atau kolom. Namun tidak perlu untuk membandingkan
secara langsung masing-masing baris dan kolom karena terlalu banyak arus
migrasi dalam sistem. Sehingga perhitungan indeks untuk tiap daerah yang
spesifik di daerah k tertentu, daerah migrasi keluar dan daerah migrasi masuk
adalah sebagai berikut:
(2)
(3)
Dimana O menunjukkanmigrasi keluar, sedangkan I menunjukkan migrasi masuk.
Indeks Gini antar daerah dengan migrasi keluar dan migrasi masuk nilainya
bervariasi yaitu antara interval [0,1]. Jika nilai Indeks gini mendekati nol (0),
maka derajat spatial focusingnya rendah, sedangkan jika nilai indeks gini satu
maka derajat spatial focusingnya tinggi. seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 3.
Gambar 3. Diagram Interpretasi Indeks Gini untuk Analisa Migrasi
Interpretasi Indeks Gini bisa langsung dibandingkan. Namun, untuk memfasilitasi
interpretasi yang lebih baik, dapat dilakukan perhitungan dengan menggunakan z-
score (yaitu mengurangkan nilai rata-rata antar daerah dalam sistem dan
membaginya dengan standart deviasi masing-masing). Kemudian dari ukuran
matriks migrasi tersebut dapat diterapkan untuk menganalisi pola migrasi secara
geografi.
24
Universitas Indonesia
b. Koefisien Variansi
Koefisien Gini biasa digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan
pada literatur studi ekonomi. Ukuran variasi lain yang biasa digunakan dalam
mengukur ketimpangan adalah koefisien variasi. Menurut Reed,dkk (1996) dalam
Rogers dan Sweeney (1998) ; Koefisien Variasi ini dapat digunakan untuk
mengukur spatial focusing pada arus migrasi, dan lebih sederhana, alternatif
indikatornya lebih jelas untuk melihat konsentrasi secara geografi. Koefisien
Variasi didefinisikan sebagai standart deviasi dari rasio rata-rata dari sebuah
distribusi (menurut Allison, 1978 dalam Roger & Sweeney,1998). Standart
deviasi mengukur derajat variasi; karena dapat menunjukkan pergerakan indeks
secara proporsional terhadap mean.
Formula variansi dari migrasi keluar (komponen kolom) secara matematis kolom
adalah:
s. j2 =∑
j=1
n
¿¿¿¿ (4)
Dan formula Koefisien Variansinya secara matematis untuk komponen kolom
adalah:
CV . j=s . j
m. j (5)
Dengan formula yang sama dapat dilakukan pula untuk komponen baris. Perlu
diperhatikan dalam menghitung nilai koefisien variasi untuk migrasi masuk
maupun keluar pada setiap daerah untuk mempertimbangkan faktor pembobotan
secara agregat (weighted agregate).
Roger dan Sweeney (1998), menyarankan menggunakan ukuran Koefisien
Variasi daripada menggunakan ukuran Indeks Gini. Dengan menggunakan data
yang sama yaitu data Migrasi Interregional di Amerika Serikat, menunjukkan
25
Daerah Asal(Provinsi Selain
Kepri)
Migrasi Masuk
Migrasi Keluar
Daerah Tujuan(Provinsi Kepri)
Faktor Penarik/Pendorong :Ekonomi, Pasar tenaga kerja, Pemukiman, Lingkungan Karakteristik:DemografiPendidikanEkonomi
Pemerintah
Universitas Indonesia
bahwa ukuran Koefisien Variasi lebih sensitive terhadap respon arus migrasi
daripada Indeks Gini.
Manfaat Spatial Focusing adalah:
1) Dapat mengetahui pola konsentrasi migrasi dari periode waktu yang berbeda
2) Spatial focusing sebagai alternatif indikator untuk mengidentifikasi prilaku
stuktur migrasi, seperti respon penduduk terhadap primasi urutan distribusi
penduduk dari sistem arus migrasi penduduk.
3) Migrasi dapat mengubah distribusi dan struktur penduduk, dengan
mengetahui konsentrasi migrasi dengan ukuran spatial focusing, dapat
menjadikan masukan untuk pembangunan daerah, pengaturan pemukiman
dan lahan, perluaran industri, transportasi, penetapan UMP, dsb
II.7 Kerangka Konseptual
Berdasarkan kerangka teoritis, maka selanjutnya disusun kerangka
konseptual yang merupakan panduan konseptual dalam melakukan analisis
mengenai pola migrasi di Kepulauan Riau.
Gambar 3. Kerangka Konseptual
26
Universitas Indonesia
GAMBARAN UMUM HASIL SPATIAL FOCUSING DI KEPULAUAN RIAU
Migrasi Masuk Supas 2005 Ke Kepulauan Riau
Keterangan:
1. Sumatra Utara 6. Riau2. Jawa Tengah 7. Jakarta3. Jawa Timur 8. Jawa Barat4. Sumatra Barat 9. Jambi 5. Yogyakarta 10. Bengkulu
Berdasarkan urutan migrasi risen yang masuk ke Kepulauan kepri menurut hasil SUPAS 2005, yang terbanyak pertama adalah sumatra utara, kemudian daerah terdekat lainnya sumatra barat berada diurutan keempat, hal ini kemungkinan karena faktor jarak yang sangat dekat, sama dengan teori ravenstein yaitu karena kedekatan jarak dan desa-desaa yang relatif dekat dengan kota-kota besar, dekat dengan jalan raya atau dekat dengan kota-kota kecil yang mempunyai kemudahan untuk mendapatkan informasi di daerah tersebut.
27
Universitas Indonesia
Urutan kedua dan ketiga migrasi masuk menurut Supas 2005 adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini kemungkinan dikarenakan faktor pendorong dari daerah asal seperti, kondisi sosial rendah, pendapatan/upah rendah, kesempatan kerja terbatas yang menyebabkan orang-orang didaerah tersebut melakukan mobilitas. Sedangkan faktor penarik menuju ke Kepulauan Riau karena letaknya yang strategis, berdekatan dengan negara lain seperti singapura, malaysia, vietnam, kamboja dan merupakan daerah perdagangan dan perindustrian yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dimana tingkat pendapatan/upah tinggi, lapangan pekerjaan cukup tersedia. Sesuai dengan Teori Bellante dan Jackson (1983) dalam dohar (1999), semakin tinggi perbedaan upah, semakin besar kecenderungan penduduk untuk bermigrasi dari wilayah daerah yang mempunyai upah lebih rendah ke yang mempunyai upah lebih tinggi.
Migrasi Masuk SP2010 Ke Kepulauan Riau
Keterangan:
1. Sumatra Utara 6. Jawa Barat2. Jawa Tengah 7. Bengkulu3. Jawa Timur 8. Jakarta4. Sumatra Barat 9. Yogyakarta5. Riau 10. Lampung
28
Universitas Indonesia
Berdasarkan urutan migrasi risen yang masuk SP2010 ke Kepulauan kepri, yang terbanyak pertama sampai keempat masih sama dengan hasil Supas 2005 yaitu sumatra utara, Jawa tengah, Jawa Timur dan Sumatra Barat. Baru pada peringkat 5 hingga sepuluh terjadi perubahan propinsi yang masuk. Secara berturut-turut yaitu Riau, Jawa barat, Bengkulu, Jakarta, Yogyakarta, dan lampung.
Migrasi Keluar Hasil Supas 2005 dari Kepulauan Riau
Keterangan:
1. Riau 6. Jambi2. Sumatra Barat 7. Bali3. Yogyakarta 8. Bangka Belitung4. Jawa Barat 9. Jawa Tengah5. Jawa Timur 10. Sumatra Selatan
Migrasi Keluar menurut hasil Supas 2005, daerah yang menjadi tujuan untuk keluar dari Kepulauan Riau adalah Riau. Hal ini kemungkinan karena Riau merupakan daerah asal dari orang-orang Kepri sebelum melakukan pemekaran dan juga karena kedekatan jarak sehingga memudahkan untuk melakukan
29
Universitas Indonesia
mobilitas. Urutan kedua yaitu Sumatra barat, masih sama mengikuti teori Revenstein (1885) dalam Munir (2011), faktor kedekatan masih mendominasi migrasi jarak dekat.
Tujuan keluar selanjutnya adalah Yogyakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada umumnya untuk pekerjaan, mencari pekerjaan, atau sekolah. Selanjutnya diurutan ke enam sampai sepuluh adalah Jambi, Bali, Bangka belitung, Jawa tengah dan sumatra selatan.
Migrasi Keluar Hasil SP 2010 dari Kepulauan Riau
Keterangan:
1. Sumatra Barat 6. Jawa Timur2. Riau 7. Yogyakarta3. Sumatra Utara 8. Jakarta4. Jawa Barat 9. Nusa Tenggara Timur5. Jawa Tengah 10. Bengkulu
Pada hasil SP2010 daerah yang menjadi tujuan keluar untuk orang-orang di daerah Kepri peringkat tiga besar adalah sumatra barat, Riau dan sumatra utara, dimana disini masih sama, rata-rata tujuan keluar atau masuk masih didominasi oleh kedekatan jarak. Pada urutan selanjutnya baru tujuan migrasi adalah daerah yang jaraknya cukup jauh yaitu Jawa barat, Jawa tengah, jawa timur, yogyakarta, jakarta dan nusa tenggara timur. Dimana dalam hal ini kemungkinan alasan utamanya masih sama yaitu pekerjaan, mencari pekerjaan, atau sekolah.
30
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BPS, (2011). “Migrasi Internal Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010”. Jakarta : BPS. (http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/migrasi%20internal%20penduduk%20indonesia/index.html)
Bunea,Daniela, 2012, “Modern Gravity Models of Internal Migration.The Case of Romania” Theoretical and Applied EconomicsVolume XIX (2012), No. 4(569), pp. 127-144
Darmawan, Beni, (2007), “Pengaruh faktor-faktor ekonomi terhadap pola migrasi antar provinsi di Indonesia”, Tesis, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan
Dohar, Ahmad, (1999), “Analisis Kecenderungan Migrasi Tenaga kerja ke propinsi Jawa Barat”, Tesis, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan
Emalisa,(2003), “Pola dan Arus Migrasi di Indonesia” Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. © 2003 Digitized by USU digital library
Munir, Rozy, (2011), “Migrasi”,Ed. Sri Moertiningsih Adioetomo & Omas Bulan Samosir “Dasar-dasar Demografi” Hal. 133 – 153. Depok: Penerbit Salemba Empat dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Plane, David A& Gordon F. Mulligan, (1997), “Measuring Spatial Focusing in a Migration System”, Journal Demography, Vol 34. No. 2, May 1997: 251 – 262.
Rogers, Andrei & Stuart Sweeney, (1998), “Measuring the Spatial Focus of Migration Patterns”, Journal Demography, Vol 50, No. 2, May 1998: 232 – 242.
Rashid, Mohd Fadzil Abdul (2007), “Analysing Trend and Distribution of Migration in Klang Valley Region, Malaysia, By Using Gini Index” ICCS-IX, 12-14 December 2007, Concorde, Shah Alam Selangor
Rashid, Mohd Fadzil Abdul(2013), “Tingkah Laku Migrasi sebagai Satu Masalah Keputusan: Menilai Multi-Faktor Migrasi Berasaskan AHP”, Persidangan Kebangsaan Geografi dan Alam Sekitar Ke-4 Universiti Pendidikan Sultan Idris, 5-6 Mac 2013
31
Universitas Indonesia
Setyohadi, Imam (2008), “Karakteristik dan Pola Pergerakan PendudukKota Batam dan Hubungannya denganPerkembangan Wilayah Hinterland”. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tidak dipublikasikan
Todaro, Michael P, Stephen C. Smith, (2006). “Pembangunan Ekonomi” Edisi Kesembilan, Ed. Devri Barnadi, SE, Suryadi Saat, Wibi Hardani, M.M. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wajdi, M. Nasrul(2010), “Migrasi Antarpulau di Indonesia :Analisis Model Skedul Migrasidan Model Gravitasi Hybrida”, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan
Wijoyo, Wisnu Harto Adi, (2011). “Determinan Migrasi Internasional : Migrasi Netto Kasus Asean N+6 Dan Gravitasi Migrasi Keluar Indonesia”. Skripsi UI. Tidak dipublikasikan
(www.BPS.go.id).
32