018_Makalah_Istilah_hadits

Embed Size (px)

Citation preview

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HADITS 1. Hadits, atsar dan khabar a. Hadits = Asal arti hadits ialah omongan, perkataan, ucapan dan sebangsanya. Hadits menurut bahasa berarti yaitu sesuatu yang baru, hadis juga bararti yaitu berita. Menurut ahli hadits, pengertian hadits ialah segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya. Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadits adalah Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang barkaitan dengan hokum syara dan ketetapannya. b. Atsar = Sedang atsar ialah perkataan sahabat sebagaimana hadits perkataan Nabi Saw Jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar yaitu sesuatu yang didasarkan kepada Nabi Muhammad, sahabat dan tabiin c. Khabar = khabar menurut bahasa adalah semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sebagai ulama mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang dating selain dari Nabi Muhammad. 2. Sanad, Matan dan Rowi a. Sanad = Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran, menurut istilah sanad adalah Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis) yang menyampaikannya kepada matan hadits. b. Matan Matan menurut bahasa berarti mairtafaa min al-ardi (tanah yang meninggi), sedangkan menurut istilah adalah :

Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa matan adalah lafadz hadis yang diucapkan oleh Nabi Saw atau isi hadits. c. Rawi Rawi yakni yang meriwayatkan hadits Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan antara sanad, rawi dan ikatan, perhatikan contoh hadis di bawah ini:

: : : ) (Penjelasan Dari nama Muhammad bin Mamur sampai dengan Usman bin Affan r.a adalah sanad dari hadis tersebut. Mulai kata man tawadda sampai dengan kata tahta azfarih adalah matannya, sedangkan Imam Muslim yang dicatat di ujung hadits adalah perawinya.

3. Hadis Mutawatir dan Ahad a. Hadits Mutawatir Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita/ yang beriring-iringan antara satu dnegan yagn lainnya, tanpa ada jaraknya. Menurut istilah mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah belajar orang yang menurut adalah mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Pada intinya hadis

mutawatir yaitu hadist yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi sejak generasi sahabat hingga generasi akhir. b. Hadist ahad

Kata ahad menurut bahasa berarti satu, sedangkan menurut istilah ahad adalah ishobar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadist mutawatir. Ada juga ulama yang mendefinisikan hadist ahad secara singkat yakni hadist ahad secara singkat yakni hadist yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir. 4. Hadis shahih hasan dan dhoiif a. Hadis shohih Shohih menurut bahasa berarti ( lawan sakit) yang berarti shah, benar, sempurna, sehat, ibnu al-shaleh mengartikan hadist shohih yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yagn berwafaq adil, dan dhabil, dari orang yang berwatak seperti itu juga sampai puncaknya, hadist mana tidak yadz dan tidak pula mengandung cacat. Gambaran mengenai pengertian hadist shohih menjadi lebih jelas setelah imam syafiI memberikan ketentuan, bahwa riwayat suatu hadist dapat dijadikan hujjah apabila 1. 2. Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya amalan Rangkaina riwayatnya bersambung sampai kepada pagi Muhammad agamanya. atau dapat juga tidak sampai ke pada pagi. Syarat-syarat hadis shohih 1. Sanadnya bersambung 2. para perawinya bersifat adil 3. para perawinya dhabil 4. Matannya tidak syadz

5. Matannya tidak berillat b. Hadis Hasan Hadis hasan menurut bahasa berarti yaitu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sebenarnya hadis hasan itu sama dengan hadis shahih. Bedanya, kalau di dalam hadis shahih semua periwayat harus sempurna kedhabitannya. Maka dalam hadis hasan ada perawi yang kedhabitannya, kecermatan atau hafalannya kurang sempurna. Menurut para ulama, hadis hasan dapat naik derajatnya menjadi shahih karena ada hadis lain yang isinya sama diriwayatkan yagn kualitasnya tidak lebih rendah. Para ulama ahli hadis membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu hasan lidzatih dan hasan li ghairih yang dimaksud dengan hadis hasan lidzatih ialah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan. Adapun yang dimaksud dengan hadis hasan li ghoirih ialah hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan sec ara sempurna, atau pada dasarnya hadis tersebut adalah hadis dhaif, tetapi karena ada sanad atau matan lain yang menguatkannya maka ke dudukan hadis dhaif tersebut naik derajatnya menjadi hasan li ghairih. Ibn Ash-shalah, sebagaimana dikutip oleh Al-Qosimi menyebutkan bahwa hadis hasan li hairih ialah hadis yang sandaran dan sanadnya terdapat seorang yang mashur, bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat adanya sebab-sebab yang menjadikannya fasiq dan matan hadisnya diketahui baik berdasarkan periwayatannya hadis lain yang semakna. Pengertian menurut Ibnu Ash-Shalah ini memperkuat uraian bahwa pada dasarnya hadis hasan li ghairih adalah hadis dhaif, yang memiliki syahid dan muttabi sehingga kualitasnya menjadi naik menjadi hadis hasan, akan tetapi, hadis yang sangat lemah seperti hadis maudu dan mankar dan matruk sekali pun ada syahid dan muttabi kedudukannya tetap sebagai hadis dhaif dan tidak dapat berubah menjadi hadis hasan. c. Hadis dhaif

Kata dhaif menruut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari kasla kuat. Secara istilah diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinsikan hadis dhaif ini, akan tetapi pad adasarnya isi dan maksudnya sama, beberapa definisi diantaranya adalah: 1. An-Nawawi mendefinsikannya dengan

Hadis yang di dalamn ya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan. 2. Menurut Nur ad-Din atr mendefinisikan hadis dhaif sebagai hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (hadis yang shahih atau hadis yang hasan). Dari definisi di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadis shahih adalah hadis hasan) hilang, berarti hadis itu dinyatakan sebagai hadis dhaif. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua adalah tiga syarat maka hadis seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadis dhaif yang sangat lemah. a. Dhaif dari segi persambungan sanadnya 1. Hadis mursal Yaitu hadis yang gugur sanadnya setelah tabiin 2. Hadis munqathi Yaitu hadis yang sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan (tidak disebutkan namanya) baik diujung maupun dipangkal. 3. Hadis Mudal Yaitu hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturutturut. 4. Hadis mudallas Yaitu hadis yang di dalamnya ada sesuatu yang disembunyikan. b. Hadis dhaif yang disebabkan oleh cacat periwayatnya atau hal lain

1. Hadis matruk Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta terhadap hadis yang diriwayatkannya atau nampak kefasikannya, baik pada perbuatan adalah pada perkataannya atau orang yang banyak lupa atau ragu. 2. Hadis muallal Yaitu hadits yang diriwayatkan tanpa memakai sanad 3. Hadis munkar Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang lemah yang menyalahi riwayat orang yang lebih terpercaya dari padanya. 4. Hadis syadz Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang terpercaya, tetapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh, orang yang lebih terpercaya lagi. 5. Hadis maqlub Yaitu hadis yang lafalnya tertukar pada salah seorang dari sanadnya adalah nama seorang yang sanadnya. seharusnya Kemudian disebut mendahulukan atau penyebutannya belakangan

membelakangkan penyebutan yagn seharusn ya di dahulukan adalah dengan sesuatu pada tempat yang lain. Kesimpulan Ilmu hadis merupakna ilmu pengetahuan yagn mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Nabi Muhammad Saw bersabda

Allah memuji orang yang mendengar hadis dari saya kemudian menyampaikannya seperti apa yang saya dengar.

PEMBAHASAN I. Hadits Shahih I.1 Definisi Hadits Shahih kata Shahih (( dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata assaqim ( ( =orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (ilat). Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan hadis yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak berilat. Defisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafii memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu: pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat), kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi. Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut: 1) Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir. 2) Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith, 3) Hadisnya terhindar dari ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan

4)

Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.

I.2 Syarat-Syarat Hadis Shahih Berdasarkan definisi hadis shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Sanadnya Bersambung Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya. Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja sebagai berikut; 1. Mencatat semua periwayat yang diteliti, 2. Mempelajari hidup masing-masing periwayat, 3. Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, an,anna, atau kasta-kata lainnya. b. Perawinya Bersifat Adil Maksudnya adalah tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya. Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut: 1. keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli tadil bahwa seorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa attadil. 2. ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafii, dan Hambali. khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak. c. Perowinya Bersifat Dhobith

Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan). Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui: 1. kesaksian para ulama 2. berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya. d. Tidak Syadz Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya. Menurut al-Syafii, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah. e. Tidak Berilat Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat. Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati atau mursal. I.3. Pembagian Hadis Shahih Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna. a.Hadis Shahih li dzati

Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan. b. Hadis Shahih Li Ghoirihi Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah. Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

I.4 Kehujahan Hadis Shahih Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara sesuai ijma para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah. Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qati, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah. I.5 Tingkatan Hadis Shahih Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu: Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar. Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas. Ketiga. adaf al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut: a) b) c) Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq alaih), Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja, Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,

d) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim, e) f) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja, Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,

g) Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain. Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Shahih Al-Bukhari (w.250 H). Shahih Muslim (w. 261 H). Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H). Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H). Mustadrok Al-hakim (w. 405). Shahih Ibn As-Sakan. Shahih Al-Abani.

II. HADIS HASAN II.1 Pengertian Hadis Hasan Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dhaif, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:

1. definisi al- Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha 2. definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan. 3. definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi. Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabitannya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan kedhabit-an perawi hadis dhaif tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul. II.2 Macam-Macam Hadis Hasan Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih; a. Hasan Li-Dzatih Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. b. Hasan Li-Ghairih Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dhaif, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi), maka kedudukan hadis dhaif tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.

II.3 Kehujahan Hadis Hasan Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.

III. HADIST DHAIF III.1 Definisi Hadist Dhaif Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan. III.2 Macam-macam hadits dhaif Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan. a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu : 1) Hadits Mursal

Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah. Contoh hadits mursal : Artinya : Rasulullah bersabda, Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jamaah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Said bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan

hadits itu kepada Said bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas. Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil. 2) Hadits Munqathi

Hadits munqathi menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabiin. Jadi, pada hadits munqathi bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabiin. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabiin. contoh hadits munqathi : Artinya : Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu. Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti AlHusain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabiin. 3) Hadits Mudhal

Menurut bahasa, hadits mudhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mudhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya. Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya AlMuwatha yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Artinya : Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.

Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya. 4) Hadits muallaq

Menurut bahasa, hadits muallaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ). Contoh : Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Artinya : Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain. Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits muallaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits muallaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga. b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bidah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya. Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi : 1) Hadits Maudhu

Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu ialah hadits yang bukan berasal

dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya . Hadits maudhu merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya. Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka. Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu: a) Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi kabah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat Makna hadits tersebut tidak masuk akal. b) adapun hadits lainnya : anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Quran. Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain. ( Al-Anam : 164 ) c) Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga. orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah. Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits maudhu. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin AlFarisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa hadits tentang keutamaan AlQuran dan 70 buah hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : aku telah membuat 3000 hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal. 2) Hadits matruk atau hadits mathruh

Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.

Contoh hadits matruk : Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah ditaati dengan sungguh-sungguh. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Yaqub bin Sufyan bin Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin Imran, Isa bin Ziyad, Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.

3)

Hadits Munkar

Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh : Artinya: Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim ) Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat. 4) Hadits Muallal

Menurut bahasa, hadits muallal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh : Rasulullah bersabda, penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah. Hadits di atas diriwayatkan oleh Yala bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan AtsTsauri, dari Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi Amru bin Dinar. 5) Hadits mudraj

Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :

Rasulullah bersabda : Saya adalah zaim ( dan zaim itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga. Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW. 6) Hadits Maqlub

Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. Contoh : Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu. 7) Hadits Syadz Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya. Contoh : Rasulullah bersabda : Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawirawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh. III.3 Kehujahan Hadits dhaif

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat: 1. Level Kedhaifannya Tidak Parah Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul amal (keutamaan amal). 1. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul amal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dhaif jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih. 1. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.

Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :

Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta para spesialis. Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits. 1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif

Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa ditolelir. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi

kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka. Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Muin, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya. 2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif

Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu). Bagi mereka, sedhaifdhaif-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika. Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya. Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan. 3) Kalangan Menengah

Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf. Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah: Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dhaif yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima. Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum. Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.

BAB III KESIMPULAN Pada materi hadits dhaif ini, dapat kita petik kesimpulan bahwa kajian ke-islaman itu sangatlah luas. Menunjukkan betapa maha kuasanya Allah dalam memberikan kepahaman terhadap hamba-hambanya. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS. Ysuf [12]: 21) Meskipun ada sebagian kaum muslimin mengingkari Quran dan Hadits ( terlebih hadits dhaif ), maka itulah yang perlu kita luruskan bersama. Karena sesungguhnya Allah SWT. berfirman : (Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.(QS Yunus 36). Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehatmenasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat-menasehati supaya menetapi kebenaran.(TQS Al-Ashr [103] : 1-3) Terbaginya hadits dhaif dalam dua bagian; karena gugurnya rawi dan atau karena cacat pada rawi atau matan semakin memudahkan kita untuk mengetahui sebabsebab mengapa hadits-hadits menjadi dhaif, baik dari segi rawinya ( orang yang meriwayatkan ), sanad, maupun matannya. Setiap Muslim diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah islmiyah). Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami (aqliyyah islmiyyah) dan pola sikap islami (nafsiyyah islmiyah). Dengan aqliyyah islmiyyah seseorang dapat mengeluarkan keputusan hukum tentang benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan hukum-hukum syariah. Dia dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram serta mana yang terpuji dan mana yang tercela berdasarkan syariah Islam. Melalui aqliyyah islmiyyah seorang

Muslim juga akan memiliki kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar. Namun, aqliyyah islmiyyah saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup. Tidak jarang, orang pintar bicara, pandai berdebat tentang dalil, tetapi apa yang diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan. Karena itu, kepribadian Islam tidak cukup dengan aqliyyah islmiyyah melainkan harus dipadukan dengan nafsiyyah . Dengan mengetahui Ilmu Hadits ( di sini lebih dikhususkan hadits dhaif ), tentu akan membuat aqliyah kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir dan menggali pengetahuan secara lebih mendalam serta dilandasi nafsiyah ( sikap ) keimanan dan ketakwaan yang mantap, termotivasi untuk terus mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam makalah ini hanyalah berisi sebagian kecilnya saja.

hadits dhaif I. Pendahuluan Pada makalah ini akan dibahas mengenai sebab-sebab kedhaifan hadits, macam-macam hadits dhaif, serta kehujjahannya menurut pendapat para ulama. Sangat penting membahas seputar hadits dhaif, karena di sini kita akan mengetahui bagaimana proses periwayatan hadits yang berasal dari Rasulullah atau bukan berasal dari beliau. Selain itu, kita diharapkan dapat mengetahui sejarah orang-orang yang meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan hafalan mereka. Tidak hanyas sebatas sampai di situ, jika memang terdapat hadits yang terbukti lemah ( dhaif ) ini sekiranya bermakna positif bagi kita dan dapat memotivasi dalam pengamalan hidup sehari-hari.

II. Pembahasan 1. Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut :

Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifatsifat hadits hasan. 2. Macam-macam hadits dhaif Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan. a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu : hadits mursal, hadits munqathi, hadits mudhal, dan hadits muallaq. 1) Hadits Mursal Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah

hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah. Contoh hadits mursal :

Artinya : Rasulullah bersabda, Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jamaah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Said bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Said bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas. Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil. 2) Hadits Munqathi Hadits munqathi menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir

sanad adalah tabiin. Jadi, pada hadits munqathi bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabiin. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabiin. contoh hadits munqathi :

Artinya : Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu. Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi, karena Fathimah AzZahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabiin.

3) Hadits Mudhal Menurut bahasa, hadits mudhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits

mudhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya. Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya Al-Muwatha yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Artinya : Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik. Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya. 4) Hadits muallaq Menurut bahasa, hadits muallaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ). Contoh : Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Artinya : Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain. Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits muallaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah

seorang mudallis ( yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits muallaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga. b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bidah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya. Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi : 1) Hadits Maudhu Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuhmusuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya . Hadits maudhu merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.

Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka. Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu:

a) Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi kabah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat Makna hadits tersebut tidak masuk akal. b) adapun hadits lainnya : anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Quran. Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain. ( AlAnam : 164 )

Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga.

orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah. Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits maudhu. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin AlFarisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa hadits tentang keutamaan Al-Quran dan 70 buah hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : aku telah membuat 3000 hadits; aku halalkan

barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal. 2) Hadits matruk atau hadits mathruh Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya. Contoh hadits matruk : Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah ditaati dengan sungguh-sungguh. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Yaqub bin Sufyan bin Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin Imran, Isa bin Ziyad, Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang. 3) Hadits Munkar Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh : Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim ) Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat. 4) Hadits Muallal Menurut bahasa, hadits muallal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat

yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh : Rasulullah bersabda, penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah. Hadits di atas diriwayatkan oleh Yala bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi Amru bin Dinar. 5) Hadits mudraj Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh : Rasulullah bersabda : Saya adalah zaim ( dan zaim itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga. Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW. 6) Hadits Maqlub Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. Contoh : Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : Apa yang aku larag kamu

darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu. 7) Hadits Syadz Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya. Contoh : Rasulullah bersabda : Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh. 3. Kehujjahan hadits dhaif Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat: a. Level Kedhaifannya Tidak Parah Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk

perkara fadahilul a'mal (keutamaan amal). b. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a'mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dhaif jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih. c. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabitannya Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW. - Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif : Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta para spesialis. Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits. 1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa ditolelir. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka. Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, AlImam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya. 2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap

menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu'). Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika. Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama AlImam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya. Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, 'Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan." 3) Kalangan Menengah Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf. Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah: Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima. Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum. Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati. Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.

IV. Penutup 1. Kesimpulan Pada materi hadits dhaif ini, dapat kita petik kesimpulan bahwa kajian ke-islaman itu sangatlah luas. Menunjukkan betapa maha kuasanya Allah dalam memberikan kepahaman terhadap hamba-hambanya. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS. Ysuf [12]: 21) Meskipun ada sebagian kaum muslimin mengingkari Quran dan Hadits ( terlebih hadits dhaif ), maka itulah yang perlu kita luruskan bersama. Karena sesungguhnya Allah SWT. berfirman : "(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesung- guhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran."(QS Yunus 36). Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat-menasehati supaya menetapi

kebenaran.(TQS Al-Ashr [103] : 1-3) Terbaginya hadits dhaif dalam dua bagian; karena gugurnya rawi dan atau karena cacat pada rawi atau matan semakin memudahkan kita untuk mengetahui sebab-sebab mengapa hadits-hadits menjadi dhaif, baik dari segi rawinya ( orang yang meriwayatkan ), sanad, maupun matannya. Setiap Muslim diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah islmiyah). Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami (aqliyyah islmiyyah) dan pola sikap islami (nafsiyyah islmiyah). Dengan aqliyyah islmiyyah seseorang dapat mengeluarkan keputusan hukum tentang benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan hukum-hukum syariah. Dia dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram serta mana yang terpuji dan mana yang tercela berdasarkan syariah Islam. Melalui aqliyyah islmiyyah seorang Muslim juga akan memiliki kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar. Namun, aqliyyah islmiyyah saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup. Tidak jarang, orang pintar bicara, pandai berdebat tentang dalil, tetapi apa yang diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan. Karena itu, kepribadian Islam tidak cukup dengan aqliyyah islmiyyah melainkan harus dipadukan dengan nafsiyyah . Dengan mengetahui Ilmu Hadits ( di sini lebih dikhususkan hadits dhaif ), tentu akan membuat aqliyah kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir dan menggali pengetahuan secara lebih mendalam serta dilandasi nafsiyah ( sikap ) keimanan dan ketakwaan yang mantap, termotivasi untuk terus mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam makalah ini hanyalah berisi sebagian kecilnya saja. Pengertian HadistPengertian Hadist secara literal berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga

disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur'an. Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Shu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:"Tidak beriman diantara kamu sekalian hingga kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri" (Hadits riwayat Bukhari) Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahyaa > Shubah > Qataadah > Anas > Nabi Muhammad SAW Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak beriman diantara kamu sekalian hingga kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri" Berdasarkan ujung sanad, hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' : Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya). Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu AlZubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'. Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits). Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad, hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya. Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi. Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya). Hadits Munqati'. Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3 Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut. Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah). Berdasarkan jumlah penutur adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad. Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat).

Background Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain : Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur). Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan). Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Berdasarkan tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu' Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut: Sanadnya bersambung; Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah (kehormatan)nya, dan kuat ingatannya. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan(syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits. Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, muallaq, mudallas, munqati atau mudal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat. Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta. Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain: Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta. Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur. Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani

bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat). Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan. Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi). Hadits Munqalib, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah. Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya. Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain. Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolaholah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya Periwayat Hadits Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim Sunni Aturan-aturan Hadits dari Sunni mendapatkan bentuk terakhirnya kurang lebih 3 abad setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Ilmuwan hadits yang kemudian memperdebatkan keotentikan beberapa hadits tetapi otoritas dari buku-buku tersebut meningkat dengan pesat. Aturan-aturan ini, ada yang menyatakan dengan Koleksi Enam Hadits utama ada pula dengan Koleksi Tujuh Hadits Utama, termasuk: Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H) Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H) Sunan Abu Daud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H) Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H) Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H) Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273). Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasanya dianggap yang paling dipercaya dari koleksi ini. Ada beberapa perdebatan yang terjadi apakah anggota ke-6 dari aturan ini seharusnya Ibnu Majah atau Muwatta' dari Imam Malik. Selain itu, ada pula yang memasukkan Musnad dari Ahmad bin Hanbal sebagai bagian dari aturan tersebut.

Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim Syi'ah Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal. Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan: Usul al-Kafi Al-Istibsaar Al-Tahzeeb Mun La Yah DuruHu al-Faqeeh Kitab-kitab Hadits Beberapa kitab hadits yang masyhur/populer antara lain: Riyadhus Shalihin Shahih Bukhari Shahih Muslim Beberapa istilah dalam ilmu hadits Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain: Muttafaq 'Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim. As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah. As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal. Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim. Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ats tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif. 1. Hadits Yang Diterima (Maqbul)

Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua): 1. 1. Hadits Shahih 1. 1. 1. Definisi: Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah: Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah: Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran. 1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih: Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:

Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits. Hadits itu tidak berillat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits) Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

1. 2. Hadits Hasan 1.2.1. Definisi Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan: Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan. At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan. Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan: Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya. Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah. Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan matannya. Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya. 1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan Hasan Lidzatih Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat. Di antara contoh hadits ini adalah: Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat

Hadits Hasan lighairih Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain. Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif. Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal: " : Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya. Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi. Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanul-asanid. Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul). Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain. *** 2. Hadits Mardud (Tertolak) Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak. Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam

yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah. 2.1 Definisi:

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum. 2.2. Penyebab Tertolak Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu: 2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:

Dusta (hadits maudlu) Tertuduh dusta (hadits matruk) Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal Banyak waham (prasangka) disebut hadits muallal Menyalahi riwayat orang kepercayaan Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham) Penganut Bidah (hadits mardud) Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung

Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits muallaq Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mudlal Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi

2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya

2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain. Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya). Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem. Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW: Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu bukan haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim) Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu). Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah. Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.

Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain: 1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya. 2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah. 3. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu. Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc

Januari 25, 2009 pukul 12:50 pm Disimpan dalam Ilmu HaditsOleh: Dede KS, Mustafa Azmi, Haliman A. Pengertian Hadits Maudhu

secara bahasa berarti ,yaitu sesuatu yang baru, selain itu hadits pun berarti , berita. Yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang yang lain. Sedangkan merupakan derivasi dari kata yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada atau membuat-buat.Adapun pengertian hadits maudhu (hadits palsu) secara istilah ialah:

Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya. Dr. Mahmud Thahan didalam kitabnya mengatakan,

Apabila sebab keadaan cacatnya rowi dia berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu. ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89) Dan pengertiannya secara istilah beliau mengatakan

Hadits yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada Rasulullah ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89) B. Sejarah Perkembangan Hadits Palsu Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Diantara pendapat-pendapat yang ada sebagai berikut:

a. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits palsu terjadi sejak jaman Rasulullah Saw, beliauberalasan dengan sebuah hadits yang matannya . Menurutnya hadits tersebut menggambarkan kemungkinan pada zaman Rasulullah Saw. telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi pendapat ini kurang disetujui oleh H.Mudatsir didalam bukunya Ilmu Hadits, dengan alasan Ahmad Amin tidak mempunyai alasan secara histories, selain itu pemalsuan hadits dijaman Rasulullah Saw. tidak tercantum didalam kitab-kitab standar yang berkaitan dengan Asbabul Wurud. Dan data menunjukan sepanjang masa Rasulullah Saw. tidak pernah ada seorang sahabatpun yang sengaja berbuat dusta kepadanya. Menurut jumhur muhadditsin, bahwa hadits telah mengalami pemalsuan sejak jaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebelum terjadi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan, hadits masih bisa dikatakan selamat dari pemalsuan.

b.

C. Motif-motif yang mendorong pembuatan hadits maudhu Ada banyak hal yang mendorong seseorang untuk membuat hadits palsu (maudhu), yaitu diantaranya: a. Mempertahankan ideologi partai (golongan)nya sendiri dan menyerang golongan yang lain. Pertentangan politik kekhilafahan yang timbul sejak akhir kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib bisa dikatakan sebagai sebab munculnya golongan-golongan yang saling menyerang dengan pembuatan hadits-hadits palsu. Misal munculnya Syiah, kemudian Khawarij. Golongan Syiah yang paling banyak menciptakan hadits palsu ialah Syiah Rafidhah. Kaum Syafii mengatakan saya tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta selain kaum Rafidhah. Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait, bahkan mereka pun menciptakan hadits tentang keutamaan Fatimah. Misalkan hadits yang mereka buat sebagai berikut: Ketika Nabi diisrakan, Jibril datang memberikan buah Safarjalah dari surga. Kemudian sayyidah Khodijah menghubungkan buah tersebut dengan Fatimah. Karena itu apabila Rasulullah rindu akan bau-bauan surga, beliau lalu mencium Fatimah Kepalsuan hadits ini sangat jelas sekali, sebab Khodijah telah meninggal sebelum peristiwa Isra. Disamping mereka membuat hadits-hadits palsu untuk memuji golongan mereka sendiri, mereka pun membuat hadits-hadits untuk menyerang golongan yang lain. Misalkan mereka membuat hadits untuk menjelek-jelekan Muawiyah sebagai berikut: Apabila kamu melihat Muawiyah berada diatas mimbarku, maka bunuhlah dia

a.

Untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Zindiq, mereka membenci melihat kepesatan tersiarnya agama Islam dan kejayaan pemerintahannya. Mereka merasa sakit hati melihat orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Dengan maksud untuk merusak dan mengeruhkan agama Islam mereka membuat beribu-ribu hadits palsu dalam bidang aqidah, akhlaq, pengobatan dan hokum tentang halal dan haram. Diantara hadits palsu yang mereka ciptakan ialah: Tuhan kami turun dari langit pada sore hari di Arafah, dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang berjalan.

a.

Fanatik kebangsaan, kesukuan, kedaerahan, kebahasaan, dan kultus terhadap Imam mereka. Mereka yang taasub (fanatik) kepada bangsa dan bahasa parsi menciptakan hadits maudhu sebagai berikut: Sesungguhnya Allah apabila marah, maka Dia menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila reda maka Dia menurunkan wahyu dalam bahasa Parsi Kemudian golongan yang tersinggung membalas dengan membuat hadits yang palsu pula, Sesungguhnya Allah itu apabila marah menurunkan wahyu dalam bahasa Parsi dan apabila reda maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan diantara contoh haditshadits palsu yang bermotiv karena kultus terhadap imam diantaranya: Nanti akan lahir seorang laki-laki pada umatku bernama Abu Hanifah an-Numan, sebagai pelita umatku Ada juga golongan Syafiiyah yang sempit pandangannya dan melibatkan diri untuk membuat hadits palsu untuk melawan pengikut-pengikut Abu Hanifah: Akan lahir seorang laki-laki pada umatku yang bernama Muhamad bin Idris, yang paling menggetarkan umatku daripada iblis

a.

Membuat kisah-kisah dan nasihat-nasihat untuk menarik minat para pendengarnya. Kisah dan nasihat itu mereka nisbatkan kepada nabi, misalkan kisah-kisah yang menggembirakan tentang surga: Didalam surga itu terdapat bidadari-bidadari yang berbau harum semerbak, masa tuanya berjuta-juta tahun dan Allah menempatkan mereka disuatu istana yang terbuat dari mutiara putih. Pada istana itu terdapat tujuh puluh ribu papiliun yang setiap papiliun terdapat tujuh puluh ribu kubah. Yang demikian itu tetap berjalan selama tujuh puluh ribu tahun tanpa bergeser sedikitpun

a.

Mempertahankan madzhab dalam masalah khilafiyah fiqhiyah dan kalamiyah. Mereka yang menganggap tidak syah shalat dengan mengangkat tangan dikala shalat, membuat hadits palsu: Barangsiapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat maka tidaklah sah shalatnya Dan masih banyak lagi motiv-motiv seseorang membuat hadits palsu, diantaranya dengan motiv untuk mencari muka dihadapan penguasa, dank arena memang kejahilan seseorang didalam ilmu agama.

D. Ciri-Ciri Hadits Maudhu

a. Dalam hal SanadPengakuan dari sipembuat sendiri, seperti pengakuan salah seorang guru tasawuf ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran, serentak ia menjawab: Tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi serentak kami melihat manusia-manusia sama benci terhadap Al-Quran, kami ciptakan hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran) agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran. 2. Qorinah-qorinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits palsu (maudhu). Misalnya seorang rowi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut. Atau menerima dari seorang guru yang sudah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan. 3. Hadits maudhu memang yang paling banyak tidak memiliki sanad. Dalam hal matan Ciri-ciri yang terdapat pada matan hadits palsu atau hadits maudhu, dapat ditinjau da ri segi makna dan segi lafadznya. Dari segi makananya, maka makna hadits itu bertentangan dengan Al-Quran, hadits mutawatir, ijma dan akal sehat. Adapun dari segi lafadznya yaitu susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih. E. Sumber-Sumber Yang Diriwayatkan Para pembuat hadits maudhu, dalam menjalankan aksinya kadang-kadang mengambil dari pikirannya sendiri. Dan kadang-kadang menukil perkataan sesorang yang dianggap alim pada waktu itu, atau perkataan orang alim mutaqaddimin. Misalnya Hadits maudhu yang dinukil dari perkataan seorang alim mutaqaddimin: Cinta keduniaan ialah modal kesalahan. Hadits ini mereka (para pembuat hadits palsu) katakan bersumber dari nabi, padahal ini merupakan perkataan Malik bin Dinar