Upload
8aso
View
283
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
prop
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dongeng memunyai kekuatan yang besar untuk terus hidup dan tetap
populer ditengah masyarakat modern. Umumnya, cerita-cerita di dalam dongeng
di berbagai negara muncul tanpa diketahui siapa pengarangnya dan kapan cerita
tersebut terjadi. Sejak ratusan tahun silam, dongeng hidup sebagai hiburan untuk
anak-anak dan diceritakan oleh orang tua mereka. Tanpa disadari, dongeng telah
menjadi salah satu bentuk warisan budaya dari orang dewasa kepada anak-anak.
Kegiatan tersebut terus berlanjut dan berulang, pewarisan dongeng seakan
menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dan menjadi bagian dari
budaya suatu tempat atau daerah.
Kekuatan dan kepopuleran dongeng yang terus hidup di era modern salah
satunya terletak pada unsur-unsur agama dan kepercayaan yang tersembunyi di
balik dongeng tersebut. Unsur-unsur agama dan kepercayaan dapat hidup di dalam
pemikiran masyarakat modern melalui level imajenasi. Secara umum, dongeng
sebenarnya meninggalkan kesan imajenatif di dalam otak manusia, karena
terdapat begitu banyak hal atau peristiwa yang tidak ada di dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat modern. Kesan tersebut tercipta karena perbedaan
peristiwa pada masa lampau dan masa kini, serta kemustahilan terjadinya
peristiwa-peristiwa di dalam dongeng tersebut di era modern. Namun, unsur-unsur
agama dan kepercayaan di dalam dongeng sesungguhnya adalah bentuk realitas
kehidupan manusia. Ratusan tahun silam atau era modern seperti saat ini, agama
1
dan kepercayaan tetap menjadi bagian di dalam kehidupan manusia (Lüthi, 1970:
59-60).
Pada hakikatnya, agama dan kepercayaan berfungsi sebagai petunjuk dan
wejangan terhadap hidup manusia, terutama dari segi religi. Oleh sebab itu,
unsure-unsur agama dan kepercayaan selalu ada di dalam dongeng, baik dongeng-
dongeng yang dikenal masyarakat dunia, maupun dongeng yang hanya dikenal
oleh masyarakat daerah tertentu. Seringkali, unsure agama dan kepercayaan di
dalam dongeng tersebut kurang dikenali dan sulit dimengerti oleh manusia,
sehingga makna dalam setiap unsure agama dan kepercayaan tersebut tidak dapat
terserap. Padahal, hampir semua orang di dunia mengenal dongeng dan
mewariskan dongeng tersebut kepada anak-anak mereka.
Salah satu dongeng yang memiliki kekuatan untuk terus hidup dan populer
di era modern ini adalah kumpulan dongeng karya Grimm bersaudara.
Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel (Upik Abu), dan Rapunzel adalah
beberapa contoh dongeng terkenal yang berasal dari Jerman dan telah
dikumpulkan dan ditulis dalam bentuk buku kumpulan dongeng. Grimm
bersaudara adalah orang pertama yang membukukan dongeng-dongeng rakyat
Jerman yang ditulis dalam versi asli cerita rakyat Jerman. Buku kumpulan
dongeng tersebut terdiri dari dua jilid, yaitu Kinder und Hausmärchen Band 1
(Kumpulan Dongeng Anak-anak Jilid 1) dan Kinder und Hausmärchen Band 2
(Kumpulan Dongeng Anak-anak Jilid 2). Buku tersebut diterbitkan tahun 1812 di
Jerman dan ditulis dalam bahasa Jerman.
Pada tahun 2014 ini, buku kumpulan dongeng milik Grimm bersaudara
telah berusia 202 tahun dan hampir semua orang di dunia telah mengenal
2
dongeng-dongeng dari Jerman tersebut. Pada September tahun 2012, Goethe
Institut, lembaga kursus bahasa Jerman resmi yang bertempat hampir di seluruh
dunia, mengadakan sebuah acara berupa pameran dongeng karya Grimm
bersaudara di seluruh dunia, termasuk sepuluh kota besar di Indonesia. Surabaya
merupakan kota kesepuluh di Indonesia yang menjadi tuan rumah pameran
dongeng tersebut yang diselenggarakan di Wisma Jerman Surabaya.
Acara pameran kumpulan dongeng Grimm bersaudara tersebut menarik
minat banyak pihak, tidak hanya kalangan pembelajar bahasa Jerman, tetapi juga
pencinta dongeng pada umumnya. Terbukti dengan hadirnya peserta pameran dari
Dinas Pariwisata Pemprov Jatim, Dispora jatim, aktivis-aktivis pelatih kegiatan
mendongeng untuk guru-guru TK dan PAUD, dan komunitas-komunitas pencinta
sastra dan dongeng pada umunya. Hal tersebut membuktikan bahwa kumpulan
dongeng Grimm bersaudara begitu dikenal di seluruh dunia dan di Indonesia. Usia
kumpulan dongeng Grimm yang berusia 202 tahun tersebut tetap dikenal, hidup,
dan dicintai di tengah-tengah modernisasi global, dimana karya sastra terus
menerus lahir dan berkembang.
Dalam pameran 200 tahun kumpulan dongeng Grimm tersebut, Goethe
Institut (GI) Indonesia menerbitkan satu buku kumpulan dongeng Grimm yang
ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Dalam buku
kumpulan dongeng tersebut, GI Indonesia menampilkan sembilan dongeng
Grimm terpopuler. Sembilan dongeng tersebut dipilih dari seratus enam puluh
empat dongeng Grimm lainnya, karena berdasarkan survei yang dilakukan di
seluruh dunia, kesembilan dongeng tersebut yang paling dikenal masyarakat
dunia. Dongeng-dongeng tersebut adalah Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel
3
(Upik Abu), Rapunzel, Dornröschen (Putri Tidur), Hänsel und Gretel (Hensel dan
Gretel), Rötkapchen (Si Tudung Merah), Froshkönig (Pangeran Kodok), Frau
Hölle (Mama Hulda), dan Die Bremmer Stadtmusikkanten (Pemusik dari
Bremen).
Berdasarkan kesembilan urutan dongeng Grimm terpopuler yang
diterbitkan GI tersebut, Sneewittchen (Putri Salju) menempati urutan pertama
sebagai dongeng terpopuler di dunia. Selanjutnya, Aschenputtel (Upik Abu)
menempati urutan kedua dan Rapunzel berada di urutan ketiga. Sebagai salah satu
dongeng Grimm bersaudara yang paling mendunia, Sneewittchen dikenal
masyarakat dunia sebagai SnowWhite. Dari waktu ke waktu, Sneewittchen hadir
dengan berbagai versi cerita. Salah satu versi yang paling terkenal di dunia adalah
SnowWhite and The Seven Dwarfs (putri salju dan tujuh kurcaci) yang
dipopulerkan oleh perusahaan film animasi Walt Disney.
Sneewittchen atau yang lebih dikenal sebagai SnowWhite bermula sebagai
dongeng anak-anak, kemudian tahun 1916 ia hadir melalui film bisu karya
sutradara J. Searle Dawley. Seperempat abad setelah kahadiran SnowWhite versi
Dawley, Disney animated feature kemudian menghadirkan SnowWhite and The
Seven Dwarfs pada tahun 1937 dalam bentuk kartun hitam putih. Cerita
SnowWhite versi Disney inilah yang secara tidak langsung berjasa menjadikan
Sneewittchen karya Grimm bersaudara terkenal di penjuru dunia sampai saat ini.
Berbagai karya yang mengangkat cerita Sneewittchen terus hadir dalam
bentuk film, novel, pementasan drama, musik, bahkan video games. Baru-baru ini
Apple Inc. menghadirkan Hidden Objects - Snow White sebagai salah satu fitur
game di produk smart phone tebarunya yang mendunia. Pada Mei tahun 2012
4
lalu, Snow White and the Huntsman garapan sutradara Rupert Sanders lahir
merajai deretan film Box Ofice dunia. Film fantasi Amerika yang paling baru ini
pun juga mengambil seting cerita dari dongeng Sneewittchen karya Grimm
bersaudara.
Sekian banyak versi cerita Sneewittchen, baik yang ditulis dalam bentuk
buku, maupun yang difilmkan, memiliki beberapa plot cerita yang berbeda-beda,
terutama pada bagian ending atau penutup. Sebagian besar versi cerita
Sneewittchen diakhiri dengan pernikahan Sneewittchen dengan pangeran tampan
yang telah menyelamatkannya dari apel beracun sang Ratu melalui sebuah
ciuman. Beberapa versi penutup cerita yang lain pun hadir, salah satu versi
penutup cerita yang terbaru ada di dalam film Snow White and the Huntsman. Di
dalam film ini, terjadi perang antara prajurit Revena The Evil Queen (ratu jahat)
dengan prajurit Duke Hammond, dimana Snow White juga ikut berperang
mengendarai kuda putih. Di akhir cerita, sang Ratu berhasil dibunuh oleh Snow
White sendiri dengan cara menikamkan pedang ke jantung sang Ratu.
Versi asli dari dongeng Sneewittchen karya Grimm bersaudara memiliki
ending yang berbeda, yaitu sepatu besi yang panas membara. Sang Ratu dipaksa
menari menggunakan sepatu besi yang telah dipanaskan dengan bara api, sehingga
akhirnya ia mati. Namun, meski ending cerita pada hampir setiap versi berbeda,
semua versi tersebut pada prinsipnya tetap memiliki kesamaan untuk memberi
kesan keaslian dongeng secara utuh. Setiap versi selalu memiliki ratu jahat,
cermin ajaib, 7 kurcaci, apel beracun, pangeran tampan, dan tentu saja
Sneewittchen atau Putri Salju.
5
Sama seperti Sneewittchen, Aschenputtel dan Rapunzel juga terus hidup
dan bertahan di tengah-tengah karya sastra modern yang terus bermunculan.
Berbagai film, buku, pementasan drama, serial tv telah diproduksi dengan
mengadopsi dongeng Grimm tersebut. November 2010 lalu, Walt Disney kembali
merilis ulang sebuah film animasi yang mengangkat cerita dongeng Rapunzel
dengan judul Tangled yang dikemas dalam versi musikal. Tidak tanggung-
tanggung, aktris dan penyanyi Hollywood papan atas, Mandy Moore, didaulat
menjadi pengisi suara dan menyanyikan Original Soundtrack film tersebut.
Gema dongeng Grimm di Indonesia pun tidak kalah hebat dengan
produksi film Hollywood. Berbagai sinema elektronik (sinetron) produksi stasiun
TV swasta dalam negeri telah banyak mengangkat cerita yang mengadopsi
dongeng-dongeng Grimm bersaudara. Salah satu rumah produksi atau Production
House (PH) dalam negeri yang paling produktif dalam menghasilkan sinetron dan
Film Televisi (FTV) adalah Genta Buana Paramita. Berbagai judul sinetron dan
FTv yang mengadopsi dongeng Grimm yang telah ditayangkan di televisi antara
lain, Putri Tidur dan Ratu Penyihir (Indosiar, 2007), Putri Salju dan Tujuh
Kurcaci (Indosiar, 2007), Pangeran Katak dan Sofie (MNC TV, 2007), dan lain
sebagainya.
Berbagai karya yang lahir dari dongeng-dongeng karya Grimm bersaudara
membuktikan bahwa dongeng Grimm bersaudara mampu hidup dan tetap terkenal
di era modern. Selain itu proses pewarisan dongeng Grimm bersaudara dari
generasi ke generasi pun terus berlangsung, ia hidup ditengah-tengah masyarakat
dunia dan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Telah banyak penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui kekuatan apa yang menyebabkan dongeng-dongeng
6
Grimm bersaudara tersebut dapat terus hidup di era modern. Beberapa penelitian
menyabutkan bahwa Grimm bersaudara mampu menciptakan karakter yang unik
dan abadi melalui tokoh-tokoh dalam dongengnya, seperti yang disampaikan oleh
Thomas O’Neill pada tahun 1999 dalam jurnalnya yang berjudul Guardians in
Grimm Brother’s Fairy Tales dan Hideo Toguchi pada tahun 2007 dalam
jurnalnya yang berjudul Reading into Grimm fairy Tales: Eternal Characters.
N.J. Girardot pada tahun 2006 dalam laporan penelitiannya, The Journal of
American Folklore, menyebutkan bahwa dibalik dongeng-dongeng dunia yang
sangat sederhana namun indah sesungguhnya sarat dengan Inisiasi, termasuk
dongeng-dongeng Grimm bersaudara. Menurut Girardot, kekuatan dongeng-
dongeng dunia sesungguhnya terletak pada unsur Inisiasi yang disampaikan secara
sederhana, bahkan hampir tersembunyi. Namun, pewarisan dongeng yang
dilakukan oleh masyarakat dunia dari waktu ke waktu ini tak diiringi dengan
pemahaman akan makna Inisiasi yang terkandung di dalamnya. Mereka tidak
menyadari bahwa Inisiasi disampaikan secara tersirat di dalam dongeng-dongeng
tersebut, termasuk dongeng-dongeng karya Grimm bersaudara.
Inisiasi berasal dari kata bahasa Latin, initium, yang berarti masuk atau
permulaan. Secara harafiah, Inisiasi berarti masuk ke dalam. Inisiasi terdapat di
dalam ritus kehidupan di berbagai tempat. Ritus atau ritual dilakukan ketika
bersyukur atas bayi di dalam kandungan, kelahiran, pubertasi (akil balik),
pernikahan, hingga kematian. Ritus erat hubungannya dengan proses kehidupan
manusia. Praktek inisisasi sebenarnya telah dilakukan oleh banyak kelompok,
suku, kelompok keagamaan, dan kelompok mistik (Lüthi, 1970: 59-60).
7
Di dalam bahasa Inggris, Inisiasi berasal dari kata initiate, yang berarti
memulai suatu kegiatan. Inisiasi adalah sebuah perayaan ritus yang menjadi tanda
masuk atau diterimanya seseorang di dalam sebuah kelompok
atau masyarakat. Inisiasi juga menjadi sebuah tanda formal diterima
menjadi dewasa di dalam sebuah komunitas. Setiap daerah atau tempat memiliki
cara dan ritual yang berbeda-beda sebagai wujud Inisiasi. Inisiasi merupakan
ritual sebagai tanda seseorang diterima di dalam sebuah komunitas
atau suku. Inisiasi merupakan gejala sosio-antropologis yang muncul dan
berkembang di dalam setiap komunitas atau masyarakat (Lüthi, 1970: 59-60).
Dengan kata lain, Inisiasi adalah bentuk keagamaan dan kepercayaan yang
disampaikan melalui ritus dan ritual.
Salah satu dongeng karya Grimm bersaudara yang sarat dengan unsur-
unsur agama dan kepercayaan dalam setiap bagian ceritanya adalah Sneewittchen.
Dibalik gaya bahasa penceritaan Grimm bersaudara yang indah, terselip ritus dan
ritual di setiap alur ceritanya, baik berupa plot cerita, maupun dialog para tokoh-
tokohnya. Karya sastra yang lahir ratusan tahun silam ini menarik untuk dikaji,
karena Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel merupakan salah satu karya
sastra klasik yang tidak lekang oleh jaman dan diwariskan terus menerus hingga
sekarang.
Dalam pewarisan dongeng Grimm bersaudara, ada satu hal yang terkesan
luput atau dilupakan oleh masyarakat, yaitu pemaknaan terhadap dongeng-
dongeng tersebut. Unsur-unsur agama dan kepercayaan yang terdapat dalam
dongeng Grimm tersebut seperti tak terjamah, padahal di dalamnya terdapat
warisan budaya dari masa silam. Tidak banyak yang menyadari bahwa unsur-
8
unsur agama dan kepercayaan masyrakat jerman pada abad pertengahan
tersembunyi dibalik kesederhanaan sebuah dongeng. Masyarakat mewariskan
dongeng seperti melakukan kebiasaan lama yang menyenangkan, tetapi tidak
bermakna. Sangat disayangkan apabila warisan budaya masa silam justru sirna
dibalik ketenaran sebuah dongeng. Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui bentuk-bentuk unsur agama dan kepercayaan yang terdapat
dalam tiga dongeng Jerman terpopuler yang ditulis oleh Grimm bersaudara, yaitu
Sneewittchen, Aschenputel, dan Rapunzel. Tiga dongeng tersebut dipilih karena
diantara 164 dongeng Jerman versi Grimm, Sneewittchen, Aschenputel, dan
Rapunzel adalah yang terpopuler versi Goethe Institut dan ketiganya merupakan
dongeng dengan jenis yang sama, yaitu ordinary fairytales. Selain itu, ketiganya
memiliki tipe dan motif cerita yang hampir sama, istana sentris, dan ending yang
mirip.
Unsur agama dan kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
ritus dan ritual dalam agama dan kepercayaan yang ada di Jerman pada abad
pertengahan, mengingat dongeng Grimm ditulis pada tahun 1812. Bentuk-bentuk
ritus dan ritual dalam tiga dongeng tersebut sarat akan makna. Bentuk-bentuk ritus
dan ritual tersebut perlu dikaji agar diketahui makna sesungguhnya, agar proses
pewarisan dongeng Sneewittchen, Aschenputel, dan Rapunzel oleh generasi
selanjutnya disertai dengan kebermaknaan.
Namun sebelum melakukan pemaknaan, ketiga dongeng tersebut perlu
dianalisis struktur naratifnya. Mengingat tiga dongeng tersebut merupakan cerita
yang berkembang di istana atau istana sentris, maka analasis struktur naratif ala
Vladimir Prop adalah teori yang paling cocok untuk digunakan. Vladimir Prop
9
melalui bukunya yang berjudul The Morphology of the Folktale telah menemukan
struktur plot berdasarkan hasil penelitiannya mengenai dongeng Rusia. Struktur
plot tersebut sangat cocok dengan karakteristik dongeng-dongeng Jerman,
sehingga hasil analisis struktur naratifnya nanti akan memudahkan untuk
menganalisis unsur-unsur agama dan kepercayaan beserta maknanya dalam
dongeng Sneewittchen, Aschenputel, dan Rapunzel.
Melalui teori Inisiasi Mircea Eliade, sejarah perkembangan agama dan
kepercayaan masyarakat Jerman, dan teori-teori terkait yang tertera pada bab
kajian pustaka akan dipaparkan unsur-unsur liturg, terutama bentuk-bentuk ritus
dan ritual beserta maknanya yang terdapat dalam tiga dongeng Grimm bersaudara.
Bentuk-bentuk ritus dan ritual yang terdapat dalam ketiga dongeng tersebut akan
dikelompokkan sesuai dengan tipe ritus dan ritual Inisiasi Mircea Eliade. Setiap
bentuk ritus dan ritual yang terdapat dalam tiga dongeng terpopuler karya Grimm
bersaudara tersebut akan dimaknai pada setiap bagiannya berdasarkan sejaran
perkembangan agama dan kepercayaan masyarakat Jerman untuk mengetahui
makna setiap ritus dan ritual tersebut, sehingga akan diketahui unsur agama dan
kepercayaan, serta maknanya dalam dongeng Sneewittchen, Aschenputel, dan
Rapunzel. Dengan penelitian ini, diharapkan pewarisan dongeng Jerman tak lagi
hampa tanpa makna, namun diiringi oleh pengetahun dan pemaknaan yang
mendalam.
B. Fokus penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus penelitian dalam
proposal penelitian ini adalah sebagai berikut.
10
1. Struktur dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel versi Grimm
bersaudara
2. Bentuk-bentuk ritus dan ritual dalam dongeng Sneewittchen, Aschenputtel,
dan Rapunzel versi Grimm bersaudara.
3. Makna ritus dan ritual dalam dongen Sneewittchen, Aschenputtel, dan
Rapunzel karya Grimm bersaudara.
C. Tujuan
Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka tujuan penulisan dalam
proposal penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui struktur dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel
versi Grimm bersaudara
2. Mengatahui bentuk-bentuk ritus dan ritual dalam dongeng Sneewittchen,
Aschenputtel, dan Rapunzel versi Grimm bersaudara.
3. Mengetahui makna ritus dan ritual dalam dongen Sneewittchen,
Aschenputtel, dan Rapunzel karya Grimm bersaudara.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai Inisiasi dalam tiga dongen terpopuler karya Grimm
bersaudara ini diharapkan dapat memeberikan manfaat bagi para praktisi, peneliti,
dan pengajar sastra pada khususnya dan perkembangan ilmu sastra pada
umumnya.
1. Manfaat Bagi Praktisi Sastra
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu wacana tentang unsur
agama dan kepercayaan yang terdapat dalam kumpulan dongeng karya
11
Grimm bersaudara, terutama unsur agama dan kepercayaan yang terdapat
dalam dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel.
2. Manfaat Bagi Peneliti Sastra
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pembanding sekaligus
wacana untuk penelitian mengenai unsur agama dan kepercayaan dan
penelitian mengenai sistem kepercayaan, maupun penelitian mengenai
karya Grimm Bersaudara yang lain.
3. Manfaat Bagi Pengajar Sastra
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu wacana untuk
mengapresiasi karya-karya Grimm bersaudara dan unsur agama dan
kepercayaan yang terdapat dalam karya sastra yang lain.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Relevansi Penelitian
Penelitian mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam dongeng
Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel versi Grimm bersaudara yang akan
dilakukan ini didasarkan pada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dan
telah dilakukan. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang akan menjadi
dasar penelitian ini.
Sesungguhnya telah banyak penelitian mengenai dongeng yang telah
dilakukan oleh peneliti-peneliti di seluruh dunia. Biasanya, penelitian tersebut
mengenai pesan moral, unsur instrinsik dan ekstrinsik, sejarah, Anthology, dan
kebudayaan masa lampau. Penelitian tersebut fokus pada satu atau beberapa
dongeng dari suatu Negara, di antaranya sebagai berikut.
1. Studies in Folklore, in Honor of Distinguished Service Professor Stith
Thompson oleh W. Edson Richmond pada tahun 1957
2. Folklore in America: Tales, Songs, Superstitions, Proverbs, Riddles,
Games, Folk Drama and Folk Festivals oleh Tristram P. Coffin dan
Hennig Cohen pada tahun 1970
3. The Black Cloth: A Collection of African Folktales oleh Bernard Binlin
Dadié dan Karen C. Hatch pada tahun 1987
4. Studies in Japanese Folklore oleh Richard M. Dorson dan Toichi Mabuchi
pada tahun 1963
13
5. Sitting at the Feet of the Past: Retelling the North American Folktale for
Children oleh Gary D. Schmidt dan Donald R. Hettinga pada tahun 1992
6. Folk Poetics: A Sociosemiotic Study of Yoruba Trickster Tales oleh Ropo
Sekoni pada tahun 1994
7. Traditional Chinese Folktales: An Anthology oleh Yin-Lien C. Chin dan
Yetta S. Centerpada tahun 1996
8. Folktales in the Middle Grades oleh Gilstrap Robert L. dan Doris Evens
pada tahun 1996
9. Myths, Legends, and Folktales of America: An Anthology oleh David
Leeming dan Jake Page pada tahun 1999
10. Ariadne's Thread: A Guide to International Tales Found in Classical
Literature oleh William Hansen pada tahun 2002
Sedangkan penelitian mengenai sistem religi dan kepercayaan yang
terdapat dalam dongeng-dongeng dunia belum banyak dilakukan. Biasanya,
sistem religi dan kepercayaan diteliti secara langsung melalui budaya dalam suatu
tradisi, agama, atau kepercayaan tertentu. Namun, tahun 2006, seorang peneliti
Amerika telah berhasil menemukan Inisisasi dalam dongeng asli Amerika.
N. J. Girardot pada tahun 2006 telah mempublikasikan hasil penelitiannya
mengenai Inisiasi yang terdapat dalam dongeng-dongeng asli Amerika. Girardot
memaparkan bahwa kekuatan dongeng sesungguhnya terletak pada nilai Inisiasi
yang tersembunyi dibalik kesederhanaan ceritanya. Dongeng dapat tetap hidup di
era modern ini dikarenakan Inisiasi yang menjadi bagian dari kehidupan manusia
itu sendiri. Dongeng-dongeng Amerika seperti White lady, Armadilo’s song,
Fraddy’s fabulous frogs, The fighting roosters and the eagle, Black Aggie, Bloody
14
Marry, The rooster and the pearl dan lain sebagainya lahir ratusan tahun silam
dan tanpa diketahui pasti kebenarannya. Namun dongeng-dongeng tersebut
muncul sebagai bentuk ‘rangkuman’ ritus dan ritual kehidupan manusia pada
waktu itu. Dongeng tersebut membawa misi pewarisan budaya, termasuk Inisiasi,
kepada generasi selanjutnya.
Sama seperti penelitian mengenai Inisiasi dalam dongeng, penelitian
mengenai kumpulan dongeng Grimm bersaudara juga belum banyak dilakukan.
Berikut adalah beberapa penelitian mengenai kumpulan dongeng Grimm
bersaudara yang telah dilakukan sebelumnya.
Pada tahun 1999, Thomas O’Neill mempublikasikan penelitiannya
mengenai tokoh-tokoh penyelamat dan penjaga dalam kumpulan dongeng Grimm
bersaudara. O’Neill lewat jurnal penelitiannya yang berjudul Guardians in Grimm
Brother’s Fairy Tales mengungkapkan bahwa dalam kumpulan dongeng Grimm
bersaudara selalu terdapat tokoh-tokoh penyelamat dan penjaga (the guardians)
yang membantu dan melindungi tokoh utama. Ia memaparkan peran semua tokoh-
tokoh the guardians tersebut dan pengaruhnya terhadap tokoh utama, baik tokoh
baik maupun tokoh jahat.
Pahun tahun 2007, seorang peneliti Jepang mempublikasikan hasil
analisisnya terhadap ‘keabadian’ karakter-karakter utama dalam kumpulan
dongeng Grimm bersaudara. Hideo Toguchi melalui jurnalnya yang berjudul
Reading into Grimm fairy Tales: Eternal Characters, ia mengungkapkan
karakteristik dan keunikan yang membuat okoh-tokoh dalam kumpulan dongeng
Grimm bersaudara tersebut abadi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain, Upik Abu
(Aschenputtel), Putri Tidur (Dörnröschen), Putri Salju (Sneewttchen), Ibu Hulda
15
(Frau Hölle), Si Tudung merah (Rötcapchen), Pangeran Kodok (Froshkönig), dan
Rapunzel.
Penelitian terbaru mengenai kumpulan dongeng Grimm bersaudara
dipublikasikan pada tahun 2010 oleh Maria Alcantud Diaz dengan judul Violence
in the Brothers Grimm’s FairyTales: A Corpus-BasedApproach. Penelitiannya
tersebut mengungkapkan unsur-unsur kekerasan yang terdapat dalam delapan
dongeng Grimm bersaudara. Delapan dongeng tersebut dipilih karena dianggap
memiliki unsur kekerasan dalam ceritanya. Kedelapan dongeng tersebut adalah
The Twelve Brothers (Die Zwölf Brüder), Little Brother and Little Sister
(Brüderchen und Schwesterchen), Hansel and Grethel (Hansel und Grethel), The
Three Snake-Leaves (Die Drei Schlangenblätter), Cinderella (Aschenputtel),
TheRobber Bridegroom (Der Räuberbräutigam), Fitcher’s Bird (Fitchers Vogel),
dan Snow-White (Sneewttchen).
Di Indonesia, penelitian dongeng Grimm belum banyak dilakukan. Hanya
beberapa penelitian saja yang mengulas dongeng Grimm dan sebatas pada analisis
struktur naratif, diantaranya adalah Analisis Fungsi Vladimir Propp dalam
Dongeng der Singende Knochen dan der Froschkönig oleh Bruder Grimm.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Julianti pada tahaun 2012. Julianti (2012: 6)
menganalisis dua dongeng berjenis fable tersebut dengan mengurakain fungsi dan
pelaku menggunakan teori struktur naratif Propp. Penelitian tersebut hanya
mendeskripsikan jumlah fungsi dan pelaku pada setiap dongeng, namun tidak
menganalisis dari segi sosial maupun budaya secara mendalam.
16
Tokoh Kekerasan
Amerika Eropa
Inisiasi
The Journal of American Folklore oleh N.J. Girardot pada tahun 2006Unsur agama & kepecayaan dongeng Grimm
Asia dan Afrika
oleh Richard M. Dorson dan Toichi Mabuchi pada tahun 1963 oleh Yin-Lien C. Chin dan Yetta S. Centerpada tahun 1996 oleh Bernard Binlin Dadié dan Karen C. Hatch pada tahun 1987
Penelitian terhadap dongeng-dongeng di dunia
oleh W. Edson Richmond pada tahun 1957 oleh Tristram P. Coffin dan Hennig Cohen pada tahun 1970 oleh Gary D. Schmidt dan Donald R. Hettinga pada tahun 1992 oleh Ropo Sekoni pada tahun 1994 oleh Gilstrap Robert L. dan Doris Evens pada tahun 1996 oleh David Leeming dan Jake Page pada tahun 1999 oleh William Hansen pada tahun 2002
Penelitian terhadap kumpulan dongeng Grimm bersaudara
Guardians in Grimm Brother’s Fairy Tales oleh Thomas O’Neill pada tahun 1999Reading into Grimm fairy Tales: Eternal Characters oleh Hideo Toguchi pada tahun 2007
Violence in the Brothers Grimm’s FairyTales: A Corpus-BasedApproach oleh Maria Alcantud diaz pada tahun 2010
Gambar 1. Skema Relevansi Penelitian
Penelitian karya Grimm lainnya adalah Analisis Struktur dalam Sage der
Kobold dari Kumpulan Deutsche Sagen oleh Grimm Bersaudara yang dilakukan
pada tahun 2012 oleh Hendri Laksana. Sama seperti penelitian sebelumnya,
Laksana juga menganalisis sage der Kobold untuk mendeskripsikan struktur
17
naratifnya tanpa pembahasan yang terkait bidang sosial dan budaya (Laksana,
2012: 5).
Penelitians sastra lisan di Indonesia jarang yang menggunakan teori struktur
miliki Vladimir Prop. Hal tersebut mungkin dikarenakan karakteristik sastra lisan
di Indonesia cenderung mengarah pada legenda dan mite. Penelitian sastra lisan
umumnya menggunakan teori struktur naratif milik C. Levi Straus untuk
menganalisis mite dan teori struktur naratif milik milik Eli Kongas Maranda dan
Pierre Maranda untuk Legenda. Salah satu penelitian tersebut adalah Mite di
Kabupaten Karo Sumatra Utara yang dilakukan oleh Sinurya tahun 2013. Sinurya
(2013: 6) mengumpulkan mite-mite yang berada di Kabupaten Karo dan
menganalisis struktur naratif dan fungsinya menggunakan teori Levi Straus.
Selain itu, ia juga mengulas nilai budaya, kearifan lokal, dan kepercayaan
masyarakat terhadap mite tersebut.
Penelitian serupa dilakukan oleh Sapulette pada tahun 2011 dengan judul
Cerita Rakyat di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Dengan
menggunakan teori struktur naratif Maranda, Sapulete (2011: 8) mengkaji genre
dan struktur pada cerita rakyat saparua. Selain itu, cerita rakyat tersebut juga
dikaji nilai-nilai budayanya.
Teori struktur naratif milik Vladimir Propp memang cenderung cocok untuk
dongeng-dongeng eropa, karena memiliki karakteristik yang cenderung sama.
Penelitian sastra lisan di Indonesia yang menggunakan teori struktur naratif milik
Vladimir Propp pernah dilakukan pada tahun 2010. Namun objek yang dikaji
adalah dongeng prancis karya Charles Perrault. Dongeng Prancis tersebut mirip
dengan dongeng-dongeng Jerman, bahkan memiliki judul yang hampir sama,
18
seperti La Belle au Bois Dormant (Putri Yang tertidur), Le Petit Chaperon Rouge
(Si Kerudung Merah) miri, Cendrillon (Cinderella atau Upik Abu), dll. Namun
penelitian tersebut terbatas pada unsur intrinsik dan aspek moral saja, tanpa
keterkaitan dengan aspek social da budaya Prancis.
Penelitian-penelitian terdahulu di atas menjadi dasar penelitian unsur agama
dan kepercayaan dalam dongeng Jerman versi Grimm bersaudara ini. Dengan
menggunakan teori struktur naratif Propp, akan dianalisis struktur, fungsi, dan
pelaku pada dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel. Setelah itu,
berdasarkan skema struktur fungsi naratif tersebut akan dikaji aspek agama dan
kepercayaan sesuai dengan budaya masyarakat Jerman.
B. Sosiologi Sastra dalam Sastra Lisan
Berbicara mengenai dongeng tentu tidak lepas dari masyrakat yang
membaca dan mewariskan dongeng itu sendiri, karena dongeng adalah salah satu
bentuk dari folklore atau sastra lisan. Dalam mengkaji sebuah sastra lisan, tidak
cukup hanya dengan mengumpulkan dan berkutat dengan lore-nya saja atau
karyanya saja. Sebuah sastra lisan selalu diikuti oleh folk yaitu kebudayaan dan
masyrakat tempat karya sastra tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang
(Danandjaya, 1984: 1-2). Maka penelitian tentang dongeng sangat berkaitan
dengan ilmu sosial yang berhubungan langsung dengan masyrakat. Salah satu
cabang ilmu sosial yang menghubungkan masyarakat dan karya sastra adalah
sosiologi sastra.
Pada hakikatnya, karya sastra tidak hanya sebagai hasil rekayasa imajinasi,
melainkan cermin masyarakat. Melalui penelitian sosiologi sastra, akan diketahui
keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakat dalam berbagai aspek, misal
19
aspek politik, norma sosial, agama, kepercayaan, dan lain-lain. Dalam hal ini
Sumardjo (1979:15) mengatakan bahwa, ”sastra merekam penderitaan dan
harapan suatu masyarakat, sehingga sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca
dalam karya sastra”. Dimensi sosial ini dipertegas pula oleh Damono (1984:9),
yang menyatakan bahwa, ”sastra merupakan cerminan langsung berbagai segi
struktur sosial zamannya.” Oleh karena itu, penelitian mengenai dongeng Grimm
bersaudara ini adalah salah satu jenis penelitian sosiologi sastra, karena ingin
mengetahui keterkaitan antara dongeng dengan agama dan kepercayaan
masyarakat Jerman ketika dongeng ini dikumpulkan dan ditulis oleh Grimm
bersaudara. Konsep agama dan kepercayaan yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah Inisiasi, yaitu bentuk-bentuk ritus dan ritual, sesuai dengan tujuan
penelitian ini.
Berkaitan dengan konsep sosiologi sastra di atas dan tujuan penelitian ini,
yaitu untuk menguak unsur agama dan kepercayaan yang terdapat dalam dongeng
Sneewittchen (Putri Salju), Aschenputtel (Upik Abu), dan Rapunzel (Rapunsel),
maka teori Inisiasi Mircea Eliade adalah salah satu teori yang relevan untuk
penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan tiga dongeng Grimm bersaudara tersebut
berasal dari Eropa, kemudian dikumpulkan dan ditulis pada tahun 1812, dimana
agama dan kepercayaan yang muncul dan berkembang pada saat dongeng tersebut
lahir dan dibukukan bertalian erat dengan keadaan dan budaya Eropa, baik pada
masa silam, maupun masa sekarang.
Namun, sebelumnya perlu pula diketahui makna sesungguhnya dari suatu
sistem religi (agama) dan kepercayaan dari sudut pandang masyarakat Indonesia.
Mengingat ketiga dongeng tersebut juga tumbuh dan berkemang di Indonesia,
20
bahkan banyak penelitian yang telah mengemukakan bahwa banyak persamaan
antara dongeng-dongeng nusantara dengan tiga dongeng tersebut. Oleh karena itu,
teori sistem religi dan kepercayaan milik Koentjaraningrat dianggap relevan
sebagai dasar untuk menguak ritus dan titual dalam dongeng Sneewittchen,
Aschenputtel, dan Rapunzel karya Grimm bersaudara.
C. Hakekat Folklor dan Dongeng
Dongeng merupakan salah satu bentuk folklor atau sastra lisan yang
berbentuk cerita prosa rakyat. Sebelum membahas mengenai dongeng Grimm,
penting untuk diketahui hakekat dari folklor itu sendiri, agar diketahui kedudukan
dongeng dalam disiplin ilmu sastra lisan.
Folklor adalah salah satu disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri di Indonesia. Kata folklor berasal dari kata bahasa Inggris folklore
dan merupakan kata majemuk, yaitu terdiri dari dua kata dasar yaitu folk dan lore.
Menurut Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-
kelompok lain. Sedangkan lore adalah tradisi folk itu sendiri, yaitu sebagian
kebudayaan yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu
contoh yang disertai gerak isyrat atau alat pembantu pengingat (Dundes, 1965: 2).
Berdasarkan definisi Dundes di atas, definisi folklor secara keseluruhan adalah
kebudayaan suatu kolektif (masyarakat) yang tersebar dan diwariskan turun-
temurun secara tradisional dan dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk
lisann maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat.
21
Definisi megenai folklor di atas menyimpulkan bahwa yang disebut dengan
folklor tidak hanya dongeng, mitos, legenda, dan cerita-cerita kuno saja.
Danandjaja mengungkapkan sembilan ciri pengenal utama folklor pada umumnya,
yaitu sebagai berikut.
a. Penyebarannya dan pewarisannya dilakukan secara lisan.
b. Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama.
c. Folklor hadir (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang
berbeda.
d. Anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketaui lagi.
e. Folklor biasanya memunyai bentuk rumus atau bepola, misalnya
kalimat pembuka dan penutup yang cenderung baku.
f. Folklor memunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu
kolektif, misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan
proyeksi keinginan terpendam.
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu memunyai logika sendiri yang tidak
sesuai dengan logika umum.
h. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
i. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali
kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dikarenakan kebanyaka
folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur
manifestasinya.
Berdasarkan ciri-ciri di atas, folklor dibedakan menjadi tiga, yaitu folklor
lisan, folklor setengah lisan dan foklor bukan lisan (Danandjaja, 1991:21-22).
22
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan, seperti bahasa rakyat,
ungkapan tradisional, pertanyaan atau teka-teki rakyat, sajak dan puisis rakyat,
cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Folklor setengah lisan merupakan
campuran antara unsur lisan dan bukan lisan, seperti permaian rakyat, teater
rakyat, adat-istiadat, upacara, dll. Sedangkan Folklor bukan lisan folklor yang
bentukya bukan lisan, tapi cara pembuatannya dan pewarisannya dilakukan
dengan lisan, misalnya arsitektur rakyat dan musik rakyat.
Beberapa contoh folklor lisan seperti yag telah disebutkan di atas, salah
satu di antaranya adalah cerita prosa rakyat. Dundees membedakan cerita prosa
rakyat menjadi tiga, yaitu mite atau mitos, legenda, dan dongeng (1965: 4). Mite
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap suci dan benar-benar terjadi. Mite
ditokohi dengan konsep dewa-dewi dan terjadi pada masa lampau. Legenda
memiliki ciri yang tidak jauh berbeda dengan mite, yaitu dianggap benar-benar
terjadi. Namun legenda tidak dianggap cerita suci, ditokohi oleh manusia yang
pada kalanya memiliki kekuatan luar biasa dan waktu terjadinya belum terlalu
lampau. Legenda erat pula kaitannya dengan asal-usul suatu tempat.
Berbeda dengan mite dan legenda yang ceritanya dianggap benar-benar
terjadi, dongeng secara sadar dinikmati sebagai cerita yang tidak sungguh-
sungguh terjadi, dan kebanyakan tidak terikat oleh waktu maupun tempat tertentu.
Tokoh dalam dongeng pun bervariasi, tidak hanya ditokohi oleh manusia, tetapi
juga oleh binatang dan makhluk-makhluk ajaib. Kisahnya juga beragam, ada yang
lucu, penuh teka-teki, penuh cinta dan kasih sayang, dll.
Di dalam buku The Tipes of the Folktale, Thompson telah membagi
dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu (1) dongeng binatang, (2) dongeng
23
biasa, (3) lelucon dan anekdot, dan (4) dongeng berumus (1964: 25). Dongeng
binatang ditokohi oleh binatang-binatang, baik binatang peliharaan maupun
binatang liar. Binatang-binatang tersebut dapat berbicara dan berakal budi seperti
manusia. Dalam kumpulan dongeng Grimm, dongeng binatang tersebut misalnya
Frosch König (Pangeran Kodok) dan Rötcapchen (Si Tudung Merah). Dongeng
biasa atau ordinary folktales adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya
mengangkat kisah suka duka seseorang. Seperti dalam penelitian ini,
Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel termasuk dalam jenis dongeng biasa.
Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan
rasa menggelikan hati, sehingga orang yang mendengarnya maupun yang
menceritakannya tertawa. Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya
terdiri dari pengulangan dan biasanya kisahnya bersifat lelucon.
D. Morfologi Cerita Rakyat Vladimir Propp
Vladimir Propp (1895-1970) adalah salah seorang tokoh Formalis Rusia
yang melakukan analisis yang cermat tentang struktur cerita rakyat. Prop
merupakan tokoh strukturalis pertama yang melakukan kajian serius terhadap
struktur naratif. Pada tahun 1928, Prop melakukan penelitian terhadap seratus
dongeng Rusia. Penelitiannya adalah usaha untuk menemukan pola umum alur
atau plot dongeng pada umumnya. Hasil penelitiannya dituangkan dalam buku
The Morphology of The Folktales. Berikut adalah pokok-pokok pikiran Prop yang
penting berdasarkan hasil peneltiannya tersebut.
Pertama, unsur dongeng yang paling stabil dan tak berubah bukanlah tokoh
atau motifnya, melainkan fungsi atau peranannya. Sekalipun pelaku dan penderita
dalam setiap dongeng berubah, tetapi fungsinya tak berubah. Kedua, fungsi dalam
24
dongeng jumlahnya terbatas dan merupakan satuan pokok dalam alur cerita. Prop
menyebutkan jumlahnya sebanyak 31 fungsi. Ketiga, urut-urutan fungsi di dalam
sebuah dongeng selalu sama. Keempat, menurutnya dongeng hanya memiliki satu
tipe saja jika dilihat dari segi struktur (Taum, 2011: 125-126).
Fungsi yang dimaksud oleh Prop adalah tindakan tokoh yang dibatasi dari
segi maknanya untuk jalan lakonya. Prop membedakan fungsi-fungsi ini menjadi
31 jenis. Fungsi-fungsi ini dikelompokkan menjadi empat lingkaran (sphere)
satuan naratif sebagai berikut.
a) Lingkaran Pertama: Pengenalan
Terdapat tujuh macam fungsi dalam lingkaran pertama dan ketujuh fungsi
tersebut memperkenalkan situasi dan para pelakunya, serta mempersiapkan
adegan-adegan untuk petualangan selanjutnya (Taum, 2011: 126-128). Tujuh
fungsi pada lingkaran pertama ini adalah sebagai berikut.
1) Meninggalkan rumah (absentation). Seorang anggota keluarga meninggalkan
rumah dengan berbagai alasan. Tokoh yang pada mulanya digambarkan
sebagai orang biasa inilah yang kemudian perlu dicari dan diselamatkan.
2) Larangan (interdiction). Tokoh utama atau pahlawan dikenai larangan,
misalnya tidak boleh berbicara lagi, tidak boleh meninggalkan rumah, tidak
boleh memtik bunga terntentu, dll.
3) Pelanggaran terhadap larangan (violation of interdiction). Pelarangan itu
dilanggar, oleh karena itu penjahat mulai memasuki cerita, meskipun tidak
secara frontal melawan sang pahlawan. Namun pahlawan tetap mengabaikan
larangan.
25
4) Memata-matai (reconnaissance). Penjahat mencoba memata-matai dan secara
aktif mencari informasi, misalnya menelurusi informasi-informasi yang
berharga atau berusaha menangkap seseorang, binatang buruan, atau lainnya.
5) Penyampaian (delivery). Penjahat memperoleh informasi mengenai
korbannya, misalnya tentang peta harta karun atau pun tujuan pahlawan.
6) Penipuan (trickery). Penjahat mencoba menipu dengan berbagai cara dan
meyakinkan korbannya untuk mengambil alih kedudukan atau barang-barang
miliknya.
7) Komplesitas (complicity). Korban benar-benar tertipu dan tanpa disadarinya
ia menolong musuhnya. Korban atau pahlawan memberikan sesuatu kepada
penjahat, misalnya peta atau senjata yang digunakan penjahat untuk melawan
orang baik.
b) Lingkaran Kedua: Isi cerita
Pokok cerita dimulai pada fase ceria ini dan diteruskan dengan
keberangkatan sang pahlawan (Taum, 2011: 128-130).
8) Kejahatan (villainy). Penjahat merugikan atau melukai salah seorang anggota
keluarga.
Kekurangan (lack). Salah seorang anggota keluarga kehilangan sesuatu atau
mengharapkan untuk memiliki sesuatu.
9) Mediasi (mediation). Pahlawan menyadari adanya tindakan keji atau
mengetahui kekurangan yang dimiliki anggota keluarga.
10) Aksi balas dendam (beginning counter-action). Pahlawan sekarang
memutuskan untuk mengambil tindakan untuk mengatasi kekurangan,
26
misalnya dengan menemukan barang magis, menyelamatkan orang-orang
yang ditahan atau mengalahkan penjahat.
11) Kepergian (departure). Pahlawan pergi meninggalkan rumah.
c) Lingkaran Ketiga: Rangkaian Donor
Pada lingkaran ketiga, pahlwan mencari cara memecahkan masalah,
mendapatkan bantuan berupa hal-hal magis dari Donor. Sesungguhnya pada
rangkaian lingkaran ketiga, sebuah sudah utuh dan dapat diselesaikan atau tamat
(Taum, 2011: 130-131).
12) Fungsi pertama bantuan (first function of the donor). Pahlawan diuji,
diintrogasi, diserang, dan sebagainya, yang merupakan persiapan baginya
menerima pelaku atau penolong magis (donor).
13) Reaksi pahlawan (hero’s reaction). Pahlawan berekasi terhadap tindakan
penolong.
14) Resep benda magis (receipt of a magical agent). Pahlawan meneliti cara
penggunaan benda magis.
15) Bimbingan (guidence). Pahlawan dibawa, dipesan, atau dibimbing ke
sebuah tempat dari suatu objek pencarian.
16) Pertempuran (struggle). Pahlawan dan penjahat terlibat dalam pertempuran
langsung.
17) Pengenalan (branding). Pahlawan dikenali, misalnya terluka, menerima
cincin atau selendang.
18) Kemenangan (victory). Penjahat dikalahkan, misalnya terbunuh dalam
pertempuran, dikalahkan dalam sebuah sayembara, dll.
27
19) Kegagalan pertama (liquidation). Kemalangan dihadapi, tawanan lepas,
orang yang sudah dibunuh hidup kembali, dll.
d) Lingkaran Keempat: Kembalinya Sang Pahlawan
Lingkaran keempat kadang-kadang bersifat optional atau tidak wajib ada.
Pada tahap final dari rangkaian penceritaan, pahlawan pulang ke rumah, berharap
tidak ada insiden lagi, dan pahlawan disambut baik (Taum, 2011: 131-132).
20) Kepulangan (return). Pahlaan kembali ke rumah.
21) Pencarian (persuit). Pahlawan dicari, sedangkan orang yang mencarinya
ingin membunuh, memakannya atau memperlemah posisi pahlawan.
22) Penyelamatan (rescue). Pahlawan diselamatkan dari pencarian (mujizat
menghalangi orang yang mencari, pahlawan bersembunyi atau
disembunyikan, dll).
23) Kedatangan orang tak dikenal (unrecognized arrival). Pahlawan yang belum
dikenali tiba di rumah atau sampai di negri lain.
24) Klaim palsu (unfounded claims). Pahlawan palsu menyampaikan pernyataan
yang tidak benar atau palsu.
25) Tugas yang sukar (difficult task). Tugas yang sulit diberikankepada
pahlawan (cobaan berat, teka-teki, uji kemampuan, sayembara, dll).
26) Penyelesaian (solution). Tugas itu dapat diselesaikan dengan baik.
27) Pengenalan (recognation). Pahlawan dikenali dengan tanda pengenal yang
diberikan kepadanya.
28) Pembuangan (exposure). Pahlawan palsu atau penjahat dibuang.
29) Perubahan penampilan (transfiguration). Pahlawan medapat penampilan
baru, pakaian baru, dll.
28
30) Penghukuman (punishment). Penjahat dihukum.
31) Pernikahan (wedding). Pahlawan menikah dan menerima mahkota sebagai
imbalan yang pantas.
Menurut Propp (1975: 79-80), pelaku atau dramatis personae pada
umumnya dapat dikelompokkan ke dalam tujuh jenis. Berikut adaah tujuh jenis
dramatis personae tersebut.
1) The villain, penjahat yang bertarung melawan pahlawan.
2) The donor, donor atau pemberi yang mempersiapkan pahlawan atau member
pahlawan barang-barang magis tertentu.
3) The magical helper, pembantu magis yang menolong pahlawan ketika dia
menghadapi kesulitan.
4) The princes and her father, putri raja dan ayahnya yang memberikan tugas
kepada pahlawan, mengenali pahlawan palsu, menikah dengan pahlawan.
5) The dispatcheri, tokoh yang mengetahui adanya kekurangan dan menghalangi
pahlawan sejati.
6) The hero or victim/seeker hero, pahlawan sejati yang memberikan reaksi
terhadap donor dan menikahi putrid raja.
7) The false hero, pahlawan palsu yang mengambil keuntungan dari tindakan-
tindakan pahlawan sejati dan mencoba menikahi putri raja.
E. Sistem Religi dan Kepercayaan
Religi dan kepercayaan telah menjadi suatu pokok penting dalam ilmu
pengetahuan mengenai suku-suku bangsa di dunia. Dunia ilmiah mulai
mengambil perhatian terhadap upacara keagamaan yang tersebar diberbagai
sistem kepercayaan dunia. Masalah asal mula dari suatu unsur universal seperti
29
religi, tentang mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib
(mistis) yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu
melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna. Oleh karena itu,
untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah
lam menjadi pusat perhatian banyak orang di berbagai belahan dunia, dan juga
dari dunia ilmiah pada umumnya.
1. Emosi keagamaan
Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan
atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious
emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia,
walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik
saja, untuk kemudian menghilng lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong
orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Emosi keagamaan
menyebabkan bahwa sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat
suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat. Demikian juga
benda-benda, tindakan-tindakan atau gagasan-gagasan yang biasanya tidak
keramat, yang biasanya profan, tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang
dihinggapi oleh emosi keagamaaan, sehingga ia solah-olah terpesona, maka
benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat
(Koentjaraningrat, 1986: 25).
Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu memunyai ciri-ciri
untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut-
pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam
suatu religi bersama dengan tiga unsur lain, yaitu (1) sistem religi (agama) dan
30
kepercayaan; (2) sistem upacara keagamaan dan kepercayaan; dan (3) suatu umat
yang menganut agama atau kepercayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1986: 32).
a) Sistem religi dan kepercayaan
Sistem kayakinan secara khusus mengandung benyak sub-unsur lagi.
Dalam hal ini para ahli antroplogi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi
tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat, sifat-sifat dan tanda-tanda
dewa-dewa, konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainya seperti roh-roh leluhur,
roh-roh lain yang baik maupuan yang jahat, hantu dan lain-lain, konsepsi tentang
dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam
(kosmologi), masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam
(kosmologi), konsepsi tentang hidup dan mati, konsepsi tentang dunia roh, dunia
akhirat, dan lain-lain.
Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama,
dongeng suci tengtang riwayat-riwayat dewa-dewi (mitologi), biasanya tercantum
dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai
kesusastraan suci. Sistem upacara keagaman secara khusus mengandung emosi
aspek yang menjadi perhatian khusus dari para hali antroplogi ialah tempat
upacara keagamaan dilakukan, saat-saat upacara keagmaan dijalankan, benda-
benda dan alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan dan memimpin
upacara (Koentjaraningrat, 1986: 35).
Aspek yang pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana
upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid,
tempat tertentu yang dianggap keramat, dan sebagainya. Aspek ke-2 adalah aspek
yang mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainya.
31
Aspek k-3 adalah tentang benda-benda ynag dipakai dalam upacara termasuk
patung-patung yang melambangkan dewa-dewi, alat-alat bunyi-bunyian seperti
lonceng suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek ke-4 adalah
aspek yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu pendeta biksu,
syaman, dukun dan lain-lain. Upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:
bersaji, berkorban, berdo’a, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan
do’a, menari tarian suci, menyanyi nyanyian suci, berpropesi atau berpawai,
memainkan seni drama suci, berpuasa, intolsikasi atau menaburkan pikiran
dengan makan obat bius unutk mencapai keadaan trance atau tak sadar diri,
mabuk, bertapa, bersemedi, dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1986: 35).
b) Sistem upacara keagamaan dan kepercayaan
Di antara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap
penting sekali dalam satu agama atau kepercayaan, tetapi tidak dikenal dalam
agama atau kepercayaan lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu
acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah
unsur tersebut. Dengan demikian dalam suatu upacara untuk kesuburan tanah
misalnya, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai terlebih dahulu menuju
ke tempat-tempat bersaji, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan
bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan doa yang diucapkan oleh para
pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian suci, dan akhirnya
semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disucikan dengan do’a.
c) Suatu umat penganut
Sub unsur tekahir dalam rangka agama dan kepercayaan adalah sub unsur
mengenai umat yang menganut agama atau kepercayaan yang bersangkutan.
32
Khusus sub-unsur itu meliputi misalnya hal-hal pengikut agama, hubungannya
satu dengan lain hubungan dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya
upcara keagamaan maupun adalam kehidupan sehai-hari. Sub-unsur itu juga
meliputi persoalan mengenai organisasi para umat, kewajiban, serta hak-hak para
warganya.
2. Perbedaan antara sistem ilmu gaib, agama dan kepercayaan
Pokok-pokok khusus dalam rangka sistem ilmu gaib (mistis) atau magic
pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem agama dan
kepercayaan. Dalam ilmu gaib (mistis) sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan
ajaran-ajarannya; ilmu gaib juga memunyai sekelompok manusia yang yakin dan
yang menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Selain itu, upacara
mistis juga memunyai aspek-aspek yang sama saat-saat tertentu unutk
mengadakan upacara (biasanya juga pada saat-saat atau hari-hari keramat);
terdapat peralatan untuk melakukan upacara, dan ada tempat-tempat tertentu di
mana upacara harus dilakukan. Akhirnya suatu upacara mistis seringkali juga
mengandung unsur-unsur upacara yang sama dengan upacara agama dan
kepercayaan pada umumnya. Misalnya, orang melakukan hal mistis/gaib untuk
menambah kekatan ayam yang hendak diadunya dalam suatu pertandingan adu
ayam. Untuk itu dia membuat obat gaib dengan sajian kepada roh-roh, serta
dengan mengucapkan doa kepada dewa-dewa, serta dengan mengucapkan mantra-
mantra tertentu, dan dengan puasa. Dengan melakukan hal-hal itu semua ia
percaya bahwa obat gaib untuk ayam jantannya akan mujarab sekali.
Walaupun pada lahirnya agama, kepercayaan, dan ilmu gaib sering
kelihatan sama, dan walaupun sukar untuk menentukan batas daripada upacara
33
yang bersifat keagamaan dan kepercayaan, dan upacara yang bersifat mistis, pada
dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu.
Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang
menjalankan agama atau kepercayaan, manusia bersikap menyerahkan diri sama
sekali kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang. Intinya
menyerahkan diri sama sekali kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu.
Dalam hal itu manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan.
Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib (mistis) manusia bersikap lain
sama sekali. Ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib
(mistis) agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ia capainya.
F. Inisiasi
Inisiasi berasal dari kata bahasa Latin, initium, yang berarti masuk atau
permulaan, secara harafiah berarti masuk ke dalam. Di dalam Inisiasi terdapat
ritus dan ritual kehidupan di berbagai tempat. Ritus erat hubungannya dengan
proses kehidupan manusia. Ritual dilakukan ketika bersyukur atas bayi di dalam
kandungan, lahir, pubertasi (akil balik), pernikahan, hingga kematian. Praktek
inisisasi sebenarnya telah dilakukan oleh banyak kelompok, suku, kelompok
keagamaan, kelompok kepercayaan dan kelompok mistik. Setiap daerah atau
tempat memiliki ritus dan ritual yang berbeda-beda sebagai wujud Inisiasi. Inisiasi
merupakan gejala sosio-antropologis yang muncul dan berkembang di dalam
setiap komunitas atau masyarakat (Eliade, 1968: 202-203).
Mircea Eliade merupakan antropolog yang terkenal dalam memelajari dan
mengembangkan ilmu sosiologi dan antropologi. Mircea Eliade menjelaskan
Inisiasi sebagai suatu tindakan agama yang berprinsip klasik atau tradisional.
34
Menurut Eliade, Inisiasi mampu mengintisarikan sejarah yang sakral dalam dunia.
Intisari bahwa seluruh dunia disucikan menjadi baru dan dirasakan sebagai
pekerjaan yang sakral, yaitu ciptaan Tuhan. Ini merupakan penilaian nyata akan
ritual kelahiran sampai kematian, yang akhirnya memimpin kepada penaklukan
ketakutan akan kematian. Fungsi Inisiasi untuk menyatakan makna yang dalam
dari keadaan menuju generasi baru dan membantu mereka memikul tanggung
jawab atas tindakan manusia yang benar dan partisipasi dalam kebudayaan.
Inisiasi menyatakan dunia terbuka terhadap pergeseran manusia dan disebut
transendental. Selain itu, Inisiasi membuka nilai-nilai spiritual (Eliade, 1968: 204).
Apabila dihubungkan dengan sistem agama dan kepercayaan yang ada di
dunia, Inisiasi adalah bentuk iman (keyakinan) pada suatu agama dan bentuk
percaya pada suatu kepercayaan. Bentuk-bentuk keimanan dan kepercayaan
tersebut tertuang dalam berbagai macam ritus dan ritual. Ritus adalah makna atau
filosofi yang mendasari suatu ritual, seperti makna dari simbol-simbol
keagamaan, makna dari benda-benda yang dianggap keramat, makna suatu
upacara keagamaan, dan lain-lain. Sedangkan ritual adalah bentuk-bentuk
kongkrit keimanan dan kepercayaan tersebut, seperti ibadah, upacara keagamaan,
dan lain sebagainya.
Eliade membagi Inisiasi kedalam tiga tipe ritus, yaitu ritus peralihan, ritus
peribadatan, dan ritus devosi pribadi. Ketiga ritus ini merupakan satu kesatuan
yang mendasari sistem kepercayaan manusia. Berikut adalah penjelasan ketiga
rirus tersebut.
35
1. Ritus Peralihan (Puberitas)
Ritus peralihan (puberitas) dibagi menjadi dua, yaitu perjalanan kehidupan
atau dalam teori Inisiasi Marcea Eliade dikenal dengan istilah long journey dan
ritus dewasa awal (the coming age). Ritus perjalanan kehidupan menggambarkan
peralihan seorang manusia dari dua alam yang berbeda. Selama
perjalanankehidupannya tersebut, ia harus melawati berbagai tugas untuk
melengkapi kehidupannya dan ketika perjalanannya telah mancapai ujung
(kematian), usailah sudah perjalanannya. Peralihan tersebut ditandai dengan
kelahiran dan kematian seorang manusia. Sedangkan ritus dewasa awal adalah
peralihan seseorang menuju kedewasaan.
a) Ritus Perjalanan Kehidupan (long journey)
Kehidupan manusia ditandai dengan sebuah kelahiran dan diakhiri dengan
kematian. Ketika seorang bayi lahir, maka perjalanan hidupnya telah dimulai.
Setiap manusia harus menempuh perjalanan panjang sampai ia tiba diujung jalan,
dimana perjalanannya telah usai, yaitu kematian. Dalam setiap perjalanan,
terdapat tugas dan ujian yang harus dijalani sebagai tanda seorang manusia telah
melengkapi tugas hidupnya.
b) Ritus Dewasa Awal (the coming age)
Kehidupan manusia juga ditandai dengan beberapa tahap, yaitu anak-anak,
remaja, dan dewasa. Tahap tersebut merupakan peristiwa peralihan tugas seorang
manusia. Ketika ia telah dianggap cukup menjalankan tugas sebagai anak-anak,
maka tiba waktunya ia menjalani tugas pada tahap yang lebih tinggi. Peralihan
tersebut berlangsung sepanjang hidup manusia (Eliade, 1968:205-211).
36
2. Ritus Peribadatan
Ritus peribatan merupakan kegiatan di mana suatu komunitas berhimpun
bersama-sama untuk beribadah. Ritus peribadatan terdiri dari ritus masyarakat
atau komunitas mistis (secret society) dan pekerjaan mistis (mistical vocation).
Masyarakat mistis erat kaitannya dengan hubungan antara manusia atau suatu
komunitas dengan makhluk-makhluk selain manusia, baik tumbuhan, hewan,
binatang, roh, benda mati, dan lain-lain di berbagai agama dan kepercayaan.
Sedangkan pekerjaan mistis menyangkut bentuk-bentuk kekuatan mistis, gaib, dan
ajaib di luar nalar manusia yang dihasilkan oleh masyarakat mistis melalui
peribadatan.
a) Ritus Masyarakat Mistis (secret society)
Ritus masyarakat mistis berhubungan dengan makhluk selain manusia atau
benda-benda tertentu yang memiliki keistimewaan. Tak jarang pula, makhluk atau
benda-benda tersebut meiliki kekuatan khusus yang bisa mendatangkan kebaikan
dan bahkan kejahatan atau kematian.
b) Ritus Pekerjaan Mistis (mistical vocation)
Ritus pekerjaan mistis berkaitan dengan kekuatan yang berada di sekitar
manusia. Pekerjaan Mistis juga mengarah kepada seorang yang bekerja dibidang
pengobatan secara mistis, seperti dukun. Ritus ini dilakukan dengan
mempersiapkan seseorang yang telah dipilih (Eliade, 1968: 215-218).
3. Ritus Devosi Pribadi
Ritus devosi pribadi, di mana seseorang melakukan ibadah pribadi,
termasuk berdoa dan melakukan ziarah. Dalam berdoa, tiap-tiap orang memiliki
kepercayaan akan apa yang ia percayai memiliki keuatan untuk mengabulkan
37
setiap keinginannya. Doa yang dipanjatkan terlantun lewat kata-kata dan simbol-
simbol tertentu. Kata-kata dan simbol-simbol tersebut dipercaya membawa
kebaikan atas apa yang dipinta. Dalam melakukan peribadatan pribadi, pemilihan
waktu juga memiliki pengaruh yang kuat bagi tiap-tiap kepercayaan (Eliade,
1968:220).
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang berlandaskan pada
filsafat pospositivisme dan digunakan untuk meneliti objek yang alamiah, dimana
peneliti adalah instrumen kunci. Salah satu karakteristik pendekatan kualitatif
adalah bersifat interpretative, karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan
interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Temuan data dan
interpretasi data tersebut akan disajikan dalam bentuk deskripsi. Oleh karena itu,
pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Pendekatan deskriptif kualitatif dipilih karena sesuai dengan tujuan
penelitian ini, yaitu untuk memperoleh skema struktur naratif dan penjelasan
mengenai bentuk dan makna unsur agama dan kepercayaan yang terdapat dalam
tiga dongeng terpopuler karya Grimm bersaudara, yaitu Sneewittchen,
Aschenputtel, dan Rapunzel. Dengan menggunakan pendekatan tersebut,
penelitian akan difokuskan pada struktur fungsi cerita dan unsur agama dan
kepercayaan, berupa ritus dan ritual yang terdapat dalam dongeng Sneewittchen,
Aschenputtel, dan Rapunzel.
Tipe-tipe ritus dan ritual yang terdapat dalam dongeng akan dibahas pada
setiap judul dongeng, sehingga akan diketahui (1) bentuk-bentuk ritus dan ritual
apa saja yang terdapat dalam dongeng Sneewittchen, (2) bentuk-bentuk ritus dan
ritual apa saja yang terdapat dalam dongeng Aschenputtel, dan (3) bentuk-bentuk
39
ritus dan ritual apa saja yang terdapat dalam dongeng Rapunzel. Bentuk-bentuk
ritus dan ritual tersebut akan dideskripsikan berdasarkan kata-kata, dialog,
peristiwa atau ilustrasi yang terdapat dalam setiap dongeng. Pedeskripsian
tersebut dimaksudkan untuk mengetahui makna unsur agama dan kepercayaan
yang terkandung dalam dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel karya
Grimm bersaudara.
B. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah tiga dongeng terpopuler karya Grimm
bersaudara. Tiga dongeng terpopuler tersebut adalah Sneewittchen, Aschenputtel,
dan Rapunzel yang terdapat dalam buku Kinder- Und Hausmärchen Band 1
(kumpulan dongeng Grimm Bersaudara Jilid 1). Buku tersebut merupakan cetakan
ketujuh yang diterbitkan pada tahun 1857 di Jerman, tepatnya di kota Göttingen
dan diterbitkan oleh penerbit Verlag der Dieterichschen Buchhandlung.
Tiga dongeng tersebut dipilih karena tiga dongeng tersebut adalah
dongeng yang terpopuler di antara 160 dongeng lain yang ditulis oleh Grimm
bersaudara. Selain itu, ketiga dongeng tersebut memiliki jenis yang sama, yaitu
ordinary fairytale, memiliki alur cerita yang hampir sama, ketiganya memiliki
tokoh utama perempuan atau seorang putri, berlatar belakang istana, tokoh
jahatnya pun juga sama-sama perempuan, dan diindikasikan banyak mengandung
unsur-unsur agama dan kepercayaan yang tersembunyi.
C. Data Penelitian
Data penelitian ini adalah unsur-unsur agama dan kepercayaan, yaitu
bentuk-bentuk ritus dan ritual dalam dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan
40
Rapunzel. Data penelitian ini akan diperoleh dari kata-kata, dialog, peristiwa atau
ilustrasi pada ketiga dongeng tersebut.
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini akan menggunakan teknik pustaka untuk mengumpulkan data.
Teknik pustaka atau dokumntasi adalah kegiatan mengumpulkan,
mengidentifikasi, serta mengolah data-data penelitian berdasarkan bahan pustaka,
bahan acuan, maupun standar tertentu. Teknik pustaka dalam penelitian ini
memanfaatkan tiga bahan pustaka, berupa dongeng Sneewittchen, Aschenputtel,
dan Rapunzel yang terdapat dalam buku Kinder- Und Hausmärchen Band 1.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif dan analisis isi.
Analisis deskriptif digunakan untuk menelaah struktur naratif dongeng
berdasarkan 31 fungsi struktur naratif milik Vladimir Propp. Hasil deskripsi
tersebut akan dijadikan pedoman untuk melakukan analisis isi, sehingga diperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai unsur agama dan kepercayaan dalam
dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel.
Teknik analisis data dalam penelitian ini akan dilaksanakan dalam beberapa
langkah, di antaranya adalah pembacaan seksama (close reading), pencatatan
data, analisis dan interpretasi. Berikut adalah langkah-langkah analisis data yang
akan dilakukan dalam penelitian ini.
41
1. Pembacaan seksama (close reading)
Pembacaan seksama dilakukan untuk (1) menganalisis struktur cerita dan
mengklasifikasikannya ke dalam 31 fungsi dan (2) mengidentifikasi bagian-
bagian cerita yang mengandung bentuk-bentuk ritus dan ritual dalam ketiga
dongeng yang akan diteliti. Selama proses close reading, sesungguhnya kegiatan
pengumpulan data sudah mulai berjalan, yaitu dengan cara menandai bagian-
bagian cerita yang diindikasikan sesuai dengan salah satu jenis fungsi Propp dan
bagian cerita yang mengandung bentuk-bentuk ritus dan ritual.
Pembacaan seksama dilakukan selama beberapa kali untuk memahami cerita
secara mendalam dan menggali data lebih banyak. Selanjutnya, data sementara
yang telah ditandai akan dibaca kembali secara seksama, kemudian dikumpulkan
dan ditulis secara terperinci dalam kegiatan Data Colecting.
2. Pengumpulan data (Data Collecting)
Data yang terkumpul dari hasil kegiatan close reading selanjutnya akan
ditulis untuk mengetahui seberapa banyak data yang telah terkumpul. Data ditulis
dan dikelompokkan sesuai judul masinng-masing dongeng. Sehingga akan
diketahui jumlah data yang ditemukan dari masing-masing dongeng dan
memudahkan proses pemberian kode pada tahap selanjutnya.
3. Pemberian kode (Encoding)
Setelah pengumpulan data dilakukan, tahap selanjutnya adalah (1)
pemberian kode di tiap-tiap paragraf atau bagian di teks dongeng yang sesuai
dengan jenis fungsi Propp dan (2) pemberian kode di tiap-tiap paragraf atau
bagian di teks dongeng yang dianggap memiliki unsur agama dan kepercayaan,
baik ritus maupun ritual. Kode yang diberikan untuk menandai jenis fungsi adalah
42
angka 1 sampai dengan 31, sesuai dengan 31 jenis fungsi Propp. Sedangkan kode
yang diberikan untuk menandai unsur agama dan kepercayaan berupa jenis-jenis
ritus dan ritual adalah huruf dan angka. Penjelasan mengenai kode-kode ritus dan
ritual yang diberikan dalam ketiga teks dongeng tersebut ada pada tabel 1.
Tabel 1. Daftar Kode dalam Pengumpulan Data
Kode Arti
R1 Kode R1 diberikan di bagian yang dianggap mengandung unsur Ritus
dan Ritual Peralihan.
R1a Kode R1a diberikan di bagian yang dianggap mengandung unsur Ritus
dan Ritual Perjalanan Kehidupan (long journey).
R1b Kode R1b diberikan di bagian yang dianggap mengandung unsur Ritus
dan Ritual Dewasa Awal (the coming age).
R2 Kode R2 diberikan di bagian yang dianggap mengandung unsur Ritus
dan Ritual Peribadatan.
R2a Kode R2a diberikan di bagian yang dianggap mengandung unsur Ritus
dan Ritual Masyarakat Mistis (secret society).
R2b Kode R2b diberikan di bagian yang dianggap mengandung unsur Ritus
dan Ritual Pekerjaan Mistis (mystical vocation).
R3 Kode R3 diberikan di bagian yang dianggap mengandung unsur Ritus
dan Ritual Devosi Pribadi.
4. Pengelompokan data (Indexing)
Data yang telah diberi kode, selanjutnya dikelompokan berdasarkan jenis
kode yang telah dibuat sebelumnya. Kegiatan indexing diperlukan untuk
mengetahui seberapa banyak fungsi yang ditemukan dalam setiap dongeng dan
43
Stuktur naratif berupa 31 fungsi.
Analisis deskripsi Text Dongeng
R1R1aR1bR2R2aR2bR3
Analisis isi dari data yang telah diberi kode
Unsur liturgi dalam doneng
seberapa banyak data yang mengandung bentuk-bentuk ritus dan ritual Peralihan
(R1), Perjalanan Kehidupan (R1a), Dewasa Awal (R1b), Peribadatan (R2),
Masyarakat Mistis (R2b), Pekerjaan Mistis (R2c), dan Devosi Pribadi (R3) pada
masing-masing dongeng. Selain itu, indexing juga mempermudah kegiatan
analisis data dan penarikan kesimpulan.
5. Penggambaran ilustrasi pada tiap kode (Decoding)
Setiap kode yang telah dikelompokkan pada masing-masing kategori akan
diubah menjadi deskripsi peristiwa atau ilustrasi kejadian secara sederhana dan
ringkas. Pengambaran ilustrasi pada tiap kode digunakan untuk mengolah data
yang diperlukan untuk semakin mempermudah proses analisis, menarik
kesimpulan, dan menjawab fokus penelitian penelitian.
6. Analisis
Tahap selanjutnya adalah analisis dan interpretasi. Gambar 3 adalah skema
analisis data dalam penelitian ini untuk mengetahui unsur agama dan kepercayaan
dalam tiga dongeng terpopuler karya Grimm bersaudara.
Bentuk-bentuk ritus dan ritual dalam kegiatan analisis data akan diketahui
melalui peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh yang ada dalam ketiga dongeng
tersebut. Hasil analisis data akan menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu unsure
liturgy yang terdapat dalam masing-masing dongeng. Hasil analisis dan
kesimpulan tersebut selanjutnya akan diperiksa keabsahannya melalui teknik
validasi atau pemeriksaan keabsahan data.
44
Gambar 2. Skema Analisis Data
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Setelah data penelitian dianalisis, maka langkah selanjutnya yang akan
dilakukan adalah memeriksa keabsahan data tersebut. Penelitian ini akan
menggunakan tiga teknik validasi data, yaitu membaca ulang dan triangulasi.
Berikut adalah penjelasan mengenai ketiga teknik tersebut.
1. Membaca Ulang
Dongeng Sneewittchen, Aschenputtel, dan Rapunzel akan dibaca kembali
dengan seksama. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencocokan antara data yang
telah ditemukan dan analisis yang telah dilakukan, agar diperoleh keabsahan
antara data penelitian dan hasil analisis data tersebut.
2. Triangulasi
Triangulasi dilakukan dengan cara memeriksa data untuk mengetahui
apakah data sudah menjawab fokus penelitian penelitian. Selain itu, triangulasi
juga diperlukan untuk menghubungkan data dengan sumber data, teori, dan
metode penelitian. Keseluruhan proses triangulasi tersebut dilakukan untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid.
Untuk kegiatan triangulai, Sudikan (2001: 169) menyarankan untuk
menempuh empat langkah, namun penelitian ini hanya akan menempuh dua
45
langkah, yaitu triangulasi sumber data dan triangulasi teori. Triangulasi sumber
data akan dilakukan melalui penelusuran terhadap cetakan tertua dan terbaru buku
Kinder und Hausmärchen Band 1, serta mencari informan seorang native speaker
bahasa Jerman utuk menceritakan tiga dongeng tersebut. Triangulasi teori
dilakukan dengan menggunakan teori struktur naratif lain yang relavan. Penelitian
ini akan menggunakan teori struktur narataif A.J. Greimas, karena teori milik
Greimas memiliki karakter yang sama dan merupakan pengembangan dari teori
struktur narataif Vladimir Propp.
Daftar Pustaka
Betthelheim, Bruno. 1976. The use of Entchantment: The meaning and Importance of Fairy Tales. New York: Bantam Books. (http://
46
en.wikibooks. org /wiki/Cultural _Anthropology/Ritual_and_Religion diakses tanggal 25 November 2012 pukul 21.45 WIB).
Damono, Sapardi Djoko. 2003. Sosiologi Sastra. Semarang: Magister Ilmu Susastra Undip
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia, Ilmu Goip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Dundes, Alan. 1965. “The Form of Folklore: Prose Narratives”, Journal of American Folklore Vol. 78 No. 307. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Eliade, Mircea. 1968. Myth and Reality. New york: Harper Torchbook.
Girardot, N. J. 2006. The Journal of American Folklore, Voll.90. New York: JStor.
Grimm, Jacob. & Grimm, Wilhem. 1857. Kinder- Und Hausmärchen Band 1. Göttingen: Verlag der Dieterichschen Buchhandlung.
Gutenberg. 2012. Grimms Märchen. (http: //www. grimmstories. com/ de/grimm _maerchen /sneewittchen_Sneewittchen, diakses 10 Oktober 2012 pukul 08.39 WIB).
Jalasco, Jagad. 2012. Analisis Fungsi Vladimir Propp dalam Dongeng Prancis Karya Charles Perrault. Jakarta: UI
Julianti, Sri. 2012. Analisis Fungsi Vladimir Propp dalam Dongeng Der Singende Knochen dan Den Froschkönig. Yogyakarta: UNY
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
Laksana, Hendri. 2012. Analisis Struktur dalam Sage Der Kobold dari Kumpulan Deutsche sagen oleh Bruder Grimm. Yogyakarta: UNY.
Lüthi, Max. 1970. Once Upon a Time: On The Nature of fairy Tales. New York: Frederick Ungar Publishing Co. (http://www.mircea-eliade.com/from-primitives-to-zen/142.html diakses tanggal 25 November 2012 pukul 21.45 WIB)
Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. London: University of Texas Press.
Sapulette, Violeta. 2011. Cerita Rakyat di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah (Kajian Genre, struktur, nilai budaya). Surabaya: PPS Unesa.
Sinurya, Lesta Br. 2013. Mite di Kabupaten Karo Sumatra Utara. Surabaya: PPS Unesa.
47
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Sumardjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan – Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Thompson, Stith. 1964. The Type of Folktale (a Classification and Bibliography). Helsinki: Tiedeakatemeia Academia Scientiarum Fennica.
48