Upload
doannguyet
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
1 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dilakukakan kajian kepustakaan yang relevan dengan
masalah penelitian seperti teori mengenai proyek, supply chain dan risiko. Kajian
pustaka berfungsi untuk membangun konsep dan teori yang akan menjadi dasar
studi. Konsep dan teori yang dikaji berdasarkan teori dari literatur yang tersedia,
buku dan jurnal-jurnal penelitian terdahulu.
1.1 Perbandingan Proyek Konstruksi dan Industri Manufaktur
Supply chain dimulai dari industri manufaktur dan kemudian diadopsi
dalam proyek konstruksi. Adanya perbedaan definisi proyek konstruksi dan
industri manufaktur akan membawa perbedaan dalam sistem supply chain yang
terjadi. Oleh karena itu diperlukan pengertian mengenai perbedaan antara proyek
konstruksi dan industri manufaktur.
Proyek adalah kegiatan dengan tujuan tertentu yang dibatasi oleh waktu
dan sumber daya yang terbatas. Konstruksi merupakan kegiatan membangun
suatu bangunan. Sehingga proyek konstruksi adalah suatu kegiatan untuk
mencapai suatu hasil dalam bentuk bangunan atau infrastruktur (Norken et al.,
2012). Proyek gedung adalah salah satu bentuk proyek konstruksi. Menurut UU
No 28, 2002 pasal 1 ayat 1 tentang bangunan gedung menyebutkan definisi
bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian/seluruhnya berada di atas/di dalam
tanah/air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatan, baik untuk
8
hunian/tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan social,
budaya, maupun kegiatan khusus.
Dari gambaran diatas maka dapat dilihat bahwa salah satu karakteristik
proyek konstruksi adalah tidak berulang, dengan proses yang tidak sama di setiap
proyek. Hal ini diakibatkan oleh kondisi yang mempengaruhi proses suatu proyek
konstruksi berbeda satu dengan yang lain. Proses konstruksi dari awal hingga
akhir proyek sangat kompleks sehingga membutuhkan banyak tenaga yang
memiliki berbagai keterampilan, komitmen dan koordinasi dari berbagai unsur
yang berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang saling terkait (Norken et al., 2012).
Menurut Siti (1999) dalam Yustiarini (2007) proyek konstruksi adalah
suatu usaha di sektor ekonomi yang bertransformasi berupa perencanaan, desain,
keuangan, procurement, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan dari
berbagai sumber daya yang menghasilkan fasilitas dan prasarana ekonomi dan
sosial. Proyek konstruksi bersifat sementara dalam mengerjakan suatu pekerjaan
untuk menghasilkan produk atau service yang unik.. Menurut Wahana (2001)
dalam Yustiarini (2007) proyek konstruksi adalah rangkaian kegiatan dalam
mengolah sumber daya proyek berupa material, peralatan, tenaga kerja menjadi
suatu hasil kegiatan konstruksi. Sehingga proyek konstruksi merupakan gabungan
dari berbagai sumberdaya dan serangkaian kegiatan yang dihimpun dalam suatu
wadah organisasi sementara untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam
Rahmadi (2008) disebutkan bahwa karakteristik proyek konstruksi diantaranya
sebagai berikut :
1. Memiliki awal dan akhir kegiatan dari suatu rangkaian kegiatan.
9
2. Jangka waktu kegiatan terbatas.
3. Rangkaian kegiatan yang terjadi tidak berulang sehingga menghasilkan
produk yang unik.
4. Memiliki tujuan yang spesifik, produk akhir atau hasil kerja akhir.
Sedangkan industri manufaktur memiliki karakteristik tingkat pengulangan
yang tinggi dan proses produksi yang relatif panjang. Sehingga jika dibandingkan,
industri manufaktur dan proyek konstruksi memiliki perbedaan dalam hal
kompleksitas, ukuran, jadwal, maupun biaya yang dibutuhkan seperti yang
terangkum dalam Table 2.1 berikut ini.
Table 1.1 Perbedaan Kegiatan Proyek Konstruksi dan Kegiatan Operasional
No Kegiatan Proyek Konstruksi Kegiatan Operasional Manufaktur
1 Bercorak dinamis, tidak rutin Berulang-ulang, rutin
2 Siklus relative pendek Berlangsung dalam jangka panjang
3 Intensitas kegiatan di dalam siklus
proyek konstruksi berubah-ubah
Intensitas kegiatan relative sama
4 Kegiatan harus diselesaikan
berdasarkan anggaran dan jadwal
yang telah ditentukan
Batasan anggaran dan jadwal tidak
setajam seperti proyek konstruksi
5 Terdiri dari berbagai macam
kegiatan yang memerlukan
berbagai macam disiplin ilmu
Macam kegiatan tidak terlalu banyak
6 Keperluan sumber daya berubah
baik macam maupun volumenya
Macam dan volume keperluan
sumber daya tidak terlalu banyak
Sumber : Rahmadi (2008)
10
1.2 Poject Life Cycle
Siklus hidup proyek konstruksi merupakan suatu metode yang digunakan
untuk menggambarkan bagaimana sebuah proyek direncanakan, dikontrol, dan
diawasi sejak proyek disepakati untuk dikerjakan hingga tujuan akhir proyek
tercapai. Siklus hidup proyek (project life cycle) terdiri dari 4 tahap (Westland,
2007) seperti pada Gambar 2.1. Supply chain dalam proyek kontruksi terjadi
dalam setiap siklus hidup proyek.
Sumber : (Westland, 2007)
1. Project Initiation
Dalam tahap ini supply chain pada proyek konstruksi dimulai dari adanya
kebutuhan owner yang diteruskan kepada pihak lain seperti konsultan,
kontraktor dan pihak lain yang terkait yang saling bekerjasama untuk dapat
menterjemahkan keinginan owner dalam proyek konstruksi. Tahap pertama
dalam inisiai proyek adalah mengembangkan suatu kasus dalam bisnis
Gambar 1.1 Project Life Cycle
11
(develop a business case), permasalahan yang ingin diselesaikan akan
diidentifikasi dan mendifiniskan beberapa pilihan solusi untuk menyelesaikan
permasalahan. Tahap kedua adalah melakukan studi kelayakan (undertake a
feasibility study) yang dilakukan untuk menilai setiap kemungkinan yang
terjadi, apakah biaya yang dikeluarkan wajar, apakah ada solusi dalam
permasalahan, risiko apa yang bisa diterima atau dihindari, isu yang sedang
berkembang. Tahap ketiga adalah menetapkan kerangka acuan (Establish the
terms of reference) untuk menentukan visi, tujuan, lingkup pekerjaan dalam
proyek baru. Tahap ke empat adalah membuat tim proyek (appoint the project
team). Setelah itu berikutnya adalah membuat kantor proyek (set up project
office) dan terakhir adalah tahap peninjauan ulang (perform a phase review)
untuk memastikan bahwa proyek ini sesuai dengan tujuan yang di tetapkan.
2. Project Planning
Ketika ruang lingkup proyek telah ditetapkan dan tim proyek terbentuk, maka
berikutnya masuk pada tahap perencanaan proyek (project planning).
Beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah membuat project
plan, resource plan, financial plan, quality plan, risk plan, an acceptance
plan, communication plan, procurement plan, contract the supplier dan
diakhir melakukan peninjauan kembali (perform a phase review). Tahap
perencanaan proyek sangat penting didalam supply chain secara khusus bagi
main kontraktor yang merupakan pelaku utama dalam supply chain proyek
konstruksi karena akan berhubungan dengan banyak pihak yang akan menjadi
12
bagian dalam pelaksanaan proyek nantinya. Perencanaan yang baik akan
menolong kontraktor untuk dapat menghasilkan kinerja yang baik.
3. Project execution
Setelah tahap perencanaan dilakukan berikutnya memasuki tahap eksekusi
atau pelaksanaan proyek. Tahap pelaksanaan dan kontrol biasanya dijalankan
bersamaan, tahap ini merupakan tahap dilaksanakannya proyek, mulai dari
pembelanjaan sampai konstruksi yang merupakan output dari tahap
perencanaan. Output dari tahap ini diantaranya melakukan manajemen waktu ,
manajemen biaya, manajemen kualitas, manajemen perubahan, manajemen
risiko, manajemen penanggulangan masalah yang ada, manajemen pengadaan,
manajemen penerimaan dan manajemen komunikasi. Kontraktor akan
berhubungan secara langsung dengan pelaku supply chain di bawahnya seperti
subkontraktor, supplier dan labour. Sehingga diperlukan kontrol yang baik
dalam tahap ini agar diperoleh hasil proyek yang maksimal.
4. Project Closure
Tahap closing atau penyelesaian proyek merupakan tahap akhir dari sebuah
proyek, tahap ini terdiri dari serah terima dan masa perawatan. Serah terima
umumnya dibagi dua tahap, tahap pertama setelah pekerjaan konstruksi selesai
dan siap digunakan maka kontaktor akan menyerahkan proyek tersebut kepada
owner atau konsumen akhir. Begitu juga dengan pelaku di bawah kontraktor
akan melakukan serah terima pekerjaan kepada kontraktor ketika pekerjaan
yag menjadi bagiannya diselesaikan. Output dari tahap ini adalah final
13
dokumen yang berisikan semua dokumen kontrol dalam tahap konstruksi,
gambar final (as built drawing), manual operasi dan berita acara serah terima.
1.3 Supply Chain (Rantai Pasok)
Supply chain manajement (SCM) berawal dari kegiatan logistik militer
yang sangat berperan dalam menentukan kemenangan perang (Siahaya, 2013).
Teknik logistik kemudian dipakai dalam kegiatan pengiriman barang dan terjadi
kerjasama antara perusahaan pengiriman barang dengan gudang. Perusahaan
mulai mencari cara untuk menurunkan biaya produksi. Perusahaan multinasional
memindahkan pabrik ke Negara lain yang mempunyai biaya produksi lebih
murah. Pada saat muncul teknologi informasi ilmu logistik berkembang lebih
pesat dan lebih efisien melalui komunikasi dan kolaborasi sehingga dapat
menekan biaya produksi, meningkatkan kualitas dan mengurangi kesalahan
manusia. Ilmu logistik berkembang menjadi satu mata rantai pasok dengan
pendekatan melalui sistem integral, meliputi komponen pemasok, proses
pengadaan, proses produksi, penyimpanan, transportasi dan distribusi serta retailer
yang dioptimalkan secara kemitraan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan
(Siahaya, 2013).
Konsep supply chain merupakan konsep yang relatif baru dalam melihat
persoalan logistik perusahaan. Dalam konsep lama/tradisional melihat logistik
lebih sebagai masalah internal perusahaan sendiri dalam mengelola material dan
pemecahannya. Sedangkan dalam konsep baru, masalah logistik dilihat sebagai
masalah yang lebih luas yang terbentang sejak dari bahan dasar sampai barang
14
jadi yang dipakai konsumen akhir, yang merupakan mata rantai penyediaan
barang (Rahmadi, 2008).
Konsep supply chain dimulai dalam industri manufaktur.
Perkembangan supply chain berasal dari pengembangan dalam sistem produksi
Toyota oleh Mr.Taiichi Ohno pada tahun 1970-an, yang bertujuan untuk
menghilangkan pemborosan dalam produksi (waste) yang tersembunyi dalam
perusahaan (Womack & Jones, 1996). Kemudian berkembanglah konsep lean
production, yang mampu mengubah paradigma produksi automotive hingga
mencapai efisiensi yang tinggi. Sejalan dengan itu tuntutan pada efisiensi
memaksa suatu perusahaan untuk membentuk struktur organisasi yang datar,
dengan mengeluarkan fungsi-fungsi pendukungnya dan mendorong perusahaan
untuk lebih fokus pada apa yang menjadi bisnis intinya dengan memberikan
aktifitas pendukungnya pada pihak lain. Perkembangan ini mengakibatkan
produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu bisnis saat ini, bukan lagi merupakan
output dari satu organisasi secara individu, namun merupakan output dari suatu
rangkaian organisasi yang disebut sebagai supply chain (Maylor, 2003) dalam
(Susilawati, 2005).
Supply chain adalah suatu jaringan kerjasama dalam menyediakan
material atau bahan baku yang melibatkan beberapa pihak. Material tersebut
meliputi bahan mentah maupun bahan setengah jadi. Secara umum pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu supply chain adalah supplier, pusat produksi, pusat
distribusi, gudang, pusat penjualan dan lain-lain. Adapun pertimbangan utama
15
Gambar 1.2 Gambaran Umum Supply Chain Dalam Proses Produksi
dalam menentukan kinerja supply chain adalah total biaya dan waktu yang
minimum sesuai kualitas yang disyaratkan.
Menurut Pujawan (2007) Supply chain dapat didefinisikan sebagai suatu
jaringan yang terdiri atas beberapa perusahaan (meliputi Supplier, manufacturer,
distributor dan retailer) yang bekerja sama yang terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam memenuhi permintaan pelanggan, dimana
perusahaan tersebut melakukan fungsi pengadaan material menjadi produk
setengah jadi dan produk jadi, serta distribusi produk jadi tersebut hingga ke End-
Costumer. Sedangkan Christopher (1992) menyebutkan supply chain adalah
keterlibatan jaringan organisasi mulai dari hubungan hulu (upstream) hingga ke
hilir (downstream), dalam proses dan kegiatan yang berbeda untuk menghasilkan
layanan dan jasa yang bernilai hingga sampai kepada konsumen terakhir. Dalam
supply chain , produk yang berupa barang dan jasa, dialirkan dari pemasok paling
awal hingga konsumen paling akhir dan juga terjadi aliran informasi dan aliran
kas, mulai dari konsumen paling akhir hingga ke pemasok paling awal.
Sumber: Vrijhoef & Koskela (2000)
16
1.4 Construction Supply Chain (CSC)
Penerapan konsep supply chain pada dunia konstruksi relatif baru. Hal ini
disebabkan karena tingginya fragmentasi dalam industri konstruksi dimana
masing-masing pihak memfokuskan dirinya melakukan pekerjaan yang menjadi
kemampuan utamanya dan menyerahkan kegiatan lainnya kepada pihak lain (sub-
kontraktor atau spesialis). Oleh karena itu dengan adanya banyak item pekerjaan
dalam proyek konstruksi telah membentuk satu jaringan supply chain yang
kompleks.
Menurut Ribeiro & Lopes (2001) supply chain dalam proyek konstruksi
didefinisikan sebagai suatu proses dari sekumpulan aktifitas perubahan material
alam sampai menjadi produk akhir (jalan atau bangunan) dan jasa (seperti
perencanaan atau biaya) untuk digunakan oleh konsumen akhir dengan
mengabaikan batas-batas organisasi. Sedangkan menurut Capo (2004) dalam
Susanti (2007), supply chain konstruksi adalah hubungan pelaku-pelaku yang
terlibat pada pelaksanaan konstruksi yang membentuk suatu pola hubungan
dengan menempatkan satu pihak sebagai salah satu mata rantai dalam suatu
rangkaian rantai proses produksi yang menghasilkan produk konstruksi.
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa supply chain merupakan keterlibatan jaringan organisasi
dari organisasi hulu sampai hilir yang melakukan kegiatan untuk menghasilkan
barang dan jasa (output) produk konstruksi yang bernilai sampai pada pelanggan
terakhir. Supply chain dalam proyek konstruksi memiliki bentuk yang
kompleks, dimana supply chain konstruksi terbentuk dari banyak pelaku atau
17
organisasi yang saling memiliki ketergantungan dalam pengadaan barang dan
jasa untuk pelaksanaan konstruksi. Pada pelaksanaan pekerjaan konstruksi,
aliran barang dan jasa terpusat kepada kontraktor, karena kontraktor bertindak
sebagai pelaku utama pelaksana pekerjaan konstruksi sesuai dengan spesifikasi
yang telah ditetapkan oleh owner.
Jaringan supply chain dalam proyek konstruksi dalam lingkup yang luas
dimulai dari tahap awal hingga tahap pelaksanaan memiliki tiga jaringan yang
berbeda, yaitu (Susilawati, 2005):
1. Jaringan klien (owner), sebagai pemilik proyek yang merupakan
penggagas utama produk konstruksi.
2. Jaringan konsultan, yang memeberikan output jasa perencanaan dari
produk konstruksi yang direncanakan.
3. Jaringan yang berperan dalam proses produksi konstruksi yang terdiri
dari kontraktor, subkontraktor, supplier material dan komponen.
Dari pengembangan yang dilakukan oleh O’Brien et al. (2002) terlihat
adanya kompleksitas supply chain terhadap pihak-pihak yang menyusun supply
chain konstruksi. Konsep supply chain pengadaan barang dan jasa pada kegiatan
konstruksi dapat dilihat pada Gambar 2.3. Dari gambar tersebut dapat dilihat
adanya keterlibatan beberapa pihak dalam proses konstruksi yang terjadi di dalam
proyek (site), juga keterlibatan pihak-pihak yang menunjukan proses produksi
yang terjadi diluar proyek (site) seperti supplier, subcontractor, designers, dan
owner yang bekerjasama membentuk supply chain untuk mendukung kelancaran
dari kegiatan di dalam lokasi proyek tersebut.
18
Sumber : O’Brien et al. (2002)
1.4.1 Karakteristik Construction Supply Chain
Menurut Susilawati beberapa karakteristik CSC adalah :
1. Karakteristik produknya unik – produk konstruksi bangunan pada
umumnya dibuat berdasarkan permintaan tertentu (custom made product).
Dengan demikian tidak ada satu pun produk konstruksi yang sama,
meskipun hal ini tergantung pada tingkatan mana melihatnya.
2. Dilakukan oleh organisasi yang bersifat sementara (temporary
organization). Suatu rangkaian supply chain yang terbentuk yang
menghasilkan produk konstruksi, akan berakhir ketika selesai masa
produksi.
3. Produknya terikat pada tempat tertentu, sehingga proses produksinya
berlangsung di site konstruksi (in site production). Hal ini juga
memberikan kontribusi terhadap keunikan produk konstruksi, karena pada
proyek yang sama, baik kondisi fisik (kondisi tanah, pengaruh cuaca)
maupun non fisik (regulasi yang berlaku, kondisi lalulintas) yang
mempengaruhinya tidak akan pernah sama.
Gambar 1.3 Gambaran Konseptual CSC
19
MAIN CONTRACTOR
Specialist Contractors Main Supplier
Designs Consultant Client
Other Contractors
Upstream Activity Preperation Of Construction Product
Downstream Activity Delivery Of Construction Product VA
LU
E C
HA
IN
Gambar 1.4 Supply Chain Upstream dan Downstream
4. In site production dan off site production. Terjadinya produksi di dalam
site konstruksi (in site production), telah membagi dua batasan proses yang
terjadi dalam produksi konstruksi.
5. Diproduksi dalam lingkungan alam yang tidak terkendali, sehingga
terdapat ketidakpastian yang tinggi dalam konstruksi.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa konsep supply chain di
proyek konstruksi sangatlah komplek, maka sistem jaringan yang terjadi di
dalamnya juga sangat komplek.
1.4.2 Pelaku-Pelaku Construction Supply Chain Manajement
Dalam industri konstruksi secara umum komponen dari supply chain dapat dilihat
dalam gambar berikut:
Sumber : Cheung (2011)
Dari Gambar 2.4 dapat dilihat bahwa jaringan supply chain selayaknya
jaring laba-laba (cobweb), dimana main contractor yang menjadi pusatnya
mempunyai hubungan ke client, designer, main suppliers dan contracting
20
specialists. Ini adalah gambaran hubungan kerja yang dilakukan oleh kontraktor
kepada perusahan-perusahan lain dalam satu lingkup proyek konstruksi (Cheung,
2011).
Dalam penelitiannya, Susilawati (2005) menjelaskan pelaku-pelaku supply
chain konstruksi sebagai berikut :
1. Owner (Pelaku Hilir/Downstream)
Dalam proses produksi konstruksi bila produk yang dibuat berdasarkan
permintaan owner, maka peran owner sangat tinggi. Jaringan supply chain proyek
konstruksi dimulai dari adanya suatu keinginan atau kebutuhan owner yang
memprakarsai dibuatnya produk konstruksi bangunan dan berakhir pada owner
ketika produk tersebut selesai diproduksi. Oleh karena itu peran owner dalam
proses produksi konstruksi sangat besar. Owner memiliki peranan dalam tiap
tahapan, sejak tahap study kelayakan, perencanaan, pengadaan, pelaksanaan,
operasi, dan pemeliharaan. Bahkan dalam proses produksi owner bisa saja
menunjuk langsung pihak yang ingin dilibatkan untuk pelaksanaan nominated
subcontractor/ nominated supplier. Untuk lebih jelasnya peran owner bisa dilihat
dalam gambar berikut:
21
Gambar 1.5 Konfiguransi Umum Supply Chain Bangunan Residential
Sumber : Vrijhoef & Koskela (2000)
2. Kontraktor (Pelaku Utama)
Kontraktor adalah perusahaan konstruksi yang memberikan layanan
pekerjaan pelaksanaan konstruksi berdasarkan perencanaan teknis dan spesifikasi
yang telah ditetapkan dalam kontrak konstruksi. Saat ini telah berkembang
berbagai organisasi yang berperan sebagai kontraktor, mulai dari perusahaan
individu hingga perusahaan besar dengan jumlah pekerja yang banyak. Ruang
lingkup pekerjaan kontraktor dalam suatu proyek sangat beragam, mulai dari
lingkup pekerjaan yang sangat sempit, hingga lingkup keseluruhan pekerjaan
dalam suatu proyek.
3. Subkontraktor, supplier dan mandor (pelaku di hulu/upstream)
a. Subkontraktor dan Spesialis
Subkontraktor adalah perusahaan konstruksi yang berkontrak dengan
kontraktor utama untuk melakukan satau atau beberapa bagian pekerjaan
kontraktor utama. Dalam hal ini terminologi subkontraktor digunakan dalam
22
konteks tradisional dimana hanya ada satu kontraktor yang memiliki hubungan
kontrak dengan owner yaitu kontraktor utama dan menempatkan kontraktor
lainnya yang tidak memiliki hubungan langsung dengan owner sebagai
subordinan dari kontraktor utama tersebut. Hirarki dalam hubungan kontrak ini
menimbulkan istilah kontraktor utama, subkontraktor, bahkan sub-subkontraktor.
Menurut Villacreses (1994) dalam Susilawati (2005) penggolongan
subkontraktor berdasarkan jenis aktivitas terdiri dari:
Subkontraktor pada aktivitas dasar, subkontraktor pada pekerjaan yang
membutuhkan teknik khusus, serta subkontraktor pada pekerjaan khusus dan
yang berkaitan dengan material khusus.
Sedangkan Pereira (2001) dalam Susilawati (2005) menggolongan
subkontraktor berdasarkan sumber daya yang diberikan, yaitu:
Subkontraktor yang memberikan jasa pelaksanaan saja (labor-only
subcontractor);
Subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja dan
material;
Subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja,
material, dan perencanaan (design);
Subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja, material,
dan perencanaan (design), dan jasa pemeliharaan.
Sedangkan specialist trade contractor adalah suatu perusahaan yang
memberikan design, manufacture, purchase, assembly, installation, testing,
dan commission dari item-item yang diperlukan dalam suatu proyek
23
konstruksi bangunan (Susilawati, 2005). Specialist trade contractor dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kontraktor spesialis (specialist contractor) yang
memberikan jasa perencanaan (design service) bagi item yang diproduksi
serta dipasang pada konstruksi bangunan dan trade contractor yang
melaksanakan pekerjaan dengan skill tertentu dalam konstruksi bangunan tanpa
melakukan perencanaan.
Spesialis selain memiliki kelebihan didalam jenis pekerjaan yang
ditanganinya mereka mempunyai kemampuan teknologi, financial, serta
pengetahuan (knowledge) tertentu yang spesifik, yang didukung oleh skill
pekerjanya. Hal inilah yang menyebabkan spesialis memiliki posisi tawar yang
tinggi. Adanya komponen desain dan teknologi inilah yang membedakan antara
subkontraktor dengan spesialis (Susilawati, 2005).
b. Subkontraktor tenaga kerja (labor only subcontractor)
Dalam industri konstruksi suatu kelompok pekerja dengan skill yang
rendah dimana mandor yang bertindak sebagai pemimpin diantara mereka yang
menghubungkan antara pekerja (labor) dengan kontraktor. Mandor bertindak
sebagai pemasok tenaga kerja (labor only subcontractor) dengan berbagai
keahlian yang spesifik (seperti: tukang gali, tukang batu, dan tukang kayu) dan
tingkatan keahlian yang berbeda-beda (misalnya: pekerja terampil, pekerja
setengah terampil, dan tukang).
c. Supplier dan Manufaktur Konstruksi
Dalam suatu proyek konstruksi bangunan, terdapat berbagai jenis material
yang digunakan yang terdiri atas material alam seperti pasir, kerikil, batu alam,
24
dan material hasil produksi manufaktur seperti besi beton, keramik, panel beton
precast. Oleh karena itu terdapat dua jenis pelaku yang terlibat dalam aliran
material-material yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi bangunan
(Susilawati, 2005):
Manufaktur konstruksi, memproduksi material-material konstruksi dengan
mengolah (off site production) material-material alam hingga menghasilkan
komponen bangunan tertentu yang kemudian didistribusikan ke proyek
langsung maupun supplier.
Supplier mendistribusikan material yang diperoleh kepada pengguna. Dari
jenis material yang didistribusikan maka supplier ini dapat dibedakan
menjadi supplier material alam dan supplier komponen bangunan yang
diperoleh dari manufaktur konstruksi.
Kemajuan jaman dimana material alam terlebih dahulu mengalami proses
di dalam suatu manufaktur sebelum memasuki site konstruksi, menunjukan
adanya hubungan antar proyek konstruksi dan industri manufaktur yang
memproduksi komponen bangunan seperti contoh besi beton, baja, beton precast
yang diproduksi terlebih dahulu baru kemudian di distribusikan ke proyek.
Lingkup supplier adalah menjual material atau peralatan kepada kontraktor tetapi
mereka tidak melakukan pekerjaan seperti subkontraktor. Tapi saat ini ada juga
supplier yang memberikan produk dengan sistem fabrikasi sehingga siap dipasang
di lokasi proyek, contohnya kusen pintu yang di pabrikasi dari balok kayu terlebih
dahulu.
25
1.4.3 Hubungan dalam Construction Supply Chain
Dalam suatu supply chain terdapat pihak yang berperan sebagai
penyedia produk (supplier) dan pelanggan (customer). Pihak penerima produk
yang dihasilkan oleh supply chain tersebut disebut customer. Dari persepektif
kontraktor pelaku yang berperan dalam proses produksi di lokasi proyek,
terlepas dengan siapa pelaku tersebut memiliki hubungan kontrak, dapat
dikategorikan sebagai supplier. Sehingga hubungan antara kontraktor dengan
pelaku supply chain lain dibagi dua yaitu hubungan ke hilir yang menunjukkan
hubungan kontraktor dengan owner sebagai pelanggan (customer) dan hubungan
ke hulu yang menunjukkan hubungan kontraktor dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses produksi seperti supplier dan subkontraktor (Susilawati,
2005).
Hubungan antara owner, perencana, kontraktor, subkontraktor dan pekerja
dalam jaringan supply chain diikat dalam kontrak kerja konstruksi. Kontrak inilah
yang mengatur hubungan secara hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa
dalam penyelengaraan konstruksi. Kaitannya dengan supply chain, metode
kontrak konstruksi menentukan seberapa besar lingkup pekerjaan kontraktor
yang nantinya akan mempengaruhi besar-kecilnya jaringan supply chain yang
dibentuk oleh kontraktor. Pemilihan metode kontrak konstruksi ini juga bisa
disesuaikan dengan kebutuhan pemilik proyek atau owner.
Terdapat beberapa jenis metode kontrak konstruksi yang dapat menajadi
alternative sesuai kebutuhan proyek (Oe, 2012), diantaranya:
Metode kontrak umum (general contract method)
26
adalah metode di mana kontrak dibuat antara pemilik proyek dan kontraktor
umum (general contractor). Pemilik proyek biasanya diwakili oleh konsultan
yang berperan dalam penyusunan dokumen kontrak.
Metode kontrak terpisah (separate contract method)
adalah metode di mana pemilik proyek memberikan pekerjaan secara terpisah
kepada pihak-pihak yang diyakini memiliki kemampuan khusus yang berbeda,
misalnya pekerjaan beton prategang diberikan kepada pihak yang
mengkhususkan diri pada bidang tersebut. Pada prinsipnya kontrak ini sama
dengan metode kontrak umum. Perbedaannya adalah tidak ada keterlibatan
kontraktor umum, sehingga pemilik proyek harus melakukan manajemen
proyek sendiri. Metode ini dapat diterapkan apabila pemilik proyek memiliki
kemampuan manajemen proyek yang memadai. Keuntungan metode ini
adalah pemilik tidak perlu mengalokasikan biaya profit bagi kontraktor umum
seperti pada metode kontrak umum, sehingga biaya proyek dapat ditekan
Swakelola (forfe account method)
Pada metode ini, pemilik proyek tidak melakukan kontrak bagi proyek yang
akan dilaksanakan, karena pemilik mendanai sendiri, merancang sendiri,
melaksanakan sendiri, dan mengawasi sendiri proyeknya. Jelas bahwa ketiga
bagian proyek konstruksi berada dalam satu pihak, sehingga pemilik proyek
harus mempunyai kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh konsultan dan
kontraktor.
Design-Construct method
27
Pada metode kontrak ini, pemilik proyek perlu membuat kontrak tunggal
untuk pekerjaan perancangan dan pelaksanaan proyek dengan satu perusahaan
yang memiliki kemampuan perancangan dan pelaksanaan pembangunan. Pada
dasarnya metode ini sama dengan metode kontrak umum, hanya saja profesi
konsultan dan kontraktor dirangkap oleh satu perusahaan yang memang
mempunyai kemampuan untuk itu
Metode manajemen konstruksi professional (professional construction
manajemen method).
Pada metode ini, pemilik proyek meminta perusahaan manajemen konstruksi
profesional (MK) untuk memberikan layanan profesional dalam bentuk
layanan manajemen konstruksi. Umumnya MK dikontrak pada saat muncul
ide/gagasan dari pemilik proyek sebelum design dibuat. Fungsi utama dari
MK adalah menangkap ide tersebut, kemudian melakukan pengelolaan tahap
demi tahap sampai ide tersebut terwujud. MK kemudian memilih perusahaan
perancang untuk melakukan perencanaan dan perancangan. Setelah
rancangannya selesai, MK melakukan evaluasi untuk mengoptimalkan biaya
dan waktu pelaksanaan proyek.
Dalam jaringan supply chain proyek yang menerapkan metode kontrak
umum kontraktor merupakan pelaku tunggal dalam melakukan pengadaan pihak-
pihak lain yang terlibat dalam proyek konstruksi. Sedangkan pada proyek dengan
metode kontrak terpisah ataupun kontrak MK professional kontraktor merupakan
bagian dari sekian banyak pihak yang melakukan pengadaan pihak-pihak lain
28
yang terlibat dalam proyek konstruksi sesuai dengan lingkup pekerjaan yang
diberikan oleh owner (Susilawati, 2005).
1.4.4 Model Supply Chain pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung
Berdasarkan penelitian Susilawati (2005) yang dilakukan di Bandung dan
Jakarta telah teridentifikasi empat bentuk model supply chain yang biasa
ditemui pada proyek konstruksi gedung. Model tersebut terdiri dari dua model
umum yang secara garis besar dibentuk berdasarkan metoda kontrak yang
digunakan, dimana dari masing-masing model umum tersebut memiliki satu
model khusus sebagai perluasan dari ada-tidaknya keterlibatan pemilik dalam
pengadaan material.
Model umum, model supply chain kontraktor
Model umum dapat diidentifikasi sebagai model yang sering terjadi dalam
supply chain kontraktor dengan tiga model hubungan umum yang biasa terjadi.
Owner memberi tugas kepada kontraktor utama (main contractor), dimana
kontraktor memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat
dan pekerja. Kontraktor juga berhubungan dengan subkontraktor untuk beberapa
pekerjaan dasar dan kepada spesialis untuk pekerjaan yang memerlukan keahlian
khusus. Dalam hal ini subkontraktor dan spesialis berhubungan langsung dengan
penyedia material, alat dan pekerjanya sendiri (Gambar 2.6)
29
Gambar 1.6 Model–1 Model umum supply chain konstruksi bangunan gedung
Sumber : Susilawat i (2005)
Model khusus, model supply chain owner
Dari model umum terdapat model khusus yang terjadi dengan metode
kontrak terpisah dan metode kontrak MK professional. MK adalah suatu lembaga
yang ditunjuk oleh owner yang menyediakan jasa pelayanan manajemen dalam
suatu proyek. Dalam model khusus ini peran owner sangat besar karena harus
berhubungan langsung dengan penyedia jasa selain kontaktor utama. Oleh karena
itu dalam hal ini MK bisa bertindak sebagai wakil owner untuk berhubungan
langsung kepada pihak lain dalam proyek. Dalam model khusus ini terjadi karena
adanya peran owner yang membentuk model tersebut dalam dua kasus:
OWNER
ORGANISASI
KONTRAKTOR
X,Y,Z
SUPPLIER
(MATERIAL)
Organisasi Tingkat 1
SUBKONTRAKTOR SPECIALIST LABOUR ALAT
ALAT EQUIPMENT LABOUR ALAT MATERIAL LABOUR
Organisasi Tingkat 2
Organisasi
Tingkat 3
Organisasi Tingkat 4
Hubungan Kontrak (Memasok Kepada Siapa)
Hubungan Koordinasi dalam pemasangan
TINGKATAN ORGANISASI
30
Gambar 1.7 Model–2 Model khusus supply chain konstruksi bangunan gedung
kasus 1
Kasus 1, terjadinya hubungan langsung antara owner dengan para pihak penyedia
jasa lainnya selain kontraktor, sehingga terbentuk model hubungan yang setara
dari tiga pihak, yaitu kontraktor, subkontraktor dan spesialis dalam satu tingkatan
organisasi (Gambar 2.7).
Sumber : Susilawat i (2005)
Kasus 2, terjadinya hubungan langsung owner dengan para pihak penyedia
material, yang terjadi dalam model khusus 1 (model hubungan langsung owner
dengan penyedia jasa) pada Gambar 2.8 dan juga dalam model umumnya pada
Gambar 2.9. Model khusus ini menunjukan adanya peran owner yang cukup besar
di setiap tingkatan, hal ini dilakukan untuk menekan biaya konstruksi.
OWNER
ORGANISASI
KONTRAKTOR X,Y,Z
MATERIAL
UTAMA
Organisasi Tingkat 1
SUBKONTRAKTOR SPECIALIST
LABOUR ALAT ALAT SUPPLIER
(MATERIAL) LABOUR ALAT MATERIAL LABOUR
Organisasi Tingkat 2
Organisasi Tingkat 3
Hubungan Kontrak (Memasok Kepada Siapa)
Hubungan Koordinasi dalam pemasangan
TINGKATAN ORGANISASI
31
Gambar 1.8 Model–3 Model khusus supply chain konstruksi bangunan gedung, kasus 2
Sumber : Susilawat i (2005)
Sumber : Susilawat i (2005)
OWNER
ORGANISASI
KONTRAKTOR
X,Y,Z
MATERIAL
UTAMA
Organisasi
Tingkat 1
SUBKONTRAKTO
R SPECIALIST LABOUR ALAT
ALAT EQUIPMENT LABOUR ALAT MATERIAL LABOUR
Organisasi
Tingkat 2
Organisasi Tingkat 3
Organisasi Tingkat 4
Hubungan Koordinasi dalam pemasangan
TINGKATAN ORGANISASI
MATERIAL
UTAMA
OWNER
ORGANISASI
KONTRAKTOR X,Y,Z
LABOUR
Organisasi
Tingkat 1
SUBKONTRAKTOR SPECIALIST
MATERIA
L ALAT ALAT
SUPPLIER
(MATERIAL) LABOUR ALAT LABOUR
MATERIA
L
Organisasi
Tingkat 2
Organisasi
Tingkat 3
Hubungan Kontrak (Memasok Kepada Siapa)
Hubungan Koordinasi dalam pemasangan
TINGKATAN ORGANISASI
Gambar 1.9 Model–4 Model khusus supply chain konstruksi bangunan gedung, kasus 3
32
Dalam model hubungan langsung owner dengan spesialis dan
subkontraktornya, juga terdapat peran owner dalam pengadaan komponen
materialnya, sehingga terdapat hubungan langsung owner sebagai organisasi
tingkat 1 dengan supplier sebagai organisasi tingkat ke 3. Pemecahan
komponen material dari komponen jasa yang dilakukan oleh owner,
merupakan strategi owner dalam usaha untuk menekan biaya. Hal ini
memperlihatkan suatu perbedaan model pengadaan, yang pada mulanya
dilakukan secara hirarkis menjadi pengadaan langsung yang dilakukan oleh
owner.
Model ke empat dari penelitian Susilawati ini juga mengarah pada model
yang dikemukakan Xue et al (2007) pada Gambar 2.10, dimana terdapat peran
owner dalam pengadaan supplier material pada proyek konstruksi hal ini dikenal
dengan istilah Supply By Owner (SBO). Model inilah yang cenderung terjadi pada
proyek bangunan gedung saat ini terutama pada proyek-proyek swasta.
Keterlibatan owner dalam menyediakan material selain untuk mengurangi biaya
proyek tetapi juga karena adanya praktek “broker” di lapangan, dimana “broker”
yang merupakan wakil owner bisa mendapatkan keuntungan sendiri dari
pengadaan material tersebut. Model inilah yang akan dijadikan acuan dalam
penelitian ini untuk mengidentifikasi risiko dalam supply chain secara khusus
risiko yang mempengaruhi keuntungan kontraktor.
33
Sumber: Xue et al. (2007)
Menurut Xue et al. (2007) CSC adalah multi-organization process, yang
didalamnya terdapat client/owner, designer, contractor, supplier, consultant, dan
sebagainya. CSC juga merupakan multi-stage process yang didalamnya terdapat
conceptual (membuat konsep), design, construction, maintenance, replacement,
dan decommission (menonaktifkan/demolish). Dari pengertian tersebut CSC
terdiri dari seluruh proses bisnis konstruksi dari adanya permintaan atau
kebutuhan client, pembuatan konsep (conceptual), perencanaan desain dan proyek
konstruksi hingga maintenance, replacement yang akhirnya menonaktifkan
bangunan dan organisasi yang melibatkan client/owner, designer, contractor,
subcontactor, supplier, consultant dan sebagainya. CSC adalah jaringan multi-
organization yang saling berhubungan dimana didalamnya terjadi aliran
informasi, aliran material dan aliran dana diantara client/owner, designer,
contractor, subcontactor, supplier.
Gambar 1.10 Construction supply chain network
34
1.5 Risiko Pada Construction Supply Chain
Dari model supply chain pada Gambar 2.10 dapat dilihat bahwa
manajemen supply chain mengatur seluruh pihak yang terlibat dalam mensuplai
sumber daya dari hulu hingga hilir kegiatan konstruksi, dimana didalam prosesnya
bisa terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan di salah satu
aspek supply chain (flow of material, flow of information dan flow of funds) yang
menyebabkan keseluruhan kinerja supply chain tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan baik sehingga menyebabkan peningkatan biaya proyek dan
berpengaruh mengurangi keuntungan kontraktor yang menjadi pelaku utama
dalam jaringan supply chain.
1.5.1 Pengertian risiko
Risiko bisa didefinisikan dengan berbagai sudut pandang. Menurut
Alijoyo (2006) dalam Pujawan (2007) definisi risiko dapat dilihat dari sudut
pandang hasil atau output dan sudut pandang proses. Dari sudut pandang hasil
risiko adalah sebuah hasil atau keluaran-keluaran yang tidak dapat diprediksikan
dengan pasti, yang tidak disukai karena akan menjadi kontra-produktif.
Sedangkan dari sudut pandang proses , risiko adalah faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pencapaian tujuan, sehingga terjadinya konsekuensi yang tidak
diinginkan. Sedangkan menurut Oxfort Dictionary risiko didefinisikan sebagai
kemungkinan mengalami bahaya atau penderitaan membahayakan. Menurut
Labombang (2011) risiko adalah variasi dalam hal-hal yang mungkin terjadi
secara alami atau kemungkinan terjadinya peristiwa diluar yang diharapkan yang
35
merupakan ancaman terhadap keuntungan properti dan keuntungan finansial
akibat bahaya yang terjadi.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa risiko
dihubungkan dengan suatu keadaan yang timbul karena ketidakpastian dengan
peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan akibat buruk
(kerugian) yang tak diinginkan atau tidak terduga. Lebih jauh lagi risiko pada
proyek adalah suatu keadaan yang timbul karena adanya ketidakpastian dengan
peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi fisik
maupun finansial yang merugikan bagi tercapainya tujuan proyek dalam hal ini
adalah biaya,waktu dan mutu proyek.
Menurut Musa (2012) risiko supply chain adalah kemungkinan kejadian
yang muncul secara tiba-tiba yang memberikan konsekuensi buruk bagi sistem
supply chain. Risiko pada jaringan Supply chain terjadi pada hubungan antara
pelaku-pelaku supply chain. Risiko tersebut akan memberikan dampak terhadap
hasil produksi konstruksi. Semakin tinggi tingkat integrasi vertikal yang terjadi
pada rantai pasok, semakin panjang jumlah rantai yang terjadi, sehingga
semakin berdampak pada aliran informasi, aliran material dan aliran dana.
Permasalahan yang ada dalam hubungan pelaku pada supply chain adalah
masalah komunikasi. Hal ini secara signifikan mempengaruhi kinerja proses supply
chain, karena informasi yang tidak terdistribusi dengan baik menyebabkan para
anggota supply chain ragu atau salah dalam mengambil keputusan (Rahmadi,
2008).
36
1.5.2 Analisis Risiko dan Manajemen Risiko
Analisis risiko merupakan satu proses dari identifikasi dan penilaian.
Sedangkan manajemen risiko adalah respon dan tindakan yang dilakukan untuk
memitigasi serta mengontrol risiko yang telah dianalisis (Norken et al., 2012).
Tujuan dari analisis dan manajemen risiko adalah membantu menghindarin
kegagalan dan memberikan gambaran tentang apa yang terjadi bila proyek yang
dijalankan tidak sesuai dengan rencana. Analisis risiko dapat dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif, dimana sumber risiko harus diidentifikasi dan akibat
harus dinilai dan analisis.
Manajemen risiko merupakan suatu proses dalam mengidentifikasi risiko,
menganilis risiko dan pengambilan langkah-langkah untuk mengurangi risiko
sehingga risiko tersebut berada pada tingkat yang dapat diterima. Manajemen
risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang mempunyai
organisasi untuk mengelola, memonitor dan mengendalikan eksposur organisasi
terhadap risiko (Norken et al., 2012). Menurut Tang (2006) dalam Musa (2012)
Supply Chain Risk Management (SCRM) adalah manajemen risiko supply chain
melalui koordinasi dan kerjasama antara pelaku atau rekan kerja jaringan supply
chain untuk menjamin keuntungan dan kelancaran pekerjaan.
Beberapa manfaat yang ditawarkan dalam manajemen risiko, diantaranya
(Godfrey, 1996):
1. Pengendalian ketidakpastian yang lebih baik akibat dari tingginya
ketidakpastian, sehingga dapat memahami kegiatan mana yang paling
berisiko dan asumsi apa yang paling berpengaruh.
37
2. Meningkatkan kepercayaan, kepercayaan akan meningkat dengan
memahami ketidakpastian dengan lebih baik dan luasnya pengaruh
ketidakpastian serta potensi konsekuensinya.
3. Menjelaskan dengan lebih baik, dengan manajemen risiko akan dapat
menjelaskan tujuan dengan lebih baik dan menjaring berbagai kendala dan
akibatnya.
4. Peningkatan dan terinformasinya pengambilan keputusan dimana
keputusan dapat diambil berdasarkan: tujuan, kondisi yang realistik sesuai
dengan situasi dengan memeprtimbangkan berbagai kemungkinan yang
terjadi, memonitor risiko yang terjadi dan efektifitas dari pengendalian
risiko.
5. Mengkonsentrasikan sumber daya pada hal-hal tertentu, bila mempunyai
sumber daya terbatas dapat dikonsentrasikan pada hal-hal yang
mempunyai risiko tinggi untuk mencapai hasil maksimum.
6. Motivasi dan komunikasi tim, dengan mempertimbangkan risiko,
memberikan evaluasi dari berbagai perspektif serta meningkatkan motivasi
dari berbagai stakeholder.
7. Perencanaan risiko pada tingkat biaya minimum, dapat membantu
mengurangi cost of risk.
8. Estimasi yang realistis. Estimasi biaya menjadi lebih realistis karena
mempertimbangkan ketidakpastian.
38
9. Pertanggungjawaban yang lebih baik, bila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan/kerusakan/kerugian lain maka dengan manajemen risiko akan
dapat dipertanggung jawabkan
10. Memproteksi balance sheet, apabila melakukan dan membuat proyek lebih
dari satu pada saat yang sama, maka risk manajemen dari setiap proyek
akan dapat membandingkannya dan meyakinkan neraca tidak dibebani
oleh high or low risk.
Untuk melakukan pengambilan keputusan terhadap risiko-risiko, Flanagan
dan Norman (1993) mengemukakan kerangka dasar langkah-langkah seperti pada
gambar berikut.
Sumber : Flanagan & Norman (1993)
Penjelasan gambar diatas sebagai berikut:
1. Identifikasi risiko, yaitu melakukan identifikasi terhadap sumber-sumber
dan jenis risiko.
Identifkasi Risiko
Klsifikasi Risiko
Analsis Risiko
Tanggapan Terhadap
Risiko
Menyikapi Risiko
Gambar 1.11 Kerangka umum manajemen risiko
39
2. Klasifikasi risiko, mempertimbangkan jenis-jenis risiko dan efeknya
terhadap perseorangan maupun organisasi.
3. Analisis risiko, mengevaluasi konsekuensi keterkaitan dengan jenis risiko
atau kombinasi risiko dengan menggunakan teknik analisis. Menilai
dampak daripada risiko dengan menggunakan berbagai teknik pengukuran
risiko.
4. Menyikapi risiko, yaitu berbagai keputusan mengenai risiko akan terkait
dengan sikap perseorangan atau organisasi yang membuat kebijakan.
5. Tanggapan terhadap risiko, yaitu mempertimbangkan bagaimana risiko
harus dikelola dengan mentransfernya kepada kelompok lain atau
membiarkannya.
1.5.3 Analisis Risiko Kualitatif
Analisis dan manajemen risiko kualitatif mempunyai tujuan identifikasi
risiko dan penilaian awal risiko, dimana sasarannya adalah menyusun sumber
risiko utama dan menggambarkan tingkat konsekuensi yang sering terjadi,
termasuk didalamnya akibat paling potensial terjadi pada estimasi biaya dan
waktu (Thompson & Perry, 1991). Analisis kualitatif akan dapat menentukan
yang mana merupakan major risk dengan mengalikan frekuensi/likelihood dengan
konsekuensi dari risiko yang telah teridentifikasi, apabila frekuensi tinggi dan
konsekuensi tinggi akan menghasilkan tingkat/derajat risiko tinggi (major risk)
dan sebaliknya jika frekuensi dan konsekuensi rendah akan menghasilkan risiko
rendah (minor risk). Baru kemudian dilakukan mitigasi terhadap risiko tersebut
(Norken et al., 2012).
40
1.5.4 Penilaian dan Penerimaan Risiko
Penilaian (assessment) Risiko
Penilaian risiko pada dasarnya adalah melakukan perhitungan atau
penilaian terhadap dampak risiko yang telah teridentifikasi, besar kecilnya
dampak dari risiko akan dapat diakategorikan, yang mana merupakan risiko
dengan tingkat yang utama (major risk) , yang mempunyai dampak besar dan luas
dan membutuhkan pengelolaan, atau tidak (minor risk), yang tidak memerlukan
penanganan khusus karena tingkat risiko ada dalam batas-batas yang dapat
diterima (Norken et al., 2012). Besarnya dampak risiko merupakan perkalian dari
frekuensi (likelihood) dengan konsekuensi (concequence) dari risiko yang telah
teridentifikasi (Godfrey, 1996).
Nilai Risiko (x) = Frekuensi (f) x Konsekuensi (k)
Frekuensi atau kecenderungan (likelihood) adalah peluang terjadinya
kerugian yang merugikan. Sedangkan Konsekuensi (consequence) merupakan
besaran kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya suatu kejadian yang
merugikan. Godfrey (1996) memberikan pedoman terhadap skala penilaian
frekuensi risiko dan konsekuensi risiko secara umum seperti pada Tabel 2.2 dan
Tabel 2.3. Selain itu Cooper (2005) juga menjelaskan lebih detail mengenai skala
penilaian terhadap frekuensi risiko dan konsekuensi risiko pada proyek konstruksi
pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5.
41
Table 1.2 Skala Penilaian Risiko Frekuensi (Likelihood)
FREKUENSI (LIKELIHOOD)
Diskripsi Keterangan Skala
Frequent Selalu terjadi 5
Probable Sering terjadi 4
Occasional Kadang-kadang terjadi 3
Remote Hampir tidak pernah terjadi
(jarang)
2
Improbable Tidak pernah terjadi (sangat
jarang)
1
Sumber: Godfrey (1996)
Table 1.3 Skala Penilaian Risiko Konsekuensi (Consequence)
KONSEKUENSI (CONSEQUENCE)
Diskripsi Keterangan Skala
Castatrophic Dampak sangat besar, seperti kematian, kehilangan
sistem, kebangkrutan dll
5
Critical Dampak besar, seperti kerusakan yang cukup besar,
ancaman yang membuat cidera/penyakit, kerusakan
substansial,
4
Serious Dampak Sedang, mempengaruhi waktu dan
planning, membutuhkan kontingen.
3
Marginal Dampak kecil, dengan kerusakan kecil yang bisa
diperbaiki dengan perawatan rutin. Permasalahan
kecil yang bisa diselesaikan hanya dengan surat
permintaan maaf.
2
Negligible Dampak sangat kecil, sehingga bisa dianggap tanpa
konsekuensi
1
Sumber: Godfrey (1996)
42
Table 1.4 Skala Frekuensi Kejadian Risiko Pada Proyek
Skala Penilaian Keterangan Probablity Frekuensi
1 Rare
Sangat Jarang
Terjadi di
Perusahaan ini
Kemungkinan
<2%
Kemungkinan
terjadi >40 tahun,
2 Unlikely
Kejadian serupa
terjadi pada
perusahaan sejenis
Kemungkinan
2%-10%
Kemungkinan
terjadi 10-40 tahun
3 Possible
Terjadi kadang-
kadang dalam
kontraktor yang
bersangkutan
Kemungkinan
10%-50%
Kemungkinan
terjadi paling tidak
satu kali dalam 1-10
tahun
4 Likely
Terjadi beberapa
kali pertahun
dalam kontraktor
yang bersangkutan
Kemungkinan
50%-80%
Tinggi,
Kemungkinan
terjadi satu kali
setahun
5 Almost
certain
Terjadi beberapa
kali pertahun
dalam satu lokasi,
operasi dan
aktivitas
Kemungkinan
>80%
Sangat tinggi,
kemungkinan
muncul paling tidak
beberapa kali
pertaahun
Sumber: Cooper et al.( 2005)
43
Table 1.5 Skala Konsekuensi Risiko
Skala Penilaian Performance Cost
1 Sangat kecil
Dampaknya dapat
diabaikan terhadap kinerja,
dapat diantisipasi
Tidak melebihi perkiraan
biaya yang telah
dianggarkan. Terjadi sedikit
pengeluaran tambahan
2 Kecil
Menyebabkan penurunan
kinerja yang kecil tapi
masih bisa ditoleransi.
Perubahan spesifikasi
cenderung disetujui
Peningkatan estimasi biaya
< 5% tetapi masih bisa
dikelola oleh kontingen saat
ini
3 Sedang
Efek buruk dari penurunan
kinerja sudah mulai terasa
dan sudah mencapai pada
batas penerimaan. Sponsor
mulai ragu tetapi ingin
menyetujui perubahan
spesifikasi jika sudah tidak
ada pilihan lain.
Peningkatan estimasi biaya
5–20% dan mungkin dapat
dikelola oleh kontingen saat
ini
4 Besar
Keburukan kinerja sudah
memiliki dampak yang
besar di dalam tujuan dan
akan memberikan nama
buruk jika tidak diperbaiki.
Sponsor tidak ingin
menyetujui perubahan
spesifikasi
Peningkatan estimasi biaya
20–50% dan tidak dapat
dikelola oleh kontingen saat
ini
5 Sangat Besar
Keburukan kinerja sudah
pada sistem perusahaan dan
fasilitas yang ada tidak
dapat digunakan. Perubahan
desain yang signifikan
diperlukan. Sponsor pasti
tidak akan pertimbangkan
perubahan spesifikasi
Peningkatan estimasi biaya
> 50%. Biaya utama sudah
melebihi. Diperlukan
budget tambahan
Sumber: Cooper et al.( 2005)
44
Penerimaan Risiko
Tingkat penerimaan risiko dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Norken et al.,
2012) :
1. Unacceptable, Yaitu risiko yang tidak dapat diterima atau toleransi,
sehingga harus dihindari atau dihilangkan bahkan bila mungkin di transfer
kepada pihak lain.
2. Undesirable, Yaitu risiko yang tidak diharapakan dan harus dihindari
sehingga memerlukan penanganan/ mitigasi risiko sampai pada tingkat
yang bisa diterima.
3. Acceptable, Yaitu risiko yang dapat diterima karena tidak mempunyai
dampak yang besar dan masih dalam batas yang dapat diterima.
4. Negligible, Yaitu risiko yang bisa diabaikan karena dampaknya sangat
kecil.
Unacceptable dan undesirable merupakan golongan major risk yahg harus
dimitigasi sedangkan acceptable dan negligible merupakan golongan minor risk.
Godfrey (1996) memberikan pedoman terhadap frekuensi, konsekuensi,
besar risiko dan tingkat penerimaan risiko seperti Tabel 2.6 berikut:
45
Table 1.6 Penilaian dan Tingkat Penerimaan Risiko
ASSESSMENT OF RISK ACCEPTABILITY
Catastropic
(5)
Critical
(4)
Serious
(3)
Marginal
(2)
Negligible
(1)
Frequent
(5)
Unacceptable
(25)
Unacceptable
(20)
Unacceptable
(15)
Undesirable
(10)
Acceptable
(5)
Probable
(4)
Unacceptable
(20)
Unacceptable
(16)
Undesirable
(12)
Undesirable
(8)
Acceptable
(4)
Occasional
(3)
Unacceptable
(15)
Undesirable
(12)
Undesirable
(9)
Acceptable
(6)
Acceptable
(3)
Remote
(2)
Undesirable
(10)
Undesirable
(8)
Acceptable
(6)
Acceptable
(4)
Negligible
(2)
Improbable
(1)
Acceptable
(5)
Acceptable
(4)
Acceptable
(3)
Negligible
(2)
Negligible
(1)
Key Description Guidance
Unacceptable Tidak dapat diterima, harus dihilangkan atau ditransfer
Undesirable Tidak diharapkan, harus dihindari
Acceptable Dapat diterima
Negligible Dapat diabaikan
Sumber: Godfrey (1996)
1.5.5 Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko merupakan tahap awal dalam manajemen risiko yang
bertujuan untuk dapat menguraikan dan merinci jenis risiko yang mungkin terjadi
dari aktifitas atau kegiatan yang akan kita lakukan. Tahap identifikasi risiko
merupakan tahap yang paling sulit dari manajemen risiko, karena adanya
ketidakmampuan untuk mengindetifikasi semua risiko yang ada mengingat
Concequense
Likelihood
46
adanya ketidakpastian dari apa yang akan dihadapi. Menurut Thompson dan Perry
(1991) ada beberapa cara untuk mengatasi kesulitan dalam mengidentifikasi
risiko, diantaranya : menyusun daftar (chek list), wawancara dengan personil
kunci yang terlibat, brain storming dan use of record (pengalaman sebelumnya).
Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa identifikasi risiko dalam
supply chain konstruksi diantaranya menurut Vrijhoef et al (2001) yang terlihat
pada gambar berikut:
47
Gambar 1.12 Gambaran Umum Permasalahan Dalam Supply Chain Construction
Sumber : Vrijhoef et al. (2001)
Sedangkan menurut Benton dan McHenry (2010) beberapa permasalahan
dalam supply chain konstruksi melibatkan seluruh pelaku dalam supply chain
yaitu pemilik proyek, konsultan, kontraktor, sub-kontraktor, dan supplier. Potensi
risiko terletak pada hubungan timbal balik antara pelaku supply chain tersebut.
Beberapa sumber risiko tersebut diantaranya:
-Kesulitan dalam
mengaplikasikan keinginan
owner
- Keinginan Clien yang
berubah -ubah
-Prosedur yang panjang dalam
mendiskusikan perubahan
-Dokumen yang salah
-Desain berubah-ubah
- Waktu yang panjang dalam mendapatkan ijin perubahan
-Data yang tidak sesuai
-Gambar kerja tidak bisa
diaplikasikan
-Data yang tidak akurat
-Susah mendapatkan informasi
yang dibutuhkan
-Penawaran harga yang tinggi
-Perubahan-perubahan lain
- Data tidak akurat
-Tidak mendapatkan informasi
yang diperlukan -perencanaan yang tidak realistis
Permasalahan kualiats
hasil pekerjaan akhir
Masalah kualitas yang tidak
selesai
Waktu penyelesaian yang
terlambat
-Pengiriman tidak sesuai dengan
plan
-Pengiriman yang salah dan cacat
-Lamanya penyimpanan
-Pengemasan material yang
buruk
-Pengiriman jumblah besar
- Hasil pekerjaan
subkontraktor tidak
sesuai desain ,
rencana dan kontrak
48
Masalah keuangan internal perusahaan
Permasalahan dalam modal usaha
Keterlambatan pembayaran oleh owner
Hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana dan spesifikasi
Pengetahuan teknis yang kurang memadai
Tidak cukupnya informasi teknologi
Kurangnya komunikasi antara pelaku supply chain
Produksi yang tidak efektif
Masalah kualitas pekerjaan
Masalah pengiriman material
Masalah dalam kualitas material
Menurut gambaran model yang disampaikan Xue et al (2007) di dalam
hubungan para pelaku supply chain terjadi tiga aspek aliran, yaitu aliran material,
aliran informasi dan aliran dana. Identifikasi risiko dalam model supply chain
dalam penelitian ini akan ditinjau dari ketiga aspek tersebut. Dalam penelitiannya
Musa (2012) juga menguraikan mengenai ketiga aliran yang menghubungkan
sistem supply chain seperti pada gambar berikut:
49
Gambar 1.13 Risk Issues In Supply Chain
Sumber: Musa (2012)
a) Material Flow Risk (Risiko aliran material)
Risiko aliran material terkait dengan pergerakan barang atau produk secara
fisik di dalam dan diantara elemen supply chain. Aliran material ini untuk
memastikan jenis barang yang tepat dalam kualitas dan kuantitas yang tepat.
Risiko di dalam aliran material ini adalah segala risiko yang mempengaruhi hasil
dari material yang akan dialirkan dari pemasok ke konsumen. Dalam
penelitiannya Musa (2012) membagi aliran material ini kedalam tiga kategori
yaitu Source, Make dan Deliver.
50
Source
Source terkait dengan bagaimana memperoleh sumber bahan baku atau
supplier dan subkontraktor. Didalam SCOR (Supply Chain Operation Reference)
source di dalam aliran material didefinisikan sebagai proses pengadaan barang
maupun jasa untuk memenuhi permintaan. Proses yang dicakup termasuk
penjadwalan pengiriman dari supplier, menerima, mengecek, mengevaluasi
kinerja supplier dan sebagainya. Musa (2012) menjelaskan risiko dalam
kategori source sebagai berikut:
Single sourcing risk, yaitu risiko yang terkait dengan minimnya sumber
supplier atau subkontraktor sehingga mempengaruhi finansial, performance,
hasil kerja, sosial, psikologi, keterlambatan dan sebagainya.
flexible sourcing risk, kecenderungan saat ini kontraktor/konsumen lebih
memilih supplier/subkon yang mampu memberikan keuntungan maksimum
tanpa memperhatikan sisi fleksibilitas supplier/subkon tersebut ketika terjadi
permasalahan, yang ketika permasalahan itu terjadi justru akan mengurangi
keuntungan kontraktor. Kontraktor lebih memilih supplier/subkon dengan
harga yang lebih mruah dibandingkan supplier atau subkon yang harganya
sedikit lebih mahal namun bisa .
Supplier selection/outsourcing, agar bisa fokus pada core-competency
menggunakan subkontraktor sudah menjadi tren dalam dunia bisnis. Akan
tetapi permasalahannya adalah tidak mudah mendapatkan rekanan yang tepat.
Banyak parameter yang harus diperhatikan dalam memilih rekan kerja atau
51
supplier, seperti skill, teknologi, kemampuan transportasi, keuangan, bahkan
hingga kemampuan dari supplier-nya supplier.
Supply product monitoring/quality, ketidakmampuan kontraktor dalam
mengontrol pekerjaan atau material dari subkontraktor atau supplier akan
menjadi suatu risiko yang harus diwaspadai. Terlebih lagi dalam jumlah
partai atau dalam jaringan yang sangat besar. Kegagalan dalam mengontrol
dapat membahayakan kualiatas hasil pekerjaan, sehingga supplier tidak dapat
memberikan hasil pekerjaan yang sesuai dengan standar permintaan.
Supply capacity, hal ini berkaitan kapasitas produksi supplier yang terbatas.
Sehingga informasi dari awal mengenai kemampuan jumblah produksi
supplier harus sudah jelas.
Make
Di dalam SCOR Make didefinisikan sebagai proses untuk mentransformasi
bahan baku/ komponen menjadi produk yang diinginkan pelanggan. Proses yang
terlibat di sini antara lain adalah penjadwalan produksi, melakukan kegiatan
produksi dan melakukan pengetesan kualitas, mengelolan barang setengah jadi
(work-in- process), memelihara fasilitas produksi dan lain-lain. Musa (2012)
menjelaskan risiko dalam kategori make sebagai berikut:
Product and process design risk, yaitu risiko didalam ketidakmampuan untuk
mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi dalam produksi dan proses,
sehingga memaksa perusahaan melibatkan para pemasok dari awal.
52
Production capacity risk, di industri manufaktur mengidentifikasi
kemampuan atau kapasitas sumber daya menjadi hal yang sangat penting,
seperti kemampuan teknologi dan skill.
Operational disruption, di dalamnya segala kemungkinan buruk saat
pelaksanaan seperti terjadi kecelakaan kerja, bencana alam, politik yang tidak
stabil ( BBM naik, pajak, fluktuasi mata uang).
Deliver
Di dalam SCOR deliver dikaitkan dengan proses untuk memenuhi
permintaan terhadap barang maupun jasa. Proses yang terlibat diantaranya
adalah menangani pesanan dari pelanggan, memilih perusahaan jasa pengiriman,
menangani kegiatan pergudangan produk jadi dan mengirim tagihan ke
pelanggan. Musa (2012) menguraikan risiko dalam proses ini sebagai berikut
seperti permintaan yang tidak konsisten (demand volatility), tidak sanggupnya
memenuhi harapan klien (unmet demand), persediaan barang yang berlebihan
(excess inventory). Sehingga hal ini menyebabkan supply dan permintaan menjadi
tidak sesuai (missmatch).
b) Funds Flow Risk (Risiko aliran dana)
Funds flow risk dikenal juga dengan istilah cash flow, yang berkaitan
dengan menerima dan mengeluarkan dana. Musa (2012) menguraikan
permasalahan utama dalam aliaran keuangan ini diantaranya mengenai risiko di
dalam ketidakmampuan untuk melakukan pembayaran. Hal ini dipengaruhi oleh
ketidakpastiaan dalam nilai tukar uang sehingga mempengaruhi cash flow
53
keuangan, risiko perubahan harga dan biaya produksi, kemampuan finansial
pelaku supply chain dan kemampuan dalam mengelola keuangan.
c) Information Flow Risk (Risiko aliran informasi)
Menurut Musa (2012) nilai jumblah aktivitas di dalam supply chain di
didasari oleh aliran informasi seperti informasi permintaan, status persediaan,
pemenuhan order. Selain itu contoh lain dari aliran ini adalah informasi
perubahan desain dan jumblah atau kapasitas produksi. Aliran ini juga merupakan
penghubung yang mengikat antara aliran material dan aliran dana. Contohnya saat
sebagian pekerjaan diselesaikan atau dikirim, maka penerima atau pengawas akan
menginformasikan jumlah barang atau pekerjaan yang sudah diterima yang
nantinya akan berpengaruh terhadap jumblah tagihan yang akan dikeluarkan. Oleh
karena itu diperlukan kemampuan, ketepan dan efisiensi dalam melakukan
pertukaran informasi. Beberapa kemungkinan risiko yang ada dalam aliran ini
adalah:
Information accuracy, kemampuan, ketepatan dan efisiensi dalam mengakses
informasi adalah hal yang penting diperhatikan dalam aliran informasi. Oleh
karena itu seringnya berbagi informasi dan keterbukaan dalam memberikan
informasi yang berhubungan dengan proyek sangat diperlukan agar diperoleh
informasi yang tepat.
Information system security and disruption, yaitu sistem keamanan informasi
perusahaan dan back up terhadap data yang penting.
54
Intellectual property, risiko dalam hal ini adalah ketidakmampuan perusahaan
untuk memberikan informasi yang jelas.
Information outsourcing, risiko dalam hal ini adalah rendahnya teknologi
perusahaan dalam melakukan pertukaran informasi.
Berikut adalah identifikasi risiko supply chain pada proyek konstruksi
gedung yang menyebabkan penurunan keuntungan kontraktor berdasarkan ketiga
aliran diatas:
55
Table 1.7 Identifikasi Risiko Aliran Dalam Supply Chain
No Variabel Risiko (X)
Sumber
Vrijhoef , 2001
Sutowijoyo, 2011
Praboyo, 1999
Nugraheni, 2012 Sudarsono
2014 Tambahan
Aliran Informasi (Flow of Informations)
1 Ketidakjelasan atau kesalahan mendapatkan informasi lingkup pekerjaan dari owner dan designer
√
2 Kurangnya informasi dalam gambar √
3 Kurang lengkapnya informasi spesifikasi material √
4 Ketidakjelasan mengenai informasi pekerjaan tambah dari owner √
5 Terjadinya kesalahan dalam pertukaran informasi mengenai spesifikasi bahan atau pekerjaan antara kontraktor dengan subkontraktor/supplier
√
6 Kesalahan informasi harga dari subkontraktor atau supplier dengan yang ada di kontrak
√
7 Manipulasi informasi oleh subkontraktor atau supplier √
8 Minimnya sumber daya alat dan manusia yang dimiliki perusahaan dalam melakukan pertukaran informasi
√
9 Keinginan owner yang suka berubah sehingga informasi mengenai proyek menjadi tidak pasti
√
Aliran Material (Flow of Materials)
1 Susahnya mendapatkan approval material,ijin kerja dan gambar kerja dari Owner √
2 Lambatnya owner dalam mensuplai material √
3 Owner mengirim material yang tidak sesuai dengan rencana awal √
4 Owner menuntut kualitas hasil pekerjaan diatas kontrak √
5 Owner meminta perubahan terhadap pekerjaan yang sudah selesai √
56
No Variabel Risiko (X)
Sumber
Vrijhoef , 2001
Sutowijoyo, 2011
Praboyo, 1999
Nugraheni, 2012 Sudarsono
2014 Tambahan
6 Adanya penundaan pekerjaan dari owner √
7 Hasil pekerjaan subkontraktor yang tidak memenuhi standar √
8 Kualitas material dari supplier kontraktor yang tidak memenuhi standar √
9 Subkontraktor terlambat dalam menyelesaikan pekerjaan √
10 Kualitas dan kuantitas tenaga kerja yang rendah √
11 Mobilisasi sumberdaya (bahan, alat, tenaga kerja) yang lambat dari supplier atau subkontraktor
√
12 Susahnya mendapatkan jenis bahan baku yang diinginkan owner √
13 Lokasi proyek yang sulit sehingga susah dalam mensuplai material atau membawa peralatan berat
√
14 Menurunnya produktivitas tenaga kerja √
15 Manajemen tenaga kerja yang buruk oleh subkontraktor √
16 Moral dan motivasi tenaga kerja yang buruk √
17 Kurangnya pengawasan kontraktor terhadap subkontraktor √
18 Kurangnya tenaga yang handal dalam pengawasan atau kontrol √
19 Terjadinya kecelakaan kerja √
Aliran Dana (Flow of Funds)
1 Owner lambat dalam melakukan pembayaran √
2 Owner tidak mau membayar progres pekerjaan √
3 Buruknya manajemen keuangan owner hingga kehabisan modal √
4 Wakil owner meminta bagian kepada kontraktor setiap pembayaran progres √
57
No Variabel Risiko (X)
Sumber
Vrijhoef , 2001
Sutowijoyo, 2011
Praboyo, 1999
Nugraheni, 2012 Sudarsono
2014 Tambahan
5 Manajemen keuangan subkontraktor yang buruk sehingga subkontaktor mengalami kebangkrutan
√
6 Kesalahan kebijakan dalam sistem pembayaran √
7 Terjadinya peningkatan kebijakan tarif pajak atau BBM √
58
1.5.6 Mitigasi Risiko
Apabila identifikasi risiko sudah dilakukan kemudian dilanjutkan dengan
upaya pengendalian terhadap risiko tersbut yang biasa dikenal dengan istilah
mitigasi risiko. Mitigasi risiko adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
akibat risiko yang telah diidentifikasi, tindakan ini juga merupakan penanganan
risiko sampai pada batas yang dapat diterima, walaupun penanganan risiko belum
tentu sepenuhnya dapat dihilangkan karena kadang-kadang masih ada risiko sisa
(residual risk) (Norken et al., 2012).
Menurut Flanagan dan Norman dalam Norken, et al (2012) menguraikan
empat cara dalam melakukan mitigasi risiko, antara lain:
1. Risk Retention (menahan risiko)
Risk retention adalah tindakan untuk menerima risiko karena dampak dari
risiko tersebut masih dalam batas yang dapat diterima, dalam arti kata bahwa
konsekuensi dari risiko masih batas-batas yang dapat dipikul. Risiko yang apabila
di transfer/dipindahkan ternyata tidak ekonomis, maka lebih baik diterima.
(Hutabarat, 2008). Besarnya risiko yang akan diterima mengacu pada jumlah
keuntungan perusahaan sehingga semakin tinggi risiko, semakin banyak
keuntungan yang harus dikeluarkan untuk menerima risiko itu.
2. Risk Reduction (mengurangi risiko)
Risk Reduction yaitu dengan melakukan usaha-usaha atau tindakan untuk
mengurangi konsekuensi dari risiko yang diperkirakan terjadi, walaupun masih
ada kemungkinan risiko tidak sepenuhnya bisa dikurangi, tetapi masih pada
tingkat konsekuensi yang dapat diterima. Pengurangan risiko bisa dilakukan
59
melalui menanggung risiko bersama dengan pihak lain. Ada empat dasar dalam
pengurangan risiko (Hutabarat, 2008), yaitu:
Pendidikan dan pelatihan untuk berjaga-jaga terhadap risiko petensial.
Proteksi fisik untuk mengurangi kemungkinan kehilangan
Sistem diperlukan untuk menjamin konsistensi dan membuat orang
mengajukan pertanyaan “what if”.
Proteksi fisik dapat diambil untuk memproteksi orang dan properti.
3. Risk Transfer (Memindahkan risiko)
Risk Transfer yaitu tindakan memindahkan sebgian atau seluruhnya
kepada pihak lain yang mempunyai kemampuan untuk memikul atau
mengendalikan risiko. Pada umumnya memindahkan risiko dapat dilakukan
melalui negosisai meskipun telah ada kontrak yang mengatur, oleh karena itu
respon ini disebut pula pelimpahan kontrak. Pelimpahan non asuransi ini berbeda
dengan asuransi dimana si pelimpah (Hutabarat, 2008):
Tidak/bukan si penjamin asuransi
Sehubungan dengan ketidaklengkapan data historis atau
ketidakmampuan untuk mengevaluasi risiko, maka si pelimpah
biasanya tidak dapat menerima kerugian-kerugian yang dialaminya.
Pelimpahan risiko tidak mengurangi kekritisan sumber risiko , tetapi
hanya memindahkan risiko tersebut pada pihak lain. Pemindahan
risiko tersebut mungkin tidak sadar akan risiko yang mereka terima.
4. Risk Avoidance (menghindari risiko)
60
Yaitu menghindari konsekuensi risiko dengan menghindari aktivitas yang
diperkirakan mempunyai tingkat kerugian yang tinggi. Penghindaran risiko adalah
menolak menerima risiko seperti contoh menolak menerima kontrak merupakan
contoh sederhana dari penghindaran risiko, biasanya penghindaran risiko
berkaitan dengan negoisasi pra kontrak, tetapi risiko tersebut dapat dilanjutkan
pada keputusan yang dibuat selama pelaksanaan proyek (Hutabarat, 2008).
Dengan menghindari berarti kita tidak akan mengalami kerugian–kerugian yang
akan timbul dari risiko yang diidentifikasi.
1.5.7 Alokasi Risiko
Setelah risiko diidentifikasi dan diklasifikasikan maka risiko itu harus
dialokasikan kepada berbagai pihak yang terikat kontrak. Alokasi ini didasarkan
penilaian terhadap hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dengan risiko
tersebut. Alokasi risiko merupakan penentuan dan pelimpahan tanggung jawab
terhadap suatu risiko (Norken et al., 2012).
Menurut Flanagan dan Norman (1993) prinsip-prinsip dalam
pengalokasian risiko sebagai berikut:
1. Pihak mana yang mempunyai kontrol yang terbaik terhadap kejadian yang
menimbulkan risiko.
2. Pihak mana yang dapat menangani risiko apabila risiko itu muncul.
3. Pihak mana yang mengambil tanggung jawab jika risiko tidak terkontrol
4. Jika risiko diluar kontrol semua pihak, maka diasumsikan sebagai risiko
bersama.
61
1.6 Uji Validitas dan Reliabilitas
1.6.1 Uji Validitas
Validitas memiliki arti sejauhmana alat ukur mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur (Azwar, 2008). Validitas juga sering disebut kecermatan
pengukuran. Secara umum validitas dapat dibagai menjadi menjadi dua, yaitu
validitas isi dan validitas konstruk. Validitas isi merupakan ketepatan suatu alat
ukur dilihat dari segi isi alat ukur tersebut. Untuk menilai suatu alat ukur memiliki
validitas isi atau tidak dapat dinilai dengan cara membandingkan materi alat ukur
tersebut dengan analisa rasional yang dilakukan terhadap bahan-bahan apa saja
yang seharusnya digunakan untuk menyusun alat ukur tersebut. Bila sesuai
dengan analisa rasional maka alat ukur dikatakan memiliki validitas isi, namun
bila terjadi penyimpangan dari analisa rasional, maka alat ukur tersebut dikatakan
tidak memiliki validitas isi. Contohnya pengukuran mengenai sejarah dunia tidak
akan valid secara isi jika fokusnya hanya pada satu negara saja, misalnya Negara
Amerika saja (Lewis Beck et al., 2004).
Validitas konstruk menunjuk pada sejauh mana suatu instrumen mampu
mengukur pengertian-pengertian yang terkandung dalam materi yang akan diukur
(Yusrizal, 2008). Uji validitas konstruk memiliki tujuan untuk mendapatkan bukti
tentang sejauhmana hasil pengukuran memberikan konstruk variabel yang diukur.
Menurut Ancok (2002) dalam Yusrizal (2008) bila alat pengukur telah memiliki
validitas konstruk berarti semua pernyataan dan pertanyaan yang ada di dalam alat
pengukur itu mengukur konsep yang ingin diukur. Suryabrata (2000) dalam
Yusrizal (2008) mengemukakan bahwa validitas konstruk mempersoalkan sejauh
62
mana skor-skor hasil pengukuran dengan suatu instrumen merefleksikan konstruk
teoritik yang mendasari penyusunan alat ukur tersebut.
Instrumen non tes dikatakan mempunyai validitas konstruk jika instrumen
tersebut bisa digunakan untuk mengukur konsep sesuai dengan yang didefinisikan
(Yusrizal, 2008). Misalnya, untuk mengukur kinerja dosen perlu didefinisikan
terlebih dahulu apa itu kinerja dosen. Setelah itu disiapkan instrumen untuk
mengukur kinerja dosen sesuai definisi. Untuk melahirkan definisi diperlukan
sejumlah teori. Dengan teori yang benar, maka hasil pengukuran dengan alat
pengukur yang berbasis pada teori itu sudah dipandang sebagai hasil yang valid,
dengan kata lain instrumen tersebut dinyatakan valid secara teori (Yusrizal, 2008).
1.6.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan kekonsistenan alat ukur yang berarti bila suatu alat
ukur digunakan dari waktu ke waktu maka akan menghasilkan hasil yang sama.
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa konsisten jawaban setiap
responden kepada setiap pertanyaan atau seberapa besar pemahaman responden
terhadap suatu pertanyaan sama. Menurut Sugiyono (2004) instrumen yang
reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur
obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama.
Reliabilitas juga dapat disebut tingkat kepercayaan pada sebuah alat ukur.
Reliabilitas diukur menggunakan teknik alpha cronbach. Teknik alpha cronbach
dapat memberikan harga yang lebih kecil atau sama besar dengan harga
reliabilitas yang sebenarnya, sehingga akan selalu ada kemungkinan bahwa
reliabilitas alat ukur yang sebenarnya lebih tinggi dari koefisien alpha cronbach.
63
Teknik alpha digunakan untuk membelah tes menjadi lebih dari dua belahan yang
masing-masing berisi aitem dalam jumlah sama banyaknya (Azwar, 2008) . Suatu
konstruk atau variabel dikatakan reliabel, jika memberikan nilai alpha > 0,60
(Azwar, 2008).
1.7 Analisis Regresi
Menurut Sugiyono (2004) pengertian regresi secara umum adalah sebuah
alat statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (model) antara
dua variabel atau lebih. Dalam analisis regresi dikenal 2 jenis variabel yaitu:
1. Variabel Respon disebut juga variabel dependen yaitu variabel yang
keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan
variabel Y
2. Variabel Prediktor disebut juga dengan variabel independen yaitu variabel
yang bebas (tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya) dan dinotasikan dengan X
Untuk mempelajari hubugan – hubungan antara variabel bebas maka regresi linier
terdiri dari dua bentuk, yaitu analisis regresi sederhana (simple analysis regresi)
dan analisis regresi berganda (Multiple analysis regresi).
Analisis regresi sederhana merupakan hubungan antara dua variabel
yaitu variabel bebas (variable independen) dan variabel tak bebas (variabel
dependen). Regresi linier sederhana digunakan untuk mendapatkan hubungan
matematis dalam bentuk suatu persamaan antara variabel tak bebas tunggal
dengan variabel bebas tunggal. Regresi linier sederhana hanya memiliki satu
peubah yang dihubungkan dengan satu peubah X tidak bebas Y . Bentuk umum
dari persamaan regresi linier untuk populasi adalah
64
Y = a + bx
Y = variabel tak bebas
X = variabel bebas
a = Parameter intercep
b = parameter koefisien regresi variable bebas
Sedangkan analisis regresi berganda merupakan hubungan antara 3
variabel atau lebih, yaitu sekurang-kurangnya dua variabel bebas dengan satu
variabel tak bebas. Analisis regresi linier berganda adalah hubungan secara linear
antara dua atau lebih variabel independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel
dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen
berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel
dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan.
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah jumlah dari hasil jawaban skala
likert sesuai dengan masing-masing variabel (Ban, 2005).
Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:
Y’ = a + b1X1+ b2X2+…..+ bnXn
Keterangan:
Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)
X1 dan X2 = Variabel independen
a = Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0)
b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)