213
| 1 BAGIAN - 1 : SELAYANG PANDANG 1. Dasar Pemikiran Ketersediaan pangan dan energi merupakan isu krusial dan klasik yang dihadapi semua pemerintahan di seluruh negeri, terutama pada bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Permasalahan utamanya terletak pada ketergantungan impor sumber bahan pangan dan adanya kewajiban konstitusional ( constitutional obligation ) negara untuk memenuhi kebutuhan dasar konsumsi warganya. Kebutuhan pemenuhan konsumsi bahan pangan dan energi terus meningkat seiring waktu, sebagai implikasi terus meningkatnya laju pertumbuhan penduduk suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Pertumbuhan penduduk diproyeksi akan terus tumbuh pesat, disebabkan berbagai variabel sosial ekonomi dihadapi masyarakat. Disamping permintaan (demand) atas terpenuhinya kebutuhan bahan pangan yang terus meningkat, ketersediaan energi juga menjadi persoalan mendesak yang harus segera ditemukan penyelesaianya. Tidak lain, hal ini dimaksudkan untuk mendorong aktivitas pengembangan sumber daya potensial menjadi ekonomi riil. Masalah sosial ekonomi yang akan

1. Dasar Pemikiran baru.pdf · masalah publik, baik itu rill atau masih direncanakan (imagined). Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menegaskan

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

| 1

BAGIAN - 1 : SELAYANG PANDANG

1. Dasar Pemikiran

Ketersediaan pangan dan energi merupakan isu krusial dan klasik yang dihadapi semua pemerintahan di seluruh negeri, terutama pada bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin. Permasalahan utamanya terletak pada ketergantungan impor sumber bahan pangan dan adanya kewajiban konstitusional (constitutional obligation) negara untuk memenuhi kebutuhan dasar konsumsi warganya. Kebutuhan pemenuhan konsumsi bahan pangan dan energi terus meningkat seiring waktu, sebagai implikasi terus meningkatnya laju pertumbuhan penduduk suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Pertumbuhan penduduk diproyeksi akan terus tumbuh pesat, disebabkan berbagai variabel sosial ekonomi dihadapi masyarakat.

Disamping permintaan (demand) atas terpenuhinya kebutuhan bahan pangan yang terus meningkat, ketersediaan energi juga menjadi persoalan mendesak yang harus segera ditemukan penyelesaianya. Tidak lain, hal ini dimaksudkan untuk mendorong aktivitas pengembangan sumber daya potensial menjadi ekonomi riil. Masalah sosial ekonomi yang akan

2 |

timbul karena tidak tersedianya energi adalah meningkatnya pengangguran dan dampak lebih jauhnya adalah meningkatnya angka kemiskinan. Bangsa-bangsa di dunia ke depan akan berkompetisi untuk mendapatkan sumber penghidupan yang sifatnya (limited) terbatas seperti pangan dan energi.

Dari sisi regulasi, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, menyebutkan:

1) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber ha-yati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik diolah maupun tidak di-olah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Dalam hal ini termasuk bahan tambahan pangan, bah1an baku pangan, dan bahan lainn-ya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman;

2) Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal;

3) Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi beraneka ragam pangan dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat;

4) Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan

| 3

bagi negara sampai perseorangan, tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (BPKP, 2016).

Pemenuhan pangan (karbohidrat, protein dan vitamin) adalah suatu kondisi sosial-ekonomi yang ditandai dengan adanya kecukupan penyediaan kebutuhan untuk sumber pangan konsumsi masyarakat dan bahan baku industri yang diproyeksikan terus meningkat sangat cepat seirama dengan pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, kesadaran gizi, perubahan gaya hidup dan arus globalisasi.

Sementara itu, fakta empiris menunjukan bahwa produksi pangan dalam negeri belum mampu mencukupi dengan meningkatnya permintaan tersebut. Sehingga sampai dasawarsa terakhir ini, “jalan pintas” impor pangan (beras, jagung, kedelai dan daging) terus dilakukan untuk mencukupi pangan dan gizi masyarakat. Data statistik “perihal” kebutuhan pangan nasional dan impor komoditi pangan pokok sumber energi dan protein, berdasarkan data BPS Tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini :

4 |

Tabel 1.1 Impor Komoditi Pangan Pokok Sumber Energi dan Protein Tahun 2015

No Komod-itas

Jumlah Impor (ton)

Persen-tase Ke-butuhan

(%)

Jumlah Produksi

(ton)

Persen-tase Ke-butuhan

(%)

Jumlah Kebutuhan

(ton)

1 Beras 861.630 2,79 79.171.916 256,06 30.919.317

2 Jagung 3.500.104 19,99 19,612,435 112,02 17.507.265

3 Kedelai 2.256.931,68 70,40 963.183 30,05 3.205.754,26

4 Daging sapi

82.300 99,37 523,9 0,63 82.823,9

Sumber: Diolah dari Outlook Daging Sapi,Beras, Jagung, dan Kedelai 2016

Secara statistik, data di atas menunjukkan “level” ketahanan pangan Indonesia cukup baik. Untuk sumber pangan berupa beras misalnya, berdasarkan data BPS secara periodik menggambarkan kemampuan produksi para petani kita mencapai 54,15 juta ton pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 66,46 juta ton pada tahun 2010. Sementara pada tahun 2015, capaian produksi gabah kita mencapai 138,898 juta ton atau sekitar 79,171 juta ton dengan angka konversi 0,57.

Impor bahan pangan hanya ditujukan melengkapi kekurangan 5% sampai 10% kebutuhan konsumsi masing-masing komoditas. Kabar kurang menggembirakan pada komoditas daging sapi yang mana jumlah impor lebih tinggi dibandingkan jenis komoditas lainya untuk mencukupi kebutuhan daging nasional, impor daging sapi dilakukan. Rendahnya perkembangan populasi ternak menjadi penyebab produksi daging, tidak mampu mengimbangi meningkatnya kebutuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut kemudian diselesaikan dengan “jalan pintas” impor, untuk menanggulangi selisih antara kebutuhan konsumsi dan kapasitas produksi daging nasional.

| 5

Jika angka konsumsi beras sebesar 113,5 kg per kapita per tahun, maka total konsumsi beras untuk 245 juta penduduk dibutuhkan sekitar 30,9 juta ton. Artinya Indonesia telah mencapai target surplus beras 49,1 juta ton, ditambah produksi jagung pipilan kering tahun 2015 mencapai 19,83 juta ton.

Namun demikian, kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas pangan berupa daging sapi dimana selisih antara kapasitas produksi nasional dan tingginya permintaan konsumsi, masih harus diselesaikan dengan jalan impor. Oleh karena itu, dibutuhkan model inovasi yang dapat diterapkan (implementatif), yang secara efektif dapat meningkatkan produktivitas dan memberikan nilai tambah guna mencukupi konsumsi daging nasional, sehingga dapat menekan impor daging maupun ternak hidup dan menghemat pengeluaran pemerintah dan swasta dalam bentuk devisa negara.

1.2 Nawa Cita Ketiga: Membangun Indonesia Dari

Pinggiran

Barangkali sudah menjadi berkah tersendiri bagi spirit demokrasi yang berkembang semakin baik di Indonesia, proses politik selama Pemilihan Presiden (PilPres) 2014 telah mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang menuju kesejahteraan masyarakat melalui pemerintahan dengan slogan nasional “kerja-kerja-kerja”. Pasca terpilihnya bapak Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, secara bersamaan strategi, pola dan prioritas pembangunan ekonomi nasional juga mengalami perubahan arah yang signifikan.

6 |

Kabinet kerja pemerintahan periode 2014-2019 menempatkan: pangan, energi, maritim dan kelautan serta pariwisata sebagai program strategis dan kegiatan prioritas sektoral yang harus diselenggarakan secara sinergis dan terintegrasi. Nawa Cita ketiga yang digagas Presiden Jokowi sebagai bentuk manifestasi dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Lingkup program dan kegiatannya menempatkan desa dan masyarakatnya bukan lagi sebatas obyek pembangunan. Namun lebih dari itu, masyarakat-lah yang menjadi pelaku utama dalam perencanaan, pelaksanaan sekaligus penikmat program pembangunan yang dihasilkan dari proses musyawarah masyarakat desa melalui suatu rangkaian proses perencanaan pembangunan yang kita kenal dengan istilah ”MusRemBang” secara rutin setiap tahunnya. Sasaran uatamanya mendorong desa menjadi pusat produksi dan industri pengolahan produk, berbasis komoditas unggulan lokal berdaya saing yang dikelola sumber daya manusia setempat.

Hal ini diharapkan dampaknya akan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan adanya lapangan kerja dan kesempatan usaha yang lebih luas bagi masyarakat setempat, serta mencegah urbanisasi dan deformasi struktural. Pelaksanaan kebijakan tersebut mengharuskan program prioritas pangan, energi, maritim kelautan, dan pariwisata serta desa sebagai lokus dan masyarakat setempat menjadi fokus pemberdayaan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah sehingga mampu memberikan stimulus yang positif dan signifikan dalam mendukung akseslerasi pembangunan ekonomi nasional.

Selaras dengan pandangan Lasswell and Abraham

| 7

(1970), menyatakan bahwa perencanaan merupakan serangkaian program yang meliputi: tujuan, nilai dan praktik, sebagai proses keputusan aktif pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik, baik itu rill atau masih direncanakan (imagined). Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menegaskan bahwa pembangunan harus dimulai dari desa, yang bertumpu pada potensi unggulan dan berdasarkan kearifan lokal melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mampu mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya menjadi ekonomi riil secara terintegrasi dengan pendekatan kewilayahan yang terpadu dan sinergis.

Kebijakan tersebut, di antaranya dalam rangka mewujudkan capaian target dan sasaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, yakni terpenuhinya kondisi ketahanan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan cukup jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Operasionalisasinya berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, yang secara spesifik menjelaskan peran pemerintah dalam menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu yang memadai.

1.3 Sektor Peternakan dan Problemnya

Sebagaimana kita ketahui, bahwa masyarakat perdesaan umumnya mengandalkan sumber pendapatan pada bidang usaha pertanian sebagai mata pencaharian utama, dan ternak merupakan sumber ekonomi “sampingan” dengan pola pemeliharaan yang dikelola secara tradisional, didasarkan pengalaman dan belum

8 |

mengarah pada pengelolaan manajemen usaha dengan skala ekonomi tertentu. Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia masih mengelola peternakan secara konvensional dan sub-sistem. Hal ini berdampak pada tingkat pendapatan yang masih relatif rendah sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat juga belum maksimal.

Selain itu, perbedaan kondisi geografis, keunggulan sumber daya alam, ketersediaan sarana prasarana ekonomi (infrastruktur), serta kondisi sosial budaya dan kapasitas sumber daya manusia menyebabkan adanya kesenjangan antar daerah, tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. Hal ini berdampak terhadap deformasi struktural dan urbanisasi. Pengelolaan ternak secara ekonomis ditunjukkan seberapa besar insentif keuntungan diperoleh dari pengembangan usaha ternak. Rendahnya produktivitas dan keuntungan usaha yang diperoleh tergantung pola pemeliharaan ternak. Secara teknis hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pendukung pengelolaan peternakan, seperti: pengetahuan peternak dalam penguasaan teknologi, pengalaman dan keterampilan memadai untuk memilih alternatif model pengelolaan peternakan dan pemanfaatan limbah ternak sebagai potensi ekonomi dalam sistem usaha-tani, serta distribusi dan pemasaran produk yang memberikan keuntungan maksimal.

Umumnya masyarakat perdesaan belum mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dalam sistem usaha-taninya secara optimal, sehingga usaha peternakan tidak memiliki daya saing secara ekonomi dibanding komoditas lainnya yang dikelola masyarakat (Prawiradiputra, 2004).

Dengan mengacu pada uraian di atas, maka dapat kita

| 9

rumuskan beberapa inti permasalahan yang dihadapi oleh sektor peternakan saat ini, yakni sebagai berikut :

1) Budidaya ternak yang dikelola secara tradisional dan menjadi kegiatan sampingan, produktivitas dan keuntungan yang diperoleh tidak akan sebanding dengan investasi yang dikeluarkan. Untuk itu dibutuhkan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, mendorong pengelolaan sumber daya lokal skala ekonomi, penciptaan nilai tambah sehingga diperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pola konvensional.

2) Pengembangan peternakan yang tidak berorientasi ramah lingkungan (zero waste), tidak mendapatkan nilai tambah dari potensi sumberdaya yang tersedia sebagai sumber daya ekonomi. Adopsi inovasi pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dan energi terbarukan melalui proses biogas, mendorong pengembangan potensi unggulan lokal lainnya dan bernilai ekonomi. Manfaatnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendukung perkembangan ekonomi daerah.

3) Pengelolaan peternakan bersifat sub-sistem dan parsial, tidak mampu berkontribusi optimal dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan penyediaan sumber pangan pokok nasional dari dalam negeri. Adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi yang dikelola secara komprehensif -integratif - berkelanjutan, dapat mengoptimalkan potensi unggulan lokal menjadi bernilai tambah dan mendorong kemandirian masyarakat dalam penyediaan pangan dan peningkatan ekonomi secara berkelanjutan.

10 |

Keberhasilan capaian target pembangunan pertanian khusunya sub sektor peternakan, dengan kompleksitas pernasalahan sosial masyarakat dan teknis pengelolaan sangat ditentukan oleh peran aktif pemerintah, dalam tata kelola pengembangan peternakan terintegrasi untuk pemenuhan kebutuhan pangan hewani maupun nabati dalam mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Selain itu, peran masyarakat dalam menyelenggarakan produksi, penyediaan, perdagangan, distribusi sekaligus sebagai konsumen. Diperlukan dukungan penguatan teknologi dan pembiayaan melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional (kerjasama: Swasta-Pemerintah-Perguruan Tinggi), khususnya untuk riset dan pengembangan dasar skala industri yang didukung pendanaan pemerintah juga menjadi faktor yang ikut menentukan keberhasilan suatu program.

Bercermin pada pengalaman pilihan komoditas unggulan lokal dari beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, data Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT) mengungkapkan bahwa komoditas yang dipilih sebagian besar (60-70%) adalah ternak. Demikian juga untuk Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) bahwa semua lokasi kegiatan ingin diterapkannya sistem usaha pertanian yang melibatkan ternak sebagai basis dalam sistem usaha pertaniannya (Kusnadi et al. 2005).

Dengan demikian, sub sektor peternakan berperan sangat penting sebagai pilihan komoditas utama dalam pengembangan kegiatan peternakan-pertanian terintegrasi, karena ternak sebagai potensi sumber daya lokal yang tersedia dan terbiasa dilakukan masyarakat perdesaan, serta sangat prospektif sebagai penghasil sumber pangan, sumber ekonomi, sumber energi terbarukan dan

| 11

pendorong pengembangan potensi sumberdaya lokal lainnya.

Keberhasilan usaha ternak atau besar kecilnya keuntungan yang diperoleh tergantung pola pemeliharaan ternak, pengelolaan dengan cara tradisional yang didasarkan pengalaman, sub-sistem dan belum mengarah pada manajemen usaha dengan skala ekonomi tertentu, mengakibatkan perkembangan sektor peternakan tidak sesuai dengan biaya yang diinvestasikan. Mengutip pandangan Manwan dan Oka (1991), penyebab rendahnya produktivitas peternakan adalah kemampuan kreativitas dan keterampilan teknis, serta pendidikan dan kondisi sosial ekonomi peternak yang masih sangat rendah.

Selain itu, Suradisastra dan Lubis (2014) menyatakan, bahwa terbatasnya sumber daya modal dan sempitnya lahan untuk penyediaan pakan ternak menyebabkan pengelolaan peternakan yang dilakukan masyarakat dalam skala usaha kecil, serta rendahnya harga produk yang dihasilkan mengakibatkan minat peternak semakin rendah dan dampaknya usaha budidaya ternak di perdesaan tidak berkembang dengan baik.

Produktivitas ternak secara ekonomis, ditunjukkan oleh seberapa besar insentif keuntungan yang diperoleh dari pengembangan usaha ternak, dalam hal ini aspek teknis sangat dipengaruhi oleh faktor pendukung pengelolaan peternakan di antaranya kemampuan peternak dalam penguasaan teknologi, pengalaman dan keterampilan memadai untuk memilih model kegiatan terintegrasi. Sehingga jika Pengelolaan peternakan diinterintegrasikan dengan budidaya tanaman, keuntungan hasil usaha yang diperoleh dipastikan lebih banyak dibandingkan secara parsial.

12 |

Ciri utama model integrasi ternak - tanaman pangan ialah memunculkan nilai tambah dan terbangun lingkungan ekonomi hijau, atas pengelolaan limbah ternak menjadi pupuk organik, sumber energi terbarukan dalam proses biogas, media jamur, pakan olahan ikan, yang dapat mengurangi bahkan menghentikan praktek penggunaan input produksi non-organik yang merusak lahan, mengganggu lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pemanfaatan limbah tanaman juga dapat meningkatkan “ketahanan pakan ternak”, yang mampu menekan biaya tenaga kerja mencari rumput. Pada saat musim kemarau, limbah tersebut dapat menyediakan pakan berkisar 33,3 % dari total rumput yang dibutuhkan (Kariyasa, 2003).

Memperhatikan uraian tersebut di atas diperlukan model inovatif kegiatan terintegrasi dalam mengelola potensi unggulan lokal berbasis peternakan, sehingga usaha masyarakat yang bertumpu pada sumber daya ekonomi lokal berbasis pada aktivitas sosial ekonomi peternakan lebih maju dan menguntungkan dengan dihasilkannya produk berkualitas, bernilai tambah dan berdaya saing tinggi di pasaran.

1.4 Fakta Empiris dan Hasil Riset Terdahulu

Buku ini diangkat dari hasil sebuah disertasi, yang tentu saja memenuhi prasyarat ilmiah untuk bisa diakui sebagai karya akademik, dimana gagasan dan konsepsi yang terkandung di dalamnya dapat diterapkan (implemented) dalam kehidupan riil di lapangan. Sebagai bahan perbandingan (comparison), konsepsi baru tentang adopsi inovasi yang ditawarkan dalam buku ini, ada baiknya untuk kita melihat beberapa fakta empiris dan hasil penelitian terdahulu.

| 13

Penelitian dengan topik “Inovasi Teknologi Pada Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Peternakan” yang “digarap” oleh Budi Haryanto (Balai Penelitian Ternak), yang mana fokus penelitian ini adalah menganalisis pemanfaatan jerami padi sebagai pakan melalui proses fermentasi dan pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi, serta penerapan sistem integrasi pengelolaan tanaman dan peternakan. Dalam teori Roger tentang adopsi inovasi digunakan untuk melihat pengaruh perubahan sosial dan ekonomi, terhadap inovasi sistem integrasi tanaman pangan dan ternak sapi. Hasilnya terjadi peningkatan produktivitas padi dan pendapatan petani.

Penelitian lain dengan topik “Difusi Inovasi Pengolahan Kotoran Ternak Menjadi Kompos Pada Kelompok Peternak Sapi Potong Sido Rejo Dan Sido Mulyo Di Kabupaten Bantul” yang dikerjakan Oleh: Emiliana Anggriyani. Hasilnya sebagian besar anggota kelompok memilih sumber informasi personal, semakin tinggi tingkat kosmopolitan seperti di Kelompok Sido Rejo cenderung menyukai sumber informasi non-personal. Kelompok peternak Sido Mulyo yang memiliki pengetahuan tinggi cenderung mempunyai afeksi positif, sedangkan kelompok Sido Rejo yang memiliki afeksi tinggi cenderung mengadopsi pembuatan kompos. Teori difusi Rogers digunakan dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi kelompok peternak dalam mengadopsi inovasi kompos, yakni opinion leader dipegang oleh ketua kelompok masing-masing.

Penelitian dengan topik “A model of the diffusion of technology into sme’s Oleh: Thomas Brychan. Difusi teknologi baru atau perbaikan, transmisi pengetahuan atau keahlian teknis dikaji relevansi inovasi dalam mengembangkan model di tingkat UKM termasuk sumber eksternal, saluran transfer teknologi,

14 |

dan mekanisme yang terlibat dalam transfer teknologi ke UKM yang inovatif. Model ini tidak hanya berkaitan dengan “praktek terbaik”, tetapi juga untuk kasus-kasus di mana kegiatan kecil dapat ditingkatkan. Kesimpulan hasil penelitian membawa implikasi antara kebijakan, teknologi dan kewirausahaan, bahwa terjadinya perubahan sosial menimbulkan efek secara langsung untuk mengembangkan teknologi ditingkat UKM, yakni dengan difusi inovasi menghasilkan transfer teknologi yang dapat mengembangkan secara internal maupun eksternal.

Penelitian-penelitian tersebut bersifat parsial dan belum menunjukkan capaian konsep pengembangan peternakan terintegrasi (hulu-hilir), yakni introduksi paket teknologi dan manajemen budidaya peternakan dan budidaya tanaman belum terkelola secara komprehensif dan integratif sebagai upaya peningkatan produktivitas dan nilai tambah ekonomi.

Konsep pengembangan peternakan terintegrasi, memandang ternak bukan hanya merupakan bagian integral usaha pertanian, tapi juga sebagai sumber pangan (protein) dan komoditas ekonomi yang menciptakan nilai tambah dari hasil samping berupa kotoran ternak dapat diolah menjadi produk yang tidak menyisakan limbah, berupa: pupuk organik, sumber energi terbarukan (biogas), serta pembuatan pakan olahan. Hasil produk limbah tersebut, dapat diintegrasikan dengan budidaya tanaman untuk meningkatkan produktivitas, produk sehat, bernilai ekonomi tinggi dan berdaya saing di pasaran. Penelitian yang sudah dilakukan hanya mencapai pada hubungan pengaruh dan faktor-faktor (causality) yang mempengaruhi adopsi inovasi di bidang pertanian, dan bersifat merangkum terkait analisis adopsi inovasi secara umum.

| 15

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menganalisis proses adopsi inovasi dan peta kegiatan integrasi vertikal dan horizontal sebagai acuan penyusunan model pengembangan kegiatan terintegrasi yang menjadikan peternakan sebagai basis kegiatan usaha, sehingga mampu mendorong pengembangan potensi unggulan lokal lainnya sebagai sumber pendapatan. Keberhasilan proses integrasi vertikal dan horizontal yang telah dicapai oleh para pelaku usaha yang bertumpu pada sumber daya ekonomi lokal pada wilayah tertentu, akan mampu mendorong “cerita sukses” yang sama pada wilayah lainya di Indonesia, apabila konsep adopsi inovasi ini diterapkan secara massif dan konsisten menjadi satu pola pengembangan ekonomi perdesaan secara nasional.

1.5 Bio-Cycles Farming

Orisinalitas gagasan baru dan konsep adopsi inovasi dengan pola pengelolaan dan pengembangan secara terintegrasi yang ditawarkan dalam buku ini disebut dengan istilah Bio-Cycles Farming. Konsep ini menekankan pada pemanfaatan secara maksimal seluruh potensi sumber daya yang “timbul” dari aktivitas sosial ekonomi di sektor peternakan-pertanian. Maksimalisasi pemanfaatan segala potensi sumber daya dengan model siklus zero waste, yang mana tidak ada (zero) sumber daya yang terbuang percuma (waste) di dalam satu alur mata rantai pengolahan.

Proses adopsi inovasi ini dilakukan secara terintegrasi dengan menggabungkan dan menghubungkan seluruh jaringan-jaringan aktivitas sosial-ekonomi dimana sektor peternakan menjadi inti dari semua aktivitas (the core of the all activities) masyarakat. Konsep ini merupakan gagasan baru yang

16 |

dimaksudkan untuk menjawab adanya masalah “kronis” belum terintegrasinya proses sosial ekonomi pada banyak masyarakat pedesaan dan daerah pinggiran di Indonesia yang mengandalkan aktivitas peternakan-pertanian dan perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama disamping pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar para petani dan peternak kita ialah para pelaku usaha masih mengerjakan “cabang-cabang” aktivitas ekonomi pertanian dan peternakan secara terpisah, atau dalam usaha yang belum terintegrasi. Sementara kita tahu, bahwa di sektor ekonomi primer ini sebagian besar (majority) dari rakyat Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran banyak menggantungkan hajat hidup dan penghidupanya.

Oleh karena itu dibutuhkan satu konsep baru dalam pengelolaan dan pemanfaatan beragam potensi sumber daya ekonomi lokal, sebagai langkah strategis mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional. Adapun alur siklikal proses Bio-Cycles Farming yang diharapkan dapat menjadi satu jalan keluar solutif dari masalah ketahanan pangan yakni sebagai berikut:

| 17

Gambar 1.1. Siklus Proses Zero Waste dengan konsep Bio-Cycle Farming (dokumen olahan pribadi)

Konsepsi baru ini digagas karena melihat fakta empiris di lapangan, bahwa proses pengelolaan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya ekonomi lokal di Indonesia belum dikerjakan secara terintegrasi menjadi satu kesatuan proses dengan banyak manfaat ekonomi. Kendatipun proses dan alur kerjanya tetap mempehatikan kearifan lokal (Local Wisdom) masyarakat setempat, sebagai warisan tradisi turun-temurun dari para generasi pendahulu, namun oleh karena belum terintegrasi antara proses pengelolaan satu pelaku dengan pelaku ekonomi lainya, antara pemanfaatan limbah sektor pertanian sebagai bahan pakan bagi bidang peternakan, dan antara produsen di sektor pertanian dan peternakan dan kelompok-kelompok usaha perdagangan hasil pertanian-peternakan yang umumnya berbasis pada koperasi, sehingga capaian yang diperoleh masih belum maksimal.

18 |

Ditambah lagi, mode produksi yang digunakan oleh pelaku usaha hingga saat ini masih banyak yang belum mengadopsi teknologi modern sebagai hasil dari inovasi dan invensi atas kerjasama kemitraan strategis antar pemerintah, sektor swasta dan perguruan tinggi. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses informasi bagi para pelaku usaha di sektor pertanian-peternakan, mengenai penerapan dan penggunaan teknologi baru untuk menunjang peningkatan output sektor pertanian-peternakan. Selain oleh karena memang belum tersedianya tenaga fasilitator handal dalam jumlah memadai yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat yang mencakup seluruh bidang dan wilayah, dimana basis-basis produksi dan penyediaan bahan pangan hasil bidang peternakan di Indonesia berada. Imbasnya, cita-cita pembangunan ekonomi nasional di bidang penyediaan bahan pangan khususnya daging sapi sebagai contoh masih belum menunjukan tanda-tanda positif.

1.6 Pembangunan Ekonomi Perdesaan

Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi pemerintah desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Sudah lama diakui bahwa pembangunan pedesaan merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ada manfaat langsung dan tidak langsung dari pembangunan prasarana yang sangat signifikan, baik dalam penciptaan kesempatan kerja maupun strategi yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan pedesaan juga merupakan suatu strategi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.

Investasi dalam prasarana pedesaan berbasis sumber daya setempat dengan jelas memberikan manfaat yang signifikan

| 19

bagi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat pedesaan. Berbagai indikator ekonomi seperti peningkatan penghasilan, kesempatan kerja, produktifitas dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Manfaat sosial meliputi penghematan waktu, akses yang lebih mudah ke sekolah dan sarana kesehatan serta semakin baiknya arus informasi.

Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif, ternyata tidak dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja.

Dorodjatun Kuntjorojati (1994) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok masyarakat desa terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih tepat disebut masalah struktur yang menampilkan diri dalam wujud makin buruknya perbandingan antara luas tanah dan jumlah individu dan pola pemilikan atas tanah. Hal ini mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung maupun terbuka, serta berlakunya upah yang rendah. Di Indonesia, terdapat beberapa masalah nasional mendasar yang menjadi pangkal problema pembangunan pedesaan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

1) Pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi pembangunan desa yang berlawanan, yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas dengan pola strategi perencanaan dari bawah;

2) Masyarakat desa menghadapi masalah kemiskinan,

20 |

keterbelakangan, dan ketidaktahuan;

3) Masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian, yang mendorong tingginya tingkat pengangguran dan urbanisasi;

4) Potensi pembangunan Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila dilaksanakan dengan konsisten, maka pembangunan desa akan mampu mendorong akselerasi pemecahan masalah nasional yang multidimensi.

Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam pembangunan prasarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa merupakan “stimulan” yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala lebih besar.

Prasyarat yang perlu diketahui untuk memberdayakan masyarakat desa adalah realita kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masyarakat desa itu. Adapun kekuatan-

| 21

kekuatan masyarakat desa, meliputi :

1) Masyarakat desa memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotong-royon9gan yang kuat, menjunjung tinggi semangat kebersamaan berdasarkan prinsip musyawarah dan mufakat;

2) Masyarakat desa sangat religius, berperilaku sesuai dengan norma-norma agama yang dianut sehingga mereka lebih jujur, sabar dan ulet;

3) Menghargai atau patuh terhadap pimpinan baik formal maupun non-formal;

4) Menjunjung tinggi dan mempertahankan tradisi sehingga mereka kurang terbuka terhadap perubahan.

5) Masyarakat desa mudah diajak kerjasama untuk membangun desa, terutama pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah keseharian mereka.

Kelemahan-kelemahan masyarakat pedesaan dimaksud, meliputi:

1) Kelemahan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM, tingkat pendidikan mereka sangat rendah. Akibatnya, masyarakat desa menjadi tidak berdaya memanfaatkan atau memobilisir SDA untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sisi lain yang berkaitan dengan penyebab rendahnya kualitas SDM di pedesaan adalah terjadinya arus urbanisasi angkatan kerja muda yang memiliki pola pikir dinamis dan rasional untuk bekerja pada industri-industri

22 |

yang dipusatkan di kota. Akibatnya, SDM yang tinggal di desa adalah mereka yang pola pikirnya statis, tradisional, dan sulit mengadopsi inovasi;

2) Kemiskinan primer; yaitu suatu keadaan di mana penghasilan yang mereka peroleh dari hasil usaha tani tidak cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk hidup sebagai manusia yang layak. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian hampir tidak ada di pedesaan;

3) Posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produksi usaha tani. Mereka selalu di dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya;

4) Masyarakat desa tidak mau atau sering menolak inovasi, kalaupun ada hanya terbatas pada beberapa orang saja. Hal ini berhubungan dengan kehidupan mereka yang terikat pada tradisi. Mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah yang terbaik. Pola pikir mereka sangat lokalita.

Rekomendasi penerapan konsep adopsi inovasi peternakan terintegrasi, merupakan suatu gagasan yang dimaksudkan untuk “mengisi” ruang dalam proses pembangunan ekonomi perdesaan. Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah memberikan satu payung hukum yang jelas bagi penerapan ide-ide baru dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi desa. Dalam pasal 78 disebutkan bahwa, “Pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan

| 23

sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Secara konseptual, penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah merupakan upaya sistematis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi sumber daya ekonomi lokal, sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 78 tersebut di atas. Dengan kata lain, gagasan konseptual yang terkadung dalam buku ini, sesungguhnya dimaksudkan untuk dijakan satu role model pengembangan ekonomi perdesaan di Indonesia. Dengan harapan besar, penerapan model ini dapat menjadi satu rujukan dalam setiap aktivitas pembangunan ekonomi desa, khususnya kegiatan dalam rangka pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat desa di seluruh pelosok Indonesia.

24 |

BAGIAN - 2 : RELEVANSI TEORI DAN IM-PLEMENTASI

2.1 Adopsi: Pengertian dan Aplikasinya

Adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari satu pihak disampaikan kepada pihak lain, sampai ide tersebut diterima masyarakat sebagai pihak kedua. Adopsi juga didefinisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar dan mengetahui inovasi sampai akhirnya mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan mengadopsi inovasi atau ide baru tersebut (Rogers, 1983).

Senada dengan itu, Suprapto dan Fahrianoor (2004) mengungkapkan bahwa adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak paling baik, sehingga keputusan inovasi merupakan proses mental dan tipe pengambilan keputusan yang khas, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya, kemudian mengukuhkannya. Menurut Rogers (2003), model proses adopsi terdapat 5 tahap yang dilalui sebelum seseorang mengadopsi inovasi, yaitu: 1) sadar (awreness); 2) minat (interest); 3) menilai (evaluation);

| 25

4) mencoba (trial); dan 5) adopsi (adoption). Secara skematik, tahapan proses adopsi digambarkan sebagai berikut:

Tingkat Adopsi Indikator Tahap Adopsi

Gambar 2.1 Tingkat Adopsi dan Indikator Tahap Adopsi(sumber: Agus, 2014)

Penjelasan tingkat adopsi dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama: Tahap Sadar, yaitu sasaran telah mengetahui informasi, tetapi informasi tersebut dirasa kurang. Pada tahap ini sasaran mulai sadar adanya inovasi yang ditawarkan fasilitator, dan sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal baru yang aneh atau tidak biasa. Kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung kekeliruan, cara baru tersebut dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatannya serta dapat mengatasi kesulitan yang sering dihadapi. Tahapan mengetahui adanya inovasi dapat diperoleh seseorang dari mendengar, membaca atau melihat, tetapi pengertian seseorang tersebut belum mendalam.

Kedua: Tahap Minat, yaitu sasaran mencari informasi atau keterangan lebih lanjut mengenai informasi tersebut. Pada tahap ini sasaran mulai bertanya-tanya ingin mengetahui lebih

26 |

banyak perihal baru tersebut, dan menginginkan keterangan-keterangan lebih rinci lagi.

Ketiga: Tahap Menilai, yaitu sasaran sudah menilai dengan cara value atau bandingkan inovasi terhadap keadaan dirinya saat itu dan dimasa akan datang, serta menentukan apakah petani sasaran mencoba inovasi atau tidak. Tahap ini sasaran mulai berpikir dan menilai keterangan-keterangan perihal baru, juga menghubungkan hal baru itu dengan keadaan pribadi sasaran (kesanggupan, resiko, modal). Pertimbangan-pertimbangan atau penilaian terhadap inovasi dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu : teknis, ekonomis dan sosiologis.

Keempat: Tahap Mencoba, yaitu sasaran sudah mencoba meskipun skala kecil untuk menentukan angka dan kesesuaian inovasi atau tidak. Tahap ini sasaran sudah mulai mencoba dalam luasan atau jumlah sedikit dan sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran dan percakapan-percakapan) sepak-terjang tetangga atau instansi yang mencoba hal baru itu (dalam pertanaman percobaan atau demonstrasi).

Kelima: Tahap Adopsi atau Menerapkan, yaitu sasaran sudah meyakini kebenaran inovasi tersebut, dan dirasa bermanfaat baginya. Tahap ini sasaran menerapkan dalam jumlah atau skala lebih besar, karena sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu. Oleh karena itu sasaran menerapkan anjuran secara luas dan berkelanjutan (continue), sehingga dapat saja sesuatu tahap dilampaui karena tahap tersebut dilaluinya secara mental, tidak semua orang mempunyai waktu, kesempatan, ketekunan, kesanggupan dan keuletan sama untuk menjalani, kadang-kadang mengulangi proses adopsi sampai akhir dan mendapat kesuksesan.

| 27

Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau penggunaan suatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi melalui penyuluhan. Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya. Adopsi dalam penyuluhan pada hakekatnya diartikan sebagai proses penerimaan inovasi atau perubahan perilaku, berupa: pengetahuan, sikap, keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada petani atau masyarakat sasarannya.

Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang sejak mengenal inovasi sampai memutuskan mengadopsinya setelah menerima inovasi. Dalam adopsi inovasi, terdapat 5 (lima) kategori perbedaan individu atau kelompok yang harus diperhatikan, yaitu:

Pertama: Para pembaharu atau pioner/perintis (innovators), mereka paling cepat mengadopsi inovasi dalam masyarakat. Mereka tergolong proaktif dan senang mencari ide-ide dan gagasan baru yang relevan, serta aktif mencoba menerapkan metode baru itu dalam lingkungan sosialnya. Menjadi inovator perlu beberapa persyaratan, antara lain harus mempunyai sumber keuangan cukup kuat, karena suatu kali mungkin mereka akan menderita kerugian sebab inovasi tidak berhasil. Selain itu, harus memiliki kemampuan daya pikir yang cerdas untuk dapat menerapkan dan memahami pengetahuan teknik yang rumit. Nilai paling menonjol dari inovator adalah pemberani karena senang menyerempet bahaya, berani mengambil resiko dan seorang

28 |

petualang (Rogers dan Shoemaker, 1971).

Tingkatan adopsi inovator biasanya seseorang yang memiliki kedudukan penting atau terkadang seseorang pemimpin yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Kelompok ini prosentasenya sangat kecil, sekitar 2,5% sebagai individu pertama mengadopsi inovasi, dengan ciri-ciri pribadi: petualang, berani ambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.

Kedua: Para adopter awal atau pelopor (early adopters), orang-orang yang tergolong cepat mengikuti kelompok inovator. Mereka kelompok rasional yang telah melihat beberapa perubahan kearah lebih baik, namun selalu mempertimbangkan keputusannya dan berfikir kritis ketika telah memutuskan suatu keputusan, sehingga keputusan tersebut sudah benar diyakini dan mantap untuk segera diaplikasikan. Pelopor biasanya meneliti terlebih dahulu inovasi sebelum memutuskan menggunakannya, kelompok ini seringkali terdiri para pemuka pendapat. Anggota sistem sosial lainnya calon adopter biasanya mencari pelopor ini, untuk meminta nasehat dan keterangan mengenai suatu inovasi. Kelompok tersebut umumnya dicari para agen pembaru untuk menjadi teman penyebaran inovasi dalam mempercepat proses adopsi, karena pelopor atau adopter pemula ini tingkat keinovatifannya tak jauh berbeda dengan rata-rata anggota sistem lain, ia cocok menjadi modal tauladan bagi sebagian besar anggota sistem (Rogers dan Shoemaker, 1971).

Tingkatan adopsi early adopters merupakan seseorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab penuh atas semua keputusannya, karena dapat berpangaruh pada pengikutnya. Kelompok ini kira-kira 13,5% dari total yang menjadi perintis penerimaan inovasi, ciri-cirinya: para teladan (pemuka pendapat),

| 29

orang dihormati, akses di lingkungannya tinggi.

Ketiga: Para kelompok mayoritas awal atau pengikut dini (early mayority), yaitu kelompok kebanyakan yang mau meniru cara baru apabila telah benar-benar berhasil. Mereka menerima ide-ide baru setelah banyak berinteraksi dengan anggota sistem lainnya yang berhasil, karena tidak mau mengambil resiko dan cenderung mengadopsinya secara massal. Penganut dini biasanya jarang ada diantara mereka untuk memegang posisi kepemimpinan. Sebelum menerima inovasi penganut dini terlebih dahulu berulangkali mempertimbangkannya (Rogers dan Shoemaker, 1971).

Tingkatan adopsi early majority adalah seseorang yang cerdas, terbuka terhadap hal-hal baru tetapi tidak terlalu berfikiran kritis dan penuh pertimbangan. Segala sesuatu hanya berfikir disisi positifnya atau dapat dikatakan selalu mengikuti trend terbaru yang sedang popoler, orang tersebut bukan seorang pemimpin tetapi pengikut yang senang dengan hal-hal baru. Kelompok ini berjumlah kirakira 34% yang menjadi para pengikut awal, ciri-cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.

Keempat: Kelompok mayoritas akhir atau pengikut akhir (late mayority), kelompok massal umumnya ragu terhadap pengetahuan baru, mereka cenderung skeptis walaupun akhirnya mau menerima inovasi tersebut setelah sebagian besar anggota sistem sosial melakukannya. Pengadopsian tersebut mungkin terjadi karena kepentingan ekonomi atau bertambah kuatnya tekanan sosial, intinya baru percaya pada ide baru jika norma-norma sistem jelas-jelas menerima inovasi itu (Rogers dan Shoemaker, 1981). Tingkatan adopsi late majority adalah orang-orang yang tergolong kurang tanggap terhadap munculnya suatu

30 |

inovasi, jika sudah banyak masyarakat menggunakan inovasi tersebut terbukti baik dan aman untuk digunakan akhirnya baru ikut gunakan inovasi tersebut. Kelompok ini kira-kira 34% menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi, ciri-cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati.

Kelima: Adopter akhir atau kolot (laggard adopters), kelompok sangat skeptis dan senantiasa resisten terhadap perubahan. Mereka sangat tradisional dalam berpikir, cenderung menolak dan mengadakan “perlawanan” terhadap inovasi yang ditawarkan. Sehingga merupakan orang paling akhir mengadopsi suatu inovasi, hampir tidak ada diantara mereka ini menjadi pemuka pendapat.

Mereka paling sempit pandangan dan wawasannya diantara semua kelompok adopter, banyak diantaranya hampir terasing. Referensi bagi kelompok laggard adalah masa lalu, keputusan yang dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang dilakukan generasi masa lalu (Rogers dan Shoemaker, 1971). Tingkatan adopsi laggards/avoiders adalah sesorang bersikap tertutup terhadap hal-hal baru, dapat juga dikatakan seorang fanatik terhadap cara yang sudah ada sebelumnya atau senang dengan cara lama, terlalu kriktis terhadap hal-hal baru, tidak antusias dalam menggunakan teknologi baru, dan orang tersebut akan menggunakan/mengikuti sebuah inovasi jika adanya suatu tekanan dan semua orang sudah lama menggunakannya. Kelompok ini kira-kira 16 %, ciri-cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders, sumber daya terbatas.

| 31

Gambar 2.2. Pengkategorian Adopter berdasarkan Keinovatifan

Kondisi riil dilapangan, tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat akan menjumpai berbagai kelompok sebagaimana klasifikasi di atas. Oleh karena itu, penting bagi tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat untuk bisa mengenal dan memahami karakteristik dari masing-masing kekompok adopter tersebut.

Proses adopsi inovasi pada umumnya tidak berjalan mulus dan tanpa hambatan. Setiap suatu ide baru pertama kali diperkenalkan ke tengah-tengah masyarakat, seringkali akan ditemukan berbagai hambatan dalam proses sosialisasinya. Para tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat juga harus mengenali hambatan-hambatan tersebut. Menurut Mosher (1970) terdapat 3 (tiga) hambatan utama yang berpotensi timbul dalam proses adopsi inovasi, yaitu hambatan sifatnya:

1) mental block barriers, yaitu hambatan yang lebih disebabkan sikap mental, seperti: a) salah persepsi atau asumsi; b) cenderung berpikir negatif; c) dihantui kecemasan dan kegagalan; d) tidak mau mengambil resiko terlalu dalam; e) malas; f) saat ini berada pada daerah “nyaman dan aman”; g) cenderung resisten atau menolak

32 |

terhadap setiap perubahan;

2) culture block (hambatan budaya), hal ini lebih dilatar-belakangi: a) adat yang sudah mengakar dan mentradisi; b) taat terhadap tradisi setempat; c) ada perasaan berdosa bila merubah “tatali karuhun”;

3) social block (hambatan sosial), yaitu hambatan inovasi sebagai akibat dari faktor sosial dan pranata masyarakat sekitar, antara lain: a) perbedaan suku dan agama ataupun ras; b) perbedaan sosial ekonomi; c) nasionalisme yang sempit; d) arogansi primordial; e) fanatisme daerah yang kurang terkontrol.

Berbagai hambatan tersebut, sangat mungkin “melekat” pada masyarakat Indonesia yang ada di wilayah pedesaan dan pinggiran, khususnya kelompok masyarakat yang bertumpu aktivitas sosial ekonomi pada sektor pertanian dan peternakan. Oleh karena itu, seorang tenaga fasilitator pemberdayaan dituntut mampu merumuskan suatu kerangka pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan dan hambatan-hambatan tersebut.

2.2 Apa itu Inovasi ??

Inovasi adalah gagasan, praktek, atau benda yang dianggap atau dirasa baru oleh individu. Definisi ini menjadi kata penting, karena kemungkinan suatu ide, praktek atau benda dianggap sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak dan tergantung apa yang dirasakan individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut (Rogers, 1962). Kata baru di sini bukan berarti harus suatu ide yang baru muncul, tetapi lebih

| 33

pada ide baru dan dianggap baik untuk diperkenalkan ke suatu sistem sosial tertentu. Kata baru yaitu inovasi pada suatu sistem sosial yang belum diputuskan sikapnya, apakah menerima atau menolak.

Inovasi merupakan perubahan sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan diamati sebagai sesuatu yang baru bagi sekelompok orang (Zaltman dan Duncan, 1973). Inovasi bukan merupakan kegiatan satu kali pukul (one time phenomenon) melainkan suatu proses panjang dan komulatif, meliputi banyak proses pengambilan keputusan di dan oleh organisasi dari mulai penemuan gagasan sampai implementasinya di pasar (Kuniyoshi Urabe, 1988).

Pengembangan dan implementasi inovasi dimaksudkan sebagai gagasan baru oleh orang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu, melakukan transaksi dengan orang lain dalam suatu tatanan organisasi (Van de Ven dan Andrew, 2007). Proses pengembangan inovasi, terbuka kemungkinan terjadinya perubahan (re-invention) atau modifikasi dan para penerima inovasi berperan secara aktif.

Inovasi telah banyak diciptakan dan disosialisasikan sebagai suatu ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, perilaku, dan kreativitas yang ditujukan pada upaya penciptaan nilai yang manfaatnya dirasakan sebagai sesuatu yang lebih menguntungkan. Namun faktanya belum banyak diketahui, diterima, digunakan dan diterapkan atau dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalita tertentu. Padahal inovasi dapat digunakan untuk mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat, untuk terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu dan

34 |

seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut Mardikanto (2010) menjelaskan bahwa substansi inovasi terdapat 3 (tiga) perbedaan materi komunikasi pembangunan, yaitu: 1) materi dalam pemecahan masalah yang sedang dan akan dihadapi; 2) materi tentang petunjuk atau rekomendasi yang harus dilaksanakan; dan 3) materi yang bersifat instrumental.

Keberhasilan pengembangan inovasi sebagai penemuan gagasan sampai penerapannya dapat berjalan melalui proses adopsi sebagai ide baru, praktek baru, atau obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru. Sesuatu dinilai sebagai hal baru atau sesuatu yang dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalita tertentu (Rogers et al., 1982). Dalam Teori Rogers (1983), di kemukakan 5 (lima) karakteristik inovasi, yaitu:

1) keuntungan relatif (relative advantage), yakni tingkat kelebihan suatu inovasi dari yang ada sebelumnnya, biasanya diukur dari segi ekonomi, prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan. Semakin besar keuntungan relatif dirasakan adopter, semakin cepat inovasi tersebut diadopsi;

2) kompatibilitas (compatibility), yaitu tingkat keserasian dengan nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhan yang ada. Jika inovasi berlawanan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut adopter, maka inovasi baru tersebut tidak dapat diadopsi dengan mudah;

3) kompleksitas (complexity), yaitu tingkat kerumitan dari suatu inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit memahami dan menggunakan inovasi. Semakin mudah inovasi

| 35

dimengerti dan dipahami adopter, semakin cepat inovasi diadopsi;

4) triabilitas (triability), yaitu merupakan tingkat suatu inovasi dapat dicoba terlebih dahulu, atau harus terikat untuk digunakannya. Untuk lebih mempercepat proses adopsi maka inovasi harus mampu menunjukkan keunggulannya, suatu inovasi yang dapat diuji-cobakan pada keadaan sesungguhnya, inovasi umumnya lebih cepat diadopsi;

5) dapat diobservasi (observability), adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan suatu inovasi dapat dilihat orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil suatu inovasi, semakin besar kemungkinan inovasi dapat diadopsi untuk pengembangan kegiatan usaha yang lebih menguntungkan.

Pendapat lain yang selaras, menurut Mannan dan Nordin (2004) bahwa karakteristik inovasi yang sangat mempengaruhi derajat adopsi, yaitu:

Pertama: adanya keuntungan relatif (relative advantages), artinya sampai sejauh-mana suatu inovasi yang diperkenalkan memberi manfaat dan keuntungan bagi perorangan atau masyarakat yang akan mengadopsinya. Keuntungan relatif ini dapat diamati tidak hanya dari kajian atau aspek ekonomi dan sosial saja, tetapi juga dari aspek lainnya seperti budaya dan teknologi. Suatu inovasi yang diyakini memiliki kemungkinan peluang keuntungan relatif yang sengat tinggi, maka semakin tinggi pula kemungkinan percepatan adopsi tersebut oleh masyarakat.

36 |

Kedua: memiliki kekompakan dan kesepahaman (compatibility), artinya sejauh-mana suatu inovasi dapat sejalan dan kompak dengan sistem nilai yang ada, ataupun sejalan dengan pengalaman masa lalu masyarakat yang akan mengadopsinya.

Ketiga: memiliki derajat kompleksitas (complexity) tertentu, artinya sejauh-mana derajat kompleksitas, kesukaran dan kerumitan suatu produk inovasi dirasakan masyarakat. Semakin kecil derajat kerumitan atau semakin gampang dicerna dan dipahami suatu hasil inovasi, maka semakin besar kemungkinannya untuk diadopsi oleh persorangan atau masyarakat.

Keempat: dapat dicobakan (trialability), artinya sejauh-mana suatu inovasi dapat diujicobakan keandalan dan manfaatnya. Hasil inovasi dapat dengan “gampang” diadopsi, manakala hal tersebut dapat dilihat dan diuji-cobakan melalui pengalaman lapangan. Misalnya, ketika jagung hybrida sebagai produk inovasi pertanian, maka jagung jenis unggulan ini dapat dengan mudah diadopsi karena jagung varietas unggulan ini dapat diuji langsung oleh para petani di lahan pertanian mereka.

Kelima: Dapat diamati (observability), yaitu sampai sejauh mana suatu hasil inovasi dapat diamati semakin gampang suatu hasil inovasi diamati, maka akan semakin tinggi peluang hasil inovasi dapat diadopsi.

2.3 Integrasi Vertikal dan Horizonal Usaha

Produktif

Secara natural, masyarakat Indonesia di daerah pedesaan dan pinggiran sebenarnya sudah terbiasa dengan

| 37

aktivitas sosial ekonomi berbasis pertanian dan peternakan. Sebagai masyarakat yang jauh dari “kemeriahan” aktivitas pabrik pada industri-industri di perkotaan, penduduk wilayah pedesaan dan pinggiran sudah terlatih untuk memanfaatkan berbagai potensi ekonomi lokal yang ada di daerahnya masing-masing. Namun demikian, untuk mencapai target kedaulatan dan kemandirian pangan secara nasional sebagaimana menjadi salah satu agenda prioritas dan kebijakan strategis pembangunan ekonomi nasional, sifat “lumrah” yang dimiliki dalam aktivitas sosial ekonomi masyarakat pedesaan dan pinggiran di Indonesia tidak bisa terlalu banyak diharapkan. Pemerintah harus pro-aktif melakukan berbagai terobosan kebijakan pembangunan, guna terwujudnya Nawa Cita yang telah menjadi narasi dan konsepsi pembangunan kita, khususnya pada sektor ekonomi primer seperti pertanian dan peternakan.

Berkaitan dengan hal ini, Rangkuti (2009) menjelaskan bahwa kebijakan pencapaian kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan telah mewarnai program dan kegiatan sektor pertanian sejak tahun 1970-an, disadari bahwa peranan pangan bukan hanya sebagai komoditas ekonomi tetapi menjadi persoalan sosial bahkan politik. Kondisi kritis akibat kekurangan pangan dan gizi dapat membahayakan stabilitas nasional dan meruntuhkan pemerintahan sedang berkuasa, karenanya pangan sebagai kebutuhan dasar harus dapat dipenuhi setiap saat mengikuti pertambahan populasi dan perkembangan pola konsumsi masyarakat.

Pernyataan senada disampaikan Alimoeso (2008), bahwa pencapaian kemandirian, kedaulatan dan ketahanan pangan memerlukan dukungan kebijakan pemerintah untuk mempercepat pemenuhan pangan bagi negara sampai dengan

38 |

perseorangan, yaitu pengembangan produksi beraneka ragam pangan dengan kemampuan dari dalam negeri. Saat ini usaha pertanian yang dilakukan masyarakat umumnya pada lahan sempit dengan aksesibilitas dan sarana prasarana terbatas, maka sulit bagi masyarakat meningkatkan produktivitas dan kualitas secara efisien. Hal ini akan berpengaruh pada pemenuhan pangan untuk kebutuhan konsumsi maupun industri sebagai sasaran pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun demikian, aktivitas sosial ekonomi masyarakat pertanian dan peternakan di Indonesia bukanlah tanpa hambatan. Persoalan yang dihadapi petani perdesaan adalah rendahnya akses dan kemampuan memperoleh informasi dalam pengembangan budidaya yang sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, kualitas produk, nilai tambah dan daya saing. Informasi tersebut bagi petani sangat diperlukan untuk menambah pengetahuan dan kemampuan teknis pengelolaan usaha pertanian dan peternakan secara efektif dan efisien, seiring perkembangan teknologi dan kebutuhan pangan yang semakin meningkat. Untuk mendukung tercapaianya sasaran tersebut, maka dibutuhkan sebuah sistem yang memudahkan petani dalam mengadopsi sebuah inovasi, yang mampu meningkatkan kompetensi para petani di perdesaan.

Adopsi dan penyebaran inovasi peternakan terintegrasi akan sangat membantu mempercepat transfer teknologi, dan membuat produk inovasi lebih bernilai tambah dan berdaya saing secara ekonomi. Kegiatan yang memiliki keterkaitan dalam proses produksi dapat dilakukan suatu bentuk pengintegrasian secara vertikal dan horizontal sebagai strategi meningkatkan efisiensi, sehingga produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif.

| 39

Secara sederhana, integrasi vertikal adalah suatu bentuk penyatuan beberapa tahapan produksi di dalam satu unit usaha yang pada dasarnya masing-masing tahapan produksi tersebut dapat dilaksanakan beberapa organisasi secara terpisah. Integrasi vertikal dibagi menjadi dua jenis, yaitu integrasi ke hulu (up-stream) dan integrasi ke hilir (down-stream). Integrasi ke hulu adalah jenis integrasi vertikal dimana perusahaan yang terintegrasi memproduksi sendiri input yang dibutuhkannya, sedangkan integrasi ke hilir adalah perusahaan yang memutuskan menyalurkan output yang dihasilkan kepada konsumen melalui perusahaan yang terintegrasi dengannya (Hasibuan, 1993).

Kegiatan integrasi horizontal adalah penggabungan beberapa kegiatan yang memiliki proses produksi sama dan produk dihasilkan serupa atau menambahkan produk dan jasa pelayanan baru, tetapi tidak saling berhubungan untuk ditawarkan kepada konsumen yang ada sekarang. Strategi integrasi horizontal digunakan untuk memperluas kegiatan lini produk atau membangun di lokasi lain, tujuannya meningkatkan jenis produk dan jasa. Perusahaan melakukan integrasi horizontal dapat memperluas pasar, fasilitas produksi maupun teknologi, melalui pengembangan internal maupun eksternal melalui akuisisi, joint venture dengan perusahaan lain dalam industri yang sama (Rangkuti, 2006).

2.4 Adopsi Inovasi pada Dunia Peternakan-

Pertanian

Adopsi inovasi di bidang peternakan dan pertanian pada dasarnya menyangkut proses pengambilan keputusan oleh pengguna teknologi, atau ide-ide baru untuk menerima atau menolak dalam mengembangkan usaha taninya (Soekartawi,

40 |

1993). Penerapan inovasi berkaitan dengan sumber informasi yang didapatkan, ketidak-tahuan peternak menyebabkan tidak/belum diterapkannya inovasi yang direkomendasikan. Tidak semua peternak selalu berusaha mencari informasi, sedangkan sumber-sumber informasi yang ada belum berfungsi secara intensif dalam menyebarkan informasi (Bariroh dan Dhyani, 2006). Penerapan teknologi dipengaruhi tingkat pendidikan secara tidak langsung melalui sikap petani terhadap teknologi, serta pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir, perilaku atau sikap dalam penerapan teknologi (Azwar, 2002).

Adopsi terhadap perubahan kondisi hanya mungkin dilakukan melalui aplikasi yang cepat dari inovasi (Atsan et al., 2009; Ozkaya et al., 2005). Salah satu gejala paling mempengaruhi dunia saat ini adalah perkembangan teknologi berubah cepat, maka teknik dan metode produksi dan pengolahan perlu ditingkatkan terus menerus dalam setiap tahap pengelolaan sumber daya peternakan dan pertanian. Walaupun inovasi teknologi yang disajikan kepada petani sudah tak terhitung jumlahnya (Tatlıdil, 1997).

Pengembangan peternakan terintegrasi merupakan inovasi pengetahuan dan kemampuan teknis pengelolaan sumber daya lokal yang mengintegrasikan budidaya ternak dan tanaman, berorientasi usaha ramah lingkungan (zero waste) sesuai potensi wilayah pengembangan. Peternakan yang tangguh dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan, serta mendorong daya beli masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi dan pemupukan modal untuk pengembangan usaha produktif lainnya. Sehingga memberi manfaat besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan dan wilayah pinggiran, berkontribusi dalam mendukung ketahanan pangan nasional, serta mencegah

| 41

urbanisasi dan deformasi struktural. Dampak lain, muncul penyedia produk kebutuhan dasar dan investasi, meningkatnya produktivitas dan daya beli masyarakat serta perluasan aktivitas ekonomi maka secara agregat dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Model pengelolaan peternakan terintegrasi yang diterapkan sesuai konsepnya dapat meningkatkan nilai tambah secara ekonomi, menumbuhkan kegiatan produktif sebagai usaha baru dan membuka peluang kesempatan kerja sehingga terwujud peningkatan kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Penerapan konsep pengelolaan yang memadukan manajemen sumber daya alam dan sumber daya manusia dimaksud, dapat diperoleh masyarakat secara empiris melalui “adopsi inovasi”, yaitu berupa penerapan nilai-nilai dan pengalaman individu atau kelompok sebagai inovator, motivator, dinamisator dan katalisator masyarakat dalam pengembangan peternakan dan potensi sumber daya lokal lainnya.

2.5 Pengembangan Sumber Daya Berbasis Kawasan

Kawasan perdesaan perlu dibangun dengan pendekatan yang sesuai sifat dan cirinya, jika 4 (empat) upaya strategi pokok pembangunan perdesaan dilakukan maka kegiatan satu dengan lainnya saling berkaitan atau bersinergi. Strategi yang dimaksud ialah antara lain:

1) Memberdayakan ekonomi masyarakat desa; upaya ini perlu dukungan “input” modal, bimbingan pemanfaatan teknologi dan pemasaran untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Dalam konteksi ini informasi dari luar, seperti adopsi inovasi sangat dibutuhkan;

42 |

2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia perdesaan, agar memiliki dasar memadai untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini sangat membutuhkan inovasi atau informasi dari luar dan proses adopsi untuk menyebarkan informasi ke dalam lingkungan tersebut;

3) Pembangunan sarana prasarana di pedesaan, prasarana perhubungan merupakan kebutuhan mutlak untuk memacu ketertinggalan masyarakat perdesaan; dan

4) Membangun kelembagaan perdesaan bersifat formal maupun non-formal, serta kelembagaan untuk terciptanya pelayanan yang memacu perekonomian perdesaan seperti lembaga keuangan (Syahza, 2007).

Keberhasilan pembangunan suatu kawasan akan berdampak terhadap perkembangan ekonomi dan perubahan sosial pada wilayah tersebut, yakni proses tranformasi dari suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern meliputi aspek multi-dimensional. Pembangunan ekonomi bukan berarti hanya perubahan struktur ekonomi suatu daerah, tetapi juga ditunjukkan oleh peranan sektor pertanian dan peranan sektor industri yang seimbang.

Pembangunan kawasan berdaya saing atas produk yang dikembangkan, ditentukan oleh penetapan lokasi strategis. Von Tunnen menjelaskan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan (land use). Pemilihan lokasi sangat penting peranannya dalam pengembangan produk peternakan dan pertanian, karena pola penggunaan lahan untuk masing-masing segmen kegiatan dalam suatu wilayah mempengaruhi arah dan fungsi pengembangannya. Seperti sewa

| 43

lahan akan semakin tinggi apabila jarak pusat produksi dengan pasar mengecil (dekat), demikian sebaliknya (Adisasmita, 1982).

2.6 Kerangka Teori: Invensi dan Komparasi

Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, dimana merupakan suatu studi komparasi teoritik atas beberapa pendapat dan rujukan ilmiah dari para ahli, maka selanjutnya ialah tahap perumusan kerangka konseptual perihal hasil temuan (invention) atas pengamatan secara sistematis pada proses pemberdayaan masyarakat. Invensi yang dimaksud adalah kerangka alur yang menjelaskan proses bagaimana inovasi baru disampaikan dan dikomunikasikan melalui sebuah pola dalam saluran tertentu sepanjang waktu kepada masyarakat dari sistem sosial.

Adopsi sebagai penyebaran informasi atau inovasi berasal dari luar lingkungan atau komunitas, kemudian salah seorang yang “ditokohkan” dari dalam lingkungan tersebut menyampaikan inovasi yang didapatkan dari sumber luar kepada orang lain yang berada dalam satu lingkungan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses adopsi inovasi merupakan sebuah bagian proses perubahan sosial atau proses tempat perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Adopsi inovasi juga sebagai peran komunikasi dapat mengubah masyarakat secara luas, melalui penyebaran ide-ide dan hal baru secara terus menerus.

Proses inovasi dibagi dalam empat unsur pokok, yaitu:

1) inovasi merupakan gagasan, tindakan baru, ide-ide baru yang memiliki lima sifat inovasi. Yaitu: manfaat, tepat guna, mudah dipahami, dapat dicoba, dan dapat dilihat

44 |

serta semuanya dapat diadopsi;

2) saluran komunikasi merupakan media pertukaran informasi mengenai inovasi, lebih mudah dekat, mudah akrab, bahkan mudah menerima informasi dari orang yang memiliki kesamaan;

3) jangka waktu menunjukkan berapa lama rentang waktu dalam mengambil sikap untuk memutuskan sebagai pengguna awal, tengah, atau pengguna akhir;

4) sistem sosial bergabung dalam sebuah kerjasama untuk memecahkan permasalahan.

Inovasi dapat diartikan sebagai sesuatu yang baru dalam situasi sosial tertentu, untuk menjawab dan memecahkan permasalahan dengan meningkatkan nilai tambah. Persepsi petani yang melakukan maupun tidak melakukan adopsi inovasi terhadap pengaruh informasi interpersonal, berpengaruh positif atau nyata terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi.

Hasil dari suatu inovasi, selanjutnya akan disebarluaskan oleh para fasilitator pemberdayaan masyarakat. Fasilitator pemberdayaan merupakan sumber informasi yang dipercaya petani-peternak adopter, tetapi bukan pengurus kelompok tani dan petani non-adopter. Sumber informasi yang dipercaya adalah sesama petani-peternak termasuk ketua kelompok dan tokoh masyarakat, sumber informasi inter-personal dinilai petani-peternak sebagai narasumber yang dapat dipercaya dan informasi relevan dengan kebutuhan.

Proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi di Desa Argorejo dan Argosari, dengan fokus bahasan mengamati

| 45

“fenomena sosial” masyarakat dalam menyerap inovasi yang dikembangkan dalam program pemberdayaan masyarakat tersebut. Pengembangan peternakan terintegrasi merupakan model strategis dalam pengelolaan potensi sumber daya lokal menjadi ekonomi riil yang dikelola masyarakat, dampaknya mendorong berbagai kegiatan usaha produktif berkelanjutan, meningkatkan pendapatan dan memperluas lapangan kerja untuk kesejahteraan masyarakat setempat.

Pengembangan peternakan berdaya saing memerlukan introduksi teknologi baru, adopsi inovasi terhadap perubahan cara pengelolaan yang efektif dan efisien dapat meningkatkan: produktivitas, nilai tambah dan peningkatan pendapatan petani dan peternak serta mampu melakukan saving untuk investasi pengembangan usaha berdaya saing. Prinsip dasar pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal adalah besar kecilnya keuntungan yang diperoleh sangat tergantung:

1) pola pemeliharaan ternak yang dilakukan;

2) kemampuan peternak dalam penguasaan teknologi tepat guna;

3) pengalaman dan keterampilan memadai dalam memilih alernatif model pengembangan peternakan terbaik.

Peningkatan produktivitas yang terjadi dapat meningkatkan daya beli masyarakat, secara agregat mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui perluasan aktivitas ekonomi karena meningkatnya penyediaan produk kebutuhan dasar sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Pengembangan peternakan terintegrasi dengan pendekatan kawasan, sangat diperlukan untuk mendorong

46 |

pengembangan potensi sumber daya unggulan lokal lainnya seperti pertanian terpadu dan kawasan ekonomi hijau lainnya di perdesaan.

Kemajuan bidang peternakan dan pertanian mempunyai peranan penting, antara lain dalam rangka:

1) penyediaan bahan pangan bagi penduduk, hal ini akan menjamin setiap penduduk agar tidak kekurangan bahan pangan pokok dan menghemat devisa kerena impor bahan pangan dapat dihindari;

2) peningkatan produktivitas peternakan dan pertanian akan mengembangkan berbagai kegiatan bio-industri, pasar industri penyediaan sarana dan prasarana pendukung, modernisasi pengembangan usaha peternakan dan pertanian;

3) kenaikan pendapatan petani akan memperluas pasar industri barang-barang konsumsi;

4) Kenaikan pendapatan di bidang peternakan dan pertanian akan menciptakan tabungan yang dapat digunakan untuk berbagai bidang usaha produktif dan prospektif lain (terutama industri), sehingga meningkatkan investasi pengembangan peternakan.

Berdasarkan konseptualisasi dan karakteristik, kebijakan konsep pendekatan kawasan akan diformulasikan, diimplementasikan, dan dievaluasi oleh kewenangan atau otoritas yang berbeda dalam suatu sistem politik yang dapat saja sebagai anggota legislatif, eksekutif, ataupun administrator. Pada kenyataannya kebijakan publik selalu menjadi subjek yang akan

| 47

diubah-ubah berdasarkan informasi yang lebih baru dan lebih baik, berkaitan dari efek yang timbul dari kebijakan tersebut.

Inovasi teknologi sistem integrasi ternak-tanaman pangan dalam suatu sistem usaha peternakan terintegrasi, untuk berbagai agro-ekosistem telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi usaha produktif berbasis sumber daya unggulan lokal. Hal tersebut dikarenakan fungsi dan peran ternak dalam penyediaan daging, tenaga kerja untuk mendukung pengolahan lahan pertanian, pemanfaatan limbah untuk pupuk, biogas, dan peningkatan keuntungan merupakan teknologi ideal dalam pengembangan peternakan terintegrasi.

Adopsi inovasi seperti inseminasi artifisial, silase, pakan komplit, pupuk kompos, bio-urine dan biogas telah lama diketahui peternak. Namun dalam pemanfaatan teknologi baru tersebut, belum seluruhnya diterapkan dalam proses pengembangan usaha peternakan. Hal tersebut sangat dipengaruhi situasi, kondisi sosial dan ekonomi peternak serta ketersediaan dana dan waktu yang dimiliki.

Sebagai bahan perbandingan (comparison), gambar berikut menunjukan satu alur pengolahan dan pemanfaatan beberapa input yang merupakan output dari sektor pertanian terintegrasi berbasis Agro-Techno Park yang dirilis Bappenas (2017).

48 |

Gambar 2.3. Konsep Model Kegiatan usaha agro terintegrasi berbasis AgroTechno Park (Bappenas, 2017)

Kelemahan dasar dari konsep ini ialah terletak pada positioning sektor peternakan yang belum maksimal untuk mampu dijadikan satu aktivitas ekonomi yang menguntungkan. Posisi sektor peternakan masih berada di bawah sektor pertanian dan dipandang sebagai sub-sektor. Ide utama yang digagas dalam konsep pengembangan Peternakan-Pertanian terintegrasi adalah menjadikan sektor peternakan sebagai leading dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan beragam sumber daya ekonomi potensial dalam proses produksi.

Gambar 2.4. Konsep Model Integrated Farming System (IFS) pada Kawasan Konservasi (diolah dari berbagai sumber, 2017)

| 49

Selain konsep agro-techno park, dalam diskursus akademik juga sudah dikenal satu konsep yang disebut Integrated Farming System (IFS). Sistem pertanian terpadu (IFS) adalah sistem pengelolaan (usaha) yang memadukan komponen pertanian, seperti tanaman, hewan dan ikan dalam suatu kesatuan yang utuh. Definisi lain menyatakan, SPT adalah suatu sistem pengelolaan tanaman, hewan ternak dan ikan dengan lingkungannya untuk menghasilkan suatu produk yang optimal dan sifatnya cenderung tertutup terhadap masukan luar (Preston, 2000).

Kedua model pengembangan tersebut di atas belum secara aktif memperhatikan pemanfaatan terknologi dalam prose pengelolaanya. Peranan aktif masyarakat lokal dengan berbagai identitas kultural budayanya yakni kearifal lokal (local wisdom) masing-masing daerah juga kurang diperhatikan. Di samping itu juga, model pendekatan “pem-berdaya-an” yang tidak digunakan, dimana penekanan pada model penerapan Top Down dalam pelaksanaanya, juga kurang memperhatikan unsur swadaya dan partisipasi aktif dari masyarakat lokal dalam memberikan respon dan penilainya atas suatu konsep program.

Konsep pengembangan peternakan-pertanian terintegrasi dengan strategi zero waste dalam model Bio-Cycle Farming selanjutnya diharapkan akan menjadi satu bahan atau materi pemberdayaan masyarakat untuk berbagai wilayah di Indonesia, khususnya wilayah-wilayah pedesaan dan pinggiran dimana masyarakatnya banyak melakukan aktivitas sosial ekonomi dengan bertumpu pada sektor peternakan dan pertanian. Proses introduksi dan sosialisasi dari konsep pengembangan peternakan-pertanian terintegrasi ini secara teknikal, akan dilakukan oleh para fasilitator pemberdayaan yang telah melalui suatu proses pelatihan dan tahapan diseminasi.

50 |

Tenaga fasilitator ini, diharapkan mampu menjadi penyuluh dan sekaligus pendamping yang mampu menerapkan best practise dalam pelaksanaan adopsi inovasi dan proses integrasi pengembangan usaha ekonomi pertanian-peternakan dengan pendekatan “Total Solution”, baik secara vertikal dari hulu ke hilir, maupun secara horizontal antar “sesama” pelaku usaha di sektor pertanian-peternakan.

Contoh best practise yang dicapai dalam program pemberdayaan berlokasi di Desa Argorejo dan Argosari, Kecamatan Sedayu-Bantul, menarik untuk menjadi bahan kajian. Buku di hadapan anda ini disusun berdasarkan temuan ilmiah yang diangkat dari sebuah karya disertasi tentang konsep baru dalam pengembangan output peternakan-pertanian pada kedua desa tersebut. Konsep baru dimaksud adalah tentang model adopsi inovasi pada kegiatan sosial-ekonomi berbasis peternakan yang terintegrasi, tanpa meninggalkan identitas asli masyarakat lokal dengan menuntun perilaku masyarakat lebih produktif dalam mengembangkan usaha ekonominya dengan skala yang lebih besar dan bernilai tambah tinggi.

Proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi ini, dapat dilakukan dengan tanpa meninggalkan kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia, khususnya pada daerah yang memiliki karakteristik dan kultur sosial ekonomi yang sama dengan masyarakat di Kabupaten Bantul-Yogyakarta. Sekali lagi, kalau ke depan model pengembangan dan peningkatan hasil pangan serta energi ini dapat diterapkan secara massal dan konsisten, bukan mustahil problem masalah kelangkaan bahan pangan dapat dituntaskan, seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga akan meningkat secara agregatif.

| 51

2.7 Tahapan eksekusi kebijakan

Aspek paling prinsip dan krusial dari suatu konsep baru ialah terletak pada sisi penerapannya dalam praktek riil di lapangan. Pada tahapan ini, penerapan suatu konsep akan teruji apakah konsep baru tersebut “kompatibel” dengan kultur sosial ekonomi masyarakat dimana proses adopsi inovasi tersebut akan diterapkan. Inilah tahap implemantasi kebijakan.

Teori Jones (1977) menjelaskan implementasi kebijakan merupakan proses dinamis yang melibatkan secara terus menerus dalam upaya mencari apa yang akan dan dapat dilakukan, serta mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program kedalam tujuan kebijakan yang diinginkan (Tangkilisan, 2003). Jones menganalisis implementasi kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan fungsional, teori ini mengemukakan beberapa dimensi serta implementasi dari program pemerintah mengenai yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi dan membahas aktor yang terlibat dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor.

Sementara itu menurut Patton dan Sawicki (1993), implementasi kebijakan berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, pada posisi ini seorang fasilitator pemberdayaan mengatur cara mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang diseleksi. Mengorganisir individu ataupun kelompok masyarakat agar mampu mengatur secara efektif dan efisien, sumber daya unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program dan melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah dalam realisasi

52 |

program.

Nakamura dan Frank (1980) menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah, kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan bersifat khusus. Pressman dan Wildavsky (1984) berpendapat implementasi kebijakan diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut atau kemampuan menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

Implementasi kebijakan sangat dipengaruhi 4 (empat) variabel saling berhubungan, yaitu: 1) komunikasi; 2) sumber daya; 3) disposisi, dan 4) struktur birokrasi. Sedangkan keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel besar, yakni: 1) isi kebijakan; dan 2) lingkungan implementasi (Subarsono, 2005).

Peran pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda) sangat penting untuk mendukung penerapan konsep adopsi inovasi peternakan terintegrasi. Melalui berbagai kewenangan administratif dan otoritatif yang dimiliki oleh Pemda, proses “eksekusi” kebijakan pengembagan sektor peternakan dan pertanian dengan pendekatan “Total Solution” dan “Zero Waste” diharapkan mampu mendukung kebijakan pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada pangan nasional.

| 53

BAGIAN-3 : STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT “VERSI” BANTUL

3.1 Otonomi Daerah Sebagai Momentum

Dalam konteks otonomi daerah, setiap satuan dan tingkatan pemerintah daerah diberi kewenangan oleh Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur, merumuskan, merencanakan, dan menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sesuai prinsip otonomi daerah, sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah dan mewakili pemerintah pusat. Sampai pada titik ini, peran strategis pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi fiskal menjadi sangat krusial. Dalam konteks itu juga, evaluasi terhadap pemanfaatan dana perimbangan, yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH), serta Dana Desa bagi pencapaian target-target pembangunan di daerah menjadi penting.

Di samping proses demokratisasi dan desentralisasi politik ekonomi yang sudah berlangsung sejak bergulirnya era reformasi 1998, desa sebagai unit pemerintahan “berskala” kecil di

54 |

tingkat daerah, juga memperoleh ruang yang lebih luas dibanding periode rezim pemerintahan sebelumnya. Status desa sebagai satu daerah otonom dalam lingkup pemerintah daerah semakin dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dasar hukum tersebut menegaskan bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, serta berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga disebutkan bahwa, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;

Untuk aspek pemberdayaan masyarakat, UU Nomor: 6 Tahun 2014 telah menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Proses dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam bentuk penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, dimaksudkan dalam rangka untuk mengisi “ruang” sosial ekonomi sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor: 6 Tahun 2014 tersebut, dimana aspek pemberdayaan dan kemandirian desa menjadi spirit utamanya.

Pembahasan tentang desa tidak dapat dilepaskan dari proses reformasi dan demokratisasi yang bergulir sejak

| 55

1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang mendorong terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan otonomi lebih luas untuk menjalankan urusannya sendiri. Namun demikian, UU Nomor: 22 tahun 1999 belum mengatur secara jelas posisi Desa dalam relasinya dengan pemerintah di atasnya, yakni pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang ini hanya mengatur tentang kewenangan Desa yang mencakup: 1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat; dan 3) tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

Selanjutnya lahir UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU Nomor: 22 Tahun 1999 yang memposisikan pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten/kota, sehingga kedudukan desa dalam UU Nomor: 32 Tahun 2004 berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki Desa. Desa hanya menjalankan kewenangan dari pemerintahan di atasnya, bukan melaksanakan kewenangan yang berdasar kebutuhan dan inisiasi dari Desa itu sendiri.

Lalu, bagaimana posisi desa dalam konstelasi desentralisasi menurut UU Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa ! Apakah pemerintah Desa tidak lagi menjadi bagian dari subsistem pemerintahan kabupaten/kota, sehingga memiliki kewenangan yang luas daripada sekadar perpanjangan tangan pemerintah kabupaten/kota ? Jawaban atas pertanyaan ini, ditegaskan secara jelas pada pasal 69 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 dan menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Desa untuk mengeluarkan satu regulasi

56 |

yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan desa tersebut. Bunyi pasal 69 ayat 1, 2 dan ayat 3 dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah sebagai berikut :

1) Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa;

2) Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

3) Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa, setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Peraturan Desa adalah jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan dan diterbitkan oleh organ pemerintahan desa. Kewenangan desa membuat peraturan merupakan perwujudan dari pemberian kekuasaan kepada desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. UU Desa mengatur jenis, persiapan pembuatan, dan mekanisme pembahasan Peraturan Desa. Pada ayat 1 & 2 pasal 69 UU no.6 Tahun 2014, secara implisit menyebutkan adanya wewenang pemerintah desa untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Desa (PerDes). Dasar hukum ini dapat menjadi rujukan bagi setiap pemerintah desa yang ada di Indonesia untuk dijadikan landasan bagi penyusunan regulasi di tingkat desa yang mendukung kegiatan dan program pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam mendorong penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi.

Karena dipandang sudah tidak sesuai dengan

| 57

perkembangan zaman dan kondisi ketatanegaraan, UU No. 32/2004 selanjutnya dicabut dan digantikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan salah satu spirit yang mendasari lahirnya UU No. 23/2014 tersebut. Undang-undang yang baru tersebut memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional, khususnyapada aspek pemberdayaan dan peningakatan daya saing produk yang ada di daerah.

Proses politik yang berkembang sepanjang tahun 2014, telah membawa pengaruh yang cukup kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung dan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan demokrasi maka telah dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai tugas dan wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Tugas dan kewenangan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Perubahan dilakukan sebagai konsekuensi atas perubahan UU

58 |

tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang mengatur wakil kepala daerah dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sehingga perlu diatur pembagian tugas antara kepala daer-ah dan wakil kepala daerah agar tidak terjadi disharmoni dan per-lunya pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan. Maka selanjutnya lahirlah UU No: 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah.

3.2 Kebijakan Pembangunan Bantul

Instrument utama yang digunkan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan fungsi stabilisasi (Basuki, 2007: 19). Dengan bergulirnya otonomi daerah, seharusnya desentralisasi fiskal bisa memberikan kontribusi paling signifikan dalam menyelesaikan persoalan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Secara skematis, APBD merupakan bentuk penjabaran atas kebijakan prioritas dan plafon anggaran yang menjadi acuan setiap pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. APBD yang disusun setiap tahun, dimana merupakan hasil kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD, adalah bentuk penjabaran dari sisi keuangan daerah atas rencana strategis yang disusun pada awal masa jabatan, baik itu oleh gubernur maupun bupati selama lima tahun periode pemerintahan.

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat melalui berbagai penyediaan

pelayaan publik, memiliki satu rencana

| 59

pembangunan selama jangka waktu 5 (lima) tahun. Rencana pembangunan tersebut, selanjutnya dijabarkan ke dalam suatu dokumen perencanaan pembangunan yang dikenal dengan sebutan “RPJMD”. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bantul (RPJMD: 2016 – 2021), menetapkan 11 (Sebelas) program prioritas, yakni: 1) pendidikan; 2) kesehatan; 3) optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan; 4) pengembangan peternakan modern: 5) akselerasi penanggulangan kemiskinan; 6) pengembangan destinasi pariwisata; 7) pengembangan kawasan budaya; 8) pengembangan kawasan strategis terkait dengan investasi, 10) pengembangan perikanan; 11) pengembangan industri kreatif.

Program prioritas yang terkait langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam potensial adalah optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan pengembangan peternakan modern (antara lain ayam, itik, sapi dan kambing). Dalam rangka optimalisasi pengelolaannya diperlukan inovasi teknologi yang diarahkan untuk mendorong nilai tambah, yang berdampak terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bantul untuk aspek ketahanan pangan yang tertuang dalam RPJMD 2016-2021 diarahkan untuk mewujudkan kemandirian pangan, meliputi 4 (empat) aspek yaitu:

1) Ketersediaan energi dan protein per kapita, yakni menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya;

2) Penguatan cadangan pangan, merupakan sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan

60 |

dalam negeri atau daerah dari waktu ke waktu;

3) Pola pangan harapan, yakni beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama baik secara absolut maupun dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan;

4) Penanganan kerawanan pangan, yakni suatu kondisi ketidak-cukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat.

3.3 Pangan Sebagai Agenda Strategis

Ketersediaan pangan dapat dilihat dari aspek ketersediaan energi dan protein untuk berbagai jenis kebutuhan konsumsi dan industri. Tahun 2014, tingkat ketersediaan energi sebesar 139,28% dan protein sebesar 133,38%. Secara kuantitatif, data tersebut meningkat dari tahun 2013 dimana masing-masing sebesar 131,49%, dan 131,17%. Data tahun 2014 dibandingkan tahun 2013, tingkat ketersediaan energi dan protein mengalami kenaikan masing-masing sebesar 7,79% dan 2,21%.

| 61

Penyelenggaraan penguatan cadangan pangan dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Langkah ini dilakukan dengan harapan masyarakat mampu menciptakan satu pola kelembagaan lumbung pangan yang mandiri. Cadangan pangan Kabupaten Bantul Pada Tahun 2013 mencapai 314 ton, dengan penguatan cadangan pangan mencapai 314,32%. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan dengan tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein.

Kebijakan yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Bantul untuk mengatasi masalah penanganan rawan pangan dilakukan melalui: 1) Pencegahan kerawanan pangan untuk menghindari terjadinya rawan pangan di suatu wilayah sedini mungkin; dan 2) Melakukan penanggulangan kerawanan pangan pada daerah yang rawan “kronis” melalui program-progam sehingga rawan pangan di wilayah tersebut dapat tertangani, dan penanggulangan daerah rawan transien melalui bantuan sosial.

Penggunaan lahan untuk mengembangkan pertanian menuju pangan berkelanjutan, mempertahankan dan mengembangkan pusat pertumbuhan di kawasan yang telah memberikan manfaat secara optimal yang meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan peternakan. Kawasan pertanian lahan basah direncanakan seluas kurang lebih 13.324 Hektar atau 26,29%, kawasan pertanian lahan kering direncanakan seluas kurang lebih 5.247 Hektar atau 10,35% dari luas wilayah Kabupaten Bantul.

Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan ancaman besar terhadap ketahanan pangan, dimana pada tahun 2015 terjadi alih fungsi lahan seluas 50 ha. Sesuai UU No 41 Tahun

62 |

2009 tentang Pelindungan lahan Pertanian Pangan berkelanjutan dan ditindaklanjuti dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) DIY No. 10 Tahun 2011 tentang Pelindungan lahan Pertanian Pangan berkelanjutan, mengamanatkan agar pemerintah melakukan perlindungan terhadap lahan-lahan produktif paling kurang 13.000 ha dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan.

Dari sisi kebijakan sektoral, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul selama kurun waktu tertentu, telah cukup berhasil mengimplementasikan berbagai paket kebijakan pengembangan sektor pertanian dalam arti luas, sehingga problem kerawanan pangan tidak menjadi masalah signifikan dalam penanganannya. Hal ini dapat tercapai, oleh karena adanya “kearifan” yang dimiliki oleh Pemerintah daerah dalam merumuskan satu pola kebijakan pembangunan daerah yang sesuai dengan kultur sosial ekonomi setempat, singkron dan kompatibel dengan kebutuhan masyarakat.

3.4 Jaringan Aktivitas Produktif Masyarakat

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam pengelolaan potensi unggulan pertanian (pangan), mengintegrasikan kegiatannya dengan pengelolaan lingkungan melalui Inovasi Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM). Pada Tahun 2015 telah terbentuk 121 JPSM yang memiliki Bank Sampah sendiri, masing-masing memiliki nasabah dengan kesepakatan pengelola bank sampah dan penyetor.

Setoran sampah dihargai dengan uang atau tukar barang berupa sembako/pulsa telepon/lainnya dan ada juga yang menyetorkan sampah sebagai sedekah untuk biaya kepentingan umum seperti membangun gapura, jalan kampung, dan membantu

| 63

warga kurang mampu. Kegiatan JPSM terus berkembang dan bukan hanya pengelolaan sampah rumah tangga, tetapi merambah pada penanganan sampah untuk dikumpulkan dan dipilah di pasar: Bantul, Niten, Imogiri, Pijenan, dan Jejeran masing-masing ditempatkan unit alat pengolah kompos. Kompos yang dihasilkan dibagikan ke petani secara cuma-cuma (gratis), upaya ini merupakan terobosan dan pionir yang hasilnya telah menjadikan sampah bukan lagi musibah tetapi justru sangat bermanfaat bagi kebersihan lingkungan dan meningkatkan produksi pangan.

Kemampuan SDM sangat berpengaruh dalam setiap tahapan prosesnya, mulai dari tata cara pengumpulan, teknologi yang diterapkan hingga dampak dari upaya-upaya peningkatan produktivitas. Dari pengamatan langsung (directly observated) atas proses tersebut, diperoleh informasi karakteristik dan proses pengelolaan potensi sumberdaya lokal yang efektif dalam pengembangan kawasan perdesaan.

Bentuk dan pola pemberdayaan masyarakat, dengan model strategi pengolahan dan pemanfaatan sampah seperti telah dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bantul, khususnya di Kecamatan Sedayu, juga menarik untuk diduplikasi menjadi satu model adopsi inovasi. Dari sisi manfaat sosial ekonomi, dengan melakukan pengolahan dan pemanfaatan sampah melalui satu wadah kelembagaan yang solid, selain dapat menjadi satu sumber pendapatan bagi masyarakat setempat, juga semakin kuat dalam mempererat relasi sosial dan solidaritas masyarakat lokal yang tergabung serta aktif berpartisipasi pada kegiatan tersebut.

Peran aktif pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam menjalankan satu program pemberdayaan, adalah satu nilai sosial yang menjadi contoh adanya pola kemitraan strategis

64 |

antara pemerintah dan masyarakat yang berjalan secara sinergis. Model ini juga bisa dijadikan satu bentuk strategi pemberdayaan masyarakat untuk diterapkan pada daerah lain di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, para tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu untuk terus berinovasi, dan aktif melakukan langkah-langkah diplomatik dengan setiap pihak yang bersentuhan langsung dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat.

3.5 Argorejo dan Argosari: Suatu Konteks

Sosial-Budaya Agro

Desa Argorejo merupakan kawasan sub urban di bagian barat Kota Yogyakarta, tidak begitu padat penduduknya jika dilihat sisi permukiman. Perspektif pertanian dengan kepadatan penduduk sekitar 1.709/km2/jiwa menyebabkan lahan-lahan pertanian menjadi terfragmentasi dalam petak-petak kepemilikan yang sempit. Pekerjaan masyarakatnya sebagian besar adalah petani, sehingga tidak dapat hidup hanya bersandar pada pengelolaan pertanian tetapi ditopang sumber pendapatan formal (buruh/karyawan) ataupun pekerjaan informal (buruh bangunan, buruh industri dan lainnya) di perkotaan.

Bidang perdagangan, Desa Argorejo memiliki letak strategis dan akses jalan sebagai pendukung sektor perhubungan yang mudah sebagai wilayah transit dan jalur ekonomi. Posisi tersebut memberikan peluang pengembangan ekonomi dan sosial dalam kegiatan usaha produktif berbasis sumber daya alam, produk olahan, dan lainnya yang dikelola masyarakat setempat. Pengolahan produk telah banyak dilakukan masyarakat, namun masih terkendala teknik pengemasan dan pemasaran, di antaranya untuk produk: 1) emping garut dari tumbuhan umbi yang kerap

| 65

ditanam di pekarangan. Garut menjadi cadangan pangan pada musim paceklik, dan diolah menjadi emping yang aman dari penyakit asam urat; 2) ceriping pisang telah lama dikembangkan dan terbentuk embrio jaringan pasar walau pengelolaannya dalam skala kecil; 3) ceriping ketela; dan 4) emping jamur. Desa Argorejo merupakan sentra emping jamur di wilayah Kabapaten Bantul karena jamur yang dikembangkan murni organik sehingga produknya punya nilai ekonomi tinggi.

Gambar 3.2. Pendamping Program Pemberdayaan berdiskusi dengan petani desa Argorejo tentang perkembangan tanaman padi

Bidang pertanian, Argorejo merupakan salah satu desa andalan produksi komoditas pertanian di Sedayu karena memiliki luas areal pertanaman, sumberdaya air, dan SDM pengelola pertanian. Komoditas pertanian potensial yang dikembangkan masyarakat adalah:

66 |

Pertama budidaya padi; Desa Argorejo dengan luas lahan sawah 169 ha dan sekitar 77,85% masyarakatnya berprofesi sebagai petani dan buruh tani dapat melakukan penanaman padi sepanjang tahun dengan menerapkan pola tanam Padi – Padi – Padi, dan Padi – Padi – Palawija, karena sistim pasokan air yang lancar dengan irigasi teknis tersedia baik.

Kedua Budidaya Jagung; areal tanam jagung setiap tahun rata-rata 10 ha dengan produksi 46 kwt/ha, sehingga diperoleh total produksi 46 ton jagung pipil kering yang biasa digunakan menjadi makanan alternatip pengganti beras.

Ketiga Budidaya umbi-umbian: produktivitas umbi–umbian ditargetkan meningkat 5% melalui inovasi budidaya intensif di lahan pekarangan dan pemanfaatan lahan tegakan melalui keswadayaan masyarakat, serta perluasan luas areal pertanaman dengan kenaikan 20% sejak tahun 2014.

Keempat Budidaya Empon-empon: di antaranya: jahe, temulawak, kunir putih, dan tanaman lainnya dibutuhkan untuk mensuplai bahan baku olahan oleh pengrajin jamu-jamuan.

Gambar 3.3. Ternak kambing dikembang-biakan masyarakat Desa Argorejo.

| 67

Bidang peternakan, umumnya masih diusahakan masyarakat dalam skala kecil/rumah tangga dan sebagai pekerjaan sampingan (sambilan), Data BPS (2016) mencatat jumlah ternak yang dikembangkan masyarakat adalah: bebek 580 ekor, kambing 250 ekor, sapi 372 ekor, kerbau 6 ekor, ayam Ras Petelur 6.232 ekor, ayam ras pedaging 11.087 ekor, ayam buras 1.642 ekor. Pemeliharaan sapi umumnya (70%) dilakukan untuk pembibitan (breeding) dengan metode kawin suntik (inseminasi buatan) oleh mantri hewan setempat/terdekat, dan 30% dengan penggemukan sebagai pemeliharaan hewan tabungan.

Kandang biasanya ditempatkan di samping atau belakang rumah dengan alasan memudahkan untuk pemeliharaan dan pengawasan, desain kandang masih tradisional yakni tempat pembuangan kotoran terkadang masih diluar kandang sehingga tidak dapat terlindung dari hujan dan panas, pengolahan limbah juga pada umumnya belum dilakukan kontruksi kandang dibuat dengan rangka kayu ditopang bambu dan atap dari genteng, lantainya ada yang tanah biasa atau lempengan batul.

Sedikit berbeda dengan desa Argorejo, desa Argosari memiliki areal pertanian cukup luas namun kondisinya merupakan lahan kering dan sangat sedikit terhubung jaringan irigasi teknis. Secara topografis wilayahnya agak berbukit, sehingga lahan pertanian didominasi tadah hujan yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengembangkan tanaman keras (kehutanan). Beberapa dusun sering mengalami kekeringan saat musim kemarau.

Kondisi infrastruktur sistem pengairan areal persawahan dikatagorikan setengah teknis, karena masih ada beberapa jalan usaha tani (JUT) yang belum terakses dengan baik. Selain kegiatan pertanian, peternakan dan perikanan, masyarakat Argosari

68 |

juga mengembangkan jamur di Dusun Klangon, beragam usaha produktif produk olahan, dan produk industri kerajinan sangkar burung dan tenun dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang usahanya dilakukan di rumah masing-masing dan umumnya ibu-ibu dengan produksi utama berupa stagen (jawa: udet) yang berfungsi mengikat jarik dalam pakaian adat jawa, dan taplak meja kombinasi bahan dari lidi bamboo ditenun menggunakan benang.

Penerapan adopsi inovasi pengembangan peternakan dari sub-sistem ke pola kegiatan terintegrasi di Desa Argorejo dan Argosari, dalam program Mandiri Bersama Mandiri (MBM) kerjasama Fakultas Peternakan-Universitas Gadjah Mada dengan Bank Mandiri menjadi relevan menjadi satu model pemberdayaan masyarakat, untuk selanjutnya diterapkan secara massal dan konsisten di seluruh pelosok indonesia. Tentu saja, hal ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tenaga fasilitator pemberdayaan, dan peran aktif masyarakat sebagai subjek yang sekaligus juga menjadi objek pemberdayaan itu sendiri.

| 69

BAGIAN - 4 : KONSEPSI DAN IMPLEMEN-TASI STRATEGI PEMBERDAYAAN

4.1 Konsepsi Program Pemberdayaan

Konsep pemberdayaan masyarakat yang “ditawarkan” dalam buku ini adalah bentuk dan strategi pemberdayaan masyarakat yang merupakan hasil pengamatan langsung atas praktek penerapan model pemberdayaan masyarakat di Desa Argosari dan Argorejo (Bantul-Yogyakarta), dengan pendekatan Total Solution dan Zero Waste Approach. Implementasi model pengembangan masyarakat pada suatu lokasi (desa) ini, dilakukan dengan memanfaatkan segenap potensi yang ada menuju masyarakat perdesaan yang lebih sejahtera, dimana masyarakat desa itu sendiri bertindak sebagai pelaku (subjek) dan sekaligus sasaran (objek) pembangunan itu sendiri.

Terdapat 3 (tiga) komponen utama dalam program pemberdayaan ini, yakni:

1) Subyek program: yaitu suatu desa beserta segenap masyarakat dan potensinya;

2) Program sebagai sebuah sistem pendekatan metodologis

70 |

hingga teknis, yang merupakan pendorong/penguat atau penggerak;

3) Indikator perkembangan/ keberhasilan sebagai sasaran ataupun titik yang harus dicapai.

Tujuan program pemberdayaan, adalah: 1) pengembangan desa mandiri melalui pendampingan dan pemberdayaan dengan pendekatan “Total Solution”, dalam upaya optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya lokal secara komprehensif-integratif dan terpadu untuk mewujudkan desa mandiri pangan, mandiri energi dan masyarakat mandiri; serta 2) menciptakan socio-enterpreneur yang berpengaruh pada pemberdayaan masyarakat di suatu kawasan.

Pendekatan “Solusi Total” merupakan pola pemberdayaan dengan perhatian pada keseluruhan aspek yang perlu dikembangkan, dalam mengantarkan masyarakat ke arah kehidupan lebih baik. Contoh, misalnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat tidak dapat dilakukan hanya dengan memberikan bantuan teknologi berupa peralatan semata, tetapi masyarakat juga harus didampingi untuk pembelajaran teknologi dalam proses awal pemanfaatan peralatan baru tersebut hingga pengembangannya. Hal yang juga tidak kalah penting ialah, bagaimana mendampingi masyarakat melakukan perhitungan-perhitungan usaha (bisnis) dalam bentuk pelatihan sederhana tentang proses pembuatan laporan keuangan, sekaligus mendekatkan mereka kepada jejaring pasar.

Ruang lingkup tersebut tergambar dalam konsep dasar program, seperti terlihat pada skema pengembangan di bawah ini:

| 71

Gambar 4.1 Konsep Dasar Program Pemberdayaan Masyarakat(Sumber : Agus, 2015)

Sudah menjadi kelaziman, suatu konsep dan ide baru tentang model pemberdayaan masyarakat, haruslah memiliki prinsip dasar dalam pelaksanaanya. Prinsip total solusi dalam program pemberdayaan ini, adalah:

1) Inisiatif pada suatu bidang perlu diikuti pengembangan bidang atau aspek-aspek yang menjadi pendukung dalam pengembangannya;

2) Setiap inisiatif pengembangan perlu dilengkapi analisa terhadap resiko beserta langkah-langkah antisipasinya.

72 |

Contoh pemberdayaan masyarakat terkait pembangunan sarana-prasarana produksi, sistem pengelolaannya didorong pada “kepemilikan bersama”. Untuk pengembangannya, perspektif total solusi perlu diikuti proses-proses penguatan kelembagaan sosial ekonomi dan aspek manajerialnya, demikian juga terhadap sebuah inisiatif perlu dianalisa tentang resiko yang akan muncul dan dipersiapkan langkah-langkah antisipasinya. Cakupan program pemberdayaan yang diterapkan pada Desa Argorejo dan Argosari cukup luas, dikarenakan program ini menyentuh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Berdasarkan konsep dasar tersebut, terdapat “berbagai ruang lingkup kehidupan masyarakat” yang disentuh program pemberdayaan ini, baik yang menyangkut sosial budaya, teknologi, kelembagaan ekonomi dan juga infrastruktur kawasan. Dampak yang diharapkan adalah desa akan mengalami perkembangan cukup signifikan dan terukur dalam kurun waktu tertentu. Indikator perkembangan sebagai dasar mengukur keberhasilan program pemberdayaan, tertulis dalam kotak indikator perkembangan pada gambar konsep dasar program diatas.

4.2 Transformasi Sosial-Budaya Masyarakat &

Akses Pasar

Sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses pemberdayaan masyarakat, implementasi konsep pemberdayaan dengan pendekatan “Total Solution” dan “Zero Waste” ini juga melingkupi aspek sosial-budaya setempat hingga mencakup pada aspek pemasaran. Melalui kegiatan ini diharapkan pola kehidupan masyarakat mengalami perubahan (transformasi) dalam ranah sosial dan budaya, ke arah lebih maju atau

| 73

modern. Kegiatannya dilakukan melalui proses transfer nilai-nilai sosial budaya atas berbagai program yang dijalankan dan dikembangkan, diantaranya: 1) disiplin dan akuntabilitas lembaga sosial dan ekonomi; 2) peningkatan kualitas hidup melalui upaya optimalisasi potensi keluarga; 3) inovasi dalam merintis dan mengembangkan usaha produktif; 4) kepedulian terhadap lingkungan hidup.

Pasar merupakan aspek kunci keberhasilan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Peningkatan akses pemasaran diarahkan untuk mendorong masyarakat sebagai produsen, konsumen dan pelaku usaha produktif untuk mampu mengembangkan jejaring mitra kerja dalam proses produksi dan pemasaran produk.

4.3 Infrastruktur, Kelembagaan Ekonomi dan

Transfer Teknologi

Dari aspek ketersediaan infrastruktur, aktivitas pemberdayaan masyarakat diarahkan untuk menyediakan kebutuhan sarana prasarana yang mendukung pengembangan usaha produktif untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Fasilitasi pengembangan infrastruktur digolongkan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1) fasilitas publik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, antara lain: instalasi air bersih atau air minum, jalan, fasilitas pendidikan; 2) fasilitas mendukung proses berkembangnya aneka usaha produktif masyarakat.

74 |

Gambar 4.2. Pusat Pengolahan Bahan Baku Pupuk Organik

Dari aspek kelembagaan, strategi pemberdayaan diarahkan untuk memfasilitasi berkembangnya unit-unit usaha produktif yang dikelola kelompok-kelompok usaha. Fasilitasi dilakukan dalam aspek: 1) produksi; 2) manajemen sumber daya manusia; 3) manajemen keuangan; 4) legalitas usaha. Penguatan kelembagaan dilakukan juga terhadap para pelaku usaha perseorangan, di lokasi-lokasi dalam kawasan program pemberdayaan.

Sementara itu, dalam hal transfer teknologi, kegiatan pemberdayaan diarahkan pada penggunaan teknologi tepat guna yang dimanfaatkan dalam proses produksi sehingga dicapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan potensi sumber daya menjadi ekonomi rill berdaya saing. Teknologi yang diperkenalkan, antara lain: 1) pembuatan pupuk organik (dekomposisi/ fermentasi dan mekanisasi); 2) pengolahan pakan (ternak, ikan); 3) energi berkelanjutan (biogas); 4) budidaya pertanian intensif ramah lingkungan; 5) pengolahan pangan.

| 75

Dengan adanya payung hukum yang jelas yakni Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 Tentang Desa, penguatan kelembagaan untuk mendukung proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi tersebut akan menjadi lebih baik. Pemerintah desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diharapkan mampu “melembagakan” proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi tersebut, dengan adanya dukungan keuangan dari dana desa yang secara reguler, menjadi sumber pendanaan rutin setiap desa di Indonesia. Data statistik yang dirilis oleh Kementerian Keuangan (KemenKeu) menyebutkan, Pada 2015 dana desa sebesar Rp 20 triliun yang telah disalurkan kepada setiap desa di seluruh Indonesia. Jumlah itu kemudian naik 100 persen pada 2016 menjadi Rp 46 triliun. Pada tahun ini dan tahun depan, anggarannya meningkat masing-masing menjadi Rp 60 triliun dan Rp 120 triliun. Dana desa tersebut bersumber langsung dari APBN (Kemenkeu, 2017).

Penguatan kelembagaan ekonomi dan pemanfaatan teknologi dapat dilakukan secara luas dengan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pengelola BUMDes akan mampu mengelola bisnis dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi digital yang semakin berkembang. Jika hanya dikelola secara konvensional, hasilnya tak akan banyak. Lain halnya dengan memanfaatkan internet karena produk dapat dikenalkan ke seluruh dunia.

Peningkatan kesejahteraan sebagai “berkah” atas penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi secara massif dan konsisten yang akan berdampak pada penurunan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, meningkatnya pendapatan dan skala ekonomi di desa bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun, untuk mencapai hal itu, dibutuhkan kerja keras semua pihak,

76 |

termasuk - masyarakat setempat sebagai pelaku (subjek) dan juga sekaligus sebagai sasaran (objek) dari proses pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Gambar 43. Proses Pembuatan Pakan Ikan Desa Argorejo.

4.4 Implementasi Program Pemberdayaan TOTAL

SOLUTION

Secara garis besar, ada empat tahapan yang harus ditempuh dalam pelaksanaan proses pemberdayaan masyarakat. Ke-empat tahapan tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Tahapan-tahapan pelaksanaan proses pemberdayaan itu terdiri atas; 1) Pemetaan Sosial (Social Mapping), 2) Rencana Aksi (Action Plan), 3) Pelaksanaan (Implementasi) dan 4) Rencana Keluar (Exit Plan).

Secara kronologis, tahapan proses pemberdayaan masyarakat digambarkan dalam skema operasional sebagai

| 77

berikut :

Gambar 4.4 Mekanisme Penyelenggaraan Program Pemberdayaan (sumber: Agus, 2015

Penjelasan secara teknis, dari tahapan proses pemberdayaan masyarakat berdasarkan skema operasional di atas adalah sebagai berikut :

Pemetaan sosial (social mapping)

Pemetaan merupakan proses identifikasi setap sumber daya ekonomi potensial dan kondisi sosial masyarakat. Mengingat aspek sosial ekonomi kehidupan masyarakat sangat luas, maka dalam pelaksanaan ekplorasi terhadap modal sosial (social capital) yang “melekat” pada masyarakat, dilakukan pembatasan dan terfokus secara mendalam terhadap kondisi-kondisi tersebut. Output dari proses kegiatan social mapping adalah data informasi yang detail dan komprehensif tentang berbagai segi kehidupan masyarakat, sebagai basis perencanaan atau penyusunan rencana aksi (action plan) yang nantinya akan

78 |

dalam bentuk fasilitasi kegiatan kelompok masyarakat dalam bingkai program pemberdayaan. Kerangka eksplorasi data/informasi pada tahap social mapping program pemberdayaan :

Gambar 4.5 Skema Eksplorasi Data Dalam Proses Social Mapping

| 79

Pemetaan dilakukan melalui serangkaian kegiatan observasi dan penggalian informasi, dengan pendekatan :1) wawancara terbuka dan diskusi dengan tokoh kunci (key person); 2) wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner; 3) diskusi kelompok atau Focus Group Discussion (FGD).

Informasi dan data dari social mapping, antara lain meliputi:

1) Sumberdaya alam, terdiri: land use (tata guna lahan), sumberdaya air, kondisi lingkungan hidup;

2) Sumberdaya manusia, terdiri: populasi penduduk, mata pencaharian, pendidikan, hingga aspek kesehatan;

3) Aspek sosial dan ekonomi yang terdiri: kelembagaan sosial, tokoh masyarakat, kohesi sosial, masalah-masalah sosial (isu sosial), kepemilikan aset, tingkat pendapatan, tingkat kesejahteraan; dan 4) kondisi infrastruktur yang terdiri dari sarana transportasi, fasilitas umum (ibadah, pendidikan, kesehatan, irigasi), air bersih, sistem pengolahan limbah, listrik (sumber energi).

Setelah melakukan proses pemetaan sosial sebagaimana skema eksplorasi tersebut di atas, untuk tahapan selanjutnya, para tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu menuangkan hasil pemetaan secara sistematis ke dalam satu tabel matriks. Tabel matriks tersebut, harus memuat seluruh data dan informasi yang berkaitan dengan potensi dan kondisi sosial-ekonomi suatu desa. Data dan informasi ini bisa berupa penjelasan deskriptif ataupun data yang bersifat kuantitatif tentang besaran-besaran suatu potensi sumber daya yang bisa dikembangkan.

80 |

Dalam tabel matriks, harus mengandung informasi dasar, mengenai: a) jenis potensi yang bisa dikembangkan, b) peluang pengembangan, c) faktor pendukung, d) faktor penghambat, dan e) kebutuhan teknis pengembangan. data dan informasi yang telah dituangkan ke dalam tabel matriks tersebut, selanjutnya akan menjadi dasar untuk penyusunan rencana aksi (action plan), hingga pada tahapan pelaksanaan (implementasi), dan rencana taktis untuk menjaga keberlangsungan proses pemberdaayan tersebut (exit plan).

Rencanan Aksi, Penganggaran, dan Proyeksi Pengembangan

Penyusunan rencana aksi dan penganggaran ini merupakan rencana detail kegiatan yang akan dilakukan dalam program pemberdayaan tersebut bersama masyarakat, serta memuat detail anggaran yang dibutuhkan dalam suatu periode tertentu (bulanan, triwulan atau semester). Rencana aksi merupakan dasar bagi pelaksanaan kegiatan dan pendampingan untuk dapat dilakukan secara sistematis, terjadwal dan dengan target-target yang rasional berdasarkan kondisi setempat.

Penyusunan rencana aksi dilakukan melalui serangkaian proses:

1) menganalisa kondisi dan potensi serta permasalahan desa bersama masyarakat, berdasarkan social mapping yang telah dilakukan sebelumnya;

2) Menyusun daftar kegiatan usaha berpeluang dikembangkan, untuk mendukung pengelolaan potensi, penyelesaian masalah ekonomi dan lingkungan;

| 81

3) Menyusun skala prioritas kegiatan untuk dipilih, menentukan kegiatan yang menjadi fasilitasi program pemberdayaan, dan stakeholders;

4) Menentukan output dan target yang akan dicapai;

5) Menyusun strategi dan teknis pelaksanaan;

6) Melengkapi kebutuhan-kebutuhan pelaksanaan program, antara lain: anggota kelompok usaha, persetujuan lokasi (lahan) yang akan digunakan;

7) Menghitung kebutuhan dan anggaran yang diperlukan

Pelaksanaan kegiatan (implementasi program)

Tindaklanjut dari hasil pemetaan sumberdaya (social mapping) dan penyusunan rencana aksi (Action Plan) adalah dicapainya kesepakatan tentang kegiatan prioritas pemberdayaan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders), terutama masyarakat itu sendiri dengan kegiatan utama yang terkait terhadap pembagian peran dan tanggung jawab para pihak termasuk yang berkaitan dengan pendanaan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan di Desa Argorejo dan Argosari, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul.

82 |

Pelaksanaan kegiatan usaha kelompok dalam program pemberdayaan masyarakat ini, diselenggarakan berdasarkan hasil pemetaan yang menggambarkan peluang pengembangan ekonomi. Dalam tahap pelaksanaanya, diperoleh satu informasi penting tentang kendala dan tantangan utama dalam mendorong pengembangan kegiatan usaha produktif, yakni rendahnya pengetahuan kelompok tentang potensi sumberdaya di wilayahnya untuk dikelola secara optimal, menjadi satu sumber mata pencaharian tambahan, di samping aktivitas utama yang selama ini sudah dijalankan.

Selama proses pelaksanaan setiap rencana kerja bersama yang telah disusun, aktivitas pendampingan oleh tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat sangat menentukan keberhasilan pencapain target dan sasaran pemberdayaan masyarakat, dalam pengembangan usaha berbasis sumberdaya lokal tersebut. Aktivitas pendampingan kepada kelompok masyarakat ini harus dilakukan secara terus-menerus dengan memberikan dorongan motivasi untuk bekerja produktif melalui konsep pemberdayaan

| 83

yang lebih aplikatif, dan penyusunan rencana aksi yang tersistem sesuai kondisi lokal berdasarkan pemetaan sumber daya yang telah dilakukan.

Proyeksi pengembangan (Exit plan)

Exit plan merupakan perkiraan pelaksanaan pengembangan program paska fase piloting, yakni dengan terlebih dahulu melihat kondisi capaian target program dalam kurun waktu tertentu. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat ini diawali dengan proses piloting, dimana volume program saat awal ditetapkan dalam skala demonstration plot (demplot). Fase piloting tidak sama untuk masing-masing program, misalnya pengembangan padi berjalan selama 3-4 bulan, namun fase piloting pengembangan breeding ternak membutuhkan waktu minimal 7 bulan.

Tahapan terakhir ini harus memuat satu perencanaan tindak lanjut secara proyektif dalam menjamin keberlangsungan suatu program di waktu yang akan datang. Dengan demikian, para tenaga fasilitator harus mampu merancang satu desain strategi yang mampu memastikan bahwa, aktivitas sosial ekonomi yang dibangun selama proses pemberdayaan tersebut, memiliki keberlanjutan (sustainability) secara sistematis, meskipun masa kerja tenaga fasilitator pemberdayaan masyarakat tersebut sudah berakhir.

84 |

BAGIAN – 5 : ADOPSI INOVASI PETER-NAKAN TERINTEGRASI

5.1 Usaha Produktif “Bertumpu” pada Sumber

Daya Lokal

Desa Argosari dan Argorejo, Bantul - D.I Yogyakarta merupakan lokus utama dari aktivitas dan proses pemberdayaan masyarakat yang menjadi dasar “rekomendasi” atas penerapan proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi. Proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi yang terjadi di Desa Argosari dan Argorejo, merupakan satu contoh cerita sukses (succes story) tentang bagaimana suatu proses interaksi yang “guyub” dan “intim” antara masyarakat lokal dengan para fasilitator pemberdayaan. Proses “insert” teknologi serta penerapannya yang memiliki kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat Desa Argosari dan Argorejo, merupakan faktor kunci keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat tersebut.

Adopsi inovasi peternakan terintegrasi yang dilakukan kelompok masyarakat usaha produktif di Desa Argorejo dan Argosari, terselenggara melalui suatu rangkaian proses pengenalan inovasi yang disampaikan fasilitator dan narasumber.

| 85

Proses pengenalan inovasi tersebut, selanjutnya direspon oleh masyarakat secara positif dengan cara mencontoh langsung (direct exampling) apa yang dianjurkan fasilitator pemberdayaan. Tidak berhenti sampai disitu, proses penerapan langsung atas contoh yang telah diaplikasikan oleh masyarakat tersebut, mendorong suatu inisiatif tindak lanjut dalam bentuk proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi inovasi yang diimplementasikan dalam demonstration plot (demplot) berskala kecil sebagai model budidaya dan pengolahan produk yang dikembangkan.

Proses terbentuknya pola adopsi inovasi dari tahap pengenalan teknologi hingga keputusan untuk melakukan duplikasi, baik secara individu maupun berkelompok oleh masyarakt Desa Argorejo dan Argosari ialah melalui tahapan seperti tergambar pada skema dibawah ini:

Gambar 5.1. Proses Adopsi Inovasi Peternakan Terintegrasi

Kegiatan kelompok masyarakat dalam pengembangan usaha produktif, didasarkan pada hasil pemetaan yang dilakukan kelompok masyarakat bersama fasilitator pemberdayaan. Hasilnya menggambarkan data dan informasi tentang peluang pengembangan ekonomi berbasis sumber daya unggulan lokal, yang sangat prospek pengembangannya sebagai usaha masyarakat, serta target capaian program yang dituangkan dalam rencana aksi berdasarkan musyawarah mufakat untuk kurun waktu tertentu.

Kegiatan usaha produktif yang “dimainkan” oleh

86 |

kelompok masyarakat Desa Argorejo terbagi dalam 2 aktifitas, yaitu: 1) kegiatan produksi, berupa pembuatan: pupuk organik, pakan ikan dan baglog media jamur; 2) kegiatan budi daya, berupa pengembangan: tanaman padi, jamur, lele dan komoditas ekonomi dilahan pekarangan. Secara skematik dapat dilihat pada Gambar 5.2. Sedangkan kegiatan usaha produktif yang diselenggarakan kelompok masyarakat di Desa Argosari, terinci dalam aktifitas: 1) kegiatan produksi pembuatan pakan unggas; 2) kegiatan budidaya pengembangan: tanaman padi, ayam kampung, pembibitan (breeding) dan penggemukan kambing. Secara skematik kegiatan usaha produktif kelompok masyarakat Desa Argosari dapat dilihat pada Gambar 5.3.

Gambar. 5.2. Kegiatan Usaha Kelompok Masyarakat Desa Argorejo (data olahan)

Gambar pola dan ragam aktivitas produktif pada kedua desa menunjukkan adanya berbagai jenis kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat. Pola dan ragam aktivitas ekonomi tersebut adalah gambaran dari proses pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan “Total Solution” dalam optimalisasi pengeloaan potensi sumber daya lokal, yang dikerjakan secara

| 87

komprehensif-integratif dan terpadu, dengan tujuan mewujudkan masyarakat perdesaan yang mandiri dan sejahtera.

Gambar. 5.3. Kegiatan Usaha Kelompok Masyarakat Desa Argosari (data olahan)

Pengelolaan peternakan dan pertanian merupakan kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat perdesaan sebagai sumber pendapatan, namun masih bersifat tradisional dan sebagai kegiatan sampingan khususnya dalam pemeliharaan ternak. Dalam proses pengembangan peternakan terintegrasi pada proses adopsi inovasi, anggota kelompok sebagai pelaku utama kegiatan pengembangan usaha produktif dengan peranannya masing-masing menjadi adopter dalam menerapkan inovasi yang diperkenalkan narasumber, pendamping dan PPL Pertanian. Anggota kelompok juga berperan sebagai inovator atas dasar pengetahuan dan kemampuan teknis yang dimilikinya untuk berkreatifitas dan mengembangkannya dalam kegiatan produksi, pengolahan produk, pengepakan dan distrubusi pemasaran serta sekaligus konsumen atas produk yang dihasilkan kelompok

88 |

pengembangan usaha lainnya.

Selain itu pengalaman program yang telah dilakukan Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT) dalam pengentasan kemiskinan, tercatat data komoditas yang dipilih sebagian besar adalah ternak. Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) bahwa semua lokasi kegiatan ingin diterapkannya sistem usaha pertanian yang melibatkan ternak, sebagai basis utama dalam sistem usaha pertaniannya (Kusnadi et al. 2005).

Peran fasilitator dalam pendampingan program menjadi faktor kunci dalam melakukan transfer teknologi hasil inovasi untuk perbaikan pola pengembangan sumber daya lokal yang dikelola masyarakat, dan berfungsi sebagai integrator dalam mensinergikan kegiatan antar kelompok untuk saling menguatkan, sehingga menjadi pendorong terciptanya nilai tambah dan daya saing produk. Hal ini berdampak terhadap terselenggaranya pengelolaan usaha yang efektif, dan dihasilkan produk berkualitas yang menguntungkan bagi pengelolanya.

5.2 Integrasi Vertikal dan Horizontal

Pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya unggulan lokal yang kelola kelompok masyarakat, dimulai dengan aktifitas: 1) pemetaan potensi sumber daya; 2) penyusunan rencana aksi; 3) penguatan kelembagaan kelompok; 3) peningkatan kapasitas dan pendampingan masyarakat; 4) fasilitasi bantuan modal sosial berupa sarana prasarana bersifat pendorong pengembangan usaha. Proses pemberdayaan tersebut telah menjadi pengungkit motivasi masyarakat untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi, dalam optimalisasi pengelolaan usaha produktif berbasis potensi sumber daya lokal secara terintegrasi

| 89

melalui kelembagaan kelompok usaha produktif.

Proses adopsi inovasi peternakan teringrasi, baik secara vertikal maupun horizontal memiliki karakteristiknya masing-masing. Integrasi vertikal adalah penggabungan beberapa kegiatan yang memiliki kelanjutan suatu proses produksi, dan integrasi horizontal adalah penggabungan beberapa kegiatan memiliki proses produksi sama dan produk yang dihasilkan juga serupa. Pengintegrasian kegiatan yang memiliki keterkaitan proses produksi, dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi sehingga hasil produk menjadi lebih kompetitif. Strategi integrasi vertikal maupun horizontal banyak dilakukan oleh perusahaan, untuk memenangkan persaingan pasar dalam pengembangan produk unggulan yang dihasilkan.

Adopsi inovasi peternakan terintegrasi telah membawa perubahan sikap dan perilaku anggota pada masing-masing kelompok, dalam mengelola usaha produktif yang dikembangkannya. Adopsi inovasi oleh kelompok masyarakat terjadi setelah mereka menyadari tentang kebutuhan suatu perubahan cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengelola usaha, dan berminat mengenal lebih detail tentang inovasi dari fasilitator dan PPL Pertanian melalui pelatihan. Selanjutnya pengetahuan dan keterampilan tersebut coba dipraktekkan dalam skala kecil atau demplot, yang didampingi fasilitator dan narasumber pemberdayaan.

Kegiatan usaha produktif pada gambar skematis dibawah ini menunjukkan aktifitas kelompok masyarakat yang difasilitasi program pemberdayaan pada kedua desa, yang memiliki keterkaitan saling mendukung bagi terbentuknya kegiatan sinergis pengelolaan sumber daya lokal dan usaha

90 |

produktif lainnya secara terintegrasi vertikal maupun horizontal.

Gambar. 5.4. Skema Integrasi Vertikal dan Horizontal Kegiatan Usaha Masyarakat Desa Argorejo dan Desa Argosari

Keberhasilan dan keberlanjutan pengelolaan kegiatan usaha produktif berbasis sumber daya lokal yang dikelola kelompok masyarakat sangat ditentukan oleh pilihan komoditas utama untuk mendorong pengembangan kegiatan terintegrasi. Peternakan merupakan komoditas unggulan yang prospektif untuk menjadi pemicu awal bagi pengembangan potensi sumber daya lokal lainnya, sehingga menjadi kegiatan yang produktif, bernilai tambah dan berdaya saing tinggi dipasaran.

Pentingnya peternakan menjadi komoditas utama dikarenakan ternak merupakan potensi sumber daya lokal yang tersedia dan terbiasa dikelola masyarakat perdesaan. Hasilnya adalah produk sumber pangan berupa protein dan sebagai pengembangan sumber ekonomi baru, disamping berbagai komoditas hasil usaha produktif mayarakat yang ada sebelumnya. Kelebihan lainnya, yaitu:

| 91

1) Pengelolaan ternak tidak tergantung musim, kapan saja dapat dilakukan;

2) Pelihara ternak dapat dilakukan siapa pun, dan dalam skala kecil maupun besar sesuai kemampuan;

3) Limbah peternakan dapat menjadi sumber energi terbarukan melalui pengolahan biogas;

4) Bahan baku pupuk organik sebagai kompos untuk mengoptimalkan pengelolaan lahan menjadi lebih produktif.

5.3 Pola Adopsi Inovasi Usaha Terintegrasi

Pemberdayaan ekonomi masyarakat yang didasarkan pada hasil pemetaan, rencana aksi realistis sesuai kondisi lokal dan perhatian khusus melalui pendampingan fasilitator dalam adopsi inovasi yang aplikatif, merupakan prinsip pendekatan solusi total dalam pengelolaan usaha produktif berbasis potensi sumber daya lokal. Cerita sukses yang menjadi rujukan utama yakni kegiatan Kelompok Mekar Harapan, fasilitasi pembangunan gedung dan peralatan yang dibutuhkan untuk memproduksi pupuk organik (kompos) diberikan pada akhir proses pemetaan (sosial mapping) dan terbangun dasar kelembagaan yang baik disertai berkomitmen dan kemampuan anggota kelompok untuk mengolah pupuk yang berkualitas. Proses tersebut ditujukan untuk membangun karakter dan motivasi kelompok sasaran, apabila tanggung jawab sudah teruji dapat menjamin keberlanjutan pengelolaan bantuan supra dan infrastruktur yang mendukung pengembangan usaha produktif kelompok sasaran.

Adopsi inovasi yang terjadi pada Desa Argosari

92 |

dan Desa Argorejo adalah proses penyebaran teknologi yang didasarkan pada contoh keberhasilan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk yang berdampak pada pendapatan lebih besar atas kegiatan usaha berbasis sumber daya lokal. Adopsi inovasi peternakan terintegrasi merupakan pengembangan ide atau gagasan, teknik dan pola yang lebih baik untuk memperoleh keuntungan optimal dalam pengelolaan peternakan. Pengembangan peternakan terintegrasi sebagai sistem pengelolaan sumber daya yang beragam secara sinergis atau memiliki keterkaitan saling yang menguntungkan antara pengembangan ternak dan budidaya tanaman produktif berorientasi usaha ramah lingkungan (zero waste).

Fakta ini sangat relevan dengan hasil penelitian Syamsidar (2012), yang menganalisis dampak ekonomi sosial atas intervensi program sistem integrasi pertanian dan peternakan dengan rekomendasi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten Sinjai sebesar 52%. Dasar analisisnya, petani mampu mengelola aneka sumber ekonomi dan penciptaan nilai tambah dengan optimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya yang tersedia.

Pengembangan peternakan terintegrasi merupakan model pengelolaan potensi unggulan lokal dengan mengintegrasikan kegiatan usaha produktif yang berorientasi usaha skala ekonomi dan ramah lingkungan (zero waste) sesuai potensi wilayah pengembangan yang diselenggarakan masyarakat setempat. Penerapan konsep ini sangat berpengaruh signifikan pada peningkatan pendapatan masyarakat. Salah satu “benefit” yang diperoleh dari diterapkannya model pengelolaan kegiatan terintegrasi adalah adanya pemanfaatan potensi, sehingga sumber daya yang tersedia dengan lebih optimal dan efisien,

| 93

sehingga dapat menurunkan biaya produksi dan kegiatannya lebih terencana dan berkelanjutan.

Manfaat ini akan berdampak lebih jauh terhadap besarnya kontribusi pengembangan pusat pertumbuhan, peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan, serta mendukung ketahanan pangan dan ekonomi nasional. Kegiatan pengembangan peternakan terintegrasi dalam hal ini merupakan keterpaduan kegiatan usaha produktif antar kelompok yang memiki keterkaitan langsung atas produk yang dihasilkan masing-masing aktifitas.

Kegiatan kelompok usaha produktif program pemberdayaan yang melakukan proses integrasi vertikal, tergambar pada kegiatan: 1) pemanfaatan limbah dari peternakan masyarakat, dikelola kelompok Mekar Harapan sebagai bahan baku kompos dalam pembuatan pupuk organik; 2) produk pupuk organik dimanfaatkan untuk budi daya padi dan tanaman produktif di lahan kelompok masyarakat; 3) hasil samping pertanian (limbah tanaman) dimanfaatkan untuk pakan ternak; 4) kegiatan usaha produksi pakan dipasok kepada kelompok usaha ternak sapi dan kambing, serta untuk perikanan seperti lele; 5) produk pupuk organik juga diproduksi untuk memenuhi kebutuhan bahan dasar dalam proses produksi pembuatan baglog; dan 6) kegiatan usaha baglog media penanaman jamur terjadi integrasi vertikal terhadap kegiatan budi daya jamur.

Proses intergasi tersebut mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produk secara optimal, serta terjamin ketersediaanya dengan biaya produksi yang efisien, karena pupuk diproduksi sesuai kebutuhan dan biaya operasional dapat ditekan oleh karena bahan baku produksi dapat diperoleh dari

94 |

masyarakat lokal. Dari aspek yang lebih makro, proses integrasi ini berdampaknya pada adanya perubahan prilaku masyarakat produktif, tercipta nilai tambah, dan lingkungan hidup yang bersih.

5.4 Insert Teknologi, Kelembagaan dan Perubahan

Perilaku

Inovasi teknologi yang diadopsi dan diterapkan secara kelembagaan, di antaranya adalah kegiatan Kelompok Mekar Harapan Dusun Metes Desa Argorejo untuk memproduksi pupuk organik berkualitas, yaitu: 1) teknologi EM4 dengan mikrobia sebagai decomposer pembuatan organik fertilizer dari kotoran ternak, atau fermentasi limbah menggunakan mikro-organisme lokal (MOL) atau starter dari buah; 2) crushing dalam proses penghalusan hasil kompos; 3) packaging produk pupuk organik dengan karung yang dijahit pakai mesin; 4) labeling kemasan produk pupuk organik dengan sablon. Kelompok Wanita Tani (KWT) melakukan adopsi inovasi dalam pemanfaatan limbah baglog bekas media budi daya jamur dan limbah peternakan (fases) serta sludge biogas dari pengelolaan & pemanfaatan instalasi biogas, digunakan sebagai bahan organik fertilizer guna memenuhi kebutuhan pupuk organik dalam pengembangan tanaman produktif dan ekonomi di lahan pekarangan.

Adopsi inovasi dalam upaya perbaikan metode dan perubahan prilaku kelompok usaha produktif telah berkembang dengan baik di Desa Argorejo dan Argosari. Hal ini ditandai dengan pengelolaan kegiatan yang selama ini diselenggarakan masyarakat bersifat parsial menjadi sinergi dan terintegrasi secara vertikal maupun horizontal, serta dari kegiatan individual sudah dilakukan secara kelembagaan atau kelompok. Hal ini

| 95

akan berdampak terhadap terciptanya pengelolaan potensi sumber daya peternakan dan unggulan lainnya secara efisien, menguntungkan dan berdaya saing. Lebih jauh berkontribusi cukup besar terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan perkembangan daerah. Perkembangan jenis dan karakteristik usaha yang dikelola oleh masyarakat, juga secara paralel ikut mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

Adopsi inovasi peternakan terintegrasi telah membawa perubahan sikap dan perilaku anggota pada masing-masing kelompok, dalam mengelola usaha produktif yang dikembangkannya. Adopsi inovasi oleh kelompok masyarakat terjadi setelah mereka menyadari tentang kebutuhan suatu perubahan cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengelola usaha, dan berminat mengenal lebih detail tentang inovasi dari pendamping dan PPL Pertanian melalui pelatihan. Selanjutny pengetahuan dan keterampilan tersebut coba dipraktekkan dalam skala kecil atau demplot yang didampingi narasumber/fasilitator pemberdayaan.

5.5 Karakter Individu dan Kelompok Dalam Adopsi

Inovasi

Pola adopsi inovasi berkembang, baik secara individual maupun secara berkelompok. Adopsi inovasi yang dikembangkan secara perseorangan, diantaranya pengembangan budi daya jamur sebagai usaha pribadi oleh anggota KWT yang mengelola usaha secara mandiri, dengan skala usaha 800 hingga 1.000 baglog setiap kali produksi. Inovasi pengelolaan budi daya jamur diadopsi karena mudah dilakukan dan memberikan keuntungan yang significant secara ekonomi, sehingga pendapatan masyarakat meningkat, membuka peluang kerja bagi anggota keluarga dan

96 |

masyarakat di wilayah pengembangan. Semakin mudah sebuah inovasi baru dan produk yang hasilkan berdaya saing di pasaran, adopsi inovasi akan lebih cepat dipraktekkan oleh adopter. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soekartawi (1988), agar proses adopsi inovasi dapat berjalan cepat maka dibutuhkan upaya penyajian inovasi yang lebih sederhana.

Adopsi inovasi pembuatan produk pupuk organik oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Mekar Harapan-Dusun Metes Desa Argorejo bertujuan utama memanfaatkan limbah peternakan menjadi produk ramah lingkungan yang bernilai ekonomi. Selama ini limbah ternak tidak dikelola dengan baik, bahkan dibiarkan teronggok di sekitar kandang yang berpengaruh terhadap kenyamanan lingkungan dan kondisi kesehatan masyarakat. Kegiatan usaha pembuatan pupuk organik telah mendorong terbangunnya sinergi dan integrasi kegiatan pengembangan ternak oleh masyarakat secara individu, dan pengembangan pertanian organik oleh kelompok dalam penerapan konsep pemupukan berimbang untuk menjaga kesuburan lahan. Hal ini berdampak terhadap terciptanya nilai tambah dari pemanfaatan limbah ternak, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, memperbaiki kesehatan lingkungan dan membuka kesempatan kerja.

Prinsip dasarnya jelas bahwa dukungan pengembangan usaha kepada Kelompok Mekar Harapan dalam usaha pembuatan pupuk organik dari limbah peternakan, bukan dimulai dengan pemberian ternak sapi tetapi mendorong semangat masyarakat untuk mengoptimalkan pemeliharaan ternak dalam skala ekonomi tertentu. Pemicunya adalah manfaat atas pengelolaan limbah ternak yang dirasakan masyarakat sebagai nilai tambah ekonomi, dan menjadi sumber pendapatan tambahan yang

| 97

ditunjukkan dengan keuntungan secara nyata. Selain ternak berkembang dengan baik, pupuk organik yang dihasilkan dari pengolahan kotoran sapi untuk perluasan lahan potensial dalam pengembangan tanaman produktif dan bernilai ekonomi, sehingga diperoleh peningkatan pendapatan, peningkatan kesehatan lingkungan dan berkembangnya kegiatan sosial yang terbangun melalui musyawarah dalam kelembagaan kelompok.

Kegiatan Kelompok Mekar Harapan dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya lokal, menunjukkan tidak dimulai dari titik 0 (nol). Yakni keberadaan ternak sapi masyarakat dengan potensi kotoran ternak dapat dikelola sebagai produk bernilai ekonomi dan ramah lingkungan berupa pupuk organik, dan hasil samping pertanian seperti jerami dan batang jagung dapat diolah sebagai pakan ternak, sehingga dapat dikelola secara terintegrasi dalam kegiatan peternakan dan pertanian secara terpadu, dan berdampak terhadap kemampuan dalam meningkatkan produktivitas dan nilai tambah serta aneka usaha produktif masyarakat dalam menghasilkan berbagai produk pangan dan meningkatkan pendapatan.

Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekonomi berbasis sumber daya lokal, dimulai dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan berupa pelatihan, sekolah lapang dan pendampingan, sehingga proses pengembangan usaha produktif terkelola lebih efektif dan efisien, bernilai tambah dan produk yang dihasilkan berkualitas serta dapat bersaing di pasaran. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi inovasi menjadi kebutuhan dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya unggulan lokal menjadi ekonomi rill, agar usaha yang dikembangkan menguntungkan dan berkelanjutan. Kegiatan budi daya padi yang diselenggarakan melalui kelompok tani sangat

98 |

mempermudah komunikasi dan efektif dalam proses adopsi inovasi, guna memperbaiki pola-pola kegiatan yang selama ini dianggap tidak optimal meningkatkan produktivitas dan penciptaan nilai tambah dari kegiatan yang diselenggarakan.

Dukungan dalam pemberdayaan masyarakat untuk terbangunnya budaya produktif dan inovatif dalam mendorong kegiatan usaha yang berdaya saing, dilakukan melalui pelatihan peningkatan kompetensi dan pendampingan dalam pembelajaran adopsi inovasi, sedangkan penyediaan sarana prasarana untuk pendorong motivasi mengembangkan kreatifitas dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya lokal yang tersedia menjadi produk bernilai ekonomi dan penciptaan nilai tambah atas produk yang dikelola.

5.6 Bentuk-Bentuk Kegiatan Usaha Terintegrasi

Vertikal

Kegiatan kelompok usaha produktif terintegrasi secara vertikal diselenggarakan dengan memproduksi pupuk organik untuk menjamin keberlanjutan persediaan bahan baku dalam proses produksi pengembangan budi daya berbagai jenis tanaman produktif bernilai ekonomi. Selama ini ketersediaan pupuk tidak stabil, sehingga menjadi kendala dalam kontinuitas penyediaan bahan baku untuk proses budi daya tanaman. Disamping itu, dengan kapasitas produksi pupuk organik yang mampu menyediakan bahan baku sendiri akan mampu menjaga efisiensi dalam menghasilkan produk untuk pemenuhan kebutuhan setiap kelompok dalam melakukan budi daya tanaman.

| 99

Gambar 5.5 Skema Integrasi Vertikal Pembuatan Pupuk dan Budidaya Tanaman Produktif Bernilai Ekonomi

5.6.1 Pembuatan Pupuk Organik dan Budi daya

Tanaman Produktif

Kegiatan usaha produksi pupuk organik didasarkan pada keinginan kuat dari kelompok masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan pupuk secara mandiri dan dilatarbelakangi adanya potensi limbah ternak dari 90 ekor sapi di wilayahnya yang dimiliki oleh 83 orang peternak setempat dengan kepemilikan rata-rata 1 hingga 2 ekor sapi. Secara teknis dengan asumsi produksi kotoran sapi/feses 20-25 kg/ekor sapi/hari, maka tersedia sekitar 1.800-2.200 kg bahan baku pembuatan pupuk organik per hari atau sekitar 5,40 - 6,75 ton bahan baku pupuk/bulan. Potensi limbah kotoran ternak tersedia juga di wilayah

100 |

sekitar dengan karakteristik serupa dalam pengembangan ternak sapi, sehingga dapat mendukung ketersediaan kebutuhan bahan baku pembuatan pupuk organik dalam skala ekonomi tertentu dan berkelanjutan.

Gambar 5.6 Tahapan pengumpulan limbah ternak kering untuk bahan baku pembuatan pupuk organik.

Pembuatan pupuk organik dimaksudkan untuk, antara lain: 1) manfaatkan limbah ternak menjadi produk ramah lingkungan dan bernilai ekonomi; 2) pemenuhan pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan lahan; 3) mendorong kegiatan integrasi pengembangan ternak dengan pertanian organik. Fakta yang terjadi selama ini, limbah ternak dijual mentah ke para petani sayur di kawasan pegunungan Dieng dan Temanggung, Jawa Tengah, bahkan ada yang dibiarkan teronggok sekitar kandang sehingga potensi sumber ekonomi tidak terkelola dan tercipta nilai tambah bahkan menggangu kenyamanan lingkungan dan kondisi kesehatan masyarakat.

Di sisi lain, Desa Argorejo juga mempunyai potensi lahan pertanian seluas 169 hektar sawah

| 101

yang bisa dikelola petani setempat dengan konsep pemupukan berimbang, untuk tanaman padi adalah 1-2 ton/ha/musim tanam (Balitbang Pertanian, 2015). Jika diasumsikan dengan kebutuhan, sedikitnya diperlukan pasokan 338 ton pupuk organik per musim tanam atau 1.014 ton/tahun untuk menjaga kesuburan lahan. Dalam rangka integrasi kegiatan, kelompok Anggra Tani Desa Argosari memiliki garapan lahan sekitar 37 hektar sebagai target sasaran pemanfaatan produk pupuk organik.

Kelompok Mekar Harapan (KMH) memiliki anggota yang terdiri dari 18 orang mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik. Kegiatan pengembangan pupuk organik tersebut ialah berupa pembangunan rumah produksi kompos dan peralatan pengolahan pupuk seperti crushing untuk menghaluskan hasil pupuk, packaging dan sarana pendukung proses pembuatan pupuk organik seperti terpal penutup gundukan bahan campuran fermentasi, cangkul dan sekop untuk membolak-balik dan mencampur formula pupuk. Sebelum ada crusher, bongkahan pupuk dihancurkan menggunakan peralatan seadanya dan penutup terpal sebagai atap bangunan.

Proses pembuatan pupuk organik dimulai dengan praktek menerapkan teknologi hasil pembelajaran pelatihan guna mendapatkan formula yang tepat untuk menghasilkan pupuk organik berkualitas dimana aktifitas produksi pupuk ini disesuaikan dengan permintaan pasar (made to order). Artinya proses produksi diselenggarakan memperhatikan volume pesanan konsumen dengan kapasitas rata-rata produksi setiap bulan sebanyak 10 ton pupuk

102 |

Gambar 5.7 Aplikasi Penggunaan Pupuk Organik Pada Skala Kecil.

organik, apabila ada permintaan tinggi maka proses produksi juga akan dilakukan secara maksimal.

Prospek pengembangan usaha pupuk organik sangat potensial dan peluang pasar cukup terbuka lebar. Hal ini juga dapat mendukung beberapa program pemerintah pusat seperti program subsidi pemerintah dalam penggunaan pupuk organic. Selain itu juga, banyaknya petani yang beralih menggunakan pupuk organik untuk merespon permintaan pasar atas produk-produk pangan organik. Sehingga sangat jelas bahwa peluang ekonomi dalam memproduksi pupuk organik juga harus didukung oleh berkembangnya populasi ternak yang dikelola masyarakat, dimana nantinya kotoran ternak yang diperoleh dari sapi-sapi tersebut dapat diolah untuk sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik sebagai organik fertilizer pada campuran pembuatan pupuk kompos.

Pengelolaan pertanian oleh masyarakat khususnya menanam padi masih dilakukan dengan cara tradisional dan

| 103

bersifat sub-sistem. Berdasarkan pengalaman para petani sendiri, selama ini aktivitas pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan penguatan modal sosial masyarakat dengan jalan antara lain: 1) perkenalkan inovasi teknologi terkini, seperti pola tanam jajar legowo; 2) pembuatan pupuk kompos dan pestisida organik; 3) adanya pemberian bantuan peralatan dan bahan produksi pertanian seperti traktor, bibit tanaman produktif bernilai ekonomi untuk menghasilkan produk pangan dan meningkatkan pendapatan.

Pemanfaatan pupuk organik hasil produksi sendiri, dimulai dengan melakukan uji coba teknik budi daya intensif pada demplot (demonstration ploting) pada lokasi percontohan di Desa Argorejo, yaitu: 1) Dusun Polaman seluas 2 ha; 2) Dusun Kalakan seluas 2 ha; 3) Dusun Ngentak seluas 1 ha, serta di Desa Argosari, yakni di Dusun Kalijoho dan Dusun Gubug. Demplot dilakukan untuk menumbuhkan keyakinan masyarakat atas kemanfaatan produk pupuk organik yang dihasilkan. Keberhasilan pola ini telah mendorong petani untuk mengembangkanya secara luas dan mandiri. Uji coba pemanfaatan produk pupuk dengan sistem intensif dipadukan dengan pola tanam jajar legowo, telah mengoptimalkan ruang tumbuh tanaman dengan hasil panen padi maksimal namun hemat dalam penggunaan bibit.

Kegiatan pendampingan fasilitator sebagai tindaklanjut dari keberhasilan demplot, adalah: 1) memperbanyak jumlah petani untuk perluasan pemanfaatan pupuk organik sesuai anjuran penerapan sistem budi daya intensif; 2) memperluas jejaring pasar atas produk “Beras Sehat” yang dihasilkan kelompok secara kelembagaan, sehingga diperoleh peningkatan harga jual yang berdampak pada peningkatan pendapatan.

Kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan dipraktekan

104 |

bersama pada demplot percontohan budidaya tanaman pekarangan bernilai ekonomi. Manfaat terpenting pengembangan tanaman pekarangan, adalah: 1) terpenuhinya kebutuhan dapur keluarga, seperti sayuran dan bumbu-bumbu masak hasil produksi sendiri, sehingga mengurangi pengeluaran rumah tangga; 2) tercipta sumber pendapatan keluarga atas hasil tanaman pekarangan, untuk bahan baku olahan produk pangan yang diterima pasar; 3) tercipta lingkungan produktif, sehat dan asri. Adopsi inovasi dan pemberdayaan masyarakat pembuatan pupuk organik dari limbah kotoran ternak dan sampah organik, mendorong terwujudnya kemandirian pangan, energi terbarukan dan masyarakat mandiri secara ekonomi.

Kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan dengan fasilitasi pendamping memperkenalkan inovasi terkait teknik pemilihan bibit unggul yang tepat untuk tanaman pekarangan dan rekomendasi penggunaan penggunaan pupuk organik untuk pertumbuhan tanaman produktif, teknologi budidaya dalam polybag maupun langsung dilahan pekarangan. Fasilitator juga memberikan penguatan kelompok untuk mengintegrasikan kegiatan usaha, seperti produksi pupuk organik Kelompok Mekar Harapan diarahkan untuk mendukung pengelolaan lahan produktif dan pekarangan dalam penerapan pemupukan berimbang.

| 105

Gambar 5.8. Skema Integrasi Vertikal Pemanfaatan Pupuk Organik pada Budidaya Tanaman Produktif dan bernilai ekonomi.

Namun demikian, harus diakui bahwa pengelolaan lahan pekarangan masih bersifat parsial dan dengan aneka jenis tanaman, sehingga baru sebatas untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga. Kedepan, prospek usaha skala ekonomi bisa dibangun secara berkelompok melalui pengembangan komoditas unggulan terfokus seperti: 1) sayuran (sawi, terong, kacang

106 |

panjang, cabe, tomat, dan lainnya): 2) tanaman obat (kunyit, jahe, sereh wangi dan lainnya); 3) tanaman buah (klengkeng, rambutan, nangka, mangga, jambu biji, sawo, atau coklat). Hasilnya dikumpulkan secara kolektif dan dijual melalui kelompok, koperasi atau BUMDesa. Terkelolanya lahan pekarangan secara optimal, menunjukan pendamping lapangan mampu mendorong perubahan prilaku produktif dan kemandirian masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dapur keluarga, sumber pendapatan serta fungsi lingkungan melalui penghijauan. Kegiatan tersebut dapat optimal dan berkelanjutan dengan meningkatkan keterampilan masyarakat dalam budi daya, pengolahan produk pangan sehat yang dikelola secara berkelompok.

5.6.2 Pembuatan Baglog Media Jamur dan Budi daya

Jamur

Pengembangan budi daya jamur yang berkualitas membutuhkan ketersediaan baglog yang baik sebagai media tumbuh jamur, alasan dibentuknya kelompok usaha pembuatan baglog media jamur dilatar-belakangi banyaknya keluhan masyarakat atas pasokan baglog yang tidak lancar dan kualitas rendah. Adanya unit usaha produksi baglog, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pasokan baglog secara cepat dan tepat dengan kualitas baik untuk pertumbuhan jamur. Fasilitasi kegiatan ini merupakan strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis sumber daya unggulan local dalam proses adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi untuk pemenuhan rantai pasokan (hulu-hilir).

| 107

Gambar 5.9 Baglog Jamur yang sukses dikembangkan masyarakat

Kelompok Surya Mandiri (KSM) dengan anggota 10 orang, meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam pembuatan baglog dengan difasilitasi pendamping dan pelaku usaha baglog yang skala produksinya besar, dimana lokasi produksinya juga sekaligus digunakan tempat pelatihan. Sarana prasarana diberikan untuk mendukung proses produksi baglog berkualitas, berupa bangunan rumah produksi, peralatan pencampur bahan, pencetak dan oven untuk proses sterilisasi. Produksi baglog sebanyak 1.200 buah setiap bulan, telah menjadi peluang usaha masyarakat dalam penyediaan bahan baku pembuatan baglog berupa: 1) serbuk kayu (serbuk gergaji); 2) gamping; 3) bekatul. Bila ditakar 1 baglog beratnya 1,5 kg, maka kebutuhan bahan baku dalam setahun untuk produksi baglog adalah 21.600 kg atau 21,6 ton pertahun. Kegiatan lain yang muncul antara lain usaha pembuatan pupuk kompos dengan memanfaatkan bekas media baglog pasca budi daya jamur dan limbah peternakan (fases) serta sludge biogas untuk digunakan sebagai organik fertilizer karena memiliki unsur hara yang cukup bagi kebutuhan pertumbuhan tanaman organik.

108 |

Produksi baglog dimanfaatkan oleh kelompok budi daya jamur dengan anggota 40 orang yang keseluruhannya perempuan. Ada juga pembeli yang datang langsung ke tempat produksi baglog KSM. Setidaknya ada 2 (dua) pembeli baglog tetap, yaitu kelompok budi daya jamur Mekar Harapan dan Surya Harapan. Dukungan kegiatan pemberdayaan berupa kumbung lengkap dengan baglognya telah meningkatkan volume usaha 2 (dua) kali lipat sebagai demplot, sekarang kapasitasnya mencapai 3.000 baglog dengan panen 3 kali setahun. Sebelumnya satu kumbung dengan kapasitas 700 baglog, karena teknologi pengelolaan jamur berkualitas belum dikuasai sebagian anggota kelompok.

Budi daya jamur berskala usaha cukup besar berkembang setelah adanya Adopsi inovasi dan pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan keterampilan pengembangan jamur mulai dari teknologi persiapan pembuatan baglog, teknik budi daya dan proses inokulasi bibit jamur agar tumbuh dengan baik, penanganan pasca panen dalam memetik jamur di dalam kumbung, proses pasca panen dan pengolahan produk olahan jamur berupa kerupuk dan makanan ringan lainnya. Dampaknya mampu membuat kelompok lebih aktif, sehingga aktifitas usaha berkembang sangat signifikan baik dalam memproduksi maupun pengolahan produk jamur yang berdaya saing di pasaran.

Adopsi inovasi pengembangan jamur sangat bermanfaat, dan prospektif untuk dikembangkan menjadi satu komoditas ekonomi yang dikelola masyarakat karena pengembangan usaha budi daya jamur dirasakan hasil keuntungannya sangat signifikan pendapatan. Oleh karena itu pengembangan budi daya jamur telah banyak dilakukan secara individu atau sebagai usaha pribadi, dengan skala 800 hingga 1.000 baglog setiap produksi.

| 109

Gambar 5.10. Skema Integrasi Vertikal kegiatan Pembuatan Organik, Baglog, dan Budidaya Jamur.

5.6.3 Pembuatan Pakan Ikan dan Budi Daya Lele

Kegiatan usaha pembuatan pakan ikan merupakan program integrasi pemberdayaan ekonomi bantuan pemerintah daerah kepada kelompok masyarakat yang beranggota 25 orang, untuk pengembangan budi daya ikan lele. Pemerintah daerah memberikan bantuan pembangunan kolam budi daya lele, bibit ikan lele dan pakan. Program pemberdayaan memberi dukungan peralatan produksi pellet ikan untuk dikelola kelompok masyarakat, guna memenuhi kebutuhan pakan pengembangan budi daya lele yang dikembangkan kelompok.

Pembuatan pellet ikan menggunakan bahan baku lokal yang tersedia di sekitar wilayah pengembangan, seperti: bekatul, jagung, tepung ikan, bungkil dan minyak ikan dengan proses

110 |

adopsi inovasi teknologi yang yang dianjurkan oleh fasilitaor melalui pelatihan dan pendampingan praktek pembuatan pakan, serta praktisi usaha atau produsen bahan baku pakan lele. Begitu pula halnya dengan adopsi inovasi budi daya ikan, khususnya dalam pemberian pakan yang standar untuk untuk meningkatkan jumlah populasi ikan yang selama ini volumenya tergantung masing-masing anggota.

Gambar 5.11. Pembuatan Pakan Ikan oleh kelompok Desa Argosari

Pemanfatan pakan lele berupa pellet digunakan langsung anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam kegiatan pengembangan budi daya lele. Budi daya lele dilakukan dengan 2 sistem, yaitu: 1) dikelola pada kolam milik kelompok sebagai demplot atau dilakukan dalam skala kecil, yakni budi daya dalam 3 kolam dengan kapasitas 9.000 ekor benur; 2) dikelola pada kolam individu, yakni budi daya lele dipelihara masing-masing dengan pembagian bibit dan pakan lele.

| 111

Gambar. 5.12 Skema Integrasi Vertikal Kegiatan Pembuatan Pupuk Organik dan Pembuatan Pakan Ikan, dan Budidaya Lele

5.6.4 Pengelolaan Instalasi Biogas

Pengolahan instalasi biogas sebagai demplot yang dilengkapi sarana prasarana dan kandang komunal ternak sapi, untuk mencukupi kebutuhan volume kotoran ternak sebagai bahan bahan baku biogas. Pendampingan dilakukan untuk meningkatkan keterampilan teknis pemanfaatan kotoran ternak yang diolah dalam proses biogas, untuk menghasilkan energi sebagai bahan bakar. Di samping itu, ampas padatnya (sludge) digunakan sebagai pupuk organik, untuk meningkatkan kesuburan tanah dan menumbuhkan tanaman produktif bernilai ekonomi di lahan pekarangan dan lahan pengembangan kelompok masyarakat.

112 |

Gambar 5.13. Skema Integrasi Vertikal Kegiatan Pengelolaan Biogas dengan Pembutan Pupuk Kompos

Pengelolaan instalasi biogas sebagai demplot yang dimaksud belum diorientasikan untuk kegiatan berskala ekonomi tertentu, namun masih pada upaya sebagai pengganti gas elpiji untuk kebutuhan memasak anggota kelompok, sehingga mengurangi pengeluaran keluarga. Berbeda dengan limbah atau Slugde padat yang dihasilkan dari proses instalasi biogas, yang mana dapat dapat menjadi bahan pembuatan pupuk kompos sehingga menjadi sumber pendapatan masyarakat yang tercipta dari pengelolaan instalasi biogas (bio-digester).

5.7 Bentuk-Bentuk Kegiatan Usaha Terintegrasi

Horizontal

Integrasi horizontal menurut Hasibuan (1993) merupakan penggabungan beberapa kegiatan usaha yang memiliki proses produksi sama dan produk yang dihasilkan juga serupa. Hal tersebut diperkuat pernyataan Rangkuti (2006), yang mengatakan bahwa strategi integrasi horizontal adalah salah satu strategi pertumbuhan usaha dengan cara memperluas kegiatan lini produk atau membangun di lokasi lain yang tujuannya meningkatkan jenis produk dan jasa.

Kegiatan usaha yang melakukan integrasi horizontal dapat memperluas pasar, fasilitas produksi maupun teknologi dengan pengembangan internal maupun eksternal melalui strategi bisnis seperti akuisisi atau joint venture dengan perusahaan atau kegiatan usaha lain dalam bidang produk atau jasa yang sama.

| 113

Proses intergasi horizontal dengan penggabungan lebih dari satu kegiatan usaha dalam produk yang sama, karena dikelola secara mandiri maka selain diperoleh hasil produk optimal (produktivitas tinggi dan kualitas baik) juga tercipta nilai tambah dan memunculkan aneka sumber pendapatan.

Gambar 5.14. Skema Integrasi Horizontal dalam Kegiatan Usaha Produktif

Kegiatan kelompok yang termasuk integrasi horizontal tergambar, pada beberapa kegiatan usaha antara lain; 1) produksi hasil tanaman jahe di lahan pekarangan yang dikembangkan menjadi olahan jahe instan, proses ini menjadikan nilai tambah dan peningkatan harga jual dibanding dengan produk jahe langsung dijual dalam bentuk bahan baku; 2) kegiatan usaha pengembangan produk jamur, dengan mengembangkan diversifikasi olahan menjadi keripik jamur yang menghasilkan diferensiasi produk jamur; 3) kegiatan usaha breeding kambing dan penggemukan kambing yang memiliki produk yang sama, namun berbeda pada manajemen pemeliharaan yang mempengaruhi output kegiatan usaha.

114 |

5.7.1 Pengembangan Produk Jahe & Temulawak

Instan

Proses integrasi horizontal terjadi dari pengembangan budi daya tanaman pekarangan yang dikelola kelompok usaha yang sama (KWT), tetapi dalam kegiatan berbeda dengan memunculkan diferensiasi produk berupa hasil olahan jahe instan sehingga tercipta nilai tambah. Peningkatan nilai tambah yang diciptakan dari adopsi inovasi diversfikasi olahan produk hasil tanaman pekarangan, dengan bantuan peralatan pengemasan serbuk jahe instan.

Gambar 5.15. Skema Integrasi Horizontal Kegiatan Budidaya, dan Pengolahan Jahe Instan

| 115

Produk jahe hasil budi daya di lahan pekarangan tersebut, diproses menjadi jahe instan dan membentuk satu rantai pasok yang dapat meningkatkan nilai tambah. Produk serbuk jahe instant diolah tanpa pengawet kimia dengan mengurangi kadar air, dan proses pengepakan (packaging) dengan sistem vacum udara untuk manahan tidak berkembangnya bakteri sehingga dapat tersimpan lebih lama.

Gambar 5.16. Hasil Olahan Jahe dan Temulawak Instan oleh KWT

5.7.2 Pengembangan Produk Kerupuk Jamur

Integrasi horizontal terbangun melalui rantai pasok baglog dalam memenuhi kebutuhan kelompok yang mengembangkan budi daya jamur, kemudian hasil produksi jamur diproses melalui pengolahan menjadi kerupuk jamur dan makanan ringan. Proses pengolahan tersebut mampu mendorong peningkatan nilai tambah, membuka kesempatan kerja dan usaha baru sebagai sumber pendapatan masyarakat.

116 |

Gambar 5.17. Skema Integrasi Horizontal Kegiatan Usaha Jamur

Adopsi inovasi pengembangan usaha jamur terintegrasi, dikemas sedemikian rupa sehingga menciptakan peluang usaha produk olahan. Produk hasil olahan ini tahan lama dan memiliki tampilan yang lebih menarik bagi konsumen. Kegiatan budi daya dengan produk olahan kerupuk jamur dan makan ringan lainnya merupakan kegiatan integrasi secara horizontal dalam rantai pasok bahan baku untuk diolah sehingga meningkatkan efisiensi, nilai tambah dan keuntungan lebih dibandingkan dengan langsung dijual ke pasaran tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

Gambar 5.18. Hasil olahan kripik Jamur oleh Anggota Kelompok

| 117

Proses adopsi inovasi dalam kegiatan kelompok tersebut, telah mengarah pada usaha berskala ekonomi tertentu terutama dalam menjamin ketersediaan bahan baku, peningkatan kuantitas dengan standar dan akses pasar yang jauh lebih baik.

5.7.3 Pembibitan (Breeding) dan Penggemukan

Kambing

Pengembangan breeding kambing oleh kelompok Anggra Tani yang sebagian besar anggotanya merupakan petani dan peternak, sudah terbiasa memelihara ternak walaupun dalam skala kecil dan bersifat sub-system. Umumnya kambing dipelihara dengan pemberian pakan tergantung anggota yang memelihara, kandang ditempatkan di samping atau di belakang rumah. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan pengawasan dan memang belum ada kandang komunal dikelola kelompok. Faktor pendukung lainnya ialah ketersedian pakan hijauan melimpah dilahan garapan, luasnya sekitar 37 ha dan rata-rata anggota menggarap 1.000 m2 dengan 2 kali musim tanam pertahun yang juga diselingi tanaman palawija.

Adopsi inovasi pengelolaan kambing dilakukan melalui pola pemeliharaan terpusat dalam kandang komunal, dengan treatment khusus terkait pakan terhadap ternak yang dipelihara. Upaya pemenuhan kebutuhan protein dan “maintainance” pertumbuhan ternak dan pengelolaan limbah ternak dalam pola pemeliharaan terpusat. Kelompok ini diberikan pelatihan inovasi antara lain; 1) pemeliharaan dan pengembangbiakan kambing dalam kandang komunal, secara efektif ; 2) teknologi fermentasi untuk memproduksi pakan olahan, yakni pengawetan pakan menggunakan mikrobia untuk memproduksi pakan ternak olahan yang bisa disimpan dalam beberapa waktu sebagai persediaan

118 |

atau cadangan pakan secara berkelanjutan.

Manfaat inovasi ini sangat memudahkan pengelolaan ternak, kerena waktu bekerja lebih efesien dan efektif dalam situasi tidak bisa mengambil rumput segar saat ada keperluan keluar rumah; 3) teknologi pengolahan limbah ternak dengan penggunaan EM4, untuk memproduksi pupuk organik secara efisien.

Gambar 5.19 Pembibitan (Breeding) Kambing oleh penduduk Desa

Pemeliharaan ternak terpusat dimaksudkan agar pemanfaatan limbah atau kotoran ternak dapat diolah sebagai organik fertilizer dalam pembuatan kompos, sehingga mampu bersinergi dengan kegiatan pengembangan tanaman produktif dan bernilai ekonomi sebagai sumber pendapatan masyarakat. Hasil pembibitan atau anakan kambing dikembangkan oleh kelompok penggemukan, dengan

sistem bergulir dalam jangka waktu pengembalian yang

| 119

disepakati kelompok. Terdapat juga kelompok yang mengembangkan pola penggemukan, selain pengembangan ternak kambing melalui breeding. Berikut ini alur integrasi horizontal kegiatan usaha pembibitan dan penggemukan kambing.

Gambar 5.20. Skema Integrasi Horizontal Kegiatan Usaha Kambing

5.8 Peta Demografi Kelompok Program

Pemberdayaan

Kemampuan dan keterampilan masyarakat untuk menerima adopsi inovasi sangat dimungkinkan pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang telah memasuki usia “dewasa” yakni tergolong usia produktif, oleh karena kelompok masyarakat itu sudah memiliki kecakapan berpikir rasional. Aspek pendidikan juga memainkan peran yang cukup penting dalam keberhasilan pengembangan program.

Setiap individu usia produktif yang telah melewati jenjang pendidikan tinggi semakin mudah menyerap adopsi inovasi dan mengaplikasikan teknologi. Fakta di lapangan terkait karakteristik demografi anggota kelompok setiap kegiatan,

120 |

yang meliputi: umur, pendidikan formal dan non-formal serta pekerjaan dapat digambarkan pada grafik karakteristik masing-masing anggota seperti Gambar 5.14 di bawah ini.

Gambar 5.21. Grafik Karakteristik Anggota Kelompok Usaha Produktif Desa Argorejo dan Desa Argosari (Data diolah, 2017)

Grafik karakteristik anggota kelompok pada di atas, menunjukkan bahwa: Pertama: Karakteristik Umur, mayoritas anggota kelompok termasuk kategori dewasa (15–59 tahun) yang mana merupakan usia dewasa yang tergolong usia produktif, sehingga dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan untuk menerima adopsi inovasi sangat tepat;

Kedua: Karakteristik pendidikan formal, rata-rata anggota kelompok hanya menempuh jenjang pendidikan 6 tahun (SD), yang berarti bahwa mayoritas anggota kelompok memiliki tingkat pengetahuan yang terbatas sebagai implikasi dari rendahnya tingkat pendapatan. faktor Pendidikan cukup berperan dalam pengembangan program pemberdayaan, semakin tinggi pendidikan lebih mudah bagi individu tersebut menyerap adopsi

| 121

inovasi dan mengaplikasikan teknologi. Esensi pendidikan untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang mengacu pada pendidikan, tujuannya meningkatkan kemampuan kerja sekaligus taraf hidup (Fatah, 2006).

Ketiga: Karakteristik Pendidikan Non-Formal, banyak anggota kelompok sudah mengikuti pelatihan dan praktek langsung dengan bimbingan narasumber atau praktisi yang ahli dibidangnya. Mengindikasikan rata-rata sudah mendapat informasi, pengetahuan dan keterampilan teknis. Pendidikan non-formal penting diikuti, karena dapat mempercepat memahami proses adopsi inovasi yang diperkenalkan oleh fasilitator secara praktis, dan efektif.

Keempat: Karaktersitik Pekerjaan, mayoritas anggota bermata pencaharian sebagai petani, peternak dan buruh. Kondisi geografis kedua desa memang sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian dan peternakan, sehingga mudah melakukan adopsi inovasi karena proses penyerapan informasi berlangsung secara linier.

Adopsi inovasi sebagai proses mental atau perubahan prilaku berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada seseorang sejak mengenal inovasi sampai memutuskan mengadopsinya. Menurut Mosher (1970) terdapat 3 hambatan utama dalam proses adopsi inovasi, yaitu: 1) mental block barriers, hambatan lebih disebabkan sikap mental yang cenderung resisten atau menolak terhadap perubahan; 2) culture block (hambatan budaya), lebih dilatarbelakangi adat yang sudah mengakar dan sudah menjadi tradisi; 3) social block, hambatan inovasi sebagai akibat dari faktor sosial dan pranata masyarakat sekitar.

122 |

Teori adopsi inovasi Roger membagi 5 kategori individu atau kelompok, yaitu: 1) innovator; 2) early adopter; 3) early mayority; 4) late mayority; dan 5) lagards. Pembagian tersebut tercermin dari prilaku individu atau kelompok, apakah paling cepat dan paling akhir atau sangat tradisional dalam mengadopsi inovasi, sejak mengenal inovasi sampai ada keputusan mengadopsi. Rogers dan Shoemaker (1971) menggambarkan Pengkategorian Adopter berdasarkan keinovatifan individu atau kelompok seperti pada Gambar 5.15 berikut:

Gambar 5.22. Kurva Jenis Klasifikasi Adopter menurut Rogers

Data hasl analisis katagori adopter pada setiap kelompok usaha, dapat dilihat pada Tabel 5.1, merujuk pada klasifikasi perbedaan dalam proses terjadinya adopsi inovasi.

| 123

Tabel 5.1. Pengkategorian Adopter Menurut Karakteristik Anggota

Sumber : Data Hasil Olahan Sendiri, 2017.

124 |

Gambar 5.23. Kurva Jenis Klasifikasi Adopter Teori Rogers dan Kelompok Sedayu

Gambar kurva di atas menunjukkan 7 dari 8 kelompok usaha produktif mempunyai prosesntase: innovator antara 6,7% hingga 14,3%; early adopter antara 8,3% hingga 18,2%; sisanya merupakan klasifikasi early mayority antara 71,4% hingga 77,8%. Sementara 1 kelompok tidak mempunyai innovator, dan hingga 50% merupakan early adopter, karena merupakan kegiatan yang memberikan pengetahuan baru sehingga kesemuanya menjadi adopter, yakni dalam pengelolaan instalasi biogas.

Perbandingan klasifikasi adopter dari anggota kelompok dengan teori kurva Rogers memberikan informasi kepada kita bahwa jumlah innovator kelompok sekitar 6,7% mempunyai persentase lebih tinggi dari innovator dalam kurva Roger yang hanya 2,5%. Hal ini dipengaruhi jumlah anggota kelompok yang tidak banyak, sehingga tampilan presentase setara dengan jumlah 1 hingga 2 orang paling cepat mengadopsi

| 125

inovasi dan aktif mencoba menerapkan metode baru itu dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan katagori early adopter sekitar 8,3% untuk kelompok pembuatan pupuk lebih rendah dari kurva Rogers 13,5% tapi lainnya mendekati 11,1% hingga 18,2%, dan early mayority 71,4% sebagai anggota yang cepat mengikuti innovator dan kelompok yang kebanyakan mau meniru cara baru setelah benar-benar berhasil. Hal tersebut lebih tinggi dari teori Roger yang hanya 13,5%, namun katagori kelompok late mayority dan legards tidak teridentifikasi karena mereka merupakan kelompok yang terbangun dalam anggota sistem sosial yang mengikuti pelopor atau inovator.

Teori Rogers terkait tingkatan kelompok adopter, menyatakan inovator biasanya seorang yang memiliki kedudukan penting dalam lingkungannya atau pemimpin yang memiliki pengaruh di masyarakat. Hal ini sesuai dengan inovator kelompok yaitu ketua kelompok dan juga Guru Sekolah Dasar, yang berpengaruh bagi lingkungannya. Indikasinya bahwa potensi keberhasilan intervensi program berada pada adopter yang ada dalam kelompok, dan menunjukkan jenis adopter yang efektif dalam penyerapan inovasi baru serta membentuk pola khusus dalam hal adopsi inovasi. Hal tersebut mendukung proses adopsi inovasi dalam pengembangan kegiatan usaha terintegrasi.

Fakta ilmiah yang ditemukan dari hasil pengamatan pada Desa Argosari dan Argorejo (Bantul-Yogyakarta) tersebut, boleh jadi memiliki karakteristik yang sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia, dimana masyarakatnya juga bertumpu pada sektor ekonomi primer yang berbasis pada peternakan dan pertanian. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sangat layak untuk dijadikan sebagai rujukan untuk diterapkan pada program pemberdayaan masyarakat desa secara nasional. Dengan harapan tentu saja,

126 |

agar problematika sosial ekonomi perdesaan di Indonesia dapat segera terselesaikan hingga tuntas.

| 127

BAGIAN - 6 : PROSES PEMBERDAYAA DA-LAM ADOPSI INOVASI

6.1 Siapakah Yang Diber-daya-kan ?

Konsep utama pemberdayaan adalah bagaimana memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam komunitasnya. Cerita sukses program pemberdayaan masyarakat di Desa Argosari dan Argorejo (Bantul-Yogyakarta) merupakan satu contoh program pemberdayaan yang fenomenal. Betapa tidak, adanya berbagai manfaat “ekstra” yang dirasakan oleh masyarakat dari ragam aktivitas sosial ekonomi baru yang timbul melalui serangkaian proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi tersebut, telah mampu meningkatkan pendapatan, skala ekonomi usaha produktif, dan semakin memperkuat ikatan solidaritas antar individu maupun kelompok masyarakat.

Tantangan utama yang dihadapi oleh para fasilitator pemberdayaan masyarakat desa saat ini adalah bagaimana “merawat” dan menumbuh-

128 |

kembangkan nilai-nilai solidaritas sosial masyarakat dalam bentuk gotong-royong dan perilaku hidup guyub yang belakangan ini, mulai memudar oleh karena adanya pengaruh berbagai faktor. Adanya “kompetisi” antar individu maupun antar kelompok usaha berpotensi menghilangkan keguyuban dan sifat gotong-royong sebagai karakter asli masyarakat perdesaan untuk sukses bersama. Penyebab paling dominan atas mulai “lunturnya” budaya gotong royong dan guyub di dalam masyarakat kita, seringkali justru disebabkan oleh adanya intervensi taktis dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan penganggaran yang kurang memperhatikan kultur sosial budaya asli masyarakat desa. Kondisi seperti itu justru membuat masyarakat desa menjadi tidak berdaya.

Kegiatan pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka (Suparjan dan Hempri, 2003). Melalui satu rangkaian proses adopsi inovasi, masyarakat desa telah semakin menjadi “berdaya” dibandingkan masa-masa sebelum adanya program pemberdayaan, dimana proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah “roh-nya”.

Proses pemberdayaan masyarakat desa melalui optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya ekonomi lokal, dimana sebelumnya kurang mendapat perhatian serius oleh karena belum ada pengetahuan tentang ragam potensi usaha produktif yang bisa diciptakan oleh masyarakat sendiri dengan mengolah potensi sumber daya ekonomi tersebut menjadi satu komoditas yang bisa menjadi sumber pendapatan, merupakan suatu langkah transformatif yang menarik untuk ditelaah secara seksama. Melalui proses

| 129

transformasi sosial ekonomi tersebut, bukan hanya pendapatan masyarakat yang meningkat, tapi juga kelestarian lingkungan menjadi lebih baik, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sektor ekonomi primer kita juga ikut meningkat, dan aspek sosial kemasyarakatan menjadi semakin baik.

Bukti dan hasil nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat setelah menerapkan adopsi inovasi terintegrasi telah mendorong peningkatan motivasi dan keinginan, baik secara individual maupun berkelompok untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik secara mandiri. Tentu saja itu tidak terlepas dari peran aktif fasilitator dan pendamping dalam mengarahkan, menuntun serta membangkitkan motivasi bekerja sehingga dicapai titik temu perihal pencapaian sasaran atau tujuan yang diharapkan atas upaya pengembangan kegiatan usaha yang dikelola sendiri oleh kelompok masyarakat yang ada di desa.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, inovator adalah orang yang selalu berupaya melakukan perbaikan, menyajikan sesuatu yang baru atau unik berbeda dengan sebelumnya dan mampu membawa perubahan pada lingkungan masyarakat desa secara langsung maupun tidak langsung. Pada sisi lain inovator juga merupakan orang yang “sanggup” menerima perubahan yang terjadi dan menyikapi perubahan tersebut dengan positif, serta berani mengambil resiko berhasil ataupun gagal di setiap jalan yang diputuskannya dalam melakukan adopsi inovasi. Mereka itulah para adopter yang menerapkan metode dan teknologi baru dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih baik, terutama dari sisi aspek pendapatan yang semakin meningkat.

130 |

Proses pemberdayaan masyarakat dalam adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi, diselenggarakan fasilitator melalui berbagai tahapan yakni : 1) pemetaan potensi; 2) peningkatan kompetensi; 3) pendampingan dalam proses adopsi inovasi; dan 4) pembangunan demo-plotting (demplot) untuk memunculkan inovator dari masyarakat sebagai agen perubahan atau adopter yang melakukan proses penyebaran informasi dalam rangka peningkatan kemampuan anggota kelompok dan pengembangan kegiatan usaha terintegrasi berbasis potensi sumber daya unggulan lokal yang berdaya saing secara ekonomi.

Alur proses pemberdayaan yang dilakukan pendamping dalam pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal, secara skematis terlihat pada Gambar 6.1 dibawah ini:

Gambar 6.1. Proses Pemberdayaan dan Pendampingan Proses Adopsi Inovasi Peternakan Terintegrasi

6.2 Transformasi Perilaku Masyarakat

Secara umum, setiap desa di Indonesia memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang beragam. Dengan terminologi (istilah) yang disesuaikan dengan bahasa asli penduduk setempat. Untuk konteks masyarakat Jawa sendiri, kita mengenal ada istilah 3 N. Seorang pendamping kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam kiprahnya di masyarakat dituntut mampu membudayakan prinsip 3 N (Jawa: Niteni, Niru, Nambahi), yang dapat diartikan sederhana bahwa dalam transfer teknologi terjadi proses Niteni yakni memperhatikan dengan sungguh-sungguh hingga

| 131

dapat memahami), Niru bermakna meniru atau mencontoh dan melaksanakan sesuai anjuran, dan selanjutnya dapat Nambahi yaitu menambahkan dengan inovasi yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

Selain prinsip 3 N tersebut, teknologi yang diadopsi juga harus memenuhi unsur 2 M yaitu bersifat mudah dan murah. Makna “mudah” tidak berarti dilakukan dengan cara “seadanya” apalagi “seperlunya”, tetapi dapat dijangkau oleh kemampuan dasar kelompok sasaran dalam menentukan derajat kemudahan adopsi teknologi. Kelompok sasaran harus dipahamkan, bahwa meraih kesuksesan tidak ada jalan yang mudah. Pengertian “murah” tidak berarti segala sesuatu bersifat “gratisan”, yakni bagaimana teknologi yang dipakai atau digunakan mampu memberikan nilai tambah signifikan atas modal yang dikeluarkan.

Program pemberdayaan masyarakat, disusun sedemikian rupa dalam format dan model pendekatan “solusi total”, dimana sebelumnya telah dilakukan pemetaan terlebih dahulu atas kondisi objektif dan pemasalahan riil yang dihadapi masyarakat desa. Prinsip utama yang menentukan keberhasilan suatu program pemberdayaan adalah partisipasi aktif dari masyarakat lokal yang menjadi subjek (pelaku) sekaligus objek (sasaran) program itu sendiri.

Keterlibatan masyarakat dalam proses perencananaan, rencana aksi, hingga pada tahapan implementasi merupakan

variabel penting dalam proses dan tahapan pemberdayaan. Masyarakat sebagai “agen” sekaligus “pemilik” hasil-hasil pembangunan yang lahir dari program pemberdayaan tersebut.

132 |

Terkait dengan hal ini, Suparjan & Hempri (2003) mengungkapkan bahwa Pemberdayaan juga mengutamakan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek, secara garis besar proses ini melihat pentingnya mengalihfungsikan individu yang tadinya sebagai obyek menjadi subyek.

Indikator yang juga krusial dalam melihat keberhasilan suatu program pemberdayaan adalah andanya perubahan perilaku masyarakat. Beberapa parameter yang bisa digunakan diantaranya ialah masyarakat baik secara individu maupun kelompok, menjadi lebih produktif dan inovatif dalam proses pengolahan dan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya lokal. Adanya peningkatan produktivitas dan tumbuhnya perilaku inovatif masyarakat ini, selanjutnya berimplikasi pada meningkatnya daya saing setiap jenis produk yang dihasilkan.

Target pemberdayaan merubah obyek menjadi subyek dimaksudkan untuk memberikan peran dan tanggung jawab yang lebih besar, sehingga masyarakat yang mendapatkan intervensi pendampingan memiliki motivasi kuat untuk “meng-eksekusi” sendiri rencana aksi yang termuat dalam program pemberdayaan tersebut, secara terintegrasi dan berkelanjutan. Pemberdayaan harus memberi pengaruh perubahan perilaku masyarakat menjadi produktif dan inovatif, dalam pengelolaan potensi sumber daya lokal sehingga perubahan obyek pendampingan menjadi subyek, pelaku pembangunan itu sendiri.

Kemauan dan kemampuan yang tumbuh pada diri setiap peserta untuk mengoperasikan dan mengembangkan pemanfaatan teknologi baru dalam kegiatan usaha, merupakan hal yang sangat positif. Motivasi dan kepercayaan diri mernjadi faktor penguat proses pengambilan keputusan untuk menerapkan adopsi inovasi.

| 133

Adanya motivasi dan rasa percaya diri yang tinggi ini juga akan sangat menentukan keberhasilan dan keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat setempat. Perubahan perilaku dan cara pandang masyrakat tersebut menunjukkan peran pendampingan berhasil dalam memunculkan adopter yang kritis sekaligus sebagai inovator aktif dalam kelompok pengembangan kegiatan usaha terintegrasi.

Penyakit kronis yang seringkali menjadi hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh para fasilitator pemberdayaan masyarakat, ketika memulai langkah awal adalah adanya paradigma tradisional di masyarakat desa yang pasrah

terhadap apa yang diterima atau yang telah ditakdirkan. Dalam bahasa jawa, istilah ini dikenal dengan ungkapan “nrimo ing pandum”. Sikap pasif seperti ini umumnya berkembang di kalangan petani di Pedesaan, dimana tingkat pendidikan formal yang diselesaikan umumnya sangat rendah. Perilaku seperti ini berimplikasi negatif bagi suksesnya suatu program pemberdayaan di masyarakat. Penyebabnya adalah sikap dan pola pikir tertutup (defensif) dalam melakukan penetrasi pada setiap lini dan tahapan aktivitas produksi, terlebih jika bicara soal perluasan pasar. Dampaknya, kegiatan usaha yang dikerjakan secara berkelompok seringkali memperoleh hambatan struktural secara internal dari dalam kelompok itu sendiri, khususnya perihal kualitas, kuantitas dan ketepatan waktu (3K) pada produk yang dihasilkan.

134 |

Bagi masyarakat sendiri, tantangan keberhasilan pengelolaan usaha peternakan terintegrasi sesuai konsepnya, adalah bagaimana memunculkan inovator dalam kelompok masyarakat tersebut. Disnilah peran penting seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat harus secara total dan konsisten memainkan tugas dan tanggung jawabanya. Fasilitator pemberdayaan harus mampu mendorong lahirnya anggota masyarakat yang mampu menjadi pelaku utama pengelola usaha produktif berbasis sumber daya unggulan lokal, dengan peranannya masing-masing. Terbaginya peran secara “alamiah” di dalam kelompok, baik sebagai adopter, inovator, integrator atau hanya sekedar pengikut dalam proses penerapan konsep kegiatan terintegrasi sebagai inovasi tersebut, merupakan suatu fakta sosial yang menjadi potret karakteristik masyarakat secara umum. Melalui proses integrasi yang telah diterapkann oleh para inovator dan adopter itulah, peningkatan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan keuntungan maksimal dalam pengeloaan usaha peternakan dapat terwujud.

6.4 Pemberdayaan Masyarakat : Pemetaan Potensi

Sumber Daya

Program pemberdayaan masyarakat, disusun sedemikian rupa dalam format dan model pendekatan solusi total, dimulai dengan pemetaan atas kondisi objektif dan pemasalahan riil yang dihadapi masyarakat desa. Tahapan pemetaan potensi dan pengenalan permasalahan yang dihadapi masyarakat desa, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran atas kebutuhan program dan kegiatan prioritas sebagai dasar penyusunan rencana aksi dan implementasi program pemberdayaan, sehingga efektif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa pada berbagai dimensinya, khususnya aspek peningkatan

| 135

pendapatan dan pelestarian lingkungan. Mengutip pernyataan Muhi (2011) bahwa, kegiatan atau aktivitas untuk mengetahui dan menggambarkan posisi, serta penyebaran potensi dan permasalahan dalam suatu wilayah desa inilah yang disebut dengan memetakan potensi dan permasalahan wilayah desa.

Optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya ekonomi melalui program pemberdayaan, dapat terselenggara dengan efektif apabila dalam pelaksanaan (implementation) program fasilitator mampu berperan membantu masyarakat setempat dalam mengidentifkasi secara menyeluruh (holistik) potensi sumber daya unggulan lokal yang tersedia sebagai komoditas bernilai ekonomi dan berdaya saing dipasaran. Serta mengetahui permasalahan dan tantangan dalam pengembangannya menjadi komoditas bernilai ekonomi.

Pemetaan dan peningkatan kompetensi merupakan bagian terpenting dalam proses pemberdayaan masyarakat di setiap desa tertentu, sebagai dasar penyelenggaraan adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya ekonomi desa. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi dasar pengembangan aktifitas ekonomi produktif, meningkatkan pendapatan, terbukanya peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemberdayaan dan pendampingan dalam proses pemetaan, diperlukan untuk memberikan “suntikan” motivasi bagi masyarakat untuk bekerja lebih produktif dan inovatif berdasarkan keunggulan komparatif sumber daya yang tersedia, dan menentukan bentuk adopsi inovasi yang aplikatif secara tersistem. Dalam proses pemetaan sumber daya ekonomi lokal,

136 |

data dan informasi yang harus diperoleh, diantaranya meliputi:

1) potensi SDA, khususnya keaneka-ragaman sumber daya hayati; 2) SDM, diantaranya kondisi masyarakat; 3) sosial dan ekonomi, yang terdiri kelembagaan dan kohesi sosial, tokoh masyarakat, kepemilikan aset dan tingkat kesejahteraan; 4) kondisi

infrastruktur, berupa sarana transportasi, sumber daya air, listrik dan sumber energi lainnya, serta peralatan pendukung peningkatan produktivitas, kualitas produk dan nilai tambah dalam satu sistem usaha terintegrasi secara vertikal maupun horizontal.

Tindaklanjut dari hasil pemetaan, data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan diskusi secara terfokus menjadi dasar penyusunan rencana aksi dan menentukan skala prioritas kegiatan. Rencana aksi yang telah disusun juga harus dilengkapi rancangan kebutuhan anggaran, serta strategi pelaksanaan yang efektif untuk mengembangkan usaha.

Keberhasilan dan keberlanjutan atas pencapaian target dan sasaran pemberdayaan ekonomi masyarakat desa yang didasarkan pada hasil pemetaan, sangat ditentukan oleh kelembagaan kelompok yang baik dalam

| 137

pembagian peran, dan tanggung jawab para pihak sebagai wujud pelaksanaan komitmen yang disepakati bersama. Struktur dan manajemen organisasi yang rapih, memainkan peran strategis dalam mendistribusikan tugas dan wewenang dalam menjalankan program pemberdayaan melalui adopsi inovasi peternakan teintegrasi.

6.4 Pemberdayaan Jalur Peningkatan Kompetensi

Problematika klasik yang menjadi kendala dan tantangan dalam suksesnya setiap kegiatan atau program pemberdayaan adalah persoalan rendahnya kapasitas sumber daya manusia. Manusia sebagai pelaku pembangunan, khususnya agen dan sekaligus aktor dari aktivitas pemberdayaan dituntut mampu memenuhi “syarat minimal” agar rencana aksi yang telah diimplementasikan dapat berjalan sukses dengan hasil yang memuaskan. Masalah kualitas sumber daya manusia yang rendah ini juga menjadi hambatan tersendiri bagi pencapaian keberhasilan program. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi SDM dalam bentuk pengenalan dan pemanfaatan teknlogi dan keterampila teknis “perihal” kegiatan usaha terintegrasi, strategi dan konsep manajement usaha yang terlembagakan secara baik, menjadi mutlak untuk dilakukan, guna tercapai peningkatan kesejahteraan.

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan itulah, inisiasi pengembangan peternakan terintegrasi menjadi “jalan lurus” yang bisa ditempuh. Sudah lumrah diketahui bersama, bahwa kultur sosial ekonomi masyarakat pedesaan yang umumnya bertumpu pada aktivitas ekonomi primer seperti pertanian dan peternakan, belum secara sistematis menerapkan model peternakan terintegrasi. Imbasnya, setiap unit produk

138 |

yang dihasilkan oleh masyarakat di daerah pedesaan memiliki nilai tambah dan daya saing yang rendah. Implikasi derivatifnya adalah, rendahnya tingkat pendapatan dan level kesejahteraan masyarakat desa di Indonesia.

Keputusan penetapan sistem yang digunakan dalam pengembangan usaha, perubahan pola pikir dan pencarian model yang efektif dalam pengelolaan potensi sumber daya unggulan menjadi ekonomi riil sangat ditentukan

oleh kemampuan SDM kelompok sebagai pelaku utama. Kelompok masyarakat adalah pelaku utama adaposi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi, maka peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelola untuk terciptanya budaya produktif merupakan prasyarat bagi keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya unggulan lokal. Sehingga pada gilirannya, peningkatan kompetensi itu akan mendorong peningkatan produktivitas masyarakat desa.

Adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi merupakan model terapan bagi pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya lokal yang “diproyeksikan” mampu menuntaskan berbagai persoalan dan tantangan budidaya pertanian. Aspek kunci yang hendak disasar oleh program pemberdayaan masyarakat dengan menerapkan adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah peningkatan produktivitas dan

| 139

kualitas hasil produk pangan yang diproduksi oleh masyarakat. Salah satu strategi yang ditempuh dalam program ini adalah pemanfaatan limbah peternakan sebagai komoditas bernilai ekonomi, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan serta mampu mendorong pengembangan potensi sumber daya unggulan lokal lainnya, secara terintegrasi melalui daur ulang limbah ternak menjadi kompos sebagai pupuk organik.

Proses penyatuan (integrasi) sektor peternakan dan pertanian melalui adopsi inovasi diyakini mampu mengoptimalkan pemanfaatan beragam sumber daya potensial yang ada di setiap desa di Indonesia. Melalui serangkaian proses integrasi tersebut, diharapkan akan mampu menumbuhkan ragam sumber pangan yang mampu diproduksi sendiri oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan berbagai metode, teknologi, dan teknik-teknik budidaya tanaman dengan dukungan sektor peternakan. Dengan demikian, sumber pendapatan baru juga akan tercipta dan tambah produk hasil pertanian-peternakan ikut meningka. Pada giliranya, jika model dan strategi baru ini diterapkan secara massif di seluruh daerah-daerah pedesaan di Indonesia, maka secara agregatif pendapatan masyarakat desa akan bertumbuh, seiring dengan pertumbuhan ekonomi makro secara nasional. Paling tidak, hasil penelitian Syamsidar (2012) yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di Kabupaten Sinjai-Sulawesi Selatan telah memperkuat dan sekaligus memberikan satu “pembenaran” ilmiah tentang konsep pemberdayaan masyarakat yang menjadi esensi utama penulisan buku ini.

Setiap fasilitator memainkan peranan penting untuk memperkenalkan ragam teknologi tepat guna yang dibutuhkan masyarakat, melalui serangkaian proses pendampingan dalam

140 |

pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya lokal yang potensial menjadi satu komoditas bernilai ekonomi. Anggota kelompok yang “bertindak” sebagai adopter, lazimnya berani mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi peternakan terintegrasi tersebut, dan sudah memiliki kemampuan untuk pengelola usaha produktif itu sendiri. Pelatihan hanya merupakan salah satu wahana peningkatan kompetensi masyarakat dalam aspek pengetahuan dan keterampilan serta kemandirian kelompok dalam mengelola potensi dan peluang bagi pengembangan sumber daya yang tersedia menjadi komoditas bernilai ekonomi dan bisa menjadi pilihan alternatif konsumen ketika sudah dipasarkan.

Optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya lokal menjadi ekonomi rill, dipengaruhi oleh prilaku dan tindakan pengelola yang memiliki kompetensi sebagai enterpreneur. Artinya setiap jenis atau kegiatan usaha produktif yang dilakukan harus benarbenar memberi keuntungan maksimal, sehingga hasil usaha yang dikembangkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi harus dapat menciptakan nilai tambah untuk kebutuhan lainnya seperti: papan, pendidikan, kesehatan dan ada yang disisihkan untuk tabungan sebagai modal pengembangan usaha lebih besar.

Kegiatan ini menjadi kerangka program secara berkelanjutan dalam tahapan pemberdayaan masyarakat, untuk memunculkan adopter atau penggerak inovasi kelompok pengembangan potensi sumber daya lokal secara terintegrasi dengan mempertimbangkan aspek sosial dan budaya setempat. Peran fasilitator pemberdayaan di lapangan adalah sebagai narasumber utama dalam proses pelatihan pada program pemberdayaan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi dalam program ini ditempuh melalui jalur pelatihan

| 141

secara terstruktur dan sistematis.

Kaitanya dengan pelatihan dan pengembangan kompetensi, Mathis dan Jackson (2002), mengungkapkan bahwa pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu tercapainya tujuan organisasi. Proses pelatihan terikat dengan tujuan organisasi, secara terbatas pelatihan menyediakan para peserta dengan pengetahuan yang spesifik untuk dapat dengan mudah diketahui dan terfokus pada keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan saat ini.

Terkadang terdapat batasan yang ditarik antara pengembangan dengan pelatihan, yakni pengembangan bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna bagi pekerjaannya saat ini maupun masa mendatang. Pernyataan tersebut didukung Ivancevich et al. (2008) mengemukakan sejumlah butir penting terkait pelatihan yang dianggapnya sebagai proses sistematis, untuk mengubah perilaku kerja seseorang atau sekelompok pegawai dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi. Pelatihan terfokus pada keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang dilakukan sekarang, atau berorientasi ke masa depan untuk menguasai kompetensi yang spesifik agar berhasil dalam pekerjaannya.

Proses pelatihan memiliki kekuatan besar dalam merubah pola fikir para peserta yang dilatih, untuk lebih atraktif dan responsif mengadopsi sebanyak mungkin teknologi aplikatif yang bermanfaat dalam peningkatan produktvitas dan kualitas produk berbasis sumber daya unggulan lokal. Dengan demikian, peningkatan kompetensi masyarakat melalui pelatihan sangat

142 |

tepat dilakukan untuk merangsang kelompok masyarakat usaha produktif lebih “welcome” dalam mengadopsi inovasi baru, peningkatan kompetensi masyarakat diperlukan dalam proses budidaya yang mampu menekan biaya produksi dan sekaligus meningkatkan kapasitas produksi, serta pengolahan produk hasil “kerja sambilan” yang bernilai tambah dan menjadi sebagai sumber pendapatan baru.

Penerapan inovasi atau metode baru yang dipelajari dalam pelatihan memerlukan pendampingan dan dukungan sarana prasarana yang memadai. Dalam

prakteknya di lapangan dapat dilakukan dengan pembuatan model percontohan skala kecil dalam bentuk demo-plotting (demplot). Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan seluruh anggota kelompok dan masyarakat yang berminat, untuk berpartisipasi dalam praktek langsung menerapkan konsep inovatif usaha produktif berbasis sumber daya unggulan lokal secara terintegrasi.

Pelatihan teknis dalam rangka meningkatkan kompetensi yang berdampak positif pada peningkatan produktivitas dan kualitas produk yang dikembangkan dalam usaha kelompok, meliputi semua aktivitas program pemberdayaan dan usaha produktif, baik secara veritikal maupun horizontal sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Bentuk pelatihan antara lain dalam: 1) usaha produktif berbasis peternakan, yaitu: pembuatan pupuk dan pestisida organik, serta

| 143

manajemen pengelolaan rumah produksi pupuk kompos. Sasaran pelatihan adalah merangsang masyarakat untuk meningkatkan usaha peternakan dan mengintegrasikan kegiatannya dalam pengembangan komoditas pertanian di lahan sawah maupun tanaman produktif bernilai ekonomi di lahan pekarangan, serta pemanfaatan kotoran ternak dan limbah pertanian menjadi pupuk atau pestisida organik dan pakan ternak; 2) usaha produktif berbasis tanaman pekarangan, yaitu: pembuatan produk olahan minuman segar dari jahe/kunyit dan pengemasan produk untuk meningkatkan daya tarik konsumen, serta manajemen pemasaran. Sasaran pelatihan diarahkan untuk menumbuhkan motivasi dan inovasi pengembangan usaha integrasi secara vertikal dari aspek hulu dalam penyediaan bahan baku, dan integrasi horizontal melalui diversifikasi produk untuk peningkatan nilai tambah dan nilai jual produk yang berkorelasi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.

6.5 Pemberdayaan Jalur Pendampingan

Aktivitas pendampingan baik secara individu maupun kelompok, menjadi agenda tindak lanjut bagi seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat untuk memastikan bahwa, kompetensi yang telah ”diserap” oleh para subjek yang juga sekaligus objek pemberdayaan itu sendiri, dapat diterapkan (applicated) dengan baik. Dalam aspek produksi sebagai contoh misalnya, kegiatan pendampingan ditujukan agar produktivitas peternak dan petani meningkat, kualitas dan daya saing hasil produksi juga mengalami perbaikan yang terukur.

Berkaitan dengan hal ini, mengutip pernyataan Suharto (2005) yang menjelaskan bahwa pendampingan merupakan satu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program

144 |

pemberdayaan masyarakat. Pendapat tersebut dipertegas oleh kutipan Payne (1986) yang menyatakan pendampingan merupakan strategi yang lebih mengutamakan “making the best of the client’s resources”. Hal tersebut menegaskan penentu keberhasilan proses pemberdayaan adalah motivasi atas upaya dari dalam diri kelompok masyarakat yang dibimbing, dengan pengarahan fasilitator pendamping dalam mengembangkan potensi sumber daya yang tersedia untuk dioptimalkan pengelolaannya menjadi satu komoditas bernilai ekonomi yang menguntungkan dan berdaya saing di pasaran.

Penekanan utama penerapan konsep pendampingan dalam konteks pemberdayaan masyarakat, terletak pada upaya penyusunan suatu bentuk kegiatan yang terarah dan berkelanjutan, dimana masyarakat sebagai pelaku utama (subjek & agen) pemberdayaan tersebut. Muatan yang terkandung dalam kegiatan pendampingan tersebut adalah “transfer” pengetahuan dan keterampilan terkait pemanfaatan unsur teknologi, maupun penguatan aspek kelembagaan sebagai komponen yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan tersebut. Setelah melalui serangkaian proses pendampingan yang sistematis, masyarakat baik secara individual maupun berkelompok, diharapkan mampu mengembangkan sumber daya potensial yang tersedia menjadi ekonomi riil secara lebih produktif dan mandiri.

Agenda Pendampingan dalam konteks pemberdayaan masyarakat mencakup aspek keaktifan partisipatif anggota dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki setiap individu yang dikontribusikan dalam aktifitas kelompok. Perkembangan kapasitas dan kompetensi anggota kelompok akan terlihat berdasarkan respon atas adopsi inovasi yang “ditransfer” oleh fasilitator pendamping dalam pengembangan kegiatan

| 145

terintegrasi.

Fasilitator kegiatan pendampingan hanya mengarahkan anggota kelompok dengan memberikan penjelasan konsep perihal aktifitas yang perlu dilakukan, baik menyangkut rencana kegiatan usaha yang akan dikembangkan, tujuan dan target pengembangan serta hal-hal teknis yang menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan usaha yang dikelola kelompok sehingga lebih produktif dan memiliki daya saing secara ekonomi.

Peran penting lainnya dari pendamping adalah penguatan kelembagaan masyarakat dengan memberikan panduan terkait penyusunan struktur kelembagaan, aturan main dan alur koordinasi dalam

kelompok yang bersifat “merangsang” partisipasi dengan melibatkan seluruh anggota, sehingga terbangun organisasi yang responsif dan efektif, serta memiliki motivasi kerja dengan prinsip gotong royong, dimana kontribusi masing-masing anggota didasarkan pada musyawarah mufakat dalam pelaksanaan kegiatan. Parameter yang menjadi fokus utama sebagai indikator keberhasilan dalam pendampingan adalah anggota kelompok dapat bekerja secara kelompok (team work), dalam penerapan adopsi inovasi pengembangan kegiatan usaha produktif terintegrasi.

Dinamika persoalan nyata yang dihadapi di lapangan dalam pengembangan peternakan terintegrasi, didiskusikan

146 |

bersama seluruh anggota dengan bantuan fasilitator dalam mengurai kendala dan tantangan untuk mencari alternatif solusi penyelesaian. Hal tersebut sesuai dengan konsepnya, bahwa pendampingan adalah memberikan kesempatan masyarakat untuk memberdayakan dirinya, menguatkan dirinya sendiri dengan potensi yang ia miliki dalam mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat tersebut. Dengan demikian secara eksplisit, pendampingan adalah penerapan sebuah pola yang dilakukan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

Nilai-nilai partisipatif dan akomodatif yang menjadi spirit utama progam pemberdayaan masyarakat, selaras dengan prinsip musyawarah mufakat yang terkandung dalam sila ke-4 Pancasila. Artinya, dasar negara kita sebagai suatu konsensus bersama bangsa Indonesia sesungguhnya merupakan bentuk “ekstraksi” dari kultur dan identitas kebudayaan asli bangsa kita. Program pemberdayaan juga semakin memberikan penguatan pada nilai-nilai demokrasi yang sudah menjadi “role model” kita sejak bergulirnya era reformasi 1998. Jiwa yang mendasari suatu kegiatan pem-berdaya-an tidak lain adalah kesetaraan, kesamaan hak menyatakan pendapat dan berkumpul, dan menumbuhkan kekuatan sosial-ekonomi daerah-daerah yang ada, dalam satu konsep negara kesatuan.

Tugas seorang pendamping, pada intinya adalah berupaya menempatkan masyarakat, baik sebagai individu maupun kelompok sebagai aktor utama dalam meningkatkan kapasitas dan produktivtitas usaha dalam keseluruhan kegiatan pemberdayaan, guna mencapai tujuan bersama. Dalam proses pendampingan tersebut, fasilitator cukup dengan menjadi “stimulan” dalam setiap tahapan kegiatan pemberdayaan, sementara masayarakat sendiri yang terlibat secara aktif sebagai pelaku utama untuk

| 147

mengembangkan diri. Tujuan fasilitator dalam melakukan kegiatan pendampingan adalah memberikan motivasi kepada kelompok masyarakat, melalui upaya peningkatan kompetensi dan penguatan kelembagaan untuk menerapkan adopsi inovasi secara efektif dan aplkatif sesuai konsepnya.

K e b e r h a s i l a n pendampingan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis sumber daya unggulan lokal, berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas, kualitas

hasil, nilai tambah, skala ekonomi usaha dan produk yang dikembangkan berdaya saing di pasaran. Oleh karena itu, aktifitas pendampingan program difokuskan pada 4 (empat) kompetensi kelompok masyarakat yang difasiltasi.

Pertama: pendampingan dalam koordinasi dan komunikasi dengan unsur lembaga terkait dan unsur masyarakat di desa, seperti: Pejabat Pemerintahan Desa, Kepala Dusun, BPD, Karang Taruna, Gapoktan. Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan dukungan dalam bentuk keterlibatannya pada pelaksanaan dan pengembangan program secara berkelanjutan, serta legalitas kelompok dalam melakukan kerjasama program dan kegiatan dengan pemerintah maupun stakeholder yang terkait langsung dengan aktivitas pemberdayaan dengan menerapkan adopsi inovasi terintegrasi pengembangan potensi ekonomi berbasis sumber daya ekonomi lokal.

Kedua: pendampingan dilakukan dalam tahapan

148 |

pembentukan dan penguatan kelembagaan tingkat kelompok, atas dasar motivasi diri sendiri untuk mendukung keberlanjutan program. Sebelum program dieksekusi atau diimplementasikan, perlu disusun “aturan main” dan ketentuan yang harus dipatuhi seluruh anggota kelompok. Proses ini merupakan poin sangat penting untuk menjamin keberlanjutan program di tingkat kelompok sasaran. Pendampingan dalam penguatan kelembagaan, dilakukan melalui tahapan: a) penjelasan aktivitas yang akan dilakukan kelompok, menyangkut latar belakang, tujuan dan hal-hal teknis dalam pelaksanaan program; b) penyusunan tim pengelola program, untuk pelaksanaan koordinasi, teknis dan administrasi serta keuangan kelompok; c) menyusun aturan main secara partisipatif dalam pelaksanaan program; d) menyusun jadwal pelaksanaan dan rancangan teknis detail pengelolaan kegiatan kelompok; e) diskusi dan penetapan biaya pelaksanaan, terutama terkait swadaya masyarakat dalam mendukung keberhasilan program yang dikelola kelompok.

Bentuk kelembagaan yang dimaksud, diantaranya BUMDes, koperasi maupun badan usaha yang dikelola dan dimiliki bersama. Adanya unsur swadaya ini sekaligus untuk menjamin operasionalisasi program pemberdayaan dan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan para anggota kelompok atas hasil-hasil pelaksanaan program yang akan dilaksanakan kedepan.

Apabila tahapan tersebut sudah sesuai konsep dasar program yakni memenuhi “rule” dalam pendekatan “Total Solution” dan “Zero Waste”, maka kegiatan selanjutnya adalah eksekusi program. Selama pelaksanaan program, pendamping melakukan monitoring dan evaluasi (monev) serta menyusun pelaporan. Hal-hal yang dimonitor adalah: a) ketepatan pelaksanaan secara konsep dan teknis, tata waktu ataupun

| 149

pendanaan; b) kinerja dan perkembangan motivasi kelompok sasaran; c) masalah-masalah yang muncul dan dihadapi kelompok sasaran; d) perumusan solusi secara partisipatif selama proses pelaksanaan program; e) menstimulus munculnya inovasi-inovasi dalam proses pelaksanaan program; f) menjaga berjalannya aturan main kelompok yang dirumuskan secara partisipatif sejak awal.

Ketiga: pendampingan dalam pengenalan teknologi dan menerapkan metode dengan praktek secara langsung, serta memulai dengan kegiatan skala kecil dan keberhasilannya dikembangkan dalam skala ekonomi tertentu yang dikelola secara berkelompok. Pengenalan inovasi peternakan terintegrasi dilakukan untuk mendorong kegiatan usaha yang menciptakan produk bernilai tambah dan berdaya saing dipasaran.

Proses transformasi potensi sumber daya unggulan lokal menjadi komoditas bernilai ekonomi dan berdaya saing sangat ditentukan oleh pemanfaatan teknologi terkini secara efektif dan efisien. Pendampingan diarahkan pada upaya penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi sesuai konsepnya, sehingga prinsip pendampingan dalam penerapan adopsi inovasi tidak hanya bertujuan untuk membuat kelompok sasaran “sekedar” menerima transfer teknologi, namun ditargetkan sampai pada tahap mampu menerapkan dan mengembangkan inovasi tersebut secara efektif sesuai konsep dasarnya dan mampu mendukung usaha produktif yang profitable.

Keempat: Kegiatan pendampingan dimaksudkan agar jejaring dan akses pemasaran hasil produksi dapat terbangun, bahwa kunci keberhasilan pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis sumber daya lokal adalah adanya jejaring bisnis dalam

150 |

pemasaran produk yang dihasilkan oleh masing-masing kelompok usaha. Program tidak akan memberikan manfaat ekonomi yang signifakn tanpa berorientasi pasar ataupun konsumen, dan kegiatan usaha dengan sendirinya akan berhenti atau mengalami stagnasi jika produk yang dihasilkan tidak terhubung dengan pasar dan mampu memenuhi permintaan (demand) konsumen secara berkelanjutan (continue).

Pengembangan suatu usaha dipastikan tidak bisa berdiri sendiri. Setiap satu unit usaha membutuhkan hubungan atau relasi yang mendukung pemenuhan bahan baku dan sarana prasarana penunjang. Sebagai contoh misalnya, pengembangan peternakan unggas, harus menjalin relasi dengan pihak yang mampu menyediakan pakan dan DOC (Day-Old-Cick) ataupun DOD (Day-Old-Duck). Relasi tersebut akan terus berkembang seiring perkembangan usaha, pendamping harus mampu memastikan jejaring tersebut harus tumbuh secara “rasional” dan memenuhi prinsip efisiensi yang mendukung setiap kegiatan usaha kelompok, sehingga unit-unit usaha yang dikembangkan memiliki daya saing dan tumbuh dan berkembang menjadi usaha berskala ekonomi yang lebih besar.

Dalam proses pendampingan, khususnya pada upaya pengenalan dan pemanfaatan teknologi, ide-ide baru dari peserta program atau partisipan muncul secara “natural”.

Munculnya kreativitas tersebut akan sangat membantu dalam penerapan teknologi terkini, khususnya pada penggunaan

| 151

teknologi yang sudah dikenal oleh masyarakat sendiri.

Beberapa langkah taktis yang bisa ditempuh oleh seorang pendamping dalam mendorong masyarakat, terutama yang “mendedikasikan” hidupnya untuk menjaga keberlangsung aktivitas produksi di sektor peternakan dan pertanian agar mampu membangun jejaring pasar secara mandiri, antara lain;1) memastikan bahwa produk yang dikemas dalam proses produksi memenuhi standar kesehatan, serta membangun akses ke pasar-pasar modern untuk produk organik (bahan,label,legalitas); 2) menjalin kemitraan dan bersinergi (MoU) sesama kelompok usaha untuk bekerjasama dalam rangka memenuhi standar kualitas dan kuantitas produk yang sesuai dengan permintaan (demand) pasar secara kontinyu; 3) Merintis unit usaha baru dengan memproduksi jenis aneka komoditas dalam skala kecil ; 4) Memanfaatkan “aktor lokal” mengembangkan jaringan pemasaran; dan 5) Menambah fasilitas penunjang seprti freezer daging untuk kelompok usaha ternak unggas, sarana transportasi dan unsur penunjang usaha lainnya.

Kegiatan pendampingan melalui aktivitas pemberdayaan masyarakat perlu terus dikembangkan untuk menjamin peningkatan kompetensi masyarakat. Pendampingan melalui mekanisme terstruktur yang operasional dalam alur kegiatan kelompok, sehingga mampu menghidupkan nilai-nilai positif dalam satu konsep pengelolaan usaha berbentuk agribisnis kepada masyarakat secara terintegrasi.

Dengan demikian target dan sasaran pendampingan dapat dicapai melalui tumbuhnya sifat “keberdayaan” dan “keswadayaan” kelompok secara mandiri, dalam pengembangan usaha bebasis sumber daya unggulan lokal. Pendampingan

152 |

merupakan media perantara dalam membantu proses adopsi inovasi bagi masyarakat, dan fasilitator berperan membantu cara mengembangkan berbagai produk hasil usaha dari sektor peternakan dan perikanan melalui interaksi dan komunikasi dari, oleh, dan untuk anggota kelompok. Hal tersebut juga menumbuhkan kesadaran hak dan kewajiban sebagai anggota kelompok, melalui gotong royong dan solidaritas kelompok.

6.6 Pemberdayaan “Jalur” Demo Plotting

Salah satu isu strategis dan menjadi poin inti yang berkembang dalam program pemberdayaan masyarakat dengan menerapkan adopsi inovasi peternakan teintegrasi adalah adanya motivasi yang “lahir” di dalam masyarakat itu sendiri setelah menyadari (aware) adanya manfaat ekonomi yang diperoleh/dirasakan pada saat mencoba model dan metode produksi baru, dibandingkan dengan metode konvensional. Manfaat ekonomi yang dimaksud ialah adanya efisiensi dalam proses produksi, dimana aspek biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan keuntungan ekonomi yang diperoleh. penerapan teknologi baru memberikan keuntungan lebih dibanding pola lama, sehingga inovasi tersebut mudah diterima adopter secara berkelanjutan.

Fakta sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat setelah menerapkan adopsi inovasi peternakan terintegrasi tersebut, senada dengan pernyataan Bunch (2001). Mengutip pendapat Bunch, bahwa faktor tunggal yang paling menentukan dalam memunculkan semangat akan berhasilnya suatu program, adalah peningkatan pendapatan perorangan yang dapat dicapai dengan teknologi anjuran program. Teknologi inovasi yang pertama kali dianjurkan program biasanya harus dapat meningkatkan

| 153

penghasilan petani sebesar 50% sampai 150%. Pernyataan Bunch dipertegas Soekartawi (1988), bahwa jika memang benar teknologi baru akan memberikan keuntungan relatif lebih besar dibanding nilai yang dihasilkan teknologi lama maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

Kompleksitas suatu inovasi memberikan pengaruh besar terhadap percepatan proses adopsi inovasi, menurut Musyafak dan Tatang (2005), dalam menemukan teknologi baru dengan beberapa kriteria tertentu tidak bisa secara instan. Karena memerlukan evaluasi yang menandakan teknologi tersebut tidak rumit, mudah diterima, dan memprovokasi (dalam arti positif) peserta pelatihan untuk menerapkan dan terus menggali informasi. Jika substansinya terlalu “ilmiah” dan rumit, antisipasi dapat dilakukan dengan metode peragaan, percontohan, maupun pelatihan partisipatif yang melibatkan peserta pelatihan langsung.

Secara umum, sebelum memutuskan menerima inovasi yang baru dikenalnya secara menyeluruh, seorang adopter pertimbangan keunggulan inovasi tersebut, apakah memiliki dampak yang signifikan pada output produksi dan menguntungkan secara ekonomi. Inovasi akan lebih cepat dite-rima apabila dapat diujicobakan terlebih dahulu dalam ukuran kecil. Untuk bisa dilihat langsung manfaat yang diperoleh lalu dibandingkan dengan pola yang digunakan saat ini. Inovasi yang telah diujicobakan dan berhasil memberikan dampak positif, akan menumbuhkan ketertarikan masyarakat untuk diterapan pada keadaan sebenarnya atau dalam luasan skala ekonomi usaha yang lebih besar.

154 |

T r a n s f e r teknologi dapat dilakukan melalui praktek simulasi berskala kecil (demo-plotting) tentang inovasi yang akan diterapkan agar pemahaman masyarakat yang menjadi peserta

pelatihan lebih komprehensif. sebagai contoh introduksi teknologi, pembuatan pakan ternak olahan tidak dapat hanya disampaikan dengan teori tentang bahan dan teknis pembuatannya. Introduksi perlu langsung dipraktekan dengan skala kecil, sehingga keberhasilannya dapat dikembangkan dalam skala ekonomi tertentu pada lahan masyarakat. Dengan adanya pengelolaan yang lebih efisien dan mampu menciptakan nilai tambah, produk yang dihasilkan juga akan berkualitas dan berdaya saing di pasar. Keunggulan dan manfaat yang diperoleh atas penerapan inovasi yang telah dipraktekan dalam skala kecil atau demo-plotting (demplot), menjadi keberhasilan adopsi ino-vasi yang dapat dilihat langsung dengan jelas sehingga dapat di-pertimbangkan untuk diterima sebagai ide baru oleh masyarakat.

Pembangunan demplot dirancang sebagai sarana pembelajaran laboratorium lapangan dan percontohan guna memunculkan kepercayaan masyarakat. Demplot dirancang sebagai sarana pengujian kualitas produk yang dihasilkan kelompok usaha atas penerapan adopsi inovasi. Demplot sebagai percontohan dapat langusung menjadi simulasi secara nyata bagi masyarakat, sehingga peningkatan kapasitas dari aspek -

| 155

produksi, penanganan pasca panen dan pengolahan hingga aspek pemasaran produk dapat dipahami dengan baik. Setidaknya produk yang dihasilkan dari ujicoba demplot yang manfaatnya telah dirasakan langsung oleh kelompok dan masyarakat sekitar, dapat menjadi bukti adanya keunggulan komparatif atas penerapan adopsi inovasi. Terlebih lagi jika manfaat hasil yang dirasakan masyarakat melebihi dari yang selama ini diperoleh dari pengelolaan usaha berdasarkan pengalaman diri sendiri.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengunaan demplot secara langsung (directly) dapat menjadi panduan operasional di lapangan, dengan peragaan berbagai simulasi pemanfaatan teknologi dan informasi yang mudah diserap masyarakat. melalui simulasi, intisari pembelajaran teknis dapat lebih mudah dipahami dan diduplikasi oleh masyarakat sendiri pada kondisi riil di lapangan. Kelompok dan masyarakat yang terlibat langsung dalam simulasi, dapat secara aktif merespon dinamika dan tantangan setiap tahapan proses pengelolaanya, dengan alternatif solusi pemecahan masalah yang timbul dalam peragaan simulasi tersebut.

U n t u k pengembangan atas keberhasilan dari demplot adopsi inovasi, selain perluasan areal pengelolaan kegiatan usaha pada skala ekonomi tertentu, penguatan akses

156 |

pemasaran juga menjadi satu variabel penting yang harus diperhatikan. Perlunya kalkulasi yang cermat atas margin keuntungan yang diperoleh dari penjualan produk, bisa sekaligus menjadi indikasi adanya ketertarikan pasar atas komoditas yang telah diproduksi, baik secara individu maupun pada kelompok-kelompok usaha. Adopsi inovasi dan pengujian produk yang dihasilkan melalui demplot, perlu terus dilakukan sebagai pendukung pengembangan usaha yang mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan.

Pola adopsi inovasi melalui pengaplikasian pada demplot, sangat efektif dalam penerapan konsep pengembangan usaha produktif secara teritegrasi. Semakin mudah sebuah teknologi baru untuk dipraktekkan, semakin cepat pula proses adopsi inovasi dilakukan adopter, agar proses adopsi dapat berjalan cepat maka penyajian inovasi harus lebih sederhana (Soekartawi, 1988). Pemberdayaan kelompok masyarakat melalui demplot dalam proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi, telah membawa perubahan sikap dan perilaku anggota kelompok dan anggota masyarakat secara umum. Pendampingan yang dilakukan oleh narasumber telah memunculkan kesadaran tentang perlunya perubahan cara dan strategi mengelola usaha, semakin memperkuat motivasi adopter untuk menerapkan adopsi inovasi peternakan terintegrasi ke dalam skema dan skala usaha yang lebih luas.

Adopsi inovasi yang dilakukan kelompok melalui demplot, diantaranya: 1) uji coba teknis pemanfaatan pupuk organik produksi Kelompok Mekar Harapan Dusun Metes. Uji coba ini dilakukan dengan demplot pengembangan budidaya padi intensif dengan luasan antara 1-2 Ha di 5 (lima) dusun

| 157

pada Desa Argorejo dan Argosasi; 2) percontohan pemanfaatan lahan pekarangan dengan budidaya tanaman pertanian bernilai ekonomi, yang dikelola KWT di Dusun Polaman; 3) budidaya jamur dalam kumbung, keberhasilan kegiatan melalui demplot ini telah banyak dikembangankan secara individu atau sebagai usaha pribadi di Desa Argorejo; 4) pemanfatan pellet pakan ikan dalam budidaya lele pada 3 (tiga) kolam kelompok, dan kolam dkelola individu; dan 5) pengolahan biogas di Dusun Polaman oleh KWT, dilengkapi kandang komunal ternak sapi untuk memenuhi kebetuhan volume kotoran ternak milik masyarakat untuk diolah sebagai bahan bahan baku biogas.

Demplot telah menumbuhkan keyakinan masyarakat atas kemanfaatan produk organik, budidaya tanaman di lahan pekarangan dan budidaya jamur. Keberhasilan tersebut telah mendorong minat masyarakat untuk pengembangan usaha pada lahan para petani secara mandiri dalam skala lebih besar, dengan pendampingan intensif yang terus dilakukan fasilitator. Keberhasilan dan keberlanjutan model adopsi inovasi melalui demplot percontohan pengelolaan usaha berbasis sumber daya lokal secara terintegrasi, sangat ditentukan oleh kemampuan pengetahuan dan keterampilan teknis adopter di setiap kelompok usaha bersama. Anggota kelompok yang mampu mengelola usahanya selaras dengan kegiatan kelompok, memunculkan kemandirian dalam membangun usaha secara individu yang stabil, baik dari sisi produktivitas maupun kualitas produk yang dikembangkan serta akses pasar yang kontinu sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

Sebagai negara agraris dengan lahan pertanian luas, penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi menjadi satu konsep pengembangan yang strategis bagi perbaikan kehidupan

158 |

masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran. Besarnya tantangan pemenuhan kebutuhan bahan pangan bagi masyarakat Indonesia yang terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun, menjadi satu dorongan positif bagi kita untuk selalu berinovasi dalam berbagai hal, khususnya pada pengembangan dan pemanfaatan beragam sumber daya ekonomi potensial yang kita miliki. Perubahan pola pikir dan prilaku tetap diperlukan sebagai langkah adaptasi terhadap perkembangan dan kemajuan zaman.

| 159

BAGIAN-7: IMPLEMENTASI KONSEP MODEL TERINTEGRASI

7.1 Adopsi Inovasi Terintegrasi: Suatu Tinjauan

Analisis

Kegiatan pengelolaan sumber daya ekonomi yang bersifat terbatas untuk memperoleh keuntungan/manfaat (profit/benefit) maksimal, upaya sistematis dalam pengembangan sektor peternakan tentu merupakan satu bentuk kegiatan usaha produktif dan bernilai ekonomi. Beberapa aktivitas ekonomi produktif yang dikerjakan oleh rumah tangga dalam skala mikro khususnya di Indonesia yaitu: Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani (GaPokTan), Koperasi, Koperasi Tani, dan Koperasi Unit Desa. Fokus utama dari setiap kegiatan ekonomi produktif tersebut yang hendak “disasar” adalah meningkatkan pendapatan, penciptaan lapangan kerja dan perwujudan ketahanan pangan masyarakat berbasis sumber daya lokal.

Sebagai negara kepulauan berciri Nusantara, Indonesia adalah negara yang memiliki banyak daerah dengan penduduk

160 |

yang dominan berdomisili di wilayah perdesaan dan pinggiran. Kultur sosial ekonomi yang berkembang pada masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan dan pinggiran tersebut, umumnya menjadikan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Dalam struktur ekonomi sendiri, sektor peternakan berada di bawah atau merupakan sub-sektor pertanian. Pola dan metode yang dikerjakan penduduk perdesaan dengan mengandalkan sektor pertanian saja, sudah terbukti kurang memberikan manfaat kesejahteraan yang optimal bagi para petani. Di samping oleh karena mode produksi yang diterapkan masih bersifat tradisional, optimalisasi peran sektor peternakan juga tidak mendapatkan perhatian serius.

Penekanan isu “peternakan” sebagai sektor unggulan dalam pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal, ingin menegaskan bahwa saat ini dibutuhkan suatu konsep baru dalam pengelolaan sektor ekonomi primer kita. Sebuah konsep terintegrasi yang berpijak pada pemanfaatan inovasi dan invensi pada perkembangan mutakhir. Pemanfaatan inovasi dan invensi tersebut, diproyeksikan mampu menciptakan nilai tambah atas pengelolaan sumber daya ekonomi lokal yang potensial untuk “disulap” menjadi komoditas ekonomi sebagai sumber pendapatan ekstra bagi masyarakat.

Komoditas baru tersebut, perlu dikembangkan pada skala ekonomi dengan kualitas tertentu sehingga mampu bersaing dengan produk lain yang sudah ada di pasaran. Proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi dimaksudkan untuk menciptakan perbaikan metode atau cara berproduks, yang selama ini diterapkan masyarakat dalam mengelola potensi sumber daya unggulan lokal yang dimilikinya. Paradigma klasik bahwa sektor peternakan sebagai sub-sistem dari sektor pertanian sudah

| 161

saatnya diperbaharui.

Gejala yang “menonjol” dalam suatu inovasi adalah pemanfaatan teknologi yang mudah dipahami masyarakat. Mengutip pernyataan Bahri & Tiesnamurti (2012), suatu inovasi akan mudah diadopsi jika adopter benar-benar membutuhkan dan dapat merasakan manfaatnya secara langsung. Fakta riil di lapangan membuktikan, bahwa adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Meningkatnya pendapatan karena perluasan skala ekonomi usaha, dengan aneka sumber mata pencaharian baru adalah bukti kongkrit yang kembali menegaskan urgensi diterapkannya adopsi inovasi terintegrasi. Adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi yang diterapkan adopter, dikembangkan secara mandiri dalam kegiatan usaha guna meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan akses pasar.

Pengelolaan sumber daya ekonomi secara terintegrasi, melalui pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan “limbah” peternakan dan pertanian dapat mendorong optimalisasi pengelolaan sumber daya unggulan lokal. Namun faktanya, kegiatan tersebut masih banyak dikerjakan secara terpisah oleh masing-masing kelompok dan bahkan secara individual oleh masyarakat di daerah perdesaan. Para petani dan peternak Indonesia di perdesaan belum menerapkan konsep pengembangan kegiatan terintegrasi secara vertikal dan horizontal. Dampaknya jelas, nilai tambah dan daya saing produk yang dihasilkan rendah dan tidak memiliki keunggulan komparatif ketika sudah masuk ke pasaran.

Tahapan dalam proses adopsi inovasi, dimulai dari adanya pengetahuan dan pemahaman atas inovasi yang

162 |

diperkenalkan oleh fasilitator dan narasumber. Pengenalan inovasi tersebut selanjutnya direspon oleh masyarakat, hingga pada akhirnya menyimpulkan dan megambil keputusan untuk menerapkan inovasi tersebut pada skala kecil (Demplot). Demplot yang diuji-cobakan terkait dengan pengembangan budidaya, pengolahan produk, pengemasan hingga distribusi dan pemasaran produk yang dikembangkan. Berkenaan dengan fakta ini, relevansi teori Rogers (1994) tentang tipologi pembuatan keputusan, proses adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi di Desa Argorejo dan Argosari merupakan keputusan kolektif. Yakni proses inovasi yang dimulai dengan penemuan gagasan, sampai implementasinya sebagai konsensus kelompok untuk mengadopsi inovasi baru tersebut.

Tahapan proses pengambilan keputusan inovasi, adalah: 1) mengetahui (knowledge), anggota kelompok sebagai sasaran sudah mengetahui adanya inovasi dan mengerti bagaimana eksistensi, keuntungan, manfaat, serta alur proses suatu inovasi berfungsi; 2) persuasif (persuasive), anggota kelompok sasaran sudah membentuk sikap terhadap inovasi, dengan menilai apakah sesuai atau tidak sesuai bagi dirinya; 3) mengambil keputusan (making decision), anggota kelompok sasaran sudah terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pembuatan keputusan menerima atau menolak inovasi; 4) implementasi (implementation), ketika para anggota atau kelompok pengambil keputusan menetapkan penggunaan suatu inovasi; 5) konfirmasi (confirmation), anggota kelompok sasaran mencari penguat bagi keputusan inovasi yang dibuat.

Penerapan konsep inovasi pengembangan peternakan terintegrasi telah memberi pengaruh yang signifkan terhadap perkembangan kegiatan usaha kelompok. Dampak yang

| 163

dirasakan antara lain adanya ragam komoditas ekonomi baru yang bisa diproduksi dari pengolahan atas potensi sumber daya yang tersedia. Sebagai contoh, adopsi inovasi yang diterapkan kelompok Mekar Harapan Dusun Metes dalam kegiatan usaha pembuatan pupuk organik. Sebelum penerapan inovasi, kotoran sapi teronggok di sekitar kandang atau dijual mentah. Proses adopsi inovasi telah menggerakan kegiatan masyarakat untuk mengelola limbah ternak menjadi pupuk organik, sehingga menciptakan nilai tambah dan mendorong pengembangan budidaya tanaman produktif di persawahan maupun lahan pekarangan yang baik untuk kesehatan dan bernilai ekonomi.

Faktor lainya yang juga ikut menentukan keberhasilan pemberdayaan ekonomi lokal adalah pemasaran produk yang diterima konsumen. Pasar menjadi aspek penting yang menjadi kunci akses kelompok masyarakat sebagai produsen dan pedagang. Kemampuan mengembangkan jejaring mitra kerja akan memperkuat posisi tawar dalam kegiatan usaha. Untuk mencapai sasaran tersebut, setiap kelompok usaha produktif bersama fasilitator harus mampu melakukan analisis mengenai “kesesuaian” produk yang dibutuhkan pasar dan konsumen dengan produk yang dikembangkan.

7.2 Adopsi Inovasi Bernilai Surplus Ekonomi

Adopsi inovasi pengelolaan peternakan terintegrasi ditujukan untuk mendorong peningkatan produktivitas dan nilai tambah, serta menumbuhkan kegiatan usaha baru, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pengelolanya. Penghasilan masyarakat dari usaha ternak dapat dioptimalkan, antara lain dengan mengolah limbah peternakan menjadi pupuk organik. Keuntungan tambahan (ekstra) dapat diperoleh melalui

164 |

pemanfaatan pupuk organik tersebut untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya potensial lainnya dalam kegiatan budidaya tanam produktif bernilai ekonomi dan pelestarian lingkungan. Manfaat ekonomi dapat diperoleh peternak, bukan lagi hanya terbatas pada penjualan ternak dan dagingnya saja, atau sekedar pengunaan tenaga sapi untuk keperluan pembajakan sawah.

Proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi, dalam penerapannya pada kegiatan usaha produkitif berbasis sumber daya unggulan lokal akan mampu mendatangkan “surplus” keuntungan optimal jika adopter bersungguh-sungguh mengaplikasikan konsep tersebut secara benar. Alur mata rantai input-output dan skema operasional dalam konsep integrasi, baik secara vertikal maupun horizontal pada setiap tahapan pengelolaan ragam potensi ekonomi, akan sekaligus meningkatkan produktivitas peternak dan petani. Input yang digunakan oleh petani pada kegiatan budidaya tanaman, tidak lain merupakan output yang dihasilkan oleh peternak dari proses pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik yang mendukung peningkatan kesuburan tanaman.

Kenyataan ini senada dengan ungkapan Stigler (1951), bahwa integrasi vertikal dan horizontal perlu dilakukan dalam kegiatan usaha untuk mengatasi persoalan persediaan bahan baku yang terkadang tidak stabil, sementara kontinuitas bahan baku sangat diperlukan demi kelangsungan proses produksi. Strategi integrasi dapat menjaga efisiensi usaha dalam hal menyediakan bahan baku sendiri, sehingga hambatan produksi terkait rantai pasok bahan baku dapat diminimalisir serta menjamin persediaan dan kontinuitas proses produksi.

| 165

Secara teoritis, strategi integrasi vertikal dan horizontal mampu menciptakan efisiensi. Kegiatan usaha produksi yang terintegrasi dengan industri pemasok komponen hulu mampu meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, strategi integrasi vertikal dan horizontal menciptakan keunggulan kompetitif, sehingga industri yang terintegrasi akan mampu menghasilkan komoditi yang memiliki daya saing tinggi di pasar internasional (Atikah, 2008).

Kelompok usaha yang menguasai pengadaan input atau distribusi output berarti telah menghilangkan barriers to entry, artinya perusahaan berintegrasi dengan perusahaan lain yang dapat memenuhi pasokan bahan baku produksi yang saling berkaitan. Menurut Stigler (1951) tujuan perusahaan melakukan integrasi vertikal antara lain untuk: 1) menurunkan biaya transaksi, contohnya dalam pembuatan pupuk organik dan pemanfaatannya dalam budidaya pertanian kelompok pengelola. Hal tersebut tidak bergantung pada pihak lain terutama penyediaan bahan baku berupa kotoran ternak dari peternakan masyarakat sendiri, sehingga kelompok usaha tidak terganggu dengan biaya transaksi yang fluktuatif; 2) menjamin persediaan, dengan mengatur kapasitas produksi untuk terpenuhi kelangsungan proses produksi dan terjaga efisiensi karena kelompok usaha dapat menyediakan bahan baku sendiri secara kontinu; 3) menghapus pengaruh eksternal, dengan tidak bergantung kepada pihak lain dalam penyediaan bahan baku produksi maka standar mutu produksi tetap terjaga; 4) menghindari intervensi pemerintah, kelompok usaha pembuatan pupuk organik dengan memiliki stok bahan baku kotoran ternak dari lingkungan kelompok, pasokan bahan baku tidak perlu membeli dengan harga pasar tapi dapat disepakati yang didasarkan pada harga pokok penjualan (HPP) dan harga

166 |

produk di pasar. Hal tersebut dapat menghindari kontrol harga yang dilakukan pemerintah.

Pola pengembangan kegiatan integrasi horizontal adalah penggabungan dari beberapa kelompok yang memiliki proses produksi sama dan produk yang dihasilkan serupa. Strategi integrasi horizontal merupakan salah satu strategi pertumbuhan, dengan memperluas kegiatan lini produk atau membangun di lokasi lain yang tujuannya untuk meningkatkan aneka jenis produk. Perusahaan yang melakukan integrasi horizontal dapat memperluas jaringan pasar, fasilitas produksi maupun teknologi, serta pengembangan internal maupun eksternal melalui akuisisi, joint venture dengan perusahaan lain dalam industri yang sama.

Kegiatan pola integrasi horizontal merupakan pengelolaan kegiatan aspek hulu hingga aktifitas hilir, yakni mulai dari penyiapan bahan baku, proses pengolahan aneka produk, pengemasan lalu dipasarkan. Kegiatan tersebut dilakukan Kelompok Wanita Tani (KWT), dalam pengembangan kegiatan usaha pembuatan baglog dilanjutkan dengan pengembangan budidaya jamur, dan pengolahan produk jamur atau diversifikasi produk diantaranya dibuat kerupuk jamur. Pemanfaatan limbah ternak berupa sludge padat ditambah dengan bahan bekas baglog media jamur sebagai bahan pembuatan pupuk organik untuk pengembangan tanaman jahe dilahan pekarangan, kemudian dilakukan pengolahan produk serbuk jahe instant. Kegiatan tersebut telah berkembang dan berhasil optimal dikelola KWT, dengan melebarkan sayap kegiatan usaha produksi bahan baku, pengolahan produk pangan organik dan secara sinergis terintegrasi dengan kegiatan usaha produktif lainnya.

7.3 Adopsi Inovasi : Urgensi Agenda Pendampingan

| 167

Konsep utama pemberdayaan adalah bagaimana memberikan kesempatan luas bagi masyarakat, untuk menentukan sendiri “nasib” dan arah kehidupan dalam komunitasnya. Peningkatan kompetensi SDM yang dibutuhkan dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya lokal, harus dibangun masyarakat itu sendiri. Pelatihan dan pendampingan sekedar instrument manajemen dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan, sebagai upgrading kapasitas individual dan kelompok kinerja secara umum.

Adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi adalah bagaimana melakukan kegiatan usaha produktif yang terintegrasi dengan berbagai potensi sumber daya unggulan yang tersedia pada lokalita tertentu, sehingga dihasilkan output dari kegiatan usaha bernilai tambah dan berdaya saing di pasaran. Keberhasilan adopsi inovasi atau penyebaran teknologi tepat guna tidak terlepas dari peran mediasi yang dilakukan seorang pendamping (fasilitator) lapangan yang berfungsi sebagai jembatan proses adopsi yang menjalankan tugas fungsionalnya sebagai agen pembaharu. Van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan peranan utama penyuluhan (fasilitator), pada masa lalu dipandang sebagai alih teknologi dari peneliti ke petani. Sekarang peranan penyuluhan lebih dipandang sebagai proses membantu petani dan peternak untuk mengambil keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan bagi mereka, dan menolong mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi dari masing-masing pilihan itu.

Peran fasilitator hampir sama dengan mediator atau pendamping dalam membimbing petani dan peternak, dimana pada setiap daerah biasanya disebut penyuluh. Tupoksi penyuluh ialah membekali petani dengan pengetahuan, keterampilan,

168 |

pengenalan teknologi sebagai inovasi baru di bidang agriculture science dengan sistem pendampingan satu arah. Kegiatan tersebut secara metodologi berbeda dengan pendampingan pengembangan kegiatan terintegrasi, yaitu bertugas mendampingi anggota kelompok dan mediator peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknis dalam pengembangan kegiatan terintegrasi. Peran pendamping tidak hanya memberikan sebuah ilmu atau inovasi teknologi, melainkan juga memunculkan inovator di kelompok sebagai tokoh yang membantu fasilitator dalam menumbuhkan adopter-adopter lain pada setiap kegiatan usaha untuk lebih efektif, efisien dan berdaya saing.

Kompetensi anggota kelompok perlu tingkatkan pengetahuan dan keterampilannya (skill), untuk pengembangan bidang usaha yang lebih kompetitif. Penekanan fasilitator dalam peningkatan kompetensi SDM adalah tidak membiarkan anggota kelompok mengadopsi sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi secara tidak terstruktur, melainkan fasilitator mempersiapkan inovator dari dalam kelompok sebagai tiang penyangga sekaligus menjadi panutan yang dapat dijadikan acuan dalam adopsi inovasi bagi anggota kelompok atau masyarakat lainnya. Hal tersebut diharapkan dapat memacu motivasi anggota untuk berfikir kritis dan kreatif bahwa dalam mengadopsi suatu inovasi tidak sulit dan mustahil, karena inovator dari dalam kelompok menjadi contoh keberhasilan (best practice) dalam mengadopsi sebuah inovasi. Best practice merupakan contoh yang dapat diterapkan dan dipelajari anggota kelompok dan masyarakat daerah lainnya.

Program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang diawali dengan peningkatan kompetensi dan pendampingan dalam penerapan teknologi kepada anggota kelompok, memberi dampak sangat signifikan dalam pengembangan usaha dan meningkatkan

| 169

pendapatan. Berkembangnya usaha yang dikelola masyarakat sebagai wujud nyata penerapan konsep pengembangan kegiatan integrasi vertikal dan horizontal, menjadi contoh keberhasilan adopsi inovasi yang diterapkan kelompok. Keberhasilan KWT dalam kegiatan usaha budidaya jamur, juga menumbuhkan “kepercayaan” (trust) bagi pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) di daerah tersebut. Dampaknya masyarakat lebih aktif dan kreatif dalam pengembangan budidaya dan pengolahan produk jamur secara individu atau usaha pribadi, sehingga membuka kesempatan kerja dan unit usaha baru.

Fakta tersebut memberi gambaran eksplisit bahwa hal terpenting dalam pendampingan adalah mengubah perilaku dan sikap anggota kelompok menjadi adopter agar mereka mempunyai inisiatif untuk tahu dan mau menerapkan inovasi, sehingga proses pendampingan menjadi dua arah dan memunculkan sinergi antara pendamping dan adopter dalam mempraktekan konsep kegiatan usaha terintegrasi. Pendampingan yang berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dan perubahan perilaku, dapat menambah kesungguhan para anggota kelompok untuk menerima adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi. Peran pendamping sangat penting dalam mengimplementasikan inovasi sesuai konsepnya, dan pengembangan nilai-nilai yang didasarkan pada filosofi: rajin, kooperatif, inovatif, kreatif dengan menghadirkan inovator dari dalam sebagai tokoh kegiatan adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi.

Pendampingan dilakukan dalam rangka penerapan konsep adopsi inovasi kegiatan usaha terintegrasi yang mengkaitkan peran aktif antar kelompok untuk saling menguatkan dalam pengembangan usaha. Prinsip agribisnis ditanamkan pendamping untuk memunculkan motivasi yang kuat secara bersama-sama

170 |

dalam upaya penciptaan nilai tambah dan mengembangkan usaha, sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan. Menurut Stephen dalam teori sinergitas, sinergi yang dikerjakan bersama memunculkan hasil lebih baik dibanding sendiri-sendiri. Selain itu gabungan beberapa unsur, akan menghasilkan suatu produk yang lebih unggul. Sinergi mengandung arti kombinasi unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran (output) lebih baik dan besar (Sibosnetwork, 2007).

Teori sinergitas diterapkan dalam pendampingan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, kegiatan kelompok diintegrasikan untuk menguatkan atmosfir usaha kelompok yang kegiatannya saling terkait. Petani tidak membeli pupuk mahal (non-organik) dan menunggu subsidi pemerintah dalam budidaya padi, karena pupuk organik diperoleh dari kelompok produsen pupuk dengan mutu yang sudah diketahui para petani dan harga terjangkau. Secara ekonomi kegiatan integrasi tersebut memunculkan efisiensi dalam penyediaan pupuk yang berfungsi meningkatkan produktivitas, sehingga biaya penyediaan pupuk dapat ditekan dan potensi keuntungan yang diperoleh dapat lebih besar.

7.4 Model Kegiatan Terintegrasi: Rekomendasi

Konsep Adopsi Inovasi

Bidang usaha pertanian umumnya merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat perdesaan pada seluruh wilayah di Indonesia, disamping juga aktivitas memelihara ternak yang menjadi suatu tradisi karena merupakan potensi sumber daya unggulan lokal yang tersedia dan prospektif dikembangkan pada skala ekonomi. Namun pengelolaannya masih bersifat tradisional dan sub-sistem, sehingga perkembangan produktivitas dan

| 171

populasinya cenderung sangat lamban serta hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dan tidak ada investasi atas kegiatan usaha yang dilakukan.

Inovasi merupakan pengembangan ide terhadap metode praktis, sebagai upaya merubah kondisi atau keadaan seseorang atau sekelompok masyarakat. Perubahan tersebut dapat diamati dari adanya perbedaan manfaat ekonomi yang dirasakan setelah suatu inovasi diterapkan. Pengelolaan kegiatan terintegrasi merupakan pengembangan usaha yang sinergis antara satu kegiatan usaha produktif dengan usaha lainnya secara efektif dan efisien. Melalui adanya unit-unit usaha yang sinergis, kendala bisnis yang muncul mampu diselesaikan sehingga mendorong peningkatan produktivitas, perbaikan kualitas produk dan penciptaan nilai tambah ekonomi.

Adopsi inovasi peternakan terintegrasi ditujukan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya lokal secara komprehensif, integratif dan terpadu guna mewujudkan Indonesia yang mandiri pangan, mandiri energi dan masyarakat mandiri. Peternakan dan pertanian tangguh dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat Indonesia, sehingga mendorong peningatan tabungan (saving) untuk keperluan investasi bagi pengembangan usaha. Meningkatnya pendapatan akan mendorong daya beli masyarakat untuk kebutuhan konsumsi, sehingga pendapatan setiap produsen juga akan meningkat. Meningkatnya produktivitas dan daya beli masyarakat, secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara makro melalui perluasan aktifitas ekonomi, sehingga ujung dari perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia di perdesaan yang mempu mengakselerasi percepatan pembanguan

172 |

perdesaan dan wilayah pinggiran.

Kegiatan terintegrasi yang dikelola sesuai konsep dasarnya akan mendorong sinergi antar berbagai kelompok usaha, sehingga mampu mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Adopsi inovasi peternakan terintegrasi dengan pendekatan “total solution” dan “zero waste” sangat membantu mempercepat transfer teknologi tepat guna, untuk membuat produk yang dikembangkan lebih bernilai tambah dan berdaya saing.

Inovasi yang dihasilkan dan dinilai layak secara teknis maupun ekonomi, belum tentu diterima dan diterapkan masyarakat sesuai konsepnya. Berkaitan dengan hal tersebut, buku ini merekomendasikan satu konsep penerapan adopsi inovasi terintegrasi, baik secara vertikal maupun horizontal yang kompatibel untuk diterapkan dimana saja dan mudah untuk dipahami masyarakat. Strategi ini sangat efektif diadopsi sebagai pola baru dalam proses pengelolaan usaha. Hasil analisis proses adopsi inovasi peternakan terintegrasi, disusun “Konsep Model Kegiatan Terintegrasi Berbasis Peternakan” seperti gambar dibawah ini.

| 173

Gambar 7.1. Konsep Model Kegiatan Terintegrasi Berbasis Peternakan

Pada prinsip dasarnya, skema model tersebut adalah bagaimana mendorong kegiatan usaha setiap kelompok untuk untuk membangun sebuah model bisnis yang terintergrasi secara vertikal dan horizontal, melalui strategi pemberdayaan masyarakat untuk mencapai kemandirian. Kemandirian yang dimaksud, meliputi kemandirian dalam penyediaan bahan pangan, energi terbarukan, kemandirian ekonomi rakyat, dan pelestarian lingkungan.

Konsep model kegiatan terintegrasi berbasis peternakan dirancang dengan mengacu pada nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) setiap masyarakat perdesaan yang ada di Indonesia. Dalam pandangan Gobyah (2009), kearifan lokal adalah kebenaran yang mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Sementara Keraf (2002) menjelaskan, kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Local wisdom sebagai nilai yang baik dan benar serta cenderung berlangsung secara berkelanjutan dan turun-temurun dilaksanakan masyarakat bersangkutan, sebagai akibat adanya interaksi antara manusia dan alam atau lingkungannya.

7.5 Lima Langkah Implementasi Konsep Adopsi

Inovasi

Penerapan konsep model kegiatan terintegrasi berbasis peternakan dengan memperhatikan unsur kearifan lokal pada setiap daerah di Indonesia, mencakup berbagai aspek dalam satu kesatuan. Beberapa aspek yang dimaksud antara lain; 1) pemanfaatan sumber daya alam, yang menjadi keunggulan

174 |

komparatif suatu daerah untuk dikembangkan dalam usaha kelompok menjadi komoditas bernilai ekonomi dan berdaya saing dengan memperhatikan kohesi sosial dan kelestarian lingkungan; 2) sumber daya manusia, kemampuan atau kapasitas masyarakat diarahkan untuk mendorong kreativitas yang produktif dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya unggulan lokal; 3) adat istiadat, yakni kebiasaan yang menuntun prilaku dalam kehidupan suatu komunitas manusia dan lingkungan, dikonsolidasikan sebagai aktifitas yang mengokohkan kegiatan usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar dan pengembangan ekonomi (mandiri pangan, mandiri energi, dan masyarakat mandiri).

| 175

Gambar 7.2. Penerapan Konsep Model Adopsi Inovasi Peternakan Terintegrasi Melalui Pemberdayaan.

Langkah Pertama : Pemetaan Potensi Sumber Daya Ekonomi Desa

Pelaksanaan model pengembangan kegiatan terintegrasi berbasis peternakan dimulai dengan aktifitas pemetaan dan penyusunan rencana aksi, kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui: a) potensi unggulan sumber daya alam bernilai ekonomi; b) karakteristik sumber daya manusia sebagai pelaku utama pengelola potensi sumber daya ekonomi; c) ketersediaan dan kebutuhan sarana-prasarana serta infrastruktur pendukung peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Dengan mengenali potensi yang dimiliki dan peluang usaha untuk pengembangannya, maka d) disusun rencana tindak (aksi) dan memutuskan kegiatan prioritas pengelolaan sumber daya potensial menjadi ekonomi riil, yang bernilai tambah dan produknya berdaya saing di pasaran.

Pada proses pemetaan ini, seorang pendamping atau fasilitator pemberdayaan masyarakat perlu melakukan dialog secara intens dan partisipatif dengan masyarakat desa. Proses dialog secara langsung dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Setiap keterangan dan informasi yang diperoleh, selanjutnya juga harus dituangkan ke dalam suatu catatan khusus yang mana nantinya menjadi dasar bagi pendamping atau fasilitator pemberdayaan dalam penyusunan rencana aksi. Proses dialog bisa dilakukan dengan memanfaatkan pengaruh dari otoritas setempat, seperti kepala desa dan tokoh masyarakat untuk mengumpulkan penduduk dalam suatu lokasi tertentu. Balai desa dan pusat-pusat

176 |

pertemuan warga bisa digunakan untuk melakukan dialog secara langsung dan memetakan potensi sumber daya ekonomi desa.

Pengenalan atas permasalahan yang dihadapi masyarakat desa, dapat menjadi informasi awal tentang kebutuhan program dan kegiatan prioritas sebagai dasar penyusunan rencana aksi dan implementasi program pemberdayaan. Sehingga efektif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa pada berbagai dimensinya, khususnya aspek peningkatan pendapatan dan pelestarian lingkungan.

Langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan fasilitator pemberdayaan masyarakat dalam tahapan pemetaan, dimulai dengan melakukan studi kepustakan terkait berbagai potensi sumber daya yang ada di desa. Strategi ini ditempuh dengan menelaah berbagai data tentang SDM, SDA, infrastruktur maupun aspek kelembagaan yang ada di desa. Termasuk diantaranya dokumen tentang kebijakan program, kegiatan dan informasi yang mendukung.

Data dan informasi yang dimaksud meliputi: 1) parameter-parameter isu tematik yang ingin diangkat; 2) arah kebijakan dan strategi pembangunan nasional dan daerah; 3) program dan kegiatan terkait isu tematik yang tertuang dalam RPJPD, RPJMD, Renstra OPD dan RPJMDes; 4) data potensi biofisik kawasan, diantaranya lahan, air, infrastruktur, aksesibilitas, sumber daya hayati, dan informasi terkait potensi pengembangan; 5) data potensi sumber daya manusia mencakup: kelembagaan (Koperasi & BUMDes), sosial budaya dan lingkungan, dan ekonomi.

Di samping itu juga, dalam proses pemetaan sumber

| 177

daya ekonomi lokal, data dan informasi pendukung yang harus diperoleh antara lain yang harus diperoleh, diantaranya meliputi: 1) potensi sumber daya alam, khususnya keaneka-ragaman sumber daya hayati; 2) sosial dan ekonomi, yang terdiri kelembagaan dan kohesi sosial, tokoh masyarakat, kepemilikan aset dan tingkat kesejahteraan. Data dan informasi yang akurat dapat pendukung peningkatan produktivitas, kualitas produk dan nilai tambah dalam satu sistem usaha terintegrasi secara vertikal maupun horizontal. Tindaklanjut dari hasil pemetaan, data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan diskusi secara terfokus menjadi dasar penyusunan rencana aksi dan menentukan skala prioritas kegiatan. Rencana aksi yang telah disusun juga harus dilengkapi rancangan kebutuhan anggaran, serta strategi pelaksanaan yang efektif untuk mengembangkan usaha.

Langkah Kedua : Peningkatan Kapasitas & Kompetensi SDM

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkapasitas tinggi, sangat menentukan keberhasilan suatu program pembangunan. Termasuk di dalamnya adalah program pemberdayaan masyarakat. Langkah kedua yang harus dilakukan fasilitator pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana meningkatkan kapasitas SDM yang menjadi sasaran program pemberdayaan. Peningkatan kapasitas bisa dilakukan melalui berbagai metode, diantaranya pemberian materi secara formal di balai desa maupun di luar ruangan dalam bentuk informal tentang konsep adopsi inovasi peternakan terintegrasi, pelatihan dalam pemanfaatan dan penggunaan teknologi yang menunjang aktivitas usaha, hingga pada praktek dan aplikasi langsung di lapangan dengan melibatkan petani dan peternak secara aktif dan partisipatif. Oleh karena itu, pembuatan demplot dalam skala kecil untuk menjadi semacam “laboratorium” praktek langsung bagi masyarakat dapat menjadi

178 |

pilihan yang tepat untuk menyampaikan materi tentang konsep adopsi inovasi tersebut.

Fakta yang banyak terjadi di lapangan, masyarakat desa di Indonesia justru lebih terbiasa pada model pendekatan yang sifatnya informal, dan langsung disampaikan dalam bentuk materi aplikatif yang bisa dengan mudah diterapkan. Harus dipahami dengan bijaksana, bahwa rendahnya tingkat pendidikan formal yang banyak terjadi pada masyarakat perdesaan dan pinggiran, memerlukan satu pendekatan khusus dalam menyampaikan suatu konsep pemberdayaan, mudah dipahami, dan dapat diterima oleh masyarakat desa. Dalam beberapa kasus, penggunaan bahasa lokal dan pendekatan informal seperti silaturahmi, justru jauh lebih efektif mendorong tumbuhnya minat dan motivasi masyarakt desa dibandingkan dengan model pendekatan formal seperti pemberian ceramah di dalam ruangan.

Selain pelatihan dalam bentuk pemberian materi tentang wawasan baru perihal adopsi inovasi peternakan terintegrasi, pemberian motivasi dan semangat bekerja untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat juga merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian. Unsur sikap mental dalam bentuk perubahan cara pandang (paradigma) masyarakat mengenai “nasib” dan “Takdir” harus mampu dirubah oleh seorang tenanga fasilitator pemberdayaan masyarakat. Pemikiran dan cara pandang tradisional yang bersikap “pasrah” terhadap keadaan yang dirasakan, seringkali justru menjadi faktor penyebab utama yang menjadi penghambat pencapaian keberhasilan pelaksanaan program.

Masyarakat harus mempunyai pijakan dalam mengembangkan suatu kegiatan usaha sehingga perlu didorong

| 179

dengan pemberian motivasi yang kuat dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui kelembagaan kelompok yang sudah ada di setiap desa di Indonesia. Pelatihan dalam peningkatan kapasitas SDM difokuskan untuk menciptakan kreasi dan inovasi kegiatan produktif secara terintegrasi dengan pertimbangkan aspek teknis, ekonomis, sosial budaya dan lingkungan berbasis kearifan lokal (local wisdom).

Langkah Ketiga : Penguatan Kelembagaan Kelompok

Keberhasilan dan keberlanjutan atas pencapaian target dan sasaran pemberdayaan ekonomi masyarakat desa yang didasarkan pada hasil pemetaan, sangat ditentukan oleh kelembagaan kelompok yang baik dalam pembagian peran, dan tanggung jawab para pihak sebagai wujud pelaksanaan komitmen yang disepakati bersama. Struktur dan manajemen organisasi yang rapi memainkan peran strategis dalam mendistribusikan tugas dan wewenang untuk menjalankan program pemberdayaan melalui adopsi inovasi peternakan teintegrasi.

Dalam kajian ekonomi kelembagaan, institusi memiliki dua unsur operasional yakni organisasi dan aturan main organisasi. Kedua unsur kelembagaan tersebut, memiliki andil yang kuat dalam mempengaruhi ketercapaian sebuah rencana

kerja. Fleksibiltas struktur organisasi dan konsistensi aturan main yang menjadi pedoman kerja di dalamnya, akan menentukan arah dan kesuksesan program kerja organisasi. Dalam konteks

180 |

masyarakat desa, penguatan kelembagaan dalam program pemberdayaan masayarakat dapat dilakukan dengan pembentukan Badan Usaha Miliki Desa (BUMDes). Peraturan Pemerintah Nomor: 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU Nomor: 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan, bahwa BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu mendorong pembentukan BUMDesa sebagai wadah yang nantinya menjadi pengembangan beragam potensi sumber daya ekonomi yang tersedia di desa.

Sementara itu, untuk menunjang kegiatan operasional pelaksanaan aktivitas BUMDes, pemanfaatan dana desa yang secara reguler menjadi sumber pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dapat menjadi faktor pendukung dalam pelaksanaan aktivitas kelembagaan di BUMDes. Sementara itu, Dana desa adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diperuntukkan bagi Desa, yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Oleh karena itu, program pemberdayaan masyarakat desa melalui pembentukan BUMDes dalam rangka penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, adalah bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Penguatan kelembagaan melalui BUMDes diharapkan mampu menyelesaikan masalah kelangkaan bahan pangan, kemiskinan, dan masalah-

| 181

masalah sosial ekonomi lainnya yang dihadapi oleh masyarakat desa.

Selain itu Alokasi dana desa (ADD) dapat dimanfaatkan secara maksimal melalui pengembangan berbagai potensi sumber daya ekonomi desa, untuk dikelola menjadi komoditas ekonomi berdaya saing dan dapat memenuhi permintaan pasar. Hubungan sosial yang baik diantara anggota kelompok masyarakat dalam wadah kelembagan tersebut diharapkan mampu mendukung tercapainya tujuan dan target keberhasilan program pemberdayaan masyarakat melalui penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi. Kondisi usaha yang kondusif membutuhkan sistem kelembagaan yang efektif, sehingga pengembangan sumber daya pengelola harus diarahkan pada penguatan manajemen kelembagaan yang mandiri, transparan dan akuntabel.

Langkah Keempat : Peningkatan Kapasitas dan Skala Usaha Produktif

Langkah selanjutnya dalam program pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan kapasitas dan skala usaha masyarakat. Berbagai jenis dan ragam aktivitas usaha produktif yang sudah dikelola oleh masyarakat setempat, juga memerlukan upaya peningkatan kapasitas sehingga mampu memenuhi kebutuhan permintaan pasar, bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi saja. Untuk mampu meningkatkan kapasitas dan skala usaha, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang mampu menerapkan adopsi inovasi terintegrasi sesuai dengan konsep dasarnya. Pada tahapan ini, sudah akan terlihat tingkat keberhaslan pengembangan SDM pada langkah kedua di atas. Berbagai paket dan metode pelatihan yang telah diselenggarakan oleh fasilitator pemberdayaan, diharapkan mampu mendukung peningkatan kapasitas dan skala usaha produktif yang dikelola

182 |

masyarakat desa.

Kendala yang lazim dirasakan masyarakat ketika ingin mengembangkan usahanya adalah akses permodalan dan pasar. Faktor penyediaan sumber daya modal dan jejaring pasar untuk mendukung perluasan dan peningkatan kapasitas produksi bisa dilakukan melalui skema kelembagaan yang transparan dan akuntabel di BUMDes. Konsep dan teknis pelaksanaan mengenai pemanfaatan dana desa perlu dibahas secara komprehensif dalam forum musyawarah masyarakat desa. Kriteria dan persyaratan harus disusun sedemikian rupa, sehingga tercapai kesepakatan dan kesepahaman semua pihak. Demikian juga tentang mekanisme pertanggung-jawabannya. Oleh karena itu, seorang fasilitator juga diharapkan mampu membantu para petani dan peternak yang tergabung dalam setiap kelompok usaha, untuk membuat laporan keuangan secara berkala yang mudah dimengerti dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan atas pemanfaatan dana desa tersebut.

Untuk mendukung peningkatan kapasitas dan skala usaha masyarakat, dukungan sarana dan prasarana serta infrastruktur pendukung juga perlu diperhatikan. Adanya komponen pendukung kegiatan usaha, akan mempengaruhi kualitas dan penciptaan nilai tambah atas produk yang dikembangkan. Keberlangsungan usaha dan kegiatan produksi juga menjadi satuhal yang penting. Hal ini untuk mendukung, penyerapan aneka hasil produk yang telah dikembangkan ke dalam pasar. Dengan kata lain, pada waktu kapasitas dan skala usaha produktif sudah meningkat, perluasan akses pemasaran juga harus selaras dengan pertumbuhan bisnis yang sedang berlangsung.

Langkah Kelima : Pendampingan & Aplikasi Konsep

| 183

Langkah terakhir yang harus ditempuh oleh seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat, dalam rangka penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi adalah tahap pendampingan. Kegiatan pendampingan dimaksudkan untuk memastikan bahwa konsep dan strategi yang telah disusun, telah dilaksanakan sesuai panduan dan arahan fasilitator penyusunan kegiatan usaha telah dipahami dengan baik oleh setiap anggota kelompok.

Kapabilitas seorang pendamping atau fasilitator sangat menentukan ketercapaian hasil suatu program pemerdayaan. Kapabilitas yang dimaksud, setidaknya meliputi kemampuan seorang tenaga pendamping atau fasilitator pemberdayaan dalam hal merumuskan skema permodalan usaha, aspek pemasaran hasil produksi dan pemanfaatan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Seorang pendamping atau fasilitator pemberdayaan, dituntut mampu mengembangkan segala potensi yang terdapat di desa, bukan hanya keterampilan teknis dalam budidaya peternakan atau pertanian.

Pada aspek pemasaran hasil produksi misalnya, peranan fasilitator dalam membuka dan menciptakan pasar bagi komoditas yang dihasilkan oleh penduduk, perlu dipersiapkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana aksi. Pemanfaatan teknologi informasi seperti internet dan jejaring media sosial lainya, bisa digunakan sebagai media pemasaran secara luas, sehingga hasil produksi yang telah ada, dapat menjangkau jumlah konsumen yang lebih banyak, tidak hanya terbatas pada penduduk.

Demikian juga pada aspek permodalan. Skema permodalan yang mampu mendukung proses produksi yang dikerjakan oleh penduduk desa. Melalui suatu rangkaian komunikasi dan pendampingan yang efektif, pemanfaatan

184 |

dana desa serta sumber-sumber permodalan lainnya dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan usaha masyarakat desa setempat.

Tahapan ini membutuhkan suatu pendekatan khusus dalam bentuk komunikasi efektif yang mudah diterima oleh masyarakat, sehingga penggunaan bahasa lokal dan pendekatan kultural yang sesuai dengan tradisi masyarakat setempat juga perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh fasilitator. Selain itu juga, proses pendampingan diperlukan untuk membantu para petani dan peternak yang tergabung dalam kelompok-kelompok usaha dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam proses pengembangan usaha.

Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan usaha kelompok, untuk mampu melakukan kegiatan produktif, ekonomis dan produk yang dihasilkan berdaya saing membutuhkan pendamping, sebagai: a) fasilitator, guna memberikan fasilitasi terkait penyusunan kegiatan usaha; b) educator, yakni memberikan edukasi terkait teknologi produksi yang efisien dan efektif untuk digunakan dalam proses tahapan pengembangan usaha; c) konsultator dan mediator, yang berperan memfasilitasi penyediaan pendukung non-produksi yang berkaitan dengan pengembangan usaha dan penguatan kelembagaan; d) integrator, sebagai mediasi dalam mengintegrasikan kegiatan usaha antar kelompok secara sinergis; e) memunculkan inovator dari masyarakat sebagai adopter, terkait teknologi yang mendukung kegiatan usaha. Masing-masing peran tersebut, saling berkaitan dalam upaya peningkatan produktivitas, kualitas hasil produk, dan nilai tambah yang diciptakan dalam skala ekonomi tertentu.

Tahapan pendampingan difokuskan pada upaya

| 185

mendorong keterlibatan masyarakat sehingga mampu menjadi individu-individu yang mandiri, dimulai dengan pembangunan demploting sebagai laboratorium lapangan dan tempat uji coba inovasi sebelum masyarakat membuat keputusan mengadopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi berbasis peternakan dengan orientasi skala ekonomi. Keberhasilan kegiatan rintisan dalam demploting akan memberi keyakinan kelompok dan masyarakat lainnya, atas model adopsi inovasi pengembangan kegiatan terintegrasi yang dikembangkan dalam skala ekonomi tertentu.

Keberhasilan program pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis sumber daya lokal dapat dilihat dari tercapainya target penciptaan tambahan pendapatan masyarakat desa, adanya nilai tambah ekonomi, produk (komoditi) bernilai ekonomi tinggi dan berdaya saing di pasaran. Kompetensi dan kapasitas SDM penting untuk terus ditingkatkan, pelaku utama (adopter) sebagai pengelola usaha dalam mendorong pengembangan kegiatan pengeolaan potensi sumber daya ekonomi desa secara produktif menjadi komoditas ekonomi yang berkelanjutan.

Pendampingan bagi para adopter dalam proses demploting adopsi inovasi kegiatan usaha produktif secara terintegrasi, dilakukan dalam aspek: produksi, pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Fasilitasi tersebut akan mempengaruhi dinamika jalannya implementasi program, dan prosesnya diharapkan memunculkan respon positif masyarakat sebagaimana tujuan adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi. Yaitu: a) penambahan pendapatan bagi anggota kelompok usaha; b) peningkatan nilai produk yang dihasilkan masing-masing kegiatan yang diintegrasikan dengan usaha lainnya; c) munculnya

186 |

rantai pasok produksi terintegrasi; d) memunculkan integrasi kelembagaan; serta e) pengembangan usaha produktif yang akan muncul di dalam rangkaian proses tahapannya.

Secara skematis, proses dan tahapan pelaksanaan lima langkah penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, dapat digambarkan pada gambar di bawah ini :

Gambar 7.3. Tahapan Pengembangan Kegiatan Terintegrasi Berbasis Peternakan

Keberlanjutan kegiatan integrasi vertikal dan horizontal yang dikelola kelompok masyarakat di perdesaan sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam penetapan komoditas utama. Komoditas sektor peternakan merupakan pilihan komoditas untuk dimulainya kegiatan integrasi yang mampu mendorong pengembangan potensi sumber daya unggulan lokal

| 187

lainnya. Selain itu, ternak adalah penghasil sumber pangan dan tabungan bagi masyarakat perdesaan yang pengelolaanya dapat dikembangkan tidak tergantung musim dan dapat dikerjakan, baik oleh perorangan maupun kelompok kecil, menengah dan usaha besar sesuai kemampuan. Limbah kotoran ternak dapat dikelola menjadi komoditas ekonomi dan tambahan sumber pendapatan yang ramah lingkungan (pupuk organik, sumber energi terbarukan melalui proses biogas, media jamur, pakan olahan ikan, dan produk bernilai ekonomi lainnya).

Konsep model pengembangan kegiatan terintegrasi berbasis peternakan sebagaimana rekomendasi buku ini, meletakkan peternakan sebagi basis utama dalam satu mata rantai dan tahapan pengembangan integrasi dalam optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya unggulan lokal. Kegiatan kelompok usaha peternakan diintegrasikan dengan kelompok budidaya tanaman produktif bernilai ekonomi (ternak-tanaman), dan kelompok kegiatan ekonomi kreatif lainnya yang berorientasi bisnis dan ramah lingkungan (zero waste) sesuai potensi masing-masing wilayah perdesaan pengembangan yang dikelola masyarakat setempat di seluruh pelosok Indonesia.

Pengembangan peternakan sebagai sektor ekonomi yang mampu mendorong beragam usaha produktif di wilayah perdesaan diharapkan mampu memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Aktivitas sosial ekonomi yang dimulai dari sektor peternakan akan mendukung pengembangan sektor ekonomi produktif lainya seperti pertanian, perkebunan dan perikanan. Kualitas lingkungan hidup juga menjadi lebih baik dengan penerapan konsep “total soulution” dan “zero waste” dimana sama sekali tidak terdapat jenis limbah yang merusak lingkungan dan menggangu kesehatan penduduk setempat.

188 |

Melalui penerapan adopsi inovasi pengembangan peternakan terintegrasi yang efektif dan menguntungkan bagi masyarakat pengelolanya, sangat diperlukan dalam upaya mendukung pengembangan produk unggulan perdesaan. Hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan produktivitas usaha, hasil produksi yang berkualitas dan memiliki daya saing di pasaran. Ujung dari keseluruhan rangkaian tahapan pengelolaan usaha peternakan dengan adanya adopsi inovasi itu adalah peningkatan pendapatan, penciptaan lapangan kerja, menumbuhkan motivasi menjadi entrepreneur dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa. Jika semua hal itu bisa dicapai, hampir dapat dipastikan bahwa urbanisasi dan deformasi struktural tidak akan terjadi lagi di waktu-waktu yang akan datang, oleh karena stimulus aktivitas ekonomi penduduk desa sudah jauh lebih baik.

7.6 Sampai Dimana Posisi Sektor Peternakan Kita

??

Pada bagian terakhir ini, tibalah saatnya untuk melakukan refleksi dan renungan tentang apa yang sudah kita kerjakan untuk mendukung kemandirian pangan bangsa ini. Sebagai bagian dari agenda strategis nasional, problem penyediaan pangan harus memperoleh porsi yang memadai dalam tugas-tugas kebangsaan kita sebagai anak bangsa. Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara dengan persebaran wilayah dan ragam budaya yang sudah dikenal seluruh dunia, Indonesia juga adalah kampung-kampung dan desa-desa yang tersebar pada wilayah dan pulau-pulau. Pada setiap kampung dan desa itu, masyarakat kita masih “konsisten” menjadikan sektor peternakan dan pertanian sebagai sumber penghidupan utama. Tidak ada suara mesin-mesin industri disana, apa lagi pabrik-

| 189

pabrik raksasa yang mengepulkan asap dan mengotori udara. Pada masyarakat yang hidup di kampung dan desa itu juga, keadilan sosial, kemandirian ekonomi, dan kesejahteraan bersama sebagai amanat konstitusi UUD 1945 harus diwujudkan dengan berbagai daya dan ikhtiar sungguh-sungguh.

Sektor peternakan sebagai komoditas unggulan berdaya saing dan identitas kultural masyarakat desa, sekaligus sebagai pilar utama aktivitas utama ekonomi perdesaan harus menjadi satu bagian integratif dalam agenda dan program pembangunan ekonomi Indonesia. Masalah kelangkaan pangan, mahalnya harga pupuk, impor daging dan kemiskinan di wilayah perdesaan seharusnya sudah lama terselesaikan jika kita mau terbuka dan membuka diri untuk menerima perkembangan. Inovasi dan pemanfaatan teknologi menjadi pilihan bijak bagi kita untuk menjadi “jalan lurus” bagi upaya peningkatan ketahanan pangan nasional. Dalam konteks itulah, penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi menjadi penting untuk diterapkan secara massif dan tersistematis di seluruh pelosok Indonesia.

Jika ditinjau dalam struktur ekonomi, sektor peternakan masih tetap “setia” menjadi sub-sektor dari pertanian, dengan kontribusi sektoral yang tidak terlalu signifikan. Padahal, model paradigma lama yang mendasari penyusunan dan pencatatan secara statistik seperti itu adalah, oleh karena menganggap sektor peternakan belum mampu menjadi “leading sector” di sektor ekonomi primer kita. Konsep penyusunan dan pencatatan statistik seperti itu memandang sektor peternakan hanya “sebelah mata”.

Melalui rekomendasi penerapan adopsi inovasi peternakan terintegrasi, diharapkan ke depan, pemanfaatan dana

190 |

desa bisa lebih optimal. Adopsi inovasi peternakan terintegrasi dapat menjadi satu rujukan akademik dan untuk dijadikan dasar penyusunan program pengembangan ekonomi perdesaan di Indonesia. Konsep baru ini juga dapat menjadi counter politic bagi masyarakat desa dengan dukungan pendamping dan fasilitator program pemberdayaan, sehingga pemanfaatan dana desa dapat sungguh-sungguh memberikan impact yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Oleh karena itu, paradigma baru dibutuhkan untuk jadi satu dasar kerangka penyusunan kebijakan pembangunan ekonomi, khususnya pada pembangunan sektor ekonomi primer. Untuk tujuan itulah, buku ini hadir ke hadapan anda. Dengan harapan dan keyakinan, jika konsep dalam model adopsi inovasi peternakan terintegrasi ini dijadikan “role model” dalam upaya peningkatan ketahanan pangan dan penyediaan bahan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia, khususnya yang tinggal di wilayah perdesaan dan pinggiran, bukan mustahil Nawa Cita Ketiga dalam program strategis pembangunan ekonomi Indonesia dapat dicapai dalam jangka waktu dekat. !!!

Mari gerakan: kemandirian pangan, energi dan ekonomi masyarakat

melalui

Adopsi Inovasi “bio-cycle farming & zero waste”

sebagai “instrument total solution” perekat identitas kearifan lokal “gotong royong”

| 191

Daftar Pustaka ..

Adisasmita, R., 1982, Beberapa Dimensi Ekonomi Wilayah, Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.

Adnyana, M.O dan Ketut Kariyasa. 2006, “Dampak dan Persepsi Petani Terhadap Penerapan Sistem Pengelolan Tanaman Terpadu Padi Sawah”. Jurnal Pertanian Tanaman Pangan Volume 25 No.1 tahun 2006.

Anggriyani, Emiliana. 2012. Difusi Inovasi Pengolahan Kotoran Ternak Menjadi Kompos Pada Kelompok Peternak Sapi Potong Sido Rejo Dan Sido Mulyo Di Kabupaten Bantul. Tesis: Fakultas Peternakan Ubiversitas Gadjah Mada.

Agus, A., 2014, Pengembangan Program Desa Mandiri Pangan, Mandiri Energi dan Masyarakat Mandiri melalui Pewirandekatan Total Solution Bidang Pertanian Terpadu Berbasis Peternakan, Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM.

Alimoeso, S., 2008., Ketahanan pangan nasional: Antara harapan dan kenyataan, Jakarta: Pameran Agrinex.

Anonim, 2016, Visi dan Misi Program Aksi Kabinet Jokowi-Kalla 2014, abbah.yolasite.com (diakses November 2016).

Arikunto, Suharsimi., 2002, Metodologi Penelitian, Jakarta: Penerbit PT. Rineka Cipta.

Atikah, Fitri., 2008, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Integrasi Vertikal Industri Mobil Di Indonesia, Skripsi: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut

192 |

Pertanian Bogor.

Azwar, S., 2002, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bahri, S dan B. Tiesnamurti., 2012, “Strategi pembangunan peternakan berkelanjutan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal peternak sapi perah dalam penyuluhan di Kabupaten Enrekang”, Litbang Pertanian, 31(4) : 142-152.. JITP, 1(3) : 193-208.

Bappeda Bantul., 2011, Rencana Program Jangka Menengan Daerah (RPJMD) Kabupaten Bantul 2011-2015, bappeda.bantulkab.go.id diakses (25 November 2016).

Bappenas, 2017, Pedoman Perencanaan Science Park dan Techno Park Tahun 2015-2019, Bappenas.co.id (diakses Mei 2017).

Bariroh, Nur Rizqi dan Dhyani Nastiti P., 2006., Kajian Ekonomi dan Tingkat Adopsi Integrasi Tanaman Pangan dan Ternak Sapi Penghasil Bakalan di Kalimantan Timur: Studi Kasus di Kecamatan Sepaku Kalimantan Timur. Samarinda: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur.

Brychan, Thomas. 2000. A Model Of The Diffusion Of Technology Into Sme’s. University Of South Wales. https://www.researchgate.net/publication /255587273 (diakses Juli 2017).

BPS. 2016, Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Badan Pusat Statistik, Jakarta: Badan Pusat Statistik.

BPSb, 2016., Kabupaten Bantul dalam Angka, Bantul:

| 193

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul.

BKP, 2016. Undang undang Republik Indonesia nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan., bkp.pertanian.go.id (diakses Januari 2016)

Bunch, Roland., 2001, Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Edisi ke dua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Bungin, B. et, al., 2000, Content Analysis dan Focus Group Discussion dalam Penelitian sosial, dalam Metodelogi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodelogis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Creswell, J.W., 1994, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches: Sage. London.

Creswell, J.W. 1994, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches: Sage publication, Inc. California.

Donald, R.C., dan Schlinders., 1998, Business Research Methods 6th ed. Illinois: Richard D. Irwin, handbook.

DKKP. 2017. Usaha Ekonomi Produktif. http://dkpp.jabarprov.go.id/ (diakses 28 Februari 2017).

Edi, W., et. al., 2004, Kebijakan Publik Pro Civil Society: Pemantauan Proses Perubahan Kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Wonosobo, Yogyakarta: YPAPI.

Fatah, L., 2006, Dinamika Pembangunan Pertanian dan

194 |

Pedesaan, Banjarbaru: Pustaka Banua.

Fielding, N.G., dan Fielding, J.L., 1990, Linking Data, London: Sage Research Methods: A Computer A (Dunn, Public Policy Analysis : An Introduction, 2003) ssisted Introduction, Belmont, Calif: Wadsworth Publishing Company.

George J. Stigler., 1951, “The Division of Labor is Limited by the Extent of the Market”. Journal of Political Economy 59, no. 3 (Jun., 1951): 185-193.

Ginting, Paham, 2006, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian, Medan: USU Press.

Gobyah, I Ketut., 2009, Berpijak Pada Kearifan Lokal. balipos.co.id.

Goenadi, D., Dradjat, B., Erningpraja, L. and Hutabarat, B., 2005, Prospek dan pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian..

Gonzalez, S., dan GD. Israel. 2010. “The Influence of Type of Contant with Extension on client Statisfaction”. Journal of Extension (On-line), 48 (1), http:// www.joe.org/joe/2010february/a4.php (di akses 20 November 2016).

Hadari, Nawawi. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hammersley, M., dan Atkinson, P., 1983, Ethnography: Principles in Practice, London: Tavistock.

| 195

Hanafi, A., 1987, Memasyarakatkan Ide-Ide Baru, Surabaya: Usaha Nasional.

Haryanto, Budi. 2008. Inovasi Teknologi Pada Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Peternakan. Jurnal Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi p 45-42. Pusat Penelitian dan Pengembangan Balai Peternakan.

Hasibuan, N., 1993, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi, Jakarta: LP3ES.

Hubbard, E. 2007. Flower Anatomy. http://www.microscopyuk. org.uk/mag/artnov07macro/flower_anatomy/index.htm (diakses tanggal 3 Februari 2016).

Ivancevich, John, M, Robert Konopaske, dan Michael T. Matteson. 2008, Perilaku dan Manajemen Organisasi, jilid 1 dan 2, Jakarta : Erlangga.

Jann, W., dan Creswell. 2003, Theories of the Policy Cycle, in Frank Fischer, Gerald Miller and Mara Sidney (eds.) Handbook of Public policy Analisis: Theory Politics, and Methods, Routledge.

John, W.C., 2003, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, dalam Aris Budiman, et. al., (eds.), Desain Penelitian, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif, Cetakan II, Jakarta: KIK Press.

Keraf, A. Sonny., 2002, Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kountur, R., 2005, Metode Penelitian Untuk Penulisan

196 |

Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM.

Kurniawan, D., 2008, Regresi Linier, R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria.

Kusnadi, U., K. Diwyanto, dan S. Bahri. 2005. “Pengembangan sistem usaha tani ternak-tanaman pangan berbasis kambing di Kabupaten Lombok Timur NTB”, hlm. 685-692. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Kusnadi, E., Djulardi, A., 2011, “Physiological Dynamic of Broiler at Various Environmental Temperatures. International Journal of Poultry Science”. 10 (1): 19-22.

Kusnadi, Uka., 2008, “Inovasi teknologi peternakan dalam Sistem integrasi tanaman-ternak untuk menunjang swasembada daging sapi”, Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (3), 2008: 189-205. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Laswell, Harold D. and Abraham Kaplan. 2017. Power and Society, A frameworok For Political Inquiry. Routledge Publishers. New York.

Lawrence, N.W. 2004. “Qualitative and Quantitative Sampling” dalam Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches, Second Edtion, Boston: Longman.

Lawrence, N.W. 2013, Metodologi penelitian Sisoal; Pendekatan Kualitatif dan Kuangtitatif, edisi 7, Jakarta: University of Wisconsin di Whitewater, Indeks.

| 197

Leeuwis, C. 2013, Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan: Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.

Makkulawu, A.R. 2014, Proses Percepatan Difusi Inovasi Produk Susu Sterilisasi non thermal. Jurnal Teknik Industri ISSN: 1411-6340. Fakulatas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Manwan, 1., Oka, M. 1991. Konsep Penelitian Sistem Usaha Tani dan Penelitian Pengembangan. Bogor: Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian.

Mathis R.L dan Jackson J.H, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Salemba Empat.

Mardikanto, Totok. dan Sri Sutarni. 1982. Pengantar Penyuluhan Pertanian dalam Teori dan Praktek. Hapsara, Surakarta.

Mardikanto, Totok. 1988, Komunikasi Pembangunan. UNS Press. Surakarta.

Mardikanto, Totok. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Mardikanto, T. 2010, Komunikasi Pembangunan: Acuan Bagi Akademisi, Praktisi, dan Peminat Komunikasi Pembangunan. Surakarta (ID): UNS Press.

Moleong, Lexy J. 2001. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: remaja Rosda Karya.

198 |

Moleong, Lexy, J. 2003, Metode Peneltian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. RemajaRosda Karya.

Moleong, Lexy. J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mosher, A.T. 1970. Getting Agriculture Moving. Pyramid Book. New York.

Muhi, Ali Hanapiah., 2011, DESA: Analisis Permasalahan, Potensi dan Pengembangan, Bogor: Alqaprint.

Mundy, P. 2000, Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PPAT3. Bogor.

Musyafak, Akhmad dan Tatang M. Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Balai Pengkajian teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Pontianak.

Nakamura, Robert T, dan Frank Smallwood, 1980, The Politics of Policy Implementation, London: St. Martin’s Press Inc.

Norman, K. Denzin., dan Egon G., 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Cetakan I, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.

Nursalam, 2008, Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan Edisi 2, Jakarta: Salemba Medika.

| 199

Nuryati, et al. 2015. Outlook komoditas pertanian Sub sektor peternakan daging sapi. Kemeterian Pertanian. Jakarta.

Ozkaya G. Y., Aydin H., Toraman F. N., Kizilay F., Ozdemir O., Cetinkaya V., 2005, “Effect of strength and endurance training on cognition in older people”, J. Sports Sci. Med. 4, 300–313.

Patton, Carl V., dan David S. Sawicki, 1993, Basic Methods of Policy Analysis and Planning., Prentice Hall: Michigan University.

Parker, R. B. 1974. Probiotics, the other half of the antibiotic story. J. Anim. Nutr. Health. 29 : 4-8.

Payne, M., 1986), Social Care in The Community, London: MacMillan.

Pertiwiningrum, Ambar., Cahyono Agus, Agung Setianto, Supriadi, Arief Fahmi, dan Yudistira S., 2015, Pemetaan Sumber Daya Dan Potensi Pengembangan Kawasan Tangguh Pangan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.

Prawiradiputra, B.R., dan Partohardjono, S. 1989, Rice based food-forage crop production in Indonesia. Report of the Asian Rice Farming Systems Working Group. AARD and IRRI. pp. 308 – 317. Reaves, Celia C. 1992, Quantitative research for the behavioral sciences, New York: John Wiley.

Preston, T.R. 2000. Livestock Production from Local Resources in an Integrated Faming System; a Sustainable Alternative for the Benefit of Small Scale Farmers and the

200 |

Environment. Workshop-seminar “Making better use of local feed resources” SAREC-UAF, January , 2000.

Rakhmat, J. 2003, Psikologi Komunikasi. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya.

Rangkuti, Freddy. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rangkuti, Perlaungan Adil. 2009 Strategi Komunikasi Membangun Kemandirian Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian. Bogor.

Reaves, C.C. 1992, Quantitative research for the behavioral sciences, New York: John Wiley.

Robert, K.Y. 2005, Case Study Research Deseign and Methods, dalam M. Djuazi Mudzakir (eds.), “Studi Kasus Desain & Metode”, Edisi 1. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Roessali, Wiludjeng., Eddy BT, Marzuki S., 2013, Identifikasi Adopsi Teknologi Pada Peternak Sapi Perah si Kabupaten Semarang, Jurnal Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang.

Roosmalawati, 2014, Makalah Studi Kasus, Metodologi Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta.

Rogers, E.M., 1962, Diffusion of innovations (1st ed.), New York: Free Press.

| 201

Rogers, E.M., 1975, Diffusion of innovations (2rd ed.), New York: Free Press

Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations: A Cross-Cultural Approach, New York (US): The Free Press.

Rogers, E.M., 1983, Diffusion of innovations (3rd ed.), New York: Free Press.

Rogers, C.R. dan Freiberg, H.J., 1994, Freedom to Learn (3rd Ed), OH: Merrill/Macmillan. Columbus.

Rogers, E.M., 1995, Diffusion of innovations (4th ed.), New York: Free Press.

Rogers, E.M., 2003, Diffusion of Innovations 5th ed, New York (US): The Free Press.

Riant, N.D., 2004, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: PT.Gramedia.

Rohim, Syaiful., 2009., Teori Komunikasi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Rostow, W.W., 1993, The Stage of Economic Growth. London: Cambridge UniversityPress.

Sinaga, Monang P. D., 2013, Jenis – Jenis Integrasi Peruasahaan, slideshare.net (diakses 3 April 2017).

Slater, M., 1990, Research methods in library and information studies, London: The Library Association.

202 |

Soekartawi, 1993, “Peranan pengembangan sumber daya manusia (PSDM) dalam proses adopsi-inovasi untuk meningkatkan pendapatan petani”, Agro-Ekonomika 23(1): 23−42.

Soekartawi., 1988, Prinsip Dasar: Komunikasi Pertanian, Jakarta: UI Press.

Subarsono, A.G., 2005, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudijono, Anas., 1996, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Grafindo Persada.

Sugiyono. 2001, Metode Penelitian Administrasi, dalam Apri Nuryanto (eds), Bandung, Alfabeta.

Suharto, Edi., 2005, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Cetakan I Bandung: Alfabeta.

Sumaatmadja, Nursid., 1988, Geografi pembangunan, Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Suparjan & Hempri Suyatno, 2003, Pengembangan Masyarakat dari pembangunan Sampai Pemberdayaan, Yogyakarta: Aditya Media.

Suprapto, T., dan Fahrianoor, 2004, Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.

| 203

Suprapto, T. 2009, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi, Yogyakarta (ID): MedPress.

Supangkat, G. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu, Keunggulan dan pengembangnya. Workshop Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu. Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 14 Desember 2009

Suradisastra dan Lubis, A.M., 2004, Pertimbangan integrasi tanaman – ternak dalam kebijakan pengembangan peternakan di kawasan timur Indonesia. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 32 – 43.

Syahza, Almas, 2007, Model Kelembagaan Ekonomi Pada Perkebunan Kelapa Sawit di Propinsi Riau, Pekanbaru: Lembaga Penelitian Universitas Riau.

Syamsidar, 2012, Analisis Pendapatan Pada Sistem Integrasi Tanaman Semusim-Ternak Sapi Potong (Integrated Farming System) di Kecamatan Sinjai Tengah. Kabupaten Sinjai, Makassar: Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan.

Tadjoer, R., 2004, Metode Bricolage dalam Penelitian Sosial, dalam Burhan Bugin (eds.). “Metodelogi Penelitian Kualitatif” Aktualisasi Metodelogis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Edisi 1, Cetakan III, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tankard, J.W., Severin, W.J., 2008, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, Terapan. Edisi ke-lima, Jakarta : Prenada Media

204 |

Kencana.

Tangkilisan, Hessel Nogi. S., 2003, Implementasi Kebijakan Publik, Jakarta: Lukman Offset.

Tarmidi, Lepi T., 1992, Ekonomi Pembangunan. Pusat Antar Universitas, Studi Ekonomi, Universitas Indonesia.

Tatlıdil, H. 1997, The adoption and spread of innovations in farming, http://web.adu.edu.tr/akademik/garmagan/dersler/tyi/yenilik.pdf, (diakses 06.07.2016)

Urabe, Kuniyoshi, John Child, Tadao Kagono, 1988, Innovation and Management: International Comparisons, Berlin. New York: Walter de Gruyter an Co.

Van de Ven, Andrew H, 2007, Engaged Scholarship, A Guide for Organizational and Social Research, New York: Oxford University Press.

Verderber, K.S., Verderber, R.F., Sellnow, D., 2010, Communicate! 13th ed. United State: Wadsworth Cengage Learning.

Wahid, Rizki., 2016, Perbandingan Pola Kewenangan Pemerintah Kota Makassar Periode Ilham Arif Sirajuddin dan Moh. Ramdhan Pomanto dalam Pengelolaan Pasar Terong di Kota Makassar: Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

William, N.D. 2000, “Publik Policy Analysis: An Introduction Second Edition”, dalam Samodra Wibawa, et. al., (eds.), Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Dua, Cetakan

| 205

III, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

William, N.D. 2003., “Public Policy Analysis: An Introduction”, dalam Ari Wulandari (eds.), Analisis Kebijaksanaan Publik: Kerangka Analisis & Prosedur Perumusan Masalah, Cetakan X, Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.

Winarno, B., 2005, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Presindo.

Wiryanto, 2000., Teori Komunikasi Massa. Jakarta: PT Grasindo.

Zaltman, G dan Duncan. 1973, Innovations and Organization, A Wiley– Interscience Publication John Wiley and Sons, New York, London, Sydney, Toronto.

206 |

Aplikatif Sesuatu mengenai (berkenaan dengan) pen-erapan

Baglog Istilah untuk media jamur kayu yang terdiri dari serbuk gergaji, tepung tapioka, bekatul /dedak dan kapur dll. Baglog ini sudah te-rinokulasi (diberi) bibit sehingga anda tidak perlu repot meracik media, sterilisasi dan menanam bibitnya

Bio-Digester Suatu sistem yang mempercepat pembusu-kan bahan organik yang membentuk biogas dan senyawa-senyawa lain yang dihasilkan melalui pembusukan anaerob.

Biogas Gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk di antaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida.

Bio-Industri Penerapan mikroorganisme dan enzim da-lam skala besar (industri) yang memper-hitungkan kajian ekonomis dan untung rugi suatu proses produksi

Bio-Urine Pupuk Organik cair berasal dari Urine /kencing ternak sapi, kambing, Domba, atau Kuda.

| 207

Breeding Suatu proses yang diawali dengan pemili-han indukan yang tepat, dilanjutkan dengan seleksi.

Crushing Suatu proses yang bertujuan untuk meliber-alisasi mineral yang diinginkan agar terpisah dengan mineral pengotor yang lain.

Decomposer Organisme pengurai sisa organisme

Deformasi Struk-tural

Perubahan bentuk struktur akibat adanya gaya dari luar maupun dari dalam struktur

Diversifikasi Usaha untuk meningkatkan produksi dengan cara menambah jenis / keanekaragaman je-nis produksi

Doc (Day-Old-Cick)

Ayam dengan umur dibawah 10 hari dan pal-ing lama 14 hari setelah ayam menetas

Dod (Day-Old-Duck)

Anak bebek yang baru menets setelah men-galami masa proses pengeraman selama 27-28 hari.

Ekstraksi Suatu proses pemisahan suatu zat berdasar-kan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, bi-asanya air dan yang lainnya pelarut organik.

Fermentasi Peragian, proses pemecahan senyawa organ-ik energi menjadi zat antara oleh mikroba (bantuan jamur) yang berlangsung dalam suasana anaerob dan menghasilkan energi.

208 |

Fertilizer Pupuk organik merupakan pupuk yang ter-buat dari bahan-bahan alami yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dan dirombak dengan bantuan mikroorganisme dekom-poser seperti bakteri dan cendawan menjadi unsur-unsur hara yang dapat diserap oleh ta-naman.

Fragmentasi Pemutusan sebagian tubuh organisme

Infrastruktur Prasarana/ istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan fasilitas yang sengaja dibuat untuk mendukung aktivitas kehidupan manusia.

Inseminasi Artifi-sial

Istilah teknis dari suatu tindakan memasu-kan sperma ke dalam saluran reproduksi bet-ina dengan menggunakan bantuan alat

Integrasi Pembauran atau penggabungan hingga men-jadi kesatuan yg utuh atau bulat

Integrasi Horizon-tal

Perusahaan mengintegrasikan produksi dari barang atau jasa yang masih ada di dalam satu tahap produksi di dalam rantai suplai, baik melalui ekspansi internal, akuisisi, ataupun merger.

Integrasi Vertikal Penggabungan beberapa perusahaan yang meliputi semua fase produksi mulai dari bahan baku sampai barang jadi dalam satu organisasi.

Integratif Konsep yang bersifat integrasi

| 209

Kandang Komunal Model kandang dalam suatu ruangan yang menempatkan beberapa ekor ternak secara bebas tanpa diikat.

Komoditas Sesuatu benda nyata yang relatif mudah diperdagangkan, dapat diserahkan secara fisik, dapat disimpan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dapat dipertukarkan den-gan produk lainnya dengan jenis yang sama, yang biasanya dapat dibeli atau dijual oleh investor melalui bursa berjangka.

Kompatibel mampu bergerak dan bekerja dengan keser-asian, kesesuaian (misalnya mesin, komput-er)

Konstelasi Desen-tralisasi

keadaan, tatanan yang berpusat dalam satu titik

Konvensional berdasarkan konvensi (kesepakatan) pada umumnya (seperti adat, kebiasaan, kelaziman);

Local Wisdom semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat ke-biasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komu-nitas ekologis

Mikrobia Jasad hidup yang sangat kecil dan tidak dapat dilihat tanpa mikroskop. Mikrobia me-liputi semua jasad mikroskopik yang terdiri dari Arkhaebakteri, Khamir, Bakteri, Fungi, Sianobakteri, dan Protozoa.

210 |

Mikro-Organisme Lokal (MOL)

Mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik pa-dat maupun pupuk cair

Organik Fertilizer Pupuk organik (berasal dari fermentasi bah-an organik)

Pakan Komplit Pakan ternak yang lengkap yang bisa me-lengkapi dan memenuhi nutrisi dan gizi yang dibutuhkan ternak selama satu hari (24 jam)

Pestisida Organik Pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tanaman atau tumbuhan dan bahan organik lainnya

Pupuk Kompos Hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh popula-si berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aero-bik atau anaerobik

Silase Proses pengawetan hijauan pakan segar da-lam kondisi anaerob dengan pembentukan atau penambahan asam.

Sludge Bahan dari sisa proses pembuatan biogas bentuknya berupa cairan kental yang telah mengalami fermentasi tanpa oksigen

Stakeholder Individu atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap keputusan serta akti-vitas organisasi

Swadaya Suatu kontribusi yang lahir dari kekuatan (tenaga) sendiri

| 211

Tepat Guna Sesuatu yang dirancang bagi suatu mas-yarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Terintegrasi Suatu konsep yang terjadi proses pembauran atau penggabungan hingga menjadi kesatu-an yg utuh atau bulat

Urbanisasi perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Zero Waste Perancangan ulang daur sumberdaya, dari sistem linier menuju siklus tertutup, se-hingga semua produk digunakan kembali

212 |

| 213