Upload
noona-diedie-sari
View
163
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah dan Analisa JurnalTEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL DALAM KELUARGADian Yunita Sari NRP: I251120071Dosen Penanggungjawab: Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.ScSekolah Pascasarjana Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2012DAFTAR ISIDAFTAR ISI BAB I............................................................................................i 1 1 1 3 2 5 5 5 9 12 12 17 20 20PENDAHULUAN ............................................
Citation preview
Makalah dan Analisa Jurnal
TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL
DALAM KELUARGA
Dian Yunita Sari
NRP: I251120071
Dosen Penanggungjawab:
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc
Sekolah Pascasarjana
Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
1. Pengertian........................................................................... 1
2. Konsep................................................................................ 1
3. Asumsi................................................................................ 3
4. Tokoh-tokoh Teori Struktural Fungsional......................... 2
BAB II PEMBAHASAN JURNAL.................................................... 5
1. Jurnal 1................................................................................ 5
1.1 Ringkasan Jurnal 1........................................................ 5
1.2 Analisis Jurnal............................................................... 9
2. Jurnal 2................................................................................ 12
2.1 Ringkasan Jurnal 2........................................................ 12
2.2 Analisis Jurnal............................................................... 17
BAB III PENUTUP............................................................................... 20
1. Kesimpulan ........................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
LAMPIRAN JURNAL................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1. Pengertian
Pendekatan struktural fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang
diterapkan dalam institusi keluarga. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam
masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan
sosial masyarakat. Pendekatan ini mempunyai warna yang jelas, yaitu mengakui
adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial.1
Struktur fungsional berpegang pada sebuah struktur keluarga yang
membentuk kemampuannya untuk berfungsi secara efektif dan bahwa sebuah
keluarga inti tersusun dari seorang laki-laki (ayah atau suami) sebagai pencari
nafkah dan seorang wanita (ibu atau istri) berperan sebagai ibu rumah tangga dan
terdapat anak.2
2. Konsep
Ada beberapa konsep di dalam teori struktural fungsional, yaitu:
Adanya struktur dalam keluarga dan masyarakat.
Pembagian peran, tugas dan tanggung jawab, hak dan kewajiban.
Setiap orang menjalankan fungsinya.
Mempunyai aturan dan nilai/norma yang harus diikuti.
Mempunyai tujuan yang jelas.
Konsep homeostatis yaitu kemampuan memelihara stabilitas agar
kelangsungan suatu system tetap terjaga dengan baik.
Moving equilibrium/keseimbangan dinamis
Konsep AGIL (Tallcot Parsons)
Konsep Levy: alokasi solidaritas, power/politik dan lain-lain.3
3. Asumsi
Tiga asumsi dasardari teori struktur fungsional yaitu :
1 Megawangi, Ratna, 2005, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan Media Utama, h. 56.2 Puspitawati, Herien, 2009, Bahan Ajar ke-3: Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, Bogor: Institut Pertanian Bogor, h. 24.3 Puspitawati, Herien, 2012, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, Bogor: PT Penerbit IPB Press, h. 95.
a. Masyarakat terbentuk atas substruktur yang dalam fungsi masing-masingnya
saling bergantung, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu
substruktur akan mempengaruhi substruktur lainnya,
b. Setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau
substruktur lainnya.
c. Penyimpangan adalah tidak baik.4
Megawangi (2005) menyatakan secara garis besar, pendekatan struktural
fungsional dalam bentuk yang ekstrim mempunyai asumsi-asumsi:
a. Masyarakat adalah sistem tertutup yang bekerja dengan sendirinya dan
cenderung homeostatis dan mencapai titik keseimbangan (equilibrium).
b. Sebagai sebuah sistem yang memelihara dirinya, masyarakat memerlukan
kebutuhan dasar serta prasyarat yang harus dipenuhi agar kelangsungan
homeostatis dan titik keseimbangan dapat terus berlangsung.
c. Untuk memenuhi kebutuhan dan prasyarat dari sebuah sistem, maka perlu
diberikan perhatian pada fungsi-fungsi dari setiap bagian sistem tersebut.
d. Dalam sistem-sistem yang mempunyai kebutuhan dasar dapat berfungsi,
maka harus ada sebuah struktur tertentu untuk menjamin berlangsungnya
survival/homeostatis/titik keseimbangan.5
Asumsi dimana karakteristik diterapkan pada keluarga adalah:
a. Anggota keluarga membedakan peran yang memungkinkan mereka
meningkat fungsi keluarga, dan
b. System diorganisir, demikian pula dengan keluarga. Pola mengatur (struktur
orang tua/anak) diantara anggota menentukan hak dan kewajiban (peran),
nilai dan norma yang umum dianut (sosialisasi).6
4. Tokoh-tokoh teori struktural fungsional
a. Auguste Comte (1798 – 1857)
Perspektif fungsionalisme bermula dari hasil pemikiran Comte yang
mempunyai perhatian penuh pada ketertiban dan keharmonisan sosial
dalam masyarakat yang berantakan setelah Revolusi Perancis. Ia
4 Ibid., h. 96.5 Megawangi, op. cit. h. 60.6 Puspitawati, Bahan Ajar ke-3, op. cit. h. 20-21.
menginginkan sebuah “konsesus sosial” yang dapat tercipta dalam
masyarakat. Inilah awal lahirnya ilmu baru yaitu sosiologi.
b. Herbert Spencer (1820 – 1903)
Spencer melanjutkan teori yang dikembangkan oleh Comte dengan
menggunakan dua analogi, yaitu:
1. Proses evolusi dari bentuk yang sederhana menuju bentuk yang
kompleks.
2. Membandingkan antara organisme masyarakat dan organisme
individu. Kedua organisme masyarakat dan individu tumbuh menjadi
besar yang artinya menjadi lebih kompleks dan terjadi diferensiasi.
c. Emile Durkheim (1858 – 1917)
Perhatiannya yang paling utama adalah bagaimana masyarakat dapat
mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-
hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak lagi ada.
Durkheim melahirkan teori tentang pembagian kerja dalam masyarakat
yang ia anggap adalah biasa dalam struktur ekonomi sebuah negara.
Oswald Spengler (1880 – 1936)
Menurut Sprengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu
rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. Seperti halnya
kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus, mulai dari kelahiran,
masa kanak-kanak, dewasa, masa tua, dan kematian.
d. Bronislaw Malinowski (1884 – 1942)
Malinowski merintis functionalism di Inggris, yang menyatakan bahwa
praktek kultural mempunyai fungsi fisiologi dan psikologi.
Ada empat unsur functionalism menurut Malinowski, yaitu:
1. System norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
2. Organisasi ekonomi.
3. Alat-alat atau lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk
pendidikan.
4. Organisasi kekuatan (politik).
e. Alfred Reginald Radcliffe-Brown (1881 – 1955)
Menurutnya, atropologi dapat membandingkan bentuk struktural dari suatu
masyarakat dengan masyarakat lainnya yang memungkinkan mereka
untuk kemudian menyimpulkan aturan umum tentang bagaimana cara
masyarakat tersebut bekerja.
f. Talcott Parsons (1902 – 1979)
Terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation,
Goal Atainment, Integration, Latency (AGIL). Dalam karya berikutnya,
The Social System, Parsons melihat aktor sebagai orientasi pada situasi
dalam istilah motivasi dan lain-lain. Terdapat beberapa macam motivasi,
antara lain cognitive, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai
yang bertanggungjawab terhadap sistem sosial ini: kognisi, apresiasi, dan
moral (modes of orientation)
g. Robert Merton (1911 – 2003)
Pengembangan teori sosial taraf menengahnya yaitu teori yang terletak di
antara hipotesis kerja kecil yang berkembang semakin besar dari hari ke
hari, dan usaha yang mencakup semuanya untuk mengembangkan suatu
teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati
dalam perilaku, organisasi,dan perubahan sosial.
h. Anthony Giddens (1938 – sekarang)
Giddens menjabarkan sebuah visi baru tentang apa sosiologi itu,
menyajikan pemahaman teoritis dan metodologis dari bidang itu,
berdasarkan reinterpretasi kritis terhadap klasik. Selain itu Giddens
mengembangkan teori strukturasi, analisis agen dan struktur, di mana
keutamaan diberikan kepada keduanya.7
BAB II PEMBAHASAN JURNAL
1. Jurnal 1
1.1 Ringkasan Jurnal
7 Disarikan dari tulisan Tokoh-tokoh Ahli Struktural Fungsional dalam Bahan Ajar ke-3: Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, Bogor: Institut Pertanian Bogor, h. 7-18.
The Role of Father Involvement in Children’s Later Mental Health
(Keterlibatan Peran Ayah pada Kesehatan Mental Anak Selanjutnya.)
Eirini Flouri*, Ann BuchananDepartment of Social Policy and Social Work, University of Oxford, Barnett
House, 32 Wellington Square, Oxford OX1 2ER, UK
Abstrak
8441 data anggota Studi Perkembangan Anak Nasional Cohort yang digunakan
untuk mengeksplorasi hubungan antara keterlibatan ayah pada anak usia 7 dan
masalah emosional dan perilaku pada anak usia 16, serta tekanan psikologis pada
usia 33. Kedekatan ayah terhadap anak usia 7 melindungi dari ketidakmampuan
psikologis menyesuaikan diri dari keluarga yang tidak utuh pada saat remaja, dan
kedekatan ayah pada usia 16 melindungi masalah kejiwaan yang berbahaya
terutama anak perempuan dimasa dewasa.
1. Pendahuluan
Selain faktor genetis, masalah mengenai keadaan internal yang terjadi
dalam keluarga sangat mempengaruhi hasil dari seorang anak, seperti pengasuhan
yang buruk, orang tua tunggal, stress dalam keluarga, buruknya hubungan antar
keluarga, keadaan mental keluarga yang buruk, keadaan sosial yang buruk, dan
keadaan ekonomi yang buruk.
Selama ini banyak penelitian yang hanya fokus pada perubahan dinamis
yang terjadi antara ibu dan anak. Ayah berada di batas luar pengasuhan dan
memiliki sedikit peran dalam perkembangan anak. Mengenai efek langsung dari
keterlibatan ayah yang memungkinan akan memiliki pengaruh seperti rasa
dukungan emosional, kedua yaitu mendorong anak untuk menjadi kompetitif dan
independen, dan menghabiskan waktu bersama yang dapat merangsang
perkembangan fisik mereka.
Baru-baru ini penelitian Amato menunjukkan kedekatan ayah selama
masa kanak-kanak memiliki hubungan yang positif terhadap mobilitas pendidikan
dan pekerjaan, penyesuaian psikologis dan kesejahteraan anak perempuan dan
laki-laki semasa dewasanya. Keterlibatan ayah dan pengasuhan memiliki kaitan
yang positif dengan perkembangan intelektual anak-anak, kompetensi sosial,
perkembangan internal dan kemampuan untuk berempati. Studi secara konsisten
menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah menjadi faktor yang berkontribusi
terhadap rendahnya kesejahteraan dan pencapaian akademis anak-anak yang
hanya diasuh oleh ibu saja. Misalnya seorang anak yang hanya diasuh oleh orang
tua tunggal (ibu) kemampuan kognitifnya lebih rendah, beresiko tinggi terhadap
kenakalan dan penyimpangan perilaku, dan kasus melahirkan diluar pernikahan
serta putus sekolah.
Penelitian ini menggunakan data dari Studi Perkembangan Anak Nasional
untuk menunjukkan keterlibatan ibu dan ayah melindungi terhadap dua
masalah,yaitu masalah emosional dan perilaku pada masa remaja dan tekanan
psikologis dalam kehidupan dewasa. Variabel kontrol dari penelitian ini adalah
gender dan status sosial ekonomi.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan data studi longitudinal NCDS dari 17.000
anak yang lahir antara tanggal 3 dan 9 Maret dari daerah England, Scotland dan
Wales. Data untuk anak usia 7 tahun yang diambil dari tahun 1965, usia 11 tahun
di tahun 1969, usia 16 di tahun 1974, usia 23 tahun di tahun 1981, usia 33 tahun di
tahun 1991, dan usia 42 di tahun 2000.
Karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi
keterlibatan peran ayah terhadap hasil kesehatan mental pada masa remaja (usia
16) dan dewasa (usia 33) sampel penelitiannya adalah orang-orang (N = 8441)
dengan data kesehatan mental lengkap usia 16 dan usia 33. 7563 dari 8441
anggota Cohort anak usia 7 tahun. Secara khusus, informan adalah figur ibu
sebesar 97,9% kasus, lainnya 1,5% kasus, ‘dari catatan’ 35 kasus (0,5%), dan
‘studi adopsi’ 7 kasus (0,1 %). Pada usia 16 ada informasi tentang hubungan
informan kepada anak 8362 kasus. Informan adalah figur ibu yang terdiri dari
90% dari kasus, figur ayah untuk 5,9% kasus, lainnya 1,8% kasus, dan kedua
orang tuanya 2,3% kasus.
3. Pengukuran
3.1 Hasil kesehatan mental di usia 7, 16, dan 33 tahun
Rutter “A” untuk pengukuran kesehatan emosional dan kebiasaan serta
inventaris Malaise terhadap hasil kesehatan mental masa kanak-kanak
dikehidupan masa dewasa. Di NCDS rutter ini diisi oleh orang tua ataupun
pengasuh untuk anak usia 16 dan 7 tahun seperti anak tidak patuh di rumah,
berkelahi dengan anak-anak lain, dan mudah tersinggung dan sulit diatur. Disaat
responden berusia 33 tahun diberikan inventaris Malaise lengkap, yang terdiri dari
24 daftar dari indeks medis Cornell seperti memiliki sakit punggung, ketakutan
tanpa alasan, mudah marah, takut keluar sendiri, menderita sakit perut, dll. Nilai
tes berkisar antara 0-24 untuk Rutter 'A' 14-item pada usia 7, dari 0-39 untuk 31-
item Rutter 'A' pada usia 16, dan dari 0-22 untuk Inventarisasi Malaise pada usia
33 tahun.
3.2 Keterlibatan ayah dan ibu di usia 7 tahun
Pada data NCDS terdapat 4 point penting pengukuran kedekatan ayah
serta ibu terhadap anak usia 7 tahun, yaitu: membacakan untuk anak, bertamasya,
keterlibatan dalam pendidikan anak, dan mengelola anak. Skala jangkauan
pengukuran untuk keterlibatan ayah adalah 0-4 dan ibu 0-3.
3.3 Keterlibatan ayah dan ibu di usia 16 tahun
Pada usia 16 hanya terdapat satu item yang berkaitan dengan keterlibatan
ayah dan ibu yaitu ketertarikan pada pendidikan anak. Dari 5313 kasus ayah,
43,3% sangat tertarik, 34,9% cukup tertarik, 18,8% sedikit tertarik dan 3% tidak
peduli. Dari keterlibatan ibu yaitu berturut-turut 44,8%, 36,8%, 16%, dan 2,4%.
Dari 5313 kasus yang sah, 46,3% ayah sangat terlibat, 2854 (53,7%) keterlibatan
ayah sedang/rendah. Untuk ibu, 2778 (47,2%) sangat terlibat dan 3111 (52,8%)
sedang/rendah.
3.4 Motivasi akademik yang rendah di usia 16 tahun
Motivasi akademik rendah dengan skala 8-item (mulai dari 8-40)
mengukur motivasi akademik pada usia 16. Dengan jawaban: 'tidak benar sama
sekali' dan 'sangat benar' adalah sebagai berikut: "Saya merasa sekolah buang-
buang waktu ',' Saya tenang di kelas dan melanjutkan tugas saya ', 'saya pikir
tugas itu membosankan ',' saya merasa sulit untuk konsentrasi pada pekerjaan saya
',' saya tidak suka sekolah, "saya pikir tidak ada gunanya perencanaan untuk masa
depan Anda-harus mendapatkan hal-hal sebagaimana mereka datang ', dan' saya
selalu bersedia untuk membantu.
4. Hasil
Tabel 3 menunjukkan regresi masalah emosional dan perilaku pada usia 16
tahun. Dibandingkan dengan rekan-rekan mereka, anak perempuan dan anak dari
keluarga dengan masalah kesehatan mental memiliki Rutter'A' skor lebih tinggi
pada usia 16 tahun. Struktur keluarga dan status sosial-ekonomi orang tua tidak
berhubungan dengan kesehatan mental. Skor tes umum kemampuan dan motivasi
akademik yang negatif, dan masalah emosional dan perilaku pada usia 7 tahun
berkaitan dengan masalah emosi dan perilaku pada masa remaja. Baik keterlibatan
ibu maupun ayah disaat usia 7 tahun berpengaruh terhadap nilai Rutter pada usia
16.
Tabel 4 menunjukkan pola yang sama, keterlibatan ayah dan ibu pada usia
16 tidak terkait dengan tekanan psikologis pada usia 33. Tekanan psikologis
dewasa lebih tinggi bagi perempuan dan secara signifikan diprediksi dari masalah
emosional dan perilaku yang terjadi saat usia 16. Dibandingkan dengan rekan
lawan jenis mereka pada usia 33 memiliki resiko lebih rendah dan begitu juga
dengan anak mereka yang memiliki skor Malaise tinggi. Kemampuan umum dan
pencapaian pendidikan yang buruk terkait dengan tekanan psikologis dalam
kehidupan domestik keluarga orang tua ketika anggota kelompok tumbuh dewasa
dan status sosial-ekonomi memiliki pengaruh terkait dengan tekanan psikologis
pada usia 33. Struktur keluarga pada masa remaja atau buruknya kesehatan
mental orang tua pada masa kanak-kanak tidak berhubungan dengan tekanan
psikologis dewasa.
Kami juga melakukan analisis regresi untuk mengeksplorasi peran
keterlibatan ayah pada anak usia 7 terhadap tekanan psikologis pada usia 33.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 5, hasilnya mirip dimana tekanan psikologis di
saat dewasa terjadi pada saat keterlibatan ayah dan ibu di usia 16. Perbedaannya
adalah model ketegangan di dalam keluarga dan status orangtua yang tidak saling
berhubungan terhadap tekanan psikologis dalam kehidupan dewasa anak.
5. Diskusi
Meskipun pada awalnya keterlibatan ayah tidak dapat diprediksi secara
bebas terhadap hasil kesehatan mental remaja dan dalam kehidupannya dimasa
dewasa, namun memiliki peran protektif terhadap ketidakmampuan psikologis
pada remaja yang keluarganya tidak utuh, dan melawan tekanan psikologis
khususnya terhadap anak perempuan.
Keterlibatan ayah pada anak usia 7 tahun merupakan gabungan
pengukuran ketertarikan pendidikan pada anak, bertamasya, membaca untuk
anak, dan berperan aktif dalam mengelola anak. Pada usia 16 tahun, NCDS hanya
menyinggung hal yang berkaitan dengan ketertarikan ayah terhadap pendidikan
anak. Mengenai langkah pengukuran kesehatan mental, Rutter “A” merupakan
laporan penilaian orangtua, yang merupakan hasil tes Malaise yang dilaporkan
sendiri.Idealnya, masalah kesehatan mental harus dinilai dari berbagai sumber.
Namun, dari laporan orangtua mengenai kesehatan mental anak umumnya sangat
stabil dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, masih dicatat bahwa keterlibatan
dini ayah memiliki peran protektif penting terhadap ketidakmampuan psikologis
dan keadaan yang berbahaya di kemudian hari.
1.2 Analisis Jurnal
Berdasarkan aplikasi teori struktural dalam kehidupan keluarga dilihat dari
aspek struktural dimana terdapat tiga elemen utama dalan struktur internal
keluarga, yaitu:
1. Status sosial. Keluarga nuklir yang terdiri dari tiga struktur utama yaitu
bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur
seperti “pencari nafkah”, ibu rumah tangga, anak balita, anak sekolah,
remaja, dan lain-lain.
2. Fungsi sosial. Parsons dan Bales (1955), Rice dan Tucker (1986) membagi
dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu peran instrumental yang
diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau
ekspresif yang biasa dipegang oleh figur istri atau ibu.
3. Norma sosial, adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya.
Selain aspek struktural juga terdapat aspek fungsional yang sulit
dipisahkan dari aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Dalam aspek
ini fungsi sebuah sistem yang mengacu pada kegunaan sebuah sistem untuk
memelihara dirinya sendiri dan memberi kontribusi pada berfungsinya
subsistem-subsistem lain dari sistem tersebut. Levy mengatakan bahwa tanpa
ada pembagian tugas yang jelas maka fungsi dari keluarga akan terganggu dan
mempengaruhi sistem yang besar. Selanjutnya levy membuat daftar tentang
persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai
system yang dapat berfungsi:
1. Diferensiasi peran
2. Alokasi solidaritas
3. Alokasi ekonomi
4. Alokasi politik
5. Alokasi integrasi dan ekspresi8
Berdasarkan paparan aspek struktural dan aspek fungsional point status
sosial dan fungsi diferensiasi peran dimana figur ayah atau suami disini
merupakan sebagai pencari nafkah, hal ini yang memungkinkan seorang ayah
berada pada batas luar pengasuhan seperti yang disinggung dalam jurnal. Hal
tersebut membuat figur ayah memiliki lebih banyak waktu dipekerjaan dan sedikit
waktu untuk mengasuh anaknya, akan tetapi peran distatus sosial juga dapat
mempengaruhi perkembangan anak dari sisi status sosial ekonomi yang ia bangun
untuk keluarga sebagai kepala rumah tangga jika figur istri disini hanya sebagai
ibu rumah tangga saja. Dimana dengan bekerja dapat mensejahterakan kebutuhan
keluarga, menyokong sarana dan prasarana anak untuk belajar dan sekolah
seorang anak. Seperti yang dibahas dalam jurnal, status sosial ekonomi memiliki
pengaruh terkait dengan tekanan psikologis pada usia 33 tahun.
8 Megawangi, op. cit., h. 66-70.
Namun yang perlu dipertimbangkan adalah seorang ayah juga harus dapat
menyeimbangkan perannya dari sisi fungsi sosial, yaitu peran instrumental oleh
ayah atau suami dan peran emosional atau ekspresif yang biasa dipegang istri atau
ibu dan juga menjalankan fungsi alokasi solidaritas. Menurut Winc (Bigner, 1979)
mengaitkan fungsi instrumental dengan fungsi kontrol yang diterapkan orang tua
untuk kesejahteraan anak. Fungsi kontrol merupakan mekanisme yang mendasari
proses sosialisasi anak dengan pola perilaku, nilai-nilai, norma sosial, dan sikap
yang dianggap baik bagi anak untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternal.9
Dalam jurnal telah dibahas keterlibatan ayah terhadap perkembangan mental
anak di usia 7, 16, dan 33 tahun yang diteliti secara longitudinal. Keterlibatan
ayah memberi dampak yang cukup besar terhadap kesehatan mental seorang anak
terutama anak perempuan, seperti ayah yang selalu mendampingi anak dari usia 7
tahun maka memberikan efek positif pada masalah emosi dan perilaku anak usia
16. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan memiliki kaitan yang positif dengan
perkembangan intelektual anak-anak, kompetensi sosial, perkembangan internal
dan kemampuan untuk berempati. Maka berdasarkan paparan Winch dan juga
jurnal maka fungsi dan aktivitas instrumental-adaptif menjadi lebih luas, ayah
bukan saja dominan sebagai pencari nafkah tetapi juga sebagai agen utama
sosialisasi terhadap perilaku, sikap, dan norma sosial.
2. Jurnal 2
2.1 Ringkasan Jurnal
Japanese Fathers of Preschoolers and Their Involvement in Child Care
9 Puspitawati, op. cit., h. 25.
(Ayah Jepang dari Anak Sebelum Masuk Sekolah dan Keterlibatan Mereka
dalam Menjaga Anak)
Masako Ishii-Kuntz University of California-Riverside; Katsuko Makino Ochanomizu University*; Kuniko Kato & Michiko Tsuchiya Family Education
Research Center**Journal of Mariage and Family; Aug 2004; ProQuest Sociology pg. 779
1. Pendahuluan
Walaupun keterlibatan pengasuhan anak dibatasi, terdapat tanda bahwa
generasi muda pria jepang menjadi lebih berminat terhadap kehidupan keluarga
mereka dibandingkan dengan generasi ayah mereka. Sebagai contoh, hanya
terdapat 23% dari pria Jepang di tahun 1998 dilaporkan bahwa keluarga
merupakan aspek yang paling penting dalam kehidupan mereka.
Penelitian ayah di Jepang
Berdasarkan dari 1994 survei pendidikan kehidupan keluarga
internasional, pria jepang bekerja rata-rata 9,9 jam per hari, rata-rata waktu yang
dihabiskan dengan anak mereka hanya 3,3 jam per hari, termasuk kegiatan
noninteraktif seperti menonton TV bersama anak. Survey internasional ini juga
melaporkan bahwa 18,8% dari ayah di jepang tidak pernah menghabiskan waktu
mereka dalam hari kerja, sedangkan jika dibandingkan dengan figure ayah di U.S.
yang hanya sekitar 0,9%.
Baru-baru ini studi di Jepang menguji pengaruh keterlibatan ayah pada
aspek perkembangan anak seperti kelekatan, kemandirian, kasih sayang,
keramahan, jaringan sosial, dan pengembangan orangtua. Kami menguji faktor-
faktor yang sering dipelajari dalam penelitian ayah di Amerika Serikat: sumber
daya relatif, ketersediaan waktu, dan ideologi gender.
Sumber Daya Relatif dan Pasti
Watanabe (1985) menemukan bahwa keterlibatan laki-laki dalam
pekerjaan rumah tangga sedikit lebih tinggi ketika istri mereka bekerja penuh atau
tingkat pendidikan yang tinggi. Demikian pula, Makino (1995) menemukan pria
dan wanita yang berbagi kegiatan perawatan anak ketika istri memiliki pekerjaan
full-time atau paruh waktu. Studi menunjukkan bahwa peningkatan sumber daya
perempuan seperti pendapatan dapat mendorong orang untuk berbagi-kegiatan
perawatan anak dengan istri mereka.
Ketersediaan Waktu
Perspektif ketersediaan waktu memprediksi ketika orang-orang bekerja
lebih lama, mereka menitipkan anak, pria yang menikahi istrinya dan hanya
menjadi ibu rumah tangga memungkinkan untuk berpartisipasi dalam perawatan
anak. Atau pria yang istrinya lebih sedikit menghabiskan waktunya di rumah akan
cenderung terlibat dalam merawat anak-anak daripada orang lain yang istrinya
menghabiskan lebih banyak waktu di rumah.
Ideologi Gender
Ideology gender tradisional dan modern memiliki pandangan yang berbeda
dimana peran ayah telah berpusat pada peran penyedia ekonomi. Berbeda dengan
ideology modern,yang menyatakan sebaliknya sehingga kemungkinan ada
keterlibatan ayah dalam mengasuh anak.
Mengelola Tempat Tinggal dan Tuntutan Perawatan Anak. Menurut
Sensus tahun 1995 di Jepang, 13% rumah tangga di Jepang dengan ciri keluarga
besar, yang terdiri dari tiga generasi, dibandingkan dengan 3,3% Rumah Tangga
non-Hispanik di Amerika Serikat. Naoi (1989) menemukan 14,7% dan 30,5%
dari memasak dan membersihkan, masing-masing dilakukan oleh kakek-nenek
atau oleh kakek-nenek dan menantu perempuan bersama-sama. Hal ini
menunjukkan bahwa suami kurang berbagi pekerjaan rumah tangga dibandingkan
dengan bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga yang lebih tua. Tidak
terkecuali jika dalam keluarga memiliki anak yang banyak, maka seorang ayah
akan lebih terlibat dalam pembagian pekerjaan rumah tangga, begitu pula
sebaliknya.
Sikap Terhadap Pekerjaan. Di Jepang, ada indikasi bahwa ketidakpuasan
pekerjaan dikaitkan dengan penekanan pada peningkatan kehidupan keluarga.
Dalam studi pada ayah yang memiliki anak 3 tahun, Tsuchiya (1992) juga
menemukan skor tinggi pada komitmen dan kepuasan pekerjaan cenderung
kurang berpengaruh dalam kehidupan anak-anak. Dengan demikian, Keterlibatan
pengasuhan pria Jepang tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan tempat kerja
mereka.
2. Metode
Sample. Data yang digunakan untuk penelitian ini dikumpulkan oleh Pusat
Penelitian Pendidikan keluarga pada tahun 1994. Responden diidentifikasi dengan
menggunakan beberapa langkah. Pertama, di dua pusat penitipan anak dan dua
TK di wilayah Tokyo dan Yokohama dipilih secara acak. Sampel Tokyo terdiri
dari dua keluarga yaitu wiraswasta dan karyawan.
Karakteristik Sampel. Mayoritas ayah (61,2%) dan ibu (74%) adalah
antara usia 30 dan 39. Usia anak fokus itu berkisar dari 0 sampai 6 (12,2 adalah
<3 tahun, 27,3% adalah 4 tahun, 33,4% adalah 5 tahun, dan 26,6% adalah 6
tahun). Appoximately 59% keluarga memiliki dua anak, 21,2% memiliki tiga
anak, 15,8% memiliki satu anak, dan 3,6% memiliki empat anak. Prestasi
pendidikan Ayah lebih tinggi dari ibu lakukan, dengan 42,7% dari laki-laki
setelah lulus dari sebuah universitas 4-tahun, dibandingkan dengan 14% dari
wanita.
Pengukuran. Ayah diminta untuk menunjukkan sejauh mana keterlibatan
dengan kegiatan-kegiatan berikut yang telah terutama dilakukan oleh ibu:
mengajak anak ke dan dari pusat penitipan anak (atau TK), mandi, makan malam,
bermain dengan anak-anak, dan merawat fisik lainnya dari anak-anak . Kategori
respon untuk item ini adalah (1) jarang, (2) sesekali (beberapa kali dalam
sebulan), (3) kadang-kadang (beberapa kali seminggu), dan (4) selalu (hampir
setiap hari).
Relatif sumber daya. Perbedaan suami dan istri 'penghasilan, tingkat
pendidikan, dan usia yang digunakan untuk menunjukkan sumber daya yang
relatif. Tingkat pencapaian pendidikan mencakup grduation dari (1) SMP (akhir
wajib belajar di Jepang), (2) SMA, (3) sekolah kejuruan, (4) junior college, (5)
kuliah 4-tahun, dan (6) lulusan sekolah.
Ketersediaan waktu ayah. Ketersediaan waktu ayah diukur dengan jumlah
jam kerja per hari. Ayah diminta untuk menunjukkan jumlah rata-rata jam mereka
habiskan di tempat kerja, termasuk lembur. Ketersediaan waktu ibu. Ketersediaan
waktu diukur dengan menggunakan tiga kategori, yaitu: (1) penuh waktu, (2)
paruh waktu, dan (3) ibu rumah tangga (tidak bekerja).
Ideologi gender ayah. Ayah diberi pertanyaan dengan rentangan jawaban
1=sangat tidak setuju sampai 4=sangat setuju, dengan penyataan “Hal ini penting
untuk mensosialisasikan perbedaan laki-laki dan wanita” dan “ Saya merasa lebih
baik menjadi lebih maskulin daripada feminine” Ideologi gender ibu. Diukur
sama seperti skala pengukuran ideology gender ayah dengan perbedaan di poin
kedua yaitu “ Saya lebih merasa menjadi feminine daripada maskulin”. Skor
tertinggi dari skala inidiindikasi pada ideology gender tradisional ibu.
Mengelola rumah, diasumsikan bahwa pengasuhan anak akan berjalan
dengan baik jika terdapat beberapa orang dewasa di rumah. Tuntutan mengasuh
anak, diukur berdasarkan dua point: jumlah anak di rumah penitipan dan usia
anak. Perilaku ditempat kerja, diukur dari keinginan ayah dijenis pekerjaan yang
berbeda.
Analisis Statistik. Kami menganalisis data menggunakan AMOS, yang
dihasilkan dari perhitungan maksimum berdasarkan model parameter dari tingkat
data berpasangan. Penelitian ini menggunakan respon suami dan istri untuk
mengkonstruk variable sumber dari pendidikan dan umur: respon ayah tehadap
keterlibatan orang tua, pendidikan, rasio pendapatan, jam kerja, ideology gender,
dan perilaku dalam pekerjaan; sedangkan respon ibu terhadap status pekerjaan,
ideology gender, mengurus rumah, jumlah anak, dan usia anak balita.
3. Hasil
Rasio dari penghasilan suami sebesar 8,85, yang berarti rata-rata
penghasilan ayah adalah 88,5% dari pasangan mereka. Tingkat pendidikan ayah
sedikit tinggi dari istrinya, dan selisih usia sekitar 3 tahun dengan anak berusia 3
tahun, rata-rata jam bekerja 11/hari. Ayah yang menjadi sampel ini merasakan
puas dengan pekerjaanya, dan menghabiskan waktunya dengan makan bersama
anak dan sisanya ia menitipkan anak di tempat penitipan atau TK.Nilai yang
diperkirakan dari factor berjalan untuk kunstruksi laten dari keterlibatan ayah
signifikan di p<0,001. Dengan alpha Cronbach 0,838. Kami menemukan
hubungan antara variable bebas dan 5 indikator keterlibatan ayah yang
proposional dan berkaitan dengan pengukuran laten dari keterlibatan pengasuhan.
Hasil chi-square model yang diusulkan dari 521,28 dengan 152 derajat
bebas. GFI dari 0,92 dan SRMR daro 0,06 menunjukan bahwa hipotesis model
sesuai dengan baik terhadap kelayakan data. Dihasil lain, seperti istri yang
bekerja, pengasuhan orang dewasa yang lebih sedikit, memiliki anak lebih, dan
memiliki anak yang lebih muda yang akan dikaitkan pada pengasuhan anak TK.
Walaupun tidak signifikan, ideology gender ayah dan perilaku bekerja
tidak diusulkan (p≤0,10). Ideologi gealiter gender ayah dan tingginya level
kepuasan pekerjaan berpengaruh dengan meningkatnya pola pengasuhan anak.
Kesimpulannya, sumber penghasilan relative dan tetap memiliki sedikit pengaruh
dengan partisipasi ayah dijepang.
4. Diskusi
Hasil penemuan ini menggambarkan kontrasnya tuntutan pengasuhan anak dan
waktu yang tersedia dikedua pasangan dan keputusan untuk mengalokasikan
pengasuhan anak. Kedua, walaupun pengaruhnya dapat diprediksi, factor ideology
atau perilaku suami dan ideology gender istri tidak berkaitan dengan pendekatan
ayah Jepang pada pengasuhan anak. Ketiga, ditemukan sumber daya relative tidak
signifikan berkaitan dengan keterlibatan pengasuhan ayah pada anak TK.
Sebagian studi menemukan sebagian besar wanita jepang memegang peran utama
dalam menguruh keluarga selain mengatur keuangan karena pria mengembalikan
tanda terima dan nota gaji pada istri mereka. Akhirnya ditemukan model
pengembangan di U.S. yang dapat sukses digunakan pada ayah dengan seting
budaya yang berbeda.
Terdapat beberapa kekurangan dari penelitian ini, sampel merupakan keluarga
urban yang tinggal di tengah kota Jepang dan memiliki anak yang menghadiri
penitipan anak serta TK. Sampel pada penelitian ini adalaha keluarga yang
memiliki dua anak atau lebih,sehingga pengukuran bagi keluarga yang hanya
memiliki anak tunggal berbeda. Kekurangannya adalah tidak terhitungnya factor
orang tua pasangan yang ikut dalam pengasuhan anak. Akhirnya penelitian ini
menemukan meningkatnya kesadaran ayah jepang terhadap pengasuhan anak,
partisipasi, berbagi dalam mengasuh anak serta mengelola rumah. Dilain hal
berubahnya struktur dalam tempat kerja seperti, pemerintah juga turut peran
dalam mendukung keterlibatan ayah dalam mengasuh anak dengan memeberikan
waktu untuk pergi bersama anak maupun mengurangi jam kerja pria Jepang.
2.2 Analisis Jurnal
Fungsi sebuah sistem mengacu pada kegunaan sebuah sistem untuk memelihara
dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem-
subsistem lain dari sistem tersebut. Levy selanjutnya mengatakan bahwa tanpa
adanya pembagian tugas yang jelas pada masing-masing actor dengan status
sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu dan mempengaruhi system yang
lebih besar. Oleh karena itu levy membuat daftar syarat struktural yang harus
dipenuhi keluarga sebagai sistem yang dapat berfungsi:
1. Diferensiasi peran. Dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan
dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap actor dalam
keluarga. Terminologidiferensiasi peran bisa mengacu pada umur,
gender,generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing
actor.
2. Alokasi solidaritas. Distribusi relasi antaranggota keluarga menurut cinta,
kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan
hubungan antaranggota. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi
relative terhadap relasi lainnya.
3. Alokasi ekonomi. Diferensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal
produksi, distribusi dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
4. Alokasi politik. Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang
bertanggungjawab atas setiap tindakan anggota keluarga.
5. Alokasi integrasi dan ekspresi. Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi,
internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai perilaku yang memenuhi tuntutan
norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.10
Setelah dilakukan penelitian, keterlibatan ayah jepang untuk mengasuh
anaknya itu dipengaruhi oleh jam kerja, ketersediaan waktu, tingkat pendidikan,
ideology gender, dan selisih usia pasangan. Karena bentuk keluarga di Jepang luas
dengan adanya orang tua dari pasangan yang ikut andil dalam rumah tangga,
sehingga untuk pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak dikerjakan oleh istri
dan orang tua dari pihak istri atau suami. Sedangkan seorang suami menurut
kebudayaan tradisional Jepang memiliki peran hanya sebagai pencari nafkah
(sumber daya relative maupun tetap) yang sudah termasuk menjalankan fungsi
alokasi ekonomi. Diferensiasi peran disini terlihat dari pembagian kerja dalam
keluarga, yang mungkin juga karena dipengaruhi oleh faktor budaya dan norma
terapkan disistem keluarga, namun diferensiasi peran dalam mengasuhan anak
belum sepenuhnya dilakukan oleh ayah atau suami.
Untuk suami yang memiliki jam kerja dan pendidikan tinggi serta usianya
lebih tua dari istri lebih cenderung kurang terlibat dalam pengasuhan anak,
sehingga alokasi solidaritas terhadap pengasuhan anak serta kerja sama dalam
mengelola keluarga bersama istri lebih kecil. Hal ini yang membuat pemerintah
Jepang mensosialisasikan pentingnya mengasuh anak bagi perkembangan anak
balita. Selain itu pemerintah juga memberikan kebijakan untuk mengurangi waktu
kerja agar seorang ayah dapat terlibat untuk mengasuh anak mereka dibandingkan
dengan hanya menitipkannya ditempat penitipan. Berbeda jika keadaan dari
pasangan yang sama-sama bekerja di Jepang, mereka mencoba menitipkan
anaknya di tempat pengasuhan anak maupun TK.
Selain itu jenjang pendidikan juga mempengaruhi dalam keterlibatan
ayah,jika pendidikan istri lebih tinggi maka toleransi ayah untuk mengasuh anak
lebih tinggi juga. Dengan kata lain semakin tinggi pendidikan seorang istri,
banyaknya jumlah anak, ideology gender yang dianut suami maupun istri serta
kesadaran pentingnya ayah terlibat dalam mengasuh anak terhadap perkembangan
10 Megawangi, op. cit.
mental dan psikologi anak maka semakin berjalan pula fungsi alokasi solidaritas,
integrasi dan ekpresi. Karena seperti yang dinyatakan Rowatt dalam Supriyantini
yaitu Suami-istri yang ikut terlibat berperan dalam urusan rumah tangga akan
lebih mampu mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam urusan rumah tangga
tanpa merugikan salah satu pihak dan mengurangi adanya stress pada pasangan
karier ganda akibat menumpuknya tugas dalam rumah tangga.11 Jadi keterlibatan
ayah dalam urusan rumah tangga memiliki efek yang baik selain pada
perkembangan mental anak dari segi kelekatan, kemandirian, kasih sayang,
keramahan, jaringan sosial juga terhadap keadaan internal antara suami dan istri.
Dan sejak berkembangnya ideology gender suami dari tadisional menuju modern
semakin banyak pula ayah muda Jepang yang lebih yang sadar akan pentingnya
terlibat pengasuhan anak dan merasa bahwa keluarga adalah prioritas utama.
11 Puspitawati, op. cit., h. 27.
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
Peran ayah dalam struktur keluarga tradisional selama ini hanya
menganggap bahwa ayah sebagai pencari nafkah utama untuk keluarga tanpa ikut
serta dalam mengasuh atau mendampingi tumbuh kembang anak. Hal tersebut
sangat disayangkan mengingat keterlibatan figure ayah memiliki peran penting
dalam perkembangan mental dan psikologi anak baik dimasa usia muda hingga
dewasa.
Dengan demikian penyemimbangan antara diferensiasi peran, alokasi
solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik, serta alokasi integrasi dan ekspresi
guna mencapai keseimbangan dalam keluarga. Baik itu dari sisi keseimbangan
peran dalam mencari nafkah bagi keluarga, pembagian peran dalam rumah tangga
dan mengasuh anak. Sehingga selain keadaan keluarga dapat berjalan dengan
baik, perkembangan mental dan psikologi anak dapat mencapai titik yang
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Eirini Flouri, Journal of Adolesence: The Role of Father Involvement in Children’s Later Mental Health, diunduh dari www.sciencedirect.com, diakses pada tanggal 4 Oktober 2012, pukul 13.25 wib.
Kuntz Mi, et. al., Journal of Marriage and Family: Japanese Fathers of Preschoolers and Their Involvement in Child Care, di unduh dari www.search.proquest.com, diakses pada tanggal 4 Oktober 2012, pukul 15.10 wib.
Megawangi, Ratna, 2005, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender Cet. III, Bandung: PT Mizan Pustaka.
Puspitawati, Herien, 2009, Bahan Ajar ke-3: Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Puspitawati, Herien, 2012, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, Bogor: PT Penerbit IPB Press.
LAMPIRAN JURNAL