150
PENGARUH SELF EFFICAC'Y TERHADAP KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA TUNANETRA DAN SMUN 66 JAKARTA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi Oleh: Siti Hikmah 101070022987 Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1428 H/2007 M

101070022987repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/9077/1/SITI HIK… · mempunyai l

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • PENGARUH SELF EFFICAC'Y TERHADAP

    KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA

    TUNANETRA DAN TUNARUI~GU

    SMUN 66 JAKARTA

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh

    gelar Sarjana Psikologi

    Oleh:

    Siti Hikmah 101070022987

    Fakultas Psikologi

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta 1428 H/2007 M

  • PENGARUH SELF EFFICACY TERHADAP KOMUNIKASI

    INTERPERSONAL PADA SISWA TUNANETRA DAN TUNARUNGU

    SMUN 66 JAKARTA

    Skripsi

    Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat

    memperoleh gelar Sarjana Psikologi

    Pembimbing I

    lambang-Su yadi Ph.D

    ~IP: 150 326891

    Disusun 0/eh :

    Siti Hikmah

    101070022987

    Dibawah bimbingan

    Pembimbing U

    -· ura. Agustyawati M.P/1sil

    NIF': 132121898

    FAKUL TAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1428 H/2007 M

  • LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi yang berjudul PENGARUH SELF EFF/CACYTERHADAP KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA TUNAl\IETRA DAN TUNA RUNGU DI SMUN 66 JAKARTA ini tel ah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 Februari 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

    gkap Anggota

    Ora. H'. tt Hartati M.Si. NIP. 150 2 5 938

    Penguj I

    Pembimbing I

    ,_/

    M.Si.

    Bambang Surva i. Ph.D. NIP. 150 326 891

    27 Februari 2007

    Sidang Munaqasyah,

    Pembantu Oekan I/ Sekretaris Merangkap Anggota

    Anggota:

    Penguji II

    ~~ NIP. 150 326 891

    Pembimbing II

    Ora. Agustyawati. M.Phil. Sne. NIP. 132 121 898

  • Tie.p-tie.p use.he. me.nusie. k~me.nf e.e.te.nnye. k~mbe.li k~pe.de. dirinye. s~ndiri.

    ~~sungguhnye. tllle.h t~le.h m~neipte.ke.n me.nusia dalam b~ntuk s~be.ik-b1e.iknge. (e.T-Tiin:6)

    f{arya Sild!lrhana ini kup1Zrs1Zmbahkan untul\ 'l'l!Jah dan ibuku l!lreinta

    f{akak-kakal\IZU , adikku S!lrta k~ponakanku l1Zrsayang 'E>an R.~ alas eurnhan kasih sayangnya

  • ABSTRAKSI

    C) Siti Hikmah

    A) Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta

    13) Februari 2007

    D) Pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonal pada siswa tunanetra dan tunarungu di SMUN 66 Jakarta

    E) +126 F) Setiap manusia dilahirkan oleh Allah SWT berbeda-beda. Setiap kekurangan

    pasti ditutupi oleh kelebihan yang lainnya. Menjadi seorang tunanetra dan tunarungu, bukanlah hambatan untuk dapat meraih cita-cita yang tinggi serta mampu dipandang sama oleh individu lainnya yang normal, termasuk untuk bersekolah di sekolah umum atau inklusi. Bersekolah di sE;kolah inklusi bagi siswa tunanetra dan tunarungu diharapkan mampu melakukan hubungan atau komunikasi interpersonal yang baik dengan siswa normal lainnya. Komunikasi interpersonal ini dapat terwujud jika dalam diri siswa tunanetra dan tunarungu terdapat keyakinan diri atau self efficacy.

    Menurut Bandura (1982) self efficacy adalahkeyal

  • tingkah laku, usaha yang dilakukan dan ketekunan berusaha, pola pikir dan reaksi emosional serta teori komunikasi interpersonal yan!g terdiri dari aspek mendengarkan atau memperhatikan, pernyataan, keterbukaan, kepekaan, dan umpan balik.

    Berdasarkan perolehan data dan analisa kasus, kesemua siswa tunanetra dan tunarungu yang menjadi responden penelitian, mempunyai self efficacy yang positif dan yang mempengaruhinya untuk berkomunil

  • KATA PENGANTAR

    Aharndulillahi Rabbil'alarnin, segala pujian hanya milik Allah maha pengasih dan

    maha penyayang. Puji serta syulwr penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

    telah memberikan kekuatan, kernudahan, kesabaran, kesempatan dan waktu

    kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Shalawat serta salam tak lupa

    penulis haturkan kepada junjungan baginda Rasulullah Muhammad SWT,telah

    menyarnpaikan kebenaran dan penerangan di muka bumi ini.

    Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini tak mungkin dapat

    terselesaikan tanpa bantuan pihak-pihak terkait. Oleh karena itu izinkan penulis

    berterirnakasih kepada rnereka yang telah banyak membantu, mernbirnbing,

    mendukung, menasehati, menghibur, dan menernani dalam menyelesaikan skripsi

    ini.

    1. Kepada kedua orang tuaku tercinta. Ayah Musa H.M dan lbu Khaeriyah.

    Terirnakasih atas segala doa-doanya, kesabarannya, dukungannya, dan

    cinta kasih yang diberikan kepada penulis selama ini semoga Allah SWT

    selalu menyayangi dan meridhaimu sepanjang hayat. Maafkan penulis

    karena baru saat ini mempersembahkan hadiah sederhana ini meskipun

    telah lama tertunda.

    2. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatu!lah Dra. Hj. Netty Hartati,

    M.Si. para pembantu dekan, seluruh dosen serta seluruh staff dan

    karyawan fakultas psikologi UIN yang telah membantu penulis selama

    menjadi mahasiswa psikologi UIN.

    3. Bapak Bambang Suryadi Ph.D selaku pembimbing I, dan lbu Dra.

    Agustyawati. M.Phil,Sne selaku pembimbing skripsi II skripsi ini yang telah

  • sabar membimbing serta dengan tulus dan ikhlas memberikan banyak

    bimbingan kepada penulis.

    4. Kakak-kakakku tersayang, ka' Fitri dan ka' Rico atas si,gala dukungan moril

    dan materinya selama penyusunan skripsi ini, ka' iko dan mas wiwid, adikku

    samwil terimakasih dengan sabar menjadi sasaran ke£1elisahan penulis

    selama ini, serta keponakan mafi, bang Noufal, dan de' Farah yang

    membuat hari-hari penulis penuh senyum.

    5. Ramdhan Syafei, terimakasih untuk selalu menemani penulis dan

    mendengarkan segala keluh kesahku.

    6. Bapak Suparno dan guru-guru di SMUN 66 Pondok Labu, terimakasih

    bersedia menerima penulis di sana. Aris dan keluarga, Azizah dan keluarga,

    Fitri dan keluarga, serta Dimas dan keluarg, "terimaka:sih banyak ya ... ".

    7. Sahabatku Irma yang selalu ada untuk penulis serta Vinanya yang selalu

    membuat penulis tertawa dan bahagia. Saeni terimakasih untuk

    dukungannya, lndi ayo semangat, kak Melok yang bersedia membantu

    penulis, dan semua teman-teman angkatan 2001 khususnya kelas B yang

    memberikan pengalaman indah selama menjadi mahasiswa . Teman-

    teman KKN Parakansalak, teman-teman PKL Sumida angk. 2005.Dan

    seluruh teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.

    Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana

    layaknya, baik dari segi bahasa maupun materi yang tertu;~ng di dalamnya.

    Besar harapan penulis, skripsi ini dapat berguna untuk menambah wawasan

    baru yang lebih luas bagi pembaca sekalian.

    Jakarta, Februari 2007

    Penulis

  • DAFTAR ISi

    Halarnan Judul ................................................................................... . Halaman Persetujuan ........................................................................ . Ha la man Pengesahan ...................................................................... .. Motto .................................................................................................. . Dedikasi ............................................................................................. . Abstraksi ............................................................................................ . Kata Pengantar .................................................................................. . Daftar lsi ............................................................................................ . Daftar Tabel ....................................................................................... . Daftar Lampiran ................................................................................. .

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................... . 1.1. Latar belakang .................................................................... . 1.2. ldentifikasi rnasalah ............................................................ . 1 .3. Batasan dan rurnusan masalah .......................................... .

    1.3.1. Pembatasan masalah ............................................... .. 1.3.2. Perumusan masalah .................................................. .

    1.4. Tujuan dan manfaat penelitian ............................................ . 1.4.1. Tujuan penelitian ...................................................... . 1.4.2. Manfaat penelitian .................................................... .

    1.4.2.1. Manfaat teoritis ............................................. .. 1.4.2.2. Manfaat praktis .............................................. .

    1.5. Sistematika penulisan ......................................................... .

    BAB 2 KAJIAN PUST AKA ................................................................ . 2.1. Self efficacy .................................................................. ...... .

    2.1.1. Pengertian Self efficacy ....................................... ...... . 2.1.2. Aspek-aspek Self efficacy ................................... ...... . 2.1.3. Sumber lnformasi Self efficacy ....................... ......... . 2.1.4. Dimensi Self efficacy ........................................... ...... . 2.1.5. Perkembangan Selfefficacy ...................................... .

    2.2. Komunikasi interpersonal.. .................................................. . 2.2.1. Pengertian komunikasi. ............................................. . 2.2.1. Pengertian komunikasi interpersonal siswa

    tunanetra dan tunarungu ........................................... . 2.2.3. Faktor-faktor komunikasi interpersonal ..................... . 2.2.4. Ciri-ciri komunikasi interpersonal .............................. .

    2.3. Tunanetra ........................................................................... .

    ii iii iv iv v vii ix xii xiii

    1-11 1 7 7 7 9 9 9 9 9 10 10

    12-63 12 12 16 18 20 21 23 23

    25 30 34 38

  • 2.3.1. Pengertian tunanetra .............. ....................... ..... ....... 38 2.3.2. Klasifikasi anak tunanetra .............................. ..... ....... 39 2.3.3. Karakteristik siswa tunanetra ......................... .... ....... 42

    2.4. Tunarungu .................................................................... ....... 46 2.4.1. Pengertian tunarungu ..................................... .... ....... 46 2.4 .. 2. Klasifikasi anak tunarungu ................................. ....... 47 2.4.3. Penyebab ketunarunguan................................... ....... 48 2.4.4. Karakteristik tunarungu ....................................... ....... 49

    2.5. Sekolah inklusi.............................................................. ....... 53 2.5.1. Pengertian .......................................................... ....... 53 2.5.2. Model pendidikan inklusi di Indonesia................. ....... 54

    2.5.2.1. Alternatif penempatan........................... ....... 54 2.5.2.2. Komponen yang perlu di persiapkan.. .. .. ..... .. 56

    2.6. Remaja ......................................................................... ....... 57 2.6.1. Pengertian remaja.... ... ...... ... .............. ... ............ .. ..... .. 57 2.6.2. Self efficacy dan komunikasi interpersonal rernaja terhadap

    penyesuaian Diri di Lingkungan Sekolah............. ....... 60 2.7. Kerangka berfikir........................................................... ....... 62

    BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................ . 3.1. Jen is penelitian ................................................................... .

    3.1.1. Pendekatan penelitian ............................................. .. 3.1.2. Metode penelitian ..................................................... .

    3.2. Subyek penelitian ............................................................... . 3.2.1. Teknik pengambilan subyek ..................................... . 3.2.2. Karakteristik subyek .................................................. .

    3.3. Pengurnpulan data .............................................................. . 3.3.1. Metode dan instrumen penelitian ............................. .. 3.4.2. Alat bantu pengumpulan data ................................... .

    3.4. Teknik analisa data ............................................................ .. 3.5. Prosedur penelitian ............................................................. .

    3.5.1. Prosedur persiapan penelitian .................................. . 3.5.2. Prosedur pelaksanaa penelitian ............................... ..

    BAB IV PRESENTASI DAN ANALISA DATA .................................. . 4.1. Gambaran um um subyek .................................................. .. 4.2. Observasi dan wawancara .................................................. . 4.3. Analisa individual subyek .................................................... .

    4.3.1. Kasus Andi. ............................................................... . 4.3.2. Kasus lcha ............................................................... ..

    64-75 64 64 65 66 66 6] 67 67 .•

    71 72 73 73 74

    76-116 76 78 79 79 89

  • 4. 3. 3. Kasus Bayu ............................................................. .. 4.3.4. Kasus Ind ah ............................................................. .

    4.4. Perbandingan kasus .......................................................... ..

    BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ................................. . 5.1. Kesimpulan ........................................................................ .. 5.2. Diskusi ................................................................................ . 5.3. Saran .................................................................................. .

    DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN

    98 105 112

    117-121 117 119 120

  • Daftar Skema dan Tabel

    1 . Skema gambaran kerangka berfikir......................................... . . . . . . . 63

    2. Tabel gambaran umum subyek .......................................... .... ....... 77

    3. Gambaran self efficacy antar kasus..................................... .... ....... 114

    4. Gambaran komunikasi interpersonal antar kasus.................... ....... 116

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran ·1. Pernyataan kesediaan

    Lampiran 2 Lembar Observasi

    Lampiran 3. Panduan wawancara self efficacy

    Lampiran 4 Panduan Wawancara Komunikasi Interpersonal

    Lampiran 5. Surat keterangan penelitian dari SMUN 66 Jakarta

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Manusia diciptakan oleh Allah SWT berbeda-beda. Baik clari segi fisik

    maupun psikis mereka. Kelebihan dan kekurangan pasti terdapat didalam

    diri manusia. Jika mau disadari bahwa kekurangan dalam diri manusia selalu

    ditutupi oleh kelebihan-kelebihan yang lain. Seperti pada penderita tunane!ra

    dan tunarungu meskipun mereka tidak dapat melihat dan berbicara mereka

    mempunyai l

  • 2

    seperti SLB tidak memuaskan dirinya, karena SLB biasanya hanya

    memberikan suatu praktek-praktek keahlian saja. Bahkan seorang guru SLB

    tunanetra di Yogyakarta bernama SetiadiPurwanta yang juga penderita

    tunanetra mengatakan (seperti dikutip Jacinta Rini, 2004) bahwa SLB

    merupakan proses diskriminasi bagi siswa berkelainan.

    Menurut Setiadi (dalam Jacinta Rini, 2004) anak-anak itu bersekolah, tapi

    apa yang bisa mereka dapat. Akan jadi apa mereka, apakah hanya akan jadi

    tukang pijat. Dunia pendidikan formal, dimata Setia, sering menampilkan

    salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok. la meyakini, tanpa

    proses pembelajaran yang baik pola eksklusif rehabi/itat.if yang diterapkan

    pemerintah, misalnya pada sekolah sejenis SLB, hanya menjadi sebentuk

    iso/asi bagi anal

  • intemasional. Di Indonesia, penerapan pendidil

  • pikiran, perasaan, kemauan dan penolakan diri tentang sesuatu dan menjadi

    sarana mengekspresikan diri.

    4

    Komunikasi interpersonal merupakan pengiriman pesan-pesan dari

    seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek

    dan umpan balik yang langsung (De Vito, 1997). lnformasi tidak selalu

    diperoleh melalui komunikasi verbal. Tetapi juga memb•entuk kesan dari

    petunjuk proksemik, kinesik, para linguistik, dan ertifaktua/ (Jalaludin Rahmat,

    2000). Yaitu dapat melalui gerak jari, tangan, penampilan di!.

    Ketika mereka bersekolah disekolah umum (inklusi), tentu mereka melakukan

    komunikasi atau hubungan dengan teman-teman mereka yang normal.

    Dalam berkomunikasi interpersonal dengan teman-teman mereka yang

    normal, tentu siswa tunarungu dan tunanetra membutuhkan adanya

    keyakinan diri. Kepercayaan diri dan keyakinan diri dapat menjadi modal

    utama mereka, agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan individu

    normal lainnya. Menurut A.A Schneiders (1988) bilamana seseorang dapat

    menerima keadaan dirinya sendiri, maka ia juga mudah menerima keadaan

    orang lain termasuk kekurangan atau hal-hal yang positif dari orang tersebut.

    Singgih Gunarsah (2001) juga menyebutkan bahwa sebelum seseorang

    dapat menerima diri sendiri, ia harus mengenal terlebih dahulu kemampuan

  • serta keterbatasannya, sehingga ia mudah mengatasi kE9sukaran yang

    dialaminya dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhaclap lingkungannya.

    5

    Keyakinan diri dapat disebut juga clengan self efficacy. Self efficacy yaitu

    keyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu melafi:sanakan tingkah laku

    yang dibutuhkan dalam suatu tugas yang berarti keyakinan individu pada

    kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi dan mengatasi situasi tertentu.

    Anak tunanetra dan tunarungu yang mampu mengatasi hambatan tersebut

    dan mampu menyelesaikan tugas tersebut, tidal< pantang menyerah

    menunjukkan bahwa self efficacy mereka tinggi. Sedangkan pad a anal<

    tunanetra dan tunarungu yang mudah menyerah dan tidal< mampu mengatasi

    hambatan-hambatan yang di hadapinya menunjukkan SE9/f efficacy mereka

    rend ah.

    Dalam pergaulan dengan lingkungan yang berbeda tentu dibutuhkan

    kesiapan mental dan konsep diri. Keyakinan diri atau self efficacy pada

    siswa berkelainan dalam hal ini siswa tunanetra dan tunarungu di sekolah

    inklusi haruslah tinggi. Karena ketika harus bergaul dengan teman-teman

    yang normal, guru yang normal, maupun orang-orang di sekitar lingkungan

    sekolah, mereka tidal< minder atau rendah diri. Terutama ketika siswa

    tunanetra dan tunarungu bersekolah di sekolah inklusi d:an dalam tahap

  • remaja, tentu self efficacy yang tinggi diperlukan agar mereka mampu

    bergaul atau berkomunikasi interpersonal dengan baik.

    6

    Pada masa perkembangan, usia memasuki sekolah menengah dan lanjutan

    berada pada masa remaja, antara usia 12 -18 tahun (Monks & Rahayu,

    2001). Dalam mempersiapkan diri untuk masa dewasa, remaja harus belajar

    bergaul dengan teman sebaya dan tidal< sebaya, sejenis maupun tidal<

    sejenis. Tugas perkembangan ini selalu ditunjang oleh hasil perkembangan

    lainnya. Salah satunya adalah adanya suatu penyesuaian diri pada remaja.

    MenurutAA. Scheiders (1988) penyesuaian diri adalah reaksi seseorang

    terhadap ransangan-ransangan dari dalam diri sendiri maupun reaksi

    seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.

    Pada masa remaja terjadi keinginan bergaul atau berteman yang sangat

    besar. Disekolah keinginan ini sangat dipenuhi, karena disekolah remaja

    menemui teman-teman mereka yang sebaya dan orang-orang yang tidal<

    sebaya dengan mereka. Begitupun yang terjadi pada siswa tunanetra dan

    tunarungu yang sedang mengalami masa remaja, dan bersekolah di sekolah

    inklusi. Keyakinan diri yang tinggi dituntut untuk mampu menyesuaikan diri di

    lingkungan yang sangat berbeda dengan mereka, karena di sekolah inklusi

    mereka menemui teman-teman dan orang yang normal, yang tidal< bernasib

    sama dengan mereka, yaitu tidal< meyandang cacat netna dan cacat rungu.

  • Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti

    Pengaruh self efficacy pada siswa tunanetra dan tunanmgu terhadap

    komunikasi interperscmalnya di SMU Negeri 66 Jakarta ..

    1.2. ldentifikasi Masalah

    Untuk lebih memudahkan penulis dalam meneliti masal

  • 1. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menempatkan anak berl

  • 5. Ramaja adalah masa transisi pada tahap perkembangan seseorang

    dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. IVlasa remaja

    berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Pada penelitian ini

    peneliti melihat pada masa remaja madya, diantara masa ini adalah

    masa seseorang mengecam pendidikan menengah atas.

    1.3.2. Perumusan Masalah

    9

    Berdasarkan uraian masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian ini

    adalah apakah ada pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonal

    pada siswa tunanetra dan tunarungu SMU Negeri 66 Jakarta?

    1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

    1.4.1 Tujw:m

    Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh self efficacy terhadap

    komunikasi interpersonal pada siswa tunarungu dan tunanetra di SMUN

    Negeri 66 Jakarta ( sekolah inklusi).

    1.4.2. Manfaat Penelitian

    1.4.2.1. Manfaat Teoritis

    Dapat memberikan gambaran mengenai self efficacy pada siswa tunanetra

    dan tunarungu dapat mempengaruhi mereka ketika harus berkomunikasi

  • interpersonal dengan lingkungannya di sekolah inklusi, khususnya dengan

    orang-orang disekitar mereka yang normal. Serta dapat menambah dan

    memperkaya khasanah keilmuan psikologi.

    1.4.2.2. Manfaat Praktis

    Dapat memberikan sumbangsih bagi para guru yang mengajar di sekolah

    inklusi dalam mendidik para siswanya khususnya siswa tunarungu dan

    tunanetra yaitu self efficacy mereka terhadap komunikasi interpersonalnya.

    Dan kepada para siswa tunarungu dan tunanetra ketika memaharni self

    efficacy mereka yang positif guna menciptakan komunikasi interpersonal

    yang baik. Hal ini sangatlah penting bagi setiap individu khususnya siswa

    tunarungu dan tunanetra di dalam menyelami perkembangan kehidupan

    selanjutnya, sehingga diharapkan para siswa tersebut dapat tumbuh dan

    berkembang menjadi individu dewasa yang lebih realistii> dan bermanfaat

    bagi semua.

    1.5. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan pada skripsi ini berpedornan pada sistematika

    penulisan American Psychological Assosiation (APA) style. Untuk

    memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya dalam bentuk

    beberapa bab sebagai berikut:

    10

  • 11

    Bab 1 pendahuluan : Berisi latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan

    masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,

    serta sistematika penulisan laporan.

    Bab 2. landasan teori: Berisi teori self efficacy, komunil

  • 2.1. Self Efficacy

    BAB2

    KAJIAN PUSTAl

  • 13

    Teori kognisi sosial memandang bahwa persepsi tentan!~ self efficacy

    berperan sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan individu

    mengendalikan reaksi terhadap tekanan. Apabila individu percaya merasa

    mampu menghadapi tekanan otensial dengan afektif, maka individu tidak

    akan merasa gelisah. Sebaliknya bila individu percaya bahwa dirinya tidak

    dapat mengendalikan lingkungan yang mengancam, individu akan menderita

    karena tertekan. Hal tersebut karena individu cenderun!~ memikirkan ketidak

    mampuannya dan melihat lingkungan sebagai sesuatu yang penuh ancaman.

    Dengan demikian individu merasa tertekan dan tidal< be1iungsi secara

    normal (Yatmi, 2005).

    Self efficacy dianggap sebagai bagian dari proses kognitif yang

    mempengaruhi prilaku atau kinerja dengan memberikan informasi tersebut

    individu memilih tindakan yang sesuai dengan tuntutan tugas atau lingkungan

    tertentu. Apabila informasi tentang kemampuan dalam menghadapi tugas

    cukup negatif (merasa kurang mampu) maka individu cimderung

    menghindari tugas yang dianggapnya sulit (Yatrni, 2005).

    Self efficacy juga merupakan bagian dari konsep diri yang lebih

    menunjukkan pada bakat dan kemampuan yan~1 dimiliki seseorang terhadap

    tugas yang diberikan ( Bandura, 1977). Self efficacy yaitu keyakinan

    seseorang bahwa dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang

  • 14

    dibutuhkan dalam suatu tugas yang berarti keyakinan individu pada

    kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi dan mengatasi situasi tertentu.

    Menurut Bandura (1982) " Self efficacy adalah keyakinan individu mengenai

    seberapa besar kemampuan untuk menampilkan perilaku yang dibutuhkan

    dalam mengatasi situasi atau tugas tertentu". Self efficacy tidak

    berhubungan dengan ketrampilan yang dimiliki individu tetapi dengan

    penilaiannya mengenai mampu atau tidaknya individu melaksanakan suatu

    aktivitas dengan ketrampilan yang ada pada dirinya. S€'/f efficacy ini juga

    akan menentukan sampai seberapa besar usaha yang akan dilakukan dan

    sampai berapa lama individu mampu bertahan dalam menghadapi hambatan

    atau pengalaman yang kurang menyenangkan. Semakin tinggi self efficacy

    individu maka semakin besar usaha yang dilakukan dan semakin besar pula

    daya tahan dalam menghadapi hambatan. Bila menghadapi hambatan,

    individu yang ragu-ragu tentang kemampuan dirinya, akan mengurangi usaha

    dan rnudah menyerah. Sebaliknya individu yang memiliki self efficacy yang

    tinggi akan mengeluarkan usaha yang besar untuk men~ihadapi hambatan

    tersebut.

    Sedangkan menurut Schunk (1992) self efficacy adalah penilaian mengenai

    sebaik apa individu dapat mengorganisasikan dan melakukan serangkaian

  • 15

    tingkah laku yang diperlukan dalam situasi yang ambigius, tidal< terduga dan

    mengandung tekanan.

    Woolkfolk (dalam Bandura, 1995) mengatakan definisi self efficacy yang tidak

    berbeda yaitu, "Keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimilikinya

    dalam menghadapi situasi tertentu".

    Sementara Shell dan Murphy ( 1989) mengatakan "self •:lfticacy adalah

    penilaian individu terhadap kemampuan dirinya dalam mengorganisasikan

    ketrampilan-ketrampilan yang dimilikinya ke dalam satu tindal

  • 16

    yang ragu akan kemampuannya atau dengan kata lain individu yang memiliki

    self efficacy yang rendah akan mengurangi usahanya dan menyerah.

    Sedangkan orang yang memiliki self efficacy yang kuat akan mengerahkan

    usaha yang lebih besar mengatasi tantangan.

    Jadi self efficacy adalah suatu bagian dari konsep diri individu yang

    mengukur kemampuan diri dalam menghadapi hambatan yang dihadapinya.

    lndividu yang mampu mangatasi hambatan tersebut dan mampu

    menyelesaikan tugas tersebut, tidak pantang menyerah menunjukkan bahwa

    self efficacy individu tersebut tinggi. Sedangkan pada individu yang mudah

    menyerah dan tidak mampu mengatasi hambatan-hambatan yang di

    hadapinya menunjukkan self efficacy individu tersebut rendah.

    2.1.2. Aspek-aspek self efficacy

    Menurut Bandura (1986) aspek-aspek dari self efficacytersebut adalah:

    a. Pengambilan keputusan untuk menentukan tingkah laku

    lndividu dalam· kehidupan sehari-harinya harus mengambil keputusan

    mengenai kegiatan yang dipilihnya. Pengambilan keputusan yang

    melibatkan pilihan tingkah laku ini adalah bagian dari ketentuan penilaian

    self efficacy pada masing-masing individu. lndividu ce,nderung akan

    menghindari tugas atau situasi yang diyakini berada di luar kemampuannya

    dan individu akan menangani kegiatan atau tugas yang dinilainya mampu

  • ditanganinya. Penilaian diri akan keyakinan yang dimilikinya itu berguna

    dan mempengaruhi perkembangan individu selanjutnya.

    b. Usaha yang dikeluarkan dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan

    pengalaman yang tidak menyenangkan.

    17

    Seberapa usaha seseorang dan seberapa lama individu dapat bertahan

    dalam menghadapi rintangan atau pengalaman yang tidak menyenangkan

    (Bandura, 1986). lndividu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan

    berusaha bertahan dari segala tantangan yang dihadapinya. Segala

    kegagalan yang dihadapinya dianggap suatu cobaan dan kurangnya usaha

    yang ada. Tetapi individu yang memiliki self efficacy yang rendah

    mempunyai usaha yang kecil dan menganggap segala kegagalan adalah

    suatu kesalahan dirinya.

    c. Pola pikir dan reaksi emosional

    Penilaian mengenai kemampuan seseorang mempengaruhi juga pola

    reaksi emosionalnya. lndividu yang menilai dirinya sendiri tidak mampu

    dalam mengatasi suatu masalah atau tuntutan lingkungan ternyata memiliki

    personal deficiency dan kesulitan dalam menggunakan potensi kognitifnya

    (Beck 1976,Lazarus Launier, 1978: Meinchenbaum, 1977; Serason, 1975,

    dalam Bandura, 1976). Sebaliknya individu yang memiliki keyakinan diri

    yang kuat rnengeluarkan usaha yang lebih besar terhadap situasi yang

  • 18

    dihadapinya. Keyakinan diri juga membentuk atribusi penyebab

    (Collins, 1982,dalam Bandura , 1986) dalam menyelesaikan persoalan yang

    sulit, individu yang memiliki keyakinan diri tinggi menganggap kegagalan

    sebagai dari kurangnya usaha, sedangkan yang memiliki keyakinan rendah

    menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya kemampuan.

    Beck ( dalam Bandura, 1982) mengatakan bahwa individu yang menilai

    dirinya tidak mampu mengatasi lingkungan, akan memandang kesulitan-

    kesulitan yang dihadapinya lebih menakutkan dibandingkan dengan

    kenyataan yang sebenarnya.

    Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan diatas, self efficacy

    siswa tunanetra dan tunarungu dalam penelitian ini adalah seberapa besar

    usaha yang akan dilakukan oleh mereka dalam menghadapi hambatan di

    sekolah inklusi. Untuk itu digunakan pengukuran pada pengambilan

    keputusan untuk menentukan tingkah laku, usaha yng dilakukan dan

    ketekunan berusaha, dan pola pikir serta reaksi emosionalnya.

    2.1.3. Sumber lnformasi Self efficacy

    Menurut Bandura (1986) informasi mengenai kemampuan seseorang dapat

    diperoleh melalui empat sumber, yaitu:

  • 19

    1. Hasil yang dicapai secara nyata (Enactive Attainment)

    Merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tinggi rendahnya self

    efficacy. Hal ini l

  • diyakinkan secara verbal oleh lingkungannya bahwa ia memiliki

    kemampuan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan terlihat

    mengeluarkan usaha yang lebih besar dibandingkan jika ia memiliki

    keragu-raguan akan kemampuan dirinya (Bandura, 1986).

    4. Keadaan fisiologi (Physiological state)

    20

    Physiological state atau keadaan fisiologis pada tanda-tandanya biasanya

    menjadikan individu menilai kemampuan dirinya. Misalnya dalam situasi

    yang menahan, individu cenderung menjadikan ketegangan yang timbul

    sebagai pertanda dimana ia tidak cukup mampu untuk menguasai

    keadaan, padahal bisa jadi sebenarnya ia mampu. Dalam ha! kekuatan

    dan stamina tubuh individu menilai keletihan dan rasa sakit sebagai tanda-

    tanda kelemahan fisik (Evert dalam Bandura, 1986).

    2.1.4. Dimensi self efficacy

    Menurut Bandura ( 1986) dimensi self efficacy adalah:

    1. Tingkat kesulitan tugas.

    Penilaian keyakinan diri setiap orang tergantung pada tingkat kesulitan

    tugas yang dihadapi. Kesulitan tugas tersebut dimulai dari tugas yang

    sederhana sampai ke tugas yang lebih sulit.

  • 21

    2. Situasi yang dihadapi.

    Seseorang mungkin hanya memiliki keyakinan pada suatu situasi tertentu,

    namun tidak memiliki keyakinan diri pada situasi umum.

    3. Derajat kekuatan keyakinan.

    Keyakinan diri yang lemah pada seseorang mudah dikalahkan oleh

    masalah-masalah pada situasi sedangkan orang yang memiliki keyakinan

    diri yang kuat akan mampu bertahan menghadapi masalah yang timbul

    dalam suatu situasi.

    2.1.5. Perkembangan Self efficacy

    Sejak lahir individu belajar banyak hal dengan melihat individu lain

    melakukan suatu kegiatan mencoba atau gaga!, atau berhasil dengan baik.

    Pengalaman belajar sosial tersebut memerankan pola prilaku yang dibentuk

    sejak kecil. lnstruksi verbal dari orang tua yang beriringan dengan berbagai

    pengalaman mencoba dan gaga! (trial and error) atau berhasil, membantu

    individu untuk secara bertahap belajar tentang batas-batas bakat dan

    kemampuannya. Hal itulah yang mengarahkan individu kepada penilaian

    tentang self efficacy yang adekuat (Bandura, 1986).

  • Menurut Bandura lingkungan yang mempengaruhi perkembangan self

    efficacy antara lain:

    a. Lingkungan keluarga

    22

    Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama bagi perkembangan self

    efficacy. Hal ini karena merupakan tempat pertama bagi individu untuk

    mengembangkan, menilai, dan menguji kemampuan fisik, kompetensi

    sosial, kemampuan bahasa dan kemampuan kognitifnya untuk memahami

    dan mengatasi berbagai situasi yang dihadapi sehari-hari.

    b. Lingkungan sebaya

    Lingkungan teman sebaya sebagai tempat selanjutnya yang dapat

    mempengaruhi perkembangan self efficacy individu setelah lingkungan

    keluarga. Dalam berinteraksi dengan teman sebaya, terjadi proses

    belajar sosial yaitu dengan cara membandingkan dan meniru teman

    sebaya yang lebih mampu dan lebih berpengalaman. lndividu

    beranggapan apabila teman sebaya yang memiliki banyak persamaan

    dengan dirinya mampu melakukan sesuatu hal, maka tentu individu juga

    akan melakukan hal serupa.

    c. Lingkungan sekolah

    Menurut Bandura sekolah dapat menjadi lembaga bagi penanaman self

    efficacy individu. Hal ini karena sekolah merupakan tempat utama yang

    sangat penting bagi individu untuk menciptakan pengetahuan dan

    mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan konatifnya. Dengan

  • 23

    adanya kegiatan yang dilakukan di sekolah maka individu akan

    mengetahui sejauh mana kemampuan kognitif, afektif dan konatif yang

    dimiliki, sehingga hal inilah yang dapat mempengaruhi perkembangan self

    efficacy.

    Ketiga lingkungan diatas merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi

    perkembangan self efficacy individu. Dan ketiga lingkungan tersebut memiliki

    keterkaitan satu sama yang lain.

    2.2. Komunikasi Interpersonal

    2.2.1 Pengertian komunikasi

    Komunikasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.

    Sejak lahir manusia telah melakukan komunikasi yang sangat sederhana.

    Seiring dengan perkembangan individu komunikasipun menjadi lebih

    sempurna. Sehingga terjadi suatu proses antara pemberi pesan dengan

    penerima pesan.

    Menurut Onong Uchyana Effendy (1988} komunikasi berasal dari bahasa

    latin "communication" yang bersumber dari kata "communis" yang berarti

    "sama", dalam hal ini berarti "sama makna".

  • 24

    Onong Uchyana Effendy (1988) juga menyebutkan bahwa komunikasi adalah

    "Proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk

    memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik langsung

    secara lisan, maupun tidak langsung melalui media".

    Widjaja (1998) menyebutkan komunikasi sebagai hubungan kontak antara

    dan antar manusia baik individu maupun kelompok. Selanjutnya menurut

    Ludlow dan panton (dalam Widjaja,1988), komunikasi dapat dipandang

    sebagai suatu proses pribadi yang meliputi pengalihan informasi dan input

    perilaku. Pandangan senada dikemukakan oleh James Adf Stoner (dalam

    Widjaja, 1988) yang mendefinisikan komunikasi sebagai proses dimana

    seseorang berusaha memberikan pengertian dengan pemindahan pesan.

    Menurut Riyono Pratikto (1992) komunikasi merupakan pengoperan

    lambang-lambang yang berarti, yang merupakan penuangan semua pikiran,

    perasaan, kekecewaan, harapan, dan sebagian dari seseorang dengan

    tujuan yang dapat mempengaruhi orang lain.

    Kesimpulan definisi dari komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu

    pesan yang disampaikan komunikator dapat menimbulkan dampak atau efek

    tertentu pada komunikan. Maksud dari efek komunikasi adalah berbagai

  • perubahan yang timbul pada diri komunikan disebabkan terjadinya kegiatan

    komunikasi.

    2.2.2 Pengertian komunikasi interpersonal siswa tunanetra dam

    tunarungu

    25

    Secara umum komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai proses

    pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Pengertian

    proses mengacu pada perubahan dan tindakan (action) yang berlangsung

    terus menerus, komunikasi antar pribadi juga merupakan suatu pertukaran

    yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik;

    sedangkan makna yaitu sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut

    adalah kesamaan pemahaman diantara orang-orang yang berkomunikasi

    terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi.

    Komunikasi yang dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap,

    pendapat dan perilaku seseorang adalah komunikasi interpersonal.

    Dikatakan paling efektif karena prosesnya yang memungkinkan bersifat

    dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik dari

    pada secara monologis.

    Dialog merupakan bentuk komunikasi antar pribadi yang menunjukkan

    terjadinya interaksi, yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi

  • 26

    ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian.

    Dalam proses komunikasi dialogis tampak adanya upaya dari para perilaku

    komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama dan empati. Disitu terjadi

    rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial ekonomi, melainkan

    didasarkan pada anggapan bahwa masing-masing adalah manusia wajib,

    berhak, pantas, dan wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia.

    Komunikasi interpersonal sering juga dikatakan sebagai komunikasi antar

    pribadi, karena pengertian interpersonal antar pribadi. Keduanya

    dipergunakan dalam ilmu komunikasi.

    Komunikasi antar pribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana

    orang-orang yang terlibat didalamnya sering mempengaruhi. Sebagaimana

    diungkapkan oleh Devito (1997) menyebutkan:

    "Interpersonal communication is the process of sending and receiving

    messages between two persons or among a small group of persons with

    some effect and some immediate feedbaclf'. (komunikasi interpersonal

    adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang, atau

    diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa

    umpan balik seketika).

  • 27

    Menurut Tan (dalarn Allo Liliweri, 1991) bahwa "komunikasi antar pribadi

    adalah komunikasi tatap muka antara dua orang atau lebih". Sedangkan

    Everet M. Rogers ( dalarn Allo Liliweri, 1991) rnengernukakan bahwa

    "Komunikasi antar pribadi adalah merupakan komunikasi dari mulut ke mulut

    yang tetjadi da/am interaksi tatap muka antara beberapa pribadi". Dalarn

    kornunikasi antar pribadi, kornunikator mengetahui pasti apakah kornunikasi

    yang dilakukannya berhasil atau tidak, jika tidak penerima pesan diberi

    kesernpatan untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Dalarn rnelakukan

    komunikasi ini pesan dari komunikator langsung diterirna oleh komunikan dan

    tanggapan langsung diterirna dari kornunikan tanpa tunda. Kornunikator

    rnengetahui tanggapan kornunikan saat itu juga ketika komunikasi dilakukan.

    berhasil atau tidak berhasil dari kornunikasi itu, tarnpak pada tanggapan

    yang rnuncul.

    Dalam melakukan kornunil

  • l---;;.~llST/!i', 1.---,:.~1~~~--1 UIN SYAr1!l· . . · J!~Klif!T,~ 1 --·-----.--.... ~·--- i ------··--·-·---·---·--··-·--!

    28

    pada proses interaksi atau komunikasi, misalnya interaksi sosial di sekolah,

    dimana terjadi komunikasi antara siswa dengan siswa yang lain.

    Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan

    bahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara

    khusus. Bicara dan bahasa anak tunarungu pada awalnya seringkali sukar

    ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan

    terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita

    dalam memahami maksud bicara anak itu.

    Begitupun yang terjadi pada siswa tunanetra. Menurut Tilman dan Osborne

    (dalam Anastasi, 1995) menyimpulkan bahwa siswa tunanetra kurang dapat

    mengembangkan penguasaan kosa katanya. Tetapi Kepzhart san Schwartz

    (dalam Anastasi, 1995) dalam studinya menunjukkan bahwa anak tunanetra

    berat mempunyai kemampuan berkomunikasi secara lisan dan mereka

    mampu berprestasi seperti anak normal.

    Faktor kemahiran berkomunikasi sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap

    siswa tunanetra dan tunarungu. Komunikasi yang selaras antar siswa

    tunanetra dan tunarungu terhadap orang-orang yang normal dilingkungan

    sekolah inklusi hanya akan tercapai apabila orang-orang normal di

  • lingkungan sekolah inklusi dapat mengembangkan sikap demokratif dan

    terbuka, serta perlu adanya keaktifan dari pihak tunanetra dan tunarungu.

    29

    Perlu diingat bahwa komunikasi antara siswa tunanetra dan tunarungu

    terhadap orang-orang yang normal dilingkungan sekolah inklusi bersifat

    edukatif bahwa komunikasi yang berlangsung dalam rangka untuk mencapai

    tujuan pendidikan. Dalam hal ini membantu pribadi siswa tunanetra dan

    tunarungu untuk mengembangkan potensi dalam dirinya.

    Diharapkan proses komunikasi siswa tunanetra dan tunarungu terhadap

    orang-orang yang normal dilingkungan sekolah inklusi ini berlangsung efektif,

    dengan terciptanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan.

    Jika seseorang salah komunikasinya (misscommunication) maka orang yang

    dijadil

  • 30

    siswa tunanetra dan tunarungu terhadap orang-orang yang normal di

    lingkungan sekolah inklusi, yang bertujuan untuk mempengaruhi komunikan.

    2.2. 3 Faktor-faktor komunikasi interpersonal

    Dalam berkomunikasi individu dipengaruhi oleh beberapa hal yang pada

    akhirnya menjadi faktor penentu dalam mencapai komunikasi interpersonal

    yang baik. Menurut Jalaludin Rakhmat (1992) akan lebih baik lagi bila

    dilandasi beberapa faktor dan faktor yag mempengaruhi komunikasi

    interpersonal adalah :

    a) Persepsi Interpersonal

    Yaitu penangkapan makna terhadap seseorang yang menjadi obyek

    persepsi dalam konteks hubungan sosial. Faktor-faktor yang dapat

    mempengaruhi persepsi seseorang adalah pengalaman, motivasi, dan

    kepribadian.

    b) Konsep diri

    Yaitu bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya. Seseorang yang

    mempunyai konsep diri positif akan berperilaku positif pula. Konsep diri

    merupakan faktor yang menentukan dalam komunikasi interpersonal dan

    faktor tersebut terdiri dari mernbuka diri, percaya diri dan selektif.

  • 31

    c) Atraksi interpersonal

    Yaitu daya tarik yang dimiliki seseorang sehingga orang menjadi suka

    padanya. Atraksi interpersonal dipengaruhi oleh daya tarik fisik, ganjaran,

    familiar, kedekatan dan kemampuan.

    d) Hubungan Interpersonal

    Seperti dekat dan akrab turut menentukan proses komunikasi

    interpersonal. Hubungan interpersonal ditentukan oleh sikap percaya,

    sikap sportif, dan sikap terbuka yang nantinya menentukan efektivitas

    komunikasi interpersonal.

    Sedangkan menurut Lunandi (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi

    komunikasi interpersonal adalah:

    a) Mendengarkan

    Telinga bisa mendengar segala suara tetapi mendengarkan suatu

    komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati serta segenap indera

    yang diarahkan kepada si pembicara.

    b) Pernyataan

    Komunikasi pada hakekatnya adalah kegiatan menyatakan suatu gagasan

    (isi hati dan pikiran) dan menerima umpan balik yang berarti menafsirkan

    pernyataan tentang gagasan orang lain.

  • 'J 1"

    c) Keterbukaan

    Keterbukaan dalam hal ini melibatkan perasaan terhadap penyampaian

    informasi. Perasaan yang dilibatkan dalam komunikasi ini seperti

    kecemasan, harapan, kebanggaan, dan kekecewaan.

    d) Kepekaan

    32

    lndividu sangat perlu memiliki kepekaan untuk mampu membaca gerakan

    tubuh lawan bicaranya yang tidak diucapkan lewat kata-kata.

    e) Urnpan balik

    Komunikasi baru dapat bermakna apabila adanya suatu tanggapan yang

    dikirim kembali atau mendapatkan jawaban.

    Seseorang yang kondisi emosinya tidak stabil komunikasi yang dilakukannya

    cenderung kurang stabil artinya orang yang bersangkutan tidak dapat

    memberi respon yang sesuai dengan stimulus yang diterima.

    Ada kalanya manusia mengalami kegagalan dalam berkomunikasi.

    Kegagalan dalam berkomunikasi yang timbul karena adanya kesenjangan

    antara apa yang sebenarnya dimaksud oleh pengirim dengan apa yang oleh

    penerima diduga oleh pengirim (A. Supratiknya, 1995), faktor-faktor

    kegagalan tersebut adalah :

    a. Sumber-sumber harnbatan yang bersifat emosional dan sosial atau

    kultural, misalnya karena tidak suka pada seseorang, maka semua

    kata-katanya kita tafsirkan negatif.

  • 33

    b. Sering mendengar dengan maksud sadar maupun tidak sadar untuk

    memberikan penilaian dan menghakimi pembicara. Akibatnya ini

    menjadi bersikap defensive atau menutup diri dan sangat berhati-hati

    dalam berkata-kata.

    c. Sering gaga! dalam menangkap maksud konotatif dibalik ucapanya

    kendati tahu arti denotatif kata-kata yang digunakan oleh seorang

    pembicara.

    d. Kesalah pahaman atau distorsi dalam komunikasi sering terjadi karena

    tidak saling mempercayai.

    Komunikasi interpersonal pada umumnya dilaksanakan karena adanya

    berbagai faktor pendorong dari komunikan. Siswa tunanetra dan tunarungu

    membutuhkan siswa lain yang normal untuk mendengarkan perasaan dan

    pendapatnya, dan siswa lain mampu memberikan nasehat dan saran kepada

    siswa tunanetra dan tunarungu tersebut. Selain itu juga dalam

    berkomunikasi terjadi akibat yang disengaja atau tidak, seperti komunikan

    merasa tersinggung oleh perkataan lawan bicaranya, atau kelakuan maupun

    pendapat seorang siswa tunanetra dan tunarungu berubah setelah berbicara

    dengan siswa yang normal. Akibat-akibat ini menunjukkan keterpengaruhan

    pada individu yang berkomunikasi.

  • 34

    Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

    dengan komunikasi interpersonal dalam penelitian ini adalah komunikasi

    yang dilakukan antar pribadi dengan berbagai faktor pendorong, dan

    suasana hubungan yang bebas, bervariasi dan ada keterpengaruhan.

    Pesan-pesan dan tanggapan yang muncul dapat secara verbal maupun non

    verbal, yang dapat berakibat disengaja atau tidak terhadap komunikan. Hal

    itu menunjukan bahwa komunikasi interpersonal memberikan pengaruh pada

    hubungan antara komunikan dan komunikatornya.

    2.2.4 Ciri-ciri komunikasi interpersonal

    Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang diambil dengan tetap

    memperhatikan kedinamisannya. Menurut Hardjana (2003) komunikasi

    interpersonal mempunyai ciri-ciri yang tetap sebagai berikut :

    a. Komunikasi interpersonal adalah verbal dan non verbal

    Dalam komunikasi pada umumnya mencakup dua unsur pokok yaitu isi

    pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal

    maupun non verbal.

    b. Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu

    Perilaku dalam komunikasi meliputi perilaku verbal dan non verbal. Ada

    tiga perilaku dalam komunikasi interpersonal, yaitu:

  • 35

    1. Perilaku spontan

    Adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa

    sensor serta revisi secara kognitif, artinya perilaku itu terjadi begitu

    saja. Jika verbal, perilaku spontan, bernada asal bunyi, misalnya,

    "hai", "aduh", atau "hore". Perilaku spontan non verbal, misalnya

    meletakkan telapak tangan pada dahi waktu kita sadar bahwa berbuat

    keliru atau lupa, melambaikan tangan pada waktu berpapasan dengan

    teman.

    2. Perilaku menurut kebiasaan (script behaviour)

    Adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu

    khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang. Misalnya,

    ucapan "selamat datang" kepada teman yang datang. Dalam bentuk

    non verbal, misalnya berjabat tangan dengan teman atau mencium

    tangan orang tua.

    3. Perilaku sadar (contrived behaviow]

    Adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi

    yang ada.

    c. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berproses

    pengembangan

    Komunikasi itu berkembang berawal dari saling pengenalan yang

    dangkal, berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling

  • pengenalan yang amat mendalam. Tetapi juga dapat putus, sampai

    akhirnya saling melupakan.

    d. Komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi, dan

    koherensi.

    36

    Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka, karena itu,

    kemungkinan umpan balik (feedback) besar sekali. Dalam komunikasi

    interpersonal penerima pesan dapat langsung menanggapi dan

    menyampaikan umpan balik, dengan demikian diantara pengirim dan

    penerima pesan terjadi interaksi yang satu mempengaruhi yang lain, dan

    kedua-duanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima

    dampak. Pengaruh itu terjadi pada dataran kognitif-pengetahuan, efektif-

    perasaan, dan behaviour-perilaku.

    e. Komunikasi interpersonal berjalan menurut peraturan tertentu.

    Peraturan itu ada yang instrinsik dan ada yang ekstrinsik. Peraturan

    instrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarkat untuk

    mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sama lain. Peraturan ini

    menjadi patokan perilaku dalam komunikasi interpersonal. Peraturan

    instrinsik misalnya, meski sama-sama sopan, hormat, menghargai, tetapi

    bentuknya berbeda antara orang jawa dengan orang jepang. Peraturan

    ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat,

    misalnya pada waktu melayat, nada bicara interpersonal berbeda dengan

    ketika pesta.

  • 37

    f. komunikasi interpersonal adalah kegiatan aktif

    komunikasi interpersonal bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada

    penerima pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara

    pengirim pesan dan penerima pesan.

    g. Komunikasi interpesonal saling mengubah

    Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat komunikasi

    dapat saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah

    pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas

    bersama. Karena itu, komunikasi interpersonal dapat merupakan wahana

    untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan dan

    kepribadian.

    Berdasarl

  • 38

    2.3. Tunanetra

    2.3.1. Pengertian tummetra

    Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen

    Pendidikan dan Kebudayaan, '1990) tuna artinya rusak, Iuka, kurang, tidak

    memiliki, sedangkan netra artinya mata (Departemen pendidikan dan

    kebudayaan, 1990).

    Dan menurut pendidikan kebutaan (dalam anastasia, 1995) tunanetra

    difokuskan pada kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan

    sebagai suatu saluran untuk belajar. Anak yang tidak dapat menggunakan

    penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti pendengaran,

    perabaan, inilah yang disebut buta secara pendidikan.

    Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya

    berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi

    pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan

    pelayanan pendidikan khusus.

    Jadi tunanetra adalah kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan

    sebagi suatu saluran untuk belajar. Anak tunanetra adalah anak yang tidak

  • 39

    dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti

    pendengaran, penciuman dan perabaannya.

    2.3.2. Klasifikasi anak tummetra

    Anastasia (1995) mengelompokkan tunanetra menjadi 4 kriteria yaitu:

    1. Tunanetra berdasarkan ketajaman dan penglihatannya

    a. 6/6 - 6/16 m atau 20/20 -20/50 feet. Klasifikasi ini masih dikatakan

    sebagai tunanetra ringan atau masih dapat dikatakan normal, mampu

    mempergunakan peralatan pendidikan di sekolah umum.

    b. 6120 -60160 m atau 20/70 - 201200 feet. Pada tingkat ketajaman ini

    sering disebut tunanetra kurang lihat atau low vision disebut juga

    partially sight atau tunanetra ringan, taraf ini mampu melihat dengan

    bantuan kacamata.

    c. 6/60m lebih atau 20/200 lebih. Pada tingkat ini dikatakan juga

    tunanetra berat. Taraf ini masih dapat menghitung dengan jari,

    menggerakkan tangan, dan dapat membedakan terang dan gelap.

    d. Mereka yang memiliki visus 0, atau sering disebut buta. Tingkat

    terakhir ini sudah tidak mampu melihat ransangan cahaya clan tidak

    dapat melihat apapun.

  • 40

    2. Saat terjadinya kebutaan

    a. Tunanetra sebelum dan sesudah lahir. Pada tahap ini anak belum

    mempunyai konsep terang atau gelap, peran oran1J tua dan lingkungan

    sekitar sangat penting , untuk membimbing anak mengenali

    lingkungannya.

    b. Tunanetra balita. Tahap ini anak yang mengalami kebutaan ketika usia

    3 tahun. Pada tahap ini konsep terang dan gelap telah ada, tetapi

    mudah hilang, sehingga masih perlu bimbingan orang tua dan

    lingkungan sekitar.

    c. Tunanetra balita. Yaitu anak yang mengalami kebutaan ketika usia 5

    tahun. Konsep tidak hilang tetapi selalu dihidupkan, butuh peran orang

    tua dan guru taman kanak-kanak dalam membina dan mengarahkan

    konsep yang telah dimiliki anak.

    d. Tunanetra pada usia sekolah. Tahap ini anak mengalami kebutaan

    ketika usia 6 tahun sampai 12 tahun. Konsep dan kesan-kesan visual

    sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan. Tidak jarang

    mereka mengalami goncangan jiwa akan lebih hebat bila dibandingkan

    balita sebab masa sekolah adalah masa bermain. Tugas pendidik

    adalah menyadarkannya agar mau menerima kenyataan.

    e. Tunanetra remaja. Yaitu anak yang mnegalami kebutaan l

  • dua konflik batin dan konflik jasmani. Butuh bimbingan dari orang tua

    dan orang-orang terdekat agar mereka mau menerima kenyataan dan

    dapat berinteraksi sosial dengan lingkungan sosial.

    41

    f. Tunanetra dewasa. Yaitu individu yang mengalami kebutaan ketika usia

    19 tahun keatas. Pada tahap ini tidak sedikit yang frustasi dan putus

    asa. Bimbingan jasmani diperlukan agar mereka mampu bekerja dan

    bimbingan rohani sangat diperlukan untuk mempertebal iman mereka

    agar dapat menerima keadaannya.

    3. Tunanetra berdasarkan tingkat kelemahan visual

    a. Tidak ada kelemahan visual. Ketajaman lebih dari 20/25 m dan luas

    lantang pandang 120 derajat.

    b. Kelemahan visual ringan. Ketajaman kurang dari 20/25 m dan luas

    lantang pandang 120 derajat tidak ada pengaruh kegiatan sehari-hari.

    c. Kelemahan visual ringan. Ketajaman 20/60 m dan luas pandang 60

    derajat, membutuhkan penggunaan kacamata.

    d. Kelemahan visual parah. Ketajaman 20/60 m dan luas pandang 20

    derajat, penggunaan kacamata tidak dapat berfungsi

    f. Kelemahan visual total. Sudah tidak dapat lagi menerima ransangan

    cahaya disebut dengan buta.

  • 42

    2.3.3. Karakteristik siswa tunanetra

    Abu Ahmadi dan widodo supriyono (1991) menyebutkan bahwa siswa

    tunanetra memiliki ciri-ciri tersendiri dalam menyesuaikan diri. Adapun

    bermacam-macam jenis tingkah laku siswa cacat itu sebenarnya merupakan

    mekanisme pertahanan diri anak cacat untuk sosial atau adjusment.

    Anastasia (1995) menyebutkan bahwa siswa tunanetra yang mengalami

    kebutaan total mempunyai karakteristik sebagai berikut:

    1. Rasa curiga

    2. Perasaan mudah tersinggung

    3. Ketergantungan yang berlebihan

    4. Blind ism

    5. Rasa rendah diri

    6. Suka melamun

    7. Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek

    8. Kritis

    9. Pemberani

    10. Perhatian terpusat (konsentrasi)

    Sedangkan menurut Somantri (2006) karakteristik anak tunanetra dapat

    dilihat dari:

  • 43

    1. Perkembangan kognitifnya

    Akibat dari ketunanetraannya, maka pengenalan atau pengertian terhadap

    dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya

    perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan

    dengan anak-anak normal umumnya. Bagi anak tunanetra setiap bunyi

    yang didengarnya, bau yang diciumnya, kesan yang dirabanya, dan rasa

    yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kognitifnya. Anak

    tunanetra cenderung memiliki daya ingat yang tinggi namun rendah dalam

    pengembangan konsep. Pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya

    juga cenderung tidak tersusun secara terintegrasi tetapi cenderung

    terpisah-pisah.

    2. Perkembangan motorilmya

    Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan

    dengan anak awas pada umumnya. Kelambatan ini terjadi karena dalam

    perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional

    antara sistem persyarafan dan otot dengan fungsi psikis (kognitif, afektif,

    dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Secara

    fisik mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak

    awas pada umumnya, tetapi karena fungsi psikisnya seperti pemahaman

    akan bahaya terhadap sesuatu, mengakibatkan kematangan fisiknya

    kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktifitas

  • gerak motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau

    tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam

    me Ii hat.

    3. Perkembangan emosinya

    44

    Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan

    dibandingkan dengan anak awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan

    oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada

    masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses

    belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap

    dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan

    terhadap reaksi lingkungan secara tapat. Akibatnya pola emosi yang

    ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang

    diharapkan oleh diri maupun lingkungannya. Perkembangan emosi anak

    tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi

    emosi, yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki

    kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan

    seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Perasaan

    takut yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan

    meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta penilaian

    kritis terhadap lingkungannya.

  • 45

    4. Perkembangan sosialnya

    Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk

    bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, anak tunanetra lebih

    banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial. Kurangnya

    motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau

    baru, perasaan-perasaan rendah diri menyebabkan terhambatnya

    perkembangan sosial pada anak tunanetra. Kesulitan lain adalah

    keterbatasan anak tunanetra untuk belajar sosial melaui proses identifikasi

    dan imitasi. la juga memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk

    permainan sebagai wahana penyerapan norma-norma atau aturan-aturan

    dalam bersosialisasi.

    5. Perkembangan kepribadiannya

    Pertahanan diri yang kuat sering dijumpai pada anak tunanetra terutama

    usia dewasa. Anak tunanetra cenderung bertahan dengan ide atau

    pendapatnya yang belum tentu benar menurut penilaian umum. lni terjadi

    karena adanya kompensasi dari rasa inferior untuk me,ncapai rasa superior.

  • 46

    2.4. Tunarungu

    2.4.1. Pengertian tunanmgu

    Menurut Moores (dalam Bunawan, 1995) yang dimaksud dengan tunarungu

    adalah individu yang tidak mampu mendengar dan hat ini tampak dalam

    wicara atau bunyi-bunyi lain, dalam derajat frekuensi dan intensitas.

    Secara medis kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang

    disebabkan oleh kerusakan dan mal/dis/non fungsi dari sebagian atau

    seluruh alat-alat pendengaran.

    Menurut Somantri (2006) tunarungu dapat diartikan sebagai sesuatu keadaan

    kehilangna pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat

    menangkap berbagai ransangan, terutama melalui indera pendengarannya.

    Walaupun ketulian dapat mempengaruhi berbagai aspek perilaku seseorang,

    fungsi otak mereka sebenarnya masih utuh dan kesukaran utama terletak

    dalam memasukkan informasi kebahasaan ke pusat syaraf. Namun seperti

    anak dengar, kaum tunarungu tetap memiliki potensi untuk berbahasa dan

    banyak diantara mereka masih memiliki sisa pendengaran yang dapat

    dimanfaatkan untk memperoleh informasi kebahasaan. Suasana emosional,

    cara penanganan, dan kualitas lingkungan kebahasaan keluarga anak

    tunarungu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, bahasa dan

    emosi anak (Bunawan, 1995).

  • Lani Bunawan (1995) menjelaskan bahwa anak tunarungu mengalihkan

    pengamatannya kepada mata, anak tunarungu sering disebut "insan

    permata". Melalui mata anak tunarungu memahami bahasa lisan atau oral,

    selain gerakan dan ekspresi wajah lawan bicaranya mata anak tunarungu

    juga digunakan untuk membaca gerak bibir orang yang berbicara.

    2.4.2. Klasifikasi anak tunanmgu

    Secara garis besar tunarungu dibagi menjadi dua (Bunawan, 1995) yaitu:

    1. Orang tuli, adalah seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan

    mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui

    pendengarannya, baik itu memakai ataupun tidak memakai alat bantu.

    2. Orang kurang dengar, adalah seseorang yang mengalami kehilangan

    sebagian kemampuan mendengar, akan tetapi ia masih mempunyai sisa

    pendengaran dan pemakaian alat bantu mendengar memungkinkan

    keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui

    pendengaran.

    47

    Didalam buku pedoman pendidikan inklusi Direktorat pendidikan Luar Biasa

    (2004) ciri-ciri anak tunarungu sebagai berikut :

    1 . Secara nyata tidak mampu mendengar

    2. Terlambat perkembangan bahasa

    3. Sering menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi

  • 4. Kurang atau tidak tanggap bila diajak bicara

    5. Ucapan kata tidak jelas

    6. Kualitas suara aneh atau monoton

    7. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar

    8. Banyak perhatian terhadap getaran

    9. Keluar cairan nanah dari kedua telinga

    2.4.3. Penyebab ketunanmguan

    Trybus (dalam Bunawan, 1995) mengemukakan penyebab l

  • 2. Faktor dari luar diri anak

    a. Radang selaput otak (meningitis), ketunarunguan yang disebabkan

    oleh meningitis adalah sebanyak 8, 1 %.

    b. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah), telinga akan

    bernanah dan nanah tersebut akan mengumpul clan menghambat

    hantaran bunyL Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering

    terjadi pada masa anak-anak sebelum mencapai usia 6 tahun. otitis

    media dapat ditimbulkan karena infeksi pernafasan atau pilek dan

    penyakit anak-anak seperti campak.

    49

    c. Penyakit anak-anak, radang dan Iuka-Iuka yang dapat mengakibatkan

    kerusakan alat-alat pendengaran bagian tengah dan dalam.

    2.4.4. Karakteristik anak tunanmgu

    Lani Bunawan (1995) menjelaskan karakteristik anak tunarungu dari segi

    emosi dan sosialnya adalah sebagai berikut :

    1. Egosentrisme yang melebihi anak normal

    Anak tunarungu mendapat sebutan permata karena pendengarannya tidak

    dapat menolong mereka dalam bicara bahasa, maka anak tunarungu

    mempelajari lingkungannya melalui mata. Karena besarnya peranan

    penglihatan dalam pengamatan, maka anak tunarungu mempunyai sifat

    sangat ingin tahu, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan hal itu

    semakin menambah egosentrismenya.

  • 2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang luas

    Anak tunarungu lebih sering mengalami ketakutan, hal tersebut

    dikarenakan mereka sering merasa kurang menguasai keadaan yang

    diakibatkan oleh pendengaran yang tergangggu, sehingga ia merasa

    khawatir dan menimbulkan ketakutan.

    3. Ketergantungan terhadap orang lain

    50

    Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah

    dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus

    asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain.

    4. Perhatian mereka sulit dialihkan

    Suatu hal yang biasa terjadi pada anak tunarungu ialah menunjukkan

    keasyikan bila mengerjakan sesuatu, apalagi jika ia menyukai benda atau

    pandai mengerjakan sesuatu. Kesempitan bahasa menyebabkan

    kesempitan berpikir seseorang. Anak tunarungu sukar diajak berpikir

    tentang hal-hal yang belum terjadi artinya anal< tunarungu lebih miskin

    akan fantasi.

  • 5.Lebih mudah marah dan cepat tersinggung

    Karena seringnya mengalami kekecewaan yang timbul dari kesukaran

    menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dan sulitnya

    dia mengerti apa yang disampaikan oleh orang lain kepadanya, ha! ini

    biasa diekspresikan dengan kemarahan.

    Sedangkan menurut Soemantri (2006) karakteristik anak tunarungu dapat

    dilihat dari:

    1. Perkembangan kognitifnya

    51

    Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama

    dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya

    dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan

    informasi, dan kiranya daya abstrak anak, dengan demikian perkembangan

    intelegensi secara fungsional terhambat. Perkembangan kognitif anak

    tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga

    hambatan pada bahasa akan menghambat perkembangan intelegensi

    anak tunarungu. Kerendahan tingkat intelegensi anak tunarungu bul

  • 2. Perkembangan emosinya

    Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali

    menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau

    salah dan ini seringkali menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada

    emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan

    menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya

    menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan.

    3. Perkembangan sosialnya

    52

    Lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memimliki kekurangan

    dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan

    penilaian lingkungan yang demikian, anal< tunarungu merasa benar-benar

    kurang berharga dan besar terhadap perkembangan fungsi sosialnya.

    Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini mengakibatkan

    pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan

    menyendiri serta memiliki sifat egosentris.

    4. Perkembangan kepribadiannya

    Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan

    pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor anak sendiri.

    Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu

    ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan

  • berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi

    dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat

    perkembangan kepribadiannya.

    2.5. Sekolah inklusi

    2.5.1. Pengertian

    53

    Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan

    Staiback (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004) mengemukakan

    bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di

    kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,

    menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa,

    maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar

    anak-anak berhasil (Direktorat pendidikan luar biasa, 2004). Lebih dari itu,

    sekolah inklusi juga merupakan ternpat setiap anak dapat diterirna, rnenjadi

    bagian dari kelas tersebut, dan saling rnernbantu dengan guru dan ternan

    sebayanya, rnaupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya

    dapat terpenuhi.

    Sedangkan rnenurut Staub dan Peck (dalam Direktorat Pendidikan Luar

    Biasa, 2004) rnengernukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penernpatan

    anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas

    reguler (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004).

  • 54

    Di Dunia landasan yuridis dari pendidikan inklusi adalah pada deklarasi

    Salamanca (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004), dan di Indonesia

    adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

    Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan

    pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar

    biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus (Direktorat

    Pendidikan Luar Biasa, 2004).

    2.5.2. Model pendidikan inklusi di indonesia

    2.5.2.1 Alternatif penempatan

    Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, model

    pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa

    inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaugh, Bos & Schum

    (dalam Ditektorat Pendidikan Luar Biasa, 2004).

    Dalam buku pedoman pendidikan inklusi Direktorat Pendidikan Luar Biasa

    (2004) penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan

    dengan berbagai model sebagai berikut:

    1. Kelas reguler (inklusi penuh)

    Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di

    kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.

  • 55

    2. Kelas reguler dengan cluster

    Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

    dalam kelompok khusus.

    3. Kelas reguler dengan pull out

    Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal} di kelas reguler

    namun dalam waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber

    untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

    4. Kelas reguler dengan clusterdan pull out

    Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

    dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas

    reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

    5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasia

    Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler,

    namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain

    (normal} di kelas reguler.

    6. Kelas khusus penuh

    Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

    Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan,

    terutama bergantung kepada :

    1. Jumlah anak berkelainan yang akan dilayani

    2. Jenis kelamin masing-masing anak

  • 56

    3. Gradasi (tingkat) kelainan anak

    4. Ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan,

    5. Sarana dan prasarana yang tersedia.

    2.5.2.2. Komponen yang perlu disiapkan

    Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar,

    sementara itu mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor

    (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:

    1. Input siswa

    2. Kurikulum (bahan ajar)

    3. Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih)

    4. Sarana-prasarana

    5. Dana

    6. Manajemen (pengelolaan)

    7. Lingkungan (sekolah,masyarakat,dan keluarga)

    Dalam hal ini, bila dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input siswa,

    yakni tidak hanya menampung anak normal tetapi juga anak berkelainan,

    maka menuntut penyesuaian (modifikasi), kurikulum (bahan ajar), peranserta

    guru, sarana-prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan

    serta kegiatan belajar-mengajar.

  • 57

    2.6. Remaja

    2.6.1. Pengertian Remaja

    Remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

    remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak

    termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara

    penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Monks dan kawan-kawan

    (1989) menyebutkan remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Oleh

    karena itu, remaja seringkali dekenal dengan fase "mencari jati diri" atau fase

    "topan dan badai''. Remaja masih belum mampu menguasai dan

    memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya.

    Zakiah Dradjat (1990) menyebutkan remaja adalah suatu masa dari umur

    manusia yang mengalami perubahan, sehingga membawanya pindah dari

    masa anak-anak ke masa dewasa. perubahan-perubahan yang terjadi ini

    meliputi segala aspek kehidupan manusia yaitu jasmani, rohani, pikiran,

    perasaan dan sosial. Biasanya dimulai dengan perubahan jasmani yang

    menyangkut organ seksual, yang terjadi pada umur 13 tahun atau 14 tahun.

    Perubahan ini disertai perubahan lainnya yang berjalan sampai sekitar usia

    20 tahun.

  • Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah

    berusaha:

    1. Mampu menerima keadaan fisiknya

    2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa

    3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

    berlainan jenis

    4. Mencapai kemandirian emosional

    5. Mencapai kemandirian ekonomi

    6. Mengembangkan konsep dan ketrampilan intelektual yang sangat

    diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

    7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan

    orang tua

    8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan

    untuk memasuki usia dewasa

    9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

    58

    10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan

    keluarga

    Kesepuluh tugas perkembangan yang telah disebutkan terlihat bahwa remaja

    mempersiapkan dirinya untuk menerima keadaan fisiknya sehingga mampu

    mempersiapkan dirinya untuk terjun kedalam hubungan sosial di masyarakat,

  • 59

    ini dapat terjadi dengan baik dalam diri remaja dengan ditunjang oleh faktor-

    faktor tugas perkembangan yang lainnya.

    Havighurst (dalam Hurlock, 1991) menyebutkan ada sejumlah tugas

    perkembangan yang harus di selesaikan dengan baik oleh remaja, yaitu:

    1. Mencapai hubungan baru yang lebih baik dan matang dengan teman

    sebaya baik pria maupun wanita

    2. Mencapai peran sosial dan wanita

    3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif

    4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

    dewasa lainnya

    5. Mencapai jaminan kebebasan ekonomis

    6. Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan

    7. Persiapan untuk memasuki kehidupan keluarga

    8. Mengembangkan l

  • 60

    Masing-masing tugas perkembangan itu membawa implikasi yang berbeda

    dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu dengan memberikan kesempatan

    kepada siswa untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan non akademik

    berkenaan dengan penyesuaian peran sosial, pemahaman terhadap kondisi

    fisik dan psikologis, serta pemahaman dan penghayatan peran jenis kelamin.

    2.6.2. Self efficacy dan komunikasi interpersonal remaja terhadap

    penyesuaian diri di lingkungan sekolah

    Self efficacy mempunyai pengaruh yang posistif terhadap motivasi

    (Bandura,1986) begitu pula ketika remaja melakukan penyesuaian diri

    disekolah mereka membutuhkan adanya motivasi. Yatrni (2005)

    menyebutkan motivasi mempunyai pengaruh kuat terhadap penyesuaian diri

    pada remaja. Motivasi itu bisa didapat secara internal yaitu dari dalam diri

    remaja itu sendiri, atau secara eksternal atu diluar diri remaja itu sendiri

    seperti dari guru dan teman-teman mereka.

    Komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk menjalin

    hubungan sosial. Dalam hubungan sosial tentu akan adanya penyesuaian

    diri. Penyesuaian diri pada remaja akan berjalan lancar jika tiga kemampuan

    dalam diri remaja menjalin kerjasama yang baik. Mohammad ali (2004)

    menyebutkan tiga kemampuan tersebut adalah:

  • 1. Kemampuan kognitif seperti pengamatan, perhatian, tanggapan,

    fantasi dan berfikir, merupakan sarana dasar untuk pengambilan

    keputusan oleh remaja dalam melakukan penyesuaian diri.

    2. Kemampuan afeksi seperti sikap, perasaan emosional, dan

    penghayatan terhadap nilai-nilai dan moral akan menjadi dasar

    perlindungan bagi kognisi dalam proses penyesuaian diri remaja.

    61

    3. Kemampuan psikomotorik menjadi sumber kekuatan yang mendorong

    remaja untuk melakukan penyesuaian diri disesuaikan dengan

    dorongan dan kebutuhannya.

    Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosialnya dalam

    proses sosialisasinya dan sekaligus merupakan faktor lingkungan baru yang

    sangat menantang atau bahkan mencemaskan dirinya. Selama tidak ada

    pertentangan, selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam

    menyesuaikan dirinya. Namun, jika salah satu kelompok lebih kuat dari

    lainnya, anal< akan menyesuaikan dirinya dengan kelompok dimana dirinya

    dapat diterima dengan bail

  • 2.7. l

  • 63

    dirinya berperan untuk mempengaruhinya mampu berkomunikasi

    interpersonal dengan lingkungan yang normal bagi siswa tunanetra dan

    tunarungu di sekolah inklusi.

    Pada penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah pengaruh self efficacy

    terhadap adanya komunikasi interpersonal pada siswa tunanetra dan

    tunarungu yang bersekolah di sekolah inklusi yaitu SMUN 66 Jakarta.

    Maka agar timbul komunikasi interpersonal yang efektif pada siswa tunanetra

    dan tunarungu yang bersekolah di sekolah inklusi SMUl\I 66 Jakarta, harus

    terdapat self efficacy yang tinggi karena mereka harus berusaha sekuatnya

    agar teman-teman serta lingkungan mereka yang normal mampu memahami

    dan mengerti apa maksud dan keinginan mereka.

    Skema 2.7. Gambaran kerangka berfikir

    .f efficacy: Mamp11 mengambil kep11t11s:m Besarnya 11saha yang dikelnarkan dan keteknmm ber11saha Pola pil

  • BAB3

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1. Jenis Penelitian

    3.1.1 Pendekatan Penelitian

    Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif. Strauss dan

    Juliet (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa penelitian kualitatif

    pada dasarnya lebih tepat digunakan pada penelitan yang berupaya

    mengungkap sifat pengalaman seseorang dengan fenomena. Bogdan

    (dalam Munandir, 1990) mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai

    prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau

    lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.

    Dalam menjalankan penelitian ini, peneliti berupaya untuk memahami situasi

    dalam keunikannya, yaitu sebagai bagian dalam konteks tertentu dan

    interaksi di dalamnya. Untuk mencapai pemahaman dari proses situasi yang

    unik ini maka dalam penelitian kualitatif digunakan data yang bersifat

    deskriptif. Seperti transkip wawancara, catatan lapangan, foto, rekaman

    video, dan sebagainya. Hal ini yang membedakan penelitian kualitatif

    dengan kuantitatif yang menampilkan data dalam bentuk angka-angka

    (Poerwandari, 2001 ).

  • 65

    3.1.2. Metode Peneliti

  • Pola yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus multiple case

    design karena menggunakan lebih dari satu kasus. Dengan pola ini

    diharapkan dapat diperoleh gambaran secara rnenyeluruh tentang

    penghayatan terhadap keadaan yang dialarninya. Oleh karena itu rnaka

    diperlukan data yang bersifat khusus individual untuk rnemdapatkan hasil

    yang cukup rnendalarn.

    3.2. Subyek penelitian

    66

    Menurut Strauss (dalarn Porwandari, 2001) dalarn penelltian kualitatif tidak

    ada ketentuan baku rnengenai subyek yang harus dipenuhi. Satu subyek

    dapat digunakan dalam suatu penelitian studi kasus asalkan data yang

    didapatkan sudah cukup. Karena dalarn penelitian ini menggunakan pola

    multiple case design, maka jurnlah subyek yang digunakan terdiri dari 4

    orang. Subyek atau responden penelitian adalah siswa tunanetra dan

    tunarungu kelas tiga , yaitu dua orang siswa tunanetra dan dua orang siswa

    tunarungu, yang bersekolah di SMUN 66 Jakarta.

    3.2.1. Teknik pengambilan subyek

    Dalarn penelitian ini teknik pengambilan sarnpel yang digunakan non

    probability sampling, yaitu dengan jenis purposive sampling. Purposive

    sampling dilakukan dengan rnengarnbil orang-orang terpilih betul oleh peneliti

  • menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu. Sampling yang

    purposive adalah sample yang dipilih dengan cermat sehingga relevan

    dengan desain penelitian (Nasution, 2001).

    3.2.2. Karakteristik Subyek

    Subyek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah para siswa yang

    bersekolah di SMUN 66 Jakarta kelas tiga yang menyandang ketunaan.

    Karakteristik khusus dari subyek yang diteliti adalah sebagai berikut:

    a. Subyek yang menyandang ketunaan yaitu tunanetra dan tunarungu

    yang tidal< disertai dengan kelainan mental.

    67

    b. Subyek bersekolah di SMUN 66 Jakarta kelas tiga pada tahun ajaran

    200612007.

    c. Laki-laki dan perempuan

    3.3. Pengumpulan Data

    3.3.1. Metode clan instrumen penelitian

    Menu rut Poerwandari (2001) metode pengumpulan data dalam penelitian

    kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian

    serta sifat obyek yang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan

    antara lain wawancara, studi riwayat hidup, dan observasi. Menurut Moleong

  • (1990) pengumpulan data kualitatif menggunal

  • 69

    tunanetra dan tunarungu dan memahami komunikasi interpersonal mereka

    dengan teman-teman mereka yang normal di sekolah inklusi SMUN 66

    Jakarta. Sehingga dapat diketahui apakah self efficacy pada siswa tunanetra

    dan tunarungu mempengaruhi mereka dalam berkomunikasi interpersonalnya

    dengna siswa lainnya yang normal di sekolah inklusi SMUN 66 Jakarta.

    Menurut Danim (2002) pada penelitian kualitataif, wawancara bermakna

    sebagai strategi utama mengumpulkan data, dan strategi penunjang teknik

    lain seperti observasi partisipan, analisis dokumen, dan fotografi.

    lnstrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara mendalam

    dengan menggunakan pedoman wawancara. Menurut Danim (2002) kaidah-

    kaidah penyusunan instrumen penelitian kuantitif dapat clipakai clalam

    penelitian kualitatif , meski dua pendekatan itu berbecla filosofi clasarnya.

    Wawwancara yang digunakan berpecloman pacla aspek self efficacy yaitu

    aspek pengambilan keputusan untuk menentukan tingkah laku pada individu,

    aspek besarnya usaha clan ketekunan berusaha pacla indiviclu, dan aspek

    pola pikir serta reaksi emosional individu. Wawancara juga berpedoman

    pacla faktor-faktor komunikasi interpersonal yaitu mendengarkan orang lain,

    memberi pernyataan, membuka diri, kepekaan, dan umpan balik saat

    berkomunikasi.

  • 2. Metode observasi

    Peneliti juga menggunakan metode observasi sebagai rnetode penunjang

    dalam penelitian ini, dengan rnaksud ingin mencatat semua yang terjadi di

    lapangan tempat wawancara berlangsung.

    Observasi disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan

    perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh indera,

    observasi bertujuan sebagai alat yang mendukung alat lainnya

    (Moeloeng, 1990).

    70

    Observasi terhadap subyek dapat dilakukan terhadap faktor-faktor yang ada

    dalam diri subyek, seperti informasi tinggi atau rendahnya suara subyek

    dalam memberikan keterangan, penekanan pada informasi tertentu, gerakan

    tubuh dan menjawab pertanyaan atau memberi informasi sesuai dengan

    pandangannya dan keadaan yang sesungguhnya .

    Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipan. Faktor-faktor yang

    diamati adalah:

    a) Penampilan fisik, diantaranya pal

  • c) Lingkungan tempat itnggal, diantaranya keluarga subyek meliputi

    hubungan dengan orang tua adik atau kakak, hubungan subyek

    dengan teman-teman subyek dalam pergaulannya diluar sekolah.

    3.3.2. Alat bantu pemgumpulan data

    71

    Untuk membantu peneliti dalam proses pengumpulan data, diperlukan alat-

    alat yang dapat membantu dan mempermudah tugas peneliti agar

    pengolahan data bisa dilakukan dengan mudah. Alat bantu yang

    dipergunakan adalah pedoman wawancara, lembar observasi, catatan

    wawancara, tape recorder dan camcorder untuk merekam hasil wawancara,

    serta pendamping untuk menerjemahkan bahasa isyarat yang digunakan

    oleh siswa tunarungu selama proses wawancara berlangsung.

    Pedoman wawancara adalah daftar sebuah pertanyaan mengenai tema-tema

    atau topik