Upload
yola-aprilia-putri
View
212
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
gagal hati
Citation preview
GAGAL HATI
Gagal hati terjadi ketika satu atau beberapa fungsi utama hati sangat terganggu yang
mengancam jiwa. Gagal berat bila kadar faktor-faktor pembekuan yang di produksi hati < 50%
dan adanya ensefalopati.
Definisi : gagal hati fulminan jika kegagalan terjadi dalam waktu 2 minggu setelah timbul gejala.
Patofisiologi
Hati mensintesis dalam jumlah yang besar bahan-bahan penting (seperti glukosa, protein
dan faktor-faktor pembekuan), dan metabolisme bahan lainnya (misalnya : amonia, sejumlah obat-
obatan dan senyawa yang dimetabolisme oleh sistem sitokrom P-450), dan mengekskresi metabolit
(misalnya : bilirubin). Bila kerusakannya berat, hati tak mampu melaksanakan fungsi kerja
metabolisme tersebut dan dapat menyebabkan hipoglikemia, hiperamonemia, hiperbilirubinemia,
konsentrasi yang rendah dari faktor-faktor pembekuan. Nekrosis sel hati bermanifestasi
peningkatan kadar enzim hati (SGPT dan SGOT).
Patofisiologi dari ensepalopati hati tidak sepenuhnya dimengerti kemungkinan
disebabkan oleh akumulasi bahan-bahan yang biasanya di metabolisme di hati seperti amonia,
asam lemak rantai pendek, bahan mirip benzodiasepine, octopamine, merkaptans (menghasilkan
“fetor hepaticus” yang khas) asam γ- aminobutirik dan banyak lainnya.
Tabel 1 memaparkan etiologi gagal hati yang sering pada anak. Pada bayi kebanyakan
kasus disebabkan oleh suatu proses infeksi atau “inborn error of metabolism” (misalnya :
tirosinemia, galaktosemia dan fruktosemia). Pada anak yang lebih besar, penyakit-penyakit
autoimun, penyakit toksik hati (misalnya : asam valproat) perlu juga dipertimbangkan. Penyakit
Wilson harus disingkirkan pada semua anak berusia >5 tahun. Pada anak remaja toksisitas obat
(misalnya : methylendioxymethamphetamine [”ecstasy”] dan percobaan bunuh diri harus
dipertimbangkan).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding gagal hati termasuk semua penyebab koma dan penyakit hati, tetapi
banyak penyakit-penyakit dapat merusak hati dan otak tanpa menyebabkan gagal hati yang nyata.
Yang paling sering adalah (1) metabolik (misalnya: asidosis), (2) infeksi (misalnya : adenovirus,
sindroma syok toksik), (3) toksik (misalnya : aspirin, phenitoin), dan (4) perdarahan misalnya:
sindroma syok hemoragik yang disertai ensefalopati.
Evaluasi Klinis
Gejala dan tanda yang sering dilaporkan adalah kelemahan, penurunan berat badan, “fetor
hepaticus”, muntah, kuning (hampir selalu ada, kecuali pada keracunan parasetamol atau pada
sindroma Reye’s like), hepatomegali, tanda koagulopati (misalnya perdarahan, purpura),
penurunan kesadaran dan kejang . Pemeriksaan dengan lampu slit (untuk mendeteksi suatu cincin
1
kornea Kayser-Fleischer) dianjurkan untuk semua anak diatas 10 tahun, kecuali gagal hati yang
jelas bukan disebabkan oleh penyakit Wilson. Gejala ensepalopati hati berhubungan dengan
kelainan metabolik dan edema otak. Gejala awal ensepalopati hati bisa sangat ringan, seperti
gangguan menulis, mudah marah atau penurunan emosi (stadium I). Stadium II ditandai dengan
perubahan tingkah laku dan mengantuk. Stadium III ditemukan stupor (pasien memiliki respon
pada rangsang dan dapat dibangunkan tetapi tertidur lagi bila rangsangan dihentikan).
Koma flaksid mengindikasikan stadium III (bisa terjadi posisi dekortikasi atau
deserebrasi). Stadium III dan IV sering dihubungkan dengan edema otak. Sebagian sarjana
berpendapat pemasangan alat pemantau tekanan intrakranial dapat mengakibatkan perdarahan dan
terjadi kematian, oleh karena itu faktor pembekuan harus diperiksa sebelum pemasangan alat
pemantau tekanan intrakranial. Resiko perdarahan otak rendah dengan penggunaan transducers
ekstradermal.
Seorang pasien dengan gagal hati akut atau subakut harus dipantau dan dievaluasi
klinisnya sebagai berikut.
Tabel 1 Pemantauan klinis
A dan B, jalan napas dan pernapasan : frekuensi napas, pulse oximeter
C, sirkulasi : tanda vital setiap jam (frekuensi jantung, tekanan darah), keseimbangan
cairan tiap jam (masukan dan keluaran), dengan atau tanpa kateter urin,
dengan atau tanpa saluran infus arterial, dengan atau tanpa pemantauan
tekanan vena sentral.
D, lainnya : tanda neurologis tiap jam (skor skala koma Glasgow, pupil, refleks
akulomotor, dengan atau tanpa pemantauan tekanan intrakranial), timbang
tiap hari.
Pemeriksaan Laboratoris
Hasil uji laboratoris khas pada gagal hati adalah hiperamonemia, kadar bilirubin yang
tinggi dan kadar yang rendah dari faktor pembekuan yang memperlihatkan disfungsi hati,
meningkatnya kadar transaminase (SGOT dan SGPT) yang mengarah pada nekrosis sel hati, dan
peningkatan kadar fosfatase alkali atau γ-glutaminiltranspeptidase yang mengarah pada kerusakan
saluran empedu.
Tabel 2 adalah daftar analisa yang dapat membantu dalam mencari penyebab dari gagal
hati dan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk pemantauan. I love u mas ardi. I love u too
Bunda Rency
PENATALAKSANAAN
2
Pengobatan Non Spesifik
Tujuan penatalaksanaan adalah terapi kerusakan hati primer dan mencegah kerusakan
sekunder. Suatu penyelidikan etiologi yang ekstensif diperlukan untuk menentukan apakah ada
indikasi untuk suatu terapi khusus. Kerusakan primer yang berhubungan langsung kepada gagal
hati seperti koma, hipoglikemi, dan koagulapati. Kerusakan sekunder adalah edema pulmonal,
edema otak, syok, insufisiensi ginjal, infeksi, pankreatitis dan kematian.
Tabel 2. Pemantauan dan pemeriksaan laboratoris
Pemeriksaan : uji combs, serologi virus (hepatitis A,B,C dan D; herpes: virus echo; virus
Adeno; virus Epstein-Barr; virus Sitomegalo), kultur virus (tenggorokan, tinja dan air
kemih), uji tapis toksikologi, dengan atau tanpa fungsi enzim (galaktosidase,
fruktosemia, dll), α1 – antitripsin, dengan atau tanpa seruloplasmin, dengan atau tanpa
copper (serum dan urin), dengan atau tanpa asam amino (darah dan urine),
autoantibodi (anti DNA, anti mitokondria, dll), dengan atau tanpa biopsi hati.
Pemantauan : Hemoglobin dan hematokrit, trombosit, koagulogram, faktor V, glisemia, SGOT,
SGPT, bilirubin, fosfatase alkali, α – glutamil transferase, amonia, BUN, kreatinin, gas
darah, elektrolit, kalsium ion, magnesium, fosfor, dengan atau tanpa pemeriksaan
(albumin, α – fetoprotein, echography abdomen, dll).
Jalan Napas dan Pernapasan
Hipoksia umum terjadi dan biasanya disebabkan edema pulmonal. Semua pasien harus
dipantau dengan pulse oksimetri . Oksigen bisa merupakan terapi tunggal yang diperlukan.
Beberapa pasien mendapat keuntungan dari continous positive airway pressure atau positive end –
expiratory pressure, tetapi hal ini dapat meningkatkan tekanan vena hepatik dan dapat
meningkatkan iskemia sel hati; karena itu harus digunakan dengan hati-hati, dan yang
direkomendasikan adalah dengan tekanan rendah, ventilasi mekanik harus digunakan ketika terjadi
hyperkapnia atu hipoksia.
Intubasi dini dan ventilasi mekanik direkomendasikan untuk pasien tadium III atau IV untuk
memberikan oksigen yang adekuat dan mencegah aspirasi. Jika hipokapnia diindikasikan untuk
terapi hipertensi intrakranial, tekanan karbon dioksida alveolar (PaCO2) harus dipertahankan
diantara 25 dan 35 mmHg dengan PH < 7,50.
Sirkulasi : Cairan, Elektrolit dan Koagulasi
Pemasangan kateter kandung kemih, pipa infus arterial, dan pemantauan tekanan vena
sentral harus digunakan pada pasien stadium III atau IV dan perlu juga dipertimbangkan pada
penderita stadium II. Tujuannya untuk menjaga agar pasien tetap normovolemik (tekanan vena
sentral 2 – 6 mmHg) dengan kadar elektrolit yang normal.
3
1. Keseimbangan cairan dan natrium harus dipantau ketat. Seringkali pada disfungsi ginjal
dengan retensi cairan dan hiponatremia; oleh sebab itu pembatasan cairan 2/3 dari volume
rumatan dan tidak mengandung sodium. Asupan natrium total tidak melebihi kehilangan (<2
mmol/kgBB/hari). Berkembangnya gagal ginjal dapat kembali normal dengan infus
berkelanjutan dari dopamin (2 – 4 mg/kg/min). selanjutnya dopamin dapat meningkatkan
aliran darah di usus dan hepar.
2. Spironolakton (1 – 3 mg/kg/hari per oral) berguna jika diuretik dibutuhkan atau ada
kecenderungan terjadi hipokalemia. Diuretik harus digunakan dengan pemantauan ketat dari
tekanan vena sentral karena penurunan mendadak volume dalam pembuluh darah
menyebabkan gagal ginjal irreversibel.
3. Pemberian tambahan kalium (> 2 mMol/kg/hari) seringkali dibutuhkan karena
hiperaldosteronisme sekunder yang berhubungan dengan gagal hati menghasilkan suatu
kaliuresis yang nyata.
Syok hipovolemik dapat terjadi dari perdarahan atau dehidrasi dan dalam upaya
menstabilkan keadaan hemodinamik dapat diberikan produk darah, plasma volume expander,
larutan saline, dan obat vasoaktif seperti dopamin dan norepineprin.
Perdarahan dapat disebabkan oleh koagulopati atau perdarahan gastrointestinal bagian
atas. Koagulopati disebabkan oleh rendahnya produksi faktor pembekuan oleh hati (faktor II, V,
VII, IX, X), jumlah trombosit yang rendah dan kadang oleh disseminated intravascular
coagulation (DIC). Perdarahan aktif harus diterapi dengan plasma beku segar atau trombosit (2
unit/10 kg) atau dapat diberikan keduanya. Tetapi plasma beku segar mengandung garam / air dan
nitrogen yang dapat memberikan kontribusi pada berkembangnya koma dan edema otak.
Dekstrosa dan obat-obatan
Hipoglikemia terjadi pada 40% kasus dari gagal hati akut. Hipoglikemia bisa berat,
berkepanjangan dan tak terdeteksi pada pasien yang koma. Kadar gula darah pasien yang baru
masuk rumah sakit diperiksa lebih sering (paling sedikit tiap 2 jam) dengan menggunakan
Dexstrostik atau metode lain. Asupan gula yang teratur harus diberikan melalui infus dengan
dekstrosa 5% atau 10%. Bolus dengan 25% (2 ml/kg) dan penyesuaian dari infus berkelanjutan
mungkin diperlukan.
Laktulosa (mula-mula 0,5 gr/kg per oral tiap 2 jam, dan dikurangi menjadi 0,25gr/kg tiap 6 jam
sampai 48 jam setelah terjadi tinja yang lembek) dan/atau neomisin (25 mg/kg per oral tiap 6 jam,
maksimun 4 gr/hari) sering diberikan untuk mencegah dan juga untuk terapi ensefalopati hati.
Obat-obatan ini menurunkan jumlah dari amonia yang diserap oleh kolon. Efek dari laktulosa
harus dipantau ketat dan dosis diberikan diatur untuk mencapai 2 – 4 kali buang air yang lembek
per hari karena diare berat disebabkan laktulosa dapat menyebabkan kehilangan air yang
berlebihan dan hiponatremia. Kontra indikasi pemberian laktulosa apabila diduga ada
galaktosemia. Pemberian neomisin sebaliknya dihindari jika fungsi ginjal menurun. Selain dari
4
neomisin dapat digunakan metronidasol karena adanya efek samping berupa ototoksisitas dan
nefrotoksik dari neomisin.
Kejang dapat disebabkan oleh hipoglikemia, hiponatremia, perdarahan intrakranial, atau
ensepalopati hati. Pemberian gula, natrium, atau intervensi bedah saraf dibutuhkan. Jika kejang
karena ensepalopati prognosisnya jelek dan transplantasi hati harus dipertimbangkan dan
didiskusikan dengan penderita.
Etiologi perdarahan saluran cerna bagian atas bisa karena hipertensi portal, stress ulcer di
gastroduodenal atau gastritis berat. Darah pada usus halus dapat memperburuk ensefalopati hati,
oleh sebab itu pipa gastrik harus dipasang pada semua penderita untuk deteksi dini perdarahan
saluran cerna bagian atas dan untuk membilas semua darah yang ada dilambung. Pencegahan
perdarahan saluran cerna bagian atas penting. Sukralfat (1 gm PO tiap 6 jam) adalah obat pilihan
pertama. Ranitidin (2-6mg/kgBB/hari dengan melalui infus ) dapat juga diberikan, tetapi beberapa
sarjana berpendapat H2 – bloker sebaiknya tidak diberikan karena bisa mengakibatkan
hepatotoksik. Sebanyak 30% kematian berhubungan dengan gagal hati disebabkan oleh
perdarahan saluran cerna bagian atas, oleh sebab itu kebanyakan sarjana menganjurkan untuk
memelihara pH lambung > 4,5 dengan menggunakan sukralfat . Antasida dan omeprasol juga
dapat diberikan. Intervensi operasi harus dipikirkan bila perdarahan saluran cerna bagian atas
mengancam jiwa.
Vitamin K (0,2 mg/kg BB/hari peroral atau IV ; maksimum 10 mg/hari) sering diberikan,
meskipun hati biasanya tidak mampu menggunakannya untuk mensintesis faktor-faktor
pembekuan yang tergantung vit K (faktor II, VII, IX dan X).
Pemberian antibiotik untuk profilaksis masih kontroversi dan tidak direkomendasikan.
Demam, lekositosis, perdarahan dan ensefalopati, atau timbulnya suatu sindrom hepatorenal harus
dicurigai terjadi infeksi. Paru-paru, darah (berhubungan dengan kateter sentral), dan traktus
urinarius (karena kateter urin) adalah daerah penyebab tersering, dan kultur untuk bakteri dan
jamur harus lebih sering dilakukan dari daerah-daerah ini. Antibiotik yang sesuai berdasarkan data
insidens tipe dan penyebab dari infeksi nosokomial dirumah sakit setempat harus diberikan sambil
menunggu hasil kultur dan uji sensitivitas.
Flumazenil (0,2-05 mg/m2/dosis IV, maksimum 1 mg/dosis). Merupakan suatu antagonis
benzodiasepin dapat menyadarkan penderita dari koma, tetapi belum luas digunakan.
Obat-obatan yang menurunkan kesadaran (misalnya : benzodiazepin, barbiturat, narkotik)
dan obat-obatan yang dimetabolisme dan/ atau diekskresi oleh hati (misalnya: phenitoin,
benzodiazepin, ranitidin, siklosporin) harus dihindari. Bila digunakan maka dosisnya harus
disesuaikan dan harus diperhitungkan efek farmakodinamikanya terhadap gagal hati.
Penatalaksanaan non spesifik lainnya :
5
Penderita harus diisolasi jika dicurigai ada suatu infeksi
Kematian yang disebabkan oleh edema serebral > 40% dari kasus gagal hati, rasio edema
serebral pada penderita stadium III atau IV adalah 50%-85%. Tanda klinis edema serebral tampak
ketika tekanan intrakranial > 30 mmHg. Namun munculnya tanda-tanda ini bisa sangat ringan,
terutama ketika digunakan obat sedatif dan obat pelumpuh otot. Resiko kematian tinggi ketika
gejala dari peningkatan tekanan intrakranial secara klinis terlihat jelas. Pemantauan tekanan
intrakranial berguna, tetapi komplikasi akibat penggunaan alat pemantau ini sangat tinggi sehingga
penggunannya masih diperdebatkan. Peninggian posisi kepala sampai 200-300 dianjurkan untuk
semua penderita stadium III atau IV ensepalopati. Bila terjadi hipertensi intrakranial nyata (> 30
mmHg) maka dapat di infus dengan manitol (0,25-0,5gm/kg BB/dosis IV selama 20 menit). I love
u mas ardi. Penggunaan manitol harus berhati-hati bila ada gagal ginjal. Obat pelumpuh (misalnya
pancuronium (0,1mg/kg/dosis IV setiap 2 – 6 jam atau dengan infus kontinu) dapat berguna pada
kasus yang berat.
Nutrisi penting dan harus diperhatikan. Diet khusus yang diberikan secara intravena atau
enteral harus rendah protein (< 0,5 gm/kg/hari) dan natrium (< 2 mmol/kg/hari) tetapi tinggi gula
dan kalium.
Terapi pengganti ginjal (dialisis atau hemofiltrasi) berguna bila ada gagal ginjal untuk
mencegah kelebihan cairan dan hal ini perlu juga dipertimbangkan bila ada asidosis yang
menetap, hiperkalemia atau azotemia berat.
Penatalaksanaan Khusus
Beberapa penyebab gagal hati memerlukan terapi yang khusus.
Keracunan parasetamol. N – Acetylcysteine harus di berikan segera mungkin. N-
acetylcysteine tetap berguna walaupun gagal hati telah terjadi, tetapi ini masih diperdebatkan di
beberapa kepustakaan.
Pada penderita fruktosermia atau galaktosemia. Jangan diberi fruktosa atau laktosa.
Penyakit Wilson diterapi dengan D-Penicillamine (1-2 gm/hari peroral tiap 6 / 2 jam).
Hepatitis autoimmun, beri steroid (misalnya : metil prednisolon (2 mg/kg/hari IV atau
peroral)) dengan atau tanpa azathioprine (2 mg/kg/hari IV atau per oral).
Terapi Penyelamatan
Akhir-akhir ini tidak ada sistem pendukung hati (misalnya. Hemoperfusi charcoal,
plasmapheresis) yang jelas memperbaiki keluaran gagal hati, tetapi belum direkomendasikan pada
manajemen klinis. Transplantasi hati adalah satu-satunya prosedur penyelamatan jiwa pada kasus
yang sangat berat dan hal ini harus dipertimbangan bila ada faktor-faktor resiko berikut : gagal
hati fulminan tanpa perbaikan setelah terapi medis yang lengkap, ensefalopati hati stadium II atau
III, perdarahan saluran cerna menetap, asidosis menetap, gagal ginjal progresif, kadar faktor V <
20 % - 25% atau waktu prothrombin > 50 detik . Tetapi kontraindikasi pada koma starium IV
6
karena ratio kematian dan gejala sisa neurologik yang berat sangat tinggi pada pasien yang
bertahan hidup. Sepsis juga merupakan kontra-indikasi. Tetapi sindrom hepatorenal bukan
merupakan kontra indikasi karena fungsi ginjal akan membaik jika transplantasi berhasil.
Prognosis
Kematian biasanya disebabkan oleh edema serebal, perdarahan, infeksi nosokomial,
insufisiensi ginjal, atau masalah metabolik primer. Koma stadium IV, peningkatan serum bilirubin
berhubungan dengan penurunan kadar SGOT dan SGPT, asidosis laktat, kadar faktor V < 25%,
waktu prothrombin memanjang yang tidak ada respon pada pemberian Vit K, dan sindroma
hepatorenal adalah petanda penting dari keluaran yang buruk. Ratio kematian > 80% pada
penderita koma stadium IV, dan > 40% anak dengan gagal hati fulminan akan meninggal,
transplantansi hati harus dipikirkan pada kasus-kasus ini. Sebaliknya suatu peningkatan kadar α-
fetoprotein mengarah pada regenerasi sel hati. Penurunan kadar bilirubin dan transaminase,
memendeknya waktu prothrombin mengarah pada prognosis yang baik.
Kepustakaan
1. Caraceni P, Van Thiel DH. Acute liver fallure. Lancet, 1995; 345:163.
2. Keays R, Harrison PM, Wendon JA, et al. Intravenous acetylcystein in paracetamol-
induced fulminant hepatic failure: a prospective controlled trial. Br Med J, 1991;
303:1026.
3. Russel GJ, Fitzgerald JF, Clark JH. Fulminant hepatic failure. J Pediatr, 1987; 111: 313.
4. Anand AC, Nightengale P, Neuberger Jm. Early indicators of prognosis in fulminant
hepatic failure : An assessment of the King’s criteria. J Hepatol, 1997; 26:62.
5. Dubern B, Broue P, Dubuisson C, et al. Orthotopic liver transplantation for mitochondrial
respiratory chain disorders: A study of 5 children. Transplantation, 2001;71:633-7.
6. Emre S, Schwartz ME, Shneider B, et al. Living related liver transplantation for acute
liver failure in children. Liver Transpl Surg, 1999; 5:161-5.
7. Lee WM. Management of acute liver failure. Semin Liver Dis, 1996;16:369.
8. Singer AL, Olthoff KM, Kim H, et al. Role of plasmapheresis in the management of acute
hepatic failure in children. Ann Surg 2001;234:418-24.
9. Ting PP, Demetriou AA. Clinical experience with artificial liver support systems. Can J
Gastroenterol, 2000; 14:79D-84D.
7
10. Nora DB, Amaral OB, Busnello JV, et al. Usefulness of plasma exchange in patients with
acute liver failure. Crit Care Med, 2001; 29:1386-92.
11. Rivera-Penera T, Moreno J, Shaff C, et al. Delayed encephalopathy in fulminant hepatic
failure in the pediatric population and the role of liver transplantation. J. Pediatr
Gastroenterol Nutr, 1997;24:128.
12. Schiodt FV, Atillasoy E, Shakil AO, et al. Etiology and outcome for 295 patients with
acute liver failure in the United States. Liver Transpl Surg, 1999; 5:29-34.
8